kajian teoritis sistem peradilan pidana

78
BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN PIDANA DAN UPAYA HUKUM KASASI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI 2.1. Kajian Teoritis Sistem Peradilan Pidana 2.1.1. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Khusus bagi sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana 23 . Sistem peradilan pidana lebih banyak menempatkan peran hakim dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kepentingan umum (publik) dan penentuan nasib seseorang, ketimbang perkara yang lain. Oleh karenanya terjadinya suatu perbuatan pidana menimbulkan dampak pada munculnya tugas dan wewenang para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya (actor intelektual) dari perbuatan pidana tersebut. 23 Yesmil Anwar dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, 2009.

Upload: agus-sukarya

Post on 02-Sep-2015

61 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hukum pidana

TRANSCRIPT

  • BAB II

    KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN PIDANA DAN UPAYA

    HUKUM KASASI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

    2.1. Kajian Teoritis Sistem Peradilan Pidana

    2.1.1. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana

    Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya

    pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah

    melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Khusus bagi

    sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana

    mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini

    berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan

    pidana23

    .

    Sistem peradilan pidana lebih banyak menempatkan peran hakim

    dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kepentingan umum (publik) dan

    penentuan nasib seseorang, ketimbang perkara yang lain. Oleh karenanya

    terjadinya suatu perbuatan pidana menimbulkan dampak pada munculnya tugas

    dan wewenang para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku

    sebenarnya (actor intelektual) dari perbuatan pidana tersebut.

    23 Yesmil Anwar dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan

    Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung,

    2009.

  • Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu sistem dan

    peradilan pidana. Pemahaman mengenai sistem dapat diartikan sebagai

    suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai

    tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi24

    , pengertian sistem harus dilihat

    dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen

    yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract

    system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang

    satu sama lain saling ketergantungan.

    Apabila dikaji dari etimologis, makasistemmengandung arti terhimpun

    (antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara

    beraturan dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan peradilan pidana

    merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk

    menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam

    kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan

    dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain

    adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.

    Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System kini telah

    menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam

    penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.

    Ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana.

    Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP Universitas Diponegoro, Semarang,

    1995.

  • Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar

    hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system di Amerika Serikat

    sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak

    hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari

    meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa

    itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah hukum dan

    ketertiban (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks

    pendekatan tersebut dikenal dengan istilah law enforcement.

    Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di Indonesia

    merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System,

    yang merupakan suatu sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat yang

    dipelopori oleh praktisi hukum (law enforcement officers). Dengan kata lain

    sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan dari

    Criminal Justice System.

    Untuk mendapatkan gambaran tentang sistem peradilan pidana atau

    criminal justice sistem, di bawah ini penulis ketengahkan beberapa pengertian

    sistem peradilan pidana, sebagai berikut :

    1. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai

    the network of court and tribunals which deal with criminal law and its

    enforcement. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman

    baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi

  • dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan

    semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana,

    melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum

    tersebut dengan membangun suatu jaringan.

    2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai

    pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan

    pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil

    interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan

    sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung

    implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan

    dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala

    keterbatasannya.

    3. Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

    System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi

    kejahatan.

    4. Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network)

    peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana

    formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi

    kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu

    berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja

    akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

  • Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal

    justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang

    yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia

    dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang

    unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya.

    Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala

    sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan kemerdekaan,

    stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia)

    dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare

    (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana).

    Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses

    penegakan hukum pidana25

    . Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan

    perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum

    acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan

    penegakan hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan dalam

    penegakan hukum in concreto.

    Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan

    pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada

    pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang

    diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan

    25 Mardjono Reksodipoetro. "Sistem Peradilan Pidana Indonesia:Peran Penegak Hukum

    Melawan Kejahatan", dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, 1994.

  • memberikan langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan dan

    menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan

    bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk,

    yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan

    dan kompetensi.

    Ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan dalam

    mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar

    merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan

    menyentuh mereka tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih

    dahulu (legality principle).

    Di samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum

    acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency

    principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat

    ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas

    dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya.

    Asas yang ketiga adalah asas perioritas (priority principle) yang

    didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan pidana. Hal ini bisa

    berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga

    berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat

    diterapkan pada pelaku tindak pidana.

  • Berbagai teori berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice

    system). Ada yang menggunakan pendekatan dikotomi dan atau pendekatan

    trikotomi26

    . Pendekatan dikotomi umumnya digunakan oleh teoritisi hukum

    pidana di Amerika Serikat.

    Herbert Packer, seorang ahli hukum dari Universitas Stanford,

    menggunakan pendekatan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis

    dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana. Terdapat dua model

    dalam pendekatan dikotomi. Pertama, crime control model, pemberantasan

    kejahatan merupakan fungsi terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses

    peradilan pidana, sehingga perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi

    proses peradilan pidana27

    .

    Titik tekan pada model ini adalah efektifitas, yaitu kecepatan dan

    kepastian. Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses

    pemeriksaan oleh petugas kepolisian. Presumption of guilty digunakan untuk

    mempercepat memproses tersangka atau terdakwa ke sidang pengadilan. Nilai-

    nilai yang rnelandasi crime control model adalah tindakan represif terhadap

    suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses

    peradilan.

    26 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju,

    Bandung 1995.

    27 Ibid.

  • Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan

    hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin

    atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilan. Proses criminal

    penegakan hukum harus dilaksahakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas,

    dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah

    model administratif dan merupakan model manajerial. Asas praduga tak

    bersalah akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien. Proses

    penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta

    administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa ke arah pembebasan

    seorang tersangka dari penuntutan, atau kesediaan tersangka menyatakan

    dirinya bersalah.

    Kedua due process model, model ini menekankan seluruh temuan-temuan

    fakta dari suatu kasus, yang harus diperoleh melalui prosedur formal yang

    sudah ditetapkan oleh undang-undang. Setiap prosedur adalah penting dan tidak

    boleh diabaikan, melalui suatu tahapan pemeriksaan yang ketat mulai dari

    penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan serta adanya suatu reaksi

    untuk setiap tahap pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang tersangka yang

    nyata-nyata tidak bersalah akan dapat rnemperoleh kebebasan dari tuduhan

    melakukan kejahatan.

  • Presumption of innocence merupakan tulang punggung model ini28

    .

    Adapun nilai-nilai yang melandasi due process model adalah mengutamakan,

    formal-adjudicative dan adversary fact findings, hal ini berarti dalam setiap

    kasus tersangka harus diajukan ke rnuka pengadilan yang tidak memihak dan

    diperiksa sesudah tersangka rnemperoleh hak yang penuh untuk rnengajukan

    pembelaannya. Menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh

    mungkin kesalahan rnekanisme administrasi dan peradilan.

    Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya

    sarnpai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau

    memilih potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari

    Negara. Memegang teguh doktrin legal audit yaitu: seorang dianggap bersalah

    apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh

    mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas itu.

    Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan

    memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada

    orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya

    dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak. Gagasan persamaan di

    muka hukum lebih diutamakan. Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan

    sanksi pidana.

    28 Romli Atmasasmita, "Kapita ...", Op. Cit., him. 138.

  • Konsep due process model, sangat menjunjung tinggi supremasi hukum,

    dalam perkara pidana tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas

    hukum. Setiap penegakan hukum harus seusai dengan persyaratan

    konstitusional, harus menaati hukum, serta harus menghormati the right of self

    incrimination. Tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi yang

    memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana. Dilarang mencabut,

    menghilangkan hak hidup, kemerdekaan, atau harta benda tanpa sesuai dengan

    ketentuan hukum acara.

    Setiap orang harus "terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas

    pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan. Hak konfrontasi dalam bentuk

    pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh atau melaporkan, Hak

    memperoleh pemeriksaan yang cepat, Hak perlindungan yang sama dan

    perlakuan yang sama dalam hukum, Hak mendapat bantuan penasihat hukum29

    .

    Pendekatan trikotomi, diperkenalkan oleh Denis Szabo, Direktur the

    International Centre for Comparative Criminology, the University of Montreal,

    Canada dalam Konperensi UNAFEI di Fuchu, Tokyo, Jepang bulan Desember

    198230

    . Terdapat tiga model dalam pendekatan trikotomi. Pertama, medical

    model, pendekatan ini berawal dari ajaran Lombroso, yang menyatakan

    penjahat merupakan seorang yang memiliki kepribadian yang menyimpang, dan

    29 M. Yahya Harahap, Pembahasan Perrnasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan

    Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta 2000.

    30 Romli Atmasasmita, "Kapita ..." Op. Cit., him. 139.

  • disebut sebagai orang yang sakit. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana harus

    menjadi terapi, sehingga pelaku kejahatan rnenjadi manusia yang normal.

    Pemikiran ini diperkuat teori social defence, yang dikemukakan oleh

    Grammatica yang menyatakan hukum perlindungan social harus menggantikan

    hukum pidana yang ada sekarang, dalam tulisan berjudul La lotta contra la

    pena sehingga seorang pelaku tindak pidana diintegrasikan kembali dalam

    masyarakat bukan diberi pidana terhadap perbuatannya31

    , dan di perbaharui

    oleh Marc Ancel.

    Kedua justice model, model ini melakukan pendekatan pada masalah-

    masalah kesusilaan, kemasyarakatan, dan norma-norma hukum serta pengaru-

    pengaruh sistem peradilan pidana. Pendekatan justice model, diperkenalkan

    oleh Norval Morris, dengan suatu pemikiran yang bertitik tolak pada

    mekanisme peradilan dan perubahan hukuman.

    Model ini melakukan re-evaluasi terhadap hasil-hasil administrasi

    peradilan pidana dan memberikan perhatian khusus pada sanksi pidana, moral

    dan social cost untuk mencapai tujuan pencegahan dan perlindungan atas

    masyarakat dari kejahatan.

    Ketiga model gabungan, dari preventive model dan justice model. Model

    ini menitik beratkan pada kompensasi atas korban-korban kejahatan. Dasar

    31 Barda Nawawi Arief, kebijakan Legislatif dalam Penanggulangaan Kejahatan, Program

    Magister llmu Hukum Undip, Semarang: BP Undip, 1994.

  • pemikiran ini menempatkan Negara selain sebagai pemberantas kejahatan dan

    perlindungan masyarakat juga memberikan jaminan sosial yang di peroleh dari

    pendapatan Negara dari sektor pajak.

    Muladi mengemukakan, bahwa dari teori-teori system peradilan pidana

    dengan berbagai bentuk model pendekatannya, untuk konteks diindonesia yang

    cocok adalah model yang mengacu kepada daad-dader strafrechf, atau model

    keseimbangan kepentingan. Model ini merupakan model yang realistik, yang

    memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana

    yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan pelaku tindak

    pidana dan kepentingan korban kejahatan.

    Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :

    a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

    b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

    bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

    c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

    mengulangi lagi kejahatannya.

    Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan

    sebagai berikut :

    a) Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan

    rehabilitasi pelaku tindak pidana.

  • b) Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni

    pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal

    (Criminal Policy).

    c) Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan

    masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).

    Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai

    dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti

    sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat

    substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural

    (cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan

    keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam

    kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

    Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung

    makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif

    yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu

    serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah

    yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.

    Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono

    mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian,

    Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat

    bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System.

  • Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan

    terdapat tiga kerugian yaitu :

    a) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-

    masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.

    b) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap

    instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).

    c) Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi

    maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh

    dari Sistem Peradilan Pidana.

    Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network)

    peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil

    maupun hukum pelaksanaan pidana. Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana

    dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas

    hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di

    dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.

    Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen

    dasar sistem.

    1. Susbtansi Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang

    Nomor 8 Tahun 1981.

  • 2. Struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari

    Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.

    3. Kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan.

    Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem

    Peradilan Pidana.

    Pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi

    yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan

    Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi

    manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta

    masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang

    mereka ciptakan.

    Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan

    suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya

    akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi)

    dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi,

    politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem

    Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system ).

    2.1.2. Kedudukan Hakim Dalam Peradilan Pidana

    Menurut KUHAP dalam Pasal 1 ayat (8)32

    Hakim adalah pejabat

    peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

    32 Pasal 1 ayat (8)Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  • Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang judisial,

    yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara

    yang diajukan kepadanya. Dalam mengemban tugas penegakan hukum dan

    keadilan, hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan

    demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan

    makmur.

    Lebih lanjut tugas hakim dapat dibedakan menjadi tugas hakim secara

    normatif dan tugas hakim secara konkrit dalam mengadili suatu perkara.

    Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 48

    Tahun 2009 yaitu:

    1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang

    (Pasal 4 ayat (1).

    2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan

    dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat

    dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2)).

    3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu

    perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau

    kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya

    (Pasal 10 ayat (1)).

  • 4. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum

    dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)).

    5. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

    memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8

    ayat (2)).

    Di samping tugas hakim secara normatif, hakim juga mempunyai tugas

    secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tindakan

    secara bertahap yaitu:

    1. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit.

    Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan.

    Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu

    harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh

    mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar

    terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu

    peristiwa konkrit.

    2. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa

    hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar

    terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana.

    Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan

    hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada

    peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada

  • undang-undangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan

    dengan peristiwanya yang konkrit.

    3. Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim

    menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang

    bersangkutan.

    Hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, yakni

    kemampuan dan keterampilan hakim untuk melaksanakan efesiensi dan

    efektifitas putusan. Baik dari segi penerapan hukumnya, maupun kemampuan

    mempertimbangkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan

    berkembang dalam masyarakat, serta kemampuan memprediksi reaksi dan

    dampak sosial atas putusan yang telah dijatuhkannya.

    Profesionalisme ini merupakan salah satu sisi dari mata uang profesi,

    disamping sisi etika profesi. Jadi, setiap profesi mempunyai dua aspek, yakni

    profesionalisme sebagai keahlian teknis dan etika profesi sebagai dasar

    moralita.

    Profesionalisme mempunyai peranan yang penting, lebih-lebih Hakim

    mengemban tanggung jawab dan kewajiban yuridis yang terkait dengan

    jabatannya. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1974

    jo. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 mewajibkan Hakim :

  • .....tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang

    diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan

    wajib memeriksa dan mengadilinya. (Pasal 14 ayat (1)).

    Dalam upaya mewujudkan profesionalisme Hakim, maka seyogyanya

    para hakim memiliki penguasaan ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas,

    yang tercermin dalam bobot dan untuk putusan yang dijatuhkan dengan

    kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang

    berlaku serta mempunyai keberanian menjatuhkan keputusan berdasarkan

    hukum dan keadilan33

    .

    Putusan hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan

    kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi

    yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah

    yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat.

    Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan,

    namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti

    sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim

    tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum

    dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan

    mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-

    perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan

    33 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006

  • perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kebebasan

    Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, undang-undang, kepentingan

    para pihak dan ketertiban umum.

    Hakim dapat mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor

    (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan

    putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara

    proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sebagai salah

    satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan

    menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang.

    Tugas hakim pada dasarnya dalam penegakan hukum akan sangat berkait

    erat dengan persoalan filsafat hukum sebagaimana dikatakan Roscoe Pound,

    bahwa salah satu objek filsafat hukum adalahThe application of law. Oleh

    karena itu, tugas hakim secara kongkret adalah mengadili perkara,yang pada

    dasarnya atau pada hakikatnya adalah melakukan penafsiran terhadap realitas,

    yang sering disebut sebagai penemuan hukum34

    .

    Penemuan hukum hakim juga terkait erat dengan bisikan hati pada

    penilaian yang dikembangkan hakim, yang merupakan motivasi-motivasi bagi

    putusan yang berada diluar sistem hukumnya dan juga mendorong terciptanya

    konsesus keadilan, sekaligus merupakan temu jiwa antara rasa keadilan hakim,

    34 Otje Salman S, Filsafat Hukum(Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama,

    Bandung 2009.

  • masyarakat, dan Negara35

    . Hal ini memperlihatkn bahwa secara subtansial

    penemuan hukum hakim terkait dengan Pembukaan, Alinea Pertama, yang

    secara subtansial mengandung pokok pikiran tentang apa yang kita pahami

    sebagai Perikeadilan.

    Penegakan hukum tidak lepas dari konsep hukum yang mendasari

    pemikiran hakim dalam menentukan cara-cara yang dijalankan dan

    dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Pemahaman

    mengenai konsep hukum dan pemikiran itu, telah disadari terdapat perbedaan

    paradigmatik diantara para penegak hukum (hakim) dalam memandang hakikat

    hukum. Dalam ilmu hukum terdapat berbagai aliran pemikiran yang

    menggunakan paradigma-paradigma tertentu. Paradigma tersebut, yaitu :

    1. Yuridis - dogmatis, yaitu suatu cara pendekatan di mana diolah peraturan-

    peraturan hukum dengan logika akal saja dan selanjutnya pengertian-

    pengertian hukum tersebut diberlakukan hanya dengan akal logika tanpa

    memperhitungkan kenyataan dan keadilan (dogma adalah ajaran atau

    pendapat yang diterima begitu saja tanpa menyelidiki benar tidaknya);

    2. Kausal-empiris/sosiologis, ialah suatu cara pendekatan yang menggarap

    peraturan-peraturan hukum dengan cara mempelajari sebab akibatnya

    dalam hubungannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dalam

    masyarakat;

    35 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan

    Berkeadilan, UII Press, Jogjakarta, 2009.

  • 3. Filosofis/idealis/ideologis, yaitu metode pendekatan yang menggarap

    peraturan,peraturan hukum dengan mempelajari hubungannya dengan

    hal-hal yang timbul dari ide-ide atau cita-cita atau hasil pemikiran

    manusia.

    Pembedaan terhadap paradigma ini tidak dimaksudkan untuk menyekat

    sedemikian rupa sehingga masing-masing model paradigma memisahkan diri

    satu sama lainnya. Pemisahan masing-masing model paradigma ini berimplikasi

    negatif terhadap proses penegakan hukum oleh Hakim. Sehingga tujuan dari

    penegakan hukum oleh Hakim yaitu keadilan yang dicita-citakan atau

    dikehendaki oleh masyarakat luas tidak tercapai .

    Idealnya Hakim menggunakan ketiga paradigma itu sebagai konsep dasar

    pemikiran atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Penggunaan

    ketiga metode pendekatan itu, hendaknya selalu bermuara pada paradigma

    filosofi/idealis/ideologis sebagai pertimbangan yang harus digunakan Hakim36

    .

    Paradigma filosofi meyakini bahwa norma moral tidak akan lepas dari hukum,

    terutama karena prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap hukum

    positif.

    Ronald Dowrkin pemikir hukum kontemporer, menegaskan hal serupa

    namun dengan memberikan penekanan pada isi hukum. Hadirnya pranata

    hukum Yurisprudensi dalam proses penegakan hukum oleh Hakim, menjadi

    Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Penerbit

    Kanisius, Yogyakarta, 2009.

  • bukti yang jelas untuk maksud tersebut. Menurut Dowrkin, yang menjadi

    pertimbangan pertama dalam Yurisprudensi bukan persoalan fakta dan strategi

    hukum melainkan dengan masalah moral.

    Hakim dibenarkan untuk mencari penyelesaian masalah dengan

    bimbingan moral yang rasional. Di tengah kebutuhan hukum positif yang

    sedang berhadapan dengan kasus berat, Hakim dibenarkan untuk menggunakan

    pertimbangan moral dalam penyelesaiannya. Posisi moral dalam hukum bukan

    selalu bersifat serba subyektif. Pertanggung jawaban moral selalu menuntut

    argumen yang secara rasional dapat diuji oleh siapapun.

    Konsekuansi logis terhadap perbedaan paradigma diatas berdampak pada

    perbedaan teori-teori yang dibangun dan dikembangkan. Sebagai kelanjutan

    dari perbedaan paradigma tersebut, maka metode yang digunakan untuk

    memahami keadilan substansinya pun berbeda. Paradigma dipahami sebagai

    asumsi-asumsi dasar yang ingin kita kembangkan, yang kita yakini benar dan

    yang nantinya menentukan cara pandang kita tentang obyek yang kita telaah.

