e library stikes nani hasanuddin kasmaindar 550-1-12149810 x

7
98 KARAKTERISTIK PENDERITA SINDROM NEFROTIK PADA ANAK Kasma Indar Sari K 1 , Marlinah 2 1 STIKES Nani Hasanuddin Makassar 2 STIKES Nani Hasanuddin Makassar (Alamat Korespondensi: [email protected]/081355339082) ABSTRAK Nephrotic Syndrome merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik ; proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema. Tujuan penelitian untuk mengetahui karakteristik penderita sindrom nefrotik pada anak berdasarkan umur, jenis kelamin, berat badan, proteinuria dan keluhan utama di RSUD Kota Makassar. Jenis penelitian deskriptif dengan objek penelitian berupa catatan medis penderita sindrom nefrotik pada anak di RSUD Kota Makassar tahun 2010-2012. Populasi dalam penelitian adalah sebanyak 61 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, didapatkan 38 catatan medis sesuai dengan kriteria inklusi. Pengumpulan data catatan kesehatan pasien dikumpulkan dengan lembar ceklist sampai jumlah sampel terpenuhi. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan komputer program Microsoft excel dan program statistik (SPSS). Analisis data mencakup Analisis univariat untuk mencari distribusi frekuensi dan persentasi dari tiap variabel yang diteliti. Hasil analisis didapatkan penderita SN di RSUD Kota Makassar, terbanyak pada rentang umur 5-11 tahun (55,3%), jenis kelamin laki- laki (57,9%), berat badan lebih (57,9%), dan proteinuria 3+ (300-1000 mg/dl) (39,5%) dengan keluhan utama terbanyak edema (100,0%), asites (71,1%), efusi pleura (34,2%), perubahan warna urin (18,4%), hematuria (10,5%). Kesimpulan, SN terbanyak pada umur 5-11 tahun, laki-laki, berat badan lebih, proteinuria 3+ dengan keluhan utama edema, asites, efusi pleura, perubahan warna urin, dan hematuria. Kata kunci : Sindrom Nefrotik, Umur, Jenis Kelamin, Berat Badan PENDAHULUAN Sindrom Nefrotik (SN) lebih sering ditemukan pada anak dibandingkan pada dewasa. Insidensi sindrom nefrotik pada anak di Amerika serikat dan Inggris yaitu 2 - 4 kasus baru per 100.000 anak tiap tahun (Raisania, 2012). Prevalensi Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) di negara barat sekitar 2 - 3 kasus per 100.000 anak < 16 tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak (Handayani, dkk, 2007). Insiden sindrom nefrotik pada anak di Indonesia sekitar 6 kasus per 100.000 anak < 14 tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan SNKM biasanya berumur 1 < 10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rerata 2 - 5 tahun (Handayani, dkk, 2007). Pada penelitian yang dilaksanakan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, selama bulan September 2006 - Desember 2006. Subjek penelitian dibagi menjadi dua yaitu kelompok kontrol (anak sehat) dan kelompok kasus Sindrom Nefrotik Relaps Frekuen (SNRF) dan Sindrom Nefrotik Dependen Steroid (SNDS). Subjek penelitian sebanyak 52 anak (26 kasus dan 26 kontrol). Dengan karakteristik penderita sindrom nefrotik yaitu rerata usia kelompok kasus 8,9 Satuan Besaran (SB), (SB 3,3) tahun, dengan rincian 2 anak di bawah 5 tahun, usia 5-10 tahun 17 anak dan lebih dari 11 tahun 7 anak. Rerata berat badan, tinggi badan dan luas permukaan tubuh kelompok kasus 27,1 (SB 9,5) kg, 124,1 (SB 14,6) cm, dan 0,9 (SB 0,2) (Widjaja, 2007). Penelitian selama 10 tahun di RSUP Dr. Kariadi Semarang, 1986-1995 didapat 129 kasus (22,4%) SN primer sebagai penderita baru dari 580 anak dengan penyakit ginjal, dan 11.565 anak yang dirawat selama periode tersebut. Distribusi jenis kelamin SN primer terdiri atas laki- laki 74,4% dan perempuan 25,6% dengan rasio 2,9:1. SN pada anak sebagian besar termasuk SN Idiopatik (SNI) dengan frekuensi terbanyak menunjukkan gambaran SN kelainan minimal (SNKM) 80-90%, 10% glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) dan 5% Proliferatif Mesangial Difus (PMD). Pada SNKM 90 % adalah SN Sensitive Steroid (SNSS) sedangkan Glomerulosklerosis Fokal (GSF) hanya 20-30%, PMD 50%. Sebagian besar (70%) akan mengalami relaps, yaitu relaps jarang (10-20%) relaps frekuen dan dependen steroid (40-50%) (Ade, 2011). Pada penelitian Irda, dkk, 2006 di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, pasien SN sebanyak 56 orang yang terdiri dari anak laki- laki 36 orang dan anak perempuan 20 orang dengan frekuensi anak laki-laki (64,3%) dibandingkan dengan anak perempuan (35,7%). Journal of Pediatric Nursing Vol. 1(2), pp. 098-104, April, 2014 Available online at http://library.stikesnh.ac.id ISSN 2354-726X

