Download - Pbl Bucukkk Super Bucuk
BAB IPENDAHULUAN
Ulkus merupakan suatu keadaan patologis yang menimbulkan kerusakan seluruh lapisan
epitel dan jaringan dibawahnya,dilapisi oleh jendalan fibrin sehingga berwarna putih kekuningan
(Birnbaum dan Dunne, 2009 dan Burket dkk, 2008). Secara klinis dan durasinya, ulkus dapat
dibedakan menjadi tipe akut dan kronis. Ulkus akut biasanya nyeri karena adanya inflamasi akut,
tertutup eksudat, kuning putih, dikelilingi halo eritematus dan batasnya tidak lebih tinggi dari
permukaan mukosa dan merupakan lesi yang dangkal dan sembuh dalam waktu kurang dari 2
minggu. Ulkus kronis biasanya tidak terlalu sakit, tertutup membran berwarna kuning, terjadi
indurasi karena jaringan parut dan dikelilingi tepi yang lebih tinggi dari permukaan mukosa, dan
tidah sembuh dalam waktu lebih dari 2 minggu (Sonis, 2003).
Dalam kasus penyakit mulut maupun penyakit sistemik, banyak penyakit yang pada
awalnya bermanifestasi pada rongga mulut misalnya melalui ulkus mulut. Penyebab ulkus di
rongga mulut dapat bermacam-macam, misalnya trauma, agen infeksi (bakteri, virus, jamur,
mikrobakteria), penyakit sistemik (stomatitis herpetik, cacar air, HIV, sifilis, tuberculosis,
anemia, eritema multiforme, Behcet’s syndrome, lichen planus), drug-induced (obat-obat
sitotoksik, NSAID), kelainan darah (leukemia, neutropenia), kelainan imunologis, neoplasma
(SSC atau BCC), radioterapi, merokok, alkohol maupun kontak alergi (Scully, 2003; Sonis,
2003). Beberapa penyakit yang bermanifestasi di dalam rongga mulut sebagai ulkus kronik
antara lain, HIV, Syphilis, TBC, Squamous Cell Carcinoma, dan Deep fungal infection.
Kita sebaiknya mengenal jenis, bentuk serta manifestasi dari penyakit-penyakit di atas
dalam rongga mulut sehingga dapat segera mengenali dan mendiagnosis penyakit. Ulkus pada
rongga mulut dapat menjadi salah satu tanda dan gejala suatu penyakit, karena terdapat berbagai
penyakit yang secara klinis disertai adanya ulkus dengan durasi dan ciri-ciri yang berbeda –
beda. Selain itu dengan anamnesis riwayat yang lengkap dapat mendukung dan memperkuat
penegakkan diagnosis yang tepat mengenai suatu keadaan patologis pada rongga mulut pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ulkus
Menurut Neville dkk (2009) ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau
selaput lendir dapat juga diartikan bahwa ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan
disertai invasif kuman saprofit. Ulkus dapat terjadi dimana saja di seluruh bagian dari tubuh
manusia.
Ulkus merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan hilangnya kontinuitas
epitel dan lamina propia dan membentuk kawah. Kadang secara klinis tampak edema atau
proliferasi sehingga terjadi pembengkakan pada jaringan sekitarnya. Jika terdapat inflamasi,
ulkus dikelilingi lingkaran merah yang mengelilingi ulkus yang berwarna kuning ataupun
abu-abu (Scully, 2003).
Ulkus rongga mulut merupakan suatu kejadian yang menunjukan adanya kerusakan
atau diskontinuitas epitel dalam rongga mulut. Dalam rongga mulut, ulkus dapat didahului
oleh vesikel atau bula yang biasanya tidak berusia panjang. Lesi ulseratif sering dijumpai
pada pasien yang berkunjung ke dokter gigi. Meskipun banyak ulkus rongga mulut memiliki
penampakan klinis yang mirip, faktor etiologi yang mendasari dapat bervariasi mulai dari lesi
reaktif, neoplastik maupun manifestasi oral penyakit kulit (Regezi dan Sciubba, 1993). Ulkus
dapat pula merupakan manifestasi kerusakan epitel karena defek (Scully, 2003).
Penyebab ulkus di rongga mulut dapat bermacam-macam, misalnya trauma, agen
infeksi (bakteri, virus, jamur, mikrobakteria), penyakit sistemik (stomatitis herpetik, cacar
air, HIV, sifilis, tuberculosis, anemia, eritema multiforme, Behcet’s syndrome, lichen
planus), drug-induced (obat-obat sitotoksik, NSAID), kelainan darah (leukemia,
neutropenia), kelainan imunologis, neoplasma (SSC atau BCC), radioterapi, merokok,
alkohol maupun kontak alergi (Scully, 2003; Sonis, 2003).
Ulserasi pada rongga mulut mungkin merupakan penyakit mukosa oral yang paling
sering terlihat dan serius. Pendekatan untuk diagnosis dan manajemen ulkus ditegakkan
melalui anamnesa dan pemeriksaan klinis (Scully, 2003). Durasi ulkus memegang peranan
penting sebuah biopsi hendak dilakukan. Jika onsetnya cepat, pasien patut ditanyakan
mengenai riwayat blistering sebelumnya. Pemeriksaan subjektif mengenai jumlah dan
distribusi serta keterkaitan dengan bagian tubuh yang lain perlu dilakukan. Nyeri dan
rekurensi ulkus dapat menjadi referensi dalam penegakan diagnosis. Langlais dan Miller
(2000) menambahkan mengenai riwayat alergi dan penyakit yang sedang diderita, terapi obat
terdahulu dan sekarang, riwayat terapi radiologi dan keadaan umum pasien.
Pemeriksaan khusus mungkin diperlukan jika terdapat kecurigaan adanya keterlibatan
faktor sistemik ataupun malignansi. Tes darah diindikasikan untuk mengesampingkan
defisiensi atau kondisi sistemik lainnya. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologis
diindikasikan bila etiologi mikroba dicurigai. Biopsi diindikasikan bila ulkus tunggal
bertahan lebih dari 3 minggu, terjadi indurasi, terdapat lesi di kulit lainnya ataupun terkait
dengan lesi sistemik (Scully, 2003).
Secara klinis, ulkus dapat dibedakan menjadi tipe akut dan kronis, yaitu sebagai berikut :
A. 1 Ulkus akut
Ulkus akut merupakan ulkus yang timbul mendadak, dengan durasi kurang
dari 2 minggu, biasanya berupa small ulcerative lesions yang baru saja muncul
dan berkembang dengan cepat, disertai dengan gejala prodromal. Ulkus akut
biasanya nyeri karena adanya inflamasi akut, tertutup eksudat, kuning putih,
dikelilingi halo eritematus dan batasnya tidak lebih tinggi dari permukaan mukosa
dan merupakan lesi yang dangkal. Pada keadaan akut, hilangnya epitel permukaan
digantikan oleh jaringan fibrin yang mengandung neutrofil, sel degenerasi dan
fibrin (Sonis, 2003). Ulkus akut terjadi pada umumnya karena adanya pengaruh
sistemik, diantaranya yaitu aphthous complex (Behcet syndrome, FAPA, Cyclic
neutropenia, penyakit sistemik yang lainya), dan penyakit yang didahului dengan
vesikel (Recurent Intraoral Herpes dan Herpes zoster), serta pengaruh non
sistemik yang berupa trauma, infeksi bakteri dan virus.
