e jurnal penelitian
DESCRIPTION
ISSN 2089-5933TRANSCRIPT
Diterbitkan Oleh :Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
e- JURNAL
PENDIDIKAN
Vol. 1 No. I Hlm.
1-66
Gresik
Juni -Nopembe
r
ISSN
2089-5933
Universitas Gresik
ISSN 2089-5933
e- JURNAL JENDELA PENDIDIKAN
JURNAL ILMIAH KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Di Terbitkan oleh :
Ketua PenyutingRektor Universitas Gresik
Wakil PenyutingDekan FKIP
Penyuting PelaksanaDra. Eka Sri Rahayu, M.Pd
Dra. Adrijanti, M.PdEtiyasningsih, S.Pd., M.Pd
Sri Sundari, S.Pd.,M.PdDrs. Agus Tri Sulaksono, M.Pd
Penyuting AhliProf. Dr. H. Sukiyat.SH.,M.Si
Dra. Hj. Bariroh, M.PdDrs. Syaiful Khafid, M.Pd
Mitra BestariProf. Dr. Marhamah, M.Pd (Universitas Islam Jakarta)
Prof. Dr. Willem Mantja, M.Pd (Universitas Negeri Malang)Prof. Dr. H. Sukiyat, SH.,M.Si (Universitas Gresik )
PelaksanaAhmad Faizin, SS
Alamat Penerbit/RedaksiKampus Universitas Gresik
Jl. Arif Rahman Hakim No. 2B GresikTelp /Fax (031) 3978628
Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Nopember . Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analitis-kritis di bidang administrasi pendidikan
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah, sehingga Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik bisa
hadir di Masyarakat khususnya kalangan pemerhati dan pemangku pendidikan.
Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik ( e-Journal) akan mendampingi
Jurnal Jendela Pendidikan versi cetak yang lebih dulu hadir, Jurnal Jendela
Pendidikan ini berisi tentang sejumlah artikel penelitian baik artikel bersifat
empiris atau laporan penelitian maupun artikel yang bersifat kajian teori atau
artikel konseptual. Penulis artikel berasal dari kalangan akademisi atau dosen di
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik yang akan dipublish
masyarakat luas khususnya para pemerhati pendidikan. Hal ini sesuai dengan
misi utama keberadaan e-Journal Pendidikan sebagai media komunikasi dan
informasi yang bersifat ilmiah.
Kami berharap partisipasi berbagai kalangan baik akademisi, praktisi,
maupun birokrasi untuk menulis dalam jurnal ini, sehingga berbagai temuan,
pemikiran dan ide serta gagasan dapat terkomunikasi dalam jurnal ini semoga
terbitan pertama Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik bermanfaat bagi kita
semua.
Gresik, Desember 2011
Tim Redaksi
DAFTAR ARTIKEL
SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU1-09 Rochmanu Fauzi
PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI SISWA PADA BIDANG STUDI BAHASA INDONESIA DI SDN BANGSAL SURABAYA 10 - 18Etiyasningsih
PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN GAYA KOGNITIF TERHADAPPEMAHAMAN UNIFLYING GEOGRAPHY 19-29 Syaiful Khafid
IKLIM KERJA LEMBAGA DI PONDOK PESANTREN AL FUTUHIYAH GENDONGKULON BABAT LAMONGAN 30-38 Sri Sundari
PENDIDIKAN KARAKTER : WACANA KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA 39 - 59Soesetijo
PENGARUH DISIPLIN GURU TERHADAP PRESTASI SISWA DI SDN BANJARSARI GRESIK 60 - 78Etiyasningsih
ISSN 2089-4554
STUDI TENTANG PENGARUH PELAKSANAAN SUPERVISI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEDISIPLINAN GURU DALAM PELAKSANAAN PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SDN NGAGELREJO SURABAYA 79 - 87 Sri Sundari
TELAAH KRITIS PENDIDIKAN UNTUK SEMUA (EDUCATION FOR ALL)DALAM KONTEKS MANAJEMEN PENDIDIKAN 88 - 106 Soesetijo
E - Jurnal
JENDELA
PENDIDIKAN
Vol.
01
No.
01
Hlm.
1 - 106
Gresik
Juni -Nopembe
r
ISSN
2089-4554
Supervisi Pengajaran sebagai Pembinaan
Profesionalisme Guru
Oleh Rochmanu Fauzi
Abstrak
supervisi pengajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan guru dalam melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari
yaitu mengajar. Ada tiga pendekatan dalam supervisi pengajaran,
yaitu (1) pendekatan langsung, (2) pendekatan tidak langsung, dan
(3) kolaboratif. Teknik-teknik supervisi pengajaran yang paling
bermanfaat adalah kunjungan kelas, pembicaraan individual,
Diskusi kelompok, demonstrasi mengajar, dan sebagainya. Para
guru lebih menghargai supervisor yang hangat dan menghargai
guru. Dalam praktiknya supervisi pengajaran masih berorientasi
pada aspek administratif saja. Berdasarkan uraian tersebut
disarankan para supervisor perlu ada penyegaran secara rutin,
dalam pelaksanaan supervisi pengajaran para supervisor sebaiknya
menggunakan pendekatan supervisi klinis, perlu ada pertemuan
seusai supervisi yang telah dilakukan oleh Kepala Sekolah atau
Pengawas Sekolah, sebagai upaya untuk tindak lanjut setelah
pelaksanaan supervisi dilaksanakan.
Kata kunci: mutu pendidikan, supervisi pengajaran.
Cara hidup suatu bangsa
sangat erat kaitannya dengan
tingkat pendidikannya,
Pendidikan bukan hanya
sekedar melestaiikan
kebudayaan dan meneruskan
dari generasi ke generasi. Akan
tetapi juga diharapkan akan
dapat mengubah dan
mengembangkan pengetahuan.
Sementara itu, salah satu
fenomena di bidang pendidikan
yang banyak disoroti oleh para
pemerhati, cendekiawan
maupun masyarakat pada
umumnya adalah masalah mutu
pendidikan. Membahas
masalah mutu pendidikan,
sebenarnya membahas masalah
yang sangat kompleks. Oleh
karena masalah mutu
pendidikan selalu kait-
mengkait dengan indikator-
indikator lainnya. Salah satu
instrumen yang dianggap
cukup efektif untuk
meningkatkan mutu
pendidikan adalah dengan
supervisi pengajaran oleh
Kepala Sekolah maupun
Pengawas.
Untuk itu perlu adanya
pergeseran dari paradigma
lama menuju ke paradigma
yang baru. Paradigma baru
manajemen pendidikan tinggi,
terdiri dari akreditasi,
akuntabilitas, evaluasi,
otonomi dan mutu. Kelima
paradigma baru pendidikan
tersebut saling terkait satu
sama lain dan seyogyanya ini
dijadikan acuan dalam proses
peningkatan mutu pendidikan.
Oleh karena itu, mutu sebagai
salah satu paradigma yang
harus ditata secara terus
menerus dan berkelanjutan.
Menurut Mastuhu (2003)
dalam pengelolaan suatu unit
pendidikan, mutu dapat dilihat
dari "masukan", "proses", dan
"hasil".
Permasalahan pendidikan
yang diidentifikasi (Depdikbud,
1983), sampai saat ini,
formulasinya tetap sama, yaitu
masalah (1) masalah
kuantitatif, (2) masalah
kualitatif, (3) masalah
relevansi, (4) masalah
efisiensi, (5) masalah
efektivitas, dan (6) masalah
khusus.
Uraian secara singkat
masalah-masalah tersebut
adalah sebagai berikut ini.
1.Masalah Kuantitatif
Masalah kuantitatif
adalah masalah yang timbul
sebagai akibat hubungan
antara pertumbuhan sistem
pendidikan pada satu pihak
dan pertumbuhan penduduk
Indonesia pada pihak lain.
Untuk mengatasi masalah ini
perlu adanya suatu sistem
pendidikan nasional yang
memungkinkan setiap warga
ncgara Indonesia memperoleh
pendidikan yang layak sebagai
bekal dasar kehidupannya
sebagai warga negara. Dalam
rangka pemerataan pendidikan
ini, perlu dilaksanakan
kewajiban belajar dengan
segala konsekuensinya dalam
bidang pembiayaan,
ketenagaan, dan peralatan.
2.Masalah kualitatif
Masalah kualitatif adalah
masalah bagaimana
peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia gara
bangsa Indonesia dapat
meinpertahankan
eksistcnsinya. Dalam masalah
ini tercakup pula masalah
ketinggalan bangsa Indonesia
dan perkembangan modern.
Ditinjau dari latar bclakang
ini, masalah kualitas
pendidikan merupakan
masalah yang memprihatinkan
dalam rangka kelangsungan
hidup bangsa dan negara.
Dalam sistem pendidikan ini
sendiri, masalah kualitas
menyangkut
banyak hal, antara lain
kualitas calon anak didik, guru
dan tenaga kependidikan
lainnya, prasarana, dan sarana.
Penanganan aspek kualitatif
ini berhubungan erat dengan
penanganan aspek kuantitatif
sehingga perlu sekali adanya
keseimbangan yang dinamis
dalam proses pengembangan
pendidikan nasional, sehingga
peningkatan kualitas tidak
sampai menghambat
peningkatan kuantitas dan
sebaliknya.
3.Masalah relevansi
Masalah relevansi adalah
masalah yang timbul dari
hubungan antara sistem
pendidikan dan pembangunan
nasional serta antara
kepentingan perorangan,
keluarga, dan masyarakat, baik
dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang. Hal ini
meminta adanya keterpaduan
di dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan
nasional agar pendidikan
merupakan wahana penunjang
yang efektif bagi proses
pembangunan dan ketahanan
nasional. Masalah ini dengan
sendirinya mempunyai kaitan
pula dengan masalah pokok di
dalam pembangunan nasional,
seperti masalah tata nilai,
industri. pembangunan
pertanian, perencanaan tenaga
kerja, dan pertumbuhan
wilayah.
4.Masalah efisiensi
Masalah efisiensi pada
hakikatnya adalah masalah
pengelolaan pendidikan
nasional. Adanya keterbalasan
dana dan daya manusia
sungguh-sungguh memerlukan
adanya sistem pengelolaan
efisien dan terpadu.
Keterpaduan pengelolaan tidak
hanya tercermin di dalam
hubungan antara negeri dan
swasta, antara pendidikan
sekolah dan pendidikan luar
sekolah, antara departemen
yang satu dan departemen yang
lain, di dalam lingkungan
jajaran Departemen Pendidikan
Nasional sendiri, tetapi juga di
antara semua unsur dan unit
lersebut.
5.Masalah efektifitas
Masalah efektifitas
adalah masalah yang
menyangkut keampuhan
pelaksanaan pendidikan
nasional. Dalam hubungan
dengan permasalahan
keseimbangan yang dinamis
antara kualitas dan kuantitas,
di samping keterbalasan
sumber dana dan tenaga,
efektivitas proses pendidikan
amat penting. Hal ini berkaitan
dengan kurikulum, termasuk
aspek metodologi dan evaluasi,
serta masalah guru, pengawas,
dan masukan instrumental
lainnya.
6. Masalah khusus
Di samping masalah-
masalah umum yang telah
dibicarakan di atas, perlu
dibicarakan pula beberapa
masalah khusus sebagai
berikut. Guru sebagai
pelaksana pendidikan faktor
kunci di dalam pelaksanaan
sistem pendidikan nasional.
Masalah guru menyangkut soal
pengadaan di lembaga-lembaga
pendidikan guru, pembinaan
sistem karir dan prestasi kerja,
pengangkatan, pemerataan dan
penyebaran menurut wilayah
dan bidang studi, pembinaan
karir dan prestasi, status, dan
kesejahteraan. Masalah yang
kompleks ini menyangkut
banyak lembaga dan unit serta
koordinasi dan kerjasama
antara lembaga dan unit
tersebut.
Esensi dari
permasalahan-permasalahan
pendidikan pada hakekatnya
adalah bermuara pada satu
istilah yaitu kualitas
pendidikan atau mutu
pendidikan. Mastuhu (2003)
mengemukakan bahwa kata
kunci untuk menggambarkan
Sistem Pendidikan Nasional
yang bagaimana yang
diperlukan dalam abad-abad
mendatang ialah pendidikan
yang bermutu. Selanjutnya,
Mastuhu mengatakan bahwa
mutu (quality) merupakan
suatu istilah yang dinamis yang
turus bergerak; jika bergerak
maju dikatakan mutunya
bertambah baik, sebaliknya
jika bergerak mundur
dikatakan mutunya merosot.
Mutu dapat berarti superiority
atau excellence yaitu melebihi
standar umum yang berlaku.
Sedangkan sesuatu dikatakan
bermutu jika terdapat
kecocokan antara syarat-syarat
yang dimiliki oleh benda yang
dikehendaki dengan maksud
dari orang yang
menghendakinya (Idrus, dkk.,
2002).
Dalam pengelolaan suatu
unit pendidikan, mutu dapat
dilihat dari: "masukan",
"proses", dan "hasil".
'Masukan" meliputi: siswa.
Tenaga pengajar,
administrator, dana, sarana,
prasarana, kurikulum, buku-
buku perpustakaan,
laboratorium, dan alat-alat
pembelajaran, baik perangkat
keras maupun perangkat lunak.
"Proses" meliputi, pengelolaan
lembaga, pengelolaan program
studi, pengelolaan program
studi. pengelolaan kegiatan
belajar-mengajar, interaksi
akademik antara civitas
akademika, seminar dialog,
penelitian, wisata ilmiah, evaluasi
dan akreditasi. Sedangkan "hasil":
meliputi lulusan. penerbitan-
penerbitan, temuan-temuan
ilmiah, dan hasil-hasil kinerja
lainnya.
Ketiga unsur di atas (input,
proses, dan output) terus
berproses atau berubah-ubah.
Oleh karena itu, pengelola unit
pendidikan atau sekolah perlu
menetapkan patokan atau
benchmark, yaitu standar target
yang harus dicapai dalam suatu
periode waktu tertentu dan terus
berusaha melampuinya. Seperti
dikemukakan oleh Watson (dalam
Taroeratjeka, 2000) bahwa suatu
upaya pencarian mutu secara
terus-menerus demi mendapatkan
cara kerja yang lebih baik agar
mampu tampil bersaing melampui
standar umum.
Menurut Supriadi (2000)
kita tidak perlu dipusingkan oleh
pertanyaan-pertanyaan mengenai
validitas metodologisnya atau
berusaha mencari excuse apabila
ternyata ada hasil-hasil studi yang
tidak sesuai dengan harapan kita.
Sikap optimis perlu untuk
dikembangkan bagi pendidikan di
Indonesia, walaupun hasil
surveinya tidak menyenangkan
sesuai dengan yang diharapkan.
langkah selanjutnya membuat visi
ke depan untuk meningkatkan
kualitas manajemen pendidikan.
Suatu saran yang
dikemukakan oleh Supriadi dalam
menghadapi permasalahan
rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia adalah memiliki visi
global dan kehendak untuk
bersaing secara internasional,
maka insan pendidikan mulai para
pengajar dan peneliti di lembaga
pendidikan tenaga kependidikan
di perguruan tinggi dan pengambil
keputusan dituntut untuk
membuka wacana terhadap studi-
studi internasional.
KONSEP DASAK SUPERVISI
PENGAJARAIN DI SEKOLAH
Di antara masalah-masalah
pendidikan yang sedang mendapat
pcrhatian pemerintuh salah
salunya adalah puningkatan mutu
pendidikan (Benly, IW2). Dalam
PROPENAS (2002) dijelaskan
bahwa sampai dengan awal abad
ke-21 pembangunan pendidikan
masih menghadapi krisis ekonomi
berbagai bidang kcliidupan.
Walaupun sejak tahun 2000,
ekonomi Indonesia telah mulai
tumbuh positif (4,8 persen), akibat
krisis dalam kehidupan sosial,
politik dan kepercayaan
dikawatirkan masih akan
memberi yang kurang
menguntungkan terutama bagi
upaya peningkatan kualitas
SDM. Program peningkatan
mutu pendidikan di sekolah
dasar dapat dicapai manakala
proses belajar mengajar dapat
berlangsung dengan baik.
berdayaguna dan berhasil
guna.
Dalam mengkaji risalah
mutu pendidikan, tidak dapat
lepas dari penyelenggaraan
sistem pendidikan. Dari
berbagai faktor penyebab
rendahnya mutu pendidikan,
ditinjau dari aspek manajemen
pendidikan dapat
dikelompokkan ke dalam tiga
faktor, yaitu: (a) faktor
instrumental sistem
pendidikan, (b) faktor sistem
manajemen pendidikan,
termasuk di dalamnya sistem
pembinaan profesional guru,
dan (c) faktor substansi
manajemen pendidikan
(Mantja, 1998). Untuk dapat
melaksanakan pembinaan
terhadap guru agar lebih
profesional, maka instrumen
yang sangat relevan dan tepat
adalah dengan melalui
supervisi pengajaran. Oleh
karena supervisi pengajaran
pada hakikatnya adalah untuk
meningkatkan kemampuan dan
keterampilan guru dalam
melaksanakan tugas pokoknya
sehari-hari yaitu mengajar para
peserta didik di kelas.
Dari berbagai kajian
mengenai rumusan definisi
mengenai supervisi, Mantja
(1998) menuliskan formulasi
tentang supervisi pengajaran
adalah semua usaha yang
sifatnya membantu guru atau
melayani guru agar ia dapat
memperbaiki,
mengembangkan, dan bahkan
meningkatkan pengajarannya,
serta dapat pula menyediakan
kondisi belajar murid yang
efek'if dan efisien demi
pertumbuhan jabatannya untuk
mencapai tujuan pendidikan
dan meningkatkan mutu
pendidikan. Definisi yang
dirumuskan oleh Mantja ini
sudah mewakili konsep
supervisi pengajaran.
Apabila dikaji dari
tujuannya supervisi pada
hakikatnya adalah untuk
membantu guru untuk
meningkatkan kualitas proses
belajar mengajarnya.
Harsosandjojo (1999)
mengemukakan tujuan
supervisi yaitu membantu guru
dalam hal (1) membimbing
pengalaman belajar sisvva, (2)
menggunakan sumber-sumber
pengalaman belajar, (3)
menggunakan metode-metode
yang baru dan alat-alal
pelajaran modern, (4)
memenuhi kebutuhan belajar
para siswa, (5) menilai proses
pembelajaran dan hasil belajar
siswa, (6) mcmbina reaksi
mental atau moral kerja guru-
guru dalam rangka
pertumbuhan pribadi dan
jabatan mereka, (7) melihat
dengan jelas tujuan-tujuan
pendidikan, dan (8) mengguaakan
waktu dan tenaga mereka dalam
pembinaan sekolah. Tujuan
supervisi ini pada akhirnya adalah
ditujukan untuk meningkatkan
kualitas para siswa. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh
Sergiovanni (1983) bahwa tujuan
supervisi ialah (1) tujuan akhir
adalah untuk mencapai
pertumbuhan dan perkembangan
para siswa (yang bersifat total).
Dengan demikian sekaligus akan
dapat memperbaiki masyarakat,
(2) tujuan kedua ialah membantu
kepala sekolah dalam
menyesuaikan program
pendidikan dari waktu ke waktu
secara kontinyu (dalam rangka
menghadapi tantangan perubahan
zaman), (3) tujuan dekat ialah
bekerjasama mengembangkan
proses belajar mengajar yang
tepat. Tujuan tersebut ditambah
dengan (4) tujuan perantara ialah
membina guru-guru agar dapat
mendidik para siswa dengan baik,
atau menegakkan disiplin kerja
secara manusiawi.
Dalam kaitannya dengan
tugas-tugas supervisor, secara
lebih khusus Nurtain (1989)
membagi 10 (sepuluh) bidang
tugas supervisor yang dirinci
sebagai berikut ini. Tugas
I , pengembangan kurikulum.
Tugas 2, pengorganisasian
pengajaran. Tujuan 3,
pengadaan staf. Tugas 4,
penyediaan fasilitas. Tugas 5,
pcnycdiaan bahan-bahan. Tugas
6, penyusunan penataran
pendidikan. Tugas 7, pemberian
orientasi anggota-anggota staf.
Tugas 8, berkaitan dengan
pelayanan murid khusus. Tugas
9, pengembangan hubungan
masyarakat. Dan yang terakhir
tugas 10, penilaian pengajaran.
Mengkaji tugas-tugas
supervisi pengajaran tersebut di
atas, dapat ditelaah dari tujuan
supervisi pengajaran itu sendiri.
Sesuai dengan fungsi pokok
supervisi, yaitu memperbaiki dan
mengembangkan situasi belajar
mengajar dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan nasional, maka
tujuan supervisi pendidikan
mencakup tujuan dasar, tujuan
umum dan tujuan khusus.
Tujuan dasar supervisi
pendidikan, adalah membantu
tercapainya tujuan pendidikan
nasional dan tujuan pendidikan
institusional. Tujuan pendidikan
nasional secara rinci dan jelas
dirumuskan dalam GBHN.
Sedangkan tujuan institusional
dapat dilihat di dalam kurikulum
yang memuat landasan, program
dan pengembangan.
Tujuan umum supervisi
pendidikan, adalah membantu
memperbaiki dan
mengembangkan administrasi
pendidikan. Administrasi yang
dimaksud adalah meliputi baik
administrasi sebagai substansi
maupun administrasi sebagai
proses.
Administrasi sebagai
substansi meliputi hal-hal
sebagai berikut: (1)
administrasi kesiswaan, (2)
administrasi ketenagaan, (3)
administrasi kurikulum, (4)
administrasi keuangan, (5)
administrasi sarana/prasarana,
dan (6) administrasi hubungan
masyarakat. Sedangkan
administrasi sebagai proses
meliputi hal-hal terkait dengan
unsur-unsur manajemen,
antara lain (1) kegiatan
perencanaan (planning), (2)
kegiatan pengorganisasian
(organizing), (3) kegiatan
pengarahan (actuating) yang
meliputi kegiatan pengarahan
(directing) dan kegiatan
pengkoordinasian
(coordinating), dan (4) kegiatan
pengawasan (controlling).
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, dapat
dikemukakan bahwa untuk
meningkatkan kualitas belajar
mengajar, guru adalah faktor
sentral yang perlu
mendapatkan perhatian secara
optimal. Media untuk
meningkatkan profesionalisme
guru adalah melalui supervisi
pengajaran. Supervisi
pengajaran pada hakikatnya
adalah ditujukan untuk
meningkatkan kualitas
pembelajaran yang dilakukan
oleh guru di kelas, sehingga
tujuan akhirnya adalah
kualitas hash belajar siswa
dapat ditingkatkan secara
optimal.
SUPERVISI PENGAJARAN
Dalam pemakaiannya
secara umum supervisi diberi
arti sama dengan director,
manager. Dalam bahasa umum
ini ada kecenderungan untuk
membatasi pemakaian istilah
supervisor kepada orang-orang
yang berada dalam kedudukan
yang lebih bawah dalam
hicrarkhi manajemen.
Dalam sistem sekolah,
khususnya dalam sistem
sckolah yang ialah
berkembang, situasinya agak
lain. Dalam Good (1976)
supervisi didefinisikan sebagai
segala usaha dari para pejabat
sekolah yang diangkat yang
diarahkan kepada penyediaan
kepemimpinan bagi para guru
dan tenaga kependidikan lain
dalam perbaikan pengajaran,
melihat stimulasi pertumbuhan
professional dan
perkembangan dari para guru,
seleksi dan revisi tujuan-tujuan
peudidikan, bahan pengajaran,
dan metoda-metoda mengajar, dan
evaluasi pengajaran.
Wiles (1982) menjelaskan bahwa
supervisi sebagai bantuan dalam
pengembangan situasi belajar-
mengajar yang lebih baik; ia
adalah suatu kegiatan pelajaran
yang disediakan untuk membantu
para guru menjalankan pekerjaan
mereka dengan lebih baik.
Peranan supervisor adalah
mendukung, membantu, dan
membagi, bukan menyuruh. Wiles
(1982) selanjutnya mengatakan
bahwa supervisi yang baik
hendaknya mengembangkan
kepemimpinan di dalam kelompok,
membangun program latihan
dalam jabatan untuk
meningkatkan keterampilan guru,
dan membantu guru meningkatkan
kemampuannya dalam menilai
hasil pekerjaannya.
SUPERVISI PENGAJARAN
SEBAGAI PEMBINAAN
PROFESIONAL GURU
Memperhatikan penting dan
peranannya pendidikan dasar dan
menengah yang demikian besar,
maka pendidikan dasar dan
menengah harus dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya. Oleh
karena itu, pembinaan terhadap
para guru di sekolah dasar
merupakan suatu kebutuhan yang
tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Pembinaan terhadap guru sekolah
dasar, terutama diarahkan pada
pembinaan proses belajar
mengajar. Pembinaan proses
belajar mengajar adalah usaha
memberi bantuan pada guru untuk
memperluas pengetahuan,
meningkatkan keterampilan
mengajar dan menumbuhkan sikap
profesional, schingga guru
menjadi lebih ahli dalam
mengelola KBM untuk
membclajarkan anak didik dalam
rangka mencapai tujuan
pembelajaran dan tujuan
pendidikan di SD (Depdikbud,
1999/2000).
Supervisi pendidikan di
sekolah dasar lebih diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan
guru sekolah dasar dalam rangka
peningkatan kualitas proses
belajar mengajar. Supervisi ini
dapat dilakukan oleh siapa saja,
baik Kepala Sekolah maupun
Pengawas Sekolah yang bertugas
sebagai supervisor melalui
pemberian bantuan yang bercorak
pelayanan dan bimbingan
profesional, sehingga guru dapat
melaksanakan tugasnya dalam
proses belajar mengajar dengan
lebih baik dari prestasi
sebelumnya.
Supervisi pendidikan di
sekolah pada hakekatnya
adalah dalam rangka
pembinaan terhadap para
guru. Adapun sasaran
pembinaannya, antara lain
(1) merencanakan kegiatan
belajar mengajar sesuai
dengan strategi belajar aktif,
(2) mengelola kegiatan
belajar mengajar yang
menantang dan menarik, (3)
menilai kemajuan anak
belajar, (4) memberikan
umpan balik yang bermakna,
(5) memanfaatkan
lingkungan sebagai sumber
dan media pengajaran, (6)
membimbing dan melayani
siswa yang mengalami
kesulitan belajar, terutama
bagi anak lamban dan anak
pandai, (7) mengelola kelas
sehingga tercipta lingkungan
belajar yang menyenangkan,
dan (8) menyusun dan
mengelola catatan kemajuan
anak (record keeping)
(Depdikbud, 1999/2000).
Menurut Mantja (1990)
supervisi atau pembinaan
profesional adalah bantuan
atau layanan yang diberikan
kepada guru, agar ia belajar
bagaimana mengembangkan
kemampuannya untuk
meningkatkan proses belajar-
mengajar di kelas.
Supervisor atau pembina,
yaitu Pengawas Sekolah,
Kepala Sekolah, atau semua
pejabat yang terlibat dalam
layanan supervisi, adalah
pihak yang selama ini
dipandang berwewenang, dan
karena itu pula dianggap
paling bertanggung jawab
dalam kegiatan supervisi.
Kilas balik kaji historis
supervisi pengajaran, pada
awalnya istilah yang
dimunculkan adalah
supervisi pendidikan
(Kurikulum 1975).
Kemudian. pada Kurikulum
1984 dan 1994 digunakan
istilah pembinaan
profesional guiu atau
pembinaan guru untuk
jenjang sekolah dasar.
Walaupun demikian istilah
supervisi pendidikan dalam
Kurikulum SMU 1994 masih
tetap digunakan. Dengan
demikian dapat disimpulkan
bahwa kegiatan supervisi
pendidikan maupun
pembinaan profesional
merupakan nama layanan
yang digunakan secara
bergantian dalam praktik
pendidikan pada sekolah-
sekolah di Indonesia.
Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa
supervisi (pembinaan
profesional guru )
dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan
dan keterampilan guru dalam
melaksanakan tugas
pokoknya sehari-hari yaitu
mengelola proses belajar-
mengajar dengan segala
aspek pendukungnya
sehingga berjalan dengan
baik khususnya dalam
kegiatan belajar mengajar,
sehingga tujuan pendidikan
dasar dapat tercapai secara
optimal.
Pada hakikatnya
kegiatan pembinaan
menyangkut dua belah pihak
yaitu pihak yang dilayani
atau pihak yang dibina dan
pihak yang melayani atau
yang membina (Ekosusilo,
2003). Baik yang dibina
maupun pembina harus
sama-sama memiliki
kemampuan yang
berkembang secara serasi
sesuai dengan kedudukan
dan peran masing-masing.
Oleh sebab itu, sasaran
pembinaan profesional ini
adalah kedua belah pihak
yaitu guru sebagai pihak
yang dibina dan kepala
sekolah atau pengawas
sekolah sebagai pihak yang
membina.
BEBERAPA PENDEKATAN
DALAM SUPERVISI
PENDIDIKAN
Secara garis besar ada
tiga pendekatan dalam
supervisi pendidikan, yaitu
(1) pendekatan langsung
(directive approach), (2)
pendekatan tidak langsung
(non directive approach), dan (3)
pendekatan kolaboratif
(collaborative approach).
Pendekatan langsung adalah
sebuah pendekatan supervisi,
di mana dalam upaya
peningkatan kemampuan
guru peran kepala sekolah
dasar, pengawas TK/SD, dan
pembina lainnya lebih besar
dari pada peran guru yang
bersangkutan. Pendekatan
tidak langsung adalah
sebuah pendekatan supervisi,
di mana dalam upaya
peningkatan kemampuan
guru peran kepala sekolah,
pengawas TK/SD, dan
Pembina lainnya lebih kecil
daripada peran guru yang
bersangkutan. Pendekatan
kolaboratif adalah sebuah
pendekatan supervisi, di
mana dalam upaya
peningkatan kemampuan
guru peran kepala sekolah,
pengawas TK/SD, dan
pembina lainnya sama
besarnya dengan peran guru
yang bersangkutan.
Penggunaan pendekatan
tersebut disesuaikan dengan
dua karakteristik guru yang
akan diberi supervisi, yaitu
tingkat abstraksi guru (level
of teacher abstraction) dan
tingkat komitmen guru (level
of teacher commitment). Daya
abstraksi guru bisa tinggi,
sedang, dan bisa juga
rendah. Demikian pula
dengan komitmen guru bisa
tinggi, sedang, dan rendah.
Pendekatan supervisi yang
digunakan harus disesuaikan
dengan tinggi-rendahnya
daya abstraksi dan komitmen
guru yang disupervisi.
1. Guru yang memiliki daya
abstraksi dan komitmm
yang rendah sebaiknya
disupervisi dengan
pendekatan langsung.
2. Guru yang memiliki daya
abstraksi yang rendah,
tetapi komitmennya tinggi,
sebaiknya disupervisi
dengan pendekatan
kolaboiatif.
3. Guru yang memiliki daya
abstraksi yang tinggi
tetapi komitmennya
rendah, sebaiknya
disupervisi dengan
pendekatan kolaboratif.
4. Guru yang memiliki daya
abstraksi dan komitmen
yang tinggi sebaiknya
disupervisi dengan
pendekatan tidak langsung
(Bafadal, 2003).
TEKNIK-TEKNIK SUPERVISI
Bagaimana Kepala
Sekolah dalam mensupervisi
para guru ?. Dalam konteks
ini, maka Kepala Sekolah
perlu mengenal dan
mempraktekkan teknik-
teknik supervisi pendidikan
yang lazim digunakan dalam
pelaksanaan supervisi
pengajaran. Ada tersedia
sejumlah teknik supervisi
yang dipandang bermanlaat
untuk merangsang dan
mengarahkan perhatian
guru-guru terhadap
kurikulum dan pengajaran,
untuk mengidentifikasi
masalah-masalah yang
bertalian dengan mengajar
dan belajar, dan untuk
menganalisis kondisi-kondisi
yang mengelilingi mengajar
dan belajar. Yang berikut ini
pada umumnya dipandang
teknik yang paling
bermanfaat bagi supervisi.
1. Kunjungan kolas.
Kunjungan kelas (sering
disebut kunjungan supervisi)
yang dilakukan kepala
sekolah (atau
pengawas/penilik) adalah
teknik paling efektif untuk
mengamati guru bekerja,
alat, metode, dan teknik
mengajar tertentu yang
dipakainya, dan untuk mem-
pelajari situasi belajar
secara keseluruhan dengan
memperhatikan semua faktor
yang mempengaruhi
pertumbuhan murid. Dengan
menggunakan hasil analisis
observasinya, ia bersama
dengan guru dapat menyusun
suatu program yang baik
untuk memperbaiki kondisi
yang melingkari mengajar-
belajar d i kelas tertentu.
Sudan tentu, kunjungan
kelas, agar efektif,
hendaknya dipersiapkan
dengan teliti dan
dilaksanakan dengan sangat
berhati-hati dengan disertai
budi bahasa yang baik pula.
Pada umumnya kunjungan kelas
hendaknya diikuti oleh
pembicaraan individual antara
kepada sekolah dengan guru.
2. Pembicaraan individual
Pembicaraan individual
merupakan teknik supervisi yang
sangat penting karena
kesempatan yang diciptakannya
bagi kepala sekolah
(pengawas/penilik) untuk bekerja
secara individual dengan guru
sehubungan dengan masalah-
masalah profesional pribadinya.
Masalah-masalah yang mungkin
dipecahkan melalui pembicaraan
individual bisa macam-macam:
masalah-masalah yang bertalian
dengan mengajar, dengan
kebutuhan yang dirasakan oleh
guru, dengan pilihan dan
pemakaian alat pengajaran, teknik
dan prosedur, atau bahkan
masalah-masalah yang oleh kepala
sekolah dipandang perlu untuk
dimintakan pendapat guru.
