untitled - brawijaya knowledge garden
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kegelisahan akan masa depan ilmu komunikasi yang disebabkan
oleh bias peradaban Barat dalam formulasi ilmu ini yang berpotensi
menghilangkan akar sejarah intelektual atau genelogi intelegensia peradaban
pribumi serta memunculkan teori-teori yang tidak konstektual menjadi
pendorong sekaligus pembuka bagi penelitian ini.
Ilmu komunikasi yang memiliki akar keilmuan di Eropa dan
Amerika dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan yang terformulasikan
berdasarkan pengalaman-pengalaman dan konteks interaksi peradaban barat
(Chen dan Miike; Chen dan Strarosta; Dissanayake; Gordon; Ishii; Jia;
Klopf; Martin dan Nakayama dalam Miike, 2006). Lebih dari itu, secara
umum, Amin (1989), Asante (1998), Blaut (1993), Fals-Borda dan Mora-
Osejo (2003) serta Miike (2006) menegaskan bahwa Eropasentrisme masih
dianggap atau bahkan secara sengaja dibentuk (framed) menjadi ideologi
universal yang mendominasi setiap bidang kajian dan setiap sektor
kehidupan. Di sisi yang lain, Ayish (2003) berpendapat bahwa perspektif
Amerika lah yang mendominasi.
Sebuah survei tingkat internasional mengenai buku pembelajaran
jurnalisme dan komunikasi yang digunakan di perguruan tinggi di negara-
negara berkembang menunjukkan bahwa mayoritas bahan ajar tersebut
berasal dari Amerika Serikat (Nordenstreng dan Traber dalam Ayish, 2003).
2
Dissanayake (1988) mengungkapkan bahwa 71% bahan ajar mengenai teori
komunikasi di ASEAN dan 78% yang digunakan di Asia Selatan berasal
dari Amerika Utara.
Miike (2006) dalam jurnalnya yang berjudul Non-Western Theory
in Western Research? An Asiacentric Agenda for Asian Communication
Studies menceritakan pengalaman pribadinya mengenai dominasi barat
terhadap ilmu komunikasi. Beberapa tahun sebelum 2006, Miike
mengadakan sebuah pertemuan ilmiah bertajuk Asian Contributions to
Communication Theory dengan mengundang Dr. Kincaid dan Dr.
Dissanayake. Panel yang bertujuan untuk mengevaluasi upaya yang telah
dilakukan dalam membangun teori komunikasi perspektif Asia ini diajukan
ke Rhetorical and Communication Theory (RCT) Division of the National
Communication Association (NCA). Namun, forum yang berpotensi besar
untuk menghasilkan kontribusi bagi ilmu komunikasi dunia ini justru
mendapatkan tanggapan negatif dari perencana program NCA-RCT
Division. Ia justru menuduh bahwa forum tersebut berpotensi menghasilkan
gagasan esensialis yang menekankan pada pendikotomian antara perspektif
Asia dan Barat (Miike, 2006). Bahkan, ia berprasangka bahwa para panelis
yang terlibat dalam forum tersebut hendak menanamkan sikap stereotip
dalam ilmu komunikasi melalui pendalaman komunikasi perspektif Asia.
Pengalaman lainnya juga pernah dialami oleh Dr. Antoni, Kepala
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UB, saat hendak mendiskusikan non-
western perspective dengan seorang visiting professor dalam sebuah forum
yang merupakan bagian dari rangkaian program Three in One Jurusan Ilmu
3
Komunikasi FISIP UB tahun 2018.1 Visiting professor yang berasal dari
sebuah universitas ternama di Asia Tenggara tersebut memberikan respon
negatif saat Antoni memantik pembicaraan mengenai non-western
perspective dalam ilmu komunikasi. Ia tidak menghendaki pembicaraan
mengenai hal itu, serta berpendirian bahwa para ilmuwan komunikasi cukup
mengikuti arus utama atau teori-teori kontemporer yang telah dilakukan atau
dibangun selama ini oleh ilmuwan-ilmuwan Barat, sehingga kajan-kajian
yang bertujuan untuk membangun teori komunikasi non-western perspective
tidak perlu dilakukan. Hal serupa juga dialami oleh Antoni saat menjadi
pemakalah dalam konferensi ilmiah bertajuk Interdisciplinarity and
Transdisciplanirity – Science for Societies and Human Beings yang
diselenggarakan oleh University of Opole Polandia pada 17-18 April 2018.
Setelah menyajikan makalahnya “Local Identities Versus Globalization of
Science and Academic” yang juga membahas non-western perspective,
Antoni mendapatkan tanggapan negatif dari seorang peserta lainnya yang
menjadi delegasi Israel. Orang tersebut menyebut apa yang telah dilakukan
Antoni sebagai sebuah propaganda. Dalam kesempatan yang lain, Antoni
juga sempat membicarakan non-western perspective dengan peserta lainnya.
Orang tersebut kemudian mengatakan bahwa tidak ada yang dapat
dilakukan dengan kajian-kajian non-western perspective, dan ia pun
menegaskan bahwa tradisi keilmuan Baratlah yang pantas dirujuk.
Asante (dalam Miike, 2006) berpendirian bahwa memandang
Eropasentrisitas sebagai salah satu worldview adalah sebuah kewajaran;
1 Antoni, wawancara pada Senin, 3 Desember 2018.
4
namun, akan menjadi abnormal jika dengan Eropasentrisitas ini,
kebudayaan Eropa dipaksakan sebagai suatu yang bersifat universal,
sedangkan budaya atau peradaban lain diabaikan atau bahkan direndahkan.
Eropasentrisitas yang seperti inilah yang kemudian menjadi Eropasentrisme.
Dissanayake (2003) mengakui bahwa ilmuwan barat telah
memberikan landasan yang sangat berguna bagi ilmu komunikasi. Namun,
menurutnya, produksi sebuah ilmu pengetahuan bukanlah sebuah upaya
yang sepenuhnya murni; proses pembentukan dan pengembangannya secara
konstan dipengaruhi oleh kekuasaan dan ideologi. Oleh karena itu,
peninjauan kembali terhadap teori-teori komunikasi arus utama khas Eropa
dan eksplorasi jalur alternatif yang diambil dari perspektif Asia sangat
diperkenankan (Dissanayake, 2009). Apalagi teori dan metodologi barat,
khususnya Eropa, tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks Asia dan
merefleksikan pemikiran, nilai dan berbagai hal lainnya yang terdapat di
masyarakat Asia (Chen dan Miike, 2006). Berbeda dengan biasa yang di
temukan di masyarakat barat, komunikasi di masyarakat Asia
mengedepankan lima aspek penting : (1) circularity – komunikasi menjadi
pengingat masyarakat mengenai saling keterkaitan; (2) harmony –
komunikasi sebagai pengendali hasrat individualisme; (3) other-
directedness – komunikasi sebagai media untuk merasakan afeksi; (4)
reciprocity – komunikasi sebagai kegiatan timbal-balik; dan (5) relationality
– komunikasi sebagai pembentuk moral dan pencipta harmoni (Miike,
2003). Contoh lainnya adalah mengenai konsep proximity dalam perspektif
Islam. Jika dalam perspektif Barat, proximity cenderung diartikan sebagai
5
kedekatan secara fisik, maka dalam perpektif Islam, proximity tidak sekedar
menunjukkan kedekatan fisik, bahkan melampaui batas-batas geografis
seperti wilayah negara atau batas-batas kebangsaan, yakni kedekatan yang
berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang membentuk ummah (masyarakat)
(Mowlana, 2007).
Oleh karena itu, Miike (2006) dengan sangat yakin menegaskan
bahwa melakukan kritik terhadap perspektif Barat dan mempromosikan
non-western perspective dalam komunikasi sangatlah penting. Upaya seperti
ini sangat berguna tidak hanya untuk memperluas cakupan dan memperkaya
ilmu komunikasi, tetapi juga untuk mendorong munculnya penelitian-
penelitian komunikasi yang lebih konstektual (Dissanayake, 2009).
Non-western perspective secara sederhana dapat diartikan sebagai
ilmu pengetahuan atau lebih spesifik lagi – ilmu komunikasi yang
berdasarkan sudut pandang masyarakat non Eropa dan non Amerika.
Namun, semangat non-western perspective bukanlah menciptakan tandingan
bagi ilmu pengetahuan khas barat atau bahkan hendak mengunggulinya.
Dissanayake (2003) menegaskan bahwa non-western perspective tidak
berupaya mempraktikkan paham jingoisme – paham yang mengagungkan
negeri sendiri secara berlebihan atau kecintaan yang ekstrem pada tanah air
sehingga merendahkan negeri atau bangsa lainnya. Apalagi, Dissanayake
(2009) menyebutkan bahwa salah satu cara terbaik untuk membangun
komunikasi Asia adalah dengan mempromosikan dialog antar teori Asia dan
kemudian melakukan perbandingan dengan teori-teori Barat. Selain itu, ia
juga menyebutkan dua tipe teori komunikasi Asia, yakni tipe A yang
6
merujuk pada konsep, pemikiran dan pemahaman tradisional khas Asia
mengenai komunikasi manusia. Tipe A ini berfokus pada tradisi dan naskah
klasik Asia. Adapun teori tipe B yakni teori Asia modern yang bersentuhan
dengan konsep-konsep dan pemikiran Barat secara kritis. Para ilmuwan
teori tipe B ini pada umumnya adalah ilmuwan non-western perspective
yang berupaya untuk mengkritisi teori-teori Barat; bukan antipati atau
menafikan teori-teori Barat. Dissanayake (2009) sendiri memperingatkan
agar para ilmuwan non-western jangan sampai terjebak pada pemecahan
Timur dan Barat (bifurcation), romantisme berlebihan yang mengarah pada
pengaguman berlebih terhadap komunitas sendiri (self-exoctization),
memosisikan konsep-konsep Asia sebagai sesuatu yang statis dan tidak
terpengaruh zaman dan lingkungan (essentialism), ahistorisme, bias gender,
dan elitisme.
Semangat non-western perspective adalah membangun ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi, berdasarkan akar intelektual
pribumi, konteks spesifik yang merujuk pada masyarakatnya dengan
segenap karakter budaya khasnya, serta cara berpikir masyarakat lokal
(Dissanayake, 2003). Bahkan menurut Mowlana (2007), yang hendak digali
non-western perspective bukan hanya kearifan lokal yang berkaitan pada
budaya, tetapi juga nilai religius universal yang melampaui batas-batas
geografis, ras dan etnis yang mampu mengikat beragam masyarakat dengan
kebudayaan berbeda – misalnya seperti Islam yang bukan sekedar ajaran
mengenai ritual keagamaan, melainkan kesatuan sistem yang mengatur
seluruh segmen kehidupan manusia (total way of life). Dengan demikian,
7
non-western perspective berupaya untuk memunculkan beragam kearifan
lokal, termasuk budaya, nilai-nilai yang ajeg di masyarakat yang
sebagiannya diyakini bukan sekedar produk intelektual manusia, tetapi
berasal dari Tuhan, sehingga bersifat religius dan universal.
Tujuan dari non-western perspective ini sebagaimana telah tersirat
dalam penjelasan sebelumnya, yakni mentransformasikan ilmu komunikasi
menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lebih komprehensif dan
menempatkan kebudayaan sebagai salah satu aspek penting pembangunnya
(Dissanayake, 1988; Kim, 2002; Kincaid, 1987). Melalui pengayaan kajian
non-western perspective, diskursus metateori komunikasi dapat diperluas,
sehingga revitalisasi ilmu komunikasi dapat diwujudkan (Dissanayake
dalam Miike, 2006).
Menurut Miike (2006), publikasi yang dikenal luas mengenai teori
komunikasi non-western perspective, khususnya perspektif Asia, adalah
Communication Theory : Eastern and Western Perspective oleh Kincaid
(1987) dan Communication Theory : The Asian Perspective oleh
Dissanayake (1988). Selain dua publikasi tersebut, terdapat beberapa
publikasi lainnya yang menjadi respresentasi pengembangan komunikasi
non-western perspective. Misalnya Kim (2002) yang mengangkat konsep
Yin dan Yang untuk mengidentifikasi perilaku komunikasi masyarakat.
Perilaku komunikasi Yin meliputi kepekaan, kooperatif, mengedepankan
intuisi, penurut, serta menunjukkan kesadaran dan pertimbangan terhadap
perasaan orang lain. Sedangkan Yang meliputi prilaku yang cenderung
konfrontatif, banyak menuntut, tegas, agresif, kompetitif, dan membual.
8
Contoh lainnya adalah adalah Chang (1991) yang menjelaskan komunikasi
interpersonal dan manajemen resolusi konflik dengan konsep yuan dalam
Bhuddisme. Adapun yang lain, yakni Mowlana (2007) yang
memformulasikan lima prinsip dasar etika komunikasi, khususnya untuk
jurnalisme; yakni tauhid, amr bil ma’ruf wa nahy’anilmunkar, ummah,
taqwa dan amanat. Selain munculnya kajian-kajian di atas, teori komunikasi
non-western perspective, khususnya teori komunikasi Asia, telah
mendapatkan perhatian khusus dari Littlejohn dan Foss (2009) dengan
dicantumkannya Teori Komunikasi Asia sebagai salah satu bahasan khusus
dalam Encyclopedia of Communication Theory.
Asia memang menjadi “aset” yang sangat menjanjikan dalam
pengembangan ilmu komunikasi. Miike (2003) menyebutkan bahwa Asia
merupakan wilayah yang tidak hanya berada di posisi strategis secara
geografis, tetapi memiliki keberagaman budaya, sejarah yang kaya, nilai-
nilai religious-filosofis, serta berbagai warisan penting dunia. Indonesia
yang juga bagian dari Asia juga memiliki potensi tersebut. Bahkan, Chen
dan Starosta (2003) secara khusus menyebut Indonesia sebagai tempat yang
sangat penting dengan keragaman yang dimilikinya. Mereka tertarik dengan
Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,
tetapi di dalamnya terdapat pulau Bali yang didominasi oleh masyarakat
Hindu. Potensi kearifan lokal yang dimiliki Indonesia tidak terbatas pada
bentuk ragam budaya, etnis, dan keagamaan itu, tetapi mencakup juga
warisan intelektual yang melibatkan banyak tokoh-tokoh bangsa, termasuk
9
tokoh-tokoh Islam seperti ulama dan cendekiawan muslim lainnya yang
berperan besar dalam sejarah Indonesia (Suryanegara, 2016).
Sayangnya, belum banyak penelitian dalam ranah ilmu komunikasi
yang memerhatikan potensi ini. Bapak Ilmu Komunikasi Indonesia yang
pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan era Soeharto, serta pendiri
Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), Prof. Alwi Dahlan,
mengutarakan keprihatinannya terkait hal ini pada Konferensi Nasional
Komunikasi yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2011. Dahlan
(dalam Wedhaswary, 2011) menyebutkan bahwa teori komunikasi Barat
mendominasi ilmu komunikasi dan masih sedikit yang mengembangkan
teori komunikasi khas Indonesia. Padahal, menurutnya, teori-teori Barat
tersebut belum bisa “membumi” di Indonesia karena faktor kebudayaan
Indonesia yang sangat kaya dan tentu berbeda dengan Barat.
Oleh karena itu, Prof. Alwi Dahlan (dalam Wedhaswary, 2011)
mendorong dilaksanakannya berbagai penelitian yang menggali teori-teori
komunikasi khas Indonesia yang akan bermanfaat bagi kemajuan ilmu
komunikasi. Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja (dalam Wedhaswary, 2011) yang
juga seorang tokoh ilmu komunikasi Indonesia dan pernah menjabat sebagai
ketua ISKI dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan bahwa
pengembangan ilmu komunikasi dengan mengangkat berbagai komunikasi
khas Indonesia adalah tantangan yang harus dipenuhi. Menurutnya, langkah
awal untuk melaksanakannya adalah dengan melakukan sinstesis terhadap
hasil skripsi, tesis, dan disertasi yang mengaji tentang perspektif ini. Dengan
demikian, kajian komunikasi non-western perspective, khususnya perspektif
10
Indonesia menjadi sebuah desakan akademik yang sudah seharusnya dirintis
di segala jenjang studi ilmu komunikasi di Indonesia, salah satunya pada
strata satu melalui skripsi.
Dissayanake (2009) menyebutkan lima area yang dapat
dieksplorasi dalam melakukan penelitian non-western perspective, yakni (1)
identifikasi teks-teks klasik yang mengandung konsep-konsep penting
tentang komunikasi; (2) konsep-konsep penting yang dapat diperoleh dari
tradisi-tradisi klasik serta praktik-praktik kebudayaan di masa kini; (3)
berbagai macam ritual dan pertunjukan seperti cerita rakyat, tarian rakyat,
balada dan upacara dapat memberikan ruang budaya untuk memeroleh
konsep tradisional dan praktik-praktik komunikasi; (4) perilaku komunikasi
sehari-hari suatu masyarakat serta budaya tradisional yang membentuk
mereka; dan (5) penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh beragam tradisi
keagamaan dan intelektual di Asia. Selain itu, menurut Miike (2003), para
ilmuwan harus : (1) mengeksplorasi dan memantapkan konsep-konsep yang
ada dalam bahasa keseharian orang-orang Asia; (2) mengangkat prinsip-
prinsip fundamental mengenai interaksi manusia dari tradisi-tradisi
keagamaan dan filsafat masyarakat Asia serta mengajukan model-model
teori baru komunikasi; (3) memperhatikan perjuangan dalam pengalaman
sejarah Asia.
Dua pendapat di atas menunjukkan perhatian khusus pada aspek
sejarah dari suatu bangsa atau peradaban. Tokoh pelaku sejarah yang dapat
dilacak pemikirannya melalui karya-karyanya, baik dalam bentuk tulisan
maupun kontribusinya dalam berbagai peristiwa penting dalam sejarah yang
11
pengaruhnya kuat bagi kondisi kehidupan di masa setelahnya (hingga saat
ini) dapat menjadi jalan bagi investigasi teori komunikasi khas Indonesia.
Salah satu tokoh Indonesia yang memenuhi seluruh kriteria
tersebut adalah Mohammad Natsir, seorang pahlawan nasional serta
pemrakarsa mosi integral yang menjadi legitimasi bagi bubarnya Republik
Indonesia Serikat (RIS) dan beridirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Ketokohan Natsir diakui oleh seorang sejarawan yang mengajar di
Universiteit van Amsterdam, Geert H. Janssen. Dalam bukunya yang
berjudul „Militant Islam‟, Janssen (1979) menyebutkan tiga model pejuang
muslim yang muncul di berbagai dunia Islam, yakni kelompok ulama’,
thariqat dan reformis Islam. Dari golongan reformis Islam, Janssen (1979)
menyebutkan beberapa tokoh penting, yakni Hassan Albanna di Mesir,
Mehdi Bazargan di Iran, Abul „Ala al-Maududi di Pakistan, dan ia memilih
Mohammad Natsir untuk di Indonesia.
Selain Janssen, seorang guru besar Cornel University yang
memiliki kepakaran dalam studi Asia Tenggara bernama George McTurnan
Kahin memiliki ketertarikan khusus pada pribadi Natsir. Dalam artikelnya
yang berjudul “In Memoriam: Mohammad Natsir (1908-1993)”, Kahin
(1993) takjub dengan pribadi Natsir yang sederhana, bersahaja, serta
memiliki reputasi yang baik untuk integritas pribadi dan kejujuran dalam
berpolitik. Kahin (1993) mengungkapkan ketokohan Natsir dalam
artikelnya tersebut sebagaimana berikut:
12
“Raksasa terakhir di antara para pemimpin nasionalis dan revolusioner
Indonesia, sudah tidak diragukan lagi bahwa dia memiliki pengaruh dalam
pemikiran dan politik Islam pada pasca perang (kemerdekaan) di Indonesia
yang lebih dibandingkan orang-orang se-zamannya” (Kahin, 1993, hal.:
159).
Tokoh dunia lainnya yang juga kagum pada sosok Natsir, bahkan
memiliki kedekatan personal dengannya adalah mantan Menteri Keuangan
dan juga Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda. Fukuda mulai menjalin
hubungan baik dengan Natsir saat kunjungan Natsir ke Jepang dalam rangka
membahas kerjasama ekonomi antar kedua negara. Setelah beberapa tahun
bersahabat, pada tahun 1993 Fukuda menerima kabar kepergian Natsir yang
membuatnya terpukul dan kemudian dalam suratnya kepada keluarga Natsir
ia mengungkapkan:
“When we received this sad news [of Natsir’s death] it was more horrifying than
the dropping of atom bomb on Hiroshima, because we had lost a world leader,
and a great leader of the Islamic world” (“Ketika kami menerima berita duka
tentang wafatnya Natsir, hal itu lebih menakutkan daripada penjatuhan bom
atom di Hiroshima, karena kami telah kehilangan seorang pemimpin dunia, dan
seorang pemimpin besar dunia Islam”) (dalam Kahin, 2012, hal.: 191).
Taufiq Ismail, seorang budayawan ternama yang ayahnya (K.H.
Abdul Gaffar Ismail) adalah sahabat Mohammad Natsir juga memberikan
kesaksian mengenai kualitas pribadi Mohammad Natsir sebagaimana
berikut:
“Beliau itu adalah seorang guru bangsa, pendidik umat, mujahid dakwah,
pejuang, politikus, negarawan. Kemudian menjelang akhir hidup beliau, beliau
menjadi tokoh dunia, tokoh internasional. Di dalam perjuangan beliau, kita
13
saksikan sejak mulai zaman Belanda, sebelum kemerdekaan itu beliau satu shaf
bersama-sama dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Sebagai budayawan dan
cendekiawan, beliau juga sangat dikenal, dalam arti karena beliau itu menulis.
Dalam tulisan-tulisannya itu apresiasi beliau terhadap kesusastraan, terhadap
masalah kebudayaan itu tinggi. Sebagai seorang penulis yang ciri pada zaman
itu adalah salah seorang dari yang mendapatkan pendidikan sedemikian rupa
sehingga menguasai banyak bahasa. Beliau adalah seorang multi-linguist.”
(Taufiq Ismail dalam Kamaludin, 2008).
Empat kesaksian tokoh di atas menjadi bukti bahwa Mohammad
Natsir adalah seseorang yang memiliki peran strategis dalam sejarah
Indonesia yang dengan mempelajari sosoknya berpotensi besar
menghasilkan berbagai konsep hingga teori komunikasi khas Indonesia.
Apalagi, kajian mengenai Mohammad Natsir adalah sebuah rekomendasi
kelompok pemuda bernama Generasi Muda Muslim Yogyakarta yang
disampaikan dalam sebuah forum “Sarasehan Mengenang Pak Natsir” yang
diselenggarakan oleh Jamaah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta dan Laboratorium Da‟wah Yayasan Shalahuddin Yogyakarta
pada 17 Februari 1993 di Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada.
Berikut adalah rekomendasi dimaksud yang tertuang dalam Surat
Pernyataan Generasi Muda Muslim Yogyakarta:
“Menetapkan : 1. Perlunya pengkajian ulang sejarah, agar kejuangan,
ketokohan dan keteladanan Dr. Mohammad Natsir ditempatkan dalam posisi
yang obyektif. 2. Bapak Dr. H. Mohammad Natsir sebagai Pahlawan Nasional”
Merujuk pada pernyataan Taufiq Ismail, ada beberapa bidang
kajian komunikasi yang berpotensi untuk dikembangkan melalui studi
Mohammad Natsir ini, yakni: (1) komunikasi politik, melalui peran Natsir
sebagai ketua umum dan ketua fraksi Partai Masjumi, menteri penerangan
14
serta pemrakarsa dan perdana menteri NKRI; (2) komunikasi pendidikan
dan komunikasi instruksional, melalui perannya dalam pendirian dan
pengembangan Pendidikan Islam, pesantren-pesantren, serta beberapa
universitas; (3) komunikasi da’wah. melalui perannya sebagai anggota
Persatuan Islam serta pendiri dan pemimpin Dewan Da‟wah Islamiyah
Indonesia; (4) jurnalisme Islam, melalui perannya dalam merintis,
mengembangkan dan melaksanakan kegiatan jurnalistik dalam beberapa
media massa; (5) komunikasi internasional, melalui perannya dalam
Muktamar al-Alam al Islami, Rabithah Alam Islamy, serta organisasi-
organisasi lainnya, peristiwa, pertemuan dan hubungan diplomatik yang
strategis bagi umat Islam dan bangsa Indonesia; (6) social capital, melalui
jaringan-jaringan sosial yang dimanfaatkan Natsir dalam melaksanakan
agenda perjuangan dan da’wah-nya; (7) kajian kepemudaan dan kaderisasi,
melalui perannya dalam mendidik banyak pemuda dan juga organisasi –
organisasi Islam dan kepemudaan.
Kajian ilmiah secara sistematis yang khusus meneliti Mohammad
Natsir tergolong belum variatif. Sebagian besar penelitian-penelitian yang
dilakukan berfokus pada pemikiran politik, peran dalam bidang da’wah dan
sebagian kecil mengenai pendidikan. Beberapa penelitian yang disimpan
secara eksklusif oleh Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja
Abdullah bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia
Pusat dalam sebuah ruangan khusus bernama “Bilik Natsir” adalah:
15
1) Tesis (Cornell University) berjudul “Masjumi: Its Organization,
Ideology, and Political Role in Indonesia” yang ditulis oleh
Deliar Noer pada tahun 1960;
2) Tesis (International Islamic University Malaysia) berjudul
“Muhammad Natsir (1908 – 1993): His Role The Development of
Islamic Da’wah in Indonesia (Historical Study of an Indonesian
Mujahid Da’wah)” yang ditulis oleh Arif Hizbullah Sualman pada
tahun 1995;
3) Tesis (Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry) berjudul
“Pemikiran Muhammad Nastir dan Hasan Al-Banna tentang
Negara” yang ditulis oleh Mahmud Saleh pada tahun 1995;
4) Tesis (Universitas Indonesia) berjudul “Pengaruh Pemikiran
Politik Masyumi di Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera”
yang ditulis oleh M. Hermawan Eriadi pada tahun 2007;
5) Skripsi (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah) berjudul
“Peranan M. Natsir di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII) tahun 1980-1985” yang ditulis oleh Farida pada tahun
2005;
6) Skripsi (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah) berjudul
Ustadz Mohammad Natsir dan) الأس تاذدمحم انرص ومهنجه يف ادلعوة
Metodenya dalam Da’wah) yang ditulis oleh Ali Mas‟ud pada
tahun 2008;
16
7) Skripsi (Universitas Padjadjaran) berjudul “Pemikiran
Mohammad Natsir tentang Sistem Pemerintahan Islam di
Indonesia” yang ditulis oleh Mhd. Alfahjri Sukri pada tahun 2014.
Karya-karya lainnya yang berkaitan dengan Mohammad Natsir
berbentuk buku maupun penelitian yang kemudian dibukukan, seperti:
1) Islam, Nationalism and Democracy: A Politicak Biogrpahy of
Mohammad Natsir oleh Audrey Kahin;
2) Beberapa biografi Mohammad Natsir: “M. Natsir: Sebuah
Biografi” oleh Ajip Rosidi, “M. Natsir di Panggung Sejarah
Republik” dan “100 Tahun M. Natsir, Berdamai dengan Sejarah”
oleh Panitia Peringatan 1 abad Mohammad Natsir.
3) “Modernisme dan Fundamentalis dalam Politik Islam
(Perbandingan Partai Masyumi Indonesia dan Partai Jama‟at-i-
Islami Pakistan)” oleh Yusril Ihza Mahendra;
4) “Soekarno versus Natsir: Kemenangan barisan Megawati
reinkarnasi nasionalis sekuler” oleh Ahmad Suhelmi.
5) “M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya” oleh Thohir Luth.
Selain karya-karya di atas, terdapat juga skripsi-skripsi tentang
Mohammad Natsir yang menjadi koleksi Perpustkaan Sekolah Tinggi
Mohammad Natsir (STID Mohammad Natsir, 2010) sebagaimana berikut:
1) “Usaha Mohammad Natsir Membendung Kristenisasi di
Indonesia” oleh Zajiyul Fuad;
17
2) “Pemikiran Natsir Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia” oleh Muhammad Wasrun;
3) “Mohammad Natsir dan Da‟wah Islamiyah” oleh Sarip Hidayat;
4) “Kegiatan Da‟wah Mohammad Natsir di Indonesia” oleh Herma
Bahdin;
5) “Kajian Mohammad Natsir dan Hasan Al Banna Tentang Negara
Dalam Perpektif Pemerintahan Syariah” oleh Edy Mursito.
Jika ditinjau berdasarkan tema penelitiannya, dapat disimpulkan
bahwa penelitian mengenai Mohammad Natsir masih terbatas pada topik
spesifik mengenai politik, da’wah dan pendidikan. Hal itu juga yang dapat
ditemukan di berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa universitas
Islam di Indonesia yang sebagian besarnya dalam bentuk skripsi. Belum ada
penelitian mengenai Mohammad Natsir yang secara khusus berangkat dari
disiplin ilmu komunikasi.
Kajian ini tentu penting dilakukan, tidak hanya karena kajian
mengenai Mohammad Natsir yang belum variatif, tetapi juga terbatasnya
ragam kajian atau bahkan belum dikembangkannya bidang komunikasi
yang telah disebutkan sebelumnya. Terlebih lagi, sebagaimana semangat
non-western perspective, tren kajian komunikasi dalam bidang-bidang
tersebut masih berpatokan pada perspektif Barat.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olasinde dan Ojebuyi
(2017) tentang tren metodologi dan teori dalam penelitian komunikasi
politik kontemporer menunjukkan bahwa teori komunikasi Barat masih
18
mendominasi bidang kajian ini. Penelitian ini dilakukan dengan
menganalisis konten 160 artikel dalam Journal of Communication, The
International Journal of Press/Politics, Communication Research,
Comparative Political Studies, Global Media Journal, New Media and
Society, Association for Education in Journalism and Mass Communication,
Journalism and Mass Communication Quarterly, Political Communication,
Journal of Communication and Language Arts, Journal of Arts and
Education, and Media International Australia. Adapun temuan yang didapat
sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut.
Teori dan Model Persentase (%)
Framing Theory
Agenda Setting Theory
Social Identity Theory
Uses and Gratifications Theory
Theory of Selective Exposure
Theory of Self Motivated Reasoning
Theory of Self Categorization
Theory of Reasoned Action
Theory of Depersonalization Effects
Network Heterogenity Theory
Resource Theory
Theory of Expectancy Violations
Social Cognitive Theory
Grounded Theory
Theory of Cognitive Dissonance
Theory of Identity & News Value
Information Flow Theory
Social Network Analysis Theory
26.4
23.6
6.9
2.8
4.2
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
4.2
19
Theory of Indexing
Gate Keeping Model
The Stereotype Model
The Differential Gains Model
Communication Mediation Model
Heuristics Systematic Model
Structural Equation Model
Two-Step Mediation Model
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
4.2
1.4
Total 100%
Sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Graber (2005)
terhadap 137 artikel dalam jurnal-jurnal American Journal of Political
Science, Communication Research, Harvard International Journal of
Press/Politics, Jurnal of Communication, Journal of Mass Media Ethics,
Journal of Media Economics, New Media and Society, Political
Communication, Popular Communication, dan Television and New Media
menunjukkan bahwa teori Barat yang berkaitan dengan fenomena di tingkat
individu masih mendominasi kajian komunikasi politik, seperti: teori-teori
yang tergolong dalam Information Processing Theories (Coginitive
Consistency Theories; Functional Theories seperti Uses and Gratifications;
Rational Choice Theories, Social Judgment Theories, dan Cognitive
Processing Theories), serta yang tergolong dalam Media Impact Theories
(Agenda Setting, Subjective Theories).
Dalam kajian komunikasi instruksional, Conley (2015) melakukan
sebuah penelitian dengan menganalisis konten terhadap 423 artikel (sejak
Tabel 1. Tren Teori dan Model dalam Penelitian Komunikasi Politik Kontemporer
Sumber : Olasinde dan Ojebuyi (2017)
20
2000 hingga 2015) dalam jurnal pertama dan terdepan di bidang komunikasi
pendidikan dan instruksional, Communication Education, untuk mengetahui
teori yang sering digunakan dalam penelitian di bidang ini. Penelitian yang
ditujukan sebagai Tesis untuk Department of Communication Studies pada
California State University ini menemukan bahwa Communication Theory,
Grounded Theory, Expectancy Violation Theory, Rhetorical Theory,
Attribution Theory, Emotional Response Theory, Learning Theory, Systems
Theory, dan Politeness Theory adalah teori-teori yang paling sering
digunakan dalam kajian ini.
Adapun dalam bidang kajian komunikasi internasional, Hamid
Mowlana (1973) melakukan penelitian terhadap 1.437 kajian yang
mencakup buku-buku, karangan ilmiah, buku bacaan, serta artikel jurnal
dari tahun 1850 sampai dengan 1970 untuk mengetahui tren kajian
komunikasi internasional di Amerika Serikat. Ia menemukan empat
pendekatan utama dalam komunikasi internasional selama lebih dari 1 abad,
yakni: (1) peran dan kegunaan komunikasi dalam diplomasi baru yang
menekankan pada komunikasi sebagai pengaruh yang dibentuk oleh
individu, kelompok dan pemerintah dalam keputusan urusan-urusan asing;
(2) komunikasi politik internasional yang berfokus pada teknik-teknik
professional dari persuasi atau komunikasi antarpribadi serta komunikasi
massa; (3) pendekatan behavioral yang berupaya untuk memahami
hubungan internasional, khususnya dalam teori perilaku individu dan
kelompok; serta (4) pendekatan komunikasi yang dikembangkan di sekolah-
sekolah jurnalisme, komunikasi dan tutur yang menakankan pada bidang
21
kajian untuk penulis, jurnalis dan penyiar profesional. Secara geografis,
kajian terhadap Eropa Barat masih mendominasi (87 puublikasi di 1 dekade
terakhir), sedangkan Asia yang merupakan benua terbesar sekaligus
mencakup banyak kebudayaan hanya mencapai 51 publikasi (1 dekade
terakhir).
Bekenaan dengan jurnalisme Islam, pada tahun 2014, Steele
mengungkapkan bahwa penelitian dalam bidang ini hampir tidak ditemukan
di Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar serta memiliki sistem
pers yang tergolong bebas. Di beberapa negara muslim lainnya, jurnalisme
Islam juga belum mendapatkan perhatian secara khusus, sehingga butuh
pengembangan (Muchtar, Hamada, Hamitzsch, Galal, Masduki, dan Ullah,
2017). Namun, sebuah kajian sistematis terkait jurnalisme Islam dalam
bentuk skripsi telah dilakukan oleh Wirdani pada tahun 2018. Skripsi yang
diajukan kepada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Brawijaya ini membahas tentang jurnalisme Islam yang
dipraktikkan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka
(Wirdani, 2018). Temuan penting dari penelitian ini adalah prinsip-prinsip
jurnalisme Islam Buya Hamka, media massa yang pernah dinaungi Buya
Hamka, serta jaringan ulama dalam jurnalisme Hamka (Wirdani, 2018).
Penelitian ini tentu menjadi kontribusi penting bagi pengembangan ilmu
komunikasi, khususnya dalam kajian jurnalisme.
Berikutnya, komunikasi da’wah, yang tergolong pada bidang
kajian baru dalam ilmu komunikasi. Beberapa upaya untuk mengembangkan
kajian ini telah dilakukan di Indonesia, misalnya yang dilakukan oleh
22
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
yang membuka mata kuliah Komunikasi dan Strategi Dakwah pada
semester keenam (UMM, t.t.).
Upaya lainnya adalah pendirian Fakultas Dakwah dan Komunikasi
di hampir setiap Universitas Islam Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam
Negeri (IAIN). Salah satu contohnya adalah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang bermula dari Fakultas Dakwah pada tahun 1970. Saat ini,
UIN Sunan Kalijaga menawarkan lima jurusan pada strata satu, yang dua di
antaranya adalah Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Manajemen
Dakwah. Salah satu fasilitas penunjang perkuliahannya adalah studio siaran
radio yang salurannya bernama RASIDA (Radio Siaran Dakwah) (UIN
Sunan Kalijaga, t.t.). Salah satu karya penting dalam bidang kajian ini
adalah buku “Ilmu Da‟wah” yang ditulis oleh Toha Jahja Omar, Rektor
IAIN Syarif Hidayatullah periode 1970-1973 yang juga Ketua Pusat Da‟wah
Islam Indonesia. Buku yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 ini
tidak hanya membahas tentang metode da’wah, tetapi juga sejarah dan
topic-topik lainnya yang berkaitan dengan da’wah. Karya penting lainnya
dihasilkan oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Iswandi
Syahputra, yakni buku „Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan‟.
Berkaitan dengan kajian non-western perspective, kususnya
komunikasi Asia, Liu dan Wei (2017) melakukan tinjauan pustaka terhadap
558 publikasi ilmiah pada 14 jurnal terkemuka berdasarkan Social Science
Citation Index (SSCI) dalam kajian jurnalisme dan komunikasi untuk
23
menemukan tren dan pola kajian komunikasi Asia. Jurnal-jurnal tersebut
adalah Communication Research, Journal of Communication, Journal of
Health Communication, Public Opinion Quarterly, Journal of Computer
Mediated Communication, Human Communication Research,
Communication Theory, Communication Monograph, Journal of
Broadcasting and Electronic Media, Journalism Studies, Mass
Communication and Society, Journalism and Mass Communication
Quarterly, dan New Media and Society. Liu dan Wei (2017) menemukan
bahwa kajian komunikasi Asia mengalami kebangkitan di abad ke-21,
artinya semakin banyak kajian komunikasi Asia yang dilakukan. Namun,
mereka menemukan bahwa kajian ini didominasi oleh negara-negara Asia
Timur, khususnya Cina, Korea Selatan dan Jepang. Adapun topik-topik
yang menjadi fokus utama, yakni efek media, komunikasi politik, teknologi
komunikasi, dan komunikasi kesehatan.
Berdasarkan tinjauan-tinjaun terkait tren kajian dalam komunikasi
politik, komunikasi instruktional, komunikasi internasional, jurnalisme
Islam, komunikasi da’wah, dan non-western perspective sendiri, maka
pengembangan kajian di bidang-bidang ini dalam konteks ke-Indonesia-an,
khsusunya melalui studi tokoh Mohammad Natsir adalah hal yang
mendesak secara akademik dan berpotensi besar untuk berkontribusi dalam
perumusan teori-teori komunikasi yang lebih kontekstual.
Semangat seperti ini tentu bukanlah bentuk dari jingoism.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penelitian-penelitian yang didorong
dan dilandasi semangat seperti ini bertujuan untuk merevitalisasi ilmu
24
komunikasi; bukan melakukan konfrontasi intelektual terhadap Barat.
Slogan yang diutarakan Miike (2014), “harmony without uniformity”, perlu
digencarkan melalui jalur ilmu pengetahuan. Upaya mewujudkan harmoni
tidak berarti upaya menyeragamkan seluruh peradaban dalam berbagai
aspek kehidupannya dan termasuk dalam aspek intelektual. Jauh sebelum
Miike menyatakan slogan tersebut, al-Quran telah lebih dulu
menyampaikan pesan ini dalam surah al-Hujurat ayat 13 bahwa penciptaan
manusia dalam beragam suku bangsa adalah kehendak Allah هلالج لج yang
bertujuan untuk saling mengenal (harmoni).
Meskipun tidak bermaksud untuk mempraktikkan paham jingoism,
reaksi yang kuat terhadap dominasi perspektif Barat ini memang
menghasilkan binarisme – seolah-olah hanya ada western dan non-western.
Namun, menurut Dissanayake (2003), binarisme ini hanyalah manuver
taktis dalam rangka pembangunan ilmu komunikasi yang lebih
komprehensif. Ia mengakui bahwa taktik semacam ini bisa mengarah pada
esensialisme yang menurutnya sebuah “bahaya”. Oleh karena itu, setelah
tujuan non-western perspective tercapai, ia merekomendasikan agar segera
berpindah dari binarisme ini. Pemikiran ini tentu sangat menarik; jauh
sebelum Dissanayake memikirkan hal seperti ini, Mohammad Natsir lebih
dulu menegaskan sikapnya yang tidak menyetujui adanya pendikotomian
antara ilmu pengetahuan Barat dan Timur (Fajar dalam Hakiem, 2008).
Akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya
mewujudkan perubahan ilmu komunikasi sebagaimana disebutkan oleh Kim
(2002): (1) budaya yang memisahkan diri dari teori Euro-Amerika; (2)
25
memusatkan kembali disiplin dalam budaya yang diminati; dan (3)
mengintegrasikan perspektif budaya yang berbeda untuk bergerak menuju
teori komunikasi manusia yang benar-benar universal.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti
merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana keterlibatan Natsir dalam organisasi kepemudaan serta
kontribusinya dalam pengkaderan pemuda di Indonesia?
2. Bagaimana komunikasi politik yang dilakukan oleh Natsir dalam
kapasitasnya sebagai politisi Partai Masjumi (khususnya sebagai ketua
umum dan ketua fraksi), menteri penerangan, serta pemrakarsa dan
perdana menteri NKRI?
3. Bagaimana komunikasi pendidikan dan komunikasi instruksional yang
diterapkan oleh Natsir pada Pendidikan Islam, pesantren-pesantren,
serta uiversitas-universitas yang pendiriannya mendapatkan perhatian
langsung dari Natsir?
4. Bagaimana komunikasi da’wah yang diterapkan oleh Natsir saat
menjadi anggota Persatuan Islam serta memimpin Dewan Da‟wah
Islamiyah Indonesia?
5. Bagaimana jurnalisme Islam yang dipraktikkan Natsir sebagai bagian
dari sarana da’wah Islam?
6. Bagaimana komunikasi internasional yang dilakukan Natsir dalam
kapasitasnya sebagai tokoh penting pada Muktamar al-Alam al Islami,
Rabithah Alam Islamy, pendiri International Islamic Charitable
26
Organization, serta beberapa peristiwa, pertemuan dan hubungan
diplomatik yang strategis bagi umat Islam dan bangsa Indonesia?
7. Bagaimana social capital yang dibangun dan diorganisasikan oleh
Natsir dalam menunjang perjuangannya di berbagai sektor?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui keterlibatan Natsir dalam organisasi kepemudaan serta
kontribusinya dalam pengkaderan pemuda di Indonesia.
2. Mengetahui komunikasi politik yang dilakukan oleh Natsir dalam
kapasitasnya sebagai politisi Partai Masjumi (khususnya sebagai ketua
umum dan ketua fraksi), menteri penerangan, serta pemrakarsa dan
perdana menteri NKRI?
3. Mengetahui komunikasi pendidikan dan komunikasi instruksional yang
diterapkan oleh Natsir pada Pendidikan Islam, pesantren-pesantren,
serta uiversitas-universitas yang pendiriannya mendapatkan perhatian
langsung dari Natsir?
4. Mengetahui komunikasi da’wah yang diterapkan oleh Natsir saat
menjadi anggota Persatuan Islam serta memimpin Dewan Da‟wah
Islamiyah Indonesia?
5. Mengetahui jurnalisme Islam yang dipraktikkan Natsir sebagai bagian
dari sarana da’wah Islam?
6. Mengetahui komunikasi internasional yang dilakukan Natsir dalam
kapasitasnya sebagai tokoh penting pada Muktamar al-Alam al Islami,
Rabithah Alam Islamy, pendiri International Islamic Charitable
27
Organization, serta beberapa peristiwa, pertemuan dan hubungan
diplomatik yang strategis bagi umat Islam dan bangsa Indonesia?
7. Mengetahui social capital yang dibangun dan diorganisasikan oleh
Natsir dalam menunjang perjuangannya di berbagai sektor?
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif
bagi pengembangan kajian komunikasi politik, komunikasi
pendidikan dan instruksional, komunikasi da’wah, jurnaslisme Islam,
komunikasi internasional, social capital, serta kajian yang berkaitan
pengkaderan dan kepemudaan.
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan
bagi pelaksanaan berbagai praktik-praktik komunikasi politik,
komunikasi pendidikan dan instruksional, komunikasi da’wah,
jurnalisme, komunikasi internasional, serta pengkaderan dan
kepemudaan, termasuk kebijakan-kebijakan pihak terkait
pemerintah, institusi pendidikan, partai politik, penggiat dakwah,
jurnalis, serta penggiat organisasi pengkaderan dan kepemudaan.
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Non-Western Perspective sebagai Sudut Pandang Mengaji Ilmu
Komunikasi
Non-western perspective secara sederhana dapat diartikan sebagai
ilmu pengetahuan atau lebih spesifik lagi – ilmu komunikasi yang
berdasarkan sudut pandang masyarakat non Eropa dan non Amerika.
Namun, semangat non-western perspective bukanlah menciptakan tandingan
bagi ilmu pengetahuan khas barat atau bahkan hendak mengunggulinya.
Dissanayake (2003) menegaskan bahwa non-western perspective tidak
berupaya mempraktikkan paham jingoism – paham yang mengagungkan
negeri sendiri secara berlebihan atau kecintaan yang ekstrem pada tanah air
sehingga merendahkan negeri atau bangsa lainnya.
Semangat non-western perspective adalah membangun ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi, berdasarkan akar intelektual
pribumi, konteks spesifik yang merujuk pada masyarakatnya dengan
segenap karakter budaya khasnya, serta cara berpikir masyarakat lokal
(Dissanayake, 2003). Bahkan menurut Mowlana (2007), yang hendak digali
melalui non-western perspective bukan hanya kearifan lokal yang berkaitan
pada budaya, tetapi juga nilai religius universal yang melampaui batas-batas
geografis, ras dan etnis yang mampu mengikat beragam masyarakat dengan
kebudayaan berbeda – misalnya seperti Islam yang bukan sekedar ajaran
mengenai ritual keagamaan, melainkan kesatuan sistem yang mengatur
29
seluruh segmen kehidupan manusia (total way of life). Dengan demikian,
non-western perspective berupaya untuk memunculkan beragam kearifan
lokal, termasuk budaya, nilai-nilai yang ajeg di masyarakat yang
sebagiannya diyakini bukan sekedar produk intelektual manusia, tetapi
berasal dari Tuhan, sehingga bersifat religius dan universal.
Tujuan dari non-western perspective ini adalah mentransformasikan
ilmu komunikasi yang ada saat ini menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang
lebih komprehensif dan menempatkan kebudayaan sebagai salah satu aspek
penting pembangunnya (Dissanayake, 1988; Kim, 2002; Kincaid, 1987).
Melalui pengayaan kajian non-western perspective, diskursus metateori
komunikasi dapat diperluas, sehingga revitalisasi ilmu komunikasi dapat
diwujudkan (Dissanayake dalam Miike, 2006). Secara lebih spesifik,
menurut Kim (2002) ada tiga tujuan menghasilkan publikasi atau penelitian
dengan non-western perspective, yakni: (1) menginvestigasi sejauh mana
kajian komunikasi tradisional berpusat pada perspektif Barat; (2) menguji
sejauh mana teori-teori yang bertumpu pada perspektif Barat tersebut tidak
dapat diaplikasikan lintas budaya; dan (3) membawa perspektif komunikasi
multikultural kepada analisis ilmiah serta pemahaman sehari-hari.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada latar belakang, bahwa dua
publikasi yang terkenal (menjadi landmark) sampai saat ini mengenai non-
western perspective adalah publikasi milik Kincaid dan Dissanayake.
Namun, ada juga kontribusi lainnya yang dihasilkan oleh beberapa tokoh.
Kirkwood (1990) yang mengangkat konsep rasa dalam filsafat India yang
menjadi cara untuk memahami komunikasi khas India yang dramatis dan
30
puitis. Ayish (2003) yang mengidentifikasi empat hal yang membangun
Arab-Islamic worldview – iman, tauhid, umat, dan ibadah. Mowlana (2007)
yang mengidentifikasi nilai-nilai dasar bagi etika jurnalisme dalam Islam –
tauhid, amr bil ma‟ruf wa nahy‟anilmunkar, ummah, taqwa dan amanat.
Adapun ilmuwan-ilmuwan lainnya sebagaimana disebutkan oleh Kim
(2002), seperti Majid Tehranian, Satoshi Ishii, Nemi C. Jain, Kazuo
Nishiyama, Mitsuko Saito, Tulsi B. Saral, K. S. Sitaram, Georgette Wang,
dan June Ock Yum.
Masih sedikit publikasi Indonesia mengenai non-western perspective
yang diakui komunitas akademik internasional, bahkan mayoritas jurusan
atau program studi ilmu komunikasi di berbagai perguruan tinggi di
Indonesia masih bertumpu pada teori-teori Barat, dan itu digunakan untuk
menganalisis fenomena komunikasi Indonesia. Padahal, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar bagi
pengembangan komunikasi non-western perspective. Indonesia memiliki
modal besar – sejarah, kebudayaan, nilai-nilai religius-filosofis, dan
berbagai kearifan lokal – untuk menjadi pusat kajian non-western
perspective dan terdepan dalam mewujudkan tujuan kajian ini. Miike (2004)
menegaskan bahwa setiap benua, masyarakat, dan kebudayaan memiliki
kearifan lokal yang darinya manusia dapat memeroleh pelajaran penting
tentang bagaimana seharusnya manusia menjalin hubungan dengan sesama
manusia, alam dan berbagai hal lainnya di alam semesta.
Oleh karena itu, kajian komunikasi non-western perspective khas
Indonesia perlu digencarkan. Kajian ini dapat dilakukan dengan
31
mengeksplorasi lima area yang disebutkan oleh Dissanayake (2009), yakni
(1) identifikasi teks-teks klasik yang mengandung konsep-konsep penting
tentang komunikasi; (2) konsep-konsep penting yang dapat diperoleh dari
tradisi-tradisi kebudayaan serta praktik-praktik kebudayaan di masa kini; (3)
berbagai macam ritual, upacara dan pertunjukan; (4) perilaku komunikasi
sehari-hari suatu masyarakat serta budaya tradisional yang membentuk
mereka; dan (5) penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh beragam tradisi
keagamaan dan intelektual di Asia.
Selain lima area tersebut, terdapat juga tiga dimensi kebudayaan yang
harus diperhatikan, yakni bahasa, agama – filsafat, dan sejarah (Miike,
2003). Para ilmuwan harus : (1) mengeksplorasi dan memantapkan konsep-
konsep yang ada dalam bahasa keseharian orang-orang Asia; (2)
mengangkat prinsip-prinsip fundamental mengenai interaksi manusia dari
tradisi-tradisi keagamaan dan filsafat masyarakat Asia serta mengajukan
model-model teori baru komunikasi; (3) memperhatikan perjuangan dalam
pengalaman sejarah Asia (Miike, 2003).
Lebih lanjut lagi, Miike (2006) menjelaskan lima agenda besar bagi
penelitian-penelitian yang hendak berkontribusi menghasilkan teori
komunikasi Asia di masa mendatang. Berikut adalah lima agenda tersebut.
1) Mengambil pelajaran teoritis dari kebudayaan Asia.
Kunci dari suksesnya pengembangan teori komunikasi Asia,
yang oleh Miike disebut sebagai Asiacentric renaissance, adalah
perubahan radikal pada lensa teoritis yang menjadi hal sentral dalam
32
proses penelitian (memengaruhi rancangan penelitian, pengumpulan
data, analisis dan interpretasi data).
Miike (2006) menegaskan bahwa para peneliti teori
komunikasi Asia harus serius memosisikan kebudayaan Asia dalam
kajian komunikasi Asia itu sendiri. Chen dan Miike (2006) sangat
menyayangkan sikap banyak peneliti komunikasi Asia yang justru
meneliti fenomena komunikasi Asia dari perspektif Barat –
memosisikan budaya-budaya Asia sebagai objek analisis teori-teori
Barat, khususnya Eropa. Bahkan, lebih tegas lagi, Dissanayake
(2003) memperingatkan bahwa konsep-konsep Asia tidak dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara langsung. Ia khawatir
akan terjadi pemaknaan yang salah dan justru berkontradiksi dengan
makna sesungguhnya dari konsep Asia tersebut.
2) Memperluas cakupan geografis
Miike (2006) menyarankan agar kajian-kajian non-western
perspective di masa depan meluas ke berbagai negara dan bangsa,
sehingga teori komunikasi Asia semakin kaya. Komunikasi diaspora
adalah salah satu topik yang sangat penting untuk dibahas melalui
penyebaran semangat non-western perspective ini. Selain itu, para
ilmuwan komunikasi non-western perspective dapat menyelidiki
berbagai hal terkait komunikasi intrabudaya dan antarbudaya;
misalnya saja tentang orang-orang Muslim di Cina, orang-orang
Tionghoa di Malaysia, dan orang-orang Yahudi di Iran.
33
3) Membandingkan dan mempertentangkan (compare and contrast)
budaya-budaya Asia
Chen (dalam Miike, 2006) mengatakan bahwa pendekatan
Asiasentirs selama ini sering mengabaikan dinamika internal dan
keberagaman dari Asia sendiri. Banyak diskusi teoritis mengenai
komunikasi Asia justru dimulai dengan membandingkannya dengan
teori Barat (Miike, 2006). Pemahaman yang lebih baik mengenai
komunikasi Asia justru dapat diwujudkan ketika beragam budaya
Asia dibandingkan dan dipertentangkan secara seksama (Miike,
2006). Adapun persinggungan komunikasi Asia dan Barat
seharusnya dilakukan secara lebih kritis. Tujuannya adalah untuk
mengetahui hubungannya dengan komunikasi Asia, sehingga dapat
menuju pada dialog yang menguntungkan bagi pengembangan ilmu.
4) Mempluralisasi dan menguatkan perspektif sejarah teori-teori
Teori komunikasi seharusnya mengakomodasi pengamalan
dan pengalaman hidup sehari-hari berbagai golongan, termasuk
kelompok minoritas, baik secara budaya, sosial, maupun ekonomi.
Selain itu, Dissanayake (2003) menyarankan agar penelitian-
penelitian ke depannya mampu membawa penjelasan konsep dan
teori komunikasi Asia ke dalam perspektif sejarah. Hal ini
diperlukan karena menuru Dissanayake dan Ishi (dalam Miike, 2006)
banyak penelitian yang bersifat ahistoris, sehingga memiliki
kecenderungan untuk menganggap berbagai hal, peristiwa dan
34
konsep dalam kebudayaan Asia adalah hal yang abadi dan tidak
mengalami perubahan.
5) Menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan
metateori dan metodologi
Penelitian-penelitian mengenai komunikasi Asia ke depannya
seharusnya mampu menjawab berbagai pertanyaan seperti
bagaimana teori dibangun, hubungan seperti apa yang seharusnya
terjalin antara teori dan penelitian, serta bagaimana seharusnya teori
dievaluasi (Miike, 2003). Adapun isu mengenai metodologi yakni (1)
isu terkait data dan bukti; (2) validitas dan kegunaan; serta (3)
visibilitas dan invisibilitas.
Pada akhirnya, hal yang tetap harus diperhatikan oleh para pengaji
komunikasi non-western perspective adalah tujuan atau manfaat apa yang
akan diberikan oleh kajiannya. Kim (2002) berharap dengan kajian seperti
akan ada perubahan dalam ilmu komunikasi yang salah satunya adalah
integrasi perspektif budaya yang berbeda untuk bergerak menuju teori
komunikasi manusia yang benar-benar universal.
2.2 Poskolonialisme
Istilah poskolonial pertama kali digunakan oleh para sejarawan
setelah Perang Dunia Kedua untuk menyebut negara-negara yang pernah
menjadi jajahan dan kemudian memeroleh kemerdekaan – the post-colonial
state (Ashcroft, Griffiths, dan Tiffin, 2007). Namun, pada akhir 1970-an,
istilah ini digunakan untuk menyebut kajian kritis yang membahas
35
mengenai berbagai efek penjajahan terhadap budaya dan masyarakat yang
dijajah. Poskolonial tidak lagi diartikan secara sempit tentang masa sesudah
penjajahan yang ditandai dengan munculnya berbagai negara merdeka di
dunia. Poskolonial merujuk pada masa penyadaran maupun kesadaran akan
adanya dampak-dampak tertentu pada struktur sosial, budaya, dan berbagai
aspek lainnya dalam masyarakat yang diakibatkan oleh penjajahan; juga
kesadaran akan adanya dominasi yang menimbulkan penindasan terhadap
masyarakat lainnya – ada penindas dan ada yang ditindas (Ashcroft,
Griffiths, dan Tiffin, 2007; Littlejohn dan Foss, 2008).
Poskolonialisme sangat memerhatikan isu-isu yang berkaitan
dengan kekuasaan, penindasan, kelompok yang memunculkan hegemoni
dan kelompok yang tertindas. Para ilmuwan poskolonialis berupaya untuk
memeriksa, memahami dan pada akhirnya membatalkan struktur-struktur
sejarah yang dibuat untuk meneruskan penindasan seperti apa yang terjadi
pada masa kolonial (Littlejohn dan Foss, 2008).
Apa yang menjadi perhatian para ilmuwan poskolonialis tidak
terbatas pada bagaimana bangsa Eropa menjadi penguasa akan suatu
wilayah beserta sumber daya dan masyarakatnya (secara fisik); tetapi lebih
kritis dari itu, yakni pada sesuatu yang dikenal sebagai “neokolonialisme”
atau secara sederhana diartikan sebagai penjajahan gaya baru (Littlejohn dan
Foss, 2008). Kajian-kajian poskolonial menaruh perhatian pada bagaimana
dunia Barat membuat sebuah struktur kekuasaan yang menguntungkannya
menjadi ajeg serta bagaimana mereka memperkuat praktik-praktik
kolonialisme sehingga dominasi mereka seperti yang pernah mereka
36
lakukan pada masa kolonial dapat terjaga (Littlejohn dan Foss, 2008).
Contoh neokolonialisme yang jarang disadari adalah pengelompokkan
negara-negara dengan penyebutan negara maju dan negara berkembang,
atau istilah “negara dunia pertama” untuk negara maju dan “negara dunia
ketiga” untuk negara berkembang (Littlejohn dan Foss, 2008).
Pemikiran Edward Said mengenai “the ortherness” diyakini
sebagai karya intelektual yang memelopori teori poskolonial (Littlejohn dan
Foss, 2008). Said (1978) menyebutkan bahwa dunia ini dibagi, dikelola
(secara arogan) dan dijarah dengan mengenyampingkan rasa kemanusiaan,
sehingga muncul sebuah sikap “kami manusia” dan “mereka” bukan.
Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi dalam ranah politik, tetapi juga
dalam bidang akademik. Hal yang ditekankan oleh Said adalah bagaimana
bangsa Barat memosisikan bangsa-bangsa yang berbudaya tidak seperti
mereka sebagai “subjek” untuk dikaji atau diteliti; sedangkan bangsa Barat
atau “others” sebagai pihak yang mempelajari subjek tersebut. Menurut
Said (1978), ada empat bentuk hubungan kekuasaan serta hegemoni bangsa
Barat terhadap Timur. Pertama, kekuasaan dalam politik – praktik
kolonialisme dan imperialisme. Kedua, kekuasaan dalam intelektual –
bangsa Barat seolah-olah menjadi superior dengan mengambil peran sebagai
pemasok ilmu pengetahuan bagi bangsa-bangsa Timur. Ketiga, kekuasaan
dalam kebudayaan – hegemoni ini dapat terlihat pada sisipan nilai-nilai,
peraturan, dan bahasa yang dimiliki oleh bangsa Barat ke dalam
masyarakat/bangsa Timur. Keempat, kekuasaan dalam moralitas – hegemoni
37
bangsa Barat juga sudah menyisip pada aspek moral, tentang apa saja yang
patut dan tidak patut dilaksanakan atau diyakini dalam bermasyarakat.
Berkaitan dengan hegemoni ini, para ilmuwan poskolonialis
menyarankan setidaknya dua cara untuk menghadapi dominasi ini
(Littlejohn dan foss, 2008). Pertama, berupaya meninggalkan segala bentuk
hak istimewa yang biasanya terbatas dimiliki oleh kelas mayarakat tertentu.
Setiap kepentingan manusia sangat mungkin merupakan hasil dari
rujukannya terhadap kepentingan golongan yang mendominasi atau
menciptakan hegemoni. Kedua, menghindari menerapkan esensialisme
sebagaimana bangsa Barat ter-esensialisasi melalui diskursus Barat.
Selain itu, Gramsci (dalam Pozzolini, 2006) memberikan
konsepsinya mengenai hegemoni yang bebas nilai. Hegemoni dapat
didefiniskan lebih positif jika melalui itu kelompok dominan dapat
meyakinkan dan mengakomodasi kelompok minoritas; bukan dengan
manipulasi intelektual yang menindas kelompok minoritas. Gramsci (dalam
Pozzolini, 2006) menyebutkan adanya kelompok intelektual organik yang
memiliki posisi penting dan dapat mengimplementasikan budaya counter
hegemonic. Kelompok intelektual organik ini adalah mereka yang memiliki
kemampuan untuk mengakomodasi kepentingan, perasaan, emosi golongan
yang tertindas atau terhegemoni.
Hal yang diperhatikan dalam memunculkan counter hegemonic ini
bukan sekedar penindasan yang bersifat fisik atau sebatas pada ekonomi;
tetapi pada hal yang mengacu pada pikiran atau intelektual. Menurut
Gramsci, setiap orang merupakan intelektual, namun tidak semuanya
38
menjalankan fungsinya sebagai intelektual. Gramsci menekankan perlu
adanya upaya pencerahan masyarakat dalam aspek intelektual sehingga
mampu menangkis hegemoni yang ada. Oleh karena itu, dalam konteks
pendidikan, Gramsci menempatkan guru sebagai kaum intelektual yang
istimewa dibandingan dengan kelompok yang lainnya. Menurutnya guru
memiliki peran yang sulit karena mereka memiliki tanggung jawab untuk
menciptakan cara pandang “baru” yang mampu menyatukan lapisan bawah
dan lapisa atas. Ia harus menentukan posisi; bersama rakyat yang tertindas
untuk menciptakan counter hegemony atau bersama penguasa untuk secara
kreatif menciptakan hegemoni sehingga dapat diterima oleh publik.
Sejalan dengan hal ini, Mohammad Natsir diyakini sebagai tokoh
yang mampu berperan sebagai intelektual organik karena kepiawaiannya
mejadi seorang yang dekat dengan rakyat sekaligus negarawan yang mampu
mengislahkan pemerintah dan rakyat. Hal ini terbukti ketika Natsir berada di
luar pemerintahan pada masa orde baru, Natsir berperan aktif membantu
pemerintah sekaligus meyakinkan rakyat dan berbagai pihak yang
berkepentingan untuk mendukung pemerintah.
2.3 Sejarah Komunikasi dan Kajiannya
Sejarah komunikasi memang tidak bisa terlepas dari tradisi retorika
yang muncul di Eropa, khususnya di Yunani Kuno. Namun, bukan berarti
komunikasi dalam tataran makna aktivitas manusia itu baru ada pada masa
itu dan hanya bangsa Yunani yang mengenalnya. Komunikasi tentu muncul
seiring dengan peradaban manusia sejak awal.
39
Karya Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr (2013) mengenai
sejarah komunikasi – The Handbook of Communcation History – adalah
sebuah karya akademik yang menarik untuk dikaji. Meskipun mereka
merancang susunan buku tersebut dengan menempatkan tradisi retorika
sebagai permulaan, tidak berarti permulaan sejarah komunikasi dimulai dari
masa itu; bahkan istilah komunikasi pun belum digunakan saat itu. Secara
spesifik mereka menyebutnya sebagai the proto-communication history,
masa dimulainya tulisan bersejarah mengenai komunikasi. Artinya mereka
berupaya untuk mengambil titik awal sejarah komunikasi berdasarkan
permulaan penulisan komunikasi. Hal yang menarik adalah mereka turut
merujuk pada naskah-naskah klasik keagamaan.
Sejarah komunikasi pada masa awal ini ditandai dengan retorika
yang lazim digunakan sebagai sarana edukasi dan penanaman moral. Selain
itu, budaya-budaya berpidato yang ditemukan di peradaban Persia juga
dapat menjadi contoh lain dari kebudayaan yang memandang pidato atau
keterampilan berbicara sebagai hal penting (Simonson, Peck, Craig, dan
Jackson Jr, 2013). Herodotus, yang dianggap sebagai bapak sejarah, bahkan
menggunakan budaya berpidato dan keterampilan berbicara ini sebagai
komponen penting dalam historiografis klasik (ilmu pencatatan sejarah).
Adapun naskah-naskah klasik keagamaan yang juga menyinggung
tentang komunikasi seperti Al-Quran, Bibel, Bhagavad Gita, Mencius, dan
kitab Konfusius (Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013). Kitab-kitab
suci tersebut dapat disebut sebagai sumber pengetahuan mengenai sejarah
komunikasi dalam konteks keagamaan yang sering sekali mengisahkan
40
peristiwa komunikasi sakral antara manusia dengan Tuhan. Misalnya Al-
Quran yang mengisahkan tentang percakapan Allah هلالج لج dengan Adam
alaihissalam beserta para malaikat dan juga iblis. Bahkan, pada surah Al-
Baqarah ayat 31, dikisahkan mengenai pengetahuan dasar tentang nama-
nama benda yang diberikan Allah SWT kepada Adam. Kisah ini
menunjukkan bahwa keterampilan komunikasi manusia dimulai dengan
internalisasi berbagai nama benda secara langsung oleh Tuhan.
Istilah “komunikasi” mulai banyak diperbincangkan dan menjadi
istilah penting dalam diskursus filsafat serta narasi-narasi historis pada abad
ke-17 (Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013). Pada tahun 1690,
John Locke menjadikan “komunikasi” sebagai konsep penting dalam
karyanya Essay Concerning Human Understanding yang menjelaskan
bagaimana transmisi ide dari satu orang ke yang lainnya (Peter dalam
Simonson , Peck, Craig dan Jackson Jr, 2013). Disertasi doktor pertama
mengenai surat kabar juga muncul pada akhir abad ini, yakni pada tahun
1690 di Jerman yang beberapa bagiannya membahas tentang jejak sejarah
surat kabar di Yunani dan Romawi Kuno (Atwood dan de Beer dalam
Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013).
Memasuki abad ke-18, komunikasi semakin mendapatkan
perhatian di Prancis dan Skotlandia dengan dibahasnya dalam kajian sejarah
perkembangan bahasa, media, dan peradaban (D’Alembert, Darnton dan
Blom dalam Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013). Ensiklopedia
berbahasa Prancis, Encyclopẽdie, menempatkan komunikasi sebagai proses
fundamental dalam tata hisitoris tentang masyarakat.
41
Pada abad ke-19, beberapa kajian khusus tetang pencetakan, buku-
buku, koran, retorika, sistem pos, dan rute transportasi muncul (Simonson,
Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013). Karya-karya penting terbit di Amerika
Serikat, misalnya History of Printing in America karya Isaiah Thomas pada
tahun 1810 yang dilanjutkan dengan karya Frederic Hudson, Journalism in
the United States, yang diterbitkan tahun 1873. Lebih lanjut lagi, pada tahun
1890-an, perkuliahan yang membahas sejarah para jurnalis dan penerbit
hebat di masa lalu ditawarkan di Catholic University di Lille, Prancis.
Seorang ekonom dan pelopor kajian sejarah press di Jerman bernama Karl
Bücher mulai menulis tentang surat kabar pada tahun 1890-an. Kemudian,
pada tahun 1895, perkuliahan dengan topik “The History of the Press and
Jounalism in Germany” di University of Heidelberg ditawarkan di Jerman.
Memasuki abad ke-20, komunikasi menjadi istilah dan konsep
penting yang berkaitan dengan dialog, percakapan, informasi, propaganda,
opini publik, public relations, jurnalisme, media, komunikasi massa dan
teknologi. Pada masa ini, sejarah tentang koran dan jurnalisme menjadi
bidang yang paling mapan dalam kajian sejarah komunikasi (Simonson,
Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013).
Pada abad ini penelitian mengenai propaganda mulai dilakukan di
Amerika Serikat, tepatnya pada tahun 1920an dan 1930an (Sproule dalam
Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013). Salah satu ilmuwan Amerika
yang terkenal dalam kajian ini adalah Harold D. Lasswell yang salah satu
karyanya berjudul Propaganda and Communciation in World History.
Kajian propaganda juga dilakukan oleh ilmuwan mazhab Frankfurt Jerman
42
seperti Theodor Adorno dengan karyanya The Psychological Technique of
Martin Luther Thomas‟ Radio Adresses, serta Leo Lowenthal dengan
karyanya Prophets of Deceit.
Kajian lainnya yang mewarnai pada abad ini adalah opini publik.
Karya penting dihasilkan oleh Walter Lippman yang menulis Public
Opinion pada tahun 1922 dan John Dewey yang menulis Public and Its
Problems pada tahun 1927. Lalu pada tahun 1937, keduanya mendirikan
jurnal penting dan pertama dalam kajian ini, yakni Public Opinion
Quarterly (Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013).
Pada masa ini, pelembagaan komunikasi mengalami kemajuan di
Amerika Serikat dengan dibentuknya cikal bakal dari National
Communication Association (NCA) yang ada saat ini. Pada mulanya, tujuh
belas pengajar yang tergabung dalam National Council of Teachers of
English menghadai perselisihan internal, kemudian memilih keluar dan
mendirikan National Association of Academic Teachers of Public Speaking
(NAATPS) pada tahun 1914 (NCA, tt.). Institusi ini kemudian mengalami
beberapa perubahan nama hingga menjadi NCA pada tahun 1997 yang
bertahan hingga sekarang.
Jika melihat perkembangannya, kata “communication” mulai
digunakan untuk menamai asosiasi nasional Amerika Serikat ini pada akhir
dasawarsa ke-tujuh abad ke dua puluh. Namun, kata “communication”
sebenarnya sudah digunakan untuk menamai institusi penelitian pada tahun
1947 di University of Illinois, yakni Institute of Communication Research
(IRC). IRC menandai permulaan komunikasi secara lebih luas menjadi
43
disiplin akademik tersendiri (ICR, t.t.; Liliweri, 2011). Pelopornya adalah
Wilbur Schramm yang sekaligus menjadi direktur pertamanya.
Pendirian IRC ini dianggap sebagai awal kelahiran ilmu
komunikasi. Namun, berbagai tokoh yang telah disebut di penjelasan-
penjelasan sebelumnya telah berkontribusi bagi peletakan dasar ilmu
komunikasi, meskipun mereka tidak menyebut dirinya secara eksplisit
sebagai ilmuwan komunikasi. Rogers (1994) menyebut mereka sebagai
forerunner karena berhasil mengangkat komunikasi menjadi sebuah ilmu
penting. Mereka adalah Carl I. Hovland, Harold D. Lasswell, Robert E.Park,
George Herbert Mead, Paul Lazarsfeld, Kurt Lewin, Claude E. Shannon,
Gabriel Tarde, Geoger Simmel, dan Norbert Wiener. Adapun founder ilmu
komunikasi menurutnya adalah Wilbur Schramm melalui perannya dalam
pendirian IRC dan juga menjadi pengajar bagi para doktor pertama dalam
ilmu komunikasi (Rogers, 1994). Salah satu muridnya adalah doktor ilmu
komunikasi pertama di Indonesia, M. Alwi Dahlan (Rokhman, 2015).
Sebelum dikenalkannya ilmu komunikasi yang berakar di Amerika
Serikat oleh M. Alwi Dahlan, pondasi keilmuannya sudah ada sejak
ditawarkannya ilmu penerangan sebagai mata kuliah di Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1948 (Cangara dalam Antoni, 2004). Selanjutnya,
Universitas Indonesia membuka Jurusan Publisistik yang berada di bawah
naungan Fakultas Ilmu Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat pada
tahun 1959. Beberapa universitas pun mengikuti UI, seperti Universitas
Padjajaran pada 1960, Universitas Hasanuddin pada 1961, Universitas Prof.
Dr. Moestopo pada 1962, dan Universitas Diponegoro pada 1967.
44
Pengembangan kajian ilmu publisistik di Indonesia berawal dari
permintaan Ir. Soekarno yang menginginkan para wartawan Indonesia
memiliki landasan keilmuan yang baik sehingga dapat menjadi pendukung
revolusi (Lukman dalam Rokhman, 2015). Ilmu ini pun mengalami
perkembangan hingga berubah namanya pada tahun 1982 menjadi ilmu
komunikasi untuk tingkat sarjana serta hubungan masyarakat dan jurnalistik
untuk tingkat diploma. Perubahan nama ini berdasarkan pada Keputusan
Presiden Nomor 107/82 Tahun 1982 tentang penyeragaman nama ilmu-ilmu
yang dikaji di Indonesia (Rokhman, 2015).
Perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia berkembang pesat
dengan munculnya berbagai program studi/jurusan ilmu komunikasi di
berbagai universitas. Menurut Kuswarno (dalam Rokhman, 2015),
konsentrasi program studi/jurusan ilmu komunikasi di Indonesia adalah
pada bidang: Jurnalistik, Hubungan Masyarakat, Manajemen Komunikasi,
Penyiaran, Manajemen Media, Komunikasi dan Penyiaran Islam,
Komunikasi Bisnis, Periklanan, Komunikasi Pemasaran dan lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa awal
mula pencatatan komunikasi erat kaitannya dengan retorika dan kegiatan
publikasi yang pada perkembangannya dikenal istilah yang lebih bersifat
praktis seperti pidato, propaganda, dan opini publik. Semuanya tidak
terlepas dari kegiatan atau kepentingan politik serta dua istilah yang lahir di
peradaban barat, publisistik (Eropa) atau jurnalisme/jurnalistik (Amerika)
yang kemudian menjadi landasan lahirnya dan perkembangan ilmu
komunikasi hingga tersebar ke Indonesia. Dengan menelusuri jejak sejarah
45
Mohammad Natsir, harapannya penulis dapat menemukan akar-akar ilmu
komunikasi khas Indonesia yang tentunya tidak mutlak selalu berkaitan
dengan apa yang tercatat dalam sejarah peradaban Barat. Misalnya, bisa saja
komunikasi dan kajian komunikasi di Indonesia berakar dari semangat
dakwah Islam (menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran) yang
berlandaskan pada gairah kemerdekaan, bukan gairah penjajahan.
2.4 Komunikasi Politik
McNair (2011) mendefinisikan komunikasi politik dengan merujuk
pada pandangan Denton dan Woodward yang secara sederhana ia artikan
sebagai komunikasi yang ditujukan untuk aktivitas atau kepentingan politik.
Secara lebih rinci, ada tiga bentuk komunikasi yang dapat diklasifikasikan
sebagai komunikasi politik, yakni: (1) segala bentuk komunikasi yang
dilakukan oleh para politisi dan para aktor politik lainnya untuk tujuan-
tujuan tertentu; (2) tindakan komunikasi oleh para non-politisi – seperti
pemilih dan kolumnis surat kabar – yang ditujukan kepada para politisi dan
aktor politik lainnya; dan (3) komunikasi yang menyangkut para politisi dan
aktivitasnya yang termuat di berita, editorial, dan bentuk-bentuk media
lainnya yang dapat menjadi sarana diskusi politik.
Sejarah mengenai awal dimulainya kajian komunikasi politik
memiliki titik yang sama dengan kajian komunikasi massa, dan kajian
komunikasi itu sendiri (Kaid, 2004). Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa dasar-dasar kajian komunikasi hingga menjadi sebuah
disiplin ilmu diawali dengan kajian-kajian tindakan komunikatif yang
berkaitan dengan politik. Sehingga, pernyataan Kaid dapat diartikan bahwa
46
komunikasi politik yang praktiknya berkaitan dengan komunikasi massa
menjadi kajian pembuka dari ilmu komunikasi.
Pendapat Kaid ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Chaffee dan
Hochheimer (1985) bahwa kajian komunikasi politik dimulai dari
penelitian-penelitian awal tentang komunikasi massa. Pendapat Chaffee dan
Hochheimer ini diperjelas oleh Ryfe (2001) yang menyatakan bahwa ada
komitmen teoritis dan metodologis antara penelitian-penelitian komunikasi
massa dan komunikasi politik. Komitmen ini kemudian dibentuk
berdasarkan tiga disiplin utama, yakni psikologi sosial, penelitian
komunikasi massa dan ilmu politik. Apa yang disampaikan oleh Ryfe ini
pun bertatutan dengan pendapat Alwi Dahlan (1989) mengenai ilmu politik
yang menjadi akar dari komunikasi politik.
Dari tiga disiplin utama yang disebut di atas, sosial psikologi
menjadi disiplin yang paling berpengaruh bagi pengembangan kajian
komunikasi politik (Ryfe, 2001). Disiplin yang berfokus pada sikap, opini
dan keyakinan ini sudah dimulai sejak awal abad ke-20 dan perspektif
dasarnya mulai digunakan oleh ilmuwan komunikasi pada tahun 1920-an
(Delia dalam Ryfe, 2001). Psikologi sosial memberikan perhatian mendalam
pada ketepatan pengukuran dan percobaan. Dua instrumen pengumpulan
data yang sangat sering digunakan dalam kajian komunikasi politik, survei
dan eksperimen, adalah hasil pengembangan dari para ilmuwan psikologi
sosial (Ryfe, 2001).
Pengaruh psikologi sosial ini dibuktikan melalui penelitian tentang
opini publik oleh Walter Lippmann pada tahun 1922 yang menjadi dokumen
47
pembuka kajian komunikasi politik sekaligus ilmu komunikasi itu sendiri
(Kaid, 2004, Ryfe, 2001). Contoh lainnya adalah kajian tentang propaganda
politik yang dilakukan Harold D. Lasswell pada tahun 1927 dan studi
persuasi oleh Gordon Allport pada tahun 1935 (Ryfe, 2001).
