Download - penegakan ham yang berkeadilan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran
manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami
dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak
diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Filsafat hukum adalah filsafat yang obyeknya hukum yang berusaha untuk
mencari hakikat dari hukum. Semua ilmu berawal dari filsafat, Semua ilmu berpijak
pada filsafat.1Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritis artinya
filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang
dapat dikatagorikan sebagai hukum Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan
pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum Secara kritis, filsafat
hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada,
melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya. Lebih jauh H. Muchsin, dalam
bukunya Ikhtisar Filsafat Hukum menjelaskan dengan cara membagi definisi filsafat
1 Achmad Roestandi, Pengantar Teori Hukum, Bandung, Fakultas Hukum Uninus, 1980, hal. 17
1
dengan hukum secara tersendiri, filsafat diartikan sebagai upaya berpikir secara
sungguh-sungguh untuk memahami segala sesuatu dan makna terdalam dari sesuatu
itu, kemudian hukum disimpulkan sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, berupa perintah dan larangan
yang keberadaanya ditegakkan dengan sanksi yang tegas dan nyata dari pihak yang
berwenang di sebuah negara.
Filsafat hukum mereleksi semua masalah fundamental yang berkaitan
dengan hukum, dan tidak hanya merefleksi hakikat dan metode dari ilmu hukum atau
ajaran metode. Lebih dari itu, filsafat hukum bersikap kritis terhadap pengaruh dari
filsafat ilmu modern pada teori hukum.2
Dalam pembahasan kali ini yaitu mengenai penegakan Hak Asasi Manusia
yang berkeadilan dalam perspektif Filsafat Hukum, bagaimana kita dapat berfikir
secara logis tentang kehidupan HAM yang ada dimuka bumi ini, dalam hal ini tentu
saja kita membicarakan mengenai sisi keadilannya, bagaimana komposisi keadilan itu
sendiri dalam kehidupan berfalsafah. Sesungguhnya pada dasarnya sebuah keadilan
didapatkan oleh manusia secara bebas dan itu merupakan haknya ketika mereka
sudah terbentuk seperti janin ketika berada dalam kandungan ibu. Pada zaman
sekarang ini semua orang mengenal sebutan “keadilan”, tetapi sayangnya mereke
mencederai nama keadilan itu sendiri dengan sikap mereka yang tidak memikirkan
orang lain, tetapi hanya memikirkan dirinya saja dan kelompoknya saja. Betapa
ironisnya ketika keadilan itu keluar dari jalan yang benar karena pikiran manusianya
2 Astim Riyanto, Fulsafat Hukum, Bandung, YAPEMDO, 2010, hal. 25
2
dalam berfalsafah yang telah menyimpang dari aturan-aturan atau kaidah-kadiah yang
ada.
Keadilan merupakan posisi yang teratas dalam moralitas bereaksi, kita harus
menggunakan sikap keadilan tanpa pandang bulu, tidak bertindak berdasarkan kasta
atau staus sosial yang ada, sebab pada dasarnya Indonesia mengandung azas “equality
before the law”. Filsafat hukum harus dapat menekan segala problematika hukum
yang ada di dalam negara ini maupun di dunia ini, tidak boleh adanya proses presure
of mind atau presure of react dalam menjalankan sikap hukum.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah HAM dan bagaimana perundangan-perundangan di Indonesia
mengaturnya ?
2. Apakah yang dimaksud dengan filsafat hukum ?
3. Bagaimana HAM yang masuk didalam teori keadilan ditinjau dari filsafat
hukum ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAK ASASI MANUSIA (HAM)
1. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Pada hakikatnya HAM
terdiri dari atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak
kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak
dasar ini hak asasi manusia lainnya sulit ditegakkan.
Hak asasi manusia dimaksud di Indonesia diatur melalui Undang-Undang
Dasar 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Batang tubuh
dimaksud, dapat diungkapkan beberapa pasal diantaranya: Pasal 5 ayat (1), 20 ayat
(1), 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 ayat (1) dan ayat (3), dan 34. Namun, hak asasi
manusia secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
Hak asasi manusia yang bertujuan untuk: (1) mengembangkan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuia dengan pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, dan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia; (2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.3 3 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hal.146-147
4
2. Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia mempunyai ruang lingkup yang luas dan mencakup
berbagai aspek kehidupan. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan hak miliknya;
2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi
di mana saja ia berada;
3) Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
4) Setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan
dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya;
5) Setiap orang berhak atas kemerdekan dan rahasia dalam hubungan
komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas
perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan Undang-Undang;
6) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa, dan
penghilangan nyawa;
7) Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan,
atau dibuang secara sewenang-wenang;
8) Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang
damai, aman dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan
5
sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
Dari pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia tersebut, dapat
diketahui dan dipahami bahwa di negara Republik Indonesia yang berdasar atas
hukum amat dihormati dan dijunjung tinggi hak asasi manusia.
