SURVEI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
“HIPERTENSI “
OLEH :
KELOMPOK 2
1. Nur Zakiah 131000491
2. Anastasia Aditya 131000493
3. Maya Aprilia 131000494
4. Intan Sari F Munthe 131000495
5. Utari Adrianti 13100046
6. Triwil Octavianus 131000497
7. Dwi Damayanti 131000503
8. Ribka V. br Sinuhaji 131000506
9. Widya Tri Kastuti 131000509
10. Fitrah fauziah 131000510
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
BAB I PENDAHULUAN
Perubahan demgrafi yang diikuti dengan perkembangan teknologi yang sangat
pesat telah mempengaruhi pola hidup masyarakat. Hal ini berdampak pada perubahan
pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit tidak menular atau lebih dikenal
dengan penyakit degeneratif.
WHO memperkirakan, pada tahun 2020 Penyakit Tidak Menular akan menyebabkan
73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. Kasus hipertensi akan meningkat sekitar
80 % terutama di negara berkembang pada tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun
2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025.
Salah satu penyakit tidak menular yang mendapat perhatian adalah hipertensi.
Presentase penderita hipertensi saat ini paling banyak terdapat di negara berkembang. Data
Global Status Report Noncommunicable Disease 2010 dari WHO menyebutkan, 40% negara
ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi, sedangkan negara maju hanya 35 %.
Kawasan Afrika memegang posisi puncak penderita hipertensi sebanyak 46%. Sementara
kawasan Amerika sebanyak 35%, 36% terjadi pada orang dewasa menderita hipertensi
(Candra, 2013).
Untuk kawasan Asia, penyakit ini telah membunuh 1,5 juta orang setiap
tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga orang menderita tekanan darah tinggi.
Menurut Khancit, pada 2011 WHO mencatat ada satu miliar orang terkena hipertensi.
Di Indonesia, angka penderita hipertensi mencapai 32% pada 2008 d engan kisaran
usia diatas 25 tahun. Jumlah penderita pria mencapai 42,7% , sedangkan 39,2%
adalah wanita (Candra, 2013).
Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013, tetapi yang terdiagnosis
oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%. Hal ini menandakan
bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis dan terjangkau
pelayanan kesehatan (KemenkesRI, 2013). Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011
menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan kasus rawat
inapterbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan proporsi kasus 42,38% pria dan
57,62% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia (Kemenkes RI, 2012). Sementara itu,
berdasarkan data NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey)
memperlihatkan bahwa risiko hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Data
NHANES 2005-2008 memperlihatkan kurang lebih 76,4 juta orang berusia ≥20 tahun adalah
penderita hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi (Candra, 2013).
Di Indonesia didirikan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Dit PPTM) di
lingkungan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen PP dan PL)
untuk melaksanakan kebijakan Departemen Kesehatan dalam pencagahan dan
penanggulangan penyakit hipertensi yang merujuk pada angka prevalensi hipertensi yang
terus meningkat setiap tahunnya. Sehingga disusun buku pedoman Penemuan dan Talaksana
Hipertensi sebagai pedoman secara nasional bagian penatalaksanaan hipertensi.
Surveilans hipertensi sangat penting untuk dilakukan oleh dinas kesehatan maupun lembaga
dan institusi lainnya yang berkecimpung di dunia kesehatan, agar masyarakat dapat
melakukan pengelolaan terhadap tekanan darahnya serta dapat mengontrolnya sehingga dapat
melakukan tindakan pencegahan dari berbagai aspek dan penyakit tidak menular lainnya
yang dapat meningkatkan angka mortalitas dapat diminimalisir.
Kasus hipertensi ditemukan dengan pengumpulan data dan informasi melalui surveilans
hipertensi. Surveilans hipertensi meliputi surveilans faktor risiko, surveilans penyakit dan
surveilans kematian. . Kegiatan ini dilakukan oleh pihak puskesmas melalui pencatatan dan
pelaporan.
BAB II
A. SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Perubahan perilaku dan cara hidup masyarakat mengakibatkan terjadinya transisi
epidemiologi yaitu menggeser pola penyakit infeksi kepada pola penyakit non-infeksi.
