8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia, kata perkawinan berasal dari kata kawin yang
menurut bahasa artinya perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri.1
Pengertian perkawinan menurut arti kata berarti bergabung, hubungan
kelamin dan juga berarti akad. Dalam arti terminologis artinya; akad atau
perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan
menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja.2
Nikah berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami
dan beristri secara resmi.3 Nikah adalah perjanjian, dapat dimaknai tidak hanya
dimensi jasmani saja, tetapi juga dimensi rohani dan aqli. Artinya, menikah
merupakan sebuah perjanjian seutuhnya seseorang sebagai manusia yang
memiliki dimensi fisik, rohani ataupun kecerdasan akal.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 2007), hlm. 531-532.
2 Amir Syarifuddin, Garis-garis Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 74.3 Lukman A. Irfan, Nikah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 1-2.4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab I Pasal 2 ayat (2).
9
Perkawinan adalah sebuah gerbang untuk membentuk keluarga yang
bahagia.5 Perkawinan itu sendiri adalah suatu hal yang sangat dianjurkan.6
Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan di dalam bidang hukum keluarga.7 Adapun menurut Kompilasi
Hukum Islam, perkawinan adalah akad yang sangat kuat dan mitsaaqan
ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.8 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah.9
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa arti perkawinan atau
pernikahan adalah suatu akad perikatan untuk menghalalkan hubungan
kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang
dengan cara yang diridhai Allah SWT.
Perkawinan merupakan sesuatu yang suci, sesuatu yang dianggap luhur
untuk dilakukan. Bahkan menikah dapat mendatangkan rezeki.10 Oleh karena itu,
apabila seseorang hendak melangsungkan perkawinan dengan tujuan sementara
saja seolah-olah sebagai tindakan permainan, agama Islam tidak
memperkenankannya. Perkawinan hendaknya dinilai sebagai sesuatu yang suci,
5 Anik Farida, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai KomunitasAdat, (Jakarta Timur: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007), hlm. 3.
6 Sayyid Muhammad Ridhwi, Marriage & Morals in Islam, (Jakarta: PT. Lentera Basritama,1997), hlm. 28.
7 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka Cipta,1997), hlm. 98.
8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,1992), hlm. 114.
9 Ibid., hlm. 114.10 Yusuf Anas, Fikih Khusus Dewasa, (Jakarta: Al-Huda, 2010), hlm. 5.
10
yang hanya akan dilakukan oleh orang-orang dengan tujuan luhur dan suci. Hanya
dengan demikian tujuan perkawinan dapat tercapai.
Perkawinan erat kaitannya dengan upaya membentuk rumah tangga, yaitu
unit terkecil dalam suatu masyarakat, suatu tempat dimana orang menyusun dan
membina keluarga.11 Dengan kata lain berkeluarga berarti memupuk sebuah
keluarga baru antara suami istri melalui jenjang pernikahan, menyatukan watak
yang berbeda antara keduanya, menjalin hubungan yang erat dan harmonis,
bekerja sama untuk mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani masing-masing.
Membesarkan dan mendidik anak-anak yang akan lahir, menjalin persaudaraan
antara keluarga besar dari pihak suami dengan keluarga besar dari pihak istri,
bersama-sama mengatasi kesulitan dan problematika yang mungkin terjadi dan
bersama-sama mentaati perintah agama.
1. Dasar Hukum Perkawinan Islam
Perkawinan merupakan perintah agama yang langsung difirmankan
oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an, diantaranya;
12
11 Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002),hlm. 46.
12 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ al Malik Fahdli Thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1415 H), hlm. 114.
11
Artinya; “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telahmenciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allahmenciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allahmemperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga danMengawasi kamu” (QS. an-Nisa: 1).
13
Artinya; “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, danorang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamuyang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jikamereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nyadan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS.an-Nur: 32).