Apapun yang dijadikan pokok
pembicaraan, ia mewakili teknik
yang sangat baik untuk membantu
guru mengembangkan arah diri
dan tumbuh dalam pekerjaan.
3. Diskusi Kclompok
Dengan diskusi kelompok
(atau sering pula disebut
pertemuan kelompok) dimaksud
sualu kegiatan dimana
sekelompok orang berkumpul
dalam situasi bcrlatap muka dan
melalui interaksi lisan bertukar
informasi atau berusaha untuk
mencapai suatu keputusan
tentang masalah-masalah
bersama. Kegiatan diskusi ini
dapal mengambil beberapa bentuk
pertemuan staf pengajar, seperti:
diskusi panel, seminar, lokakarya,
konperensi, kelompok studi,
pekerjaan komisi, dan kegiatan
lain yang bertujuan untuk
bersama-sama membicarakan dan
menilai masalah-masalah tentang
pendidikan dan pengajaran.
Pertemuan-pertemuan serupa ini
dipadang suatu kegiatan yang
begitu penting dalam program
supervisi modern, sehingga guru
sebenarnya hidup dalam suasana
pelbagai jenis pertemuan
kelompok.
4. Demonstrasi mengajar
Demonstrasi mengajar
merupakan teknik yang berharga
pula. Rencana demonstrasi yang
telah disusun dengan teliti dan
dicetak lebih dulu, dengan
menekankan pada hal-hal yang
dianggap penting atau pada nilai
teknik mengajar
tertentu, akan sangat
membantu. Pembicaraan
sehabis demonstrasi bisa
menjelaskan banyak aspek.
Suatu analisis observasi adalah
perlu.
5. Kunjungan kelas antar guru
Sejumlah studi telah
mengungkapkan bahwa
kunjungan kelas yang
dilakukan guru-guru di antara
mereka sendiri adalah efektif
dan disukai. Kunjungan ini
biasanya direncanakan atas
permintaan guru-guru. Teknik
ini akan lebih efektif lagi jika
tiap observasi diikuti oleh
suatu analisis yang berhati-
hati.
6. Pengembangan kurikulum
Perencanaan penyesuaian
dan pengembangan kurikulum
menyediakan kesempatan yang
sangat baik bagi partisipasi
guru. Pentingnya relevansi
kurikulum dengan kebutuhan
murid dan masyarakat bagi
pemeliharaan dan peningkatan
kualitas pendidikan di negara
kita diakui. Tetapi dalam
prakteknya, sekolah-sekolah
secara individual tidak banyak
melakukan usaha untuk
menyesuaikan dan
mengembangkan kurikulum
standar itu dengan kebutuhan
murid dan masyarakat terus
berubah. Terserah kepada
kepala sekolah untuk
menciptakan perhatian dan
keinginan bagi pekerjaan
penting dan terus-menerus itu.
Penyesuaian dan
pengembangan kurikulum
dilakukan di sekolah dengan
mengembangkan materi
muatan lokal. Muatan lokal ini
sesuai dengan potensi
lingkungan sekitar sekolah.
6. Buletin supervisi
Buletin supervisi
merupakan alat komunikasi
yang efektif. Ia bisa berisi
pengumuman-pengumuman,
ikhtisar tentang penelitian-
penelitian, analisis presentasi
dalam pertemuan-pertemuan
organisasi professional, dan
perkembangan dalam berbagai
bidang studi.
7. Perpustakaan Profesional
Perpustakaan
professional sekolah
merupakan sumber informasi
yang sangat membantu kepada
peitumbuhan professional
personil pengajar di sekolah.
Perpustakaan professional
menyediakan tidak saja suatu
sumber informasi, tapi ia juga
suatu rangsangan bagi
kepuasan pribadi. Buku-buku
tentang pandangan
professional, bacaan
suplementer yang lebih baru,
dan majalah professional yang
banyak jumlah-nya itu
hendaknya tersedia bagi semua
guru. Juga sumbangan-
sumbangan dari guru dapat
menjadi bagian dari "gudang"
informasi ini.
8. Lokakarya
Lokakarya menyediakan
kesempatan untuk Kerjasama,
untuk memperteukan ide-ide,
untuk mendiskusikan masalah-
masalah bersama alau khuais,
dan untuk pertumbuhan
pribadi dan professional dalam
berbagai bidang studi. Ada
banyak jenis lokakarya itu.
Dalam lokakarya seni,
barangkali sebagian bcsar
waktu akan diisi dengan
partisipasi sungguh dengan
mempelajari keterampilan dan
teknik-teknik kegiatan scni.
Dalam lokakarya matematika
lebih banyak tckanan mungkin
diberikan kepada menganalisis
dan memilih pengalaman
belajar yang sesuai,
menemukan bahan teknologi
pengajaran dan metode-metode
presentasi ini, dan menilai
program-program baru.
9. Survey sekolah-masyarakat
Suatu studi yang
komprehensif tentang
masyarakat akan membantu
guru dan kepala sekolah untuk
memahami dengan lebih jelas
program sekolah yang akan
memenuhi kebutuhan dan
kepentingan murid.
Sebenarnya ada teknik-
teknik lain, tetapi yang
diterapkan di atas dengan
singkat adalah teknik-teknik
yang dalam sejumlah penelitian
dipandang telah menunjukkan
manfaatnya bagi supervisi.
Untuk pembahasan yang lebih
terurai pembaca disarankan
untuk membaca sumber-
sumber lain.
Pada hakekatnya tidak
ada satu teknik tunggal yang
bisa memenuhi segala ke-
butuhan; dan bahwa sualu
teknik tidaklah baik alau buruk
pada umumnya, melainkan
dalam kondisi tertentu.
Masalah yang utama adalah
menetapkan kebutuhan.
Beberapa teknik hubungan
antara sekolah dengan
masyarakat yang diperkenalkan
oleh Sahertian (1989) antara
lain adalah seperti: (1) laporan
kepada orang tua murid, (2)
majalah sekolah, (3) surat
kabar sekolah, (4) pameran
sekolah, (5) open house, (6)
kunjungan ke sekolah, (7)
kunjungan ke rumah murid, (8)
melalui penjelasan yang
diberikan oleh personil
sekolah, (9) gambaran
keadaan sekolah melalui
murid-murid, (10) melalui
radio dan televisi, (11)
laporan tahunan, (12)
organisasi perkumpulan
alumni sekolah, (13) melalui
kegiatan ekstra kurikulum,
dan (14) pendekatan secara
akrab.
RESPON DAN SIKAP GURU
TERHADAP SUPERVISI
PENGAJARAN
Kajian tentang sikap
guru terhadap supervisi
menjadi perhatian Neagley &
Evans (dalam Mantja, 1998)
dengan merujuk sejumlah
hasil penelitian beberapa
pakar supervisi pengajaran.
Temuan-temuan yang
dilaporkan, antara lain (1)
supervisi yang efektif harus
didasarkan atas prinsip-
prinsip yang sesuai dengan
perubahan sosial dan
dinamika kelompok, (2) para
guru menghendaki supervisi
dari kepala sekolah,
sebagaimana yang
seharusnya dikerjakan oleh
tenaga personel yang
berjabatan supervisor, (3)
kepala sekolah tidak
melakukan supervisi dengan
baik, (4) semua guru
membutuhkan supervisi dan
mengharapkan untuk
disupervisi, (5) para guru
lebih menghargai dan
menilai secara positif
perilaku supervisi yang
"hangat", saling
mempercayai, bersahabat,
dan menghargai guru, (6)
supervisi dianggap
bermanfaat bila
direncanakan dengan baik,
supervisor menunjukkan sifat
membantu dan menyediakan
model-model pengajaran
yang efektif, (7) supervisor
memberikan peran serta yang
cukup tinggi kepada guru
untuk pengambilan
keputusan dalam wawancara
supervisi, (8) supervisor
mengutamakan
pengembangan keterampilan
hubungan insani, seperti
halnya dengan keterampilan
teknis dan (9) supervisor
seharusnya menciptakan
iklim organisasional yang
terbuka, yang memungkinkan
pemantapan hubungan yang
saling menunjang (supportive).
Dalam praktiknya
supervisi pengajaran yang
dilaksanakan selama ini
masih cenderung
berorientasi pada
administratif saja. Walaupun
sudah dirumuskan dalam
kegiatan supervisi bahwa
aspek yang disupervisi
adalah administratif dan
edukatif, namun pada
kenyataannya masih
cenderung lebih dominan
aspek administratif.
Fenomena ini dikaji secara
khusus dalam Konferensi
Pendidikan di Indonesia:
Mengatasi Krisis Menuju
Pembaruan, yang diikuti para
pakar yang kompclen. Salali
satu rekomendasi dari
konferensi ini, khusu'snya yang
berkaitan langsung dengan
masalah supervisi
dikemukakan sebagai berikut
ini.
Rekomendasi 23
Fungsi-fungsi
pengawasan pada semua
jenjang pendidikan
dioptimalkan seba-gai
sarana untuk memacu
mutu pendidikan.
Pengawasan dimaksud
dengan mengutamakan
aspek-aspek akademik
daripada administratif
sebagaimana berlaku
selama ini (Jalal &
Supriadi, 2001).
Keefektifan penerapan
orientasi dan pendekptan
supervisi di atas, tidak hanya
tergangung pada supervisor
saja, melainkan juga sangat
dipengaruhi oleh persepsi,
respon, dan sikap guru
terhadap orientasi dan
supervisi yang dilakukan oleh
supervisor. Penelitian
mengenai sikap guru terhadap
supervisi dikemukakan oleh
Ekosusilo (2003) bahwa guru
tidak terlalu positif terhadap
supervisi yang dilakukan
supervisor. Selanjutnya
dikemukakan oleh Ekosusilo
dalam simpulan penelitiannya
bahwa supervisi yang
dilakukan supervisor dianggap
biasa-biasa saja dan monoton
itu-itu saja, bahkan nampak
diacuhkan. Namun guru tidak
menampakkan ketidak-
setujuannya di hadapan
supervisor, karena dilandasi
rasa hormat sekaligus tidak
ingin menimbulkan konflik.
Penelitian yang dilakukan
Mantja (1989) juga
menyimpulkan bahwa respon
dan sikap guru terhadap
supervisi ditentukan oleh
kemanfaatan, data pengamatan
yang obyektif, kesempatan
menanggapi balikan, perhatian
supervisor terhadap gagasan
guru. Supervisi yang teratur
dan hubungan yang diciptakan
dapal mengurangi ketegangan
emosional guru. Guru lebih
menyukai pendekatan supervisi
kolaboratif atau non direktif.
KENDALA-KENDALA
PELAKSANAAN SUPERVISI
PENGAJARAN
Dalam pelaksanaannya,
supervisi pengajaran di sekolah
banyak menghadapi kendala.
Mantja (1990) dalam temuan
disertasinya meuyalakan bahwa
kendala-kendala yang kurang
menunjang keefektifan
supervisi, antara lain: sikap
personil sekolah yang kurang
positif terhadap supervisi
pengelola teknis edukatif;
kurangnya keterampilan
supervisi kepala sekolah;
pengendalian emosional
supervisor dalam menerima
respons guru; kepala sekolah
yang karena kurangnya tenaga
guru haras memegang kelas
atau bidang studi tertentu,
sehingga supervisi menjadi
kurang efektif; dan adanya
guru yang tingkat
pendidikannya lebih tinggi dari
kepala sekolahnya. Temuan
Mantja ini, nampaknya
mempunyai kadar
transferabilitas yang cukup
tinggi, karena kendala-kendala
di jenjang pendidikan dasar
berkisar pada permasalahan-
permasalahan temuan tersebut
di atas. Isvanto (1999)
mengemukakan bahwa
permasalahan pendidikan,
antara lain adalah manajemen
sekolah yang tidak efektif, dan
kemampuan manajemen kepala
sekolah pada umumnya rendah
terutama di sekolah negeri dan
pembinaan karier dan
kesejahteraan guru yang tidak
konsisten.
Mengkaji perihal kendala-
kendala dalam pelaksanaan
supervisi, temuan Ekosusilo
(2003) menarik untuk
dikemukakan di sink Temuan
penelitian Ekosusilo tentang
pelaksanaan supervisi antara
lain: (1) supervisor tidak
mengkomunikasikan
rencana/program supervisinya
kepada para guru sebagai
subyek supervisi, (2) fokus
supervisi hanya terarah pada
aspek administrasi, kurang
menyentuh pada
pengembangan kemampuan
guru dalam mengelola proses
belajar mengajar, (3)
supervisor tidak melaksanakan
kunjungan kelas secara serius,
(4) supervisor mendominasi
pembicaraan dan berjalan satu
arah, (5) tidak ada penilaian
umpan balik, dan (6)
supervisor tidak pernah
meminta pada guru untuk
meminta pada guru untuk
memberikan komentar maupun
penilaian terhadap supervisi
yang telah dilaksanakan.
Kendala-kendala inilah yang
mengakibatkan supervisi
pengajaran yang dilaksanakan
oleh Pengawas Sekolah di
sekolah dasar tidak dapat
optimal, sehingga tujuan pokok
pelaksanaan supervisi untuk
meningkatkan kualitas
kegiatan belajar mengajar
tidak dapat tercapai. Temuan
Ekosusilo (2003) ini
memberikan gambaran bahwa
pembinaan profesional guru
masih perlu ditingkatkan lebih
lanjut.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian
tentang peningkatan mutu
pendidikan melalui supervisi
pengajaran di atas, maka
dapatlah disimpulkan hal-hal
sebagai berikut: (1) masalah-
masalah dalam bidang
pendidikan adalah (a) masalah
kuantitatif, (b) masalah
kualitatif, (e) masalah
relevansi, (d) masalah
efisiensi, (e) masalah
efektivitas, dan (f) masalah
khusus; (2) supervisi
pengajaran pada hakikatnya
adalah untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan
guru dalam melaksanakan
tugas pokoknya sehari-hari
yaitu mengajar para peserta
didik di kelas; (3) supervisor
atau pembina, yaitu Pengawas
Sekolah, Kepala Sekolah, atau
semua pejabat yang terlibat
dalam layanan supervisi,
adalah pihak yang dianggap
paling bertanggung jawab
dalam kegiatan supervisi; (4)
ada tiga pendekatan dalam
supervisi pengajaran, yaitu (a)
pendekatan langsung, (b)
pendekatan tidak langsung,
dan (c) pendekatan kolaboratif;
(5) teknik-teknik supervisi
pendidikan yang paling
bermanfaat bagi supervisi
antara lain adalah: (a)
kunjungan kelas, (b)
pembicaraan individual, (c)
diskusi kelompok, (d)
demonstrasi mengajar, (e)
kunjungan kelas antar guru,
(1) pengembangan kurikulum,
(g) bulletin supervisi, (h)
perpustakaan profcsioml, (i)
lokakarya, (j) survey sekolah-
masyarakat; (6) para guru
lebih menghargai dan menilai
secara positif perilaku
supervisi yang "hangat", saling
mempercayai, bersahabat, dan
menghargai guru; dan (7)
dalam praktiknya supervisi
pengajaran yang dilaksanakan
selama ini masih cenderung
berorientasi pada administratif
saja.
Saran-saran
Berdasarkan simpulan di
atas, maka dapatlah
dikemukakan saran-saran
sebagai berikut: (1) untuk
meningkatkan kemampuan
supervisor, maka perlu secara
rutin ada program penyegaran
bagi para supervisor, sehingga
dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tujuau supervisi
dan sesuai dengan keinginan
para guru; (2) arah supervisi
perlu difokuskan/ditekankan
kepada aspek akademik tanpa
mengabaikan faktor
administratif sebagai
pelengkap pelaksanaan
supervisi tcrhadap para guru di
sekolah; (3) dalam pelaksanaan
supervisi di sekolah, para
supervisor perlu membekali
format dokumen yang dapat
merekam dan mencatat
kegiatan guru dalam
melaksanakan tugas-
tugasnya di sekolah; (4)
dalam melaksanakan supervisi
pengajaran disarankan untuk
menggunakan prosedur
supervisi klinis, dan (5) perlu
ada pertemuan sesuai supervisi
untuk mendiskusikan hasil
supervisi yang telah dilakukan
oleh Kepala Sekolah atau
Pengawas Sekolah, sebagai
upaya tindak lanjut setelah
pelaksanaan supervisi
dilaksanakan.
DAFTAR RUJUKAN
Bafadal, I. 2003. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar, Dalam Kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Benty, D.D.N. 1992. Kemampuan Kepi'la Sekolah Dasar Membantu Guru dalam Mengembangkan Pengajaran Menurut Persepsi Guru-Guru SD Negeri di Kecamatan Lowokwaru Kodya Malnng. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasa Sarjana, Institut Keguruan dan Ilmu pendidikan Malang.
Depdikbud. 1976. Kurikulum Sekolah Dasar 1975, Garis-Garis Besar Program Pengajaran Buku III D Pedoman Administrasi dan Supervisi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdikbud. 1994/1995. Pedoman Kerja Pelaksanaan Supervisi. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SD, TK dan SLB, Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menenga,'., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdikbud. 1995. Pedoman Pembinaan Profesional Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Ekosusilo, M. 2003. Iiasil Penelitian Kualitatif, Supervisi Pengajaran Dalam Latar Budaya Jawa, Studi Kasus Pembinaan Guru SD di Kralon Surakarta. Sukoharjo: Penerbit Uvitet Bantara Press.
Indrafachrudi, S.(Koordinator). 1989. Administrasi Pendidikan. Malang: Penerbit IKIP Malang.
Idrus, N., dkk. 2000. Quality Assurance, Handbook. 3-Edition. Jakarta: Engineering Education Development Project, Du Malcomlm Jones (ed)., Director General of Higher Education.
Iswanto, B. 1999. Olonomi Daerah: Implikasi bagi Pengelolaan Pendidikan. Makalah disajikan dalam seminar nasional Formula Manajemen Pendidikan dalam Kerangka Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan pada tanggal 23 Aeustus 1999 di Universitas Neseri Malane.
Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Penclidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa.
Mantja, W. 1998. Manajemen Pembinaan Profesional Guru Berwawasan Pengembangan Sumber Daya Manusia: Suatu Kajian Ko.tseptual-historik dan Empirik. Pidalo Pengukuhan Guru Besar [KIP Malang. Making: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (The New Mind Set of National Education in the 21s' Century). Yogyakarta: Safiria Insania Press bekerjasama dengan Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia (MSI UII).
Sahertian, P.A. & Mataheru, F. 1982. Prinsip & Tehnik Supervisi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Supriadi, D. 2004. Satuan Biaya Pendidikan, Dasar dan Menengah: Rujukan Bagi Penetapan Kebijakan Pendidikan Pada Era Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Lemadja Rosdakarya.
Diterbitkan Oleh :Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Gresik
ISSN 2089-5933
E - JURNAL
JENDELA
PENDIDIKAN
Vol.
0 1
No.
0 I
Hlm.
1-106
Gresik
Juni -Nopembe
r
ISSN
2089-5933
PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD TUNAS
BANGSA
WONOKROMO SURABAYA
Etiyasningsih*)
Abstrak, Bahasa Indonesia dipakai di sekolah dari tingkat paling rendah sampai perguruan tinggi, dipakai juga dalam acara resmi pada pemerintahan termasuk kehakiman pengadilan, serta di segala bentuk komunikasi tingkat nasional. Dari segi ilmiah dapat dijadikan kunci untuk membuka pintu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, dengan pertimbangan tersebut maka yang perlu diperjatikan adalah bimbingan orang tua dalam menunjang prestasi anak di sekolah. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Namun berperan serta orang tua dan masyarakat dalam menunjang prestasi belajar anaknya belum tampak menggembirakan, apabila status pendidikan orang tuanya atau masyarakat pada umumnya masih rendah, maka semata-mata pendidikan anaknya diserahkan kepada guru di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Penelitian dilakukan di SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya. Populasi sebanyak 34 anak dan orang tua. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh 34 responden anak dan orang tua siswa. Pengumpulan data dengan dokumentasi dan kuesioner, selanjutnya dilakukan uji regresi sederhana untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa.
Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 16,995 > Ftabel = 4,17. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh
signifikan bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,000 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian d iharapkan orang tua lebih banyak memberikan bimbingan kepada anaknya terutama dalam belajar bahasa Indonesia, bimbingan di keluarga hendaknya mencakup bantuan belajar, pengawasan, pengaturan waktu belajar dan keteladanan yang ditunjukkan secara rutin, dan orang tua wali murid selalu mengawasi cara belajar anaknya dan selalu berkonsultasi dengan guru atau orang lain. Pihak sekolah diharapkan dapat sering mengadakan hubungan dan konsultasi mengenai perkembangan belajar anak dan juga memecahkan kesulitan yang timbul dalam bimbingan belajar anak dengan wali murid atau orang tua siswa
Kata Kunci : Bimbingan Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Siswa
Pendidikan yang berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan sedini mungkin merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Banyak orang tua berpendapat bahwa tugas mencerdaskan anak adalah tugas guru dan institusi pendidikan, sementara mereka selaku orang tua asyik dengan profesinya sendiri, implikasi dari pendapat semacam ini adalah memunculkan ketidakpedulian orang tua terhadap spiritual, intelektual dan moral anaknya sendiri. Masih banyak di antara orang tua yang lalai akan tugasnya dalam membantu perkembangan dan pemahaman diri putra putrinya, mereka menyibukkan dirinya dengan urusan masing-masing.
Bagi orang tua yang taraf ekonominya kuat, waktunya banyak digunakan untuk acara-acara yang dianggap sesuai dengan martabat sosialnya, sementara bagi orang tua yang taraf ekonominya lemah, waktunya banyak digunakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga dengan keadaan ini timbulah berbagai kesulitan yang dihadapi oleh anak terutama kesulitan alam belajar yang mengakibatkan prestasi belajar mereka semakin menurun.
Ketika anaknya gagal memenuhi harapannya, pihak pertama yang dituding adalah guru dan institusi pendidikan, kalau kita renungkan anggapan orang tua bahwa pencapaian itu hanyalah tergantung pada lembaga sekolah, pendapat seperti ini kurang tepat, dan akan merugikan diri sendiri. Bagaimanapun guru, sekolah, dan institusi pendidikan yang lainnya hanyalah pihak yang membantu mencerdaskan peserta didik. Sedangkan keberhasilan dalam suatu pendidikan itu ditentukan oleh tiga komponen, yaitu orang tua (keluarga),
guru (pemerintah), dan masyarakat (lingkungan).
Dalam mendidik seseorang anak tidak akan berhasil tanpa ada kerjasama yang baik antara orang tua yang mendidik di rumah, dengan guru yang mendidik di sekolah. Demikian juga dengan lingkungan di sekitarnya juga menunjang. Antara orang tua, guru dan lingkungan dalam menangani anak harus ada kerjasama yang baik sehingga merupakan tri tunggal yang tidak dapat dipisahkan. Sehubungan dengan hal tersebut, jika ditinjau ari segi waktu belajar antara pendidikan sekolah dan ada dirumah, maka waktu belajar tersebut lebih banyak dirumah. Oleh sebab itu sebagai orang tua harus benar-benar dapat membantu dan mengarahkan putra putrinya, memahami lebih jauh dan mendalam tentang pola dan upaya mencerdaskan. Orang tua harus mengerti tentang dasar-dasar pendidikan, psikologi perkembangan, proses belajar mengajar dan pengetahuan lain guna mencapai tujuan yang sesuai dengan harapan dan cita-citanya.
Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang, dan sedang getol-getolnya membangun, seiring dengan pembangunan itu, maka di segala bidang harus dikembangkan pemerintah. Di dalam persiapan pembangunan yang siap dipakai perlu sumber daya manusia yang handal, maka pemerintah menggalakkan pembangunan di bidang pendidikan.
Maka tidaklah mengherankan apabila pemerintah selalu berusaha dengan getol untuk meningkatkan pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, guna mempercepat tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Untuk itu di dalam merealisir tujuan pendidikan itu, maka diseluruh jalur, jenis dan jenjang
pandidikan baik dengan jalur formal maupun non formal berkewajiban untuk segera mendukung dan mewujudkannya. Bahkan dilingkungan keluargapun di harapkan peran serta aktifnya, karena suatu program akan berhasil dengan baik apabila aktifitas di dukung oleh semua pihak.
Di dalam Undang-undang pendidikan Nomor 2 tahun 1989, disebutkan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut : “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan Nasional harus juga menumbuhkan jiwa patriotic dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan social serta kesadaran pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi ke masa depan. Iklim belajar mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di lingkungan masyarakat, terus juga di kembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, dan berkeinginan untuk maju.
Dan sebagai bangsa Indonesia harus berkomunikasi di antara suku satu dengan suku yang lainnya dengan baik, agar tetap terpelihara rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Berkomunikasi antara suku kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam hal ini termuat dalam dokumen resmi Negara, seperti : Sumpah Pemuda dan dalam Undang-
undang Dasar 1945, Bab XV pasal 36 : Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia dipakai di sekolah dari tingkat paling rendah sampai perguruan tinggi, dipakai juga dalam acara resmi pada pemerintahan termasuk kehakiman pengadilan, serta di segala bentuk komunikasi tingkat nasional. Dari segi ilmiah dapat dijadikan kunci untuk membuka pintu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, dengan pertimbangan tersebut maka yang perlu diperjatikan adalah bimbingan orang tua dalam menunjang prestasi anak disekolah. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Namun berperan serta orang tua dan masyarakat dalam menunjang prestasi belajar anaknya belum tampak menggembirakan, apabila status pendidikan orang tuanya atau masyarakat pada umumnya masih rendah, maka semata-mata pendidikan anaknya diserahkan kepada guru di sekolah.
Kesadaran bahwa tugas utama memberi bimbingan anak adalah tugas orang tua, maka akan memberikan pengaruh positif dalam pembentukan tanggung jawab dan mendorong motivasi belajar, mempermudah proses belajar pada anak dan pengkoordinasian lingkungan keluarga untuk mewujudkan anak-anak cerdas dan berprestasi terutama pada bidang studi bahasa Indonesia. Pemikiran inilah yang menjadikan penulis mengangkat judul skripsi ini dengan harapan dapat mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa pada Bidang Studi Bahasa Indonesia di SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh siswa kelas IV SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh responden sebanyak 34 siswa.
Variabel bebas (X) dalam penelitian ini yakni bimbingan orang tua, yang dimaksud bimbingan orang tua adalah suatu proses pemberi bentuan secara terus menerus dan sistematik dari pembimbing kepada peserta bimbingan agar tercapai pemahaman dari penerima diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan memperoleh kebahagian hidup. Variabel prestasi belajar Bahasa Indonesia (Y) yaitu suatu suatu hasil yang teah dicapai setelah kegiatan belajar mengajar Bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan adalah nilai ulangan mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis. Uji hipotesis dilakukan untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana :
Y = a + bX
Y = Prestasi Belajar Bahasa Indonesia
X = Bimbingan Orang Tua
a = Nilai konstanta
b = Nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan
(+) atau nilai penurunan (–) variabel Y.
HASIL PENELITIAN
Hasil Pengujian Validitas
Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan mengukur apa yang diinginkan dan mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrument valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapat data itu valid. Dalam uji validitas ini suatu butir pernyataan dikatakan valid jika corrected item total correlation lebih besar dari 0,339 (untuk jumlah responden 34 orang) sebagaimana tabel r produk momen terlampir. Hasil pengujian validitas terhadap variabel bimbingan orang tua (X) dan Prestasi Belajar Siswa (Y) dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 1 Hasil Uji Validitas Variabel Prestasi Belajar Siswa (X)
Pernya-taan
Corrected item total
correlationKet
123456789
1011121314
0,8430,3720,6380,6010,5400,5410,7670,4760,6420,6200,6860,3550,6770,793
ValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValid
Pernya-taan
Corrected item total
correlationKet
151617181920
0,5430,4390,3540,4950,5350,651
ValidValidValidValidValidValid
Sumber : Hasil Olah Data SPSS
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk item pernyataan variabel bimbingan orang tua, corrected item total correlation yang diperoleh untuk seluruh item pernyataan adalah lebih besar dari 0,339 (untuk jumlah responden 34 orang), hal tersebut berarti bahwa secara keseluruhan item pernyataan mengenai bimbingan orang tua adalah valid.
Hasil Uji Reliabilitas
Suatu alat ukur dikatakan reliabel atau handal, jika alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berbeda senantiasa menunjukkan hasil yang relatif sama. Untuk menguji reliabilitas suatu instrument dapat digunakan uji statistic Cronbach Alpha (α), dimana suatu alat ukur dikatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60. Hasil pengujian reliabilitas terhadap variabel bimbingan orang tua (X) diperoleh alpha sebesar 0,7483 lebih besar dari 0,6 sehingga dapat diputuskan bahwa item kuesioner telah reliabel.
Uji Asumsi Klasik
Uji normalitas
Dalam penelitian ini uji normalitas kriterianya adalah jika
distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: Prestasi Belajar Siswa
Observed Cum P rob
1 ,0,8,5,30 ,0
Ex
pe
cte
d C
um
Pro
b
1 ,0
,8
,5
,3
0 ,0
Gambar 1 Grafik Normalitas Standar Residual Regresi
Sesuai kriterianya grafik normal plot di atas terlihat titik-titik menyebar di sekitar garis diagonalnya, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian menunjukkan bahwa model regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas.
Uji Heteroskedastisitas
Indikator uji ini adalah melihat grafik Scatterplot, jika titik-titik menyebar secara acak serta tersebar di atas maupun di bawah angka 0 pada suhu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
Scatterplot
Dependent Variable: P restasi B elajar S isw a
Regression S tandardized P redicted Value
210-1-2-3
Re
gre
ss
ion
Stu
de
nti
ze
d R
es
idu
al
2 ,0
1 ,5
1 ,0
,5
0 ,0
-,5
-1 ,0
-1 ,5
-2 ,0
Gambar 2 Grafik Scatterplot
Dari grafik scatterplot di atas terlihat titik menyebar secara acak dan tersebar di atas maupun di bawah angka 0 pada suhu Y, hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi sehingga model regresi layak dipakai untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa.
Hasil Pengujian Regresi Linier Sederhana
Untuk mengetahui ada atau tidaknya pergaruh antara variabel bebas bimbingan orang tua terhadap variabel terikat yang dalam hal ini adalah prestasi belajar siswa (Y), maka digunakan analisis model agresi linier sederhana dengan model persamaan sebagai berikut :
Y = α + bX1
Dimana :
Y = Prestasi Belajar Siswa
X = Bimbingan Orang Tua
b3 = Koefisien regresi X
Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.
ANOVAb
151, 891 1 151, 891 16, 995 , 000a
285, 991 32 8, 937
437, 882 33
Regression
Residual
Tot al
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predict ors: (Const ant ) , Bimbingan Orang Tuaa.
Dependent Var iable: Prest asi Belajar Siswab.
Gambar 3 Uji F
Gambar 3 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 16,995. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel df = 32 sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution α=0,05). Tabel F dengan df = 32 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,17. Sehingga Fhitung = 16,995 > Ftabel = 4,17.
Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,000 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.
Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif antar kedua variabel yang diperoleh Pearson Correlation sebesar 0,589 lebih dari rtabel sebesar 0,339 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 32 terlampir).
Co rre la tio n s
1 ,0 0 0 ,5 8 9
,5 8 9 1 ,0 0 0
, ,0 0 0
,0 0 0 ,
3 4 3 4
3 4 3 4
Pre s ta s i Be l a j a r S i s wa
Bi mb i n g a n Ora n g T u a
Pre s ta s i Be l a j a r S i s wa
Bi mb i n g a n Ora n g T u a
Pre s ta s i Be l a j a r S i s wa
Bi mb i n g a n Ora n g T u a
Pe a rs o n Co rre l a t i o n
S i g . (1 -ta i l e d )
N
Pre s ta s iBe l a j a r S i s wa
Bi mb i n g a nOra n g T u a
Gambar Pearson Correlations
Besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.
Coeffic ients a
35 ,537 3,292 10 ,797 ,000
,190 ,046 ,589 4,123 ,000 ,589 ,589 ,589
(Cons tan t)
Bimbingan Orang Tua
Mode l1
B Std . Erro r
Uns tandard iz edCoeffic ien ts
Be ta
Standard iz edCoeffic ien ts
t Sig . Ze ro-o rde r Partia l Pa rt
Corre la tions
Dependen t Va riab le: Pres tas i Bela jar Sis waa.
Gambar 4 Uji t
Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.5 memperlihatkan thitung sebesar 4,123 > ttabel sebesar 2,042 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir) artinya terdapat pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa.
Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat koefisien regresi (standarized coefficients Beta) pada gambar 4.2 sebesar 0,589. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut :
Y = a + bX
= 35,537 + 0,190
Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut:1) Konstanta sebesar 35,537
menyatakan bahwa jika variabel tingkat pendidikan dianggap konstan (tidak ada upaya membimbing), maka prestasi belajar siswa sebesar 35,537 point.
2) Koefisien regresi tingkat pendidikan sebesar 0,190 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin bimbingan orang tua akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 0,190 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya bimbingan orang tua sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 190 point.
INTERPRETASI
Bimbingan orang tua sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Memang bimbingan orang tu sangat diperlukan oleh siswa mengingat belajar di sekolah tanpa diulang di rumah kemungkinan lupa atau kurang memahami. Jika orang tua mau dan mampu membimbing anaknya maka anak akan lebih mengingat dan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru di sekolah.
