Download - Lapsus Bronkiolitis
BAB 1
PENDAHULUAN
Bronkiolitis adalah inflamasi di bronkiolus terminalis, yang terjadi pada bayi
terutama pada usia 2-24 bulan, dengan karakteristik nafas yang cepat, dada
tertarik, dan wheezing. Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2
tahun terutama pada usia 2 sampai dengan 6 bulan. Kejadian bronkiolitis ini
meningkat terutama pada musim dingin atau hujan.1
Penyebab terbanyak disebabkan oleh virus RSV (Respiratory Syncytial
Virus), penyebab lain pada kasus-kasus yang lebih jarang disebabkan oleh virus
parainfluenza tipe 1 dan 3, Influenza B, Parainfluenza tipe 2, Adenovirus. Secara
umum, bronkiolitis terjadi pada bayi berumur lebih dari 1 bulan. 75% kasus
bronkiolitis terjadi pada umur dibawah 1 tahun, mencapai 95% sampai dengan
anak di bawah 2 tahun dengan puncak insiden terjadi pada usia 2-3 bulan. Faktor
resiko penyakit ini diantaranya: berat bayi lahir rendah, bayi berumur kurang 6
bulan, bayi prematur, sosioekonomi rendah, lingkungan pemukiman yang padat,
terpapar dengan rokok, dan ketiadaan pemberian ASI.3
Invasi virus pada epitel bronkiolus akan menyebabkan respon inflamasi
berupa nekrosis epitel, oklusi bronkial dan penumpukan limfosit peribronkial.
Bronkiolus menjadi edema dan mengalami obstruksi oleh mukus dan selular
debris sehingga dapat menyebabkan kolaps saluran napas bagian distal baik
parsial maupun total. Pada keadaan ini juga dapat terjadi hipereaktivitas dari
saluran napas. Produksi mukus, edema saluran napas dan hipereaktivitas saluran
napas dapat menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara.2
Bronkiolitis awalnya ditandai dengan infeksi saluran napas atas dengan
gejala batuk pilek dengan sekret encer, bersin, demam subfebril dan nafsu makan
menurun. Setelah RSV sampai di bronkioli maka dapat menyebabkan bronkiolitis
dengan gejala yang ditimbulkan akibat obstruksi yang makin meningkat dalam 2
sampai 3 hari. Batuk bersifat iritatif, repetitif dan paroksismal. Pada auskultasi
dapat ditemukan ronki basah halus difus pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi.
Terdengar suara napas wheezing dan ekspirasi yang memanjang.1
1
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap dan hitung
jenis umumnya dalam batas normal. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan
hiperinflasi paru, sela iga melebar, penekanan diafragma dan sudut costoprenikus
menyempit.1
Diagnosis dari bronkiolitis tidak begitu sulit. Adapun diagnosa banding
daripada bronkiolitis adalah asma bronkiale, pneumonia, bronkitis akut, gagal
jantung, dan aspirasi benda asing. Terapi yang diberikan biasanya bersifat suportif
berupa oksigen, bronkodilator, kortikosteroid, antibiotika dan juga terapi cairan
karena penyebab utamanya adalah infeksi virus.1
Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik bila tanpa disertai
penyakit yang lain. Karena bayi lahir prematur mudah sekali terserang
bronkiolitis, pemberian antibodi protektif dianjurkan sebagai pencegahan.5
BAB II
LAPORAN KASUS
2
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : NKSB
Umur : 1 tahun 6 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Petulu Gunung, Gianyar
Agama : Hindu
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Tanggal MRS : 30 Januari 2012
2.2 HETEROANAMNESIS (Ayah dan Ibu Pasien)
Keluhan utama :
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Penderita datang ke UGD RS Sanjiwani diantar kedua orang tuanya
dikeluhkan sesak napas sejak 1 hari SMRS (tanggal 29 Januari 2012). Sesak
napas tidak membaik dengan perubahan posisi. Sesak disertai suara ngik-ngik.
Kebiruan di sekitar bibir dan ujung jari (-).
Pasien juga dikeluhkan batuk sejak 2 hari SMRS (tanggal 28 Januari 2012).
Batuk disertai dahak namun dahak sulit dikeluarkan. Dahak yang keluar
berwarna putih, tanpa darah.
Pasien juga dikeluhkan pilek sejak 2 hari SMRS (tanggal 28 Januari 2012).
Ingus yang keluar berwarna bening.
Pasien juga dikeluhkan demam sejak 2 hari SMRS (tanggal 28 Januari 2012).
Panas awalnya sumer-sumer kemudian naik. Panas disertai kejang dan
menggigil disangkal.