    Asumsi-asunsi dasar inilah, yang menimbulkan perbedaan cara pandang

    penegak hukum pada saat dihadapkan dengan perkara yang harus diselesaikan.

    Berawal dari perbedaan cara pandang atau paradigma ini, maka menimbulkan

    beberapa aliran-aliran yang menggambarkan hubungan hukum dengan Hakim

    dalam penegakan hukum, yaitu :

  • (1) Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak

    boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas.

    Hakim hanya sekedar terompet undang-undang. Menurut ajaran ini,

    undang-undang dianggap sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi

    semua perkara, karena sifatnya rasional.

    Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.

    (2) Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.

    (a) Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar

    undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat

    menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang

    memiliki daya meluas, dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan

    undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh Hakim dengan

    penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya

    dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan

    perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum

    (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga

    Hakim dapat mengwujudkan kepastian hukum.

    (b) Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan Hakim

    dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk

    melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang,

    tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan membentuk

  • peraturan dalam putusan Hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang

    dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan

    dalam keadaan tertentu Hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-

    undang, demi kemanfaatan masyarakat.

    Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan

    perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian

    internasional dan doktrin hanyalah sebagai pengantar atau Pembuka

    jalan, pedoman dan bahan inspirasi atau sarana bagi Hakim untuk

    membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam

    putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya

    itu.

    Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs.

    (c) Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa Hakim

    seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan

    kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan

    masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu

    dijatuhkan.

    Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin

    dan G. Gurvitch.

    (d) Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statismelainkan sistem

    terbuka, open system van het recht, karena sistem hukum itu

  • membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas

    dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru

    dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut37

    .

    Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum,

    guna memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan

    padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang

    telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan

    utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat

    dimulai dari hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber

    utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak

    tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian

    internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan.

    Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis)

    sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum,

    mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara

    tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai

    dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:

    Yusriyadi, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Penegakan Hukum di

    Indonesia, Makalah pada diskusi panel kerjasama Asean Fundation dan Undip dalam

    rangka Peringatan Dies Natalis yang ke 46, 2004, hal. 5

  • a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang

    mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan

    telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut;

    b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang

    mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan

    tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan

    melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-

    undangan tersebut.

    c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang

    mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau

    belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang

    bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan

    penalaran logis.

    2.1.3. Bentuk-bentuk Putusan Hakim Pengadilan

    Putusan pengadilan atau yang biasa disebut dengan putusan hakim sangat

    diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Dengan adanya putusan

    hakim diharapkan para pihak dalam perkara khususnya terdakwa dapat

    memperoleh kepastian hukum tentang statusnya sekaligus dapat

    mempersiapkan langkah berikutnya antara lain menerima putusan, melakukan

    upaya hukum banding, kasasi, grasi dan sebagainya.

  • Menurut Rusli Muhammad putusan pengadilan merupakan output suatu

    proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-

    saksi, pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan barang bukti. Ketika proses

    pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil

    keputusan. Pasal 1 butir 11 KUHAP38

    menyatakan: Putusan pengadilan adalah

    pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat

    berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal

    serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

    Lebih jauh Bagir Manan menyatakan bahwa suatu putusan hakim akan

    bermutu, hal ini tergantung pada tujuh hal, yakni:

    1. Pengetahuan hakim yang mencakup tentang pemahaman Konsep

    Keadilan dan Kebenaran;

    2. Integritas hakim yang meliputi nilai-nilai kejujuran dan harus dapat

    dipercaya;

    3. Independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh dari

    pihak-pihak berpekara maupun tekanan publik;

    4. Tatanan politik, tatanan sosial, hukum sebagai alat kekuasaan maka

    hukum sebagai persyaratan tatanan politik dan hukum mempunyai

    kekuatan moral;

    38 Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

  • 5. Fasilitas di lingkungan badan peradilan;

    6. Sistem kerja yang berkaitan dengan sistem manajemen lainnya

    termasuk fungsi pengawasan dari masyarakat untuk menghindari

    hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan di

    daerah;

    7. Kondisi aturan hukum didalam aturan hukum formil dan materiil

    masih mengandung kelemahan.

    Aktualisasi dari moralitas ini tidak hanya berlaku terhadap para hakim

    saja, tetapi termasuk pula para penyidik, penuntut umum sebagai bagian dari

    criminal justice system. Memang Putusan hakim akan menjadi putusan majelis

    hakim dan kemudian akan menjadi putusan pengadilan yang menyidangkan dan

    memutus perkara yang bersangkutan dalam hal ini setelah dilakukan

    pemeriksaan selesai39

    , maka hakim akan menjatuhkan vonis berupa :

    1. Penghukuman bila terbukti kesalahan terdakwa;

    2. Pembebasan jika apa yang didakwakan tidak terbukti atau terbukti

    tetapi bukan perbuatan pidana melainkan perdata;

    3. Dilepaskan dari tuntutan hukum bila terdakwa ternyata tidak dapat

    dipertanggungjawabkan secara rohaninya (ada gangguan jiwa) atau

    juga ternyata pembelaan yang memaksa.

    39 R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Penerbit: Tarsito, Bandung, 1981.

  • Putusan hakim juga berpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu :

    1. Unsur yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama;

    2. Unsur filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan;

    3. Unsur sosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang

    hidup dan berkembang dalam masyarakat.

    Ada 3 bentuk putusan pengadilan yang diatur dalam KUHAP pada Pasal

    191 dan Pasal 193 yaitu:

    1. Putusan Bebas

    Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa

    apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang

    didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan. Hal

    ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Pada asasnya, esensi putusan

    bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan

    meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan

    Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan.

    Dakwaan tidak terbukti diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang

    menyebutkan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

    apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

    keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

    terdakwalah yang bersalah melakukannya.

  • Pasal ini memberi penjelasan bahwa adanya dua alat bukti yang sah

    belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana akan tetapi dari dua alat

    bukti yang sah itu hakim juga memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak

    pidana dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

    Menurut Martiman Prodjohamidjojo dakwaan tidak terbukti berarti

    bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu

    karena:

    a. Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut

    oleh Pasal 184 KUHAP, jadi, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa

    diteguhkan dengan bukti lain.

    b. Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi hakim tidak

    mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua

    keterangan saksi, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan

    terdakwa.

    c. Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti.

    Mengenai alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu: Alat

    bukti yang sah ialah:

    a. Keterangan saksi.

    b. Keterangan ahli.

    c. Surat.

  • d. Petunjuk.

    e. Keterangan terdakwa.

