Transcript
Page 1: Sistem Pidana Minimum

sistem pidana minimum

Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan; faktor aparat/penegak hukum; dan faktor kesadaran hukum . Faktor perundang-udnangan-dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi hukum pidana materiil (hukum pidana substantif), hukum pidana formil (hukum acara pidana) maupun hukum pelaksanaan pidana. Berkaitan dengan faktor perundang-undangan pidana ini, Ketua Mahkamah Agung R.I., Bagir Manan mengatakan, bahwa dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum pidana tersebut, adalah isi/hasil penegakan hukum (substantif justice) dan tata cara penegakan hukum (procedural justice). Untuk faktor perundang-udangan inipun terkait dengan tahapan-tahapan kebijakan formulatif (legislatif). Kebijakan aplikatif (yudikatif) dan kebijakan administratif (eksekusi). Dapat dikatakan, bahwa pada tahap kebijakan formulatif merupakan penegakan hukum “in abstracto”, yang pada gilirannya akan diwujudkan dalam penegakan hukum “in concreto”. (melalui tahap kebijakan aplikasi dan eksekusi). Pemidanaan dapat dilihat sebagai rangkain proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahapan berikut yaitu : tahapan legislatif (legislatif). Kebijakan aplikatif (yudikatif) dan kebijakan administratif (eksekusi). Oleh karena pemidanaan adalah sarana yang dipakai dalam penegakan hukum pidan, maka dikatakan bahwa penegakan hukum pidana bukan hanya menjadi tugas kewajiban aparat penegak hukum atau yudikatif dan pelaksana hukum atau eksekutif, tetapi juga menjadi tugas kewajiban aparat pembuat hukum atau legislatif. Dan, apabila harus diperbandingkan diantara ketiga tahapan tersebut, maka kebijakan yang dibuat aparat pembuat undang-undang (kebijakan formulatif) merupakan tahap yang strategis. Letak strategisnya adalah karena garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang diformulasikan oleh aparat legistatif merupakan landasan legalitas bagi aparat penerap pidana (aparat yudikatif) dan aparat pelaksana pidana (aparat eksekutif/administratif). Hal ini juga berarti, apabila dalam tahap kebijakan (formulatif) ini terdapat kelemahan perumusan pada sistem pemidanaannya, maka eksisnya berimbas pada tahap-tahap berikutnya (tahap aplikasi dan tahap eksekusi). Dengan perkataan lain, kelemahan penegakan hukum pidana “in abstacto” akan membawa pengaruh pada kelemahan penegakan hukum “in concreto”. Terlihatlah betapa urgennya kebijakan legislatif (kebijakan formulatif) mengenai hukum pidana dalam keseluruhan penegakan hukum pidana tersebut.Dalam praktek pembuatan perundang-udnangan di Indonesia, penggunaan pidana sebagai bagaian dari politik atau kebijakan hukum pidana sudah dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat adalah hampir selalu dicantumkannya sanksi pidana, baik mengenai strafsoort, atau strafmaat ataupun strafmodus, pada setiap kebijakan pembuatan perundang-udangan pidana di Indonesia dengan tanpa adanya penjelasan resmi tentang pemilihan atau penentuannya.Dari bermacam produk perundang-udangan pidana di Indonesia akhir-akhir ini, ada yang menentukan pidana maksimum khusus saja, namun ada beberapa lainnya, utamanya pada delik-delik tertentu, sekaligus disebutkan pidana maksimum khusus dan minimum khususnya, baik dengan perumusan alternatif, atau komulatif, atau juga kumulatif-alternatif.Selanjutnya dalam tatran aplikasi, pada delik-delik tertentu sebagaimana didakwakan penuntut umum kepada terdakwa, ternyata ada beberapa hakim (dengan pertimbangan hukum tertentu) yang menjatuhkan pidana di bawah batas/limit ancaman pidana minimal khusus dalam rumusan deliknya, pada hal sesungguhnya pembuat undang-undang menetapkan pidana minimum khusus untuk delik-delik tertentu tersebut bukan tanpa maksud dan tujuan. Ditingkat aplikasi, suatu putusan pidana yang dijatuhkan hakim dapat membawa dampak luas, tidak hanya bagi pelaku tindak pidana yang bersangkutan, akan tetapi juga bagi korban

Page 2: Sistem Pidana Minimum

dan masyarakat. Ini karena dalam proses penjatuhan pidana, di samping bersentuhan dengan aspek yuridis, juga di dalamnya terkait dengan aspek sosiologis dan aspek filosofis.Sebagaimana kaidah hukum, maka suatu putusan pidana, idealnya juga harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut :yuridis, sosiologis dan filosofis. Hakim akan menggunakan metode analisis yuridis komprehensif untuk memecahkan hukum dari perkara yang ditanganinya. Aspek yuridis sebagai pendekatan pertama dan utama yaitu sesui dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pendekatan filosofis yaitu berintikan pada kebenaran dan rasa keadilan, sedangkan pendekatan sosiologis yaitu sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Perihal pentingnya suatu putusan pidana, harus memenuhi tiga unsur : yuridis, sosiologis dan filosofis tersebut, Soerjono Soekanto, mengemukan alasannya sebagai berikut : apabila hanya mementingkan aspek yuridisnya, maka putusannya menjadi tidak hidup; apabila hanya mementingkan aspek sosiologisnya, maka putusannya menjadi sarana pemaksa; dan apabila hanya mementingkan aspek filosofisnya, maka putusannya menjadi tidak realistik. Ada wacana diantara para pemerhati hukum, bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik-delik tertentu, manakah yang harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu pihak ataukah kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga, manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan perlindungan masyarakat di satu pihak, dengan kepentingan pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan reaksi dan sikap kritis terhadap beragamnya stafmaat yang sudah diputuskan oleh lembaga peradilan terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu tersebut. Tampak luar dari persoalan tersebut adalah munculnya issue disparitas pidana (disparity of sentencing) diantara delik-delik tertentu tersebut.Menurut Cheang, disparitas pidana (disparity of sentencing) yang dimaksudkan disini adalah penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak pidna yang sama (the same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriosness) tanpa disertai dasar pertimbangan atau penalaran yang sahih (valid reason). Jackson menambahkan, bahwa disparitas pidana juga dapat terjadi pada pemidanaan yang berbeda terhadap dua orang atau lebih terdakwa yang melakukan suatu tindak pidana secara bersama-sama (complicity), namun tanpa pertimbangan yang rasional. Karenanya, sebagaimana pendapat Sudarto, bahwa masalahnya bukan pada menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi bagaimana disparitas tersebut harus reasonable. Secara umum dapat dikatakan bahwa dilihat dari sumbernya, maka faktor penyebab disparitas pidana selain berasal dari hakim (yang menjatuhkan putusan pidana), juga utamanya berasal dari kelemahan hukum positif (peraturan perundang-undangan). Masalah pemidanaan hanyalah merupakan salah satu sub-sistem dalam sistem penyelenggaran hukum pidana. Masalah disparitas pidana yang juga menjadi bagian dari masalah pemidanaan, karenanya juga bersifat multikausal. Namun secara sederhana, dapat dikatakan bahwa disparitas pidana yang bersumber dari hukum positif atau peraturan perundang-undangan, antara lain adalah karena belum diaturnya pedoman penjatuhan pidana (statutory guidelines for sentencing atau straftoemetingsleidraad, sedangkan yang bersumber dari hakim antara lain karena adanya pemahaman idiologis yang beragam terhadap philosophy of punishment, setidaknya dalam mengikuti aliran hukum pidana (aliran klasik ataukah aliran modern) dan selanjutnya (berdampak pada) implementasi kebebesan hakim (judicial discreation) dalam memilik jenis pidana (strafsoort) dan menentukan berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan kepada terdakwa yang terbukti melakukan suatu tindak pidana. Perihal disparitas pidana yang bersumber dari hakim, juga pernah dikemukakan oleh Roem Dhaamdusdi, seorang hakim senior pada pengadilan pidana Thailand yang mengatakan : “ idealnya pidana yang dijatuhkan oleh hakim atas tindak pidana yang serupa haruslah sama, akan tetapi tampaknya dalam praktek hal ini sukar dilaksanakan, disebabkan masing-masing