Minum ASI dikatakan normal.
BAB dan BAK dikatakan normal.
Riwayat Pengobatan
3
Penderita pernah dibawa berobat ke puskesmas pada tanggal 29
Februari 2012 untuk memeriksakan keluhannya diberikan obat puyer
dan amoxicillin.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Penderita dikatakan pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya
saat berusia 9 bulan.
Riwayat Penyakit di keluarga:
Ayah pasien mempunyai riwayat sesak saat masih kecil, namun saat
ini sudah tidak pernah kambuh. Kedua kakak penderita juga dikatakan
mempunyai riwayat sesak.
Riwayat Sosial
Penderita merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Ayah penderita
merupakan seorang perokok aktif.
Riwayat Persalinan:
Penderita lahir spontan di rumah sakit, dibantu oleh dokter, cukup
bulan, dengan berat badan lahir 2600 gram, PBL tidak tahu, segera
menangis.
Tidak ada kelainan fisik saat lahir.
Riwayat Imunisasi:
Penderita dikatakan mendapat imunisasi lengkap sesuai umur, yaitu
BCG 1 kali, Hepatitis B 3 kali, DPT 4 kali, Polio 5 kali, dan Campak 1
kali.
Riwayat Nutrisi:
ASI : 0 – sekarang
Bubur Susu : 6 bulan - sekarang
Riwayat tumbuh kembang:
4
Menegakkan kepala : 2 bulan
Balik badan : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 12 bulan
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan Umum : Tampak sesak
Kesadaran : irritable
Nadi : 106 kali permenit, reguler, isi cukup
Laju Respirasi : 52 kali permenit, ekspirasi memanjang
Temp. Axilla : 38,3 0 C
Berat Badan : 7,5 kg
Tinggi Badan : 70 cm
BB Ideal : 8,8 kg
Status Gizi : 85% ~ gizi baik menurut Waterlow
Status General
Kepala : Normocephali, UUB terbuka datar
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterus (-/-),
Reflek Cahaya Pupil (+) / (+) Isokor, cowong (-/-), air mata (-/-)
THT : Telinga : Sekret -/-
Hidung : NCH (+), sekret +/+
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemi (-), faring hiperemi (-)
Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-)
Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
Thorax :
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
5
Palpasi : iktus kordis ICS IV MCL sinistra, kuat angkat (-),
trill (-)
Auskultasi : S1S2 normal regular murmur (-)
Paru-paru
Inspeksi : bentuk torak simetris, gerakan dada simetris, retraksi
subkostal (+)
Palpasi : gerakan dada simetris, fokal fremitus normal
Auskultasi : bronkovesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing +/+
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali cepat
Ekstremitas : Akral hangat (+) pada keempat ekstremitas, Oedem (-)
pada keempat ekstremitas, Cappilary Refill Time (CRT) < 2
detik
2.4 DIAGNOSIS KERJA
Bronkiolitis Akut dd/ Asma Bronkiale
2.5 USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium : DL
- Foto Dada
2.6 PENATALAKSANAAN
- MRS
- D51/2SS 14-16 tts mikro/menit
- Dexametasone 3×½ ampul
- Ambroxol 3 × cth ½
- Sanmol 3 × 0,8
- Salbutamol 3 × cth ¾
- Cefotazim 3 × 200 mg
2.7 FOLLOW UP
6
Tanggal Subjek, Objek, Assesment Terapi
31 Januari
2012
1 Februari
2012
S: sesak (+), batuk (+), dahak (+), pilek (+)
makan/minum (+), BAB (+), BAK (+).
Nadi : 102x/menit, reg isi cukup
RR : 44x/menit
Tax : 36,5º C
Status general
Kepala : normocephali
Mata : anemia -/- ,ikterus -/-,
Reflek pupil +/+ isokor,
Hiperemi konjungtiva -/-,
THT : NCH (-), cyanosis (-)
Thorax : simetri (+), retraksi (-)
Cor : S1S2 N, Reg Mur (-)
Po : Ves +/+, Rh -/-, Wh +/+
Abdomen : Aus (-), BU (+) N, H/L tidak teraba
Ext : Hangat (+), edema (-), CTR <2 dtk
Abdomen : distensi (-), BU (+) normal
H/L ttb
Assesment: Bronkiolitis
/dd Asma Bronkiale
S: sesak (+), batuk (+) dahak (+), pilek (+)
makan/minum (+), BAB (+), BAK (+).