Secara umum hal ini sesuai dengan Ketut Sukardi bahwa bimbingan adalah suatu proses bantuan yang diberikan pada seseorang agar mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki, mengenali dirinya sendiri, mengatasi persoalan sehingga mereka dapat menentukan sendiri jalan hidupnya, secara bertanggung jawab tanpa bergantung pada seseorang atau orang lain. Selain itu bimbingan merupakan suatu proses pemberi bantuan yang terus menerus dan sistematis terhadap individu dalam memecahkan masalah yang dihadapi agar tercapai kemampuan untuk memahami dirinya (self undertanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self aceptaince), kemampuan untuk mencurahkan dirinya (self direction), sesuai dengan potensi atau kemampuan dalam
mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Bantuan yang diberikan orang-orang yang memiliki keahlian dan pengalaman khusus dalam bidang tertentu yaitu bidang pendidikan.
Bimbingan mencakup pertolongan yang diberikan seseorang dengan tujuan untuk menolong orang itu kemana ia ingin atau harus pergi, apa yang ia inginkan dilakukan dan bagaimana cara yang sebaik-baiknya tersebut memecahkan masalah yang timbul dalam kehidupan. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan mengenai bimbingan, yaitu: Bimbingan ialah suatu proses pemberi bentuan secara terus menerus dan sistematik dari pembimbing kepada peserta bimbingan agar tercapai pemahaman dari penerima diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan memperoleh kebahagian hidup (Totok Santoso, 1986:25).
Pertolongan dalam bimbingan menurut Slamet (1989:25) antara lain (1) Pertolongan di arahkan peningkatan kemampuan dalam menghadapi hidup dengan segala persoalan, (2) Pertolongan yang kontinyu yang diberikan atas dasar perencanaan dan pemikiran yang ilmiah, (3) Pertolongan yang proses pemecahan dari persoalan yang membutuhkan aktivitas dan tanggung jawab bersama antara yang menolong dan yang ditolong, (4) Pertolongan yang isi, bentuk dan caranya disesuaikan kebutuhan tiap-tiap kasus.
Secara spesifik tujuan bimbingan oleh orang tua ataupun pihak tertentu adalah dapat mengetahui keadaan pribadi siswa untuk membantu
kesulitan belajar yang mungkin dihadapi. Tujuan bimbingan belajar yang dimaksudkan adalah untuk memperoleh tingkat perkembangan belajar yang optimal bagi setiap siswa sesuai dengan kemampuannya agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Selain itu bimbingan bertujuan untuk membantu siswa agar mencapai perkembangan yang optimal yaitu siswa dapat menemukan dirinya sendiri, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan sehingga dapat mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab, pelajar yang kreatif dan pekerja yang produktif. Drs. Bimo Walgito menyatakan bahwa tujuan utama bimbingan belajar agar masing-masing siswa dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada mereka sehingga tercapai prestasi yang optimal.
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan belajar adalah untuk mengenali kemampuan-kemampuan yang terendam dalam diri anak sehingga dapat diharapkan anak tersebut dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang terpendam, jadi bimbingan belajar sangat penting untuk keberhasilan siswa.
Tujuan bimbingan orang tua terhadap anaknya antara lain (1) Untuk mengetahui keadaan pribadi anak yang dianggap mempunyai masalah, (2) Untuk memahami jenis atau sifat kesulitan belajar yang dihadapi, (3) Untuk mengetahui faktor penyebab kesulitan anak dalam pelajaran, (4) Untuk mengetahui baik secara kuratif (penyembuhan) maupun secara prefentif (pencegahan) kelemahan-kelemahan belajar yang dihadapi oleh anak.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Bimo Walgito. 1982. Bimbingan dan Penyuluhan Sekolah. Yayasan penerbit Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.
Dep. Dik. Bud. 1984. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta Jakarta.
Dewa Ketut Sukerdi, Drs . 1983 . Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah. Penerbit Indonesia.
GBHN, Ketetapan MPR RI No. 11/MPR/1008, Bima Pustaka Surabaya.
I. Djumhur dan Moh. Surya. 1975 Bimbingan dan Penyulahan di Sekolah (Guiedence Counseling). Penerbit CV. Ilmu Bandung.
Ngalim Purwanto MP, Drs. 1997. Psikologi Pendidikan. Remaja Resdakarya Bandung.
Suhartini Arikunto. 1981. Prosedur Penelitian , Rineka Cipta Jakarta.
Siti Rahaju Hadi Noto, 1982. Prinsip-prinsip Bimbingan dan Penyuluhan. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.
Sutrisno Hadi, 1983. Metodologi Research I dan II, Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.
Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Winamo Surahmad, Drs. Msc. 1976. Pengantar Penyelidikan Ilmiah. CV. Jenmars Bandung.
Wjs. Poerwodarminto, 1961. Kamus Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka Jakarta.
Diterbitkan Oleh :
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Gresik
ISSN 2089-5933
1
E - JURNAL
JENDELA
PENDIDIKAN
Vol. :
01
No. :
I
Hlm.
1-106
Gresik
Juni -Nopembe
r
ISSN
2089-4554
Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah
dan Gaya Kognitif terhadap
Pemahaman Uniflying Geography
Syaiful Khafid
Email: [email protected]
Abstract: Penelitian ini dilaksanakan untuk membandingkan pemaha-man ‘uniflying geography’ antara siswa yang diajar dengan menggu-nakan pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang diajar secara konvensional, dan antara siswa bergaya kognitif field independent dan siswa yang bergaya kognitif field dependent yang menggunakan desain kuasi eksperimental. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah mempe-roleh skor signifikan lebih tinggi dalam bidang geografi dari siswa yang diajar secara konvensional. Lagi pula, siswa dengan gaya field inde-pendent ternyata memperoleh skor signifikan lebih tinggi daripada siswa dengan gaya kognitif field dependent, Akan tetapi, penelitian tersebut tidak menunjukkan pengaruh interaksional dari model pembe-lajaran dan gaya kognitif terhadap pemahaman ‘uniflying geography’ siswa.
2
Kata kunci: pembelajaran berbasis masalah, gaya kognitif, pemahaman geografi
3
Geografi sebagai mata
pelajaran formal pertama yang
membawa siswa kontak dengan
realitas kehidupan seharusnya
dapat menjadi satu mata
pelajaran yang cukup menarik.
Bahkan arti penting geografi
bagi kehidupan diakui juga oleh
tokoh atau pejabat dari
kalangan ketentaraan maupun
pemerintahan. Kalau dalam
kenyataan geografi menjadi
kurang menarik sebagian besar
siswa tentu ada faktor-faktor
penyebab yang menjadikan
demikian (Suharyono dan
Amien, 1994) sehingga
berakibat rendahnya
pemahaman geografi (Khafid,
2010).
Rendahnya pemahaman
‘uniflying geography’
disebabkan paradigma
pendidikan konvensional yang
menggunakan metode
pembelajaran klasikal dan
ceramah, tanpa diselingi aneka
metode pembelajaran inovatif,
termasuk adanya penyekat
ruang struktural antara guru
dan siswa. Pembelajaran
‘uniflying geography’ yang
dilakukan guru geografi di
kelas hanya menekankan ranah
kognitif dan hafalan serta
kurang mendorong siswa
berpikir kritis dan kreatif
(Khafid, 2008:19) Menurut
penilaian Sudradjat (dalam
Daldjoeni, 1997:129)
permasalahan yang menonjol
adalah rendahnya partisipasi
siswa dalam mempelajari
geografi baik secara intelektual
maupun emosional. Pertanyaan
yang berasal dari siswa yang
berupa gagasan atau
sanggahan jarang muncul.
Jikapun ada yang berpendapat
jarang diikuti oleh gagasan lain,
sehingga sebagian siswa
merasakan bahwa
1
pembelajaran geografi
membosankan, kering, tidak
jelas, dan sulit dipahami.
Ada lima faktor penyebab
rendahnya kualitas pemahaman
‘uniflying geography’, yaitu: (1)
siswa belum mampu
menerapkan objek formal studi
geografi ketika mengkaji
fenomena geosfer (objek
material studi geografi), (2)
siswa kurang memiliki
kemampuan untuk
merumuskan gagasan sendiri,
(3) siswa kurang memiliki
keberanian untuk
menyampaikan pendapat
kepada orang lain, (4) siswa
belum terbiasa menggunakan
media peta ketika belajar
geografi. dan (5) siswa belum
terbiasa bersaing
menyampaikan pendapat
dengan teman yang lain
(Khafid, 2008:19). Di samping
itu, ada tiga faktor yang
mempengaruhi hasil belajar
siswa, yaitu: (a) faktor endogen,
berasal dari siswa, (b) faktor
eksogen, berasal dari
lingkungan, dan (c) faktor jenis
gaya kognitif yang digunakan
siswa (Syah, 2001:130). Hasil
belajar geografi yang rendah
tersebut bukan hanya
dibebankan kepada siswa,
melainkan yang pertama
bertanggung jawab adalah guru
geografi. Karena itu, guru perlu
merefleksi model pembelajaran
yang pernah diterapkan untuk
mengubah paradigma
pembelajaran dengan
memperhatikan gaya kognitif
belajar siswa.
Untuk meningkatkan
pemahaman ‘uniflying
geography’ diperlukan
perubahan paradigma yang
digunakan sebagai landasan
dalam pembelajaran.
2
Perubahan paradigma perlu
memikirkan bagaimana
siswa belajar dan bagaimana
guru mengelola
pembelajaran, bukan hanya
berfokus pada hasil belajar.
Menurut Degeng (2001a)
tujuan utama pembelajaran
adalah mengembangkan
kemampuan mental yang
memungkinkan seseorang
dapat belajar. Riyanto
(2005:98) mengatakan
bahwa peran guru adalah
memberikan kemudahan
kepada siswa untuk
membangun sendiri
pengetahuan dalam
benaknya. Guru memberi
siswa anak tangga yang
membawa siswa ke
pemahaman yang lebih
tinggi dengan catatan siswa
sendiri harus memanjat anak
tangga tersebut. Jadi, belajar
itu sendirilah yang menjadi
tujuan pembelajaran.
Keaktifan siswa menjadi
unsur yang sangat penting
dalam menentukan
kesuksesan belajar.
Sebenarnya target yang
harus dipenuhi guru adalah
siswa mampu
merekonstruksi sebuah
kejadian yang Model
pembelajaran berbasis
masalah menurut Mustaji
(2004:73) penggunaannya di
dalam pengembangan
tingkat berpikir yang lebih
tinggi dalam situasi yang
berorientasi pada masalah,
termasuk pembelajaran
bagaimana belajar. Pada
pembelajaran ini, guru
bereran mengajukan
permasalahan atau
3
pertanyaan, memberikan
dorongan, memotivasi dan
menyediakan bahan ajar, dan
fasilitas yang diperlukan
siswa. Selain itu, guru
memberikan dukungan
dalam upaya meningkatkan
temuan dan perkembangan
intelektual siswa.
Beberapa kelebihan
penerapan pembelajaran
berbasis masalah di
antaranya: (1) siswa lebih
memahami konsep yang
diajarkan sebab mereka
sendiri yang menemukan
konsep tersebut, (2)
melibatkan secara aktif
memecahkan masalah dan
menuntut keterampilan
berikir siswa yang lebih
tinggi, (3) pengetahuan
tertanam berdasarkan
skemata yang dimiliki siswa
sehingga pembelajaran lebih
bermakna, (4) siswa dapat
merasakan manfaat
pembelajaran sebab
masalah-masalah yang
diselesaikan langsung
dikaitkan dengan kehidupan
nyata, hal ini dapat
meningkatkan motivasi dan
ketertarikan siswa terhadap
bahan yang dipela-jari, (5)
menjadikan siswa lebih
mandiri dan lebih dewasa,
mampu memberi aspirasi
dan menerima pendapat
orang lain, menanamkan
sikap sosial yang positif di
antara siswa, dan (6)
pengondisian siswa dalam
belajar kelompok yang saling
berinteraksi terhadap guru
dan temannya sehingga
pencapaian ketuntasan
4
belajar siswa dapat
diharapkan.
Gaya kognitif dapat
dikonsepsikan sebagai sikap,
pilihan atau strategi yang
secara stabil menemukan cara-
cara siswa yang khas dalam
menerima, mengingat, berpikir,
dan memecahkan masalah.
Menurut Slameto (2003:162)
gaya kognitif adalah ”variabel
penting dalam pilihan-pilihan
yang dibuat oleh siswa dalam
sejumlah hal berhubungan
dengan perkembangan
akademik”. Jadi, gaya kognitif
dideskripsikan sebagai cara
bagaimana seseorang siswa
mengolah informasi,
sehingga ia dapat mencapai
prestasi belajar yang maksimal
(Degeng, 2001b:1).
Pendapat Atkinson
sebagaimana dikutip Lamba
(2006:124) membedakan gaya
kognitif, yaitu gaya kognitif
field independent (articulated)
dan field dependent (global).
Siswa yang bergaya kognitif
field independent mempunyai
kecenderungan untuk mencapai
prestasi lebih tinggi daripada
kecenderungannya
menghindari kegagalan.
Mereka selalu optimis akan
berhasil dan cenderung akan
mencapai prestasi yang
maksimal. Pendapat Witkin
sebagaimana dikutip Degeng
(2001b:3) siswa yang bergaya
kognitif field independent
cenderung melakukan analisis
dan sintesis terhadap informasi
yang dipelajari. Sebaliknya,
siswa yang bergaya kognitif
field dependent lebih
cenderung mengantisipasi
kegagalan dengan memilih
tugas-tugas yang mudah dan
sifatnya harus banyak
bimbingan, serta kurang
5
mampu memisahkan hal-hal
yang relevan dan tidak relevan
dalam suatu situasi. Individu
yang mempunyai gaya kognitif
field independent jika
dihadapkan pada tugas-tugas
yang kompleks dan bersifat
analisis cenderung
melakukannya dengan baik,
dan apabila berhasil, antusias
untuk melakukan tugas-tugas
yang lebih berat lebih baik lagi
dan mereka lebih senang untuk
bekerja secara mandiri. Gaya
kognitif sebagai keinginan
untuk mengalami keberhasilan
dan peran serta dalam kegiatan
di mana keberhasilan
bergantung pada upaya dan
kemampuan seseorang (Slavin,
1995). Gaya kognitif seseorang
dapat dilihat dari sikap dan
perilaku, misalnya keuletan,
ketekunan, daya tahan,
keberanian menghadapi
tantangan, kegairahan, dan
kerja keras.
Kemungkinan berhasil atau
gagal dalam konsep gaya
kognitif ada dua
kecenderungan yaitu
kecenderungan mendekati
keberhasilan dan
kecenderungan menjauhi
kegagalan. Gaya kognitif
sebagai gaya usaha untuk
berhasil dan menganggapnya
sebagai dorongan dengan
kecenderungan mendekati
suatu keberhasilan atau suatu
yang berkaitan dengan prestasi.
Gaya kognitif seseorang
individu ditentukan oleh kedua
kecenderungan tersebut.
Gaya kognitif memiliki
landasan teoretik dan empirik
yang kokoh. Perilaku ini telah
banyak diamati pada bidang
bisnis, pendidikan, dan latar
lainnya. Kajian Heller (1992)
6
menyimpulkan ada enam
karakteristik gaya kognitif yang
konsisten ditemukan dalam
konteks sekolah yaitu: (1) siswa
yang bergaya kognitif field
independent lebih menyukai
terlibat dalam situasi ada risiko
kegagalan. Sebaliknya, siswa
yang bergaya kognitif field
dependent cenderung memilih
tugas-tugas mudah, (2) faktor
kunci yang memotivasi siswa
bergaya kognitif field
independent adalah kepuasan
intrinsik dari keberhasilan itu
sendiri, bukan pada ganjaran
ekstrinsik, seperti uang atau
prestise. Siswa yang bergaya
kognitif field independent akan
bekerja keras agar berhasil, (3)
cenderung membuat pilihan
atau tindakan yang realistis,
dalam menilai kemampuannya
dengan tugas-tugas yang
dikerjakan, (4) siswa yang
bergaya kognitif field
independent menyukai situasi
yang dapat menilai sendiri
kemajuan dan pencapaian
tujuannya, (5) siswa yang
bergaya kognitif field
independent perspektif waktu
jauh ke depan, dan (6) siswa
yang bergaya kognitif field
independent tidak selalu
menunjukkan rata-rata nilai
yang tinggi di sekolah.
Kajian tingkat gaya kognitif
dalam penelitian ini terbatas
pada tingkat gaya kognitif yang
dapat dilihat dari perilaku
subjek. Misalnya, siswa mudah
dipengaruhi oleh
lingkungannya ataupun sulit
dipengaruhi oleh lingkungan di
mana siswa itu berada, harapan
untuk sukses, bekerja keras,
kekhawatiran akan gagal, dan
keinginan memperoleh nilai
yang tinggi (Lamba, 2006)
7
Mata pelajaran geografi
membangun dan
mengembangkan pemahaman
siswa tentang variasi dan
organisasi spasial masyarakat,
tempat, dan lingkungan di
permukaan bumi. Dengan
karakteristik yang kompleks ini
merupakan tantangan bagi
siswa, sehingga siswa yang
bergaya kognitif field
independent akan lebih tekun
belajar, bekerja keras,
berusaha semaksimal mungkin,
dan tidak membuang-buang
waktu karena merasa
tertantang, mereka ingin
berprestasi. Siswa yang
bergaya kognitif field
dependent tidak begitu rela
untuk melibatkan diri
sepenuhnya dalam
mengerjakan tugas-tugas yang
kompleks, karena takut gagal
tidak mau menanggung risiko.
Untuk menjadi geografi
terpadu (unifying geography)
perlu ditegaskan komponen inti
geografi. Matthews dan
Herbert (2004:379)
mengusulkan empat komponen
inti geografi, yaitu: (1) ruang
(space), tempat (place),
lingkungan (environment), dan
peta (maps). Ruang, tempat,
lingkungan, dan peta menjadi
label geografi. Keempat
komponen tersebut mempunyai
kedudukan yang sama dalam
kajian geografi, baik kajian
geografi fisik maupun geografi
manusia. Demikian juga dapat
menjadi dasar konsep untuk
disiplin geografi terpadu.
8
Gambar 1. Konsep ‘Uniflying
Geography’
Berdasarkan uraian di atas,
permasalahan penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai
berikut: (1) adakah perbedaan
pemahaman ‘uniflying
geography’ secara signifikan
antara pembelajaran berbasis
masalah dan pembelajaran
konvensional?, (2) adakah
perbedaan pemahaman
‘uniflying geography’ secara
signifikan antara siswa yang
bergaya kognitif field
independent dan siswa yang
bergaya kognitif field
dependent?, dan (3) adakah
interaksi antara metode
pembelajaran dan gaya kognitif
terhadap pemahaman ‘uniflying
geography’?
Penelitian ini bertujuan
untuk (1) menguji signifikansi
pemahaman ‘uniflying
geography’ yang berbeda
antara pembelajaran berbasis
masalah dan pembelajaran
konvensional, (2) menguji
perbedaan pemahaman
‘uniflying geography’ secara
signifikan antara siswa yang
bergaya kognitif field
independent dan siswa yang
bergaya kognitif field
dependent, dan (3) menguji
interaksi antara metode
pembelajaran dan gaya kognitif
terhadap pemahaman ‘uniflying
geography’
9
METODE
Jenis penelitian ini adalah
penelitian kuasi eksperimental
dengan desain faktorial 2 x 2.
Variabel-variabel yang diteliti
adalah (1) variabel bebas yaitu
metode pembelajaran yang
terdiri atas pembelajaran
berbasis masalah dan
pembelajaran konvensional, (2)
variabel moderator yaitu gaya
kognitif yang dikategorikan
atas gaya kognitif field
independent dan gaya kognitif
field dependent, dan (3)
variabel terikat yaitu
pemahaman ‘uniflying
geography’. Populasi penelitian
ini adalah siswa kelas X SMAN
1 Sidayu semester genap tahun
pelajaran 2010/2011 dengan
jumlah siswa 280 orang.
Sampel penelitian berjumlah 64
siswa diambil dengan teknik
random yang terdiri atas 32
siswa yang bergaya kognitif
field independent dan 32 siswa
yang bergaya kognitif field
dependent.
Instrumen penelitian yang
digunakan dalam pengumpulan
data terdiri atas dua yaitu (a)
tes gaya kognitif, dan (b) tes
pemahaman geografi.
Instrumen gaya kognitif terdiri
dari 20 soal yang berbentuk
gambar-gambar yang rumit.
Dalam gambar-gambar yang
rumit itu ditempatkan gambar
yang sederhana. Sebagai
jawabannya siswa disuruh
mencari gambar yang
sederhana itu di dalam gambar
yang rumit dengan jalan
menebalkan gambar yang
sederhana tersebut. Tes gaya
kognitif dilaksanakan pada
minggu pertama bulan Januari
2011.
Tes pemahaman ‘uniflying
geography’ dengan
10
menggunakan 40 soal pilihan
ganda yang setelah
diujicobakan diperoleh soal
yang memenuhi syarat valid
dan reliabel sebanyak 35 soal
untuk setiap soal terdapat lima
kemungkinan jawaban.
Sebelum dilakukan pengujian
hipotesis, terhadap semua data
dilakukan uji prasyarat dengan
uji normalitas dan uji
homogenitas. Uji normalitas
digunakan uji Kolmogorov-
Smirnov. Uji homogenitas
menggunakan perangkat
analisis Levene Statistic. Dari
pengujian ternyata bahwa
semua kelompok data
memenuhi asumsi normalitas
dan homogenitas. Analisis data
dalam penelitian ini
menggunakan teknik analisis
kovarian (anakova).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis dan
pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa ada
perbedaan pemahaman
‘uniflying geography’ secara
signifikan antara pembelajaran
berbasis masalah dan
pembelajaran konvensional.
Temuan ini membuktikan
bahwa hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini yaitu ada
perbedaan pemahaman
‘uniflying geography’secara
signifikan antara pembelajaran
berbasis masalah dan
pembelajaran konvensional
siswa kelas X SMAN 1 Sidayu.
Jadi, hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini diterima.
Maksudnya, metode
pembelajaran berbasis masalah
lebih unggul daripada metode
pembelajaran konvensional
dalam mempengaruhi
pemahaman ‘uniflying
geography’.
11
Hasil analisis dan
pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa ada
perbedaan pemahaman
‘uniflying geography’ secara
signifikan antara siswa yang
bergaya kognitif field
independent dan siswa yang
bergaya kognitif field
dependent siswa kelas X SMAN
1 Sidayu. Temuan ini
menunjukkan bahwa siswa
yang bergaya kognitif field
independent rerata hasil
belajarnya lebih tinggi daripada
siswa yang bergaya kognitif
field dependent. Jadi, hipotesis
yang diajukan dalam penelitian
ini diterima. Maksudnya, siswa
yang bergaya kognitif field
independent lebih baik
pemahaman geografinya
daripada siswa yang bergaya
kognitif field dependent.
Hasil analisis dan
pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa tidak ada
interaksi antara metode
pembelajaran dan gaya kognitif
terhadap pemahaman ‘uniflying
geography’. Jadi, hipotesis yang
diajukan dalam penelitian yaitu
ada interaksi antara metode
pembelajaran dan gaya kognitif
terhadap pemahaman ‘uniflying
geography’ siswa kelas X
SMAN 1 Sidayu ditolak.
Pengaruh Metode
Pembelajaran terhadap
Pemahaman ‘Uniflying
Geography’
Hasil analisis dan
pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa ada
perbedaan pemahaman
‘uniflying grography’ secara
12
signifikan antara metode
pembelajaran berbasis masalah
dan metode pembelajaran
konvensional. Temuan ini
membuktikan bahwa hipotesis
yang diajukan dalam penelitian
ini yaitu ada perbedaan
pemahaman .uniflying
geography’ siswa kelas X
SMAN 1 Sidayu.
Geografi merupakan ilmu
integratif yang mempelajari
fenomena geografis mencakup
dimensi fisik dan sosial di
permukaan bumi dalam
perspektif keruangan untuk
pembangunan wilayah supaya
manusia hidup sejahtera.
Geografi sebagai disiplin ilmu
dan mata pelajaran dengan
kajian fenomena geografis yang
cukup luas, kompleks, dan sulit
sehingga menuntut kemampuan
siswa memecahkan masalah
untuk dapat memahami
fenomena fisik dan sosial
secara komprehensif dengan
pendekatan spasial maka guru
geografi harus melakukan
pembelajaran berbasis masalah
dengan melibatkan siswa
secara aktif. Untuk dapat
memahami fenomena fisik dan
sosial di permukaan bumi
dalam perspektif spasial maka
siswa perlu mendalami ilmu
geografi dan ilmu bantu
geografi dengan bimbingan
guru melalui kajian Gambar 2.
Gambar 2. Geografi dan bidang-
bidang ilmu bantunya (Haggett,
2001:766).
Geografi dan bidang-
bidang ilmu bantunya dapat
dikuasai oleh siswa, antara lain
13
jika digunakan metode
pembelajaran berbasis
masalah. Hal ini menurut
Khafid (2010:77) karena siswa
akan lebih banyak kesempatan
untuk berpartisipasi, memberi
dan menerima bantuan dalam
menjelaskan dan meningkatkan
belajar dalam kelompok,
meningkatkan motivasi untuk
sukses karena sukses tidak
hanya untuk dirinya sendiri
tetapi juga untuk kelompoknya.
Motivasi yang baik dalam
mengerjakan tugas akan
membantu perkembangan
belajar, siswa tidak terisolasi,
siswa diberi lebih banyak
tanggung jawab.
Metode pembelajaran
berbasis masalah menggunakan
level yang lebih tinggi dalam
berpikir. Berinteraksi dengan
teman atau orang lain
mendorong orang untuk
membangun kembali pikiran
mereka seperti merangkum,
menguraikan, dan menjelaskan.
Ketidaksetujuan, jika ditangani
dengan baik akan membantu
dalam kejernihan berpikir dan
meningkatkan untuk
membangun kembali
pengetahuan yang baru.
Mendengarkan perspektif
orang lain, terutama dalam
kelompok yang heterogen,
meningkatkan kesadaran
bahwa banyak cara pandang,
menghargai keberagaman
sebagaimana tuntutan studi
geografi.
Pengaruh Gaya Kognitif
terhadap ’Uniflying
Geography’
Hasil analisis dan
pengujian hipotesis
menunjukkan ada perbedaan
pemahaman ’uniflying
geography’ secara signifikan
14
antara siswa yang bergaya
kognitif field independent dan
siswa yang bergaya kognitif
field dependent. Temuan ini
menunjukkan bahwa siswa
yang bergaya kognitif field
independent rerata hasil
belajarnya lebih tinggi daripada
siswa yang bergaya kognitif
field dependent. Jadi, hipotesis
yang diajukan dalam penelitian
ini diterima dan siswa yang
bergaya kognitif field
independent lebih baik
pemahaman geografinya
daripada siswa yang bergaya
kognitif field dependent.
Temuan ini memperkuat
penelitian McCelland (dalam
Slameto, 2003) yang
menyatakan bahwa seorang
yang bergaya kognitif field
independent lebih baik hasil
belajarnya (pemahaman
geografi) dibandingkan dengan
yang bergaya kognitif field
dependent.
Dalam rangka belajar di
sekolah gaya kognitif terwujud
sebagai daya penggerak siswa,
sikap, dan perilaku untuk
mengusahakan kemajuan
belajar dan berprestasi yang
maksimal. Siswa yang bergaya
kognitif field independent
keinginan untuk sukses benar-
benar berasal dari dalam diri
sendiri. Siswa ini tetap bekerja
keras baik dalam situasi
bersaing dengan orang lain,
maupun dalam bekerja sendiri.
Siswa yang bergaya kognitif
field independent untuk
memperoleh prestasi baik, dia
mencapai sesuai dengan taraf
kemampuannya. Untuk itu,
lebih tekun belajar, bekerja
keras, ingin berkompetisi
sehingga tidak pernah
membuang-buang waktu.
Pengalamannya bersukses
15
meningkatkan usaha untuk
sukses lagi dikemudian hari.
Sebaliknya, siswa yang bergaya
kognitif field dependent untuk
berprestasi baik tidak begitu
rela untuk melibatkan diri
sepenuhnya dalam
mengerjakan tugas belajar yang
dihadapinya. Pada siswa yang
bergaya kognitif field
independent berusaha secara
maksimal, ukuran mengenai
prestasi banyak ditentukan oleh
usaha mereka sendiri ataupun
belajar dengan teman-teman.
Siswa yang bergaya kognitif
field dependent dengan mudah
dipengaruhi oleh
lingkungannya, baik lingkungan
belajar maupun lingkungan
hidupnya. Ia ingin menghindari
kegagalan dan bersamaan
dengan itu memiliki aspirasi
yang tidak realistis,
menentukan target yang
sebenarnya terlalu rendah atau
terlalu tinggi untuk mencari
jaminan tidak akan mengalami
kegagalan. Siswa yang bergaya
kognitif field independent
memiliki harapan untuk sukses
dan bekerja secara mandiri.
Mereka tidak mudah
dipengaruhi oleh
lingkungannya sehingga selalu
mau belajar terus sepanjang
hayat.
Interaksi Metode
Pembelajaran dan Gaya
Kognitif terhadap
Pemahaman ‘Uniflying
Geography’
Hasil analisis dan
pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa tidak ada
interaksi antara metode
pembelajaran dan gaya kognitif
terhadap pemahaman ‘uniflying
geography’. Jadi, hipotesis yang
diajukan dalam penelitian yaitu
16
ada interaksi antara metode
pembelajaran dan gaya kognitif
terhadap pemahaman ‘uniflying
geography’ siswa kelas X
SMAN 1 Sidayu terbukti tidak
ada interaksi.
Interaksi dalam penelitian
ini diartikan kerja sama dua
variabel bebas atau lebih dalam
mempengaruhi suatu variabel
terikat. Interaksi terjadi
manakala suatu variabel bebas
memiliki efek-efek yang
berbeda terhadap suatu
variabel terikat pada berbagai
tingkat dari suatu variabel
bebas lainnya. Dalam penelitian
ini terungkap bahwa tidak ada
interaksi, ini berarti bahwa
metode pembelajaran bekerja
sendiri-sendiri memengaruhi
pemahaman belajar geografi,
demikian juga dengan gaya
kognitif bekerja sendiri-sendiri
terhadap pemahaman belajar
geografi. Atau dengan kata lain
metode pembelajaran berbasis
masalah dan metode
pembelajaran konvensional
membawa suatu akibat
terhadap hasil belajar geografi
siswa kelas X SMAN 1 Sidayu
apapun juga tingkat gaya
kognitifnya. Demikian dengan
gaya kognitif, gaya kognitif
field independent dan gaya
kognitif field dependent
membawa suatu akibat
terhadap pemahaman ‘uniflying
geography’ siswa kelas X
SMAN 1 Sidayu apapun juga
metode pembelajarannya.
Belajar adalah penyusunan
pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaborasi,
refleksi, dan interpretasi.
Aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan data primer dan
bahan manipulatif dengan
penekanan pada keterampilan
berpikir kritis dan kompleks.
Karakteristik siswa begitu
17
sangat kompleks meliputi
antara lain intelegensia, sikap,
gaya belajar, gaya kognitif,
gaya berpikir, dan motivasi.
Gaya kognitif hanyalah
salah satu bagian dari sekian
banyak karakter sehingga kalau
interaksi belum tampak dalam
penelitian ini, hal itu dapat
dimaklumi, masih memerlukan
pengkajian lebih mendalam
dengan memasukkan variabel-
variabel lain sebagai variabel
kovarian atau mengeliminasi
variabel-variabel tersebut
dalam penelitian. Demikian
juga metode pembelajaran,
begitu banyaknya model-model
pembelajaran dan memang
harus diakui bahwa tidak ada
ketentuan yang pasti mengenai
metode pembelajaran yang
cocok untuk satu mata
pelajaran tertentu dalam
pembelajaran, sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
Proses belajar itu sendiri
merupakan suatu sistem
pembelajaran yang secara
otomatis terjadi dalam diri
seseorang. Tugas pendidik
adalah bagaimana
membelajarkan peserta didik di
sekolah supaya mereka
memiliki kecakapan hidup dan
berkembang kecerdasan
majemuknya.
SIMPULAN DAN SARAN
Ada perbedaan
pemahaman ‘uniflying
geography’ secara signifikan
antara pembelajaran berbasis
masalah dan pembelajaran
konvensional siswa kelas X
SMAN 1 Sidayu. Motode
pembelajaran berbasis masalah
lebih unggul daripada metode
pembelajaran konvensional
dalam mempengaruhi
18
pemahaman ‘uniflying
geography’.
Ada pemahaman ‘uniflying
geography’ yang berbeda
secara signifikan antara siswa
yang bergaya kognitif field
independent dan siswa yang
bergaya kognitif field
dependent di kelas X SMAN 1
Sidayu. Siswa yang bergaya
kognitif field independent
pemahaman belajar geografinya
lebih tinggi daripada siswa
yang bergaya kognitif field
dependent.
Tidak ada interaksi antara
metode pembelajaran (metode
pembelajaran berbasis masalah
dan metode pembelajaran
konvensional) dan gaya kognitif
(gaya kognitif field independent
dan gaya kognitif field
dependent) terhadap
pemahaman ‘uniflying
geography’ siswa kelas X
SMAN 1 Sidayu. Metode
pembelajaran (metode
pembelajaran berbasis masalah
dan metode pembelajaran
konvensional) membawa suatu
akibat terhadap pemahaman
belajar geografi apapun juga
tingkat gaya kognitif siswa.
