LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2009 NOMOR 14
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 16 TAHUN 2009
TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DITERBITKAN OLEH : BAGIAN HUKUM
SETDA KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2009
1
SALINAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 16 TAHUN 2009
TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI PEKALONGAN,
Menimbang : a. bahwa wilayah pesisir Kabupaten
Pekalongan memiliki sumber daya alam
dan jasa lingkungan yang berpotensi
ekonomi, yang perlu dijaga
kelestariannya dan dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat, terutama masyarakat
pesisir;
b. bahwa pengelolaan wilayah pesisir perlu
dikendalikan agar tercipta keseimbangan
antara pemanfaatan dan perlindungan
dalam mendukung pembangunan yang
berkelanjutan;
2
c. bahwa upaya pemanfaatan,
pengembangan dan pelestarian sumber
daya pesisir dan laut dalam pengelolaan
wilayah pesisir, perlu dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu dengan
memberdayakan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b dan huruf c, perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Wilayah pesisir.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah-Daerah
Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi
Jawa Tengah;
2. Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1965
tentang Pembentukan Daerah Tingkat II
Batang dengan mengubah Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah
Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi
3
Jawa Tengah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor
52, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2757);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990
tentang Kepariwisataan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
3427);
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Pemukiman
4
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3469);
8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992
tentang Cagar Budaya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 27, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
3470);
9. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
3647);
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3699);
11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
5
167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4412);
12. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4421);
13. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
6
Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4421);
14. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4433);
15. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
16. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006
tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
7
Perikanan dan Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 92, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4660);
17. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 27, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
3470);
18. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4739);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
1986 tentang Pemindahan Ibukota
Kabupaten Daerah Tingkat II
Pekalongan dari Wilayah Kotamadya
Daerah Tingkat II Pekalongan ke Kota
Kajen di Wilayah Kabupaten Daerah
Tingkat II Pekalongan (Lembaran
8
Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 70);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun
1988 tentang Perubahan Batas Wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II
Pekalongan, Kabupaten Daerah
Tingkat II Pekalongan dan Kabupaten
Daerah Tingkat II Batang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1988
Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
3381);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun
1991 tentang Sungai (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
3445);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah dengan Titik Berat
pada Daerah Tingkat II (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 77, Tambahan Lembaran
9
Negara Republik Indonesia Nomor
3487);
23. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
3538);
24. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3816);
25. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
2004 tentang Perencanaan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4452);
26. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah,
10
Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
27. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
2008 tentang Tahapan,Tata Cara
Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 21, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4817);
28. Peraturan Daerah Propinsi Jawa
Tengah Nomor 21 Tahun 2003 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Jawa Tengah;
29. Peraturan Daerah Kabupaten
Pekalongan Nomor 11 Tahun 2001
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Pekalongan (Lembaran
Daerah Kabupaten Pekalongan Tahun
2001 Nomor 23);
11
30. Peraturan Daerah Kabupaten
Pekalongan Nomor 9 Tahun 2006
tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Daerah Kabupaten
Pekalongan Tahun 2006 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Pekalongan Nomor 8);
31. Peraturan Daerah Kabupaten
Pekalongan Nomor 8 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan yang
menjadi Kewenangan Pemerintah
Daerah Lembaran Daerah Kabupaten
Pekalongan Tahun 2008 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Pekalongan Nomor 8);
32. Peraturan Daerah Kabupaten
Pekalongan Nomor 14 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja
Dinas Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Pekalongan Tahun 2008
Nomor 14, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor
13);
12
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN PEKALONGAN
dan
BUPATI PEKALONGAN
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang
dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Pekalongan.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati
beserta perangkat daerah sebagai
unsur penyelengggara pemerintahan
daerah.
13
3. Bupati adalah Bupati Pekalongan.
4. Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah
organisasi/lembaga pada Pemerintah
Daerah yang bertanggungjawab pada
pelaksanaan tugas di bidang tertentu di
Kabupaten Pekalongan.
5. Wilayah Pesisir adalah daerah
peralihan antara Ekosistem darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan
di darat dan laut.
6. Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah
suatu proses perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan
laut antar sektor, antara Pemerintah
dan Pemerintah Daerah, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen
untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
7. Sumber Daya Pesisir dan Laut adalah
sumber daya hayati, sumber daya non
hayati, sumber daya buatan, dan jasa-
jasa lingkungan; sumber daya hayati
meliputi ikan, terumbu karang, padang
14
lamun, mangrove dan biota laut lain;
sumber daya non hayati meliputi pasir,
air laut dan mineral dasar laut; sumber
daya buatan meliputi infrastruktur laut
yang terkait dengan kelautan dan
perikanan; dan jasa-jasa lingkungan
berupa keindahan alam, permukaan
dasar laut tempat instalasi bawah air
yang terkait dengan kelautan dan
perikanan serta energi gelombang laut
yang terdapat di wilayah pesisir.
8. Ekosistem adalah kesatuan komunitas
tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme
dan non organisme lain serta proses
yang menghubungkannya dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas
dan produktivitas.
9. Jasa lingkungan adalah jasa yang
dihasilkan melalui pemanfaatan dengan
tidak mengekstrak sumberdaya pesisir
dan laut, tetapi memanfaatkan
fungsinya untuk kegiatan-kegiatan di
Wilayah pesisir.
15
10. Rencana Strategis Wilayah Pesisir
yang selanjutnya disingkat RSWP
adalah rencana yang memuat arah
kebijakan lintas sektor untuk kawasan
perencanaan pembangunan melalui
penetapan tujuan, sasaran dan strategi
yang luas, serta target pelaksanaan
dengan indikator yang tepat untuk
memantau rencana tingkat nasional.
11. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir yang
selanjutnya disingkat RZWP adalah
rencana yang menentukan arah
penggunaan sumber daya tiap-tiap
satuan perencanaan disertai dengan
penetapan struktur dan pola ruang
pada kawasan perencanaan yang
memuat kegiatan yang boleh dilakukan
dan tidak boleh dilakukan serta
kegiatan yang hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh izin.
12. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
yang selanjutnya disingkat RPWP
adalah rencana yang memuat susunan
kerangka kebijakan, prosedur dan
tanggung jawab dalam rangka
16
pengkoordinasian pengambilan
keputusan di antara berbagai
lembaga/instansi mengenai
kesepakatan penggunaan sumber daya
atau kegiatan pembangunan di zona
yang ditetapkan.
13. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah
Pesisir yang selanjutnya disingkat
RAPWP adalah tindak lanjut Rencana
Pengelolaan Wilayah pesisir yang
memuat tujuan, sasaran, anggaran,
dan jadwal untuk satu atau beberapa
tahun ke depan secara terkoordinasi
untuk melaksanakan berbagai kegiatan
yang diperlukan oleh instansi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
pemangku kepentingan lainnya guna
mencapai hasil pengelolaan Sumber
Daya Pesisir dan laut di setiap kawasan
perencanaan.
14. Kawasan adalah bagian dari Wilayah
pesisir yang memiliki fungsi tertentu
yang ditetapkan berdasarkan kriteria
karakteristik fisik, biologi, sosial dan
17
ekonomi untuk dipertahankan
keberadaannya.
15. Zona adalah ruang yang
penggunaannya disepakati bersama
antara berbagai pemangku kepentingan
dan telah ditetapkan status hukumnya.
16. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa
teknik pemanfaatan ruang melalui
penetapan batas-batas fungsional
sesuai dengan potensi sumber daya
dan daya dukung serta proses-proses
ekologis yang berlangsung sebagai
satu kesatuan dalam Ekosistem Pesisir
dan laut.
17. Hak pengusahaan perairan pesisir,
selanjutnya disebut HP3, adalah hak
atas bagian-bagian tertentu dari
perairan pesisir untuk usaha kelautan
dan perikanan, pesisir dan laut yang
mencakup atas permukaan laut dan
kolom air sampai dengan permukaan
dasar laut pada batas keluasan
tertentu.
18. Konservasi adalah upaya memelihara
keberadaan serta keberlanjutan
18
keadaan, sifat dan fungsi ekologis
Sumberdaya Pesisir dan laut agar
senantiasa tersedia dalam kondisi yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan
manusia dan makhluk hidup lainnya,
pada waktu sekarang dan yang akan
datang.
19. Konservasi Wilayah pesisir adalah
upaya perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan Wilayah pesisir serta
ekosistemnya untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungan Sumber Daya Pesisir
dan laut dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
20. Sempadan Pantai adalah daratan
sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan
kondisi fisik pantai, minimal 100
(seratus) meter dari titik pasang
tertinggi kearah darat.
21. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk
mengurangi resiko bencana, baik
secara struktur atau fisik melalui
19
pembangunan fisik alami dan/atau
buatan maupun nonstruktur atau
nonfisik melalui peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman
bencana di wilayah pesisir.
22. Bencana Pesisir adalah kejadian
karena peristiwa alam maupun karena
perbuatan manusia yang menimbulkan
perubahan sifat fisik dan/atau
perubahan sumberdaya hayati pesisir
dan laut dan mengakibatkan korban
jiwa, harta benda, dan/atau kerusakan
lingkungan Wilayah pesisir.
23. Marikultur adalah budidaya laut yang
meliputi tahapan kegiatan pembenihan,
pengembangan dan pemanenan hasil
berupa budidaya ikan, teripang, rumput
laut dan mutiara.
24. Kawasan Konservasi di Wilayah pesisir
adalah kawasan pesisir dan laut
dengan ciri khas tertentu yang
dilindungi untuk mewujudkan
pengelolaan Wilayah pesisir secara
berkelanjutan.
20
25. Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan
laut adalah proses pemulihan dan
perbaikan kondisi Ekosistem atau
populasi yang telah rusak walaupun
hasilnya berbeda dari kondisi semula.
26. Pemangku Kepentingan adalah para
pengguna sumberdaya pesisir dan laut
yang mempunyai kepentingan
langsung, meliputi unsur Pemerintah,
Pemerintah Daerah, nelayan tradisonal,
nelayan dengan peralatan modern,
pembudidaya ikan, pengusaha wisata
bahari, pengusaha perikanan dan
masyarakat pesisir dan laut.
27. Pemberdayaan Masyarakat adalah
upaya pemberian fasilitas, dorongan
atau bantuan kepada masyarakat
pesisir dan laut agar mampu
menentukan pilihan dalam
meningkatkan pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut secara
lestari.
28. Masyarakat Pesisir dan laut adalah
kesatuan sosial yang bermukim di
Wilayah pesisir dan mata
21
pencahariannya berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
laut, meliputi masyarakat adat dan
masyarakat lokal, termasuk nelayan,
bukan nelayan dan pembudidaya ikan.
29. Konsultasi Publik adalah upaya
memperoleh masukan dari pemuka
adat dan pemuka agama yang ada
diWilayah pesisir tersebut serta
lembaga swadaya masyarakat, dan
perguruan tinggi mengenai berbagai hal
berkenaan dengan pengelolaan
Wilayah pesisir.
30. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah yang selanjutnya disingkat
dengan Bappeda adalah Bappeda
Kabupaten Pekalongan.
31. Orang adalah orang perseorangan
dan/atau badan hukum.
32. Usaha adalah usaha dibidang
pengelolaan sumberdaya pesisir dan
laut.
