10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai acuan dalam
penelitian ini, adalah :
Penelitian yang dilakukan oleh Siswanto (2011), dalam Jurnal Ilmiah
Pariwisata yang berjudul “Strategi Pengembangan Ecotourism Taman Nasional
Baluran di Kabupaten Situbondo”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Taman
Nasional Baluran di Kabupaten Situbondo memiliki potensi wisata yang unik dan
menarik, berupa: potensi sumber daya alam hayati (SDAH), keindahan alam
sekitar, jenis-jenis hutan, keanekaragaman flora, satwa khas Baluran serta tipe
ekosistemnya. Dilihat dari potensi yang dimiliki Taman Nasional Baluran, maka
sangat layak untuk dikembangkan sebagai daya tarik ecotourism yang merupakan
jenis pariwisata ramah lingkungan dan memberikan dampak positif terhadap
pemberdayaan masyarakat lokal. Sejauh ini, peran serta masyarakat lokal dalam
pengembangan ecotourism Taman Nasional Baluran masih belum optimal, karena
selama ini masyarakat tidak dilibatkan dalam pengembangan kepariwisataan
tersebut. Untuk mensukseskan program pengembangan ecotourism, maka sangat
perlu adanya pelibatan dan peran serta masyarakat lokal dalam
pengembangannya.
11
Strategi umum yang diimplementasikan dalam pengembangan ecotourism
Taman Nasional Baluran adalah strategi konservasi via integratif vertikal, yaitu
mengintegrasikan aktivitas hulu dan aktivitas hilir. Aktivitas hulu terkait dengan
segala sesuatu yang diperlukan untuk memudahkan wisatawan dalam
mengunjungi ecotourism Taman Nasional Baluran yaitu, penyediaan prasarana
dan sarana pariwisata. Adapula strategi alternatif pengembangan ecotourism
Taman Nasional Baluran, meliputi: pengembangan produk ecotourism,
peningkatan keamanan pengembangan ecotourism, pengembangan prasarana dan
sarana pokok maupun sarana penunjang pariwisata, serta pengembangan
kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) pariwisata terhadap
pengembangan ecotourism Taman Nasional Baluran di Kabupaten Situbondo.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Siswanto,
adalah mengkaji tentang strategi pengembangan ekowisata, dan alat yang
digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis adalah menggunakan matrik
SWOT, yakni bersifat mengeksplorasi atau menggali dan merumuskan kebijakan
dan program-program berdasarkan kondisi internal berupa kekuatan (strengths)
dan kelemahan (weaknesses) yang dimiliki serta kondisi eksternal, berupa peluang
(opportunities) dan ancaman (threats). Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan
penelitian terdahulu, adalah pada penguraian tahapan analisis internal dan
eksternal lebih menggunakan value atau nilai pembobotan dan pemeringkatan
terhadap faktor-faktor tersebut oleh para responden, sementara penelitian ini
penguraian strategi SWOT menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Dalam hal
ini, jenis data yang digunakan oleh Siswanto merupakan gabungan antara
12
kualitatif dan kuantitatif, yakni lebih banyak menggunakan tabel dalam
penjelasannya. Perbedaan lainnya terdapat pada kajian penelitian, dalam
penelitian terdahulu mengkaji pengembangan ekowisata secara keseluruhan
terkait dengan prinsip-prinsip ekowisata yang mampu memberikan manfaat
ekonomi menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat, memajukan kebudayaan
masyarakat, pelestarian alam, lingkungan sumber daya lainnya, serta mengacu
pada keberlanjutan ekologis, sedangkan dalam penelitian ini menspesifikasikan
pengembangan ekowisata yang berbasis masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Adikampana (2012), dalam Jurnal Analisis
Pariwisata yang berjudul “Desa Wisata Berbasis Masyarakat Sebagai Model
Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge”. Dalam penelitian ini, mengemukakan
tentang produk Desa Wisata Pinge yang dilihat dari atraksi wisata dan amenitas
atau fasilitas wisata yang terdapat di Desa Pinge. Desa Wisata Pinge memiliki
potensi alam dengan hawa yang sejuk dan memiliki letak yang strategi dekat
dengan berbagai destinasi wisata lainnya di Bali. Desa Pinge juga memiliki
potensi alam pedesaan dengan bangunan tradisional Bali dan merupakan salah
satu daya tarik wisata yang memiliki panorama yang indah. Dilihat dari tata letak
desa yang teratur memanjang dan dibelah oleh satu jalan besar dengan arsitektur
yang rapih dan sejajar, Desa Wisata Pinge menyimpan pula potensi budaya
terutama potensi arkeologi di sebuah pura yaitu Pura Natar Jemeng. Beberapa
kegiatan wisata yang bisa dilakukan oleh wisatawan di Desa Wisata Pinge, adalah
hiking, tacking, cycling dan car touring. Terdapat beberapa amenitas atau fasilitas
wisata di Desa Wisata Pinge, berupa akomodasi (home stay), coffee break, toilet,
13
arena pementasan kesenian, dan souvenir shop. Ketersediaan fasilitas tersebut
cukup mendukung kepariwisataan Desa Pinge.
Dalam penelitian ini, menjelaskan permasalahan yang diteliti tentang
model pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan produk Desa Wisata
Pinge yang dianggap sangat penting dalam kerangka pengembangan
kepariwisataan. Untuk memfasilitasi keterlibatan dan optimalisasi manfaat Desa
Wisata Pinge bagi masyarakat lokal, maka model yang dirumuskan dalam
pengembangan Desa Wisata Pinge diarahkan pada: (1) penguatan kapasitas dan
peran masyarakat Desa Pinge untuk turut serta aktif dalam kegiatan dan proses
pembangunan desa wisata, berupa kapasitas institusi masyarakat dan pelibatan
masyarakat dalam proses pengembangan yang dimulai dari perencanaan,
implementasi dan monitoring atau evaluasi. (2) penguatan akses dan kesempatan
berusaha bagi masyarakat Desa Pinge untuk meningkatkan manfaat ekonomi desa
wisata, berupa peningkatan suplai terhadap fasilitas penunjang pariwisata,
menyediakan pemasukan tambahan bagi penyedia barang dan jasa layanan
pariwisata, meningkatkan permintaan pasar terhadap produk lokal, menggunakan
tenaga kerja asli dan tenaga ahli lokal, membuka sumber dana bagi usaha
perlindungan atau konservasi sumber daya alam dan budaya, serta menumbuhkan
kesadaran masyarakat lokal terhadap nilai-nilai lokalitas budaya dan keunikan
alam.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh
Adikampana, adalah adanya harapan dalam pengembangan berbagai produk
wisata yang tentu melibatkan masyarakat lokal untuk berpastisipasi penuh dalam
14
proses perencanaan, pengembangan dan pengelolaan suatu kegiatan pariwisata.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan manfaat positif terhadap
perekonomian masyarakat lokal menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan memajukan kebudayaan masyarakat. Terdapat persamaan lainnya, yakni
awalnya menjelaskan tentang komponen produk wisata yang tersedia di lokasi
penelitian. Adapula perbedaan ini dengan penelitian terdahulu, adalah dalam
penelitian terdahulu tidak menggunakan konsep ekowisata sebagai patokan dalam
pembahasannya, namun lebih spontanitas menjelaskan tentang pemberdayaan
masyarakat lokal, yakni meneliti tentang desa wisata berbasis ekowisata,
sedangkan penelitian ini meneliti tentang ekowisata berbasis masyarakat.
Penelitian dilakukan oleh Soedigdo dan Priono (2013), dalam Jurnal
Perspektif Arsitektur yang berjudul “Peran Ekowisata dalam Konsep
Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat Pada Taman Wisata Alam (TWA)
Bukit Tangkiling Kalimantan Tengah”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi produk ekowisata yang terdapat di TWA Bukit Tangkiling dan
mempelajari karakter produk dan pasar ekowisata yang berbasis masyarakat yang
dapat digunakan untuk mengembangkan community based ecotourism di
Kecamatan Bukit Batu dan mengetahui sejauh mana ekowisata berpengaruh
dalam pemberdayaan masyarakat Kecamatan Bukit Batu.
