Download - Makalah Pph Final&Badan Finish
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran
serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-
undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi
merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran
serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas
kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang
perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan
Indonesia. Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena
itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang
telah dilakukanUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu
wajar jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage
(lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari
masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran
masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang
berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber
dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari
sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang
kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan
komprehensif.Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar
memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada
wajib pajak belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif.
Dengan pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih
memungkinkan. Dari begitu banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak,
salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi yaitu orang yang memperoleh
penghasilan.
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak
Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah
Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak – Departemen
Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah
Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat
dibagi menjadi :
1. Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang
dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik
Indonesia. Pajak penghasilan terkait terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pph pasal 21
Pph pasal 22
Pph pasal 23
Pph pasal 24
Ppa pasal 25
Pph pasal 26 dan,
Pph pasal 4 ayat 2
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi,
perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3. PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas
barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM.
4. Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan
menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan
mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode
006.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri
atas tanah dan bangunan (property tax).
6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)BPHTB adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB,
walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan
BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun atau setelah
tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam undang-undang diantaranya
adalahUndang-undang nomor:42 tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas
undang0undang nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan
pajak penjualan atas barang mewah dan undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang
pajak daerah dan retribusi dearah.Menyikapi kewajiban pajak berdasarkan undang-
undang ini, Dalam konteks itulah makalah ini ditulis. Makalah ini akan membahas
tentang"pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 dan badan".
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembahasan dari pph pasal 4 ayat 2 dan pph badan.
2. Bagaimana wajib pajak yang terkena pph pasal 4 ayat 2 (final)
3. Bagaimana badan usaha yang dikenakan pph badan, baik badan usaha dalam negeri
maupun luar negeri.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pembahasan dari pph pasal 4 ayat 2 dan pph badan.
2. Untuk mengetahui wajib pajak yang terkena pph pasal 4 ayat 2 (final)
3. Untuk mengetahui badan usaha yang dikenakan pph badan, baik badan usaha dalam
negeri maupun luar negeri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PPH PASAL 4 AYAT 2 (PPH FINAL)
A. PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2 (PPh BERSIFAT FINAL)
SECARA UMUM
PPh Final adalah pajak penghasilan yang bersifat final, yaitu bahwa
setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang
dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan
lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final. Pajak jenis ini dapat
dikenakan terhadap jenis penghasilan, transaksi atau usaha tertentu. Laba
Akuntansi adalah laba atau rugi bersih.
Pasal 4 ayat 2 undang-undang pajak penghasilan menyebutkan bahwa :
“atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan
dari pengalihan harta berupa tanah dan bangunan serta penghasilan tertentu
lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penghasilan yang termasuk penghasilan pasal 4 ayat (2) perlu diberikan
perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya berdasarkan beberapa
pertimbangan-pertimbangan diantaranya adalah kesederhanaan dalam
pemungutan pajak, mengurangi administrative costs dan salah satu komponen
compliance costs, pemerataan pengenaan pajak dan sesuai dengan perkembangan
ekonomi dan moneter.
B. JENIS PENGHASILAN TERTENTU YANG PENGENAAN PAJAKNYA
BERSIFAT FINAL DALAM PPh PASAL 4 AYAT 2
Pengenaan pajak atas penghasilan tertentu tidak didasarkan atas ketentuan
umum penghitungan Penghasilan Kena Pajak maupun penerapan Norma
Penghitungan, melainkan berdasarkan penerapan tarif efektif atas peredaran atau
penghasilan bruto atau dasar pengenaan pajak lainnya ( presumptive tax ) yang
diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Jenis penghasilan tertentu yang pengenaan PPh-nya diatur dengan Peraturan
Pemerintah untuk memudahkan proses pemungutannya dan bersifat final (atas
penghasilannya tidak digunggungkan lagi dalam menghitung PPh terutang setahun
dan PPh yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan lagi) adalah sebagai berikut :
1. PPh atas Bunga Deposito, Tabungan, dan Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(SBI).
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diatur dengan peraturan
Pemerintah No. 13 tahun 2000. Menurut PP No.131 tahun 2000, atas penghasilan
berupa bunga yang berasal dari deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang
diterima oleh wajib pajak dalam negeri dab BUT dikenakan pajak dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya PPh yang dipotong adalah 20%
dari jumlah bruto.
a. Subjek Pajak : Nasabah.
b. Pemotong Pajak : Bank dan Bank Indonesia.
c. Objek PPh : Bunga deposito/tabungan, Jasa Giro, dan Diskonto SBI.
d. Pengecualian :
1) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah pokok
deposito dan tabungan serta SBI nya tidak melebihi Rp.7.500.000,00 dan
bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
2) Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang Bank luar negeri di Indonesia;
3) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sbb:
iuran pemberi kerja;
iuran peserta;
hasil investasi; dan
pengalihan dari Dana Pensiun lain.
4) Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun
untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
e. Tarif PPh :
20% dari Penghasilan Bruto (untuk WP dalam negeri dan BUT)
20% dari Penghasilan Bruto atau tarif berdasarkan perjanjian penghindaran
pajak berganda yang disebut juga Tax Treaty (untuk WP luar negeri).
2. PPh atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang diperdagangkan di Bursa Efek
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga atau diskonto
obligasi yang dijual di bursa efek diatur dengan peraturan pemerintah no. 6 tahun
2002. Menurut PP No. 6 tahun 2002, atas penghasilan yang diterima wajib pajak
berupa bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan di
bursa efek dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final.
a. Subjek Pajak : Wajib Pajak penerima bunga atau diskonto obligasi, Wajib
pajak penjual obligasi.
b. Pemotong Pajak :
Penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen
pembayaran, atas bunga yang diterima atau diperoleh pemegang obligasi
dengan kupon pada saat jatuh tempo bunga/obligasi, dan atas diskonto
yang diterima atau diperoleh pemegang obligasi dengan kupon/obligasi
tanpa bunga pada saat jatuh tempo obligasi.