33. Garis Pantai adalah garis yang
menghubungkan titik-titik koordinat
yang merupakan titik surut terjauh
22
kearah laut tempat dimana batas
kewenangan laut kabupaten diukur.
34. Kewenangan Daerah adalah
kewenangan daerah dalam
pengelolaan pesisir dan laut
sebagaimana diatur dalam perundang-
undangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pengelolaan Wilayah pesisir berlandaskan
asas-asas :
a. keberlanjutan;
b. keterpaduan;
c. konsistensi;
d. keadilan;
e. kepastian hukum;
f. keterbukaan;
g. akuntabilitas;
h. peran serta masyarakat; dan
i. pemerataan.
23
Pasal 3
Pengelolaan wilayah pesisir bertujuan
untuk :
a. menciptakan mekanisme pengelolaan
sumberdaya pesisir untuk menjamin
pemanfaatan secara rasional, efisien,
optimal dan berwawasan lingkungan;
b. mendorong pemerataan manfaat
ekonomi sumberdaya pesisir dan laut
untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat pesisir khususnya
masyarakat lokal dan nelayan;
c. memelihara kelestarian fungsi-fungsi
ekosistem pesisir agar tetap dapat
menunjang pembangunan secara
berkelanjutan;
d. menciptakan pentaatan dan penegakan
hukum dalam pengelolaan wilayah
pesisir;
e. melindungi wilayah pesisir dari dampak
negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan-
kegiatan di dalam dan di luar wilayah
kabupaten;
24
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 4
Peraturan Daerah ini diberlakukan di
seluruh wilayah pesisir Kabupaten
Pekalongan yang meliputi daerah peralihan
antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan
laut, ke arah darat mencakup batas
wilayah administrasi kecamatan pesisir dan
ke arah laut sejauh 4 mil laut diukur dari
garis pantai ke arah Laut Lepas.
BAB IV
PENETAPAN BATAS WILAYAH LAUT
Pasal 5
(1) Penentuan batas wilayah laut
kewenangan Kabupaten dilakukan
bersama-sama dengan Kabupaten/Kota
tetangga.
25
(2) Batas wilayah laut kewenangan
Kabupaten berupa daftar titik-titik
koordinat geografis yang dihubungkan
dengan garis lurus dan menunjukkan
batas luar wilayah laut kewenangan
Kabupaten.
(3) Penetapan batas wilayah laut
kewenangan Kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dituangkan ke
dalam peta dengan skala tertentu
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(4) Batas wilayah laut kewenangan
Kabupaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) menjangkau
wilayah laut sejauh 4 (empat) mil.
(5) Dalam hal wilayah laut Kabupaten
berbatasan langsung dengan wilayah
laut Kabupaten/Kota tetangga yang
letaknya saling berdampingan,
penentuan batas laut ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
26
BAB V
SEMPADAN PANTAI
Pasal 6
(1) Daerah menetapkan batas sempadan
pantai yang disesuaikan dengan
karakteristik topografi, biofisik, hidro-
oseanografi, kebutuhan ekonomi dan
budaya, minimal 100 (seratus) meter
dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
(2) Daerah menetapkan sempadan pantai
di wilayah perkotaan dan wilayah
perdesaan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Penetapan batas sempadan pantai
yang diperuntukkan :
a. perlindungan terhadap gempa
dan/atau tsunami;
b. perlindungan pantai dari erosi,
intrusi dan abrasi;
c. perlindungan sumberdaya buatan
dari bahaya badai, banjir dan
bencana alam lainnya;
27
d. perlindungan terhadap ekosistem
pesisir dan laut yang unik;
e. pengaturan ruang untuk saluran air
limbah dan air kotor; dan
perlindungan hak akses publik.
BAB VI
PERENCANAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
(1) Perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir berdasarkan skala prioritas
menurut tahap-tahap perencanaan
yang terdiri dari: Rencana Strategis
Wilayah Pesisir (RSWP), Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP),
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
(RPWP) dan Rencana Aksi
Pengelolaan Wilayah Pesisir (RAPWP).
(2) RSWP, RZWP, RPWP dan RAPWP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan dokumen perencanaan
28
sebagai pedoman dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir Kabupaten
Pekalongan.
(3) Tata cara penyusunan dokumen
perencanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Rencana Strategis Wilayah Pesisir
(RSWP)
Pasal 8
(1) RSWP memuat indikator kinerja untuk
mengukur tingkat keberhasilan
pengelolaan wilayah pesisir.
(2) RSWP disusun secara konsisten,
sinergis dan terpadu serta merupakan
alat pengendali pengelolaan wilayah
pesisir.
29
Pasal 9
(1) RSWP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) memfasilitasi
pemerintah Kabupaten dalam
mencapai tujuan pengelolaan wilayah
pesisir sebagaimana tercantum dalam
Program Pembangunan Daerah.
(2) Penyusunan rencana strategis
pengelolaan wilayah pesisir,
merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari rencana strategis
pembangunan daerah, di bidang
pengelolaan wilayah pesisir.
Pasal 10
Masa berlaku RSWP selama 20 (dua
puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai RSWP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9 dan Pasal 10 diatur oleh Bupati.
30
Bagian Ketiga
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP)
Pasal 12
(1) Penyusunan dan penetapan RZWP
berpedoman pada RSWP
(2) RZWP mengindikasikan alokasi
penggunaan sumber daya pesisir
berdasarkan daya dukungnya.
(3) RZWP digunakan untuk memandu
pemanfaatan dan mencegah konflik
pemanfaatan sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil.
Pasal 13
RZWP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) berisi :
a. kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan;
b. kegiatan-kegiatan yang dilarang; dan
c. kegiatan yang memerlukan ijin.
31
Pasal 14
(1) RZWP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) adalah pengalokasian
ruang dalam Kawasan konservasi,
kawasan pemanfaatan umum, kawasan
tertentu, dan alur laut.