Gaya kognitif (gaya kognitif
field independent dan gaya
kognitif field dependent)
membawa suatu akibat
terhadap pemahaman ‘uniflying
geography’ apapun juga metode
pembelajarannya.
Pembelajaran berbasis
masalah adalah salah satu
model pembelajaran yang dapat
meningkatkan prestasi
akademik, kecakapan sosial,
dan kecakapan komunikasi,
siswa menjadi lebih aktif,
aktivitas belajar
menyenangkan, dan
menggairahkan. Guru geografi
disarankan untuk memulai
19
dengan model pembelajaran
berbasis masalah, karena model
pembelajaran ini adalah
sebagai salah satu metode yang
mampu memahami konsep
esensial geografi dan
memecahkan permasalahan
spasial global.
Gaya kognitif adalah salah
satu karakteristik siswa yang
perlu mendapat perhatian guru
di sekolah. Siswa yang bergaya
kognitif field independent
berikanlah tugas-tugas yang
menantang namun
memungkinkan untuk sukses,
mulailah dengan tugas-tugas
yang sedang. Sebaliknya, siswa
yang bergaya kognitif field
dependent berikanlah motivasi
terutama dalam hal tujuan
belajar di sekolah, mulailah
dengan tugas-tugas yang
mudah. Peningkatan kualitas
belajar bukan merupakan
kegiatan yang insidental,
melainkan harus merupakan
suatu proses yang
berkelanjutan.
Tidak ada ketentuan yang
pasti mengenai metode
pembelajaran yang paling tepat
digunakan. Tepat tidaknya
suatu metode baru terbukti dari
hasil belajar siswa melalui
evaluasi yang berkelanjutan
dan beragam yang mampu
memahami konsep geografi
yang satu (uniflying geography)
dan fenomena geosfer atau
masalah kegeografian melalui
pendekatan spasial dengan
sudut pandang ekologi manusia
dan regional. Guru geografi
disarankan melakukan
penelitian dengan mencoba
berbagai metode pembelajaran
inovatif
20
DAFTAR RUJUKAN
Daldjoeni, N. 1997. Pengantar Geografi untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah
Bandung: Alumni.
Degeng, I.N.S. 2001a. Teori Belajar dan Pembelajaran. Malang: LP3 UM.
Degeng, I.N.S. 2001b. Karakteristik Belajar Mahasiswa: Kajian Temuan Peneli-
Tian dan Terapannya dalam Rancangan Pembelajaran. Malang: LP3 UM.
Heller, P.1992. Teaching Problem Solving Through Cooperative Grouping, Part I:
Group versus Individual Problem Solving. New York: McGraw-Hill.
Haggett, P. 2001. Geography A Global Synthesis. London: Prentice Hall.
Khafid, S. 2003. Pengembangan Rancangan Pembelajaran dengan Pendekatan
Konstruktivistik pada Mata Pelajaran Geografi. Tesis tidak diterbitkan. Sura-
baya: PPS Teknologi Pembelajaran Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.
Khafid, S. 2007. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw dan Gaya
Kognitif terhadap Prestasi Belajar Geografi Siswa Kelas X SMAN 1 Sidayu.
Jurnal Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, II (04): 31-40.
Khafid, S. 2008. Peningkatan Pemahaman Konsep Geografi melalui Implementasi
Ayat-Ayat Pembelajaran Kontekstual Siswa SMAN 1 Sidayu. Jurnal Kajian
Teori dan Praktik Kependidikan, 35 (1): 17-28.
Khafid, S. 2010. Pembelajaran Kooperatif Model Investigasi Kelompok, Gaya
Kognitif, dan Hasil Belajar Geografi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 17 (1): 73-78.
Lamba, H.A. 2006. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model STAD dan Gaya
Kognitif terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa SMA. Jurnal Ilmu Pendidikan,
13 (2): 122-128.
Matthews, J.A. and Herbert, D.T. 2004. Unifying Geography Common Heritage,
Shared Future. London: Routledge.
Mustaji. 2004. Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik. Surabaya: Unesa Univer-sity Press.
Nur, M. dan Wikandari, P.R. 1999. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan
Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Unesa University
Press.
Riyanto, Y. 2005. Paradigma Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.
21
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning Research, Theory and Practice. Boston:
Allyn and Bacon.
Suharyono dan Amien, M. 1994. Pengantar Filsafat Geografi. Jakarta: Dirjen.
Dikti. Depdikbud.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Syah, M. 2001. Psikologi Belajar. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
22
ISSN 2089-4554
23
Diterbitkan Oleh :
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Gresik
E – JURNAL JENDELA
PENDIDIKAN
Vol. :
01
No.:
I
Hlm.
1-106
Gresik
Juni -Nopembe
r
ISSN
2089-4554
IKLIM KERJA LEMBAGA DI PONDOK PESANTREN AL-FUTUHIYAH
24
GENDONGKULON-BABAT LAMONGAN
Sri Sundari *)
Abstrak, Iklim kerja yang kondusif adalah suatu kondisi, keadaan atau suasana kerja yang dirasakan menyenangkan oleh setiap individu yang ada dalam lembaga sehingga orang-orang di dalamnya selalu terdorong untuk terlibat secara produktif guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Lembaga penyelenggara pendidikan salah satunya memiliki fungsi dalam usaha-usaha mengembangkan pendidikan dalam rangka ikut dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan iklim kerja di Pondok Pesantren Al Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan fokus penelitian adalah iklim kerja di Pondok Pesantren Al Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan. Data dikumpulkan dengan kuesioner selanjutnya data ditampilkan dengan tabel dan dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim kerja organisasi yang meliputi, suasana kerja, orientasi nilai, citra diri, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap, dan sistem ganjaran dirasakan nyaman, kondusif, penuh keakraban dan kekeluargaan, saling menghargai oleh pegawainya, dan terlaksananya kepemimpinan dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian diharapkan pimpinan pesantren dapat mempertahankan dan meningkatkan iklim kerja yang ada khususnya suasana kerja, orientasi nilai, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap, ganjaran dan meningkatkan citra diri orgaisasi di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan.
Kata Kunci : Iklim Kerja
PENDAHULUAN
Peningkatan prestasi kerja dalam suatu lembaga merupakan tujuan yang diinginkan oleh lembaga. Sebagai satu kesatuan yang kompleks dimana di dalamnya terdapat sekelompok manusia yang memiliki kesamaan tujuan dan kepentingan, mereka kurang bekerja secara produktif jika tidak disertai
dengan adanya iklim kerja yang menyenangkan. Lembaga sebagai suatu proses, di dalamnya terdapat kerjasama antara pimpinan dan pegawai dalam pencapaian tujuan lembaga. Kerjasama dapat tercipta dengan baik, apabila setiap personil yang ada baik pimpinan maupun staf mempunyai pandangan bahwa “Keseluruhan lebih berarti dan bagian”. Sebagai faktor utama dalam
25
lembaga, kelangsungan hidup dan keberhasilan lembaga bergantung pada manusia yang berperan dibalik alat-alat ataupun sumber-sumber daya lainnya. Oleh sebab itu, seharusnyalah lembaga sebagai wadah manusia beraktifitas mempunyai tanggungjawab penuh untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki serta selalu menciptakan iklim kerja yang kondusif dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Lingkungan tempat bekerja merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai di dalamnya, walaupun ada faktor-faktor lain yang menentukan maupun mempengaruhinya. Orang-orang yang berada di dalam lembaga, tempat bekerja haruslah mampu menciptakan iklim kerja yang memberikan rasa aman, pengakuan dan penghargaan serta menjanjikan kepuasan kerja kepada anggotanya sehingga nanti pada akhirnya mampu berkinerja dengan baik. Iklim lembaga yang menyenangkan akan tercipta, bilamana hubungan antar manusia (human relationship) berkembang dengan harmonis. Lingkungan kerja yang harmonis yang mendukung lembaga dibutuhkan oleh orang-orang dalam lembaga baik atasan maupun bawahan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Stoner dalam Mulyono (1993:88) iklim kerja / suasana lembaga (work situation characteristic) adalah faktor lingkungan kerja individu. Di dalam lembaga hendaknya timbul dinamika kerjasama. Kerja sama ini adalah bagian yang vital dalam kehidupan berlembaga. Adanya interaksi dan proses kerja sama anggota satu
dengan anggota lainnya, antara bagian satu dengan bagian yang lainnya maupun antara atasan dan pegawainya akan menimbulkan pemahaman terhadap suatu kondisi dan lingkungan kerja sehingga mudah untuk mencrima informasi dan arus gagasan (ide) dalam melakukan kerjasama guna mencapai tujuan.
Pentingnya kebebasan berinteraksi dan menjalin hubungan dalam lembaga untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif telah dikemukakan oleh Stoner (dalam Mulyono, 1993:67) yang mana iklim kerja yang permisifdan kreatifakan terpupuk apabila para individu mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan para anggota kelompoknya sendiri maupun dengan kelompok-kelompok kerja lainnya. Interaksi semacam ini mendorong terjadinya pertukaran informasi yang bermanfaat, arus gagasan yang bebas dan perspektif yang sehat mengenai masalah yang ada.
Berkenaan dengan iklim kerja lembaga menurut Stoner (1982) ada dua golongan yang mempengaruhi situasi pekerjaan, yaitu lingkungan kerja langsung di dalamnya termasuk sistem imbalan lembaga dan kebijakan serta tindakan lembaga. Sedangkan Cribbin, (1981) menjelaskan salah satu unsur iklim kerja lembaga yang kondusif adalah gaya kepemimpinan. Dengan demikian iklim kerja yang kondusif adalah suatu kondisi, keadaan atau suasana kerja yang dirasakan menyenangkan oleh setiap individu yang ada dalam lembaga sehingga orang-orang di dalamnya selalu
26
terdorong untuk terlibat secara produktif guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan memiliki fungsi yang urgen dalam usaha-usaha mengembangkan pendidikan di daerah dalam rangka ikut dalam meningkatkan pendidikan daerah. Secara keseluruhan keadaan iklim kerja di lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan dapat dikatakan kondusif. Hal ini bisa dilihat bagaimana masing-masing unit kerja begitu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh. Contohnya, informasi internal lembaga benar-benar dijaga kerahasiaannya, meskipun berusaha mendapatkannya dengan prosedur yang benar. Setiap unit menjalankan tugasnya dengan sistem birokrasi lembaga yang baik sesuai dengan fungsi tiap-tiap unit/bagian yang terdapat pada struktur lembaga. Dengan kata lain tiap-tiap unit/bagian bekerja benar-benar mengikuti aturan sistem “pintu ke pintu” (door to door). Begitu juga hubungan antar rekan kerjanya yang terjalin dengan baik antara satu dengan yang lain, meskipun masih terdapat hubungan yang kurang baik.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian pada dasarnya merupakan keseluruhan proses dan penentuan secara matang hal-hal yang dilakukan untuk dijadikan pedoman selama pelaksanaan penelitian. Suatu penelitian diselenggarakan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan metode penelitian yang sesuai. Berkaitan dengan metode penelitian, Surakhmad (1982: 131) mengemukakan tiga macam metode penelitian yaitu : historis, deskriptif dan eksperimen. Ditinjau dan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian masa lalu dan sekarang dengan melihat variabel yang ada.
Penelitian ini berupa penelitian deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk mencatat, mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan keadaan-keadaan yang ada tentang objek yang akan diteliti (Mardalis, 1990: 26). Dengan melihat variabel yang ada di dalam penelitian ini, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi
Populasi sebagai “keseluruhan subjek yang diteliti yang didapat dan suatu informasi tentang masalah penelitian yang akan dilakukan” (Arikunto. 1992:102). Latunussa
27
(1988:11) menjelaskan “ populasi adalah sekumpulan objek yang diteliti”. Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh staf di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan yang berjumlah 67 orang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1
Jumlah Staf Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-
Babat Lamongan
No Sub. BagianJumla
h
1. Penasehat 4
2. Penanggungjawab 1
3. Pimpinan 4
4. Staf Pengajar 25
5. Tata Usaha 5
6. Dewan Pengurus 10
7. Bendahara 2
8. Sekretaris 2
9. Pegawai 8
Jumlah 67
Sumber Pondok Pesantren AI-Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan
Sampel Penelitian
Tujuan pengambilan sampel penelitian dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan tenaga, waktu dan biaya, namun sampel harus mewakili atau mencerminkan
seluruh populasi yang menjadi objek penelitian.
Definisi sampel penelitian banyak dikemukakan oleh para ahli, Arikunto (1996:117) menjelaskan sampel adalah “Sebagian atau wakil populasi yang diteliti”. Sedangkan Hadi (1997:21) mengemukakan bahwa sampel adalah “Sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi”. Sampel penelitian ini diambil acuan sebagai wakil populasi yang representatif. Ukuran besarnya sampel yang pasti memang tidak ada, namun untuk menjaga validitas data penelitian harus mempunyai pedoman tertentu. Seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (1996: 120) “Apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil seluruhnya, sehingga merupakan penelitian populasi, selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-50 atau lebih”.
Dengan melihat penjelasan di atas untuk mendapatkan sampel yang representatif maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel total. Dengan kata lain semua populasi akan menjadi subjek penelitian.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan oleh seorang peneliti dalam pengumpulan data. Instrumen penelitian yang digunakan untuk menyimpulkan data dari lapangan untuk variabel iklim kerja lembaga adalah angket. Alasan menggunakan angket adalah karena
28
pertimbangan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya.
Prosedur Pengembangan Instrumen
Berkaitan dengan pengembangan instrumen, maka langkah berikutnya yaitu menyusun
instrumen masing-masing variabel yang berpedoman pada indikator yang disajikan pada jabaran-jabaran. Kemudian jabaran masing-masing variabel ditetapkan dan disajikan dalam bentuk matrik jabaran variabel, sub variabel dan indikator penelitian. Sebaran nomer item instrumen penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.:
Tabel 2
Jabaran variabel, sub variabel, indikator penelitian san nomor item dalam instrumen penelitian (sebelum uji coba)
Variabel Sub Variabel Indikator No. Item
Iklim kerja lembaga
a. Suasana kerja
a. Suasana kerja yang hangat, ramah, santai dan penuh kesungguhan
b.Saling menghargaic. Saling menolongd.Terbuka terhadap gagasan baru
1,2,3
4
5
6
b. Orientasi nilai
a. Mengerjakan yang baik-baikb.Kerjasama dengan orang lainc. Perlakuan etisd.Memperbaiki prestasie. Memutuskan tujuan unit atau lembaga
7
8
9
10
11
c. Citra diri a. Cakapb.Percaya diric. Sangat konservatif dan hati-hati
12
13
14
29
Variabel Sub Variabel Indikator No. Item
d. Gaya kepemimpinan
a.Konsultatif dan partisipatifb.Berorientasi pada pemecahan masalah bersamac. Memberikan pengarahan dan pengendaliand.Berorientasi pada manusiae.Banyak membantu dan memudahkanf. Adilg.Inovatifh.Berorientasi pada kebaikan dan terpusat pada
perspektif jangka pendek dan jangka panjang
15,16
17
18
19
20
21
22
23,24
25,26,27,28
e. Daya tolak atau daya dorong
a.Tumbuh sesuai rencanab.Mempertahankan kedudukanc. Menekan inovasi dan teknologid.Menekannkan sumber daya manusia dan
manajemen
29
30
31,32,33
34,35
f. Daya tangkap
a.Kecepatan lembaga yang tinggib.Tidak tergesa-gesac. Direncanakan
36
37
38
g. Ganjaran a. Ganjaran materi1. Gaji2. Tunjangan
b. Ganjaran psikologis1. Pengakuhan dan penghargaan2. Perhatian dan tanggung jawab
39
40,41,42,43
44
45
30
Analisis Data
Analisis data merupakan bagian metode penelitian yang sangat penting dalam mencari makna data untuk memecahkan masalah penelitian. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Untuk menentukan teknik analisis yang tepat, maka harus memperhatikan tujuan penelitian dan data yang tersedia.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif. Teknik ini digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan kondisi yang ada/tingkat iklim kerja lembaga yang dirasakan oleh pegawai di Lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan (tujuan umum) serta keadaan/tingkat lingkungan kerja langsung, orientasi nilai, citra diri, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap dan pemberian kompensasi pegawai di Lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan (tujuan khusus). Adapun langkah-langkah yang perlu dilaksanakan adalah :
Menentukan kualifikasi
Langkah ini dilakukan untuk menentukan kualifikasi penilaian terhadap variabel penelitian, yang harus ditentukan terlebih dahulu lebar kelas intervalnya. Sedangkan untuk menentukan lebar kelas interval (i) adalah rentang (R)= skor tertinggi dikurangi dengan skor terendah, dibagi dengan banyaknya interval (k). Dengan demikian rumus untuk menentukan panjang interval (i) adalah :
i=Rentangskor (skor tertinggi−skor terendah)
Banyaknya interval kelas
Banyaknya interval/kategori kelas dalam penelitian ini ditetapkan berjumlah 4 yaitu:
Tabel 3
Kategori dan Penafsiran Skala Sikap
Katagori kelas
Penafsiran skala sikap
Skor interval
Sangat tinggi
Selalu 3,24 – 4
Tinggi Sering 2,6 – 3,25
Cukup Kadang-kadang
1,76 – 2,5
Kurang Tidak pernah
1 – 1,75
Menentukan besarnya persentase
Untuk menyatakan kondisi masing-masing variabel dengan rumus :
% = fNx100%
Keterangan : f = Frekuensi N = Jumlah subyek
HASIL PENELITIAN
Tabel 4
Deskripsi Data Variabel Iklim Kerja Lembaga
No.Kualifikas
iB. Kelas interval
f %
1. Sangat tinggi
131 – 160
25 37,31
2. Tinggi 101 – 130
39 58,20
3. Cukup 71 – 100 3 4,47
31
4. Kurang 40 – 70 - -
Total 67 100
Berdasar hasil pengolahan data variabel iklim kerja lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan menunjukkan bahwa secara umum berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 58,20% atau sebanyak 39 dari 67 responden menyatakan bahwa iklim kerja lembaga di Pondok Pesantren Al- Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kossen (1986) menjelaskan bahwa hubungan manusiawi merupakan tanggungjawab setiap orang dalam lembaga. Manajer mempunyai tanggung jawab utarna untuk menegakkan iklim hubungan manusiawi yang menyenangkan, demikian pula para anggota (sub ordinal) dan para karyawan operasional lembaga juga mempunyai pengaruh terhadap iklim dan seyogyanya berbagi tanggungjawab.
Tabel 5
Deskripsi Data untuk Sub Variabel Suasana Kerja
No.Kualifikas
iC. Kelas interval
f %
1. Sangat tinggi
16,26 – 20 8 11,95
2. Tinggi 12,51 – 16,25
51 76,12
3. Cukup 8,76 – 12,50 8 11,95
4. Kurang 5 – 8,75 - -
Total 67 100
Tabel 5 menunjukkan bahwa secara umum suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 76,12% atau sebanyak 51 dan 67 responden menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Sedangkan 8 sponden dengan persentase 11,95% menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi dan 8 orang reponden lainnya dengan persentase sebesar 11,95% menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan berada dalam kategori cukup.
Tabel 6
Deskripsi Data untuk Sub Variabel Orientasi Nilai
No.Kualifikas
iD. Kelas interval
f %
1. Sangat tinggi
16,26 – 20 12 17,91
2. Tinggi 12,51 – 16,25
43 64,17
3. Cukup 8,76 – 12,50 12 17,91
4. Kurang 5 – 8,75 - -
Total 67 100
Hasil pengolahan data untuk sub variabel orientasi nilai dengan menggunakan teknik persentase menunjukkan bahwa secara umum orientasi nilai di Pondok Pesantren Al-
32
Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 64,17% atau sebanyak 43dari 67 responden menyatakan bahwa orientasi nilai pegawai di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Sedangkan masing-masing 15 responden dengan persentase sebesar 17,91% menyatakan bahwa orientasi nilai di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi dan kategori cukup
Tabel 7
Deskripsi Data untuk Sub Variabel Citra Diri
No.
Kualifikasi
E. Kelas
interval
f %
1. Sangat tinggi
9,76 – 12 17 25,37
2. Tinggi 7,51 – 9,75
10 14,93
3. Cukup 5,26 – 7,50
30 44,78
4. Kurang 3 – 5,25 10 14,93
Total 67 100
Tabel 7 menunjukkan bahwa secara umum citra diri di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori cukup dengan persentase sebesar 44,80% atau 30 dari 67 responden menyatakan bahwa citra din lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam
kategori cukup. Sedangkan 17 responden dengan persentase sebesar 23,90% menyatakan bahwa citra diri lembaga berada dalam kategori sangat tinggi, 10 responden dengan persentase sebesar 14,92% menyatakan berada dalam kategori tinggi dan 10 responden dengan persentase yang sama sebesar 14.92% menyatakan berada pada kategori kurang
Tabel 8
Deskripsi Data untuk Sub Variabel Gaya Kepemimpinan
No.
Kualifikasi
F. Kelas
interval
f %
1. Sangat tinggi
40 – 48 36 53,73
2. Tinggi 31 – 39 23 34,33
3. Cukup 22 – 30 8 11,94
4. Kurang 12 – 21 - -
Total 67 100
Tabel 8 menunjukkan bahwa secara umum gaya kepemimpinan di pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 53,73% atau sebanyak 36 dari 67 responden menyatakan bahwa gaya kepemimpinan di kantor Dinas Penididikan Kabupaten Situbondo berada dalam kategori sangat tinggi. Ini menunjukkan bahwa para pegawai merasa puas dengan gaya pemimpinan atasannya, mereka merasa
33
diperhatikan, diarahkan dan dilibatkan dalam setiap pemecahan masalah di dalam lembaga, selain itu mereka merasa dimudahkan dan dibantu oleh atasan. Sedangkan 23 responden dengan persentase sebesar 34,32% menyatakan bahwa gaya kepemimpinan atasan berada dalam kategori tinggi dan 8 responden dengan prentase sebesar 11,94% menyatakan dalam kategori cukup. Semakin efektif gaya kepemimpinan yang dilakukan maka akan mempermudah pencapaian tujuan lembaga yang ditetapkan.
Tabel 9
Deskripsi Data untuk Sub Variabel Daya Dorong
No.Kualifikas
iG. Kelas interval
f %
1. Sangat tinggi
19,51 – 24 37 55,22
2. Tinggi 15,01 – 19,50
23 34,33
3. Cukup 10,51 – 15,00
7 10,45
4. Kurang 6 – 10,50 - -
Total 67 100
Tabel 9 menunjukkan bahwa secara umum daya dorong di Pondok
Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 55,22% atau 37dari 67 responden menyatakan bahwa daya dorong lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 23 responden dengan persentase sebesar 34,32% menyatakan bahwa daya dorong lembaga berada dalam kategori tinggi dan 7 responden dengan persentase 10,44% menyatakan bahwa daya dorong lembaga berada dalam kategori cukup.
Tabel 10
Deskripsi Data untuk Sub Variabel Daya Tanggap
No.Kualifikas
iH. Kelas interval
f %
1. Sangat tinggi
9,76 – 12 57 85,07
2. Tinggi 7,51 – 9,75
9 13,43
3. Cukup 5,26 – 7,50
1 1,50
4. Kurang 3 – 5,25 - -
Total 67 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa secara umum daya tanggap lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 85,07% atau 57 dari 67 responden menyatakan bahwa daya tanggap lembaga berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 9 responden dengan persentase sebesar
34
13,43% menyatakan bahwa daya tanggap lembaga berada dalam kategori tinggi dan 1 responden dengan persentase sebesar 1,50% menyatakan berada pada kategori cukup.
Tabel 4.11
Deskripsi Data untuk Sub Variabel Ganjaran
No.Kualifikas
iI. Kelas interval
f %
1. Sangat tinggi
19,51 – 24 31 46,27
2. Tinggi 15,01 – 19,50
21 31,34
3. Cukup 10,51 – 15,00
15 22,39
4. Kurang 6 – 10,50 - -
Total 67 100
Tabel 4.11 menunjukkan bahwa secara umum pemberian ganjaran di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 46,27% atau sebanyak 31 dan 67 responden menyatakan bahwa pemberian ganjaran di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 21 reponden dengan persentse sebesar 31,34% menyatakan pemberian ganjaran/kompensasi berada dalam kategori tinggi dan 15 responden dengan persentase 22,39% menyatakan pemberian ganjaran berada dalam kategori cukup.
KESIMPULAN
1. Iklim kerja organisasi di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulo Babat Lamongan para pegawainya merasa nyaman dengan suasana kerja, kepemimpinan dan ganjaran.
2. Suasana kerja di kantor menunjukkan para pegawainya benar-benar merasakan adanya suasana kerja yang penuh keakraban, saling menghargai, saling menolong dan penuh kekeluargaan.
3. Orientasi nilai menunjukkan bahwa para pegawai memiliki rasa tanggungjawab, disiplin, berusaha meningkatkan prestasi kerja dan loyal.
4. Citra diri menunjukkan bahwa kurangnya kecakapan pegawai dalam bekerjasama dengan orang dan luar organisasi.
5. Gaya kepemimpinan menunjukkan bahwa pegawainya merasa pimpinan telah melaksanakan kepemimpinan dengan baik.
6. Daya dorong menunjukkan bahwa pegawai dalam menjalankan tanggungjawabnya penuh dengan perencanaan, dapat memanfaatkan teknologi dengan baik dan mau mengikuti peraturan.
7. Daya tanggap menunjukkan para pegawainya bekerja sesuai dengan perintah atasan tanpa cenderung menunda pekerjaan.
8. Sistem menunjukkan para pegawai diperhatikan dan diberi kemudahan untuk kesejahteraannya.
35
DAFTAR PUSTAKA
Adair, J. 1993. Membina Colon Pimpinan (Sepuluh Prinsip Pokok). Jakarta : Bumi Aksara.
Albert. K. 1983. Pengemhangan Organisasi. Bandung : PT. Angkasa.
Anwar. 1985. Pengembangan Organisasi. Bandung : PT. Angkasa.
Arikunto, S. 1992. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Arikunto, S. 1996. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Cribbin, J.J. 1981. Kepemimpinan Strategi Mengefektifkan Organisasi. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.
Faisal, S. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun Angket. Surabaya : Usaha Nasional.
Furchan. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional.
Hadi, S. 1997. Statistik Jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.
Hakim. 1994. Pengantar Sederhana Penelitian Pendidikan. Jakarta : Proyek Pengembangan Pendidikan Guru.
Hamzah, R. 1990. Kepemimpinan Strategi Mengefektifkan Organisasi. Jakarta :
Gramedia.
Handoko. 1987. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia Jilid 2. Yogyakarta : BPFE.
Indrawijaya. 1986. Pertumbuhan dan Pengembangan Organisasi. Bandung : Sinar Baru.
Kamalluddin. 1982. Manajemen. Jakarta : Dirjen Dikti P2LPTK.
Kossen, S. 1986. Aspek Manusia Dalam Organisasi. Bandung : Rineka Cipta.
Latif, A.G. 1988. Memberikan Pimpinan dengan Kerja Sama. Jakarta : UI Press.
Latunussa. 1988. Penelitian Pendidikan, Suntu Pengantar. Jakarta : P2LPTK.
Mardalis. 1990. Mefodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara.
Marzuki. 1989. Metodologi Penelitian. Jakarta : Militon.
Muhyadi. 1989. Organisasi Teori, Struktur dan Proses. Jakarta : Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Mulyono, M. 1993. Penerapan Produktivitas dalam Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara - UI.
36
Owens. 1981. Organizational Behaviour in Education. Boston : Allyn Bacon.
Prayitno. 2003. Korelasi Antara lklim Organisasi Dan Motivasi Berprestasi Dengan Unjuk Kerja Guru Pada Sekolah Menengah Umum Negeri Di Kabupaten Pasuruan. Tesis tidak diterbitkan.
Purwanto, N. 1988. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta : CV. Remaja
Karya.
Santoso. 2001. Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Sari, D.N. 2003. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Rangka Penciptaan lklim Kerja Organisasi Di Sekolah Dasar Negeri Se-Kecamatan Sukun Kota Malang. Skripsi tidak diterbitkan.
Sari, L. 2000. Iklim Organisiasi Hubungannya Dengan Unjuk Kerja Dosen Dalam Mengajar Di IKIP Budi Utomo Malang. Tesis tidak diterbitkan.
Soepardi. 1988. Dasar-DasarAdministrasi Pendidikan. Jakarta : Dirjen Dikti P2LPTK.
37
Diterbitkan Oleh :
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Gresik
e- JURNAL
JENDELA
Vol.
01
No.
I
Hlm.
1 - 106
Gresik
Juni -Nopembe
r
ISSN
2089-5933
ISSN 2089-5933
1
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN KARAKTER:
WACANA KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA
Soesetijo *)
Kata-kata kunci: pendidikan karakter, wacana konsep, implementasi
Abstrak: pendidikan karakter menjadi perhatian serius untuk diimplementa-sikan di sekolah. Fenomena menunjukkan bahwa banyak keluhan masyarakat tentang menurunnya tata krama, etika dan kreativitas siswa, karena melemah-nya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai langkah awal pendidikan karakter harus dimulai sejak dini, yakni pada jenjang pendidikan sekolah da-sar. Pada jenjang sekolah dasar, ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Menurut Wamendiknas telah terdapat 5 dari 8 potensi peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan tujuan pembentukan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter. Pendidikan budaya dan karakter bangsa ini memang harus dipraktekkan, titik beratnya bukan pada teori. Pendidikan budaya dan karakter bangsa seperti kurikulum yang tersembunyi. Bukan berarti akan diterapkan secara teoritis, tetapi menjadi penguat kuri-kulum yang sudah ada, yaitu dengan mengimplementasikanya dalam mata pelajaran dan keseharian peserta didik. Permasalahannya, mayoritas guru be-lum punya kemauan untuk melaksanakan. Kesadaran sudah ada, hanya saja belum menjadi sebuah aksi nyata. Oleh karena itu diperlukan buku pinter se-bagai acuan untuk implementasi pendidikan karakter di lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi serta perlu segera disosialisasikan grand design pendidikan karakter.
2
Indonesia memerlukan sumberdaya
manusia dalam jumlah dan mutu
yang memadai sebagai pendukung
utama dalam pembangunan. Untuk
memenuhi sumberdaya manusia
tersebut, pendidikan memiliki peran
yang sangat penting. Hal ini sesuai
dengan UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada Pasal 3 yang menyebutkan
bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk
karakter serta
peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan Nasional bertujuan
untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
*)Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.\
Berdasarkan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional, jelas
bahwa pendidikan di setiap jenjang
pendidikan selalu mengacu pada
tujuan pendidikan nasional tersebut
di atas. Hal tersebut berkaitan
dengan pembentukan karakter
peserta didik sehingga mampu
bersaing, beretika, bermoral, sopan
santun dan berinteraksi dengan
masyarakat. Berdasarkan penelitian
di Harvard University Amerika
Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000
dalam Mendiknas, 2010) ternyata
kesuksesan seseorang tidak
ditentukan semata-mata oleh
kemampuan mengelola diri dan
orang lain (soft skills). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya
ditentukan sekitar 20 persen oleh
hard skills dan sisanya 80 persen
soft skills. Bahkan orang-orang
tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung
kemampuan soft skills daripada
hard skills. Hal ini mengisyaratkan
bahwa mutu pendidikan karakter
peserta didik sangat penting untuk
ditingkatkan. Oleh karena itu,
Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) telah menyusun
grand design pendidikan karakter
bangsa. Ditargetkan, seluruh satuan
pendidikan telah
mengembangkannya pada tahun
2014.(Media Indonesia.com, 15-9-
2010).
Data dan fakta menunjukkan,
bahwa dari hasil penelitian
3
psikologi sosial menun-jukkan
bahwa orang yang sukses di dunia
ditentukan oleh peranan ilmu
sebesar 18%. Sisanya, 82%
dijelaskan oleh keterampilan
emosional, soft skills dan
sejenisnya.(Elfindri, 2010). Ini
menunjukkan bahwa soft skills
memberikan kontribusi bagi
keberhasilan karir seseorang.
Wacana pendidikan karakter
pada akhir-akhir ini memperoleh
perhatian yang cukup intens dari
pemerhati pendidikan. Pemerintah
menyatakan, bahwa pendidikan
budaya dan karakter bangsa selama
ini telah diterapkan dan menjadi
kesatuan dengan kurikulum
pendidikan yang sesungguhnya
telah dipraktekkan dalam kegiatan
belajar mengajar di sekolah.
Menurut Direktur Pembinanan
SMP, Ditjen Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah, Didik Suhardi
(KOMPAS.Com, Jumat, 15 Januari
2010) pendidikan budaya dan
karakter bangsa ini memang harus
dipraktekkan, titik beratnya bukan
pada teori. Pendidikan budaya dan
karakter bangsa seperti kurikulum
yang tersembunyi.
Konsep Pendidikan
Karakter
Karakter adalah “cara
berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas setiap individu
untuk hidup dan bekerjasama, baik
dalam lingkup kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa dan Negara.
(Suparlan, 2010).
Pendidikan karakter meliputi
9 (sembilan) pilar yang saling kait
mengkait, yaitu: (1) responsibility
(tanggung jawab), (2) respect (rasa
hormat), (3) fairness (keadilan), (4)
courage (keberanian), (5) honesty
(kejujuran), (6) citizenship
(kewarganegaraan), (7) self-
discipline (disiplin diri), (8) caring
(peduli), dan (9) perseverance
(ketekunan).
Penyelenggaraan pendidikan
nasional tidak semata mentransfer
ilmu dan pengetahuan serta
teknologi kepada peserta didik.