Upload: sri-wahyuni-sahir

Post on 11-Jan-2016

15 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

e Library Stikes Nani Hasanuddin Kasmaindar 550-1-12149810 x

TRANSCRIPT

Page 1: e Library Stikes Nani Hasanuddin Kasmaindar 550-1-12149810 x

98

KARAKTERISTIK PENDERITA SINDROM NEFROTIK PADA ANAK

Kasma Indar Sari K1, Marlinah2

1STIKES Nani Hasanuddin Makassar 2STIKES Nani Hasanuddin Makassar

(Alamat Korespondensi: [email protected]/081355339082)

ABSTRAK

Nephrotic Syndrome merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik ; proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema. Tujuan penelitian untuk mengetahui karakteristik penderita sindrom nefrotik pada anak berdasarkan umur, jenis kelamin, berat badan, proteinuria dan keluhan utama di RSUD Kota Makassar. Jenis penelitian deskriptif dengan objek penelitian berupa catatan medis penderita sindrom nefrotik pada anak di RSUD Kota Makassar tahun 2010-2012. Populasi dalam penelitian adalah sebanyak 61 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, didapatkan 38 catatan medis sesuai dengan kriteria inklusi. Pengumpulan data catatan kesehatan pasien dikumpulkan dengan lembar ceklist sampai jumlah sampel terpenuhi. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan komputer program Microsoft excel dan program statistik (SPSS). Analisis data mencakup Analisis univariat untuk mencari distribusi frekuensi dan persentasi dari tiap variabel yang diteliti. Hasil analisis didapatkan penderita SN di RSUD Kota Makassar, terbanyak pada rentang umur 5-11 tahun (55,3%), jenis kelamin laki-laki (57,9%), berat badan lebih (57,9%), dan proteinuria 3+ (300-1000 mg/dl) (39,5%) dengan keluhan utama terbanyak edema (100,0%), asites (71,1%), efusi pleura (34,2%), perubahan warna urin (18,4%), hematuria (10,5%). Kesimpulan, SN terbanyak pada umur 5-11 tahun, laki-laki, berat badan lebih, proteinuria 3+ dengan keluhan utama edema, asites, efusi pleura, perubahan warna urin, dan hematuria.

Kata kunci : Sindrom Nefrotik, Umur, Jenis Kelamin, Berat Badan PENDAHULUAN

Sindrom Nefrotik (SN) lebih sering ditemukan pada anak dibandingkan pada dewasa. Insidensi sindrom nefrotik pada anak di Amerika serikat dan Inggris yaitu 2 - 4 kasus baru per 100.000 anak tiap tahun (Raisania, 2012). Prevalensi Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) di negara barat sekitar 2 - 3 kasus per 100.000 anak < 16 tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak (Handayani, dkk, 2007).

Insiden sindrom nefrotik pada anak di Indonesia sekitar 6 kasus per 100.000 anak < 14 tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan SNKM biasanya berumur 1 < 10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rerata 2 - 5 tahun (Handayani, dkk, 2007).

Pada penelitian yang dilaksanakan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, selama bulan September 2006 - Desember 2006. Subjek penelitian dibagi menjadi dua yaitu kelompok kontrol (anak sehat) dan kelompok kasus Sindrom Nefrotik Relaps Frekuen (SNRF) dan Sindrom Nefrotik Dependen Steroid (SNDS). Subjek penelitian sebanyak 52 anak (26 kasus dan 26 kontrol). Dengan karakteristik penderita sindrom nefrotik yaitu rerata usia kelompok kasus 8,9 Satuan Besaran (SB), (SB 3,3) tahun, dengan rincian 2 anak di bawah 5

tahun, usia 5-10 tahun 17 anak dan lebih dari 11 tahun 7 anak. Rerata berat badan, tinggi badan dan luas permukaan tubuh kelompok kasus 27,1 (SB 9,5) kg, 124,1 (SB 14,6) cm, dan 0,9 (SB 0,2) (Widjaja, 2007).