Lippmann disebut sebagai jurnalis politik paling berpengaruh di
abad ke-20 serta menjadi tokoh penting dalam analisis propaganda, opini
publik dan agenda-setting (Kaid, 2004). Lippmann merupakan ilmuwan
yang melakukan pemikiran dan pencatatan awal mengenai apa yang
kemudian disebut sebagai agenda-setting melalui salah satu bagian dari
karyanya “The World Outside and the Pictures in Our Heads” (Kaid, 2004).
Lippmann membedakan realitas yang sungguh terjadi (real-world
indivators) dengan apa yang dipersepsikan oleh masyarakat (public
agenda). Selain itu, ia merupakan pelopor dalam melakukan analisis isi
secara ilmiah terhadap pemberitaan media (Kaid, 2004). Saat itu, yang
menjadi bahan analisisnya adalah pemberitaan The New York Times tentang
Revolusi Russia tahun 1917. Lippmann bersama Merz kemudian
menemukan adanya bias anti-Bolshevik dalam pemberitaan tersebut.
Temuannya ini kemudian membuat Lippmann menjadi skeptis terhadap
kemampuan rata-rata orang Amerika dalam memandang berbagai isu
penting secara cermat (Kaid, 2004).
Tokoh berikutnya yang menjadi pelopor kajian komunikasi politik
adalah Harold D. Lasswell. Lasswell, seoarang ilmuwan politik di
University of Chicago yang fokus mengaji tentang propaganda (Kaid, 2004).
Melalui disertasinya yang ditempuh di universitas tersebut, Lasswell
48
melakukan analisis konten terhadap propaganda Jerman saat melawan
Prancis, Inggirs dan Amerika pada Perang Dunia I. Penelitiannya ini
kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul “Propaganda
Technique in the World War” pada tahun 1927. Hasil risetnya ini
menjelaskan tentang efek komunikasi massa terhadap psikologi publik
(khususnya negara yang menjadi target) maupun individu yang terlibat
dalam perang. Temuannya ini kemudian menjadi landasan bagi rumusannya
yang terkenal, yakni “who, says what, in which channel, to whom, with what
effect” (Kaid, 2004).
Tokoh lainnya adalah Paul F. Lazarsfeld, ilmuwan asal Austria
yang berhijrah ke Amerika Serikat dan meniti karir akademiknya di
Columbia University. Pada tahun 1937, dengan pendanaan dari Rockefeller
Foundation, Lazarsfeld memimpin Radio Reasearch Project yang nantinya
berubah menjadi Bureau of Applied Social Research di Columbia University
(Kaid, 2004). Proyek terkenal Lazarsfeld adalah Erie County Study yang
merupakan penelitian kuantitatif pertama tentang voting behavior dengan
melibatkan 600 responden yang dilakukan selama 6 bulan pada 1940. Hasil
penelitiannya ini menunjukkan bahwa media massa tidak memiliki
pengaruh yang kuat dan mutlak kepada publik. Lazarsfeld kemudian
mencetuskan konsepsi two-step flow of communication, di mana opinion
leader lah yang berperan penting untuk memberikan informasi-informasi
terkait politik kepada para pengikutnya melalui saluran komunikasi
antarpribadi (Kaid, 2004).
49
Memasuki masa Perang Dunia II, kajian komunikasi politik
semakin terlihat esensi ilmu komunikasinya, khususnya komunikasi massa.
Ini bisa terjadi karena: (1) media yang menjadi fokus komunikasi politik
termasuk ke dalam cakupan ilmu komunikasi; (2) semakin banyaknya
pengaji komunikasi politik yang ahli komunikasi; dan (3) sifat
interdisipliner ilmu komunikasi memungkinkan investigasi dan pemahaman
yang lebih jelas tentang perilaku-perilaku politik (Dahlan, 1989).
Di Indonesia, kajian komunikasi politik belum dapat berkembang
dengan baik sebelum reformasi 1998 karena adanya kontrol yang kuat dari
Soeharto (Kaid, 2004). Salah satu kajian komunikasi politik yang dilakukan
sebelum reformasi adalah kajian analisis isi komparatif terhadap
pemberitaan Perang Teluk di New York Times dan Kompas yang dilakukan
oleh Soesilo dan Wasburn pada tahun 1994. Studi tersebut menyimpulkan
bahwa pers Indonesia memiliki komitmen dalam mendukung pembangunan
sosial dan ekonomi serta mengutamakan pemberitaan mengenai
pemerintahan (Kaid, 2004). Setelah terjadinya reformasi, kehidupan pers
pun aktif dan mulai muncul kajian-kajian komunikasi politik yang pada
mulanya banyak membahas tentang peran media massa dalam jatuhnya
pemerintahan Soeharto (Kaid, 2004). Penelitian pertama yang membahas
tentang ini dilakukan oleh McCargo pada tahun 1999 yang berfokus pada
pelarangan terbit bagi Tempo, DeTik dan Editor untuk menekan gagasan-
gagasan politik serta kelompok-kelompok kepentingan yang berlawanan
dengan Soeharto (Kaid, 2004).
50
Berkaitan dengan pengembangan kajian komunikasi politik di
Asia, termasuk Indonesia, Kaid (2004) menyebutkan bahwa salah satu
faktor penghambatnya adalah adanya keraguan mengenai kesesuaian teori
barat untuk digunakan dalam meneliti fenomena komunikasi politik di
wilayah ini. Ini tentu menjadi tantangan bagi para penggiat kajian
komunikasi politik di Asia dan juga Indonesia tidak hanya untuk meninjau
kembali teori barat secara ilmiah tetapi juga memunculkan berbagai karya
akademik dalam bidang ini yang khas Asia, atau secara khusus Indonesia
(Menon, 1988). Dengan menjawab tantangan ini, diharapkan kajian
komunikasi politik di Indonesia dapat berkembang tidak hanya dalam aspek
kuantitasnya, tetapi juga dari kualitasnya – artinya temuan-temuan ke depan
diharapkan lebih konstektual dan relevan.
2.5 Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional
Komunikasi pendidikan merupakan salah satu bidang kajian dalam
ilmu komunikasi yang mencakup segala bentuk konstruksi dan konsep
tentang berbicara, mendengarkan, dan relasional yang berkaitan dengan
pembelajaran (Rubin, 2011).
Komunikasi pendidikan diawali dari kajian spesifik mengenai
speech communication (Rubin, 2011). Kajian ini sudah dimulai sejak awal
pendirian National Communication Association yang pada ,mulanya
bernama National Association Teachers of Public Speaking (1914).
Organisasi ini kemudian merilis jurnal pertamanya pada 1915 yang bernama
Quarterly Journal of Public Speaking. Beberapa topik penelitian yang
mendapatkan perhatian para ilmuwan di bidang ini adalah metode
51
pengajaran debat, prosedur parlemen, drama, teater, kelas-kelas pidato di
sekolah dan perguruan tinggi, serta metode pengelolaan departemen dan
asosiasi (Rubin, 2011). Pada tahun 1946, asosiasi ini berubah nama lagi
menjadi Speech Association of America dan mempublikasikan jurnal
ketiganya, Speech Teacher, pada tahun 1952. Jurnal ini kemudian diubah
namanya menjadi Communication Education yang konsisten
mempublikasikan penelitian berkualitas terkait pengembangan komunikasi
dan pembelajaran yang secara luas didefinisikan sebagai pendidikan
komunikasi dan komunikasi instruksional (NCA, tt.)
Setelah bertahun-tahun semenjak awal dikembangkannya, melalui
berbagai tinjauan pustaka dalam komunikasi pendidikan,dimensi utama dari
kajian ini berhasil diidentifikasi. Rubin dan Feezel (1986) berhasil
mengidentifikasi tiga jenis sub kajian komunikasi pendidikan, yakni
pendidikan komunikasi (communication education), komunikasi
instruksional (instructional communication), dan pengembangan
komunikasi (communication development).
Pendidikan komunikasi berfokus pada topik-topik yang diajarkan
di kelas-kelas atau pogram-program komunikasi (misalnya penyiaran,
jurnalisme, dan public relations), proses pemilihan topik tersebut, metode
yang digunakan dalam pengajaran, serta teknik evaluasi capaian belajar
siswa (Rubin, 2011). Komunikasi instruksional memiliki fokus yang lebih
luas, yakni pada strategi dan kemampuan pengajar dalam berkomunikasi
secara lebih baik dengan siswanya, apapun bidang ilmu pengetahuan yang
diajarkan (McCroskey dan McCroskey, 2006). Adapun pengembangan
52
komunikasi, bidang ini berfokus pada proses perkembangan bahasa dan
kemampuan berbicara pada anak-anak serta faktor-faktor lingkungan yang
memengaruhinya (Rubin, 2011). Dari tiga sub kajian tersebut, komunikasi
instruksional menjadi salah satu fokus dalam penelitian ini yang akan
digunakan sebagai framework untuk menganalisis dan mengkategorisasi
aktivitas-aktivitas Mohammad Natsir yang berkenaan dengan pengajaran.
Komunikasi instruksional dipelopori oleh Robert Kibler, Larry
Barker, dan McCroskey yang memprakarsai terbentuknya divisi komunikasi
instruksional pada International Communication Association (ICA) pada
tahun 1972 (Richmond dan Frymier dalam McCroskey, Teven, Minielli, dan
Richmon, 2014). Tujuan dari divisi ini adalah untuk memberikan perhatian
secara khusus pada peran komunikasi di segala jenis pengajaran dan
pelatihan, serta menyediakan kesempatan bagi para ilmuwan di bidang ini
untuk menampilkan karya-karya ilmiahnya di konvensi tahunan yang
diadakan oleh ICA serta mempublikasikan penelitiann serta kajian
pustakanya dalam Communication Yearbook (Myers, 2010).
Pada akhir dekade 1970-an hingga awal 1980-an, dikembangkan
pendekatan komunikasi instruksional yang berfokus pada identifikasi
perilaku, sikap dan atribut-atribut komunikatif yang digunakan oleh
pengajar (Nussbaum dalam Myers, 2010). Penelitian-penelitian yang
dilakukan pada masa ini meliputi aspek nonverbal pengajar, gaya
komunikasi pengajar, humor yang digunakan dalam pengajaran, ketakutan
berkomunikasi pada siswa, serta power in the classroom.
53
Memasuki akhir abad ke-20, topik-topik penelitian komunikasi
instruksional lebih beragam (Myers, 2010). Beberapa contohnya adalah
penelitian tentang gaya komunikasi agresif yang dipraktikkan pengajar,
kelakuan buruk pengajar, cara-cara yang digunakan siswa untuk
mengklrafikasi sesuatu, motivasi siswa, serta motif siswa dalam
berkomunikasi dengan pengajar.
Pada abad ke-21, ada beberapa topik penelitian baru yang muncul;
misalnya riset tentang tempramen pengajar oleh McCroskey, Valencic dan
Richmond pada 2004. Penelitian terkait peran teknologi dalam pengajaran
yang berfokus pada isu-isu tentang distance education, teknologi kelas
digital, e-mail, dan situs jejaring sosial mulai dirintis dan mendapatkan
banyak perhatian (Waldeck, dkk. Dalam Myers, 2010).
Berkaitan dengan substansi kajian ini, terdapat dua perspektif atau
tradisi yang perlu diperhatikan, yakni rhetorical perspective dan relational
perspective. Perspektif atau tradisi retorika berfokus pada penggunaan pesan
verbal dan nonverbal oleh pengajar untuk mempersuasi atau memengaruhi
para siswanya agar mengubah maupun memperkuat sikap, keyakinan, nilai-
nilai dan perilaku yang dikehendaki oleh pengajar (Farris, Houser, dan
Hosek, 2018). Perpspektif ini cenderung memberlakukan model komunikasi
yang lebih linear dalam pembelajaran, sehingga komunikasi yang dibentuk
lebih bersifat transmisif – guru berperan sebagai sumber utama pesan-pesan
yang berkaitan dengan pengajaran, sedangkan para siswa diposisikan
sebagai penerima utama dari pesan-pesan tersebut (Farris, Houser, dan
Hosek, 2018).
54
Berikutnya adalah relational perspective yang menekankan pada
berbagai aspek terkait hubungan antarpribadi yang mencakup
pengembangan hubungan, ekspresi emosi, komunikasi yang berorientasi
tujuan, manajemen konflik, serta ketidak-setaraan dalam hubungan
antarpribadi (DeVito; Ellis; Mottet dan Beebe; Frymier dan Houser dalam
Farris, Houser, dan Hosek, 2018). Tujuan dari seorang pengajar yang
menerapkan perspektif/tradisi ini adalah membentuk hubungan yang baik
dengan para siswanya, bukan sekedar memenuhi target pembelajaran atau
transmisi ilmu pengetahuan (Beebe, Beebe, dan Redmond dalam Farris,
Houser, dan Hosek, 2018). Oleh karena itu, McCroskey dan Richmond
(dalam Farris, Houser, dan Hosek, 2018) menegaskan bahwa yang
ditekankan oleh perspektif/tradisi ini adalah kepuasan dan kenyamanan
hubungan antara pengajar dan para siswanya.
Salah satu konsep penting yang berkaitan dengan perspektif/tradisi
ini adalah “I-It” relationships dan “I-Thou” relationships yang dijelaskan
oleh Martin Buber (dalam Farris, Houser, dan Hosek, 2018) pada akhir
tahun 1950-an. Secara sederhana,“I-It” relationships dapat diartikan
sebagai hubungan yang memosikan rekan bicara atau orang lain sebagai “it”
atau benda, bukan sebagai individu yang unik. Hubungan ini cenderung
menghasilkan komunikasi yang impersonal serta respon bergantung pada
ekspektasi peran yang dimiliki orang tersebut (Buber dalam Farris, Houser,
dan Hosek, 2018). Sedangkan “I-Thou” relationships adalah bentuk
komunikasi yang mendorong keintiman dan interaksi yang intensif karena
masing-masing individu menegaskan posisi lainnya sebagai individu yang
55
unik serta adanya penerimaan dan keterbukaan di antara mereka (Buber
dalam Farris, Houser, dan Hosek, 2018).
Pengajar dan siswa yang menjalin “I-It” relationships akan
memiliki sedikit keterbukaan di antara kedua belah pihak dan hubungannya
hanya berfokus pada materi pembelajaran serta transmisi pengetahuan.
Adapun yang menjalin “I-Thou” relationships akan mendorong hubungan
yang saling-terbuka, pengajar dan siswa saling memberikan pemahaman dan
menciptakan kenyamanan dalam berhubungan, serta interaksinya tidak
terbatas pada trasmisi pengetahuan, tetapi juga mencakup berbagai hal yang
bersifat personal yang justru dapat memperkuat kegiatan pembelajaran.
Selain dua perspektif di atas, terdapat juga General Model of
Instructional Communication yang diperkenalkan oleh James McCroskey,
Kristin Valencic dan Virginia Richmond Merujuk pada penjelasan
McCroskey, Valenic, dan Richmond (2004), General Model of Instructional
Communication memiliki asumsi bahwa guru merupakan sumber utama
informasi, sedangkan siswa menempati posisi sebagai peserta didik atau
yang menerima informasi dari guru.
2.6 Komunikasi Da’wah
Racius (2004), dalam disertasinya, menyebutkan beberapa definisi
da‟wah secara etimologis: berbicara, memanggil, memohon, meminta,
menuntut, atau menyembah. Ia memperselisihkan beberapa pendapat
tentang da‟wah. Salah satunya adalah yang disampaikan oleh Walker
tentang perbedaan da‟wah dan tabligh. Walker (dalam Racius, 2004)
mendefinisikan tabligh sebagai misi untuk menyampaikan sebuah pesan
56
secara aktif, sedangkan da‟wah adalah panggilan yang bersifat pasif.
Racius (2004) menegaskan bahwa pandangan ini tidak benar karena
menurutnya da‟wah yang dilakukan Nabi Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص, yang menjadi
percontohan da‟wah itu sendiri, tidak selalu pasif. Bahkan, ia
menyebutkan bahwa usaha keras harus dilakukan oleh Nabi untuk sukses
dalam da‟wah-nya. Racius juga merujuk fakta sejarah bahwa da‟wah Nabi
menjadi semakin berkembang ketika berada di Madinah dan Nabi menjadi
pemimpin agama sekaligus kepala negara.
Racius (2004) juga mengutip pendapat Janson yang menyebutkan
tiga pengertian da‟wah: (1) menyembah Tuhan; (2) berbicara, memohon
dan memanggil; dan (3) mengajak untuk memeluk agama tertentu
(khususnya Islam). Ia kemudian memberikan perhatian khusus pada
definisi da‟wah yang ketiga. Salah satu pandangan tokoh pembaru Islam
yang ia rujuk adalah milik Rasyid Rida yang mendefinisikan da‟wah
sebagai ajakan untuk memeluk Islam, dan kemudian menyerukan kepada
kebaikan dan mencegah keburukan.
Sikap Racius terhadap pengertian da‟wah ini sepertinya adalah
yang tepat jika dibandingkan dengan Walker. Menariknya, meskipun
Walker berpandangan bahwa tabligh dan da‟wah itu berbeda, Ia justru
menyampaikan beberapa pengertian da‟wah secara etimologis yang justru
menunjukkan tindakan komunikasi aktif, seperti penyeruan, aktivitas
misionaris, bahkan propaganda. Pendapat lain disampaikan oleh Toha
Jahja Omar (1967), Rektor IAIN Syarif Hidayatullah periode 1970-1973,
57
yang menyatakan bahwa da‟wah memiliki kemiripan makna dengan
penerangan, penyiaran, indoktrinasi, dan propaganda.
Penyertaan “propaganda” sebagai pengertian dari da‟wah perlu
mendapatkan perhatian. Pasalnya, kata yang identik maknanya dengan
“propaganda”, yakni “propagation” muncul dalam definisi tabligh yang
disampaikan oleh Mowlana (2007). Menurut Mowlana (2007), tabligh
adalah bentuk propaganda dalam Islam yang bertujuan untuk menyebarkan
nilai atau ajaran Islam atau memperbanyak (secara kuantitas) orang yang
meyakini Islam. Adapun definisi propaganda adalah metode
penyebarluasan pesan secara massif yang bertujuan untuk memengaruhi
aspek psikologi massa hingga dapat menciptakan perubahan pada sikap
dan prilaku (Ellul; Lasswell dalam Mowlana, 2007). Sebuah titik temu
definisi dari da‟wah dan propaganda adalah kehendak memassifkan
sesuatu yang dapat berdampak pada perilaku target pesan. Namun, yang
da‟wah dan propaganda memiliki perbedaan yang mendasar pada
tujuannya secara historis.
Dengan demikian, da‟wah dan tabligh pada dasarnya memiliki
tujuan yang sama – penyebarluasan Islam dan peningkatan jumlah
pemeluknya. Natsir (dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa,
2002), lebih memilih kata da‟wah untuk cakupan yang lebih luas karena
tidak hanya sekedar menyampaikan (tabligh), tetapi juga mengajak.
Istilah da‟wah disebutkan dalam banyak ayat di beberapa surah
dalam al-Quran. Dua ayat yang dapat menjadi pedoman pendefinisian dari
58
istilah ini adalah surah Ali-Imran ayat 104 dan surah an-Nahl ayat 125,
yang menyebutkan:
Terjemahan:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung” (Kemenag RI, 2011).
Terjemahan:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(Kemenag RI, 2011).
Kata “da‟wah” dengan bentuk berbeda digunakan dalam dua ayat
di atas yang menunjukkan arti yang sama, yakni “menyerukan”. Ayat
pertama mengandung tentang konten da‟wah, yakni menyuruh kepada
kebaikan (ma‟ruf) dan mencegah keburukan (munkar). Sedangkan ayat
kedua menjelaskan tentang metode da‟wah dengan penyampaian hikmah,
pelajaran yang baik, keteladanan, serta menyanggah berbagai pandagan dan
keyakinan target da‟wah dengan cara yang baik (Omar, 1967).
59
Berdasarkan dua ayat tersebut serta beberapa penjelasan mengenai
da‟wah yang disebutkan sebelumnya, ada tiga poin utama terkait pengertian
komunikasi da‟wah: (1) aktivitas komunikasi yang isi utama pesannya
adalah seruan kepada kebenaran dan kebajikan serta pencegahan dari segala
kemunkaran; (2) bertujuan untuk mengajak dan memengaruhi manusia agar
meyakini dan mengamalkan ajaran Islam; (3) dilakukan dengan menerapkan
strategi yang komunikasi yang menunjukkan hikmah dan keteladanan.
Komunikasi da‟wah bukanlah bagian sampingan dari Islam.
Sebagai agama misionaris, Islam sangat erat dengan praktik komunikasi.
Natsir (2017) menyebutkan dalam Fiqhud Da‟wah, bahwa Islam adalah
agama risalah untuk alam semesta. Galander (2002), seorang asisten
Professor pada Deparment of Communication, International Islamic
University Malaysia, menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang
berbasis komunikasi. Ia berpandangan bahwa dua sumber hukum utama
dalam Islam yang sekaligus menjadi panduan da‟wah, al-Quran dan as-
Sunnah atau al-Hadits, berbasis pada komunikasi.
Galander (2002) menggunakan istilah “a communicational
miracle” untuk mengungkapkan ketakjubannya pada al-Quran.
Menurutnya, al-Quran memiliki kefasihan bahasa dan kesusastraan yang
tinggi yang tidak satu pun dari para penyair dan orator Arab terkemuka
dapat menyamainya.
Jauh sebelum pernyataan Galander yang seorang muslim ini,
ketakjuban atas keajaiban al-Quran telah lebih dulu diungkapkan oleh al-
Walid ibn al-Mughirah, seorang tokoh Quraisy di zaman Nabi Muhammad
60
yang selalu menganggu kegiatan da‟wah Nabi dan menghina Nabi ملسو هيلع هللا ىلص
sebagai penyihir dan orang gila (Haykal, 1993). Ayah dari panglima perang
Islam terkemuka (Khalid bin Walid) ini mengungkapkan bahwa al-Quran
itu manis, indah, memiliki bahasa yang tinggi dan tidak ada satu pun
manusia yang mampu membuat hal yang serupa dengannya (Haykal, 1993).
Adapun as-Sunnah merupakan perbuatan, ucapan dan sikap Nabi
Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص yang menjadi panduan kedua setelah al-Quran bagi umat
Islam yang penyampaian dan penulisannya tidak hanya menunjukkan
penggunaan metode ilmiah yang cermat dan teliti, tetapi juga
merepresentasikan praktik komunikasi yang historis, terstruktur dan
memerhatikan kredibilitas penyampainya.
Berkenaan dengan pelaksanaan komunikasi da‟wah, ada dua hal
penting yang harus diperhatikan, yakni target-cakupan dan metode da‟wah.
Natsir (2017) menyebutkan tiga lingkup yang menjadi target da‟wah, yakni:
(1) individu atau personal; (2) keluarga; dan (3) umat atau masyarakat, baik
muslim maupun yang tidak. Pembagian yang sedikit berbeda disampaikan
oleh Murad (dalam Wagner, 2003): (1) tingkatan makro yang mencakup
umat dan negara; (2) tingkatan menengah yang mencakup institusi atau
kelompok masyarakat yang besar; dan (3) tingkatan mikro yang mencakup
individu dan kelompok kecil seperti keluarga.
Adapun metode dalam penyampaiannya dapat merujuk pada
pendapat Natsir (2017) yang menaruh perhatian pada surah Ali-Imran ayat
104 menjelaskan beberapa teknik da‟wah yang berkaitan dengan hikmah,
keteladanan dan beradu argumentasi.
61
1) Mengenal golongan atau masyarakat yang menjadi target da‟wah.
2) Mencermati waktu yang tepat untuk berbicara dan diam;
3) Mengadakan dialektika dalam argumentasi, mencari titik
pertemuan sebagai tempat bertolak, serta maju secara sistematis;
4) Berhati-hati agar tidak terpengaruh hal-hal negatif dari target
da‟wah dan lingkungannya yang seharusnya diubah – Natsir
menyebutnya sebagai memegang erat sibghah Allah هلالج لج;
5) Memilih dan menyusun kata yang tepat. Natsir menyebutkan
beberapa jenis perkataan yang ada dalam al-Quran, yakni:
a. Qaulan sadiedan, yakni kata-kata yang benar, tidak berbelit-
belit, serta keluar dari hati yang suci bersih.
b. Qaulan layyinan, yakni kata-kata yang lembut, halus dan
menyenangkan karena menunjukkan harapan.
c. Qaulan balighan, yakni kata-kata yang dapat merasuk sampai
ke benak target da‟wah.
6) Berpaling dari kaum yang sangat jelas memusuhi Islam, tidak
memiliki sedikit pun titik temu, dan justru menimbulkan hal-hal
negatif jika da‟wah pada mereka dilanjutkan.
7) Memberikan uswah hasanah atau keteladanan dengan
menampilkan akhlak yang mulia, serta menggunakan metode
lisanul hal atau the true action yang lebih kuat dari pada orasi.
2.7 Jurnalisme Islam
Hamid Mowlana (2007), seorang Profesor Emiritus pada School of
International Service, American University, menyatakan bahwa jurnalisme
62
dalam perspektif Islam ialah bagian dari tabligh yang tujuan pengumpulan,
produksi, dan penyebaran informasinya adalah untuk menampilkan
kebenaran Islam (Mowlana, 2007).
Mowlana (2007) menaruh perhatian khusus pada peran penting
jurnalisme dalam agenda da‟wah Islam atau sebagai alat untuk
melaksanakan amr ma‟ruf nahi munkar (menyeru pada kebajikan dan
mencegah kemungkaran). Mowlana (2007) menyebutkan praktik jurnalisme
di Iran sebagai percontohan jurnalisme Islam. Media massa di Iran memiliki
peran strategis tidak hanya dalam keagamaan, tetapi juga dalam aspek
geopolitik dan sosio-ekonomi. Secara komparatif, Mowlana (2007)
menegaskan bahwa jika di Amerika Serikat dan Eropa, televisi “menjadi
agama”, maka di Iran agama yang menyediakan dan mengatur televisi.
Selain itu, menurutnya, media massa Barat yang menyebarkan bias
dan distorsi informasi karena adanya sentimen terhadap Islam telah
mendominasi pemberitaan dunia. Ia menyebutkan bahwa sebanyak 99%
peristiwa dunia yang berkaitan dengan Islam tidak mendapatkan perhatian
dunia karena dieliminasi dari agenda pemberitaan dan dibentuk seolah-olah
tidak penting. Hal inilah yang sepertinya menjadi dorongan bagi munculnya
argumentasi Mowlana mengenai jurnalisme Islam sebagai alat da‟wah yang
tidak hanya menyebarluaskan nilai dan ajaran Islam, tetapi juga
menampilkan kebenaran dan jati diri Islam.
Menurut Mowlana (2007), terdapat lima prinsip dasar etika
komunikasi yang perlu diperhatikan dalam jurnalisme Islam, yakni (1)
tauhid, (2) amr bi al-ma‟ruf wa nahy‟an al munkar, (3) ummah, (4) taqwa,
63
dan (5) amanat. Prinsip pertama (tauhid) merupakan yang paling mendasar
dan penting yang tidak hanya berarti berpegang teguh pada keyakinan
tentang ke-Esa-an Allah هلالج لج, tetapi secara implisit juga berarti kesatuan,
kepaduan dan harmoni antara seluruh komponen alam semesta yang
diwujudkan melalui ketaatan pada ketentuan Allah هلالج لج (Mowlana, 2007).
Tauhid menjadi panduan utama dalam menentukan batasan-batasan
legitimasi politik, sosial, dan budaya, termasuk sistem komunikasi di
dalamnya. Prinsip ini mendorong kemerdekaan dari segala bentuk
penghambaan kepada selain Allah هلالج لج - menentang adanya “berhala” politik,
sosial, ekonomi dan budaya serta kultus kepribadian.
Prinsip kedua (amr bil ma‟ruf wa nahy‟anilmunkar), yang
diterjemahkan oleh Mowlana (2007) sebagai doktrin tentang tanggung
jawab, bimbingan dan aksi. Prinsip ini adalah landasan da‟wah dalam Islam
(menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) sebagaimana
disebutkan dalam beberapa ayat dalam al-Quran yang dua di antaranya
(Ali-Imran ayat 104 dan An-Nahl ayat 125) telah dipaparkan pada bahasan
komunikasi da‟wah. Mowlana (2007) mengaitkan prinsip ini dengan jihad
(perjuangan bersungguh-sungguh) yang berkonsekuensi pada setiap muslim
untuk melakukannya, termasuk dalam jurnalisme. Sehingga, pesan-pesan
yang disampaikan oleh media sepatutnya menjadi bimbingan bagi
masyarakat berdasarkan dua hal ini.
Prinsip ketiga (ummah) merupakan konsep masyarakat dalam
Islam yang melampaui batas kebangsaan dan politik (Mowlana, 2007).
Konsep ini melebihi sistem negara modern; ummah merupakan konsep
64
religio-economic yang hanya dapat tewujud di bawah pemerintahan yang
berlandaskan Islam. Aspek ras, etnis, suku-bangsa, bahkan nasionalisme
tidak menjadi acuan pembedaan dalam masyarakat. Keragaman suku bangsa
dan budaya tetap diperhatikan, namun adanya dominasi karena hal tersebut
sangat ditolak. Selain itu, sistem kebudayaan/peradaban dalam konsep
ummah tidak dibentuk sepenuhnya berdasarkan kehendak manusia, tetapi
harus berlandaskan pada ketentuan Allah هلالج لج(Mowlana, 2007). Praktik
jurnalisme harus menjaga keajegan dari sistem ummah ini, baik
persatuannya, pelaksanaan berbagai ketentuannya, hingga keharmonisan
hubungan antara masyarakat dengan Allah هلالج لج.
Prinsip keempat (taqwa) merupakan kapasitas spiritual, moral,
etika dan psikologi dari seseorang yang dapat meningkatkan derajatnya
(kemuliaan di hadapan Allah هلالج لج ) karena dengannya manusia dapat menahan
berbagai sikap dan prilaku buruk yang berasal dari aspek kebebasan
berkehendaknya (free will) (Mowlana, 2007). Dalam Islam, pelaksanaan
politik, pengetahuan ilmiah, keahlian berkomunikasi, dan termasuk
jurnalisme harus bersanding dengan taqwa. Mowlana (2007) berpendapat
bahwa tanpa taqwa, manusia akan mengalami krisis legitimasi. Praktik
jurnalisme yang pelaksanaannya tidak dengan taqwa, maka akan merusak
kepercayaan publik, baik pada informasi maupun pada institusi pers-nya.
Prinsip kelima (amanat) berkaitan dengan tanggung jawab besar
manusia baik kepada sesama manusia, terlebih lagi secara langsung kepada
Allah هلالج لج. Mowlana (2007) mengutip surah al-Ahzab ayat 72 yang
menjelaskan bahwa amanat pada dasarnya bukan sekedar apa yang menjadi
65
tanggungan manusia kepada sesamanya, tetapi berkaitan dengan perwalian
atau mandat yang pertanggung-jawabannya berhubungan langsung dengan
Allah هلالج لج (divine vicegerency) (Mowlana, 2007). Selain itu, satu aspek yang
penting dalam prinsip amanat yang disebutkan dalam ayat ini adalah
kemampuan. Dengan demikian, praktik jurnalisme dalam Islam sangat
memerhatikan keterampilan aktornya, serta menuntut adanya pertanggung-
jawaban terhadap segala hal yang berkaitan dengan kegiatan jurnalisme itu,
seperti informasi yang disampaikan dan dampaknya terhadap publik.
Selain Hamid Mowlana, seorang Associate Professor of
Journalism pada School of Media and Public Affairs, George Washington
University bernama Janet Steele juga menaruh perhatian khusus kepada
jurnalisme Islam. Penelitiannya mengenai nilai-nilai jurnalistik di Indonesia
dan Malaysia menunjukkan bahwa al-Quran dan as-Sunnah menjadi
sumber nilai dari jurnalisme Islam. Janet Steele (2011) menyebutkan empat
nilai dasar dari jurnalisme Islam, yakni: kebenaran (truth), keseimbangan
(balance), verifikasi (verification), dan kemerdakaan dari kekuasaan
(independence from power).
Nilai pertama (kebenaran) merupakan nilai yang diyakini oleh
kebanyakan jurnalis di Indonesia dan Malaysia, meskipun mereka tidak
secara gamblang memikirkan mengenai nilai-nilai Islam dalam kerja mereka
(Steele, 2011). Kebenaran ini menyangkut tentang pesan-pesan da‟wah
Islam yang menjadi tugas bagi setiap umat Islam meskipun hanya
mengetahui sedikit informasi mengenainya – dalam hadits sering disebut
“sampaikan walaupun satu ayat” (Abror, dalam Steele, 2011). Meskipun
66
demikian, dalam Islam juga diatur batasan penyampaian berita atau pesan;
tidak setiap kebenaran dapat disampaikan atau dipublikasi sebebas-
bebasnya. Steele (2011) mengutip buku Fikih Jurnalistik yang salah satu
bahasannya adalah mengenai batasan dari kebebasan pers dalam
menyampaikan berita meskipun itu suatu kebenaran.
Nilai kedua (keseimbangan) berarti objektivitas serta keadilan
dalam melakukan investigasi. Dalam perspektif Barat, nilai ini sering
disebut sebagai cover both side, sehingga menghasilkan pemberitaan yang
fair atau adil (Steele, 2011). Keseimbangan ini dapat diwujudkan dengan
menentukan narasumber mengenai suatu perisitwa secara seimbang juga.
Keberpihakan pada satu narasumber atau pihak dari suatu isu dapat memicu
informasi yang bias.
Nilai ketiga (verifikasi) berarti melakukan peninjauan terhadap
berita atau informasi untuk mengetahui kebenarannya dengan memerhatikan
kredibilitas sumbernya. Berdasarka penelitian-penelitian yang dilakukan
oleh Steele selama enam tahun, ditemukan bahwa landasan bagi nilai ini
adalah surah al-Hujurat ayat 6 yang sering dikutip oleh para jurnalis
muslim.
Terjemahan:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(Kemenag RI, 2011).
67
Konsep lain yang berkaitan dengan ini adalah isnad dalam hadits
(perkataan, sikap, dan perilaku) Nabi Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص yang menunjukkan
rantai para penyampainya yang biasanya adalah para sahabat Nabi (Steele,
2014). Steele (2011) menyebut isnad ini sebagai “the chain of
transmission”. Dalam aplikasinya, isnad biasa ditemui dalam format (salah
satunya): “aku mendengar dari A, bahwa ia mendapatkan kabar dari B, dari
C, dari D, bahwa Nabi bersabda”. Isnad menjadi bukti betapa peradaban
Islam memerhatikan kebenaran informasi atau berita dengan menerapkan
metode yang sistematis hingga memerhatikan kualitas personal para
komunikatornya.
Nilai keempat (kemerdekaan dari kekuasaan) yang berarti
kebebasan pers dari tekanan, kekangan dan intervensi kekuasaan atau
pemerintah. Steele (2011) menyebutkan bahwa tekanan yang diberikan
pemerintah orde baru terhadap pers menjadi lawan bagi banyak jurnalis.
Banyak jurnalis muslim yang terlibat aktif dalam organisasi Islam di
kampus yang berani menyuarakan penentangan terhadap sikap pemerintah
ini. Steele (2011) menemukan bahwa para jurnalis muslim termotivasi oleh
salah satu hadits Nabi yang menyatakan bahwa jihad yang terbaik adalah
menyuarakan kebenaran kepada penguasa yang dzalim atau suka menindas.
Dengan demikian, kebebasan dalam jurnalisme Islam bukan berarti
kebebasan seluas-luasnya sesuai dengan kehendak institusi atau media
bersangkutan, tetapi kebebasan dari penindasan dan kekangan penguasa
yang dapat menghalangi kebebasan menyuarakan kebenaran.
68
Terlepas dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur Islam untuk
praktik jurnalisme, Mowlana (2007) mengutarakan kritiknya terhadap umat
muslim yang justru tidak berpartisipasi aktif sebagai penggerak jurnalisme
Islam, baik di tingkat individu maupun organisasi/asosiasi dalam cakupan
regional maupun internasional. Hal ini tentu berbeda dengan partisipasi
masyarakat Barat dalam jurnalisme yang konsisten dan terstruktur hingga
mampu menyelenggarakan konferensi, simposium, seminar, dan mendirikan
organisasi internasional (Mowlana, 2007). Oleh karena itu, dengan
mengangkatnya sebagai topik kajian dalam ilmu komunikasi, jurnalisme
Islam diharapkan dapat bangkit dan menjadi percontohan bagi
penyelenggaraan jurnalistik dunia.
2.8 Komunikasi Internasional
Komunikasi internasional merupakan salah satu bidang kajian
dalam ilmu komunikasi yang merujuk pada praktik komunikasi lintas batas
geografis, nasional dan budaya yang mencakup komunikasi antarnegara,
institusi, kelompok, dan individu (Mowlana, 1996). Pendapat yang tidak
jauh berbeda disampaikan oleh Hanson (2017) bahwa kajian ini berfokus
pada hubungan tingkat global antarpemerintahan, antarbisnis, dan
antarmasyarakat.
Komunikasi internasional, sebagai sebuah fenomena, diyakini
sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri – telah ada sejak
manusia saling berinteraksi dan terjadinya pertukaran budaya (Mowlana,
1996). Dalam tataran keilmuan, komunikasi internasional dimulai pada
masa-masa Pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin yang saat itu banyak
69
riset dilakukan untuk kepentingan propaganda politik dan perang oleh
ilmuwan sosial Amerika (Mowlana, 1996). Oleh karena itu, komunikasi
internasional tidak secara murni berdiri sendiri sejak mulanya; tetapi
disokong oleh berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sosiologi,
psikologi, psikologi sosial, linguistik, antropologi, dan tentunya ilmu
komunikasi serta hubungan internasional (Hanson, 2017).
Tiga tokoh ilmu komunikasi yang sering dikaitkan dengan
permulaan kajian komunikasi internasional adalah Harold D. Lasswell, Paul
F. Lazarsfeld, dan Wilbur L. Schramm (Lerner dan Nelson, 1977; Rogers,
1994). Adapun pusat kajian pertama komunikasi internasional yakni
Massachusetts Institute of Technology‟s Center for International Studies
yang didirikan pada tahun 1950-an (Mowlana, 1996). Pada tahun 1952, Ford
Foundation menghadiahi pusat kajian ini $875.000 untuk melakukan
penelitian terkait komunikasi internasional. Menurut Simpson (dalam
Mowlana, 1996), Ford Foundation ini sering digunakan sebagai penyalur
dana riset yang sebenarnya berasal dari Central Intelligence Agency (CIA)
dan Air Force Amerika Serikat. Pusat kajian ini pun berhasil melakukan
banyak kajian dalam teknik persuasi, periklanan, interogasi, polling opini
public, mobilisasi politik dan militer, propagasi ideologi dan berbagai hal
terkait lainnya (Mowlana, 1996).
Ada empat aspek yang memengaruhi perkembangan komunikasi
internasional (Mowlana, 1996). Pertama adalah konflik internasiona, perang
dan penggunaan propaganda. Kedua adalah perkembangan organisasi dan
diplomasi internasional. Ketiga adalah persebaran ideologi-ideologil yangs
70
aling bersaing dan penggunaan komunikasi untuk menyebarkan pesan
Keempat adalah perkembangan teknologi baru dalam komunikasi.
Selain itu, Mowlana (1996) juga mengidentifikasi faktor-faktor
yang menjadikan komunikasi internasional sebagai bidang dalam penelitian,
kebijakan dan kajian yang secara garis besar dibagi menjadi dua: faktor-
faktor sebelum Perang Dunia II dan faktor-faktor setelah Perang Dunia II.
Faktor-faktor sebelum Perang Dunia II adalah:
1) Perkembangan teknologi komunikasi di awal abad ke-19 seperti
fotografi, telegraf, telepon, kabel bawah laut).
2) Hegemoni bangsa Eropa serta penggunaan teknologi komunikasi
dan agensi berita internasioanl untuk kepentingan kolonialismenya.
3) Industrialisasi, Eropanisasi, westernization, dan sekularisasi negara-
negara di Afrika, Asia, Jazirah Arab dan Amerika Latin hingga
terbentuknya institusi modern di bidang komunikasi.
4) Pertumbuhan organisasi internasional serta integrasi bidang-bidang
komunikasi seperti International Telecommunication Union,
5) Persebaran berbagai ideologi (liberalisme, komunisme, fasisme, dan
Islamisme) serta beberapa revolusi di beberapa negara, seperti Iran.
6) Munculnya propaganda internasional.
7) Komersialisasi radio di Amerika Serikat, pertumbuhan indutri
perfilman, serta perkembangan industri budaya di Eropa.
71
8) Perluasan jalur kereta api dan dikembangkannya navigasi modern,
serta urbanisasi dan industrialisasi yang berdampak pada
infrastruktur komunikasi.
Adapun faktor-faktor setelah Perang Dunia II:
1) Ekspansi teknologi baru (satelit, komputer, jaringan digital);
2) Bertambahnya negara-negara (yang baru merdeka) dan
meningkatnya perannya sebagai pelaku komunikasi internasional.
3) Tampilnya Amerika Serikat sebagai negara yang mendominasi
dalam sektor politik, budaya, militer, ekonomi dan komunikasi.
4) Adanya Perang Dingin; penggunaan propaganda dan persuasi
politik internasional sebagai alat utama dalam diplomasi serta
munculnya penyiaran internasional sebagai saluran utamanya.
5) Ekspansi media hiburan sebagai bagian dari industri ekspor-impor
serta mencuatnya isu mengenai hak cipta.
6) Ekspansi organisasi internasional dan diskusi mengenai arus
informasi internasional di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
7) Pembebasan, kemerdekaan, dan gerakan-gerakan revolusioner yang
muncul dan berkembang di seluruh dunia.
8) Perluasan model komunikasi Barat ke negara-negara berkembang.
9) Pembatasan yang terus menguat pada metode-metode ilmu
pengetahuan sosial yang berorientasi Barat.
10) Munculya korporasi transnasional dan multinasional; pembentukan
organisasi telekomunikasi internasional seperti International
Telecommunications Satellite Consortium (INTELSAT).
72
11) Proses komersialisasi dan deregulasi industri telekomunikasi dunia.
12) Akselerasi konferensi internasional, ekspansi institusi pendidikan,
kongres tingkat dunia, dan pertukaran pelajar antar negara.
Mowlana (1996) menyebutkan empat pendekatan terhadap
komunikasi internasional. Pertama, idealistic-humanistic approach yang
memosisikan komunikasi internasional sebagai metode untuk mewujudkan
hubungan yang harmonis antarnegara di dunia serta menjadi teknik
mendorong negara-negara berdaulat untuk membantuk organisasi-organisasi
internasional dalam pelayanan masyarakat dunia. Kedua, political
procelytization approach yang menganggap komunikasi internasional
sebagai sebuah propaganda dan konfrontasi. Pendekatan ini mengaitkan
komunikasi internasional dengan komunikasi satu arah yang otoriter. Ketiga,
economic power approach yang mengaitkan komunikasi internasional
dengan kekuatan ekonomi. Hubungan antarnegara diyakini terjalin karena
adanya pertukaran barang serta jasa. Keempat, political power approach
yang mengaitkan komunikasi internasional dengan intensi untuk
mendominasi dan penetrasi dalam ekonomi, politik, budaya, teknologi yang
biasanya dating dari negara-negara Barat.
2.9 Social Capital
Social capital secara etimologi dapat diterjemahkan secara
sederhana sebagai “modal sosial”. Namun, yang dimaksud sebagai capital
atau modal dalam konsep ini bukanlah modal dalam artian dukungan
finansial atau hal lainnya yang berkaitan dengan materi. World Bank (t.t.)
sendiri, yang merupakan salah satu institusi keuangan terbesar di dunia,
73
mendefinisikan social capital sebagai hubungan dan norma-norma yang
memugkinkan aksi kolektif. Ada lima dimensi kunci dari social capital
berdasarkan penjelasan World Bank, yakni: (1) kelompok dan jaringan; (2)
kepercayaan dan solidaritas; (3) aksi kolektif dan kerjasama; (4) kepaduan
dan inklusi sosial; dan (5) informasi dan komunikasi.
Konsep social capital pertama kali diperkenalkan pada awal abad
ke-20 oleh Lyda Judson Hanifan dalam tulisannya yang berjudul „The Rural
School Community Centre‟ (Hanifan, 1916). Namun, isitlah ini baru dikenal
dalam lingkup akademik pada akhir tahun 1980-an. Ada tiga tokoh
terkemuka yang berkontribusi bagi pengembangan konsep ini, yakni Pierre
Bourdieu, James Coleman, dan Robert Putnam.
Bourdieu (1986), seorang sosiolog berkebangsaan Prancis,
mendefinisikan social capital sebagai keseluruhan dari sumber daya
potensial, baik aktual maupun virtual, yang menjadi milik individu atau
kelompok yang terlibat dalam sebuah jaringan erat dari sebuah hubungan
yang saling memahami dan mengakui. Bagi Bourdieu (dalam Tzanakis,
2013), social capital ditentukan oleh luasnya jaringan dan besarnya
akumulasi dari social capital yang ada sebelumnya. Menurutnya
keterlibatan aktor dalam jaringan dan upaya pemeliharaannya didorong oleh
motif untuk mendapatkan keuntungan yang tidak selalu berbentuk
keuntungan ekonomi; tetapi bisa berupa keuntungan sosial dan kontrol
terhadap sumber daya. Potensi para aktor untuk mendapatkan keuntungan
ini tidaklah sama (differentially distributed) dan bergantung pada posisi
aktor dalam ruang sosial. Bourdieu (1986) menyatakan bahwa seluruh
74
bentuk capital atau modal yang secara organik berhubungan dengan ruang
sosial bertindak dalam dua cara secara bersamaan: (1) modal-modal itu
memproduksi kembali (reproduce) segala bentuk modal; dan (2)
menggunakan sumber daya yang ada untuk menguatkan posisi aktor ke
depannya.
Tokoh kedua adalah seorang sosiolog berkebangsaan Amerika
bernama James Coleman. Coleman (1988) berpendapat bahwa ada dua hal
penting terkait definisi social capital: (1) social capital meliputi sejumlah
aspek dari struktur sosial; dan (2) social capital menyediakan keleluasaan
bagi aktor dalam struktut sosial, baik individu maupun korporasi, untuk
melakukan suatu tindakan tertentu. Coleman memang memberikan
perhatian khusus kepada struktur sosial dan penciptaan human capital.
Menurutnya, ada dua aspek penting dari struktur sosial bagi social capital:
pertama, aspek yang membentuk kungkungan dalam sebuah jaringan sosial,
sehingga setiap orang saling berhubungan dalam lingkup jaringan itu dan
dikenakan kewajiban serta sanksi tertentu; kedua, adanya organisasi sosial
yang dapat dimanfaatkan untuk pencapaian tujuan bersama. Selain itu,
Coleman (1988) menyebutkan tiga pilar utama bagi social capital, yakni:
(1) kewajiban dan harapan yang timbul dari rasa kepercayaan dalam
lingkungan sosial; (2) arus informasi yang lancar untuk menyokong
perkembangan kegiatan masyarakat; dan (3) norma-norma yang dilengkapi
dengan sanksi yang tegas.
Tokoh ketiga adalah Robert Putnam yang merupakan seorang
professor pada John F. Kennedy School of Government, Harvard
75
University. Putnam (1993) yang mendefinisikan social capital sebagai fitur-
fitur dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang
memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama. Dalam
perspektif Putnam, social capital mencakup jaringan keterikatan sosial
(networks of civic engagements) yang diatur berdasarkan norma-norma yang
dapat menentukan tingkat produktivitas kelompok masyarakat atau
komunitas tertentu.
Dua asumsi dasar yang perlu diperhatikan dalam konsep yang
dikemukakan Putnam ini adalah: (1) jaringan komunikasi/hubungan dengan
norma-norma tertentu; dan (2) saling mendukungnya jaringan dan norma
tersebut untuk mewujudkan keberhasilan ekonomi yang tentu
menguntungkan bagi pihak-pihak yang tergabung dalam jaringan itu
(Putnam, 1993). Berdasarkan penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa social
capital dengan wujud norma-norma dan jaringan keterikatan sosial tersebut
adalah prasyarat bagi perkembangan ekonomi dan pemerintahan yang
efektif. Alasannya adalah:
1) Jaringan sosial memungkinkan terciptanya koordinasi dan komunikasi
yang berpotensi memperkuat rasa saling percaya antar sesama
anggota masyarakat;
2) Kepercayaan berdampak positif bagi kehidupan bermasyarakat,
misalnya dalam memperkuat norma-norma tentang tanggung jawab
moral untuk saling membantu;
76
3) Rangkaian keberhasilan yang berhasil dicapai dengan adanya
kerjasama akan memperkuat kerjasama itu sendiri di masa berikutnya.
Secara ringkas, pemikiran tiga tokoh di atas mengenai social
capital dapat dijelaskan melalui table berikut.
Tokoh Definisi Tujuan Analisis
Bourdieu
Sumber daya yang
menyediakan akses kepada
barang milik bersama
(kelompok)
Untuk
mengamankan
modal ekonomi
Individu-
individu dalam
persaingan kelas
Coleman
Aspek-aspek dari struktur
sosial yang dapat
digunakan oleh aktor
tertentu sebagai sumber
daya untuk memeroleh apa
yang menjadi kepentingan
mereka.
Untuk
mengamankan
modal
(berbentuk)
manusia
Individu-
individu dalam
keluarga dan
masyarakat
Putnam
Kepercayaan, norma dan
jaringan yang
memfasilitasi kerjasama
untuk keuntungan bersama
Untuk
mengamankan
demokrasi dan
ekonomi yang
efektif
Daerah-daerah
dalam cakupan
sebuah negara
Tabel 2. Perbandingan Social Capital Boudieu, Coleman, dan Putnam
77
2.10 Kerangka Berpikir
Non-Western Perspective
Mohammad Natsir
Pergerakan
dan
Kaderisasi
Pemuda
Komunikasi
Politk
Komunikasi
Pendidikan/
/Instruksional
Komunikasi
Da‟wah
Jurnalisme
Islam
Komunikasi
Internasional Social
Capital
Gambar 1. Kerangka Berpikir
78
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma dan Jenis Penelitian
Paradigma yang diterapkan dalam penelitian ini adalah paradigma
critical constructivism. Sisipan kata “kritis” pada sebutan paradigma ini
berlandaskan pada teori kritis yang diformulasikan oleh Frankfurt School
(Kincheloe, 2005). Frankfurt School atau mazhab Frankfurt dikenal dengan
teori kritik masyarakat-nya yang sangat memerhatikan bagaimana
penindasan terjadi terhadap golongan minoritas atau yang termarginalkan
oleh golongan mayoritas yang menciptakan hegemoni. Teori ini disebut
sebagai pewaris pemikiran Karl Marx yang bersifat emansipatoris terhadap
masyarakat – artinya menhendaki pembebasan dari belenggu penindasan.
Teori ini hendak mewujudkan aufklarung atau membuat terang –
mengungkap intrik atau tabir yang menjadi sumber penindasan dan
membuat masyarakat atau golongan yang tertindas sadar akan
ketertindasannya itu.
Esensi paradigma critical constructivism ini adalah upaya untuk
keluar dari cara berpikir formal dan cara pandang konvensional yang
berlandas pada empirisme dan rasionalisme (Kincheloe, 2005). Artinya,
paradigma ini bukan sebatas pada mengamati dan menyebutkan apa yang
dapat diobservasi, tetapi mengungkap hal-hal yang ada di balik itu.
Sedangkan masalah inti yang seharusnya dijawab oleh seorang peneliti yang
menggunakan paradigma ini adalah konstruksi realitas yang dibentuk
79
dengan bersandar pada kekuasaan sehingga menciptakan ketimpangan
terhadap golongan yang tidak dominan (Kincheloe, 2005). Sebagaimana
teori kritis Frankfurt, paradigma ini hendak mencapai penyadaran mengenai
kompleksitas dunia dan menyelidiki bagaimana kesadaran tersebut bertautan
dengan sejarah. Secara lebih rinci, Kincheloe (2005) menyebutkan bahwa
kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran bahwa:
1) Pengetahuan tentang dunia selalu dibentuk oleh para produsen
pengetahuan yang memiliki posisi atau kekuasaan.
2) Pemahaman baru yang revolusionaris terhadap sesuatu dapat
dicapai dengan mengeksplorasi berbagai kontradiksi dan
ketimpangan yang terjadi dalam aspek sosial, fisik, psikologi dan
pendidikan.
3) Hal-hal yang ada di dunia terbentuk oleh beragam hal yang tidak
terobservasi secara sekilas.
4) Segala sesuatu yang terlihat terpisah dan statis adalah bagian dari
proses yang lebih besar dan selalu berubah.
5) Pandangan yang terdistorsi mengenai sesuatu dapat terjadi jika
mengabaikan hubungan yang sebenernya terjalin di antara hal-hal
yang seolah-olah berbeda.
6) Wawasan mendalam dapat diperoleh dengan memerhatikan
pengalaman pihak-pihak yang terdampak oleh pengaturan sosial .
Penerapan paradigma critical constructivism dalam penelitian ini
memungkinkan peneliti untuk mengungkap dan merekonstruksi berbagai
peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan Mohammad Natsir serta
80
pemikiran dan perilaku Natsir mengenai komunikasi
instruksional/pendidikan, komunikasi politik, komunikasi internasional,
jurnalisme, da‟wah serta pergerakan pemuda dan kaderisasi yang
bersentuhan secara langsung dengan kolonialisme/imperialisme yang pernah
terjadi di Indonesia serta hal-hal lainnya yang berkenaan dengan kekuasaan.
Penelitian ini tergolong pada penelitian kualitatif eksploratif. Kata
eksploratif atau eksplorasi yang berarti penjelajahan menunjukkan orientasi
penelitian ini yang dapat dianalogikan seperti pembukaan lahan atau
penjelajahan suatu area yang belum banyak diungkap. Dengan kata lain,
penelitian jenis ini bertujuan untuk memeroleh informasi yang kaya dari
suatu fenomena yang masih sedikit diteliti atau diperhatikan (Neuman,
2014). Eksplorasi yang berhasil dilakukan melalui penelitian ini selanjutnya
ditujukan untuk pelaksanaan penelitian yang lebih spesifik dan mendalam di
masa depan (Neuman, 2014).
Peneliti yakin bahwa jenis penelitian eksploratif sangat tepat
digunakan untuk meneliti berbagai perilaku komunikasi dan pemikiran
Mohammad Natsir dengan perspektif non-western yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Penelitian ini dilaksanakan sebagai penelitian
pembuka/pendahulu bagi penelitian-penelitian yang lebih spesifik dan
mendalam berikutnya, misalnya secara khusus membahasa komunikasi
internasional Mohammad Natsir.
Menurut Neuman (2014), penelitian eksploratif merupakan penelitian
yang sulit untuk dilaksanakan karena memiliki sedikit panduan, setiap data
yang ditemukan berpotensi besar menjadi data yang penting, langkah-
81
langkahnya belum ditentukan secara spesifik, dan arah penyelidikannya
sering kali berubah. Pernyatan tersebut terbukti dalam penelitian ini; hampir
seluruh data yang berhasil ditemukan memberikan informasi penting dan
tidak dapat diabaikan karena berpotensi mendistorsi perilaku komunikasi
atau peristiwa sejarah yang melibatkan Mohammad Natsir. Di samping itu,
peneliti seacara berkelanjutan mencari, menemukan secara tidak sengaja,
menganalisis dan menulis berbagai informasi penting tentang Mohammad
Natsir. Aktivitas seperti ini tentu tidak mudah dibentuk polanya atau
dikukuhkan langkah-langkahnya sebagaimana dalam penelitian kuantitatif;
meskipun demikian, peneliti tetap berpedoman pada metodologi penelitian
kualitatif sebagaimana dipaparkan dalam bab ini.
3.2 Fokus Penelitian
Menurut (Moleong, 2007), melalui fokus penelitian dapat diketahui
secara pasti data-data yang perlu dikumpulkan dan bisa mendukung
penelitian yang ada, serta data-data yang tidak diperlukan meskipun
menarik bagi peneliti. Adapun fokus penelitian dalam penelitian ini adalah
peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan Mohammad Natsir serta
pemikiran dan perilaku Natsir yang berkaitan dengan komunikasi
instruksional/pendidikan, komunikasi politik, komunikasi internasional,
jurnalisme, dakwah serta pergerakan pemuda dan kaderisasi.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Hermeneutika yang diformulasikan oleh Hans-Georg Gadamer dan
Fenomenologi yang diformulasikan oleh Clark Moustakas. Hermeneutika
82
berperan dalam menganalisis data yang berbentuk teks; namun, Al-Quran
dan teks-teks Islam lainnya dikecualikan dalam hal ini. Penafsiran terhadap
ayat-ayat Al-Quran harus dilakukan dengan kaidah ilmu tafsir yang benar dan tidak
menuruti hawa nafsu maupun logika pribadi. Hal ini berlandaskan pada salah
satu hadits hasan yang diriwayatkan oleh al-Tirmudzi.
“Suryan bin Waki‟ menceritakan kepada kami “Suwaid bin Amr al-Kalbi
menceritakan kepada kami, Abu „Awanah menceritakan kepada kami dari Abd al-
A‟la dari Sa‟id bin Jubair dari Ibn „Abbas dari Nabi ملسو هيلع هللا ىلص beliau bersabda: “takutlah
kalian (hati-hati dalam memegangi) hadits-hadits dariku kecuali yang benar-benar
telah aku ajarkan kepada kalian, barang siapa berbohong atas namaku secara
sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa
yang mengatakan sesuatu tentang al-Quran dengan ra‟y-nya maka hendaklah ia
menempati tempat duduknya dari api neraka” (At-Tirmidzi, 2017, hal.: 199).
Tafsiran ayat-ayat Al-Quran yang dikutip dalam penelitian ini
bersumber dari Tafsir al-Azhar karya K.H. Abdul Malik Karim Amrullah
atau Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar ini dipilih karena Buya Hamka juga
memiliki kedekatan personal dan kultural dengan Mohammad Natsir.
Adapun mengenai fenomenologi; digunakan untuk memeroleh data yang
bersumber pada orang-orang yang memiliki hubungan dengan Mohammad
Natsir baik secara personal, institusional maupun profesional dan/atau
memahami peristiwa sejarah yang melibatkan Mohammad Natsir, pemikiran
dan perilaku komunikasi Mohammad Natsir.
3.3.1. Hermeneutika
Hermeneutika Gadamer menerangkan bahwa makna historis yang
melekat pada teks serta pengalaman historis yang dimiliki penafsir tidak
dapat diabaikan. Melalui konsep fusion of horizon (fusi cakrawala),
Gadamer menegaskan bahwa baik teks yang dibuat penulis dan penafsir
telah membawa dunianya sendiri dan teks menjadi sarana peleburan
cakrawala antara penafsir dengan penulis (Gadamer, dalam Weinsheimer,
83
1985). Horizon atau cakarawala ini dapat diibaratkan sebuah bentangan
wilayah yang dapat terlihat oleh seseorang dari titik tolak berdirinya, apa
yang dapat dilihatnya merupakan apa yang pernah dialaminya
(pengetahuan) – oleh karena itu dikenal istilah cakrawala wawasan yang
luas. Berdasar pada hal ini, Gadamer meyakini bahwa pemahaman yang
timbul sangat terikat dengan aspek historis dan penafsir tidak melakukan
upaya untuk memahami teks dari kesadaran kosong. Oleh karena itu,
Gadamer tidak memungkiri bahwa aspek prasangka (prejudice) berperan
dalam upaya mencapai pemahaman mengenai teks. Prasangka adalah bentuk
implikasi dari pengaruh pengalaman masa lalu yang dimiliki penafsir. Ia
berpendapat bahwa prasangka ini dapat menjadi pertanyaan awal atas objek
– menurutnya hal semacam ini adalah bagian dari proses pemahaman.
Lebih lanjut, Gadamer berpendapat bahwa manusia tidak akan
mendapatkan pemahaman dari sebuah teks tanpa membaca teks, tanpa
memiliki bagian dari pemahaman teks itu sendiri. Hal inilah yang menarik –
seseorang harus paham dulu sebelum ia paham; maksudnya untuk
memahami keseluruhan, manusia harus memahami bagian-bagiannya
terlebih dahulu. Tujuan Gadamer adalah memeroleh pemikiran yang luas
dan menyeluruh, tidak terjebak pada apa yang tertulis pada teks tertentu
saja. Teks harus ditempatkan pada cakupan yang lebih luas yang
mengintegrasikannya dengan teks-teks lain. Dengan ini, Gadamer yakin
pemahaman yang tepat dapat dicapai.
Gadamer menyebutkan ada dua jenis pemahaman, yakni pemahaman
terhadap konten kebenaran (truth content) dan terhadap intensi. Pemahaman
84
The World of Text
The World of Reader
The World of Author Productive
Hermeneutic
Gambar 2. Skema Hermeneutika Gadamer
yang pertama berarti pemahaman substansi materi teks, sedangkan
pemahaman intensi berarti memahami kondisi di balik fenomena atau teks
(Gadamer, 1977). Pemahaman yang kedua inilah yang menjadi perhatian
Gadamer yang disebut juga sebagai kesadaran pemahaman yang
menyejarah. Penyadaran ini diperoleh penafsir dengan cara melibatkan diri
dalam kajian sejarah yang berkaitan dengan teks (Gadamer, 2006).
Pemahaman tentang suatu teks yang didapatkan oleh penafsir dengan
melibatkan prasangkanya atau dunia historisnya kemudian bertemu dengan
teks yang juga membawa dunia hostorisnya inilah yang sebelumnya disebut
sebagai fusi horizon. Horizon akan meluas seiring dengan terbentuknya
pemahaman-pemahaman baru dari interpreter yang berbeda yang memiliki
historis berbeda serta keterlibatan berbagai teks yang berkaitan dengan teks
itu sendiri. Maka dari itu, Gadamer (1977) menegaskan bahwa penafsiran
terhadap teks bersifat dialogis, seperti orang yang sedang berbincang-
bincang serta tidak bersifat statis atau bersifat reproduktif semata, tetapi
juga produktif. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas, berikut
adalah skema hermeneutika Gadamer.
85
Skema di atas menggambarkan hubungan antara pembaca/penafsir,
teks dan penulis/pembuat teks yang masing-masingnya memiliki dunianya
sendiri atau horizon dari titik beridirnya. Ketiganya seperti berdialog,
kemudian membentuk interpretasi.
Berdasarkan fitur-fiturnya ini, peneliti yakin bahwa hermeneutika
Gadamer dapat membantu peneliti tidak hanya dalam mereproduksi dan
merekonstruksi pemahaman tentang Mohammad Natsir, tetapi juga dalam
menghasilkan pemahaman baru, khususnya yang berkaitan dengan ilmu
komunikasi. Hal ini sangat berguna ke depannya untuk membangun teori
komunikasi khas Indonesia.
3.3.2. Fenomenologi
Mostakas (1994) menjelaskan bahwa penelitian fenomenologi
berupaya untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai suatu
pengalaman/fenomena. Gambaran ini selanjutnya menjadi landasan bagi
analisis struktural reflektif yang bertujuan untuk menjelaskan esensi atau
makna dari sebuah pengalaman. Secara lebih rinci, Moustakas (1994)
menyebutkan beberapa karakteristik penelitian fenomenologi, yakni:
1) Studi fenomenologi tidak mungkin dilakukan melalui pendekatan
kuantitatif.
2) Berfokus pada keseluruhan pengalaman, tidak memisahkan
bagian-bagian dari kesatuan pengalaman.
3) Berupaya untuk menggali makna dan esensi dari sebuah
pengalaman; bukan mengukurnya atau sekedar menjelaskannya.
86
4) Deksripsi dari sebuah pengalaman seseorang diperoleh melalui
perbincangan dan wawancara informal maupun formal.
5) Pengalaman manusia merupakan data yang wajib diperoleh untuk
memahami perilaku manusia dan bukti penyelidikan ilmiah.
6) Pertanyaan dan masalah yang hendak dipecahkan merupakan
cerminan dari minat dan kimtmen personal peneliti.
7) Pengalaman dan perilaku merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan.
Berikut adalah tahapan penelitian fenomenologi menurut Moustakas.
1) Persiapan untuk mengumpulkan data
Pada tahapan ini, terdapat empat langkah yang dilakukan; yakni:
a. Merancang pertanyaan
Setelah menetapkan topik penelitian, peneliti memunculkan
pertanyaan-pertanyaan yang hendak dipecahkan. Pertanyaan
sederhana yang menjadi pembuka penelitian seperti “bagaimana
latar belakang keluarga dan budaya Mohammad Natsir?” sangat
berguna dalam merangsang rasa ingin tahu serta memungkinkan
peneliti untuk menemukan berbagai nilai-nilai sosial yang melekat
pada Natsir. Pertanyaan sederhana ini dapat berkembang terus
menjadi pertanyaan terbuka.
Sesuai dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan, maka
pertanyaan utama yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini
adalah “bagaimana peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan
Mohammad Natsir serta pemikiran dan perilaku Natsir yang
87
berkaitan dengan komunikasi instruksional/pendidikan, komunikasi
politik, komunikasi internasional, jurnalisme, dakwah serta
pergerakan pemuda dan kaderisasi?”.
b. Melakukan tinjauan pustaka dan menentukan sifat asli dari
penelitian
Peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap beberapa
literatur yang akan peneliti sebutkan pada bagian berikutnya, yakni
dalam sub bab sumber data. Melalui tinjauan pusataka ini, peneliti
juga dapat terbantu untuk menentukan arah penelitian serta state of
the art penelitian yang berkaitan dengan ilmu komunikasi. Misalnya
dalam penelitian ini, walaupun terlihat seperti melakukan penelitian
sejarah; peneliti sebenarnya menjadikan data-data historis tersebut
untuk menemukan esensi komunikasi pendidikam, komunikasi
politik, komunikasi internasional, jurnalisme islam, komunikasi
dakwah serta kaderisasi dan pergerakan pemuda. Catatan lapangan
(fieldnote) digunakan untuk membantu peneliti menemukan berbagai
hal penting dalam hasil tinjauan pusataka.
c. Menentukan kriteria dalam penentuan informan
Agar mendapatkan informasi yang tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan, maka peneliti harus menetapkan kriteria
informan. Adapun kriteria informan yang peneliti perhatikan adalah:
88
1. Keterkaitan informan dengan Mohammad Natsir, baik dalam
sudut pandang hubungan antar pribadi, maupun hubungan
yang terjalin melalui lembaga atau organisasi.
2. Pemahaman informan tentang pemikiran, karya dan capaian
Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan, pergerakan
pemuda dan kaderisasi, politik, dakwah, jurnalisme, dan
diplomasi internasional.
Selain perihal kriteria, dalam interaksinya dengan informan
peneliti juga harus memerhatikan etika penelitian (Moustakas, 1994).
Berikut adalah etika-etika yang dimaksud.
1. Memeroleh persetujuan dari para informan dan pihak
bersangkutan sebelum menggali data. Dalam penelitian ini,
seluruh informan dan pihak terkait (seperti institusi tempat
bernaungnya informan) telah menyepakati pengambilan data
untuk penelitian ini. Tidak ada sedikit pun hambatan
mengenai pesetujuan atau perizinan. Para informan justru sama
sekali tidak memerhatikan hal-hal administratif seperti surat
pengantar dari universitas; walaupun dokumen semacam ini
sudah disiapkan oleh peneliti.
2. Membuat kesepakatan atau bahkan kontrak yang jelas dengan
informan. Seluruh informan telah sepakat untuk memberikan
informasi dan dukungan terhadap penelitian ini, bahkan empat
dari enam informan memberikan dukungan berupa buku-buku
89
yang dapat menjadi rujukan bagi penelitian ini. Para informan
tidak sekali pun meminta pembuatan kontrak secara formal
yang mengiakat terkait penelitian ini.
3. Menjamin kerahasiaan data-data atau keterangan yang menurut
para informan tidak layak disampaikan dalam laporan
penelitian. Hal ini sudah peneliti laksanakan sesuai dengan
wasiat dari para informan.
4. Menyepakati tempat dan waktu penelitian. Kesepakatan ini
telah tercapai di antara peneliti dan para informan.
5. Memeroleh izin untuk merekam dan menerbitkan. Seluruh
informan telah memberikan izin untuk melakukan pencatatan
dan perekaman mengenai berbagai keterangan dan data yang
diberikannya.
d. Membuat pertanyaan panduan dan topik-topik menarik yang
dibutuhkan untuk wawancara.
Hal ini dilakukan untuk membantu peneliti agar tidak
melewatkan hal-hal penting yang harus diselidiki dan
memungkinkan menghasilkan temuan yang otentik.
2) Mengumpulkan Data
Pengumpulan data dalam fenomenologi pada umumnya dilakukan
dengan melakukan wawancara. Penjelasan lebih lanjut mengenai
pengumpulan data diberikan pada sub bab teknik pengumpulan data.
90
3) Mengorganisasi dan menganalisis data.
Neuman (2014) mendefiniskan analisis data sebagai kegiatan
mengorganisasikan dan memeriksa data secara sistematis untuk
menemukan pola dan hubungan antar data yang telah dikumpulkan
sebelumnya. Dalam fenomenologi, textural structural synthesis
digunakan untuk memeroleh deskripsi mengenaii pengalaman serta
bagaimana pengalaman itu terjadi (Moustakas, 1994). Berikut adalah
tujuh tahapan untuk memeroleh textural structural synthesis bersumber
dari transkrip wawancara.
a. Horizontalization, pencatatan hal-hal yang relevan dan tidak
tumpang tindih.
b. Invariant horizon, pengalaman diseleksi oleh peneliti berdasarkan
keunikannya
c. Individual textual description, merupakan tema batasan horizon dari
pengalaman informan.
d. Individual structure description, kumpulan catatan hidup yang yang
bersumber pada perasaan “how” dan berhubungan dengan topik.
e. Composite Textural Description, klasifikasi dalam individual
textural description dikembangkan serta setiap varian makna dan
tema diselidiki.
f. Composite Structural Description, tahapan yang bertujuan untuk
memahami “how” dan “what” dari pengalaman.
g. Textural-Structural Synthesis, penggabungan antara composite
textural dan composite structural description.
91
Selain itu, digunakan juga teknik analisis data Model Miles dan
Huberman. Menurut Miles, Huberman dan Saldana (2014), kegiatan
analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan dalam tiga tahap
sebagaimana berikut ini.
a. Data Condensation (Pengembunan Data)
Istilah ini biasanya digunakan untuk menyebut salah satu
fenomena atau metode dalam ilmu kimia yang tujuannya adalah
mencari esensi dari objek tertentu. Begitu juga dalam penelitian
kualitatif ilmu-ilmu sosial; berbagai data yang sangat beragam,
kompleks dan belum tersusun secara sistematis akan diseleksi,
disederhanakan dan dicari tema dan pola yang penting. Tahapan ini
dapat disebut “memurnikan” data dari berbagai residu yang tidak
menjadi fokus penelitian.
b. Data Display (Penyajian Data)
Pada tahap ini, peneliti akan menyajikan berbagai data yang
telah dikondensasi sebelumnya dalam bentuk narasi maupun grafik
yang dapat memudahkan peneliti menemukan pola atau interaksi
antar data. Dengan menemukan pola atau interaksi antar data,
peneliti akan terbantu dalam proses penarikan kesimpulan.
c. Conclusion Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan)
Pada tahapan ini, data-data yang telah dikondensasi dan
disajikan akan diinterpretasi sehingga memunculkan pemaknaan
mengenai rangkaian dan pola data. Berbagai data yang pada mulanya
92
seolah tidak saling berkaitan menjadi satu kesatuan ide yang mampu
menjawab permasalahan penelitian dan memberikan pencerahan
kepada peneliti. Ketika hal ini telah tercapai, maka peneliti telah
berhasil menyusun kesimpulan yang tentu akan berguna bagi
penyusunan konsep atau bahkan teori baru.
3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian
Selain melakukan pembacaan terhadap berbagai literatur yang telah
tersedia untuk penyusunan fieldnote, peneliti juga melaksanakan wawancara
dan dokumentasi. Berikut adalah rincian lokasi dan waktu penelitian
1) Dokumentasi berbagai majalah, foto, dan dokumen terkait lainnya
dilaksanakan di Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja
Abdullah bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia Pusat pada 27 Februari, 1, 2, 8, dan 12 Maret 2018.
2) Wawancara dengan Drs. H. Mohammad Siddik, M.A. di kantor pusat
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada Selasa, 27 Februari 2018.
3) Wawancara dengan Lukman Hakiem di kediamannya yang terletak di
Desa Benda, Sukabumi, Jawa Barat pada Minggu, 4 Maret 2018.
4) Wawancara dengan H. Ramlan Mardjoned di kantor pusat Dewan
Da’wah Islamiyah Indonesia dan kediamannya di Jakarta Barat pada
Selasa, 6 Maret 2018 dan Minggu, 11 Maret 2018.
5) Wawancara dengan Artawijaya di kantor Penerbit Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta Timur pada Kamis, 8 Maret 2018.
93
6) Wawancara dengan Alam di warung kaki lima dekat kantor Institute for
the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Jakarta
Selatan pada Minggu, 11 Maret 2018.
7) Wawancara dengan Natsir Zubaidi di kantor Pimpinan Pusat Dewan
Masjid Indonesia, Jakarta Pusat, pada Senin, 12 Maret 2018.
8) Adapun pembuatan transkrip, analisis data dan penulisan hasil
dilaksanakan sejak April sampai dengan Agustus 2018.
3.5 Sumber Data
Schreiber (dalam Given, 2008) mengatakan bahwa data penelitian
secara garis besar dapat digolongkan menjadi data verbal dan data
nonverbal. Data verbal adalah segala bentuk data yang berbasis kata-kata
seperti buku, surat kabar, catatan harian, hasil wawancara dan catatan
lapangan (fieldnotes); sedangkan data nonverbal dapat berbentuk gambar,
video, diagram, karya seni, maupun peta konsep. Pada penelitian ini, sumber
data verbal utama yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Buku Capita Selecta Jilid I (tahun 1961) dan Jilid II (tahun 1975).
Buku ini merupakan kumpulan karya tulis pilihan Mohammad Natsir
dari berbagai topik seperti Kebudayaan-Filsafat, Pendidikan, Agama,
Ketatanegaraan, serta pidato-pidatonya.
2) Buku Islam, Nationalism and Democracy (2012). Buku ini merupakan
biografi Mohammad Natsir yang secara khusus menceritakan
perjalanan dan perjuangannya di bidang politik.
3) Buku M. Natsir, sebuah Biografi (1990). Buku ini merupakan biografi
Mohammad Natsir.
94
4) Buku Pendiri dan Pemimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
(2017). Buku ini berisikan biografi singkat para pendiri dan pemimpin
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.
5) Buku Politik Santun di antara Dua Rezim (2011). Buku ini
menceritakan berbagai kisah hidup Mohammad Natsir sebagai tokoh
Islam yang santun menjalankan peran pentingnya dalam bidang politik
di orde lama dan orde baru.
6) Buku M. Natsir di Panggung Sejarah Republik (2008). Buku ini
merupakan kumpulan materi seminar tentang kisah dan pandangan
para tokoh terhadap Mohammad Natsir yang diselenggarakan untuk
memperingati 1 abad Mohammad Natsir.
7) Buku Api Sejarah 2 (2016). Buku ini mengisahkan berbagai
perjuangan para ulama dan tokoh Islam di Indonesia dalam
menegakkan NKRI.
8) Buku Merawat Indonesia Belajar dari Tokoh dan Peristiwa (2017).
Buku ini menceritakan berbagai peristiwa penting yang melibatkan
tokoh-tokoh bangsa, salah satunya Mohammad Natsir.
9) Buku Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan
Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia (2010).
10) Buku M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya (1999). Buku ini memuat
pemikiran-pemikiran dan kisah pejuangan Mohammad Natsir dalam
berdakwah.
11) Buku Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir dalam Bidang
Pendidikan (2017).
95
12) Buku Islam sebagai Dasar Negara karya Mohammad Natsir (2014).
Buku ini berisikan pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir yang
disampaikan pada pidatonya di Sidang Majelis Konstituante untuk
Menentukan Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1957 sampai
dengan 1959.
13) Buku Islam dan Akal Merdeka (2015). Buku ini memuat pemikiran
Mohammad Natsir tentang peran Islam dalam mengarahkan
kemerdekaan akal serta kritik-kritiknya terhadap pemikiran Soekarno
tentang “Islam Sontoloyo”.
14) Buku Belajar dari Partai Masjumi (2014). Buku ini mengisahkan
perjalanan Partai Masjumi dan berbagai teladan-teladan dari berbagai
peristiwa serta tokoh-tokohnya.
15) Buku Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila, Konstituante 1957
(2001). Buku ini menghimpun pidato-pidato Mohammad Natsir,
Abdul Kahar Muzakkir, Hamka, M. Isa Anshary, dan Kasman
Singodimedjo mengenai dasar negara yang disampaikan di Sidang
Majelis Konstituante.
16) Buku Bang Imad; Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya (2002). Buku
ini memuat tentang pemikiran-pemikiran dan perjuangan Imaduddin
Abdulrahim dalam dakwahnya; termasuk hubungan dekatnya dengan
Mohammad Natsir yang merupakan mentornya.
