OPTIMASI PROSES PRODUKSI PEWARNA ALAMI INSTAN DARI
LIMBAH KAYU KAMPER (Cinnamomum camphora (L) Presl ) DITELAAH
DARI WAKTU PEMANASAN DAN PENAMBAHAN MALTODEKTRIN
OPTIMATION OF INSTANT NATURAL COLORANT PRODUCTION
PROCESS FROM CAMPHOR (Cinnamomum camphora (L) Presl ) WASTE AS
REAVEALED BY HEATING TIME AND MALTODEXTRIN ADDITION
Oleh :
Ariel Nico Ardila Kusumo
NIM : 652010009
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika guna
memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
23
24
25
26
OPTIMASI PROSES PRODUKSI PEWARNA ALAMI INSTAN DARI
LIMBAH KAYU KAMPER (Cinnamomum camphora (L) Presl ) DITELAAH
DARI WAKTU PEMANASAN DAN PENAMBAHAN MALTODEKTRIN
OPTIMATION OF INSTANT NATURAL COLORANT PRODUCTION
PROCESS FROM CAMPHOR (Cinnamomum camphora (L) Presl ) WASTE AS
REAVEALED BY HEATING TIME AND MALTODEXTRIN ADDITION
Ariel Nico Ardila Kusumo*, A.Ign. Kristijanto **, Hartati Soetjipta **
*Mahasiswa Prodi Kimia Fakultas Sains dan Matematika
**Dosen Prodi Kimia Fakultas Sains dan Matematika,
Universitas Kristen Satya Wacana
Jalan Diponegoro 52-60
Salatiga
Email : [email protected]
ABSTRACT
The objectives of this study are : Firstly, to produce natural dye powder from
camphor wood waste as revealead by the length of heating time and without
maltodextrin addition. Secondly, optimation of natural dye powder of camphor wood
waste in terms of length of heating time, maltodextrin addition, and the interactions.
Thirdly, to determine the depth of shade color of natural dye from camphor wood
powder between different fixatives (lime, alum, and “tunjung” respectively).
The results of this study showed that : 1) The yield of the natural dye powder
from camphor wood waste is in the amount of 0.359 ± 0.029 grams without
maltodextrin addition in 120 minutes heating time. 2) The optimum yield of natural
dye powder from camphor wood waste as revealed by the length of heating time,
maltodextrin addition, and their interaction is obtained in the amount of 3.732 ±
0.063 grams in 30 minutes of heating time time 15% maltodextrin additions. 3) The
use of lime as fixative on cotton produce darker color for all hues (red, blue, and grey
respectively), and has a same depth of shade color for green hue using “tunjung” as
fixative. In the contracy, use of alum as fixative on cotton produce brighter color for
blue hue, while with “tunjung” produce more brighter red and grey hues.
Key words : waste of camphor, instant natural colorant, maltodektrin.
1
27
PENDAHULUAN
Batik dan Indonesia adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena batik
sudah menjadi ikon bahkan telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia.
Dalam sejarah pembuatan batik, nenek moyang kita telah menggunakan pewarna
alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya. Menurut Fitrihana
(2009) pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang
dapat mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya adalah : daun pohon nila
(Indigofera sp), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana Arn), kayu tegeran
(Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma), teh ,akar mengkudu (Morinda citrifolia),
kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun jambu
biji (Psidium guajava), dan sebagainya. Namun dalam perkembangan, ditambah
dengan kemajuan IPTEK maka kedudukan pewarna alami tergeser oleh kehadiran
pewarna sintetik yang relatif lebih mudah penggunaannya, lebih bervariasi warnanya,
serta lebih murah harganya.
Pada saat ini terbukanya pasar bebas di beberapa negara ASEAN terutama
Indonesia yang bergabung dalam AC-AFTA dan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun
2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Di antaranya, menetapkan salah satu tujuan
jangka panjang berupa industri berwawasan lingkungan, dituntut persaingan di antara
para pelaku bisnis dalam menjaga mutu produk dan keramahan lingkungan
merupakan suatu hal yang pokok (Hidayat, 2013). Meskipun pemakaian pewarna
sintetis secara nyata membuktikan kualitas pewarnaan yang baik, tetapi mempunyai
potensi pencemaran lingkungan (Prayitno dkk., 2003). Hal ini, sangat bertentangan
dengan semangat Indonesia dalam AC-AFTA untuk memenuhi syarat mutu produk
ramah lingkungan dalam persaingan industri batik. Oleh karena itu perlu perubahan
dari industri batik menggunakan pewarna sintetis dengan pewarna alami yang lebih
ramah lingkungan.
