Download - 38853512 Refrat THT Nasofaring Angiofibroma
REFERAT
JUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA
Disusun oleh :Daksa Pradhana 030.03.051
Pembimbing :Dr. Anna Maria S Sp.THT
Kepaniteraan klinik ilmu penyakit THTRumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
Periode 8 Juni – 11 Juli 2009FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA2009
Lembar Pengesahan
[Type text]
Nama Penulis : Daksa Pradhana
NIM : 030.03.051
Judul Referat : Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing Dr. Anna Maria S, Sp.THTPada hari dan tanggal 7 Juli 2009
Bogor, Juli 2009
Dr. Anna Maria S, Sp.THT
KATA PENGANTAR
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 2
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas segala limpahan
rahmatnya serta karunianya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat
menyelesaikan Refrat dengan judul “Juvenile Nasopharynx Angiofibroma”. Refrat ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik THT di
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi yang dimulai tanggal 8 Juni 2009 sampai 11
Juli 2009.
Penulis menyadari bahwa Refrat ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari
berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Dr. Anna Maria S, Sp. THT , atas
keluangan waktu dan bimbingannya dalam cara menyusun Refrat yang baik dan
benar dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama penulis
menjalani Kepaniteraan klinik di bagian THT.
Penulis menyadari bahwa dalam kurangnya pengetahuan dan pengalaman
penulis, waktu yang terbatas untuk pengumpulan data dan membuat penulisan
referat ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka
untuk menerima segala kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan referat
ini Akhirnya semoga Refrat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan setiap
pembaca pada umumnya Amin...
Wassalamu`alaikum Wr. Wb.
Penulis
DAFTAR ISI
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 3
LEMBAR PENGESAHAN 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
BAB I PENDAHULUAN 5
BAB II ANATOMI NASOFARING 6
BAB III JUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA 7
ETIOLOGI 7
LOKASI 8
PATOLOGI 8
PATOFISIOLOGI 10
MANIFESTASI KLINIS 11
PEMERIKSAAN PENUNJANG 13
STADIUM 16
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS 17
PENATALAKSANAAN 17
KOMPLIKASI 21
PROGNOSIS 21
BAB IV
RADIOSURGERY SEBAGAI ALTERNATIF TERAPI JNA DI MASA DEPAN 23
REFERENSI 26
BAB I
PENDAHULUAN
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 4
Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal angiofibroma)
adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis
bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya,
seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak (cranial vault), serta sangat
mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh
darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada
perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga
angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngeal angiofibroma”). Tetapi
istilah juvenile ini tidak sepenuhnya tepat karena neoplasma ini kadang ditemukan
juga pada pasien yang lebih tua. Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur
antara lain: juvenile angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal
cavity tumor, nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor),
nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia. Sekarang ada kesepakatan
bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang
terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya, bervariasi antara umur 7 dan 19
tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien
lebih dari 25 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani
pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan.
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring,
tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Insiden dari
angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur
Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap
tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and
Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976)
mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and
Ear Hospital dimana didapat kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London
dibanding di New York. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.
Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis. Eksisi
JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu pada
eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor mikroskopik.
Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi belum ada
yang benar-benar bisa menjelaskan dengan baik.
BAB II
ANATOMI NASOFARING
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 5
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus,
yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba
eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu
jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial
glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan
arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian
lateral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
BAB III
JUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 6
ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan.
Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal dari sex steroid-
stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh
hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang
terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). Banyak bukti memperlihatkan
secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA),
reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini
secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada
angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan
mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma
nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan studi imunositokimia
menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus
endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3%
positif antibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil membuktikan
langsung adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi
agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau
faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk
inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan
dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi
angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan
pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil
mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor
gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene.
