Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam
p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
107
ANALISIS KEBIJAKAN AKUNTANSI ATAS PERLAKUAN
ZAKAT AKTIVA PADA PT. BANK BNI SYARIAH CABANG
MAKASSAR
Abdul Khaliq
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Makassar Email: [email protected]
Abstract
Accounting Policy Analysis of Zakat Asset Treatment at PT. Bank BNI Syariah Makassar Branch. This research aims to determine the accounting policy for the zakah treatment of assets in PT.Bank BNI Syariah Makassar Branch and the influence of zakat on sharia accounting policies. The method of analysis used is descriptive qualitative analysis method by using data collection technique that is observation and interview. From the results of research conducted at PT.Bank BNI Syariah Branch of Makassar on accounting policy for the zakah treatment of assets. Where in the accounting policies that exist in PT. Bank BNI Syariah Branch of Makassar level of quality of information provided to the public, where the zakat management agency should be able to convince the public that BNI Syariah Bank Makassar Branch has the ability and capacity in achieving program objectives in accordance with Islamic Shari'a in the management of zakat that requires the resources human beings who have managerial skills, religious knowledge, sufficient technical skills.
Keywords: Accounting Policies, Zakat Treatment, Assets Abstrak Analisis Kebijakan Akuntansi Atas Perlakuan Zakat Aktiva pada PT. Bank BNI Syariah Cabang Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan akuntansi atas perlakuan zakat aktiva pada PT.Bank BNI Syariah Cabang Makassar dan pengaruh zakat terhadap kebijakan akuntansi syariah. Metode analisis yang digunakan yaitu metode analisis deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu observasi dan wawancara. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada PT.Bank BNI Syariah Cabang Makassar mengenai kebijakan akuntansi atas perlakuan zakat aktiva. Dimana dalam kebijakan akuntansi yang ada pada PT. Bank BNI Syariah Cabang Makassar tingkat kualitas informasi yang diberikan kepada publik, dimana badan pengelola zakat harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa Bank BNI Syariah Cabang Makassar memiliki kemampuan dan kapasitas dalam mencapai tujuan-tujuan program yang sesuai dengan syariat islam dalam pengelolaan zakat yang profesional memerlukan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan manajerial,pengetahuan agama, keterampilan teknis yang memadai.
Kata kunci: Kebijakan Akuntansi, Perlakuan Zakat, Aktiva
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam
p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
108
1. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang memiliki
ciri khas dari karakter “Tsabat Wa
Tathowur” berkembang dalam frame
yang konsisten .Yang artinya islam tidak
menghalangi adanya perkembangan-
perkembangan baru selama hal tersebut
masih berada dalam koridor yang sya’i
dan tetap konsisten.
Seperti yang kita ketahui
kehidupan masyarakat memiliki
kebutuhan-kebutuhan yang harus
dipenuhi baik dalam kebutuhan
primer,sekunder maupun tersier.
Kendala yang sering terjadi dalam
kehidupan masyarakat yaitu tidak
memiliki dana yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, ada
pula masyarakat yang kurang mampu
atau tidak ada penghasilan,oleh karena
itu, untuk membantu perkembangan
atau kesejahteraan perekonomian
masyarakat yang semakin menurun.
Pemanfaatan zakat saat ini telah banyak
menjadi perhatian beberapa kalangan.
Banyak studi dan riset yang
menunjukkan bahwa instrumen zakat
ternyata mampu menjadi solusi bagi
kemiskinan. Pemerintah pun sepertinya
juga memiliki perhatian yang cukup
besar terhadap potensi dana
zakat.pemerintah telah mengeluarkan
undang-undang peraturan zakat yang
baru yang mengatur tentang pengelolaan
zakat yaitu undang-undang No.23 Tahun
2011. dalam pasal 5 ayat (1)
dikemukakan bahwa untuk
melaksanakan pengelolaan zakat,
pemerintah membentuk Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) dalam
pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan penyalagunaan
zakat, masyarakat membentuk Lembaga
Amil Zakat (LAZ) selanjutnya dapat
mempertegas fungsi BAZNAS dan LAZ
dikemukakan dalam pasal 7 ayat 1.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 BAZNAS
menyelenggarakan fungsi perencanaan,
pelaksanaan pengendalian serta
pelaporan dan pertanggung jawaban atas
pengelolaan zakat. bagi perbankan dalam
masalah zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak. Di sisi lain tidak
sedikit Lembaga Pengelola Zakat (LPZ)
yang perhatian untuk menampung dana
zakat,bahkan undang-undang No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
dan Unit Usaha Syariah (UUS) dapat
menjalankan fungsi sosial dalam bentuk
lembaga baitul maal, yakni menerima
dana yang berasal dari zakat, infaq,
shodaqoh (ZIS), hibah, atau dana social
lainnya dan menyalurkannya kepada
organisasi pengelola zakat, infaq,
shodaqoh.
sesuai firman allah Q.S Al-
Baqarah:43 adalah sebagai berikut:
Artinya:dan dirikanlah
shalat,tunaikanlah zakat dan ruku’lah
beserta orang-orang yang ruku’.
Sesuai dengan perkembangan
kegiatan ekonomi dan mata pencahrian
masyarakat yang terus berkembang,
maka jenis-jenis harta yang dizakati juga
mengalami perkembangan. terkhusus
pada perbankan sebagai suatu entitas
juga tidak luput dari perhatian untuk
dijadikan subjek zakat. Zakat perbankan
yang baru difatwakan awal tahun 2009
ini banyak menimbulkan interprestasi
atas zakat itu sendiri. Dikatakan zakat
perusahaan, apakah berupa zakat yang
dikordinasi oleh perbankan dan
dipungut dari penghasilan direksi
sampai seluruh karyawan yang telah
mencapai nishab, atau zakat atas harta
kekayaan perbankan yang dikelola itu
sudah bisa dikatakan mewakili “istilah
zakat perbankan telah berlaku terjadi
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam
p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
109
juga pada PT. Bank BNI Syariah Kantor
Cabang Makassar.
PSAK 109 tentang akuntansi Zakat
dan Infak/sedekah merupakan suatu hal
yang dinantikan pemberlakuan PSAK ini
juga diharapkan dapat terwujudnya
keseragaman pelaporan, dan
kesederhanaan pencatatan.Sehingga
publik dapat membaca laporan akuntansi
pengelola zakat serta mengawasi
pengelolaannya. Selain itu penerapan
PSAK 109 ini juga bertujuan memastikan
bahwa organisasi pengelola zakat telah
memakai prinsip-prinsip syariah, dan
seberapa jauh OPZ memiliki tingkat
kepatuhan menerapkannya.
Dengan adanya gagasan lembaga
perbankan yang beroperasi berdasarkan
prinsip syariah islam berkaitan erat
dengan gagasan terbentuknya suatu
sistem ekonomi islam. Dunia ekonomi
dalam islam adalah dunia bisnis atau
investasi. hal ini bisa dicermati mulai
dari tanda-tanda eksplisit untuk
melakukan investasi (ajakan bisnis
dalam Al-Quran dan Al-Hadist) hingga
tanda-tanda implisit untuk menciptakan
sistem yang mendukung iklim investasi
(adanya sistem zakat sebagai alat
disinsetif atas penumpukan harta,
larangan riba untuk mendorong
optimalisasi investasi, serta larangan judi
dan spekulasi untuk mendoronng
produktivitas atas setiap investasi).
Berbicara tentang zakat perusahaan,
maka hal yang menjadi titik perhatian
dari seluruh akun perusahaan adalah
akun aktiva-kewajiban, yang dalam hal
ini terepresentasi dalam neraca.
Nur Karmila (2013) menyatakan
bahwa diantara tujuan yang terpenting
dari perhitungan dan neraca yaitu untuk
menjelaskan hak-hak si pemilik
perusahaan dan hal-hak orang lain, hisab
zakat, dan juga untuk dijadikan patokan
dalam pengambilan keputusan-
keputusan.Atas dasar itu, maka setiap
usaha perlu menyusun neraca zakat
maal. Namun demikian, kajian Syahatah
tersebut hanya terbatas pada
perusahaan yang dimiliki individu,
sedangkan untuk perusahaan
kontemporer tidak disinggung.
Secara ideal, organisasi bisnis
hendaknya dapat menciptakan realitas
organisasinya berdasarkan pada
metafora zakat.Implikasi dari hal ini
adalah semua perangkat organisasi akan
susun sedemikian rupa sehingga benar-
benar merefleksikan zakat sebagai
metafora .Konsekunsi yang timbul
selanjutnya adalah, suatu entitas dalam
melaksanakan kegiatan usahanya tidak
hanya semata-mata profit oriented tapi
zakat oriented. Sehingga dalam hal ini,
setiap entitas atau perusahaan dalam
menjalankan usahanya berorientasi
untuk meningkatkan profit perusahaan
agar nilai zakat yang dikeluarkan juga
meningkat, dan secara otomatis
peningkatan ini juga akan memberikan
manfaat yang tidak sedikit pada
masyarakat dan lingkungan masyarakat.
Atas dasar argumen tersebut,maka
perlu dikaji suatu konsep mengenai
zakat terhadap aktiva perusahaan.
Bagaimana suatu aktiva dalam suatu
aktiva dalam sebuah entitas atau
perusahaan menjadi aset wajib zakat dan
wajib zakat dan wajib dikeluarkan
zakatnya.Jika mau diamati dari aktiva-
aktiva perusahaan aktiva-aktiva
perusahaan itu baik aktiva tetap maupun
aktiva lancar dan sebagainya terkandung
potensi zakat manakala nilainya telah
mencapai nishob dan cukup haul.
Menurut Meutia (2010), bank
syariah seharusnya memiliki dimensi
spiritual yang lebih banyak. Dimensi
spritual ini tidak hanya menghendaki
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam
p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
110
bisnis yang non riba,namun juga mampu
memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat luas,terutama bagi golongan
masyarakat ekonomi lemah.Menurut
Yusuf (2010), posisi perbankan syariah
sebagai lembaga keuangan yang sudah
eksis ditingkat nasional harus menjadi
lembaga keuangan percontohan
berdasarkan prinsip islam,dan
diterapkan pula pada PT.Bank BNI
Kantor Cabang Makassar.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kualitatif yaitu analisis
data yang digunakan dengan cara
memberikan penjelasan dengan
memberikan predikat kepada variabel
yang diteliti sesuai dengan kondisi yang
sebenarnya.
Dalam proses penelitian ini,
penulis menggunakan metode
pendekatan dalam penggumpulan data
dan keterangan yang berkaitan dengan
judul skripsi yaitu:
1. Penelitian Keperpustakaan (library
research. Dalam metode ini penulis
berusaha mempelajari sejumlah buku
dan liberatur yang dapat memberikan
informasi yang diperlukan seperti
buku-buku referensi, media cetak,
internat dan sebagainya.Buku
literatur tersebut akan digunakan
sebagai dasar menganalisa data, fakta
dan permasalahan mengenai judul
yang diangkat penulis.
2. Penelitian lapangan (Field Research).
Penelitian lapangan dilakukan dengan
melakukan pengamatan dan
pengumpulan data secara langsung ke
lapangan untuk dapat menemukan
fakta dan informasi yang
diperlukan.Metode ini dilakukan
dengan beberapa cara sebagai
berikut:
a. Observasi, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan jalan mengadakan
kunjungan langsung ke obyek
penelitian yang telah ditetapkan atau
mengadakan pengamatan secara
langsung terhadap obyek penelitian.
b. Wawancara, yaitu penulis melakukan
serangakaian tanya jawab secara
langsung dengan pihak perusahaan
yang berwenang untuk mendapatkan
data dan informasi secara jelas dan
lengkap.
c. Dokumentasi, dilakukan dengan cara
mengumpulkan, menyalin, melihat,
serta mengevaluasi laporan serta
dokumen- dokumen yang terkait
dengan obyek penelitian.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Laporan keuangan yang dibuat
harus sesuai dengan prinsip akuntansi
islam yaitu keadilan, kebenaran dan
pertanggung jawaban,adapun prinsip
khusus akuntansi syari’ah adalah sebagai
berikut: cepat pelaporannya, di buat oleh
ahlinya, terang, jelas, tegas, dan normatif,
memuat informasi yang menyeluruh,
informasi ditujukan untuk semua pihak,
terperinci dan teliti, tidak terjadi
manipulasi, dan melakukan secara
kontinyu.
Dari semua itu akan digunakan
sebagai bahan pertanggungjawaban,
yang tujuannya adalah menjaga keadilan
dan kebeneran, artinya prinsip tersebut
menekankan pada pertanggungjawaban
agar pihak yang terlibat tidak ada yang
dirugikan. Hasil wawancara peneliti
mengenai karakteristik Bank BNI Syariah
Cabang Makassar yaitu organisasi yang
memiliki sifat amanah. Karena yang
diamanahkan merupakan bagian yang
dianjurkan oleh agama islam maka
pengelolaannya sesuai juga menurut
agama islam. Pengidentifikasian seperti
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam
p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
111
ini penting untuk menetapkan tujuan
akuntansi zakat sehingga tujuannya
sejalan dengan tujuan organisasi.
Secara periodik Bank BNI Syariah
Cabang Makassar menerbitkan laporan
keuangan guna
mempertanggungjawabkan kinerja
organisasi selama periode yang
bersangkutan. Seperti organisasi
umumnya, laporan akan diperiksa oleh
pemeriksa independen guna menguji
keabsahan laporan sekaligus
membangun dan meningkatkan
kepercayaan publik. Bank BNI Syariah
Cabang Makassar merupakan organisasi
yang syariah sehingga sesuai dengan
syariah islam yang harus
dipertanggungjawabkan tidak sebatas
duniawi saja. Opini syariah ini penting
karena akan menunjukkan bahwa Bank
BNI Syariah telah melaksanakan
mu’amalah sesuai dengan syariah islam
yang merupakan salah satu wujud dari
pertanggungjawaban Bank kepada Allah.
Adapun Laporan Posisi
Keuangan (Neraca) Periode Tahun yang
berakhir 31 Des 2018-2019 adalah
sebagai berikut:
No URAIAN 2018 2019
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
ASET
Kas
Penempatan pada Bank Indonesia
Penempatan pada Bank Lain
Tagihan Spot Dan Forward
Surat berharga yang dimiliki
Tagihan atas surat berharga yang dibeli
dengan janji dijual kembali (reverse repo)
Tagihan Akseptasi
Piutang
a. Piutang murabahah
b. Pendapatan Margin Murabahah yang
ditangguhkan
c. Piutang Istishna’
d. Pendapatan Margin Istishna’ yang di
tangguhkan
e. Piutang Qardh
f. Piutang Sewa
Pembiayaan Bagi Hasil
a. Mudharabah
b. Musyarakah
c. Lainnya
Pembiayaan Sewa
a. Aset Ijarah
b. Akumluasi Penyusutan/Amortisasi
c. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
Penyertaan
Cadangan kerugian Penurunan Nilai Aset
159.912
3.059796
221.606
-
3.978.455
339.490
4.855
24.980.801
9.750.434
-
-
930.007
6.334
1.198.408
3.012.748
-
561.345
445.600
-
-
233.726
5.113.797
397.372
-
5.225.433
130.664
15.912
27.265.631
10.708.453
-
-
1.502.849
9.540
888.794
4.586.209
-
192.132
139.983
-
-
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam
p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
112
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19
20.
21.
22.
23.
24.
Produktif
a. Individual
b. Kolektif
Aset Tidak Berwujud
Akumulasi Amortisasi
Salam
Aset Istishna’ dalam penyelesaian
Termin Istishna’
Aset Tetap dan Inventaris
Akumulasi Penyusutan
Properti Terbengkalai
Aset yang diambil Alih
Rekening tunda
Aset Antar Kantor
a. Kegiatan Operasional di Indonesia
b. Kegiatan Operasional di Luar Indonesia
Cadangan Kerugian Penurunan nilai Aset
lainnya
Persediaan
Aset Pajak Tangguhan
Aset Lainnya
210.179
535.487
26.520
17.937
-
-
-
357.962
151.960
-
-
854
-
-
-
-
51.857
352.822
155.980
438.015
19.768
11.492
-
-
-
410.421
187.938
-
-
98
-
-
-
6.891
75.636
389.430
TOTAL ASET 28.314.175 34.822.175
LIABILITAS DAN EKUITAS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
LIABILITAS
Dana simpan Wadiah
a. Giro
b. Tabungan
Dana Investasi Non Profit Sharing
a. Giro
b. Tabungan
c. Deposito
Liabilitas Kepada Bank Indonesia
Liabilitas Kepada Bank Lain
Liabilitas Spot dan Forward
Surat berharga yang Diterbitkan
Liabilitas Akseptasi
Pembiayaan Diterima
Setoran Jaminan
Liabilitas Antar Kantor
a. Kegiatan Operasional Di Indonesia
b. Kegiatan Operasional Di Luar
Indonesia
1.533.147
2.545.937
585.297
6.877.442
12.691.186
-
561.607
-
500.000
4.855
-
33.285
-
-
1.838.113
4.132.674
933164
8.254.396
14.220.944
-
598.136
-
500.000
15.912
-
53.950
-
-
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam
p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
113
12.
13.
Liabilitas Pajak Tangguhan
Liabilitas Lainnya
Dana Investasi Profit Sharing
-
494.853
-
-
467.855
-
TOTAL LIABILITAS 25.827.609 31.015.144
14
15.
16
17.
18.
19.
20.
21.
EKUITAS
Modal disetor
a. Modal dasar
b. Modal yang belum disetor -/-
c. saham yang dibeli kembali
(treasury stock) -/-
Tambahan modal disetor
a. Agio
b. Disagio -/-
c. Modal Sumbangan
d. Lainnya
Pendapatan (Kerugian ) komprehensif lainnya
a. Penyesuaian akibat penjabaran
laporan keuangan
b. Keuntungan (Kerugian) dari
perubahan nilai aset keuangan dalam
kelompok tersedia untuk dijual
c. Bagian efektif lindung nilai arus kas
d. Selisih penilaian kembali aset tetap
e. Bagian pendapatan komperensif lain
dari entitas asosiasi
f. Keuntungan (Kerugian ) aktuarial
program manfaat pasti
g. Pajak penghasilan terkait dengan laba
komperensif lain
h. Lainnya
Selisih kuasi reorganisiasi
Selisih restrukturisasi entitas sepengendali
Ekuitas
Cadangan
a. Cadangan Umum
b. Cadangan Tujuan
Laba/Rugi
a. Tahun-Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4.004.000
2.502.500
-
-
-
-
-
-
(11.158)
-
43.838
-
(2.014)
-
-
-
-
-
92.853
-
584.172
277.375
4.004.000
1.502.500
-
-
-
-
-
-
7.308
-
43.838
-
(6.434)
-
-
-
-
-
150.150
-
804.250
306.686
TOTAL EKUITAS DAPAT
DISTRIBUSIKAN KEPADA PEMILIK
2.486.566
3.807.298
22. Kepentingan non pengendali - -
TOTAL EKUITAS 2.486.566 3.807.298
TOTAL LIABILITAS DAN EKUITAS 28.314.175 34.822.442
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam
p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
113
Dari penjelasan laporan keuangan
diatas ada dua temuan :
a. Laporan Sumber dan Perubahan Dana
Laporan sumber dan perubahan
dana adalah perubahan posisi keuangan
dari satu periode ke periode lainnya,
misalnya perubahan kas. Laporan ini
merupakan pelengkap laporan yang
sudah ada yaitu neraca/laporan posisi
keuangan. Tujuan disusunnya laporan
sumber dan perubahan dana ini adalah
untuk melengkapi pengungkapan
informasi perubahan posisi keuangan
dan melaporkan arus dana dari operasi.
Pada Bank BNI Syariah, laporan ini
menyajikan berbagai penerimaan dan
penggunaan dan penyaluran untuk dana
zakat dan dana Infaq/sedekah, serta
berbagai penerimaan dan penggunaan
dana amil dan nonhalal. Khususnya
untuk penyaluran dana zakat, disajikan
secara terpisah untuk masing-masing
mustahiq sesuai ketentuan syariah.
b. Catatan Atas Laporan Keuangan
Catatan penjelasan laporan
keuangan ini memberikan penjelasan
tambahan mengenai gambaran umum
perusahaan,ikhtisar kebijakan akuntansi,
penjelasan pos-pos laporan keuangan
dan informasi penting lainnya. Catatan
atas laporan keuangan harus disajikan
secara sistematis. Setiap pos dalam
neraca, laporan laba rugi, laporan
perubahan ekuitas, dan laporan arus kas
harus berkaitan dengan informasi yang
ada dalam catatan atas laporan
keuangan.
Laporan ini mencerminkan kinerja
organisasi terutama kemampuan dalam
menarik dana dan menyalurkan sesuai
sasaran,sehingga tujuan zakat tercapai
sejauh ini, pemahaman SDM Bank BNI
Syariah terkait penerapan PSAK 109
masih kurang sehingga dalam
pembukuannya menggunakan sistem
pencatatan sederhana yaitu single entry
yang dianggap lebih mudah untuk
dipahami dan belum sepenuhnya
memakai standar pelaporan keuangan
yang sesuai dengan PSAK 109.
4. PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
dipaparkan pada bab-bab sebelumnya
maka dapat disimpulkan bahwa dalam
Kebijakan Akuntansi Pada PT. Bank BNI
Syariah Cabang Makassar tingkat
kualitas informasi yang diberikan kepada
publik, dimana badan pengelola zakat
harus mampu meyakinkan masyarakat
bahwa Bank BNI Syariah Cabang
Makassar memiliki kemampuan dan
kapasitas di dalam mencapai tujuan-
tujuan program yang sesuai dengan
syariat Islam.
Dimana Penggunaan akuntansi di
Bank BNI Syariah Cabang Makassar
merupakan salah satu perbedaan utama
antara untuk memastikan bahwa uang
umat dialokasikan atau di distribusikan
untuk tujuan yang telah ditetapkan.
Sistem akuntansi dana adalah metode
akuntansi yang menekankan pada
pelaporan pemanfaatan dana, bukan
pelaporan Bank BNI Syariah itu sendiri.
Pengelolaan zakat yang profesional
memerlukan sumber daya manusia yang
memiliki kemampuan manajerial,
pengetahuan agama, keterampilan teknis
yang memadai serta memiliki visi
pengembangan umat. Sebagaimana di
jelaskan bahwa pengenaan zakat wajib
hukumnya dari beberapa dasar hukum
yang diterapkan Al-Quran dan hadist.
Dalam hal yang bertujuan
memperkuat teori untuk pengenaan
zakat untuk tiap-tiap akun,penulis
mencoba untuk mengali dan menemukan
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam
p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
114
konsep tersebut dengan melakukan
wawancara secara mendalam dengan
nara sumber yang kompeten untuk
menjawab hal tersebut.
Secara periodik Bank BNI Syariah
Cabang Makassar menerbitkan laporan
keuangan guna
mempertanggungjawabkan kinerja
organisasi selama periode yang
bersangkutan. Seperti organisasi
umumnya, laporan akan diperiksa oleh
pemeriksa independen guna menguji
keabsahan laporan sekaligus
membangun dan meningkatkan
kepercayaan publik.
Bank BNI Syariah telah
melaksanakan mu’amalah sesuai dengan
syariah islam yang merupakan salah satu
wujud dari pertanggungjawaban Bank
kepada Allah. Adapun dalam PSAK 109
penyajian Bank BNI Syariah harus
menyajikan dana zakat,dana
infak/sedekah, dana amil dan non halal
secara terpisah dalam neraca (laporan
posisi keuangan). Penyajian laporan
keuangan yang dibuat oleh Bank BNI
Syariah Cabang Makassar adalah laporan
perubahan dana yang menyajikan total
penerimaan dan penyaluran dana zakat
dan infak/sedekah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Karim.
Ali, Mohammad Daud.2012. Sistem Ekonomi Islam:Zakat dan Wakaf, Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2004. Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta: Salemba Empat
Kurniawan, Posted: 11 January 2013 in Teori Akuntansi, kebijakan akuntansi.
(https://kurniawanbudi04.wordpress.com/2013/01/11/kebijakan akuntansi/)
Mujahidin, H.Akhmad. 2016. Hukum Perbankan Syariah.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Muhammad.2005. Pengantar Akuntansi Syariah. Edisi 2.Salemba Empat. Jakarta
Ningsih Rahayu, 2013. Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau,Pekanbaru.
Nur,Karmila.2013. Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Makassar, Makassar.
Qardhawi, Yusuf.2006. Hukum Zakat (terjemah).Jakarta: Litera Antarnusa.
Rozalinda.2016.Ekonomi Islam:Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Cahyadi,Rahadian.2015.Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Makassar,Makassar
Sabiq, Syaikh as-Sayyid, 2005. Panduan Zakat (Menurut Al-Qur’an dan as-sunnah). Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.
Sunyoto Danang, 2013. Metodologi Penelitian Akuntansi. Bandung. Refika Aditama.
Triyuwono, Iwan & Moh As’ udi, Akuntansi Syariah (Menformulasikan Konsep Laba Dalam Metafora Zakat ). Jakarta:Salemba Empat.
Wibisono, Yusuf. 2015. Mengelola Zakat Indonesia:Diskusi Pengelolaan Zakat Nasional dari Rezim Undang-undang Nomor 38 Tahun1999 ke Rezim Undang-Undang Nomor 23
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam
p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
115
Tahun 2011. Jakarta: Prenadamedia Group
Weniarti.2015.Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Makassar,Makassar
Yaya Rizal, Dkk. 2014.Akuntansi Perbankan Syariah:Teori dan Praktik Kontemporer.Jakarta Selatan:Salemba Empat.
Zuhdi Rahmat,2010.Zakat Terhadap Aktiva Konsepsi,Aplikasi dan Perlakuan Akuntansi.Jurnal Ekonomi.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
116
ANALISIS PERLAKUAN ZAKAT DALAM PERHITUNGAN
PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI (PPh 21) PADA
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL (BAZNAS) KOTA MAKASSAR
Agus Salim Hr
Dewi Aprillah
Universitas Muhammadiyah Makassar ([email protected])
Abstract
This study discusses analyzing zakat in the calculation of personal tax in Baznas Makassar city. This type of research is a comparative study that aims to discuss the comparison of zakat as a deduction for taxable tax with zakat arrangements as a direct deduction of translation tax. Data retrieval of this research refers to interviews and document techniques. The type of data consists of primary data. Based on the research that has been carried out, the conclusions from the research proposed in this study are zakat as a personal tax calculation in Baznas Makassar city in accordance with the procedures stipulated in applicable laws and regulations, zakat which is used as deduction from taxable results of individuals management both from success and distribution increases in terms of capacity and improvement and its application that increases development from year to year in which the number of ASNs that pay zakat increases every year.
Keywords: Tax, Zakat Treatment and Personal Income Tax (PPh 21)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlakuan zakat dalam perhitungan pajak penghasilan orang pribadi pada Baznas kota Makassar. Jenis penelitian ini merupakan penelitian studi komparatif yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara perlakuan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak dengan perlakuan zakat sebagai pengurang langsung pajak penghasilan. Pengambilan data penelitian ini ditentukan secara wawancara dan teknik dokumen. Jenis data berupa data primer. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah perlakuan zakat sebagai perhitungan pajak penghasilan orang pribadi pada baznas kota Makassar sudah sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam UU dan peraturan yang berlaku, zakat berfungsi sebagai pengurang dari penghasilan kena pajak orang pribadi, pengelolaannya baik dari pengumpulan maupun penyaluran meningkat dari segi kapasitas dan kuantitasnya dan pengaplikasiannya yang mengalami perkembangan dari tahun ke tahun dimana jumlah jumlah ASN yang membayar zakat meningkat setiap tahunnya.
Kata kunci: Pajak, Perlakuan Zakat dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh 21)
1. PENDAHULUAN
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
117
Zakat merupakan salah satu rukun
Islam yang kewajibannya bersifat mutlak
atas harta kekayaan seseorang menurut
aturan tertentu yang telah diatur dalam
Al Qur’an dan Hadis. Dalam konteks
Negara modern, zakat dipandang sebagai
sarana komunikasi utama antara
manusia dengan manusia lain, yang
memiliki peranan sangat penting sebagai
sarana distribusi penghasilan dalam
penyusunan kehidupan yang sejahtera
dan berkeadilan di dalam sebuah Negara.
Kedudukan zakat dalam islam
merupakan suatu keunggulan dalam
system agama islam. Zakat
menggambarkan perwujudan kekuatan
seorang muslim terhadap sang khaliq.
Hal ini merupakan suatu penjelmaan dari
solidaritas seorang muslim dalam
kehidupan bermasyarakat.
Hal ini yaitu dilakukan oleh badan
atau lembaga amil zakat yang dibentuk
oleh pemerintah.Hal tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah
mencoba untuk berperan aktif dalam
menciptakan pelaksanaan kewajiban
keagamaan masyarakatnya dengan
menjadikan unsur zakat sebagai salah
satu tax relief dalam pemungutan pajak
penghasilan pasal 21 di Indonesia.
Pajak penghasilan pasal 21
merupakan pajak penghasilan yang
dikenakan atas penghasilan atas
penghasialn berupa
gaji,upah,honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama apapun
sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau
kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi dalam penyetoran, dan
pelaporan pajak penghasilan pasal 21
adalah pemberi kerja, bendaharawan,
pemerintah, dana pensiun, badan
perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Saat ini undang-undang
menjadikan zakat sebagai salah satu
faktor pengurang penghasilan neto wajib
pajak orang pribadi dalam menentukan
besarnya penghasilan kena pajak. Hal ini
diharapkan dapat meminimalkan beban
ganda yang dipikul oleh umat islam
sebagai wajib pajak dan muzakki. Namun,
apakah dalam prakteknya pola perlakuan
ini adalah yang optimal untuk mengelola
dan mengakomodasi zakat dan pajak,
yang kenyataanya kedua hal tersebut
merupakan dua sumber pemungutan
yang sama-sama dihimpun dari
masyarakat. Padahal bila upaya
pengelolaan dan pengakomodasian ini
telah berjalan baik, dapat memberikan
suatu efek yang produktif dalam
pembangunan nasional. Jika dilihat dari
fungsi dasarnya membayar zakat bisa
disamakan nilainya dengan membayar
pajak yakni sama-sama dimaksudkan
untuk melaksanakan kewajiban yang
bertujuan untuk kemaslahatan umat dan
bangsa.
Indonesia memiliki aturan terkait
dengan pengelolaan zakat, yaitu
sebagaimana yang diatur melalui UU
No.23 tahun 2011 yang menggantikan
UU No. 38 tahun 1999. Pada UU tersebut
disebutkan terdapat dua macam
organisasi pengelola zakat di Indonesia
yaitu BAZNAS/Badan Amil Zakat
Nasional yang mempresentasikan
pengelola zakat pemerintah di seluruh
Indonesia, dikelola oleh swasta atau
masyarakat, dimana secara formal harus
mendapatkan pengesahan dan akreditasi
dari pemerintah (dalam hal ini yaitu
kementrian agama republik Indonesia).
Berdasarkan UU tersebut, BAZNAS di
berikan otoritas untuk mengelola dan
mengkoordinasikan semua lembaga
zakat, termasuk lembaga LAZ yang ada di
Indonesia. Saat ini, BAZNAS telah
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
118
memiliki 34 perwakilannya diseluruh
provinsi di Indonesia. Data statistik
menunjukkan bahwa porsi penyaluran
kepada ashnaf fakir miskin yang
dilakukan BAZNAS mencapai Rp
1.353.589.660.923 atau 63.15% dari
total dana yang disalurkan.ditinjau dari
bidang penyalurannya yang dilakukan
pada tahun 2016. Maka bidang
pendidikan merupakan bidang dengan
penyaluran tertinggi sebanyak 31.30%
atau senilai Rp 843.676.495.284.Diikuti
oleh bidang sosial kemanusiaan
(26.50%). Ekonomi (18.29%). Dakwah
(15.54%). Dan kesehatan (8.37%). Hasil
statistik tersebut mengalami perubahan
dari tahun sebelumnya dimana bidang
program penyaluran yang paling tinggi
adalah bidang sosial kemanusiaan.
Pendayagunaan zakat produktif
yaitu pendayagunaan dengan skema
program pemberdayagunaan untuk
mengentaskan kemiskinan maka bidang
yang seringkali didorong adalah bidang
ekonomi. Data statistik di atas juga
menunjukkan kepada kita bahwa
pengelola zakat telah meningkatkan
pordi dukungan kepada bidang ekonomi
lebih tinngi lagi pada tahun 2016, yaitu
sebesar 18,29% dibandingkan tahun
sebelumnya (2015) sebesar 15%.
Meskipun skema program memiliki
bidang yang berbeda, tetapi pada tataran
praktis sering juga ditemukan adanya
kombinasi dan integrasi program seperti
program antar bidang atau terjadi cross-
section aspek-aspek yang difokuskan
dalam program zakat produktif.
Namun demikian, dari sekian
banyak pendayagunaan dana zakat untuk
tujuan produktif, tentu perlu dilihat
seberapa besar dampak pendayagunaan
dana zakat untuk tujuan produktif, tentu
perlu dilihat seberapa besar dampak
yang telah dicapai khususnya pada tahun
2018.
Badan Amil Zakat (Baznas)
sulawesi selatan kota Makassar
mencatat dari 300 Unit Pengelolaan
Zakat (UPZ) hanya sekitar Rp 2 miliar
zakat fitrah yang bias disalurkan ke
masyarakat miskin. Sementara untuk
zakat mal, mengalami peningkatan dua
kali lipat jika dibandingkan tahun 2016
lalu.
Namun, itu juga belum sesuai
dengan potensi yang seharusnya.