Selama ini pengrajin batik yang menggunakan pewarna alami dibuat dengan
cara ekstraksi perebusan dan hasilnya dalam bentuk larutan. Bahan pewarna yang
dihasilkan dalam bentuk larutan memiliki kekurangan diantaranya tidak tahan
disimpan dalam waktu relatif lama. Menurut Widowati (2011), hal ini dapat
menyebabkan timbulnya jamur dan konsentrasi larutan tidak seragam, sehingga
konsistensi warna sulit dicapai, dan dalam pendistribusiannya tidak praktis.
2
28
Menurut Hardjanti (2008), dalam penelitiannya tentang potensi daun katuk
sebagai pewarna alami, dengan menggunakan dua suhu pengeringan oven (80 ºC dan
90 ºC) paling efektif hasil serbuk 5,64% dari total volume ektrak 100 ml pada
pengeringan 90 ºC, sedangkan penambahan maltodektrin berkisar antara 4-8 %.
Sedangkan menurat Fitrihana (2009) proses ektraksi pewarna alam manggunakan
pelarut air dengan perbandingan pelarut air : sampel (10:1). Menurut Prayitno dkk.,
(2003) perolehan warna dari 400 gram serbuk kayu mahoni dengan pelarut air adalah
9,26 gram, dengan suhu ektraksi 60 ºC dalam, waktu pemanasan 90 menit. Serbuk
pewarna yang dihasilkan akan semakin banyak apabila suhu dinaikkan. Lebih lanjut
Padmitasari dan Novitasari (2010) menunjukkan bahwa konsentrasi zat pengisi
maltodektrin sebanyak 60 % b/v menghasilkan serbuk pewarna 6,23 % bobot ektrak
daun jati. Konsentrasi pengisi maltodektrin yang dipakai 10 % v/v menghasilkan 1,2
% serbuk pewarna dari 100 ml ektrak kulit terong Belanda (Asmara dkk., 2013).
Untuk memenuhi kebutuhan zat warna alami perlu dicari alternatif zat warna
yang murah dan ramah lingkungan. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan
limbah kayu kamper yang melimpah berupa serutan yang selama ini kurang
dimanfaatkan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan :
1. Menghasilkan serbuk pewarna alami dari limbah kayu kamper ditinjau dari
lama waktu pemanasan dan tanpa penambahan maltodektrin.
2. Optimasi serbuk pewarna alami dari limbah kayu kamper ditinjau dari lama
waktu pemanasan, penambahan maltodektrin, dan interaksinya.
3. Menentukan ketuaan warna serbuk pewarna alami kayu kamper antar
berbagai fiksatif (kapur, tawas, dan tunjung).
3
29
METODE PENELITIAN
Bahan dan Piranti yang digunakan
Bahan
Limbah serutan kayu kamper (tatal.jawa) diperoleh dari pengrajin mebel dan
kusen pintu di daerah Karangpete Salatiga, dan kain mori yang sudah di mordan untuk
uji ketuaan warna. Sedangkan bahan kimiawi yang digunakan adalah akuades,
maltodekstrin, wentol, KAl(SO4)2 (tawas), FeSO4 (tunjung), Ca(OH)2 kapur dan air
PAM.
Piranti
Piranti yang digunakan antara lain : neraca analitis, panci stainless steel,
kompor, oven, pemindai (scanner) Canon MP230, spektrofotometri UV-VIS Optizen
UV 2120 dan program SPSS.
Metode
Ektraksi Pewarna limbah Kayu Kamper
100 g limbah serutan kayu kamper kering direbus dengan air sebanyak 1,5 L
dengan waktu perebusan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit dihitung setelah air rebusan
mendidih. Ekstrak didinginkan lalu disaring. Filtrat ditambah dengan maltodektrin
sebanyak 0, 5, 10, 15, dan 20 % (b/v) , kemudian dimasukkan ke dalam oven lalu
dipanaskan pada suhu ± 100 ºC sampai kering lalu dihaluskan.
Verifikasi Ketuaan warna (Kusriniati, 2007 dalam Padmasari, 2012)
Serbuk pewarna alami instan yang diperoleh. Kemudian diuji cobakan dengan
kain mori. Kain difiksasi dengan menggunakan tunjung (5%) dan tawas (5%) selama
5 menit, kemudian dikering anginkan. Kain yang telah melalui proses pewarnaan dan
fiksasi dipindai dengan scanner untuk diperoleh data RGB dan Grayscale-nya.