Nadi : 110x/menit, reg isi cukup
RR : 40x/menit
Tax : 36,6º C
Status general
Kepala : normocephali
Mata : anemia -/- ,ikterus -/-,
Reflek pupil +/+ isokor,
Hiperemi konjungtiva -/-,
IVFD D5 25 tts
mikro/menit
Zibac 3×250 mg
Dexametason 3 ×
0,5 ml
Sanmol 3 × 0,7
Ambroxol 3 × cth
½
Salbuvent 3 × cth
½
O2 1 LPM
IVFD D5 25 tts
mikro/menit
Zibac 3×250 mg
Dexametason 3 ×
0,5 ml
Sanmol 3 × 0,7
Ambroxol 3 × cth
½
Salbuvent 3 × cth
½
7
2 Februari
2012
3 Februari
THT : NCH (-), cyanosis (-)
Thorax : simetri (+), retraksi (-)
Cor : S1S2 N, Reg Mur (-)
Po : Ves +/+, Rh -/-, Wh +/+
Abdomen : Aus (-), BU (+) N, H/L tidak teraba
Ext : Hangat (+), edema (-), CTR <2 dtk
Assesment: Bronkiolitis
/dd Asma Bronkiale
S: sesak (-), batuk (+) dahak (+), pilek (-),
makan/minum (+), BAB (+), BAK (+).
Nadi : 100x/menit, reg isi cukup
RR : 30x/menit
Tax : 36,5º C
Status general
Kepala : normocephali
Mata : anemia -/- ,ikterus -/-,
Reflek pupil +/+ isokor,
Hiperemi konjungtiva -/-,
THT : NCH (-), cyanosis (-)
Thorax : simetri (+), retraksi (-)
Cor : S1S2 N, Reg Mur (-)
Po : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Aus (-), BU (+) N, H/L tidak teraba
Ext : Hangat (+), edema (-), CTR <2
Abdomen : distensi (-), BU (+) normal
H/L ttb
Assesment: Bronkiolitis
/dd Asma Bronkiale
S: sesak (-), batuk (-), pilek (-), makan/minum (+),
O2 1 LPM
IVFD D5 25 tts
mikro/menit
Zibac 3×250 mg
Dexametason 3 ×
0,5 ml
Sanmol 3 × 0,7
Ambroxol 3 × cth
½
Salbuvent 3 × cth
½
Ambroxol 3 × cth
8
2012 BAB (+), BAK (+).
Nadi : 90x/menit, reg isi cukup
RR : 25x/menit
Tax : 35,7º C
Status general
Kepala : normocephali
Mata : anemia -/- ,ikterus -/-,
Reflek pupil +/+ isokor,
Hiperemi konjungtiva -/-,
THT : NCH (-), cyanosis (-)
Thorax : simetri (+), retraksi (-)
Cor : S1S2 N, Reg Mur (-)
Po : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Aus (-), BU (+) N, H/L tidak teraba
Ext : Hangat (+), edema (-), CTR <2dtk
Abdomen : distensi (-), BU (+) normal
H/L ttb
Assesment: Bronkiolitis
/dd Asma Bronkiale
½
Salbuvent 3 × cth
½
Cefadroxil 2 × cth
I
Fenokin 2 × cth I
BAB III
9
PEMBAHASAN
Bronkiolitis adalah inflamasi di bronkiolus terminalis, yang menyerang anak-anak
usia di bawah 2 tahun, dengan karakteristik nafas yang cepat, dada tertarik, dan
wheezing.1 Bronkiolitis adalah suatu proses keradangan atau inflamasi pada
saluran napas yang berukuran kecil (bronkiolus) yang ditandai dengan respiratory
distress dan overdistensi pada paru.2
Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2 tahun terutama
pada usia 2 sampai dengan 6 bulan. Kurang lebih 60 % mengenai laki-laki (laki-
laki : perempuan = 1,5 : 1). Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa tidak ada
perbedaan angka insiden berdasarkan jenis kelamin. Kejadian bronkiolitis ini
meningkat terutama pada musim dingin atau hujan. Bronkiolitis merupakan
penyebab perawatan terbanyak diantara penyakit saluran napas lainnya pada
anak.1 Hal ini sesuai dengan kondisi penderita yang berusia 1 tahun 6 bulan.
Bronkiolitis banyak ditemukan pada anak yang sedikit atau tidak
mendapat ASI, tinggal di daerah pemukiman yang padat, pada anak yang lahir
prematur, berat badan lahir rendah, terpapar rokok, dan tingkat sosial ekonomi
yang rendah. Penderita memiliki beberapa faktor resiko, antara lain terpapar
rokok.
Perubahan pertama kali yang terjadi di saluran nafas pada bronkiolitis
akibat RSV adalah nekrosis dari epitelium pernafasan, perusakan epitelium
bersilia, diikuti dengan terjadinya infiltrasi peribronkiolar oleh sel limfosit.