Perusahaan efek (broker0 atau bank selaku pedagang perantara (dealer),
atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh penjual
obligasi pada saat transaksi.
Perusahaan Efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku
pembeli obligasi langsung tanpa melalui pedagang perantara, atas bunga
dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh penjual obligasi pada
saat transaksi.
c. Objek PPh : Penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak berupa
bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan
perdagangannya di bursa efek.
d. Tarif PPh :
1) Atas bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebesar :
o 20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
o 20% atau Tarif sesuai Tax Treaty yang berlaku bagi wajib pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari jumlah bruto bunga sesuai
dengan masa kepemilikan (holding period) obligasi.
2) Atas diskonto obligasi dengan kupon sebesar :
20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
20% atau Tarif sesuai Tax Treaty yang berlaku, bagi wajib pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari selisih lebih harga jual
pada saat transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo obligasi di
atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accured
interest).
3) Atas diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) sebesar :
20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
20% atau Tarif sesuai Tax Treaty yang berlaku, bagi wajib pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari selisih lebih harga jual
pada saat transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo obligasi di
atas harga perolehan obligasi.
e. Pengecualian :
1) Atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh wajib
pajak:
Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia
Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disyahkan
menteri keuangan
Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal
(BAPEPAM), selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian
perusahaan atau pemberian izin usaha.
2) Tidak dikenakan pemotongan PPh
Pemotongan PPh atas atas bunga dan diskonto obligasi yang diperoleh
wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang seluruh penghasilannya
termasuk penghasilan bunga dan diskonto obligasi tersebut dalam satu
tahun pajak tidak melebihi jumlah PTKP, tidak bersifat final. Wajib
pajak orang pribadi tersebut dapat mengajukan permohonan restitusi
atas PPh yang telah dipotong ke Kantor Pelayanan Pajak.
Obligasi yang tidak diperdagangkan dan tidak dilaporkan
perdagangannya di bursa efek, pemotongan PPh oleh para pemotong
pajaknya dilakukan berdasarkan ketentuan pasal 23 atau pasal 26 UU-
PPh.
3. PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan
a. Subjek Pajak : Penjual atau pihak yang mengalihkan hak selaku penerima
penghasilan.
b. Pemotong Pajak : Pembeli atau pihak yang menerima pengalihan hak.
c. Objek PPh : Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
(penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak
lain atau dengan pemerintah).
d. Pengecualian :
o Transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan
oleh WP Badan termasuk Koperasi yang usaha pokoknya melakukan
transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan (perusahaan real
estate) tidak dikenakan PPh yang bersifat final melainkan PPh dengan
ketentuan umum.
o Orang Pribadi atau badan yang melakukan pengalihan tanah dan atau
bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan
keagamaan/ pendidikan/ sosial/ pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan;
o Orang Pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang jumlah brutonya kurang
dari Rp.60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
o Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan kepada pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus seperti pembebasan tanah oleh pemerintah untuk
proyek jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, saluran irigrasi,
pelabuhan laut, Bandar udara, tanggul, dan fasilitas ABRI;
o Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan sehubungan dengan warisan.
e. Tarif PPh : 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan (nilai yang tertinggi antara
nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Obyek Pajak) hak
atas tanah dan atau bangunan.
4. PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan
a. Subjek Pajak : Pihak yang menyewakan sebagai penerima penghasilan.
b. Pelunasan Pajak :
Pemotongan oleh penyewa (jika pihak penyewa Badan Pemerintah, Subjek
Pajak Badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, KSO, perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya, dan Orang Pribadi yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak;
Penyetoran sendiri oleh yang menyewakan dalam hal penyewa adalah Orang
Pribadi dan Subjek Pajak lainnya.
c. Objek PPh : Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan.
d. Tarif PPh : 10% dari jumlah bruto nilai persewaan (semua jumlah yang
dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa,
termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan service
charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan
dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan).
Contoh :
PT. ABC menyewa sebuah ruko dari Tuan Wibawa untuk dijadikan kantor
dengan nilai sewa sebesar Rp 40.000.00,00.
PPh pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh PT. ABC adalah:
10% x Rp 40.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
5. PPh atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi
diatur dengan peraturan pemerintah No. 51 tahun 2008. Berikut ini adalah
beberapa pengertian menurut PP No. 51 tahun 2008 :
Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan pekerjaan
konstruksi.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup
pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan
masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan
atau bentuk fisik lain.
Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi
yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan
bangunan fisik lain.
Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa
konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan
suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain,
termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan
fungsi layanan dalam model penggabungan, perencanaan, pengadaan, dan
pembangunan (engineering, procurement and construstion).
Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi,
yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan
pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
Penyedia jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap,
yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi, pelaksana
konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Dan berikut ini adalah ketentuan dari PPh final atas
penghasilan usaha jasa konstruksi :
a. Subjek Pajak : Kontraktor Kecil (yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha
kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang,
serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp.1.000.000.000,00.
b. Pelunasan Pajak :
Pemotongan oleh pengguna jasa (jika pihak pengguna jasa Badan
Pemerintah, Subjek Pajak Badan dalam negeri, BUT, atau Orang Pribadi
sebagai WP dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak);
Penyetoran sendiri oleh penyedia jasa dalam hal pemberi penghasilan
adalah pengguna jasa selain yang disebutkan di atas.
c. Objek PPh : Penghasilan yang diterima penyedia jasa konstruksi.
d. Pengecualian : Untuk kontraktor besar (dengan nilai pengadaan lebih dari
Rp.1.000.000.000,00) tidak terkena PPh bersifat final melainkan PPh Pasal 23.
e. Tarif PPh Terutang :
2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang
memilki kualifikasi usaha kecil :
PPh Final = 2% x Jumlah Jasa
4% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha :
PPh (final) = 4% x jumlah usaha
3% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2.