    Secara teori (menurut KUHAP) hanya dikenal istilah putusan bebas,

    tanpa adanya kualifikasi bebas murni atau bebas tidak murni. Putusan

    bebas (vrijspraak) yang diputus oleh hakim, dalam nuansa praktek peradilan

    berkembang istilah bebas murni dan bebas tidak murni.

    Dalam memilah adanya indikasi bebas murni dan bebas tidak murni

    berdasar pula atas acuan argumen teoritisi yang mengadakan pengkualifikasian

    bentuk-bentuk vrijspraak, seperti yang dikemukakan oleh seorang doktrina

    Belanda, J. M. van Bemmelen, sebagai berikut:

    1. De zuivere vrijspraak (putusan bebas murni), merupakan putusan akhir,

    hakim membenarkan fakta hukumnya (feiten), namun tuduhan Jaksa

    Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

    2. De onzuivere vrijspraak (putusan bebas tidak murni), yaitu dalam hal

    batalnya tuduhan terselubung (bedekte neitigheid van dagvaarding)

    atau putusan bebas yang menurut keyakinan kenyataannya tidak

    didasarkan pada tidak terbuktinya apa yang dimuat dalam surat

    tuduhan.

    3. De vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen (putusan

    bebas berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya), yaitu putusan

  • hakim yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa haruslah

    diakhiri atas suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada

    hasilnya.

    4. De bedekte vrijspraak (putusan bebas yang terselubung), yaitu dalam

    hal hakim mengambil putusan tentang fakta hukum (feiten) dan

    menjatuhkan putusan ontslag van alle rechtsvervolging (dilepas dari

    tuntutan hukum).

    Mencermati pembagian vrijspraak oleh J. M. van Bemmelen tersebut

    dihubungkan dengan praktek peradilan pidana Indonesia maka jenis vrijspraak

    dengan kualifikasi bebas tidak murni (de onzuivere vrijspraak), bebas

    berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan (de vrijspraak of grond van doel

    matige heid overwegingen) dan bebas yang terselubung (de bedekte vrijspraak)

    yang potensial serta dominan menjadi alasan atau justifikasi bagi Jaksa

    Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah

    Agung.

    2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

    Dasar hukum dari putusan ini dapat dilihat pada Pasal 191 ayat (2)

    KUHAP yang berbunyi: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang

    didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan

    suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

  • Dari bunyi Pasal di 191 ayat (2) di atas dapat diartikan bahwa putusan

    hakim berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang

    dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan di sidang

    pengadilan ternyata menurut pendapat majelis hakim perbuatan yang

    didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan

    suatu tindak pidana.

    Pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal-hal

    yang menghapuskan pidana baik yang menyangkut perbuatannya sendiri

    maupun yang menyangkut diri pelaku perbuatan itu, misalnya terdapat pada:

    a. Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa, atau cacat jiwanya.

    b. Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa (overmacht)

    c. Pasal 49 KUHP tentang membela diri (noodweer).

    d. Pasal 50 KUHP, yakni melakukan perbuatan untuk menjalankan

    peraturan undang-undang.

    e. Pasal 51 KUHP melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang

    sah.

    Hal-hal yang menghapuskan pidana yang terdapat pada pasal-pasal

    tersebut, oleh Soedarjo dikatakan sebagai hal yang bersifat umum. Di samping

    itu dikatakan pula terdapat hal-hal yang menghapus pidana secara khusus, yang

    diatur secara khusus dalam pasal tertentu dalam undang-undang, misalnya Pasal

  • 166 dan 310 ayat (3) KUHP. Dengan demikian, terdakwa yang memenuhi

    kriteria masing-masing pasal, baik yang mengatur hal-hal yang menghapus

    pidana secara khusus maupun yang bersifat umum seperti tersebut di atas, tidak

    dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatan yang didakwakan itu

    terbukti.

    Menurut Pasal 67 KUHAP terhadap putusan lepas dari segala tuntutan

    hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan

    putusan pengadilan dalam acara cepat terdakwa atau penuntut umum tidak

    berhak minta banding. Di atas telah dijelaskan bahwa pelepasan dari segala

    tuntutan hukum dibenarkan oleh hukum apabila seseorang melakukan perintah

    yang diberikan oleh atasan yang sah.

    Tetapi tidak semua perintah yang diberikan oleh atasan bisa lepas dari

    segala tuntutan hukum. Hakim menempatkan perintah atasan pada hal-hal yang

    meringankan saja. Karena sesuai fakta di persidangan perbuatan terdakwa telah

    memenuhi unsur-unsur dari dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa40

    .

    3. Putusan Pemidanaan

    Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang

    berbunyi: Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan

    tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan

    pidana. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin

    Soedarjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademi Pressindo, Jakarta 1985.

  • berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa

    terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan.

    Selain itu, dalam penjatuhan pidana jikalau terdakwa tidak dilakukan

    penahanan, dapat diperintahkan oleh hakim supaya terdakwa tersebut ditahan,

    apabila tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih,

    atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21

    ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu.

    Dalam hal terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat

    menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau

    membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu. Sedangkan lamanya

    pidana, pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk

    menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang

    terbukti dalam persidangan41

    . walaupun pembentuk undang-undang memberi

    kebebasan menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus

    dijalani terdakwa, bukan berarti hakim bisa seenaknya menjatuhkan pidana

    tanpa dasar pertimbangan yang lengkap.

    Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dan putusan

    hakim yang kurang pertimbangan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.

    Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan minimal dua alat bukti dan

    hakim yakin akan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada dan

    41 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif Teoritis dan Praktik, P.T. Alumni,

    Bandung, 2008.

  • dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan hakim, berarti pula syarat untuk

    menjatuhkan pidana telah terpenuhi Dalam hal pengadilan menjatuhkan

    putusan yang mengandung pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-

    hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa:

    Hal-hal yang memberatkan :

    1. Program pemerintah gemar memerangi narkoba.

    2. Bisa meresahkan masyarakat dan sebagainya.

    3. Menghancurkan masa depan generasi muda.

    Hal-hal yang meringankan:

    1. Terdakwa belum pernah dihukum.

    2. Terdakwa menyesali akan perbuatannya.

    3. Terdakwa bersikap sopan di pengadilan.

    Adapun jenis pidana yang dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap pelaku

    kejahatan diatur di dalam ketentuan pasal 10 KUHP yaitu :

    1. Pidana Pokok :

    a. Pidana mati

    b. Pidana penjara

    c. Kurungan

  • d. Denda

    2. Pidana tambahan :

    a. Pencabutan hak-hak tertentu

    b. Perampasan barang-barang tertentu.

    Hakim dalam usaha penerapan hukum demi keadilan di persidangan

    harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila bertindak dan berbuat

    tidaklah sekedar menerima, memeriksa kemudian menjatuhkan putusan,

    melainkan keseluruhan perbuatan itu diarahkan guna mewujudkan Keadilan

    berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa42

    . Inilah yang harus diwujudkan oleh

    hakim dalam sidang pengadilan yang sekaligus sebagai realisasi dari tanggung

    jawabnya.

