untitled - brawijaya knowledge garden

364

Upload: khangminh22

Post on 26-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kegelisahan akan masa depan ilmu komunikasi yang disebabkan

oleh bias peradaban Barat dalam formulasi ilmu ini yang berpotensi

menghilangkan akar sejarah intelektual atau genelogi intelegensia peradaban

pribumi serta memunculkan teori-teori yang tidak konstektual menjadi

pendorong sekaligus pembuka bagi penelitian ini.

Ilmu komunikasi yang memiliki akar keilmuan di Eropa dan

Amerika dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan yang terformulasikan

berdasarkan pengalaman-pengalaman dan konteks interaksi peradaban barat

(Chen dan Miike; Chen dan Strarosta; Dissanayake; Gordon; Ishii; Jia;

Klopf; Martin dan Nakayama dalam Miike, 2006). Lebih dari itu, secara

umum, Amin (1989), Asante (1998), Blaut (1993), Fals-Borda dan Mora-

Osejo (2003) serta Miike (2006) menegaskan bahwa Eropasentrisme masih

dianggap atau bahkan secara sengaja dibentuk (framed) menjadi ideologi

universal yang mendominasi setiap bidang kajian dan setiap sektor

kehidupan. Di sisi yang lain, Ayish (2003) berpendapat bahwa perspektif

Amerika lah yang mendominasi.

Sebuah survei tingkat internasional mengenai buku pembelajaran

jurnalisme dan komunikasi yang digunakan di perguruan tinggi di negara-

negara berkembang menunjukkan bahwa mayoritas bahan ajar tersebut

berasal dari Amerika Serikat (Nordenstreng dan Traber dalam Ayish, 2003).

2

Dissanayake (1988) mengungkapkan bahwa 71% bahan ajar mengenai teori

komunikasi di ASEAN dan 78% yang digunakan di Asia Selatan berasal

dari Amerika Utara.

Miike (2006) dalam jurnalnya yang berjudul Non-Western Theory

in Western Research? An Asiacentric Agenda for Asian Communication

Studies menceritakan pengalaman pribadinya mengenai dominasi barat

terhadap ilmu komunikasi. Beberapa tahun sebelum 2006, Miike

mengadakan sebuah pertemuan ilmiah bertajuk Asian Contributions to

Communication Theory dengan mengundang Dr. Kincaid dan Dr.

Dissanayake. Panel yang bertujuan untuk mengevaluasi upaya yang telah

dilakukan dalam membangun teori komunikasi perspektif Asia ini diajukan

ke Rhetorical and Communication Theory (RCT) Division of the National

Communication Association (NCA). Namun, forum yang berpotensi besar

untuk menghasilkan kontribusi bagi ilmu komunikasi dunia ini justru

mendapatkan tanggapan negatif dari perencana program NCA-RCT

Division. Ia justru menuduh bahwa forum tersebut berpotensi menghasilkan

gagasan esensialis yang menekankan pada pendikotomian antara perspektif

Asia dan Barat (Miike, 2006). Bahkan, ia berprasangka bahwa para panelis

yang terlibat dalam forum tersebut hendak menanamkan sikap stereotip

dalam ilmu komunikasi melalui pendalaman komunikasi perspektif Asia.

Pengalaman lainnya juga pernah dialami oleh Dr. Antoni, Kepala

Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UB, saat hendak mendiskusikan non-

western perspective dengan seorang visiting professor dalam sebuah forum

yang merupakan bagian dari rangkaian program Three in One Jurusan Ilmu

3

Komunikasi FISIP UB tahun 2018.1 Visiting professor yang berasal dari

sebuah universitas ternama di Asia Tenggara tersebut memberikan respon

negatif saat Antoni memantik pembicaraan mengenai non-western

perspective dalam ilmu komunikasi. Ia tidak menghendaki pembicaraan

mengenai hal itu, serta berpendirian bahwa para ilmuwan komunikasi cukup

mengikuti arus utama atau teori-teori kontemporer yang telah dilakukan atau

dibangun selama ini oleh ilmuwan-ilmuwan Barat, sehingga kajan-kajian

yang bertujuan untuk membangun teori komunikasi non-western perspective

tidak perlu dilakukan. Hal serupa juga dialami oleh Antoni saat menjadi

pemakalah dalam konferensi ilmiah bertajuk Interdisciplinarity and

Transdisciplanirity – Science for Societies and Human Beings yang

diselenggarakan oleh University of Opole Polandia pada 17-18 April 2018.

Setelah menyajikan makalahnya “Local Identities Versus Globalization of

Science and Academic” yang juga membahas non-western perspective,

Antoni mendapatkan tanggapan negatif dari seorang peserta lainnya yang

menjadi delegasi Israel. Orang tersebut menyebut apa yang telah dilakukan

Antoni sebagai sebuah propaganda. Dalam kesempatan yang lain, Antoni

juga sempat membicarakan non-western perspective dengan peserta lainnya.

Orang tersebut kemudian mengatakan bahwa tidak ada yang dapat

dilakukan dengan kajian-kajian non-western perspective, dan ia pun

menegaskan bahwa tradisi keilmuan Baratlah yang pantas dirujuk.

Asante (dalam Miike, 2006) berpendirian bahwa memandang

Eropasentrisitas sebagai salah satu worldview adalah sebuah kewajaran;

1 Antoni, wawancara pada Senin, 3 Desember 2018.

4

namun, akan menjadi abnormal jika dengan Eropasentrisitas ini,

kebudayaan Eropa dipaksakan sebagai suatu yang bersifat universal,

sedangkan budaya atau peradaban lain diabaikan atau bahkan direndahkan.

Eropasentrisitas yang seperti inilah yang kemudian menjadi Eropasentrisme.

Dissanayake (2003) mengakui bahwa ilmuwan barat telah

memberikan landasan yang sangat berguna bagi ilmu komunikasi. Namun,

menurutnya, produksi sebuah ilmu pengetahuan bukanlah sebuah upaya

yang sepenuhnya murni; proses pembentukan dan pengembangannya secara

konstan dipengaruhi oleh kekuasaan dan ideologi. Oleh karena itu,

peninjauan kembali terhadap teori-teori komunikasi arus utama khas Eropa

dan eksplorasi jalur alternatif yang diambil dari perspektif Asia sangat

diperkenankan (Dissanayake, 2009). Apalagi teori dan metodologi barat,

khususnya Eropa, tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks Asia dan

merefleksikan pemikiran, nilai dan berbagai hal lainnya yang terdapat di

masyarakat Asia (Chen dan Miike, 2006). Berbeda dengan biasa yang di

temukan di masyarakat barat, komunikasi di masyarakat Asia

mengedepankan lima aspek penting : (1) circularity – komunikasi menjadi

pengingat masyarakat mengenai saling keterkaitan; (2) harmony –

komunikasi sebagai pengendali hasrat individualisme; (3) other-

directedness – komunikasi sebagai media untuk merasakan afeksi; (4)

reciprocity – komunikasi sebagai kegiatan timbal-balik; dan (5) relationality

– komunikasi sebagai pembentuk moral dan pencipta harmoni (Miike,

2003). Contoh lainnya adalah mengenai konsep proximity dalam perspektif

Islam. Jika dalam perspektif Barat, proximity cenderung diartikan sebagai

5

kedekatan secara fisik, maka dalam perpektif Islam, proximity tidak sekedar

menunjukkan kedekatan fisik, bahkan melampaui batas-batas geografis

seperti wilayah negara atau batas-batas kebangsaan, yakni kedekatan yang

berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang membentuk ummah (masyarakat)

(Mowlana, 2007).

Oleh karena itu, Miike (2006) dengan sangat yakin menegaskan

bahwa melakukan kritik terhadap perspektif Barat dan mempromosikan

non-western perspective dalam komunikasi sangatlah penting. Upaya seperti

ini sangat berguna tidak hanya untuk memperluas cakupan dan memperkaya

ilmu komunikasi, tetapi juga untuk mendorong munculnya penelitian-

penelitian komunikasi yang lebih konstektual (Dissanayake, 2009).

Non-western perspective secara sederhana dapat diartikan sebagai

ilmu pengetahuan atau lebih spesifik lagi – ilmu komunikasi yang

berdasarkan sudut pandang masyarakat non Eropa dan non Amerika.

Namun, semangat non-western perspective bukanlah menciptakan tandingan

bagi ilmu pengetahuan khas barat atau bahkan hendak mengunggulinya.

Dissanayake (2003) menegaskan bahwa non-western perspective tidak

berupaya mempraktikkan paham jingoisme – paham yang mengagungkan

negeri sendiri secara berlebihan atau kecintaan yang ekstrem pada tanah air

sehingga merendahkan negeri atau bangsa lainnya. Apalagi, Dissanayake

(2009) menyebutkan bahwa salah satu cara terbaik untuk membangun

komunikasi Asia adalah dengan mempromosikan dialog antar teori Asia dan

kemudian melakukan perbandingan dengan teori-teori Barat. Selain itu, ia

juga menyebutkan dua tipe teori komunikasi Asia, yakni tipe A yang

6

merujuk pada konsep, pemikiran dan pemahaman tradisional khas Asia

mengenai komunikasi manusia. Tipe A ini berfokus pada tradisi dan naskah

klasik Asia. Adapun teori tipe B yakni teori Asia modern yang bersentuhan

dengan konsep-konsep dan pemikiran Barat secara kritis. Para ilmuwan

teori tipe B ini pada umumnya adalah ilmuwan non-western perspective

yang berupaya untuk mengkritisi teori-teori Barat; bukan antipati atau

menafikan teori-teori Barat. Dissanayake (2009) sendiri memperingatkan

agar para ilmuwan non-western jangan sampai terjebak pada pemecahan

Timur dan Barat (bifurcation), romantisme berlebihan yang mengarah pada

pengaguman berlebih terhadap komunitas sendiri (self-exoctization),

memosisikan konsep-konsep Asia sebagai sesuatu yang statis dan tidak

terpengaruh zaman dan lingkungan (essentialism), ahistorisme, bias gender,

dan elitisme.

Semangat non-western perspective adalah membangun ilmu

pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi, berdasarkan akar intelektual

pribumi, konteks spesifik yang merujuk pada masyarakatnya dengan

segenap karakter budaya khasnya, serta cara berpikir masyarakat lokal

(Dissanayake, 2003). Bahkan menurut Mowlana (2007), yang hendak digali

non-western perspective bukan hanya kearifan lokal yang berkaitan pada

budaya, tetapi juga nilai religius universal yang melampaui batas-batas

geografis, ras dan etnis yang mampu mengikat beragam masyarakat dengan

kebudayaan berbeda – misalnya seperti Islam yang bukan sekedar ajaran

mengenai ritual keagamaan, melainkan kesatuan sistem yang mengatur

seluruh segmen kehidupan manusia (total way of life). Dengan demikian,

7

non-western perspective berupaya untuk memunculkan beragam kearifan

lokal, termasuk budaya, nilai-nilai yang ajeg di masyarakat yang

sebagiannya diyakini bukan sekedar produk intelektual manusia, tetapi

berasal dari Tuhan, sehingga bersifat religius dan universal.

Tujuan dari non-western perspective ini sebagaimana telah tersirat

dalam penjelasan sebelumnya, yakni mentransformasikan ilmu komunikasi

menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lebih komprehensif dan

menempatkan kebudayaan sebagai salah satu aspek penting pembangunnya

(Dissanayake, 1988; Kim, 2002; Kincaid, 1987). Melalui pengayaan kajian

non-western perspective, diskursus metateori komunikasi dapat diperluas,

sehingga revitalisasi ilmu komunikasi dapat diwujudkan (Dissanayake

dalam Miike, 2006).

Menurut Miike (2006), publikasi yang dikenal luas mengenai teori

komunikasi non-western perspective, khususnya perspektif Asia, adalah

Communication Theory : Eastern and Western Perspective oleh Kincaid

(1987) dan Communication Theory : The Asian Perspective oleh

Dissanayake (1988). Selain dua publikasi tersebut, terdapat beberapa

publikasi lainnya yang menjadi respresentasi pengembangan komunikasi

non-western perspective. Misalnya Kim (2002) yang mengangkat konsep

Yin dan Yang untuk mengidentifikasi perilaku komunikasi masyarakat.

Perilaku komunikasi Yin meliputi kepekaan, kooperatif, mengedepankan

intuisi, penurut, serta menunjukkan kesadaran dan pertimbangan terhadap

perasaan orang lain. Sedangkan Yang meliputi prilaku yang cenderung

konfrontatif, banyak menuntut, tegas, agresif, kompetitif, dan membual.

8

Contoh lainnya adalah adalah Chang (1991) yang menjelaskan komunikasi

interpersonal dan manajemen resolusi konflik dengan konsep yuan dalam

Bhuddisme. Adapun yang lain, yakni Mowlana (2007) yang

memformulasikan lima prinsip dasar etika komunikasi, khususnya untuk

jurnalisme; yakni tauhid, amr bil ma’ruf wa nahy’anilmunkar, ummah,

taqwa dan amanat. Selain munculnya kajian-kajian di atas, teori komunikasi

non-western perspective, khususnya teori komunikasi Asia, telah

mendapatkan perhatian khusus dari Littlejohn dan Foss (2009) dengan

dicantumkannya Teori Komunikasi Asia sebagai salah satu bahasan khusus

dalam Encyclopedia of Communication Theory.

Asia memang menjadi “aset” yang sangat menjanjikan dalam

pengembangan ilmu komunikasi. Miike (2003) menyebutkan bahwa Asia

merupakan wilayah yang tidak hanya berada di posisi strategis secara

geografis, tetapi memiliki keberagaman budaya, sejarah yang kaya, nilai-

nilai religious-filosofis, serta berbagai warisan penting dunia. Indonesia

yang juga bagian dari Asia juga memiliki potensi tersebut. Bahkan, Chen

dan Starosta (2003) secara khusus menyebut Indonesia sebagai tempat yang

sangat penting dengan keragaman yang dimilikinya. Mereka tertarik dengan

Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,

tetapi di dalamnya terdapat pulau Bali yang didominasi oleh masyarakat

Hindu. Potensi kearifan lokal yang dimiliki Indonesia tidak terbatas pada

bentuk ragam budaya, etnis, dan keagamaan itu, tetapi mencakup juga

warisan intelektual yang melibatkan banyak tokoh-tokoh bangsa, termasuk

9

tokoh-tokoh Islam seperti ulama dan cendekiawan muslim lainnya yang

berperan besar dalam sejarah Indonesia (Suryanegara, 2016).

Sayangnya, belum banyak penelitian dalam ranah ilmu komunikasi

yang memerhatikan potensi ini. Bapak Ilmu Komunikasi Indonesia yang

pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan era Soeharto, serta pendiri

Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), Prof. Alwi Dahlan,

mengutarakan keprihatinannya terkait hal ini pada Konferensi Nasional

Komunikasi yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2011. Dahlan

(dalam Wedhaswary, 2011) menyebutkan bahwa teori komunikasi Barat

mendominasi ilmu komunikasi dan masih sedikit yang mengembangkan

teori komunikasi khas Indonesia. Padahal, menurutnya, teori-teori Barat

tersebut belum bisa “membumi” di Indonesia karena faktor kebudayaan

Indonesia yang sangat kaya dan tentu berbeda dengan Barat.

Oleh karena itu, Prof. Alwi Dahlan (dalam Wedhaswary, 2011)

mendorong dilaksanakannya berbagai penelitian yang menggali teori-teori

komunikasi khas Indonesia yang akan bermanfaat bagi kemajuan ilmu

komunikasi. Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja (dalam Wedhaswary, 2011) yang

juga seorang tokoh ilmu komunikasi Indonesia dan pernah menjabat sebagai

ketua ISKI dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan bahwa

pengembangan ilmu komunikasi dengan mengangkat berbagai komunikasi

khas Indonesia adalah tantangan yang harus dipenuhi. Menurutnya, langkah

awal untuk melaksanakannya adalah dengan melakukan sinstesis terhadap

hasil skripsi, tesis, dan disertasi yang mengaji tentang perspektif ini. Dengan

demikian, kajian komunikasi non-western perspective, khususnya perspektif

10

Indonesia menjadi sebuah desakan akademik yang sudah seharusnya dirintis

di segala jenjang studi ilmu komunikasi di Indonesia, salah satunya pada

strata satu melalui skripsi.

Dissayanake (2009) menyebutkan lima area yang dapat

dieksplorasi dalam melakukan penelitian non-western perspective, yakni (1)

identifikasi teks-teks klasik yang mengandung konsep-konsep penting

tentang komunikasi; (2) konsep-konsep penting yang dapat diperoleh dari

tradisi-tradisi klasik serta praktik-praktik kebudayaan di masa kini; (3)

berbagai macam ritual dan pertunjukan seperti cerita rakyat, tarian rakyat,

balada dan upacara dapat memberikan ruang budaya untuk memeroleh

konsep tradisional dan praktik-praktik komunikasi; (4) perilaku komunikasi

sehari-hari suatu masyarakat serta budaya tradisional yang membentuk

mereka; dan (5) penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh beragam tradisi

keagamaan dan intelektual di Asia. Selain itu, menurut Miike (2003), para

ilmuwan harus : (1) mengeksplorasi dan memantapkan konsep-konsep yang

ada dalam bahasa keseharian orang-orang Asia; (2) mengangkat prinsip-

prinsip fundamental mengenai interaksi manusia dari tradisi-tradisi

keagamaan dan filsafat masyarakat Asia serta mengajukan model-model

teori baru komunikasi; (3) memperhatikan perjuangan dalam pengalaman

sejarah Asia.

Dua pendapat di atas menunjukkan perhatian khusus pada aspek

sejarah dari suatu bangsa atau peradaban. Tokoh pelaku sejarah yang dapat

dilacak pemikirannya melalui karya-karyanya, baik dalam bentuk tulisan

maupun kontribusinya dalam berbagai peristiwa penting dalam sejarah yang

11

pengaruhnya kuat bagi kondisi kehidupan di masa setelahnya (hingga saat

ini) dapat menjadi jalan bagi investigasi teori komunikasi khas Indonesia.

Salah satu tokoh Indonesia yang memenuhi seluruh kriteria

tersebut adalah Mohammad Natsir, seorang pahlawan nasional serta

pemrakarsa mosi integral yang menjadi legitimasi bagi bubarnya Republik

Indonesia Serikat (RIS) dan beridirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI).

Ketokohan Natsir diakui oleh seorang sejarawan yang mengajar di

Universiteit van Amsterdam, Geert H. Janssen. Dalam bukunya yang

berjudul „Militant Islam‟, Janssen (1979) menyebutkan tiga model pejuang

muslim yang muncul di berbagai dunia Islam, yakni kelompok ulama’,

thariqat dan reformis Islam. Dari golongan reformis Islam, Janssen (1979)

menyebutkan beberapa tokoh penting, yakni Hassan Albanna di Mesir,

Mehdi Bazargan di Iran, Abul „Ala al-Maududi di Pakistan, dan ia memilih

Mohammad Natsir untuk di Indonesia.

Selain Janssen, seorang guru besar Cornel University yang

memiliki kepakaran dalam studi Asia Tenggara bernama George McTurnan

Kahin memiliki ketertarikan khusus pada pribadi Natsir. Dalam artikelnya

yang berjudul “In Memoriam: Mohammad Natsir (1908-1993)”, Kahin

(1993) takjub dengan pribadi Natsir yang sederhana, bersahaja, serta

memiliki reputasi yang baik untuk integritas pribadi dan kejujuran dalam

berpolitik. Kahin (1993) mengungkapkan ketokohan Natsir dalam

artikelnya tersebut sebagaimana berikut:

12

“Raksasa terakhir di antara para pemimpin nasionalis dan revolusioner

Indonesia, sudah tidak diragukan lagi bahwa dia memiliki pengaruh dalam

pemikiran dan politik Islam pada pasca perang (kemerdekaan) di Indonesia

yang lebih dibandingkan orang-orang se-zamannya” (Kahin, 1993, hal.:

159).

Tokoh dunia lainnya yang juga kagum pada sosok Natsir, bahkan

memiliki kedekatan personal dengannya adalah mantan Menteri Keuangan

dan juga Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda. Fukuda mulai menjalin

hubungan baik dengan Natsir saat kunjungan Natsir ke Jepang dalam rangka

membahas kerjasama ekonomi antar kedua negara. Setelah beberapa tahun

bersahabat, pada tahun 1993 Fukuda menerima kabar kepergian Natsir yang

membuatnya terpukul dan kemudian dalam suratnya kepada keluarga Natsir

ia mengungkapkan:

“When we received this sad news [of Natsir’s death] it was more horrifying than

the dropping of atom bomb on Hiroshima, because we had lost a world leader,

and a great leader of the Islamic world” (“Ketika kami menerima berita duka

tentang wafatnya Natsir, hal itu lebih menakutkan daripada penjatuhan bom

atom di Hiroshima, karena kami telah kehilangan seorang pemimpin dunia, dan

seorang pemimpin besar dunia Islam”) (dalam Kahin, 2012, hal.: 191).

Taufiq Ismail, seorang budayawan ternama yang ayahnya (K.H.

Abdul Gaffar Ismail) adalah sahabat Mohammad Natsir juga memberikan

kesaksian mengenai kualitas pribadi Mohammad Natsir sebagaimana

berikut:

“Beliau itu adalah seorang guru bangsa, pendidik umat, mujahid dakwah,

pejuang, politikus, negarawan. Kemudian menjelang akhir hidup beliau, beliau

menjadi tokoh dunia, tokoh internasional. Di dalam perjuangan beliau, kita

13

saksikan sejak mulai zaman Belanda, sebelum kemerdekaan itu beliau satu shaf

bersama-sama dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Sebagai budayawan dan

cendekiawan, beliau juga sangat dikenal, dalam arti karena beliau itu menulis.

Dalam tulisan-tulisannya itu apresiasi beliau terhadap kesusastraan, terhadap

masalah kebudayaan itu tinggi. Sebagai seorang penulis yang ciri pada zaman

itu adalah salah seorang dari yang mendapatkan pendidikan sedemikian rupa

sehingga menguasai banyak bahasa. Beliau adalah seorang multi-linguist.”

(Taufiq Ismail dalam Kamaludin, 2008).

Empat kesaksian tokoh di atas menjadi bukti bahwa Mohammad

Natsir adalah seseorang yang memiliki peran strategis dalam sejarah

Indonesia yang dengan mempelajari sosoknya berpotensi besar

menghasilkan berbagai konsep hingga teori komunikasi khas Indonesia.

Apalagi, kajian mengenai Mohammad Natsir adalah sebuah rekomendasi

kelompok pemuda bernama Generasi Muda Muslim Yogyakarta yang

disampaikan dalam sebuah forum “Sarasehan Mengenang Pak Natsir” yang

diselenggarakan oleh Jamaah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta dan Laboratorium Da‟wah Yayasan Shalahuddin Yogyakarta

pada 17 Februari 1993 di Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

Berikut adalah rekomendasi dimaksud yang tertuang dalam Surat

Pernyataan Generasi Muda Muslim Yogyakarta:

“Menetapkan : 1. Perlunya pengkajian ulang sejarah, agar kejuangan,

ketokohan dan keteladanan Dr. Mohammad Natsir ditempatkan dalam posisi

yang obyektif. 2. Bapak Dr. H. Mohammad Natsir sebagai Pahlawan Nasional”

Merujuk pada pernyataan Taufiq Ismail, ada beberapa bidang

kajian komunikasi yang berpotensi untuk dikembangkan melalui studi

Mohammad Natsir ini, yakni: (1) komunikasi politik, melalui peran Natsir

sebagai ketua umum dan ketua fraksi Partai Masjumi, menteri penerangan

14

serta pemrakarsa dan perdana menteri NKRI; (2) komunikasi pendidikan

dan komunikasi instruksional, melalui perannya dalam pendirian dan

pengembangan Pendidikan Islam, pesantren-pesantren, serta beberapa

universitas; (3) komunikasi da’wah. melalui perannya sebagai anggota

Persatuan Islam serta pendiri dan pemimpin Dewan Da‟wah Islamiyah

Indonesia; (4) jurnalisme Islam, melalui perannya dalam merintis,

mengembangkan dan melaksanakan kegiatan jurnalistik dalam beberapa

media massa; (5) komunikasi internasional, melalui perannya dalam

Muktamar al-Alam al Islami, Rabithah Alam Islamy, serta organisasi-

organisasi lainnya, peristiwa, pertemuan dan hubungan diplomatik yang

strategis bagi umat Islam dan bangsa Indonesia; (6) social capital, melalui

jaringan-jaringan sosial yang dimanfaatkan Natsir dalam melaksanakan

agenda perjuangan dan da’wah-nya; (7) kajian kepemudaan dan kaderisasi,

melalui perannya dalam mendidik banyak pemuda dan juga organisasi –

organisasi Islam dan kepemudaan.

Kajian ilmiah secara sistematis yang khusus meneliti Mohammad

Natsir tergolong belum variatif. Sebagian besar penelitian-penelitian yang

dilakukan berfokus pada pemikiran politik, peran dalam bidang da’wah dan

sebagian kecil mengenai pendidikan. Beberapa penelitian yang disimpan

secara eksklusif oleh Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja

Abdullah bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia

Pusat dalam sebuah ruangan khusus bernama “Bilik Natsir” adalah:

15

1) Tesis (Cornell University) berjudul “Masjumi: Its Organization,

Ideology, and Political Role in Indonesia” yang ditulis oleh

Deliar Noer pada tahun 1960;

2) Tesis (International Islamic University Malaysia) berjudul

“Muhammad Natsir (1908 – 1993): His Role The Development of

Islamic Da’wah in Indonesia (Historical Study of an Indonesian

Mujahid Da’wah)” yang ditulis oleh Arif Hizbullah Sualman pada

tahun 1995;

3) Tesis (Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry) berjudul

“Pemikiran Muhammad Nastir dan Hasan Al-Banna tentang

Negara” yang ditulis oleh Mahmud Saleh pada tahun 1995;

4) Tesis (Universitas Indonesia) berjudul “Pengaruh Pemikiran

Politik Masyumi di Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera”

yang ditulis oleh M. Hermawan Eriadi pada tahun 2007;

5) Skripsi (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah) berjudul

“Peranan M. Natsir di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

(DDII) tahun 1980-1985” yang ditulis oleh Farida pada tahun

2005;

6) Skripsi (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah) berjudul

Ustadz Mohammad Natsir dan) الأس تاذدمحم انرص ومهنجه يف ادلعوة

Metodenya dalam Da’wah) yang ditulis oleh Ali Mas‟ud pada

tahun 2008;

16

7) Skripsi (Universitas Padjadjaran) berjudul “Pemikiran

Mohammad Natsir tentang Sistem Pemerintahan Islam di

Indonesia” yang ditulis oleh Mhd. Alfahjri Sukri pada tahun 2014.

Karya-karya lainnya yang berkaitan dengan Mohammad Natsir

berbentuk buku maupun penelitian yang kemudian dibukukan, seperti:

1) Islam, Nationalism and Democracy: A Politicak Biogrpahy of

Mohammad Natsir oleh Audrey Kahin;

2) Beberapa biografi Mohammad Natsir: “M. Natsir: Sebuah

Biografi” oleh Ajip Rosidi, “M. Natsir di Panggung Sejarah

Republik” dan “100 Tahun M. Natsir, Berdamai dengan Sejarah”

oleh Panitia Peringatan 1 abad Mohammad Natsir.

3) “Modernisme dan Fundamentalis dalam Politik Islam

(Perbandingan Partai Masyumi Indonesia dan Partai Jama‟at-i-

Islami Pakistan)” oleh Yusril Ihza Mahendra;

4) “Soekarno versus Natsir: Kemenangan barisan Megawati

reinkarnasi nasionalis sekuler” oleh Ahmad Suhelmi.

5) “M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya” oleh Thohir Luth.

Selain karya-karya di atas, terdapat juga skripsi-skripsi tentang

Mohammad Natsir yang menjadi koleksi Perpustkaan Sekolah Tinggi

Mohammad Natsir (STID Mohammad Natsir, 2010) sebagaimana berikut:

1) “Usaha Mohammad Natsir Membendung Kristenisasi di

Indonesia” oleh Zajiyul Fuad;

17

2) “Pemikiran Natsir Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di

Indonesia” oleh Muhammad Wasrun;

3) “Mohammad Natsir dan Da‟wah Islamiyah” oleh Sarip Hidayat;

4) “Kegiatan Da‟wah Mohammad Natsir di Indonesia” oleh Herma

Bahdin;

5) “Kajian Mohammad Natsir dan Hasan Al Banna Tentang Negara

Dalam Perpektif Pemerintahan Syariah” oleh Edy Mursito.

Jika ditinjau berdasarkan tema penelitiannya, dapat disimpulkan

bahwa penelitian mengenai Mohammad Natsir masih terbatas pada topik

spesifik mengenai politik, da’wah dan pendidikan. Hal itu juga yang dapat

ditemukan di berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa universitas

Islam di Indonesia yang sebagian besarnya dalam bentuk skripsi. Belum ada

penelitian mengenai Mohammad Natsir yang secara khusus berangkat dari

disiplin ilmu komunikasi.

Kajian ini tentu penting dilakukan, tidak hanya karena kajian

mengenai Mohammad Natsir yang belum variatif, tetapi juga terbatasnya

ragam kajian atau bahkan belum dikembangkannya bidang komunikasi

yang telah disebutkan sebelumnya. Terlebih lagi, sebagaimana semangat

non-western perspective, tren kajian komunikasi dalam bidang-bidang

tersebut masih berpatokan pada perspektif Barat.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olasinde dan Ojebuyi

(2017) tentang tren metodologi dan teori dalam penelitian komunikasi

politik kontemporer menunjukkan bahwa teori komunikasi Barat masih

18

mendominasi bidang kajian ini. Penelitian ini dilakukan dengan

menganalisis konten 160 artikel dalam Journal of Communication, The

International Journal of Press/Politics, Communication Research,

Comparative Political Studies, Global Media Journal, New Media and

Society, Association for Education in Journalism and Mass Communication,

Journalism and Mass Communication Quarterly, Political Communication,

Journal of Communication and Language Arts, Journal of Arts and

Education, and Media International Australia. Adapun temuan yang didapat

sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut.

Teori dan Model Persentase (%)

Framing Theory

Agenda Setting Theory

Social Identity Theory

Uses and Gratifications Theory

Theory of Selective Exposure

Theory of Self Motivated Reasoning

Theory of Self Categorization

Theory of Reasoned Action

Theory of Depersonalization Effects

Network Heterogenity Theory

Resource Theory

Theory of Expectancy Violations

Social Cognitive Theory

Grounded Theory

Theory of Cognitive Dissonance

Theory of Identity & News Value

Information Flow Theory

Social Network Analysis Theory

26.4

23.6

6.9

2.8

4.2

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

4.2

19

Theory of Indexing

Gate Keeping Model

The Stereotype Model

The Differential Gains Model

Communication Mediation Model

Heuristics Systematic Model

Structural Equation Model

Two-Step Mediation Model

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

4.2

1.4

Total 100%

Sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Graber (2005)

terhadap 137 artikel dalam jurnal-jurnal American Journal of Political

Science, Communication Research, Harvard International Journal of

Press/Politics, Jurnal of Communication, Journal of Mass Media Ethics,

Journal of Media Economics, New Media and Society, Political

Communication, Popular Communication, dan Television and New Media

menunjukkan bahwa teori Barat yang berkaitan dengan fenomena di tingkat

individu masih mendominasi kajian komunikasi politik, seperti: teori-teori

yang tergolong dalam Information Processing Theories (Coginitive

Consistency Theories; Functional Theories seperti Uses and Gratifications;

Rational Choice Theories, Social Judgment Theories, dan Cognitive

Processing Theories), serta yang tergolong dalam Media Impact Theories

(Agenda Setting, Subjective Theories).

Dalam kajian komunikasi instruksional, Conley (2015) melakukan

sebuah penelitian dengan menganalisis konten terhadap 423 artikel (sejak

Tabel 1. Tren Teori dan Model dalam Penelitian Komunikasi Politik Kontemporer

Sumber : Olasinde dan Ojebuyi (2017)

20

2000 hingga 2015) dalam jurnal pertama dan terdepan di bidang komunikasi

pendidikan dan instruksional, Communication Education, untuk mengetahui

teori yang sering digunakan dalam penelitian di bidang ini. Penelitian yang

ditujukan sebagai Tesis untuk Department of Communication Studies pada

California State University ini menemukan bahwa Communication Theory,

Grounded Theory, Expectancy Violation Theory, Rhetorical Theory,

Attribution Theory, Emotional Response Theory, Learning Theory, Systems

Theory, dan Politeness Theory adalah teori-teori yang paling sering

digunakan dalam kajian ini.

Adapun dalam bidang kajian komunikasi internasional, Hamid

Mowlana (1973) melakukan penelitian terhadap 1.437 kajian yang

mencakup buku-buku, karangan ilmiah, buku bacaan, serta artikel jurnal

dari tahun 1850 sampai dengan 1970 untuk mengetahui tren kajian

komunikasi internasional di Amerika Serikat. Ia menemukan empat

pendekatan utama dalam komunikasi internasional selama lebih dari 1 abad,

yakni: (1) peran dan kegunaan komunikasi dalam diplomasi baru yang

menekankan pada komunikasi sebagai pengaruh yang dibentuk oleh

individu, kelompok dan pemerintah dalam keputusan urusan-urusan asing;

(2) komunikasi politik internasional yang berfokus pada teknik-teknik

professional dari persuasi atau komunikasi antarpribadi serta komunikasi

massa; (3) pendekatan behavioral yang berupaya untuk memahami

hubungan internasional, khususnya dalam teori perilaku individu dan

kelompok; serta (4) pendekatan komunikasi yang dikembangkan di sekolah-

sekolah jurnalisme, komunikasi dan tutur yang menakankan pada bidang

21

kajian untuk penulis, jurnalis dan penyiar profesional. Secara geografis,

kajian terhadap Eropa Barat masih mendominasi (87 puublikasi di 1 dekade

terakhir), sedangkan Asia yang merupakan benua terbesar sekaligus

mencakup banyak kebudayaan hanya mencapai 51 publikasi (1 dekade

terakhir).

Bekenaan dengan jurnalisme Islam, pada tahun 2014, Steele

mengungkapkan bahwa penelitian dalam bidang ini hampir tidak ditemukan

di Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar serta memiliki sistem

pers yang tergolong bebas. Di beberapa negara muslim lainnya, jurnalisme

Islam juga belum mendapatkan perhatian secara khusus, sehingga butuh

pengembangan (Muchtar, Hamada, Hamitzsch, Galal, Masduki, dan Ullah,

2017). Namun, sebuah kajian sistematis terkait jurnalisme Islam dalam

bentuk skripsi telah dilakukan oleh Wirdani pada tahun 2018. Skripsi yang

diajukan kepada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Brawijaya ini membahas tentang jurnalisme Islam yang

dipraktikkan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka

(Wirdani, 2018). Temuan penting dari penelitian ini adalah prinsip-prinsip

jurnalisme Islam Buya Hamka, media massa yang pernah dinaungi Buya

Hamka, serta jaringan ulama dalam jurnalisme Hamka (Wirdani, 2018).

Penelitian ini tentu menjadi kontribusi penting bagi pengembangan ilmu

komunikasi, khususnya dalam kajian jurnalisme.

Berikutnya, komunikasi da’wah, yang tergolong pada bidang

kajian baru dalam ilmu komunikasi. Beberapa upaya untuk mengembangkan

kajian ini telah dilakukan di Indonesia, misalnya yang dilakukan oleh

22

Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

yang membuka mata kuliah Komunikasi dan Strategi Dakwah pada

semester keenam (UMM, t.t.).

Upaya lainnya adalah pendirian Fakultas Dakwah dan Komunikasi

di hampir setiap Universitas Islam Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam

Negeri (IAIN). Salah satu contohnya adalah UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta yang bermula dari Fakultas Dakwah pada tahun 1970. Saat ini,

UIN Sunan Kalijaga menawarkan lima jurusan pada strata satu, yang dua di

antaranya adalah Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Manajemen

Dakwah. Salah satu fasilitas penunjang perkuliahannya adalah studio siaran

radio yang salurannya bernama RASIDA (Radio Siaran Dakwah) (UIN

Sunan Kalijaga, t.t.). Salah satu karya penting dalam bidang kajian ini

adalah buku “Ilmu Da‟wah” yang ditulis oleh Toha Jahja Omar, Rektor

IAIN Syarif Hidayatullah periode 1970-1973 yang juga Ketua Pusat Da‟wah

Islam Indonesia. Buku yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 ini

tidak hanya membahas tentang metode da’wah, tetapi juga sejarah dan

topic-topik lainnya yang berkaitan dengan da’wah. Karya penting lainnya

dihasilkan oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Iswandi

Syahputra, yakni buku „Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan‟.

Berkaitan dengan kajian non-western perspective, kususnya

komunikasi Asia, Liu dan Wei (2017) melakukan tinjauan pustaka terhadap

558 publikasi ilmiah pada 14 jurnal terkemuka berdasarkan Social Science

Citation Index (SSCI) dalam kajian jurnalisme dan komunikasi untuk

23

menemukan tren dan pola kajian komunikasi Asia. Jurnal-jurnal tersebut

adalah Communication Research, Journal of Communication, Journal of

Health Communication, Public Opinion Quarterly, Journal of Computer

Mediated Communication, Human Communication Research,

Communication Theory, Communication Monograph, Journal of

Broadcasting and Electronic Media, Journalism Studies, Mass

Communication and Society, Journalism and Mass Communication

Quarterly, dan New Media and Society. Liu dan Wei (2017) menemukan

bahwa kajian komunikasi Asia mengalami kebangkitan di abad ke-21,

artinya semakin banyak kajian komunikasi Asia yang dilakukan. Namun,

mereka menemukan bahwa kajian ini didominasi oleh negara-negara Asia

Timur, khususnya Cina, Korea Selatan dan Jepang. Adapun topik-topik

yang menjadi fokus utama, yakni efek media, komunikasi politik, teknologi

komunikasi, dan komunikasi kesehatan.

Berdasarkan tinjauan-tinjaun terkait tren kajian dalam komunikasi

politik, komunikasi instruktional, komunikasi internasional, jurnalisme

Islam, komunikasi da’wah, dan non-western perspective sendiri, maka

pengembangan kajian di bidang-bidang ini dalam konteks ke-Indonesia-an,

khsusunya melalui studi tokoh Mohammad Natsir adalah hal yang

mendesak secara akademik dan berpotensi besar untuk berkontribusi dalam

perumusan teori-teori komunikasi yang lebih kontekstual.

Semangat seperti ini tentu bukanlah bentuk dari jingoism.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penelitian-penelitian yang didorong

dan dilandasi semangat seperti ini bertujuan untuk merevitalisasi ilmu

24

komunikasi; bukan melakukan konfrontasi intelektual terhadap Barat.

Slogan yang diutarakan Miike (2014), “harmony without uniformity”, perlu

digencarkan melalui jalur ilmu pengetahuan. Upaya mewujudkan harmoni

tidak berarti upaya menyeragamkan seluruh peradaban dalam berbagai

aspek kehidupannya dan termasuk dalam aspek intelektual. Jauh sebelum

Miike menyatakan slogan tersebut, al-Quran telah lebih dulu

menyampaikan pesan ini dalam surah al-Hujurat ayat 13 bahwa penciptaan

manusia dalam beragam suku bangsa adalah kehendak Allah هلالج لج yang

bertujuan untuk saling mengenal (harmoni).

Meskipun tidak bermaksud untuk mempraktikkan paham jingoism,

reaksi yang kuat terhadap dominasi perspektif Barat ini memang

menghasilkan binarisme – seolah-olah hanya ada western dan non-western.

Namun, menurut Dissanayake (2003), binarisme ini hanyalah manuver

taktis dalam rangka pembangunan ilmu komunikasi yang lebih

komprehensif. Ia mengakui bahwa taktik semacam ini bisa mengarah pada

esensialisme yang menurutnya sebuah “bahaya”. Oleh karena itu, setelah

tujuan non-western perspective tercapai, ia merekomendasikan agar segera

berpindah dari binarisme ini. Pemikiran ini tentu sangat menarik; jauh

sebelum Dissanayake memikirkan hal seperti ini, Mohammad Natsir lebih

dulu menegaskan sikapnya yang tidak menyetujui adanya pendikotomian

antara ilmu pengetahuan Barat dan Timur (Fajar dalam Hakiem, 2008).

Akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya

mewujudkan perubahan ilmu komunikasi sebagaimana disebutkan oleh Kim

(2002): (1) budaya yang memisahkan diri dari teori Euro-Amerika; (2)

25

memusatkan kembali disiplin dalam budaya yang diminati; dan (3)

mengintegrasikan perspektif budaya yang berbeda untuk bergerak menuju

teori komunikasi manusia yang benar-benar universal.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti

merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana keterlibatan Natsir dalam organisasi kepemudaan serta

kontribusinya dalam pengkaderan pemuda di Indonesia?

2. Bagaimana komunikasi politik yang dilakukan oleh Natsir dalam

kapasitasnya sebagai politisi Partai Masjumi (khususnya sebagai ketua

umum dan ketua fraksi), menteri penerangan, serta pemrakarsa dan

perdana menteri NKRI?

3. Bagaimana komunikasi pendidikan dan komunikasi instruksional yang

diterapkan oleh Natsir pada Pendidikan Islam, pesantren-pesantren,

serta uiversitas-universitas yang pendiriannya mendapatkan perhatian

langsung dari Natsir?

4. Bagaimana komunikasi da’wah yang diterapkan oleh Natsir saat

menjadi anggota Persatuan Islam serta memimpin Dewan Da‟wah

Islamiyah Indonesia?

5. Bagaimana jurnalisme Islam yang dipraktikkan Natsir sebagai bagian

dari sarana da’wah Islam?

6. Bagaimana komunikasi internasional yang dilakukan Natsir dalam

kapasitasnya sebagai tokoh penting pada Muktamar al-Alam al Islami,

Rabithah Alam Islamy, pendiri International Islamic Charitable

26

Organization, serta beberapa peristiwa, pertemuan dan hubungan

diplomatik yang strategis bagi umat Islam dan bangsa Indonesia?

7. Bagaimana social capital yang dibangun dan diorganisasikan oleh

Natsir dalam menunjang perjuangannya di berbagai sektor?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui keterlibatan Natsir dalam organisasi kepemudaan serta

kontribusinya dalam pengkaderan pemuda di Indonesia.

2. Mengetahui komunikasi politik yang dilakukan oleh Natsir dalam

kapasitasnya sebagai politisi Partai Masjumi (khususnya sebagai ketua

umum dan ketua fraksi), menteri penerangan, serta pemrakarsa dan

perdana menteri NKRI?

3. Mengetahui komunikasi pendidikan dan komunikasi instruksional yang

diterapkan oleh Natsir pada Pendidikan Islam, pesantren-pesantren,

serta uiversitas-universitas yang pendiriannya mendapatkan perhatian

langsung dari Natsir?

4. Mengetahui komunikasi da’wah yang diterapkan oleh Natsir saat

menjadi anggota Persatuan Islam serta memimpin Dewan Da‟wah

Islamiyah Indonesia?

5. Mengetahui jurnalisme Islam yang dipraktikkan Natsir sebagai bagian

dari sarana da’wah Islam?

6. Mengetahui komunikasi internasional yang dilakukan Natsir dalam

kapasitasnya sebagai tokoh penting pada Muktamar al-Alam al Islami,

Rabithah Alam Islamy, pendiri International Islamic Charitable

27

Organization, serta beberapa peristiwa, pertemuan dan hubungan

diplomatik yang strategis bagi umat Islam dan bangsa Indonesia?

7. Mengetahui social capital yang dibangun dan diorganisasikan oleh

Natsir dalam menunjang perjuangannya di berbagai sektor?

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

bagi pengembangan kajian komunikasi politik, komunikasi

pendidikan dan instruksional, komunikasi da’wah, jurnaslisme Islam,

komunikasi internasional, social capital, serta kajian yang berkaitan

pengkaderan dan kepemudaan.

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan

bagi pelaksanaan berbagai praktik-praktik komunikasi politik,

komunikasi pendidikan dan instruksional, komunikasi da’wah,

jurnalisme, komunikasi internasional, serta pengkaderan dan

kepemudaan, termasuk kebijakan-kebijakan pihak terkait

pemerintah, institusi pendidikan, partai politik, penggiat dakwah,

jurnalis, serta penggiat organisasi pengkaderan dan kepemudaan.

28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Non-Western Perspective sebagai Sudut Pandang Mengaji Ilmu

Komunikasi

Non-western perspective secara sederhana dapat diartikan sebagai

ilmu pengetahuan atau lebih spesifik lagi – ilmu komunikasi yang

berdasarkan sudut pandang masyarakat non Eropa dan non Amerika.

Namun, semangat non-western perspective bukanlah menciptakan tandingan

bagi ilmu pengetahuan khas barat atau bahkan hendak mengunggulinya.

Dissanayake (2003) menegaskan bahwa non-western perspective tidak

berupaya mempraktikkan paham jingoism – paham yang mengagungkan

negeri sendiri secara berlebihan atau kecintaan yang ekstrem pada tanah air

sehingga merendahkan negeri atau bangsa lainnya.

Semangat non-western perspective adalah membangun ilmu

pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi, berdasarkan akar intelektual

pribumi, konteks spesifik yang merujuk pada masyarakatnya dengan

segenap karakter budaya khasnya, serta cara berpikir masyarakat lokal

(Dissanayake, 2003). Bahkan menurut Mowlana (2007), yang hendak digali

melalui non-western perspective bukan hanya kearifan lokal yang berkaitan

pada budaya, tetapi juga nilai religius universal yang melampaui batas-batas

geografis, ras dan etnis yang mampu mengikat beragam masyarakat dengan

kebudayaan berbeda – misalnya seperti Islam yang bukan sekedar ajaran

mengenai ritual keagamaan, melainkan kesatuan sistem yang mengatur

29

seluruh segmen kehidupan manusia (total way of life). Dengan demikian,

non-western perspective berupaya untuk memunculkan beragam kearifan

lokal, termasuk budaya, nilai-nilai yang ajeg di masyarakat yang

sebagiannya diyakini bukan sekedar produk intelektual manusia, tetapi

berasal dari Tuhan, sehingga bersifat religius dan universal.

Tujuan dari non-western perspective ini adalah mentransformasikan

ilmu komunikasi yang ada saat ini menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang

lebih komprehensif dan menempatkan kebudayaan sebagai salah satu aspek

penting pembangunnya (Dissanayake, 1988; Kim, 2002; Kincaid, 1987).

Melalui pengayaan kajian non-western perspective, diskursus metateori

komunikasi dapat diperluas, sehingga revitalisasi ilmu komunikasi dapat

diwujudkan (Dissanayake dalam Miike, 2006). Secara lebih spesifik,

menurut Kim (2002) ada tiga tujuan menghasilkan publikasi atau penelitian

dengan non-western perspective, yakni: (1) menginvestigasi sejauh mana

kajian komunikasi tradisional berpusat pada perspektif Barat; (2) menguji

sejauh mana teori-teori yang bertumpu pada perspektif Barat tersebut tidak

dapat diaplikasikan lintas budaya; dan (3) membawa perspektif komunikasi

multikultural kepada analisis ilmiah serta pemahaman sehari-hari.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada latar belakang, bahwa dua

publikasi yang terkenal (menjadi landmark) sampai saat ini mengenai non-

western perspective adalah publikasi milik Kincaid dan Dissanayake.

Namun, ada juga kontribusi lainnya yang dihasilkan oleh beberapa tokoh.

Kirkwood (1990) yang mengangkat konsep rasa dalam filsafat India yang

menjadi cara untuk memahami komunikasi khas India yang dramatis dan

30

puitis. Ayish (2003) yang mengidentifikasi empat hal yang membangun

Arab-Islamic worldview – iman, tauhid, umat, dan ibadah. Mowlana (2007)

yang mengidentifikasi nilai-nilai dasar bagi etika jurnalisme dalam Islam –

tauhid, amr bil ma‟ruf wa nahy‟anilmunkar, ummah, taqwa dan amanat.

Adapun ilmuwan-ilmuwan lainnya sebagaimana disebutkan oleh Kim

(2002), seperti Majid Tehranian, Satoshi Ishii, Nemi C. Jain, Kazuo

Nishiyama, Mitsuko Saito, Tulsi B. Saral, K. S. Sitaram, Georgette Wang,

dan June Ock Yum.

Masih sedikit publikasi Indonesia mengenai non-western perspective

yang diakui komunitas akademik internasional, bahkan mayoritas jurusan

atau program studi ilmu komunikasi di berbagai perguruan tinggi di

Indonesia masih bertumpu pada teori-teori Barat, dan itu digunakan untuk

menganalisis fenomena komunikasi Indonesia. Padahal, sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar bagi

pengembangan komunikasi non-western perspective. Indonesia memiliki

modal besar – sejarah, kebudayaan, nilai-nilai religius-filosofis, dan

berbagai kearifan lokal – untuk menjadi pusat kajian non-western

perspective dan terdepan dalam mewujudkan tujuan kajian ini. Miike (2004)

menegaskan bahwa setiap benua, masyarakat, dan kebudayaan memiliki

kearifan lokal yang darinya manusia dapat memeroleh pelajaran penting

tentang bagaimana seharusnya manusia menjalin hubungan dengan sesama

manusia, alam dan berbagai hal lainnya di alam semesta.

Oleh karena itu, kajian komunikasi non-western perspective khas

Indonesia perlu digencarkan. Kajian ini dapat dilakukan dengan

31

mengeksplorasi lima area yang disebutkan oleh Dissanayake (2009), yakni

(1) identifikasi teks-teks klasik yang mengandung konsep-konsep penting

tentang komunikasi; (2) konsep-konsep penting yang dapat diperoleh dari

tradisi-tradisi kebudayaan serta praktik-praktik kebudayaan di masa kini; (3)

berbagai macam ritual, upacara dan pertunjukan; (4) perilaku komunikasi

sehari-hari suatu masyarakat serta budaya tradisional yang membentuk

mereka; dan (5) penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh beragam tradisi

keagamaan dan intelektual di Asia.

Selain lima area tersebut, terdapat juga tiga dimensi kebudayaan yang

harus diperhatikan, yakni bahasa, agama – filsafat, dan sejarah (Miike,

2003). Para ilmuwan harus : (1) mengeksplorasi dan memantapkan konsep-

konsep yang ada dalam bahasa keseharian orang-orang Asia; (2)

mengangkat prinsip-prinsip fundamental mengenai interaksi manusia dari

tradisi-tradisi keagamaan dan filsafat masyarakat Asia serta mengajukan

model-model teori baru komunikasi; (3) memperhatikan perjuangan dalam

pengalaman sejarah Asia (Miike, 2003).

Lebih lanjut lagi, Miike (2006) menjelaskan lima agenda besar bagi

penelitian-penelitian yang hendak berkontribusi menghasilkan teori

komunikasi Asia di masa mendatang. Berikut adalah lima agenda tersebut.

1) Mengambil pelajaran teoritis dari kebudayaan Asia.

Kunci dari suksesnya pengembangan teori komunikasi Asia,

yang oleh Miike disebut sebagai Asiacentric renaissance, adalah

perubahan radikal pada lensa teoritis yang menjadi hal sentral dalam

32

proses penelitian (memengaruhi rancangan penelitian, pengumpulan

data, analisis dan interpretasi data).

Miike (2006) menegaskan bahwa para peneliti teori

komunikasi Asia harus serius memosisikan kebudayaan Asia dalam

kajian komunikasi Asia itu sendiri. Chen dan Miike (2006) sangat

menyayangkan sikap banyak peneliti komunikasi Asia yang justru

meneliti fenomena komunikasi Asia dari perspektif Barat –

memosisikan budaya-budaya Asia sebagai objek analisis teori-teori

Barat, khususnya Eropa. Bahkan, lebih tegas lagi, Dissanayake

(2003) memperingatkan bahwa konsep-konsep Asia tidak dapat

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara langsung. Ia khawatir

akan terjadi pemaknaan yang salah dan justru berkontradiksi dengan

makna sesungguhnya dari konsep Asia tersebut.

2) Memperluas cakupan geografis

Miike (2006) menyarankan agar kajian-kajian non-western

perspective di masa depan meluas ke berbagai negara dan bangsa,

sehingga teori komunikasi Asia semakin kaya. Komunikasi diaspora

adalah salah satu topik yang sangat penting untuk dibahas melalui

penyebaran semangat non-western perspective ini. Selain itu, para

ilmuwan komunikasi non-western perspective dapat menyelidiki

berbagai hal terkait komunikasi intrabudaya dan antarbudaya;

misalnya saja tentang orang-orang Muslim di Cina, orang-orang

Tionghoa di Malaysia, dan orang-orang Yahudi di Iran.

33

3) Membandingkan dan mempertentangkan (compare and contrast)

budaya-budaya Asia

Chen (dalam Miike, 2006) mengatakan bahwa pendekatan

Asiasentirs selama ini sering mengabaikan dinamika internal dan

keberagaman dari Asia sendiri. Banyak diskusi teoritis mengenai

komunikasi Asia justru dimulai dengan membandingkannya dengan

teori Barat (Miike, 2006). Pemahaman yang lebih baik mengenai

komunikasi Asia justru dapat diwujudkan ketika beragam budaya

Asia dibandingkan dan dipertentangkan secara seksama (Miike,

2006). Adapun persinggungan komunikasi Asia dan Barat

seharusnya dilakukan secara lebih kritis. Tujuannya adalah untuk

mengetahui hubungannya dengan komunikasi Asia, sehingga dapat

menuju pada dialog yang menguntungkan bagi pengembangan ilmu.

4) Mempluralisasi dan menguatkan perspektif sejarah teori-teori

Teori komunikasi seharusnya mengakomodasi pengamalan

dan pengalaman hidup sehari-hari berbagai golongan, termasuk

kelompok minoritas, baik secara budaya, sosial, maupun ekonomi.

Selain itu, Dissanayake (2003) menyarankan agar penelitian-

penelitian ke depannya mampu membawa penjelasan konsep dan

teori komunikasi Asia ke dalam perspektif sejarah. Hal ini

diperlukan karena menuru Dissanayake dan Ishi (dalam Miike, 2006)

banyak penelitian yang bersifat ahistoris, sehingga memiliki

kecenderungan untuk menganggap berbagai hal, peristiwa dan

34

konsep dalam kebudayaan Asia adalah hal yang abadi dan tidak

mengalami perubahan.

5) Menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan

metateori dan metodologi

Penelitian-penelitian mengenai komunikasi Asia ke depannya

seharusnya mampu menjawab berbagai pertanyaan seperti

bagaimana teori dibangun, hubungan seperti apa yang seharusnya

terjalin antara teori dan penelitian, serta bagaimana seharusnya teori

dievaluasi (Miike, 2003). Adapun isu mengenai metodologi yakni (1)

isu terkait data dan bukti; (2) validitas dan kegunaan; serta (3)

visibilitas dan invisibilitas.

Pada akhirnya, hal yang tetap harus diperhatikan oleh para pengaji

komunikasi non-western perspective adalah tujuan atau manfaat apa yang

akan diberikan oleh kajiannya. Kim (2002) berharap dengan kajian seperti

akan ada perubahan dalam ilmu komunikasi yang salah satunya adalah

integrasi perspektif budaya yang berbeda untuk bergerak menuju teori

komunikasi manusia yang benar-benar universal.

2.2 Poskolonialisme

Istilah poskolonial pertama kali digunakan oleh para sejarawan

setelah Perang Dunia Kedua untuk menyebut negara-negara yang pernah

menjadi jajahan dan kemudian memeroleh kemerdekaan – the post-colonial

state (Ashcroft, Griffiths, dan Tiffin, 2007). Namun, pada akhir 1970-an,

istilah ini digunakan untuk menyebut kajian kritis yang membahas

35

mengenai berbagai efek penjajahan terhadap budaya dan masyarakat yang

dijajah. Poskolonial tidak lagi diartikan secara sempit tentang masa sesudah

penjajahan yang ditandai dengan munculnya berbagai negara merdeka di

dunia. Poskolonial merujuk pada masa penyadaran maupun kesadaran akan

adanya dampak-dampak tertentu pada struktur sosial, budaya, dan berbagai

aspek lainnya dalam masyarakat yang diakibatkan oleh penjajahan; juga

kesadaran akan adanya dominasi yang menimbulkan penindasan terhadap

masyarakat lainnya – ada penindas dan ada yang ditindas (Ashcroft,

Griffiths, dan Tiffin, 2007; Littlejohn dan Foss, 2008).

Poskolonialisme sangat memerhatikan isu-isu yang berkaitan

dengan kekuasaan, penindasan, kelompok yang memunculkan hegemoni

dan kelompok yang tertindas. Para ilmuwan poskolonialis berupaya untuk

memeriksa, memahami dan pada akhirnya membatalkan struktur-struktur

sejarah yang dibuat untuk meneruskan penindasan seperti apa yang terjadi

pada masa kolonial (Littlejohn dan Foss, 2008).

Apa yang menjadi perhatian para ilmuwan poskolonialis tidak

terbatas pada bagaimana bangsa Eropa menjadi penguasa akan suatu

wilayah beserta sumber daya dan masyarakatnya (secara fisik); tetapi lebih

kritis dari itu, yakni pada sesuatu yang dikenal sebagai “neokolonialisme”

atau secara sederhana diartikan sebagai penjajahan gaya baru (Littlejohn dan

Foss, 2008). Kajian-kajian poskolonial menaruh perhatian pada bagaimana

dunia Barat membuat sebuah struktur kekuasaan yang menguntungkannya

menjadi ajeg serta bagaimana mereka memperkuat praktik-praktik

kolonialisme sehingga dominasi mereka seperti yang pernah mereka

36

lakukan pada masa kolonial dapat terjaga (Littlejohn dan Foss, 2008).

Contoh neokolonialisme yang jarang disadari adalah pengelompokkan

negara-negara dengan penyebutan negara maju dan negara berkembang,

atau istilah “negara dunia pertama” untuk negara maju dan “negara dunia

ketiga” untuk negara berkembang (Littlejohn dan Foss, 2008).

Pemikiran Edward Said mengenai “the ortherness” diyakini

sebagai karya intelektual yang memelopori teori poskolonial (Littlejohn dan

Foss, 2008). Said (1978) menyebutkan bahwa dunia ini dibagi, dikelola

(secara arogan) dan dijarah dengan mengenyampingkan rasa kemanusiaan,

sehingga muncul sebuah sikap “kami manusia” dan “mereka” bukan.

Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi dalam ranah politik, tetapi juga

dalam bidang akademik. Hal yang ditekankan oleh Said adalah bagaimana

bangsa Barat memosisikan bangsa-bangsa yang berbudaya tidak seperti

mereka sebagai “subjek” untuk dikaji atau diteliti; sedangkan bangsa Barat

atau “others” sebagai pihak yang mempelajari subjek tersebut. Menurut

Said (1978), ada empat bentuk hubungan kekuasaan serta hegemoni bangsa

Barat terhadap Timur. Pertama, kekuasaan dalam politik – praktik

kolonialisme dan imperialisme. Kedua, kekuasaan dalam intelektual –

bangsa Barat seolah-olah menjadi superior dengan mengambil peran sebagai

pemasok ilmu pengetahuan bagi bangsa-bangsa Timur. Ketiga, kekuasaan

dalam kebudayaan – hegemoni ini dapat terlihat pada sisipan nilai-nilai,

peraturan, dan bahasa yang dimiliki oleh bangsa Barat ke dalam

masyarakat/bangsa Timur. Keempat, kekuasaan dalam moralitas – hegemoni

37

bangsa Barat juga sudah menyisip pada aspek moral, tentang apa saja yang

patut dan tidak patut dilaksanakan atau diyakini dalam bermasyarakat.

Berkaitan dengan hegemoni ini, para ilmuwan poskolonialis

menyarankan setidaknya dua cara untuk menghadapi dominasi ini

(Littlejohn dan foss, 2008). Pertama, berupaya meninggalkan segala bentuk

hak istimewa yang biasanya terbatas dimiliki oleh kelas mayarakat tertentu.

Setiap kepentingan manusia sangat mungkin merupakan hasil dari

rujukannya terhadap kepentingan golongan yang mendominasi atau

menciptakan hegemoni. Kedua, menghindari menerapkan esensialisme

sebagaimana bangsa Barat ter-esensialisasi melalui diskursus Barat.

Selain itu, Gramsci (dalam Pozzolini, 2006) memberikan

konsepsinya mengenai hegemoni yang bebas nilai. Hegemoni dapat

didefiniskan lebih positif jika melalui itu kelompok dominan dapat

meyakinkan dan mengakomodasi kelompok minoritas; bukan dengan

manipulasi intelektual yang menindas kelompok minoritas. Gramsci (dalam

Pozzolini, 2006) menyebutkan adanya kelompok intelektual organik yang

memiliki posisi penting dan dapat mengimplementasikan budaya counter

hegemonic. Kelompok intelektual organik ini adalah mereka yang memiliki

kemampuan untuk mengakomodasi kepentingan, perasaan, emosi golongan

yang tertindas atau terhegemoni.

Hal yang diperhatikan dalam memunculkan counter hegemonic ini

bukan sekedar penindasan yang bersifat fisik atau sebatas pada ekonomi;

tetapi pada hal yang mengacu pada pikiran atau intelektual. Menurut

Gramsci, setiap orang merupakan intelektual, namun tidak semuanya

38

menjalankan fungsinya sebagai intelektual. Gramsci menekankan perlu

adanya upaya pencerahan masyarakat dalam aspek intelektual sehingga

mampu menangkis hegemoni yang ada. Oleh karena itu, dalam konteks

pendidikan, Gramsci menempatkan guru sebagai kaum intelektual yang

istimewa dibandingan dengan kelompok yang lainnya. Menurutnya guru

memiliki peran yang sulit karena mereka memiliki tanggung jawab untuk

menciptakan cara pandang “baru” yang mampu menyatukan lapisan bawah

dan lapisa atas. Ia harus menentukan posisi; bersama rakyat yang tertindas

untuk menciptakan counter hegemony atau bersama penguasa untuk secara

kreatif menciptakan hegemoni sehingga dapat diterima oleh publik.

Sejalan dengan hal ini, Mohammad Natsir diyakini sebagai tokoh

yang mampu berperan sebagai intelektual organik karena kepiawaiannya

mejadi seorang yang dekat dengan rakyat sekaligus negarawan yang mampu

mengislahkan pemerintah dan rakyat. Hal ini terbukti ketika Natsir berada di

luar pemerintahan pada masa orde baru, Natsir berperan aktif membantu

pemerintah sekaligus meyakinkan rakyat dan berbagai pihak yang

berkepentingan untuk mendukung pemerintah.

2.3 Sejarah Komunikasi dan Kajiannya

Sejarah komunikasi memang tidak bisa terlepas dari tradisi retorika

yang muncul di Eropa, khususnya di Yunani Kuno. Namun, bukan berarti

komunikasi dalam tataran makna aktivitas manusia itu baru ada pada masa

itu dan hanya bangsa Yunani yang mengenalnya. Komunikasi tentu muncul

seiring dengan peradaban manusia sejak awal.

39

Karya Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr (2013) mengenai

sejarah komunikasi – The Handbook of Communcation History – adalah

sebuah karya akademik yang menarik untuk dikaji. Meskipun mereka

merancang susunan buku tersebut dengan menempatkan tradisi retorika

sebagai permulaan, tidak berarti permulaan sejarah komunikasi dimulai dari

masa itu; bahkan istilah komunikasi pun belum digunakan saat itu. Secara

spesifik mereka menyebutnya sebagai the proto-communication history,

masa dimulainya tulisan bersejarah mengenai komunikasi. Artinya mereka

berupaya untuk mengambil titik awal sejarah komunikasi berdasarkan

permulaan penulisan komunikasi. Hal yang menarik adalah mereka turut

merujuk pada naskah-naskah klasik keagamaan.

Sejarah komunikasi pada masa awal ini ditandai dengan retorika

yang lazim digunakan sebagai sarana edukasi dan penanaman moral. Selain

itu, budaya-budaya berpidato yang ditemukan di peradaban Persia juga

dapat menjadi contoh lain dari kebudayaan yang memandang pidato atau

keterampilan berbicara sebagai hal penting (Simonson, Peck, Craig, dan

Jackson Jr, 2013). Herodotus, yang dianggap sebagai bapak sejarah, bahkan

menggunakan budaya berpidato dan keterampilan berbicara ini sebagai

komponen penting dalam historiografis klasik (ilmu pencatatan sejarah).

Adapun naskah-naskah klasik keagamaan yang juga menyinggung

tentang komunikasi seperti Al-Quran, Bibel, Bhagavad Gita, Mencius, dan

kitab Konfusius (Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013). Kitab-kitab

suci tersebut dapat disebut sebagai sumber pengetahuan mengenai sejarah

komunikasi dalam konteks keagamaan yang sering sekali mengisahkan

40

peristiwa komunikasi sakral antara manusia dengan Tuhan. Misalnya Al-

Quran yang mengisahkan tentang percakapan Allah هلالج لج dengan Adam

alaihissalam beserta para malaikat dan juga iblis. Bahkan, pada surah Al-

Baqarah ayat 31, dikisahkan mengenai pengetahuan dasar tentang nama-

nama benda yang diberikan Allah SWT kepada Adam. Kisah ini

menunjukkan bahwa keterampilan komunikasi manusia dimulai dengan

internalisasi berbagai nama benda secara langsung oleh Tuhan.

Istilah “komunikasi” mulai banyak diperbincangkan dan menjadi

istilah penting dalam diskursus filsafat serta narasi-narasi historis pada abad

ke-17 (Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013). Pada tahun 1690,

John Locke menjadikan “komunikasi” sebagai konsep penting dalam

karyanya Essay Concerning Human Understanding yang menjelaskan

bagaimana transmisi ide dari satu orang ke yang lainnya (Peter dalam

Simonson , Peck, Craig dan Jackson Jr, 2013). Disertasi doktor pertama

mengenai surat kabar juga muncul pada akhir abad ini, yakni pada tahun

1690 di Jerman yang beberapa bagiannya membahas tentang jejak sejarah

surat kabar di Yunani dan Romawi Kuno (Atwood dan de Beer dalam

Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013).

Memasuki abad ke-18, komunikasi semakin mendapatkan

perhatian di Prancis dan Skotlandia dengan dibahasnya dalam kajian sejarah

perkembangan bahasa, media, dan peradaban (D’Alembert, Darnton dan

Blom dalam Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013). Ensiklopedia

berbahasa Prancis, Encyclopẽdie, menempatkan komunikasi sebagai proses

fundamental dalam tata hisitoris tentang masyarakat.

41

Pada abad ke-19, beberapa kajian khusus tetang pencetakan, buku-

buku, koran, retorika, sistem pos, dan rute transportasi muncul (Simonson,

Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013). Karya-karya penting terbit di Amerika

Serikat, misalnya History of Printing in America karya Isaiah Thomas pada

tahun 1810 yang dilanjutkan dengan karya Frederic Hudson, Journalism in

the United States, yang diterbitkan tahun 1873. Lebih lanjut lagi, pada tahun

1890-an, perkuliahan yang membahas sejarah para jurnalis dan penerbit

hebat di masa lalu ditawarkan di Catholic University di Lille, Prancis.

Seorang ekonom dan pelopor kajian sejarah press di Jerman bernama Karl

Bücher mulai menulis tentang surat kabar pada tahun 1890-an. Kemudian,

pada tahun 1895, perkuliahan dengan topik “The History of the Press and

Jounalism in Germany” di University of Heidelberg ditawarkan di Jerman.

Memasuki abad ke-20, komunikasi menjadi istilah dan konsep

penting yang berkaitan dengan dialog, percakapan, informasi, propaganda,

opini publik, public relations, jurnalisme, media, komunikasi massa dan

teknologi. Pada masa ini, sejarah tentang koran dan jurnalisme menjadi

bidang yang paling mapan dalam kajian sejarah komunikasi (Simonson,

Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013).

Pada abad ini penelitian mengenai propaganda mulai dilakukan di

Amerika Serikat, tepatnya pada tahun 1920an dan 1930an (Sproule dalam

Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013). Salah satu ilmuwan Amerika

yang terkenal dalam kajian ini adalah Harold D. Lasswell yang salah satu

karyanya berjudul Propaganda and Communciation in World History.

Kajian propaganda juga dilakukan oleh ilmuwan mazhab Frankfurt Jerman

42

seperti Theodor Adorno dengan karyanya The Psychological Technique of

Martin Luther Thomas‟ Radio Adresses, serta Leo Lowenthal dengan

karyanya Prophets of Deceit.

Kajian lainnya yang mewarnai pada abad ini adalah opini publik.

Karya penting dihasilkan oleh Walter Lippman yang menulis Public

Opinion pada tahun 1922 dan John Dewey yang menulis Public and Its

Problems pada tahun 1927. Lalu pada tahun 1937, keduanya mendirikan

jurnal penting dan pertama dalam kajian ini, yakni Public Opinion

Quarterly (Simonson, Peck, Craig, dan Jackson Jr, 2013).

Pada masa ini, pelembagaan komunikasi mengalami kemajuan di

Amerika Serikat dengan dibentuknya cikal bakal dari National

Communication Association (NCA) yang ada saat ini. Pada mulanya, tujuh

belas pengajar yang tergabung dalam National Council of Teachers of

English menghadai perselisihan internal, kemudian memilih keluar dan

mendirikan National Association of Academic Teachers of Public Speaking

(NAATPS) pada tahun 1914 (NCA, tt.). Institusi ini kemudian mengalami

beberapa perubahan nama hingga menjadi NCA pada tahun 1997 yang

bertahan hingga sekarang.

Jika melihat perkembangannya, kata “communication” mulai

digunakan untuk menamai asosiasi nasional Amerika Serikat ini pada akhir

dasawarsa ke-tujuh abad ke dua puluh. Namun, kata “communication”

sebenarnya sudah digunakan untuk menamai institusi penelitian pada tahun

1947 di University of Illinois, yakni Institute of Communication Research

(IRC). IRC menandai permulaan komunikasi secara lebih luas menjadi

43

disiplin akademik tersendiri (ICR, t.t.; Liliweri, 2011). Pelopornya adalah

Wilbur Schramm yang sekaligus menjadi direktur pertamanya.

Pendirian IRC ini dianggap sebagai awal kelahiran ilmu

komunikasi. Namun, berbagai tokoh yang telah disebut di penjelasan-

penjelasan sebelumnya telah berkontribusi bagi peletakan dasar ilmu

komunikasi, meskipun mereka tidak menyebut dirinya secara eksplisit

sebagai ilmuwan komunikasi. Rogers (1994) menyebut mereka sebagai

forerunner karena berhasil mengangkat komunikasi menjadi sebuah ilmu

penting. Mereka adalah Carl I. Hovland, Harold D. Lasswell, Robert E.Park,

George Herbert Mead, Paul Lazarsfeld, Kurt Lewin, Claude E. Shannon,

Gabriel Tarde, Geoger Simmel, dan Norbert Wiener. Adapun founder ilmu

komunikasi menurutnya adalah Wilbur Schramm melalui perannya dalam

pendirian IRC dan juga menjadi pengajar bagi para doktor pertama dalam

ilmu komunikasi (Rogers, 1994). Salah satu muridnya adalah doktor ilmu

komunikasi pertama di Indonesia, M. Alwi Dahlan (Rokhman, 2015).

Sebelum dikenalkannya ilmu komunikasi yang berakar di Amerika

Serikat oleh M. Alwi Dahlan, pondasi keilmuannya sudah ada sejak

ditawarkannya ilmu penerangan sebagai mata kuliah di Universitas Gadjah

Mada pada tahun 1948 (Cangara dalam Antoni, 2004). Selanjutnya,

Universitas Indonesia membuka Jurusan Publisistik yang berada di bawah

naungan Fakultas Ilmu Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat pada

tahun 1959. Beberapa universitas pun mengikuti UI, seperti Universitas

Padjajaran pada 1960, Universitas Hasanuddin pada 1961, Universitas Prof.

Dr. Moestopo pada 1962, dan Universitas Diponegoro pada 1967.

44

Pengembangan kajian ilmu publisistik di Indonesia berawal dari

permintaan Ir. Soekarno yang menginginkan para wartawan Indonesia

memiliki landasan keilmuan yang baik sehingga dapat menjadi pendukung

revolusi (Lukman dalam Rokhman, 2015). Ilmu ini pun mengalami

perkembangan hingga berubah namanya pada tahun 1982 menjadi ilmu

komunikasi untuk tingkat sarjana serta hubungan masyarakat dan jurnalistik

untuk tingkat diploma. Perubahan nama ini berdasarkan pada Keputusan

Presiden Nomor 107/82 Tahun 1982 tentang penyeragaman nama ilmu-ilmu

yang dikaji di Indonesia (Rokhman, 2015).

Perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia berkembang pesat

dengan munculnya berbagai program studi/jurusan ilmu komunikasi di

berbagai universitas. Menurut Kuswarno (dalam Rokhman, 2015),

konsentrasi program studi/jurusan ilmu komunikasi di Indonesia adalah

pada bidang: Jurnalistik, Hubungan Masyarakat, Manajemen Komunikasi,

Penyiaran, Manajemen Media, Komunikasi dan Penyiaran Islam,

Komunikasi Bisnis, Periklanan, Komunikasi Pemasaran dan lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa awal

mula pencatatan komunikasi erat kaitannya dengan retorika dan kegiatan

publikasi yang pada perkembangannya dikenal istilah yang lebih bersifat

praktis seperti pidato, propaganda, dan opini publik. Semuanya tidak

terlepas dari kegiatan atau kepentingan politik serta dua istilah yang lahir di

peradaban barat, publisistik (Eropa) atau jurnalisme/jurnalistik (Amerika)

yang kemudian menjadi landasan lahirnya dan perkembangan ilmu

komunikasi hingga tersebar ke Indonesia. Dengan menelusuri jejak sejarah

45

Mohammad Natsir, harapannya penulis dapat menemukan akar-akar ilmu

komunikasi khas Indonesia yang tentunya tidak mutlak selalu berkaitan

dengan apa yang tercatat dalam sejarah peradaban Barat. Misalnya, bisa saja

komunikasi dan kajian komunikasi di Indonesia berakar dari semangat

dakwah Islam (menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran) yang

berlandaskan pada gairah kemerdekaan, bukan gairah penjajahan.