Lebih dari itu, pendidikan harus
bisa menumbuhkan semangat
kebangsaan sebagai warga bangsa
dengan karakter ke-Indonesia-an.
(Rumapea, 2010).
Karakter merupakan nilai-
nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang
4
Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan,
dan perbuatan berdsarkan norma-
norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah
suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut,
baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (YME), diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi manusia insan
kamil. Dalam pendidikan karakter di
sekolah, semua komponen
(stakeholders) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran
dan penilaian, kualitas hubungan,
penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos
kerja seluruh warga dan lingkungan
sekolah.
Terlepas dari berbagai
kekurangan dalam praktik
pendidikan di Indonesia, apabila
dilihat dari standar nasional
pendidikan yang menjadi acuan
pengembangan kurikulum (KTSP),
dan implementasi pembelajaran dan
penilaian di sekolah, tujuan di
lembaga pendidikan sebenarnya
dapat dicapai dengan baik.
Pembinaan karakter juga termasuk
dalam materi yang harus diajarkan
dan dikuasai serta direalisasikan
oleh peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Dr. Anita Lie
(2010) syarat menghadirkan
pendidikan karakter dan budaya di
sekolah harus dilakukan secara
holistik.
Sebagai upaya untuk
meningkatkan kesesuaian dan mutu
pendidikan karakter, Kementerian
Pendidikan Nasional
mengembangkan grand design
pendidikan karakter untuk setiap
jalur, jenjang, dan jenis satuan
pendidikan. Grand design menjadi
rujukan konseptual dan operasional
pengembangan, pelaksanaan, dan
penilaian pada setiap jalur dan
jenjang pendidikan. Konfigurasi
karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan social-kultural
tersebut dikelompokkan dalam:
Olah Hati (Spiritual and emotional
development), Olah Pikir
5
(intellectual development), Olah
Raga dan Kinestetik (Physical and
kinestetic development), dan Olah
Rasa dan Karsa (Affective and
Creativity development).
Pengembangan danimplementasi
pendidikan karakter perlu dilakukan
dengan mengacu pada grand design
tersebut.
Menurut UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada 13 ayat 1
menyebutkan bahwa jalur
pendidikan terdiri dari atas
pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang saling melengkapi
dan memperkaya. Pendidikan
informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan.
Pendidikan informal sesungguhnya
memiliki peran dan kontribusi yang
sangat besar dalam keberhasilan
pendidikan. Peserta didik mengikuti
pendidikan di sekolah hanya sekitar
7 jam per hari, atau kurang dari
30%. Selebihnya (70%), peserta
didik berada dalam keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Jika dilihat
dari aspek kuantitas waktu,
pendidikan di sekolah berkontribusi
hanya sebesar 30% terhadap hasil
pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan
informal terutama dalam
lingkungan keluarga belum
memberikan kontribusi berarti
dalam mendukung pencapaian
kompetensi dan pembentukan
karakter peserta didik. Kesibukan
dan aktivitas kerja orang tua yang
relative tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam
mendidik anak di lingkungan
keluarga, pengaruh pergaulan di
lingkungan sekitar dan pengaruh
media elektronik ditengarai bisa
berpengaruh negatif terhadap
perkembangan dan pencapaian
hasil belajar peserta didik. Salah
satu alternatif untuk mengatasai
permasalahan tersebut adalah
melalui pendidikan karakter
terpadu, yaitu memadukan dan
mengoptimalkan kegiatan
pendidikan informal lingkungan
keluarga dengan pendidikan formal
di sekolah. Dalam hal ini, waktu
belajar peserta didik di sekolah
perlu dioptimalkan agar
peningkatan mutu hasil belajar
dapat dicapai, terutama dalam
pembentukan karakter peserta
didik.
Pendidikan karakter dapat
diintegrasikan dalam pembelajaran
pada setiap mata pelajaran. Materi
pembelajaran yang berkaitan
dengan norma atau nilai-nilai pada
6
setiap mata pelajaran perlu
dikembangkan, dieksplisitkan,
dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehati-hari. Dengan
demikian, pembelajaran nilai-nilai
karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada
internalisasi, dan pengalaman nyata
dalam kehidupan peserta didik
sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler
yang selama ini diselenggarakan
sekolah merupakan salah satu
media yang potensial untuk
pembinaan karakter dan
peningkatan mutu akademik
peserta didik. Kegiatan ekstra
kurikuler merupakan kegiatan
pendidikan di luar mata pelajaran
untuk membantu pengembangan
peserta didik sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, dan
minat mereka melalui kegiatan yang
secara khusus
Pendidikan karakter di
sekolah juga sangat terkait dengan
manajemen atau pengelolaan
sekolah. Pengelolaan yang
dimaksud adalah bagaimana
pendidikan karakter direncanakan,
dilaksanaan dan dikendalikan dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan di
sekolah secara memadai.
Pengelolaan tersebut antara lain
mengikuti, nilai-nilai yang perlu
ditanamkan, muatan kurikulum,
pembelajaran, penilaian, pendidik
dan tenaga kependidikan, dan
komponen terkait lainnya. Dengan
demikian, manajemen sekolah
merupakan salah satu media yang
efektif dalam pendidikan karakter di
sekolah.
Pendidikan Karakter yang
Efektif
Menurut Lickona, dkk. (2007)
terdapat 11 pinsip agar pendidikan
karakter dapat berjalan efektif: (1)
kembangkan nilai-nilai etika inti
dan nilai-nilai kinerja
pendukungnya sebagai fondasi
karakter yang baik, (2) definisikan
‘karakter’ secara komprehensif
yang mencakup pikiran, perasaan,
dan perilaku, (3) gunakan
pendekatan yang komprehensif,
disengaja, dan proaktif dalam
pengembangan karakter, (4)
ciptakan komunitas sekolah yang
penuh perhatian, (5) beri siswa
kesempatan untuk melakukan
tindakan moral, (6) buat kurikulum
akademik yang bermakna dan
menantang yang menghormati
semua peserta didik,
mengembangkan karakter, dan
7
membantu siswa untuk berhasil, (7)
usahakan mendorong motivasi diri
siswa, (8) libatkan staf sekolah
sebagai komunitas pembelajaran
dan moral yang berbagi tanggung
jawab dalam pendidikan karakter
dan upaya untuk mematuhi nilai-
nilai inti yang sama yang
membimbing pendidikan siswa, (9)
tumbuhkan kebersamaan dalam
kepemimpinan moral dan dukungan
jangka panjangbagi inisiatif
pendidikan karakter, (10) libatkan
keluarga dan anggota masyarakat
sebagai mitra dalam upaya
pembangunan karakter, (11)
evaluasi karakter sekolah, fungsi
staf sekolah sebagai pendidik
karakter, dan sejauh mana siswa
memanifestasikan karakter yang
baik.
Dalam pendidikan karakter
penting sekal dikembangkan nilai-
nilai etika inti seperti kepedulian,
kejujuran, keadilan, tanggung
jawab, dan rasa hormat terhadap
diri dan orang lain bersama dengan
nilai-nilai kerja pendukungnya
seperti ketekunan, etos kerja yang
tinggi, dan kegigihan—sebagai basis
karakter yang baik. Sekolah harus
berkomitmen untuk
mengembangkan karakter peserta
didik berdasarkan nilai-nilai
dimaksud mendefinisikan-nya dalam
bentuk perilaku yang dapat diamati
dalam kehidupan sekolah sehari-
hari, men-contohkan nilai-nilai itu,
mengkaji dan mendiskusikannya,
menggunakannya sebagai dasar
dalam hubungan antarmanusia, dan
mengapresiasi manifestasi nilai-nilai
tersebut di sekolah dan masyarakat.
Yang terpenting, semua komponen
sekolah bertanggung jawab
terhadap standar-standar perilaku
yang konsisten sesuai dengan nilai-
nilai inti.
Karakter yang baik mencakup
pengertian, kepedulian, dan
tindakan berdasarkan nilai-nilai
etika inti. Karenanya, pendekatan
holistik dalam pendidikan karakter
berupaya untuk mengembangkan
keseluruhan aspek kognitif,
emosional, dan perilaku dari
kehidupan moral. Siswa memahami
nilai-nilai inti dengan mempelajari
dan mendiskusikannya, mengamati
perilaku model, dan
mempraktekkan pemecahan
masalah yang melibatkan nilai-nilai.
Siswa belajar peduli terhadap nilai-
nilai inti dengan mengembangkan
keteram-pilan empati, membentuk
hubungan yang penuh perhatian,
membantu menciptakan komunitas
bermoral, mendengar cerita
8
ilustratif dan inspiratif, dan
merefleksikan pengalaman hidup.
Sekolah yang telah
berkomitmen untuk
mengembangkan karakter melihat
diri mereka sendiri melalui lensa
moral, untuk menilai apakah segala
sesuatu yang berlangsung di
sekolah mempengaruhi
perkembangan karakter siswa.
Pendekatan yang komprehensif
menggunakan semua aspek
persekolahan sebagai peluang
untuk pengembangan karakter. Ini
mencakup apa yang sering disebut
dengan istilah kurikulum
tersembunyi, hidden curriculum
(upacara dan prosedur sekolah;
keteladanan guru; hubungan siswa
dengan guru, staf sekola lainnya,
dan sesama mereka sendiri; proses
pengajaran; keanekaragaman siswa;
penilaian pembelajaran;
pengelolaan lingkungan sekolah;
kebijakan disiplin); kurikulum
akademik, academic curriculum
(mata pelajaran inti, termasuk
kurikulum kesehatan jasmani), dan
program-program ekstrakurikuler,
extracurricular programs (tim
olahraga, klub, proyek pelayanan,
dan kegiatan-kegiatan setelah jam
sekolah).
Di samping itu, sekolah dan
keluarga perlu meningkatkan
efektivitas kemitraan dengan
merekrut bantuan dan komunitas
yang lebih luas (bisnis, organisasi
pemuda, lembaga keagamaan,
pemerintah, dan media) dalam
mempromosikan pembangunan
karakter. Kemitraan sekolah-orang
tua ini dalam banyak hal seringkali
tidak dapat berjalan dengan baik
karena terlalu banyak menekankan
pada penggalangan dukungan
financial, bukan pada dukungan
program. Berbagai pertemuan yang
dilakukan tidak jarang terjebak
kepada tawar menawar sumbangan,
bukan bagaimana sebaiknya
pendidikan karakter dilakukan
bersama antara keluarga dan
sekolah.
Pendidikan karakter yang
efektif harus menyertakan usaha
untuk menilai kemajuan. Terdapat
tiga hal penting yang perlu
mendapat perhatian: (1) karakter
sekolah: sampai sejauh mana
sekolah menjadi komunitas yang
lebih peduli dan saling
menghargai?, (2) pertumbuhan staf
sekolah sebagai pendidik karakter:
sampai sejauh mana staf sekolah
mengembangkan pemahaman
tentang apa yang dapat mereka
9
lakukan untuk mendorong
pengembangan karakter?, (3)
Karakter siswa: sejauh mana siswa
memanifestasikan pemahaman,
komitmen, dan tindakan atas nilai-
nilai etis inti? Hal seperti itu dapat
dilakukan di awal pelaksanaan
pendidikan karakter untuk
mendapatkan baseline dan diulang
lagi di kemudian hari untuk menilai
kemajuan.
(http://www.mediaindonesia.com,
diakses tanggal 14 September
2010).
Menurut Doni Koesoemo A
(2010) pendidikan karakter jika
ingin efektif dan utuh mesti
menyertakan tiga basis desain
dalam pemrogramannya. Tanpa tiga
basis itu, program pendidikan
karakter di sekolah hanya menjadi
wacana semata.
Pertama, desain pendidikan
karakter berbasis kelas. Desain ini
berbasis pada relasi guru sebagai
pendidik dan siswa sebagai
pembelajar di dalam kelas. Konteks
pendidikan karakter adalah proses
relasional komunitas kelas dalam
konteks pembelajaran. Relasi guru-
pembelajar bukan monolog,
melainkan dialog dengan banyak
arah sebab komunitas kelas terdiri
dari guru dan siswa yang sama-
sama berinteraksi dengan materi.
Memberikan pemahaman dan
pengertian akan keutamaan yang
benar terjadi dalam konteks
pengajaran ini, termasuk di
dalamnya pula adalah ranah
noninstruksional, seperti
manajemen kelas, konsensus kelas,
dan lain-lain, yang membantu
terciptanya suasana belajar yang
nyaman.
Kedua, desain pendidikan
karakter berbasis kultur sekolah.
Desain ini mencoba membangun
kultur sekolah yang mampu
membentuk karakter anak didik
dengan bantuan pranata sosial
sekolah agar nilai tertentu
terbentuk dan terbatinkan dalam
diri siswa. Untuk menanamkan nilai
kejujuran tidak cukup hanya dengan
memberikan pesan-pesan modal
kepada anak didik. Pesan moral ini
mesti diperkuat dengan penciptaan
kultur kejujuran melalui pembuatan
tata peraturan sekolah yang tegas
dan konsisten terhadap setiap
perilaku ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan
karakter berbasis komunitas. Dalam
mendidik, komunitas sekolah tidak
hanya berjuang sendirian.
Masyarakat di luar lembaga
pendidikan, seperti keluarga,
10
masyarakat umum, dan Negara,
juga memiliki tanggung jawab
moral untuk mengintegrasikan
pembentukan karakter dalam
konteks kehidupan mereka. Ketika
lembaga Negara lemah dalam
penegakan hukum, ketika mereka
yang bersalah tidak pernah
mendapatkan sanksi yang setimpal,
Negara telah mendidik
masyarakatnya untuk menjadi
manusia yang tidak menghargai
makna tatanan sosial bersama.
Pendidikan karakter hanya
akan bisa efektif jika tiga desain
pendidikan karakter ini
dilaksanakan secara simultan dan
sinergis. Tanpanya, pendidikan kita
hanya akan bersifat parsial,
inkonsisten dan tidak efektif.
Implementasi Pendidikan
Karakter di Lembaga
Pendidikan
Pendidikan karakter yang
bakal diterapkan di sekolah-sekolah
tidak diajarkan dalam mata
pelajaran khusus. Namun,
pendidikan karakter tersebut akan
diintegrasikan dengan mata
pelajaran yang sudah ada serta
melalui keseharian pembelajaran di
sekolah. Menurut Wakil Menteri
Pendidikan Nasional, Fasli Jalal,
dikemukakan bahwa pendidikan
karakter yang didorong pemerintah
untuk dilaksanakan di sekolah-
sekolah tidak akan membebani guru
dan siswa. Sebab, hal-hal yang
terkandung dalam pendidikan
karakter sebenarnya sudah ada
dalam kurikulum, tetapi selama ini
tidak dikedepankan dan diajarkan
secara tersurat.
(http://bukuohbuku.wordpress.com,
1 September 2010).
Beberapa Upaya Pencarian Soft
Skills di Beberapa Negara
Upaya di berbagai Negara
mengenai pentingnya solft skills
juga beragam. Dari berbagai
liteatur yang disarikan dalam modul
bahan ajar oleh suatu Tim di Dirjen
Dikti (2008) telah diupayakan di
berbagai negara seperti Taiwan,
Korea Selatan, Jepang, Australia,
dan Indonesia.
1.Pengalaman di Taiwan
Taiwan sebagai salah satu
Negara yang memandang kemajuan
pembangunan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi hasilnya dirasakan
tanpa meningkatkan harkat dan
11
martabat dari manusia. Moral
menjadi salah satu tuntutan yang
ingin dilengkapi seiring dengan
kemajuan dari ranah pengetahuan.
Upaya ini dilakukan melalui
berbagai pendekatan, diantaranya
adalah dengan membentuk komite
disiplin dan moral di bawah
Kementerian Pendidikan. Komite
disiplin kemudian mencoba
menetapkan berbagai standar etika
yang mesti diterapkan di masing-
masing satuan pendidikan,
termasuk memonitor
implementasinya.
Kemudian mengembangkan
kurikukum moral dan etika yang
nantinya diterapkan dalam system
pembelajaran. Tahap selanjutnya
adalah dengan
mengimplementasikan aturan di
sekolah sebagai cara meningkatkan
nilai-nilai moral dan etika. Taiwan
menyadari bahwa berpikir kritis
adalah penting maka arah
pengembangan ditujukan pada
ranah ini, termasuk
kewarganegaraan, dan nilai-nilai
sosial.
2. Pengalaman di Korea Selatan
Di Korea Selatan, sebagai
salah satu Negara yang juga
mengalami kemajuan kemajuan
yang pesat pendidikannya, juga
sadar akan pentingnya soft skills.
Ini dikembangkan dengan
seperangkat upaya. Secara makro,
meningkatkan anggaran pendidikan
dan mempertahankan kebijakan
komitmen yang tinggi semenjak
tahun 1945. Semangat dan
komitmen ini dilahirkan sebagai
akibat dari Korea Selatan juga ingin
me-nyaingi perkembangan
kemajuan ilmu dan teknologi yang
dihasilkan oleh Jepang, sebagai
sebuah Negara tetangga yang lebih
dulu berhasil.
Diantaranya adalah dengan
mengupayakan perbaikan metode
pengajaran dan pe-nyampaian
materi ajar, misalnya dengan
menekankan kesadaran guru akan
pentingnya ka-rakter; mulai dari
suasana, kemampuan, dan fasilitas
yang mengarah kepada
pembentukan karakter.
Hasil dari upaya ini telah
menyebabkan Korea Selatan tampil
sebagai salah satu Negara yang
memiliki karakter khas, untuk
tampil menyaingi Jepang. Dengan
karakter kerja keras, salah satunya,
telah pula menghasilkan produk
manufaktur yang mampu masuk ke
kancah internasional.
12
Sebagai catatan tambahan,
Korea Selatan tercatat sebagai
salah satu Negara dimana tingkat
akses masyarakat mudanya
terhadap pendidikan tinggi
termasuk tertinggi di dunia.
Memulai kerja kerasnya semenjak
tahun 1945. Sekarang komitmen
anggaran dan dukungan
masyarakat adalah sangat besar
dalam memajukan pendidikan.
3. Pengalaman di Jepang
Merespons akan tuntutan
pentingnya membangun karakter
anak, maka di Jepang menurut
Scribner (2007) dalam Tim Dikti
(2008) untuk memenuhi aspek soft
skills, dimasukkan ke dalam
kegiatan-kegiatan ko-kurikuler di
sekolah dan di rumah.
Anak-anak Jepang diberi rasa
tanggungjawab yang tinggi dalam
mengembangkan fungsinya kepada
adik-adik sewilayahnya, dimulai
dengan proses datang ke sekolah,
metode belajar di sekolah sampai
pada menanamkan rasa
kemandirian yang tinggi dan
semangat untuk menang. Kemudian
terbiasa untuk mengembangkan
kreativitas di dalam kelas, Sudah
menjadi motto bagi anak didik
Jepang, bahwa kerja kelompok
menjadi salah satu yang perlu
dibiasakan.
Karakter kerja keras dan
mandiri yang dibangun dalam
prinsip bushido, menyebabkan
bangsa Jepang menghasilkan
generasi yang sanggup menguasai
berbagai iptek untuk berbagai
bidang dan proses industrialisasi.
Sayang sekali, Jepang dalam
membangun karakter bangsa masih
dibatasi oleh berbagai kendala.
Dimana kendala utama dari proses
pembangunan manusia di Jepang
masih belum sanggup mengkikis
kebiasaan “bunuh diri” dari
sebagian dari mereka yang frustasi.
4. Pengalaman di Australia
Sementara di Australia,
pengembangan soft skills dilakukan
semenjak usia dini, melalui system
penyampaian dan desain
pemebelajaran. Desain
pembelajaran yang menyebabkan
unsur-unsur soft skills terintegrasi
dalam setiap proses pembelajaran.
Di Australia pembentukan
kepercayaan diri anak-anak mulai
pada pra sekolah. Pembiasaan
anak-anak untuk mengisi masa
akhir minggu dengan orang tua,
baik untuk kepentingan olah raga
dan rekreasi.
13
Anak-anak Australia terbiasa
percaya diri. Karena setiap minggu
mereka didorong untuk sanggup
menyampaikan pengalaman kepada
teman se kelasnya. Dan model
seperti ini dilaksanakan secara
terus menerus.
Guru sangat berperan dalam
mengkomunikasikan soft skills di
sekolah. Anak-anak diajarkan akan
hak dan tanggungjawabnya.
Termasuk share bekerja dan hidup
berkelompok. Itulah pemandangan
pada sekolah-sekolah dasar sampai
menengah yang dikembangkan.
5. Pengalaman di Indonesia
Kesadaran akan soft kills juga
berkembang di Indonesia, namun
dalam waktu yang terlalu lama dan
metode yang tidak tepat. Upaya
menekankan pentingnya pendidikan
P-4 sewaktu zaman Presiden
Suharto telah didesain kegiatan-
kegiatan yang lebih terpusat. Oleh
karena penekanan hanya kepada
civic education, atau pendidikan
civic, maka hasil dari usaha P-4
hanya sebatas bagaimana hidup
bermasyarakat dan bernegara saja.
Kelemahan utama yang
dirasakan bahwa pengembangan
soft skills lebih bersifat indoktrinasi.
Dengan kata lain upaya Indonesia
dalam mendorong soft skills selama
berpuluh-puluh tahun melalui
penataran P-4 dianggap gagal,
mengingat model itu saat sekarang
sudah tidak dipakai lagi. Bahkan
dianggap kegiatan P-4 dapat saja
menyimpang dari yang dipahami
oleh kebanyakan para ilmuwan.
Diantaranya bahkan yang diberikan
lebih kepada ilmuwan, bukanlah
bagaimana membentuk
keterampilan perangkat lunak
warga Negara. Selain dari itu para
instruktur banyak yang tidak
terbekali dengan baik. Sehingga
kegatan soft skills semacam itu
lebih diartikan kepada proyek-
proyek kegiatan oleh mereka yang
berkuasa.
Akselerasi adat juga
merupakan upaya-upaya untuk
mempertahankan soft skills,
mengingat kandungan budaya lokal
adalah menuntun soft skills.
Misalnya bagaimana budaya dalam
bertutur kata sepantasnya. Maka
proses tutur kata masyarakat adat
mesti dipertahankan. Upaya ini
dilakukan oleh kaum adat. Namun
hal ini belum terlalu baik
diupayakan dalam
mendiseminasikan soft skills.
Demikian juga, bagaimana
kehidupan bergotong-royong
14
diupayakan masih eksis. Sayang
sekali kehidupan yang semacam itu
semakin sirna. Singkat kata soft
skills belum secara konsisten untuk
digarap dan dipelajari.
Apa yang dapat dimaknai dari
segala upaya untuk mencari solf
skills di berbagai Negara ? Negara
maju Asia Timur serta Indonesia ?
Maka upaya untuk mengembangkan
karakter masih dalam batas
keterbasan. Keterbatasan terutama
masih menganggap bahwa
taksonomi ranah keilmuan menjadi
menonjol.
Sekalipun ada upaya untuk
meningkatkan ranah soft skills,
namun juga kelihatannya sangat
beragam dalam melihat komponen-
komponennya. Diantaranya, masih
luputnya memasukkan unsur
bagaimana anak didik kita semakin
berilmu dia sadar semakin sadar
akan eksistensinya, posisinya
dengan Sang Pencipta. Hal inilah
yang menyebabkan bahwa dimensi
trancedental skills menjadi bahan
yang mesti disadari penting masuk
sebagai salah satu taksonomi soft
skills.(Elfindri, dkk, 2010).
Penerapan Pendidikan Karakter
Dimulai SD
Pendidikan karakter yang
dicanangkan Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
akan diterapkan pada semua
jenjang pendidikan, namun porsinya
akan lebih besar diberikan pada
Sekolah Dasar (SD). Menurut
Menteri Pendidikan Nasional
(Mendiknas) Muhammad Nuh,
mengatakan pendidikan karakter
harus dimulai sejak dini yakni dari
jenjang pendidikan sekolah dasar
SD). Pada jenjang SD ini porsinya
mencapai 60 persen dibandingkan
dengan jenjang pendidikan lainnya.
Hal ini agar lebih mudah diajarkan
dan melekat di jiwa anak-anak itu
hingga kelak ia dewasa. Pendidikan
karakter harus dimulai dari SD
karena jika karakter tidak terbentuk
sejak dini maka akan susah untuk
merubah karakter seseorang.
Pendidikan karakter tidak
mendapatkan porsi yang besar pada
tingkat Taman Kanak-Kanak (TK)
atau sejenisnya karena TK bukan
merupakan sekolah tetapi taman
bermain. TK itu taman bermain
untuk merangsang kreativitas anak,
bukan tempat belajar. Oleh karena
itu, jika ada guru yang memberikan
tugas atau PR maka guru tersebut
tidak memahami tugasnya.
Sedangkan dalam menanamkan
karakter pada seseorang yang
15
paling penting adalah kejujuran,
karena kejujuran bersifat universal.
Pertimbangan yang rasional
tentang mengapa penerapan
pendidikan karakter harus dimulai
pada siswa SD, karena siswa SD
masih belum terkontaminasi dengan
sifat yang kurang baik sangat
memungkinkan untuk ditanamkan
sifat-sifat atau karakter untuk
membangun bangsa. Oleh karena
itu, selain orang tua, guru SD juga
mempunyai peranan yang sangat
vital untuk menempuh karakter
siswa. Pembinaan karakter yang
termudah di-lakukan adalah ketika
anak-anak masih di bangku SD.
Itulah sebabnya kita memprioritas-
kan pendidikan karakter di tingkat
SD. Bukan berarti pada jenjang
pendidikan lainnya tidak mendapat
perhatian namun porsinya saja yang
berbeda.
Dengan demikian maka
diharapkan dunia pendidikan dapat
sebagai motor pengge-rak untuk
memfasilitasi peserta didik menjadi
cerdas, juga mempunyai budi
pekerti dan sopan santun sehingga
keberadaannya sebagai anggota
masyarakat menjadi bermakna baik
bagi dirinya maupun orang lain.
Esensinya pembinaan karakter
harus dilakukan pada semua tingkat
pendidikan hinga Perguruan Tinggi
(PT) karena PT harus mampu
berperan sebagai mesin informasi
yang membawa bangsa ini menjadi
bangsa yang cerdas, sejahtera dan
bermanfaat serta mampu bersaing
dengan bangsa manapun.
Model Pendidikan Karakter di
Sekolah Menengah Pertama
(SMP)
Menurut Mochtar Buchori
(2007) dalam Kemendiknas (2010)
“Pembinaan Karakter di Sekolah
Menengah Pertama”, bahwa
pendidikan karakter seharusnya
membawa peserta didik ke
pengenalan nilai secara kognitif,
penghayatan nilai secara afektif,
dan akhirnya ke pengamalan nilai
secara nyata. Permasalahan
pendidikan karakter yang selama ini
ada di SMP perlu segera lebih
operasional sehingga mudah
diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan
untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang
mengarah pada pencapaian
pembentukan katakter dan akhlak
mulia peserta didik secara utuh,
terpadu, dan seimbang, sesuai
16
standar kompetensi lulusan. Melalui
pendidikan karakter diharapkan
peserta didik SMP mampu secara
mandiri meningkatkan dan
menggunakan pengetahuannya,
mengkaji dan menginternalisasi
serta mempersonalisasi nilai-nilai
karakter dan akhlak mulia sehingga
terwujud dalam perilaku sehari-
hari.
Pendidikan karakter pada
tingkatan institusi mengarah pada
pembentukan budaya sekolah, yaitu
nilai-nilai yang melandasi perilaku,
tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipratikkan oleh
semua warga sekolah, dan
masyarakat sekitar sekolah. Budaya
sekolah merupakan ciri khas,
karakter atau watak, dan citra
sekolah tersebut di mata
masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter
adalah seluruh Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di Indonesia negeri
maupun swasta. Semua warga
sekolah, meliputi para peserta
didik, guru, karyawan administrasi,
dan pimpinan sekolah menjadi
sasaran program ini. Sekolah-
sekolah yang selama ini telah
berhasil melaksanakan pendidikan
karakter dengan baik dijadikan
sebagai best practices, yang
menjadi contoh untuk
disebarluaskan ke sekolah-sekolah
lainnya.
Memalui program ini
diharapkan lulusan SMP memiliki
keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, berkarakter mulia,
kompetensi akademik yang utuh
dan terpadu, sekaligus memiliki
kepribadian yang baik sesuai
norma-norma dan budaya
Indonesia. Pada tataran yang lebih
luas, pendidikan karakter nantinya
diharapkan menjadi budaya
sekolah.
Keberhasilan program
pendidikan karakter dapat diketahui
melalui pencapaian indicator oleh
peserta didik sebagaimana
tercantum dalam Standar
Kompetensi Lulusan SMP, yang
antara lain meliputi sebagai
berikut :
1. Mengamalkan ajaran
agama yang dianut sesuai
dengan tahap
perkembangan remaja;
2. Memahami kekurangan
dan kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap
percaya diri;
17
4. Mematuhi aturan-aturan
social yang berlaku dalam
lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keragaman
agama, budaya, suku, ras,
dan golongan social
ekonomi dalam lingkup
nasional;
6. Mencari dan menerapkan
informasi dari lingkungan
sekitar dan sumber-sumber
lain secara logis, kritis dan
kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan
berpikir logis, kritis,
kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan
belajar secara mandiri
sesuai dengan potensi yang
dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan
menganalisis dan
memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-
hari;
10. Mendeskripsikan gejala
alam dan social;
11. Memanfaatkan
lingkungan secara
bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai
kebersamaan dalam
kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara
demi terwujudnya
persatuan dalam Negara
kesatuan Republik
Indonesia;
13. Menghargai karya seni
dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas
pekerjaan dan memiliki
kemampuan untuk
berkarya;
15. Menerapkan hidup
bersih, sehat, bugar, aman,
dan memanfaatkan waktu
luang dengan baik;
16. Berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif
dan santun;
17. Memahami hak dan
kewajiban diri dan orang
lain dalam pergaulan di
masyarakat; menghargai
adanya perbedaan
pendapat;
18. Menunjukkan
kegemaran membaca dan
menulis naskah pendek
sederhana;
19. Menunjukkan
keterampilan menyimak,
berbicara, membaca, dan
menulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa
Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan
yang diperlukan untuk
18
mengikuti pendidikan
menengah;
21. Memiliki jiwa
kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria
pencapaian pendidikan karakter
adalah terbentuknya budaya
sekolah yaitu perilaku, tradisi,
kebiasaan keseharian, dan simbol-
simbol yang dipratikkan oleh semua
warga sekolah, dan masyarakat
sekitar sekolah harus berlandaskan
nilai-nilai tersebut.(Kemendiknas,
2010).
Penyelenggaraan pendidikan
nasional tidak semata mentransfer
ilmu dan pengetahuan serta
teknologi kepada peserta didik.
Lebih dari itu, pendidikan harus
bisa menumbuhkan semangat
kebangsaan sebagai warga bangsa
dengan karakter ke-Indonesia-an.
Bangsa ini harus kembali kepada
bangsa yang berbudi. Mampu
memiliki budi pekerti yang luhur
yang diajarkan oleh para leluhur
bangsa. Caranya, dengan
mengajarkan pendidikan karakter
kepada anak-anak mulai dari
bangku sekolah. Memberikan
mereka pemahaman yang jelas
tentang karakter yang harus
dimiliki manusia Indonesia di masa
depan.
Dengan olah raga, olah raga,
dan olah jiwa sekolah kami terus
menerus menanamkan nilai-nilai
luhur yang harus dimiliki manusia
Indonesia. Oleh karena itu, kami
mengemasnya dalam berbagai
bentuk kegiatan kesiswaan yang
dimulai dari saat siswa pertama kali
masuk sekolah sampai keluar (lulus)
dari sekolah.
Pembangunan karakter dan
pendidikan karakter menjadi suatu
keharusan, karena pendidikan tidak
hanya menjadikan peserta didik
menjadi cerdas, tetapi juga
mempunyai budi pekerti dan sopan
santun, sehingga keberadaannya
sebagai anggota masyarakat
menjadi bermakna baik bagi dirinya
maupun orang lain. Menanamkan
karaker pada seseorang yang paling
penting adalah kejujuran, karena
kejujuran bersifat universal.
(Mahatma, 2010).
Pendidikan Karakter Integral
Pendidikan karakter hanya
akan menjadi sekadar wacana jika
tidak dipahami secara lebih utuh
dan menyeluruh dalam konteks
pendidikan nasional kita. Bahkan,
pendidikan karakter yang dipahami
secara parsial dan tidak tepat
sasaran justru malah bersifat
19
kontraproduktif bagi pembentukan
karakter anak didik.
Pendekatan parsial yang tidak
didasari pendekatan pedagogi yang
kokoh alih-alih menanamkan nilai-
nilai keutamaan dalam diri anak,
malah menjerumuskan mereka pada
perilaku kurang bermoral. Selama
ini, jika kita berbicara tentang
pendidikan karakter, yang kita
bicarakan sesungguhnya adalah
sebuah proses penanaman nilai
yang seringkali dipahami secara
sempit, hanya terbatas pada ruang
kelas, dan seringkali pendekatan ini
tidak didasari prinsip pedagogi
pendidikan yang kokoh.
Sebagai contoh, untuk
menanamkan nilai kejujuran,
banyak skolah beramai-ramai
membuat kantin kejujuran. Di sini,
anak diajak untuk jujur dalam
membeli dan membayar barang
yang dibeli tanpa ada yang
mengontrolnya. Dengan praksis ini
diharapkan anak-anak kita akan
menghayati nilai kejujuran dalam
hidup mereka. Namun, sayang,
gagasan yang tampaknya relevan
dalam mengembangkan nilai
kejujuran ini mengabaikan prinsip
dasar pedagogi pendidikan berupa
kedisiplinan sosial yang mampu
mengarahkan dan membentuk
pribadi anak didik.
