PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PEMBERIAN KREDIT
PEMILIKAN RUMAH TERKAIT DENGAN KEBIJAKAN LOAN TO
VALUE
(STUDI PADA BANK X)
Nindira Andaru, Aad Rusyad Nurdin, dan Nadia Maulisa
Departemen Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus FHUI Gedung A, Depok 16424,
Jawa Barat
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Skripsi ini membahas penerapan manajemen risiko dalam pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Pokok
permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana penerapan manajemen risiko dalam pemberian KPR menurut
peraturan yang berlaku, secara khusus dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP; dan bagaimana
penerapan manajemen risiko dalam pemberian KPR pada praktiknya di Bank X berkaitan dengan kebijakan
pembatasan Loan to Value (LTV). Kesimpulan: pertama, penerapan manajemen risiko sebagaimana tercantum
dalam SEBI 15/40/DKMP yang mencabut SEBI 14/10/DPNP telah cukup memadai dan tersosialisasi dengan
baik. Kedua, ketentuan dalam SEBI 15/40/DKMP telah dijalankan sebagaimana mestinya oleh Bank X dalam
pemberian fasilitas KPR, namun batasan LTV di Bank X juga turut didasarkan pada zona lokasi.
Kata kunci:
Manajemen Risiko; Kredit Pemilikan Rumah; Loan to Value
The Implementation of Risk Management in House Ownership Credit (KPR) Related to
the Policy of Loan to Value Ratio (Study on X Bank)
ABSTRACT
This paper discusses the implementation of risk management in the provision of House Ownership Credit (KPR).
The main issue in this paper focuses on the implementation of risk management in the provision of House
Ownership Credit according to prevailing regulation in Indonesia, specifically regulated in BI Circular Letter
No. 15/40/DKMP; also about the implementation in practice at X Bank related to the policy of Loan to Value
(LTV). The first conclusion shows that the implementation on risk management as regulated in BI Circular
Letter No. 15/40/DKMP which officially deactivates the Circular Letter No. 14/10/DPNP is adequate and the
socialization has been conducted properly by BI. The second conclusion shows that the clause of the BI Circular
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
Letter No. 15/40/DKMP has been duly executed by X bank in the provision of House Ownership Credit
facilities. But the LTV limits also based on the location of the zone.
Key words:
Risk Management; House Ownership Credit; Loan to Value
Pendahuluan
Industri perbankan memiliki fungsi pokok yaitu sebagai lembaga intermediasi yang
menghimpun serta menyalurkan dana dari masyarakat ataupun pihak ketiga. Hal tersebut
dimuat dalam Penjelasan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Beragamnya kebutuhan
masyarakat seiring dengan perkembangan zaman telah menempatkan kredit sebagai salah satu
produk jasa perbankan yang paling banyak diminati. Sedangkan dari sisi bank, kredit
merupakan sumber pendapatan yang memberikan kontribusi yang cukup besar bagi
pendapatan bank itu sendiri. Banyak nasabah yang kini melakukan aktivitas perkreditan
karena kredit sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, maupun
papan.
Sektor papan (perumahan) merupakan salah satu sektor bisinis yang menarik dan
cukup menjanjikan saat ini karena semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat akan
perumahan. Maka, kredit konsumsi merupakan produk jasa yang menjadi favorit bagi para
debitur. Namun, kebutuhan tersebut sering mengalami hambatan karena minimnya dana yang
dimiliki oleh debitur yang ingin memiliki rumah. Maka dari itu, bank-bank yang
melaksanakan kegiatan penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan sasaran
alternatif utama dalam pembiayaan perumahan. Hal ini dikarenakan bank merupakan
penghubung antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan
dana untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan ekonomi.
Setiap bank harus peka terhadap segala risiko yang akan timbul, terutama dalam
proses pemberian KPR. Kepekaan tersebut menjadi bukti bahwa bank membutuhkan
manajemen yang berbasis risiko. Manajemen bank berbasis risiko disini bukan berarti
menghilangkan risiko sampai menjadi nihil, namun lebih menekankan kepada bagaimana
mengukur, mengelola, mengambil keuntungan, dan mengamankan bank dari segala risiko
yang ada. Apabila dikaitkan dengan pemberian KPR oleh bank umum, maka bank yang
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
memberikan fasilitas kredit tersebut harus cermat dalam mengikuti perubahan lingkungan
bisnis perumahan, baik terhadap perubahan ekonomi, politik, sosial, budaya, lingkungan
alam, teknologi pengolahan, teknologi informasi, lingkungan demografi, birokrasi, maupun
otonomi daerah. Perubahan tersebut tentunya akan memberikan berbagai implikasi yang dapat
mempengaruhi kinerja suatu bank dalam mengelola kredit.
Penetapan besaran Loan to Value (LTV) telah diatur oleh Bank Indonesia melalui SE
BI No. 14/10/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko Bank yang Melakukan Pemberian
Kredit Pemilikan Rumah atau Kredit Kendaraan Bermotor. Peraturan tersebut dikeluarkan
karena adanya peningkatan kredit konsumsi yang tinggi beserta dengan meningkatnya potensi
risiko kredit, khususnya bagi KPR dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). LTV mengatur
pembatasan angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadpa nilai
agunan pada saat awal pemberian kredit, dimana dalam penyaluran KPR ditetapkan paling
tinggi sebesar 70%. Kebijakan LTV ini kemudian diperdalam pada tahap kedua yang
menghasilkan SE BI No. 15/40/DKMP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang
Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit, atau Pembiayaan
Konsumsi Beragun Properti, Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. SE BI ini telah
memberikan pengaturan yang lebih ketat terkhusus kepada KPR sejak September 2013 lalu.