Berdasarkan peraaturan perundang-
undangan yang berlaku menurut syariat
islam, Zakat itu disalurkan melalui
Baznas. Namun, kenyataannya masih
banyak masyarakat yang menyalurkan
zakat tidak melalui Baznas Sementara
itu, Badan kepegawaian dan
pengembangan sumber Daya Manusia
Daerah (BKPSDMD) Kota Makassar
kembali menggelar kegiatan rutin berupa
sosialisasi badan amil zakat bagi seluruh
ASN dilingkup pemerintah kota. Kepala
bidang perencanaan dan Informasi
kepegawaian Abd Kadir Masri
menambahkan tujuan kegiatan itu agar
seluruh ASN di lingkup pemerintah kota
bias lebih mengetahui terkait dengan
tata cara pengelolaan zakat sesuai
dengan syariat islam
2. METODE PENELITIAN
2.1 Teknik Analisis
Proses analisis pada penelitian ini
bersifat induktif, yaitu mengumpulkan
informasi-informasi khusus menjadi
satu-kesatuan dengan jalan
mengumpulkan data, menyusun,
mengklarifikasinya dan menganalisa
perlakuan zakat pada pajak penghasilan
orang pribadi pph 21.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
119
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Perlakuan zakat pada Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) Kota
Makasar
Aturan tentang perlakuan zakat
atas penghasilan dalam penghitungan
Penghasilan Pajak terdapat dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-163/PJ/2003. Inti dari
keputusan tersebut adalah zakat atas
penghasilan sesuai ketentuan Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 Pasal 14
ayat (3) tentang Pengelolaan Zakat, boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto
Wajib Pajak Badan atau penghasilan neto
Wajib Pajak Orang Pribadi yang
bersangkutan dalam menentukan
besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Zakat atas penghasilan yang boleh
dikurangkan adalah yang nyata
dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri pemeluk agama
Islam dan atau Wajib Pajak Badan dalam
negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama
Islam kepada badan amil zakat atau
lembaga zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.
Berdasarkan hasil wawancara
dengan salah satu pegawai BAZNAS
bagian Staff perencanaan, keuangan dan
pelaporan, Ibu Dian Pertiwi menyatakan
bahwa perlakuan pajak yang mengacu
pada pengelolaan keuangan seperti
penerimaan dan pengeluaran, serta
pengumpulan zakat wajib dibukukan.
Bagi yang menerima zakat, siapa saja
yang menerima dari unsur pelaksana
wajib hukumnya memberikan kwitansi
tanda terima dan harus dibukukan dalam
buku kas penerimaan demikian pula
penyaluran di catat dalam buku kas
pengeluaran.
Adapun perlakuan akuntansi
dalam BAZNAS Makassar menurut Ibu
Dian Pertiwi, seluruh pegawai bagian
keuangan berusaha di dalam
pelaksanaan perlakuan akuntansi agar
sesuai dengan petunjuk dan pedoman
yang ada dalam hal pengelolaan
keuangan. Seluruh elemen menjalankan
perannya mengikuti ketentuan dan
aturan-aturan pengelolaan keuangan. Di
mana salah satu kebijakannya adalah
bendahara yang direkrut berasal dari
orang yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman dalam pengelolaan
keuangan. Pengelolaan keuangan
berusaha mengikuti sesuai dengan
perkembangan dan dengan petunjuk
yang ada.
Aspek-aspek yang dibenahi dalam
pengelolaan keuangan BAZNAS Kota
Makassar menurut Bapak H. Katjong
Tahir selaku Kepala bagian administrasi
,sdm dan umum adalah Aspek
administrasi yang mencakup Aspek
pengarsipan atau penyimpanan.
Penyimpanan dokumen keuangan, baik
dokumen keuangan penerimaan maupun
pengeluaran dipelihara dengan baik
kerena dokumen keuangan tersebut
sangat penting dan usianya ada yang
berpuluh-puluh tahun. Dokumen
tersebut menjadi pedoman untuk
mengidentifikasi adanya kesalahan
maupun penyimpangan. Dokumen
tersebut menjadi bukti bahwa
penyaluran zakat sudah tepat karena
penyaluran zakat harus sudah layak
dibayar dan sudah memenuhi unsur
untuk dibayarkan bukan asal dibayar
ketika ada perintah dari pimpinanakan
akan tetapi, harus diperikasa apakah ini
sudah memenuhi unsur-unsur untuk
dibayar apakah sudah lengkap
administrasi pendukung untuk
dibayarkan.
Berdasarkan hasil wawancara
tesebut, maka dapat simpulkan bahwa
Perlakuan zakat pada Badan Amil Zakat
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
120
Nasional (BAZNAS) Kota Makasar atas
Pajak Penghasilan sudah memenuhi
prosedur dan kriteria-kriteria yang ada
dan dicantumkan dalam Undang-Undang
serta pelaksaannya sudah berjalan
dengan sangat baik dilihat dari
perlakuan akuntansi dan pembenahan
setiap aspek, utamanya pada bagian
keuangan dan pengarsipan dokumen
serta pada bagian pengumpulan dan
penyaluran zakat.
Berdasarkan semua penjelasan
tersebut dan penelitian yang telah
diuraikan terdahulu. Informan tersebut
adalah para pimpinan maupun staf
pengelolahan zakat. Hal ini untuk
menjamin validitas informasi yang
disampaikan. Untuk keakuratan data
mengenai informan maka diperlukan
penjelasan mengenai data informan
maka dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3.1 Data Informan
NO NAMA RESPONDEN JENIS
KELAMIN
USIA JABATAN
1 H.KATJONG TAHIR S.H
L 64 Kepala bagian administrasi ,sdm
dan umum
2 DIAN PERTIWI S.E
P 26 Staff perencanaan ,keuangan dan
pelaporan
3.2 Pengelolahan Zakat Pada Badan
Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Makassar
Pengelolaan zakat dilakukan oleh
badan amil yang dibentuk oleh
pemerintah yang diorganisasikan atau
lembaga. Pengumpulan zakat dilakukan
oleh badan amil zakat dengan cara
menerima atau mengambil dari muzakki
atas dasar pemberitahuan muzakki.
Badan amil zakat dapat bekerja sama
dengan bank pengumpulan zakat harta
yang berada di bank atas permintaan
muzakki, selain badan amil dapat
menerima harta seperti
infaq,hibah,waris dan karafa (denda
wajib di bawar kepada badan amil zakat
yang melanggar ketentuan agama).
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Makassar mempunyai tugas pokok untuk
merealiasisasikan misi baznas yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran ummat
untuk berzakat
2. Mengarahkan masyarakat mencapai
kesejahterahan baik fisik maupun
nonfisik melalui pendayagunaan zakat
3. Meningkatkan status mustahik menja
di musakki melalui pemulihan,
peningkatan kualitas SDM, dan
pengembangan ekonomi masyarakat
4. Mengembangkan budaya “memberi
dari pada menerima “ dikalangan
mustahik
5. Mengembangkan manajemen yang
amanah, propesional dan transfaran
dalam mengelolah zakat
6. Menjangkau muzakki dan mustahik
seluas -luasnya
7. Memperkuat jaringan antara
organisasi pengelolahan zakat.
Hasil wawancara dengan Kepala
bagian administrasi SDM dan umum
BAZNAS Makassar, H.Katjong Tahir S.H
menyatakan bahwa Kondisi geografis,
sumber daya manusia dan sumber
pendapatan baznas Makassar dalam
pengelolaan zakat mengalami
peningkatan dan perkembangan setiap
tahunnya. Ditinjau dari sumber daya
manusia termasuk para petugas
menjalankan perannya dengan baik. Para
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
121
petugas yang bergerak di bidang
pengumpulan selalu mengadakan
sosialisasi untuk menyampaikan kepada
masyarakat wajib zakat dan memberikan
pengertian mengenai zakat.
Hal ini dilakukan karena orang
yang terdaftar sebagai wajib zakat,
belum tentu mengetahui bagaimana
menyalurkan zakat dan apa pentingnya
zakat. Penduduk Kota Makassar kondisi
ekonominya cukup berkembang
sehingga banyak dari mereka yang sudah
layak dalam kategori wajib pajak, namun
ada beberapa yang belum membayarkan
pajaknya. Maka, pada saat itulah
sosialisasi dibutuhkan untuk mengetahui
apakah mereka belum membayarkan
zakat karena ketidak tahuannya atau dia
tidak membayarkan zakat karena
sulitnya mendapatkan tempat menyetor
zakatnya.
Oleh karena itu, bagian sosialisasi
terus menerus dibenahi oleh BAZNAS
Makassar supaya semakin hari semakin
baik sehingga muzakki yang ingin
menyalurkan zakat dapat menyalurkan
ke baznas atau menyalurkan ke lembaga
resmi zakat yang lain. Tata cara
penyaluran tersebut sudah di atur dalam
undang-undang nomor 23 bahwa yang
mengelola, menerima dan menyalurkan
zakat harus disahkan oleh pejabat yang
berwenang dan bagi masyarakat yang
menerima dan menyalurkan zakat tanpa
disahkan oleh pejabat yang berwenang
itu salah satu pelanggaran daripada
undang-undang sehingga ada amil zakat
yang mengatur.
Dalam Al Qur’an juga dijelaskan
bahwa di dalam delapan golongan
tempat menyalurkan dan membayarkan
zakat salah satunya adalah golongan amil
yang harus menerima dan menyalurkan,
mengadministrasikan dan mengatur
tentang zakat untuk disalurkan kepada
orang yang berhak menerima, sehingga
penyaluran zakat bisa tepat sasaran.
BAZNAS merupakan salah satu
badan yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan zakat dan sudah diatur
dalam undang-undang yang diakui oleh
pihak pemerintah sehingga pembinanya
adalah pemerintah termasuk
departemen agama karena zakat adalah
salah satu rukun islam sehingga
Pembinanya adalah departemen agama.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut,
maka dapat disimpulkan kondisi
geografis, sumber daya manusia dan
sumber pendapatan BAZNAS Makassar
semakin hari semakin meningkat dan
masyarakat juga semakin hari semakin
menyadari pentingnya membayar zakat.
3.3 Perlakuan zakat dalam pajak
penghasilan orang pribadi pada
Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) Makassar
Hal yang paling mendasar yang
menjadi cita-cita utama dari suatu
negara adalah negara mampu
melindungi dan mensejahterakan warga
dan rakyatnya. Zakat dan pajak memiliki
peluang yang sama sebagai alat negara
untuk mewujudkan cita-citanya.
Penetapan UU No 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat dan UU No 36 tahun
2008 (sebagai perubahan atas UU No. 7
tahun 1983) tentang Pajak Penghasilan
dapat di pandang sebagai langkah maju
menuju sinergi zakat dengan pajak.
Sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh
yaitu bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
Bentuk Usaha Tetap (BUT), zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dapat di
kurangkan dari PKP. Zakat yang di
bayarkan hendaknya benar-benar sesuai
dengan ketentuan syari’ah seperti diatas,
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
122
kemudian nilai tersebut di kurangi atas
Penghasilan Kena Pajak.
Hasil wawancara dengan Kepala
bagian administrasi SDM dan umum
BAZNAS Makassar Pak H.Katjong Tahir
S.H menyatakan bahwa perlakuan zakat
atas pajak penghasilan orang pribadi
telah diatur dalam undang-undang
dimana bukti pembayaran zakat menjadi
pengurang atas pembayaran pajak.
Pembayaran zakat menjadi pengurang
pajak, dalam artian setelah wajib pajak
mengeluarkan zakat, jumlah pajak yang
akan dibayar oleh wajib pajak kurangi
terlebih dahulu dengan zakat yang telah
dikeluarkan kemudian hasil
pengurangannya tersebut dihitung
sebagai jumlah sebenarnya dikenakan
pajak yang dibuktikan dengan adanya
bukti setoran zakat.
Kedudukan zakat dan pajak dapat
ditinjau dari segi kewajiban dimana
zakat itu berkewajiaban dunia akhirat
karena mengeluarkan zakat itu adalah
melaksanakan ibadah dan pahalanya
sudah otomatis tercatat, sementara
mengeluarkan pajak juga itu berpahala
akan tetapi kadarnya berbeda karena
pajak untuk kepentingan pembangunan
sedangkan zakat berkaitan dengan
ibadah kepada Tuhan dan bermanfaat
bagi sesama manusia terutama bagi
manusia yang membutuhkan.
Bagian-bagian yang berperan dalam
pemeriksaan pengelolaan zakat dan
pertanggung jawaban keuangan
perhitungan pajak penghasilan orang
pribadi pada BAZNAS Makassar Menurut
pak H.Katjong Tahir S.H adalah bagian
audit yang terbagi dalam struktur audit
internal dan audit akuntan publik. Audit
dillakukan setiap tahun oleh audit publik
yang berupa pemeriksaan dan hasil audit
tersebut dilaporkan. Hasil audit menjadi
bahan referensi bagi pihak BAZNAS
Makassar untuk membenahi aspek-aspek
yang masih tergolong kurang optimal.
Pembenahan dilakukan melalui
sosialisasi untuk menyadarkan kepada
masyarakat akan pentingnya zakat dan
meminimalisir kesalahpahaman
masyarakat akan perlakuan zakat atas
penghasilan kena pajak dan
kesalahpahaman lain yang perlu
diperbaiki dan pahamkan kepada
masyarakat. Berdasarkan uraian di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa
perlakuan zakat dalam pajak penghasilan
orang pribadi pada Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) Makassar sudah
berjalan dengan baik dan sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan dalam
undang-undang, namun realisasiannya
masih kurang karena kurangnya
pengetahuan masyarakat akan
pentingnya membayar pajak dan
kesalahpahaman akan perhitungan
penghasilan kena pajak sehingga
sosialisasi terus dilakukan untuk
membenahi hal tersebut agar
kedepannya perlakuan zakat dalam
penghasilan orang pribadi dapat berjalan
optimal sesuai dengan prosedur
3.4 Analisis Perlakuan Zakat Dalam
Perhitungan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi
Aturan tentang perlakuan zakat atas
penghasilan dalam penghitungan
Penghasilan Kena Pajak terdapat dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-163/PJ/2003. Inti dari
keputusan tersebut adalah zakat atas
penghasilan sesuai ketentuan Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 Pasal 14
ayat (3) tentang Pengelolaan Zakat, boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto
Wajib Pajak Badan atau penghasilan neto
Wajib Pajak Orang Pribadi yang
bersangkutan dalam menentukan
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
123
besarnya Penghasilan Kena Pajak. Zakat
atas penghasilan yang boleh dikurangkan
adalah yang nyata-nyata dibayarkan oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri
pemeluk agama Islam dan atau Wajib
Pajak Badan dalam negeri yang dimiliki
oleh pemeluk agama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah.
Dalam UU PPh juga diatur
perlakuan zakat bagi pemberi dan yang
menerima yaitu:
1. Perlakuan Zakat ( dalam UU PPh )
bagi Si Penerima Zakat :
Dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (3) huruf
a bagian menyebutkan bahwa yang
tidak termasuk objek pajak adalah
zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak.
Dengan demikian ,zakat bagi si
penerima zakat adalah bukan
objek pajak penghasilan.
2. Perlakuan Zakat ( dalam UU PPh )
bagi Si Pemberi Zakat :
Dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan Pasal 9 ayat (1) huruf g
menyebutkan bahwa untuk menentukan
besarnya penghasilan kena pajak bagi
wajib pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap tidak boleh dikurangkan
harta yang dihibahkan, bantuan atau
sumbangan, kecuali zakat yang diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah.
Dengan demikian, hanya zakat atas
penghasilan saja bagi si pemberi zakat
dapat dikurangkan dari penghasilan
kena pajak. Sebagai pelaksanaan
ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf g
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan
keputusan Direktur Jenderal Pajak
No.KEP-163/PJ./2003 tentang perlakuan
zakat atas penghasilan dalam
penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Dalam keputusan ini penghasilan
yang dimaksud adalah penghasilan yang
merupakan objek pajak yang dikenakan
Pajak Penghasilan yang tidak bersifat
final, berdasarkan ketentuan Pasal 16
ayat (1) atau ayat (2) Undang-undang
Pajak Penghasilan. Besarnya zakat yang
dapat dikurangkan dari Penghasilan
Kena Pajak adalah sebesar 2,5% (dua
setengah persen) dari jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2). Wajib pajak yang
melakukan pengurangan zakat atas
penghasilan, wajib melampirkan lembar
ke-1 Surat Setoran Zakat atau
fotokopinya yang telah dilegalisir lxxxvi
oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga
Amil Zakat penerima setoran zakat yang
bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak dilakukannya
pengurangan zakat atas penghasilan
tersebut. Surat Setoran Zakat yang dapat
diakui sebagai bukti sekurang-kurangnya
harus memuat:
1. Nama lengkap Wajib Pajak
2. Alamat jelas Wajib Pajak
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Jenis Penghasilan yang dibayar
zakatnya
4. Sumber/jenis penghasilan dan
bulan/tahun perolehannya
5. Besarnya penghasilan
6. Besarnya zakat atas penghasilan
Adapun penghasilan tidak kena
pajak (PTKP) yang dihubungkan dengan
keadaan pribadi wajib pajak (keluarga
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
124
dan tanggungan) status wajib pajak
terdiri dari:
1. Tidak kawin (TK) beserta
tanggungannya misalnya,TK/1: tidak
kawin dengan satu
tanggungan.TK/2,TK/3,dan TK/0
2. Kawin beserta tanggungannya .
misanya kawin tanpa tanggungan
(K/0,kawin dengan satu tanggungan
(K/1),(K/2),(K/3).Wajib pajak dengan
status seperti ini berarti wajib pajak
(WP) kawin, istrinya tidak
mempunyai penghasilan atau istrinya
mempunyai penghasilan tetapi tidak
perlu digabung dengan penghasilan
suaminya di SPT PPh orang pribadi.
3. Kawin, istri punya penghasilan dan
digabungkan dengan penghasilan
suaminya, serta jumlah
tanggungannya, disingkat K/i/…
misalnya:K/i/O artinya WP kawin,
istrinya punya penghasilan dan
digabungkan dengan penghasilan
suaminya, serta jumlah
tanggungannya, disingkat
K/i…misalnya:K//i/O artinya WP
kawin, istrinya punya penghasilan
dan digabungkan dengan penghasilan
suaminya di SPT dan tanpa
tanggungan.
4. PH:status wajib pajak (WP) adalah
melakukan perjanjian tertulis untuk
pisah harta dan penghasilan terhadap
penghasilan bruto wajib pajak pribadi
berdasarkan pasal 7 UU Nomor 17
tahun 2000 berlaku sampai dengan
tahun pajak 2004. Kemudian mulai
tanggal 1 januari 2005 berlaku
ketentuan PTKP baru berdasarkan
peraturan menteri keuangan RI
Nomor: 564/KMK.03/2004 tentang
penyesuaian besarnya penghasilan
tidak kena pajak.
Besarnya penghasilan tidak kena
pajak (PTKP) berdasarkan pasal
1menteri keuangan Nomor:
564/KMk.03/2004 adalah sebagai
berikut:
1. Untuk diri wajib pajak PTKP sebesar
Rp.12.000.000
2. Tambahan untuk Wajib kawin PTKP
sebesar 1.200.000
3. Tambahan untuk seorang istri yang
penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami PTKP sebesar
12.000.000
Tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 orang
untuk setiap keluarga. Untuk
mendapatkan gambaran perhitungan
zakat sebagai pengurang penghasilan
kena pajak berikut ini contoh
perhitungannya :
Saudara D adalah pekerja dengan gaji
Rp. 2.000.000,_ per bulan. Ia
mempunyai istri dan dan 3 orang anak.
Cara perhitungannya adalah :
Penghasilan bruto 12 x Rp.
2.000.000,_ Rp. 24.000.000,_
Biaya jabatan 5% x Rp. 24.000.000,_
Rp. 1.200.000,─
Penghasilan netto sebelum zakat
Rp. 22. 800.000,_
Zakat yang harus dibayar 2,5 % x Rp.
22.800.000,_ 570.000,_
Penghasilan Netto Setelah Zakat
Rp. 22.230.000,_
PTKP K/3:
1.WajibPajak
Rp.12.000.000,_
2. Tambahan untuk wajib pajak
kawin Rp. 1.200.000,_
3. Tambahan untuk setiap anggota
keluarga
3 x Rp. 1.200.000,_
Rp. 3.600.000,_
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
125
Rp. 16.800.000,_
Penghasilan netto – PTKP K/3
Rp. 22.230.000,_
Rp. 16.800.000,_
Rp. 5.430.000,_
PPH terhitung 5% xRp 5.430.000,_
Rp. 271.500,_
Zakat yang dicantumkan adalah
zakat yang dibayarkan kepada badan
amil zakat atau [lembaga amil zakat
ayang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah.Di Kota Makassar sendiri
telah dibentuk Lembaga Amil Zakat,
adalah Baznas yang sudah dikukuhkan
oleh pemerintah. Baznas yang dibentuk
berdasarkan keputusan MRPM Bimas
Islam Kementrian Agama RI/NO
DJ.II/568 Tahun 2014 tentang
pembentukan Badan Amil Zakat Nasional
kabupaten/kota seluruh Indonesia
menunjukkan grafik yang terus
meningkat baik dalam hal jumlah
pemberi zakat (muzakki) maupun
jumlah dana yang dikumpulkan oleh
Lembaga Amil Zakat tersebut.
Perlakuan zakat pada Baznas
Makassar telah berjalan sesuai prosedur
yang ditetapkan oleh Undang-Undang
dan pengelolaannya sudah berjalan
dengan sangat baik dimana semua
elemen baik bagian admistrasi maupun
keuangan saling bekerjasama untuk
meningkatkan kapasitas dan kualitasnya
ke arah yang lebih baik. Sementara untuk
perlakuan zakat terhadap penghasilan
orang pribadi sampai saat ini sudah
mengalami perkembangan yang baik
dibuktikan dengan jumlah ASN yang
membayar zakat yang meningkat setiap
tahunnya. Perlakuan zakat terhadap
penghasilan orang pribadi dalam
perhitungannya di Baznas Makassar
sudah sesuai dengan ketentuan Undang-
undang dan peraturan yang berlaku,
dimana zakat berfungsi sebagai
pengurang dari pembayaran pajak
penghasilan orang pribadi.
Adanya sosialisasi yang dilakukan
oleh petugas Baznas menjadi wadah
untuk meminimalisir kekeliruan
masyarakat tentang pembayaran zakat
dan pajak yang mereka istilahkan kena
dua kali sehingga semakin meningkatkan
kesadaran mereka untuk membayar
zakat.
Junaedy (2014) melakukan
penelitian bahwa terdapat perbedaan
antara perlakuan zakat sebagai
pengurang penghasilan kena pajak
dengan zakat sebagai pengurang
langsung pajak penghasilan (kredit
pajak). Penerapan perlakuan zakat
sebagai pengurang penghasilan kena
pajak mengakibatkan pengeluaran pajak
dan zakat yang dibayar oleh wajib pajak
(Muzakki) akan lebih besar yaitu sebesar
5,66% dibandingkan dengan perlakuan
zakat sebagai pengurang langsung pajak
penghasilan (kredit pajak) yaitu sebesar
3,28%.
Abdul Basir (2015) melakukan
penelitian bahwa zakat penghasilan dan
pajak penghasilan merupakan institusi
pengumpul dana. Namun UU No.38 Th.
2000 hanya memperkenalkan zakat
penghasilan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak. Perlakuan zakat
biasa disamakan dengan pajak
penghasilan yaitu bukan sebagai faktor
PKP melainkan sebagai kredit pajak
nonrefundab.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
126
3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan maka kesimpulan dari
permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.perlakuan zakat sebagai perhitungan
pajak penghasilan orang pribadi pada
baznas kota Makassar sudah sesuai
dengan prosedur yang tercantum dalam
UU dan peraturan yang berlaku.
2.zakat berfungsi sebagai pengurang dari
penghasilan kena pajak orang pribadi,
pengelolaannya baik dari pengumpulan
maupun penyaluran meningkat dari segi
kapasitas dan kuantitasnya.
3. pengaplikasiannya yang mengalami
perkembangan dari tahun ke tahun
dimana jumlah jumlah ASN yang
membayar zakat meningkat setiap
tahunnya.
3.2 Saran
Bedasarkan kesimpulan diatas,
saran dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Perlakuan zakat saat ini yaitu sebagai
pengurang penghasilan kena pajak
(PKP) tidak menghilangkan
kewajiiban ganda atas zakat dan
pajak. Sehingga, zakat yang telah
dibayarkan bisa dikurangkan
langsung dari pajak penghasilan
sesuai jenis objeknya. Artinya zakat
penghasilan dapat disamakan dengan
pajak penghasilan yaitu bukan
sebagai faktor pengurang penghasian
kena pajak tetapi sebagai kredit pajak
yang nonrefundable. Dengan itu
kewajiban ganda tidak hanya
dikurangkan, tetapi dapat dihapuskan.
Maka diharapkan kepada pemerintah
dan anggota legislative melakukan
penyempurnaan perangkat peraturan
zakat dan pajak agar sinergi
keduanya tidak memberatkan umat
Islam.
2. Bagi pemerintah perlu adanya
regulator pengawasan dan koordinasi,
karena tidak adanya kooordinasi
panitia zakat antar daerah hal ini
diakibatkan oleh tidak adanya data
yang valid tentang mustahiq baik
ditingkat desa, kecamatan, kabupaten,
provinsi, apalagi tingkat nasional
sehingga pengelolaan laporan
keuangan dapat valid.
3. Harus dibangunnya system
terkomputerisasi baik antara sesama
lembaga amil zakat maupun dengan
pihak dirjen pajak. Sehingga nantinya
bisa terjadi fungsi saling mengawasi
dan counter balance yang
memberikan efek positif bagi
kemajuan dunia perzakatan maupun
perpajakan dalam melakukan
penghimpun dana.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Basir (2015). Zakat Atas Penghasilan Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Andriani, dan Fathya (2013). Zakat Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan Pada Badan Amil Zakat, JRAK Vol. 4 No.1 Februari 2013 Hal. 13 - 32.
Azzachrah, dan Murdayanti (2015). Analisis Perlakuan Zakat Profesi Terhadap Perhitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Pegawai Tetap). Jurnal Universitas Paramadina Vol. 11 No. 1 April 2014.
Abdullah (2010) Memaparkan bahwa zakat di negara brunei darussalam digunakan untuk membangun tempat penampungan bagi penerima zakat
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
127
Aziz (2012) Tumbuhnya investasi sehingga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi
Beik (2011) Membuktikan bagaimana distribusi zakat di indonesia dalam mengurangi kemiskinan
Ghaffari (2017), Respon Wajib Pajak Terhadap Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Herry Yarmanto (2015). Analisis Zakat Sebagai Faktor Pengurang Penghasilan Kena Pajak (Tinjauan Aspek Sinergi Antara Zakat Dan Pajak)
Ibrahim (2016) menguraikan titik temu dan letak persamaan serta perbedaan antara zakat dan pajak dimana kedua-duanya sama-sama wajib.
Ibrahim Teuku H. Muslim (2016) zakat adalah ibadah dan merupaka rukun islam sehingga pembayarannya tidak sah jika tidak diikuti dengan niat.
Junaedy (2014). Efektivitas Perlakuan Zakat Sebagai Perhitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Jurnal Manajemen dan Akuntansi Vol 2, No.1 (2014).
Johari, et al. (2015) Menjadi hal lumrah apabila mengaitkan zakat dengab upaya dalam mengurangi ketimpangan sosial dan kemiskinan pada suatu komunitas
Mintarti, et al, (2012) Dalam studinya keberadaannya program zakat secara sukses mengurangi kemiskinan dengan 2,34% untuk rasio kesenjangan kemiskinan dan 4,84% untuk rasio kesenjangan pendapatan
P.J.A. Adriani “Pajak merupakan iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang menurut peraturan peundang-undangan tanpa mendapat prestasi kembali
Rafiqah Aliyati (2015). Penerapan Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gowa
Safarni (2015). Pajak Penghasilan Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak
science des finances (1906) Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung
Singer (2016) mencatat bahwa zakat juga dapat di gunakan untuk membantu penerima zakat dalam peralatan dan modal untuk memulai bisnis.
tesis Herry Yarmanto (2016)
tentang perbedaan antara zakat dan pajak
Theodossiou (2015) menyebut bagaimana zakat telah mengambil peran untuk membantu komunitas antar Negara.
Widarno (2016). Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Windarti (2015). Implementasi Perlakuan Zakat Atas Penghasilan Dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak (Kajian Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan Muslim Di Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan)
www.google.co.id diakses 23 juli 2018
http:fajarsumiratmuhrip.wordpress.com/2016. Perlakuan zakat dalam perhitungan penghasilan kena pajak (online) diakses pada tanggal 23 juli 20 18
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
144
STRATEGI MANAJEMEN RISIKO PEMANFAATAN
TEKNOLOGI PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH ERA
MILLENNIAL DAN COVID 19 Muhlis UIN Alauddin Makassar [email protected]
Abstract
Respond to the current situation, , financial institutions Islamic non-bank are developing technology-based service provision in order to maintain the company's stability in the current millennial era, people who tend to use technology. The purpose of this study was to determine the importance of implementing risk management strategies in service development through information technology in non-Islamic banking financial institutions. The methodology used is through a research library study. The results show that risk management strategies in the development of digital technology services are needed to fence and protect users and non-Islamic bank financial institutions, because the current risks are so complex, both financial and non-financial in the era of disruption and the state of the Covid 19 virus outbreak with users millennial society.
Keywords: Strategy, Risk Management, Technology, Millennial Era
Abstrak
Untuk merespon keadaan saat ini lembaga keuangan Bukan Bank Syariah melakukan pengembangan penyediaan layanan berbasis teknologi demi menjaga suistainabel perusahaan pada era millennial saat ini masyarakat yang memiliki kecenderungan pada penggunaan teknologi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pentingnya penerapan strategi manajemen risiko pada pengembangan layanan melalui teknologi informasi pada lembaga keuangan Bukan Bank Syariah. Metodologi yang digunakan melalui kajian library research. Hasil menunjukkan bahwa strategi manajemen risiko dalam pengembangan layanan digital teknologi sangat dibutuhkan untuk memagari dan melindungi pengguna dan institusi lembaga keuangan bukan bank syariah, karena begitu kompleksnya risiko saat ini, baik risiko financial maupun non financial di era disrupsi dan keadaan wabah virus covid 19 dengan pengguna masyarakat millennial.
Kata Kunci: Strategi, Manajemen Risiko, Teknologi, Era Millennial
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
145
1. PENDAHULUAN
Masyarakat anak muda millennial
yang terlahir dari tahun 1980-an sampai
dengan 1990-an, hampir mendominasi di
sector-sektor pekerjaan termasuk
disektor pekerjaan yang strategis. Tidak
hanya di Indonesia tetapi juga di Negara-
negara yang maju sekalipun demikian
keadannya. Arah ini mengubah keadaan
landskap layanan keuangan melalui
penyediaan layanan berbasis teknologi
demi memenuhi kebutuhan anak muda
millennial yang memiliki kegilaan pada
penggunaan teknologi digital.
Meskipun teori pemanfaatan
teknologi yang dipopulerkan oleh Davis
(1989) sudah sekian lama, memiliki
argumentasi bahwa:” Penggunaan suatu
teknologi pada umumnya ditentukan oleh
proses kognitif dan bertujuan untuk
memaksimalkan kegunaan teknologi
informasi oleh penggunanya adalah
evaluasi kegunaan teknologi tersebut.
Penelitiannya mengkaji tentang persepsi
kemanfataan (Perceifed usefulnes) dan
persepsi kemudahan penggunaan
(perceived ease of use) mengenai
penggunaa teknologi”
Perubahan keadaan saat init wajib
untuk direspon bagi lembaga keuangan,
mau tidak mau untuk menjaga
suistainabel perusahaannya, karena bila
tidak melakukan layanan perubahan
dengan hanya mengandalkan system
manual, maka layanan anda akan
tertinggal dan menemui kesulitan untuk
mengejar pesaing. Kemudian, perlahan
tapi pasti lembaga keuangan tersebut
akan ditinggalkan oleh nasabah.
Ditinggalkan nasabah millennial
adalah kerugian besar, karena saat ini
penggunan jasa termasuk layanan
keuangan hampir separuh pasarnya
adalah anak muda millennial. Bahkan
perusahaan tersebut akan menemui
financial distress karena tidak adanya
income yang bisa berujung kepada
kepailitan. Saat ini betul-betul perilaku
mereka dalam layanan digital teknologi,
perlu diperhatikan karena sangat
menentukan masa depan suatu lembaga
keuangan.
Tentunya keadaan demikian
merupakan keadaan yang sangat tidak
diinginkan oleh suatu lembaga keuangan.
Lembaga keuangan syariah bukan bank
sejatinya sebagai layanan badan usaha
yang melakukan kegiatan di bidang
keuangan yang menghimpun dan
menyalurkan dana dari masyarakat,
hanya lembaga ini tidak diperkenankan
menghimpun dana dari tabungan,
deposito, giro dan lain sebagainya.
Kegiatan saat ini lebih banyak
dilakukan dalam sistem dunia maya yang
dihubungkan melalui internet keadaan
demikian merujuk kepada era disrupsi.
Perkembangan dalam dunia teknologi
relevan dengan tingkat perubahan
kebutuhan masyarakat mendorong
terciptanya peluang bisnis baru,
terutama dalam layanan jasa keuangan.
Hal demikian semakin diperkuat dengan
terbitnya peraturan OJK Nomor
77/POJK.01/2016 Pasal 1 terkait dengan
layanan teknologi informasi yang
mempertemukan oleh pemilik modal
atau pemberi pinjaman untuk
memberikan pinjaman dalam bentuk
perjanjian.
Melalui peraturan tersebut
semakin membuka ruang bagi pelaku
jasa keuangan menyelenggarakan
teknologi informasi berbasis financial
technologi atau sering disebut FINTECH.