2.4 Komunikasi Politik

McNair (2011) mendefinisikan komunikasi politik dengan merujuk

pada pandangan Denton dan Woodward yang secara sederhana ia artikan

sebagai komunikasi yang ditujukan untuk aktivitas atau kepentingan politik.

Secara lebih rinci, ada tiga bentuk komunikasi yang dapat diklasifikasikan

sebagai komunikasi politik, yakni: (1) segala bentuk komunikasi yang

dilakukan oleh para politisi dan para aktor politik lainnya untuk tujuan-

tujuan tertentu; (2) tindakan komunikasi oleh para non-politisi – seperti

pemilih dan kolumnis surat kabar – yang ditujukan kepada para politisi dan

aktor politik lainnya; dan (3) komunikasi yang menyangkut para politisi dan

aktivitasnya yang termuat di berita, editorial, dan bentuk-bentuk media

lainnya yang dapat menjadi sarana diskusi politik.

Sejarah mengenai awal dimulainya kajian komunikasi politik

memiliki titik yang sama dengan kajian komunikasi massa, dan kajian

komunikasi itu sendiri (Kaid, 2004). Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, bahwa dasar-dasar kajian komunikasi hingga menjadi sebuah

disiplin ilmu diawali dengan kajian-kajian tindakan komunikatif yang

berkaitan dengan politik. Sehingga, pernyataan Kaid dapat diartikan bahwa

46

komunikasi politik yang praktiknya berkaitan dengan komunikasi massa

menjadi kajian pembuka dari ilmu komunikasi.

Pendapat Kaid ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Chaffee dan

Hochheimer (1985) bahwa kajian komunikasi politik dimulai dari

penelitian-penelitian awal tentang komunikasi massa. Pendapat Chaffee dan

Hochheimer ini diperjelas oleh Ryfe (2001) yang menyatakan bahwa ada

komitmen teoritis dan metodologis antara penelitian-penelitian komunikasi

massa dan komunikasi politik. Komitmen ini kemudian dibentuk

berdasarkan tiga disiplin utama, yakni psikologi sosial, penelitian

komunikasi massa dan ilmu politik. Apa yang disampaikan oleh Ryfe ini

pun bertatutan dengan pendapat Alwi Dahlan (1989) mengenai ilmu politik

yang menjadi akar dari komunikasi politik.

Dari tiga disiplin utama yang disebut di atas, sosial psikologi

menjadi disiplin yang paling berpengaruh bagi pengembangan kajian

komunikasi politik (Ryfe, 2001). Disiplin yang berfokus pada sikap, opini

dan keyakinan ini sudah dimulai sejak awal abad ke-20 dan perspektif

dasarnya mulai digunakan oleh ilmuwan komunikasi pada tahun 1920-an

(Delia dalam Ryfe, 2001). Psikologi sosial memberikan perhatian mendalam

pada ketepatan pengukuran dan percobaan. Dua instrumen pengumpulan

data yang sangat sering digunakan dalam kajian komunikasi politik, survei

dan eksperimen, adalah hasil pengembangan dari para ilmuwan psikologi

sosial (Ryfe, 2001).

Pengaruh psikologi sosial ini dibuktikan melalui penelitian tentang

opini publik oleh Walter Lippmann pada tahun 1922 yang menjadi dokumen

47

pembuka kajian komunikasi politik sekaligus ilmu komunikasi itu sendiri

(Kaid, 2004, Ryfe, 2001). Contoh lainnya adalah kajian tentang propaganda

politik yang dilakukan Harold D. Lasswell pada tahun 1927 dan studi

persuasi oleh Gordon Allport pada tahun 1935 (Ryfe, 2001).

Lippmann disebut sebagai jurnalis politik paling berpengaruh di

abad ke-20 serta menjadi tokoh penting dalam analisis propaganda, opini

publik dan agenda-setting (Kaid, 2004). Lippmann merupakan ilmuwan

yang melakukan pemikiran dan pencatatan awal mengenai apa yang

kemudian disebut sebagai agenda-setting melalui salah satu bagian dari

karyanya “The World Outside and the Pictures in Our Heads” (Kaid, 2004).

Lippmann membedakan realitas yang sungguh terjadi (real-world

indivators) dengan apa yang dipersepsikan oleh masyarakat (public

agenda). Selain itu, ia merupakan pelopor dalam melakukan analisis isi

secara ilmiah terhadap pemberitaan media (Kaid, 2004). Saat itu, yang

menjadi bahan analisisnya adalah pemberitaan The New York Times tentang

Revolusi Russia tahun 1917. Lippmann bersama Merz kemudian

menemukan adanya bias anti-Bolshevik dalam pemberitaan tersebut.

Temuannya ini kemudian membuat Lippmann menjadi skeptis terhadap

kemampuan rata-rata orang Amerika dalam memandang berbagai isu

penting secara cermat (Kaid, 2004).

Tokoh berikutnya yang menjadi pelopor kajian komunikasi politik

adalah Harold D. Lasswell. Lasswell, seoarang ilmuwan politik di

University of Chicago yang fokus mengaji tentang propaganda (Kaid, 2004).

Melalui disertasinya yang ditempuh di universitas tersebut, Lasswell

48

melakukan analisis konten terhadap propaganda Jerman saat melawan

Prancis, Inggirs dan Amerika pada Perang Dunia I. Penelitiannya ini

kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul “Propaganda

Technique in the World War” pada tahun 1927. Hasil risetnya ini

menjelaskan tentang efek komunikasi massa terhadap psikologi publik

(khususnya negara yang menjadi target) maupun individu yang terlibat

dalam perang. Temuannya ini kemudian menjadi landasan bagi rumusannya

yang terkenal, yakni “who, says what, in which channel, to whom, with what

effect” (Kaid, 2004).

Tokoh lainnya adalah Paul F. Lazarsfeld, ilmuwan asal Austria

yang berhijrah ke Amerika Serikat dan meniti karir akademiknya di

Columbia University. Pada tahun 1937, dengan pendanaan dari Rockefeller

Foundation, Lazarsfeld memimpin Radio Reasearch Project yang nantinya

berubah menjadi Bureau of Applied Social Research di Columbia University

(Kaid, 2004). Proyek terkenal Lazarsfeld adalah Erie County Study yang

merupakan penelitian kuantitatif pertama tentang voting behavior dengan

melibatkan 600 responden yang dilakukan selama 6 bulan pada 1940. Hasil

penelitiannya ini menunjukkan bahwa media massa tidak memiliki

pengaruh yang kuat dan mutlak kepada publik. Lazarsfeld kemudian

mencetuskan konsepsi two-step flow of communication, di mana opinion

leader lah yang berperan penting untuk memberikan informasi-informasi

terkait politik kepada para pengikutnya melalui saluran komunikasi

antarpribadi (Kaid, 2004).

49

Memasuki masa Perang Dunia II, kajian komunikasi politik

semakin terlihat esensi ilmu komunikasinya, khususnya komunikasi massa.

Ini bisa terjadi karena: (1) media yang menjadi fokus komunikasi politik

termasuk ke dalam cakupan ilmu komunikasi; (2) semakin banyaknya

pengaji komunikasi politik yang ahli komunikasi; dan (3) sifat

interdisipliner ilmu komunikasi memungkinkan investigasi dan pemahaman

yang lebih jelas tentang perilaku-perilaku politik (Dahlan, 1989).

Di Indonesia, kajian komunikasi politik belum dapat berkembang

dengan baik sebelum reformasi 1998 karena adanya kontrol yang kuat dari

Soeharto (Kaid, 2004). Salah satu kajian komunikasi politik yang dilakukan

sebelum reformasi adalah kajian analisis isi komparatif terhadap

pemberitaan Perang Teluk di New York Times dan Kompas yang dilakukan

oleh Soesilo dan Wasburn pada tahun 1994. Studi tersebut menyimpulkan

bahwa pers Indonesia memiliki komitmen dalam mendukung pembangunan

sosial dan ekonomi serta mengutamakan pemberitaan mengenai

pemerintahan (Kaid, 2004). Setelah terjadinya reformasi, kehidupan pers

pun aktif dan mulai muncul kajian-kajian komunikasi politik yang pada

mulanya banyak membahas tentang peran media massa dalam jatuhnya

pemerintahan Soeharto (Kaid, 2004). Penelitian pertama yang membahas

tentang ini dilakukan oleh McCargo pada tahun 1999 yang berfokus pada

pelarangan terbit bagi Tempo, DeTik dan Editor untuk menekan gagasan-

gagasan politik serta kelompok-kelompok kepentingan yang berlawanan

dengan Soeharto (Kaid, 2004).

50

Berkaitan dengan pengembangan kajian komunikasi politik di

Asia, termasuk Indonesia, Kaid (2004) menyebutkan bahwa salah satu

faktor penghambatnya adalah adanya keraguan mengenai kesesuaian teori

barat untuk digunakan dalam meneliti fenomena komunikasi politik di

wilayah ini. Ini tentu menjadi tantangan bagi para penggiat kajian

komunikasi politik di Asia dan juga Indonesia tidak hanya untuk meninjau

kembali teori barat secara ilmiah tetapi juga memunculkan berbagai karya

akademik dalam bidang ini yang khas Asia, atau secara khusus Indonesia

(Menon, 1988). Dengan menjawab tantangan ini, diharapkan kajian

komunikasi politik di Indonesia dapat berkembang tidak hanya dalam aspek

kuantitasnya, tetapi juga dari kualitasnya – artinya temuan-temuan ke depan

diharapkan lebih konstektual dan relevan.

2.5 Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional

Komunikasi pendidikan merupakan salah satu bidang kajian dalam

ilmu komunikasi yang mencakup segala bentuk konstruksi dan konsep

tentang berbicara, mendengarkan, dan relasional yang berkaitan dengan

pembelajaran (Rubin, 2011).

Komunikasi pendidikan diawali dari kajian spesifik mengenai

speech communication (Rubin, 2011). Kajian ini sudah dimulai sejak awal

pendirian National Communication Association yang pada ,mulanya

bernama National Association Teachers of Public Speaking (1914).

Organisasi ini kemudian merilis jurnal pertamanya pada 1915 yang bernama

Quarterly Journal of Public Speaking. Beberapa topik penelitian yang

mendapatkan perhatian para ilmuwan di bidang ini adalah metode

51

pengajaran debat, prosedur parlemen, drama, teater, kelas-kelas pidato di

sekolah dan perguruan tinggi, serta metode pengelolaan departemen dan

asosiasi (Rubin, 2011). Pada tahun 1946, asosiasi ini berubah nama lagi

menjadi Speech Association of America dan mempublikasikan jurnal

ketiganya, Speech Teacher, pada tahun 1952. Jurnal ini kemudian diubah

namanya menjadi Communication Education yang konsisten

mempublikasikan penelitian berkualitas terkait pengembangan komunikasi

dan pembelajaran yang secara luas didefinisikan sebagai pendidikan

komunikasi dan komunikasi instruksional (NCA, tt.)

Setelah bertahun-tahun semenjak awal dikembangkannya, melalui

berbagai tinjauan pustaka dalam komunikasi pendidikan,dimensi utama dari

kajian ini berhasil diidentifikasi. Rubin dan Feezel (1986) berhasil

mengidentifikasi tiga jenis sub kajian komunikasi pendidikan, yakni

pendidikan komunikasi (communication education), komunikasi

instruksional (instructional communication), dan pengembangan

komunikasi (communication development).

Pendidikan komunikasi berfokus pada topik-topik yang diajarkan

di kelas-kelas atau pogram-program komunikasi (misalnya penyiaran,

jurnalisme, dan public relations), proses pemilihan topik tersebut, metode

yang digunakan dalam pengajaran, serta teknik evaluasi capaian belajar

siswa (Rubin, 2011). Komunikasi instruksional memiliki fokus yang lebih

luas, yakni pada strategi dan kemampuan pengajar dalam berkomunikasi

secara lebih baik dengan siswanya, apapun bidang ilmu pengetahuan yang

diajarkan (McCroskey dan McCroskey, 2006). Adapun pengembangan

52

komunikasi, bidang ini berfokus pada proses perkembangan bahasa dan

kemampuan berbicara pada anak-anak serta faktor-faktor lingkungan yang

memengaruhinya (Rubin, 2011). Dari tiga sub kajian tersebut, komunikasi

instruksional menjadi salah satu fokus dalam penelitian ini yang akan

digunakan sebagai framework untuk menganalisis dan mengkategorisasi

aktivitas-aktivitas Mohammad Natsir yang berkenaan dengan pengajaran.

Komunikasi instruksional dipelopori oleh Robert Kibler, Larry

Barker, dan McCroskey yang memprakarsai terbentuknya divisi komunikasi

instruksional pada International Communication Association (ICA) pada

tahun 1972 (Richmond dan Frymier dalam McCroskey, Teven, Minielli, dan

Richmon, 2014). Tujuan dari divisi ini adalah untuk memberikan perhatian

secara khusus pada peran komunikasi di segala jenis pengajaran dan

pelatihan, serta menyediakan kesempatan bagi para ilmuwan di bidang ini

untuk menampilkan karya-karya ilmiahnya di konvensi tahunan yang

diadakan oleh ICA serta mempublikasikan penelitiann serta kajian

pustakanya dalam Communication Yearbook (Myers, 2010).

Pada akhir dekade 1970-an hingga awal 1980-an, dikembangkan

pendekatan komunikasi instruksional yang berfokus pada identifikasi

perilaku, sikap dan atribut-atribut komunikatif yang digunakan oleh

pengajar (Nussbaum dalam Myers, 2010). Penelitian-penelitian yang

dilakukan pada masa ini meliputi aspek nonverbal pengajar, gaya

komunikasi pengajar, humor yang digunakan dalam pengajaran, ketakutan

berkomunikasi pada siswa, serta power in the classroom.

53

Memasuki akhir abad ke-20, topik-topik penelitian komunikasi

instruksional lebih beragam (Myers, 2010). Beberapa contohnya adalah

penelitian tentang gaya komunikasi agresif yang dipraktikkan pengajar,

kelakuan buruk pengajar, cara-cara yang digunakan siswa untuk

mengklrafikasi sesuatu, motivasi siswa, serta motif siswa dalam

berkomunikasi dengan pengajar.

Pada abad ke-21, ada beberapa topik penelitian baru yang muncul;

misalnya riset tentang tempramen pengajar oleh McCroskey, Valencic dan

Richmond pada 2004. Penelitian terkait peran teknologi dalam pengajaran

yang berfokus pada isu-isu tentang distance education, teknologi kelas

digital, e-mail, dan situs jejaring sosial mulai dirintis dan mendapatkan

banyak perhatian (Waldeck, dkk. Dalam Myers, 2010).

Berkaitan dengan substansi kajian ini, terdapat dua perspektif atau

tradisi yang perlu diperhatikan, yakni rhetorical perspective dan relational

perspective. Perspektif atau tradisi retorika berfokus pada penggunaan pesan

verbal dan nonverbal oleh pengajar untuk mempersuasi atau memengaruhi

para siswanya agar mengubah maupun memperkuat sikap, keyakinan, nilai-

nilai dan perilaku yang dikehendaki oleh pengajar (Farris, Houser, dan

Hosek, 2018). Perpspektif ini cenderung memberlakukan model komunikasi

yang lebih linear dalam pembelajaran, sehingga komunikasi yang dibentuk

lebih bersifat transmisif – guru berperan sebagai sumber utama pesan-pesan

yang berkaitan dengan pengajaran, sedangkan para siswa diposisikan

sebagai penerima utama dari pesan-pesan tersebut (Farris, Houser, dan

Hosek, 2018).

54

Berikutnya adalah relational perspective yang menekankan pada

berbagai aspek terkait hubungan antarpribadi yang mencakup

pengembangan hubungan, ekspresi emosi, komunikasi yang berorientasi

tujuan, manajemen konflik, serta ketidak-setaraan dalam hubungan

antarpribadi (DeVito; Ellis; Mottet dan Beebe; Frymier dan Houser dalam

Farris, Houser, dan Hosek, 2018). Tujuan dari seorang pengajar yang

menerapkan perspektif/tradisi ini adalah membentuk hubungan yang baik

dengan para siswanya, bukan sekedar memenuhi target pembelajaran atau

transmisi ilmu pengetahuan (Beebe, Beebe, dan Redmond dalam Farris,

Houser, dan Hosek, 2018). Oleh karena itu, McCroskey dan Richmond

(dalam Farris, Houser, dan Hosek, 2018) menegaskan bahwa yang

ditekankan oleh perspektif/tradisi ini adalah kepuasan dan kenyamanan

hubungan antara pengajar dan para siswanya.

Salah satu konsep penting yang berkaitan dengan perspektif/tradisi

ini adalah “I-It” relationships dan “I-Thou” relationships yang dijelaskan

oleh Martin Buber (dalam Farris, Houser, dan Hosek, 2018) pada akhir

tahun 1950-an. Secara sederhana,“I-It” relationships dapat diartikan

sebagai hubungan yang memosikan rekan bicara atau orang lain sebagai “it”

atau benda, bukan sebagai individu yang unik. Hubungan ini cenderung

menghasilkan komunikasi yang impersonal serta respon bergantung pada

ekspektasi peran yang dimiliki orang tersebut (Buber dalam Farris, Houser,

dan Hosek, 2018). Sedangkan “I-Thou” relationships adalah bentuk

komunikasi yang mendorong keintiman dan interaksi yang intensif karena

masing-masing individu menegaskan posisi lainnya sebagai individu yang

55

unik serta adanya penerimaan dan keterbukaan di antara mereka (Buber

dalam Farris, Houser, dan Hosek, 2018).

Pengajar dan siswa yang menjalin “I-It” relationships akan

memiliki sedikit keterbukaan di antara kedua belah pihak dan hubungannya

hanya berfokus pada materi pembelajaran serta transmisi pengetahuan.

Adapun yang menjalin “I-Thou” relationships akan mendorong hubungan

yang saling-terbuka, pengajar dan siswa saling memberikan pemahaman dan

menciptakan kenyamanan dalam berhubungan, serta interaksinya tidak

terbatas pada trasmisi pengetahuan, tetapi juga mencakup berbagai hal yang

bersifat personal yang justru dapat memperkuat kegiatan pembelajaran.

Selain dua perspektif di atas, terdapat juga General Model of

Instructional Communication yang diperkenalkan oleh James McCroskey,

Kristin Valencic dan Virginia Richmond Merujuk pada penjelasan

McCroskey, Valenic, dan Richmond (2004), General Model of Instructional

Communication memiliki asumsi bahwa guru merupakan sumber utama

informasi, sedangkan siswa menempati posisi sebagai peserta didik atau

yang menerima informasi dari guru.

2.6 Komunikasi Da’wah

Racius (2004), dalam disertasinya, menyebutkan beberapa definisi

da‟wah secara etimologis: berbicara, memanggil, memohon, meminta,

menuntut, atau menyembah. Ia memperselisihkan beberapa pendapat

tentang da‟wah. Salah satunya adalah yang disampaikan oleh Walker

tentang perbedaan da‟wah dan tabligh. Walker (dalam Racius, 2004)

mendefinisikan tabligh sebagai misi untuk menyampaikan sebuah pesan

56

secara aktif, sedangkan da‟wah adalah panggilan yang bersifat pasif.

Racius (2004) menegaskan bahwa pandangan ini tidak benar karena

menurutnya da‟wah yang dilakukan Nabi Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص, yang menjadi

percontohan da‟wah itu sendiri, tidak selalu pasif. Bahkan, ia

menyebutkan bahwa usaha keras harus dilakukan oleh Nabi untuk sukses

dalam da‟wah-nya. Racius juga merujuk fakta sejarah bahwa da‟wah Nabi

menjadi semakin berkembang ketika berada di Madinah dan Nabi menjadi

pemimpin agama sekaligus kepala negara.

Racius (2004) juga mengutip pendapat Janson yang menyebutkan

tiga pengertian da‟wah: (1) menyembah Tuhan; (2) berbicara, memohon

dan memanggil; dan (3) mengajak untuk memeluk agama tertentu

(khususnya Islam). Ia kemudian memberikan perhatian khusus pada

definisi da‟wah yang ketiga. Salah satu pandangan tokoh pembaru Islam

yang ia rujuk adalah milik Rasyid Rida yang mendefinisikan da‟wah

sebagai ajakan untuk memeluk Islam, dan kemudian menyerukan kepada

kebaikan dan mencegah keburukan.

Sikap Racius terhadap pengertian da‟wah ini sepertinya adalah

yang tepat jika dibandingkan dengan Walker. Menariknya, meskipun

Walker berpandangan bahwa tabligh dan da‟wah itu berbeda, Ia justru

menyampaikan beberapa pengertian da‟wah secara etimologis yang justru

menunjukkan tindakan komunikasi aktif, seperti penyeruan, aktivitas

misionaris, bahkan propaganda. Pendapat lain disampaikan oleh Toha

Jahja Omar (1967), Rektor IAIN Syarif Hidayatullah periode 1970-1973,

57

yang menyatakan bahwa da‟wah memiliki kemiripan makna dengan

penerangan, penyiaran, indoktrinasi, dan propaganda.

Penyertaan “propaganda” sebagai pengertian dari da‟wah perlu

mendapatkan perhatian. Pasalnya, kata yang identik maknanya dengan

“propaganda”, yakni “propagation” muncul dalam definisi tabligh yang

disampaikan oleh Mowlana (2007). Menurut Mowlana (2007), tabligh

adalah bentuk propaganda dalam Islam yang bertujuan untuk menyebarkan

nilai atau ajaran Islam atau memperbanyak (secara kuantitas) orang yang

meyakini Islam. Adapun definisi propaganda adalah metode

penyebarluasan pesan secara massif yang bertujuan untuk memengaruhi

aspek psikologi massa hingga dapat menciptakan perubahan pada sikap

dan prilaku (Ellul; Lasswell dalam Mowlana, 2007). Sebuah titik temu

definisi dari da‟wah dan propaganda adalah kehendak memassifkan

sesuatu yang dapat berdampak pada perilaku target pesan. Namun, yang

da‟wah dan propaganda memiliki perbedaan yang mendasar pada

tujuannya secara historis.

Dengan demikian, da‟wah dan tabligh pada dasarnya memiliki

tujuan yang sama – penyebarluasan Islam dan peningkatan jumlah

pemeluknya. Natsir (dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa,

2002), lebih memilih kata da‟wah untuk cakupan yang lebih luas karena

tidak hanya sekedar menyampaikan (tabligh), tetapi juga mengajak.

Istilah da‟wah disebutkan dalam banyak ayat di beberapa surah

dalam al-Quran. Dua ayat yang dapat menjadi pedoman pendefinisian dari

58

istilah ini adalah surah Ali-Imran ayat 104 dan surah an-Nahl ayat 125,

yang menyebutkan:

Terjemahan:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;

merekalah orang-orang yang beruntung” (Kemenag RI, 2011).

Terjemahan:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang

baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu

Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan

Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(Kemenag RI, 2011).

Kata “da‟wah” dengan bentuk berbeda digunakan dalam dua ayat

di atas yang menunjukkan arti yang sama, yakni “menyerukan”. Ayat

pertama mengandung tentang konten da‟wah, yakni menyuruh kepada

kebaikan (ma‟ruf) dan mencegah keburukan (munkar). Sedangkan ayat

kedua menjelaskan tentang metode da‟wah dengan penyampaian hikmah,

pelajaran yang baik, keteladanan, serta menyanggah berbagai pandagan dan

keyakinan target da‟wah dengan cara yang baik (Omar, 1967).

59

Berdasarkan dua ayat tersebut serta beberapa penjelasan mengenai

da‟wah yang disebutkan sebelumnya, ada tiga poin utama terkait pengertian

komunikasi da‟wah: (1) aktivitas komunikasi yang isi utama pesannya

adalah seruan kepada kebenaran dan kebajikan serta pencegahan dari segala

kemunkaran; (2) bertujuan untuk mengajak dan memengaruhi manusia agar

meyakini dan mengamalkan ajaran Islam; (3) dilakukan dengan menerapkan

strategi yang komunikasi yang menunjukkan hikmah dan keteladanan.

Komunikasi da‟wah bukanlah bagian sampingan dari Islam.

Sebagai agama misionaris, Islam sangat erat dengan praktik komunikasi.

Natsir (2017) menyebutkan dalam Fiqhud Da‟wah, bahwa Islam adalah

agama risalah untuk alam semesta. Galander (2002), seorang asisten

Professor pada Deparment of Communication, International Islamic

University Malaysia, menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang

berbasis komunikasi. Ia berpandangan bahwa dua sumber hukum utama

dalam Islam yang sekaligus menjadi panduan da‟wah, al-Quran dan as-

Sunnah atau al-Hadits, berbasis pada komunikasi.

Galander (2002) menggunakan istilah “a communicational

miracle” untuk mengungkapkan ketakjubannya pada al-Quran.

Menurutnya, al-Quran memiliki kefasihan bahasa dan kesusastraan yang

tinggi yang tidak satu pun dari para penyair dan orator Arab terkemuka

dapat menyamainya.

Jauh sebelum pernyataan Galander yang seorang muslim ini,

ketakjuban atas keajaiban al-Quran telah lebih dulu diungkapkan oleh al-

Walid ibn al-Mughirah, seorang tokoh Quraisy di zaman Nabi Muhammad

60

yang selalu menganggu kegiatan da‟wah Nabi dan menghina Nabi ملسو هيلع هللا ىلص

sebagai penyihir dan orang gila (Haykal, 1993). Ayah dari panglima perang

Islam terkemuka (Khalid bin Walid) ini mengungkapkan bahwa al-Quran

itu manis, indah, memiliki bahasa yang tinggi dan tidak ada satu pun

manusia yang mampu membuat hal yang serupa dengannya (Haykal, 1993).

Adapun as-Sunnah merupakan perbuatan, ucapan dan sikap Nabi

Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص yang menjadi panduan kedua setelah al-Quran bagi umat

Islam yang penyampaian dan penulisannya tidak hanya menunjukkan

penggunaan metode ilmiah yang cermat dan teliti, tetapi juga

merepresentasikan praktik komunikasi yang historis, terstruktur dan

memerhatikan kredibilitas penyampainya.

Berkenaan dengan pelaksanaan komunikasi da‟wah, ada dua hal

penting yang harus diperhatikan, yakni target-cakupan dan metode da‟wah.

Natsir (2017) menyebutkan tiga lingkup yang menjadi target da‟wah, yakni:

(1) individu atau personal; (2) keluarga; dan (3) umat atau masyarakat, baik

muslim maupun yang tidak. Pembagian yang sedikit berbeda disampaikan

oleh Murad (dalam Wagner, 2003): (1) tingkatan makro yang mencakup

umat dan negara; (2) tingkatan menengah yang mencakup institusi atau

kelompok masyarakat yang besar; dan (3) tingkatan mikro yang mencakup

individu dan kelompok kecil seperti keluarga.

Adapun metode dalam penyampaiannya dapat merujuk pada

pendapat Natsir (2017) yang menaruh perhatian pada surah Ali-Imran ayat

104 menjelaskan beberapa teknik da‟wah yang berkaitan dengan hikmah,

keteladanan dan beradu argumentasi.

61

1) Mengenal golongan atau masyarakat yang menjadi target da‟wah.

2) Mencermati waktu yang tepat untuk berbicara dan diam;

3) Mengadakan dialektika dalam argumentasi, mencari titik

pertemuan sebagai tempat bertolak, serta maju secara sistematis;

4) Berhati-hati agar tidak terpengaruh hal-hal negatif dari target

da‟wah dan lingkungannya yang seharusnya diubah – Natsir

menyebutnya sebagai memegang erat sibghah Allah هلالج لج;

5) Memilih dan menyusun kata yang tepat. Natsir menyebutkan

beberapa jenis perkataan yang ada dalam al-Quran, yakni:

a. Qaulan sadiedan, yakni kata-kata yang benar, tidak berbelit-

belit, serta keluar dari hati yang suci bersih.

b. Qaulan layyinan, yakni kata-kata yang lembut, halus dan

menyenangkan karena menunjukkan harapan.

c. Qaulan balighan, yakni kata-kata yang dapat merasuk sampai

ke benak target da‟wah.

6) Berpaling dari kaum yang sangat jelas memusuhi Islam, tidak

memiliki sedikit pun titik temu, dan justru menimbulkan hal-hal

negatif jika da‟wah pada mereka dilanjutkan.

7) Memberikan uswah hasanah atau keteladanan dengan

menampilkan akhlak yang mulia, serta menggunakan metode

lisanul hal atau the true action yang lebih kuat dari pada orasi.

2.7 Jurnalisme Islam

Hamid Mowlana (2007), seorang Profesor Emiritus pada School of

International Service, American University, menyatakan bahwa jurnalisme

62

dalam perspektif Islam ialah bagian dari tabligh yang tujuan pengumpulan,

produksi, dan penyebaran informasinya adalah untuk menampilkan

kebenaran Islam (Mowlana, 2007).

Mowlana (2007) menaruh perhatian khusus pada peran penting

jurnalisme dalam agenda da‟wah Islam atau sebagai alat untuk

melaksanakan amr ma‟ruf nahi munkar (menyeru pada kebajikan dan

mencegah kemungkaran). Mowlana (2007) menyebutkan praktik jurnalisme

di Iran sebagai percontohan jurnalisme Islam. Media massa di Iran memiliki

peran strategis tidak hanya dalam keagamaan, tetapi juga dalam aspek

geopolitik dan sosio-ekonomi. Secara komparatif, Mowlana (2007)

menegaskan bahwa jika di Amerika Serikat dan Eropa, televisi “menjadi

agama”, maka di Iran agama yang menyediakan dan mengatur televisi.

Selain itu, menurutnya, media massa Barat yang menyebarkan bias

dan distorsi informasi karena adanya sentimen terhadap Islam telah

mendominasi pemberitaan dunia. Ia menyebutkan bahwa sebanyak 99%

peristiwa dunia yang berkaitan dengan Islam tidak mendapatkan perhatian

dunia karena dieliminasi dari agenda pemberitaan dan dibentuk seolah-olah

tidak penting. Hal inilah yang sepertinya menjadi dorongan bagi munculnya

argumentasi Mowlana mengenai jurnalisme Islam sebagai alat da‟wah yang

tidak hanya menyebarluaskan nilai dan ajaran Islam, tetapi juga

menampilkan kebenaran dan jati diri Islam.

Menurut Mowlana (2007), terdapat lima prinsip dasar etika

komunikasi yang perlu diperhatikan dalam jurnalisme Islam, yakni (1)

tauhid, (2) amr bi al-ma‟ruf wa nahy‟an al munkar, (3) ummah, (4) taqwa,

63

dan (5) amanat. Prinsip pertama (tauhid) merupakan yang paling mendasar

dan penting yang tidak hanya berarti berpegang teguh pada keyakinan

tentang ke-Esa-an Allah هلالج لج, tetapi secara implisit juga berarti kesatuan,

kepaduan dan harmoni antara seluruh komponen alam semesta yang

diwujudkan melalui ketaatan pada ketentuan Allah هلالج لج (Mowlana, 2007).

Tauhid menjadi panduan utama dalam menentukan batasan-batasan

legitimasi politik, sosial, dan budaya, termasuk sistem komunikasi di

dalamnya. Prinsip ini mendorong kemerdekaan dari segala bentuk

penghambaan kepada selain Allah هلالج لج - menentang adanya “berhala” politik,

sosial, ekonomi dan budaya serta kultus kepribadian.

Prinsip kedua (amr bil ma‟ruf wa nahy‟anilmunkar), yang

diterjemahkan oleh Mowlana (2007) sebagai doktrin tentang tanggung

jawab, bimbingan dan aksi. Prinsip ini adalah landasan da‟wah dalam Islam

(menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) sebagaimana

disebutkan dalam beberapa ayat dalam al-Quran yang dua di antaranya

(Ali-Imran ayat 104 dan An-Nahl ayat 125) telah dipaparkan pada bahasan

komunikasi da‟wah. Mowlana (2007) mengaitkan prinsip ini dengan jihad

(perjuangan bersungguh-sungguh) yang berkonsekuensi pada setiap muslim

untuk melakukannya, termasuk dalam jurnalisme. Sehingga, pesan-pesan

yang disampaikan oleh media sepatutnya menjadi bimbingan bagi

masyarakat berdasarkan dua hal ini.

Prinsip ketiga (ummah) merupakan konsep masyarakat dalam

Islam yang melampaui batas kebangsaan dan politik (Mowlana, 2007).

Konsep ini melebihi sistem negara modern; ummah merupakan konsep

64

religio-economic yang hanya dapat tewujud di bawah pemerintahan yang

berlandaskan Islam. Aspek ras, etnis, suku-bangsa, bahkan nasionalisme

tidak menjadi acuan pembedaan dalam masyarakat. Keragaman suku bangsa

dan budaya tetap diperhatikan, namun adanya dominasi karena hal tersebut

sangat ditolak. Selain itu, sistem kebudayaan/peradaban dalam konsep

ummah tidak dibentuk sepenuhnya berdasarkan kehendak manusia, tetapi

harus berlandaskan pada ketentuan Allah هلالج لج(Mowlana, 2007). Praktik

jurnalisme harus menjaga keajegan dari sistem ummah ini, baik

persatuannya, pelaksanaan berbagai ketentuannya, hingga keharmonisan

hubungan antara masyarakat dengan Allah هلالج لج.

Prinsip keempat (taqwa) merupakan kapasitas spiritual, moral,

etika dan psikologi dari seseorang yang dapat meningkatkan derajatnya

(kemuliaan di hadapan Allah هلالج لج ) karena dengannya manusia dapat menahan

berbagai sikap dan prilaku buruk yang berasal dari aspek kebebasan

berkehendaknya (free will) (Mowlana, 2007). Dalam Islam, pelaksanaan

politik, pengetahuan ilmiah, keahlian berkomunikasi, dan termasuk

jurnalisme harus bersanding dengan taqwa. Mowlana (2007) berpendapat

bahwa tanpa taqwa, manusia akan mengalami krisis legitimasi. Praktik

jurnalisme yang pelaksanaannya tidak dengan taqwa, maka akan merusak

kepercayaan publik, baik pada informasi maupun pada institusi pers-nya.

Prinsip kelima (amanat) berkaitan dengan tanggung jawab besar

manusia baik kepada sesama manusia, terlebih lagi secara langsung kepada

Allah هلالج لج. Mowlana (2007) mengutip surah al-Ahzab ayat 72 yang

menjelaskan bahwa amanat pada dasarnya bukan sekedar apa yang menjadi

65

tanggungan manusia kepada sesamanya, tetapi berkaitan dengan perwalian

atau mandat yang pertanggung-jawabannya berhubungan langsung dengan

Allah هلالج لج (divine vicegerency) (Mowlana, 2007). Selain itu, satu aspek yang

penting dalam prinsip amanat yang disebutkan dalam ayat ini adalah

kemampuan. Dengan demikian, praktik jurnalisme dalam Islam sangat

memerhatikan keterampilan aktornya, serta menuntut adanya pertanggung-

jawaban terhadap segala hal yang berkaitan dengan kegiatan jurnalisme itu,

seperti informasi yang disampaikan dan dampaknya terhadap publik.

Selain Hamid Mowlana, seorang Associate Professor of

Journalism pada School of Media and Public Affairs, George Washington

University bernama Janet Steele juga menaruh perhatian khusus kepada

jurnalisme Islam. Penelitiannya mengenai nilai-nilai jurnalistik di Indonesia

dan Malaysia menunjukkan bahwa al-Quran dan as-Sunnah menjadi

sumber nilai dari jurnalisme Islam. Janet Steele (2011) menyebutkan empat

nilai dasar dari jurnalisme Islam, yakni: kebenaran (truth), keseimbangan

(balance), verifikasi (verification), dan kemerdakaan dari kekuasaan

(independence from power).

Nilai pertama (kebenaran) merupakan nilai yang diyakini oleh

kebanyakan jurnalis di Indonesia dan Malaysia, meskipun mereka tidak

secara gamblang memikirkan mengenai nilai-nilai Islam dalam kerja mereka

(Steele, 2011). Kebenaran ini menyangkut tentang pesan-pesan da‟wah

Islam yang menjadi tugas bagi setiap umat Islam meskipun hanya

mengetahui sedikit informasi mengenainya – dalam hadits sering disebut

“sampaikan walaupun satu ayat” (Abror, dalam Steele, 2011). Meskipun

66

demikian, dalam Islam juga diatur batasan penyampaian berita atau pesan;

tidak setiap kebenaran dapat disampaikan atau dipublikasi sebebas-

bebasnya. Steele (2011) mengutip buku Fikih Jurnalistik yang salah satu

bahasannya adalah mengenai batasan dari kebebasan pers dalam

menyampaikan berita meskipun itu suatu kebenaran.

Nilai kedua (keseimbangan) berarti objektivitas serta keadilan

dalam melakukan investigasi. Dalam perspektif Barat, nilai ini sering

disebut sebagai cover both side, sehingga menghasilkan pemberitaan yang

fair atau adil (Steele, 2011). Keseimbangan ini dapat diwujudkan dengan

menentukan narasumber mengenai suatu perisitwa secara seimbang juga.

Keberpihakan pada satu narasumber atau pihak dari suatu isu dapat memicu

informasi yang bias.

Nilai ketiga (verifikasi) berarti melakukan peninjauan terhadap

berita atau informasi untuk mengetahui kebenarannya dengan memerhatikan

kredibilitas sumbernya. Berdasarka penelitian-penelitian yang dilakukan

oleh Steele selama enam tahun, ditemukan bahwa landasan bagi nilai ini

adalah surah al-Hujurat ayat 6 yang sering dikutip oleh para jurnalis

muslim.

Terjemahan:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik

membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak

menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui

keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

(Kemenag RI, 2011).

67

Konsep lain yang berkaitan dengan ini adalah isnad dalam hadits

(perkataan, sikap, dan perilaku) Nabi Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص yang menunjukkan

rantai para penyampainya yang biasanya adalah para sahabat Nabi (Steele,

2014). Steele (2011) menyebut isnad ini sebagai “the chain of

transmission”. Dalam aplikasinya, isnad biasa ditemui dalam format (salah

satunya): “aku mendengar dari A, bahwa ia mendapatkan kabar dari B, dari

C, dari D, bahwa Nabi bersabda”. Isnad menjadi bukti betapa peradaban

Islam memerhatikan kebenaran informasi atau berita dengan menerapkan

metode yang sistematis hingga memerhatikan kualitas personal para

komunikatornya.

Nilai keempat (kemerdekaan dari kekuasaan) yang berarti

kebebasan pers dari tekanan, kekangan dan intervensi kekuasaan atau

pemerintah. Steele (2011) menyebutkan bahwa tekanan yang diberikan

pemerintah orde baru terhadap pers menjadi lawan bagi banyak jurnalis.

Banyak jurnalis muslim yang terlibat aktif dalam organisasi Islam di

kampus yang berani menyuarakan penentangan terhadap sikap pemerintah

ini. Steele (2011) menemukan bahwa para jurnalis muslim termotivasi oleh

salah satu hadits Nabi yang menyatakan bahwa jihad yang terbaik adalah

menyuarakan kebenaran kepada penguasa yang dzalim atau suka menindas.

Dengan demikian, kebebasan dalam jurnalisme Islam bukan berarti

kebebasan seluas-luasnya sesuai dengan kehendak institusi atau media

bersangkutan, tetapi kebebasan dari penindasan dan kekangan penguasa

yang dapat menghalangi kebebasan menyuarakan kebenaran.

68

Terlepas dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur Islam untuk

praktik jurnalisme, Mowlana (2007) mengutarakan kritiknya terhadap umat

muslim yang justru tidak berpartisipasi aktif sebagai penggerak jurnalisme

Islam, baik di tingkat individu maupun organisasi/asosiasi dalam cakupan

regional maupun internasional. Hal ini tentu berbeda dengan partisipasi

masyarakat Barat dalam jurnalisme yang konsisten dan terstruktur hingga

mampu menyelenggarakan konferensi, simposium, seminar, dan mendirikan

organisasi internasional (Mowlana, 2007). Oleh karena itu, dengan

mengangkatnya sebagai topik kajian dalam ilmu komunikasi, jurnalisme

Islam diharapkan dapat bangkit dan menjadi percontohan bagi

penyelenggaraan jurnalistik dunia.

2.8 Komunikasi Internasional

Komunikasi internasional merupakan salah satu bidang kajian

dalam ilmu komunikasi yang merujuk pada praktik komunikasi lintas batas

geografis, nasional dan budaya yang mencakup komunikasi antarnegara,

institusi, kelompok, dan individu (Mowlana, 1996). Pendapat yang tidak

jauh berbeda disampaikan oleh Hanson (2017) bahwa kajian ini berfokus

pada hubungan tingkat global antarpemerintahan, antarbisnis, dan

antarmasyarakat.

Komunikasi internasional, sebagai sebuah fenomena, diyakini

sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri – telah ada sejak

manusia saling berinteraksi dan terjadinya pertukaran budaya (Mowlana,

1996). Dalam tataran keilmuan, komunikasi internasional dimulai pada

masa-masa Pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin yang saat itu banyak

69

riset dilakukan untuk kepentingan propaganda politik dan perang oleh

ilmuwan sosial Amerika (Mowlana, 1996). Oleh karena itu, komunikasi

internasional tidak secara murni berdiri sendiri sejak mulanya; tetapi

disokong oleh berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sosiologi,

psikologi, psikologi sosial, linguistik, antropologi, dan tentunya ilmu

komunikasi serta hubungan internasional (Hanson, 2017).

Tiga tokoh ilmu komunikasi yang sering dikaitkan dengan

permulaan kajian komunikasi internasional adalah Harold D. Lasswell, Paul

F. Lazarsfeld, dan Wilbur L. Schramm (Lerner dan Nelson, 1977; Rogers,

1994). Adapun pusat kajian pertama komunikasi internasional yakni

Massachusetts Institute of Technology‟s Center for International Studies

yang didirikan pada tahun 1950-an (Mowlana, 1996). Pada tahun 1952, Ford

Foundation menghadiahi pusat kajian ini $875.000 untuk melakukan

penelitian terkait komunikasi internasional. Menurut Simpson (dalam

Mowlana, 1996), Ford Foundation ini sering digunakan sebagai penyalur

dana riset yang sebenarnya berasal dari Central Intelligence Agency (CIA)

dan Air Force Amerika Serikat. Pusat kajian ini pun berhasil melakukan

banyak kajian dalam teknik persuasi, periklanan, interogasi, polling opini

public, mobilisasi politik dan militer, propagasi ideologi dan berbagai hal

terkait lainnya (Mowlana, 1996).

Ada empat aspek yang memengaruhi perkembangan komunikasi

internasional (Mowlana, 1996). Pertama adalah konflik internasiona, perang

dan penggunaan propaganda. Kedua adalah perkembangan organisasi dan

diplomasi internasional. Ketiga adalah persebaran ideologi-ideologil yangs

70

aling bersaing dan penggunaan komunikasi untuk menyebarkan pesan

Keempat adalah perkembangan teknologi baru dalam komunikasi.

Selain itu, Mowlana (1996) juga mengidentifikasi faktor-faktor

yang menjadikan komunikasi internasional sebagai bidang dalam penelitian,

kebijakan dan kajian yang secara garis besar dibagi menjadi dua: faktor-

faktor sebelum Perang Dunia II dan faktor-faktor setelah Perang Dunia II.

Faktor-faktor sebelum Perang Dunia II adalah:

1) Perkembangan teknologi komunikasi di awal abad ke-19 seperti

fotografi, telegraf, telepon, kabel bawah laut).

2) Hegemoni bangsa Eropa serta penggunaan teknologi komunikasi

dan agensi berita internasioanl untuk kepentingan kolonialismenya.

3) Industrialisasi, Eropanisasi, westernization, dan sekularisasi negara-

negara di Afrika, Asia, Jazirah Arab dan Amerika Latin hingga

terbentuknya institusi modern di bidang komunikasi.

4) Pertumbuhan organisasi internasional serta integrasi bidang-bidang

komunikasi seperti International Telecommunication Union,

5) Persebaran berbagai ideologi (liberalisme, komunisme, fasisme, dan

Islamisme) serta beberapa revolusi di beberapa negara, seperti Iran.

6) Munculnya propaganda internasional.

7) Komersialisasi radio di Amerika Serikat, pertumbuhan indutri

perfilman, serta perkembangan industri budaya di Eropa.

71

8) Perluasan jalur kereta api dan dikembangkannya navigasi modern,

serta urbanisasi dan industrialisasi yang berdampak pada

infrastruktur komunikasi.

Adapun faktor-faktor setelah Perang Dunia II:

1) Ekspansi teknologi baru (satelit, komputer, jaringan digital);

2) Bertambahnya negara-negara (yang baru merdeka) dan

meningkatnya perannya sebagai pelaku komunikasi internasional.

3) Tampilnya Amerika Serikat sebagai negara yang mendominasi

dalam sektor politik, budaya, militer, ekonomi dan komunikasi.

4) Adanya Perang Dingin; penggunaan propaganda dan persuasi

politik internasional sebagai alat utama dalam diplomasi serta

munculnya penyiaran internasional sebagai saluran utamanya.

5) Ekspansi media hiburan sebagai bagian dari industri ekspor-impor

serta mencuatnya isu mengenai hak cipta.

6) Ekspansi organisasi internasional dan diskusi mengenai arus

informasi internasional di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

7) Pembebasan, kemerdekaan, dan gerakan-gerakan revolusioner yang

muncul dan berkembang di seluruh dunia.

8) Perluasan model komunikasi Barat ke negara-negara berkembang.

9) Pembatasan yang terus menguat pada metode-metode ilmu

pengetahuan sosial yang berorientasi Barat.

10) Munculya korporasi transnasional dan multinasional; pembentukan

organisasi telekomunikasi internasional seperti International

Telecommunications Satellite Consortium (INTELSAT).

72

11) Proses komersialisasi dan deregulasi industri telekomunikasi dunia.

12) Akselerasi konferensi internasional, ekspansi institusi pendidikan,

kongres tingkat dunia, dan pertukaran pelajar antar negara.

Mowlana (1996) menyebutkan empat pendekatan terhadap

komunikasi internasional. Pertama, idealistic-humanistic approach yang

memosisikan komunikasi internasional sebagai metode untuk mewujudkan

hubungan yang harmonis antarnegara di dunia serta menjadi teknik

mendorong negara-negara berdaulat untuk membantuk organisasi-organisasi

internasional dalam pelayanan masyarakat dunia. Kedua, political

procelytization approach yang menganggap komunikasi internasional

sebagai sebuah propaganda dan konfrontasi. Pendekatan ini mengaitkan

komunikasi internasional dengan komunikasi satu arah yang otoriter. Ketiga,

economic power approach yang mengaitkan komunikasi internasional

dengan kekuatan ekonomi. Hubungan antarnegara diyakini terjalin karena

adanya pertukaran barang serta jasa. Keempat, political power approach

yang mengaitkan komunikasi internasional dengan intensi untuk

mendominasi dan penetrasi dalam ekonomi, politik, budaya, teknologi yang

biasanya dating dari negara-negara Barat.

2.9 Social Capital

Social capital secara etimologi dapat diterjemahkan secara

sederhana sebagai “modal sosial”. Namun, yang dimaksud sebagai capital

atau modal dalam konsep ini bukanlah modal dalam artian dukungan

finansial atau hal lainnya yang berkaitan dengan materi. World Bank (t.t.)

sendiri, yang merupakan salah satu institusi keuangan terbesar di dunia,

73

mendefinisikan social capital sebagai hubungan dan norma-norma yang

memugkinkan aksi kolektif. Ada lima dimensi kunci dari social capital

berdasarkan penjelasan World Bank, yakni: (1) kelompok dan jaringan; (2)

kepercayaan dan solidaritas; (3) aksi kolektif dan kerjasama; (4) kepaduan

dan inklusi sosial; dan (5) informasi dan komunikasi.

Konsep social capital pertama kali diperkenalkan pada awal abad

ke-20 oleh Lyda Judson Hanifan dalam tulisannya yang berjudul „The Rural

School Community Centre‟ (Hanifan, 1916). Namun, isitlah ini baru dikenal

dalam lingkup akademik pada akhir tahun 1980-an. Ada tiga tokoh

terkemuka yang berkontribusi bagi pengembangan konsep ini, yakni Pierre

Bourdieu, James Coleman, dan Robert Putnam.

Bourdieu (1986), seorang sosiolog berkebangsaan Prancis,

mendefinisikan social capital sebagai keseluruhan dari sumber daya

potensial, baik aktual maupun virtual, yang menjadi milik individu atau

kelompok yang terlibat dalam sebuah jaringan erat dari sebuah hubungan

yang saling memahami dan mengakui. Bagi Bourdieu (dalam Tzanakis,

2013), social capital ditentukan oleh luasnya jaringan dan besarnya

akumulasi dari social capital yang ada sebelumnya. Menurutnya

keterlibatan aktor dalam jaringan dan upaya pemeliharaannya didorong oleh

motif untuk mendapatkan keuntungan yang tidak selalu berbentuk

keuntungan ekonomi; tetapi bisa berupa keuntungan sosial dan kontrol

terhadap sumber daya. Potensi para aktor untuk mendapatkan keuntungan

ini tidaklah sama (differentially distributed) dan bergantung pada posisi

aktor dalam ruang sosial. Bourdieu (1986) menyatakan bahwa seluruh

74

bentuk capital atau modal yang secara organik berhubungan dengan ruang

sosial bertindak dalam dua cara secara bersamaan: (1) modal-modal itu

memproduksi kembali (reproduce) segala bentuk modal; dan (2)

menggunakan sumber daya yang ada untuk menguatkan posisi aktor ke

depannya.

Tokoh kedua adalah seorang sosiolog berkebangsaan Amerika

bernama James Coleman. Coleman (1988) berpendapat bahwa ada dua hal

penting terkait definisi social capital: (1) social capital meliputi sejumlah

aspek dari struktur sosial; dan (2) social capital menyediakan keleluasaan

bagi aktor dalam struktut sosial, baik individu maupun korporasi, untuk

melakukan suatu tindakan tertentu. Coleman memang memberikan

perhatian khusus kepada struktur sosial dan penciptaan human capital.

Menurutnya, ada dua aspek penting dari struktur sosial bagi social capital:

pertama, aspek yang membentuk kungkungan dalam sebuah jaringan sosial,

sehingga setiap orang saling berhubungan dalam lingkup jaringan itu dan

dikenakan kewajiban serta sanksi tertentu; kedua, adanya organisasi sosial

yang dapat dimanfaatkan untuk pencapaian tujuan bersama. Selain itu,

Coleman (1988) menyebutkan tiga pilar utama bagi social capital, yakni:

(1) kewajiban dan harapan yang timbul dari rasa kepercayaan dalam

lingkungan sosial; (2) arus informasi yang lancar untuk menyokong

perkembangan kegiatan masyarakat; dan (3) norma-norma yang dilengkapi

dengan sanksi yang tegas.

Tokoh ketiga adalah Robert Putnam yang merupakan seorang

professor pada John F. Kennedy School of Government, Harvard

75

University. Putnam (1993) yang mendefinisikan social capital sebagai fitur-

fitur dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang

memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama. Dalam

perspektif Putnam, social capital mencakup jaringan keterikatan sosial

(networks of civic engagements) yang diatur berdasarkan norma-norma yang

dapat menentukan tingkat produktivitas kelompok masyarakat atau

komunitas tertentu.

Dua asumsi dasar yang perlu diperhatikan dalam konsep yang

dikemukakan Putnam ini adalah: (1) jaringan komunikasi/hubungan dengan

norma-norma tertentu; dan (2) saling mendukungnya jaringan dan norma

tersebut untuk mewujudkan keberhasilan ekonomi yang tentu

menguntungkan bagi pihak-pihak yang tergabung dalam jaringan itu

(Putnam, 1993). Berdasarkan penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa social

capital dengan wujud norma-norma dan jaringan keterikatan sosial tersebut

adalah prasyarat bagi perkembangan ekonomi dan pemerintahan yang

efektif. Alasannya adalah:

1) Jaringan sosial memungkinkan terciptanya koordinasi dan komunikasi

yang berpotensi memperkuat rasa saling percaya antar sesama

anggota masyarakat;

2) Kepercayaan berdampak positif bagi kehidupan bermasyarakat,

misalnya dalam memperkuat norma-norma tentang tanggung jawab

moral untuk saling membantu;

76

3) Rangkaian keberhasilan yang berhasil dicapai dengan adanya

kerjasama akan memperkuat kerjasama itu sendiri di masa berikutnya.

Secara ringkas, pemikiran tiga tokoh di atas mengenai social

capital dapat dijelaskan melalui table berikut.

Tokoh Definisi Tujuan Analisis

Bourdieu

Sumber daya yang

menyediakan akses kepada

barang milik bersama

(kelompok)

Untuk

mengamankan

modal ekonomi

Individu-

individu dalam

persaingan kelas

Coleman

Aspek-aspek dari struktur

sosial yang dapat

digunakan oleh aktor

tertentu sebagai sumber

daya untuk memeroleh apa

yang menjadi kepentingan

mereka.

Untuk

mengamankan

modal

(berbentuk)

manusia

Individu-

individu dalam

keluarga dan

masyarakat

Putnam

Kepercayaan, norma dan

jaringan yang

memfasilitasi kerjasama

untuk keuntungan bersama

Untuk

mengamankan

demokrasi dan

ekonomi yang

efektif

Daerah-daerah

dalam cakupan

sebuah negara

Tabel 2. Perbandingan Social Capital Boudieu, Coleman, dan Putnam

77

2.10 Kerangka Berpikir

Non-Western Perspective

Mohammad Natsir

Pergerakan

dan

Kaderisasi

Pemuda

Komunikasi

Politk

Komunikasi

Pendidikan/

/Instruksional

Komunikasi

Da‟wah

Jurnalisme

Islam

Komunikasi

Internasional Social

Capital

Gambar 1. Kerangka Berpikir

78

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma dan Jenis Penelitian

Paradigma yang diterapkan dalam penelitian ini adalah paradigma

critical constructivism. Sisipan kata “kritis” pada sebutan paradigma ini

berlandaskan pada teori kritis yang diformulasikan oleh Frankfurt School

(Kincheloe, 2005). Frankfurt School atau mazhab Frankfurt dikenal dengan

teori kritik masyarakat-nya yang sangat memerhatikan bagaimana

penindasan terjadi terhadap golongan minoritas atau yang termarginalkan

oleh golongan mayoritas yang menciptakan hegemoni. Teori ini disebut

sebagai pewaris pemikiran Karl Marx yang bersifat emansipatoris terhadap

masyarakat – artinya menhendaki pembebasan dari belenggu penindasan.

Teori ini hendak mewujudkan aufklarung atau membuat terang –

mengungkap intrik atau tabir yang menjadi sumber penindasan dan

membuat masyarakat atau golongan yang tertindas sadar akan

ketertindasannya itu.

Esensi paradigma critical constructivism ini adalah upaya untuk

keluar dari cara berpikir formal dan cara pandang konvensional yang

berlandas pada empirisme dan rasionalisme (Kincheloe, 2005). Artinya,

paradigma ini bukan sebatas pada mengamati dan menyebutkan apa yang

dapat diobservasi, tetapi mengungkap hal-hal yang ada di balik itu.

Sedangkan masalah inti yang seharusnya dijawab oleh seorang peneliti yang

menggunakan paradigma ini adalah konstruksi realitas yang dibentuk

79

dengan bersandar pada kekuasaan sehingga menciptakan ketimpangan

terhadap golongan yang tidak dominan (Kincheloe, 2005). Sebagaimana

teori kritis Frankfurt, paradigma ini hendak mencapai penyadaran mengenai

kompleksitas dunia dan menyelidiki bagaimana kesadaran tersebut bertautan

dengan sejarah. Secara lebih rinci, Kincheloe (2005) menyebutkan bahwa

kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran bahwa:

1) Pengetahuan tentang dunia selalu dibentuk oleh para produsen

pengetahuan yang memiliki posisi atau kekuasaan.

2) Pemahaman baru yang revolusionaris terhadap sesuatu dapat

dicapai dengan mengeksplorasi berbagai kontradiksi dan

ketimpangan yang terjadi dalam aspek sosial, fisik, psikologi dan

pendidikan.

3) Hal-hal yang ada di dunia terbentuk oleh beragam hal yang tidak

terobservasi secara sekilas.

4) Segala sesuatu yang terlihat terpisah dan statis adalah bagian dari

proses yang lebih besar dan selalu berubah.

5) Pandangan yang terdistorsi mengenai sesuatu dapat terjadi jika

mengabaikan hubungan yang sebenernya terjalin di antara hal-hal

yang seolah-olah berbeda.

6) Wawasan mendalam dapat diperoleh dengan memerhatikan

pengalaman pihak-pihak yang terdampak oleh pengaturan sosial .

Penerapan paradigma critical constructivism dalam penelitian ini

memungkinkan peneliti untuk mengungkap dan merekonstruksi berbagai

peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan Mohammad Natsir serta

80

pemikiran dan perilaku Natsir mengenai komunikasi

instruksional/pendidikan, komunikasi politik, komunikasi internasional,

jurnalisme, da‟wah serta pergerakan pemuda dan kaderisasi yang

bersentuhan secara langsung dengan kolonialisme/imperialisme yang pernah

terjadi di Indonesia serta hal-hal lainnya yang berkenaan dengan kekuasaan.

Penelitian ini tergolong pada penelitian kualitatif eksploratif. Kata

eksploratif atau eksplorasi yang berarti penjelajahan menunjukkan orientasi

penelitian ini yang dapat dianalogikan seperti pembukaan lahan atau

penjelajahan suatu area yang belum banyak diungkap. Dengan kata lain,

penelitian jenis ini bertujuan untuk memeroleh informasi yang kaya dari

suatu fenomena yang masih sedikit diteliti atau diperhatikan (Neuman,

2014). Eksplorasi yang berhasil dilakukan melalui penelitian ini selanjutnya

ditujukan untuk pelaksanaan penelitian yang lebih spesifik dan mendalam di

masa depan (Neuman, 2014).

Peneliti yakin bahwa jenis penelitian eksploratif sangat tepat

digunakan untuk meneliti berbagai perilaku komunikasi dan pemikiran

Mohammad Natsir dengan perspektif non-western yang belum pernah

dilakukan sebelumnya. Penelitian ini dilaksanakan sebagai penelitian

pembuka/pendahulu bagi penelitian-penelitian yang lebih spesifik dan

mendalam berikutnya, misalnya secara khusus membahasa komunikasi

internasional Mohammad Natsir.

Menurut Neuman (2014), penelitian eksploratif merupakan penelitian

yang sulit untuk dilaksanakan karena memiliki sedikit panduan, setiap data

yang ditemukan berpotensi besar menjadi data yang penting, langkah-

81

langkahnya belum ditentukan secara spesifik, dan arah penyelidikannya

sering kali berubah. Pernyatan tersebut terbukti dalam penelitian ini; hampir

seluruh data yang berhasil ditemukan memberikan informasi penting dan

tidak dapat diabaikan karena berpotensi mendistorsi perilaku komunikasi

atau peristiwa sejarah yang melibatkan Mohammad Natsir. Di samping itu,

peneliti seacara berkelanjutan mencari, menemukan secara tidak sengaja,

menganalisis dan menulis berbagai informasi penting tentang Mohammad

Natsir. Aktivitas seperti ini tentu tidak mudah dibentuk polanya atau

dikukuhkan langkah-langkahnya sebagaimana dalam penelitian kuantitatif;

meskipun demikian, peneliti tetap berpedoman pada metodologi penelitian

kualitatif sebagaimana dipaparkan dalam bab ini.

3.2 Fokus Penelitian

Menurut (Moleong, 2007), melalui fokus penelitian dapat diketahui

secara pasti data-data yang perlu dikumpulkan dan bisa mendukung

penelitian yang ada, serta data-data yang tidak diperlukan meskipun

menarik bagi peneliti. Adapun fokus penelitian dalam penelitian ini adalah

peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan Mohammad Natsir serta

pemikiran dan perilaku Natsir yang berkaitan dengan komunikasi

instruksional/pendidikan, komunikasi politik, komunikasi internasional,

jurnalisme, dakwah serta pergerakan pemuda dan kaderisasi.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Hermeneutika yang diformulasikan oleh Hans-Georg Gadamer dan

Fenomenologi yang diformulasikan oleh Clark Moustakas. Hermeneutika

82

berperan dalam menganalisis data yang berbentuk teks; namun, Al-Quran

dan teks-teks Islam lainnya dikecualikan dalam hal ini. Penafsiran terhadap

ayat-ayat Al-Quran harus dilakukan dengan kaidah ilmu tafsir yang benar dan tidak

menuruti hawa nafsu maupun logika pribadi. Hal ini berlandaskan pada salah

satu hadits hasan yang diriwayatkan oleh al-Tirmudzi.

“Suryan bin Waki‟ menceritakan kepada kami “Suwaid bin Amr al-Kalbi

menceritakan kepada kami, Abu „Awanah menceritakan kepada kami dari Abd al-

A‟la dari Sa‟id bin Jubair dari Ibn „Abbas dari Nabi ملسو هيلع هللا ىلص beliau bersabda: “takutlah

kalian (hati-hati dalam memegangi) hadits-hadits dariku kecuali yang benar-benar

telah aku ajarkan kepada kalian, barang siapa berbohong atas namaku secara

sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa

yang mengatakan sesuatu tentang al-Quran dengan ra‟y-nya maka hendaklah ia

menempati tempat duduknya dari api neraka” (At-Tirmidzi, 2017, hal.: 199).

Tafsiran ayat-ayat Al-Quran yang dikutip dalam penelitian ini

bersumber dari Tafsir al-Azhar karya K.H. Abdul Malik Karim Amrullah

atau Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar ini dipilih karena Buya Hamka juga

memiliki kedekatan personal dan kultural dengan Mohammad Natsir.

Adapun mengenai fenomenologi; digunakan untuk memeroleh data yang

bersumber pada orang-orang yang memiliki hubungan dengan Mohammad

Natsir baik secara personal, institusional maupun profesional dan/atau

memahami peristiwa sejarah yang melibatkan Mohammad Natsir, pemikiran

dan perilaku komunikasi Mohammad Natsir.

3.3.1. Hermeneutika

Hermeneutika Gadamer menerangkan bahwa makna historis yang

melekat pada teks serta pengalaman historis yang dimiliki penafsir tidak

dapat diabaikan. Melalui konsep fusion of horizon (fusi cakrawala),

Gadamer menegaskan bahwa baik teks yang dibuat penulis dan penafsir

telah membawa dunianya sendiri dan teks menjadi sarana peleburan

cakrawala antara penafsir dengan penulis (Gadamer, dalam Weinsheimer,

83

1985). Horizon atau cakarawala ini dapat diibaratkan sebuah bentangan

wilayah yang dapat terlihat oleh seseorang dari titik tolak berdirinya, apa

yang dapat dilihatnya merupakan apa yang pernah dialaminya

(pengetahuan) – oleh karena itu dikenal istilah cakrawala wawasan yang

luas. Berdasar pada hal ini, Gadamer meyakini bahwa pemahaman yang

timbul sangat terikat dengan aspek historis dan penafsir tidak melakukan

upaya untuk memahami teks dari kesadaran kosong. Oleh karena itu,

Gadamer tidak memungkiri bahwa aspek prasangka (prejudice) berperan

dalam upaya mencapai pemahaman mengenai teks. Prasangka adalah bentuk

implikasi dari pengaruh pengalaman masa lalu yang dimiliki penafsir. Ia

berpendapat bahwa prasangka ini dapat menjadi pertanyaan awal atas objek

– menurutnya hal semacam ini adalah bagian dari proses pemahaman.

Lebih lanjut, Gadamer berpendapat bahwa manusia tidak akan

mendapatkan pemahaman dari sebuah teks tanpa membaca teks, tanpa

memiliki bagian dari pemahaman teks itu sendiri. Hal inilah yang menarik –

seseorang harus paham dulu sebelum ia paham; maksudnya untuk

memahami keseluruhan, manusia harus memahami bagian-bagiannya

terlebih dahulu. Tujuan Gadamer adalah memeroleh pemikiran yang luas

dan menyeluruh, tidak terjebak pada apa yang tertulis pada teks tertentu

saja. Teks harus ditempatkan pada cakupan yang lebih luas yang

mengintegrasikannya dengan teks-teks lain. Dengan ini, Gadamer yakin

pemahaman yang tepat dapat dicapai.

Gadamer menyebutkan ada dua jenis pemahaman, yakni pemahaman

terhadap konten kebenaran (truth content) dan terhadap intensi. Pemahaman

84

The World of Text

The World of Reader

The World of Author Productive

Hermeneutic

Gambar 2. Skema Hermeneutika Gadamer

yang pertama berarti pemahaman substansi materi teks, sedangkan

pemahaman intensi berarti memahami kondisi di balik fenomena atau teks

(Gadamer, 1977). Pemahaman yang kedua inilah yang menjadi perhatian

Gadamer yang disebut juga sebagai kesadaran pemahaman yang

menyejarah. Penyadaran ini diperoleh penafsir dengan cara melibatkan diri

dalam kajian sejarah yang berkaitan dengan teks (Gadamer, 2006).

Pemahaman tentang suatu teks yang didapatkan oleh penafsir dengan

melibatkan prasangkanya atau dunia historisnya kemudian bertemu dengan

teks yang juga membawa dunia hostorisnya inilah yang sebelumnya disebut

sebagai fusi horizon. Horizon akan meluas seiring dengan terbentuknya

pemahaman-pemahaman baru dari interpreter yang berbeda yang memiliki

historis berbeda serta keterlibatan berbagai teks yang berkaitan dengan teks

itu sendiri. Maka dari itu, Gadamer (1977) menegaskan bahwa penafsiran

terhadap teks bersifat dialogis, seperti orang yang sedang berbincang-

bincang serta tidak bersifat statis atau bersifat reproduktif semata, tetapi

juga produktif. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas, berikut

adalah skema hermeneutika Gadamer.

85

Skema di atas menggambarkan hubungan antara pembaca/penafsir,

teks dan penulis/pembuat teks yang masing-masingnya memiliki dunianya

sendiri atau horizon dari titik beridirnya. Ketiganya seperti berdialog,

kemudian membentuk interpretasi.

Berdasarkan fitur-fiturnya ini, peneliti yakin bahwa hermeneutika

Gadamer dapat membantu peneliti tidak hanya dalam mereproduksi dan

merekonstruksi pemahaman tentang Mohammad Natsir, tetapi juga dalam

menghasilkan pemahaman baru, khususnya yang berkaitan dengan ilmu

komunikasi. Hal ini sangat berguna ke depannya untuk membangun teori

komunikasi khas Indonesia.

3.3.2. Fenomenologi

Mostakas (1994) menjelaskan bahwa penelitian fenomenologi

berupaya untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai suatu

pengalaman/fenomena. Gambaran ini selanjutnya menjadi landasan bagi

analisis struktural reflektif yang bertujuan untuk menjelaskan esensi atau

makna dari sebuah pengalaman. Secara lebih rinci, Moustakas (1994)

menyebutkan beberapa karakteristik penelitian fenomenologi, yakni:

1) Studi fenomenologi tidak mungkin dilakukan melalui pendekatan

kuantitatif.

2) Berfokus pada keseluruhan pengalaman, tidak memisahkan

bagian-bagian dari kesatuan pengalaman.

3) Berupaya untuk menggali makna dan esensi dari sebuah

pengalaman; bukan mengukurnya atau sekedar menjelaskannya.

86

4) Deksripsi dari sebuah pengalaman seseorang diperoleh melalui

perbincangan dan wawancara informal maupun formal.

5) Pengalaman manusia merupakan data yang wajib diperoleh untuk

memahami perilaku manusia dan bukti penyelidikan ilmiah.

6) Pertanyaan dan masalah yang hendak dipecahkan merupakan

cerminan dari minat dan kimtmen personal peneliti.

7) Pengalaman dan perilaku merupakan dua hal yang tidak

terpisahkan.

Berikut adalah tahapan penelitian fenomenologi menurut Moustakas.

1) Persiapan untuk mengumpulkan data

Pada tahapan ini, terdapat empat langkah yang dilakukan; yakni:

a. Merancang pertanyaan

Setelah menetapkan topik penelitian, peneliti memunculkan

pertanyaan-pertanyaan yang hendak dipecahkan. Pertanyaan

sederhana yang menjadi pembuka penelitian seperti “bagaimana

latar belakang keluarga dan budaya Mohammad Natsir?” sangat

berguna dalam merangsang rasa ingin tahu serta memungkinkan

peneliti untuk menemukan berbagai nilai-nilai sosial yang melekat

pada Natsir. Pertanyaan sederhana ini dapat berkembang terus

menjadi pertanyaan terbuka.

Sesuai dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan, maka

pertanyaan utama yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini

adalah “bagaimana peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan

Mohammad Natsir serta pemikiran dan perilaku Natsir yang

87

berkaitan dengan komunikasi instruksional/pendidikan, komunikasi

politik, komunikasi internasional, jurnalisme, dakwah serta

pergerakan pemuda dan kaderisasi?”.

b. Melakukan tinjauan pustaka dan menentukan sifat asli dari

penelitian

Peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap beberapa

literatur yang akan peneliti sebutkan pada bagian berikutnya, yakni

dalam sub bab sumber data. Melalui tinjauan pusataka ini, peneliti

juga dapat terbantu untuk menentukan arah penelitian serta state of

the art penelitian yang berkaitan dengan ilmu komunikasi. Misalnya

dalam penelitian ini, walaupun terlihat seperti melakukan penelitian

sejarah; peneliti sebenarnya menjadikan data-data historis tersebut

untuk menemukan esensi komunikasi pendidikam, komunikasi

politik, komunikasi internasional, jurnalisme islam, komunikasi

dakwah serta kaderisasi dan pergerakan pemuda. Catatan lapangan

(fieldnote) digunakan untuk membantu peneliti menemukan berbagai

hal penting dalam hasil tinjauan pusataka.

c. Menentukan kriteria dalam penentuan informan

Agar mendapatkan informasi yang tepat dan dapat

dipertanggungjawabkan, maka peneliti harus menetapkan kriteria

informan. Adapun kriteria informan yang peneliti perhatikan adalah:

88

1. Keterkaitan informan dengan Mohammad Natsir, baik dalam

sudut pandang hubungan antar pribadi, maupun hubungan

yang terjalin melalui lembaga atau organisasi.

2. Pemahaman informan tentang pemikiran, karya dan capaian

Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan, pergerakan

pemuda dan kaderisasi, politik, dakwah, jurnalisme, dan

diplomasi internasional.

Selain perihal kriteria, dalam interaksinya dengan informan

peneliti juga harus memerhatikan etika penelitian (Moustakas, 1994).

Berikut adalah etika-etika yang dimaksud.

1. Memeroleh persetujuan dari para informan dan pihak

bersangkutan sebelum menggali data. Dalam penelitian ini,

seluruh informan dan pihak terkait (seperti institusi tempat

bernaungnya informan) telah menyepakati pengambilan data

untuk penelitian ini. Tidak ada sedikit pun hambatan

mengenai pesetujuan atau perizinan. Para informan justru sama

sekali tidak memerhatikan hal-hal administratif seperti surat

pengantar dari universitas; walaupun dokumen semacam ini

sudah disiapkan oleh peneliti.

2. Membuat kesepakatan atau bahkan kontrak yang jelas dengan

informan. Seluruh informan telah sepakat untuk memberikan

informasi dan dukungan terhadap penelitian ini, bahkan empat

dari enam informan memberikan dukungan berupa buku-buku

89

yang dapat menjadi rujukan bagi penelitian ini. Para informan

tidak sekali pun meminta pembuatan kontrak secara formal

yang mengiakat terkait penelitian ini.

3. Menjamin kerahasiaan data-data atau keterangan yang menurut

para informan tidak layak disampaikan dalam laporan

penelitian. Hal ini sudah peneliti laksanakan sesuai dengan

wasiat dari para informan.

4. Menyepakati tempat dan waktu penelitian. Kesepakatan ini

telah tercapai di antara peneliti dan para informan.

5. Memeroleh izin untuk merekam dan menerbitkan. Seluruh

informan telah memberikan izin untuk melakukan pencatatan

dan perekaman mengenai berbagai keterangan dan data yang

diberikannya.

d. Membuat pertanyaan panduan dan topik-topik menarik yang

dibutuhkan untuk wawancara.

Hal ini dilakukan untuk membantu peneliti agar tidak

melewatkan hal-hal penting yang harus diselidiki dan

memungkinkan menghasilkan temuan yang otentik.

2) Mengumpulkan Data

Pengumpulan data dalam fenomenologi pada umumnya dilakukan

dengan melakukan wawancara. Penjelasan lebih lanjut mengenai

pengumpulan data diberikan pada sub bab teknik pengumpulan data.

90

3) Mengorganisasi dan menganalisis data.

