Download - Agama Semester i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-
fiqh al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy. Istilah
ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law. Dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan. Namun yang digunakan adalah
kata syari’at islam, yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqih. Uraian
diatas memberi asumsi bahwa hukum dimaksud adalah hukum islam. Sebab,
kajiannya dalam perspektif hukum islam, maka yang dimaksudkan pula adalah
hukum syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam
atau fiqh islam. Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam, maka
berarti syari’at islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Pada dimensi lain
penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara,
baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut
T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para
ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam khazanah
ilmu hukum islam di Indonesia, istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan
dua kata, hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak
tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku
dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada
kata islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang
dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku
mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini
berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam.
Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua
macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taqlifi menurut para ahli ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan Allah
dan rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik
dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak
berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi
penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taqlifi).
Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila
dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1).
Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar,
acuan, atau pedoman syariat islam.
Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber
dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah
Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam
(akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia
yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi
setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang
dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau
kelompok masyarakat.
Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap
muslim. Ketetapan Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59 yang artinya :”
Hai orang-orang yang beriman, taatilah (kehendak) Allah, taatilah (kehendak) Rasul-
Nya, dan (kehendak) ulil amri di antara kamu ...”. Menurut ayat tersebut setiap
mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak ’penguasa’
atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak Allah kini terekam dalam Al-
Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam al Hadis, kehendak ’penguasa’
(ulil amri) termaktum dalam kitab-kitab hasil karya orang yang memenuhi syarat
karena mempunyai ”kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan.
1.2. Rumusan masalah
1. Bagaimana pengertian tentang Hukum Islam?
2. Bidang kajian apa sajakah yang erat kaitannya dengan Hukum Islam?
3. Bagaimana mengetahui macam-macam Pembagian Hukum Islam?
4. Bagaimana sumber ajaran islam?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian Hukum Islam
2. Untuk mengetahui bidang kajian apa saja yang berkaitan dengan
Hukum Islam
3. Untuk mengetahui macam-macam Pembagian Hukum Islam
4. Untuk mengetahui sumber agma islam
BAB IIPEMBAHASAN
A. Hukum Islam
2.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah dua kata dalam bahasa Indonesia yaitu kata "hukum"
dan "Islam". Kata "hukum" dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa Arab
yaitu kataالحكم (al-hukmu) yang merupakan bentuk singular/tunggal, adapun
bentuk plural/jama'nya adalahاألحكام (al-ahkam). Secara etimologi kata ini berarti
yang (al-qadha) القضاء bermakna memutuskan, memimpin, memerintah,
menetapkan dan menjatuhkan hukuman, Al-Fairuz Abady menyatakan bahwa kata
-al) الحكم hukmu) dengan dhamah berartiالقضاء (al-qadha) yaitu mengadili,
bentukjama'nya adalahاألحكام (al-ahkam). Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
dalam Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh menyatakan
: : بأفعال المتعلق الشرع خطاب عليه دل ما اصطالحا والحكم المنع لغة اللحكم
وضع او تخيير او طلب من المكلفين
Al-Hukmu secara bahasa adalah mencegah, sedangkan secara istilah adalah segala
sesuatu yang menunjukan padanya kehendak syar'i yang berkaitan dengan amalan-
amalan orang yang sudah dewasa (mukallaf) baik berupa tuntutan kewajiban, pilihan
dan hukum wadh'i.
Nasrun Haroen merinci pengertian dari kata "al-hukm" dalam beberapa
arti, Pertama,, Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, seperti
menetapkan terbitnya bulan dan meniadakan kegelapan dengan terbitnya
matahari.Kedua, Khitab Allah, seperti “aqimu ash-shalata” dalam hal ini yang
dimaksud dengan hukum adalah nash yang datang dari Syari'. Ketiga, Akibat
dari KhitabAllah, seperti hukum ijab yang dipahami dari firman Allah “aqimu ash-
shalata”.Pengertian ini digunakan para fuqaha (ahli fiqh). Keempat, Keputusan
hakim di sidang pengadilan.
