Download - referat abses parafaring
I. PENDAHULUAN
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai
akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah, dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda
klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan.1
Abses leher dalam adalah terbentuknya pus pada salah satu atau lebih ruang potensial
diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal serta telinga tengah dan leher. Abses parafaring yaitu
peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang parafaring. Sebelum era antibiotika,
70% dari abses leher dalam merupakan penjalaran infeksi dari tonsil dan faring. Akan tetapi
saat ini penyebab abses leher dalam yang sering ditemukan adalah infeksi gigi dan sekitar
20% kasus abses leher dalam dengan sumber infeksi yang tidak ditemukan. 2
II. ANATOMI TENGGOROKAN
Secara anatomi leher terdiri dari beberapa fasia dan ruang potensial. Fasia servikal
terdiri atas lapisan jaringan fibrosa yang meliputi organ, otot, saraf dan pembuluh darah yang
memisahkan area leher menjadi rangkaian ruang-ruang potensial. Fasia ini dibagi atas fasia
servikal superfisial dan fasia servikal profunda yang dipisahkan oleh m. platisma. . Fasia
servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari perlekatannya di
prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah toraks dan aksila
yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikal superfisial dan
profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis
eksterna. Fasia servikal profunda terbagi menjadi 3 bagian yaitu lapisan luar/superfisial,
tengah/media dan dalam/profunda.3,4
Fasia servikalis profunda terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Lapisan superficial. Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar
tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah
wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus musculus
sternokleidomastoideus, musculus trapezius, musculus masseter, kelenjar parotis dan
submaksila.3,4
2. Lapisan medial. lapisan ini dibagi atas dua divisi yaitu divisi muskular dan viscera.
Divisi muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan 1
menghubungkan muskulus sternohid, muskulus thyroid dan muskulus omohid.
Dibagian superior melekat pada os hyoid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior
melekat pada sternum, klavikuladan skapula. Divisi viscera membungkus organ-organ
anterior leher yaitu kelenjar tiroid,trakea dan esofagus. Di sebelah posterosuperior
berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan
bagiananterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan
ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan
perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari devisi icera yang berada pada
bagian posterior faring dan menutupi muskulus konstriktor dan muskulus
buccinators.3,4
3. Lapisan profunda. Lapisan ini dibagi menjadi dua divisi yaitu divisi alar dan
prevertebra. Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan
divisi prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebratorakal II dan
bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar
melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior
dari danger space. Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan
ke lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut.
Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding
posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan
fasiaservikalis profunda ini membentuk selubung karotis (carotid sheath)
yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ketoraks.3,4
2
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah sepanjang leher,
ruangan suprahiod dan ruangan infrahioid.5
1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:
a. Ruang retrofaring
b. Rruang bahaya ( danger space )
c. ruang prevertebra.
2. Ruang suprahioid terdiri dari:
a. Ruang submandibula
b. Ruang parafaring
c. Ruang parotis
d. Ruang mastikor
e. Ruang peritonsil
f. Ruang temporalis
3. Ruang infrahioida.
a. Ruang pretrakeal
3
Gambar 1. Potongan Sagital Leher3
Ruang Parafaring
Ruang parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang faringeal lateral,
pterigofaringeal, atau ruang perifaring. Ruang ini berbentuk kerucut terbalik dengan dasarnya
pada bagian superior di dasar tengkorak dan puncaknya pada inferior tulang hyoid. Batas
ruang ini adalah dasar tengkorak di bagian superior (pars petrosus os temporal dan os
sphenoid), os hyoid di inferior, rafe pterygomandibular di anterior, fasia prevertebra di
posterior, fasia bukofaringeal di medial dan lapisan superfisial fasia servikal profunda yang
meliputi mandibula, pterygoid medial dan parotis di lateral. Ruang parafaring berhubungan
dengan beberapa ruang leher dalam termasuk ruang submandibula, ruang retrofaring, ruang
parotis dan ruang mastikator. Ruang parafaring dibagi menjadi 2 bagian yang tidak sama
besarnya oleh prosesus styloid menjadi kompartemen anterior atau muskuler atau prestyloid
dan kompartemen posterior atau neurovaskuler atau poststyloid. Ruang prestyloid berisi
lemak, otot, kelenjar limfe dan jaringan konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar di medial
dan pterygoid medial di sebelah lateral. Ruang poststyloid berisi a. karotis interna, v.
jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis 4
Gambar 2. Bagian-bagian pada Leher5
dan saraf kranialis IX, X, XII. Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan
yang tipis.6,7
III. ABSES PARAFARING
a. Definisi
Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang parafaring.10,11
b. Epidemiologi
Terdapat 33 kasus abses leher dalam selama Januari 1991-Desember 1993 di bagian
THT FK-UI/RSUPN-CM, usia berkisar antara 15-35 tahun terdiri dari 20 pasien laki-laki dan
13 wanita. Parhiscar dan Har-El (2001) melakukan penelititan retrospektif pada 210 kasus
abses leher dalam dari tahun 1991-1998. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan
jumlah kasus abses parafaring menempati urutan pertama (43%) diikuti abses submandibula
(28%), Ludwig’s Angina (17%) dan abses retrofaring (12%).3 Di Departemen KTHT-KL
RSMH periode 1 Januari 2008-31 Desember 2010 didapatkan 8 infeksi leher dalam yang
terdiri dari 1 abses parafaring (12,5%), 1 abses peritonsil (12,5%), 2 abses retrofaring (25%)
5
Gambar 3. Ruang Parafaring6
dan 4 abses submandibula (50%). Periode 1 Januari-31 Agustus 2011 terdapat 7 infeksi leher
dalam yaitu 1 Ludwig’s Angina (14,3%) dan 7 abses sumbandibula (85,7%).8,9
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus
infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus
terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%),
parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).8,9
Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai Oktober
2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari
satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%,
peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis
11%. 8
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir
(Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang,
abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6
(18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal
1 (3%) kasus. 9
c. Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara10,11:
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang terkontaminasi
kuman (aerob dan anaerob) menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.
Ruang potensial ini berbentuk sperti corong dengan dasarnya terletak pada dasar
tengkorak pada setiap sisi berdekatan dengan foramen jugularis dan apeksnya pada kornu
mayor tulang hyoid. Batas bagian dalam adalah ramus asenden mandibula dan perlekatan otot
pterigoideus media dan bagian posterior kelenjar parotis. Batas bagian dorsal terdiri dari
otototot prevertebra. Setiap fosa dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besar oleh
prosesus stiloideus dan perlekatan otot-otot. Bagian anterior (prestiloideus) merupakan
6
bagian yang lebih besar. Dan bagian ini dapat terkena proses supuratif sebagai akibat dari
tonsil yang terinfeksi, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, karies gigi, dan
pembedahan. Bagian posterior yang lebih kecil terdiri dari arteri karotis interna, vena
jugularis, saraf vagus, dan saraf simpatis. Bagian ini dipisahkan dari spatium retrofaring oleh
selaput fasia yang tipis.11
Kuman penyebab abses leher dalam (termasuk abses parafaring) dari berbagai
penelitian merupakan campuran dari berbagai macam kuman, baik aerob, anaerob, maupun
fakultatif anaerob. Kuman aerob dominan Streptococcus viridan, Klebsiella pneumonia,
Staphylococcus aureus. Kuman anaerob dominan Prevotella, Peptostreptococcus,
Fusobacterium dan Bacteroides. Di Rumah Sakit Dr. Djamil Padang pola kuman yang
ditemukan hampir sama dengan berbagai penelitian diatas.8
d. Patofisiologi
Infeksi leher dalam merupakan selulitis flegmonosa dengan tanda-tanda setempat
yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan yang melapisinya.
Seringkali dimulai pada daerah prastiloid sebagai suatu selulitis, jika tidak diobati akan
berkembang menjadi suatu thrombosis dari vena jugularis interna. Abses dapat mengikuti m.
stiloglosus ke dasar mulut dimana terbentuk abses. 12
Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan perluasan ke bawah
sepanjang sarung pembuluh-pembuluh darah besar, disertai oleh trombosis v. jugularis atau
suatu mediastinitis. 12
Infeksi dari bagian posterior akan meluas ke atas sepanjang pembuluh-pembuluh
darah dan mengakibatkan infeksi intracranial atau erosi a. karotis interna.12
e. Gejala Klinis
Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi, odinofagia, torticollis. Jika infeksi meluas dari faring ke ruang ini,
pasien akan menunjukkan trismus yang jelas. Hal ini disebabkan karena kompartemen
prestyloid terdapat kompartemen otot yang berdekatan dengan fossa tonsilaris secara medial
dan m.ptyerigoid interna. Sedangkan dinding faring lateral akan terdorong ke medial, seperti
pada abses peritonsilaris. Infeksi ini sebaiknya selalu dilakukan drainase melalui insisi
vertikal. Dalam melakukan insisi drainase abses peritonsilar harus dilakukan palpasi karena
pulsasi di daerah tersebut dapat menunjukkan adanya aneurisma dari a.karotid interna.