(2) Bagian tertentu dari kawasan dan zona
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
lebih lanjut dijabarkan dalam Rencana
Zona Rinci.
Pasal 15
Masa berlaku RZWP selama 20 (dua
puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali
sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun
sekali.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai RZWP
sebagaimana dimaksud dalam 12, Pasal
13, Pasal 14 dan Pasal 15 diatur lebih
32
lanjut dengan Peraturan Daerah yang
terpisah dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Keempat
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
(RPWP)
Pasal 17
RPWP merupakan bagian dari tahap
perencanaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) yang diperuntukkan
:
a. membangun kerjasama antara
pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat;
b. menjadi dasar yang disepakati untuk
melakukan peninjauan secara
sistematik terhadap usulan
pembangunan;
c. menetapkan prosedur dalam proses
perijinan;
d. menciptakan tertib administrasi;
33
e. menyelaraskan koordinasi dalam
pengambilan keputusan di antara
instansi terkait dalam pemberian ijin;
f. merumuskan tata cara pengawasan,
evaluasi dan perbaikan Rencana-
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
terpadu; dan
g. mengkoordinasikan inisiatif-inisiatif
perencanaan.
Pasal 18
RPWP disusun berdasarkan :
a. kebijakan-kebijakan dan orientasi di
dalam RSWP dan RZWP; dan
b. aspirasi para pemangku kepentingan.
Pasal 19
Masa berlaku RPWP selama 5 (lima) tahun
dan dapat ditinjau kembali satu kali.
34
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai RPWP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
Pasal 18 dan Pasal 19 diatur oleh Bupati.
Bagian Kelima
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah
Pesisir (RAPWP)
Pasal 21
(1) RAPWP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) memuat jadwal
kegiatan dan penganggarannya.
(2) RAPWP berlaku 1 (satu) tahun sampai
dengan 3 (tiga) tahun.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai RAPWP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
diatur oleh Bupati.
35
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 23
(1) Pembiayaan pengelolaan wilayah
pesisir bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten serta sumber-sumber lain
yang sah dan tidak mengikat.
(2) Pembiayaan pengelolaan wilayah
pesisir dilakukan sesuai dengan
tahapan perencanaan berdasarkan
skala prioritas.
BAB VIII
PEMANFAATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 24
(1) Kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir
meliputi eksplorasi, eksploitasi dan
budidaya sumber daya hayati, serta
36
pembangunan sarana, prasarana dan
pemanfaatan jasa lingkungan.
(2) Pemanfaatan dan pengusahaan
wilayah pesisir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi permukaan laut,
kolom air dan permukaan dasar laut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
bentuk, jenis dan tata cara
pemanfaatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh Bupati.
Bagian Kedua
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3)
Pasal 25
(1) Pemanfaatan perairan pesisir dapat
diberikan dalam bentuk HP-3.
(2) Pemberian HP-3 wajib
mempertimbangkan kepentingan
kelestarian ekosistem pesisir dan laut,
masyarakat adat, kepentingan nasional
serta hak lintas untuk pelayaran.
37
Pasal 26
HP-3 dapat diberikan kepada :
a. Orang perorangan warga negara
Indonesia;
b. Badan Hukum Indonesia.
Pasal 27
(1) HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20
(dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang tahap kesatu paling lama
20 (dua puluh) tahun.
(2) Pemberian perpanjangan untuk tahap
kedua sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Pasal 28
(1) Bupati berwenang memberikan HP-3 di
wilayah perairan pesisir sejauh 4
(empat) mil dari garis pantai.
(2) Tata cara pemberian HP-3 diatur lebih
lanjut oleh Bupati.
38
BAB VIII
MITIGASI BENCANA
Pasal 29
(1) Dalam menyusun Rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir,
Pemerintah Kabupaten wajib
memasukkan dan melaksanakan
bagian yang memuat mitigasi bencana
di wilayah pesisir sesuai dengan jenis,
tingkat, dan cakupan wilayahnya.
(2) Mitigasi bencana pesisir dan laut
mencakup upaya pencegahan,
penanggulangan, dan pemulihan
wilayah pesisir.
(3) Dalam keadaan yang membahayakan,
Bupati berwenang mengambil tindakan
darurat guna keperluan pencegahan
dan penanggulangan bencana pesisir.
(4) Penyelenggaraan mitigasi bencana
wilayah pesisir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dengan
memperhatikan aspek:
39
a. sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat;
b. kelestarian lingkungan hidup;
c. kemanfaatan dan efektivitas; serta
d. lingkup luas wilayah.
Pasal 30
(1) Setiap orang/instansi/lembaga/badan
yang berada di wilayah Pesisir wajib
melaksanakan mitigasi bencana
terhadap kegiatan yang berpotensi
mengakibatkan kerusakan wilayah
pesisir.
(2) Mitigasi bencana sebagaimana
dimaksud pada ayait (1) dilakukan
melalui kegiatan struktur atau fisik
dan/atau nonstruktur/nonfisik.
(3) Ketentuan mengenai mitigasi bencana
dan kerusakan wilayah pesisir diatur
oleh Bupati.
40
BAB IX
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PESISIR
Pasal 31
Dalam pemberdayaan Pemerintah Daerah
perlu melakukan pembinaan yang meliputi:
a. memfasilitasi penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan, serta
peragaan dalam peningkatan
pengelolaan sumber daya pesisir dan
laut;
b. memfasilitasi penerapan teknologi dan
pengembangan budidaya sumber daya
pesisir dan laut;
c. memfasilitasi kerja sama antar
kabupaten/kota untuk meningkatkan
potensi dan produktivitas masyarakat.