3. Periode Hak Asasi Manusia (HAM) Di Indonesia
a. Materi HAM Dalam UUD 1945
Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM, terdapat pandangann yang
beragam. Setidaknya, terdapat tiga kelompok pandangan, yakni : pertama, mereka
yang berpandangan bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan HAM secara
komprehensif; kedua, mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 memberikan
jaminan atas HAM secara komprehensif; dan berpandangan bahwa UUD 1945 hanya
memberikan pokok jaminan atas HAM.4
Pandangan pertama didukung oleh Mahfud MD dan Bambang. Hal ini
didasarkan bahwa istilah HAM tidak ditemukan secara pribadi di dalam Pembukaan,
Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Menurut Sutiyoso, di dalam UUD 1945 hanya
ditemukan penjelasannya dengan tegas perkataan hak dan kewajiban wraga negara
dan hak DPR.5 Menurut mahfud, tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa UUD
1945 tersebut sebenarnya tidak banyak memberi pada HAM, bahkan UUD 1945 tidak 4 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945
Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta, Kencana, 2007, hal. 94-955 Bambang, Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta,
UII Press, 2002, hal. 89
6
berbicara apa pun tentang universal kecuali dalam dua hal, yaitu sila ke empat
Pancasila cetakkan atas “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan pasal
penendervasikan jaminan “Kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan
beribadah.
Hal yang sama ditegaskan Azhary, kalau ada yang beranggapan UUD 1945
tidak atau kurang menjamin HAM, itu adalah suatu anggapan yang keliru.
Selengkapnya ia mengatakan:
”apabila diperhatikan baik pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945,
ternyata cukup banyak memerhatikan hak-hak asasi. Berdasarkan itu, UUD 1945
mengakui hak asai Individu, tetapi tidak berarti sebagai kepentingan perseorangan
ataupun komunisme-fasisme yang mengutamakan masyarakatnya atau negaranya.
Dengan demikian kepentingan hak asasi individu diakui substansinya, namun dibatasi
jangan sampai melanggar hak individu lainnya ataupun hak asasi orang banyak
rakyat.”
Terdapat dua pandangan untuk melihat HAM dalam UUD 1945, yakni
sebagai berikut :
Pertama segi filosofis. Sesuai dengan asas demokrasi yang digariskan dalam
pola dasar pembangunan nasional, demokrasi yang ingin diketengahkan adalah
demokrasi berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang-bidang politik, sosial, dan
ekonomi, serta dalam penyelesaian masalah-masalah nasional berusaha sejauh
mungkin menempuh jalan permusyawaratan untuk mencapai mufakat. Pada
pokoknya, prinsip inilah yang dianut dalam UUD 1945 sebagai konstitusi yang
7
dijiwai oleh filsafat pancasila. Ini berarti bahwa di dalam UUD 1945 ada
dicantumkan kewajiban dasar di samping adanya hak-hak dasar. Kewajiban dasar
dimaksudkan secara garis besarnya yang tersurat adalah kewajiban menjunjung
hukum dan pemerintahan. Kedua, segi yuridis. Suatu pandangan mengatakan “waktu
UUD 1945 dirancang, maka kata pembukaannya menjamin demokrasi revolusioner.
Akibatnya pendirian ini yaitu hak dasar tidaklah diakui seluruhnya, melainkan satu
dua saja yang kira-kira sesuai dengan suasana politik dan sosial pada tahun 1945.
Yang dipengaruhi oleh peperangan antara negara fasisme melawan demokrasi.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
dalam UUD 1945 tidak ditemukan sebuah pengaturan yang tegas, akibatnya muncul
berbagai intrepretasi terhadap muatan kualitas muatan dan jaminan UUD 1945 atas
HAM. Akan tetapi, satu hal yang patut mendapat apresiasi positif adalah, bahwa
para pendiri Bangsa Indonesia telah berhasil memfomulasikan sebuah tatanan
kehidupan nasional berikut jaminan atas HAM.
b. Materi Muatan HAM Dalam Konstitusi RIS 1949
Penekanan dan jaminan Konstitusi RIS atas HAM, secara historis, sangat
dipengaruhi oleh keberadaan Universal Declaration of Human
Rights (UDHR/DUHAM) yang dirumuskan oleh PBB pada 10 desember 1948.
Dalam konteks negara bangsa, maka diseminasi HAM versi PBB pada waktu itu
sangat dirasakan memengaruhi konstitusi-kontitusi negara-negara di dunia, termasuk
konstitusi RIS 1949.