Bagian submukosa menjadi edema, namun tidak ada kerusakan pada jaringan
kolagen atau elastis. Debris sel dan fibrin menimbulkan plug di dalam bronkiolus,
alveoli biasanya normal kecuali yang berdekatan dengan yang terinflamasi.
Terkadang penyakit dapat mengenai alveoli yang lebih luas, dan peningkatan
jumlah sel dalam jaringan subepiteial bronkus dan bronkiolus meluas sampai pada
dinding intraalveolar yang jauh. Pada kasus ini cairan edema dapat terakumulasi
di dalam alveoli.2
Pada infeksi yang berat juga dapat ditemukan deskuamasi atau nekrosi
epitel sehingga akan banyak ditemukan debris seluler. Sekresi mukus biasanya
meningkat. Nekrosis epitel bersilia akan menyebabkan mekanisme pertahanan
10
akan menurun sehingga mudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Akibat
infeksi sekunder ini akan dapat terjadi nekrosis epitel submukosa dan otot polos. 2
Proses pemulihan dimulai dengan regenerasi dari epitel bronkiolus setelah
3 sampai dengan 5 hari. Tetapi silia belum muncul dalam beberapa waktu,
diperkirakan baru muncul setelah 15 hari. Mucus plug akan dibersihkan oleh
makrofag.2
Tidak semua anak yang mengalami infeksi saluran nafas atas berkembang
menjadi infeksi saluran pernafasan bawah. Anatomis dan faktor imunologis host
tampaknya yang berperan signifikan menentukan derajat berat sindrom klinis.
Infeksi RSV melibatkan respon imun yang kompleks. Degranulasi eosinofil,
terlepasnya protein kationik eosinofil, yang mana bersifat sitotoksik terhadap
epitel respiratorius. Mediator-mediator lain chemokines seperti IL-8, leukotrine
terlibat dalam patogenesis inflamasi saluran nafas.3
Bronkiolitis disebabkan oleh infeksi virus pada saluran nafas (bronkiolus).
Infeksi pada sel respiratorius bronkiolus dan sel epitel bersilia menyebabkan
terjadinya peningkatan sekres mukus, terjadi kematian sel, diikuti infiltrasi
limfosit peribronkial dan edema submukosa. Kombinasi dari debris dan edema
menyebabkan terjadinya penyempitan dan obstruksi pada saluran nafas kecil.6
Invasi virus pada epitel bronkiolus akan menyebabkan respon inflamasi
berupa nekrosis epitel, oklusi bronkial dan penumpukan limfosit peribronkial.
Bronkiolus menjadi edema dan mengalami obstruksi oleh mukus dan selular
debris sehingga dapat menyebabkan kolaps saluran napas bagian distal baik
parsial maupun total. Pada keaadaan ini juga dapat terjadi hiperreaktivitas dari
saluran napas. Produksi mukus, edema saluran napas dan hiperreaktivitas saluran
napas dapat menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara.2
Berdasarkan Hukum Poiseuille yang menyatakan bahwa resistensi aliran
udara saluran napas berbanding terbalik dengan radius saluran napas pangkat 4
maka adanya sedikit saja penyempitan lumen saluran napas akan memberikan
efek yang cukup besar pada aliran udara. Selain itu pada anak-anak didapatkan
lebih sedikit bronkilolus terminalis yang berfungsi sebagai sirkuit paralel untuk
menurunkan resisitensi saluran napas.2
11
Peningkatan resistensi aliran udara menyebabkan hipoventilasi dari alveoli
dan penurunan rasio ventilasi-perfusi. Hipoksemia merupakan akibat
ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch). Resistensi aliran
udara pada saluran napas kecil meningkat baik pada fase inspirasi maupun
ekspirasi. Tetapi karena radius saluran napas mengecil selama fase ekspirasi maka
terdapat mekanisme klep (ball-valve effect). Pada mekanisme ini maka udara akan
terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Akibat overinflasi maka dapat
menyebabkan penurunan daya pengembangan paru dan peningkatan dead space
fisiologis.2
Akibat obstruksi saluran napas mengakibatkan tekanan intratorakal
menurun sehingga darah yang ke jantung dan kapiler paru meningkat
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Hal ini menyebabkan akumulasi
cairan di sekitar alveoli dan saluran napas kecil sehingga dapat menyebabkan
edema paru. Edema paru juga dapat menyebabkan daya pengembangan paru juga
berkurang. Akumulasi cairan pada saluran napas kecil juga dapat merangsang
reseptor ”J” sehingga mengakibatkan bronkokonstriksi. Apabila obstruksinya total
maka dapat terjadi atelektasis sehingga menggangu pertukaran udara di paru.