7
Pembengkakan di dinding lateral orofaring tanpa adanya inflamasi akut dan trimus tidak
selalu merupakan abses parafaring atau peritonsil, namun harus dicurigai tumor atau
aneurisma. Penyebab infeksi saluran pernafasan mungkin sudah terjadi resolusi ketika pasien
datang sehingga anamnesis onset kejadian penting.10,12,13
f. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinik. Bila
meragukan dapat dilakukan pemerksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP
atau CT scan.1
Gejala klinis berupa demam, nyeri pembengkakan di sekitar angulus mandibula,
pembengkakan dinding lateral faring hingga menonjol ke arah medial. Pemeriksaan
penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan tomografi komputer. Foto jaringan
lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang penting. Pada
pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran
deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan
daerah jaringan lunak leher.2
8
Gambar 4. Tampakan klinis Abses Parafaring13
Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara
selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk
mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran
kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan
lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan
gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses. Pemeriksaan
kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian anitbiotika
yang sesuai.2
g. Diferensial Diagnosis
Parotitis, abses submandibular, dan tumor.10,13
h. Tatalaksana
Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara perenteral terhadap kuman aerob
dan anaerob.10 Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,
sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas
keluar, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Dari sebuah penelitian
melaporkan pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi
9
Gambar 5. Gambaran CT-Scan; A. Tampak Abses Parafaring (Panah), B. Selulitis pada abses parafaring dengan abses di ruang masseter.13
penisilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin, kombinasi
ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilin
dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka perlindungan (keberhasilan) 67,4%,
76,4%, 70,8%, 61,9%. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih
cukup baik.8
Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika 24-
48 jam dengan cara ekplorasi dalam narkosis. Cara melalui insisi dari intraoral dan atau insisi
ekstranasal.10
Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnya
diperlukan istirahat di tempat tidur, kompres panas untuk menekan lokalisasi abses. Terapi
antimikroba sangat perlu, akan lebih baik jika disesuaikan dengan tes sensitivitas, biakan, dan
pewarnaan gram dari pus yang diambil.10,12
Insisi intraoral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring. Dilakukan
anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan dengan insisi dan drainase.12
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai
klem arteri eksplorasi dilakukan menembus m. konstriktor faring superior
ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan
sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal.10
Insisi ekstranasal dilakukan jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak
pembengkakan yang jelas.12
Insisi dari luar dilakukan 2 ½ jari di bawah dan sejajar mandibular. Secara
tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.
sternokleidomasteoideus kearah atas belakang menyusuri bagian medial
mandibular dan m. pterigoid interna mencapai ruang parafaringdengan
terabanya prossesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilakukan veritkal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di
depan m. sternokleidomastoideus (cara Mosher). Berikut ini gambaran
metode pelaksanaan insisi menurut metode Mosher10:
10
Drainase dapat dilakukan melalui suatu insisi kecil pada daerah yang berfluktuasi atau
diatas bagian yang paling menonjol dari pembengkakan. Suatu cunam melengkung
dimasukkan ke dalam ruang abses tersebut, kemudian secara hati-hati diperluas dengan
merenggangkan cunam. Suatu insisi lain boleh dilakukan untuk menjaga drainase. Drain
dipasang dan dijahit. Jika ditemukan suatu kavitas yang besar, sekitar drain boleh dimasukan
tampon longgar dengan kassa iodoform. Kassa dikeluarkan setelah 1-2 hari, sedangkan drain
didiamkan selama kira-kira 1 minggu.10,12,13
11
Gambar 6. Bentuk insisi Metode Mosher5,10
Gambar 7. Tampakan arah insisi Metode Moser5,10
Patokan yang harus diingat jika diperlukan suatu eksplorasi bedah adalah kartilago
krikoid, ujung kornu mayor os hyoid, prosesus stiloid, tepi dalam M. Sternokleidomastoideus,
dan bila perlu diseksi diteruskan ke venter posterior M. Digastrikus.10,12
i. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per
kontinuatatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas menyebabkan peradangan
intracranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Komplikasi yang
paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah
sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Bila terjadi periflebitis atau
endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septicemia. Dapat juga terjadi perdarahan masif
yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. Kompikasi ini dapat member kesan
dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar).11,14
IV. KESIMPULAN
Abses parafaring terjadi dimana Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan
cara : langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang terkontaminasi kuman (aerob
dan anaerob) menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan
ruang parafaring dari fossa tonsilaris. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi,
tonsil, faring, hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber
infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil,
retrofaring atau submandibula.