Gen glutation-S-transferase M1 (GSTM1) yang biasa terdapat pada sel manusia dan
mempunyai fungsi sebagai sitoprotektor terhadap antioksidan biasanya gen ini
menghilang pada para perokok. Hilangnya GSTM1 memicu keganasan pada traktus
respiratorius bagian atas. Gautham dkk menyelidiki hubungan perubahan pada
GSTM1 pada pasien non perokok yang menderita JNA. Hasilnya menunjukkan tiga
dari delapan pasien tidak menunjukkan tidak terdapatnya GSTM1.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 7
Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah protein perangsang
pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan janin. IGFFII ditemukan bersamaan
dengan pertumbuhan jaringan tumor pada 53 % dari pasien JNA. Ini juga
membuktikan bahwa gen IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan tumor JNA.
Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar
adenomatous polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi
autosomal dominan yang ditandai dengan beberapa adenoma di traktus
gastrointestinal, kecenderungan terjadinya adenokarsinoma dan keganasan-
keganasan lain di ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP
ekstrakolon dengan JNA yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada
pasien dengan sindrom ini.
Pengetahuan tentang patologi dari JNA sudah mulai ditelti sejak beberapa dekade
yang lalu. Dengan kemajuan di bidang studi anatomopato;ogik masih sedikit
penelitian mengenai aspek genetik dan molekular dari JNA. Kebanyakan penelitian
tentang genetika JNA memberikan hasil yang tidak bisa disimpulkan atau tidak
menambah banyak informasi tambahan terhadap pengetahuan tentang tumor
tersebut.
LOKASI
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar
nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul
dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen
sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring
dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus
maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.
PATOLOGI
Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak
agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari
merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu
dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian
yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau
abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa
padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi.
Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari
endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus,
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 8
pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma,
menyebabkan perdarahan yang berlimpah.
Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid,
jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara
lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan
seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas,
mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis
tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin
padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.
Gambar 1. Reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak sebuah massa yang besar, tidak
bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang sebelumnya berada dalam nasofaring.
JNA juga dapat berbentuk bertangkai (pedunculated) atau polypoid
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 9
Gambar 2. Gambaran histologis dari JNA. Tampak gambaran fibrosit berbentuk
bintang (tanda *) dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh darah berdinding tipis
(tanda panah)
PATOFISIOLOGI
Menurut Mansfield E (2006) , asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-
lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina
dan aspek posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya
area jaringan endotel di daerah ini.
Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah
menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak
dan menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.
Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 10
Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina.
Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-
shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya
meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya
ke anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung
terisi pada satu sisinya, dan septumnya berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi
(eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika
tumor berkembang lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding
posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid)
dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus
optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada
pasien yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit
melibatkan pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika
dibandingkan dengan JNA.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang
paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna
darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini,
biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke
rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 11
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi
(unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya
sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye
pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit mulut
(swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek), dan
rhinolalia.
Tanda
1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal
posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak
bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di
hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging
palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa
mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya
disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata
(orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata
menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang
merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga
terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun
hal ini jarang terjadi.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 12
Gambar 3. Foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan bagian
tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
Biopsi
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang
(mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang
berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun
mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal.
Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi perdarahan.
Karena karakteristik klinis dan gambaran raadiografi mungkin banyak klinisi yang
merasa perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi biopsi dari lesi JNA dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring
juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun
didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut
dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa,
seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan,
biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 13
Pemeriksaa Radiologis
FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring.
Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yaitu
pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fissura pterigopalatina
membesar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring
yang dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah di sekitar nasofaring.
CT SCAN dan MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar,
atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.
MRI sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari lesi
JNA sehingga bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan
keganasan yang lain. Lesi juga menunjukkan peningkatan kontras pada CT scan dan
MRI dan aliran vaskulerdalam lesi akan teridentifikasi pada MRI. Gambaran
pembesaran yang hampir homogen dari lesi ini membedakannya dengan massa
vaskuler lain seperti arteriovenous malformation. Untuk membedakan dengan
gambaran jaringan lunak homogen lainnya seperti peradangan sinus dan mukosa
hidung akan dapat jelas dibedakan dengan MRI. Slain itu CT scan dan MRI apat
menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari
keterlibatanintrakranial.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 14
Gambar 4a (atas kiri). CT scan coronal dari lesi yang mengisi rongga hidung kiri dan sinus ethmoidalis. Lesi juga menutup sinus maksilaris dan mendorong septum nasi berdeviasi ke kanan.