17) Majalah Media Dakwah Nomor 251 dan 258 tahun 1995 yang
diterbitkan oleh DDII.
96
18) Majalah Pembela Islam Nomor 1 tahun 1929 yang diterbitkan oleh
Comite Pembela Islam.
19) Majalah Panji Masyarakat Nomor 661 tahun 1990 yang diterbitkan
oleh Yayasan Nurul Iman.
20) Majalah Serial Media Dakwah terbitan DDII, Nomor 88 tahun 1982,
Nomor 75 tahun 1980, Nomor 71 tahun 1980, Nomor 69 tahun 1980,
Nomor 68 tahun 1980, Nomor 64 tahun 1979, Nomor 62 tahun 1979.
21) Majalah Suara Masjid Nomor 223 tahun 1993 yang diterbitkan oleh
Ikatan Masjid Indonesia.
22) Wawancara dengan H. Ramlan Mardjoned; Drs. H. Mohammad
Siddik, M.A.; Natsir Zubaidi; Lukman Hakiem; Artawijaya; dan
dengan Alam.
23) Transkrip video Mohammad Natsir – Sang Negarawan
Konstitusionalis (bagian 1 dan 2) yang diproduksi oleh Dewan
Da’wah Islamiyah Indonesia pada tahun 2008.
24) Transkrip video Melawan Lupa: Keteladanan Mohammad Natsir yang
ditayangkan oleh MetroTV pada 25 Juni 2018.
Adapun sumber data nonverbal yang digunakan dalam penelitian ini,
yakni sebagai berikut.
1) Katalog-katalog foto yang terdapat di Bilik Natsir, Perpustakaan
Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin Abdul Aziz alu
Saud, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.
97
2) Foto-foto yang mengilustrasikan tampilan Majalah Hikmah dan Panji
Masyarakat yang diperoleh dari hasil digitalisasi komunitas Jejak
Islam Bangsa (JIB).
3) Foto-foto yang mengilustrasikan tampilan Majalah Pembela Islam,
Serial Media Dakwah, Media Dakwah, Majalah Kiblat, Majalah Panji
Masyarakat, Suara Masjid, dan Majalah Sahabat yang diperoleh
langsung dengan mendokumentasikan majalah-majalah tersebut di
Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin
Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.
4) Foto-foto lainnya tentang bukti sejarah yang diambil dari buku dan
juga sumber elektronik seperti situs resmi lembaga tertentu.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
dua teknik, yakni dokumentasi dan wawancara mendalam.
1) Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan
mengumpulkan dan menyeleksi berbagai dokumen yang selanjutnya
diinterpretasi untuk mendapatkan esensi informasi atau data yang berkaitan
dengan penelitian (Bryman, 2012). Beberapa dokumen yang dapat
dikumpulkan adalah: (1) dokumen personal yang tertulis (seperti surat,
otobiografi dan buku harian) dan berbentuk visual (seperti foto dan
sejenisnya); (2) dokumen resmi terbitan pemerintah seperti laporan resmi
kinerja pemerintah; (3) dokumen resmi terbitan pihak swasta seperti
publikasi dan laporan organisasi; (4) luaran media massa seperti koran,
98
majalah, program televisi, dan film; dan (5) dokumen virtual seperti basis
data yang disajikan melalui situs di internet (Bryman, 2012). Menurut
Bryman (2012) dokumen-dokumen tersebut harus memenuhi kriteria:
Authenticity – keaslian dokumen dan asal dokumen yang jelas. Credibility –
terbebasnya dokumen dari distorsi. Representativeness – keterwakilan
informasi/data melalui dokumen tersebut. Meaning – berkaitan dengan
kejelasan dokumen dan dapat atau tidaknya dipahami dengan baik.
2) Wawancara Kualitatif / In-depth Interview
Wawancara kualitatif merupakan teknik pengumpulan data dengan
melakukan wawancara yang tidak terstruktur dan bertujuan untuk
mendapatkan informasi yang rinci dan kaya (Bryman, 2012). Fleksibilitas
wawancara kualitatif memungkinkan peneliti menemukan berbagai hal
penting dan menarik yang tidak hanya berguna dalam menyusun penjelasan
secara komprehensif, tetapi juga bisa mengubah ketertarikan peneliti kepada
suatu hal yang belum terduga sebelumnya (Bryman, 2012). Alat bantu yang
digunakan dalam wawancara kualitatif adalah panduan wawancara yang
tidak menjadi pertanyaan mutlak dan mengekang.
3.7. Teknik Pemilihan Informan
Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik snowball sampling yang merupakan bagian dari non-probability
sampling. Snowball sampling merupakan teknik penentuan sampel untuk
dijadikan informan yang didasarkan pada analogi bola salju, yakni awalnya
berukuran kecil ketika di puncak, kemudian semakin membesar ketika
menggelinding ke bawah (Neuman, 2014). Sampel berukuran kecil di awal
99
penelitian, kemudian membesar seiring berjalannya pernelitian. Informan
pertama menunjuk informan berikutnya yang diyakini dapat memberikan
informasi secara lebih luas dan mendalam. Hal ini terus berlanjut ke
informan-informan berikutnya sampai ditemukannya kejenuhan data
(Neuman, 2014). Dengan polanya yang seperti ini, snowball sampling juga
sering disebut teknik penentuan sampel/informan berbasis jaringan (network),
jalinan berantai (chain referral), berdasarkan reputasi (reputational), dan
diarahkan oleh informan, Neuman menyebutnya respondent-driven sampling
(Neuman, 2014).
Teknik snowball sampling ini tidak hanya membantu peneliti menggali
data tentang Mohammad Natsir, tetapi juga memungkinkan peneliti
berinteraksi secara langsung dengan orang-orag yang pernah bertemu atau
bahkan menjalin hubungand personal dengan Mohammad Natsir. Selain itu,
teknik ini juga membebaskan peneliti dari spekulasi mengenai kredibilitas
informan karena para informanlah yang berperan besar dalam menentukan
informan lainnya yang harus peneliti temui. Kelebihan lainnya adalah
keleluasaan peneliti untuk melakukan konfirmasi secara interaktif antara data
yang peneliti dapatkan dari sumber pustaka dengan para informan, serta
antara informan satu dengan informan lainnya.
Namun, meskipun peneliti mengimplementasikan teknik snowball
sampling dalam penelitian ini, peneliti tetap memerhatikan kriteria para
informan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Berikut ini adalah para informan yang berhasil peneliti wawancarai
serta skema jaringan yang terbentuk melalui teknik snowball sampling.
100
1. Drs. H. Mohammad Siddik, M.A. yang merupakan Ketua Umum DDII
periode XI tahun 2015-2020. Pernah dibina secara langsung oleh Natsir
hingga dipromosikan untuk berpartisipasi di forum internasional yang
kemudian mengantarkannya berkiprah di Islamic Development Bank.
2. H. Ramlan Mardjoned yang merupakan mantan sekretaris pribadi
Mohammad Natsir tahun 1966 – 1993 dan mantan anggota Dewan
Redaksi sekaligus Pemimpin Usaha Serial Media Dakwah.
3. Natsir Zubaidi yang merupakan Ketua Hubungan Antar Lembaga dan
Luar Negeri Dewan Masjid Indonesia dan mantan Ketua
Penyunting/Penanggungjawab Majalah Suara Masjid. Pernah bekerja di
bawah pimpinan Natsir, khususnya dalam bidang jurnalisme.
4. Lukman Hakiem yang merupakan mantan Wakil Pemimpin
Redaksi/Redaktur Pelaksana Majalah Kiblat tahun 1985 – 1988, mantan
redaktur Majalah Media Dakwah tahun 1989 – 1997, mantan Ketua
Umum HMI Cabang Yogyakarta tahun 1983 – 1984 dan mantan Staf
Khusus Wakil Presiden RI tahun 2001 – 2004.
5. Artawijaya yang merupakan penulis Buku Belajar dari Partai Masjumi,
dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir sejak 2008,
dan editor di Penerbit Pustaka Al-Kautsar Jakarta sejak 2011.
6. Alam yang merupakan penggiat Komunitas NUUN dan Depok Islamic
Study Club (DISC) Universitas Indonesia, serta aktif sebagai pengurus
Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).
101
3.8 Instrumen Penelitian
Peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian kualitatif. Hal
ini dikarenakan peneliti tidak bisa telepas dari seluruh komponen penelitian,
baik topik, metode, sumber data dan arah penelitian (Sugiyono, 2011).
Namun, peneliti juga menggunakan catatan lapang dan panduan wawancara.
Catatan lapang dalam penelitian ini digunakan untuk mencatat informasi-
informasi penting mengenai Mohammad Natsir yang diperoleh dari sumber
pustaka yang kemudian diinterpretasi dan direfleksikan. Panduan
wawancara berguna untuk memandu jalannya wawancara agar tidak keluar
dari topik penelitian dan memastikan agar hal-hal penting yang ingin digali
melalui wawancara telah ditanyakan kepada informan (Sugiyono, 2011).
3.9 Keabsahan dan Keandalan Data
Berkaitan dengan keabsahan (validitas) dan keandalan (reliabilitas)
data dalam penelitian kualitaif, peneliti merujuk pendapat Lincoln dan Guba
(dalam Bryman, 2012) yang menyebutkan bahwa penelitian kualitatif dapat
dinilai berdasarkan dua kriteria, yakni trustworthiness dan authenticity.
Informan
potensial
Terhubung melalui
Iman (anak kandung
Ramlan)
Informan
potensial
Terhubung
melalui Ucu
(mantan
sekretaris Jimly)
M. Siddik
Ramlan
M.
Lukman
H.
Artawijaya
Natsir Z.
Jimly
(tidak dapat
ditemui)
Alam
Amien Rais dan Yusril Ihza
(tidak dapat ditemui)
Wahid Alwi
(tidak berhasil
ditemui)
Informan
potensial
Hadi Nur R.
(tidak berhasil
ditemui)
Gambar 3. Skema jaringan informan yang terbentuk melalui snowball sampling
Sumber : Pengalaman peneliti
102
Lincoln dan Guba (dalam Bryman, 2012) menjelaskan bahwa
trustworthines mencakup empat kriteria yaitu:
1) Credibility (sesuai dengan validitas internal); yaitu berkaitan dengan
bagaimana temuan penelitian dapat dipercaya atau kredibel. Kredibilitas
ini juga menjadi cerminan tentang pemahaman peneliti.
2) Transferbility (sesuai dengan validitas eksternal); yaitu kemungkinan
penelitian di-transfer atau diterapkan dalam konteks yang berbeda.
3) Dependability (sesuai dengan reliabilitas); yaitu berkaitan dengan
keandalan atau keteguhan penelitian yang diperoleh dengan mengaudit
proses penelitian, misalnya dimulai dari perumusan masalah, fieldnotes,
dan transkrip wawancara.
4) Confirmability (sesuai dengan objektivitas); meskipun menampilkan
objektivitas secara keseluruhan adalah suatu yang mustahil dalam
penelitian sosial, khususnya kualitatif, pemeliti dituntut untuk
berperilaku ilmiah dengan tidak secara gamblang menunjukan nilai-nilai
personal yang dimilikinya. Hal ini dilakukan dengan melibatkan auditor.
Adapun authenticity atau keaslian yang menurut Lincoln dan Guba
(dalam Bryman, 2012) akan memunculkan dampak yang lebih luas dari
penelitian terdiri dari empat kriteria.
1) Fairness; keadilan peneliti dalam menampilkan sudut pandang berbeda.
Hal ini dicapai peneliti dengan tidak hanya merujuk beragam sumber
pustaka, tetapi juga meminta keterangan dari beberapa informan.
2) Ontological authenticity; berkaitan dengan kontribusi penelitian dalam
menciptakan pemahaman masyarakat tentang lingkungan sosialnya. Hal
103
ini dicapai peneliti dengan menyosialisasikan hasil penelitian lewat
beberapa seminar dan forum diskusi informal.
3) Educative authenticity; berkaitan dengan kontribusi penelitian dalam
menciptakan sikap menghargai berbagai perspektif dalam masyarakat.
Hal ini dicapai peneliti melalui penekanan penjelasan mengenai
karakter Natsir yang diplomatis, konstitusionalis dan toleransi.
4) Catalytic authenticity; berkaitan dengan kontribusi penelitian dalam
mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam melakukan
perbaikam. Hal ini dicapai melalui berbagai keteladanan yang
dipraktikkan Natsir, misalnya dalam memperjuangkan NKRI.
5) Tactical authenticity; berkaitan dengan kontribusi peelitian dalam
pemberdayaan masyarakat untuk melakukan suatu tindakan.
104
BAB IV
HASIL
4.1 Mohammad Natsir dan Perjuangannya Meraih Pendidikan yang Lebih
Baik
17 Juli 1908 merupakan masa penuh kebahagian bagi Idris Sutan
Saripado beserta istrinya yang bernama Khalida.2 Masa itu juga menjadi salah
satu “titik terang” bagi bangsa Indonesia yang sedang berjuang mencapai
kemerdekaan. Seorang bayi yang kelak mempersatukan Indonesia dalam
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, lahir di sebuah rumah di tepi
Sungai Batang Hari, Alahan Panjang, Sumatera Barat. Bayi itu diberi nama
Mohammad Natsir.3
Mohammad Natsir merupakan anak ketiga dari sebuah keluarga yang
sangat bersahaja. Idris, ayah Mohammad Natsir adalah warga biasa yang
bekerja sebagai juru tulis di kantor pemerintah di Alahan Panjang, yang
kemudian sempat dipindah-tugaskan ke beberapa daeah lainnya, seperti
Bonjol dan Makassar. Meskipun bekerja di kantor pemerintah, Idris tidak bisa
berbahasa Belanda dan hanya mendapatkan pendidikan di bangku sekolah
2 Nama “Khalida” ini disebutkan oleh Audrey Kahin dalam bukunya yang berjudul Islam, Nationalism, and
Democracy berdasarkan keterangan yang ia dapatkan secara langsung dari Mohammad Natsir melalui
wawancara pada 31 Mei 1971. Nama lain dengan sebutan “Khadijah” muncul dalam buku yang ditulis oleh
Adian Husaini, Mohammad Noer dan Ujang Habibi dalam bukunya yang berjudul Pemikiran dan Perjuangan
Mohammad Natsir dalam Bidang Pendidikan; dan juga dalam buku berjudul M. Natsir, Dakwah dan
Pemikirannya yang ditulis oleh Thohir Luth.
3 Terdapat beberapa versi tentang penulisan nama depan ini. Ujang Habibi menyebutkan 4 versi; yakni :
Muhamad, Muhammad, Mohamad, dan Mohammad. Dari 4 versi tersebu, Habibi menyatakan bahwa yang
paling tepat adalah “Mohamad”. Penulisan ini berdasarkan pada surat-surat dan naskah-naskah yang ditulis
oleh M. Natsir. Lihat : Mas‟oed Abidin, Gagasan dan Gerakan Dakwah Natsir, hal. 2. Namun, peneliti
menggunakan “Mohammad” berdasarkan pada penulisan yang digunakan mayoritas sumber pustaka, produk
jurnalistik yang melibatkan M. Natsir, seperti Majalah Hikmah, Media Dakwah, Serial Media Dakwah, dan
Suara Masjid. Hal ini juga diperkuat oleh keterangan dari mantan sekretaris pribadi M. Natsir, Ramlan
Mardjoned yang peneliti wawancarai pada 6 dan 11 Maret 2018.
105
dasar. Begitu juga dengan Kholida yang hanya pernah berlajar membaca;
tidak mendapatkan pendidikan formal di sekolah (Kahin, 2012).
Kesahajaan keluarga ini membuat sahabat Idris yang merupakan
saudagar kopi kaya raya, Sutan Rajo Ameh, berempati hingga
memperkenankan Idris beserta istri dan anak-anaknya untuk tinggal di
rumahnya. Rumah berhalaman luas yang sisi kirinya mengalir sungai Batang
Hiliran Gumanti itu dibagi dua oleh Sutan Rajo Ameh; sisi kirinya untuk
dirinya berserta keluarga, sedangkan bagian yang lain ditempati oleh Idris
beserta istri dan anak-anaknya. Hubungan yang sangat akrab antara ayah
Mohammad Natsir dengan Sutan Rajo Ameh ini berlanjut hingga ke anak dan
cucu mereka. Cucu Sutan Rajo Ameh yang bernama Hamdi El Gumanti
merupakan seorang pengurus Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia (DDII)
yang penah membantu Natsir mengambilkan foto-foto masa kecilnya yang
ada di kampung halaman untuk dijadikan sarana bernostalgia di penghujung
hayatnya. Begitu juga dengan paman Hamdi, Syahrul Kamal, yang pernah
bersama Natsir merencanakan kunjungan ke kampung halamannya pada
tahun 1970-an. Namun, rencana ini tidak terwujud karena Syahrul Kamal
lebih dulu wafat (Tim KPG-Tempo, 2011).
Masa kecil Mohammad Natsir memang penuh kenangan tentang
perjuangan. Salah satu hal penting yang tetap diingat oleh Natsir adalah
pencariannya tentang makna perjuangan itu sendiri. Natsir mendengar kata
“perjuangan” pertama kalinya saat ia berusia delapan tahun. Saat itu ia
memaknai perjuangan sebagai upaya untuk mendapatkan pendidikan yang
lebih baik, bukan upaya penentangan terhadap penjajahan atau pun
106
pemberontakan politik (Kahin, 2012). Di kemudian hari, Natsir sendiri
merumuskan pemikirannya dengan berlandaskan pada Al-Quran bahwa
kecerdasan dan kemuliaan yang sejati itu diperoleh dengan ilmu pengetahuan
atau pendidikan (Natsir, 1961).
Pemaknaannya terhadap perjuangan ini membangkitkan semangatnya
untuk memeroleh pendidikan yang layak; ia memiliki ambisi untuk bisa
menjadi siswa sekolah dasar elit milik pemerintah Belanda, Hollandse
Inlandsche School (HIS). Orang yang bersekolah di HIS milik pemerintah
Belanda biasanya adalah anak-anak dari keluarga Belanda atau pribumi yang
terpandang (Kahin, 2012).
Pendidikan dasar seorang tokoh besar bangsa ini sempat tidak
menentu. Saat ayahnya mendapatkan perintah untuk berpindah wilayah tugas
ke Maninjau, Kabupaten Agam, Natsir pun mengikutinya. Meskipun ayah
Natsir adalah seorang pegawai pemerintah, ia tidak memiliki uang yang
cukup untuk bisa menyekolahkan Natsir di HIS milik pemerintah Belanda.
Sehingga, saat di Maninjau, Natsir hanya dapat belajar di sekolah lokal yang
menggunakan bahasa Indonesia dalam pembelajarannya. Itu pun dengan
status “siswa yang tidak resmi”. Natsir mendapatkan simpati dari seorang
guru senior di sekolah tersebut dan mengizinkan Natsir untuk memasuki
kelas, tetapi ia harus segera meninggalkan kelas saat inspektur sekolah
muncul (Kahin, 2012). Sepulang dari sekolah rakyat untuk mendapatkan
pengetahun umum, di sore harinya Natsir pergi ke surau untuk mengaji dan
dilanjutkan dengan bermalam di sana. Hal tersebut sudah menjadi tradisi di
masyarakat Minangkabau, jika anak-anak mereka sudah memasuki usia tujuh
107
atau delapan tahun, maka anak-anak tersebut tidak diperkenankan lagi tidur di
rumahnya, tetapi diarahkan untuk menuju surau setiap sorenya dan tidur di
sana. Dalam sebuah buku biografi untuk memperingati usianya yang ke-70
tahun, diceritakan bahwa Natsir kecil sangat semangat untuk tidur di surau
dengan berselimut sarung.
Saat ayahnya dipindah-tugaskan ke Makassar, Natsir yang saat itu
masih kecil diajak oleh kakaknya yang bernama Rabiah ke Padang dengan
membawa harapan bisa bersekolah di HIS milik pemerintah Belanda. Namun,
usaha kerasnya masih belum membuahkan hasil. Cita-citanya untuk bisa
bersekolah di HIS bisa dilampiaskan untuk sementara waktu lewat HIS
Adabiah, sebuah sekolah yang memadukan model HIS milik pemerintah
Belanda dengan pendidikan Islam yang didirikan oleh H. Abdullah Ahmad
pada 23 Agustus 1915 (Kahin, 2012).4 Natsir belajar di HIS Adabiah tersebut
di sore hari setelah belajar dari sekolah rakyat pada pagi hingga siang hari.
Pendirian HIS Adabiah ini dilatar-belakangi oleh keprihatinan para
ulama dan tokoh pendidikan Islam terhadap tradisi pendidikan umat yang
semakin mengidam-idamkan model pendidikan Belanda (dengan adanya
sekolah-sekolah milik Belanda) yang dikhawatirkan dapat mengancam
aqidah umat (Kahin, 2012). Oleh karena itu, atas seruan dan juga inisiatif
para ulama dan tokoh Islam tersebut, didiirikanlah HIS Adabiah. Meskipun
infrastruktur yang dimilikinya tidak sebaik HIS milik pemerintah Belanda;
4 Pendirian HIS Adabiah ini dilatar-belakangi oleh keprihatinan para ulama dan tokoh pendidikan Islam
terhadap tradisi pendidikan umat yang semakin mengidam-idamkan model pendidikan Belanda (dengan
adanya sekolah-sekolah milik Belanda) yang dikhawatirkan dapat mengancam aqidah umat. Oleh karena itu,
atas seruan dan juga inisiatif para ulama dan tokoh Islam tersebut, didiirikanlah HIS Adabiah. Lihat Audrey
Kahin. Islam, Nationalism, and Democracy : Political biography of Mohammad Natsir. Singapura
: National University of Singapore Press.
108
para guru HIS Adabiah mengajarkan Natsir dengan sangat baik sebagai
bentuk persiapannya untuk mengikuti ujian HIS milik pemerintah yang ada di
Solok.
Natsir pun diterima menjadi siswa HIS milik pemerintah di Solok.
Selama di Solok, Natsir tinggal bersama seorang saudagar kaya-raya bernama
Haji Musa yang anaknya menjadi teman sekolah Natsir selama 3 tahun.
Sebagaimana pengalaman belajarnya dahulu, Natsir tidak hanya aktif belajar
di pagi hingga siag hari untuk mendapatkan pengetahuan umum, di sore
harinya Natsir tetap memperdalam pendidikan agamanya di sekolah Diniyyah
yang didirikan oleh kakak-beradik H. Rahmah el Yunussiyah dan Zainuddin
Labay el Yunusy yang merupakan ulama dan pejuang di bidang pendidikan
(Kahin, 2012). Di sekolah Diniyyah ini Natsir mempelajari hukum fiqh dan
juga bahasa Arab untuk pertama kalinya kepada Tuanku Mudo Amin. Setelah
itu, aktivitas belajar Natsir dilanjutkan dengan mengaji Al-Quran pada malam
harinya (Noer dalam Luth, 1999).
Kemampuan belajar Natsir tergolong istimewa. Ia tidak hanya mampu
menguasai seluruh materi yang diajarkan di sekolah Diniyyah, tetapi ia
memiliki kemampuan untuk mengajarkan materi itu. Natsir pun mendapatkan
kepercayaan untuk menjadi asisten pengajar di sekolah Diniyyah tersebut.
Setelah beberapa bulan membantu untuk mengajar, Natsir harus pindah ke
Padang karena ia diterima menjadi siswa dari sebuah HIS milik pemerintah
Belanda yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Belanda.
Hijrahnya menuju kota Padang demi mendapatkan pendidikan yang
lebih baik tidak dilaluinya dengan mudah. Ia sempat tinggal bersama bibinya
109
yang bernama Macik Rahim. Selama tinggal dengan bibinya ini, Natsir
belajar menjadi pribadi yang mandiri. Meskipun seorang anak laki-laki,
Natsir tidak segan untuk membantu bibinya memasak, membersihkan rumah
dan mencari kayu bakar. Bibinya yang bekerja sebegai penyortir kopi dengan
gaji 70 – 80 sen per hari itu pun iba dengan Natsir hingga memberikan
sebagian gajinya untuk Natsir yang telah membantunya mengurus rumah.
Kemandiriannya ini tidak hanya berbuah gaji dari bibinya di saat usianya baru
menginjak 11 tahun, tetapi juga membentuk ketangguhan dirinya. Ia
mengatakan bahwa dengan cara itu ia terbebas dari rasa berutang budi
(Kahin, 2012).
Perjuangannya yang luar biasa dalam meraih pendidikan yang lebih
baik membuahkan hasil yang gemilang; pada akhir masa belajarnya di HIS
Padang di tahun 1923, Natsir mendapatkan peringkat pertama di kelasnya dan
dihadiahi beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgerbreid
Lager Onderwijs (MULO) (sekarang setara Sekolah Menengah Pertama).
Natsir pun tidak perlu bersusah-payah lagi mencari sekolah impiannya seperti
pengalaman yang ia lalui ketika berusaha menjadi siswa HIS; ia diterima
menjadi siswa MULO Padang dengan beasiswa Rp 20,- per bulan (Kahin,
2012).
Bersekolah di MULO Padang merupakan pengalaman pertamanya
memiliki teman kelas yang merupakan anak-anak Belanda. Sebelum
mendapatkan pengalaman menarik itu, Natsir memiliki anggapan bahwa
orang-orang Belanda yang berkulit putih memang lebih unggul dibandingkan
pribumi. Setelah ia memasuki MULO, ia sadar bahwa warna kulit sama sekali
110
tidak menentukam keunggulan atau superioritas, termasuk dalam bidang
akademik (Kahin, 2012). Meskipun demikian, Natsir bersama teman-teman
Indonesianya sering dicemooh oleh anak-anak Belanda hingga tidak jarang
mereka terlibat adu mulut, bahkan beberapa kali sampai adu fisik.
Dilatarbelakangi oleh perilaku buruk sebagian siswa Belanda itulah Natsir
beserta kawan-kawannya masuk menjadi anggota Jong Sumatera dan Jong
Islamieten Bond (JIB) (Kahin, 2012). Natsir pun tidak sekedar menjadi
anggota JIB, ia turut serta dalam salah satu cabang organisasinya, yakni
Nationale Islamitische Pavinderij (Natipij) yang merupakan kelompok
kepanduan atau sejenis pramuka yang diketuai oleh Sanusi Pane (Luth, 1999).
Setelah lulus dari MULO Padang pada semester pertama tahun 1927,
Natsir memenuhi kualifikasi untuk menjadi seorang juru tulis. Saat itu, Natsir
memiliki keinginan yang besar untuk segera bekerja sehingga bisa benar-
benar mandiri, tidak menjadi beban orang tuanya lagi. Namun, ayahnya
memberikan arahan yang betolak-belakang dengan keinginannya itu.
Meskipun tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk
menyekolahkan anaknya, ia berkeinginan agar Natsir melanjutkan
sekolahnya. Masalah yang sama saat di HIS dan MULO pun dihadapinya
lagi; ia sangat sadar bahwa ia ayahnya tidak mampu membiayainya dan dia
pun belum berpenghasilan. Masalah itu pun terpecahkan saat ia menyadari
bahwa dirinya memiliki kesempatan untuk mendapatkan beasiswa lagi karena
memenuhi kualifikasi – ia berhasil masuk MULO dengan beasiswa dan lulus
dengan nilai yang memuaskan. Berbekal hal itu, Natsir berhasil meraih
beasiswa sebesar Rp 30,- per bulan untuk melanjutkan studinya di Algemene
111
Middelbare School (AMS) di Bandung (sekolah setaraf SMA saat ini)
(Husaini, Noer, dan Ujang, 2017).
Kali ini, Natsir benar-benar melaksanakan tradisi Minangkabau yang
sangat terkenal – merantau. Ia keluar dari Sumatera Barat menuju tanah
rantauannya – Bandung. Pelabuhan Emmahaven di Padang yang saat ini
bernama Pelabuhan Teluk Bayur menjadi saksi bisu keberangkatan Natsir
menuju Bandung yang menjadi “batu loncatan” menuju langkah-langkah
pentingnya sebagai seorang tokoh bangsa. Setelah berlayar selama 3 hari,
Natsir pun sampai di Tanjung Priok, ia menginjakkan kakinya di pulau Jawa
untuk pertama kalinya.
Keberhasilannya menjangkau pendidikan yang jauh lebih baik hingga
ke Pulau Jawa memang sebuah pencapaian besar dalam hidupnya. Apalagi
sekolah-sekolah dengan model pendidikan barat yang paling maju saat itu
terkonsentrasi di Bandung. Akibatnya, banyak cendekiawan yang lahir di kota
ini dan kemudian menyuarakan paham anti kolonialisme. Bandung pun
menjadi pusat diskursus mengenai anti kolonialisme yang memunculkan
bentuk-bentuk baru nasionalisme Indonesia (Kahin, 2012). Misalnya pada
bulan yang sama saat Natsir tiba di Bandung, Juli 1927, Soekarno mendirikan
partai yang awalnya dikenal dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia
yang kemudian berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Pidato-
pidato maupun diskusi-diskusi mengenai nasionalisme diadakan dengan
menampilkan tokoh-tokoh. Natsir adalah salah seorang pendengar setia
pidato-pidato para tokoh itu, mulai dari Soekarno, Tjokroaminoto dan Haji
Agus Salim (Kahin, 2012). Natsir memang seorang yang sangat mencintai
112
dan menghormati pidato; ia akan selalu menyempatkan diri untuk menghadiri
pidato para tokoh kapan pun dan di mana pun selagi bisa dijangkau olehnya.5
Selain tokoh-tokoh tersebut, perantauannya ke Bandung mengantarkannya
bertemu dengan salah seorang guru yang sangat memengaruhi pemikirannya,
khususnya mengenai Islam, yakni Ahmad Hassan; seorang keturunan India
yang merupakan tokoh pendiri Persatuan Islam (Kahin, 2012).
Selain itu, berdasarkan keterangan Natsir dalam sebuah wawancara
oleh Audrey Kahin pada 31 Mei 1971 di Jakarta, saat itu AMS Bandung
merupakan satu-satunya AMS di Indonesia yang memiliki program sastra
sehingga siswanya memeroleh model pembelajaran klasik Eropa dengan
bahasa Latin dan Yunani (Kahin, 2012). Penyebutan lengkapnya dalam
bahasa Belanda adalah Algemene Middelbare School Westers Klassieke
Afdeling (AMS A2) yang artinya Sekolah Menengah Umum Jurusan Klasik
Barat. AMS tergolong sekolah bergengsi pada sat itu yang berdiri pada tahun
1919 (Tim KPG-Tempo, 2011). Sekolah yang terletak di Beliton Straat
(sekarang Jalan Belitung) ini memang disediakan bagi pelajar lulusan MULO
yang tidak mungkin bisa menjadi siswa Hogere Burger School yang dalam
terjemahan bebasnya berarti Sekolah “Warga yang Lebih Tinggi”; artinya
hanya anak-anak Belanda atau dari negeri lainnya di Eropa dan elit pribumi
yang bisa menjadi siswa di sekolah itu.
Saat itu, Natsir tinggal bersama bibinya yang bernama Latifah; di
sebuah rumah yang terletak di Jalan Cihapit, sekitar 15 menit dari AMS
dengan jalan kaki (Tim KPG-Tempo, 2011). Kegiatan belajar Natsir di AMS
5 Ramlan Mardjoned, Wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018
113
dimulai pada bulan kelahirannya, Juli 1927. Saat itu ia berusia 19 tahun. Jika
dibandingkan dengan kebanyakan pemuda saat ini, usia 19 tahun sudah
memasuki masa studi Strata Satu. Meskipun begitu, Natsir yang saat itu baru
memasuki sekolah setaraf SMA, telah menunjukkan kualitas diri di atas rata-
rata. Natsir yang saat itu berfokus untuk membangun karirnya di bidang
hukum berhasil meraih nilai 9 dalam bahasa Latin setelah 3 bulan pertama
masa belajarnya, sedangkan teman-temannya hanya mampu meraih nilai 3
atau 4. Namun, Natsir menghadapi masalah dalam pelajaran bahasa Belanda;
ia hanya mampu mendapatkan nilai 5. Gurunya dengan sinis bertanya kepada
Natsir tentang dari MULO mana ia berasal. Saat ia mengatakan bahwa ia
berasal dari MULO Padang, gurunya pun memberikan respon yang
cenderung meremehkan “oh iya, tidak heran!” (Kahin, 2012).
Natsir tidak terima jika kampung halamannya direndahkan; apalagi ini
dalam hal kemampuan akademik. Ia kemudian meminta bantuan temannya
bernama Bachtiar Effendi, seorang pemuda Minang yang tidak hanya lancar
berbahasa Belanda, tetapi juga pandai berorasi. Percakapan orang-orang
Belanda di sekitar pertokoan pinggira kota Bandung serta buku-buku
berbahasa Belanda yang diperoleh dari perpustakaan menjadi sarananya
dalam memperlancar bahasa Belandanya. Sebuah kompetisi Kefasihan
Berbahasan Belanda pun diikuti oleh Natsir dengan memilih cabang lomba
pembacaan pusisi. Puisi berjudul “The Flood (De Bandjir)” karangan
Multatuli menjadi pusisi pilihannya untuk ditampilkan di perlombaan itu.
Persiapannya untuk mengikuti lomba tersebut tidak sebatas pada substansi
materi lomba; Natsir muda menunjukkan kualitasnya sebagai orator sejati
114
dengan memerhatikan atribut yang hendak ia gunakan. Pakaian adat Minang
menjadi kostum pilihannya saat itu untuk menunjukkan bahwa ia seorang
putra Minang yang berani berkompetisi -- tampil menyajikan puisi berbahasa
Belanda yang siap memukau banyak orang. Kejadian yang tidak terduga
mengawali penampilannya, dari panggung tempatnya berdiri ia melihat
gurunya yang meremehkannya duduk di salah satu kursi penonton.
Penampilannya yang memukau disambut dengan gemuruh tepuk tangan dan
membuat para juri memilihnya sebagai peraih Juara 1. Gurunya itu pun tepuk
tangan sambill menunjukkan senyum sinis kepadanya. Hadiah dari
capaiannya sebagai Juara 1 itu adalah buku karya seorang controleur
Sumatera Barat, L.C. Westenenk, yang berjudul “Where men and tigers live
as neighbours”. Prestasinya ini membuat dirinya bangga; tidak hanya karena
berhasil meraih Juara 1, tetapi juga karena bisa mengharumkan nama Padang
MULO yang diremehkan sebelumnya (Kahin, 2012).
Kisah dengan guru yang meremehkannya itu masih berlanjut. Ia
bertemu kembali dengan guru itu di kelas 5, tepatnya di mata pelajaran
economic geography. Suatu saat kelasnya diberikan tugas membuat paper dan
diskusi tentang “the influence of sugar cane plantations and sugar factories
on the people of Java”. Natsir mengumpulkan bahan dengan sungguh-
sungguh; yakni dari berbagai majalah nasionalis dan mempelajari perdebatan
yang terjadi di Volksraad. Kesempatan untuk menunjukkan kemampuan
bahasa Belandanya pun datang kembali melalui presentasi kelas mengenai
papernya. Dengan penuh semangat Natsir menjelaskan dalam presentasinya,
bahwa yang diuntungkan dengan adanya penanaman tebu dan pabrik gula
115
adalah para kapitalis dan bupati; para petani justru menjadi buruh. Presntasi
kelas yang seperti orasi itu pun membuat kelas hening, para siswa dan
gurunya itu pun dibuat terdiam karena takjub melihat presentasinya. Natsir
yang tetap menyimpan memori tentang perlakuan gurunya itu pun bangga
sambil berkata dalam hatinya:
“inilah produk MULO Padang yang kamu remehkan pengajarannya”. (Kahin,
2012, hal. : 8).
Kisah menarik lainnya selama bersekolah di AMS adalah
perdebatannya dengan seorang pendeta Kristen Protestan bernama Dr. A.C.
Christoffels yang memberikan ceramah di hadapannya dan teman-teman
sekelasnya di sebuah gereja (Hakiem, 2017 b). Dalam ceramahnya yang
berjudul Mohammad als Profeet (Mohammad sebagai Seorang Nabi),
Christoffel memang tidak menyerang Islam secara langsung, tetapi karena
ketajaman pikiran dan kemurnian nuraninya, Natsir mampu memahami
bahwa Christoffel berupaya menyampaikan pesan secara halus bahwa ajaran
yang benar itu adalah ajaran Yesus Kristus menurut versi Kristen. Ceramah
Christoffel ini kemudian dimuat dalam surat kabar Algemeen Indisch
Dagblad (AID) De Preangerbode atau dalam bahasa Indonesia berarti Surat
Kabar Umum India De Preangerbode. Ini merupakan kesempatan bagus bagi
Natsir karena dengannya Natsir memiliki hak untuk menanggapi. Natsir pun
mulai mempersiapkan tulisannya dengan mengumpulkan berbagai referensi
dan juga berkonsultasi kepada A. Hassan hampir setiap sore (Kahin, 2012).
A. Hassan pun tidak memanjakan Natsir dengan mendiktenya mengenai apa
yang seharusnya ditulis. A. Hassan benar-benar menjadi pembimbing yang
116
baik, bukan “penyuap”. Ketika tulisan itu telah siap, Natsir segera
mengirimnya ke AID De Preangerbode atas nama Comite Pembela Islam
(Artawijaya, 2014). Tulisan itu merupakan tulisan pertama mengenai Islam
yang dibuat oleh Natsir. Tulisan itu pun mendapatkan tanggapan Christoffles
dalam edisi selanjutnya. Comite Pembela Islam meminta Natsir untuk
membuat tulisan lagi untuk merespon tulisan tersebut. Namun, AID menolak
memuat tulisan tersebut. Penolakan AID itu kemudian menimbulkan
kekecewaan Comite Pembela Islam dan menjadi sebab dibuatnya Majalah
Pembela Islam (Artawijaya, 2014).
Kesungguhan Natsir dalam meraih pendidikannya adalah suatu
teladan yang harus menginspirasi generasi Indonesia di masa kini.
Pemaknaannya tentang kata “perjuangan” di masa kecilnya memang sangat
tepat; saah satu strategi perjuangan terbaik memang dengan meraih
pendidikan setinggi mungkin. Pendidikan bisa menghapus penjajahan dan
memerdekakan bangsa tanpa harus menumpahkan darah. Faktanya,
kebangkitan nasional ditandai dengan munculnya berbagai perserikatan yang
dipelopori oleh kaum intelektual yang sangat memerhatikan pendidikan.
Kebangkitan dengan pendidikan itu pun dibuktikan oleh Natsir. Dilahirkan
sebagai anak juru tulis yang hidupnya bersahaja bukan suatu masalah
baginya. Natsir memberikan pelajaran bahwa “kebanggaanmu bukanlah saat
kamu bisa menunjukkan bahwa kamu punya orang tua yang luar biasa, tetapi
saat kamu bisa menunjukkan bahwa orang tuamu memiliki kamu yang luar
biasa”; dan hal itu dicapainya melalui perjuangan mencapai pencerahan
dengan ilmu.
117
4.2 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Pergerakan
Pemuda
4.2.1 Jong Islamieten Bond adalah Awal Kebaikan
Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh bangsa yang memulai
jejak-jejak kepemimpinannya melalui organisasi kepemudaan. Organisasi
kepemudaan yang pertama kali diikuti oleh Natsir sekaligus memberikan
pengaruh besar bagi arah geraknya adalah Jong Islamieten Bond (JIB) yang
didirikan secara resmi di Jakarta pada 1 Maret 1925 (Roem, dalam Husni,
1998).6 Sebelum melanjutkan studinya ke AMS di Bandung, Natsir telah lebih
dulu menjadi anggota JIB Padang. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
Natsir juga mengikuti organisasi kepanduan sejenis pramuka milik JIB yang
bernama Nationale Islamitische Pavinderij (Natipij).
JIB tidak hanya menjadi tempat Natsir belajar berbagai hal mengenai
Islam dan juga kebangsaan, tetapi menjadi tempat pertemuannya dengan tokoh-
6 Pendirian JIB diawali dengan keprihatinan sebagian pemuda Jong Java akan kondisi pemuda saat itu yang
lebih membanggakan gaya hidup barat. Mereka akan merasa superior jika menggunakan pakaian bergaya
barat. Rasa inferior jika memunculkan kebudayaan sendiri dan menunjukkan nilai-nilai agama sudah tertanam
kuat saat itu. Bahkan, perasaan inferior itu tidak hanya sebatas pada tradisi-tradisi keagamaan, tetapi
mencakup seluruh aspek kehidupan. Mereka berupaya memisahkan agama dari kehidupannya. Kondisi
memprihatinkan yang disinggung dalam Novel “Salah Asuhan” karya novelis terkenal Sumatera Abdul Muis
ini menjadi fokusan masalah bagi para pemuda yang peduli terhadap agamanya. Tokoh dari para pemuda itu
adalah Samsurizal atau juga dikenal dengan panggilam Raden Sam yang merupakan pendiri JIB. Ia
merupakan anak seorang penghulu di Karanganyar, Solo yang dipercaya menjadi ketua Kongres Jong Java
tahun 1924. Saat itu ia mengajukan ide agar diadakan pembelajaran mengenai Islam dalam Jong Java.
Landasan idenya ada dua : pertama, para kader muslim yang merupakan para pemimpin di masa depan harus
memahami masyarakatnya dengan cara memahami sikap, kecenderungan dan keyakinan mereka. Kedua, hal
itu bisa dilakukan jika para anggota Jong Java memiliki pemahaman yang baik tentang Islam. Sayangnya, ide
cemerlangnya itu ditolak oleh setengah anggota Kongres. Ia pun membatalkan usulannya itu demi menjaga
persatuan di antara anggota Jong Java. Agus Salim yang memahami perasaan Samsurizal kemudian
menawarkan bantuan kepadaya untuk mewujudkan idenya itu. Maka pada Desember 1924, Samsurizal
bersama teman-teman yang sepemahaman dengannya mengadakan pertemuan di sekolah Muhammadiyah
Yogyakarta. Ia meminta saran kepada H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan K.H. Ahmad Dahlan.
Pertemuan yang terjadi pada malam hari itu akhirnya menghasilkan keputusan untuk membentuk organisasi
kepemudaan yang berasaskan Islam dengan nama Jong Islamieten Bond (JIB). Namun, secara resmi JIB
dinyatakan berdiri pada 1 Maret 1925 di Jakarta. Lihat Dardiri Husni, Jong Islamieten Bond : A Study of A
Muslim youth Movement in Indonesia During The Dutch Colonial Era, 1924 – 1942 (Tesis, McGill
University, Montreal - Canada, 1998).
118
tokoh yang memberikan pengaruh besar bagi pemikirannya seperti H. Agus
Salim; teman-teman sebaya yang kemudian menjadi sahabat sepanjang hayat
dalam perjuangan membangun bangsa seperti Mohammad Roem, Prawoto
Mangkusasmito, Sjafruddin Prawiranegara dan Kasman Singodimedjo; bahkan
dengan perempuan yang kelak menjadi istrinya yang setia menemani berbagai
langkah perjuangannya, Putti Nur Nahar atau akrab disapa Ummi Nur Nahar
setelah menikah dengan Nastir; tepatnya melalui JIBDA (Jong Islamieten Bond
Dames Afdeling), yakni divisi khusus perempuan dalam JIB (Husni, 1998;
Kahin, 2012).
Sebagai organisasi pemuda yang menggunakan Islam sebagai asasnya,
maka kriteria keanggotaannya tidak lagi ditentukan oleh batasan wilayah atau
geografis kedaerahan, etnis atau kesukuan, tetapi ditentukan oleh keIslaman
yang memungkinkan JIB menjaring anggota yang lebih besar dibandingkan
organisasi pemuda lainnya saat itu seperti Jong Java. Penggunaan Islam
sebagai asas JIB ini menjadi bukti bahwa Islam dapat mempersatukan
Indonesia. Ini tentu suatu ironi, saat organisasi pemuda lainnya menggunakan
batasan kedaerahan dan kesukuan sebagai kriteria anggota dan juga namanya,
namun mengaku bahwa dirinya mengusung nasionalisme, maka sebenarnya
JIB jauh lebih nasionalis dibandingkan pergerakan-pergerakan pemuda
tersebut; JIB menghilangkan batas kedaerahan dan mempersatukan pemuda
Indonesia dengan ikatan Islam.
Dalam majalah Pembela Islam yang diterbitkan oleh Comite Pembela
Islam di bawah naungan Persatuan Islam, khususnya nomor 36, bulan Oktober
tahun 1931, Natsir menuangkan gagasannya dalam tulisan yang berjudul
119
“Indonesisch Nationalisme”. Natsir mengemukakan bahwa jauh sebelum
istilah “nasionalisme Indonesia” digunakan oleh organisasi-organisasi seperti
Budi Utomo, Jong Sumatranen Bond, Jong Java, dan berbagai organisasi
lainnya yang justru menjadikan suku bangsa sebagai pembatas keanggotannya,
perserikatan-perserikatan yang menjadikan Islam sebagai landasannya telah
lebih dulu menggaungkan konsep “kebangsaan Indonesia”. Perserikatan-
perserikatan itu misalnya Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan
perserikatan Muhammadiyah; sedangkan Jong Islamieten Bond adalah pelopor
di tingkat pemuda. Pandangannya tentang ke-Indonesia-an justru lebih
menyeluruh dan terlepas dari primordialisme dan etnosentrisme. Natsir
menegaskan bahwa:
“pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan
di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia yang
menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mula-mula menanam
persaudaraan dengan kaum yang senasib di luar batas Indonesia, dengan tali ke-
Islaman”. (Harjono dan Hakiem, 1995).
Berkenaan dengan penggunaan asas Islam tersebut, Natsir mengatakan
dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Audrey Kahin pada 31 Mei
1971 bahwa tujuan dari JIB adalah untuk mengkaji Islam secara kritis dan
mengajak para pemuda Islam yang mendapatkan pendidikan barat untuk
kembali dan peduli pada agamanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
pada masa awalnya, di bawah kepemimpinan Samsurizal, Pengurus Besar (PB)
JIB menerbitkan sebuah majalah bernama al-Nur atau dalam bahasa Belanda
disebut Het Licht sebagai sarana menyebarkan semangat ber-Islam di kalangan
120
pemuda dan menunjukkan ajaran Islam mengenai toleransi kepada para
penganut agama lainnya (Husni, 1998).
Majalah al Nur atau Het Licht ini pertama kali diterbitkan setelah
pengumuman berdirinya JIB secara formal. Majalah yang sejak awal
diterbitkan dalam bahasa Belanda ini baru memuat artikel berbahasa Indonesia
setelah tahun 1928. Penerbitannya dilakukan setiap bulan sekali dengan jumlah
halaman di setiap terbitnya terkadang mencapai 100 halaman.
Para anggota JIB turut serta menjadi kontributor tulisan yang dimuat
majalah ini; seperti Samsurizal, Kasman, Haji Hasyim, Kusban, Sugeng dan
Ramli. Sedangkan H. Agus Salim berperan sebagai penasehat dewan redaksi.
Selain dari dalam JIB, terdapat pula kontributor dari luar JIB, yakni Ahmad
Sarida yang merupakan misionaris Ahmadiyah Lahore, Maulavi Muhammad,
Gambar 4. Sampul (a) dan halaman pertama (b) Majalah al-Nur atau Het Licht
yang diterbitkan oleh JIB
Sumber : (a) Koleksi Kemala Atmojo; dan (b) Hasil digitalisasi Komunitas Jejak Islam
(a) (b)
121
Tjokroaminoto, bahkan Snouck Hurgronje (Husni, 1998). Majalah ini memiliki
motto yang selalu ditampilkan di sampul depan; yakni Q.S. at-Taubah ayat 32
yang terjemahannya:
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-
ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya,
walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (Kemenag RI, 2011).
Selama di JIB, Natsir menujukkan keaktifan dalam menulis meskipun
tidak masuk ke dalam redaksi Het Licht. Natsir yang saat itu juga aktif di
Persatuan Islam, mendapatkan pengaruh kuat dari A. Hassan. Karyanya yang
utama ketika ia aktif di JIB cabang Bandung adalah Muhammad als Profeet
(Mohammad sebagai Nabi) dan Komt tot Het Gebed (Marilah Shalat). Ia juga
banyak menulis mengenai pembelaan terhadap Islam karena saat itu memang
sering terjadi pelecehan terhadap Islam (Husni, 1998). Selain itu, Natsir yang
dipercaya menjadi ketua JIB Cabang Bandung pada 1928 juga menjadi tokoh
penting dalam menggaungkan semangat berIslam karena wawasan yang ia
miliki tentang Islam (Kahin, 2012).7 Oleh karena itu, pada masa kepemimpinan
Wiwoho Purbohadidjojo, tahun 1927, JIB membentuk sebuah badan bernama
Kernlichaam yang secara internal berwenang untuk mengelola berbagai
ceramah, kajian dan kegiatan lainnya yang tujuannya adalah pengkajian Islam
secara lebih mendalam bagi para anggotanya. Natsir adalah salah seorang
penceramah unggulan badan tersebut. Ia memang diakui sebagai pemuda yang
memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan kawan-kawannya karena
7 Sumber lain menyebutkan bahwa jabatan Natsir di JIB Bandung adalah Wakil Ketua dengan masa Jabatan
1929 – 1932. Lihat Lukman Hakiem. 100 tahun Mohammad Natsir : Berdamai dengan sejarah. Jakarta :
Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir.
122
menguasai pengetahuan tentang Islam dan pengetahuan umum secara integral.
Karena keunggulannya ini, Husni (1998) dalam tesisnya menyebut Natsir
sebagai “intelektual ulama” terkemuka yang pernah dihasilkan oleh JIB.
Pernyataan ini serupa dengan yang disampaikan oleh Yudi Latif (2013) dalam
bukunya, bahwa Natsir merupakan “a rising star” dari Persis yang menjadi
tokoh terpenting Kernlichaam JIB. Lewat kader seperti Natsir inilah JIB dapat
mewujudkan fungsi eksternalnya, yakni menjalin hubungan dengan jaringan
gerakan sosio-politik Islam lainnya, sehingga dapat berkontribusi sebagai
organisasi penguat ideologi Islam di masyarakat.
Pada periode ketiganya, yakni tahun 1930 – 1935, JIB mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Saat itu JIB dipimpin oleh Kasman
Singodimedjo. Di akhir tahun 1930 telah didirikan 39 cabang JIB yang tersebar
di seluruh Indonesia. Jumlah itu pun meningkat menjadi 55 cabang pada tahun
1933 dengan jumlah anggota mencapai 4000 orang (Husni, 1998). Namun,
periode ketiga ini juga menjadi masa penuh tantangan bagi JIB. Kasman dan
Natsir yang saat itu juga menjadi anggota Muhammadiyah dan Persis,
menginginkan agar JIB berubah menjadi organisasi sosial seperti
Muhammadiyah yang terlibat aktif dalam pendirian rumah sakit, sekolah dan
panti asuhan. Pada kongresnya ke-7 yang diselenggarakan di Madiun, Kasman
dan Natsir menyuarakan dukungannya terhadap sekolah-sekolah yang telah
dikelola oleh JIB di wilayah Tegal, Semarang dan Surabaya. Usulan ini
mendapat penolakan dari anggota lainnya. Kasman dan Natsir pun terlibat
dalam perdebatan dengan Mohammad Roem yang didukung oleh Joesoef
Wibisono. Roem dan Joesoef Wibisono berada pada pihak yang berseberangan
123
dengan ide Kasman dan Natsir. Akhirnya, kongres menyetujui agar JIB tetap
sesuai dengan tujuan awalnya menjadi pusat untuk mengkaji Islam secara kritis
atau dalam bahasa Belanda disebut “kritische zin” (Husni, 1998).
Perdebatan ini pun terjadi lagi pada Kongres ke-8, namun sesegera
mungkin Samsurizal, Roem dan Kismo mengingatkan Kasman tentang
anggaran dasar organisasi yang menegaskan bahwa JIB adalah tempat untuk
belajar atau pusat studi (studi lichaam). Meskipun terjadi perbedaan pendapat
yang tajam, Natsir, dalam tulisannya yang berjudul “InsyaAllah Roem Tetap
Roem” mengatakan bahwa perdebatan itu adalah sebuah kenangan yang
menakjubkan sebagai seorang kader JIB; JIB menurutnya mampu mendidik
para anggotanya menjadi pemuda-pemuda yang konsisten pada pendiriannya,
tetapi tetap bisa mengapresiasi pandangan orang lain.
Sayangnya, Roem ternyata tidak hanya berseberangan dengan usulan
Kasman dan Natsir mengenai pengubahan arah organisasi, tetapi juga dengan
struktur organisasi Natipij yang menurutnya terlalu banyak campur tangan dari
PB JIB (Husni, 1998). Tidak lama setelah itu, Roem pun memutuskan untuk
keluar dari JIB. Sikap Roem yang kukuh menentang kebijakan PB dianggap
terlalu memecah belah.
Perpecahan itu pun benar terjadi. Roem tidak hanya keluar dari JIB,
tetapi juga mendirikan organisasi lainnya bersama Joesoef Wibisono pada
Desember 1934 yang bernama Studenten Islam Studieclub (SIS) (Latif, 2013).
Menurut Ridwan Saidi (1984) dan Dawam Rahardjo (1993), hal yang
melatarbelakangi pembentukan SIS adalah adanya perkembangan pemahaman
tentang urusan publik di kalangan aktivis JIB yang telah mencapai usia 30
124
tahun atau lebih tua; berdasarkan Anggaran Dasar JIB, usia tersebut telah
melewati batas usia keanggotaan. Menurut Joesoef Wibisono, para anggota
yang telah menjadi mahasiswa dan pemuda yang nerada pada usia tersebut
membutuhkan organisasi baru. Oleh karena itu, pembentukan SIS dapat dilihat
sebagai bentuk sikap ketidak-sepakatan terhadap kebijakan Kasman di JIB,
tetapi juga dapat dilihat sebagai upaya para pendirinya untu menunjukkan
komitmennya terhadap pengkajian Islam secara kritis dengan organisasi baru.
JIB pun semakin melemah pada periode berikutnya, yakni pada
rentang tahun 1936 – 1942. Saat itu JIB dipimpin oleh Muhammad Abu
Arifaini dan Sunaryo Mangunpuspito (Husni, 1998). Sayangnya dua pemimpin
itu tidak menghasilkan perkembangan berarti bagi JIB. Misalnya, Abu Arifaini
hanya mampu mendirikan 1 cabang di Tasikmalaya pada Februari 1936.
Beberapa kemunduran juga terjadi; kongres tidak lagi diselenggarakan setiap
tahun, tetapi hanya dua tahun sekali. Majalah yang menjadi andalan JIB, Het
Licht, tidak lagi diterbitkan secara teratur karena permasalahan keuangan.
Belum lagi tokoh seniornya, H. Agus Salim meninggalkan Yogyakarta untuk
pindah ke Bandung. Walaupun kondisi JIB semakin memburuk, pada periode
tersebut ada satu yang dicapai JIB, yakni masuknya JIB sebagai anggota
Majelis Islam A‟la Indonesia (MIAI). Namun, JIB tidak mendapatkan posisi
yang setara dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang merupakan
anggota utama MIAI sejak didirikan pada tahun 1937.
Meskipun terdapat perselisihan intelektual dan juga melemahnya
suksesi kepemimpinan di dalamnya, JIB tetap menjadi tempat “transisi
strategis” bagi Mohammad Natsir untuk bertemu dengan berbagai tokoh besar
125
bangsa dan kelak menjadi tokoh bangsa. H. Agus Salim yang dekat dengannya
saat menajdi anggota JIB Bandung, menyeimbangkan pengaruh A. Hassan
pada diri Natsir. H. Agus Salim adalah tokoh intelektual reformis Islam
dengan pemikiran yang lebih terbuka dibandingkan A. Hassan yang juga
menjadi mentor Natsir paling berpengaruh. Bahkan, pengaruh H. Agus Salim
sangat terlihat pada kepribadian dan pemikirannya; Natsir menjadi seorang
reformis Islam yang memiliki keaguman pada sisi positif dari budaya barat,
tetapi di sisi lain ia juga menjadi oposisi yang keras terhadap imperialisme dan
kristenisasi barat (Kahin, 2012). Kebesarannya kelak sebagai pemimpin bangsa
juga diawalinya dengan sahabat-shabatnya yang selalu bersama dalam
“polemik inetelektual” dan juga perjuangan menentang pernjajahan serta
mendirikan sekaligus mengoperasikan berbagai lembaga; misalnya Mohammad
Roem yang menjadi sahabat politiknya dalam Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) dan Masyumi, Kasman Singoeimedjo dalam Majelis Konstitunte,
Sjafruddin Prawiranegara dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI), dan Prawoto Mangkusasmito dalam Masyumi dan DDII.
Hal menarik lainnya adalah pertemuan Natsir dengan Ummi Nur
Nahar di JIB. Seorang istri yang sangat dicintai dan menjadi satu-satunya
sepanjang hidup Natsir meskipun ia menjadi pembela poligami saat salah satu
hal yang diperbolehkan dalam Islam itu dihina oleh para golongan nasionalis
termasuk Soekarno. Faktanya, Soekarno yang termasuk dalam golongan
nasionalis yang menghina poligami, justru memiliki istri lebih dari satu.8
Begitulah Natsir yang teguh membela agamanya dan bijak dalam bersikap
8 Ramlan Mardjoned, Wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018
126
karena cinta yang murni. Jika dalam sejarah kebudayaan Islam selalu
dikisahkan bahwa Jabal Rahmah yang menjadi tempat pertemuan bapak dan
ibu manusia, Adam dan Hawa (alaihimussalam), merupakan tempat
monumental bagi peradaban manusia yang hingga saat ini selalu dikunjungi
oleh umat Muslim saat ibadah haji, maka dalam sejarah kebudayaan Islam
Indonesia, JIB yang menjadi tempat pertemuan Mohammad Natsir dan Ummi
Nur Nahar merupakan organisasi pemuda monumental yang menyatukan
seluruh pemuda Indonesia berdasarkan Islam (bukan kedaerahan) dan hingga
saat ini “ruhnya” masih ada di berbagai pergerakan pemuda berbasis Islam.
Fakta sejarah ini menunjukkan pelajaran yang sangat luar biasa; orang-orang
istimewa akan dipertemukan dengan orang-orang istimewa lainnya di tempat
yang istimewa. Pelajaran ini bisa menjadi refleksi bagi Q.S. An-Nur ayat 26:
Terjemahan: “para perempuan yang baik untuk para laki-laki yang baik, dan para laki-laki
yang baik untuk para perempuan yang baik”. (Kemenag RI, 2011).
Selain itu, JIB merupakan “pembuka jalan” atau bisa juga disebut “bijih
emas” bagi berbagai pergerakan dan organisasi Islam di masa mendatang yang
memiliki kesamaan dalam motivasi pembentukan dan cita-cita perjuangannya;
seperti Studenten Islamic Studie Club Partai Islam Indonesia, Masyumi,
Himpunan Mahasiswa Islam, Pelajar Islam Indonesia, Persatuan Sarjana
Muslim Indonesia dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (Abdurrahman,
1999). Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya hingga memasuki reformasi,
para pewaris “ruh” JIB, misalnya Masyumi dan HMI, memiliki peran penting
bagi munculnya gerakan tarbiyah melalui kegiatan dakwah kampus yang
127
kemudian melahirkan Lembaga Dakwah Kampus, kemudian disatukan dalam
Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) yang selanjutnya
melahirkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan juga
Partai Keadilan (PK) yang berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) (Eriadi, 2007).
4.2.2 Mengasuh Pemuda dan Aktivis Kesayangan
Salah satu ciri khas Natsir adalah kecintaannya pada pemuda yang
ditunjukkan dengan pemberian perhatian dan didikan melalui pengkaderan.
Kebesaran Natsir tidak menjadi penghalang bagi para pemuda untuk
mengambil pelajaran dan keteladanan darinya. Pengalamannya menjadi
pemuda yang aktif dan bertemu banyak tokoh yang mendidik dan
menyayominya, membentuk kearifannya di masa tua dalam bersikap terhadap
pemuda. Ia tidak hanya membuka kesempatan para pemuda untuk berdialog,
tetapi juga bersedia menjadi pendengar keluh kesah para pemuda.9
Natsir memiliki hubungan yang kuat dengan pergerakan-pergerakan
pemuda Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), dan Gerakan Pemuda Islam Indonesisa (GPII). Hubungan yang
kuat itu terjalin (salah satunya) melalui Partai Masyumi yang merupakan
“rumah besar” umat Islam saat itu. Ketua Dewan Da‟wah periode XI (2015-
2020), Mohammad Siddik mengatakan bahwa pernah ada sumpah akan ada
satu partai Islam yaitu Masyumi, satu organisasi mahasiswa Islam yaitu HMI.10
Bergitu juga dengan kebangkitan gerakan pemuda Islam lainnya, GPII dan PII
9 Ibid.
10 Mohammad Siddik, wawancara pada Selasa, 27 Februari 2018.
128
yang terbentuk pada rentang waktu yang tidak lama; GPII pada 2 Oktober
1945, HMI pada 5 Februari 1947, dan PII pada 4 Mei 1947 (Pengurus Pusat
GPII, tt., Pengurus Besar HMI, tt., dan Pengurus Besar PII, tt.). Kebangkitan
gerakan pemuda dan pelajar Islam ini merupakan salah satu respon terhadap
upaya Belanda dan Jepang yang hendak merebut Indonesia kembali
(Suryanegara, 2016, Hakiem, 2017 a).
Selanjutnya, pergerakan-pergerakan pemuda dan pelajar Islam ini
diperkuat oleh kebijakan Natsir saat menjabat sebagai Perdana Menteri yang
memerintahkan Menteri Agama K.H. Wachid Hasyim dan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Prof. Bahder Djohan untuk mengeluarkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) 2 Menteri (Hakiem, 1995). SKB 2 Menteri ini berisikan
kebijakan untuk memasukkan pendidikan agama di sekolah umum dan
memperkaya pengetahuan umum di pesantren (Hakiem, 1995; Basri dalam
Hakiem, 2008 b).
Natsir memang tidak termasuk tokoh yang mendirikan pergerakan-
pergerakan tersebut secara legal-formal, tetapi ia merupakan tokoh penting
dalam pembangunan diri para kadernya melalui kedekatan secara personal
dengan beberapa pemuda dari pergerakan-pergerakan tersebut. Misalnya
beberapa pemuda aktivis PII seperti Hussein Umar yang kelak menjadi Ketua
Dewan Da‟wah tahun 2005 – 2007, Ahmad Djuani, Husni Thamrin, dan
bahkan tokoh pendiri PII yang dikenal sebagai salah seorang pelopor
pendidikan Islam di Indonesia, Anton Timur Djaelani.11
11
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
129
Ramlan Mardjoned yang menjadi sekretaris pribadi Natsir selama
hampir 27 tahun juga merupakan aktivis PII yang mendapatkan banyak
pelajaran dari Natsir. Kedekatan Ramlan dengan Natsir bukan lagi sebatas pada
kedekatan profesional, melainkan kedekatan personal.12
Ramlan merupakan
salah seorang aktivis PII yang sangat beruntung karena pernah memiliki
kesempatan menjadi sekretaris pribadi dua mantan Ketua Umum Masyumi;
tidak hanya Natsir, tetapi juga Prawoto Mangkusasmito. Ramlan masih ingat
jelas tentang bagaimana ia bisa menjadi sekretaris pribadi tokoh utama
penyatuan RI menjadi NKRI tersebut. Awalnya, Ramlan menjadi sekretaris
pribadi Prawoto dengan jadwal kerja setiap hari Selasa dan Kamis. Pada suatu
kesempatan saat Natsir berkunjung ke rumah Prawoto, Natsir menanyakan
tentang hari kerja Ramlan kepada Prawoto. Begitu mengetahuinya, Natsir pun
langsung mengajak Ramlan bekerja dengannya selain hari Selasa dan Kamis.
Ramlan mengenang kedua tokoh panutannya tersebut dengan
mengingat ciri khas keduanya dalam memimpin. Salah satunya dalam
pengelolaan waktu, dua tokoh besar yang sama-sama santun tersebut memiliki
keunikan tersendiri. Saat bekerja dengan Prawoto, Ramlan harus hadir di
rumah Prawoto sebelum pukul 8 pagi dan pulang sesudah sholat dzuhur dan
makan. Sedangkan saat dengan Natsir, Ramlan sudah mulai bekerja pada pukul
6 pagi dan sering kali pulang pada pukul 10 atau 11 malam. Intensitas
pertemuan yang sering inilah yang menciptakan kedekatan personal dirinya
dengan Natsir. Ia tidak hanya dipercaya mengetik ulang catatan atau menulis
pemikiran Natsir, tetapi juga memijat saat Natsir sedang kelelahan, baik saat di
12
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018; Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6
Maret 2018.
130
kantor maupun dalam perjanalan. Ia pun sering makan bersama dengan Natsir
beserta Ummi. Ramlan memberikan kesaksian bahwa Natsir bukan orang yang
“rewel” dalam makan; ia selalu berkenan untuk memakan apapun yang ada.
Meskipun begitu, Natsir tetap memiliki makanan kesukaan, yaitu nasi padang.
Selama bekerja dengan Natsir, Ramlan tidak hanya mendapatkan upah
berupa materi sebagai hasil jerih payahnya, tetapi juga berbagai pelajaran dan
keteladanan yang jauh lebih berharga. Pelajaran dan keteladanan itu diberikan
Natsir dengan berlandaskan pada Al-Quran. Petuah Natsir berlandaskan Al-
Quran yang ia selalu ingat adalah mengenai perjuangan dengan sungguh-
sungguh (jihad) seperti pesan dalam Q.S. al-„Ankabut ayat 69. Ramlan pun
berkisah dengan mengutip pernyataan Natsir:
“Ramlan itu kalau dia menemukan kesukaran dalam tugasnya, dia membuat solusi
di jalannya”. Itu tadi, “walladzinajahadu fiina lanahdiyannahum subulana”. Jadi
saya mengangkat pesan Pak Natsir tentang ayat itu. Kalau ingin Tuhan bersama
kita, ya kita bekerja. Saya dengan apa yang saya alami sekarang, saya tidak pernah
menyesal terhadap apa yang saya kerjakan sungguh-sungguh dulu. Ya tadi itu, saya
bekerja sungguh-sungguh untuk Pak Natsir”.13
Petuah Natsir lainnya yang ia ingat selalu adalah upaya menjadi umat terbaik
dengan berdakwah seperti pesan dalam Q.S. Ali-Imran ayat 110. Ramlan
mengisahkan:
“Jadi dia jelaskan dulu apa itu “kuntum khoiro ummah”, bukan umat yang yang
ditengah jalan dipinggirkan orang nggak dipakai. Menjadi ummat yang baik itu
apa?, “Ukhrijat linnas”, kamu ditampilkan di tengah-tengah bumi ini. “Ukhrijat
linnas” itu biasanya diterjemahkan “kamu dikeluarkan di tengah-tengah manusia”.
Tapi Pak Natsir menerjemahkannya “kamu ditampilkan”, aktif, bergerak. Apa tugas
kamu tampil di tengah-tengah umat manusia ini? “ta‟muruna bil ma‟ruf wa
tanhauna anil munkar”.14
13
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018. 14
Ibid.
131
Aktivis PII lainnya yang juga merupakan kader Natsir adalah
Mohammad Siddik yang merupakan Ketua Umum Dewan Da‟wah periode XI
(2015-2020). Ia adalah Sekretaris Jenderal PII pasca pemberontakan Partai
Komunis Indonesia pada 30 September 1965 (G30S/PKI) dan pernah terpilih
menjadi Sekretari Jenderal Komite Pemuda Indonesia (KPI) pada tahun 1966
(Hakiem, 2017 b).15
Saat menduduki posisi Sekjen KPI ini Siddik aktif
memperjuangkan KPI untuk bisa masuk kembali menjadi anggota World
Assembly of Youth (WAY) yang sebelumnya memiliki permasalahan
keanggotaan karena adanya intervensi pemerintahan orba.16
Siddik adalah kader Natsir yang sangat beruntung karena ia
mendapatkan banyak kesempatan untuk pergi ke berbagai forum tingkat
internasional. Kiprahnya menjadi Direktur Islamic Development Bank (IDB)
15
Komite Pemuda Indonesia (KPI) merupakan organisasi yang menghimpun 17 organisasi pemuda pelajar
yang berhaluan anti komunis. Pada kisaran tahun 1971, saat pelaksanaan pemilu pertama di zaman orde baru,
pemerintah membutuhkan dukungan organisasi kepemudaan. Setelah Pemilu tahun 1971, KPI diintrvensi
pemerintah dan kemudian berubah menjadi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). (Mohammad Siddik,
wawancara pada Selasa 27 Februari 2018). 16
World Assembly of Youth (WAY) merupakan perhimpunan organisasi pemuda tingkat internasional yang
berhauan anti komunis. Lawannya adalah World Federation of Democratic Youth. (Mohammad Siddik,
wawancara pada Selasa 27 Februari 2018).
Gambar 5. Ramlan Mardjoned mendampingi Natsir pada Peresmian Masjid Al-Furqan
Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin
Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
132
wilayah Asia Pasifik tidak terlepas dari peranan Natsir.17
Sebelum menempati
posisi itu, Siddik berkesempatan menghadiri forum-forum dunia seperti
peringatan 25 tahun PBB pada tahun ‟70-an. Ia juga salah seorang inisiator
pendirian World Assembly of Moslem Youth (WAMY) bersama pemuda-
pemuda muslim dari berbagai negara yang berafiliasi kepada WAY, salah
satunya adalah Anwar Ibrahim yang pernah menjadi Ketua Angkatan Belia
Islam Malaysia (ABIM) (Hakiem, 2017 b).
Siddik memberikan kesaksiannya bahwa Natsir merupakan seorang
tokoh besar Islam yang berusaha mengimplementasikan al Islamu ya‟lu wa laa
yu‟la „alaih (Islam itu tinggi dan tidak ada yang menandingi tingginya Islam).18
Menurutnya, pendirian Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia adalah strategi
Natsir untuk tetap bisa menerapkan prinsip tersebut, sebuah keyakinan Natsir
yang sangat kuat tentang superioritas Islam. Keyakinan itu yang menjadi
sumber motivasi baginya untuk membina umat dengan menjaga ke-Islamannya
-- menjaga aqidah-nya.19
Aktivis PII lainnya yang merupakan kader Natsir adalah M. Natsir
Zubaidi. Ayahnya adalah seorang Ketua Partai Masyumi di sebuah Kecamatan
di Klaten. Ia pernah dipercaya menjadi Ketua PII cabang Solo pada tahun
1968. Kiprahnya di PII semakin menanjak ketika ia dipercaya menjadi Ketua
Pengkaderan PII Daerah Jawa Tengah. Saat di PII ini, ia juga mulai akrab
dengan Ramlan Mardjoned. Ramlan lah yang menawarkannya bekerja di
Majalah Suara Masjid yang kemudian ia terima hingga ia menjadi Ketua
17
Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018. 18
Mohammad Siddik, wawancara pada Selasa, 27 Februari 2018. 19
Ibid.
133
Penyunting/Penanggungjawab majalah tersebut.20
Melalui perannya di Suara
Masjid inilah Natsir Zubaidi mulai berhubungan intensif dengan Natsir;
tepatnya sejak tahun 1975 hingga Natsir wafat. Selain itu, Natsir juga pernah
bekerja di Majalah Kiblat. Salah satu tugas yang masih ia ingat adalah
peliputan Muktamar Media Massa Islam se-Dunia tahun 1980.
Sebelumnya, Natsir Zubaidi sudah pernah bertemu Natsir saat ia
masih menjadi Ketua PII cabang Solo. Saat itu Natsir berkunjung ke Solo;
Natsir Zubaidi tidak hanya berkesempatan mendengarkan pisato Natsir, tetapi
juga membaca puisi di hadapan Natsir secara langsung. Ia mengakui bahwa
dirinya sangat bersyukur bisa bertemu dengan Natsir, seorang tokoh yang
menurutnya penuh dengan keteladanan. Nama besarnya tidak hanya terkenang
di dalam negeri, tetapi juga di dunia. Hal itu ia saksikan langsung ketika pergi
ke Amerika Serikat menjadi delegasi komunitas Islam untuk sebuah pertemuan
internasional; saat itu ia masih menjadi aktivis PII. Seorang pengurus Islamic
20
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Minggu, 11 Maret 2018.
Gambar 6. Natsir bersama Para Aktivis PII Wilayah Sumatera Barat
Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin Abdul
Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
134
Centre New York menanyakan tentang kabar Natsir. Kisahnya ini
menunjukkan bahwa Natsir bukan tokoh Islam yang biasa.
Natsir juga memiliki hubungan dekat dengan beberapa aktivis GPII.
Misalnya Soemarso Soemarsono yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi
Harian Abadi milik Partai Masyumi. Melalui perannya sebagai pimred inilah
Soemarso menjalin hubungan dengan Natsir. Ia merupakan seorang pemikir
ulung yang berkontribusi dalam penulisan pidato Natsir untuk Festival Islam
se-Dunia yang dilaksanakan di London pada awal bulan April 1976.21
Selain
itu, Natsir juga memiliki kedekatan dengan Anwar Harjono yang merupakan
sahabat perjuangannya di Partai Masyumi dan juga Dewan Da‟wah. Bahkan
Anwar Harjono juga menjadi ketua umum Dewan Da‟wah setelah Natsir wafat.
Ia menempuh pendidikan tingginya di Sekolah Tinggi Islam setelah
sebelumnya menjadi santri di pondok pesantren ternama yang dibesarkan oeh
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yakni Pondok Pesantren Tebu Ireng di
Jombang, Jawa Timur. Prof. Abu Bakar Atjeh (dalam Suryanegara, 2016) yang
merupakan seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas
Islam Indonesia) memberikan kesaksian bahwa Anwar Harjono lah yang
memiliki inisiatif untuk membentuk GPII bersama beberapa kawannya yang
aktif berjuang dengan menggunakan Balai Moeslimin Indonesia (BMI) sebagai
basisnya. BMI yang terletak di Jalan Kramat Raya Nomor 19 Jakarta itu
menjadi tempat dideklarasikannya pendirian GPII pada tanggal 2 Oktober 1945
atau 26 Syawal 1364 H. Ketua umum pertamanya adalah Harsono
21
Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.
135
Gambar 7. Natsir memberikan sambutan
pada peluncuran buku “Da‟wah dan
Masalah Sosial Kemasyarakatan” karya
Anwar Harjono
Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim
al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin
Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah
Islamiyah Indonesia Pusat.
Gambar 8. Natsir berfoto bersama Anwar
Harjono
Sumber : Suryanegara (2016)
Tjokroaminoto, dan Anwar Harjono dipercaya menjadi sekretaris umumnya
(Suryanegara, 2016).
Aktivis GPII lainnya adalah Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Ba‟asyir yang keduanya pernah menjadi pimpinan GPII dan bersama-sama
mendirikan Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (RADIS) (Kahin, 2012). Pada
tahun 1970, Sungkar ditunjuk oleh Natsir untuk memimpin Dewan Da‟wah
cabang Surakarta dan mendorongnya membangun sebuah pesantren. Pesantren
itu bernama Pesantren Al-Mukmin atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Pondok Pesantren Ngruki (Kahin, 2012). Kedua tokoh Pondok Pesantren
Ngruki yang mendapatkan pengaruh kuat pemikiran Ikhwanul Muslimin ini
sangat bersebrangan dengan Rezim Orde Baru yang mereka sebut “anti-Islam”
(Kahin, 2012).
136
Selain aktivis PII dan GPII, Natsir juga memiliki beberapa kader di
HMI. Misalnya Yusril Ihza Mahendra yang menjabat sebagai Ketua Umum
Partai Bulan Bintang (PBB) periode 2015 - 2020 (Partai Bulan Bintang, tt.).
Jika Ramlan Mardjoned memiliki kedekatan personal dengan Natsir, maka
Yusril Ihza Mahendra memiliki kedekatan intelektual dengan Natsir. 22
Ia
merupakan salah seorang pemuda yang beruntung karena berkesempatan
menjadi asisten tiga tokoh Dewan Da‟wah; yakni Mohammad Natsir, H.M.
Rasjidi, dan Osman Raliby.23
Sejak tahun 1979 Yusril sudah menjalin
hubungan dekat dengan Natsir; tepatnya melalui Lembaga Islam untuk
Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LIPPM) yang juga didirikan oleh
Natsir. Yusril merupakan salah satu staff di LIPPM yang sering ditugaskan
untuk menyiapkan tulisan-tulisan Natsir; mulai dari bahan-bahannya hingga
terkadang juga menyiapkan konsep (draft) tulisannya.24
22
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018. 23
Ibid. 24
Ibid.