Sebagai kompensasinya adalah peningkatan frekuensi napas.2
Total kerja pernapasan telah diteliti dan didapatkan peningkatan sampai 6
kali anak normal pada penderita bronkiolitis sehingga anak akan capai dan dapat
menyebabkan kegagalan pernapasan.2
Gagal nafas adalah kegagalan pada pertukaran gas antara udara pernafasan
dengan sirkulasi darah, yang terjadi dalam intrapulmonal atau pada pertukaran gas
yang keluar masuk paru-paru. Gagal nafas dibagi menjadi 2 tipe yaitu: Tipe I:
gagal nafas yang meliputi kadar oksigen yang rendah (PO2 < 60%) dan kadar
karbondioksida yang normal atau rendah. Tipe II: gagal nafas yang meliputi
oksigen yang rendah dan karbondioksida yang tinggi (PCO2 > 45%).4
Gejala dan tanda gagal nafas adalah tidak spesifik dan kemungkinan akan
timbul pada keadaan hypoxemia, hypercarbia, dan academia yang parah. Tanda
fisik yang primer dari melemahnya ventilasi adalah kerja berlebihan pada otot-
otot pernafasan (ventilator muscle), tachypnea, tachycardia, penurunan volume
tidal, nafas yang tidak regular atau terengah-engah (gasping), and gerakan
12
paradoks abdomen. Berikut adalah bagan patofosiolgis bronkiolitis dan terjadinya
gagal nafas.
Agent (RSV)
Invasi epitel bronkiolus
Respon Imun (invasi sel darah putih) (limfosit)
Respon inflamasi (nekrosis epitel & penumpukan limfosit peribronkial)
Bronkiolus edema produksi mukus meningkat
Obtruksi bronkiolus
hipereaktivitas saluran nafas
Resistensi aliran udara meningkat
sampai 6x normal
Hipoventilasi alveoli
Penurunan Rasio ventilasi - perfusi
Capai Hipoksemia
Gagal nafas
13
Bronkiolitis terjadi apabila RSV sampai di bronkioli dengan gejala yang
timbul akibat dari obstruksi yang makin meningkat dalam 2 sampai 3 hari. Gejala
awalnya berupa infeksi saluran pernafasan atas seperti pilek, batuk, dan panas
sumer-sumer. Pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar usia
simptomnya tidak berlanjut, terbatas pada infeksi saluran nafas atas. Tapi 40%
anak-anak usia muda dan bayi, keadaannya berkembang melibatkan saluran
pernafasan bawah, batu dan sesak setelah 1-2 hari.3 Penderita datang dengan
keluhan sesak napas, batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan, pilek, dan
demam yang awalnya sumer-sumer sejak 2 hari SMRS.
Sebagai usaha pernafasan yang meningkat, ditandai nafas cuping hidung
setiap kali nafas, otot-otot pernapasan mengalami retraksi sebagai usaha
menghirup udara. Hal ini dapat melelahkan si anak dan pada bayi-bayi berusia
muda merupakan satu kelelahan luar biasa, bernafas menjadi sulit dipertahankan.
Gejala lain yang sering dijumpai: nafsu makan dan minum menurun, iritabel,
grunting, noisy breathing, muntah biasanya setelah batuk dan terdengar
wheezing.6 Saat datang, pada penderita ditemukan napas cuping hidung, retraksi
subkostal, iritabel, suara nafas ngik-ngik, namun minum ASI tetap seperti biasa.
Pada pemeriksaan fisik, yang dapat ditemukan pada pasien bronkiolitis
adalah adanya wheezing. Terjadi takipneu dengan frekuensi 50-60 kali permenit
bahkan meningkat sampai 80 kali permenit atau lebih, takikardi, nafas cuping
hidung setiap kali nafas, retraksi dinding dada pada saat inspirasi dan dapat terjadi
sianosis. Makin kecil anak makin jelas retraksi ini oleh karena dinding dada masih
fleksibel. Apneu biasanya pada bayi usia kurang dari 6 bulan karena jalan nafas
yang lebih kecil dan lebih mudah terobsruksi serta kemampuan untuk
membersihkan sekresi masih rendah. Pada asukultasi terdengar wheezing dengan
fase ekspirasi yang semakin memanjang atau dapat ditemukan ronki basah halus
difus pada saat inspirasi. Hepar dan lien teraba akibat hiperinflasi paru dan
pendataran diafragma. Gejala-gejala tersebut diatas dapat pula disertai dengan
konjungtivitis atau faringitis ringan, otitis media dan sianosis.3 Pada penderita
ditemukan wheezing dengan ekspirasi memanjang.