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diungkapkan oleh penulis, telah ditemukan
dua pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan manajemen risiko dalam pemberian Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana penerapan manajemen risiko dalam pemberian KPR pada praktiknya di
Bank X sehubungan dengan adanya kebijakan pembatasan Loan to Value?
Kemudian tujuan dari penulisan skripsi ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaturan mengenai manajemen risiko dalam pemberian Kredit
Pemilikan Rumah yang berlaku di Indonesia.
2. Menganalisa penerapan manajemen risiko KPR di Bank X sehubungan dengan
hadirnya kebijakan pembatasan Loan to Value yang berdasar pada pilar-pilar yang ada
dalam konsep Basel Accord dan Peraturan Perbankan.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
Tinjauan Teoritis
Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum untuk
memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank berdasarkan pedoman SK Dir BI No.
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan
Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum. Kebijakan tersebut telah diatur secara jelas
dalam Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan, yang berbunyi:
“Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.”
Berdasarkan SK tersebut, setiap Bank Umum wajib memiliki Kebijakan Perkreditan
Bank (KPB) secara tertulis dan harus mendapat persetujuan dari dewan komisaris bank.
Kemudian kebijakan tersebut nantinya wajib disampaikan kepada Bank Indonesia. Di dalam
Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB), setidaknya memuat 7 bab
yang berisi hal-hal sebagai berikut:
1. Kebijakan Umum;
2. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
3. Organisasi dan manajemen perkreditan;
4. Kebijakan persetujuan kredit;
5. Dokumentasi dan administrasi kredit;
6. Pengawasan kredit;
7. Penyelesaian kredit bermasalah.
Bank di dalam setiap kegiatan pemberian kredit yang ditawarkannya harus terlebih
dahulu melakukan penilaian kredit, yang berlaku juga bagi setiap pemberian Kredit Pemilikan
Rumah (KPR), dimana risiko-risiko yang mungkin dihadapi oleh bank cenderung lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pemberian kredit lainnya. Bank harus menerapkan prinsip
perkreditan yang disebut juga dengan prinsip “5C”, uraiannya adalah sebagai berikut:1
a) Character, yaitu penilaian kepada calon nasabah debitur mengenai kemampuan untuk
memenuhi kewajibannya. Bank wajib mengetahui apakah calon nasabah debiturnya
1 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005),
hal 64.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
memiliki watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang positif serta memiliki rasa tanggung
jawab.
b) Capacity, yaitu penilaian kepada calon debitur terhadap kemampuan untuk melunasi
kewajibannya dari kegiatan usaha yang dilakukannya atau kegiatan usaha yang akan
dilakukannya yang akan dibiayai dengan kredit dari Bank.
c) Capital, yaitu jumlah dana atau modal yang dimiliki oleh calon nasabah debitur atau
pemohon kredit.
d) Collateral, yaitu barang-barang jaminan yang diserahkan oleh nasabah debitur kepada
kreditur atas jaminan kredit yang diterimanya.
e) Condition of Economy. Secara umum, setiap Bank perlu memperhatikan kondisi
ekonomi dan kondisi sektor usaha pemohon kredit dalam rangka pemberian kredit untuk
memperkecil risiko yang mungkin terjadi akibat pengaruh dari kondisi perekonomian
suatu negara atau daerah.
Secara umum, risiko dapat diartikan sebagai suatu bahaya, ancaman, atau
kemungkinan terjadinya berbagai tingkat profitability yang memburuk bahkan dapat
menimbulkan kerugian suatu bank. Pertumbuhan industri perbankan yang semakin luas dan
dalam inilah yang menciptakan peluang bagi terjadinya risiko dalam skala yang lebih tinggi.
Seluruh aktivitas bank, produk, dan layanan bank hampir selalu berkaitan dengan uang, yang
menyebabkam bank akan selalu memiliki risiko yang melekat (inherent).
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 sebagaimana
telah diubah dengan PBI Nomor 11/25/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum, telah menunjukkan bahwa proses penerapan manajemen risiko telah menjadi aspek
utama dan wajib diterapkan di setiap bank di Indonesia. Terdapat 8 jenis risko sebagaimana
yang telah diatur dalam PBI tersebut, diantaranya yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko
operasional, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko stratejik, serta risiko
kepatuhan. Namun penulis terfokus terhadap lima risiko yang memiliki kaitan erat dengan
proses pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR), diantaranya sebagai berikut:
a. Risiko Kredit (credit risk), merupakan risiko kerugian bagi suatu bank karena nasabah
debitur tidak melunasi kembali pokok pinjaman serta bunga. Bank harus melakukan
analisis kredit (Credit Appraisal Techniques). Analisis kredit bertujuan untuk
memastikan bahwa unit usaha yang dibiayainya tersebut mampu untuk melunasi kembali
pinjaman yang telah diberikan oleh Bank ditambah dengan pelunasan bunga.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
b. Risiko Pasar, merupakan kerugian yang diderita oleh suatu bank pada posisi on-balanced
sheet dan off-balanced sheet bank akibat terjadinya market price atas aset bank, interest
rate, market volatility, dan market liquidity.2 Risiko ini muncul akibat adanya pergerakan
harga pasar ke arah yang merugikan yang dilihat dari hasil perdagangan portofolio
selama periode tertentu setelah dilakukan transaksi.
c. Risiko Operasional merupakan risiko yang timbul akibat adanya kegagalan pihak internal
bank dalam melaksanakan atau menerapkan prosedur dalam suatu kegiatan perbankan.