Adapun fenomena yang terjadi dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis
Mayarakat di TWA Bukit Tangkiling diantaranya, adalah: (1) masyarakat belum
terlibat secara maksimal dalam penyediaan jasa layanan bagi wisatawan, seperti
pengelolaan jasa akomodasi, transportasi dan penjualan produk lokal. (2) tingkat
15
komitmen dan kepedulian wisatawan domestik yang mengunjungi TWA Bukit
Tangkiling tidak kuat, apresiatif dan terbuka terhadap isu-isu yang terkait dengan
alam, lingkungan dan kesehatan. (3) masyarakat masih terbatas dalam
mengembangkan potensi yang dimiliki terkait dengan keterbatasan akses
masyarakat dalam mengembangkan sumber daya yang dimiliki.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk ekowisata Bukit Tangkiling
secara keseluruhan termasuk dalam spektrum Intermediate Ecotourism. Spektrum
ini merupakan dimensi yang ramah terhadap pemberdayaan masyarakat, banyak
masyarakat yang terlibat dalam penyediaan jasa layanan bagi wisatawan, seperti
pengelolaan jasa transportasi (perahu, sampan dan kapal). Pasar (wisatawan)
ekowisata Bukit Tangkiling, khususnya wisatawan domestik, merupakan kalangan
Eco–Generalist dengan karakteristik segmen pasar Modern Idealist. Segmen pasar
modern idealist merupakan segmen pasar yang relatif peduli terhadap
perlindungan alam dalam skala yang terbatas dan memiliki toleransi terhadap
keterlibatan masyarakat lokal. Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa
ekowisata dalam pemberdayaan masyarakat Desa Bukit Tangkiling berperan
hanya secara pasif.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Soedigdo
dan Priono adalah mengkaji tentang ekowisata dengan menggunakan analisis
deskriptif kualitatif. Selanjutnya pada kajian penelitian, yakni secara bersamaan
mengkaji tentang ekowisata berbasis masyarakat, karena dilihat dari fenomena
yang terjadi bahwa dalam pengembangan pariwisata dalam penelitian ini dan
penelitian terdahulu belum melibatkan masyarakat dalam pengembangan dan
16
pengelolaannya. Adapun perbedaan penelitian ini terdapat pada sistematika
pembahasan, dimana pembahasan yang dipaparkan secara keseluruhan
menggunakan tabel, sedangkan dalam penelitian ini mendeskripsikan dan
menguraikan secara rinci terkait dengan permasalahan yang diteliti.
Penelitian yang dilakukan oleh Suryawan (2013), dalam Jurnal Analisis
Pariwisata yang berjudul “Pengelolaan Potensi Ekowisata di Desa Cau Belayu
Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan”. Dalam penelitian ini, mengemukakan
tentang potensi dan kendala yang dihadapi masyarakat dalam pengelolaan potensi
ekowisata di Desa Adat Cau Belayu, diantaranya: potensi fisik (adanya tebing,
aliran sungai dan pola perkampungan), potensi budaya (lokasi kegiatan upacara
keagamaan, keberadaan Pura Titi Gantung dan Pura Duku Sulandri, serta potensi
ekologis (tumbuhan liar dan jalur pelintasan monyet dari Hutan Sangeh). Kendala
pengembangan potensi ekowisata yang dihadapi, yaitu kendala fisik, berupa
kemungkinan longsor, kondisi jalan yang buruk, kondisi topografi pada daerah
pinggir sungai dan kekeringan. Kendala SDM yang ada, berupa kurangya
kompetensi dari masyarakat, tidak ada struktur organisasi dan waktu pelayanan
wisata yang kurang dimiliki masyarakat. Kendala kebijakan yang terdiri atas
kebijakan kawasan konservasi, kebijakan fungsi kawasan, kebijakan regulasi
kelembagaan. Kendala motivasi berupa keinginan masyarakat untuk
mengoptimalkan lahan pertanian untuk kegiatan wisata. Kendala adat istiadat
berupa pengambilan keputusan melalui paruman seluruh krama dan tidak adanya
reward terhadap pengelolaan aset desa.
17
Dilihat dari kondisi Desa Adat Cau Belayu pada kondisi eksisting, belum
ada mekanisme pengelolaan potensi ekowisata yang dilakukan baik oleh desa
dinas maupun oleh desa adat. Hingga kini, aparat Desa Adat Cau Belayu dan Desa
Dinas Cau Belayu belum mengupayakan penyusunan rencana pengelolaan potensi
ekowisata. Realisasi kegiatan hanya pada penyusunan program penanganan tebing
pada daerah pinggiran Sungai Penet. Sedangkan pada tingkat masyarakat, isu dan
aspirasi terkait dengan pemanfaatan daerah tebing untuk pembangunan akomodasi
wisata, mengintegrasikan kegiatan wisata dan penegasan pemanfaatan daerah
untuk kegiatan wisata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Strategi SO: Merumuskan biaya
dasar kegiatan wisata termasuk penuangan nilai partisipasi pemilik lahan,
pemanfaatan SDM lokal sebagai tour guide dan posisi lain dalam rencana
kegiatan wisata yang akan dilakukan, pengikutsertaan masyarakat dalam
pelayanan wisata sebagai bentuk partisipasi dan pemberdayaan masyarakat,
penyusunan rencana promosi dan pemberitaan mengenai produk ekowisata yang
ada di Desa Adat Cau Belayu kepada semua pihak/ target market yang akan
disasar di Desa Adat Cau Belayu. Strategi WO: Pembentukan lembaga pengelola
potensi ekowisata yang sah, penyusunan sistem perekrutan pekerja wisata pada
periode tertentu sehingga dapat ditentukan pekerja yang bertugas/ siaga untuk
melayani wisatawan yang datang, peningkatan penggunaan media promosi yang
bersifat global, berupa internet dan telepon oleh pelaku pemasaran terhadap
produk ekowisata di Desa Adat Cau Belayu, penyediaan papan informasi sebagai
18
papan penunjuk arah sekaligus sebagai media promosi kegiatan wisata yang
ditawarkan.
Strategi ST: Pemanfaatan fasilitas yang ada di permukiman penduduk
untuk melayani kebutuhan wisatawan baik untuk tempat makan siang, beristirahat
sejenak, lokasi daya tarik wisata atau kegiatan lain, penyusunan program
pengurangan pemanfaatan tenaga kerja luar secara bertahap sejalan dengan
jalannya kegiatan wisata yang ada, pelatihan dan pengembangan kesepahaman
terhadap potensi dan materi guiding yang akan diberikan kepada wisatawan agar
tidak menyimpang, optimalisasi pelibatan masyarakat dalam pelayanan wisata
utamanya pada tempat dan waktu tertentu yang berpotensi kerawanan bahaya/
bencana. Strategi WT: dibutuhkan pembangunan jaringan kerjasama dengan
pelaku usaha wisata, perbaikan sejumlah fasilitas utamanya jalur wisata yang
rusak atau kurang layak agar dapat dimanfaatkan dengan baik, memberikan
kesempatan tenaga kerja dibidang wisata dari luar (yang dibawa oleh tour
operator) pada tahap awal sekaligus memberikan kesempatan praktek kerja
lapangan bagi tenaga kerja wisata lokal yang sedang berlatih.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryawan,
adalah pada analisis data yang digunakan menggunakan analisis matrik SWOT.
Kedua penelitian ini mengidentifikasi terlebih dahulu potensi ekowisata yang ada,
selanjutnya menjabarkan kondisi lingkungan internal dan eksternal lokasi
penelitian serta merancang dan merumuskan suatu strategi yang tepat dalam
pengembangan dan pengelolaan daya tarik ekowisata.
19
Terdapat perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, adalah
pada sistematika penggunaan analisis data, dimana untuk menyusun strategi
pengelolaan ekowisata menetapkan formulasi strategi yang terdiri dari 4 (empat)
tahap pengerjaan, yaitu setelah mengidentifikasi faktor internal dan eksternal,
tahapan selanjutnya menganalisis EFAS dan IFAS untuk mengetahui posisi usaha
dan kesesuaian strategi fungsional, serta analisis SWOT dengan menggunakan
matrik SWOT yang akan menghasilkan alternatif strategi induk dan menggunakan
analisis QSPM untuk merumuskan stategi prioritas. Instrumen penelitian lainnya
yang digunakan penelitian terdahulu, yaitu tabel Attractive Score yang berfungsi
untuk memberikan tingkat ketertarikan strategi pengelolaan dalam proses analisis
QSPM. Dalam artian, penelitian terdahulu lebih menggunakan nilai atau hitungan
sebagai patokan perumusan strategi, sedangkan pada penelitian ini lebih
menganalisis dan menguraikan dengan kata-kata. Terdapat perbedaan lainnya
antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian terdahulu
membahas tentang strategi pengelolaan ekowisata sedangkan pada penelitian ini
baru dimulai dari tahapan strategi untuk mengembangkan suatu daya tarik wisata
berbasis ekowisata.
Penelitian yang dilakukan oleh Dos Santos Guterres (2014), dalam Jurnal
Master Pariwisata yang berjudul “Pengembangan Daya Tarik Wisata Berbasis
Masyarakat di Pantai Vatuvou, Distrik Liquisa, Timor Leste”. Dalam penelitian
ini menjelaskan bahwa Desa Vatuvou memiliki potensi alam yang beragam,
berupa pantai yang indah dengan hamparan pasir yang bersih dan halus, ombak
yang bagus untuk para peselancar dan dapat menyaksikan pesona tenggelamnya
20
matahari (sunset) pada sore hari serta keindahan dan kekayaan alam bawah laut
berupa terumbu karang yang masih lestari. Terdapat pula potensi sosial budaya
yang menarik minat wisatawan, diantaranya keramahtamahan masyarakat Desa
Vatuvou, industri kerajinan, kesenian rakyat, seperti tari-tarian (tebe-tebe, bidu,
dahur), serta upacara dan ritual adat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Vatuvou turut
berpartisipasi dalam pengembangan Pantai Vatuvou yang dimulai dari tahap
perencanaan, pengembangan, dan tahap evaluasi kegiatan yang telah
dilaksanakan. Pada saat memulai perencanaan di daya tarik wisata Vatuvou,
masyarakat dilibatkan dalam penyusunan rencana tahap awal melalui musyawarah
pastisipatif untuk merencanakan dan mengatasi masalah-masalah yang akan
dirasakan oleh masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang ada. Adapun
partisipasi masyarakat dalam pengembangan Pantai Vatuvou, dimana dalam
pengembangan ini masyarakat lokal sebagai pemilik dan pengelolanya.