Penelitian selama 10 tahun di RSUP Dr. Kariadi Semarang, 1986-1995 didapat 129 kasus (22,4%) SN primer sebagai penderita baru dari 580 anak dengan penyakit ginjal, dan 11.565 anak yang dirawat selama periode tersebut. Distribusi jenis kelamin SN primer terdiri atas laki-laki 74,4% dan perempuan 25,6% dengan rasio 2,9:1. SN pada anak sebagian besar termasuk SN Idiopatik (SNI) dengan frekuensi terbanyak menunjukkan gambaran SN kelainan minimal (SNKM) 80-90%, 10% glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) dan 5% Proliferatif Mesangial Difus (PMD). Pada SNKM 90 % adalah SN Sensitive Steroid (SNSS) sedangkan Glomerulosklerosis Fokal (GSF) hanya 20-30%, PMD 50%. Sebagian besar (70%) akan mengalami relaps, yaitu relaps jarang (10-20%) relaps frekuen dan dependen steroid (40-50%) (Ade, 2011).

Pada penelitian Irda, dkk, 2006 di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, pasien SN sebanyak 56 orang yang terdiri dari anak laki-laki 36 orang dan anak perempuan 20 orang dengan frekuensi anak laki-laki (64,3%) dibandingkan dengan anak perempuan (35,7%).

Journal of Pediatric Nursing Vol. 1(2), pp. 098-104, April, 2014 Available online at http://library.stikesnh.ac.id

ISSN 2354-726X

Page 2: e Library Stikes Nani Hasanuddin Kasmaindar 550-1-12149810 x

99

Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam kepustakaan, bahwa SN lebih banyak diderita oleh anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2 : 1 (Handayani, dkk, 2007).

Berdasarkan rekapitulasi medical record RSUD Kota Makassar, didapatkan jumlah penderita pada tahun 2010 berkisar 12 kasus, pada tahun 2011 berkisar 24 kasus, tahun 2012 berkisar 25 kasus. Melihat dari jumlah kasus penderita sindrom nefrotik mengalami peningkatan setiap tahunnya (RSUD Kota Makassar, 2013).

Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom (kumpulan gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal. Hal ini menyebabkan proteinuria (protein di dalam air kemih), menurunnya kadar albumin dalam darah, penimbunan garam dan air yang berlebihan, serta meningkatnya kadar lemak dalam darah (Fida & Maya, 2012: 356).

Apabila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. Pada Sindrom Nefrotik terdapat klasifikasi secara klinis dan gambaran patologi anatomi. Respon terhadap penggunaan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis.

Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring darah. Pada nefrotik sindrom, glomeruli mengalami kerusakan karena inflamasi dan hialinisasi sehingga protein-protein yang berukuran kecil seperti albumin, imunoglobulin dan anti-trombin dapat melewati ginjal dan keluar bersama urin. Albumin adalah protein didalam darah yang berfungsi mempertahankan tekanan osmotik koloid. Albumin berfungsi mencegah bocornya darah dari pembuluh darah kedalam jaringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan edema pada nephrotic syndrome adalah dikarenakan kerusakan mikrovaskuler dan retensi natrium dan air oleh karena kerusakan ginjal (akibat peningkatan sekresi angiotensin) (Suharyanto. T & Madjid. A, 2009 : 140).

Gejala awal sindrom nefrotik bisa berupa berkurangnya nafsu makan, pembengkakan kelopak mata, nyeri perut, pengerutan otot, pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air, serta air kemih berbusa. Selain itu, perut dapat membengkak karena terjadi penimbunan cairan dan sesak nafas, serta timbul cairan di rongga sekitar paru-paru (efusi pleura). Sementara itu, gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantong zakar (pada laki-laki). Biasanya, pembengkakan yang terjadi sering kali berpindah-pindah; pada pagi hari, cairan tertimbun di kelopak mata, dan setelah berjalan, cairan akan tertimbun di pergelangan kaki. Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh pembengkakan (Fida & Maya, 2012 : 358).

Pada anak, dapat terjadi penurunan tekanan darah saat penderita berdiri dan tekanan

darah yang rendah (yang menyebabkan shock). Selain itu, produksi air kemih dapat berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal karena rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal. Terkadang, gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih secara tiba-tiba (Fida & Maya, 2012: 358).