Gambar 9. Natsir memberikan penghormatan kepada Barisan Penghoratan GPII Bandung di
halaman Markas Partai Masyumi Jawa Barat, GPII sekaligus Kantor Redaksi Madjalah
Boelanan Aliran Islam yang terletak di Jl. Pungkur 73 Bandung (sekarang Kantor Dewan
Da‟wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Partai Bulan Bintang (PBB) Jawa Barat)
Sumber : Suryanegara (2016)
137
Gambar 10. Atas dari kiri : Hussein Umar, Natsir Zubaidi, dan Yusril Ihza Mahendra;
bawah dari kiri : K.H. Sholeh Iskandar dan Yunan Nasution pada acara peluncuran buku
“Da‟wah dan Masalah Sosial Kemasyarakatan” karya Dr. Anwar Harjono
Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin
Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
Tokoh terkemuka HMI lainnya yang juga merupakan kader Natsir
adalah Nurcholis Madjid yang inisial namanya (NM) dialihkan
kepanjangannya menjadi sebuah julukan “Natsir Muda” karena potensi
intelektual dan juga ilmu agamanya yang diperoleh dari Pondok Pesantren
Darussalam Gontor.25
Ada juga Amien Rais yang menjadi tokoh reformasi
serta mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus menjadi Ketua
Dewan Pertimbangan partai tersebut. Jimly Asshiddiqie yang merupakan
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI juga merupakan aktivis HMI yang
dekat dengan Natsir.26
Jimly juga pernah aktif di Badan Komunikasi Pemuda
Remaja Masjid Indonesia dan sering berkonsultasi dengan Natsir. Saat ini,
Jimly mendapatkan amanah sebagai Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI), sebuah organisasi yang menghimpun para cendekiawan
muslim di Indonesia yang pendiriannya juga melibatkan ide-ide Natsir. Aktivis
25
Alam, wawancara pada Minggu, 11 Maret 2018. 26
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
138
HMI lainnya adalah Lukman Hakiem yang pertama kali bertemu dengan Natsir
saat ia menjadi Ketua HMI Cabang Yogyakarta tahun 1983-1984. Ia baru
berinteraksi secara intensif dengan Natsir pada tahun 1989 saat ia diminta
bergabung dengan Dewan Da‟wah.27
Ia pun dipercaya menjadi Redaktur
Pelaksana Majalah Kiblat pada tahun 1985-1988 serta Redaktur Majalah Media
Dakwah sejak tahun 1989 -1997 (Hakiem, 2017 a).
Selain nama-nama tersebut, terdapat seorang aktivis HMI lainnya
yang memplopori Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di Indonesia; yakni
Imaduddin Abdurrahim atau yang sering disapa Bang Imad. Ia merupakan
alumni program Pengkaderan Perhimpunan Haji Indonesia (PHI). Disebut
sebagai pengkaderan PHI karena pelaksanaannya dilakukan di gedung PHI
yang terletak di Kwitang, Jakarta Pusat. Pengkaderan PHI ini berkaitan dengan
konsep pendidikan integral Natsir yang memadukan dan menginternalisasi
pendidikan agama Islam di institusi-institusi pendidikan umum seperti
universitas yang sekuler.
Bang Imad yang ayahnya, Abdulrahim Abdullah, seorang ketua Partai
Masyumi Langkat dan Panglima Hizbullah telah mendapatkan bekal
pengetahuan agama sejak dari kecil. Ia memiliki hubungan yang akrab
dengan tokoh-tokoh Masyumi dan terinspirasi oleh pemikiran para tokohnya
bukan hanya karena ayahnya seorang petinggi Masyumi di Langkat, tetapi
juga karena ia tergabung dalam laskar Hizbullah pada tahun 1946 saat ia
masih berusia 15 tahun (Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002).
27
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018.
139
Interaksi Bang Imad dengan tokoh-tokoh Masyumi menjadi semakin
intensif sejak ia menjadi mahasiswa ITB pada tahun 1953. Kedekatannya
yang utama adalah dengan Natsir. Natsir yang sangat memahami kemampuan
Bang Imad, selalu mengandalkannya dalam berbagai tugas; bukan hanya
karena Bang Imad adalah pengurus Dewan Da‟wah, tetapi juga kedekatannya
yang sangat personal. Natsir pun mendorong Bang Imad untuk aktif di
berbagai forum internasional seperti Muslim Student Association for US and
Canada (MSA), International Islamic Federation of Student Otdanizations
(IIFSO), dan World Assembly of Youth (WAMY). Natsir juga
menghubungkan Bang Imad dengan berbagai tokoh Islam dunia seperti Abul
A‟la al-Maududi yang merupakan pemimpin Jama‟at al-Islamy di Pakistan,
Inamullah Khan yang merupakan Sekjen Muktamar „Alam Islamy, serta Mufti
Palestina (Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002).
Kedekatan Bang Imad dengan Natsir ini membuat kegiatan dakwah di
Masjid Salman ITB semakin lancar. Mulai dari mendirikan Masjid Salman,
mendatangkan Natsir untuk berceramah dalam Kuliah Mnggu Pagi, hingga
berdiskusi bersama Natsir secara lebih mendalam bersama para pemuda
lainnya di rumah A.M. Luthfi (Luthfi dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana,
dan Mustofa, 2002). Natsir juga yang memberikan rekomendasi agar Bang
Imad memeroleh bantuan Kerajaan Arab Saudi dalam melanjutkan studi S3-
nya di Amerika Serikat (Ahmadsumadi dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana,
dan Mustofa, 2002). Kedekatannya dengan Natsir ini menjadi alasan bagi
penyebutan dirinya sebagai “anak kesayangan Natsir”.
140
Setelah lulus dari S3 inilah Bang Imad menjadi dosen agama Islam di
ITB dan kemudian mengikuti pengkaderan PHI dan melanjutkannya dengan
membuat LMD pada tahun 1974. Rahmat (dalam Eriadi, 2007) menyatakan
bahwa LMD ini tidak hanya menjadi kelanjutan dari Program Pengkaderan
PHI, tetapi juga merupakan produk terpenting program Bina Masjid kampus
yang menjadi model percontohan dari program serupa yang kemudian
bermunculan di masjid-masjid kampus di Indonesia. Oleh karena itu, LMD
sering disebut sebagai cikal-bakal pergerakan dakwah kampus yang
berkembang menjadi pergerakan Tarbiyah (Eriadi, 2007).
4.3 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Politik
4.3.1 Masyumi : Sarana Dakwah dalam Bidang Politik
Secara institusional, karir politik Natsir dimulai saat ia menjadi anggota
Partai Islam Indonesia (PII) sejak tahun 1938. PII didirikan pada bulan
Desember 1938 oleh Soekiman Wirjosandjojo (Suryanegara, 2016). Ketua
pertama PII, Wiwoho Purbohadidjojo, merupakan teman Natsir saat aktif di
JIB. Jaringan ini yang kemudian menjadi modal Natsir untuk dipercaya
menjadi Ketua PII cabang Bandung; apalagi ia pernah menjadi Ketua JIB
cabang Bandung (Kahin, 2012).
Pembentukan partai ini berkaitan dengan konflik yang terjadi di dalam
Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) hingga berujung pada pembentukan
Majelis Islam A‟la Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937 di Surabaya
oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama seperti K.H. Ahmad
Dachlan, K.H. Hasjim Asj‟ari, K.H. Mas Masykur, dan K.H. Abdul Wahab
Chasbullah dengan diketuai oleh putra K.H. Hasjim Asj‟ari, yakni K.H.
141
Abdul Wahid Hasjim (Kahin, 2012; Artawijaya, 2014; Suryanegara, 2016).28
MIAI menjadi sarana persatuan bagi organisasi-organisasi Islam; tidak hanya
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama‟, tetapi juga Partai Sarekat Islam
Indonesia, Persatuan Islam (Persis), Jong Islamieten Bond (JIB), Partai Islam
Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia (PAI), Persatuan Ulama Seluruh Aceh
(PUSA), Musyawarah Al-Tholibin (Kalimantan), Nurul Islam (Bangka
Belitung), Majelis Ulama Indonesia (Toli-Toli, Sulawesi), Persatuan
Muslimin Minahasa, Persatuan Putra Borneo (Surabaya), Al-Islam
(Surakarta), Al-Irsyad (Surabaya), Al-Khairiyah (Surabaya), Al-Ittihadul
Islamiyah (Sukabumi), Al-Jami‟atul Washliyah, Persyarikatan Ulama
(Majalengka), dan Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi) (Artawijaya, 2014).
28
Awal konflik PSII sudah terlihat sejak partai ini masih berbentuk ormas bernama Sarekat Islam
(SI). Perpecahan SI mulai terlihat jelas sejak pengeluaran komunis pada tahun 1921 dan keluarnya
Muhammadiyah pada tahun 1927. Perpecahan ini berlanjut hingga SI berganti nama menjadi PSII
pada tahun 1930 dan wafatnya H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1933. PSII semakin terpecah
dengan adanya dua kubu di dalam internal partai; yakni kubu Abikoesno Tjokrosoejoso yang
mendukung kebijakan hijrah PSII dan kubu Haji Agus Salim yang menolak kebijakan itu. Hijrah
merupakan kebijakan partai untuk tidak berkooperasi atau nonkooperatif terhadap pemerintah
kolonial Belanda yang sudah menjadi kebijakan partai sejak awal tahun 1920-an. Pada tahun 1935,
Haji Agus Salim menolak kebijakan itu dan menyerukan agar PSII bersatu dengan gerakan
nasional lainnya. Selanjutnya, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo yang ditunjuk menjadi wakil
Abikoesno diperintahkan untuk membuat pamflet yang berisi justifikasi untuk melanjutkan hijrah.
Kartosuwirjo mempublikasikan pamflet yang terdiri dari dua bagian pada November 1936 yang
berjudul “Sikap Hijrah Partai Sarekat Islam”. Pamflet ini didistribusikan ke anggota-anggota
partai. Haji Agus Salim pun dikeluarkan dari partai pada awal 1937 karena penentangannya
terhadap pamflet itu. Haji Agus Salim bersama pengikutnya kemudian membentuk Badan
Penyadar PSII. Selanjutnya pada tahun 1939, giliran Kartosuwirjo yang didepak dari PSII. Ini
disebabkan karena kekukuhan Kartowurjo pada hijrah, sedangkan Abikoesno memilih mengikuti
jejak Haji Agus Salim yang bergabung dengan gerakan nasional lainnya dalam GAPI (Gabungan
Politik Indonesia). Pada tahun yang sama, yakni 1939, Kartosuwirjo membentuk Komite Pembela
Kebenaran PSII (KPK-PSII) yang disebut sebagai “PSII sesungguhya” yang berbasis di Jawa
Barat. Pertikaian inilah yang membuat prihatin tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama‟
untuk menyatukan umat Islam yang kemudian berujung pada lahirnya MIAI. Usaha lebih lanjut
ditempuh oleh golongan reformis Islam melalui pembentukan Partai Islam Indonesia pada
Desember 1938 dengan Wiwoho Purbohadidjojo, mantan Ketua Umum JIB, sebagai Ketuanya.
Lihat Audrey Kahin. Islam, Nationalism, and Democracy : Political biography of Mohammad
Natsir. Singapura : National University of Singapore Press.
142
Salah satu dari lima tujuan MIAI, yakni mengadakan Kongres
Muslimin Indonesia (KMI) menjadi pertautan sejarah bagi terbentuknya
Partai Masyumi pada delapan tahun berikutnya melalui realisasi tujuan itu
dalam bentuk Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta (Artawijaya,
2014).
Beberapa masa berikutnya, MIAI menjadi alat Jepang untuk menarik
simpati umat Islam Indonesia melalui pengukuhuannya kembali pada 13 Juli
1942 dengan W. Wondoamiseno sebagai ketuanya (Kahin, 2012;
Suryanegara, 2016). Namun, hal itu hanya bertahan selama lima belas bulan
karena pada bulan Oktober 1943 Jepang membubarkan MIAI. Jepang merasa
khawatir terhadap MIAI karena organisasi ini didominasi oleh anggota PSII
yang radikal dan sentimen anti-Belanda yang tertanam kuat di MIAI
ditakutkan berkembang menjadi sentimen anti orang asing. Hanya
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang dilegalkan oleh Jepang karena
dianggap lebih moderat dan kurang bernuansa politik (Kahin, 2012).
Gambar 11. Gedung MIAI yang terletak di Jalan Imamura Nomor 1 (sekarang
Gedung Galeri Seni Kunstkring, Jalan Teuku Umar Nomor 1 Jakarta Pusat)
Sumber : Suryanegara (2016)
143
Setelah itu, pada bulan November 1943, Jepang merestui pembentukan
Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai badan koordinasi
perihal keagamaan yang bersifat non-politis, dan hampir satu-satunya
tujuannya adalah mendukung Jepang di peperangan (Kahin, 2012). Para
tokoh agama diberikan peran yang menonjol dalam administrasi dengan
membuat Departemen Urusan Agama/Departemen Agama di pemerintahan
pusat dan Biro Urusan Agama di setiap residen. Namun, perlakuan baik ini
dimaksudkan untuk menarik simpati umat Islam Indonesia untuk mendukung
Jepang. Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkannya, Jepang menutup
seluruh sekolah swasta, termasuk Pendidikan Islam (Pendis) milik Natsir.
Orientasi Masyumi yang disponsori Jepang cenderung mengikuti intensi
kolonialisme-imperialisme yang disembunyikan Jepang secara rapi melalui
berbagai janjinya terhadap bangsa Indonesia, terutama umat Islam.
Jejak Masyumi yang dibentuk sebagai sebuah ormas pada zaman
pendudukan Jepang menemui babak baru pada pasca proklamasi
kemerdekaan, tepatnya saat realisasi salah satu tujuan MIAI untuk
melaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia pada 7 – 8 November 1945 atau
1 – 2 Dzulhijjah 1364 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta
(Artawijaya, 2014). Kongres Umat Islam Indonesia ini merupakan peristiwa
bersejarah dan merupakan momentum persatuan umat yang belum pernah
terjadi sebelumnya; ulama, tokoh-tokoh umat Islam, pimpinan-pimpinan
institusi pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan madrasah berkumpul
melakukan musyawarah dengan dilandasi semangat jihad membela Islam dan
144
juga tanah air. Suasana kongres tersebut diberitakan oleh harian Kedaoelatan
Rakjat dengan kalimat yang menggugah semangat perjuangan,
Kongres tersebut memang berbeda dengan 12 Kongres Al-Islam yang
dilaksanakan dalam rentang waktu 1921 – 1941 (Artawijaya, 2014). Kongres
ini berhasil mencapai mufakat tentang pembentukan wadah perjuangan
politik umat Islam yang disepakati bernama Partai Politik Islam Indonesia
Masyumi atau Partai Masyumi. Nama Masyumi ini dipilih berdasarkan
pertimbangan peserta kongres mengenai nama Masyumi di zaman Jepang
Gambar 12. Gedung Madrasah Muallimin Muhammadiyah pada masa pergerakan (a,b)
dan sekarang (c) di Jalan Letjen S. Parman Nomor 68 Yogyakarta.
Sumber : Laman Resmi Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, dapat diakses
melalui http://muallimin.sch.id/sejarah/
a b
c
145
yang sudah dikenal luas. Namun, Partai Masyumi ini sama sekali tidak
berkaitan dengan Masyumi yang ada sebelumnya.29
Nama Partai Masyumi
bukanlah singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia sebagaimana yang
dikenal pada pendudukan Jepang dengan status sebagai organisasi
masyarakat.30
Natsir memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan
kongres ini, yaitu sebagai Ketua Panitia Inti dengan dibantu beberapa tokoh
lainnya seperti Abikoesno Tjokrosoejoso, K.H. Abdul Wahid Hasjim, Solikin
Wirjosendjojo, Wali Al-Fattah, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku
Alam VIII dan Abdul Gaffar Ismail (Artawijaya, 2014).
Keanggotaan Partai Masyumi terdiri dari anggota perseorangan dan
anggota istimewa. Anggota istimewa Partai Masyumi merupakan ormas-
ormas Islam pendukung Masyumi yang meliputi Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama, Persis, PSII, Jami‟iyatul Washliyah, Mathlaul Anwar, Nahdlatul
Wathan, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) (Luth, 1999).
Adapun susunan pengurus Partai Mayumi pada periode pertama
sebagaimana berikut.
Majelis
Syuro
K.H. Hasyim Asy‟ari (Ketua; NU)
Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I; Muhammadiyah)
K.H. Abdul Wahid Hasyim (Ketua Muda II; NU)
Kasman Singodimedjo (Ketua Muda III; Muhammadiyah)
Anggota
Syaikh Djamil Jambek (Tokoh Islam Sumatera Barat), K.H. Abdul
29
Artawijaya, wawancara pada Kamis, 8 Maret 2018. 30
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
146
Wachab (NU), H. Agus Salim, RHM Adnan (Persatuan Penghulu
dan Pegawai), K.H. Sanusi (Persatuan Umat Islam)
Pengurus
Besar
Dr. Soekiman Wirjosandjojo (Ketua; PSII)
Abikoesno Tjokrosoejoso (Ketua Muda I dan Wakil di Jakarta;
PSII)
Wali Al-Fatah (Ketua Muda II; PII)
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (Sekretaris I; PSII)
Prawoto Mangkusasmito (Sekretaris II; Muhammadiyah)
Badan Keuangan
R.A. Kasmat (Ketua), R. Prawirojoewono (Anggota), H. Abdullah
B.K.N. (Anggota)
Badan Penerangan
Gaffar Ismail
Bagian
Pemuda
Mohammad Natsir (Persis), Harsono Tjokroaminoto (PSII)
Mr. Mohammad Roem, Anwar Tjokroaminoto (PSII), Dr.
Sjamsoeddin, K.H. Dahlan, K.H. Faqih Usman (Muhammadiyah),
K.H. Fachtoer Rachman, H.M. Farid Ma‟roef, K.H. Masjkoer (NU),
Dr. Aboe Hanifah, M. Joennoes Anies
Keberagaman komposisi pengurus Partai Masyumi ini menunjukkan
keberhasilam umat Islam saat itu untuk mewujudkan sebuah sarana pemersatu
kekuatan politik umat Islam yang sangat diperhitungkan oleh partai politik
lainnya yang lebih dulu didirikan seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan
PKI. Komposisi ini mengakomodasi kalangan muslim reformis seperti
Muhammadiyah serta kalangan tradisional seperti Nahdlatul Ulama. Proporsi
seperti ini membuat seorang peneliti berkebangsaan Belanda bernama Martin
Tabel 3. Pengurus Partai Masyumi periode pertama
Sumber : Artawijaya, 2014 dan Suryanegara, 2016
147
van Bruinessen mengakui bahwa Partai Masyumi bukanlah partai sektarian,
tidak primordial, dan memiliki perpaduan kepemimpinan dari kalangan
priyayi yang religius dan kyai yang modern. Ia juga menyebut Masyumi
sebagai partai yang memiliki rancangan membangun negara modern yang
cukup matang (Artawijaya, 2014).
Berdasarkan Anggaran Dasar-nya, Partai Masyumi bertujuan untuk : (1)
menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam; dan (2)
melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan (Sekretariat Umum
Partai Masyumi, 1949). Tujuan ini dicapai dengan melaksanakan beberapa
usaha sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3 Anggaran Dasar Majumi; yakni
menciptakan literasi umat Islam dalam perjuangan politik, memperkuat
persatuan umat Islam untuk membela agama dan kedaulatan negara,
implementasi iman dan takwa, kemanusiaan, persaudaraan dan keadilan
dalam pemenuhan hak berlandaskan Islam, serta menjalin kerjasama antar
golongan untuk mempertahankan kedaulatan negara (Sekretariat Umum
Partai Masyumi, 1949).
Partai Masyumi menjadi sarana untuk menegakkan keluhuran Islam
dalam perjuangan sekaligus kehidupan sebuah negara yang berdaulat; bukan
menjadi tujuan.31
Itulah yang selalu menjadi prinsip Natsir dalam perjuangan
dakwahnya di bidang politik. Bahkan, mendirikan negara bukanlah tujuan
bagi Natsir; mendirikan negara adalah sarana untuk mencapai tujuan yang
jauh lebih mulia, yakni menegakkan kedaulatan Allah di Indonesia dengan
mewujudkan implementasi ajaran Islam di segala bidang kehidupan dalam
31
Ibid.
148
cakupan personal, maupun nasional.32
Artinya, mendirikan negara yang
berdaulat tidak berarti membentuk sebuah negara yang bebas menentukan
arah dan segala peraturannya sesuai dengan kehendak masyarakatnya
(liberalisme), tetapi menyiapkan lingkungan kehidupan yang bermartabat
karena terbebas dari segala bentuk penghambaan terhadap manusia dan benda
(imperialisme, kolonialisme, dan materialisme), sehingga memiliki
kemerdekaan untuk melaksanakan segala peraturan Allah dalam berbagai
aspek kehidupan. Dengan kata lain, negara adalah sarana menegakkan tauhid
dan mewujudkan summuliyatu al-Islam.33
Tujuan tersebut tentu sangat mungkin diwujudkan oleh Masyumi saat
itu dengan bermodalkan komitmen bersama untuk berjuang dalam satu-
satunya partai politik Islam; berbeda dengan kondisi saat ini yang
menimbulkan pemecahan kekuatan atau suara umat Islam. Komitmen untuk
bersatu ini dicontohlan secara langsung oleh para tokoh Masyumi. Persatuan
internal partai bisa terjaga meskipun terdapat perbedaan pendapat dan latar
belakang di antara tokoh-tokoh tersebut. Salah satu contohnya adalah saat
Perjanjian Linggarjati pada 15 November 1946 yang isinya adalah pengakuan
Belanda secara de facto terhadap kekuasaan RI yang terbatas pada 3 wilayah
saja, yakni Jawa, Madura, dan Sumatera. Untuk merespon hal tersebut,
Masyumi menyelenggarakan konferensi pada 4 hingga 5 Desember 1946 di
Surakarta yang hasilnya adalah menolak Perjanjian Linggarjati. Masyumi
kemudian menghimbau para anggotanya yang ada di kabinet:
32
Ibid. 33
Tauhid adalah prinsip dasar Islam yang mengakui Allah sebagai satu-satunya sesembahan.
Sedangkan summuliyatu al-Islam adalah konsep tentang implementasi seluruh ajaran Islam dalam
seluruh bidang kehidupan.
149
“mengharapkan kepada anggota Masyumi di dalam Kabinet yang sekarang, supaya
berikhlas hati menyesuaikan dirinya dengan keputusan penolakan partai terhadap
naskah Persetujuan Indonesia-Belanda” (Redaksi Majalah Media Dakwah,
1995 b, hal.: 52).
Masyumi bahkan membentuk koalisi dengan PNI dan partai-partai
lainnya yang juga menolak Perjanjian Linggarjati. Koalisi itu dikenal dengan
sebutan Benteng Republik Indonesia. Soekiman Wirjosandjojo dan Anwar
Harjono adalah bagian dari barisan oposisi itu.
Perbedann haluan dalam menyikapi Perjanjian Linggarjati pun terjadi
dalam Partai Masyumi. Seruan partai yang merupakan hasil dari konferensi
Surakarta tidak dilaksanakan oleh anggota-anggota Masyumi yang berada
dalam kabinet (Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995 b). Sikap ini
disampaikan melalui pernyataan tertulis yang ditandatangani pada 28
Desember 1946 oleh:
1) Mohammad Natsir (Menteri Penerangan)
2) Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri)
3) K.H. Fatchurrahman (Menteri Agama)
4) Mr. Mohammad Roem (Menteri Dalam Negeri)
5) Harsono Tjokroaminoto (Menteri Muda Pertahanan)
6) K.H.A. Wachid Hasjim (Menteir Negara)
7) Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Menteri Keuangan)
8) Mr. Jusuf Wibisono (Menteri Muda Kemakmuran)
Pernyataan itu menegaskan bahwa kabinet yang ada pada saat itu
bukanlah kabinet koalisi, melainkan kabinet nasional. Kemudian, berdasarkan
tata tertib parlementer dan kode etik, tidak seharusnya partai politik
150
menetapkan suatu sikap politik terhadap anggotanya yang menjadi menteri
dalam kabinet.
Meskipun menghadapi perbedaan pendapat seperti itu, sejarah mencatat
bahwa kedelapan menteri tersebut tetap menjadi anggota Masyumi. Tidak
sekalipun ada wacana pemecatan terhadap kedelapan tokoh itu. Ramlan
Mardjoned yang merupakan mantan sekretaris pribadi Mohammad Natsir
memberikan kesaksiannya bahwa hubungan antar pemimpin-pemimpin itu
didasarkan pada sikap saling menghargai; tidak ada sedikit pun dendam yang
terlihat dari sikap dan perilaku mereka.34
Bahkan, tokoh-tokoh Masyumi dari
dua sisi berbeda itu tetap bisa bekerjasama untuk berkhidmat kepada umat.
Soekiman dan Natsir saling tolong-menolong dalam membesarkan Partai
Masyumi, Anwar Harjono dan Natsir saling tolong-menolong dalam
mengembangkan Dewan Da‟wah.
Salah satu kader unggul yang “dibesarkan” oleh para tokoh Masyumi,
Yusril Ihza Mahendra, dalam orasinya yang disampaikan pada acara
Tasyakkur Keluarga Besar Bulan Bintang menegaskan bahwa sebagai
institusi, Masyumi memang sudah dibubarkan secara resmi; namun, sebagai
ideologi dan tradisi, Masyumi akan terus hidup melalui generasi penerusnya
yang bahkan tidak pernah menjadi anggota Masyumi (Redaksi Majalah
Media Dakwah, 1995 b).
Tradisi yang menjadi identitas Masyumi adalah tradisi intelektualisme,
sikap yang fleksibel terhadap masalah hubungan agama dan negara, serta
memiliki wawasan yang maju. Karena keluhuran ideologi dan tradisi itulah,
34
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
151
para tokoh Masyumi sudah sangat terbiasa dengan hiruk-pikuk pemikiran dan
perbedaan pendapat yang sangat tajam di antara para pemimpin bangsa.
Bahkan dengan orang-orang yang pernah bersikap represif kepada para tokoh
Masyumi, termasuk Soekarno yang membubarkan Masyumi dan Soeharto
yang tidak mengabulkan upaya rehabilitasi Masyumi karena alasan
“psikologis” (Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995 b).
Kekompakan para tokoh Masyumi juga ditunjukkan dalam usaha
menentang ideologi komunis yang dipromosikan oleh PKI. Natsir adalah
salah satu yang paling terdepan dalam menangkal ideologi komunisme. Ia
berjuang bersama Front Anti Komunis yang diketuai oleh tokoh Masyumi
lainnya, yakni K.H. Isa Anshory (Suryanegara, 2016). Penolakan Masyumi
terhadap idologi komunis ditunjukkan secara tegas melalui keputusan Dewan
Syuro Partai Masyumi yang menyatakan bahwa : (1) komunisme
bertentangan dengan iman dan qadrah ilahiah; (2) komunisme memusuhi
hukum Islam dan umat Islam; (3) komunisme ingkar terhadap risalah Islam
(kufur); (4) orang yang menganut komunisme secara sadar dan berdasarkan
pemahaman sepenuhnya dapat digolongkan sebagai orang kafir; (5) muslim
yang mengikuti komunisme tanpa memahami hakikat ideologinya dapat
digolongkan sebagai orang yang sesat; (6) orang yang tersesat karena
komunisme wajib diberikan pemahaman yang benar, menyadari
kesesatannya, dan wajib bertaubat kepada Allah (Artawijaya, 2014).
Pertentangan Partai Masyumi dengan ideologi komunis dan PKI ini
semakin sengit pada masa-masa pemilihan umum (pemilu) tahun 1955.
Tokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir, Mohammad Roem, Sjafruddin
152
Prawiranegara dan K.H. Isa Anshary ditempatkan di daerah pemilihan Jawa
Barat yang juga merupakan daerah pemilihan D.N. Aidit dan Sakirman dari
PKI (Artawijaya, 2014). Partai Masyumi pun memenangkan wilayah Jawa
Barat dengan meraih 1.833.847 suara; PNI berada di urutan kedua (1.513.540
suara), PKI di urutan ketiga (739.551 suara) dan NU menempati posisi
terakhir (645.443 suara) (Artawijaya, 2014). Masyumi menjadi satu-satunya
partai yang “jelas meng-Indonesia”. Secara nasional, suara Masyumi tersebar
merata ke seluruh Indonesia. Sedangkan tiga partai lainnya yang juga
memenangkan pemilu, yakni PNI, NU, dan PKI, hanya bisa mengandalkan
pulau Jawa sebagai basisnya (Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995 b).
Partai Masyumi berhasil mendominasi kursi di Parlemen dengan porsi 57
kursi dari 257 kursi di DPR serta 112 kursi dari 520 kursi di Konstituante;
adapun PNI, NU dan PKI menyusul di urutan selanjutnya (Komisi Pemilihan
Umum RI, 2008; Artawijaya, 2014).35
Jumlah anggota Masyumi di
Konstituante yang disebutkan KPU RI dan Artawijaya ini berbeda dengan
hasil temuan Hidayat dan Fogg dalam hasil dokumentasinya yang diarsipkan
secara digital. Hidayat dan Fogg (2018) menyebutkan bahwa ada 129 anggota
Masyumi yang juga menjadi anggota Konstituante.
Terlepas dari perbedaan perihal jumlah tersebut, prestasi politik yang
diraih oleh Masyumi ini memang sangat cemerlang. Masyumi yang baru
berusia 10 tahun saat itu berhasil memenangkan pemilu pertama dalam
sejarah Indonesia. Bahkan, Masyumi yang saat itu memegang kendali atas
pemerintahan melalui Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, menunjukkan
35
Jatah 520 kursi di Konstituante terpenuhi sampai 514 kursi karena di Irian Barat yang memiliki jatah 6
kursi tidak diselenggarakan pemilu (Komisi Pemilihan Umum RI, 2008).
153
keberhasilannya dalam menyelenggarakan pemilu pertama tersebut yang
diyakini sebagai pemilu paling demokratis yang pernah dilaksanakan di
Indonesia.36
Menurut Herbert Feith (1971) ada lima faktor yang membuat
pemilu tahun 1955 menjadi pemilu yang elegan dan demokratis, yakni (1)
tradisi keberagaman; (2) tradisi kompetisi; (3) kedewasaan dalam pergantian
kekuasaan dengan siap menerima kemenangan maupun kekalahan‟ (4)
adanya pengelolaan konflik yang baik dan pemberian kompromi; dan (5)
kedewasaan para elit politik dalam menyikapi politik golongan dalam sistem
multipartai.
Kemenangan di pemilu pertama ini menjadi jalan Natsir untuk berjuang
di Konstituante bersama rekan-rekannya dalam pemenangan Islam sebagai
dasar negara. Hampir satu dekade sebelumnya, Natsir juga menjadi
representasi Partai Masyumi di pemerintahan sebagai Menteri Penerangan
pada Kabinet Sjahrir I, II, dan III, serta Kabinet Hatta I. Natsir yang pada
tahun 1950 masih menjabat sebagai ketua Fraksi Masyumi juga dipercaya
menjadi Perdana Menteri NKRI setelah berhasil menyatukan Indonesia
kembali melalui mosi integralnya yang terkenal.
4.3.2 Peletak Dasar-dasar Kementerian Komunikasi dan Informasi
Salah satu jasa besar Natsir dalam pengaturan sistem pemerintahan di
Indonesia adalah dalam peletakan dasar-dasar Kementerian Komunikasi dan
Informasi yang saat itu bernama Kementerian Penerangan. Meskipun Natsir
adalah menteri penerangan kedua dalan sejarah Indonesia (setelah Amir
Sjarifuddin), Natsir justru yang memiliki peran sentral dalam membangun
36
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
154
dan memfungsikan Kementeria Penerangan, apalagi jabatan ini diembannya
pada masa-masa awal berdirinya RI yang merupakan masa rawan perpecahan
dan berpotensi besar untuk bubar atau direbut kembali oleh penjajah. Selain
itu, Natsir merupakan menteri penerangan yang istimewa karena dipercaya
mengemban posisi tersebut di empat kabinet berbeda, yakni pada Kabinet
Sjahrir I (3 Januari - 12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir II (12 Maret - 2 Oktober
1946), Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 3 Juli 1947) dan pada kabinet
Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949) (Dzulfikriddin, 2010). Natsir
mengungguli Harmoko yang pernah menjabat sebanyak tiga kali pada
Kabinet Pembangunan Soeharto (IV, V, dan VI). Bahkan, Harmoko (dalam
Dzulfikriddin, 2010) mengakui bahwa sistem penerangan pada masa awal
Kemerdekaan adalah hasil pemikiran Natsir dan dasar-dasar Kementerian
Penerangan dibangun pada saat itu.
Penunjukkan Natsir menjadi menteri penerangan oleh Sutan Sjahrir
dalam tiga kabinetnya secara berturut-turut ini adalah hal yang menarik.
Meskipun Natsir dan Sjahrir memiliki landasan berpolitik yang berbeda,
Natsir berasal dari partai berbasis Islam – Masyumi, sedangkan Sjahrir
berasal dari partai yang berlandaskan sosialisme – Partai Sosialis Indonesia
(PSI), mereka dapat bekerjasama dalam berbagai forum dan peristiwa.
Menurut Ridwan Saidi (dalam Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012), keputusan
Sjahrir menunjuk Natsir sebagai menteri penerangan dilatarbelakangi
keinginannya mendapatkan dukungan kalangan Islam untuk kabinetnya.
Apalagi keputusan Sjahrir tersebut direstui oleh Soekarno dengan menyebut
bahwa Natsir adalah orang yang tepat mengemban tugas penerangan. Sejak
155
saat itu, Natsir dan Soekarno menjadi akrab dan melupakan polemik
pemikiran mereka pada tahun 1930-an (Tim KPG-Tempo, 2011; Kahin,
2012). Bahkan, Natsir (dalam Dzulfikriddin, 2010) menyatakan bahwa tidak
ada menteri yang lebih dekat dengan Soekarno kecuali dirinya. Sejarawan
Taufik Abdullah (dalam Taharani, 2018) bercerita dengan berlandaskan pada
keterangan Mohammad Hatta bahwa Natsir adalah anak “emas” (anak
kesayangan” Soekarno. Hal ini tercerminkan dalam sikap Soekarno yang
tidak akan menandatangani surat atau pernyataan resmi pemerintah dan tidak
akan menyetujui naskah pidato jika tidak diperiksa atau dirancang terlebih
dahulu oleh Natsir.
Adapun tugas pokok dan fungsi Kementerian Penerangan yang
dirancang oleh Natsir (dalam Dzulfikriddin, 2010):
1) menerangkan kepada rakyat tentang kebijakan politik, peraturan-
peraturan, dan tindakan-tindakan tertentu yang diterapkan atau
dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
2) menerangkan dan memantapkan pemahaman rakyat tentang Pancasila;
3) menanamkan kesadaran politik dan pemikiran kritis rakyat untuk
membangun kehidupan yang demokratis;
4) menjaga semangat perjuangan rakyat untuk mewujudkan dan
mengimplementasikan cita-cita negara;
5) dan memperkenalkan Republik Indonesia serta komitmen persatuan
bangsanya ke dunia internasional.
Salah satu peran penting Natsir saat menjabat sebagai Menteri
Penerangan, khsususnya dalam Kabinet Hatta I, adalah menyelamatkan RI
156
dari agresi Belanda melalui pembentukan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Belanda yang melancarkan Agresi Militer II ke ibu kota
RI, Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 berhasil menawan Soekarno, Hatta
dan Natsir serta hampir saja membubarkan RI (Dzulfikriddin, 2010). Natsir
yang saat ditawan sedang terbaring di rumah sakit Bethesda, sebelumnya
telah menyiapkan naskah bersama Soekarno dan Hatta yang berisikan pesan
kepada rakyat Indonesia agar tidak menyerah dan berjuang mempertahankan
RI (Tim KPG-Tempo, 2011). Naskah tersebut kemudian dititipkan ke Wakil
Menteri Penerangan A.R. Baswedan. Namun, pidato tersebut tidak dapat
disiarkan melalui radio karena telah diduduki oleh Belanda. A.R. Baswedan
kemudian meminta bantuan Mr. Sumanang untuk memperbanyaknya secara
stensil dan diterbitkan di harian Keng Po (Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-
Tempo, 2011).
Selain naskah tersebut, Natsir juga ikut berkontribusi dalam
penyusunan radiogram yang ditujukan kepada Menteri Kemakmuran
Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Bukittinggi, Sumatera Barat
untuk membentuk pemerintahan darurat. Radiogram ini juga dikirim ke
Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A. Maramis yang berada di India sebagai
bentuk antisipasi jika Sjafruddin gagal membentuk pemerintahan darurat
(Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-Tempo, 2011). Pada perkembangan
selanjutnya, Sjafruddin berhasil membentuk PDRI hingga keadaan kembali
pulih dan mandat akhirnya dikembalikan ke Soekarno meskipun sebelumnya
terdapat perbedaan pendapat antara pihak PDRI dan para tokoh nasional yang
mengadakan perundingan Roem-Royen dengan Belanda. Sjafroeddin dan
157
Soedirman tidak setuju dengan perundingan ini. Mereka beralasan bahwa
pemimpin yang menjadi tawanan tidak mengetahui kondisi sesungguhnya
yang ada di lapangan dan dianggap membuat konsesi yang tidak dibutuhkan
dengan Belanda (Kahin, 2012). Moh. Hatta sempat diutus untuk membujuk
Sjafruddin, namun gagal. Delegasi baru yang dipimpin oleh Natsir dengan
dibantu Leimena dan Halim kemudian berhasil mempersuasi Sjafruddin dan
Soedirman. Pada 13 Juli 1949, Sjafroeddin terbang menuju Yogyakarta dan
mengembalikan mandat ke Soekarno (Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012).
Perisitwa PDRI ini menjadi bukti strategisnya posisi Menteri
Penerangan yang diperankan oleh Natsir. Natsir menunjukkan bahwa
komunikasi menjadi kunci untuk mempertahankan RI, bahkan Belanda yang
telah melumpuhkan Ibu Kota Yogyakarta harus menyerah dengan melakukan
perundingan dengan Indonesia.
Secara umum, ada tiga strategi komunikasi Natsir dalam rangkaian
peristiwa PDRI. Pertama, Natsir menggunakan media massa untuk
menyebarluaskan pesan tentang eksistensi RI, sehingga dapat menjaga mental
dan meningkatkan semangat rakyat Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaan. Hal yang menarik pada bagian ini adalah kecermatan Natsir
tentang pentingnya opinion leader (Soekarno-Hatta) dalam menjaga
kepercayaan-diri rakyat bahwa “Indonesia masih ada”. Hal yang tidak
diinginkan mungkin dapat terjadi jika saat itu sama sekali tidak ada kabar
resmi mengenai keberadaan dan kondisi pemimpin serta pesan yang
memberikan semangat. Misalnya, Belanda merebut Indonesia kembali atau
terjadi disintegrasi di berbagai daerah. Kedua, Natsir bersama Soekarno-
158
Hatta menggunakan jaringan komunikasi, tepatnya modal sosial serta
pemanfaatan teknologi komunikasi termutahir saat itu untuk menegakkan
kedaulatan RI, yakni dengan memberikan mandat kepada Sjafruddin di
Bukittinggi dan tiga tokoh lainnya di Indonesia. Pemanfaatan modal sosial ini
tidak hanya memperhatikan hubungan antar tokoh, tetapi juga
memperhitungkan letak geostrategis yang memungkinkan pemerintahan
darurat dibentuk dengan aman. Hal yang tidak dikehendaki mungkin dapat
terjadi jika saat itu tidak ada pengalihan mandat presiden dan pembentukan
pemerintah darurat. Ketiadaan pemerintahan dan lokasi fisik pusat
pemerintahan saat itu dapat menjadi penyebab hilangnya kedaulatan
Indonesia dan berpotensi mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Ketiga, Natsir menggunakan keahlian diplomasinya untuk mempersuasi
Sjafruddin yang saat itu sempat bersitegang dengan tokoh-tokoh nasional
yang mendukung perundingan Roem-Royen agar menerima perundingan
tersebut dan kembali ke Yogyakarta untuk menyerahkan mandat. Peristiwa
lain mungkin akan terjadi jika Natsir tidak berhasil meyakinkan Sjafruddin.
RI yang sesuai dengan perundingan Roem-Royen mungkin bisa berdiri, tetapi
mereka yang tidak sepakat dengan perundingan akan tetap menegakkan PDRI
sehingga memunculkan dualisme pemerintahan. Dualisme ini dapat
menyebabkan disintegrasi yang menguntungkan Belanda dalam
mengembalikan tujuan awal agresi mereka. Melalui perannya dalam berbagai
peristiwa seputar PDRI ini, Natsir tidak hanya menunjukkan kapasitasnya
sebagai seorang negarawan, tetapi juga sebagai pakar komunikasi.
159
Kesuksesan Natsir sebagai menteri penerangan berakhir dengan
pengunduran dirinya karena ketidak-sepakatannya terhadap hasil Konferensi
Meja Bundar (KMB) yang memecah belah RI menjadi beberapa negara
hingga terbentuk RIS (Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012). Menurutnya, KMB
yang dilaksanakan di Den Haag pada 23 Agustus – 2 November 1949 itu
tidak sejalan dengan komitmen para pejuang dan tokoh nasional selama ini
yang menghendaki kedaulatan RI sepenuhnya. Apalagi wilayah Irian Barat
belum ditentukan statusnya. Bagi Natsir, menyampaikan hasil perundingan
yang seperti itu kepada rakyat adalah hal yang sangat sulit ia lakukan
(Dzulfikriddin, 2010). Natsir berpendapat bahwa posisi sebagai menteri
penerangan sama seperti “penjual roti” kepada rakyatnya (Kahin, 2012). Roti
yang dijual haruslah yang bernutrisi sehingga dapat menyehatkan yang
mengonsumsinya. Natsir berkata:
“bagaimana saya bisa menjadi menteri penerangan, sedangkan saya harus menjual
sesuatu yang saya nggak suka”37
Setelah mundur dari Kabinet Hatta, Natsir sempat ditawarkan untuk
menjadi Perdana Menteri negara bagian RI yang berpusat di Yogyakarta,
namun ia menolak dan lebih memilih menjadi ketua fraksi Masyumi di
Parlemen. Baginya, menjadi ketua fraksi tidak kalah terhormat dengan
menjadi menteri.38
Justru saat menjadi ketua fraksi Masyumi ini Natsir dapat
memberikan kontribusi yang jauh lebih besar dan tidak akan terlupakan
sepanjang sejarah Indonesia, yakni mengajukan mosi integral yang berhasil
menyatukan Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
37
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018 38
Ibid.
160
4.3.3 Arsitek Negara Kesatuan Republik Indonesia
Nastir merupakan cendekiawan muslim atau ulama yang menjadi tokoh
utama dalam pengusulan mosi integral.39
Natsir menjadi bukti bahwa
seseorang tokoh intelektual Islam yang berpaham fundamentalisme mengenai
agamanya tidak akan mengurangi kecintaannya terhadap bangsa, bahkan
justru menjadi pelopor persatuan bangsa dan negara. Natsir menjadi bukti
sejarah bahwa umat Islam memiliki andil besar dalam “meletakkan batu
pertama” dan “merancang konstruksi” Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika meminjam istilah ekonomi, umat Islam telah menginvestasikan saham
terbesar dalam perjuangan membangun NKRI. Hal ini ditegaskan Natsir
dalam sebuah kuliah subuh di Masjid Al Munawwarah pada 20 Agustus
1972:
“Maka partai nasional Indonesia yang pertama sebenarnya ialah Partai Sarekat
Islam. Kalau panggilan, dari Partai Sarekat Islam itu kepada umat lekas disambut, itu
karena sejak dahulu sudah ada “investasi” berupa perasaan mempunyai identitas
sendiri yang mengatasi rasa suku ke-Jawaan, yang mengatasi rasa suku ke-Sundaan,
yang mengatasi rasa suku ke-Sumateraan, yang mengatasi rasa suku ke-Bugisan,
yang mengatasi rasa suku ke-Sulawesiaan kita. Ada yang lebih tinggi dari itu semua,
yaitu identitas Islam” (dalam Harjono dan Hakiem, 1995, hal.: 35).
Dalam sebuah pidatonya di Parlemen pada tanggal 31 Mei 1951, Natsir
menegaskan bahwa:
“Umat Islam di Indonesia bukan saja merupakan sektor yang terbesar, tetapi juga
sampai kepada saat ini ternyata secara ideologis dan politis-organisatoris adalah
sektor yang tersusun kuat, setidak-tidaknya yang pasti mempunyai syarat-syarat
cukup untuk mencapai titik kesempurnaan secepat-mungkin” (Natsir, 1975, hal.:
48).
39
Ibid.
161
Natsir (1975) juga mengingatkan para hadirin saat itu bahwa Indonesia
adalah hasil jihad umat Islam melalui kerjasama dengan saudara lainnya yang
sebangsa, dan menjaga keselamatan Indonesia adalah tanggung jawab besar
umat Islam. Ia berseru bahwa umat Islam adalah benteng pertahanan terakhir
bangsa Indonesia yang jika runtuh karena perpecahan, maka akan
meruntuhkan Indonesia.
Namun, peran besar umat Islam dalam mendirikan NKRI tidak jarang
dibalas dengan fitnah bahwa umat Islam yang konsisten dalam menjalankan
ajaran agamanya adalah golongan pemecah belah bangsa dan kontra
persatuan. Di masa awal kemerdekaan, tuduhan seperti itu sering sekali
dilakukan oleh para politisi PKI, khususnya Dipa Nusantara Aidit. Pada
Kongres Nasional ke-V PKI yang diselenggarakan pada 15 Maret 1954 di
Jakarta, Aidit menyebut Partai Masyumi dan PSI sebagai sarana imperialisme
Belanda, Inggris dan Amerika, sedangkan para pemimpinnya adalah orang
yang bernafsu untuk menerapkan fasisme di Indonesia (Artawijaya, 2014).
Bahkan, Aidit secara langsung menyerang Natsir secara personal; ia
menyebut Natsir sebagai wakil dari imperialisme yang tidak menghendaki
persatuan Indonesia (Artawijaya, 2014). Natsir yang bukan sekedar politisi
biasa, tetapi cendekiawan politik, menanggapi fitnah tersebut dengan tenang
dan membalasnya dengan sikap yang beradab. Dalam salah satu pidatonya di
Konstituante, Natsir pernah menasehati seluruh hadirin sidang, khususnya
golongan yang tidak sepakat dengan Islam sebagai dasar negara, bahwa tidak
seharusnya menuduh golongan yang mendukung penerapan ajaran Islam
sebagai pihak yang tidak setia pada proklamasi dan tidak menginginkan
162
persatuan (dalam Yusran, 2001). Terlepas dari perbedaanya yang sangat
mendasar, Natsir dengan sangat terbuka berdiskusi dengan Aidit sambil
meminum kopi di kantin gedung parlemen (Tim KPG-Tempo, 2011).
Pada masa sekarang, pernyataan kontroversial pernah diucapkan oleh
Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Pada sebuah acara NU, ia menegaskan
dalam pidatonya bahwa seluruh jajarannya hingga ke tingkat kecamatan
diperintahkan untuk membangun kerjasama yang baik dengan NU dan
Muhammadiyah. Kalimat tersebut tentu akan memberikan kesan positif di
kalangan anggota NU dan Muhammadiyah. Namun, pernyataan yang
terkesan memecah-belah diucapkan oleh Kapolri setelah itu. Ia berkata:
“jangan dengan yang lain, dengan yang lain itu nomor sekian. Mereka bukan pendiri
negara; mau merontokkan negara malah iya!”
Lukman Hakiem (2018) dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Pak
Kapolri, Pelajarilah Sejarah dengan Benar” mengatakan bahwa pernyataan
Kapolri tersebut adalah pernyataan berbahaya yang tidak berlandaskan pada
fakta dan mencerminkan rendahnya pengetahuan sejarah di kalangan elit,
khususnya kepolisian. Ia bahkan menyebut pidato Karnavian sebagai pidato
yang bernuansa politik “belah bambu”.
Karnavian pun menyadari kesalahannya dan kemudian mengunjungi
Dewan Da‟wah pada 7 Februari 2018. Pada kesempatan itu, hadir pula para
pimpinan 13 organisasi Islam yang terhimpun dalam Majelis Ormas Islam
(MOI). Ia menegaskan bahwa ia tidak memiliki intensi sedikit pun untuk
menafikan peran organisasi Islam lainnya dalam perjuangan mendirikan
Indonesia dan selanjutnya ingin bersinergi dengan berbagai organisasi Islam
163
(Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia, 2018). Namun, meskipun Kapolri telah
meminta maaf, pernyataan tersebut berpotensi menimbulkan sikap-sikap yang
tidak dikehendaki. Bagi yang tidak mengetahui tentang sejarah, sangat
mungkin memunculkan sikap yang cenderung mendeskriditkan ormas-ormas
Islam selain NU dan Muhammadiyah. Padahal, banyak sekali tokoh-tokoh
yang tidak menjadi anggota NU atau Muhammadiyah yang berkontribusi
besar dalam pendirian NKRI. Misalnya H. Agus Salim dan Abikoesno
Tjokrosoejoso yang berasal dari Sarekat Islam; K.H. Abdul Halim dan K.H.
Ahmad Sanusi dari PUI; K.H. Isa Anshary dan A. Hassan dari Persis; dan
termasuk juga Natsir dari Persis yang menjadi pmrakarsa terbentuknya NKRI.
Kapolri mungkin saat itu lupa atau justru tidak mengetahui sama sekali
bagaimana pengorbanan dan perjuangan Natsir yang bukan anggota NU dan
Muhammadiyah dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan Indonesia yang
terpecah dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS). Natsir yang
tidak setuju dengan hasil KMB kemudian melepaskan jabatannya sebagai
menteri penerangan.
Hal yang paling tidak disetujui Natsir adalah pembentukan negara
federal yang menurutnya menjadi strategi Belanda untuk memecah belah.
Secara lebih spesifik, empat kesepakatan KMB adalah : 1) pembentukan Uni
Belanda-RIS yg dipimpin Ratu Belanda, 2) Soekarno-Hatta adalah Presiden –
Wakil Presiden dari tahun 1949 – 1950 degan Hatta merangkap menjadi
Perdana Menteri, 3) Irian Jaya adalah milik Belanda dan tidak masuk ke
dalam RIS smpai ada perundingan lebih lanjut, dan 4) Pemerintah Indonesia
164
harus menanggung utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar Gulden (Mahfud
MD dalam Hakiem, 2008 b).
Sebagai implementasi dari KMB tersebut, maka Hubertus Johannes van
Mook (mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda) membentuk Bijenkomst
voor Federal Overleg (BFO) yang merupakan komite pengatur dan pengelola
RIS (Basri dalam Hakiem, 2008 b; Tim KPG-Tempo, 2011). RIS yang
awalnya terdiri dari 3 negara bagian, yakni Republik Indonesia (Yogyakarta),
Negara Indonesia Timur, dan Negara Borneo, kemudian terpecah lagi hingga
menjadi 17 negara bagian dengan ditambah : Pasundan, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Madura, Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Bengkulu, Belitung,
Riau, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggara,
dan Kalimantan Timur (Basri dalam Hakiem, 2008 b; Tim KPG-Tempo,
2011).
Pemecahan ini pun ditanggapi oleh rakyat Indonesia di beberapa daerah
dengan menyatakan keluar dari negara bagian tersebut. Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Malang menjadi pelopor protes ini dengan mengambil sikap
untuk melepaskan diri dari Negara Jawa Timur dan bergabung ke RI
Yogyakarta pada 4 Januari 1950 (Basri dalam Hakiem, 2008 b). Berikutnya
pada tanggal 30 Januari 1950, giliran Kabupaten Sukabumi yang memisahkan
diri dari Negara Pasundan. Perdebatan mengenai bentuk negara sempat terjadi
di Kongres Rakyat Negara Sumatera Timur yang kemudian diselesaikan oleh
Dr. Tengku Mansyur dengan merekomendasikan agar masalah bentuk negara
dipercayakan kepada pemerintah pusat. Reaksi terhadap RIS juga terjadi di
165
daerah lainnya karena rakyat menganggap RIS tidak sesuai dengan cita-cita
proklamasi.
Seorang politisi PNI bernama Susanto Tirtoprodjo sempat mengusulkan
agar seluruh negara bagian bergabung ke RI Yogyakarta. Namun, usulan
tersebut disambut dengan penolakan oleh Negara Indonesia Timur dan
Negara Sumatera Timur karena menganggap bahwa RI Yogyakarta berstatus
sama sebagai negara bagian (Basri dalam Hakiem, 2008 b).
Natsir yang meyakini bahwa kondisi ini sangat berbahaya bagi
keutuhan RI melakukan kunjungan ke beberapa negara bagian untuk
menyerap aspirasi rakyat. Setelah berhasil mengumpulkan informasi, Natsir
berunding dengan seluruh fraksi di parlemen dan juga pimpinan negara
bagian berkaitan dengan upaya penyatuan. Negosiasi sempat berjalan alot
saat Natsir berunding dengan Ir. Sakirman dari PKI dan Sahetapy Engel dari
perwakilan BFO, meskipun pada akhirnya kesepakatan dapat dicapai.
Kesepahaman juga dicapai dengan Kasimo dari Partai Katolik dan A.M.
Tambunan dari Partai Kristen Indonesia (Tim KPG-Tempo, 2011).
Gambar 13. Unjuk Rasa Anti RIS
Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin
Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
166
Hal yang paling penting bagi Natsir dalam usaha ini adalah
menghindari timbulnya konflik antar negara bagian dan masyarakat dalam
upaya penyatuan ini; sedangkan cara untuk menuju kesatuan itu hanyalah hal
teknis baginya (Pelly dalam Hakiem, 2008 b). Natsir yang mendeteksi adanya
kekhawatiran pimpinan RI Yogyakarta, Mr. Assaat, kemudian memberikan
dua usulan solusi. Pertama, jika RI Yogyakarta bersikukuh untuk menjadi
sentral dan ingin negara bagian lainnya yang menggabungkan diri ke RI
Yogyakarta, maka RI Yogyakarta harus memerangi seluruh negara bagian
sampai mereka menyerah. Kedua, seluruh negara bagian, termasuk RI
Yogyakarta membubarkan diri, kemudian bersama-sama membentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Basri dalam Hakiem, 2008 b). Cara kedua pun
akhirnya dipilih sebagai strategi penyelesaian masalah. Natsir meyakinkan RI
Yogyakarta bahwa seluruh negara bagian akan mengikuti cara ini karena
mereka tidak memiliki Dwi Tunggal Soekarno-Hatta; Soekarno-Hatta
menjadi simbol untuk mempersatukan seuruh negara bagian.40
Natsir yang telah berhasil mengonsolidasikan berbagai golongan
kemudian berpidato di sidang DPR RIS pada tanggal 3 April 1950 dan
mengajukan sebuah mosi yang dkenal sebagai mosi integral. Inti dari mosi
integral Natsir tersebut adalah :
40
Ibid.
167
Mosi ini pun disepakati oleh seluruh fraksi dengan ditanda-tangani oleh
Natsir, Soebadio Sastrasatomo, Hamid Algadri, Ir. Sakirman, K. Werdojo,
Mr. A.M. Tambunan, Ngadiman Hardjosubroto, B. Sahetapy Engel, Dr.
Tjokronegoro, Moch. Tauchid, Amelz, dan H Sirajuddin Abbas (Natsir,
1975).
Naskah autentik DPR RIS menyebutkan secara lebih spesifik tiga
keputusan utama : 1) semua negara bagian mendirikan NKRI melalui
prosedur parlementer; 2) tidak ada negara bagian yg menelan negara bagian
lain; dan 3) masing-masing negara bagian adalah bagian integral NKRI (Basri
dalam Hakiem, 2008 b).
Menurut Natsir, mosi integral ini tidak ada hubungannya dengan
perdebatan mengenai bentuk federal atau unitarian.41
Mahfud MD (dalam
Hakiem, 2008 b) berpendapat bahwa mosi integral yang disepakati penuh ini
merefleksikan komitmen rakyat Indonesia untuk bersatu bukan sekedar dari
segi fisiknya (struktur negara dan pemerintahan), tetapi yang paling penting
adalah bersatunya kehendak jiwa dan batin.
Mosi integral Natsir ini kemudian dideklarasikan oleh Perdana Menteri
(PM) Mohammad Hatta sebagai dasar penyelesaian masalah saat itu. Sebagai
bentuk tindak lanjut dari mosi tersebut, maka pada 19 Mei 1950, RIS yang
mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur berunding
dengan RI. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk
mendirikan NKRI yang dituangkan dalam sebuah piagam yang ditanda-tangai
oleh PM RIS Moh. Hatta dan PM RI Dr. Halim (Tim KPG-Tempo, 2011).
41
Ibid.
168
Piagam tersebut kemudian dibacakan oleh Soekarno pada sidang
bersama parlemen dan senat RIS yang dilaksanakan pada 15 Agustus 1950.
Berikutnya, pada hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan RI yang kelima,
17 Agustus 1950, Soekarno mendeklarasikan berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Basri dalam Hakiem, 2008 b; Tim KPG-Tempo, 2011).
Seorang pakar politik, Deliar Noer (dalam Hakiem, 2008 b),
mengatakan bahwa deklarasi lahirnya NKRI pada 17 Agutsus 1950 adalah
proklamasi kedua RI. Menurutnya, jika proklamasi pertama (17 Agustus
1945) menjadi tanda kemerdekaan dari penjajahan, maka proklamasi kedua
menjadi tanda gagalnya pemecahan Indonesia oleh Belanda dengan bubarnya
17 negara bagian dan lahirnya NKRI. Ia juga menyatakan bahwa proklamasi
yang kedua ini tidak berarti kembali ke RI yang diproklamasikan pada 1945
karena RI tersebut juga ikut bubar dan berintegrasi dengan negara bagian
lainnya dan kemudian membentuk NKRI.
Mosi integral Natsir ini menjadi bukti bahwa umat Islam yang bukan
anggota NU dan Muhammadiyah juga memiliki peranan besar dalam
Gambar 14. Konferensi RIS – RI pada 19 Mei 1950
Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin
Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
169
membangun NKRI; bukan malah meruntuhkannya. Jasa besar Natsir ini
bahkan diakui oleh Arnold Mononutu, politisi PNI, yang dengan yakin
menyatakan bahwa NKRI tidak akan ada tanpa peran Natsir (Dzulfikriddin,
2010). Begitu juga dengan mantan Ketua Umum MUI dan mantan Wakil
Rois „Aam Syuriah Pengurus Besar NU (PBNU), K.H. Ali Yafie, yang
menegaskan bahwa Natsir adalah seorang republiken dan tokoh nasional yang
memperjuangkan persatuan bangsa (Dzulfikriddin, 2010). Komitmennya pada
persatuan ini juga dibuktikan dengan strategi komunikasi politiknya yang
inklusif dengan merangkul seluruh golongan, tidak hanya para politisi Islam
dan kalangan nasionalis, tetapi juga dari kalangan Kristen, bahkan PKI.
Perjuangan Natsir dalam menegakkan NKRI kemudian berlanjut hingga
ia dipercaya menjadi Perdana Menteri NKRI pertama. Asa Bafaqih, seorang
jurnalis harian Merdeka sebelumnya bertanya kepada Soekarno mengenai
siapa yang akan ditunjuk untuk menjadi formatur kabinet (Dzulfikriddin,
2010). Soekarno pun dengan lugas menyebut nama Natsir yang disebutnya
sebagai seorang konstitusionalis yang memiliki konsep mengenai
penyelamatan republik (Dzulfikriddin, 2010). Maka pada 20 Agustus 1950,
Natsir ditunjuk oleh Soekarno menjadi Perdana Menteri NKRI pertama
(Dzulfikriddin, 2010; Hakiem, 2008 b).
4.3.4 Perdana Menteri NKRI Pertama
Sepanjang sejarah Indonesia, Natsir merupakan Perdana Menteri
kelima Indonesia dan Perdana Menteri pertama NKRI. Setelah ditunjuk
menjadi PM NKRI oleh Soekarno, Natsir dipanggil oleh Soekarno pada 21
Agustus 1950 untuk membentuk kabinet baru. Kegagalan negosiasi dengan
170
PNI membuat kabinet Natsir tidak mendapat dukungan dari PNI. Namun,
Soekarno tetap mendorong Natsir untuk membentuk kabinetnya.
Kabinet Natsir yang disahkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor
9 Tahun 1950 tanggal 6 September 1950 ini memiliki susunan kabinet
sebagai berikut.
Jabatan Nama Partai Politik
Perdana Menteri Mohammad Natsir Masyumi
Wakil Perdana Menteri Sri Sultan
Hamengkubuwono IX Non Partai
Menteri Negara Harsono Tjokroaminoto PSII
Menteri Agama K.H. A. Wachid Hasyim Masyumi
Menteri Penerangan M.A. Pellaupessy Demokrat
Menteri Dalam Negeri Mr. Asaat Non Partai
Menteri Luar Negeri Mr. Mohammad Roem Masyumi
Menteri Pertahanan Dr. Abdul Halim Non Partai
Menteri Kehakiman Mr. Wongsonegoro Persatuan Indonesia
Raya (PIR)
Menteri Keuangan Mr. Sjafruddin
Prawiranegara Masyumi
Menteri Perdagangan
dan Perindustrian
Dr. Soemitro
Djojohadikusumo PSI
Menteri Pertanian Mr. Tandiono Manu PSI
Menteri Perhubungan
dan Transportasi Ir. Djuanda Non Partai
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Dr. Bahder Djohan Non Partai
Menteri Pekerjaan
Umum Ir. Herman Johannes PIR
Menteri Kesehatan dr. Johannes Leimena
Partai Kristen
Indonesia
(Parkindo)
Menteri Perburuhan R. Panji Suroso Partai Indonesia
Raya (Parindra)
Menteri Sosial F.S. Harjadi Partai Katolik
Tabel 4.Susunan Kabinet Natsir atau Zaken Kabinet
Sumber : Suryanegara, 2016
171
Penentuan menteri yang tidak hanya berlandaskan pada pertimbangan
politik, tetapi juga kualifikasi personal pada bidang kementerian membuat
kabinet Natsir disebut sebagai Kabinet Ahli atau Zaken Kabinet
(Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-Tempo, 2011). Tujuh program kerja utama
kabinet ini adalah : (1) mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu untuk
Badan Konstituante; (2) penyempurnaan struktur pemerintahan; (3)
Gambar 15. Pelantikan Kabinet Natsir (a dan b) serta Malam Perkenalan Kabinet (c)
Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin
Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
172
peningkatan keamanan dan ketertiban; (4) penguatan ekonomi nasional; (5)
pembangunan perumahan rakyat serta peningkatan kesehatan dan kecerdasan
rakyat; (6) penguatan Angkatan Perang dan pemulihan personil militer; dan
(7) penyelesaian masalah Irian Barat.
Selama menjabat sebagai Perdana Menteri, Natsir berhasil
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan penting. Dua di antaranya adalah
kebijakan pendidikan integral serta program ekonomi benteng.
Natsir menginstruksikan kepada Menteri Agama K.H. A. Wachid
Hasyim dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bahder Johan untuk
membuat SKB yang menjadi landasan bagi pengajaran pendidikan agama di
lingkungan institusi pendidikan umum serta penguatan pengetahuan umum di
institusi pendidikan agama (Basri dalam Hakiem, 2008 b). Sedangkan melalui
program Ekonomi Benteng, Natsir berhasil melindungi usaha-usaha miliki
pribumi dan mengurangi ketergantungan pada bantuan asing. Program ini
sukses memunculkan konglomerat prbumi seperti Hasjim Ning, Dasaat,
Rahman Tamim, Ayub Rais, Achmad Bakri dan Tejakusuma (Basri dalam
Hakiem, 2008 b).
Suksesnya program ini tidak lepas dari peran aktif dua pakar ekonomi
dalam Kabinet Natsir, yakni Sjafruddin Prawiranegara dan Sumitro
Djohadikusumo. Kolaborasi kerja para tokoh Masyumi dan PSI ini juga
berhasil mendorong lahir dan berkembangnya wirausahawan lokal. Selain itu,
mereka memiliki konsep yang matang mengenai negara sejahtera yang
dibangun dengan menegakkan keadilan sosial dan keberpihakan pada rakyat
kecil; bukan dengan memperluas jaringan dengan golongan kapitalis. Corak
173
kebijakan ekonomi Natsir ini tidak hanya disebabkan oleh kedekatannya
dengan tokoh-tokoh PSI, tetapi juga karena pandangan sosial-ekonomi-nya
yang memang cenderung identik dengan tokoh-tokoh PSI (Kahin, 2012).
Selain itu, Natsir juga berhasil mempertahankan NKRI dari ancaman
gerakan sparatis seperti Republik Maluku Selatan (RMS), ARPA Westerling
di Bandung, kelompok-kelompok pengikut PKI, Darul Islam Kartosuwiryo,
gerakan Andi Azis di Makassar dan juga upaya pemisahan Aceh dari NKRI
(Azmi dalam Hakiem, 2008 b).
Meskipun berhasil menerapkan beberapa kebijakan penting, merintis
persiapan pemilu pertama RI (kelak di tahun 1955) dan menyelamatkan
NKRI dari disintegrasi, Kabinet Natsir hanya mampu bertahan selama tujuh
bulan karena pada tanggal 27 April 1951 Kabinet Natsir jatuh dan diganti
dengan Kabinet Soekiman (Azmi dalam Hakiem, 2008 b). Kejatuhan Kabinet
Natsir ini disebabkan oleh aksi oposisi (PNI dan PKI) yang beberapa kali
memboikot sidang. Pemboikotan ini berkaitan dengan renggangnya hubungan
Natsir dan Soekarno. Berdasarkan keterangan Mohammad Hatta, Soekarno
adalah dalang dari kejatuhan kabinet Natsir dengan meminta Manai Sophian
untuk menciptakan instabilitas dalam setiap sidang kabinet (Tim KPG-
Tempo, 2011).
4.3.5 Pejuang Ideologi Islam yang Konstitusionalis
Perjuangan Nartsir dalam menegakkan Islam melalui jalur konstitusi
dapat dilacak secara spesifik melalui kontribusinya di Konstituante. Beberapa
tokoh berpengaruh Masyumi yang berada di Konstituante adalah Mohammad
Natsir, Abdul Rahman Baswedan (atau A.R. Baswedan yang merupakan
174
kakek Anies Rasyid Baswedan), Achmad Rasjid Sutan Mansjur (Buya Sutan
Mansyur), Bey Arifin, dr. Sukiman Wirjosandjojo, H. Abdul Malik Ahmad,
H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), K.H. Muhammad Faqih
Usman, K.H. Muhammad Isa Anshary, K.H. Noer Alie, Boerhanuddin
Harahap, Kasman Singodimedjo, Sjafruddin Prawiranegara, Osman Raliby,
Prawoto Mangkusasmito, K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Saleh Umar Bajasut,
dan Zainal Abidin Achmad (Hidayat dan Fogg, 2018).
Bagi Masyumi, Konstituante merupakan sarana memperjuangkan Islam
untuk menjadi dasar negara. Perjuangan melalui jalur konstitusi ini
sebenarnya juga bagian dari janji Soekarno kepada para tokoh Islam beberapa
saat setelah proklamasi di tahun 1945 bahwa akan ada persidangan yang
memungkinkan umat Islam memperjuangkan Islam sebagai konstitusi negara.
Janji itu diucapkan Soekarno salah satunya untuk membujuk hati Ki Bagus
Hadikusumo, seorang tokoh Muhammadiyah dan anggota Panita Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang teguh pada pendiriannya bahwa Islam
harus menjadi landasan Republik Indonesia (Artawijaya, 2014). Janji inilah
yang kemudian ditagih oleh Kasman saat ia di Konstituante dengan
mengenang penantian Ki Bagus Hadikusumo terhadap janji itu yang bukanlah
penantian selama enam bulan, tetapi sampai pada wafatnya (Artawijaya,
2014).
Tuntutan yang sama disampaikan oleh salah satu tokoh Islam yang
tergabung dalam Panitia Sembilan, Prof. H. Abdul Kahar Muzakkir, dengan
terlebih dahulu mengingatkan seluruh anggota sidang tentang sejarah
pengubahan rumusan asli Pancasila (Pancasila Piagam Jakarta) yang ia sebut
175
sebagai pengkhianatan terhadap gentlement agreement. Ia menegaskan bahwa
Piagam Jakarta yang berhasil dirumuskan pada 22 Juni 1945 disepakati
menjadi landasan penyusunan Undang-undang Dasar pada rapat BPUKI
tanggal 10,11,14, dan 15 Juli 1945. Ayat terpentingnya adalah:
“Negara Indonesia adalah berdasar ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan
Syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Muzakkir dalam Yusran, 2001,
hal.: 94).
Prof. Kahar Muzakkir (dalam Yusran, 2001) menyatakan bahwa
Pancasila telah dirusak dengan menghilangkan nilai luhur yang
direpresentasikan melalui tujuh kata. Menurutnya, golongan yang mengubah
Pancasila Piagam Jakarta ini adalah pengkhianat gentlement agreement yang
sesungguhnya; yakni golongan sekuler dan anti agama.
Sahabat Natsir, H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka,
juga turut memperjuangkan Islam di Kontituante. Ia menggungat fraksi yang
mengklaim bahwa semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agutus 1945
adalah Pancasila. Menurut Buya Hamka (dalam Yusran, 2001), semangat
proklamasi adalah tekad yang kuat untuk merdeka dari segala bentuk
penjajahan; jiwa yang lebih memiilih mati daripada hidup hina karena dijajah.
Buya Hamka kemudian mengingatkan bahwa semangat yang demikian
tersebut disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa rasa takut hanya boleh
ditujukan kepada Allah SWT. Ia juga mengungkap fakta sejarah bahwa yang
menyertai perjuangan bangsa Indonesia adalah jargon-jargon Islam –
“Allahuakbar”, bukan Pancasila (Amrullah dalam Yusran, 2001). Ia
menegaskan:
176
“Allahu Akbar yang tertulis dalam dada saudara itulah sekarang yang kami mohon
direalisasikan. Allahu Akbar, yang di dalamnya terkandung segala macam sila, baik
panca atau sapta, atau dasa. Alahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara ketika
menghadapi bahaya besar! Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara di saat
maut telah melayang-layang di atas kepala saudara. ................
Semangat Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah Pancasila, saudara ketua,
Bung Karno seorang ahli pikir negara terbesar di zaman ini, niscaya akan menyebut
Pancasila dalam Proklamasi tanggal 17 Agustus, kalau Pancasila itu memang telah
ada pada waktu itu” (Amrullah dalam Yusran, 2001, hal.: 100-101).
Pada penutup salah satu pidatonya, Buya Hamka meyakinkan seluruh
anggota sidang bahwa implementasi ajaran Islam dalam kehidupan bangsa
Indonesia merupakan cara untuk menjamin Pancasila itu sendiri karena pada
hakikatnya Islam sudah secara lengkap mencakup apa yang disebutkan dalam
Pancasila, tapi tidak sebaliknya (Amrullah dalam Yusran, 2001).
K.H. Isa Anshary, sahabat Natsir dan ketua Persis, juga turut berjuang
di Konstituante. Dengan sangat tegas ia menyatakan bahwa Pancasila adalah
ideologi yang tidak jelas tafsirannya sehingga tidak layak untuk dijadikan
pedoman. Pernyataannya ini didasarkan pada analisis kritisnya terhadap
pidato Soekarno tentang lima sila yang dapat diringkas menjadi tiga sila dan
dapat diringkas lagi menjadi satu sila yang disebut “gotong royong” (Anshary
dalam Yusran, 2001). Menurut K.H. Isa Anshary, ideologi seperti itu tidak
dapat diterima karena melenyapkan Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid).
Dengan mengutip Al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 ia memperingati seluruh
anggota sidang bahwa golongan yang menolak Islam sebagai konstitusi
negara dapat digolongkan menjadi tiga kelompok : 1) kafir, bagi yang
menganggap ada hukum yang lebih baik daripada hukum Islam dan
beranggapan akan ada disintegrasi NKRI jika hukum Islam
177
diimplementasikan; 2) dzalim, bagi yang menetapkan hukum selain hukum
Islam karena kebodohannya; dan 3) fasik, bagi yang mengetahui hukum
Islam, tetapi enggan untuk menggunakannya karena spekulasi dan keinginan
pribadi (Anshary dalam Yusran, 2001).
Tokoh lainnya yang turut serta dalam perjuangan di Konstituante adalah
sahabat Natsir sejak di JIB, yakni Kasman Singodimedjo. Kasman yang
dikenal sebagai orator ulung yang sangat teguh memegang pendiriannya ini
sempat menantang Nyoto (fraksi PKI) untuk membantah pendapat Kasman.
Sebelumnya, Nyoto berkata bahwa Pancasila telah didukung mayoritas
golongan, yakni nasionalis, Protestasn, Katholik, komunis dan sebagian
golongan Islam. Pernyataan Nyoto ini kemudian didebat oleh Kasman dengan
menjadikan pernyatan tersebut sebagai bentuk afirmasi terhadap penerapan
Islam sebab seluruh sila dalam Pancasila telah dijamin dalam ajaran Islam.
Sehingga jika mayoritas golongan yang disebut Nyoto itu menyetujui
Pancasila, maka mereka sebenarnya menyetujui Islam yang menurut Kasman
dan para tokoh Islam adalah pedoman kehidupan terlengkap. Kasman
menganalogikan Islam sebagai lingkaran, sedangkan Pancasila adalah salah
satu titik kecil di dalamnya (Singodimedjo dalam Yusran, 2001). Kasman
kemudian menjelaskan:
“Itulah pula, saudara ketua, bahwa saya sebagai orang yang mempunyai “geloof”
tidak mungkin akan menganggap Pancasila sebagai “supergeloof”, Saya tidak
mengenal supergeloof seperti saya juga tidak mengenal supergod!. Bagi saya geloof
itu hanya satu, seperti juga God hanya satu” (Singodimedjo dalam Yusran,
2001, hal.: 310).
178
Sebelumnya, Natsir juga menyampaikan pidato pembelaannya terhadap
Islam sebagai dasar negara. Pada hakikatnya, yang dikhawatirkan Natsir
bukanlah Pancasila itu sendiri, tetapi potensi besar penyelewengan Pancasila
yang ditafsirkan dengan pemahaman sekularisme dan bahkan komunisme.
Oleh karena itu, dalam pidatonya, Natsir mengulas secara sistematis
mengenai berbagai sisi negatif sekularisme. Natsir (dalam Yusran, 2001)
mendefinisikan sekularisme sebagai paham yang berorientasi pada keduniaan
dan mengabaikan wahyu sebagai sumber pengetahuan. Artinya orang-orang
sekuler tentu sangat antipati terhadap penerapan aturan agama, khususnya
Islam.
Menurut Natsir, sekulerisme adalah ideologi yang tidak memiliki
ketentuan yang tegas. Oleh karena itu, Natsir (2014) berkata bahwa
menggunakan dasar negara yang dijiwai paham sekulerisme ialah seperti
berpindah dari bumi menuju ruang hampa. Bagi Natsir (dalam Yusran, 2001),
menjadikan Islam yang memiliki ketegasan dan sumber yang jelas sebagai
dasar negara adalah pilihan terbaik dibandingkan dengan ideologi rancangan
manusia yang multitafsir dan rentan terhadap pembajakan oleh golongan anti
agama.
Semangat para tokoh Islam saat itu dalam memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara bukan hanya karena Islam adalah agama yang dianut
oleh mayoritas rakyat Indonesia, tetapi karena kesempurnaan Islam yang
tidak hanya mampu mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi juga
menjamin kehidupan beragama (Natsir dalam Yusron, 2001). Dalam
pidatonya Natsir berseru:
179
“Sila-sila yang saudara maksud ada terdapat dalam Islam, bukan sebagai pure
concept yangs teril, tetapi sebagai nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi riil
dan jelas. Dengan menerima Islam sebagai filsafat negara, saudara-saudara pembela
Pancasila sedikitpun tidak dirugikan apa apa. Baik sebagai pendukung Pancasila
atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memeroleh satu state philosophy
yang hidup berjiwa, berisi tegas dan mengandung kekuatan” (Natsir, dalam
Yusron, 2001, hal.: 38).
Kolaborasi Natsir dan kawan-kawannya dalam memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara menjadi bukti sejarah bahwa hukum Islam hampir saja
berhasil menjadi landasan kehidupan NKRI. Namun, jerih payah para pendiri
bangsa dalam berlomba-lomba menyajikan falsafah terbaik di forum yang
paripurna harus terhenti saat Soekarno menetapkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Dekrit itu menjadi landasan hukum pembubaran Konstituante. Menurut
Adnan Buyung Nasution (dalam Artawijaya, 2014), dekrit ini menjadi bukti
bahwa Konstituante tidak gagal, tetapi digagalkan. Meskipun demikian,
Dekrit Presiden tersebut memberikan sebagian keuntungan bagi umat Islam,
yakni penggunaan Piagam Jakarta sebagai landasan yang menjiwai dan
merupakan satu-kesatuan dari UUD 1945 (Husaini, 2009; Artawijaya, 2014).
4.3.6 Pandangan Natsir tentang Kebangsaan dan Negara
Natsir tidak mempertentangkan Islam dengan kebangsaan, negara dan
Pancasila. Baik kebangsaan, negara, maupun Pancasila, seluruhnya ternaungi
di dalam Islam (Natsir dalam Yusron, 2001; Kahin, 2012). Natsir
memosisikan Islam sebagai hal tertinggi dari segala konsep dan ideologi –
Islam merupakan kesatuan sistem kehidupan yang setiap muslim harus
menerapkannya dalam setiap sektor kehidupannya, baik sosial, politik,
hukum, ekonomi, kebudayaan, dan bidang kehidupan lainnya.
180
Berkaitan dengan kebangsaan, Natsir (dalam Kahin, 2012) menyatakan
bahwa Islam tidak mempermasalahkan kebangsaan serta menentang asumsi
bahwa Islam menolak rasa cinta terhadap tanah air. Menurutnya, seorang
muslim yang taat juga harus menunjukkan rasa syukurnya sebagai seorang
berkebangsaan Indonesia, memiliki bahasa, kebudayaan yang khas Indonesia,
seperti batiknya, musiknya, dan berbagai unsur kebudayaan lainnya (Natsir
dalam Kahin, 2012).