PPh (final) = 3% x jumlah jasa
4% untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kuaifikasi usaha.
PPh (final) = 4% x jumlah jasa
6% untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
PPh (final) = 6% x jumlah jasa
Pajak penghasilan atas jasa konstruksi :
Dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa
merupakan pemotong pajak.
Disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan
pemotong pajak.
6. PPh atas Penghasilan tertentu berupa Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
(SPN)
a. Subjek Pajak : Wajib pajak yang menerima penghasilan berupa diskonto SPN
b. Pemotong Pajak : - Penerbit SPN (emiten) atau custodian yang ditunjuk selaku
agen pembayar, atas diskonto SPN yang diterima pemegang SPN saat jatuh
tempo
c. Objek PPh : Diskonto SPN.
d. Tarif PPh :
20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
20% atau tarif sesuai Tax Treaty (P3B) yang berlaku bagi wajib pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri.
e. Pengecualian :
Tidak dikenakan terhadap diskonto SPN yang diterima atau diperoleh
wajib pajak : Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia
Dana pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disyahkan oleh
menteri keuangan
Reksadana yang terdaftar pada BAPEPAM-LK selama 5 (lima) tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
7. Bunga Simpanan Koperasi
a. Subjek Pajak : Anggota koperasi penerima bunga simpanan koperasi
b. Pemotong Pajak : Koperasi
c. Objek PPh : Bunga simpanan koperasi di atas Rp. 240.000,-
d. Tarif PPh : 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan bunga simpanan
lebih dari Rp. 240.000,-
8. PPh atas Hadiah Undian
Pengenaan pajak penghasilan berupa hadiah undian diatur dalam peraturan
pemerintah no. 132 tahun 2000. Menurut ketentuan peraturan tersebut penghasilan
berupa undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut
pajak penghasilan yang bersifat final. Besarnya pajak penghasilan yang wajib
dipotong atau dipungut adalah sebesar 25% dari jumlah bruto undian. Berikut
adalah ketentuannya :
a. Subjek Pajak : Penerima Undian.
b. Pemotong Pajak : Penyelenggara Undian.
c. Objek PPh : Hadiah Undian (diundi didepan notaris).
d. Tarif PPh Terutang : 25% dari jumlah bruto hadiah undian atau nilai pasar
apabila
hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura.
PPh (final) = 25% x Bruto
Contoh :
PT. CINTA dalam rangka mempromosikan produk barunya menyelenggarakan
undian dengan hadiah berupa uang tunai senilai Rp 100.000.000,00.
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh PT.CINTA adalah :
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
2.2 PPH BADAN
Badan yaitu sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis,
lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
penghasilan Badan dalam negeri dan penghasilan Badan luar negeri (BUT maupun
tidak). Pada prinsipnya Objek PPh adalah penghasilan itu sendiri yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak.
Objek Pajak Badan dalam negeri adalah semua penghasilan yang diterima atau
diperoleh oleh Badan tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income), yang
diterima baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini diatur: dalam pasal 4 ayat (1)
UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pasal 5 UU PPh diatur
tentang Objek Pajak BUT yaitu :
1. Penghasilan dan usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau
pemberian jasa Di Indonesia yang sejenisnya dengan yang dilakukan atau
dijalankon oleh BUT di Indonesia
3. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia dan premi asuransi (posal 26 ayat
(2)), yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan
efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan
tersebut.
Tidak semua penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak adalah
Objek PPh. Pasal 4 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000 mengatur penghasilan yang tidak
menjadi objek pajak, antara lain:
1. Bantuan, sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para\
penerima zakat yang berhak.
2. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai Wajib Pajak
Dalam Negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a. deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan
b. bagi PT, BUMN, dan BUMD yang menerima deviden, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% dari jumlah yang
disetor dan harus mempunyai usaha efektif di luar kepemilikan saham
tersebut.
3. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha.
a. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
b. Selanjutnya PP yang dimaksud adalah PP No. 130 Tahun 2000 tanggal 15
Desember 2000 yang mengatur bahwa yang dapat dibebaskan dari PPh adalah
utang debitur kecil, yaitu utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari 350
juta, termasuk:
Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera
KUT( Kredit Usaha Tani)
KPRSS (Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana)
KUK( Kredit Usaha Kecil)
Kredit lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan BI dalam rangka
mengembangkan usaha kecil dan koperasi (yang merupakan jumlah kumulatif
dari satu atau beberapa bank/ kreditur).
Pembebasan utang terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan
restrukturisasi perusahaan dengan melaksanakan program Pemerintah mengikuti
ketentuan yang ditetapkan INDRA, IBRA, dan Prakarsa Jakarta diatur dalam KEP
28/PJ/1999, SE-05/PJ.42/1999, SE 2.2/PJ-42/2000 yang menetapkan bahwaWajib
Pajak tersebut dapar memilih pengakuan penghasilan :
o sekaligus dalam tahun diperolehnya pembebasan utang
o dialokasikan dalam jangka waktu 5 tahun dalam jumlah yang sama besar (20 %
per tahun)
o Wajib Pajak memberitahukan ke KPP dengan formulir yang sudah disediakan,
selambatlambatnya pada saat SPT Tahunan PPh disampaikan ke KPP, tidak
memberitahukan berarti diakui sekaligus.