Alih-alih mendidik anak
menjadi jujur, dibanyak tempat
anak yang baik malah tergoda
menjadi pencuri dan kantin
kejujuran malah bangkrut. Ini
terjadi karena kultur kejujuran yang
ingin dibentuk tidak disertai dengan
pemangunan perangkat sosial yang
dibutuhkan dalam kehidupan
bersama. Tiap orang bisa tergoda
menjadi pencuri jika ada
kesempatan.
Masifnya perilaku
ketidakjujuran itu telah
menyerambah dalam diri para
pendidik, siswa dan anggota
komunitas sekolah lain. Untuk itu,
pendekatan yang lebih utuh dan
integrallah yang dibutuhkan untuk
melawan budaya tidak jujur ini.
Pendidikan karakter
semestinya terarah pada
pengembangan kultur edukatif yang
mengarahkan anak didik untuk
menjadi pribadi yang integral.
Adanya bantuan sosial untuk
mengembangkan keutamaan
merupakan ciri sebuah lembaga
pendidikan.
Dalam konteks kantin
kejujuran, bantuan sosial ini tidak
berfungsi, sebab anak malah
tergoda menjadi pencuri. Kegagalan
kantin kejujuran adalah sebuah
indikasi, bahwa para pendidik
20
memiliki kesalahan pemahaman
tentang makna kejujuran dalam
konteks pendidikan. Mereka tidak
mampu melihat persoalan yang
lebih mendalam yang menggerogoti
sendi pendidikan kita.(Doni
Koesoema A, 2010).
Sementara itu, untuk
mengembangkan pendidikan
karakter di sekolah, Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
memberikan bantuan kepada
sekolah-sekolah yang ditunjuk
sebagai percontohan. Sebagai
contoh sebanyak 10 sekolah di
semua jenjang pendidikan di Nusa
Tenggara Barat mendapatkan
bantuan dari Kementerian
Pendidikan Nasional untuk
mengembangkan pendidikan
karakter. Setiap sekolah yang
mendapatkan percontohan
menerima bantuan sebesar Rp.
10.000.000,00 untuk menerapkan
dan membina pengembangan
pendidikan karakter.
(http://www.antaranews.com,
diakses tanggal 7 September 2010).
Sementara itu, Mendiknas,
Muhammad Nuh mengemukakan
bahwa intinya pembinaan karakter
harus dilakukan pada semua tingkat
pendidikan hingga Perguruan
Tinggi (PT) karena PT harus mampu
berperan sebagai mesin informasi
yang membawa bangsa ini menjadi
bangsa yang cerdas, santun,
sejahtera dan bermartabat serta
mampu bersaing dengan bangsa
manapun.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan pemaparan
tersebut di atas, maka dapatlah
dikemukakan beberapa simpulan
sebagai berikut: (1) karakter adalah
cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas setiap individu
untuk hidup dan bekerjasama, baik
dalam lingkup kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa dan Negara; (2)
Pendidikan karakter meliputi 9
(sembilan) pilar yang saling kait
mengkait, yaitu: (a) responsibility
(tanggung jawab), (b) respect (rasa
hormat), (c) fairness (keadilan), (d)
courage (keberanian), (e) honesty
(kejujuran), (f) citizenship
(kewarganegaraan), (g) self-
discipline (disiplin diri), (h) caring
(peduli), dan (i) perseverance
(ketekunan); (3) pembinaan
karakter harus dilaksanakan pada
semua tingkat pendidikan hingga
Perguruan Tinggi (PT), (4)
pembangunan karakter dan
pendidikan karakter menjadi suatu
keharusan karena pendidikan tidak
hanya menjadikan peserta didik
21
menjadi cerdas, juga mempunyai
budi pekerti dan sopan santun,
sehingga keberadaannya sebagai
anggota masyarakat menjadi
bermakna baik bagi dirinya maupun
orang lain, (5) pendidikan karakter
yang didalamnya ada akhlak mulia
akan menjadi jati diri bangsa untuk
mencapai kejayaan dan kemajuan di
dunia internasional, (6) pendidikan
budaya dan karakter bangsa harus
dipraktekkan, titik beratnya bukan
teori, (7) menghadirkan pendidikan
karakter dan budaya di sekolah
harus dilakukan secara holistik,
karena tidak bisa terpisah dengan
pendidikan sifatnya kognitif atau
akademik, (8) permasalahannya,
mayoritas guru belum punya
kemauan untuk melaksanakan
pendidikan karakter, kesadaran
sudah ada hanya saja belum
menjadi sebuah aksi nyata, (9)
grand design tentang pendidikan
karakter sudah tersusun, hanya
belum disosialisasikan ke seluruh
pelosok nusantara, terutama ke
lembaga-lembaga pendidikan, dan
(10) program pendidikan karakter
tidak hanya dilakukan satu sampai
dua tahun, namun secara
berkesinambungan hingga 2025.
Saran
Berdasarkan butir-butir
simpulan di atasa, maka untuk
mengimplemetasikan pendidikan
karakter di lembaga pendidikan
dikemukakan saran sebagai
berikut : (1) untuk implementasikan
pendidikan karakter di sekolah
dasar (SD), sebagai porsi yang
cukup besar (60%), maka perlu
disusun buku petunjuk pelaksanaan
(juklak) yang dapat digunakan
sebagai acuan para tenaga
kependidikan pada jenjang
pendidikan dasar, (2) sebagaimana
telah dikemukakan di atas, bahwa
penerapan pendidikan karakter
dapat diimplementasikan mulai
pada jenjang pendidikan dasar
sampai dengan pendidikan tinggi.
Oleh karena itu, untuk
mempersiapkan semuanya secara
cermat, perlu diterbitkan buku
pinter yang memberikan acuan
kepada guru dan dosen agar
pendidikan karakter dapat
diterapkan sesuai dengan yang
diharapkan, (3) dalam konteks
pembelajaran di kelas atau ruang
kuliah, pendidikan karakter dapat
diintegrasikan pada mata pelajaran
atau mata kuliah yang relevan, (4)
agar tenaga kependidikan (guru dan
dosen) mempunyai acuan yang baku
tentang penerapan pendidikan
karakter, maka perlu segera
22
disosialisasikan grand design
tentang pendidikan karakter, (5)
pendidikan karakter harus
diwujudkan untuk kepentingan
anak-anak Indonesia dalam konteks
kehidupan social dan buaya
masyarakat, (6) perlu diadakan TOT
(Training of Trainer) untuk
pendidikan karakter bagi seluruh
tenaga tenaga kependidikan, baik
guru maupun dosen, (7)
pelaksanaan pendidikan karakter di
sekolah jangan hanya bersifat
instan, karena pemerintah saat ini
sedang intens dengan soal ini,
tantangannya justru bagaimana
pendidikan di sekolah itu berjalan
seimbang antara penguasaan
pengetahuan dan pembentukan
karakter siswa, dan (8) perlu segera
disosialisiasikannya grand design
pendidikan karakter di lembaga
pendidikan mulai jenjang
pendidikan Taman Kanak-Kanak
sampai dengan perguruan tinggi.
23
fffffffffDi
Terbitkan Oleh :Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Gresik
ISSN 2089-5933
24
e- JURNAL
PENDIDIKAN
Vol. 1 No. I Hlm.
1-66
Gresik
Juni -Nopembe
r
ISSN
2089-5933
25
DI SDN BANJARSARI CERME GRESIK
Etiyasningsih*)
Abstrak, Disiplin merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Agar guru dapat berhasil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka guru tersebut harus mentaati dan menyadari akan pentingnya kedisiplinan. Kedisiplinan guru tentunya akan berimbas kepada para siswa, guru yang tidak atau kurang disiplin, siswanya pun akan cenderung tidak displin dan sebaliknya. Kedisplinan tidak hanya pada kehadiran guru semata, namun lebih dari itu disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam hal ini misalnya guru disiplin dalam membuat persiapan mengajar, Silabus, RPP, menyiapkan buku-buku paket penunjang, alat peraga dan lain-lain. Dengan kedisiplinan guru yang tinggi siswa akan lebih semangat belajar dan mendapatkan urutan materi pelajaran yang sistematis, hal ini akan meningkatkan prestasi belajarnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar.
Penelitian ini merupakan jenis regresional. Populasinya adalah seluruh guru di SDN Banjarsari Cerme Gresik berjumlah 20 orang. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling yaitu sesuai dengan kebutuhan dan yang tidak diikutkan adalah guru komputer, diperoleh responden sebanyak 19 orang. Data dikumpulkan dengan observasi, dokumentasi dan wawancara dengan instrumen check list. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar digunakan uji regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 6,171. > Ftabel = 4,45. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,024 jauh di bahwa 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian diharapkan para guru dapat menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, disiplin, jujur, dan penuh didekasi, karena dengan sikap-sikap tersebut sangat membantu dalam tercapainya prestasi belajar siswa, selain itu hendaknya juga lebih memperhatikan kehadiran, persiapan mengajar dan proses kegiatan belajar mengajar. Bagi kepala sekolah dapat memberi motivasi agar para guru lebih disiplin dengan memberi stimulus yang proporsional.
Kata Kunci : Disiplin Guru, Prestasi Belajar Siswa
26
PENDAHULUAN
Kita semua menyadari bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan sangatlah berat, lebih-lebih pada saat sekarang ini. Sebenarnya telah banyak usaha pemerintah, dan aspek pendukung, guna terwujudnya tujuan pendidikan tersebut.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut pemerintah berusaha melak-sanakan kegiatan antara lain, (1) Menyempurnakan sistem pendidikan, (2) Memperluas kesempatan untuk mem-peroleh pendidikan, (3) Sarana dan prasarana pendidikan terus disempurnakan dan ditingkatkan serta lebih didayagu-nakan, (4) Meningkatkan jumlah guru dan mutunya, baik formal maupun non formal serta terus ditingkatkan pengembangan karier dan kesejahteraannya.
Mengelola pendidikan tidak semudah yang kita bayangkan selama ini, sebab pendidikan berperan penting sebagai alat atai tempat untuk membentuk manusia Indonesia dan sebagai warga masyarakat sekaligus sebagai warga Negara yang berbudi pekerti luhur, beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta
berkemampuan dan mempunyai ketrampilan dasar untuk bekal pendidikan selanjutnya dan bekal hidup di masyarakat.
Guru kelas sebagai administrator menempati posisi yang sangat penting karena memikul tanggung jawab untuk meningkatkan dan mengembangkan kemajuan sekolah secara keseluruhan. Sedangkan murid dan guru yang menjadi komponen penggerak aktifitas kelas harus didayagunakan secara maksimal agar dapat tercapai suatu kesatuan yang dinamis di dalam organisasi sekolah.
Pada dasarnya sekarang ini banyak para guru yang kurang siap dalam mengajar, dikarenakan guru tersebut belum membuat persiapan mengajar, dan juga melanggar tata tertib.
Disiplin merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Agar guru dapat berhasil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka guru tersebut harus mentaati dan menyadari akan pentingnya kedisiplinan. Karena gurulah yang ikut bertanggung jawab dalam keberhasilan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah, agar selalu berupaya untuk meningkatkan keberhasilan prestasi belajar siswa. Selain itu para guru hendaknya selalu memberikan bimbingan dan pengajaran secara baik dengan selalu berpedoman pada petunjuk dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional.
27
Kedisiplinan guru tentunya akan berimbas kepada para siswa, guru yang tidak atau kurang disiplin, siswanya pun akan cenderung tidak displin dan sebaliknya. Kedisplinan tidak hanya pada kehadiran guru semata, namun lebih dari itu disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam hal ini misalnya guru disiplin dalam membuat persiapan mengajar, Silabus, RPP, menyiapkan buku-buku paket penunjang, alat peraga dan lain-lain. Dengan kedisiplinan guru yang tinggi siswa akan lebih semangat belajar dan mendapatkan urutan materi pelajaran yang sistematis, hal ini akan meningkatkan prestasi belajarnya.
METODE PENELITIAN
Deskripsi Populasi
Arikunto (2002) menyatakan bahwa populasi adalah obyek yang akan diteliti hasilnya, dianalisis, disimpulkan dan kesimpulan itu berlaku untuk seluruh populasi itu. Sudjana (1996) menjelaskan popupasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atau pengukuran, kuantitatif, atau kualitatif mengenai karateristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jenis yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh guru di SDN Banjarsari Cerme Gresik berjumlah 20 orang.
Penentuan Sampel
Pengambilan sampel ini didasari pendapat Arikunto (1998:120-121) berikut : “Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau lebih tergantung setidak-tidaknya dari : a) kemampuan peneliti dari waktu, tenaga dan dana, b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data, c) Besar kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang risikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik.”
Sugiyono (2009:124) menyatakan jumlah sampel tergantung dari tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki, misalnya tingat kesalahan 1%, 5%, 10% atau lainnya. Makin besar tingkat kesalahan makin kecil sampel. Rumus untuk menghitung ukuran sampel dari populasi yang diketahui jumlahnya adalah :
s = λ2 . N .P .Q
d2 (N−1 )+λ2 .P .Q
2 dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10%
P = Q = 0,5 d = 0,05 s = jumlah sampel
Namun dari rumus tersebut telah dihitung untuk populasi-populasi dengan jumlah tertentu mulai 10 hingga 1.000.000 oleh Sugiono (2009:126) sebagaimana tabel terlampir. Untuk jumlah populasi 20 orang dengan taraf
28
signifikan 0,05 diperoleh sampel sebanyak 19 orang. Oleh karena itu dalam penelitian ini Dari 19 orang ini dipilih dengan teknik purposive sampling yaitu sesuai dengan kebutuhan dan yang tidak diikutkan adalah guru komputer.
Definisi Operasional Variabel
Agar tujuan penelitian dapat tercapai maka variabel harus didefinisikan dengan jelas dan menyebutkan indikator-dindikatornya, cara pengukurannya, dan skala atau kategori penilaian yang digunakan. Berikut ini adalah definisi operasional masing-masing variabel. 1. Variabel bebas (X) yakni
disiplin guru adalah suatu sikap mental seoang guru yang mengandung kesadaran dan kerelaan untuk mematuhi semua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab. Disiplin guru tersebut diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut :a. Kehadiran di sekolah b. Ketepatan waktu mengajarc. Persiapan mengajar yaitu
silabus, RPP d. Kegiatan belajar mengajar
antara lain alat peraga, buku penunjang, buku absen siswa, daftar nilai, dan lain-lain.
2. Variabel terikat prestasi belajar (Y) yaitu suatu suatu hasil yang teah dicapai setelah kegiatan belajar mengajar. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan adalah nilai rata-rata hasil ulangan tiap mata pelajaran
bagi guru mata pelajaran dan tiap kelas pada guru kelas.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :1. Survey Pendahuluan
Dalam kegiatan ini, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data-data intern perusahaan di antaranya adalah profil SDN Banjarsari Cerme Gresik.
2. Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah
mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Suharsimi, 2002 : 236).
Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data nilai siswa. Dalam data sekunder yang diperoleh dengan teknik dokumentasi ini, peneliti juga menggunakan lembar cek list untuk mencatat indikator disiplin guru.
3. Wawancara Wawancara atau interview
adalah suatu metode yang tujuannya untuk memperoleh data evaluasi, secara berhadapan muka dengan secara individu, orang yang diinterview memberikan informasi-informasi yang diperlukan secara ilmiah dalam suatu relasi face to face” (Drs. Amatembun MA, supervise Pendidikan, 1975:191).
Pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara adalah meyakinkan hasil
29
observasi tentang disiplin guru. Wawancara dilakukan kepada masing-masing guru yang bersangkutan dan kepala sekolah.
Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan urutan analisa sebagai berikut :
1. Coding, adalah memberi kode pada lembar check list sesuai dengan kategori yang telah ditentukan.
2. Tabulating, adalah mentabulasi seluruh data hasil chek list ke dalam tabel-tabel yang diperlukan sehingga mudah dibaca.
3. Skoring, adalah memberi skor dari kategori-kategori tersebut sesuai skor yang telah ditentukan. Disiplin guru diberi skor tinggi, sedang dan rendah. Skor tinggi jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai >75%, skor sedang jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai 56-75%, dan rendah jika penjumlahan dari hasil penilaian <56%.
4. Uji HipotesisUji hipotesis berfungsi untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji ini sekaligus juga menjawab rumusan masalah yang telah ditulis pada Bab I. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana :
Y = a + bXY = Prestasi siswa X = Disiplin guru
a = Nilai konstanta b = Nilai arah sebagai penentu
ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan (+) atau nilai penurunan (–) variabel Y.
Dalam penelitian ini perhitungan regresi dilakukan dengan bantuan program SPSS for Windows. Langkah menguji hipotesis : 1) Membuat Ha dan Ho dalam
bentuk kalimat : Ha : Terdapat pengaruh
disiplin guru dengan prestasi siswa
Ho : Tidak terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa
2) Kaidah pengujian signifikansi : Jika Fhitung ≥ Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa.Jika Fhitung < Ftabel maka Ha ditolak dan Ho diterima artinya tidak terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Terdapat 8 indikator dalam menjelaskan disiplin guru yang diperoleh datanya melalui observasi dan dokumentasi yaitu, kehadiran, ketepatan waktu mengajar, silabus, RPP, alat peraga, buku, absensi murid, buku penunjang, daftar nilai.
Tabel 1 Disiplin Guru di Sekolah Dasar Negeri Banjarsari Kec. Cerme Kabupaten Gresik
30
No
Daftar Nilai
Jumlah
Persentase (%)
1
2
3
Kurang
Cukup
Baik
1
4
14
5,2
21,1
73,7
Jumlah 19 100
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa disiplin guru dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar (73,7%) baik, 21,1% cukup, dan 5,2% kurang.
Sedangkan Prestasi belajar siswa diukur dari nilai rata-rata mata pelajaran dari guru yang bersangkutan jika guru tersebut adalah guru mata pelajaran, dan nilai rata-rata kelas jika guru yang bersangkutan adalah guru kelas. Nilai tersebut diperoleh selama 6 kali evaluasi terakhir yang datanya diperoleh dari dokumentasi pada guru mata pelajaran atau guru kelas masing-masing.
Tabel 2 Nilai Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran
(6 x evaluasi terakhir)
No Resp.
Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran
(6 x evaluasi terakhir)
1 2 3 4 5 6Rata
-Rata
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
7,60
6,54
8,00
8,20
8,00
7,20
8,60
7,98
7,90
6,90
6,70
8,00
7,50
6,10
8,2
7,90
5,95
8,50
7,50
8,00
7,56
8,40
7,12
7,92
6,90
6,80
8,50
7,60
6,00
8,0
7,95
7,00
7,93
7,90
8,00
7,85
8,00
7,59
8,00
6,65
6,90
8,50
7,70
6,58
8,1
8,10
7,10
7,87
7,60
8,00
7,98
8,21
7,87
8,20
6,00
6,23
8,00
7,54
6,98
8,2
8,20
6,52
8,30
7,90
8,00
8,20
7,58
8,67
8,40
7,15
6,50
7,90
7,80
7,16
8,2
8,64
6,43
8,00
7,42
8,00
8,20
7,49
8,12
8,50
7,26
6,21
9,40
8,00
7,90
8,6
8,07
6,59
8,10
7,75
8,00
7,83
8,05
7,89
8,15
6,81
6,56
8,38
7,69
6,79
8,2
31
No Resp.
Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran
(6 x evaluasi terakhir)
1 2 3 4 5 6Rata
-Rata
0
7,59
8,50
6,80
7,23
0
8,00
8,40
7,10
8,00
0
8,10
8,60
6,85
8,00
3
8,20
8,21
6,98
8,20
1
8,50
8,24
6,85
8,10
0
8,42
8,21
6,20
8,65
2
8,14
8,36
6,80
8,03
Uji Regresi Linier Sederhana
Data yang terkumpul sebagaimana paparan sebelumnya selanjutnya dianalisis untuk mengetahui pengaruh disiplin guru dengan prestasi belajar siswa.
Koding, skoring, dan tabulating telah dilaksanakan peneliti yang hasilnya tertera pada lampiran. Pada analisa data ini akan dipaparkan uji hipotesis dengan regresi linier sederhana. Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.
ANOVAb
1, 918 1 1, 918 6, 171 , 024a
5, 282 17 , 311
7, 200 18
Regression
Residual
Tot al
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predict ors: (Const ant ) , Disiplin Gurua.
Dependent Var iable: Prest asi Siswab.
Gambar 1 Uji F
Gambar 4.2 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 6,171. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel pada df = 17 sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution α=0,05). Tabel F dengan df = 13 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,45. Sehingga Fhitung = 6,171 > Ftabel = 4,45.
Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,024 jauh di bahwa 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.
Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif (Gambar 4.3) antar kedua variabel yang diperoleh Pearson Correlation sebesar 0,516 lebih dari rtabel sebesar 0,456 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 17 terlampir).
Corre la tions
1 ,000 ,516
,516 1 ,000
, ,012
,012 ,
19 19
19 19
Pres tas i Si s wa
Dis ip l i n Gu ru
Pres tas i Si s wa
Dis ip l i n Gu ru
Pres tas i Si s wa
Dis ip l i n Gu ru
Pears on Co rre la tion
Sig . (1 -ta i led )
N
Pres tas iSis wa Dis ip l i n Gu ru
Gambar 2 Uji Korelasi
Besarnya pengaruh atau kontribusi disiplin guru terhadap
32
prestasi belajar siswa dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.
Coef f i ci ent sa
6, 191 , 619 10, 003 , 000
, 560 , 226 , 516 2, 484 , 024 , 516 , 516 , 516
( Cons t ant )
Dis iplin G ur u
M odel1
B St d. Er r or
Uns t andar dizedCoef f ic ient s
Bet a
St andar dizedCoef f ic ient s
t Sig. Zer o- or der Par t ial Par t
Cor r elat ions
Dependent Var iable: Pr es t as i Sis waa.
Gambar 3 Uji t
Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.4 memperlihatkan thitung sebesar 2,484 > ttabel sebesar 2,110 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir untuk df = 17) artinya terdapat pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa.
Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa dapat dilihat koefisien regresi (unstandarized coefficients Beta) pada gambar 4.4 di atas sebesar 0,560. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut :
Y = a + bX
= 6,191 + 0,560
Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut:
1) Konstanta sebesar 6,191 menyatakan bahwa jika variabel disiplin guru dianggap konstan (tidak ada upaya meningkatkan
disiplin guru), maka prestasi belajar siswa sebesar 6,191point.
2) Koefisien regresi disiplin guru sebesar 0,560 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin tingkat disiplin guru akan meningkatkan perkembangan perusahaan sebesar 0,560 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya peningkatan disiplin guru sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 560 point.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan disiplin guru dipengaruhi oleh tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Tanggung jawab tersebut berasal dari pemerintah karena para guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang jelas.
Selain itu para guru juga bertanggung jawab atas prestasi belajar para siswanya. Guru cera umum akan merasa bangga apabila siswanya dapat berprestasi dan memiliki kemampuan yang baik.
Disebutkan bahwa faktor-faktor kesehatan jasmani dan rohani, ekonomi, status sosial, kepemimpinan dan peraturan dan tata tertib juga berpengaruh terhadap disiplin guru.
Kesehatan seluruh guru secara umum terlihat sehat jasmani maupun rohaninya. Dikatakan bahwa kesehatan seorang guru mempengaruhi terhadap tugas sehari-hari. Sudah sewajarnyalah
33
bila setiap guru menginginkan rasa aman dalam kehidupannya sehingga akan terhindar dari segala gangguan kesehatan. Sehingga ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan yang akhirnya dapat membawa hasil yang baik pula.
Selanjutnya masalah ekonomi secara umum Pegawai Negeri Sipil telah mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemerintah melalui Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001 menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil mencapai 200% atau dua kali lipat, sehingga jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk di Indonesia Pegawai Negeri Sipil sudah cukup baik. Memang masalah ekonomi sangat penting terhadap disiplin guru. Dikatakan bahwa faktor ekonomi menambah beban bagi guru-guru dan menjadi persoalan pribadi yang dapat memungkinkan terganggunya tugas-tugas di sekolah. Padahal guru-guru menginginkan rasa aman, tentram dalam kehidupannya yang antara lain yaitu penerimaan gaji lancar, segala haknya dapat diterima dengan baik dan tepat pada waktunya, juga memiliki tempat tinggal untuk keluarganya dan lain-lain.
Kemudian tentang status sosial guru di dalam masyarakat mempunyai status yang cukup baik. Masyarakat memandang guru sebagai orang yang patut dihargai, karena mereka menyadari bahwa guru memegang peranan penting dalam pelaksanaan pembangunan di bidang pendidikan, karena pendidikan akan berjalan lancar dan
berkembang baik apabila guru secara aktif ikut memajukan pendidikan di dalam masyarakat.
Faktor kepemimpinan merupakan faktor penting dalam membentuk disiplin para guru. Kepemimpinan yang dimaksud ini adalah kepemimpinan kepala sekolah. Dikatakan bahwa kepala sekolah, jika kepemimpinannya efektif, maka guru-guru akan memperoleh sumbangan yang berharga dalam merumuskan tujuan-tujuan pendidikan, berlangsung pengajaran yang efektif, terciptanya suasana yang kondusif (berguna) sehingga hal demikian itu akan mendukung terciptanya kedisiplinan guru yang baik. Dengan demikian maka factor kepemimpinan dapat mempengaruhi kedisiplinan guru. Di SDN Banjarsari Kec Cerme Kabupaten Gresik, kepemimpinan kepala sekolah sukup baik, dan komunikasi kepala sekolah dengan para guru juga berlangsung dengan baik.
Tidak kalah penting adalah peraturan dan tata tertib sekolah yang mempengaruhi disiplin guru. Disiplin guru dan tata tertib sekolah merupakan dua hal yang saling terkait. Artinya disiplin guru tidak akan tercapai bila tidak ada peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengikat, sehingga menyebabkan guru untuk berbuat semaunya sendiri yang mengarah terciptanya sekolah yang tidak teratur/tertib. Tata tertib yang ada di SDN Banjarsari sudah cukup baik dan tercatat dan ditempatkan di posisi yang mudah dilihat.
34
Hasil uji menunjukkan pengaruh yang signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa.
Ketika belajar di sekolah, faktor guru dan cara mengajarkannya merupakan faktor yang paling penting pula. Bagaimana sikap dan kepribadiannya guru, disiplinnya, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan bagaimana cara guru itu mengajarkan pengetahuan kepada anak didiknya, turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai oleh siswa.
Kesimpulan
1. Disiplin guru di SDN Banjarsari Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik sebagian besar baik.
2. Terdapat pengaruh positif disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa di SDN Banjarsari Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik.
Saran-saran
1. Para guru diharapkan agar dapat menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, disiplin, jujur, dan penuh didekasi, karena dengan sikap-sikap tersebut sangat membantu dalam tercapainya prestasi belajar siswa.
2. Para guru hendaknya juga lebih memperhatikan kehadiran, persiapan mengajar dan proses kegiatan belajar mengajar.
3. Bagi kepala sekolah dapat memberi motivasi agar para guru
lebih disiplin dengan memberi stimulus yang proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
Ametembun, Drs.M.A, “Supervisi Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1975
Ametembun, Drs.M.A, “Manajemen Kelas”, Terbitan Ketiga Penerbit IKIP Bandung, 1981
Hendyat Sutopo, Dr., “Ikhtiar Teknik Penilaian Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1984
Ismed Syarif, Drs dan Nawas Riza, Drs., “Administrasi Pendidikan Dasar”, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976
M. Ngalim Purwanto, Drs.M.P., “Pyskologi Pendidikan”, Penerbit PT. Rosda Karya Bandung 1990
M. Dimyati Mahmud, “Psykologi Pendidikan”, Suatu Pendekatan Terapan Edisi I Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta
Sutrisno Hadi, Prof. Dr. M.A., “Metodologi Reseach”, Jilid II Penerbit FKP IKIP Yogyakarta 1967
Suhertin, Drs. Dan Nata Her, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Program Insenvice Education, Penerbit IKIP Malang 1971
35
S. Nasution, Prof.Dr.M.A “Didaktik dan Azas-Azas Kurikulum”, Penerbit Jemara Bandung 1989
Westy Sumanto, Drs dan Hendyat Sutopo “Kepemimpinan Pendidikan”, Peberbit Usaha Nasional Surabaya 1982
Subari, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Perbaikan Situasi Mengajar Penerbit Bumi Aksara Jakarta 1994
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan “Buku II Petunjuk Administrasi Sekolah Dasar”, tahun 1989
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah Jawa Timur “Media Pendidikan”, Nomor 3 Edisi Mei 1991
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Penerbit Balai Pustaka 1989
TAP MPR No. II/MPR/1993 “Garis-Garis Besar Haluan” Negara 1993-1998, Penerbit Bina Pustaka Surabaya 1989
36
Diterbitkan Oleh :
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Gresik
ISSN 2089-5933
37
e- JURNAL
PENDIDIKAN
Vol. 1 No. I Hlm.
1-66
Gresik
Juni -Nopembe
r
ISSN
2089-5933
PENGARUH PELAKSANAAN SUPERVISI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEDISIPLINAN GURU DALAM PELAKSANAKAN PROSES BELAJAR
MENGAJAR DI SDN NGAGELREJO WONOKROMO
KOTA SURABAYA
Sri Sundari *)
Abstrak, Untuk mencapai tujuan pendidikan, guru juga perlu menaruh perhatian terhadap kemajuan murid di samping evaluasi belajar memecahkan masalah atau problem yang dihadapi murid dan lain-lainnya. Di dalam memperbaiki dan mensukseskan proses belajar mengajar serta memecahkan masalah lain, banyak dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap guru dan lingkungan sekolahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap kedisiplinan guru dalam pelaksanakan proses belajar mengajar.
Penelitian ini merupakan jenis regresional. Populasinya adalah seluruh guru di SDN Ngagelrejo II/397 Kec. Wonokromo Kota Surabaya berjumlah 18 orang. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh responden sebanyak 18 orang. Data dikumpulkan dengan kuesioner, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan supervisi kepala terhadap disiplin guru digunakan uji regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 5,975 > Ftabel = 4,49. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Terlihat pula
38
signifikan hasil hitung αhitung = 0,026 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian diharapkan supervisi kepala sekolah dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga lebih meningkatkan disiplin guru. Guru hendaknya ikut mensukseskan pelaksanaan supervisi kepala sekolah agar kegiatan proses belajar mengajar lebih meningkat dan bermutu. Bagi pihak-pihak terkait khususnya pemerintah hendaknya memperhatikan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan membantu memberikan instrumen yang valid dan handal.
Kata Kunci : Pelaksanaan Supervisi Kepala Sekolah, Kedisiplinan Guru
39
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi seluruh bidang kehidupan, misalnya bidang komunikasi, transportasi serta pembangunan fisik lainnya. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, maka hubungan antara negara-negara di dunia ini semakin berkembang. Jarak antara negara yang satu dengan negara yang lainnya seolah-olah semakin dekat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendekatkan dan menyatukan negara yang satu dengan negara yang lain sehingga seolah-olah dunia ini mengglobal.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga berusaha untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi agar sesuai dengan perkembangan jaman. Hal ini sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945 alinea 4 yang berbunyi: “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Untuk melaksanakan hal tersebut diatas, maka salah satu bidang yang harus diutamakan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah dalam bidang pendidikan, karena pendidikan modal paling utama dalam menciptakan manusia yang cerdas dalam arti terampil, dapat berdiri sendiri serta bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara.
Dalam pendidikan atau pengajaran, warga negara Indonesia dijamin haknya untuk mendapatkan pengajaran sebagaimana tercantum dalam Batang Tubuh UUD 1945 Bab XIII pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Untuk pelaksanaan tersebut diatas, maka pemerintah berupaya serta mempunyai tanggung jawab dalam pendidikan. Hal ini diperkuat dengan ayat berikutnya (pasal 31 ayat 2) yang berbunyi : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur oleh Undang-undang”.
Dengan melihat pernyataan diatas, maka pendidikan mencetuskan harapan, karena harapan terletak pada pendidikan, harapan juga menjiwai perjuangan kemerdekaan. Karena itu pendidikan merupakan bagian
40
mutlak dari perjuangan dan merupakan investasi yang paling utama dari setiap bangsa.
Oleh karena itu, mutu pendidikan lebih banyak cenderung dan tergantung pada guru dalam membimbing/mendidik proses belajar mengajar, serta kedisiplinan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kedisiplinan perlu sekali ditingkatkan untuk mencapai keberhasilan pendidikan, baik disiplin waktu maupun tugas.
Sebagai tenaga pendidik di sekolah, guru harus ikut aktif dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapan MPR No. 11/83 tentang GBHN halaman 93 yang berbunyi : “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap “Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan seta cinta tanah air agar dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa dan negara”.
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut diatas, maka
tugas guru juga perlu menaruh perhatian terhadap hal-hal lain. Laporan tentang kemajuan murid di samping evaluasi belajar memecahkan masalah atau problem yang dihadapi murid dan lain-lainnya.
Di dalam memperbaiki dan mensukseskan proses belajar mengajar serta memecahkan masalah lain sebagaimana tersebut, banyak dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi Kepala Sekolah terhadap guru dan lingkungan sekolahnya.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian explanatory survey. Pendekatan explanatory survey ini, sebagaimana simpulan Cooper dan Pamela (2003:13), Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (1995:3) terbukti mampu dengan baik menjelaskan hubungan antar aspek yang diamati dan bukan hanya sekedar descriptive, sedangkan bentuk penelitian verifikatif menurut Moh. Nazir (1988:63) digunakan untuk menguji hipotesis yang menggunakan perhitungan-perhitungan statistik.