    Berbagai pengertian keadilan, diantaranya keadilan adalah menempatkan

    sesuatu pada tempatnya (proporsional), keadilan adalah keseimbangan antara

    hak dan kewajiban dan lain sebagainya. Demikian pula klasifikasi keadilan juga

    banyak ditemukan misalnya Aristoteles membagi keadilan komutatif dan

    distributif, ada juga membedakan norm gerechtigkeit dan einzelfall

    gerechtigkeit dan seterusnya. Demikian ada ahli yang membagi menjadi :

    keadilan hukum (legal justice), keadilan secara moral (moral justice) dan

    keadilan sosial (social justice).

    42 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana(Sebuah Catatan Khusus), Mandar

    Maju, Bandung, 1999.

  • John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam

    institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori

    betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika tidak benar.

    Demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisen dan rapinya,

    harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki

    kehormatan yang didasarkan pada keadilan sehingga seluruh masyarakat

    sekalipun tidak bisa membatalkanya.

    Teori-teori Keadilan Dalam Pandangan Hukum yaitu Teori-teori Hukum

    Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan

    sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan the search for

    justice. Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil.

    Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan

    dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut : teori keadilan

    Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John

    Rawl dalam bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans

    Kelsen dalam bukunya general theory of law and state.

    1. Teori Keadilan Aritoteles

    Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya

    nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku

    nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang,

    berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat

  • hukumnya, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan

    keadilan.

    Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak

    persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak

    persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan

    manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami

    bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.

    Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai

    dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.

    Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua

    macam keadilan, keadilan distributief dan keadilan commutatief. Keadilan

    distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut

    pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap

    orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan

    peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian macam keadilan ini

    Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan.

    Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,

    kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam

    masyarakat. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis, jelaslah

    bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang

    berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang

  • adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni

    nilainya bagi masyarakat.

    2. Teori Keadilan John Rawls

    Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di

    akhir abad ke-20, John Rawls, seperti A Theory of justice, Politcal Liberalism,

    dan The Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar

    terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.

    John Rawls yang dipandang sebagai perspektif liberal-egalitarian of

    social justice, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari

    hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan

    bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa

    keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya

    masyarakat lemah pencari keadilan.

    Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-

    prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang

    dikenal dengan posisi asli (original position) dan selubung ketidaktahuan

    (veil of ignorance43

    ).

    John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah

    diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,

    Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2006.

  • Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat

    antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status,

    kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,

    sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang

    seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu posisi asli yang bertumpu

    pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas

    (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur

    struktur dasar masyarakat (basic structure of society).

    Sementara konsep selubung ketidaktahuan diterjemahkan oleh John

    Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan

    keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin

    tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang

    keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring

    masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya

    disebut sebagai Justice as fairness.

    Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep posisi asli terdapat

    prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni

    setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan

    kompetabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri

    masing-masing individu.

  • Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama

    (equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion),

    kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan

    mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan prinsip

    kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang

    menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity

    principle).

    John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program

    penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua

    prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas

    kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap

    orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang

    terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.

    Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar

    masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal

    utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan

    orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus

    diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan

    terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan

    institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua,

    setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan

  • kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum

    lemah.

    3. Teori Keadilan Hans Kelsen

    Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state,

    berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil

    apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan

    sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya44

    .

    Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-

    nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang

    mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan

    kebahagian diperuntukan tiap individu.

    Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang

    bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa

    suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian

    sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni

    terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat

    hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti

    kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia

    yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan

    44 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,

    Nusa Media, Bandung, 2011.

  • menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai,

    ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.

    Aliran positivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak

    berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia,

    dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan

    sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan

    bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari

    hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal

    dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.

    Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran

    positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga

    pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum

    positif dan hukum alam.

    Menurut Hans Kelsen :

    Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan

    karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia

    realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari filsafat Plato ini adalah doktrinnya

    tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi

    menjadi dua bidang yang berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang

    dapat tangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang

    tidak tampak.

  • Konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen : pertama tentang

    keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional.

    Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu

    kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik

    kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai

    melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan

    mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu

    kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.

    Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar

    suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen

    pengertian Keadilan bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah

    adil jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum

    adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada

    kasus lain yang serupa.

    Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum

    nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional

    dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan

    hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu

    memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam

    peraturan hukum tersebut.

  • Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara.

    Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische grondslag)

    sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi

    negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung

    nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila).

    Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang

    berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Sebagai

    pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui, serta

    menerima Pancasila sebagai suatu bernilai.

    Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang

    bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan

    perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau penghargaan

    itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa

    Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah

    laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu

    sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai rasionalitasnya adalah

    sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia.

    Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada

    dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : Keadilan

    sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang menjadi persoalan sekarang adalah

  • apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber

    pada Pancasila.

    Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-

    pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang

    pengertian adil.

    (1) Adil ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.

    (2)Adil ialah : menerimahak tanpa lebih dan memberikan orang lain

    tanpa kurang.

    (3)Adil ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap

    tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan

    yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar

    hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.

    Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum

    nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan

    keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban.

    Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban,

    dengan sendirinya apabila kita mengakui hak hidup, maka sebaliknya harus

    mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras

    yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab

    orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana

    halnya hak yang ada pada diri individu. Dengan pengakuan hak hidup orang

  • lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain

    tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya.

    Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila

    sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya

    menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar

    manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga

    tercipta hubungan yang adil dan beradab.

    Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api,

    bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi,

    maka keadilanpun mantap. Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan keadilan

    sosial, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan

    kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai :

    (1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.

    (2)Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-

    pengusaha.

    (3)Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,

    pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya

    dengan tidak wajar.

    Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat

    dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-

  • hari sering dijumpai orang yang main hakim sendiri, sebenarnya perbuatan

    itu sama halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi

    ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu.

    Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya

    individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya

    untuk kepentingan Individu yang lainnya. Hukum nasional hanya mengatur

    keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum

    nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-

    keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu.

    Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak

    individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam

    kelompok masyarakat hukum.

    Teori keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui

    hukum yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari

    hukum. Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan

    kesamarataan. Membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional.

    Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai

    dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.

    Arietoteles juga membedakan dua macam keadilan, keadilan

    distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah keadilan

    yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan

  • commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa

    membeda-bedakan prestasinya.

    John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka

    program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah

    memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu, pertama, memberi hak dan

    kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan

    yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan

    sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat

    timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal

    dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. John Rawl terhadap konsep

    posisi asli terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip

    persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal,

    hakiki dan kompetabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada

    diri masing-masing individu45

    .

    Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang

    bersifat subjektif. Sebagai aliran positivisme mengakui juga bahwa keadilan

    mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat

    manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pengertian Keadilan

    bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah adil jika ia bena-benar

    45 John Rawls, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan

    Sosial dalam Negara,Pusaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

  • diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah tidak adil jika

    diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.

    Keadilan dalam perspektif hukum nasional tertuju pada keadilan sosial

    menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang

    berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk

    kepentingan Individu yang lainnya. Keadilan didalam perspektif hukum

    nasional ini adalah keadilan yang menselaraskan keadilan-keadilan yang

    bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Keadilan ini

    lebih menitikberatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.

    Dengan demikian konsep keadilan sebenarnya sudah banyak

    dikemukakan oleh para ahli karena keadilan sesungguhnya sesuatu yang sangat

    dekat dengan pemenuhan hak dan kepentingan manusia. Hanya saja yang tidak

    mudah dalam praktek adalah merumuskan apa yang menjadi tolok ukur atau

    parameter keadilan itu sendiri.

    Dalam konteks putusan hakim peradilan, terutama yang sering

    disinggung-singgung adalah berupa keadilan prosedural (procedural justice)

    dan keadilan substantive (substantive justice). Dalam hal ini kami mencoba

    memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan prosedural dan keadilan

    substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada

    ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti

    mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya.

  • Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir

    dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.

    Dengan kebebasan yang demikian itu, diharapkan hakim dapat

    mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan

    keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat.

    Dengan demikian, maka hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat

    berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan

    pembinaan tertib hukum46

    .

    2.2. Upaya Hukum Kasasi Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi

    2.2.1 Pengertian dan Penjelasan Upaya Hukum Kasasi

    Dalam konteks ini berupa pemberian kesempatan kepada Jaksa Penuntut

    Umum untuk memperjuangkan haknya dalam memperoleh keadilan lewat

    upaya hukum kasasi terhadap putusan yang mengandung pembebasan yakni

    dengan cara melakukan koreksi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh

    pengadilan negeri kepada terdakwa sehingga keadilan tersebut dapat dirasakan

    oleh semua pihak (terwujudnya keadilan sosial yang secara interen dapat

    disebut dengan keadilan Pancasila yakni dengan menggunakan landasan

    berpijak pada keadilan distributif melalui sarana keadilan korektif).

    46 Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan hukum dalam Pembangunan Nasional,

    Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, diedarkan oleh

    Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1986.

  • Menurut kalangan doktrina ada beberapa pendapat tentang pengertian

    upaya hukum tersebut, antara lain, A. Hamzah dan Irdan Dahlan, menyatakan,

    Upaya hukum dimaksudkan merupakan sarana untuk melaksanakan hukum,

    yaitu hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk tidak menerima penetapan

    atau putusan pengadilan karena tidak merasa puas dengan penetapan atau

    putusan tersebut.

    Dengan diberikannya kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk

    mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) maka

    akan dapat dirasakan bahwa upaya hukum yang disediakan oleh KUHAP yang

    merupakan hak yang dijamin oleh hukum benar-benar dapat dimanfaatkan,

    diwujudkan oleh para pihak (terdakwa/terpidana maupun Jaksa penuntut

    Umum) apabila mereka merasa tidak puas akan kualitas putusan atau vonis

    yang dijatuhkan oleh pengadilan.

    Sebelum menguraikan mengenai definisi atau pengertian upaya hukum

    kasasi, penting diketahui mengenai asal kata serta sejarah ringkas

    perkembangan dari kasasi tersebut. Kasasi berasal dari kata casser yang artinya

    memecah. Lembaga Kasasi berawal di Prancis, ketika suatu putusan hakim

    dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Mulanya, kewenangan itu

    berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du Roi. Setelah

    revolusi yang meruntuhkan kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus

    yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan

    antara yang menjembatani pembuat undangundang dan kekuasaan kehakiman.

  • Lembaga kasasi tersebut lalu diaplikasikan di negeri Belanda yang

    kemudian masuk ke Indonesia. pada asasnya, kasasi didasarkan atas

    pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah

    melampaui kekuasaan kehakimannya. Hadar Djenawi Tahir (2002:8)

    menyebutkan dalam bukunya bahwa kasasi merupakan upaya hukum terhadap

    putusan banding yang telah dijatuhkan oleh pengadilan banding/tinggi. Selama

    ini banyak orang keliru menafsirkan bahwa pemeriksaan kasasi adalah

    pemeriksaan tingkat tiga. Pemeriksaan tingkat kasasi itu sebenarnya bukanlah

    pemeriksaan tingkat ketiga. Kasasi adalah membatalkan atau memecah.

    Kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusanputusan yang

    diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilanpengadilan lain dalam perkara

    perkara pidana maupun perdata, agar dicapai kesatuan dalam menjalankan

    peraturanperaturan dan undangundang.

    Siapa saja yang dapat mengajukan kasasi? Kasasi dapat diajukan oleh :

    1. pihakpihak, yaitu terdakwa atau penuntut umum, pihakpihak ini

    mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung, maka pembatalan

    keputusan dalam tingkat kasasi mempengaruhi keputusan yang

    dimintakan kasasi itu;

    2. Jaksa Agung demi kepentingan hukum. jaksa agung menyampaikan

    permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung. Kasasi demi kepentingan

    hukum ini tidak membawa pengaruh terhadap putusan pengadilan yang

  • telah dijatuhkan. Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan

    penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan

    dengan undang undang atau keliru dalam menerapkan hukum.

    Menurut Yahya Harahap (2006:19), ada beberapa tujuan utama upaya

    hukum kasasi.

    1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu

    tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan

    hukum,agar hukum benarbenar diterapkan sebagaimana mestinya serta

    apakah cara mengadili perkara benarbenar dilakukan menurut ketentuan

    undangundang.

    2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang

    dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya

    tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk

    yurisprudensi.

    3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. tujuan lain dari

    pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran keseragaman

    penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion.

    Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan

    mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum,

    serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan

    dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam

  • memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya. Tidak semua hal

    dapat dimintakan pemeriksaan kasasi. kasasi hanya dimungkinkan apabila

    mengetahui persoalan persoalan hukum (rechtsvragen).

    Apabila dikaji dari pendapat doktrina maka pengertian salah menerapkan

    hukum berarti judex facti telah keliru menerapkan suatu peraturan hukum

    seperti yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (verkeerde toepossing)

    atau telah menerapkan suatu peraturan hukum bertentangan atau berlawanan

    dengan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (schending der wet).

