PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG KEBEBASAN WARTAWAN
MENURUT UNDANG-UNDANG 40 TAHUN 1999
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
dalam Ilmu Syari‟ah (Jinayah Siyasah)
Oleh
AJI PURWADI
NPM. 1221020055
Jurusan Jinayah Siyasah
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
1438 H/2018 M
ABSTRAK
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG KEBEBASAN WARTAWAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 1999
Oleh : AJI PURWADI
Manusia merupakan mahkluk sosial yang selalu memerlukan informasi
dari orang lain secara langsung atau dari media massa serta membutuhkan akan
barang maupun jasa guna menopang kehidupannya, yang biasanya diperoleh dari
wartawan atau pers. Akan tetapi setelah disahkannya UU No 40 Tahun 1999
tentang Pers tidak semata-mata membuat pers merasa bebas dalam membuat
berita maupun informasi kepada masyarakat.
Adapun rumusan masalah dalam skirpsi ini adalah : Bagaimana
kebebasan wartawan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang pers, dan bagaimana perspektif hukum Islam tentang kebebasan wartawan
menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kebebasan wartawan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, dan untuk
mengetahui perspektif hukum Islam tentang kebebasan wartawan menurut
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Sedangkan kegunaan, Pertama, untuk
menambah bahan referensi, bahan literatur atau pustaka, khususnya dalam
memahami tentang kebebasan berbicara menurut Undang-undang, Kedua,
memberikan wawasan kepada penulis dalam rangka meningkatkan disiplin ilmu
yang akan dikembangkan sesuai dengan bidang studi yang merupakan mata kuliah
pokok dan diperdalam lebih lanjut lagi melalui studi-studi yang serupa dengan
disiplin ilmu tersebut.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research), yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur, baik
berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers terdapat rambu-rambu hukum pada landasan
Idil terdapat pada pancasila sila keempat, Landasan Konstitusional UUD 1945
yang termuat dalam Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (3) serta Landasan Operasional
pada Tap MPR No. XVII/MPR/1998, UU No. 9 Tahun 1998 dan UU No. 39
Tahun 1999. Masih banyak rambu-rambu hukum dan pengelompokan sosial yang
membatasi kebebasan berpendapat, dan perspektif hukum Islam tentang
kebebasan berbicara harus mengedepankan kejujuran dalam berbicara karena
akan membawa kepada kebajikan maka mensucikan akhlak manusia, berkata
baik, memberi nasehat, mengajarkan ilmu yang bermanfaat merupakan
perwujudan ddari kejujuran.
MOTTO
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. [Al-Qur‟an surat Al-
Hujarat Ayat 6].1
1 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahan
PERSEMBAHAN
Skripsi sederhana ini penulis persembahan sebagai tanda cinta, kasih
sayang, dan hormat yang tak terhingga keapada :
1. Ayah tercinta, Muhtawi dan Ibu tercinta, Dahlia, atas segala pengorbanan,
do‟a, dukungan moril dan materil serta curahan kasih sayang yang tak
terhingga.
2. Abang Hadromi (alm), Kakanda Rudianto, M. Tio Aliansyah, S.H., M.H.,
Hermansyah S.H.I., M.H., atas segala do‟a, dukungan dan kasih sayang.
3. Dosen pembimbing yang senantiasa dengan sabar membimbing dalam
pembuatan dan penyertaan skripsi ini.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis mempunyai nama lengkap Aji Purwadi, putra kedua pasangan
bapak Muhtawi dan Ibu Dahlia. Lahir di Kubu Batu, Kecamatan Way Khilau pada
tanggal 20 Maret 1992. Penulis mempunyai saudara kandung yaitu Kakak laki-
laki bernama Adromi (alm).
Penulis mempunyai riwayat pendidikan pada :
1. SD Negeri 01 Kubu Batu pada tahun 1999 dan selesai pada tahun 2004.
2. Madrasah Tsanawiyah pada tahun 2004 dan selesai pada tahun 2007.
3. SMK PGRI Negeri 01 Kedondong pada tahun 2007 dan selesai pada
tahun 2010.
4. Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, menggambil
Program Studi pada Fakultas Syari‟ah pada tahun 2012
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr, Wb
Puji dan syukur keahadiran Allah Swt, yang telah melimpakan karunia-
Nya berupa ilmu pengetahuan, kesehatan, dan petunjuk sehingga skripsi dengan
judul “Perspektif Hukum Islam Tentang Kebebasan Wartawanmenurut Undang-
Undang” dapat diselesaikan. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang setia
kepadanya hingga akhir zaman.
Skripsi ini ditulis dan diselesaikan sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan studi pada program Strata Satu (S1) Jurusuan Jinayah Siyasah
Fakultas Hukum (S.H) dalam bidang Ilmu Syari‟ah.
Atas semua pihak dalam proses penyelesaian skripsi ini, tak lupa penulis
haturkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Secara rinci ungkapan terimakasih
itu disampaikan kepada :
1. Dr. Alamsyah, S.Ag., M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah UIN Raden
Intan Lampung yang senantiasa tanggap terhadap kesulitan-kesulitan
mahasiswa.
2. Dra. Firdaweri, M.H.I., selaku Pembimbing I dan Agustina Nurhayati,
S.Ag., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu
untuk membantu dan membimbing serta memberi arahan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak / Ibu Dosen dan Staf Karyawan Fakultas Syari‟ah.
4. Kepala Perpustakaan UIN Raden Intan Lampung dan pengelola
Perpustakaan yang telah memberikan informasi, data, refrensi dan lain-
lain.
5. Saudara-saudara selalu mendukung, membantu, dan menemani dalam
keadaan apapun, Alfadila, Ibeng, jack, Tobek, Gusti, Joni, Irvan Golok,
Frori, Dicki, Husni LCW, Bokir, Dirga Santosa,Rofikul Umam, dan kanda
yunda, adinda Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Komisariat Syariah
UIN Raden Intan Lampung,
6. Rekan-rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu Jinayah Siyasah B 2012.
7. Almamater tercinta.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi, masih memiliki bnyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, hal itu disebabkan karena keterbatasan
kemampuan, waktu, dana dan refrensi yang dimiliki. Oleh karena itu, untuk
kiranya dapat memberikan masukan dan saran-saran, guna melengkapi skripsi ini.
Akhirnya, diharapkan betapapun kecilnya skripsi ini, dapat menjadi
sumbangan yang cukup berarti dalam pengembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu di bidang keislaman dan ilmu hukum di masa
yang akan datang.
Wassalamu‟alaikum Wr.Wb
Bandar Lampung, 03 Agustus 2017
Penulis,
Aji Purwadi
DAFTAR ISI
JUDUL ....................................................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................................ ii
PERSETUJUAN...................................................................................................... iii
PENGESAHAN ....................................................................................................... iv
MOTTO .................................................................................................................... v
PERSEMBAHAN.................................................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul ...................................................................................... 1
B. Alasan Memilih Judul ............................................................................. 4
C. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 4
D. Rumusan Masalah ................................................................................. 10
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 10
F. Metode Penelitian .................................................................................. 11
BAB II KEBEBASAN WARTAWAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Kebebasan Wartawan Dalam Islam .................................... 15
B. Sejarah Hukum Kebebasan Wartawan Dalam Islam ........................... 16
C. Pandangan Hukum Islam dalam Kebebasan Wartawan ....................... 19
D. Etika Wartawan dalam Hukum Islam .................................................. 27
BAB III KEBEBASAN WARTAWAN DALAM PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG
A. Historitas Hukuman Kebebasan Wartawan Menurut Undang-undang .. 32
B. Dasar Terbentuknya Hukum Kebebasan Wartawan dalam Undang-
undang .................................................................................................... 42
C. Perlindungan Hukum Tentang Kebebasan Wartawan dalam Undang-
Undang ....................................................................................... 51
BAB IV ANALISIS KEBEBASAN WARTAWAN MENURUT UU PERS
DALAM HUKUM ISLAM
A. Kebebasan Wartawan Di Indonesia Menurut UU No 40 Tahun 1999 .. 57
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebebasan Wartawan Menurut
UU No 40 Tahun 1999 ......................................................................... 72
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 83
B. Saran ..................................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Judul ini merupakan salah satu bagian penting dan mutlak kegunaannya
dalam semua bentuk tulisan atau karangan, karena judul adalah sebagai
pemberi arah serta dapat memberikan gambaran dari semua isi yang
terkandung di dalamnya. Demikian juga halnya dengan skripsi ini berjudul :
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG KEBEBASAN
WARTAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 1999
Untuk lebih memahami pengertian dan maksud dari judul tersebut di
atas, maka perlu kiranya dijelaskan beberapa pengertian untuk menghindari
terjadinya kekeliruan dan penyimpangan pemahaman judul skripsi ini, antara
lain adalah :
1. Perspektif Hukum Islam
Perspektif adalah suatu “cara atau sudut pandang tentang suatu
peristiwa.” 2 Hukum islam adalah syari‟at atau hukum-hukum Allah yang
ada pada agama Islam itu sendiri untuk mengatur sekaligus menjadi
pedoman, baik perintah, larangan, ataupun anjuran untuk melakukan
sesuatu pada umatnya dengan berpedoman pada al-Qur‟an, Hadits, dan
pendapat para ahli Fuqaha‟. Ahli fiqh mendefinisikan hukum Islam adalah
fiqh, yaitu :
2 G. Setya Nugraha dan R. Maulina F, Kamus Bahasa Indonesia, (Surabaya: Karina), h.475
ألفقه معرفة احكام اهلل ت عال ف اف عال المكلفي بالوجوب والظر باحة وهي مت لقاة من الكتاب والسنة وما نصبه والندب والكراهة وال
الشارع لمعر فتها من الدلة فاذاستحرجت لحكام من تلك الدلة قيل ا فقه
“Fiqh itu ialah, ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang
berhubungan dengan segala pekerjaan mukallaf, baik yang wajib, yang
haram, yang sunnah, yang makruh dam yamh mubah, yang diambil atau
diistimbathkan dari Al-Kitab dan As-Sunnah dan dari dalil-dalil yang telah
ditegakkan Syara‟. Untuk mengetahui hukum-hukum dari dalil-dalil
tersebut, apabila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-
dalilnya, maka yang dikeluakan itu dinamai fiqih”.3
Jadi yang dimaksud dengan perspektif hukum Islam dalam penelitian
ini adalah sudut pandang atau ketentuan hukum Islam tentang menyikapi
serta menanggapi suatu peristiwa yang didasarkan pada Al-qur‟an dan
Hadist.Kebebasan Berbicara
2. Kebebasan Wartawan
Kebebasan wartawan adalah karyawan yang melakukan pekerjaan
atau kegiatan usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan,
pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-
gambar dan sebagainya untuk perusahaan pers, radio, televisi dan on line.
Jadi semua manusia yang bekerja dalam bidang redaksi adalah wartawan.
Dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers dikatakan, wartawan adalah
3 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 27.
orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik (Pasal 1 ayat
4).4
Jadi wartawan adalah orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik
yang pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta,
pendapat, ulasan, gambar-gambar dan sebagainya dengan jujur dan
kredibilitas secara jujur dan professional.
3. Undang-Undang (UU) Pers No.40 Tahun 1999
Undang-undang Pers (secara resmi bernama Undang-undang Nomor
40 Tahun 1999 tentang Pers) adalah undang-undang yang mengatur
tentang prinsip, ketentuan dan hak-hak penyelenggara pers di Indonesia.
Undang-undang Pers disahkan di Jakarta pada 23 September 1999 oleh
Presiden Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie dan Sekretaris Negara
Muladi.5
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3,
1.Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat
berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
4 A.M. Hoeta Soehoet, Dasar-Dasar Jurnalistik, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,
2010), h.6 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum,
wartawan mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5,
1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta
asas praduga tak bersalah.
2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
3. Pers wajib melayani Hak Tolak.
B. Alasan Memilih Judul
1. Secara Objektif
Dari tinjauan perspektif hukum Islam, adanya kebebasan berbicara
menurut UU Pers dalam hukum Islam yang dilakukan melalui ketentuan-
ketentuan yang sesuai ajaran dan perintah agama Islam.
2. Secara Subjektif
Masih banyaknya yang belum bebas berbicara dalam menentukan hak dan
kewajibannya.
C. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan rasa ingin
tahu yang besar. Rasa ingin tahu tersebut membuat manusia berusaha untuk
mencari dan terus mencari berbagai informasi yang ada di sekitarnya. Rasa
ingin tahu ini juga akan semakin besar jika ia melihat benda atau mendengar
sebuah berita yang menurutnya masih asing, maka ia akan mencari tahu lebih
lanjut tentang berita tersebut, hingga mereka mencari informasi yang mereka
butuhkan.6
Informasi yang didapat oleh manusia selalu berkembang di setiap
zaman. Pada awalnya, informasi yang didapatkan oleh manusia berasal dari
informasi berantai atau berita “dari mulut ke mulut”. Bahkan cerita yang ada
pada zaman dahulu hanya ditularkan melalui informasi lisan tersebut.
Kemudian, sejalandengan perkembangan manusia yang menemukan berbagai
perangkat yang mendukung penyebaran dan perekaman informasi, maka akan
berubah pula cara penuturannya. Misalnya, ditemukan zaman batu yang
memungkingkan informasi bisa diwariskan melalui tulisan atau lukisan-
lukisan di dinding gua. Berkembang kemudian ditemukan kertas. Jadi,
informasi yang diberikan sudah berkembangsecara lebih baik. Sampai
kemudian ditemukan mesin cetak, media elektronik yang sekarang kita kenal.7
Dari pemaparan di atas, menjelaskan bahwa manusia merupakan
makhluk sosial yang selalu memerlukan informasi dari orang lain secara
langsung atau dari media massa serta membutuhkan akan barang maupun jasa
guna menopang kehidupannnya. Terlebih dari itu manusia pasti berinteraksi
dengan orang lain untuk membentuk sosial komunal guna membangun
masyarakat yang dinamis. Sudah barang tentu dalam bermasyarakat terjadi
6 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 22.
7 Ibid, h 3
interaksi sosial yang menimbulkan berbagai pendapat atas terjadinya suatu
permasalahan, dan perbedaan pendapat adalah hal yang bersifat kodrati.
Kebebasan untuk berpendapat diatur dalam pasal 28 UUD 1945 yang
berbunyi “setiap warga negara berhak berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undangundang”. Hal ini juga didukung oleh salah satu ciri negara
hukum yang berbunyi “berdasarkan sebuah undang-undang yang menjamin
HAM”.8 Sehingga mengeluarkan pendapat adalah sebuah hak yang harus
diperjuangkan sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945. Perjuangan untuk
mengeluarkan pendapat juga pernah dilakukan oleh pers Indonesia sebelum
orde baru runtuh.
Masa orde baru bisa dibilang masa yang suram bagi pers Indonesia.