Penyebab kematian tertinggi adalah :
- penyakit jantung koroner(CSDR = 1,6/1000 penduduk)
- neoplasma (SCDR = 0,5/1000 penduduk)
Pengumpulan data PTM diintegrasikan ke sistem Pencatatan rutin Puskesmas maupun
Puskesmas Sentinel. Akan dibangun jaringan kerjasama dengan lembaga penelitian dan
lembaga pendidikan untuk mendapatkan data faktor risiko PTM
Kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap PTM dan cedera dan kondisi
yang mempengaruhi terjadinya peningkatan PTM dan cedera tersebut agar dapat melakukan
tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan dan tindak lanjut.
Adapun tujuan umum surveilans epidemiologi penyakit tidak menular adalah Mendapatkan
informasi epidemiologi yang dapat dimanfaatkan sebagai alat manajemen pengendalian
penyakit tidak menular. Sedangkan tujuan khususnya adalah Mendapatkan informasi faktor
risiko atau determinan PJK, Diabetes, Neoplasma, menentukan strategi penanggulangan,
menetapkan prioritas penanggulangan pada daerah/kelompok penduduk bermasalah,
memantau dan menilai upaya penanggulangan, perencanaan, pemantauan, dan evaluasi
pelayanan keseshatan (pengobatan) di RS dimana dilakukan surveilans.
Manfaat adanya surveilans epidemiologi penyakit tidak menular adalah
a). Di tingkat Puskesmas
1. Dasar perencanaan agar lebih terarah dan terukur
2. Evaluasi berdasarkan evidence based
3. PTM dapat ditindak lanjut secara dini.
b). Di tingkat kab/ Kota, Propinsi dan Pusat
1. Dasar perencanaan agar lebih terarah dan terukur
2. Evaluasi berdasarkan evidence based
3. Program pengendalian PTM menjadi tepat
Sistem surveilans Penyakit Tidak Menular terbagi menjadi 2 sistem, yaitu :
1. Surveilans Faktor Resiko
Surveilans faktor resiko merupakan Kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus
terhadap faktor risiko PTM agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif
dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi
epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Sumber data
a. Survei : Riskesdas, SKRT, Susenas, Surkesda, dll.
b. Posbindu PTM, pemeriksaan IVA & CBEc. Hasil wawancara dan pengukuran FR PTM di Puskesmasd. Pemeriksaan laboratorium
Langkah kegiatan1). Pengumpulan data
Data primer : Posbindu PTM (program) Data sekunder : Survei berkala Data batasan wilayah, target dan sasarn (denominator)
2). Pengolahan dan analisis data
Software Sistem Informasi PTM atau software lain Hasil analisis, antara lain :
Proporsi perokok aktifProporsi kurang aktivitas fisik (<150 menit per minggu)
Proporsi kurang konsumsi sayur dan buah
Proporsi obesitas
Proporsi obesitas sentral
Proporsi hipertensi
Proporsi hiperglikemi
Proporsi hiperkolesterolemia
Proporsi gangguan fungsi paru
Proporsi konseling obesitas
Proporsi konseling berhenti merokok
Proporsi konseling IVA dan CBE
3). Interpretasi
berdasarkan situasi di suatu wilayah : kecenderungan, besaran masalah FR PTM
4). Diseminasi
Laporan dan atau presentasi. Kepada seluruh stakeholder yang terkait, seperti jajaran kesehatan, LSM, profesi,
perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya.