Page 3: Sistem Pidana Minimum

hakim mempunyai ide pemahaman sendiri-sendiri tentang penjatuhan pidana”. Dilatarbelakangi oleh pertama, adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan kedua, adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal obyektif untuk delik-delik tertentu yang sangat dicela dan merugikan/membahayakan masyarakat/negara, serta ketiga, demi untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum (general prevention) terhadap delik-delik tertentu yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat, maka lembaga undang-undang kemudian menentukan, bahwa untuk delik-delik tertentu tersebut, disamping ada pidana maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya. Membahayakan dan meresahkan masyarakat,maka lembaga pembuat undang-undang kemudian menentukan,bahwa untuk delik-delik tertentu tersebut,disamping ada pidana maksimum khususnya,juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya.Ide dasar sistem pidana minimum khususnya tersebut kemudian(idealnya) ditindaklanjuti dengan menentukan kreteria kualitatif dan kuantitatif untuk sistem pidana minimum khusus.Ini berarti, pemegang kebijakan legislasidalam membuat undang-undang pidana, tidak boleh sembarangan dan asal taruh pinada minimum khusus di dalam rumusan deliknya,dengan tanpa memperhatikan kreteria kualitatif sistem pidana minimum khusus. Indonesia sampai dengan sekarang ini belum memiliki “sistem pemidanaan yang bersifat nasional” yang di dalamnya mencakup “pola pemidanaan” dan “pedoman pemidanaan”,yaitu acuan/pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat /menyusun peraturan perundang –undangan yang mengandung sanksi pidana.Istilah pola pemidanaan ini sering juga disebut “pedoman legislatif” atau “pedoman formulatif”. Sedangkan “pedoman pemidanan” adalah pedoman penjatuhan/penerapan pidana untuk hakim (“pedoman yudikatif”/”pedoman aplikatif”) Dilihat dari fungsi keberadaannya,maka pola pemidanaan ini seharusnya ada lebih dahulu sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan sebelum KUHP nasional dibuat. Memang kita sudah memiliki UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun substansi undang-undang ini adalah lebih mengenai asas, proses? prosedur penyiapan, pembahasan, tiknis penyusunan dan pemberlakuannya .Undang-undang ini sama sekali tidak menyinggung tentang “pemidanaan”, setidaknya hal-halyang berkaitan tentang jenis pidana (strafsoort),kreteria sedikit lamanya pidana (strafmaat) serta cara pelaksanaan pidana (strafmodus). Meski Indonesia belum memiliki “pola pemidanaan” yang berkaitan dengan kreteria kualitatif dan kuantitatif penentuan pidana minimum khusus,namun bilanmenyadari bahwa efektivitas penegakan hukum itu bertitik tolak dari kualitas produk kebijakan legislatif, maka melihat perkembangan doktrin pidana dan atau melakakan studi komparasi pada beberapa perundang-undangan pidana negara lain yang sudah mengatur hal itu adalah salh satu solusinya. Secara kualitatif, menurut doktrin Ilmu Pengetahuan hukum Pidana, delik-delik tertentu yang ditentukan pidana minimum khususnya adalah yang berkarakter berikut : a.Delik-delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat;b.Delik-delik yang dikualifisir atau diperbeart oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte).Lebih jauh Muladi mengatakan, bahwa terhadap delik-delik berkarakter tersebut di atas utamanya yang berpotensi mengancam sendi-sendi kehidupan negara, maka hukum pidana harus tampil sebagai primum remidium. Selanjutnya menurut H.G. De Bunt, hukum pidana berperan sebagai primum remidium, apabila : -Korban sangat besar

Page 4: Sistem Pidana Minimum

-Terdakwa residivis-Kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable)Selanjutnya untuk ukuran kuantitatif, tidak ada bahan rujukan baku. Salah satu solusinya adalah dengan membandingkannya dengan formulasi pidana minimum khusus di beberapa KUHP negara lain.Ada beberapa contoh undang-undang khusus yang mencantumkan pidana minimum khusus di dlam rumusan deliknya, diantaranya adalah UU Nomor 7 Tahun 1992 junto UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU nomor 22 Tahun 1992 tentang Narkotika; UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat; UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN; UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; UU nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara; UU nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD; UU nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; UU Nomor 15 Tahun 2002 junto UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumu; UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Lembaga Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam undang-undang di atas, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus, maka nampak hal-hal sebagai berikut :1.Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana (penjara, kurungan dan denda) berapa dapat dimulai dicantumkan minimum khususnya. Untuk pidana penjara, ada yang menggunakan ukuran tahun (dari 3 tahun hingga 15 tahun) dan ada pula yang menggunakan ukuran bulan. Demikian juga untuk pidana kurungan, ada yang menggunakan ukuran tahun dan ada juga yang menggunakan ukuran bulan. Untuk pidana denda, ada yang menggunakan ukuran jutaan rupiah, dan ada pula yang menggunakan ukuran milyaran rupiah.2.Tidak ada keseragaman rentang-kisaran untuk pidana penjara minimum khususnya. Demikian juga dengan pidana kurungan minimum khususnya dan pidana denda minimum khusus. Selanjutnya dari kisaran terendah, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda, dengan menggunakan ukuran kualitatif, ternyata tidak (semuanya) menunjukkan bahwa delik-delik tersebut merupakan delik-delik yang sangat membahayakan/meresahkan masyarakat, dan atau delik0delik yang dikualifisir atau diperberat akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte).3.Tidak ada kesebandingan/kesetaraan rasio, antara maksimum khusus dengan minimum khususnya, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda.Beragamnya rumusan strafmaat dalam undang-undang yang mencantumkan pidana minimum khusus sebagaimana tersebut di atas, adalah bersumber pada belum adanya “pola pemidanaan” yang dapat dipedomani oleh pemegang kebijakan legistlasi. Akibat yang sudah dapat dibayangkan adalah adanya inkonsistensi formulasi pidana minimum khusus pada beberapa undang-undang yang menjadi produk kebijakan legislasi tersebut, dan ini pada gilirannya potensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukumnya di tingkat kebijakan aplikasi.