Keberadaan layanan keuangan e-
financial milik swasta, semakin
menambah ketat persaingan.
Berkembangnya layanan perusahaan e-
financial dengan kemampuan daya tarik
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
146
melalui ciri kecepatan, akses
kenyamanan, dan penggunanaan biaya
yang minim sehingga menjadikan daya
pikat yang menarik bagi nasabah
millenial.
Kemudian harus diakui adanya
pandemic covid 19, semakin menambah
perubahan pola kehidupan masyarakat.
Kantor-kantor dan perusahaan banyak
menerapkan sistem WFH (Work from
Home). Anak sekolah dan mahasiswa
belajar daring. Karena saat ini Negara
Indonesia sedang dilanda krisis
kesehatan. Bahkan sudah berbagai
spekulalasi bermunculan dengan adanya
keadaan pandemic akan membuat
ekonomi mengalami resesi, semoga tidak
berlanjut kepada krisis moneter.
Keadaan demikian sesuai dengan
himbauan pemerintah agar melakukan
pembatasan aktivitas social (physical
distancing) untuk mengurangi aktivitas
di luar rumah. Adanya pandemic covid
19 otomatis masyarakat yang
membutuhkan layanan keuangan tidak
bisa melakukan transaksi secara tatap
muka langsung, keadaan tersebut di
manfaatkan oleh perusahaan termasuk
perusahaan layanan jasa keuangan
berbasis fintech.
Pembatasan social bahkan
disebagian daerah dilakukan PSBB
(Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Lagi-lagi keadaan tersebut menambah
tantangan lembaga keuangan syariah
bukan bank terutama milik pemerintah,
mengharuskannya untuk merespon
keadaan tersebut. Bila tidak menangkap
peluang kembali mereka akan tertinggal.
Karena hampir semua kegiatan
masyarakat dilakukan dengan basis
teknologi memanfaatkan jaringan
internet sedang mereka di rumahnya
masing-masing.
Adanya himbauan untuk social
distancing demi menjaga kesehatan
untuk tetap tinggal di rumah memutus
penyebaran virus corona,
mengakibatkan beberapa perusahaan
harus menutup usahanya sementara
waktu, akibatnya banyak pula pekerja
yang tidak menerima bayaran selama
penutupan tersebut terutama buruh
harian ataupun pegawai outsourcing.
Bahkan sebagian perusahaan harus
mengurangi jam kerja, melakukan
perampingan karyawan, dan yang paling
ekstrem adalah melakukan PHK.
Kaitan dengan adanya sejumlah
problematika di atas, saat ini harus di
akui akan memberikan warning kepada
sejumlah lembaga keuangan syariah,
keadaan yang tidak diinginkan adalah
penurunan omzet lembaga keuangan
syariah. Menurunnya omzet jelas akan
mempengaruhi struktur modal, bahkan
termasuk pelaksanaan operasional
kegiatan. Ini ditandai dengan masyarakat
yang mengurangi aktivitas di luar rumah,
otomatis di sector-sektor usaha
mengurangi juga aktivitasnya bahkan
sama sekali tidak beroperasi, seperti
restoran, tempat hiburan, maal, hotel,
dan bahkan usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM).
“Berdasarkan data Kementerian
Koperasi dan UMKM, sebanyak 98,7
persen usaha di Indonesia merupakan
usaha mikro, yang menyerap 89,17
persen tenaga kerja domestik serta
berkontribusi sebanyak 36,82 persen
terhadap PDB, Menurutnya, selain
mendorong peningkatan ekspor dan
investasi, seperti yang diinginkan
Presiden Jokowi. Pemerintah juga harus
memberi ruang yang lebih luas terhadap
UMKM”. (Seno, 2019)
Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) menjadi salah satu sector yang
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
147
mendominasi usaha di Indonesia. Untuk
itu, peluaang kerjasama dan layanan jasa
keuangan tidak boleh dibiarkan begitu
saja. Karena potensi pengembangan
lembaga keuangan bukan bank syariah
bila mampu memanfaatkan peluang
tersebut maka sangat membuka
kesempatan untuk memjukan
perusahaan. Kebijakan sebisa mungkin
untuk didasarkan salah satunya pada
layanan untuk UMKM. Terutama saat
pandemic wabah virus covid 19, bahkan
pemerintah melalui presiden melakukan
kebijakan.
Lalu kemudian sesuai dengan
pidato presiden untuk memberikan
relaksasi pembiayaan berupa
restrukturisasi pembayaran pinjaman
termasuk pinjaman dari lembaga
keuangan bukan bank, agar meringankan
pembayaran bagi masyarakat yang
terkena dampak virus covid-19.
Terutama masyarakat kalangan bawah
yang sangat merasakan dampak pukulan
dari wabah tersebut, seperti masyarakat
yang melakukan usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM), termasuk tukang
ojek, bentor, sopir penumpang, nelayan
dan lain sebagainya.
Tantangannya kemudian tidak
semua lembaga keuangan bukan bank
siap untuk melakukan restrukturisasi
peminjaman tersebut. Beberapa kendala
yang mempengaruhi factor tersebut
termasuk kemampuan lembaga tersebut
untuk memenuhi kebijakan
restrukturisasi pemerintah. Sisi
kemampuan keuangan lembaga mereka
harus pertimbangkan, jangan sampai
mereka hendak menolong masyarakat
yang ada lembaga mengalami risiko
kegagalan financial. Seperti kegagalan
keseimbangan likuiditas.
Logikanya dengan keadaan seperti
saat ini, masyarakat sudah mengurangi
aktivitas kegiatan mereka disebabkan
virus corona otomatis akan berdampak
pada lemabag keuangan termasuk bukan
bank, sehingga akan menurunkan omzet
lembaga jasa keuangan. Lalu kemudian
lembaga keuangan tersebut diminta
untuk melakukan restrukturisasi. Jelas
akan menambah berkurangnya income
lembaga keuangan untuk beberapa
waktu tertentu. Sedangkan beban untuk
membayar kewajiban itu tidak boleh
ditunda, seperti likuiditas pembayaran
kewajiban bagi karyawan, proses
berjaga-jaga atas pemenuhan dana
nasabah yang lebih banyak melakukan
penarikan. Sekali nasabah melakukan
penrikan termasuk investasi yang tidak
mampu dipenuhi maka nasabah sulit
untuk mepercayai lembaga keuangan
tersebut.
Memasuki keadaan new normal
yang dielu-elukan dan sangat ditunggu,
kenyataan masih banyak masih banyak
perusahaan dan bisnis yang terpapar
dari sentimen negatif wabah virus Covid-
19. Keadaan saat ini yang masih
memaksa untuk terus berhati-hati dan
tetap memperhatikan protocol
kesehatan. New normal dengan
menjadikan keadaan untuk melakukan
formulasi percepatan dalam melakukan
penangan wabah virus corona atau
covid-19, bukan hanya di bidang
kesehatan dan social kemasyarakatan,
tetapi juga dalam ranah perekonomian.
Mengingat virus tersebut bukan
hanya berdampak negative pada krisis
kesehatan tetapi juga sangat
mempengaruhi sisi ekonomi, tidak hanya
skala local, nasional bahkan
internasional. Sehingga Negara-negara
yang terkena wabah virus covid-19
berlomba untuk memperbaiki system
kehidupan masyarakatnya bahkan
merubah kebiasaan-kebiasaan yang
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
148
dianggap akan memudahkan terjangkit
virus tersebut.
Merespon keadaan tersebut Negara
Indonesia juga tidak boleh tinggal diam,
yakin dan percaya sebagai bangsa yang
besar, kita bisa bangkit dari keadaan ini,
melakukan perbaikan manajemen hidup
dalam bermasyarakat agar bisa
beradaptasi dengan yang disebut era
baru new normal. Perbaikan system
termasuk system ekonomi pada
umumnya. Terus harus diupayakan,
masyarakat dan pemerintah harus selalu
bersinergi.
Searah dengan keadaan tersebut,
lembaga keuangan juga harus
menyesuaikan keadaan pada era
disrupsi. Yang hampir semua kegiatan di
lakukan dengan mengandalkan internet
terutama dalam layanan jasa keuangan.
Bahkan sebagian lembaga keuangan
melakukan pembiayaan melalui system
daring, sehingga nasabah tidak perlu lagi
repot-repot datang ke bank, juga untuk
menghindari keramaian dan salah satu
himbauan protocol kesehatan.
Lembaga keuangan bukan bank
syariah seharusnya munjukkan
kemampuannya dalam menyediakan
fitur layanan berbasis digital teknologi.
Demi menjaga suistanabelnya
perusahaan di tengah berlombanya
pesaing memanjakan nasabah dengan
layanan teknologinya. Karena saat ini,
lembaga keuangan bukan bank syariah
tidak hanya bersaing antara sesama
lembaga keuangan public berstatus milik
pemerintah seperti pegadaian syariah,
asuransi syariah, pasar modal syariah,
atau lembaga keuangan mikro syariah
seperti Baitul Maal wa Tamwil (BMT),
Baznaz, Koperasi Syariah, dan lain-lain.
Persaingan semakin komplet dan
masif tantangannya, karena lembaga
keuangan milik swasta juga ikut
berjamur dengan pesat kehadirannya
dengan layanan teknologi yang cukup
maju, cepat, murah, bisa transaksi
dimana saja seperti layanan transaksi
oppo, go pay. Layanan pegadaian milik
swasta misalnya Gadai Oke, Indotech
Gadai, pinjam.co.id dan sebagainya. Pada
layanan investasi reksa dana seperti P2P
lending, Ipot Go, Tanam Duit dan
berbagai layanan digital reksa dana.
Untuk itu lembaga keuangan bukan
bank syariah harus bisa melakukan
maneuver mengatur strateginya
termasuk dalam persaingan pengadaan
layanan digital untuk menjaga diri
mempertahankan keberadaan
perusahaan agar tetap eksis maju
bersaing. Konsekuensi yang harus
diterima adalah mampu melakukan
lindung nilai berupa hedging dari segala
risiko yang akan dihadapi. Semakin
marak layanan teknologi juga semakin
ramai risiko kejahatan cyber crime,
kasus peretasan, pembobolan,
penyalahgunaan akun, penipuan dan lain
sebagainya.
Oleh karena itu, penting untuk
memperhatikan optimalisasi manajemen
lembaga keuangan syariah bukan bank,
berupa tindak lanjut dari langkah
strategis, melakukan manajemen risiko,
dan mempertimbangkan kemungkinan
dari segala keputusan yang diambil.
Semua pihak agar bisa berkontribusi
untuk memajukan masa depan lembaga
keuangan syariah bukan bank dengan
segala tantangannya menghadapi era
disrupsi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
a. Strategi
Dewasa seperti saat ini, lembaga
keuangan telah dihadapkan dengan
persaingan yang lebih kompleks,
penggunaan teknologi tak terbantahkan
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
149
lagi, hampir semua lini telah menyentuh
ranah tersebut. Terutama dalam
melakukan layanan jasa keuangan.
Produk yang berbasis digital adalah
suatu kewajiban dalam pengadaan dan
penyediaan fitur untuk memanjakan
nasabah. Hampir semua lembaga
keuangan berlomba untuk
mengupayakan strategi terbaik untuk
melakukan pelayanan digital tak
terkecuali oleh lembaga jasa keuangan
non bank.
Strategi berarti menetapkan suatu
destinasi tujuan yang sifatnya jangka
panjang berdasarakan pada suatu
organisasi dengan melakukan pilihan
alternative terbaik dalam
mengalokasikan dan memanfaatkan
sumber-sumber yang bernilai untuk
memudahkan dalam mencapai tujuan-
tujuan manajemen perusahaan, seperti
itulah yang dijelaskan oleh Mamduh
Hanafi (2011: 6).
b. Manajemen
Sesuai dengan yang dijelaskan oleh
Gita Danupranata (2013:36) bahwa
manajemen berarti seni dan ilmu
pengelolaan yang berisi atau berfungsi
untuk melakukan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan
pengawasan.
Manajemen strategi diwujudkan
dalam bentuk perencanaan berskala
besar mencakup seluruh komponen
dilingkungan sebuah organisasi yang
dituangkan dalam bentuk rencana
strategis (Renstra) yang dijabarkan
menjadi perencanaan operasional, yang
kemudian dijabarkan pula dalam bentuk
program kerja dan proyek tahunan.
Penjelasan oleh Taufiqurokhman
(2016:15).
c. Risiko
Menurut penjelasan oleh Irham
Fahmi (2010: 2) bahwa risiko dapat
ditafsirkan sebagai bentuk keadaan
ketidakpastian tentang suatu keadaan
yang akan terjadi nantinya (future)
dengan keputusan yang diambil
berdasarkan berbagai pertimbangan saat
ini. Sedangkan dalam penuturan oleh
Veithzal Rivai (2013: 56) bahwa
manajemen risiko adalah suatu metode
logis dan sistematik dalam identifikasi,
kuantifikasi, menentukan sikap,
menetapkan solusi, serta melakukan
monitor dan pelaporan risiko yang
berlangsung pada setiap aktivitas atau
proses.
d. Lembaga Keuangan
Menurut Surat Keputusan Menteri
keuangan Republik Indonesia No. 792
Tahun 1990, Lembaga keuangan
diberikan batasan sebagai badan /
lembaga yang kegiatanya dalam bidang
keuangan, melakukan penghimpunan
dan penyaluran dana kepada masyarakat
tertentu guna membiayai investasi
perusahaan. Menurut penjelasan Andri
Soemitro (2010: 29) bahwa Lembaga
keuangan sebagai suatu perusahaan yang
kegiatan usahanya berkaitan dengan
bidang keuangan. Kegiatan usaha
lembaga keuangan dapat berupa
penghimpunan dana dan atau
penyaluran dana.
Diakui bahwa yang mendasari
perubahan keadaan demikian adalah
tergantinya karakter pengguna. Karakter
yang dulunya adalah pengguna dengan
lebih banyak meggunakan system
manual, kini memasuki era millenial
dengan masyarakat muda lebih banyak
menuntut penggunaan digital. Perilaku
yang lebih instan, terkesan manja,
pemenuhan keinginan yang serba cepat,
tidak mau susah-susah lagi datang antre
menuggu hanya karena suatu kebutuhan
layanan.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
150
Keiistimewaan lembaga keuangan
syariah memiliki hubungan
kemitraanyang khas antara shohibul
maal dengan mudharib sebagai pengelola
dana yang diberikan amanah. Hubungan
yang khas inilah yang menjadi pembeda
dengan lembaga keuangan pada
umumnya. Selain itu harus memenuhi
kesesuian prinsip syariah dan legalitas
dari Dewan Syariah Nasional (DSN).
(Siswadi, 2015)
Kehadiran lembaga keuangan
syariah menjadi wadah bagi masyarakat
secara formal untuk menyalurkan dana
mereka ke dalam bentuk investasi.
Banyak masyarakat yang memiliki dana
tetapi pengetahuan yang kurang untuk
menginvestasikannya atau untuk
melakukan penyaluran secara langsung
kepada orang lain yang membutuhkan
dan mau melakukan usaha kesesuaian
dengan ayat al Qur’an Surat al Ma’idah
ayat 2 tentang tolong menolong dalam
kebajikan. Melalui lembaga keuangan
syariah dana mereka tidak tertumpuk
pada satu atau segelintir oarng saja,
tetapi kemudian mengalir ini sudah
sesuai dengan ayat al Qur’an Surat an-
Nisa ayat 29 terkait larangan menumpuk
harta.
Ada berbagai jenis lembaga jasa
keuangan khususnya lembaga keuangan
bukan bank syariah. Yang memiliki peran
dala system keuangan, penawaran dalam
bentuk gadai, pembiayaan, investasi atau
jasa-jasa transaksi dalam keuangan
syariah. Sehingga keseluruhan institusi
tersebut telah melakukan fungsi
operasional sebagai lembaga
intermediasi menyalurkan anggaran atau
dana dari masyarakat yang surplus dana
kepad pihak atau nasabah yang
mengalami deficit anggaran dalam
melakukan kegiatan usaha investasi.
Tabel 1: Jenis Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga Keuangan
Bank Syariah
Lembaga Keuangan
Non Bank Syariah
Lembaga Keuangan
Mikro Syariah
a. Bank Umum
Syariah
b. Bank BPRS
c. Unit usaha Syariah
a. Pegadaian Syariah
b. Asuransi Syariah
c. Pasar Modal Syariah
d. Reksa Dana Syariah,
e. Instrumen Sukuk, dll
a. Baitul Maal wa Tamwil
(BMT)
b. BAZNAS
c. Koperasi Syariah
Sumber: Data Diolah Laporan Penelitian (Muhlis, 2019)
Pada lembaga keuangan syariah
pun demikian dengan fungsi
keberadaannya untuk melakukan
layanan jasa keuangan syariah non bank.
Menghadapi keadaan demikian di sector
jasa keuangan, lembaga keuangan
keuangan tidak hanya akan bersaing
dengan sesama lembaga keuangan dari
sector publik milik pemerintahan seperti
BUMN, BUMD, ataupun koperasi. Tetapi
juga dari sector komersial milik swasta,
telah banyak melakukan inovasi
pelayanan digital yang canggih seperti e-
financial.
3. METODE PENELITIAN
Pada metodolgi ini penulis
menggunakan metode library research
atau juga disebut literature research.
Berkaitan dengan penggunaan dataa
yang digunakan bersumber dari bahan
dan intisari bacaan buku, artikel, jurnal,
maupun karya ilmiah lainnya yang
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
151
memiliki relevansi dengan kebutuhan
untuk melakukan riset ini, terutama yang
terkait dengan lembaga keuangan
syariah bukan bank, strategi manajemen
risiko dan penerapannya dalam
pengembangan layanan teknologi
dengan pengguna masyarakat millennial
era disrupsi saat ini. Termasuk dengan
jurnal kesehatan yang membahas
tentang virus covid-19 yang masih
mewabah dan membutuhkan
pengetahuan untuk memperlakukannya
dalam menyesuaikan keadaan terutama
sisi perkonomian yang kemudian
dielaborasi menjadi suatu jurnal ilmiah.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Melihat beragamnya tantangan
yang dihadapi oleh lembaga keuangan
bukan bank syariah sehingga sebagai
kalangan pemerhati patut untuk
memberikan kontribusi untuk kemajuan
lembaga tersebut. Melalui hasil riset
tulisan ini menjadi inti bagian penjelasan
hasil dan pembahasan terkait penerapan
strategi manajemen risiko lembaga
keuangan bukan bank syariah
menghadapi era millennial dan melewati
wabah covid 19.
4.1 Hasil
Era disrupsi yang ditandai dengan
kegiatan yang hampir disebagian besar
menggunakan layanan aktivitas dunia
maya. Internet menjadi kekuatan besar
bagi lembaga yang mampu menguasai
dan memanfaatkannya. Tentunya tidak
terkecuali dalam lembaga keuangan
bukan bank syariah. Lembaga yang
memberikan jasa keuangan keuangan ini
diharuskan mengikuti gaya trend masa
kini. Perlombaan pelayanan berupa
digital teknologi ini, didasari dari
karakter pengguna, saat ini pengguna
layanan didominasi oleh kebutuhan
pasar nasabah millennial.
Karakter nasabah millennial yang
menghendaki pengadaan layanan yang
serba cepat, bisa dilakukan dimana saja,
dan yang terpenting aplikasinya mudah
dilakukan, tidak harus antri, bahkan di
rumah atau di kamar bisa dilakukan
traksaksi. Membuat berbagai lembaga
jasa keuangan berpikir keras untuk
melakukan inovasi dan maneuver untuk
menangkap peluang tersebut, agar tidak
ketinggalan dengan pesaing.
Untuk memberikan kejelasan
terkait dengan tantangan yang dihadapi,
dalam hal ini akan di kodifikasikan
beberapa tantangan yang dihadapi
lembaga keuangan bukan bank syariah,
antara lain:
1) Memasuki era disrupsi dengan
aktivitas penggunaan internet
terutama bagi nasabah millennial
yang sebelumnya generasi zaman old
yang lebih banyak mengarah kepada
penggunaan dan transaksi digital .
2) Pemenuhan layanan jasa keuangan
terkait perubahan karakter nasabah,
dari nasabah dengan karakter layanan
manual ke layanan digital teknologi.
3) Hegemoni persaingan yang komplet
dihadapi oleh lembaga keuangan,
bukan hanya sesama lembaga
keuangan public milik pemerintah,
tetapi juga layanan milik swasta.
4) Berjamurnya lembaga perusahaan
layanan e-finansial dengan
kemampuan kecepatan, kenyamanan,
dan biaya yang cukup murah sehingga
menjadi trend masa kini bagi nasabah.
5) Layanan teknologi yang mudah, bisa
dilakukan bahkan di rumah, seperti
penggunaan layanan melalui fitur
smartphone.
6) Merebaknya virus corona atau covid
19 sesuai himbauan protocol
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
152
kesehatan untuk mengurangi aktivitas
di luar rumah (physical distancing),
sehingga layanan teknologi sangat
dibutuhkan.
Untuk merespon tantangan yang
ada lembaga keuangan syariah harus
melakukan pengembangan, berupaya
melakukan evaluasi terhadap layanan
produk yang ada. Inovasi produk yang
direvitalisasi, diversifikasi atau
mengadakan produk yang baru sesuai
dengan tingkat kebutuhan saat ini. Yang
jelasnya lembaga keuangan syariah
harus mampu mengimbangi serta
mampu menemukan instrument solusi
yang terbaik, untuk menjaga keberadaan
lembaga keuangan tersebut.
Memperhatikan keadaan tersebut
perusahaan harus melakukan
pengembangan dan inovasi agar
produknya tetap laku di pasar.
Jika sulit untuk melakukan
perbaikan-perbaikan inovasi maka
mereka akan sulit untuk bersaing,
bahkan mereka akan ditinggal oleh
nasabah atau konsumennya. Apalagi
memperebutkan nasabah millennial, sulit
tanpa kemajuan teknologi seperti saat
ini. Selain daripada factor modal juga
inovasi layanan teknologi menjadi
sesuatu yang sangat berharga dalam
lembaga keuangan syariah.
Beberapa lembaga keuangan telah
berupaya untuk melakukan maneuver
menyongsong era baru dengan
memaksimalkan layanan digital
teknologi. Namun, dikhawatirkan ada
lembaga keuangan yang hanya mengikuti
trend saja, tanpa penguasaan yang betul-
betul memahami strategi pengembangan
digital teknologi. Pada hal untuk
melakukan pengadaan layanan teknologi
tersebut membutuhkan dana yang besar,
strategi pengelolaaan, serta manajemen
risiko yang akurat. Kurang memahami
strategi pengelolaan dan melakukan
pengambilan keputusan investasi,
sejatinya mengharapkan income dari
investasi tersebut, justru yang ada akan
membawa pada risiko kerugian
perusahaan.
Untuk itu sebagai bahan masukan
sebelum melakukan pengambilan
keputuan terkait dengan hal-hal yang
urgent, maka ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, antara lain:
a) Memahami kualitas dan kapasitas
perusahaan sebelum mengadopsi
layanan pendukung utama seperti
pengadaan teknologi canggih baik
berupa vitur maupun perangkat keras
dan lain sebagainya.
b) Memasuki era millennial masyarakat
cenderung menggunakan smartphone,
sehingga layanan digital teknologi
sebaiknya mengarah ke penggunaan
vitur aplikasi smartphone.
c) Mengetahui kadar kemampuan
karyawan yang akan mengoperasikan,
karena akan menjadi kesia-siaan
setelah tersedia layanan pendukung
seperti digital teknologi namun
kurang atau bahkan tidak ada sama
sekali yang mampu
mengoperasikannya.
d) Mempriotaskan keperluan yang
paling urgent dibandingkan hanya
mengikuti trend yang ada.
e) Sesuaikan dengan budget, bila harus
mengundang investor demi
menaikkan modal maka ketelitian
pengembalian bagi hasil dan nilai
harus di pelajari dengan matang.
f) Analisis dampak terhadap
pengambilan keputusan tersebut.
g) Mengenali lingkungan internal dan
eksternal perusahaan
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
153
Perkembangan tentang lembaga
keuangan bukan bank syariah
mengalami peningkatan yang cukup
signifikan baik market share maupun
asset yang cukup menggembirkan.
Namun, hal itu harus terus diupayakan
dan didukung oleh berbagai
pengembangan sebagai pemantik untuk
memaksimalkan peran IKNB dalam
mendukung kemajuan industry ekonomi,
utamanya peran dalam meningkatkan
ekonomi masyarakat.
Mengingat peran dari industry
keuangan non bank syariah (IKNB)
sangat urgent, masalah pundamental
yang dihadapi Negara adalah tingkat
masalah pengagguran. Pada tahun 2020
perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan angka pengagguran pada
jumlah sekitar 6,88 juta orang, terjadi
kenaikan sejak tahun 2019 6,82 juta
orang, terjadi selisih kenaikan sekitar
0,08 juta orang.
Keadaan perhitungan ini belum
memasuki saat masa pandemic wabah
virus covid 19. Yang banyak
menghantam bisnis sector jasa seperti
hotel, penginapan, restoran, Mall, grab,
gojek, sopir taksi, bahkan Usaha Mikro
Kecil Menengah, dan lain sebagainya.
Mengikuti protocol kesehatan,
mengurangi aktivitas physical distancing
untuk memutus rantai virus penularan
wabah tersebut menjadi salah satu
pemicu mengurangi aktivitas jual beli
masyarakat dan kegiatan ekonomi
lainnya.
Kekhawatiran bila terjadi lonjakan
kenaikan jumlah pengangguran karena
banyaknya usaha UMKM yang tutup,
kemudian sejumlah usaha yang
melakukan perampingan dan
pengurangan tenaga kerja, dan yang
paling tidak diharapkan adalah ramainya
persahaan yang melakukan PHK. Asumsi
mereka untuk menjaga stabilnya
perusahaan dan keadaan perusahaannya,
juga kurangnya income saat pandemic
seperti saat ini, sulit memenuhi
kewajiban dan likuiditas perusahaan.
Masalah pengangguran dan
kemiskinan memiliki keterhubungan
yang sangat signifikan, karena pemicu
dari lahirnya kemiskinan adalah masalah
tidak terselesaikannya pengangguran.
Sehingga bila dari masa ke masa tidak
meiliki jalan keluar sebagai win-win
solution. Bisa saja melahirkan angka
kemiskinan selanjutnya.
Masalah selanjutnya adalah terkait
kemikinan. Sekalipun dalam Islam
dipahami bahwa tidak untuk
menghilangkan atau menghapuskan
kemiskinan karena sudah merupakan
sunnatullah, logikanya ada orang yang
bekerja bahkan siang dan malam, namun
dengan penghidupan dan taraf hidup
masih dibawah garis kemiskinan,
sekaligus ujian kepada manusia untuk
menyikapinya. Namun, dalam hal ini
asumsinya bahwa diupayakan unuk
meminimalkan jumlah kemiskinan
karena efek dari kemiskinan bagi
berkehidupan bermasyarakat sangat
besar.
Pada perhitungan jumlah orang
miskin menurut Badan Pusat Statistik
(BPS) sekitar 24,79 juta orang sejak
Bulan September akhir tahun 2019.
Meskipun hanya sekitar 9,22 persen dari
total jumlah penduduk yang sekitar
269,6 juta jiwa. Angka tersebut masih
sangat besar, sehingga memerlukan
alternatif solusi agar masyarakat miskin
dapat meningkatkan pendapatannya
demi kesejahteraan bersama dengan
kisaran pendapatan di Indonesia rata-
rata US$ 3.452 dalam setahun per orang.
Pengagguran dan Kemiskinan
merupakan dua hal yang masih sangat
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
154
memerlukan solusinya untuk memotong
rantai tersebut. Kedua hal tersebut
sangat rentang untuk memicu masalah
seperti kecemburuan social. Sehingga
masukan bagi pemerintah untuk terus
memantau keadaan pengangguran dan
kemiskinan memasuki perekonomian
seperti saat ini.
Tantangan lain keadaan saat ini
terutama anak jaman now adalah
pembinaan dan pemberian literasi secara
dini pentingnya penggunaan gadget dan
smartphone untuk penggunannya sesuai
dengan pemanfaatannya yang tepat
secara dini. Regenerasi kita akan rusak
kalau kita tidak selektif untuk mengatur
dan me;akukan pengawasan terhadap
anak-anak. Jika penggunaan alat tersebut
hanya untuk game, bahkan kadang
hampir lupa belajar. Ditambah lagi
dengan pembelajaran via daring
mengharuskan hampir tiap siswa untk
memiliki gadget. Namun, bila sebagai
orang tua siswa dan guru lengah untuk
melakukan pengawasan maka merka
hanya akan lebih banyak untuk bermain-
main dan berkutat pada permainan-
permainan yang dipersiapkan oleh
pabrikan smarphone tersebut. Dengan
kata lain smartphone yang pintar tetapi
siswanya yang lupa dengan pelajarannya.
Sungguh sangat ironi bila hal demikian
berlarut-larut.
Bila terbiarkan maka bangsa kita
seolah hanya menjadi pengguna, bangsa
yang konsumtif. Keadaan demikian jelas
akan di manfaatkan oleh produsen
bangsa-bangsa asing untuk semakin
membuat fitur game yang memanjakan
penggunanya. Indonesia lagi-lagi menjadi
sasaran empuk, Negara-negara produsen
tersebut telah memasang kacamata
mereka, mensorot, bangsa ini sebagai
bangsa tempat memasarkan produk-
produk impornya. Manfaat dan
keuntungan jelas akan mengalir ke
Negara mereka. Sementara regenerasi
kita semakin terbiarkan dan sulit untuk
bersaing terutama dikancah
internasional, tidak ada lagi waktu
belajar, membaca, sosialisasi, semua
terenggut oleh alat tersebut. Untuk itu
semua harus berpartipasi aktif untuk
memberikan literasi penggunaan alat-
alat teknologi seperti smartphone
dengan pemanfaatan yang tepat, baik
dan benar.
Peran semua sector sangat
diharapkan baik lembaga milik
pemerintah ataupun milik swasta
bahkan masyarakat termasuk praktisi
dan akademisi untuk memberikan
sumbangsih demi menciptakan
perekonomian yang sehat dan demi
kesejahteraan bersama. Salah satu
lembaga sebagai Lembaga Jasa Keuangan
Non Bank Syariah dengan keberadaanya
patut untuk diapresiasi, melalui
fungsinya untuk mewadahi masyarakat
dalam permasalahan layanan keuangan
sudah selayaknya di pertahankan dan
dikembangkan secara bersama-sama.
Beberapa fungsi yang bisa disebutkan,
antaralain:
(a) Lembaga yang menjadi wadah
mengumpulkan dan menyalurkan
dana kepada masyarakat
(b) Menciptakan iklim investasi dari
masyarakat yang surplus dana
kepada masyarakat yang
membutuhkan dana untuk
melakukan usaha.
(c) Membantu pemerintah menciptakan
lapangan kerja baik secara langsung
maupun pemberian pembiayaan
atau investasi permodalan kepada
masyarakat.
(d) Termasuk institusi yang banyak
menyerap tenaga kerja sehingga
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
155
perannya sangat urgen untuk
mengurangi jumlah tenaga kerja
(e) Menjadi lembaga yang menjamin
asset masyarakat diinvestasikan
pada sector industry halal sesuai
dengan prinsip syariah dan berada
dibawah naungan pengawasan
Dewan Syariah Nasional (DSN) serta
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Semua fungsi yang disebutkan
masih sangat minim dan masih banyak
fungsi lainnya, karena bila dibandingkan
dengan manfaat yang dirasakan oleh
masyarakat yang sangat besar. Terutama
untuk penciptaan kerja dan peningkatan
kesejahteraan bersama. Yang masih
banyak kalangan yang menganggap
bahwa di Indonesia mash terjadi gap
antara sikaya dan simiskin. Sehingga
hadirnnya lembaga keuangan bukan
bank syariah dengan fungsi keberadaan
menjadi wadah yang menjadi istrumen
perokonomian semakin membaik
kemudian dari sisi lain fungsi
silaturahmi, rasa persaudaraan serta
persatuan dan kesatuan bangsa semakin
terjaga. Untuk itu pengoptimalan fungsi
dari lembaga keuangan bukan bank
syarih terutama penggunaan layanan
utama digital teknologi, harus terus
diupayakan untuk menyongsong era
baru melewati covid 19 menujuju era
disrupsi bersama generasi millennial.
4.2 Pembahasan
Analisis kualitas perusahaan dalam
penerimaan suatu keputusan sangat
diperlukan bisa saja didasarkan pada
kinerja perusahaan, karena kinerja yang
merujuk kepada gambaran prestasi
perusahaan selama kurun periode
tertentu. Tentu terkait dengan prestasi,
kualitas, ada berbagai porsi yang bisa
dinilai, sejauh mana perusahaan pada
bagian tersebut terkait dengan
kualitasnya. Dengan demikian akan
menjadi gambaran yang menjadi dasar
pengambilan keputusan.
Matriks Manajemen Kinerja Perusahaan
Sumber: Data Diolah, 2020
Menghadapi tantangan mulai dari
fenomena keberadaan layanan teknologi,
perubahan karakter menuju nasabah
millennial, persaingan antar perusahaan,
masalah wabah pademi terkait dengan
lembaga keuangan, termasuk fenomena
era disrupsi saat ini. Lembaga keuangan
syariah non bank harus mampu
mengambil langkah yang cerdas.
Kemampuan manajemen strateginya
untuk menetapkan suatu langkah
keputusan akan sangat mempengaruhi
saat ini dan prospek ke depan institusi
tersebut.