Neuman (2014) mendefiniskan analisis data sebagai kegiatan

mengorganisasikan dan memeriksa data secara sistematis untuk

menemukan pola dan hubungan antar data yang telah dikumpulkan

sebelumnya. Dalam fenomenologi, textural structural synthesis

digunakan untuk memeroleh deskripsi mengenaii pengalaman serta

bagaimana pengalaman itu terjadi (Moustakas, 1994). Berikut adalah

tujuh tahapan untuk memeroleh textural structural synthesis bersumber

dari transkrip wawancara.

a. Horizontalization, pencatatan hal-hal yang relevan dan tidak

tumpang tindih.

b. Invariant horizon, pengalaman diseleksi oleh peneliti berdasarkan

keunikannya

c. Individual textual description, merupakan tema batasan horizon dari

pengalaman informan.

d. Individual structure description, kumpulan catatan hidup yang yang

bersumber pada perasaan “how” dan berhubungan dengan topik.

e. Composite Textural Description, klasifikasi dalam individual

textural description dikembangkan serta setiap varian makna dan

tema diselidiki.

f. Composite Structural Description, tahapan yang bertujuan untuk

memahami “how” dan “what” dari pengalaman.

g. Textural-Structural Synthesis, penggabungan antara composite

textural dan composite structural description.

91

Selain itu, digunakan juga teknik analisis data Model Miles dan

Huberman. Menurut Miles, Huberman dan Saldana (2014), kegiatan

analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan dalam tiga tahap

sebagaimana berikut ini.

a. Data Condensation (Pengembunan Data)

Istilah ini biasanya digunakan untuk menyebut salah satu

fenomena atau metode dalam ilmu kimia yang tujuannya adalah

mencari esensi dari objek tertentu. Begitu juga dalam penelitian

kualitatif ilmu-ilmu sosial; berbagai data yang sangat beragam,

kompleks dan belum tersusun secara sistematis akan diseleksi,

disederhanakan dan dicari tema dan pola yang penting. Tahapan ini

dapat disebut “memurnikan” data dari berbagai residu yang tidak

menjadi fokus penelitian.

b. Data Display (Penyajian Data)

Pada tahap ini, peneliti akan menyajikan berbagai data yang

telah dikondensasi sebelumnya dalam bentuk narasi maupun grafik

yang dapat memudahkan peneliti menemukan pola atau interaksi

antar data. Dengan menemukan pola atau interaksi antar data,

peneliti akan terbantu dalam proses penarikan kesimpulan.

c. Conclusion Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan)

Pada tahapan ini, data-data yang telah dikondensasi dan

disajikan akan diinterpretasi sehingga memunculkan pemaknaan

mengenai rangkaian dan pola data. Berbagai data yang pada mulanya

92

seolah tidak saling berkaitan menjadi satu kesatuan ide yang mampu

menjawab permasalahan penelitian dan memberikan pencerahan

kepada peneliti. Ketika hal ini telah tercapai, maka peneliti telah

berhasil menyusun kesimpulan yang tentu akan berguna bagi

penyusunan konsep atau bahkan teori baru.

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Selain melakukan pembacaan terhadap berbagai literatur yang telah

tersedia untuk penyusunan fieldnote, peneliti juga melaksanakan wawancara

dan dokumentasi. Berikut adalah rincian lokasi dan waktu penelitian

1) Dokumentasi berbagai majalah, foto, dan dokumen terkait lainnya

dilaksanakan di Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja

Abdullah bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da’wah Islamiyah

Indonesia Pusat pada 27 Februari, 1, 2, 8, dan 12 Maret 2018.

2) Wawancara dengan Drs. H. Mohammad Siddik, M.A. di kantor pusat

Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada Selasa, 27 Februari 2018.

3) Wawancara dengan Lukman Hakiem di kediamannya yang terletak di

Desa Benda, Sukabumi, Jawa Barat pada Minggu, 4 Maret 2018.

4) Wawancara dengan H. Ramlan Mardjoned di kantor pusat Dewan

Da’wah Islamiyah Indonesia dan kediamannya di Jakarta Barat pada

Selasa, 6 Maret 2018 dan Minggu, 11 Maret 2018.

5) Wawancara dengan Artawijaya di kantor Penerbit Pustaka Al-Kautsar,

Jakarta Timur pada Kamis, 8 Maret 2018.

93

6) Wawancara dengan Alam di warung kaki lima dekat kantor Institute for

the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Jakarta

Selatan pada Minggu, 11 Maret 2018.

7) Wawancara dengan Natsir Zubaidi di kantor Pimpinan Pusat Dewan

Masjid Indonesia, Jakarta Pusat, pada Senin, 12 Maret 2018.

8) Adapun pembuatan transkrip, analisis data dan penulisan hasil

dilaksanakan sejak April sampai dengan Agustus 2018.

3.5 Sumber Data

Schreiber (dalam Given, 2008) mengatakan bahwa data penelitian

secara garis besar dapat digolongkan menjadi data verbal dan data

nonverbal. Data verbal adalah segala bentuk data yang berbasis kata-kata

seperti buku, surat kabar, catatan harian, hasil wawancara dan catatan

lapangan (fieldnotes); sedangkan data nonverbal dapat berbentuk gambar,

video, diagram, karya seni, maupun peta konsep. Pada penelitian ini, sumber

data verbal utama yang digunakan adalah sebagai berikut:

1) Buku Capita Selecta Jilid I (tahun 1961) dan Jilid II (tahun 1975).

Buku ini merupakan kumpulan karya tulis pilihan Mohammad Natsir

dari berbagai topik seperti Kebudayaan-Filsafat, Pendidikan, Agama,

Ketatanegaraan, serta pidato-pidatonya.

2) Buku Islam, Nationalism and Democracy (2012). Buku ini merupakan

biografi Mohammad Natsir yang secara khusus menceritakan

perjalanan dan perjuangannya di bidang politik.

3) Buku M. Natsir, sebuah Biografi (1990). Buku ini merupakan biografi

Mohammad Natsir.

94

4) Buku Pendiri dan Pemimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

(2017). Buku ini berisikan biografi singkat para pendiri dan pemimpin

Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

5) Buku Politik Santun di antara Dua Rezim (2011). Buku ini

menceritakan berbagai kisah hidup Mohammad Natsir sebagai tokoh

Islam yang santun menjalankan peran pentingnya dalam bidang politik

di orde lama dan orde baru.

6) Buku M. Natsir di Panggung Sejarah Republik (2008). Buku ini

merupakan kumpulan materi seminar tentang kisah dan pandangan

para tokoh terhadap Mohammad Natsir yang diselenggarakan untuk

memperingati 1 abad Mohammad Natsir.

7) Buku Api Sejarah 2 (2016). Buku ini mengisahkan berbagai

perjuangan para ulama dan tokoh Islam di Indonesia dalam

menegakkan NKRI.

8) Buku Merawat Indonesia Belajar dari Tokoh dan Peristiwa (2017).

Buku ini menceritakan berbagai peristiwa penting yang melibatkan

tokoh-tokoh bangsa, salah satunya Mohammad Natsir.

9) Buku Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan

Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia (2010).

10) Buku M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya (1999). Buku ini memuat

pemikiran-pemikiran dan kisah pejuangan Mohammad Natsir dalam

berdakwah.

11) Buku Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir dalam Bidang

Pendidikan (2017).

95

12) Buku Islam sebagai Dasar Negara karya Mohammad Natsir (2014).

Buku ini berisikan pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir yang

disampaikan pada pidatonya di Sidang Majelis Konstituante untuk

Menentukan Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1957 sampai

dengan 1959.

13) Buku Islam dan Akal Merdeka (2015). Buku ini memuat pemikiran

Mohammad Natsir tentang peran Islam dalam mengarahkan

kemerdekaan akal serta kritik-kritiknya terhadap pemikiran Soekarno

tentang “Islam Sontoloyo”.

14) Buku Belajar dari Partai Masjumi (2014). Buku ini mengisahkan

perjalanan Partai Masjumi dan berbagai teladan-teladan dari berbagai

peristiwa serta tokoh-tokohnya.

15) Buku Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila, Konstituante 1957

(2001). Buku ini menghimpun pidato-pidato Mohammad Natsir,

Abdul Kahar Muzakkir, Hamka, M. Isa Anshary, dan Kasman

Singodimedjo mengenai dasar negara yang disampaikan di Sidang

Majelis Konstituante.

16) Buku Bang Imad; Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya (2002). Buku

ini memuat tentang pemikiran-pemikiran dan perjuangan Imaduddin

Abdulrahim dalam dakwahnya; termasuk hubungan dekatnya dengan

Mohammad Natsir yang merupakan mentornya.

17) Majalah Media Dakwah Nomor 251 dan 258 tahun 1995 yang

diterbitkan oleh DDII.

96

18) Majalah Pembela Islam Nomor 1 tahun 1929 yang diterbitkan oleh

Comite Pembela Islam.

19) Majalah Panji Masyarakat Nomor 661 tahun 1990 yang diterbitkan

oleh Yayasan Nurul Iman.

20) Majalah Serial Media Dakwah terbitan DDII, Nomor 88 tahun 1982,

Nomor 75 tahun 1980, Nomor 71 tahun 1980, Nomor 69 tahun 1980,

Nomor 68 tahun 1980, Nomor 64 tahun 1979, Nomor 62 tahun 1979.

21) Majalah Suara Masjid Nomor 223 tahun 1993 yang diterbitkan oleh

Ikatan Masjid Indonesia.

22) Wawancara dengan H. Ramlan Mardjoned; Drs. H. Mohammad

Siddik, M.A.; Natsir Zubaidi; Lukman Hakiem; Artawijaya; dan

dengan Alam.

23) Transkrip video Mohammad Natsir – Sang Negarawan

Konstitusionalis (bagian 1 dan 2) yang diproduksi oleh Dewan

Da’wah Islamiyah Indonesia pada tahun 2008.

24) Transkrip video Melawan Lupa: Keteladanan Mohammad Natsir yang

ditayangkan oleh MetroTV pada 25 Juni 2018.

Adapun sumber data nonverbal yang digunakan dalam penelitian ini,

yakni sebagai berikut.

1) Katalog-katalog foto yang terdapat di Bilik Natsir, Perpustakaan

Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin Abdul Aziz alu

Saud, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.

97

2) Foto-foto yang mengilustrasikan tampilan Majalah Hikmah dan Panji

Masyarakat yang diperoleh dari hasil digitalisasi komunitas Jejak

Islam Bangsa (JIB).

3) Foto-foto yang mengilustrasikan tampilan Majalah Pembela Islam,

Serial Media Dakwah, Media Dakwah, Majalah Kiblat, Majalah Panji

Masyarakat, Suara Masjid, dan Majalah Sahabat yang diperoleh

langsung dengan mendokumentasikan majalah-majalah tersebut di

Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin

Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.

4) Foto-foto lainnya tentang bukti sejarah yang diambil dari buku dan

juga sumber elektronik seperti situs resmi lembaga tertentu.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan

dua teknik, yakni dokumentasi dan wawancara mendalam.

1) Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan

mengumpulkan dan menyeleksi berbagai dokumen yang selanjutnya

diinterpretasi untuk mendapatkan esensi informasi atau data yang berkaitan

dengan penelitian (Bryman, 2012). Beberapa dokumen yang dapat

dikumpulkan adalah: (1) dokumen personal yang tertulis (seperti surat,

otobiografi dan buku harian) dan berbentuk visual (seperti foto dan

sejenisnya); (2) dokumen resmi terbitan pemerintah seperti laporan resmi

kinerja pemerintah; (3) dokumen resmi terbitan pihak swasta seperti

publikasi dan laporan organisasi; (4) luaran media massa seperti koran,

98

majalah, program televisi, dan film; dan (5) dokumen virtual seperti basis

data yang disajikan melalui situs di internet (Bryman, 2012). Menurut

Bryman (2012) dokumen-dokumen tersebut harus memenuhi kriteria:

Authenticity – keaslian dokumen dan asal dokumen yang jelas. Credibility –

terbebasnya dokumen dari distorsi. Representativeness – keterwakilan

informasi/data melalui dokumen tersebut. Meaning – berkaitan dengan

kejelasan dokumen dan dapat atau tidaknya dipahami dengan baik.

2) Wawancara Kualitatif / In-depth Interview

Wawancara kualitatif merupakan teknik pengumpulan data dengan

melakukan wawancara yang tidak terstruktur dan bertujuan untuk

mendapatkan informasi yang rinci dan kaya (Bryman, 2012). Fleksibilitas

wawancara kualitatif memungkinkan peneliti menemukan berbagai hal

penting dan menarik yang tidak hanya berguna dalam menyusun penjelasan

secara komprehensif, tetapi juga bisa mengubah ketertarikan peneliti kepada

suatu hal yang belum terduga sebelumnya (Bryman, 2012). Alat bantu yang

digunakan dalam wawancara kualitatif adalah panduan wawancara yang

tidak menjadi pertanyaan mutlak dan mengekang.

3.7. Teknik Pemilihan Informan

Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik snowball sampling yang merupakan bagian dari non-probability

sampling. Snowball sampling merupakan teknik penentuan sampel untuk

dijadikan informan yang didasarkan pada analogi bola salju, yakni awalnya

berukuran kecil ketika di puncak, kemudian semakin membesar ketika

menggelinding ke bawah (Neuman, 2014). Sampel berukuran kecil di awal

99

penelitian, kemudian membesar seiring berjalannya pernelitian. Informan

pertama menunjuk informan berikutnya yang diyakini dapat memberikan

informasi secara lebih luas dan mendalam. Hal ini terus berlanjut ke

informan-informan berikutnya sampai ditemukannya kejenuhan data

(Neuman, 2014). Dengan polanya yang seperti ini, snowball sampling juga

sering disebut teknik penentuan sampel/informan berbasis jaringan (network),

jalinan berantai (chain referral), berdasarkan reputasi (reputational), dan

diarahkan oleh informan, Neuman menyebutnya respondent-driven sampling

(Neuman, 2014).

Teknik snowball sampling ini tidak hanya membantu peneliti menggali

data tentang Mohammad Natsir, tetapi juga memungkinkan peneliti

berinteraksi secara langsung dengan orang-orag yang pernah bertemu atau

bahkan menjalin hubungand personal dengan Mohammad Natsir. Selain itu,

teknik ini juga membebaskan peneliti dari spekulasi mengenai kredibilitas

informan karena para informanlah yang berperan besar dalam menentukan

informan lainnya yang harus peneliti temui. Kelebihan lainnya adalah

keleluasaan peneliti untuk melakukan konfirmasi secara interaktif antara data

yang peneliti dapatkan dari sumber pustaka dengan para informan, serta

antara informan satu dengan informan lainnya.

Namun, meskipun peneliti mengimplementasikan teknik snowball

sampling dalam penelitian ini, peneliti tetap memerhatikan kriteria para

informan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Berikut ini adalah para informan yang berhasil peneliti wawancarai

serta skema jaringan yang terbentuk melalui teknik snowball sampling.

100

1. Drs. H. Mohammad Siddik, M.A. yang merupakan Ketua Umum DDII

periode XI tahun 2015-2020. Pernah dibina secara langsung oleh Natsir

hingga dipromosikan untuk berpartisipasi di forum internasional yang

kemudian mengantarkannya berkiprah di Islamic Development Bank.

2. H. Ramlan Mardjoned yang merupakan mantan sekretaris pribadi

Mohammad Natsir tahun 1966 – 1993 dan mantan anggota Dewan

Redaksi sekaligus Pemimpin Usaha Serial Media Dakwah.

3. Natsir Zubaidi yang merupakan Ketua Hubungan Antar Lembaga dan

Luar Negeri Dewan Masjid Indonesia dan mantan Ketua

Penyunting/Penanggungjawab Majalah Suara Masjid. Pernah bekerja di

bawah pimpinan Natsir, khususnya dalam bidang jurnalisme.

4. Lukman Hakiem yang merupakan mantan Wakil Pemimpin

Redaksi/Redaktur Pelaksana Majalah Kiblat tahun 1985 – 1988, mantan

redaktur Majalah Media Dakwah tahun 1989 – 1997, mantan Ketua

Umum HMI Cabang Yogyakarta tahun 1983 – 1984 dan mantan Staf

Khusus Wakil Presiden RI tahun 2001 – 2004.

5. Artawijaya yang merupakan penulis Buku Belajar dari Partai Masjumi,

dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir sejak 2008,

dan editor di Penerbit Pustaka Al-Kautsar Jakarta sejak 2011.

6. Alam yang merupakan penggiat Komunitas NUUN dan Depok Islamic

Study Club (DISC) Universitas Indonesia, serta aktif sebagai pengurus

Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).

101

3.8 Instrumen Penelitian

Peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian kualitatif. Hal

ini dikarenakan peneliti tidak bisa telepas dari seluruh komponen penelitian,

baik topik, metode, sumber data dan arah penelitian (Sugiyono, 2011).

Namun, peneliti juga menggunakan catatan lapang dan panduan wawancara.

Catatan lapang dalam penelitian ini digunakan untuk mencatat informasi-

informasi penting mengenai Mohammad Natsir yang diperoleh dari sumber

pustaka yang kemudian diinterpretasi dan direfleksikan. Panduan

wawancara berguna untuk memandu jalannya wawancara agar tidak keluar

dari topik penelitian dan memastikan agar hal-hal penting yang ingin digali

melalui wawancara telah ditanyakan kepada informan (Sugiyono, 2011).

3.9 Keabsahan dan Keandalan Data

Berkaitan dengan keabsahan (validitas) dan keandalan (reliabilitas)

data dalam penelitian kualitaif, peneliti merujuk pendapat Lincoln dan Guba

(dalam Bryman, 2012) yang menyebutkan bahwa penelitian kualitatif dapat

dinilai berdasarkan dua kriteria, yakni trustworthiness dan authenticity.

Informan

potensial

Terhubung melalui

Iman (anak kandung

Ramlan)

Informan

potensial

Terhubung

melalui Ucu

(mantan

sekretaris Jimly)

M. Siddik

Ramlan

M.

Lukman

H.

Artawijaya

Natsir Z.

Jimly

(tidak dapat

ditemui)

Alam

Amien Rais dan Yusril Ihza

(tidak dapat ditemui)

Wahid Alwi

(tidak berhasil

ditemui)

Informan

potensial

Hadi Nur R.

(tidak berhasil

ditemui)

Gambar 3. Skema jaringan informan yang terbentuk melalui snowball sampling

Sumber : Pengalaman peneliti

102

Lincoln dan Guba (dalam Bryman, 2012) menjelaskan bahwa

trustworthines mencakup empat kriteria yaitu:

1) Credibility (sesuai dengan validitas internal); yaitu berkaitan dengan

bagaimana temuan penelitian dapat dipercaya atau kredibel. Kredibilitas

ini juga menjadi cerminan tentang pemahaman peneliti.

2) Transferbility (sesuai dengan validitas eksternal); yaitu kemungkinan

penelitian di-transfer atau diterapkan dalam konteks yang berbeda.

3) Dependability (sesuai dengan reliabilitas); yaitu berkaitan dengan

keandalan atau keteguhan penelitian yang diperoleh dengan mengaudit

proses penelitian, misalnya dimulai dari perumusan masalah, fieldnotes,

dan transkrip wawancara.

4) Confirmability (sesuai dengan objektivitas); meskipun menampilkan

objektivitas secara keseluruhan adalah suatu yang mustahil dalam

penelitian sosial, khususnya kualitatif, pemeliti dituntut untuk

berperilaku ilmiah dengan tidak secara gamblang menunjukan nilai-nilai

personal yang dimilikinya. Hal ini dilakukan dengan melibatkan auditor.

Adapun authenticity atau keaslian yang menurut Lincoln dan Guba

(dalam Bryman, 2012) akan memunculkan dampak yang lebih luas dari

penelitian terdiri dari empat kriteria.

1) Fairness; keadilan peneliti dalam menampilkan sudut pandang berbeda.

Hal ini dicapai peneliti dengan tidak hanya merujuk beragam sumber

pustaka, tetapi juga meminta keterangan dari beberapa informan.

2) Ontological authenticity; berkaitan dengan kontribusi penelitian dalam

menciptakan pemahaman masyarakat tentang lingkungan sosialnya. Hal

103

ini dicapai peneliti dengan menyosialisasikan hasil penelitian lewat

beberapa seminar dan forum diskusi informal.

3) Educative authenticity; berkaitan dengan kontribusi penelitian dalam

menciptakan sikap menghargai berbagai perspektif dalam masyarakat.

Hal ini dicapai peneliti melalui penekanan penjelasan mengenai

karakter Natsir yang diplomatis, konstitusionalis dan toleransi.

4) Catalytic authenticity; berkaitan dengan kontribusi penelitian dalam

mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam melakukan

perbaikam. Hal ini dicapai melalui berbagai keteladanan yang

dipraktikkan Natsir, misalnya dalam memperjuangkan NKRI.

5) Tactical authenticity; berkaitan dengan kontribusi peelitian dalam

pemberdayaan masyarakat untuk melakukan suatu tindakan.

104

BAB IV

HASIL

4.1 Mohammad Natsir dan Perjuangannya Meraih Pendidikan yang Lebih

Baik

17 Juli 1908 merupakan masa penuh kebahagian bagi Idris Sutan

Saripado beserta istrinya yang bernama Khalida.2 Masa itu juga menjadi salah

satu “titik terang” bagi bangsa Indonesia yang sedang berjuang mencapai

kemerdekaan. Seorang bayi yang kelak mempersatukan Indonesia dalam

bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, lahir di sebuah rumah di tepi

Sungai Batang Hari, Alahan Panjang, Sumatera Barat. Bayi itu diberi nama

Mohammad Natsir.3

Mohammad Natsir merupakan anak ketiga dari sebuah keluarga yang

sangat bersahaja. Idris, ayah Mohammad Natsir adalah warga biasa yang

bekerja sebagai juru tulis di kantor pemerintah di Alahan Panjang, yang

kemudian sempat dipindah-tugaskan ke beberapa daeah lainnya, seperti

Bonjol dan Makassar. Meskipun bekerja di kantor pemerintah, Idris tidak bisa

berbahasa Belanda dan hanya mendapatkan pendidikan di bangku sekolah

2 Nama “Khalida” ini disebutkan oleh Audrey Kahin dalam bukunya yang berjudul Islam, Nationalism, and

Democracy berdasarkan keterangan yang ia dapatkan secara langsung dari Mohammad Natsir melalui

wawancara pada 31 Mei 1971. Nama lain dengan sebutan “Khadijah” muncul dalam buku yang ditulis oleh

Adian Husaini, Mohammad Noer dan Ujang Habibi dalam bukunya yang berjudul Pemikiran dan Perjuangan

Mohammad Natsir dalam Bidang Pendidikan; dan juga dalam buku berjudul M. Natsir, Dakwah dan

Pemikirannya yang ditulis oleh Thohir Luth.

3 Terdapat beberapa versi tentang penulisan nama depan ini. Ujang Habibi menyebutkan 4 versi; yakni :

Muhamad, Muhammad, Mohamad, dan Mohammad. Dari 4 versi tersebu, Habibi menyatakan bahwa yang

paling tepat adalah “Mohamad”. Penulisan ini berdasarkan pada surat-surat dan naskah-naskah yang ditulis

oleh M. Natsir. Lihat : Mas‟oed Abidin, Gagasan dan Gerakan Dakwah Natsir, hal. 2. Namun, peneliti

menggunakan “Mohammad” berdasarkan pada penulisan yang digunakan mayoritas sumber pustaka, produk

jurnalistik yang melibatkan M. Natsir, seperti Majalah Hikmah, Media Dakwah, Serial Media Dakwah, dan

Suara Masjid. Hal ini juga diperkuat oleh keterangan dari mantan sekretaris pribadi M. Natsir, Ramlan

Mardjoned yang peneliti wawancarai pada 6 dan 11 Maret 2018.

105

dasar. Begitu juga dengan Kholida yang hanya pernah berlajar membaca;

tidak mendapatkan pendidikan formal di sekolah (Kahin, 2012).

Kesahajaan keluarga ini membuat sahabat Idris yang merupakan

saudagar kopi kaya raya, Sutan Rajo Ameh, berempati hingga

memperkenankan Idris beserta istri dan anak-anaknya untuk tinggal di

rumahnya. Rumah berhalaman luas yang sisi kirinya mengalir sungai Batang

Hiliran Gumanti itu dibagi dua oleh Sutan Rajo Ameh; sisi kirinya untuk

dirinya berserta keluarga, sedangkan bagian yang lain ditempati oleh Idris

beserta istri dan anak-anaknya. Hubungan yang sangat akrab antara ayah

Mohammad Natsir dengan Sutan Rajo Ameh ini berlanjut hingga ke anak dan

cucu mereka. Cucu Sutan Rajo Ameh yang bernama Hamdi El Gumanti

merupakan seorang pengurus Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia (DDII)

yang penah membantu Natsir mengambilkan foto-foto masa kecilnya yang

ada di kampung halaman untuk dijadikan sarana bernostalgia di penghujung

hayatnya. Begitu juga dengan paman Hamdi, Syahrul Kamal, yang pernah

bersama Natsir merencanakan kunjungan ke kampung halamannya pada

tahun 1970-an. Namun, rencana ini tidak terwujud karena Syahrul Kamal

lebih dulu wafat (Tim KPG-Tempo, 2011).

Masa kecil Mohammad Natsir memang penuh kenangan tentang

perjuangan. Salah satu hal penting yang tetap diingat oleh Natsir adalah

pencariannya tentang makna perjuangan itu sendiri. Natsir mendengar kata

“perjuangan” pertama kalinya saat ia berusia delapan tahun. Saat itu ia

memaknai perjuangan sebagai upaya untuk mendapatkan pendidikan yang

lebih baik, bukan upaya penentangan terhadap penjajahan atau pun

106

pemberontakan politik (Kahin, 2012). Di kemudian hari, Natsir sendiri

merumuskan pemikirannya dengan berlandaskan pada Al-Quran bahwa

kecerdasan dan kemuliaan yang sejati itu diperoleh dengan ilmu pengetahuan

atau pendidikan (Natsir, 1961).

Pemaknaannya terhadap perjuangan ini membangkitkan semangatnya

untuk memeroleh pendidikan yang layak; ia memiliki ambisi untuk bisa

menjadi siswa sekolah dasar elit milik pemerintah Belanda, Hollandse

Inlandsche School (HIS). Orang yang bersekolah di HIS milik pemerintah

Belanda biasanya adalah anak-anak dari keluarga Belanda atau pribumi yang

terpandang (Kahin, 2012).

Pendidikan dasar seorang tokoh besar bangsa ini sempat tidak

menentu. Saat ayahnya mendapatkan perintah untuk berpindah wilayah tugas

ke Maninjau, Kabupaten Agam, Natsir pun mengikutinya. Meskipun ayah

Natsir adalah seorang pegawai pemerintah, ia tidak memiliki uang yang

cukup untuk bisa menyekolahkan Natsir di HIS milik pemerintah Belanda.

Sehingga, saat di Maninjau, Natsir hanya dapat belajar di sekolah lokal yang

menggunakan bahasa Indonesia dalam pembelajarannya. Itu pun dengan

status “siswa yang tidak resmi”. Natsir mendapatkan simpati dari seorang

guru senior di sekolah tersebut dan mengizinkan Natsir untuk memasuki

kelas, tetapi ia harus segera meninggalkan kelas saat inspektur sekolah

muncul (Kahin, 2012). Sepulang dari sekolah rakyat untuk mendapatkan

pengetahun umum, di sore harinya Natsir pergi ke surau untuk mengaji dan

dilanjutkan dengan bermalam di sana. Hal tersebut sudah menjadi tradisi di

masyarakat Minangkabau, jika anak-anak mereka sudah memasuki usia tujuh

107

atau delapan tahun, maka anak-anak tersebut tidak diperkenankan lagi tidur di

rumahnya, tetapi diarahkan untuk menuju surau setiap sorenya dan tidur di

sana. Dalam sebuah buku biografi untuk memperingati usianya yang ke-70

tahun, diceritakan bahwa Natsir kecil sangat semangat untuk tidur di surau

dengan berselimut sarung.

Saat ayahnya dipindah-tugaskan ke Makassar, Natsir yang saat itu

masih kecil diajak oleh kakaknya yang bernama Rabiah ke Padang dengan

membawa harapan bisa bersekolah di HIS milik pemerintah Belanda. Namun,

usaha kerasnya masih belum membuahkan hasil. Cita-citanya untuk bisa

bersekolah di HIS bisa dilampiaskan untuk sementara waktu lewat HIS

Adabiah, sebuah sekolah yang memadukan model HIS milik pemerintah

Belanda dengan pendidikan Islam yang didirikan oleh H. Abdullah Ahmad

pada 23 Agustus 1915 (Kahin, 2012).4 Natsir belajar di HIS Adabiah tersebut

di sore hari setelah belajar dari sekolah rakyat pada pagi hingga siang hari.

Pendirian HIS Adabiah ini dilatar-belakangi oleh keprihatinan para

ulama dan tokoh pendidikan Islam terhadap tradisi pendidikan umat yang

semakin mengidam-idamkan model pendidikan Belanda (dengan adanya

sekolah-sekolah milik Belanda) yang dikhawatirkan dapat mengancam

aqidah umat (Kahin, 2012). Oleh karena itu, atas seruan dan juga inisiatif

para ulama dan tokoh Islam tersebut, didiirikanlah HIS Adabiah. Meskipun

infrastruktur yang dimilikinya tidak sebaik HIS milik pemerintah Belanda;

4 Pendirian HIS Adabiah ini dilatar-belakangi oleh keprihatinan para ulama dan tokoh pendidikan Islam

terhadap tradisi pendidikan umat yang semakin mengidam-idamkan model pendidikan Belanda (dengan

adanya sekolah-sekolah milik Belanda) yang dikhawatirkan dapat mengancam aqidah umat. Oleh karena itu,

atas seruan dan juga inisiatif para ulama dan tokoh Islam tersebut, didiirikanlah HIS Adabiah. Lihat Audrey

Kahin. Islam, Nationalism, and Democracy : Political biography of Mohammad Natsir. Singapura

: National University of Singapore Press.

108

para guru HIS Adabiah mengajarkan Natsir dengan sangat baik sebagai

bentuk persiapannya untuk mengikuti ujian HIS milik pemerintah yang ada di

Solok.

Natsir pun diterima menjadi siswa HIS milik pemerintah di Solok.

Selama di Solok, Natsir tinggal bersama seorang saudagar kaya-raya bernama

Haji Musa yang anaknya menjadi teman sekolah Natsir selama 3 tahun.

Sebagaimana pengalaman belajarnya dahulu, Natsir tidak hanya aktif belajar

di pagi hingga siag hari untuk mendapatkan pengetahuan umum, di sore

harinya Natsir tetap memperdalam pendidikan agamanya di sekolah Diniyyah

yang didirikan oleh kakak-beradik H. Rahmah el Yunussiyah dan Zainuddin

Labay el Yunusy yang merupakan ulama dan pejuang di bidang pendidikan

(Kahin, 2012). Di sekolah Diniyyah ini Natsir mempelajari hukum fiqh dan

juga bahasa Arab untuk pertama kalinya kepada Tuanku Mudo Amin. Setelah

itu, aktivitas belajar Natsir dilanjutkan dengan mengaji Al-Quran pada malam

harinya (Noer dalam Luth, 1999).

Kemampuan belajar Natsir tergolong istimewa. Ia tidak hanya mampu

menguasai seluruh materi yang diajarkan di sekolah Diniyyah, tetapi ia

memiliki kemampuan untuk mengajarkan materi itu. Natsir pun mendapatkan

kepercayaan untuk menjadi asisten pengajar di sekolah Diniyyah tersebut.

Setelah beberapa bulan membantu untuk mengajar, Natsir harus pindah ke

Padang karena ia diterima menjadi siswa dari sebuah HIS milik pemerintah

Belanda yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Belanda.

Hijrahnya menuju kota Padang demi mendapatkan pendidikan yang

lebih baik tidak dilaluinya dengan mudah. Ia sempat tinggal bersama bibinya

109

yang bernama Macik Rahim. Selama tinggal dengan bibinya ini, Natsir

belajar menjadi pribadi yang mandiri. Meskipun seorang anak laki-laki,

Natsir tidak segan untuk membantu bibinya memasak, membersihkan rumah

dan mencari kayu bakar. Bibinya yang bekerja sebegai penyortir kopi dengan

gaji 70 – 80 sen per hari itu pun iba dengan Natsir hingga memberikan

sebagian gajinya untuk Natsir yang telah membantunya mengurus rumah.

Kemandiriannya ini tidak hanya berbuah gaji dari bibinya di saat usianya baru

menginjak 11 tahun, tetapi juga membentuk ketangguhan dirinya. Ia

mengatakan bahwa dengan cara itu ia terbebas dari rasa berutang budi

(Kahin, 2012).

Perjuangannya yang luar biasa dalam meraih pendidikan yang lebih

baik membuahkan hasil yang gemilang; pada akhir masa belajarnya di HIS

Padang di tahun 1923, Natsir mendapatkan peringkat pertama di kelasnya dan

dihadiahi beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgerbreid

Lager Onderwijs (MULO) (sekarang setara Sekolah Menengah Pertama).

Natsir pun tidak perlu bersusah-payah lagi mencari sekolah impiannya seperti

pengalaman yang ia lalui ketika berusaha menjadi siswa HIS; ia diterima

menjadi siswa MULO Padang dengan beasiswa Rp 20,- per bulan (Kahin,

2012).

Bersekolah di MULO Padang merupakan pengalaman pertamanya

memiliki teman kelas yang merupakan anak-anak Belanda. Sebelum

mendapatkan pengalaman menarik itu, Natsir memiliki anggapan bahwa

orang-orang Belanda yang berkulit putih memang lebih unggul dibandingkan

pribumi. Setelah ia memasuki MULO, ia sadar bahwa warna kulit sama sekali

110

tidak menentukam keunggulan atau superioritas, termasuk dalam bidang

akademik (Kahin, 2012). Meskipun demikian, Natsir bersama teman-teman

Indonesianya sering dicemooh oleh anak-anak Belanda hingga tidak jarang

mereka terlibat adu mulut, bahkan beberapa kali sampai adu fisik.

Dilatarbelakangi oleh perilaku buruk sebagian siswa Belanda itulah Natsir

beserta kawan-kawannya masuk menjadi anggota Jong Sumatera dan Jong

Islamieten Bond (JIB) (Kahin, 2012). Natsir pun tidak sekedar menjadi

anggota JIB, ia turut serta dalam salah satu cabang organisasinya, yakni

Nationale Islamitische Pavinderij (Natipij) yang merupakan kelompok

kepanduan atau sejenis pramuka yang diketuai oleh Sanusi Pane (Luth, 1999).

Setelah lulus dari MULO Padang pada semester pertama tahun 1927,

Natsir memenuhi kualifikasi untuk menjadi seorang juru tulis. Saat itu, Natsir

memiliki keinginan yang besar untuk segera bekerja sehingga bisa benar-

benar mandiri, tidak menjadi beban orang tuanya lagi. Namun, ayahnya

memberikan arahan yang betolak-belakang dengan keinginannya itu.

Meskipun tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk

menyekolahkan anaknya, ia berkeinginan agar Natsir melanjutkan

sekolahnya. Masalah yang sama saat di HIS dan MULO pun dihadapinya

lagi; ia sangat sadar bahwa ia ayahnya tidak mampu membiayainya dan dia

pun belum berpenghasilan. Masalah itu pun terpecahkan saat ia menyadari

bahwa dirinya memiliki kesempatan untuk mendapatkan beasiswa lagi karena

memenuhi kualifikasi – ia berhasil masuk MULO dengan beasiswa dan lulus

dengan nilai yang memuaskan. Berbekal hal itu, Natsir berhasil meraih

beasiswa sebesar Rp 30,- per bulan untuk melanjutkan studinya di Algemene

111

Middelbare School (AMS) di Bandung (sekolah setaraf SMA saat ini)

(Husaini, Noer, dan Ujang, 2017).

Kali ini, Natsir benar-benar melaksanakan tradisi Minangkabau yang

sangat terkenal – merantau. Ia keluar dari Sumatera Barat menuju tanah

rantauannya – Bandung. Pelabuhan Emmahaven di Padang yang saat ini

bernama Pelabuhan Teluk Bayur menjadi saksi bisu keberangkatan Natsir

menuju Bandung yang menjadi “batu loncatan” menuju langkah-langkah

pentingnya sebagai seorang tokoh bangsa. Setelah berlayar selama 3 hari,

Natsir pun sampai di Tanjung Priok, ia menginjakkan kakinya di pulau Jawa

untuk pertama kalinya.

Keberhasilannya menjangkau pendidikan yang jauh lebih baik hingga

ke Pulau Jawa memang sebuah pencapaian besar dalam hidupnya. Apalagi

sekolah-sekolah dengan model pendidikan barat yang paling maju saat itu

terkonsentrasi di Bandung. Akibatnya, banyak cendekiawan yang lahir di kota

ini dan kemudian menyuarakan paham anti kolonialisme. Bandung pun

menjadi pusat diskursus mengenai anti kolonialisme yang memunculkan

bentuk-bentuk baru nasionalisme Indonesia (Kahin, 2012). Misalnya pada

bulan yang sama saat Natsir tiba di Bandung, Juli 1927, Soekarno mendirikan

partai yang awalnya dikenal dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia

yang kemudian berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Pidato-

pidato maupun diskusi-diskusi mengenai nasionalisme diadakan dengan

menampilkan tokoh-tokoh. Natsir adalah salah seorang pendengar setia

pidato-pidato para tokoh itu, mulai dari Soekarno, Tjokroaminoto dan Haji

Agus Salim (Kahin, 2012). Natsir memang seorang yang sangat mencintai

112

dan menghormati pidato; ia akan selalu menyempatkan diri untuk menghadiri

pidato para tokoh kapan pun dan di mana pun selagi bisa dijangkau olehnya.5

Selain tokoh-tokoh tersebut, perantauannya ke Bandung mengantarkannya

bertemu dengan salah seorang guru yang sangat memengaruhi pemikirannya,

khususnya mengenai Islam, yakni Ahmad Hassan; seorang keturunan India

yang merupakan tokoh pendiri Persatuan Islam (Kahin, 2012).

Selain itu, berdasarkan keterangan Natsir dalam sebuah wawancara

oleh Audrey Kahin pada 31 Mei 1971 di Jakarta, saat itu AMS Bandung

merupakan satu-satunya AMS di Indonesia yang memiliki program sastra

sehingga siswanya memeroleh model pembelajaran klasik Eropa dengan

bahasa Latin dan Yunani (Kahin, 2012). Penyebutan lengkapnya dalam

bahasa Belanda adalah Algemene Middelbare School Westers Klassieke

Afdeling (AMS A2) yang artinya Sekolah Menengah Umum Jurusan Klasik

Barat. AMS tergolong sekolah bergengsi pada sat itu yang berdiri pada tahun

1919 (Tim KPG-Tempo, 2011). Sekolah yang terletak di Beliton Straat

(sekarang Jalan Belitung) ini memang disediakan bagi pelajar lulusan MULO

yang tidak mungkin bisa menjadi siswa Hogere Burger School yang dalam

terjemahan bebasnya berarti Sekolah “Warga yang Lebih Tinggi”; artinya

hanya anak-anak Belanda atau dari negeri lainnya di Eropa dan elit pribumi

yang bisa menjadi siswa di sekolah itu.

Saat itu, Natsir tinggal bersama bibinya yang bernama Latifah; di

sebuah rumah yang terletak di Jalan Cihapit, sekitar 15 menit dari AMS

dengan jalan kaki (Tim KPG-Tempo, 2011). Kegiatan belajar Natsir di AMS

5 Ramlan Mardjoned, Wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018

113

dimulai pada bulan kelahirannya, Juli 1927. Saat itu ia berusia 19 tahun. Jika

dibandingkan dengan kebanyakan pemuda saat ini, usia 19 tahun sudah

memasuki masa studi Strata Satu. Meskipun begitu, Natsir yang saat itu baru

memasuki sekolah setaraf SMA, telah menunjukkan kualitas diri di atas rata-

rata. Natsir yang saat itu berfokus untuk membangun karirnya di bidang

hukum berhasil meraih nilai 9 dalam bahasa Latin setelah 3 bulan pertama

masa belajarnya, sedangkan teman-temannya hanya mampu meraih nilai 3

atau 4. Namun, Natsir menghadapi masalah dalam pelajaran bahasa Belanda;

ia hanya mampu mendapatkan nilai 5. Gurunya dengan sinis bertanya kepada

Natsir tentang dari MULO mana ia berasal. Saat ia mengatakan bahwa ia

berasal dari MULO Padang, gurunya pun memberikan respon yang

cenderung meremehkan “oh iya, tidak heran!” (Kahin, 2012).

Natsir tidak terima jika kampung halamannya direndahkan; apalagi ini

dalam hal kemampuan akademik. Ia kemudian meminta bantuan temannya

bernama Bachtiar Effendi, seorang pemuda Minang yang tidak hanya lancar

berbahasa Belanda, tetapi juga pandai berorasi. Percakapan orang-orang

Belanda di sekitar pertokoan pinggira kota Bandung serta buku-buku

berbahasa Belanda yang diperoleh dari perpustakaan menjadi sarananya

dalam memperlancar bahasa Belandanya. Sebuah kompetisi Kefasihan

Berbahasan Belanda pun diikuti oleh Natsir dengan memilih cabang lomba

pembacaan pusisi. Puisi berjudul “The Flood (De Bandjir)” karangan

Multatuli menjadi pusisi pilihannya untuk ditampilkan di perlombaan itu.

Persiapannya untuk mengikuti lomba tersebut tidak sebatas pada substansi

materi lomba; Natsir muda menunjukkan kualitasnya sebagai orator sejati

114

dengan memerhatikan atribut yang hendak ia gunakan. Pakaian adat Minang

menjadi kostum pilihannya saat itu untuk menunjukkan bahwa ia seorang

putra Minang yang berani berkompetisi -- tampil menyajikan puisi berbahasa

Belanda yang siap memukau banyak orang. Kejadian yang tidak terduga

mengawali penampilannya, dari panggung tempatnya berdiri ia melihat

gurunya yang meremehkannya duduk di salah satu kursi penonton.

Penampilannya yang memukau disambut dengan gemuruh tepuk tangan dan

membuat para juri memilihnya sebagai peraih Juara 1. Gurunya itu pun tepuk

tangan sambill menunjukkan senyum sinis kepadanya. Hadiah dari

capaiannya sebagai Juara 1 itu adalah buku karya seorang controleur

Sumatera Barat, L.C. Westenenk, yang berjudul “Where men and tigers live

as neighbours”. Prestasinya ini membuat dirinya bangga; tidak hanya karena

berhasil meraih Juara 1, tetapi juga karena bisa mengharumkan nama Padang

MULO yang diremehkan sebelumnya (Kahin, 2012).

Kisah dengan guru yang meremehkannya itu masih berlanjut. Ia

bertemu kembali dengan guru itu di kelas 5, tepatnya di mata pelajaran

economic geography. Suatu saat kelasnya diberikan tugas membuat paper dan

diskusi tentang “the influence of sugar cane plantations and sugar factories

on the people of Java”. Natsir mengumpulkan bahan dengan sungguh-

sungguh; yakni dari berbagai majalah nasionalis dan mempelajari perdebatan

yang terjadi di Volksraad. Kesempatan untuk menunjukkan kemampuan

bahasa Belandanya pun datang kembali melalui presentasi kelas mengenai

papernya. Dengan penuh semangat Natsir menjelaskan dalam presentasinya,

bahwa yang diuntungkan dengan adanya penanaman tebu dan pabrik gula

115

adalah para kapitalis dan bupati; para petani justru menjadi buruh. Presntasi

kelas yang seperti orasi itu pun membuat kelas hening, para siswa dan

gurunya itu pun dibuat terdiam karena takjub melihat presentasinya. Natsir

yang tetap menyimpan memori tentang perlakuan gurunya itu pun bangga

sambil berkata dalam hatinya:

“inilah produk MULO Padang yang kamu remehkan pengajarannya”. (Kahin,

2012, hal. : 8).

Kisah menarik lainnya selama bersekolah di AMS adalah

perdebatannya dengan seorang pendeta Kristen Protestan bernama Dr. A.C.

Christoffels yang memberikan ceramah di hadapannya dan teman-teman

sekelasnya di sebuah gereja (Hakiem, 2017 b). Dalam ceramahnya yang

berjudul Mohammad als Profeet (Mohammad sebagai Seorang Nabi),

Christoffel memang tidak menyerang Islam secara langsung, tetapi karena

ketajaman pikiran dan kemurnian nuraninya, Natsir mampu memahami

bahwa Christoffel berupaya menyampaikan pesan secara halus bahwa ajaran

yang benar itu adalah ajaran Yesus Kristus menurut versi Kristen. Ceramah

Christoffel ini kemudian dimuat dalam surat kabar Algemeen Indisch

Dagblad (AID) De Preangerbode atau dalam bahasa Indonesia berarti Surat

Kabar Umum India De Preangerbode. Ini merupakan kesempatan bagus bagi

Natsir karena dengannya Natsir memiliki hak untuk menanggapi. Natsir pun

mulai mempersiapkan tulisannya dengan mengumpulkan berbagai referensi

dan juga berkonsultasi kepada A. Hassan hampir setiap sore (Kahin, 2012).

A. Hassan pun tidak memanjakan Natsir dengan mendiktenya mengenai apa

yang seharusnya ditulis. A. Hassan benar-benar menjadi pembimbing yang

116

baik, bukan “penyuap”. Ketika tulisan itu telah siap, Natsir segera

mengirimnya ke AID De Preangerbode atas nama Comite Pembela Islam

(Artawijaya, 2014). Tulisan itu merupakan tulisan pertama mengenai Islam

yang dibuat oleh Natsir. Tulisan itu pun mendapatkan tanggapan Christoffles

dalam edisi selanjutnya. Comite Pembela Islam meminta Natsir untuk

membuat tulisan lagi untuk merespon tulisan tersebut. Namun, AID menolak

memuat tulisan tersebut. Penolakan AID itu kemudian menimbulkan

kekecewaan Comite Pembela Islam dan menjadi sebab dibuatnya Majalah

Pembela Islam (Artawijaya, 2014).

Kesungguhan Natsir dalam meraih pendidikannya adalah suatu

teladan yang harus menginspirasi generasi Indonesia di masa kini.

Pemaknaannya tentang kata “perjuangan” di masa kecilnya memang sangat

tepat; saah satu strategi perjuangan terbaik memang dengan meraih

pendidikan setinggi mungkin. Pendidikan bisa menghapus penjajahan dan

memerdekakan bangsa tanpa harus menumpahkan darah. Faktanya,

kebangkitan nasional ditandai dengan munculnya berbagai perserikatan yang

dipelopori oleh kaum intelektual yang sangat memerhatikan pendidikan.

Kebangkitan dengan pendidikan itu pun dibuktikan oleh Natsir. Dilahirkan

sebagai anak juru tulis yang hidupnya bersahaja bukan suatu masalah

baginya. Natsir memberikan pelajaran bahwa “kebanggaanmu bukanlah saat

kamu bisa menunjukkan bahwa kamu punya orang tua yang luar biasa, tetapi

saat kamu bisa menunjukkan bahwa orang tuamu memiliki kamu yang luar

biasa”; dan hal itu dicapainya melalui perjuangan mencapai pencerahan

dengan ilmu.

117

4.2 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Pergerakan

Pemuda

4.2.1 Jong Islamieten Bond adalah Awal Kebaikan

Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh bangsa yang memulai

jejak-jejak kepemimpinannya melalui organisasi kepemudaan. Organisasi

kepemudaan yang pertama kali diikuti oleh Natsir sekaligus memberikan

pengaruh besar bagi arah geraknya adalah Jong Islamieten Bond (JIB) yang

didirikan secara resmi di Jakarta pada 1 Maret 1925 (Roem, dalam Husni,

1998).6 Sebelum melanjutkan studinya ke AMS di Bandung, Natsir telah lebih

dulu menjadi anggota JIB Padang. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,

Natsir juga mengikuti organisasi kepanduan sejenis pramuka milik JIB yang

bernama Nationale Islamitische Pavinderij (Natipij).

JIB tidak hanya menjadi tempat Natsir belajar berbagai hal mengenai

Islam dan juga kebangsaan, tetapi menjadi tempat pertemuannya dengan tokoh-

6 Pendirian JIB diawali dengan keprihatinan sebagian pemuda Jong Java akan kondisi pemuda saat itu yang

lebih membanggakan gaya hidup barat. Mereka akan merasa superior jika menggunakan pakaian bergaya

barat. Rasa inferior jika memunculkan kebudayaan sendiri dan menunjukkan nilai-nilai agama sudah tertanam

kuat saat itu. Bahkan, perasaan inferior itu tidak hanya sebatas pada tradisi-tradisi keagamaan, tetapi

mencakup seluruh aspek kehidupan. Mereka berupaya memisahkan agama dari kehidupannya. Kondisi

memprihatinkan yang disinggung dalam Novel “Salah Asuhan” karya novelis terkenal Sumatera Abdul Muis

ini menjadi fokusan masalah bagi para pemuda yang peduli terhadap agamanya. Tokoh dari para pemuda itu

adalah Samsurizal atau juga dikenal dengan panggilam Raden Sam yang merupakan pendiri JIB. Ia

merupakan anak seorang penghulu di Karanganyar, Solo yang dipercaya menjadi ketua Kongres Jong Java

tahun 1924. Saat itu ia mengajukan ide agar diadakan pembelajaran mengenai Islam dalam Jong Java.

Landasan idenya ada dua : pertama, para kader muslim yang merupakan para pemimpin di masa depan harus

memahami masyarakatnya dengan cara memahami sikap, kecenderungan dan keyakinan mereka. Kedua, hal

itu bisa dilakukan jika para anggota Jong Java memiliki pemahaman yang baik tentang Islam. Sayangnya, ide

cemerlangnya itu ditolak oleh setengah anggota Kongres. Ia pun membatalkan usulannya itu demi menjaga

persatuan di antara anggota Jong Java. Agus Salim yang memahami perasaan Samsurizal kemudian

menawarkan bantuan kepadaya untuk mewujudkan idenya itu. Maka pada Desember 1924, Samsurizal

bersama teman-teman yang sepemahaman dengannya mengadakan pertemuan di sekolah Muhammadiyah

Yogyakarta. Ia meminta saran kepada H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan K.H. Ahmad Dahlan.

Pertemuan yang terjadi pada malam hari itu akhirnya menghasilkan keputusan untuk membentuk organisasi

kepemudaan yang berasaskan Islam dengan nama Jong Islamieten Bond (JIB). Namun, secara resmi JIB

dinyatakan berdiri pada 1 Maret 1925 di Jakarta. Lihat Dardiri Husni, Jong Islamieten Bond : A Study of A

Muslim youth Movement in Indonesia During The Dutch Colonial Era, 1924 – 1942 (Tesis, McGill

University, Montreal - Canada, 1998).

118

tokoh yang memberikan pengaruh besar bagi pemikirannya seperti H. Agus

Salim; teman-teman sebaya yang kemudian menjadi sahabat sepanjang hayat

dalam perjuangan membangun bangsa seperti Mohammad Roem, Prawoto

Mangkusasmito, Sjafruddin Prawiranegara dan Kasman Singodimedjo; bahkan

dengan perempuan yang kelak menjadi istrinya yang setia menemani berbagai

langkah perjuangannya, Putti Nur Nahar atau akrab disapa Ummi Nur Nahar

setelah menikah dengan Nastir; tepatnya melalui JIBDA (Jong Islamieten Bond

Dames Afdeling), yakni divisi khusus perempuan dalam JIB (Husni, 1998;

Kahin, 2012).

Sebagai organisasi pemuda yang menggunakan Islam sebagai asasnya,

maka kriteria keanggotaannya tidak lagi ditentukan oleh batasan wilayah atau

geografis kedaerahan, etnis atau kesukuan, tetapi ditentukan oleh keIslaman

yang memungkinkan JIB menjaring anggota yang lebih besar dibandingkan

organisasi pemuda lainnya saat itu seperti Jong Java. Penggunaan Islam

sebagai asas JIB ini menjadi bukti bahwa Islam dapat mempersatukan

Indonesia. Ini tentu suatu ironi, saat organisasi pemuda lainnya menggunakan

batasan kedaerahan dan kesukuan sebagai kriteria anggota dan juga namanya,

namun mengaku bahwa dirinya mengusung nasionalisme, maka sebenarnya

JIB jauh lebih nasionalis dibandingkan pergerakan-pergerakan pemuda

tersebut; JIB menghilangkan batas kedaerahan dan mempersatukan pemuda

Indonesia dengan ikatan Islam.

Dalam majalah Pembela Islam yang diterbitkan oleh Comite Pembela

Islam di bawah naungan Persatuan Islam, khususnya nomor 36, bulan Oktober

tahun 1931, Natsir menuangkan gagasannya dalam tulisan yang berjudul

119

“Indonesisch Nationalisme”. Natsir mengemukakan bahwa jauh sebelum

istilah “nasionalisme Indonesia” digunakan oleh organisasi-organisasi seperti

Budi Utomo, Jong Sumatranen Bond, Jong Java, dan berbagai organisasi

lainnya yang justru menjadikan suku bangsa sebagai pembatas keanggotannya,

perserikatan-perserikatan yang menjadikan Islam sebagai landasannya telah

lebih dulu menggaungkan konsep “kebangsaan Indonesia”. Perserikatan-

perserikatan itu misalnya Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan

perserikatan Muhammadiyah; sedangkan Jong Islamieten Bond adalah pelopor

di tingkat pemuda. Pandangannya tentang ke-Indonesia-an justru lebih

menyeluruh dan terlepas dari primordialisme dan etnosentrisme. Natsir

menegaskan bahwa:

“pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan

di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia yang

menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mula-mula menanam

persaudaraan dengan kaum yang senasib di luar batas Indonesia, dengan tali ke-

Islaman”. (Harjono dan Hakiem, 1995).

Berkenaan dengan penggunaan asas Islam tersebut, Natsir mengatakan

dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Audrey Kahin pada 31 Mei

1971 bahwa tujuan dari JIB adalah untuk mengkaji Islam secara kritis dan

mengajak para pemuda Islam yang mendapatkan pendidikan barat untuk

kembali dan peduli pada agamanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka

pada masa awalnya, di bawah kepemimpinan Samsurizal, Pengurus Besar (PB)

JIB menerbitkan sebuah majalah bernama al-Nur atau dalam bahasa Belanda

disebut Het Licht sebagai sarana menyebarkan semangat ber-Islam di kalangan

120

pemuda dan menunjukkan ajaran Islam mengenai toleransi kepada para

penganut agama lainnya (Husni, 1998).

Majalah al Nur atau Het Licht ini pertama kali diterbitkan setelah

pengumuman berdirinya JIB secara formal. Majalah yang sejak awal

diterbitkan dalam bahasa Belanda ini baru memuat artikel berbahasa Indonesia

setelah tahun 1928. Penerbitannya dilakukan setiap bulan sekali dengan jumlah

halaman di setiap terbitnya terkadang mencapai 100 halaman.

Para anggota JIB turut serta menjadi kontributor tulisan yang dimuat

majalah ini; seperti Samsurizal, Kasman, Haji Hasyim, Kusban, Sugeng dan

Ramli. Sedangkan H. Agus Salim berperan sebagai penasehat dewan redaksi.

Selain dari dalam JIB, terdapat pula kontributor dari luar JIB, yakni Ahmad

Sarida yang merupakan misionaris Ahmadiyah Lahore, Maulavi Muhammad,

Gambar 4. Sampul (a) dan halaman pertama (b) Majalah al-Nur atau Het Licht

yang diterbitkan oleh JIB

Sumber : (a) Koleksi Kemala Atmojo; dan (b) Hasil digitalisasi Komunitas Jejak Islam

(a) (b)

121

Tjokroaminoto, bahkan Snouck Hurgronje (Husni, 1998). Majalah ini memiliki

motto yang selalu ditampilkan di sampul depan; yakni Q.S. at-Taubah ayat 32

yang terjemahannya:

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-

ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya,

walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (Kemenag RI, 2011).

Selama di JIB, Natsir menujukkan keaktifan dalam menulis meskipun

tidak masuk ke dalam redaksi Het Licht. Natsir yang saat itu juga aktif di

Persatuan Islam, mendapatkan pengaruh kuat dari A. Hassan. Karyanya yang

utama ketika ia aktif di JIB cabang Bandung adalah Muhammad als Profeet

(Mohammad sebagai Nabi) dan Komt tot Het Gebed (Marilah Shalat). Ia juga

banyak menulis mengenai pembelaan terhadap Islam karena saat itu memang

sering terjadi pelecehan terhadap Islam (Husni, 1998). Selain itu, Natsir yang

dipercaya menjadi ketua JIB Cabang Bandung pada 1928 juga menjadi tokoh

penting dalam menggaungkan semangat berIslam karena wawasan yang ia

miliki tentang Islam (Kahin, 2012).7 Oleh karena itu, pada masa kepemimpinan

Wiwoho Purbohadidjojo, tahun 1927, JIB membentuk sebuah badan bernama

Kernlichaam yang secara internal berwenang untuk mengelola berbagai

ceramah, kajian dan kegiatan lainnya yang tujuannya adalah pengkajian Islam

secara lebih mendalam bagi para anggotanya. Natsir adalah salah seorang

penceramah unggulan badan tersebut. Ia memang diakui sebagai pemuda yang

memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan kawan-kawannya karena

7 Sumber lain menyebutkan bahwa jabatan Natsir di JIB Bandung adalah Wakil Ketua dengan masa Jabatan

1929 – 1932. Lihat Lukman Hakiem. 100 tahun Mohammad Natsir : Berdamai dengan sejarah. Jakarta :

Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir.

122

menguasai pengetahuan tentang Islam dan pengetahuan umum secara integral.

Karena keunggulannya ini, Husni (1998) dalam tesisnya menyebut Natsir

sebagai “intelektual ulama” terkemuka yang pernah dihasilkan oleh JIB.

Pernyataan ini serupa dengan yang disampaikan oleh Yudi Latif (2013) dalam

bukunya, bahwa Natsir merupakan “a rising star” dari Persis yang menjadi

tokoh terpenting Kernlichaam JIB. Lewat kader seperti Natsir inilah JIB dapat

mewujudkan fungsi eksternalnya, yakni menjalin hubungan dengan jaringan

gerakan sosio-politik Islam lainnya, sehingga dapat berkontribusi sebagai

organisasi penguat ideologi Islam di masyarakat.

Pada periode ketiganya, yakni tahun 1930 – 1935, JIB mengalami

perkembangan yang sangat pesat. Saat itu JIB dipimpin oleh Kasman

Singodimedjo. Di akhir tahun 1930 telah didirikan 39 cabang JIB yang tersebar

di seluruh Indonesia. Jumlah itu pun meningkat menjadi 55 cabang pada tahun

1933 dengan jumlah anggota mencapai 4000 orang (Husni, 1998). Namun,

periode ketiga ini juga menjadi masa penuh tantangan bagi JIB. Kasman dan

Natsir yang saat itu juga menjadi anggota Muhammadiyah dan Persis,

menginginkan agar JIB berubah menjadi organisasi sosial seperti

Muhammadiyah yang terlibat aktif dalam pendirian rumah sakit, sekolah dan

panti asuhan. Pada kongresnya ke-7 yang diselenggarakan di Madiun, Kasman

dan Natsir menyuarakan dukungannya terhadap sekolah-sekolah yang telah

dikelola oleh JIB di wilayah Tegal, Semarang dan Surabaya. Usulan ini

mendapat penolakan dari anggota lainnya. Kasman dan Natsir pun terlibat

dalam perdebatan dengan Mohammad Roem yang didukung oleh Joesoef

Wibisono. Roem dan Joesoef Wibisono berada pada pihak yang berseberangan

123

dengan ide Kasman dan Natsir. Akhirnya, kongres menyetujui agar JIB tetap

sesuai dengan tujuan awalnya menjadi pusat untuk mengkaji Islam secara kritis

atau dalam bahasa Belanda disebut “kritische zin” (Husni, 1998).

Perdebatan ini pun terjadi lagi pada Kongres ke-8, namun sesegera

mungkin Samsurizal, Roem dan Kismo mengingatkan Kasman tentang

anggaran dasar organisasi yang menegaskan bahwa JIB adalah tempat untuk

belajar atau pusat studi (studi lichaam). Meskipun terjadi perbedaan pendapat

yang tajam, Natsir, dalam tulisannya yang berjudul “InsyaAllah Roem Tetap

Roem” mengatakan bahwa perdebatan itu adalah sebuah kenangan yang

menakjubkan sebagai seorang kader JIB; JIB menurutnya mampu mendidik

para anggotanya menjadi pemuda-pemuda yang konsisten pada pendiriannya,

tetapi tetap bisa mengapresiasi pandangan orang lain.

Sayangnya, Roem ternyata tidak hanya berseberangan dengan usulan

Kasman dan Natsir mengenai pengubahan arah organisasi, tetapi juga dengan

struktur organisasi Natipij yang menurutnya terlalu banyak campur tangan dari

PB JIB (Husni, 1998). Tidak lama setelah itu, Roem pun memutuskan untuk

keluar dari JIB. Sikap Roem yang kukuh menentang kebijakan PB dianggap

terlalu memecah belah.

Perpecahan itu pun benar terjadi. Roem tidak hanya keluar dari JIB,

tetapi juga mendirikan organisasi lainnya bersama Joesoef Wibisono pada

Desember 1934 yang bernama Studenten Islam Studieclub (SIS) (Latif, 2013).

Menurut Ridwan Saidi (1984) dan Dawam Rahardjo (1993), hal yang

melatarbelakangi pembentukan SIS adalah adanya perkembangan pemahaman

tentang urusan publik di kalangan aktivis JIB yang telah mencapai usia 30

124

tahun atau lebih tua; berdasarkan Anggaran Dasar JIB, usia tersebut telah

melewati batas usia keanggotaan. Menurut Joesoef Wibisono, para anggota

yang telah menjadi mahasiswa dan pemuda yang nerada pada usia tersebut

membutuhkan organisasi baru. Oleh karena itu, pembentukan SIS dapat dilihat

sebagai bentuk sikap ketidak-sepakatan terhadap kebijakan Kasman di JIB,

tetapi juga dapat dilihat sebagai upaya para pendirinya untu menunjukkan

komitmennya terhadap pengkajian Islam secara kritis dengan organisasi baru.

JIB pun semakin melemah pada periode berikutnya, yakni pada

rentang tahun 1936 – 1942. Saat itu JIB dipimpin oleh Muhammad Abu

Arifaini dan Sunaryo Mangunpuspito (Husni, 1998). Sayangnya dua pemimpin

itu tidak menghasilkan perkembangan berarti bagi JIB. Misalnya, Abu Arifaini

hanya mampu mendirikan 1 cabang di Tasikmalaya pada Februari 1936.

Beberapa kemunduran juga terjadi; kongres tidak lagi diselenggarakan setiap

tahun, tetapi hanya dua tahun sekali. Majalah yang menjadi andalan JIB, Het

Licht, tidak lagi diterbitkan secara teratur karena permasalahan keuangan.

Belum lagi tokoh seniornya, H. Agus Salim meninggalkan Yogyakarta untuk

pindah ke Bandung. Walaupun kondisi JIB semakin memburuk, pada periode

tersebut ada satu yang dicapai JIB, yakni masuknya JIB sebagai anggota

Majelis Islam A‟la Indonesia (MIAI). Namun, JIB tidak mendapatkan posisi

yang setara dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang merupakan

anggota utama MIAI sejak didirikan pada tahun 1937.

Meskipun terdapat perselisihan intelektual dan juga melemahnya

suksesi kepemimpinan di dalamnya, JIB tetap menjadi tempat “transisi

strategis” bagi Mohammad Natsir untuk bertemu dengan berbagai tokoh besar

125

bangsa dan kelak menjadi tokoh bangsa. H. Agus Salim yang dekat dengannya

saat menajdi anggota JIB Bandung, menyeimbangkan pengaruh A. Hassan

pada diri Natsir. H. Agus Salim adalah tokoh intelektual reformis Islam

dengan pemikiran yang lebih terbuka dibandingkan A. Hassan yang juga

menjadi mentor Natsir paling berpengaruh. Bahkan, pengaruh H. Agus Salim

sangat terlihat pada kepribadian dan pemikirannya; Natsir menjadi seorang

reformis Islam yang memiliki keaguman pada sisi positif dari budaya barat,

tetapi di sisi lain ia juga menjadi oposisi yang keras terhadap imperialisme dan

kristenisasi barat (Kahin, 2012). Kebesarannya kelak sebagai pemimpin bangsa

juga diawalinya dengan sahabat-shabatnya yang selalu bersama dalam

“polemik inetelektual” dan juga perjuangan menentang pernjajahan serta

mendirikan sekaligus mengoperasikan berbagai lembaga; misalnya Mohammad

Roem yang menjadi sahabat politiknya dalam Komite Nasional Indonesia

Pusat (KNIP) dan Masyumi, Kasman Singoeimedjo dalam Majelis Konstitunte,

Sjafruddin Prawiranegara dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

(PDRI), dan Prawoto Mangkusasmito dalam Masyumi dan DDII.

Hal menarik lainnya adalah pertemuan Natsir dengan Ummi Nur

Nahar di JIB. Seorang istri yang sangat dicintai dan menjadi satu-satunya

sepanjang hidup Natsir meskipun ia menjadi pembela poligami saat salah satu

hal yang diperbolehkan dalam Islam itu dihina oleh para golongan nasionalis

termasuk Soekarno. Faktanya, Soekarno yang termasuk dalam golongan

nasionalis yang menghina poligami, justru memiliki istri lebih dari satu.8

Begitulah Natsir yang teguh membela agamanya dan bijak dalam bersikap

8 Ramlan Mardjoned, Wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018

126

karena cinta yang murni. Jika dalam sejarah kebudayaan Islam selalu

dikisahkan bahwa Jabal Rahmah yang menjadi tempat pertemuan bapak dan

ibu manusia, Adam dan Hawa (alaihimussalam), merupakan tempat

monumental bagi peradaban manusia yang hingga saat ini selalu dikunjungi

oleh umat Muslim saat ibadah haji, maka dalam sejarah kebudayaan Islam

Indonesia, JIB yang menjadi tempat pertemuan Mohammad Natsir dan Ummi

Nur Nahar merupakan organisasi pemuda monumental yang menyatukan

seluruh pemuda Indonesia berdasarkan Islam (bukan kedaerahan) dan hingga

saat ini “ruhnya” masih ada di berbagai pergerakan pemuda berbasis Islam.

Fakta sejarah ini menunjukkan pelajaran yang sangat luar biasa; orang-orang

istimewa akan dipertemukan dengan orang-orang istimewa lainnya di tempat

yang istimewa. Pelajaran ini bisa menjadi refleksi bagi Q.S. An-Nur ayat 26:

Terjemahan: “para perempuan yang baik untuk para laki-laki yang baik, dan para laki-laki

yang baik untuk para perempuan yang baik”. (Kemenag RI, 2011).

Selain itu, JIB merupakan “pembuka jalan” atau bisa juga disebut “bijih

emas” bagi berbagai pergerakan dan organisasi Islam di masa mendatang yang

memiliki kesamaan dalam motivasi pembentukan dan cita-cita perjuangannya;

seperti Studenten Islamic Studie Club Partai Islam Indonesia, Masyumi,

Himpunan Mahasiswa Islam, Pelajar Islam Indonesia, Persatuan Sarjana

Muslim Indonesia dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (Abdurrahman,

1999). Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya hingga memasuki reformasi,

para pewaris “ruh” JIB, misalnya Masyumi dan HMI, memiliki peran penting

bagi munculnya gerakan tarbiyah melalui kegiatan dakwah kampus yang

127

kemudian melahirkan Lembaga Dakwah Kampus, kemudian disatukan dalam

Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) yang selanjutnya

melahirkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan juga

Partai Keadilan (PK) yang berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) (Eriadi, 2007).

4.2.2 Mengasuh Pemuda dan Aktivis Kesayangan

Salah satu ciri khas Natsir adalah kecintaannya pada pemuda yang

ditunjukkan dengan pemberian perhatian dan didikan melalui pengkaderan.

Kebesaran Natsir tidak menjadi penghalang bagi para pemuda untuk

mengambil pelajaran dan keteladanan darinya. Pengalamannya menjadi

pemuda yang aktif dan bertemu banyak tokoh yang mendidik dan

menyayominya, membentuk kearifannya di masa tua dalam bersikap terhadap

pemuda. Ia tidak hanya membuka kesempatan para pemuda untuk berdialog,

tetapi juga bersedia menjadi pendengar keluh kesah para pemuda.9

Natsir memiliki hubungan yang kuat dengan pergerakan-pergerakan

pemuda Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa

Islam (HMI), dan Gerakan Pemuda Islam Indonesisa (GPII). Hubungan yang

kuat itu terjalin (salah satunya) melalui Partai Masyumi yang merupakan

“rumah besar” umat Islam saat itu. Ketua Dewan Da‟wah periode XI (2015-

2020), Mohammad Siddik mengatakan bahwa pernah ada sumpah akan ada

satu partai Islam yaitu Masyumi, satu organisasi mahasiswa Islam yaitu HMI.10

Bergitu juga dengan kebangkitan gerakan pemuda Islam lainnya, GPII dan PII

9 Ibid.

10 Mohammad Siddik, wawancara pada Selasa, 27 Februari 2018.

128

yang terbentuk pada rentang waktu yang tidak lama; GPII pada 2 Oktober

1945, HMI pada 5 Februari 1947, dan PII pada 4 Mei 1947 (Pengurus Pusat

GPII, tt., Pengurus Besar HMI, tt., dan Pengurus Besar PII, tt.). Kebangkitan

gerakan pemuda dan pelajar Islam ini merupakan salah satu respon terhadap

upaya Belanda dan Jepang yang hendak merebut Indonesia kembali

(Suryanegara, 2016, Hakiem, 2017 a).

Selanjutnya, pergerakan-pergerakan pemuda dan pelajar Islam ini

diperkuat oleh kebijakan Natsir saat menjabat sebagai Perdana Menteri yang

memerintahkan Menteri Agama K.H. Wachid Hasyim dan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan Prof. Bahder Djohan untuk mengeluarkan Surat Keputusan

Bersama (SKB) 2 Menteri (Hakiem, 1995). SKB 2 Menteri ini berisikan

kebijakan untuk memasukkan pendidikan agama di sekolah umum dan

memperkaya pengetahuan umum di pesantren (Hakiem, 1995; Basri dalam

Hakiem, 2008 b).

Natsir memang tidak termasuk tokoh yang mendirikan pergerakan-

pergerakan tersebut secara legal-formal, tetapi ia merupakan tokoh penting

dalam pembangunan diri para kadernya melalui kedekatan secara personal

dengan beberapa pemuda dari pergerakan-pergerakan tersebut. Misalnya

beberapa pemuda aktivis PII seperti Hussein Umar yang kelak menjadi Ketua

Dewan Da‟wah tahun 2005 – 2007, Ahmad Djuani, Husni Thamrin, dan

bahkan tokoh pendiri PII yang dikenal sebagai salah seorang pelopor

pendidikan Islam di Indonesia, Anton Timur Djaelani.11

11

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

129

Ramlan Mardjoned yang menjadi sekretaris pribadi Natsir selama

hampir 27 tahun juga merupakan aktivis PII yang mendapatkan banyak

pelajaran dari Natsir. Kedekatan Ramlan dengan Natsir bukan lagi sebatas pada

kedekatan profesional, melainkan kedekatan personal.12

Ramlan merupakan

salah seorang aktivis PII yang sangat beruntung karena pernah memiliki

kesempatan menjadi sekretaris pribadi dua mantan Ketua Umum Masyumi;

tidak hanya Natsir, tetapi juga Prawoto Mangkusasmito. Ramlan masih ingat

jelas tentang bagaimana ia bisa menjadi sekretaris pribadi tokoh utama

penyatuan RI menjadi NKRI tersebut. Awalnya, Ramlan menjadi sekretaris

pribadi Prawoto dengan jadwal kerja setiap hari Selasa dan Kamis. Pada suatu

kesempatan saat Natsir berkunjung ke rumah Prawoto, Natsir menanyakan

tentang hari kerja Ramlan kepada Prawoto. Begitu mengetahuinya, Natsir pun

langsung mengajak Ramlan bekerja dengannya selain hari Selasa dan Kamis.

Ramlan mengenang kedua tokoh panutannya tersebut dengan

mengingat ciri khas keduanya dalam memimpin. Salah satunya dalam

pengelolaan waktu, dua tokoh besar yang sama-sama santun tersebut memiliki

keunikan tersendiri. Saat bekerja dengan Prawoto, Ramlan harus hadir di

rumah Prawoto sebelum pukul 8 pagi dan pulang sesudah sholat dzuhur dan

makan. Sedangkan saat dengan Natsir, Ramlan sudah mulai bekerja pada pukul

6 pagi dan sering kali pulang pada pukul 10 atau 11 malam. Intensitas

pertemuan yang sering inilah yang menciptakan kedekatan personal dirinya

dengan Natsir. Ia tidak hanya dipercaya mengetik ulang catatan atau menulis

pemikiran Natsir, tetapi juga memijat saat Natsir sedang kelelahan, baik saat di

12

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018; Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6

Maret 2018.

130

kantor maupun dalam perjanalan. Ia pun sering makan bersama dengan Natsir

beserta Ummi. Ramlan memberikan kesaksian bahwa Natsir bukan orang yang

“rewel” dalam makan; ia selalu berkenan untuk memakan apapun yang ada.

Meskipun begitu, Natsir tetap memiliki makanan kesukaan, yaitu nasi padang.