Pada masa itu pers Indonesia rawan pembredelan. Karena “suara pers” selalu
membuat telinga pemerintah yang berkuasa memerah dengan berita-berita
yang menyudutkan ataupun mengungkap borok penguasa. Ini pula yang
menimpa beberapa media massa di Indonesia: dibredel, dicabut surat izin
usaha penerbitannya (SIUPP) oleh pihak yang berwenang hampir di setiap
orde pemerintahan, pembredelan menjadi momok yang menakutkan bagi
dunia jurnalistik. Kita tentu masih ingat kasus tiga media massa; Detik,
Tempo, dan Editor yang dibredel tahun 1994 atau kasus Indonesia Raya tahun
1974.9
8 Id.m.wikipedia.org/wiki/Negara_Hukum diakses pada tanggal 26 Mei 2017
9 Basiliun Triharyanto, Pers Perlawanan, (Yogyakarta: Lkis, 2009), h. 5
Pembredelan yang menakutkan ini membuat pers merasa terancam dan
tidak berani menguak keburukan yang dilakukan oleh para penguasa.
Merekalebih memilih main aman dengan tidak menulis berita yang bisa
membuat penguasa marah. Soeharto yang kala itu menjabat sebagai presiden
bisa dibilang cerdik karena berhasil merumuskan Pers Pancasila yang secara
resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo
pada pertengahan 1980-an.10
Hakikat Pers Pancasila adalah pers yang sehat,
yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya
sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat
dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu, Pers
Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka
yang demokratis dan bertanggung jawab.
Istilah Pers Pancasila sebenarnya merupakan cerminan keinginan
politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers
sebagai alat pemerintah. Sehingga disini pers tidak bisa menjalankan tugasnya
sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat
dan control sosial yang konstruktif. Bahkan pada saat ini pers hanya berfungsi
sebagai corong pemerintah.
Berbagai pembatasan yang dibuat pada masa Soeharto membuat
wartawan menjadi tidak bebas menulis. Karena pada era ini muncul “budaya
telepon”, yaitu semacam peringatan melalui telepon yang dilakukan oleh
aparat pemerintah kepada kantor redaksi dan media cetak untuk tidak berbuat
10
Sisil-masterpiece.blogspot.com diakses pada tanggal 27 Mei 2017
yang macam-macam, sehingga pada waktu itu pers seolah telah kehilangan
fungsinya dan hanya menjadi sebuah industri. Keuntungan mereka meningkat
karena tidak memberitakan keburukan penguasa, namun sayangnya kondisi ini
tidak berbanding lurus dengan kebebasan mereka untuk menulis berita.
Seiring berjalannya waktu akhirnya rezim Soeharto pun runtuh dengan
munculnya krisis ekonomi dan keberanian pers untuk mengungkap borok
pemerintah yang tak bisa dibendung lagi karena pers juga tak mau bungkam
terus-menerus. Menjelang akhir pemerintahannya sebagai presiden, Soeharto
masih berusaha untuk mengintimidasi pers dengan tuduhan pers tidak
proposional dan melakukan disinformasi karena pers selalu menampilkan aksi
demo mahasiswa tuntutan reformasi di halaman pertama. Tindakan pers yang
demikian membuat Soeharto marah dan jika hal itu terjadi biasanya pers akan
ciut nyalinya, namun situasi yang terjadi justru sebaliknya.
Perjuangan Pers Indonesia akhirnya berbuah manis. Tepatnya tahun
1999 dengan ditutupnya Departemen Penerangan dan disahkannya UU Pers
No 40/1999 tentang Pers. Undang-undang ini didasarkan pada pasal 19
International Convention of Human Right yang dalam bahasa Indonesianya
berarti “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat
dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara
apa pun juga dengan tidak memandang batas-batas”.11
11
Sirikit Syah, Rambu Rambu Jurnalistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 6
Akan tetapi setelah disahkannya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers
tidak semata-mata membuat pers merasa bebas. Berbagai ancaman mulai
bermunculan,salah satunya pada tahun 2002, yang mana waktu itu ancaman
datang dari golongan elit politik untuk melemahkan pers. Menurut catatan
Dewan Pers, tanggal 21 Maret 2002 dalam acara dengar pendapat antara
komisi I DPR dengan masyarakat pers, sejumlah anggota DPR mengecam
kebebasan pers dan mengusulkan perlunya revisi UU No 40 Tahun 1999
dengan memasukkan pasalpasal pidana KUHP.12
Dalam kerangka fiqh Islam, kebabasan mengemukakan pendapat atau
berbicara biasa disebut lahayyirruhhalitsinagned-y’ar, aracesgnay
tapadneprebnasabebekitrarebsigolomite yang juga berarti kebebasan
berbicara. Penggunaan istilah Hurriyah Al-Ra‟y menunjukkan bahwa para
ulama dan sarjana muslim telah gnitneptamagnaynakududeknaktapmenem
naumlieknadnarikimepisidartmalad Islam. Dengan demikian Hurriyyah Al-
Ra‟y mensyaratkan adanya pendapat dan pemikiran gnatamgnay, maladnem
huggnusnad-usngguh. Setiap orang boleh mengemukakan huajestapadnep
natajuhgnepgnudnagnemgnaymukuhraggnalemkadit, atreshantif
didasarkan pada argumen yang logis, faktual dan bertanggung jawab.
12
Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Yogyakarta: UII Press, 2005)h. 19
ن تنازعت سول وأول المر منك فا وأطيعوا امرذ ين أمنوا أطيعوا اللذ ا الذ ي أيه
ل خي واميوم الخر ذ ن ننت تؤمنون بللذسول ا وامرذ ل اللذ
وه ا ء فرده ف ش
وأحسن تأويلا
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Q.S. An-Nisa:59)
Secara fitrah manusia sudah dibekali dengan daya intelektualitas dan
kebebasan beragama, kebebasan untuk berpikir, kebebasan berbicara,
kebebasan menuntut ilmu serta kebebasan berprinsip at-Tasyawur/ as-Syura
(musyawarah).
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kebebasan wartawan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam tentang kebebasan wartawan menurut
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Skripsi ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui kebebasan wartawan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999tentang pers.
2. Untuk menganalisis perspektif hukum Islam tentang kebebasan wartawan
menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Kegunaan penelitian ini adalah:
1. dapat memberikan sumbangan pemikiran dan landasan teoritis bagi
perkembangan ilmu hukum pada umumnya.
2. Dapat memberikan informasi tentang kebebasan berbicara, serta dapat
menjadi tambahan literatur atau bahan informasi ilmiah yang dapat
dipergunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya, hususnya
yang berkaitan dengan permasalahan kebebasan berbicara.
3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana-1 pada Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Raden Intan Lampung.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
studi pustaka (library research). Yang dimaksud dengan metode studi
pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang
berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta
dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif,13
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Soerjono
Soekamto menyatakan bahwa penelitian berbentuk deskriptif bertujuan
menggambarkan realitas obyek yang diteliti, dalam rangka menemukan
diantar dua gejala dengan memberikan gambaran secara sistematis
13
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 81.
mengenai peraturan hukum dan fakta-fakta sebagai pelaksanaan peraturan
perundang-undangan tersebut di lapangan.14
2. Data dan Sumber Data
Jenis dan sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer,
sekunder, dan tersier, yaitu:
a. Sumber hukum primer dalam hal ini adalah UUD 1945, UUNo 40
Tahun 1999 tentang Pers, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik, Kode Etik Jurnalistik serta peraturan-peraturan yang terkait
dengan kebebasan pers.
b. Bahan hukum sekunder dalam hal ini adalah yang memberikan
penjelasan dan tafsiran terhadap sumber bahan hukum primer seperti
buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, media cetak dan
elektronik, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum serta simposium
yang dilakukan pakar terkait dengan pembahasan.15
c. Bahan hukum disini adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus
hukum, ensiklopedia, dan dokumen yang terkait
3. Metode Pengumpulan Data
Metode penulisan yang digunakan adalah metode studi pustaka
(library research). Yang dimaksud dengan metode studi pustaka adalah
pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), h. 96. 15
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia,
2006), h. 392.
sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian
hukum normatif,16
yakni penulisan yang didasarkan pada data-data yang
dijadikan obyek penelitian, seperti peraturan perundang-undangan,
bukubuku pustaka, majalah, artikel surat kabar, buletin tentang segala
permasalahan yang berkaitan dengan kebebasan pers yang akan disusun
dan dikaji secara komprehensif.
4. Metode Pengolahan Data
Setelah data telah terkumpul, maka selanjutnya akan dilakukan
pengolahan data dengan menggunakan beberapa metode, yaitu :
a. Editing, yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah lengkap,
benar, dan sudah sesuai atau relevan dengan masalah.
a. Coding, yaitu pemberian tanda pada data yang diperoleh baik
penomoran ataupun penggunaan tanda atau simbol atau kata tertentu
yang menunjukan golongan atau kelompok, atau klasifikasi yang
menunjukan golongan atau kelompok, atau klasifikasi data menurut
jenis dan sumbernya.17
b. Sistemating atau sistematika data, yaitu menetapkan data menurut
kerangka sistematika bahasan urutan masalah.18
5. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu
metode analisis yang pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis,
16
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 81. 17
Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit., h. 126. 18
Suharsimi Arikunto, Op. Cit., h. 126.
analisis dengan logika, dengan induksi, analogi, komperasi dan sejenisnya.
Metode berfikir yang digunakan adalah metode induktif, yaitu dari data
menuju ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi, termasuk juga melakukan
sintesis dan mengembangkan teori (bila diperlukan dan datanya
menunjang).19
Dari analisi tersebut kemudian akan ditarik kesimpulan
sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.
19
Faizal, Penelitian Kualitatif : dasar-dasar dan aplikasi, (Malang: 1990), h. 39.
BAB II
KEBEBASAN WARTAWAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Kebebasan Wartawan Dalam Islam
Kebebasan Wartawan adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau
perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang
dipublikasikan seperti menyebarluaskan, pencetakan dan penerbitkan surat
kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan
atau perlakuan sensor dari pemerintah.20
Kebebasan Wartawan merupakan perwujudan dari kebebasan
mengeluarkan pendapat dan kebebesan untuk menceritakan suatu peristiwa.
Atau, kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan pikiran,
dengan cara menyamapaikan suatu informasi kepada massa, dalam semua
kondisi.21
Kode etik jurnalistik mendefinisikan kebebasan pers sebagai
kebebasan seseorang untuk menukis apa yang dia mau dan
menyebarluaskannya melalui Koran , buku, atau media cetak lain, untuk
dikonsumsi secara umum.
Kenyataannya, ada semacam kesepakatan dari para perumus undang-
undang bahwa inti dari kebebasan mengeluarkan pendapat dan
mengungkapkan suatu peristiwa adalah diperbolehkannya seseorang
menampilkan pendapatnya secara terang-terangan serta mengungkapkan
20 Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 3. 21 Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 10.
pemikirannya tanpa adanya ikatan. Bahwa ikatan apapun yang ada adalah
bebtuk pengecualian, bukan merupakan hal yang inti.
Kebebasan Wartawan dan berekpresi muncul kembali di Indonesia dari
perjalanan panjang, setelah menghilang selama 40 tahun. Dalam satu
dasawarsa terakhir, selama awal masa Reformasi pada 1998-2008, kita
berupaya membangun kembali kebebasan ini, yang pada suatu masa, setengah
abad yang lampau, pernah berkembang di negeri ini pada masa 1950-an.22
Kebabasan Wartawan adalah harapan kita untuk melanjutkan idealisme
Wartawan bebas yang memiliki tujuan pendidikan. Undang-undang pers yang
berlaku sekarang menjamin kebebasan atau kemerdekaan Wartawan,
menghapus sistem lisensi berupa perizinan untu membatasi kebabasab
Wartawan, dan meniadakan kekuasaan pemerintah untuk melarang terbitan
Wartawan. Wartawan memiliki hak tolak, selain kebebasan untuk mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta inforamasi.23
B. Sejarah Hukum Kebebasan Wartawan Dalam Islam
Catatan sejarah Islam menunjukkan, komunikasi Nabi Muhammad saw
dalam menyampaikan pesan atau informasi mengenai nilai-nilai, dan ajaran
Islam, frekuensinya cukup tinggi dan variatif, guna menata kehidupan
manusia yang seimbang. Melalui proses komunikasi, Nabi Muhammad telah
22
Attakusumah, Tuntunan Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi, (Jakarat: Spasi & VHR Book, 2009) h. 304. 23 Ibid
mengekspresikan ajaran Islam, memberi pengertian, mempengaruhi
interpretasi dan merubah prilaku manusia. Pada proses komunikasi yang
membawa efek kebersamaan ternyata dapat menciptakan saling
kebergantungan antara satu dengan yang lainnya dengan ukhuwah Islamiyah
maupun dalam kerangka jihad.
Fenomena menarik lainnya dari isyarat komunikasi Islam adalah,
komunikasi berlangsung sebagai tindakan internasional dalam menjawab
berbagai persoalan, memunculkan gagasan atau ide-ide yang dimunculkan
dari proses komunikasi itu sendiri. Kajian Komunikasi Islam tidak terlepas
dari prinsip-prinsip Fundamental begitu juga halnya dengan jurnalistik Islam,
yang menjadi krangka dasar bangunan Islam dalam tatanan kehidupan yang
seimbang antara duniawi dan ukhrawi. Bangunan Islam dibentuk oleh etika
religious Islam. Oleh karena itu jurnalistik Islam harus ditopang oleh pilar
bangunan itu dalam bergerak menuju masa depan yang lebih baik.
1. Prinsip Tauhid. Dalam Islam pandangan yang palin utama dan paling
mendasar mengenai manusia dan jagat raya adalah tauhid. Dari pilar satu
memunculkan tuntunan akan pengabdian manusia kepada Tuhan sang
Pencipta. Dengan menggunakan konsep ketuhanan, maka jurnalistik Islam
dalam merebut tempat bagi manusia, untuk otoritas dan lembaga harus dalam
kerangka pengabdian kepada Allah. Dengan demikian konsep tauhid jika
dilaksanakan akan memberikan prinsip dalam menentukan batas legitimasi
atau suatu sistem dalam jurnalistik Islam.
2. Prinsip Tanggung Jawab. Dalam persepektif agama, maka Islam dilihat
sebagai agama yang bersifat mission, dimana syiar-syiar pesannya harus terus
berlangsung dalam kehidupan manusia. Dengan prinsip tanggung jawab,
maka jurnalistik Islam mempunyai visi dan misi serta komitmen yang tinggi
dalam menyadari jurnalistik Islam adalah amanah Sang Khalik yang akan
dimintai pertanggung jawabannya. Oleh karena itu pada koridor ini prinsip
jurnalistik Islam adalah dalam doktrin “amar ma‟ruf nahi munkar” (QS.
3:10).
3. Prinsip Ummah/hablum minannas
Jurnalistik Islam tidak terlepas dari misi ajaran agama Islam, dimana misi
itupun terdapat dalam al Qur‟an dan hadist. Sedangkan pada proses
komunikasinya, kedudukan al Qur‟an dan hadist adalah sebagai
sumber/rujukan dari pprilaku komunikasi dan pesan-pesan yang
disampaiakan. Dilihat dari persepektif ini maka jurnalistik Islam berada pada
siklus al-Qur‟an dan hadist yang inipun sekaligus menjadi ciri khasnya.