Pengujian Scanning spektrofotometer UV-Vis (Sastrohamidjojo, 2001)
Ektrak serbuk pewarna yang telah dilarutkan (1:100 b/v), masing-masing
fiksatif, dan campuran ekstrak tanin dengan masing-masing fiksatif pada konsentrasi
yang sama (1:1 v/v) diukur panjang gelombang serapan optimumnya menggunakan
spetrofotometer optizen 2021 pada panjang gelombang cahaya tampak (370-700 nm).
4
210
Analisis data
Data hasil ekstraksi dianalisis dengan menggunakan rancangan dasar RAK
(Rancangan Acak Kelompok), 5 perlakuan dan 5 ulangan. Sebagai perlakuan adalah
lama waktu ekstraksi yaitu (30, 60, 90, 120, 150 menit), sedangkan sebagai kelompok
adalah waktu analisis.
Data hasil serbuk dianalisis menggunakan Rancangan Perlakuan Faktorial 5×5
dan rancangan dasar RAK (Rancangan Acak Kelompok) dengan 3 kali ulangan.
Sebagai faktor pertama adalah lama waktu ekstraksi yang terdiri dari 5 aras yaitu 30,
60, 90, 120, dan 150 menit. Faktor kedua adalah penambahan maltodektrin yang
terdiri dari 5 aras konsentrasi yaitu 0, 5, 10, 15, dan 20%, sedangkan sebagai
kelompok adalah waktu analisis.
Data hasil ketuaan warna dianalisis dengan menggunakan rancangan dasar RAK
(Rancangan Acak Kelompok), 3 perlakuan dan 9 ulangan. Sebagai perlakuan adalah
fiksatif yaitu ( tawas, kapur,dan tunjung), sedangkan sebagai kelompok adalah waktu
analisis.
Pengujian rataan antar perlakuan dilakukan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)
dengan tingkat kebermaknaan 5% (Steel dan Torrie, 1980)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Rendemen (± SE) Serbuk Pewarna Alami Limbah Kayu Kamper Antar
Berbagai Lama Waktu Pemanasan Tanpa Penambahan Maltodektrin
Rataan rendemen serbuk pewarna alami limbah kayu kamper (± SE) antar
berbagai lama waktu pemanasan tanpa penambahan maltodektrin berkisar antara
0,140 ± 0,026 gram sampai 0,359 ± 0,029 gram (Tabel 1).
5
211
Tabel 1. Purata Rendemen Pewarna (± SE) Antar Berbagai Lama Waktu
Pemanasan Tanpa Penambahan Maltodektrin
Waktu Pemanasan (menit)
W 30 W 60 W 150 W 90 W 120
X ± SE 0,140 ±
0,026
0,227 ±
0,033
0,307 ±
0,057
0,299 ±
0,029
0,359 ±
0,029
W = 0,036 (a) (b) (c) (c) (d)
Keterangan: * W = BNJ 5%
* W30, W60,W90,W120,W150 = lama waktu pemanasan yaitu 30 – 150 menit.
* Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan
tidak berbeda secara bermakna, sebaliknya angka yang diikuti huruf yang
berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda secara bermakna.
Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel 2, 4, dan 5
Dari Tabel 1 terlihat bahwa rendemen serbuk pewarna alami (±SE) meningkat
sejalan dengan waktu pemanasan, sampai waktu pemanasan 120 menit rendemen
0,359 ± 0,029 gram, kemudian menurun dalam waktu pemanasan 150 menit
(Gambar1).
Gambar 1. Diagram batang purata rendemen pewarna (± SE) antar berbagai lama
waktu pemanasan tanpa penambahan maltodektrin.
Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Prayitno, dkk (2003) dengan
menggunakan serbuk kayu berbeda (mahoni) diektrak dalam waktu 30 sampai 150
6
212
menit dan hasil tertinggi diperoleh pada waktu pemanasan 90 menit, selanjutnya akan
menurun.
Adanya penurunan rendemen serbuk pewarna dalam waktu pemanasan 150
menit dikarenakan mulai dari awal proses ektraksi sampai mencapai titik optimal 120
menit seluruh senyawa (tanin) dalam serbuk kayu kamper akan terektrak keluar dan
bercampur dengan pelarut (air). Selanjutnya, senyawa dalam serbuk akan mengalami
penurunan (Sukardi dkk., 2007). Lebih lanjut, menurut Houghton dan Raman (1998
dalam Subandriyo, 2012) waktu pemanasan yang lebih lama dari batas optimal akan
menghasilkan rendemen yang lebih rendah karena tanin yang dihasilkan akan
mengalami oksidasi.