A. Laba komersial vs laba kena pajak
Laba komersial (accounting income) merupakan pengukuran laba yang lazim
digunakan dalam dunia bisnis baik untuk kepentingan pasar modal (bursa efek),
perbankan, Rapat Umum Pemegang Saham, dan kepentingan lainnya.
Laba komersial ini dihitung berdasarkan standar akuntansil yang berlaku.
Sejak tahun 1995 standar akuntansi yang berlaku di Indonesia adalah Standar
Akuntansi Keuangan (SAK). Penghitungan laba komersial bertumpu pada prinsip
matching cost against revenue (persandingan antara pendapatan dengan biaya-biaya
yang terkait). Dalam salah satu prinsip tersebut terdapat konsep bahwa pengeluaran
perusahaan yang tidak mempunyai manfaat untuk masa yang akan datang, bukanlah
merupakan aset sehingga harus dibebankan sebagai biaya. Dengan demikian dalam
akuntansi seluruh pengeluaran/beban perusahaan sepanjang memang harus
dikeluarkan oleh perusahaan diakui sebagai biaya/beban.
Laba Kena Pajak/Penghasilan Kena Pajak (Taxable Income] merupakan laba
yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Peraturan yang berlaku
di Indonesia saat ini adalah UU No. 7/1983 yang diubah dengan UU No. 10/1994 dan
diubah terakhir dengan UU No. 17/2000 mengenai Pajak Penghasilan, beserta
peraturan pelaksanaannya.
Penghitungan laba kena pajak dalam kaitannya dengan karyawan didasarkan
atas prinsip umum taxability deductibility. Dengan prinsip ini, biaya-biaya baru dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto apabila pihak/orang yang menerima pengeluaran
uang atas biaya perusahaan tersebut melaporkannya sebagai penghasilan dan
penghasilan tersebut dikenakan pajak (taxable). Dengan demikian akan selalu ada
pihak dapat dikenakan pajak sebagaimana dijelaskan di atas.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa laba komersial yang
lazim digunakan dalam dunia bisnis berbeda dengan laba kena pajak. Banyak sekali
biaya-biaya yang diakui oleh akuntansi tetapi tidak diakui oleh perpajakan, seperti:
sumbangan, pemberian natura kepada karyawan, biaya representasi tertentu, biaya
kelancaran dan sebagainya. Agar dapat melakukan penghitungan PhKP dengan benar
dan tepat, Wajib Pajak perlu memahami:
1. Penghasilan yang menjadi obyek (taxable) dan bukan obyek pajak (non taxable).
2. Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final.
3. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses).
4. Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible
exepneses).
1. Penghasilan yang menjadi obyek dan bukan obyek pajak
Penghasilan yang menjadi obyek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU No.
17/2000 yang pada prinsipnya merupakan setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
Penghasilan yang bukan obyek pajak (diatur dalam Pasal 4 ayat 3):
a. (1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan
para penerima zakat yang berhak;
(2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/P, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, BUMN/D yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari
jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar
kepemilikan saham tersebut;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan (KMK);
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi; bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan
reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian
ijin usaha;
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan KMK; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
2. Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final
(lihat penjelasan mengenai PPh Final Pasal 4 ayat 2 dan PPh Pasal 15)
3. Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expenses)
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, diatur pada Pasal 6
UU No. 17/2000 antara lain sebagai berikut:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk
biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk
upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah,
premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menkeu;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
BUPLN atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada, Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Apabila penghasilan bruto
setelah dikurangi biaya fiskal didapat kerugian, maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
4. Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductible Expenses)
Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 9
UU No.17/2000 sebagai berikut:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan
untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan KMK;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan KMK;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi
pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki
oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan
l. Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak boleh
dibebankan sekaligus melainkan dibebankan melalui penyusutan dan
amortisasi;
m. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan Objek Pajak;
n. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final;
o. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali PPh
Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak
Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk
pemotongan pajak;
B. Perhitungan Penghasilan Kena Pajak
1. Perhitungan penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Badan
Penghasilan kena pajak dari wajib pajak badan dihitung hanya
menggunakan pembukuan, yaitu dengan memperhitungan penghasilan neto
dengan koreksi fiskal. Koreksi fiskal adalah koreksi yang terjadi karena adanya
perbedaan antara perhitungan, pengakuan, metode akuntansi, dasar penggunaan,
dalam perhitungan pada pembukuan secara komersial dengan secara fiskal.
Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan
berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak
menurut komersial/pembukuan dengan laba/rugi menurut SPT Tahunan.
Perbedaan pada koreksi fiskal dapat dibedakan menjadi seperti berikut :
a. Koreksi karena perbedaan waktu
Koreksi beda waktu timbul karena perbedaan metode perhitungan
pendapatan dan/atau biaya antara komersial dengan fiskal. Dengan demikian
total biaya atau pendapatan menurut komersial dan fiskal adalah saran besar,
yang berbeda adalah lamanya waktu pengalokasian pendapatan dan atau biaya
tersebut. Contoh koreksi beda waktu :
Biaya penyusutan dan amortisasi, kecuali untuk aktiva yang termasuk
kriteria pemberian natura, hibah, sumbangan atau kenikmatan
Penilaian persediaan
b. Koreksi karena perbedaan tetap
Koreksi beda tetap timbul karena adanya perbedaan pengakuan
pendapatan antara komersial dan fiscal serta adanya perbedaan pengakuan
besarnya waktu secara akuntansi komersial dibanding dengan secara fiskal,
misalnya dalam ketentuan masa manfaat dari aktiva yang akan dilakukan
penyusutan atau amortisasi. Beda tetap terjadi apabila terdapat transaksi yang
diakui oleh wajib pajak sebagai penghasilan atau sebagai biaya dalam
akuntansi secara komersial yang diatur dalam SAK, namun demikian
berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan, atas transaksi tersebut bukan
merupakan penghasilan atau bukan merupakan biaya, atau sebagian
merupakan penghasilan atau sebagian merupakan biaya. Koreksi beda tetap
terdiri dari:
a. Beda tetap atas penghasilan yang bukan obyek PPh
Seperti bantuan, sumbangan, harta hibahan yang diterima sepanjang tidak
ada hubungan usaha dengan pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan dan dari pemerintah.