    Tegasnya, dapat dikonklusikan bahwa adanya kesalahan penerapan

    hukum yang dilakukan judex facti baik terhadap hukum acara maupun hukum

    materiilnya. Menurut Bagir Manan , terdapat empat kemungkinan kesalahan

    dalam penerapan hukum yaitu: kesengajaan sebagai cara menyembunyikan

    keterpihakan, kelalaian atau kekurang cermatan, pengetahuan yang terbatas

    dalam menggunakan legal reasoning dan kurang dalam pertimbangan hukum.

    Hakim Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman harus

    mengambil peran yang optimal untuk menjadi pembaru hukum guna

    mewujudkan pengadilan yang bersih.

    Mahkamah Agung yang bertindak sebagai judex facti seperti dalam

    Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 1565/K/Pid/2004 ada hal yang menarik

    dimana putusan tersebut menyatakan judex facti telah salah menerapkan

    hukum berkenaan dengan putusan bebas dalam perkara korupsi dan begitu pula

  • halnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1500/K/Pid/2006, dan juga

    putusan Mahkamah Agung Nomor. 2057/K/Pid.Sus/2009 dengan kaidah dasar

    bahwasanya :Mahkamah Agung berwenang memperbaiki dan merubah

    tentang putusan bebas yang diputuskan oleh Judex Facti karena Mahkamah

    Agung menilai judex facti telah salah dalam menerapkan hukum dan

    Mahkamah Agung relatif kurang sependapat terhadap putusan bebas yang

    diputuskan oleh judex facti.

    Adapun persoalan persoalan hukum itu adalah:

    1. Apabila satu aturan hukum tidak diperlakukan oleh hakim atau,

    2. Ada kekeliruan dalam memperlakukan satu aturan hukum atau,

    3. Apabila hakim melampaui batas kekuasaan. Apakah suatu hak itu

    mengenai persoalan hukum atau tidak diputus oleh Mahkamah Agung

    sendiri.

    Dalam perundangundangan Belanda, ada tiga alasan untuk melakukan

    kasasi, yaitu;

    1. Apabila terdapat kelalaian dalam acara;

    2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada

    pelaksanaannya;

    3. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang

    ditentukan undang undang.

  • Dalam undangundang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman, disebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat

    alasanalasan dan dasar putusan itu, memuat pula pasalpasal tertentu dari

    peraturanperaturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang

    dijadikan dasar untuk mengadili. Ini adalah dasar hukum yang sah bahwa suatu

    putusan hakim haruslah memuat alasanalasan dan dasardasar putusan itu.

    Dalam tahun 1947 dan 1974, Hoge Raad membatalkan putusan hakim yang

    lebih rendah karena alasanalasan yang kurang cukup dan kelihatan di situ

    bahwa pidana yang dijatuhkan kurang seimbang dengan alasanalasan yang

    dikemukakan dalam putusan pengadilan tersebut.

    Berdasarkan alasanalasan atau pertimbanganpertimbangan yang

    ditentukan oleh undangundang yang menjadi dasar suatu putusan yang kurang

    jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim)

    itu. Dalam putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi kadang kadang

    tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh undangundang

    (dalam hal ini khususnya yang tercantum pada UndangUndang Kekuasaan

    Kehakiman). Tidak/kurang adanya pertimbangan/alasanalasan atau pun

    alasanalasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu

    sama lain, dapat menimbulkan suatu kelalaian dalam acara, oleh karena itu

    dapat menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri/tinggi oleh Mahkamah

    Agung dalam putusan kasasi.

  • Pasal 253 ayat (1) KUHAP dimuat beberapa alasan mengajukan kasasi,

    yaitu;

    1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan

    tidak sebagaimana mestinya;

    2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan

    undang undang;

    3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

    Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus dilakukan menurut

    tenggangtenggang waktu tertentu, yaitu 14 hari setelah putusan pengadilan

    yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa atau penuntut

    umum, dan kemudian harus disusul dengan mengajukan memori kasasi yang

    memuat alasan alasan permohonan kasasi, dalam tempo 14 hari setelah

    mengajukan permohonan tersebut (pasal 245 dan 248).

    Jika tenggang waktu sebagaimana dimaksudkan di atas dilampaui, hak

    mengajukan permohonan kasasi dan hak menyerahkan memori menjadi gugur

    dengan sendirinya (pasal 246 ayat (2) dan pasal 248 ayat (4) KUHP). Cara

    mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang,misalnya

    pengadilan dilakukan di belakang pintu tertutup tanpa alasan menurut undang

    undang. Berdasarkan esensi Pasal 244 KUHAP dan pendapat kalangan doktrina

    dapat disimpulkan bahwa upaya hukum kasasi merupakan suatu hak yang dapat

    dipergunakan atau dikesampingkan oleh terdakwa atau penuntut umum.

  • Apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan yang

    dijatuhkan pengadilan tingkat bawahnya maka dapat mengajukan permohonan

    pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap pelaksanaan dan

    penerapan hukum yang telah dijalankan oleh pengadilan di bawahnya kecuali

    terhadap putusan yang mengandung pembebasan. Demi keadilan dan kebenaran

    maka putusan hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam

    putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan.

    Mengenai kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap

    putusan bebas, bahwa dalam praktek peradilan pidana Indonesia telah terjadi

    suatu penerobosan hukum terhadap ketentuan Pasal 244 Kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang jelas-jelas melarang pengajuan

    permohonan pemeriksaan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas.

    Menurut KUHAP terhadap putusan bebas tidak ada kesempatan bagi

    Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada

    Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami dari redaksional Pasal 244 KUHAP,

    yang menyatakan, Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada

    tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,

    terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan

    kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

    Dengan demikian secara tataran normatif yudisial, hak atau peluang bagi

    Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan

  • bebas (vrijspraak) oleh KUHAP dapat dikatakan bahwa sebenarnya jalan atau

    pintu itu sudah tertutup. Akan tetapi terjadi perkembangan dalam praktek

    peradilan pidana Indonesia, yakni terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP

    tersebut akhirnya dilakukan suatu penerobosan sehingga terhadap putusan

    bebas dapat dimintakan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung.

    Hal ini merupakan suatu langkah untuk mengatasi krisis ketidakadilan

    menurut persepsi publik akan ekses putusan bebas yang cenderung

    mempolakan situasi dan kondisi negatif bagi dunia peradilan khususnya dan

    penegakan hukum pada umumnya47

    .

    Satu-satunya langkah yang diambil untuk memperkecil gejala negatif

    tersebut antara lain berupa kembali ke belakang menoleh dan mempertahankan

    yurisprudensi lama, yakni mengikuti jejak yurisprudensi seperti yang dianut

    pada zamannya HIR, yakni dengan tindakan Mahkamah Agung melakukan

    contra legem terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP melalui putusannya

    tanggal 15 Desember 1983 Regno: 275 K/Pid/1983 yang merupakan

    yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak

    diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hukum kasasi

    kepada Mahkamah