Masyarakat bekerjasama dengan LSM Haburas Foundation dalam menyediakan
sarana akomodasi, toilet umum, parkir, membangun akses jalan menuju ke daya
tarik wisata Pantai Vatuvou, menjaga keamanan, kebersihan serta menunjukkan
sikap keramahtamahan terhadap wisatawan yang berkunjung ke daerah tujuan
wisata Pantai Vatuvou. Selanjutnya adalah partisipasi masyarakat dalam tahap
evaluasi kegiatan pariwisata yang diadakan setiap akhir tahun bersama pihak
Haburas Foundation yang bertujuan untuk membahas tentang hasil yang telah
dicapai, serta kendala yang dihadapi terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan
21
oleh masyarakat pengelola wisata Pantai Vatuvou, serta merencanakan kegiatan
yang akan datang.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian terdahulu, adalah menganalisis
peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Pada
point pembahasan mengkaji dan menganalisis komponen produk wisata yang
tersedia di lokasi penelitian. Persamaan lainnya terdapat pada teknik analisis data,
yakni menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan analisis SWOT yang awalnya
mendeskripsikan dan menganalisis kondisi lingkungan internal dan eksternal
lokasi penelitian serta merumuskannya dalam bentuk SWOT. Adapun perbedaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah dalam pengembangan Pantai
Vatuvou masyarakat telah turut berpastisipasi mulai dari tahap perencanaan,
pengembangan dan tahap evaluasi, sedangkan dalam penelitian ini baru
menganalisis bagaimana partisipasi masyarakal lokal dalam pengembangan DTW
Air Terjun Oehala yang dilihat dari fenomena yang terjadi bahwa saat ini
Pemerintah Kabupaten TTS yang berpartisipasi secara umum dalam
pengembangan pariwisata Air Terjun Oehala.
2.2 Konsep Penelitian
2.2.1 Konsep Strategi Pengembangan Pariwisata
Strategi merupakan suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan
keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen
bagi organisasi yang bersangkutan kepada tindakan-tindakan yang mengarah pada
masa depan (Marpaung, 2000:52).
22
Menurut Hatten (1998) dalam Salusu (1998:7), menyatakan konsep
strategi selalu memberikan perhatian serius terhadap perumusan tujuan dan
sasaran organisasi. Sedangkan, Amirullah (2004:4) juga menyatakan bahwa
strategi sebagai suatu rencana dasar yang luas dari suatu tindakan organisasi untuk
mencapai suatu tujuan. Rencana dalam mencapai tujuan tersebut sesuai dengan
lingkungan internal dan eksternal perusahaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2005:538),
mendefinisikan pengembangan sebagai suatu proses, cara, perbuatan
mengembangkan sesuatu menjadi lebih baik, maju sempurna dan berguna,
sehingga pengembangan merupakan suatu proses/ aktivitas memajukan sesuatu
yang dianggap perlu untuk ditata sedemikian rupa dengan meremajakan atau
memelihara yang sudah berkembang agar menjadi menarik dan lebih berkembang.
Menurut Suwantoro (2002:88-89), pengembangan adalah memajukan dan
memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Lebih lanjut, Suwantoro
memaparkan mengenai prinsip-prinsip pengembangan pariwisata berkelanjutan,
yaitu :
1) Harus dibantu oleh proses perencanaan dan partisipasi masyarakat.
2) Harus ada kepastian, keseimbangan, adanya sasaran ekonomi, sosial
budaya dan masyarakat.
3) Hubungan antara pariwisata, lingkungan dan budaya harus dikelola
sedemikian rupa sehingga lingkungan lestari untuk jangka panjang.
23
4) Aktivitas pariwisata tidak boleh merusak dan menghasilkan dampak yang
tidak dapat diterima oleh masyarakat.
5) Pengembangan pariwisata tidak boleh tumbuh terlalu cepat dan berskala
kecil atau sedang.
6) Pada lokasi harus ada keharmonisan antara hubungan wisatawan, tempat
dan masyarakat setempat.
7) Keberhasilan pada setiap aktivitas tergantung pada keharmonisan antara
pemerintah, masyarakat setempat dan industri pariwisata.
8) Pendidikan yang mengarah pada sosio-cultural pada setiap tingkatan
masyarakat yang berkaitan dengan aktivitas pariwisata, termasuk juga
perilaku wisatawan harus serius diorganisasikan.
9) Peraturan perundang-undangan yang secara pasti melindungi budaya harus
dikeluarkan dan dilaksanakan sekaligus merevitalisasinya.
10) Investor dan wisatawan harus dididik untuk menghormati kebiasaan,
norma dan nilai tempat. Sedangkan hal-hal yang menimbulkan dampak
negatif dihindarkan dan dampak positifnya dimanfaatkan.
Yoeti (1997:104), memaparkan pengembangan pariwisata pada suatu
daerah memiliki tiga tujuan utama, yaitu :
24
1) Pengembangan perekonomian daerah, yakni pengembangan
kepariwisataan pada suatu daerah tujuan wisata selalu akan diperhitungkan
dengan keuntungan dan manfaat bagi masyarakat banyak.
2) Pengembangan pariwisata juga bersifat non ekonomis, yakni dengan
majunya pembangunan dan pengembangan pariwisata di suatu daerah
tujuan wisata, hasrat dan keinginan masyarakat setempat untuk
memelihara semua aset wisata yang ada di daerah itu semakin meningkat,
sehingga suasana yang nyaman, bersih dan indah serta lingkungan yang
terpelihara akan memberikan kesenangan dan kepuasan bagi wisatawam
yang mengunjungi daerah itu.
3) Pengembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata juga untuk
meningkatkan penerimaan suatu negara, mendorong pembangunan daerah,
mengenal sikap dan budaya orang lain (wisatawan) sehingga terjalin
interaksi antara masyarakat dengan para wisatawan, juga terpadunya
antara pemerintah, badan usaha dan masyarakat dalam mengelola potensi
pariwisata.
Menilik beberapa konsep tersebut, yang dimaksud dengan strategi
pengembangan pariwisata dalam penelitian ini adalah suatu kesatuan rencana atau
upaya yang bersifat komprehensif dan terpadu untuk memajukan, memperbaiki
dan meningkatkan kondisi kepariwisataan pada suatu daya tarik wisata. Proses ini
diawali dengan perencanaan yang matang dan bersifat holistik dengan
memperhatikan berbagai potensi dan kondisi riil setempat sehingga dapat
25
memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan
potensi wisata yang ada di Air Terjun Oehala sehingga menjadi suatu daya tarik
wisata yang berbasis ekowisata.
2.2.2 Konsep Potensi Wisata
Potensi adalah suatu aset yang dimiliki suatu daerah tujuan wisata atau
aspek wisata yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dengan tidak
mengesampingkan aspek sosial budaya. Dengan demikian potensi wisata secara
umum dapat dibagi menjadi dua, yakni :
1) Site Attraction, adalah suatu tempat yang dijadikan objek wisata seperti
tempat-tempat tertentu yang menarik dan keadaan alam.
2) Event Attraction, adalah suatu kejadian yang menarik untuk dijadikan
moment kepariwisataan seperti pameran, pesta kesenian, upacara
keagamaan, konvensi dan lain-lain (Yoeti, 1998).
Menurut Pendit (1994:63), potensi wisata merupakan segala sesuatu yang
terdapat di Daerah Tujuan Wisata atau istilah dalam bahasa Inggrisnya disebut
“Tourism Resort”. Daerah tujuan wisata (Tourism Resort) adalah daerah atau
tempat yang karena atraksinya, situasinya dalam hubungan lalu lintas dan fasilitas
kepariwisataan menyebabkan tempat atau daerah tersebut menjadi objek
kunjungan wisatawan.
26
Secara umum potensi wisata yang ada dapat dijabarkan, sebagai berikut :
1) Potensi alamiah merupakan potensi yang ada di masyarakat, seperti
potensi fisik dan geografis, seperti potensi alam.
2) Potensi budaya merupakan potensi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat, yakni kehidupan sosial budaya masyarakat, kesenian, adat
istiadat, mata pencaharian dan lainnya.
2.2.3 Konsep Daya Tarik Wisata
Kegiatan wisata di sebuah wilayah tidak lengkap tanpa adanya daya tarik
wisata atau tourist attraction. Daya tarik wisata merupakan fokus utama
pergerakan pariwisata di sebuah destinasi. Dalam artian, daya tarik wisata sebagai
penggerak utama yang memotivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu tempat,
serta daya tarik wisata juga menjadi fokus orientasi bagi pembangunan wisata
terpadu (Ismayanti, 2010:147).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan pada pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa :
Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan
nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan
manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Oleh karena itu,
daya tarik wisata harus dikelola sedemikian rupa agar keberlangsungan dan
kesinambungannya terjamin.