A.2 Ulkus kronis
Ulkus kronis merupakan ulkus yang timbul bertahap, muncul selama
pasien masih mengidap atau berinteraksi dengan penyebab dari ulkus tersebut,
terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan/ long term duration, tidak
sembuh antara 2-3 minggu, namun tidak disertai dengan gejala prodromal,
biasanya tidak terlalu sakit. Ulkus kronis tampak sebagai lesi granulomatous
difus, tertutup membran berwarna kuning, terjadi indurasi karena jaringan parut
dan dikelilingi tepi yang lebih tinggi dari permukaan mukosa. Pada keadaan
kronis, terdapat jaringan granulasi dan jaringan parut, eosinofil dan infiltrasi
makrofag dalam jumlah banyak. Khasnya, muncul ulkus berwarna abu-abu
dengan eksudat fibrinous melebihi permukaan. Pada kondisi kronis terdapat
indurasi di jaringan sekitar (Sonis, 2003). Ulkus kronis terjadi pada kondisi orang
dengan penyakit HIV, Tuberculosis, Sifilis, dengan keadaan malignansi seperti
SCC, dll.
B. HIV/AIDS
B.1 Definisi HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat menyebabkan AIDS dengan cara
menyerang sel darah putih (CD4+) sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh
manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang
sangat ringan sekalipun.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan dampak atau efek dari
perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan
waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit
AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya
dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV (Scully
dan Felix, 2005).
Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS
dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang
mematikan. Seseorang dapat menjadi HIV positif. Saat ini tidak ada obat, serum maupun
vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS
(Scully dan Felix, 2005).
HIV pertama kali ditemukan oleh sekelompok peneliti yang dikepalai oleh Luc
Montagnier pada tahun 1983,13 merupakan virus RNA diploid berserat tunggal (single
stranded) berdiameter 100-120nm.14 HIV memiliki enzim reverse transcriptase, yang
mampu mengubah RNA menjadi DNA pada sel yang terinfeksi, kemudian berintegrasi
dengan DNA sel pejamu dan selanjutnya dapat berproses untuk replikasi virus.
Metode / Teknik Penularan dan Penyebaran Virus HIV AIDS:
a. Darah
Contoh : Tranfusi darah, terkena darah HIV+ pada kulit yang terluka, terkena darah
menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb
b. Sperma
Contoh : Laki-laki berhubungan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral
seks, dsb.
c. Cairan Vagina
Contoh : Wanita berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu
seks, oral seks, dll.
d. Air Susu Ibu / ASI
Contoh : Bayi minum asi dari wanita HIV+
e. cairan Tubuh yang tidak mengandung Virus HIV pada penderita HIV+
Contoh : Saliva, feses, air mata, keringat, urine
(Scully dan Felix, 2005)
B.2. Patofisiologis
Sistem imun manusia sangat kompleks sehingga kerusakan pada salah satu komponen
sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel T
helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ
limfoid. Fungsi penting sel T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan
sebagai stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan
pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan
menyebabkan penderita mudah terinfeksi (Pinborg, 1994).
Walaupun perjalanan infeksi HIV bervariasi pada setiap individu, telah dikenal suatu
pola umum perjalanan infeksi HIV. Periode sindrom HIV akut berkembang sekitar 3-6
minggu setelah terinfeksi, dihubungkan dengan muatan virus yang tinggi diikuti
berkembangnya respon selular dan hormonal terhadap virus. Setelah itu penderita HIV
mengalami periode klinis laten (asimptomatis) yang bertahan selama bertahun-tahun,
dimana terjadi penurunan sel T CD4 yang progresif dalam jaringan limfoid. Kemudian
diikuti gejala konstitusional serta tanda-tanda infeksi oportunistik atau neoplasma yang
memasuki periode AIDS (Pinborg, 1994).
Gambar 1. Imunopatogenesis infeksi HIV
Pada orang sehat, jumlah CD4nya berkisar 500--1500. Apabila terinfeksi HIV,
jumlah ini biasanya akan turun terus. Jumlah CD4 inilah yang mencerminkan kesehatan
sistem kekebalan tubuh kita; semakin rendah, semakin rusak. Jika CD4 di bawah 200,
sistem kekebalan tubuh sudah rusak sehingga terjadi infeksi opurtunistik (IO).
Penderitanya dinyatakan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) (Pinborg, 1994).
Gejala umum orang yang tertular HIV/AIDS biasanya adalah berat badan turun
secara mencolok (biasanya lebih dari 10% dalam waktu 1 bulan), demam lebih dari 38oC,
disertai keringat tanpa sebab yang jelas pada malam hari, diare kronis lebih dari 1 bulan,
rasa lelah berkepanjangan, pembesaran kelenjar getah bening yang menetap, biasanya di
sekitar leher dan lipatan paha, gatal-gatal, herpes kulit, kelainan lain pada kulit, rambut,
mata, rongga mulut, alat kelamin dan lainnya (Pinborg, 1994).
Ada beberapa tahapan ketika mulai terinfeksi virus HIV sampai timbul gejala AIDS:
a. Tahap 1: Window Period
- HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibody terhadap HIV dalam
darah
- Tidak ada tanda2 khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
- Test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini
- Tahap ini disebut periode jendela, umumnya berkisar 2 minggu - 6 bulan
b. Tahap 2: HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun:
- HIV berkembang biak dalam tubuh
- Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
- Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah terbentuk
antibody terhadap HIV
- Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan tubuhnya
(rata-rata 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek)
c. Tahap 3: HIV Positif (muncul gejala)
- Sistem kekebalan tubuh semakin turun
- Mulai muncul gejala infeksi oportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa
di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu, dll
- Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan tubuhnya
d. Tahap 4: AIDS
- Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah
- Berbagai penyakit lain (infeksi oportunistik) semakin parah
Kadar CD4 dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Didapatkan bahwa kadar CD4 pada pasien adalah 166. Pasien didiagnosis terena
infeksi HIV apabila kadar CD4 pada pasien kurang dari 200. Sehingga diduga kuat
bahwa pasien menderita infeksi HIV. Pada penderita HIV, terjadi penurunan daya tahan
tubuh, sehingga mudah terjadi infeksi, sehingga pasien mudah terkena demam dan terjadi
pembengkakan limfonodi sebagai akibat dari infeksi. Gejala infeksi HIV, yaitu cepat
merasa lelah dan penurunan berat badan yang drastis juga tampak pada pasien (Burket
dkk., 2008).
Dari gejala yang terjadi, kami menduga bahwa infeksi HIV yang dialami pasien baru
mencapai tahap 3, dan belum mencapai AIDS. Untuk diagnosis mengenai infeksi HIV
yang dialami pasien, pasien dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam untuk diagnosis
yang lebih pasti, dan juga untuk mendapatkan perawatan sehubungan infeksi HIV yang
terjadi pada pasien (Burket dkk., 2008).
B. 3 Manifestasi Oral pada Pasien AIDS
B. 3.a. Oral candisiasis
Gambar 2. Infeksi oral candidiasis
Candida adalah jamur flora normal yg terletak di mukosa rongga mulut yang
akan berubah menjadi patogen apabila sistem kekebalan tubuh host menurun,
pada penderita yang sedang menjalani terapi immunosuppressive. Infeksi
candidiasis didominasi oleh Candida albicans. Candidiasis merupakan lesi di
dalam mulut karena infeksi HIV dan dijumpai 90 % pada penderita AIDS.
(Kumala dkk., 2002).
B.3.b. Oral hairy leukoplakia
Gambar 3. Oral hairy leukoplakia
Oral Hairy Leukoplakia (OHI) adalah suatu bercak putih, permukaannya
kasar, bervariasi mulai dari lapisan vertikal sampai plak keriput. Saat mulut dalam
keadaan kering akan tampak berbulu “hairy”. Lesi ini biasanya bilateral pada
bagian ventrolateral lidah atau menyerang pada permukaan dorsal lidah, mukosa
bukal, dasar mulut, area retromolar, dan palatum molle. Karakteristik yang paling
khas adalah proyeksi seperti-jari yang tersebar dari dasar lesi (Kumala dkk.,
2002).