Selama bekerja dengan Natsir, Ramlan tidak hanya mendapatkan upah

berupa materi sebagai hasil jerih payahnya, tetapi juga berbagai pelajaran dan

keteladanan yang jauh lebih berharga. Pelajaran dan keteladanan itu diberikan

Natsir dengan berlandaskan pada Al-Quran. Petuah Natsir berlandaskan Al-

Quran yang ia selalu ingat adalah mengenai perjuangan dengan sungguh-

sungguh (jihad) seperti pesan dalam Q.S. al-„Ankabut ayat 69. Ramlan pun

berkisah dengan mengutip pernyataan Natsir:

“Ramlan itu kalau dia menemukan kesukaran dalam tugasnya, dia membuat solusi

di jalannya”. Itu tadi, “walladzinajahadu fiina lanahdiyannahum subulana”. Jadi

saya mengangkat pesan Pak Natsir tentang ayat itu. Kalau ingin Tuhan bersama

kita, ya kita bekerja. Saya dengan apa yang saya alami sekarang, saya tidak pernah

menyesal terhadap apa yang saya kerjakan sungguh-sungguh dulu. Ya tadi itu, saya

bekerja sungguh-sungguh untuk Pak Natsir”.13

Petuah Natsir lainnya yang ia ingat selalu adalah upaya menjadi umat terbaik

dengan berdakwah seperti pesan dalam Q.S. Ali-Imran ayat 110. Ramlan

mengisahkan:

“Jadi dia jelaskan dulu apa itu “kuntum khoiro ummah”, bukan umat yang yang

ditengah jalan dipinggirkan orang nggak dipakai. Menjadi ummat yang baik itu

apa?, “Ukhrijat linnas”, kamu ditampilkan di tengah-tengah bumi ini. “Ukhrijat

linnas” itu biasanya diterjemahkan “kamu dikeluarkan di tengah-tengah manusia”.

Tapi Pak Natsir menerjemahkannya “kamu ditampilkan”, aktif, bergerak. Apa tugas

kamu tampil di tengah-tengah umat manusia ini? “ta‟muruna bil ma‟ruf wa

tanhauna anil munkar”.14

13

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018. 14

Ibid.

131

Aktivis PII lainnya yang juga merupakan kader Natsir adalah

Mohammad Siddik yang merupakan Ketua Umum Dewan Da‟wah periode XI

(2015-2020). Ia adalah Sekretaris Jenderal PII pasca pemberontakan Partai

Komunis Indonesia pada 30 September 1965 (G30S/PKI) dan pernah terpilih

menjadi Sekretari Jenderal Komite Pemuda Indonesia (KPI) pada tahun 1966

(Hakiem, 2017 b).15

Saat menduduki posisi Sekjen KPI ini Siddik aktif

memperjuangkan KPI untuk bisa masuk kembali menjadi anggota World

Assembly of Youth (WAY) yang sebelumnya memiliki permasalahan

keanggotaan karena adanya intervensi pemerintahan orba.16

Siddik adalah kader Natsir yang sangat beruntung karena ia

mendapatkan banyak kesempatan untuk pergi ke berbagai forum tingkat

internasional. Kiprahnya menjadi Direktur Islamic Development Bank (IDB)

15

Komite Pemuda Indonesia (KPI) merupakan organisasi yang menghimpun 17 organisasi pemuda pelajar

yang berhaluan anti komunis. Pada kisaran tahun 1971, saat pelaksanaan pemilu pertama di zaman orde baru,

pemerintah membutuhkan dukungan organisasi kepemudaan. Setelah Pemilu tahun 1971, KPI diintrvensi

pemerintah dan kemudian berubah menjadi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). (Mohammad Siddik,

wawancara pada Selasa 27 Februari 2018). 16

World Assembly of Youth (WAY) merupakan perhimpunan organisasi pemuda tingkat internasional yang

berhauan anti komunis. Lawannya adalah World Federation of Democratic Youth. (Mohammad Siddik,

wawancara pada Selasa 27 Februari 2018).

Gambar 5. Ramlan Mardjoned mendampingi Natsir pada Peresmian Masjid Al-Furqan

Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin

Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

132

wilayah Asia Pasifik tidak terlepas dari peranan Natsir.17

Sebelum menempati

posisi itu, Siddik berkesempatan menghadiri forum-forum dunia seperti

peringatan 25 tahun PBB pada tahun ‟70-an. Ia juga salah seorang inisiator

pendirian World Assembly of Moslem Youth (WAMY) bersama pemuda-

pemuda muslim dari berbagai negara yang berafiliasi kepada WAY, salah

satunya adalah Anwar Ibrahim yang pernah menjadi Ketua Angkatan Belia

Islam Malaysia (ABIM) (Hakiem, 2017 b).

Siddik memberikan kesaksiannya bahwa Natsir merupakan seorang

tokoh besar Islam yang berusaha mengimplementasikan al Islamu ya‟lu wa laa

yu‟la „alaih (Islam itu tinggi dan tidak ada yang menandingi tingginya Islam).18

Menurutnya, pendirian Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia adalah strategi

Natsir untuk tetap bisa menerapkan prinsip tersebut, sebuah keyakinan Natsir

yang sangat kuat tentang superioritas Islam. Keyakinan itu yang menjadi

sumber motivasi baginya untuk membina umat dengan menjaga ke-Islamannya

-- menjaga aqidah-nya.19

Aktivis PII lainnya yang merupakan kader Natsir adalah M. Natsir

Zubaidi. Ayahnya adalah seorang Ketua Partai Masyumi di sebuah Kecamatan

di Klaten. Ia pernah dipercaya menjadi Ketua PII cabang Solo pada tahun

1968. Kiprahnya di PII semakin menanjak ketika ia dipercaya menjadi Ketua

Pengkaderan PII Daerah Jawa Tengah. Saat di PII ini, ia juga mulai akrab

dengan Ramlan Mardjoned. Ramlan lah yang menawarkannya bekerja di

Majalah Suara Masjid yang kemudian ia terima hingga ia menjadi Ketua

17

Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018. 18

Mohammad Siddik, wawancara pada Selasa, 27 Februari 2018. 19

Ibid.

133

Penyunting/Penanggungjawab majalah tersebut.20

Melalui perannya di Suara

Masjid inilah Natsir Zubaidi mulai berhubungan intensif dengan Natsir;

tepatnya sejak tahun 1975 hingga Natsir wafat. Selain itu, Natsir juga pernah

bekerja di Majalah Kiblat. Salah satu tugas yang masih ia ingat adalah

peliputan Muktamar Media Massa Islam se-Dunia tahun 1980.

Sebelumnya, Natsir Zubaidi sudah pernah bertemu Natsir saat ia

masih menjadi Ketua PII cabang Solo. Saat itu Natsir berkunjung ke Solo;

Natsir Zubaidi tidak hanya berkesempatan mendengarkan pisato Natsir, tetapi

juga membaca puisi di hadapan Natsir secara langsung. Ia mengakui bahwa

dirinya sangat bersyukur bisa bertemu dengan Natsir, seorang tokoh yang

menurutnya penuh dengan keteladanan. Nama besarnya tidak hanya terkenang

di dalam negeri, tetapi juga di dunia. Hal itu ia saksikan langsung ketika pergi

ke Amerika Serikat menjadi delegasi komunitas Islam untuk sebuah pertemuan

internasional; saat itu ia masih menjadi aktivis PII. Seorang pengurus Islamic

20

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Minggu, 11 Maret 2018.

Gambar 6. Natsir bersama Para Aktivis PII Wilayah Sumatera Barat

Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin Abdul

Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

134

Centre New York menanyakan tentang kabar Natsir. Kisahnya ini

menunjukkan bahwa Natsir bukan tokoh Islam yang biasa.

Natsir juga memiliki hubungan dekat dengan beberapa aktivis GPII.

Misalnya Soemarso Soemarsono yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi

Harian Abadi milik Partai Masyumi. Melalui perannya sebagai pimred inilah

Soemarso menjalin hubungan dengan Natsir. Ia merupakan seorang pemikir

ulung yang berkontribusi dalam penulisan pidato Natsir untuk Festival Islam

se-Dunia yang dilaksanakan di London pada awal bulan April 1976.21

Selain

itu, Natsir juga memiliki kedekatan dengan Anwar Harjono yang merupakan

sahabat perjuangannya di Partai Masyumi dan juga Dewan Da‟wah. Bahkan

Anwar Harjono juga menjadi ketua umum Dewan Da‟wah setelah Natsir wafat.

Ia menempuh pendidikan tingginya di Sekolah Tinggi Islam setelah

sebelumnya menjadi santri di pondok pesantren ternama yang dibesarkan oeh

K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yakni Pondok Pesantren Tebu Ireng di

Jombang, Jawa Timur. Prof. Abu Bakar Atjeh (dalam Suryanegara, 2016) yang

merupakan seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas

Islam Indonesia) memberikan kesaksian bahwa Anwar Harjono lah yang

memiliki inisiatif untuk membentuk GPII bersama beberapa kawannya yang

aktif berjuang dengan menggunakan Balai Moeslimin Indonesia (BMI) sebagai

basisnya. BMI yang terletak di Jalan Kramat Raya Nomor 19 Jakarta itu

menjadi tempat dideklarasikannya pendirian GPII pada tanggal 2 Oktober 1945

atau 26 Syawal 1364 H. Ketua umum pertamanya adalah Harsono

21

Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

135

Gambar 7. Natsir memberikan sambutan

pada peluncuran buku “Da‟wah dan

Masalah Sosial Kemasyarakatan” karya

Anwar Harjono

Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim

al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin

Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah

Islamiyah Indonesia Pusat.

Gambar 8. Natsir berfoto bersama Anwar

Harjono

Sumber : Suryanegara (2016)

Tjokroaminoto, dan Anwar Harjono dipercaya menjadi sekretaris umumnya

(Suryanegara, 2016).

Aktivis GPII lainnya adalah Abdullah Sungkar dan Abu Bakar

Ba‟asyir yang keduanya pernah menjadi pimpinan GPII dan bersama-sama

mendirikan Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (RADIS) (Kahin, 2012). Pada

tahun 1970, Sungkar ditunjuk oleh Natsir untuk memimpin Dewan Da‟wah

cabang Surakarta dan mendorongnya membangun sebuah pesantren. Pesantren

itu bernama Pesantren Al-Mukmin atau yang lebih dikenal dengan sebutan

Pondok Pesantren Ngruki (Kahin, 2012). Kedua tokoh Pondok Pesantren

Ngruki yang mendapatkan pengaruh kuat pemikiran Ikhwanul Muslimin ini

sangat bersebrangan dengan Rezim Orde Baru yang mereka sebut “anti-Islam”

(Kahin, 2012).

136

Selain aktivis PII dan GPII, Natsir juga memiliki beberapa kader di

HMI. Misalnya Yusril Ihza Mahendra yang menjabat sebagai Ketua Umum

Partai Bulan Bintang (PBB) periode 2015 - 2020 (Partai Bulan Bintang, tt.).

Jika Ramlan Mardjoned memiliki kedekatan personal dengan Natsir, maka

Yusril Ihza Mahendra memiliki kedekatan intelektual dengan Natsir. 22

Ia

merupakan salah seorang pemuda yang beruntung karena berkesempatan

menjadi asisten tiga tokoh Dewan Da‟wah; yakni Mohammad Natsir, H.M.

Rasjidi, dan Osman Raliby.23

Sejak tahun 1979 Yusril sudah menjalin

hubungan dekat dengan Natsir; tepatnya melalui Lembaga Islam untuk

Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LIPPM) yang juga didirikan oleh

Natsir. Yusril merupakan salah satu staff di LIPPM yang sering ditugaskan

untuk menyiapkan tulisan-tulisan Natsir; mulai dari bahan-bahannya hingga

terkadang juga menyiapkan konsep (draft) tulisannya.24

22

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018. 23

Ibid. 24

Ibid.

Gambar 9. Natsir memberikan penghormatan kepada Barisan Penghoratan GPII Bandung di

halaman Markas Partai Masyumi Jawa Barat, GPII sekaligus Kantor Redaksi Madjalah

Boelanan Aliran Islam yang terletak di Jl. Pungkur 73 Bandung (sekarang Kantor Dewan

Da‟wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Partai Bulan Bintang (PBB) Jawa Barat)

Sumber : Suryanegara (2016)

137

Gambar 10. Atas dari kiri : Hussein Umar, Natsir Zubaidi, dan Yusril Ihza Mahendra;

bawah dari kiri : K.H. Sholeh Iskandar dan Yunan Nasution pada acara peluncuran buku

“Da‟wah dan Masalah Sosial Kemasyarakatan” karya Dr. Anwar Harjono

Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin

Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

Tokoh terkemuka HMI lainnya yang juga merupakan kader Natsir

adalah Nurcholis Madjid yang inisial namanya (NM) dialihkan

kepanjangannya menjadi sebuah julukan “Natsir Muda” karena potensi

intelektual dan juga ilmu agamanya yang diperoleh dari Pondok Pesantren

Darussalam Gontor.25

Ada juga Amien Rais yang menjadi tokoh reformasi

serta mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus menjadi Ketua

Dewan Pertimbangan partai tersebut. Jimly Asshiddiqie yang merupakan

mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI juga merupakan aktivis HMI yang

dekat dengan Natsir.26

Jimly juga pernah aktif di Badan Komunikasi Pemuda

Remaja Masjid Indonesia dan sering berkonsultasi dengan Natsir. Saat ini,

Jimly mendapatkan amanah sebagai Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia (ICMI), sebuah organisasi yang menghimpun para cendekiawan

muslim di Indonesia yang pendiriannya juga melibatkan ide-ide Natsir. Aktivis

25

Alam, wawancara pada Minggu, 11 Maret 2018. 26

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

138

HMI lainnya adalah Lukman Hakiem yang pertama kali bertemu dengan Natsir

saat ia menjadi Ketua HMI Cabang Yogyakarta tahun 1983-1984. Ia baru

berinteraksi secara intensif dengan Natsir pada tahun 1989 saat ia diminta

bergabung dengan Dewan Da‟wah.27

Ia pun dipercaya menjadi Redaktur

Pelaksana Majalah Kiblat pada tahun 1985-1988 serta Redaktur Majalah Media

Dakwah sejak tahun 1989 -1997 (Hakiem, 2017 a).

Selain nama-nama tersebut, terdapat seorang aktivis HMI lainnya

yang memplopori Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di Indonesia; yakni

Imaduddin Abdurrahim atau yang sering disapa Bang Imad. Ia merupakan

alumni program Pengkaderan Perhimpunan Haji Indonesia (PHI). Disebut

sebagai pengkaderan PHI karena pelaksanaannya dilakukan di gedung PHI

yang terletak di Kwitang, Jakarta Pusat. Pengkaderan PHI ini berkaitan dengan

konsep pendidikan integral Natsir yang memadukan dan menginternalisasi

pendidikan agama Islam di institusi-institusi pendidikan umum seperti

universitas yang sekuler.

Bang Imad yang ayahnya, Abdulrahim Abdullah, seorang ketua Partai

Masyumi Langkat dan Panglima Hizbullah telah mendapatkan bekal

pengetahuan agama sejak dari kecil. Ia memiliki hubungan yang akrab

dengan tokoh-tokoh Masyumi dan terinspirasi oleh pemikiran para tokohnya

bukan hanya karena ayahnya seorang petinggi Masyumi di Langkat, tetapi

juga karena ia tergabung dalam laskar Hizbullah pada tahun 1946 saat ia

masih berusia 15 tahun (Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002).

27

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018.

139

Interaksi Bang Imad dengan tokoh-tokoh Masyumi menjadi semakin

intensif sejak ia menjadi mahasiswa ITB pada tahun 1953. Kedekatannya

yang utama adalah dengan Natsir. Natsir yang sangat memahami kemampuan

Bang Imad, selalu mengandalkannya dalam berbagai tugas; bukan hanya

karena Bang Imad adalah pengurus Dewan Da‟wah, tetapi juga kedekatannya

yang sangat personal. Natsir pun mendorong Bang Imad untuk aktif di

berbagai forum internasional seperti Muslim Student Association for US and

Canada (MSA), International Islamic Federation of Student Otdanizations

(IIFSO), dan World Assembly of Youth (WAMY). Natsir juga

menghubungkan Bang Imad dengan berbagai tokoh Islam dunia seperti Abul

A‟la al-Maududi yang merupakan pemimpin Jama‟at al-Islamy di Pakistan,

Inamullah Khan yang merupakan Sekjen Muktamar „Alam Islamy, serta Mufti

Palestina (Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002).

Kedekatan Bang Imad dengan Natsir ini membuat kegiatan dakwah di

Masjid Salman ITB semakin lancar. Mulai dari mendirikan Masjid Salman,

mendatangkan Natsir untuk berceramah dalam Kuliah Mnggu Pagi, hingga

berdiskusi bersama Natsir secara lebih mendalam bersama para pemuda

lainnya di rumah A.M. Luthfi (Luthfi dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana,

dan Mustofa, 2002). Natsir juga yang memberikan rekomendasi agar Bang

Imad memeroleh bantuan Kerajaan Arab Saudi dalam melanjutkan studi S3-

nya di Amerika Serikat (Ahmadsumadi dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana,

dan Mustofa, 2002). Kedekatannya dengan Natsir ini menjadi alasan bagi

penyebutan dirinya sebagai “anak kesayangan Natsir”.

140

Setelah lulus dari S3 inilah Bang Imad menjadi dosen agama Islam di

ITB dan kemudian mengikuti pengkaderan PHI dan melanjutkannya dengan

membuat LMD pada tahun 1974. Rahmat (dalam Eriadi, 2007) menyatakan

bahwa LMD ini tidak hanya menjadi kelanjutan dari Program Pengkaderan

PHI, tetapi juga merupakan produk terpenting program Bina Masjid kampus

yang menjadi model percontohan dari program serupa yang kemudian

bermunculan di masjid-masjid kampus di Indonesia. Oleh karena itu, LMD

sering disebut sebagai cikal-bakal pergerakan dakwah kampus yang

berkembang menjadi pergerakan Tarbiyah (Eriadi, 2007).

4.3 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Politik

4.3.1 Masyumi : Sarana Dakwah dalam Bidang Politik

Secara institusional, karir politik Natsir dimulai saat ia menjadi anggota

Partai Islam Indonesia (PII) sejak tahun 1938. PII didirikan pada bulan

Desember 1938 oleh Soekiman Wirjosandjojo (Suryanegara, 2016). Ketua

pertama PII, Wiwoho Purbohadidjojo, merupakan teman Natsir saat aktif di

JIB. Jaringan ini yang kemudian menjadi modal Natsir untuk dipercaya

menjadi Ketua PII cabang Bandung; apalagi ia pernah menjadi Ketua JIB

cabang Bandung (Kahin, 2012).

Pembentukan partai ini berkaitan dengan konflik yang terjadi di dalam

Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) hingga berujung pada pembentukan

Majelis Islam A‟la Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937 di Surabaya

oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama seperti K.H. Ahmad

Dachlan, K.H. Hasjim Asj‟ari, K.H. Mas Masykur, dan K.H. Abdul Wahab

Chasbullah dengan diketuai oleh putra K.H. Hasjim Asj‟ari, yakni K.H.

141

Abdul Wahid Hasjim (Kahin, 2012; Artawijaya, 2014; Suryanegara, 2016).28

MIAI menjadi sarana persatuan bagi organisasi-organisasi Islam; tidak hanya

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama‟, tetapi juga Partai Sarekat Islam

Indonesia, Persatuan Islam (Persis), Jong Islamieten Bond (JIB), Partai Islam

Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia (PAI), Persatuan Ulama Seluruh Aceh

(PUSA), Musyawarah Al-Tholibin (Kalimantan), Nurul Islam (Bangka

Belitung), Majelis Ulama Indonesia (Toli-Toli, Sulawesi), Persatuan

Muslimin Minahasa, Persatuan Putra Borneo (Surabaya), Al-Islam

(Surakarta), Al-Irsyad (Surabaya), Al-Khairiyah (Surabaya), Al-Ittihadul

Islamiyah (Sukabumi), Al-Jami‟atul Washliyah, Persyarikatan Ulama

(Majalengka), dan Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi) (Artawijaya, 2014).

28

Awal konflik PSII sudah terlihat sejak partai ini masih berbentuk ormas bernama Sarekat Islam

(SI). Perpecahan SI mulai terlihat jelas sejak pengeluaran komunis pada tahun 1921 dan keluarnya

Muhammadiyah pada tahun 1927. Perpecahan ini berlanjut hingga SI berganti nama menjadi PSII

pada tahun 1930 dan wafatnya H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1933. PSII semakin terpecah

dengan adanya dua kubu di dalam internal partai; yakni kubu Abikoesno Tjokrosoejoso yang

mendukung kebijakan hijrah PSII dan kubu Haji Agus Salim yang menolak kebijakan itu. Hijrah

merupakan kebijakan partai untuk tidak berkooperasi atau nonkooperatif terhadap pemerintah

kolonial Belanda yang sudah menjadi kebijakan partai sejak awal tahun 1920-an. Pada tahun 1935,

Haji Agus Salim menolak kebijakan itu dan menyerukan agar PSII bersatu dengan gerakan

nasional lainnya. Selanjutnya, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo yang ditunjuk menjadi wakil

Abikoesno diperintahkan untuk membuat pamflet yang berisi justifikasi untuk melanjutkan hijrah.

Kartosuwirjo mempublikasikan pamflet yang terdiri dari dua bagian pada November 1936 yang

berjudul “Sikap Hijrah Partai Sarekat Islam”. Pamflet ini didistribusikan ke anggota-anggota

partai. Haji Agus Salim pun dikeluarkan dari partai pada awal 1937 karena penentangannya

terhadap pamflet itu. Haji Agus Salim bersama pengikutnya kemudian membentuk Badan

Penyadar PSII. Selanjutnya pada tahun 1939, giliran Kartosuwirjo yang didepak dari PSII. Ini

disebabkan karena kekukuhan Kartowurjo pada hijrah, sedangkan Abikoesno memilih mengikuti

jejak Haji Agus Salim yang bergabung dengan gerakan nasional lainnya dalam GAPI (Gabungan

Politik Indonesia). Pada tahun yang sama, yakni 1939, Kartosuwirjo membentuk Komite Pembela

Kebenaran PSII (KPK-PSII) yang disebut sebagai “PSII sesungguhya” yang berbasis di Jawa

Barat. Pertikaian inilah yang membuat prihatin tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama‟

untuk menyatukan umat Islam yang kemudian berujung pada lahirnya MIAI. Usaha lebih lanjut

ditempuh oleh golongan reformis Islam melalui pembentukan Partai Islam Indonesia pada

Desember 1938 dengan Wiwoho Purbohadidjojo, mantan Ketua Umum JIB, sebagai Ketuanya.

Lihat Audrey Kahin. Islam, Nationalism, and Democracy : Political biography of Mohammad

Natsir. Singapura : National University of Singapore Press.

142

Salah satu dari lima tujuan MIAI, yakni mengadakan Kongres

Muslimin Indonesia (KMI) menjadi pertautan sejarah bagi terbentuknya

Partai Masyumi pada delapan tahun berikutnya melalui realisasi tujuan itu

dalam bentuk Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta (Artawijaya,

2014).

Beberapa masa berikutnya, MIAI menjadi alat Jepang untuk menarik

simpati umat Islam Indonesia melalui pengukuhuannya kembali pada 13 Juli

1942 dengan W. Wondoamiseno sebagai ketuanya (Kahin, 2012;

Suryanegara, 2016). Namun, hal itu hanya bertahan selama lima belas bulan

karena pada bulan Oktober 1943 Jepang membubarkan MIAI. Jepang merasa

khawatir terhadap MIAI karena organisasi ini didominasi oleh anggota PSII

yang radikal dan sentimen anti-Belanda yang tertanam kuat di MIAI

ditakutkan berkembang menjadi sentimen anti orang asing. Hanya

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang dilegalkan oleh Jepang karena

dianggap lebih moderat dan kurang bernuansa politik (Kahin, 2012).

Gambar 11. Gedung MIAI yang terletak di Jalan Imamura Nomor 1 (sekarang

Gedung Galeri Seni Kunstkring, Jalan Teuku Umar Nomor 1 Jakarta Pusat)

Sumber : Suryanegara (2016)

143

Setelah itu, pada bulan November 1943, Jepang merestui pembentukan

Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai badan koordinasi

perihal keagamaan yang bersifat non-politis, dan hampir satu-satunya

tujuannya adalah mendukung Jepang di peperangan (Kahin, 2012). Para

tokoh agama diberikan peran yang menonjol dalam administrasi dengan

membuat Departemen Urusan Agama/Departemen Agama di pemerintahan

pusat dan Biro Urusan Agama di setiap residen. Namun, perlakuan baik ini

dimaksudkan untuk menarik simpati umat Islam Indonesia untuk mendukung

Jepang. Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkannya, Jepang menutup

seluruh sekolah swasta, termasuk Pendidikan Islam (Pendis) milik Natsir.

Orientasi Masyumi yang disponsori Jepang cenderung mengikuti intensi

kolonialisme-imperialisme yang disembunyikan Jepang secara rapi melalui

berbagai janjinya terhadap bangsa Indonesia, terutama umat Islam.

Jejak Masyumi yang dibentuk sebagai sebuah ormas pada zaman

pendudukan Jepang menemui babak baru pada pasca proklamasi

kemerdekaan, tepatnya saat realisasi salah satu tujuan MIAI untuk

melaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia pada 7 – 8 November 1945 atau

1 – 2 Dzulhijjah 1364 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta

(Artawijaya, 2014). Kongres Umat Islam Indonesia ini merupakan peristiwa

bersejarah dan merupakan momentum persatuan umat yang belum pernah

terjadi sebelumnya; ulama, tokoh-tokoh umat Islam, pimpinan-pimpinan

institusi pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan madrasah berkumpul

melakukan musyawarah dengan dilandasi semangat jihad membela Islam dan

144

juga tanah air. Suasana kongres tersebut diberitakan oleh harian Kedaoelatan

Rakjat dengan kalimat yang menggugah semangat perjuangan,

Kongres tersebut memang berbeda dengan 12 Kongres Al-Islam yang

dilaksanakan dalam rentang waktu 1921 – 1941 (Artawijaya, 2014). Kongres

ini berhasil mencapai mufakat tentang pembentukan wadah perjuangan

politik umat Islam yang disepakati bernama Partai Politik Islam Indonesia

Masyumi atau Partai Masyumi. Nama Masyumi ini dipilih berdasarkan

pertimbangan peserta kongres mengenai nama Masyumi di zaman Jepang

Gambar 12. Gedung Madrasah Muallimin Muhammadiyah pada masa pergerakan (a,b)

dan sekarang (c) di Jalan Letjen S. Parman Nomor 68 Yogyakarta.

Sumber : Laman Resmi Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, dapat diakses

melalui http://muallimin.sch.id/sejarah/

a b

c

145

yang sudah dikenal luas. Namun, Partai Masyumi ini sama sekali tidak

berkaitan dengan Masyumi yang ada sebelumnya.29

Nama Partai Masyumi

bukanlah singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia sebagaimana yang

dikenal pada pendudukan Jepang dengan status sebagai organisasi

masyarakat.30

Natsir memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan

kongres ini, yaitu sebagai Ketua Panitia Inti dengan dibantu beberapa tokoh

lainnya seperti Abikoesno Tjokrosoejoso, K.H. Abdul Wahid Hasjim, Solikin

Wirjosendjojo, Wali Al-Fattah, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku

Alam VIII dan Abdul Gaffar Ismail (Artawijaya, 2014).

Keanggotaan Partai Masyumi terdiri dari anggota perseorangan dan

anggota istimewa. Anggota istimewa Partai Masyumi merupakan ormas-

ormas Islam pendukung Masyumi yang meliputi Muhammadiyah, Nahdlatul

Ulama, Persis, PSII, Jami‟iyatul Washliyah, Mathlaul Anwar, Nahdlatul

Wathan, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) (Luth, 1999).

Adapun susunan pengurus Partai Mayumi pada periode pertama

sebagaimana berikut.

Majelis

Syuro

K.H. Hasyim Asy‟ari (Ketua; NU)

Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I; Muhammadiyah)

K.H. Abdul Wahid Hasyim (Ketua Muda II; NU)

Kasman Singodimedjo (Ketua Muda III; Muhammadiyah)

Anggota

Syaikh Djamil Jambek (Tokoh Islam Sumatera Barat), K.H. Abdul

29

Artawijaya, wawancara pada Kamis, 8 Maret 2018. 30

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

146

Wachab (NU), H. Agus Salim, RHM Adnan (Persatuan Penghulu

dan Pegawai), K.H. Sanusi (Persatuan Umat Islam)

Pengurus

Besar

Dr. Soekiman Wirjosandjojo (Ketua; PSII)

Abikoesno Tjokrosoejoso (Ketua Muda I dan Wakil di Jakarta;

PSII)

Wali Al-Fatah (Ketua Muda II; PII)

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (Sekretaris I; PSII)

Prawoto Mangkusasmito (Sekretaris II; Muhammadiyah)

Badan Keuangan

R.A. Kasmat (Ketua), R. Prawirojoewono (Anggota), H. Abdullah

B.K.N. (Anggota)

Badan Penerangan

Gaffar Ismail

Bagian

Pemuda

Mohammad Natsir (Persis), Harsono Tjokroaminoto (PSII)

Mr. Mohammad Roem, Anwar Tjokroaminoto (PSII), Dr.

Sjamsoeddin, K.H. Dahlan, K.H. Faqih Usman (Muhammadiyah),

K.H. Fachtoer Rachman, H.M. Farid Ma‟roef, K.H. Masjkoer (NU),

Dr. Aboe Hanifah, M. Joennoes Anies

Keberagaman komposisi pengurus Partai Masyumi ini menunjukkan

keberhasilam umat Islam saat itu untuk mewujudkan sebuah sarana pemersatu

kekuatan politik umat Islam yang sangat diperhitungkan oleh partai politik

lainnya yang lebih dulu didirikan seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan

PKI. Komposisi ini mengakomodasi kalangan muslim reformis seperti

Muhammadiyah serta kalangan tradisional seperti Nahdlatul Ulama. Proporsi

seperti ini membuat seorang peneliti berkebangsaan Belanda bernama Martin

Tabel 3. Pengurus Partai Masyumi periode pertama

Sumber : Artawijaya, 2014 dan Suryanegara, 2016

147

van Bruinessen mengakui bahwa Partai Masyumi bukanlah partai sektarian,

tidak primordial, dan memiliki perpaduan kepemimpinan dari kalangan

priyayi yang religius dan kyai yang modern. Ia juga menyebut Masyumi

sebagai partai yang memiliki rancangan membangun negara modern yang

cukup matang (Artawijaya, 2014).

Berdasarkan Anggaran Dasar-nya, Partai Masyumi bertujuan untuk : (1)

menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam; dan (2)

melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan (Sekretariat Umum

Partai Masyumi, 1949). Tujuan ini dicapai dengan melaksanakan beberapa

usaha sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3 Anggaran Dasar Majumi; yakni

menciptakan literasi umat Islam dalam perjuangan politik, memperkuat

persatuan umat Islam untuk membela agama dan kedaulatan negara,

implementasi iman dan takwa, kemanusiaan, persaudaraan dan keadilan

dalam pemenuhan hak berlandaskan Islam, serta menjalin kerjasama antar

golongan untuk mempertahankan kedaulatan negara (Sekretariat Umum

Partai Masyumi, 1949).

Partai Masyumi menjadi sarana untuk menegakkan keluhuran Islam

dalam perjuangan sekaligus kehidupan sebuah negara yang berdaulat; bukan

menjadi tujuan.31

Itulah yang selalu menjadi prinsip Natsir dalam perjuangan

dakwahnya di bidang politik. Bahkan, mendirikan negara bukanlah tujuan

bagi Natsir; mendirikan negara adalah sarana untuk mencapai tujuan yang

jauh lebih mulia, yakni menegakkan kedaulatan Allah di Indonesia dengan

mewujudkan implementasi ajaran Islam di segala bidang kehidupan dalam

31

Ibid.

148

cakupan personal, maupun nasional.32

Artinya, mendirikan negara yang

berdaulat tidak berarti membentuk sebuah negara yang bebas menentukan

arah dan segala peraturannya sesuai dengan kehendak masyarakatnya

(liberalisme), tetapi menyiapkan lingkungan kehidupan yang bermartabat

karena terbebas dari segala bentuk penghambaan terhadap manusia dan benda

(imperialisme, kolonialisme, dan materialisme), sehingga memiliki

kemerdekaan untuk melaksanakan segala peraturan Allah dalam berbagai

aspek kehidupan. Dengan kata lain, negara adalah sarana menegakkan tauhid

dan mewujudkan summuliyatu al-Islam.33

Tujuan tersebut tentu sangat mungkin diwujudkan oleh Masyumi saat

itu dengan bermodalkan komitmen bersama untuk berjuang dalam satu-

satunya partai politik Islam; berbeda dengan kondisi saat ini yang

menimbulkan pemecahan kekuatan atau suara umat Islam. Komitmen untuk

bersatu ini dicontohlan secara langsung oleh para tokoh Masyumi. Persatuan

internal partai bisa terjaga meskipun terdapat perbedaan pendapat dan latar

belakang di antara tokoh-tokoh tersebut. Salah satu contohnya adalah saat

Perjanjian Linggarjati pada 15 November 1946 yang isinya adalah pengakuan

Belanda secara de facto terhadap kekuasaan RI yang terbatas pada 3 wilayah

saja, yakni Jawa, Madura, dan Sumatera. Untuk merespon hal tersebut,

Masyumi menyelenggarakan konferensi pada 4 hingga 5 Desember 1946 di

Surakarta yang hasilnya adalah menolak Perjanjian Linggarjati. Masyumi

kemudian menghimbau para anggotanya yang ada di kabinet:

32

Ibid. 33

Tauhid adalah prinsip dasar Islam yang mengakui Allah sebagai satu-satunya sesembahan.

Sedangkan summuliyatu al-Islam adalah konsep tentang implementasi seluruh ajaran Islam dalam

seluruh bidang kehidupan.

149

“mengharapkan kepada anggota Masyumi di dalam Kabinet yang sekarang, supaya

berikhlas hati menyesuaikan dirinya dengan keputusan penolakan partai terhadap

naskah Persetujuan Indonesia-Belanda” (Redaksi Majalah Media Dakwah,

1995 b, hal.: 52).

Masyumi bahkan membentuk koalisi dengan PNI dan partai-partai

lainnya yang juga menolak Perjanjian Linggarjati. Koalisi itu dikenal dengan

sebutan Benteng Republik Indonesia. Soekiman Wirjosandjojo dan Anwar

Harjono adalah bagian dari barisan oposisi itu.

Perbedann haluan dalam menyikapi Perjanjian Linggarjati pun terjadi

dalam Partai Masyumi. Seruan partai yang merupakan hasil dari konferensi

Surakarta tidak dilaksanakan oleh anggota-anggota Masyumi yang berada

dalam kabinet (Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995 b). Sikap ini

disampaikan melalui pernyataan tertulis yang ditandatangani pada 28

Desember 1946 oleh:

1) Mohammad Natsir (Menteri Penerangan)

2) Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri)

3) K.H. Fatchurrahman (Menteri Agama)

4) Mr. Mohammad Roem (Menteri Dalam Negeri)

5) Harsono Tjokroaminoto (Menteri Muda Pertahanan)

6) K.H.A. Wachid Hasjim (Menteir Negara)

7) Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Menteri Keuangan)

8) Mr. Jusuf Wibisono (Menteri Muda Kemakmuran)

Pernyataan itu menegaskan bahwa kabinet yang ada pada saat itu

bukanlah kabinet koalisi, melainkan kabinet nasional. Kemudian, berdasarkan

tata tertib parlementer dan kode etik, tidak seharusnya partai politik

150

menetapkan suatu sikap politik terhadap anggotanya yang menjadi menteri

dalam kabinet.

Meskipun menghadapi perbedaan pendapat seperti itu, sejarah mencatat

bahwa kedelapan menteri tersebut tetap menjadi anggota Masyumi. Tidak

sekalipun ada wacana pemecatan terhadap kedelapan tokoh itu. Ramlan

Mardjoned yang merupakan mantan sekretaris pribadi Mohammad Natsir

memberikan kesaksiannya bahwa hubungan antar pemimpin-pemimpin itu

didasarkan pada sikap saling menghargai; tidak ada sedikit pun dendam yang

terlihat dari sikap dan perilaku mereka.34

Bahkan, tokoh-tokoh Masyumi dari

dua sisi berbeda itu tetap bisa bekerjasama untuk berkhidmat kepada umat.

Soekiman dan Natsir saling tolong-menolong dalam membesarkan Partai

Masyumi, Anwar Harjono dan Natsir saling tolong-menolong dalam

mengembangkan Dewan Da‟wah.

Salah satu kader unggul yang “dibesarkan” oleh para tokoh Masyumi,

Yusril Ihza Mahendra, dalam orasinya yang disampaikan pada acara

Tasyakkur Keluarga Besar Bulan Bintang menegaskan bahwa sebagai

institusi, Masyumi memang sudah dibubarkan secara resmi; namun, sebagai

ideologi dan tradisi, Masyumi akan terus hidup melalui generasi penerusnya

yang bahkan tidak pernah menjadi anggota Masyumi (Redaksi Majalah

Media Dakwah, 1995 b).

Tradisi yang menjadi identitas Masyumi adalah tradisi intelektualisme,

sikap yang fleksibel terhadap masalah hubungan agama dan negara, serta

memiliki wawasan yang maju. Karena keluhuran ideologi dan tradisi itulah,

34

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

151

para tokoh Masyumi sudah sangat terbiasa dengan hiruk-pikuk pemikiran dan

perbedaan pendapat yang sangat tajam di antara para pemimpin bangsa.

Bahkan dengan orang-orang yang pernah bersikap represif kepada para tokoh

Masyumi, termasuk Soekarno yang membubarkan Masyumi dan Soeharto

yang tidak mengabulkan upaya rehabilitasi Masyumi karena alasan

“psikologis” (Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995 b).

Kekompakan para tokoh Masyumi juga ditunjukkan dalam usaha

menentang ideologi komunis yang dipromosikan oleh PKI. Natsir adalah

salah satu yang paling terdepan dalam menangkal ideologi komunisme. Ia

berjuang bersama Front Anti Komunis yang diketuai oleh tokoh Masyumi

lainnya, yakni K.H. Isa Anshory (Suryanegara, 2016). Penolakan Masyumi

terhadap idologi komunis ditunjukkan secara tegas melalui keputusan Dewan

Syuro Partai Masyumi yang menyatakan bahwa : (1) komunisme

bertentangan dengan iman dan qadrah ilahiah; (2) komunisme memusuhi

hukum Islam dan umat Islam; (3) komunisme ingkar terhadap risalah Islam

(kufur); (4) orang yang menganut komunisme secara sadar dan berdasarkan

pemahaman sepenuhnya dapat digolongkan sebagai orang kafir; (5) muslim

yang mengikuti komunisme tanpa memahami hakikat ideologinya dapat

digolongkan sebagai orang yang sesat; (6) orang yang tersesat karena

komunisme wajib diberikan pemahaman yang benar, menyadari

kesesatannya, dan wajib bertaubat kepada Allah (Artawijaya, 2014).

Pertentangan Partai Masyumi dengan ideologi komunis dan PKI ini

semakin sengit pada masa-masa pemilihan umum (pemilu) tahun 1955.

Tokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir, Mohammad Roem, Sjafruddin

152

Prawiranegara dan K.H. Isa Anshary ditempatkan di daerah pemilihan Jawa

Barat yang juga merupakan daerah pemilihan D.N. Aidit dan Sakirman dari

PKI (Artawijaya, 2014). Partai Masyumi pun memenangkan wilayah Jawa

Barat dengan meraih 1.833.847 suara; PNI berada di urutan kedua (1.513.540

suara), PKI di urutan ketiga (739.551 suara) dan NU menempati posisi

terakhir (645.443 suara) (Artawijaya, 2014). Masyumi menjadi satu-satunya

partai yang “jelas meng-Indonesia”. Secara nasional, suara Masyumi tersebar

merata ke seluruh Indonesia. Sedangkan tiga partai lainnya yang juga

memenangkan pemilu, yakni PNI, NU, dan PKI, hanya bisa mengandalkan

pulau Jawa sebagai basisnya (Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995 b).

Partai Masyumi berhasil mendominasi kursi di Parlemen dengan porsi 57

kursi dari 257 kursi di DPR serta 112 kursi dari 520 kursi di Konstituante;

adapun PNI, NU dan PKI menyusul di urutan selanjutnya (Komisi Pemilihan

Umum RI, 2008; Artawijaya, 2014).35

Jumlah anggota Masyumi di

Konstituante yang disebutkan KPU RI dan Artawijaya ini berbeda dengan

hasil temuan Hidayat dan Fogg dalam hasil dokumentasinya yang diarsipkan

secara digital. Hidayat dan Fogg (2018) menyebutkan bahwa ada 129 anggota

Masyumi yang juga menjadi anggota Konstituante.

Terlepas dari perbedaan perihal jumlah tersebut, prestasi politik yang

diraih oleh Masyumi ini memang sangat cemerlang. Masyumi yang baru

berusia 10 tahun saat itu berhasil memenangkan pemilu pertama dalam

sejarah Indonesia. Bahkan, Masyumi yang saat itu memegang kendali atas

pemerintahan melalui Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, menunjukkan

35

Jatah 520 kursi di Konstituante terpenuhi sampai 514 kursi karena di Irian Barat yang memiliki jatah 6

kursi tidak diselenggarakan pemilu (Komisi Pemilihan Umum RI, 2008).

153

keberhasilannya dalam menyelenggarakan pemilu pertama tersebut yang

diyakini sebagai pemilu paling demokratis yang pernah dilaksanakan di

Indonesia.36

Menurut Herbert Feith (1971) ada lima faktor yang membuat

pemilu tahun 1955 menjadi pemilu yang elegan dan demokratis, yakni (1)

tradisi keberagaman; (2) tradisi kompetisi; (3) kedewasaan dalam pergantian

kekuasaan dengan siap menerima kemenangan maupun kekalahan‟ (4)

adanya pengelolaan konflik yang baik dan pemberian kompromi; dan (5)

kedewasaan para elit politik dalam menyikapi politik golongan dalam sistem

multipartai.

Kemenangan di pemilu pertama ini menjadi jalan Natsir untuk berjuang

di Konstituante bersama rekan-rekannya dalam pemenangan Islam sebagai

dasar negara. Hampir satu dekade sebelumnya, Natsir juga menjadi

representasi Partai Masyumi di pemerintahan sebagai Menteri Penerangan

pada Kabinet Sjahrir I, II, dan III, serta Kabinet Hatta I. Natsir yang pada

tahun 1950 masih menjabat sebagai ketua Fraksi Masyumi juga dipercaya

menjadi Perdana Menteri NKRI setelah berhasil menyatukan Indonesia

kembali melalui mosi integralnya yang terkenal.

4.3.2 Peletak Dasar-dasar Kementerian Komunikasi dan Informasi

Salah satu jasa besar Natsir dalam pengaturan sistem pemerintahan di

Indonesia adalah dalam peletakan dasar-dasar Kementerian Komunikasi dan

Informasi yang saat itu bernama Kementerian Penerangan. Meskipun Natsir

adalah menteri penerangan kedua dalan sejarah Indonesia (setelah Amir

Sjarifuddin), Natsir justru yang memiliki peran sentral dalam membangun

36

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

154

dan memfungsikan Kementeria Penerangan, apalagi jabatan ini diembannya

pada masa-masa awal berdirinya RI yang merupakan masa rawan perpecahan

dan berpotensi besar untuk bubar atau direbut kembali oleh penjajah. Selain

itu, Natsir merupakan menteri penerangan yang istimewa karena dipercaya

mengemban posisi tersebut di empat kabinet berbeda, yakni pada Kabinet

Sjahrir I (3 Januari - 12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir II (12 Maret - 2 Oktober

1946), Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 3 Juli 1947) dan pada kabinet

Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949) (Dzulfikriddin, 2010). Natsir

mengungguli Harmoko yang pernah menjabat sebanyak tiga kali pada

Kabinet Pembangunan Soeharto (IV, V, dan VI). Bahkan, Harmoko (dalam

Dzulfikriddin, 2010) mengakui bahwa sistem penerangan pada masa awal

Kemerdekaan adalah hasil pemikiran Natsir dan dasar-dasar Kementerian

Penerangan dibangun pada saat itu.

Penunjukkan Natsir menjadi menteri penerangan oleh Sutan Sjahrir

dalam tiga kabinetnya secara berturut-turut ini adalah hal yang menarik.

Meskipun Natsir dan Sjahrir memiliki landasan berpolitik yang berbeda,

Natsir berasal dari partai berbasis Islam – Masyumi, sedangkan Sjahrir

berasal dari partai yang berlandaskan sosialisme – Partai Sosialis Indonesia

(PSI), mereka dapat bekerjasama dalam berbagai forum dan peristiwa.

Menurut Ridwan Saidi (dalam Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012), keputusan

Sjahrir menunjuk Natsir sebagai menteri penerangan dilatarbelakangi

keinginannya mendapatkan dukungan kalangan Islam untuk kabinetnya.

Apalagi keputusan Sjahrir tersebut direstui oleh Soekarno dengan menyebut

bahwa Natsir adalah orang yang tepat mengemban tugas penerangan. Sejak

155

saat itu, Natsir dan Soekarno menjadi akrab dan melupakan polemik

pemikiran mereka pada tahun 1930-an (Tim KPG-Tempo, 2011; Kahin,

2012). Bahkan, Natsir (dalam Dzulfikriddin, 2010) menyatakan bahwa tidak

ada menteri yang lebih dekat dengan Soekarno kecuali dirinya. Sejarawan

Taufik Abdullah (dalam Taharani, 2018) bercerita dengan berlandaskan pada

keterangan Mohammad Hatta bahwa Natsir adalah anak “emas” (anak

kesayangan” Soekarno. Hal ini tercerminkan dalam sikap Soekarno yang

tidak akan menandatangani surat atau pernyataan resmi pemerintah dan tidak

akan menyetujui naskah pidato jika tidak diperiksa atau dirancang terlebih

dahulu oleh Natsir.

Adapun tugas pokok dan fungsi Kementerian Penerangan yang

dirancang oleh Natsir (dalam Dzulfikriddin, 2010):

1) menerangkan kepada rakyat tentang kebijakan politik, peraturan-

peraturan, dan tindakan-tindakan tertentu yang diterapkan atau

dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah;

2) menerangkan dan memantapkan pemahaman rakyat tentang Pancasila;

3) menanamkan kesadaran politik dan pemikiran kritis rakyat untuk

membangun kehidupan yang demokratis;

4) menjaga semangat perjuangan rakyat untuk mewujudkan dan

mengimplementasikan cita-cita negara;

5) dan memperkenalkan Republik Indonesia serta komitmen persatuan

bangsanya ke dunia internasional.

Salah satu peran penting Natsir saat menjabat sebagai Menteri

Penerangan, khsususnya dalam Kabinet Hatta I, adalah menyelamatkan RI

156

dari agresi Belanda melalui pembentukan Pemerintahan Darurat Republik

Indonesia (PDRI). Belanda yang melancarkan Agresi Militer II ke ibu kota

RI, Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 berhasil menawan Soekarno, Hatta

dan Natsir serta hampir saja membubarkan RI (Dzulfikriddin, 2010). Natsir

yang saat ditawan sedang terbaring di rumah sakit Bethesda, sebelumnya

telah menyiapkan naskah bersama Soekarno dan Hatta yang berisikan pesan

kepada rakyat Indonesia agar tidak menyerah dan berjuang mempertahankan

RI (Tim KPG-Tempo, 2011). Naskah tersebut kemudian dititipkan ke Wakil

Menteri Penerangan A.R. Baswedan. Namun, pidato tersebut tidak dapat

disiarkan melalui radio karena telah diduduki oleh Belanda. A.R. Baswedan

kemudian meminta bantuan Mr. Sumanang untuk memperbanyaknya secara

stensil dan diterbitkan di harian Keng Po (Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-

Tempo, 2011).

Selain naskah tersebut, Natsir juga ikut berkontribusi dalam

penyusunan radiogram yang ditujukan kepada Menteri Kemakmuran

Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Bukittinggi, Sumatera Barat

untuk membentuk pemerintahan darurat. Radiogram ini juga dikirim ke

Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A. Maramis yang berada di India sebagai

bentuk antisipasi jika Sjafruddin gagal membentuk pemerintahan darurat

(Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-Tempo, 2011). Pada perkembangan

selanjutnya, Sjafruddin berhasil membentuk PDRI hingga keadaan kembali

pulih dan mandat akhirnya dikembalikan ke Soekarno meskipun sebelumnya

terdapat perbedaan pendapat antara pihak PDRI dan para tokoh nasional yang

mengadakan perundingan Roem-Royen dengan Belanda. Sjafroeddin dan

157

Soedirman tidak setuju dengan perundingan ini. Mereka beralasan bahwa

pemimpin yang menjadi tawanan tidak mengetahui kondisi sesungguhnya

yang ada di lapangan dan dianggap membuat konsesi yang tidak dibutuhkan

dengan Belanda (Kahin, 2012). Moh. Hatta sempat diutus untuk membujuk

Sjafruddin, namun gagal. Delegasi baru yang dipimpin oleh Natsir dengan

dibantu Leimena dan Halim kemudian berhasil mempersuasi Sjafruddin dan

Soedirman. Pada 13 Juli 1949, Sjafroeddin terbang menuju Yogyakarta dan

mengembalikan mandat ke Soekarno (Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012).

Perisitwa PDRI ini menjadi bukti strategisnya posisi Menteri

Penerangan yang diperankan oleh Natsir. Natsir menunjukkan bahwa

komunikasi menjadi kunci untuk mempertahankan RI, bahkan Belanda yang

telah melumpuhkan Ibu Kota Yogyakarta harus menyerah dengan melakukan

perundingan dengan Indonesia.

Secara umum, ada tiga strategi komunikasi Natsir dalam rangkaian

peristiwa PDRI. Pertama, Natsir menggunakan media massa untuk

menyebarluaskan pesan tentang eksistensi RI, sehingga dapat menjaga mental

dan meningkatkan semangat rakyat Indonesia dalam mempertahankan

kemerdekaan. Hal yang menarik pada bagian ini adalah kecermatan Natsir

tentang pentingnya opinion leader (Soekarno-Hatta) dalam menjaga

kepercayaan-diri rakyat bahwa “Indonesia masih ada”. Hal yang tidak

diinginkan mungkin dapat terjadi jika saat itu sama sekali tidak ada kabar

resmi mengenai keberadaan dan kondisi pemimpin serta pesan yang

memberikan semangat. Misalnya, Belanda merebut Indonesia kembali atau

terjadi disintegrasi di berbagai daerah. Kedua, Natsir bersama Soekarno-

158

Hatta menggunakan jaringan komunikasi, tepatnya modal sosial serta

pemanfaatan teknologi komunikasi termutahir saat itu untuk menegakkan

kedaulatan RI, yakni dengan memberikan mandat kepada Sjafruddin di

Bukittinggi dan tiga tokoh lainnya di Indonesia. Pemanfaatan modal sosial ini

tidak hanya memperhatikan hubungan antar tokoh, tetapi juga

memperhitungkan letak geostrategis yang memungkinkan pemerintahan

darurat dibentuk dengan aman. Hal yang tidak dikehendaki mungkin dapat

terjadi jika saat itu tidak ada pengalihan mandat presiden dan pembentukan

pemerintah darurat. Ketiadaan pemerintahan dan lokasi fisik pusat

pemerintahan saat itu dapat menjadi penyebab hilangnya kedaulatan

Indonesia dan berpotensi mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Ketiga, Natsir menggunakan keahlian diplomasinya untuk mempersuasi

Sjafruddin yang saat itu sempat bersitegang dengan tokoh-tokoh nasional

yang mendukung perundingan Roem-Royen agar menerima perundingan

tersebut dan kembali ke Yogyakarta untuk menyerahkan mandat. Peristiwa

lain mungkin akan terjadi jika Natsir tidak berhasil meyakinkan Sjafruddin.

RI yang sesuai dengan perundingan Roem-Royen mungkin bisa berdiri, tetapi

mereka yang tidak sepakat dengan perundingan akan tetap menegakkan PDRI

sehingga memunculkan dualisme pemerintahan. Dualisme ini dapat

menyebabkan disintegrasi yang menguntungkan Belanda dalam

mengembalikan tujuan awal agresi mereka. Melalui perannya dalam berbagai

peristiwa seputar PDRI ini, Natsir tidak hanya menunjukkan kapasitasnya

sebagai seorang negarawan, tetapi juga sebagai pakar komunikasi.

159

Kesuksesan Natsir sebagai menteri penerangan berakhir dengan

pengunduran dirinya karena ketidak-sepakatannya terhadap hasil Konferensi

Meja Bundar (KMB) yang memecah belah RI menjadi beberapa negara

hingga terbentuk RIS (Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012). Menurutnya, KMB

yang dilaksanakan di Den Haag pada 23 Agustus – 2 November 1949 itu

tidak sejalan dengan komitmen para pejuang dan tokoh nasional selama ini

yang menghendaki kedaulatan RI sepenuhnya. Apalagi wilayah Irian Barat

belum ditentukan statusnya. Bagi Natsir, menyampaikan hasil perundingan

yang seperti itu kepada rakyat adalah hal yang sangat sulit ia lakukan

(Dzulfikriddin, 2010). Natsir berpendapat bahwa posisi sebagai menteri

penerangan sama seperti “penjual roti” kepada rakyatnya (Kahin, 2012). Roti

yang dijual haruslah yang bernutrisi sehingga dapat menyehatkan yang

mengonsumsinya. Natsir berkata:

“bagaimana saya bisa menjadi menteri penerangan, sedangkan saya harus menjual

sesuatu yang saya nggak suka”37

Setelah mundur dari Kabinet Hatta, Natsir sempat ditawarkan untuk

menjadi Perdana Menteri negara bagian RI yang berpusat di Yogyakarta,

namun ia menolak dan lebih memilih menjadi ketua fraksi Masyumi di

Parlemen. Baginya, menjadi ketua fraksi tidak kalah terhormat dengan

menjadi menteri.38

Justru saat menjadi ketua fraksi Masyumi ini Natsir dapat

memberikan kontribusi yang jauh lebih besar dan tidak akan terlupakan

sepanjang sejarah Indonesia, yakni mengajukan mosi integral yang berhasil

menyatukan Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

37

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018 38

Ibid.

160

4.3.3 Arsitek Negara Kesatuan Republik Indonesia

Nastir merupakan cendekiawan muslim atau ulama yang menjadi tokoh

utama dalam pengusulan mosi integral.39

Natsir menjadi bukti bahwa

seseorang tokoh intelektual Islam yang berpaham fundamentalisme mengenai

agamanya tidak akan mengurangi kecintaannya terhadap bangsa, bahkan

justru menjadi pelopor persatuan bangsa dan negara. Natsir menjadi bukti

sejarah bahwa umat Islam memiliki andil besar dalam “meletakkan batu

pertama” dan “merancang konstruksi” Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika meminjam istilah ekonomi, umat Islam telah menginvestasikan saham

terbesar dalam perjuangan membangun NKRI. Hal ini ditegaskan Natsir

dalam sebuah kuliah subuh di Masjid Al Munawwarah pada 20 Agustus

1972:

“Maka partai nasional Indonesia yang pertama sebenarnya ialah Partai Sarekat

Islam. Kalau panggilan, dari Partai Sarekat Islam itu kepada umat lekas disambut, itu

karena sejak dahulu sudah ada “investasi” berupa perasaan mempunyai identitas

sendiri yang mengatasi rasa suku ke-Jawaan, yang mengatasi rasa suku ke-Sundaan,

yang mengatasi rasa suku ke-Sumateraan, yang mengatasi rasa suku ke-Bugisan,

yang mengatasi rasa suku ke-Sulawesiaan kita. Ada yang lebih tinggi dari itu semua,

yaitu identitas Islam” (dalam Harjono dan Hakiem, 1995, hal.: 35).

Dalam sebuah pidatonya di Parlemen pada tanggal 31 Mei 1951, Natsir

menegaskan bahwa:

“Umat Islam di Indonesia bukan saja merupakan sektor yang terbesar, tetapi juga

sampai kepada saat ini ternyata secara ideologis dan politis-organisatoris adalah

sektor yang tersusun kuat, setidak-tidaknya yang pasti mempunyai syarat-syarat

cukup untuk mencapai titik kesempurnaan secepat-mungkin” (Natsir, 1975, hal.:

48).

39

Ibid.

161

Natsir (1975) juga mengingatkan para hadirin saat itu bahwa Indonesia

adalah hasil jihad umat Islam melalui kerjasama dengan saudara lainnya yang

sebangsa, dan menjaga keselamatan Indonesia adalah tanggung jawab besar

umat Islam. Ia berseru bahwa umat Islam adalah benteng pertahanan terakhir

bangsa Indonesia yang jika runtuh karena perpecahan, maka akan

meruntuhkan Indonesia.

Namun, peran besar umat Islam dalam mendirikan NKRI tidak jarang

dibalas dengan fitnah bahwa umat Islam yang konsisten dalam menjalankan

ajaran agamanya adalah golongan pemecah belah bangsa dan kontra

persatuan. Di masa awal kemerdekaan, tuduhan seperti itu sering sekali

dilakukan oleh para politisi PKI, khususnya Dipa Nusantara Aidit. Pada

Kongres Nasional ke-V PKI yang diselenggarakan pada 15 Maret 1954 di

Jakarta, Aidit menyebut Partai Masyumi dan PSI sebagai sarana imperialisme

Belanda, Inggris dan Amerika, sedangkan para pemimpinnya adalah orang

yang bernafsu untuk menerapkan fasisme di Indonesia (Artawijaya, 2014).

Bahkan, Aidit secara langsung menyerang Natsir secara personal; ia

menyebut Natsir sebagai wakil dari imperialisme yang tidak menghendaki

persatuan Indonesia (Artawijaya, 2014). Natsir yang bukan sekedar politisi

biasa, tetapi cendekiawan politik, menanggapi fitnah tersebut dengan tenang

dan membalasnya dengan sikap yang beradab. Dalam salah satu pidatonya di

Konstituante, Natsir pernah menasehati seluruh hadirin sidang, khususnya

golongan yang tidak sepakat dengan Islam sebagai dasar negara, bahwa tidak

seharusnya menuduh golongan yang mendukung penerapan ajaran Islam

sebagai pihak yang tidak setia pada proklamasi dan tidak menginginkan

162

persatuan (dalam Yusran, 2001). Terlepas dari perbedaanya yang sangat

mendasar, Natsir dengan sangat terbuka berdiskusi dengan Aidit sambil

meminum kopi di kantin gedung parlemen (Tim KPG-Tempo, 2011).

Pada masa sekarang, pernyataan kontroversial pernah diucapkan oleh

Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Pada sebuah acara NU, ia menegaskan

dalam pidatonya bahwa seluruh jajarannya hingga ke tingkat kecamatan

diperintahkan untuk membangun kerjasama yang baik dengan NU dan

Muhammadiyah. Kalimat tersebut tentu akan memberikan kesan positif di

kalangan anggota NU dan Muhammadiyah. Namun, pernyataan yang

terkesan memecah-belah diucapkan oleh Kapolri setelah itu. Ia berkata:

“jangan dengan yang lain, dengan yang lain itu nomor sekian. Mereka bukan pendiri

negara; mau merontokkan negara malah iya!”

Lukman Hakiem (2018) dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Pak

Kapolri, Pelajarilah Sejarah dengan Benar” mengatakan bahwa pernyataan

Kapolri tersebut adalah pernyataan berbahaya yang tidak berlandaskan pada

fakta dan mencerminkan rendahnya pengetahuan sejarah di kalangan elit,

khususnya kepolisian. Ia bahkan menyebut pidato Karnavian sebagai pidato

yang bernuansa politik “belah bambu”.

Karnavian pun menyadari kesalahannya dan kemudian mengunjungi

Dewan Da‟wah pada 7 Februari 2018. Pada kesempatan itu, hadir pula para

pimpinan 13 organisasi Islam yang terhimpun dalam Majelis Ormas Islam

(MOI). Ia menegaskan bahwa ia tidak memiliki intensi sedikit pun untuk

menafikan peran organisasi Islam lainnya dalam perjuangan mendirikan

Indonesia dan selanjutnya ingin bersinergi dengan berbagai organisasi Islam

163

(Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia, 2018). Namun, meskipun Kapolri telah

meminta maaf, pernyataan tersebut berpotensi menimbulkan sikap-sikap yang

tidak dikehendaki. Bagi yang tidak mengetahui tentang sejarah, sangat

mungkin memunculkan sikap yang cenderung mendeskriditkan ormas-ormas

Islam selain NU dan Muhammadiyah. Padahal, banyak sekali tokoh-tokoh

yang tidak menjadi anggota NU atau Muhammadiyah yang berkontribusi

besar dalam pendirian NKRI. Misalnya H. Agus Salim dan Abikoesno

Tjokrosoejoso yang berasal dari Sarekat Islam; K.H. Abdul Halim dan K.H.

Ahmad Sanusi dari PUI; K.H. Isa Anshary dan A. Hassan dari Persis; dan

termasuk juga Natsir dari Persis yang menjadi pmrakarsa terbentuknya NKRI.

Kapolri mungkin saat itu lupa atau justru tidak mengetahui sama sekali

bagaimana pengorbanan dan perjuangan Natsir yang bukan anggota NU dan

Muhammadiyah dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan Indonesia yang

terpecah dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS). Natsir yang

tidak setuju dengan hasil KMB kemudian melepaskan jabatannya sebagai

menteri penerangan.

Hal yang paling tidak disetujui Natsir adalah pembentukan negara

federal yang menurutnya menjadi strategi Belanda untuk memecah belah.

Secara lebih spesifik, empat kesepakatan KMB adalah : 1) pembentukan Uni

Belanda-RIS yg dipimpin Ratu Belanda, 2) Soekarno-Hatta adalah Presiden –

Wakil Presiden dari tahun 1949 – 1950 degan Hatta merangkap menjadi

Perdana Menteri, 3) Irian Jaya adalah milik Belanda dan tidak masuk ke

dalam RIS smpai ada perundingan lebih lanjut, dan 4) Pemerintah Indonesia

164

harus menanggung utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar Gulden (Mahfud

MD dalam Hakiem, 2008 b).

Sebagai implementasi dari KMB tersebut, maka Hubertus Johannes van

Mook (mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda) membentuk Bijenkomst

voor Federal Overleg (BFO) yang merupakan komite pengatur dan pengelola

RIS (Basri dalam Hakiem, 2008 b; Tim KPG-Tempo, 2011). RIS yang

awalnya terdiri dari 3 negara bagian, yakni Republik Indonesia (Yogyakarta),

Negara Indonesia Timur, dan Negara Borneo, kemudian terpecah lagi hingga

menjadi 17 negara bagian dengan ditambah : Pasundan, Jawa Timur, Jawa

Tengah, Madura, Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Bengkulu, Belitung,

Riau, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggara,

dan Kalimantan Timur (Basri dalam Hakiem, 2008 b; Tim KPG-Tempo,

2011).

Pemecahan ini pun ditanggapi oleh rakyat Indonesia di beberapa daerah

dengan menyatakan keluar dari negara bagian tersebut. Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) Malang menjadi pelopor protes ini dengan mengambil sikap

untuk melepaskan diri dari Negara Jawa Timur dan bergabung ke RI

Yogyakarta pada 4 Januari 1950 (Basri dalam Hakiem, 2008 b). Berikutnya

pada tanggal 30 Januari 1950, giliran Kabupaten Sukabumi yang memisahkan

diri dari Negara Pasundan. Perdebatan mengenai bentuk negara sempat terjadi

di Kongres Rakyat Negara Sumatera Timur yang kemudian diselesaikan oleh

Dr. Tengku Mansyur dengan merekomendasikan agar masalah bentuk negara

dipercayakan kepada pemerintah pusat. Reaksi terhadap RIS juga terjadi di

165

daerah lainnya karena rakyat menganggap RIS tidak sesuai dengan cita-cita

proklamasi.

Seorang politisi PNI bernama Susanto Tirtoprodjo sempat mengusulkan

agar seluruh negara bagian bergabung ke RI Yogyakarta. Namun, usulan

tersebut disambut dengan penolakan oleh Negara Indonesia Timur dan

Negara Sumatera Timur karena menganggap bahwa RI Yogyakarta berstatus

sama sebagai negara bagian (Basri dalam Hakiem, 2008 b).

Natsir yang meyakini bahwa kondisi ini sangat berbahaya bagi

keutuhan RI melakukan kunjungan ke beberapa negara bagian untuk

menyerap aspirasi rakyat. Setelah berhasil mengumpulkan informasi, Natsir

berunding dengan seluruh fraksi di parlemen dan juga pimpinan negara

bagian berkaitan dengan upaya penyatuan. Negosiasi sempat berjalan alot

saat Natsir berunding dengan Ir. Sakirman dari PKI dan Sahetapy Engel dari

perwakilan BFO, meskipun pada akhirnya kesepakatan dapat dicapai.

Kesepahaman juga dicapai dengan Kasimo dari Partai Katolik dan A.M.

Tambunan dari Partai Kristen Indonesia (Tim KPG-Tempo, 2011).

Gambar 13. Unjuk Rasa Anti RIS

Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin

Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

166

Hal yang paling penting bagi Natsir dalam usaha ini adalah

menghindari timbulnya konflik antar negara bagian dan masyarakat dalam

upaya penyatuan ini; sedangkan cara untuk menuju kesatuan itu hanyalah hal

teknis baginya (Pelly dalam Hakiem, 2008 b). Natsir yang mendeteksi adanya

kekhawatiran pimpinan RI Yogyakarta, Mr. Assaat, kemudian memberikan

dua usulan solusi. Pertama, jika RI Yogyakarta bersikukuh untuk menjadi

sentral dan ingin negara bagian lainnya yang menggabungkan diri ke RI

Yogyakarta, maka RI Yogyakarta harus memerangi seluruh negara bagian

sampai mereka menyerah. Kedua, seluruh negara bagian, termasuk RI

Yogyakarta membubarkan diri, kemudian bersama-sama membentuk Negara

Kesatuan Republik Indonesia (Basri dalam Hakiem, 2008 b). Cara kedua pun

akhirnya dipilih sebagai strategi penyelesaian masalah. Natsir meyakinkan RI

Yogyakarta bahwa seluruh negara bagian akan mengikuti cara ini karena

mereka tidak memiliki Dwi Tunggal Soekarno-Hatta; Soekarno-Hatta

menjadi simbol untuk mempersatukan seuruh negara bagian.40

Natsir yang telah berhasil mengonsolidasikan berbagai golongan

kemudian berpidato di sidang DPR RIS pada tanggal 3 April 1950 dan

mengajukan sebuah mosi yang dkenal sebagai mosi integral. Inti dari mosi

integral Natsir tersebut adalah :

40

Ibid.

167

Mosi ini pun disepakati oleh seluruh fraksi dengan ditanda-tangani oleh

Natsir, Soebadio Sastrasatomo, Hamid Algadri, Ir. Sakirman, K. Werdojo,

Mr. A.M. Tambunan, Ngadiman Hardjosubroto, B. Sahetapy Engel, Dr.

Tjokronegoro, Moch. Tauchid, Amelz, dan H Sirajuddin Abbas (Natsir,

1975).

Naskah autentik DPR RIS menyebutkan secara lebih spesifik tiga

keputusan utama : 1) semua negara bagian mendirikan NKRI melalui

prosedur parlementer; 2) tidak ada negara bagian yg menelan negara bagian

lain; dan 3) masing-masing negara bagian adalah bagian integral NKRI (Basri

dalam Hakiem, 2008 b).

Menurut Natsir, mosi integral ini tidak ada hubungannya dengan

perdebatan mengenai bentuk federal atau unitarian.41

Mahfud MD (dalam

Hakiem, 2008 b) berpendapat bahwa mosi integral yang disepakati penuh ini

merefleksikan komitmen rakyat Indonesia untuk bersatu bukan sekedar dari

segi fisiknya (struktur negara dan pemerintahan), tetapi yang paling penting

adalah bersatunya kehendak jiwa dan batin.

Mosi integral Natsir ini kemudian dideklarasikan oleh Perdana Menteri

(PM) Mohammad Hatta sebagai dasar penyelesaian masalah saat itu. Sebagai

bentuk tindak lanjut dari mosi tersebut, maka pada 19 Mei 1950, RIS yang

mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur berunding

dengan RI. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk

mendirikan NKRI yang dituangkan dalam sebuah piagam yang ditanda-tangai

oleh PM RIS Moh. Hatta dan PM RI Dr. Halim (Tim KPG-Tempo, 2011).

41

Ibid.

168

Piagam tersebut kemudian dibacakan oleh Soekarno pada sidang

bersama parlemen dan senat RIS yang dilaksanakan pada 15 Agustus 1950.

Berikutnya, pada hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan RI yang kelima,

17 Agustus 1950, Soekarno mendeklarasikan berdirinya Negara Kesatuan

Republik Indonesia (Basri dalam Hakiem, 2008 b; Tim KPG-Tempo, 2011).

Seorang pakar politik, Deliar Noer (dalam Hakiem, 2008 b),

mengatakan bahwa deklarasi lahirnya NKRI pada 17 Agutsus 1950 adalah

proklamasi kedua RI. Menurutnya, jika proklamasi pertama (17 Agustus

1945) menjadi tanda kemerdekaan dari penjajahan, maka proklamasi kedua

menjadi tanda gagalnya pemecahan Indonesia oleh Belanda dengan bubarnya

17 negara bagian dan lahirnya NKRI. Ia juga menyatakan bahwa proklamasi

yang kedua ini tidak berarti kembali ke RI yang diproklamasikan pada 1945

karena RI tersebut juga ikut bubar dan berintegrasi dengan negara bagian

lainnya dan kemudian membentuk NKRI.

Mosi integral Natsir ini menjadi bukti bahwa umat Islam yang bukan

anggota NU dan Muhammadiyah juga memiliki peranan besar dalam

Gambar 14. Konferensi RIS – RI pada 19 Mei 1950

Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin

Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

169

membangun NKRI; bukan malah meruntuhkannya. Jasa besar Natsir ini

bahkan diakui oleh Arnold Mononutu, politisi PNI, yang dengan yakin

menyatakan bahwa NKRI tidak akan ada tanpa peran Natsir (Dzulfikriddin,

2010). Begitu juga dengan mantan Ketua Umum MUI dan mantan Wakil

Rois „Aam Syuriah Pengurus Besar NU (PBNU), K.H. Ali Yafie, yang

menegaskan bahwa Natsir adalah seorang republiken dan tokoh nasional yang

memperjuangkan persatuan bangsa (Dzulfikriddin, 2010). Komitmennya pada

persatuan ini juga dibuktikan dengan strategi komunikasi politiknya yang

inklusif dengan merangkul seluruh golongan, tidak hanya para politisi Islam

dan kalangan nasionalis, tetapi juga dari kalangan Kristen, bahkan PKI.

Perjuangan Natsir dalam menegakkan NKRI kemudian berlanjut hingga

ia dipercaya menjadi Perdana Menteri NKRI pertama. Asa Bafaqih, seorang

jurnalis harian Merdeka sebelumnya bertanya kepada Soekarno mengenai

siapa yang akan ditunjuk untuk menjadi formatur kabinet (Dzulfikriddin,

2010). Soekarno pun dengan lugas menyebut nama Natsir yang disebutnya

sebagai seorang konstitusionalis yang memiliki konsep mengenai

penyelamatan republik (Dzulfikriddin, 2010). Maka pada 20 Agustus 1950,

Natsir ditunjuk oleh Soekarno menjadi Perdana Menteri NKRI pertama

(Dzulfikriddin, 2010; Hakiem, 2008 b).

4.3.4 Perdana Menteri NKRI Pertama

Sepanjang sejarah Indonesia, Natsir merupakan Perdana Menteri

kelima Indonesia dan Perdana Menteri pertama NKRI. Setelah ditunjuk

menjadi PM NKRI oleh Soekarno, Natsir dipanggil oleh Soekarno pada 21

Agustus 1950 untuk membentuk kabinet baru. Kegagalan negosiasi dengan

170

PNI membuat kabinet Natsir tidak mendapat dukungan dari PNI. Namun,

Soekarno tetap mendorong Natsir untuk membentuk kabinetnya.

Kabinet Natsir yang disahkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor

9 Tahun 1950 tanggal 6 September 1950 ini memiliki susunan kabinet

sebagai berikut.

Jabatan Nama Partai Politik

Perdana Menteri Mohammad Natsir Masyumi

Wakil Perdana Menteri Sri Sultan

Hamengkubuwono IX Non Partai

Menteri Negara Harsono Tjokroaminoto PSII

Menteri Agama K.H. A. Wachid Hasyim Masyumi

Menteri Penerangan M.A. Pellaupessy Demokrat

Menteri Dalam Negeri Mr. Asaat Non Partai

Menteri Luar Negeri Mr. Mohammad Roem Masyumi

Menteri Pertahanan Dr. Abdul Halim Non Partai

Menteri Kehakiman Mr. Wongsonegoro Persatuan Indonesia

Raya (PIR)

Menteri Keuangan Mr. Sjafruddin

Prawiranegara Masyumi

Menteri Perdagangan

dan Perindustrian

Dr. Soemitro

Djojohadikusumo PSI

Menteri Pertanian Mr. Tandiono Manu PSI

Menteri Perhubungan

dan Transportasi Ir. Djuanda Non Partai

Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Dr. Bahder Djohan Non Partai

Menteri Pekerjaan

Umum Ir. Herman Johannes PIR

Menteri Kesehatan dr. Johannes Leimena

Partai Kristen

Indonesia

(Parkindo)

Menteri Perburuhan R. Panji Suroso Partai Indonesia

Raya (Parindra)

Menteri Sosial F.S. Harjadi Partai Katolik

Tabel 4.Susunan Kabinet Natsir atau Zaken Kabinet

Sumber : Suryanegara, 2016

171

Penentuan menteri yang tidak hanya berlandaskan pada pertimbangan

politik, tetapi juga kualifikasi personal pada bidang kementerian membuat

kabinet Natsir disebut sebagai Kabinet Ahli atau Zaken Kabinet

(Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-Tempo, 2011). Tujuh program kerja utama

kabinet ini adalah : (1) mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu untuk

Badan Konstituante; (2) penyempurnaan struktur pemerintahan; (3)

Gambar 15. Pelantikan Kabinet Natsir (a dan b) serta Malam Perkenalan Kabinet (c)

Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin

Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

172

peningkatan keamanan dan ketertiban; (4) penguatan ekonomi nasional; (5)

pembangunan perumahan rakyat serta peningkatan kesehatan dan kecerdasan

rakyat; (6) penguatan Angkatan Perang dan pemulihan personil militer; dan

(7) penyelesaian masalah Irian Barat.