Kegiatan yang termasuk dalam risiko ini adalah adanya kecurangan, ketidakjujuran,
kegagalan manajemen, sistem pengendalian yang tidak memadai, maupun prosedur
operasional yang tidak tepat. Risiko ini dapat menimbulkan terjadinya risiko pasar dan
risiko kredit.
d. Risiko Likuiditas, yaitu risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban
yang telah jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas atau asset likuid berkualitas
tinggi yang dapat diagunkan, tanpa menggangu aktivitas dan kondisi keuangan Bank.3
Pengaturan tentang risiko likuiditas ini juga diatur dalam Undang-Undang Perbankan
dalam Pasal 37, yaitu terkait dengan tindakan yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia
apabila suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.
e. Risiko Hukum, merupakan risiko yang berasal dari adanya ketidakpastian dalam
menginterpretasikan suatu kontrak, hukum, atau peraturan.4 Hal ini juga berhubungan
dengan kemungkinan timbulnya suatu upaya hukum yang dilakukan oleh pihak tertentu
kepada perusahaan yang dapat mengancam kesehatan, bahkan kelangsungan perusahaan
itu sendiri.5 Risiko ini perlu diwaspadai agar terhindar dari efek kerugian (Potential Loss)
suatu bank.
Pada dasarnya, kewajiban setiap bank untuk menerapkan manajemen risiko
sebagaimana yang telah ditetapkan PBI Manajemen Risiko bertujuan untuk meningkatan
kehati-hatian, terutama dalam setiap aktivitas pemberian kredit konsumsi. Maka dari itu, Bank
Indonesia melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan Penerapan manajemen risiko dalam
2 Masyhud Ali, Manajemen Risiko: Strategi Perbankan dan Dunia Usaha Menghadapi Tantangan
Globalisasi Bisnis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal 130. 3 Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No.
11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, LN. No. 103 DPNP Tahun 2009, TLN
No. 5029, Ps. 1 angka 8. 4 Ferry N. Idroes dan Sugiarto, Manajemen Risiko Perbankan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hal
140.
5 Bramantyo Djohanputro, Manajemen Risiko Korporat, (Jakarta: PPM, 2008), hal 168.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
pemberian KPR, yang semula diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/10/DPNP 15
Maret 2012, kemudian dicabut dan diganti dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.
15/40/DKMP 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang
Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit, atau Pembiayaan
Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
Metode Penelitian
Ditinjau dari tujuannya, bentuk penelitian hukum yang penulis gunakan adalah metode
penelitian yuridis-normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pada metode ini
menggunakan pendekatan deskriptif, yang menjelaskan secara rinci mengenai apa yang ingin
dipaparkan dengan memberikan analisis terhadap permasalahan yang ditemukan, serta
didukung dengan wawancara dari narasumber guna untuk mendukung penelitian.6
Wawancara akan dilakukan dengan narasumber dari praktisi perbankan dari Bank Umum,
yaitu Bank X yang sama-sama menerapkan Manajemen Risiko terhadap pemberian Kredit
Pemilikan Rumah.
Dalam penelitian ini, bahan hukum yang penulis gunakan adalah data sekunder yang
mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Uraian
lebih rinci adalah sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan penerapan manajemen risiko kredit pada Bank Umum dalam proses pemberian
Kredit Pemilikan Rumah (KPR), seperti UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, PBI No 5/8/2003 sebagaimana telah
diubah dengan PBI No. 11/25/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum, SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 tentang Penerapan
Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan
Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit
atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, dan SE BI No. 14/10/DPNP 15 Maret 2012
6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Cet. 7
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 13.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
Perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit
Pemilikan Rumah dan Kredit Kendataan Bermotor;
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan informasi
yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer serta implementasinya, seperti buku
teks, artikel, laporan penelitian yang berhubungan permasalahan yang diteliti, maupun
internet.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap sumber hukum
primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, dan ensiklopedia.7
Hasil Penelitian
Penerapan Manajemen Risiko dalam pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang
berlaku di Indonesia didasari pada PBI No. 5/8/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI
No. 11/25/2009 tentang Manajemen Risiko bagi Bank Umum, yakni mencakup:
a. Pengawasan aktif dari dewan Komisaris dan Direksi;
b. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, serta
sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Bank X senantiasa melakukan berbagai insiatif strategis yang berkaitan dengan
pelaksanaan manajemen risiko agar dapat diimplementasikan dalam setiap kegiatan usaha
hariannya secara baik dan maksimal. Salah satu target dari Bank X dalam penerapan
manajemen risiko berdasarkan Laporan Tahunan Bank X tahun 2013, yaitu ingin lebih fokus
tidak hanya kepada pengembangan dan simulasi pengukuran risiko dan permodalan, tetapi
juga difokuskan kepada pengembangan budaya dasar risiko pada segenap jajaran di Bank X
serta terhadap fungsi pengawasan yang bersifat preventif dalam rangka meminimalisir
timbulnya risiko.8 Bentuk implementasi yang dimaksud adalah dengan melakukan Penilaian
Profil Risiko serta melakukan penilaian sendiri (self-assessment). Berikut ini adalah berbagai
7 Ibid., hal. 30-31.
8 Transformasi yang didukung dengan Implementasi Tata Kelola yang Baik dalam Pencapaian Bisnis
Berkualitas, (Laporan Tahunan Bank X Tahun 2013), Op.Cit., 271.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
bentuk pengelolaan Risiko Inheren yang dilakukan oleh Bank X terhadap masing-masing
risiko:9
a) Risiko Kredit, antara lain dengan secara teratur meninjau dan memperbarui Pedoman
Kebijakan Manajemen Risiko Bank X (PD No. 07/PD/RMD/2013 tanggal 27
November 2013) serta Pedoman Kebijakan Kredit dan Pembiayaan sebagai proses
penilaian risiko. Kemudian Bank X juga memantau eksposur risiko kredit sejak
proses pemberian kredit sampai dengan jatuh tempo, seperti memastikan kepatuhan
dengan persyaratan kredit, kecukupan agunan, dan penanganan kredit bermasalah.