Output Surveilans Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular
1 Merokok setiap hari v v2 Minum minuman beralkohol 1 bulan dan 12 bulan terakhir v v3 Sering makan makanan asin ( ≥ 1 kali/hari ) v v4 Sering makan makanan tinggi lemak ( 1 ≥ kali/hari ) v v5 Sering makan/minum manis-manis(≥ 1 kali/hari) v v6 Kurang sayur dan buah (< 5 kali (porsi)/hari) v v8 Kurang aktifitas fisik 30 menit sehari (3-5 kali seminggu) v v9 Stres (tegang/cemas/panik) ≥ 1 kali/hari v
10 BB lebih dan obesitas v v va. BB Lebih (IMT = 23 - 24,9 Kg/m2) v v vb. Obesitas (IMT >= 25 Kg/m2) v v vc. Obesitas Sentral {LP ≥ 90 cm (L) dan ≥ 80 cm (P)} v v v
11 Hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg) v V v
LAB
SUMBER DATA
No Fakto RISIKOPUSKESMAS SURVAI
POSBINDU PTM
12 IVA positif v V v v13 Pap smear positif v v14 Penggunaan APD (helm) v15 Gula darah sewaktu (100-199 mg/dl (vena) 90-199 md/dl (kapiler)) v v v v16 Gula darah puasa 100-125 mg/dl (vena); 90-99 mg/dl (kapiler) v v v v17 Gula darah 2 jam PP 140-199 mg/dl (vena) v v18 Kolesterol total >=190 mg/dl v v v v19 HDL (>40 mg/dl (L); >45 mg/dl (P) v v20 LDL <115 mg/dl v v21 Kapasitas paru tidak normal
a.VEP1/(KVP <75% (dewasa); VEP1/KVP <90% (anak) vb. APE arus puncak respirasi meningkat >=20% / >= 60 liter/menit v
22 Trigliserida <150 mg/dl v v v23 Ureum darah tidak normal v v24 Kreatinin darah/urine tidak normal v v25 TSH positif v v26 Protein urin positif v v
2. Sistem Surveilans Penyakit Tidak Menular Kasus Penyakit Tidak Menular
A). Surveilans Berbasis Institusi
Surveilans kasusberbasisinstitusi adalah kegiatan analisis terus menerus dan sistematis
terhadap data PTM dengan berbasis data yang diperoleh di Puskesmas, Rumah Sakit, dan
institusi kesehatan lainnya, sertasurvaikesehatan yang mempunyai data rekap PTM.
Sumber Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Riset Kesehatan Daerah
Puskesmas
Rumah Sakit
Laboratorium
Langkah Kegiatan
Pengumpulan data:
o mulaidari puskesmas, RS, dinkes kab./kota dan provinsi serta Pusat dengan
mengambil data sekunder. Data tersebut merupakan data agregat/kelompok,
o Menggunakan formulir yang ada: PKM LB1, RS RL2 a dan RLrb
o Data batasan wilayah, target dan sasarn (denominator)
Pengolahan dan analisa:
o Dilakukanolehtimsurveilans di PKM, Dinkes Kab/Kota, Provinsi, dan Pusat.
o Produkpengolahan:
Prevalensi penyakit jantung koroner
Proporsi DM sebagai penyebab kematian
Prevalensi hipertensi
Prevalensi gagal jantung
Prevalensi DM
Prevalensi PPOK
Proporsi penyakit tiroid dari seluruh penyakit.
o Penyajiandalambentuktabel, grafik, spot map, area map.
Interpretasi:
berdasarkan situasi di suatu wilayah: kecenderungan, besaran masalah PTM
Diseminasi:
o Laporan dan /presentasi.
o Kepada seluruh stakeholder yang terkait, seperti jajaran kesehatan,
LSM, profesi, perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya.
PUSKESMAS LAB/RS SURVAI1 Hipertensi I10 V V V2 Penyakit jantung koroner I24.0 V V V3 Diabetes Melitus (kencing manis)
a. DM Tipe I E10 V Vb. DM Tipe II E11 V V Vc. DM Gestasional O24 V V
4 Obesitas E66 V V V5 Penyakit tiroid
a. Hipotiroid E05 V Vb. Hipertiroid E03 V V
6 Stroke V Va. Stroke Haemorragik I60-I62 V Vb. Stroke Non Haemorragik I63 V V