Selama menjabat sebagai Perdana Menteri, Natsir berhasil

mengimplementasikan kebijakan-kebijakan penting. Dua di antaranya adalah

kebijakan pendidikan integral serta program ekonomi benteng.

Natsir menginstruksikan kepada Menteri Agama K.H. A. Wachid

Hasyim dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bahder Johan untuk

membuat SKB yang menjadi landasan bagi pengajaran pendidikan agama di

lingkungan institusi pendidikan umum serta penguatan pengetahuan umum di

institusi pendidikan agama (Basri dalam Hakiem, 2008 b). Sedangkan melalui

program Ekonomi Benteng, Natsir berhasil melindungi usaha-usaha miliki

pribumi dan mengurangi ketergantungan pada bantuan asing. Program ini

sukses memunculkan konglomerat prbumi seperti Hasjim Ning, Dasaat,

Rahman Tamim, Ayub Rais, Achmad Bakri dan Tejakusuma (Basri dalam

Hakiem, 2008 b).

Suksesnya program ini tidak lepas dari peran aktif dua pakar ekonomi

dalam Kabinet Natsir, yakni Sjafruddin Prawiranegara dan Sumitro

Djohadikusumo. Kolaborasi kerja para tokoh Masyumi dan PSI ini juga

berhasil mendorong lahir dan berkembangnya wirausahawan lokal. Selain itu,

mereka memiliki konsep yang matang mengenai negara sejahtera yang

dibangun dengan menegakkan keadilan sosial dan keberpihakan pada rakyat

kecil; bukan dengan memperluas jaringan dengan golongan kapitalis. Corak

173

kebijakan ekonomi Natsir ini tidak hanya disebabkan oleh kedekatannya

dengan tokoh-tokoh PSI, tetapi juga karena pandangan sosial-ekonomi-nya

yang memang cenderung identik dengan tokoh-tokoh PSI (Kahin, 2012).

Selain itu, Natsir juga berhasil mempertahankan NKRI dari ancaman

gerakan sparatis seperti Republik Maluku Selatan (RMS), ARPA Westerling

di Bandung, kelompok-kelompok pengikut PKI, Darul Islam Kartosuwiryo,

gerakan Andi Azis di Makassar dan juga upaya pemisahan Aceh dari NKRI

(Azmi dalam Hakiem, 2008 b).

Meskipun berhasil menerapkan beberapa kebijakan penting, merintis

persiapan pemilu pertama RI (kelak di tahun 1955) dan menyelamatkan

NKRI dari disintegrasi, Kabinet Natsir hanya mampu bertahan selama tujuh

bulan karena pada tanggal 27 April 1951 Kabinet Natsir jatuh dan diganti

dengan Kabinet Soekiman (Azmi dalam Hakiem, 2008 b). Kejatuhan Kabinet

Natsir ini disebabkan oleh aksi oposisi (PNI dan PKI) yang beberapa kali

memboikot sidang. Pemboikotan ini berkaitan dengan renggangnya hubungan

Natsir dan Soekarno. Berdasarkan keterangan Mohammad Hatta, Soekarno

adalah dalang dari kejatuhan kabinet Natsir dengan meminta Manai Sophian

untuk menciptakan instabilitas dalam setiap sidang kabinet (Tim KPG-

Tempo, 2011).

4.3.5 Pejuang Ideologi Islam yang Konstitusionalis

Perjuangan Nartsir dalam menegakkan Islam melalui jalur konstitusi

dapat dilacak secara spesifik melalui kontribusinya di Konstituante. Beberapa

tokoh berpengaruh Masyumi yang berada di Konstituante adalah Mohammad

Natsir, Abdul Rahman Baswedan (atau A.R. Baswedan yang merupakan

174

kakek Anies Rasyid Baswedan), Achmad Rasjid Sutan Mansjur (Buya Sutan

Mansyur), Bey Arifin, dr. Sukiman Wirjosandjojo, H. Abdul Malik Ahmad,

H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), K.H. Muhammad Faqih

Usman, K.H. Muhammad Isa Anshary, K.H. Noer Alie, Boerhanuddin

Harahap, Kasman Singodimedjo, Sjafruddin Prawiranegara, Osman Raliby,

Prawoto Mangkusasmito, K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Saleh Umar Bajasut,

dan Zainal Abidin Achmad (Hidayat dan Fogg, 2018).

Bagi Masyumi, Konstituante merupakan sarana memperjuangkan Islam

untuk menjadi dasar negara. Perjuangan melalui jalur konstitusi ini

sebenarnya juga bagian dari janji Soekarno kepada para tokoh Islam beberapa

saat setelah proklamasi di tahun 1945 bahwa akan ada persidangan yang

memungkinkan umat Islam memperjuangkan Islam sebagai konstitusi negara.

Janji itu diucapkan Soekarno salah satunya untuk membujuk hati Ki Bagus

Hadikusumo, seorang tokoh Muhammadiyah dan anggota Panita Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang teguh pada pendiriannya bahwa Islam

harus menjadi landasan Republik Indonesia (Artawijaya, 2014). Janji inilah

yang kemudian ditagih oleh Kasman saat ia di Konstituante dengan

mengenang penantian Ki Bagus Hadikusumo terhadap janji itu yang bukanlah

penantian selama enam bulan, tetapi sampai pada wafatnya (Artawijaya,

2014).

Tuntutan yang sama disampaikan oleh salah satu tokoh Islam yang

tergabung dalam Panitia Sembilan, Prof. H. Abdul Kahar Muzakkir, dengan

terlebih dahulu mengingatkan seluruh anggota sidang tentang sejarah

pengubahan rumusan asli Pancasila (Pancasila Piagam Jakarta) yang ia sebut

175

sebagai pengkhianatan terhadap gentlement agreement. Ia menegaskan bahwa

Piagam Jakarta yang berhasil dirumuskan pada 22 Juni 1945 disepakati

menjadi landasan penyusunan Undang-undang Dasar pada rapat BPUKI

tanggal 10,11,14, dan 15 Juli 1945. Ayat terpentingnya adalah:

“Negara Indonesia adalah berdasar ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan

Syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Muzakkir dalam Yusran, 2001,

hal.: 94).

Prof. Kahar Muzakkir (dalam Yusran, 2001) menyatakan bahwa

Pancasila telah dirusak dengan menghilangkan nilai luhur yang

direpresentasikan melalui tujuh kata. Menurutnya, golongan yang mengubah

Pancasila Piagam Jakarta ini adalah pengkhianat gentlement agreement yang

sesungguhnya; yakni golongan sekuler dan anti agama.

Sahabat Natsir, H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka,

juga turut memperjuangkan Islam di Kontituante. Ia menggungat fraksi yang

mengklaim bahwa semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agutus 1945

adalah Pancasila. Menurut Buya Hamka (dalam Yusran, 2001), semangat

proklamasi adalah tekad yang kuat untuk merdeka dari segala bentuk

penjajahan; jiwa yang lebih memiilih mati daripada hidup hina karena dijajah.

Buya Hamka kemudian mengingatkan bahwa semangat yang demikian

tersebut disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa rasa takut hanya boleh

ditujukan kepada Allah SWT. Ia juga mengungkap fakta sejarah bahwa yang

menyertai perjuangan bangsa Indonesia adalah jargon-jargon Islam –

“Allahuakbar”, bukan Pancasila (Amrullah dalam Yusran, 2001). Ia

menegaskan:

176

“Allahu Akbar yang tertulis dalam dada saudara itulah sekarang yang kami mohon

direalisasikan. Allahu Akbar, yang di dalamnya terkandung segala macam sila, baik

panca atau sapta, atau dasa. Alahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara ketika

menghadapi bahaya besar! Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara di saat

maut telah melayang-layang di atas kepala saudara. ................

Semangat Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah Pancasila, saudara ketua,

Bung Karno seorang ahli pikir negara terbesar di zaman ini, niscaya akan menyebut

Pancasila dalam Proklamasi tanggal 17 Agustus, kalau Pancasila itu memang telah

ada pada waktu itu” (Amrullah dalam Yusran, 2001, hal.: 100-101).

Pada penutup salah satu pidatonya, Buya Hamka meyakinkan seluruh

anggota sidang bahwa implementasi ajaran Islam dalam kehidupan bangsa

Indonesia merupakan cara untuk menjamin Pancasila itu sendiri karena pada

hakikatnya Islam sudah secara lengkap mencakup apa yang disebutkan dalam

Pancasila, tapi tidak sebaliknya (Amrullah dalam Yusran, 2001).

K.H. Isa Anshary, sahabat Natsir dan ketua Persis, juga turut berjuang

di Konstituante. Dengan sangat tegas ia menyatakan bahwa Pancasila adalah

ideologi yang tidak jelas tafsirannya sehingga tidak layak untuk dijadikan

pedoman. Pernyataannya ini didasarkan pada analisis kritisnya terhadap

pidato Soekarno tentang lima sila yang dapat diringkas menjadi tiga sila dan

dapat diringkas lagi menjadi satu sila yang disebut “gotong royong” (Anshary

dalam Yusran, 2001). Menurut K.H. Isa Anshary, ideologi seperti itu tidak

dapat diterima karena melenyapkan Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid).

Dengan mengutip Al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 ia memperingati seluruh

anggota sidang bahwa golongan yang menolak Islam sebagai konstitusi

negara dapat digolongkan menjadi tiga kelompok : 1) kafir, bagi yang

menganggap ada hukum yang lebih baik daripada hukum Islam dan

beranggapan akan ada disintegrasi NKRI jika hukum Islam

177

diimplementasikan; 2) dzalim, bagi yang menetapkan hukum selain hukum

Islam karena kebodohannya; dan 3) fasik, bagi yang mengetahui hukum

Islam, tetapi enggan untuk menggunakannya karena spekulasi dan keinginan

pribadi (Anshary dalam Yusran, 2001).

Tokoh lainnya yang turut serta dalam perjuangan di Konstituante adalah

sahabat Natsir sejak di JIB, yakni Kasman Singodimedjo. Kasman yang

dikenal sebagai orator ulung yang sangat teguh memegang pendiriannya ini

sempat menantang Nyoto (fraksi PKI) untuk membantah pendapat Kasman.

Sebelumnya, Nyoto berkata bahwa Pancasila telah didukung mayoritas

golongan, yakni nasionalis, Protestasn, Katholik, komunis dan sebagian

golongan Islam. Pernyataan Nyoto ini kemudian didebat oleh Kasman dengan

menjadikan pernyatan tersebut sebagai bentuk afirmasi terhadap penerapan

Islam sebab seluruh sila dalam Pancasila telah dijamin dalam ajaran Islam.

Sehingga jika mayoritas golongan yang disebut Nyoto itu menyetujui

Pancasila, maka mereka sebenarnya menyetujui Islam yang menurut Kasman

dan para tokoh Islam adalah pedoman kehidupan terlengkap. Kasman

menganalogikan Islam sebagai lingkaran, sedangkan Pancasila adalah salah

satu titik kecil di dalamnya (Singodimedjo dalam Yusran, 2001). Kasman

kemudian menjelaskan:

“Itulah pula, saudara ketua, bahwa saya sebagai orang yang mempunyai “geloof”

tidak mungkin akan menganggap Pancasila sebagai “supergeloof”, Saya tidak

mengenal supergeloof seperti saya juga tidak mengenal supergod!. Bagi saya geloof

itu hanya satu, seperti juga God hanya satu” (Singodimedjo dalam Yusran,

2001, hal.: 310).

178

Sebelumnya, Natsir juga menyampaikan pidato pembelaannya terhadap

Islam sebagai dasar negara. Pada hakikatnya, yang dikhawatirkan Natsir

bukanlah Pancasila itu sendiri, tetapi potensi besar penyelewengan Pancasila

yang ditafsirkan dengan pemahaman sekularisme dan bahkan komunisme.

Oleh karena itu, dalam pidatonya, Natsir mengulas secara sistematis

mengenai berbagai sisi negatif sekularisme. Natsir (dalam Yusran, 2001)

mendefinisikan sekularisme sebagai paham yang berorientasi pada keduniaan

dan mengabaikan wahyu sebagai sumber pengetahuan. Artinya orang-orang

sekuler tentu sangat antipati terhadap penerapan aturan agama, khususnya

Islam.

Menurut Natsir, sekulerisme adalah ideologi yang tidak memiliki

ketentuan yang tegas. Oleh karena itu, Natsir (2014) berkata bahwa

menggunakan dasar negara yang dijiwai paham sekulerisme ialah seperti

berpindah dari bumi menuju ruang hampa. Bagi Natsir (dalam Yusran, 2001),

menjadikan Islam yang memiliki ketegasan dan sumber yang jelas sebagai

dasar negara adalah pilihan terbaik dibandingkan dengan ideologi rancangan

manusia yang multitafsir dan rentan terhadap pembajakan oleh golongan anti

agama.

Semangat para tokoh Islam saat itu dalam memperjuangkan Islam

sebagai dasar negara bukan hanya karena Islam adalah agama yang dianut

oleh mayoritas rakyat Indonesia, tetapi karena kesempurnaan Islam yang

tidak hanya mampu mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi juga

menjamin kehidupan beragama (Natsir dalam Yusron, 2001). Dalam

pidatonya Natsir berseru:

179

“Sila-sila yang saudara maksud ada terdapat dalam Islam, bukan sebagai pure

concept yangs teril, tetapi sebagai nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi riil

dan jelas. Dengan menerima Islam sebagai filsafat negara, saudara-saudara pembela

Pancasila sedikitpun tidak dirugikan apa apa. Baik sebagai pendukung Pancasila

atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memeroleh satu state philosophy

yang hidup berjiwa, berisi tegas dan mengandung kekuatan” (Natsir, dalam

Yusron, 2001, hal.: 38).

Kolaborasi Natsir dan kawan-kawannya dalam memperjuangkan Islam

sebagai dasar negara menjadi bukti sejarah bahwa hukum Islam hampir saja

berhasil menjadi landasan kehidupan NKRI. Namun, jerih payah para pendiri

bangsa dalam berlomba-lomba menyajikan falsafah terbaik di forum yang

paripurna harus terhenti saat Soekarno menetapkan Dekrit Presiden 5 Juli

1959. Dekrit itu menjadi landasan hukum pembubaran Konstituante. Menurut

Adnan Buyung Nasution (dalam Artawijaya, 2014), dekrit ini menjadi bukti

bahwa Konstituante tidak gagal, tetapi digagalkan. Meskipun demikian,

Dekrit Presiden tersebut memberikan sebagian keuntungan bagi umat Islam,

yakni penggunaan Piagam Jakarta sebagai landasan yang menjiwai dan

merupakan satu-kesatuan dari UUD 1945 (Husaini, 2009; Artawijaya, 2014).

4.3.6 Pandangan Natsir tentang Kebangsaan dan Negara

Natsir tidak mempertentangkan Islam dengan kebangsaan, negara dan

Pancasila. Baik kebangsaan, negara, maupun Pancasila, seluruhnya ternaungi

di dalam Islam (Natsir dalam Yusron, 2001; Kahin, 2012). Natsir

memosisikan Islam sebagai hal tertinggi dari segala konsep dan ideologi –

Islam merupakan kesatuan sistem kehidupan yang setiap muslim harus

menerapkannya dalam setiap sektor kehidupannya, baik sosial, politik,

hukum, ekonomi, kebudayaan, dan bidang kehidupan lainnya.

180

Berkaitan dengan kebangsaan, Natsir (dalam Kahin, 2012) menyatakan

bahwa Islam tidak mempermasalahkan kebangsaan serta menentang asumsi

bahwa Islam menolak rasa cinta terhadap tanah air. Menurutnya, seorang

muslim yang taat juga harus menunjukkan rasa syukurnya sebagai seorang

berkebangsaan Indonesia, memiliki bahasa, kebudayaan yang khas Indonesia,

seperti batiknya, musiknya, dan berbagai unsur kebudayaan lainnya (Natsir

dalam Kahin, 2012).

Hal yang ditentang Natsir adalah jika kebangsaan ditranformasikan

menjadi sebuah ideologi yang kemudian membangkitkan rasa kecintaan

berlebih hingga meganggap bangsanya yang paling baik dan mendeskriditkan

bangsa lainnya (Natsir dalam Kahin, 2012). Natsir mendukung penentangan

terhadap kolonialisme; tetapi berlandaskan pada Islam, Natsir menentang,

xenophobia, rasisme terhadap bangsa mana pun, termasuk bangsa Barat yang

pernah menjajah Indonesia, mencakup juga nasionalisme. Taufik Abdullah

(dalam Kahin, 2012), seorang pakar sejarah Indonesia yang pernah menjabat

sebagai ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan

bahwa Natsir membedakan nationality (kebangsaan) dengan nationalism. Ia

menjelaskan bahwa nasionalisme menurut Natsir adalah ideologisasi dari

cita-cita kebangsaan. Artinya, apa yang menjadi sebuah ketentuan Allah هلالج لج

tentang ras, suku bangsa, dan etnis tidak boleh dijadikan landasan ideologi

yang memecah manusia menjadi golongan-golongan yang masing-masingnya

kemudian menganggap bangsanya lebih unggul dibandingkan lainnya. Natsir

(dalam Kahin, 2012) memandang perbedaan dalam ras, suku bangsa dan etnis

sebagi kehendak Allah هلالج لج yang harus disyukuri.

181

Berkaitan dengan negara, Natsir (dalam Maarif, 1985), mengemukakan

lima unsur yang menjadi syarat berdirinya sebuah negara, yakni: (1) wilayah,

(2) rakyat, (3) pemerintah, (4) kedaulatan, dan (5) konstitusi atau sumber

hukum lainnya yang tidak tertulis. Natsir memandang negara sebagai hal

yang perlu diperjuangkan bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai „alat‟

untuk menerapkan hukum-hukum Islam.42

Tujuan didirikannya sebuah negara

itu sendiri menurut Natsir adalah untuk menyempurnakan penerapan syariat,

baik yang mengatur kehidupan individu maupun masyarakat, serta baik yang

berkenaan dengan urusan dunia, maupun akhirat (Natsir, 1975). Pandangan

Natsir ini serupa dengan pandangan Ibnu Taimiyah yang juga merupakan

seorang reformis Islam (Saleh, 1995).

Menurut Natsir (1968), sebuah „alat‟ merupakan sesuatu yang dapat

berkembang dari masa ke masa, sehingga sangat mungkin suatu „alat‟

menjadi jauh lebih baik di masa mendatang. Oleh karena itu, Natsir (1968)

memandang bahwa dalam ajaran Islam sekalipun tidak ada bentuk yang baku

atau absolut dari sebuah negara. Natsir (dalam Saleh, 1995) berpendapat

bahwa umat Islam bebas merancang sistem tata negara sesuai dengan kondisi

mereka serta dapat mencontoh sistem pemerintahan yang diterapkan oleh

negara-negara lain selama sistem itu dinilai dan diyakini sebagai metode

terbaik untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang dikehendaki Islam. Hal

terpenting yang diperingatkan oleh Natsir adalah sistem tersebut tidak boleh

bertentangan dengan syariat Islam (Natsir, 1975). Selain itu, ia juga

memperingatkan kaum muslimin agar melakukan penilaian yang kritis

42

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

182

terhadap sistem yang telah ada, sehingga pemilihan terhadap sistem lainnya

yang dianggap terbaik adalah sebuah keputusan yang bijaksana (Mahendra,

1994).

Sikap yang dijelaskan di atas, menurut Natsir, adalah bentuk ijtihad

umat Islam, dalam rangka mengatur kehidupan bernegara pada suatu konteks

atau kondisi spesifik dengan menerapkan asas-asas umum dalam al-Quran

dan as-Sunnah (Mahendra, 1994). Berlandaskan pada pandangan Natsir,

pihak-pihak yang dapat melakukan ijtihad tersebut tidak terbatas pada ulama

yang secara khusus menguasai ilmu agama, tetapi juga golongan

cendekiawan dan pemimpin-pemimpin yang mendapatkan kepercayaan dari

rakyat (Mahendra, 1994).

Salah satu sistem yang dapat mewujudkan tujuan Islam menurut Natsir

adalah demokrasi yang dapat menjamin kebebasan berserikat,

mengemukakan pendapat serta mengutarakan sikap secara terbuka kepada

pemerintah, baik mendukung, menegur, bahkan menjadi oposisi (Natsir,

1975). Natsir menentang sistem demokrasi terpimpin, gagasan Soekarno,

yang tidak bertoleransi terhadap perbedaan pendapat, tidak menghendaki

adanya oposisi, bahkan ingin meniadakan partai-partai (Saleh, 1995). Natsir

menganggap sistem seperti ini sebagai sistem diktator yang justru akan

menimbulkan kerugian serta secara tidak langsung memberikan keleluasaan

bagi golongan komunis untuk mendapatkan penerimaan secara lebih luas

(Mahendra, 1994).

183

4.4 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Pendidikan

4.4.1 Natsir Menjadi Pendidik Sejak Muda

Kata “perjuangan” yang diterjemahkan oleh Natsir saat usianya masih

delapan tahun sebagai usaha meggapai pendidikan yang lebih baik melengkapi

sosok Natsir sebagai pejuang yang holistik. Pendidikan tidak hanya menjadi

objek yang Natsir perjuangkan untuk dirinya sejak kecil, tetapi juga menjadi

sarana perjuangan untuk mencerdaskan lingkungan sekitarnya hingga

menyentuh berbagai generasi bangsa.

Potensi besar Natsir sebagai pendidik sudah terlihat sejak ia berada di

HIS atau sekolah dasar, tepatnya saat ia dipercaya menjadi seorang asisten

pengajar Sekolah Diniyyah di Solok selama beberapa bulan. Kiprahnya sebagai

seorang pengajar kemudian berlanjut saat ia telah lulus dari AMS pada tahun

1930; saat itu usianya adalah 22 tahun. Natsir dipercaya mengajarkan

pendidikan Agama Islam di HIS, MULO dan Holland Indische Kweekschool

(HIK) atau Sekolah Guru di Bandung; yang pertama kali memberikannya

kepercayaan untuk mengajar adalah MULO dan HIK Gunung Sri di Lembang

(Husaini, Noer, dan Ujang, 2017). Status Natsir saat itu bukanlah menjadi

tenaga pengajar yang gajinya dijamin oleh pemerintah. Bahkan, ia menolak

untuk menjadi pegawai negeri. Padahal jika ia bekerja sebagai pegawai

pemerintahan, ia akan mendapatkan gaji yang besar. Gaji paling kecil saat itu

adalah F.130; sedangkan harga beras saat itu kurang dari F. 0,05 (5 sen per

kilogram) (Rosidi, 1990). Jika dibandingkan dengan harga beras saat itu

dengan rata-rata harga sekitar Rp 5.000 per kilogram, maka gaji Natsir jika

menjadi pegawai pemerintahan mencapai Rp 13 juta per bulan.

184

Natsir memang seorang idealis; gaji yang besar pun tidak mampu

memengaruhinya untuk secara pragmatis menentukan pilihan kariernya sebagai

pegawai pemerintah. Ia lebih memilih menjadi pengajar yang “merdeka”;

pengajar yang tergerak karena motivasinya senidri (Husaini, Noer, dan Ujang,

2017). Motivasinya untuk menjadi seorang pengajar pendidikan Agama Islam

pun bukan karena ingin mencari aktivitas alternatif setelah ia memutuskan

untuk tidak melanjutkan studinya di tingkat Pendidikan Tinggi. Keinginannya

menjadi seorang pengajar timbul karena ada kegelisahannya melihat generasi

muda terdidik saat itu yang sedikit sekali memahami Islam. Dalam sebuah

pernyataan yang dikutip oleh majalah Tempo (dalam Husaini, Noer, dan

Ujang, 2017), Natsir menegaskan alasannya tersebut, bahkan dengan sangat

berani ia menyatakan bahwa jika dirinya tidak diberikan gaji bukan suatu

masalah baginya; ia akan tetap mengajar.

Saat mengajar pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah tersebut,

Natsir menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya.

Kebijakannya ini merupakan bagian dari strateginya untuk meningkatkan citra

Islam agar terlepas dari stigma keterbelakangan karena tidak menggunakan

bahasa Belanda yang saat itu merupakan bahasa kalangan terdidik dan menjadi

penentu kemajuan (Husaini, Noer, dan Ujang, 2017).

Kesempatan berharga untuk mengajar di beberapa sekolah tersebut

tidak dimanfaatkan olehnya dengan hanya sekedar menjadi pengajar biasa yang

mengulang untuk menyampaikan materi yang termuat di buku-buku yang telah

ada. Natsir menunjukkan kualitasnya bukan hanya sebagai seorang pengajar,

tetapi sebagai penyusun materi pembelajaran dengan menulis sebuah buku

185

Gambar 16. Halaman pertama (a) dan daftar isi (b) buku Komt Tot Het Gebed!

Sumber : Bilik Natsir, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin Abdul

Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

(a) (b)

yang merupakan permintaan Soekarno saat dibuang ke Endeh (Husaini, Noer,

dan Ujang, 2017). Buku itu merupakan hasil dari himpunan dari tulisan-

tulisannya tentang materi pengajaran Agama Islam; khususnya tentang

penjelasan mengenai rukun iman serta rukun Islam yang menjadi pondasi bagi

pengamalan agama Islam. Buku itu berjudul Komt Tot Het Gebed! Yang

artinya “Marilah Shalat!”.

Keputusan Natsir untuk menjadi pengajar yang “merdeka” karena

terdorong oleh permasalahan umat di sekelilingnya menujukkan kapasitasnya

sebagai seorang pemimpin dan ideolog dalam bidang pendidikan. Ia sangat

yakin bahwa cara terbaik memajukan bangsanya adalah melalui jalur

pendidikan. Pandangan ini ia sampaikan dalam pidatonya saat rapat Persatuan

Islam pada tanggal 17 Juni 1934 di Bogor. Judul pidato yang ia bawakan

sangat jelas menunjukkan bahwa Natsir adalah seorang cendekiawan muda

186

yang mampu merumuskan ide-ide cemerlang untuk pembenahan masyarakat;

judul pidato itu adalah “Ideologi Pendidikan Islam”. Natsir menegaskan bahwa

kemajuan suatu bangsa itu bergantung pada kualitas pendidikan yang terdapat

dalam bangsa itu (Luth, 1999). Lebih lanjut lagi, Natsir menegaskan bahwa ada

prasyarat untuk mencapai kemajuan melalui pendidikan yang berkualitas,

yakni adanya para guru yang rela berkorban. Pandangan Natsir itu bersumber

dari Dr. G.J. Nieuwenhuis yang menyatakan bahwa:

“Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru

yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya” (Anshari dan Rais dalam

Husaini, Noer, dan Ujang, 2017, hal.: 19).

Strategisnya peran guru ini yang juga menjadi alasan Natsir untuk

menjadi seorang pengajar di sekolah-sekolah yang menurutnya sangat jauh dari

sentuhan pendidikan Agama Islam. Namun, statusnya sebagai pengajar yang

“merdeka” tidak membuat Natsir merasa bahwa dirinya telah memiliki banyak

ilmu dan kemudian kehilangan motivasi untuk belajar. Natsir juga

memperdalam agama Islam dengan A. Hassan. Pada siang harinya ia akan

membantu A. Hassan untuk menerbitkan majalah “Pembela Islam” dan malam

harinya ia mengaji Al-Quran serta membaca kitab-kitab berbahasa Arab dan

Inggris. Natsir juga menempuh pendidikan diploma guru di sekolah khusus

guru yang bernama Lager Onderwijs (LO) pada tahun 1931 sampai dengan

1932 (Kahin, 2012). Pendidikan guru yang ia dapat di LO ini kemudian

menjadi salah satu modal untuk mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama

“Pendidikan Islam” atau Pendis. Pendis inilah yang menjadi cikal bakal

Sekolah Terpadu Islam yang ada saat ini (Husaini, Noer, dan Ujang, 2017).

187

4.4.2 Natsir Mendirikan Pendidikan Islam (Pendis)

Perjuangan dan pengorbanan adalah dua hal yang mengawali berdirinya

sebuah sekolah hasil idealisme Natsir yang bernama Pendidikan Islam atau

Pendis. Saat lulus dari AMS, Natsir berhasil meraih hasil yang membanggakan

dan memenuhi kualifikasi untuk memeroleh beasiswa dari pemerintah.

Pimpinan AMS memberikannya dua pilihan tempat untuk melanjutkan

studinya dengan beasiswa tersebut, yakni di Fakultas Hukum di Batavia atau di

Fakultas Ekonomi di Rotterdam (Kahin, 2012). Kesempatan studi lanjut ini

sesuai dengan harapan orang tuanya dan cita-cita Natsir sejak kecil yang ingin

mendapatkan gelar Meester in de Rechten; sebuah gelar yang diberikan untuk

seorang yang telah menempuh pendidikan tinggi di bidang hukum atau secara

harfiah dapat diartikan sebagai “ahli hukum” atau gelar yang setaraf saat ini

adalah Sarjana Hukum. Namun, perjuangan mencapainya tentu berbeda karena

saat itu tidak sembarangan orang yang bisa mendapatkan akses meanjutkan

pendidikan tinggi.

Natsir pun menanggapi tawaran beasiswa itu dengan sikap yang

mengejutkan. Ia menolak beasiswa sebesar Rp 130 per bulan tersebut dan lebih

memilih memperdalam agama Islam dan kemudian mendirikan Pendis; sekolah

swasta yang tidak mampu menjamin gaji pengajarnya seperti pemerintah,

bahkan gedung yang digunakan pun adalah gedung sewaan. Dalam sebuah

suratnya kepada anak-anaknya yang ditulis pada tahun 1958 saat ia bergerilya

di hutan Sumatera Barat sebagai anggota PRRI, Natsir mengungkapkan:

“Aneh! Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu

lapangan yang paling penting daripada itu semua. Aba ingin mencoba menempuh

jalan lain. Aba ingin berkhidmat kepada Islam dengan langsung. Belum terang benar

188

Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya. Tapi dengan

tidak pikir-pikir Aba putuskanlah bahwa tidak akan melanjutkan pelajaran ke

Fakultas manapun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih

dahulu. Setelah itu bagaimana nanti” (Husaini, Noer, dan Ujang, 2017, hal.:

7).

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Natsir yang menolak

tawaran beasiswa itu kemudian memilih untuk menjadi pengajar di HIS,

MULO dan HIK di Lembang Bandung. Namun, ia kecewa mendapati realitas

kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah tersebut yang tidak

mengakomodasi pendidikan agama. Menurutnya, model pendidikan Belanda

hanya mengedepankan kecerdasan intelektual dan mengabaikan kecerdasan

spiritual. Sehingga para siswa di sekolah itu hanya dikembangkan otaknya,

sedangkan jiwanya dibiarkan kosong tanpa penghayatan terhadap agama. Di

sisi lain, Natsir mengkritik model pendidikan yang digunakan di lingkungan

pesantren pada umumnya yang cenderung mengabaikan perkembangan dunia,

meskipun telah memberikan pendidikan agama dengan sangat baik.

Kegelisahannya mencari model pendidikan dari sekolah yang ada saat itu pun

tidak berhenti. Natsir juga mengkritik Taman Siswa yang didirikan oleh Ki

Hajar Dewantara karena menurutnya terlalu mengagungkan nasionalisme dan

juga menunjukkan rasa primordialisme ke-Jawa-an yang tinggi atau bersifat

Jawa-sentris (Kahin, 2012).

Setelah melakukan pengamatan terhadap model pendidikan dari

sekolah-sekolah yang ada saat itu dan tidak menemukan satu pun yang cocok

dengannya, pada tahun 1932 Natsir memutuskan untuk mulai membangun

sekolahnya sendiri dengan landasan serta tujuan yang sesuai dengan

idealismenya. Kriteria model pendidikan yang hendak diterapkan oleh Natsir

189

pada sekolahnya ada tiga; pertama, para siswa akan memeroleh ilmu

pengetahuan modern sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah milik

Belanda. Kedua, kegiatan belajar-mengajarnya mampu menanamkan kesadaran

dan rasa bangga menjadi seorang muslim dalam diri siswa. Ketiga, kegiatan

belajar-mengajarnya mampu memperluas dan memperdalam wawasan siswa

mengenai agama Islam (Kahin, 2012).

Natsir sadar jika modal ketrampilan guru yang ia dapatkan di LO dan

semangatnya yang sangat besar tidak cukup untuk mendirikan Pendis. Oleh

karena itu, Natsir meminta bantuan orang-orang dekatnya agar memberikan

dukungan materi atau finansial. Jaringan luas yang dimiliki oleh Natsir di

beberapa organisasi pun menjadi salah satu unsur pendukung keberhasilannya

mendirikan Pendis. Salah seorang tokoh sekaligus pendiri Persatuan Islam

bernama Haji Muhammad Yunus memberikannya pinjaman untuk dibelikan

bangku dan meja belajar (Kahin, 2012). Selain itu, Muhammad Yunus juga

berjasa dalam pengembangan Pendis menjadi institusi pendidikan yang lebih

besar dan memadai fasilitasnya. Atas bantuannya, Pendis yang mulanya

berlokasi di sebuah gedung kecil di Jalan Lengkong Besar Nomor 16 kemudian

pindah ke gedung yang lebih besar dan luas di Jalan Lengkong Besar Nomor

74 (Tim KPG-Tempo, 2011). Gedung baru itu memiliki ruangan yang lebih

banyak dan halaman yang luas.

Fasilitas yang semakin memadai ini menambah semangat Natsir untuk

mengembangkan Pendis. Sebagaimana ambisinya di awal, Natsir merancang

model pengajaran Pendis berbeda dengan sekolah-sekolah yang ada saat itu,

termasuk sekolah-sekolah miliki Muhammadiyah yang memadukan pendidikan

190

agama tradisional dengan pendidikan modern. Kurikulum Pendis mirip dengan

sekolah-sekolah Belanda dengan tambahan pendidikan agama Islam. Selain itu,

Pendis juga mengadopsi model pengajaran yang berkembang di German

Arbeid Schulen yang menekankan pada praktik. Oleh karena itu, para siswa

Pendis diajarkan cara berkebun sekaligus strategi pemasaran (Kahin, 2012).

Para siswa Pendis juga diajarkan musik, kemudian diminta untuk membuat

lagunya sendiri. Natsir ikut andil dalam pengajaran musik ini sebagai guru

violin. Setiap satu tahun sekali, para siswa akan mengadakan pentas musik,

drama dan juga kerajinan tangan (Tim KPG-Tempo, 2011). Melalui pendidikan

kesenian ini, Tonil atau sandiwara milik siswa Pendis adalah Tonil yang

terkenal di Bandung saat itu (Tim KPG-Tempo, 2011). Hal menarik lainnya

adalah kemandirian para siswa dalam mengurus peribadatan, khususnya shalat

Jumat. Para siswa pun diberikan kepercayaan untuk menjadi khotib setiap

shalat Jumat.

Perjuangan Natsir dalam mendirikan Pendis ini tidak terlepas dari

jaringannya dengan tokoh dan pendiri Persis, Haji Muhammad Yunus

membantu Natsir mewujudkan mimpinya. Selain itu, keberhasilan Natsir dalam

membangun Pendis dan bahkan dalam berbagai perjuangan lainnya, tidak

terlepas dari peran penting istrinya Ummi Nur Nahar.43

Saat awal pendirian

Pendis, Natsir yang telah mengenal Ummi saat di JIB Padang meminta bantuan

Ummi untuk mengajar di Pendis. Ummi yang awalnya menjadi guru negeri di

sekolah Arjuna kemudian memutuskan untuk berhenti dari sekolah tersebut

dan memilih mengabdikan dirinya di Pendis. Padahal, gaji tetap yang diperoleh

43

Ibid

191

Ummi sebagai guru negeri tergolong besar. Bahkan dengan gajinya ini Ummi

dapat menabung dan membeli perhiasan (Hakiem, 2017). Sedangkan Pendis

yang saat itu baru saja dibangun tidak dapat memberikan jaminan untuk

memberikan gaji tetap, apalagi dengan besaran yang sama seperti yang

diberikan pemerintah. Namun, Ummi tidak memandang itu. Dua tahun setelah

Pendis didirikan, Natsir pun menikahi Ummi dan Ummi ikut mengambil peran

sebagai “tulang punggung” Pendis. Perhiasan yang ia beli dari uang gajinya

saat menjadi guru negeri pun tidak segan ia gadaikan untuk membiayai

operasional Pendis (Kahin, 2012).

Dukungan yang diberikan Ummi kepada Natsir ini tentu sesuai dengan

kisah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah yang didukung

oleh istri pertamanya, Siti Khadijah. Siti Khadijah bahkan rela menginfaqkan

seluruh harta dan jiwanya untuk perjuangan Nabi (Al-Mubarakfuri, 2011).

Lukman Hakiem (2017) dalam bukunya menyifati sosok Ummi sebagai istri

yang tabah dan tidak pernah mengeluh. Ia sangat setia menemani suaminya

dalam berbagai momentum perjuangan; saat masa sulit di zaman penjajahan,

saat Natsir menjadi menteri penerangan dan perdana menter, saat masa gerilya

PRRI di hutan belantara Sumatera, saat Natsir dijebloskan ke penjara oleh

rezim Orde Lama tanpa ada proses pengadilan, dan saat Natsir memutuskan

untuk berjuang lewat jalur dakwah hingga Ummi wafat pada 22 Juli 1991.

Kesetiaannya ini membuat Natsir sangat mencintai dan juga

menghormati istrinya. Ramlan Mardjoned mengisahkan sikap Natsir ini saat ia

menjadi sekretaris pribadi Natsir dan sering mendengarkan Ummi cerita

sebelum mulai bekerja:

192

“Saya dengarkan Umi cerita, walaupun ceritanya itu sudah berulang-ulang. Pak

Natsir juga ikut mendengarkan. Setelah cerita, baru Pak Natsir bilang, “Udah ya

Ummi, kami mau kerja. Ayo Ramlan kita kerja”. Tidak langsung serta merta menarik

saya saat Ummi sedang cerita. Dihormati betul istrinya. Luar biasa”.44

4.4.3 Membangun Pendidikan Melalui Penguatan Benteng Pertahanan

Umat

Salah satu karya intelektual Natsir adalah formulasi pendidikan

integralnya dengan memperteguh “Benteng Pertahanan Umat” yang terdiri dari

tiga komponen atau pilar yang terintegrasi, yakni pilar masjid, pilar pesantren

dan pilar kampus. Hakiem (1995) dalam sebuah tulisannya yang dimuat di

Majalah Media Dakwah Nomor 258 tahun 1995 menjelaskan bahwa integrasi

tiga pilar tersebut dijuluki “Benteng Pertahanan Umat” oleh Mohammad Natsir

karena ketiganya memiliki peranan penting dalam keberlanjutan peradaban

bangsa, yakni menjadi pusat-pusat pembangunan pendidikan. Masjid menjadi

pusat dari segala aktvitas umat; pusat kekuatan bagi pembangunan umat di

44

Ibid

Gambar 17. Mohammad Natsir bersama Ummi dan anak-anaknya

Sumber : Lukman Hakiem. (2017) Merawat Indonesia, Belajar dari Tokoh dan Peristiwa

193

segala bidang. Sedangkan pesantren dan kampus merupakan “inkubator” yang

melahirkan generasi bangsa berkualitas dengan memeroleh pendidikan. Lebih

spesifik lagi, pesantren merupakan “barak” yang menghasilkan kader-kader

da‟i, muballigh, ulama‟. Sedangkan kampus merupakan “barak” yang

menghasilkan kader-kader intelektual yang secara khusus menguasai ilmu

pengetahuan umum.45

Gagasan Mohammad Natsir mengenai pembangunan umat melalui

pendidikan yang mengintegrasikan tiga pilar benteng pertahanan umat

bukanlah hal baru. Model penyelesaian masalah secara integral ini memang

menjadi ciri khas Mohammad Natsir. Bahkan, dengan model penyelesaian

masalah ini Natsir dapat menyatukan kembali Indonesia yang sudah berada di

ambang perpecahan, yakni melalui Mosi Integral. Semangat untuk meng-islah-

kan dan kemudian menyatukan adalah ajaran dasar dalam Islam yang secara

nyata diaktualisasikan oleh Mohammad Natsir.

a. Pilar Masjid

Masjid merupakan pusat dari kegiatan pembinaan umat. Di masjid

inilah semua perencanaan pembangunan bangsa, termasuk pembinaan

generasi muda dimulai. Natsir merefleksikan apa yang menjadi tradisi

orang-orang Minangkabau, yakni menitipkan anaknya ke surau-surau

untuk diberikan pembinaan keagamaan yang tidak hanya sekedar untuk

memperluas wawasannya, yang jauh lebih penting dari itu adalah

memperkuat iman-takwa serta menanamkan akhlak al karimah atau akhlak

yang mulia. Orang-orang Minangkabau biasa menyebutnya sebagai

45

Ibid

194

“tradisi surau”. Tradisi ini membuktikan bahwa dengan mengawali

pembangunan generasi dari masjid, akan lahir tokoh-tokoh bangsa yang

patut menjadi teladan. Mohammad Natsir sendiri adalah generasi unggul

yang “pembentukan” awalnya dimulai dari tradisi surau ini.

Penempatan masjid pada posisi sentral di antara pilar Benteng

Pertahanan Umat lainnya ini berasas pada pemikiran Natsir mengenai

tujuan pendidikan. Menurut Natsir, tujuan pendidikan itu sama dengan

tujuan hidup manusia, yakni menjadi pengabdi Allah jalla jalaluh untuk

memeroleh ridho-Nya (Luth, 1999). Pandangan ini juga pernah

dikemukakan olehnya dalam majalah Pembela Islam terbitan tahun 1938.

Ia menjelaskan secara lebih terinci; tidak hanya mengenai tujuan

pendidikan tetapi juga dasarnya. Ia menegaskan bahwa dasar pendidikan

adalah tauhid yang secara ideal terkandung dalam syahadatain; artinya

segala jenis ilmu pengetahuan harus dilandasi dengan ideologi

monotheisme atau kepercayaan pada satu Tuhan.

Terjemahan :

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi

pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,

sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang

besar" (Kemenag RI, 2011).

Tauhid atau monotheisme ini secara sederhana dapat dipahami

sebagai seruan bahwa setiap manusia tidak boleh menjadi hamba pada satu

195

hal pun kecuali pada Allah هلالج لج. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau

yang akrab disapa Buya Hamka (1988) menjelaskan dalam kitab tafsirnya

bahwa mempersekutukan Allah هلالج لج adalah perbuatan aniaya yang merusak

tujuan kehidupan manusia, meskipun mereka mencapai kemajuan dalam

ilmu pengetahuan dan teknologi. Tafsiran Buya Hamka ini serupa dengan

pandangan Natsir. Dasar dan tujuan pendidikan ideal yang bersumber pada

tauhid ini akan memerdekakan manusia dari segala bentuk penjajahan

yang tidak hanya mengekang raga, tetapi juga pikirannya. Jika manusia

telah merdeka dari penghambaan selain Allah, maka ia akan menjadi

ulama‟ maupun cendekiawan yang tidak menggunakan ilmu

pengetahuannya untuk “menghambakan diri” pada ambisi terhadap tahta,

harta, gelar kehormatan untuk kebanggan, dan berbagai bentuk

penghambaan pada nafsunya. Ia akan mencapai kemerdekaan, yakni

kebebasan yang terhormat dengan panduan kaidah Tuhan yang terhimpun

dalam agama, bukan kebebasan yang tanpa batas. Natsir pernah

menentang pendapat Soekarno yang sangat mengedepankan kebebasan

berpikir tanpa menjadikan agama sebagai pondasi maupun panduannya. Ia

menegaskan bahwa kebebasan yang seperti itu suatu bentuk anarkisme

yang akan menghasilkan kesesatan yang mengerikan (Kahin, 2012).

Sebuah kisah ironis tentang keunggulan akal yang tumbuh tanpa

panduan agama dikutip oleh Natsir dalam bukunya yang berjudul “Islam

dan Akal Merdeka”. Tokoh yang ia kisahkan adalah seorang guru besar

ilmu Fisika bernama Prof. Paul Ehrenfest. Meskipun memiliki gelar guru

besar, dikenal memiliki perilaku yang baik serta bergaul dengan kalangan

196

cendekiawan yang berperilaku baik juga, Prof. Ehrenfest memilih

mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bahkan, sebelum itu ia

membunuh anaknya terlebih dahulu. Dalam sebuah suratnya kepada

sahabatnya yang bernama Prof. Kohnstamm ia menceritakan

kegelisahannya:

“Mir fehlt das Gott Vertrauen. Religion ist notig. Aber wem sienicht moglich ist,

der kann eben zugrunde gehen. (Yang tak ada pada saya, ialah kepercayaan

kepada Tuhan. Agama adalah perlu. Tetapi barang siapa yang tidak mampu

memiliki agama, ia mungkin binasa lantaran itu, yakni bila ia tidak bisa

beragama)” (dalam Natsir, 2015, hal.: 13).

Oleh karena itu, berlandaskan pada dasar dan tujuan pendidikan

ideal ini, Natsir selalu mendorong pembangunan berbagai Islamic Centre

di berbagai lingkungan, termasuk di lingkungan kampus yang sekuler.

Maka berdirilah berbagai Islamic Centre di berbagai kampus atau

berdekatan dengan kampus yang wujudnya adalah “rumah utama” umat

Islam, yakni Masjid, atau lebih spesifik untuk wilayah kampus dikenal

sebagai “Masjid Kampus”. Masjid Kampus ini akan menjadi tempat

bertemunya ulama dengan sarjana, mahasiswa dengan santri. Natsir

menegaskan:

“Seorang Sarjana adalah „Alim. Seorang Ulama adalah Intelektual. Kedua

golongan ini memiliki ilmu. Hanya bidangnya yang berbeda. Tapi tetap

berdampingan. Bisa memberi dan menerima agar secara berangsur-angsur bisa

menghilangkan penyakit dichotomy antara Sarjana dan Ulama, dan antara

mahasiswa dengan santri” (Amir, 1990, hal.: 52).

Program pengkaderan PHI yang kemudian berlanjut pada program

Bina Masjid Kampus berhasil dijadikan sarana oleh Natsir, sahabat-

sahabatnya serta para kadernya untuk mendukung pembangunan berbagai

197

masjid kampus. Adapun beberapa Masjid Kampus atau Islamic Centre

yang pembangunannya didukung oleh Natsir melalui Dewan Da‟wah

Islamiyah Indonesia yang dipimpin olehnya (Furkon dalam Eriadi, 2007).

1) Masjid Arif Rahman Hakim di Universitas Indonesia (UI) Kampus

Salemba, DKI Jakarta.

2) Masjid Sultan Alaudin di Universitas Muslimin Indonesia (UMI)

Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.

3) Masjid Salman di Intitut Teknologi Bandung (ITB).

4) Masjid Fatahillah di dekat UI kampus Depok.

5) Masjid Al-hijri di Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Jawa Barat.

6) Masjid At-Taqwa di IKIP Rawamangun (sekarang bernama

Universitas Negeri Jakarta), DKI Jakarta.

7) Masjid Sultan Trengganu di Semarang.

8) Masjid Al-Furqan di IKIP Bandung (sekarang bernama Universitas

Pendidikan Indonesia).

9) Masjid Al-Hikmah di IKIP Malang (sekarang bernama Universitas

Negeri Malang).

10) Masjid Manarul Ilmi di Institut Teknologi Surabaya (ITS), Jawa

Timur.

11) Masjid Al-Ghifari di Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat.

12) Islamic Centre Markaz Al-Quds Al-slamy di Padang, Sumatera

Barat.

13) Islamic Centre Shalahuddin, Daerah Istimewa Yogyakarta.

14) Islamic Centre Ibrahim Mailim di Surakarta.

198

15) Islamic Centre Darul Hikmah di dekat Universitas Lampung, Bandar

Lampung.

16) Islamic Centre Ruhul Islam di Magelang, Jawa Tengah.

Salah satu Islamic Centre yang dalam pendiriannya terdapat

kontribusi Mohammad Natsir adalah Islamic Centre yang bermarkas di Jl.

Sri Gunting Air Tawar Padang Sumatera Barat. Islamic Centre yang

berdiri megah di tengah-tengah kawasan padat penduduk yang sebagian

besar bangunan di sekitarnya adalah pemondokan mahasiswa itu

diresmikan pada hari Minggu, 16 September 1990. Natsir yang saat itu

menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia,

mengganti sebutan “Islamic Centre” menjadi nama yang lebih menarik

dan menunjukkan semangat kemajuan Islam, yakni “Markaz Al-Quds Al-

slamy” (Amir, 1990).

Wakil Gubernur Sumatera Barat saat itu, Drs. H. Sjoerkani,

mendapatkan kehormatan untuk meresmikan gedung itu. Selain Wakil

Gubernur Sumatera Barat, hadir pula Walikota Padang, H. Syahrul Ujud,

S.H., pengurus MUI Sumatera Barat, ulama‟, para tokoh masyarakat, dan

anggota Yayasan Ibu Sumbar. Pembangunan gedung tersebut dibiayai oleh

seorang muzakky yang berasal dari Arab yang dananya disalurkan melalui

Natsir selaku Ketua Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia. Adapun

pemrakarsa pembangunannya adalah Yayasan Ibu Sumbar yang berawal

dari gagasan Dr. Mochtar Naim dari Yayasan Amal Saleh Padang (Amir,

1990).

199

Ketua Yayasan Ibu Sumbar saat itu, Hj. Norma Tadjab menegaskan

bahwa tujuan pembangunan Markaz Al-Quds Al-Islamy ini adalah untuk

membina generasi muda berkualitas dengan memiliki tiga kriteria:

pertama, memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat; kedua, memiliki

pengetahuan agama yang cakap; dan ketiga, memiliki akhlak yang mulia.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan sasaran ini, salah satu fasilitas yang

disediakan adalah asrama mahasiswa yang memungkinkan para

mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi tinggal di dalamnya; meskipun

sebagian besar yang menempati asrama itu adalah mahasiswa IKIP Padang

(sekarang bernama Universitas Negeri Padang) karena gedung Markaz Al-

quds Al-Islamy memang terletak sangat dekat dengan kampus IKIP, yakni

sekitar 100 meter di belakang kampus. Asrama itu juga dilengkapi dengan

ruang belajar, ruang diskusi, ruang ibadah dan fasilitas komputer.

Mahasiswa yang tinggal di asrama tersebut tidak hanya sekedar

menjadikan asrama itu sebagai tempat istirahat, tetapi mereka akan diatur

kegiatan sehari-harinya disertai pengawasan yang ketat. Ini merupakan

bagian dari upaya pembangunan bangsa yang menyentuh aspek spiritual

dan mental sumber daya manusia. Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan

Wakil Gubernur Sumatera Barat saat itu bahwa apa yang dilakukan oleh

Yayasan Ibu Sumbar sangat selaras dengan asas pembangunan nasional

yang menjaga keseimbangan antara pembangunan fisik dan pembangunan

mental-spiritual (Amir, 1990). Ia pun menjadikan Markaz Al-Quds‟ Al-

Islamy sebagai percontohan bagi organisasi maupun pihak lainnya karena

200

menurutnya tidak banyak pemondokan mahasiswa yang memerhatikan

pembinaan mental dan akhlak generasi muda.

Menurut Natsir (dalam Amir, 1990), gedung yang dibangun

hanyalah sebuah sarana atau alat, ia perlu dihidupkan dengan diberikan

perhatian. Perhatian yang dimaksud adalah kepedulian para Ulama

Universitas dan Sarjana Surau dalam melestarikannya sesuai dengan

bidang keahlian masing-masing. Istilah yang digunakan Natsir adalah

“memberikan saham”. Saham di sini tentu tidak bermakna sempit seperti

istilah saham dalam kajian ekonomi, tetapi yang lebih luas dari itu, yakni

menginfakkan harta dan jiwa untuk umat (di jalan Allah) yang dampaknya

akan berlipat ganda di masa mendatang, baik bagi dakwah maupun bagi

orang yang menginfakkan.

b. Pilar Pesantren

Mohammad Natsir memandang pesantren sebagai pilar “Benteng

Pertahanan Umat” yang sangat strategis dalam menciptakan keseimbangan

intlektual dan spiritual umat (Ramzy dalam Farida, 2005). Dalam

tulisannya berjudul “Menciptakan Ulama Lewat Pesantren” yang dimuat

dalam Serial Media Dakwah Nomor 78, ia menerangkan bahwa integrasi

pendidikan agama dan keterampilan merupakan hal yang baik untuk

mewujudkan masyarakat muslim yang mandiri dan siap berkontribusi

untuk pembangunan nasional. Pesantren yang pada umumnya berdiri di

daerah pedesaan merupakan sarana yang sangat tepat dalam upaya

pembangunan ekonomi masyarakat yang berbasis pada wiraswasta. Hal

ini tentu dapat mengubah cara berpikir masyarakat desa bahwa menjadi

201

pekerja di kota adalah pilihan yang tepat untuk mencapai taraf hidup yang

lebih baik. Secara bersamaan, hal ini akan membantu mengurangi laju

urbanisasi.

Menurut Natsir, Kemandirian dalam ekonomi ini selanjutnya juga

akan memengaruhi kualitas diri sebagai hamba Allah. Kemandirian dalam

ekonomi berarti tidak menggantungkan diri pada orang lain dengan

menjadi pekerjanya atau budaknya. Hal ini menunjukkan kemerdekaan

manusia dari segala status penghambaan kecuali kepada Allah

sebagaiamna telah dijelaskan sebelumnya mengenai akal merdeka.

Selain itu, Pondok Pesantren juga berfungsi untuk menjaga

eksistensi penuntun-penuntun rohani di tengah masyarakat secara

berkelanjutan; yang sukarela hidup di tengah umat dan menjadi pemimpin-

pemimpin informal yang mengayomi umat dan bijak dalam memberikan

nasehat mengenai berbagai permasalah umat. Para pemimpin informal

inilah yang disebut ulama. Natsir menegaskan bahwa keberadaan para

ulama yang demikian ini merupakan syarat wajib bagi kelestarian hidup

yang sesuai dengan ajaran Islam.

Meskipun tidak mengalami kehidupan pesantren secara khusus

(menjadi santri), Natsir memiliki pondasi-pondasi pendidikan kegamaan

yang diperolehnya melalui tradisi surau dan juga saat mempelajari fiqh dan

bahasa Arab di sekolah Diniyyah. Selain itu, aktivitas belajarnya mengenai

Islam kepada A. Hassan di Persis sejak tahun pertamanya di AMS (1927)

hingga tahun 1932 membuat wawasan keagamaanya semakin cakap.

Kedekatan hubungannya dengan Persis ini juga mengawali kiprahnya

202

dalam hal pembangunan dan pengelolaan pesantren. Menurut Ketua

Umum PP Persis periode V (1997 – 2010) Shiddiq Amien (dalam Tim

KPG-Tempo, 2011), Natsir adalah tokoh penting dalam pendirian

pesantren Persis pertama yang terletak di Jalan Pajagalan, Bandung dengan

memengaruhi sistem pendidikannya dan memperkenalkan sistem

administrasi dalam pendidikan pesantren.

Kiprahnya dalam dunia pesantren pun semakin sentral saat Natsir

berhasil mendukung pendirian sebuah pesantren khusus pertanian di Bogor

yang secara legal didirikan pada 9 April 1960 dengan nama Pesantren

Darul Falah atau lebih lengkapnya sesuai dengan Akta Notaris J. L. L.

Wenas adalah Yayasan Pesantren Pertanian (YPP) Darul Falah. Secara

fisik, kompleks pesantren ini mulai dibangun pada bulan Juni 1960 di atas

lahan seluas 26,6 Hektar yang diwakafkan oleh R.H.O. Djunaedi (YPP

Darul Falah, tt.).

Pendidikan formal pesantren ini secara resmi dimulai pada tahun

1963 dengan Ir. M. Saleh Widodo sebagai pimpinannya.46

Selanjutnya,

pada tahun 1968, Natsir ditetapkan sebagai Ketua Badan Penasehat

Pengurus YPP Darul Falah hingga ia wafat pada tahun 1993. Setelah itu,

Natsir digantikan oleh K.H. Hasan Basri sampai dengan wafatnya juga

pada tahun 1999. Selain ketiga tokoh tersebut, terdapat beberapa tokoh

lainnya yang pernah menjadi pengurus YPP Darul Falah (YPP Darul

Falah, tt.); yakni:

46

Ir. Saleh Widodo merupakan orang yang juga berperan penting dalam pendirian Yayasan Rumah Sakit

Islam (YARSI), khususnya saat dia dipercaya oleh Natsir untuk membuat akte pendirian YARSI (Ramlan

Mardjoned, Wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018).

203

1) Ghaffar Ismail

2) Taufiq Ismail

3) Dr. Anwar Harjono

4) Prof. Dr. AM. Saefuddin

5) Dr. K.H. Didin Hafidhuddin MS

6) Prof. Dr. Zuhal A. Qodir

Adapun tokoh-tokoh lainnya yang menempati posisi sebagai pimpinan

YPP Darul Falah (YPP Darul Falah, tt.), yakni:

1) K.H. Sholeh Iskandar sebagai Ketua Yayasan pertama (tahun

1960 – 1992);

2) Prof. Dr. Ir. H. A. Aziz Darwis, MSc. sebagai Ketua Yayasan

kedua (tahun 1992 – 2003) dan lanjut sebagai Ketua Pembina

hingga saat ini;

3) Dr. Ir. H, Meika S. Rusli sebagai Ketua Yayasan ketiga (tahun

2003 – 2013);

4) K.H. Abdul Hanan Abbas, Lc. Sebagai Ketua Yayasan keempat

(tahun 2013 – sekarang).

5) H. Hardi M. Arifin sebagai Ketua Badan Pengawas saat ini.

Nama “Darul Falah” berarti “Rumah Pertani atau “Kampung

Pertanian”. Nama ini sesuai dengan visi pesantren : mewujudkan institusi

pendidikan, dakwah dan pengembangan masyarakat yang tidak hanya

menghasilkan cendekiawan dalam bidang agama dengan karakteristik ber-

ruhul jihad yang tinggi, tetapi juga melahirkan tenaga terampil bidang

pertanian yang kreatif, inovatif dan mandiri (YPP Darul Falah, tt.).

Pendidikan pertanian yang diberikan oleh pesantren ini mencakup bidang

204

Gambar 19 . Laboratorium pertanian YPP Darul Falah

Sumber : Laman Resmi YPP Darul Falah, dapat diakses melalui https://darulfallah.org/gallery-

foto/nggallery/galeri/kegiatan

budidaya pertanian (on farm), pengolahan hasil pertanian, dan juga strategi

pemasaran hasil budidaya dan hasil olahan pertanian tersebut.

Gambar 18. Para tokoh pendiri YPP Darul Falah; dari kiri : XXX, K.H. Noer Ali, K.H.

Soleh Iskandar, Mohammad Natsir, dan XXX

Sumber : Laman Resmi YPP Darul Falah, dapat diakses melalui

https://darulfallah.org/profil/sejarah-visi-misi-dan-tujuan/

205

Model pendidikan yang ditawarkan pesantren ini tentu sangat unik;

terlebih saat itu masih ada pendikotomian antara pendidikan agama dan

pendidikan umum seperti pendidikan di bidang pertanian. Keberadaan

pesantren ini tidak hanya sekedar menjadi institusi pendidikan alternatif

bagi masyarakat sekitar atau bahkan umat Islam dari berbagai penjuru

tanah air, tetapi juga menjadi bukti bahwa sistem pendidikan pesantren

dapat terintegrasi dengan pendidikan umum, khususnya pertanian yang

merupakan sektor penting dalam pembangunan hingga saat ini. Model

pendidikan YPP Darul Falah yang disertai praktik di bidang pertanian

mengingatkan pada model pendidikan yang diterapkan Natsir pada

Pendidikan Islam yang didirikannya. Pengadopsian model pendidikan

German Arbeid Schulen ternyata juga diterapkannya pada YPP Darul

Falah. Dua institusi ini menjadi manifestasi model instruksional yang

dirumuskan Natsir dengan memadukan model pesantren, sekolah Belanda

dan German Abreid Schulen. Model instruksional khas Natsir yang mampu

mengembangkan aspek spiritual, intelektual dan ketrampilan khusus para

siswanya. Idealnya, model seperti ini akan menghasilkan ulama yang

dalam penghayatan agamanya, cendekiawan yang luas wawasannya, dan

tenaga ahli yang terampil pada bidang spesialisasinya.

Selain YPP Darul Falah, Natsir juga berkontribsui dalam pendirian

Pondok Pesantren Al-Mukmin atau Pondok Pesantren Ngruki di Surakarta.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dua tokoh penting Pesantren

Ngruki, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba‟asyir merupakan aktivis

GPII yang memiliki hubungan dekat dengan Natsir. Natsir juga yang

206

menunjuk Abdullah Sungkar menjadi Ketua Dewan Da‟wah Surakarta

pada tahun 1970 (Kahin, 2012).

Selain pesantren-pesantren yang telah disebutkan di atas, Natsir juga

memplopori pendirian berbagai Pesantren Tinggi (Ma‟had „Aliy) di

Indonesia (Husaini, Noer, dan Ujang, 2017). Kontribusinya dalam

penguatan pilar pesantren juga dapat dilacak melalui badan yang dibentuk

untuk membina Pondok Pesantren seperti Yayasan Pembina Pondok

Pesantren Indonesia dan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP).

Natsir pernah dipercaya menjadi Ketua Badan Penasehat Yayasan

Pembina Pondok Pesantren Indonesia pada tahun 1984 (Husaini, Noer, dan

Ujang, 2017). Sedangkan dalam BKSPP, Natsir ikut serta dalam

pendiriannya bersama beberapa tokoh pesantren. Pemimpin pertama

BKSPP ini adalah K.H. Sholeh Iskandar dan juga K.H. Noer Ali dari

Pesantren At-Taqwa yang melibatkan DDII sebagai mitra kerjasama untuk

mendukung pembangunan dan melakukan pembinaan pesantren-pesantren

(Misbach dalam Farida, 2005). Pembentukan BKSPP ini bertujuan untuk

memperkuat pondok pesantren yang berimplikasi pada pengokohan

eksistensi ulama‟ (Natsir dalam Serial Media Dakwah Nomor 78,

Desember 1980). Selain BKSPP yang mencakup wilayah Jawa Barat,

dibentuk juga Al-Ittihad Ma‟hadi untuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa

Timur.

Dua tokoh Islam yang menjadi sahabat perjuangan Natsir ini

bukanlah tokoh biasa yang hanya berkiprah melalui institusi pendidikan

pesantren saja. Pada Maret 1995, K.H. Hasan Basri mengajukan nama dua

207

tokoh ini bersama tiga tokoh lainnya (Mohammad Natsir, Kasman

Singodimedjo, dan Sjafruddin Prawiranegara) untuk mendapatkan gelar

penghargaan dari negara atas jasanya yang besar dalam perjuangan bangsa

(Zen, 1995). K.H. Sholeh Iskandar dan K.H. Noer Ali bukan saja

pemimpin umat dalam bidang pendidikan, tetapi juga pemimpin militer

dan politik umat dalam memperjuangkan dan mempertahankan

kemerdekaan Indonesia. K.H. Sholeh Iskandar merupakan Komandan TNI

Batalyon Hisbullah Brigade Tirtayasa Divisi Siliwangi wilayah Jawa Barat

dengan pangkat terakhirnya adalah Mayor TNI AD. Sedangkan K. H. Noer

Ali yang dijuluki “Singa Karawang-Bekasi” ini pernah menjadi Komandan

Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah Jakarta Raya di Karawang.

c. Pilar Kampus

Pilar selanjutnya adalah kampus. Memang tidak dapat ditepis bahwa

sampai saat ini ada pendikotomian antara insitusi pendidikan yang

mempriorotaskan pada bidang agama dengan yang memprioritaskan pada

bidang umum. Masalah ini sebenarnya sudah muncul sejak lama.

Mohammad Natsir memandang ini sebagai suatu permasalahan

pendidikan. Sejak masa kebangkitan nasional hingga masa-masa

mempertahankan kemerdekaan, golongan intelektual seperti terpecah

menjadi dua kelompok, kelompok yang satu mengenyam pendidikan yang

lebih bersifat duniawi dan yang lainnya lebih bersifat ukhrawi. Sebagian

memetik ilmu dari kampus-kampus sekuler dunia seperti Sorbone,

Harvard, Perinsto, dan sebagainya, sedangkan yang lain memetik ilmu dari

kampus-kampus berbasis keagamaan seperti Universitas Islam Madinah,

208

Universitas Al-Azhar dan sebagainya. Kedua kelompok ini sebenarnya

tidak bertentangan, tetapi menurut Natsir, permasalahan di antara

keduanya akan timbul karena saling tidak mengetahui dan masing-

masingnya mempertahankan gengsi (dalam Amir, 1990). Pada masa

kolonial, pribumi yang menyekolahkan anaknya ke sekolah milik

pemerintah Belanda akan dianggap sebagai orang yang memihak Belanda;

bahkan umat Islam akan menganggapnya sebagai keberpihakan atau sikap

simpati terhadap agama kaum penjajah (Kristen).

Sikap seperti itu tentu dapat dimaklumi jika ditunjukkan di masa

penjajahan Belanda karena dapat menjadi aktualisasi dari jiwa patriotik

kaum pribumi, terlebih lagi umat Islam. Namun, sikap itu akan berakibat

tidak baik bagi kemajuan bangsa dan juga umat Islam jika masih

dipertahankan hingga kini. Menurut Natsir, kondisi seperti ini justru akan

merugikan umat Islam sendiri. Dua kelompok ini tidak seharusnya

terpisah, tetapi berkalobarasi melengkapi satu sama lainnya dalam upaya

berkhidmat untuk umat dan bangsa, khususnya dalam pengembangan ilmu

pengetahuan.

Oleh karena itu, saat Natsir menjadi Perdana Menteri, ia gunakan

jabatan yang sangat strategis tersebut untuk mengintegrasikan pendidikan

agama dan ilmu pengetahuan umum. Natsir memerintahkan Menteri

Agama K.H. A. Wahid Hasjim dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,

Prof. Bahder Djohan untuk membuat kebijakan terkait pendidikan yang

mampu mempertemukan sistem pendidikan pesantren dengan sistem

pendidikan persekolahan (Hakiem dalam Majalah Media Dakwah Nomor

209

258 Desember 1995). Maka, pada masa Kabinet Natsir ini lahirlah

trobosan kebijakan pendidikan yang terkenal, yakni Surat Keputusan

Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

yang mengatur tentang kewajiban sekolah-sekolah umum untuk

memberikan pendidikan agama bagi siswanya, dan kewajiban sekolah-

sekolah agama untuk memberikan pendidikan umum bagi siswanya.

Kebijakan ini pun memberikan dampak positif bagi kehidupan

akademik Indonesia, khususnya bagi para pelajar muslim. Banyak

kalangan terpelajar yang sebelumnya tidak menghayati Islam mulai

mendapatkan pemahaman yang benar mengenai agama yang dianutnya.

Begitu juga sebaliknya, para santri mulai bertebaran menuju sekolah-

sekolah umum, dan hingga saat ini banyak santri yang menjadi tokoh di

berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum.

Kebijakan ini juga menjadi pendorong semangat para pelajar muslim

yang telah “tercerahkan” tersebut untuk ber-jama‟ah atau berserikat

dengan berlandaskan ke-Islam-an. Maka muncullah beberapa pergerakan

pelajar dan mahasiswa yang berbasis Islam. Tahun 1960-an merupakan

momentum yang sangat baik bagi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dua gerakan ini menjadi sangat

populer di kalangan pelajar dan juga mahasiswa. Lukman Hakiem (dalam

Majalah Media Dakwah Nomor 258 Desember 1995) berpandangan bahwa

hal tersebut disebabkan oleh semakin meluasnya pemahaman agama di

kalangan pelajar. Para aktivis PII dan HMI inilah yang kemudian mengisi

berbagai sektor kehidupan sosial umat dengan wajah, pemikiran, tradisi,

210

dan semangat baru. Awal 1960-an sudah terdapat 2.000 hingga 3.000

sarjana Muslim yang umumnya pernah menjadi aktivis HMI.

Selanjutnya, pada tahun 1964, desakan kebutuhan mereka untuk

memiliki sarana yang dapat digunakan untuk melakukan mobilitas

vertikal, melahirkan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami)

dengan mempercayakan Subchan Z.E. sebagai ketua umum. Namun, umur

Persami tidakpanjang, gejolak politik di internal Persami mengakibatkan

perpecahan dan akhirnya Subchan memilih keluar dari Persami dan

membentuk Ikatan Sarjana Islam Indonesia (ISII). Sayangnya, kedua

organisasi perkumpulan sarjana Islam ini sama-sama tidak bertahan lama

hingga berujung pada munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-

Indonesia (ICMI) yang didirikan pada 1990.

Upaya pengintegrasian kampus dengan pendidikan Islam yang

dilakukan Natsir berlanjut saat ia menjadi Ketua Umum Dewan Da‟wah

Islamiyah Indonesia. Cara yang ditempuh Natsir adalah dengan

mendukung pendirian Universitas Islam sehingga perpaduan antara

pendidikan agama Islam dengan ilmu pengetahuan umum dapat

diupayakan lebih intensif. Beberapa Universitas dan Sekolah Tinggi Islam

yang pendiriannya mendapatkan dukungan Natsir dan Dewan Da‟wah

adalah (Dewan Da‟wah, 2016; STIKES YARSI, tt.):

1) Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta yang berawal

dari Sekolah Tinggi Islam di zaman pejuangan.

2) Universitas Islam Sumatera Utara (UISU)

3) Universitas Islam Bandung (UNISBA)

211

4) Universitas Muslimin Indonesia (UMI) di Makassar

5) Universitas Ibn Khaldun di Bogor

6) Universitas Islam Riau di Pekanbaru

7) Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

8) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan YARSI

Selain delapan universitas dan sekolah tinggi tersebut, Dewan

Da‟wah juga mendirikan sekolah tinggi yang langsung dikelola oleh

Dewan Da‟wah; yakni Sekolah Tinggi Ilmu Da‟wah (STID) Mohammad

Natsir dan Akademi Da‟wah Indonesia (ADI) (Dewan Da‟wah Islamiyah

Indonesia, 2016).

Sebagaimana kontribusinya dalam dunia pesantren dengan

membentuk BKSPP untuk menyatukan pesantren-pesantren, Natsir juga

melakukan hal serupa untuk menyatukan perguruan-perguruan tinggi

Islam; yakni dengan mebentuk Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam

Swasta (BKSPTIS).47

Didirikannya perguruann-perguruan tinggi Islam

serta terbentuknya BKSPTIS merupakan bagian dari poyek Islamisasi ilmu

pengetahuan yang bekerjasama dengan Muktamar al-Alam al-Islami.48

Pada tanggal 13 sampai dengan 16 Mei 1979, BKS PTIS berhasil

menyelenggarakan Seminar Sistem Pendidikan Islam di Indonesia yang

menghasilkan rancangan sistem pendidikan Islam yang meliputi seluruh

jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi

47

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018; Ramlan Mardjoned, Wawancara pada Selasa, 6

Maret 2018; dan Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018. 48

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018

212

strata tiga. 49

Seminar tersebut mendefinisikan pendidikan Islam sebagai

upaya berlandaskan pada Al-Quran yang dilakukan manusia untuk

mengembangkan potensi jasmani dan rohaninya sehingga mampu

menghadapi berbagai tantangan zaman dan siap menghadapi masa depan.

Landasan yang ditetapkan adalah Al-Quran dan sunnah; fungsinya adalah

untuk mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai Islalm serta memenuhi

kebutuhan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketahanan

nasional; kurikulunya mencakup ilmu fardlu „ain seperit agama, dan fardlu

kifayah seperti matematika; dan metodenya sesuai dengan Q.S. An-Nahl

ayat 125 yang menggunakan pengajaran dengan hikmah dan metode

berdebat-bernalar yang baik.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan dari hasil seminar tersebut

adalah tiga tujuan atau tiga aktivitas utama pendidikan tinggi; yakni

pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tiga tujuan

atau tiga aktivitas utama yang kini dikenal sebagai Tri Dharma Perguruan

Tinggi. Disebutkan juga bahwa salah satu instrumen penting dalam

lingkungan pendidikan tinggi adalah masjid kampus yang justru disebut

sebagai pusat dari Tri Dharma Perguruan Tinggi; tidak hanya menjadi

pusat peribadatan, tetapi juga menjadi pusat aktvitas pendidikan, penelitian

dan pelatihan pengabdian kepada masyarakat. Sebuah pandangan penting

yang terlebih dahulu digagas oleh Natsir melalui pendidikan integralnya

yang memperkuat tiga pilar Benteng Pertahanan Umat, yakni masjid

(sebagai pusatnya), pesantren dan kampus.

49

Lihat Sistim Pendidikan Islam di Indonesia, Majalah Serial Media Dakwah Nomor 61 Juli 1979, Jakarta :

Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia.

213

Hal yang menarik lainnya dari hasil seminar ini adalah bahasan

khusus mengenai peranan penting pendidikan agama dalam keteraturan

hidup manusia dan khsusunya dalam tatanan hidup berbangsa-bernegara.

Berikut adalah ikhtisar dari 9 poin dalam sub bahasan keempat yang

berjudul “Peranan Pendidikan Agama untuk Membentuk Manusia

Seutuhnya”.