B.3.c Penyakit periodontal
\\\
Gambar 4. Penyakit periodontal pada penderita HIV
Besar hubungan terkait antara penyakit periodontal dengan gigi pada
penderita HIV. Terdapat bukti menunjukkan bahwa penyakit HIV biasanya terjadi
pada penggunaan jarum suntik intravena (IV). Hal ini berhubungan dengan
buruknya kebersihan mulut dan kurangnya perhatian pada kesehatan rongga
mulut sehingga memicu (Kumala dkk., 2002).
B. 3.d Oral kaposi’s sarcoma
Gambar 5. Oral kaposi’s Sarcoma
Kaposi’s Sarcoma disebabkan oleh virus yang dulu bernama KS-herpes virus,
tapi sekarang bernama Human Herpes Virus-8 (HHV-8). Transmisi melalui
kontak sesksual, melalui ibu kepada anaknya. Pada tahap awal, Sarkoma Kaposi
berupa makula berwarna merah-keunguan pada mukosa mulut, tidak sakit,tidak
memucat saat dipalpasi. Lesi ini berkembang menjadi nodul dan membingungkan
antara kelainan pada mulut yang berhubungan dengan vaskularisasi seperti
hemangioma, hematoma, varicosity, dan pyogenic granuloma (jika terjadi pada
gingiva). Lesi ini muncul pada mukosa rongga mulut terutama pada mukosa
palatal dan gingival. Dalam infeksi HIV, lesi ini lebih sering ditemukan pada pria.
Kaposi’s Sarcoma ditemukan pada penderita HIV (Kumala dkk., 2002).
B.3.e Necrotizing Ulcerative Periodontitis
Gambar 6. Necrotizing ulcerative Periodontitis
Nekrosis, ulserasi, merupakan bentuk dari periodontitis yang tumbuh cepat
secara progresif pada penderita HIV. NUP dapat digambarkan sebagai
pemanjangan proses dari NUG dimana dalam keadaan ini terjadi lepasnya tulang
alveolar, kehilangan perlekatan jaringan periodontal. Ciri-ciri NUP: nekrosis
jaringan lunak, destruksi jaringan periodontal, dan lepasnya jaringan tulang
interproksimal. Pada individu imunokompeten, kerusakan jaringan membutuhkan
waktu bertahun-tahun untuk terjadi, namun hanya terjadi dalam beberapa bulan
pada penderita yang terinfeksi HIV , jika tidak dilakukan perawatan yang tepat.
Kehilangan tulang secara cepat ini juga cenderung terjadi pada individu berusia
muda. Penderita kadang-kadang langsung mengalami lesi nekrosis, tidak ada rasa
nyeri, terdapat lubang dalam yang sulit dibersihkan, yang merupakan tanda
terjadinya periodontitis konvensional. Terdapat pembentukan poket karena
hilangnya jaringan lunak ataupunjaringan keras. Destruksi jaringan dapat meluas
sampai ke muco-gingival junction (Anonim, 2008).
C. Sifilis
C.1 Definisi
Penyakit sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum (Spirochaeta pallida)
yang termasuk dalam golongan spirochaeta, terbentuk spiral halus dengan panjang 5-15
mikron dan garis tengah 0,009-0,5 mikron. Bakteri ini bergerak secara aktif dan karena
spiralnya sangat lembut maka hanya dapat dilihat dengan mikroskop lapang gelap atau
dengan teknik imunofluorosensi. Sukar diwarnai dengan zat warna aniline tetapi dapat
mereduksi perak nitrat menjadi logam perak yang tinggal melekat pada permukaan sel
kuman.
Bakteri ini berkembang biak dengan cara pembelahan melintang. Dalam keadaan
anaerob pada suhu 25 derajat celcius, T pallidum dapat bergerak secara aktif dan hidup
selama 4-7 hari dalam media yang engandung albumin, natrium karbonat, piruvat, sistein,
ultrafiltrate serum sapi.
Ada 3 macam antigen T pallidum yaitu protein tidak tahan panas, polisakarida, dan
antigen lipoid. Antigen treponema yang khas antara lain dapat diperiksa dengan tes
imobilisasi T pallidum (TPI). Tes ini memerlukan komplemen dalam inkubasi selama 18
jam pada suhu 35° C. selain dengan menggunakan tes ini, ada banyak tes-tes lain yang
dapat dilakukan untuk memeriksa berdasarkan antigennya.
(Anonim, 2005).
C.2 Histopatologis
Infeksi oleh Treponema pallidum menyebabkan inflamasi di tempat inokulasinya dan
menyebar selama infeksi primer. Penyakit sifilis, jika tidak ditangani, dapat mengalami
tiga fase: primer, sekunder, dan tersier. Fase primer dan sekunder sangat menular dan
umumnya berlangsung sekitar 2 sampai 4 tahun. Periode laten dapat berlangsung selama
5 sampai 50 tahun.
Masa inkubasi penyakit sifilis adalah 9 sampai 90 hari. Secara umum, luka pertama di
daerah genital muncul 3 minggu setelah pajanan. Pembesaran kelenjar getah bening di
salah satu atau kedua paha dapat terjadi hingga 5 minggu setelah infeksi. Tes serologi
baru dapat digunakan setelah 5.5 sampai 6 minggu, makula muncul pada minggu ke-8,
lesi papular muncul pada bulan ke-3 dan kondiloma pada bulan ke 6.
Pada lesi awal, dapat ditemukan sebukan limfosit dan sel plasma disertai proliferasi
intimal arteri dan vena. Bakteri banyak ditemukan di dinding pembuluh darah dan
limfatik. Pada lesi papular sifilis sekunder dapat dilihat adanya pembesaran endotel di
pembuluh darah dermal.
Pada lesi selanjutnya, dapat ditemukan guma di permukaan mukokutaneus. Jaringan
granulasi terbentuk dengan histiosit, fibroblas dan sel-sel epiteloid. Area nekrotik juga
kadang-kadang terlihat. Pada lesi ini, bakteri spirochates jarang terlihat.
(Anonim, 2005).
C.3 Penampakan Klinis
C.3.a. Sifilis primer
Sifilis primer muncul 10-90 hari setelah terjadi infeksi. Lesi pertama berupa
macula atau papula merah yang kemudian menjadi ulkus (chancre) dengan
pinggir keras, dasar ulkus biasanya merah dan tidak sakit bila dipalpasi. Sering
disertai dengan pembengkakan kelenjar getah bening regional. Lokasi chancre
sering pada genitalia tetapi bisa juga di tempat lain seperti bibir, ujung lidah,
tonsil, jari tangan dan putting susu (Birnbaum dan Dunne, 2009).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas berupa chancre
serta ditemui Treponema pallidum pada pemeriksaan stadium langsung dengan
mikroskop lapangan gelap. Apabila pada hari pertama hasil pemeriksaan sediaan
langsung negatif, pemeriksaan harus diulang lagi selama 3 hari berturut-turut dan
bila tetap negatif diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan serologis.
Selama dalam pemeriksaan sebaiknya ulkus dibersihkan atau dikompres dengan
larutan fisiologis (Neville, 2009).
C.3.b. Sifilis sekunder
Timbul setelah 6-8 minggu setelah sifilis primer. Pada sifilis sekunder dimulai
dengan gejala seperti anoreksia, demam, athralgia, dan angina. Pada stadium ini
terdapat kelainan pada kulit, mulut, genital, kelenjar getah bening dan organ
dalam. Kelainan pada kulit pada sifilis sekunder dapat berupa roseola, papula,
krusta, dan pustula. Kelainan pada rongga mulut berbentuk plak merah ( mucous
patch) yang disertai rasa sakit pada ternggorak. Pada genital sering ditemui
adanya papula atau plak yang disebut condilomatalata.Untuk
menegakkandiagnosis, selain pemeriksaan kliniss juga diperlukan pemeriksaan
serologis (Neville, 2009).