Hal yang ditentang Natsir adalah jika kebangsaan ditranformasikan
menjadi sebuah ideologi yang kemudian membangkitkan rasa kecintaan
berlebih hingga meganggap bangsanya yang paling baik dan mendeskriditkan
bangsa lainnya (Natsir dalam Kahin, 2012). Natsir mendukung penentangan
terhadap kolonialisme; tetapi berlandaskan pada Islam, Natsir menentang,
xenophobia, rasisme terhadap bangsa mana pun, termasuk bangsa Barat yang
pernah menjajah Indonesia, mencakup juga nasionalisme. Taufik Abdullah
(dalam Kahin, 2012), seorang pakar sejarah Indonesia yang pernah menjabat
sebagai ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan
bahwa Natsir membedakan nationality (kebangsaan) dengan nationalism. Ia
menjelaskan bahwa nasionalisme menurut Natsir adalah ideologisasi dari
cita-cita kebangsaan. Artinya, apa yang menjadi sebuah ketentuan Allah هلالج لج
tentang ras, suku bangsa, dan etnis tidak boleh dijadikan landasan ideologi
yang memecah manusia menjadi golongan-golongan yang masing-masingnya
kemudian menganggap bangsanya lebih unggul dibandingkan lainnya. Natsir
(dalam Kahin, 2012) memandang perbedaan dalam ras, suku bangsa dan etnis
sebagi kehendak Allah هلالج لج yang harus disyukuri.
181
Berkaitan dengan negara, Natsir (dalam Maarif, 1985), mengemukakan
lima unsur yang menjadi syarat berdirinya sebuah negara, yakni: (1) wilayah,
(2) rakyat, (3) pemerintah, (4) kedaulatan, dan (5) konstitusi atau sumber
hukum lainnya yang tidak tertulis. Natsir memandang negara sebagai hal
yang perlu diperjuangkan bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai „alat‟
untuk menerapkan hukum-hukum Islam.42
Tujuan didirikannya sebuah negara
itu sendiri menurut Natsir adalah untuk menyempurnakan penerapan syariat,
baik yang mengatur kehidupan individu maupun masyarakat, serta baik yang
berkenaan dengan urusan dunia, maupun akhirat (Natsir, 1975). Pandangan
Natsir ini serupa dengan pandangan Ibnu Taimiyah yang juga merupakan
seorang reformis Islam (Saleh, 1995).
Menurut Natsir (1968), sebuah „alat‟ merupakan sesuatu yang dapat
berkembang dari masa ke masa, sehingga sangat mungkin suatu „alat‟
menjadi jauh lebih baik di masa mendatang. Oleh karena itu, Natsir (1968)
memandang bahwa dalam ajaran Islam sekalipun tidak ada bentuk yang baku
atau absolut dari sebuah negara. Natsir (dalam Saleh, 1995) berpendapat
bahwa umat Islam bebas merancang sistem tata negara sesuai dengan kondisi
mereka serta dapat mencontoh sistem pemerintahan yang diterapkan oleh
negara-negara lain selama sistem itu dinilai dan diyakini sebagai metode
terbaik untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang dikehendaki Islam. Hal
terpenting yang diperingatkan oleh Natsir adalah sistem tersebut tidak boleh
bertentangan dengan syariat Islam (Natsir, 1975). Selain itu, ia juga
memperingatkan kaum muslimin agar melakukan penilaian yang kritis
42
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
182
terhadap sistem yang telah ada, sehingga pemilihan terhadap sistem lainnya
yang dianggap terbaik adalah sebuah keputusan yang bijaksana (Mahendra,
1994).
Sikap yang dijelaskan di atas, menurut Natsir, adalah bentuk ijtihad
umat Islam, dalam rangka mengatur kehidupan bernegara pada suatu konteks
atau kondisi spesifik dengan menerapkan asas-asas umum dalam al-Quran
dan as-Sunnah (Mahendra, 1994). Berlandaskan pada pandangan Natsir,
pihak-pihak yang dapat melakukan ijtihad tersebut tidak terbatas pada ulama
yang secara khusus menguasai ilmu agama, tetapi juga golongan
cendekiawan dan pemimpin-pemimpin yang mendapatkan kepercayaan dari
rakyat (Mahendra, 1994).
Salah satu sistem yang dapat mewujudkan tujuan Islam menurut Natsir
adalah demokrasi yang dapat menjamin kebebasan berserikat,
mengemukakan pendapat serta mengutarakan sikap secara terbuka kepada
pemerintah, baik mendukung, menegur, bahkan menjadi oposisi (Natsir,
1975). Natsir menentang sistem demokrasi terpimpin, gagasan Soekarno,
yang tidak bertoleransi terhadap perbedaan pendapat, tidak menghendaki
adanya oposisi, bahkan ingin meniadakan partai-partai (Saleh, 1995). Natsir
menganggap sistem seperti ini sebagai sistem diktator yang justru akan
menimbulkan kerugian serta secara tidak langsung memberikan keleluasaan
bagi golongan komunis untuk mendapatkan penerimaan secara lebih luas
(Mahendra, 1994).
183
4.4 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Pendidikan
4.4.1 Natsir Menjadi Pendidik Sejak Muda
Kata “perjuangan” yang diterjemahkan oleh Natsir saat usianya masih
delapan tahun sebagai usaha meggapai pendidikan yang lebih baik melengkapi
sosok Natsir sebagai pejuang yang holistik. Pendidikan tidak hanya menjadi
objek yang Natsir perjuangkan untuk dirinya sejak kecil, tetapi juga menjadi
sarana perjuangan untuk mencerdaskan lingkungan sekitarnya hingga
menyentuh berbagai generasi bangsa.
Potensi besar Natsir sebagai pendidik sudah terlihat sejak ia berada di
HIS atau sekolah dasar, tepatnya saat ia dipercaya menjadi seorang asisten
pengajar Sekolah Diniyyah di Solok selama beberapa bulan. Kiprahnya sebagai
seorang pengajar kemudian berlanjut saat ia telah lulus dari AMS pada tahun
1930; saat itu usianya adalah 22 tahun. Natsir dipercaya mengajarkan
pendidikan Agama Islam di HIS, MULO dan Holland Indische Kweekschool
(HIK) atau Sekolah Guru di Bandung; yang pertama kali memberikannya
kepercayaan untuk mengajar adalah MULO dan HIK Gunung Sri di Lembang
(Husaini, Noer, dan Ujang, 2017). Status Natsir saat itu bukanlah menjadi
tenaga pengajar yang gajinya dijamin oleh pemerintah. Bahkan, ia menolak
untuk menjadi pegawai negeri. Padahal jika ia bekerja sebagai pegawai
pemerintahan, ia akan mendapatkan gaji yang besar. Gaji paling kecil saat itu
adalah F.130; sedangkan harga beras saat itu kurang dari F. 0,05 (5 sen per
kilogram) (Rosidi, 1990). Jika dibandingkan dengan harga beras saat itu
dengan rata-rata harga sekitar Rp 5.000 per kilogram, maka gaji Natsir jika
menjadi pegawai pemerintahan mencapai Rp 13 juta per bulan.
184
Natsir memang seorang idealis; gaji yang besar pun tidak mampu
memengaruhinya untuk secara pragmatis menentukan pilihan kariernya sebagai
pegawai pemerintah. Ia lebih memilih menjadi pengajar yang “merdeka”;
pengajar yang tergerak karena motivasinya senidri (Husaini, Noer, dan Ujang,
2017). Motivasinya untuk menjadi seorang pengajar pendidikan Agama Islam
pun bukan karena ingin mencari aktivitas alternatif setelah ia memutuskan
untuk tidak melanjutkan studinya di tingkat Pendidikan Tinggi. Keinginannya
menjadi seorang pengajar timbul karena ada kegelisahannya melihat generasi
muda terdidik saat itu yang sedikit sekali memahami Islam. Dalam sebuah
pernyataan yang dikutip oleh majalah Tempo (dalam Husaini, Noer, dan
Ujang, 2017), Natsir menegaskan alasannya tersebut, bahkan dengan sangat
berani ia menyatakan bahwa jika dirinya tidak diberikan gaji bukan suatu
masalah baginya; ia akan tetap mengajar.
Saat mengajar pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah tersebut,
Natsir menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya.
Kebijakannya ini merupakan bagian dari strateginya untuk meningkatkan citra
Islam agar terlepas dari stigma keterbelakangan karena tidak menggunakan
bahasa Belanda yang saat itu merupakan bahasa kalangan terdidik dan menjadi
penentu kemajuan (Husaini, Noer, dan Ujang, 2017).
Kesempatan berharga untuk mengajar di beberapa sekolah tersebut
tidak dimanfaatkan olehnya dengan hanya sekedar menjadi pengajar biasa yang
mengulang untuk menyampaikan materi yang termuat di buku-buku yang telah
ada. Natsir menunjukkan kualitasnya bukan hanya sebagai seorang pengajar,
tetapi sebagai penyusun materi pembelajaran dengan menulis sebuah buku
185
Gambar 16. Halaman pertama (a) dan daftar isi (b) buku Komt Tot Het Gebed!
Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin Abdul
Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
(a) (b)
yang merupakan permintaan Soekarno saat dibuang ke Endeh (Husaini, Noer,
dan Ujang, 2017). Buku itu merupakan hasil dari himpunan dari tulisan-
tulisannya tentang materi pengajaran Agama Islam; khususnya tentang
penjelasan mengenai rukun iman serta rukun Islam yang menjadi pondasi bagi
pengamalan agama Islam. Buku itu berjudul Komt Tot Het Gebed! Yang
artinya “Marilah Shalat!”.
Keputusan Natsir untuk menjadi pengajar yang “merdeka” karena
terdorong oleh permasalahan umat di sekelilingnya menujukkan kapasitasnya
sebagai seorang pemimpin dan ideolog dalam bidang pendidikan. Ia sangat
yakin bahwa cara terbaik memajukan bangsanya adalah melalui jalur
pendidikan. Pandangan ini ia sampaikan dalam pidatonya saat rapat Persatuan
Islam pada tanggal 17 Juni 1934 di Bogor. Judul pidato yang ia bawakan
sangat jelas menunjukkan bahwa Natsir adalah seorang cendekiawan muda
186
yang mampu merumuskan ide-ide cemerlang untuk pembenahan masyarakat;
judul pidato itu adalah “Ideologi Pendidikan Islam”. Natsir menegaskan bahwa
kemajuan suatu bangsa itu bergantung pada kualitas pendidikan yang terdapat
dalam bangsa itu (Luth, 1999). Lebih lanjut lagi, Natsir menegaskan bahwa ada
prasyarat untuk mencapai kemajuan melalui pendidikan yang berkualitas,
yakni adanya para guru yang rela berkorban. Pandangan Natsir itu bersumber
dari Dr. G.J. Nieuwenhuis yang menyatakan bahwa:
“Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru
yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya” (Anshari dan Rais dalam
Husaini, Noer, dan Ujang, 2017, hal.: 19).
Strategisnya peran guru ini yang juga menjadi alasan Natsir untuk
menjadi seorang pengajar di sekolah-sekolah yang menurutnya sangat jauh dari
sentuhan pendidikan Agama Islam. Namun, statusnya sebagai pengajar yang
“merdeka” tidak membuat Natsir merasa bahwa dirinya telah memiliki banyak
ilmu dan kemudian kehilangan motivasi untuk belajar. Natsir juga
memperdalam agama Islam dengan A. Hassan. Pada siang harinya ia akan
membantu A. Hassan untuk menerbitkan majalah “Pembela Islam” dan malam
harinya ia mengaji Al-Quran serta membaca kitab-kitab berbahasa Arab dan
Inggris. Natsir juga menempuh pendidikan diploma guru di sekolah khusus
guru yang bernama Lager Onderwijs (LO) pada tahun 1931 sampai dengan
1932 (Kahin, 2012). Pendidikan guru yang ia dapat di LO ini kemudian
menjadi salah satu modal untuk mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama
“Pendidikan Islam” atau Pendis. Pendis inilah yang menjadi cikal bakal
Sekolah Terpadu Islam yang ada saat ini (Husaini, Noer, dan Ujang, 2017).
187
4.4.2 Natsir Mendirikan Pendidikan Islam (Pendis)
Perjuangan dan pengorbanan adalah dua hal yang mengawali berdirinya
sebuah sekolah hasil idealisme Natsir yang bernama Pendidikan Islam atau
Pendis. Saat lulus dari AMS, Natsir berhasil meraih hasil yang membanggakan
dan memenuhi kualifikasi untuk memeroleh beasiswa dari pemerintah.
Pimpinan AMS memberikannya dua pilihan tempat untuk melanjutkan
studinya dengan beasiswa tersebut, yakni di Fakultas Hukum di Batavia atau di
Fakultas Ekonomi di Rotterdam (Kahin, 2012). Kesempatan studi lanjut ini
sesuai dengan harapan orang tuanya dan cita-cita Natsir sejak kecil yang ingin
mendapatkan gelar Meester in de Rechten; sebuah gelar yang diberikan untuk
seorang yang telah menempuh pendidikan tinggi di bidang hukum atau secara
harfiah dapat diartikan sebagai “ahli hukum” atau gelar yang setaraf saat ini
adalah Sarjana Hukum. Namun, perjuangan mencapainya tentu berbeda karena
saat itu tidak sembarangan orang yang bisa mendapatkan akses meanjutkan
pendidikan tinggi.
Natsir pun menanggapi tawaran beasiswa itu dengan sikap yang
mengejutkan. Ia menolak beasiswa sebesar Rp 130 per bulan tersebut dan lebih
memilih memperdalam agama Islam dan kemudian mendirikan Pendis; sekolah
swasta yang tidak mampu menjamin gaji pengajarnya seperti pemerintah,
bahkan gedung yang digunakan pun adalah gedung sewaan. Dalam sebuah
suratnya kepada anak-anaknya yang ditulis pada tahun 1958 saat ia bergerilya
di hutan Sumatera Barat sebagai anggota PRRI, Natsir mengungkapkan:
“Aneh! Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu
lapangan yang paling penting daripada itu semua. Aba ingin mencoba menempuh
jalan lain. Aba ingin berkhidmat kepada Islam dengan langsung. Belum terang benar
188
Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya. Tapi dengan
tidak pikir-pikir Aba putuskanlah bahwa tidak akan melanjutkan pelajaran ke
Fakultas manapun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih
dahulu. Setelah itu bagaimana nanti” (Husaini, Noer, dan Ujang, 2017, hal.:
7).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Natsir yang menolak
tawaran beasiswa itu kemudian memilih untuk menjadi pengajar di HIS,
MULO dan HIK di Lembang Bandung. Namun, ia kecewa mendapati realitas
kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah tersebut yang tidak
mengakomodasi pendidikan agama. Menurutnya, model pendidikan Belanda
hanya mengedepankan kecerdasan intelektual dan mengabaikan kecerdasan
spiritual. Sehingga para siswa di sekolah itu hanya dikembangkan otaknya,
sedangkan jiwanya dibiarkan kosong tanpa penghayatan terhadap agama. Di
sisi lain, Natsir mengkritik model pendidikan yang digunakan di lingkungan
pesantren pada umumnya yang cenderung mengabaikan perkembangan dunia,
meskipun telah memberikan pendidikan agama dengan sangat baik.
Kegelisahannya mencari model pendidikan dari sekolah yang ada saat itu pun
tidak berhenti. Natsir juga mengkritik Taman Siswa yang didirikan oleh Ki
Hajar Dewantara karena menurutnya terlalu mengagungkan nasionalisme dan
juga menunjukkan rasa primordialisme ke-Jawa-an yang tinggi atau bersifat
Jawa-sentris (Kahin, 2012).
Setelah melakukan pengamatan terhadap model pendidikan dari
sekolah-sekolah yang ada saat itu dan tidak menemukan satu pun yang cocok
dengannya, pada tahun 1932 Natsir memutuskan untuk mulai membangun
sekolahnya sendiri dengan landasan serta tujuan yang sesuai dengan
idealismenya. Kriteria model pendidikan yang hendak diterapkan oleh Natsir
189
pada sekolahnya ada tiga; pertama, para siswa akan memeroleh ilmu
pengetahuan modern sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah milik
Belanda. Kedua, kegiatan belajar-mengajarnya mampu menanamkan kesadaran
dan rasa bangga menjadi seorang muslim dalam diri siswa. Ketiga, kegiatan
belajar-mengajarnya mampu memperluas dan memperdalam wawasan siswa
mengenai agama Islam (Kahin, 2012).
Natsir sadar jika modal ketrampilan guru yang ia dapatkan di LO dan
semangatnya yang sangat besar tidak cukup untuk mendirikan Pendis. Oleh
karena itu, Natsir meminta bantuan orang-orang dekatnya agar memberikan
dukungan materi atau finansial. Jaringan luas yang dimiliki oleh Natsir di
beberapa organisasi pun menjadi salah satu unsur pendukung keberhasilannya
mendirikan Pendis. Salah seorang tokoh sekaligus pendiri Persatuan Islam
bernama Haji Muhammad Yunus memberikannya pinjaman untuk dibelikan
bangku dan meja belajar (Kahin, 2012). Selain itu, Muhammad Yunus juga
berjasa dalam pengembangan Pendis menjadi institusi pendidikan yang lebih
besar dan memadai fasilitasnya. Atas bantuannya, Pendis yang mulanya
berlokasi di sebuah gedung kecil di Jalan Lengkong Besar Nomor 16 kemudian
pindah ke gedung yang lebih besar dan luas di Jalan Lengkong Besar Nomor
74 (Tim KPG-Tempo, 2011). Gedung baru itu memiliki ruangan yang lebih
banyak dan halaman yang luas.
Fasilitas yang semakin memadai ini menambah semangat Natsir untuk
mengembangkan Pendis. Sebagaimana ambisinya di awal, Natsir merancang
model pengajaran Pendis berbeda dengan sekolah-sekolah yang ada saat itu,
termasuk sekolah-sekolah miliki Muhammadiyah yang memadukan pendidikan
190
agama tradisional dengan pendidikan modern. Kurikulum Pendis mirip dengan
sekolah-sekolah Belanda dengan tambahan pendidikan agama Islam. Selain itu,
Pendis juga mengadopsi model pengajaran yang berkembang di German
Arbeid Schulen yang menekankan pada praktik. Oleh karena itu, para siswa
Pendis diajarkan cara berkebun sekaligus strategi pemasaran (Kahin, 2012).
Para siswa Pendis juga diajarkan musik, kemudian diminta untuk membuat
lagunya sendiri. Natsir ikut andil dalam pengajaran musik ini sebagai guru
violin. Setiap satu tahun sekali, para siswa akan mengadakan pentas musik,
drama dan juga kerajinan tangan (Tim KPG-Tempo, 2011). Melalui pendidikan
kesenian ini, Tonil atau sandiwara milik siswa Pendis adalah Tonil yang
terkenal di Bandung saat itu (Tim KPG-Tempo, 2011). Hal menarik lainnya
adalah kemandirian para siswa dalam mengurus peribadatan, khususnya shalat
Jumat. Para siswa pun diberikan kepercayaan untuk menjadi khotib setiap
shalat Jumat.
Perjuangan Natsir dalam mendirikan Pendis ini tidak terlepas dari
jaringannya dengan tokoh dan pendiri Persis, Haji Muhammad Yunus
membantu Natsir mewujudkan mimpinya. Selain itu, keberhasilan Natsir dalam
membangun Pendis dan bahkan dalam berbagai perjuangan lainnya, tidak
terlepas dari peran penting istrinya Ummi Nur Nahar.43
Saat awal pendirian
Pendis, Natsir yang telah mengenal Ummi saat di JIB Padang meminta bantuan
Ummi untuk mengajar di Pendis. Ummi yang awalnya menjadi guru negeri di
sekolah Arjuna kemudian memutuskan untuk berhenti dari sekolah tersebut
dan memilih mengabdikan dirinya di Pendis. Padahal, gaji tetap yang diperoleh
43
Ibid
191
Ummi sebagai guru negeri tergolong besar. Bahkan dengan gajinya ini Ummi
dapat menabung dan membeli perhiasan (Hakiem, 2017). Sedangkan Pendis
yang saat itu baru saja dibangun tidak dapat memberikan jaminan untuk
memberikan gaji tetap, apalagi dengan besaran yang sama seperti yang
diberikan pemerintah. Namun, Ummi tidak memandang itu. Dua tahun setelah
Pendis didirikan, Natsir pun menikahi Ummi dan Ummi ikut mengambil peran
sebagai “tulang punggung” Pendis. Perhiasan yang ia beli dari uang gajinya
saat menjadi guru negeri pun tidak segan ia gadaikan untuk membiayai
operasional Pendis (Kahin, 2012).
Dukungan yang diberikan Ummi kepada Natsir ini tentu sesuai dengan
kisah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah yang didukung
oleh istri pertamanya, Siti Khadijah. Siti Khadijah bahkan rela menginfaqkan
seluruh harta dan jiwanya untuk perjuangan Nabi (Al-Mubarakfuri, 2011).
Lukman Hakiem (2017) dalam bukunya menyifati sosok Ummi sebagai istri
yang tabah dan tidak pernah mengeluh. Ia sangat setia menemani suaminya
dalam berbagai momentum perjuangan; saat masa sulit di zaman penjajahan,
saat Natsir menjadi menteri penerangan dan perdana menter, saat masa gerilya
PRRI di hutan belantara Sumatera, saat Natsir dijebloskan ke penjara oleh
rezim Orde Lama tanpa ada proses pengadilan, dan saat Natsir memutuskan
untuk berjuang lewat jalur dakwah hingga Ummi wafat pada 22 Juli 1991.
Kesetiaannya ini membuat Natsir sangat mencintai dan juga
menghormati istrinya. Ramlan Mardjoned mengisahkan sikap Natsir ini saat ia
menjadi sekretaris pribadi Natsir dan sering mendengarkan Ummi cerita
sebelum mulai bekerja:
192
“Saya dengarkan Umi cerita, walaupun ceritanya itu sudah berulang-ulang. Pak
Natsir juga ikut mendengarkan. Setelah cerita, baru Pak Natsir bilang, “Udah ya
Ummi, kami mau kerja. Ayo Ramlan kita kerja”. Tidak langsung serta merta menarik
saya saat Ummi sedang cerita. Dihormati betul istrinya. Luar biasa”.44
4.4.3 Membangun Pendidikan Melalui Penguatan Benteng Pertahanan
Umat
Salah satu karya intelektual Natsir adalah formulasi pendidikan
integralnya dengan memperteguh “Benteng Pertahanan Umat” yang terdiri dari
tiga komponen atau pilar yang terintegrasi, yakni pilar masjid, pilar pesantren
dan pilar kampus. Hakiem (1995) dalam sebuah tulisannya yang dimuat di
Majalah Media Dakwah Nomor 258 tahun 1995 menjelaskan bahwa integrasi
tiga pilar tersebut dijuluki “Benteng Pertahanan Umat” oleh Mohammad Natsir
karena ketiganya memiliki peranan penting dalam keberlanjutan peradaban
bangsa, yakni menjadi pusat-pusat pembangunan pendidikan. Masjid menjadi
pusat dari segala aktvitas umat; pusat kekuatan bagi pembangunan umat di
44
Ibid
Gambar 17. Mohammad Natsir bersama Ummi dan anak-anaknya
Sumber : Lukman Hakiem. (2017) Merawat Indonesia, Belajar dari Tokoh dan Peristiwa
193
segala bidang. Sedangkan pesantren dan kampus merupakan “inkubator” yang
melahirkan generasi bangsa berkualitas dengan memeroleh pendidikan. Lebih
spesifik lagi, pesantren merupakan “barak” yang menghasilkan kader-kader
da‟i, muballigh, ulama‟. Sedangkan kampus merupakan “barak” yang
menghasilkan kader-kader intelektual yang secara khusus menguasai ilmu
pengetahuan umum.45
Gagasan Mohammad Natsir mengenai pembangunan umat melalui
pendidikan yang mengintegrasikan tiga pilar benteng pertahanan umat
bukanlah hal baru. Model penyelesaian masalah secara integral ini memang
menjadi ciri khas Mohammad Natsir. Bahkan, dengan model penyelesaian
masalah ini Natsir dapat menyatukan kembali Indonesia yang sudah berada di
ambang perpecahan, yakni melalui Mosi Integral. Semangat untuk meng-islah-
kan dan kemudian menyatukan adalah ajaran dasar dalam Islam yang secara
nyata diaktualisasikan oleh Mohammad Natsir.
a. Pilar Masjid
Masjid merupakan pusat dari kegiatan pembinaan umat. Di masjid
inilah semua perencanaan pembangunan bangsa, termasuk pembinaan
generasi muda dimulai. Natsir merefleksikan apa yang menjadi tradisi
orang-orang Minangkabau, yakni menitipkan anaknya ke surau-surau
untuk diberikan pembinaan keagamaan yang tidak hanya sekedar untuk
memperluas wawasannya, yang jauh lebih penting dari itu adalah
memperkuat iman-takwa serta menanamkan akhlak al karimah atau akhlak
yang mulia. Orang-orang Minangkabau biasa menyebutnya sebagai
45
Ibid
194
“tradisi surau”. Tradisi ini membuktikan bahwa dengan mengawali
pembangunan generasi dari masjid, akan lahir tokoh-tokoh bangsa yang
patut menjadi teladan. Mohammad Natsir sendiri adalah generasi unggul
yang “pembentukan” awalnya dimulai dari tradisi surau ini.
Penempatan masjid pada posisi sentral di antara pilar Benteng
Pertahanan Umat lainnya ini berasas pada pemikiran Natsir mengenai
tujuan pendidikan. Menurut Natsir, tujuan pendidikan itu sama dengan
tujuan hidup manusia, yakni menjadi pengabdi Allah jalla jalaluh untuk
memeroleh ridho-Nya (Luth, 1999). Pandangan ini juga pernah
dikemukakan olehnya dalam majalah Pembela Islam terbitan tahun 1938.
Ia menjelaskan secara lebih terinci; tidak hanya mengenai tujuan
pendidikan tetapi juga dasarnya. Ia menegaskan bahwa dasar pendidikan
adalah tauhid yang secara ideal terkandung dalam syahadatain; artinya
segala jenis ilmu pengetahuan harus dilandasi dengan ideologi
monotheisme atau kepercayaan pada satu Tuhan.
Terjemahan :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar" (Kemenag RI, 2011).
Tauhid atau monotheisme ini secara sederhana dapat dipahami
sebagai seruan bahwa setiap manusia tidak boleh menjadi hamba pada satu
195
hal pun kecuali pada Allah هلالج لج. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau
yang akrab disapa Buya Hamka (1988) menjelaskan dalam kitab tafsirnya
bahwa mempersekutukan Allah هلالج لج adalah perbuatan aniaya yang merusak
tujuan kehidupan manusia, meskipun mereka mencapai kemajuan dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi. Tafsiran Buya Hamka ini serupa dengan
pandangan Natsir. Dasar dan tujuan pendidikan ideal yang bersumber pada
tauhid ini akan memerdekakan manusia dari segala bentuk penjajahan
yang tidak hanya mengekang raga, tetapi juga pikirannya. Jika manusia
telah merdeka dari penghambaan selain Allah, maka ia akan menjadi
ulama‟ maupun cendekiawan yang tidak menggunakan ilmu
pengetahuannya untuk “menghambakan diri” pada ambisi terhadap tahta,
harta, gelar kehormatan untuk kebanggan, dan berbagai bentuk
penghambaan pada nafsunya. Ia akan mencapai kemerdekaan, yakni
kebebasan yang terhormat dengan panduan kaidah Tuhan yang terhimpun
dalam agama, bukan kebebasan yang tanpa batas. Natsir pernah
menentang pendapat Soekarno yang sangat mengedepankan kebebasan
berpikir tanpa menjadikan agama sebagai pondasi maupun panduannya. Ia
menegaskan bahwa kebebasan yang seperti itu suatu bentuk anarkisme
yang akan menghasilkan kesesatan yang mengerikan (Kahin, 2012).
Sebuah kisah ironis tentang keunggulan akal yang tumbuh tanpa
panduan agama dikutip oleh Natsir dalam bukunya yang berjudul “Islam
dan Akal Merdeka”. Tokoh yang ia kisahkan adalah seorang guru besar
ilmu Fisika bernama Prof. Paul Ehrenfest. Meskipun memiliki gelar guru
besar, dikenal memiliki perilaku yang baik serta bergaul dengan kalangan
196
cendekiawan yang berperilaku baik juga, Prof. Ehrenfest memilih
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bahkan, sebelum itu ia
membunuh anaknya terlebih dahulu. Dalam sebuah suratnya kepada
sahabatnya yang bernama Prof. Kohnstamm ia menceritakan
kegelisahannya:
“Mir fehlt das Gott Vertrauen. Religion ist notig. Aber wem sienicht moglich ist,
der kann eben zugrunde gehen. (Yang tak ada pada saya, ialah kepercayaan
kepada Tuhan. Agama adalah perlu. Tetapi barang siapa yang tidak mampu
memiliki agama, ia mungkin binasa lantaran itu, yakni bila ia tidak bisa
beragama)” (dalam Natsir, 2015, hal.: 13).
Oleh karena itu, berlandaskan pada dasar dan tujuan pendidikan
ideal ini, Natsir selalu mendorong pembangunan berbagai Islamic Centre
di berbagai lingkungan, termasuk di lingkungan kampus yang sekuler.
Maka berdirilah berbagai Islamic Centre di berbagai kampus atau
berdekatan dengan kampus yang wujudnya adalah “rumah utama” umat
Islam, yakni Masjid, atau lebih spesifik untuk wilayah kampus dikenal
sebagai “Masjid Kampus”. Masjid Kampus ini akan menjadi tempat
bertemunya ulama dengan sarjana, mahasiswa dengan santri. Natsir
menegaskan:
“Seorang Sarjana adalah „Alim. Seorang Ulama adalah Intelektual. Kedua
golongan ini memiliki ilmu. Hanya bidangnya yang berbeda. Tapi tetap
berdampingan. Bisa memberi dan menerima agar secara berangsur-angsur bisa
menghilangkan penyakit dichotomy antara Sarjana dan Ulama, dan antara
mahasiswa dengan santri” (Amir, 1990, hal.: 52).
Program pengkaderan PHI yang kemudian berlanjut pada program
Bina Masjid Kampus berhasil dijadikan sarana oleh Natsir, sahabat-
sahabatnya serta para kadernya untuk mendukung pembangunan berbagai
197
masjid kampus. Adapun beberapa Masjid Kampus atau Islamic Centre
yang pembangunannya didukung oleh Natsir melalui Dewan Da‟wah
Islamiyah Indonesia yang dipimpin olehnya (Furkon dalam Eriadi, 2007).
1) Masjid Arif Rahman Hakim di Universitas Indonesia (UI) Kampus
Salemba, DKI Jakarta.
2) Masjid Sultan Alaudin di Universitas Muslimin Indonesia (UMI)
Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.
3) Masjid Salman di Intitut Teknologi Bandung (ITB).
4) Masjid Fatahillah di dekat UI kampus Depok.
5) Masjid Al-hijri di Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Jawa Barat.
6) Masjid At-Taqwa di IKIP Rawamangun (sekarang bernama
Universitas Negeri Jakarta), DKI Jakarta.
7) Masjid Sultan Trengganu di Semarang.
8) Masjid Al-Furqan di IKIP Bandung (sekarang bernama Universitas
Pendidikan Indonesia).
9) Masjid Al-Hikmah di IKIP Malang (sekarang bernama Universitas
Negeri Malang).
10) Masjid Manarul Ilmi di Institut Teknologi Surabaya (ITS), Jawa
Timur.
11) Masjid Al-Ghifari di Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat.
12) Islamic Centre Markaz Al-Quds Al-slamy di Padang, Sumatera
Barat.
13) Islamic Centre Shalahuddin, Daerah Istimewa Yogyakarta.
14) Islamic Centre Ibrahim Mailim di Surakarta.
198
15) Islamic Centre Darul Hikmah di dekat Universitas Lampung, Bandar
Lampung.
16) Islamic Centre Ruhul Islam di Magelang, Jawa Tengah.
Salah satu Islamic Centre yang dalam pendiriannya terdapat
kontribusi Mohammad Natsir adalah Islamic Centre yang bermarkas di Jl.
Sri Gunting Air Tawar Padang Sumatera Barat. Islamic Centre yang
berdiri megah di tengah-tengah kawasan padat penduduk yang sebagian
besar bangunan di sekitarnya adalah pemondokan mahasiswa itu
diresmikan pada hari Minggu, 16 September 1990. Natsir yang saat itu
menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia,
mengganti sebutan “Islamic Centre” menjadi nama yang lebih menarik
dan menunjukkan semangat kemajuan Islam, yakni “Markaz Al-Quds Al-
slamy” (Amir, 1990).
Wakil Gubernur Sumatera Barat saat itu, Drs. H. Sjoerkani,
mendapatkan kehormatan untuk meresmikan gedung itu. Selain Wakil
Gubernur Sumatera Barat, hadir pula Walikota Padang, H. Syahrul Ujud,
S.H., pengurus MUI Sumatera Barat, ulama‟, para tokoh masyarakat, dan
anggota Yayasan Ibu Sumbar. Pembangunan gedung tersebut dibiayai oleh
seorang muzakky yang berasal dari Arab yang dananya disalurkan melalui
Natsir selaku Ketua Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia. Adapun
pemrakarsa pembangunannya adalah Yayasan Ibu Sumbar yang berawal
dari gagasan Dr. Mochtar Naim dari Yayasan Amal Saleh Padang (Amir,
1990).
199
Ketua Yayasan Ibu Sumbar saat itu, Hj. Norma Tadjab menegaskan
bahwa tujuan pembangunan Markaz Al-Quds Al-Islamy ini adalah untuk
membina generasi muda berkualitas dengan memiliki tiga kriteria:
pertama, memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat; kedua, memiliki
pengetahuan agama yang cakap; dan ketiga, memiliki akhlak yang mulia.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan sasaran ini, salah satu fasilitas yang
disediakan adalah asrama mahasiswa yang memungkinkan para
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi tinggal di dalamnya; meskipun
sebagian besar yang menempati asrama itu adalah mahasiswa IKIP Padang
(sekarang bernama Universitas Negeri Padang) karena gedung Markaz Al-
quds Al-Islamy memang terletak sangat dekat dengan kampus IKIP, yakni
sekitar 100 meter di belakang kampus. Asrama itu juga dilengkapi dengan
ruang belajar, ruang diskusi, ruang ibadah dan fasilitas komputer.
Mahasiswa yang tinggal di asrama tersebut tidak hanya sekedar
menjadikan asrama itu sebagai tempat istirahat, tetapi mereka akan diatur
kegiatan sehari-harinya disertai pengawasan yang ketat. Ini merupakan
bagian dari upaya pembangunan bangsa yang menyentuh aspek spiritual
dan mental sumber daya manusia. Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan
Wakil Gubernur Sumatera Barat saat itu bahwa apa yang dilakukan oleh
Yayasan Ibu Sumbar sangat selaras dengan asas pembangunan nasional
yang menjaga keseimbangan antara pembangunan fisik dan pembangunan
mental-spiritual (Amir, 1990). Ia pun menjadikan Markaz Al-Quds‟ Al-
Islamy sebagai percontohan bagi organisasi maupun pihak lainnya karena
200
menurutnya tidak banyak pemondokan mahasiswa yang memerhatikan
pembinaan mental dan akhlak generasi muda.
Menurut Natsir (dalam Amir, 1990), gedung yang dibangun
hanyalah sebuah sarana atau alat, ia perlu dihidupkan dengan diberikan
perhatian. Perhatian yang dimaksud adalah kepedulian para Ulama
Universitas dan Sarjana Surau dalam melestarikannya sesuai dengan
bidang keahlian masing-masing. Istilah yang digunakan Natsir adalah
“memberikan saham”. Saham di sini tentu tidak bermakna sempit seperti
istilah saham dalam kajian ekonomi, tetapi yang lebih luas dari itu, yakni
menginfakkan harta dan jiwa untuk umat (di jalan Allah) yang dampaknya
akan berlipat ganda di masa mendatang, baik bagi dakwah maupun bagi
orang yang menginfakkan.
b. Pilar Pesantren
Mohammad Natsir memandang pesantren sebagai pilar “Benteng
Pertahanan Umat” yang sangat strategis dalam menciptakan keseimbangan
intlektual dan spiritual umat (Ramzy dalam Farida, 2005). Dalam
tulisannya berjudul “Menciptakan Ulama Lewat Pesantren” yang dimuat
dalam Serial Media Dakwah Nomor 78, ia menerangkan bahwa integrasi
pendidikan agama dan keterampilan merupakan hal yang baik untuk
mewujudkan masyarakat muslim yang mandiri dan siap berkontribusi
untuk pembangunan nasional. Pesantren yang pada umumnya berdiri di
daerah pedesaan merupakan sarana yang sangat tepat dalam upaya
pembangunan ekonomi masyarakat yang berbasis pada wiraswasta. Hal
ini tentu dapat mengubah cara berpikir masyarakat desa bahwa menjadi
201
pekerja di kota adalah pilihan yang tepat untuk mencapai taraf hidup yang
lebih baik. Secara bersamaan, hal ini akan membantu mengurangi laju
urbanisasi.
Menurut Natsir, Kemandirian dalam ekonomi ini selanjutnya juga
akan memengaruhi kualitas diri sebagai hamba Allah. Kemandirian dalam
ekonomi berarti tidak menggantungkan diri pada orang lain dengan
menjadi pekerjanya atau budaknya. Hal ini menunjukkan kemerdekaan
manusia dari segala status penghambaan kecuali kepada Allah
sebagaiamna telah dijelaskan sebelumnya mengenai akal merdeka.
Selain itu, Pondok Pesantren juga berfungsi untuk menjaga
eksistensi penuntun-penuntun rohani di tengah masyarakat secara
berkelanjutan; yang sukarela hidup di tengah umat dan menjadi pemimpin-
pemimpin informal yang mengayomi umat dan bijak dalam memberikan
nasehat mengenai berbagai permasalah umat. Para pemimpin informal
inilah yang disebut ulama. Natsir menegaskan bahwa keberadaan para
ulama yang demikian ini merupakan syarat wajib bagi kelestarian hidup
yang sesuai dengan ajaran Islam.
Meskipun tidak mengalami kehidupan pesantren secara khusus
(menjadi santri), Natsir memiliki pondasi-pondasi pendidikan kegamaan
yang diperolehnya melalui tradisi surau dan juga saat mempelajari fiqh dan
bahasa Arab di sekolah Diniyyah. Selain itu, aktivitas belajarnya mengenai
Islam kepada A. Hassan di Persis sejak tahun pertamanya di AMS (1927)
hingga tahun 1932 membuat wawasan keagamaanya semakin cakap.
Kedekatan hubungannya dengan Persis ini juga mengawali kiprahnya
202
dalam hal pembangunan dan pengelolaan pesantren. Menurut Ketua
Umum PP Persis periode V (1997 – 2010) Shiddiq Amien (dalam Tim
KPG-Tempo, 2011), Natsir adalah tokoh penting dalam pendirian
pesantren Persis pertama yang terletak di Jalan Pajagalan, Bandung dengan
memengaruhi sistem pendidikannya dan memperkenalkan sistem
administrasi dalam pendidikan pesantren.
Kiprahnya dalam dunia pesantren pun semakin sentral saat Natsir
berhasil mendukung pendirian sebuah pesantren khusus pertanian di Bogor
yang secara legal didirikan pada 9 April 1960 dengan nama Pesantren
Darul Falah atau lebih lengkapnya sesuai dengan Akta Notaris J. L. L.
Wenas adalah Yayasan Pesantren Pertanian (YPP) Darul Falah. Secara
fisik, kompleks pesantren ini mulai dibangun pada bulan Juni 1960 di atas
lahan seluas 26,6 Hektar yang diwakafkan oleh R.H.O. Djunaedi (YPP
Darul Falah, tt.).
Pendidikan formal pesantren ini secara resmi dimulai pada tahun
1963 dengan Ir. M. Saleh Widodo sebagai pimpinannya.46
Selanjutnya,
pada tahun 1968, Natsir ditetapkan sebagai Ketua Badan Penasehat
Pengurus YPP Darul Falah hingga ia wafat pada tahun 1993. Setelah itu,
Natsir digantikan oleh K.H. Hasan Basri sampai dengan wafatnya juga
pada tahun 1999. Selain ketiga tokoh tersebut, terdapat beberapa tokoh
lainnya yang pernah menjadi pengurus YPP Darul Falah (YPP Darul
Falah, tt.); yakni:
46
Ir. Saleh Widodo merupakan orang yang juga berperan penting dalam pendirian Yayasan Rumah Sakit
Islam (YARSI), khususnya saat dia dipercaya oleh Natsir untuk membuat akte pendirian YARSI (Ramlan
Mardjoned, Wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018).
203
1) Ghaffar Ismail
2) Taufiq Ismail
3) Dr. Anwar Harjono
4) Prof. Dr. AM. Saefuddin
5) Dr. K.H. Didin Hafidhuddin MS
6) Prof. Dr. Zuhal A. Qodir
Adapun tokoh-tokoh lainnya yang menempati posisi sebagai pimpinan
YPP Darul Falah (YPP Darul Falah, tt.), yakni:
1) K.H. Sholeh Iskandar sebagai Ketua Yayasan pertama (tahun
1960 – 1992);
2) Prof. Dr. Ir. H. A. Aziz Darwis, MSc. sebagai Ketua Yayasan
kedua (tahun 1992 – 2003) dan lanjut sebagai Ketua Pembina
hingga saat ini;
3) Dr. Ir. H, Meika S. Rusli sebagai Ketua Yayasan ketiga (tahun
2003 – 2013);
4) K.H. Abdul Hanan Abbas, Lc. Sebagai Ketua Yayasan keempat
(tahun 2013 – sekarang).
5) H. Hardi M. Arifin sebagai Ketua Badan Pengawas saat ini.
Nama “Darul Falah” berarti “Rumah Pertani atau “Kampung
Pertanian”. Nama ini sesuai dengan visi pesantren : mewujudkan institusi
pendidikan, dakwah dan pengembangan masyarakat yang tidak hanya
menghasilkan cendekiawan dalam bidang agama dengan karakteristik ber-
ruhul jihad yang tinggi, tetapi juga melahirkan tenaga terampil bidang
pertanian yang kreatif, inovatif dan mandiri (YPP Darul Falah, tt.).
Pendidikan pertanian yang diberikan oleh pesantren ini mencakup bidang
204
Gambar 19 . Laboratorium pertanian YPP Darul Falah
Sumber : Laman Resmi YPP Darul Falah, dapat diakses melalui https://darulfallah.org/gallery-
foto/nggallery/galeri/kegiatan
budidaya pertanian (on farm), pengolahan hasil pertanian, dan juga strategi
pemasaran hasil budidaya dan hasil olahan pertanian tersebut.
Gambar 18. Para tokoh pendiri YPP Darul Falah; dari kiri : XXX, K.H. Noer Ali, K.H.
Soleh Iskandar, Mohammad Natsir, dan XXX
Sumber : Laman Resmi YPP Darul Falah, dapat diakses melalui
https://darulfallah.org/profil/sejarah-visi-misi-dan-tujuan/
205
Model pendidikan yang ditawarkan pesantren ini tentu sangat unik;
terlebih saat itu masih ada pendikotomian antara pendidikan agama dan
pendidikan umum seperti pendidikan di bidang pertanian. Keberadaan
pesantren ini tidak hanya sekedar menjadi institusi pendidikan alternatif
bagi masyarakat sekitar atau bahkan umat Islam dari berbagai penjuru
tanah air, tetapi juga menjadi bukti bahwa sistem pendidikan pesantren
dapat terintegrasi dengan pendidikan umum, khususnya pertanian yang
merupakan sektor penting dalam pembangunan hingga saat ini. Model
pendidikan YPP Darul Falah yang disertai praktik di bidang pertanian
mengingatkan pada model pendidikan yang diterapkan Natsir pada
Pendidikan Islam yang didirikannya. Pengadopsian model pendidikan
German Arbeid Schulen ternyata juga diterapkannya pada YPP Darul
Falah. Dua institusi ini menjadi manifestasi model instruksional yang
dirumuskan Natsir dengan memadukan model pesantren, sekolah Belanda
dan German Abreid Schulen. Model instruksional khas Natsir yang mampu
mengembangkan aspek spiritual, intelektual dan ketrampilan khusus para
siswanya. Idealnya, model seperti ini akan menghasilkan ulama yang
dalam penghayatan agamanya, cendekiawan yang luas wawasannya, dan
tenaga ahli yang terampil pada bidang spesialisasinya.
Selain YPP Darul Falah, Natsir juga berkontribsui dalam pendirian
Pondok Pesantren Al-Mukmin atau Pondok Pesantren Ngruki di Surakarta.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dua tokoh penting Pesantren
Ngruki, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba‟asyir merupakan aktivis
GPII yang memiliki hubungan dekat dengan Natsir. Natsir juga yang
206
menunjuk Abdullah Sungkar menjadi Ketua Dewan Da‟wah Surakarta
pada tahun 1970 (Kahin, 2012).
Selain pesantren-pesantren yang telah disebutkan di atas, Natsir juga
memplopori pendirian berbagai Pesantren Tinggi (Ma‟had „Aliy) di
Indonesia (Husaini, Noer, dan Ujang, 2017). Kontribusinya dalam
penguatan pilar pesantren juga dapat dilacak melalui badan yang dibentuk
untuk membina Pondok Pesantren seperti Yayasan Pembina Pondok
Pesantren Indonesia dan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP).
Natsir pernah dipercaya menjadi Ketua Badan Penasehat Yayasan
Pembina Pondok Pesantren Indonesia pada tahun 1984 (Husaini, Noer, dan
Ujang, 2017). Sedangkan dalam BKSPP, Natsir ikut serta dalam
pendiriannya bersama beberapa tokoh pesantren. Pemimpin pertama
BKSPP ini adalah K.H. Sholeh Iskandar dan juga K.H. Noer Ali dari
Pesantren At-Taqwa yang melibatkan DDII sebagai mitra kerjasama untuk
mendukung pembangunan dan melakukan pembinaan pesantren-pesantren
(Misbach dalam Farida, 2005). Pembentukan BKSPP ini bertujuan untuk
memperkuat pondok pesantren yang berimplikasi pada pengokohan
eksistensi ulama‟ (Natsir dalam Serial Media Dakwah Nomor 78,
Desember 1980). Selain BKSPP yang mencakup wilayah Jawa Barat,
dibentuk juga Al-Ittihad Ma‟hadi untuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Dua tokoh Islam yang menjadi sahabat perjuangan Natsir ini
bukanlah tokoh biasa yang hanya berkiprah melalui institusi pendidikan
pesantren saja. Pada Maret 1995, K.H. Hasan Basri mengajukan nama dua
207
tokoh ini bersama tiga tokoh lainnya (Mohammad Natsir, Kasman
Singodimedjo, dan Sjafruddin Prawiranegara) untuk mendapatkan gelar
penghargaan dari negara atas jasanya yang besar dalam perjuangan bangsa
(Zen, 1995). K.H. Sholeh Iskandar dan K.H. Noer Ali bukan saja
pemimpin umat dalam bidang pendidikan, tetapi juga pemimpin militer
dan politik umat dalam memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. K.H. Sholeh Iskandar merupakan Komandan TNI
Batalyon Hisbullah Brigade Tirtayasa Divisi Siliwangi wilayah Jawa Barat
dengan pangkat terakhirnya adalah Mayor TNI AD. Sedangkan K. H. Noer
Ali yang dijuluki “Singa Karawang-Bekasi” ini pernah menjadi Komandan
Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah Jakarta Raya di Karawang.
c. Pilar Kampus
Pilar selanjutnya adalah kampus. Memang tidak dapat ditepis bahwa
sampai saat ini ada pendikotomian antara insitusi pendidikan yang
mempriorotaskan pada bidang agama dengan yang memprioritaskan pada
bidang umum. Masalah ini sebenarnya sudah muncul sejak lama.
Mohammad Natsir memandang ini sebagai suatu permasalahan
pendidikan. Sejak masa kebangkitan nasional hingga masa-masa
mempertahankan kemerdekaan, golongan intelektual seperti terpecah
menjadi dua kelompok, kelompok yang satu mengenyam pendidikan yang
lebih bersifat duniawi dan yang lainnya lebih bersifat ukhrawi. Sebagian
memetik ilmu dari kampus-kampus sekuler dunia seperti Sorbone,
Harvard, Perinsto, dan sebagainya, sedangkan yang lain memetik ilmu dari
kampus-kampus berbasis keagamaan seperti Universitas Islam Madinah,
208
Universitas Al-Azhar dan sebagainya. Kedua kelompok ini sebenarnya
tidak bertentangan, tetapi menurut Natsir, permasalahan di antara
keduanya akan timbul karena saling tidak mengetahui dan masing-
masingnya mempertahankan gengsi (dalam Amir, 1990). Pada masa
kolonial, pribumi yang menyekolahkan anaknya ke sekolah milik
pemerintah Belanda akan dianggap sebagai orang yang memihak Belanda;
bahkan umat Islam akan menganggapnya sebagai keberpihakan atau sikap
simpati terhadap agama kaum penjajah (Kristen).
Sikap seperti itu tentu dapat dimaklumi jika ditunjukkan di masa
penjajahan Belanda karena dapat menjadi aktualisasi dari jiwa patriotik
kaum pribumi, terlebih lagi umat Islam. Namun, sikap itu akan berakibat
tidak baik bagi kemajuan bangsa dan juga umat Islam jika masih
dipertahankan hingga kini. Menurut Natsir, kondisi seperti ini justru akan
merugikan umat Islam sendiri. Dua kelompok ini tidak seharusnya
terpisah, tetapi berkalobarasi melengkapi satu sama lainnya dalam upaya
berkhidmat untuk umat dan bangsa, khususnya dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.
Oleh karena itu, saat Natsir menjadi Perdana Menteri, ia gunakan
jabatan yang sangat strategis tersebut untuk mengintegrasikan pendidikan
agama dan ilmu pengetahuan umum. Natsir memerintahkan Menteri
Agama K.H. A. Wahid Hasjim dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Prof. Bahder Djohan untuk membuat kebijakan terkait pendidikan yang
mampu mempertemukan sistem pendidikan pesantren dengan sistem
pendidikan persekolahan (Hakiem dalam Majalah Media Dakwah Nomor
209
258 Desember 1995). Maka, pada masa Kabinet Natsir ini lahirlah
trobosan kebijakan pendidikan yang terkenal, yakni Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
yang mengatur tentang kewajiban sekolah-sekolah umum untuk
memberikan pendidikan agama bagi siswanya, dan kewajiban sekolah-
sekolah agama untuk memberikan pendidikan umum bagi siswanya.
Kebijakan ini pun memberikan dampak positif bagi kehidupan
akademik Indonesia, khususnya bagi para pelajar muslim. Banyak
kalangan terpelajar yang sebelumnya tidak menghayati Islam mulai
mendapatkan pemahaman yang benar mengenai agama yang dianutnya.
Begitu juga sebaliknya, para santri mulai bertebaran menuju sekolah-
sekolah umum, dan hingga saat ini banyak santri yang menjadi tokoh di
berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum.
Kebijakan ini juga menjadi pendorong semangat para pelajar muslim
yang telah “tercerahkan” tersebut untuk ber-jama‟ah atau berserikat
dengan berlandaskan ke-Islam-an. Maka muncullah beberapa pergerakan
pelajar dan mahasiswa yang berbasis Islam. Tahun 1960-an merupakan
momentum yang sangat baik bagi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dua gerakan ini menjadi sangat
populer di kalangan pelajar dan juga mahasiswa. Lukman Hakiem (dalam
Majalah Media Dakwah Nomor 258 Desember 1995) berpandangan bahwa
hal tersebut disebabkan oleh semakin meluasnya pemahaman agama di
kalangan pelajar. Para aktivis PII dan HMI inilah yang kemudian mengisi
berbagai sektor kehidupan sosial umat dengan wajah, pemikiran, tradisi,
210
dan semangat baru. Awal 1960-an sudah terdapat 2.000 hingga 3.000
sarjana Muslim yang umumnya pernah menjadi aktivis HMI.
Selanjutnya, pada tahun 1964, desakan kebutuhan mereka untuk
memiliki sarana yang dapat digunakan untuk melakukan mobilitas
vertikal, melahirkan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami)
dengan mempercayakan Subchan Z.E. sebagai ketua umum. Namun, umur
Persami tidakpanjang, gejolak politik di internal Persami mengakibatkan
perpecahan dan akhirnya Subchan memilih keluar dari Persami dan
membentuk Ikatan Sarjana Islam Indonesia (ISII). Sayangnya, kedua
organisasi perkumpulan sarjana Islam ini sama-sama tidak bertahan lama
hingga berujung pada munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-
Indonesia (ICMI) yang didirikan pada 1990.
Upaya pengintegrasian kampus dengan pendidikan Islam yang
dilakukan Natsir berlanjut saat ia menjadi Ketua Umum Dewan Da‟wah
Islamiyah Indonesia. Cara yang ditempuh Natsir adalah dengan
mendukung pendirian Universitas Islam sehingga perpaduan antara
pendidikan agama Islam dengan ilmu pengetahuan umum dapat
diupayakan lebih intensif. Beberapa Universitas dan Sekolah Tinggi Islam
yang pendiriannya mendapatkan dukungan Natsir dan Dewan Da‟wah
adalah (Dewan Da‟wah, 2016; STIKES YARSI, tt.):
1) Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta yang berawal
dari Sekolah Tinggi Islam di zaman pejuangan.
2) Universitas Islam Sumatera Utara (UISU)
3) Universitas Islam Bandung (UNISBA)
211
4) Universitas Muslimin Indonesia (UMI) di Makassar
5) Universitas Ibn Khaldun di Bogor
6) Universitas Islam Riau di Pekanbaru
7) Universitas Islam Sultan Agung di Semarang
8) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan YARSI
Selain delapan universitas dan sekolah tinggi tersebut, Dewan
Da‟wah juga mendirikan sekolah tinggi yang langsung dikelola oleh
Dewan Da‟wah; yakni Sekolah Tinggi Ilmu Da‟wah (STID) Mohammad
Natsir dan Akademi Da‟wah Indonesia (ADI) (Dewan Da‟wah Islamiyah
Indonesia, 2016).
Sebagaimana kontribusinya dalam dunia pesantren dengan
membentuk BKSPP untuk menyatukan pesantren-pesantren, Natsir juga
melakukan hal serupa untuk menyatukan perguruan-perguruan tinggi
Islam; yakni dengan mebentuk Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam
Swasta (BKSPTIS).47
Didirikannya perguruann-perguruan tinggi Islam
serta terbentuknya BKSPTIS merupakan bagian dari poyek Islamisasi ilmu
pengetahuan yang bekerjasama dengan Muktamar al-Alam al-Islami.48
Pada tanggal 13 sampai dengan 16 Mei 1979, BKS PTIS berhasil
menyelenggarakan Seminar Sistem Pendidikan Islam di Indonesia yang
menghasilkan rancangan sistem pendidikan Islam yang meliputi seluruh
jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi
47
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018; Ramlan Mardjoned, Wawancara pada Selasa, 6
Maret 2018; dan Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018. 48
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018
212
strata tiga. 49
Seminar tersebut mendefinisikan pendidikan Islam sebagai
upaya berlandaskan pada Al-Quran yang dilakukan manusia untuk
mengembangkan potensi jasmani dan rohaninya sehingga mampu
menghadapi berbagai tantangan zaman dan siap menghadapi masa depan.
Landasan yang ditetapkan adalah Al-Quran dan sunnah; fungsinya adalah
untuk mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai Islalm serta memenuhi
kebutuhan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketahanan
nasional; kurikulunya mencakup ilmu fardlu „ain seperit agama, dan fardlu
kifayah seperti matematika; dan metodenya sesuai dengan Q.S. An-Nahl
ayat 125 yang menggunakan pengajaran dengan hikmah dan metode
berdebat-bernalar yang baik.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan dari hasil seminar tersebut
adalah tiga tujuan atau tiga aktivitas utama pendidikan tinggi; yakni
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tiga tujuan
atau tiga aktivitas utama yang kini dikenal sebagai Tri Dharma Perguruan
Tinggi. Disebutkan juga bahwa salah satu instrumen penting dalam
lingkungan pendidikan tinggi adalah masjid kampus yang justru disebut
sebagai pusat dari Tri Dharma Perguruan Tinggi; tidak hanya menjadi
pusat peribadatan, tetapi juga menjadi pusat aktvitas pendidikan, penelitian
dan pelatihan pengabdian kepada masyarakat. Sebuah pandangan penting
yang terlebih dahulu digagas oleh Natsir melalui pendidikan integralnya
yang memperkuat tiga pilar Benteng Pertahanan Umat, yakni masjid
(sebagai pusatnya), pesantren dan kampus.
49
Lihat Sistim Pendidikan Islam di Indonesia, Majalah Serial Media Dakwah Nomor 61 Juli 1979, Jakarta :
Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia.
213
Hal yang menarik lainnya dari hasil seminar ini adalah bahasan
khusus mengenai peranan penting pendidikan agama dalam keteraturan
hidup manusia dan khsusunya dalam tatanan hidup berbangsa-bernegara.
Berikut adalah ikhtisar dari 9 poin dalam sub bahasan keempat yang
berjudul “Peranan Pendidikan Agama untuk Membentuk Manusia
Seutuhnya”.
1) Sistem pendidikan sekuler tidak sesuai dengan harapan hidup
manusia yang tidak hanya mengehandaki kebahagiaan di dunia,
tetapi juga di akhirat;
2) Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang bertakwa
serta mengupayakan harmonisasi dalam hubungan dengan
Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan
lingkungan alamnya untuk meraih keirdhaan Allah;
3) Kehidupan manusia Indonesia seutuhnya ditandai dengan
keselarasan dalam kemajuan intelektual dan spiritualnya yang
diberdayakan untuk pembangunan bangsa Indonesia serta
menjalin hubungan baik antar bangsa;
4) Pendidikan agama memiliki peranan yang mutlak dalam sistem
pendidikan nasioanl yang berdasarkan Pancasila serta bertujuan
untuk meningkatkan ketakwaan, keserdasan, ketrampilan, akhlak
yang mulia, serta semangat cinta tanah air dan bangsanya
sehingga dihasilkan insan pembangunan yang mandiri
(wiraswasta) dan juga kolektif dalam membangun bangsa;
214
5) Pendidikan agama berlaku seumur hidup sejak manusia
dilahirkan; diajarkan di lingkungan keluarga, sekolah dasar dan
menengah, universitas, dan juga masyarakat luas;
6) Pemerataan pendidikan sebagaimana amanat UUD 1945
mengenai hak setiap warga negara untuk mendapatkan
pendidikan harus diupayakan bersama oleh pemerintah dan
masyarakat;
7) Meskipun seluruh tujuan pendidikan belum tercapai pada tahap
pembangunan ini, seluruh tujuan luhur pendidikan harus tetap
dijaga agar tidak menyeleweng kepada tujuan yang tidak
dibenarkan;
8) Pendidikan agama yang diberikan di lembaga formal sejak dari
sekolah dasar hingga perguruan itnggi harus mencakup perihal
iman, tuntunan beribadah dan pelajaran agama yang
bersangkutan dengan ilmu pengetahuan lainnya;
9) Tempat peribadatan perlu didirikan di lingkungan lembaga
pendidikan sebagai wujud pendidikan integral.
Berbagai hal yang dijelaskan di atas mengenai hasil Seminar Sistem
Pendidikan Islam di Indonesia tahun 1979 tersebut identik dengan prinsip-
prinsip pendidikan Islam yang digagas oleh Natsir hampir 50 tahun
sebelum seminar ini dilaksanakan. Dengan demikian, Natsir dapat disebut
sebagai peletak dasar-dasar sistem pendidikan Islam di Indonesia atau
sebagai bapak pendidikan Islam di Indonesia. Seorang yang tidak
mendapatkan pendidikan tinggi, bahkan tidak mendapatkan pengajaran
215
khusus mengenai sistem dan manajemen pendidikan, tetapi mampu
memberikan pengaruh besar bagi pendidikan Islam di Indonesia.
4.5 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Dakwah
4.5.1 Natsir dan Persatuan Islam (Persis)
Kiprah Natsir di bidang dakwah hingga mendirikan Dewan Da‟wah
pada tahun 1967 tidak terlepas dari pendalaman ilmu agamanya di Persis di
bawah bimbingan Ahmad Hassan atau A. Hassan (Kahin, 2012). Persis
merupakan organisasi Islam berkarakter reformis dan berpaham Islam
fundamentalisme seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamaat Islami di
Pakistan (Federsfield dalam Suhelmi, 1999). Sejarah terbentuknya Persis
bermula dari diskusi informal yang diadakan oleh Haji Zam Zam dan Haji
Muhammad Yunus dengan memanfaatkan momentum kenduri. Diskusi
informal itu membahas tentang jawaban Islam terhadap berbagai permasalahan
mengenai aqidah yang sedang menjangkiti umat Islam, seperti paraktik-praktik
yang mengarah pada penyekutuan Allah (syirik) (Luth, 1999).
Secara resmi, Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung
(Pimpinan Pusat Persis, tt.). Tujuan Persis adalah mengupayakan
pemberlakuan hukum dan ajaran Islam berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah
dalam kehidupan mayarakat dan menghindarkan masyarakat dari khurafat,
tahayul, bid‟ah dan taklid buta (Pimpinan Pusat Persis, 2016; Luth, 1999).
Secara lebih spesifik, upaya ini ini dijelaskan dalam pasal V Anggaran Dasar
Persis sebagaimana berikut.
“berusaha mengembalikan kaum muslimin kepada Al-Quran dan As-Sunnah ,
menghidupkan roh jihad dan ijtihad dalam kalangan umat, memperluas tersiarnya
tabligh fan dakwah Islam kepada segenap lapisan masyarakat, mendirikan madrasah
216
dan pesantren untuk mendidik generasi Islam dengan Al-Quran dan As-Sunnah”
(dalam Luth, 1999, hal.: 32 ).
Menurut Luth (1999), Natsir memiliki dua peran utama di Persis, yakni
: (1) sebagai generasi kedua setelah para pendiri Persis yang memiliki keahlian
khusus dalam penulisan serta bersikap tegas dalam memegang ajaran Islam;
dan (2) sebagai salah satu pemimpin Persis yang memiliki kontribusi besar
terhadap pembangunan keorganisasian Persis serta membantu perjuangan
Persis dalam menyebarkan dakwah Islam.
Hubungannya dengan Persis terjalin melalui A. Hassan yang
merupakan tokoh terkemuka Persis. Bahkan, melalui pertemuan Natsir dengan
A. Hassan ini, Persis akhirnya dapat terorganisasikan dengan baik (Luth,
1999). Orang yang berjasa mempertemukan Natsir dengan A. Hassan adalah
Fachroeddin Al-Khahiri yang merupakan teman dekat Natsir sejak di MULO
Padang yang berlanjut hingga saat keduanya akktif di JIB cabang Bandung
(Tim KPG-Tempo, 2011; Kahin, 2012).
A. Hassan yang terlahir pada tahun 1887 di Singapura ini merupakan
anak dari seorang cendekiawan asal Tamil dan seorang perempuan asal Jawa
(Kahin, 2012). Pada awal tahun 1920-an, ia datang ke Bandung dan kemudian
bergabung ke Persis pada tahun 1924, tiga tahun sebelum Natsir datang ke
Bandung. Natsir bertemu dengan A. Hassan saat ia berada di kelas 5 AMS
(sekarang setara dengan kelas 2 SMA), yakni pada tahun 1928 (Tim KPG-
Tempo, 2011). Saat itu Natsir berusia 20 tahun, sedangkan A. Hassan 20 tahun
lebih tua dari Natsir; tetapi mereka cepat menjadi akrab seperti pertemuan dua
orang yang sebaya karena kesamaan pandangannya mengenai Islam yang harus
menjadi landasan bagi segala bentuk aktivitas kehidupan. A. Hassan memang
217
terkenal sebagai cendekiawan Islam yang reformis, keras terhadap segala
bentuk penyimpangan, seorang pendakwah yang piawai menggunakan metode
jidal (debat), dan dekat secara pemikiran dengan persyarikatan Al-Irsyad Al-
Islamiyyah (Tim KPG-Tempo, 2011; Kahin, 2012).
A. Hassan membentuk banyak pemikiran Natsir mengenai Islam;
bahkan menjadi guru Natsir yang paling berpengaruh (Kahin, 2012). Natsir
sering sekali datang ke rumah A. Hassan yang saat itu terletak di salah satu sisi
dari gang kecil yang bernama Jalan Pakgade (Tim KPG-Tempo, 2011). Natsir
biasanya datang seorang diri atau terkadang bersama Fachroeddin Al-Khahiri
pada sore hari. Rumah A. Hassan itu menjadi sekolah kedua Natsir untuk
belajar tentang Islam sambil mengamati A. Hassan yang hampir selalu sibuk
dengan kegiatannya menulis, menyunting, mencetak dan mengemas tulisannya
dalam bentuk buku secara mandiri (Kahin, 2012). Natsir begitu terkesan
melihat kemampuan A. Hassan tersebut; apalagi perhatian A. Hassan yang
sangat besar terhadap Natsir hingga rela menghentikan segala aktivitasnya
ketika Natsir sudah hadir di rumahnya (Kahin, 2012). Menurut Natsir, A.
Hassan adalah seorang cendekiawan muslim yang “orisinil”; artinya memiliki
pemikiran dan teladan yang unik yang belum ditemukan oleh Natsir
sebelumnya.
Natsir mulai memperdalam bahasa Arab dan Al-Quran di bawah
bimbingan A. Hassan. Sebagai pedoman belajar, A. Hassan menghadiahkan
dua Al-Quran untuk Natsir; satu Al-Quran terjemahan berbahasa Inggris karya
Muhammad Ali dan satu Tafsir Al-Furqon karya A. Hassan (Tim KPG-Tempo,
2011). Selain itu, Natsir juga mendapatkan bimbingan tentang penulisan dan
218
debat yang berlandaskan nalar kritis, khususnya mengenai pembelaan terhadap
Islam. Pada masa inilah Natsir mulai aktif menulis berbagai hal tentang Islam
dan permasalahannya. A. Hassan menanamkan nalar kritis pada Natsir melalui
tulisan ilmiah yang dirancang berdasarkan sumber-sumber dan data-data yang
akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, tulisan pertamanya mengenai Islam adalah tentang pembelaannya
atas pelecehan Islam yang di lakukan oleh seorang pastur saat memberikan
ceramah untuk para siswa AMS. Berbagai pelecehan terhadap Islam kemudian
mendorong A. Hassan beserta tokoh Persis lainnya dengan dibantu Natsir
mendirikan Comite Pembela Islam. Selain itu, karena AID De Preangerbode
tidak lagi memuat tulisan Natsir tentang pembelaannya atas Islam, Comite ini
menerbitkan majalah Pembela Islam (Artawijaya, 2014). Latar belakang
pembentukan Comite Pembela Islam ini dijelaskan dalam Majalah Pembela
Islam Nomor 1, Tahun 1, Oktober 1929, dengan redaksional sebagai berikut:
“amat banyak tuduhan-tuduhan, serangan-serangan dan celaan-celaan yang
ditimpakan atas agama Islam oleh orang-orang yang benci kepadanya, baikpun
dalam buku-buku, majalah-majalah, surat-surat kabar mingguan, harian dan lainnya,
baikpun di rapat-rapat terbuka atau tertutup, dengan berbagai-bagai bahasa, untuk
meluaskan usaha mereka menanam benih-benih kebencian di hati kaum dan bangsa
kita di sini, terhadap kepada Islam dan pemeluk-pemeluknya.
Oleh sebab-sebab yang tersebut dan lainnya, dengan desakan beberapa pergerakan
Islam di Bandung, pada malam 20-21 Ramadhan 1347, telah didirikan satu badan
yang dinamakan Comite Pembela Islam yang terdiri dari beberapa pemuka-pemuka
Islam yang paham dalam bahasa Arab, Jawa, Sunda, Melayu, Belanda dan lain-lain
bahasa Eropa” (Comite Pembela Islam, 1929 a, hal. : 1).
Adapun tujuan-tujuan pembentukan Comite Pembela Islam
sebagaimana disebutkan dalam Majalah Pembela Islam Nomor 1, Tahun 1,
Oktober 1929.
219
1) Mengumpulkan buku-buku, selebaran-selebaran dan berbagai bentuk
tulisan lainnya yang mengandung celaan terhadap Islam baik disengaja
maupun tidak.
2) Menolak, menjawab atau membalas berbagai pelecehan terhadap Islam
dengan menerbitkan buku, surat kabar, selebaran atau dengan
mengadakan rapat umum.
3) Memberikan penjelasan mengenai hal-hal terkait Islam yang
dipermasalahkan oleh para pembenci Islam untuk menjaga kehormatan
Islam.
4) Mengajak setiap orang dan kelompok-kelompok umat Islam untuk
menguatkan dan memperluas usaha ini dengan mendirikan cabang-
cabang Comite Pembela Islam di daerah masing-masing.
Majalah Pembela Islam Nomor 1 tahun 1929 juga memuat tulisan
Comite Pembela Islam berjudul “Sebab2
Terbitnja “Pembela Islam” yang
menjelaskan bahwa sebab terbitnya Pembela Islam adalah pelecehan yang
dilakukan oleh banyak kalangan, termasuk dari umat Islam sendiri. Pada
paragraf terakhir tulisan ini dijelaskan secara eksplisit bahwa fungsi Majalah
Pembela Islam adalah sebaga alat propaganda. Sedangkan tujuannya adalah:
“Cukuplah kalau kami katakan bahwa nama surat kabar bulanan ini telah
menunjukkan maksudnya, yaitu : „Pembela Islam‟. Maksud kami ialah akan membela
Islam, dengan secara sabar dan sopan, tetapi kalau perlu, dengan secara apa saja,
kita akan mengatakan yang hak dengan beralasan Quran dan Hadits” (Comite
Pembela Islam, 1929 b, hal. : 3).
220
Gambar 20. Halaman 1-4 (a-d) Majalah Pembela Islam
No. 1 Oktober 1929
Sumber : Bilik Prof. H.M. Rasjidi, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah
bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
(a) (b)
(c)
(d)
221
Kolaborasi dakwah Natsir dan A. Hassan semakin intensif seiring
dengan munculnya berbagai perilaku yang melecehkan ajaran Islam. Nalar
kritis Natsir yang semakin tajam di bawah bimbingan A. Hassan membuatnya
peka terhadap berbagai hal menyimpang yang dapat membahayakan aqidah
umat. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Natsir dan A. Hassan pernah
terlibat dalam perdebatan dengan Ketua PERMI, H. Mochtar Loethfi, yang
menyandingkan kata kebangsaan dengan Islam sebagai ideologi PERMI.
Begitu juga dengan Karim Halim yang hendak menjadikan Islam dan
kebangsaan sebagai asas GPII. Natsir dan A. Hassan menolak ide tersebut
karena menimbulkan kesan bahwa Islam tidak sejalan atau tidak mencakup
kebangsaan (Harjono dan Hakiem, 1995).
Gambar 2. Halaman sampul Majalah Pembela Islam
No. 1 Oktober 1929
Sumber : Bilik Prof. H.M. Rasjidi, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain
Raja Abdullah bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
222
Pengaruh A. Hassan dan Persis tidak bisa terlepas dari Natsir. Hampir
setiap aktivitas dakwahnya mendapatkan pengaruh A. Hassan dan Persis.
Keputusannya untuk menolak beasiswa studi lanjut ke Batavia atau Rotterdam
dan memilih untuk memperdalam Islam di Persis adalah hasil diskusinya
dengan A. Hassan. Kesuksesannya mendirikan Pendidikan Islam dicapai berkat
bantuan dari tokoh pendiri Persis, Haji Muhammad Yunus. Bahkan, pendirian
DDII oleh Natsir adalah suatu bentuk pelembagaan dari pengaruh pemikiran
Islam yang telah ia peroleh dari A. Hassan dan Persis (Kahin, 2012). Melalui
A. Hassan juga Natsir menjadi kenal dengan Syekh Ahmad Sjoorkati, seorang
ulama Sudan yang mengenalkan Natsir tentang para pembaharu Islam dan
pemikirannya seperti Muhammad Abduh yang membangkitkan semangat umat
Islam di Mesir dengan penegakan ajaran-ajaran Islam di berbagai bidang
kehidupan (Kahin, 2012).
Persis sendiri mengakui adanya kontribusi besar yang diberikan Natsir
pada Persis. Natsir berjasa dalam peletakan dasar-dasar organisasi dan
manajemen pendidikan Pesantren Persis (Tim KPG-Tempo, 2011). Natsir tidak
hanya menjalin hubungan dekat dengan A. Hassan, tetapi juga dengan tokoh
Persis yang lainnya, seperti pendiri Persis Haji Muhammad Yunus dan Ketua
Umum Persis periode ke-2 (1949 – 1962), yakni K.H. M. Isa Anshary. K.H. Isa
Anshary juga merupakan Ketua Front Anti Komunis yang sangat menentang
ideologi komunis yang justru diperjuangkan oleh keponakannya sendiri, yakni
D.N. Aidit (Suryanegara, 2016). K.H. Isa Anshary menjalin hubugan dekat
dengan Natsir melalui berbagai bentuk perjuangan; tidak hanya melalui Front
223
Anti Komunis dan Persis, tetapi juga melalui Partai Majusmi dan Konstituante
(Yusran, 2011; Suryanegara, 2016).
Hingga saat ini, kontribusi Natsir bagi Persis terus dikenang dan Natsir
dianggap sebagai guru Persis bersama dengan A. Hassan. Hal ini terlihat dalam
publikasi Instagram Persis DakwArt; yakni sebuah komunitas informal
pemuda Persis yang menggerakkan dakwah dengan desain grafis.50
Berbagai
petuah Natsir dijadikan bahan untuk dakwah visual para aktivis Persis
DakwArt.
50
Peneliti terkoneksi dengan komunitas tersebut melalui WhatsApp group.
Gambar 22. K.H. Isa Anshary bersama Natsir berjalan di tengah para pemuda GPII di
Lapang Tegallega Bandung
Sumber : Suryanegara (2016)
224
Gambar 23. Poster Mohammad Natsir dan A. Hassan yang dibuat dan
dipublikasikan oleh PersisDakwart dengan kutipan pesan dakwahnya
Sumber : Official Instagram Account persisdakwartid (2018)
225
4.5.2 Natsir dan Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia (DDII)
Pembubaran Partai Masyumi oleh Soekarno melalui Surat Keputusan
Presiden RI Nomor 200 tahun 1960 tidak menjadi penghalang perjuangan para
tokoh Masyumi termasuk Mohammad Natsir. Upaya mengalah kepada
kekuasaan Soekarno yang diktator saat itu adalah cara terbaik menurut para
tokoh Masyumi agar Masyumi tidak dikategorikan sebagai partai terlarang
yang tentu akan berdampak negatif di masa depan. Tentu bisa dibayangkan jika
para tokoh Masyumi saat itu bersikap konfrontatif dengan tidak membubarkan
Masyumi hingga 30 hari setelah dikeluarkannya keputusan presiden tersebut,
seluruh anggota, pendukung dan juga keturunannya akan bernasib sama seperti
para anggota, pendukung dan juga keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI)
yang diburu, dicabut hak-haknya pada urusan tertentu dan diberikan “label
merah”.
Sikap mengalah yang diambil oleh para tokoh Masyumi saat itu tidak
berarti mereka lemah dan sudah mulai enggan untuk melanjutkan perjuangan.
Melalui koordinasi Ketua Umum Masyumi yang terakhir, Prawoto
Mangkusasmito, para tokoh Masyumi berusaha keras untuk melakukan
rehabilitasi Masyumi setelah rezim orde lama digantikan oleh rezim orde baru
pimpinan Soeharto. Perjuangan itu ditempuhnya dengan cara santun melalui
surat-surat yang ia tujukan kepada Jenderal Soeharto. Kesantunannya itu tetap
bertahan meskipun ia mendapatkan balasan yang tidak sesuai dengan
harapannya. Soeharto bersikeras dengan sikapnya yang tidak dapat
mengabulkan rehabilitasi Masyumi karena beberapa alasan. Berikut adalah
surat balasan pemerintahan Soeharto.
226
“alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada
suatu pendirian, bahwa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai
Masyumi” (dalam Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995 b).
Mendapatkan balasan seperti itu, Prawoto pun membalasnya dengan santun:
“maafkanlah kalau saya belum mau yakin bahwa ABRI memang benar-benar tidak
dapat menerima rehabilitasi Masyumi.” (dalam Redaksi Majalah Media
Dakwah, 1995 b).
Perjuangan panjang melalui cara-cara santunnya itu pun berakhir dengan
ancaman dari Pejabat Presiden dengan kata-kata:
“Jika mereka terus hendak memaksa, maka (penjara) Keagungan masih tersedia”
(dalam Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995 b).
Melihat percakapan di atas tentu dapat dibayangkan kondisi saat itu,
betapa sulitnya upaya persuasi yang dilakukan Masyumi kepada rezim orba.