b) Risiko Likuiditas, yang mencakup Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
adanya Kebijakan, Prosedur dan Penetapan Limit (mencakup Risk Appetite dan Risk
Tolerance); Proses Manajemen Risiko dan Sistem Informasi Manajemen Risiko
untuk Risiko Likuiditas; serta Sistem Pengendalian Intern.
c) Risiko Pasar, dengan menggunakan perhitungan Standard Method yang dihubungkan
untuk menghitung Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) untuk risiko
pasar. Kemudian dilakukan juga stress testing untuk mengukur sejauh mana Bank X
dapat bertahan menghadapi pengaruh perubahan kondisi eksternal, khususnya pada
perubahan suku bunga pasar.
d) Risiko Operasional, dengan melakukan langkah antisipasi seperti menghitung
pencadangan modal berdasarkan kebutuhan modal minimum (CAR) dengan
menerapkan metode Pendekatan Indikator Dasar (PID).10
Kemudian dilakukan juga
penilaian pengendalian internal pada setiap aktivitas Bank X, serta membuat
kebijakan dan prosedur yang harus dipatuhi oleh seluruh satuan kerja Bank.
e) Risiko Hukum, dengan cara mengevaluasi efektivitas implementasi dari setiap
regulasi kebijakan, prosedur, serta kepatuhan yang dibuat secara berkala. Berdasar
pada penelitian ini, regulasi yang dimaksud adalah regulasi hukum dalam pemberian
KPR.
Secara singkat, keseluruhan tahap penerapan manajemen risiko kredit dilakukan
sebagai upaya untuk mendeteksi segala potensi risiko yang dimungkinkan muncul
dikemudian hari yang akan mempengaruhi usaha perbankan dan permodalan bank tersebut.
9 Transformasi yang didukung dengan Implementasi Tata Kelola yang Baik dalam Pencapaian Bisnis
Berkualitas, (Laporan Tahunan Bank X Tahun 2013), Op.Cit., hal 275-279. 10
Lihat Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/3/DPNP tanggal 27 Januari 2009 perihal Perhitungan Aset
Tertimbang Meurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Operasional dengan Menggunakan Pendekatan Indikator
Dasar (PID), Romawi I huruf E.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
Berikut adalah penjelasan terperinci mengenai penerapan manajemen risiko dalam proses
pemberian KPR di Bank X:11
1) Pemeriksaan kebenaran dan kelengkapan informasi tentang calon debitur saat
mengajukan permohonan kredit
Setidaknya, Calon debitur atau pemohon adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan
berdomisili di Indonesia. Bagi calon nasabah KPR FLPP harus belum pernah memiliki
rumah dan belum pernah menerima subsisdi pemerintah. Pemohon juga harus
memiliki transaksi yang lancar selama tiga bulan terakhir sampai dengan tanggal
verifikasi, serta tidak terdaftar dalam daftar negatif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia
(AKKI). Permohonan kredit oleh pemohon harus memuat informasi yang lengkap dan
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank X,
termasuk riwayat perkreditannya di bank lain. Disinilah Bank X harus memastikan
kebenaran seluruh data dan informasi yang disampaikan dalam permohonan kredit.
kemudian pemohon wajib melampirkan beberapa data penting kepada Bank, sepertgi
identitas pemohon, slip gaji terakhir, fotocopy NPWP, dan lain sebagainya.
2) Verifikasi On The Spot
Jika berkas pengajuan kredit telah lolos pada kriteria kelayakan, maka akan
dilanjutkan oleh bagian Account Officer, yang akan melakukan pengecekan tentang
keberadaan dan kebenaran syarat informasi di lapangan. Berkas tersebut kemudian
akan diserahkan kepada Kepala Unit untuk dilakukan pengecekan kembali atau dual
control. Dalam hal ini Kepala Unit berfungsi untuk melakukan pengawasan langsung
terhadap kinerja Account Officer.
3) Pencairan dana dan pelunasan kredit
a. Pencairan dana
Dana pinjaman akan dicairkan ke rekening debitur, sedangkan KPR akan langsung
di transfer ke rekening pengembang (developer) sesuai dengan perjanjian kerja
sama dengan developer. Pada dasarnya, dana harus dicairkan secara seluruhnya
oleh Bank X, dengan catatan apabila fasilitas KPR diberikan bagi properti atau
rumah yang sifatnya siap huni atau siap pakai. Namun Bank X juga dapat
11
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Adi Santosa (Branch Risk Officer Bank X Cabang
Margonda) yang diadakan pada Selasa, 16 Desember 2014, Pukul 14:00 sampai 14:45 WIB di Ruang Rapat
Bank X Lt. 3, Jl. Margonda Raya 186, Depok.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
mencairkan dana secara bertahap, apabila debitur ingin menggunakan fasilitas
produk KPR X Platinum maupun Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) terhadap
pembelian rumah atau apartemen yang belum jadi (indent), atau apabila developer
ingin menggunakan fasilitas Kredit Konstruksi terhadap unit-unit rumah yang
sifatnya adalah siap bangun. Hal ini dikuatkan pada ketentuan dalam SE BI No.