Page 5: Sistem Pidana Minimum

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, bandung, 1981.2. Rahardjo Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjaun Sosiolgis, BPHN Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1983. 3. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.4. Juwana Hikmahanto, Hukum Dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen Bagi Solusi di Indonesia, Varia Peradilan, Tahun XXI Nomor 244, Maret 2006.5. J. Djohansah, Legal Justice Social Justice dan Moral Justice dalam praktek, Makalah, Mahkamah Agung, Jakarta, 2004.6. Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Citra Adiatya Bhakti, Bandung, 19897. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.8. Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia dimasa datang, Pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990.9. Atmasasmita Romli, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Kencana, Bogor, 2003.10. Bagir Manan, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun ke XX Nomor 241 Nopember 2005.

Macam-Macam Hukum Pidana

SaturdayBAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum, hal ini telah disebutkan di dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3),

yaitu suatu negara yang dalam menjalankan pemerintahannya hukum dijadikan patokan utama

dengan tujuan agar terciptanya kehidupan yang aman dan tentram.

Di Indonesia hukum di bagi menjadi dua, yaitu hukum perdata dan pidana, hukum pidana

berarti peraturan yang mengatur terhadap pelanggaran-pelanggaran yang

menyangkut/berhubungan dengan kepentingan umum serta peraturan yang menentukan perbuatan

mana yang diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan dan siksaan, sedangkan

hukum perdata adalah peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan seseorang.

Page 6: Sistem Pidana Minimum
Page 7: Sistem Pidana Minimum
Page 8: Sistem Pidana Minimum

Pidana Penjara, Pidana Tutupan, dan Pidana Kurungan

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangUnfortunately, as is often the case in sociology, the more we research into a problem, the less clear out things become. Ungkapan terkenal dari Peter Aggleton yang sangat dikenal dalam kriminologi modern seolah menggambarkan kepada kita betapa sulitnya untuk memahami dengan jelas tentang sebab-sebab suatu permasalahan kriminalitas. Apalagi dalam hal ini untuk meyakinkan adanya potensi atau kemungkinan (possibility) seorang koban kejahatan (victim) yang telah menderita justru menjadi salah satua faktor causa terjadinya kejahatan. Sahetapy menyatakan bahwa masalah kausa kejahatan selalu merupakan masalah yang menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Dari satu sisi pemahaman ini seolah tidak adil dan tidak menunjukkan empati pada korban kejahatan tersebut. Sejak zaman Orde baru dahulu masalah stabilitas nasional termasuk tentunya di bidang penegakan hukum telah menjadi komponen utama pembangunan. Salah satu unsur dalam trilogi Pembangunan yang didengung-dengungkan dulu adalah ingin diwujudkannya dalam usaha pembangunan nasional adalah “terciptanya stabilitas nasional yang aman dan dinamis”. Namun sampai era reformasi dewasa ini pekerjaan tersebut tidak pernah selesai. Padahal adanya kondisi penegakan hukum yang mewujudkan stabilitas nasional tersebut merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Dengan adanya stabilitas nasional yang aman dan dinamis itu akan memungkinkan negara dan rakyat hidup dalam keadaan aman dan damai, bebas dari segala ancaman dan rongrongan. Namun dalam kenyataannya dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita nasional tersebut terdapat kendala-kendala yang dijumpai dalam kehidupan masyarakat baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam masyarakat itu sendiri. Salah satu kendala atau hambatan itu adalah prilaku individu atau sekelompok individu yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, baik norma yang tidak tertulis seperti norma kesusilaan, kesopanan, adat istiadat, agama maupun dalam konteks ini terutama norma hukum pidana yang sifatnya tertulis yang oleh masyarakat disebut sebagai kejahatan. Kejahatan yang terjadi tentu saja menimbulkan kerugian-kerugian baik kerugian yang bersifat ekonomis materil maupun yang bersifat immateril yang menyangkut rasa aman dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat. Secara tegas dapat dikatakan bahwa kejahatan merupakan tingkah laku yang anti sosial (a-sosial).Bukanlah tanpa alasan, jika usaha manusia untuk memberlakukan hukum sudah berusia setua dirinya. Paling sedikit manusia memerlukan hukum untuk mengatur perilaku dirinya dalam hubungan dengan manusia lain. Aturan itu diperlukan, karena hubungan antarmanusia itu berbeda dari hubungan dalam sekawanan kijang atau serigala. Perbedaan itu terletak terutama dalam kenyataan bahwa hubungan antarmanusia itu merupakan akibat dari tindakan yang dilatarbelakangi oleh pengertian (akal) dan kebebasan kehendak dan bukanya digerakan oleh naluri semata. B. Rumusan MasalahDengan memperhatikan latar belakang diatas, Rumusan masalah dibawah ini akan memaparkan tentang berbagai macam bentuk pidana dan pemidanaan yang berlaku dalam hukum yang ada Di Indonesia dengan mengambil Judul ”Pidana Penjara, Pidana Tutupan, dan Pidana Kurungan”. Batasan -batasan masalah dalam penulisan makalah ini diantaranya:

Page 9: Sistem Pidana Minimum

1. Apa yang dimaksud dengan Pidana Penjara, Pidana Tutupan dan Pidana Kurungan?2. Bagaimana Perbedaan antara ketiganya?

BAB IITINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Hukum Panintensier Hukuman Utama dan Teori-Teori HukumanHukum Panintensier ialah segala peraturan positif mengenai “Sistem Hukuman (=Strafstelsel) dan “Sistem Tindakan” (=Matregelstelsel); dan merupakan sebagian hukum positif, yakni bagian yang menentukan jenis sanksi atas pelanggaran, beratnya sanksi, lamanya sanksi dan cara serta tempat sanksi tersebut dilaksanakan.Sanksi itu dapat berupa “hukuman” atau “tindakan” dan semuanya merupakan suatu sistem: dan ilmu hukum Panintensier mempelajari sistem tersebut. Setelah zaman kemerdekaan RI maka WvS tahun 1915 sebanyak mungkin disesuaikan dengan keadaan dan kepentingan suatu negara nasional, kemudian beberapa ketentuan yang bersifat colonial dicabut berdasarkan Undang-Undang RI 1946 nomor 1, Berita RI Tahun II Nomor 9 ( tanggal 15 Maret 1946).Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang RI tahun 1946 Nomor 20, Berita RI Tahun II Nomor 24 (tanggal 1 dan 15 nopember 1946), ditambah lagi satu jenis hukuman utama, yaitu “Hukuman Tutupan”, sehingga hukuman itu sekarang semuanya menjadi lima jenis: Hukuman Utama Menurut KUHPidana ialah sebagaimana diatur dalam :Pasal 10 Pidana Terdiri atas:a. Pidana Pokok :1. Pidana Mati ;2. Pidana Penjara ;3. Pidana Kurungan;4. Pidana Denda ;5. Pidana Tutupan.b. Pidana Tambahan :1. Pencabutan hak – hak tertentu;2. Perampasan barang – barang tertentu;3. Pengumuman putusan hakim.Disini dapat dilihat bahwa undang-Undang membedakan dua macam hukuman yaitu: hukuma

Page 10: Sistem Pidana Minimum

Pokok (utama) dan hukuman tambahan, dan lagi satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok (utama) saja, kecuali dalam perkara Tindak Pidana Ekonomi (Undang – Undang No. 7/Drt/1955) dan tindak Pidana Subversi (Undang – Undang No. 11/PnPs/1963) maka kumulasi hukuman pokok dapat dijatuhkan, yaitu hukuman badan dan hukuman denda sekaligus.Adapun hukuman tambahan gunanya untuk menambah hukuman pokok jadi tidak mungkin dijatuhkan hukuman tambahan “sendirian”. Dalam KUHPidana ada beberapa Kejahatan yang diancam dengan Hukuman Mati, misalnya:a. Makar membunuh Kepala Negara, pasal 104b. Mengajak Negara asing guna menyerang RI, Pasal 111 ayat (2),c. Membunuh Kepala Negara Sahabat, Pasal 140 ayat (3),d. Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu, Pasal 140 ayat (3) dan 340,e. Pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerde diefstall) Pasal 365 ayat (4),f. Pembajakan di laut, di pantai, di kali sehingga ada orang mati, Pasal 444,g. Dalam waktu perang mengkhianati dan menyerahkan kepada musush, membinasakan tempat penjagaan, alat perhubungan, gudang, sesuatu bekal perang; dan menyebabkan huru – hara, pemberontakan atau melarikan diri di kalangan tentara; Pasal 124 ayat (3),h. Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang, Pasal 127 dan 129,i. Pemerasan dengan pemberatan, Pasal 368 ayat (2).Pasal 11 KUHPidana mengatur tentang pelaksanaan hukuman mati yaitu dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, akan tetapi oleh karena ketentuan termaksud sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan situasi Kemerdekaan RI maka dengan penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 pelaksanaan Pidana Mati dilaksanakan dengan ditembak sampai mati disuatu tempat dalam daerah hukuman pengadilan yang menjatuhkan hukuman dalam tingkat pertama.Ada beberapa teori tentang hukuman itu, ialah :1. Teori Pembalasan (=Vergeldingstheorie)Pepatah Kuno mengatakan :”Siapa yang membunuh harus dibunuh”.2. Teori menakut-nakuti (=Afschrikingstheorie)Hukuman harus membuat orang menjadi takut untuk melakukan kejahatan.3. Teori Memperbaiki (=Verbenteringstheorie)Dengan hukuman itu dimaksudkan untuk memperbaiki akhlak orang yang telah berbuat kejahatan.4. Teori Gabungan (=Vermengistheorie)Dengan hukuman itu di samping sebagai pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukanya, juga bermaksud untuk mencegah kejahatan, menakut-nakuti agar orang tidak berbuat kejahatan, memperbaiki akhlak orang yang telah melakukan kejahatan, juga untuk mempertahankan tata tertib dalam kehidupan bersama.

B. Pengertian Pidana PenjaraA.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah(2006:284) menegaskan bahwa pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan .Ruslan shaleh (1989:,62, bahwa pidanapenjarapidana utama didalam pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan seumur hidup atau sementara waktu). Sedangkan menurut PAF Lamintang (1988: 69) bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebbasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tatatertib yang berlaku dalam lembaga

Page 11: Sistem Pidana Minimum

pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.Dr. Andi hamzah sh (1993:38) menyatakan : Pidana penjara disebut pidana hilang kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka berpergiaan tatapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti :a) Hak untuk memilih dan dipilih. b) Hak muntuk memangku jawaban pablikc) Hak untuk bekerjapada perusahaan-perusahaan d) Hak untuk mendapatkan perizinan-perizinan tertentu seperti izin usaha dan izin prakteke) Hak untuk mengadakan asuransi hidupf) Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinang) Hak untuk kawin, danh) Beberapa hak sipil lainnya.Pasal 12 KUHPidana(1) Hukuman penjara itu lamanya seumur hidup atau untuk sementara.(2) Hukuman penjara sementara itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama – lamanya lima belas tahun berturut – turut. (3) Hukuman penjara sementara boleh dijatuhkan selama-lamanya dua puluh tahun berturut – turut, dalam hal kejahatan yang menurut pilihan hakim sendiri boleh dihukum mati, penjara seumur hidup, dan penjara sementara, dan dalam hal lima belas tahun itu dilampaui, sebab hukuman ditambah, karena ada gabungan kejahatan atau karena berulang-ulang, karena ada gabungan kejahatan atau karena berulang-ulang membuat kejahatan atau karena aturan pasal 52.(4) Lamanya hukuman penjara sementara itu sekali- kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.Pasal 13 KUHPidanaOrang yang dihukum penjara di bagi atas beberapa kelas .Jadi para terhukum penjara di bagi atas empat kelas : yang terberat masuk KI.I, kemudian K1.II, K1. III dan akhirnya K1.IV.

Pasal 14 KUHPidanaOrang yang dihukum penjara wajib melakukan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya, menurut peraturan untuk menjalankan Pasal 29.