Menurut sondang dalam bukunya
bahwa strategi “Suatu kemampuan
secara cerdas dalam menggunakan dan
mengiplementasikannya asset yang
dimiliki suatu organisasi perusahaan dan
kemampuannya menggunakan secara
efektif dan efisien agar memberikan
dampak positif pada nilai dan
keuntungan perusahaan”. (Sondang,
2012)
Sehingga penting untuk
memberikan masukan yang bisa
dijadikan bahan pertimbangan evaluasi
sekaligus pembanding membangun
strategi pengembangan usaha layanan
lembaga keuangan bukan bank syariah,
antara lain:
Pemasaran Keuangan
Operasional SDM
KINERJA PERUSAHAAN
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
156
a) Melakukan optimalisasi
pengembangan layanan teknologi,
yang bisa menjangkau oleh
masyarakat kalangan dari atas
hingga ke bawah termasuk usaha
mikro kecil dan menengah.
b) Mengajak masyarakat untuk
menggunakan layanan lembaga
keuangan bukan bank syariah
termasuk dalam memobilisasi
dana.
c) Berupaya memberikan layanan
kemudahan bagi usaha masyarakat
kecil dan mikro, pelayanan bukan
hanya berpusat di perkotaan tetapi
juga di daerah termasuk pelosok
daerah.
d) Literasi dan sosialisasi pengenalan
fitur layanan terus diupayakan,
karena masyarakat ada yang
mengetahui keberadaan layanan
lembaga keuangan, namun tidak
bisa membedakan mana yang
layanan syariah mana yang
konvensional termasuk kalangan
pelajar.
e) Banyak melakukan literasi dan
pengenalan pada fitur layanan yang
ada kaitannya dengan google,
karena hampir semua anak-anak
millennial, termasuk di youtube,
facebook, instagram dan social
media lainnya.
f) Memasuki era disrupsi
perkembangan lembaga keuangan
syariah harus terus diupayakan,
dengan terus beradaftasi
mengenali keadaan dan
bertransformasi sesuai dengan
tingkat kebutuhan saat ini.
g) Mengkolaborasikan layanan
berupa fitur-fitur dengan
kerjasama dengan perusahaan lain,
kerjasama dengan fintech,
perusahaan jasa penerbangan,
menjadi sponsor, atau
berkolaborasi dengan sesama
lembaga keuangan syariah
Beragamnya tantangan yang
dihadapi lembaga keuangan syariah
patut untuk setiap pemerhati menyadari
kontribusi masukan agar bisa dijadikan
alternative atau bahan evaluasi lembaga
keuangan bukan bank syariah dalam
menghadapi tantangan. Yang sudah
menjadi keharusan untuk dilalui,
hanyalah perusahaan-perusahaan yang
memiliki manajemen yang bagus dengan
berbagai penerapan strategi berkualitas
yang akan mampu berkembang,
bertahan dan bersaing. Manajemen
perusahaan yang asal-asalan, produk
yang tidak teruji dengan standarnya,
ditambah pemasaran yang kurang bagus
serta pendukung utama layanan yang
kurang memuaskan nasabah, maka
perusahaan akan sulit bersaing bahkan
seperti menunggu karamnya perusahaan
layanan jasa keuangan tersebut.
Menurut G.R. Terry defenisi
manajemen kurang lebih penjelasannya
yaitu “Manajemen merupakan sebentuk
proses tindakan yang secara khusus
melakukan fungsi manajemen
(perencanaan, pengorganisasian,
pengawasan dan pelaksanaan), dalam
mencapai suatu sasaran yang telah
ditentukan bersama dengan pengelolaan
sumberdaya manusia” (Terry, 2014).
Perusahaan yang memiliki Sumber
Daya Manusia yang berkualitas dengan
menerapkan fungsi sebagaimana
mestinya, maka perusahaan akan
memiliki manajemen yang kuat dan
memiliki kapasitas yang bisa diandalkan.
Dari penjelasan di atas maka dapat
dibagi manajemen, sebagai berikut:
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
157
Pola Bagian Manajemen
Sumber: Data Diolah, 2020
Bahwa dalam perusahaan
membutuhkan pemimpin yang memiliki
visioner. Ketika pemimimpin tidak jelas
maka perusahaan juga akan rapuh,
mudah mengalami permasalahan.
Bahkan menurut ungkapan bahwa: “Di
bawah pemimpin yang baik sekalipun
dengan bawahan yang memiliki
keterbatasan akan tetap ada manfaatnya.
Tetapi di bawah pemimpin yang buruk,
anak buah yang berkualitas sekalipun
sulit untuk berkembang”.
Sebenarnya banyak orang yang
bisa menjadi pimpinan namun tidak
semua orang bisa menjadi pemimpin.
Seorang pemimpin harus bisa
memberikan contoh memimpin yang
baik. Karena tanggung jawab yang ia
emban, kepada bawahan, perusahaan
dan dirinya sendiri. Ada amanah dan
kepercayaan yang orang lain terhadap
diri seorang pemimpin. Terutama bila
berbicara tentang perusahaan.
Pengelolaan sumberdaya menjadi
salah satu hal yang paling urgent.
Manajemennya harus bagus sesuai
dengan fungsi staffingnya (posisi yang
dibutuhkan). Karena bila Sumber Daya
Manusianya sesuai dengan tingkat
kebutuhan maka pada prinsip sumber
daya bahwa “the righ man on the right
place”, tepat berjalan sesuai dengan
tingkat kebutuhan dan pada posisinya.
Sehebat apapun yang namanya kemajuan
digital teknologi manusia tetap menjadi
pengendalinya.
Pada perusahaan selain dari
pimpinan terdapat bawahan, seorang
pimpinanlah yang memiliki pengaruh
besar untuk mengarahkan kemana
bawahannya, untuk mencapai tujuan
yang dibangun berdasarkan visi misi
yang telah terbangun, melalui kerja sama
yang akurat. Satu sama lain saling
menopang dan saling mendukung. Agar
perusahaan menemukan kualitas
manajemennya yang bagus. Manajemen
yang selalu berusaha untuk focus
terhadap tujuan organisasi dan berupaya
menghindarkan dari segala
kemungkinan risiko.
Risiko sebagai suatu keadaan
ketidakpastian, yang pada intinya suatu
keadaan yang tidak dikehendaki oleh
manajmen perusahaan, sehingga dalam
suatu pendefenisian tentang manajemen
risiko terkait dengan suatu metode yang
logis namun terstruktur secara
sistematik untuk dilakukan identifikasi,
penentuan maneuver dalam bersikap,
Pemimpin
Bawahan
Kerjasama
Tujuan
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
158
menentukan solusi terbaik, serta
pembelakukan evaluasi yang selalu
dimonitoring dan dilakukan proses
pelaporan risiko yang terkait dengan
aktivitas. (Veithzal Rivai, 2013)
Manajemen perusahaan yang bagus
adalah manajemen yang mampu
mengelola risiko, karena pada dasarnya
tidak semua risiko bisa untuk dihindari,
tetapi yang terpenting adalah
kemampuan untuk mengelola risiko
tersebut. terutama dalam lembaga
keuangan bukan bank syariah.
Keberadaan lembaga tersebut memang
selalu berdiri dan berhadapan dengan
risiko, tanggungjawab sangat besar,
terutama dalam layanan jasa keuangan
ada amanah, kepercayaan, tanggung
jawab dan reputasi yang dipertaruhkan.
Kemanfaatan manajemen risiko
berbicara terkait dengan kuangan akan
menjadi suatu arah dalam mengatur
langkah strategis untuk meningkatkan
tingkat keamanan perekonomian,
melalui suatu prosedur penerapan yang
dikomunikasikan secara
berkesinambungan dan berkelanjutan
dengan kebijakan manajemen, pemilihan
alternatif terbaik dengan analisis secara
komprehensif, kuantifikasi keuangan
untuk mengurangi sejumlah dampak
yang mengancam sisi perekonomian.
(Inna Koro, 2018)
Salah satu contoh dalam lembaga
keuangan seperti pasar modal syariah,
melalui dana yang diperoleh dari
masyarakat harus dikelola dengan baik,
dengan kemudian menempatkannnya
pada sejumlah investasi. Kapan dana
tersebut dikelola dengan tidak baik maka
kepercayaan orang yang
menginvestasikan dananya tidak akan
percaya terhadap pasar modal syariah
tersebut. Sekali berbuat kesalahan dan
tidak bisa dipertanggungnjawabkan
maka setelah itu masyarakat akan sulit
memberikan amanahnya lagi. Sehingga
ini sangat berisiko namun peluang untuk
memperoleh pengembalian juga cukup
tinggi, Seperti ungkapan high risk high
ritten”. Manajemen harus pandai untuk
mengelola perusahaan, melakukan
sosialisasi, termasuk karena ini bebasis
syariah maka suka dengan keuantungan
tetapi juga harus bersiap mengalami
kerugian.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
159
Jenis Risiko Menurut Sifat
Sumber: Data Diolah, 2020
Berdasarkan jenis risiko tersebut
mengimformasikan betapa kompletnya
risiko yang mengintai, semua bisa
menghantam kapan saja sebuah lembaga
keuangan syariah. Risiko tidak saja
terkait dengan masalah financial, tetapi
disepanjang itu rupanya ada berbagai
risiko bahkan risiko bersifat risiko non
financial. Bahkan kadangkala risiko
antara satu dengan risiko lainnya
memiliki keterhubungan yang erat.
Sehingga manajemen lembaga keuangan
bukan bank syariah tidak boleh
memandang remeh sekecil apapun risiko
tersebut yang akan diakibatkan.
Kemudian tidak menutup
kemungkinan jenis risiko yang
disebutkan masih ada risiko lain yang
tidak disebutkan dan bisa saja muncul.
Risiko yang terbiarkan dan didiamkan
saja bisa saja berakibat besar, oleh
karena itu, sedini mungkin manajemen
lembaga harus melakukan antisifasi
sebagai bentuk lindung nilai terhadap
lembaga dan orang-orang yang memiliki
hubungan dengan organisasi termasuk
nasabah.
Nasabah harus diperlakuakan
dengan baik, bahkan termasuk untuk
jaminan keamanan baik berupa asset
yang ada di lembaga tersebut, maupun
data nasabah harus terlindungi dengan
baik, jangan sampai ada yang
memanfaatkan untuk hal-hal yang tidak
diinginkan. Keamanan dan kenyamanan
nasabah harus menjadi prioritas layanan
pada suatu lembaga keuangan termasuk
lembaga keuangan syariah. Karena kunci
dari terlaksananya layanan jasa
keuangan ada pada dua hal tersebut.
Searah dengan langkah yang akan
diambil terkait dengan strategi
pengembangan , risiko yang juga
menghadang, untuk lebih
mempermantap keadaan lembaga
keuangan bukan bank syaraiah, ada
beberapa masukan pertimbangan, antara
lain:
Pertama, maraknya persaingan
layanan teknologi digital, maka sebelum
Risiko Financial
Risiko Likuiditas
Pasar
Kredit/
Pembiayaan
Risiko Non Financial
Risiko Reputasi
Strategi
Hukum
Operasional
Kepatuhan
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
160
isntitusi lembaga keuangan bukan bank
syariah melakukan investasi terkait
dengan pengadaan layanan teknologi
digital, tentunya membutuhkan modal,
sehingga pastikan kemampuan dana
menyanggupi, terutama kemampuan
likuiditas dan kewajibannya. Saat
keadaan seperti ini misal pandemic
belum berakhir, orang cenderung
menahan investasi karena aktivitas
masyarakat lebih banyak di rumah,
sehingga aktivitas usaha juga cenderung
berkurang, bahkan harus diwaspadai
penarikan dana nasabah atau investor,
untuk itu harus diperhatikan saldo
jangan sampai intitusi kesulitan
memenuhi penarikan.
Kedua, bila mengharuskan untuk
menambah kewajiban (utang)
pertimbangan dengan mengusahakan
biaya yang kecil agar institusi dapat
meningkatkan nilai perusahaan dan tidak
terlalu terbebani, usahakan strukur
modal dalam keadaan balance dan
proporsional.
Ketiga, semakin berkembangnya
teknologi maka semakin berkembang
pula risiko, terutama terkait risiko cyber
crime terkait kejahatan dunia maya era
disrupsi saat ini, termasuk pembobolan,
peretasan, pencurian akun data nasabah.
Sehingga pihak intitusi tidak hanya
berkonsentrasi pada perlombaan
pengadaan layanan digital teknologi,
tetapi persiapan kemampuan untuk
melakukan hedging terhadap risiko
penggunaan teknologi dan perlindungan
data nasabah.
Untuk itu sesuai dengan arahan
dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) No. 1/POJK.05/2015 maka wajib
untuk melakukan penerapan manajemen
risiko, aturan tersebut terutama
diperuntukkan bagi Lembaga Jasa
Keuangan Non Bank Syariah, bahwa:
“LJKNB wajib menerapkan Manajemen
Risiko secara efektif”.
Berbicara terkait dengan risiko
tidak semua bisa dihindari, terutama
lembaga keuangan jasa sangat lekat
dengan risiko. Untuk itu patut untuk
melakukan strategi untuk mengelola
risiko. Berbagai pengalaman
menunjukkan justru pengelolaan risiko
yang cerdas akan membawa pada
peluang memperoleh profit dan
peningkatan nilai perusahaan. Ketelitian
sangat dibutuhkan dengan tidak
membuat suatu keputusan yang ceroboh
dan sembrono.
Pengelolaan manajemen risiko
dalam pengembangan lembaga keuangan
bukan bank syariah, dapat dilakukan
dengan proses seperti berikut ini:
(a) Proses identifikasi risiko sebagai
suatu langkah mengetahui dan
memahami betul risiko yang
dihadapi terkait dengan kegiatan
dalam melakukan langkah dan
keputusan baik individu maupun
manajemen perusahaan. Langkah
awal ini pula sudah bisa
dikofikasikan jenis risiko yang
mengintai apakah risiko berbentuk
financial atau non financial, bahkan
bisa saja keduanya menghadang.
(b) Penilaian Risiko pada kegiatan ini
melakukan penilaian untuk
membantu institusi lembaga dalam
menghadapi risiko untuk melakukan
upaya pengontrolan kemudian
melakukan pengawasan untuk
meminimalisir kemungkinan risiko
tersebut.
(c) Tahap Evaluasi Risiko, aktivitas ini
menjadi salah satu bagian yang
terpenting terkait dengan perlakuan
dan keputusan yang prioritas terkait
dengan hasil analisa penilaian risiko.
Keputusan ini akan menyikapi
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
161
terutama untuk langkah analisa
selanjutnya.
(d) Pengelolaan risiko merupakan
aktivitas mengelola strategi
manajemen risiko terkait dengan
sikap dan tindakan yang didasarkan
pada teknik kemampuan terstruktur
dalam menghadapi ketidakpastian,
sikap yang ditunjukkan dengan
strategi manajemen risiko berupa
menghindari risiko, mengalihkan,
mentransfer risiko, atau tindakan
lain untuk meminimalkan akibat
yang tidak diharapkan dari risiko
tersebut.
5. PENUTUP
5.1 Simpulan
Memahami kebutuhan saat ini pada
dasarnya untuk bisa melakukan
pelayanan secara maksimal maka
perkembangan layanan digital teknologi
sangat menjadi prioritas. Namun
dibutuhkan pertimbangan yang matang
dalam penyediaan alat digital tersebut.
Strategi manajemen risiko sangat
dibutuhkan untuk memagari dan
melindungi pengguna dan lembaga
keuangan bukan bank syariah.
Bahwa asumsi jika tidak memilki
kesiapan untuk menyediakan fasilitas
layanan teknologi maka akan tertinggal
dengan pesaing utamnya penyedia jasa
keuangan, mengingat selama beberapa
dekade ke depan kebutuhan layanan
teknologi sangat urgent karena
mayoritas pengguna jasa keuangan
mayoritas oleh kaum millennial.
Sedangkan anak millennial sangat
familiar bahkan memiliki
ketergantungan dengan digital teknologi
seperti penggunaan internet dan
smartphone.
Jika pihak manajemen lembaga
keuangan bukan bank syariah mampu
untuk melakuan tindakan tersebut maka
harus mempersiapkan modal. Sehingga
dibutuhkan perhitungan keperluan
modal yang proporsional, kemudian
kemampuan memenuhi likuiditas baik
jangka pendek maupun jangka panjang,
termasuk struktur modal harus terus
diperhatikan agar tetap balance.
Sekalipun pihak manajemen lembaga
mampu untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, bukan berarti lembaga tersebut
telah terlepas dari kemungkinan risiko,
karena semakin kompleksnya risiko yang
ada termasuk penyalahgunaan layanan
teknologi tersebut oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab meretas demi
mendapatkan terutama saldo nasabah
dan perbankan itu sediri, sehingga
manajemen risiko sangat dibutuhkan
searah dengan pengembangan layanan
melaui teknologi digital.
5.2 Saran
Layanan digital teknologi telah
menjadi kebutuhan utama saat ini,
mengingat kita memasuki era disrupsi
dengan generasi millennial sebagai
pengguna hampir disemua sector yang
strategi tidak terkecuali dalam lembaga
keuangan bukan bank syariah.
Persaingan saat ini telah mengarah ke
sector pelayanan digital termasuk
lembaga keuangan pada umumnya.
Bahkan sector swastapun ikut menjadi
pesaing saat ini dalam sector jasa
keuangan. Oleh karena itu ada beberapa
yang menjadi saran masukan dalam
pengambilan kebijakan, yaitu:
5.3 Bidang Akademik
1) Rekomendasi bagi yang hendak
melakukan penelitian yang memiliki
hubungan dengan tulisan ini
utamanya dalam dunia kampus,
sebaiknya melakukan penelitian
dengan menggunakan mix metod
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
162
baik dengan metode kualitif dan
kuantitatif dengan demikian
diharapkan akan memperoleh hasil
yang lebih komprehensif dan valid
serta terkesan objektif.
2) Pemerintah dan pihak manajemen
lembaga keuangan bukan bank
syariah banyak melakukan
sosialisasi dan literasi di dunia
kampus dan sekolah. Agar secara
lebih dini mereka memahami
keberadaan lembaga keuangan
tersebut.
5.4 Tindak lanjut nyata
1) Untuk kelanjutan tulisan ini agar
setiap individu dan pihak manajemen
yang memiliki keterkaitan dengan
lembaga keuangan bukan bank
syariah merespon betapa pentingnya
penerapan digital teknologi namun
dengan konsep pengawasan berupa
strategi Manajemen Risiko, agar dapat
melakukan lindung nilai risiko
terhadap pengguna dan efek dari
layanan yang saat ini dengan perlahan
tapi pasti terbebas dari keadaan
wabah virus covid 19 dengan
pengguna layanan jasa keuangan
mayoritas generasi millennial
memasuki era disrupsi.
2) Membangun konsep dan mindset bagi
masyarakat Indonesia utamanya anak
jaman millennial untuk Cinta produk
dalam negeri. Bangga menggunakan
produk yang ciptaan anak negeri
bangsa sendiri. Bukan malah
sebaliknya lebih menyukai oleh
produk luar negeri termasuk layanan
jasa keuangan bukan bank syariah,
utamanya dalam memobilisasi dana.
3) Lembaga keuangan bukan bank
syariah jangan hanya berfokus
pengembangan usaha di kota saja
tetapi juga di pedesaan.
4) Usahakan di dunia pendidkan
utamanya kampus dan sekolah
memiliki layanan lembaga keuangan
syariah bukan bank seperti gallery
saham syariah, pasar modal syariah,
dan lain-lain. Agar mereka bisa
melakukan praktek secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Qarim
Danupranata, Gita, 2013, Manajemen Perbanakan Syariah, Jakarta:Salemba Empat.
Davis, Fred D., Richard P. Bagozzi dan Paul R. Warshaw, “User Acceptance of Computer Technology: A Comparison of TwoTheoretical Models,” Management Science, Vol. 35, No. 8, August 1989.
Fahmi, Irham, 2010, Manajemen Risiko: Teori, Kasus, dan Solusi, Bandung: Alfabeta.
Hanafi, Mamduh, 2011, Managemen, Yogyakarta: STIM YKPN.
Koro, Inna, Anastasiya Poltorak, 2018, “Financial Risk Management As A Strategic Direction For Improving The Level Of Economic Security Of The State”, Baltic Journal of Economic Studies, Vol. 4, No. 1, DOI: https://doi.org/10.30525/2256-0742/2018-4-1-235-241
Muhlis, Damirah, 2018, Strategi Optimalisasi Manajemen Pengelolaan KJKS BMT Al Markaz Al Islami Makassar, Laporan Hasil penelitian, N0. SK Rektor IAIN Parepare No. 51
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 1/POJK.05/2015
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/ Tahun 2016
Rivai, Veithzal dan Rifki Ismail, 2013, Islamic Risk Management for
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
163
Islamic Bank, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Siagian, Sondang P., 2012, Manajemen Stratejik, cetakan ke 10, Jakarta: Percetakan Bumi Aksara
Siswadi, Lembaga Keuangan Syari’ah Non Bank BMT (Baitul Mal Wat Tamwil) Tawaran Bebas Aqad Yang Dilarang Dalam Syari’at Islam, Jurnal Ummul Qura Vol VI, No 2, September 2015.
Soemitra, Andri, 2010, Bank Dan Lembaga Keuangan Shari’ah, Jakarta: Kencana.
Sulistiyono, Seno Tri, 2019, KEIN: Dorong UMKM Naik Kelas Agar RI Keluar dari Jebakan Pertumbuhan 5 Persen, dalam www.tribunnews.com
Taufiqurokhman, 2016, Manajemen Strategik, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama.
Terry, G.R. dan Leslie W. Rue, 2014, “Dasar-dasar Manajemen”, Jakarta : Bumi Aksara
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
164
PRINSIP-PRINSIP DASAR EKONOMI ISLAM DALAM BISNIS
Syahidah Rahmah Universitas Muhammadiyah Makassar
Email : [email protected]
Abstract
This research aims to look at the concepts of Islamic ethics and basic principles (basic principles) which are based on the values of the Koran which are directed to raise moral values related to the prevention of actions that are not in accordance with the teachings of Islamic law. Using qualitative research methods with data analysis techniques for results and discussion using library research (Library Research) by collecting, reading and browsing a number of books that are used as references. The results show that some of the right concepts to be used in Islamic business ethics to raise moral values according to the teachings of Islamic law are to understand very well the concepts of property and ownership, the concept of wealth distribution, the concept of work and business, and the concept of Halal and Haram.
Keywords : Islamic economics, concept of business ethics, Islamic business ethics.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep-konsep etika bisnis islam serta prinsip-prinsip dasar (basic tenets) yang berlandaskan nilai-nilai Alquran yang diarahkan untuk lebih mengangkat nilai-nilai moral yang berkaitan dengan pencegahan atas tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam. Menggunakan metode penelitian yang bersifat Kualitatif dengan Teknik pengumpulan data untuk hasil dan pembahasan dilakukan dengan menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan mengumpulkan, membaca dan menelusuri sejumlah buku-buku yang dijadikan sebagai referensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa konsep yang tepat untuk digunakan dalam etika bisnis islam untuk mengangkat nilai-nilai moral sesuai ajaran syariat islam adalah dengan memahami betul mengenai konsep harta dan kepemilikan, Konsep distribusi kekayaan, Konsep kerja dan bisnis, serta Konsep mengenai Halal dan Haram.
Kata Kunci : Ekonomi islam, konsep etika bisnis, etika bisnis islam.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
165
1. PENDAHULUAN
Bisnis adalah aktivitas ekonomi
manusia yang bertujuan mencari laba
semata. Oleh karena itu, cara apapun
boleh dilakukan demi meraih tujuan
tersebut. Sehingga aspek moralitas
tidak dapat dipakai untuk menilai
bisnis. Aspek moralitas dalam bisnis
dianggap akan menghalangi dan
membatasi aktivitas ekonomi. Selain
itu, dalam realitas bisnis kekinian
terdapat kecenderungan bisnis yang
mengabaikan etika. Persaingan dalam
bisnis adalah persaingan kekuatan
modal semata yang akhirnya
menimbulkan praktek korupsi,
nepotisme, dan krisis moneter yang
berkepanjangan di Indonesia.
Etika bisnis Islam muncul ke
permukaan, dengan landasan bahwa
Islam adalah agama yang sempurna.
Islam memiliki kumpulan aturan-
aturan ajaran dan nilai-nilai yang dapat
menghantarkan manusia dalam
menuju kehidupan yang bahagia di
dunia dan akhirat (profit and falah
oriented). Sehingga bisnis dalam Islam
memiliki etika dan prinsip-prinsip
dasar (basic tenets) yang dilakukan
berlandaskan nilai-nilai Alquran.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan
adalah penelitian yang bersifat
Kualitatif. Teknik pengumpulan data
untuk hasil dan pembahasan dilakukan
dengan menggunakan penelitian
kepustakaan (Library Research)
dengan mengumpulkan, membaca dan
menelusuri sejumlah buku-buku yang
dijadikan sebagai referensi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa konsep yang diarahkan
untuk lebih mengangkat nilai-nilai
moral yang berkaitan dengan
pencegahan atas tindakan yang tidak
sesuai dengan ajaran syariat Islam
antara lain:
1. Konsep Harta Dan Kepemilikan
Secara etimologis, harta dalam
bahasa Arab disebut amwa>l yang
merupakan bentuk jamak dari
ma>l, yang berasal dari kata ma>la-
yami>lu yang berarti condong atau
cenderung. Harta dijadikan yang
membuat manusia cenderung baik
materi maupun manfaat.
Kecendrungan pada harta didorong
oleh pemenuhan kebutuhan dan
pemuasan keinginan.1
Harta atau al-mal berarti
condong, cenderung, dan miring.
Olehnya itu manusia cendering
ingin memiliki dan menguasai
harta.2 Harta juga merupakan
sesuatu yang dibutuhkan dan
diperoleh manusia itu sendiri.3
Dalam istilah ilmu fikih, dinyatakan
oleh kalangan Hanafiah bahwa
harta itu adalah sesuatu yang
digandrungi oleh tabiat manusia
dan mungkin disimpan untuk
digunakan saat dibutuhkan. Namun
harta tersebut tidak akan bernilai
kecuali hal tersebut telah
diperbolehkan menggunakannya
secara syariat.4
Menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES), harta
(amwa>l) adalah benda yang dapat
dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan
1Asep Saefuddin Jahak, dkk., Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis (Jakarta: Kencana, 2013), h. 232.
2Rahmat Syafei, Fikih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 21-22.
3Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz IV (Damaskus, Da>r al-Fikr, 1989), h. 40.
4Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah (Cet. XIII; Jakarta: Kencana, 2013), h. 3.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
166
dialihkan baik benda beruwujud5
maupun benda tidak berwujud,6
baik terdaftar7 maupun tidak
terdaftar,8 baik benda bergerak9
maupun benda tidak bergerak10
dalam hak yang mempunyai nilai
ekonomis.11
Terkait dengan hak terhadap
harta dapat dijelaskan sebagai
berikut :12
1. Harta milik Allah
Pada dasarnya semua harta
pemilik mutlaknya adalah Allah
Swt., sedangkan manusia diberikan
kesempatan memilikinya hanya
bersifat sementara.
2. Harta Individu (pribadi)
Dalam ekonomi Islam
mengakui kepemilikan individu,
dengan satu konsep khusus, yakni
konsep khilafah. Bahwa manusia
adalah khalifah di muka bumi yang
5Benda berwujud adalah segala sesuatu yang dapat dilihat oleh indera. Lihat Pasal 1 ayat (10) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
6Benda tidak berwujud adalah segala seseuatu yang tidak dapat dilihat oleh indera. Pasal 1 ayat (11) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
7Benda terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan warkat yang dikeluarkan oleh institusi yang berwenang. Pasal 1 ayat (14) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
8 Benda tidak terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya berdasarkan alat bukti pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak. Pasal 1 ayat (15) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
9Benda bergerak adalah segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Pasal 1 ayat (12) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
10Benda tidak bergerak adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya ditentukan oleh undang-undang. Pasal 1 ayat (13) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
11Pasal 1 ayat (9) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
12Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, h. 5-6.
diberi kekuasaan dalam mengelola
dan memanfaatkan segala isi bumi
dengan syarat sesuai dengan segala
aturan dari Pencipta harta itu
sendiri. Harta dinyatakan sebagai
milik manusia, sebagai hasil
usahanya. Al-Qur’an menggunakan
istilah al-milku dan al-kasbu untuk
menunjukkan adanya kepemilikan
individu ini. Dengan pengakuan
hak milik perseorangan ini, Islam
juga menjamin keselamatan harta
dan perlindungan harta secara
hukum.
3. Harta milik bersama
Islam juga mengakui adanya
kepemilikan bersama (syirkah)
dan kepemilikan negara.
Kepemilikan bersama diakui pada
bentuk-bentuk kerjasama antar
manusia yang bermanfaat bagi
kedua belah pihak dan atas
kerelaan bersama. Kepemilikan
Negara diakui pada asset-asset
penting (terutama sumber daya
alam) yang pengelolaannya atau
pemanfaatannya tersebut dapat
mempengaruhi kehidupan bangsa
secara keseluruhan.
Adapun kedudukan harta dalam Islam,
antara lain:
a. Harta merupakan amanah dari
Allah Swt.
Harta yang dimiliki manusia
sifatnya merupakan amanah yang
diberikan oleh Allah Swt. kepada
manusia agar dimanfaatkan sebaik-
baiknya. Harta harus dijaga dan
digunakan sesuai dengan syariat
Islam. Manusia harus bekerja keras
untuk mendapatkan harta dan
memanfaatkannya di jalan Allah.
Bumi dan isinya merupakan
amanah dari Allah dan
peruntukannya kepada manusia
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
167
dalam mengemban tugasnya
sebagai khalifah di muka bumi
untuk dimanfaatkan sebesar-
besarnya bagi kesejahteraan umat
manusia. Manusia diberi amanah
untuk mencari-cari harta,
memanfaatkannya lalu kemudian
membelanjakan harta itu di jalan
yang halal.
b. Harta merupakan perhiasan dunia
Islam menganggap kehidupan
ekonomi yang baik sebagai suatu
rangsangan bagi jiwa dan sarana
berhubungan dengan Allah.
Menurut Islam, harta adalah sarana
untuk memperoleh kebaikan,
sedangkan segala sarana untuk
memperoleh kebaikan adalah baik.
Islam tidak mememandang harta
dan kekayaan sebagai penghalang
untuk mencari derajat yang lebih
tinggi kepada Allah Swt.13 Islam
juga menyuruh penganutnya untuk
senantiasa menjaga harta dan
melarang mereka untuk berbuat
mubazir. Alquran justru memuji
manusia yang sederhana dalam
membelanjakan hartanya. Harta
sebagai perhiasan hidup sering
menjadi penyebab munculnya sifat
kesombongan, sifat keangkuhan,
maupun rasa bangga, padahal pada
dasarnya orang yang seperti ini
lupa bahwa sebenarnya harta
hanya merupakan titipan.
c. Harta sebagai ujian dan cobaan
hidup.
Harta bukan hal yang jahat dan
musibah yang sangat berbahaya,
harta bukan pula ukuran untuk
13 Yusuf Qardhawi, Daurul Qiya>m wa Akhla>q fil Iqtishadil Isla>mi, terj. Zainal Arifin, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 2016), h. 58.
menilai seseorang. Mulia atau
hinanya seseorang tidak dinilai
dari harta yang dimilikinya, harta
hanyalah kenikmatan dari Allah
sebagai ujian bagi hamba-Nya,
apakah mereka bersyukur atas
harta itu atau menjadi kufur.
Kelapangan maupun kesempitan
harta merupakan cobaan dari
Tuhan untuk manusia, bukan suatu
hinaan atau pujian. Harta dapat
menghinakan pemiliknya jika ia
berbuat sombong.14 Manusia
hidup di dunia di uji atas tiga hal,
yaitu harta, tahta, dan wanita.
Manusia diuji oleh Allah tnetang
bagaimana cara harta itu diperoleh
dan bagaimana harta itu
digunakan, dan disaat hari
perhitungan maka manusia akan
dimintai pertanggung jawabannya.
d. Harta merupakan bekal ibadah
kepada Allah Swt.
Manusia memerlukan harta
untuk menjalankan ibadah dengan
khusyuk. Tanpa harta manusia
akan mengalami kesulitan dalam
menjalankan ibadahnya.15 Misalnya
pada saat menjalankan ibadah
puasa, bila manusia tidak memiliki
harta, maka sulit baginya untuk
menjalankan ibadah puasa dengan
ikhlas karena akan selalu berpikir
tentang apa yang akan disantap
pada saat berbuka puasa nantinya.
Kepemilikan adalah mewujudkan
kekuasaan pada seseorang terhadap
kekayaan yang dimilikinya dengan
menggunakan mekanisme tertentu
sehingga menjadikan kepemilikan
14 Yusuf Qardhawi, Daurul Qiya>m wa Akhla>q fil Iqtishadil Isla>mi, terj. Zainal Arifin, Norma dan Etika Ekonomi Islam, h. 62-64. 15 Ismail, Perbankan Syariah (Cet.III; Jakarta: Kencana, 2014), h. 8.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
168
tersebut sebagai hak menurut syara’
yang diberikan kepada seseorang.16
Menurut Ibnu Taimiyah tiap individu,
masyarakat, dan negara memiliki hak
atas pemilikan hak milik sesuai dengan
peran yang dimiliki mereka masing-
masing. Hak milik dari ketiga agen
kehidupan ini tidak boleh
menjadikannya sebagai sumber konflik
antara ketiganya. Hak milik
menurutnya adalah sebuah kekuatan
yang didasari atas syariah untuk
menggunakan sebuah objek, tetapi
kekuatan itu sangat bervariasi dalam
bentuk dan jenisnya.17 Kepemilikan
adalah sesuatu yang dimiliki oleh
manusia, baik berupa harta benda
(dzat) atau nilai manfaat.