METODE Desain, Waktu penelitian, Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Juni-02 Juli 2013 di RSUD Kota Makassar. Populasi dari penelitian ini adalah semua rekam medis penderita sindrom nefrotik periode 2010-2012 sebanyak 61 orang. Jenis dan metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan objek penelitian berupa catatan medis penderita sindrom nefrotik pada anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Makassar tahun 2010-2012. Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini adalah Purposive sampling, dimana teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah catatan medis penderita sindrom nefrotik pada anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Makassar tahun 2010-2012. Dengan kriteria inklusi yaitu Penderita sindrom nefrotik yang berobat di RSUD Kota Makassar periode 2010-2012, Bayi dan Anak Usia 0 bulan - 18 tahun, Memiliki rekam medis yang lengkap di Rumah Sakit. Pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari rekam medis penderita sindrom nefrotik berupa catatan kesehatan sewaktu pasien dirawat di RSUD Kota Makassar dalam periode 2010-2012. Data yang diambil yaitu Nomor rekam medik, Nama, Umur, Jenis Kelamin, Berat Badan, Keluhan Utama, Hasil Pemeriksaan Laboratorium, dan Tanggal masuk.

Proses pengolahan data yang dilakukan, adalah: 1. Editing

Setelah data terkumpul maka dilakukan pemeriksaan kelengkapan data, kesinambungan data, keseragaman data.

2. Koding Dilakukan untuk memudahkan

pengolahan data yaitu memberikan simbol-simbol dari setiap data.

3. Tabulasi Mengelompokkan data dalam bentuk

tabel menurut sifat masing-masing subvariabel, sehingga memudahkan Analisis data.

Page 3: e Library Stikes Nani Hasanuddin Kasmaindar 550-1-12149810 x

100

Analisis data Data yang telah diperoleh kemudian diolah untuk memperoleh suatu hasil penelitian. Pengolahan data menggunakan SPSS versi 16. Selanjutnya hasil penelitian secara lengkap dan disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi karaktertistik responden, karakteristik sindrom nefrotik untuk menghasilkan distribusi dan presentasi dari setiap variabel yang diteliti. HASIL Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Agama di RSUD Kota Makassar

Kelompok Agama

Frekuensi (n)

Presentase (%)

Islam Kristen

36 2

94,7 5,3

Jumlah 38 100,0 Sumber : Data Sekunder 2010-2012 Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pendidikan Orang tua di RSUD Kota Makassar Kelompok Pendidikan

Orangtua Frekuensi

(n) Presentase

(%) SD

SMP SMA S1

4 13 17 4

10,5 34,2 44,7 10,5

Jumlah 38 100,0 Sumber : Data Sekunder 2010-2012 Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pekerjaan Orang tua di RSUD Kota Makassar Kelompok Pekerjaan

Orangtua Frekuensi

(n) Presentase

(%) PNS

Wiraswasta Petani

Karyawan Swasta Buruh Harian

IRT Honorer

3 21 3 7 2 1 1

7,9 55,3 7,9

18,4 5,3 2,6 2,6

Jumlah 38 100,0 Sumber : Data Sekunder 2010-2012 Tabel 4 Distribusi Penderita Sindrom Nefrotik pada Anak berdasarkan Kelompok Umur di RSUD Kota Makassar

Kelompok Umur (Tahun)

Frekuensi (n)

Presentase (%)

0-1 tahun 1-2.5 tahun 2.5-5 tahun 5-11 tahun

11-18 tahun

1 2 8

21 6

2,6 5,3

21,1 55,3 15,8

Jumlah 38 100,0 Sumber : Data Sekunder 2010-2012

Tabel 5 Distribusi Penderita Sindrom Nefrotik pada Anak berdasarkan Kelompok Jenis Kelamin di RSUD Kota Makassar Kelompok Jenis

Kelamin Frekuensi

(n) Presentase

(%) Laki-laki

Perempuan 22 16

57,9 42,1

Jumlah 38 100,0 Sumber : Data Sekunder 2010-2012 Tabel 6 Distribusi Penderita Sindrom Nefrotik pada Anak berdasarkan Kelompok Berat Badan di RSUD Kota Makassar

Kelompok Berat Badan

Frekuensi (n)

Presentase (%)

Normal Lebih

16 22

42,1 57,9

Jumlah 38 100,0 Sumber : Data Sekunder 2010-2012 Tabel 7 Distribusi Penderita Sindrom Nefrotik pada Anak berdasarkan Kelompok Proteinuria di RSUD Kota Makassar