Setelah RSV sampai di bronkioli maka dapat menyebabkan bronkiolitis
dengan gejala yang ditimbulkan akibat obstruksi yang makin meningkat dalam 2
14
sampai 3 hari. Batuk bersifat iritatif, repetitif dan paroksismal. Anak akan menjadi
iritabel, sulit tidur dan sulit makan dan minum. Suhu tubuh dapat kembali normal.
Dapat ditemukan nafas cuping hidung, dispneu dan takikardia. Usaha nafas
meningkat (air hunger) dan dapat terjadi sianosis. Penggunaan otot bantu
pernapasan bertambah dan dapat terlihat adanya retraksi. Pada auskultasi dapat
ditemukan ronki basah halus difus pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi.
Terdengar suara napas wheezing dan ekspirasi yang memanjang. Gejala biasanya
berlangsung 3 sampai 7 hari dengan adanya perbaikan dalam 3 sampai 4 hari
pertama. Secara keseluruhan akan kembali normal dalam 1 sampai 2 minggu. 1
Pada penderita secara umum kondisinya membaik, sesak mulai berkurang, namun
batuk yang masih ada dan sulit untuk mengeluarkan dahak.
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dapat dilakukan antara lain :
1. Pemeriksaan darah lengkap kurang berguna karena hitung WBC masih
dijumpai dalam batas normal.
2. Pemeriksaan gas darah mungkin diperlukan pada pasien-pasien berat
khususnya yang membutuhkan ventilasi mekanik untuk menentukan berat
ringannya penyakit.
3. Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai normal kecuali bila terdapat
adanya dehidrasi berat.
Namun, pada penderita tidak dilakukan pemeriksaan darah lengkap.
Gambaran radiologis didapatkan hiperinflasi paru, sela iga melebar,
penekanan diafragma dan sudut costoprenikus menyempit, fokal atelektasis, air
trapping, serta diafragma mendatar. Diameter AP meningkat pada fotolateral.
Kadang-kadang terdapat bercak-bercak perpadatan akibat atelektasis sekunder
akibat obstruksi atau inflamasi bronkus, infiltrasi alveoli dan gambaran garis-garis
linear karena bronkioli yang menebal bersama-sama yang seringkali tampak
sebagai daerah konsolidasi.1 Foto thorak juga berfungsi mengeksklusi diagnosa
banding seperti pneumonia lobaris, dan gagal jantung kongestif. Namun, pada
penderita tidak dilakukan foto thorak.
15
Pemeriksaan lain antara lain :
1. Tes antigen pada cucian nasal memberikan hasil yang cepat (biasanya
dalam waktu 30 menit) dan akurat (sensitivitas 87-91%, spesifisitas 96-
100%).
2. Hasil kultur yang positif atau hasil floresensi antibodi direk dapat
mengkonfirmasi diagnosis infeksi RSV.
3. Kultur RSV kurang sensitif (60%) tapi spesifik (100%).
Pemeriksaan ini tidak dilakukan pada penderita.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Umumnya tidak sulit untuk mendiagnosa bronkiolitis
oleh karena sifatnya khas yaitu terjadi pada anak kurang dari 2 tahun, didahului
oleh gejala infeksi saluran napas bagian atas kemudian disusul oleh napas cepat
dengan mengi dan dapat ditemukan retraksi dinding dada, dan ditemukan
hiperinflasi dengan ronki basah halus dan difus. Pemeriksaan laboratorium rutin
tidak banyak membantu. Sedangkan pemeriksaan terhadap RSV itu sendiri sulit
dan lama.1 Kondisi pasien yang memenuhi kriteria ini antara lain, usia kurang dari
2 tahun, sesak, ada gejala demam dan batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan,
pilek, diikuti dengan adanya mengi, ekspirasi memanjang, retraksi subkostal dan
napas cuping hidung di awal.
Diagnosa banding dari bronkiolitis adalah asma bronkiale, pneumonia,
bronkitis akut, gagal jantung, dan aspirasi benda asing. Penderita di diagnosa
banding dengan asma bronkiale. Beberapa pegangan :
- Asma bronkiale umumnya terjadi pada usia diatas 2 tahun.
- Pada penderita asma biasanya mengalami sesak yang berulang,
- Onset sesak pada asma bersifat akut.
- Gejala ISPA atas pada asma tidak selalu ada.
- Riwayat atopi pada keluarga lebih sering.
- Riwayat alergi pada asma lebih sering.