Dalam pandangan Islam hak milik
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu :18
1. Kepemilikan Individu (private
property).
Kepemilikan individu adalah
ketetapan hukum syara’ yang berlaku
bagi dzat ataupun manfaat (jasa)
tertentu, yang memungkinkan siapa
saja yang mendapatkannya untuk
memanfaatkan barang tersebut, serta
memperoleh kompensasi jika
barangnya diambil kegunaannya oleh
orang lain seperti disewa, ataupun
karena dikonsumsi untuk dihabiskan
dzatnya seperti dibeli dari barang
tersebut.
An-Nabhaniy mengemukakan,
dengan mengkaji secara komprehensif
hukum-hukum syara’ yang
16Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (Cet.1; Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 69.
17Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Depok : Gramata Publishing, 2010), h. 74.
18Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam; Sejarah, Teori, dan Konsep (Cet.I; Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2013), h. 196.
menentukan pemilikan seseorang atas
harta tersebut, maka akan nampak
bahwa sebab-sebab kepemilikan
tersebut terbatas pada lima sebab
berikut ini :
a. Bekerja.
b. Warisan.
c. Kebutuhan akan harta untuk
menyambung hidup.
d. Harta pemberian negara yang
diberikan kepada rakyat.
e. Harta-harta yang diperoleh oleh
seseorang dengan tanpa
mengeluarkan harta atau tenaga
apapun.
Setiap individu memiliki hak untuk
menikmati segala hak miliknya,
menggunakannya secara produktif,
memindahkannya, dan melindunginya
dari pemubaziran. Namun pemilik juga
terkena sejumlah kewajiban tertentu,
seperti membantu dirinya sendiri dan
kerabatnya serta membayar sejumlah
kewajiban.
2. Kepemilikan Umum (collective
property).
Kepemilikan umum adalah izin
syar’i kepada suatu komunitas untuk
sama-sama memanfaatkan benda.
Sedangkan benda-benda yang
termasuk dalam kategori kepemilikan
umum adalah benda-benda yang telah
dinyatakan oleh Allah Swt. dan
Rasulullah Saw. bahwa benda-benda
tersebut untuk suatu komunitas
dimana mereka masing-masing saling
membutuhkan. Berkaitan dengan
pemilikan umum ini, hukum Islam
melarang benda tersebut dikuasai
hanya oleh seseorang saja
Dan pengertian di atas maka benda-
benda yang termasuk dalam kepemilikan
umum dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok :
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
169
a. Benda-benda yang merupakan fasilitas
umum.
Bentuk fasilitas umum adalah apa
saja yang dianggap sebagai
kepentingan manusia secara umum.
Rasulullah Saw. telah menjelaskan
dalam sebuah hadits bagaimana sifat
fasilitas umum tersebut. lbnu Majah
juga meriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda
: “Tiga hal yang tidak akan pernah
dilarang (untuk dimiliki siapapun)
yaitu air, padang rumput, dan api.”
(HR. Ibnu Majah).
b. Bahan tambang yang jumlahnya sangat
besar.
Bahan tambang dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
barang tambang yang sedikit
(terbatas) jumlahnya termasuk milik
pribadi, serta boleh dimiliki secara
pribadi, dan terhadap bahan tambang
tersebut diberlakukan hukum rikaz
(barang temuan), yang darinya harus
dikeluarkan khumus, yakni 1/5
bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang
sangat banyak (hampir tidak terbatas)
jumlahnya, yang tidak mungkin
dihabiskan oleh individu, maka bahan
tambang tersebut termasuk milik
umum (collective property), dan tidak
boleh dimiliki secara pribadi.
c. Benda-benda yang sifat
pembentukannya menghalangi
untuk dimiliki oleh individu secara
perorangan.
Benda yang dapat
dikategorikan sebagai kepemilikan
umum yaitu jalan raya, sungai,
masjid dan fasilitas umum lainnya.
Benda-benda ini dari merupakan
fasilitas umum dan hampir sama
dengan kelompok pertama. Namun
meskipun benda-benda tersebut
seperti jenis yang pertama, tetapi
berbeda dari segi sifatnya, bahwa
benda tersebut tidak bisa dimiliki
oleh individu.
Barang-barang kelompok
pertama dapat dimiliki oleh
individu jika jumlahnya kecil dan
tidak menjadi sumber kebutuhan
suatu komunitas. Misalnya sumur
air, mungkin saja dimiliki oleh
individu, namun jika sumur air
tersebut dibutuhkan oleh suatu
komunitas maka individu tersebut
dilarang memilikinya. Berbeda
dengan jalan raya, mesjid, sungai
dan lain-lain yang memang tidak
mungkin dimiliki oleh individu.
3. Kepemilikan Negara (state property)
Harta-harta yang termasuk milik
negara adalah harta yang merupakan
hak seluruh kaum muslimin yang
pengelolaannya menjadi wewenang
negara, dimana negara dapat
memberikan kepada sebagian warga
negara, sesuai dengan kebijakannya.
Makna pengelolaan oleh negara ini
adalah adanya kekuasaan yang dimiliki
negara untuk mengelolanya semisal
harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan
milik negara pengelolaannya dilakukan
oleh negara, namun ada perbedaan
antara kedua bentuk hak milik
tersebut. Harta yang termasuk milik
umum pada dasamya tidak boleh
diberikan negara kepada siapapun,
meskipun negara dapat membolehkan
kepada orang-orang untuk mengambil
dan memanfaatkannya. Berbeda
dengan hak milik negara dimana
negara berhak untuk memberikan
harta tersebut kepada individu
tertentu sesuai dengan kebijakan
negara.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
170
Harta kekayaan sejatinya adalah
milik Allah Swt. Sedangkan manusia
adalah para hambanya dan kehidupan
di dalamnya manusia bekerja, berkarya
dan membangunnya dengan
menggunakan harta Allah Swt., karena
semua itu adalah milik-Nya, maka
sudah seharusnya harta kekayaan
meskipun terikat dengan nama orang
tertentu dan dimanfaatkan untuk
kepentingan mereka. Allah berfirman:
هو الذي خلق لكم ما في
الرض جميعا
Terjemahnya : Dia-lah Allah yang
menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu … (QS. Al-Baqarah/2: 29.
Dengan begitu, berarti harta kekayaan
memiliki fungsi sosial yang tujuannya
adalah menyejahterakan masyarakat dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta
kemaslahatan-kemaslahatannya. Jadi
dengan begitu, kepemilikan individu di
dalam pandangan Islam merupakan
sebuah fungsi sosial. Syaikh Abu Zahrah
berpandangan, bahwa tidak ada halangan
untuk mengatakan bahwa kepemilikan
adalah fungsi sosial. Akan tetapi harus
diketahui bahwa itu harus berdasarkan
ketentuan Allah Swt. bukan ketentuan para
hakim, karena mereka tidaklah selalu
orang-orang yang adil.
Dari bahasan normatif di atas, akses
ataupun konsekuensi etika dari hak
kepemilikan terhadap harta dalam Islam
mencerminkan beberapa hal berikut:19
a. Pemberlakuan hak kepemilikan
individu pada suatu benda, tidak
menutupi sepenuhnya akan adanya
hak yang sama bagi orang lain.
19Faisal Badroen, dkk., Etika Bisnis dalam Islam
(Cet.III; Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2013), h. 116.
b. Negara mempunyai otoritas
kepemilikan atas individu yang tidak
bertanggung jawab terhadap miliknya.
c. Dalam hak kepemilikan berlaku
sitematika konsep takaful/jaminan
sosial (sesama muslim atau sesama
manusia secara umum).
d. Hak milik umum dapat menjadi hak
milik pribadi (konsep usaha dan niat).
e. Ada hak kepemilikan orang lain dalam
dalam hak kepemilikan harta (konsep
zakat).
2. Konsep Distribusi Kekayaan
Islam juga telah menggariskan
mengenai bagaimana proses dan
mekanisme distribusi kekayaan
diantara seluruh lapisan masyarakat
agar tercipta keadilan dan
kesejahteraan. Instrumen distribusi
income yang dipraktekka pada masa
Rasulullah Saw, yang kemudian
dilanjutkan oleh para sahabat dapat
dilihat dilihat sebagai berikut:20
a. Ghanimah
Ghanimah adalah pendapatan
negara yang didapat dari
kemenangan perang. Penggunaan
uang yang berasal dari ghanimah
ini, ada ketentuannya dalam Al-
Qur'an. Distribusi ghanimah 4/5
diberikan kepada para prajurit
yang bertempur (mujahidin),
sementara 1/5 adalah khums. Jadi,
khums adalah satu seperlima
bagian dari pendapatan
(ghanimah) akibat dari ekspedisi
militer yang dibenarkan oleh
syariah, dan kemudian pos
penerimaan ini dapat digunakan
20Faisal Badroen, dkk., Etika Bisnis dalam Islam, h.
119.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
171
negara sebagain salah satu
program pembangunannya.21
Menurut Abu Yusuf, Ghanimah
adalah segala sesuatu yang
dikuasai oleh kaum Muslim dari
harta orang kafir melalui
peperangan. Dikatakan Abu Yusuf
bahwa ghaminah merupakan
sumber pemasukan Negara.
Pemasukan dari ghanimah tetap
ada dan menjadi bagian yang
penting dalam keuangan publik.
Akan tetapi, karena sifatnya yang
tidak rutin, maka pos ini dapat
digolongkan sebagai pemasukan
yang tidak tetap bagi Negara.22
b. Kharaj
Kharaj atau biasa disebut
dengan pajak bumi/tanah adalah
jenis pajak yang dikenakan pada
tanah yang terutama ditaklukan
oleh kekuatan senjata, terlepas dari
apakah si pemilik itu seorang yang
dibawah umur, seorang dewasa,
seorang bebas, budak, muslim
ataupun tidak beriman.
Kharaj merujuk pada
pendapatan yang diperoleh dari
biaya sewa atas tanah pertanian
dan hutan milik umat. Jika tanah
yang diolah dan kebun buah-
buahan yang dimiliki non-Muslim
jatuh ke tangan orang Islam akibat
kalah perang, aset tersebut
menjadi bagian kekayaan publik
umat. Karena itu, siapapun yang
ingin mengolah lahan tersebut
harus membayar sewa. Pendapatan
dari sewa inilah yang termasuk
dalam lingkup kharaj. Jika orang
21Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h.
119.
22Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h.
72.
non-muslim yang mempunyai
perjanjian damai dan tanah tetap
sebagai miliknya maka membayar
kharaj sebagai pajak bukan sewa.
Jika tanah tersebut jatuh menjadi
milik orang muslim, maka
kharajnya sebagai ongkos sewa
atas tanah tersebut.23
Sumber pendapatan negara
berupa kharaj belum ada pada
masa Rasulullah. Ia mulai digali
pada masa Umar bin al-Khattab.
Kharaj adalah pungutan yang
dikenakan atas bumi atau hasil
bumi.
Dua istilah kharaj dan jizyah
mempunyai arti umum, yaitu pajak
dan mempunyai arti khusus
dimana kharaj berarti pajak bumi
dan jizyah berarti pajak kepala.
Arti khusus yang membedakan
antara keduanya inilah yang ada
pada masa-masa awal Islam. Di
Indonesia kharaj termasuk pada
pajak bumi dan bangunan.
c. Jizyah
Secara terminologi jizyah
adalah penerimaan negara yang
dibayarkan oleh warga non-Muslim
khususnya Ahli Kitab untuk
jaminan perlindungan jiwa,
properti, ibadah, dan bebas dari
kewajiban militer. Pada masa
Rasulullah Saw. besarnya jizyah
adalah satu dinar per tahun untuk
orang dewasa kaum laki-laki yang
mampu untuk membayarnya.
Perempuan, anak-anak, pengemis,
pendeta, orang lanjut usia, orang
gila, dan orang yang menderita
sakit dibebaskan dari kewajiban
ini. Pembayarannya tidak harus
23Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h.
123.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
172
berupa uang tunai, tetapi dapat
juga berupa barang atau jasa.
d. Riqas
Rikaz adalah barang temuan
sebesar 20% dikenakan sebagai
tarif zakat.
e. Dhawa’i
Tanah terlantar, maksudnya
jika tanah itu tidak diketahui
pemiliknya, dan kekayaan yang
ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dan tidak mempunyai
ahli waris.
f. Usyur
Yaitu suatu kebijakan moneter
dalam Islam yang diwajibkan pada
komoditi perdagangan yang
diekspor maupun diimpor dalam
sebuah negara Islam
g. Zakat
Zakat merupakan instrumen
sekuritas sosial yang merupakan
bagian dari integrasi sistem islami
untuk pengentasan kemiskinan
dan distribusi pendapatan
Pemberlakuan aturan dalam
pendistribusian kekayaan secara adil akan
menjaga kemungkinan terjadinya
ketimpangan pendapatan diantara sesama
manusia. Di satu sisi ada kesempatan dan
peluang bagi individu yang kreatif dan
punya potensi untuk dapat memiliki
kekayaan dalam jumlah banyak tanpa
harus melakukan praktik ekonomi yang
tidak benar seperti monopoli, KKN, dan
sebagainya. Di sisi lain negara akan
menjaga agar jangan sampai ada anggota
masyarakat yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokoknya.24
24Veitzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Ecocomics;
Ekonomi Syariah Bukan Opsi, tetapi Solusi (Cet.I;
Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 372.
Mekanisme syariat Islam yang
mengatur persoalan distribusi kekayaan
diantara umat manusia tidak terlepas dari
pandangan ideologis bahwa semua
kekayaan yang ada di alam semesta ini
pada hakikatnya adalah milik Allah Swt,
sehingga harus diatur sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. Manusia tidak
memiliki hak untuk mengklami bahwa
semua harta miliknya adalah miliknya
secara absolut karena sebenarnya manusia
hanya diberi wewenang untuk mengelola
dan memanfaatkan harta yang ada di dunia
dan pada saatnya harus dikembalikan
kepada pemilik mutlak yakni Allah Swt.25
Oleh hanya itu Islam mendorong sifat
dan sikap kepemilikan yang dapat
meningkatkan utility suatu barang dengan
didorong oleh semangat etos kerja antara
pemilik modal (shahibul mal) dengan
pengelola (mudharib) untuk
memanfaatkan sumber daya alam dibaluti
rasa tanggung jawab dengan
mempertimbangkan aspek pertumbuhan
dan keadilan di samping juga
memperhatikan dimensi keberlanjutan
lingkungan.
3. Konsep Kerja Dan Bisnis
Islam memerintahkan setiap
manusia untuk bekerja sepanjang
hidupnya. Islam membagi waktu
menjadi dua, yaitu beribadah dan
bekerja mencari rezki. Seperti firman
Allah :
وقل اعملوا فسيرى الل عملكم
ن ورسوله والمؤمنون وستردو
إلى عالم الغيب والشهادة
فينب ئكم بما كنتم تعملون
Terjemahnya:
25Veitzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Ecocomics;
Ekonomi Syariah Bukan Opsi, tetapi Solusi, h. 373.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
173
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka
Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan
kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
yang mengetahui akan yang ghaib dan
yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-
Anfa>l/9: 105).”
فإذا قضيت الصلة فانتشروا في
الرض وابتغوا من فضل الل
را لعلكم واذكروا الل كثي
تفلحون
Terjemahnya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung
(QS al-Jumu’ah/62: 10).”
Dalam arti sempit, kerja adalah
pemanfaatan atas kepemilikan sumber
daya manusia. Pemilik sumber daya,
sumber daya alam misalnya, didorong
untuk dapat memanfaatkannya dan hanya
boleh mendapatkan kompensasi atas
pemanfaatan tersebut. Rizki paling utama
adalah rizki yang diperoleh dari hasil kerja
atau keringat sendiri, dan rezki yang paling
dibenci oleh Allah adalah rizki yang
diperoleh dari meminta-minta.26
Falsafah kerja dan bisnis Islam harus
diarahkan kepada tauhid uluhiyyah dimana
dalam setiap melangkah menjalankan
usaha, setiap pribadi muslim harus
mengaitkan diri kepada keesaan Allah.
Pertolongan hanya datang dari-Nya, dan
dunia fana ini adalah milik Allahdan
manusia sebagai pemegang amanah.
Keesaan Tuhan adalah poros bagi setiap
26Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi
Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008), h. 66.
pertimbangan dalam menyelesaikan
kepentingan dunia bisnis. Kemudia
diarahkan juga kepada tauhid rububiyyah,
dimana Allah membimbing dan rezeki di
tangan Allah. Sunnatullah di dunia ini ada
yang miskin dan ada yang kaya, pemberian
rezki adalah hak prerogatif Allah, namun
demikian sunnatullah juga bila mereka
yang bergiat dan bekerja akan mendapat
rezeki, dan sebaliknya bagi mereka yang
bermalas-malasan akan jauh dari rezeki.27
Nabi Muhammad Saw. sendiri memulai
karirnya sebagai pedagang sejak beliau
berumur 18-30 tahun. Setelah sebelumnya
sempat menjadi penggembala. Lalu
beberapa tahun kemudian setelah citranya
sebagi pedagang yang jujur dan cerdas
semakin terbukti, beliau dipercaya oleh
beberapa pemilik modal untuk
menjalankan usahanya. Dalam Alquran
dan hadis juga ikut memberikan contoh
antara lain.28
Pertama, ayat cukup populer yang
terjemahannya “barang siapa yang
bertakwa niscaya Allah akan memberinya
jalan keluar, dan memberinya rezeki
secara tak disangka-sangka.” Sekilas takwa
dalam ayat ini memang diartikan sebatas
ibadah mahdhah saja, bersujud dan berdoa
di atas sajadah lalu rezeki yang tak
disangka-sangka akan turun dari langit.
Namun takwa disini adalah upaya keras
untuk menetapkan nilai etika dalam bisnis
secara menguntungkan, yakni
dibarengindengan aspek skill.
Kedua, dalam Alquran juga dijelaskan
tentang suksesnya Nabi Yusuf as. menjadi
perdana menteri (Mesir Kuno) yang
diawali dengan penderitaan-penderitaan
memilukan ketika harus tahan godaan,
27Faisal Badroen, dkk., Etika Bisnis dalam Islam, h.
134.
28Faisal Badroen, dkk., Etika Bisnis dalam Islam, h.
136.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
174
namun sebagai imbalannya beliau
mendapat jabatan terhormat. Alquran
mengatakan bahwa kesenangan atau
kemudahan itu dipetik setelah melewati
kesulitan, karena sesungguhnya di dalam
kesulitan ada kemudahan.
Ketiga, pedagang yang jujur oleh
sebuah hadis digolongkan ke dalam jajaran
para Nabi. Ini menunjukkan bahwa
pedagang yang jujur pun, satu di antara
yang akan masuk surga, tidak hanya akan
mendapatkan pahala akhirat tapi bahkan
kenikmatan duniawi.
Keempat, para Nabi adalah orang yang
profesional. Alquran menyebutkan profesi
atau jenis pekerjaan Nabi misalnya Nabi
Daud sebagai pandai besi, Nabi Musa
sebagai penggembala, Nabi Sulaiman
sebagai raja, Nabi Yusuf sebagai menteri.
Karena mereka menjunjung tinggi etika,
sehingga mereka sukses sebagai nabi juga
sebagai pekerja.
Ada beberapa konsep kerja dan bisnis
Islam yang dapat diterjemahkan dalam
bentuk aplikasi etos kerja:
a. Keimanan bahwa tujuan manusia
dalam melakukan pekerjaan adalah
beribadah kepada Allah dan
memakmurkan kehidupan dengan
mengelola bumi beserta isinya.
b. Kerja adalah usaha untuk
mewujudkan keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan jiwa dan
jasmani.
c. Bekerja keras untuk mendapatkan
rezeki disertai dengan tawakkal
dan takwa kepada Allah Swt.
d. Kewajiban bermoral seperti jujur,
amanah, dan paham segala aspek
perdagangan.
e. Mematuhi kode etik dalam setiap
melaksanakan transaksi.
4. Konsep Halal Dan Haram
Prinsip etika dalam suatu bisnis
yang wajib dilaksanakan oleh setiap
muslim baik individu maupun
komunitas adalah berpegang pada
semua yang dihalalkan Allah dan tidak
melawati batas. Ajaran-ajaran yang
disampaikan oleh Nabi berkaitan
dengan bisnis yang halal dan terpuji
sudah jelas bagi umatnya. Bisnis yang
islami tidak hanya mencari
keuntungan di dunia semata akan
tetapi harus berlandaskan beribadah
dan dapat memberi keuntungan bagi
orang lain.
Suatu yang terbaik bagi seorang
mukmin adalah berbisnis barang-
barang yang halal dan baik serta
bertransaksi dengan berprinsip
syari’ah seperti: titipan (wad’iah),
bagi hasil (syirkah), jual-beli
(murabahah), sewa (ijarah) dan
demikian juga dalam perdagangan
seorang muslim dituntut untuk
bersikap jujur, terbuka, bertanggung
jawab dan adil.
Beberapa hal yang haram
dilakukan dalam aktivitas bisnis dapat
dirincikan sebagai berikut :
a. Pembuatan dan penjualan barang-
barang haram.
Jual beli barang yang dzatnya
haram, najis atau tidak boleh
diperjual belikan. Barang yang
najis atau haram dimakan haram
juga untuk diperjualbelikan, seperti
babi, berhala, bangkai dan khamr
(minuman yang memabukkan).
b. Jual beli yang belum jelas
Sesuatu yang bersifat spekulasi
atau samar-samar haram untuk
diperjualbelikan, karena dapat
merugikan salah satu pihak baik itu
penjual maupun pembeli. Yang
dimaksud dengan samar-samar
disini yaitu tidak jelas, baik
barangnya, harganya, kadarnya,
masa pembayarannya, maupun
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
175
ketidak jelasan yang lainnya. Jual
beli yang dilarang karena samar-
samar yaitu seperti:29
1) Jual beli buah-buahan yang
belum nampak hasilnya,
misalnya menjual putik
mangga untuk dipetik kalau
telah tua atau masak nanti.
Termasuk dalam kelompok ini
adalah larangan menjual pohon
secara tahunan. Nabi SAW
bersabda yang artinya ”Bahwa
Rasulullah Saw. melarang
menjual buah-buahan sehingga
tampak dan matang” (HR
Bukhari dan Muslim).
2) Jual beli barang yang belum
nampak. Misalnya, menjual
ikan di laut, menjual ubi atau
singkong yang masih ditanam,
menjual anak hewan ternak
yang masih di dalam
kandungan induknya. Hal ini
berdasarkan pada hadis Nabi
yang artinya “Bahwasannya
Nabi SAW. Melarang
memperjualbelikan anak
hewan yang masih dalam
kandungan induknya.”(H.R. Al-
Bazzar).
c. Jual beli bersyarat
Jual beli yang ijab kabulnya
dikaitkan dengan syarat-syarat
terentu yang tidak ada kaitannya
dengan jual beli atau ada unsur-
unsur yang merugikan dilarang
oleh agama. Contoh jual beli
tersebut, misalnya ketika terjadi
ijab qabul si pembeli berkata:
“baik, mobilmu akan kubeli sekian
dengan syarat anak gadismu harus
menjadi istriku”. Atau sebaliknya,
29Abdul Rahman Ghazali, dkk., Fiqh Muamalat
(Jakarta: Kencana, 2010), h. 82-83.
si penjual berkata: “Ya, saya jual
mobil ini kepadamu sekian asal
anak gadismu menjadi istriku”.
d. Transaksi yang mengandung unsur
Riba
Pengambilan dari hasil riba
mengakibatkan sesorang menjadi
rakus, bakhil, terlampau cermat
dan mementingkan diri sendiri.
Melahirkan perasaan benci, marah,
bermusuhan, dan dengki dalam diri
orang-orang yang terpaksa
membayar riba. Oleh karena itu
Allah membenci dan melarang riba
dan menghalalkan sedekah.30 Riba
dilarang tidak hanya dikalangan
muslim saja, tetapi juga dilarang
oleh kalangan agam lain, terutama
agama-agama samawi.31
e. Mengurangi timbangan atau
takaran.
Al-Quran secara tegas tidak
membenarkan dan membenci
perilaku ini dengan menyebutnya
sebagai orang-orang yang curang.
Karena beratnya peerilaku ini,
maka al-quran melukiskan
ancaman ini di dalam satu surat
makiyah, yaitu surat al-muthaffifin.
Dalam surat ini secara jelas dan
tegas berisi ancaman allah
terhadap orang-orang yang
mengurangi hak orang lain dalam
timbangan, ukuran dan takaran.
Ayat tersebut yaitu artinya
“kecelakaan besarlah bagi orang-
orang yang curang (dalam menakar
dan menimbang), yaitu orang-
orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain mereka
30Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah
(Yogyakarta: STIM YKPN, 2011), h. 37.
31R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Alquran
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), h. 116.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
176
minta dipenuhi, dan apabila
mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka
mengurangi”.
f. Judi (al-Mayzir)
Perilaku judi dalam proses
maupun pengembangan bisnis
dilarang secara tegas oleh Alquran.
Judi atau al-maysir ditetapkan
sebagai hal yang harus dihindari
dan dijauhi oleh orang yang
beriman bersama-sama dengan
larangan khamr dan mengundi
nasib, karena termasuk dalam
perbutan setan. Setan adalah
makhluk penggoda manusia, dan
dapat dipahami sebagai simbol
kejahatan yang tidak akan
memberikan dan memerintahkan
selain kepada kejahatan. Setan
adalah lawan dari ide kebajikan
yang membawa pada kecelakaan
dan kesia-siaan. Dalam Al-quran
disebutkan bahwa aktifitas setam
memasuki setiap bidang kehidupan
manusia dan karenanya manusia
harus berjaga-jaga. Aktifitas setan
terdiri dari tipu muslihat untuk
membingungkan manusia-manusia
sementara waktu atau selamanya
untuk menghalangi kesadaran atau
nurani manusia. Dari sudut
pandang bisnis, judi tidak dapat
memperlihatkan secara transparan
mengenai proses dan keuntungan
(laba) yang akan diperoleh, tidak
juga bergantung pada keahlian,
kepiawaian dan kesadaran,
melainkan digantungkan pada
sesuatu atau pihak luar yang tidak
terukur. Pada konteks ini yang
terjadi bukan upaya rasional
pelaku bisnis, melainkan sekedar
untung-untungan saja. 32
g. Penimbunan (ihtikar)
Penimbunan (ihtikar) adalah
pengumpulan dan penimbunan
barang-barang tertentu yang
dilakukan daengan sengaja sampai
batas waktu untuk menunggu
tingginya harga barang-barang
tersebut. Terma penimbunan
semacam ini dalam bahasa arab
dikenal dengan ihtikar yang
bermakna istabadda yang berarti
bertindak sewenang-wenang.
h. Monopoli
Monopoli adalah suatu situasi
dalam pasar dimana hanya ada
satu atau segelintir perusahaan
yang menguasai produk atau
komoditas tertentu yang tidak
punya pengganti yang mirip dan
ada hambatan bagi perusahaan
atau pengusah lain untuk masuk
dalam bidang industri atau bidang
tersebut. Sifat dari Monopoli hanya
mementingkan kemaslahatan
pribadi tanpa menghiraukan
bahaya yang menimpa masyarakat.
4. PENUTUP
Demikianlah prinsip-prinsip dasar
yang dijadikan pedoman dalam etika
bisnis dalam Islam. Bahwasanya
manusia sebagai khalifah mengemban
tugas dan amanat untuk
memakmurkan bumi dengan cara
mengolah dan memanfaatkan sumber
daya yang ada di muka bumi dengan
mengedapankan kesejehteraan sosial.
Sebagai pelaku bisnis, seorang muslim
juga dituntut untuk senantiasa bekerja
sebagai wujud ibadah dan
32R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Alquran,
hlm.126-127.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
177
penghambaan diri kepada Allah Swt.,
namun dalam Islam ada beberapa hal
yang diperbolehkan dan ada juga yang
dilarang dalam berbisnis. Ketika bisnis
itu didasari dengan kebaikan dan
selalu menaati aturan syari’at maka
itulah yang diperbolehkan, dan
sebaliknya bisnis yang sifatnya
merugikan orang lain dan melanggar
aturan syari’at, maka itulah yang tidak
diperbolehkan. Semoga kita semua
dapat menjalankan bisnis sesuai degan
ketentuan yang diatur oleh syari’at
Islam sehingga akan mendapatkan
keuntunganyang berkah.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Euis. (2010) Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok : Gramata Publishing,
Badroen, Faisal dkk. (2013) Etika Bisnis dalam Islam . Cet.III; Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Djamil, Fathurrahman. (2013) Hukum Ekonomi Islam; Sejarah, Teori, dan Konsep. Cet.I; Jakarta Timur: Sinar Grafika.
Fauroni, R. Lukman. (2006) Etika Bisnis dalam Alquran. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Ghazali, Abdul Rahman dkk. (2010) Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana.
Huda, Nurul dan Mustafa Edwin Nasution. (2013) Investasi pada Pasar Modal Syariah. Cet. XIII; Jakarta: Kencana.
Idri. (2015) Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi. Cet.I; Jakarta: Kencana.
Ismail. (2014) Perbankan Syariah. Cet.III; Jakarta: Kencana.
Jahak, Asep Saefuddin, dkk.
(2013) Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis. Jakarta: Kencana.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHEIS).
an-Nabhani, Taqyuddin. (1996) Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Cet.1; Surabaya: Risalah Gusti.
Muhammad. (2011) Manajemen Bank Syari’ah. Yogyakarta: STIM YKPN.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI). (2008) Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. (2016) Daurul Qiyam wa Akhlaq fil Iqtishadil Islami, terj. Zainal Arifin. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press.
Rivai, Veitzal dan Andi Buchari. (2009) Islamic Economics; Ekonomi Syariah Bukan Opsi, tetapi Solusi. Cet.I; Jakarta: Bumi Aksara.
Syafei, Rahmat. (2001) Fikih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
al-Zuhaili, Wahbah. (1989) Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz IV. Damaskus, Da>r al-Fikr.
Zuhri, Muh. (1996) Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
178
ANALISIS KEBIJAKAN BAZNAS TENTANG IBNU SABIL
SEBAGAI MUSTAHIK ZAKAT Adi Setiawan [email protected] IAIN Bengkulu Trisno Wardy Putra [email protected] UIN Alauddin Makassar Risky Hariyadi [email protected] IAIN Bengkulu
Abstract
The scholars differed in defining and establishing ibn sabil as mustahik zakat. There are certain qualifying requirements for mustahik ibnu sabil. Likewise, the National Zakat Agency has qualified the mustahik ibnu sabil group in several qualifications. This study uses qualitative methods, namely methods that will produce descriptive data, in the form of written or spoken words. While the data collection techniques used are interview techniques (interviews), and documentation. From the results of this study it can be found that basically the BAZNAS policy regarding Ibn Sabil as Mustahik Zakat is in accordance with the concept of Ibn Sabil as Mustahik Zakat according to the Al-Quran (QS. At-Taubah: 60).
Keywords: Baznas, Mustahik, Ibn Sabil Abstract
Para Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan dan menetapkan ibnu sabil sebagai mustahik zakat. Ada persyaratan-persyaratan tertentu yang dikualifikasikan kepada mustahik ibnu sabil. Begitupun dengan Badan Amil Zakat Nasional mengkualifikasikan golongan mustahik ibnu sabil dalam beberapa kualifikasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang akan menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik interview (wawancara), dan dokumentasi. Dari hasil penelitian ini dapat dikemukan bahwa pada dasarnya kebijakan BAZNAS tentang Ibnu Sabil sebagai Mustahik Zakat telah sesuai dengan Konsep Ibnu Sabil Sebagai Mustahik Zakat menurut Al-Quran (QS. At-Taubah: 60).
Keywords: Baznas, Mustahik, Ibnu Sabil
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
179
1. PENDAHULUAN
Zakat adalah perintah Allah yang
dibebankan kepada kaum muslimin yang
mempunyai kelebihan harta. Dengan
tujuan agar harta tersebut bersih dan
suci sehingga membersihkan dan
menyucikan yang mempunyainya.1
Firman Allah SWT:
رهم وتزكيهم خذ من أموالهم صدق بها وصل عليهم ة تطه
سميع عليم إن صلاتك سكن لهم والل
“Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan2 dan mensucikan3 mereka
dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui” (QS. At-Taubah: 103).
Setelah harta zakat tersebut
diambil dari para pemiliknya, perintah
Allah SWT. selanjutnya adalah
mendistribusikan harta itu kepada
delapan asnaf (golongan yang berhak
mendapat zakat). Dengan tujuan dan
kepentingan mensejahterakan semua
asnaf dan kemudian akan terbentuk
ta’awun (sikap toleransi) antar umat
Islam. Dalam surah At-Taubah ayat 60
dijelaskan:
دقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها إنما الص
قاب والغارمين وفي سبيل الل والمؤلفة قلوبهم وفي الر
عليم حكيم والل وابن السبيل فريضة من الل
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, Para
1Didin Hafidhuddin, Agar Harta
Berkah dan Bertambah, Jakarta:
Gema Insani Press, 2007, hlm. 108 2Maksudnya: zakat itu membersihkan
mereka dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda 3Maksudnya: zakat itu menyuburkan
sifat-sifat kebaikan dalam hati
mereka dan memperkembangkan
harta benda mereka.
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS.
At-Taubah: 60).
Dengan tegas ayat di atas
menjelaskan bahwa yang berhak
menerima zakat adalah sebagai berikut:
1. Fakir, yaitu orang yang amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan
tenaga untuk memenuhi
penghidupannya.
2. Miskin, yaitu orang yang tidak cukup
penghidupannya dan dalam Keadaan
kekurangan.