8
Meskipun tidak ditemukan kata Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi RIS,
namun ada tiga kalimat yang dipergunakan, yakni setiap/segala/sekalian orang/siapa
pun/tiada seorang pun, setiap warga negara, dan berbagai kata yang menunjukkan
adanya kewajiban asasi manusia, dan negara. Keseluruhan kata ini dapat ditafsirkan
kepada makna dan pengertian HAM yang sesungguhnya. Dengan kata lain, manusia
secara pribadi, kelompok, keluarga, dan sebagai warga negara benar-benar ditegaskan
sebagai mereka yang mendapatkan jaminan dalam Konstitusi RIS.
Hak-hak asasi manusia sebagai bagian dalam keluarga juga ditegaskan
dalam Konstitusi RIS, sebagaimana terdapat dalam pasal 37 yang berbunyi, “keluarga
berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara”. Keberadaan pasal ini
menunjukkan elemen keluarga sebagai unit terkecil dalam sebuah negara patut
memperoleh jaminan konstitusi.
Kemudian manusia sebagai warga negara juga memiliki hak-hak dasar yang
memperoleh jaminan dalam Konstitusi RIS. Menariknya, status manusia sebagai
warga negara tidaklah menghilangkan statusnya sebagai seorang pribadi/individu dan
keluarga. Keempat, kewajiban asasi manusia dan negara. Sebagaimana dipahami
bahwa hak sangat terkait dengan kebebasan dan kewajiban, maka sebagai pribadi,
manusia memiliki kewajiban, begitu pula halnya negara. Penegasan ini tercantum
dalam pasal 23 yang berbunyi,”setiap warga negara berhak dan berkewajiban turut
serta dan sungguh-sungguh dalam pertahanan kebangsaan”. Pasal 31 juga
menyatakan secara eksplisit, yaitu “setiap orang yang ada di daerah negara harus
9
aptuh kepada UU, termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis, dan kepada
penguasa-penguasa yang sah dan yang bertindak sah”.
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dikatakan bahwa HAM dalam
Konstitusi RIS menempati posisi penting yang menunjukkan terdapatnya sebuah
jaminan dan perlindungan yang ideal. Meski Konstitusi RIS terbilang “sementara”,
namun kenyataannya muatan-muatan hak asasi mendapatkan jaminan konstitusional.
Jaminan atas hak-hak asai tersebut semakin dikuatkan dengan terdapatnya kewajiban
asasi yang harus dilaksanakan oleh penguasa/pemerintah.
c. Materi Muatan HAM Dalam UUDS 1950
Secara anatomik, UUDS 1950 terdiri atas 6 Bab dan 146 Pasal.
Sebagaimana ditegaskan diatas bahwa materi muatan UUDS 1950 adalah perubahan
atas Konstitusi RIS 1949, maka perihal HAM juga disamping memiliki kesamaan
secara umum, terdapat juga perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Seiring dengan perubahan bentuk negara dari Serikat ke bentuk negara
kesatuan Republik Indonesia, berubah pula konstitusinya. Melalui UU No. 7 Tahun
1950 ditetapkan perubahan konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat menjadi
UUDS Republik Indonesia. Karena UUD ini asalnya dari konsntitusi RIS, maka tidak
ada perubahan substansi yang mencolok di dalamnya, kecuali dalam hal bentuk
negara dan beberapa pasal yang menyesuaikan dengan perubahan struktur negara.
Dalam hal perlindungan HAM, UUDS 1950 juga tidak terlalu berbeda dengan apa
yang diatur dalam konstitusi RIS.
10
Menurut catatan Soepomo, setidaknya terdapat beberapa perbedaan
mendasar Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasannya tentang
HAM. Pertama, hak dasar mengenai kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran
meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinannya, dan sebagainya sebagaimana
tertuang pada pasal 18 Konstitusi RIS, oleh pasal 18 UUDS 1950, pernyataan
meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan tidak ditegaskan lagi.
Kemudian yang kedua didalam Pasal 21 UUDS 1950 diatur perihal hak
berdemonstrasi dan hak mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada Konstitusi RIS,
dan ketiga dasar perekonomian sebagaimana dimuat pada pasal 33 UUD 1945,
diadopsi kedalam pasal 38 UUDS 1950. Dalam pada itu, Pasal 37 ayat (3) melarang
organisasi –oirganisasi yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan
perekonomian nasional.