C. Sejarah Perkembangan Pidana Penjara Pidana penjara dikenal sejak abad XVI atau abad XVII tatapi berbeda dengan penjara pidana dewasa kini, sejak abad 17 dimana-mana orang mulai membangun apa yang disebut tuchthuizen (lembaga penertiban) dan apa yang disebut werkplaatsen (lembaga-lembaga lerja) mula di amsterdam kemudian di hendesteden atau semua negara dibelanda dan kemudian disusul dengan lembaga-lembaga yang sejenis hampir diseluruh eropa, antara lain apa yang disebut verberterhuis atau lembaga untuk memperbaiki anak laki-laki di roma tahun 1703 dan apa yang disebut tuchtuis (lembaga penertiban di gened tahun 1972. Sejak saat itu, orang menghendaki agar pidana penjara itu mempunyai tujuan yang tersindiri yaitu bukan maksud untuk menutup dan membuat jera para terpidana melainkan juga memperbaiki para terpidana dengan mewajibkan mereka mentaati peraturan-peraturan tata tertib dan mendidik mereka secara sisitematis untuk melakukan pekerjaan. Tuchthuis adalah rumah penertiban yaitu rumah penjara yang bersifat berat sedangkan raphuis adalah rumah penjara dimana para terpidana diberikan pelajran tentang bagimana melicinkan permukaan dari kayu dengan menggunakan ampelas dan spinhuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan pelajaran bagamana menguntai benang.

Page 12: Sistem Pidana Minimum

Peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lembaga permasyarakatan diindonesia adalah ordonasi 10 Desember 1917. No 708 yang dikenal dengan sebutan gestichtent reglement. Menurtketentuan pasal 24 jo to pasal 29 KUHP terpidana penjara wajib mengerjakan semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya dan mengenai hal itu termasuk perbedaan tempat menjalani pidana penjara, kurungan atau kedua-dunaya. Untuk para justiabel peradilan umum diatur dalam gestichtenreglemnt yang antara lain mengatur :a. Dirumah-rumah penjara atau pemansyarakatan ditempatkan tahanan, dan yang dimaksud dengan tahanan atau devenangenen adalah :1) Mereka yang yang menjalani pidana penjara dan kurungan 2) Mereka yang dikenakan penahanan sementara3) Orang-orang yang disandara4) Orang-orang lain yang bukan menjalani pidana perampasan kemerdekaan akan tatapi ditahan berdasakna undang-undangb. Rumah-rumahpemasyarakatan berada dibawah penguassaan dann pengawasan menteri kehakiman dan pelaksanaan pengawasan dan penguasan itu dijalankan oleh kepala rumah-rumah pemasyarakatan yang bersangkutanc. Kepala rumah pemasyarakatan hanya dapat menerima seseorang untuk ditahan berdasarkan putusan hakim surat perintah atau penentapan yang dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang.d. Ketentuan-ketentuan yang mengenai pengunjungan rumah pemasyarakatan selain dari pegawaie. Mereka yang menjalani pidana penjara dibagi dalam empat kelas yaitu :1) Kelas Ia) Yang menjalani pidana seumur hidupb) Yang menjalani pidana penjara terbatas yang bandel atau berbahaya2) Kelas IIMereka yang dipidana penjara lebih dari 3bulanTerpidana kelas satu yang diturunkan kekelas iiTerpidana kelas iii yang dikembalikan ke kelas ii3) Kelas IIIMereka yang diturunkan dari kelas ii karena selama 6 bulan berturut-turut telah menunjukan kelakuan baik4) Kelas IVMereka yang dipidana 3 bulan atau kurang.a. Para terpidana perampasan kemerdekaan wajib mengerjakan pekerjaan yang dibebankan kepada mereka baik dalam tembok penjara maiupun diluar tembok penjarab. Mereka yang disandra, ditahan sementara dan yang menjalani pidana kuraungan dapat memperbaiki makanan dan tempat tidurnya atas biaya sendiri

D. Pidana kurungan Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.Lembaga pidana kurungan sebenarnya berasal dari lembaga mprisonnement pour contravention depoliceuang terdapat dalam kode penal prancis dan mempunyai pengertian yang sama dengan half dijerman. Adapun jangka waktu pidana kurungan sebagamana diatur dala pasal 18 KUHP : Paling sedikit satu hari paling lama setahun dan jika ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan dan karena ketentuan pasal 52 dapat ditambah menjadi 1

Page 13: Sistem Pidana Minimum

tahun 4 bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih daaaaaaaari satu tahun empat bulan.Beberapa pasal dalam gestichtenreclement ternyata telah menentukana adanya bebrapa keistimewaan kemudahan bagi orang-orang yang menjalankan pidana kurungan didalam lembaga pemasyrakatan dibandingkan orang-orang yang menjalankan pidana penjara.Beberapa ketentuan mengenai keistimewaan bagi terpidana yang menjalankan kurungan, yaitu :1) Para terpidana memunyai HAK PISTOLE yaitu atas biaya sendiri dapat mengusahakan kemudahan-kemudahan bagi hidupnya selama dalam lembaga pemasyrakatan misalnya mengurusi makanan dan atau alat-alat tidur dengan melalui petugas lembaga pemasyarakatan (pasal 93 ayat 1 GR).2) Para terpidana diberikan pekerjaan wajib yang sifatnya lebih ringan dubandingkan dengan orang yang menjalankan pidana penjara (pasal 57 ayat 2 GR)3) Dengan persetujuan kepada lembaga pemasyarakatan terpidana kerungan didalam lembaga pemasyarakatan dapat dibenarkan untuk memakai pakaian mereka sendiri4) Maksimum ancaman pidana kurungan adalah 1 tahun dan dapat diperberat menjadi 1 tahun 4 bulan dalam hal perbarengan, pengulangan atau karena ketentuan pasal 52 dan dan 52a KUHP5) Apabila para terpidana penjara dan terpidana kurungan menjalankan pidana, masing-masing dalam suatu tempat lembaga pemasyaraktan maka terpidana kurungan harus terpisah tempatnya.6) Pidana kurungan dilaksanakan dalam daerah terpidana sendiri.Dari sudut pembuiatan undang undang lazimnya pidana kurungan di ancam kepada:1) Kejahatan kejahatan culpa. Dean dalam hal terhadap kejahatan tersebut di pandang wajar untuk diancamkan dengan pidana penjara maka ancaman pidana itu di susun secara alternatif antara ancaman pindana penjara dan kurungan dan mungkin juga dengan pidana penjara dan kurungfan dan mungkin juga dengan pidana denda. Dalam hal; lain dialternatifkan antara pihak kurungan dengan denda. Dari sudut penjatuhan pidana biasanya yang dijatuhkan adalah pidana kurungan namun apabila karena keadaan pelaku atau diluar pelaku dipandang sebagai pemberatan maka dijatuhkan pidana penjara dan jika dipandang sebagai sangatmerigankan dijatuhkan pidana denda.2) Pelanggaran yang biasanya diancamkan secara alternatifdengan pidana denda. Bahkan untuk beberapa pelanggaran justru pidana denda tersebut yang lebih menonjol.Lamanya hukuman kurungan minimal satu hari dan maksimal satu tahun, dengan catatan bahwa maksimal ini dapat ditambah hingga menjadi satu tahun empat bulan, apabila terdapat:a. Gabungan perbuatan (=samenloop);b. Berulangnya melakukan kejahatan (=recidive)c. Melanggar ketentuan dalam Pasal 52 KUHPidana;Pasal 18 KUHPidana(1) Lamanya hukuman kurungan (hechtenis) serendah – rendahnya satu hari dan selama – lamanya satu tahun (KUHPidana 97);(2) Hukuman itu boleh dijatuhkan selama-lamanya satu tahun empat bulan dalam hal dimana hukuman ditambah lantaran ada beberapa kejahatan yang dilakukan berulang-ulang atau karena hal yang ditentukan pada pasal 52 tempo yang satu tahun itu dilalui (KUHPidana 65,70,488)(3) Hukuman itu sekali-kali tidak boleh lebih lama dari satu tahun empat bulanE. Perbedaan Antara Hukuman Kurungan dengan PenjaraPerbedaan yang penting antara hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah :1) Hukuman penjara dapat dijalankan dalam penjara dimana saja sedangkan hukuman kurungan dengan tidak semaunya terhukum tidak dapat dijalankan diluiar daerah, dimana ia