Adapun hukum pernikahan menurut Islam dapat digolongkan menjadi 5
(lima) macam, yaitu;
a. Wajib
Perkawinan wajib hukumnya bagi orang yang telah berkeinginan
kuat untuk menikah, telah mempunyai kemampuan untuk melakukan dan
bertanggung jawab akan kewajibannya dan khawatir apabila tidak menikah
akan mudah terjerumus dalam perbuatan zina.
b. Sunnah
13 Ibid., hlm. 549.
12
Perkawinan sunnah hukumnya bagi orang yang telah berkeinginan
kuat untuk menikah, mempunyai kemampuan untuk melakukan dan
bertanggungjawab akan kewajibannya, tetapi tidak khawatir melakukan
perbuatan zina bila tidak menikah.
c. Haram
Perkawinan haram hukumnya bagi orang yang belum berkeinginan
serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan
bertanggungjawab atas kewajibannya, karena justru apabila kawin akan
membawa kemadharatan.
d. Makruh
Perkawinan menjadi makruh hukumnya bagi orang yang telah
berkeinginan kuat untuk kawin, tetapi dikhawatirkan tidak atau belum
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan bertanggung jawab akan
kewajibannya dan apabila tidak menikah tidak ada kekhawatiran akan
berbuat zina.
e. Mubah
Perkawinan menjadi mubah hukumnya bagi orang yang tidak
terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan kawin maupun alasan-alasan
yang mengharamkan kawin.14
2. Rukun dan Syarat Pernikahan
14 Rois Mahfud, Al-Islam (Pendidikan Agama Islam), (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 38-39.
13
Rukun perkawinan menurut istilah adalah sighat, calon suami, calon
istri, dua orang saksi, mas kawin (mahar), wali.15 Adapun syarat-syarat sahnya
perkawinan dalam Islam untuk masing-masing rukun tersebut adalah;
a. Syarat calon mempelai laki-laki;
1) Beragama Islam
2) Jelas laki-laki
3) Jelas orangnya
4) Dapat memberikan persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan16
b. Syarat calon mempelai wanita;
1) Beragama Islam
2) Perempuan
3) Jelas orangnya
4) Dapat dimintai persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan17
c. Syarat wali nikah;
1) Baligh
2) Berakal
3) Merdeka
4) Laki-laki
15 Mukhsin Nyak Umar, Wali Nikah (Perspsektif Empat Mazhab), (Aceh: NadiyaFoundation, 2006), hlm. 22-26.
16 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009),hlm. 12.
17 Zainudin Ali, Op. Cit., hlm. 12.
14
5) Islam18
3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Perkawinan bukanlah suatu sarana yang bersifat permainan, tetapi
memiliki dimensi yang jauh lebih penting dalam rangka membina rumah
tangga yang bahagia dan sejahtera. Dalam hal ini perkawinan memiliki
maksud dan tujuan yang sangat mulia berkenaan dengan pembinaan
keluarga yang diliputi cinta dan kasih sayang antara suami dengan istri,
timbul rasa kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan adanya
kasih sayang antara sesama keluarga.
Faedah pernikahan diantaranya; 1) membantu memelihara kemaluan,
menahan pandangan, serta menjaga agama dan akhlak, 2) Pahala dan
balasan yang besar dengan memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya untuk
menikah, 3) mewujudkan jalinan kasih sayang dan kesehatan antara suami-
istri yang dapat menepis kesedihan dan mengatasi penyakit jiwa dan fisik
yang disebabkan oleh kesendirian, dan hidup membujang.19
Sebagaimana firman Allah
20
18 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 201.19 Syaikh Fuad Shalih, Liman Yuridu az-Zawaj wa Tajawaz (terj.), (Solo: PT. Aqwam Media
Profetika, 2008), hlm. 23.20 Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 644.
15
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakanuntukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderungdan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramurasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itubenar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS.ar-Rum: 21).
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban
anggota keluarga. Sejahtera artinya tercipta ketenangan lahir dan batin
disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir batinnya. Tujuan perkawinan
selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan biologis yang mendasar untuk
berkembang biak. Anak-anak merupakan pernyataan dari rasa keibuan dan
kebapakan.21
Dari sudut pandang sosiologis, perkawinan merupakan sarana
fondamental untuk membangun masyarakat sejahtera berdasarkan prinsip-
prinsip humanisme, tolong menolong, solidaritas dan moral yang luhur.
Dilihat dari sudut ekonomi, perkawinan merupakan sarana fondamental
untuk menumbuhkan etos kerja dan rasa tanggung jawab yang kuat terhadap
pekerjaan, efektif dan efesiensi. Sedangkan dilihat dari sudut kedokteran,
perkawinan merupakan tahap awal kehidupan seks yang sehat serta bebas
dari penyakit, bebas dari gangguan jiwa dan proses regenerasi yang sehat
dan sejahtera.