Gambar 4b (atas kanan). CT scan axial yang menutuprongga hidung kanan dan sinus paranasal
Gambar 4c (bawah). CT scan coronal yang menunjukkan ekspansi lesi ke sinus kavernosus.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 15
ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi
ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris
interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya
penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya
gagal.
Gambar 5. Gambaran angiogram JNA
STADIUM
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang
terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging
System diperlukan untuk memilih pendekatan bedah untuk mengeluarkan JNA,
Chandler dkk merekomendasikan sistem stadium untuk kanker nasofaring oleh AJC :
Stadium I : Tumor di nasofaring.
Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa
pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Klasifikasi Menurut Sessions
Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.
Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring
dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.
Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.
Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa
erosi superior dari tulang-tulang orbita.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 16
Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial
fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.
Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa
perluasan ke sinus kavernosus.
Klasifikasi Menurut Fisch
Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa kerusakan
tulang.
Stadium II – Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal
dengan kerusakan tulang.
Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio
parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.
Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan
atau fossa pituitari.
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal,
teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma,
karsinoma sel skumous).
2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.
3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.
4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
5. Polip koanal (choanal polyp).
6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
8. Kordoma (chordoma).
9. Karsinoma nasofaring.
PENATALAKSAAN
EMBOLISASI
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut
dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 17
dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Biasanya agen embolisasi
dimasukkan melalui arteri karotis eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai
darah yang cukup masih bisa didapat dari arteri karotis interna dan arteri-arteri
etmoidalis. Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung,
atau dapat langsung diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.
Embolisasi mampu untuk mengurangi pendarahan saat pembedahan sebanyak 60 –
80%
Gambar 6a (kiri). Gambaran angiografi JNA sebelum embolisasi
Gambar 6b (kanan). Gambaran angiografi setelah embolisasi
OPERASI
Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs anatomis di
basis cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan stadium
tumor. Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim operator mungkin berbeda.
Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk tumor-tumor yang kecil (tunor
stadium I) ,metode endoskop ini menjadi metode yang dipilih untuk tumor-tumor
tertentu di beberapa RS.
Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan JNA dari nasofaring
dimana sudah terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral. Untuk lesi dengan
pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin memilih pendekatan transfacial
melalui lateral rhinotomy dan medial maxillectomy. Teknik midfacial degloving bisa
juga digunakan. Lesi dengan penyebaran yang luas ke luar nasofaring akan
memerlukan kombinasi dari pendekatan-pendekatan pembedahan basis cranii untuk
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 18
mendapatkan pembukaan yang cukup untuk mengeluarkan lesi. Pendekatan facial
translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan untuk perluasan
koronal digunakan frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies untuk
jalan masuk. Pendekatan lateral melalui fossa infratemporal diperlukan untuk
mereseksi tumor yang membesar ke regio tersebut.
Terapi medikamentosa dengan diethylstilbestrol 2-3 minggu pre-operatif untuk
mengurangi perdarahan saat operasi. Anastesi yang bersifat hipotensif juga dipilih
untuk lebih baik lagi mengurangi perdarahan.
Gambar 7a dan 7b. Operasi pembedahan JNA dengan pendekatan midfacial degloving.
Dengan pendekatan ini bisa dibuka akses membuka tulang-tulang midfasial tanpa
meninggalkan luka/scar di wajah.Beberapa fraktur fasial dan tumor-tumor midfasial lain juga
bisa ditangani dengan pendekatan ini. Tampak JNA yang sangat besar sedang diangkat dari
ruang post nasal.