15/40/DKMP12
.
b. Pelunasan Kredit
Pelunasan dilakukan oleh nasabah debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditentukan. Setiap nasabah debitur yang menggunakan fasilitas KPR dari Bank X
wajib membuka rekening atau memiliki rekening di Bank X. Angsuran disetor
setiap bulannya pada tanggal yang telah ditetapkan dengan turut
mempertimbangkan perkembangan pembangunan propertinya. Bentuk pelunasan
pembayarannya bisa secara penuh ataupun sebagian secara bertahap, dengan wajib
menyertakan dokumen konfirmasi dari debitur.
4) Penagihan
Pada dasarnya, proses penagihan ini dilakukan oleh Bank X kepada nasabah
debiturnya dengan mula-mula mengklasifikasikan umur tunggakan dari suatu produk
yang digunakan oleh nasabah debitur, dalam hal ini yaitu produk Kredit Pemilikan
Rumah. Klasifikasi ini didasarkan pada jumlah hari yang melampaui tanggal jatuh
tempo pembayaran, disebut juga dengan Days Past Due (DPD). Berikut ini adalah
pemaparan kolektibilitas kredit setelah tanggal jatuh tempo pembayaran:
Days Past Due (DPD) Kolektibilitas
0 hari Lancar
1 – 90 hari Dalam perhatian khusus
91 – 120 hari Kurang lancar
121 – 180 hari Diragukan
> 180 hari Macet
5) Pemantauan Kredit
12
Indonesia, SE BI No. 15/40/DKMP 24 September 2013, Bagian F angka 3 huruf d.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
Proses pemantauan kredit (Monitoring) yang dilakukan oleh Bank X ini bertujuan
untuk mengendalikan seluruh faktor-faktor risiko (risk factors) yang bersifat material,
agar tidak terjadi adanya kredit bermasalah. Pada tahap ini, manajemen risiko yang
dilakukan hanya sebatas upaya pengukuran dan pengawasan kredit saja.
6) Identifikasi Potensi terjadinya Risiko Kredit
Kredit bermasalah dapat terjadi bisa dikarenakan adanya dua faktor, baik dari faktor
pihak intern maupun pihak ekstern. Faktor-faktor yang berasal dari pihak intern dapat
terjadi karena adanya persetujuan pemberian kredit yang terlalu tinggi pada suatu
bank, sehingga menyebabkan tingkat Non Performance Loan (NPL) meninggi.
Kemudian faktor dari pihak ekstern yaitu adanya debitur yang gagal bayar dalam
pelunasan kredit.
7) Penggolongan kredit bermasalah
Penggolongan yang dimaksud bertujuan untuk memudahkan bank dalam menentukan
kebijakan atau ketentuan yang perlu diterapkan kepada masing-masing nasabah
debiturnya sesuai dengan klasifikasi kredit. Pemberian surat peringatan merupakan
salah satu upaya efektif yang dilakukan oleh Bank X untuk mengingatkan nasabah
debitur Bank X akan tunggakannya yang telah terlambat.
8) Penyelesaian Kredit Bermasalah
Dalam menangani kredit bermasalah, bank dalam hal ini membuat suatu kebijakan
dalam rangka meminimalkan risiko kredit. Proses penanganan debitur ini hanya
berlaku bagi nasabah debitur yang terbukti mendapatkan kesulitan pembayaran atas
pelunasan, baik pelunasan pokok, bunga, maupun denda namun masih memiliki
kesanggupan untuk membayarnya dimasa mendatang. Berdasarkan Pasal 1 ayat (26)
PBI No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank jo. Bagian IX SE BI
No. 15/28/DPNP perihal Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, upaya penyelamatan
kredit bermasalah dilakukan dengan cara restrukturisasi kredit.
Sebagai tambahan mendasar, Bank dilarang atau dibatasi untuk melakukan transaksi-
transaksi tertentu pada pihak asing, termasuk pada pemberian penyaluran kredit dalam rupiah
dan/atau valuta asing kepada pihak asing. Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 2 Jo.
Pasal 3 huruf a Peraturan Bank Indonesia No. 7/14/2005 sebagaimana telah diubah dengan
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
PBI No. 16/9/2014 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing
oleh Bank. Namun, terdapat beberapa pengecualian terhadap pengaturan tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Huruf c pada PBI Pembatasan Transaksi Rupiah
oleh Bank, dimana salah satu diantaranya adalah pengecualian terhadap pemberian kredit
konsumsi yang digunakan di dalam negeri baik dengan cara membeli, menyewa, atau dengan
cara lain, termasuk di dalamnya KPR. Ketentuan pemilikan rumah dan cara perolehan hak
atas tanah bagi orang asing dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:13
a. Membeli atau membangun rumah di atas tanah dengan Hak Pakai atas tanah Negara atau
Hak Pakai atas tanah Hak milik;
b. Membeli satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara;
c. Membeli atau membangun rumah diatas tanah Hak Milik atau Hak Sewa Untuk
Bangunan atas dasar perjanjian tertulis dengan pemilik hak atas tanah yang bersangkutan.
Namun perlu diingat bahwa ketiga cara di atas hanya dapat dilakukan terhadap rumah
atau satuan rumah susun yang tidak termasuk klasifikasi rumah sederhana atau rumah sangat
sederhana, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing.