Hasil Rendemen (± SE)Serbuk Pewarna Alami Limbah Kayu Kamper Antar
Berbagai Waktu Pemanasan Dengan Penambahan Maltodektrin
Hasil rendemen ( ± SE) serbuk pewarna alami limbah kayu kamper antar
berbagai waktu pemanasan dengan penambahan maltodektrin berkisar antara 1,766 ±
0,556 gram sampai 2,224 ± 0,640 gram (Tabel 2).
Tabel 2. Purata Rendemen Pewarna (± SE) Antar Berbagai Waktu Pemanasan
Dengan Penambahan Maltodektrin
Waktu Pemanasan (menit)
W 150 W 120 W 60 W 30 W 90
X ± SE 1,766 ±
0,556
1,808 ±
0,619
2,142 ±
0,651
2,171 ±
0,594
2,224 ±
0,640
W = 0,1096 (a) (a) (b) (b) (b)
Tabel 2 menunjukkan bahwa rendemen serbuk pewarna alami konstan dalam
waktu pemanasan 30 sampai 90 menit, lalu jumlah rendemen menurun dan sama
bobotnya dalam waktu pemanasan lebih lama (120 dan 150 menit) (Gambar 2).
7
213
Gambar 2. Diagram batang purata rendemen pewarna (± SE) antar berbagai lama
waktu pemanasan dengan penambahan maltodektrin.
Penurunan rendemen serbuk pewarna yang dihasilkan sejalan dengan
peningkatan waktu pemanasan berkaitan dengan fungsi maltodektrin sebagai bahan
penyalut. Menurut Oktaviana (2012 dalam Putra dkk., 2013) penambahan
maltodektrin berfungsi sebagai penyalut yang dapat melapisi komponen pewarna,
meningkatkan jumlah total padatan, memperbesar volume, mempercepat proses
pengeringan, mencegah kerusakan bahan akibat temperatur ruangan serta
meningkatkan daya kelarutan.
Penurunan rendemen serbuk pewarna juga dipengaruhi oleh pelarut air yang
sudah banyak menguap pada waktu pemanasan lebih dari 90 menit. Menurut
Alexander (1992 dalam Yuliawaty dan Susanto, 2014) ketika gugus hidroksil yang
terdapat dalam maltodekstrin berinteraksi dengan air pada larutan ekstrak zat pewarna
menyebabkan kelarutan partikel zat pewarna meningkat. Semakin banyak gugus
hidroksil bebas maka semakin tinggi tingkat kelarutannya.
Hasil Rendemen (± SE) Serbuk Pewarna Alami Limbah Kayu Kamper Antar
Berbagai % Penambahan Konsentrasi Maltodektrin
Rataan hasil rendeman serbuk pewarna alami limbah kayu kamper (± SE) antar
kombinasi waktu pemanasan dan antar penambahan maltodektrin berkisar antara
0,266 ± 0,037 gram sampai 3,436 ± 0,147 gram (Tabel 3).
8
214
Tabel 3. Purata Rendemen Serbuk Pewarna (± SE) Antar Berbagai %
Penambahan Konsentrasi Maltodektrin
Maltodektrin (%)
M0 M1 M2 M4 M3
X ± SE 0,266 ±
0,037
0,934 ±
0,132
2,165 ±
0,272
3,310 ±
0,210
3,436 ±
0,147
W = 0,1096 (a) (b) (c) (d) (e)
Keterangan: * W = BNJ 5%
* M0,M1,M2,M3,dan M4= persen bobot maltodektrin (0, 5, 10, 15, dan 20).
Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel 4
Dari Tabel 3 terlihat bahwa rendemen serbuk pewarna alami (± SE) meningkat
sejalan dengan % penambahan maltodektrin 15% yaitu sebesar 3,436 ± 0,147 gram,
kemudian menurun pada penambahan maltodektrin 20 % (Gambar 3).
Gambar 3. Diagram batang purata rendemen pewarna (± SE) antar penambahan
konsentrasi maltodektrin.
Dari Gambar 3 terlihat bahwa peningkatan rendemen serbuk pewarna yang
dihasilkan sejalan dengan peningkatan maltodektrin sampai dengan 15 %, selanjutnya
pada dosis maltodektrin 20% menurun. Lebih lanjut menurut Masters (1979 dalam
Badarudin, 2006), semakin tinggi total padatan dari bahan yang dikeringkan maka
rendemen yang dihasilkan akan semakin tinggi sampai batas 15 %. Sehingga
berdampak pada peningkatan rendemen serbuk pewarna. Kecenderungan peningkatan
9
215
rendemen yang dihasilkan menunjukkan bahwa maltodekstrin dapat berfungsi sebagai
penambah massa pada 15 % saja.