7 Asma Bronkiale J45 V V V8 PPOK J44 V V V9 Osteoporosis M81 V V
NO PTM ICD-X SUMBER DATA
Tahun :Propinsi : Bulan :Kabupaten/Kota : Puskesmas :
L P L P L P L P L P L P L P L P L P L P L P L P1 Hipertensi I102 Penyakit jantung koroner I24.03 Diabetes Melitus E114 Obesitas E665 Penyakit Tiroid E006 Stroke I647 Asma J458 PPOK J449 Osteoporosis M8110 Ginjal Kronik N00-N1911 Tumor payudara C5012 Retinoblastoma C6913 Leukemia C91-C9514 Lesi pra kanker15 Cedera akibat Kecelakaan lalu lintas V01-V99
16Cedera akibat Kekerasan dalam rumah tangga
X60-Y09
17 Cedera akibat lain W00-X59
JUMLAH
MeninggalNO NAMA PENYAKIT 60-69 70+15-19 20-44 45-54 55-59
SURVEILANS KASUS PTM DARI PUSKESMAS
Kasus BaruICD X 10-14<1 th 1-4 5-9
ForSTP. Lampiran 4 STP. For FSLampiran 4 STPF FSSTPFPropinsi : TahunKabupaten/Kota : BulanRumah Sakit : Jumlah Kunjungan
L P L P L P L P L P L P L P L P1 Hipertensi I102 Penyakit jantung koroner I24.03 Diabetes Melitus (kencing manis)
a. DM Tipe I E10b. DM Tipe II E11c. DM Gestasional O24
4 Obesitas E665 Penyakit tiroid
a. Hipotiroid E05b. Hipertiroid E03
6 Stroke a. Stroke Haemorragik I60-I62b. Stroke Non Haemorragik I63
7 Asma Bronkiale J458 PPOK J449 Osteoporosis M81
10 Penyakit Ginjal Kronik N00-N1911 Kanker payudara (Ca mammae) C5012 Kanker retina mata (Retinoblastoma) C6913 Kanker serviks (Ca cervix) C5314 Kanker paru C3415 Kanker kolorektal C18-C2016 Leukemia C91-C9517 Kanker Prostat C6118 kanker Nasopharink C1119 Kanker Kulit C43-C4420 Kanker hati C2221 Cedera akibat Kecelakaan lalu lintas V01-V99
22Cedera akibat Kekerasan dalam rumah tangga
X60-Y09
23 Cedera akibat lain W00-X59
JUMLAH
Jumlah kasus Rawat Jalan
45-64 th
Golongan Umur
>65 th5-14 th 15-24 th 25-44 th1-4 th
RAWAT JALANSURVEILANS KASUS PTM DARI RUMAH SAKIT
MeninggalNo N A M A P E N Y A K I T Kasus Baru
menurut Seks Jumlah Kasus Baru
Jumlah Kunjungan
ICD X< 1 tahun
PREVALENSI HIPERTENSIDI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
RISKESDAS, 2007
Pencatatan dan Pelaporan
1, Posbindu PTM
1). AnamnesedanpemeriksaanFR PTM
2). Merekap data(formulirrekapFR PTM) RR PTM\form rekap posbindu
jatim.xls
3). PetugasPuskesmas mengambil datarekapposbindu PTM kePosbindu PTM di wilayahnya
setiapbulan.
2. Puskesmas
◦ Merekap data FR PTM dari PKM dan Posbindu PTM
(formulirrekapposbindu PTM)
◦Merekap data kasus PTM di PKM (formulirrekapkasus PTM )Rekap IVA dan CBE
(formulir IVA dan CBE)
◦Surveilansgakti
◦Verifikasi data
◦Data dilaporkan secara rutin setiap bulanke dinkes kab/kota.
3. RumahSakit
o PetugassurveilansRS merekap data kasus PTM
o Merekap IVA dan CBE
o Dilaporkansecararutinsetiapbulanke dinkes kab/kota.
4. DinasKesehatanKabupaten/Kota
◦ Menerima laporanbulanandari PKM, RS, dll
◦ Merekap dan menvalidasi (formulir rekapitulasiFR PTM
danformulirrekapitulasikasus PTM)
◦ Mengumpulkan data faktor risikodankasus PTM darisurvai-survaikesehatan
yang ada.
◦ Dinaskesehatankabupaten/kotamelakukanvalidasi data
◦ Melaporkan hasil setiap1bulan kepada Dinkes provinsi
◦ Memberikan umpan balik terhadaplaporanbulanan PKM, RS, dll.
6. Kementerian Kesehatan
o Kementerian Kesehatan (Pusat Data danInformasidanDirektorat PPTM menerima
laporan enam bulanan dari Dinas Kesehatan provinsi.