41
Deskripsi Populasi dan Penentuan Sampel
Deskripsi Populasi
Arikunto (2002) menyatakan bahwa populasi adalah obyek yang akan diteliti hasilnya, dianalisis, disimpulkan dan kesimpulan itu berlaku untuk seluruh populasi itu. Sudjana (1996) menjelaskan popupasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atau pengukuran, kuantitatif, atau kualitatif mengenai karateristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jenis yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh guru di SDN Ngagelrejo II Wonokromo Surabaya berjumlah 18 orang.
Penentuan Sampel
Pengambilan sampel ini didasari pendapat Arikunto (1998:120-121) “Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau lebih tergantung setidak-tidaknya dari : a) kemampuan peneliti dari waktu, tenaga dan dana, b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek,
karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data, c) Besar kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang risikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik.”
Sugiyono (2009:124) menyatakan jumlah sampel tergantung dari tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki, misalnya tingat kesalahan 1%, 5%, 10% atau lainnya. Makin besar tingkat kesalahan makin kecil sampel. Rumus untuk menghitung ukuran sampel dari populasi yang diketahui jumlahnya adalah :
s = λ2 . N .P .Q
d2 (N−1 )+λ2 .P .Q
2 dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10%
P = Q = 0,5 d = 0,05 s = jumlah sampel
Namun dari rumus tersebut telah dihitung untuk populasi-populasi dengan jumlah tertentu mulai 10 hingga 1.000.000 oleh Sugiono (2009:126) sebagaimana tabel terlampir. Untuk jumlah populasi 18 orang dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh sampel sebanyak 18 orang. Oleh karena itu dalam penelitian ini Dari 19 orang ini dipilih dengan teknik total sampling yaitu mengambil seluruh guru menjadi responden.
Variabel Penelitian
42
Dalam penelitian yang dilakukan ini, variabel yang digunakan terdiri dari satu variabel bebas yaitu disiplin guru dan satu variabel terikat yaitu prestasi belajar.
Definisi Operasional Variabel
Agar tujuan penelitian dapat tercapai maka variabel harus didefinisikan dengan jelas dan menyebutkan indikator-dindikatornya, cara pengukurannya, dan skala atau kategori penilaian yang digunakan. Berikut ini adalah definisi operasional masing-masing variabel. 1. Variabel bebas (X) yakni
pelaksanaan supervisi kepala sekolah adalah suatu usaha untuk mewujudkan kemajuan sekolah yang bersifat teratur dan kontinyu dengan jalan membina, memperbaiki, meningkatkan kedisiplinan guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar untuk mempertinggi mutu pendidikan yang diberikan kepada siswa. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut :a. Prinsip konstruktif b. Prinsip kreatifitas c. Prinsip kooperatif d. Prinsip demokrasi e. Prinsip kontinyuitas f. Prinsip ilmiah
2. Variabel terikat (Y) yakni disiplin guru adalah suatu sikap mental seoang guru yang
mengandung kesadaran dan kerelaan untuk mematuhisemua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab. Disiplin guru tersebut diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut :a. Kehadiran di sekolah b. Ketepatan waktu mengajarc. Persiapan mengajar yaitu
silabus, RPP d. Kegiatan belajar mengajar
antara lain alat peraga, buku penunjang, buku absen siswa, daftar nilai, dan lain-lain.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :1. Survey Pendahuluan
Dalam kegiatan ini, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data-data intern perusahaan di antaranya adalah profil SDN Ngagelrejo II Wonokromo Surabaya.
2. Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah
mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Suharsimi, 2002 : 236).
Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk mencatat indikator disiplin guru.
3. Kuesioner
43
Dalam penelitian ini digunakan kuesioner tertutup dengan skala Likert. Menurut Arikunto (1998:151) kuesioner tertutup adalah kuesioner yang telah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih jawaban pada kolom yang sudah disediakan dengan memberi tanda cross (x). Dalam penelitian ini kuesioner digunakan untuk megambil data tentang pelaksanaan supervisi kepala sekolah.
Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan urutan analisa sebagai berikut :
1. Coding, adalah memberi kode pada lembar check list sesuai dengan kategori yang telah ditentukan.
2. Tabulating, Tabulating adalah mentabulasi seluruh data hasil chek list ke dalam tabel-tabel yang diperlukan sehingga mudah dibaca.
3. Skoring, Skoring adalah memberi skor dari kategori-kategori tersebut sesuai skor yang telah ditentukan. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan disiplin guru diberi skor tinggi, sedang dan rendah. Skor tinggi jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai >75%, skor sedang jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai 56-75%,
dan rendah jika penjumlahan dari hasil penilaian <56%.
4. Uji HipotesisUji hipotesis berfungsi untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji ini sekaligus juga menjawab rumusan masalah yang telah ditulis pada Bab I. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana :
Y = a + bXY = Disiplin guru X = Pelaksanaan supervisi
kepala sekolah a = Nilai konstanta b = Nilai arah sebagai penentu
ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan (+) atau nilai penurunan (–) variabel Y.
Dalam penelitian ini perhitungan regresi dilakukan dengan bantuan program SPSS for Windows. Langkah menguji hipotesis : a. Membuat Ha dan Ho dalam
bentuk kalimat : Ha : Terdapat pengaruh
pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru
Ho : Tidak terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru
b. Kaidah pengujian signifikansi : Jika Fhitung ≥ Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak
44
artinya terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru.Jika Fhitung < Ftabel maka Ha ditolak dan Ho diterima artinya tidak terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1
Pelaksanaan Supervisi Kepala Sekolah
Pe la k s a n a a n Su p e rv is i Ke p s e k
3 1 6 ,7 1 6 ,7 1 6 ,7
1 3 7 2 ,2 7 2 ,2 8 8 ,9
2 11 ,1 11 ,1 1 0 0 ,0
1 8 1 0 0 ,0 1 0 0 ,0
Ku ra n g
Cu k u
Ba i k
T o ta l
Va l i dF re q u e n c y Pe rc e n t Va l i d Pe rc e n t
Cu mu l a t i v ePe rc e n t
Tabel 1 menunjukkan dari 18 guru sebagai responden dalam menanggapi pelaksanaan supervisi kepala sekolah 72,2% menyatakan cukup, 16,7% menyatakan kurang, dan 11,1% masing menyatakan baik.
Tabel 2 Disiplin Guru di SDN Ngagelrejo II/397 Kec. Wonokromo
Kota Surabaya
Dis ip lin Guru
3 1 6 ,7 1 6 ,7 1 6 ,7
1 5 8 3 ,3 8 3 ,3 1 0 0 ,0
1 8 1 0 0 ,0 1 0 0 ,0
Cu k u p
Ba i k
To ta l
Va l i dF re q u e n c y Pe rc e n t Va l i d Pe rc e n t
Cu mu l a t i v ePe rc e n t
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa disiplin guru dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar (83,3%) baik, dan 16,7% cukup.
Analisis Data
Hasil Pengujian Validitas
Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan mengukur apa yang diinginkan dan mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrument valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapat data itu valid. Dalam uji validitas ini suatu butir pernyataan dikatakan valid jika corrected item total correlation lebih besar dari 0,468 (untuk jumlah responden 18 orang df = 16) sebagaimana tabel r produk momen terlampir. Hasil pengujian validitas terhadap variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 3 Hasil Uji Validitas Variabel Pelaksanaan Supervisi Kepala
Sekolah
45
Pernya-taan
Corrected item total
correlation
Keterangan
123456
0,7200,6920,6230,6680,6120,622
ValidValidValidValidValidValid
Sumber : Hasil Olah Data SPSSDari tabel di atas dapat diketahui
bahwa untuk item pernyataan variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah, corrected item total correlation yang diperoleh untuk seluruh item pernyataan adalah lebih besar dari 0,468 hal tersebut berarti bahwa secara keseluruhan item pernyataan mengenai pelaksanaan supervisi kepala sekolah adalah valid.
Hasil Uji Reliabilitas
Suatu alat ukur dikatakan reliabel atau handal, jika alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berbeda senantiasa menunjukkan hasil yang relatif sama. Untuk menguji reliabilitas suatu instrument dapat digunakan uji statistic Cronbach Alpha (α), dimana suatu alat ukur dikatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60. Hasil pengujian reliabilitas terhadap variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah diperoleh alpha sebesar 0,8773 lebih besar dari 0,6 sehingga dapat diputuskan bahwa item kuesioner telah reliabel.
Hasil Pengujian Regresi Linier Sederhana
Untuk mengetahui ada atau tidaknya pergaruh antara variabel bebas pelaksanaan supervisi kepala sekolah (X) terhadap variabel terikat yang dalam hal ini adalah disiplin guru (Y), maka digunakan analisis model regresi linier sederhana dengan model persamaan sebagai berikut :
Y = α + bX1
Dimana :
Y = Disiplin guru
X = Pelaksanaan supervisi kepala sekolah
b = koefisien regresi X
Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.
ANOVAb
, 680 1 , 680 5, 975 , 026a
1, 820 16 , 114
2, 500 17
Regression
Residual
Tot al
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predict ors: (Const ant ) , Pelaksanaan Supervisi Kepseka.
Dependent Var iable: Disiplin Gurub.
Gambar 1 Uji F
Gambar 4.3 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 5,975. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel df = 16
46
sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution α=0,05). Tabel F dengan df = 16 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,49. Sehingga Fhitung = 5,975 > Ftabel = 4,49.
Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,026 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.
Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif antar kedua variabel seperti tampak pada Gambar 4.2. Hasil Pearson Correlation sebesar 0,521 lebih dari rtabel sebesar 0,468 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 16 terlampir).
Co rre la tio n s
1 ,0 0 0 ,5 2 1
,5 2 1 1 ,0 0 0
, ,0 1 3
,0 1 3 ,
1 8 1 8
1 8 1 8
Di s i p l i n Gu ru
Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i Ke p s e k
Di s i p l i n Gu ru
Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i Ke p s e k
Di s i p l i n Gu ru
Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i Ke p s e k
Pe a rs o n Co rre l a t i o n
Si g . (1 -ta i l e d )
N
Di s i p l i n Gu ru
Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i
Ke p s e k
Gambar 4.2 Pearson Correlations
Besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.
Coef f i ci ent sa
2, 112 , 305 6, 915 , 000
, 371 , 152 , 521 2, 444 , 026
( Const ant )
PelaksanaanSuper visi Kepsek
Model1
B St d. Er r or
Unst andar dizedCoef f icient s
Bet a
St andar dizedCoef f icient s
t Sig.
Dependent Var iable: Disiplin G ur ua.
Gambar 4.3 Uji t
Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.3 memperlihatkan thitung
sebesar 2,444 > ttabel sebesar 2,120 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir) artinya terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru.
Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru dapat dilihat koefisien regresi (unstandarized coefficients Beta) pada gambar 4.2 sebesar 0,589. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut :
Y = a + bX
= 2,112 + 0,371
Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut:
47
1) Konstanta sebesar 2,112 menyatakan bahwa jika variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah dianggap konstan (tidak ada upaya supervisi), maka disiplin guru sebesar 2,112 point.
2) Koefisien regresi pelaksanaan supervisi kepala sekolah sebesar 0,371 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin pelaksanaan supervisi kepala sekolah akan meningkatkan disiplin guru sebesar 0,371 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya pelaksanaan supervisi kepala sekolah sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan disiplin guru sebesar 371 point.
Hasil uji regresi linier sederhana menunjukkan adanya pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Adanya pengaruh ini menunjukkan betapa pentingnya pelaksanaan supervisi kepala sekolah.
Dalam kaitan pentingnya pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru, Soewadji (1980:33) menyatakan supervisi merupakan rangsangan, bimbingan atau bantuan yang diberikan kepada guru-guru agar kemampuan profesionalnya semakin bertambah, sehingga situasi belajar mengajar lebih efektif dan efisien. Kemampuan profesional tidak lepas dari disiplin guru, dikatakan profesional berarti seorang guru
juga bisa melaksanakan disiplin dengan baik.
Baharudun Harahap menjelaskan masalah supervisi dalam administrasi pendidikan adalah pembinaan administrasi atau kepegawaian, yaitu masalah pengaturan, penyusunan dan penyimpanan data sebagai dasar dukungan keputusan mutasi yang menyangkut kepentingan pegawai dalam kedudukan sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan yang dimaksud data di sini meliputi dokumen perorangan maupun data hasil olahan atau laporan. Laporan yaitu kartu merah, Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dan selain itu untuk mengetehui bagaimana kenaikan pangkat para guru atau pegawai dan pembagian tugasnya.
Apalagi jika pelaksanaan supervisi kepala sekolah yang memenuhi prinsip-prinsip yang telah ditentukan maka semakin jelas hasilnya terhadap disiplin guru. Prinsip konstruktif misalnya, bahwa pelaksanaan bersifat membangun yaitu harus tampak perbedaan antara sebelum diadakan supervisi dengan sesudah supervisi yaitu makin majunya dalam suatu hal pengetahuan, sikap atau nilai dan ketrampilan, profesi. Maka maksudnya, supervisor hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa setiap guru pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan.
48
Prinsip kreativitas juga tidak kalah penting, Dolok Saribu dan Berlian T. Simbolon (1984:236) mengemukakan bahwa supervisi hendaknya mendorong guru untuk berinisiatif, melalui supervisi hendaknya guru dapat memperoleh pengetahuan, juga berkreasi atau mencipta dengan sikap atau nilai dan ketrampilan guru atas inisiatif sendiri tidak bergantung kepada kepala sekolah atau pemimpinannya.
Sedangkan prinsip kooperatif, juga telah dikembangkan oleh kepala sekolah yang dilaksanakan atas kerja sama antara kepala sekolah dan guru, sehingga terjalin kehamonisan kerja yang baik, saling mengisi dan menyadari kekurangan masing-masing. Supervisor tidak dianggap momok yang menakut-nakuti, namun di sini sebagai pemimpin mereka yang harus bias membantu kelancaran tugas para guru.
Prinsip demokrasi dilaksanakan oleh kepala sekolah tidak hanya atas kemampuannya, tetapi juga ternyata perlu mempertimbangkan kemauan/pendapat para guru. Kepala Sekolah sebagai supervisor menghargai kepribadian guru, dalam pembicaraan bersama ia harus memberi kesempatan kepada guru untuk mengeluarkan pendapatnya dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil
hendaknya dengan jalan musyawarah.
Prinsip kontinyuitas yaitu melaksanakan terus-menerus secara teratur, tidak hanya karena akan ada inspeksi atasan, sehingga para guru sudah terbiasa bekerja dengan teratur disertai dengan rasa disiplin dan tanggung jawab.
Prinsip ilmiah menurut Made Pidharta (1986:39) bahwa supervisi dilaksanakan hendaknya dengan sistematika, objektif dan berdasarkan data atau informasi. Dalam hal ini tugas supervisi diharuskan pada pembinaan guru-guru. Supervisi berpegang pada tujuan sekolah, koordinasi merode belajar dan kualifikasi dengan segala aktifitasnya yang sudah ditentukan secara jelas.
SARAN
1. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah seyogyanya dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga lebih meningkatkan disiplin guru.
2. Guru hendaknya ikut mensukseskan pelaksanaan supervisi kepala sekolah agar kegiatan proses belajar mengajar lebih meningkat dan bermutu.
3. Bagi pihak-pihak terkait khususnya pemerintah hendaknya memperhatikan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan membantu
49
memberikan instrumen yang valid dan handal.
DAFTAR PUSTAKA
Ametembun, Drs.M.A, “Supervisi Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1975
Ametembun, Drs.M.A, “Manajemen Kelas”, Terbitan Ketiga Penerbit IKIP Bandung, 1981
Ghozali, Imam. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program
SPSS. Badan Penerbit Undip, Semarang. 2002.
Hendyat Sutopo, Dr., “Ikhtiar Teknik Penilaian Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1984
Ismed Syarif, Drs dan Nawas Riza, Drs., “Administrasi Pendidikan Dasar”, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976
M. Ngalim Purwanto, Drs.M.P., “Pyskologi Pendidikan”, Penerbit PT. Rosda Karya Bandung 1990
M. Dimyati Mahmud, “Psykologi Pendidikan”, Suatu Pendekatan Terapan Edisi I Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta
Sutrisno Hadi, Prof. Dr. M.A., “Metodologi Reseach”, Jilid II Penerbit FKP IKIP Yogyakarta 1967
Suhertin, Drs. Dan Nata Her, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Program Insenvice Education, Penerbit IKIP Malang 1971
S. Nasution, Prof.Dr.M.A “Didaktik dan Azas-Azas Kurikulum”, Penerbit Jemara Bandung 1989
Westy Sumanto, Drs dan Hendyat Sutopo “Kepemimpinan Pendidikan”, Peberbit Usaha Nasional Surabaya 1982
50
Subari, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Perbaikan Situasi Mengajar Penerbit Bumi Aksara Jakarta 1994
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan “Buku II Petunjuk Administrasi Sekolah Dasar”, tahun 1989
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah Jawa Timur “Media Pendidikan”, Nomor 3 Edisi Mei 1991
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia “Kamur Besar Bahasa Indonesia”, Penerbit Balai Pustaka 1989
TAP MPR No. II/MPR/1993 “Garis-Garis Besar Haluan” Negara 1993-1998, Penerbit Bina Pustaka Surabaya 1989.
51
Diterbitkan Oleh :Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
E – JURNAL JENDELA
PENDIDIKAN
Vol. :
01
No.:
I
Hlm.
1-106
Gresik
Juni -Nopembe
r
ISSN
2089-5933
ISSN 2089-5933
1
Universitas Gresik
TELAAH KRITIS PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
(EDUCATION FOR ALL)
DALAM KONTEKS MANAJEMEN PENDIDIKAN
Soesetijo *)
Abstrak: pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pengajaran. Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang menan-datangani “Education for All”. Oleh karena itu, Indonesia mencanang-kan Wajib Belajar 6 tahun pada tahun 1984 dan Wajib Belajar 9 tahun pada tahun 1994. Hakikat dari “Pendidikan untuk Semua dan Semua un-tuk Pendidikan” adalah mengupayakan agar setiap warga Negara dapat memenuhi haknya. Untuk mewujudkan program PUS (Pendidikan Untuk Semua) tersebut, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warganegara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk barpartisipasi aktif dalam menyukseskan pendidikan untuk semua. Agar program PUS dapat memenuhi target ca-paian sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu dikelola secara profe-sional. Dalam konteks menejemen pendidikan, secara struktural penge-lolaan PUS perlu ada kosistensi dan komitmen yang sama dalam pelak-sanaannya, terutama dalam penerapannya di lembaga-lembaga pendi-dikan yang terkait.
2
Kata-kata kunci: telaah kritis, pendidikan untuk semua, manajemen pendidikan.
3
Manusia membutuhkan
pendidikan dalam kehidupannya.
Pendidikan merupakan usaha
agar manusia dapat
mengembangkan potensi dirinya
melalui proses pembelajaran
dan/atau cara lain yang dikenal
dan diakui oleh masyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 31 ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap warga Negara
berhak mendapat pendidikan,
dan ayat (3) menegaskan bahwa
Pemerin-tah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur
dengan undang-undang. Untuk
itu, seluruh komponen
*) Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.
bangsa wajib mencerdaskan
kehidupan bangsa yang
merupakan salah satu tujuan
negara Indonesia.
Indonesia merupakan salah
satu Negara yang menandatangi
deklarasi “Education for All”.
Berkaitan dengan deklarasi ini
dan sekaligus juga sebagai wujud
keseriusan Indonesia
mensukseskannya, maka
Indonesia telah mencanangkan
Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun
1984 dan 10 tahun berikutnya,
yaitu pada tahun 1994, Indonesia
mencanangkan Wajib Belajar 9
Tahun. Melalui Wajib Belajar 6
Tahun diharapkan anak-anak usia
Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat
menikmati layanan pendidikan
Sekolah Dasar (SD). Artinya,
anak-anak usia SD dapat
menyelesaikan pendidikan SD.
Demikian juga halnya melalui
pencanangan Wajib Belajar 9
Tahun diharapkan anak-anak usia
SMP (13-15 tahun) dapat
menyelesaikan pendidikan SMP.
Dalam lingkungan
masyarakat Indonesia yang
4
pluralistis di mana setiap anak
yang mengalami berbagai jenis
kebudayaan diharapkan belajar
beradaptasi terhadap kebudayaan
utama Indonesia (mainstream
culture), upaya pendekatan
belajar bagi setiap anak harus
lebih banyak dikaji secara
mendalam sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan
zaman dan sesuai dengan
kebutuhan perkembangan anak
(Developmentally Appropriate
Practice, DAP). Sejak
kemerdekaan bangsa ini maka
telah disebutkan dalam UUD
1945 pasal 31 ayat 1 bahwa
setiap anak Indonesia berhak
untuk belajar. UUD ini dilandasi
oleh filsafat yang serasi dengan
hak asasi manusia yang menjaga
kedaulatan manusia yang
memiliki hak untuk belajar.
Berbagai program yang
diarahkan untuk mendukung
keberhasilan pelaksanaan Wajib
Belajar 6 Tahun dan 9 Tahun
telah dilaksanakan secara
terencana dan bertahap.
Berkaitan dengan hal ini, satu hal
yang menjadi keprihatinan di
berbagai Negara adalah
mengenai anak-anak yang karena
satu dan lain hal terpaksa tidak
dapat menyelesaikan pendidikan
SD, sehingga mereka ini menjadi
warga Negara yang buta aksara.
Demikian juga dengan anak-anak
yang terpaksa tidak dapat
menyelesaikan pendidikan SMP,
maka mereka akan cenderung
masuk ke dalam kelompok tenaga
kerja kasar.
Konsep Pendidikan untuk
Semua (PUS)
Hakekat dari “Pendidikan
untuk Semua dan Semua untuk
Pendidikan” adalah
mengupayakan agar setiap warga
Negara dapat memenuhi haknya,
yaitu setidak-tidaknya untuk
mendapatkan layanan pendidikan
dasar (Wajib Belajar 9 Tahun).
Untuk dapat mewujudkan
“Pendidikan untuk Semua dan
Semua untuk Pendidikan”, semua
komponen bangsa, baik
pemerintah, swasta, lembaga-
lembaga sosial kemasyarakatan,
5
maupun warga Negara secara
individual, secara bersama-sama
atau sendiri-sendiri, berkomitmen
untuk berpartisipasi aktif dalam
menyukseskan “Pendidikan untuk
Semua dan Semua untuk
Pendidikan” sesuai dengan
potensi dan kapasitas masing-
masing.
Sebagai unit organisasi
terkecil, orang tua dari setiap
keluarga tergugah dan ter-
panggil untuk setidak-tidaknya
membimbing dan membelajarkan
anak-anaknya, baik melalui
pendidikan formal persekolahan,
lembaga pendidikan non-formal,
maupun melalui lembaga
pendidikan informal.
Mengirimkan anak untuk belajar
melalui lembaga pendidikan
sekolah sudah jelas yaitu mulai
dari Taman Kanak-Kanak (TK)
sampai dengan pendidikan tinggi.
Apabila karena satu dan
lain hal, seorang anak tidak
memungkinkan untuk mengikuti
pendidikan persekolahan, maka
orang tua dapat mengirimkan
anaknya untuk mengikuti
kegiatan pembelajaran pada
pendidikan non-formal, seperti
Paket A setara SD, Paket B setara
SMP, dan Paket C setara SMA.
Seandainya seorang anak tidak
memungkinkan juga mengikuti
pendidikan melalui pendidikan
formal dan non-formal, maka
masih ada model pendidikan
alternatif yang dapat ditempuh,
yaitu “Sekolah di Rumah” (Home
Schooling). Dalam kaitan ini,
orang tua dapat mengidentifikasi
lembaga-lembaga sosial
kemasyarakatan atau unit-unit
pendidikan prakarsa anggota
masyarakat yang
menyelenggarakan Sekolah di
Rumah” dan kemudian
mengirimkan anaknya untuk
mengikuti pendidikan di lembaga
atau unit pendidikan tersebut.
Atau, orang tua sendiri dengan
latar belakang pendidikan dan
pengetahuan yang dimiliki, dapat
membimbing dan membelajarkan
anak-anaknya sehingga pada
akhirnya sang anak dapat
mengikuti ujian persamaan
6
(Upers), baik pada satuan
pendidikan SD, SMP atau SMA.
Pendidikan untuk Semua
(PUS)
Pada tanggal 5-9 Maret
1990 di Jomtien, Thailand , 115
negara dam 150 organi-sasi
saling bertemu dan mengadakan
Konferensi Dunia membahas
Education for All (EFA) atau
Pendidikan Untuk Semua (PUS).
Dalam rangka mewujudkan
tujuan terse-but, perlu koalisi
yang luas dari pemerintah
nasional, masyarakat sipil
kelompok, dan lembaga
pembangunan seperti UNESCO
dan Bank Dunia. Mereka
berkomitmen untuk mencapai
enam tujuan pendidikan yaitu :
1. Memperluas dan
meningkatkan perawatan
anak usia dini yang
komprehensif dan
pendidikan, terutama bagi
yang paling rentan dan
anak-anak yang kurang
beruntung.
2. Memastikan bahwa pada
2015 semua anak,
khususnya anak
perempuan, yang dalam
keadaan sulit, dan mereka
yang termasuk etnik
minoritas, memiliki akses
lengkap dan bebas ke wajib
pendidikan dasar yang
berkualitas baik.
3. Memastikan bahwa
kebutuhan belajar semua
pemuda dan dewasa
dipenuhi me-lalui akses adil
untuk pembelajaran yang
tepat dan program
keterampilan hidup.
4. Mencapai 50% peningkatan
dalam keaksaraan orang
dewasa pada tahun 2015,
khususnya bagi perempuan,
dan akses ke pendidikan
dasar dan pendidikan ber-
kelanjutan bagi semua
orang dewasa secara adil.
5. Menghilangkan perbedaan
gender pada pendidikan
dasar dan menengah pada
tahun 2005, dan mencapai
kesetaraan gender dalam
pendidikan dengan 2015,
dengan fokus pada
7
perempuan bahwa mereka
dipastikan mendapat akses
penuh dan sama ke dalam
pendidikan dasar dengan
kualitas yang baik.
6. Meningkatkan semua aspek
kualitas pendidikan dan
menjamin semua, sehingga
diakui dan diukur hasil
pembelajaran yang dicapai
oleh semua, khususnya
dalam keaksaraan,
berhitung dan kecakapan
hidup yang esensial.
Setelah satu dekade,
karena lambatnya kemajuan dan
banyaknya Negara yang jauh dari
keharusan untuk mencapai tujuan
tersebut, masyarakat
internasonal menegas-kan
kembali komitmennya terhadap
Pendidikan Untuk Semua di
Dakar, Senegal, pada 26-28 April
2000 dan sekali lagi pada bulan
September tahun itu. Pada
pertemuan terakhir, 189 negara
dan mitra mereka mengadopsi
dua dari delapan tujuan
Pendidikan Untuk Semua yang
dikenal dengan nama Millenium
Development Goals (MDG) yaitu
MDG 2 mengenai pendidikan
dasar dan universal serta MDG 3
mengenai kesetaraan jender
dalam pendidikan pada tahun
2015.
Indonesia, sebagai anggota
Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) turut menyepa-kati
komitmen dunia untuk
menyelenggarakan program
Education for All (EFA) atau
Pendidikan untuk Semua (PUS).
Komitmen dunia itu telah
dikumandangkan pada kon-
ferensi dunia di Jomtien,
Thailand, pada tahun 1990.
Namun baru dideklarasikan seba-
gai sebuah gerakan dunia pada
pertemuan di Dakar, Senegal,
pada 26-28 April 2000. The Dakar
Framework for Action berisikan
enam tujuan utama: 1)
memperluas pendi-dikan untuk
anak usia dini; 2) menuntaskan
wajib belajar untuk semu (2015);
3) mengembangkan proses
pembelajaran/keahlian untuk
orang muda dan dewasa; 4) me-
ningkatnya 50% orang dewasa
8
yang melek huruf (2015)
khususnya perempuan; 5) me-
ningkatkan mutu pendidikan; dan
(6) menghapuskan kesenjangan
gender.
Target pencapaian EFA
pada 2015 itu kemudian
disepakati untuk dipercepat.
Komitmen mempercepat target
EFA digaungkan E-9 Ministerial
Review Meeting on Educationfor
All atau para menteri pendidikan
dari Sembilan Negara
berpenduduk terbesar dunia,
pada pertemuan di Denpasar,
Bali, 12 Maret 2008. Anggota E-9
adalah Negara dengan jumlah
penduduk sekitar 60% populasi
dunia. Selain Indonesia, anggota
E-9 adalah Bangladesh, Brazil,
Cina, Mesir, India, Meksiko,
Nigeria, dan Pakistan.
Indonesia merasa
berkepentingan menandatangani
konvensi tersebut untuk
memperkuat komitmen bersama
sebagai bangsa dalam memenuhi
hak-hak setiap anak memperoleh
pendidikan. Upaya mencapai
target EFA merupakan bagian
dari upaya pembangunan
pendidikan nasional secara
keseluruhan. Sudah banyak yang
dapat dica-pai dalam
pembangunan pendidikan sejak
kemerdekaan. Tapi juga besar
pekerjaan ru-mah dan tantagan
era sekarang dalam rangka
menghasilkan sumber daya
manusia yang unggul untuk
pembangunan.
Kaitannya dengan
Kerangka Aksi Dakar Pendidikan
untuk Semua, seluruh war-ga
yang menandatangani deklarasi
termasuk Indonesia, berupaya
memegang komitmen
memperluas dan memperbaiki
pendidikan. Indonesia telah
menyusun Rencana Aksi Nasional
Pendidikan Untuk Semua (RAN-
PUS), yang dijabarkan ke dalam
Rancangan Aksi Daerah
Pendidikan Untuk Semua (RAD-
PUS) pada semua provinsi dan
sebagian besar kabupaten/kota.
Sebagian dari komitmen
menjalankan Pendidikan untuk
Semua, pemerintah
mencanangkan penuntasan
9
program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun. Wajar
Dikdas 9 Tahun mencakup
jenjang pendidikan
SD/MI/pendidikan setara dan
SMP/MTs/ pendidikan setara.
Program ini secara resmi
dicanangkan Presiden Soeharto
pada tanggal 2 Mei 1994. Saat
itu, Presiden Soeharto
menargetkan program tersebut
tuntas pada tahun 2004, dengan
indikator utama berupa angka
partisipasi kasar (APK) SMP/
MTs/pendidikan setara minimal
95%. Pada tahun 2004, Angka
Partisipasi Murni (APM) SD/MI
sebesar 94,12% dan Angka
Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs
81,22%. Han-taman krisis
ekonomi yang merangsek sejak
akhir tahun 1997 itu, membuat
target dire-visi menjadi akhir
tahun 2008. Keputusan
menjadwal ulang itu dilakukan
pada tahun 2000, saat
Abdurrahman Wahib menjadi
Presiden RI.
Landasan Pendidikan Untuk
Semua di Indonesia
Landasan yuridis
pelaksanaan pendidikan untuk
semua atau education for all di
Indonesia didasari oleh beberapa
hal, diantaranya adalah:
1. UUD 1945 (amandemen) pasal
31 ayat 1 : “setiap warga
Negara berhak mendapat
pendidikan.”
2. UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) :
a) Kewajiban bagi orangtua
untuk memberikan
pendidikan dasar bagi
anaknya (pasal 7 ayat 2)
b) Kewajiban bagi masyarakat
memberikan dukungan
sumber daya dalam
penyelenggaraan
pendidikan (pasal 9)
c) Pendanaan pendidikan
menjadi tanggung jawab
bersama pemerintah,
pemerintah daerah, dan
masyarakat (pasal 46 ayat
1).
Kebijakan Pendidikan di
Indonesia
10
Bangsa yang maju adalah
bangsa yang memperlihatkan
pendidikan dalam
pembangunannya. Karena
pendidikan merupakan proses
Proses pendidikan
merupakan upaya sadar manusia
yang tidak pernah ada hentinya.
Sebab, jika manusia berhenti
melakukan pendidikan, sulit
dibayangkan apa yang akan
terjadi pada sistem peradaban
dan budaya (Suyanto, 2006)
manusia. Dengan ilustrasi ini,
maka baik pemerintah maupun
masyarakat berupaya untuk
melakukan pendidikan dengan
standar kualitas yang diinginkan
untuk memberdayakan manusia.
“Sistem pendidikan yang
dibangun harus disesuaikan
dengan tuntutan zamannya, agar
pendidikan dapat menghasilkan
outcome yang relevan dengan
tuntutan zaman (Suyanto, 2006).
Indonesia, telah memiliki
sebuah sistem pendidikan dan
telah dikokohkan dengan UU No.
20 tahun 2003. Pembangunan
pendidikan di Indonesia
sekurang-kurangnya
menggunakan empat strategi
dasar, yakni; pertama,
pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, kedua,
relevansi pendidikan, ketiga,
peningkatan kualiutas
pendidikan, dan keempat,
efesiensi pendidikan. Secara
umum strategi itu dapat dibagi
menjadi dua dimensi yakni
peningkatan mutu dan
pemerataan pendidikan.
Pembangunan peningkatan mutu
diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi, efektivitas dan
produktivitas pendidikan.
Sedangkan kebijkan pemerataan
pendidikan diharapkan dapat
memberikan kesempatan yang
sama dalam memperoleh
pendidikan bagi semua usia
sekolah (Nana Fatah Natsir,
dalam Hujair AH. Sanaky, 2003).