Penurunan rendemen pewarna pada penambahan maltodektrin 20% disebabkan
kerusakan tanin akibat proses oksidasi dan hidrolisis. Menurut Houghton dan Raman
(1998 dalam Subandriyo, 2012) waktu pemanasan yang lebih lama dari batas optimal
akan menghasilkan rendemen yang lebih rendah karena tanin yang dihasilkan akan
mengalami oksidasi.
Interaksi Penambahan Maltodektrin dan Berbagai Waktu Pemanasan Terhadap
Hasil Rendemen (± SE) Serbuk Pewarna Alami Limbah Kayu Kamper
Rataan hasil rendemen (± SE) serbuk pewarna alami limbah kayu kamper dari
hasil interaksi penambahan maltodektrin (0%) dengan berbagai waktu pemanasan
berkisar antara 0,140 ± 0,026 gram sampai 3,744 ± 0,325 gram (Tabel 4).
10
216
Tabel 4. Interaksi Penambahan Maltodektrin dan Berbagai Waktu Pemanasan
Terhadap Purata Rendemen (± SE) Serbuk Pewarna
W30 W60
W90
W120
W150
M0 0,140 ±
0,026 (a)
0,227 ±
0,033 (a)
0,299 ±
0,029 (a)
0,359 ±
0,029 (a)
0,307 ±
0,057 (a)
W =
0,0273 (a) (b) (c) (d) (c)
M1 1,394 ±
0,112 (b)
0,921 ±
0,058 (b)
1,035 ±
0,022 (b)
0,758 ±
0,053 (b)
0,563 ±
0,007 (b)
W =
0,0273 (e) (c) (d) (b) (a)
M2 2,881 ±
0,049 (d)
2,346 ±
0,047 (c)
2,517 ±
0,208 (c)
1,222 ±
0,177 (c)
1,857 ±
0,101 (c)
W =
0,0273 (e) (c) (d) (a) (b)
M3 3,732 ±
0,063 (e)
3,668 ±
0,062 (e)
3,645 ±
0,105 (d)
2,957 ±
0,061 (d)
3,180 ±
0,069 (e)
W =
0,0273 (d) (c) (c) (a) (b)
M4 2,706 ±
0,061 (c)
3,547 ±
0,448 (d)
3,626 ±
0,393 (d)
3,744 ±
0,325 (e)
2,926 ±
0,377 (d)
W =
0,0273 (a) (c) (d) (e) (b)
Keterangan:* W = 0,0273.
*Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris maupun lajur yang
sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda secara bermakna,
sebaliknya angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris maupun
lajur yang sama menunjukkan antar perlakuan berbeda secara bermakna.
Dari Tabel 4, terlihat bahwa, tanpa penambahan maltodektrin (0%) dan
penambahan maltodektrin 20% menunjukkan pola yang sama yaitu rataan rendemen
serbuk pewarna meningkat sejalan dengan peningkatan waktu pemanasan sampai 120
menit kemudian turun pada waktu pemanasan 150 menit. Sebaliknya pada
penambahan maltodektrin 5%,10%, dan 15 %, rataan rendemen serbuk pewarna
menurun sejalan dengan peningkatan waktu pemanasan (Gambar 4).
11
217
Telaah lebih lanjut yaitu antar konsentrasi maltodektrin dalam setiap waktu
pemanasan maka akan terlihat kenampakan sebagai berikut: Pada waktu pemanasan
30, 60, dan 150 menit rataan rendemen serbuk pewarna meningkat sejalan dengan
penambahan maltodektrin 15 %, kemudian pada penambahan maltodektrin 20 %.
Dalam waktu pemanasan 90 menit rataan rendemen serbuk pewarna meningkat
sejalan dengan penambahan maltodektrin 15% dan sama dengan pada penambahan
maltodektrin 20 %. Sedangkan dalam waktu pemanasan 120 menit rataan rendemen
serbuk pewarna meningkat sejalan dengan penambahan maltodektrin dan rendemen
serbuk pewarna maksimal pada penambahan maltodektrin 20 % (Gambar 4).
Gambar 4. Diagram batang purata rendemen pewarna (± SE) antar interaksi waktu
pemanasan terhadap penambahan konsentrasi maltodektrin.