Kelompok Proteinuria

Frekuensi (n)

Presentase (%)

1+ (30-100 mg/dl) 2+ (100-300 mg/dl) 3+ (300-1000 mg/dl) 4+ (> 1000 mg/dl)

13 10 15 0

34,2 26,3 39,5

0 Jumlah 38 100,0

Sumber : Data Sekunder 2010-2012 Tabel 8 Distribusi Penderita Sindrom Nefrotik pada Anak berdasarkan Kelompok Keluhan Utama di RSUD Kota Makassar

Kelompok Keluhan Utama

Frekuensi (n)

Presentase (%)

Edema Asites Efusi Pleura Hematuria Perubahan warna urin

38 27 13 4 7

100,0 71,1 34,2 10,5 18,4

Sumber : Data Sekunder 2010- 2012

PEMBAHASAN 1. Karakteristik Sindrom Nefrotik berdasarkan

Umur Umur adalah usia individu yang

terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Penyakit sindrom nefrotik dijumpai pada anak mulai umur kurang dari 1 tahun (3 bulan) sampai umur 14 tahun (Ngastiyah, 2012 : 306).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umur yang terbanyak menderita penyakit sindrom nefrotik adalah umur 5-11 tahun atau usia sekolah sebanyak 21 orang (55,3%) dan kelompok umur paling sedikit terdapat pada kelompok umur 0-1 tahun atau bayi sebanyak 1 orang (2,6%).

Penelitian Nenden (2010) menunjukkan bahwa usia awitan > 6 tahun memiliki risiko

Page 4: e Library Stikes Nani Hasanuddin Kasmaindar 550-1-12149810 x

101

terjadinya SN resisten steroid sebesar 4,7 (p=0,003). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh ISKDC yang menyatakan bahwa awitan SN resisten steroid (lesi nonminimal, terutama jenis glomerulonefritis membranoproliferatif) lebih banyak terjadi pada usia lebih dari 6 tahun. Diduga bahwa sindrom nefrotik terjadi karena gangguan imunitas selular melalui pembentukan klon sel T abnormal yang menghasilkan mediator kimia (limfokin), sehingga terjadi peningkatan permeabilitas membran basalis dan menyebabkan proteinuria. Klon sel T abnormal diduga terdapat pada kelenjar timus yang akan mengalami ablasi saat usia pubertas, sehingga hal ini menjelaskan penyebab tingginya insidens sindrom nefrotik sensitif pada usia kurang dari 6 tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa SN yang terjadi pada usia lebih dari 6 tahun cenderung bersifat resisten steroid (Soraya, 2010).

Ada dua jenis sel Limfosit, yaitu Sel B (B-cells) dan Sel T (T-cells). Disebut Sel B karena diproduksi sekaligus dimatangkan di Bone marrow (sumsum tulang). Sel B akan menghasilkan antibody guna melawan patogen yang memasuki tubuh manusia. Disebut Sel T karena produksinya di Bone marrow tetapi pematangannya di kelenjar Thymus (T).

Peneliti berpendapat bahwa kelompok umur yang paling banyak menderita sindrom nefrotik adalah kelompok umur 5-11 tahun atau usia sekolah sebanyak 21 orang (55,3%) yang disebabkan karena gangguan imunitas selular melalui pembentukan sel T abnormal karena limfosit T atau sel T yang pada umumnya berfungsi untuk membantu sel B dlm memproduksi antibodi, mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositosis dan pada usia tersebut, anak mulai masuk sekolah dan banyak bermain di luar rumah, sehingga lebih besar kemungkinan untuk terjangkit infeksi virus atau bakteri serta adanya pengaruh lingkungan dan perubahan pola makan.

2. Karakteristik Sindrom Nefrotik berdasarkan Jenis Kelamin

Faktor jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang dapat memberikan perbedaan angka kejadian penyakit pada laki-laki dan perempuan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin yang paling banyak menderita sindrom nefrotik adalah jenis kelamin laki-laki sebanyak 22 orang (57,9%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 16 orang (42,1%).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Irda, dkk, tahun 2006 di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, pasien SN sebanyak 56 orang yang terdiri dari anak laki-laki 36 orang dan anak

perempuan 20 orang dengan frekuensi anak laki-laki (64,3%) dibandingkan dengan anak perempuan (35,7%). Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam kepustakaan ISKDC, bahwa SN lebih banyak diderita oleh anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2 : 1 (Handayani, dkk, 2007).