Pencatuman hak-hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga, warga negara,
dan kewajiban asasi, baik pribadi, warga negara maupun negara dalam UUDS 1950,
dinilai sangat sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas
Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru
dalam jaminanan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB
tahun 1948 dan Konstitusi RIS 1949.
d. Materi Muatan HAM Pasca Kembali Ke UUD 1945
Materi muatan HAM dalam UUD 1945 tidak mengalami perubahan apapun .
Meskipun diakui materi muatan HAM dalam UUD 1945 sangat sumir, namun
11
kehendak Dekrit mengakibatkan bahwa secara serta merta apa yang tertuang dalam
UUD 1945 pada saat pertama kali berlaku sejak Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi
sepenuhnya berlaku kembali seajak 5 Juli 1959. Todung Mulya Lubis dengan tegas
mengatakan bahwa kembali berlaku UUD 1945 itu berarti bahwa jaminan konstitusi
atas HAM menjadi tidak sempurna dan tidak tegas.
Sejak UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959Kemudian Dekrit Presiden berserta lampiranya berupa UUD 1945
diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia No.75 tahn 1995. Tindakan
mendekritkan kembali ke UUD 1945 , pada sementara kalangan mempertanyakan
keabsahan dari segi hukumnya. Menurut kedua pendapat Mahkamah Agung dalam
suatu acara khas dengan ketua Dewan Redaksi Suluh Indonesia pada 11 juli 1959,
beliau mengatakan:”di dasarkan pada suatu hakikat hukum tidak tertulis bahwa dalam
keadaan ketaatanegaraan tertentu, kita dapat terpaksa mengadakan tindakan yang
menyimpang dari peraturan tata negara yang ada”. Berdasarkan kondisi gawat itulah
Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angakatan Perang mengeluarkan dekritnya.
Pertimbangan ini telah dimuat dalam konsideran alinea ketiga dan keempat berbunyi:
“Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang
membahayakan persatuan keselamatan negara, nusa, dan bangsa serta merintangi
pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, dan bahwa
dengan dukungan terbesar rakyat Indonesia dan dorongan oleh keyakinan kami
sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara
proklamasi”
12
Sisi fleksibelitas UUD 1945 mengakibatkan fleksibel pula arah dan
penegakan HAM di Indonesia. Akibatnya, muatan HAM didalam UUD1945 ,
menurut Mahmud MD, sangat tergantung dari konfigurasi politik tertentu. Jika
konfigurasi politik demokratis, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi
yang rekatif proporsional, tetapi jika konfigurasi politik sedang bekerja dibawah
payung otoritarian maka HAM pun akan mendapat perlakuan yang buruk.
e. Materi Muatan HAM Dalam Peraturan Perundang-undangan
Diakui bahwa, di awal-awal kepemimpinan Soeharto (1966-1998), rakyat
menaruh harapan yang besar, khususnya dalam rangka pemulihan kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, tidak ketinggalan juga perhatian
terhadap upaya-upaya perlindungan dan jaminan atas HAM. Meskipun, UUD 1945
telah berlaku pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, akan tetapi dirasa perlu untuk segera
dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang sistematis dan strategis dalam hal penegakan
HAM di Indonesia.
Disinilah pertama kalinya MPRS menetapkan sebuah ketetapan MPRS No.
XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad-Hoc. Ketetapan ini
memberikan perintah agar agar secepatnya membentuk panitia kecil yang akan
membahas sebuah Piagam Hak Asasi Manusia. Menindaklanjuti hal itu, kemudian
pimpinan MPRS menetapkan rancangan Piagam HAM yang tertuang dalam
rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad-Hoc B/MPRS/1966 yang diberi nama,
“Piagam Hak-hak Azasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara.
13
Pada awalnya rencana perumusan piagam HAM ini mendapat respons positif
dari masyarakat. Naman sayangnya, seiring dengan semakin matangnya konsolidasi
kekuatan Orde Baru, lembaga MPRS dinilai tidak bersih dari Demokrasi terpimpin
model Soekarno. Dalam perspektif Orde Baru, sebagai lembaga, MPRS dianggap
tidak tepat mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis meskipun menyangkut
jaminan hak asasi manusia. Karena itu, seiring dengan upaya mematangkan
konsolidasi pemerintahan ke arah pembangunan nasional, maka apa yang telah
direncanakan oleh MPRS ini menjadi deadlock tanpa diperoleh kejelasan yang
berarti.