21 Abdur Rahman, Shari’ah the Islamic Law (terj), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hlm. 5.
16
Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah menyatakan beberapa
keutamaan dan faedah perkawinan, diantaranya;
a. Manusia terhindar dari perbuatan zina, karena manusia memiliki naluri
seksual yang paling kuat dan eksplosif.
b. Perkawinan merupakan cara yang ditempuh manusia untuk berkembang
biak dan mendapatkan keturunan yang baik.
c. Dengan perkawinan, naluri kaibuan dan keayahan akan tumbuh
sempurna.
d. Perkawinan akan menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab
berumah tangga.
e. Dengan perkawinan akan muncul dan berkembang pembagian tugas yang
di satu pihak sesuai dengan keadaan rumah tangga, sedang di pihak lain
sesuai dengan keadaan dan suasana luar.22
Adapun manfaat nikah sebagai berikut;
a. Dikarunianya anak.
b. Dapat melindungi dari setan, mengatasi keinginan hawa nafsu yang
meletup-letup, menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan.
c. Dapat menghibur dan dan memanjakan diri dengan duduk bersantai
memandang dan bercanda dengan keluarga.
d. Memberi keleluasaan hati dalam mengatur rumah tangga.
22 Rois Mahfud, Op. Cit., hlm. 39-40.
17
e. Berjuang melatih diri dengan cara mengurus serta melaksanakan hak-hak
isteri, sabar mendidik akhlaknya, ikut menanggung penderitaannya dan
berusaha membimbingnya ke jalan yang lurus.23
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari
perkawinan untuk mewujudkan pribadi-pribadi yang sakinah (tenteram dan
damai) yang dilandasi oleh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang).24
4. Batasan Usia Pernikahan
Kedewasaan menjadi salah satu faktor penting dalam membina
kehidupan rumah tangga seseorang. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan
hanya diijinkan jika pihak pria sudah berusia 19 tahun dan pihak istri
mencapai usia 16 tahun. Adapun bagi calon mempelai yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat ijin dari orang tua, sebagaimana diatur dalam
pasal 6 ayat 2, 3, 4,5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Dengan kata lain bagi pria atau wanita yang telah mencapai umur 21
tahun tidak perlu ada izin dari orang tua untuk menikah. Hal ini juga
dijelaskan dengan pasal 7 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa
yang perlu memakai izin orang tua untuk melakukan perkawinan ialah pria
23 Syaikh Hafizh Ali, Kado Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 13.24 Lukman A. Irfan, Op. Cit., hlm. 2.
18
yang telah mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang telah mencapai
umur 16 tahun.25
Ketentuan yang sudah ada dalam undang-undang ini menganut
prinsip bahwa calon suami-istri harus telah “masak jiwa raganya” untuk
dapat melangsungkan perkawinan, supaya dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapatkan
keturunan yang baik dan sehat.26 Dan tidak bisa dipungkiri bahwa dalam
perkembangannya terdapat perbedaan pendapat mengenai batasan usia
kedewasaan ini.
Hukum adat pada umumnya tidak mengatur batas umur seseorang
untuk melaksanakan perkawinan. Kedewasaan seseorang didalam hukum
adat diukur dengan tanda-tanda tubuh. Bagi anak wanita dikatakan sudah
dewasa apabila sudah haid (datang bulan), dan buah dada sudah menonjol.
Bagi anak pria ukurannya hanya dilihat dari perubahan suara, bangun tubuh,
sudah mengeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks.
Walaupun dalam Islam tidak ditemukan batasan umur yang pasti
mengenai ketentuan umur yang ideal dalam melaksanakan perkawinan. al-
Qur’an hanya menyebut konsep nikah tanpa mempersoalkan usia, akan
tetapi dalam perkembangannya terdapat perbedaan mengenai batasan usia
diperbolehkannya seseorang melakukan pernikahan.
5. Pernikahan Dini
25 Abdurrahman, Op. Cit., hlm. 117.26 Penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
19
“Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan yang salah satu
atau kedua mempelai masih di bawah umur 16 tahun untuk wanita
dan 19 tahun untuk pria”.27
Orang yang akan menikah, menurut hukum di Indonesia harus
memenuhi batas umur minimal. Seorang calon mempelai yang akan
melangsungkan pernikahan dan belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin orang tua.