Dari sini, pendidikan dipandang
sebagai katalisator yang dapat
menunjang faktor-faktor lain.
Artinya, pendidikan sebagai
upaya pengembangan
sumberdaya manusia (SDM)
11
menjadi semakin penting dalam
pembangunan suatu bangsa.
Untuk menjamin
kesempatan memperoleh
pendidikan yang merata disemua
kelompok strata dan wilayah
tanah air sesuai dengan
kebutuhan dan tingkat
perkembangannya perlu strategi
dan kebijakan pendidikan, yaitu :
(a) menyelenggarakan pendidikan
yang relevan dan bermutu sesuai
dengan kebutuhan masyarakat
Indonesia dalam menghadapi
tantangan global, (b)
menyelenggarakan pendidikan
yang dapat
dipertanggungjawabkan
(accountasle) kepada masyarakat
sebagai pemilik sumberdaya dan
dana serta pengguna hasil
pendidikan, (c)
menyelenggarakan proses
pendidikan yang demokratis
secara profesional sehingga tidak
mengorbankan mutu pendidikan,
(d) meningkatkan efisiensi
internal dan eksternal pada
semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan, (e) memberi peluang
yang luas dan meningkatkan
kemampuan masyarakat,
sehingga terjadi diversifikasi
program pendidikan sesuai
dengan sifat multikultural bangsa
Indonesia, (f) secara bertahap
mengurangi peran pemerintah
menuju ke peran fasilitator dalam
implementasi sistem pendidikan,
(g) Merampingkan birokrasi
pendidikan sehingga lebih lentur
(fleksibel) untuk melakukan
penyesuaian terhadap dinamika
perkembangan masyarakat dalam
lingkungan global (Kelompok
Kerja Pengkajian, dalam Hujair
AH. Sanaky, 2003).
Empat strategi dasar
kebijakan pendidikan yang
dikemukakan di atas cukup
ideal. Tetapi Muchtar Bukhori,
seorang pakar pendidikan
Indonesia, menilai bahwa
kebijakan pendidikan kita tak
pernah jelas. Pendidikan kita
hanya melanjutkan pendidikan
yang elite dengan kurikulum
yang elitis yang hanya dapat
ditangkap oleh 30 % anak didik”,
sedangkan 70% lainnya tidak
12
bisa mengikuti (Kompas, 4
September 2004). Dengan
demikian, tuntutan peningkatan
kualitas pendidikan, relevansi
pendidikan, efesiensi
pendidikan, dan pemerataan
kesempatan untuk memperoleh
pendidikan, belum terjawab
dalam kebijakan pendidikan kita.
Kondisi ini semakin mempersulit
mewujudkan pendidikan yang
egalitarian dan SDM yang
semakin merata di berbagai
daerah.
Proses menuju perubahan
sistem pendidikan nasional
banyak menuai kendala serius.
Apalagi ketika membicarakan
konteks pendidikan nasional
sebagai bagian dari pergumulan
ideologi dan politik penguasa.
Problem-problem yang dihadapi
seringkali berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan (policies)
yang sangat strategis. Maka,
dalam konteks kebijakan
pendidikan nasional, menurut
Suyanto, banyak pakar dan
praktisi pendidikan mengkritisi
pemerintah, dianggap tidak
memiliki komitmen yang kuat
untuk membenahi sistem
pendidikan nasional”.
(Suyanto,2006). Artinya,
kebijakan-kebijakan pendidikan
kita, kurang menggambarkan
rumusan-rumusan permasalahan
dan “prioritas” yang ingin
dicapai dalam jangka waktu
tertentu. Hal ini, “terutama
berkaitan dengan anggaran
pendidikan nasional yang
semestinya sebesar minimal
20%, daimbil dari APBN dan
APBD (pasal 31 ayat 4 UUD
Amandemen keempat). Tetapi,
sampai sekarang kebijakan
strategi belum dapat diwujudkan
sepenuhnya, pendidikan nasional
masih menyisihkan kegetiran-
kegetiran bagi rakyat kecil yang
tidak mampu mengecap
pendidikan di sekolah” (Suyanto,
2006).
Pasca Reformasi tahun
1998, memang ada perubahan
fundamental dalam sistem
pendidikan nasional. Perubahan
sistem pendidikan tersebut
mengikuti perubahan sistem
13
pemerintah yang sentralistik
menuju desentralistik atau yang
lebih dikenal dengan otonomi
pendidikan dan kebijakan
otonomi nasional itu
mempengaruhi sistem
pendidikan kita (Suyanto, 2006).
Sistem pendidikan kita pun
menyesuaikan dengan model
otonomi. Kebijakan otonomi di
bidang pendidikan (otonomi
pendidikan) kemudian banyak
membawa harapan akan
perbaikan sistem pendidikan
kita. Kebijakan tersebut masih
sangat baru, maka sudah barang
tertentu banyak kendala yang
masih belum terselesaikan.
Otonomi yang didasarkan
pada UU No. 22 tahun 1999,
yaitu memutuskan suatu
keputusan dan atau kebijakan
secara mandiri. Otonomi sangat
erat kaitanya dengan
desentralisasi. Dengan dasar ini,
maka otonomi yang ideal dapat
tumbuh dalam suasana bebas,
demokratis, rasional dan sudah
barang tentu dalam kalangan
insan-insan yang “berkualitas”.
Oleh karena itu, rekonstruksi
dan reformasi dalam Sistem
Pendidikan Nasional dan
Regional, yang tertuang dalam
GBHN 1999, juga telah
dirumuskan misi pendidikan
nasional kita, yaitu mewujudkan
sistem dan iklim pendidikan
nasional yang demokratis dan
bermutu, guna memperteguh
akhlak mulia, kreatif, inovatif,
berwawasan kebangsaan,
cerdas, sehat, berdisiplin,
bertanggung jawab,
berketerampilan serta
menguasai iptek dalam rangka
mengembangkan kualitas
manusia Indonesia.
(Soedjiarto,1999).
Untuk mewujudkan misi
tersebut mesti diterapkan arah
kebijakan sebagai berikut, yaitu :
(1) perluasan dan pemerataan
pendidikan, (2) meningkatkan
kemampuan akademik dan
profesionalitas serta
kesejahteraan tenaga
kependidikan, (3) melakukan
pembaharuan dalam sistem
pendidikan nasional termasuk
14
dalam bidang kurikulum, (4)
memberdayakan lembaga
pendidikan formal dan PLS
secara luas, (5) dalam realisasi
pembaharuan pendidikan
nasional mesti berdasarkan
prinsip desentralisasi, otonomi
keilmuan, dan manajemen, (6)
meningkatkan kualitas lembaga
pendidikan yang dikembangkan
oleh berbagai pihak secara
efektif dan efisien terutama
dalam pengembangan iptek, seni
dan budaya sehingga
membangkitkan semangat yang
pro-aktif, kreatif, dan selalu
reaktif dalam seluruh komponen
bangsa. (Soedjiarto, 1999).
Beberapa kalangan pakar
dan praktisi pendidikan,
mencermati kebijakan otonomi
pendidikan sering dipahami
sebagai indikasi kearah
“liberalisasi” atau lebih parah
lagi dikatakan sebagai indikasi
kearah “komersialisasi
pendidikan”. Hal ini, menurut
Suyanto, semakin dikuatkan
dengan terbentuknya Badan
Hukum Pendidikan (BHP) yang
oleh beberapa pengamat
dianggap sebagai
pengejawantahan dari sistem
yang mengarah pada
“liberalisasi pendidikan”
(Suyanto, 2006).
Persoalan sekarang, apakah
sistem pendidikan yang ada saat
ini telah efektif untuk mendidik
bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang modern, memiliki
kemampuan daya saing yang
tinggi di tengah-tengah bangsa
lain? Jawabannya tentu belum.
Menurut Suyanto, berbicara
kemampuan, kita sebagai bangsa
nampaknya belum sepenuhnya
siap benar menghadapi
tantangan persaingan (Suyanto,
2006). Sementara, disatu sisi,
bidang pendidikan kita menjadi
tumpuan harapan bagi
peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Tetapi disisi lain, sistem
pendidikan kita masih
melahirkan mismatch terhadap
tuntutan dunia kerja, baik secara
nasional maupun regional.
(Suyanto, 2006).
15
Berbagai problem
fundamental yang dihadapi
pendidikan nasional saat ini,
yang tercermin dalam “realitas”
pendidikan yang kita jalan.
Seperti persoalan anggaran
pendidikan, kurikulum, strategi
pembelajaran, dan persoalan
output pendidikan kita yang
masih sangat rendah
kualitasnya. Problem-problem
pendidikan yang bersifat
metodik dan strategik yang
membuahkan output yang
sangat memprihatinkan. Output,
pendidikan kita memiliki mental
yang selalu tergantung kepada
orang lain. Output pendidikan
kita tidak memiliki mental yang
bersifat mandiri, karena
memang tidak kritis dan kreatif.
Akhirnya, output yang pernah
mengenyam pendidikan, malah
menjadi “pengangguran
terselubung”. Ini artinya, setiap
tahunnya, pendidikan nasional
kita memproduksi pengangguran
terselubung. Mereka itu, adalah
korban dari ketidakberesan
sistem pendidikan kita yang
masing sedang merangka
berbenah. Mungkin saja, kita
sebagai insan yang
berpendidikan, tentu saja terus
atau banyakan berharap akan
datangnya perubahan
“fundamental” terhadap sistem
pendidikan (Suyanto, 2006) di
Indonesia.
Posisi Indonesia dalam PUS
Indonesia merupakan salah
satu Negara yang
menandatangani deklarasi
“Education for All.” Berkaitan
dengan deklarasi ini dan
sekaligus juga sebagai wujud
keseriusan Indonesia
mensukseskannya, maka
Indonesia telah mencnangkan
Wajib Belajar 9 Tahun pada tahun
1984 dan 10 tahun berikutnya,
yaitu pada tahun 1994, Indonesia
mencanangkan Sekolah Dasar (7-
12 tahun) dapat menikmati
layanan pendidikan Sekolah
Dasar (SD). Artinya, anak-anak
usia SD dapat menyelesaikan
pendidikan SD. Demikian juga
halnya melalui pencanangan
Wajib Belajar 9 Tahun diharapkan
16
anak-anak usia SMP (13-15
Tahun) dapat menyelesaikan
penddikan SMP.
Jalal dan Supriadi (2001)
mengemukakan meskipun
strategi perluasan dan
pemerataan kesempatan
pendidikan terfokus kepada
program wajib belajar pendidikan
dasar sembilan tahun, jenis dan
jenjang pendidikan lainnya yang
tercakup. Indikator-indikator
keberhasilannya adalah: (a)
mayoritas penduduk
berpendidikan minimal SMP dan
partisipasi pendidikan meningkat
yang ditunjukkan dengan APK-SD
15%, APK SMP mencapai 80%,
APK SLTA mencapai 47%, dan
APK PT sebesar 12% dengan
perluasan terkendali untuk
bidang-bidang unggulan dan
teknologi, (b) meningkatnya
budaya belajar di kalangan
masyarakat yang ditunjukkan
antara lain dengan meningkatnya
peserta program pendidikan
berkelanjutan seperti kursus-
kursus, program pendidikan
masyarakat, meningkatnya
penduduk melek huruf hingga
mencapai 88% pada tahun 2005;
(c) meningkatnya proporsi
penduduk kurang beruntung yang
memperoleh kesempatan
pendidikan.
Kebijakan program yang
harus dilakukan adalah:
1. Memperluas kesempatan
pendidikan dengan prioritas
pada pendidikan dasar;
2. Meningkatkan layanan
pendidikan kepada kelompok
yang kurang beruntng,
termasuk kaum perempuan;
3. Mengembangkan layanan
pendidikan alternatif tanpa
mengorbankan mutu program;
4. Menetapkan standar
kompetensi minimal keluaran
pendidikan;
5. Melanjutkan program PMTAS
secara terseleksi dan
terkendali bagi yang benar-
benar memerlukan;
6. Melanjutkan program
beasiswa bagi kalangan anak-
anak miskin;
7. Meningkatkan anggaran
pemerintah untuk pendidikan
17
secara bertahap dan
terencana; dan
8. Meningkatkan partisipasi
keluarga dan masyarakat
dalam membiayai pendidikan.
Sebagai wujud komitmen
pemerintah terhadap pentingnya
program Pendidikan Untuk
Semua (Education for All/EFA),
Kementerian Pendidikan Nasional
menggelar sejumlah kegiatan
melalui Pekan Aksi Global
Pendidikan Untuk Semua 2010.
Tema aksi tahun ini adalah
“Pembiayaan Pendidikan
Bermutu Hak untuk Semua”. Aksi
ini yang dipusatkan di tiga kota,
yaitu di Jakarta, Bandung, dan
Makasar pada 19-25 April 2010.
Menurut Ela Yulaciawati
(2010), aspek pembiayaan dalam
program Pendidikan untuk
Semua cukup problematik.
Sejumlah pertanyaan muncul
menyangkut aspek pembiaya-
annya, terutama mengenai
standar biaya pendidikan
bermutu untuk semua orang.
Berapa biaya untuk pendidikan
anak-anak yang terpinggirkan
(marjinal). Kemudian, apakah
pembiayaan itu akan bermanfaat
atau malah mubazir? Untuk
mendidik anak-anak yang
marjinal, pemerintah tidak cukup
hanya memikirkan aspek
pendidikannya saja, melainkan
juga memikirkan aspek
kebutuhan dasar mereka.
Dikemukakan lebih lanjut
oleh Ela (2010) tidak semua
program pendidikan yang
diberikan bagi kelompok marjinal
dapat menghasilkan produk
pendidikan seperti yang
diharapkan. Kegiatan lain dari
pecan aksiglobal program
Pendidikan untuk Semua adalah
workshop layanan pendidikan
bagi para orang lanjut usia.
Masih menurut Ela (2010) orang
berusia lanjut umumnya tidak
bisia mandiri, oleh karena itu
perlu ada materi pendidikan
kecakapan hidup. Pendidikan ini
bertujuan mempersiapkan orang-
orang menjelang usia lanjut agar
bisa hidup mandiri dan sehat
pada saat mereka telah berusia
lanjut. Jika mereka bisa mandiri
18
dan sehat di usia senja, maka
biaya hidup me-reka akan bisa
lebih ditekan. Jadi arahnya untuk
efisiensi bagi Negara.
Dalam waktu yang
bersamaan juga diselenggarakan
kegiatan workshop layanan
pendidikan bagi anak-anak
terpinggirkan, yaitu keluarga
korban eksploitasi seksual anak
(ESA), anak perempuan jalanan,
dan anak dari para pekerja rumah
tangga. Seluruh rangkaian acara
tersebut merupakan bagian dari
kampanye tahunan dunia yang
dise-lenggarakan Kampanye
Global Campaign for Education,
sebuah koalisi internasional
organisasi nonpemerintah dan
serikat guru.
(http://bataviase.co.id, diakses
tanggal 16 September 2010).
Identifikasi Kendala-kendala
Implementasi Progeram PUS
Dalam implementasi PUS di
Indonesia tidak berjalan mulus,
banyak kendala yang ditemui di
lapangan. Dari sisi structural
birokrasi di Kementerian
Pendidikan Nasional (2007)
masih dirasa perlu dioptimalkan
masalah peningkatan kinerja,
peningkatan kerjasama,
koordinasi dan komunikasi
dengan berbagai instansi dan
unit kerja terkait, baik di pusat
maupun di daerah. Disamping itu
masalah lainnya adalah
menyesuaikan jadwal sesuai
target, memberdayakan dan
mengoptimalkan tenaga yang
tersedia melalui pembentukan
tim kerja sebagai wujud
koordinasi fungsional, dan
mengoptimakan sarana dan
fasilitas yang ada.
Temuan lainnya, dapat
diidentifikasi dari riset yang
dilakukan oleh Choiri (2006)
dalam penelitiannya yang
berjudul ‘Akuntabilitas Kinerja
Dinas Pendidikan Kabupaten
Malang (Studi Kasus tentang
Akuntabilitas Adminitrasi
Pelaksana Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan
Tahun di Kecamatan Bululawang
Kabupaten Malang). Berdasarkan
penelitiannya, Choiri (2006)
memaparkan hasil penelitiannya
19
sebagai berikut: alasan perlunya
dilakukan akuntabilitas
administrasi oleh Dinas
Pendidikan adalah untuk
mempertanggungjawabkan suatu
program/kebijakan baik proses
maupun hasilnya, serta untuk
memenuhi standar criteria yang
sudah ditetapkan oleh
pemerintah. Namun dalam
pelaksanaan program wajib
belajar sembilan tahun di
kabupaten Malang terlihat bahwa
instansi (sekolah-sekolah) tidak
melaksanakan akuntabilitas
administrasinya. Untuk
mengatasi permasalahan ini
Dinas Pendidikan berupaya untuk
mengembangkan berbagai
kebijakan terkait dengan
implementasi Program Wajib
Belajar Sembilan tahun. Namun
hal inipun ternyata tidak
membawa perubahan yang
signifikan, sebab dalam
pelaksanaannya masih terdapat
berbagai penyimpangan. Adapun
faktor pendukungnya adalah:
tersusunnya kurikulum dengan
baik, koordinasi yang baik
diantara pihak-pihak yang
terlibat, serta partisipasi
masyarakat. Sedangkan faktor-
faktor yang menghambat
diantaranya: kapasitas dan
kemampuan tenaga pelaksana
rendah, kemampuan dan motivasi
tenaga pelaksana rendah,
dukungan dana operasional
rendah, respon orang tua yang
belum maksimal, sikap moral
masyarakat serta lingkungan
sosial yang tidak sehat.
Hasil analisis terhadap
Pelaksanaan Akuntabilitas
Administrasi adalah sebagai
berikut: dalam pelaksanaan
program wajib belajar Sembilan
tahun di kabupaten Malang
terlihat bahwa instansi (sekolah-
sekolah) tidak melaksanakan
akuntabilitas administrasinya.
Hal ini terlihat misalnya tidak ada
laporan pemberian beasiswa
diberikan. Sekolah-sekolah tidak
merasa perlu memberikan
laporan kepada instansi diatasnya
yakni Dinas Pendidikan
Kabupaten Malang. Mereka
justru hampir semua membuat
20
kebijakan sendiri terkait dengan
penyaluran dana beasiswa yang
tidak sesuai dengan pedoman
yang diberikan oleh Dinas
Pendidiikan. Dilihat dari
perspektif empat jenis
Akuntabilitas, belum satupun
jenis akuntabilitas yang dapat
dipenuhi sesuai standar oleh
Dinas Pendidikan Kabupaten
Malang, sehingga hal ini perlu
mendapatkan perhatian dari
berbagai pihak yang terlibat.
Sedangkan faktor pendukung
maupun penghambat lebih
merupakan faktor-faktor yang
memberikan penekanan.
Semuanya justru berada di
tangan pada penyelenggara
akuntabilitas sendiri, bagaimana
mereka-mereka bisa mengelola
potensi maupun tantangan yang
dihadapinya.
Sementara itu,
diprediksikan pendidikan untuk
semua (PUS) yang telah
dicanangkan oleh pemerintah
(Kementerian Pendidikan
Nasional). Sebagaimana diekspos
dalam harian Kompas, Rabu, 7
Juli 2010 bahwa target
Pendidikan Untuk Semua
ataupun Education for All,
terutama pendidikan dasar
universal, dikhawatirkan tidak
tercapai pada tahun 2015 saat
tenggat Tujuan Pendidikan
Milenium. Krisis ekonomi global
menjadi sala satu hambatan besar
pencapaian target tersebut. Hal
ini terungkap dalam pembukaan
1st General Assembly Forum of
Asia Pasific Parliamentarians for
Education (FASPED) atau Forum
Parlemen untuk Pendidikan Asia
Pasifik, Selasa (6 Juli 2010).
Sidang pertama yang diikuti oleh
26 parlemen dan dua parlemen
diwakili oleh perwakilannya di
Jakarta. Dalam sambutannya,
Presiden FASPED Marzuki Alie
mengatakan, krisis keuangan
global pada 2008 merupakan
rintangan terbesar untuk
pencapaian tujuan Education for
All (EFA).
Dampak krisis finansial
global telah mengancam akses
pendidikan bagi jutaan anak di
seluruh dunia. Saat ini sekitar 72
21
juta anak usia sekolah dasar
belum mendapatkan pendidikan
dasar. Kombinasi kemiskinan,
lambatnya pembangunan
ekonomi, dan krisis finansial
global akan menggerogoti
pencapaian Negara-negara pada
dekade sebelumnya. Hal tersebut
berarti turut mengganggu target
pencapaian Tujuan Pembangunan
Milineum nomor dua, yang
indikatornya antara lain angka
partisipasi dasar angka melek
huruf umur 15-25 tahun.
Ancaman tentang
melesetnya pencapaian target
terutama terjadi di Negara
berkembang yang sebagian besar
di kawasan Asia Pasifik. Menurut
Education for All Global
Monitoring Report 2010, target
EFA tercancam gagal tercapai di
Negara berkembang. Resesi
ekonomi yang terjadi pada tahun
2008 diperkirakan telah
menjerumuskan sekitar 90 juta
orang ke dalam kemiskinan
ekstrem. Saat ini sebagian
Negara yang terkena dampak
sangat besar masih dalam proses
pemulihan dari tingginya harga
pangan yang telah
mengakibatkan 175 juta kasus
malnutrisi tahun 2007 dan 2008.
Pendidikan juga tidak kebal dari
pengaruh-pengaruh tersebut
karena hal-hal itu kemudian
rentan dikebelakangan.
Kekhawatiran serupa juga
diungkapkan Director of
UNESCO Bangkok Office,
Regional Bureau for Education in
The Asia Pasific, Gwang-Jo Kim.
“Kita tetap belum on the track
(dalam jalur) untuk memenuhi
target EFA pada tahun 2015.
Akan nada 56 juta anak di luar
sekolah jika kita tidak
melipatgandakan upaya kita,
yang sebagiannya di wilayah Asia
Pasifik.” Ujarnya. Dia
mencontohkan, pada tahun 1999
kawasan Asia Timur dan Pasifik
merupakan tempat tinggal 6 juta
anak usia pendidikan dasar yang
tidak bersekolah. Tahun 2007,
jumlahnya meningkat menjadi 9
juta anak. Sementara sejumlah
Negara, terutama India,
mencapai kemajuan sangat baik.
22
“Waktu yang tersisa tinggal lima
tahun lagi,“ katanya.
Wakil Menteri Pendidikan
Nasional Fasli Jalal mengatakan,
Indonesia masih dalam jalur
pencapaian target EFA. Di tengah
krisis ekonomi dunia, Indonesia
tetap memprioritaskan anggaran
pendidikan, bantuan operasional
sekolah guna mengurangi
hambatan biaya anak ke sekolah,
buku pelajaran online, program
pendidikan kesetaraan, dan
peningkatan kualifikasi guru. Ini
merupakan beberapa upaya
pemerintah yang terus dilakukan.
Sementara itu anggaran untuk
fungsi pendidikan dalam APBN
tahun 2010 telah mencapai
sekitar Rp 209,5 triliun.
Marzuki Alie mengatakan,
perlu peran aktif anggota
parlemen untuk ikut aktif dalam
proses pembangunan pendidikan.
Di tengah sulitnya ekonomi dunia
dan berbagai tekanan,
pemerintah telah menghadapi
berbagai pilihan kebijakan yang
sulit. Parlemen berkewajiban
meminta pemerintah
mengalokasikan dana yang cukup
untuk pendidikan dan memonitor
pemerintah dalam
mengimplementasikan tujuan
pembangunan nasional
pendidikan.(KOMPAS, Rabu, 7
Juli 2010).
Kontribusi Pemerintah cq Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia dalam Program PUS
Dalam upayanya mencapai
tujuan “Pendidikan untuk Semua”
pada 2015, peme-rintah
Indonesia saat ini menekankan
pelaksanaan program wajib
belajar sembilan tahun bagi
seluruh anak Indonesia usia 6
sampai 15 tahun. Dalam hal ini,
UNICEF dan UNESCO member
dukungan teknis dan dana.
Bersama dengan
pemerintah daerah, masyarakat
dan anak-anak di delapan
propinsi di Indonesia, UNICEF
mendukung program
Menciptakan Masyarakat Peduli
Pendidikan Anak (CLCC). Proyek
ini berkembang pesat dari 1.326
sekolah pada tahun 2004 menjadi
23
1.496 pada tahun 2005. Kondisi
ini membantu 45.454 guru dan
menciptakan lingkungan belajar
yang lebih menantang bagi
sekitar 275.078 siswa.
Dalam 20 tahun terakhir
Indonesia telah mengalami
kemajuan di bidang pendidikan
dasar. Terbukti rasio bersih anak
usia 7-12 tahun yang bersekolah
mencapai 94 persen. Meskipun
demikian, negeri ini masih
menghadapi masalah pendidikan
yang berkaitan dengan sistem
yang tidak efisien dan kualitas
yang rendah. Terbukti, misalnya,
anak yang putus sekolah
diperkirakan masih ada dua juta
anak. Indonesia tetap belum
berhasil memberikan jaminan hak
atas pendidikan bagi semua anak.
Apalagi, masih banyak masalah
yang harus dihadapi, seperti
misalnya kualifikasi guru, metode
pengajaran yang efektif,
manajemen sekolah dan
keterlibatan masyarakat.
Sebagian besar anak usia 3
sampai 6 tahun kurang mendapat
akses aktifitas pengembangan
dan pembelajaran usia dini
terutama anak-anak yang tinggal
di pedalaman dan pedesaan.
Anak-anak Indonesia yang berada
di daerah tertinggal dan terkena
konflik sering harus belajar di
bangunan sekolah yang rusak
karena alokasi anggaran dari
pemerintah daerah dan pusat
yang tidak memadai. Metode
pengajaran masih berorientasi
pada guru dan anak tidak diberi
kesempatan memahami sendiri.
Metode ini masih mendominasi
sekolah-sekolah di Indonesia.
Ditambah lagi, anak-anak dari
golongan ekonomi lemah tidak
termotivasi dari pengalaman
belajarnya di sekolah. Apalagi
biaya pendidikan sudah relatif tak
terjangkau bagi mereka.
(UNICEF, 2010).
Indonesia telah mengalami
kemajuan di bidang pendidikan
dasar dalam 20 tahun terakhir
ini. Terbukti rasio bersih anak
usia 7-12 tahun yang bersekolah
mencapai 94 persen. Tetapi
Indonesia tetap belum berhasil
memberikan jaminan hak atas
24
pendidikan bagi semua anak.
Apalagi, masih banyak masalah
yang harus dihadapi, masalah
tersebut antara lain :
- Anak putus sekolah
diperkirakan masih ada dua
juta anak.
- Kualifikasi guru yang masih
kurang.
- Metode pengajaran yang tidak
efektif. Yaitu masih beroientasi
kepada guru dan anak didik
tidak diberi kesempatan
memahami sendiri.
- Manajemen sekolah yang
buruk.
- Kurangnya keterlibatan
masyarakat.
- Kurangnya akses
pengembangan dan
pembelajaran usia dini bagi
sebagian besar anak usia 3
sampai 6 tahun terutama anak-
anak yang tinggal di
pedalaman dan pedesaan.
- Alokasi anggaran dari
pemerintah daerah dan pusat
yang tidak memadai.
- Biaya pendidikan yang tinggi.
Untuk mencapai Pendidikan
Untuk Semua, pemerintah
Indonesia dibantu oleh UNICEF
dan UNESCO melakukan
kegiatan-kegiatan antara lain :
1. Sistem Informasi Pendidikan
Berbasis Masyarakat
UNICEF mendukung langkah-
langkah pemerintah Indonesia
untuk meningkatkan akses
pendidikan dasar melalui
Sistem Informasi Pendidikan
Berbasis Masyarakat. Dengan
system ini memungkinkan
penelusuran semua anak usia
dibawah 18 tahun yang tidak
bersekolah.
2. Program Wajib Belajar 9
Tahun
Dalam upaya mencapai tujuan
“Pendidikan untuk Semua”
pada 2015, pemerintah
Indonesia saat ini menekankan
pelaksanaan program wajib
belajar Sembilan tahun bagi
seluruh anak Indonesia usia 6
sampai 15 tahun. Dalam hal
ini, UNICEF dan UNESCO
member dukungan teknis dan
dana.
25
3. Program Menciptakan
Masyarakat Peduli Pendidikan
Anak (CLCC)
Bersama dengan pemerintah
daerah, masyarakat dan anak-
anak di delapan propinsi di
Indonesia, UNICEF
mendukung program
Menciptakan Masyarakat
Peduli Pendidikan Anak
(CLCC). Proyek ini
berkembang pesat dari 1.326
sekolah pada 2004 menjadi
1.496 pada 2005. Kondisi ini
membantu 45.454 guru dan
menciptakan lingkungan
belajar yang lebih menantang
bagi sekitar 275.078 siswa.
Di samping itu, yang tidak
kalah pentingnya adalah peran
Kepala Sekolah dan Pengawas
Sekolah dalam menyukseskan
program PUS yang dicanangkan
pemerintah. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Direktur
Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidik dan tenaga
Kependidikan, Kementerian
Pendidikan Nasional (Dirjen
PMPTK Kemendiknas) Baedhowi
yang mengatakan bahwa peran
Kepala Sekolah dan Pengawas
Sekolah juga sangat penting guna
meningkatkan kualitas dan
pelayanan pendidikan saat ini.
Apabila kompetensi Kepala
Sekolah baik, maka hubungan
yang signifikan terhadap
peningkatan mutu pendidikan di
sekolah. Apabila Kepala
Sekolahnya baik dan memiliki
kompetensi bagus, maka kepala
sekolah itu diyakini bisa
melakukan pengelolaan sekolah
dengan baik pula.
(http://bataviase.co.id, diakses
tanggal 16 September 2010).
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasar pemaparan
tersebut di atas, maka dapatlah
disimpulkan sebagai berikut: (1)
hakekat dari “Pendidikan untuk
Semua dan Semua untuk
Pendidikan” adalah
mengupayakan agar setiap warga
Negara dapat memenuhi haknya,
yaitu setidak-tidaknya untuk
mendapatkan layanan pendidikan
dasar (Wajib Belajar 9 Tahun); (2)
26
masalah yang harus dihadapi
dalam program PUS, antara lain:
(a) anak putus sekolah
diperkirakan masih ada dua juta
anak, (b) kualifikasi guru yang
masih kurang, (c) metode
pengajaran yang tidak efektif itu
masih beroientasi kepada guru
dan anak didik tidak diberi
kesempatan memahami sendiri,
(d) manajemen sekolah yang
buruk, (e) kurangnya keterlibatan
masyarakat, (f) kurangnya akses
pengembangan dan pembelajaran
usia dini bagi sebagian besar
anak usia 3 sampai 6 tahun
terutama anak-anak yang tinggal
di pedalaman dan pedesaan, (g)
alokasi anggaran dari pemerintah
daerah dan pusat yang tidak
memadai, dan (h) biaya
pendidikan yang tinggi; (3) untuk
mencapai Pendidikan Untuk
Semua, pemerintah Indonesia
dibantu oleh UNICEF dan
UNESCO melakukan kegiatan-
kegiatan antara lain: (a) Sistem
Informasi Pendidikan Berbasis
Masyarakat, (b) Program Wajib
Belajar 9 Tahun, dan (c) Program
Menciptakan Masyarakat Peduli
Pendidikan Anak (CLCC); (4)
dalam 20 tahun terakhir
Indonesia telah mengalami
kemajuan di bidang pendidikan
dasar, terbukti rasio bersih anak
usia 7-12 tahun yang bersekolah
mencapai 94 persen; (5)
pembangunan pendidikan di
Indonesia sekurang-kurangnya
menggunakan empat strategi
dasar, yakni; pertama,
pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, kedua,
relevansi pendidikan, ketiga,
peningkatan kualiutas
pendidikan, dan keempat,
efesiensi pendidikan, (6)
Indonesia tetap belum berhasil
memberikan jaminan hak atas
pendidikan bagi semua anak;
apalagi, masih banyak masalah
yang harus dihadapi, seperti
misalnya kualifikasi guru, metode
pengajaran yang efektif,
manajemen sekolah dan
keterlibatan masyarakat, dan (7)
peran Kepala Sekolah dan
Pengawas Sekolah sangat penting
27
guna meningkatkan kualitas dan
pelayanan pendidikan.
Saran
Berdasarkan butir-butir simpulan di atas, maka dapatlah dikemukakan saran-saran sebagai berikut: (1) dari sisi struktural birokrasi di Kementerian Pendidikan Nasional masih dirasa perlu dioptimalkan masalah peningkatan kinerja, peningkatan kerjasama, koordinasi dan komunikasi dengan berbagai instansi dan unit kerja terkait, baik di pusat maupun di daerah, (2) untuk dapat mewujudkan program PUS, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warga Negara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing; (3) pembangunan pendidikan makin disadari sebagai sektor yang strategis untuk menunjang pembangunan sektor secara keseluruhan,
oleh karena itu pembangunan pendidikan harus sensitif dan tanggap terhadap dinamika pembangunan sektor-sektor lainnya; (4) perlu peran aktif anggota parlemen untuk ikut aktif dalam proses pembangunan pendidikan, parlemen berkewajiban meminta pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk pendidikan dan memonitor pemerintah dalam mengimplementasikan tujuan pembangunan nasional pendidikan, dan (5) pemerintah (Negara) harus menyiapkan seluruh sarana dan prasarana dalam rangka menuntaskan pendidikan Sembilan tahun.
28
29
30
31