C.3.c. Sifilis tersier
Lesi oral pada sifilis tersier berupa gumma, suatu proses granulomatosa dan
tidak disertai rasa sakit.gumma biasanya ditemukan pada palatum, tonsil, dan
lidah dengan ukuran bervariasi dari beberapa millimeter hingga beberapa
sentimeter. Bentuk lesi terlihat membulat dan cekung di tengah dengan dasar
memadat dan pucat.
(Anonim, 2005)
C.4 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan berbagai cara, antara lain dengan menemukan
Treponema pallidum pada pemeriksaan lapangan gelap, penggunaan PCR untuk
mengidentifikasi molekul asam nukleat bakteri, pemeriksaan cairan serebrospinal serta
penggunaan uji serologi. Untuk uji serologi sendiri baru akan memberikan hasil 1 -4
minggu setelah infeksi. Berdasarkan jenisnya, uji serologi dapat dibagi menjadi uji non-
treponemal dan uji treponemal.
1) Tes Antigen Non Treponema
a) Tes Flokulasi : VDRL, Kahn
b) Tes Fiksasi Komplemen : Wasserman, Kolmer
c) Tes Aglutinasi : Rapid Plasma Reagen (RPR)
2) Tes treponema
a) Tes Fiksasi Komplemen: RPCF (Reiter Protein Complement Fixation) dan
TPCF (Treponema Palidum Complemen Fixation)
b) Tes Aglutinasi : TPA ( Treponema Pallidum Aglutination), TPHA
(Treponema Pallidum Haemaglutination Assay)
c) Tes Imobilisasi : TPI (Treponema Pallidum Immobilisation)
d) Tes Immunofluoresence: FTA (Fluorosence Treponemal Antibodi) dan FTA
Abs (Fluoresence Treponemal Antibody Absorption
test)
F.T.A. Abs (Fluoresence Treponemal Antibody Absorption test)
Gambar 7. Gambaran mikroskopik treponema pallidum
C.5 Penatalaksanaan
Penisilin tetap merupakan obat pilihan utama, karena murah dan efektif. Berbeda
dengan gonokokus, belum ditemukan resistensi treponema terhadap penisilin.
Konsentrasi dalam serum sejumlah 0,03 UI/ml sudah bersifat treponemasidal namun
harus menetap dalam darah selama 10-14 hari pada sifilis menular, 21 hari pada semua
sifilis lanjut dan laten.
Ikhtisar Penatalaksanaan Sifilis
Stadium Pengobatan Pemantauan Serologi
Sifilis Primer
Benzathine Penisilin G. Dosis 4,8 unit secara I.M (2,4
juta) dan diberikan satu kali seminggu
2.Prokain Penisilin G ini Aqua, Dosis total 6 juta unit,
diberi 0,6 juta unit/hari selama 10 hari.
P.A.M (Prokain Penisilin +2 % Aluminium
Monostreat). Dosis total 4,8 juta unit. Diberikan 1,2 juta
unit/kali 2 kali seminggu.
Pada bulan I,III,VI dan XII dan
setiap enam bulan pada tahun ke
II.
Sifilis sekunder sama seperti sifilis primer
Sifilis
Laten
1. Benzathine Penisilin. Dosis total 7,2 juta unit.
2.Prokain Penisilin G in aqua. Dosis total 12 juta unit
(0,6 juta unit/hari).
3.PAM dosis total 7,2 juta unit (1,2 juta unit/kali 2 kali
seminggu).
Sifilis
S.III
1.Benzathine Penisilin G Dosis total 9,6 juta unit.
2.Prokain Penisilin G in aqua. Dosis total 18 juta unit
(0,6 juta unit/hari).
3.PAM dosis total 9,6 juta unit (1,2 juta unit/kali 2 kali
seminggu).
Pada penderita sifilis yang alergis terhadap penisilin dapat diberikan pada sifilis S.I dan
S.II: Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 15 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama
15 hari. Pada Late laten sifilis (> 1 tahun) sama seperti dosis diatas selama 4 minggu: Tetrasiklin
4 x 500 mg per oral selama 30 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari.
D. Tuberculosis
D.1 Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang
dapat hidup terutama di paru dan berbagai organ tubuh lainnya. Penyakit TB ini biasanya
menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk
meningens, ginjal, tulang dan nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu
setelah terpajan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan
atau ketidakefektifan respon imun (Amin, 2009; Kumala dkk., 2002).
Penularan penyakit tuberkulosis pada hakikatnya didasarkan pada proses
penularan mikroorganisme yang menyebabkannya, yakni Mycobacterium tuberculosis
complex, bakteri berbentuk batang yang di dalamnya mencakup bakteri M. tuberculoseae,
varian Asia, varian African I, varian African II, dan M. bovis yang mana secara ringkas,
proses penularannya dapat melalui tiga jalur diantaranya:
1. Inhalasi, yaitu melalui aerosol (droplet nuclei) yang dikeluarkan oleh penderita
melalui batuk atau material tinja yang terhirup, kemudian masuk ke paru-paru.
2. Inokulasi, yaitu melalui kulit atau mukosa yang tidak utuh, masuk ke jaringan ikat
dibawahnya.
3. Ingesti, yaitu melalui saluran pencernaan, misalnya dari susu yang terkontaminasi.
Gejala umum penderita TB adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3
(tiga) minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai antara lain : dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak napas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walau tanpa
kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Sayidi, 2008).
D.2 Patogenesis
Patogenesis tuberkulosis terbagi atas dua tahapan, yaitu sebagai berikut:
a. Tuberkulosis primer
Pada tuberkulosis primer, bakteri M. tuberculosis yang masuk melalui inhalasi
menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Selanjutnya, masuknya bakteri ini
direspon oleh neutrofil dan dilanjutkan dengan makrofag. Bila makrofag tidak
mampu membunuhnya, maka bakteri tersebut akan menetap di jaringan paru dan akan
berkembang biak di dalam sitoplasma makrofag. Bakteri Mycobacterium tuberculosis
kemudian akan membentuk suatu sarang pneumonik di jaringan paru yang disebut
sarang primer atau afek primer atau sarang fokus Ghon. Sarang primer ini dapat
timbul di bagian mana saja dalam paru. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis regional). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer
limfangitis lokal dan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke).
Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya
dapat menjadi sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan
meninggalkan sedikit bekas, serta berkomplikasi dan menyebar.
b. Tuberkulosis pasca primer (sekunder)
Pada tuberkulosis pasca primer, kuman yang telah dormant pada tuberkulosis
primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi
tuberkulosis dewasa yang dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas
paru. Sarang dini ini mula-mula berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel. Selanjutnya sarang dini ini dapat menjadi:
Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis.
Ada yang membungkus diri menjadi keras menimbulkan perkapuran.
Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan
ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek
membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah
kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal
karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas
sklerotik (kronik). Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah karena hidrolisis
protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan
proses yang berlebihan antara sitokin dengan TNF-nya (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2006).
D.3 Penegakan Diagnosis
Diagnosa penyakit TB secara umum dapat ditegakkan dengan : anamnesa baik
terhadap pasien maupun keluarganya, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
(darah, dahak, cairan otak), pemeriksaan patologi anatomi (PA), rontgen dada (foto
thorax), dan uji tuberkulin. Pada pasien asimtomatik, umumnya dideteksi dengan
positifnya uji tuberkulin dan foto x-ray yang menunjukkan adanya TB. Diagnosis pada
pasien simtomatik, dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik. Namun, di Indonesia, pada
saat ini, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB pada orang
dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis karena tingginya prevalensi TB. Uji tuberkulin positif hanya menunjukkan
bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium tuberculosis. Di lain
pihak, pada penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, TB milier dan Morbili dapat
menunjukkan hasil uji tuberkulin yang negatif meskipun orang tersebut menderita
Tuberkulosis. Tes khusus untuk mendiagnosa TB disebut PCR (Polymerase Chain
Reaction) yang digunakan untuk mendeteksi material genetik bakteri. Tes ini sangat
sensitif dimana dapat mendeteksi jumlah yang sangat kecil dari bakteri TB dan spesifik
hanya untuk mendeteksi bakteri TB (Amin, 2009; Sayidi, 2008).