Dari berbagai pengertian tersebut terlihat adanya makna yang satu yaitu
bahwa al-hukm adalah :
Khitab Allah ta'ala yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallafyang
berupa tuntutan, pilihan atau yang bersifat wadh'i”. Pengertian ini menunjukan
bahwa hukum adalah sesuatu yang menjadi tuntutan syara' atas setiap orang-orang
yang sudah mukallaf untuk melaksanakannya, baik hal itu berupa tuntutan, pilihan
atau berbagai sebab yang mengakibatkan adanya hukum tersebut, seperti ahkam al-
khamsah yaitu haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib.
Berbeda dengan makna hukum sebelumnya, Muhammad Daud Ali
menyatakan kata "hukum" berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm yang berarti
kaidah, norma, ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk
menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hal ini sama seperti yang
diungkapkan oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyatakan “Istilah hukum Islam
walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai
terjemahan dari Fiqh Islam atau Syariat Islam”.
Jika kita cermati, kata "hukum" dilihat dari asal kata bahasa Arab, maka
makna yang sebenarnya tidaklah sama dengan kata hukum yang telah menjadi bahasa
Indonesia. Kata hukum ini telah mengalami perubahan dan perluasan makna sehingga
tidak sesuai lagi dengan makna bahasa asalnya. Adapun kata yang semakna dengan
hukum dalam bahasa Arab adalah syariah dan fiqh.
Syariah menurut bahasa memiliki beberapa makna, diantaranya adalah
yang (al-warid) الوارد berarti jalan, ia bermakna pula الماء yaitu نحو tempat
keluarnya (mata) air. Al-Raghib menyatakan syariah adalah metode atau jalan yang
jelas dan terang misalnya ucapaan نهجا له aku) شرعت mensyariatkan padanya
sebuah jalan). Manna' Khalil Al-Qathan berkata “Syariat pada asalnya menurut
bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh
orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath al-mustaqim) yang
demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan dan
keselamatan/kesehatan badan, demikian juga arah dari jalan yang lurus yang
mengarahkan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan
pengoptimalan akal mereka
Kata syariah banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, misalnya firman Allah ta’ala
dalam QS Al-Jatsiyah : 18
6م8ون6 6ع9ل 6ي ال <ذ>ين6 ال ه9و6آء66 أ >ع9 <ب 6ت 6ت و6ال >ع9ه6ا <ب ف6ات م9ر>
6 9أل ا مCن6 Dر>يع6ة ش6 ع6ل6ى 6اك6 9ن ع6ل ج6 8م< ث
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-
orang yang tidak mengetahui.
Makna syariah pada ayat ini adalah peraturan atau cara beragama.
Sedangkan dalam QS Asy-Syura ayat 13 bermakna memberikan tata cara beragama :
و6م8وس6ى اه>يم6 9ر6 >ب إ >ه> ب 6ا 9ن و6م6او6ص<ي 9ك6 6ي >ل إ 6آ 9ن ي و9ح66 أ <ذ>ي و6ال ا N8وح ن >ه> ب م6او6ص<ى الدCين> مCن6 8م 6ك ل ع6 ر6 ش6
ق>يم8وا 6 أ 6ن9 أ و6ع>يس6ى
6ه9د>ي و6ي آء8 6ش6 ي م6ن 9ه> 6ي >ل إ >ي 6ب ت 6ج9 ي الله8 9ه> 6ي >ل إ 6د9ع8وه8م9 م6ات ر>ك>ين6 9م8ش9 ال ع6ل6ى 8ر6 6ب ك ف>يه> ق8وا 6ف6ر< 6ت 6ت و6ال الدCين6
>يب8 8ن ي م6ن 9ه> 6ي >ل إ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).
Makna syariah yang serupa disebutkan dalam QS Al-Syura ayat 21
Allahta’ala berfirman :
6ه8م9 9ن 6ي ب 6ق8ض>ى6 ل 9ف6ص9ل> ال >م6ة8 6ل ك 6 6و9ال و6ل الله8 >ه> ب ذ6ن9 6أ ي 6م9 م6ال الدCين> مCن6 6ه8م ل ع8وا ر6 ش6 9 6آؤ8ا ك ر6 ش8 6ه8م9 ل م9
6 أ
Xع6ذ6اب 6ه8م9 ل >م>ين6 الظ<ال >ن< و6إ
>يم8 ل6 أ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah
yangmensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak
ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan
sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.