- Pada pemeriksaan darah lengkap biasanya akan ditemukan peningkatan
eosinofil.
Anak dengan bronkiolitis akut harus masuk rumah sakit kalau ditemukan
saturasi O2 dibawah 92%, berumur kurang dari 6 bulan, tidak dapat minum,
16
respirasi rate-nya meningkat signifikan dan adanya penyakit kardiopulmonar.
Desaturasi O2 sampai 40%, sianosis, apneu atau asidosis adalah indikator
memasukan dalam perawatan intensif. Pada penderita ditemukan peningkatan
respirasi rate secara signifikan sehingga MRS.
Oleh karena adanya fase kritis, walaupun berlangsung singkat, pada
umumnya anak memerlukan perawatan dirumah sakit karena perlu pengawasan
yang cermat dan mengurangi aktifitas atau tindakan yang tidak perlu sampai
seminimal mungkin. Pada umumnya, terapi lebih banyak bersifat suportif karena
penyebab utamanya adalah infeksi virus. Pada dasarnya terapi bronkiolitis terdiri
dari:5
1. Oksigen
Oksigen diberikan dengan konsentrasi 40 %, tujuannya adalah untuk
menanggulangi dispneu, mencegah sianosis dan mengurangi kegelisahan.
Saturasi oksigen dipertahankan pada batas 95 % sampai dengan 98 %.
Penderita mendapatkan terapi O2 sebanyak 2 lpm dengan nasal kanul dari
tanggal 30 Januari 2012 hingga 1 Februari 2012 dengan harapan saturasi
O2 berkisar antara 95 % hingga 98% dan tidak terjadi sianosis pada pasien
tersebut.
2. Terapi cairan
Pada bayi yang dirawat di rumah sakit sering terjadi dehidrasi karena
rendahnya masukan cairan dan karena meningkatnya kehilangan cairan
akibat demam dan takipneu, anak juga menderita asidosis ringan. Karena
itu cairan harus diberikan secara hati-hati pada jumlah yang lebih besar
dari rumatan untuk mencegah terjadinya dehidrasi, asidosis metabolik, dan
mencukupi kebutuhan kalori. Dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada
bayi, karena ada resiko terjadi aspirasi pada pemberian peroral akibat
takipneu dan peningkatan usaha nafas dapat dilakukan pemberian
makanan melalui nasogastric tube.
Kebutuhan cairan pasien adalah 750 cc selama 24 jam, mampu minum 150
cc, sehingga pasien diberikan cairan maintenance sebanyak 25 tts mikro
permenit atau setara dengan 25 cc setiap 1 jam untuk memenuhi sisa
kebutuhan cairan sebanyak 600 cc.
17
3. Bronkodilator
Penggunaan bronkodilator masih dikatakan kontroversial. Epinefrin
nebulizer mungkin lebih efektif daripada ß2-agonis. Pada suatu penelitian
ditemukan pemberian epinefrin (0,1 ml/kg) memberikan perbaikan yang
lebih besar terhadap saturasi oksigen, gejala klinis, dan atau resistensi paru
dibandingkan pada pemberian salin atau albuterol. Menurut penelitian
Klassen dkk menggunakan rancangan double-blind dan mendapatkan hasil
bahwa penggunaan salbutamol pada pasien bronkiolitis dapat
memperbaiki keadaan klinis pasien. Bila teredapat perbaikan dimana
retraksi, frekuensi nafas dan whezing berkurang, pemberian aerosol bisa
dilanjutkan bersamaan dengan terapi lainya. Pada pasien diberikan
salbuvent 3 × cth ½.
4. Kortikosteroid
Meskipun inflamasi memegang peranan dalam patogenesis terjadinya
obstruksi jalan nafas, kortikosteroid belum terbukti bermanfaat untuk
memperbaiki status klinis penderita bronkioloitis. Pada suatu penelitian
kecil didapatkan pemberian inhalasi salbutamol bersamaan dengan injeksi
deksametason dapat memperbaiki keadaan klinis namun tidak terjadi
perubahan pada parameter perrtukaran gas. Penderita diberikan injeksi
deksametason 3 x 0,5 mg dari tanggal 30 Januari 2012 sampai 2 Februari
2012.