Teori mengenai mekanisme jenis kelamin sampai saat ini belum ada penjelasan yang memuaskan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya SN resisten steroid. Jika insidens sindrom nefrotik dihubungkan dengan letak klon sel T abnormal dan karena gangguan timus lebih sering terjadi pada anak laki-laki, maka hal ini dapat menjelaskan mengapa sindrom nefrotik lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Teori lain menyebutkan bahwa SN sensitif steroid dan SN resisten steroid diduga saling mempengaruhi melalui komponen humoral dan gen glomerular. Sebuah penelitian mengemukakan bahwa SN resisten steroid dengan mutasi gen nephrosis 2, idiopathic, steroid-resistant podocin (NPHS2) dipengaruhi oleh faktor hormonal, diantaranya hormon estrogen yang berperan dalam menghambat proses glomerulosklerosis yang terjadi melalui penurunan bermakna urinarysex-relatedlowmolecular weight protein. Hal tersebut menjelaskan mengapa SN resisten steroid lebih banyak terjadi pada laki-laki, sedangkan pada penelitian ini SN resisten steroid lebih banyak ditemukan pada anak perempuan yang diduga merupakan bentuk glomerulonefritis membrano proliferatif. Mekanisme yang menjelaskan jenis kelamin perempuan sebagai faktor risiko SN resisten steroid masih belum diketahui (Soraya, 2010).

Peneliti berpendapat bahwa jenis kelamin laki-laki 22 orang (57,9%) lebih banyak menderita sindrom nefrotik dibanding jenis kelamin perempuan 16 orang (42,1%) karena hal ini dapat dihubungkan dengan letak klon sel T abnormal, dan karena gangguan timus lebih sering terjadi pada anak laki-laki.

3. Karakteristik Sindrom Nefrotik berdasarkan Berat Badan

Berat badan adalah ukuran yang lazim atau sering dipakai untuk menilai keadaan suatu gizi manusia. Menurut Cipto Surono dalam Mabella 2000 : 10, mengatakan bahwa berat badan adalah ukuran tubuh dalam sisi beratnya yang ditimbang dalam keadaan berpakaian minimal tanpa perlengkapan apapun. Berat badan diukur dengan alat ukur berat badan dengan suatu satuan kilogram (Siahaan, 2011).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berat badan yang paling banyak menderita sindrom nefrotik adalah berat badan lebih sebanyak 22 orang (57,9%) dan berat badan normal sebanyak 16 orang (42,1%).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan salim pada tahun 2011 yang

Page 5: e Library Stikes Nani Hasanuddin Kasmaindar 550-1-12149810 x

102

mengatakan bahwa pada pasien anak dengan SN biasanya akan didapatkan kenaikan berat badan yang dapat mencapai hingga 50% dari berat badan sebelum menderita SN. Hal tersebut terjadi karena timbulnya proses edema yang merupakan salah satu gambaran klinis dari SN. Edema yang terjadi pada SN diakibatkan karena turunnya kadar albumin dan terjadinya retensi natrium yang menyebabkan cairan ekstravaskuler semakin meningkat dan dapat meningkatkan berat badan.

Peningkatan berat badan pada penderita sindrom nefrotik ditandai dengan gejala awal yaitu pembengkakan kelopak mata, nyeri perut, pengerutan otot, pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air, serta air kemih berbusa. Selain itu, perut dapat membengkak karena terjadi penimbunan cairan dan sesak nafas, serta timbul cairan di rongga sekitar paru-paru (efusi pleura). Sementara itu, gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantong zakar (pada laki-laki). Biasanya, pembengkakan yang terjadi sering kali berpindah-pindah; pada pagi hari, cairan tertimbun di kelopak mata, dan setelah berjalan, cairan akan tertimbun di pergelangan kaki. Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh pembengkakan (Fida & Maya, 2012 : 358).

Peneliti berpendapat bahwa peningkatan berat badan lebih dari normal pada penderita sindrom nefrotik disebabkan karena peningkatan jumlah cairan dan garam dalam tubuh.

4. Karakteristik Sindrom nefrotik Berdasarkan Proteinuria

Proteinuria adalah adanya protein dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m3. Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mg/hari pada dewasa (pada anak-anak 140 mg/m2), tetapi ada juga yang menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mg/hari (Sudoyo, dkk, 2009).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proteinuria 3+ (300-1000 mg/dl) sebanyak 15 orang (39,5%) dan kelompok proteinuria paling sedikit terdapat pada kelompok proteinuria 2+ (100-300 mg/dl) sebanyak 10 orang (26,3%).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang didapatkan oleh Handayani (2007) di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, yaitu kadar protein urin semikuantitatif pada sindrom nefrotik terbanyak adalah +3.

Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal

Membran Basal Glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG (Sudoyo, dkk, 2009 : 1000).

Urinalisis didapat proteinuria yang merupakan tanda utama pertama SNKM. Menurut ISKDC, jumlah proteinuria yang kental (konsisten) dengan diagnosis SNKM adalah > 50 mg/kg BB/hari atau > 40 mg/kg/m2

dalam air kemih (urin) 24 jam. Gambaran urinalisis proteinuri +3 atau +4 dapat pula ditemukan lipiduria dan gumpalan lemak bujur telur (oval fat bodies) (Handayani, dkk, 2007).

Peneliti berpendapat bahwa penderita sindrom nefrotik lebih banyak memiliki hasil proteinuria 3+ (300-1000 mg/dl) sebanyak 15 orang (39,5%) yang disebabkan karena gangguan sirkulasi protein, peningkatan permeabilitas glomerulus dan berkurangnya reabsorbsi tubulus.

1. Karakteristik Sindrom nefrotik Berdasarkan Keluhan Utama

Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan atau yang paling berat sehingga mendorong pasien datang berobat atau mencari pertolongan medis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluhan utama pada penderita sindrom nefrofik yang paling banyak adalah edema sebanyak 38 (100,0%) dan keluhan paling sedikit adalah hematuria sebanyak 4 (10,5%).

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Salim pada tahun 2011 yaitu Pasien yang menderita SN untuk pertama kalinya sebagian besar datang ke Rumah Sakit dengan gejala edema. Gejala edema tersebut berupa pembengkakan yang biasanya terdapat pada daerah dengan tekanan jaringan rendah seperti kelopak mata, dada, perut, ekstremitas, skrotum, dan labia.

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin

Page 6: e Library Stikes Nani Hasanuddin Kasmaindar 550-1-12149810 x

103

berlanjut. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natirum dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium (Sunaryanto, 2009).

Peneliti berpendapat bahwa keluhan utama paling banyak yang diderita pada penderita sindrom nefrotik adalah edema (100,0%) yang disebabkan karena penimbunan cairan secara berlebihan diantara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh.

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa Sindrom nefrotik lebih sering ditemukan pada umur 5-11 tahun, pada anak laki-laki (57,9%) dibandingkan pada anak perempuan (42,1%), pada berat badan lebih, pada hasil laboratorium proteinuria 3+ (300-1000 mg/dl), dan dengan keluhan utama adalah edema. Diharapkan orangtua dan petugas kesehatan perlu memberikan perhatian khusus pada anak usia 5-11 tahun khususnya yang menunjukkan peningkatan berat badan yang signifikan dan edema.

DAFTAR PUSTAKA Ade Christian. 2011. Hubungan Usi, Lama

Pemberian Kostikosteroid, dan Lama menderita Penyakit Sindroma nefrotik dengan tinggi Badan Penderita sindroma nefrotik resisten steroid dan relaps sering. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang : Fakultas Kedokteran – Undip.

Begin Nursing. 2010. Askep Sindrom nefrotik,

(online), (http://nursingbegin.com/askep-sindrom-nefrotik/2010, sitasi 25 maret 2010).

BMJ. 2011. Assessment Of Proteinuria, (online),

(http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/875.html, sitasi tanggal 09 Agustus 2011).

Cahyaningsih, D. S. 2011. Pertumbuhan

Perkembangan Anak dan Remaja. Trans Info Media. Jakarta.

Fida, Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan

Anak. D-Medika. Jogjakarta.

Handayani, I, Rusli, Hardjoeno. 2007. Gambaran kadar kolesterol, albumin dan sedimen urin Penderita anak sindroma nefrotik. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 13. No. 2 : 49-52.

Hardiwinoto. 2011. Kategori Umur, (online),

(http://ilmu-kesehatan-masyarakat.blogspot. com, sitasi 11 Februari 2011).

Hidayat, A. A, 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan

Anak 1. Salemba Medika. Jakarta. Ilfa. 2010. Definisi Umur, (online), (http://bidan-

ilfa.blogspot.com/2010/01/definisiumur.htm.sitasi tanggal 08 Januari 2010).

Indriati, Etty. 2010, Antropometri untuk

Kedokteran, Keperawatan, Gizi, dan Olahraga. Citra Aji Parama :Yogyakarta.