Gejala yang dikeluhkan pasien yaitu nyeri tekan daerah submandibula terutama pada
angulus mandibula, leukositosis dengan pergeseran ke kiri, dan adanya demam. Terlihat
edema uvula, pilar tonsil, palatum dan pergeseran ke medial dinding lateral faring. Sebagai
perbandingan pada abses peritonsil hanya tonsil yang terdorong ke medial. Pada
rontgenogram lateral mungkin tampak pergeseran trakea ke arah anterior. Trismus yang
disebabkan oleh menegangnya M. Pterigoid internus merupakan gejala menonjol, tetapi
mungkin tidak terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang
melekat padanya sehingga tidak mengenai M. Pterigoid internus.
12
Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara perenteral terhadap kuman aerob
dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika 24-48 jam dengan cara ekplorasi dalam narkosis. Jika terdapat pus, tidak ada cara
lain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat tidur,
kompres panas untuk menekan lokalisasi abses. Terapi antimikroba sangat perlu, akan lebih
baik jika disesuaikan dengan tes sensitivitas, biakan, dan pewarnaan gram dari pus yang
diambil.
Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah
terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis.
Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septicemia.
13
Daftar Pustaka
1. Meylani, Fitri. Dkk. “Referat Abses Parafaring”. Departemen Ilmu THT RSPAD
Gatot Soebroto Jakarta. 2011. Hal : 7-15.
2. Sari, Diana. Dkk. “Abses Leher Dalam, Abses Parafaring”. Bagian Departemen Ilmu
Penyakit THT-KL, Universitas Sumatera Utara. Hal : 8-13.
3. Snell, Richard S. “Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran : Anatomi Laring”.
Edisi keenam. Jakarta : EGC. 2006. Hal. 805-813.
4. Ballenger JJ. Abses Leher Dalam, Aplikasi Klinis Anatomi Dan Fisiologi Faring dan
Orofaring. Dalam : Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorokan Dan Leher. Edisi 13.
Jilid Satu. Binarupa Aksara. Jakarta; 1994. Hal 295-304
5. Dorothy F., Richard V. S. Surgical Anatomy of the Pharynx and Esophagus. In:
Otolaryngology Basic Science and Clinical Review.Thieme. New York. 2006:pp.
560-561.
6. Soepardi EA, Iskandar N. “Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala Leher: Disfonia”. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008. Hal: 231-234.
7. Simarmata Filia. Abses Submandibula. Dalam: Makalah Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Riau. Riau; 2011. Hal : 1-16.
8. Novialdi, Pulungan M.R. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Bagian THT-KL FK
Univ. Andalas/RS. Dr. M. Djamil Padang. Padang. 2011. hal. 1-25.
9. Huang,T.T. et.al. Deep Neck Infection: Analysis Of 185 Cases. In: Med & Health
2007. Wiley InterScience. 2004: Hal. 158-163.
10. Soepardi EA, Iskandar N. “Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala Leher: Abses Leher Dalam”. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal: 226-230.
14
11. Keat Jin Lee. Essential otolaryngology: head & neck surgery. McGraw-Hill
Professional. 2003. Hal : 483-490.
12. Ballenger, JJ. “Anatomy of the Larynx, In: Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head
and Neck”. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger. Hal 230-245.
13. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ,
Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4. Philadelphia:
JB.Lippincott Company 2006. Hal : 666-681.
14. Adam GL,Boies LR, Higler PA. “Boies Buku Ajar Penyakit THT”. Edisi keenam.
Jakarta : EGC. Hal : 369-377.
15