b. Beda tetap murni yaitu:
Biaya yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, memeliha
penghasilan yang bukan obyek pajak.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan/jasa yang
diberikan dalam bentuk natura/kenikmatan.
Sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan. PPh Pasal
23/26 yang ditanggung oleh perusahaan.
c. Beda tetap yang disebabkan tidak dipenuhinya syarat-syarat khusus yaitu:
Berhubungan dengan kegiatan langsung perusahaan.
Adanya bukti pendukung yang kuat.
Karena lokasi.
Penggunaan praktek -praktek akuntansi yang tidak sehat.
c. Koreksi karena pengenaan pajak final
Koreksi ini terdiri dari :
Pendapatan yang telah dipotong pajak final oleh pihak yang membayarkan
penghasilan seperti pendapatan bunga deposito, pendapatan jasa giro,
penghasilan sewa tanah dan atau bangunan, pendapatan karena pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan
bagi orang pribadi dan yayasan (khusus untuk Wajib Pajak badan (selain
yayasan) tidak bersifat final).
Biaya untuk mendapatkan, memelihara, menagih penghasilan yang telah
dikenakan PPh final seperti biaya yang berhubungan dengan penghasilan
dari sewa tanah dan atau bangunan, biaya yang berhubungan dengan
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.
Apabila dilihat akibat dari terjadinya koreksi fiskal, maka koreksi fiskal
juga dapat dibedakan menjadi :
Koreksi Positif
Koreksi positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya
pengurangan biaya yang diakui dalam laporan laba rugi komersial menjadi
semakin kecil, atau yang berakibat adanya penambahan penghasilan. Beberapa
transaksi yang dapat mengakibatkan adanya koreksi fiskal positif antara lain
transaksi yang berkaitan dengan kegiatan berikut :
- Biaya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan.
- Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan kena
pajak.
- Biaya yang diakui lebih kecil.
- Biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
- Biaya yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan pph final.
Koreksi Negatif
Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya
penambahan biaya yang telah diakui dalam laporam laba rugi komersial yang
semakin besar, atau yang mengakibatkan adanya pengurangan penghasilan.
Beberapa transaksi yang dapat mengakibatkan adanya koreksi fiskal negatif
antara lain mengenai :
a. Biaya yang diakui lebih besar.
b. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek
pajak.
c. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan pph
final.
Bentuk kertas kerja rekonsiliasi fiskal
Sampai saat ini belum ada bentuk baku kertas kerja rekonsiliasi fiskal. Di
bawah ini disajikan bentuk kertas kerja yang sering digunakan dalam bentuk sehari-
hari:
PT FORMASI Rekonsiliasi
komersial – fiskal
Laba komersial sebelum pajak
Ditambah koreksi positif: XX
Sumbangan X
Iklan dan promosi XX
Kenikmatan X
Biaya dalam bentuk natura XX
Biaya pemeliharaan gedung yang disewakan X
Biaya penyusutan XX
Biaya penyisihan kerugian piutang X
Dikurangi koreksi negatif: XX
Biaya penyusutan X
Pendapatan sewa gedung XX
Pendapatan dividen X
Pendapatan bunga deposito XX
Pendapatan jasa giro X
Laba/rugi fiskal sebelum pajak XX
Bentuk lain dari Rekonsiliasi Fiskal :
Uraian I/R
Komersial
Beda
tetap
Beda
waktu
Obyek
PPh final
L/K
fiskal
Pendapatan usaha
Pendapatan bukan obyek PPh
Biaya berkaitan dengan penghasilan
bukan obyek PPh
Pendapatan obyek PPh final
Biaya berkaitan dengan pendapatan
obyek PPh final
(1000)
(150)
50
(350)
350
(150)
50
(350)
350
(1000)
Gross profit on sales (1100) (100) - (1000)
Personel expenses
1. Gaji
2. Bonus
3. Biaya pengobatan
4. Tunjangan transportasi
5. Asuransi kesehatan, kecelakaan kerja
6. Konsumsi rutin
7. Seragam
8. Kesejahteraan lainnya
9. Premi asuransi (JHT/THT)
20
30
10
10
10
10
10
10
10
10
10
20
30
10
10
10
10
10
Total personal expenses 120 20 100
Building expenses
10. Pajak bumi & bangunan
11. Perbaikan & pemeliharaan
12. Asuransi bangunan
10
10
10
10
10
10
Building expenses total 30 30
Motor car expenses
13. Kendaraan operasioanal
14. Kendaraan non operasional
10
10 5
10
5
Motor cars expenses total 20 5 - 15
Selling expenses
15. Marketing/iklan
16. Penelitian & pengembangan Produk
17. Sewa gedung
50
50
70
50
50
70
Selling expenses total 170 - - - 170
General administration expenses
18. Stationeries/Office supllies
19. Lawyer, Accountant & Consultant
20. Represaentasi & entertainment
21. Asuransi peralatan kantor
22. Listrik dan telephone
20
10
10
10
10
20
10
10
10
10
General adm expenses total 70 10 - . 60
Depreciation & amotization
23. Total penyusutan dan amortisasi 20 10 10
Profit on sales 70 35 10 - (125)
Other income
24. Bunga giro
25. Deviden, kepemi'ikan > 25 %
26. Bunga deposito
27. Sewa ruangan gedung
28. Sewa peralatan kantor
29. Laba selisih kurs
(10)
(10)
(10)
(10)
(20)
(20)
(10)
(10)
(10)
(10) (20)
(20)
Other income total (80) (110) . (30) (40)
Non operating expense
30. B.aya bunga
31. Rug: sslisih kurs
30
30
Non operating exoenses total 60 - . 60
Special income and Losses
32. Rugi ( laba ) Penjualan aktiva tetap (10)
Special income and losses total (10) . (10)
Net profit before tax (100) 25 10 (30) (115)
Corporate income tax 10% x 50 = 5
15% x 50 = 7.5
30% x 15 = 4.5
17
Corporate income tax previous year
PPh pasal 22 2
PPh Pasal 23 2
PPh Pasal 25 . 2 .