Dalam kebijakan selanjutnya, pengaturan HAM pada masa Orde Baru
tidaklah dalam bentuk Piagam HAM, melainkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Sikap demikian menjadi bukti bahwa Orde Baru hanya
mengakui hak-hak hukum masyarakat sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Untuk memajukan dan melindungi HAM yang sesuai dengan prinsip negara
berdasarkan atas hukum sekaligus agar langkah percepatan penegakan HAM berjalan
efektif, maka pemerintah Orde Baru membentuk sebuah Komisi Nasional HAM,
yang mempunyai dua tujuan pokok Komisi Nasional. Pertama, membantu
pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB, serta DUHAM; kedua,
meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan
14
pembangunan nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Pada masa Pemerintah Habibie (1998-1999), tepatnya pada 15 Agustus
1998, telah diatur kerangka kerja Komnas HAM melalui Kepres No. 129 Tahun 1998
Tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia. Tujuannya
adalah untuk menjamin peningkatan, pemajuan, dan perlindungan hak-hak asasi
manusia indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan
agama berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanaannya maka
dibentuklah sebuah Panitia Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung
jawab kepada presiden.
Sebagai bagian dari HAM, pada tanggal 26 Oktober 1998 berlaku UU No. 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU ini
memiliki nilai penting dalam menjamin hak kebebasan berpendapat sebagai hak asasi
manusia. sejalan dengan kegiatan RAN HAM, maka pada tanggal 25 Mei 1999
pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional PBB penghapusan
diskriminasi rasial yang tertuang dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang pengesahan
“International Convention on the Elimination of All Form of Racial Discrimination
1965”(Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial 1965).
Dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998, pada
tanggal 23 september 1999 tentang Hak Asasi Manusia atau UU HAM. UU ini
15
menegaskan dua hal prinsipil, yakni Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Kewajiban Dasar Manusia (KDM).
Untuk memperkuat upaya penegakan HAM di Indonesia, RAN HAM,
sebagaiman telah ditegaskan dalam Kepres No. 129 Tahun 1998, belaku selama lima
tahun terhitung sejak 15 Agustus 1998 hingga Desember Tahun 2004 maka
dipandang perlu melakukak evaluasi atas kesinambungan RANHAM untuk lima
tahun berikutnya, yakni tahun 1004 sampai dengan Tahun 2009.
Menyikapi hal tersebut, maka Presiden Megawati mengesahkan Kepres No.
40 Tahun 2004 tentang RANHAM Tahun 2004-2009 yang efektif berlaku sejak
tanggal 11 mei 2004. Yang menitikberatkan kepada percepatan penegakan HAM
yang tidak saja melibatkan komitmen lembaga-lembaga negara, tetapi juga partisipasi
aktif masyarakat Indonesia.
Berdasarkan uraian ini kelihatan bahwa penjabaran ketentuan HAM dalam
UUD 1945 ke dalam peraturan-peraturan organik terbilang tidak berjalan secara
stimulan. kerap kali tarikan atas nama kepentingan politis begitu mewarnai lahirnya
sebuah UU. Dengan kata lain, sebagai akibat dari multi-interpestasinya pasal-pasal
HAM dalam UUD 1945 menyebabkan terabaikannya taraf konsistensi muatan HAM
dalam peraturan perundang-undangan. Akibatnya tidak ada jalan lain selain
melakukan sosialisasi HAM secara baik, misalnya dengan pembntukan Komnas
HAM, Komnas Hak-hak Anak, Komnas Hak-hak Perempuan, dan yang terakhir
RANHAM. Jelas sekali bahwa pembentkan panitia-panitia ini tidak dapat berjalan
secara maksimal apabila ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal HAM, baik
16
dalam UUD 1945, maupun dalam ketentuan-ketentuan orgniknya tidak berjalan
secara konsisten dan konsekuen.
B. FILSAFAT HUKUM
1. Pengertian Filsafat Hukum
Para ahli hukum memberikan pengertian sebagai filsafat hukum dengan
rumusan yang berbeda, sebagai berikut :
a) Menurut Soetikno
Filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui
apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia
menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi
penjelasan mengenai nilai, mengkaji sampai pada dasar-dasarnya dan berusaha untuk
mencapai akar-akar dari hokum.
b) Menurut Satjipto Raharjo dan Soerjono Soekanto
Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum,
tentang dasar bagi kekuatan yang mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh
pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum
bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman
yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata
hukum tertentu dan mempertayakan konsistensi logis, peraturan, bidang serta sistem
hukum itu sendiri.6
6 Prof.Dr.H.Zainuddin Ali,MA, Filsafat Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hal.16
17
Bisa disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yakni tingkah
laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat
hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi yang dikaji secara
mendalam sampai pada inti atau dasarnya yang disebut hakikat.7 Filsafat hukum
dituntut untuk menyertakan argumen-argumen yang dapat dipahami dari perspektif
rasional.[7] Jadi filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai selain
itu fisafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai.8
2. Manfaat Filsafat Hukum
Adapun untuk mempermudah memahami apa manfaat dari filsafat hukum,
disini kami akan membahasnya berdasarkan sifat-sifat filsafat hukum. Sifat-sifat
filsafat hukum terbagi dalam tiga sifat, yaitu:
a) Holistik atau menyeluruh
Dengan cara berpikir yang holistik tersebut, kita diajak untuk berwawasan
luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pedirian
orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukum diajarkan berbagai aliran tentang
hukum. Dengan demikian kita tidak bersifat arogam dan apriori, bahwa disiplin ilmu
yang dimilikinya lebih tinggi daripada disiplin ilmu lainnya.