Contoh Suatu Kasus dan Tahapan Operasi Rhinotomy Lateral:
Anak laki-laki dengan riwayat sumbatan hidung sebelah kiri yang telah lama dan
riwayat tiga bulan epistaksis bilateral berulang. Pemeriksaan memperlihatkan massa
pada hidung kiri. Suatu angiofibroma nasofaring juvenile setelah pemeriksaan CT
Scan. Operasi pengangkatan dilakukan setelah pre-operatif angiografi dengan
embolisasi dari tumor. Operasi berjalan tanpa komplikasi atau membutuhkan
transfusi darah perioperatif. Tujuh tahun setelah pengangkatan tumor dengan tidak
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 19
buktirekuren.
1. Lateral rhinotomy sinistra dan membelah bibir. Membuat osteotomies maksillaris
medial.
2. Segmen maksillaris anterior dan lekukan hidung dibuka untuk melihat tumor yang
terletak dibawah.
3. Maksillotomy anterior diperluas kelateral untuk jalan masuk ke bagian lateral dari
tumor. Sphenoethmoidectomy dan dinding posterior sinus maksillaris dibuka untuk
penglihatan yang luas agar aman mengangkat tumor dari dasar tengkorak dan fossa
pterygomaksillaris atau infra temporal.
4. Tumor besar berbentuk “dumbell” diangkat.
5. Membuat dacrocystorhinostomy dan medial canthopexy. Cavum diisi dengan
pasta bismuth-iodoform-paraffin kawat impregnated. Segmen maksillaris media
dikembalikan dan difiksasi dengan kawat interosseous. Kartilago nasal bagian atas
samping disambungkan ke tulang untuk mencegah kolaps dari valvula nasal.
6. Insisi eksternal dan intraoral ditutup lapis demi lapis.
HORMONAL
Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan terapi
hormonal digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat reseptor
testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%.
Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.
RADIOTERAPI
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren atau ekspansif
ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau resiko yang
tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan pembedahan.
Biasanya dosis sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard untuk
mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi tumor
tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif radioterapi
sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan. Beberapa institusi
melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Penggunaan
radioterapi sebagai modalitas utama untuk penatalaksanaan JNA yang berhasil
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 20
pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari 27 pasien yang dilaporkan, tumor berhasil
dikendalikan pada 23 (85%) dan empat pasien akhirnya mengalami rekurensi setelah
dua hingga lima tahun. Akan tetapi komplikasi jangka panjang dari radioterapi
muncul pada empat pasien (15%) yaitu gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme,
nekrosis lobus temporalis, katarak, dan keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga
melaporkan keganasan kepala dan leher sekunder sebagai efek samping dari
radioterapi terhadap JNA.
Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi
radiasi tidak berguna dalam banyak kasus. Selain itu perlu diperhatikan juga efek
samping dari radioterapi. Prognosis dari radioterapi sendiri ditentukan oleh stadium
tumor. Yang mana lebih baik pada tumor stadium rendah tapi kurang memberi hasil
pada tumor stadium akhir.
KOMPLIKASI
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium
IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury terhadap
struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila tumor sudah
berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii.
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).
Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang
terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-
Ferguson.
Untuk komplikasi dari radioterapi Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena
kerusakan saraf mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant transformation),
gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, dan nekrosis lobus temporalis.
PROGNOSIS
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan
tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial,
suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 21
Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan
(recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100%
dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial.
Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika terjadi
kekambuhan.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 22
BAB IV
RADIOSURGERY SEBAGAI ALTERNATIF TERAPI JNA DI MASA DEPAN
Radiosurgery adalah prosedur medis yang masih cukup baru. Pertama kali
dikembangkan pada 1951. Teknologi canggih dan alat yang rumit dan mahal
membuat belum banyak instansi kesehatan memilikinya. Apalagi di negara
berkembang seperti Indonesia. Radiosurgery mempunyai prinsip dasar seperti
radioterapi yaitu menggunakan radiasi pengion untuk membunuh sel-sel tumor.