5. Antibiotika
Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap
perjalanan penyakit bronkiolitis dan penggunaannya merupakan hal yang
kurang rasional. Kurangnya teknik diagnostik yang cepat untuk
mengidentifikasi RSV atau virus lainnya, tidak jelasnya penyebab
penyakit pada bayi kecil yang menderita sakit serta pemikiran bahwa
infeksi virus mungkin merupakan predisposisi terjadinya infeksi bakteri
sekunder digunakan sebagai alasan untuk pemberian antibiotik. Jika
kondisi penderita cepat memburuk, terdapat peningktan dan pergeseran
hitung jenis WBC, WBC perifer, atau terdapat tanda-tanda klinis yang
mengarah ke sepsis, maka perlu dilakukan kultur bakteri darah, urine dan
18
cairan serebrospinal, diikuti dengan pemberian segera antibiotik spektrum
luas. Penderita selama perawatan diberikan cefotaxim injeksi 3 x 200 mg
dari tanggal 30 Januari 2012 sampai 2 Februari 2012, cefadroxil sirup 2 x
cth I dari tanggal 3 Februari 2012.
Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik meskipun penderita
terlihat sangat sakit pada saat masuk ke rumah sakit. Biasanya, sebagian besar
penderita yang mendapat perawatan suportif yang memadai, akan mengalami
perbaikan klinis dalam 3 sampai 4 hari. Setelah 2 minggu dari mulainya sakit,
frekuensi nafas menjadi normal dan kadar oksigen serta karbondioksida dalam
darah kembali normal pada sebagian besar penderita. Angka kematian kasus
bronkiolitis berkisar 1-5%. Bahkan dengan perawatan yang cermat, angka
kematian dapat ditekan sampai dibawah 1 persen.
Penderita memiliki prognosis yang baik, karena selama perawatan di
rumah sakit mengalami perbaikan gejala dan keadaan umum membaik, sesak
berkurang sehingga oksigen nasal kanul dapat dilepas, batuk juga berkurang,
frekuensi napas normal, demam sudah turun, minum ASI kuat, infus sudah dapat
dilepas, dan hari ke 5 perawatan penderita sudah diperbolehkan rawat jalan.
Perbandingan Antara Teori Dan Kasus
Teori Kasus95 % terjadi pada usia dibawah 2 tahun, dengan puncak kejadian 2-3 bulan dan lebih sering terjadi pada laki-laki.
Penderita perempuan berusia 1,5 tahun
Manifestasi klinis berupa sesak yang disertai batuk dan pilek
Keluhan utama pasien adalah sesak dan disertai dengan demam, batuk dan pilek
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya peningkatan frekuensi pernafasan, nafas cuping hidung, dan retraksi otot pernafasan serta adanya suara nafas tambahan berupa ronki dan wheezing atau hanya wheezing, ekspirasi memanjang, tergantung tingkat keparahan penyakit
Pada hasil pemeriksaan ditemukan adanya wheezing, retraksi subcostal, nafas cuping hidung, ekspirasi memanjang.
Kortikosteroid merupakan salah satu terapi untuk bronkiolitis yang dapat meningkatkan keadaan klinis pasien
Kondisi penderita membaik setelah diberikan injeksi deksametason 3x0,5 mg dari tanggal 30 Januari sampai 2 Februari 2012.
19
BAB IV
SIMPULAN
1. Bronkiolitis adalah suatu proses keradangan atau inflamasi pada saluran napas
yang berukuran kecil (bronkiolus terminalis) yang ditandai dengan respiratory
distress dan overdistensi pada paru.
2. Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2 tahun terutama pada
usia 2 sampai dengan 6 bulan.
3. Penyebab bronkiolitis adalah infeksi oleh virus dan jarang disebabkan oleh
bakteri serta proses alergi. RSV merupakan penyebab terbanyak.
4. Bronkiolitis awalnya ditandai dengan infeksi saluran napas atas dengan gejala
pilek dengan sekret encer, bersin, demam subfebril dan nafsu makan menurun.
Kemudian diikuti dengan gejala seperti sesak, mengi dan retraksi dinding
dada.
5. Diagnosa banding bronkiolitis adalah asma bronkiale, pneumonia, bronkitis
akut, dan aspirasi benda asing.
6. Terapi yang diberikan berupa suportif yaitu oksigen, terapi cairan.
bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotika.
7. Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Chernick V, Boat TF, Edwin L. Disorders of The Respiratory Tract in Children.
6th ed. USA: WB Saunders Company. 1998; 22:473-483.
2. Ali J, Summer WR, Levidzky MG. Pulmonary Pathophysiology. USA: Mc
Graw Hill. 1999; 12:277-280.
3. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. 17 th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company. 2002; 378:1415-1417.
4. http://www.virtualrespiratorycentre.com/respiratoryfailure/html Last update:
September 2005. accessed: Agustus 26th, 2006.
5. Hay WW, et al. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. 16 th ed. Singapore:
Mc Graw Hill. 2003; 18:520-521.
6. Hasan R. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2002; 1197-1245.
21