Meskipun begitu, upaya-upaya rehabilitasi tetap dilaksanakan. Bahkan
dibentuk sebuah badan bernama Badan Koordinasi Amal Muslimin yang
menghimpun anggota-anggota bekas Masyumi dengan Letnan Jenderal
Soedirman sebagai ketuanya.51
Pada tahun 1966, dilaksanakan Seminar
Angkatan Darat di Bandung yang menghasilkan keputusan bahwa Partai
Masyumi dan PSI dapat diaktifkan kembali.52
Ada juga Yayasan Pembangunan
Umat yang mengelola kegiatan rehabilitasi Masyumi.53
Namun, rezim orba
tetap menolak usulan rehabilitasi Masyumi. Lebih dari itu, rezim orba juga
bersikap represif kepada para tokoh Masyumi.
51
Letjen Soedirman ini bukan Panglima Besar Soedirman. pernah memimpin Sekolah Komando Angkatan
Darat (SESKOAD). Ia merupakan ayah dari Gubernur Jawa Timur periode 1993 – 1998, Basofi Soedirman.
(Mohammad Siddik, wawancara pada Selasa, 27 Februari 2018; Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa,
6 Maret 2018). 52
Mohammad Siddik, wawancara pada Selasa, 27 Februari 2018. 53
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Minggu, 11 Maret 2018.
227
Pada masa orde baru, umat Islam memang sering menjadi korban
pandangan negatif pihak-pihak yang sangat skeptis melihat hubungan umat
Islam dengan kekuasaan. Sikap represif pemerintah orde baru terhadap para
tokoh politik umat Islam memang tidak tertahankan. Tokoh besar seperti
Mohammad Natsir pun tidak kuasa menahan tekanan rezim orba, hingga
bubarnya Masyumi dan pencekalan dirinya setelah terlibat dalam Petisi 50
(Hakiem, 1995).
Nasibnya yang sangat tertekan di masa orde baru diekspresikan oleh
Mohammad Natsir dengan menyebut dirinya dan teman-temannya sebagai
“kucing kurap” bagi rezim orde baru (Hakiem, 1995). Meskipun dirinya dan
teman-temannya sudah menunjukkan sikap yang akomodatif terhadap
penguasa, mereka tetap tidak diperkenankan untuk tampil kembali dalam
kancah perpolitikan nasional.
Kegagalan untuk merehabilitasi Masyumi tidak membuat para tokoh
partai politik Islam yang pernah berjaya itu kehabisan akal merancang strategi.
Apalagi dalam surat Ketua Presidium Kabinet Ampera, Jenderal TNI Soeharto,
tertanggal 6 Januari 1967, yang ditujukan kepada bekas Ketua Masyumi,
Prawoto Mangkusasmito, dengan sangat jelas disebutkan bahwa:
“Mengenai bekas anggota Masyumi, sebagai warga negara, tetap dijamin hak-hak
demokrasinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku” (dalam
Hakiem, 1995, hal.: 43).
Sikap seperti itulah yang membuat rezim Orde Baru dapat menyetujui
pembentukan wadah politik baru guna menampung aspirasi politik Keluarga
Bulan Bintang (sebutan bagi para pendukung partai Masyumi) yang berbentuk
228
partai politik dengan nama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Pada
perkembangan selanjutnya, wadah alternatif itu pun ternyata tidak sesuai
dengan harapan. Namun, tokoh-tokoh Masyumi tidak pernah memaksa para
aktivis dan pendukung Masyumi untuk bergabung ke Parmusi. Mereka
memiliki kebesaran jiwa dalam memimpin. Ramlan Mardjoned memberikan
kesaksian bahwa para tokoh Masyumi adalah pemimpin yang sangat bijaksana,
misalnya saja Natsir yang pesannya masih diingat oleh Ramlan sampai
sekarang, “memimpin itu untuk melepaskan, bukan untuk mengikat”.
“Banyak jalan menuju Roma”. Ungkapan itu sangat tepat jika
digunakan untuk mengidentifikasi pemikiran-pemikiran para tokoh Masyumi
saat mengetahui bahwa jalur politik formal (partai politik) telah tertutup,
namun tidak ada sedikit pun hasrat untuk melawan pemerintah dan bersikeras
untuk tetap memperjuangkan eksistensi Partai Masyumi. Keputusan itu
diterima oleh mereka dengan penuh lapang dada karena mereka melihat
Masyumi sebagai alat atau sarana berdakwah, bukan sebagai tujuan mereka.
Yusril Ihza Mahendra sangat memahami sikap politik Natsir yang sangat
bijaksana dalam menanggapi kegagalan menghidupkan kembali Partai
Masyumi. Natsir berkata kepada Yusril:
“Partai itu kan tergantung kita. Kalau merasa tidak perlu ada partai, nggak usah
bikin partai” (dalam Tim KPG-Tempo, 2011, hal.: 71).
Sikap Natsir ini juga dikisahkan oleh Natsir Zubaidi yang sangat yakin
bahwa seandainya Natsir masih hidup sekarang, Natsir tidak akan mendirikan
partai politik.54
Begitulah “kedewasaan” seorang Natsir dalam berjuang untuk
54
Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.
229
Islam; bukan untuk kekuasaan politik. Natsir dan kawan-kawannya tidak
bersedih hati karena sarananya yang lenyap; yang terpenting adalah mereka
masih memilki ghirah untuk berjuang dalam jalan dakwah dan dakwah itu
harus tetap berdampingan dengan politik. Maka para tokoh Masyumi
merancang strategi lain yang cerdas; jika dulu mereka berdakwah lewat
lembaga politik, maka berikutnya mereka berpolitik lewat lembaga dakwah.
Gagasan ini datang dari mantan Ketua Masyumi yang juga mantan Perdana
Menteri pertama NKRI, Mohammad Natsir. Natsir mengatakan bahwa:
“Politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan. Kalau kita berdakwah dengan membaca
Quran dan hadits – itu berpolitik. Dulu berdakwah lewat politik, sekarang berrpolitik
melalui jalur dakwah”. (dalam Hakiem, 1995, hal.: 43).
Sebagai bentuk realisasi gagasan itu, pada 26 Februari 1967, sejumlah
tokoh Masyumi mengadakan musyawarah di Masjid Al-Munawwarah yang
terletak di Kampung Bali, Tanah Abang (Hakiem, 1995). Mereka kemudian
membentuk Yayasan Dewan Dewan Da‟wah (Dewan Da‟wah Islamiyah
Indonesia, 2016; Hakiem, 1995, Tim KPG-Tempo, 2011). Tokoh-tokoh itu
adalah:
1) Mohammad Natsir (mantan Ketua Umum Partai Masyumi)
2) K.H. Hasan Basri (mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia tahun 1983 –
1990)
3) K.H. Taufiqurrahman (mantan Ketua Ikatan Masjid DKI)
4) K.H. Faqih Usman (mantan Ketua PP Muhammadiyah tahun 1968 –
1971)
230
5) Ahmad Rayid Sutan Mansyur atau Buya Sutan Mansyur (mantan Ketua
PP Muhammadiyah 1956 – 1959)
6) Sjafruddin Prawiranegara (mantan Ketua Pemerintahan Darurat RI dan
Gubernur pertama Bank Indonesia)
7) Burhanudin Harahap (mantan Perdana Menteri RI tahun 1953 – 1955)
8) Prawoto Mangkusasmito (Ketua Umum terakhir Partai Masyumi)
9) Kasman Singodimejo (mantan Jaksa Agung pertama RI dan Ketua KNIP)
10) Mohammad Roem (mantan Menteri Luar Negeri RI pada Kabinet Natsir
tahun 1950 – 1951)
11) Prof. Dr. H.M. Rasjidi (mantan Menteri Agama RI tahun 1946)
12) Abdul Rahman Baswedan (mantan Wakil Menteri Penerangan tahun
1946 – 1947 dan kakek Anies Rasjid Baswedan)
13) Osman Raliby (mantan anggota Majelis Konstituante dan ahli propaganda
yang pernah belajar kepada Jozef Goebbels yang merupakan menteri
penerangan Jerman di masa Adolf Hitler)
14) Yunan Nasution (mantan Sekretaris Jenderal Partai Masyumi)
15) H. Buchari Tamam (Sekretaris Umum pertama Dewan Da‟wah)
16) H.M. Daud Dt. Palimo Kayo (tokoh Minangkabau dan mantan Duta
Besar RI untuk Irak)
17) H. Abdul Malik Ahmad (Wakil Ketua PP Muhammadiyah tahun 1971 –
1985)
18) Abdul Rahman Shihab (Ketua Dewan Da‟wah Sulawesi Selatan)
19) Nawawi Dusky
20) Abdul Hamid
231
Terdapat juga beberapa organisasi masyarakat dan lembaga umat yang
menghadiri musyawarah tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap pendirian
Dewan Da‟wah (Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia, 2016; Tim KPG-Tempo,
2011).
Pendirian Dewan Da‟wah ini disebut sebagai strategi meneruskan
perjuangan Masyumi dengan sarana yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang
sama, yakni dakwah atau amr ma‟ruf nah munkar. Ada empat fakta yang
menjadi tanda bahwa Dewan Da‟wah ini merupakan penerus perjuangan Partai
Masyumi (Hakiem, 2017 b).
1) Musyawarah yang menghasilkan mufakat untuk mendirikan Dewan
Da‟wah pada 26 Februari 1967 di Masjid Al-Munawwarah dipelopori oleh
para tokoh Masyumi dan kemudian menunjuk Mohammad Natsir yang
merupakan mantan Ketua Umum Partai Masyumi sebagai Ketua Umum
Dewan Da‟wah;
2) sebelum Dewan Da‟wah didirikan, para tokoh pendirinya yang sebagian
besar merupakan tokoh Masyumi seperti Nastir, Prawoto Mangkusasmito
dan kawan-kawannya, melakukan upaya rehabilitasi Masyumi. Meskipun
pada akhirnya tidak dapat diwujudkan;
1) Muhammadiyah
2) Persatuan Islam (Persis)
3) Persatuan Umat Islam (PUI)
4) Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(Perti)
5) Mathlaul Anwar (MA)
6) Al Jamiatul Washliyah
7) Jam‟iyah al Irsyad al Islamiyah
8) Al Syafi‟iyah
232
3) Kantor sekretariat Dewan Da‟wah yang terletak di Jalan Kramat Raya
Nomor 45 Jakarta Pusat merupakan bekas kantor pusat Partai Masyumi;
4) Para pengurus Dewan Da‟wah didominasi oleh para tokoh Masyumi atau
mantan anggota Masyumi.
Adapun jajaran pengurus Dewan Da‟wah pada periode pertama (Hakiem,
2017 b), yaitu :
Ketua : Pak Natsir
Wakil : H.M. Rasyidi
Sekretaris I : H. Buchari Taman
Sekretaris II : H. Nawawi Duski
Bendahara : H. Hasan Basri
Anggota :
1) H. Abdul Malik Ahmad
2) Prawoto Mangkusasmito
3) H. Mansur Daud Datuk
Palimo Kayo
4) Oesman Raliby
5) Abdul Hamid
Pembentukan Dewan Da‟wah yang dipelopori oleh para tokoh Masyumi
pusat ini segera mendapatkan dukungan dari para tokoh Masyumi di berbagai
daerah di Indonesia. Misalnya A.R. Baswedan segera merespon pembentukan
itu dan ia mendapatkan kepercayaan untuk menjadi Ketua Dewan Da‟wah
Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta pertama. Ada juga K.H. Misbach di
Jawa Timur, dan berbagai daerah lainnya.
Meskipun mendapatkan dukungan yang besar dari para mantan anggota
dan juga pendukung Masyumi, tidak semua tokoh-tokoh Masyumi ikut
bergabung ke Dewan Da‟wah. Mereka memilih jalan lain, tetapi tetap untuk
233
menegakkan dakwah. Mereka adalah K.H.A. Ghafar Ismail (ayahanda Taufiq
Ismail) yang terkenal dengan model dakwah kelilingnya dari rumah ke rumah,
Buya Hamka yang berfokus untuk membina Masjid Agung Al-Azhar Jakarta,
K.H. E. Z. Muttaqien yang memilih untuk memimpin Universitas Islam
Bandung, dan sebagainya (Hakiem, 1995).
Berubahnya strategi para tokoh Masyumi ini, dari berdakwah melalui
politik menjadi berpolitik melalui dakwah membuat dunia dakwah Islam di
Indonesia semakin bergelora. Mereka berhasil mengubah pandangan sebagian
besar orang tentang dakwah yang semula hanya diidentikkan dengan kegiatan
berceramah dan pengajian, menjadi lebih luas lagi. Strategi yang ditempuh oleh
para tokoh Masyumi, khususnya Natsir, mendapatkan apresiasi dari Mantan
Menteri Keuangan dan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda yang
pernyataannya dimuat dalam Suara Hidayatullah, edisi II/Tahun V Maret,
1993/Ramadhan 1413 H.
“lama setelah hiruk pikuk dunia politik ditinggalkannya, Ayahanda M. Natsir yang
pernah dua kali dipenjara sebagai tahanan politik, tetap sibuk membina bangsanya.
„Kalau dulu,‟katanya dalam sebuah wawancara, „kita berdakwah lewat politik, tapi
sekarang kita berpolitik lewat dakwah.‟ Setelah kenyang pengalaman politik sejak
menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat waktu Republik ini
baru merdeka, beberapa jabatan tinggi eksekutif negara, dan terlibat dalam prahara
PRRI menentang Pemerintahan „Kiri‟ Bung Karno, maka pada tahun 1967, Ayahanda M.
Natsir dan kawan-kawannya mendirikan Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia, di sebuah
masjid di kawasan yang ramai di tengah kota Jakarta, Kramat Raya, sebuah lembaga
yang bertahun-tahun kemudian dikenal luas sebagai organisasi dakwah yang paling
responsif terhadap kebijakan-kebijakan penguasa yang „merugikan‟ umat Islam.”
(dalam Luth, 1999).
234
Para tokoh Dewan Da‟wah, khususnya Mohammad Natsir, berinovasi
dengan membangun dan mengembangkan sarana-sarana dakwah di berbagai
bidang. Dewan Da‟wah yang dipimpin oleh Natsir menunjukkan upaya nyata
mewujudkan kehidupan Islam yang kaffah di tengah-tengah umat melalui
konsep dakwah multisektor yang terpadu. Dewan Da‟wah mendirikan
penerbitan buku, media massa seperti Majalah Media Dakwah dan Serial
Media Dakwah, mendirikan, mendirikan Rumah Sakit Islam, melaksanakan
program pengkaderan, serta mengembangkan konsep pembangunan umat yang
dirancang oleh Natsir dengans ebutan “Benteng Pertahanan Umat”
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
a. Mendirikan Rumah Sakit Islam untuk Mempertahankan Aqidah
Jasa besar Mohammad Natsir dalam dakwah multisektor tidak hanya
dapat dilacak dalam bidang politik dan pendidikan, tetapi juga dalam bidang
kesehatan; yakni dengan adanya Rumah Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina. Rumah
Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina yang terletak di Bukittinggi merupakan cikal-
bakal dari enam Rumah Sakit Islam lainnya yang tersebar di wilayah
Sumatera Barat (Assad, 1995). RSI Ibnu Sina yang diresmikan pada 30
Oktober 1969 oleh Proklamator Mohammad Hatta di bawah YARSI
(Yayasan Rumah Sakit Islam) ini menjadi bukti kepiawaian seorang maestro
dakwah, Mohammad Natsir dalam menyebarluaskan nilai dan ajaran Islam;
tidak hanya berdakwah melalui politik atau berceramah, tetapi juga
menyentuh bidang lainnya, termasuk kesehatan. Dakwah inilah yang disebut
sebagai dakwah bil hal; yakni dengan mengambil tindakan nyata yang
235
manfaatnya dapat dirasakan langsung atau kebaikannya dapat diteladani
secara langsung oleh sasaran dakwah.54
Pendirian rumah sakit berlandaskan nilai-nilai Islam ini dilatar-
belakangi oleh upaya kristenisasi yang secara intensif dilakukan oleh
kalangan misionaris di Bukittinggi pada akhir tahun 1960-an (STIKES
YARSI, tt.). Usaha pemurtadhan ini didukung dengan pendirian sebuah
Rumah Sakit (Kristen) Emanuel yang letaknya tidak berjauhan dengan pusat-
pusat aktivitas umat Islam, yakni Surau Inyik Jambek dan juga Sumatera
Thawalib Bangkaweh (STIKES YARSI, tt.). Pendirian Rumah Sakit Emanuel
tersebut menuai protes dari masyarakat muslim sekitar. Para pemuda yang
terlibat dalam protes tersebut menjadi sasaran penangkapan para tentara
karena Rumah Sakit Emanuel mendapatkan dukungan dari komandan Kodim
setempat.55
Natsir pun tampil sebagai pemimpin dalam penyelesaian masalah ini.
Konsep dakwah bil hal menjadi landasan sikap Natsir yang dengan penuh
perhatian menghimbau umat Islam agar tidak larut dalam emosi yang akan
mengarah pada tindakan anarkis; ia mengintegrasikan umat untuk
membangun sebuah rumah sakit tandingan. Ramlan Mardjoned mengingat
dengan jelas pesan bijaksana Natsir yang mampu menenangkan umat Islam
Bukittinggi dan kemudian mengalihkan “energi protes” mereka kepada
pembangunan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina.
54
Mohammad Siddik, wawancara pada Selasa 27 Februari 2018. 55
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
236
“Orang mengeluh semua, emosi semua. Pak Natsir berbicara, „emosi dijawab dengan
emosi, kita berkelahi, tidak melahirkan apa-apa‟. Solusinya kita dirikan Yayasan
Rumah Sakit Islam (YARSI)”.56
Ide cemerlang Natsir tersebut kemudian direalisasikan melalui sebuah
badan yang semula didirikan untuk menentang dan memberantas
pemberontakan G30S/PKI yang bernama Badan Kontak Umat Islam (BKUI)
Sumatera Barat (STIKES YARSI, tt.). Badan ini menghimpun seluruh
organisasi, partai dan lembaga Islam lainnya yang memiliki kesamaan visi
untuk membangun YARSI. Jika Natsir merupakan orang terpenting yang
memimpin pendirian YARSI, maka Dewan Da‟wah merupakan organisasi
terpentingnya. Koalisi umat Islam ini juga didukung oleh ibu-ibu muslimah di
sana yang dipimpin oleh Ratna Sari dengan menyumbangkan uang, emas dan
perhiasan. Kumpulan ibu muslimah ini kemudian menjadi Badan Penyantun
YARSI (STIKES YARSI, tt.).
Persatuan umat Islam melalui BKUI Sumatera Barat yang didukung
penuh oleh Dewan Da‟wah pun berhasil mewujudkan pendirian sebuah pusat
kesehatan yang pada mulanya diberi nama Balai Kesehatan Ibnu Sina yang
berlokasi di sebuah rumah sewaan milik dr. Yusuf di sekitar pasar atas
Bukittingi (STIKES YARSI, tt). Balai Kesehatan ini kemudian mendapatkan
respon positif dari masyarakat sekitar dengan rasa bangga dan minat yang
tinggi untuk memilih Balai Kesehatan Ibnu Sina jika hendak melakukan
pengobatan dan juga bersalin.
56
Ibid.
237
Antusiasme masyarakat yang sangat tinggi tersebut menjadi pendorong
untuk didirikannya pusat layanan kesehatan serupa di beberapa daerah,
seperti Padang Panjang, Kapar (Pasaman Barat), dan Payakumbuh (STIKES
YARSI, tt.). Namun, tidak semua pemintaan umat dapat diwujudkan karena
keterbatasan tenaga medis (dokter, perawat dan bidan). Tenaga dokter saat itu
dipenuhi oleh dosen-dosen muda dari Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas yang tidak dapat menjadi pengabdi tetap karena mereka harus
melanjutkan pendidikan di bidang spesialisasi dan pendidikan lanjutan di
jenjang master. Kebutuhan tenaga medis tersebut kemudian diupayakan
melalui pendirian Sekolah Perawat Kesehatan (SPK). Saat itu lulusan SMP,
Tsanawiyah, bahkan SD pun diterima menjadi siswanya.
Selanjutnya, persaingan dengan RS Kristen Emanuel menjadi pemacu
semangat untuk mendirikan pusat layanan kesehatan yang lebih baik dalam
bentuk Rumah Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina di beberapa daerah seperti
Payakumbuh, Padang dan Padang Panjang (STIKES YARSI, tt.). Sayangnya,
upaya ini tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat.
Upaya perbaikan mutu pelayanan kesehatan terus dilakukan oleh
YARSI melalui pemajuan lembaga pendidikan kesehatan yang dimilikinya.
Pada tahun 1970, SPK telah mendidikan 60 siswa yang terbagi ke dalam 2
angkatan. Pada tahun 1978, YARSI membuka Sekolah Pengatur Rawat (SPR)
dengan menerima 30 orang siswa dan hanya berlangsung dalam 1 angkatan.
Pada tahun 1982, YARSI membuka SPK kembali yang kemudian disahkan
secara hukum melalui izin Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan RI
238
Provinsi Sumatera Barat Nomor 52/KEP/DIKLAT/KES/1983. SPK ini pun
menjadi lembaga pendidikan kesehatan swasta pertama di Sumatera Barat
(STIKES YARSI, tt.). Program Pendidikan Bidang jenjang D1 dimulai pada
tahun 1989 sampai dengan 1998 dengan jumlah lulusan mencapai 360 orang
dengan jumlah setiap angkatannya mencapai 40 orang.
Cita-cita mulia Mohammad Natsir yang melandasi pendirian RSI Ibnu
Sina dan juga YARSI tidak selalu berjalan mulus. Usia 25 tahun (pada tahun
1995) berdirinya RSI Ibnu Sina tetap tidak menjamin terpenuhinya segala
fasilitas bagi operasional rumah sakit. Ketua YARSI Sumatera Barat tahun
1995, Thamrin Manan (dalam Assad, 1995) dengan rendah hati mengakui
bahwa masih banyak kekurangan yang dimiliki oleh RSI Ibnu Sina meskipun
telah didukung dengan adanya SPK.
Saat itu, Thamrin berharap agar SPK YARSI dapat dikonversi menjadi
akademi atau sekolah tinggi. Harapan itupun benar-benar terwujud dengan
adanya konversi program D1 menjadi program D3 Keperawatan; sehingga
pada tahun 2000, SPK dikonversi juga menjadi Akademi Keperawatan
(AKPER) YARSI Bukittinggi (STIKES YARSI, tt.). Hingga tahun 2007,
AKPER YARSI telah mencapai akreditas B (+) dan sampai pada angkatan
ke-7 dengan jumlah siswa sebanyak 50 hingga 100 orang di setiap
angkatannya. AKPER YARSI kemudian dikonversi menjadi Sekolah Tinggi
Kesehatan (STIKES) YARSI pada tahun 2008 dengan menjalankan 3
program studi, yakni S1 Keperawatan, D3 Keperawatan dan D3 Kebidanan
(STIKES YARSI, tt.). Bahkan saat ini telah tersedia Prodi Profesi Ners.
239
Begitulah kepiawaian Natsir dalam menjalankan misi dakwahnya yang
bisa melahirkan banyak manfaat di berbagai bidang dengan
mengimplementasikan konsep dakwah bil hal. Model dakwah Natsir ini tentu
mengingatkan pada pesan Rasulullah yang disampaikan oleh Abu Sa‟id Al-
Khudri dan diriwayatkan oleh Imam Muslim tentang upaya dakwah yang
tertinggi, yakni mengubah atau menghentikan kemungkaran dengan tangan
yang merupakan tingkatan iman tertinggi dari pada mengubah kemungkaran
dengan lisan (tingkat kedua) dan hati (tingkat ketiga) (An-Nawawi, 2013).
b. Pengkaderan Panitia Haji Indonesia (PHI) sebagai Embrio Gerakan
Tarbiyah (KAMMI, PK, dan PKS)
Pada tahun 1968, setahun setelah Dewan Da‟wah didirikan, Natsir
mengumpulkan 40 pemuda melalui koordinasi dengan HMI, PII, dan
Muhammadiyah. Para pemuda itu kemudian dimasukkan ke dalam
pengkaderan PHI yang dilaksanakan selama tiga hari di Gedung PHI
Kwitang. Pengkaderan PHI ini ditangani langsung oleh para tokoh Dewan
Gambar 24. Salah satu gedung STIKES YARSI Sumbar Bukittinggi
Sumber : Laman Resmi YARSI Sumbar, dapat diakses melalui http://yarsisumbar.org/
240
Da‟wah yang juga mantan tokoh Partai Masyumi seperti Natsir, H.M. Rasjidi,
Osman Raliby, Zainal Abidin Ahmad, dan Mohammad Roem (Eriadi, 2007).
K.H.E. Zainal Muttaqien bertanggungjawab sebagai project officer-nya pada
periode pertama dengan didukung oleh Bang Imad sebagai asisten utama
sekaligus pesertanya (Luthfi dalam (Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan
Mustofa, 2002).
Agar tujuan Pengkaderan PHI ini dapat terus terjaga, maka para
alumninya membentuk forum silaturahim dengan menunjuk Bang Imad
sebagai komandannya (ketua/koordinator). Alumni Pengkaderan PHI inilah
yang menggarap Masjid Salman dan juga beberapa masjid kampus di
Indonesia yang berkolaborasi dengan Dewan Da‟wah sebagai pelindungnya
(Luthfi dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002). Beberapa
tokoh penting yang selalu turut serta dalam setiap agenda Pengkaderan PHI
tergabung dalam sebuah korps yang terdiri dari Bang Imad, Ahmad Sadali,
A.M. Luthfi, Endang Syaifuddin Anshari, Rudy Syarif Sumadilaga, Jusuf
Amir Feisal dan Akhmad Noe‟man (Eriadi, 2007).
Semangat para alumni Pengkaderan PHI ini kemudian mendorong
Dewan Da‟wah untuk meluncurkan program Bina Masjid Kampus pada tahun
1974 yang tidak hanya bertujuan untuk membina para mahasiswa agar
memiliki pemahaman ke-Islam-an yang baik, tetapi juga mengupayakan
pendirian berbagai masjid kampus di berbagai daerah di Indonesia. Program
Bina Masjid Kampus ini menggunakan sistem koordinasi dengan menetapkan
perwakilan atau koordinator wilayah (Luthfi dalam Asshiddiqie, Ikhwan,
241
Hadiana, dan Mustofa, 2002). Beberapa kader Natsir yang ditunjuk menjadi
kordinator wilayah adalah:
1) M. Amien Rais, Kuntowijoyo, M. Mahyudin dan RHA Syahirul Alim
untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta;
2) Ahmad Sadali, Rudy Syarif Sumadilaga, dan Yusuf Amir Feisal untuk
wilayah Bandung;
3) M. Daud Ali dan Nurhay Abdurrahman untuk wilayah Jakarta;
4) Halidzi dan Abdurrahman Basalama untuk wilayah Ujung Pandang;
5) A.M. Saefuddin dan Abdul Qadir Djaelani untuk wilayah Bogor.
Semangat ini pun diteruskan Bang Imad dengan membuat training di
Masjid Salman ITB yang dikenal hingga saat ini sebagai Latihan Mujahid
Dakwah (LMD), tepatnya sejak tahun 1974 (Eriadi, 2007). Masjid Salman
memang menjadi basis sekaligus percontohan dakwah kampus di Indonesia.
Masjid kampus yang namanya diberikan oleh Soekarno tersebut merupakan
salah satu monumen perjuangan para pelopor aktivis dakwah kampus. Tokoh
penting pendirian fisiknya adalah Profesor Tubagus Sulaiman yang
mencetuskan perubahan panitia masjid kampus menjadi Yayasan Pembina
Masjid Salman. Anggota yayasan itu terdiri dari Hasan Babsel, Akhmad
Noe‟man, Akhmad Sadali, Bang Imad, Wahab Bakrie, Mahmud Yunus,
Azwar Anas, M. Amiruddim dan A.M. Luthfi. Sedangkan tokoh penting
pembangunan sumber dayanya adalah Natsir yang kemudian dilanjutkan oleh
Bang Imad (Eriadi, 2007).
242
Setelah melalui berbagai rintangan, termasuk penolakan dari rektor ITB
– Otong Kosasih, bangunan fisik Masjid Salman akhirnya selesai dan
kemudian dimanfaatkan menjadi pusat pengkaderan aktivis dakwah kampus
yang menurut Prof. Sulaiman kriterianya seperti sahabat Rasulullah SAW
yang bernama Salman al-Farisi (Luthfi dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana,
dan Mustofa, 2002). Semangat itulah yang kemudian memunculkan LMD,
sarana pengkaderan mujahid dakwah yang fenomenal.
LMD yang bertujuan untuk membentuk agen-agen dakwah Islam ini
melakukan seleksi terhadap para calon pesertanya dengan beberapa
ketentuan. Setiap calon peserta wajib memiliki minimal Indeks Prestasi (IP)
2,75 (Eriadi, 2007). Setiap calon peserta wajib mengikuti tes membaca Al-
Quran dan tes psikologi (Dipojono dalam Eriadi, 2007). Selain itu, para calon
peserta juga akan melalui tes wawancara (Djamas dalam Eriadi, 2007).
Peserta yang telah terpilih akan mengikuti pelatihan selama satu sampai
dengan dua minggu dengan diberikan kewajiban menghafal beberapa ayat Al-
Quran yang harus diselesaikan sebelum pelaksanaan bai‟at (Eriadi, 2007).
Adapun materi dan pembinaan yang diberikan secara umum berbentuk
diskusi, tanya jawab dan pemecahan masalah (bersifat interaktif). Model
seperti ini menjadi ciri khas LMD yang dikehendaki Bang Imad karena ia
tidak mau LMD disebut sebagai kegiatan indoktrinasi (Djamas dalam Eriadi,
2007). Dalam pelaksanaannya, Bang Imad turut berpartisipasi sebagai
pemateri dengan gaya khas yang mirip seperti Natsir; yakni penjelasan ayat-
ayat Al-Quran yang dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa alam dan
243
mengakomodasi penjelasan secara ilmiah dan rasional. Kemampuannya ini
memang mirip sekali dengan Natsir yang mengintegrasikan ayat qauliyah
dengan kauniyah serta komprehensif karena menyajikan dalil naqli sebagai
pondasi yang diperkuat penjelasannya dengan dalil aqli. Substansi materinya
pun sesuai dengan pemikiran Islam para tokoh Partai Masyumi; Islam bukan
sebatas mengatur ritual peribadatan, tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan
(Islam Kaffah) (Djamas dalam Eriadi, 2007). Hal-hal kecil pun diajarkan
dalam LMD yang sesuai dengan paham Islam Kaffah tersebut; misalnya
menggosok gigi secara teratur, kebanggaan membawa Al-Quran ke kampus,
hingga larangan merokok. Oleh karena itu, Abu Ridho (dalam Eriadi, 2007)
menyatakan bahwa LMD merupakan media penyebaran ideologi/pemikiran
Masyumi ke kampus.
Semangat LMD pun menyebar ke berbagai kampus di Indonesia. Para
aktivis Islam di berbagai kampus tidak hanya mengadopsi LMD, tetapi juga
pengelolaan Masjid Salman ITB karena Masjid Salman adalah satu-satunya
masjid kampus yang dikelola dengan konsep terpadu dengan kampus saat itu
(Radjasa dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002). Amien
Rais dan teman-temannya mengadopsi pendekatan Masjid Salman untuk
membangun Jama‟ahh Salahuddin dan Masjid Mardiyah di Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta (Feisal; Rahardjo dalam Asshiddiqie, Ikhwan,
Hadiana, dan Mustofa, 2002). Adapun di kampus-kampus lainnya seperti
Masjid Arif Rahman Hakim (ARH) di Universitas Indonesia (UI), Masjid Al-
Ghifari di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Masjid Raden Patah di
244
Universitas Brawijaya (UB) Malang (Rahardjo dalam Asshiddiqie, Ikhwan,
Hadiana, dan Mustofa, 2002).
Masjid ARH yang mendapatkan didikan dari H.M. Rasjidi
mengirimkan sebagian besar pengurusnya untuk mengikuti LMD. Para aktivis
Masjid ARH ini selanjutnya mengadopsi LMD untu membentuk Integratif
Studi Tentang Islam (ISTI) dan Tadabbur (Eriadi, 2007). Beragama kegiatan
serupa juga diadakan di fakultas-fakultas; seperti Kajian Dasar Islam
(KADAIS) di FISIP, Integrasi Studi Terpadu Islam (ISTI) di FMIPA, Studi
Islam Terpadu (SIT) di Fakultas Ekonomi, dan Forum Kajian Dasar Islam
(FONDASI) di Fakultas Sastra (Hadi, 2000).
Adapun beberapa tokoh alumni LMD yang berkontribusi besar dalam
pengembangan dakwah kampus di UI, yakni Aus Hidayat Nur, Zaenal
Muttaqien, Suharna Surapranata, Ikhsan Tanjung dan Musholli (Furkon dalam
Eriadi, 2007). Pengaruh para tokoh Masyumi yang sudah bertransformasi
menjadi Dewan Da‟wah juga tersebarkan melalui peran langsung beberapa
tokoh tersebut dalam momentum penting Masjid ARH; Mohammad Natsir
menjadi Khatib Shalat Ied pertama pada tahun 1967 (setahun sebelum Masjid
ARH diresmikan), Anwar Harjono menjadi khatib Idul Adha pertama, dan
H.M. Rasjidi menjadi khatib shalat Jumat pertama pada saat peresmian, yakni
pada 16 Agustus 1968 (Hadi, 2000). Selain itu, H.M. Rasjidi juga ditunjuk
sebagai imam Masjid ARH. Selain Natsir, Rasjidi dan Anwar Harjono,
beberapa tokoh lainnya yang juga membina para aktivis ARH secara intensif
adalah Sjafruddin Prawiranegara, Yunan Nasution dan Buya Malik Ahmad
(Hadi, 2000; Furkon dalam Eriadi, 2007).
245
Adapun kegiatan dakwah di UGM oleh Jama‟ah Shalahuddin dimulai
pada tahun 1976 dengan mengadakan acara yang diberi nama Maulid Pop.
Maulid Pop ini diupayakan untuk menampilkan dakwah dengan perspektif
ilmiah (Jama‟ah Shalahuddin, tt.). Beberapa tokoh pelopor (founding fathers)
Jama‟ah Shalahuddin adalah Muslikh Zainal Asikin, Akhmad Fanani, Djafnan
Tsan Affandi, Erlius, Samhari Baswedan, A Luqman, M Toyiibi dan Hadi
Prihatin (Eriadi, 2007). Sedangkan tokoh Masyumi yang membina para aktivis
tersebut secara intensif adalah A.R. Baswedan (ayah Samhari Baswedan) yang
kemudian ditunjuk menjadi Ketua Dewan Da‟wah Yogyakarta. Selain itu,
dukungan juga diberikan oleh A.R. Fachruddin yang saat itu merupakan Ketua
PP Muhammadiyah (Eriadi, 2007).
Beberapa bulan kemudian para aktivis dakwah kampus di Yogyakarta
mengadakan acara yang diberikan nama Ramadhan in Campus yang menjadi
momentum penamaan Jama‟ah Shalahuddin sebagai panitia
penyelenggaranya.57
Saat itu Masjid Kampus belum didirikan sehingga
Gelanggang Mahasiswa dimanfaatkan untuk menjadi masjid yang tidak
permanen dengan menggelar tikar dan membuat mihrab yang bisa dipindah.
Kepeloporan Masjid ARH dan Jama‟ah Shalahuddin ini menginspirasi
berbagai dakwah kampus lainnya. Maka muncullah Lembaga Dakwah Kampus
(LDK) di berbagai kampus; misalnya Masjid Al-Ghifari di IPB, IKIP Jakarta
(sekarang Universitas Negeri Jakarta), Sekolah Tinggi Kedokteran YARSI,
Masjid Manarul „Ilmi di ITS, Masjid Mujahidin di IKIP Yogyakarta (sekarang
Universitas Negeri Yogyakarta), LAI UNDIP Semarang, UNSOED
57
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018; Lihat Majalah Boulevard, edisi 2/IV/1997.
246
Purwokerto, UNS Surakarta, LPISAT Universitas Trisakti Jakarta, UIKA
Bogor, UNPAD Bandung, UKKI UNAIR Surabaya, dan Masjid Al-Hikmah di
IKIP Malang (Universitas Negeri Malang) (Eriadi, 2007). Sebuah buku yang
menghimpun ceramah-ceramah Bang Imad di LMD dan juga Masjid Salman
kemudian diterbitkan dengan judul “Kuliah Tauhid”. Buku ini menjadi rujukan
bagi pergerakan dakwah di berbagai kampus di Indonesia (Eriadi, 2007).
Menyebarnya konsep LMD yang berimplikasi pada bermunculannya
LDK yang diiringi dengan kerasnya Bang Imad serta para aktivis dakwah
kampus mengkritik pemerintahan Orde Baru membuat rezim geram dan
kemudian mendeskriditkan dakwah kampus. Dengan menggunakan tuduhan
adanya upaya/gerakan makar, militer menangkap Bang Imad pada 23 Mei 1978
(Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002). Militer menyerbu kampus
dan mengambil alih Asrama Masjid Salman (Dipojono dalam Asshiddiqie,
Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002). Sikap represif pun juga dialami Jama‟ah
Shalahuddin UGM; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Daoed
Joesoef memerintahkan Rektor UGM untuk membubarkan Jama‟ah
Shalahuddin dengan alasan keterlibatan pengurus Jama‟ah Shalahuddin dalam
demonstrasi menentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada tahun 1978 (Jama‟ah Shalahuddin, tt.).58
Natsir pun menentang kebijakan NKK/BKK; ia menegaskan :
58
NKK/BKK merupakan kebijakan kontroversial Daoed Joesoef yang diduga kuat bertujuan untuk
melemahkan kedaulatan mahasiswa atau depolitisasi kampus di Indonesia. Melalui kebijakan ini, Daoed
Joesoef melarang berbagai aktivitas mahasiswa selain kegiatan belajar-mengajar; tidak boleh ada Lembaga
Kedaulatan Mahasiswa seperti BEM, DPM, Senat dan berbagai lembaga sejenisnya. Ia berpandangan bahwa
kehidupan kampus mahasiswa harus kembali “normal”, yakni hanya berfokus pada kegiatan belajar-mengajar
dan penelitian. Ia juga tidak setuju dengan keberadaan masjid di dalam kampus serta liburan di bulan
Ramadhan. Lihat Mohammad Natsir : Pancasila Jangan Dilepaskan dari Nilai-nilai Agama. Majalah Serial
Media Dakwah Nomor 62 Agustus 1979, Jakarta : Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia.
247
“Tiap-tiap normalisasi membawa perubahan terhadap apa yang ada. Tapi tidak
semua perubahan menghasilkan sesuatu yang “normal”. Salah-salah pasang malah
bisa berakibat sebaliknya” (Natsir, 1979, hal.: 14).
Serupa dengan sikap Natsir, A.M. Saefuddin (1996) yang menjabat
sebagai Ketua Pembina Dewan Da‟wah periode 2015-2020 menyatakan bahwa
kebijakan tersebut merupakan upaya depolitisasi kampus yang mengekang
kreativitas mahasiswa.
Upaya pembubaran Jama‟ah Shalahuddin pun dapat digagalkan oleh
para pembina dakwah kampus di wilayah Yogayakarta. Namun, LMD yang
menjadi pelopor tidak dapat diselamatkan seiring dengan penangkapan Bang
Imad. Kegiatan dakwah di Masjid Salman sempat tidak menentu dan
dipastikan bahwa peristiwa penangkapan tersebut merupakan akhir dari LMD
(Radjasa dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002). Begitulah
tantangan dakwah sepanjang masa; di mana pun dakwah dilakukan yang
tujuannya adalah kebaikan, akan selalu ada pihak yang menjadi lawannya dan
berusaha untuk memadamkan “cahayanya”. Hal ini mengingatkan kembali
pada Q.S. At-Taubah ayat 32 yang dijadikan motto oleh Jong Islamieten Bond
pada Majalah Het Licht; bahwa dakwah akan selalu menemui lawannya,
namun ia akan terus tegak. Itulah yang juga terjadi pada dakwah kampus. Sikap
represif dan upaya mendiskriditkan justru memacu semangat para aktivis
dakwah kampus. Meskipun LMD tidak ada lagi, para aktivis Masjid Salman
menggunakan sarana pengkaderan dan pembinaan yang lain, yakni Keluarga
Remaja Islam Salman (Karisma) dan Studi Islam Intensif (SII) (Eriadi, 2007).
248
Para alumni Pengkaderan PHI, Bina Masjid Kampus dan LMD juga
menginisiasi pendirian LDK di beberapa kampus. Interaksi para alumni ini pun
semakin intensif; tidak hanya melibatkan para alumni LDK, tetapi juga alumni
PII yang dianggap memiliki kesamaan ideologi. Di samping itu, banyak juga
alumni LDK yang pernah menjadi pengurus PII seperti Zainal Muttaqien,
Siswono, Untung Wahono, dan Aus Hidayat Nur. Perkumpulan inilah yang
disebut sebagai generasi awal gerakan Tarbiyah di Indonesia (Eriadi, 2007).
Gerakan Tarbiyah melalui LDK ini berkembang pesat melalui
berbagai kegiatan seperti seminar, kajian rutin, pelatihan, dan mentoring.
Mentoring tersebut merupakan hasil modifikasi LMD; salah satunya mengubah
rentang waktunya menjadi setiap minggu dalam satu semester secara bertahap.
Mentoring ini bahkan menjadi kegiatan resmi di beberapa kampus. Ada yang
termasuk ke dalam kegiatan wajib seperti Pendampingan Agama Islam (PAI)
di UGM sejak tahun 1987 (Karim, 2006). Mentoring Agama dan Etika Islam
yang menjadi bagian dari perkuliahan Agama Islam di ITB (Siddiq, 2003). Ada
juga yang termasuk ke dalam aktivitas pengenalan kehidupan kampus.
Kemunculan dan perkembangan LDK di berbagai kampus di
Indonesia kemudian melahirkan kebutuhan baru, yakni perlunya forum atau
ikatan jaringan antar LDK yang dapat menjadi sarana pemersatu dan media
koordinasi untuk mewujudkan dakwah kampus yang kuat, terpadu, dan terarah.
Jama‟ah Shalahuddin UGM pun berinisiatif untuk melaksanakan Sarasehan
LDK di Yogyakarta pada 24 Mei 1986 yang dihadiri oleh 13 LDK se-Pulau
Jawa (Rahmat, 2008). Pada tahun 1987, pertemuan dilakukan di ITB dengan
jumlah peserta yang lebih banyak. Pertemuan ketiga kemudian dilaksanakan
249
pada tahun yang sama di UNAIR dengan peserta mencapai 30 LDK. Pada
pertemuan ketiga inilah sebutan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus
(FSLDK) digunakan. Adapun pertemuan keempat dilaksanakan pada tahun
1988 di Surakarta dengan menghadirkan LDK dari Universitas Udayana Bali
dan Universitas Hasanudin Makassar. Selanjutnya, pada tahun 1989,
pertemuan kelima dilaksanakan di IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri
Malang) dengan bertambahnya utusan dari Sumatera, dan Nusa Tenggara
Barat. Pertemuan seperti ini selanjutnya dilaksanakan secara rutin untuk
membahas berbagai permasalahan mengenai dakwah kampus (Siddiq dalam
Rahmat, 2008).
Dakwah kampus yang semakin kuat dan solid selanjutnya memperluas
bidang pergerakannya ke lemba-lembaga politik mahasiswa seperti Senat
Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) (Eriadi, 2007).
Peruntungannya dimulai sejak tahun 1993 dengan diangkatnya Mustafa Kemal
sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI. Setahun setelah itu, posisi
strategis Ketua Senat Mahasiswa UI berhasil diraih oleh aktivis dakwah
kampus untuk pertama kalinya dengan menempatkan Zulkiflimansyah pada
posisi itu. Selanjutnya, paa tahun 1996 para aktivis dakwah kampus berhasil
memenangkan Haryo Setyoko menjadi Ketua BEM UGM serta Agus
Supriyatna menjadi Ketua Senat Mahasiswa IKIP Jakarta. Pada tahun 1998,
para aktivis dakwah kampus menang di tiga kampus terkemuka sekaligus;
Vijay Fitrayasa menjadi Presiden Keluarga Mahasiswa (KM) ITB; Gunawan
menjadi Ketua KM Trisakti; serta Nurdin, Wirya Kusumayudha dan
Mukhamad Najid menjadi Presidium Senat Mahasiswa IPB (Siddiq, 2003).
250
Selain itu, para aktivis gerakan Tarbiyah juga membentuk lembaga
sosial. Misalnya para alumni LMD dari UI seperti Suharna, Musholli dan
Fahmi Alaydroes mendirikan lembaga bimbingan belajar Nurul Fikri yang
kemudian berkembang menjadi SD, SMP dan SMA Islam Terpadu (IT)
sebagaimana konsep pendidikan integral Natsir (Eriadi, 2007). Bentuk lembaga
sosial lainnya adalah Yayasan Studi dan Informasi Dunia Islam Kontemporer
(SIDIK) yang didirikan oleh Abu Ridho dan Mashadi. SIDIK kemudian
menjadi lembaga think tank gerakan Tarbiyah yang merekomendasikan
penurunan Soeharto dan juga pendirian Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI).59
Persebaran LDK semakin meluas ke seluruh Indonesia. Rahmat
(2008) menyebut bahwa jaringannya telah menyebar ke 64 perguruan tinggi di
seluruh Indonesia. Jaringan yang tergabung dalam LDK/FSLDK inilah yang
kemudian berperan besar dalam pembentukan KAMMI pada bulan Maret 1998
di Malang. Namun, FLSDK tidak secara formal mendukung pembentukan
KAMMI tersebut (Muhtadi, 2013). Berdasarkan keterangan tokoh dakwah
terkemuka yang tidak berkenan disebutkan namanya, KAMMI diprakarsai oleh
beberapa aktivis FLSDK dan dideklarasikan sesudah pertemuan tahunan
FSLDK ditutup secara resmi (Muhtadi, 2013).
Selanjutnya, setelah Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998,
para tokoh KAMMI mulai memperbincangkan mengenai pendirian partai
politik yang mendapatkan dua respon berbeda dari para aktivis dakwah kampus
59
Lihat M. Heriawan Eriadi. Pengaruh Pemikiran Politik Masyumi di Partai Keadilan/Partai Keadilan
Sejahtera. (Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007).
251
(Muhtadi, 2013). Sebagian setuju karena menurut mereka, jaringan dan sumber
daya dakwah kampus yang telah terbentuk sudah seharusnya menjadi modal
untuk membentuk partai politik. Adapun sebagian yang lainnya tidak setuju
dengan mengusulkan agar gerakan dakwah kampus menjadi organisasi
masyarakat saja. Namun, survei internal di kalangan kader inti menunjukkan
kesepakatan mayoritas dari mereka untuk mendirikan partai Islam.
Berdasarkan keterangan Abu Ridho (dalam Rahmat, 2008), saat itu Dewan
Da‟wah tidak berhasil mendirikan partai politik yang berasaskan Islam; yang
berdiri justru Partai Bulan Bintang (PBB) dengan asas Pancasila.
Partai Keadilan (PK) pun didirikan pada 9 Agustus 1998 melalui
musyawarah yang dipimpin Hidayat Nur Wahid dan didampingi Luthfi Hasan
Ishaq sebagai sekretarisnya. Kemudian PK mengangkat Dr. Nur Mahmudi
Ismail menjadi presiden partai, Dr. Salim Segaf al-Jufri menjadi Ketua Dewan
Syura, dan Anis Matta Lc. sebagai sekjennya (Rahmat, 2008). Selanjutnya PK
melebur bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 17 April 2003, yakni
pada musyawarah Majelis Syura PK ke-XIII di Wisma Haji, Bekasi Jawa Barat
(Rahmat, 2008). Peleburan ini disebabkan oleh batas treshold sebesar 2% yang
tidak bisa dicapai PK (Muhtadi, 2013). Tokoh-tokoh penting PKS yang
memiliki hubungan dekat dengan Masyumi atau pemikirannya dipengaruhi
oleh Masyumi adalah Abu Ridho dan Mutammimul Ula yang pernah menjadi
anggota DRP RI serta Mashadi yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum
Forum Umat Islam (FUI) dari unsur PKS. Selain itu, terdapat juga para alumni
LMD seperti Suharna Surapranata, Aus Hidayat Nur, Musholli, Untung
Wahono, Siswono, Wahyudin Munawir, Nursanita Nasution, Irwan Prayitno.
252
Tabel 5. Tokoh-tokoh PKS yang Berkaitan dengan Masyumi dan Dewan Da’wah
Sumber : Disunting dari Eriadi (2007).
253
Rentetan panjang generasi penggerak dakwah yang menguat di masa
Masyumi, khususnya yang dipelopori oleh Natsir dengan kepemimpinannya di
Dewan Da‟wah merupakan bentuk pertautan sejarah yang menjadi sarana
regenerasi sekaligus cerita perjuangan “bertahan hidup” para mujahid dakwah
penggengam “bola api agama” yang hendak menerangkan kehidupan kampus
dan kehidupan para cendekiawan bangsa dengan cahaya Islam. Oleh karena itu,
sangat pantas jika Natsir disebut sebagai seorang maestro dakwah yang mampu
mengharmonisasikan berbagai elemen menjadi kesatuan sumber daya
dakwah.60
4.6 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Jurnalisme
4.6.1 Penulis yang Perfeksionis
Taufiq Ismail, seorang budayawan dan sastrawan Indonesia yang
ayahnya (Ghoffar Ismail) merupakan sahabat Natsir, memberikan kesaksiannya
mengenai Natsir yang menurutnya adalah seorang cendekiawan dan penulis
yang memiliki ciri khas tersendiri (dalam Umam dan Kamaluddin, 2008).
Penulsian memang menajdi salah satu bidang yang ditekuni Natsir sejak ia
60
Artawijaya, wawancara pada Kamis, 8 Maret 2018.
Gambar 25. Alur Keterkaitan Sejarah Dewan Da’wah dengan Gerakan Tarbiyah
Sumber : Eriadi (2007).
2003
254
muda. Serupa dengan yang disampaikan oleh Taufiq Ismail, Ramlan
Mardjoned menyebutkan bahwa Natsir adalah seorang jurnalis, penulis
sekaligus pembicara dan pendebat sejak SMA (sejak AMS).61
Hal ini terlihak dalam kisahnya beradu argumentasi dengan seorang
pendeta Kristen Protestan bernama A.C. Christoffel yang hendak memengaruhi
para siswa AMS dengan pemahaman yang salah mengenai Yesus Kristus (Isa
AlMasih) dan Nabi Muhammad SAW. Natsir pun menunjukkan kualitas
seorang terdidik dengan beradu argumentasi lewat tulisan ilmiah berjudul
Muhammad als Profeet yang secara serius ia buat dengan berkonsultasi kepada
A. Hassan merujuk ke berbagai sumber pustaka.
Saat balasannya yang kedua terhadap tulisan Christoffels tidak dimuat
oleh AID De Preangerbode, Natsir bersama A. Hassan dan Persis membangun
Comite Pembela Islam dan menerbitkan majalah Pembela Islam (Kahin, 2012;
Artawijaya, 2014). Melalui majalah ini Natsir memproduksi beberapa tulisan
yang ditujukan untuk menangkis berbagai hasutan, fitnah dan cacian pihak-
pihak yang membenci dan memusuhi Islam. Tulisannya yang lain misalnya
berjudul Quran an Evangelie yang dimuat dalam Majalah Pembela Islam
Nomor 33 Tahun 1931. Tulisannya ini dimaksudkan untuk membantah tulisan
seorang pendeta Katolik Ordo Jesuit bernama J.J. Ten Berge yang dimuat
dalam Jurnal Studien. Tulisan Berge berisikan penistaan terhadap Al-Quran
dengan menyebutnya sebagai kumpulan dongeng (Artawijaya, 2014).
Pembelaan-pembelaan itu pun terus berlanjut seiring dengan berlanjutnya
penghinaan-penghinaan terhadap Islam.
61
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
255
Natsir memang menjadi penulis andalan Pembela Islam karena
argumentasinya kuat dan ilmiah yang pasti dibangun dengan kajian pustaka
yang baik dan proses penalaran yang matang. Karakter Natsir dalam menulis
ini disaksikan secara langsung oleh Yusril Ihza Mahendra yang pernah menjadi
asisten Natsir (dalam Umam dan Kamaluddin, 2008).
Ciri khas Natsir yang paling menonjol dalam menulis adalah sikap
perfeksionisnya.62
Ia tidak pernah mempublikasikan tulsiannya tanpa melalui
proses perenungan yang dalam, mencari banyak referensi, menulis draft dan
“corat-coret” draft serta hasil ketikan sementara.63
Ramlan Mardjoned
memberikan kesaksiannya bahwa setiap pagi ia datang ke rumah Natsir untuk
bekerja, pasti telah ada catatan yang harus ia kerjakan. Ia juga sering dipanggil
62
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018; Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4
Maret 2018. 63
Ibid.
Gambar 26. Majalah Pembela Islam Terbitan Comite Pembela Islam Persis
Sumber : Bilik Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja
Abdullah bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
256
Natsir di sela-sela kerjanya sambil membawa blocnote dan pulpen. Bahkan,
kemana pun Natsir pergi, Ramlan harus selalu menyiapkan dua benda tersebut
karena Natsir sangat sering memintanya mencatat pemikiran atau idenya
tentang berbagai hal. Hal itu disebabkan oleh pemikiran Natsir yang terlalu
luas dan keinginan untuk selalu melahirkan pemikiran yang terbaik.64
Hasil renungan yang menjadi draft itu kemudian ditinjau kembali
dengan membacanya atau mendengarkan bacaan Ramlan tentang draft itu.
Setelah selesai diketik, ia pun melihatnya kembali dan selalu ada koreksi, baik
tata penulisannya maupun ide penulisannya. Biasanya, Ramlan mendapatkan
dua kali revisi sebelum bisa dicetak dan dipublikasikan.65
Menurut Ramlan, ciri
khas menulis Natsir mirip seperti ciri khas A. Hassan yang ikut “sibuk” dalam
berbagai proses penulisan hingga pencetakan.
Hal serupa juga dialami oleh Lukman Hakiem yang pernah menjadi
Redaktur Majalah Media Dakwah. Pada tahun 1989, ada sebuah wacana
nasional mengenai UU tentang Mahkamah Agung yang mengatur 4 jenis
peradilan yang mendapatkan penolakan keras dari Frans Magniz Suseno.
Kemudian, Lukman bersama kawan-kawannya mewawancarai Natsir yang
nantinya akan dijadikan artikel. Transkrip wawancara dan tulisan itu pun
mendapatkan koreksi Natsir hingga beberapa kali. Ia mengisahkan:
“Terus kami transkrip, setelah itu kami serahkan ke Pak Natsir untuk diperiksa dan
itu dicoret-coret itu. Sampai mau naik cetak itu masih dikoreksi. Kurang ini, kurang
itu. Jadi beliau itu sangat perfeksionis”.66
64
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018. 65
Ibid. 66
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018.
257
Selain perfeksionis, Natsir punya ciri khas menulis dengan kalimat
yang singkat. Menurut Ramlan, Natsir bukan sekedar penulis biasa, melainkan
seorang jurnalis yang efektif dalam menggunakan diksi – pesannya
tersampaikan meskipun kalimatnya pendek.67
Natsir tidak hanya efektif dalam penggunaan diksi, tetapi sangat
berhati-hati dalam memilihnya. Natsir pernah berpesan kepada Lukman
Hakiem bahwa dalam menulis haruslah santun; boleh menghasilkan tulisan
dengan kalimat dan ide yang tajam dan keras, tetapi tidak boleh menggunakan
kata-kata yang kasar.68
Pengetahuan dan wawasan Natsir tentang berbagai pengetahuan,
termasuk agama Islam, juga menjadi bahan harmonisasi tulisannya. Misi yang
dibawa Natsir dalam menulis adalah dakwah – membela tegaknya Islam. Hal
ini terlihat jelas dalam pengalaman pertamanya menulis serta di berbagai
tulisannya yang lain. Salah satunya pernah dialami oleh Lukman Hakiem saat
Paus Yohannes Paulus datang ke Indonesia. Kedatangan Paus itu ditanggapi
oleh A.R. Fachroeddin dengan sebuah tulisannya berjudul Sugeng Rauh lan
Sugeng Tindak Romo Paus (Selamat Datang dan Selamat Jalan Romo Paus)
yang salah satu isinya adalah kisah-kisah tentang upaya kristenisasi.69
Tulisan
itu pun direspon oleh Romo Mangun dengan sebuah tulisan yang diterbitkan di
Majalah Hidup. Melihat hal itu, Natsir memanggil Lukman, kemudian
menunjukkan tulisan Romo Mangun sambil mengatakan “jangan biarkan Pak
67
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018; Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6
Maret 2018. 68
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018. 69
Ibid.
258
A.R. sendirian!”. Lukman pun didorong untuk membanu A.R. Fachroeddin
dengan membuat tulisan serupa. Artinya, Natsir menggunakan tulisan untuk
berdakwah sekaligus memberikan peringatan bagi setiap pihak yang berpotensi
mengusik Islam atau umat Muslim.
Wawasannya yang luas juga membuatnya kaya akan perbendaharaan
kata dan gagasan sehingga mampu menghasilkan tulisan yang berkualitas.
Zainal Abidin Ahmad yang merupakan orang dekat Natsir memuji tulisan
Natsir melalui sambutannya dalam Buku Capita Selecta :
“Tulisannya yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan
menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja, karena kata-
katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya yang tersendiri itu, melainkan
lebih utama lagi karena isinya yang bernas mengenai soal-soal sosial, ekonomi, dan
politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya
dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya” (dalam
Natsir, 1961, hal.: XI).
Hingga akhir hidupnya, Natsir telah menuangkan banyak pikirannya
dalam banyak tulisan yang sebagian darinya diterbitkan menjadi buku. Bahkan
saat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menjelang wafatnya, Natsir
masih menyempatkan diri untuk menuliskan pesan-pesan dakwahnya yang
kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku saku berjudul Da‟wah ilallah.70
Karya monumentalnya, Capita Selecta, sampai saat ini menjadi salah satu
dokumen sejarah sekaligus referensi pemikiran tokoh bangsa yang sangat dekat
dengan Islam. Ada juga buku pedoman dakwahnya Fiqh Da‟wah yang
merupakan himpunan pidato-pidato Natsir terkait dakwah yang dikumpulkan
70
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa 6 Maret 2018.
259
oleh Shaleh Umar Bayasud.71
Menurut Natsir Zubaidi, buku ini merupakan
buku dakwah yang harus dibaca oleh para da‟i atau mujahid da‟wah.72
Puar
(dalam Luth, 1999) menjelaskan bahwa Natsir telah menulis sebanyak 52 judul
sejak tahun 1930; tetapi Luth menduga lebih banyak dari itu.
4.6.2 Menghidupkan Dakwah dengan Jurnalisme
Dunia jurnalisme sudah ditekuni Natsir sejak ia bersekolah di AMS;
tepatnya sejak ia menjalin hubungan yangs angat akrab dengan A. Hassan dan
juga aktif di JIB cabang Bandung. Melalui A. Hassan, ia mendapatkan banyak
ilmu mengenai kegiatan jurnalisme; mulai dari mencari bahan untuk menulis
hingga pencetakan tulisan atau buku. A. Hassan sendiri merupakan seorang
penulis sekaligus editor, penerbit sekaligus pencetak karya-karyanya (Kahin,
2012). Bagi Natsir, kemampuan A. Hassan ini menunjukkan keunggulan diri
yang orisinal (Kahin, 2012).
Jurnalisme telah menjadi salah satu sarana andalan Natsir dalam
melakukan perjuangannya di berbagai hal. Natsir aktif membantu penerbitan
Majalah Pembela Islam yang diterbitkan oleh Comite Pembela Islam Persis,
meskipun tidak masuk ke dalam jajaran redaksinya.
Saat aktif di Masyumi, Natsir juga memiliki peran penting di Majalah
Hikmah sebagai pemimpin umumnya. Majalah Hikmah yang dijuluki sebagai
Mingguan Islam Populer ini terbit sebanyak empat kali dalam sebulan di setiap
hari Sabtu dengan total jumlah halaman sebanyak 24 halaman. Terdapat
beberapa rubrik dalam Majalah Hikmah, seperti Tanah Air yang berisikan
71
Ibid. 72
Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.
260
berita dan informasi dalam negeri; Dunia Islam yang berisikan berita dan
informasi khusus mengenai Islam di dalam dan luar negeri; Masalah Dunia
yang berisikan berita dan informasi luar negeri secara umum; Perguruan dan
Pendidikan yang berisikan berita dan informasi mengenai dunia pendidikan;
Agama yang berisikan tulisan-tulisan tentang ajaran dan pengetahuan Islam;
serta Bercerita yang berisikan kisah-kisah keteladanan seperti kisah para
sahabat Rasulullah SAW.
Ciri khas Majalah Hikmah adalah kutipan Q.S. An-Nahl ayat 125 yang
terletak di halaman awal Majalah Hikmah. Adapun terjemahan ayat tersebut :
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Kemenag RI, 2011).
Gambar 27 . Sampul (a) dan halaman pertama (b) Majalah Hikmah Nomor 14 April 1953
Sumber : Hasil digitalisasi Komunitas Jejak Islam Bangsa (JIB)
(a) (b)
261
Dari ayat inilah mungkin inspirasi nama Majalah Hikmah diambil; diambil dari
kata “hikmah” yang digunakan untuk menyeru kepada Islam (jalan Tuhan).
Peran Natsir dalam bidang jurnalisme berlanjut hingga saat ia
memimpin Dewan Da‟wah. Misalnya menjadi Dewan Redaksi dalam Majalah
Serial Media Dakwah. Majalah yang diterbitkan oleh Dewan Da‟wah ini
dipimpin oleh Buchari Tamam dengan penerbitannya setiap satu bulan sekali.
Izin terbitnya disahkan melalui Surat Izin Terbit Nomor
500/SK/DitjenPPG/STT/1978. Kantro redaksinya beralamatkan sama seperti
Dewan Da‟wah yakni di Jalan Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.
Serial Media Dakwah ini secara umum berisikan tulisan-tulisan para
tokoh Islam, khususnya Dewan Da‟wah. Oleh karena itu, Ramlan Mardjoned
menyebut Serial Media Dakwah ini sebagai majalah yang menjual gagasan-
gagasan pemimpin umat.73
Selain tulisan-tulisan tersebut, terdapat juga rubrik-
rubrik seperti Kronik Dakwah yang berisikan berita dan informasi mengenai
perkembangan dan aktivitas dakwah serta Wawancara yang berisikan hasil
wawancara berbagai tokoh mengenai berbagai permasalahan. Natsir
merupakan tokoh yang sering diwawancarai. Adapun tokoh internasional yang
pernah diwawancari seperti Prof. Dr. Shawqi Futaki yang merupakan
pemimpin Japan Islamic Congress. Dua rubrik ini menjadi ciri khas dari Serial
Media Dakwah yang berperan penting sebagai corong Dewan Da‟wah. Redaksi
Majalah Serial Media Dakwah memberikan deskripsi secara lebih spesifik
73
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa 6 Maret 2018.
262
Gambar 28. Sampul (a) dan daftar isi (b) Majalah Serial Media Dakwah
No. 88 Oktober 1981
Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu
Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
(a) (b)
mengenai majalah ini pada halaman daftar isi dan redaksi yang berlafalkan
sebagai berikut:
“Menghidangkan berbagai tulisan mengenai dakwah Islamiyah serta masalah-
masalah aktual di masyarakat dalam kaitannya dengan dakwah dalam arti luas.
Untuk itu Redaksi menerima berbagai tulisa, antara lain : problem dakwah, suka
duka berdakwah, laporan kegiatan dakwah, foto dan gambar mengenai dakwah,
serta tulisan lainnya yang berkaitan dengan dakwah. Setiap tulisan yang akan
dimuat, Redaksi berhak merubahnya sepanjang tidak merubah isinya. Tulisan-
tulisan yang tidak dimuat akan dikembalikan jika disertai perangko pengembalian
secukupnya. Tulisan-tulisan atau foto dan gambar yang dimuat boleh dikutip
dengan menyebutkan sumbernya (Redaksi Majalah Serial Media Dakwah,
1979, hal.: ii).
Adapun tampilan Serial Media Dakwah sebagaimana berikut.
Majalah lainnya Majalah Kiblat yang diterbitkan oleh YPHI. Majalah
yang dipimpin oleh A. Musaffa Basjyr (HAMBA) ini terbit setiap tengah bulan
atau dengan kata lain dua kali dalam sebulan. Kantor redaksi atau tata
263
usahanya terletak di Jalan H. Agus Salim 24 Jakarta Pusat. Dalam majalah ini,
Natsir berperan sebagai Pembantu Ahli. Majalah ini memiliki kemiripan
dengan Serial Media Dakwah, yakni menampilkan tulisan-tulisan para tokoh
Islam mengenai berbagai hal. Isi majalah ini mencakup berita dan informasi
terkait Islam di lingkup nasional dan internasional. Ada juga bagian yang
menampilkan tokoh-tokoh Islam dengan berbagai keteladanannya. Ciri khas
dari Majalah ini adalah kutipan ayat Al-Quran yang ditampilkan pada halaman
Daftar Isi dan Susunan Redaksi yang disebut sebagai Pegangan Hidup. Berikut
adalah tampilan Majalah Kiblat.
Natsir juga memiliki peran dalam Majalah Suara Masjid sebagai
Penasehat. Majalah yang diterbitkan oleh Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) ini
dipimpin oleh Natsir Zubaidi (Ketua Penyunting/Penanggungjawab) dengan
penerbitannya setiap satu bulan sekali. Izin terbitnya disahkan melalui Izin
Gambar 29. Sampul (a) dan daftar isi (b) Majalah Kiblat No. 3 20 Juni – 5 Juli 1989
Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud,
Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
(a) (b)
264
Terbit Kepuutsan Menpen No. 152/SK/Ditjen PPG/STT1976 – ISSN 0215-
059X. Majalah Suara Masjid ini secara umum berisikan berita dan informasi
mengenai berbagai tokoh dan peristiwa yang berkenaan dengan Islam. Susunan
redaksi majalah ini terdiri dari Penasehat, Dewan Penyunting, Ketua Pengarah,
Ketua Penyunting/Penanggungjawab, Penyunting Pelaksana, Staf Penyunting,
Artistik serta Tata Usaha yang khusus menangani masalah keuangan. Alamat
redaksi atau tata usaha majalah ini merupakan lokasi Dewan Da‟wah saat ini,
yakni Jalan Kramat Raya Nomor 45, Jakarta Pusat. Adapaun tampilan Majalah
Suara Masjid sebagaimana berikut.
Adapun majalah lainnya seperti Majalah Media Dakwah yang juga
diterbitkan oleh Dewan Da‟wah yang terbit sejak tahun 1967.74
Salah satu
isinya adalah ceramah-ceramah Natsir pada selepas shalat subuh yang
74
Ibid.
Gambar 30. Sampul (a) dan bagian awal sebuah artikel (b) Majalah Suara Masjid
No. 223 April 1993
Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud,
Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
(a) (b)
265
kemudian disusun transkripnya hingga sore harinya. Transkrip dan juga
tulisannya dikoreksi oleh Natsir sebagaimana biasa. Bahkan Buchari Tamam
yang merupakan sekretaris Dewan Da‟wah pertama juga ikut mengoreksi
bagian ayat dan hadits. Media Dakwah yang awalnya berbentuk buku kecil,
akhirnya menjadi majalah karena isinya yang kaya informasi dan
dikomunikasikan dengan baik.75
Berikut adalah tampilan Majalah Media
Dakwah.
Selain majalah-majalah tersebut, Natsir juga berperan di beberapa
majalah lainnya sebagai kontributor tulisan; seperti dalam Panji Masyarakat
yang tulisannya sering disalurkan oleh Ramlan Mardjoned.76
Ia juga
kontributor tulisan untuk Suara Muslimin Indonensia, majalah milik Ormas
75
Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018. 76
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
Gambar 31. Sampul (a) dan bagian awal sebuah artikel (b) dalam Majalah Media Dakwah
No. 251 Mei 1995
Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud,
Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
(a) (b)
266
Masyumi pada zaman Jepang; serta Pedoman Masyarakat di Medan.77
Selain
itu, Natsir Zubaidi menyebutkan media massa lainnya yang di dalamnya
terdapat kontribusi Natsir; seperti Pikiran Rakyat, Pemandangan, dan Pandji
Islam.78
Natsir juga memiliki peran secara tidak langsung di beberapa media
lainnya yang berhubungan dengan Dewan Da‟wah; seperti Majalah Khutbah
Jumat, Panji Masyarakat, dan Sahabat. Secara umum Natsir menjadi
kontributor tulisan serta diperlukan nasehatnya dalam operasional media massa
tersebut. Misalnya dalam Majalah Panji Masyarakat, Natsir pernah menulis
dalam edisi Nomor 375 - Oktober 1982 tentang kontroversi buku Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) yang diterbitkan pada masa Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Daoed Joesoef. Kemudian dalam Majalah Sahabat, Natsir
berperan penting dalam memberikan dukungan dan masukan hingga Ramlan
Mardjoned saat itu melaporkan penerbitan Sahabat pertama kalinya kepada
Natsir. Majalah Sahabat ini merupakan majalah dakwah yang unik karena
menyasar anak-anak sebagai objek dakwahnya dengan menggunakan
visualisasi serupa komik dalam penyampaian pesan-pesan atau ajaran-ajaran
Islam. Majalah ini tentu menjadi media alternatif yang sangat cocok dengan
anak-anak yang cenderung tidak berminat dengan buku bacaan yang memuat
lebih banyak tulisan. Sayangnya, saat ini cukup sulit menemukan majalah
dakwah yang kreatif dan bijaksana dalam penyampaian pesan dakwahnya.
77
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018 78
Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.
267
Gambar 32. Tulisan Natsir Tentang Buku PMP dalam Majalah Panji Masyarakat Edisi
Nomor 375, Oktober 1982
Sumber : Hasil Digitalisasi Komunitas Jejak Islam Bangsa (JIB)
Gambar 33. Sampul (a) dan bagian awal sebuah artikel (b) Majalah Sahabat
No. 220 31 Juli – 14 Agustus 1989
Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu
Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.
(a) (b)
268
No
.
Nama
Majalah/Harian Penerbit
Peran
Natsir Tokoh Penting Lainnya
1.
MAJALAH
PEMBELA
ISLAM
Comite
Pembela
Islam
Kontributor
Tulisan
A. Hassan (penasehat)
K.H.M. Zamzam (Yang
dipertua)
H. Mahmoed (Naib yang
dipertua)
Sabirin (Setia Oesaha I)
Bachtiar Effendi (Setia
Oesaha II)
S.M. Roechsan (bendahara)
Sjahaboeddin Latif (jawatan
kuasa)
I. Tjai (jawatan kuasa)
Ab. H. Zanzibar (jawatan
kuasa)
2.
SERIAL MEDIA
DAKWAH
Pemimpin umum /
pimred : H.
Buchari Tamam
DDII Dewan
Redaksi
H. Buchari Tamam
(pemimpin umum dan
dewan redaksi)
Badruzzaman Busyairi
(dewan redaksi, wakil
pemimpin redaksi)
Moh. Roem (dewan redaksi)
Prof. Dr. H.M. Rasyidi
(dewan redaksi)
Prof. Osman Raliby (dewan
redaksi)
M. Yunan Nasution (dewan
redaksi)
H.S.M. Sjaaf (dewan
269
redaksi)
Nawawi Dusky (dewan
redaksi)
Hussein Umar (dewan
redaksi)
Ramlan Mardjoned
(pemimpin usaha dan dewan
redaksi)
Agusmar (tata usaha)
3. HIKMAH
(Mingguan Islam
Populer)
Jajasan
Hikmah
(Penduku
ng Partai
Masyumi
)
Pemimpin
Umum
A.R. Baswedan (pemimpin
redaksi)
Nawawi Dusky (pemimpin
harian)
Dahnial Dahlan (sekretaris
redaksi)
Hamka (anggota redaksi)
Z.A. Ahmad (anggota
redaksi)
Mh. Ali alhamidy (anggota
redaksi)
H.S.M. Sjaaf (anggota
redaksi)
Adnan Sjamni (anggota
redaksi)
Dahlan S.A. (tata usaha)
4.
KIBLAT
(Majalah Islam
Tengah Bulanan)
:
YPHI Pembantu
Ahli
A. Musaffa Basjyr
(HAMBA) (Pemimpin
umum dan pemimpin redaksi
penanggung jawab)
Endang Basri Ananda (wakil
270
pemimpin redaksi)
Yunan Helmy Nasution
(wakil pemimpin redaksi)
Natsir Zubaidi (staf redaksi)
Mas‟ud HMN (staf redaksi)
Haksan Wirasutisna (tunas
kiblat)
K.H. Syukri Ghozali
(pembantu tetap dan
penasehat)
Prof. Drs. K.H. Hasbullah
Bakry, S.H. (pembantu
tetap)
dr. Dede Kusmana
(pembantu tetap)
Ny. Par Saehlan (pembantu
tetap)
H. Hanan Rofi‟ie (pembantu
tetap)
H. Imron Rosyadi, S.H.
(pembantu ahli)
K.H. Maskur (penasehat)
K.H. Hasan Basri
(penasehat)
K.H. Rusli Abdul Wahid
(penasehat)
H. Tubagus Ubay (wartawan
foto)
271
5. SUARA MASJID IKMI Penasehat
Natsir Zubaidi (ketua
penyunting/penanggungjawa
b)
H.M. Yunan Nasution (ketua
dewan penyunting)
Prof. Osman Raliby (dewan
penyunting)
Dr. H. Ali Akbar (dewan
penyunting)
Drs. H. Abu Yamin Roham
(dewan penyunting)
H.N. Djamil Muda (dewan
penyunting)
H. Abd. Rahim Haris
(dewan penyunting)
H. Ali Fahmi Arsyad (dewan
penyunting)
H. Ramlan Mardjoned
(dewan penyunting dan
ketua pengarah)
H. Mazni M. Yunus (dewan
penyunting)
H. Adnan Sjamni (dewan
penyunting)
Drs. H. Dahlan Bashry
Thahiry, Lc. (dewan
penyunting)
Moch. Lukman Fatahullah
Rais, S.H. (penyunting
pelaksana)
272
Asmara Hadi Usman
(penyunting pelaksana)
Ali Moesyafa Asy‟ari
(penyunting pelaksana)
Syamsulrizal (penyunting
pelaksana)
Iwan Wientania (artistik)
Sri Waluyo Martono (tata
usaha)
Hazril Haryadi (tata usaha)
Sabar Suwarso (tata usaha)
Masykur (tata usaha)
Thohir (tata usaha)
Sugeng Sucipto (tata usaha)
Sutan Pandapotan(tata
usaha)
6.
MAJALAH
KHUTBAH
JUMAT
Pemimpin
umum/pimpinan
redaksi : H.
Ramlan
Mardjoned
DPP
IKMI ---
Ramlan Mardjoned
(pemimpin umum/pimpinan
redaksi)
Drs. H. Rusjdi Hamka
(dewan penasehat)
7.
PANJI
MASYARAKAT
Pemimpin
umum/pimred : H.
Rusjdi Hamka
Yayasan
Nurul
Islam
---
H. Rusjdi Hamka (pemimpin
umum/redaksi)
Azyumardi Azra
(koresponden New York)
Bahtiar Effendi
(koresponden Ohio)
H. Endang Saifussin Anshari
(pembantu tetap)
273
Drs. H. Ridwan Saidi
(pembantu tetap)
H.M. Yunan Nasution
(pembantu tetap)
8.
SAHABAT (Tengah Bulanan)
Pimred : Johar
Arifin
Yayasan
Media
Sahabat
---
Ramlan Mardjoned
(penasehat)
H. Buchari Tamam
(penasehat)
4.6.3 Muktamar Media Massa Islam Se-Dunia Pertama
Muktamar Media Massa Islam Sedunia yang dilaksanakan di Balai
Sidang Senayan, Jakarta pada 1 sampai dengan 3 September 1980 M atau 20
sampai dengan 23 Syawal 1400 H merupakan pertama kalinya di dunia
(Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1980). Muktamar yang terselenggara
atas kerjasama Rabithah Alam Islami dan Pemerintah Republik Indonesia ini
dihadiri oleh 327 peserta yang terdiri dari wartawan, penulis, dan penerbit
Islam dari 49 negara di dunia. Muktamar ini juga dihadiri sejumlah pejabat
tinggi negara, perwakilan diplomatik negara-negara sahabat dan ribuan
undangan lainnya. Presiden Soeharto mendapat kehormatan untuk membuka
Muktamar tersebut dan Wakil Presiden Adam Malik yang menutupnya.
Ada kisah menarik yang terjadi saat Muktamar tersebut. Natsir yang
merupakan salah seorang tokoh Rabithah Alam Islami sangat diharapkan
Tabel 6 . Daftar Media Massa yang Pernah Mendapatkan Kontribusi Natsir.
Sumber : Diolah dari dokumentasi pribadi serta keterangan Ramlan mardjoned, Natsir
Zubaidi dan Lukman Hakiem.