Dalam proses komunikasi antar manusia al Qur‟an telah memberikan
ketentuan-ketentuan yang disimpulkan menjadi enam prinsip yaitu: Qaulan
sadidan (QS. 4 ; 9-33:70), qaulan balighan (QS. 4:630, qaulan maysuran
(QS. 17:33), qaulan layyinan (QS. 20:44), qaulan kariman (QS. 17:23), dan
qaulan ma‟rufan (QS. 4:5). Keenam prinsip ini merupakan kata kunci yang
mengajarkan manusia bagaimana seharusnya ia berkomunikasi pada saat
komunikasi itu berlangsung.
C. Pandangan Hukum Islam dalam Kebebasan Wartawan
Ada pepatah sederhana mengatakan “membaca adalah kunci ilmu,
sedangkan gudangnya ilmu adalah buku “ ungkapan itu sepintas terlihat
sederhana akan tetapi jika di simak, memilki makna yang dalam. Sejalan
dengan firman Allah SWT. surat al-„Alaq ayat pertama “iqra” mengandung
makna baca tulis, dari wahyu yang pertama tergambar perintah Allah SWT.
Kepada manusia untuk mengggoreskan pena supaya dapat dibaca orang lain.
Goresan-goresan pena itu dari dahulu sampai saat ini bahkan sampai akhir
zaman nanti dibutuhkan dan dinantikan kebanyakan manusia. Karenanya
sejak awal Islam telah mengajak manusia untuk mengenalkan baca tulis,
kemudian berkembang di abad moderen ini dikenal dengan media cetak
(surat kabar, buku, tabloid, dan lain-lain).
Jurnalistik Islam dapat dimaknai sebagai “suatu proses meliput, mengolah,
dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan-muatan nilai Islam,
khususnya yang menyangkut agama dan ummat Islam kepada khalayak, serta
berbagai pandangan dengan persepektif ajaran Islam”. Dapat juga jurnalistik
Islam dimaknai sebagai “proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai
hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai-nilai Islam”. Jurnalistik
Islam bisa dikatakan sebagai crousade journalism, yaitu jurnalistik yang
memperjuangkan nilai-nilai tertentu, yakni nila-nilai Islam. Jurnalistik Islam
mengemban misi „amar ma‟ruf nahi munkar „(Q.S. Ali Imran ayat: 104).
Dalam hal ini seorang jurnalis atau wartawan muslim dituntut untuk selalu
menjadikan Al-Qur‟an dan hadis sebagai landasan dalam memberikan
informasi kepada khalayak. Hal ini dimaksudkan agar berita yang diperoleh
oleh khalayak luas atau masyarakat dapat dipertanggungjawabkan secara
langsung oleh sipembuat berita yaitu wartawan itu sendiri. Kelengkapan al-
Quran dengan jurnalistik Islam yang membiaskan pengaruh sangat luas, eksis
dalam hubungan keduanya yang seakan-akan saudara kembar atau pinang
dibelah dua. Bahwa al-Quran kata-kata Tuhan sedangkan jurnalistik adalah
“tulisan tangan manusia”.
Secara sederhana jurnalis Islam itu dapat difahami seorang da‟I atau
sekelompok umat manusia yang menyampaikan pesan-pesan Islam kepada
Umat manusia. Menyampaikan informasi-informasi/pesan-pesan Islam
melalui media semestinya melalui media Islam juga, tapi mampukah media
Islam itu benar-benar mewujudkan secara nyata ruh keislaman itu dalam
kehidupan media?
Dilihat kenyataan sekarang ini begitu dahsyatnya perkembangan media
cetak dan media elektronik (komunikasi massa), tapi yang manakah media
Islam? berapakah jurnalis Islam yang benar-benar menyampaikan dakwah
Islam? Berapa persenkah isi berita tentang dunia Islam? Atau dari sekian
banyak media berapa persenkah isi media terhadap pesan-pesan/informasi-
informasi Islam?
Jurnalistik Islam sangat erat kaitannya dengan komunikasi Islam itu
sendiri, komunikasi Islam adalah informasi yanga diterima khalayak pada
media informasi. Sedangkan jurnalistik Islam adalah seorang
jurnalis/wartawan atau dapat juga dikatakan da‟i yang menyampaikan pesan-
pesan keislaman kepada khalayak.
Komunikasi Islam merupakan bidang kajian baru yang menarik perhatian
sebahagian akedemisi di berbagai perguruan tinggi. Seperti pada bulan
Januari 1993, jurnal media, Culture and Society yang terbit di London,
memberi liputan kepada komunikasi Islam. Pengakuan satu jurnal
komunikasi yang terbit di Barat terhadap komunikasi Islam tersebut dapat
dipandang sebagai suatu tantangan bagi kaum intelektual muslim terutama
pakar komunikasi untuk mencari identitas sendiri sesuai dengan nilai-nilai
agama dan budaya Islam.24
Komunikasi Islam yang masih dalam taraf pengembangan, tentu saja
masih menggunakan atau meminjam teori-teori komunikasi secara umum,
yang kemudian dimodifikasi dengan komunikasi Islam. Melihat kenyataan
umur keilmuan komunikasi Islam yang masih tergolong masih muda, maka
wajar komunikasi Islam masih menggunakan teori komunikasi secara umum.
Melihat latar belakang munculnya komunikasi Islam yang masih baru,
tentu memerlukan perjuangan yang masih panjang dan berat bagi jurnalis
Islam. Oleh karena itu Quo vadis jurnalis Islam? dengan kenyataan bahwa
kapitalis lebih dominan di dunia ini, mereka lebih memiliki kekuatan di
segala bidang kehidupan. Ditambah lagi dengan keadaan umat Islam itu
sendiri terlalu sibuk dengan pemahaman keislaman masing-masing, terlalu
24 Dr. H. Syukur Kholil, MA. 2007, Komunikasi Islam, Bandung: Citapustaka Media, hlm. 6
sibuk dengan kebenaran partai-partai keislaman masing-masing, sehingga
kurang memperhatikan tali persaudaran sesama kaum Muslimin.25
Selain itu faktor yang sangat dominan membuat para jurnalistik pada
media Islam kurang mampu mengimbangi media Barat tidak lain karena
faktor ekonomi dan politik. Para pengamat pengaliran berita Internasional
mengatakan bahwa sistem komunikasi massa dikuasai oleh agensi berita
internasional dari negara-negara maju, terutama negara-negara Barat. Empat
agensi berita berita internasional yang paling besar, yaitu Associated (AP),
United Press International (UPI) dari Amerika Serikat, Agence France
Presse (AFP) dari Perancis, dan Reuter dari Inggris, tetap merupakan sumber
utama berita internasional bagi negara-negara Dunia Ketiga.26
Karenanya bagaimana dunia Islam/jurnalistik Islam mampu mengimbangi
kekutan media Barat supaya Informasi yang mengalir kepada masyarakat
seimbang, maka Galtung mengatakan bahwa pengaliran informasi di dunia
cendrung tidak seimang (imbalence). Publik Barat hanya sedikit mengetahui
tentang Islam, kemudian informasi yang sedikit cendrung bersifat negatif.
Akibatnya publik Barat hanya mengetahui Islam sebagai agama yang
menyukai tindakan kekerasan, miskin, bodoh, kelaparan dan terkebelakang.27
Dasar apa negara Barat membuat berita yang tidak adil terhadap dunia Islam?
25 Al-Quran dan terjemah, surat al-Imaran ayat 104. 26 Tatarian, R 1978, News Flow in the Third World : An Overview. Dalam Philip, C.H (Ed), The Third World and Press Freedom. New York: Praeger Publisher dalam Kholil, Syukur, 1999, Liputan Agensi-Agensi Berita Internasional Tentang Dunia Islam Dalam Surat Kabar Indonesia, Medan, hlm.1. 27 Galtung (1992) dalam Ibid Syukur Kholil, hlm. 88.
Apakah dunia barat tidak memiliki etika jurnalistik? Apakah etika jurnalistik
itu hanya berlaku bagi dunia Timur?
Begitulah media Barat, undang-undang negara Barat pasal 19 Universal
Declaration of Human Righ yang mengatakan bahwa setiap orang
mempunyai kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi
atau idea melalui media massa tanpa ada hambatan. pernyataan ini menjadi
dasar bagi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya untuk memperjuangkan
News Free Flow (pengaliran berita-berita bebas). 28
Soal bicara dan berpendapat memang berkaitan dengan sejarah
pertumbuhan pers, pers lahir dari sejarah perjuangan manusia tentang
kebebasan berbicara setiap anggota masyarakat. Bahkan pada perjalanan
selanjutnya, hingga saat ini, pers tetap dipandang sebagai kekuatan moral
yang mampu menggerakkan semangat demokrasi.29
Dalam hal ini perlu
digaris bawahi, itulah perbedaan komunikasi Islam dengan komunikasi secara
umum. Prinsip komunikasi Islam berbeda dengan prinsip komunikasi secara
umum, prinsip komunikasi Islam berupa free and Balance flow pf information
yang dipandang lebih adil dan manusiawi bila di lihat komunikasi secara
umum hanya sebatas free flow of information.
Paling tidak dalam komunikasi Islam ada nilai-nilai etika yang menjadi
pegangan jurnalis Islam, adalah sebagai berikut:
1. Jujur
28 Op-Cit. Syukur Kholil. 1999. Hlm. 89. 29 Op-cit. Asep Saeful Muhtadi. hlm. 14
Kejujuran dalam berkomunikasi, yakni menyampaikan pesannya secara
benar dan berdasarkan fakta dan data tidak memutar balikkannya merupakan
hal yang utama untuk diperhatikan bagi seorang muslim. Seorang penyamapai
berita yang tidak jujur (bohong) sangat begitu dekat dengan kehidupan kita
sehari-hari, bahkan dalam pragmentasi sejarah Rasulullah begitu juga dalam
tradisi hadist Rasulullah. Istilah hadist maudhu‟ (bohong) dapat membawa
kepada kesesatan, kebinasaan dan kecelakaan besar. Beberapa ayat al Qur‟an
yang menegaskan tentang kejujuran ini dengan sebutan shidiq, amanah.
Dengan komitmen kejujuran dalam menyampaikan berita seperti di atas, maka
seorang muslim dalam berkomunikasi menurut al Qur‟an tidak boleh berdusta
(QS:31:6)
1. Adil
Adil adalah tidak memihak. Dalam menjelaskan proses berkomunikasi al
Qur‟an telah membimbing kita agar berkomunikasi secara adil dan tidak
memihak. Adil dan tidak memihak yang dimaksud disini adalah tidak
mengabaikan status sosial seseorang atau kelompok ketika kita harus
menyampaikan seluruh informasi. Bagaimana kita agar berkomunikasi atau
menyampaiakan informasi secara seimbang baik terhadap kaum kerabat,
pejabat dan dengan fakir miskin sekalipun. Kata adil yang erat kaitannya
dengan komunikasi atau penyampaian informasi terdapat pada (Q.S. 6: 152)
Seorang jurnalis yang adil, akan menempatkan dirinya untuk tidak
menimbulkan keberpihakan. Karena kata adil juga berarti sama dan seimbang
dalam memberikan balasan, seperti qishas, diat dan berbagai pidana lainnya.
Seorang jurnalis yang adil juga menyangkut keberanian untuk mengatakan
yang benar dan yang salah terhadap siapapun.
1. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab. Sikap bertanggung jawab merupakan sikap yang
sangat penting untuk dipelihara dalam prilaku seorang muslim dalam segala
aktifitasnya. Al Qur‟an sangat banyak mengingatkan kita agar bertanggung
jawab terhadap setiap pesan dan janji yang telah kita sampaikan. Rasa
tanggung jawab secara tegas telah mengingatkan kepada kita ini bukan hanya
dikarenakan pesan yang disampaiakan tersebut menyangkut kepentingan
seseorang atau kelompok, melainkan kesadaran yang tinggi terhadap Allah
swt. Seorang jurnalis yang bertanggung jawab akan menganalisa setiap
perkataan dengan hati-hati, memperhitungkan setiap akibat yang mungkin dan
secara sadar menimbang dengan nilai-nilai Islam.
1. Benar-benar akurat
Informasi dan pesan yang akurat. Penyampaian informasi yang tidak jelas
sumbernya dan valid datanya adalah sangat potensial untuk menimbulkan
fitnah. Maka dengan itu al Qur‟an secara tegas telah mengingatkan kepada
kita agar sangat berhati-hati dan tidak terjebak kepada informasi bohong.
Itulah Islam agama yang indah dan sangat toleran terhadap semua agama
dan semua golongan manusia, agama yang rahmatallil‟alamin. Tergantung
kepada orang Islam sajalah yang harus menyadarkan diri, bagaimana dapat
menyeimbangkan jurnalis Islam dengan jurnalis barat sebagai media dakwah
Islamiyah. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa dakwah adalah
bentuk yang teristimewa dari komunikasi, maka media-media komunikasi
dapat dipergunakan untuk berdakwah.
Walaupun komunikasi Islam terbilang baru, dan belum mampu
menyeimbangkan informasi dengan dunia Barta, tetapi paling tidak di
Indonesia pada era reformasi ini, pers berbasis agama bermunculan.
Kebanyakan adalah pers Islam. Beberapa penerbitan Islam yang lahir di masa
reformasi antara lain Sabili, Hidayah, Suara Islam, Hidayatullah, dan lain-
lainnya yang berbasis agama. Itu menunjukkan jurnalis Islam cukup peduli
terhadap perkembangan dunia pers saat ini.
Disayangkan, yang terjadi sekarang pada sebuah media adalah, media
yang lebih ideologis umumnya muncul dengan konstruksi realitas yang
bersifat pembelaan terhadap kelompok yang sealiran, dan penyerangan
terhadap kelompok yang berbeda haluan. Oleh karena itu untuk
menyeimbangkan jurnalisme Islam dengan jurnalis Barat, tidak berlebihan
jika penulis menawarkan konsep yang ada di dalam al-Quran surat al-„Imran
ayat 103 (dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai…).
Ajaran Islam itu tidak hanya sekedar ditulis di atas kertas, akan tetapi
ajaran Islam itu dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Apapun
profesi kita, prinsip-prinsip ajaran Islam wajib dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab. Makanya antara jurnalistik secara umum dengan jurnalistik
Islam ada segi perbedaan, tidak hanya sekedar menyampaikan informasi, akan
tetapi bagaimana informasi dapat merubah manusia ke arah yang lebih baik,
adil dan manusiawi.
D. Etika Wartawan dalam Hukum Islam
Dalam praktik jurnalistik, wartawan Muslim hendaknya mengamalkan
nilai-nilai dan akhlak Islam di dalam melaksanakan tugasnya, untuk ini bagi
wartawan Indonesia ada Kode Etik Jurnalistik.
Pengawasan pelaksanaan Kode Etik dilakukan oleh Dewan Pers dan
Dewan Kehormatan PWI. Dalam Dewan Kehormatan pernah duduk tokoh-
tokoh Islam terkemuka antaranya Mohammad Natsir, H. Agus Salim,
Muhyiddin Hamidy.
Wartawan senior, Achmad Istiqom, mengatakan, Kode Etik Jurnalistik
wartawan Indonesia ini sangat Islami, berisi pedoman tingkah laku termasuk
wartawan menulis berita harus dimulai dengan niat yang baik, pedoman
kerja, pedoman penulisan berita / penyajian berita, cek dan ricek, obyektif,
berita berdasarkan fakta, seimbang, tak boleh fitnah, pemakaian bahasa yang
baik dan benar.