Dari beberapa ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata syariahbermakna
peraturan, agama dan tata cara ibadah. Pengertian ini telah mengarah kepada makna
secara istilah, karena khitab dari ayat-ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman
agar mereka dapat merealisasikan syariat tersebut.
Secara istilah “syariat” adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalah-
masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah
dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-
apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya. Ibnu Mandzur menyatakan
bahwa syariah adalah :
Segala sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien (agama) dan diperintahkanya seperti
puasa, shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.
Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan yang
menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu yang datang dari
Allah ta'ala yang disampaikan oleh utusan/RasulNya kepada para hambaNya, dan
Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumNya dinamakan syar'an. Senada
dengan pengertian ini Mahmud Syalthut mendefinisikannya dengan "Sebuah nama
untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam bentuk
ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam berhubungan
dengan Allah dan antar sesama manusia."
2.2 Pembagian Hukum Islam
Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua
macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taqlifi menurut para ahli ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan Allah
dan rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik
dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak
berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi
penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taqlifi).
2.2.1 Hukum Taqlifi
Hukum taqlifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau
memberi pilihan terhadap seorang mukalap, sedangkan hukum wadh’i berupa
penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taqlifi. Misalnya, taklifi
menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’I
menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda
bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat dzuhur.
Hukum Taqlifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas
kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar
kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas mannusia. Misalnya, seperti
dalam contoh diatas tadi keadaan tergelincir matahari bukana dalam
kemampuan manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya. Hubungannya dalam
perbuatan manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir matahari)
sebagai tanda bagi masuknya waktu dzuhur.
1. Wajib
Wajib ialah sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-
Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakan akan
mendapatkan pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanankan diancam
dengan dosa.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti
dilakukan dalam arti mengikat setiap mukalaf.
2. Mandub (sunnah)
Mandub adalah sesuatu yang dituntut syara’ (agama) memperbuatnya kepada
orang mukalaf dengan tuntutan yang tidak mesti 1.
Menurut Abdul Karim Zaidan mandub ialah sesuatu perbuatan yang dianjurkan
oleh Allah dan rasul-Nya, dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya,
namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub dibagi menjadi tiga
bagian :
a Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang
dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Misalnya, shalat sunnah dua
rakaat sebelum fajar.
b.Sunnah Ghair Al-Muakkadah (sunnah biasa), yaitu sesuatu yang dilakukan
Rasulullah, yaitu sesuatu yang dilakukan rasulullah namun buakn menjadi
kebiasaannya. Misalnya, melakukan shalat sunnah dua kali dua rakaat sebelum shalat
dzuhur, dan seperti memberikan sedekah sunnah kepada orang yang tidak dalam
keadaan terdesak.
c Sunnah Al-Zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai
manusia. Misalnya, sopan santunnya dalam makan, minum, dan tidur.
3.Haram
Haram secara etimologi berarti “sesuatu yang dilarang mengerjakannya.
Secara terminology haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,
dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan
orang yang meninggalkannya karena menanti Allah, diberi pahala.
Abdul Karim Zaidan membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
a. Al-Muharram li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena
esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudian itu
tidak bisa terpisah dari dzanya. Misalnya larangan berzina seperti dalam firman Allah
berikut ini. annisa:23, annisa:29, almaidah :3
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS.al-Isra : 32)
Dalam surat lain juga ditegaskan mengenai haramnya mengawini orang yang
memiliki ikatan darah(se-muhrim) yang kuat seperti ibu, anak perempuan dll.
Artinya: ”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. An-Nisa : 23)
b. Al-Muharram Li Ghairihi, yaitu sesuat yang dilarang bukan karena
esensinya karena esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam kondisis
tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa
kepada sesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya, dilarang melakukan jual beli
pada waktu adzan shalat jum’at sebagaimana firman Allah.