D.4 Lesi Oral Tuberkulosis
Lesi oral pada penderita TB jarang ditemui. Banyak penelitian yang dilakukan tetapi
biasanya hanya menunjukkan prevalensi kurang dari 1% per populasi sampel. Lesi oral
tuberkulosis berbentuk ulkus, yaitu suatu luka terbuka dari kulit atau jaringan mukosa
yang memperlihatkan disintegrasi dan nekrosis jaringan yang sedikit demi sedikit. Lesi
ulseratif di mukosa pada penderita TB berupa ulkus yang irregular, tepi yang tidak
teratur, dengan sedikit indurasi, dan sering disertai dasar lesi berwarna kuning,
disekeliling ulkus juga dijumpai satu atau beberapa nodul kecil. Lesi pada TB primer
sangat jarang ditemukan, terlihat pada penderita TB usia muda dan berupa ulkus tunggal
yang sakit dengan pembesaran kelenjar limfa. Lesi pada TB sekunder lebih sering
ditemui terutama pada penderita TB paru lesi biasanya berupa ulkus tunggal kronis,
irregular di kelilingi oleh eksudat dan sangat menyakitkan. Lesi lebih sering dijumpai
pada pasien usia menengah ke atas (Ramkant dkk., 2008).
Tempat yang paling sering terjadi ulkus adalah lidah selanjutnya bibir. Pada lidah,
ulkus TB paling sering terjadi pada bagian lateral, ujung, dan dorsum lidah. Walaupun
lidah merupakan tempat paling sering terjadinya lesi oral TB, lesi oral dapat juga
mengenai gingiva, dasar mulut, palatum, bibir dan mukosa bukal. Pada gingiva juga
dijumpai erosi mukosa yang bergranul, dan kadang disertai dengan periodontitis marginal
(Langlais dan Miller, 2000).
Ulkus di rongga mulut yang disebabkan oleh kuman TB tidak dapat dibedakan secara
klinis dengan lesi oral yang bersifat malignan/ganas. Adanya ulkus kronis pada rongga
mulut, dapat didiagnosa banding dengan suatu keganasan, sarkoidosis, ulkus sifilis, lesi
ulkus aftosa, infeksi jamur, traumatik injury, karsinoma sel skuamosa, dan limfoma.
Namun sering sekali, ulkus TB ini tidak diperhatikan oleh petugas medis. Oleh karena
itu, biopsi diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Apusan saliva dapat menunjukkan
adanya kuman penyebab TB bila diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Kultur
bakteri juga diperlukan untuk memastikan diagnosis (Hasibuan, 2006).
Gambar 8.Ulkus pada bagian bukal mukosa
Gambar 9. Ulkus pada bibir
Gambar 10.Ulkus pada lidah
D. 5 Histopatologis
Pemeriksaan biopsi ini dilakukan dengan mengambil sedikit jaringan pada lesi oral
pasien untuk mengidentifikasi basil tuberkel dari biopsi spesimen jaringan. Dari
pemeriksaan ini dapat diketahui ada atau tidaknya infeksi Mycobacterium tuberculosis
serta tingkat keparahan pada lesi yang terdapat di rongga mulut jika terdapat keganasan
pada lesi tersebut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur, dilakukan dengan
mengkultur bakteri yang ada pada mulut. Tujuannya adalah untuk menunjukan gambaran
lesi inflamasi granulomatus dengan sel-sel epitel, giant cel tipe langhans, limfosit dan
terjadi pengkejuan di bagian tengah serta untuk mengetahui jenis antibiotik yang tepat
untuk membunuh bakteri tersebut. Dan dilanjutkan dengan pemeriksaan Pewarnaan
dengan Ziehl-Nielsen bertujuan untuk mengetahu keberadaan bakteri TB. Pada gambar
telihat warna bakteri TB berwarna lebih keunguan dibandingkan daerah sekitarnya
(Hasibuan, 2006).
D.6 Penatalaksanaan
Selama proses pengobatan, untuk mengetahui perkembangannya yang lebih baik
maka disarankan pada penderita untuk menjalani pemeriksaan baik darah, sputum, urine,
dan X-ray atau rontgen setiap 3 bulannya. Adapun obat-obatan yang umumnya diberikan
adalah Isoniazid dan rifampin sebagai pengobatan dasar bagi penderita TBC, namun
karena adanya kemungkinan resistensi dengan kedua obat tersebut maka dokter akan
memutuskan memberikan tambahan obat seperti pyrazinamide dan streptomycin sulfate
atau ethambutol HCL sebagai satu kesatuan yang dikenal 'Triple Drug' (Little, 2008).
E. Deep Fungal Infection
E.1 Etiologi
Menurut Regezi dan Sciubba (1993), beberapa kondisi yang dapat mendukung
predisposisi penyakit ini adalah: 1. Penggunaan obat (kortikosteroid, agen sitotoksis,
immunosupresan), 2. Penyakit defisiensi (HIV-AIDS), 3. Kondisi endokrin (diabetes
tidak terkontrol, ketoasidosis), 4. Malignansi (leukemia, limfoma), 5. Kondisi lain
(neutropenia, malnutrisi, dan usia tua). Biasanya pasien ini melibatkan paru-paru seperti
Histoplasmosis, Coccidioidomycosis, Blastomycosis, dan Cryptococcosis. Infeksi oral
biasanya akan berdampak pada membran mucus oral karena adanya septum yang
terinfeksi. Biasanya infeksi oral juga mengikut penyebar yang hematogen dari jamur di
paru-paru. Histoplasmosis diduga berasal dari yeast, pada debu yang berasal dari kotoran
burung dara sebagai sumbernya. Coccidioidomycosis biasanya dikenal sebagai valley-
fever. Cryptococcosis berasal dari infeksi Cryptococcus yang ditransmisikan melalui
inhalasi kotoran burung. Cryptococcus biasanya terlihat pada pasien dengan
immunocompromised (Neville, 2009).
E.2 Penampakan Klinis
Tanda dan gejala awal dari infeksi ini biasanya berkaitan dengan keterlibatan paru-
paru dan termasuk batuk, demam, berkeringat di malam hari, berat badan menurun, sakit
pada dada, dan hemoptosis. Biasanya terlihat pembentukan erythema multiform pada
kulit disertai dengan adanya coccidiodimycosis. Lesi pada oral biasanya terlihat sebelum
lesi pulmonary. Sputum terinfeksi yang tertelan dapat berpotensi menyebabkan lesi oral
atau gastrointestinal. Erosi pada pembuluh darah paru-paru sebagai proses inflamasi
dapat menyebabkan penyebaran hematogen ke organ apapun. Lesi oral yang terbentuk
biasanya berupa ulkus tunggal maupun multiple, sukar sembuh, terdapat indurasi, dan
biasanya disertai rasa sakit. Adanya purulensi bisa jadi merupakan penampakan dari lesi
Blastomycycosis (Regezi dan Sciubba, 1993).
E.3 Histopatologi
Biasanya respon inflamasi pada infeksi ini adalah terbentuknya granuloma. Pada
penampakan histologis tampak adanya mikroorganisme (jamur), makrofag, ddan giant
cell multinuclear yang mendominasi. Adanya purulen bisa jadi merupakan penampakan
dari lesi Blastomycosis (Regezi dan Sciubba, 1993).