Page 14: Sistem Pidana Minimum

bertempat tinggal atau berdiam waktu hukuman itu dijatuhkan2) Orang yang dihukum penjara pekerjaanya lebih berat dari pada yang dihukum kurungan3) Orang yang dihukum kurungan mempunyai hak pistol, hak untuk memperbaiki keadaannya di rumah penjara dengan ongkos sendiri, sedang yang dihukum penjara tidak punya (pistole) adalah uang lama Prancis yang dapat dipakai untuk membeli barang-barang.Pasal 19 KUHPidana1) Orang yang dihukum kurungan wajib mengerjakan pekerjaan orang diperintahkan kepadanya, sesuai dengan peraturan untuk menjalankan pasal 292) Kepadanya diwajibkan pekerjaan yang lebih ringan dari pada yang diwajibkan kepada orang yang dihukum penjaraPasal 20 KUHPidana1) Dalam keputusan hakim boleh ditentukan, bahwa jaksa boleh mengizinkan kepasa orang hukuman penjara atau kurrungan selama-lamanya satu bulan, untuk ada dalam kemerdekaan sehabis waktu kerja2) Jika si terhukum yang mendapat kemerdekaan tersebut, tidak dating pada waktu ditempat yang ditentukan untuk mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya, maka selanjutnya hukuman itu harus dijalankan bagamana biasa, kecuali kalauia tidak datang itu karena ada sebabnya yang tidak tergantung kepada kemauannya.3) Yang ditentukan dalam ayat pertama tidak dapat dilakukan jika pada waktu melakukan perbuatan itu belum lalu dua tahun, sejak si tersalah itu habis menjalani hukuman penjara atau hukuman kurungan.Pasal 22 KUHPidanaHukuman kurungan dijalani daidalam daerah (gewest) tempat kediaman si terhukum, waktu keputusan hakim dijalankan atau bila ia tidak bertempat kediaman, didalam daerah tempat ia ada pada waktu itu kecuali kalau atas permohonannya menteri kehakiman mengizinkan akan menjalani hukuman itu ditempat lainPasal 22 KUHPidana1) Hukuman kurungan yang harus dijalani oleh seorang hukuman yang sedang menjalani hukuman kemerdekaan (vrijheidsstraf) dalam sebuah rumah penjara untuk menjalani hukuman penjara atau hukuman kurungan atau keduanya, boleh atas permintaan siterhukum terus dijalani dalm rumah penjara itu juga sesudah hukuman kemerdekaan itu habis.2) Hukuman kurungan yang karena itu dijalani dalam rumah penjara yang semata-mata untuk menjalani hukuman penjara tidak berubah sifat dari sebab itu.Pasal 23 KUHPidanaOrang hukuman kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan ongkosnya sendiri menurut peraturan yang akan ditetapkan dalam ordonasi (KUHPidana).Pasal 24 KUHPidanaOrang hukuman penjara dan orang hukuman kurungan boleh diwajibkan bekerja, baik didalam maupun diluar tembok penjara tempat orang hukuman (KUHPidana).Pasal 25 KUHPidanaKerja diluar tembok penjara demikian tidak diperintahkan kepada :a. Orang hukuman seumur hidupb. Perempuanc. Orang hukuman yang menurut pemeriksaan dokter nyata tidak kuat badanya untuk pekerjaan itu (KUHPidana)Sebagai penjelasan dikemukakan bahwa narapidana yang dihukum seumur hidup tidak diperkenankan bekerja diluar tenbok karena dikhawtirkan akan lari, sedangkan narapidana wanita tidak diperkenankan juga bekerja diluar tembok lembaga pemasyarakatan kerena pertimbangan kesusilaanPasal 26 KUHPidana

Page 15: Sistem Pidana Minimum

Jika menurut timbangan hakim berhubungan dengan keadaan dari dan kedudukan masyarakat, si terhukum itu ada alasanya maka ditentukan dengan putusan hakim bahwa orang hokum an itu tidak akan diwajibkan bekerja diluar tembok penjara tempat orang hukuman (KUHPidana 24 s)Pasal 27 KUHPidanaLamanya hukuman penjara semnetara dan hukuman kurungn itu ditentukan dalam keputusan hakim dengan menyebut banyak nya hari, minggu, bulan dan tahun tidak menyebut bagian-bagian dari itu (KUHPidana 97)Pasal 28 KUHPidanaHukuman penjara dan hukuman kurungan boleh dijalani dalam rumah penjara itu juga, asal saja dalam bahagianya sendiri sendiriPasal 29 KUHPidana(1) Tentang menunjukan tempat (gedung), dimana hukuman penjara atau hukuman kurungan atau kedua macam hukuman itu dijalani, demikian jiga tentang peraturan dan urusan tempat itu, tentang membagi-bagi orang hukuman atas beberapa kelas, tentang pekerjaan, tentang upah kerja tentang pemondokan orang-orang yang dihukum, yang tinggal diluar rumah penjara, tentang perkara pengerjaan, tentang melakukan agama, tentang siasat, ketertiban, tempat tidur, tentang makanan dan tentang pakaian, ditentukan dalam ordonansi yang sesuai dengan kitab undang-undang ini.(2) Jika perlu, peraturan rumah tangga kepenjaraan itu ditetapkan oleh mentri kehakiman