Artinya : “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Maksudnya:
apabila imam telah naik mimbar dan mu'azzin telah azan di hari Jum'at, maka kaum
muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan mu'azzin itu dan meninggalakan
semua pekerjaannya.(QS. Al-Jumuah : 9)
Jual beli apabila dilihat kepada esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada
larangan melakukannya pada waktu adzan jum’at karena akan melalaikan seseorang
dari memenuhi panggilan Allah (shalat jum’t). ketentuan yang berlaku dalam hal ini,
seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, adalah bahwa larangan seperti itu
bilamana dilanggar dan dilaksanakan juga, maka perbuatan itu adalah sah. Jual beli
waktu adzan jum’at adalah sah sebagai sebab perpindahan milik dari penjual kepada
pembeli, namun pelakunya berdosa di sisi Allah.
4.Makruh
Secara bahasa makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Menurut mayoritas
ulama Ushul Fiqh, makruh berarti yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, di
mana bilamana ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak
berdosa. Misalnya, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dalam Mazhab Hanbali
ditegaskan makruh hukumnya berkumur dan memasukan air ke hidung secara
berlebihan ketika akan berwudhu di siang hari Ramadahan karena dikhawatirkan air
akan masuk ke rongga kerongkongan dan tertelan.
Menurut kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua macam
a.Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang
melarangnya itu bersifat zhani al-wurud (kebenaran datangnya dari hanya sampai ke
dugaan keras), tidak bersifat pasti. Misalnya, larangan meminang wanita yang sedang
dalam pinangan orang lain dan larangan membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran
orang lain kecuali mendapatkan izin atau telah ditinggalkannya.
b.Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk
meninggalkannya. Misalnya memakan daging kuda dan meminum susunya pada
waktu sangat butuh di waktu perang.
5.Mubah
Mubah berarti “sesuatu yang dibolehkan atau yang di izinkan. Menurut istilah
yaitu, sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukalaf akan
melakukannya atau tidak melakukannya dan tidak ada hukumannya dengan dosa dan
pahala.
2.2.2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum
taqlifi. Hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari
menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat dzuhur.
1.Sebab
Sebab berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu
yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syariat
sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi
tindakan adanya hukum. Misalnya, tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi
wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab bagi
keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai sebab bagi
kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.
2.Syarat
Syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau “ sebagai
tanda”. Menurut istilah sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan
berada di luar dari hakikat sesuatu itu. Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat bagi
sahnya shalat dalam arti adanya shalat trgantung pada adanya wudhu,
namunpelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan
shalat.
3.Mani’
Berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminology adalah sesuatu yang di
tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi
berfungsinya suatu.
Sebuah akad misalnya dianggap sah bilamana telah mencukupi syarat-syaratnya dan
akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak terdapat padanya suatu
penghalang.
B. Sumber Agama Islam
1. AL-QUR’AN
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a,yaqra’u,
qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun
(al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah
ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran sumber agama (juga ajaran)
Islam pertama dan utama yang memuat firman-firman (wahyu) Allah, sama benar
dengan yang disampai- kan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai
Rasul Allah sedikit demi sediki selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah
kemudian di Medinah.
Al-Qur’an menyajikan tingkat tertinggi dari segi kehidupan manusia. Sangat
mengaggumkan bukan saja bagi orang mukmin, melainkan juga bagi orang-orang
kafir. Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan (Nuzulul
Qur’an). Wahyu yang perta kali turun tersebut adalah Surat Alaq, ayat 1-5. Al-Qur’an
memiliki beberapa nama lain, antara lain adalah Al-Qur’an (QS. Al-Isra: 9), Al-Kitab
(QS. Al-Baqoroh: 1-2), Al-Furqon (QS. Al-Furqon: 1), At-Tanzil (QS. As-Syu’ara:
192), Adz-Dzikir (QS. Al-Hijr: 1-9).