E.4 Differential Diagnosis
Secara klinis, lesi oral yang kronis dan tidak kunjung sembuh pada infeksi deep
fungal ini hamper sama dengan Squamous Cell Carcinoma, Oral Tuberculosis, Chronic
Trauma, dan Primary Syphilis. Kultur mikroorganisme yang diambil dari lesi atau
identifikasi secara mikroskopik yang diambil dari biopsy jaringan dibutuhkan untuk
menentukan diagnosis final. Skin test dan tes serologi tidak begitu berpengaruh ddalam
penegakan diagnosis (Regezi dan Sciubba, 1993).
E.5 Penatalaksanaan
Perawatan infeksi ini biasanya dilakukan kemoterapi. Biasanya juga dilakukan reseksi
bedah atau incisi dan drainase untuk mendukung efek obat dalam perawatan infeksi
nekrotik paru-paru. Obat yang digunakan biasanya adalah ampotericin B, dan dapat
didukung atau digantikan oleh ketokonazole aatau fluconazole (Regezi dan Sciubba,
1993).
F. Squamous Cell Carcinoma (SCC)
F.1 Definisi
Karsinoma sel skuamosa adalah suatu proliferasi ganas dari keratinosit epidermis.
Penyebab SCC adalah multifaktorial, dapat berasal dari luar (ekstrinsik) maupun dari
dalam (intrinsik). Faktor ekstrinsik meliputi merokok, alcohol, syphilis, dan sinar
matahari. Sedangkan faktor intrinsik yaitu status sistemik, misalnya malnutrisi atau
anemia defisiensi besi. SCC lebih banyak dijumpai pada laki-laki, terutama pada usia 40-
50 tahun (Neville, 2009).
Nama lain SCC antara lain epitelioma sel skuamous, karsinoma sel prickle,
karsinoma epidermoid, dan cornified epithelioma (Rata, 1999).
Gambar 11. Squamous cell carcinoma pada bibir
SCC sering terjadi pada daerah yang banyak terpapar sinar matahari seperti
wajah, telinga, bibir bawah, punggung, tangan, dan tungkai bawah. Secara klinis ada
2 bentuk SCC, yaitu :
a. SCC in situ
Karsinoma ini terbatas pada epidermis dan terjadi pada berbagai lesi kulit
yang telah ada sebelumnya seperti solar keratosis, kronis radiasi keratosis,
hidrokarbon keratosis, arsenical keratosis, dan penyakit bowen. SCC in situ dapat
menetap di epidermis dalam jangka waktu lama.
b. SCC invasif
SCC invasif dapat berkembang dari SCC in situ dan dapat juga dari kulit
normal. SCC invasif yang dini baik yang muncul pada karsinoma in situ, lesi
premaligna atau kulit normal, biasanya berupa nodul kecil dengan batas yang
tidak jelas, berwarna sama dengan kulit atau agak sedikit eritema. Permukaannya
mula-mula lembut kemudian berkembang menjadi verukosa atau papilomatosa.
Ulserasi biasanya timbul dan dapat dijumpai krusta (Partogi, 2008).
F.3 Penampakan Klinis
Pada fase awal pertumbuhan SCC biasanya tidak terasa sakit, hal inilah yang
membuat pasien tidak segera memeriksakan kondisi tersebut ke dokter gigi. Lesi SCC
dimulai dengan bercak indurasi tidak nyeri pada lidah atau mukosa mulut yang sering
mengalami ulserasi membentuk ulkus dengan batas irregular dan tepi meninggi dan
mengeras (Neville, 2009). SCC dapat menetap di epidermis dalam jangka waktu yang
lama dan tidak dapat diprediksi, dapat menembus lapisan basal sampai ke dermis dan
selanjutnya bermetastase melalui limfonodi regional (Partogi, 2008). Kemampuan
metastasis berhubungan dengan ukuran kedalaman invasi tumor dan status imunologi
penderita (Rata, 1999).
SCC intra oral paling sering terjadi pada lidah (permukaan ventral dan poterior
lateral), dapat juga terjadi pada mukosa bukal dan labial, palatum, serta gingiva.
Gambaran klinis SCC mirip dengan ulserasi pada tuberculosis, infeksi jamur, syphilis,
dan ulkus traumatik kronis (Neville, 2009).
2.6.4 Histopatologis dan Radiografis
Secara histopatologi SCC terdiri dari massa yang irregular dari sel-sel epidermis yang
berproliferasi dan menginvasi ke dermis. Sel-sel tumor tersusun konsentris disertai massa
keratin, sehingga terbentuk mutiara tanduk (horn pearls) yang khas pada SCC (Partogi,
2008). Stroma terdiri dari jaringa ikat dengan sebukan sel-sel radang limfosit (Neville,
2009).
Ketika terdapat destruksi jaringan tulang sekitar, dapat terasa sakit atau sama sakali
tidak sakit. Secara radiograf akan tampak gambaran radiolusen berupa “moth-eaten”
dengan batas yang tidak tegas (Neville, 2009).
F.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan squamous cell carcinoma adalah dengan pembedahan, radioterapi,
dan kemoterapi. Keganasan ini sensitif terhadap radioterapi, yang dapat dikombinasikan
dengan kemoterapi (kemoradioterapi). Prognosis tergantung pada stadium penyakit
dan cukup baik bila tidak didapatkan pembesaran limfonodi (James dan Bonner, 2006).
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan skenario, seorang pasien datang dengan mengeluhkan adanya ulkus pada
mukosa oral yang tidak kunjung sembuh sejak 2 bulan yang lalu yang dirasa justru semakin
membesar. Diameter ulkus kurang lebih dari 1 cm tepi ulkus terlihat jelas, meninggi, kenyal pada
palpasi. Yang menjadi fokus utama dalam kasus ini adalah ulkus kronis yang tak kunjung
sembuh. Ulkus kronis yang terjadi di dalam rongga mulut yang justru semakin membesar dan
tidak sembuh mengarah kepada manifestasi suatu penyakit sistemik yang sedang berlangsung
atau kearah keganasan. Setelah dilakukan pemeriksaan ekstra oral dijumpai adanya pembesaran
dan mobilitas pada limfonodi submandibular kiri. Riwayat pasien yang merupakan perokok berat
juga memperparah kejadian dari ulserasi pada rongga mulut ini. Menurut Ramkant dkk. (2008)
pasien dengan riwayat konsumsi tembakau jangka panjang akan lebih mudah mengalami ulserasi
pada mukosa oral yang merupakan tempat paling mudah untuk masuknya organisme ke dalam
tubuh.
Berdasarkan pemeriksaan klinis intra oral berupa ulkus oral yang tak kunjung sembuh dan
pemeriksaan ekstra oral berupa pembesaran limfonodi submandibular maka dapat ditarik
diagnosis diferensial pada kasus ini yaitu ulkus oral pada penderita HIV, oral tuberculosis,
syphilis primer, Squamous Cell Carcinoma, dan deep fungal infection. Menurut Piluso dkk
(1996), pada penderita dengan HIV AIDS akan menderita long standing oral ulcer. Lesi pada
syphilis primer, oral tuberculosis dan squamous cell carcinoma juga bersifat kronis (Neville dkk,
2009). Menurut Burket dkk. (2008), long standing chronic oral ulcer merupakan lesi infeksius
yang telah berlangsung lama, biasanya terjadi pada penderita deep fungal infection. Infeksi yang
tak kunjung sembuh akibat infeksi jamur memiliki ciri-ciri yang serupa dengan SCC, oral TB,
dan primary syphilis.
Untuk menegakan diagnosis, dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
histologis, pemeriksaan radiografis, analisis serum HIV, kultur acid fast bacilli dan kultur fungi.