BAB X
KOORDINASI PERENCANAAN DAN
PELAKSANAAN
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
41
Pasal 32
(1) Koordinasi Perencanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dilaksanakan secara
terpadu dan dikoordinasikan oleh
Bappeda;
(2) Koordinasi Pelaksanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dilaksanakan secara
terpadu dan dikoordinasikan oleh Dinas
yang membidangi kelautan dan
perikanan.
Pasal 33
Jenis kegiatan yang perlu dikoordinasikan
secara terpadu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 meliputi :
a. penilaian setiap usulan rencana
kegiatan tiap dinas daerah, badan
dan/atau perangkat daerah lainnya
sesuai dengan dokumen perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1);
42
b. perencanaan tiap-tiap instansi daerah,
antar kabupaten/kota dan dunia usaha,
termasuk pemanfaatan zona wilayah
pesisir;
c. melakukan program akreditasi skala
provinsi;
d. rekomendasi ijin kegiatan sesuai
dengan kewenangan instansi vertikal,
dinas daerah atau badan usaha; dan
e. penyediaan data dan informasi bagi
pengelolaan wilayah pesisir.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi
pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 33
diatur oleh Bupati.
BAB XI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
43
Pasal 35
(1) Pengawasan dan/atau pengendalian
diselenggarakan untuk menjamin
pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu dan berkelanjutan.
(2) Pemantauan, pengamatan lapangan
dan/atau evaluasi dilakukan dalam
pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian wilayah pesisir.
(3) Pemerintah Kabupaten Pekalongan
membentuk pengawas yang diberi
wewenang khusus.
(4) Pengawas sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) adalah pejabat pegawai
negeri sipil yang diberi wewenang
tertentu yang menangani bidang
pengelolaan wilayah pesisir sesuai
dengan pekerjaan yang dimilikinya.
(5) Masyarakat dapat berperan serta dalam
proses pemantauan, pengamatan
lapangan dan evaluasi terhadap
perencanaan dan pelaksanaan
pengelolaan wilayah pesisir.
44
Pasal 36
Pengawasan terhadap proses
perencanaan dan pelaksanaan
pengelolaan wilayah pesisir dilakukan
secara terkoordinasi oleh instansi terkait.
Pasal 37
Pengawasan oleh masyarakat dilakukan
melalui penyampaian laporan dan/atau
pengaduan kepada pihak yang berwenang.
Pasal 38
(1)Dalam upaya peningkatan kapasitas
pemangku kepentingan pengelolaan
wilayah pesisir dibentuk Mitra Bahari
sebagai forum kerja sama antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah,
Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi,
Tokoh Masyarakat dan/atau Dunia
Usaha.
45
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Mitra
Bahari diatur oleh Bupati.
BAB XII
LARANGAN
Pasal 39
Dalam menjalankan pengelolaan wilayah
pesisir dan laut setiap
orang/instansi/lembaga/badan dilarang :
a. melakukan penambangan pasir pada
wilayah yang secara teknis, ekologis
atau sosial dapat merusak lingkungan
hidup dan/atau pencemaran lingkungan
dan/atau merugikan masyarakat
sekitarnya;
b. melakukan kegiatan yang dapat
menyebabkan pencemaran dan
kerusakan kawasan mangrove serta
ekosistem pesisir dan laut.
c. melakukan pembangunan fisik yang
menimbulkan pencemaran dan
kerusakan lingkungan danatau
merugikan masyarakat sekitarnya;
46
d. melakukan kegiatan pembangunan dan
pemanfaatan jasa lingkungan yang
tidak sesuai dengan Rencana Zonasi
dan Rencana Pengelolaan.
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 40
(1) Penyelesaian sengketa pemanfaatan
sumber daya pesisir pada tahap
pertama diupayakan berdasarkan
prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2) Upaya penyelesaian sengketa pada
tahap pertama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan dengan
alternatif penyelesaian sengketa atau
arbitrase sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal penyelesaian sengketa
melalui alternatif penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada
47
ayat (2) tidak tercapai, para pihak dapat
menempuh upaya penyelesaian melalui
pengadilan.
BAB XIV
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 41
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah Daerah dalam
lingkup tugas dan kewenangan di
bidang pengelolaan wilayah pesisir
dapat diberi wewenang khusus sebagai
penyidik, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan
dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak
pidana bidang pengelolaan wilayah
48
pesisir agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lengkap
dan jelas ;
b. meneliti, mencari, dan
mengumpulkan keterangan
mengenai orang pribadi atau badan
hukum tentang kebenaran
perbuatan yang dilakukan
sehubungan tindak pidana dalam
pengelolaan wilayah pesisir ;
c. meminta keterangan dan alat bukti
dari orang atau badan hukum yang
berkaitan dengan pengelolaan
sektor perikanan dan kelautan ;
d. memeriksa buku-buku, catatan-
catatan dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan pengelolaan
wilayah pesisir;
e. melakukan penggeledahan untuk
mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan
dokumen-dokumen lain serta
49
melakukan penyitaan terhadap
bahan bukti tersebut ;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam
rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang
pengelolaan wilayah pesisir ;
g. menyuruh berhenti dan/atau
melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung
dan memeriksa identitas orang
dan/atau dokumen yang dibawa
sebagaimana dimaksud pada huruf
c ;
h. memotret seseorang yang berkaitan
dengan tindak pidana pengelolaan
wilayah pesisir;
i. memanggail orang untuk didengar
keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka dan saksi ;
j. menghentikan penyidikan ;
k. melakukan tindakan lain yang perlu
untuk kelancaran penyidikan tindak
50
pidana pengelolaan wilayah pesisir
menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan ;
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum,
sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 42
Pelanggaran terhadap Pasal 30 dan Pasal
39 yang dapat mengakibatkan pencemaran
dan kerusakan lingkungan dikenakan
pidana sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 dan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007.