Di pedesaan, menikah di usia muda masih wajar dilakukan.28 Umur
perkawinan di daerah pedesaan lebih muda dari pada di perkotaan.
Pernikahan dini yang terjadi di desa biasanya disebabkan karena tingkat
pendidikan yang rendah. Sedangkan sebab yang lain adalah terjadi hamil
diluar nikah atau biasa disebut “kecelakaan”. Kasus hamil diluar nikah lebih
banyak terjadi di perkotaan dari pada di desa. Hal ini karena pergaulan
bebas antara laki-laki dan perempuan di kota.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan
dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh perempuan yang berumur
dibawah 19 tahun, dan laki-laki yang berumur dibawah 20 tahun. Pasangan
muda pernikahan dini harus diberikan pembekalan yang memadai tentang
norma-norma berkeluarga, adat istiadat, perilaku dan budaya malu, rasa
hormat, dan pemahaman agama. Selain itu harus ditunjukkan tentang
luhurnya sebuah pernikahan.
27 Lukman A. Irfan, Op. Cit., hlm. 26.28 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), hlm. 205.
20
Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat bagi
kehidupan manusia karena adanya nilai-nilai yang luhur dan beberapa
tujuan utama yang baik bagi manusia yaitu untuk mencapai kehidupan yang
bahagia dan menjauhi dari ketimpangan dan penyimpangan.29
Pernikahan dini memberikan pendapat yang berbeda-beda kepada
orang lain, ada yang setuju dan ada yang tidak. Dalam agama Islam,
pernikahan dini tidak dilarang, karena hal ini dapat mencegah perzinaan.
Pernikahan dini memiliki kerugian dan keuntungan.
a. Kerugian Pernikahan Dini
Kerugian pernikahan dini akan lebih dirasakan oleh wanita.
Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang menetapkan batas umur kawin 16 tahun untuk
wanita, dapat menimbulkan kerugian sebagai berikut;
1) Pada usia 16 tahun seorang wanita sedang mengalami masa pubertas,
yaitu masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Pada usia ini
seorang wanita belum siap fisik dan mentalnya menjadi ibu rumah
tangga.
2) Kawin pada usia muda (16 tahun) berarti wanita tersebut paling tinggi
baru memperoleh pendidikan 9 tahun (tamat SMP). Pendidikan pada
wanita mempengaruhi beberapa hal, diantaranya pendidikan anak-
29 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Amzah: 2009), hlm. 39.
21
anak dan keberhasilan program keluarga berencana serta
kependudukan.
3) Kawin usia muda berarti memberi peluang kepada wanita belasan
tahun untuk hamil dengan resiko tinggi.
4) Kawin pada usia muda berarti memperpanjang kesempatan
reproduksi.
5) Kawin pada usia muda merupakan faktor predis posisi untuk KLR
(Kanker Leher Rahim)30.
Selain pendapat di atas, masih ada kerugian dalam pernikahan
dini yaitu adanya ketidakmatangan emosi. Mereka seharusnya tidak
kawin sampai emosi dan pandangan mereka tumbuh dan matang. Setiap
perkawinan dimana salah satu pihak tidak dewasa adalah beresiko.
Mereka cenderung belum dapat menerima tanggung jawab yang perlu
untuk suatu perkawinan yang bahagia, kerugian juga terjadi dalam
keuangan.
Perkawinan jika dilakukan terlalu dini dalam umur belasan tahun,
biasanya keibuan (melahirkan anak) datangnya lebih cepat juga, dan
timbullah komplikasi. Kesukaran-kesukaran keuangan mengakibatkan
kejengkelan pada kedua pihak, dan kemudian keinginan seksual.
b. Keuntungan Pernikahan Dini
30 Ahmad Tholabi Kharlie, Op. Cit., hlm. 213.
22
Pernikahan dini tidak hanya memberikan kerugian-kerugian tetapi
juga keuntungan. Ada beberapa keuntungan yang bisa ditarik dan diambil
manfaatnya dari pernikahan dini, yaitu;
1) Merupakan amalan sunnah.
2) Allah tidak menyukai tindakan yang terburu-buru, kecuali pada tiga
hal yang diantaranya menikahkan seorang anak gadis ketika datang
orang yang cocok.