27
Suatu daya tarik wisata pada prinsipnya harus memenuhi tiga syarat,
adalah sebagai berikut :
1) Something to see (ada yang dilihat)
Di tempat tersebut harus ada objek dan daya tarik wisata yang berbeda
dengan yang dimiliki daerah lain. Dengan kata lain, daerah tersebut harus
memiliki daya tarik khusus dan atraksi budaya yang dapat dijadikan
“entertainment” bagi wisatawan. What to see meliputi pemandangan alam,
kegiatan, kesenian dan atraksi wisata.
2) Something to do (ada yang dikerjakan)
Di tempat selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, harus
disediakan fasilitas rekreasi yang dapat membuat wisatawan betah tinggal
lama di tempat itu.
3) Something to buy (ada yang dibeli/ souvenir)
Tempat tujuan wisata harus tersedia fasilitas untuk berbelanja terutama
barang souvenir dan kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa
pulang ke tempat asal (Bagyono, 2014:23).
Adapun daya tarik wisata yang merupakan sasaran perjalanan wisata,
adalah sebagai berikut :
1) Daya tarik wisata alam atas ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud
keadaan alam serta flora dan fauna, seperti: pemandangan alam, iklim,
cuaca, gunung, pantai, bukit, hutan rimba dengan tumbuhan hutan tropis,
serta binatang-binatang langka.
28
2) Daya tarik wisata yang merupakan hasil karya manusia yang berwujud
museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya. Ada
juga daya tarik buatan manusia yang bisa juga berupa perpaduan buatan
manusia dan keadaan alami, seperti: agrowisata (pertanian), wisata tirta
(air), wisata petualangan, taman rekreasi dan tempat hiburan.
3) Sasaran minat khusus seperti: berburu, mendaki gunung, goa, industri dan
kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai deras, tempat-tempat ibadah, dan
tempat-tempat ziarah (Ismayanti, 2010:148).
2.2.3 Konsep Ekowisata
Ekowisata merupakan salah satu produk pariwisata alternatif yang
mempunyai tujuan seiring dengan pembangunan berkelanjutan, yaitu
pembangunan pariwisata yang secara ekologis memberikan manfaat yang layak
secara ekonomi dan adil secara etika, memberikan manfaat sosial terhadap
masyarakat guna memenuhi kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan
kelestarian kehidupan sosial-budaya, dan memberi peluang bagi generasi muda
sekarang dan yang akan datang untuk memanfaatkan dan mengembangkannya.
Coy (1998:180), mengemukakan lima faktor pokok yang mendasar dalam
menentukan batasan prinsip utama ekowisata, yaitu :
1) Lingkungan; Ekowisata harus bertumpu pada lingkungan alam dan budaya
yang relatif belum tercemar dan terganggu.
2) Masyarakat; Ekowisata harus dapat memberikan manfaat ekologi, sosial
dan ekonomi langsung kepada masyarakat tuan rumah.
29
3) Pendidikan dan pengalaman; Ekowisata harus dapat meningkatkan
pembangunan akan lingkungan alam dan budaya terkait sambil
memperoleh pengalaman yang mengesankan.
4) Keberlanjutan; Ekowisata harus dapat memberikan sumbangan positif bagi
keberlanjutan ekologi dari lingkungan tempat kegiatan.
5) Manajemen; Ekowisata harus dapat dikelola dengan cara yang dapat
menjamin daya hidup jangka panjang bagi lingkungan alam dan budaya
yang terkait di daerah tempat kegiatan ekowisata.
The International Ecotourism Society (2002) dalam Sudiarta (2009:82),
mendefinisikan ekowisata sebagai: Ecotourism is “responsible travel to natural
areas that conserves the inveronment and sustains the well-being of local
people”. Dari definisi tersebut, ekowisata merupakan perjalanan wisata yang
berbasis alam yang mana dalam kegiatannya sangat tergantung kepada alam,
sehingga lingkungan, ekosistem dan kearifan lokal yang ada didalamnya harus
dilestarikan keberadaannya (www.world-ecotourism.org.omt/ecotourism).
Beberapa peneliti memberikan konsep tentang ekowisata, yakni: Fandeli
(2000:5) memberikan batasan ekowisata, yaitu suatu bentuk wisata yang
bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat
secara ekonomis dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat
setempat. Berdasarkan pengertian tersebut, bentuk ekowisata pada dasarnya
merupakan satu gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk. Sementara,
Organisasi The Ecotourism Society (2000:15), mengatakan ekowisata adalah suatu
bentuk perjalanan wisata ke daerah alami yang dilakukan dengan aturan mengenai
30
konservasi lingkungan dan pelestarian kehidupan serta kesejahteraan penduduk
setempat. Eplerwood (1999:23), mengungkapkan bahwa ekowisata adalah bentuk
baku dari perjalanan bertanggungjawab di daerah alami dan berpetualangan yang
dapat menciptakan industri pariwisata. Eplerwood juga menemukan delapan (8)
prinsip ekowisata, diantaranya adalah :
1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap
alam dan budaya.
2) Pendidikan konservasi lingkungan, artinya mendidik wisatawan dan
masyarakat setempat akan pentingnya konservasi.
3) Pendapatan langsung untuk kawasan, artinya pendapatan yang diperoleh
dipergunakan untuk membina melestarikan dan meningkatkan kualitas
kawasan pelestarian alam.
4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, artinya masyarakat diajak
dalam merencanakan pengembangan ekowisata termasuk melakukan
pengawasan.
5) Penghasilan masyarakat, artinya keuntungan secara nyata diterima
masyarakat dari kegiatan ekonomi dapat mendorong masyarakat menjaga
kelestarian kawasan alam.
6) Menjaga keharmonisan dengan alam, artinya semua upaya pengembangan
termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga
keharmonisan dengan alam.
7) Daya dukung lingkungan, artinya dalam pengembangan ekowisata harus
tetap memperhitungkan daya dukung lingkungan.
31
8) Peluang penghasilan negara porsinya cukup besar.
Berikut ini dijelaskan kriteria ekowisata menurut Wind (2000:137) dalam
Candra (2005), yaitu :
1) Potensi alam, yaitu potensi ekowisata dengan obyek berupa keadaan
lingkungan sebagai tempat kegiatan wisata alam, seperti daerah aliran
sungai, air terjun, pegunungan, danau, goa dan lainnya.
2) Potensi biologi, yaitu potensi ekowisata yang obyeknya berupa
keaneragaman hayati, baik flora maupun fauna seperti satwa liar, vegetasi
hutan dengan jenis yang mendominasinya, kawasan hutan lindung,
kawasan plasma nutfah.
3) Potensi budaya, yaitu potensi ekowisata yang berasal dari masyarakat
setempat akibat adanya aktivitas dan atraksi budaya, seperti upacara adat,
kegiatan perladangan, kerajinan tangan dan lain-lain.
4) Potensi lainnya adalah obyek potensi ekowisata di luar potensi alam,
biologi dan budaya seperti terowongan batu bara, camping ground, kolam
renang, persemaian dan sebagainya.
Dari definisi-definisi tentang ekowisata di atas dapat disarikan bahwa
terdapat unsur-unsur pokok yang mendasar dalam aktivitas ekowisata, yaitu :
1) Perjalanan ke kawasan alamiah.
Kawasan alamiah yang dimaksud adalah kawasan dengan kekayaan hayati
dan bentang alam yang indah, unik, dan kaya. Kawasan ini dapat berupa
taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya, taman
laut dan kawasan lindung lainnya.
32
2) Dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan rendah.
Dampak yang ditimbulkan harus ditekan sekecil mungkin. Dampak dapat
dihasilkan dari pengelola wisata, wisatawan, penginapan dan sebagainya.
Semua pihak dituntut untuk meminimalkan dampak yang mempunyai
peluang, menyebabkan pencemaran dan penurunan mutu habitat atau
destinasi wisata.
3) Membangun kepedulian terhadap lingkungan.
Tujuan aktivitas ini pada dasarnya untuk mempromosikan kekayaan hayati
di habitat aslinya dan melakukan pendidikan konservasi secara langsung.
Seringkali kesadaran terhadap lingkungan hidup akan mudah dimunculkan
pada pelajaran-pelajaran di luar kelas, karena sentuhan-sentuhan
emosional yang langsung dapat dirasakan. Dengan demikian, usaha
ekowisata harus mampu membawa seluruh pihak yang terlibat dalam
ekowisata mempunyai kepedulian terhadap konservasi lingkungan hidup.
4) Memberikan dampak keuntungan ekonomi secara langsung bagi
konservasi.
Dalam hal ini, ekowisata dengan sebuah mekanisme tertentu, harus
mampu menyumbangkan aliran dana dari penyelenggaraannya untuk
melakukan konservasi habitat.
5) Memberikan dampak keuangan dan pemberdayaan masyarakat lokal.