51
Pasal 43
(1) Pelanggaran terhadap Peraturan
Daerah ini diancam pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,-
(Lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah pelanggaran.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai
teknis pelaksanaannya akan diatur dalam
Peraturan Bupati.
52
Pasal 45
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Daerah Kabupaten.
Ditetapkan di Kajen
pada tanggal 12 Agustus 2009
BUPATI PEKALONGAN,
Ttd.
SITI QOMARIYAH
Diundangkan di Kajen Pada tanggal 13 Agustus 2009
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN
ttd
SUSIYANTO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2009
NOMOR 14
Salinan sesuai aslinya, Kepala Bagian Hukum
Setda Kabupaten Pekalongan
Bambang Supriyadi, SH, M.Hum. Penata Tk. I
NIP. 500 084 340 / 19630308 198701 1 003
53
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN
PEKALONGAN
NOMOR 16 TAHUN 2009
TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
I. PENJELASAN UMUM
Wilayah pesisir memiliki arti penting
dan strategis bagi Kabupaten baik dari
segi ekologis, ketahanan, pangan,
ekonomi, keanekaragaman biologis, sosial
budaya dan keindahan alam, maupun dari
segi pencegahan terhadap erosi/abrasi,
gelombang laut dan badai. Dalam Wilayah
pesisir ini terdapat berbagai jenis ikan dan
kerang-kerangan sebagai sumber protein
hewani, mangrove, dan estuaria sebagai
tempat memijah, mengasuh dan mencari
makan berbagai biota laut. Selain itu
54
habitat pesisir Kabupaten mempunyai
keaneragaman biologis yang memiliki
keunikan tersendiri. Wilayah pesisir juga
sebagai tempat pemukiman masyarakat,
media transportasi laut serta sarana
rekreasi dan penelitian. Disamping itu
Wilayah pesisir menyediakan sumberdaya
ekonomi untuk kegiatan perdagangan dan
industri, sumber mineral, sumber energi,
minyak dan gas bumi serta bahan-bahan
tambang lainnya.
Wilayah pesisir Kabupaten telah
mengalami degradasi ekosistem serta
penurunan populasi biota yang terdapat di
dalamnya sebagai akibat dari dampak
negatif pembangunan, pertumbuhan
penduduk, peningkatan sampah organik
dan anorganik serta peningkatan kegiatan-
kegiatan illegal dalam industri perikanan
dan pertambangan. Demikian juga adanya
peningkatan konsumsi dan pemanfaatan
sumberdaya pesisir yang berlebihan tanpa
mempertimbangkan aspek pelestarian
55
lingkungan, akan semakin menurunkan
nilai dan keberadaan sumberdaya pesisir,
sehingga mengancam potensi ekonomi
dan sosial budaya yang dikandungnya
yang pada gilirannya dapat menurunkan
tingkat kesejahteraan masyarakat.
Melihat pentingnya Wilayah pesisir
serta kebutuhan untuk mengelola dan
melindungi sumberdaya pesisir agar tetap
terpelihara dan lestari, maka dibutuhkan
tindakan penanggulangan sesegera
mungkin. Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Wilayah pesisir merupakan
langkah awal untuk menciptakan kerangka
kerja bagi pengelolaan Wilayah pesisir
terpadu di Kabupaten. Kerangka kerja ini
dimaksudkan untuk mengembangkan visi,
misi, strategi dan tujuan bagi pengelolaan
Wilayah pesisir di Kabupaten. Selain itu
Peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk
memberikan pedoman dalam rangka
mengembangkan suatu sistem koordinasi
penyelenggaraan dalam pengelolaan
56
Wilayah pesisir secara terpadu. Setelah
mekanisme koordinasi serta terwujudnya
partisipasi masyarakat, pendanaan dan
aturan-aturan dilaksanakan, maka
berbagai kegiatan lainnya yang
berhubungan dengan pengelolaan Wilayah
pesisir dapat dikembangkan.
Peraturan Daerah ini merupakan
pengembangan otonomi daerah
sebagaimana tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-undang
tersebut telah memberikan kewenangan
kepada Kabupaten untuk mengelola dan
mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam
hal pengelolaan Wilayah pesisir. Peraturan
Daerah ini juga bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat dalam upaya
penguatan kapasitasnya untuk mengelola
sumberdaya pesisir secara berkelanjutan.
Sebagian besar masyarakat di
Wilayah pesisir Kabupaten adalah nelayan
yang menggantungkan kehidupannya
57
pada sumberdaya pesisir, khususnya
kegiatan perikanan sebagai sumber
pendapatan utamanya. Berkurangnya
populasi ikan di perairan pesisir akhir-akhir
ini dengan hasil tangkapan nelayan
semakin berkurang, menyebabkan
masyarakat nelayan harus mencari ikan
pada jarak yang semakin jauh. Dengan
adanya sistem pengelolaan sumberdaya
Wilayah pesisir secara terpadu,
diharapkan masyarakat dapat lebih mudah
memperoleh hasil tangkapan yang pada
gilirannya akan meningkatkan taraf
hidupnya.
Penetapan batas wilayah laut untuk
memisahkan yurisdiksi antara dua Provinsi
yang saling berhadapan tergantung pada
lebar ruang lautan di antara kedua tepi
daratan. Apabila lebar ruang lautan di
antara kedua Provinsi tersebut melampaui
24 mil laut, maka masing-masing Provinsi
menetapkan garis batas terluar pada jarak
12 mil laut yang ditarik sejajar dengan
58
garis pangkalnya. Apabila lebar ruang laut
di antara kedua Provinsi ternyata kurang
dari 24 mil laut, maka batas wilayah laut
kedua Provinsi tersebut ditetapkan melalui
penarikan garis tengah yang diukur sama
jarak antara garis pangkal sepanjang
pantai kedua Provinsi itu.