Perbedaannya adalah sinar pengion diarahkan dengan presisi tinggi sehingga tidak
merusak sel-sel yang sehat.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 23
Radiosurgery umumnya digunakan untuk keganasan-keganasan SSP yang biasanya
lokasinya cukup sulit untuk dijangkau dengan pembedahan terbuka atau beresiko
melukai jaringan-jaringan vital disekitarnya seperti arteri dan nervus. Untuk JNA
sendiri Radiosurgery belum menjadi indikasinya akan tetapi ada satu kasus yang
dilaporkan oleh Chul Kee Park dkk yang berhasil menangani JNA rekuren dengan
salah satu alat radiosurgery yang disebut Gamma Knife surgery (GKS).
Kasusnya adalah seorang pria 48 tahun dengan keluhan berkurangnya ketajaman
penglihatan mata kanan yang ditemukan dalam medical check up rutin. Visus
penglihatan di mata kanan dan kiri berurutan adalah 0,4 dan 1,2 tidak ditemukan
adanya kelainan dalam pemeriksaan neurologi termasuk pemeriksaan lapang
pandang dan gerakan mata.. pemeriksaan fisik ditemukan eksophtalmus ringan. MRI
menunjukkan sebuah massa infraorbital sebesar 3 cm di orbita kanan. OS kemudian
menjalani craniotomi frontotemporal kanan dengan pembukaan dinding lateral dan
langit-langit orbita untuk mendapatkan akses langsung menuju massa. Massa
dikeluarkan secara subtotal agar fungsi penglihatan terjaga. Visus pos-operatif
langsung dari mata kanan terjaga pada 0,5. Pemeriksaan histologis pada jaringan
massa mengkonfirmasi bahwa massa itu suatu JNA. Akan tetapi penglihatan OS
secara perlahan semakin memburuk dan sama sekali menghilang empat tahun
setelah operasi. MRI menunjukkan pertumbuhan kembali dari massa dalam orbita
kanan. Karena reseksi total dari tumor sulit dilakukan karena struktur vital (mata)
yang berada di dekatnya, OS coba ditangani dengan GKS. Vlume tumor diukur
sebesar 6,8 cm3 dan dosis radiasi sebesar 17 Gy kepada 50% dari garis isodosis
batas tumor.karena penglihatan mata kanan OS sudah menghilang pada saat GKS
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 24
dilakukan, dilakukan perawatan pada chiasma optikum dan nervus optikus
kontralateral. Dosis radiasi maksimal pada bagian nervus optikus ini adalah 5,4 Gy.
Penutup digunakan untuk mengurangi dosis radiasi ke lensa mata bilateral untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya katarak aikbat radiasi. OS berhasil mentoleransi
terapi tanpa komplikasi. MRI F=follow up rutin dilakukan setiap tahun dan
menunjukkan pengurangan ukuran tumor secara bertahap. 4 tahun setelah GKS
tumor hampir benar-benar menghilang. Tidak ada komplikasi yang timbul secara
klinis dan radiologis selama follow up.
Baik bedah maupun radioterapi sudah dilaporkan sangat efektif sebagai
penatalaksanaan JNA dengan angka rata-rata kesembuhan mencapai 80%. Akan
tetapi perlu dipikirkan komplikasi serius dari dari kedua moda terapi. Jika komplikasi
serius intervensi bedah seperti perdarahan masif dan infeksi bersifat langsung,
komplikasi dari radioterapi lebih lama dengan masa laten sekitar 20 tahun sebelum
munculnya komplikasi. Jadi menentukan penatalaksanaan yang paling optimal
diantara 2 moda tersebut menjadi sumber kontroversi. Cummings dan Harwood dkk
menganalisa resiko komplikasi kumulatif relatif diantara kedua moda terapi secara
numerik, dan mereka menyimpulkan kedua moda tersebut memiliki angka kumulatif
resiko sebesar 1:100
Radiosurgery mempunyai beberapa kelebihan dibanding bedah dan radioterapi.