1) Sistem pendidikan sekuler tidak sesuai dengan harapan hidup

manusia yang tidak hanya mengehandaki kebahagiaan di dunia,

tetapi juga di akhirat;

2) Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang bertakwa

serta mengupayakan harmonisasi dalam hubungan dengan

Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan

lingkungan alamnya untuk meraih keirdhaan Allah;

3) Kehidupan manusia Indonesia seutuhnya ditandai dengan

keselarasan dalam kemajuan intelektual dan spiritualnya yang

diberdayakan untuk pembangunan bangsa Indonesia serta

menjalin hubungan baik antar bangsa;

4) Pendidikan agama memiliki peranan yang mutlak dalam sistem

pendidikan nasioanl yang berdasarkan Pancasila serta bertujuan

untuk meningkatkan ketakwaan, keserdasan, ketrampilan, akhlak

yang mulia, serta semangat cinta tanah air dan bangsanya

sehingga dihasilkan insan pembangunan yang mandiri

(wiraswasta) dan juga kolektif dalam membangun bangsa;

214

5) Pendidikan agama berlaku seumur hidup sejak manusia

dilahirkan; diajarkan di lingkungan keluarga, sekolah dasar dan

menengah, universitas, dan juga masyarakat luas;

6) Pemerataan pendidikan sebagaimana amanat UUD 1945

mengenai hak setiap warga negara untuk mendapatkan

pendidikan harus diupayakan bersama oleh pemerintah dan

masyarakat;

7) Meskipun seluruh tujuan pendidikan belum tercapai pada tahap

pembangunan ini, seluruh tujuan luhur pendidikan harus tetap

dijaga agar tidak menyeleweng kepada tujuan yang tidak

dibenarkan;

8) Pendidikan agama yang diberikan di lembaga formal sejak dari

sekolah dasar hingga perguruan itnggi harus mencakup perihal

iman, tuntunan beribadah dan pelajaran agama yang

bersangkutan dengan ilmu pengetahuan lainnya;

9) Tempat peribadatan perlu didirikan di lingkungan lembaga

pendidikan sebagai wujud pendidikan integral.

Berbagai hal yang dijelaskan di atas mengenai hasil Seminar Sistem

Pendidikan Islam di Indonesia tahun 1979 tersebut identik dengan prinsip-

prinsip pendidikan Islam yang digagas oleh Natsir hampir 50 tahun

sebelum seminar ini dilaksanakan. Dengan demikian, Natsir dapat disebut

sebagai peletak dasar-dasar sistem pendidikan Islam di Indonesia atau

sebagai bapak pendidikan Islam di Indonesia. Seorang yang tidak

mendapatkan pendidikan tinggi, bahkan tidak mendapatkan pengajaran

215

khusus mengenai sistem dan manajemen pendidikan, tetapi mampu

memberikan pengaruh besar bagi pendidikan Islam di Indonesia.

4.5 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Dakwah

4.5.1 Natsir dan Persatuan Islam (Persis)

Kiprah Natsir di bidang dakwah hingga mendirikan Dewan Da‟wah

pada tahun 1967 tidak terlepas dari pendalaman ilmu agamanya di Persis di

bawah bimbingan Ahmad Hassan atau A. Hassan (Kahin, 2012). Persis

merupakan organisasi Islam berkarakter reformis dan berpaham Islam

fundamentalisme seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamaat Islami di

Pakistan (Federsfield dalam Suhelmi, 1999). Sejarah terbentuknya Persis

bermula dari diskusi informal yang diadakan oleh Haji Zam Zam dan Haji

Muhammad Yunus dengan memanfaatkan momentum kenduri. Diskusi

informal itu membahas tentang jawaban Islam terhadap berbagai permasalahan

mengenai aqidah yang sedang menjangkiti umat Islam, seperti paraktik-praktik

yang mengarah pada penyekutuan Allah (syirik) (Luth, 1999).

Secara resmi, Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung

(Pimpinan Pusat Persis, tt.). Tujuan Persis adalah mengupayakan

pemberlakuan hukum dan ajaran Islam berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah

dalam kehidupan mayarakat dan menghindarkan masyarakat dari khurafat,

tahayul, bid‟ah dan taklid buta (Pimpinan Pusat Persis, 2016; Luth, 1999).

Secara lebih spesifik, upaya ini ini dijelaskan dalam pasal V Anggaran Dasar

Persis sebagaimana berikut.

“berusaha mengembalikan kaum muslimin kepada Al-Quran dan As-Sunnah ,

menghidupkan roh jihad dan ijtihad dalam kalangan umat, memperluas tersiarnya

tabligh fan dakwah Islam kepada segenap lapisan masyarakat, mendirikan madrasah

216

dan pesantren untuk mendidik generasi Islam dengan Al-Quran dan As-Sunnah”

(dalam Luth, 1999, hal.: 32 ).

Menurut Luth (1999), Natsir memiliki dua peran utama di Persis, yakni

: (1) sebagai generasi kedua setelah para pendiri Persis yang memiliki keahlian

khusus dalam penulisan serta bersikap tegas dalam memegang ajaran Islam;

dan (2) sebagai salah satu pemimpin Persis yang memiliki kontribusi besar

terhadap pembangunan keorganisasian Persis serta membantu perjuangan

Persis dalam menyebarkan dakwah Islam.

Hubungannya dengan Persis terjalin melalui A. Hassan yang

merupakan tokoh terkemuka Persis. Bahkan, melalui pertemuan Natsir dengan

A. Hassan ini, Persis akhirnya dapat terorganisasikan dengan baik (Luth,

1999). Orang yang berjasa mempertemukan Natsir dengan A. Hassan adalah

Fachroeddin Al-Khahiri yang merupakan teman dekat Natsir sejak di MULO

Padang yang berlanjut hingga saat keduanya akktif di JIB cabang Bandung

(Tim KPG-Tempo, 2011; Kahin, 2012).

A. Hassan yang terlahir pada tahun 1887 di Singapura ini merupakan

anak dari seorang cendekiawan asal Tamil dan seorang perempuan asal Jawa

(Kahin, 2012). Pada awal tahun 1920-an, ia datang ke Bandung dan kemudian

bergabung ke Persis pada tahun 1924, tiga tahun sebelum Natsir datang ke

Bandung. Natsir bertemu dengan A. Hassan saat ia berada di kelas 5 AMS

(sekarang setara dengan kelas 2 SMA), yakni pada tahun 1928 (Tim KPG-

Tempo, 2011). Saat itu Natsir berusia 20 tahun, sedangkan A. Hassan 20 tahun

lebih tua dari Natsir; tetapi mereka cepat menjadi akrab seperti pertemuan dua

orang yang sebaya karena kesamaan pandangannya mengenai Islam yang harus

menjadi landasan bagi segala bentuk aktivitas kehidupan. A. Hassan memang

217

terkenal sebagai cendekiawan Islam yang reformis, keras terhadap segala

bentuk penyimpangan, seorang pendakwah yang piawai menggunakan metode

jidal (debat), dan dekat secara pemikiran dengan persyarikatan Al-Irsyad Al-

Islamiyyah (Tim KPG-Tempo, 2011; Kahin, 2012).

A. Hassan membentuk banyak pemikiran Natsir mengenai Islam;

bahkan menjadi guru Natsir yang paling berpengaruh (Kahin, 2012). Natsir

sering sekali datang ke rumah A. Hassan yang saat itu terletak di salah satu sisi

dari gang kecil yang bernama Jalan Pakgade (Tim KPG-Tempo, 2011). Natsir

biasanya datang seorang diri atau terkadang bersama Fachroeddin Al-Khahiri

pada sore hari. Rumah A. Hassan itu menjadi sekolah kedua Natsir untuk

belajar tentang Islam sambil mengamati A. Hassan yang hampir selalu sibuk

dengan kegiatannya menulis, menyunting, mencetak dan mengemas tulisannya

dalam bentuk buku secara mandiri (Kahin, 2012). Natsir begitu terkesan

melihat kemampuan A. Hassan tersebut; apalagi perhatian A. Hassan yang

sangat besar terhadap Natsir hingga rela menghentikan segala aktivitasnya

ketika Natsir sudah hadir di rumahnya (Kahin, 2012). Menurut Natsir, A.

Hassan adalah seorang cendekiawan muslim yang “orisinil”; artinya memiliki

pemikiran dan teladan yang unik yang belum ditemukan oleh Natsir

sebelumnya.

Natsir mulai memperdalam bahasa Arab dan Al-Quran di bawah

bimbingan A. Hassan. Sebagai pedoman belajar, A. Hassan menghadiahkan

dua Al-Quran untuk Natsir; satu Al-Quran terjemahan berbahasa Inggris karya

Muhammad Ali dan satu Tafsir Al-Furqon karya A. Hassan (Tim KPG-Tempo,

2011). Selain itu, Natsir juga mendapatkan bimbingan tentang penulisan dan

218

debat yang berlandaskan nalar kritis, khususnya mengenai pembelaan terhadap

Islam. Pada masa inilah Natsir mulai aktif menulis berbagai hal tentang Islam

dan permasalahannya. A. Hassan menanamkan nalar kritis pada Natsir melalui

tulisan ilmiah yang dirancang berdasarkan sumber-sumber dan data-data yang

akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, tulisan pertamanya mengenai Islam adalah tentang pembelaannya

atas pelecehan Islam yang di lakukan oleh seorang pastur saat memberikan

ceramah untuk para siswa AMS. Berbagai pelecehan terhadap Islam kemudian

mendorong A. Hassan beserta tokoh Persis lainnya dengan dibantu Natsir

mendirikan Comite Pembela Islam. Selain itu, karena AID De Preangerbode

tidak lagi memuat tulisan Natsir tentang pembelaannya atas Islam, Comite ini

menerbitkan majalah Pembela Islam (Artawijaya, 2014). Latar belakang

pembentukan Comite Pembela Islam ini dijelaskan dalam Majalah Pembela

Islam Nomor 1, Tahun 1, Oktober 1929, dengan redaksional sebagai berikut:

“amat banyak tuduhan-tuduhan, serangan-serangan dan celaan-celaan yang

ditimpakan atas agama Islam oleh orang-orang yang benci kepadanya, baikpun

dalam buku-buku, majalah-majalah, surat-surat kabar mingguan, harian dan lainnya,

baikpun di rapat-rapat terbuka atau tertutup, dengan berbagai-bagai bahasa, untuk

meluaskan usaha mereka menanam benih-benih kebencian di hati kaum dan bangsa

kita di sini, terhadap kepada Islam dan pemeluk-pemeluknya.

Oleh sebab-sebab yang tersebut dan lainnya, dengan desakan beberapa pergerakan

Islam di Bandung, pada malam 20-21 Ramadhan 1347, telah didirikan satu badan

yang dinamakan Comite Pembela Islam yang terdiri dari beberapa pemuka-pemuka

Islam yang paham dalam bahasa Arab, Jawa, Sunda, Melayu, Belanda dan lain-lain

bahasa Eropa” (Comite Pembela Islam, 1929 a, hal. : 1).

Adapun tujuan-tujuan pembentukan Comite Pembela Islam

sebagaimana disebutkan dalam Majalah Pembela Islam Nomor 1, Tahun 1,

Oktober 1929.

219

1) Mengumpulkan buku-buku, selebaran-selebaran dan berbagai bentuk

tulisan lainnya yang mengandung celaan terhadap Islam baik disengaja

maupun tidak.

2) Menolak, menjawab atau membalas berbagai pelecehan terhadap Islam

dengan menerbitkan buku, surat kabar, selebaran atau dengan

mengadakan rapat umum.

3) Memberikan penjelasan mengenai hal-hal terkait Islam yang

dipermasalahkan oleh para pembenci Islam untuk menjaga kehormatan

Islam.

4) Mengajak setiap orang dan kelompok-kelompok umat Islam untuk

menguatkan dan memperluas usaha ini dengan mendirikan cabang-

cabang Comite Pembela Islam di daerah masing-masing.

Majalah Pembela Islam Nomor 1 tahun 1929 juga memuat tulisan

Comite Pembela Islam berjudul “Sebab2

Terbitnja “Pembela Islam” yang

menjelaskan bahwa sebab terbitnya Pembela Islam adalah pelecehan yang

dilakukan oleh banyak kalangan, termasuk dari umat Islam sendiri. Pada

paragraf terakhir tulisan ini dijelaskan secara eksplisit bahwa fungsi Majalah

Pembela Islam adalah sebaga alat propaganda. Sedangkan tujuannya adalah:

“Cukuplah kalau kami katakan bahwa nama surat kabar bulanan ini telah

menunjukkan maksudnya, yaitu : „Pembela Islam‟. Maksud kami ialah akan membela

Islam, dengan secara sabar dan sopan, tetapi kalau perlu, dengan secara apa saja,

kita akan mengatakan yang hak dengan beralasan Quran dan Hadits” (Comite

Pembela Islam, 1929 b, hal. : 3).

220

Gambar 20. Halaman 1-4 (a-d) Majalah Pembela Islam

No. 1 Oktober 1929

Sumber : Bilik Prof. H.M. Rasjidi, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah

bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

(a) (b)

(c)

(d)

221

Kolaborasi dakwah Natsir dan A. Hassan semakin intensif seiring

dengan munculnya berbagai perilaku yang melecehkan ajaran Islam. Nalar

kritis Natsir yang semakin tajam di bawah bimbingan A. Hassan membuatnya

peka terhadap berbagai hal menyimpang yang dapat membahayakan aqidah

umat. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Natsir dan A. Hassan pernah

terlibat dalam perdebatan dengan Ketua PERMI, H. Mochtar Loethfi, yang

menyandingkan kata kebangsaan dengan Islam sebagai ideologi PERMI.

Begitu juga dengan Karim Halim yang hendak menjadikan Islam dan

kebangsaan sebagai asas GPII. Natsir dan A. Hassan menolak ide tersebut

karena menimbulkan kesan bahwa Islam tidak sejalan atau tidak mencakup

kebangsaan (Harjono dan Hakiem, 1995).

Gambar 2. Halaman sampul Majalah Pembela Islam

No. 1 Oktober 1929

Sumber : Bilik Prof. H.M. Rasjidi, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain

Raja Abdullah bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

222

Pengaruh A. Hassan dan Persis tidak bisa terlepas dari Natsir. Hampir

setiap aktivitas dakwahnya mendapatkan pengaruh A. Hassan dan Persis.

Keputusannya untuk menolak beasiswa studi lanjut ke Batavia atau Rotterdam

dan memilih untuk memperdalam Islam di Persis adalah hasil diskusinya

dengan A. Hassan. Kesuksesannya mendirikan Pendidikan Islam dicapai berkat

bantuan dari tokoh pendiri Persis, Haji Muhammad Yunus. Bahkan, pendirian

DDII oleh Natsir adalah suatu bentuk pelembagaan dari pengaruh pemikiran

Islam yang telah ia peroleh dari A. Hassan dan Persis (Kahin, 2012). Melalui

A. Hassan juga Natsir menjadi kenal dengan Syekh Ahmad Sjoorkati, seorang

ulama Sudan yang mengenalkan Natsir tentang para pembaharu Islam dan

pemikirannya seperti Muhammad Abduh yang membangkitkan semangat umat

Islam di Mesir dengan penegakan ajaran-ajaran Islam di berbagai bidang

kehidupan (Kahin, 2012).

Persis sendiri mengakui adanya kontribusi besar yang diberikan Natsir

pada Persis. Natsir berjasa dalam peletakan dasar-dasar organisasi dan

manajemen pendidikan Pesantren Persis (Tim KPG-Tempo, 2011). Natsir tidak

hanya menjalin hubungan dekat dengan A. Hassan, tetapi juga dengan tokoh

Persis yang lainnya, seperti pendiri Persis Haji Muhammad Yunus dan Ketua

Umum Persis periode ke-2 (1949 – 1962), yakni K.H. M. Isa Anshary. K.H. Isa

Anshary juga merupakan Ketua Front Anti Komunis yang sangat menentang

ideologi komunis yang justru diperjuangkan oleh keponakannya sendiri, yakni

D.N. Aidit (Suryanegara, 2016). K.H. Isa Anshary menjalin hubugan dekat

dengan Natsir melalui berbagai bentuk perjuangan; tidak hanya melalui Front

223

Anti Komunis dan Persis, tetapi juga melalui Partai Majusmi dan Konstituante

(Yusran, 2011; Suryanegara, 2016).

Hingga saat ini, kontribusi Natsir bagi Persis terus dikenang dan Natsir

dianggap sebagai guru Persis bersama dengan A. Hassan. Hal ini terlihat dalam

publikasi Instagram Persis DakwArt; yakni sebuah komunitas informal

pemuda Persis yang menggerakkan dakwah dengan desain grafis.50

Berbagai

petuah Natsir dijadikan bahan untuk dakwah visual para aktivis Persis

DakwArt.

50

Peneliti terkoneksi dengan komunitas tersebut melalui WhatsApp group.

Gambar 22. K.H. Isa Anshary bersama Natsir berjalan di tengah para pemuda GPII di

Lapang Tegallega Bandung

Sumber : Suryanegara (2016)

224

Gambar 23. Poster Mohammad Natsir dan A. Hassan yang dibuat dan

dipublikasikan oleh PersisDakwart dengan kutipan pesan dakwahnya

Sumber : Official Instagram Account persisdakwartid (2018)

225

4.5.2 Natsir dan Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia (DDII)

Pembubaran Partai Masyumi oleh Soekarno melalui Surat Keputusan

Presiden RI Nomor 200 tahun 1960 tidak menjadi penghalang perjuangan para

tokoh Masyumi termasuk Mohammad Natsir. Upaya mengalah kepada

kekuasaan Soekarno yang diktator saat itu adalah cara terbaik menurut para

tokoh Masyumi agar Masyumi tidak dikategorikan sebagai partai terlarang

yang tentu akan berdampak negatif di masa depan. Tentu bisa dibayangkan jika

para tokoh Masyumi saat itu bersikap konfrontatif dengan tidak membubarkan

Masyumi hingga 30 hari setelah dikeluarkannya keputusan presiden tersebut,

seluruh anggota, pendukung dan juga keturunannya akan bernasib sama seperti

para anggota, pendukung dan juga keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI)

yang diburu, dicabut hak-haknya pada urusan tertentu dan diberikan “label

merah”.

Sikap mengalah yang diambil oleh para tokoh Masyumi saat itu tidak

berarti mereka lemah dan sudah mulai enggan untuk melanjutkan perjuangan.

Melalui koordinasi Ketua Umum Masyumi yang terakhir, Prawoto

Mangkusasmito, para tokoh Masyumi berusaha keras untuk melakukan

rehabilitasi Masyumi setelah rezim orde lama digantikan oleh rezim orde baru

pimpinan Soeharto. Perjuangan itu ditempuhnya dengan cara santun melalui

surat-surat yang ia tujukan kepada Jenderal Soeharto. Kesantunannya itu tetap

bertahan meskipun ia mendapatkan balasan yang tidak sesuai dengan

harapannya. Soeharto bersikeras dengan sikapnya yang tidak dapat

mengabulkan rehabilitasi Masyumi karena beberapa alasan. Berikut adalah

surat balasan pemerintahan Soeharto.

226

“alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada

suatu pendirian, bahwa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai

Masyumi” (dalam Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995 b).

Mendapatkan balasan seperti itu, Prawoto pun membalasnya dengan santun:

“maafkanlah kalau saya belum mau yakin bahwa ABRI memang benar-benar tidak

dapat menerima rehabilitasi Masyumi.” (dalam Redaksi Majalah Media

Dakwah, 1995 b).

Perjuangan panjang melalui cara-cara santunnya itu pun berakhir dengan

ancaman dari Pejabat Presiden dengan kata-kata:

“Jika mereka terus hendak memaksa, maka (penjara) Keagungan masih tersedia”

(dalam Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995 b).

Melihat percakapan di atas tentu dapat dibayangkan kondisi saat itu,

betapa sulitnya upaya persuasi yang dilakukan Masyumi kepada rezim orba.

Meskipun begitu, upaya-upaya rehabilitasi tetap dilaksanakan. Bahkan

dibentuk sebuah badan bernama Badan Koordinasi Amal Muslimin yang

menghimpun anggota-anggota bekas Masyumi dengan Letnan Jenderal

Soedirman sebagai ketuanya.51

Pada tahun 1966, dilaksanakan Seminar

Angkatan Darat di Bandung yang menghasilkan keputusan bahwa Partai

Masyumi dan PSI dapat diaktifkan kembali.52

Ada juga Yayasan Pembangunan

Umat yang mengelola kegiatan rehabilitasi Masyumi.53

Namun, rezim orba

tetap menolak usulan rehabilitasi Masyumi. Lebih dari itu, rezim orba juga

bersikap represif kepada para tokoh Masyumi.

51

Letjen Soedirman ini bukan Panglima Besar Soedirman. pernah memimpin Sekolah Komando Angkatan

Darat (SESKOAD). Ia merupakan ayah dari Gubernur Jawa Timur periode 1993 – 1998, Basofi Soedirman.

(Mohammad Siddik, wawancara pada Selasa, 27 Februari 2018; Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa,

6 Maret 2018). 52

Mohammad Siddik, wawancara pada Selasa, 27 Februari 2018. 53

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Minggu, 11 Maret 2018.

227

Pada masa orde baru, umat Islam memang sering menjadi korban

pandangan negatif pihak-pihak yang sangat skeptis melihat hubungan umat

Islam dengan kekuasaan. Sikap represif pemerintah orde baru terhadap para

tokoh politik umat Islam memang tidak tertahankan. Tokoh besar seperti

Mohammad Natsir pun tidak kuasa menahan tekanan rezim orba, hingga

bubarnya Masyumi dan pencekalan dirinya setelah terlibat dalam Petisi 50

(Hakiem, 1995).

Nasibnya yang sangat tertekan di masa orde baru diekspresikan oleh

Mohammad Natsir dengan menyebut dirinya dan teman-temannya sebagai

“kucing kurap” bagi rezim orde baru (Hakiem, 1995). Meskipun dirinya dan

teman-temannya sudah menunjukkan sikap yang akomodatif terhadap

penguasa, mereka tetap tidak diperkenankan untuk tampil kembali dalam

kancah perpolitikan nasional.

Kegagalan untuk merehabilitasi Masyumi tidak membuat para tokoh

partai politik Islam yang pernah berjaya itu kehabisan akal merancang strategi.

Apalagi dalam surat Ketua Presidium Kabinet Ampera, Jenderal TNI Soeharto,

tertanggal 6 Januari 1967, yang ditujukan kepada bekas Ketua Masyumi,

Prawoto Mangkusasmito, dengan sangat jelas disebutkan bahwa:

“Mengenai bekas anggota Masyumi, sebagai warga negara, tetap dijamin hak-hak

demokrasinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku” (dalam

Hakiem, 1995, hal.: 43).

Sikap seperti itulah yang membuat rezim Orde Baru dapat menyetujui

pembentukan wadah politik baru guna menampung aspirasi politik Keluarga

Bulan Bintang (sebutan bagi para pendukung partai Masyumi) yang berbentuk

228

partai politik dengan nama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Pada

perkembangan selanjutnya, wadah alternatif itu pun ternyata tidak sesuai

dengan harapan. Namun, tokoh-tokoh Masyumi tidak pernah memaksa para

aktivis dan pendukung Masyumi untuk bergabung ke Parmusi. Mereka

memiliki kebesaran jiwa dalam memimpin. Ramlan Mardjoned memberikan

kesaksian bahwa para tokoh Masyumi adalah pemimpin yang sangat bijaksana,

misalnya saja Natsir yang pesannya masih diingat oleh Ramlan sampai

sekarang, “memimpin itu untuk melepaskan, bukan untuk mengikat”.

“Banyak jalan menuju Roma”. Ungkapan itu sangat tepat jika

digunakan untuk mengidentifikasi pemikiran-pemikiran para tokoh Masyumi

saat mengetahui bahwa jalur politik formal (partai politik) telah tertutup,

namun tidak ada sedikit pun hasrat untuk melawan pemerintah dan bersikeras

untuk tetap memperjuangkan eksistensi Partai Masyumi. Keputusan itu

diterima oleh mereka dengan penuh lapang dada karena mereka melihat

Masyumi sebagai alat atau sarana berdakwah, bukan sebagai tujuan mereka.

Yusril Ihza Mahendra sangat memahami sikap politik Natsir yang sangat

bijaksana dalam menanggapi kegagalan menghidupkan kembali Partai

Masyumi. Natsir berkata kepada Yusril:

“Partai itu kan tergantung kita. Kalau merasa tidak perlu ada partai, nggak usah

bikin partai” (dalam Tim KPG-Tempo, 2011, hal.: 71).

Sikap Natsir ini juga dikisahkan oleh Natsir Zubaidi yang sangat yakin

bahwa seandainya Natsir masih hidup sekarang, Natsir tidak akan mendirikan

partai politik.54

Begitulah “kedewasaan” seorang Natsir dalam berjuang untuk

54

Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

229

Islam; bukan untuk kekuasaan politik. Natsir dan kawan-kawannya tidak

bersedih hati karena sarananya yang lenyap; yang terpenting adalah mereka

masih memilki ghirah untuk berjuang dalam jalan dakwah dan dakwah itu

harus tetap berdampingan dengan politik. Maka para tokoh Masyumi

merancang strategi lain yang cerdas; jika dulu mereka berdakwah lewat

lembaga politik, maka berikutnya mereka berpolitik lewat lembaga dakwah.

Gagasan ini datang dari mantan Ketua Masyumi yang juga mantan Perdana

Menteri pertama NKRI, Mohammad Natsir. Natsir mengatakan bahwa:

“Politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan. Kalau kita berdakwah dengan membaca

Quran dan hadits – itu berpolitik. Dulu berdakwah lewat politik, sekarang berrpolitik

melalui jalur dakwah”. (dalam Hakiem, 1995, hal.: 43).

Sebagai bentuk realisasi gagasan itu, pada 26 Februari 1967, sejumlah

tokoh Masyumi mengadakan musyawarah di Masjid Al-Munawwarah yang

terletak di Kampung Bali, Tanah Abang (Hakiem, 1995). Mereka kemudian

membentuk Yayasan Dewan Dewan Da‟wah (Dewan Da‟wah Islamiyah

Indonesia, 2016; Hakiem, 1995, Tim KPG-Tempo, 2011). Tokoh-tokoh itu

adalah:

1) Mohammad Natsir (mantan Ketua Umum Partai Masyumi)

2) K.H. Hasan Basri (mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia tahun 1983 –

1990)

3) K.H. Taufiqurrahman (mantan Ketua Ikatan Masjid DKI)

4) K.H. Faqih Usman (mantan Ketua PP Muhammadiyah tahun 1968 –

1971)

230

5) Ahmad Rayid Sutan Mansyur atau Buya Sutan Mansyur (mantan Ketua

PP Muhammadiyah 1956 – 1959)

6) Sjafruddin Prawiranegara (mantan Ketua Pemerintahan Darurat RI dan

Gubernur pertama Bank Indonesia)

7) Burhanudin Harahap (mantan Perdana Menteri RI tahun 1953 – 1955)

8) Prawoto Mangkusasmito (Ketua Umum terakhir Partai Masyumi)

9) Kasman Singodimejo (mantan Jaksa Agung pertama RI dan Ketua KNIP)

10) Mohammad Roem (mantan Menteri Luar Negeri RI pada Kabinet Natsir

tahun 1950 – 1951)

11) Prof. Dr. H.M. Rasjidi (mantan Menteri Agama RI tahun 1946)

12) Abdul Rahman Baswedan (mantan Wakil Menteri Penerangan tahun

1946 – 1947 dan kakek Anies Rasjid Baswedan)

13) Osman Raliby (mantan anggota Majelis Konstituante dan ahli propaganda

yang pernah belajar kepada Jozef Goebbels yang merupakan menteri

penerangan Jerman di masa Adolf Hitler)

14) Yunan Nasution (mantan Sekretaris Jenderal Partai Masyumi)

15) H. Buchari Tamam (Sekretaris Umum pertama Dewan Da‟wah)

16) H.M. Daud Dt. Palimo Kayo (tokoh Minangkabau dan mantan Duta

Besar RI untuk Irak)

17) H. Abdul Malik Ahmad (Wakil Ketua PP Muhammadiyah tahun 1971 –

1985)

18) Abdul Rahman Shihab (Ketua Dewan Da‟wah Sulawesi Selatan)

19) Nawawi Dusky

20) Abdul Hamid

231

Terdapat juga beberapa organisasi masyarakat dan lembaga umat yang

menghadiri musyawarah tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap pendirian

Dewan Da‟wah (Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia, 2016; Tim KPG-Tempo,

2011).

Pendirian Dewan Da‟wah ini disebut sebagai strategi meneruskan

perjuangan Masyumi dengan sarana yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang

sama, yakni dakwah atau amr ma‟ruf nah munkar. Ada empat fakta yang

menjadi tanda bahwa Dewan Da‟wah ini merupakan penerus perjuangan Partai

Masyumi (Hakiem, 2017 b).

1) Musyawarah yang menghasilkan mufakat untuk mendirikan Dewan

Da‟wah pada 26 Februari 1967 di Masjid Al-Munawwarah dipelopori oleh

para tokoh Masyumi dan kemudian menunjuk Mohammad Natsir yang

merupakan mantan Ketua Umum Partai Masyumi sebagai Ketua Umum

Dewan Da‟wah;

2) sebelum Dewan Da‟wah didirikan, para tokoh pendirinya yang sebagian

besar merupakan tokoh Masyumi seperti Nastir, Prawoto Mangkusasmito

dan kawan-kawannya, melakukan upaya rehabilitasi Masyumi. Meskipun

pada akhirnya tidak dapat diwujudkan;

1) Muhammadiyah

2) Persatuan Islam (Persis)

3) Persatuan Umat Islam (PUI)

4) Persatuan Tarbiyah Islamiyah

(Perti)

5) Mathlaul Anwar (MA)

6) Al Jamiatul Washliyah

7) Jam‟iyah al Irsyad al Islamiyah

8) Al Syafi‟iyah

232

3) Kantor sekretariat Dewan Da‟wah yang terletak di Jalan Kramat Raya

Nomor 45 Jakarta Pusat merupakan bekas kantor pusat Partai Masyumi;

4) Para pengurus Dewan Da‟wah didominasi oleh para tokoh Masyumi atau

mantan anggota Masyumi.

Adapun jajaran pengurus Dewan Da‟wah pada periode pertama (Hakiem,

2017 b), yaitu :

Ketua : Pak Natsir

Wakil : H.M. Rasyidi

Sekretaris I : H. Buchari Taman

Sekretaris II : H. Nawawi Duski

Bendahara : H. Hasan Basri

Anggota :

1) H. Abdul Malik Ahmad

2) Prawoto Mangkusasmito

3) H. Mansur Daud Datuk

Palimo Kayo

4) Oesman Raliby

5) Abdul Hamid

Pembentukan Dewan Da‟wah yang dipelopori oleh para tokoh Masyumi

pusat ini segera mendapatkan dukungan dari para tokoh Masyumi di berbagai

daerah di Indonesia. Misalnya A.R. Baswedan segera merespon pembentukan

itu dan ia mendapatkan kepercayaan untuk menjadi Ketua Dewan Da‟wah

Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta pertama. Ada juga K.H. Misbach di

Jawa Timur, dan berbagai daerah lainnya.

Meskipun mendapatkan dukungan yang besar dari para mantan anggota

dan juga pendukung Masyumi, tidak semua tokoh-tokoh Masyumi ikut

bergabung ke Dewan Da‟wah. Mereka memilih jalan lain, tetapi tetap untuk

233

menegakkan dakwah. Mereka adalah K.H.A. Ghafar Ismail (ayahanda Taufiq

Ismail) yang terkenal dengan model dakwah kelilingnya dari rumah ke rumah,

Buya Hamka yang berfokus untuk membina Masjid Agung Al-Azhar Jakarta,

K.H. E. Z. Muttaqien yang memilih untuk memimpin Universitas Islam

Bandung, dan sebagainya (Hakiem, 1995).

Berubahnya strategi para tokoh Masyumi ini, dari berdakwah melalui

politik menjadi berpolitik melalui dakwah membuat dunia dakwah Islam di

Indonesia semakin bergelora. Mereka berhasil mengubah pandangan sebagian

besar orang tentang dakwah yang semula hanya diidentikkan dengan kegiatan

berceramah dan pengajian, menjadi lebih luas lagi. Strategi yang ditempuh oleh

para tokoh Masyumi, khususnya Natsir, mendapatkan apresiasi dari Mantan

Menteri Keuangan dan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda yang

pernyataannya dimuat dalam Suara Hidayatullah, edisi II/Tahun V Maret,

1993/Ramadhan 1413 H.

“lama setelah hiruk pikuk dunia politik ditinggalkannya, Ayahanda M. Natsir yang

pernah dua kali dipenjara sebagai tahanan politik, tetap sibuk membina bangsanya.

„Kalau dulu,‟katanya dalam sebuah wawancara, „kita berdakwah lewat politik, tapi

sekarang kita berpolitik lewat dakwah.‟ Setelah kenyang pengalaman politik sejak

menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat waktu Republik ini

baru merdeka, beberapa jabatan tinggi eksekutif negara, dan terlibat dalam prahara

PRRI menentang Pemerintahan „Kiri‟ Bung Karno, maka pada tahun 1967, Ayahanda M.

Natsir dan kawan-kawannya mendirikan Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia, di sebuah

masjid di kawasan yang ramai di tengah kota Jakarta, Kramat Raya, sebuah lembaga

yang bertahun-tahun kemudian dikenal luas sebagai organisasi dakwah yang paling

responsif terhadap kebijakan-kebijakan penguasa yang „merugikan‟ umat Islam.”

(dalam Luth, 1999).

234

Para tokoh Dewan Da‟wah, khususnya Mohammad Natsir, berinovasi

dengan membangun dan mengembangkan sarana-sarana dakwah di berbagai

bidang. Dewan Da‟wah yang dipimpin oleh Natsir menunjukkan upaya nyata

mewujudkan kehidupan Islam yang kaffah di tengah-tengah umat melalui

konsep dakwah multisektor yang terpadu. Dewan Da‟wah mendirikan

penerbitan buku, media massa seperti Majalah Media Dakwah dan Serial

Media Dakwah, mendirikan, mendirikan Rumah Sakit Islam, melaksanakan

program pengkaderan, serta mengembangkan konsep pembangunan umat yang

dirancang oleh Natsir dengans ebutan “Benteng Pertahanan Umat”

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

a. Mendirikan Rumah Sakit Islam untuk Mempertahankan Aqidah

Jasa besar Mohammad Natsir dalam dakwah multisektor tidak hanya

dapat dilacak dalam bidang politik dan pendidikan, tetapi juga dalam bidang

kesehatan; yakni dengan adanya Rumah Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina. Rumah

Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina yang terletak di Bukittinggi merupakan cikal-

bakal dari enam Rumah Sakit Islam lainnya yang tersebar di wilayah

Sumatera Barat (Assad, 1995). RSI Ibnu Sina yang diresmikan pada 30

Oktober 1969 oleh Proklamator Mohammad Hatta di bawah YARSI

(Yayasan Rumah Sakit Islam) ini menjadi bukti kepiawaian seorang maestro

dakwah, Mohammad Natsir dalam menyebarluaskan nilai dan ajaran Islam;

tidak hanya berdakwah melalui politik atau berceramah, tetapi juga

menyentuh bidang lainnya, termasuk kesehatan. Dakwah inilah yang disebut

sebagai dakwah bil hal; yakni dengan mengambil tindakan nyata yang

235

manfaatnya dapat dirasakan langsung atau kebaikannya dapat diteladani

secara langsung oleh sasaran dakwah.54

Pendirian rumah sakit berlandaskan nilai-nilai Islam ini dilatar-

belakangi oleh upaya kristenisasi yang secara intensif dilakukan oleh

kalangan misionaris di Bukittinggi pada akhir tahun 1960-an (STIKES

YARSI, tt.). Usaha pemurtadhan ini didukung dengan pendirian sebuah

Rumah Sakit (Kristen) Emanuel yang letaknya tidak berjauhan dengan pusat-

pusat aktivitas umat Islam, yakni Surau Inyik Jambek dan juga Sumatera

Thawalib Bangkaweh (STIKES YARSI, tt.). Pendirian Rumah Sakit Emanuel

tersebut menuai protes dari masyarakat muslim sekitar. Para pemuda yang

terlibat dalam protes tersebut menjadi sasaran penangkapan para tentara

karena Rumah Sakit Emanuel mendapatkan dukungan dari komandan Kodim

setempat.55

Natsir pun tampil sebagai pemimpin dalam penyelesaian masalah ini.

Konsep dakwah bil hal menjadi landasan sikap Natsir yang dengan penuh

perhatian menghimbau umat Islam agar tidak larut dalam emosi yang akan

mengarah pada tindakan anarkis; ia mengintegrasikan umat untuk

membangun sebuah rumah sakit tandingan. Ramlan Mardjoned mengingat

dengan jelas pesan bijaksana Natsir yang mampu menenangkan umat Islam

Bukittinggi dan kemudian mengalihkan “energi protes” mereka kepada

pembangunan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina.

54

Mohammad Siddik, wawancara pada Selasa 27 Februari 2018. 55

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

236

“Orang mengeluh semua, emosi semua. Pak Natsir berbicara, „emosi dijawab dengan

emosi, kita berkelahi, tidak melahirkan apa-apa‟. Solusinya kita dirikan Yayasan

Rumah Sakit Islam (YARSI)”.56

Ide cemerlang Natsir tersebut kemudian direalisasikan melalui sebuah

badan yang semula didirikan untuk menentang dan memberantas

pemberontakan G30S/PKI yang bernama Badan Kontak Umat Islam (BKUI)

Sumatera Barat (STIKES YARSI, tt.). Badan ini menghimpun seluruh

organisasi, partai dan lembaga Islam lainnya yang memiliki kesamaan visi

untuk membangun YARSI. Jika Natsir merupakan orang terpenting yang

memimpin pendirian YARSI, maka Dewan Da‟wah merupakan organisasi

terpentingnya. Koalisi umat Islam ini juga didukung oleh ibu-ibu muslimah di

sana yang dipimpin oleh Ratna Sari dengan menyumbangkan uang, emas dan

perhiasan. Kumpulan ibu muslimah ini kemudian menjadi Badan Penyantun

YARSI (STIKES YARSI, tt.).

Persatuan umat Islam melalui BKUI Sumatera Barat yang didukung

penuh oleh Dewan Da‟wah pun berhasil mewujudkan pendirian sebuah pusat

kesehatan yang pada mulanya diberi nama Balai Kesehatan Ibnu Sina yang

berlokasi di sebuah rumah sewaan milik dr. Yusuf di sekitar pasar atas

Bukittingi (STIKES YARSI, tt). Balai Kesehatan ini kemudian mendapatkan

respon positif dari masyarakat sekitar dengan rasa bangga dan minat yang

tinggi untuk memilih Balai Kesehatan Ibnu Sina jika hendak melakukan

pengobatan dan juga bersalin.

56

Ibid.

237

Antusiasme masyarakat yang sangat tinggi tersebut menjadi pendorong

untuk didirikannya pusat layanan kesehatan serupa di beberapa daerah,

seperti Padang Panjang, Kapar (Pasaman Barat), dan Payakumbuh (STIKES

YARSI, tt.). Namun, tidak semua pemintaan umat dapat diwujudkan karena

keterbatasan tenaga medis (dokter, perawat dan bidan). Tenaga dokter saat itu

dipenuhi oleh dosen-dosen muda dari Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas yang tidak dapat menjadi pengabdi tetap karena mereka harus

melanjutkan pendidikan di bidang spesialisasi dan pendidikan lanjutan di

jenjang master. Kebutuhan tenaga medis tersebut kemudian diupayakan

melalui pendirian Sekolah Perawat Kesehatan (SPK). Saat itu lulusan SMP,

Tsanawiyah, bahkan SD pun diterima menjadi siswanya.

Selanjutnya, persaingan dengan RS Kristen Emanuel menjadi pemacu

semangat untuk mendirikan pusat layanan kesehatan yang lebih baik dalam

bentuk Rumah Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina di beberapa daerah seperti

Payakumbuh, Padang dan Padang Panjang (STIKES YARSI, tt.). Sayangnya,

upaya ini tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat.

Upaya perbaikan mutu pelayanan kesehatan terus dilakukan oleh

YARSI melalui pemajuan lembaga pendidikan kesehatan yang dimilikinya.

Pada tahun 1970, SPK telah mendidikan 60 siswa yang terbagi ke dalam 2

angkatan. Pada tahun 1978, YARSI membuka Sekolah Pengatur Rawat (SPR)

dengan menerima 30 orang siswa dan hanya berlangsung dalam 1 angkatan.

Pada tahun 1982, YARSI membuka SPK kembali yang kemudian disahkan

secara hukum melalui izin Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan RI

238

Provinsi Sumatera Barat Nomor 52/KEP/DIKLAT/KES/1983. SPK ini pun

menjadi lembaga pendidikan kesehatan swasta pertama di Sumatera Barat

(STIKES YARSI, tt.). Program Pendidikan Bidang jenjang D1 dimulai pada

tahun 1989 sampai dengan 1998 dengan jumlah lulusan mencapai 360 orang

dengan jumlah setiap angkatannya mencapai 40 orang.

Cita-cita mulia Mohammad Natsir yang melandasi pendirian RSI Ibnu

Sina dan juga YARSI tidak selalu berjalan mulus. Usia 25 tahun (pada tahun

1995) berdirinya RSI Ibnu Sina tetap tidak menjamin terpenuhinya segala

fasilitas bagi operasional rumah sakit. Ketua YARSI Sumatera Barat tahun

1995, Thamrin Manan (dalam Assad, 1995) dengan rendah hati mengakui

bahwa masih banyak kekurangan yang dimiliki oleh RSI Ibnu Sina meskipun

telah didukung dengan adanya SPK.

Saat itu, Thamrin berharap agar SPK YARSI dapat dikonversi menjadi

akademi atau sekolah tinggi. Harapan itupun benar-benar terwujud dengan

adanya konversi program D1 menjadi program D3 Keperawatan; sehingga

pada tahun 2000, SPK dikonversi juga menjadi Akademi Keperawatan

(AKPER) YARSI Bukittinggi (STIKES YARSI, tt.). Hingga tahun 2007,

AKPER YARSI telah mencapai akreditas B (+) dan sampai pada angkatan

ke-7 dengan jumlah siswa sebanyak 50 hingga 100 orang di setiap

angkatannya. AKPER YARSI kemudian dikonversi menjadi Sekolah Tinggi

Kesehatan (STIKES) YARSI pada tahun 2008 dengan menjalankan 3

program studi, yakni S1 Keperawatan, D3 Keperawatan dan D3 Kebidanan

(STIKES YARSI, tt.). Bahkan saat ini telah tersedia Prodi Profesi Ners.

239

Begitulah kepiawaian Natsir dalam menjalankan misi dakwahnya yang

bisa melahirkan banyak manfaat di berbagai bidang dengan

mengimplementasikan konsep dakwah bil hal. Model dakwah Natsir ini tentu

mengingatkan pada pesan Rasulullah yang disampaikan oleh Abu Sa‟id Al-

Khudri dan diriwayatkan oleh Imam Muslim tentang upaya dakwah yang

tertinggi, yakni mengubah atau menghentikan kemungkaran dengan tangan

yang merupakan tingkatan iman tertinggi dari pada mengubah kemungkaran

dengan lisan (tingkat kedua) dan hati (tingkat ketiga) (An-Nawawi, 2013).

b. Pengkaderan Panitia Haji Indonesia (PHI) sebagai Embrio Gerakan

Tarbiyah (KAMMI, PK, dan PKS)

Pada tahun 1968, setahun setelah Dewan Da‟wah didirikan, Natsir

mengumpulkan 40 pemuda melalui koordinasi dengan HMI, PII, dan

Muhammadiyah. Para pemuda itu kemudian dimasukkan ke dalam

pengkaderan PHI yang dilaksanakan selama tiga hari di Gedung PHI

Kwitang. Pengkaderan PHI ini ditangani langsung oleh para tokoh Dewan

Gambar 24. Salah satu gedung STIKES YARSI Sumbar Bukittinggi

Sumber : Laman Resmi YARSI Sumbar, dapat diakses melalui http://yarsisumbar.org/

240

Da‟wah yang juga mantan tokoh Partai Masyumi seperti Natsir, H.M. Rasjidi,

Osman Raliby, Zainal Abidin Ahmad, dan Mohammad Roem (Eriadi, 2007).

K.H.E. Zainal Muttaqien bertanggungjawab sebagai project officer-nya pada

periode pertama dengan didukung oleh Bang Imad sebagai asisten utama

sekaligus pesertanya (Luthfi dalam (Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan

Mustofa, 2002).

Agar tujuan Pengkaderan PHI ini dapat terus terjaga, maka para

alumninya membentuk forum silaturahim dengan menunjuk Bang Imad

sebagai komandannya (ketua/koordinator). Alumni Pengkaderan PHI inilah

yang menggarap Masjid Salman dan juga beberapa masjid kampus di

Indonesia yang berkolaborasi dengan Dewan Da‟wah sebagai pelindungnya

(Luthfi dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002). Beberapa

tokoh penting yang selalu turut serta dalam setiap agenda Pengkaderan PHI

tergabung dalam sebuah korps yang terdiri dari Bang Imad, Ahmad Sadali,

A.M. Luthfi, Endang Syaifuddin Anshari, Rudy Syarif Sumadilaga, Jusuf

Amir Feisal dan Akhmad Noe‟man (Eriadi, 2007).

Semangat para alumni Pengkaderan PHI ini kemudian mendorong

Dewan Da‟wah untuk meluncurkan program Bina Masjid Kampus pada tahun

1974 yang tidak hanya bertujuan untuk membina para mahasiswa agar

memiliki pemahaman ke-Islam-an yang baik, tetapi juga mengupayakan

pendirian berbagai masjid kampus di berbagai daerah di Indonesia. Program

Bina Masjid Kampus ini menggunakan sistem koordinasi dengan menetapkan

perwakilan atau koordinator wilayah (Luthfi dalam Asshiddiqie, Ikhwan,

241

Hadiana, dan Mustofa, 2002). Beberapa kader Natsir yang ditunjuk menjadi

kordinator wilayah adalah:

1) M. Amien Rais, Kuntowijoyo, M. Mahyudin dan RHA Syahirul Alim

untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta;

2) Ahmad Sadali, Rudy Syarif Sumadilaga, dan Yusuf Amir Feisal untuk

wilayah Bandung;

3) M. Daud Ali dan Nurhay Abdurrahman untuk wilayah Jakarta;

4) Halidzi dan Abdurrahman Basalama untuk wilayah Ujung Pandang;

5) A.M. Saefuddin dan Abdul Qadir Djaelani untuk wilayah Bogor.

Semangat ini pun diteruskan Bang Imad dengan membuat training di

Masjid Salman ITB yang dikenal hingga saat ini sebagai Latihan Mujahid

Dakwah (LMD), tepatnya sejak tahun 1974 (Eriadi, 2007). Masjid Salman

memang menjadi basis sekaligus percontohan dakwah kampus di Indonesia.

Masjid kampus yang namanya diberikan oleh Soekarno tersebut merupakan

salah satu monumen perjuangan para pelopor aktivis dakwah kampus. Tokoh

penting pendirian fisiknya adalah Profesor Tubagus Sulaiman yang

mencetuskan perubahan panitia masjid kampus menjadi Yayasan Pembina

Masjid Salman. Anggota yayasan itu terdiri dari Hasan Babsel, Akhmad

Noe‟man, Akhmad Sadali, Bang Imad, Wahab Bakrie, Mahmud Yunus,

Azwar Anas, M. Amiruddim dan A.M. Luthfi. Sedangkan tokoh penting

pembangunan sumber dayanya adalah Natsir yang kemudian dilanjutkan oleh

Bang Imad (Eriadi, 2007).

242

Setelah melalui berbagai rintangan, termasuk penolakan dari rektor ITB

– Otong Kosasih, bangunan fisik Masjid Salman akhirnya selesai dan

kemudian dimanfaatkan menjadi pusat pengkaderan aktivis dakwah kampus

yang menurut Prof. Sulaiman kriterianya seperti sahabat Rasulullah SAW

yang bernama Salman al-Farisi (Luthfi dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana,

dan Mustofa, 2002). Semangat itulah yang kemudian memunculkan LMD,

sarana pengkaderan mujahid dakwah yang fenomenal.

LMD yang bertujuan untuk membentuk agen-agen dakwah Islam ini

melakukan seleksi terhadap para calon pesertanya dengan beberapa

ketentuan. Setiap calon peserta wajib memiliki minimal Indeks Prestasi (IP)

2,75 (Eriadi, 2007). Setiap calon peserta wajib mengikuti tes membaca Al-

Quran dan tes psikologi (Dipojono dalam Eriadi, 2007). Selain itu, para calon

peserta juga akan melalui tes wawancara (Djamas dalam Eriadi, 2007).

Peserta yang telah terpilih akan mengikuti pelatihan selama satu sampai

dengan dua minggu dengan diberikan kewajiban menghafal beberapa ayat Al-

Quran yang harus diselesaikan sebelum pelaksanaan bai‟at (Eriadi, 2007).

Adapun materi dan pembinaan yang diberikan secara umum berbentuk

diskusi, tanya jawab dan pemecahan masalah (bersifat interaktif). Model

seperti ini menjadi ciri khas LMD yang dikehendaki Bang Imad karena ia

tidak mau LMD disebut sebagai kegiatan indoktrinasi (Djamas dalam Eriadi,

2007). Dalam pelaksanaannya, Bang Imad turut berpartisipasi sebagai

pemateri dengan gaya khas yang mirip seperti Natsir; yakni penjelasan ayat-

ayat Al-Quran yang dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa alam dan

243

mengakomodasi penjelasan secara ilmiah dan rasional. Kemampuannya ini

memang mirip sekali dengan Natsir yang mengintegrasikan ayat qauliyah

dengan kauniyah serta komprehensif karena menyajikan dalil naqli sebagai

pondasi yang diperkuat penjelasannya dengan dalil aqli. Substansi materinya

pun sesuai dengan pemikiran Islam para tokoh Partai Masyumi; Islam bukan

sebatas mengatur ritual peribadatan, tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan

(Islam Kaffah) (Djamas dalam Eriadi, 2007). Hal-hal kecil pun diajarkan

dalam LMD yang sesuai dengan paham Islam Kaffah tersebut; misalnya

menggosok gigi secara teratur, kebanggaan membawa Al-Quran ke kampus,

hingga larangan merokok. Oleh karena itu, Abu Ridho (dalam Eriadi, 2007)

menyatakan bahwa LMD merupakan media penyebaran ideologi/pemikiran

Masyumi ke kampus.

Semangat LMD pun menyebar ke berbagai kampus di Indonesia. Para

aktivis Islam di berbagai kampus tidak hanya mengadopsi LMD, tetapi juga

pengelolaan Masjid Salman ITB karena Masjid Salman adalah satu-satunya

masjid kampus yang dikelola dengan konsep terpadu dengan kampus saat itu

(Radjasa dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002). Amien

Rais dan teman-temannya mengadopsi pendekatan Masjid Salman untuk

membangun Jama‟ahh Salahuddin dan Masjid Mardiyah di Universitas Gadjah

Mada (UGM) Yogyakarta (Feisal; Rahardjo dalam Asshiddiqie, Ikhwan,

Hadiana, dan Mustofa, 2002). Adapun di kampus-kampus lainnya seperti

Masjid Arif Rahman Hakim (ARH) di Universitas Indonesia (UI), Masjid Al-

Ghifari di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Masjid Raden Patah di

244

Universitas Brawijaya (UB) Malang (Rahardjo dalam Asshiddiqie, Ikhwan,

Hadiana, dan Mustofa, 2002).

Masjid ARH yang mendapatkan didikan dari H.M. Rasjidi

mengirimkan sebagian besar pengurusnya untuk mengikuti LMD. Para aktivis

Masjid ARH ini selanjutnya mengadopsi LMD untu membentuk Integratif

Studi Tentang Islam (ISTI) dan Tadabbur (Eriadi, 2007). Beragama kegiatan

serupa juga diadakan di fakultas-fakultas; seperti Kajian Dasar Islam

(KADAIS) di FISIP, Integrasi Studi Terpadu Islam (ISTI) di FMIPA, Studi

Islam Terpadu (SIT) di Fakultas Ekonomi, dan Forum Kajian Dasar Islam

(FONDASI) di Fakultas Sastra (Hadi, 2000).

Adapun beberapa tokoh alumni LMD yang berkontribusi besar dalam

pengembangan dakwah kampus di UI, yakni Aus Hidayat Nur, Zaenal

Muttaqien, Suharna Surapranata, Ikhsan Tanjung dan Musholli (Furkon dalam

Eriadi, 2007). Pengaruh para tokoh Masyumi yang sudah bertransformasi

menjadi Dewan Da‟wah juga tersebarkan melalui peran langsung beberapa

tokoh tersebut dalam momentum penting Masjid ARH; Mohammad Natsir

menjadi Khatib Shalat Ied pertama pada tahun 1967 (setahun sebelum Masjid

ARH diresmikan), Anwar Harjono menjadi khatib Idul Adha pertama, dan

H.M. Rasjidi menjadi khatib shalat Jumat pertama pada saat peresmian, yakni

pada 16 Agustus 1968 (Hadi, 2000). Selain itu, H.M. Rasjidi juga ditunjuk

sebagai imam Masjid ARH. Selain Natsir, Rasjidi dan Anwar Harjono,

beberapa tokoh lainnya yang juga membina para aktivis ARH secara intensif

adalah Sjafruddin Prawiranegara, Yunan Nasution dan Buya Malik Ahmad

(Hadi, 2000; Furkon dalam Eriadi, 2007).

245

Adapun kegiatan dakwah di UGM oleh Jama‟ah Shalahuddin dimulai

pada tahun 1976 dengan mengadakan acara yang diberi nama Maulid Pop.

Maulid Pop ini diupayakan untuk menampilkan dakwah dengan perspektif

ilmiah (Jama‟ah Shalahuddin, tt.). Beberapa tokoh pelopor (founding fathers)

Jama‟ah Shalahuddin adalah Muslikh Zainal Asikin, Akhmad Fanani, Djafnan

Tsan Affandi, Erlius, Samhari Baswedan, A Luqman, M Toyiibi dan Hadi

Prihatin (Eriadi, 2007). Sedangkan tokoh Masyumi yang membina para aktivis

tersebut secara intensif adalah A.R. Baswedan (ayah Samhari Baswedan) yang

kemudian ditunjuk menjadi Ketua Dewan Da‟wah Yogyakarta. Selain itu,

dukungan juga diberikan oleh A.R. Fachruddin yang saat itu merupakan Ketua

PP Muhammadiyah (Eriadi, 2007).

Beberapa bulan kemudian para aktivis dakwah kampus di Yogyakarta

mengadakan acara yang diberikan nama Ramadhan in Campus yang menjadi

momentum penamaan Jama‟ah Shalahuddin sebagai panitia

penyelenggaranya.57

Saat itu Masjid Kampus belum didirikan sehingga

Gelanggang Mahasiswa dimanfaatkan untuk menjadi masjid yang tidak

permanen dengan menggelar tikar dan membuat mihrab yang bisa dipindah.

Kepeloporan Masjid ARH dan Jama‟ah Shalahuddin ini menginspirasi

berbagai dakwah kampus lainnya. Maka muncullah Lembaga Dakwah Kampus

(LDK) di berbagai kampus; misalnya Masjid Al-Ghifari di IPB, IKIP Jakarta

(sekarang Universitas Negeri Jakarta), Sekolah Tinggi Kedokteran YARSI,

Masjid Manarul „Ilmi di ITS, Masjid Mujahidin di IKIP Yogyakarta (sekarang

Universitas Negeri Yogyakarta), LAI UNDIP Semarang, UNSOED

57

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018; Lihat Majalah Boulevard, edisi 2/IV/1997.

246

Purwokerto, UNS Surakarta, LPISAT Universitas Trisakti Jakarta, UIKA

Bogor, UNPAD Bandung, UKKI UNAIR Surabaya, dan Masjid Al-Hikmah di

IKIP Malang (Universitas Negeri Malang) (Eriadi, 2007). Sebuah buku yang

menghimpun ceramah-ceramah Bang Imad di LMD dan juga Masjid Salman

kemudian diterbitkan dengan judul “Kuliah Tauhid”. Buku ini menjadi rujukan

bagi pergerakan dakwah di berbagai kampus di Indonesia (Eriadi, 2007).

Menyebarnya konsep LMD yang berimplikasi pada bermunculannya

LDK yang diiringi dengan kerasnya Bang Imad serta para aktivis dakwah

kampus mengkritik pemerintahan Orde Baru membuat rezim geram dan

kemudian mendeskriditkan dakwah kampus. Dengan menggunakan tuduhan

adanya upaya/gerakan makar, militer menangkap Bang Imad pada 23 Mei 1978

(Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002). Militer menyerbu kampus

dan mengambil alih Asrama Masjid Salman (Dipojono dalam Asshiddiqie,

Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002). Sikap represif pun juga dialami Jama‟ah

Shalahuddin UGM; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Daoed

Joesoef memerintahkan Rektor UGM untuk membubarkan Jama‟ah

Shalahuddin dengan alasan keterlibatan pengurus Jama‟ah Shalahuddin dalam

demonstrasi menentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi

Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada tahun 1978 (Jama‟ah Shalahuddin, tt.).58

Natsir pun menentang kebijakan NKK/BKK; ia menegaskan :

58

NKK/BKK merupakan kebijakan kontroversial Daoed Joesoef yang diduga kuat bertujuan untuk

melemahkan kedaulatan mahasiswa atau depolitisasi kampus di Indonesia. Melalui kebijakan ini, Daoed

Joesoef melarang berbagai aktivitas mahasiswa selain kegiatan belajar-mengajar; tidak boleh ada Lembaga

Kedaulatan Mahasiswa seperti BEM, DPM, Senat dan berbagai lembaga sejenisnya. Ia berpandangan bahwa

kehidupan kampus mahasiswa harus kembali “normal”, yakni hanya berfokus pada kegiatan belajar-mengajar

dan penelitian. Ia juga tidak setuju dengan keberadaan masjid di dalam kampus serta liburan di bulan

Ramadhan. Lihat Mohammad Natsir : Pancasila Jangan Dilepaskan dari Nilai-nilai Agama. Majalah Serial

Media Dakwah Nomor 62 Agustus 1979, Jakarta : Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia.

247

“Tiap-tiap normalisasi membawa perubahan terhadap apa yang ada. Tapi tidak

semua perubahan menghasilkan sesuatu yang “normal”. Salah-salah pasang malah

bisa berakibat sebaliknya” (Natsir, 1979, hal.: 14).

Serupa dengan sikap Natsir, A.M. Saefuddin (1996) yang menjabat

sebagai Ketua Pembina Dewan Da‟wah periode 2015-2020 menyatakan bahwa

kebijakan tersebut merupakan upaya depolitisasi kampus yang mengekang

kreativitas mahasiswa.

Upaya pembubaran Jama‟ah Shalahuddin pun dapat digagalkan oleh

para pembina dakwah kampus di wilayah Yogayakarta. Namun, LMD yang

menjadi pelopor tidak dapat diselamatkan seiring dengan penangkapan Bang

Imad. Kegiatan dakwah di Masjid Salman sempat tidak menentu dan

dipastikan bahwa peristiwa penangkapan tersebut merupakan akhir dari LMD

(Radjasa dalam Asshiddiqie, Ikhwan, Hadiana, dan Mustofa, 2002). Begitulah

tantangan dakwah sepanjang masa; di mana pun dakwah dilakukan yang

tujuannya adalah kebaikan, akan selalu ada pihak yang menjadi lawannya dan

berusaha untuk memadamkan “cahayanya”. Hal ini mengingatkan kembali

pada Q.S. At-Taubah ayat 32 yang dijadikan motto oleh Jong Islamieten Bond

pada Majalah Het Licht; bahwa dakwah akan selalu menemui lawannya,

namun ia akan terus tegak. Itulah yang juga terjadi pada dakwah kampus. Sikap

represif dan upaya mendiskriditkan justru memacu semangat para aktivis

dakwah kampus. Meskipun LMD tidak ada lagi, para aktivis Masjid Salman

menggunakan sarana pengkaderan dan pembinaan yang lain, yakni Keluarga

Remaja Islam Salman (Karisma) dan Studi Islam Intensif (SII) (Eriadi, 2007).

248

Para alumni Pengkaderan PHI, Bina Masjid Kampus dan LMD juga

menginisiasi pendirian LDK di beberapa kampus. Interaksi para alumni ini pun

semakin intensif; tidak hanya melibatkan para alumni LDK, tetapi juga alumni

PII yang dianggap memiliki kesamaan ideologi. Di samping itu, banyak juga

alumni LDK yang pernah menjadi pengurus PII seperti Zainal Muttaqien,

Siswono, Untung Wahono, dan Aus Hidayat Nur. Perkumpulan inilah yang

disebut sebagai generasi awal gerakan Tarbiyah di Indonesia (Eriadi, 2007).

Gerakan Tarbiyah melalui LDK ini berkembang pesat melalui

berbagai kegiatan seperti seminar, kajian rutin, pelatihan, dan mentoring.

Mentoring tersebut merupakan hasil modifikasi LMD; salah satunya mengubah

rentang waktunya menjadi setiap minggu dalam satu semester secara bertahap.

Mentoring ini bahkan menjadi kegiatan resmi di beberapa kampus. Ada yang

termasuk ke dalam kegiatan wajib seperti Pendampingan Agama Islam (PAI)

di UGM sejak tahun 1987 (Karim, 2006). Mentoring Agama dan Etika Islam

yang menjadi bagian dari perkuliahan Agama Islam di ITB (Siddiq, 2003). Ada

juga yang termasuk ke dalam aktivitas pengenalan kehidupan kampus.

Kemunculan dan perkembangan LDK di berbagai kampus di

Indonesia kemudian melahirkan kebutuhan baru, yakni perlunya forum atau

ikatan jaringan antar LDK yang dapat menjadi sarana pemersatu dan media

koordinasi untuk mewujudkan dakwah kampus yang kuat, terpadu, dan terarah.

Jama‟ah Shalahuddin UGM pun berinisiatif untuk melaksanakan Sarasehan

LDK di Yogyakarta pada 24 Mei 1986 yang dihadiri oleh 13 LDK se-Pulau

Jawa (Rahmat, 2008). Pada tahun 1987, pertemuan dilakukan di ITB dengan

jumlah peserta yang lebih banyak. Pertemuan ketiga kemudian dilaksanakan

249

pada tahun yang sama di UNAIR dengan peserta mencapai 30 LDK. Pada

pertemuan ketiga inilah sebutan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus

(FSLDK) digunakan. Adapun pertemuan keempat dilaksanakan pada tahun

1988 di Surakarta dengan menghadirkan LDK dari Universitas Udayana Bali

dan Universitas Hasanudin Makassar. Selanjutnya, pada tahun 1989,

pertemuan kelima dilaksanakan di IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri

Malang) dengan bertambahnya utusan dari Sumatera, dan Nusa Tenggara

Barat. Pertemuan seperti ini selanjutnya dilaksanakan secara rutin untuk

membahas berbagai permasalahan mengenai dakwah kampus (Siddiq dalam

Rahmat, 2008).

Dakwah kampus yang semakin kuat dan solid selanjutnya memperluas

bidang pergerakannya ke lemba-lembaga politik mahasiswa seperti Senat

Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) (Eriadi, 2007).

Peruntungannya dimulai sejak tahun 1993 dengan diangkatnya Mustafa Kemal

sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI. Setahun setelah itu, posisi

strategis Ketua Senat Mahasiswa UI berhasil diraih oleh aktivis dakwah

kampus untuk pertama kalinya dengan menempatkan Zulkiflimansyah pada

posisi itu. Selanjutnya, paa tahun 1996 para aktivis dakwah kampus berhasil

memenangkan Haryo Setyoko menjadi Ketua BEM UGM serta Agus

Supriyatna menjadi Ketua Senat Mahasiswa IKIP Jakarta. Pada tahun 1998,

para aktivis dakwah kampus menang di tiga kampus terkemuka sekaligus;

Vijay Fitrayasa menjadi Presiden Keluarga Mahasiswa (KM) ITB; Gunawan

menjadi Ketua KM Trisakti; serta Nurdin, Wirya Kusumayudha dan

Mukhamad Najid menjadi Presidium Senat Mahasiswa IPB (Siddiq, 2003).

250

Selain itu, para aktivis gerakan Tarbiyah juga membentuk lembaga

sosial. Misalnya para alumni LMD dari UI seperti Suharna, Musholli dan

Fahmi Alaydroes mendirikan lembaga bimbingan belajar Nurul Fikri yang

kemudian berkembang menjadi SD, SMP dan SMA Islam Terpadu (IT)

sebagaimana konsep pendidikan integral Natsir (Eriadi, 2007). Bentuk lembaga

sosial lainnya adalah Yayasan Studi dan Informasi Dunia Islam Kontemporer

(SIDIK) yang didirikan oleh Abu Ridho dan Mashadi. SIDIK kemudian

menjadi lembaga think tank gerakan Tarbiyah yang merekomendasikan

penurunan Soeharto dan juga pendirian Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim

Indonesia (KAMMI).59

Persebaran LDK semakin meluas ke seluruh Indonesia. Rahmat

(2008) menyebut bahwa jaringannya telah menyebar ke 64 perguruan tinggi di

seluruh Indonesia. Jaringan yang tergabung dalam LDK/FSLDK inilah yang

kemudian berperan besar dalam pembentukan KAMMI pada bulan Maret 1998

di Malang. Namun, FLSDK tidak secara formal mendukung pembentukan

KAMMI tersebut (Muhtadi, 2013). Berdasarkan keterangan tokoh dakwah

terkemuka yang tidak berkenan disebutkan namanya, KAMMI diprakarsai oleh

beberapa aktivis FLSDK dan dideklarasikan sesudah pertemuan tahunan

FSLDK ditutup secara resmi (Muhtadi, 2013).

Selanjutnya, setelah Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998,

para tokoh KAMMI mulai memperbincangkan mengenai pendirian partai

politik yang mendapatkan dua respon berbeda dari para aktivis dakwah kampus

59

Lihat M. Heriawan Eriadi. Pengaruh Pemikiran Politik Masyumi di Partai Keadilan/Partai Keadilan

Sejahtera. (Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007).

251

(Muhtadi, 2013). Sebagian setuju karena menurut mereka, jaringan dan sumber

daya dakwah kampus yang telah terbentuk sudah seharusnya menjadi modal

untuk membentuk partai politik. Adapun sebagian yang lainnya tidak setuju

dengan mengusulkan agar gerakan dakwah kampus menjadi organisasi

masyarakat saja. Namun, survei internal di kalangan kader inti menunjukkan

kesepakatan mayoritas dari mereka untuk mendirikan partai Islam.

Berdasarkan keterangan Abu Ridho (dalam Rahmat, 2008), saat itu Dewan

Da‟wah tidak berhasil mendirikan partai politik yang berasaskan Islam; yang

berdiri justru Partai Bulan Bintang (PBB) dengan asas Pancasila.

Partai Keadilan (PK) pun didirikan pada 9 Agustus 1998 melalui

musyawarah yang dipimpin Hidayat Nur Wahid dan didampingi Luthfi Hasan

Ishaq sebagai sekretarisnya. Kemudian PK mengangkat Dr. Nur Mahmudi

Ismail menjadi presiden partai, Dr. Salim Segaf al-Jufri menjadi Ketua Dewan

Syura, dan Anis Matta Lc. sebagai sekjennya (Rahmat, 2008). Selanjutnya PK

melebur bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 17 April 2003, yakni

pada musyawarah Majelis Syura PK ke-XIII di Wisma Haji, Bekasi Jawa Barat

(Rahmat, 2008). Peleburan ini disebabkan oleh batas treshold sebesar 2% yang

tidak bisa dicapai PK (Muhtadi, 2013). Tokoh-tokoh penting PKS yang

memiliki hubungan dekat dengan Masyumi atau pemikirannya dipengaruhi

oleh Masyumi adalah Abu Ridho dan Mutammimul Ula yang pernah menjadi

anggota DRP RI serta Mashadi yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum

Forum Umat Islam (FUI) dari unsur PKS. Selain itu, terdapat juga para alumni

LMD seperti Suharna Surapranata, Aus Hidayat Nur, Musholli, Untung

Wahono, Siswono, Wahyudin Munawir, Nursanita Nasution, Irwan Prayitno.

252

Tabel 5. Tokoh-tokoh PKS yang Berkaitan dengan Masyumi dan Dewan Da’wah

Sumber : Disunting dari Eriadi (2007).

253

Rentetan panjang generasi penggerak dakwah yang menguat di masa

Masyumi, khususnya yang dipelopori oleh Natsir dengan kepemimpinannya di

Dewan Da‟wah merupakan bentuk pertautan sejarah yang menjadi sarana

regenerasi sekaligus cerita perjuangan “bertahan hidup” para mujahid dakwah

penggengam “bola api agama” yang hendak menerangkan kehidupan kampus

dan kehidupan para cendekiawan bangsa dengan cahaya Islam. Oleh karena itu,

sangat pantas jika Natsir disebut sebagai seorang maestro dakwah yang mampu

mengharmonisasikan berbagai elemen menjadi kesatuan sumber daya

dakwah.60

4.6 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Jurnalisme

4.6.1 Penulis yang Perfeksionis

Taufiq Ismail, seorang budayawan dan sastrawan Indonesia yang

ayahnya (Ghoffar Ismail) merupakan sahabat Natsir, memberikan kesaksiannya

mengenai Natsir yang menurutnya adalah seorang cendekiawan dan penulis

yang memiliki ciri khas tersendiri (dalam Umam dan Kamaluddin, 2008).

Penulsian memang menajdi salah satu bidang yang ditekuni Natsir sejak ia

60

Artawijaya, wawancara pada Kamis, 8 Maret 2018.

Gambar 25. Alur Keterkaitan Sejarah Dewan Da’wah dengan Gerakan Tarbiyah

Sumber : Eriadi (2007).

2003

254

muda. Serupa dengan yang disampaikan oleh Taufiq Ismail, Ramlan

Mardjoned menyebutkan bahwa Natsir adalah seorang jurnalis, penulis

sekaligus pembicara dan pendebat sejak SMA (sejak AMS).61

Hal ini terlihak dalam kisahnya beradu argumentasi dengan seorang

pendeta Kristen Protestan bernama A.C. Christoffel yang hendak memengaruhi

para siswa AMS dengan pemahaman yang salah mengenai Yesus Kristus (Isa

AlMasih) dan Nabi Muhammad SAW. Natsir pun menunjukkan kualitas

seorang terdidik dengan beradu argumentasi lewat tulisan ilmiah berjudul

Muhammad als Profeet yang secara serius ia buat dengan berkonsultasi kepada

A. Hassan merujuk ke berbagai sumber pustaka.

Saat balasannya yang kedua terhadap tulisan Christoffels tidak dimuat

oleh AID De Preangerbode, Natsir bersama A. Hassan dan Persis membangun

Comite Pembela Islam dan menerbitkan majalah Pembela Islam (Kahin, 2012;

Artawijaya, 2014). Melalui majalah ini Natsir memproduksi beberapa tulisan

yang ditujukan untuk menangkis berbagai hasutan, fitnah dan cacian pihak-

pihak yang membenci dan memusuhi Islam. Tulisannya yang lain misalnya

berjudul Quran an Evangelie yang dimuat dalam Majalah Pembela Islam

Nomor 33 Tahun 1931. Tulisannya ini dimaksudkan untuk membantah tulisan

seorang pendeta Katolik Ordo Jesuit bernama J.J. Ten Berge yang dimuat

dalam Jurnal Studien. Tulisan Berge berisikan penistaan terhadap Al-Quran

dengan menyebutnya sebagai kumpulan dongeng (Artawijaya, 2014).

Pembelaan-pembelaan itu pun terus berlanjut seiring dengan berlanjutnya

penghinaan-penghinaan terhadap Islam.

61

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

255

Natsir memang menjadi penulis andalan Pembela Islam karena

argumentasinya kuat dan ilmiah yang pasti dibangun dengan kajian pustaka

yang baik dan proses penalaran yang matang. Karakter Natsir dalam menulis

ini disaksikan secara langsung oleh Yusril Ihza Mahendra yang pernah menjadi

asisten Natsir (dalam Umam dan Kamaluddin, 2008).

Ciri khas Natsir yang paling menonjol dalam menulis adalah sikap

perfeksionisnya.62

Ia tidak pernah mempublikasikan tulsiannya tanpa melalui

proses perenungan yang dalam, mencari banyak referensi, menulis draft dan

“corat-coret” draft serta hasil ketikan sementara.63

Ramlan Mardjoned

memberikan kesaksiannya bahwa setiap pagi ia datang ke rumah Natsir untuk

bekerja, pasti telah ada catatan yang harus ia kerjakan. Ia juga sering dipanggil

62

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018; Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4

Maret 2018. 63

Ibid.

Gambar 26. Majalah Pembela Islam Terbitan Comite Pembela Islam Persis

Sumber : Bilik Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja

Abdullah bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

256

Natsir di sela-sela kerjanya sambil membawa blocnote dan pulpen. Bahkan,

kemana pun Natsir pergi, Ramlan harus selalu menyiapkan dua benda tersebut

karena Natsir sangat sering memintanya mencatat pemikiran atau idenya

tentang berbagai hal. Hal itu disebabkan oleh pemikiran Natsir yang terlalu

luas dan keinginan untuk selalu melahirkan pemikiran yang terbaik.64

Hasil renungan yang menjadi draft itu kemudian ditinjau kembali

dengan membacanya atau mendengarkan bacaan Ramlan tentang draft itu.

Setelah selesai diketik, ia pun melihatnya kembali dan selalu ada koreksi, baik

tata penulisannya maupun ide penulisannya. Biasanya, Ramlan mendapatkan

dua kali revisi sebelum bisa dicetak dan dipublikasikan.65

Menurut Ramlan, ciri

khas menulis Natsir mirip seperti ciri khas A. Hassan yang ikut “sibuk” dalam

berbagai proses penulisan hingga pencetakan.