6 .-
11
Keterangan:
3 Sepanjang dibayarakan langsung ke rumah sakit
7 Sepanjang karena diharuskan dalam pekerjaan/kemanan dan keselamatan bekerja
8 Kecuali jika disajikan untuk seluruh pegawai dan dilakukan secara bersama - sama 20
Sepanjang berhubungan dengan usaha dan didukung oleh daftar bukti nominatif 23
hanya bagi aktiva yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
Biaya Fiskal
Prinsip biaya yang tidak diakui secara fiskal adalah :
Biaya-biaya sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat (1) UU PPh:
1. biaya tersebut dikeluarkan untuk 3M. ( mendapatkan, menagih, dan memelihara )
penghasilan yang bukan Objek Pajak.
2. biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang bersifat final
3. biaya yang biasa diterapkan di luar praktek akuntansi yang sehat (kondisi tidak wajar)
4. biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya (antara lain tidak meniggunakan
bukti, daftar nominatif, dan tanpa dokumen)
5. Pajak Masukan yang memenuhi kriteria:
a. Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP termasuk Faktur Pajak cacat kecuali dapat
dibuktikan bahwa atas Pajak Masukan. tersebut benar-benar telah dibayar oleh
PKP.
b. Faktur Pajak yang dibuat atas perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan pasal 9
ayat (1) UU PPh
6. Biaya untuk 3M penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto dan Norma Penghitungan Khusus
7. Kerugian dari harta atau utang yang dimiliki dan tidak dipergunakan untuk 3M Objek
Pajak.
8. PPh ditanggung pemberi kerja, tidak termasuk deviden sepanjang PPh tersebut
ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak.
Terdapat beberapa point penting/perubahan yang diatur dalam UU PPh yang baru,
khususnya yang berkaitan dengan biaya yang dapat dikurangkan untuk menghitung
Penghasilan Kena Pajak, seperti :
a. Pemasukan kriteria piutang yang tidak dapat ditagih yang diberlakukan sebagai biaya,
(pasal 6 ayat (1) huruf h UU No. 17 Tahun 2000 ) yaitu:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan R/L komersial.
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau BUPLN
atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antar debitur dan kreditur yang bersangkutan.
3) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus
4) Wajib Pajak .harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
DJP, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Kep Dirjen.
b. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih
untuk usaha.
Bank dan SGU dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan
cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-
syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Contoh perhitungan penghasilan kena pajak wajib badan
Contoh1 :
PT. Baruna Taqwa Idaman memperoleh penghasilan pada tahun2009 sebagai berikut :
Penjualan Rp 8.000.000.000,00
HPP Rp 4.800.000.000,00
Laba Kotor Rp
3.200.000.000,00
Biaya Usaha :
Gaji,tunjangan,THR Rp 1.280.000.000,00
Biaya Administrasi kantor Rp 100.000.000,00
Biaya telepon,listrik,air Rp 50.000.000,00
Perawatan mesin Rp 30.000.000,00
Penyusutan Rp 250.000.000,00
Sewa bangunan Rp 30.000.000,00
Sewa kendaraan Rp 150.000.000,00
Zakat Rp 10.000.000,00
Setoran modal PT.Dewa-dewi Rp 500.000.000,00
Hibah ke Masjid Alfalah Rp 100.000.000,00
Penelitian Rp 100.000.000,00
Sumbangan sosial Rp 100.000.000,00
Promosi Rp 50.000.000,00
Jumlah biaya Rp 2.700.000.000,00
Laba Bersih Usaha Rp 500.000.000,00
Penghasilan lain-lain :
Laba penjualan harta Rp 45.000.000,00
Laba hibah Rp 100.000.000,00
Laba selisih kurs Rp 100.000.000,00
Pajak diterima kembali Rp 10.000.000,00
Laba pertukaran harta Rp 20.000.000,00
Sewa mesin Rp 260.000.000,00
Diskonto obligasi Rp 10.000.000,00
Bunga obligasi Rp 100.000.000,00
Jumlah penghasilan lain Rp 645.000.000,00
Penghasilan luar negeri :
BUT di Singapura Rp 800.000.000,00
Dividen Arcorito Rp 200.000.000,00
Dividen Yasindo Rp 75.000.000,00
Bunga Zaricho Rp 100.000.000,00
Rp 1.175.000.000,00
Total Laba Bersih Rp 2.320.000.000,00
Contoh2 :
PT. Baruna Taqwa Idaman, sesuai contoh1, mempunyai penghasilan neto sebesar Rp
2.320.000.000,00. Terdapat beberapa penjelasan berkaitan dengan penghasilan dan biaya
yang diakui, yaitu sebagai berikut :
Diskonto dan bunga obligasi sudah terkena PPh final dan penghasilan dari luar negeri
sudah dipotong tax income masing-masing 15%, 20%, 25%, dan 30%.