b) Mendasar
7 Herman Bakir,SH.,MH., Filsafat Hukum ‘Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Bandung, Refika Aditama, 2007, hal. 217
8 Prof.Darji Darmodiharjo,SH, dan, DR.Shidarta,SH.,MHum, hal.18
18
Artinya dalam menganalisis suatu masalah kita dituntut untuk berpikir kritis
dan radikal. Mereka yang mempelajari filsafat hokum diajak untuk memahami hokum
tidak dalam arti hokum positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan
memanfaatkan hokum secara baik.
c) Spekulatif
Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif. Sebagaimana dinyatakan oleh
Suriasumantri, bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat
spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hokum untuk
berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang salah satu ciri orang
yang besifat yang senang terhadap hal yang baru. Tapi disini tentu saja, tindakan
spekulatif.
Ini dimaksud dengan tindakan yang terarah, yang dapat dipertangung
jawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif (dalam arti positif) itulah hokum,
dapat dikembangkan kearah yang dapat dicita-citakan bersama.9
Berikut beberapa teori tentang keadilan yang dikemukakan tokoh. Didalam
filsafat hukum terdapat beberapa ahli yang mengemukakan teori keadilan, para ahli
itu ialah Plato, Aristoteles, Cicero dan John Rawls.
C. HAM Dalam Aliran Keadilan Ditinjau Dari Filsafat Hukum
1. Teori Keadilan Pada Masa Klasik
9 Op.cit, hal. 16-17
19
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya
filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang
bersifat etik, filosofis, hukum sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang
berpikir bahwa bertindak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki,
untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya
penerapannya dalam kehidupan manusia. Berikut beberapa teori tentang keadilan
yang dikemukakan tokoh. Didalam filsafat hukum terdapat beberapa ahli yang
mengemukakan teori keadilan, para ahli itu ialah Plato, Aristoteles dan John Rawls.
a) PLATO
Plato ialah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-
kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk dalam
filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalh keadilan, Plato berpendapat bahwa
keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan adalah
adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-elemen prinsipal
yang harus dipertahankan, yaitu:
1) Pemilahan kelas-kelas yang tegas, misalnya kelas penguasa yang diisi oleh
penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan domba
manusia.
2) Identifikasi takdir Negara dengan takdir kelas penguasa; perhatian khusus
terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya,
aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan
20
pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentinga-kepentingan
anggotanya.
Untuk mewujudkan keadilan masyrakat harus dikembalikan pada struktur
aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini
adalah tugas Negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan
bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dengan
Negara. Bagaimana individu melayani Negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaanya sebagai kualitas atau
fungsi makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia.
Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan di geser ke dunia lain, diluar
pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada
cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak
dapat diduga. Oleh karena inilaj Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin
Negara seharusnya manusia super, yaitu the King of Philosopher.
b) ARISTOTELES
Aristoteles adalah peletak dasar rasionalitas dan empirisme. Pemikirannya
tentang keadilan diuraikan dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics. Buku
ini secara keseluruhan membahas aspek-aspek dasar hubungan antar manusia yang
meliputi masalah-masalah hukum, keadilan, solidaritas perkawanan, dan
kebahagiaan.
21
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5 buku
Nicomachean Ethics. Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus
dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut, (2)
apa arti keadilan dan (3) diantar dua titik ekstrim apakah keadilan itu terletak.10
Keadilan dalam arti umum keadilan diuraikan sebagai suatu sikap dan
karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap
atas keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang
bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.
Pembentukan sikap dan karakter berasal dari pengamatan terbanyak objek
tertentu yang berisi ganda. Hal ini bias berlaku dua dalil, yaitu:
1. Jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga diketahui;
2. Kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi “baik”
Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih,
diperlukan pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan
secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yng lain juga
ambigu.
Secara umum dikatakan bahwa orang yang tak bisa adil adalah orang yang
tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair),
maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan
fair. Karena tindakan memenuhi atau mematuhi hukum adalah adil, maka semua
tindakan perbutan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil.
10
22
Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan bagi
masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan
mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil.
Dengan demikian keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial.
Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi
juga kebahagiaan orang lain. Keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan
kebahagiaan diri sendiri dan orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai.
Keadilan dan tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi yang
berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan, namun
sebagai suatu siakp khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan dalam
hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai ciri utama tindakan yang
tidak fair.
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas,
bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata nilai
sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal
tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan
ketidakadilan. Sebaliknya sesuatu tindakan yang bukan merupakan kejahatn dapat
menimbulkan ketidakadilan.
Sebagai contoh, sorang pengusaha yang membayar gaji buruh dibawah
UMR, adalh suatu pelanggaran hukum dan kesalahan. Namun tindakan ini belum
tentu mewujudkan ketidakadilan. Apabila keuntungan dan kemampuan membayar
perusahaan tersebut memang terbatas, maka jumlah pembayaran itu adalah keadilan.
23
Sebaliknya walaupun seorang pengusaha membayar burunya sesuai UMR, yang
berarti bukan kejahatan, bisa saja menimbulkan ketidakadilan karena keuntungan
perusahaan tersebut sangat besar dan hanya sebagian kecil yang diambil untuk upah
buruh. Ketidakadilan ini mencul karena keserakahan dan ini termasuk melanggar hak
asasi buruh tersebut.
Hal tersebut di atas adalah keadilan dalam arti umum. Keadilan dalam arti
ini terdiri dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan hukum, yang masing-masing
bukanlah hal yang sama. Tidak fair adalah melanggar hukum, tetapi tidak semua
tindakan melanggar hukum adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat
dengan kepatuhan terhadap hukum.
Teori keadilan Aristoteles atas pengaruh Aristoteles secara tradisioanal
keadilan dibagi menjadi tiga:
1. Keadilan Legal
Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai
dengan hukum yang berlaku. Itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk
pada hukum yang ada secara tanpa pandang bulu. Keadilan legal menyangkut
hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan Negara. Intinya adalah
semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan sama oleh Negara dihadapan
dan berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak dijamin untuk mendapatkan
perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. Keadilan Komutatif
24
Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dengan
orang yang lainya ata warga Negara yang satu dengan warga Negara yang lainnya.
Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal atara warga Negara satu dengan
warga Negara lainnya. Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku
sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran
yang adil antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar
semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengmbalikan pinjaman,
memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas dan
menjual barang dagangan mutu dan harga yang seimbang.
3. Keadilan Distributif
Prinsip dasar keadilan distributif yang dikenal sebagai keadilan ekonomi
adalah distibusi ekonomi yang merata atau dianggap adail bagi semua warga Negara.
Keadilan distributif punya relevansi dalam dunia bisnis, khususnya dalam
perusahaan. Berdasarkan prinsip keadilan ala Aristoteles, setiap karyawan harus
digaji sesuai dengan prestasi, tugas, dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Distributif yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai
kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.
c). CICERO
Keadilan merupakan hak yang didapat oleh semua manusia tanpa terkecuali,
dalam hal ini keadilan berarti memilik struktur paling atas dalam kehidupan di dunia.
Keadilan di dapatkan oleh manusia secara bebas, tidak memerlukan budget apabila
25
ingin memilikinya, karena keadilan merupakan hal yang murni di dapat oleh manusia
sejak mereka dalam rahim ibu.
Berikut beberapa ide Cicero mengenai Keadilan11 :
1. Keadilan merupakan mahkota kemuliaan dari sebuah kebajikan2. Keadilan adalah tujuan yang konstan, yang memberikan setiap orang
haknya3. Keadilan tidak termasuk dalam mencederai manusia4. Keadilan harus diperhatikan bahkan sampai titik terendah5. Keadilan tidak turun dari puncaknya6. Keadilan tidak memeras upah, tidak ada jenis harga, dia dicari untuk
dirinya sendiri7. Keadilan ekstrim adalah ketidakadilan ekstrim8. Jika hidup kita terancam oleh kekerasan maka setiap cara untuk
melindungi diri kita secara moral adalah benar
2. Teori Keadilan Pada Masa Modern
a). JOHN RAWLS
John Rawls dikenal sebagai seorang fisuf yang secara keras mengkritik
ekonomi pasar bebas. Baginya pasar bebas memberikan kebebsan bagi setiap orang,
namun dengan adanya pasar bebas maka keailan sulit ditegakan. Oleh karena hal ini,
ia mengembangkan sebuah teori yang disebut teori keadilan. Menurut Rawls, prinsip
paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama
dari posisi-posisi mereka yang wajar. Menurutnya kebaikan bagi seluruh masyarakat
tidak dapat mengesampingkan atau mengganggu rasa keadilan dari setiap orang yang
telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. 12
11 http://archive.mises.org/2917/cicero-on-justice-law-and-liberty/, Diunduh pada tanggal 17 September 2015, pukul. 22.30
12 John Rawls, Teori Keadilan (a Theory Justice), 1997, hal. 3
26
Teori keadilan Rawls dapat disimpulakan memiliki inti sebagai berikut:
1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini
hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri.