Hal serupa juga dialami oleh Lukman Hakiem yang pernah menjadi

Redaktur Majalah Media Dakwah. Pada tahun 1989, ada sebuah wacana

nasional mengenai UU tentang Mahkamah Agung yang mengatur 4 jenis

peradilan yang mendapatkan penolakan keras dari Frans Magniz Suseno.

Kemudian, Lukman bersama kawan-kawannya mewawancarai Natsir yang

nantinya akan dijadikan artikel. Transkrip wawancara dan tulisan itu pun

mendapatkan koreksi Natsir hingga beberapa kali. Ia mengisahkan:

“Terus kami transkrip, setelah itu kami serahkan ke Pak Natsir untuk diperiksa dan

itu dicoret-coret itu. Sampai mau naik cetak itu masih dikoreksi. Kurang ini, kurang

itu. Jadi beliau itu sangat perfeksionis”.66

64

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018. 65

Ibid. 66

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018.

257

Selain perfeksionis, Natsir punya ciri khas menulis dengan kalimat

yang singkat. Menurut Ramlan, Natsir bukan sekedar penulis biasa, melainkan

seorang jurnalis yang efektif dalam menggunakan diksi – pesannya

tersampaikan meskipun kalimatnya pendek.67

Natsir tidak hanya efektif dalam penggunaan diksi, tetapi sangat

berhati-hati dalam memilihnya. Natsir pernah berpesan kepada Lukman

Hakiem bahwa dalam menulis haruslah santun; boleh menghasilkan tulisan

dengan kalimat dan ide yang tajam dan keras, tetapi tidak boleh menggunakan

kata-kata yang kasar.68

Pengetahuan dan wawasan Natsir tentang berbagai pengetahuan,

termasuk agama Islam, juga menjadi bahan harmonisasi tulisannya. Misi yang

dibawa Natsir dalam menulis adalah dakwah – membela tegaknya Islam. Hal

ini terlihat jelas dalam pengalaman pertamanya menulis serta di berbagai

tulisannya yang lain. Salah satunya pernah dialami oleh Lukman Hakiem saat

Paus Yohannes Paulus datang ke Indonesia. Kedatangan Paus itu ditanggapi

oleh A.R. Fachroeddin dengan sebuah tulisannya berjudul Sugeng Rauh lan

Sugeng Tindak Romo Paus (Selamat Datang dan Selamat Jalan Romo Paus)

yang salah satu isinya adalah kisah-kisah tentang upaya kristenisasi.69

Tulisan

itu pun direspon oleh Romo Mangun dengan sebuah tulisan yang diterbitkan di

Majalah Hidup. Melihat hal itu, Natsir memanggil Lukman, kemudian

menunjukkan tulisan Romo Mangun sambil mengatakan “jangan biarkan Pak

67

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018; Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6

Maret 2018. 68

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018. 69

Ibid.

258

A.R. sendirian!”. Lukman pun didorong untuk membanu A.R. Fachroeddin

dengan membuat tulisan serupa. Artinya, Natsir menggunakan tulisan untuk

berdakwah sekaligus memberikan peringatan bagi setiap pihak yang berpotensi

mengusik Islam atau umat Muslim.

Wawasannya yang luas juga membuatnya kaya akan perbendaharaan

kata dan gagasan sehingga mampu menghasilkan tulisan yang berkualitas.

Zainal Abidin Ahmad yang merupakan orang dekat Natsir memuji tulisan

Natsir melalui sambutannya dalam Buku Capita Selecta :

“Tulisannya yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan

menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja, karena kata-

katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya yang tersendiri itu, melainkan

lebih utama lagi karena isinya yang bernas mengenai soal-soal sosial, ekonomi, dan

politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya

dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya” (dalam

Natsir, 1961, hal.: XI).

Hingga akhir hidupnya, Natsir telah menuangkan banyak pikirannya

dalam banyak tulisan yang sebagian darinya diterbitkan menjadi buku. Bahkan

saat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menjelang wafatnya, Natsir

masih menyempatkan diri untuk menuliskan pesan-pesan dakwahnya yang

kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku saku berjudul Da‟wah ilallah.70

Karya monumentalnya, Capita Selecta, sampai saat ini menjadi salah satu

dokumen sejarah sekaligus referensi pemikiran tokoh bangsa yang sangat dekat

dengan Islam. Ada juga buku pedoman dakwahnya Fiqh Da‟wah yang

merupakan himpunan pidato-pidato Natsir terkait dakwah yang dikumpulkan

70

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa 6 Maret 2018.

259

oleh Shaleh Umar Bayasud.71

Menurut Natsir Zubaidi, buku ini merupakan

buku dakwah yang harus dibaca oleh para da‟i atau mujahid da‟wah.72

Puar

(dalam Luth, 1999) menjelaskan bahwa Natsir telah menulis sebanyak 52 judul

sejak tahun 1930; tetapi Luth menduga lebih banyak dari itu.

4.6.2 Menghidupkan Dakwah dengan Jurnalisme

Dunia jurnalisme sudah ditekuni Natsir sejak ia bersekolah di AMS;

tepatnya sejak ia menjalin hubungan yangs angat akrab dengan A. Hassan dan

juga aktif di JIB cabang Bandung. Melalui A. Hassan, ia mendapatkan banyak

ilmu mengenai kegiatan jurnalisme; mulai dari mencari bahan untuk menulis

hingga pencetakan tulisan atau buku. A. Hassan sendiri merupakan seorang

penulis sekaligus editor, penerbit sekaligus pencetak karya-karyanya (Kahin,

2012). Bagi Natsir, kemampuan A. Hassan ini menunjukkan keunggulan diri

yang orisinal (Kahin, 2012).

Jurnalisme telah menjadi salah satu sarana andalan Natsir dalam

melakukan perjuangannya di berbagai hal. Natsir aktif membantu penerbitan

Majalah Pembela Islam yang diterbitkan oleh Comite Pembela Islam Persis,

meskipun tidak masuk ke dalam jajaran redaksinya.

Saat aktif di Masyumi, Natsir juga memiliki peran penting di Majalah

Hikmah sebagai pemimpin umumnya. Majalah Hikmah yang dijuluki sebagai

Mingguan Islam Populer ini terbit sebanyak empat kali dalam sebulan di setiap

hari Sabtu dengan total jumlah halaman sebanyak 24 halaman. Terdapat

beberapa rubrik dalam Majalah Hikmah, seperti Tanah Air yang berisikan

71

Ibid. 72

Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

260

berita dan informasi dalam negeri; Dunia Islam yang berisikan berita dan

informasi khusus mengenai Islam di dalam dan luar negeri; Masalah Dunia

yang berisikan berita dan informasi luar negeri secara umum; Perguruan dan

Pendidikan yang berisikan berita dan informasi mengenai dunia pendidikan;

Agama yang berisikan tulisan-tulisan tentang ajaran dan pengetahuan Islam;

serta Bercerita yang berisikan kisah-kisah keteladanan seperti kisah para

sahabat Rasulullah SAW.

Ciri khas Majalah Hikmah adalah kutipan Q.S. An-Nahl ayat 125 yang

terletak di halaman awal Majalah Hikmah. Adapun terjemahan ayat tersebut :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik

dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang

lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih

mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Kemenag RI, 2011).

Gambar 27 . Sampul (a) dan halaman pertama (b) Majalah Hikmah Nomor 14 April 1953

Sumber : Hasil digitalisasi Komunitas Jejak Islam Bangsa (JIB)

(a) (b)

261

Dari ayat inilah mungkin inspirasi nama Majalah Hikmah diambil; diambil dari

kata “hikmah” yang digunakan untuk menyeru kepada Islam (jalan Tuhan).

Peran Natsir dalam bidang jurnalisme berlanjut hingga saat ia

memimpin Dewan Da‟wah. Misalnya menjadi Dewan Redaksi dalam Majalah

Serial Media Dakwah. Majalah yang diterbitkan oleh Dewan Da‟wah ini

dipimpin oleh Buchari Tamam dengan penerbitannya setiap satu bulan sekali.

Izin terbitnya disahkan melalui Surat Izin Terbit Nomor

500/SK/DitjenPPG/STT/1978. Kantro redaksinya beralamatkan sama seperti

Dewan Da‟wah yakni di Jalan Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.

Serial Media Dakwah ini secara umum berisikan tulisan-tulisan para

tokoh Islam, khususnya Dewan Da‟wah. Oleh karena itu, Ramlan Mardjoned

menyebut Serial Media Dakwah ini sebagai majalah yang menjual gagasan-

gagasan pemimpin umat.73

Selain tulisan-tulisan tersebut, terdapat juga rubrik-

rubrik seperti Kronik Dakwah yang berisikan berita dan informasi mengenai

perkembangan dan aktivitas dakwah serta Wawancara yang berisikan hasil

wawancara berbagai tokoh mengenai berbagai permasalahan. Natsir

merupakan tokoh yang sering diwawancarai. Adapun tokoh internasional yang

pernah diwawancari seperti Prof. Dr. Shawqi Futaki yang merupakan

pemimpin Japan Islamic Congress. Dua rubrik ini menjadi ciri khas dari Serial

Media Dakwah yang berperan penting sebagai corong Dewan Da‟wah. Redaksi

Majalah Serial Media Dakwah memberikan deskripsi secara lebih spesifik

73

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa 6 Maret 2018.

262

Gambar 28. Sampul (a) dan daftar isi (b) Majalah Serial Media Dakwah

No. 88 Oktober 1981

Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu

Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

(a) (b)

mengenai majalah ini pada halaman daftar isi dan redaksi yang berlafalkan

sebagai berikut:

“Menghidangkan berbagai tulisan mengenai dakwah Islamiyah serta masalah-

masalah aktual di masyarakat dalam kaitannya dengan dakwah dalam arti luas.

Untuk itu Redaksi menerima berbagai tulisa, antara lain : problem dakwah, suka

duka berdakwah, laporan kegiatan dakwah, foto dan gambar mengenai dakwah,

serta tulisan lainnya yang berkaitan dengan dakwah. Setiap tulisan yang akan

dimuat, Redaksi berhak merubahnya sepanjang tidak merubah isinya. Tulisan-

tulisan yang tidak dimuat akan dikembalikan jika disertai perangko pengembalian

secukupnya. Tulisan-tulisan atau foto dan gambar yang dimuat boleh dikutip

dengan menyebutkan sumbernya (Redaksi Majalah Serial Media Dakwah,

1979, hal.: ii).

Adapun tampilan Serial Media Dakwah sebagaimana berikut.

Majalah lainnya Majalah Kiblat yang diterbitkan oleh YPHI. Majalah

yang dipimpin oleh A. Musaffa Basjyr (HAMBA) ini terbit setiap tengah bulan

atau dengan kata lain dua kali dalam sebulan. Kantor redaksi atau tata

263

usahanya terletak di Jalan H. Agus Salim 24 Jakarta Pusat. Dalam majalah ini,

Natsir berperan sebagai Pembantu Ahli. Majalah ini memiliki kemiripan

dengan Serial Media Dakwah, yakni menampilkan tulisan-tulisan para tokoh

Islam mengenai berbagai hal. Isi majalah ini mencakup berita dan informasi

terkait Islam di lingkup nasional dan internasional. Ada juga bagian yang

menampilkan tokoh-tokoh Islam dengan berbagai keteladanannya. Ciri khas

dari Majalah ini adalah kutipan ayat Al-Quran yang ditampilkan pada halaman

Daftar Isi dan Susunan Redaksi yang disebut sebagai Pegangan Hidup. Berikut

adalah tampilan Majalah Kiblat.

Natsir juga memiliki peran dalam Majalah Suara Masjid sebagai

Penasehat. Majalah yang diterbitkan oleh Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) ini

dipimpin oleh Natsir Zubaidi (Ketua Penyunting/Penanggungjawab) dengan

penerbitannya setiap satu bulan sekali. Izin terbitnya disahkan melalui Izin

Gambar 29. Sampul (a) dan daftar isi (b) Majalah Kiblat No. 3 20 Juni – 5 Juli 1989

Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud,

Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

(a) (b)

264

Terbit Kepuutsan Menpen No. 152/SK/Ditjen PPG/STT1976 – ISSN 0215-

059X. Majalah Suara Masjid ini secara umum berisikan berita dan informasi

mengenai berbagai tokoh dan peristiwa yang berkenaan dengan Islam. Susunan

redaksi majalah ini terdiri dari Penasehat, Dewan Penyunting, Ketua Pengarah,

Ketua Penyunting/Penanggungjawab, Penyunting Pelaksana, Staf Penyunting,

Artistik serta Tata Usaha yang khusus menangani masalah keuangan. Alamat

redaksi atau tata usaha majalah ini merupakan lokasi Dewan Da‟wah saat ini,

yakni Jalan Kramat Raya Nomor 45, Jakarta Pusat. Adapaun tampilan Majalah

Suara Masjid sebagaimana berikut.

Adapun majalah lainnya seperti Majalah Media Dakwah yang juga

diterbitkan oleh Dewan Da‟wah yang terbit sejak tahun 1967.74

Salah satu

isinya adalah ceramah-ceramah Natsir pada selepas shalat subuh yang

74

Ibid.

Gambar 30. Sampul (a) dan bagian awal sebuah artikel (b) Majalah Suara Masjid

No. 223 April 1993

Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud,

Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

(a) (b)

265

kemudian disusun transkripnya hingga sore harinya. Transkrip dan juga

tulisannya dikoreksi oleh Natsir sebagaimana biasa. Bahkan Buchari Tamam

yang merupakan sekretaris Dewan Da‟wah pertama juga ikut mengoreksi

bagian ayat dan hadits. Media Dakwah yang awalnya berbentuk buku kecil,

akhirnya menjadi majalah karena isinya yang kaya informasi dan

dikomunikasikan dengan baik.75

Berikut adalah tampilan Majalah Media

Dakwah.

Selain majalah-majalah tersebut, Natsir juga berperan di beberapa

majalah lainnya sebagai kontributor tulisan; seperti dalam Panji Masyarakat

yang tulisannya sering disalurkan oleh Ramlan Mardjoned.76

Ia juga

kontributor tulisan untuk Suara Muslimin Indonensia, majalah milik Ormas

75

Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018. 76

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

Gambar 31. Sampul (a) dan bagian awal sebuah artikel (b) dalam Majalah Media Dakwah

No. 251 Mei 1995

Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud,

Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

(a) (b)

266

Masyumi pada zaman Jepang; serta Pedoman Masyarakat di Medan.77

Selain

itu, Natsir Zubaidi menyebutkan media massa lainnya yang di dalamnya

terdapat kontribusi Natsir; seperti Pikiran Rakyat, Pemandangan, dan Pandji

Islam.78

Natsir juga memiliki peran secara tidak langsung di beberapa media

lainnya yang berhubungan dengan Dewan Da‟wah; seperti Majalah Khutbah

Jumat, Panji Masyarakat, dan Sahabat. Secara umum Natsir menjadi

kontributor tulisan serta diperlukan nasehatnya dalam operasional media massa

tersebut. Misalnya dalam Majalah Panji Masyarakat, Natsir pernah menulis

dalam edisi Nomor 375 - Oktober 1982 tentang kontroversi buku Pendidikan

Moral Pancasila (PMP) yang diterbitkan pada masa Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Daoed Joesoef. Kemudian dalam Majalah Sahabat, Natsir

berperan penting dalam memberikan dukungan dan masukan hingga Ramlan

Mardjoned saat itu melaporkan penerbitan Sahabat pertama kalinya kepada

Natsir. Majalah Sahabat ini merupakan majalah dakwah yang unik karena

menyasar anak-anak sebagai objek dakwahnya dengan menggunakan

visualisasi serupa komik dalam penyampaian pesan-pesan atau ajaran-ajaran

Islam. Majalah ini tentu menjadi media alternatif yang sangat cocok dengan

anak-anak yang cenderung tidak berminat dengan buku bacaan yang memuat

lebih banyak tulisan. Sayangnya, saat ini cukup sulit menemukan majalah

dakwah yang kreatif dan bijaksana dalam penyampaian pesan dakwahnya.

77

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018 78

Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

267

Gambar 32. Tulisan Natsir Tentang Buku PMP dalam Majalah Panji Masyarakat Edisi

Nomor 375, Oktober 1982

Sumber : Hasil Digitalisasi Komunitas Jejak Islam Bangsa (JIB)

Gambar 33. Sampul (a) dan bagian awal sebuah artikel (b) Majalah Sahabat

No. 220 31 Juli – 14 Agustus 1989

Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu

Saud, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia Pusat.

(a) (b)

268

No

.

Nama

Majalah/Harian Penerbit

Peran

Natsir Tokoh Penting Lainnya

1.

MAJALAH

PEMBELA

ISLAM

Comite

Pembela

Islam

Kontributor

Tulisan

A. Hassan (penasehat)

K.H.M. Zamzam (Yang

dipertua)

H. Mahmoed (Naib yang

dipertua)

Sabirin (Setia Oesaha I)

Bachtiar Effendi (Setia

Oesaha II)

S.M. Roechsan (bendahara)

Sjahaboeddin Latif (jawatan

kuasa)

I. Tjai (jawatan kuasa)

Ab. H. Zanzibar (jawatan

kuasa)

2.

SERIAL MEDIA

DAKWAH

Pemimpin umum /

pimred : H.

Buchari Tamam

DDII Dewan

Redaksi

H. Buchari Tamam

(pemimpin umum dan

dewan redaksi)

Badruzzaman Busyairi

(dewan redaksi, wakil

pemimpin redaksi)

Moh. Roem (dewan redaksi)

Prof. Dr. H.M. Rasyidi

(dewan redaksi)

Prof. Osman Raliby (dewan

redaksi)

M. Yunan Nasution (dewan

redaksi)

H.S.M. Sjaaf (dewan

269

redaksi)

Nawawi Dusky (dewan

redaksi)

Hussein Umar (dewan

redaksi)

Ramlan Mardjoned

(pemimpin usaha dan dewan

redaksi)

Agusmar (tata usaha)

3. HIKMAH

(Mingguan Islam

Populer)

Jajasan

Hikmah

(Penduku

ng Partai

Masyumi

)

Pemimpin

Umum

A.R. Baswedan (pemimpin

redaksi)

Nawawi Dusky (pemimpin

harian)

Dahnial Dahlan (sekretaris

redaksi)

Hamka (anggota redaksi)

Z.A. Ahmad (anggota

redaksi)

Mh. Ali alhamidy (anggota

redaksi)

H.S.M. Sjaaf (anggota

redaksi)

Adnan Sjamni (anggota

redaksi)

Dahlan S.A. (tata usaha)

4.

KIBLAT

(Majalah Islam

Tengah Bulanan)

:

YPHI Pembantu

Ahli

A. Musaffa Basjyr

(HAMBA) (Pemimpin

umum dan pemimpin redaksi

penanggung jawab)

Endang Basri Ananda (wakil

270

pemimpin redaksi)

Yunan Helmy Nasution

(wakil pemimpin redaksi)

Natsir Zubaidi (staf redaksi)

Mas‟ud HMN (staf redaksi)

Haksan Wirasutisna (tunas

kiblat)

K.H. Syukri Ghozali

(pembantu tetap dan

penasehat)

Prof. Drs. K.H. Hasbullah

Bakry, S.H. (pembantu

tetap)

dr. Dede Kusmana

(pembantu tetap)

Ny. Par Saehlan (pembantu

tetap)

H. Hanan Rofi‟ie (pembantu

tetap)

H. Imron Rosyadi, S.H.

(pembantu ahli)

K.H. Maskur (penasehat)

K.H. Hasan Basri

(penasehat)

K.H. Rusli Abdul Wahid

(penasehat)

H. Tubagus Ubay (wartawan

foto)

271

5. SUARA MASJID IKMI Penasehat

Natsir Zubaidi (ketua

penyunting/penanggungjawa

b)

H.M. Yunan Nasution (ketua

dewan penyunting)

Prof. Osman Raliby (dewan

penyunting)

Dr. H. Ali Akbar (dewan

penyunting)

Drs. H. Abu Yamin Roham

(dewan penyunting)

H.N. Djamil Muda (dewan

penyunting)

H. Abd. Rahim Haris

(dewan penyunting)

H. Ali Fahmi Arsyad (dewan

penyunting)

H. Ramlan Mardjoned

(dewan penyunting dan

ketua pengarah)

H. Mazni M. Yunus (dewan

penyunting)

H. Adnan Sjamni (dewan

penyunting)

Drs. H. Dahlan Bashry

Thahiry, Lc. (dewan

penyunting)

Moch. Lukman Fatahullah

Rais, S.H. (penyunting

pelaksana)

272

Asmara Hadi Usman

(penyunting pelaksana)

Ali Moesyafa Asy‟ari

(penyunting pelaksana)

Syamsulrizal (penyunting

pelaksana)

Iwan Wientania (artistik)

Sri Waluyo Martono (tata

usaha)

Hazril Haryadi (tata usaha)

Sabar Suwarso (tata usaha)

Masykur (tata usaha)

Thohir (tata usaha)

Sugeng Sucipto (tata usaha)

Sutan Pandapotan(tata

usaha)

6.

MAJALAH

KHUTBAH

JUMAT

Pemimpin

umum/pimpinan

redaksi : H.

Ramlan

Mardjoned

DPP

IKMI ---

Ramlan Mardjoned

(pemimpin umum/pimpinan

redaksi)

Drs. H. Rusjdi Hamka

(dewan penasehat)

7.

PANJI

MASYARAKAT

Pemimpin

umum/pimred : H.

Rusjdi Hamka

Yayasan

Nurul

Islam

---

H. Rusjdi Hamka (pemimpin

umum/redaksi)

Azyumardi Azra

(koresponden New York)

Bahtiar Effendi

(koresponden Ohio)

H. Endang Saifussin Anshari

(pembantu tetap)

273

Drs. H. Ridwan Saidi

(pembantu tetap)

H.M. Yunan Nasution

(pembantu tetap)

8.

SAHABAT (Tengah Bulanan)

Pimred : Johar

Arifin

Yayasan

Media

Sahabat

---

Ramlan Mardjoned

(penasehat)

H. Buchari Tamam

(penasehat)

4.6.3 Muktamar Media Massa Islam Se-Dunia Pertama

Muktamar Media Massa Islam Sedunia yang dilaksanakan di Balai

Sidang Senayan, Jakarta pada 1 sampai dengan 3 September 1980 M atau 20

sampai dengan 23 Syawal 1400 H merupakan pertama kalinya di dunia

(Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1980). Muktamar yang terselenggara

atas kerjasama Rabithah Alam Islami dan Pemerintah Republik Indonesia ini

dihadiri oleh 327 peserta yang terdiri dari wartawan, penulis, dan penerbit

Islam dari 49 negara di dunia. Muktamar ini juga dihadiri sejumlah pejabat

tinggi negara, perwakilan diplomatik negara-negara sahabat dan ribuan

undangan lainnya. Presiden Soeharto mendapat kehormatan untuk membuka

Muktamar tersebut dan Wakil Presiden Adam Malik yang menutupnya.

Ada kisah menarik yang terjadi saat Muktamar tersebut. Natsir yang

merupakan salah seorang tokoh Rabithah Alam Islami sangat diharapkan

Tabel 6 . Daftar Media Massa yang Pernah Mendapatkan Kontribusi Natsir.

Sumber : Diolah dari dokumentasi pribadi serta keterangan Ramlan mardjoned, Natsir

Zubaidi dan Lukman Hakiem.

274

kehadirannya oleh pihak Rabithah. Namun, kehendak itu mengalami hambatan

dari staf presiden yang mengatakan bahwa Natsir tidak boleh berada satu atap

dengan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik karena

keterlibatannya dalam Petisi 50.79

Sebenarnya, Wakil Presiden Adam Malik

tidak mempersalahkan hal tersebut sedikit pun. Pihak Rabithah kemudian

menegaskan kepada staf presiden tersebut bahwa Muktamar tersebut tidak bisa

diselenggarakan jika Natsir tidak hadir.80

Natsir pun akhirnya diperkenankan hadir dengan syarat hanya menjadi

peserta Muktamar, bukan sebagai anggota dari presidium atau pimpinan

Mukatamar. Rosihan Anwan seorang jurnalis senior mendapatkan kesempatan

untuk menjadi salah satu pimpinan sidang. Saat itu Anwar merasakan sesuatu

yang mengganjal karena dirinya menjadi pimpinan siding, sedangkan seorang

tokoh Islam yang memiliki kepeduliaan khusus pada media massa Islam hanya

menjadi peserta.81

Selain Natsir, ada juga Sjafruddin Prawiranegara, H.M.

Rasjidi, Osman Raliby, Dr. Anwar Harjono, Bukhari Tamam, A.R. Baswedan,

Dr. Fuad M. Fachruddin,H. Mawardi Noor, SH., H. Abdullah Salim, dan H.

Syarbaini Karim.

Muktamar ini membawa tekad untuk menguatkan media massa Islam.

Penguatan media massa Islam ini sangat diperlukan untuk melawan dominasi

media massa barat yang memunculkan pemberitaan yang tidak berimbang dan

rusaknya nilai-nilai luhur Islam (Redaksi Majalah Serial Media Dakwah,

79

Hal ini merupakan salah satu sanksi yang diberikan pemerintah kepada orang-orang yang terlibat dalam

Petisi 50. (Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018). 80

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018. 81

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018.

275

1980). Hal ini disinggung oleh Presiden Soeharto saat membuka Muktamar; Ia

mengatakan bahwa pemberitaan yang tidak berimbang tersebut menjadi

penyebab tidak adanya sikap saling memahami antar bangsa, terlebih lagi

sesama muslim lintas negara. Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengatasi hal

tersebut adalah dengan memperkuat media massa Islam dengan

membangkitkan semangat dan kesadaran umat tentang pentingnya peranan

media massa atau pers. Kesadaran inilah yang menjadi kunci majunya media

massa barat dan negara-negara blok sosialis yang memberdayakan media

massa mereka sebagai alat propaganda secara sungguh-sungguh. Wakil

Presiden Adam Malik menegaskan hal ini dalam pidato penutupan Muktamar,

“Pers mereka tangguh dan mempunyai pengaruh luas karena mereka tahu peranan pers

yang begitu penting dan menentukan untuk berhasilnya suatu perjuangan” (dalam

Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1980, hal.: 30).

Peranan penting yang dimiliki oleh media massa ini menjadi landasan dari

himbauan Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara,

“media massa Islam dapat merubah keadaan ke arah yang lebih baik dan sempurna.

Sehingga media-massa Islam dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan

dakwah dan ukhuwah Islamiyah, Serta sekaligus dapat menjawab tantangan zaman,

dan mampu memainkan peranannya untuk menjelaskan ajaran Islam dalam segala segi

dan aspeknya keseluruh dunia” (dalam Redaksi Majalah Serial Media

Dakwah, 1980, hal.: 30).

Pernyataan tersebut tentu tidak diungkapkan begitu saja tanpa adanya

harapan eksplisit akan kondisi umat Islam di masa depan. Berkumpulnya para

jurnalis dan penggiat media massa Islam dari 49 negara ini menunjukkan

potensi luar biasa yang dimiliki umat Islam; umat Islam mampu menjadi

276

kekuatan besar dalam menentukan arah media massa dunia. Harapan

bangkitnya media massa Islam memang menggelora saat itu. Apalagi berbagai

permasalahan yang menimpa negara-negara Islam menjadi desakan untuk

segera menguatkan media massa Islam. Misalnya masalah agresi Israel

terhadap Palestina; pada saat Muktamar berlangsung, dunia sedang dibuat

geram akan rencana keji Israel untuk menjadikan Jerussalem sebagai ibukota

“abadi” mereka. Perbincangan di ruang Muktamar tentang kelakukan Israel itu

berujung pada pengutukan secara keras terhadap negara zionis itu. Pangeran

Fahd dari Arab Saudi pun mengeluarkan seruan jihad yang disambut hangat

dan penuh semangat pada Muktamar tersebut. Peristiwa ini pun terjadi kembali

Semangat untuk membangkitkan martabat Islam melalui penguatan

media massa Islam ditunjukkan oleh para pemimpin dunia Islam. Tujuh kepala

pemerintahan menyampaikan pesan tertulisnya dalam forum Muktamar;

mereka adalah Raja Khalid dari Arab Saudi, Presiden Rauf Denktas dari Turki

Siprus, Perdana Menteri Sulaiman Damirel dari Turki, Presiden Saddam

Husein dari Irak, Raja Hasan II dari Maroko, Presiden Ziaul Haq dari Pakistan,

dan Yasser Arafat yang merupakan wakil PLO. Selain itu, ada juga tokoh

lainnya seperti Sekjen Rabithah Alam Islami, Syeikh Ali Harakan, Sekjen

Muktamar Alam Islami (mengirim wakilnya), ketua Panitia Pelaksana

Harmoko, dan Menteri Agama yang memberikan sambutannya. Selain

memberikan sambutannya, Syekh Ali Harakan juga memimpin sidang-sidang

yang dibagi dalam 4 komisi, yakni: (1) Komisi Fikrul Islam, (2) Komisi

Pengembangan Media Massa, (3) Komisi Proyek-proyek Media Massa, dan (4)

277

Komisi Kode Etik. Hasil dari sidang selama tiga hari itu adalah keputusan-

keputusan yang dihimpun dalam Deklarasi Jakarta.

Gambar 35. Tokoh-tokoh yang turut hadir dalam Muktamar : (dari kiri) (1) Dr. Fuad M.

Fachruddin; (2) H. Mawardi Noor, SH.; (3) Mohammad Natsir; (4) Osman Raliby; (5) H.M. Yunan

Nasution; (6) H. Abdullah Salim; (7) H. Bukhari Tamam; (8) Dr. Anwar Harjono, SH.; (9)

Sjafruddin Prawiranegara; dan (10) H. Syarbaini Karim

Sumber : Majalah Serial Media Dakwah Nomor75 Bulan September 1980

1 2

3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 34. Mohammad Natsir(a) dan H.M. Rasjidi (b) dan A.R. Baswedan (c) dalam Muktamar

Media Massa Islam se-Dunia

Sumber : Majalah Serial Media Dakwah Nomor75 Bulan September 1980

a b

c

278

4.7 Mohammad Natsir Membangun Konstruksi NKRI melalui Diplomasi

Islam Internasional

4.7.1 Kiprah Natsir di Muktamar al-Alam al-Islami dan Rabithah Alam

Islamy

Muktamar al-Alam al-Islami dan Rabithah Alam Islamy merupakan dua

lembaga Islam internasional tempat Natsir berkiprah dan meluaskan gerakan

dakwahnya. Muktamar al-Alam al-Islami merupakan wadah pertemuan dan

perundingan negara-negara Islam di dunia yang didirikan oleh Raja Abdul Aziz

bin Saud bersama dengan Mufti Besar Palestina Alhaj Amin Hussaini di

Makkah pada tahun 1926 dalam sebuah pertemuan para pemimpin muslim

dunia (Muktamar al-Alam al-Islami, tt). Pada pertemuan tersebut, turut hadir

tokoh Indonesia, Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang didampingi oleh K.H.

Mas Mansur (Roem, 1980).

Namun, pada pertemuan itu belum dibentuk organisasi permanennya

yang ditujukan untuk mewujudkan solidaritas dan kerjasama yang baik di

kalangan umat Islam seluruh dunia. Baru pada tahun 1931, pada Konferensi

Islam Internasional kedua ditetapkan organisasi permanennya dengan Alhaj

Aminul Hussaini sebagai presidennya serta Allama Dr. Mohammad Iqbal dan

Syed Alouba Pasha sebagai wakil presidennya. Pada Februari 1951, Konferensi

Muktamar diadakan di Karachi, Paksitan yang kemudian salah satu

keputusannya adalah menjadikan Karachi sebagai markas besar Muktamar al-

Alam al-Islami dengan Alhaj Aminul Hussaini sebagai presidennya dan Dr.

Inamullah Khan sebagai sekretaris jenderalnya (Motamar al-Alam al-Islami,

279

tt.). Adapun Natsir baru menduduki posisi sebagai Wakil Presiden Muktamar

al-Alam al-Islami pada tahun 1967 (Roem, 1983; Hakiem, 2008 b).

Menurut Natsir Zubaidi, Muktamar al-Alam al-Islami ini berfokus pada

permasalah sosial-politik umat Islam se-dunia.82

Secara lebih rinci, Muktamar

berfokus pada kerjasama di berbagai bidang, termasuk juga keagmaan,

pendidikan dan kebudayan (Motamar al-Alam al-Islami, tt.).

Selama menjadi Wakil Presiden Muktamar, Natsir telah memberikan

beberapa kontribusi terhadap umat Islam dunia. Misalnya dalam permasalahan

yang dihadapi oleh umat Islam Jepang. Pada kurun waktu 1975 sampai dengan

1980, pertumbuhan Islam di Jepang tergolong pesat. Tokoh dakwah Islam

Jepang yang merupakan Presiden Japan Islamic Congress saat itu, Prof. Dr.

Shawqi Futaki (1980) mengatakan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun itu, umat

Islam di Jepang sudah mencapai 40.000 orang. Jika dirata-rata, ada 8.000 orang

Jepang yang dengan ketulusan hatinya memeluk Islam setiap tahunnya.

Meskipun mengalami pertumbuhan yang pesat, dakwah Islam di Jepang tetap

memeliki tantangan tersendiri. Paham sekuler yang dianut oleh orang-orang

Jepang tidak hanya memunculkan sikap acuh terhadap agama, atau terhadap

Islam, tetapi juga memunculkan kecurigaan. Salah satu dampak dari

kecurigaan itu adalah penutupan poliklinik yang dimiliki oeh Dr. Shawqi yang

biasa menjadi tempat ikrar syahadat oleh orang-orang Jepang yang hendak

memeluk Islam. Namun, masalah ini akhirnya bisa diselesaikan berkat bantuan

dari Muktamar Alam Islami. Secara personal, Dr. Shawqi mengucapkan rasa

terima kasihnya kepada Wakil Presiden Muktamar Alam Islami, yakni

82

Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

280

Mohammad Natsir dan juga Sekjennya Dr. Inamullah Khan yang langsung

datang ke Jepang untuk menyelesaikan masalah ini (Futaki, 1980).

Kontribusi Natsir lainnya adalah dalam perjuangan rakyat Kibris yang

negaranya secara resmi bernama Turkish Federated State of Kibris dengan

berwilayah di sebagian pulau Cyprus (Roem, 1980). Pada sidang Muktamar ke-

7 yang dilaksanakan pada 23-28 Maret 1980 di Kibris, Natsir menyampaikan

sebuah pidato berjudul “Politik Internasional dan Masa Depan Dunia Islam”

yang berisikan refleksi terhadap berbagai peristiwa yang dialami umat Islam

dunia, khususnya penjajahan dan penindasan (Natsir, 1980 b). Melalui refleksi

itu, Natsir mengajak dunia Islam untuk bersama menggapai masa depan Islam

yang gemilang. Pemilihan Cyprus sebagai tempat pelaksanaan Muktamar ke-7

yang diawali dengan usulan Presiden Kibris Dr. Rauf Denktas sendiri

dilatarbelakangi oleh konflik yang sedang berlangsung antara umat Islam dan

Kristen di pulau tersebut.

Selain Mohammad Natsir, ada dua tokoh lainnya yang juga

menyampaikan pidato; seperti Dr. Ahmad Muhammad Ali (Presiden Islamic

Development Bank), Dr. Abu Bakar Fadhil (Lembaga Mnoritas Muslim

Universitas Raja Abdul Aziz Jeddah). Ada juga penyampaian pesan-pesan

tertulis dari Presiden Pakistan Ziaul Hak, Presiden Bangladesh, dan Wakil

Presiden Indonesia Adam Malik (Roem, 1980). Melalui Dr Anwar Harjono

yang juga merupakan tokoh Dewan Da‟wah, Indonesia mengusulkan agar

tanggal sidang, 24 Maret ditetapkan menjadi Hari Solidaritas Kibris. Usulan itu

pun diterima dan selanjutnya dilakukan proklamasi Hari Solidaritas Kibris

yang disambut gembira oleh rakyat Kibris (Roem, 1980).

281

Kiprah Natsir di lingkup internasional juga bisa dilacak melalui

Rabithah Alam Islamy. Pendirian organisasi ini disponsori oleh Raja Faisal bin

Abdulazis pada Mei 1962 di Makkah, Arab Saudi dengan basisnya terletak di

Jeddah, Arab Saudi (Kahin, 2012). Natsir menjadi bagian dari Rabithah Alam

Islam, tepatnya sebagai anggota Majelis Ta‟sisi sejak tahun 1969 (Hakiem,

2008 a; Kahin,2012; Roem,1983)

Jika Muktamar al-Alam al-Islami lebih berfokus pada bidang sosial-

politk, Rabithah Alam Islamy lebih berfokus pada bidang keagamaan.83

Oleh

karena itu, melalui sidang Majelis Ta‟sisi, organisasi ini membentuk al-Majelis

al-A‟la al-„Alami lilMasajid atau Dewan Masjid se-Dunia pada tahun 1974

(Muftisany, 2014). Natsir juga turut menjadi anggotanya sejak tahun 1976

(Hakiem, 2008 a). Tujuan pembentukan Dewan Masjid se-Dunia ini adalah

untuk melindung masjid-masjid di berbagai penjuru dunia dari berbagai

gangguan (Muftisany, 2014).

Selain itu, Rabithah Alam Islamy juga berperan besar dalam

menyediakan beasiswa studi di Arab Saudi untuk pelajar-pelajar Indonesia

yang disalurkan melalui Dewan Da‟wah. Lembaga ini juga yang memberikan

dukungan finansial kepada Dewan Da‟wah dalam mendorong pendirian banyak

masjid di Indonesia serta pelaksanaan pelatihan dakwah (Kahin, 2012). Melalui

lembaga ini, Natsir juga dapat berkontribusi dalam penyelenggaraan Muktamar

Media Massa Islam se-Dunia pertama pada 1 sampai dengan 3 September 1980

di Jakarta (Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1980).

83

Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

282

Melalui ketokohan Natsir, Indonesia memiliki hubungan sangat dekat

dengan Rabithah beserta tokohnya. Sebelum pelaksanaan Muktamar Media

Massa Islam se-Dunia, Sekjen Rabithah saat itu yang bernama Syeikh

Mohammad Ali Harakan mengunjungi Indonesia pada 30 Januari 1980

(Zubaidi, 1980). Kedatangan Ali Harakan disambut secara langsung oleh H.

Alamsyah Ratu Perwiranegara (Menteri Agama), H. Kafrawi MA (Sekjen

Departemen Agama), Anton Timur Jailani (Dirjen Kelembagaan Islam), H.

Burhani Tjokrohandoko (Dirjen Bimas Islam dan Haji), dan Dr. Rasyidi

(Perwakilan Rabithat di Jakarta).

Ali Harakan juga melakukan kunjungan personal ke beberapa tokoh

yang dekat dengannya. Ia secara langsung mengunjungi Natsir di rumahnya

untuk membahas berbagai permasalah yang menjadi cakupan Rabithah

(Zubaidi, 1980). Selain itu, ia juga melakukan pertemuan dengan Presiden

Soeharto, Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Dalam Negeri Amir

Machmud, dan tokoh-tokoh Majelis Ulama. Ali Harakan juga mengunjungi

Pondok Pesantren As-Syafiiyah, kantor Rabithah Alam Islami di Jakarta,

kemudian dilanjutkan ke Jawa Timur, Bandung dan Sumatera Barat.

4.7.2 Natsir dan International Islamic Charitable Organization

International Islamic Charitable Organization (IICO) atau dalam

bahasa Arab disebut al-Haiah al-Khairiyaah al-Islamiyyah al-„Alamiyyah

merupakan organisasi Islam internasional yang pendiriannya melibatkan

Natsir. Kisah pendirian IICO bermula ketika tokoh Islam dunia asal Mesir

Syeikh Yusuf Al-Qardhawy diundang oleh tokoh Islam di Kuwait untuk

283

memaparkan tentang permasalahan aktual umat Islam dunia saat itu pada bulan

Ramadhan 1403 atau bertepatan pada 1983 M. Beliau dipercaya memiliki

penghayatan terhadap berbagai persoalan yang ada di tengah umat dan

memiliki konsep untuk penyelesaiannya. Al-Qardhawy pun mengemukakan

idenya untuk membentuk suatu badan kebajikan Islam tingkat internasional

yang bertujuan untuk (1) membentengi aqidah umat dari setiap ancaman yang

datang dari musuh-musuh Islam; (2) melakukan program pengentasan

kemiskinan yang menjadi masalah di sebagian besar negeri kaum muslimin,

meskipun pada faktanya, dari segi sumberdaya alam memiliki kekayaan yang

besar (Redaksi Majalah Media Dakwah, 1995).

Ide ini pun mendapatkan tanggapan positif dari para tokoh Islam di

Kuwait dan negera-negara sekitarnya hingga terbentuklah panitia persiapan

yang diketuai oleh As-Syekh Yusuf Jasim Al-Hijji, seorang mantan Menteri

Gambar 36. Yusuf al-Qardlawi (kiri) dan potret dirinya saat berpidato penutup pada

Sidang V IICO

Sumber : Majalah Media Dakwah. (1995, Mei). IICO Menjawab Tantangan Dunia. Majalah

Media Dakwah, Nomor 251.

284

Wakaf Kuwait. Selanjutnya, untuk mewujudkan ide tersebut, Panitia Persiapan

itu mengundang puluhan ulama‟ dan cendekiawan muslim dari berbagai negara

untuk hadir dalam konferensi di Kuwait pada 17 Ramadhan 1404 atau 18 Juni

1984. Konferensi itu menghasilkan kesepakatan untuk membentuk sebuah

badan yang bernama “Al-Haiah al-Khairiyyah al-Islamiyyah al-„Alamiyah”,

atau International Islamic Charitable Organization (IICO) yang markas

besarnya berkedudukan di Kuwait. Adapun tanggal pelaksanaan konferensi

tersebut disepakati sebagai tanggal berdirinya IICO.

Para tokoh pendiri IICO yang dalam statuta IICO disebut sebagai

anggota al-jum‟iyyah al-„ammah (General Assembly) terdiri dari:84

1) Dr. Yusuf Al-Qardhawy (Mesir).

2) Dr. Mohammad Natsir (Indonesia).

3) As-Syekh Abul Hassan Ali An-Nadwi (India).

4) As-Syekh Yusuf Jasim Al-Hijji (Kuwait).

5) As-Syekh Abdullah Ali Mutawa (Kuwait).

6) Dr. Kamil As-Syarif (Yordania).

7) Dr. Ahmad Lemu (Nigeria).

8) As-Syekh Shaleh Al-Husain (Saudi Arabia).

9) As-Syekh Mushtafa Masyhur (Mesir).

10) Dr. Ahmad Muhammad Ali (Saudi Arabia).

Selain 10 tokoh pendiri di atas, terdapat 5 tokoh dan cendekiawan muda

lainnya yang juga menjadi anggota General Assembly ini, yakni:85

84

Lihat IICO Menjawab Tantangan Dunia, Majalah Media Dakwah Nomor 251 Mei 1995, Jakarta : Dewan

Da‟wah Islamiyah Indonesia.

285

1) Dr. Ahmad Totonji (Mantan Sekjen World Assembly of Muslim

Youth atau WAMY, Saudi Arabia).

2) Dr. Anwar Ibrahim (Mantan Ketua Angkatan Belia Islam Malaysia

atau ABIM, Malaysia).

3) Dr. Ahmad von Denver (Jerman).

4) Dr. Adil Abdullah Al-Falah (Kuwait).

5) Dr. Mani‟ Hamad Al-Jihani (Mantan Sekjen WAMY, Saudi

Arabia).

Pada konferensi itu, disepakati pula As-Syekh Yusuf Jasim Al-Hijji

yang merupakan ketua Panitia Persiapan menjadi Presiden IICO. Sebelumnya,

Al-Hiji juga pernah menjadi Ketua Jami‟iyyah al-Ishlah al-Ijtima‟i di Kuwait.

Strategi yang dilakukan oleh IICO untuk mencapai tujuannya adalah dengan

memprioritaskan pengembangan program produktif yang dapat mengentaskan

umat dari kemuskinan dan kebodohan secara bertahap, serta mewujudkan

kemandirian dalam mengatasi berbagai permasalahan kehidupan. IICO

mengembangkan proyek-proyek seperti industri karpet di Peshawar-Pakistan,

insutri tekstil di Mesir, pertanian intensif di Bangladesh, jasa transportasi di

Senegal dan berbagai pusat latihan ketrampilan di beberapa negara.

Selain itu, IICO juga membentuk beberapa komite yang bersifat

otonom, seperti: Komite Muslim Afrika, Komite Muslim Asia, Komite

Palestina, Komite Investasi dan Proyek Produktif yang melakukan koordinasi

amal Islamy dengan banyak lembaga Islam lainnya di berbagai negara,

85

Ibid

286

termasuk kawasan minoritas Islam. Komite-komite ini dibentuk untuk berfokus

pada persoalan-persoalan umat yang mendesak untuk diselesaikan; misalnya

masalah kelaparan, bencana alam dan peperangan seperti di Kashmir,

Afghanistan, Bosnia dan Chechnya.

Masuknya Natsir sebagai bagian dari 10 orang pendiri IICO yang

tergabung dalam general assembly adalah posisi yang sangat istimewa; tidak

hanya bagi pribadi Natsir, tetapi juga bagi Indonesia karena Natsir merupakan

satu-satunya orang Indonesia, bahkan di Asia Tenggara yang menjadi pendiri

IICO. Hal tersebut tentu menjadi modal penguat posisi Indonesia dalam

diplomasi Islam Internasional. Terlebih lagi, para anggota general assembly

(baik 10 tokoh pendiri dan 5 cendekiawan muda) merupakan tokoh-tokoh

berpengaruh Islam di dunia. Misalnya Dr. Yusuf Al-Qardhawy dan As-Syekh

Mushtafa Masyhur yang keduanya merupakan tokoh terkemuka Ikhwanul

Muslimin. Bahkan As-Syekh Mushtafa Masyhur menulis buku dengan judul

yang sama seperti ditulis oleh Natsir, yakni Fiqh Da‟wah. Buku Fiqh Da‟wah

karya Natsir merupakan buku pedoman da‟wah yang menurut Natsir Zubaidi

merupakan buku da‟wah yang terkenal dan perlu dibaca oleh para pendakwah

atau para khotib.86

Begitu juga dengan buku Fiqh Da‟wah karya As-Syekh

Mushtafa Masyhur menjadi salah satu buku pegangan bagi para aktivis

tarbiyah. Tokoh lainnya adalah As-Syekh Abul Hassan Ali An-Nadwi yang

pernah bersama Natsir memimpin al-Muktamar Islamil-„aam lil-Quds

(Muktamar Islam Umum untuk Pembebasan Al-Quds) di Damaskus tahun

86 M. Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

287

1956 (Natsir, 1980 a). Di samping itu, Natsir dan An-Nadwi juga sama-sama

mendapatkan penghargaan dari Raja Faisal untuk bidang Pengkhidmatan

terhadap Islam pada 12 Februari 1980. Keduanya pun sempat “saling tunjuk”

untuk mendapatkan penghargaan tersebut karena masing-masing dari mereka

merasa tidak pantas untuk mendapatkan penghargaan itu; faktanya, dua orang

sahabat itu akhirnya mendapatkan penghargaan yang sama di waktu yang

bersamaan.87

Natsir juga memiliki kedekatan dengan cendekiawan muslim dan juga

politisi asal Malaysia, Anwar Ibrahim. Saat Anwar Ibrahim menjadi Menteri

Pertanian serta Menteri Pendidikan Malaysia pada tahun 1980-an, ia sering

berkunjung ke rumah Natsir di Jalan Cokroaminoto Nomor 45 Jakarta tanpa

kawalan (Tim KPG-Tempo, 2011). Ia adalah politisi senior Malaysia yang

memimpin Oposisi Pekatan Harapan saat ini yang sangat kagum pada sosok

Natsir. Bahkan, Iman Ramlan yang merupakan putra Ramlan Mardjoned

menyatakan bahwa pendirian Masjid Al-Munawwarah di Kampung Bali yang

menjadi tempat dideklarasikannya pendirian Dewan Da‟wah mendapatkan

bantuan dari Anwar Ibrahim sebesar $1000.88

Sayangnya, semenjak diangkat menjadi anggota General Assembly,

Natsir belum pernah sekalipun hadir dalam sidang dua tahunan IICO. Hal ini

disebabkan oleh pencekalan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru hingga

wafatnya. Meskipun begitu, Natsir tetap menyampaikan gagasan-gagasannya

secara tertulis yang ia titipkan melalui utusannya, yakni Al-Ustadz Abdul

87 Ibid 88 Iman Ramlan, wawancara bersamaan dengan Ramlan Mardjoned pada Minggu, 11 Maret 2018

288

Wahid Alwy. Al-Ustadz Abdul Wahid Alwy merupakan orang dekat Natsir

yang akrab dengan salah seorang mantan menteri Kerajaan Saudi Arabia yang

mengagumi Natsir dan bersedia untuk membiayai penulisan buku-buku tentang

Natsir.89

Pada sidang ke V IICO yang diselenggarakan pada bulan Maret 1995,

Ketua Umum DDII, Dr. H. Anwar Harjono hadir dengan didampingi Muzayyin

Abdul Wahab yang merupakan Kepala Biro Hubungan Luar Negeri DDII.

Dalam sidang ini, Dr. Anwar Harjono ditetapkan sebagai anggota General

Assembly menggantikan Mohammad Natsir. Agenda sidang tersebut meliputi

Laporan Pertanggungjawaban Presiden IICO, kebijakan-kebijakan IICO untuk

dua tahun ke depan dalam bidang pengembangan program produktif umat,

bantuan kemanusiaan, dan koordinasi antar berbagai lembaga Islam dunia,

sehingga tidak terjadi tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Salah satu

masalah spesifik yang dibahas pada sidang itu adalah permasalahan Bosnia dan

Chechnya yang dipandang sangat mendesak untuk segera diselesaikan dengan

menguatkan solidaritas umat Islam. Selain menghadiri sidang V IICO, Dr.

Anwar Harjono juga menghadiri Sidang Dewan Pimpinan International

Islamic Council for Da‟wah and Relief (IICDR) yang diselenggarakan di lokasi

yang sama, yakni di Hotel Hyat Regency, Kuwait. IICDR yang berpusat di

Kairo telah mengangkat Dr. Anwar Harjono menjadi anggota Dewan Pimpinan

IICDR sejak tahun 1993.

89

M. Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

289

4.7.3 Diplomat Penyelamat

Penyelamatan klinik milik Prof. Dr. Shawqi Futaki yang digunakan

sebagai sarana dakwah dari ancaman penutupan bukanlah satu-satunya karya

diplomasi Natsir. Natsir telah tampil menjadi seorang diplomat ulung di

beberapa permasalahan internasional; termasuk menyelamatkan hubungan

Indonesia dengan beberapa negara.

Salah satu karya diplomasi Natsir adalah pemulihan hubungan

Indonesia dengan Arab Saudi melalui diplomasi dengan Rasa Faisal bin Abdul

Aziz. Pada kunjungannya ke Arab Saudi di tahun 1967 ia bertemu dengan Raja

Faisal. Natsir menceritakan bahwa Raja Faisal memiliki kesan yang sangat

baik terhadap Indonesia. Salah satu kebaikannya terhadap Indonesia

ditunjukkan melalui sikap lapang dadanya terhadap insiden yang pernah

menimpa Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia. Tempat perisitrahatan

Dubes Arab Saudi yang berada di Puncak pernah diserbu oleh oknum-oknum

kepolisian pada zaman orde lama. Namun, ketika Dubes meminta bantuan

untuk investigasi dan juga klarifikasi justru tidak ditanggapi oleh pihak yang

berwenang. Maka sebagai bentuk protes, dubes tersebut pulang ke Arab Saudi.

Akibatnya, hubungan antara Indonesia dan Arab Saudi sempat renggang dalam

beberapa waktu, hubungan keduanya pun tidak direprsentasikan dengan adanya

duta besar, tetapi sebatas pada tingkat Kuasa Usaha (Natsir, 1979).

Natsir yang memiliki hubungan akrab dengan Raja Faisal sempat

bertemu di Thaif dan kemudian bertanya tentang cara untuk memulihkan

hubungan Indonesia dan Arab Saudi. Maka jawaban Raja Faisal adalah:

290

“Mudah saja. Kami sama-sekali tidak bersengketa dengan rakyat Indonesia. Soalnya

sekarang tinggal masalah protokoler semata-mata. Soal kecil, secara protokoler

tentunya bukan kami yang harus mengambil inisiatif. Sampaikanlah kepada Mnteri

Luar Negeri tuan, supaya dia mengirim sepucuk surat kepada kami, mengatakan

bahwa Indonesia ingin memulihkan hubungan diplomatik antara kedua negara atas

tingkat ambassador. Asal ada saja surat semacam itu dalam filing di Departemen

Luar Negeri kami, soalnya selesai, dan kami akan kirim seorang ambassador

berkuasa penuh ke Indonesia.” (Natsir, 1979, hal.: 16).

Ketika Mohammad Natsir bertanya apakah perlu memberikan

pernyataan minta maaf, maka Raja Faisal menjawab:

“Tidak usah! Peristiwa itu terjadi di masa pemerintahan tuan-tuan yang dahulu

(Orde Lama). Pemerintah Indonesia yang sekarang tidak bersalah apa-apa”

(Natsir, 1979, hal.: 16).

Natsir menyambut sikap Raja Faisal ini dengan rasa bahagia dan dalam

sebuah wawancara ia menyebutkan bahwa Raja Fasial adalah seorang raja –

negarawan yang berjiwa besar. Setelah keberhasilan diplomasi itu, Raja Faisal

mengunjungi Indonesia pada 10 sampai dengan 13 Juni 1970. dan berdiskusi

dengan Presiden Soeharto mengenai kerjasama bilateral dalam berbagai bidang

(Natsir, 1979). Dalam pertemuan itu kedua tokoh negara ini menyampaikan

pidato yang menegaskan sikap saling mendukung antara Indonesia dan Arab

Saudi. Raja Faisal bahkan menyatakan bahwa hubungan Indonesia dan Arab

Saudi bukan sebuah hubungan yang baru dijalin, tetapi sebuah tradisi yang

berlandaskan pada iman kepada Allah dan Rasulullah (Ratya, 2017). Beberapa

tahun setelah itu, Soeharto pun mengadakan kunjungan balasan ke Arab Saudi.

Sayangnya, saat itu Raja Faisal telah wafat.

291

Begitulah hubungan harmonis kedua negara terjalin kembali yang

merupakan hasil dari “sentuhan” diplomasi Natsir yang menyelamatkan ikatan

berdasarkan iman.

Diplomasi Natsir dengan Raja Faisal juga pernah dilakukan di lain

kesempatan dengan topik pembahasan yang berbeda. Natsir pernah meminta

Arab Saudi mendukung kebijakan Soeharto terkait operasi militer -

penumpasan gerakan sparatis di Timor Timur pada tahun 1976 (Kahin, 2012).

Natsir menulis surat untuk Raja Faisal yang berisikan penjelasannya dan

justifikasinya terkait kebijakan Soeharto tersebut. Sikap Natsir membela

kebijakan Soeharto juga disampaikannya dalam sebuah wawancara dengan

press Pakistan. Ia menegaskan bahwa yang dilakukan pemerintah Indonesia

adalah sebuah usaha untuk mencegah terjadinya pemusnahan bangsa oleh

penduduknya sendiri akibat gerakan-gerakan yang tidak mengedepankan

persatuan bangsa dan diperburuk oleh “adu domba” pihak asing sebagaimana

yang pernah terjadi di Angola (Kahin, 2012).

Gambar 37. Soeharto Menerima Kunjungan Raja Faisal

Sumber : Pusat Data Jenderal Besar Soeharto (www.hmsoeharto.id)

292

Selain Arab Saudi, negara Timur Tengah lainnya yang pernah dikirimi

surat dengan tujuan diplomasi adalah Kuwait. Uniknya, yang meminta bantuan

Natsir untuk melakukan diplomasi ini adalah Ali Moertopo, seorang petinggi

ABRI yang sering disebut “anti-Islam”. Surat yang ditulis Natsir tersebut

berisikan penawaran kepada Kuwait untuk berinvestasi di Indonesia.

Penawaran ini pun direspon oleh Kuwait dengan memberikan dukungan

terhadap industri perikanan Indonesia (Hakiem dalam Kahin, 2012).

Itulah jiwa diplomat penyelamat yang ada pada diri Natsir. Meskipun ia

bukan bagian dari perangkat pemerintahan Soeharto, ia selalu mendukung

pemerintahan sah itu dengan kepiawaiannya berdiplomasi. Pengalamannya

sebagai menteri penerangan yang andal di masa Soekarno menjadi modal

baginya menjalin dan menjaga hubungan baik dengan berbagai negara sahabat.

Natsir bahkan memiliki andil besar dalam pemulihan hubungan Indonesia-

Malaysia yang sempat “renggang” pada masa Soekarno dengan adanya operasi

Ganyang Malaysia. Upaya Soeharto dalam memperbaiki hubungan Jakarta dan

Kuala Lumpur ditempuhnya dengan mengirim dua orang kepercayaannya, Ali

Moertopo dan Leonardus Benny Moerdani (L.B. Moerdani) ke Malaysia untuk

menemui Tunku Abdul Rahman yang saat itu menjabat sebagai Perdana

Menteri Malaysia. Walaupun Tunku Abdul Rahman tidak berkeberatan, ia

seolah menghindari dua utusan itu dengan pergi dari Kuala Lumpur tepat

sehari sebelum Ali Moertopo dan L.B. Moerdani tiba (Tim KPG-Tempo,

2011). Misi diplomasi perdamaian yang dilakukan Soeharto pun gagal.

Soeharto kemudian mengutus Sofjar (perwira Komando Cadangan Strategis

293

Angkatan Darat atau Kostrad) untuk menemui dan meminta bantuan Natsir.

Natsir kemudian menulis surat untuk Tunku Abdul Rahman yang berisikan

permohonannya untuk menerima niat baik pemerintah Indonesia yang hendak

memperbaiki hubungan Indonesia-Malaysia. Ia meyakinkan Tunku Abdul

Rahman dengan menjelaskan bahwa rezim Soeharto itu berbeda dengan rezim

Seokarno (Kahin, 2012). Surat itu kemudian dibawa Sofjar ke Kuala Lumpur

dan akhirnya dapat sampai ke Tunku Abdul Rahman melalui bantuan Tan Sri

Ghazali Shafii yang merupakan anggota kabinet (Tim KPG-Tempo, 2011).

Begitu membaca surat dari Natsir, Tunku Abdul Rahman bersedia menerima

utusan Indonesia langsung keesokan harinya. Apa yang dilakukan Natsir ini

tentu menjadi karya bersejarah yang hingga saat ini dirasakan manfaatnya oleh

kedua negara; tidak ada lagi ketegangan dan sikap sentimen kebangsaan yang

digunakan untuk saling berkonfrontasi.

Karya diplomasi Natsir lainnya adalah penguatan hubungan ekonomi

Indonesia dan Jepang melalui diplomasi dengan Menteri Keuangan Jepang,

Takeo Fukuda. Hubungan Natsir dengan Fukuda pertama kali terjalin saat

Natsir masih bergerilya melalui Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia

(PRRI); tepatnya melalui Sumitro Djojohadikusumo yang lebih dulu menjalin

kedekatan dengan Fukuda (Nishihara dalam Kahin, 2012). Bahkan, pemerintah

Jepang saat itu memberikan dukungan finansial kepada PRRI (Nishihara dalam

Kahin, 2012).

Pada sebuah kunjungannya ke Jepang di tahun 1971, Natsir bertemu

dengan Fukuda untuk membahas mengenai hubungan Indonesia dan Jepang.

294

Natsir kemudian meyakinkan Fukuda untuk memberikan dukungan finansial

kepada pemerintahan Soeharto (Hakiem dalam Kahin,2012). Hubungan dekat

Natsir dan Fukuda pun terus terjalin. Hingga saat Natsir wafat pada 6 Februari

1993, Fukuda melampiaskan kesedihannya melalui sebuah surat:

“When we received this sad news [of Natsir‟s death] it was more horrifying than the

dropping of atom bomb on Hiroshima, because we had lost a world leader, and a

great leader of the Islamic world” (“Ketika kami menerima berita duka tentang

wafatnya Natsir, hal itu lebih menakutkan daripada penjatuhan bom atom di

Hiroshima, karena kami telah kehilangan seorang pemimpin dunia, dan seorang

pemimpin besar dunia Islam” (dalam Kahin, 2012, hal.: 191).

Nakajima yang merupakan utusan Fukuda untuk pemakaman Natsir

menegaskan tentang kedekatan Natsir dengan Fukuda yang ditunjukkan dengan

ketergantungan Fukuda pada nasehat dan saran Natsir. Bahkan, Fukuda telah

mengutus Nakajima untuk bertemu Natsir sebanyak 200 kali guna

membicarakan permasalahan internasional (Nakajima dalam Kahin, 2012).

Berkaitan dengan aktivitas diplomasi, ada hal menarik yang peneliti

temukan dalam buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang

ditulis oleh M. Zein Hassan (1980). Natsir merupakan salah satu tokoh yang

memberikan kata pengantar dalam buku itu. Dalam sambutannya itu, Natsir

menyampaikan keprihatinannya terhadap sebuah acara pameran dokumentasi

tentang perisitiwa-peristiwa penting pada masa Revolusi yang dilaksakanan

pada Agustus 1972 di Menteng Raya 31. Natsir menyayangkan tidak adanya

arsip-arsip aupun dokumentasi yang memperlihatkan peran umat Islam (dalam

Hasan, 1980). Oleh karena itu, Natsir yang berperan penting dalam berbagai

peristiwa diplomatik, mendukung penulisan buku tersebut oleh M. Zein

295

Hassan. Berbagai peristiwa diplomatik ditampilkan dalam buku ini, salah

satunya yang menarik adalah hubungan diplomatik antara Indonesia dengan

Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi politik berasaskan Islam, yang

memberikan dukungan penuh kepada perjuangan bangsa Indonesia sekaligus

yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Sutan Sjahrir yang

merupakan sahabat Natsir dan beberapa orang lainnya pada suatu kesempatan

menyampaikan ucapan terima kasih secara resmi kepada Ikhwanul Muslimin.

Fakta sejarah seperti ini sangat diperhatikan oleh Natsir bukan sekedar

untuk melengkapi arsip sejarah, tetapi yang terpenting bagi Natsir adalah

menjadi bukti bagi perjuangan diplomasi Indonesia yang dipelopori oleh umat

Islam – Natsir (dalam Hassan, 1980) menyebutnya sebagai perang propaganda

dan percaturan diplomasi. Selain itu, dokumentasi di atas menjadi penguat

bahwa tidak hanya umat Islam di Indonesia saja yang berupaya meneguhkan

Gambar 38. Foto Pertemuan Delegasi Indonesia dengan Ikhwanul Muslimin

Sumber : Hassan (1980)

296

kemerdekaan Indonesia, tetapi juga umat Islam internasional. Fakta sejarah

seperti ini tentu menepis berbagai pandangan negatif mengenai pergerakan

Islam dan umat Islam itu sendiri dalam patriotisme dan rasa syukur

kebangsaan. Terlebih lagi berbagai stigma negative yang ditujukan kepada

Ikhwanul Muslimin yang saat ini banyak menganggapnya sebagai organisasi

teroris – stigma itu bahkan datang dari kalangan umat Islam sendiri.

Secara ideologis, Natsir memang memiliki keterkaitan dengan Ikhwanul

Muslimin, yakni melalui pengaruh pemikiran Muhammad Abduh dan Sayyid

Qutb (Kahin 2012). Ke depannya, pengaruh Ikhwanul Muslimin ini terlihat

jelas pada Dakwah Kampus hingga saat ini yang pada mulanya dipelopori oleh

Natsir dengan dibantu para kadernya sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya. Dakwah Kampus inilah yang kemudian memiliki peran penting

dalam penataan aqidah dan akhlak para mahasiswa di berbai universitas

terkemuka di Indonesia serta kemudian melahirkan partai yang diyakini

memiliki kedekatan ideologis dengan Ikhwanul Muslimin, yakni PKS.

Dengan demikian, perjuangan diplomasi umat Islam Indonesia hingga

ke tingkat dunia merupakan suatu hal yang wajib untuk diingat karena

diplomasi ini juga berkontribusi menentukan kondisi dan arah Indonesia di

masa ini.

4.8 Arsitek NKRI Beprestasi yang Rendah Hati

Pada moementum peringatan HUT RI ke-50, Ketua Umum Majelis

Ulama Indonesia mengusulkan kepada pemerintah tentang pemberian

297

penghargaan kepada lima tokoh Islam yang jasanya sangat besar dalam

berkhidmat terhadap perjuangan bangsa. Lima tokoh yang dimaksud itu adalah

1) Mohammad Natsir (1908 – 1993)

2) Mr. Kasman Singodimedjo (1904 – 1982)

3) Sjafruddin Prawiranegara (1911 – 1989)

4) K.H. Noer Ali (1914 – 1992)

5) K.H. Sholeh Iskandar (1922 – 1992)

Kasman Singodimedjo adalah tokoh Islam yang dekat dengan Natsir

sejak di Jong Islamieten Bond. Jasanya sangat besar dalam upaya konsolidasi

militer di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Kasman pernah menjadi

Daidancho atau Komandan Batalyon Pembela Tanah Air (PETA) di Jakarta.

Kasman juga pernah dipercaya menjadi Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR)

yang merupakan cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu,

Kasman juga pernah memimpin Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),

menjadi Jaksa Agung pertama Indonesia dan memimpin Kehakiman Militer.

Abdul Haris Nasution melalui tulisannya dalam 75 Tahun Kasman, memuji

Kasman dengan mengatakan:

“Hanya dengan kepemimpinan Soekarno-Hatta-Kasman, rakyat dapat digerakkan

secara massal. Tanpa ketiga pemimpin itu, akan merupakan gerakan yang hanya

setengah-setengah.” (Nasution dalam Zen, 1995)

Tokoh selanjutnya adalah Sjafruddin Prawiranegara yang memiliki jasa

besar dalam bidang perekonomian. Prof. Dawam Rahardjo (dalam Zen, 1995)

menyatakan bahwa Sjafruddin Prawiranegara merupakan salah satu dari tiga

tokoh penting yang meletakkan dasar perekonomian Indonesia yang jasanya

298

masih terasa hingga kini dalam perekonomian nasional. Dua tokoh lainnya

adalah Soemitro Djojohadikusumo dan Prof. Widjojo Nitisastro. Sjafruddin

Prawiranegara pernah menduduki beberapa jabatan penting dalam bidang

keuangan/perekonomian. Ia pernah menjadi Menteri Muda Keuangan, Menteri

Keuangan, Menteri Kemakmuran, dan Gubernur Bank Sentral. Ia memiliki

peran yang sangat penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan

Indonesia, yakni melalui perannya sebagai Ketua PDRI yang berpusat di

Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia dipercaya Soekarno untuk mengamankan status

kemerdekaan RI dengan membentuk pemerintahan darurat sebagai bukti de

facto bahwa RI tetap ada dan tidak bisa dijatuhkan oleh penjajah Belanda saat

itu. Begitu stabilitas Indonesia pulih kembali, Sjafruddin pun dengan penuh

kesadaran mengembalikan mandatnya kepada Soekarno. Ia memang seorang

yang ikhlas dan berkomitmen tinggi dalam berjuang untuk Indonesia. Ia

bahkan marah jika disebut sebagai “presiden” PDRI; ia lebih berkenan disebut

sebagai “ketua” karena ia menghindari pengkultusan.90

Tokoh selanjutnya adalah K.H. Noer Ali yang menjadikan pesantrennya

di Bekasi sebagai basis perjuangan bersenjata untuk merebut kemerdekaan

Indonesia. Pada tahun 1937, saat menjadi pelajar di Mekkah, ia ditunjuk

menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekkah. Dalam bidang militer,

Kiyai yang dijuluki “Singa Karawang-Bekasi” ini pernah menjadi Komandan

Batalyon III Hisbullah Bekasi, Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah

Jakarta Raya di Karawang, dan Ketua Laskar Rakyat Bekasi. Dalam bidang

90

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

299

politik, ia pernah menjadi Ketua Masyumi cabang Jatinegara pada tahun 1950,

anggota Dewan Konstituante pada tahun 1956, dan anggota Pimpinan Harian

Majelis Syuro Masyumi Pusat pada tahun 1957 (PP At Taqwa Putra, tt.).

Dalam biang birokrasi, K.H. Noer Ali dipercaya menjadi Bupati Bekasi yang

pertama dalam sejarah kabupaten itu.

Tokoh yang lainnya adalah K.H. Sholeh Iskandar yang memiliki

kemiripan dengan K.H. Noer Ali; ia tidak hanya berperan sebagai pemimpin

umat dalam hal keagamaan, tetapi juga menjadi pemimpin militer. K.H. Sholeh

Iskandar merupakan Komandan TNI Batalyon/Hizbullah Brigade Tirtayasa

Divisi Siliwangi dengan pangkat terakhirnya adalah Mayor TNI AD. Perannya

dalam dunia militer juga ditunjukkan melalui kepeloporannya dalam

mendirikan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Kerendahan hatinya

sebagai seorang ulama terlihat melalui gaya hidupnya yang sederhana, lebih

memilih hidup bersama masyarakat kampung di Bogor dan kemudian

mendirikan pesantren, menjadi pengasuh pesantren itu hingga wafatnya.

K. H. Hasan Basri menyampaikan usulan itu dalam suatu rapat Panitia

Peringatan 50 tahun HUT RI yang diselenggarakan di Departemen Agama

pada Maret 1995. Berbagai organisasi Islam, khususnya Muhammadiyah dan

Nahdlatul Ulama memberikan sambutan positif terhadap usulan tersebut. Syafii

Ma‟arif yang menjabat sebagai Wakil Ketua PP Muhammadiyah mengatakan

bahwa pengajuan Mohammad Natsir dan 4 tokoh Islam lainnya untuk

diberikan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional bukan sekedar pantas,

melainkan menjadi kewajiban dalam sudut pandang historis untuk mengakui

300

kapasitas tokoh-tokoh tersebut sebagai pahlawan nasional. Nahdlatul Ulama

memberikan sikap yang sama melalui pernyataan Rois syuriah PBNU, K.H.

A.Mustofa Bisri yang menegaskan bahwa memberikan penghargaan kepada

lima tokoh Islam itu adalah hal yang penting untuk menjaga fakta-fakta

sejarah. K.H. Mustofa Bisri yang memiliki sapaan akrab Gus Mus ini

menyatakan bahwa Natsir selalu ada dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Dukungan yang sama juga diberikan oleh Ketua Umum DDII yang juga

mantan Juru Bicara Masyumi, Dr. Anwar Harjono yang menyatakan bahwa

penghargaan berupa gelar pahlawan kepada lima tokoh Islam ini tidak lagi

dalam tataran layak atau tidak; mereka memiliki jasa yang sangat besar bagi

perjuangan bangsa Indonesia. Namun, jika usul tersebut belum dapat diterima,

Dr. Anwar Harjono yakin bahwa hal tersebut tidak akan mengurangi

kepahlawanan lima tokoh Islam tersebut. Sebagaimana yang pernah dikatakan

oleh Mohammad Roem, “pahlawan tidak ditentukan oleh gelar, melainkan

karena jasa-jasanya”.

Nama 5 tokoh Islam itu pun tidak diterima oleh pemerintah saat itu.

Dari 39 nama yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah pada 15

Agustus 1995, tidak satu pun dari 5 tokoh Islam itu termasuk ke dalamnya.

Sebagian besar dari 39 nama itu merupakan tokoh-tokoh militer.

Pengajuan gelar pahlawan bagi Mohammad Natsir pun terus mengalami

penolakan hingga tahun 2007. Lukman Hakiem mencatat bahwa pengusulan

gelar Pahlawan Nasional untuk Natsir sudah ditolak lebih dari 3 kali;

301

penolakan terakhir adalah pada tahun 2007.91

Menurutnya, cara baru baru harus

ditempuh untuk menggaungkan nama Natsir, kemudian orang-orang dapat

mengingat jasa-jasanya, sehingga dengan itu pengusulan gelar Pahlawan

Nasional dapat disukseskan. Maka pada 17 Juli 2007 yang bertepatan dengan

99 tahun Mohammad Natsir, Lukman mengirimkan sebuah pesan singkat

mengenai rencana besar untuk memperingati 100 tahun Mohammad Natsir di

tahun depannya. Pesan singkat berbentuk Short Message Service (SMS)

tersebut dikirimnya ke beberapa orang; yang masih ia ingat adalah Yusril Ihza

Mahendra, Laode Kamaludin, Faisal Ba‟asyir, Ramlan Mardjoned, dan Mayasa

Johan.92

Laode Kamaludin pun langsung merespon ide Lukman dengan

mengajaknya bertemu. Ada lima orang yang mengadakan pertemuan informal

untuk membahas ide tersebut; yakni Laode Kamaludin, Faisal Ba‟asyir,

Ramlan Mardjoned, Mayasan Johan dan Lukman Hakiem sendiri. Saat itu

Yusril tidak dapat ikut bertemu secara langsung karena ia sedang dalam

pembuatan Film Ceng Ho di Bangkok.93

Ketika lima orang tersebut bertemu, Faisal Ba‟asyir menyerukan agar

segera merealisasikan ide tersebut. Namun, ia menyarankan agar yang lebih

muda darinya menjadi ketuanya. Laode Kamaludin pun mengajukan dirinya

dengan syarat agar Lukman menjadi sekretarisnya. Akhirnya sebuah panitia

yang kelask disebut sebagai Panitia Peringatan Refleksi Seabad Mohhammad

Natsir pun terbentuk dan segera melakukan pertemuan perdananya di rumah

91

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018 92

Lukman menegaskan bahwa ada beberapa orang lainnya, tetapi ia tidak mengingatnya. 93

Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018

302

Faisal Ba‟asyir. Lukman mengatakan bahwa panitia itu adalah panita yang

bersifat swadaya; ia menyebutnya sebagai panitia “bantingan”.94

Strategi yang digunakan oleh panitia ini untuk menggaungkan jasa-jasa

Natsir adalah dengan membuat berbagai seminar di kota-kota besar seperti

Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Riau dan Makassar.