o Merekap dan validasi
o Memberikan umpan balik
CONTOH PEMANFAATAN DATA SURVEILANS PENYAKIT TIDAK MENULAR
PENEMUAN KASUS HIPERTENSI DI POSBINDU PTM
di tensihipertensi
∑
penduduk yang melakukan pengukuran tekanan darah dan ditemukan hipertensi
Manfaat Kegiatan Bindu :
• Perencanaan kegiatan bindu PTM selanjutnya
• Perencanaan kegiatan promosi tentang manfaat pengukuran tekanan darah
• Bagi Puskesmas menyiapkan perencanaan obat hipertensi
• Bagi Dinkes Kab/kota dapat menjadi data perbandingan dengan wilayah lain
STRATEGI PELAKSANAAN SURVEILANS PENYAKIT TIDAK MENULAR
Sistem surveilans berorientasi pada upaya penanggulangan dan dilakukan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan surveilans dilakukan secara bertahapyaitu :
Tahap I
Surveilans PTM dilaksanakan diseluruh RS termasuk RS pendidikan negeri/ swasta
Tahap II, melalui puskesmas sentinel
Tahap III, Proyek khusus Penanggulangan PTM terpadu dimasyarakat melalui
PuskesmaS.
Tahap IV, pengembangan dilakukan di Puskesmas
2. Variabel yang dicatat
- RS : mengikuti Sistem Pencatatan dan Pelaporan Rumah Sakit (SPRS)
- Puskesmas : tentang Hipertensi, Diabetes
- Puskesmas Sentinel : tentang faktor risiko Hipertensi,Diabetes , Obesitas, Makanan
dan minuman
3. Sumber data lain
Melengkapi gambaran PTM dan upaya penanggulangan.
Data dikumpulkan melalui jaringan informasi dengan melibatkan lembaga penelitian
4. Kelompok kerja PTM (Pokja PTM)
- Ahli Epidemiologi
- Subdit Surveilans
- Pusat Penelitian PTM
- Organisasi profesi terkait
- Rekam medik di RS
- Yayasan yang bergerak dibidang PTM
- LSM peduli PTM
5.Sistem Pencatatan dan Pelaporan
Dilakukan terintegrasi dengan pelaporan RS (SPRS)
a). Sumber pelaporan : RS pendidikan
Penyakit yang dilaporkan ICDC revisi X
- Kasusrawatinapdanrawatjalan
- Kasus yang dicatathanyakasusbaru( setiapkasusdicatathanyasatu kali
- Analisismasing-masingbaikrawatinapmaupunjalan
b). Variabel yang dikumpulkan : umur, jenis kelamin d n jenis penyakit
- Penyakit jantung koroner termasuk (Angina pektoris, Infark miokard aku, Hipertensi
Stroke)
- Diabetes Mellitus (DMTI, DMTTI, DM karena malnutrisi, dll)
- Neoplasma (Ca Cervix, payudara, hati, saluran empedu, bronchus dan paru)
6. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan
- di RS oleh rekam medik
- di Dinkes Kab/Kota oleh Subsie Surveilans
- di Dinkes Propinsi oleh Sie Surveilans
- di Pusat oleh Subdit Surveilans
7. Formulir pelaporan
- Laporan kasus rawat inap integrasikan dengan RL 2a1
- Laporan kasus rawat jalan integrasikan dengan RL 2b1
8. Alur Pelaporan
Alur pelaporan sesuai dengan laporan RL2a1 dan RL2b1(RS laporkan ke Dinkes kab/kota,
diolah dan dianalisis oleh Subsie Surveilans
- Hasil analisis diteruska ke tingkat propinsi.
Kemudian dari Propinsi ke tingkat pusat (Subdit Surveilans Ditjend PPM-PL Depkes RI
9. Laporan dikirim dalam satu bulanan
10. Penyebarluasan informasi dan Umpan balik
- Umpan balik dari Subsie Surveilans Dinkes kab/kota ke Direktur RS
- Umpan balik dar Sie Surveilans Dinkes Propinsi ke Subsie Surveilans Dinkes
kab/kota. Menyebarluaskan informasi melalui buletin epidemiologi kepada program
terkait
- Umpan balik Subdit Surveilans serta penyebarluasan informasi melalui buletin
epidemiologi ke institusi kes (Dinkes, RS, Puskesmas, Organisasi profesi, pendidikan
dibdg kesehatan dan pokja lainnya.
- Bentuk umpan balik dapat disampaikan secara lisan melalui pertemuan-pertemuan
disetiap tingkat administrasi kesehatan.