Jusuf, B. S. 2013. Standar 3 Pembagian Umur,

(online), (http://www.tulang-elisa.org/stand-3-pembagian-umur, sitasi tanggal 12 Februari 2013).

Maulana, R. 2008. Anamnesis, (online),

(http://razimaulana.wordpress.com, sitasi tanggal 02 Desember 2008).

Mary, Mary. W, Yakobus. 2009. Klien Gangguan

Ginjal. Buku Kedokteran EGC : Jakarta. Ngastiyah. 2012. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2.

Buku Kedokteran EGC : Jakarta. Notoatmojo, S. 2010. Metodologi Penelitian

Kesehatan. PT Rineka Cipta. Jakarta. Nurlita. 2010. Kloning sel T, (online),

(http://filzahazny.wordpress.com, sitasi tanggal 15 Januari 2010).

Pasal A. Chiolero A. Lasserre F. Paccaud P.

Bovet. 2007. Obesitas pada anak-anak: definisi, prevalensi dan konsekuensi (online),(http://titan.medhyg.ch/mh/formation/ article, sitasi tanggal 16 Mei 2007).

Prabowo, S. 2012. Tabel Berat Badan Anak

Menurut Usia (online),(http://majalah kesehatan.com/tabel-berat-badan-anak-menurut-usia/, sitasi 06 November 2012).

Raisania, I., Muryawan, M. H,. Radityo, A. N.

2012. Hubungan antara Terapi Kortikosteroid dengan Kejadian Hipertensi Pada Anak dengan Sindrom Nefrotik. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Fakultas Kedokteran – Undip.

Page 7: e Library Stikes Nani Hasanuddin Kasmaindar 550-1-12149810 x

104

Riswanto. 2010. Protein Urin, (online), (http://labkesehatan.blogspot.com/2010/03/tes-protein-urin.html, sitasi 09 Maret 2010 09 : 29 am)

Rosita, I. R. 2011. Perbedaan Kualitas Hidup

Anak Dengan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid dan Sindrom Nefrotik Relapse. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang : Fakultas Kedokteran – Undip.

Salim Agustinus. 2011. Hubungan Antara Fungsi

Ginjal dan Kadar Albumin terhadap Lama Penurunan Berat Badan Pada Anak Dengan Sindrom Nefrotik. Skripsi tidak diteritan. Semarang : Fakultas Kedokteran– Undip.

Setywan, T. 2012. Sindrom Nefrotik, (online),

(http://sehatsakit-stikes.blogspot.com/2012/ 08/sindrom-nefrotik.html, sitasi tanggal 02 Agustus 2012).

Siahaan, R. 2011. Pengertian Berat Badan,

(online), (http://kurawa16.blogspot.com, sitasi 06 september 2011).

Soraya, N, Setiabudiawan, B, Hilmanto, D. 2010.

Berat Lahir, Usia Awitan, dan Jenis Kelamin sebagai Faktor Risiko Sindrom nefrotik Resisten Steroid. 11 : 501-505.

Sudoyo, A. W, Setiyohadi, B, Alwi, I, Simadibrata,

M, Setiati, S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Interna Publishing : Jakarta.

Suharyanto, T, Madjid, A. 2009. Asuhan

Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Trans Info Media : Jakarta.

Sunaryanto, A. 2009. Sindrom Nefrotik. Responsi

Kasus. Denpasar. Fakultas Kedokteran Unud.

Suriadi, Yuliani, R. 2010. Asuhan Keperawatan

pada Anak. Sagung Seto : Jakarta. Vidya Leliana. 2012. Hubungan antara terapi

kortikosteroid Dengan kejadian katarak pada anak dengan Sindrom nefrotik. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang : Fakultas Kedokteran – Undip.

Wahyuni, A, S. 2012. Hubungan antara terapi

kortikosteroid Dengan kejadian glaukoma pada anak denganSindrom nefrotik. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang : Fakultas Kedokteran – Undip.

Widjaja, S, I, Advani, N, Tambunan, T. 2007. Ketebalan Tunika Intima-MediA Arteri Karotis dan Fungsi Ventikel serta Profil Lipid pada Anak dengan Sindrom Nefrotik Relaps Frekuen dan dependen Steroid. Sari Pediatri, 285-292.

Yasin, S. 2012. Pengertian Gender Menurut Para

Ahli, (online), (http://www.sarjanaku.com, sitasi tanggal 19 Juni 2012).