Peningkatan hasil rendemen pewarna berkaitan dengan fungsi maltodektrin
sebagai penyalut, adanya peningkatan jumlah konsentrasi maltodektrin akan
meningkatkan pula proses pengkristalan yang selanjutnya menyebabkan terjadinya
peningkatan hasil rendemen pewarna. Menurut Gustavo dan Barbosa-Canovas (1999
dalam Badarudin, 2006), gugus hidroksil maltodekstrin jika dalam air akan
membentuk ikatan hidrogen dengan molekul-molekul air disekitarnya. Jika air
dihilangkan maka akan terjadi pengkristalan, karena gugus hidroksil akan membentuk
ikatan hidrogen dengan ikatan gugus hidroksil yang lain sesama monomer. Oleh
12
218
karena itu, semakin banyak maltodekstrin yang ditambahkan semakin cepat pula
terjadi pengkristalan dan penguapan air sehingga kadar air bahan akan semakin
rendah.
Adanya peningkatan rendemen yang dihasilkan menunjukkan bahwa
maltodekstrin dapat berfungsi sebagai penambah massa. Menurut Endang dan
Prasetyastuti (2010 dalam Yuliawaty dan Susanto, 2014) semakin banyak jumlah
maltodekstrin yang ditambahkan maka rendemen produk akan semakin tinggi. Hal ini
disebabkan penggunaan maltodekstrin berfungsi untuk memperbesar volume dan
meningkatkan total padatan bahan, sehingga rendemen yang diperoleh semakin tinggi.
Jika ditelaah hasil rendemen pewarna dari interaksi berbagai waktu pemanasan
terhadap penambahan konsentrasi maltodektrin 15 % maka pewarna yang dihasilkan
tinggi. Hal ini berkaitan dengan peranan waktu pemanasan yang berhubungan dengan
kerusakan tanin akibat proses oksidasi dan hidrolisis stabilitas. Menurut Houghton
dan Raman (1998 dalam Subandriyo, 2012) waktu pemanasan yang lebih lama dari
batas optimal akan menghasilkan rendemen yang lebih rendah karena tanin yang
dihasilkan akan mengalami oksidasi.
Pengaruh Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap ketuaan Warna Kain Mori Dengan
Serbuk Pewarna Alami Limbah Kayu Kamper
Rataan ketuaan warna (± SE) kain mori dengan serbuk pewarna limbah kayu
kamper antar berbagai fiksatif yang diekpresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar
antara 0,672 ± 0,003 sampai dengan 0,891 ± 0,003 (Tabel 5).
13
219
Tabel 5. Purata Ketuaan Warna (± SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Serbuk
Pewarna Limbah Kayu Kamper Antar Berbagai Jenis Fiksatif
Jenis Fiksatif (5%)
Ka Tw Tu
Red (R) 0,836 ± 0,002 0,844 ± 0,002 0,891 ± 0,003
w= 0,004 (a) (b) (c)
Green (G) 0,789 ± 0,002 0,793 ± 0,002 0,789 ± 0,002
w= 0,004 (a) (b) (a)
Blue (B) 0,672 ± 0,003 0,750 ± 0,003 0,719 ± 0,004
w= 0,006 (a) (c) (b)
Grey (Gr) 0,781 ± 0,003 0,801 ± 0,003 0,812 ± 0,004
w= 0,006 (a) (b) (c)
Keterangan: * W = BNJ 5%
* Ka = Kapur ; Tw = Tawas ; Tu = Tunjung
Dari Tabel 5 terlihat bahwa kain mori dengan fiksatif kapur mempunyai
ketuaan warna lebih gelap untuk semua rona (red, green, blue, dan grey), dan
memiliki ketuaan warna yang sama untuk rona green dengan fiksatif tunjung.
Sebaliknya berbeda yaitu lebih terang dengan fiksatif tawas untuk rona blue,
sedangkan dengan fiksatif tunjung untuk rona red dan grey lebih terang (Gambar 5).
Gambar 5. Diagram batang purata ketuaan warna kain mori hasil pewarnaan serbuk
limbah kayu kamper antar berbagai jenis fiksatif
Keterangan : R =Red/merah, G = Green/hijau, B = Blue/biru, dan Gr = Grey/abu-abu.
14 14
220
Dalam penelitian ini, telah dilakukan pengukuran panjang gelombang
maksimum masing-masing fiksatif, serta fiksatif yang diberi ekstrak tanin dari serbuk
pewarna untuk menentukan pengaruhnya terhadap intensitas serapan UV-cahaya
tampak dengan spektrofotometri UV-VIS (Tabel 6).