F. Pidana TutupanHukuman tutupan merupakan perkembangan jenis pidana baru yang pembentukannnya berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan sehingga ditambahkan jenis – jenis pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 10 KUHP dengan satu pidana baru. Adapun maksud ditetapkannya Undang-undang No. 20 tahun 1946 K. Wantjik Saleh menyatakan bahwa dari ketentuan Pasal 1 dan 2 Undang Undang No. 20 tahun 1946 dapat disimpulkan sebagai berikut:“Hukuman tutupan dimaksud dapat menggantikan hukuman penjara dalam hal orang yang melakukan kejahatan diancam dengan hukuman penjara karena terdorong pleh maksud yang patut dihormati. Tetapi hal itu tergantung pada hakim.Kalau menurut pendapat hakim perbuatan yang merupakan kejahatan atau acara melakukan perbuatan itu atau akibat perbuatan itu hukuman penjara lebih pada tempatnya, maka hakim menjatuhkan hukuman penjara.”Diadakannya hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk kejahatan-kejahatan yang bersifat politik sehingga orang-orang yang melakukan kejahatan politik itu akan dibedakan dengan kejahatan biasa.Hubungannya diadakan undang-undang No. 20 tahun 1946 dengan politik kiranya dapat dilihat konsiderannya yang menyebutkan maklumat Wakil Presiden No. X yakni tentang anjuran pendirian partai politik. Selanjutnya ditentukan bahwa:“Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara juga berlaku terhadap hukuman tutupan jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau pereturan khusus tentang hukuman tutupan.Tentang tempat, cara, dan segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan undang-undang ini masih akan diatur dengan suatu peraturan-pemerintahan sedangkan peraturan mengenai tatausaha atau tata tertib bagi rumah untuk menjalankam hukuman tutupan diatur oleh Menteri kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan” Didalam praktik pidana tutupan selama ini baru satu kali dijatuhkan yaitu pada perkara yang dinamakan “Peristiwa 3 juli 1946”. Perkara tersebut diadili oleh MahkamahTentara Agung RI pada tanggal 27 Mei 1948dengan Majelis Hakim Agung yang tertdiri dari:

Page 16: Sistem Pidana Minimum

1) Mr.Dr.Kusuma Atmadja {ketua}2) Mr. Wirjono Projodikoro {anggota}3) Letjen Sukono Djojopratiknjo {anggota}4) Djendral Mayor Sukarnen Martosikusumo {anggota}5) Djendral Mayor Didi Kartasasmita {anggota}6) Mr. Subekti{panitera}7) Mr. Tirtawinata {jaksa Tentara Agung}

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan1. Hukum Panintensier ialah segala peraturan positif mengenai “Sistem Hukuman (=Strafstelsel) dan “Sistem Tindakan” (=Matregelstelsel); dan merupakan sebagian hukum positif, yakni bagian yang menentukan jenis sanksi atas pelanggaran, beratnya sanksi, lamanya sanksi dan cara serta tempat sanksi tersebut dilaksanakan.2. A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah(2006:284) menegaskan bahwa pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.3. Ruslan shaleh (1989:,62, bahwa pidanapenjarapidana utama didalam pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan seumur hidup atau sementara waktu). Sedangkan menurut PAF Lamintang (1988: 69) bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebbasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tatatertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.4. Pidana kurungan juga merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.5. Hukuman tutupan merupakan perkembangan jenis pidana baru yang pembentukannnya berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan sehingga ditambahkan jenis – jenis pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 10 KUHP dengan satu pidana baru. Diadakannya hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk kejahatan-kejahatan yang bersifat politik sehingga orang-orang yang melakukan kejahatan politik itu akan dibedakan dengan kejahatan biasa.6. Perbedaan yang penting antara hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah :a. Hukuman penjara dapat dijalankan dalam penjara dimana saja sedangkan hukuman kurungan dengan tidak semaunya terhukum tidak dapat dijalankan diluiar daerah, dimana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu hukuman itu dijatuhkanb. Orang yang dihukum penjara pekerjaanya lebih berat dari pada yang dihukum kurunganc. Orang yang dihukum kurungan mempunyai hak pistol, hak untuk memperbaiki keadaannya di rumah penjara dengan ongkos sendiri, sedang yang dihukum penjara tidak punya (pistole) adalah uang lama Prancis yang dapat dipakai untuk membeli barang-barang

Page 17: Sistem Pidana Minimum

PERBANDINGAN ANTARA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB HUKUM PIDANA

(RUUKUHP) BERDASARKAN ILMU HUKUM PENITENSIER

1. A. Dari Jenis Sanksi

JENIS –JENIS PIDANA DALAM KUHP SAAT INI

Pasal 10

Pidana terdirl atas:

(a)   pidana pokok:

(1)   pidana mati;

(2)   pidana penjara;

(3)   pidana kurungan;

(4)   pidana denda;

(5)   pidana tutupan.

(b)   pidana tambahan

(1)   pencabutan hak-hak tertentu;

(2)   perampasan barang-barang tertentu;

(3)   pengumuman putusan hakim.

Pemaparan :

(a)         pidana pokok:

Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat dan alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana mati. Di Indonesia yang berlaku KUHP buatan pemerintah Belanda sejak 1 Januari 1918, dalam pasal 10 masih mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya, padahal di Belanda sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun 1870. Hal tersebut tak diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati.

(1)   pidana mati;

Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia[1] mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah :

Page 18: Sistem Pidana Minimum

1.  Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)

2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau   berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)

3.  Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)

4. Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)

5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)

6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)

7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)

8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).

(2)   pidana penjara;

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan bergerak dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam suatu lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan dan tata-tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan tersebut, yang dikaitkan dengan suatuindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut[2]

(3)   pidana kurungan;

Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan itu juga merupakan suatu pidana pembatasana kebebasanbergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan dan tata-tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan tersebut, yang dikaitkan dengan suatuindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut[3]

(4)   pidana denda; [4]

Pidana denda itu merupakan jenis pidana pokok yang ketiga dalam hukum pidana indonesia, yang pada dasarnya hanya dapat dijatuhkan bagi orang-orang dewasa.

Undang-undang hukum pidana kita telah menentukan bsearannya pidana denda itu sekurang-kurangnya tiga rupiah, dan tujuh puluh lima sen, akan tetapi telah tidak menentukan beberapa besaran pidana dendanya.

Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku ke-I dan buku  ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang telah dicantumkan baik dalam kejahatan-kejahatan maupun pelanggaran-pelanggarn.