Secara umum kode etik bermakna suatu tatanan etika yang telah disepakati
oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.
Di manapun kita hidup, bekerja, dan berada tentu ada kode etiknya, ada
etikanya, ada aturannya atau akhlaknya. Antara lain:
Pertama, Menyampaikan informasi dengan benar,
Wartawan Muslim tidak merekayasa atau memanipulasi fakta, atau
mencampuradukan yang benar dengan yang salah.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta‟ala:
ا وكوموا كولا سديدا للذ ذلوا أ ت
ين ءامنوا أ لذ
هہا أ أي ـ ي
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. (QS Al-Ahzab [33]: 70)
Kedua, Melaksanakan Tabayyun (meneliti fakta/cek-ricek).
Wartawan Muslim sebelum memberitakan suatu hal, ia mesti meneliti,
mengadakan cek dan ricek (cek ulang) atau disebut dengan tabayyun.
Hal ini untuk mencapai ketepatan data dan fakta sebagai bahan baku berita
yang akan ditulis. Maka, wartawan Muslim hendaknya mengecek dan meneliti
kebenaran fakta di lapangan dengan informasi awal yang ia peroleh agar tidak
terjadi berita bohong, menebar kebencian, menggunjing apalagi memfitnah
orang atau instansi lain, apalagi sesama Muslim.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta‟ala:
ل فتصبحوا ـ ي ا ب ن جاءك فاسق بنبا فتبيذنوا أن تصيبوا كومين ءامنوا ا لذ
هہا أ أي ـ ي
ـ دم ما فع ت ه
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS
Al-Hujurat [49]: 6).
Ketiga, Menyampaikan berita dengan argumentasi yang jelas, baik dan benar.
Wartawan Muslim dalam menulis berita atau artikel dengan Bahasa dan
makna yang baik, benar, serta argumentasi yang jelas dan baik pula. Karakter,
pola pikir, kadar pemahaman pembaca, harus dipahami sehingga berita yang
disusun akan mudah dibaca dan dicerna, penuh dengan kebijakan dan
kebaikan.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta‟ala:
نذ ذت ه أحسن ا م
دميم بأ ـ نة وج محس
مموعظة أ
محكة وأ
م بأ ل سبيل رب
دع ا
أ
ممي دين ذم ىو أ بمن لذ عن سبيي وىو أ بأ رب
Artinya: “Serulah [manusia] kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah [3]
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (QS An-Nahl [16]: 125).
Ketiga, melaksanakan kegiatan kewartawanan secara professional,
mahir dan produktif.
Sehingga karya-karya jurnalistiknya menjadi tabungan amal sholihnya,
yang memberikan manfaat kepada seluas dan sebanyak mungkin orang dan
kalangan.
Karena ia adalah wartawan, alias penulis berita, maka pekerjaan pokoknya
adalah menulis berita setiap hari. Tiada hari tanpa menulis, produktif menulis,
menulis yang baik, beramal yang baik, bahkan terbaik.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta‟ala:
مل فسو تع مون ـ ع وا م ه م ا
لوم أ ـ كل ي
Artinya: “Katakanlah: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan
keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja [pula], maka kelak kamu akan
mengetahui”. (QS Az-Zumar [39]: 39).
Keempat, Menulis berita secara adil, objektif, berimbang dan
komprehensif berdasarkan fakta dan data, bukan nafsu dan kepentingan
pribadi.
رمنذ م شنـان كوم ملسط ول ي شہداء بأ ٲم للذ ين ءامنوا نوهوا كوذ لذ
هہا أ أي ـ ي
خبي بما تعم ون للذ نذ أ ا للذ ذلوا أ ت
دموا ىو أكر ن ذلو وأ
ألذ تعدموا أ
Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan [kebenaran] karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Maidah [5]: 8).
BAB III
KEBEBASAN WARTAWAN DALAM PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG
D. Historitas Hukum Kebebasan Wartawan Menurut Undang-undang
Perubahan-perubahan berarti tanpa ada pergesekan antara nilai-nilai lama
dan nilai-nilai baru, yang kadangkala tereskalasi menjadi suatu masalah sosial
dan hukum. Namun bagaimanapun juga, halangan dan masalah yang terjadi
dalam proses perubahan biarlah tetap menjadi suatu bagian dari proses
alamiah perjalanan suatu sistem bernegara menuju ke arah yang lebih baik.30
Berbicara mengenai perubahan dalam dunia pers menjadi suatu hal yang
pada saat ini berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi. Apakah akan
dianut kebebasan pers secara mumi sebagaimana di negara-negara industri
atau barat, ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum, yang
dalam hal ini adalah batasan hukum pidana. Belum lama ini, kasus Tempo vs
Tommy Winata telah mengguncang dunia pers Indonesia, dimana wartawan
telah diputus bersalah oleh pengadilan karena pemberitaan yang dianggap
mencemarkan nama balk seseorang.31
Fakta tersebut kemudian berujung pada
pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat dipidana ketika ia
menjalankan profesinya? Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan
kebebasan secara utuh bebas dari hukum pidana ketika ia menjalankan
profesinya?
30 https://hukum.tempo.co/read/1059485/kebebasan-pers-di-indonesia 31 https://jurnalis.wordpress.com/2003/03/11/kronologis-penyerbuan-tomy-winata-ke-tempo/
Hal tersebut menjadi suatu kajian yang menarik untuk ditelaah, karena hal
tersebut merupakan bagian dari "masalah" transformasi Indonesia menuju
negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hukum.
Kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting
dalam pembentukkan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan
transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi
yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya
keseimbangan dalam suatu negara.32
Oleh karena itu sudah seharusnya jika
pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi, dijamin
kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawanannya. Hal ini penting
untuk menjaga objektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga
pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut
atau dibawah ancaman sebagaimana masa Orde Baru berkuasa (self-
censorship).
Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir
di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28,
Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu, jelas negara
telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan
berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis
dan berdasarkan atas hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara
biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini,
32 https://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_pers
bagaimanapun juga asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the
law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para
wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan
hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah
diamandemen, yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1).
Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau
memiliki kekebalan (immune) sebagai subjek dari hukum pidana dan harus
tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana ("KUHP") yang
berlaku di Indonesia.
Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh
undang-undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah
perangkat perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan
tujuan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan dan profesional.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum
seluruhnya telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan
bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Hal ini patut diwaspadai
mengingat belum seluruh rakyat Indonesia memiliki pendidikan dan tingkat
intelegensia yang memadai. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan
tanggung jawab, maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi
yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang
notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik.
Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan,
paling tidak melalui rambu hukum. Sehingga pemberitaan yang dilakukan
oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab.
Yang menjadi masalah adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai
alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak
mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat
unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana
tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan
penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media.
Sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika memang
dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional, meskipun ada kesalahan
dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana.
Contohnya adalah, berita Newsweek tentang pelecehan Qur'an di
Guantanamo yang ternyata merupakan kesalahan narasumber dan Newsweek
meminta maaf atas kesalahan tersebut dan berjanji akan lebih berhati-hati
dalam pemberitaan.
UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers ("UU Pers) sendiri belum
mengakomodir mengenai permasalahan tersebut. Di dalam UU Pers sendiri
hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers
melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta masalah
pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers).
Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan
hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang
sebenanya yang untuk sementara pihak dianggap mengandung
ketidakseimbangan. Namun dalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan,
karena yang salah adalah UU Pers yang tidak mengatur mengenai potensi-
potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang dapat timbul dalam
pemberitaan pers.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa konsep kebebasan pers dalam
mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak bagi proses
demokratisasi suatu negara. Hanya saja, kebebasan tersebut bukanlah
kebablasan yang mutlak dan tanpa batas. Untuk mencegah disalahgunakannya
pers sebagai media penghinaan, fitnah, dan penghasutan diperlukan perangkat
hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang kebebasan
pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional dan
bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia.
Jika melihat dari sudut pandang rancangan undang-undang KUHP (RUU
KUHP") yang baru saat ini, maka Pasal 511 sampai dengan Pasal 515 RUU
KUHP telah mengakomodasi permasalahan penghinaan maupun fitnah yang
dapat terjadi dalam pemberitaan Pers.
Untuk masalah penghinaan Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP telah
mengatur secara jelas mengenai kriteria tindak pidana penghinaan, yaitu
terlihat dari unsur-unsumya sebagai berikut, yaitu setiap orang, dengan lisan,
menghina menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, menuduhkan
suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.
Sedangkan untuk tindak pidana yang dilakukan secara tertulis diatur dalam
Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP, sebagai pemberat tindak pidana terhadap
Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP. Pemberatan tersebut akan dikenakan apabila
penghinaan tersebut memenuhi unsur-unsur: dilakukan dengan tulisan atau
gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum.
Dengan demikian jika tindak pidana penghinaan dilakukan melalui
pemberitaan pers telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 511
Ayat (2) RUU KUHP. Akan tetapi dalam Pasal 511 Ayat (3) RUU KUHP
diatur pula mengenai dasar pembenar untuk melakukan hal-hal yang diatur
dalam Pasal 511 Ayat (1) dan (2) RUU KIJHP, yaitu jika perbuatan tersebut
dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela din.
Untuk tindak pidana fitnah, hal tersebut diatur dalam Pasal 512 RUU
KUHP. Tindak pidana fitnah itu sendiri merupakan pengembangan dari tindak
pidana penghinaan baik yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (1) maupun Ayat
(2) RUU KUHP. Tindak pidana fitnah merupakan tindak pidana penghinaan
yang ditambahkan unsur kesempatan bagi pelaku penghinaan untuk
membuktikan kebenaran apa yang dituduhkannya, dan jika apa yang
dituduhkan oleh si pelaku tersebut tidak terbukti, maka ia telah melakukan
tindak pidana fitnah. Apabila tindak pidana fitnah itu dilakukan melalui media
pemberitaan pers, maka tindak pidana fitnah tersebut akan memenuhi unsur
Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP. 33
33 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12999/kebebasan-pers-dalam-perspektif-pidana-ditinjau-dari-ruu-kuhp
Dengan demikian RUU KUHP sendiri di lain sisi juga cukup memberikan
perlindungan bagi kebebasan pers, yaitu kesempatan bagi terdakwa pelaku
penghinaan atau fitnah untuk membuktikan kebenaran mengenai apa yang
dituduhkannya. Atau dalam hal penghinaan atau fitnah tersebut dilakukan
melalui pemberitaan pers maka wartawan yang melakukan pemberitaan
tersebut dapat diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran
mengenai pemberitaannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 512 ayat (2) RUU
KUHP, dimana diatur bahwa pembuktian kebenaran akan tuduhan yang
dilakukan tersebut, hanya dapat dilakukan dalam hal tertentu. Pertama, hakim
memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna
mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan
perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela
diri. Kedua, pegawai negeri dituduh melakukan suatu hal dalam melakukan
tugas jabatannya.
Selanjutnya Pasal 513 Ayat (1) RUU KUHP memberikan dasar pemaaf
bagi pelaku penghinaan dan fitnah yaitu apabila tuduhan yang dibuat oleh si
pelaku tersebut terbukti kebenarannya berdasarkan putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), maka si pelaku tidak dapat
dipidana atas fitnah. Hal ini tentu saja berlaku juga terhadap tindak pidana
fitnah yang dilakukan melalui pemberitaan pers. Jika pemberitaan pers yang
dianggap menghina atau menfitnah itu dapat dibuktikan kebenarannya maka,
wartawan yang menjadi terdakwa tidak dapat dipidana atas tuduhan
penghinaan atau fitnah. Sebaliknya, jika berdasarkan putusan hakim yang
telah berkekekuatan hukum tetap perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak
terbukti, maka si terhina atau si terfitnah tersebut dibebaskan dari apa yang
dituduhkan, dan putusan tersebut menjadi bukti sempurna bahwa apa yang
dituduhkan tersebut tidak benar. Dalam hal ini benar-benar diperlukan hakim
atau pengadilan yang betul-betul menghayati dan memahami seluk-beluk
penerapan hukum pidana khususnya tentang penghinaan dan fitnah.
Dalam hal terjadi kasus penghinaan atau fitnah, maka proses persidangan
terdakwa penghinaan atau fitnah akan ditunda terlebih dahulu jika hakim
memutuskan untuk membuktikan kebenaran akan apa yang dituduhkan dalam
penghinaan atau fitnah tersebut (Pasal 513 Ayat 3 RUU KUHP) yang
dilakukan baik secara lisan maupun secara tertulis (termasuk media
pemberitaan pers). Setelah persidangan masalah pembuktian kebenaran
tuduhan tersebut mempunyai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,
maka barulah proses persidangan perkara penghinaan atau fitnah dilanjutkan.
Hal tersebut dilakukan karena pembuktian akan kebenaran tentang hal yang
dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut akan menjadi alat bukti
yang sangat menentukan dalam persidangan perkara penghinaan atau fitnah.
Perlu ditekankan juga bahwa tindak pidana penghinaan dan fitnah adalah
merupakan delik aduan (Pasal 518 RUU KUHP) karena pelaku tindak pidana
penghinaan dan fitnah tidak akan dituntut, jika tidak ada pengaduan dari orang
yang berhak mengadu, kecuali jika yang dihina atau difitnah adalah seorang
pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah (Pasal 515 RUU
KUHP).
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dimengerti bahwa kebebasan pers
dalam mengemukakan berita tetap dijaga, akan tetapi bukan berarti
kriminalisasi dalam pers tidak dimungkinkan. Dalam hal media pers telah
menjadi alat untuk melakukan penghinaan dan fitnah tentu saja oknum
tersebut harus dapat dipidana. Jadi bukan pers sebagai media pemberitaan
yang dikriminalisasi tetapi pelaku, oknum yang mungkin saja menunggangi
pers atau memanfaatkan pers untuk kepentingan yang melanggar hukum itulah
yang akan dikriminalisasi. Jadi yang diadili adalah si pelaku dan bukan pers.
Dalam pembuktian pidana penghinaan dan fitnah yang dilakukan melalui
media pemberitaan pers, tentu saja harus terdapat opzet atau kesengajaan
pelaku untuk melakukan tindak pidana, dan juga adanya schuld atau kesalahan
dalam perbuatan tersebut. Jadi sesungguhnya bukan pemberitaan pers yang
dipidanakan, tetapi perbuatan menghina atau memfitnah tersebut yang
dipidana.
Harus diakui bahwa belum semua pers Indonesia dikelola secara
profesional dan mampu melakukan pemberitaan yang bertanggung jawab.
Banyak perusahaan pers yang mengeluarkan berita-berita gosip dan
pernyataan-pernyataan yang tidak benar atau bias. Dilihat dari sisi lain
kepentingan masyarakat, tentu saja pers yang tidak berkualitas akan sangat
merugikan karena tidak mendidik masyarakat dan sebagai pembentuk opini
publik. Pers akan sangat berbahaya jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum
terbentu yang memiliki tujuan-tujuan yang melanggar hukum.