Tabel 6. Data Panjang Gelombang Maksimum Serapan UV-Cahaya Tampak
Ektrak Tanin Serbuk Pewarna Dengan Penambahan Berbagai Fiksatif
Panjang
Gelombang Ektrak Tawas
E+tw Kapur
E+kp Tunjung
E+tu
(nm) (E) (tw) (kp) (tu)
370 0,237 0,015 0,07 0,012 0,116 0,446 0,252
385 0,949 0,006 0,399 0,007 0,708 1,049 1,202
400 1,116 0,002 0,371 0,008 0,754 2,081 1,889
600 0,341 0,004 0,081 0,014 0,194 0,082 0,118
Tabel 6 menunjukkan fiksatif tawas dengan panambahan ekstrak tanin
mengalami penurunan panjang gelombang maksimum (dari 400-385 nm), sementara
fiksatif kapur mengalami penurunan panjang gelombang maksimum (dari 600-400
nm), dan fiksatif tunjung tidak mengalami perubahan panjang gelombang maksimum.
Menurut Cairns (2008), panjang gelombang maksimum dapat berubah ketika suatu
senyawa mengalami ionisasi (Gambar 6).
15
Gambar 6. Serapan UV-Cahaya Tampak Ekstrak Tanin Serbuk Pewarna dengan Penambahan Berbagai Fiksatif
Keterangan : = Ekstrak ; = Tawas ; = E+Tw ; = Kapur ; : E+Ka ;
= Tunjung ; = E+Tu
16
Gambar 6 menunjukkan terjadinya pergeseran serapan dan kenaikan
intensitas serapan (efek hiperkromik). Pada penambahan fiksatif tawas pada ekstrak
tanin terlihat adanya pergeseran panjang gelombang maksimum menuju panjang
gelombang yang lebih panjang (batokromik).
Geseran ini biasanya terjadi karena kerja auksokrom yaitu gugus fungsi yang
menempel pada kromofor (bagian molekul yang bertanggung jawab terhadap
penyerapan cahaya) yang tidak menyerap energi cahayanya sendiri tetapi
mempengaruhi panjang gelombang cahaya yang diserap kromofor. Contoh auksokrom
di antaranya adalah gugus –NH2, -OH, -SH. Gugus-gugus fungsi ini mempunyai
pasangan elektron bebas (non-bonded electron) yang dapat berinteraksi dengan
elektron π pada kromofor dan memungkinkan terjadinya penyerapan cahaya yang
memiliki panjang gelombang yang lebih panjang (Cairns, 2008 dalam Sumasa, 2014).
Hasil berbeda dijumpai pada fiksatif tunjung dalam ektrak tanin yaitu terjadi
kenaikan intensitas serapan tanpa adanya pergeseran panjang gelombang maksimum.
Dalam hal ini dapat diduga karena tidak adanya kerja auksokrom. Kenaikan intensitas
serapan dipengaruhi oleh intensitas serapan ekstrak tanin tinggi. Selanjutnya pada
fiksatif kapur dalam ektrak tanin, intensitas serapan mengalami kenaikan disertai
pergeseran panjang gelombang maksimum menuju panjang gelombang yang lebih
pendek (efek hipsokromik). Geseran ini biasa terjadi jika senyawa dengan auksokrom
basa terion, dan pasangan elektron bebas tidak lagi dapat berinteraksi dengan elektron
kromofor. Kenaikan intensitas serapan menunjukkan kenaikan terhadap terhadap
fotosensitivitas. Semakin kuat fotosensitivitas maka semakin gelap warna yang
dihasilkan, sebaliknya semakin rendah fotosensitivitas maka semakin cerah warna
yang dihasilkan (Kombado, 2013 dalam Sumasa, 2014).
17
223
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Hasil serbuk pewarna alami limbah kayu kamper ditinjau dari lama waktu
pemanasan dan tanpa penambahan maltodektrin adalah dalam waktu
pemanasan 120 menit yaitu sebentar 0,359 ± 0,029 gram.
2. Hasil optimum serbuk pewarna alami limbah kayu kamper ditinjau dari lama
waktu pemanasan, penambahan maltodektrin, dan interaksinya diperoleh
dalam adalah pada waktu pemanasan 30 menit dengan penambahan
maltodektrin 15% sebesar 3,732 ± 0,063 gram.
3. Kain mori dengan fiksatif kapur mempunyai ketuaan warna lebih gelap
untuk semua rona (red, blue, dan grey), dan memiliki ketuaan warna yang
sama untuk rona green dengan fiksatif tunjung. Sebaliknya berbeda pada
fiksatif tawas yaitu lebih terang untuk rona blue, sedangkan dengan fiksatif
tunjung untuk untuk rona red dan grey lebih terang.
SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya terkait tanin dalam limbah kayu kamper
dan kayu lain, jumlah maltodektrin, penggunaan zat pengikat binder, dan
stabilisasi suhu pemanasan.
2. Produksi pewarna alami dengan alat spray dryer dan penentukan dosis serbuk
pewarna yang tepat dalam pewarnaan kain.