Penetapan batas wilayah laut
Provinsi yang saling berdampingan
dilakukan dengan penetapan kesepakatan
tentang letak titik pangkal yaitu dengan
menentukan titik akhir dari batas kedua
Provinsi di daratan. Kemudian dilakukan
penentuan titik acuan yang letaknya sama
jarak ke kiri dan ke kanan titik acuan.
Kemudian dilakukan penentuan proyeksi
ke arah lautan dari kedua titik acuan.
Kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten dalam pengelolaan kawasan
pesisir menjangkau wilayah laut sampai
sejauh sepertiga dari batas kewenangan
Provinsi (sepertiga dari 12 mil).
59
Pemerintah Daerah Kabupaten
perlu melakukan koordinasi untuk
memadukan rencana-rencana tata ruang
dan kebijakan pengelolaan sektor-sektor
SDA, berhubungan dengan institusi lain
(internasional, pusat, provinsi, lokal,
penduduk asli), mengkoordinasikan hasil-
hasil penataan ruang dengan program-
program sosial- ekonomi. Hubungan
dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota lain dan dengan Provinsi
perlu dibentuk untuk menyelesaikan
konflik-konflik pemanfaatan ruang yang
terjadi.
Peraturan Daerah ini dalam
penamaannya adalah Pengelolaan
Wilayah pesisir, dengan pengertian
sebutan “wilayah”, tidak sama dengan
pengertian wilayah yang dipahami secara
umum. Tetapi pengertian wilayah disini
adalah pemaknaan lain dari pengertian
dalam penetapan ruang di pesisir, yang
berarti kata Wilayah pesisir adalah suatu
60
ruang di pesisir yang dipengaruhi oleh
ekosistem darat dan ekosistem laut.
Pengelolaan Wilayah pesisir
diarahkan untuk :
a. peningkatan pertumbuhan
ekonomi secara berkelanjutan;
b. peningkatan kesejahteraan
seluruh pelaku usaha,
khususnya para nelayan;
c. peningkatan marikultur dan jasa
lingkungan;
d. pemberdayaan masyarakat
pesisir;
e. pentaatan peraturan perundang-
undangan pengelolaan wilayah
pesisir; dan
f. keberlanjutan keberadaan
sumberdaya pesisir.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
61
Pasal 2
Huruf a
Asas keberlanjutan diterapkan
agar :
1. pemanfaatan sumberdaya
tidak melebihi kemampuan
regenerasi sumberdaya
hayati atau laju inovasi
substitusi sumberdaya
nonhayati pesisir;
2. pemanfaatan sumberdaya
pesisir saat ini tidak boleh
mengorbankan (kualitas dan
kuantitas) kebutuhan
generasi yang akan datang
atas sumberdaya pesisir; dan
3. pemanfaatan sumberdaya
yang belum diketahui
dampaknya harus dilakukan
secara hati-hati dan didukung
oleh penelitian ilmiah yang
memadai.
62
Huruf b
Asas keterpaduan dikembangkan
dengan:
1. mengintegrasikan kebijakan
dengan perencanaan
berbagai sektor
pemerintahan secara
horizontal dan secara vertikal
antara pemerintah dan
pemerintah daerah; dan
2. mengintegrasikan ekosistem
darat dengan ekosistem laut
berdasarkan masukan
perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
untuk membantu proses
pengambilan putusan dalam
Pengelolaan Wilayah pesisir.
Huruf c
Asas keadilan merupakan asas
yang berpegang pada
kebenaran, tidak berat sebelah,
tidak memihak, dan tidak
63
sewenang-wenang dalam
pemanfaatan sumberdaya
pesisir.
Huruf d
Asas kebangsaan merupakan
asas yang dimaksud untuk
menumbuhkembangkan cinta
tanah air, bangsa dan negara.
Diharapkan dengan
pelaksanaan pengelolaan
wilayah pesisir dapat menjamin
terciptanya rasa persatuan dan
kesatuan yang mengarah pada
terwujudnya ketahanan nasional.
Huruf e
Asas kepastian hukum
diperlukan untuk menjamin
kepastian hukum yang mengatur
pengelolaan sumberdaya pesisir
secara jelas dan dapat
dimengerti dan ditaati oleh
semua pemangku kepentingan;
serta keputusan yang dibuat
64
berdasarkan mekanisme atau
cara yang dapat
dipertanggungjawabkan dan
tidak dimarjinalkan masyarakat
pesisir.
Huruf f
Asas keterbukaan dimaksudkan
adanya keterbukaan bagi
masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang
pengelolaan wilayah pesisir dari
tahap perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian
sampai tahap pengawasan
dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia
negara.
Huruf g
Asas akuntabilitas dimaksudkan
bahwa pengelolaan wilayah
pesisir dilakukan secara terbuka
65
dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Huruf h
Asas peran serta masyarakat
dimaksudkan :
1. agar masyrakat pesisir
mempunyai peran dalam
perencanaan, pelaksanaan,
sampai tahap pengawasan
dan pengendalian;
2. memiliki informasi yang
terbuka untuk menmgetahui
kebijaksanaan pemerintah
dan mempunyai akses yang
cukup untuk memnafaatkan
sumber daya pesisir;
3. menjamin adanya
representasi suara
masyarakat dalam keputusan
tersebut;
4. memanfaatkan sumberdaya
tersebut secara adil.