Besarnya penghasilan kena pajak dihitung seperti berikut ini :
Penghasilan neto Rp 2.320.000.000,00
Koreksi positif :
Setoran modal PT.Dewa-dewi Rp 500.000.000,00
Hibah ke Masjid Alfalah Rp 100.000.000,00
Sumbangan sosial Rp 50.000.000,00
Jumlah koresi positif Rp 650.000.000,00
Koreksi negatif :
Diskonto Obligasi Rp 10.000.000,00
Bunga Obligasi Rp 100.000.000,00
Jumlah koreksi negatif Rp 110.000.000,00
Penghasilan kena Pajak Rp 2.860.000.000,00
2. Penghasilan Kena Pajak pada Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
BUT dapat berupa :
1. Tempat kedudukan manajemen
2. Cabang perusahaan
3. Kantor perwakilan
4. Gedung kantor
5. Pabrik
6. Bengkel
7. Gudang
8. Ruang untuk promosi dan penjualan
9. Pertambangan dan penggalian sumber alam
10. Wilayah kerja pertmanbangan minyak dan gas bumi
11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
12. Proyek konstruks, instalasi, atau proyek perakitan
13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di
Indonesia, dan
16. Computer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) dikenakan pajak atas penghasilan baik yang berasal
dari usaha atau kegiatan, maupun yang berasal dari harta yang dimiliki atau dikuasainnya.
Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak penghasilan di Indonesia.
Penghasilan kena pajak bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun
pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan dengan biaya – biaya.
Penghasilan pada BUT, antara lain dapat berasal dari :
Usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
Contoh, Communitel Ltd. yang bergerak dalam usaha penjualan satelit komunikasi
mempunyai cabang di Jakarta dengan nama Communitel Indonesia. Apabila
Communitel Indonesia memperoleh laba melalui usaha penjualan satelit komunikasi,
maka atas laba penjualan tersebut dikenakan pajak penghasilan sebagai pajak atas
penghasilan wajib pajak BUT.
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Contoh, NewYork Bank mempunyai cabang di Jakarta (NewYork Bank-Indonesia).
Apabila NewYork Bank memperoleh penghasilan berupa bunga atas pinjaman yang
diberikan tanpa melalui NewYork Bank-Indonesia, maka penghasilan bunga tersebut
tetap dianggap sebagai penghasilan BUT (NewYork Bank-Indonesia).
Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Contoh, Foodz Inc. membuat perjanjian dengan PT.Lezzat untuk menggunakan merek
dagang Foodz Inc. Atas penggunaan hak tersebut Foodz Inc. menerima imbalan
berupa royalty dari PT.Lezzat. Dalam rangka pemasaran produk, Foodz Inc. juga
memberikan jasa manajemen kepada PT.Lezzat melalui Foodz-Indonesia (BUTnya di
Indonesia). Dalam hal demikian, pengguanaan merek dagang oleh PT.Lezzat
mempunyai hubungan efektif dengan BUT di Indonesia. Oleh karena itu, penghasilan
Foodz Inc. yang berupa royalty diperlukan sebagai penghasilan BUT (Foodz-
Indonesia).
Biaya yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan pada BUT antara
lain biaya-biaya seperti berikut :
Biaya-biaya berkenaan dengan penghasilan kantor pusat yang diakuinya
Biaya administrasi kantor pusat yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk
usaha tetap.
Biaya-biaya dan kerugian seperti yang diakui wajib pajak pada wajib pajak dalam
negeri.
Contoh :
Frenlin sebagai BUT yang kantor pusatnya ada di Singapura mempunyai kegiatan usaha
penjualan alat-alat berat. Pada tahun 2006 peredaran usahanya sebesar Rp
1.000.000.000,00 dengan biaya usaha sebesar Rp 700.000.000,00, penghasilan bunga
bank yang sudah dikenakan PPh final sebesar Rp 10.000.000,00. Penjualan langsung
barang yang sejenis dari Frenlin International pusat sebesar Rp 500.000.000,00 dengan
biaya usaha sebesar Rp 350.000.000,00 dividen dari kantor pusat yang punya hubungan
efektif sebesar Rp 5.000.000,00 dan biaya administrasi ke kantor pusat sebesar Rp
10.000.000,00.
Perhitungan penghasilan kena pajak :
Peredaran bruto Rp 1.000.000.000,00
Biaya yang diperkenankan Rp 700.000.000,00
Laba usaha Rp 300.000.000,00
Penghasilan bunga Rp 0,00
Penjualan langsung barang oleh kantor Rp 500.000.000,00
Biaya penjualan kantor pusat Rp 350.000.000,00
Laba penjualan kantor pusat Rp 150.000.000,00
Dividen yang diperoleh dari kantor pusat Rp 5.000.000,00
Rp 460.000.000,00
Biaya administrasi kantor pusat Rp 10.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 445.000.000,00
3. Penghasilan Kena Pajak Orang Pribadi
Penghasilan kena pajak orang pribadi, baik yang diperoleh dari pekerjaan bebas
atau dari satu dari pemberi kerja, dihitung dari penghasilan neto dalam negeri maupun
luar negeri, yang diperoleh dirinya maupun keluarganya serta dari kegiatan usaha usaha
utamanya maupun usaha lainnya dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Contoh 7.4.2
Bambang mempunyai usaha dagang eceran dan pada tahun 2006 mempunyai laba neto
sebesar Rp 57.504.000, dan Pph pasal 25 setahun adalah Rp 1.819.200. Tanggungan
keluarga pasangan tersebut adalah 3 orang anak kandung.