Secara keseluruhan, Bank X tidak mengalami dampak negatif dari pengetatan
kebijakan LTV, namun hal tersebut jelas berpengaruh terhadap tingkat konsumen rumah yang
cenderung menurun secara nasional, terutama untuk rumah kedua dan rumah ketiga karena
uang muka yang semakin mahal. Namun Bank X menyadari bahwa dampak dari adanya
penerapan LTV yang baru ini salah satunya adalah uang muka konsumen yang menjadi lebih
mahal, terutama dalam pembelian properti tipe besar dan komersial. Tidak hanya itu,
ketentuan tersebut juga berdampak dari sisi pengembang, dimana sebagian dari mereka
cenderung beralih ke pembangunan perumahan dengan tipe properti menengah kecil.
Pembahasan
Kredit Pemilikan Rumah merupakan suatu kredit konsumsi untuk kepemilikan rumah
tinggal berupa rumah tapak (tidak termasuk rumah susun, rumah toko, ataupun rumah kantor)
dengan agunan berupa rumah tinggal yang diberikan bank kepada nasabah debitur perorangan
13
Indonesia, Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing, Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996, Ps 2.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
dengan jumlah maksimum pinjaman yang telah ditentukan berdasarkan nilai agunan.14
Dalam
setiap pemberian KPR kepada pada debitur, bank juga perlu memerhatikan segala risiko yang
mungkin timbul akibat dari pemberian tersebut, baik apakah itu meliputi risiko kredit, risiko
pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, maupun risiko hukum. Maka dari itu, setiap bank
wajib untuk menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam setiap kegiatan usahanya.
Dalam rangka meningkatkan kehati-hatian bagi Bank di Indonesia yang melakukan
aktivitas pemberian Kredit Pemilikan Rumah, serta demi menjaga kesinambungan sektor
properti yang sehat, diperlukan suatu kebijakan yang bersifat counter cyclical15
sehingga
tingkat pertumbuhan sektor properti dalam jangka panjang akan minim dari segala peristiwa
yang tidak diharapkan. Pertumbuhan kredit yang tinggi dapat dikontrol dengan suku bunga,
namun penggunaan pada instrumen dalam kredit pemilikan rumah ini dapat berimbas ke
sektor lain yang tidak dikehendaki. Maka dari itu, kebijakan Loan to Value (LTV) menjadi
alternatif kebijakan untuk mengatur segmen KPR.16
Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah
kebijakan makroprudensial untuk kredit perumahan dengan mengeluarkan Surat Edaran Bank
Indonesia No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.
Surat Edaran Bank Indonesia tersebut hadir dan berlaku sebagai peraturan pelaksana dari
Peraturan Bank Indonesia No. 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi
Bank Umum. Namun Surat Edaran BI No. 14/10/DPNP yang baru diimplementasikan sejak
15 Juni 2012 lalu memiliki beberapa kompleksitas permasalahan sehingga peraturan tersebut
dicabut dan selanjutnya Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No.
15/40/DKMP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian
Kredit Pemilikan Properti dan Kredit Kendaraan Bermotor tanggal 24 September 2013.
Secara singkat, ketentuan LTV yang diatur pada SE BI No. 14/10/DPNP ini lebih
dikenal dengan penetapan besaran Loan to Value (LTV), dimana mengatur mengenai angka
14
Ady Imam Taufik, Agar KPR Langsung Disetujui Bank: Bagaimana Caranya?, (Jakarta:Media
Pressindo, 2011), hal 61.
15
Pengertian istilah Counter Cyclical adalah melakukan pengetatan regulasi dalam kondisi
pertumbuhan kredit yang tinggi untuk menjaga agar perekonomian tetap produkti dan mampu menghadapi
tantang sektor keuangan di masa yang akan datang. (Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Laporan
Pengawasan Perbankan 2012, (Jakarta: Bank Indonesia, 2012), hal 30.
16
Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan Grup Stabilitas Sistem Keuangan, Kajian Stabilitas
Keuangan: No. 19, September 2012, (Jakarta: Bank Indonesia, 2012). hal 57.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
rasio nilai kredit yang dapat diberikan oleh suatu bank terhadap besarnya nilai agunan pada
saat awal pemberian kredit dengan penetapan besaran LTV maksimum sebesar 70% (tujuh
puluh persen), baik untuk pembiayaan pertama maupun berikutnya. Debitur harus
menyisihkan dana pribadinya sebesar 30% (tiga puluh persen) dari harga rumah sebagai uang
muka. Objek atau ruang lingkup KPR yang dimaksud meliputi kredit konsumsi kepemilikan
rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen namun tidak termasuk rumah kantor
atau rumah toko, dengan tipe bangunan lebih dari 70m2
(tujuh puluh meter persegi) dan
diberikan kepada debitur perorangan.