Masyarakat lokal harus mendapatkan manfaat dari aktivitas wisata yang
dikembangkan, seperti sanitasi, pendidikan, perbaikan ekonomi, dan
dampak-dampak lainnya. Unit-unit bisnis pendukung wisata seperti pusat
33
penjualan cinderamata, usaha penginapan harus dikendalikan oleh
masyarakat lokal. Hal itu untuk menjamin keikutsertaan masyarakat lokal
dalam pertumbuhan ekonomi setempat, karena aktivitas wisata.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Strategi Perencanaan
Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis dan
rasional kegiatan-kegiatan yang akan digunakan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu dan merupakan suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya
dengan sumber-sumber yang ada secara lebih efektif dan efisien. Perencanaan
dasar dengan menyediakan kerangka perencanaan yang umum dan menekankan
pada konsep perencanaan menjadi berkesinambungan, berorientasi sistem,
menyeluruh, terintegrasi dan ramah lingkungan serta fokus pada keberhasilan
pengembangan yang dapat mendukung keterlibatan masyarakat. Inskeep (1991)
dalam Ridwan (2012:4).
Menurut Paturusi (2008:27), perencanaan pariwisata adalah suatu proses
pembuatan keputusan yang berkaitan dengan masa depan suatu destinasi atau
atraksi wisata. Ini merupakan suatu proses dinamis dalam penentuan tujuan, yang
secara bersistem mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan untuk mencapai
tujuan serta implementasinya terhadap alternatif terpilih dan evaluasinya. Proses
perencanaan mempertimbangkan lingkungan (politik, fisik, sosial dan ekonomi)
sebagai suatu komponen yang saling terkait dan saling tergantung satu dengan
yang lainnya.
34
Ridwan (2012:38), menjelaskan beberapa prinsip-prinsip yang perlu
diperhatikan dalam melakukan perumusan perencanaan pengembangan pariwisata
yaitu, sebagai berikut :
1) Perencanaan pengembangan pariwisata haruslah merupakan suatu
kesatuan dengan pembangunan regional atau nasional dari pembangunan
perekonomian, sosial dan budaya.
2) Perencanaan pengembangan pariwisata haruslah dilakukan secara terpadu
dengan sektor-sektor lainnya yang berkaitan dengan bidang pariwisata.
3) Perencanaan pengembangan pariwisata daerah haruslah di bawah
koordinasi perencanaan fisik daerah secara keseluruhan.
4) Perencanaan fisik pengembangan pariwisata harus didasarkan suatu studi
atau penelitian dan memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan
alam dan budaya di sekitar wilayah pengembangan.
5) Perencanaan fisik pengembangan pariwisata tidak hanya dilihat dari segi
administrasi, tetapi harus sesuai dengan lingkungan alam sekitar dengan
memperhatikan faktor geografis yang lebih luas.
6) Perencanaan pengembangan pariwisata tidak hanya memperhatikan
masalah dari ekonomi saja, tetapi juga harus memperhatikan masalah dari
segi sosial dan budaya yang ditimbulkannya.
7) Perencanaan pengembangan pariwisata salah satu tujuannya adalah untuk
memberikan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, perencanaan
pengembangan pariwisata harus memperhatikan peningkatan kerjasama
35
dengan negara-negara lain yang saling menguntungkan khususnya
dibidang pariwisata.
Lebih lanjut, Ridwan (2012:39) menjelaskan 5 (lima) pendekatan
perencanaan pengembangan pariwisata yang perlu diketahui dan diaplikasikan
dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata, yaitu: (1) Pendekataan
pemberdayaan masyarakat lokal, (2) Pendekatan berkelanjutan, (3) Pendekatan
kesisteman, (4) Pendekatan kewilayahan, (5) Pendekatan dari sisi penawaran
(supply) dan Permintaan (demand). Ke-lima pendekatan perencanaan tersebut
akan dijelaskan, sebagai berikut :
1) Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Lokal.
Pariwisata Indonesia adalah pariwisata berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat, untuk itu dalam perencanaan pengembangan pariwisata
harus melibatkan masyarakat setempat (lokal) khususnya yang berada
disekitar objek dan daya tarik wisata (ODTW), karena masyarakat
setempat merupakan pemilik dan juga mereka lebih mengetahui mengenai
ODTW tersebut. Selain dari pada itu, agar masyarakat setempat
mendapatkan keuntungan ekonomi dari kegiatan pariwisata, dan juga
masyarakat setempat akan selalu menjaga kebersihan, ketertiban,
keamanan, dan kelestarian ODTW tersebut, yang pada akhirnya akan
memberikan kenyamanan dan keamanan terhadap wisatawan yang akan
mengkonsumsi ODTW tersebut.
36
2) Pendekatan Berkelanjutan.
Perencanaan pengembangan pariwisata berkelanjutan pada hakekatnya
adalah pengembangan pariwisata yang harus menjaga kelestarian
lingkungan sumber daya alam (ekologi) dan budaya yang ada di daerah
pengembangan. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan pada Pasal 2 disebutkan diantaranya bahwa kepariwisataan
diselenggarakan berdasarkan asas berkelanjutan, asas kelestarian, dan asas
partisipatif. Ada 3 (tiga) aspek yang penting dalam pembangunan
berkelanjutan, yaitu: aspek ekonomi mengenai upaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan mengubah pola produksi serta konsumsi kearah
yang seimbang. Aspek sosial-budaya mengenai penyelesaian masalah
kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, kesehatan masyarakat,
peningkatan pendidikan dan lain-lain. Aspek lingkungan mengenai upaya
konservasi dan preservasi sumber daya alam, serta pengurangan dan
pencegahan polusi maupun limbah.
3) Pendekatan Kesisteman
Pariwisata merupakan multisektoral, dimana kegiatan pariwisata terbentuk
dari berbagai sektor dan unsur-unsur yang saling terkait satu sama lain
didalam mendukung serta memajukan suatu pariwisata. Oleh karena itu,
dalam perencanaan pengembangan pariwisata, sangat tepat menggunakan
metode pendekatan kesisteman.
37
4) Pendekatan Kewilayahan.
Kegiatan pariwisata berada di dalam ruang wilayah atau dapat dikatakan
bahwa aktifitas pariwisata membutuhkan ruang yang berada di dalam
wilayah. Di dalam wilayah terdapat unsur-unsur pembentuk pariwisata
yang telah terintegrasi dengan sistem kewilayahan. Oleh karena itu,
perencanaan pengembangan pariwisata harus melalui pendekatan
kewilayahan.
5) Pendekatan Penawaran (Supply) dan Permintaan (Demand).
Perencanaan pengembangan pariwisata pada dasarnya adalah untuk
mencari titik temu antara penawaran dan permintaan. Oleh karena itu,
dalam melakukan perencanaan pengembangan pariwisata seharusnya
terlebih dahulu mengidentifikasi produk wisata (penawaran) yang ada di
daerah tujuan wisata dan pasar wisatawan (permintaan), baik yang aktual
maupun potensial kemudian dilakukan suatu analisis untuk kedua aspek
tersebut, sehingga titik temu kedua aspek tersebut tercapai. Maka dengan
demikian, produk wisata yang akan dijual sesuai dengan permintaan
(kebutuhan dan keinginan wisatawan).
Sementara, ada 8 (delapan) model pendekatan perencanaan pariwisata
menurut (Inskeep 1991:29) dalam (Paturusi 2008:45), adalah :
1) Pendekatan Berkesinambungan, Inkremental, dan Fleksibel (Continous,
Incremental and Fleksible Approach).
Pendekatan ini didasari kebijakan dan rencana pemerintah, baik di tingkat
nasional maupun regional. Perencanaan pariwisata dilihat sebagai suatu
38
proses berkesinambungan yang perlu dievaluasi berdasarkan pemantauan
dan umpan balik dalam kerangka pencapaian tujuan dan kebijakan
pengembangan pariwisata.
Hasil evaluasi diharapkan menjadi umpan balik untuk penyempurnaan
perencanaan. Dengan demikian perencanaan tidak pernah berakhir
(continous). Dalam penyempurnaan rencana, kadang diperlukan tambahan
item perencanaan untuk penyempurnaan (increment). Dengan demikian
perencanaan yang dibuat harus lentur untuk menerima perbaikan (flexible).
2) Pendekatan Sistem (System Approach).
Pariwisata dilihat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan
(interrelated system); demikian halnya dalam perencanaan dan teknik
analisisnya. Komponen pariwisata sangatlah kompleks, dimana setiap
komponen juga merupakan suatu sistem. Keterkaitan sistem perencanaan
dalam pariwisata sifatnya bukan keterkaitan mekanis (non-mecanical
system), seperti pada kendaraan. Namun, misalnya perubahan penggunaan
lahan di suatu kawasan akan berpengaruh pada model pengembangan
wisata di kawasan tersebut; (bisa sebagai obyek wisata atau kawasan
wisata).
3) Pendekatan Menyeluruh (Comprehencive Approach).