Perhitungan Pph pasal 21-nya adalah sebagai berikut :
Penghasilan neto Bambang Rp 57.504.000
PTKP untuk dirinya : Rp 15.840.000
Status kawin Rp 1.320.000
Tanggungan Rp 3.960.000
Rp 21.120.000
Penghasilan kena pajak Rp 36.384.000
Penghasilan istri dari satu pemberi kerja
Karyawati kawin yang bekerja pada satu pemberi kerja yang sudah dipotong
pajak, dan yang berhubungan dengan pekerjaan bebas suami atau keluarganya, maka
penghasilan netonya digabungkan dengan penghasilan suami. Besarnya PTKP untuk
menghitung besarnya Pph pasal 21 atas penghasilan suami dan istri tersebut adalah
untuk suami ditambah dengan status kawin,dan tanggungannya,serta ditambah status
istri yang bekerja.
Contoh 7.5:
Esti Winarsih bekerja pada PT.Bontang Transporindo dengan gaji Rp 2.000.000
dengan membayar iuran pension sebesar Rp 50.000 per bulan pada dana pension yang
diakui oleh menteri keuangan. Rizki, suami Esti, adalah pemilik PT.Bontang
Transporindo dimana Esti bekerja. Pada tahun 2006, PT.Bontang Transporindo
mempunyai laba neto sebesar Rp 57.504.000 dan Pph pasal 25 setahun adalah Rp
1.369.200. tanggungan keluarga pasangan tersebut adalah 3 orang anak kandung.
Perhitungan pasal 21-nya adalah sebagai berikut:
Pph pasal 21 Esti
Penghasilan kotor sebulan Rp 2.000.000
Pengurang :
Biaya jabatan 5% x Rp 2.000.000 Rp 100.000
Iuran pensiun Rp 50.000
Rp 150.000
Penghasilan neto sebulan Rp 1.850.000
Penghasilan neto setahun 12x Rp 1.850.000 Rp 22.200.000
PTKP untuk dirinya Rp 15.840.000
Penghasilan kena pajak Rp 6.360.000
Pph terutang setahun (dipotong)
5%x Rp 6.360.000 Rp 318.000
Pph pasal 21 Rizki dan Esti
Penghasilan neto Rizki Rp 57.504.000
Penghasilan neto Esti Rp 22.200.000
Penghasilan neto suami istri setahun Rp 79.704.000
PTKP untuk dirinya Rp 15.840.000
Status kawin Rp 1.320.000
Tanggungan Rp 3.960.000
Istri kerja Rp 15.840.000
Rp 36.960.000
Penghasilan kena pajak Rp 42.744.000
Pph terutang setahun (dipotong)
5%x Rp 42.744.000 = Rp 2.137.200
Pph dikreditkan:
Esti Rp 318.000
Rizki Rp 1.369.200
Rp 1.687.200
Pph kurang dibayar Rp 450.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah batasan penghasilan bagi wajib
pajak orang pribadi yang menentukan perlu tidaknya atas penghasilan wajib pajak
perseorangan dikenakan pajak penghasilan.
Besarnya PTKP selalu diadakan pembaharuan, sesuai dengan perkembangan
ekonomi, terutama berkaitan dengan besarnya penghasilan dan besarnya biaya
minimum dari wajib pajak.
Menteri keuangan sejak awal 2006 telah mengubah besarnya PTKP menjadi
sebagai berikut :
Tabel PTKP
No Status PTKP No Status PTKP
1 TK/0 15.840.000 7 K/2 19.800.000
2 TK/1 17.160.000 8 K/3 21.120.000
3 TK/2 18.480.000 9 K/I/0 33.000.000
4 TK/3 19.800.000 10 K/I/1 34.320.000
5 K/0 17.160.000 11 K/I/2 35.640.000
6 K/1 18.480.000 12 K/I/3 36.960.000
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari makalah yang kami buat mengenai pph pasal 4 ayat 2 dan pph badan dapat kami
simpulkan bahwa PPh Final adalah pajak penghasilan yang bersifat final, yaitu setelah
pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak
penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak
penghasilan yang bersifat tidak final. Pengenaan pajak atas penghasilan tertentu tidak
didasarkan atas ketentuan umum penghitungan penghasilan kena pajak maupun penerapan
norma penghitungan, melainkan berdasarkan penerapan tarif efektif atas peredaran atau
penghasilan bruto atau dasar pengenaan pajak lainnya ( presumptive tax ) yang diatur
tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Jenis penghasilan yang dikenakan pph final:
1. PPh atas Bunga Deposito, Tabungan, dan Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
2. PPh atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang diperdagangkan di Bursa Efek
3. PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan
4. PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan
5. PPh atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
6. PPh atas Penghasilan tertentu berupa Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
7. Bunga Simpanan Koperasi
8. PPh atas Hadiah Undian
Pph badan yaitu sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi
sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan
lainnya. Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penghasilan
Badan dalam negeri dan penghasilan Badan luar negeri (BUT maupun tidak). Laba komersial
(accounting income) merupakan pengukuran laba yang lazim digunakan dalam dunia bisnis
baik untuk kepentingan pasar modal (bursa efek), perbankan, Rapat Umum Pemegang
Saham, dan kepentingan lainnya.
Laba komersial ini dihitung berdasarkan standar akuntansil yang berlaku. Sejak tahun
1995 standar akuntansi yang berlaku di Indonesia adalah Standar Akuntansi Keuangan
(SAK).