Penyempurnaan kebijakan mengenai besaran Loan to Value yang telah ditempuh oleh
Bank Indonesia serta koordinasi dengan Pemerintah pada tahun 2013 lalu merupakan salah
satu kebijakan makroprudensial yang dilakukan dalam rangka untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan. Setidaknya terdapat beberapa ketentuan baru yang telah ditetapkan oleh Bank
Indonesia yang dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:17
Tabel 1. Perbedaan Ketentuan LTV Lama dan Baru
No. Keterangan Ketentuan LTV Lama
(SE BI 14/10/DPNP dan
SE BI 14/33/DPbS)
Ketentuan LTV Baru
(SE BI No. 15/40/DKMP)
1. Ruang lingkup
ketentuan
Rumah tinggal dan
rumah susun (tidak
termasuk rumah kantor
dan rumah toko) dengan
tipe bangunan > 70m2
Rumah tapak, rumah susun, rumah
toko dan rumah kantor yang dibagi
berdasarkan luas ketentuan
maksimum LTV
2. Kredit untuk
pembelian
beberapa properti
di saat yang sama
Belum diatur Bank wajib menetapkan urutan
fasilita kredit atau pembiayaan
berdasarkan urutan nilai agunan
dimulai dari nilai agunan yang
paling rendah
3. Debitur atas nama
suami istri
Belum diatur Suami dan istri dianggap sebagai
satu debitur yang dibuktikan
berdasarkan Kartu Keluarga. Bila
17
BI Provinsi Sulawesi Tengah, Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sulawesi Tengah Triwulan III –
2013: Boks 2. Sosialisasi Kebijakan Loan to Value Jilid II, (Sulawesi Tengah: Tim Ekonomi Moneter KPw BI
Provinsi Sulawesi Tengah, 2013), hal 2-3.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
suami masih memiliki KPR yang
outstanding, maka KPR baru atas
nama istri akan dianggap sebagai
KPR kedua. Hal ini dikecualikan
apabila mereka memiliki perjanjian
pemisahan harta
4. Pemberian kredit
untuk uang muka
pembelian
properti
Belum secara tegas diatur Bank dilarang memberikan fasilitas
kredit atau pembiayaan untuk
pemenuhan uang muka pembelian
properti atau kendaraan bermotor
5. Pemberian
fasilitas kredit/
pembiayaan dari
fasilitas kredit/
pembiayaan yang
masih berjalan
Belum diatur - Pemberian fasilitas kredit/
pembiayaan tersebut diperlakukan
sebagai pemberian kredit/
pembiayaan baru
- Perhitungan LTV diperlakukan
sebagai urutan fasilitas kredit /
pembiayaan berikutnya
- Jumlah fasilitas kredit tambahan
atau pembiayaan baru paling
banyak sebesar selisih antara
perhitungan LTV berdasarkan nilai
propeti yang menjadi agunan
dengan baki debet dari fasilitas
kredit sebelumnya yang
menggunakan agunan yang sama
6. Pemberian
keterangan
fasilitas kredit/
pembiayaan dari
calon debitur
Belum diatur Calon debitur membuat surat
pernyataan yang memuat keterangan
mengenai fasilitas
kredit/pembiayaan kepemilikan
properti yang sudah diterima
maupun yang sedang dalam proses
pengajuan permohonan baik di Bank
yang sama maupun di Bank lainnya
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
7. Pengaturan
kredit/
pembiayaan
Berbasis Inden
Belum diatur Bank hanya dapat memberikan
fasilitas kredit/pembiayaan jika
properti yang diagunkan telah
tersedia secara utuh, yaitu telah
terlihat wujud fisiknya sesuai
dengan yang diperjanjikan dan siap
di serahterimakan. Namun terdapat
beberapa pengecualian atas
ketentuan ini.
Parameter Rasio LTV untuk kredit/pembiayaan pemilikan properti dan
kredit/pembiayaan konsumsi beragun properti yang diatur dalam kebijakan ini berbeda
dengan kebijakan sebelumnya, dimana penghitungan LTV di Indonesia kini bersifat progresif.
Artinya, fasilitas kredit pertama yang diberikan oleh bank lebih besar daripada pemberian
fasilitas kredit kedua, berlaku seterusnya secara menurun untuk pemberian kredit berikutnya.
Parameter berikutnya terletak pada luas bangunannya. Untuk rumah tapak18
, pengenaan LTV
nya dipisahkan berdasarkan pada tipe rumah dengan luas antara 22-70m2
dan tipe rumah
dengan luas lebih dari 70m2. Lain hal dengan pengaturan untuk rumah susun
19, pengenaan
LTV dipisahkan berdasarkan tipe rumah susun dengan luas sampai dengan 21m2, KPRS tipe
rumah susun dengan luas antara 22-70m2, dan KPRS tipe rumah susun dengan luas lebih dari
70m2. Secara singkat, berikut adalah tabel penghitungan agunan LTV maksimum berdasarkan
pada tipe kredit rumah yang berlaku bagi bank umum konvensional:
Tabel 2. Tipe Kredit atau Agunan LTV Maksimum
Kredit/Pembiayaan dan Tipe
Agunan
LTV Maksimum
I II III
KPR Tipe > 70 70% 60% 50%
18
Definisi rumah tapak berdasarkan ketentuan SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013
adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dam bangunan
dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau
pejabat yang berwenang.
19
Definisi rumah susun berdasarkan ketentuan SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013
adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian
yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertical dan merupakan satuan-satuan
yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, antara lain griya tawang, kondominium,
apartemen, dan flat.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
KPRS Tipe > 70 70% 60% 50%
KPR Tipe 22-70 - 70% 60%
KPRS Tipe 22-70 80% 70% 60%
KPRS Tipe s.d. 21 - 70% 60%
KPRuko/KPRukan - 70% 60%
Kesimpulan
Penerapan Manajemen Risiko dalam pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang
berlaku di Indonesia didasari pada PBI No. 5/8/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI
No. 11/25/2009 tentang Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Kemudian Bank Indonesia
mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/10/DPNP, sebagaimana telah dicabut dan
diganti dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP 24 September 2013 perihal
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan
Properti dan Kredit Kendaraan Bermotor, sebagai aturan pelaksana dari PBI Manajemen
Risiko bagi bank Umum. Ketentuan yang ada dalam SE BI 15/40/DKMP telah diatur lebih
rinci dan lebih tegas mengenai batas LTV maksimum yang dapat diberikan oleh bank kepada
setiap calon nasabah debiturnya, mulai dari fasilitas kredit bagi rumah pertama, kedua, dan
ketiga, dengan luas bangunan yang berbeda-beda sebagaimana yang telah ditentukan.