Radiosurgery tidak invasif dan bebas dari komplikasi akut bedah seperti perdarahan
masif. Selain itu waktu pemulihan tentu lebih cepat ketimbang pemulihan post-
operasi. Untuk komplikasi jangka panjang, radiosurgery mempunyai resiko lebih kecil
ketimbang radioterapi konvensional secara teori karena perencanaan dosimetri yang
lebih akurat dengan jaringan sehat yang lebih sedikit terpapar radiasi.
Walaupun begitu radiosurgery bukan tanpa kelemahan. Radiosurgery sulit untuk
massa yang berukuran lebih dari 3cm karena dibutuhkan dosis radiasi yang besar.
Selain itu waktu untuk mencapai hasil yang diinginkan juga tetap lebih lama karena
massa tumor memerlukan waktu untuk regresi. Tentu ini bukan pilihan bagi kasus-
kasus yang gawat. Laporan keberhasilan terapi JNA dengan radiosurgery ini
mungkin bisa menjadikan JNA sebagai indikasi dilakukan radiosurgery. Akan tetapi
penelitian dan pengalaman lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi efektifitas
radiosurgery untuk terapi JNA. Terutama untuk efek samping jangka panjangnya.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 25
Referensi
1) Fauci, et.al. (Ed.) Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.
McGraw-Hill Companies, Inc. USA. 2008; Part 6: Chapter 79.
2) Goodenberger J, Ross PJ. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Radiol
Technol. Jul-Aug 2000;71(6):595-8.
3) Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine Specialties > Vascular Surgery >
Medical Topics. Jun 26, 2006.
4) Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam:
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi
Keenam. Editor: Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.
5) Schick B, Veldung B, Wemmert S, et al. p53 and Her-2/neu in juvenile
angiofibromas. Oncol Rep. Mar 2005;13(3):453-7.
6) Schuon R, Brieger J, Heinrich UR, et al. Immunohistochemical analysis of
growth mechanisms in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Eur Arch
Otorhinolaryngol. Dec 20 2006;
7) Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In: eMedicine Specialties
> Otolaryngology and Facial Plastic Surgery > Pediatric Otolaryngology. Feb
23, 2007.
8) Tyagi I, Syal R, Goyal A. Recurrent and residual juvenile angiofibromas. J
Laryngol Otol. Jan 9 2007;1-8.
9) Windfuhr JP, Remmert S. Extranasopharyngeal angiofibroma: etiology,
incidence and management. Acta Otolaryngol. Oct 2004;124(8):880-9.
10) Ondrey FG, Wright SK. Neoplasm of the Nasopharynx. In:Bellenger’s Manual
of Otorhinolaryngology Head and Neck surgery.BC Decker. 2003; 492-495
11) Tony R, Bull. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th Edition. Thieme. 2003; 148
12) Anurogo,Dito. Misteri Dibalik Keajaiban Tumor Hidung Angiofibroma. Dalam:
http://netsains.com/2009/05/misteri-di-balik-keajaiban-tumor-hidung-
angiofibroma/ . Mei 9 2009
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 26
13) Ali, Alhamsyah. Referat: Angiofibroma Nasofaring Juvenile. Dalam:
http://www.alhamsyah.com/2007/01/28/referat-angiofibroma-nasofaring/ .
Januari 28 2007
14) Andrade, Nilvano Alves et.al. Nasopharyngeal Angiofibroma: Review of the
Genetic and Molecular Aspects. In:
http://www.arquivosdeorl.org.br/conteudo/acervo_eng.asp?id=553 .
International Archives of Otorhinolaryngology. No.3, Vol 12, 2008
15) Park, Chul-Kee et.al. Recurrent Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Treated with Gamma Knife Surgery. In: http://jkms.org/fulltext/html/jkms-21-
773.html . Korean Academy of Medical Sciences. August 21 2006
16) Rahmani, Shervin et.al. Meningitis And Coma As The First Manifestation Of
Juvenile Angiofibroma. In:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_otorhinolaryngology/
volume_4_number_1_37/article/
meningitis_and_coma_as_the_first_manifestation_of_juvenile_angiofibroma.h
tml . The Internet Journal of Otolaryngology ISSN:1528-8420.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 27