- Survei dilakukan untuk menunjang data rutin PTM
- Monitoring dan evaluasi untuk melihat proses pencatatan di RS kab/kotadan
mengetahui keberhasilan program pengendalian penyakit
- Pengorganisasian dan Pembinaan didukung oleh SK Menkes RI. Pembinaan
dilaksanakan secara berjenjang dan terpadu
PENATALAKSANA HIPERTENSI
Pada tahun 2013, Joint National Committee telah mengeluarkan guideline terbaru mengenai
tatalaksana hipertensi atau tekanan darah tinggi, yaitu JNC 8. Mengingat bahwa hipertensi
merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang dengan banyak
komplikasi yang mengancam nyawa seperti infark miokard, stroke, gagal ginjal, hingga
kematian jika tidak dideteksi dini dan diterapi dengan tepat, dirasakan perlu untuk terus
menggali strategi tatalaksana yang efektif dan efisien. Dengan begitu, terapi yang dijalankan
diharapkan dapat memberikan dampak maksimal.
Rekomendasi 1. Rekomendasi pertama yang dipublikasikan melalui JNC 8 ini terkait dengan
target tekanan darah pada populasi umum usia 60 tahun atau lebih. Berbeda dengan
sebelumnya, target tekanan darah pada populasi tersebut lebih tinggi yaitu tekanan darah
sistolik kurang dari 150 mmHg serta tekanan darah diastolik kurang dari 90 mmHg.
Rekomendasi A menjadi label dari rekomendasi nomor 1 ini.
Apabila ternyata pasien sudah mencapai tekanan darah yang lebih rendah, seperti misalnya
tekanan darah sistolik <140 mmHg (mengikuti JNC 7), selama tidak ada efek samping pada
kesehatan pasien atau kualitas hidup , terapi tidak perlu diubah.
Rekomendasi ini didasarkan bahwa pada beberapa RCT didapatkan bahwa dengan
melakukan terapi dengan tekanan darah sistolik <150/90 mmHg sudah terjadi penurunan
kejadian stroke, gagal jantung, dan penyakit jantung koroner. Ditambah dengan penemuan
bahwa dengan menerapkan target tekanan darah <140 mmHg pada usia tersebut tidak
didapatkan manfaat tambahan dibandingkan dengan kelompok dengan target tekanan darah
sistolik yang lebih tinggi. Namun, terdapat beberapa anggota komite JNC yang tepat
menyarankan untuk menggunakan target JNC 7 (<140 mmHg) berdasarkan expert opinion
terutama pada pasien dengan factor risiko multipel, pasien dengan penyakit kardiovaskular
termasuk stroke serta orang kulit hitam.
Rekomendasi 2. Rekomendasi kedua dari JNC 8 adalah pada populasi umum yang lebih
muda dari 60 tahun, terapi farmakologi dimulai untuk menurunkan tekanan darah diastolik
<90 mmHg.
Secara umum, target tekanan darah diastolic pada populasi ini tidak berbeda dengan populasi
yang lebih tua. Untuk golongan usia 30-59 tahun, terdapat rekomendasi A, sementara untuk
usia 18-29 tahun, terdapat expert opinion.
Terdapat bukti-bukti yang dianggap berkualitas dan kuat dari 5 percobaan tentang tekanan
darah diastolic yang dilakukan oleh HDFP, Hypertension-Stroke Cooperative, MRC, ANBP,
dan VA Cooperative. Dengan tekanan darah <90 mmHg, didapatkan penurunan kejadian
serebrovaskular, gagal jantung, serta angka kematian secara umum. Juga, didapatkan bukti
bahwa menatalaksana dengan target 80 mmHg atau lebih rendah tidak memberikan manfaat
yang lebih dibandingkan target 90 mmHg.
Pada populasi lebih muda dari 30 tahun, belum ada RCT yang memadai. Namun,
disimpulkan bahwa target untuk populasi tersebut mestinya sama dengan usia 30-59 tahun.
Rekomendasi 3. Rekomendasi ketiga dari JNC adalah pada populasi umum yang lebih muda
dari 60 tahun, terapi farmakologi dimulai untuk menurunkan tekanan darah sistolik <140
mmHg. Rekomendasi ini berdasarkan pada expert opinion. RCT terbaru mengenai populasi
ini serta target tekanan darahnya dianggap masih kurang memadai. Oleh karena itu, panelist
tetap merekomendasikan standar yang sudah dipakai sebelumnya pada JNC 7. Selain itu,
tidak ada alasan yang dirasakan membuat standar tersebut perlu diganti.