3. Amil zakat, yaitu orang yang
mengumpulkan dan membagikan
zakat.
4. Muallaf, yaitu orang kafir yang ada
harapan masuk Islam dan orang yang
baru masuk Islam yang imannya
masih lemah.
5. Riqab (budak), yaitu dana untuk
membebaskan budak dan juga untuk
melepaskan Muslim yang ditawan
oleh orang-orang kafir.
6. Gharimin (orang berhutang), yaitu
orang yang berhutang karena untuk
kepentingan yang bukan maksiat dan
tidak sanggup membayarnya. Adapun
orang yang berhutang untuk
memelihara persatuan umat Islam
dibayar hutangnya itu dengan zakat,
walaupun ia mampu membayarnya.
7. Fi sabilillah, yaitu untuk keperluan
pertahanan Islam dan kaum muslimin.
Di antara mufasirin ada yang
berpendapat bahwa fi sabilillah itu
mencakup juga kepentingan-
kepentingan umum seperti
mendirikan sekolah, rumah sakit dan
lain-lain.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
180
8. Ibnu sabil, yaitu musafir yang sedang
dalam perjalanan yang bukan maksiat
mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya.
Kesejahteraan delapan asnaf di
atas merupakan refleksi dari
kesejahteraan umat Islam. Sebab secara
umum pendistribusian zakat kepada
mereka telah mewakili semua yang
membutuhkan bantuan.
Di antara mustahik zakat yang
perlu diperhatikan, walaupun hanya
terbatas waktu adalah Ibnu sabil
(musafir) yaitu orang yang berpergian
dan kehabisan bekal,4 dan bukan dalam
perjalanan maksiat,5 serta tidak
mempunyai bekal yang cukup untuk
kembali ke tempat tinggalnya. Maka
dalam syariat Islam orang tersebut
(musafir) berhak mendapat bagian zakat.
Walaupun ia adalah orang kaya di tempat
tinggalnya.6
Dalam mendefinisikan dan
menetapkan ibnu sabil sebagai mustahik
zakat, para Ulama berbeda pendapat.
Abu Ja’far menyatakan, Ulama tafsir
berbeda pendapat tentang definisi ibnu
sabil; Mujahid dan Ar-Rabi’ berpendapat,
ibnu sabil itu adalah musafir; sedangkan
Ibnu ‘Abbas,7 Qatadah dan Adh-Dhahak
berpendapat bahwa ibnu sabil itu adalah
tamu.8
4Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin,
Ensiklopedia Zakat,Jakarta: Pustaka As-Sunnah,
2010, cet. 2, hlm. 338 5Yusuf Qhardawi, Hukum
Zakat,Jakarta: Litera Antar Nusa, 2007 cet. 10,
hlm. 658 6Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin,
Ensiklopedia Zakat,hlm. 338 7 Shalih bin Fauzan bin Abdillah bin
Fauzan, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyah, Riyadh:
Dar Al’Ashimah, 1423 H. hlm. 364. 8 Muhammad bin Jabir Ath-Thabari,
Tafsir Thabari, Kairo: Dar Al-Ma’arif, juz. 8,
hlm. 346.
Menurut Ibnu Hajar Al-Haitsami,
ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang ibnu sabil (musafir) yang
harus diperhatikan kebutuhan
perjalanannya dengan sedekah. Ada yang
berpendapat, yaitu setiap musafir laki-
laki maupun perempuan, yang sedang
berpergian atau pun yang akan
berpergian. Pendapat lain, sedekah
hanya diberikan kepada mujtaz, yaitu
musafir yang sedang berpergian tiada
henti dan telah menempuh perjalanan
jauh).9
Terkait dengan ibnu sabil sebagai
mustahik zakat, Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) memiliki program
khusus tentang ibnu sabil sebagai
mustahik zakat. Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) sebagai badan resmi
dan satu-satunya yang dibentuk oleh
pemerintah berdasarkan Keputusan
Presiden RI No. 8 Tahun 2001. Dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
semakin mengukuhkan peran BAZNAS
sebagai lembaga yang berwenang
melakukan pengelolaan zakat
menghimpun dan menyalurkan zakat,
infaq, dan sedekah (ZIS) secara
nasional.10
BAZNAS mempunyai program
khusus yang terkait dengan ibnu sabil
yaitu Program Konter Layanan Mustahik
(KLM), tempat pelayanan mustahik yang
dibentuk BAZNAS untuk memudahkan
mustahik mendapatkan bantuan sesuai
kebutuhannya. Bantuan yang disalurkan
KLM berbentuk hibah (program karitas),
yang disalurkan untuk perorangan
maupun lembaga. Konter Layanan
Mustahik memberikan pelayanan kepada
9Ibn Hajr Al-Haitsami, Tuhfah Al-
Muhtaj fii Syarh Al-Minhaj, Beirut: Dar Ihya’
At-Turats Al-‘Arabi, juz VII, hlm.160. 10 www.baznas.or.id/profil
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
181
mustahik dengan prinsip cepat, tepat dan
akurat. Di antara bantuan yang diberikan
itu adalah bantuan kepada ibnu sabil,
yang didefinisikan oleh BAZNAS sebagai
bantuan untuk orang yang terlantar.11
Selanjutnya pada pasal 35 UU No.
23 Tahun 2011 tentang peran
masyarakat dalam pembinaan dan
penawasan terhadap Baznas dan LAZ,
dinyatakan bahwa pembinaan oleh
masyarakat tersebut dilakukan dalam
rangka, meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk menunaikan zakat
melalui Baznas dan LAZ, dan
memberikan saran untuk peningkatan
kinerja Baznas dan LAZ.
Dari pemaparan latar belakang di
atas, maka penulis tertarik untuk
membahasnya dalam sebuah tesis yang
berjudul “Analisis Kebijakan Baznas
Tentang Ibnu Sabil Sebagai Mustahik
Zakat”
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Ibnu Sabil dan Dasar
Hukumnya
1. Definisi Ibnu Sabil
Dari segi bahasa, ibnu sabil adalah
kiasan untuk musafir, yaitu orang yang
sedang melintas dari satu daerah ke
daerah lain. As-Sabil artinya At-Thariq
(jalan). Dikatakan untuk orang yang
berjalan di atasnya (ibnu sabil) karena
tetapnya di jalan itu.12 Dan lebih
khususnya, ibnu sabil adalah musafir,
pengembara, orang yang sedang
berpergian untuk ibadah.13
Secara istilah, dua pendapat para
ulama tentang ibnu sabil. Pertama,
11 www.baznas.or.id/Konter Layanan
Mustahik 12Yusuf Qhardawi, Hukum Zakat, hlm.
658. 13Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdor,
Kamus Al-Ashri, Yogyakarta; 1998.
pendapat Mujahid, Ar-Rabi’,14 dan
‘Utsaimin,15 ibnu sabil adalah musafir,
orang yang berpergian dan kehabisan
bekal, atau tidak mempunyai bekal yang
cukup untuk kembali ke tempat
tinggalnya. Yusuf Qhardawi menyatakan,
ini adalah pendapat Jumhur ulama. 16
Pendapat kedua, Ibnu ‘Abbas,17
Qatadah dan Adh-Dhahak, ibnu sabil
adalah tamu.18
Terkait dengan pendapat kedua,
dapat difahami bahwa yang dimaksud
dengan tamu adalah orang asing, bukan
penduduk asli. Hal demikian dapat
terlihat dari definisi yang diungkapkan
oleh ulama empat mazhab: 19
1. Menurut Malikiyah, ibnu sabil adalah
orang asing, bukan penduduk asli,
hurr (merdeka), muslim,
membutuhkan bekal agar ia bisa
sampai ke tempat tinggalnya kembali.
dan bukan dalam perjalanan maksiat,
seperti: bajing loncat.
2. Menurut Hanafiyah, ibnu sabil adalah
orang asing yang habis bekal.
Sehingga ia berhak mendapat bagian
zakat sekedar kebutuhannya.
3. Menurut Syafiiyah, ibnu sabil adalah
musafir dari wilayah zakat atau
sekedar melewati wilayah tersebut.
14Muhammad bin Jabir Ath-Thabari,
Tafsir Thabari, hlm. 346. 15Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin,
Ensiklopedia Zakat, hlm. 338.
16Yusuf Qhardawi, Hukum Zakat, hlm.
658. 17 Shalih bin Fauzan bin Abdillah bin
Fauzan, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyah,
hlm. 364. 18 Muhammad bin Jabir Ath-Thabari,
Tafsir Thabari, hlm. 346 19 Ahmad Muhammad ‘Assaf, Al-
Ahkam Al-Fiqhiyah Fi Al-Mazhahib
Al-Islamiyah Al-Arba’ah, hlm. 346.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
182
Maka ia berhak mendapat bagian
zakat.
4. Menurut Hanabilah, ibnu sabil adalah
orang asing yang kehabisan bekal di
wilayah orang lain. Maka ia
mendapatkan zakat sebagai bekal
kembali ke wilayahnya.
Perbedaan pendapat ulama
tentang definisi ibnu sabil di atas,
menjadi ta’kid (penguatan) akan posisi
ibnu sabil sebagai mustahik zakat. Sebab
pada prinsipnya, perbedaan yang ada
hanyalah perbedaan redaksi. Bahkan
perbedaan ini dapat dijadikan satu
definisi yang utuh, bahwa ibnu sabil
adalah musafir, orang yang sedang
berpergian dan kehabisan bekal, atau
tidak mempunyai bekal yang cukup
untuk kembali ke tempat tinggalnya
serta bukan dalam perjalanan maksiat,
baik sekedar perjalanan mubah, seperti
bertamu, silaturrahim, atau pun memang
perjalanan ibadah, seperti ibadah haji.
2.2 Ibnu Sabil Sebagai Mustahik Zakat
1. Syarat Ibnu Sabil Sebagai Mustahik
Dengan adanya ketetapan Allah
Swt. ibnu sabil (musafir) sebagai salah
satu dari delapan mustahik zakat,
sebagaimana firman-Nya dalam surah At-
taubah ayat 60 di atas. Tentu perlu ada
penjelasan tentang syarat-syarat bagi
ibnu sabil, sehingga ia berhak
mendapatkan bantuan zakat tersebut.
a. Syarat Umum
Sebelum syarat khusus ibnu sabil
sebagai mustahik zakat dibahas lebih
lanjut. Terlebih dahulu penulis
mencantumkan lima syarat umum yang
telah disepakati oleh jumhur ulama
tentang delapan asnaf yang berhak
menerima zakat. Adapun syarat-syarat
tersebut adalah: 20
1. Muslim
2. Merdeka
3. Bukan Bani Hasyim
4. Bukan Bani Muthalib
5. Bukan orang yang membebaskan
budak.
Sama seperti mustahik lainnya,
ketika musafir telah memenuhi syarat
umum ini, maka ia berhak mendapatkan
bantuan zakat.
b. Syarat Khusus
Terkait dengan syarat khusus bagi
ibnu sabil sebagai mustahik zakat, ada
syarat yang disepakati ulama dan ada
juga syarat yang ulama berbeda
pendapat tentangnya. Hal itu dapat
dilihat dari berbagai aspek:
Pertama, aspek gender, setiap
musafir laki-laki maupun perempuan.21
Oleh karena tidak ada perbedaan
pendapat para ulama tentang hal ini,
maka setiap musafir laki-laki maupun
perempuan yang habis bekal berhak
mendapatkan bantuan zakat.
Kedua, aspek sedang berpergian
atau pun yang akan berpergian.
Ada tiga pendapat ulama dalam
hal ini. Pendapat pertama, Jumhur ulama
(Qatadah, Imam Syafi’i, Imam Malik),
zakat boleh diberikan kepada musafir
yang sedang berpergian atau pun yang
akan berpergian. Mengingat ibnu sabil
adalah orang yang habis bekal dalam
perjalanan sehingga tidak bisa kembali
ke tempat asalnya. Maka dengan
demikian ia berhak mendapat bagian
zakat, sebagai bekal kembali.
20 Ahmad Muhammad ‘Assaf, Al-
Ahkam Al-Fiqhiyah Fi Al-Mazhahib
Al-Islamiyah Al-Arba’ah, hlm. 349 21Ibn Hajr Al-Haitsami, Tuhfah Al-
Muhtaj fii Syarh Al-Minhaj, hlm.160.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
183
c. Jumlah Bantuan
Sedangkan jumlah bantuan zakat
yang diterima oleh ibnu sabil, adalah
sesuai dengan kebutuhan perjalanannya,
biaya berangkat mau pun kembalinya. 22
Sebagaimana riwayat dari Abu ‘Ubaid: 23
Dari Si’rin bin Malik al-‘Abbasi, ia
berkata, “Saya bersama seorang
sahabatku ingin melaksanakan ibadah
dengan menggunakan tunggangan
unta. Setelah kami berhasil
menunaikan manasik haji kami, maka
tunggangan unta kami tertimpa
penyakit luka pada bagian
punggungnya. Tatkala kami tiba di
Madinah, maka saya mendatangi Umar
bin Khaththab dan saya berkata,
‘Wahai Amirul Mukminin, saya telah
melaksanakan ibadah haji bersama
sahabatku. Setelah kami melaksanakan
manasik haji kami, maka unta kami
tertimpa penyakit luka pada bagian
punggungnya. Oleh sebab itu,
sampaikan niat kami dan berilah kami
tunggangan, wahai Amirul Mukminin.’
Umar berkata, ‘Bawalah kepadaku
kedua untamu itu.’
Lalu aku membawa kedua unta itu ke
hadapan Umar. Kemudian dia
mendudukkan unta tersebut. Setelah
itu, dia melihat pada bagian luka
belakang unta tersebut. Kemudian dia
memanggil pembantunya yang
bernama ‘Ajlan. Umar berkata
kepadanya, ‘Bawalah kedua unta ini.
Kemudian masukkanlah ke dalam
bagian zakat binatang ternak yang
terletak di al-Hima. Dan bawakanlah
kepadaku dua ekor unta yang jinak lagi
sehat. Perhatikanlah baik-baik
22 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hlm. 335 23 Abu ‘Ubaid al-Qasim, Al-Amwal
(Harta) Ensiklopedia Keuangan Publik, Depok:
Gema Insani Press, 2009, cet. 1, hlm. 735.
kesehatan unta tersebut sebelum
diambil.’
Kemudian pembantu Umar yang
bernama ‘Ajlan membawa dua ekor
unta sebagai pengganti dua ekor
sebelumnya. Lalu Umar berkata,
‘Ambillah dua ekor unta ini. Allah akan
menyampaikan niat kalian berdua dan
Dia akan menyampaikan kalian sampai
tujuan. Apabila engkau telah sampai di
tujuan, maka peliharalah dengan baik
tunggangan itu. Atau boleh juga kalian
menjualnya kemudian jadikanlah
sebagai nafkahmu.”
Abu ‘Ubaid pun memberikan
komentar, “Ini adalah keterangan
mengenai zakat harta kaum musliimin,
dimana sebagian di antara mereka
mendapatkan hak yang layak sesuai
dengan aturannya.24
d. Teknis Penyaluran Zakat kepada
Ibnu Sabil
Rasyid Ridha mengatakan, pada
dasarnya zakat cukup didistribusikan
kepada dua objek: objek individu dan
objek mashlahah (kepentingan umum).
Yang dikategorikan individu disini
adalah budak. Sedangkan tujuh tersisa
dari asnaf zakat dikategorikan sebagai
mashlahah. Mereka mendapat bagian
zakat bukan karena personal mereka,
akan tetapi lebih dikarenakan
kepentingan mereka masing-masing.25
Namun menurut Enizar dari urutan
penerima zakat yang disebutkan dalam
surat At-Taubah ayat 60, penerima zakat
dilihat dari penyebabnya dan dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok
besar, yaitu: 26
24 Ibid, hlm. 735. 25 Muhammad Rasyid Ridha,Tafsir Al-
Manar, hlm. 436 26 Enizar, Reinterpretasi
pendayagunaan ZIS, hlm. 15.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
184
1. Ketidakmampuan dan
ketidakberdayaan
Kelompok ini dapat dibedakan
pada dua hal; pertama ketidakmampuan
di bidang ekonomi: fakir, miskin, gharim,
dan ibn sabil. Kedua ketidakberdayaan
untuk mendapatkan hak asasi manusia:
riqab (budak).
2. Kemaslahatan umum umat Islam
Mustahik bagian kedua ini
mendapatkan zakat bukan karena
ketidakmampuan finansial, tapi karena
jasa dan tujuannya untuk kepentingan
umum umat Islam. Mereka itu adalah:
amil, muallaf dan fisabilillah. Amil
mendapatkan pendanaan dari harta
zakat karena telah melakukan tugasnya
sebagai pengelola dana umat Islam.
Muallaf mendapatkan pendanaan
dari harta zakat karena memberi
dukungan kepada umat Islam dan
mengantisipasi umat Islam dari tindakan
anarkis kelompok yang tidak
menyenangi Islam dan umatnya. Untuk fi
sabilillah, dana zakat diperuntukkan
untuk pelaksanaan semua kegiatan yang
bersifat kemashlahatan umum umat
Islam.
Namun secara khusus, ibnu sabil
dalam syariat Islam adalah musafir,
orang yang sedang berpergian dan
kehabisan bekal,27 atau tidak mempunyai
bekal yang cukup untuk kembali ke
tempat tinggalnya serta bukan dalam
perjalanan maksiat,28 walaupun ia adalah
orang kaya di tempat tinggalnya.29 Maka
secara khusus pula Islam mengatur
27Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin,
Ensiklopedia Zakat, hlm. 338. 28Yusuf Qhardawi, Hukum Zakat, hlm.
658. 29Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin,
Ensiklopedia Zakat,hlm. 338.
tentang haknya untuk mendapatkan
bantuan zakat.
Sebagaimana definisi ibnu sabil,
dan syarat-syarat ibnu sabil sebagai
mustahik zakat di atas. Maka dalam
penyaluran zakat kepadanya, harus
sesuai dengan semuanya itu. Adapun
teknis penyaluran yang dimaksud
adalah:
1. Musafir atau pengembara yang
sedang berpergian untuk ibadah.
Dengan demikian selama perginya
untuk ibadah, bukan untuk maksiat,
musafir berhak mendapat bantuan
zakat.
2. Kehabisan bekal. Musafir mendapat
bantuan zakat sejumlah dengan biaya
perjalanannya, sekedar biaya menuju
ke tujuan perjalanannya atau kembali
ke daerah asalnya. Tidak
diperbolehkan ia meminta lebih
daerah kebutuhannya.
3. Setiap musafir laki-laki maupun
perempuan. Tidak ada perbedaan
ulama dalam hal ini.
4. Zakat boleh diberikan kepada musafir
yang sedang berpergian atau pun
yang akan berpergian, selama
perginya untuk ibadah, dan bukan
untuk maksiat. Maka, yang lebih
berhak mendapat bantuan zakat
adalah mujtaz (terbiasa berpergian
jauh).
5. Musafir mendapatkan bantuan zakat,
walapun ia adalah orang kaya di
tempatnya. Dan tidak perlu
dibebankan kepadanya untuk
menganti dana zakat tersebut, karena
zakat yang diberikan kepadanya
bukanlah pinjaman. Namun apabila ia
sendiri memilih untuk meminjam dan
tidak menganggap sebagai bantuan
zakat, maka itu adalah pilihan
baginya.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
185
6. Musafir tidak mendapatkan orang
yang bisa memberikan pinjaman
kepadanya. Apabil musafir kaya
berniat mencari pinjaman, namun
tidak mendapatkan, maka ia berhak
mendapat bantuan zakat.
3. Hikmah Dan Manfaat Ibnu Sabil
Menjadi Mustahik Zakat
Zakat menjadi pondasi Islam dari
sisi materi. Oleh karena zakat adalah
ibadah dengan materi, bukan ibadah
dengan fisik. Menurut Muhammad Abdul
‘Athi Buhairi, setidaknya zakat memiliki
tiga tujuan yang berkaitan langsung
dengan materi:30
1. Sebagai pengorbanan hamba kepada
Allah dengan meninggalkan materi
yang dicintainya. Sebagaimana firman
Allah Swt. dalam surah At-Taubah
ayat 111:
“..Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin diri dan
harta mereka dengan memberikan
surga untuk mereka..”
2. Pembersih hati dari sifat bakhil.
Sebagaimana firman Allah dalam
surah At-Taghabun ayat 16:
ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون
“..Dan Barangsiapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, Maka mereka
Itulah orang-orang yang beruntung..”
3. Zakat sebagai bukti syukur nikmat.
Ibadah dengan fisik sebagai bukti
syukur atas nikmat badan dan ibadah
dengan harta sebagai bukti syukur
atas nikmat harta.
3. METODE PENELITIAN
Secara umum metode penelitian
diartikan sebagai cara ilmiah untuk
30 Muhammad Abdul ‘Athi Buhairi,
Minhaj Al-Shalihin fi Al-Adab Al-Islamiyah,
Kairo: Al-Maktabah Al-Taufiqiyah, 2002, hlm.
207-209.
mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tertentu.31 Dikatakan oleh
Majchrzak, bahwa penelitian kebijakan
merupakan bagian dari penelitian sosial
terapan yang dalam pelaksanaannya
mengikuti prosedur umum penelitian
yang berlaku, akan tetapi, untuk hal-hal
khusus, pelaksanaan penelitian kebijakan
berbeda dengan penelitian tradisional.
Proses penelitian kebijakan
mengisyaratkan keterlibatan peneliti
lebih banyak pada penyusunan rencana
studi dan implementasi rencana
metodologi serta analisis data. Dari
sekian banyak aktivitas yang dilakukan.32
Adapun metodologi penelitian
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Metode
Metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode kualitatif,
yaitu metode yang akan menghasilkan
data deskriptif, berupa kata-kata tertulis
atau lisan. Hal ini sesuai dengan yang
dijelaskan oleh Bogdan dan Taylor.33
Selain itu, variabel-variabel yang diteliti
terbatas atau tertentu saja, tetapi
dilakukan secara meluas pada suatu
populasi atau daerah itu.34
2. Jenis Data
Menurut Lofland, sumber data
yang utama dalam penelitian kualitatif
adalah kata-kata, tindakan, selebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen
31 Sugiyono, Metode Penelitian
Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2011, hlm. 3. 32 Sudarwan Danim, Pengantar Studi.
Penelitian Kebijakan, Jakarta: Penerbit Bumi
Aksara.1997. hlm. 24, Hlm. 62
33Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda, 2007,
hlm. 4.
34Soetrisno, Rita Hanafie, Filsafat Ilmu
dan Metodelogi Penelitian, Yogyakarta: 2007,
hlm. 165.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
186
lain35. Oleh karena itu, jenis data dapat
diklasifikasikan menjadi jenis data
berupa kata-kata dan tindakan, sumber
data tertulis, foto dan statistik.
Berdasarkan pendapat tersebut,
peneliti menetapkan jenis data yang
digunakan adalah jenis data kualitatif,
yaitu kata-kata dari hasil wawancara
dengan Baznas tentang kebijakan Baznas
tentang ibnu sabil sebagai mustahik
zakat dan data tertulis berupa buku-buku
yang berkenaan dengan perspektif
ulama-ulama tentang ibnu sabil sebagai
mustahik zakat.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini
meliputi:
a) Data primer
Data primer adalah data yang
dikumpulkan dan diolah sendiri oleh
organisasi yang menerbitkannya dengan
kata lain, data primer dapat diartikan
sebagai data yang diperoleh langsung
dari sumber data melalui responden.36
Data primer dalam penelitian ini diambil
langsung oleh peneliti melalui
wawancara kepada:
1) Teten Kustiawan (Direktur Pelaksana
Baznas)
2) Faisal Qosim (Kepala Divisi
Pendistribusian Pendayagunaan
Baznas)
3) M. Iman Damara (Staf KLM Baznas)
4) Desniwaty (Staf KLM Baznas)
5) Asto Duriad (Staf KLM Baznas)
6) Eka Agus Supriyadi (Staf KLM Baznas)
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang
diterbitkan oleh organisasi yang bukan
35Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, hlm. 157.
36Anton Dajan, 1996. Pengantar
Metode Statistik, Jakarta: LP3ES. Jilid 1, hlm.
17.
merupakan pengolahnya.37 Di samping
itu, data sekunder merupakan data yang
dijadikan penunjang dalam penelitian ini,
seperti data yang diperoleh dari
dokumentasi dari pihak Baznas serta
literatur-literatur yang berkaitan dengan
penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk
penelitian ini, peneliti akan mengunakan
teknik interview (wawancara), yaitu
teknik pengumpulan data dengan
bertanya jawab langsung kepada
responden.38 Untuk kelancaran dalam
proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara teknik ini,
terlebih dahulu peneliti menyusun
interview guide (panduan wawancara).
5. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian
kualitatif dilakukan sejak sebelum
memasuki lapangan, selama di lapangan,
dan setelah selesai di lapangan. Nasution
dalam Sugiyono menyatakan, analisis
telah mulai sejak merumuskan dan
menjelaskan masalah, sebelum terjun ke
lapangan, dan berlangsung terus sampai
penulisan hasil penelitian.39
Untuk itulah dalam penelitian ini,
peneliti telah melakukan analisis data
sebelum peneliti ke lapangan
(wawancara) terhadap data hasil studi
pendahuluan, atau data sekunder yang
akan dijadikan sebagai fokus penelitian
ini yaitu analisis tentang ibnu sabil
sebagai mustahik zakat. Namun demikian
fokus penelitian ini masih bersifat
sementara, dan akan terus berkembang
37Ibid, hlm.17. 38 Hendri Tanjung, Metodelogi
Penelitian Ekonomi Islam, Bekasi: Gramata
Publishing, 2013, hlm. 83. 39Sugiyono, Metode Penelitian
Kuantatif, Kualitatif dan R&D, Bandung:
Alfabeta, 2009, cet.6, hlm. 245.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
187
setelah peneliti masuk dan selama di
lapangan.
Pola analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini berdasarkan
prosedur yang dikemukakan oleh Milles
dan Huberman melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
(1) reduksi data;
(2) display / penyajian data; dan,
(3) mengambil kesimpulan lalu
diverifikasi.40
Data yang telah terkumpul dan
diklasifikasikan itu kemudian dianalisa
secara deskriptif yang pada akhirnya
ditarik kesimpulan sebagai akhir proses
penelitian ini.
Analisis data dengan menggunakan
ketiga prosedur di atas adalah sebagai
berikut:
1. Reduksi data, yaitu proses
penyederhanaan dan transformasi
data ”kasar” yang muncul dari catatan
tertulis di lapangan yang melalui
beberapa tahapan, yaitu membuat
ringkasan, mengkode, ataupun
menulis tema.
2. Penyajian data, yaitu sebagai
sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan.
3. Verifikasi data atau penarikan
kesimpulan, yaitu makna-makna yang
muncul dari data harus diuji
kebenarannya, kekokohannya dan
kecocokannya yaitu merupakan
validitas.41
40Matthew B. Miles dan A. Michel
Huberman, Analisa Data Kualitatif, Jakarta:
UI, 1992, hlm. 16. 41Saipul Annur, Metodologi Penelitian
Pendidikan Analisis Data Kuantitatif dan
Kualitatif, Palembang: IAIN Raden Fatah Press,
2005, hlm. 181.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kebijakan Baznas Tentang Ibnu
Sabil Sebagai Mustahik Zakat
1. Definisi Ibnu Sabil
Pada bab II penelitian ini,
disebutkan bahwa ibnu sabil dalam
syariat Islam adalah musafir, orang yang
sedang berpergian dan kehabisan bekal,
atau tidak mempunyai bekal yang cukup
untuk kembali ke tempat tinggalnya
serta bukan dalam perjalanan maksiat,
baik sekedar perjalanan mubah, seperti
bertamu, silaturrahim, atau pun memang
perjalanan ibadah, seperti ibadah haji.
Walaupun ia adalah orang kaya di tempat
tinggalnya, Islam tetap mengatur tentang
haknya untuk mendapatkan bantuan
zakat, zakat yang diberikan adalah
sebagai biaya baginya untuk kembali ke
daerah asalnya atau pun menuju tujuan
dari perjalanannya sendiri.
Tidak jauh berbeda dengan definisi
di atas, Baznas memberikan definisi
bahwa ibnu sabil adalah orang yang
mengadakan perjalanan dari negeri zakat
atau melalui negeri zakat, bukan negeri
non muslim. Ia diberi bekal berupa
ongkos, konsumsi, dan akomodasi,
sekedar untuk sampai ke tujuannya, atau
sampai pada hartanya yang bisa
mengantarkannya ke tujuan akhir dari
perjalanannya tersebut.42
Kalimat “dari negeri zakat atau
melalui negeri zakat, bukan negeri non
muslim”, menunjukkan bahwa Baznas
mengikuti pendapat imam Syafi’i. Namun
selain itu, Baznas juga mempunyai
ijtihad, penjabaran sendiri bahwa,
definisi itu dimaksudkan untuk
mengakomodir pelajar, mahasiswa,
pekerja, pelancong, warga negara
42 Wawancara bersama Faisal Qosim,
Kepala Divisi Pendistribusian dan
Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat
Nasional
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
188
Indonesia yang terlantar di luar negeri,
atau warga asing yang terlantar di
Indonesia. Sama halnya dengan warga
dari salah satu provinsi Indonesia yang
sedang terlantar di provinsi lain. Karena
ibnu sabil adalah mustahik yang tidak
mengenal teritorial, berbeda dengan
mustahik zakat lainnya.
Dengan dicantumkan “negeri zakat”
dan “negeri non muslim” pada definisi
Baznas, menunjukkan bahwa zakat
merupakan hak bagi orang muslim saja
yang berada di wilayah muslim lainnya.
Lebih lanjut definisi ini merupakan tafsir
dari sabda Rasulullah Saw. kepada
Muadz bin Jabal, sebagaimana telah
dicantumkan pada bab II. Dhamir dalam
kata أغنيائهم menunjukkan bahwa zakat
hanya diambil dari orang muslim yang
kaya, tidak diambil dari orang kafir yang
kaya. Maka dengan itu, dhamir dalam
kata فقرائهم harus menunjukkan bahwa
zakat hanya diberikan kepada orang
muslim yang fakir.43
Sedangkan, “Ia diberi bekal berupa
ongkos, konsumsi, dan akomodasi, sekedar
untuk sampai ke tujuannya, atau sampai
pada hartanya yang bisa
mengantarkannya ke tujuan akhir dari
perjalanannya tersebut”, merupakan
teknis pendistribusian zakat kepada ibnu
sabil oleh Baznas, dan akan diperjelas
pada sub bab selanjutnya.
Dan juga yang terjadi di Baznas,
justru para muallaf ini mayoritas
dikategorikan sebagai ibnu sabil. Baznas
memberikan biaya bagi muallaf untuk
menuju ke tempatnya memperdalam
keislamannya, seperti pondok pesantren
dan sekolah-sekolah lainnya, baik tempat
yang telah menjadi mitra Baznas secara
43 Fahd bin Salam Bahmam, Dalil al-
Mubta’its al-Fiqhy, hlm. 123.
langsung atau tidak menjadi mitra.44
Mungkin inilah yang menjadi tugas
Baznas selanjutnya, mendirikan pondok
pesantren atau pun sekolah khusus bagi
para muallaf.
Berdasarkan pertimbangan seperti
di atas maka, Dewan Pertimbangan
Baznas mengalokasikan dana bagi fi
sabilillah sebesar 12,5% atau 1/8 dari
dana zakat, sesuai dengan konsep dalam
Al-Qur’an. Sedangkan alokasi dana bagi
ibnu sabil hanya 2,5% dari dana zakat
setiap tahunnya.45
2. Pra-syarat Ibnu Sabil Sebagai
Mustahik Zakat
Pada uraian bab II disebutkan
tentang pendapat ulama tentang lima
syarat umum bagi mustahik zakat dan
syarat-syarat khusus bagi ibnu sabil
untuk mendapatkan bantuan dana zakat.
Baik syarat umum maupun khusus akan
dilihat sejauhmana implementasinya
pada kebijakan Baznas.
a. Syarat Umum
Terkait lima syarat umum; muslim,
merdeka, bukan Bani Hasyim, bukan
Bani Muthalib, dan bukan orang yang
membebaskan budak. 46 Baznas sangat
tegas dalam mengimplementasikan
syarat-syarat tersebut, tekhusus dalam
kasus menangani musafir. Ini dapat
terlihat dari definisi yang digunakan oleh
Baznas:
ibnu sabil adalah orang yang
mengadakan perjalanan dari negeri
zakat atau melalui negeri zakat,
bukan negeri non muslim. Ia diberi
44 Wawancara bersama M. Iman
Damara, Staf KLM Badan Amil Zakat Nasional 45 Wawancara bersama Teten
Kustiawan, Direktur Pelaksana Badan Amil
Zakat Nasional 46 Ahmad Muhammad ‘Assaf, Al-
Ahkam Al-Fiqhiyah Fi Al-Mazhahib
Al-Islamiyah Al-Arba’ah, hlm. 349
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
189
bekal berupa ongkos, konsumsi,
dan akomodasi, sekedar untuk
sampai ke tujuannya, atau sampai
pada hartanya yang bisa
mengantarkannya ke tujuan akhir
dari perjalanannya tersebut.47
b. Syarat Khusus
Terkait syarat khusus bagi ibnu
sabil sebagai mustahik zakat, menurut
penulis dapat dilihat dari lima aspek:
Pertama, aspek gender, setiap musafir
laki-laki maupun perempuan. Kedua,
aspek sedang berpergian atau pun yang
akan berpergian. Ketiga, bukan
perjalanan maksiat. Dan keempat, aspek
musafir kaya atau miskin. Selanjutnya
akan dilihat bagaimana implemenatasi
dari aspek-aspek ini pada kebijakan
Baznas.