274
kehadirannya oleh pihak Rabithah. Namun, kehendak itu mengalami hambatan
dari staf presiden yang mengatakan bahwa Natsir tidak boleh berada satu atap
dengan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik karena
keterlibatannya dalam Petisi 50.79
Sebenarnya, Wakil Presiden Adam Malik
tidak mempersalahkan hal tersebut sedikit pun. Pihak Rabithah kemudian
menegaskan kepada staf presiden tersebut bahwa Muktamar tersebut tidak bisa
diselenggarakan jika Natsir tidak hadir.80
Natsir pun akhirnya diperkenankan hadir dengan syarat hanya menjadi
peserta Muktamar, bukan sebagai anggota dari presidium atau pimpinan
Mukatamar. Rosihan Anwan seorang jurnalis senior mendapatkan kesempatan
untuk menjadi salah satu pimpinan sidang. Saat itu Anwar merasakan sesuatu
yang mengganjal karena dirinya menjadi pimpinan siding, sedangkan seorang
tokoh Islam yang memiliki kepeduliaan khusus pada media massa Islam hanya
menjadi peserta.81
Selain Natsir, ada juga Sjafruddin Prawiranegara, H.M.
Rasjidi, Osman Raliby, Dr. Anwar Harjono, Bukhari Tamam, A.R. Baswedan,
Dr. Fuad M. Fachruddin,H. Mawardi Noor, SH., H. Abdullah Salim, dan H.
Syarbaini Karim.
Muktamar ini membawa tekad untuk menguatkan media massa Islam.
Penguatan media massa Islam ini sangat diperlukan untuk melawan dominasi
media massa barat yang memunculkan pemberitaan yang tidak berimbang dan
rusaknya nilai-nilai luhur Islam (Redaksi Majalah Serial Media Dakwah,
79
Hal ini merupakan salah satu sanksi yang diberikan pemerintah kepada orang-orang yang terlibat dalam
Petisi 50. (Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018). 80
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018. 81
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018.
275
1980). Hal ini disinggung oleh Presiden Soeharto saat membuka Muktamar; Ia
mengatakan bahwa pemberitaan yang tidak berimbang tersebut menjadi
penyebab tidak adanya sikap saling memahami antar bangsa, terlebih lagi
sesama muslim lintas negara. Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengatasi hal
tersebut adalah dengan memperkuat media massa Islam dengan
membangkitkan semangat dan kesadaran umat tentang pentingnya peranan
media massa atau pers. Kesadaran inilah yang menjadi kunci majunya media
massa barat dan negara-negara blok sosialis yang memberdayakan media
massa mereka sebagai alat propaganda secara sungguh-sungguh. Wakil
Presiden Adam Malik menegaskan hal ini dalam pidato penutupan Muktamar,
“Pers mereka tangguh dan mempunyai pengaruh luas karena mereka tahu peranan pers
yang begitu penting dan menentukan untuk berhasilnya suatu perjuangan” (dalam
Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1980, hal.: 30).
Peranan penting yang dimiliki oleh media massa ini menjadi landasan dari
himbauan Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara,
“media massa Islam dapat merubah keadaan ke arah yang lebih baik dan sempurna.
Sehingga media-massa Islam dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan
dakwah dan ukhuwah Islamiyah, Serta sekaligus dapat menjawab tantangan zaman,
dan mampu memainkan peranannya untuk menjelaskan ajaran Islam dalam segala segi
dan aspeknya keseluruh dunia” (dalam Redaksi Majalah Serial Media
Dakwah, 1980, hal.: 30).
Pernyataan tersebut tentu tidak diungkapkan begitu saja tanpa adanya
harapan eksplisit akan kondisi umat Islam di masa depan. Berkumpulnya para
jurnalis dan penggiat media massa Islam dari 49 negara ini menunjukkan
potensi luar biasa yang dimiliki umat Islam; umat Islam mampu menjadi
276
kekuatan besar dalam menentukan arah media massa dunia. Harapan
bangkitnya media massa Islam memang menggelora saat itu. Apalagi berbagai
permasalahan yang menimpa negara-negara Islam menjadi desakan untuk
segera menguatkan media massa Islam. Misalnya masalah agresi Israel
terhadap Palestina; pada saat Muktamar berlangsung, dunia sedang dibuat
geram akan rencana keji Israel untuk menjadikan Jerussalem sebagai ibukota
“abadi” mereka. Perbincangan di ruang Muktamar tentang kelakukan Israel itu
berujung pada pengutukan secara keras terhadap negara zionis itu. Pangeran
Fahd dari Arab Saudi pun mengeluarkan seruan jihad yang disambut hangat
dan penuh semangat pada Muktamar tersebut. Peristiwa ini pun terjadi kembali
Semangat untuk membangkitkan martabat Islam melalui penguatan
media massa Islam ditunjukkan oleh para pemimpin dunia Islam. Tujuh kepala
pemerintahan menyampaikan pesan tertulisnya dalam forum Muktamar;
mereka adalah Raja Khalid dari Arab Saudi, Presiden Rauf Denktas dari Turki
Siprus, Perdana Menteri Sulaiman Damirel dari Turki, Presiden Saddam
Husein dari Irak, Raja Hasan II dari Maroko, Presiden Ziaul Haq dari Pakistan,
dan Yasser Arafat yang merupakan wakil PLO. Selain itu, ada juga tokoh
lainnya seperti Sekjen Rabithah Alam Islami, Syeikh Ali Harakan, Sekjen
Muktamar Alam Islami (mengirim wakilnya), ketua Panitia Pelaksana
Harmoko, dan Menteri Agama yang memberikan sambutannya. Selain
memberikan sambutannya, Syekh Ali Harakan juga memimpin sidang-sidang
yang dibagi dalam 4 komisi, yakni: (1) Komisi Fikrul Islam, (2) Komisi
Pengembangan Media Massa, (3) Komisi Proyek-proyek Media Massa, dan (4)
277
Komisi Kode Etik. Hasil dari sidang selama tiga hari itu adalah keputusan-
keputusan yang dihimpun dalam Deklarasi Jakarta.
Gambar 35. Tokoh-tokoh yang turut hadir dalam Muktamar : (dari kiri) (1) Dr. Fuad M.
Fachruddin; (2) H. Mawardi Noor, SH.; (3) Mohammad Natsir; (4) Osman Raliby; (5) H.M. Yunan
Nasution; (6) H. Abdullah Salim; (7) H. Bukhari Tamam; (8) Dr. Anwar Harjono, SH.; (9)
Sjafruddin Prawiranegara; dan (10) H. Syarbaini Karim
Sumber : Majalah Serial Media Dakwah Nomor75 Bulan September 1980
1 2
3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 34. Mohammad Natsir(a) dan H.M. Rasjidi (b) dan A.R. Baswedan (c) dalam Muktamar
Media Massa Islam se-Dunia
Sumber : Majalah Serial Media Dakwah Nomor75 Bulan September 1980
a b
c
278
4.7 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Diplomasi
Islam Internasional
4.7.1 Kiprah Natsir di Muktamar al-Alam al-Islami dan Rabithah Alam
Islamy
Muktamar al-Alam al-Islami dan Rabithah Alam Islamy merupakan dua
lembaga Islam internasional tempat Natsir berkiprah dan meluaskan gerakan
dakwahnya. Muktamar al-Alam al-Islami merupakan wadah pertemuan dan
perundingan negara-negara Islam di dunia yang didirikan oleh Raja Abdul Aziz
bin Saud bersama dengan Mufti Besar Palestina Alhaj Amin Hussaini di
Makkah pada tahun 1926 dalam sebuah pertemuan para pemimpin muslim
dunia (Muktamar al-Alam al-Islami, tt). Pada pertemuan tersebut, turut hadir
tokoh Indonesia, Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang didampingi oleh K.H.
Mas Mansur (Roem, 1980).
Namun, pada pertemuan itu belum dibentuk organisasi permanennya
yang ditujukan untuk mewujudkan solidaritas dan kerjasama yang baik di
kalangan umat Islam seluruh dunia. Baru pada tahun 1931, pada Konferensi
Islam Internasional kedua ditetapkan organisasi permanennya dengan Alhaj
Aminul Hussaini sebagai presidennya serta Allama Dr. Mohammad Iqbal dan
Syed Alouba Pasha sebagai wakil presidennya. Pada Februari 1951, Konferensi
Muktamar diadakan di Karachi, Paksitan yang kemudian salah satu
keputusannya adalah menjadikan Karachi sebagai markas besar Muktamar al-
Alam al-Islami dengan Alhaj Aminul Hussaini sebagai presidennya dan Dr.
Inamullah Khan sebagai sekretaris jenderalnya (Motamar al-Alam al-Islami,
279
tt.). Adapun Natsir baru menduduki posisi sebagai Wakil Presiden Muktamar
al-Alam al-Islami pada tahun 1967 (Roem, 1983; Hakiem, 2008 b).
Menurut Natsir Zubaidi, Muktamar al-Alam al-Islami ini berfokus pada
permasalah sosial-politik umat Islam se-dunia.82
Secara lebih rinci, Muktamar
berfokus pada kerjasama di berbagai bidang, termasuk juga keagmaan,
pendidikan dan kebudayan (Motamar al-Alam al-Islami, tt.).
Selama menjadi Wakil Presiden Muktamar, Natsir telah memberikan
beberapa kontribusi terhadap umat Islam dunia. Misalnya dalam permasalahan
yang dihadapi oleh umat Islam Jepang. Pada kurun waktu 1975 sampai dengan
1980, pertumbuhan Islam di Jepang tergolong pesat. Tokoh dakwah Islam
Jepang yang merupakan Presiden Japan Islamic Congress saat itu, Prof. Dr.
Shawqi Futaki (1980) mengatakan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun itu, umat
Islam di Jepang sudah mencapai 40.000 orang. Jika dirata-rata, ada 8.000 orang
Jepang yang dengan ketulusan hatinya memeluk Islam setiap tahunnya.
Meskipun mengalami pertumbuhan yang pesat, dakwah Islam di Jepang tetap
memeliki tantangan tersendiri. Paham sekuler yang dianut oleh orang-orang
Jepang tidak hanya memunculkan sikap acuh terhadap agama, atau terhadap
Islam, tetapi juga memunculkan kecurigaan. Salah satu dampak dari
kecurigaan itu adalah penutupan poliklinik yang dimiliki oeh Dr. Shawqi yang
biasa menjadi tempat ikrar syahadat oleh orang-orang Jepang yang hendak
memeluk Islam. Namun, masalah ini akhirnya bisa diselesaikan berkat bantuan
dari Muktamar Alam Islami. Secara personal, Dr. Shawqi mengucapkan rasa
terima kasihnya kepada Wakil Presiden Muktamar Alam Islami, yakni
82
Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.
280
Mohammad Natsir dan juga Sekjennya Dr. Inamullah Khan yang langsung
datang ke Jepang untuk menyelesaikan masalah ini (Futaki, 1980).
Kontribusi Natsir lainnya adalah dalam perjuangan rakyat Kibris yang
negaranya secara resmi bernama Turkish Federated State of Kibris dengan
berwilayah di sebagian pulau Cyprus (Roem, 1980). Pada sidang Muktamar ke-
7 yang dilaksanakan pada 23-28 Maret 1980 di Kibris, Natsir menyampaikan
sebuah pidato berjudul “Politik Internasional dan Masa Depan Dunia Islam”
yang berisikan refleksi terhadap berbagai peristiwa yang dialami umat Islam
dunia, khususnya penjajahan dan penindasan (Natsir, 1980 b). Melalui refleksi
itu, Natsir mengajak dunia Islam untuk bersama menggapai masa depan Islam
yang gemilang. Pemilihan Cyprus sebagai tempat pelaksanaan Muktamar ke-7
yang diawali dengan usulan Presiden Kibris Dr. Rauf Denktas sendiri
dilatarbelakangi oleh konflik yang sedang berlangsung antara umat Islam dan
Kristen di pulau tersebut.
Selain Mohammad Natsir, ada dua tokoh lainnya yang juga
menyampaikan pidato; seperti Dr. Ahmad Muhammad Ali (Presiden Islamic
Development Bank), Dr. Abu Bakar Fadhil (Lembaga Mnoritas Muslim
Universitas Raja Abdul Aziz Jeddah). Ada juga penyampaian pesan-pesan
tertulis dari Presiden Pakistan Ziaul Hak, Presiden Bangladesh, dan Wakil
Presiden Indonesia Adam Malik (Roem, 1980). Melalui Dr Anwar Harjono
yang juga merupakan tokoh Dewan Da‟wah, Indonesia mengusulkan agar
tanggal sidang, 24 Maret ditetapkan menjadi Hari Solidaritas Kibris. Usulan itu
pun diterima dan selanjutnya dilakukan proklamasi Hari Solidaritas Kibris
yang disambut gembira oleh rakyat Kibris (Roem, 1980).
281
Kiprah Natsir di lingkup internasional juga bisa dilacak melalui
Rabithah Alam Islamy. Pendirian organisasi ini disponsori oleh Raja Faisal bin
Abdulazis pada Mei 1962 di Makkah, Arab Saudi dengan basisnya terletak di
Jeddah, Arab Saudi (Kahin, 2012). Natsir menjadi bagian dari Rabithah Alam
Islam, tepatnya sebagai anggota Majelis Ta‟sisi sejak tahun 1969 (Hakiem,
2008 a; Kahin,2012; Roem,1983)
Jika Muktamar al-Alam al-Islami lebih berfokus pada bidang sosial-
politk, Rabithah Alam Islamy lebih berfokus pada bidang keagamaan.83
Oleh
karena itu, melalui sidang Majelis Ta‟sisi, organisasi ini membentuk al-Majelis
al-A‟la al-„Alami lilMasajid atau Dewan Masjid se-Dunia pada tahun 1974
(Muftisany, 2014). Natsir juga turut menjadi anggotanya sejak tahun 1976
(Hakiem, 2008 a). Tujuan pembentukan Dewan Masjid se-Dunia ini adalah
untuk melindung masjid-masjid di berbagai penjuru dunia dari berbagai
gangguan (Muftisany, 2014).
Selain itu, Rabithah Alam Islamy juga berperan besar dalam
menyediakan beasiswa studi di Arab Saudi untuk pelajar-pelajar Indonesia
yang disalurkan melalui Dewan Da‟wah. Lembaga ini juga yang memberikan
dukungan finansial kepada Dewan Da‟wah dalam mendorong pendirian banyak
masjid di Indonesia serta pelaksanaan pelatihan dakwah (Kahin, 2012). Melalui
lembaga ini, Natsir juga dapat berkontribusi dalam penyelenggaraan Muktamar
Media Massa Islam se-Dunia pertama pada 1 sampai dengan 3 September 1980
di Jakarta (Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1980).
83
Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.
282
Melalui ketokohan Natsir, Indonesia memiliki hubungan sangat dekat
dengan Rabithah beserta tokohnya. Sebelum pelaksanaan Muktamar Media
Massa Islam se-Dunia, Sekjen Rabithah saat itu yang bernama Syeikh
Mohammad Ali Harakan mengunjungi Indonesia pada 30 Januari 1980
(Zubaidi, 1980). Kedatangan Ali Harakan disambut secara langsung oleh H.
Alamsyah Ratu Perwiranegara (Menteri Agama), H. Kafrawi MA (Sekjen
Departemen Agama), Anton Timur Jailani (Dirjen Kelembagaan Islam), H.
Burhani Tjokrohandoko (Dirjen Bimas Islam dan Haji), dan Dr. Rasyidi
(Perwakilan Rabithat di Jakarta).
Ali Harakan juga melakukan kunjungan personal ke beberapa tokoh
yang dekat dengannya. Ia secara langsung mengunjungi Natsir di rumahnya
untuk membahas berbagai permasalah yang menjadi cakupan Rabithah
(Zubaidi, 1980). Selain itu, ia juga melakukan pertemuan dengan Presiden
Soeharto, Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Dalam Negeri Amir
Machmud, dan tokoh-tokoh Majelis Ulama. Ali Harakan juga mengunjungi
Pondok Pesantren As-Syafiiyah, kantor Rabithah Alam Islami di Jakarta,
kemudian dilanjutkan ke Jawa Timur, Bandung dan Sumatera Barat.
4.7.2 Natsir dan International Islamic Charitable Organization
International Islamic Charitable Organization (IICO) atau dalam
bahasa Arab disebut al-Haiah al-Khairiyaah al-Islamiyyah al-„Alamiyyah
merupakan organisasi Islam internasional yang pendiriannya melibatkan
Natsir. Kisah pendirian IICO bermula ketika tokoh Islam dunia asal Mesir
Syeikh Yusuf Al-Qardhawy diundang oleh tokoh Islam di Kuwait untuk
283
memaparkan tentang permasalahan aktual umat Islam dunia saat itu pada bulan
Ramadhan 1403 atau bertepatan pada 1983 M. Beliau dipercaya memiliki
penghayatan terhadap berbagai persoalan yang ada di tengah umat dan
memiliki konsep untuk penyelesaiannya. Al-Qardhawy pun mengemukakan
idenya untuk membentuk suatu badan kebajikan Islam tingkat internasional
yang bertujuan untuk (1) membentengi aqidah umat dari setiap ancaman yang
datang dari musuh-musuh Islam; (2) melakukan program pengentasan
kemiskinan yang menjadi masalah di sebagian besar negeri kaum muslimin,
meskipun pada faktanya, dari segi sumberdaya alam memiliki kekayaan yang
besar (Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995).
Ide ini pun mendapatkan tanggapan positif dari para tokoh Islam di
Kuwait dan negera-negara sekitarnya hingga terbentuklah panitia persiapan
yang diketuai oleh As-Syekh Yusuf Jasim Al-Hijji, seorang mantan Menteri
Gambar 36. Yusuf al-Qardlawi (kiri) dan potret dirinya saat berpidato penutup pada
Sidang V IICO
Sumber : Majalah Media Dakwah. (1995, Mei). IICO Menjawab Tantangan Dunia. Majalah
Media Dakwah, Nomor 251.
284
Wakaf Kuwait. Selanjutnya, untuk mewujudkan ide tersebut, Panitia Persiapan
itu mengundang puluhan ulama‟ dan cendekiawan muslim dari berbagai negara
untuk hadir dalam konferensi di Kuwait pada 17 Ramadhan 1404 atau 18 Juni
1984. Konferensi itu menghasilkan kesepakatan untuk membentuk sebuah
badan yang bernama “Al-Haiah al-Khairiyyah al-Islamiyyah al-„Alamiyah”,
atau International Islamic Charitable Organization (IICO) yang markas
besarnya berkedudukan di Kuwait. Adapun tanggal pelaksanaan konferensi
tersebut disepakati sebagai tanggal berdirinya IICO.
Para tokoh pendiri IICO yang dalam statuta IICO disebut sebagai
anggota al-jum‟iyyah al-„ammah (General Assembly) terdiri dari:84
1) Dr. Yusuf Al-Qardhawy (Mesir).
2) Dr. Mohammad Natsir (Indonesia).
3) As-Syekh Abul Hassan Ali An-Nadwi (India).
4) As-Syekh Yusuf Jasim Al-Hijji (Kuwait).
5) As-Syekh Abdullah Ali Mutawa (Kuwait).
6) Dr. Kamil As-Syarif (Yordania).
7) Dr. Ahmad Lemu (Nigeria).
8) As-Syekh Shaleh Al-Husain (Saudi Arabia).
9) As-Syekh Mushtafa Masyhur (Mesir).
10) Dr. Ahmad Muhammad Ali (Saudi Arabia).
Selain 10 tokoh pendiri di atas, terdapat 5 tokoh dan cendekiawan muda
lainnya yang juga menjadi anggota General Assembly ini, yakni:85
84
Lihat IICO Menjawab Tantangan Dunia, Majalah Media Dakwah Nomor 251 Mei 1995, Jakarta : Dewan
Da‟wah Islamiyah Indonesia.
285
1) Dr. Ahmad Totonji (Mantan Sekjen World Assembly of Muslim
Youth atau WAMY, Saudi Arabia).
2) Dr. Anwar Ibrahim (Mantan Ketua Angkatan Belia Islam Malaysia
atau ABIM, Malaysia).
3) Dr. Ahmad von Denver (Jerman).
4) Dr. Adil Abdullah Al-Falah (Kuwait).
5) Dr. Mani‟ Hamad Al-Jihani (Mantan Sekjen WAMY, Saudi
Arabia).
Pada konferensi itu, disepakati pula As-Syekh Yusuf Jasim Al-Hijji
yang merupakan ketua Panitia Persiapan menjadi Presiden IICO. Sebelumnya,
Al-Hiji juga pernah menjadi Ketua Jami‟iyyah al-Ishlah al-Ijtima‟i di Kuwait.
Strategi yang dilakukan oleh IICO untuk mencapai tujuannya adalah dengan
memprioritaskan pengembangan program produktif yang dapat mengentaskan
umat dari kemuskinan dan kebodohan secara bertahap, serta mewujudkan
kemandirian dalam mengatasi berbagai permasalahan kehidupan. IICO
mengembangkan proyek-proyek seperti industri karpet di Peshawar-Pakistan,
insutri tekstil di Mesir, pertanian intensif di Bangladesh, jasa transportasi di
Senegal dan berbagai pusat latihan ketrampilan di beberapa negara.
Selain itu, IICO juga membentuk beberapa komite yang bersifat
otonom, seperti: Komite Muslim Afrika, Komite Muslim Asia, Komite
Palestina, Komite Investasi dan Proyek Produktif yang melakukan koordinasi
amal Islamy dengan banyak lembaga Islam lainnya di berbagai negara,
85
Ibid
286
termasuk kawasan minoritas Islam. Komite-komite ini dibentuk untuk berfokus
pada persoalan-persoalan umat yang mendesak untuk diselesaikan; misalnya
masalah kelaparan, bencana alam dan peperangan seperti di Kashmir,
Afghanistan, Bosnia dan Chechnya.
Masuknya Natsir sebagai bagian dari 10 orang pendiri IICO yang
tergabung dalam general assembly adalah posisi yang sangat istimewa; tidak
hanya bagi pribadi Natsir, tetapi juga bagi Indonesia karena Natsir merupakan
satu-satunya orang Indonesia, bahkan di Asia Tenggara yang menjadi pendiri
IICO. Hal tersebut tentu menjadi modal penguat posisi Indonesia dalam
diplomasi Islam Internasional. Terlebih lagi, para anggota general assembly
(baik 10 tokoh pendiri dan 5 cendekiawan muda) merupakan tokoh-tokoh
berpengaruh Islam di dunia. Misalnya Dr. Yusuf Al-Qardhawy dan As-Syekh
Mushtafa Masyhur yang keduanya merupakan tokoh terkemuka Ikhwanul
Muslimin. Bahkan As-Syekh Mushtafa Masyhur menulis buku dengan judul
yang sama seperti ditulis oleh Natsir, yakni Fiqh Da‟wah. Buku Fiqh Da‟wah
karya Natsir merupakan buku pedoman da‟wah yang menurut Natsir Zubaidi
merupakan buku da‟wah yang terkenal dan perlu dibaca oleh para pendakwah
atau para khotib.86
Begitu juga dengan buku Fiqh Da‟wah karya As-Syekh
Mushtafa Masyhur menjadi salah satu buku pegangan bagi para aktivis
tarbiyah. Tokoh lainnya adalah As-Syekh Abul Hassan Ali An-Nadwi yang
pernah bersama Natsir memimpin al-Muktamar Islamil-„aam lil-Quds
(Muktamar Islam Umum untuk Pembebasan Al-Quds) di Damaskus tahun
86 M. Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.
287
1956 (Natsir, 1980 a). Di samping itu, Natsir dan An-Nadwi juga sama-sama
mendapatkan penghargaan dari Raja Faisal untuk bidang Pengkhidmatan
terhadap Islam pada 12 Februari 1980. Keduanya pun sempat “saling tunjuk”
untuk mendapatkan penghargaan tersebut karena masing-masing dari mereka
merasa tidak pantas untuk mendapatkan penghargaan itu; faktanya, dua orang
sahabat itu akhirnya mendapatkan penghargaan yang sama di waktu yang
bersamaan.87
Natsir juga memiliki kedekatan dengan cendekiawan muslim dan juga
politisi asal Malaysia, Anwar Ibrahim. Saat Anwar Ibrahim menjadi Menteri
Pertanian serta Menteri Pendidikan Malaysia pada tahun 1980-an, ia sering
berkunjung ke rumah Natsir di Jalan Cokroaminoto Nomor 45 Jakarta tanpa
kawalan (Tim KPG-Tempo, 2011). Ia adalah politisi senior Malaysia yang
memimpin Oposisi Pekatan Harapan saat ini yang sangat kagum pada sosok
Natsir. Bahkan, Iman Ramlan yang merupakan putra Ramlan Mardjoned
menyatakan bahwa pendirian Masjid Al-Munawwarah di Kampung Bali yang
menjadi tempat dideklarasikannya pendirian Dewan Da‟wah mendapatkan
bantuan dari Anwar Ibrahim sebesar $1000.88
Sayangnya, semenjak diangkat menjadi anggota General Assembly,
Natsir belum pernah sekalipun hadir dalam sidang dua tahunan IICO. Hal ini
disebabkan oleh pencekalan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru hingga
wafatnya. Meskipun begitu, Natsir tetap menyampaikan gagasan-gagasannya
secara tertulis yang ia titipkan melalui utusannya, yakni Al-Ustadz Abdul
87 Ibid 88 Iman Ramlan, wawancara bersamaan dengan Ramlan Mardjoned pada Minggu, 11 Maret 2018
288
Wahid Alwy. Al-Ustadz Abdul Wahid Alwy merupakan orang dekat Natsir
yang akrab dengan salah seorang mantan menteri Kerajaan Saudi Arabia yang
mengagumi Natsir dan bersedia untuk membiayai penulisan buku-buku tentang
Natsir.89
Pada sidang ke V IICO yang diselenggarakan pada bulan Maret 1995,
Ketua Umum DDII, Dr. H. Anwar Harjono hadir dengan didampingi Muzayyin
Abdul Wahab yang merupakan Kepala Biro Hubungan Luar Negeri DDII.
Dalam sidang ini, Dr. Anwar Harjono ditetapkan sebagai anggota General
Assembly menggantikan Mohammad Natsir. Agenda sidang tersebut meliputi
Laporan Pertanggungjawaban Presiden IICO, kebijakan-kebijakan IICO untuk
dua tahun ke depan dalam bidang pengembangan program produktif umat,
bantuan kemanusiaan, dan koordinasi antar berbagai lembaga Islam dunia,
sehingga tidak terjadi tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Salah satu
masalah spesifik yang dibahas pada sidang itu adalah permasalahan Bosnia dan
Chechnya yang dipandang sangat mendesak untuk segera diselesaikan dengan
menguatkan solidaritas umat Islam. Selain menghadiri sidang V IICO, Dr.
Anwar Harjono juga menghadiri Sidang Dewan Pimpinan International
Islamic Council for Da‟wah and Relief (IICDR) yang diselenggarakan di lokasi
yang sama, yakni di Hotel Hyat Regency, Kuwait. IICDR yang berpusat di
Kairo telah mengangkat Dr. Anwar Harjono menjadi anggota Dewan Pimpinan
IICDR sejak tahun 1993.
89
M. Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.
289
4.7.3 Diplomat Penyelamat
Penyelamatan klinik milik Prof. Dr. Shawqi Futaki yang digunakan
sebagai sarana dakwah dari ancaman penutupan bukanlah satu-satunya karya
diplomasi Natsir. Natsir telah tampil menjadi seorang diplomat ulung di
beberapa permasalahan internasional; termasuk menyelamatkan hubungan
Indonesia dengan beberapa negara.
Salah satu karya diplomasi Natsir adalah pemulihan hubungan
Indonesia dengan Arab Saudi melalui diplomasi dengan Rasa Faisal bin Abdul
Aziz. Pada kunjungannya ke Arab Saudi di tahun 1967 ia bertemu dengan Raja
Faisal. Natsir menceritakan bahwa Raja Faisal memiliki kesan yang sangat
baik terhadap Indonesia. Salah satu kebaikannya terhadap Indonesia
ditunjukkan melalui sikap lapang dadanya terhadap insiden yang pernah
menimpa Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia. Tempat perisitrahatan
Dubes Arab Saudi yang berada di Puncak pernah diserbu oleh oknum-oknum
kepolisian pada zaman orde lama. Namun, ketika Dubes meminta bantuan
untuk investigasi dan juga klarifikasi justru tidak ditanggapi oleh pihak yang
berwenang. Maka sebagai bentuk protes, dubes tersebut pulang ke Arab Saudi.
Akibatnya, hubungan antara Indonesia dan Arab Saudi sempat renggang dalam
beberapa waktu, hubungan keduanya pun tidak direprsentasikan dengan adanya
duta besar, tetapi sebatas pada tingkat Kuasa Usaha (Natsir, 1979).
Natsir yang memiliki hubungan akrab dengan Raja Faisal sempat
bertemu di Thaif dan kemudian bertanya tentang cara untuk memulihkan
hubungan Indonesia dan Arab Saudi. Maka jawaban Raja Faisal adalah:
290
“Mudah saja. Kami sama-sekali tidak bersengketa dengan rakyat Indonesia. Soalnya
sekarang tinggal masalah protokoler semata-mata. Soal kecil, secara protokoler
tentunya bukan kami yang harus mengambil inisiatif. Sampaikanlah kepada Mnteri
Luar Negeri tuan, supaya dia mengirim sepucuk surat kepada kami, mengatakan
bahwa Indonesia ingin memulihkan hubungan diplomatik antara kedua negara atas
tingkat ambassador. Asal ada saja surat semacam itu dalam filing di Departemen
Luar Negeri kami, soalnya selesai, dan kami akan kirim seorang ambassador
berkuasa penuh ke Indonesia.” (Natsir, 1979, hal.: 16).
Ketika Mohammad Natsir bertanya apakah perlu memberikan
pernyataan minta maaf, maka Raja Faisal menjawab:
“Tidak usah! Peristiwa itu terjadi di masa pemerintahan tuan-tuan yang dahulu
(Orde Lama). Pemerintah Indonesia yang sekarang tidak bersalah apa-apa”
(Natsir, 1979, hal.: 16).
Natsir menyambut sikap Raja Faisal ini dengan rasa bahagia dan dalam
sebuah wawancara ia menyebutkan bahwa Raja Fasial adalah seorang raja –
negarawan yang berjiwa besar. Setelah keberhasilan diplomasi itu, Raja Faisal
mengunjungi Indonesia pada 10 sampai dengan 13 Juni 1970. dan berdiskusi
dengan Presiden Soeharto mengenai kerjasama bilateral dalam berbagai bidang
(Natsir, 1979). Dalam pertemuan itu kedua tokoh negara ini menyampaikan
pidato yang menegaskan sikap saling mendukung antara Indonesia dan Arab
Saudi. Raja Faisal bahkan menyatakan bahwa hubungan Indonesia dan Arab
Saudi bukan sebuah hubungan yang baru dijalin, tetapi sebuah tradisi yang
berlandaskan pada iman kepada Allah dan Rasulullah (Ratya, 2017). Beberapa
tahun setelah itu, Soeharto pun mengadakan kunjungan balasan ke Arab Saudi.
Sayangnya, saat itu Raja Faisal telah wafat.
291
Begitulah hubungan harmonis kedua negara terjalin kembali yang
merupakan hasil dari “sentuhan” diplomasi Natsir yang menyelamatkan ikatan
berdasarkan iman.
Diplomasi Natsir dengan Raja Faisal juga pernah dilakukan di lain
kesempatan dengan topik pembahasan yang berbeda. Natsir pernah meminta
Arab Saudi mendukung kebijakan Soeharto terkait operasi militer -
penumpasan gerakan sparatis di Timor Timur pada tahun 1976 (Kahin, 2012).
Natsir menulis surat untuk Raja Faisal yang berisikan penjelasannya dan
justifikasinya terkait kebijakan Soeharto tersebut. Sikap Natsir membela
kebijakan Soeharto juga disampaikannya dalam sebuah wawancara dengan
press Pakistan. Ia menegaskan bahwa yang dilakukan pemerintah Indonesia
adalah sebuah usaha untuk mencegah terjadinya pemusnahan bangsa oleh
penduduknya sendiri akibat gerakan-gerakan yang tidak mengedepankan
persatuan bangsa dan diperburuk oleh “adu domba” pihak asing sebagaimana
yang pernah terjadi di Angola (Kahin, 2012).
Gambar 37. Soeharto Menerima Kunjungan Raja Faisal
Sumber : Pusat Data Jenderal Besar Soeharto (www.hmsoeharto.id)
292
Selain Arab Saudi, negara Timur Tengah lainnya yang pernah dikirimi
surat dengan tujuan diplomasi adalah Kuwait. Uniknya, yang meminta bantuan
Natsir untuk melakukan diplomasi ini adalah Ali Moertopo, seorang petinggi
ABRI yang sering disebut “anti-Islam”. Surat yang ditulis Natsir tersebut
berisikan penawaran kepada Kuwait untuk berinvestasi di Indonesia.
Penawaran ini pun direspon oleh Kuwait dengan memberikan dukungan
terhadap industri perikanan Indonesia (Hakiem dalam Kahin, 2012).
Itulah jiwa diplomat penyelamat yang ada pada diri Natsir. Meskipun ia
bukan bagian dari perangkat pemerintahan Soeharto, ia selalu mendukung
pemerintahan sah itu dengan kepiawaiannya berdiplomasi. Pengalamannya
sebagai menteri penerangan yang andal di masa Soekarno menjadi modal
baginya menjalin dan menjaga hubungan baik dengan berbagai negara sahabat.
Natsir bahkan memiliki andil besar dalam pemulihan hubungan Indonesia-
Malaysia yang sempat “renggang” pada masa Soekarno dengan adanya operasi
Ganyang Malaysia. Upaya Soeharto dalam memperbaiki hubungan Jakarta dan
Kuala Lumpur ditempuhnya dengan mengirim dua orang kepercayaannya, Ali
Moertopo dan Leonardus Benny Moerdani (L.B. Moerdani) ke Malaysia untuk
menemui Tunku Abdul Rahman yang saat itu menjabat sebagai Perdana
Menteri Malaysia. Walaupun Tunku Abdul Rahman tidak berkeberatan, ia
seolah menghindari dua utusan itu dengan pergi dari Kuala Lumpur tepat
sehari sebelum Ali Moertopo dan L.B. Moerdani tiba (Tim KPG-Tempo,
2011). Misi diplomasi perdamaian yang dilakukan Soeharto pun gagal.
Soeharto kemudian mengutus Sofjar (perwira Komando Cadangan Strategis
293
Angkatan Darat atau Kostrad) untuk menemui dan meminta bantuan Natsir.
Natsir kemudian menulis surat untuk Tunku Abdul Rahman yang berisikan
permohonannya untuk menerima niat baik pemerintah Indonesia yang hendak
memperbaiki hubungan Indonesia-Malaysia. Ia meyakinkan Tunku Abdul
Rahman dengan menjelaskan bahwa rezim Soeharto itu berbeda dengan rezim
Seokarno (Kahin, 2012). Surat itu kemudian dibawa Sofjar ke Kuala Lumpur
dan akhirnya dapat sampai ke Tunku Abdul Rahman melalui bantuan Tan Sri
Ghazali Shafii yang merupakan anggota kabinet (Tim KPG-Tempo, 2011).
Begitu membaca surat dari Natsir, Tunku Abdul Rahman bersedia menerima
utusan Indonesia langsung keesokan harinya. Apa yang dilakukan Natsir ini
tentu menjadi karya bersejarah yang hingga saat ini dirasakan manfaatnya oleh
kedua negara; tidak ada lagi ketegangan dan sikap sentimen kebangsaan yang
digunakan untuk saling berkonfrontasi.
Karya diplomasi Natsir lainnya adalah penguatan hubungan ekonomi
Indonesia dan Jepang melalui diplomasi dengan Menteri Keuangan Jepang,
Takeo Fukuda. Hubungan Natsir dengan Fukuda pertama kali terjalin saat
Natsir masih bergerilya melalui Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI); tepatnya melalui Sumitro Djojohadikusumo yang lebih dulu menjalin
kedekatan dengan Fukuda (Nishihara dalam Kahin, 2012). Bahkan, pemerintah
Jepang saat itu memberikan dukungan finansial kepada PRRI (Nishihara dalam
Kahin, 2012).
Pada sebuah kunjungannya ke Jepang di tahun 1971, Natsir bertemu
dengan Fukuda untuk membahas mengenai hubungan Indonesia dan Jepang.
294
Natsir kemudian meyakinkan Fukuda untuk memberikan dukungan finansial
kepada pemerintahan Soeharto (Hakiem dalam Kahin,2012). Hubungan dekat
Natsir dan Fukuda pun terus terjalin. Hingga saat Natsir wafat pada 6 Februari
1993, Fukuda melampiaskan kesedihannya melalui sebuah surat:
“When we received this sad news [of Natsir‟s death] it was more horrifying than the
dropping of atom bomb on Hiroshima, because we had lost a world leader, and a
great leader of the Islamic world” (“Ketika kami menerima berita duka tentang
wafatnya Natsir, hal itu lebih menakutkan daripada penjatuhan bom atom di
Hiroshima, karena kami telah kehilangan seorang pemimpin dunia, dan seorang
pemimpin besar dunia Islam” (dalam Kahin, 2012, hal.: 191).
Nakajima yang merupakan utusan Fukuda untuk pemakaman Natsir
menegaskan tentang kedekatan Natsir dengan Fukuda yang ditunjukkan dengan
ketergantungan Fukuda pada nasehat dan saran Natsir. Bahkan, Fukuda telah
mengutus Nakajima untuk bertemu Natsir sebanyak 200 kali guna
membicarakan permasalahan internasional (Nakajima dalam Kahin, 2012).
Berkaitan dengan aktivitas diplomasi, ada hal menarik yang peneliti
temukan dalam buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang
ditulis oleh M. Zein Hassan (1980). Natsir merupakan salah satu tokoh yang
memberikan kata pengantar dalam buku itu. Dalam sambutannya itu, Natsir
menyampaikan keprihatinannya terhadap sebuah acara pameran dokumentasi
tentang perisitiwa-peristiwa penting pada masa Revolusi yang dilaksakanan
pada Agustus 1972 di Menteng Raya 31. Natsir menyayangkan tidak adanya
arsip-arsip aupun dokumentasi yang memperlihatkan peran umat Islam (dalam
Hasan, 1980). Oleh karena itu, Natsir yang berperan penting dalam berbagai
peristiwa diplomatik, mendukung penulisan buku tersebut oleh M. Zein
295
Hassan. Berbagai peristiwa diplomatik ditampilkan dalam buku ini, salah
satunya yang menarik adalah hubungan diplomatik antara Indonesia dengan
Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi politik berasaskan Islam, yang
memberikan dukungan penuh kepada perjuangan bangsa Indonesia sekaligus
yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Sutan Sjahrir yang
merupakan sahabat Natsir dan beberapa orang lainnya pada suatu kesempatan
menyampaikan ucapan terima kasih secara resmi kepada Ikhwanul Muslimin.
Fakta sejarah seperti ini sangat diperhatikan oleh Natsir bukan sekedar
untuk melengkapi arsip sejarah, tetapi yang terpenting bagi Natsir adalah
menjadi bukti bagi perjuangan diplomasi Indonesia yang dipelopori oleh umat
Islam – Natsir (dalam Hassan, 1980) menyebutnya sebagai perang propaganda
dan percaturan diplomasi. Selain itu, dokumentasi di atas menjadi penguat
bahwa tidak hanya umat Islam di Indonesia saja yang berupaya meneguhkan
Gambar 38. Foto Pertemuan Delegasi Indonesia dengan Ikhwanul Muslimin
Sumber : Hassan (1980)
296
kemerdekaan Indonesia, tetapi juga umat Islam internasional. Fakta sejarah
seperti ini tentu menepis berbagai pandangan negatif mengenai pergerakan
Islam dan umat Islam itu sendiri dalam patriotisme dan rasa syukur
kebangsaan. Terlebih lagi berbagai stigma negative yang ditujukan kepada
Ikhwanul Muslimin yang saat ini banyak menganggapnya sebagai organisasi
teroris – stigma itu bahkan datang dari kalangan umat Islam sendiri.
Secara ideologis, Natsir memang memiliki keterkaitan dengan Ikhwanul
Muslimin, yakni melalui pengaruh pemikiran Muhammad Abduh dan Sayyid
Qutb (Kahin 2012). Ke depannya, pengaruh Ikhwanul Muslimin ini terlihat
jelas pada Dakwah Kampus hingga saat ini yang pada mulanya dipelopori oleh
Natsir dengan dibantu para kadernya sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Dakwah Kampus inilah yang kemudian memiliki peran penting
dalam penataan aqidah dan akhlak para mahasiswa di berbai universitas
terkemuka di Indonesia serta kemudian melahirkan partai yang diyakini
memiliki kedekatan ideologis dengan Ikhwanul Muslimin, yakni PKS.
Dengan demikian, perjuangan diplomasi umat Islam Indonesia hingga
ke tingkat dunia merupakan suatu hal yang wajib untuk diingat karena
diplomasi ini juga berkontribusi menentukan kondisi dan arah Indonesia di
masa ini.
4.8 Arsitek NKRI Beprestasi yang Rendah Hati
Pada moementum peringatan HUT RI ke-50, Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia mengusulkan kepada pemerintah tentang pemberian
297
penghargaan kepada lima tokoh Islam yang jasanya sangat besar dalam
berkhidmat terhadap perjuangan bangsa. Lima tokoh yang dimaksud itu adalah
1) Mohammad Natsir (1908 – 1993)
2) Mr. Kasman Singodimedjo (1904 – 1982)
3) Sjafruddin Prawiranegara (1911 – 1989)
4) K.H. Noer Ali (1914 – 1992)
5) K.H. Sholeh Iskandar (1922 – 1992)
Kasman Singodimedjo adalah tokoh Islam yang dekat dengan Natsir
sejak di Jong Islamieten Bond. Jasanya sangat besar dalam upaya konsolidasi
militer di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Kasman pernah menjadi
Daidancho atau Komandan Batalyon Pembela Tanah Air (PETA) di Jakarta.
Kasman juga pernah dipercaya menjadi Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR)
yang merupakan cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu,
Kasman juga pernah memimpin Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
menjadi Jaksa Agung pertama Indonesia dan memimpin Kehakiman Militer.
Abdul Haris Nasution melalui tulisannya dalam 75 Tahun Kasman, memuji
Kasman dengan mengatakan:
“Hanya dengan kepemimpinan Soekarno-Hatta-Kasman, rakyat dapat digerakkan
secara massal. Tanpa ketiga pemimpin itu, akan merupakan gerakan yang hanya
setengah-setengah.” (Nasution dalam Zen, 1995)
Tokoh selanjutnya adalah Sjafruddin Prawiranegara yang memiliki jasa
besar dalam bidang perekonomian. Prof. Dawam Rahardjo (dalam Zen, 1995)
menyatakan bahwa Sjafruddin Prawiranegara merupakan salah satu dari tiga
tokoh penting yang meletakkan dasar perekonomian Indonesia yang jasanya
298
masih terasa hingga kini dalam perekonomian nasional. Dua tokoh lainnya
adalah Soemitro Djojohadikusumo dan Prof. Widjojo Nitisastro. Sjafruddin
Prawiranegara pernah menduduki beberapa jabatan penting dalam bidang
keuangan/perekonomian. Ia pernah menjadi Menteri Muda Keuangan, Menteri
Keuangan, Menteri Kemakmuran, dan Gubernur Bank Sentral. Ia memiliki
peran yang sangat penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, yakni melalui perannya sebagai Ketua PDRI yang berpusat di
Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia dipercaya Soekarno untuk mengamankan status
kemerdekaan RI dengan membentuk pemerintahan darurat sebagai bukti de
facto bahwa RI tetap ada dan tidak bisa dijatuhkan oleh penjajah Belanda saat
itu. Begitu stabilitas Indonesia pulih kembali, Sjafruddin pun dengan penuh
kesadaran mengembalikan mandatnya kepada Soekarno. Ia memang seorang
yang ikhlas dan berkomitmen tinggi dalam berjuang untuk Indonesia. Ia
bahkan marah jika disebut sebagai “presiden” PDRI; ia lebih berkenan disebut
sebagai “ketua” karena ia menghindari pengkultusan.90
Tokoh selanjutnya adalah K.H. Noer Ali yang menjadikan pesantrennya
di Bekasi sebagai basis perjuangan bersenjata untuk merebut kemerdekaan
Indonesia. Pada tahun 1937, saat menjadi pelajar di Mekkah, ia ditunjuk
menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekkah. Dalam bidang militer,
Kiyai yang dijuluki “Singa Karawang-Bekasi” ini pernah menjadi Komandan
Batalyon III Hisbullah Bekasi, Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah
Jakarta Raya di Karawang, dan Ketua Laskar Rakyat Bekasi. Dalam bidang
90
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
299
politik, ia pernah menjadi Ketua Masyumi cabang Jatinegara pada tahun 1950,
anggota Dewan Konstituante pada tahun 1956, dan anggota Pimpinan Harian
Majelis Syuro Masyumi Pusat pada tahun 1957 (PP At Taqwa Putra, tt.).
Dalam biang birokrasi, K.H. Noer Ali dipercaya menjadi Bupati Bekasi yang
pertama dalam sejarah kabupaten itu.
Tokoh yang lainnya adalah K.H. Sholeh Iskandar yang memiliki
kemiripan dengan K.H. Noer Ali; ia tidak hanya berperan sebagai pemimpin
umat dalam hal keagamaan, tetapi juga menjadi pemimpin militer. K.H. Sholeh
Iskandar merupakan Komandan TNI Batalyon/Hizbullah Brigade Tirtayasa
Divisi Siliwangi dengan pangkat terakhirnya adalah Mayor TNI AD. Perannya
dalam dunia militer juga ditunjukkan melalui kepeloporannya dalam
mendirikan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Kerendahan hatinya
sebagai seorang ulama terlihat melalui gaya hidupnya yang sederhana, lebih
memilih hidup bersama masyarakat kampung di Bogor dan kemudian
mendirikan pesantren, menjadi pengasuh pesantren itu hingga wafatnya.
K. H. Hasan Basri menyampaikan usulan itu dalam suatu rapat Panitia
Peringatan 50 tahun HUT RI yang diselenggarakan di Departemen Agama
pada Maret 1995. Berbagai organisasi Islam, khususnya Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama memberikan sambutan positif terhadap usulan tersebut. Syafii
Ma‟arif yang menjabat sebagai Wakil Ketua PP Muhammadiyah mengatakan
bahwa pengajuan Mohammad Natsir dan 4 tokoh Islam lainnya untuk
diberikan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional bukan sekedar pantas,
melainkan menjadi kewajiban dalam sudut pandang historis untuk mengakui
300
kapasitas tokoh-tokoh tersebut sebagai pahlawan nasional. Nahdlatul Ulama
memberikan sikap yang sama melalui pernyataan Rois syuriah PBNU, K.H.
A.Mustofa Bisri yang menegaskan bahwa memberikan penghargaan kepada
lima tokoh Islam itu adalah hal yang penting untuk menjaga fakta-fakta
sejarah. K.H. Mustofa Bisri yang memiliki sapaan akrab Gus Mus ini
menyatakan bahwa Natsir selalu ada dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Dukungan yang sama juga diberikan oleh Ketua Umum DDII yang juga
mantan Juru Bicara Masyumi, Dr. Anwar Harjono yang menyatakan bahwa
penghargaan berupa gelar pahlawan kepada lima tokoh Islam ini tidak lagi
dalam tataran layak atau tidak; mereka memiliki jasa yang sangat besar bagi
perjuangan bangsa Indonesia. Namun, jika usul tersebut belum dapat diterima,
Dr. Anwar Harjono yakin bahwa hal tersebut tidak akan mengurangi
kepahlawanan lima tokoh Islam tersebut. Sebagaimana yang pernah dikatakan
oleh Mohammad Roem, “pahlawan tidak ditentukan oleh gelar, melainkan
karena jasa-jasanya”.
Nama 5 tokoh Islam itu pun tidak diterima oleh pemerintah saat itu.
Dari 39 nama yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah pada 15
Agustus 1995, tidak satu pun dari 5 tokoh Islam itu termasuk ke dalamnya.
Sebagian besar dari 39 nama itu merupakan tokoh-tokoh militer.
Pengajuan gelar pahlawan bagi Mohammad Natsir pun terus mengalami
penolakan hingga tahun 2007. Lukman Hakiem mencatat bahwa pengusulan
gelar Pahlawan Nasional untuk Natsir sudah ditolak lebih dari 3 kali;
301
penolakan terakhir adalah pada tahun 2007.91
Menurutnya, cara baru baru harus
ditempuh untuk menggaungkan nama Natsir, kemudian orang-orang dapat
mengingat jasa-jasanya, sehingga dengan itu pengusulan gelar Pahlawan
Nasional dapat disukseskan. Maka pada 17 Juli 2007 yang bertepatan dengan
99 tahun Mohammad Natsir, Lukman mengirimkan sebuah pesan singkat
mengenai rencana besar untuk memperingati 100 tahun Mohammad Natsir di
tahun depannya. Pesan singkat berbentuk Short Message Service (SMS)
tersebut dikirimnya ke beberapa orang; yang masih ia ingat adalah Yusril Ihza
Mahendra, Laode Kamaludin, Faisal Ba‟asyir, Ramlan Mardjoned, dan Mayasa
Johan.92
Laode Kamaludin pun langsung merespon ide Lukman dengan
mengajaknya bertemu. Ada lima orang yang mengadakan pertemuan informal
untuk membahas ide tersebut; yakni Laode Kamaludin, Faisal Ba‟asyir,
Ramlan Mardjoned, Mayasan Johan dan Lukman Hakiem sendiri. Saat itu
Yusril tidak dapat ikut bertemu secara langsung karena ia sedang dalam
pembuatan Film Ceng Ho di Bangkok.93
Ketika lima orang tersebut bertemu, Faisal Ba‟asyir menyerukan agar
segera merealisasikan ide tersebut. Namun, ia menyarankan agar yang lebih
muda darinya menjadi ketuanya. Laode Kamaludin pun mengajukan dirinya
dengan syarat agar Lukman menjadi sekretarisnya. Akhirnya sebuah panitia
yang kelask disebut sebagai Panitia Peringatan Refleksi Seabad Mohhammad
Natsir pun terbentuk dan segera melakukan pertemuan perdananya di rumah
91
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018 92
Lukman menegaskan bahwa ada beberapa orang lainnya, tetapi ia tidak mengingatnya. 93
Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018
302
Faisal Ba‟asyir. Lukman mengatakan bahwa panitia itu adalah panita yang
bersifat swadaya; ia menyebutnya sebagai panitia “bantingan”.94
Strategi yang digunakan oleh panitia ini untuk menggaungkan jasa-jasa
Natsir adalah dengan membuat berbagai seminar di kota-kota besar seperti
Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Riau dan Makassar.
Beberapa tokoh diundang menjadi key note speaker seperti Menteri Agama
saat itu, Maftuh Basyuni di Makassar, Mendiknas Bambang Soedibyo di
UNISBA Bandung serta Sarwan Hamid di Riau. Namun, yang disayangkan
oleh Lukman adalah tidak adanya seminar di kota besar di Jawa Timur,
termasuk Malang. Padahal Laode Kamaludin merupakan guru besar
Universitas Muhammadiyah Malang. Menurutnya, masalah jaringan menjadi
penyebabnya. Meskipun begitu, strategi ini benar-benar menimbulkan
antusiasme terhadap Natsir. Beberapa stasiun televisi sampai membuat
program talkshow mengenai Peringatan 100 Tahun Natsir ini. Selain itu,
panitia juga bekerjasama dengan Republika untuk menerbitkan tulisan-tulisan
tentang Natsir. Maka terbitlah buku “M. Natsir di Panggung Sejarah Republik”
dan “100 Tahun Pak Natsir : Berdamai dengan Sejarah”.95
Banyak tokoh
penting yang menyumbangkan tulisannya. Presiden RI saat itu, Susilo
Bambang Yudhoyono memberikan sambutannya sekaligus menyetujui
94
Ibid. 95
Ibid.
303
pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Natsir. Wakil Presiden Jufuf Kalla
juga memberikan sambutannya.96
Perjuangan panitia ini pun menghasilkan capaian target yang telah
dikehendaki sejak tahun 1995, yakni gelar Pahlawan Nasional untuk
Mohammad Natsir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujui
pemberian gelar tersebut untuk Natsir yang disahkan dengan Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 041/TK/Tahun 2008 yang ditetapkan di
Jakarta pada 6 November 2008 (Hakiem, 2008 a). Gelar Pahlawan Nasional ini
tentu sangat pantas diberikan kepada Natsir karena berbagai jasanya dalam
mendirikan dan merawat Indonesia.
96
Lihat Lukman Hakiem. M. Natsir di panggung sejarah republik. Jakarta : Panitia Peringatan Refleksi
Seabad M. Natsir.
Gambar 39. Salinan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 041/TK/Tahun 2008 tentang
Penetapan Gelar Pahlawan kepada Mohammad Natsir
Sumber : Hakiem (2008 a)
304
Gelar Pahlawan Nasional ini tentu tidak akan mengurangi keteladanan
Natsir dalam bersikap rendah hati. Natsir bukanlah orang yang senang jika
dirinya dipuji atau diberikan perlakuan istimewa. Jika Nastir masih hidup saat
itu, tentu ia akan menolak gekar Pahlawan Nasional. Hal ini mengacu pada
kesaksian Ramlan Mardjoned mengenai penerbitan buku “70 Tahun Natsir :
Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan”. Begitu mengetahui bahwa
buku 70 tahun itu telah disusun dan hendak dicetak, Natsir menolaknya dan
berpesan dengan tegas kepada Ramlan Mardjoned supaya tidak dicetak.
Namun, Ramlan meresponnya dengan berkata,
“bagaimana nanti generasi muda sesudah bapak jika tidak ada mengetahui tentang
NKRI? tentang pekerjaan-pekerjaan bapak di zaman revolusi?”97
Setelah menyaksikan tanggapan Ramlan itu, Natsir kemudian berkenan
jika buku tersebut diterbitkan. Kerendahan hati Natsir ini memang telah
menjadi karakternya yang dikenal setiap orang dekatnya. Ia memang tidak suka
dipuji atau dibesar-besarkan namanya.98
Sikapnya ini bukan justru
menghindarkan dirinya dari penghargaan-penghargaan penting. Sebelum gelar
Pahlawan Nasional, Nastir telah lebih dahulu memeroleh Bintang Jasa
Republik Indonesia Adipradhana dari Presiden B.J. Habibie pada tahun 1998.99
Ia juga memeroleh penghargaan di tingkat dunia; yakni Bintang Nichan
Istichar atau Grand Gordon yang diberikan oleh Presiden Tunisia, Lamine Bey
pada tahun 1957 karena jasanya dalam membantu kemerdekaan bangsa Afrika
Utara (Husaini, Noer, dan Ujang, 2017). Penghargaan internasional lainnya
97
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Minggu, 11 Maret 2018. 98
Ibid. 99
Ibid.
305
datang dari Lembaga Hadiah Internasional Raja Faisal atau Jaaizatul Malik
Faisal al-Alamiyah dalam bidang pengkhidmatan terhadap Islam (Khidmatul
Islam) pada 23 Januari 1980 bersama dengan tokoh refromis Islam asal
Lucknow, India yang bernama Sayid Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwy.
Sebelumnya, penghargaan ini juga pernah diberikan kepada tokoh reformis
Islam asal Pakistan, Maulana Abul „Ala al-Maududi pada tahun 1979. Dewan
Da‟wah di bawah pimpinan Natsir merupakan salah satu pengusung namanya
pada tahun 1978 (Natsir, 1980 a).
Ada sebuah kisah menarik dalam proses pemberian pengahargaan ini
yang bersumber pada kerendahan hati Natsir. Ia dan An-Nadwy sempat saling
“tuding-menuding” untuk menerima penghargaan tersebut karena masing-
Gambar 40. Maulana Abul „Ala al-Maududi (kiri), Mohammad Natsir (dua dari kiri), dan
Sayid Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwy (kanan berpeci hitam) sedang berdiskusi saat
bersama-sama memimpin al-Muktamar Islamil-„aam lil-Quds (Muktamar Islam Umum
untuk Pembebasan Baitul Maqdis) di Damaskus tahun 1956.
Sumber : Natsir, M. (1980, Februari). Penghargaan internasional untuk M. Natsir. Serial Media
Dakwah Nomor 62.
306
masing dari mereka merasa tidak pantas menerimanya.100
Natsir (1980) justru
menyebut dirinya “tidak lebih dari seorang petugas lapangan bagi Islam”.
Menurutnya, penghargaan tersebut bukanlah untuk dirinya seorang.
Mohammad Natsir benar-benar menunjukkan kualitas dirinya sebagai
pengkhidmat umat dan “Sang Integralis” sejati yang sangat peduli pada
ukhuwah Islamiyah dengan menyatakan bahwa penghargaan itu adalah hasil
usaha kolektif dari banyak pihak yang mempunya niat dan cita-cita yang satu
serta bersama-sama berjuang dalam berbagai kondisi, suka maupun duka.
Dengan penuh kerendahan hati, Mohammad Natsir akhirnya menerima
penghargaan itu dengan ucapan:
“Ini adalah kurnia dari Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku akan (pandai)
bersyukur ataukah akan kufur“ (Natsir, 1980, hal.: 6).
Kerendahan hati seorang Mohammad Natsir ini tentu tidak mengurangi
kemuliannya sebagai pengkhidmat umat sejati. Apalagi Pangeran Khalid Faisal
menegaskan bahwa orang-orang yang mendapatkan penghargaan ini adalah
mereka yang memiliki karya-karya yang sudah dinikmati oleh umat, bukan
dibuat khusus untu mendapatkan penghargaan. Selain itu, penghargaan akan
diberikan kepada para tokoh dunia Islam dengan terlebih dahulu diusulkan oleh
organisasi-organisasi Islam lintas negara, bukan dengan mengajukan dirinya
sendiri.
100
Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.
307
BAB V
DISKUSI
5.1 JIB: Modal Sosial Berasaskan Islam yang Mempersatukan Indonesia
Sebuah publikasi yang dikeluarkan oleh Algemene Inlichtingen-en
Veiligheidsdienst Ministerie van Binnenlandse Zaken en Koninkrijksrelaties
(Layanan Intelijen dan Keamanan Umum Kementerian Dalam Negeri dan
Hubungan Kerajaan) Kerajaan Belanda pada tahun 2004 menyebutkan
bahwa kelompok-kelompok yang menginginkan penerapan Islam (disebut
sebagai Islam radikal) adalah ancaman bagi demokrasi. Secara lebih
spesifik, publikasi tersebut menyebutkan kelompok yang mendukung Islam
politik dan golongan Islam yang menyerukan pemurnian kehidupan umat
Islam dengan kembali meninjau Al-Quran dan Hadits serta teladan dari
generasi umat Islam di masa Nabi Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص. Pada salah satu
bahasannya, disebutkan bahwa Islam bertentangan demokrasi dan
merupakan sebuah ideologi totalitarian. Kelompok dan paham seperti ini
menurut mereka menjadi penghambat dalam proses integrasi sosial
(Algemene Inlichtingen-en Veiligheidsdienst, 2004).
Klaim seperti ini tentu dapat menjadi sebuah provokasi untuk
menentang segara bentuk penerapan ajaran Islam di segala bidang
kehidupan. Slogan yang sering digaungkan adalah deradikalisasi yang
sebenarnya secara sederhana dapat diartikan pendangkalan aqidah umat
Islam. Efek jangka pendeknya adalah sekularisasi segala bidang kehidupan
308
– segala bentuk ritual dan wacana keagamaan dilakukan dan dibicarakan
hanya di tempat ibadah. Namun, dalam jangka panjang, luaran yang hendak
dicapai adalah pelemahan umat Islam dengan menghilangkan identitas
agamanya, termasuk nilai-nilai, norma-norma, sejarah, semangat ber-Islam
dan berbagai aspek lainnya. Isu yang sering digunakan adalah ancaman
terhadap integrasi sosial atau persatuan dan kesatuan.
Berkenaan dengan tuduhan di atas, kisah tentang pembentukan JIB
perlu mendapatkan perhatian secara khusus dalam pembahasan mengenai
upaya memperteguh persatuan serta kesatuan bangsa dan negara. Kisah
awal pembentukannya yang berawal dari pengalaman Samsurizal terkait
ditolaknya pengajaran Islam di Jong Java menjadi refleksi bahwa pendirian
JIB memang berangkat dari semangat untuk mencari inklusifitas.
Pernyataan seperti ini tentu dapat dipertanggungjawabkan. Secara
demografis, jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai lebih dari 250 suku
(Kemendikbud RI, 2016). Jika mengikuti gairah kesukuan untuk membatasi
keanggotaan sebuah organisasi, maka tentu akan ada lebih dari 250
organisasi kepemudaan yang bersifat kedaerahan. Pada masa itu, sudah
dikenal ada Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak
dan lainnya. Seorang bersuku Jawa tentu tidak akan memenuhi kualifikasi
sebagai anggota Jong Sumatranan Bond, begitu juga sebaliknya. Kondisi ini
tentu tidak menguntungkan bangsa Indonesia saat itu karena rasa cinta
kedaerahaan yang berlebihan akan mengarah kepada etnosentrisme dan
selanjutnya justru berpotensi memicu disentegrasi bangsa.
309
Hal yang berbeda dilakukan oleh para pendiri JIB yang menggunakan
Islam sebagai kualifikasi keanggotaan dan asas organsasinya. Setiap
pemuda dengan latar belakang suku bangsa apapun dapat menjadi anggota
JIB. Dibandingkan dengan organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan, JIB
jauh lebih bersifat mempersatukan – Islam digunakan untuk mengikat
keragaman atau kebhinnekaan Indonesia. Sebanyak 250 suku bangsa
tersebut dapat bertemu dalam satu organisasi karena memiliki kesamaan
dalam nilai paling mendasar yang diyakininya (Islam). Berbeda lagi jika 250
suku bangsa itu dijadikan dasar untuk membentuk organisasi, akan ada 250
organisasi yang masing-masing memiliki keterikatan karena satu suku
secara demografis dan satu kampung halaman secara geografis. Hal
demikian tentu merusak mental atau jiwa persatuan pemuda Indonesia dan
sangat rawan disintegrasi jika dianalisis melalui perspektif geopolitik yang
mempertimbangkan bentuk kepulauan Indonesia.
Oleh karena itu, sangat tepat apa yang diungkapkan oleh Natsir
bahwa:
“pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan
di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia yang
menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mula-mula menanam
persaudaraan dengan kaum yang senasib di luar batas Indonesia, dengan tali ke-
Islaman”. (Harjono dan Hakiem, 1995).
Berkaitan dengan pandangan ini, Mowlana (2007), dalam konsepnya
tentang prinsip dasar etika perspektif Islam, menyebutkan tauhid yang
menyiratkan pesan persatuan. Keragaman suku bangsa dan budaya tidak
bisa memecah manusia. Apapun suku bangsa, ras, etnis, dan
kebudayaannya, manusia tetap menjadi umat yang satu atau ummatan
310
wahidan karena mereka ber-tauhid. Mowlana (2007) juga menyebutkan
ummah yang merupakan konsep religio-economic yang hanya dapat
tewujud di bawah pemerintahan yang berlandaskan Islam. Aspek ras, etnis,
suku-bangsa, bahkan nasionalisme tidak menjadi acuan pembedaan dalam
masyarakat. Kebangsaan, perbedaan kebudayaan serta faktor-faktor
geografis tetap diperhatikan, namun adanya dominasi karena faktotr
kebangsaan sama sekali ditolak.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan dari JIB sebagai sebuah
pergerakan pemuda Islam yang berkontribusi bagi penguatan persatuan dan
kesatuan Indonesia adalah komposisi anggotanya yang merupakan tokoh-
tokoh penting bagi perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, khususnya dalam jalur intelektual dan diplomasi. Mohammad
Natsir yang menjadi tokoh penting dalam Kernlichaam memiliki beberapa
sahabat seperjuangan yang bersama-sama berjuang untuk menegakkan
kemerdekaan Indonesia dan “membangun konstruksinya” hingga akhir
hayatnya. Sebagaima telah disebutkan sebelumnya, mereka adalah
Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sjafruddin Prawiranegara dan
Kasman Singodimedjo, bahkan istrinya, Ummi Nur Nahar, yang setia
menemani setiap episode perjuangan Natsir.
Menariknya, Natsir bersama teman-temannya ini kelak menjadi tokoh-
tokoh yang berperan penting dalam beberapa peristiwa bersejarah dan juga
dalam pemerintahan Indonesia di masa awal berdirinya republik ini. Natsir
sendiri berperan penting dalam PDRI, menjadi menteri penerangan di tiga
kabinet dan kemudian menjadi Perdana Menteri pertama NKRI. Adapun
311
Mohammad Roem pernah memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan
Roem-Royen, menjadi Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan
Wakil Perdana Menteri I. Prawoto Mangkusasmito pernah menjadi Wakil
Perdana Menteri serta menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP. Adapun
Sjafruddin Prawiranegara pernah berperan penting dalam pendirian PDRI
yang menjadi harapan bagi tetap tegaknya Republik Indonesia. Selain itu, ia
juga merupakan Gubernur pertama Bank Indonesia dan menteri keungan
yang terkenal dengan kebijakan “Gunting Sjafruddin”. Sedangkan Kasman
Singodimedjo pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Indonesia, Ketua
KNIP dan juga menteri muda Kehakiman.
Selain bersama-sama dalam JIB, tokoh-tokoh di atas juga disatukan
dalam partai Masjumi yang sangat tegas dan konsisten dalam
memperjuangkan ajaran Islam. Natsir, Kasman, Prawoto, dan Sjafruddin
bersama tokoh Masjumi lainnya berjuang di Konstituante agar syariat Islam
menjadi konstitusi Indonesia. Perjuangan sepanjang hayat yang bermula dari
pertemuan di JIB ini tentu menjadi cerminan bahwa organisasi pergerakan
pemuda Islam menjadi sarana penting dalam kaderisasi dan mempersiapkan
modal sosial dalam memperjuangkan Islam di berbagai sektor.
Konsep modal sosial yang jelaskan oleh Putnam dapat menjelaskan
fenomena Natsir dan kawan-kawannya yang memiliki jaringan yang erat
sejak di JIB hingga mereka berkiprah di tingkat nasional pada berbagai
sektor. Putnam (1993) mendefinisikan social capital sebagai fitur-fitur dari
organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang
memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama. Dalam
312
perspektif Putnam, social capital mencakup jaringan keterikatan sosial
(networks of civic engagements) yang diatur berdasarkan norma-norma yang
dapat menentukan produktivitas masyarakat atau komunitas tertentu.
Menurutnya, social capital dengan wujud norma-norma dan jaringan
keterikatan sosial tersebut adalah prasyarat bagi perkembangan ekonomi dan
pemerintahan yang efektif. Alasannya adalah: (1) Jaringan sosial
memungkinkan terciptanya koordinasi dan komunikasi yang memperkuat
rasa saling percaya antar sesama; (2) Kepercayaan berdampak positif bagi
kehidupan bermasyarakat, misalnya dalam memperkuat norma-norma
tentang tanggung jawab moral untuk saling membantu; dan (3) rangkaian
keberhasilan yang berhasil dicapai dengan adanya kerjasama akan
memperkuat kerjasama itu sendiri di masa berikutnya.
Jaringan Natsir dan kawan-kawannya bukan sekedar jaringan yang
terbentuk karena ada motivasi untuk mencari keuntungan pribadi dalam
bentuk materi atau sekedar mengikuti intensi partai dan golongan mereka.
Jaringan mereka dibangun dan diikat dengan asas Islam sejak dari JIB,
kemudian berlanjut dan bertahan hingga berkiprah melalui PSII, Masjumi,
DDII dan hingga wafatnya para tokoh tersebut. Jaringan yang kokoh ini
bertujuan untuk mewujudkan keuntungan bagi Islam yang ditandai dengan
sadarnya masyarakat, khususnya kaum muslimin tentang pentingnya syariat
Islam hingga diterapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernergara.
Patokan keuntungan dari perjuangan Natsir dan kawan-kawannya bukanlah
apa yang dapat bermanfaat bagi individu atau bahkan partai mereka, tetapi
apa yang menguntungkan Islam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prawoto
313
Mangkusasmito (dalam Artawijaya, 2014) bahwa ukuran kerugian dan
keuntungan dari sebuah perjuangan itu adalah kerugian dan keuntungan
Islam.
Satu hal yang membedakan konsep modal sosial yang dapat dipelajari
dari jaringan Natsir dan kawan-kawannya dengan yang dikoseptualsiasikan
Putnam adalah tujuan yang hendak dicapai. Putnam menyebutkan bahwa
tujuannya adalah untuk mengamankan demokrasi dan ekonomi yang efektif.
Namun, tujuan Natsir dan kawan-kawannya adalah untuk mengamankan
penerapan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka
meyakini bahwa syariat Islam dapat mewujudkan keadilan, termasuk
keadilan dalam bidang ekonomi. Berkaitan dengan demokrasi, Natsir (1975)
menganggap hal itu adalah pilihan sistem bernegara yang menjadi alat untuk
mewujudkan penerapan syariat Islam.
Dengan demikian, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: (1)
integrasi nasional dapat dimulai dari pergerakan pemuda berasaskan Islam
yang menolak pembatasan-pembatasan berdasarkan latar belakang suku
bangsa, ras, etnis dan hal terkait lainnya; (2) jaringan sosial yang dibangun
dari sebuah pergerakan pemuda yang memiliki kesamaan nilai berpotensi
besar menjadi jaringan yang kuat, bertahan lama, dan memengaruhi eskalasi
posisi dan peran orang-orang yang berada dalam jaringan organisasi itu; dan
(3) tujuan dari suatu jaringan atau kesatuan yang menjadi modal sosial tidak
hanya mencakup suatu hal yang berkenaan dengan hubungan antar sesama
manusia (misalnya demokrasi dan ekonomi), tetapi juga hal yang bersifat
transedental yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan.
314
5.2 Natsir Membangun Social Capital Melalui Masjumi dan Kaderisasi
Pemuda Islam
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa modal sosial yang
dibangun oleh Natsir memiliki tujuan utama untuk menegakkan syariat
Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka begitu juga dengan
modal sosial yang terbentuk melalui kaderisasi yang dilakukan oleh Natsir
dengan kawan-kawannya. Natsir tidak hanya berhenti sebagai seorang kader
dari pergerakan Islam, tetapi menjadi seorang penggerak kaderisasi
pergerakan pemuda Islam yang berguna untuk meneruskan estafet da‟wah.
Sebagai seorang cendekiawan dan politisi berideologikan Islam,
Natsir menjamin keberlangsungan perjuangannya dengan pembentukan
jaringan sosial atau modal sosial pemuda-pemuda Islam melalui organisasi
pergerakan Islam – semuanya berasaskan Islam dan bertujuan untuk
menjamin keuntungan Islam. Setiap sektor kehidupan yang menjadi tempat
Natsir bekiprah tidak menjadi tujuannya; semuanya itu menjadi alat untuk
mewujudkan dan melanggengkan penerapan syariat Islam. Artinya, Natsir
membangun modal sosial atau dengan kata lain “basis kekuatan” bukan
untuk sekedar mendapatkan kekuasaan dan keuntungan lainnya yang
bersifat materi, melainkan untuk memeroleh sesuatu yang bersifat
transedental dan mencapai kepuasan batin yang diperoleh dari kemenangan
Islam (penerapan prinsip-prinsip Islam dalam konstitusi).
Namun, hal ini sepertinya tidak ditemukan oleh Eric M. Uslaner,
seorang Profesor dalam bidang kajian Pemeirntahan dan Politik di
University of Maryland – College Park, hingga ia meragukan
315
keterhubungan antara partai politik dengan modal sosial. Uslaner (2005)
berpedoman pada definisi social capital yang dikemukakan oleh Putnam
(1993) – social capital merefleksikan norma timbal balik dan jaringan
masyarakat yang saling terkait; bentuk dari interaksi sosial yang
mengarahkan masyarakat pada aksi kolektif untuk pemecahan masalah
bersama. Ia menyebutkan tiga hal yang mengganjal mengenai hubungan
partai politik dan social capital. Pertama, konsep hubungan sosial dalam
social capital yang menganggap orang-orang berinteraksi satu sama lainnya
dalam organisasi sukarelawan yang mempersatukan orang-orang tersebut
tidak ditemukan dalam partai politik (Uslaner, 2005). Menurutnya,
kebanyakan anggota dari partai politik berfokus pada kemenangan partainya
atau dirinya, sekedar menjadi anggota yang menggugurkan kewajiban untuk
hadir pada agenda-agenda partai (checkbook members) dan jarang
bersosialisasi dengan sesama anggota partai. Di negara-negara bagian
Amerika Serikat sendiri ditemukan bahwa hampir tidak ada hubungan
antara kekuatan partai politik dan keanggotaan organisasi kersukarelaan
(Uslaner, 2005). Kedua, sejak awal memang sangat sedikit anggota partai
yang benar-benar sepenuhnya bekerja untuk partai; orang-orang yang
bekerja sepenuh hatinya atau berintensi untuk mengabdi ditemukan di
organisasi kesukarelaan. Selain itu, meskipun banyak partai politik yang
memiliki jumlah anggota yang besar; namun, hanya sedikit partai yang
berfokus pada tujuan yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan. Ketiga,
kepercayaan yang dibangun partai politik adalah particularized trust yang
316
hanya terbentuk di kalangan internal partai (in-group) yang memiliki
kesamaan nilai.
Apa yang menjadi keraguan Uslaner ini dapat terjawab dengan
melihat bagaimana hubungan antar tokoh Masjumi, prinsip perjuangan dan
tujuan perjuangan mereka. Apa yang disaksikan oleh Ramlan Mardjoned
bahwa hubungan antar tokoh Masjumi bukan sekedar hubungan antar
politisi yang bernaung di partai yang sama, melainkan dilandasi pada sikap
saling menghargai sebagai sesama orang beriman yang meyakini Islam
sebagai nilai mendasar yang harus diimplementasikan di setiap bidang
kehidupan. Landasan Islam dalam menjalin kekerabatan ini menciptakan
hubungan personal yang saling mengikat dan melebihi jalinan profesional
sebagai seorang politisi. Salah satu contohnya adalah saat Prawoto
Mangkusasmito mengekspresikan kerinduannya kepada Natsir yang saat itu
sedang berada di hutan – berjuang dalam Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI). Saat itu, Prawoto memberikan sambutan atas
terpilihnya ia menjadi Ketua Umum Masjumi.101
Ramlan Mardjoned
menceritakan kisah ini sekaligus berharap munculnya politisi-politisi yang
pandai dalam menjaga persahabatannya:
“Ketika dia memberikan sambutan terpilihnya sebagai ketua, Pak Prawoto bilang,
‘Natsir di mana pun engkau berada, engkau ada di dalam hatiku’. Coba kau
bayangkan sekarang. Ada nggak orang bersahabat, berlomba dalam kedudukan
politik, seperti itu pernyataannya, begitu akrab dan dekatnya. „Dan kepada Dr.
Soekiman, guru politikku, terima kasih ikut dalam pengurus yang dipimpinnya’.
Nah kalau sekarang ada persaingan lewat pemilihan, jegal menjegal, tidak ada
101
Prawoto Mangkusasmito adalah Ketua Umum Partai Masjumi yang terakhir.
317
kedekatan. Itu yang saya rasakan melihat kenyataan anak-anak muda. Semua
merindukan kedekatan itu.”102
Contoh lainnya adalah hubungan Natsir dan Buya Hamka yang
keeratannya terbukti melalui aktivitas berbalas puisi oleh keduanya. Dalam
puisi-puisi yang ditulis itu, tidak hanya tercerminkan persahabatan Natsir
dan Buya Hamka, tetapi juga hal yang menjadi landasan bagi persahabatan
kedua tokoh nasional yang sama-sama berasal dari ranah minang ini, yakni
Islam, atau tauhid secara lebih spesifik. Berikut adalah potongan puisi
berjudul “Kepada Saudaraku M. Natsir” yang ditulis oleh Buya HAMKA
kepada Natsir (dalam Natsir, 1977).
……
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu……!
Adapun balasan puisi dari Natsir untuk Buya HAMKA sebagaimana
berikut.
………
Pancangkan !
Pancangkan olehmu, wahai Bilal !
Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau karihal kafirun…
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Kedalam ”daftarmu” …
102
Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.
318
Keduanya saling menyebutkan “berjuta kawan sepaham” yang
menunjukkan kedekatan mereka berdua yang selalu disertai dengan kalimat-
kalimat bermuatan religi dan berisikan pesan tauhid. Artinya, persahabatan
Natsir dan Buya HAMKA adalah jalinan yang tidak hanya didasari pada
rasa kasih sayang kepada sesama manusia, tetapi pada pengakuan bahwa
keduanya sama-sama dinaungi oleh satu-satunya Tuhan – Allah هلالج لج . Dari
hubungan Natsir dan HAMKA ini, dapat dipahami tentang konsep
hubungan dalam Islam yang tidak hanya mempertemukan manusia yang
memiliki kesamaan, tetapi juga melibatkan Allah هلالج لج .
Selain kedekatan personal, para anggota dan tokoh Partai Masjumi
juga memiliki kesukarelaan (ikhlas) dan sifat pengorbanan yang tinggi,
meskipun Partai Masjumi sudah tidak ada lagi. Salah satu contohnya pada
saat pembangunan Masjid Al-Furqon yang terletak di bekas markas Partai
Masjumi yang sekarang menjadi kantor pusat DDII. Seorang mantan
bendahara Masjumi di Jakarta bernama Taher Karim Lubis bersedia
mengalokasikan sebagian hartanya untuk membangun Masjid Al-Furqon.