Alasan berikutnya terkait dengan penelitian tentang tekanan darah diastolic yang digunakan
pada rekomendasi 2 yang mana didapatkan bahwa pasien yang mendapatkan tekanan darah
kurang dari 90 mmHg juga mengalami penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 140
mmHg. Sulit untuk menentukan bahwa benefit yang terjadi pada penelitian tersebut
disebabkan oleh penurunan tekanan darah sistolik, diastolic atau keduanya. Tentunya dengan
mengkombinasikan rekomendasi 2 dan 3, manfaat yang didapatkan seperti pada penelitian
tersebut juga diharapkan mampu digapai.
Rekomendasi 4. Rekomendasi 4 dikhususkan untuk populasi penderita tekanan darah tinggi
dengan chronic kidney disease (CKD). Populasi usia 18 tahun atau lebih dengan CKD perlu
diinisiasi terapi hipertensi untuk mendapatkan target tekanan darah sistolik kurang dari 140
mmHg serta diastolik kurang dari 90 mmHg. Rekomendasi ini merupakan expert opinion.
RCT yang digunakan untuk mendukung rekomendasi ini melibatkan populasi usia kurang
dari 70 tahun dengan eGFR atau measured GFR kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dan pada
orang dengan albuminuria (lebih dari 30 mg albumin/g kreatinin) pada berbagai level GFR
maupun usia.
Perlu diperhatikan bahwa setelah kita mengetahui data usia pasien, pada pasien lebih dari 60
tahun kita perlu menentukan status fungsi ginjal. Jika tidak ada CKD, target tekanan darah
sistolik yang digunakan adalah 150/90 mmHg sementara jika ada CKD, targetnya lebih
rendah, yaitu 140/90 mmHg.
Rekomendasi 5. Pada pasien usia 18 tahun atau lebih dengan diabetes, inisiasi terapi dimulai
untuk menurunkan tekanan darah sistolik kurang dari 140 mmHg dan diastolic kurang dari 90
mmHg. Rekomendasi ini merupakan expert opinion. Target tekanan darah ini lebih tinggi
dari guideline sebelumnya, yaitu tekanan darah sistolik <130 mmHg serta diastolic <85
mmHg.
Rekomendasi 6. Pada populasi umum non kulit hitam (negro), termasuk pasien dengan
diabetes, terapi antihipertensi inisial sebaiknya menyertakan diuretic thiazid, Calcium
channel blocker (CCB), Angiotensin-converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin
Receptor Blocker (ARB). Rekomendasi ini merupakan rekomendasi B.
Masing-masing kelas obat tersebut direkomendasikan karena memberikan efek yang dapat
dibandingkan terkait angka kematian secara umum, fungsi kardiovaskular, serebrovaskular
dan outcome ginjal, kecuali gagal jantung. Terapi inisiasi dengan diuretic thiazid lebih
efektif dibandingkan CCB atau ACEI, dan ACEI lebih efektif dibandingkan CCB dalam
meningkatkan outcome pada gagal jantung. Jadi pada kasus selain gagal jantung kita dapat
memilih salah satu dari golongan obat tersebut, tetapi pada gagal jantung sebaiknya thiazid
yang dipilih.
Beta blocker tidak direkomendasikan untuk terapi inisial hipertensi karena penggunaan beta
blocker memberikan kejadian yang lebih tinggi pada kematian akibat penyakit
kardiovaskular, infark miokard, atau stroke dibandingkan dengan ARB.
Sementara itu, alpha blocker tidak direkomendasikan karena justru golongan obat tersebut
memberikan kejadian cerebrovaskular, gagal jantung dan outcome kardiovaskular yang lebih
jelek dibandingkan dengan penggunaan diuretic sebagai terapi inisiasi.
Rekomendasi 7. Pada populasi kulit hitam, termasuk mereka dengan diabetes, terapi inisial
hipertensi sebaiknya menggunakan diuretic tipe thiazide atau CCB. Pada populasi ini, ARB
dan ACEI tidak direkomendasikan. Rekomendasi untuk populasi kulit hitam adalah
rekomendasi B sedangkan populasi kulit hitam dengan diabetes adalah rekomendasi C.