Pengaturan LTV yang diatur dalam SE BI 15/40/DKMP tidak berlaku bagi nasabah yang
menggunakan fasilitas KPR yang diselenggarakan oleh Pemerintah, seperti Fasilitas
Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Pada kesimpulannya dapat dikatakan bahwa
penerapan manajemen risiko dalam pemberian KPR telah cukup difasilitasi dengan peraturan
yang memadai.
Penerapan Manajemen Risiko dalam pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
dalam praktiknya di Bank X sehubungan dengan pengetatan kebijakan Loan to Value (LTV)
diterapkan pada setiap tahap dalam pemberian KPR, mulai dari proses pengajuan kredit
hingga setelah kredit disetujui. Namun penetapan LTV nya tidak sepenuhnya berpedoman
pada SE BI 15/40/DKMP, dimana penetapan LTV oleh Bank X didasarkan juga pada plafon
kredit dan zona lokasi. Kemudian pencairan dana umumnya dilakukan secara keseluruhan
terhadap nasabah yang membeli rumah siap huni. Sementara itu, bagi nasabah yang membeli
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
rumah indent atau bagi pengembang yang menggunakan fasilitas Kredit Konstruksi pencairan
dananya harus secara bertahap berdasarkan dengan perkembangan pembangunan rumah
dalam rangka melakukan mitigasi risiko.
Pada dasarnya Bank dilarang memberikan kredit pada orang asing yang tinggal di
Indonesia, namun hal tersebut dikecualikan terhadap pemberian kredit konsumsi yang
digunakan di Indonesia (dalam hal ini KPR), sebagaimana diatur dalam PBI No. 7/14/2005
tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. Namun
status kepemilikan tanah yang dapat diperoleh adalah Hak Pakai atas tanah Negara atau Hak
Guna Bangunan bagi orang asing yang membeli rumah atas tanah Hak Milik. Kemudian
terdapat beberapa persyaratan wajib lainnya yang diperlukan calon debitur asing dalam
pengajuan KPR, seperti wajib memiliki KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas).
Saran
1. Kebijakan LTV yang diatur dalam SE BI 15/40/DKMP ini memang bertujuan untuk
menahan pertumbuhan laju KPR yang disalurkan oleh bank-bank di Indonesia. Namun
ada baiknya bahwa bagi setiap bank campuran di Indonesia yang memberikan fasilitas
Kredit Pemilikan Rumah pada orang asing untuk membuat pengaturan penerapan
manajemen risiko terkait hal tersebut dengan lebih terperinci dan ditujukan secara khusus
bagi orang asing, dengan tetap berpedoman pada SE BI 15/40/DKMP. Peminat pasar
properti di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, dimana konsumennya tidak hanya
berasal dari dalam negeri namun juga dari luar negeri. Hal ini dikarenakan penjualan
properti di Indonesia masih dianggap lebih murah dibandingkan dengan negara lain.
Maka dari itu, bank-bank campuran tertentu perlu mengatur hal tersebut mulai dari
persyaratan yang wajib dipenuhi oleh orang asing, penetapan LTV maksimal, serta
ketentuan-ketentuan lain yang memiliki eksposur risiko kredit yang besar dan perlu diatur
secara lebih tegas dan jelas.
2. Dengan adanya pengetatan kebijakan LTV, konsumen perumahan pada Bank X kini
hampir sebagian besar dikuasai oleh konsumen menengah kebawah melalui program
KPR FLPP. Bank X telah berperan aktif dalam program penyaluran subsidi perumahan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah tersebut. Maka dari itu, akan lebih baik jika Bank X
lebih fokus pada bisnis pembiayaan perumahan bersubsidi yang diperuntukkan bagi
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
masyarakat berpenghasilan rendah, karena kinerja Bank X. Hal ini dikarenakan
pengalaman serta kinerja dari Bank X dalam menjalankan bisnis perumahan di Indonesia
yang sangat baik jika dibandingkan dengan bank lainnya, serta tidak banyak perbankan di
Indonesia yang berminat untuk menangani KPR bersubsidi. Sumber pembiayaannya
dapat berasal dari dana dari pemerintah, dari lembaga keuangan, serta dana yang
diperoleh dari masyarakat melalui penerbitan obligasi dan produk sekuritas lainnya.
Daftar Referensi
Buku:
Ali, Masyhud. Manajemen Risiko: Strategi Perbankan dan Dunia Usaha Menghadapi
Tantangan Globalisasi Bisnis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan Grup Stabilitas Sistem Keuangan. Kajian
Stabilitas Keuangan No. 18, Maret 2012. Jakarta: Bank Indonesia, 2012.
________. Kajian Stabilitas Keuangan: No. 21, September 2013. Jakarta: Bank Indonesia,
2013.
________. Kajian Stabilitas Keuangan: No. 22, Maret 2014. Jakarta: Bank Indonesia, 2014.
Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005.
Idroes, Ferry N. Dan Sugiarto. Manajemen Risiko Perbankan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Peraturan Perundang-undangan:
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, PBI
No. 5/8/PBI/2003, LN No. 56 Tahun 2003.
________. Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan PBI No. 5/8/2003 tentang
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, PBI No. 11/25/PBI/2009, LN No. 103 Tahun
2009, TLN No. 5029.
________. Surat Edaran Bank Indonesia Perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank
yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit,
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015
atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan
Kendaraan Bermotor. SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013.
Penerapan manajemen..., Nindira Andaru, FH, 2015