Oleh karena itu jika dipandang dari sudut pandang hukum pidana
khususnya dalam RUU KUHP, hukum secara seimbang telah mengatur antara
kebebasan pers dan pertanggung jawaban isi dari beritanya. Dan perlu diingat
bahwa pasal-pasal penghinaan dan fitnah dalam RUU KUHP adalah pasal-
pasal yang mengatur mengenai tindak pidana penghinaan dan fitnah secara
umum (general) jadi tidak hanya mengacu pada pemberitaan pers saja. Justru
dengan adanya pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah dalam RUU
KUHP, maka pers Indonesia didorong untuk menjadi lebih profesional dan
Iebih bertanggung jawab dalam menerbitkan pemberitaan. Hal tersebut karena
pers selain mempunyai tugas untuk memberikan informasi secara terbuka dan
transparan terhadap masyarakat, juga memiliki tanggung jawab untuk
mendidik masyarakat dan untuk menjaga opini publik, yang rentan terhadap
situasi sosial politik di negara seperti Indonesia.
Akan tetapi ada yang perlu dikritisi dalam pasal-pasal mengenai
penghinaan dan fitnah RUU KUHP yaitu mengenai pembuktian akan
kebenaran tuduhan yang dibuat oleh terdakwa penghinaan atau fitnah yang
didasarkan atas kepentingan umum atau pembelaan diri. Berdasarkan Pasal
512 Ayat (2) RUU KUHP, pembuktian kebenaran tuduhan yang dibuat oleh
terdakwa penghinaan atau fitnah sepenuhnya tergantung pada keputusan
hakim, sedangkan seharusnya pembuktian mengenai apa yang dituduhkan
sebagai penghinaan atau fitnah harus dilakukan tanpa kecuali karena hal
tersebut merupakan bukti apakah si terdakwa benar melakukan tindak pidana
atau tidak.
Hal lain yang perlu dikritisi adalah tidak efisiennya persidangan karena
sidang pembuktian akan kebenaran tuduhan fitnah atau penghinaan pasti akan
memakan waktu yang lama sehingga asas peradilan yang cepat, dan biaya
murah sulit untuk diterapkan dalam kasus penghinaan dan fitnah.
Sebagai penutup, kebebasan pers merupakan hal yang mutlak untuk dijaga
dan dijamin secara hukum. Namun demikian pers sebagai bagian dari
demokrasi harus memiliki profesionalisme dan tanggung jawab dalam
melakukan tugasnya. Oleh karena itu hukum berada ditengah masyarakat guna
untuk menciptakan keseimbangan antara demokrasi, kebebasan, dan tanggung
jawab. Pers tidak kebal hukum tetapi kebebasan pers tidak pernah terancam
karena kebebasan pers bukan merupakan kejahatan.
E. Dasar terbentuknya Hukum Kebebasan Wartawan dalam Undang-
undang
Istilah pers berasal dari kata persen bahasa Belanda atau press bahasa Inggris,
yang berarti menekan yang merujuk pada mesin cetak kuno yang harus
ditekan dengan keras untuk menghasilkan karya cetak pada lembaran
kertas.Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia kata pers berarti alat cetak
untuk mencetak buku atau surat kabar, alat untuk menjepit atau memadatkan,
surat kabar dan majalah yang berisi berita, orang yang bekerja di bidang
persurat kabaran. Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara,
gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis
saluran yang tersedia. Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers,
disebutkan dalam pasal 3 fungsi pers adalah sebagai berikut :34
a. Sebagai Media Informasi, ialah perrs itu memberi dan menyediakan
informasi tentang peristiwa yang terjadi kepada masyarakat, dan masyarakat
membeli surat kabar karena memerlukan informasi.
b. Fungsi Pendidikan, ialah pers itu sebagi sarana pendidikan massa pers
memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat
bertambah pengetahuan dan wawasannya.
c. Fungsi Menghibur, ialah pers juga memuat hal-hal yang bersifat
hiburan untuk mengimbangi berita-berita berat dan artikel-artikel yang
berbobot. Berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar,
teka-teki silang, pojok, dan karikatur.
d. Fungsi Kontrol Sosial, terkandung makna demokratis yang didalamnya
terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
- Social particiption yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan.
- Socila responsibility yaitu pertanggungjawaban pemerintah terhadap
rakyat.
- Socila support yaitu dukungan rakyat terhadap pemerintah.
34
Anwar Nasution, 1997, Tuntutan Profesionalisme Pers dalam Pemberdayaan
e. Social Control yaitu kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan
pemerintah.
f. Sebagai Lembaga Ekonomi, yaitu pers adalah suatu perusahaan yang
bergerak dibidang pers dapat memamfaatkan keadaan disekiktarnya
sebagai nilai jual sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat memperoleh
keuntungan maksimal dari hasil prodduksinya untuk kelangsungan hidup
lembaga pers itu sendiri. Menurut pasal 6 UU No. 40 tahun 1999 tentang
pers, perana pers adalah sebagai berikut :
- Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
- Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum, hak asasi manusia, serta menhormati kebhinekaan.
- Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat dan benar.
- Melakukan pengawasan,kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
- Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Penjajah Belanda sangat mengetahui pengaruh surat kabar terhadap
masyarakat indonesia, karena itu mereka memandang perlu membuat UU
untuk membendung pengaruh pers Indonesia karena merupakan momok yang
harus diperangi. 35
Menuru Suruhum pemerintah mengeluarkan selain KUHP
tetapi belanda mengeluarkan atruan yang bernama Persbreidel Ordonantie,
35
Hestu Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Atmajaya, Yogyakarta
yang memberikan hak kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
menghentikan penerbitan surat kabar atau majalah Indonesia yang dianggap
berbahaya. Kemudian belanda juga mengeluarkan Peraturan yang bernama
Haatzai Artekelen, yautu berisi pasal-pasal yang mengancam hukuman
terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta
penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda, serta
terhadap sesutu atau sejumlah kelompok penduduk Hindia Belanda.Demikian
halnya pada pendudukan Jepang yang totaliter dan pasistis, dimana orang-
orang surat kabar pers Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan
ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan
, pendidikan, politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers
Indonesia tertekan.Walaupun pers tertekan dimasa Jepang namun ada
beberapa keuntungan antara lain Pengalaman yang diperoleh para karyawan
pers indonesia bertambah. Terutama dalam penggunaan alat cetak yang
canggih ketimbang Zaman belanda.Penggunaan bahasa Indonesia dalam
pemberitaan makin sering dan luas.Adanya pengajaran untuk rakyat agar
berpikir kritis terhadap berita yang disajikanoleh sumber-sumber resmi
Jepang. Pers di masa demokrasi liberal landasan kemerdekaan pers adalah
konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak
atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini
kemudian dicantumkan dalam UUD Sementara 1950. Awl pembatasan pers
adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina,
namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi
terhadap pers nasional. Pers di masa demokrasi terpimpin tindakan tekanan
terhadap pers terus berlangsung yaitu pembreidelan terhadap harian Surat
Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia dan Sin Po di Jakarta. Upaya
untuk pembatasan kebebasan pers tercermin dari pidato Menteri Muda
penerangan RI yaitu Maladi yang menyatakan, Hak kebebasan individu
disesuaikan denga hak kolektif seluruh bangsadalam melaksanakan
kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh
penghasilan sebagaimana yang dijamin UUD 1945 harus ada batasnya yaitu
keamanan negara, kepentingan bangsa, moraldan kepribadian indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan YME. Pada awal kepemimpinan orde baru
menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti
dengan demokrasi Pansasila, hal ini mendapat sambutan positif dari semua
tokoh dan kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang
pleno ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam
arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat,
pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya
sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat,
dan kontrol sosial yang konstruktif.Masa kebebasan ini berlangsung selama
delapan tahun disebabkan terjadinya pristiwa malari sehingga pers kembali
seperti zaman orde lama. Dengan peristiwa malari beberapa surat kabar
dilarang terbit termasuk Kompas. Pers pasca peristiwa malari cenderung pers
yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Pers tidak
pernah melakukan kontrol sosial disaat itu. 36
Pemerintah orde baru
menganggap bahwa pers adalah institusi politik yang harus diatur dan
dikontrol sebagaimana organisasi masa dan partai politik Kalngan pers
kembali bernafas lega karena pmerintah mengeluarkan UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak Azasi manusia dan UU no. 40 tahun 1999 tentang pers.
Dalam UU Pers tersebut dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers
sebagai Hak azasi warga negara dan terhadap persnasioal tidak lagi diadakan
penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran. Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki
hak tolak agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara
menolak menyebutkan identitas sumber informasi, kecuali hak tolak gugur
apabila demimkepentingan dan ketertiban umum, keselamatan negara yang
dinyatakan oleh pengadilan. A. Landasan Hukum Pers Indonesia 1.Pasal 28
UUD 1945, berbunyi kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-
Undang. 2. Pasal28 F UUD 1945, berbunyi setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 3. Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 20 dan 21 yang
36
Wikrama Iryans Abidin, 2005, Politik Hukum Pers Indonesia, Gramedia
bebunyi : -Pasal 20 : Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi di lingkungan
sosialnya. -Pasal 21 : Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 4. UU N0. 39 tahun 2000
pasal 14 ayat 1 dan 2 : -Ayat 1 yaitu Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi di
lingkungan sosialnya. -Ayat 2 yaitu Setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 5. UU No. 40 Tahun
1999 tentang pers pasal 2 dan pasal 4 ayat 1 : -Pasal 2 berbunyi Kemerdekaan
pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. -pasal 4 ayat 1 berbunyi
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warganegara. B. Dewan Pers
Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang pers pada pasal 15 ayat 1
menyatakan Dewan Pers yang independen dibentuk dalam upaya
mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional,Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak
lain.Melaksanakan pengkajian untuk pengembangan pers. menetapkan dan
mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.Memberikan pertimbangan dan
mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang
berhubungan dengan pemberitaan pers. Mengembangkan komunikasi antara
pers, masyarakat, dan pemerintah. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers
dalam menyususn peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas
profesi kewartawanan.Mendata perusahaan pers .Landasan Pers
Nasional,Landasan idiil adalah Falsafah Pancasila Landasan Konstitusi
adalah UUD 1945,Landasan Yuridis adalah UU Pokok Pers yaitu UU No. 40
tahun 1999.37
Landasan Profesional adalah Kode Etik Jurnalistik, Landasan
Etis adalah tata nilai yang berlaku di masyarakat. Distorsi peraturan
perundang-undangan, contoh dalam UUD 1945 pasal 28 sudah sangat jelas
menjamin kebebasan pers, tidak ada sensor, tidak ada breidel, setiap
warganegar dapat malakukan perusahaan pers UU No. 11 tahun 1966.
Namun muncul UU No. 21 tahun 1982 tentang pokok pers. Di dalamnya
mengatur tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers serta menteri penerangan
dapat membatalkan SIUPP walaupun tidak menggunakan istilah breidel.
Perilaku Aparat, yaitu perilaku aparat dengan cara menelpon redaktur,
mengirimkan teguran tertulis ke redaksi media massa, membreidel surat kabar
dan majalah, kekerasan fisik pada wartawan, menangkap, memenjarakan,
bahkan membunuh wartawan. Pengadilan Massa, Ketidak puasan atau merasa
dirugikan atas suatu berita dapat menimbulkan pengadilan massa dengan
menghukum menurut caranya sendiri, menteror, penculikan pengrusakan
kantor media massa, dll. Perilaku pers sendiri, perolehan laba menjadi lebih
utama daripada penyajian berita yang berkualitas dan memenuhi standar etika
jurnalistik, karena iming-iming keuntungan yang lebih besar. Teori pers
otoritarian : Teori ini menganggap Negara sebagai ekspresi tertinggi dari pada
37 Zaenuddin HM, 2007, The Journalist, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta
kelompok manusia, yang mengungguli masyarakat dan individu. Negara
adalah hal yang sangat penting yang dapat membuat manusia menjadi
manusia seutuhnya anpa Negara manusia menjadi primitif tidak mencapai
tujuan hidupnya. Oleh karena itu pers adalat alat penguasa untuk
menyampaikan keinginannya kepada rakyat. Teori Pers Libertarian : Teori
menganggab bahwa pers merupakan sarana penyalur hati nurani rakyat
untuk mengawasi dan menetukan sikap terhadap kebijakan pemerintah. Pers
berhadapan dengan pemerintah Pers bukanlah alat kekuasaan pemerintah.
Teori ini menganggab sensor sebagai hal yang Inkonstitusional. Pers
Tanggung Jawab Sosial, mengemukakan bahwa kebebasan pers harus disertai
dengan tanggung jawab kepada masyarakat, kebebasan pers perlu dibatasi
oleh dasar moral, etika dan hati nurani insan pers sebab kemerdekaan pers itu
harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori Pers komunis,
menyatakan pers adalah alat pemerintah atau partai yang berkuasa dan bagian
integral dari negara sehingga pers itu tunduk kepada negara. media dibawah
kendali kelas pekerja karena pers melayani kelas tersebut. Kemerdekaan
berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk
memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan
kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya
kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan
norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan
terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan
moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga
kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas
dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalisti.
F. Perlindungan Hukum Tentang Kebebasan Wartawan dalam
Undang-Undang
Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat berkaitan dengan rumusan
yang dalam kepustakaan berbahasa belanda berbunyi “rechtsbesceherming
van de burgers tegen de over heid” dan dalam keputusan berbahasa inggris
“legal protection of the individual in relation to acts of administrative
authorities”.38
Philipus Hadjon (1987 : 1-3) membedakan dua macam perlindungan
hukum bagi rakyat, yaitu: perlindungan hukum yang preventif dan
perlindungan hukum yang represif. Pada perlindungan hukum yang preventif,
kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak)
atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
38 http://altajdidstain.blogspot.co.id/2011/02/perlindungan-hukum-bagi-wartawan-di.html
definitive. Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa sedangkan sebaliknya perlindungan
hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan
hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang
didasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan
hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. dengan pengertian
yang demikian, penaganan perlindungan hukum bagi, rakyat oleh peradilan
umum di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum yang represif;
demikian juga halnya dengan peradilan administrasi Negara andaikata satu-
satunya fungsi peradilan administrasi Negara adalah fungsi”peradilan”
(justitiele functie-judical function).
Dalam ilmu Hukum terdapat beberapa pengertian dari hukum yang
dijadikan bahan rujukan yang konkret terhadap pengertian perlindungan
hukum bagi wartawan, meliputi definisi hukum, sifat dan tujuan hukum pada
umumnya. Menurut J.C.T. Simorangkir, SH Hukum adalah peraturan yang
bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran
terhadap peraturan-peraturan tadi mengakibatkan timbulnya tindakan, yaitu
dengan hukuman tertentu. (C.S.T. Kansil, 1986: 36)
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun1999, bahwa : “Dalam
melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”. Yang
dimaksud dengan “Perlindungan Hukum”adalah jaminan perlindungan dari
pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan
fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menjalankan profesinya sebagai seorang wartawan, perlu mendapat
perlindungan hukum didalam menjalankan tugasnya mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam
bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis
saluran yang tersedia.sebagaimana yang dimuat dalam pasal 8 undang-
undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Perlindungan hukum yang
dimaksud disini tak lain adalah jaminan perlindungan dari pemerintah dan
atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam melaksanakan
fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun1999, secara eksplisit hanya
dinyatakan dua organisasi pers. Pada pasal 1 ayat 5 berbunyi : Organisasi pers
adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Dalam pasal 1
ayat 2 dijelaskan bahwa perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang
menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media
elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara
khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Empat
organisasi pers yang sampai sekarang masih menyelenggarakan pers adalah :
1. Organisasi wartawan seperti : Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
2. Organisasi perusahaan pers seperti : Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS),
3. Organisasi grafika pers seperti : Serikat Grafika Pers (SGP),
4. Organisasi media periklanan seperti : Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia (PPPI).Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai organisasi
wartawan Indonesia yang tertua, didirikan tanggal 9 Februari 1946 di Kota
Solo, Jawa Tengah dalam kongres pertamanya tanggal 9 – 10 Februari
1946,sesuaidengan Keputusan Presiden No. 5tahun 1985 ditetapkan hari
jadi Persatuan Wartawan Indonesiatanggal 9 Februari 1946 sebagai Hari
Pers Nasional.