Pada studi yang digunakan, didapatkan bahwa penggunaan diuretic thiazide memberikan
perbaikan yang lebih tinggi pada kejadian cerebrovaskular, gagal jantung dan outcome
kardiovaskular yang dikombinasi dibandingkan ACEI. Sementara itu, meski CCB lebih
kurang dibandingkan diuretic dalam mencegah gagal jantung, tetapi outcome lain tidak
terlalu berbeda dibandingkan dengan diuretik thiazide.
CCB juga lebih direkomendasikan dibandingkan ACEI karena ternyata didapatkan hasil
bahwa pada pasien kulit hitam memiliki 51% kejadian lebih tinggi mengalami stroke pada
penggunaan ACEI sebagai terapi inisial dibandingkan dengan penggunaan CCB. Selain itu,
pada populasi kulit hitam, ACEI juga memberikan efek penurunan tekanan darah yang
kurang efektif dibandingkan CCB.
Rekomendasi 8. Pada populasi berusia 18 tahun atau lebih dengan CKD dan hipertensi, ACEI
atau ARB sebaiknya digunakan dalam terapi inisial atau terapi tambahan untuk meningkatkan
outcome pada ginjal. Hal ini berlaku pada semua pasien CKD dalam semua ras maupun
status diabetes.
Pasien CKD, dengan atau tanpa proteinuria mendapatkan outcome ginjal yang lebih baik
dengan penggunaan ACEI atau ARB. Sementara itu, pada pasien kulit hitam dengan CKD,
terutama yang mengalami proteinuria, ACEI atau ARB tetap direkomendasikan karena
adanya kemungkinan untuk progresif menjadi ESRD (end stage renal disease). Sementara
jika tidak ada proteinuria, pilihan terapi inisial masih belum jelas antara thiazide, ARB, ACEI
atau CCB. Jadi, bisa dipilih salah satunya. Jika ACEI atau ARB tidak digunakan dalam terapi
inisial, obat tersebut juga bisa digunakan sebagai terapi tambahan atau terapi kombinasi.
Penggunaan ACEI dan ARB secara umum dapat meningkatkan kadar kreatinin serum dan
mungkin menghasilkan efek metabolic seperti hiperkalemia, terutama pada mereka dengan
fungsi ginjal yang sudah menurun. Peningkatan kadar kreatinin dan potassium tidak selalu
membutuhkan penyesuaian terapi. Namun, kita perlu memantau kadar elektrolit dan kreatinin
yang mana pada beberapa kasus perlu mendapatkan penurunan dosis atau penghentian obat.
Rekomendasi 9. Rekomendasi 9 ini termasuk dalam rekomendasi E atau expert opinion.
Rekomendasi 9 dari JNC 8 mengarahkan kita untuk melakukan penyesuaian apabila terapi
inisial yang diberikan belum memberikan target tekanan darah yang diharapkan. Jangka
waktu yang menjadi patokan awal adalah satu bulan, Jika dalam satu bulan target tekanan
darah belum tercapai, kita dapat memilih antara meningkatkan dosis obat pertama atau
menambahkan obat lain sebagai terapi kombinasi. Obat yang digunakan sesuai dengan
rekomendasi yaitu thiazide, ACEI, ARB atau CCB. Namun, ARB dan ACEI sebaiknya tidak
dikombinasikan. Jika dengan dua obat belum berhasil, kita dapat memberikan obat ketiga
secara titrasi. Pada masing-masing tahap kita perlu terus memantai perkembangan tekanan
darahnya serta bagaimana terapi dijalankan, termasuk kepatuhan pasien. Jika perlu lebih dari
tiga obat atau obat yang direkomendasikan tersebut tidak dapat diberikan, kita bisa
menggunakan antihipertensi golongan lain.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang
dengan banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti infark miokard, stroke,
gagal ginjal, hingga kematian jika tidak dideteksi dini dan diterapi dengan tepat,
dirasakan perlu untuk terus menggali strategi tatalaksana yang efektif dan efisien.
Surveilans faktor resiko merupakan Kegiatan analisis secara sistematis dan terus
menerus terhadap faktor risiko PTM agar dapat melakukan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Dilakukan dengan langkah pengumpulan data, pengolahan dan analisis data,
Interpretasi, diseminasi. Pengumpulan data dilakukan melalui pencatatan dan pelaporan
puskesmas, puskesmas sentinel, dan rumah sakit.