Pendekatan ini bisa juga disebut sebagai pendekatan holistik. Seperti pada
pendekatan sistem, seluruh aspek yang terkait dalam perencanaan
pariwisata, yang mencakup institusi, lingkungan, dan implikasi sosial
ekonominya, dianalisis dan direncanakan secara menyeluruh.
39
4) Integrated Approach.
Pendekatan ini mirip dengan pendekatan sistem dan pendekatan
menyeluruh, pariwisata dikembangkan dan direncanakan sebagai suatu
sistem yang terintegrasi baik ke dalam maupun ke luar. Dalam
perencanaan suatu kawasan wisata, kawasan sekitarnya tidak bisa
diabaikan, bahkan dipandang sebagai bagian integral perencanaan. Potensi
dan masalah di setiap kawasan diharapkan saling menutupi dan saling
melengkapi (bersinergi).
5) Pendekatan Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan dan
Berkelanjutan (Environmental and Sustainable Development Approach).
Pariwisata direncanakan, dikembangkan, dan dikelola dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan fisik dan sosial budaya. Analisis
daya dukung merupakan bagian yang paling penting dalam pendekatan ini.
Komponen utama dalam pendekatan ini, yaitu: industri pariwisata,
lingkungan dan masyarakat, ketiganya direncanakan secara terpadu. Ciri
pendekatan ini adalah: (1) Mengedepankan “kualitas pengalaman”
(learning of experience); (2) Menekankan pada keadilan sosial dan peran
serta masyarakat; (3) pengembangan disesuaikan dengan “Limit” atau
keterbatasan sumber daya; (4) Menawarkan kegiatan yang luas mencakup
elemen rekreasi, pendidikan, dan budaya; (5) menonjolkan “karakter”
wilayah; (6) Memberikan kesempatan bagi para wisatawan untuk
mengambil pelajaran, mengenali wilayah yang dikunjunginya; (7) Tidak
berkompetisi dengan (mematikan) sektor industri lain yang ingin
40
berkelanjutan; dan (8) Terpadu dengan rencana dan prioritas kabupaten,
provinsi, dan nasional.
6) Pendekatan Swadaya Masyarakat (Community Approach).
Pendekatan ini melibatkan sebesar-besarnya masyarakat mulai dari proses
perencanaan, membuat keputusan, pelaksanaan, sampai pengelolaan
pengembangan pariwisata.
Ciri pendekatan ini, adalah: (1) Skala kecil; (2) Dimiliki oleh
anggota/kelompok masyarakat setempat, sehingga memberikan manfaat
pada masyarakat tersebut; (3) Memberikan kesempatan kerja dan peluang
ekonomi pada ekonomi setempat; (4) Lokasinya tersebar, tidak
terkonsentrasi disuatu tempat; (5) Desain dan kegiatannya mencerminkan
karakter wilayah setempat; (6) Mengedepankan kelestarian wawasan
budaya (cultural heritage); (7) Tidak mematikan industri dan kegiatan
lainnya dan bersifat saling melengkapi; (8) Menawarkan ‘pengalaman
yang berkualitas’ pada wisatawan; dan (9) Merupakan kegiatan usaha yang
menguntungkan.
7) Pendekatan Implementasi (Implementable Approach).
Kebijakan, rencana, rekomendasi, dan rumusan pengembangan pariwisata
dibuat serealistis mungkin dan dapat diterapkan. Rumusan perencanaan
dibuat jelas sehingga bisa direncanakan.
Pendekatan yang diimplementasikan memiliki ciri : (1) Logis, yaitu bisa
dimengerti dan sesuai dengan kenyataan dan fakta yang ada; (2) Luwes
(fleksibel) dan tanggap mengikuti dinamika perkembangan; (3) Objektif,
41
yaitu didasari tujuan dan sasaran yang dilandasi pertimbangan yang
bersistem dan ilmiah; (4) Realistis, dapat dilaksanakan, memiliki rentang
rencana: jangka panjang, menengah, dan pendek.
8) Penerapan Proses Perencanaan yang Bersistem (Application of Systematic
Planning Process).
Pendekatan ini dilakukan berdasar logika tahapan kegiatan, di mana
tahapan ini bisa berdasarkan atas dimensi waktu (jangka pendek,
menengah, dan panjang); sumber pembiayaan (APBN, APBD, Swasta,
Swadaya, dst); sektoral berdasarkan departemen atau instansi internal atau
eksternal pariwisata. Kesemua pembagian tahapan ini terapannya dalam
perencanaan pariwisata dapat dipadukan sebagai suatu sistem dalam
bentuk matriks perencanaan.
Menurut Gunn (1994:60), ada beberapa konsep yang perlu diperhatikan
dalam perencanaan daya tarik wisata, diantaranya :
1) Penciptaan dan pengelolaan daya tarik wisata
Suatu kesalahan yang sering terjadi dalam pengelolaan daya tarik wisata
adalah penetapan daya tarik wisata yang terlalu prematur. Sebelum ada
pengelolaan yang baik, daya tarik wiata belum dapat difungsikan dan
dipromosikan karena dengan kunjungan wisatawan yang membludak akan
merusak sumber daya yang ada. Selain daya tarik wisata, perlu juga
diperhitungkan pengelolaan terhadap sarana pariwisata yang lain, seperti :
tempat parkir, tour dan interpretasi.
42
2) Pengelompokan daya tarik wisata.
Sebuah daya tarik wisata yang lokasinya jauh memerlukan banyak waktu
dan biaya untuk mencapainya sehingga menjadi kurang diminati
wisatawan. Sistem pariwisata massal seperti kereta api cepat dan
transportasi udara mengharuskan wisatawan berhenti dan melanjutkan
perjalanan sebelum puas menikmati daya tarik wisata yang sedang
dikunjungi dengan baik. Alat-alat tansportasi ini juga mendorong
perencanaan beberapa daya tarik wisata harus berdekatan. Karena itu
kunjungan ke daya tarik wisata utama sebaiknya dikelompokkan atau
digabung dengan daya tarik wisata pelengkap yang lain. Contoh:
Kunjungan ke Taman Nasional sebagai atraksi utama, menawarkan banyak
atraksi alam pelengkap seperti pemandangan, hiking, konservasi
kehidupan liar, topografi yang menantang dan tempat rekreasi di luar
ruangan.
3) Gabungan atraksi dan pelayanan.
Meskipun daya tarik wisata merupakan porsi utama dalam sebuah
pengalaman perjalanan, tetapi daya tarik wisata tetap memerlukan
dukungan pelayanan. Misalnya, dalam perencanaan sebuah taman terasa
kurang lengkap apabila tidak memperhitungkan pelayanan pendukung,
seperti: akomodasi dan restoran, dan pelayanan pelengkap, seperti:
penjualan film, obat-obatan dan cinderamata. Karena itu, daya tarik wisata
yang agak jauh atau terpencil minimal menyediakan pelayanan makanan,
toilet, dan pusat-pusat pelayanan pengunjung (visitor center).
43
4) Lokasi daya tarik wisata ada di daerah pedesaan dan perkotaan.
Daerah terpencil dan kota-kota kecil memiliki aset yang dapat mendukung
pengembangan daya tarik wisata karena beberapa segmen pasar ada yang
lebih menyukai suasana kedamaian dan ketenangan di daerah pedesaan.
Karena itu ke depan perlu dilakukan perencanaan dan control terhadap
daya tarik wisata yang masih alami,seperti: perkebunan dan jalan-jalan
pelosok pedesaan yang masih alami. Tempat-tempat ini cocok untuk
pengembangan pariwisata alam maupun budaya, selain itu perlu
penggabungan daya tarik wisata perkotaan dan pedesaan menjadi sebuah
paket perjalanan.
2.3.2 Teori Komponen Produk Wisata
Menurut Kotler (2001) dalam Ridwan (2012:48), produk segala sesuatu
yang dapat ditawarkan ke pasar untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan, atau
dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan. Produk mencakup
objek fisik, jasa, orang, tempat, organisasi dan gagasan.
Produk wisata bukanlah suatu produk yang nyata. Produk ini merupakan
suatu rangkaian jasa yang tidak hanya mempunyai segi-segi yang bersifat
ekonomis, tetapi juga yang bersifat sosial, psikologis dan alam, walaupun produk
wisata itu sendiri sebagian besar dipengaruhi oleh tingkah laku ekonomi. Jadi,
produk wisata merupakan rangkaian dari berbagai jasa yang saling terkait, yaitu
jasa yang dihasilkan berbagai perusahaan (segi ekonomis), jasa masyarakat (segi
sosial/ psikologis) dan jasa alam. Produk wisata juga merupakan gabungan dari
berbagai komponen, antara lain: (1) Atraksi suatu daerah tujuan wisata. (2)
44
Fasilitas/ amenities yang tersedia. (3) Aksesibilitas ke dan dari daerah tujuan
wisata (Suwantoro, 2004:48).
Beberapa para ahli mendeskripsikan tentang teori komponen produk
wisata, antara lain: Menurut Ridwan (2012:48), memaparkan 3 (tiga) komponen
atau elemen dalam produk wisata yang biasa disebut dengan triple A, yaitu :
1) Atraksi, yakni sesuatu yang memiliki daya tarik terhadap wisatawan.