Melihat pada kondisi jaman sekarang ini, dimana wartawan dikejar dan
dibayangi oleh kegelisahan dan ketakutan dalam menjalankan tugasnya
bahkan sering mendapat ancaman serta kekerasan fisik yang dialami oleh
wartawan, yang dilakukan oleh masyarakat dan warga yang merasa dirugikan
akibat pemberitaan yang ditulis oleh wartawan tersebut sehingga melakukan
perhitungan diluar hukum (main hakim).oleh sebab itu undang-undang nomor
40 tahun 1999 ini dibuat yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman.
Dalam pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
bahwa adanya hak jawab dan hak koreksi yang dapat dijadikan langkah bagi
masyarakat atau warga yang dirugikan oleh pemberitaan dengan
menggunakan hak jawab dan hak koreksi yakni hak untuk mengoreksi atau
membetulkan kekeliruan atas suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar
yang tidak benar yang telah diberitakan oleh wartawan.maka dari itu dalam
memberitakan peristiwa dan opini harus menghormati norma-norma agama
dan rasa kesusilaan masyarakat serta praduga tak bersalah, dan melayani hak
jawab dan hak tolak sebagaimana yang terdapat didalam pasal 5 ayat
(1),(2),(3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) adalah merupakan wadah dari
lembaga organisasi bagi wartawan –wartawan yang ada.sebenarnya ada 4
organisasi wartawan yang ada, namun karena PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) lebih eksis dan banyak dikenal oleh masyarakat. Pemberian
perlindungan hukum bagi wartawan adalah salah satu wujud dari hak asasi
manusia untuk mendapatkan perlindungan hukum. Peran PWI selain
memberikan bantuan hukum kepada anggotanya dalam menjalankan profesi
kewartawanannya, juga membantu perselisihan dengan manajemen media
massa dimana tempatnya bekerja. Adapun tugas, wewenang dan tanggung
jawab dari Ketua Tim Pembelaan Wartawan yakni diantaranya :
1. Melaksanakan pemberian bantuan hukum kepada wartawan dalam kasus
delik pers, baik pada tahap penyidikan maupun pada tahap persidangan di tingkat
pengadilan negeri sampai dengan kasasi dan grasi,
2. Mewakili PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dalam menyelesaikan
perselisihan antara wartawan dengan manajemen media tempatnya bekerja,
termasuk pemberian bantuan hukum,
3. Mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan yang menghambat
tugas-tugas jurnalistik,
4. Membentuk kelompok kerja bantuan hukum yang bersifat permanen atau
sementara dan mengusulkan pengangkatannya kepada ketua umum,
5. Melaksanakan hal-hal lain yang dilimpahkankan oleh ketua umum
kepadanya.
Dari hal diatas menunjukkan bahwa dengan adanya Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999bahwa kemerdekaan pers yakni sebagai wujud
kedaulatan rakyatyang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan
supremasi hukum (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999). Dalam
hal ini wartawan yang menjalankan profesinya perlu mendapat perlindungan
dari pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan
fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, jadi
wujud pelaksanaan perlindungan hukum bagi wartawan oleh Perusahaan
Media Cetak adalah dengan adanya pemberian bantuan hukum yakni
pengacara untuk mendampingi wartawan yang terkena kasus baik itu
mandampingi pada saat di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan.
Namun selain memberikan perlindungan hukum bagi wartawannya, ada sanksi
terhadap wartawan yang memuatberita tidak sesuai serta dianggap melanggar
kode etik jurnalistik.
BAB IV
ANALISIS KEBEBASAN WARTAWAN MENURUT
UU PERS DALAM HUKUM ISLAM
C. Kebebasan Wartawan Di Indonesia Menurut UU No 40 Tahun 1999
Menurut penjelasan daripada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang pers Pasal 1 angka 1 bahwa pers ialah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Metamorfosa terhadap lahirnya Undang-Undang pers ini tidak terlepas
dari sikap dan kebijakan rezim pemerintah yang dilewati dan dialami oleh pers
itu sendiri. Seperti kebijakan mengenai pers pada era rezim orde lama atau
pemerintahan Presiden Soekarno. Pada saat itu, kebijakan pemerintah selain
menata solidaritas kebangsaan, juga memberikan janji manis kepada pers.
Pada bulan Oktober 1945, melalui Menteri Penerangan, Amir Sjarifoedin,
pemerintah mengeluarkan pernyataan penting mengenai pers, yaitu:
a. Pikiran masyarakat umum itulah sendi dasar pemerintahan
berkedaulatan rakyat.
b. Pers yang tidak merdeka, tidak mungkin mengajarkan pikiran
masyarakat hanya pikiran dari beberapa orang yang berkuasa saja.
Maka asas kami (pemerintah) ialah pers harus merdeka.
Namun seiring berjalannya pemerintahan, wartawan yang kala itu
kerapkali mengkritik kinerja pemerintah, akhirnya banyak menemui
kejanggalan terhadap “tingkah” dari pemerintah. Karena kecaman-kecaman
yang dilontarkan oleh pers, lama kelamaan pemerintah pun mulai “gerah”
dengan kritikan tersebut. Pers dan pemerintah yang semula seiring sejalan
pun mulai mengambil jarak hingga pemerintah yang sudah menganggap pers
bak duri yang mengganggu jalannya ketenangan pemerintah pun mengambil
tindakan keras dengan memusuhi pers.
Pada masa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto telah
dilahirkan sebuah Undang-Undang yang dipercaya menjembatani terhadap
kemerdekaan pers. Yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Undang-undang ini secara umum
memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers. Misalnya terhadap
pers tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Dalam Pasal 3 undang-undang
yang dimuat secara singkat ini dengan jelas menyebut, pers nasional
mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi. Sedangkan Pasal 4 undang-
undang ini dengan tegas menyebut “ terhadap pers nasional tidak dikenakan
sensor dan pembredelan”. Namun demikian, kemerdekaan yang diberikan
oleh undang-undang pun perlahan memudar. Pola yang dilakukan sama
dengan rezim sebelumnya. Yaitu ketika pemerintah mulai terusik dengan
kritik-kritik pers, maka saat itu pulalah hubungan antara pers dan pemerintah
pun memanas. Hingga pemerintah tak sungkan untuk menekan, menangkap,
dan memenjarakan wartawan.
Perubahan sikap terhadap per situ dimungkinkan karena terdapat celah
yaitu di dalam satu ayat dalam satu pasal. Ketentuan itu terdapat dalam Bab
IX tentang peralihan, yakni dalam Pasal 20 ayat 1 yang pada intinya bahwa
kepada pers diharuskan mendapatkan Surat Izin Terbit (SIT) dan ketentuan
mengenai SIT tersebut diatur oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan
Pers. Peraturan peralihan ini memungkinkan pemerintah berhak pers mana
yang boleh terbit dan yang tidak. Meskipun Dewan Pers diebut dalam pasal
tersebut, namun saat itu Dewan Pers “dikebiri” sedemikian rupa oleh
pemerintah. Pasal peralihan ini pun berakhir dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Namun
Undang-Undang ini sangat berlainan dengan undang-undang sebelumnya dan
semakin memperkuat belenggu kemerdekaan pers yaitu dengan mewajibkan
seluruh pers agar memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Ketentuan mengenai SIUPP ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri
Penerangan (Permenpen) No 01/Per/Menpen//1984 dan Surat Menteri
Penerangan (SK Mepen) No 214A/Kep/Mepen/1984.[2] Untuk memperoleh
SIUPP sangat sulit. Untuk merubah nama, jumlah halaman, dan ukuran
penerbitan harus memperoleh izin khusus dari Menteri Penerangan.
Pelanggaran sepertin itu pun dapat mengakibatkan dicabutnya SIUPP sebagai
kata lain yaitu diberangus.
Seiring dengan runtuhnya tampuk kepemimpinan Soeharto yang berarti
mulai memasuki era reformasi, maka saat itu pers pun memanfaatkan momen
itu untuk terlepas dari belenggu Orde Baru. Saat Indonesia dipimpin oleh BJ
Habibie, lahirlah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers yang
menjanjikan kemerdekaan untuk pers. Hal itu tersirat dari Pasal 4, yang
berbunyi:
a. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara.
b. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan,
dan pelanggaran penyiaran.
c. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi;
d. Dalam mempertanggungjawawabkan pemberitaan di depan hukum,
wartawan mempunyai hak tolak.
Kebebasan berbicara memiliki dimensi politik, bahwa kebebasan ini
dianggap sebagai elemen esensial bagi keikutsertaan warga dalam kehidupan
politik dan juga mendorong gagasan kritis dan perdebatan tentang kehidupan
politik bahkan sampai soal kemenangan militer. Kaitan kebebasan berbicara
dengan demokrasi kemudian diakui dalam hukum internasional hak asasi
manusia yang menyatakan bahwa kebebasan berbicara merupakan pra-syarat
bagi perwujudan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang pada akhirnya
sangat esensial bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Kebebasan berbicara juga menjadi pintu bagi dinikmatinya kebebasan
berkumpul, berserikat dan pelaksanaan hak untuk memilih.
Bila kita Mengikuti Perjalanan Pasal 28 UUD 1945 , secara tidak
langsung kita telah mengikuti pasang dan surutnya yang sejalan dengan
kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Tidak ada salahnya bila kita sebagai
warga Negara Indonesia mengikuti perjalanan Pasal 28 UUD 1945 tersebut
serta dari mana sebenarnya bermula. Pasal 28 ini merupakan dari ide
cemerlang Bung Hatta dengan Konsep aslinya berbunyi, " Hak rakyat untuk
menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang dan berkumpul,
diakui oleh negara dan ditentukan dalam Undang-Undang.". Adapun Pasal 28
yang merupakan pasal asli UUD 1945 dan tetap dipertahankan, sebagai
sebuah pasal dalam UUD setelah perubahan berbunyi: “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang". Dari rumusan tersebut yang
berkaitan dengan kebebasan berbicara adalah bagian kalimat yang berbunyi,
“mengeluarkan pikiran dengan lisan. Di dalam UUD 1945 dalam pasal 28E
juga menerangkan seperti berikut “ Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.“
Namun berbicara mengenai Kebebasan berbicara dan mengeluarkan
pendapat. Hal ini merupakan hak yang mahal harganya di Indonesia, banyak
rambu-rambu hukum dan pengelompokan sosial yang membatasi kebebasan
ini. Sistem pendidikan rasanya kurang menumbuhkan cara berpikir yang
mendukung hak ini, sejak SD sampai Universitas. Hak ini sebenarnya perlu
didukung oleh pendidikan, yang pada akhirnya akan membentuk pola pikir
dan kepribadian yang bisa menghargai manusia dengan perbedaan-
perbedaannya. Dalam sistem kenegaraanpun , kemerdekaan berbicara menjadi
sebuah tiang penyangga pelaksanaan asas pemerintahan negara hukum
demokrasi. Dengan adanya kebebasan berbicara maka akan terjadi kompetisi
pendapat dalam wacana publik tentang gagasan-gagasan yang diajukan yang
nantinya akan dipilih oleh masyarakat banyak. Oleh sebab itulah kebebasan
berbicara ini kemudian meliputi pula kebebasan yang lain seperti kebebasan
pers serta penyiaran. Kebebasan pers dan penyiaran dimaksudkan salah
satunya adalah lebih kepada menjaga pluralisme pendapat dalam kehidupan
bernegara khususnya politik yang menjadi prasyarat dasar bagi demokrasi.
Kebebasan berbicara merupakan hak asasi yang fundamental, yang
tercermin sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan dari nilai - nilai
otonomi pribadi dan demokrasi.Ada hubungan langsung antara kebebasan
berbicara dengan kebebasan untuk berpikir dan langkah penting dalam
penyaluran ide dan gagasan oleh setiap individu. Kesempatan setiap individu
untuk mengemukakan ide maupun gagasan mereka secara terbuka merupakan
bentuk aktualisasi diri konkrit yang akan menempatkan mereka sebagai
anggota masyarakat secara penuh dan bebas berbicara adalah ciri masyarakat
demokratis.
Demokrasi sendiri tergantung pada orang-orang yang mampu
membentuk masyarakat tempat mereka tinggal, dan untuk melakukan hal ini
mereka perlu untuk mengbicarakan diri. Hak untuk kebebasan berbicara
secara luas dilihat sebagai hak asasi manusia. Kebebasan dalam hal berbicara
menjamin pertukaran pandangan dan pendapat yang diperlukan untuk
menginformasikan ide maupun gagasan. Kebebasan berbicara, bagaimanapun,
memerlukan platform publik.
Kebebasan berbicara hanya bisa menjadi pilar yang efektif bagi
demokrasi dan hak asasi manusia jika dapat dilaksanakan secara terbuka. Jika
informasi dan ide-ide dapat secara bebas dipertukarkan antara warga negara
tanpa rasa takut. Untuk alasan ini, media secara luas diakui sebagai elemen
penting dari proses demokrasi karena merupakan alat transaksi informasi
publik. Hari ini, apa yang kita kenal sebagai 'media' telah berkembang secara
offline yakni cetak dan media penyiaran tradisional serta online yang berupa
informasi digital yakni internet, media sosial dan berbagai platform digital
lainnya.
Undang-undang yang telah diterapkan di Indonesia yang mengatur
mengenai kebebasan berbicara itu harus dengan tegas mencantumkan adanya
kebebasan berbicara baik secara lisan maupun tertulis. Dalam rangka
penegakkannya, maka setiap orang berhak mengumpulkan bahanbahan yang
dibutuhkannya, sehingga harus dijamin haknya untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikannya. Dibalik itu harus
pula ada ketentuan undang-undang yang melarang siapapun, termasuk
pemerintah yang ingin mengurangi, membatasi atau meniadakan kebebasan
tersebut.
Pondasi utama dalam menentukan batasan konsep dan cakupan
jaminan hak atas kebebasan berbicara mengemuka di dalam Pasal 19
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tahun 1948, yang menegaskan:
“….Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan
pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada
suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan
tanpa memandang batas-batas wilayah…”
Merujuk pada batasan instrumentasi sebagaimana dipaparkan di atas,
kebebasan berbicara setidaknya mencakup tiga jenis bicara, yaitu:
a. kebebasan untuk mencari informasi;
b. kebebasan untuk menerima informasi;
c. kebebasan untuk memberi informasi termasuk di dalamnya menyatakan
pendapat.
UUD 1945 hasil amandemen kedua, yang disahkan pada 18 Agustus
2000 setidaknya memuat tiga ketentuan yang secara khusus dan eksplisit
memberikan jaminan perlindungan bagi kebebaasn berbicara di Indonesia.