18
224
DAFTAR PUSTAKA
Asmara, Yoga, Aji Bayu. K, Septian Adi G.P, Fajar Aini, Isti Pudjihastuti, 2013.
Rekayasa Proses Pembuatan Serbuk Pewarna Batik Biodegredable Berbahan
Antosianin Limbah Kulit Terong Belanda (Chypomandra betacea) Dengan
Kombinasi Ekstraksi Gelombang Ultrasonik Dan Aquasolvent. Prosiding
SNST ke-4 Tahun 2013. Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim
Semarang. Jurusan DIII Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Diponegoro. Semarang.
Anonim.2007. Pencemaran Pewarna di Pekalongan. Suara Merdeka : 26/4/ 2007 :
Jawa Tengah
Badarudin, T.,2006. Penggunaan Maltodektrin Pada Yoghurt Bubuk Ditinjau Dari Uji
Kadar Air Keasaman, pH, Rendemen, Reabsorbsi Uap Air, Kemampuan
Keterbatasan, dan Sifat Kedispersian, Jurusan Teknologi Hasil Ternak
Hardjanti, S, 2008. Potensi Daun Katuk Sebagai Sumber Zat Pewarna Alami Dan
Stabilitas Selama Pengeringan Bubuk Dengan Menggunakan Binder
Maltodektrin, Universitas Mercu Buana,Yogyakarta.
Hidayat, A.2013. Banyak Industri Tak Ramah Lingkungan. Tempo: 26/11/2013 :
Jakarta.
Kusriniati, D., 2007. Pemanfaatan Daun Sengon (Albizia falcataria) Sebagai Pewarna
Kain Sutera Menggunakan Mordan Tawas Dengan Konsentrasi Yang Berbeda
Pada Busana Camisol. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Prayitno, H, Endro Kismolo, dan Nurimaniwati, 2003. Proses Ekstraksi Bahan
Pewarna Alam Dari Limbah Kayu Mahoni. Puslitballg Teknologi Maju,
BATAN, Yogyakarta
Padmasari, A. K., 2012. Limbah Teh Hijau Sebagai Pewarna Alami Batik Tulis
(Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah
dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB). Skripsi. Program Studi Kimia,
Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Padmitasari,K.A.I, Dewi Novitasari, 2010. Pembuatan Serbuk Zat Warna Alami
Tekstil Dari Daun Jati Dengan Metode Spray Dryer, Program Studi D3 Teknik
Kimia, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
19
225
Fitrihana,S.T, 2009. Teknik Ekplorasi Zat Pewarna Alam Dari Tanaman Di Sekitar
Kita Untuk Pencelupan Bahan Tekstil, Jurusan PKK FT UNY
Widowati, T.B, 2011. Pemanfaatan Cabang dan Pucuk Cabang (Dalbergia latifolia,
Manilkara kauki dan Tectona grandis) Sebagai Pewarna Alami Batik,
Program Studi Ilmu Kehutanan Program Pasca Sarjana, Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta
Putra Stefanus Dicky Reza, L.M. Ekawati, Purwijantiningsih, dan F. Sinung Pranata,
2013. Kualitas Minuman Serbuk Instan Kulit Buah Manggis (Garcinia
mangostana Linn.) Dengan Variasi Maltodektrin Dan Suhu Pemanasan,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Sastrohamidjojo, H., 2001. Spektroskopi. Edisi 2. Liberty. Jakarta
Subandriyo, 2012. Pengaruh Suhu Dan Waktu Pemanasan Terhadap Karakteristik
Tanin Dari Limbah Padat Kulit Kayu Pinus (Pinus sp) Yang Dipemanasan
Dengan Pelarut Air, Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri,
Semarang.
Sukardi, A. R. Mulyarto, dan W. Safera, 2007. Optimasi Waktu Ektraksi Terhadap
Kandungan Tanin Pada Bubuk Ektrak Daun Jambu Biji (Psidii Folium) Serta
Produksinya, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya.
Sumasa,T.T., 2014. Limbah Kulit Biji Coklat (Theobroma cacao Linn.) sebagai
Pewarna Alami Kain Mori dan Sutra (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap
Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra
Digital RGB). Skripsi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana
Steel, R.G.D. dan J.H. Torie, 1980. Prinsip Dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan
Biometrik. Gramedia. Jakarta.
Yuliawaty, S.T dan W.H. Susanto, 2014. Pengaruh Lama Pengeringan Dan
Konsentrasi Maltodektrin Terhadap Karakteristik Fisik Kimia Dan
Organoleptik Minuman Instan Daun Mengkudu (Morinda citrifolia L), Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang
20