2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial
maupun kesetaran dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam.
Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan
keuntungan yang lebih besar.
3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran dan penghapusan terhadap
ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls melahirkan prinsip
keadilan, yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yakni:
1. Prinsip Kebebasan (liberty of principle)
2. Prinsip Persamaan (equal of principle)
Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip
kesamaan dan kebebesan yang adil itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut
teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.13
Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip
keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan:
1. Posisi Asali (Original Postion)
13http:/ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-justice/, Diunduh pada tanggal 17 september 2015, pukul. 22.34.
27
Konsep ini menjelaskan dimana seseorang memosisikan adanya situasi yang
sama dan setara antara tiap-tiap orang yang ada di dalam masyarakat serta tidak ada
pihak yang memiliki posisi yang lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti
misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan dan lain
sebagainya. Sehingga orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan
pihak lain.
Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai “posisi asal” yang
bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas
(rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur
dasar masyarakat (basic structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam
historis tersebut sebenarnya hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh
Thomas Nagel sebagai “pandangan tidak darimanapun (the view from nowhere),
hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi sangat abstrak dari “the State of
Nature”.
2. Selubung Ketidaktahuan (Veil of Ignorence)
Konsep ini diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada
tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap
posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau
pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dan setiap orang atau
kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi
mereka tentang kebaikan.
28
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-masing
akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama, yaitu:
1. Prinsip Kebebasan (Liberty of Principle)
Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang
paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain.
Prinsip ini dikenal dengan prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle),
seperti misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat
dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan
beragama (freedom of religion).
Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harusnya dimiliki
semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama
bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip ini
tidak lain adalah “prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan
kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang
dimiliki setiap orang. Prinsip ini merupakan ruh dari asas kebebasan berkontrak.
2. Prinsip Persamaan (Equal of Principle)
Ketimpangan atau ketidaksamaan sosial dan ekonomi yang diatur
sedemikian rupa.
29
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Pada hakikatnya HAM
terdiri dari atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak
kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak
dasar ini hak asasi manusia lainnya sulit ditegakkan.
Sedangkan filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin
mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di
dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia
memberi penjelasan mengenai nilai, mengkaji sampai pada dasar-dasarnya dan
berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum. Dan di dalam filsafat hukum
terdapat teori yang bernama teori keadilan.
Jika kita sangkut pautkan HAM itu sendiri dengan prinsip keadilan yang di
dalamnya disebutkan bahwa keadilan itu memberi perlakuan yang sama terhadap
semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku dalam filsafat hukum jelasberkaitan.
Karena Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harusnya dimiliki
semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama
bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip ini
30
tidak lain adalah “prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan
kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang
dimiliki setiap orang. Prinsip ini merupakan ruh dari asas kebebasan berkontrak.
B. Saran
1. Dengan ini semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada
secara tanpa pandang bulu.
2. Aparat penegak hukum bersama pemegang kekuasaan (pemerintah) agar
segera menyelesaikan permasalahan HAM yang telah lama dikubur secara
paksa selama ini.
31
Daftar Pustaka
Sumber Buku :
Achmad Roestandi, Pengantar Teori Hukum, Bandung, Fakultas Hukum Uninus,
1980.
Astim Riyanto, Fulsafat Hukum, Bandung, YAPEMDO, 2010.
Bambang, Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia,
Yogyakarta, UII Press, 2002.
Darji Darmodiharjo,SH,dan,DR.Shidarta,SH.,MHum, Pokok-Pokok Filsafat Hukum
‘Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia’, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Herman Bakir,SH.,MH., Filsafat Hukum ‘Desain dan Arsitektur Kesejarahan’,
Bandung, Refika Aditama, 2007.
John Rawls, Teori Keadilan (a Theory Justice), 1997.
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945
Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta, Kencana,
2007.
Zainuddin Ali,MA, Filsafat Hukum,Jakarta,Sinar Grafika, 2005.
Sumber Internet :
32
Aristoteles, ”Nicomachean Ethics”, Translated by : W.D.Ross,
http://bocc.ubi.pt/pag/Aristoteles-nicomachean.html.
http://archive.mises.org/2917/cicero-on-justice-law-and-liberty/.
http:/ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-
pemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-justice/.
33