Analisis serum HIV berupa penghitungan jumlah CD4. Pada orang sehat, jumlah CD4nya
berkisar 500--1500. Apabila terinfeksi HIV, jumlah ini biasanya akan turun terus. Jumlah CD4
inilah yang mencerminkan kesehatan sistem kekebalan tubuh kita, semakin rendah, semakin
rusak. Jika CD4 di bawah 200, sistem kekebalan tubuh sudah rusak sehingga terjadi infeksi
opurtunistik (IO). Penderitanya dinyatakan acquired immune deficiency syndrome (AIDS).
Analisis serum HIV menunjukan hasil yang negatif sehingga ulkus kronis pada penderita HIV
AIDS di eliminasi dari diferensial diagnosis.
Pada pemeriksaan histopatologis terlihat adanya epitheloid histiocyst dan sel giant
langhans. Epitheloid histiocytes (epitheloid cells) merupakan makrofag yang aktif dengan bentuk
yang menyerupai sel epitel, memanjang, bergranuler halus dengan sitoplasma berwarna pink dan
nukleus berbentuk ovoid. Sel-sel ini saling bergabung membentuk giant cells (giant cells
langhans). Sel giant langhans merupakan sel yang berukuran sangat besar yang dapat dilihat
pada kondisi inflamasi granulomatous seperti tuberculosis, syphilis, squamous cell carcinoma
dan deep fungal infection. Hal ini sesuai dengan skenario yang menyebutkan bahwa pada
pemeriksaan biopsi ulkus nampak adanya descrete granuloma yang menunjukan suatu kondisi
inflamasi granulomatous.
Pada pemeriksaan biopsi juga terlihat adanya necrosis caseous central. Pada beberapa jenis
penyakit, pemeriksaan mikroskopis pada granulomanya juga dapat dijumpai adanya central
necrosis yang dikelilingi oleh histiosit dalam pola radial. Necrosis Central Caseous adalah suatu
bentuk nekrosis jaringan dimana garis tepian atau outline selular telah hilang dan
penampakannya menyerupai keju yang telah mencair. Central necrosis dengan bentuk
menyerupai keju (chessy necrosis tau caseous necrosis) dapat dijumpai pada penyakit
tuberculosis dan syphilis. Menurut Regezzi (1993), pada squamous cell carcinoma terlihat
adanya ulcer nekrotik pada bagian tengah lesi yang disebut juga central necrosis. Namun pada
SCC tidak dijumpai adanya nekrosis central dengan perkejuan (caseous central necrosis)
sehingga SCC dapat dieliminasi dari diferensial diagnosis. Pada deep fungal infection, tidak
dijumpai adanya caseous central necrosis sehingga dapat disimpulkan bahwa deep fungal
infection bukan merupakan diagnosis final dari kasus ini. Hal ini juga ditunjang oleh
peemeriksaan kultur fungi yang menunjukan bahwa hasil kultur fungi negatif. Sehingga
tersisalah 2 diagnosis diferensial dari kasus ini yaitu tuberculosis dan syphilis.
Pemeriksaan penunjang berikutnya adalah tes acid bacilli. Tes acid fast bacilli
merupakan suatu tes untuk melihat sifat resistensi dari suatu organisme terhadap dekolorisasi
oleh asam selama proses pewarnaan. Tes ini peka terhadap beberapa jenis bakteri tertentu yang
memiliki karakteristik khusus dan sulit untuk diidentifikasi dengan mengunakan metode
pewarnaan biasa (pewarnaan gram). Berikut ini adalah beberapa jenis organisme yang peka
terhadap tes acid fast bacilli : 1. Seluruh jenis Mycobacteria (M.tuberculosis, M.leprae,
M.smegmatis dan jenis Myobacterium atipi), 2. Nocardia (merupakan genus bakteri yang dapat
menyebabkan infeksi pada pada paru-paru, otak atau kulit, infeksi Nocardia biasanya menyerang
pada individu dengan kondisi imun yang lemah), 3. Head of sperm, dan 4. Beberapa parasit
coccidian seperti Cryptosporidium parvum, Isospora belli, dan Cyclospora cayetenensis.
Hasil tes acid bacilli menunjukan hasil yang negatif, sedangkan Mycobacterium
tuberculosis yang merupakan bakteri penyebab tuberculosis peka terhadap tes acid fast bacilli.
Namun, untuk menyimpulkan apakah suatu individu terkena infeksi dari infeksi Mycobacterium
tuberculosis tidak cukup hanya melalui tes acid fast bacilli saja, diperlukan adanya pemeriksaan
penunjang yang lain yaitu uji tuberculin (mantoux) dan tes PCR.
Tes mantoux atau tuberculin adalah tes untuk mendeteksi/mengetahui adanya infeksi
kuman Tuberkulosis (TBC). Tes ini sudah lama dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai
nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak dengan sensitivitas dan spesifisitas di atas 90 %.
Tes mantoux dilakukan dengan cara menyuntikkan tuberkulin ( suatu komponen protein kuman
TBC yang mempunyai sifat antigenik yang kuat) ke dalam lapisan kulit lengan bawah seseorang.
Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikkan sehingga disebut juga dengan tes
tuberkulin. Protein tadi (tuberkulin) bila disuntikkan ke dalam lapisan kulit seseorang yang telah
terinfeksi TBC akan menimbulkan reaksi di kulit tersebut berupa benjolan kemerahan (indurasi)
setelah 48-72 jam kemudian. Yang diukur adalah diameter benjolan (indurasi) bukan kemerahan
yang terjadi setelah penyuntikkan. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan negatif. Bila
diameter 5-9 dinyatakan positif meragukan, karena dapat disebabkan oleh infeksi kuman
M.atipik atau karena anak pernah diimunisasi BCG. Untuk hasil yang meragukan ini, jika perlu
diulang. Untuk menghindari efek dari penyuntikan sebelumnya (efek booster), ulangan dilakukan
2 minggu kemudian.
Tes mantoux positif dapat dijumpai pada 3 keadaan sebagai berikut : 1. Infeksi TBC
alamiah: Infeksi TBC tanpa sakit, infeksi TBC dan sakit TBC, dan pasca terapi TBC, 2.Imunisasi
BCG, 3. Infeksi mikobakterium atipik/M. leprae. Sedangkan hasil tes mantoux negative bisa
muncul pada keadaan sebagai berikut : 1. Tidak ada infeksi TBC, 2. Dalam masa inkubasi infeksi
TBC ( maksudnya kuman sudah masuk tapi belum timbul gejala dan belum terbentuk kompleks
primer), 3. Anergi (anergi merupakan keadaan dimana tubuh tidak dapat memberikan reaksi
terhadap suntikan tuberkulin karena gangguan sistem imun orang tersebut walaupun sebenarnya
sudah terinfeksi kuman TBC).
Berdasarkan paparan tersebut maka dapat disimpulkan jika hasil tes mantoux negative
belum tentu individu tersebut tidak terkena infeksi TBC karena bila infeksi TBC masih dalam
fase inkubasi akan menunjukan hasil negative terhadap tes tuberculin. Sehingga diperlukan
adanya tes khusus untuk mendiagnosa TB yaitu tes PCR (Polymerase Chain Reaction). Tes ini
berguna untuk mendeteksi material genetik bakteri. Tes ini sangat sensitif dimana dapat
mendeteksi jumlah yang sangat kecil dari bakteri TB dan spesifik hanya untuk mendeteksi
bakteri TB. Jika hasil tes PCR positif maka dapat disimpulkan bahwa indisidu tersebut positif
menderita tuberculosis. Terapi medikasi yang diperlukan untuk pasien yang menderita
tuberculosis antara lain Isoniazid dan Rifampin yang digunakan sebagai pengobatan dasar TBC
selama 3-6 bulan, dengan dosis Isoniazid 5 mg/kg dan Rifampin 10 mg/kg dan tetap dilakukan
tes rutin. Jika terjadi resistensi dapat digunakan Pyrazinamide dan Streptomycin sulfate atau
Ethambutol Hcl sebagai satu kesatuan yang disebut Triple Drugs. Dosis dari obat tersebut adalah
Pyrazinamide 15-30 mg/kg dan Streptomycin 12-18 mg/kg.