66
Huruf i
Asas pemerataan ditujukan pada
manfaat ekonomi sumberdaya
pesisir yang dapat dinikmati oleh
sebagian besar anggota
masyarakat.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ruang lingkup pengaturan
dalam Peraturan Daerah ini
meliputi ruang lautan yang
masih terkena pengaruh oleh
kegiatan di daratan dan ruang
daratan yang masih dipengaruhi
laut, sedangkan ke arah daratan
disesuaikan sampai dengan
batas kecamatan.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
67
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
skala tertentu adalah
skala pemetaan yang
disesuaikan dengan
kebutuhan daerah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Penetapan batas wilayah laut
yang menjadi wewenang
Pemerintah Provinsi sejauh
12 mil laut merupakan batas
maksimum. Dalam hal
terdapat dua Provinsi yang
berhadapan yang lebar
lautnya kurang dari 24 mil
laut, maka batas wilayah laut
68
untuk dua Provinsi tersebut
dibagi sama jarak melalui
penetapan garis tengah
(median line).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
69
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Huruf a
Yang dimaksud dengan
kegiatan yang diperbolehkan
adalah kegiatan yang sesuai
dengan rencana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
kegiatan yang dilarang
70
adalah kegiatan bersifat
destruktif dan bertentangan
dengan rencana.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
kegiatan yang memerlukan
ijin adalah kegiatan yang
dilarang, kecuali setelah
memenuhi syarat-syarat
teknis dan administrasi
perijinan pengelolaan wilayah
pesisir.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
kawasan konservasi adalah
bagian dari wilayah pesisir
yang dicadangkan
peruntukkannya untuk tujuan
perlindungan habitat,
perlindungan plasma nutfah,
dan pemanfaatan secara
71
berkelanjutan. Contoh:
kawasan konservasi
laut/daerah perlindungan laut
(marine sanctuary), taman
wisata laut, dan lokasi-lokasi
bersejarah.
Yang dimaksud dengan
kawasan pemanfaatan umum
adalah bagian dari wilayah
pesisir yang diperuntukkan
bagi berbagai kegiatan.
Pengertian zona
pemanfaatan umum sama
dengan istilah kawasan
budidaya di dalam penataan
ruang daratan.
Yang dimaksud dengan
kawasan tertentu adalah
zona yang mempunyai fungsi
khusus. Contoh: zona untuk
kepentingan pertahanan dan
keamanan.
72
Yang dimaksud dengan alur
adalah perairan yang
dimanfaatkan untuk
pelayaran. Contoh: Alur Laut
Kepulauan Indonesia, jalur
pipa/kabel bawah laut, dan
jalur migrasi biota laut.
Ayat (2)
Rencana Zona Rinci adalah
rencana detail dalam satu
zona berdasarkan pada
arahan pengelolaan di dalam
Rencana Zonasi Wilayah
pesisir yang dapat disusun
oleh Pemerintah Daerah
dengan memperhatikan daya
dukung lingkungan dan
teknologi yang dapat
diterapkan serta
ketersediaan sarana yang
pada gilirannya
menunjukkan jenis dan
73
jumlah ijin yang dapat
diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah.
Pasal 15
Masa berlaku Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir Kabupaten
Pekalongan selama 20 (dua
puluh) tahun disesuaikan
dengan rencana tata ruang
terinci/detail dan evaluasi
dilakukan sekurang-kurangnya
sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Huruf a
Pengertian masyarakat
termasuk orang perorangan,
lembaga swadaya
74
masyarakat, dan perguruan
tinggi.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Mengkoordinasikan inisiatif-
inisiatif perencanaan
dimaksudkan agar
perencanaan sektor yang
satu dan yang lainnya
terintegrasi dalam kesatuan
rencana.
75
Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud orientasi
adalah penentuan arah yang
hendak dicapai melalui
prosedur dan tanggung
jawab dalam pengambilan
keputusan.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Rencana Tahunan dapat
juga disebut Rencana
76
Aksi Pengelolaan Wilayah
pesisir yang dapat
mempunyai visi lebih
panjang sampai 3 (tiga)
tahun.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
eksplorasi adalah kegiatan
penjelajahan lapangan
dengan tujuan untuk
memperoleh pengetahuan
77
yang lebih banyak tentang
potensi sumber daya pesisir.
Yang dimaksud dengan
eksploitasi adalah
pendayagunaan potensi
sumber daya pesisir untuk
memperoleh keuntungan,
misalnya penambangan,
penangkapan ikan dan
sebagainya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Kegiatan pemanfaatan untuk
tujuan usaha seperti:
pertanian, budidaya perairan,
usaha penangkapan ikan,
pariwisata, pertambangan,
industri, perdagangan,
78
permukiman kepadatan tinggi
(perkotaan) dan permukiman
kepadatan rendah
(perdesaan), termasuk
kegiatan penelitian yang
digolongkan sebagai
penelitian terapan.
Pengaturan tentang
pemberian ijin diatur dalam
peraturan perundang-
undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
79
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
mitigasi adalah tindakan-
tindakan untuk mengurangi
atau meminimalkan dampak
dari suatu bencana terhadap
jiwa dan/atau harta benda.
Dalam pelaksanaan
tanggung jawab mitigasi
bencana, Pemerintah Daerah
berkonsultasi dengan
Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas
80
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
keadaan yang
membahayakan adalah
bencana luar biasa yang
terjadi di wilayah pesisir yang
melampaui batas perkiraan,
sehingga jika tidak diambil
tindakan darurat dapat
menjadi bencana yang lebih
besar yang membahayakan
keselamatan umum.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
81
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Pengawasan adalah proses
kegiatan yang ditujukan
untuk menjamin agar
kegiatan sesuai dengan
rencana dan peraturan
perundang-undangan.
82
Pengendalian adalah
pengawasan atas kemajuan
dengan membandingkan
hasil dan sasaran secara
teratur serta menyesuaikan
kegiatan dengan hasil
pengawasan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Yang dimaksud dengan Pihak
yang berwenang adalah Dinas
83
Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Pekalongan.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
84
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN
NOMOR 9