2) Amenities/ Fasilitas, yakni sesuatu yang memenuhi kebutuhan wisatawan
selama berada di daerah tujuan wisata (Destinasi Pariwisata).
3) Aksesibilitas, yakni sesuatu yang memberikan kemudahan untuk
menghubungkan wisatawan dari negara/ daerah asal ke negara/ daerah
tujuan, dan selama berada di daerah tujuan pariwisata (destinasi
pariwisata) tersebut.
Mason (2000:46) dalam Ariani (2012), telah membuat rumusan tentang
komponen-komponen produk wisata, antara lain :
1) Atraksi, yaitu daya tarik wisata baik alam, budaya maupun buatan
manusia, seperti festival atau pentas seni.
2) Aksesibilitas, yaitu kemudahan untuk mencapai tempat tujuan wisata.
3) Amenities, yaitu fasilitas untuk memperoleh kesenangan, dalam hal ini
dapat berbentuk akomodasi, kebersihan dan keramahtamahan (tangible
and intangible products).
4) Networking, yaitu jaringan kerjasama yang berkaitan dengan produk yang
ditawarkan baik lokal, nasional, maupun internasional.
45
Menurut Cooper, dkk (1995:81), terdapat empat (4) komponen yang harus
dimiliki suatu daya tarik wisata, yaitu :
1) Atraksi (attraction)
Atraksi wisata dapat dibagi menjadi dua macam, yakni: (1) Natural
Resources (alami), seperti: Gunung, Danau, Pantai, dan Bukit; (2)
Attraction Feature (buatan), seperti: Culture (Museum, galeri seni, sirkus
arkeologi), Traditions (cerita rakyat, ritual keagamaan, festival), Event
(sport activities dan event budaya).
2) Fasilitas (aminities)
Secara umum pengertian aminities adalah segala macam sarana dan
prasarana yang diperlukan oleh wisatawan selama berada di DTW. Sarana
dan prasarana yang dimaksud seperti: Penginapan (accommodation),
rumah makan (restaurant), transportasi dan agen perjalanan.
3) Aksesibilitas (accessibility)
Sesuatu yang memberikan kemudahan untuk menghubungkan wisatawan
dari negara/ daerah asal ke negara/ daerah tujuan selama berada di
destinasi wisata tersebut. Jalan masuk atau pintu utama ke suatu destinasi
wisata merupakan akses penting dalam kegiatan pariwisata yakni
infrastruktur, seperti: bandar udara, pelabuhan kapal, terminal bus dan taxi,
stasiun kereta api dan jalan. Transportasi, seperti: udara, laut, darat
(pesawat, kapal pesiar, bus pariwisata, kereta api dan taxi).
46
4) Pelayanan Tambahan (ancillary service)
Ancillary services yaitu organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan untuk
pelayanan wisatawan seperti destination marketing management
organization conventional dan visitor bureau.
Adapun 5 (lima) komponen produk wisata yang terdapat di suatu daerah
tujuan wisata menurut Madiun (2014), yang dijelaskan pada mata kuliah Geografi
Pariwisata yakni, “4A” plus “1C” (Attraction, Amenities, Accessibility, Ancillary
Services, and Community Partisipation). Komponen produk wisata ini merupakan
salah satu konsep yang digunakan sebagai pendukung dan pelengkap teori
komponen produk wisata yang diuraikan berdasarkan permasalahan yang diteliti,
sehingga penjelasan dalam membedah permasalahan, terarah dan mudah
dipahami.
Pengunaan teori komponen produk wisata dalam penelitian ini bertujuan
untuk membedah permasalahan terkait dengan pengembangan produk wisata yang
tersedia di DTW Air Terjun Oehala yang dianalisis dan dideskripsikan
berdasarkan komponen produk wisata yang dikemukakan oleh kedua para ahli,
yaitu Cooper dkk (1995) dan Madiun (2014) yang membahas tentang “4A”
(Attractions, Amenities. Accessibility, Ancillary Services) plus “1C” (Community
Partisipation).
47
2.3.3 Teori Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism)
Teori ini menekankan kepada partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan pariwisata mulai dari perencanaan, pengembangan, pengelolaan,
dan penguatan kelembagaan untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat.
Pitana (1999:76) melihat pembangunan pariwisata kerakyatan berbeda
dengan pariwisata konvensional. Pembangunan ini lebih dikenal dengan model
bottom up, pembangunan sebagai social learning yang menuntut adanya
partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan dan pengelolaannya.
Menurut Kit (2000:4), ada empat (4) tujuan yang diinginkan dengan
berlakunya konsep pariwisata yang berbasis masyarakat, yaitu :
1) Pariwisata berbasis masyarakat harus berkontribusi untuk meningkatkan
dan atau memperbaiki konservasi alam atau sumber daya budaya,
termasuk keanekaragaman hayati.
2) Pariwisata berbasis masyarakat harus berkontribusi terhadap pembangunan
ekonomi lokal sehingga meningkatkan pendapatan dan keuntungan bagi
masyarakat.
3) Pariwisata berbasis masyarakat harus melibatkan partisipasi masyarakat
lokal.
4) Pariwisata berbasis masyarakat harus mempunyai tanggung-jawab kepada
wisatawan untuk memberikan produk yang peduli terhadap lingkungan
alam, sosial maupun budaya.
48
Pariwisata yang berbasis budaya harus memperhatikan keterlibatan
masyarakat lokal yang merupakan syarat mutlak untuk tercapainya pembangunan
pariwisata berkelanjutan. Pengelolaan tersebut harus dilakukan oleh masyarakat
yang hidup dan kehidupannya dipengaruhi oleh pembangunan tersebut (Pitana,
2002:55), sehingga akan mengarah pada sistem pengelolaan yang berbasis
masyarakat sebagai pelaku utama dalam pariwisata.
Paturusi (2008:48) menyatakan karakteristik kepariwisataan berbasis
masyarakat, yakni: (1) berskala kecil; (2) dimiliki oleh anggota/ kelompok
masyarakat setempat, sehingga memberi manfaat pada masyarakat setempat; (3)
memberikan kesempatan kerja dan peluang ekonomi pada ekonomi setempat; (4)
lokasinya tersebar tidak terkonsentrasi di suatu tempat; (5) desain dan kegiatan
mencerminkan karakter wilayah setempat; (6) mengedepankan kelestarian
wawasan budaya; (7) tidak mematikan industri dan kegiatan lainnya saling
melengkapi; (8) menawarkan pengalaman yang berkualitas bagi wisatawan; (9)
merupakan kegiatan usaha yang menguntungkan.
Menurut Suansri dalam Kusuma Dewi (2013:35), mendifinisikan
Community Based Tourism (CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan
aspek keberlanjutan lingkungan, sosial, dan budaya. CBT merupakan alat untuk
mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Adapun 5 dimensi
dalam aspek utama pengembangan CBT, yakni :
1) Dimensi ekonomi, dengan indikator berupa adanya dana untuk
pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di sektor
49
pariwisata dan timbulnya pendapatan masyarakat lokal dari sektor
pariwisata.
2) Dimensi sosial, dengan indikator meningkatnya kualitas hidup;
peningkatan kebanggaan komunitas; pembagian peran yang adil antara
laki-laki, perempuan, generasi muda dan tua; membangun penguatan
organisasi komunitas.
3) Dimensi budaya, dengan indikator berupa mendorong masyarakat untuk
menghormati budaya yang berbeda, membantu berkembangnya pertukaran
budaya, budaya pembangunan melekat erat dalam budaya lokal.
4) Dimensi lingkungan, dengan indikator mempelajari carrying capacity
area, mengatur pembuangan sampah, meningkatkan kepedulian akan
perlunya konservasi.
5) Dimensi politik, dengan indikator meningkatkan partisipasi dari penduduk
lokal, peningkatan kepuasan komunitas yang lebih luas, menjamin hak-hak
dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pariwisata berbasis
masyarakat adalah kegiatan yang mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat
dalam proses perencanaan, pengembangan dan pengelolaan pariwisata, sehingga
dapat mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, yakni dapat
memberikan manfaat positif terhadap perekonomian masyarakat menuju
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, memajukan kebudayaan masyarakat,
serta melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya lainnya.
50
2.3.4 Teori Siklus Hidup Destinasi Pariwisata
Dalam perkembangan sebuah destinasi pariwisata berjalan menurut siklus
evolusi yang terdiri dari 6 (enam) tahapan atau tingkatan siklus hidup pariwisata,
yakni: 1) Exploration (Explorasi/Pertumbuhan Spontan dan Penjajakan). 2)
Involvement (Keterlibatan). 3) Development (Pengembangan dan Pembangunan).
4) Consolidation (Konsolidasi dan Interelasi). 5) Stagnation (Stagnasi/ Mandek).
6) Decline (Penurunan) atau Rejuvenation (Peremajaan). Tujuan utama dari
penggunaan model siklus hidup destinasi (destination life cycle model) adalah
sebagai alat untuk memahami evolusi dari produk dan destinasi pariwisata.