Untuk mendiagnosis syphilis juga diperlukan adanya beberapa pemeriksaan penunjang
lain yaitu pemeriksaan langsung dari ulkus dengan menggunakan dark field examination dan
PCR dan pemeriksaan tidak langsung berupa tes serologis syphilis. Tes ini terdiri dari 2 macam
tes yaitu tes treponema (TPI, FTA-ABS, TPHA) dan tes non treponema (VDRL dan RPR). Jika
hasil tes-tes tersebut positif maka dapat disimpulkan bahwa pasien menderita infeksi Treponema
pallidum.
Jika pasien terinfeksi syphilis dan bila dilihat berdasarkan ciri-ciri yang nampak pada
kasus, pasien dapat didiagnosis menderita syphilis primer. Syphilis primer merupakan tahap awal
organisme mulai menginvasi ke dalam tubuh. pada awal mulanya, tanda-tanda seorang pasien
terjangkit infeksi ini belum terlihat. Periode inkubasi terjadi selama 10-90 hari. Pada kasus, ulkus
tersebut tak kunjung sembuh selama 2 bulan. Setelah itu, ulkus pada mukosa oral atau genital
mulai nampak. Sekitar 70% pasien dengan syphilis primer juga mengalami pembengkakan
limfonodi submandibular bilateral atau pada regio terjadinya ulkus pada mukosa, jadi seandainya
terjadi ulkus pada mukosa bukal sebelah kanan maka limfonodi yang membengkak juga
limfonodi submandibular sebelah kanan. Pada kasus ulkus terjadi pada mukosa bukal sebelah
kiri dan limfonodi yang membengkak adalah limfonodi submandibular sebelah kiri. Ulkus pada
mukosa oral penderita syphilis primer memiliki ciri berupa ulkus soliter dengan tepi ulkus yang
meninggi, ireguler dan dasar ulkus yang dalam. Pada pemeriksaan histologis terlihat adanya
giant sel langhans dan necrosis central caseousa. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri dan pemeriksaan
histologis ulkus pada pasien. Pada syphilis primer juga tidak dijumpai adanya kelainan pada
regio maksilofasial.
Terapi medikasi pada penderita syphilis adalah sebagai berikut : 1. Benzatin benzyl
penisilin G 2,4 juta IU intramuskuler, dosis tunggal, 2.Prokain benzyl penisilin 0,6 juta IU/hari,
instramuskuler selama 10 hari berturut-turut, 3. Untuk penderita alergi penisilin dapat diberikan
Doksisiklin 2x100 mg/hari per oral selama 30 hari, Tetrasiklin 4x500 mg/hari per oral selama 30
hari, dan Eritromisin 4x500 mg/hari selama 30 hari
BAB V
KESIMPULAN
1. Ulkus dapat dibagi menjadi 3 jenis antara lain ulkus yang akut, rekuren, dan kronis
2. Ulkus kronik tanpa komplikasi sulit untuk sembuh karena penderita terus berjalan dan
terjadi proses pemecahan jaringan granulasi. Bila terdapat luka (ulkus) yang tidak
kunjung sembuh sendiri dalam kurun waktu hingga lebih dari 3 minggu, ataupun
ditemukan perubahan dalam rongga mulut, bersegeralah untuk memeriksakankepada
dokter yang memiiki kompetensi lhusus lhusu pada bidang terkait.
3. Long standing oral ulcer dapat ditemukan pada beberapa penyakit , antara lain HIV,
Syphilis , TBC, Deep Fungal Infection dan Squamous Cell Carcinoma (SCC)
4. Berdasarkan cirri-ciri lesi yang ada, maka differential diagnosis pada kasus ini adalah:
a. TBC
b. Syphilis Primer
5. Untuk menentukan diagnosis yang tepat maka perlu dilakukan tes Mantoux untuk TBC
dan untuk syphilis perlu dilakukan tes secara langsung dari ulkus ( Reitz serum), yaitu
dark field examination dan PCR ; dan secara tidak langsung yaitu TSS (Tes Serologis
Syphilis)/ STS (Serologyc Test for Syphilis), Tes Treponema:TPI, FTA-ABS, TPHA,
Tes Non-Treponema VDRL sebagai skrining dan RPR untuk konfirmasi diagnosis
DAFTAR PUSTAKA
Amin Z dan Bahar A, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi V, Interna Publishing, Jakarta, hal. 30-48.
Anonim, 2008, http://www.nlm.nih.gov/meedlineplus/ency/article/000679.htm, diunduh: 5 Mei 2011
Anonim, 2005, http://www.encyclopedia.com/toppic/syphilis.aspx, diunduh: 5 Mei 2011
Birnbaum W, Dunne SN, 2009, Diagnosis dalam Kelainan Mulut, EGC, Jakarta.
Burket LW, Greenberg MS, Glick M, Ship JA, 2008, Burket’s Oral Medicine, 11th edition, BC Decker Inc, USA.
Dixit R, Sharma S, Nuwal P, 2008, India J Tuberc, 55:51-53
Hasibuan S, 2006, Penuntun Prosedur Diagnosa Penyakit Mulut, Bina Teknik Press, Medan.
James A, dan Bonner, MD. Radiotherapy Plus Cetuximab for Squamous Cell Carcinoma of the Head and Neck. New England Journal Med 2006; 354: 567-578.
Kumala P, Komala S, Santoso AH, Sulaiman JR, Rienita Y, 2002, Kamus Saku Kedokteran Dorland, edisi 25, EGC, Jakarta.
Langlais RP, dan Miller CS, 2000, Atlas Berwarna: Kelainan Rongga Mulut yang Lazim, Hipokrates, Jakarta, hal.94.
Little JW, 2008, Dental Management of The Medically Compromised Patient, 7th ed., Mosby Elsevier, Missouri, hal 115-22.
Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. 2009. Oral and Maxillofacial Pathology. 3rd edition. Elsevier. St Louise.
Partogi, D. 2008. Karsinoma Sel Skuamosa. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU. Medan.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006, Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Indah Offset Citra Grafika, Jakarta, ha1. 47.
Philips PA, DeMoranville, V.E, 2007, Acid-fast culture : encyclopedia, http://www.enotes.com/nursing-encyclopedia/acid-fast-culture , diunduh: 5 Mei 2011
Pinborg JJ, 1994, Atlas Penyakit Mukosa Mulut, edisi ke-4, diterjemahkan oleh drg.Kartika Wangsaraharja, Bina Rupa Aksara, hal 56-58.
Piluso S, Ficcara G, Lucartoto FM, orsi A, Dionisio D, Stendardi L, Eversole LR, 1996, Cause of Oral Ulcer in HIV Patients : a study of 19 cases, Oral Pathol, 82(2) : 166-72.
Rata, IGAK. 1999. Tumor Kulit dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3. Jakarta : FKUI. Hal 207-215.
Regezi JA dan Sciubba JJ, 1989, Oral Pathology : Clinical Pathologic Correlation, 1st ed, WB. Saunders, Philadelphia.
Regezi JA dan Sciubba JJ, 1993, Oral Pathology : Clinical Pathological Correlations, 2nd ed, WB. Saunders Company, Philadelphia.
Sayidi A, 2008, Tindakan Pencegahan Penularan Penyakit Infeksi Pada Praktek Dokter Gigi, http://transporter.blogsome.com/category/kesehatan/, diunduh: 5 Mei 2011
Scully C, Felix DH, Oral medicine--update for the dental practitioner, Aphthous and other common ulcers, Br Dent J, 2005; 199:259-264
Sonis, ST, Fazio RC, Dan Fang LST, 2003, Oral Medicine Secrets, Hanley & Belfus Inc. Philadelphia, Hal 226-227