3) Dengan umur yang masih dini, membuat si gadis hanya
berkesempatan untuk memandang satu laki-laki suaminya.
4) Mencegah meluasnya bahaya zina.31
Segala sesuatu hendaknya jangan dilihat dari satu sisi saja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa tentang pernikahan
dini hendaknya jangan dilihat dengan kacamata sebelah saja. Selain
melihat kerugiannya, pernikahan dini juga memiliki keuntungan.
B. Wali
1. Pengertian Wali
Kata wali adalah mufrad dari auliya, yang berarti mencintai, dekat,
teman, menolong, orang yang mengurus, tetangga.32 Wali menurut istilah
ulama Fiqh ada beberapa pengertian yaitu; Wali adalah suatu ketentuan
hukum syara’ yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan
bidang hukumnya. Perwalian itu ada yang umum dan ada yang khusus.
31 Ummu Aisyah, Az-Zawaj al-Mubakir, (terj.), (Solo: Samudera, 2008), hlm. 47-49.32 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Al Munawir, Cet. XIV, (Surabaya: PT.
Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1582.
23
Perwalian yang khusus adalah berkenaan dengan manusia dan harta benda.
Pembicaraan disini dibatasi pada masalah perkawinan yang berkaitan
dengan manusia dan masalah wali nikah.
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon wanita yang hendak menikahkannya.33 Keberadaan wali sebagai
salah satu syarat sahnya pernikahan didasarkan kepada sabda Nabi SAW;
34النكاحإالبوليوشاھدىعدل
Dalam suatu pernikahan, perempuan tidak boleh menikahkan dirinya
sendiri melainkan harus menyerahkan kepada pihak walinyaJika wali nikah
dilakukan oleh orang yang tidak berhak menjadi wali nikah, maka
perkawinan itu adalah batal.35 Wali dalam suatu pernikahan merupakan
hukum yang harus dipenuhi calon mempelai wanita yang bertindak
menikahkannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah. Perwalian
dalam perkawinan adalah suatu wewenang syar’i atas segolongan manusia
yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu
pada orang yang dikuasai, demi kemaslahatannya sendiri.
Dalam hal hak perwalian, wali nikah bisa terjadi karena lima hal,
antara lain;
33 Abdurrahman, Op. Cit., hlm. 118.34 Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah at-Tirmidzi, al-Jami’ as-Shahih, (Beirut: Dar al-
Fikr, tt), hlm. 1020.35 Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 111.
24
a. Hubungan kekerabatan baik kerabat dekat (seperti ayah, kakek, dan anak
laki-laki) maupun kerabat jauh (seperti anak laki-laki paman, saudara
ayah atau saudara ibu).
b. Hubungan pemilikan, seperti hamba sahaya dengan tuannya.
c. Hubungan yang ditimbulkan karena memerdekakan budak. Seseorang
mempunyai hubungan secara syara’ dengan hamba sahaya yang telah
dimerdekakannya. Oleh karena itu, menurut ulama Fiqh, orang tersebut
dapat mewarisi harta hamba sahaya yang dimerdekakannya dan berhak
memaksa hamba sahaya itu menikah dengan seorang wanita.
d. Hubungan mawali yaitu hubungan yang disebabkan perjanjian antara dua
orang yang mengikatkan diri untuk saling membantu apabila salah satu
pihak dikenakan denda karena melakukan sesuatu tindak pidana, seperti
pembunuhan. Pihak yang membantu ikut menanggung beban biaya denda
tersebut dan berhak mewarisi dan menjadi wali nikahnya.
e. Hubungan antar penguasa dan warga Negara, seperti kepala Negara,
wakilnya atau hakim. Mereka berhak menjadi wali bagi orang yang tidak
mempunyai wali dari kerabat dekat dalam pernikahan.36
Adapun orang-orang yang sah menjadi wali adalah;
a. Bapak
b. Kakek, yaitu bapak dari bapak
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki sebapak
36 Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. ke-3, (Jakarta: PT. Ictiar BaruVan Hoeve, 1996), hlm. 1337.