Ketiga pasal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Ketentuan Jaminan HAM
Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang-
undang.
Pasal 28E (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28 F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
Selain itu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia juga memuat perlindungan terhadap hak atas kebebasan berbicara
Pasal 23 UU No. 39 tahun 1999 menyatakan:
a. Setiap orang berhak untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya.
b. Setiap orang berhak untuk mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau
tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan
nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan
keutuhan bangsa.
Indonesia juga telah mengesahkan Kovenan Internasional HakHak
Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pasal 19 ayat (2) Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil
and Political Right/ICCPR) memberikan jaminan tegas mengenai hak atas
kebebasan berbicara dan berpendapat. Negara juga telah mengeluarkan
sejumlah peraturan perundang-undangan yang di dalamnya memberikan
jaminan perlindungan bagi pelaksanaan hak atas kebebasan berbicara.
Perundangan tersebut, antara lain:
a. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. (2) UU No. 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran; dan
b. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU Pers
mengatur dan melindungi kegiatan jurnalistik. Pasal 4 UU No. 40
Tahun 1999 menyatakan secara tegas bahwa “Kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warga negara”. UU ini juga memberi
jaminan bahwa “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan atau pelarangan penyiaran”.
Selain itu, UU ini menjamin tiga kegiatan dalam lingkup kebebasan
berbicara yaitu kegiatan “mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan
gagasan dan informasi”.UU ini juga menjamin hak tolak wartawan dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Sementara isu yang
menarik terkait dengan UU Penyiaran ialah mengenai topic keberagaman
media, yang menjadi isu yang sangat penting bagi kebebasan berbicara dalam
hukum internasional. Isu ini mengemuka dan menjadi relevan oleh karena
negara harus membuat cara untuk melindungi pengguna media termasuk
kelompok minoritas agar dapat menerima gagasan dan informasi yang ada.
Dalam ruang lingkup kebebasan berbicara akan terjadi hambatan
dalam berkomunikasi, Hambatan komunikasi dapat mempersulit dalam
mengirim pesan yang jelas, mempersulit pemahaman terhadap pesan yang
dikirimkan, serta mempersulit dalam memberikan umpan balik yang sesuai.
Secara garis besar, terdapat 4 (empat) jenis hambatan komunikasi yaitu
hambatan personal, hambatan fisik, hambatan kultural atau budaya, serta
hambatan lingkungan.
a. Hambatan personal
Hambatan personal merupakan hambatan yang terjadi pada peserta
komunikasi, baik komunikator maupun komunikan/komunikate. Hambatan
personal dalam komunikasi meliputi sikap, emosi, stereotyping, prasangka,
bias, dan lain-lain.
b. Hambatan kultural atau budaya
Komunikasi yang kita lakukan dengan orang yang memiliki
kebudayaan dan latar belakang yang berbeda mengandung arti bahwa kita
harus memahami perbedaan dalam hal nilai-nilai, kepercayaan, dan sikap
yang dipegang oleh orang lain.Hambatan kultural atau budaya mencakup
bahasa, kepercayan dan keyakinan. Hambatan bahasa terjadi ketika orang
yang berkomunikasi tidak menggunakan bahasa yang sama, atau tidak
memiliki tingkat kemampuan berbahasa yang sama.
Hambatan juga dapat terjadi ketika kita menggunakan tingkat
berbahasa yang tidak sesuai atau ketika kita menggunakan jargon atau
bahasa “slang” atau “prokem” atau “alay” yang tidak dipahami oleh satu
atau lebih orang yang diajak berkomunikasi.
Hal lain yang turut memberikan kontribusi terjadinya hambatan
bahasa adalah situasi dimana percakapan terjadi dan bidang pengalaman
ataupun kerangka referensi yang dimiliki oleh peserta komunikasi
mengenai hal yang menjadi topik pembicaraan. (Baca : Komunikasi Antar
Budaya)
c. Hambatan fisik
Beberapa gangguan fisik dapat mempengaruhi efektivitas
komunikasi. Hambatan fisik komunikasi mencakup panggilan telepon,
jarak antar individu, dan radio. Hambatan fisik ini pada umumnya dapat
diatasi.
d. Hambatan lingkungan
Tidak semua hambatan komunikasi disebabkan oleh manusia
sebagai peserta komunikasi. Terdapat beberapa faktor lingkungan yang
turut mempengaruhi proses komunikasi yang efektif. Pesan yang
disampaikan oleh komunikator dapat mengalami rintangan yang dipicu
oleh faktor lingkungan yaitu latar belakang fisik atau situasi dimana
komunikasi terjadi. Hambatan lingkungan ini mencakup tingkat aktifitas,
tingkat kenyamanan, gangguan, serta waktu.
Berbagai hambatan komunikasi yang dapat menyebabkan
ketidakefektifan komunikasi dapat kita atasi dengan memperhatikan
beberapa hal berikut ini :
a. Pengirim pesan/komunikator/sender
Komunikasi adalah suatu proses yang berlangsung dua arah dan
diawali oleh pengirim pesan. Pengirim pesan hendaknya merumuskan
informasi sedemikian rupa agar tujuan komunikasi tercapai. Pengirim
pesan harus proaktif dalam membuat
penerima/komunikan/komunikator/ receiver mengerti dan memahami
pesan yang disampaikan. Seringkali, apa yang dikatakan tidak selalu
sesuai dengan apa yang didengar. Untuk menghindarinya, hal-hal
yang harus dilakukan adalah :
a) Menyatakan satu ide atau gagasan dalam satu waktu.
b) Menyatakan ide atau gagasan dengan singkat.
c) Memberikan penjelasan ketika diperlukan.
d) Melakukan pengulangan jika diperlukan.
e) Menerima dan memberikan umpan balik.
f) Melakukan pilihan kata, nada suara dan bahasa tubuh yang
tepat.
g) Mengembangkan sikap empati terhadap
penerima/komunikan/ komunikate/receiver dalam mengatasi
hambatan kultural atau budaya dalam komunikasi.
b. Pesan
Pesan merupakan informasi sederhana yang ingin disampaikan
oleh pengirim pesan kepada penerima. Pesan dapat berupa pesan
verbal maupun pesan non verbal. Untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya masalah, pengirim harus :
a) Menggunakan terminologi yang tepat.
b) Berbicara dengan jelas.
c) Waktu pengiriman pesan disesuaikan dengan kesiapan
penerima pesan untuk mendengarkan atau menerima pesan.
d) Menggunakan volume suara yang sesuai.
e) Pesan yang disampaikan hendaknya bersifat inklusif dan
informatif. Inklusif artinya bahwa pesan berisi segala
sesuatu yang diperlukan oleh penerima pesan untuk
memahami maksud pengirim. Informasi artinya pesan
merupakan sesuatu yang ingin diketahui oleh penerima
pesan.
c. Penerima/komunikan/komunikate/receiver
Penerima pesan membutuhkan informasi untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Untuk itu, penerima pesan harus memegang
kendali atas seluruh proses komunikasi yang berlangsung. Agar
penerima pesan memegang kendali, adalah penting bagi penerima
pesan untuk yakin bahwa pengirim pesan memahami apa yang
diinginkan oleh penerima pesan dan mengapa mereka
menginginkannya.
Aktif mendengarkan adalah suatu proses yang digunakan oleh
penerima pesan untuk memfasilitasi komunikasi dan meningkatkan
penampilan. Dalam artian, penerima pesan aktif dalam proses
komunikasi. Agar penerima pesan dapat mendengarkan dengan aktif,
hal-hal yang perlu dilakukan oleh penerima pesan adalah :
a) Fokus perhatian pada pesan yang disampaikan dengan
memberikan momen prioritas. Jika memungkinkan melihat atau
melakukan kontak mata kepada pengirim pesan.
b) Mendengar dan melihat isi pesan tidak langsung atau non verbal
sama baiknya ketika mendengarkan kata-kata. Perhatikan
petunjuk non verbal yang menyajikan informasi berdasar pada
apa yang ingin disampaikan oleh pengirim pesan. Persepsi yang
diberikan oleh penerima pesan terhadap pesan dan pengirim
pesan dapat berbeda. Pilihan kata, nada suara, posisi tubuh,
geture dan gerakan mata merefleksikan perasaan dibalik kata-
kata yang diucapkan.
c) Menjaga pikiran tetap terbuka dan hindari penilaian.
d) Melakukan verfikasi terhadap apa yang didengar atau
disampaikan. Jangan berasumsi bahwa persepsi yang diberikan
terhadap pesan merupakan bentuk persetujuan dengan tujuan
pengirim pesan. Berikan umpan balik yang tepat kepada
pengirim pesan.
d. Umpan Balik Pesan
Penerima yang efektif memverifikasi pemahaman mereka
terhadap pesan yang dikirim oleh pengirim pesan. Mereka menyadari
kata-kata, nada suara, dan bahasa tubuh ketika mereka memberikan
umpan balik. Berbagai bentuk umpan balik yang diberikan dapat
berupa pengakuan, pengulangan, dan parafrase.
Kemudian, yang dimaksud dengan pengakuan adalah bahwa
penerima pesan telah menerima dan memahami pesan yang
disampaikan. Untuk pesan yang bersifat informatif yang rumit,
pengakuan saja tidaklah cukup untuk memastikan dan memahami
pesan yang disampaikan. Sedangkan, yang dimaksud dengan
pengulangan adalah mengulang kembali kata-kata yang disampaikan
oleh pengirim pesan.
Terakhir, yang dimaksud dengan parafrase adalah mengulang
kata-kata yang disampaikan oleh penerima pesan sendiri kepada
pengirim pesan. Parafrase memungkinkan penerima pesan untuk
melakukan verifikasi terhadap pemahaman pesan dan menunjukkan
kepada pengirim pesan bahwa penerima pesan mendengarkan pesan
dengan baik.
D. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebebasan Wartawan Menurut UU No
40 Tahun 1999
Dalam al-Qur‟an disebutkan beberapa macam atau bentuk kebebasan
manusia diantaranya: Kebebasan Beragama Kebebasan beragama dapat
diartikan sebagai hak untuk memeluk suatu kepercayaan dan melakukan
suatu peribadatan dengan bebas tanpa diikuti kekhawatiran. Sebagaimana
firman Allah SWT:
اغوت ويؤمن بللذ شد من امغي فمن يكفر بمطذ امره ين كد تب ذ نراه ف الل ا
يي فلد اس مسم بمعرو امو ل ل اهفصام ميا واللذ
Artinya : tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu
Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.(Q.S. Al-Baqoroh : 256)39
Ayat ini menerangkan bahwa jika Allah menghendaki atas seluruh
manusia beriman kepada-Nya, maka akan terlaksana. Tetapi Dia tidak
menghendaki yang demikian. Dia berkehendak melaksanakan sunnah-Nya di
alam raya ini. Tidak ada yang mampu mengubah sunnah-Nya kecuali Allah
39
Al Qur‟an Surat Al-Baqoroh : 256, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir
Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, h. 198.
yang berkehendak. Diantara sunnah-Nya adalah memberi manusia akal,
pikiran, dan perasaan yang membedakan manusia maupun makhluk satu
dengan yang lainnya. Dengan akal pikiran dan perasaan tersebut, manusia
menjadi makhluk yang berbudaya dan dapat membedakan mana yang baik
dan buruk, kemudian akan dihitung sesuai dengan apa yang telah
diusahakannya.
Disamping itu, Allah mengutus seorang rasul untuk menyampaikan
risalah kenabian, mengajak pada yang ma‟ruf dan meninggalkan larangan.
Manusia dengan akal dan pikirannya tersebut dapat menilai apa yang
disampaikan oleh Rasul. Tidak ada paksaan bagi manusia untuk menentukan
pilihan atas apa yang menjadi keinginannya.40
Kepercayaan atau iman adalah persoalan pilihan batin seseorang yang
tidak bisa di ganggu gugat. Kepercayaan merupakan suatu keputusan yang
asasi bagi setiap manusia karena itu tidak diperkenankan seseorang
memaksakan keperyaan yang diyakininya kepada orang lain dengan cara
apapun. Andaikata seseorang diberi kebebasan memilih untuk tidak percaya
pada risalah Allah SWT, ia sepenuhnya berhak melakukannya tanpa ada
tekanan atas bujukan dari pihak lain. Semangat yang melekat pada Nabi
Muhammad SAW dan generasi Islam pertama merupakan satu bentuk
keyakinan dan ketulusan hati yang sangat teguh, yang selalu berakar yang
berlandaskan pada filsafat Islam. Landasan filosofis Islam dapat diringkas
menjadi empat prinsip antara lain:
40
M. Quaish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, h. 161.
a. Islam mengakui keagungan manusia tanpa memandang kredo, ras atau
warna kulit.
b. Islam sangat menekankan bahwa yang berhak menghakimi atau
memberikan hukuman kepada sesorang yang tidak beriman bukan
tugas seorang muslim melainkan semata-mata adalah preogatif Allah
SWT.
c. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT Yang Maha Adil, menyukai
keadilan dan bersikap adil terhadap orang-orang yang tidak beriman
kepada-Nya. Artinya dia sangat membenci ketidakadilan dan
memberikan hukuman kepada orang-orang yang tidak berlaku adil,
tanpa memandang siapakah yang menjadi sasaran ketidakadilan itu.
d. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan
dibekali kekuatan menentukan suatu pilihan, namun bila dikehendaki
semua umat manusia mengikuti saja kepadaNya. Maka manusia tidak
mempunyai pilihan atau kemampuan untuk menolak (pasrah total
kepadanya), oleh karena itu tidak ada paksaan dalam masalah iman.41
Sumber petunjuk universal adalah kapasitas yang melekat pada
seseorang untuk meyakini Tuhan. Ia berkaitan dengan penciptaan
manusia sebagai makhluk yang memiliki tangung jawab pribadi dan
sebagian mengandung arti pilihan dan kehendak bebas. Al-Quran
menyebutkan fitrah dalam pernyatan berikut: Ar-Rum 40
41
Ahmed. O. Altwajri, Op. Cit, h. 63-67.
كئك من يفعل من ييك ىل من ش ي خ لك ثذ رزكك ثذ يمي ك ثذ ي الذ اللذ
ب اهو وتعال ذا نون ء س مك من ش ذ
Artinya: Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki,
kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali).
Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang
dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia
dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. (Q.S. Ar-
Rum : 40)42
Al-Zamahsari sesuai dengan teori objektifisme rasionalis Mu‟tazilah
menafsirkan fitrah sebagai khilqa (watak alamiyah) dalam arti bahwa Tuhan
telah menciptakan kapasitas pada manusia untuk mengakui ke Esaan Nya dan
menerima Islam. penafsiran yang demikian menurutnya adalah falid atas dasar
bahwa ada kemiripan antara fitrah dan akal dan kesesuaian dan fitrah dan
pertimbangan logis. Dengan kata lain fitrah adalah pertimbangan obyektif dan
universal dan seperti telah diketahui fitrah adalah kapasitas untuk menguji
pilihan rasional berkenaan dengan keyakinan, tidak diragukan lagi bahwa
fitrah merupakan watak yang di bawa sejak lahir dan kapasitas yang melekat
yang memungkinkan seseorang untuk menerima atau menolak keyakinan.43
Dalam arti demikian, keyakinan merupakan sesuatu yang dengan bebas
merupakan urusan langsung antara Tuhan dengan manusia dan tidak dapat
dipaksa. Pengakuan terhadap kebebasan beraqidah diberikan kepada manusia
42
Al Qur‟an Surat Ar-Rum Ayat 40, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir
Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, h. 405. 43
avid Little, John Kelsey dan Abdul Aziz Sachedina, Kajian Lintas Kultural Islam
Barat: Kebebasan Agama dan Hak-Hak Azasi Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, h. 90.
semata-mata akibat kebebasan dan kesanggupannya
mempertanggungjawabkan kebebasan tersebut.44
Bentuk umum terhadap
toleransi dan penghargaan Islam terhadap kebebasan beraqidah dan beragama
tidak cukup hanya dengan memancangkannya keseluruh ufuk yang luas dan
meninggi yang mencakup seluruh manusia, akan tetapi Islam dengan
pengakuannya terhadap kebebasan beragama, mewajibkan kepada pemeluk-
pemeluknya untuk memeluk agama, beraqidah dan berperangai tidak hanya
sekedar toleransi bersikap baik maupun perdamaian belaka tapi juga harus
bisa membentuk kepribadian baik yang disadari oleh nilai-nilai agama.
Oleh karena itu manusia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta
kepercayaan penuh untuk memilih jalannya masing-masing dan diberi
kesadaran moral untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai
dengan hati nuraninya atas bimbingan wahyu.45
Al-Qur‟an banyak membicarakan tentang kebebasan manusia untuk
menentukan sendiri perbuatannya yang bersifat ikhtiarriyah yaitu perbuatan
yang dapat dinisbatkan kepada manusia dan yang menjadi tanggung jawabnya,
karena memang ia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau
meninggalkannya. Misalnya yang sering di sebut di dalam Al-Qur‟an
menerima dan menolak ayat-ayat yang di bawa Rasul. Sebagaimana yang
tercantum dalam surat Luqman ayat 21 -22, bahwa orang yang menolak untuk
44
Aisyiah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif Al-Qur‟an, Alih Bahasa Ali Zawawi,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, h. 12. 45
M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm 32-
33.
mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah SWT dan orang-orang yang
menerimanya.46
Kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat juga telah dijelaskan
di dalam firman Allah SWT: Al-Baqoroh 260
ي امموت كال أومم تؤمن كال ب براى ر أرن نيف ت ذ كال ا
وا
ميم ثذ اجعل ىنذ ا ي فص كن ميطمئذ ك ب كال فخذ أربعةا من امطذ وم
عييي حك ا ثذ ادعينذ يأتينم سعياا وا أنذ اللذ جبل م نذ جيءا
Artinya :Dan (Ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah
kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati."
Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab:
"Aku Telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap
(dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah
empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah
berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian
dari bagian-bagian itu, Kemudian panggillah mereka, niscaya
mereka datang kepadamu dengan segera." dan Ketahuilah bahwa
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q. S. Albaqoroh : 260)47
Ayat-ayat Al-Quran yang berbunyi Afalaa ta‟qiluun dan
Afalaa tatafakkaruun menunjukkan bahwa al-Qu‟ran menganjurkan kepa
setiap orang untuk berfikir dan tentu saja membolehkan kebebasan berfikir,
karena hasil pemikiran antar individu itu tidak sama, namun kebebasan
berfikir dan berpendapat harus didasarkan pada tanggung jawab dan tidak
46
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. 20. 47
Al Qur‟an Surat Al-Baqarah Ayat 260, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan
Penafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, h. 78.
mengganggu kepentingan umum, serta tidak menciptakan permusuhan antar
manusia. Menurut Ma‟arif, bahwa Islam menjamin kebebasan berpendapat
semua orang tanpa kecuali. Kebebasan ini terkait dengan masalah-masalah
umum seperti moralitas, kepentingan dan hukum. Konsep Al-Amr bi Al-
Munkar wa Al-Nahyu an Al-Munkar menunjukkan bahwa Islam mempunyai
perhatian yang sangat dalam terhadap moralitas manusia dalam masyarakat.
Membatasi kebebasan berpendapat seorang individu dibenarkan demi menjaga
kehidupan masyarakat dari permusuhan yang disebabkan oleh kata-kata atau
pembicaraan kotor.
Oleh karena kebebasan berfikir merupakan satu kebebasan yang
ditentang kepada setiap manusia untuk memikirkan sebebas-bebasnya segala
yang dapat dipecahkan secara ilmiah dan pada akhirnya mampu meningkatkan
ketaqwaan terhadap Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Di jelaskan dalam Al-Qur‟an surat Ar-Ra‟d ayat 11:
ما ل يغي نذ اللذ ا فظوهو من أمر اللذ بات من ب يديو ومن خ فو ي ل معل
ا فل مردذ ل وما ميم من بلوم سوءا ذا أراد اللذوا ما بأهفسيم وا بلوم حتذ يغي
دوهو من وال
Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya;
dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. ( Q.S.
Ar-Ra‟d: 11 )48
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah tidak mencabut nikmat
yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tidak
merubah ketaatan dan bersyukur kepada Allah.49
Sehingga ini membuat
sesuatu kaum bebas berkehendak untuk mencapai perubahan yang
dilakukannya. Kebebasan berkehendak (free will) pada kenyataannya
merupakan aspek subtansial yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek
kebebasan yang menyempurnakan manusia sesuai tuntutan kesanggupannya
memikul amanat. Dan pada saat yang sama menetapkan adanya
tanggungjawab manusia terhadap amal perbuatan baik dan buruk berupa
pahala dan siksa.
Memahami masalah ini, para pemikir terpecah menjadi berbagai
golongan. Golongan jabariah berpendapat, segala sesuatu terjadi atas
kehendak mutlak Tuhan, manusia tidak memiliki andil sedikit pun tentang
suatu urusan, berbagai urusan itu terjadi, semata-mata atas qodo‟ dan qodar.
Golongan Mu‟tazilah berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan
perbuatanperbuatan itu, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak
patuh pada Allah SWT dan atas kehendak dan kemauannya sendiri.
Pendapat yang sama mengatakan bahwa perbuatan manusia bukanlah
diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang
mewujudkan perbuatannya.
48
Al Qur‟an Surat Ar-Ra‟d Ayat 11, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir
Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, h. 108. 49
Al-Jalalain, Tasfsir al-Jalalain, al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, t.th, h. 267.
Golongan ini mengakui adanya kehendak bebas manusia, hal ini
didasarkan atas dalil Al-Qur‟an ayat 62. Golongan lain adalah Al- Asy‟riah,
dalam hal ini kaum asy‟ariah lebih dekat pada paham jabariah dari pada
paham mu‟tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung pada
kehendak dan kekuasan Tuhan. Untuk menggambarkan hal tersebut Al
Asy‟ari memahami kata Al kasb (perolehan).
Al kasb menurut Al Asy‟ari sendiri ialah bahwa sesuatu terjadi
dengan perantara daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi
perolehan bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. Argumen
yang diajukan oleh Al Asy‟ari tentang penciptaan kasb oleh Tuhan adalah
ayat Ash-Shaffat ayat 96:
خ لك وما تعم ون واللذArtinya : Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu". (Q.S. As-Shaffaat : 96)50
Jadi dalam paham Al Asy‟ari perbuatan-perbuatan manusia adalah
diciptakan Tuhan dan tidak ada pembuatan bagi kasb selain Allah SWT.
Dalam teori kasb untuk mewujudkan suatu perbuatan manusia terdapat dua
perbuatan yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan
adalah hakiki dan perbuatan manusia adalah majasi (lambang). Dengan
demikian perbuatan manusia pada hakekatnya terjadi dengan perantaraan
50
Al Qur‟an Surat Ash-Shaffat Ayat 96, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan
Penafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, h. 497.
daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat sebagai
pembuat.51
Dari argumen-argumen diatas Hasan Al Basri nampaknya telah
mengambil suatu independen atas jabar dan qodar, Hasan AL Basri
berpend.apat bahwa Tuhan tidak menciptakan semua perbuatan manusia.
Dia menyuruh manusia hanya untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan
keji atau munkar. Menurutnya petunjuk berasal dari Allah SWT tetapi
perbuatan buruk datang dari manusia.52
Perbuatan yang baik merupakan
anugerah dari Allah SWT, Allah-lah yang menentukan kualifikasi kebaikan
dan kejujuran pada diri mahluknya. Dengan sikap tersebut di atas seseorang
akan dicatat disisi Allah SWT sebagai orang yang baik dan berserah diri
serta dijanjikan akan di masukkan surga, sebaliknya sikap buruk atau
perbuatan keji mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam kesesatan dan
kesesatan itu akan mengantarkannya ke neraka.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kejujuran
dalam berbicara akan membawa kepada kebajikan, maka mensucikan akhlak
manusia, berkata baik, memberi nasehat, mengajarkan ilmu yang bermanfaat
merupakan perwujudan dari kejujuran. Sedangkan kejahatan atau dosa akan
menjadikan manusia terjerumus kedalam kesesatan yang akan
mengantarkannya ke neraka, atas dasar itulah muncul adanya
tanggungjawab terhadap niat dan kehendaknya, maka niat dan kehendak
51
Budi Munawar, Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina,
Jakarta, 1995, h. 140-141. 52
Madjid Khudari, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, h.
47
seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus
dalam pertanggungjawabannya. Allah SWT hanya menunjukkan jalan yang
seyogyanya diikuti manusia mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh
karena itu manusia harus mengerjakan penyelamatan dirinya dan
penyelamatan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman dan
beramal shaleh.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
C. Kesimpulan
1. Kebebasan wartawan yang diatur undang-undang yaitu Media massa cetak
merupakan salah satu sarana dalam memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyamaikan
informasi yang tepat, akurat dan benar. Untuk itu peran wartawan sangat
penting sekali dalam memenuhi hak masyarakat tersebut dan pada saat
menjalankan pekerjaan atau profesinya tadi tentunya harus mendapatkan
perlindungan hukum, sebagaimana tertuang dalam pasal 8 undang-undang
nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Dimana para wartawan sangat
membutuhkan sekali perlindungan hukum dari tempatnya bekerja agar
pada saat bertugas tidak dikejar-kejar maupun dibayangi rasa takut
terhadap ancaman, teror, maupun kekerasan. Bentuk dari upaya
perlindungan hukum yang diberikan perusahaan media massa cetak
kepada wartawannya adalah dengan adanya pemberian batuan hukum
yakni pengacara untuk mendampingi wartawan yang terkena kasus baik
itu mendampingi pada saat di dalam pengadilan maupun di luar
pengadilan. Namun selain memberikan perlindungan hukum bagi
wartawan, ada sanksi terhadap wartawan yang memuat berita yang tidak
sesuai serta dianggap melanggar kode etik jurnalistik.
2. Dalam perspektif hukum Islam tentang kebebasan wartawan dalam
berbicara mengedepakan kejujuran dalam berbicara karena akan
membawa kepada kebajikan, maka mensucikan akhlak manusia, berkata
baik, memberi nasehat, mengajarkan ilmu yang bermanfaat merupakan
perwujudan dari kejujuran. Sedangkan kejahatan atau dosa akan
menjadikan manusia terjerumus kedalam kesesatan yang akan
mengantarkannya ke neraka, atas dasar itulah muncul adanya
tanggungjawab terhadap niat dan kehendaknya, maka niat dan kehendak
seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus
dalam pertanggungjawabannya.
3. Saran
1. Perlunya pengawasan yang lebih ketat oleh pemerintah untuk menerapkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers dalam kebebasan
wartawan agar bebas berexpresi dalam mengemukakan pendapat.
2. Adanya jaminan oleh pemerintah dalam kebebasan wartawan untuk
menerapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tanpa di batasi oleh
kebijakan-kebijakan politik yang tidak demokratis.
3. Terus dilakukan advokasi mengenai pentingnya menerapkan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999 terhadap kebebasan wartawan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2004
A.M. Hoeta Soehoet, Dasar-Dasar Jurnalistik, Jakarta : PT.Raja Grafindo
Persada, 2010
Al Qur‟an Surat Al-Baqarah Ayat 260, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan
Penafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI,
Jakarta, 2012
Al Qur‟an Surat Ar-Ra‟d Ayat 11, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan
Penafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI,
Jakarta, 2012
Al-Jalalain, Tasfsir al-Jalalain, al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, t.th
Al Qur‟an Surat Ash-Shaffat Ayat 96, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan
Penafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI,
Jakarta, 2012
Al Qur‟an Surat Ar-Rum Ayat 30, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan
Penafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI,
Jakarta, 2012
Aisyiah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif Al-Qur‟an, Alih Bahasa Ali
Zawawi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999
Avid Little, John Kelsey dan Abdul Aziz Sachedina, Kajian Lintas Kultural Islam
Barat: Kebebasan Agama dan Hak-Hak Azasi Manusia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1997
Al Qur‟an Surat Yunus Ayat 99, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir
Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta,
2012
Ahmed. O. Altwajri, Islam Barat dan Kebebasan Akademis, Penerjemah Mujib,
Musyafak Maimun, Titian Ilahi, Yogyakarta, 1997
Basiliun Triharyanto, Pers Perlawanan, Yogyakarta: Lkis, 2009
Budi Munawar, Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
Paramadina, Jakarta, 1995
Cummings, Milto C. dan David Wise, 1985, Democracy Under Pressure,
Harcourt Brace Jovanovich Publishers
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa (Jakarta: Erlangga, 1991)
Don R.Pember and Clay Calvert, 2008, Mass Media Law, McGraw-Hill
Companies,Inc. New York
Faizal, Penelitian Kualitatif : dasar-dasar dan aplikasi, Malang: 1990
F.Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers Berbagai
Negara, (Greapers: Jakarta 1990)
G. Setya Nugraha dan R. Maulina F, Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya: Karina
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan, Al-Ma‟arif,
Bandung, 1995
Harmin Hatta, Tingkat Pengetahuan Pemahaman Kode Etik jurnalistik wartawan
kota Makassar, (Grafindo : Jakarta 2010)
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia, 2006
Jimly Asshiddiqie, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik
dan MK. Konstitusi Press, Jakarta
Krisna Harahap.2003. HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia. Bandung:
Grafiti. Kuntjoro
Kusmandi, dan Samsuri. Undang-Undang Pers dan Peraturan-Peraturan Dewan
Pers. (Jakarta: Dewan Pers. 2010)
Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Yogyakarta: UII Press, 2005
M. Quaish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002
M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
Madjid Khudari, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya,
1999
Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencanai,
Jakarta,2007
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1996
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1988
Sirikit Syah, Rambu Rambu Jurnalistik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1984
Tim Penyusun, UUD 1945, Arloka, Surabaya, 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
UNESCO, Glosarium Toolkit Kebebasan Berekspresi bagi Aktivis Informasi
tentang kebebasan berekspresi
Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan
Pendapat Dimuka Umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
Undang-Undang No. 32 Tahun 2002, tentang Penyiaran
UNESCO, Glosarium Toolkit Kebebasan Berekspresi bagi Aktivis Informasi
tentang kebebasan berekspresi
Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, Jakarta 1989