Aspek pertama, gender. Baznas
tidak membedakan musafir yang
mengajukan permohonan, baik laki-laki
maupun perempuan. Selama persyaratan
lengkap dan setelah diadakan
wawancara dan survey pemohon
dinyatakan layak dibantu, maka Baznas
akan memberikan bantuan kepadanya.
Dan ini yang riil terjadi pada Oktober
2013, KLM Baznas memberikan biaya
pulang kampung kepada seorang
perempuan hamil menuju (Bandung),
dan seorang laki-laki yang kecopetan ke
Cirebon.48
Kedua, sedang berpergian atau pun
yang akan berpergian. Dalam hal ini
Baznas mengikuti pendapat Jumhur
ulama. Sehingga Baznas akan memberi
47 Wawancara bersama Faisal Qosim,
Kepala Divisi Pendistribusian dan
Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat
Nasional 48 Penulis telah mengadakan magang di
KLM, terhitung 21-30 Oktober. Dan penulis
mendapat kesempatan untuk membantu KLM
dalam melayani kedua orang tersebut.
bantuan kepada musafir yang datang
langsung ke Baznas, karena kehabisan
bekal. seperti, seorang ibu dan anaknya
dari Bengkulu datang ke Jakarta mencari
keluarganya. Namun ternyata
keluarganya telah pindah dari Jakarta.
Setelah diperiksa kelengkapan syaratnya,
dan memang layak, ibu tersebut dibantu
Baznas untuk kembali ke Bengkulu.49
Sama halnya dengan calon musafir,
seperti penduduk sekitar Jakarta,
kemudian mendapatkan kerja di
Kalimantan. Maka Baznas akan
memberikan biaya perjalanannya
menuju Kalimantan, jika syarat lengkap
dan telah diwawancarai.50
Ketiga, bukan perjalanan maksiat.
Melihat apa yang telah dilakukan
Baznas51. Mayoritas musafir yang diberi
bantuan oleh Baznas adalah mereka yang
terlantar dalam perjalanan atau pun yang
akan berpergian. Terkait dengan apakah
perjalanan mereka perjalan maksiat atau
bukan? Itu akan dibuktikan dengan
syarat kelengkapan data diri dan juga
wawancara.
Keempat, aspek musafir kaya atau
miskin. Dalam hal ini Baznas mengambil
pendapat ulama Jumhur ulama, ibnu
sabil mendapatkan zakat, walapun ia
adalah orang kaya di tempatnya. Dan
tidak perlu dibebankan kepadanya untuk
menganti dana zakat tersebut, karena
zakat yang diberikan kepadanya
49 Penulis telah mengadakan magang di
KLM, terhitung 21-30 Oktober. Dan penulis
mendapat kesempatan untuk membantu KLM
dalam menanggani kedua orang tersebut. 50 Wawancara bersama Faisal Qosim,
Kepala Divisi Pendistribusian dan
Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat
Nasional 51 Perbulan sekitar 10 orang, Iman
Damara, Staf KLM.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
190
bukanlah pinjaman.52 Namun apabila ia
sendiri memilih untuk meminjam dan
tidak menganggap sebagai bantuan
zakat, maka itu adalah pilihan baginya. 53
Aspek kelima, di negeri sendiri
atau di negeri orang. Dalam hal ini ibnu
sabil terbagi ke dalam dua golongan.
Pertama, orang yang mengadakan
perjalanan di tanah airnya sendiri, yaitu
kehilangan hartanya (kecopetan) walau
pun di balad (negeri)-nya sendiri.54
Musafir seperti ini yang mayoritas
dibantu oleh Baznas.
Dan kedua orang yang mengadakan
perjalanan di negeri orang. Seperti
tentara yang habis bekal, dan orang
haji.55 Untuk musafir dalam perjalanan
haji, mungkin tidak ada di Indonesia.
Sebab Indonesia bukan tempat yang
dilalui untuk berangkat haji.
Namun yang perlu dibahas adalah
bagaimana cara menyesuaikan kata
balad (negeri) untuk Indonesia?
Mengingat wilayah Indonesia yang
sangat luas. Hemat penulis, penerapan
istilah balad yang relevan untuk kondisi
Indonesia adalah Kabupaten/Kota.
Alasan pertama, hadits Mu’adz menjadi
amil di Yaman, sebagaimana telah
dicantumkan pada bab II. Pada hadits
tersebut Rasulullah Saw. melarang
Mu’adz mendistribusikan zakat yang
telah dipungut di Yaman keluar Yaman
jika penduduknya belum makmur.
Sedangkan untuk luas wilayah Yaman
tidak jauh berbeda dengan luas wilayah
setiap Kabupaten di Indonesia. Selain itu
pada waktu itu Mu’adz diangkat oleh
52Imam Qurthubi, Tafsir Qurthubi,
hlm. 112. 53Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin,
Ensiklopedia Zakat,hlm. 338. 54Ibnu Nujaim, Al-Bahru Al-Raiq Syarh
Kanz Al-Daqaiq, hlm.260. 55 Malik Bin Anas Bin Malik Al-
Ashbahi, Al-Mudawwanah, hlm. 346.
Rasulullah Saw. sebagai Gubernur
sehingga sangat relevan dengan kondisi
Bupati atau pun Gubernur di Indonesia.
Dan juga jumlah penduduk Yaman tidak
jauh berbeda dengan jumlah populasi
penduduk Indonesia. Selain itu salah satu
argumentasi Baznas menjadikan
Kabupaten dan Kota sebagai basis data
mustahik, bahwa setiap Kabupaten dan
Kota dapat dipastikan ada muzaki zakat
dan mustahiknya. Jadi dana untuk ibnu
sabil pun seharusnya disediakan oleh
setiap Baznas di tempat tersebut.
4.2 Mempertegas Hak Ibnu Sabil
Sebagai Mustahik Zakat
1. Kategori Ibnu Sabil
Untuk ibnu sabil dalam perjalanan
syar’i seperti perjalanan haji, mencari
nafkah, sudah menjadi kewajiban Baznas
memberikan bantuan zakat kepadanya.
Namun untuk saat ini, mungkin perlu ada
perluasan makna dari ibnu sabil. Hal
demikian dapat dilihat dari pendapat
berbagai Ulama dan pada penelitian ini
setidaknya disebutkan tiga pendapat.
Pertama, Yusuf Qhardawi
menyebutkan ada enam golongan yang
dapat dikategorikan sebagai ibnu sabil
untuk saat ini. Mereka itu adalah:
1. Orang kaya yang terputus dari
hartanya. Seperti orang kaya, akan
tetapi tidak menyimpan uangnya di
bank. Ketika dalam perjalanan dia
tidak bisa mengambil hartanya dan
juga tidak bisa menarik uangnya dari
bank.
2. Orang yang diusir dari negerinya demi
mempertahankan agamanya dan
kemerdekaannya.
3. Orang yang mempunyai harta, akan
tetapi tidak mampu mendapatkannya,
walaupun di negerinya sendiri.
Seperti orang yang kecopetan, atau
orang yang mempunyai piutang pada
orang lain, akan tetapi tidak mampu
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
191
mengambilnya dan ia tidak memiliki
sesuatu apa pun.
4. Musafir demi kemashlahatan. Seperti
mahasiswa ke luar negeri, spesialis,
dan para ahli.
5. Tunawisma. Para pengemis yang
meminta-minta, anak jalanan. Banyak
di negeri muslim ditemukan orang-
orang seperti ini. Dengan diberi zakat
sebagai ibnu sabil diharapkan dapat
mengeluarkan mereka dari
ketergantungannya pada jalanan.
Yang dapat dilakukan adalah
dipersiapkan bagi mereka rumah yang
layak dan diberik kebutuhan hidup
mereka.
6. Anak buangan. Ini merupakan kiasan
dari mengurus anak yatim demi
kepentingan masa depan bahwa anak
yatim terlantar karena tidak ada
penolong, yaitu orang tuanya atau
karena pendidikan yang kurang
sehingga akal dan akhlaknya rusak
dan akhirnya akan mempengaruhi
lingkungan sekitarnya. Apabila anak
yatim harus diurus sedemikian rupa,
maka anak buangan lebih tepat dan
lebih layak untuk mendapatkan
perlakuan baik, sesuai dengan tujuan
tersebut di atas. 56
Menurut Didin Hafhiduddin, untuk
sekarang, di samping para musafir yang
mengadakan perjalanan yang dianjurkan
agama, seperti silaturahmi, melakukan
study tour pada objek-objek yang
bersejarah dan bermanfaat, mungkin
juga dapat dipergunakan untuk:
1. Pemberian beasiswa atau beasantri
(pondok pesantren) bagi mereka yang
terputus pendidikannya karena
ketiadaan dana.
56Yusuf Qhardawi, Hukum Zakat, hlm.
660-663.
2. Membiayai pendidikan anak-anak
jalanan yang kini semakin banyak
jumlahnya.
3. Merehabilitasi anak-anak miskin yang
terkena narkoba atau perbuatan-
perbuatan buruk lainnya.57
2. Jumlah Bantuan Zakat Bagi Ibnu
Sabil
Sebagaimana atsar sahabat Umar
bin Khattab yang diriwayatkan oleh Abu
‘Ubaid pada bab II dari penelitian ini
bahwa ibnu sabil mendapat bantuan
zakat sekedar untuk biaya sampai
tujuannya, atau pun diberi sarana
transportasi, tunggangan yang dapat
mengantarkannya kepada tujuan dari
perjalanannya tersebut.
Melihat begitu umumnya atsar di
atas untuk menjadi landasan tentang
jumlah bantuan bagi ibnu sabil, hanya
disebutkan biaya sampai tujuannya.
Maka setiap musafir yang mendapatkan
bantuan dari Baznas akan diberi biaya
sejumlah ongkos sampai tujuannya
ditambah dengan biaya akomodasi
selama dalam perjalanannya. Contoh:
Jika si A ingin pulang kampung ke
Cirebon dengan ongkos Bus sebesar
Rp.70.000,-. Kemudian setelah sampai
Cirebon perlu naik angkot lagi dengan
ongkos sebesar Rp.10.000,-. Karena
perjalanan ditempuh selama delapan
jam, musafir perlu satu kali makan, maka
diberi biaya konsumsi sebesar
Rp.20.000,-. Maka jumlah yang diberikan
kepada musafir tersebut adalah
Rp.100.000,-.58
57 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam
Perekonomian Modern, hlm. 139. 58 Wawancara bersama Eka Agus (Staf
KLM)
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
192
3. Teknis Penyaluran Zakat Kepada
Ibnu Sabil
Sebagaimana pada bab II
disampaikan tentang teknis penyaluran
zakat kepada ibnu sabil. Teknis-teknis ini
merupakan kesimpulan daripada definisi
dan syarat-syarat ibnu sabil yang berhak
mendapatkan zakat berdasarkan
pendapat jumhur ulama. Adapun teknis
penyaluran yang dimaksud adalah:
a. Musafir atau pengembara yang
sedang berpergian untuk ibadah.
Dengan demikian selama perginya
untuk ibadah, bukan untuk maksiat,
musafir berhak mendapat bantuan
zakat.
b. Kehabisan bekal. Musafir mendapat
bantuan zakat sejumlah dengan biaya
perjalanannya, sekedar biaya menuju
ke tujuan perjalanannya atau kembali
ke daerah asalnya. Tidak
diperbolehkan ia meminta lebih
daerah kebutuhannya.
c. Setiap musafir laki-laki maupun
perempuan. Tidak ada perbedaan
ulama dalam hal ini.
d. Zakat boleh diberikan kepada musafir
yang sedang berpergian atau pun
yang akan berpergian, selama
perginya untuk ibadah, dan bukan
untuk maksiat. Maka, yang lebih
berhak mendapat bantuan zakat
adalah mujtaz (terbiasa berpergian
jauh).
Musafir mendapatkan bantuan
zakat, walapun ia adalah orang kaya di
tempatnya. Dan tidak perlu dibebankan
kepadanya untuk menganti dana zakat
tersebut, karena zakat yang diberikan
kepadanya bukanlah pinjaman. Namun
apabila ia sendiri memilih untuk
meminjam dan tidak menganggap
sebagai bantuan zakat, maka itu adalah
pilihan baginya.
e. Musafir tidak mendapatkan orang
yang bisa memberikan pinjaman
kepadanya. Apabil musafir kaya
berniat mencari pinjaman, namun
tidak mendapatkan, maka ia berhak
mendapat bantuan zakat.
Sedangkan untuk teknis dari Baznas
adalah melalui program KLM.
5. Teknis Pendistribusian Zakat Oleh
KLM
1. Kriteria Sasaran Ibnu Sabil Dalam
Aturan KLM
Kriteria sasaran adalah mustahik
perorangan atau lembaga yang bergerak
dalam bidang kemanusiaan,
pemberdayaan, pendidikan murah/gratis
dan kegiatan lain yang konsen terhadap
permasalahan dhuafa.
Kriteria ini telah sesuai dengan
konsep yang dikemukan dalam Al-Qur’an
tentang mustahik. Hal demikian terlihat
dari Baznas yang menetapkan mustahik
perorangan adalah orang yang termasuk
dalam delapan ashnaf yang disebutkan
dalam surat At taubah: 60. Sedangkan
lembaga yang berhak mendapat bantuan
adalah organisasi atau kelompok
masyarakat untuk kepentingan dhuafa.
Bantuan yang diberikan untuk mustahik
lembaga dapat diberikan dalam bentuk
dana atau natura.
Namun sebagaimana penulis
kemukan di atas, dalam urusan ibnu sabil
Baznas hanya menyediakan KLM sebagai
program karitas. Yang artinya Baznas
hanya melayani permohonan yang
datang langsung, belum ada program
yang bersifat pemberdayaan khusus bagi
ibnu sabil. Sehingga selain tetap
mempertahankan bantuan untuk
konsmutif Baznas juga harus mempunyai
program yang bersifat produktif bagi
ibnu sabil.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
193
2. Teknis Penyaluran Hak Ibnu Sabil dari
KLM
a. Pengajuan Permohonan dan
Verifikasinya
Dengan disyaratkannya oleh KLM
bagi ibnu sabil yang datang harus
membawa berbagai persyaratan seperti:
Surat permohonan, Surat Keterangan
Polisi atau pun Surat Keterangan Dinas
Sosial. Menunjukkan bahwa Baznas
menginginkan pendistribusian zakat
kepada mereka adalah tepat sasaran.
Dengan demikian ini merupakan ijtihad
atau pun thariqah (metode Baznas)
dalam mengimplementasikan ayat Al-
Qur’an tentang pendistribusian zakat.
Dan selama ijtihad ini sesuai dengan
kondisi maka itu dipandang perlu
dipertahankan.59
b. Wawancara dan Survei Normatif
Terkait dengan wawancara yang
dilakukan oleh Baznas terhadap ibnu
sabil yang bertujuan untuk mengetahui
kondisi ekonomi dan sosial dari
mustahik. Dan dilakukan dengan cara
setiap satu pertanyaan utuk menggali
satu informasi dan kalimat tanya disusun
secara singkat. Merupakan upaya KLM
dalam melayani dan memberikan kesan
yang baik dan menyenangkan, sehingga
diharapkan tidak menyakiti perasaan
mustahik.
Selain itu dengan adanya
wawancara seperti itu, bisa menjadi
sarana atau pun stimulan dalam
mendidik, menanamkan tentang
keislaman, seperti tentang sholat, puasa
dan akhlak sehari-hari dari mustahik
tersebut.60
59 Wawacara bersama Asto Duriad
(Staf KLM Baznas) 60 Wawancara bersama ibu Desniwaty
(Staf KLM)
c. Penyaluran Dana
Bantuan yang diberikan kepada
ibnu sabil yang mengajukan permohonan
disebut dengan Petty cash, yaitu bantuan
tunai.
Oleh sifat bantuan ini adalah
karitas, bantuan tunai, dan juga terbatas.
Maka sudah dapat dipastikan bantuan
zakat ini akan habis dikonsumsi oleh
mustahik tersebut dalam waktu yang
relatif singkat.
Untuk ibnu sabil kategori
kecopetan, orang kaya yang tidak bisa
menggunakan hartanya mungkin bisa
saja. Namun untuk kategori tunawisma,
anak jalanan, anak buangan dan lainnya,
hemat penulis perlu ada program lain
yang bersifat pemberdayaan.
5. PENUTUP
Konsep Ibnu Sabil sebagai
Mustahik Zakat menurut Al-Quran (QS.
At-Taubah: 60) adalah sebagai berikut:
1. Definisi ibnu sabil adalah musafir,
orang yang sedang berpergian dan
kehabisan bekal, atau tidak
mempunyai bekal yang cukup untuk
kembali ke tempat tinggalnya serta
bukan dalam perjalanan maksiat, baik
sekedar perjalanan mubah, seperti
bertamu, silaturrahim, atau pun
memang perjalanan ibadah, seperti
ibadah haji.
2. Secara umum kategori ibnu sabil
adalah orang yang ingin pergi ke
tempat lain, untuk urusan tertentu.
Namun secara khusus ibnu sabil dapat
digolongkan kepada dua golongan.
a. Pertama, orang yang mengadakan
perjalanan di tanah airnya sendiri,
yaitu orang yang kehilangan
hartanya, kecopetan, anak jalanan,
tunawisma, dan anak-anak miskin
yang terkena narkoba.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
194
b. Kedua orang yang mengadakan
perjalanan di negeri orang. Seperti
musafir yang kehilangan hartanya,
kecopetan, tentara yang habis
bekal, orang haji, mahasiswa,
spesialis, dan para ahli.
3. Kebijakan BAZNAS tentang Ibnu Sabil
Sebagai Mustahik Zakat.
Dalam program pendistribusian
zakat oleh Baznas, Secara khusus ibnu
sabil menjadi mustahik yang ditanggani
oleh KLM. Bantuan yang disalurkan
berbentuk hibah (program karitas).
Sehingga yang tersentuh oleh program
ini terbatas kepada kategori ibnu sabil
yang kedua.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Basya, Abdurrahman Ra’fat, Shuar Min Hayah At-Tabi’in, Kairo: Dar Al-Adab Al-Islamy. 1997.
Al-Nawawi, Yahya bin Syarf Abu Zakaria, Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim, Dar Al-Khair, 1996.
Al-Qasim, Abu ‘Ubaid, Al-Amwal (Harta) Ensiklopedia Keuangan Publik, Depok: Gema Insani Press, 2009.
Al-Sijiztasny, Sulaiman bin Asy’at, Sunan Abi Dawud, Kairo: Maktabah ‘Asyriyah.
Al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa bin Surah, Al-Jami’ Al-Shahih (Sunan Tirmidzi), Dar Al-Kutub.
Al-‘Utsaimin, Muhammad Shalih, Ensiklopedia Zakat,Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010.
Ali, Atabik, Muhdor, Ahmad Zuhdi, Kamus Al-Ashri, Yogyakarta; 1998.
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam (Zakat dan Wakaf), Jakarta: UI-Press, 1988.
Annur, Saipul, Metodologi Penelitian Pendidikan Analisis Data Kuantitatif dan Kualitatif,
Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2005.
Ath-Thabari, Muhammad bin Jabir, Tafsir Thabari, Kairo: Dar Al-Ma’arif.
‘Assaf, Ahmad Muhammad, Al-Ahkam Al-Fiqhiyah Fi Al-Mazhahib Al-Islamiyah Al-Arba’ah.
‘Athi Buhairi, Muhammad Abdul, Minhaj Al-Shalihin fi Al-Adab Al-Islamiyah, Kairo: Al-Maktabah Al-Taufiqiyah, 2002.
Bahmam, Fahd bin Salam, Dalil al-Mubta’its al-Fiqhy, Riyadh: Samaa’ Al-Kutub Lil Nasyr wa Al-Tawazi’, 2010.
Beik, Irfan Syauqie, dkk, Kajian Empiris Peran Zakat Dalam Pengentasan Kemiskinan, Ciputat: Indonesia Magnificence Zakat, 2011.
Danim, Sudarwan, Pengantar Studi. Penelitian Kebijakan, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.1997.
Dajan, Anton, Pengantar Metode Statistik Jilid 1. Jakarta: LP3ES, 1996.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Bandung: Syaamil Quran
Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Pemberdayaan Kaum Dhuafa (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta: Aku Bisa, 2012.
Enizar, Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS: Menuju Efektivitas Pemanfaatan Zakat, Infak, dan Sedekah. Jakarta: Piramedia, 2004.
Farida, Azizi Nur, Journal of Islamic Business and Economics, Yogyakarta: 2008
Hafidhuddin, Didin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Jakarta: Gema Insani Press, 2007.
Hafidhuddin, Didin, Juwaini, Ahmad, Membangun Peradaban Zakat, Ciputat: Institut Manajeman Zakat, 2007.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
195
Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Hamid, Abidin, Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS: Menuju Efektivitas Pemanfaatan Zakat, Infak, dan Sedekah. Jakarta: Piramedia, 2004.
Hamidiyah, Emmy, Zakat dan Peran Negara, Jakarta: Forum Zakat, 2006.
Hamzah, Pendayagunaan Zakat Pada Badan Amil Zakat Nasional Dalam Peningkatan Kesejahteraan Umat, Disertasi S3, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009.
Hanum, Khuzaifah, Zakat dan Pembangunan Sosial, Posted in Masyarakat Madani, September 26, 2009.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2006.
Hoetoro, Arif, Ekonomi Islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, Malang: Penerbit fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2007.
Ibnu Abdillah bin Fauzan, Shalih bin Fauzan, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyah, Riyadh: Dar Al’Ashimah, 1423 H.
Ibnu Baz, Abdul Aziz bin Abdullah, Tuhfah Al-Ikhwan biajwibah muhimmah tata’allaq biarkan Al-Islam (Tanya-jawab Tentang Rukun Islam), Jakarta: Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia.
Ibnu Hajr Al-Haitsami, Tuhfah Al-Muhtaj fii Syarh Al-Minhaj, Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi.
Ibnu Katsir Al-Qursy Al-Dimasyq, Ismail bin Umar, Tafsir Ibnu Katsir, Dar Al-Tayyibah, 2002.
Ibnu Malik Al-Ashbahi, Malik bin Anas, Al-Mudawwanah, Dar Kutub Alamiah.
Ibnu Nujaim, Al-Bahru Al-Raiq Syarh Kanz Al-Daqaiq, Dar Al-Kitab Al-Islamy.
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut: Dar Ihya Al-turast Al-‘Arabi, 1985.
Mannan, M. Abdul, M. Nastangin, Ekonomi Islam (Teori dan Praktek), Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993.
Marthon, Said Sa’ad, Ekonomi Islam, Jakarta: Zikrul Hakim, 2007.
Miles, Matthew B., Huberman, A. Michel, Analisa Data Kualitatif, Jakarta: UI, 1992.
Mintarti, Nana, Kajian Perumusan Performance Indicator Bagi Program Pemberdayaan Masyarakat Berbasisi Zakat, Jakarta: IMZ, Jurnal Pemikiran dan Gagasan, vol 2, 2009, hlm.21.
Mohd Balwi, Mohd Abdul Wahab Fatoni, Abd Halim, Adibah Hasanah, Mobilisasi Zakat Dalam Pewujudan Usahawan Asnaf, Selangor: Jurnal Shariah, 2008.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda, 2007.
Mufraini, M. Arief, Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta; Kencana, 2008.
Qhardawi, Yusuf, Hukum Zakat, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2007.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008.
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Manar, Kairo: Hayy-Ah Al-Misriyah Lil Kitab,
Saefuddin, AM, Membumikan Ekonomi Islam, Jakarta: PT. PPA Consultans, 2011.
Setyarso, Iqbal, Manajeman Zakat Berbasis Korporat (Kiprah
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
196
Lembaga Pengelolaan Zakat Pulau Sumatera), Jakarta: Khairul Bayan Press, 2008.
Soetrisno, Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian, Yogyakarta: 2007.
Solehudin, M., Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, Surakarta: mup-mus, 2006.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2011.
Sutisna, Nana, Baitul Maal Desa: Menemukan Model Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Zakat, Zakat & Empowering-Jurnal Pemikiran Dan Gagasan, volume 3, Syawal 1431/ September 2009.
Tanjung, Hendri, Metodelogi Penelitian Ekonomi Islam, Bekasi: Gramata Publishing, 2013.
Tim Penulis, Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.
Tim Penulis IMZ, Profil 7 Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Kabupaten Potensial di Indonesia, Ciputat: IMZ, 2006.
Tim Penulis IZDR 2010, Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia, Ciputat: Indonesia Magnificence of Zakat, 2011.
Tim Penulis IZDR 2012, Membangun Peradaban Zakat Indonesia: Soal Kebijakan dan Hal Lain yang Belum Paripurna, Ciputat: Indonesia Magnificence of Zakat, 2013.
Internet:
www.baznas.or.id/profil html 14 Mei 2013
www.baznas.or.id/Konter Layanan Mustahik html 14 Mei 2013
http://kbbi.web.id/daya html 20 maret 2014
http://kbbi.web.id/masyarakat html 20 maret 2014
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
197
STANDAR DAN EFEKTIVITAS PENGUPAHAN DALAM
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KARYAWAN PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Kasus Rumah Bersalin Siti
Khadijah 1 Kota Makassar) Agusdiwana Suarni
([email protected] ) Universitas Muhammadiyah Makassar
Ervin Suandi
Universitas Muhammadiyah Makassar
Abstract This study aims to determine the standard and effectiveness of wages in improving employee welfare in an Islamic economic perspective. The type of research used is descriptive qualitative. The results obtained in this study are wage standards at RSIA. Sitti Khadijah was based on standards set by the company based on an assessment of the circumstances and living needs of employees and it was evident from the results of interviews conducted with several relevant informants who said that the determination of wage standards was based on company standards, and which became the benchmark the standard of remuneration is the UMP as a legal basis in paying employees. While the effectiveness of wages is not yet very effective and is still in the stage of effectiveness.in the application of future wage hopefully in effect again and form regulations that regulate both the question of effectiveness in the method of employee wageization so that the welfare of employees can be fulfilled moril or materially. Keywords: RSIA, Wage, Islamic Economy. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui standar dan Efektivitas pengupahan dalam meningkatkan kesejahteraan karyawan perspektif ekonomi Islam. Jenis Penelitian yang di gunakan adalah Deskriptif Kualitatif. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah standar pengupahan di RSIA. Sitti Khadijah itu berdasarkan pada standar yang di tentukan oleh perusahaan berdasarkan pengkajian terhadap keadaan dan kebutuhan hidup karyawan dan itu terbukti dari hasil wawancara yang di lakukan ke 6 informan yang terkait yang mengatakan bahwa dalam penentuan standar pengupahannya itu berdasarkan pada standar perusahaan, dan yang menjadi patokan standar pengupahanya adalah UMP sebagai pijakan hukum dalam mengupah karyawannya. Sedangkan Efektifitas pengupahannya itu belum terlalu efektif dan masih dalam tahap pengefektifitasan dalam penerapan pengupahan kedepan semoga di efektivkan lagi serta membentuk regulasi yang mengatur baik soal keefektivan dalam metode pengupahan karyawan agar kesejahteran karyawan dapat terpenuhi secara moril maupun materil.
Kata Kunci: RSIA, pengupahan, Ekonomi Islam
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
198
1. PENDAHULUAN
Perekonomian adalah faktor yang
sangat penting dan berpengaruh ditengah
kehidupan masyarakat. Berbicara tentang
ekonomi sudah pasti salah satunya
membahas tentang sumber- sumber
ekonomi, baik sumber primer, seperti
pertanian, perindustrian, perdagangan, dan
tenaga manusia (jasa) maupun sumber
sekunder, seperti pariwisata, gaji (salary),
dan sarana transportasi . Kedua sumber
tersebut tidak bisa lepas dari pelaku
ekonomi, yaitu manusia. Melalui tenaga
manusia sumber-sumber tersebut dapat
dijalankan dan dirasakan manfaatnya baik
dalam bentuk barang ataupun jasa
dikarenakan manusia yang mempunyai
kemampuan untuk memproduksi barang,
bercocok tanan, melakukan transaksi jual
beli dan sebagainya.
Pemanfaatan tenaga manusia untuk
melakukan suatu pekerjaan sangat popular
dalam peradaban manusia dan sesuai
dengan fitrahnya sebagai makhluk Tuhan
yang saling membutuhkan. Terlebih lagi
ketika zaman perindustrian yang dimulai
dengan renaissance (zaman pencerahan)
sekitar abad 18, kebutuhan akan tenaga
manusia kian besar untuk memacu
pertumbuhan produksi. Pemanfaatan
tenaga manusia identik dengan kerja dan
upah yang diberikan oleh perusahaan.
Seiring dengan bertambahnya
kebutuhan hidup pekerja dan keluarga yang
harus dipenuhi berdampak pada persoalan
upah. Hingga saat ini, upah menjadi polemik
yang belum ditemukan solusinya. Hal ini
karena adanya multipersepsi dimana
pekerja sepakat bahwa upah merupakan
sumber penghasilan guna memenuhi
kebutuhan dirinya maupun keluarga serta
cerminan kepuasan kerja. Sedangkan bagi
pengusaha merupakan biaya produksi yang
harus dioptimalkan penggunaannya dalam
rangka meningkatkan produktivitas dan
etos kerja. Sementara pemerintah melihat
upah, di satu pihak untuk tetap dapat
menjamin terpenuhinya kehidupan yang
layak bagi pekerja dan keluarga,
meningkatkan produktivitas pekerja dan
meningkatkan daya beli masyarakat,
sedang di lain pihak untuk mendorong
kemajuan dan daya saing usaha. Oleh
karena itu, standar pengupahan itu perlu
diteliti secara objektif atas ketentuan yang
berlaku dalam ekonomi islam agar tidak ada
tumpang tindih dan ekploitasi terhadap
sesama manusia.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Upah adalah sejumlah pendapatan
uang yang diterima oleh buruh atau
karyawan dalam satu waktu tertentu akibat
dari tenaga dan usaha yang digunakan
dalam proses produksi. Harcharan Singh
Khera mendefinisikan upah dengan harga
yang dibayarkan karena jasa-jasa buruh
dari segala jenis pekerjaan yang dilakukan,
baik pekerjaan yang bersifat mental
ataupun fisik (Harcharan Singh Khera,
1978:261). Sedangkan dalam penggunaan
sehari-hari upah diartikan dengan bayaran
yang diberikan majikan kepada para
pekerja mereka dan dibayarkan
berdasarkan jam, hari atau minggu dan
terkadang berdasarkan bulan. Mereka
terdiri dari pekerja-pekerja yang
menggunakan tenaga serta melakukan
berbagai jenis pekerjaan yang lebih mudah.
Upah secara ekonomi seperti yang
didefinisikan di atas mencakup semua
pekerja, baik yang mengunakan fisik
ataupun mental sehingga uang yang
diterima disebut upah. Akan tetapi perlu
difahami makna istilah ”mata pencarian”
dibandingkan dengan upah, dimana mata
pencarian digunakan sebagai istilah untuk
sejumlah bayaran yang diperoleh dan
ditentukan bukan saja oleh kadar upah
bahkan oleh jumlah kerja yang telah
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
199
dilakukan termasuk di dalamnya adalah
bayaran bagi kerja lembur, bonus tahunan
dan yang lain.
Dari definisi dan penjelasan di atas,
maka ada dua sifat pokok upah; pertama,
kemampuan kerja pekerja yang akan
dibayar didasarkan pada keinginan majikan
selama jangka waktu tertentu. Kedua,
adanya perjanjian di mana jumlah bayaran
yang diterima pekerja diterangkan dengan
jelas dalam perjanjian itu. Dengan demikian
upah merupakan biaya produksi yang harus
ditanggung perusahaan atau pengusaha
dalam satu proses produksi. Sehingga
proses penentuan upah pekerja akan
diberlaku seperti penentuan harga faktor-
faktor produksi yang lain, yaitu ditentukan
oleh hukum permintaan dan penawaran.
1. Penentuan Standar Upah Dalam
Mainstream Pemikiran Ekonomi
Islam
Dalam kajian pemikiran ekonomi
Islam klasik, pegawai secara umum
diklasifikasikan menjadi dua; pegawai
pemerintah yang mengurusi urusan publik
serta pegawai non pemerintah. Untuk
pegawai pemerintah, mayoritas ilmuwan
berpendapat bahwa pemerintah harus
memperhatikan tingkat kecukupan hidup
pegawainya, dalam arti standar penetapan
upah tidak boleh hanya berdasar manfaat
al-juhd semata. Dalam hal ini, mereka
mendasarkan pendapatnya pada beberapa
riwayat nabi dan sahabat yang
menyebutkan bahwa mereka memberikan
gaji kepada pegawai publik dan pemerintah,
selain berdasar manfaat kerja juga berdasar
kecukupan pekerja yang berupa kebutuhan
pokok, baik berupa makanan, pakaian,
tempat tinggal, pengobatan dan lainnya.
Dalam sebuah riwayat dari Abu
Ubaidah, dalam dialognya dengan Khalifah
Umar bin Khatab tentang upah para pekerja
negara, disebutkan bahwasanya Abu
Ubaidah memohon agar batas minimal upah
tersebut adalah upah yang bisa memenuhi
kebutuhan pekerja baik, pangan, sandang
maupun papan, serta menghindarkan
mereka dari mengkhianati amanah yang
dibebankan kepadanya. Sejarah mencatat
bahwa setelah wilayah Islam sangat luas,
Khalifah Umar bin Khattab mengirim
banyak sahabat terkemuka ke daerah-
daerah, baik dalam wilayah Arab maupun
luar Jazirah Arab untuk menjalankan
pekerjaan-pekerjaan kenegaraan.