25
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak
g. Saudara bapak yang laki-laki (paman)
h. Anak laki-laki dari paman
i. Hakim37
2. Dasar Hukum Wali
Untuk mengurai dasar hukum wali nikah tidak ditemukan ayat-ayat
al-Qur’an yang menjelaskan secara detail dan terperinci, namun ada
beberapa ayat al-Qur’an yang menunjukkan keharusan adanya wali dalam
pernikahan sehingga ayat tersebut digunakan dasar hukum adanya wali
dalam pernikahan. Allah berfirman;
....38
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelummereka beriman (QS. Al-Baqarah: 221).
Ayat tersebut ditujukan kepada wali supaya mereka tidak
menikahkan wanita-wanita Islam kepada orang-orang musyrik. Andaikata
wanita itu mempunyai hak secara langsung untuk menikahkan dirinya tanpa
wali, maka tidak ada artinya ayat tersebut ditujukan kepada wali. Tetapi
karena akad nikah adalah urusan wali, maka larangan tersebut ditujukan
kepada wali.
37 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),hlm. 139.
38 Departemen Agama, Op. Cit., hlm. 85.
26
Muhammad Abduh menafsirkan ayat tersebut bahwa laki-laki itu
menikahkan dirinya dan menikahkan para wanita yang menyerahkan
urusannya terhadap orang lain (wali). Sebab, seorang wanita tidak bisa
menikahkan dirinya secara bebas tetapi harus dengan wali. Hal ini
dikarenakan perwalian itu merupakan kerabat (keluarga) dan kasih sayang
antara keluarga serta dalam pergaulan. Hal itu tidak akan sempurna dan
tercapai manfaatnya kecuali dengan pertolongan dan perantaraan wali
terhadap wanita, serta adanya persyaratan kerelaan dan izin wanita secara
terus terang bagi seorang janda dan diam bagi persyaratan seorang gadis
yang masih diliputi rasa malu.
Kemudian dalam ayat lain;
39
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masaiddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi merekakawin lagi dengan bakal suaminya. Apabila telah terdapatkerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf” (QS. al-Baqarah: 232).
39 Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 87.
27
3. Macam-macam Wali
Dalam pernikahan dikenal adanya beberapa macam wali,
diantaranya;
j. Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai hak paksa. Wali nikah
ini mempunyai hak memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan
seorang laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini
mempunyai adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas
dengan perempuan yang akan menikah. Wali mujbir dapat mengawinkan
anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk
kebaikannya.
Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat-syarat sebagai berikut;
1) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu’.
2) Jika mahar yang diberikan calon suami sebanding dengan kedudukan
putrinya (mahar mithl).
3) Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakannya.
4) Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya
dan dengan laki-laki (calon suaminya).
5) Jika putrinya tidak mengikrarkan ia tidak perawan lagi.
k. Wali Nasab
Wali nasab merupakan wali nikah yang memiliki hubungan
keluarga calon calon pengantin perempuan. Wali nasab ialah saudara
28
laki-laki sekandung, bapak, paman, beserta keturunannya menurut gadis
patrilineal (laki-laki).
l. Wali Hakim
Wali hakim merupakan wali yang ditunjuk dengan kesepakatan
kedua belah pihak (calon suami istri). Wali hakim itu harus mempunyai
pengetahuan sama dengan qadhi.
Wali hakim yaitu hakim atau naibnya dapat tidak bertindak
menjadi wali nikah bagi perempuan yang sudah baligh, berakal serta
kepada kufu’-nya, yaitu laki-laki yang sebaya/sepadan dalam
kedudukannya dengan perempuan itu yang berada dalam wali
kekuasaannya bilamana;
1) Walinya sudah mati semua, tiada yang masih hidup, atau
2) Wali akrabnya sedang tidak ada, yaitu sedang bepergian yang
jaraknya dua marhalah (yaitu lebih kurang = 90 km), sulit dihubungi
serta tidak ada wakilnya.
3) Wali akrabnya bertempat tinggal di tempat lain yang jauhnya kurang
dari 2 marhalah, hanya sukar untuk menemuinya karena dalam
perjalanannya ada gangguan keamanan wali akrabnya sedang tahanan
yang tidak diizinkan untuk dihubungi meskipun dengan surat.
4) Wali akrabnya sudah lama menghilang tanpa berita, tanpa alamat,
entah masih hidup atau sudah mati atau sudah terjadinya peperangan
atau sudah terjadinya kerusakan kapan yang ditumpanginya.