Ramlan pun ditegur oleh Taher Karim Lubis karena setiap shalat Jumat
mengumumkan tentang permohonan infaq dan sodaqah untuk pembangunan
Masjid Al-Furqon. Ramlan berkisah:
“Saya yang selalu menjadi protokol. “Bapak-bapak, ini akan dibangun!” 75.000
apa itu. Masih murah kan, kalau sekarang puluhan juta mungkin. Ada namanya
Taher Karim Lubis. Dia itu pernah jadi bendahara Masjumi di Jakarta. Punya Java
Motor. Hehehe, itulah solidaritas Keluarga Besar Bulan Bintang dijaga.”103
103
Ibid
319
Fakta ini menunjukkan bahwa para anggota Partai Masjumi, bahkan
setelah partai tersebut dibubarkan dan berubah menjadi Keluarga Besar
Bulan Bintang, tidak sekedar berkumpul dalam satu naungan partai yang
sama hanya untuk memenangkan partai dan dirinya di pemilihan umum.
Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa dalam pandangan Natsir,
partai itu hanya alat perjuangan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya
yakni meneguhkan syariat Islam. Sehingga hubungan yang terjalin di antara
anggotanya tidak didorong oleh pragmatisme politik, tetapi cita-cita
bersama untuk memenangkan perjuangan Islam. Keuntungan dan kerugian
perjuangan setiap individu, seperti dikemukakan oleh Prawoto
Mangkusasmito, harus diukur berdasarkan keuntungan dan kerugian Islam
(dalam Artawijaya, 2014).
Menariknya, setelah Partai Masjumi dibubarkan, para anggotanya
tidak melepaskan diri dari perjuangan, tetapi membentuk Keluarga Besar
Bulan Bintang. Kemudian, saat rehabilitasi Masjumi gagal, dibentuklah
DDII yang kemudian Natsir sebut sebagai “berpolitik melalui jalan da‟wah”
setelah sebelumnya “berda‟wah melalui jalan politik”. Artinya, modal sosial
yang dibangun Natsir bersama sahabat-sahabatnya tidak bergantung pada
ikatan sebuah organisasi, tetapi Islam yang kemudian mempersatukan
mereka dalam sebuah jaringan yang disebut sebagai ukhuwah
(persaudaraan). Kesamaan nilai Islam yang utama – tauhid dan cita-cita
perjuangan untuk menegakkan syariat Islam yang dimiliki Masjumi dan
para anggotanya ini adalah contoh nyata dari argumentasi Mowlana (2007)
tentang tauhid yang selain berarti mengesakan Allah هلالج لج, juga berimplikasi
320
persatuan umat Islam; serta tentang ummah yang menurutnya merupakan
konsep religio-economic yang hanya dapat tewujud di bawah pemerintahan
yang berlandaskan Islam, bukan sepenuhnya pada ideologi hasil kehendak
dan pemikiran manusia.
Ukhuwah para tokoh Masjumi ini mengajarkan bahwa modal sosial
atau jejaring antar sesame manusia dapat menjadi erat dan kuat jika
berlandaskan pada Islam dan melibatkan Allah هلالج لج. Hal ini menjadi cerminan
Q.S. Ali-Imran ayat 103:
„
Terjemahan:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.” (Kemenag RI, 2011).
Lebih lanjut lagi, Partai Masjumi yang dikelola Natsir dan para
sahabatnya, tidak hanya memainkan perannya dalam politik praktis, tetapi
juga menjadi induk pengkaderan dari jaringan pergerakan Islam Indonesia.
Beberapa organisasi pergerakan pemuda Islam dan kadernya yang
321
tergabung dalam jaringan ini, seperti telah disebutkan dalam bab hasil,
adalah PII (Hussein Umar, Ramlan Mardjoned, Mohammad Siddik, Natsir
Zubaidi, dan beberapa tokoh PII seperti Ahmad Djuani, Husni Thamrin dan
Anton Timur Djaelani), HMI (Bang Imad, Nurcholis Madjid, Amien Rais,
Jimly Asshiddiqie, Yusril Ihza Mahendra, dan Lukman Hakiem) dan GPII
(Anwar Harjono, Soemarso Soemarsono, Abdullah Sungkar, dan Abu Bakar
Ba‟asyir).
Upaya Natsir memberdayakan pemuda-pemuda Islam untuk
membangun sebuah jaringan yang besar tidak terbatas pada pergerakan
pemudanya, tetapi juga menjalar hingga ke lembaga pendidikan, seperti
universitas dan pesantren, khususnya setelah Masjumi dibubarkan dan
berganti menjadi DDII. Natsir memperkuat modal sosial dengan melatih
pemuda-pemuda Islam melalui program pengkaderan PHI dan BMK yang
kemudian memunculkan LDK, FSLDK, kemudian melahirkan KAMMI dan
juga PK yang pada perkembangannya berubah menjadi PKS. Program
pengkaderan ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena menjadi sarana
perpanjangan-tangan DDII secara tidak langsung (kembali) ke sektor
politik. Meskipun menurut Ramlan Mardjoned PKS tidak memiliki
hubungan dengan DDII, beberapa deklarator PKS, seperti telah dijelaskan
sebelumnya, adalah orang-orang memiliki keterhubungan dengan Natsir
melalui program pengkaderan ini dan juga beberapa organisasi pergerakan
pemuda Islam. Apalagi PKS memiliki banyak kemiripan dengan Partai
Masjumi, baik dari asasnya, tujuannya, terlebih PKS memberikan perhatian
khusus bagi warisan-warisan perjuangan Partai Masjumi.
322
Program pengkaderan yang diasuh oleh Natsir ini juga berhasil
mewujudkan integrasi pergerakan pemuda Islam, kampus, masjid dan
pesantren sebagai sebuah modal sosial yang kemudian disebut oleh Natsir
sebagai Benteng Pertahanan Umat (masjid, kampus, dan pesantren).
Sehingga, tidak heran jika kader-kader Natsir merupakan seorang inteletual
dan santri yang tergabung dalam pergerakan pemuda Islam yang memiliki
perhatian khusus pada kemakmuran masjid atau menjadikan masjid sebagai
tumpuan dari pergerakannya. Dengan beridirnya banyak masjid di berbagai
kampus di Indonesia, Natsir secara tidak langsung membangun basis
kekuatan/pengaruh di berbagai kampus yang merupakan tempat
dihasilkannya cendekiawan dan juga negarawan di masa-masa selanjutnya.
Inilah yang perlu diperhatikan, Natsir menjadikan masjid sebagai poros atau
soko guru bagi pembangunan modal sosialnya. Menjadikan masjid yang
fungsi utamanya adalah untuk melakukan peribatadan kepada Allah هلالج لج dapat
berarti menjadikan Islam dan tauhid sebagai landasannya. Sehingga,
kembali ke analisis sebelumnya bahwa modal sosial yang dibangun Natsir
menjadi kuat dan erat karena dilandaskan pada nilai-nilai Islam, khususnya
tauhid yang mengimplikasikan persatuan umat.
Akhirnya, ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait modal sosial
Natsir yang perlu diperhatikan: (1) modal sosial yang terbentuk dari jejaring
antar manusia dapat menjadi kuat dan erat jika berlandaskan Islam,
khsusunya tauhid dan melibatkan Allah هلالج لج dalam pembangunan dan
pengelolaannya; (2) masjid yang menjadi simbol penerapan prinsip tauhid
tidak terbatas untuk pelasanaan ritual peribadatan, tetapi juga menjadi basis
323
pembangunan kekuatan umat di berbagai sektor; dan (3) intergasi masjid,
kampus, dan pesantren sebagai pilar utama modal sosial Natsir yang
menggerakkan pergerakan pemuda Islam terbukti berhasil memperluas
jaringannya dan pada perkembangannya menjadi jalan munculnya PKS
yang diyakini memiliki kemiripan dengan Masjumi.
5.3 Natsir adalah Bapak Penerangan Indonesia
Salah satu jasa besar Natsir dalam pengaturan sistem pemerintahan di
Indonesia adalah dalam peletakan dasar-dasar Kementerian Komunikasi dan
Informasi yang saat itu bernama Kementerian Penerangan. Meskipun Natsir
adalah menteri penerangan kedua dalan sejarah Indonesia (setelah Amir
Sjarifuddin), Natsir justru yang memiliki peran sentral dalam membangun
dan memfungsikan Kementeria Penerangan, apalagi jabatan ini diembannya
pada masa-masa awal berdirinya RI yang merupakan masa rawan
perpecahan dan berpotensi besar untuk bubar atau direbut kembali oleh
penjajah. Selain itu, Natsir merupakan menteri penerangan yang istimewa
karena dipercaya mengemban posisi tersebut di empat kabinet berbeda,
yakni pada Kabinet Sjahrir I (3 Januari - 12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir II
(12 Maret - 2 Oktober 1946), Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 3 Juli
1947) dan pada kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
(Dzulfikriddin, 2010). Natsir mengungguli Harmoko yang pernah menjabat
sebanyak tiga kali pada Kabinet Pembangunan Soeharto (IV, V, dan VI).
Bahkan, Harmoko (dalam Dzulfikriddin, 2010) mengakui bahwa sistem
penerangan pada masa awal Kemerdekaan adalah hasil pemikiran Natsir dan
dasar-dasar Kementerian Penerangan dibangun pada saat itu.
324
Penunjukkan Natsir menjadi menteri penerangan oleh Sutan Sjahrir
dalam tiga kabinetnya secara berturut-turut ini adalah hal yang menarik.
Meskipun Natsir dan Sjahrir memiliki landasan berpolitik yang berbeda,
Natsir berasal dari partai berbasis Islam – Masyumi, sedangkan Sjahrir
berasal dari partai yang berlandaskan sosialisme – Partai Sosialis Indonesia
(PSI), mereka dapat bekerjasama dalam berbagai forum dan peristiwa.
Menurut Ridwan Saidi (dalam Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012), keputusan
Sjahrir menunjuk Natsir sebagai menteri penerangan dilatarbelakangi
keinginannya mendapatkan dukungan kalangan Islam untuk kabinetnya.
Apalagi keputusan Sjahrir tersebut direstui oleh Soekarno dengan menyebut
bahwa Natsir adalah orang yang tepat mengemban tugas penerangan. Sejak
saat itu, Natsir dan Soekarno menjadi akrab dan melupakan polemik
pemikiran mereka pada tahun 1930-an (Tim KPG-Tempo, 2011; Kahin,
2012). Bahkan, Natsir (dalam Dzulfikriddin, 2010) menyatakan bahwa tidak
ada menteri yang lebih dekat dengan Soekarno kecuali dirinya. Sejarawan
Taufik Abdullah (dalam Taharani, 2018) bercerita dengan berlandaskan
pada keterangan Mohammad Hatta bahwa Natsir adalah anak “emas” (anak
kesayangan” Soekarno. Hal ini tercerminkan dalam sikap Soekarno yang
tidak akan menandatangani surat atau pernyataan resmi pemerintah dan
tidak akan menyetujui naskah pidato jika tidak diperiksa atau dirancang
terlebih dahulu oleh Natsir.
Adapun tugas pokok dan fungsi Kementerian Penerangan yang
dirancang oleh Natsir (dalam Dzulfikriddin, 2010):
325
1) menerangkan kepada rakyat tentang kebijakan politik, peraturan-
peraturan, dan tindakan-tindakan tertentu yang diterapkan atau
dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
2) menerangkan dan memantapkan pemahaman rakyat tentang Pancasila;
3) menanamkan kesadaran politik dan pemikiran kritis rakyat untuk
membangun kehidupan yang demokratis;
4) menjaga semangat perjuangan rakyat untuk mewujudkan dan
mengimplementasikan cita-cita negara; dan memperkenalkan Republik
Indonesia serta komitmen persatuan bangsanya ke dunia internasional.
5.4 Strategi Komunikasi Natsir Mempertahankan Indonesia melalui PDRI
Salah satu peran penting Natsir saat menjabat sebagai Menteri
Penerangan, khsususnya dalam Kabinet Hatta I, adalah menyelamatkan RI
dari agresi Belanda melalui pembentukan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Belanda yang melancarkan Agresi Militer II ke ibu kota
RI, Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 berhasil menawan Soekarno, Hatta
dan Natsir serta hampir saja membubarkan RI (Dzulfikriddin, 2010). Natsir
yang saat ditawan sedang terbaring di rumah sakit Bethesda, sebelumnya
telah menyiapkan naskah bersama Soekarno dan Hatta yang berisikan pesan
kepada rakyat Indonesia agar tidak menyerah dan berjuang
mempertahankan RI (Tim KPG-Tempo, 2011). Naskah tersebut kemudian
dititipkan ke Wakil Menteri Penerangan A.R. Baswedan. Namun, pidato
tersebut tidak dapat disiarkan melalui radio karena telah diduduki oleh
326
Belanda. A.R. Baswedan kemudian meminta bantuan Mr. Sumanang untuk
memperbanyaknya secara stensil dan diterbitkan di harian Keng Po
(Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-Tempo, 2011).
Selain naskah tersebut, Natsir juga ikut berkontribusi dalam
penyusunan radiogram yang ditujukan kepada Menteri Kemakmuran
Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Bukittinggi, Sumatera
Barat untuk membentuk pemerintahan darurat. Radiogram ini juga dikirim
ke Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A. Maramis yang berada di India sebagai
bentuk antisipasi jika Sjafruddin gagal membentuk pemerintahan darurat
(Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-Tempo, 2011). Pada perkembangan
selanjutnya, Sjafruddin berhasil membentuk PDRI hingga keadaan kembali
pulih dan mandat akhirnya dikembalikan ke Soekarno meskipun
sebelumnya terdapat perbedaan pendapat antara pihak PDRI dan para tokoh
nasional yang mengadakan perundingan Roem-Royen dengan Belanda.
Sjafroeddin dan Soedirman tidak setuju dengan perundingan ini. Mereka
beralasan bahwa pemimpin yang menjadi tawanan tidak mengetahui kondisi
sesungguhnya yang ada di lapangan dan dianggap membuat konsesi yang
tidak dibutuhkan dengan Belanda (Kahin, 2012). Moh. Hatta sempat diutus
untuk membujuk Sjafruddin, namun gagal. Delegasi baru yang dipimpin
oleh Natsir dengan dibantu Leimena dan Halim kemudian berhasil
mempersuasi Sjafruddin dan Soedirman. Pada 13 Juli 1949, Sjafroeddin
terbang menuju Yogyakarta dan mengembalikan mandat ke Soekarno
(Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012).
327
Secara umum, ada tiga strategi komunikasi Natsir dalam rangkaian
peristiwa PDRI. Pertama, Natsir menggunakan media massa untuk
menyebarluaskan pesan tentang eksistensi RI, sehingga dapat menjaga
mental dan meningkatkan semangat rakyat Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan. Hal yang menarik pada bagian ini adalah
kecermatan Natsir tentang pentingnya opinion leader (Soekarno-Hatta)
dalam menjaga kepercayaan-diri rakyat bahwa “Indonesia masih ada”. Hal
yang tidak diinginkan mungkin dapat terjadi jika saat itu sama sekali tidak
ada kabar resmi mengenai keberadaan dan kondisi pemimpin serta pesan
yang memberikan semangat. Misalnya, Belanda merebut Indonesia kembali
atau terjadi disintegrasi di berbagai daerah. Kedua, Natsir bersama
Soekarno-Hatta menggunakan jaringan komunikasi, tepatnya modal sosial
serta pemanfaatan teknologi komunikasi termutahir saat itu untuk
menegakkan kedaulatan RI, yakni dengan memberikan mandat kepada
Sjafruddin di Bukittinggi dan tiga tokoh lainnya di Indonesia. Pemanfaatan
modal sosial ini tidak hanya memperhatikan hubungan antar tokoh, tetapi
juga memperhitungkan letak geostrategis yang memungkinkan
pemerintahan darurat dibentuk dengan aman. Hal yang tidak dikehendaki
mungkin dapat terjadi jika saat itu tidak ada pengalihan mandat presiden dan
pembentukan pemerintah darurat. Ketiadaan pemerintahan dan lokasi fisik
pusat pemerintahan saat itu dapat menjadi penyebab hilangnya kedaulatan
Indonesia dan berpotensi mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Ketiga, Natsir menggunakan keahlian diplomasinya untuk mempersuasi
Sjafruddin yang saat itu sempat bersitegang dengan tokoh-tokoh nasional
328
yang mendukung perundingan Roem-Royen agar menerima perundingan
tersebut dan kembali ke Yogyakarta untuk menyerahkan mandat. Peristiwa
lain mungkin akan terjadi jika Natsir tidak berhasil meyakinkan Sjafruddin.
RI yang sesuai dengan perundingan Roem-Royen mungkin bisa berdiri,
tetapi mereka yang tidak sepakat dengan perundingan akan tetap
menegakkan PDRI sehingga memunculkan dualisme pemerintahan.
Dualisme ini dapat menyebabkan disintegrasi yang menguntungkan Belanda
dalam mengembalikan tujuan awal agresi mereka. Melalui perannya dalam
berbagai peristiwa seputar PDRI ini, Natsir tidak hanya menunjukkan
kapasitasnya sebagai seorang negarawan, tetapi juga sebagai pakar
komunikasi.
5.5 Konsep Pendidikan dan Instruksional Natsir
Salah satu temuan menarik dalam penelitian ini adalah pemikiran
Natsir mengenai tujuan pendidikan yang sama dengan tujuan kehidupan
manusia sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Adz-Dzariyat ayat 56, yakni
menjadi pengabdi Allah هلالج لج untuk memeroleh ridho-Nya (Luth, 1999).
Segala bentuk penguasaan terhadap ilmu pengetahuan menjadi sarana untuk
menambah keimanan dan ketaatan pada setiap ketentuan Allah هلالج لج.
Berkaitan dengan tujuan pendidikan, penelitian dalam kajian
pendidikan menemukan bahwa tujuan pendidikan adalah hal yang sangat
penting dalam peningkatan prestasi dan motivasi siswa (Ambrose, Bridges,
DiPietro, Lovett, dan Norman, 2010). Penelitian lainnya dilakukan oleh
Locke dan Latham (2002) menunjukkan bahwa tujuan yang ditetapkan pada
suatu aktivitas pendidikan berperan sangat penting dalam mendukung
329
kinerja dan motivasi yang optimal. Dengan demikian, apa yang menjadi
konsep Natsir tenang tujuan pendidikan tentu memiliki dampak besar bagi
peserta didiknya atau para kadernya.
Sebagaimana dijelaskan pada bab hasil, tujuan pendidikan menurut
Natsir ini akan berimplikasi pada kemerdekaan manusia dari segala bentuk
penghambaan terhadap makhluk atau hal-hal duniawi. Konsep pendidikan
untuk kemerdekaan atau pembebasan ini sebenarnya juga dikemukakan oleh
John Dewey, seorang filsuf pendidikan berkebangsaan Amerika Serikat, dan
Paulo Freire yang merupakan tokoh pendidikan berkebangsaan Brazil.
Namun, jika dicermati, konsep kemerdekaan Natsir berbeda dengan
yang dikemukakan oleh Dewey dan Freire. Dewey (2004) mengemukakan
konsep pendidikan demokrasi yang mendorong para peserta didik untuk bisa
berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran, bukan sekedar menjadi
objek. Apa yang menjadi pemikiran Freire pun serupa dengan Dewey,
berangkat dari kritiknya terhadap model pendidikan bank yang cenderung
menganggap peserta didik sebagai benda pasif yang posisinya dianggap
sebagai objek bagi kegiatan belajar-mengajar, ia menyatakan gagasannya
tentang pendidikan yang memerdekakan melalui penyadaran
(conscientization) golongan yang tertindas (the oppressed) (Freire, 2018).
Konsep pendidikan dua tokoh ini berikutnya berimplikasi lebih besar pada
bagaimana sebuah pembelajaran itu dilaksanakan. Adapun konsep yang
dikemukakan Natsir berimplikasi secara komprehensif ke seluruh bidang
kehidupan. Pendidikan yang menurut Natsir harus berlandaskan tauhid itu
menjadi pencerahan bagi manusia untuk menolak segala bentuk
330
penghambaan, baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan bidang
lainnya.
Perbedaan tujuan pendidikan itu sendiri juga merupakan hal yang
perlu diperhatikan dalam membandingkan konsep Natsir dengan konsep
yang dikemukakan Dewey dan Freire. Dewey (2004) menegaskan bahwa
hal terpenting dalam pendidikan adalah bagaimana seseorang dapat
mengorganisasikan berbagai pengalamannya dan kemudian menjadikannya
landasan untuk terus memperbarui kehidupannya sehingga dapat
bertumbuh. Dewey yang menganut paham pragmatisme dalam filsafat
menyiratkan bahwa tujuan pendidikan adalah sekedar untuk kebermanfaatan
manusia dalam hal pengembangan dirinya. Adapun Paulo Freire (2018), ia
berpendapat bahwa tujuan dasar pendidikan adalah menciptakan kesadaran
yang kritis dalam diri peserta didiknya atau lebih luas lagi masyarakat yang
tertindas (dalam konteks sosial-politik) sehingga mereka tidak hanya
memutus kebutaan dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu “membaca
dunia” – kemampuan untuk menganalisis situasi sosial dan politik yang
berdampak terhadap kehidupan mereka. Freire (2018) menegaskan bahwa
tugas kemanusiaan dan historis terbesar yang ditanggung oleh mereka yang
tertindas adalah memerdekakan dirinya sekaligus orang-orang yang
menindas mereka.
Tujuan pendidikan dalam perspektif Dewey dan Freire ini tentu
berbeda dengan perspektif Natsir yang melampaui berbagai aspek
kehidupan dunia – menciptakan manusia yang menghambakan dirinya pada
Allah هلالج لج. Perbedaan ini tentu dapat dipahami dengan melihat nilai dasar
331
yang diyakini ketiga tokoh ini. Dewey, seorang berkebangsaan Amerika
Serikat, yang lahir di sebuah keluarga yang taat menjalankan ajaran Kristen
Evangelikal justru memilih untuk mengabaikan ajaran tersebut dan tidak
menjadikannya landasan dalam pemikirannya mengenai pendidikan. Dewey
berpedoman pada filsafat pragmatisme dan memiliki kecenderungan pada
liberalisme. Freire yang dilahirkan di Brazil di sebuah keluarga yang taat
pada ajaran Katolik lebih terpengaruh ideologi sosialisme dalam perumusan
pemikirannya, meskipun ia tidak menolak ajaran agamanya. Adapun Natsir,
ia dibesarkan dari keluarga Minang yang meskipun kedua orang tuanya
bukan pemuka agama, tetapi masih teguh memegang tradisi surau,
kemudian kecondongannya pada Islam terus berlanjut hingga ia bertemu
banyak guru yang berpengaruh bagi hidupnya. Natsir pun menjadikan Islam
bukan sekedar panduan ibadah ritual yang pelaksanaannya terbatas di rumah
ibadah, melainkan sebadai ideologi yang harus menjadi landasan kehidupan
manusia, sebuah sistem nilai yang menjadi pedoman dalam membangun
sebuah peradaban yang salah satu metodenya adalah pendidikan.
Pemikiran Natsir ini juga berbeda dengan pemikiran-pemikiran
sekuler yang menganggap bahwa tujuan pendidikan adalah untuk sekedar
memeroleh pengetahuan, gelar atau bahkan hanya untuk mendapatkan
syarat bagi sebuah pekerjaan atau hal lainnya yang dapat mendatangkan
keuntungan materi. Nick Gibb, Menteri Sekolah Kerajaan Inggris,
menyebutkan tiga tujuan dari pendidikan, yakni: (1) modal untuk
memperkuat perekonomian; (2) memperkuat kebudayaan; dan (3) modal
bagi siswa untuk persiapan di fase kehidupan dewasa (Government of UK,
332
2015). Sebuah publikasi berjudul “The Purpose of Education” yang dibuat
oleh Public Agenda, sebuah lembaga penelitian nonprofit yang didirikan
oleh seorang ilmuwan sosial dan peneliti opini publik - Dan Yankelovich,
mengidentifikasi tiga tujuan utama pendidikan yang ditetapkan oleh
sekolah-sekolah negeri di Amerika Serikat. Tiga tujuan itu adalah: (1)
mempersiapkan siswa agar berhasil di bursa kerja; (2) memperluas
pengetahuan siswa dan membantunya untuk menyukai pembelajaran; dan
(3) mengedukasi siswa untuk menjadi anggota masyarakat yang
bertanggungjawab.
Tujuan pendidikan yang ditetapkan oleh Kerajaan Inggris dan
Sekolah-sekolah negeri di Amerika Serikat ini menunjukkan bahwa
pembangunan manusia melalui pendidikan bertujuan untuk menghasilkan
materi dan membantu pertumbuhan ekonomi. Keduanya menempatkan
ekonomi sebagai tujuan yang pertama dari pendidikan. Natsir tidak
menafikan berbagai kemampuan intelektual dan keahlian pada bidang
tertentu dapat menghasilkan kebermanfaatan dalam bentuk materi; tetapi
menurutnya itu bukan tujuan dari pendidikan. Tujuan pendidikan menurut
Natsir yang mengedepankan pada aspek spritualitas ini telah tercantum
dalam Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, khsusnya dalam BAB II, pasal 3 yang menyebutkan:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.”
333
Berbagai kekurangan yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia
dan pelaksanaannya perlu dievaluasi – sudahkah pendidikan Indonesia
selama ini mengimplementasikan UU ini yang sesuai dengan pemikiran
Natsir.
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah tentang strategi Natsir
untu mewujudkan tujuan pendidikan ini. Natsir tidak hanya menjadikan
masjid sebagai basis pembangunan modal sosial, tetapi juga titik pusat dari
pendidikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Natsir mengupayakan
pendirian banyak masjid kampus di berbagai universitas di Indonesia serta
Islamic Centre yang menyokong institusi-institusi pendidikan. Keberadaan
masjid di lingkungan kampus menunjukkan keinginan Natsir untuk
mempersatukan agama dengan pendidikan, serta ilmu agama dengan ilmu
pengetahuan umum. Konsekuensi dari konsep tujuan Natsir dan asas
pendidikan yang merujuk pada tauhid dan ketaatan pada Allah هلالج لج memiliki
konsekuensi tidak adanya pendikotomian antara agama dengan pendidikan
serta antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.
Konsep Natsir ini lebih dikenal sebagai konsep “Pendidikan Integral”
yang memadukan masjid, kampus dan pesantren. Natsir sendiri
menyebutnya sebgai “Benteng Pertahanan Umat”. Istilah yang digunakan
Natsir ini menunjukkan pandangannya tentang strategi pembangunan
Sumber Daya Manusia (SDM) – syarat mewujudkan ketahanan masyarakat
dalam berbagai sektor adalah integrasi dari ketiga unsur ini dalam
pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia yang taat kepada
Allah هلالج لج (ber-tauhid dan menerapkan segala ketentuan-Nya dalam berbagai
334
bidang kehidupan). Sebagaimana dijelaskan pada Bab Hasi, konsep
Pendidikan Integral ini tetap bertahan hingga sekarang dengan munculnya
berbagai Sekolah Islam Tepadu.
Selain tidak mendikotomikan agama dan pendidikan serta ilmu agama
dan ilmu pengetahuan umum, Natsir juga tidak sepakat dengan
pendikotomian bangsa Barat dan bangsa Timur, termasuk dalam
pendidikan. Fakta sejarahnya adalah konsep instruksional yang dirancang
Natsir untuk Pendidikan Islam yang memadukan konsep Islam, sekolah-
sekolah Belanda dan German Arbeid Schulen. Kurikulum Pendis mirip
dengan sekolah-sekolah Belanda dengan tambahan pendidikan agama Islam.
Selain itu, Pendis juga mengadopsi model pengajaran yang berkembang di
German Arbeid Schulen yang menekankan pada praktik. Oleh karena itu,
para siswa Pendis diajarkan cara berkebun sekaligus strategi pemasaran
(Kahin, 2012). Para siswa Pendis juga diajarkan musik, kemudian diminta
untuk membuat lagunya sendiri. Natsir ikut andil dalam pengajaran musik
ini sebagai guru violin. Setiap satu tahun sekali, para siswa akan
mengadakan pentas musik, drama dan juga kerajinan tangan (Tim KPG-
Tempo, 2011). Melalui pendidikan kesenian ini, Tonil atau sandiwara milik
siswa Pendis adalah Tonil yang terkenal di Bandung saat itu (Tim KPG-
Tempo, 2011). Hal menarik lainnya adalah kemandirian para siswa dalam
mengurus peribadatan, khususnya shalat Jumat. Para siswa pun diberikan
kepercayaan untuk menjadi khotib setiap shalat Jumat. Konsep yang
dikembangkan oleh Natsir di Pendidikan Islam ini juga diterapkan di PP
Darul Falah yang beroperasi hingga saat ini.
335
Berbagai variasi pelajaran yang diberikan di Pendis tersebut menjadi
contoh nyata bahwa kehidupan sekolah tidak harus dibuat kaku, terpaku
pada buku teks dan bersifat satu arah; kehidupan sekolah justru harus
dirancang seperti Pendis yang didominasi aktivitas-aktivitas yang melatih
kreativitas dan juga bakat para siswa; para siswa tidak hanya diam di dalam
kelas, tetapi diajak berinteraksi dengan lingkungannya; dan yang terpenting,
siswa memeroleh pembelajaran yang seimbang dalam aspek intelektual dan
spiritual; bahkan juga mencakup aspek sosial, ekologi dan intuisi seni.
Sistem seperti ini memang menjadi ciri khas Pendis; Dr. Muhammad Noer
(dalam Husaini, Noer dan Habibie, 2017) dalam sebuah tulisannya berjudul
“Ideologi Pendidikan Islam Mohammad Natsir” menjelaskan bahwa pendis
menekankan pada model pendidikan yang mempertemukan cara barat
dengan nilai-nilai Islam yang menekankan pada pembentukan diri yang
memiliki kesinambungan daya nalar dan hati nuraninya, seimbang
kemampuan cipta dan ketaatan – ketawakkalannya pada Allah SWT.
Pengadopsian model pendidikan Belanda dan German Arbeid Schulen
dalam membangun Pendis merupakan hal yang menarik. Padahal Natsir
hendak menumbuhkan rasa bangga dan memperdalam pemahaman
keislaman pada diri siswa-siswanya. Ini mungkin menjadi kontroversi bagi
sebagian orang karena pada saat itu ada anggapan bahwa orang yang
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda adalah orang yang
berpihak pada pemerintah kolonial. Selain itu, sekolah model Belanda
diyakini menjadi sarana untuk menjauhkan anak-anak umat Islam dari
agamanya (Kahin, 2012; Hakiem, 1995). Belum lagi adanya pendikotomian
336
antara institusi pendidikan modern dan sekolah-sekolah Islam seperti
pesantren. Natsir adalah seorang pemimpin dan ideolog pendidikan yang
tidak sepakat dengan konsep atau pandangan seperti itu. Natsir adalah
penentang penjajahan yang sangat keras, tetapi ia tidak antipati terhadap
barat. Ia bahkan menentang pemikiran yang mendikotomi barat dan timur,
termasuk dalam pendidikan (Fajar dalam Hakiem, 2008 b). Dalam sebuah
pidato yang disampaikannya saat Rapat Persatuan Islam tahun 1934 di
Bogor, Natsir mengakui bahwa pendidikan model Belanda saat itu
memberikan beberapa dampak negatif, tetapi ada juga beberapa sisi
positifnya. Natsir kemudian menyangsikan anggapan umum bahwa Islam itu
pro-timur dan anti-barat. Menurutnya, hal tersebut bisa diketahui dengan
mencermati tujuan pendidikan Islam yang sesungguhnya (Husaini, Noer,
dan Ujang, 2017).
Faktanya, keunikan yang dimiliki Pendis tersebut menjadi modal
untuk bersaing dengan sekolah-sekolah lainnya dan akhirnya secara
bertahap mengalami perkembangan yang menggembirakan. Natsir
menerangkan bahwa setelah berkembang pesat, Pendis memiliki 80 siswa di
tingkat Sekolah Dasar dengan masa studi selama 7 tahun, 90 siswa di
tingkat Sekolah Menengah dengan masa studi selama 3 tahun, dan 30 siswa
untuk Sekolah Pelatihan Guru dengan masa studi selama 2 tahun. Akhir dari
eksistensi Pendis terjadi saat Jepang menginvasi Indonesia dan menutup
semua sekolah swasta (Kahin, 2012).
Perjuangan Natsir dalam mendirikan Pendis ini meberikan pelajaran
tentang kekuatan idealisme diri yang didukung oleh kekuatan jaringan yang
337
tidak hanya menjadi modal sosial tetapi juga mendatangkan dukungan
materi. Hal ini terlihat jelas bagaimana seorang tokoh dan pendiri Persis,
Haji Muhammad Yunus membantu Natsir mewujudkan mimpinya.
Bantuannya ini diberikan kepada Natsir karena hubungan sangat akrab yang
dijalin Natsir dengan dia dan Persis.
Akhirnya, beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait konsep
pendidikan dan instruksional Mohammad Natsir adalah: (1) tujuan
pendidikan adalah mewujudkan manusia yang taat pada ketentuan Allah هلالج لج
untuk mengharapkan ridho-Nya; (2) pembangunan ketahanan masyarakat
atau umat, khususnya dalam segi intelektual dan spiritual, dilakukan dengan
menerapkan konsep pendidikan integral yang memadukan masjid, kampus
dan pesantren; dan (3) tidak ada pendikotomian bangsa Barat dan bangsa
Timur, sehingga model pendidikan Belanda dan German dapat dipadukan
dengan Islam.
5.6 Komunikasi Da’wah dan Jurnalisme Islam Natsir
Berdasarkan penjelasan pada Bab Hasil, Natsir menerapkan beberapa
strategi da‟wah yang disesuaikan dengan masa dan kondisi sosial. Pada saat
aktif di Persis, Natsir bergiat dalam da‟wah dengan beradu argumentasi atau
jidal yang media utamanya adalah tulisan. Strateginya ini tentu mendapat
pengaruh langsung dari A. Hassan yang merupakan salah satu gurunya yang
paling berpengaruh. Pada masa itu, perjuangan bangsa Indonesia juga
sedang mengalami peralihan strategi dari fisik ke intelektual hingga dikenal
sebagai masa Kebangkitan Nasional. Tentu tidak mengherankan jika Natsir
memahami tren yang ada saat itu dalam bidang penerbitan dan jurnalisme,
338
sehingga memanfaatkannya untuk menjadi saluran da‟wah. Apalagi saat itu
bermunculan berbagai penistaan terhadap Islam baik yang disampaikan
dalam bentuk oral maupun tulisan. Gerak da‟wah Natsir saat itu seiring
dengan Persis dan Majalah Pembela Islam yang memang menjadi tempatnya
bernaung dalam perjuangan da‟wah-nya di masa itu.
Menariknya, strategi da‟wah-nya ini berlanjut hingga Natsir berkiprah
di politik, khususnya di Partai Masjumi, dan berlanjut hingga di DDII.
Kemampuan Natsir dalam menulis dan melakukan aktivitas jurnalisme
menjadi bagian dari identitasnya sebagai seorang politisi sekaligus da‟i. Hal
ini terbukti dari berbagai media massa Islam yang ia kelola selama aktif di
Partai Masjumi dan DDII. Ada beberapa hal menarik terkait jurnalisme yang
dapat dipahami dari praktik jurnalisme Natsir, seperti berikut ini.
1) Media massa menjadi corong da‟wah dalam berbagai sektor,
termasuk politik.
2) Praktik jurnalisme Natsir tidak hanya mengajarkan tentang
penyampaian berita atau informasi yang berimbang dan melaui
proses tabayyun sebagaimana banyak dikutip dalam kajian-kajian
jurnalisme Islam; tetapi juga cara penyampaiannya dan tujuannya
yang juga bersumber pada al-Quran. Prinsip jurnalisme Islam
dalam al-Quran ini tidak hanya dipraktikkan, tetapi juga menjadi
nama media massanya, seperti misalnya Majalah Hikmah dan Het
Licht.
3) Natsir adalah seorang penulis yang perfeksionis dalam organisasi
ide dan tata kalimat tulisannya. Dalam segi pembangunan ide,
339
Natsir memiliki kebiasaan untuk melakukan penelitian atau
pengumpulan data secara menyeluruh dan mendalam untuk
menghasilkan tulisan yang berkualitas. Dalam segi tata
kalimatnya, Natsir menggunakan diksi-diksi khas debat yang
argumentatif, singkat, lugas dan tujuannya mematahkan
argumentasi lainnya. Namun, Natsir berprinsip bahwa tulisan
dapat dibuat tegas, tetapi tidak boleh menggunakan perkataan
yang kasar.
4) Natsir, melalui DDII, memiliki perhatian khusus kepada anak-
anak dalam hal konsumsi informasi, sehingga diterbitkannyalah
Majalah Sahabat. Majalah ini tentu menarik karena sedikit media
massa cetak saat ini yang secara khusus memperhatikan anak-anak
sebagai segmentasi pembacanya.
5) Natsir sudah terlibat dalam dunia percetakan sejak berguru dengan
A. Hassan hingga ia mampu membangun percetakan sendiri di
bawah naungan DDII yang dikenal sebagai Percetakan Media
Da‟wah. Namun, berdasarkan keterangan Ramlan Mardjoned,
percetakan ini sudah mengalami penurunan dalam kualitas dan
kuantitas produksi.
Selain menjalankan da‟wah melalui media massa, Natsir juga
memiliki konsep da‟wah bil lisanul hal yang menyentuh berbagai sektor
kehidupan dengan aksi nyata. Misalnya pembangunan Rumah Sakit Islam
beserta perguruan tingginya (STIKES YARSI) untuk mempertahankan
aqidah umat Islam dari upaya Kristenisasi. Natsir juga mengirimkan da‟i ke
340
berbagai pelosok daerah di Indonesia yang hingga kini terus dijalankan oleh
DDII. Selain itu, jalur diplomasi da‟wah juga dilakukan oleh Natsir dengan
merangkul tokoh-tokoh lintas umat beragama, khususnya Kristen, untuk
menjaga kerukunan umat beragama dan menghindari pemurtadlan.
Mohammad Siddik memberikan penegasan bahwa memang yang menjadi
prioritas da‟wah Natsir dengan didirikannya DDII adalah untuk
membentengi aqidah umat Islam dari berbagai ancaman, khsusunya
pemurtadlan.
5.7 Komunikasi Internasional Natsir
Penjelasan pada Bab Hasil memberikan gambaran bagi ciri khas
diplomasi Islam internasional Natsir yang tidak hanya mengandalkan
organisasi-organisasi internasional, tetapi juga memberdayakan jaringan
personal yang dimiliki Natsir, meskipun ia tidak memiliki legitimasi sebagai
bagian dari pemerintah. Artinya, Natsir membangun jaringan secara
internasional yang tetap ditujukan untuk kepentingan umat Islam dan bangsa
Indonesia dengan memanfaatkan hubungan pribadinya dengan tokoh-tokoh
dunia, seperti Ali Harakan, Abu Hasan An-Nadwi, Abul A‟la al Maududi,
Takeo Fukuda, Raja Faisal dan Shawqi Futaki.
Hal lainya yang peru diperhatikan adalah hubungan Natsir dengan
tokoh-tokoh Ikhwanul Muslim yang terjalin melalui organisasi internasional
seperti IICO misalnya. Dalam IICO, Natsir terhubung dengan Yusuf Al
Qardhawi dan Mustafa Mashyur yang keduanya merupakan tokoh
terkemuka Ikhwanul Muslimin. Natsir memang secara khusus memiliki
keterkaita intelektual dengan tokoh-tokoh reformis Islam Mesir seperti
341
misalnya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (Kahin, 1993). Oleh karena
itu, prinsip perjuangan dan pergerakan Islam Natsir memiliki kemiripan
dengan pergerakan di Mesir yang memiliki paham fundamentalisme
terhadap Islam. Secara formal, Masjumi, Ikhwanul Muslimin dan organisasi
Islam internasional lainnya hanya dapat bertemu dalam sebuah forum
internasional yang biasanya diadakan oleh Rabithah Alam Islami dan
Muktamar Alam Islami; namun, secara intelektual, pada hakikatnya ada
sebuah keterhubungan secara internasional atau lebih tepatnya transnasional
dari organisasi-organisasi ini yang memiliki semangat, asas dan tujuan yang
sama, yakni penegakan kedaulatan Islam atau Daulah Islamiyah.
Perbedaanya dengan beberapa pemikir Islam yang lain, Natsir mewujudkan
dalam Daulah Islamiyah ini dalam ranah substantif, sehingga Indonesia
tidak perlu bubar untuk mendirikan satu negara global; tetapi tetap tegak
berdiri dengan syarat diterapkannya hukum Islam.
342
BAB VI
PENUTUP
6.1 Simpulan
1. Natsir membangun modal sosialnya dengan memberdayakan dan
mengintegrasikan pemuda dan organisasi pergerakan Islam, partai politik,
DDII, serta basis kekuatan “Benteng Pertahanan Umat” yang semuanya
terikat dalam jaringan berlandaskan nilai-nilai Islam, khususnya tauhid.
2. Konsep pendidikan Natsir adalah pendidikan yang mengintegrasikan tiga
pilar “Benteng Pertahanan Umat”, ilmu agama dan ilmu pengetahuan
umum, tidak mendikotomikan peradaban Barat dan Timur serta bertujuan
untuk melahirkan manusia yang taat pada ketentuan Allah هلالج لج.
3. Natsir memandang partai politik bahkan negara hanya sebagai alat untuk
menegakkan kedaulatan Islam dan mewujudkan integrasi bangsa.
4. Natsir berupaya untuk menerapkan segala bentuk ketentuan Islam ke
dalam seluruh sektor kehidupan masyarakat dengan memperjuangkannya
melalui jalur konstitusi; namun tidak berkebaratan dengan sistem
pemerintahan demokrasi.
5. Natsir mengembangkan beberapa media massa Islam dalam setiap lini
perjuangannya yang difungskikan sebagai sarana memassifkan berbagai
peristiwan dan informasi yang berkaitan dengan umat Islam, membantah
dan menentang segala bentuk penistaan terhadap Islam, serta
mempromosikan penerapan ajaran Islam dalam berbagai sektor kehidupan.
6. Pada dasarnya, seluruh kegiatan Natsir di berbagai bentuk sarana
perjuangan adalah da’wah. Natsir berkeyakinan bahwa umat Islam
343
“ditampilkan” untuk menjadi penggerak da’wah di sektornya masing-
masing dengan menerapkan metode hikmah, keteladanan dan da’wah bil
lisanul hal yang memerhatikan keseuaian antara ucapan dan perbuatan.
7. Diplomasi internasional yang dibangun Natsir tidak terbatas pada
hubungan yang dipersatukan dalam sebuah organisasi dan berdasarkan
legitimasi struktural pemerintahan, tetapi juga dengan jaringan personal
antar tokoh dunia yang tetap ditujukan untuk persatuan umat Islam dunia
dan kebermanfaatan bangsa Indonesia.
8. Konsep kedaulatan Islam menurut Natsir tidak berarti pembentukan negara
tunggal yang meliputi negara-negara berpenduduk mayoritas Islam; tetapi
kemerdekaan dari segala bentuk penghambaan kepada makhluk,
keswasembadaan dan persatuan umat Islam di berbagai sektor kehidupan.
6.2 Saran
6.2.1 Saran Akademis
Penelitian-penelitian non-western perspective yang bersifat deskriptif
tentang Mohammad Natsir sangat direkomendasikan untuk dilakukan sebagai
tindak lanjut dari penelitian ini yang bersifat eksploratif. Beberapa penelitian
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Kajian Organisasi Kepemudaan dan Pergerakan Islam
a. Kajian deskriptif dan komparatif mengenai JIB, HMI, PII, GPII,
dan KAMMI, baik sejarah maupun komunikasi organisasinya.
b. Analisis jaringan komunikasi pergerakan pemuda Islam yang
dapat menggambarkan interkonektifitas JIB, HMI, PII, GPII dan
KAMMI.
344
c. Performance research sejarah pendirian dan perjuangan
pergerakan kepemudaan Islam dalam bentuk festival dan pameran
yang pelaksanaannya mengkolaborasikan HMI, PII, GPII,
KAMMI, IMM, PMII, Pemuda Persis dan lainnya.
2) Kajian Komunikasi Politik
a. Kajian tokoh Osman Raliby dalam bidang propaganda. Kajian
tokoh ini sangat penting karena, sebagaimana telah dijelaskan,
Osman Raliby pernah mempelajari propaganda secara langsung
kepada Paul Joseph Goebbels yang merupakan Mentrei
Propaganda Nazi.
b. Conversation analysis (analisis percakapan) para tokoh dari
masing-masing fraksi di Konstituante saat memperdebatkan
tentang dasar negara.
c. Performance research tokoh-tokoh Partai Masjumi dalam bentuk
film, animasi, infografis, vektor, museum digital, teatrikal,
pameran foto, dan bentuk-bentuk karya seni lainnya.
d. Performance research peristiwa seputar terbentuknya NKRI
(pengajuan mosi integral Natsir), sidang Konstituante, PDRI,
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Kongres
Umat Islam Indonesia 1945, dan berbagai peristiwa penting terkait
perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
yang melibatkan Mohammad Natsir dalam bentuk film, animasi,
vektor, infografis, museum digital, teatrikal, pameran foto,
pembuatan diorama, dan bentuk-bentuk karya seni lainnya.
345
3) Kajian Komunikasi Pendidikan/Instruksional
a. Kajian komunikasi instruksional terhadap pengajaran Natsir sejak
di Pendidikan Islam yang memadukan model Islam, Belanda dan
Jerman, hingga melakukan kaderisasi dengan mengacu pada tiga
pilar benteng pertahanan umat
b. Analisis jaringan komunikasi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia.
c. Analisis jaringan komunikasi Pesantren di Indonesia.
d. Action research pembuatan aplikasi edukasi integral khas
Mohammad Natsir.
4) Kajian Komunikasi Da’wah
a. Analisis wacana buku Fiqh Da’wah karya Mohammad Natsir.
b. Studi komparatif Fiqh Da’wah karya Mohammad Natsir dengan
Fiqh Da’wah karya Syaikh Mushtafa Masyhur yang merupakan
Mursyidul Amm (Pembina Umum) kelima Ikhwanul Muslimin.
c. Performance research prinsip-prinsip dan metode-metode da’wah
Natsir dalam bentuk da’wah kreatif seperti pembuatan animasi,
aplikasi pada gawai, sticker pada aplikasi Line dan WhatsApp,
poster da’wah, komik da’wah, dan bentuk-bentuk media lainnya.
d. Research by traveling komunikasi da’wah ke pedalaman DDII
dengan ikut serta menjadi da’i dan da’iah DDII.
5) Kajian Jurnalisme, Dokumentasi dan Kearsipan
a. Kajian newsroom, manajemen, dan analisis wacana media-media
massa yang diterbitkan oleh JIB, Persis, Partai Masjumi, dan DDII.
346
b. Kajian mendalam mengenai Muktamar Media Massa Islam se-
Dunia yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Kajian ini
sangat penting karena merupakan memori kolektif terkait
jurnalisme Islam se-dunia yang menjadi simbol persatuan dan
kekuatan umat Islam dunia dalam jurnalisme. Selain itu, masih
sedikit orang yang mengetahui peristiwa ini, terlebih lagi bangsa
Indonesia, padahal kesempatan menjadi tuan rumah pertama adalah
sebuah keistimewaan yang dimiliki Indonesia.
c. Kajian majalah Sahabat yang dapat mengarah pada action research
pembuatan majalah untuk anak yang berisikan pesan-pesan Islami.
d. Action research penyelematan, pelestarian dan digitalisasi
dokumen-dokumen penting yang dimiliki oleh Perpustakaan
Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin Abdul Aziz
alu Saud, Pimpinan Pusat DDII, seperti majalah-majalah dan foto-
foto klasik. Salah satu contoh digitalisasi yang baik adalah
konstituante.net yang merupakan bagian dari produk penelitian
yang dilakukan oleh Kevin W. Fogg dan Syahrul Hidayat. Adapun
tampilan dari situs yang dimaksud seperti berikut ini.
Gambar 41. Tampilan Situs konstituante.net.
Sumber: http://www.konstituante.net/
347
e. Research by traveling situs-situs bersejarah yang pernah disinggahi
dan ditempati Natsir, seperti kampung halaman Natsir, rumah
pengasingan di Batu, rumah dinas, dan lainnya.
6) Kajian Komunikasi Internasional
a. Kajian mendalam mengenai peran Natsir dan strategi diplomasinya
di berbagai organisasi Islam Internasional, seperti Rabithah Alam
Islamy, Muktamar Alam Islamy, IICO, dan lainnya.
b. Studi analisis jaringan komunikasi Natsir dengan tokoh-tokoh
dunia, termasuk tokoh-tokoh Islam Internasional seperti Takeo
Fukuda, Raja Faisal, Abu Hassan An Nadwi, Abul Ala al Maududi
dan lainnya.
c. Kajian spesifik mengenai Islamic Studies di Oxford University.
6.2.2 Saran Praktis
Peringatan peristiwa bersejarah adalah salah satu metode untuk
melestarikan memori kolektif yang memiliki pengaruh penting dalam
kehidupan di masa berikutnya, khususnya dalam konteks berbangsa dan
bernegara. Pemutusan “jejak-jejak” sejarah tidak hanya dapat merusak rasa
syukur dan semangat untuk menjaga apa yang menjadi hasil perjuangan,
tetapi juga dapat menyebabkan pemalsuan sejarah yang dapat berdampak
negatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara – misalnya klaim tidak
mendasar dan berintensi politik atas suatu hal yang sangat erat kaitannya
dengan suatu peristiwa bersejarah untuk mendeskriditkan kelompok lainya.
348
Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada pemerintah untuk menetapkan
tanggal 3 April sebagai hari “Mosi Integral Natsir – Integrasi NKRI”.
Selain itu, berdasarkan pengalaman peneliti selama melakukan
pengambilan data, maka dipelrukan kolaborasi perguruan tinggi, DDII,
pemerintah, perpustakaan nasional dan tokoh-tokoh terkait untuk melakukan
penyelamatan, pelestarian dan digitalisasi berbagai dokumen penting yang
terkait langsung dengan peristiwa-peristiwa sejarah, khususnya yang
mengenai Mohammad Natsir. Pada tingkat perguruan tinggi, dapat dilakukan
kolaborasi transdisipliner antara ilmu komunikasi, ilmu perpustakaan, ilmu
komputer, ilmu budaya, dan ilmu desain komunikasi visual.Kolaborasi seperti
ini tidak hanya berpotensi untuk memperkaya perspektif kajian, tetapi juga
mendorong upaya dokumentasi sejarah yang lebih komprehensif.
Hal lainnya yang menjadi saran peneliti adalah penguatan organisasi
pergerakan pemuda Islam sebagai sarana pengkaderan pemimpin-pemimpin
dan cendekiawan yang memegang teguh prinsip-prinsip Islam. Terlebih lagi,
dengan disahkannya Permenristekdikti nomor 55 tahun 2018 tentang
Pembinaan Ideologi Bangsa, organisasi-organisai kepemudaan seperti HMI,
KAMMI, PMII bahkan GMNI mendapatkan legitimasi untuk masuk ke
wilayah kampus. Selain organisasi pergerakan pemuda Islam, penulis juga
menyarankan kepada partai-partai politik Islam untuk menguatkan
persaudaraan dan berkomitmen untuk menjadikan partai sebagai alat untuk
memperjuangkan pemberlakuan ketentuan-ketentuan Islam dalam konstitusi
sebagaimana yang dilakukan Mohammad Natsir.
349
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. (1999). Jong Islamieten Bond 1925 – 1942 : Sejarah, pemikiran,
dan gerakan (Disertasi). Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga.
Algemene Inlichtingen-en Veiligheidsdienst. (2004). From dawa to jihad: The
various threats from radical Islam to the democratic legal order. The
Hague: Algemene Inlichtingen-en Veiligheidsdienst.
At-Tirmidzi, M. (t.t.). Sunan at-Tirmidzi (Juz 5). Beirut: Dar Ihya al-Tura al-
„Arabi.
Al-Mubarakfuri, S. (2011). Ar-Rahiq al-Makhtum - sirah nabawiyah : Sejarah
hidup nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. Jakarta : Ummul
Quro.
Ambrose, S., Bridges, M., DiPietro, M., Lovett, M., & Norman, M. (2010). How
learning works: Seven research-based principles for smart teaching. San
Francisco: John Wiley & Sons, Inc.
Amin, S. (1989). Eurocentrism: Critique of an ideology. New York: Monthly
Review Press.
Amir, M. (1990, Oktober). Markaz al-Quds‟ al-Islamy di kota Padang. Panji
Masyarakat, (661), 51-52.
An-Nawawi, I. (2013). Matan hadits arba’in an-nawawi. Solo: Insan Kamil.
Antoni. (2004). Riuhnya persimpangan itu: Profil dan pemikiran para penggagas
kajian ilmu komunikasi. Solo: Tiga Serangkai.
Artawijaya. (2014). Belajar dari partai Masjumi. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Asante, M. K. (1998). The Afrocentric idea (edisi revisi). Philadelphia, PA:
Temple University Press.
Ashcroft, B., Griffiths, G., dan Tiffin, H. (2007). Post-colonial studies : The key
concepts (2nd
Edition). New York : Routledge.
350
Assad, A.S. (1995, Juli). RS Ibnu Sina Bukittinggi, 25 tahun mengemban amanah
tokoh besar. Media Dakwah, (254), 37 – 38.
Asshiddiqie, J., Ikhwan, Hadiana, D., dan Mustofa (Editor). (2002). Bang ‘Imad :
pemikiran dan gerakan dakwahnya. Jakarta : Gema Insani Press.
Ayish, M. (2003). Beyond western-oriented communication theories : A
normative Arab-Islamic perspective. Journal of the European Institute for
Communication and Culture, 10 (2), 79-92.
Blaut, J. M. (1993). The colonizer’s model of the world: Vol. 1. Geographical
diffusionism and Eurocentric history. New York: Guildford Press.
Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J.G. Richardson (ed), Handbook of
theory and research for the sociology of education (pp. 241-258), New
York: Greenwood Press.
Bryman, A. (2012). Social research methods. New York : Oxford University
Press Inc.
Chaffee, S.H., & Hochheimer, J.L. (1985). The beginnings of political
communication research in the united states: Origins of the “limited effects”
model. In E.M. Rogers & F. Balle (Eds.), The media revolution in America
and in western Europe (pp. 267-296). Norwood, NJ: Ablex.
Chen, G.-M., & Miike, Y. (2006). The ferment and future of communication
studies in Asia: Chinese and Japanese perspectives. China Media Research ,
2 (1), 1-12.
Coleman, J.S. (1988). Social capital in the creation of human capital. American
Journal of Sociology, 94 (Supplement): S95–S120.
Comite Pembela Islam. (1929 a, Oktober). Asas dan toedjoean comite “Pembela
Islam”. Madjalah Pembela Islam, (1), 1-2.
Comite Pembela Islam. (1929 b, Oktober). Sebab2 terbitnja “Pembela Islam.
Madjalah Pembela Islam, (1), 3-4.
351
Conley, N.A. (2015). A survey of instructional communication: A content analysis
of communication education from 2000 to 2015 (Tesis). Sacramento:
California State University.
Dahlan, M.A. (1989). Perkembangan komunikasi politik sebagai bidang kajian.
Jurnal Ilmu Politik, 6.
Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia. (2016). Profil dewan da’wah, diakses pada 9
Februari 2018 melalui http://dewandakwah.or.id/profil-dewan-dawah/
Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia. (2018). Kunjungi Dewan Dakwah, kapolri
minta maaf dan klarifikasi soal video, diakses pada 5 April 2018 melalui
https://dewandakwah.or.id/kunjungi-dewan-dakwah-kapolri-minta-maaf-
dan-klarifikasi-soal-video/
Dewey, J. (2004). Democracy and education. New York: Macmillan.
Dissanayake. W. (1988). Communication theory : The Asian perspective.
Singapore: Asian Media. Information and Communication Center.
Dissanayake, W. (2003). Asian approaches to human communication : Retrospect
and prospect. Intercultural Communication Studies, 12 (4), 17 – 37.
Dissanayake, W. (2009). The production of Asian theories of communication:
contexts and challenges. Asian Journal of Communication, 19 (4), 453-468.
Dzulfikriddin, M. (2010). Mohammad Natsir dalam sejarah politik Indonesia :
Peran dan jasa Mohammad Natsir dalam dua orde Indonesia. Bandung :
PT Mizan Pustaka.
Eriadi, M.H. (2007). Pengaruh pemikiran politik Masyumi di partai keadilan /
partai keadilan sejahtera (Tesis). Jakarta : Universitas Indonesia.
Fals-Borda, O., & Mora-Osejo, L. E. (2003). Context and diffusion of knowledge:
A critique of Eurocentrism. Action Research, 1 (1), 29-37
Farris, K.L., Houser, M.L., dan Hosek, A.M. (2018). Historical root and
trajectories of instructional communication. In L.H. Marian dan A.M.
352
Hosek (eds.), Handbook of instructional communication (2nd
ed.) (pp. 7-8),
New York: Routledge.
Feith, H. (1971). The Indonesian elections of 1955. New York : Souteast Asia
Program Cornell University Ithaca.
Freire, P. (2018). Pedagogy of the oppressed (50th
Anniversary edition). New
York: Bloomsbury Publishing.
Futaki, S. (1980, Maret). Umat Islam Jepang perlu belajar kepada Indonesia.
Serial Media Dakwah, (69), 22 – 26.
Gadamer, H. (1977). Phylosophical hermeneutic, (terj.) David. E Linge.
California: The University of California.
Gadamer, H. (2006). Classical and philosophical hermeneutics. Theory, Culture
and Society, 23 (1) 29-56.
Galander, M.M. (2002). Communication in the early Islamic era: A social and
historical analysis. Intellectual Discourse, 10 (1), 61 – 75.
Given, L.M. (editor). (2008). The SAGE encyclopedia of qualitative research
methods. California : SAGE Publications.
Government of UK. (2015). The purpose of education, diakses pada 2 Desember
2018 melalui https://www.gov.uk/government/speeches/the-purpose-of-
education
Graber, D.A., dan Smith, J.M. (2005). Political communication faces the 21st
century. Journal of Communication, 55 (3), 479 – 507.
Hadi, Y.S. (2000). Masjid kampus untuk umat dan bangsa : Masjid Arief Rahman
Hakim UI. Jakarta : Lembaga Kajian Budaya Nusantara.
Hakiem, L. (1995, Desember ). ICMI : Harapan umat atau alat politik penguasa?
Media Dakwah, (258) 42-48.
353
Hakiem, L. (Editor). (2008 a). M. Natsir di panggung sejarah republik. Jakarta :
Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir.
Hakiem, L. (Editor). (2008 b). 100 tahun Mohammad Natsir : Berdamai dengan
sejarah. Jakarta : Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir.
Hakiem, L. (2017 a). Merawat Indonesia; Belajar dari tokoh dan peristiwa.
Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Hakiem, L. (Editor). (2017 b). Pendiri dan pemimpin Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia. Jakarta : Penerbit Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia.
Hakiem, L. (2018). Pak kapolri, pelajarilah sejarah dengan benar, diakses pada 5
April 2018 melalui https://telusur.co.id/2018/01/29/pak-kapolri-pelajarilah-
sejarah-dengan-benar/?telusur.co.id
Hamka. (1988). Tafsir Al-Azhar (Juz 21). Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hanifan, L.J. (1916). The rural school community centre. Annuals of the
American Academy of Political and Social Science, 67, 130 – 138.
Hanson, E. (2017, November 30). A History of International Communication
Studies. Oxford Research Encyclopedia of International Studies. Ed.
Retrieved 10 Nov. 2018, from
http://internationalstudies.oxfordre.com/view/10.1093/acrefore/9780190846
626.001.0001/acrefore-9780190846626-e-63.
Harjono, A., dan Hakiem, L. (1995, Maret). Mohammad Natsir: Pemikiran dan
Sumbangannya untuk Indonesia. Media Dakwah, (249) 33 – 36.
Hassan, M.Z. (1980). Diplomasi revolusi Indonesia di luar negeri. Jakarta: Bulan
Bintang.
Haykal, M.A. (1993). The life of Muhammad. (Terjemahan). Ismail Raji al-Faruqi.
Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Hidayat, S., dan Fogg, K.W. (2018). Mainpage, diakses pada 8 Agustus 2018
melalui http://www.konstituante.net/en
354
Husaini, A., Noer, M., dan Habibi, U. (2017). Pemikiran dan perjuangan
Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan. Jakarta : Penerbit Dewan
Da‟wah Islamiyah Indonesia.
Husni, D. (1998). Jong Islamieten Bond : A study of a muslim youth movement in
Indonesia during the dutch colonial era, 1924 – 1942 (Tesis). Montreal :
McGill University.
ICR (Institute of Communication Research). (t.t.). History, diakses pada 28
Oktober 2018 melalui https://media.illinois.edu/node/58/history
Jama‟ah Shalahuddin. (tt.). Profil Jama’ah Shalahuddin, diakses pada 20 Juni
2018 melalui http://www.js.ugm.ac.id
Janssen, G.H. (1979). Militant Islam. London: Pan Books.
Kahin, A. R. (2012). Islam, nationalism and democracy : A political biography of
Mohammad Natsir. Singapura : National University of Singapore Press.
Kahin, G.M. (1993). In Memoriam: Mohammad Natsir (1908-
1993). Indonesia, (56), 159-165. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/3351203
Kaid, L.L. (2004). Handbook of political communication research. Mahwah, New
Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Kamaludin, L.M. (2008). Mohammad Natsir – Sang Negarawan Konstitusionalis
(bagian 1 dan 2). [Video recording]. Jakarta : Dewan Da‟wah Islamiyah
Indonesia.
Karim, A.G. (2006). Jamaah Shalahuddin : Islamic student organisation in
Indonesia. FJHP, 23, 48.
Kemenag RI. (2011). Al- qur’an dan terjemahnya. Jakarta: Adhi Aksara Abadi
Indonesia.
355
Kemendikbud RI. (2016). Analisis kearifan lokal ditinjau dari keragaman
budaya. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan
Kemendikbud RI.
Kim, M.S. (2002). Non-Western perspectives on human communication:
Implications for theory and practice. Thousand Oaks, California: SAGE
Publications, Inc.
Kincaid, D.L. (Ed.). (1987). Communication theory : Eastern and western
perspective. San Diego, California : Academic Press, Inc.
Kincheloe, J.L. (2005). Critical contructivism primer. New York : Peter Lang
Publishing, Inc.
Kirkwood, W. G. (1990). Shiva‟s dance at sundown: Implications of Indian
aesthetics for poetics and rhetoric. Text and Performance Quarterly, 10 (2),
93-110.
Komisi Pemilihan Umum RI. (2008). Pemilu 1995, diakses pada 11 Agustus 2018
melalui http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2018/8/PEMILU-
1955/MzQz
Latif, Y. (2013). Genealogi intelegensia : Pengetahuan & kekuasaan intelegensia
Muslim Indonesia abad XX. Jakarta : Kencana Prenada Media
Littlejohn, S.W. dan Foss, K.A. (2008). Theories of human communication (9th
edition). Belmot: Thomson Wadsworth.
Littlejohn, S.W. dan Foss, K.A. (2009). Encyclopedia of communication theory.
California: SAGE Publications, Inc.
Liu, X., dan Wei, R. (2017). Trends and patterns in communication research on
Asia: A review of publications in top SSCI journals, 1995-2014.
MedieKultur: Journal of Media and Communication Research, 62, 6 – 17.
356
Locke, E. A., & Latham, G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal
setting and task motivation: A 35-year odyssey. American Psychologist, 57,
705–717.
Luth, T. (1999). M. Natsir : Dakwah dan pemikirannya. Jakarta : Gema Insani
Press.
Maarif, A.S. (1985). Islam dan masalah kenegaraan:Studi tentang percaturan
dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Mahendra, Y.I. (1994, Januari-Maret). Modernisme Islam dan demokrasi:
Pandangan politik Muhammad Natsir. Islamika, (3), 68 - 70.
McCroskey, J. C., & McCroskey, L. L. (2006). Instructional communication: The
historical perspective. In T. P. Mottet, V. P. Richmond, & J. C. McCroskey
(eds.), Handbook of instructional communication: Rhetorical and relational
perspectives (pp. 33–47). Boston, MA: Allyn and Bacon.
McCroskey, L.L., Teven, J.T., Minielli, M.C., dan Richmond V.P. (2014). James
C. McCroskey‟s instructional communication legacy: Collaborations,
mentorships, teachers, and students. Communication Education, 63 (4) 283
– 307.
McCroskey,J.C., Valenic, K.M., dan Richmond V.P. (2004). Toward a general
model of instructional communication. Communication Quarterly, 52
(3),197 – 210.
McNair, B. (2011). An introduction to political communication. New York:
Routledge.
Miike, Y. (2003). Toward an alternative metatheory of human communication :
An asiacentric vision. Intercultural Communication Studies, 12 (4), 39 – 63.
Miike, Y. (2004). Rethinking humanity, culture, and communication: Asiacentric
critiques and contributions. Human Communication: A journal of the
Pacific and Asian Communication Association, 7(1), 67-82.
357
Miike, Y. (2006). Non-wetern theory in western research? An asiasentric agenda
for asian communication studies. The Review of Comunication, 6 (1-2), 4 –
31.
Miike, Y. (2014). “Harmony without uniformity” : An Asiasentric worldview and
its communicative implications.
Miles, M.B., Huberman, A.M., dan Saldana, J. (2014). Qualitative data analysis :
A methods sourcebook (3rd edition). California : SAGE Publications, Inc.
Moleong, L.J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Motamar al-Alam al-Islami. (tt.). History, diakses pada 23 Juni 2018 melalui
http://www.motamaralalamalislami.org/history.html
Moustakas, Clark E. (1994). Phenomenological research methods. Thousand
Oaks: Sage Publication.
Mowlana, H. (1973). Trends in research on international communication in the
United States. Gazette: International Journal for Mass Communication
Studies, 19 (2), 79 – 90.
Mowlana, H. (1996). Global communication in transition: the end of diversity?.
Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.
Mowlana, H. (2007). Theoretical perspectives on Islam and communication.
China Media Research, 3(4), 23 – 33.
Muchtar, N., Hamada, B.I., Hanitzsch, T., Galal, A., Masduki dan Ullah, M.S.
(2017). Journalism and the Islamic Worldview. Journalism Studies, DOI:
10.1080/1461670X.2017.1279029
Muftisany, H. (2014). Mengenal rabithah alam islami, dikases pada 23 Juni 2018
melalui https://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-
jumat/14/09/19/nc4tw828-mengenal-rabithah-alam-islami
358
Muhtadi, B. (2013). Dilema PKS : Suara dan syariah. Jakarta : Kepustakaan
Populer Gramedia.
Myers, S.A. (2010). Instructional communication: The emergence of a field. In
Fasset, D.L., dan Warren, J.T. (eds.), The SAGE handbook of
communication and instruction (pp. 1-11). Thousand Oaks, California:
SAGE Publications, Inc.
Natsir, M. (1961). Capita selecta (Jilid I). Bandung : Penerbitan Sumup.
Natsir, M. (1968). Persatuan agama dengan negara: M. Natsir versus Soekarno.
Padang: Jajasan Pendidikan Islam.
Natsir, M. (1975). Capita selecta (Jilid II). Jakarta : Pustaka Pendis.
Natsir, M. (1977). Kenang-kenangan 70 tahun Buya HAMKA. Jakarta: Yayasan
Nurul Islam.
Natsir, M. (1979, Agustus). Pancasila jangan dilepaskan dari nilai-nilai agama.
Serial Media Dakwah, (62), 12 – 17.
Natsir, M. (1980 a, Februari). Penghargaan internasional untuk M. Natsir. Serial
Media Dakwah, (68), 3 – 6.
Natsir, M. (1980 b, Mei). Politik Internasional dan Masa Depan Dunia Islam.
Serial Media Dakwah, (71), 3-5.
Natsir, M. (2014). Islam sebagai dasar negara. Bandung : Sega Arsy.
Natsir, M. (2015). Islam dan akal merdeka. Bandung : Sega Arsy.
Natsir, M. (2017). Fiqhud da’wah. Jakarta: Penerbit Dewan Da‟wah Islamiyah
Indonesia.
NCA (National Communication Association). (t.t.). A brief history of NCA,
diakses pada 28 Oktober 2018 melalui https://www.natcom.org/about-
nca/what-nca/nca-history/brief-history-nca
359
Neuman, W.L. (2014). Social research methods : Qualitative and Quantitative
Approaches. Essex : Pearson Education Limited.
Olasinde, E.A. dan Ojebuyi, B.R. (2017). Trends in methodological and
theoretical orientations in contemporary political communication research.
UNIUYO Journal of Communication, UJCS, 1 (1), 20 – 32.
Omar, T.J. (1967). Ilmu da’wah. Jakarta: Penerbit Widjaya.
Partai Bulan Bintang. (tt.). Susunan pengurus, diakses pada 20 Juni 2018 melalui
http://www.pbb.or.id/susunan-pengurus
Pengurus Besar HMI. (tt.). Tentang HMI, diakses pada 29 Juli 2018 melalui
https://pbhmi.id/tentang/
Pengurus Besar PII. (tt.). Selayang pandang PII, diakses pada 29 Juli 2018
melalui https://pbpii.or.id/sample-page/
Pengurus Pusat GPII. (tt.). Tentang GPII, diakses pada 29 Juli 2018 melalui
http://www.gpii.or.id/p/tentang-gpii.html
Pimpinan Pusat Persis. (2016). Para ketua umum persatuan Islam dari masa ke
masa, diakses pada 2 Maret 2018 melalui http://persis.or.id/para-ketua-
umum-persatuan-islam-dari-masa-ke-masa/
Pozzolini, A. (2006). Pijar-pijar pemikiran Gramsci. Yogyakarta : Resist Book.
PP At-Taqwa Putra. (tt.). K.H. Noer Ali, diakses pada 9 Juni 2018 melalui
https://www.attaqwaputra.sch.id/index.php/tentang-attaqwa/kh-noer-alie\
Public Agenda. (tt.). The purpose of education: A public agenda citizen
choicework guide. New York: Public Agenda.
Putnam, R.D. (1993). Making democracy work: Civic traditions in modern Italy.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Racius, E. (2004). The multiple nature of the Islamic da’wa (Disertasi). Helsinki:
University of Helsinki.
360
Rahardjo, M. D. (1993). Intelektual, intelegensia, dan perilaku politik bangsa.
Bandung: Penerbit Mizan.
Rahmat, M.I. (2008). Ideologi politik PKS: Dari masjid kampus ke gedung
parlemen. Yogyakarta : PT LKiS Pelangi Aksara.
Ratya, M.P. (2017). Kisah kunjungan raja Faisal ke Indonesia 47 tahun silam,
diakses pada 23 Juni 2018 melalui https://news.detik.com/berita/d-
3432155/kisah-kunjungan-raja-faisal-ke-indonesia-47-tahun-silam
Redaksi Majalah Media Dakwah. (1995, Mei). IICO Menjawab tantangan dunia.
Media Dakwah, (251).
Redaksi Majalah Media Dakwah. (1995, Desember). Reuni sesudah 35 tahun
membubarkan diri. Media Dakwah, (258), 52 - 55.
Redaksi Majalah Serial Media Dakwah. (1979, Oktober). Serial media dakwah.
Serial Media Dakwah, (64) ii.
Redaksi Majalah Serial Media Dakwah. (1980, September). Muktamar media
massa Islam sedunia. Serial Media Dakwah, (75), 29 – 31.
Roem, M. (1980, Mei). Sidang muktamar alam islami VIII di Kibris. Serial Media
Dakwah, (71) 1 – 2.
Roem, M. (1983). Bunga rampai dari sejarah (Jilid III). Jakarta : Penerbit Bulan
Bintang.
Rokhman, L.N. (2015). Corak kajian komunikasi Salemba School (Studi
eksploratif pada kajian ilmu komunikasi di Departemen Ilmu Komunikais
FISIP Universitas Indonesia) (Skripsi). Malang: Universitas Brawijaya.
Rosidi, A. (1990). M. Natsir, sebuah biografi. Jakarta : Girimukti Pasaka.
Rubin, R.B. (2011). Educational communication. In D. Wolfgang (ed.), The
international encyclopedia of communicatison (1st Edition) (pp. 1-11). New
Jersey: John Wiley & Sons, Ltd.
361
Rubin, R. B., & Feezel, J. D. (1986). A needs assessment of research in
communication education. Central States Speech Journal, 37, 113–118.
Ryfe, D.M. (2001). History and Political Communication: An Introduction.
Political Communication, 18, 407 – 420.
Saefuddin, A.M. (1996). Ijtihad politik cendekiawan muslim. Jakarta : Gema
Insani Press.
Said, E. (1978). Orientalism. New York : Pantheon Books.
Saidi, R. (1984). Pemuda islam dalam dinamika politik bangsa. Jakarta: CV
Rajawali.
Saleh, M. (1995). Pemikiran Muhammad Natsir dan Hasan Al-Banna tentang
negara (Suatu studi analisis komparatif) (Tesis). Banda Aceh: Institut
Agama Islam Negeri Ar-Raniry.
Sekretariat Umum Partai Masjumi. (1949). Anggaran dasar dan rumah tangga
Masjumi. Jakarta : Sekretariat Umum Partai Masjumi.
Siddiq, M. (2003). Peran politik KAMMI dalam perjuangan demokratisasi di
Indonesia (Tesis). Jakarta : Universitas Nasional.
Simonson, P., Peck, J., Craig, R.T., dan Jackson Jr., J.P. (Editor). (2013). The
handbook of communication history. New York : Routledge.
Steele, J. (2011). Justice and journalism: Islam and journalistic values in
Indonesia and Malaysia. Journalism, 12 (5), 533 – 549.
Steele, J. (2014). Journalism and Islam in Indonesia and Malaysia: Five
approaches. Studia Islamika, 21 (3), 459 – 487.
STID Mohammad Natsir. (2010). Koleksi perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu
Da’wah Mohammad Natsir, diaskes pada 14 November 2018 melalui
https://www.scribd.com/document/28066344/koleksi-skripsi
362
STIKES YARSI, (tt.). Sejarah berdirinya STIKES YARSI Bukittinggi, diakses
pada 10 Juni 2018 melalui
http://www.stikesyarsi.ac.id/index.php/profil/sejarah
Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d. Bandung:
Alfabeta.
Suhelmi, A. (1999). Soekarno versus Natsir : Kemenangan barisan Megawati
reinkarnasi nasionalis sekuler. Jakarta : Darul Falah.
Suryanegara, A.M. (2016). Api sejarah 2 : Mahakarya perjuangan ulama dan
santri dalam menegakkan negara kesatuan republik Indonesia. Bandung:
Surya Dinasti.
Taharani, M. (2018, Juni 25). Melawan Lupa : Keteladanan Mohammad Natsir.
[Television broadcast]. Jakarta, Indonesia : Metro TV.
Tim KPG-Tempo. (2011). Natsir, politik santun di antara dua rezim. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia-Tempo.
Tzanakis, M. (2013). Social capital in Bourdieu‟s, Coleman‟s and Putnam‟s
theory: Empirical evidence and emergent measurement issues. Educate, 13
(2), 2 – 23.
UIN Sunan Kalijaga. (t.t.). Profil fakultas dakwah, diakses pada 14 November
2018 melalui http://uin-suka.ac.id/id/page/universitas/80-fdk
UMM. (t.t.). Mata kuliah. Diakses melalui
http://komunikasi.umm.ac.id/id/pages/mata-kuliah.html
UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003
(Kemenristekdikti) s. 3.5 (Indonesia), diakses melalui
http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-
content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf
363
Uslaner, E. M. (2005). Political parties and social capital, political parties or
social capital.. In Richard S. Katz und William Crotty (Hg.), Handbook of
political parties. London: Sage Publications.
Wagner, W. (2003). A comparison of Christian missions and Islamic da'wah.
Missiology: An International Review, 31 (3), 339 – 347.
Wedhaswary, I.D. (2011). Perlu dikembangkan ilmu komunikasi khas Indonesia,
diakses pada 13 November 2018 melalui
https://edukasi.kompas.com/read/2011/11/09/15512862/Perlu.Dikembangka
n.Ilmu.Komunikasi.Khas.Indonesia
Weinsheimer, J.C. (1985). Gadamer’s hermeneutics: A reading of truth and
method. New Haven : Yale University Press.
Wirdani, M. (2018). HAMKA, jurnalisme Islam sepanjang hidup (Studi pemikiran
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Prof. Dr. Buya HAMKA sebagai
tokoh jurnalisme Islam di Indonesia) (Skripsi). Malang: Universitas
Brawijaya.
World Bank. (t.t.). Social capital, diakses pada 12 November 2018 melalui
http://www.worldbank.org/en/webarchives/archive?url=httpzzxxweb.worldb
ank.org/archive/website01360/WEB/0__MEN-2.HTM&mdk=23354653
Yusran, R. (Editor). (2001). Debat dasar negara Islam dan Pancasila. Jakarta :
Pustaka Panjimas.
Zen. (1995, September). Dimanakah penghargaan kepada pemimpin bangsa.
Media Dakwah, (255), 17 – 19.
Zubaidi, N. (1980, Maret). Dari kunjungan Ali Harakan. Serial Media Dakwah,
(69), 43 – 45.