Ayat-ayat al-Quran yang diturunkan selama lebih kurang 23 tahun itu dapat
dibedakan antara ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih tinggal di
Mekah (sebelum hijrah) dengan ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah
(pindah) ke Madinah. Ayat-ayat yang tutun ketika Nabi Muhammad masih berdiam
di Mekkah di sebut ayat-ayat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun sesudah
Nabi Muhammad pindah ke Medinah dinamakan ayat-ayat Madaniyah.
2. Ciri-cirinya adalah :
1. Ayat-ayat Makiyah pada umumnya pendek-pendek, merupakan 19/30 dari seluruh
isi al-Quran, terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah pada
umumnya panjang-panjang, merupakan 11/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 28
surat, 1456 ayat.
2. Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhannaas (hai manusia)
sedang ayat–ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhallaziina aamanu
(hai orang-orang yang beriman).
3. Pada umumnya ayat-ayat Makkiyah berisi tentang tauhid yakni keyakinan pada
Kemaha Esaan Allah, hari Kiamat, akhlak dan kisah-kisah umat manusia di masa
lalu, sedang ayat-ayat Madaniya memuat soal-soal hukum, keadilan, masyarakat dan
sebagainya.
3. Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:
1. Petunjuk mengenai akidah yang harus diyakini oleh manusia. Petunjuk akidah ini
berintikan keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan kepastian adanya hari
kebangkitan, perhitungan serta pembalasan kelak.
2. Petunjuk mengenai syari’ah yaitu jalan yang harus diikuti manusia dalam
berhubungan dengan Allah dan dengan sesama insan demi kebahagiaan hidup
manusia di dunia ini dan di akhirat kelak.
3. Petunjuk tentang akhlak, mengenai yang baik dan buruk yang harus diindahkan
leh manusia dalam kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial.
4. Kisah-kisah umat manusia di zaman lampau. Sebagai contoh kisah kaum Saba
yang tidak mensyukuri karunia yang diberikan Allah, sehingga Allah menghukum
mereka dengan mendatangkan banjir besar serta mengganti kebun yang rusak itu
dengan kebun lain yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah pahit rasanya.
5. Berita tentang zaman yang akan datang. Yakni zaman kehidupan akhir manusia
yang disebut kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan
sangkakala (terompet) oleh malaikat Israil. “ Apabila sangkakala pertamaditiupkan,
diangkatlah bumi dan gunung-gunung, la- lu keduanya dibenturkan sekali bentur.
Pada hari itulah terjadilah kiamat dan terbelahlah langit...”. (Qs al-Haqqah (69) : 13-
16.
6. Benih dan Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
7. Hukum yang berlaku bagi alam semesta.
4. Keutamaan Al-Qur’an ditegaskan dalam Sabda Rasullullah, antara lain:
1. Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an
dan mengajarkannya
2. Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur’an (HR.
Turmuzi)
3. Orang-orang yang mahir dengan Al-Qur’an adalah beserta malaikat-malaikat
yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an dan kurang fasih
lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala
(HR. Muslim).
4. Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah
hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).
5. Bacalah Al-Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al-Qur’an sebagai
penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi).
5. Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
1. Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia
dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini
tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu
Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia
dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan
lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut
hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia
dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini
tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu
Akhlaq atau Tasawuf.
BAB IIIPENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Islam adalah dua kata dalam bahasa Indonesia yaitu kata "hukum" dan
"Islam". Kata "hukum" dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa Arab
yaitu kata (al-hukmu) yang merupakan bentuk singular/tunggal, adapun
bentuk plural/jama'nya adalahاألحكام (al-ahkam). Secara etimologi kata ini berarti
yang (al-qadha) القضاء bermakna memutuskan, memimpin, memerintah,
menetapkan dan menjatuhkan hukuman, Al-Fairuz Abady menyatakan bahwa kata
-al) الحكم hukmu) dengan dhamah berartiالقضاء (al-qadha) yaitu mengadili,
bentuk jama'nya adalahاألحكام (al-ahkam).
Pembagian Hukum Islam Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi
hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taqlifi menurut para ahli ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan Allah
dan rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik
dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak
berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi
penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taqlifi.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.com /hukumislamdanpembagiannya . Rabu, 12 Desember
2012
Ali, Zainuddin, Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2006
Effendi, Satria. M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Grouf,
2009