Tahapan siklus hidup destinasi pariwisata ini dikemukakan oleh Butler
(1980) sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1
Destination Life Cycle
Sumber : Butler (1980) dalam Cooper and Jackson (1997)
Model Butler dalam Pitana (2009:132), memaparkan dan menjelaskan
tahapan siklus hidup destinasi pariwisata seperti terlihat pada Gambar 2.1, adalah
sebagai berikut :
51
1) Exploration
Sebagai tahapan awal exploration (eksplorasi atau penemuan) mulai
ditandai dengan kunjungan wisatawan yang terbatas dan sporadic dari
orang yang ingin berpetualang, terjadi kontrak yang intensif dengan
penduduk lokal dan menggunakan fasilitas yang dimiliki penduduk dengan
dampak sosial dan ekonomi yang sangat kecil.
2) Involvement
Pada tahap involvement (keterlibatan) ditandai dengan meningkatnya
pengunjung yang mendorong penduduk lokal menawarkan fasilitas secara
eksklusif kepada pengunjung, kontak dengan penduduk lokal tetap tinggi
dan beberapa dari mereka mulai menyesuaikan pola sosialnya untuk
mengakomodasi perubahan kondisi ekonomi akibat keberadaan
wisatawan, dan pada tahap ini juga promosi destinasi wisata mulai
diinisiasi.
3) Development
Pada tahap development (pembangunan dan pengembangan), investor luar
mulai tertarik untuk menanamkan modalnya guna membangun berbagai
fasilitas pariwisata di destinasi tersebut seiring dengan berkembangnya
pemasaran destinasi, aksesibilitas mengalami perbaikan, advertising
semakin intensif dan fasilitas lokal mulai diisi dengan fasilitas modern dan
terbaru. Hasilnya adalah semakin menurunnya partisipasi dan kontrol oleh
penduduk lokal, atraksi buatan mulai muncul khusus diperuntukkan
52
wisatawan, tenaga kerja dan fasilitas import mulai dibutuhkan untuk
mengantisipasi pertumbuhan pariwisata yang begitu cepat.
4) Consolidation
Pada tahap consolidation (konsolidasi) ini porsi terbesar dari ekonomi
lokal berhubungan dan bersumber dari pariwisata, level kunjungan tetap
meningkat namun dengan rata-rata kenaikan yang semakin menurun.
Usaha pemasaran semakin diperluas untuk menarik wisatawan yang
bertempat tinggal dari sebelumnya, fasilitas yang sudah tua sekarang
menjadi ketinggalan zaman dan kurang diminati.
5) Stagnation
Pada tahap stagnation (Stagnasi/ Mandek) ditandai dengan kapasitas
maksimal dari faktor penunjang telah mencapai batas maksimum atau
terlampaui, menyebabkan masalah ekonomi, sosial dan lingkungan,
jumlah puncak kunjungan wisatawan tercapai, atraksi buatan
menggantikan atraksi alam dan budaya, dan destinasi tidak dianggap lagi
menarik.
6) Decline and Rejuvenation
Pada tahap decline (penurunan) ini wisatawan tertarik dengan destinasi
lain yang baru, fasilitas pariwisata digantikan oleh fasilitas non pariwisata,
atraksi wisata menjadi semakin kurang bermanfaat, keterlibatan
masyarakat lokal mungkin meningkat seiring penurunan harga fasilitas
53
pariwisata dan penurunan pasar wisatawan, daerah destinasi menjadi
terdegradasi kualitasnya, kumuh dan fasilitasnya tidak berfungsi
sebagaimana mestinya sebagai penunjang aktivitas pariwisata. Sedangkan
pada tahap rejuvenation (peremajaan) ditandai dengan terjadinya
perubahan dramatis dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
pariwisata, terjadi penciptaan seperangkat atraksi wisata artifisial baru atau
penggunaan sumber daya alam yang tidak tereksplorasi sebelumnya.
2.4 Model Penelitian
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian
ini, maka diperlukan suatu model penelitian yang merupakan abstraksi dan
sintesis dalam kajian pustaka. Secara kualitatif penelitian ini diawali dari
penetapan Provinsi NTT sebagai destinasi wisata unggulan di Indonesia.
Kebijakan tersebut merupakan peluang untuk mengembangkan potensi wisata
yang dimiliki Kabupaten TTS yang didukung dengan kebijakan otonomi daerah.
Dalam penelitian ini, mendeskripsikan adanya permasalahan yang muncul
bahwa pengembangan pariwisata Air Terjun Oehala belum terealisasi dengan
baik. Meskipun Air Terjun Oehala telah ditetapkan sebagai salah satu daya tarik
wisata, namun belum terlihat pengembangannya. Sejauh ini, pengembangan yang
dilakukan oleh pihak pemerintah hanya menyediakan beberapa fasilitas wisata di
lokasi wisaya Air Terjun Oehala, namun fasilitas yang pernah dibangun ada
beberapa yang mengalami kerusakan. Dalam konteks pengembangan tersebut,
pemerintah kabupaten tidak melibatkan masyarakat lokal sehingga pengembangan
54
yang dilakukan belum mampu berkembang sesuai dengan harapan. Hal ini
disebabkan karena lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat lokal di
bidang pariwisata sehingga masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam
pengembangan pariwisata Air Terjun Oehala.
Untuk mengembangkan DTW Air Terjun Oehala sebagai salah satu daya
tarik ekowisata berbasis masyarakat, sebelumnya perlu mengidentifikasi
komponen produk wisata yang dikaji berdasarkan komponen produk wisata “4A”
plus “1C” yakni Attractions, Amenities, Accessibility, Ancillary Services,
Community Partisipation, sebagai modal pengembangan pariwisata Air Terjun
Oehala. Dalam hal ini, pengembangan pariwisata tidak bisa bertumbuh tanpa
adanya kerjasama yang baik antar pihak stakeholder, sehingga perlu pelibatan dan
partisipasi masyarakat lokal secara aktif dalam pengembangan dan pengelolaan
lokasi wisata tersebut. Selanjutnya, dilakukan analisis antara faktor lingkungan
internal dan eksternal lokasi wisata Air Terjun Oehala. Dari kedua faktor tersebut,
kemudian dianalisis dengan menggunakan matrik SWOT (Strengths, Weaknesses,
Opportunities, Threats). Matrik SWOT menghasilkan beberapa strategi dan
program yang relevan untuk pengembangan ekowisata berbasis masyarakat yang
dilihat dari kekuatan dan peluang pengembangannya. Tujuan mengembangkan Air
Terjun Oehala sebagai daya tarik ekowisata berbasis masyarakat karena dilihat
dari keunggulan potensi wisata yang dimiliki maka layak untuk dikembangkan
sebagai daya tarik wisata yang mampu memberikan manfaat positif terhadap
perekonomian masyarakat menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat,
55
memajukan kebudayaan masyarakat, pelestarian alam dan lingkungan, sumber
daya lainnya, serta mengacu pada keberlanjutan ekologis.
Secara teoritis pengembangan pariwisata Air Terjun Oehala akan melewati
siklus hidup destinasi pariwisata. Untuk memahami evolusi dan tahapan
pengembangan pariwisata Air Terjun Oehala dengan menggunakan salah satu
teori siklus hidup destinasi pariwisata yang dikemukakan oleh Butler (1980),
yakni model siklus hidup destinasi (destination life cycle model) dan teori strategi
perencanaan dalam menyediakan kerangka perencanaan yang umum dan
menekankan pada konsep perencanaan menjadi berkesinambungan, berorientasi
sistem, menyeluruh, terintegrasi dan ramah lingkungan serta fokus pada
keberhasilan pengembangan yang dapat mendukung keterlibatan masyarakat.
Selanjutnya, digunakan teori komponen produk wisata yang membedah
permasalahan terkait dengan produk wisata Air Terjun Oehala dan bentuk
partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan DTW Air Terjun Oehala.
Dalam mendukung keterlibatan masyarakat lokal agar turut berpartisipasi dalam
pengembangan dan pengelolaan DTW Air Terjun Oehala, maka digunakan teori
pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism).
Berikut dapat digambarkan model penelitian mengenai strategi
pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di DTW Air Terjun Oehala, seperti
yang terlihat pada Gambar 2.2.
56
Gambar 2.2 Model Penelitian
Pariwisata Nusa Tenggara Timur
Pariwisata Kabupaten Timor Tengah Selatan
Pengembangan Daya Tarik Wisata Air Terjun Oehala
Komponen Produk Wisata Air Terjun Oehala:
(Attractions, Amenities, Accessibility, Ancillary Services,
Community Partisipation)
Kondisi Lingkungan Internal dan Eksternal (IFAS/ EFAS) :
Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats
Strategi dan Program Pengembangan (SWOT)
Teori Komponen Produk Wisata
Teori Community Based Tourism
Permasalahan
Minimnya penyediaan sarana dan prasarana
Tidak melibatkan masyarakat lokal dalam pengembangan dan pengelolaan Air Terjun Oehala
Lemahnya SDM Pariwisata
Teori Strategi Perencanaan
Teori Siklus Hidup Destinasi Pariwisata
Rekomendasi