(5)   pidana tutupan.[5]

Page 19: Sistem Pidana Minimum

Adalah merupakan suatu pidana pokok yang baru, yang telah dimasukan kedalam KUHP tanggal 31 oktober 1946 Nomor 20, Berita Republik Indonesia II Nomor 24 halaman 287 dan 288.

(b)   pidana tambahan

(1)   pencabutan hak-hak tertentu;

(2)   perampasan barang-barang tertentu;

(3)   pengumuman putusan hakim.

Pidana tambahan itu tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri, melainkan ia selalu harus dijatuhkan bersama-sama dengan sesuatu pidana pokok.

JENIS –JENIS PIDANA DALAM RUU KUHP

Bagian Kedua

Pidana

Paragraf 1

Jenis Pidana

Pasal 65

(1)   Pidana pokok terdiri dari :

1. Pidana penjara;2. Pidana tutupan;3. Pidana pengawasan;4. Pidana denda; dan5. Pidana kerja social;

(2)   Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menetukan berat ringannya pidana.

Pemaparan[6] :

Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini bersama dengan pidana denda perlu dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek (short prison sentence) yang akan dijatuhkan oleh hakim, sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah, di samping untuk menghindari efek destruktif dari pidana perampasan kemerdekaan. Demikian pula masyarakat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Urutan jenis pidana pokok tersebut di atas menentukan berat ringannya pidana (strafmaat).Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana (strafsoort) yang akan dijatuhkan di

Page 20: Sistem Pidana Minimum

antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada hakikatnya merupakan cara pelaksanaan pidana (strafmodus) sebagai alternatif pidana penjara.

Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan.

Pemaparan :

Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini bersama dengan pidana denda perlu dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek (short prison sentence) yang akan dijatuhkan oleh hakim, sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah, di samping untuk menghindari efek destruktif dari pidana perampasan kemerdekaan. Demikian pula masyarakat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Urutan jenis pidana pokok tersebut di atas menentukan berat ringannya pidana (strafmaat).Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana (strafsoort) yang akan dijatuhkan di antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada hakikatnya merupakan cara pelaksanaan pidana (strafmodus) sebagai alternatif pidana penjara.

Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan.

Dalam pemidanaan dianut sistem dua jalur (double-track system), sebab di samping jenis-jenis pidana tersebut di atas, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur pula jenis-jenis tindakan (maatregelen). Dalam hal ini hakim dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka yang melakukan tindak pidana, tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya yang disebabkan karena menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa atau retardasi mental. Di samping itu dalam hal tertentu tindakan dapat pula diterapkan kepada

Page 21: Sistem Pidana Minimum

terpidana yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan maksud untuk memberi perlindungan kepada masyarakat dan menumbuhkan tata tertib sosial.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diatur pula rambu-rambu pemidanaan baru yang berkaitan dengan berat ringannya pidana yakni berupa ancaman pidana minimum khusus yang sebenarnya sebelumnya juga sudah dikenal dalam perundang-undangan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan pertimbangan :

-      untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok bagi tindak pidana yang sama atau kurang lebih sama kualitasnya;

-      untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;

-      apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk minimum pidana pun dalam hal-hal tertentu dapat diperberat.

Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini ancaman pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam Buku Kesatu. Dasar pemikiran penggunaan sistem kategori ini adalah bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering berubah nilainya karena perkembangan nilai mata uang akibat situasi perekonomian. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan nilai mata uang, dengan sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian, sebab yang diubah tidak seluruh ancaman pidana denda yang terdapat dalam perumusan tindak pidana, melainkan cukup mengubah pasal yang mengatur kategori denda dalam Buku Kesatu.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diatur pula mengenai jenis pidana, berat ringannya pidana dan cara pelaksanaan pemidanaan secara khusus terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari perkembangan fisik maupun psikis anak berbeda dari orang dewasa. Selain itu, pengaturan secara khusus terhadap anak berkaitan dengan kenyataaan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dalam kerangka pemajuan dan perlindungan Hak- Hak Asasi Manusia.

1. B. Berdasarkan Subtansinya

Secara keseluruhan perbedaan yang mendasar antara Kitab Undang Undang Hukum Pidana warisan Belanda (Wetboek van Strafrecht) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru adalah filosofi yang mendasarinya. KUHP Warisan Belanda secara keseluruhan dilandasi oleh pemikiran Aliran Klasik (Classical School) yang berkembang pada Abad ke- 18 yang memusatkan perhatian hukum pidana pada perbuatan atau tindak pidana (Daad-Strafrecht). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru mendasarkan diri pada pemikiran

Page 22: Sistem Pidana Minimum

Aliran Neo-Klasik (Neo-Classical School) yang menjaga keseimbangan antara factor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subyektif (orang/batiniah/sikap batin). Aliran ini berkembang pada Abad ke- 19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana (Daad-dader Strafrecht). Pemikiran mendasar lain yang mempengaruhi penyusunan KitabUndang-Undang Hukum Pidana Baru adalah perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (victimology) yang berkembang setelah Perang Dunia II, yang menaruh perhatian besar pada perlakuan yang adil terhadap korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Baik falsafah “Daad-dader Strafrecht” maupun viktimologi akanmempengaruhi perumusan 3 (tiga) permasalahan pokok dalam hukum pidana yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dan sanksi (pidana dan tindakan) yang dapat dijatuhkan beserta asas-asas hukum pidana yang mendasarinya.

[1] Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia

[2] Drs. P.A.F Lamintang S.H., HUKUM PANITENSIER INDONESIA HAL 69.

A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah(2006:284)

[3] Drs. P.A.F Lamintang S.H., HUKUM PANITENSIER INDONESIA HAL 83-34.

[4] Drs. P.A.F Lamintang S.H., HUKUM PANITENSIER INDONESIA

[5] Drs. P.A.F Lamintang S.H., HUKUM PANITENSIER INDONESIA

[6] WWW.LEGALITAS.ORG  Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

6

M. Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 131.

7

Delapan konsep RKUHP ini dimulai sejak Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968, tahun 1971,

Konsep Tim Harris, Basaroeddin dan Situmorang tahun 1981 yang isinya sama dengan konsep tahun 1968 dan 1971,

Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yang diketuai Prof. Soedarto, Konsep RKUHP tahun 1982/1983, Konsep RKUHP

Page 23: Sistem Pidana Minimum

tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan, Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan

tim sampai dengan 27 April 1987 dan disempurnakan lagi sampai pada November 1987, Konsep RKUHP tahun

1991/1992 yang diketuai oleh Prof. Marjono Reksodiputro. Lihat : Mohammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum

Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk

Pemidanaan, Kreasi Wacana, 2005, hlm. 107-113.


Top Related