Al-Mawardi, ahli politik Islam
klasik, dalam bukunya al-Aḥkām al-
Sulṭāniyah menyebutkan dasar-dasar
penetapan gaji (al-‘aṭā’) bagi tentara yang
berdasar pemenuhan kebutuhan pokok. Dia
mengatakan; Standar dalam penentuan
pemberian adalah kecukupan (al-kifāyah)
sehingga tidak perlu bekerja dan mencari
sumber penghasilan lain yang bisa
mengganggu tugas mereka dalam
melindungi dan menjaga keamanan negara.
Batas kecukupan tersebut memper
hatikan tiga hal:
(1) memperhatikan jumlah keluarga yang
dinafkahinya;
(2) jumlah persenjataan dan kudanya;
(3) memperhatikan harga barang di mana
tentara tersebut ditempatkan.
Telah banyak penelitian yang telah
dilakukan standar pengupahan dalam
ekonomi islam diantaranya yaitu Syukur
(2015), Ridwan (2016), Yusuf (2016),
Riyadi (2017), Hidayah (2017), Maipita
(2017) Waliam (2017), Sari (2016) Asri
Wijayati (2016) Ziauddin (2016). Penelitian
yang telah penulis tuliskan yaitu Syukur
(2015). Judul penelitian “Standar
Pengupahan Dalam Ekonomi Islam (studi
kritis atas pemikiran hizbut tahrir)”. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa,
tingkat Upah minimum tidak bisa
diterapkan kepada semua jenis kontrak
pekerja dengan pengusaha dan itu akan
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
200
merugikan salah satu pihak yang berada
dalam perusahaan tersebut. Yusuf (2016),
Judul penelitian “Konsep Penentuan Upah
Dalam Ekonomi Islam”, Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa, Upah Setiap
Pekerja Harus Dibayar Berdasarkan Kerja
Dan Sumbangsihnya Dalam Proses
Produksi dan Layak Menutupi Kebutuhan
Kehidupan Sehari-hari.
Ridwan (2016) ), Judul penelitian
“Standar Upah Pekerja Menurut Sistem
Ekonomi Islam”. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa, Kelayakan Penentuan
Upah dalam sistem ekonomi modern adl
hukum permintaan dan penawaran dan
dalam islam atas kemampuan kerja dan
harus memenuhi kebutuhan pokok.
Hidayah (2017), Judul penelitian
“Pengupahan Dalam Perspektif Hukum
Islam Dan Hukum Positif”. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa, Besarnya
Upah harus seimbang dengan pekerjaan-
pekerjaan yang telah dilakukan. Riyadi
(2017), Judul penelitian yaitu “Sistem Dan
Strategi Pengupahan Perspektif Islam”.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa, Konsep persejahteraan buruh
dalam islam bertujuan guna memenuhi
kebutuhan dasar dari setiap individu tanpa
ada perbedaan untuk sumberdaya secara
bijak.
Maipita (2017) Judul penelitian
“Simulasi Dampak Kenaikan Upah
Minimum Terhadap Tingkatan Pendapatan
Dan Kemiskinan”. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa, Kenaikan Upah
Minimum dalam jangka pendek akan
berdampak terhadap penurunan kinerja
ekonomi makro, menaikkan tingkat harga,
menurunkan tingkat konsumsi, ekspor
serta output sektoral. Waliam (2017), Judul
penelitian “Upah Berkeadilan Ditinjau Dari
Perspektif Islam”. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa, Upah pekerja atas
mamfaat pekerja yang telah dikerjakan
dengan baik dan benar dalam bentuk
imbalan materi dan imbalan pahala
berdasar konsep adil, akhlak dan aspek
kemanusiaan.
Sari (2016) Judul penelitian “Pemberian
upah pekerja ditinjau dari upah minimum
kabupaten dan hukum ekonomi islam”.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa, Pengupahan yang diterapkan
bengkel las di Desa Tanjung Sari menurut
UMK Tulungagung belummemnuhi standar
upa minimum kabupaten (UMK). Yetniwati,
Judul penelitian “Pengaturan Upah
berdasarkan prinsip keadilan”. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa,
Pembentukan peraturan pemerintah No 78
Tahun 2015 yang tidak melibatkan lembaga
Tripati Nasional di rasakan tidak adil bagii
pihak pekerja. Asri Wijayati (2016) Judul
penelitian “Menuju Sistem Hukum
Perburuhan Indonesia Yang Berkeadilan”.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa, Substansi hukum perburuhan masih
diwarnai inkonsistensi vertikal dan
horisontal. Ziauddin (2016), dengan judul
kesejahteraan Dalam Perspektif Islam Pada
Karyawan Bank Syariah. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa
kesejahteraan adalah salah satu tujuan yang
harus di capai untuk memenuhi kebutuhan
dalam kehidupan dan di capai dengan jalan
yang di ridhoi oleh Allah.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif
sebuah penelitian yang mendeskripsikan
tentang ruang lingkup dan proses
pelaksanaan terhadap Efektifitas
Pengupahan di rumah bersalin siti hadijah 1
kota makassar dalam meningkatkan
kesejahteraan karyawan perspektif
ekonomi islam.
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
201
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Standar Pengupahan Dalam
Ekonomi Islam Guna
Meningkatkan Kesejahteraan
Karyawan Pada RSIA. Sitti
Khadijah 1 Muhammadiyah
Cabang Makassar
Dalam kajian pemikiran ekonomi
Islam klasik, pegawai secara umum
diklasifikasikan menjadi dua; pegawai
pemerintah yang mengurusi urusan publik
serta pegawai non pemerintah. Untuk
pegawai pemerintah, mayoritas ilmuwan
berpendapat bahwa pemerintah harus
memperhatikan tingkat kecukupan hidup
pegawainya, dalam arti standar penetapan
upah tidak boleh hanya berdasar manfaat
al-juhd semata. Dalam hal ini, mereka
mendasarkan pendapatnya pada beberapa
riwayat nabi dan sahabat yang
menyebutkan bahwa mereka memberikan
gaji kepada pegawai publik dan pemerintah,
selain berdasar manfaat kerja juga berdasar
kecukupan pekerja yang berupa kebutuhan
pokok, baik berupa makanan, pakaian,
tempat tinggal, pengobatan dan lainnya.
Dalam sebuah riwayat dari Abu
Ubaidah, dalam dialognya dengan Khalifah
Umar bin Khatab tentang upah para pekerja
negara, disebutkan bahwasanya Abu
Ubaidah memohon agar batas minimal upah
tersebut adalah upah yang bisa memenuhi
kebutuhan pekerja baik, pangan, sandang
maupun papan, serta menghindarkan
mereka dari mengkhianati amanah yang
dibebankan kepadanya. Sejarah mencatat
bahwa setelah wilayah Islam sangat luas,
Khalifah Umar bin Khattab mengirim
banyak sahabat terkemuka ke daerah-
daerah, baik dalam wilayah Arab maupun
luar Jazirah Arab untuk menjalankan
pekerjaan-pekerjaan kenegaraan.
Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-
Sunnah dengan watak tajdid yang
dimilikinya senantiasa beristikomah dan
aktif dalam melaksanakan dakwah Islam
amar ma’ruf nahi munkar disegala bidang
sehingga menjadi rahmatin lil alamin.
Dengan melihat sejarah pertumbuhan dan
perkembangan persyarikan
Muahammadiyah sejak kelahirnnya,
memperhatikan faktor-faktor yang melatar
belakangi berdirinya, amal usaha
muhammdiyah, nyata sekali bahwa
didalamnya terdapat ciri-ciri khusus, yang
menjadi identitas dari hakekat atau jati diri
persyarikan Muhammadiyah. Dalam
perjuangan melaksanakan usahanya
menuju tujuan terwujudnya masyarakat
utama, adil dan makmur yang diridlai Allah
SwT, di mana kesejahteraan, kebaikan dan
kebahagiaan luas merata, Muhammadiyah
mendasarkan segala gerak dan amal
usahanya atas prinsip-prinsip yang
tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran
Dasar, yaitu:
1. Hidup manusia harus berdasar
tauhid, ibadah, dan ta’at kepada
Allah.
2. Hidup manusia bermasyarakat
3. Mematuhi ajaran-ajaran agama
Islam dengan keyakinan bahwa
ajaran Islam itu satu-satunya
landasan kepribadian dan
ketertiban bersama untuk
kebahagiaan dunia akhirat.
4. Menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam dalam masyarakat
adalah kewajiban sebagai ibadah
kepada Allah dan ikhsan kepada
kemanusiaan.
5. Ittiba’ kepada langkah perjuangan
Nabi Muhammad
6. Melancarkan amal usaha dan
perjuangan dengan ketertiban
organisasi.
Menilik dasar prinsip tersebut di
atas, maka apapun yang diusahakan dan
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
202
bagaimanapun cara perjuangan
Muhammadiyah untuk mencapai tujuan
tunggalnya, harus berpedoman: “Berpegang
teguh akan ajaran Allah dan Rasul-nya,
bergerak membangun di segenap bidang
dan lapangan dengan menggunakan cara
serta menempuh jalan yang diridlai Allah.
Usaha Muhammadiyah diwujudkan
dalam bentuk amal usaha , program, dan
kegiatan yang macam dan
penyelenggaraannya diatur dalam
Anggaran Rumah Tangga”
Muhammadiyah dalam segala bentuk
usahanya diwujudkan dalam penerapan
amal usaha, program dan kegiatan yang
meliputi :
1. Menanamkan keyakinan,
memperdalam dan memperluas
pemahaman, meningkatkan
pengamalan, serta
menyebarluaskan ajaran Islam
dalam berbagai aspek kehidupan.
2. Memperdalam dan
mengembangkan pengkajian ajaran
Islam dalam berbagai aspek
kehidupan untuk mendapatkan
kemurnian dan kebenarannya.
3. Meningkatkan semangat ibadah,
jihad, zakat, infak, wakaf, shadaqah,
hibah, dan amal shalih lainnya.
4. Meningkatkan harkat, martabat,
dan kualitas sumberdaya manusia
agar berkemampuan tinggi serta
berakhlaq mulia.
5. Memajukan dan memperbaharui
pendidikan dan kebudayaan,
mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni,
serta meningkatkan penelitian.
6. Memajukan perekonomian dan
kewirausahaan ke arah perbaikan
hidup yang berkualitas
7. Meningkatkan kualitas kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat
8. Memelihara, mengembangkan, dan
mendayagunakan sumberdaya alam
dan lingkungan untuk
kesejahteraan.
9. Mengembangkan komunikasi,
ukhuwah, dan kerjasama dalam
berbagai bidang dan kalangan
masyarakat dalam dan luar negeri.
10. Memelihara keutuhan bangsa serta
berperan aktif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara
11. Membina dan meningkatkan
kualitas serta kuantitas anggota
sebagai pelaku gerakan.
12. Mengembangkan sarana, prasarana,
dan sumber dana untuk
mensukseskan gerakan.
13. Mengupayakan penegakan hukum,
keadilan, dan kebenaran serta
meningkatkan pembelaan terhadap
masyarakat.
14. Usaha-usaha lain yang sesuai
dengan maksud dan tujuan
Muhammadiyah
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan dilapangan, yaitu pada RSIA. Sitti
Khadijah 1 Muhammadiyah Cabang
Makassar, dengan menggunakan metode
Deskriptif Kualitatif, yaitu Observasi,
Wawancara, dan Dokumen. Maka hasil
penelitian, menjelaskan bahwasanya stadar
pegupahan yang di terapkan di RSIA. Sitti
Khadijah 1 Muhammadiyah Cabang
Makassar ini bahwa standar pengupahan
yang di terapkan iyalah berdasarkan pada
standar yang di tetapkan oleh perusahaan
itu sendiri tetapi tetap yang menjadi
patokan dalam menentukan upah itu iyalah
pada UMR itu sebagai dasar hukum dalam
penentuan upah pekerja dalam suatu
perusahaan.
Dalam hasil penelitian menunjukan
bahwa penentuan standar pengupahan
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
203
dalam RSIA. Sitti Khadijah juga adil bagi
kedua belah pihak. Perusahaan
menentukan standar pengupahan
berdasarkan pada kelayakan bagaimana
memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan
pihak perusahaan dan pekerja menyepakati
hal itu secara bersama sewalaupun
memang ada beberapa karyawan yang
mengatakan bahwa upahnya belum sesuai
dengan yang di inginkan, juga kita lihat
bahwa dalam menentukan standar
pengupahan yang di jelaskan oleh Yusuf
Qardawi, “menyatakan bahwa standar
penetapan upah harus memperhatikan:
nilai kerja itu sendiri, karena tidak mungkin
disamakan antara orang yang pandai
dengan orang yang bodoh, orang yang tekun
dengan orang yang malas dan lain
sebagainya, karena menyamakan antara
orang yang berbeda adalah suatu
kezaliman”.
Dalam RSIA. Sitti Khadijah
menentukan stantar pengupahannya
berdasarkan pada profesinya, tingkat
pendidikannya, dan membekan kinerjanya.
Dan juga di situ memotong gajinya kalau
ada yang terlambat bekerja dan juga yang di
maksud oleh Yusuf Qardawi yaitu dengan
membedakan antara orang yang pandai dan
orang yang bodoh, orang yang tekun dengan
orang yang malas dan lain sebagainya itu
sudah di terapkan di RSIA. Sitti Khadijah
mereka membedakan upah pegawainya
berdasarkan kinerjanya yang kalau
menurut yusuf qardawi yaitu bodoh dan
pintarnya dan juga perusahaan
memberlakukan sistem pemotongan gaji
bagi yang terlambat, tidak masuk kecuali
ada memang hambatan yang tidak bisa di
hindari dalam hal meninggalkan kewajiban
bekerja. karena memang sudah di lakukan
kesepakan dalam hal bekerja dengan
perusahaan tentang jam berapa harus
masuk kantor untuk melakukan kerja,
karena jaanji adalah hutang maka mereka
harus membayarnya dan konsekwensi dari
itu mereka di potong gajinya sesuai dengan
berapa lama mereka terlambat dan sudah di
hitunng sebelumnya oleh perusahaan dan
itu juga sudah di sepakati oleh peruhaan
dengan pekerja seperti yang di jelaskan
yusuf qardawi tentang membedakan upah
yang malas dengan yang rajin.
1. Tidak Menunda-nunda
Pembayarannya
Pengusaha (musta’jir)
berkewajiban membayar upah kepada
buruh yang telah selesai melaksanakan
pekerjaannya. Entah itu secara harian,
mingguan, bulanan, ataupun lainnya. Islam
menganjurkan untuk mempercepat
pembayaran upah saat pekerjaan itu
sempurna atau diakhir pekerjaan sesuai
kesepakatan, jangan ditunda-tunda. Jika
diakhirkan tanpa ada udzur, maka
termasuk bertindak zalim.
Dalam penelitian di lapangan
menunjukan bahwa di RSIA. Sitti Khadijah 1
Muhammadiyah Cabang Makassar dalam
pembayarannya itu juga sudah menerapkan
konsep Islam. Dalam pembayaran upah
karyawannya sudah di tentukan waktunya
yaitu pada tanggal 28 upahnya sudah
masuk dalam rekeningnya karyawan dan
kadang juga informan mengatakan kalau
semisal di tanggal 28 itu hari sabtu maka
penerimaan upahnya di terima tanggal 27
dan juga kalau 28 itu hari libur dan Bank
tutup itu yang membuat keterlambatan
membayar upahnya. Perusahaan
memberikan upah itu sebelum bulan itu
berakhir yang kalau dalam perspektif saya
memandang itu adalah seperti yang di
jelaskan di atas bahwa perusahaan tidak
menunda pembayaran upah karyawannya
seperti dalam hadist menjelaskan bahwa:
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi saw.
Bersabda
عرقه يجف أن قبل أجره الأجير أعطوا
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
204
Artinya: “Berikan kepada seorang pekerja
upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR.
Ibnu Majah, shahih).
Maksud hadits tersebut adalah bersegera
menunaikan hak si pekerja setelah
selesainya pekerjaan, begitu juga bisa
dimaksud jika telah ada kesepakatan
pemberian gaji setiap bulan. Di RSIA. Sitti
Khadijah sudah menentukan pemberian
upah itu pada tanggal 28 sebelum bulan itu
berakhir. Membayar upah sebelum
keringatnya kering.
2. Efektifita Pengupahan Dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan
Pada RSIA. Sitti Khadijah 1
Muhammadiyah Cabang Makassar
Efektivitas adalah keaktifan, daya
guna, adanya kesesuaian dalam suatu
kegiatan orang yang melaksanakan tugas
dengan sasaran yang dituju. Efektivitas
pada dasarnya menunjukkan pada taraf
tercapainya hasil, sering atau senantiasa
dikaitkan dengan pengertian efisien,
meskipun sebenarnya ada perbedaan
diantara keduanya. Efektivitas menekankan
pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi
lebih melihat pada bagaiman cara mencapai
hasil yang dicapai itu dengan
membandingkan antara input dan
outputnya. Efektivitas merupakan sesuatu
hal yang paling penting dalam melakukan
pengukuran tingkat keberhasilan sebuah
organisasi atau perusahaan (Budiman,
2018). Secara umum pengukuran
evektivitas meliputi keberhasilan program
dan sasaran yang telah ditetapkan, serta
tingkat kepuasan terhadap program secara
input dan outputnya (Budiman, 2018).
Efektivitas pengupahan adalah
kemampuan dalam melaksanakan suatu
program yang telah di rencanakan secara
tepat dan maksimal guna memperoleh
keberhasilan, dalam hal ini
mengektivitaskan pengupahan di RSIA. Sitti
Khadijah 1 Muhammadiyah Cabang
Makassar.
Efektivitas menunjukkan
keberhasilan dari segi tercapai tidaknya
sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil
kegiatan semakin mendekati sasaran,
berarti makin tinggi efektivitasnya. Sejalan
dengan pendapat tersebut, Abdurahmat
dalam Othenk, efektivitas adalah
pemanfaatan sumber daya, sarana dan
prasarana dalam jumlah tertentu yang
secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk
menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat
pada waktunya. Dapat disimpulkan bahwa
efektivitas berkaitan dengan terlaksananya
semua tugas pokok, tercapainya tujuan,
ketepatan waktu, dan partisipasi aktif dari
anggota serta merupakan keterkaitan
antara tujuan dan hasil yang dinyatakan,
dan menunjukan derajat kesesuaian antara
tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang
dicapai.
Adapun beberapa cara pemberian upah
yang efektif dalam islam yaitu:
1. Berdasarkan Keadilan.
2. Kelayakan,
3. Membayar tepat waktu.
4. Transparan dan Jelas.
5. Membina hubungan antara pekerja
dan majikan sehingga terjalin
hubungan baik dengan penuh rasa
persaudaraan.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan dilapangan, yaitu pada RSIA. Sitti
Khadijah 1 Muhammadiyah Cabang
Makassar, dengan menggunakan metode
Deskriptif Kualitatif, yaitu Observasi,
Wawancara, dan Dokumen. Maka hasil
penelitian, menjelaskan bahwasanya,
Efektifitas pengupahan di RSIA. Sitti
Khadijah 1 Muhammadiyah Cabang
Makassar masih dalam tahap atau proses
pengektivitasan. Hal ini, dibuktikan melalui
hasil wawancara yang dilakukan dengan
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
205
Informan yang terkait langsung dengan
penelitian ini, yaitu terhadap
pengektivitasan pengupahan dalam
meningkatkan kesejahteraan karyawan ke
beberapa karyawan yang di wawancarai.
Hasil penelitian dilapangan, dengan
Informan yang terkait langsung dengan
penelitian ini. Menjelaskan, bahwa dalam
konteks efektifitas pengupahan dalam
meningkatkan kesejahteraan khusus di
RSIA. Sitti Khadijah 1 Muhammadiyah
Cabang Makassar, ada beberapa indikator
yang peneliti lakukan, dalam penelitian ini,
yaitu (1) Bagaimana efektifitas pengupahan
dalam RSIA. Sitti Khadijah ? (2) Strategi
dalam mengefektifkan pengupahan di RSIA.
Sitti Khadijah 1 Muhammadiyah Cabang
Makassar (3) Tolak ukur efektifitas
pengupahan pada RSIA. Sitti Khadijah 1
Muhammadiyah Cabang Makassar dalam
Meningkatkan Kesejahteraan karyawan.
Berdasarkan hasil wawancara yang
telah dilakukan dengan beberapa Informan
yang terkait langsung dengan penelitian ini,
maka dapat disimpulkan, bahwasanya
efektifitas pengupahan dalam RSIA. Sitti
Khadijah 1 muhammadiyah cabang
makassar masih dalam proses perbaikan,
hal ini di katakan oleh beberapa informan
yang di wawancarai bahwa pengupahannya
belum terlalu efektif di karenakan kendala
dari cara pemberian upahnya yang telat di
karenakan hal-hal tehnis. Dan juga
beberapa karyawan mengatakan hal
demikian bahwa dalam proses pengupahan
karyawanya belum terlalu efektif karena
mereka menganggap bahwa ketelatan
membayar upah itu adalah tandanya dalam
suatu perusahaan itu belum efektif
pembayarannya. Sewalaupun memang
pembayaran upah yang di lakukan oleh
perusahaan sudah di tetapkan waktunya
tetapi masih perlu untuk di efektifkan agar
karyawan tidak memberikan keluhannya.
Indikator yang kedua dalam
menentukan efektifitas pengupahan dalam
RSIA. Sitti Khadijah 1 Muhammadiyah
Cabang Makassar adalah Strategi dalam
mengefektifkan pengupahan di RSIA. Sitti
Khadijah 1 Muhammadiyah Cabang
Makassar, Berdasarkan hasil wawancara
yang dilakukan dengan beberapa Informan,
pada RSIA. Sitti Khadijah 1 Muhammadiyah
Cabang Makassar, maka dapat disimpulan
bahwa, ada beberapa strategi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan efektivitas
pengupahan dengan cara menyediakan
anggaran atau menghitung ketersediaan
anggaran perusahaan, mengingat upah
adalah komponen biaya tenaga kerja yang
bersifat fixed, serta memiliki dampak
terhadap komponen biaya lainnya, maka
perusahaan perlu memastikan bahwa
anggaran yang tersedia untuk mengupah
karyawan sudah mencukupi atau belum.
Kekurangan dalam penganggaran biaya
upah akan menyebabkan perusahaan
terpaksa mengorbankan biaya lainnya
untuk menutupi kekurangan tersebut
sehingga menghambat program yang lain.
Strategi yang kedua yaitu dengan
meningkatkan kinerja perusahaan dan
kinerja karyawan juga dalam melayani
pasien dalam bekerja harus di tingkatkan
agar orang-orang yang ingin berobat, sakit,
melahirkan dll datang berkunjung di rumah
sakit ini dan kalu banyak yang datang
berobat melahirkan dan lain sebagainya itu
otomatis perusahaan mendapatkan sedikit
banyak keuntungannya. Kalau perusahaan
mendapatkan untung otomatis pembayaran
upah juga efektif tetapi itu juga dilihat dari
perusahaannya. Kalau perusahaannya
mengejar betul-betul keuntungan ya tentu
mereka akan mengabikan upah
karyawannya, tetapi kalau di sini tidak
begitu. Disini berdasarkan syariat islam
dalam hal menjalankan kerja, pelayananya
upah dan lainnya. Strategi yang ketiga yaitu,
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
206
Strategi dalam mengefektifkan pengupahan
yaitu dengan cara menetapkan waktu
pembayaran upah, membayar upah sesuai
dengan apa yang di sepakati bersama, dan
meningkatkan pelayanan pada pasien
untuk bagaimana orang senang datang
berobat di sini terus perusahaan
mendapatkan sedikit keuntungan untuk
membayar gaji karyawan. Dan itu menurut
saya bisa mengefektifkan pembayaran upah
karyawan, maka dengan itu pengupahan
karyawan bisa efektif dan karyawanya
sejahtera.
Indikator yang ketiga dalam
menentukan efektivitas pengupahan
karyawan dalam meningkatkan
kesejahteraan adalah menganalisa tolak
ukur efektivitas pengupahan karyawan
RSIA. Sitti Khadijah 1 Muhammadiyah
Cabang Makassar dalam meningkatkan
kesejahteraan ini dapat di ukur melalui
tingkat keberhasilan dari membayar upah
tepat waktu sesuai denganapa yang di
sepakati bersama sebelumnya, kemudian
menentukan upah yang sesuai dengan
standar yang di perintahkan oleh islam,
Berdasarkan Keadilan Keadilan bukan
berarti bahwa segala sesuatu mesti dibagi
sama rata. Keadilan harus di hubungkan
antara pengorbanan (input) dengan
penghasilan (output). Semakin tinggi
pengorbanan semakin tinggi penghasilan
yang di harapkan. Dalam konteks hukum
ekonomi penegakan keadilan tidak hanya
bernilai yuridis ekonomi semata, tetapi juga
berdimensi teologis. Keadilan dalam
khazanah Islam adalah keadilan ilahi, yaitu
keadilan yang tidak terpisah dari moralitas,
didasarkan pada nila-nilai absolut yang
diwahyukan Tuhan dan penerimaan
manusia terhadap nila-nilai tersebut
merupakan suatu kewajiban. Kelayakan, di
samping masalah keadilan, maka dalam
pengupahan perlu diperhatikan pula unsur
kelayakan.
Kelayakan ini bisa dibandingkan
dengan pengupahan pada perusahaan
perusahaan lain, atau bisa juga
menggunakan aturan pemerintah tentang
upah minimum. Membayar tepat waktu.
Transparan dan Jelas. Al Munawi berkata,
“Diharamkan menunda pemberian gaji
padahal mampu menunaikannya tepat
waktu. Yang dimaksud memberikan gaji se
belum keringat si pekerja kering adalah un
gkapan untuk menunjukkan diperintahkan
nya memberikan gaji setelah pekerjaan itu
selesai ketika si pekerja meminta walau
keringatnya tidak kering atau keringatnya
telah kering.
Transparan dan jelas, Akad ijārah
salah satu syarat sahnya adalah kejelasan
dalam hal upah, baik terkait waktu
pembayaran, jumlah upah yang akan
diterima serta bentuk upah. Transaksi
harus dilakukan dengan cara yang jelas dan
transparan agar lebih adil. Islam
menganjurkan agar setiap terjadinya akad
(kontrak kerja) harus dilakukan
pencatatan, baik terkait dengan waktu,
bentuk pekerjaan, jumlah upah yang akan
diterima dan sebagainya sehingga akan
terhindar dari perselisihan yang
kemungkinan terjadi dikemudian hari.
Upah dalam Islam dibangun atas dasar
konsep keadilan atau prinsip kebersamaan
untuk semua, sehingga semua pihak
memperoleh bagian yang sah dari produk
bersamanya tanpa adanya sikap zalim
terhadap yang lain, Membina hubungan
antara pekerja dan majikan sehingga
terjalin hubungan baik dengan penuh rasa
persaudaraan hal ini akan berpengaruh
dalam menumbuhkan rasa percaya di
kalangan para pekerja dan niat baik
dikalangan para majikan, sehingga majikan
menahan diri dari tindakan melanggar hak-
hak pekerja. Kalau beberapa point tolak
ukur efektifitas itu sudah di jalankan dan di
terapkan di RSIA. Sitti Khadijah 1
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
207
Muhammadiyah Cabang Makassar dalam
meningkatkan kesejahteraan karyawan
dapat di optimalkan. Inilah yang dapat
dijadikan sebagai tolak ukur efektivitas
pengupahan di RSIA. Sitti Khadijah 1
Muhammadiyah Cabang Makassar dapat
meningkatkan kesejahteraan karyawannya.
5. PENUTUP
5.1 Simpulan
Setelah penulis menguraikan
pembahasan tentang Standar Dan
Efektifitas Pengupahan Dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan
Perspektif Ekonomi Islam di RSIA. Sitti
Khadijah 1 Muhammadiyah Cabang
Makassar pada bab sebelumnya, maka
penulis dapat menguraikan beberapa
kesimpulan berdasarkan batas rumusan
masalah yang penulis bahas dalam skripsi
ini sebagai berikut:
1. Sebelumnya dan di hitung berdasarkan
konsep pada realitas perusahaan dalam
melihat pendapatannya. Standar
pengupahan yang di terapkan oleh
perusahaan sudah sesuai dengan
kategori upah yang layak. Upah yang
layak dapat di lihat dari tiga aspek, yaitu
cukup pangan, sandang, dan tempat
tinggal. Kalau di hitung secara
akumulatif dari seluruh penerimaan
karyawan sudah di atas rata-rata UMP
Kota Makassar dan mereka
menggunakan cerminan UMP sebagai
dasar hukumnya. Konsep tentang
standarisasi Standar pengupahan yang
di terapkan di RSIA. Sitti Khadijah 1
Muhammadiyah Cabang Makassar.
Dalam Islam juga membedakan
pemberian upah orang yang malas dan
rajin, orang yang pintar dan bodoh. Di
RSIA itu sudah menrapkan hal yang
demikian di buktikan dengan pemberian
upah karyawanya berfariasi sesuai
dengan jenjang pendidikannya dan
dilihat berdasarkan pada kinerja atau
profesi yang di miliki oleh karyawan
tersebut.
2. Efektifitas pengupahan dalam
meningkatkan kesejahteraan karyawan
itu sudah efektif tetapi belum
sepenuhnya efektif dan itu di buktikan
melalui hasil wawancara dengan
beberapa informan yang mengatakan
bahwa efektifnya pengupahan itu belum
sepenuhnya di rasakan oleh karyawan
karena di pemberian upahnya masih
memiliki kendali yang di mana di situ
pemberian upahnya dengan
menggunakan metode transfer, jadi
semisalkan karyawan membutuhkan
sekali uang pada hari itu dan saat
mereka di bayar upahnya tepat pada
tanggal merah atau Bank tutup, maka
mereka harus menunggu sampai Bank
buka baru di transferkan upahnya.
3. Nilai-nilai Islam dalam bagaimana
melihat tolak ukur efektifitasnya
pengupahan dalam islam yaitu dengan
melihat upah yang di berikan itu sudah
adil bagi kedua belah, kelayakan,
membayar tepat waktu, transparan dan
jelas dalam anjuran Rasulullah yaitu
majikan harus menyebutkan terlebih
dahulu berapa upah yang akan di terima
sebelum pekerja mulai bekerja dan
pembayaran upahnya tidak itu di
tetapkan sebelum bulan itu berakhir
seperti yang di anjurkan islam bahwa
bayarlah upah karyawan sebelum kering
keringatnya dan semua itu di atur untuk
bagaimana kita saling mensejahterakan
sesama umat.
5.2 Saran
1. Kepada RSIA. Sitti Khadijah
Untuk tetap konsisten dalam
memberikan cerminan yang baik
kepada perusahaan lain dan
menjalankan syariat islam dalam
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
208
segala lini sektor kehidupannya agar
tercapai cita-cita Muhammadiyah
menciptakan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya dapat terwujud.
2. Kepada Pemerintah
Dalam perkembangan rumah sakit
modern hari ini yang berkembang itu
yang berbasis Islam maka untuk
mendukung perkembangannya
pemerintah harus mengeluarkan satu
kebijakan yang mendorong semangat
agar perkembangan rumah sakit islami
di indonesia makin besar dan
menyebar ke seluruh daerah.
3. Kepada pemangku Jabatan RSIA. Sitti
Khadijah
Diharapkan kepada segenap pemangku
jabatan RSIA untuk mengeluarkan
kebijakan yang menyetarakan
karyawanya sesuai dengan profesinya
serta lebih memprioritaskan
kebutuhan masyarakat dalam
kebutuhan normatif terkhusus di
bidang kesehatan.
4. Kepada Karyawan
Terus meningkatkan profesionalitas
kerja untuk mewujudkan rumah sakit
yang paripurna sebagai pusat
pelayanan kesehatan.
REFERENSI
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Chaniago, S. A. (2015). Pemberdayaan zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Jurnal Hukum Islam, Volume 13, No. 1 (47-56).
Hafidhuddin, Didin dan Hendri Tanjung. (2003). Manajemen syariah dalam praktek. Jakarta: Gema Insani Press
Ikhwani, N. (2017). Transparansi dan Akuntabilitas pengelolaan tambang. Makassar: Skripsi Unismuh Makassar.
Khera, Harcharan Singh. 1978. Mikroekonomi: Prinsip-prinsip dan Aplikasi-aplikasi, (terjemahan Moh. Kaus Tajudin). Petaling Jaya: Khera Sdn. Bhd.
Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16
Mursakinah. (2017). Pengaruh aplikasi nilai-nilai al-islam dan kemuhammadiyahan terhadap pemahaman akuntansi (studi kasus alumni program studi akuntansi universitas muhammadiyah makassar). Skripsi. Makassar: Unismuh Makassar
Muhammad Abdul Manan, Islamic Economics, Theory and Practice, (India: Idarah Adabiyah, 1980), h. 3.
Nur Hidayati Ika Novi. 2017. Pengupahan Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Az Zarqa 9(2): 187-189
Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi islam (P3EI), Ekonomi Islam,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2015),h.14.
Prasetyoningrum, A. K. (2015). Pendekatan Balance Scorecard pada Lembaga Amil Zakat di Mesjid Agung Jawa Tengah. Economica, Volume VI Edisi 1 Mei.
Riyadi Fuad. 2015. Sistem dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam. Iqtishadia 8(1): 159-168
Ridwan Murtadho. 2016. Standar Upah Pekerja Menurut Sistem Ekonomi Islam. 1(2): 246-247
Sutrisno, Edy. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana, 124-129
Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, terj. M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 28
Ar-Ribh: Jurnal Ekonomi Islam p-ISSN: 2684-7477 e-ISSN: 2714-6316
Vol.3 Nomor 2 Oktober 2020
209
Syukur Ahmad. 2015. Standar Pengupahan Dalam Ekonomi Islam (Studi Kritis Atas Pemikiran Hizbut Tahrir). Universum 9(1) : 1-9