Beberapa tokoh diundang menjadi key note speaker seperti Menteri Agama

saat itu, Maftuh Basyuni di Makassar, Mendiknas Bambang Soedibyo di

UNISBA Bandung serta Sarwan Hamid di Riau. Namun, yang disayangkan

oleh Lukman adalah tidak adanya seminar di kota besar di Jawa Timur,

termasuk Malang. Padahal Laode Kamaludin merupakan guru besar

Universitas Muhammadiyah Malang. Menurutnya, masalah jaringan menjadi

penyebabnya. Meskipun begitu, strategi ini benar-benar menimbulkan

antusiasme terhadap Natsir. Beberapa stasiun televisi sampai membuat

program talkshow mengenai Peringatan 100 Tahun Natsir ini. Selain itu,

panitia juga bekerjasama dengan Republika untuk menerbitkan tulisan-tulisan

tentang Natsir. Maka terbitlah buku “M. Natsir di Panggung Sejarah Republik”

dan “100 Tahun Pak Natsir : Berdamai dengan Sejarah”.95

Banyak tokoh

penting yang menyumbangkan tulisannya. Presiden RI saat itu, Susilo

Bambang Yudhoyono memberikan sambutannya sekaligus menyetujui

94

Ibid. 95

Ibid.

303

pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Natsir. Wakil Presiden Jufuf Kalla

juga memberikan sambutannya.96

Perjuangan panitia ini pun menghasilkan capaian target yang telah

dikehendaki sejak tahun 1995, yakni gelar Pahlawan Nasional untuk

Mohammad Natsir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujui

pemberian gelar tersebut untuk Natsir yang disahkan dengan Surat Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor 041/TK/Tahun 2008 yang ditetapkan di

Jakarta pada 6 November 2008 (Hakiem, 2008 a). Gelar Pahlawan Nasional ini

tentu sangat pantas diberikan kepada Natsir karena berbagai jasanya dalam

mendirikan dan merawat Indonesia.

96

Lihat Lukman Hakiem. M. Natsir di panggung sejarah republik. Jakarta : Panitia Peringatan Refleksi

Seabad M. Natsir.

Gambar 39. Salinan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 041/TK/Tahun 2008 tentang

Penetapan Gelar Pahlawan kepada Mohammad Natsir

Sumber : Hakiem (2008 a)

304

Gelar Pahlawan Nasional ini tentu tidak akan mengurangi keteladanan

Natsir dalam bersikap rendah hati. Natsir bukanlah orang yang senang jika

dirinya dipuji atau diberikan perlakuan istimewa. Jika Nastir masih hidup saat

itu, tentu ia akan menolak gekar Pahlawan Nasional. Hal ini mengacu pada

kesaksian Ramlan Mardjoned mengenai penerbitan buku “70 Tahun Natsir :

Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan”. Begitu mengetahui bahwa

buku 70 tahun itu telah disusun dan hendak dicetak, Natsir menolaknya dan

berpesan dengan tegas kepada Ramlan Mardjoned supaya tidak dicetak.

Namun, Ramlan meresponnya dengan berkata,

“bagaimana nanti generasi muda sesudah bapak jika tidak ada mengetahui tentang

NKRI? tentang pekerjaan-pekerjaan bapak di zaman revolusi?”97

Setelah menyaksikan tanggapan Ramlan itu, Natsir kemudian berkenan

jika buku tersebut diterbitkan. Kerendahan hati Natsir ini memang telah

menjadi karakternya yang dikenal setiap orang dekatnya. Ia memang tidak suka

dipuji atau dibesar-besarkan namanya.98

Sikapnya ini bukan justru

menghindarkan dirinya dari penghargaan-penghargaan penting. Sebelum gelar

Pahlawan Nasional, Nastir telah lebih dahulu memeroleh Bintang Jasa

Republik Indonesia Adipradhana dari Presiden B.J. Habibie pada tahun 1998.99

Ia juga memeroleh penghargaan di tingkat dunia; yakni Bintang Nichan

Istichar atau Grand Gordon yang diberikan oleh Presiden Tunisia, Lamine Bey

pada tahun 1957 karena jasanya dalam membantu kemerdekaan bangsa Afrika

Utara (Husaini, Noer, dan Ujang, 2017). Penghargaan internasional lainnya

97

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Minggu, 11 Maret 2018. 98

Ibid. 99

Ibid.

305

datang dari Lembaga Hadiah Internasional Raja Faisal atau Jaaizatul Malik

Faisal al-Alamiyah dalam bidang pengkhidmatan terhadap Islam (Khidmatul

Islam) pada 23 Januari 1980 bersama dengan tokoh refromis Islam asal

Lucknow, India yang bernama Sayid Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwy.

Sebelumnya, penghargaan ini juga pernah diberikan kepada tokoh reformis

Islam asal Pakistan, Maulana Abul „Ala al-Maududi pada tahun 1979. Dewan

Da‟wah di bawah pimpinan Natsir merupakan salah satu pengusung namanya

pada tahun 1978 (Natsir, 1980 a).

Ada sebuah kisah menarik dalam proses pemberian pengahargaan ini

yang bersumber pada kerendahan hati Natsir. Ia dan An-Nadwy sempat saling

“tuding-menuding” untuk menerima penghargaan tersebut karena masing-

Gambar 40. Maulana Abul „Ala al-Maududi (kiri), Mohammad Natsir (dua dari kiri), dan

Sayid Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwy (kanan berpeci hitam) sedang berdiskusi saat

bersama-sama memimpin al-Muktamar Islamil-„aam lil-Quds (Muktamar Islam Umum

untuk Pembebasan Baitul Maqdis) di Damaskus tahun 1956.

Sumber : Natsir, M. (1980, Februari). Penghargaan internasional untuk M. Natsir. Serial Media

Dakwah Nomor 62.

306

masing dari mereka merasa tidak pantas menerimanya.100

Natsir (1980) justru

menyebut dirinya “tidak lebih dari seorang petugas lapangan bagi Islam”.

Menurutnya, penghargaan tersebut bukanlah untuk dirinya seorang.

Mohammad Natsir benar-benar menunjukkan kualitas dirinya sebagai

pengkhidmat umat dan “Sang Integralis” sejati yang sangat peduli pada

ukhuwah Islamiyah dengan menyatakan bahwa penghargaan itu adalah hasil

usaha kolektif dari banyak pihak yang mempunya niat dan cita-cita yang satu

serta bersama-sama berjuang dalam berbagai kondisi, suka maupun duka.

Dengan penuh kerendahan hati, Mohammad Natsir akhirnya menerima

penghargaan itu dengan ucapan:

“Ini adalah kurnia dari Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku akan (pandai)

bersyukur ataukah akan kufur“ (Natsir, 1980, hal.: 6).

Kerendahan hati seorang Mohammad Natsir ini tentu tidak mengurangi

kemuliannya sebagai pengkhidmat umat sejati. Apalagi Pangeran Khalid Faisal

menegaskan bahwa orang-orang yang mendapatkan penghargaan ini adalah

mereka yang memiliki karya-karya yang sudah dinikmati oleh umat, bukan

dibuat khusus untu mendapatkan penghargaan. Selain itu, penghargaan akan

diberikan kepada para tokoh dunia Islam dengan terlebih dahulu diusulkan oleh

organisasi-organisasi Islam lintas negara, bukan dengan mengajukan dirinya

sendiri.

100

Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

307

BAB V

DISKUSI

5.1 JIB: Modal Sosial Berasaskan Islam yang Mempersatukan Indonesia

Sebuah publikasi yang dikeluarkan oleh Algemene Inlichtingen-en

Veiligheidsdienst Ministerie van Binnenlandse Zaken en Koninkrijksrelaties

(Layanan Intelijen dan Keamanan Umum Kementerian Dalam Negeri dan

Hubungan Kerajaan) Kerajaan Belanda pada tahun 2004 menyebutkan

bahwa kelompok-kelompok yang menginginkan penerapan Islam (disebut

sebagai Islam radikal) adalah ancaman bagi demokrasi. Secara lebih

spesifik, publikasi tersebut menyebutkan kelompok yang mendukung Islam

politik dan golongan Islam yang menyerukan pemurnian kehidupan umat

Islam dengan kembali meninjau Al-Quran dan Hadits serta teladan dari

generasi umat Islam di masa Nabi Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص. Pada salah satu

bahasannya, disebutkan bahwa Islam bertentangan demokrasi dan

merupakan sebuah ideologi totalitarian. Kelompok dan paham seperti ini

menurut mereka menjadi penghambat dalam proses integrasi sosial

(Algemene Inlichtingen-en Veiligheidsdienst, 2004).

Klaim seperti ini tentu dapat menjadi sebuah provokasi untuk

menentang segara bentuk penerapan ajaran Islam di segala bidang

kehidupan. Slogan yang sering digaungkan adalah deradikalisasi yang

sebenarnya secara sederhana dapat diartikan pendangkalan aqidah umat

Islam. Efek jangka pendeknya adalah sekularisasi segala bidang kehidupan

308

– segala bentuk ritual dan wacana keagamaan dilakukan dan dibicarakan

hanya di tempat ibadah. Namun, dalam jangka panjang, luaran yang hendak

dicapai adalah pelemahan umat Islam dengan menghilangkan identitas

agamanya, termasuk nilai-nilai, norma-norma, sejarah, semangat ber-Islam

dan berbagai aspek lainnya. Isu yang sering digunakan adalah ancaman

terhadap integrasi sosial atau persatuan dan kesatuan.

Berkenaan dengan tuduhan di atas, kisah tentang pembentukan JIB

perlu mendapatkan perhatian secara khusus dalam pembahasan mengenai

upaya memperteguh persatuan serta kesatuan bangsa dan negara. Kisah

awal pembentukannya yang berawal dari pengalaman Samsurizal terkait

ditolaknya pengajaran Islam di Jong Java menjadi refleksi bahwa pendirian

JIB memang berangkat dari semangat untuk mencari inklusifitas.

Pernyataan seperti ini tentu dapat dipertanggungjawabkan. Secara

demografis, jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai lebih dari 250 suku

(Kemendikbud RI, 2016). Jika mengikuti gairah kesukuan untuk membatasi

keanggotaan sebuah organisasi, maka tentu akan ada lebih dari 250

organisasi kepemudaan yang bersifat kedaerahan. Pada masa itu, sudah

dikenal ada Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak

dan lainnya. Seorang bersuku Jawa tentu tidak akan memenuhi kualifikasi

sebagai anggota Jong Sumatranan Bond, begitu juga sebaliknya. Kondisi ini

tentu tidak menguntungkan bangsa Indonesia saat itu karena rasa cinta

kedaerahaan yang berlebihan akan mengarah kepada etnosentrisme dan

selanjutnya justru berpotensi memicu disentegrasi bangsa.

309

Hal yang berbeda dilakukan oleh para pendiri JIB yang menggunakan

Islam sebagai kualifikasi keanggotaan dan asas organsasinya. Setiap

pemuda dengan latar belakang suku bangsa apapun dapat menjadi anggota

JIB. Dibandingkan dengan organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan, JIB

jauh lebih bersifat mempersatukan – Islam digunakan untuk mengikat

keragaman atau kebhinnekaan Indonesia. Sebanyak 250 suku bangsa

tersebut dapat bertemu dalam satu organisasi karena memiliki kesamaan

dalam nilai paling mendasar yang diyakininya (Islam). Berbeda lagi jika 250

suku bangsa itu dijadikan dasar untuk membentuk organisasi, akan ada 250

organisasi yang masing-masing memiliki keterikatan karena satu suku

secara demografis dan satu kampung halaman secara geografis. Hal

demikian tentu merusak mental atau jiwa persatuan pemuda Indonesia dan

sangat rawan disintegrasi jika dianalisis melalui perspektif geopolitik yang

mempertimbangkan bentuk kepulauan Indonesia.

Oleh karena itu, sangat tepat apa yang diungkapkan oleh Natsir

bahwa:

“pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan

di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia yang

menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mula-mula menanam

persaudaraan dengan kaum yang senasib di luar batas Indonesia, dengan tali ke-

Islaman”. (Harjono dan Hakiem, 1995).

Berkaitan dengan pandangan ini, Mowlana (2007), dalam konsepnya

tentang prinsip dasar etika perspektif Islam, menyebutkan tauhid yang

menyiratkan pesan persatuan. Keragaman suku bangsa dan budaya tidak

bisa memecah manusia. Apapun suku bangsa, ras, etnis, dan

kebudayaannya, manusia tetap menjadi umat yang satu atau ummatan

310

wahidan karena mereka ber-tauhid. Mowlana (2007) juga menyebutkan

ummah yang merupakan konsep religio-economic yang hanya dapat

tewujud di bawah pemerintahan yang berlandaskan Islam. Aspek ras, etnis,

suku-bangsa, bahkan nasionalisme tidak menjadi acuan pembedaan dalam

masyarakat. Kebangsaan, perbedaan kebudayaan serta faktor-faktor

geografis tetap diperhatikan, namun adanya dominasi karena faktotr

kebangsaan sama sekali ditolak.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan dari JIB sebagai sebuah

pergerakan pemuda Islam yang berkontribusi bagi penguatan persatuan dan

kesatuan Indonesia adalah komposisi anggotanya yang merupakan tokoh-

tokoh penting bagi perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan

Indonesia, khususnya dalam jalur intelektual dan diplomasi. Mohammad

Natsir yang menjadi tokoh penting dalam Kernlichaam memiliki beberapa

sahabat seperjuangan yang bersama-sama berjuang untuk menegakkan

kemerdekaan Indonesia dan “membangun konstruksinya” hingga akhir

hayatnya. Sebagaima telah disebutkan sebelumnya, mereka adalah

Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sjafruddin Prawiranegara dan

Kasman Singodimedjo, bahkan istrinya, Ummi Nur Nahar, yang setia

menemani setiap episode perjuangan Natsir.

Menariknya, Natsir bersama teman-temannya ini kelak menjadi tokoh-

tokoh yang berperan penting dalam beberapa peristiwa bersejarah dan juga

dalam pemerintahan Indonesia di masa awal berdirinya republik ini. Natsir

sendiri berperan penting dalam PDRI, menjadi menteri penerangan di tiga

kabinet dan kemudian menjadi Perdana Menteri pertama NKRI. Adapun

311

Mohammad Roem pernah memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan

Roem-Royen, menjadi Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan

Wakil Perdana Menteri I. Prawoto Mangkusasmito pernah menjadi Wakil

Perdana Menteri serta menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP. Adapun

Sjafruddin Prawiranegara pernah berperan penting dalam pendirian PDRI

yang menjadi harapan bagi tetap tegaknya Republik Indonesia. Selain itu, ia

juga merupakan Gubernur pertama Bank Indonesia dan menteri keungan

yang terkenal dengan kebijakan “Gunting Sjafruddin”. Sedangkan Kasman

Singodimedjo pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Indonesia, Ketua

KNIP dan juga menteri muda Kehakiman.

Selain bersama-sama dalam JIB, tokoh-tokoh di atas juga disatukan

dalam partai Masjumi yang sangat tegas dan konsisten dalam

memperjuangkan ajaran Islam. Natsir, Kasman, Prawoto, dan Sjafruddin

bersama tokoh Masjumi lainnya berjuang di Konstituante agar syariat Islam

menjadi konstitusi Indonesia. Perjuangan sepanjang hayat yang bermula dari

pertemuan di JIB ini tentu menjadi cerminan bahwa organisasi pergerakan

pemuda Islam menjadi sarana penting dalam kaderisasi dan mempersiapkan

modal sosial dalam memperjuangkan Islam di berbagai sektor.

Konsep modal sosial yang jelaskan oleh Putnam dapat menjelaskan

fenomena Natsir dan kawan-kawannya yang memiliki jaringan yang erat

sejak di JIB hingga mereka berkiprah di tingkat nasional pada berbagai

sektor. Putnam (1993) mendefinisikan social capital sebagai fitur-fitur dari

organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang

memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama. Dalam

312

perspektif Putnam, social capital mencakup jaringan keterikatan sosial

(networks of civic engagements) yang diatur berdasarkan norma-norma yang

dapat menentukan produktivitas masyarakat atau komunitas tertentu.

Menurutnya, social capital dengan wujud norma-norma dan jaringan

keterikatan sosial tersebut adalah prasyarat bagi perkembangan ekonomi dan

pemerintahan yang efektif. Alasannya adalah: (1) Jaringan sosial

memungkinkan terciptanya koordinasi dan komunikasi yang memperkuat

rasa saling percaya antar sesama; (2) Kepercayaan berdampak positif bagi

kehidupan bermasyarakat, misalnya dalam memperkuat norma-norma

tentang tanggung jawab moral untuk saling membantu; dan (3) rangkaian

keberhasilan yang berhasil dicapai dengan adanya kerjasama akan

memperkuat kerjasama itu sendiri di masa berikutnya.

Jaringan Natsir dan kawan-kawannya bukan sekedar jaringan yang

terbentuk karena ada motivasi untuk mencari keuntungan pribadi dalam

bentuk materi atau sekedar mengikuti intensi partai dan golongan mereka.

Jaringan mereka dibangun dan diikat dengan asas Islam sejak dari JIB,

kemudian berlanjut dan bertahan hingga berkiprah melalui PSII, Masjumi,

DDII dan hingga wafatnya para tokoh tersebut. Jaringan yang kokoh ini

bertujuan untuk mewujudkan keuntungan bagi Islam yang ditandai dengan

sadarnya masyarakat, khususnya kaum muslimin tentang pentingnya syariat

Islam hingga diterapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernergara.

Patokan keuntungan dari perjuangan Natsir dan kawan-kawannya bukanlah

apa yang dapat bermanfaat bagi individu atau bahkan partai mereka, tetapi

apa yang menguntungkan Islam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prawoto

313

Mangkusasmito (dalam Artawijaya, 2014) bahwa ukuran kerugian dan

keuntungan dari sebuah perjuangan itu adalah kerugian dan keuntungan

Islam.

Satu hal yang membedakan konsep modal sosial yang dapat dipelajari

dari jaringan Natsir dan kawan-kawannya dengan yang dikoseptualsiasikan

Putnam adalah tujuan yang hendak dicapai. Putnam menyebutkan bahwa

tujuannya adalah untuk mengamankan demokrasi dan ekonomi yang efektif.

Namun, tujuan Natsir dan kawan-kawannya adalah untuk mengamankan

penerapan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka

meyakini bahwa syariat Islam dapat mewujudkan keadilan, termasuk

keadilan dalam bidang ekonomi. Berkaitan dengan demokrasi, Natsir (1975)

menganggap hal itu adalah pilihan sistem bernegara yang menjadi alat untuk

mewujudkan penerapan syariat Islam.

Dengan demikian, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: (1)

integrasi nasional dapat dimulai dari pergerakan pemuda berasaskan Islam

yang menolak pembatasan-pembatasan berdasarkan latar belakang suku

bangsa, ras, etnis dan hal terkait lainnya; (2) jaringan sosial yang dibangun

dari sebuah pergerakan pemuda yang memiliki kesamaan nilai berpotensi

besar menjadi jaringan yang kuat, bertahan lama, dan memengaruhi eskalasi

posisi dan peran orang-orang yang berada dalam jaringan organisasi itu; dan

(3) tujuan dari suatu jaringan atau kesatuan yang menjadi modal sosial tidak

hanya mencakup suatu hal yang berkenaan dengan hubungan antar sesama

manusia (misalnya demokrasi dan ekonomi), tetapi juga hal yang bersifat

transedental yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan.

314

5.2 Natsir Membangun Social Capital Melalui Masjumi dan Kaderisasi

Pemuda Islam

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa modal sosial yang

dibangun oleh Natsir memiliki tujuan utama untuk menegakkan syariat

Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka begitu juga dengan

modal sosial yang terbentuk melalui kaderisasi yang dilakukan oleh Natsir

dengan kawan-kawannya. Natsir tidak hanya berhenti sebagai seorang kader

dari pergerakan Islam, tetapi menjadi seorang penggerak kaderisasi

pergerakan pemuda Islam yang berguna untuk meneruskan estafet da‟wah.

Sebagai seorang cendekiawan dan politisi berideologikan Islam,

Natsir menjamin keberlangsungan perjuangannya dengan pembentukan

jaringan sosial atau modal sosial pemuda-pemuda Islam melalui organisasi

pergerakan Islam – semuanya berasaskan Islam dan bertujuan untuk

menjamin keuntungan Islam. Setiap sektor kehidupan yang menjadi tempat

Natsir bekiprah tidak menjadi tujuannya; semuanya itu menjadi alat untuk

mewujudkan dan melanggengkan penerapan syariat Islam. Artinya, Natsir

membangun modal sosial atau dengan kata lain “basis kekuatan” bukan

untuk sekedar mendapatkan kekuasaan dan keuntungan lainnya yang

bersifat materi, melainkan untuk memeroleh sesuatu yang bersifat

transedental dan mencapai kepuasan batin yang diperoleh dari kemenangan

Islam (penerapan prinsip-prinsip Islam dalam konstitusi).

Namun, hal ini sepertinya tidak ditemukan oleh Eric M. Uslaner,

seorang Profesor dalam bidang kajian Pemeirntahan dan Politik di

University of Maryland – College Park, hingga ia meragukan

315

keterhubungan antara partai politik dengan modal sosial. Uslaner (2005)

berpedoman pada definisi social capital yang dikemukakan oleh Putnam

(1993) – social capital merefleksikan norma timbal balik dan jaringan

masyarakat yang saling terkait; bentuk dari interaksi sosial yang

mengarahkan masyarakat pada aksi kolektif untuk pemecahan masalah

bersama. Ia menyebutkan tiga hal yang mengganjal mengenai hubungan

partai politik dan social capital. Pertama, konsep hubungan sosial dalam

social capital yang menganggap orang-orang berinteraksi satu sama lainnya

dalam organisasi sukarelawan yang mempersatukan orang-orang tersebut

tidak ditemukan dalam partai politik (Uslaner, 2005). Menurutnya,

kebanyakan anggota dari partai politik berfokus pada kemenangan partainya

atau dirinya, sekedar menjadi anggota yang menggugurkan kewajiban untuk

hadir pada agenda-agenda partai (checkbook members) dan jarang

bersosialisasi dengan sesama anggota partai. Di negara-negara bagian

Amerika Serikat sendiri ditemukan bahwa hampir tidak ada hubungan

antara kekuatan partai politik dan keanggotaan organisasi kersukarelaan

(Uslaner, 2005). Kedua, sejak awal memang sangat sedikit anggota partai

yang benar-benar sepenuhnya bekerja untuk partai; orang-orang yang

bekerja sepenuh hatinya atau berintensi untuk mengabdi ditemukan di

organisasi kesukarelaan. Selain itu, meskipun banyak partai politik yang

memiliki jumlah anggota yang besar; namun, hanya sedikit partai yang

berfokus pada tujuan yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan. Ketiga,

kepercayaan yang dibangun partai politik adalah particularized trust yang

316

hanya terbentuk di kalangan internal partai (in-group) yang memiliki

kesamaan nilai.

Apa yang menjadi keraguan Uslaner ini dapat terjawab dengan

melihat bagaimana hubungan antar tokoh Masjumi, prinsip perjuangan dan

tujuan perjuangan mereka. Apa yang disaksikan oleh Ramlan Mardjoned

bahwa hubungan antar tokoh Masjumi bukan sekedar hubungan antar

politisi yang bernaung di partai yang sama, melainkan dilandasi pada sikap

saling menghargai sebagai sesama orang beriman yang meyakini Islam

sebagai nilai mendasar yang harus diimplementasikan di setiap bidang

kehidupan. Landasan Islam dalam menjalin kekerabatan ini menciptakan

hubungan personal yang saling mengikat dan melebihi jalinan profesional

sebagai seorang politisi. Salah satu contohnya adalah saat Prawoto

Mangkusasmito mengekspresikan kerinduannya kepada Natsir yang saat itu

sedang berada di hutan – berjuang dalam Pemerintahan Revolusioner

Republik Indonesia (PRRI). Saat itu, Prawoto memberikan sambutan atas

terpilihnya ia menjadi Ketua Umum Masjumi.101

Ramlan Mardjoned

menceritakan kisah ini sekaligus berharap munculnya politisi-politisi yang

pandai dalam menjaga persahabatannya:

“Ketika dia memberikan sambutan terpilihnya sebagai ketua, Pak Prawoto bilang,

‘Natsir di mana pun engkau berada, engkau ada di dalam hatiku’. Coba kau

bayangkan sekarang. Ada nggak orang bersahabat, berlomba dalam kedudukan

politik, seperti itu pernyataannya, begitu akrab dan dekatnya. „Dan kepada Dr.

Soekiman, guru politikku, terima kasih ikut dalam pengurus yang dipimpinnya’.

Nah kalau sekarang ada persaingan lewat pemilihan, jegal menjegal, tidak ada

101

Prawoto Mangkusasmito adalah Ketua Umum Partai Masjumi yang terakhir.

317

kedekatan. Itu yang saya rasakan melihat kenyataan anak-anak muda. Semua

merindukan kedekatan itu.”102

Contoh lainnya adalah hubungan Natsir dan Buya Hamka yang

keeratannya terbukti melalui aktivitas berbalas puisi oleh keduanya. Dalam

puisi-puisi yang ditulis itu, tidak hanya tercerminkan persahabatan Natsir

dan Buya Hamka, tetapi juga hal yang menjadi landasan bagi persahabatan

kedua tokoh nasional yang sama-sama berasal dari ranah minang ini, yakni

Islam, atau tauhid secara lebih spesifik. Berikut adalah potongan puisi

berjudul “Kepada Saudaraku M. Natsir” yang ditulis oleh Buya HAMKA

kepada Natsir (dalam Natsir, 1977).

……

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi

Dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu……!

Adapun balasan puisi dari Natsir untuk Buya HAMKA sebagaimana

berikut.

………

Pancangkan !

Pancangkan olehmu, wahai Bilal !

Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,

Walau karihal kafirun…

Berjuta kawan sefaham bersiap masuk

Kedalam ”daftarmu” …

102

Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

318

Keduanya saling menyebutkan “berjuta kawan sepaham” yang

menunjukkan kedekatan mereka berdua yang selalu disertai dengan kalimat-

kalimat bermuatan religi dan berisikan pesan tauhid. Artinya, persahabatan

Natsir dan Buya HAMKA adalah jalinan yang tidak hanya didasari pada

rasa kasih sayang kepada sesama manusia, tetapi pada pengakuan bahwa

keduanya sama-sama dinaungi oleh satu-satunya Tuhan – Allah هلالج لج . Dari

hubungan Natsir dan HAMKA ini, dapat dipahami tentang konsep

hubungan dalam Islam yang tidak hanya mempertemukan manusia yang

memiliki kesamaan, tetapi juga melibatkan Allah هلالج لج .

Selain kedekatan personal, para anggota dan tokoh Partai Masjumi

juga memiliki kesukarelaan (ikhlas) dan sifat pengorbanan yang tinggi,

meskipun Partai Masjumi sudah tidak ada lagi. Salah satu contohnya pada

saat pembangunan Masjid Al-Furqon yang terletak di bekas markas Partai

Masjumi yang sekarang menjadi kantor pusat DDII. Seorang mantan

bendahara Masjumi di Jakarta bernama Taher Karim Lubis bersedia

mengalokasikan sebagian hartanya untuk membangun Masjid Al-Furqon.

Ramlan pun ditegur oleh Taher Karim Lubis karena setiap shalat Jumat

mengumumkan tentang permohonan infaq dan sodaqah untuk pembangunan

Masjid Al-Furqon. Ramlan berkisah:

“Saya yang selalu menjadi protokol. “Bapak-bapak, ini akan dibangun!” 75.000

apa itu. Masih murah kan, kalau sekarang puluhan juta mungkin. Ada namanya

Taher Karim Lubis. Dia itu pernah jadi bendahara Masjumi di Jakarta. Punya Java

Motor. Hehehe, itulah solidaritas Keluarga Besar Bulan Bintang dijaga.”103

103

Ibid

319

Fakta ini menunjukkan bahwa para anggota Partai Masjumi, bahkan

setelah partai tersebut dibubarkan dan berubah menjadi Keluarga Besar

Bulan Bintang, tidak sekedar berkumpul dalam satu naungan partai yang

sama hanya untuk memenangkan partai dan dirinya di pemilihan umum.

Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa dalam pandangan Natsir,

partai itu hanya alat perjuangan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya

yakni meneguhkan syariat Islam. Sehingga hubungan yang terjalin di antara

anggotanya tidak didorong oleh pragmatisme politik, tetapi cita-cita

bersama untuk memenangkan perjuangan Islam. Keuntungan dan kerugian

perjuangan setiap individu, seperti dikemukakan oleh Prawoto

Mangkusasmito, harus diukur berdasarkan keuntungan dan kerugian Islam

(dalam Artawijaya, 2014).

Menariknya, setelah Partai Masjumi dibubarkan, para anggotanya

tidak melepaskan diri dari perjuangan, tetapi membentuk Keluarga Besar

Bulan Bintang. Kemudian, saat rehabilitasi Masjumi gagal, dibentuklah

DDII yang kemudian Natsir sebut sebagai “berpolitik melalui jalan da‟wah”

setelah sebelumnya “berda‟wah melalui jalan politik”. Artinya, modal sosial

yang dibangun Natsir bersama sahabat-sahabatnya tidak bergantung pada

ikatan sebuah organisasi, tetapi Islam yang kemudian mempersatukan

mereka dalam sebuah jaringan yang disebut sebagai ukhuwah

(persaudaraan). Kesamaan nilai Islam yang utama – tauhid dan cita-cita

perjuangan untuk menegakkan syariat Islam yang dimiliki Masjumi dan

para anggotanya ini adalah contoh nyata dari argumentasi Mowlana (2007)

tentang tauhid yang selain berarti mengesakan Allah هلالج لج, juga berimplikasi

320

persatuan umat Islam; serta tentang ummah yang menurutnya merupakan

konsep religio-economic yang hanya dapat tewujud di bawah pemerintahan

yang berlandaskan Islam, bukan sepenuhnya pada ideologi hasil kehendak

dan pemikiran manusia.

Ukhuwah para tokoh Masjumi ini mengajarkan bahwa modal sosial

atau jejaring antar sesame manusia dapat menjadi erat dan kuat jika

berlandaskan pada Islam dan melibatkan Allah هلالج لج. Hal ini menjadi cerminan

Q.S. Ali-Imran ayat 103:

Terjemahan:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah

kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu

(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu

menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu

telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat

petunjuk.” (Kemenag RI, 2011).

Lebih lanjut lagi, Partai Masjumi yang dikelola Natsir dan para

sahabatnya, tidak hanya memainkan perannya dalam politik praktis, tetapi

juga menjadi induk pengkaderan dari jaringan pergerakan Islam Indonesia.

Beberapa organisasi pergerakan pemuda Islam dan kadernya yang

321

tergabung dalam jaringan ini, seperti telah disebutkan dalam bab hasil,

adalah PII (Hussein Umar, Ramlan Mardjoned, Mohammad Siddik, Natsir

Zubaidi, dan beberapa tokoh PII seperti Ahmad Djuani, Husni Thamrin dan

Anton Timur Djaelani), HMI (Bang Imad, Nurcholis Madjid, Amien Rais,

Jimly Asshiddiqie, Yusril Ihza Mahendra, dan Lukman Hakiem) dan GPII

(Anwar Harjono, Soemarso Soemarsono, Abdullah Sungkar, dan Abu Bakar

Ba‟asyir).

Upaya Natsir memberdayakan pemuda-pemuda Islam untuk

membangun sebuah jaringan yang besar tidak terbatas pada pergerakan

pemudanya, tetapi juga menjalar hingga ke lembaga pendidikan, seperti

universitas dan pesantren, khususnya setelah Masjumi dibubarkan dan

berganti menjadi DDII. Natsir memperkuat modal sosial dengan melatih

pemuda-pemuda Islam melalui program pengkaderan PHI dan BMK yang

kemudian memunculkan LDK, FSLDK, kemudian melahirkan KAMMI dan

juga PK yang pada perkembangannya berubah menjadi PKS. Program

pengkaderan ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena menjadi sarana

perpanjangan-tangan DDII secara tidak langsung (kembali) ke sektor

politik. Meskipun menurut Ramlan Mardjoned PKS tidak memiliki

hubungan dengan DDII, beberapa deklarator PKS, seperti telah dijelaskan

sebelumnya, adalah orang-orang memiliki keterhubungan dengan Natsir

melalui program pengkaderan ini dan juga beberapa organisasi pergerakan

pemuda Islam. Apalagi PKS memiliki banyak kemiripan dengan Partai

Masjumi, baik dari asasnya, tujuannya, terlebih PKS memberikan perhatian

khusus bagi warisan-warisan perjuangan Partai Masjumi.

322

Program pengkaderan yang diasuh oleh Natsir ini juga berhasil

mewujudkan integrasi pergerakan pemuda Islam, kampus, masjid dan

pesantren sebagai sebuah modal sosial yang kemudian disebut oleh Natsir

sebagai Benteng Pertahanan Umat (masjid, kampus, dan pesantren).

Sehingga, tidak heran jika kader-kader Natsir merupakan seorang inteletual

dan santri yang tergabung dalam pergerakan pemuda Islam yang memiliki

perhatian khusus pada kemakmuran masjid atau menjadikan masjid sebagai

tumpuan dari pergerakannya. Dengan beridirnya banyak masjid di berbagai

kampus di Indonesia, Natsir secara tidak langsung membangun basis

kekuatan/pengaruh di berbagai kampus yang merupakan tempat

dihasilkannya cendekiawan dan juga negarawan di masa-masa selanjutnya.

Inilah yang perlu diperhatikan, Natsir menjadikan masjid sebagai poros atau

soko guru bagi pembangunan modal sosialnya. Menjadikan masjid yang

fungsi utamanya adalah untuk melakukan peribatadan kepada Allah هلالج لج dapat

berarti menjadikan Islam dan tauhid sebagai landasannya. Sehingga,

kembali ke analisis sebelumnya bahwa modal sosial yang dibangun Natsir

menjadi kuat dan erat karena dilandaskan pada nilai-nilai Islam, khususnya

tauhid yang mengimplikasikan persatuan umat.

Akhirnya, ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait modal sosial

Natsir yang perlu diperhatikan: (1) modal sosial yang terbentuk dari jejaring

antar manusia dapat menjadi kuat dan erat jika berlandaskan Islam,

khsusunya tauhid dan melibatkan Allah هلالج لج dalam pembangunan dan

pengelolaannya; (2) masjid yang menjadi simbol penerapan prinsip tauhid

tidak terbatas untuk pelasanaan ritual peribadatan, tetapi juga menjadi basis

323

pembangunan kekuatan umat di berbagai sektor; dan (3) intergasi masjid,

kampus, dan pesantren sebagai pilar utama modal sosial Natsir yang

menggerakkan pergerakan pemuda Islam terbukti berhasil memperluas

jaringannya dan pada perkembangannya menjadi jalan munculnya PKS

yang diyakini memiliki kemiripan dengan Masjumi.

5.3 Natsir adalah Bapak Penerangan Indonesia

Salah satu jasa besar Natsir dalam pengaturan sistem pemerintahan di

Indonesia adalah dalam peletakan dasar-dasar Kementerian Komunikasi dan

Informasi yang saat itu bernama Kementerian Penerangan. Meskipun Natsir

adalah menteri penerangan kedua dalan sejarah Indonesia (setelah Amir

Sjarifuddin), Natsir justru yang memiliki peran sentral dalam membangun

dan memfungsikan Kementeria Penerangan, apalagi jabatan ini diembannya

pada masa-masa awal berdirinya RI yang merupakan masa rawan

perpecahan dan berpotensi besar untuk bubar atau direbut kembali oleh

penjajah. Selain itu, Natsir merupakan menteri penerangan yang istimewa

karena dipercaya mengemban posisi tersebut di empat kabinet berbeda,

yakni pada Kabinet Sjahrir I (3 Januari - 12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir II

(12 Maret - 2 Oktober 1946), Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 3 Juli

1947) dan pada kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)

(Dzulfikriddin, 2010). Natsir mengungguli Harmoko yang pernah menjabat

sebanyak tiga kali pada Kabinet Pembangunan Soeharto (IV, V, dan VI).

Bahkan, Harmoko (dalam Dzulfikriddin, 2010) mengakui bahwa sistem

penerangan pada masa awal Kemerdekaan adalah hasil pemikiran Natsir dan

dasar-dasar Kementerian Penerangan dibangun pada saat itu.

324

Penunjukkan Natsir menjadi menteri penerangan oleh Sutan Sjahrir

dalam tiga kabinetnya secara berturut-turut ini adalah hal yang menarik.

Meskipun Natsir dan Sjahrir memiliki landasan berpolitik yang berbeda,

Natsir berasal dari partai berbasis Islam – Masyumi, sedangkan Sjahrir

berasal dari partai yang berlandaskan sosialisme – Partai Sosialis Indonesia

(PSI), mereka dapat bekerjasama dalam berbagai forum dan peristiwa.

Menurut Ridwan Saidi (dalam Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012), keputusan

Sjahrir menunjuk Natsir sebagai menteri penerangan dilatarbelakangi

keinginannya mendapatkan dukungan kalangan Islam untuk kabinetnya.

Apalagi keputusan Sjahrir tersebut direstui oleh Soekarno dengan menyebut

bahwa Natsir adalah orang yang tepat mengemban tugas penerangan. Sejak

saat itu, Natsir dan Soekarno menjadi akrab dan melupakan polemik

pemikiran mereka pada tahun 1930-an (Tim KPG-Tempo, 2011; Kahin,

2012). Bahkan, Natsir (dalam Dzulfikriddin, 2010) menyatakan bahwa tidak

ada menteri yang lebih dekat dengan Soekarno kecuali dirinya. Sejarawan

Taufik Abdullah (dalam Taharani, 2018) bercerita dengan berlandaskan

pada keterangan Mohammad Hatta bahwa Natsir adalah anak “emas” (anak

kesayangan” Soekarno. Hal ini tercerminkan dalam sikap Soekarno yang

tidak akan menandatangani surat atau pernyataan resmi pemerintah dan

tidak akan menyetujui naskah pidato jika tidak diperiksa atau dirancang

terlebih dahulu oleh Natsir.

Adapun tugas pokok dan fungsi Kementerian Penerangan yang

dirancang oleh Natsir (dalam Dzulfikriddin, 2010):

325

1) menerangkan kepada rakyat tentang kebijakan politik, peraturan-

peraturan, dan tindakan-tindakan tertentu yang diterapkan atau

dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah;

2) menerangkan dan memantapkan pemahaman rakyat tentang Pancasila;

3) menanamkan kesadaran politik dan pemikiran kritis rakyat untuk

membangun kehidupan yang demokratis;

4) menjaga semangat perjuangan rakyat untuk mewujudkan dan

mengimplementasikan cita-cita negara; dan memperkenalkan Republik

Indonesia serta komitmen persatuan bangsanya ke dunia internasional.

5.4 Strategi Komunikasi Natsir Mempertahankan Indonesia melalui PDRI

Salah satu peran penting Natsir saat menjabat sebagai Menteri

Penerangan, khsususnya dalam Kabinet Hatta I, adalah menyelamatkan RI

dari agresi Belanda melalui pembentukan Pemerintahan Darurat Republik

Indonesia (PDRI). Belanda yang melancarkan Agresi Militer II ke ibu kota

RI, Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 berhasil menawan Soekarno, Hatta

dan Natsir serta hampir saja membubarkan RI (Dzulfikriddin, 2010). Natsir

yang saat ditawan sedang terbaring di rumah sakit Bethesda, sebelumnya

telah menyiapkan naskah bersama Soekarno dan Hatta yang berisikan pesan

kepada rakyat Indonesia agar tidak menyerah dan berjuang

mempertahankan RI (Tim KPG-Tempo, 2011). Naskah tersebut kemudian

dititipkan ke Wakil Menteri Penerangan A.R. Baswedan. Namun, pidato

tersebut tidak dapat disiarkan melalui radio karena telah diduduki oleh

326

Belanda. A.R. Baswedan kemudian meminta bantuan Mr. Sumanang untuk

memperbanyaknya secara stensil dan diterbitkan di harian Keng Po

(Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-Tempo, 2011).

Selain naskah tersebut, Natsir juga ikut berkontribusi dalam

penyusunan radiogram yang ditujukan kepada Menteri Kemakmuran

Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Bukittinggi, Sumatera

Barat untuk membentuk pemerintahan darurat. Radiogram ini juga dikirim

ke Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A. Maramis yang berada di India sebagai

bentuk antisipasi jika Sjafruddin gagal membentuk pemerintahan darurat

(Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-Tempo, 2011). Pada perkembangan

selanjutnya, Sjafruddin berhasil membentuk PDRI hingga keadaan kembali

pulih dan mandat akhirnya dikembalikan ke Soekarno meskipun

sebelumnya terdapat perbedaan pendapat antara pihak PDRI dan para tokoh

nasional yang mengadakan perundingan Roem-Royen dengan Belanda.

Sjafroeddin dan Soedirman tidak setuju dengan perundingan ini. Mereka

beralasan bahwa pemimpin yang menjadi tawanan tidak mengetahui kondisi

sesungguhnya yang ada di lapangan dan dianggap membuat konsesi yang

tidak dibutuhkan dengan Belanda (Kahin, 2012). Moh. Hatta sempat diutus

untuk membujuk Sjafruddin, namun gagal. Delegasi baru yang dipimpin

oleh Natsir dengan dibantu Leimena dan Halim kemudian berhasil

mempersuasi Sjafruddin dan Soedirman. Pada 13 Juli 1949, Sjafroeddin

terbang menuju Yogyakarta dan mengembalikan mandat ke Soekarno

(Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012).

327

Secara umum, ada tiga strategi komunikasi Natsir dalam rangkaian

peristiwa PDRI. Pertama, Natsir menggunakan media massa untuk

menyebarluaskan pesan tentang eksistensi RI, sehingga dapat menjaga

mental dan meningkatkan semangat rakyat Indonesia dalam

mempertahankan kemerdekaan. Hal yang menarik pada bagian ini adalah

kecermatan Natsir tentang pentingnya opinion leader (Soekarno-Hatta)

dalam menjaga kepercayaan-diri rakyat bahwa “Indonesia masih ada”. Hal

yang tidak diinginkan mungkin dapat terjadi jika saat itu sama sekali tidak

ada kabar resmi mengenai keberadaan dan kondisi pemimpin serta pesan

yang memberikan semangat. Misalnya, Belanda merebut Indonesia kembali

atau terjadi disintegrasi di berbagai daerah. Kedua, Natsir bersama

Soekarno-Hatta menggunakan jaringan komunikasi, tepatnya modal sosial

serta pemanfaatan teknologi komunikasi termutahir saat itu untuk

menegakkan kedaulatan RI, yakni dengan memberikan mandat kepada

Sjafruddin di Bukittinggi dan tiga tokoh lainnya di Indonesia. Pemanfaatan

modal sosial ini tidak hanya memperhatikan hubungan antar tokoh, tetapi

juga memperhitungkan letak geostrategis yang memungkinkan

pemerintahan darurat dibentuk dengan aman. Hal yang tidak dikehendaki

mungkin dapat terjadi jika saat itu tidak ada pengalihan mandat presiden dan

pembentukan pemerintah darurat. Ketiadaan pemerintahan dan lokasi fisik

pusat pemerintahan saat itu dapat menjadi penyebab hilangnya kedaulatan

Indonesia dan berpotensi mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Ketiga, Natsir menggunakan keahlian diplomasinya untuk mempersuasi

Sjafruddin yang saat itu sempat bersitegang dengan tokoh-tokoh nasional

328

yang mendukung perundingan Roem-Royen agar menerima perundingan

tersebut dan kembali ke Yogyakarta untuk menyerahkan mandat. Peristiwa

lain mungkin akan terjadi jika Natsir tidak berhasil meyakinkan Sjafruddin.

RI yang sesuai dengan perundingan Roem-Royen mungkin bisa berdiri,

tetapi mereka yang tidak sepakat dengan perundingan akan tetap

menegakkan PDRI sehingga memunculkan dualisme pemerintahan.

Dualisme ini dapat menyebabkan disintegrasi yang menguntungkan Belanda

dalam mengembalikan tujuan awal agresi mereka. Melalui perannya dalam

berbagai peristiwa seputar PDRI ini, Natsir tidak hanya menunjukkan

kapasitasnya sebagai seorang negarawan, tetapi juga sebagai pakar

komunikasi.

5.5 Konsep Pendidikan dan Instruksional Natsir

Salah satu temuan menarik dalam penelitian ini adalah pemikiran

Natsir mengenai tujuan pendidikan yang sama dengan tujuan kehidupan

manusia sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Adz-Dzariyat ayat 56, yakni

menjadi pengabdi Allah هلالج لج untuk memeroleh ridho-Nya (Luth, 1999).

Segala bentuk penguasaan terhadap ilmu pengetahuan menjadi sarana untuk

menambah keimanan dan ketaatan pada setiap ketentuan Allah هلالج لج.

Berkaitan dengan tujuan pendidikan, penelitian dalam kajian

pendidikan menemukan bahwa tujuan pendidikan adalah hal yang sangat

penting dalam peningkatan prestasi dan motivasi siswa (Ambrose, Bridges,

DiPietro, Lovett, dan Norman, 2010). Penelitian lainnya dilakukan oleh

Locke dan Latham (2002) menunjukkan bahwa tujuan yang ditetapkan pada

suatu aktivitas pendidikan berperan sangat penting dalam mendukung

329

kinerja dan motivasi yang optimal. Dengan demikian, apa yang menjadi

konsep Natsir tenang tujuan pendidikan tentu memiliki dampak besar bagi

peserta didiknya atau para kadernya.

Sebagaimana dijelaskan pada bab hasil, tujuan pendidikan menurut

Natsir ini akan berimplikasi pada kemerdekaan manusia dari segala bentuk

penghambaan terhadap makhluk atau hal-hal duniawi. Konsep pendidikan

untuk kemerdekaan atau pembebasan ini sebenarnya juga dikemukakan oleh

John Dewey, seorang filsuf pendidikan berkebangsaan Amerika Serikat, dan

Paulo Freire yang merupakan tokoh pendidikan berkebangsaan Brazil.

Namun, jika dicermati, konsep kemerdekaan Natsir berbeda dengan

yang dikemukakan oleh Dewey dan Freire. Dewey (2004) mengemukakan

konsep pendidikan demokrasi yang mendorong para peserta didik untuk bisa

berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran, bukan sekedar menjadi

objek. Apa yang menjadi pemikiran Freire pun serupa dengan Dewey,

berangkat dari kritiknya terhadap model pendidikan bank yang cenderung

menganggap peserta didik sebagai benda pasif yang posisinya dianggap

sebagai objek bagi kegiatan belajar-mengajar, ia menyatakan gagasannya

tentang pendidikan yang memerdekakan melalui penyadaran

(conscientization) golongan yang tertindas (the oppressed) (Freire, 2018).

Konsep pendidikan dua tokoh ini berikutnya berimplikasi lebih besar pada

bagaimana sebuah pembelajaran itu dilaksanakan. Adapun konsep yang

dikemukakan Natsir berimplikasi secara komprehensif ke seluruh bidang

kehidupan. Pendidikan yang menurut Natsir harus berlandaskan tauhid itu

menjadi pencerahan bagi manusia untuk menolak segala bentuk

330

penghambaan, baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan bidang

lainnya.

Perbedaan tujuan pendidikan itu sendiri juga merupakan hal yang

perlu diperhatikan dalam membandingkan konsep Natsir dengan konsep

yang dikemukakan Dewey dan Freire. Dewey (2004) menegaskan bahwa

hal terpenting dalam pendidikan adalah bagaimana seseorang dapat

mengorganisasikan berbagai pengalamannya dan kemudian menjadikannya

landasan untuk terus memperbarui kehidupannya sehingga dapat

bertumbuh. Dewey yang menganut paham pragmatisme dalam filsafat

menyiratkan bahwa tujuan pendidikan adalah sekedar untuk kebermanfaatan

manusia dalam hal pengembangan dirinya. Adapun Paulo Freire (2018), ia

berpendapat bahwa tujuan dasar pendidikan adalah menciptakan kesadaran

yang kritis dalam diri peserta didiknya atau lebih luas lagi masyarakat yang

tertindas (dalam konteks sosial-politik) sehingga mereka tidak hanya

memutus kebutaan dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu “membaca

dunia” – kemampuan untuk menganalisis situasi sosial dan politik yang

berdampak terhadap kehidupan mereka. Freire (2018) menegaskan bahwa

tugas kemanusiaan dan historis terbesar yang ditanggung oleh mereka yang

tertindas adalah memerdekakan dirinya sekaligus orang-orang yang

menindas mereka.

Tujuan pendidikan dalam perspektif Dewey dan Freire ini tentu

berbeda dengan perspektif Natsir yang melampaui berbagai aspek

kehidupan dunia – menciptakan manusia yang menghambakan dirinya pada

Allah هلالج لج. Perbedaan ini tentu dapat dipahami dengan melihat nilai dasar

331

yang diyakini ketiga tokoh ini. Dewey, seorang berkebangsaan Amerika

Serikat, yang lahir di sebuah keluarga yang taat menjalankan ajaran Kristen

Evangelikal justru memilih untuk mengabaikan ajaran tersebut dan tidak

menjadikannya landasan dalam pemikirannya mengenai pendidikan. Dewey

berpedoman pada filsafat pragmatisme dan memiliki kecenderungan pada

liberalisme. Freire yang dilahirkan di Brazil di sebuah keluarga yang taat

pada ajaran Katolik lebih terpengaruh ideologi sosialisme dalam perumusan

pemikirannya, meskipun ia tidak menolak ajaran agamanya. Adapun Natsir,

ia dibesarkan dari keluarga Minang yang meskipun kedua orang tuanya

bukan pemuka agama, tetapi masih teguh memegang tradisi surau,

kemudian kecondongannya pada Islam terus berlanjut hingga ia bertemu

banyak guru yang berpengaruh bagi hidupnya. Natsir pun menjadikan Islam

bukan sekedar panduan ibadah ritual yang pelaksanaannya terbatas di rumah

ibadah, melainkan sebadai ideologi yang harus menjadi landasan kehidupan

manusia, sebuah sistem nilai yang menjadi pedoman dalam membangun

sebuah peradaban yang salah satu metodenya adalah pendidikan.

Pemikiran Natsir ini juga berbeda dengan pemikiran-pemikiran

sekuler yang menganggap bahwa tujuan pendidikan adalah untuk sekedar

memeroleh pengetahuan, gelar atau bahkan hanya untuk mendapatkan

syarat bagi sebuah pekerjaan atau hal lainnya yang dapat mendatangkan

keuntungan materi. Nick Gibb, Menteri Sekolah Kerajaan Inggris,

menyebutkan tiga tujuan dari pendidikan, yakni: (1) modal untuk

memperkuat perekonomian; (2) memperkuat kebudayaan; dan (3) modal

bagi siswa untuk persiapan di fase kehidupan dewasa (Government of UK,

332

2015). Sebuah publikasi berjudul “The Purpose of Education” yang dibuat

oleh Public Agenda, sebuah lembaga penelitian nonprofit yang didirikan

oleh seorang ilmuwan sosial dan peneliti opini publik - Dan Yankelovich,

mengidentifikasi tiga tujuan utama pendidikan yang ditetapkan oleh

sekolah-sekolah negeri di Amerika Serikat. Tiga tujuan itu adalah: (1)

mempersiapkan siswa agar berhasil di bursa kerja; (2) memperluas

pengetahuan siswa dan membantunya untuk menyukai pembelajaran; dan

(3) mengedukasi siswa untuk menjadi anggota masyarakat yang

bertanggungjawab.

Tujuan pendidikan yang ditetapkan oleh Kerajaan Inggris dan

Sekolah-sekolah negeri di Amerika Serikat ini menunjukkan bahwa

pembangunan manusia melalui pendidikan bertujuan untuk menghasilkan

materi dan membantu pertumbuhan ekonomi. Keduanya menempatkan

ekonomi sebagai tujuan yang pertama dari pendidikan. Natsir tidak

menafikan berbagai kemampuan intelektual dan keahlian pada bidang

tertentu dapat menghasilkan kebermanfaatan dalam bentuk materi; tetapi

menurutnya itu bukan tujuan dari pendidikan. Tujuan pendidikan menurut

Natsir yang mengedepankan pada aspek spritualitas ini telah tercantum

dalam Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, khsusnya dalam BAB II, pasal 3 yang menyebutkan:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab.”

333

Berbagai kekurangan yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia

dan pelaksanaannya perlu dievaluasi – sudahkah pendidikan Indonesia

selama ini mengimplementasikan UU ini yang sesuai dengan pemikiran

Natsir.

Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah tentang strategi Natsir

untu mewujudkan tujuan pendidikan ini. Natsir tidak hanya menjadikan

masjid sebagai basis pembangunan modal sosial, tetapi juga titik pusat dari

pendidikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Natsir mengupayakan

pendirian banyak masjid kampus di berbagai universitas di Indonesia serta

Islamic Centre yang menyokong institusi-institusi pendidikan. Keberadaan

masjid di lingkungan kampus menunjukkan keinginan Natsir untuk

mempersatukan agama dengan pendidikan, serta ilmu agama dengan ilmu

pengetahuan umum. Konsekuensi dari konsep tujuan Natsir dan asas

pendidikan yang merujuk pada tauhid dan ketaatan pada Allah هلالج لج memiliki

konsekuensi tidak adanya pendikotomian antara agama dengan pendidikan

serta antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.

Konsep Natsir ini lebih dikenal sebagai konsep “Pendidikan Integral”

yang memadukan masjid, kampus dan pesantren. Natsir sendiri

menyebutnya sebgai “Benteng Pertahanan Umat”. Istilah yang digunakan

Natsir ini menunjukkan pandangannya tentang strategi pembangunan

Sumber Daya Manusia (SDM) – syarat mewujudkan ketahanan masyarakat

dalam berbagai sektor adalah integrasi dari ketiga unsur ini dalam

pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia yang taat kepada

Allah هلالج لج (ber-tauhid dan menerapkan segala ketentuan-Nya dalam berbagai

334

bidang kehidupan). Sebagaimana dijelaskan pada Bab Hasi, konsep

Pendidikan Integral ini tetap bertahan hingga sekarang dengan munculnya

berbagai Sekolah Islam Tepadu.

Selain tidak mendikotomikan agama dan pendidikan serta ilmu agama

dan ilmu pengetahuan umum, Natsir juga tidak sepakat dengan

pendikotomian bangsa Barat dan bangsa Timur, termasuk dalam

pendidikan. Fakta sejarahnya adalah konsep instruksional yang dirancang

Natsir untuk Pendidikan Islam yang memadukan konsep Islam, sekolah-

sekolah Belanda dan German Arbeid Schulen. Kurikulum Pendis mirip

dengan sekolah-sekolah Belanda dengan tambahan pendidikan agama Islam.

Selain itu, Pendis juga mengadopsi model pengajaran yang berkembang di

German Arbeid Schulen yang menekankan pada praktik. Oleh karena itu,

para siswa Pendis diajarkan cara berkebun sekaligus strategi pemasaran

(Kahin, 2012). Para siswa Pendis juga diajarkan musik, kemudian diminta

untuk membuat lagunya sendiri. Natsir ikut andil dalam pengajaran musik

ini sebagai guru violin. Setiap satu tahun sekali, para siswa akan

mengadakan pentas musik, drama dan juga kerajinan tangan (Tim KPG-

Tempo, 2011). Melalui pendidikan kesenian ini, Tonil atau sandiwara milik

siswa Pendis adalah Tonil yang terkenal di Bandung saat itu (Tim KPG-

Tempo, 2011). Hal menarik lainnya adalah kemandirian para siswa dalam

mengurus peribadatan, khususnya shalat Jumat. Para siswa pun diberikan

kepercayaan untuk menjadi khotib setiap shalat Jumat. Konsep yang

dikembangkan oleh Natsir di Pendidikan Islam ini juga diterapkan di PP

Darul Falah yang beroperasi hingga saat ini.

335

Berbagai variasi pelajaran yang diberikan di Pendis tersebut menjadi

contoh nyata bahwa kehidupan sekolah tidak harus dibuat kaku, terpaku

pada buku teks dan bersifat satu arah; kehidupan sekolah justru harus

dirancang seperti Pendis yang didominasi aktivitas-aktivitas yang melatih

kreativitas dan juga bakat para siswa; para siswa tidak hanya diam di dalam

kelas, tetapi diajak berinteraksi dengan lingkungannya; dan yang terpenting,

siswa memeroleh pembelajaran yang seimbang dalam aspek intelektual dan

spiritual; bahkan juga mencakup aspek sosial, ekologi dan intuisi seni.

Sistem seperti ini memang menjadi ciri khas Pendis; Dr. Muhammad Noer

(dalam Husaini, Noer dan Habibie, 2017) dalam sebuah tulisannya berjudul

“Ideologi Pendidikan Islam Mohammad Natsir” menjelaskan bahwa pendis

menekankan pada model pendidikan yang mempertemukan cara barat

dengan nilai-nilai Islam yang menekankan pada pembentukan diri yang

memiliki kesinambungan daya nalar dan hati nuraninya, seimbang

kemampuan cipta dan ketaatan – ketawakkalannya pada Allah SWT.

Pengadopsian model pendidikan Belanda dan German Arbeid Schulen

dalam membangun Pendis merupakan hal yang menarik. Padahal Natsir

hendak menumbuhkan rasa bangga dan memperdalam pemahaman

keislaman pada diri siswa-siswanya. Ini mungkin menjadi kontroversi bagi

sebagian orang karena pada saat itu ada anggapan bahwa orang yang

menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda adalah orang yang

berpihak pada pemerintah kolonial. Selain itu, sekolah model Belanda

diyakini menjadi sarana untuk menjauhkan anak-anak umat Islam dari

agamanya (Kahin, 2012; Hakiem, 1995). Belum lagi adanya pendikotomian

336

antara institusi pendidikan modern dan sekolah-sekolah Islam seperti

pesantren. Natsir adalah seorang pemimpin dan ideolog pendidikan yang

tidak sepakat dengan konsep atau pandangan seperti itu. Natsir adalah

penentang penjajahan yang sangat keras, tetapi ia tidak antipati terhadap

barat. Ia bahkan menentang pemikiran yang mendikotomi barat dan timur,

termasuk dalam pendidikan (Fajar dalam Hakiem, 2008 b). Dalam sebuah

pidato yang disampaikannya saat Rapat Persatuan Islam tahun 1934 di

Bogor, Natsir mengakui bahwa pendidikan model Belanda saat itu

memberikan beberapa dampak negatif, tetapi ada juga beberapa sisi

positifnya. Natsir kemudian menyangsikan anggapan umum bahwa Islam itu

pro-timur dan anti-barat. Menurutnya, hal tersebut bisa diketahui dengan

mencermati tujuan pendidikan Islam yang sesungguhnya (Husaini, Noer,

dan Ujang, 2017).

Faktanya, keunikan yang dimiliki Pendis tersebut menjadi modal

untuk bersaing dengan sekolah-sekolah lainnya dan akhirnya secara

bertahap mengalami perkembangan yang menggembirakan. Natsir

menerangkan bahwa setelah berkembang pesat, Pendis memiliki 80 siswa di

tingkat Sekolah Dasar dengan masa studi selama 7 tahun, 90 siswa di

tingkat Sekolah Menengah dengan masa studi selama 3 tahun, dan 30 siswa

untuk Sekolah Pelatihan Guru dengan masa studi selama 2 tahun. Akhir dari

eksistensi Pendis terjadi saat Jepang menginvasi Indonesia dan menutup

semua sekolah swasta (Kahin, 2012).

Perjuangan Natsir dalam mendirikan Pendis ini meberikan pelajaran

tentang kekuatan idealisme diri yang didukung oleh kekuatan jaringan yang

337

tidak hanya menjadi modal sosial tetapi juga mendatangkan dukungan

materi. Hal ini terlihat jelas bagaimana seorang tokoh dan pendiri Persis,

Haji Muhammad Yunus membantu Natsir mewujudkan mimpinya.

Bantuannya ini diberikan kepada Natsir karena hubungan sangat akrab yang

dijalin Natsir dengan dia dan Persis.

Akhirnya, beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait konsep

pendidikan dan instruksional Mohammad Natsir adalah: (1) tujuan

pendidikan adalah mewujudkan manusia yang taat pada ketentuan Allah هلالج لج

untuk mengharapkan ridho-Nya; (2) pembangunan ketahanan masyarakat

atau umat, khususnya dalam segi intelektual dan spiritual, dilakukan dengan

menerapkan konsep pendidikan integral yang memadukan masjid, kampus

dan pesantren; dan (3) tidak ada pendikotomian bangsa Barat dan bangsa

Timur, sehingga model pendidikan Belanda dan German dapat dipadukan

dengan Islam.

5.6 Komunikasi Da’wah dan Jurnalisme Islam Natsir

Berdasarkan penjelasan pada Bab Hasil, Natsir menerapkan beberapa

strategi da‟wah yang disesuaikan dengan masa dan kondisi sosial. Pada saat

aktif di Persis, Natsir bergiat dalam da‟wah dengan beradu argumentasi atau

jidal yang media utamanya adalah tulisan. Strateginya ini tentu mendapat

pengaruh langsung dari A. Hassan yang merupakan salah satu gurunya yang

paling berpengaruh. Pada masa itu, perjuangan bangsa Indonesia juga

sedang mengalami peralihan strategi dari fisik ke intelektual hingga dikenal

sebagai masa Kebangkitan Nasional. Tentu tidak mengherankan jika Natsir

memahami tren yang ada saat itu dalam bidang penerbitan dan jurnalisme,

338

sehingga memanfaatkannya untuk menjadi saluran da‟wah. Apalagi saat itu

bermunculan berbagai penistaan terhadap Islam baik yang disampaikan

dalam bentuk oral maupun tulisan. Gerak da‟wah Natsir saat itu seiring

dengan Persis dan Majalah Pembela Islam yang memang menjadi tempatnya

bernaung dalam perjuangan da‟wah-nya di masa itu.

Menariknya, strategi da‟wah-nya ini berlanjut hingga Natsir berkiprah

di politik, khususnya di Partai Masjumi, dan berlanjut hingga di DDII.

Kemampuan Natsir dalam menulis dan melakukan aktivitas jurnalisme

menjadi bagian dari identitasnya sebagai seorang politisi sekaligus da‟i. Hal

ini terbukti dari berbagai media massa Islam yang ia kelola selama aktif di

Partai Masjumi dan DDII. Ada beberapa hal menarik terkait jurnalisme yang

dapat dipahami dari praktik jurnalisme Natsir, seperti berikut ini.

1) Media massa menjadi corong da‟wah dalam berbagai sektor,

termasuk politik.

2) Praktik jurnalisme Natsir tidak hanya mengajarkan tentang

penyampaian berita atau informasi yang berimbang dan melaui

proses tabayyun sebagaimana banyak dikutip dalam kajian-kajian

jurnalisme Islam; tetapi juga cara penyampaiannya dan tujuannya

yang juga bersumber pada al-Quran. Prinsip jurnalisme Islam

dalam al-Quran ini tidak hanya dipraktikkan, tetapi juga menjadi

nama media massanya, seperti misalnya Majalah Hikmah dan Het

Licht.

3) Natsir adalah seorang penulis yang perfeksionis dalam organisasi

ide dan tata kalimat tulisannya. Dalam segi pembangunan ide,

339

Natsir memiliki kebiasaan untuk melakukan penelitian atau

pengumpulan data secara menyeluruh dan mendalam untuk

menghasilkan tulisan yang berkualitas. Dalam segi tata

kalimatnya, Natsir menggunakan diksi-diksi khas debat yang

argumentatif, singkat, lugas dan tujuannya mematahkan

argumentasi lainnya. Namun, Natsir berprinsip bahwa tulisan

dapat dibuat tegas, tetapi tidak boleh menggunakan perkataan

yang kasar.

4) Natsir, melalui DDII, memiliki perhatian khusus kepada anak-

anak dalam hal konsumsi informasi, sehingga diterbitkannyalah

Majalah Sahabat. Majalah ini tentu menarik karena sedikit media

massa cetak saat ini yang secara khusus memperhatikan anak-anak

sebagai segmentasi pembacanya.

5) Natsir sudah terlibat dalam dunia percetakan sejak berguru dengan

A. Hassan hingga ia mampu membangun percetakan sendiri di

bawah naungan DDII yang dikenal sebagai Percetakan Media

Da‟wah. Namun, berdasarkan keterangan Ramlan Mardjoned,

percetakan ini sudah mengalami penurunan dalam kualitas dan

kuantitas produksi.

Selain menjalankan da‟wah melalui media massa, Natsir juga

memiliki konsep da‟wah bil lisanul hal yang menyentuh berbagai sektor

kehidupan dengan aksi nyata. Misalnya pembangunan Rumah Sakit Islam

beserta perguruan tingginya (STIKES YARSI) untuk mempertahankan

aqidah umat Islam dari upaya Kristenisasi. Natsir juga mengirimkan da‟i ke

340

berbagai pelosok daerah di Indonesia yang hingga kini terus dijalankan oleh

DDII. Selain itu, jalur diplomasi da‟wah juga dilakukan oleh Natsir dengan

merangkul tokoh-tokoh lintas umat beragama, khususnya Kristen, untuk

menjaga kerukunan umat beragama dan menghindari pemurtadlan.

Mohammad Siddik memberikan penegasan bahwa memang yang menjadi

prioritas da‟wah Natsir dengan didirikannya DDII adalah untuk

membentengi aqidah umat Islam dari berbagai ancaman, khsusunya

pemurtadlan.

5.7 Komunikasi Internasional Natsir

Penjelasan pada Bab Hasil memberikan gambaran bagi ciri khas

diplomasi Islam internasional Natsir yang tidak hanya mengandalkan

organisasi-organisasi internasional, tetapi juga memberdayakan jaringan

personal yang dimiliki Natsir, meskipun ia tidak memiliki legitimasi sebagai

bagian dari pemerintah. Artinya, Natsir membangun jaringan secara

internasional yang tetap ditujukan untuk kepentingan umat Islam dan bangsa

Indonesia dengan memanfaatkan hubungan pribadinya dengan tokoh-tokoh

dunia, seperti Ali Harakan, Abu Hasan An-Nadwi, Abul A‟la al Maududi,

Takeo Fukuda, Raja Faisal dan Shawqi Futaki.

Hal lainya yang peru diperhatikan adalah hubungan Natsir dengan

tokoh-tokoh Ikhwanul Muslim yang terjalin melalui organisasi internasional

seperti IICO misalnya. Dalam IICO, Natsir terhubung dengan Yusuf Al

Qardhawi dan Mustafa Mashyur yang keduanya merupakan tokoh

terkemuka Ikhwanul Muslimin. Natsir memang secara khusus memiliki

keterkaita intelektual dengan tokoh-tokoh reformis Islam Mesir seperti

341

misalnya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (Kahin, 1993). Oleh karena

itu, prinsip perjuangan dan pergerakan Islam Natsir memiliki kemiripan

dengan pergerakan di Mesir yang memiliki paham fundamentalisme

terhadap Islam. Secara formal, Masjumi, Ikhwanul Muslimin dan organisasi

Islam internasional lainnya hanya dapat bertemu dalam sebuah forum

internasional yang biasanya diadakan oleh Rabithah Alam Islami dan

Muktamar Alam Islami; namun, secara intelektual, pada hakikatnya ada

sebuah keterhubungan secara internasional atau lebih tepatnya transnasional

dari organisasi-organisasi ini yang memiliki semangat, asas dan tujuan yang

sama, yakni penegakan kedaulatan Islam atau Daulah Islamiyah.

Perbedaanya dengan beberapa pemikir Islam yang lain, Natsir mewujudkan

dalam Daulah Islamiyah ini dalam ranah substantif, sehingga Indonesia

tidak perlu bubar untuk mendirikan satu negara global; tetapi tetap tegak

berdiri dengan syarat diterapkannya hukum Islam.

342

BAB VI

PENUTUP

6.1 Simpulan

1. Natsir membangun modal sosialnya dengan memberdayakan dan

mengintegrasikan pemuda dan organisasi pergerakan Islam, partai politik,

DDII, serta basis kekuatan “Benteng Pertahanan Umat” yang semuanya

terikat dalam jaringan berlandaskan nilai-nilai Islam, khususnya tauhid.

2. Konsep pendidikan Natsir adalah pendidikan yang mengintegrasikan tiga

pilar “Benteng Pertahanan Umat”, ilmu agama dan ilmu pengetahuan

umum, tidak mendikotomikan peradaban Barat dan Timur serta bertujuan

untuk melahirkan manusia yang taat pada ketentuan Allah هلالج لج.

3. Natsir memandang partai politik bahkan negara hanya sebagai alat untuk

menegakkan kedaulatan Islam dan mewujudkan integrasi bangsa.

4. Natsir berupaya untuk menerapkan segala bentuk ketentuan Islam ke

dalam seluruh sektor kehidupan masyarakat dengan memperjuangkannya

melalui jalur konstitusi; namun tidak berkebaratan dengan sistem

pemerintahan demokrasi.

5. Natsir mengembangkan beberapa media massa Islam dalam setiap lini

perjuangannya yang difungskikan sebagai sarana memassifkan berbagai

peristiwan dan informasi yang berkaitan dengan umat Islam, membantah

dan menentang segala bentuk penistaan terhadap Islam, serta

mempromosikan penerapan ajaran Islam dalam berbagai sektor kehidupan.

6. Pada dasarnya, seluruh kegiatan Natsir di berbagai bentuk sarana

perjuangan adalah da’wah. Natsir berkeyakinan bahwa umat Islam

343

“ditampilkan” untuk menjadi penggerak da’wah di sektornya masing-

masing dengan menerapkan metode hikmah, keteladanan dan da’wah bil

lisanul hal yang memerhatikan keseuaian antara ucapan dan perbuatan.

7. Diplomasi internasional yang dibangun Natsir tidak terbatas pada

hubungan yang dipersatukan dalam sebuah organisasi dan berdasarkan

legitimasi struktural pemerintahan, tetapi juga dengan jaringan personal

antar tokoh dunia yang tetap ditujukan untuk persatuan umat Islam dunia

dan kebermanfaatan bangsa Indonesia.

8. Konsep kedaulatan Islam menurut Natsir tidak berarti pembentukan negara

tunggal yang meliputi negara-negara berpenduduk mayoritas Islam; tetapi

kemerdekaan dari segala bentuk penghambaan kepada makhluk,

keswasembadaan dan persatuan umat Islam di berbagai sektor kehidupan.

6.2 Saran

6.2.1 Saran Akademis

Penelitian-penelitian non-western perspective yang bersifat deskriptif

tentang Mohammad Natsir sangat direkomendasikan untuk dilakukan sebagai

tindak lanjut dari penelitian ini yang bersifat eksploratif. Beberapa penelitian

yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

1) Kajian Organisasi Kepemudaan dan Pergerakan Islam

a. Kajian deskriptif dan komparatif mengenai JIB, HMI, PII, GPII,

dan KAMMI, baik sejarah maupun komunikasi organisasinya.

b. Analisis jaringan komunikasi pergerakan pemuda Islam yang

dapat menggambarkan interkonektifitas JIB, HMI, PII, GPII dan

KAMMI.

344

c. Performance research sejarah pendirian dan perjuangan

pergerakan kepemudaan Islam dalam bentuk festival dan pameran

yang pelaksanaannya mengkolaborasikan HMI, PII, GPII,

KAMMI, IMM, PMII, Pemuda Persis dan lainnya.

2) Kajian Komunikasi Politik

a. Kajian tokoh Osman Raliby dalam bidang propaganda. Kajian

tokoh ini sangat penting karena, sebagaimana telah dijelaskan,

Osman Raliby pernah mempelajari propaganda secara langsung

kepada Paul Joseph Goebbels yang merupakan Mentrei

Propaganda Nazi.

b. Conversation analysis (analisis percakapan) para tokoh dari

masing-masing fraksi di Konstituante saat memperdebatkan

tentang dasar negara.

c. Performance research tokoh-tokoh Partai Masjumi dalam bentuk

film, animasi, infografis, vektor, museum digital, teatrikal,

pameran foto, dan bentuk-bentuk karya seni lainnya.

d. Performance research peristiwa seputar terbentuknya NKRI

(pengajuan mosi integral Natsir), sidang Konstituante, PDRI,

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Kongres

Umat Islam Indonesia 1945, dan berbagai peristiwa penting terkait

perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia

yang melibatkan Mohammad Natsir dalam bentuk film, animasi,

vektor, infografis, museum digital, teatrikal, pameran foto,

pembuatan diorama, dan bentuk-bentuk karya seni lainnya.

345

3) Kajian Komunikasi Pendidikan/Instruksional

a. Kajian komunikasi instruksional terhadap pengajaran Natsir sejak

di Pendidikan Islam yang memadukan model Islam, Belanda dan

Jerman, hingga melakukan kaderisasi dengan mengacu pada tiga

pilar benteng pertahanan umat

b. Analisis jaringan komunikasi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia.

c. Analisis jaringan komunikasi Pesantren di Indonesia.

d. Action research pembuatan aplikasi edukasi integral khas

Mohammad Natsir.

4) Kajian Komunikasi Da’wah

a. Analisis wacana buku Fiqh Da’wah karya Mohammad Natsir.

b. Studi komparatif Fiqh Da’wah karya Mohammad Natsir dengan

Fiqh Da’wah karya Syaikh Mushtafa Masyhur yang merupakan

Mursyidul Amm (Pembina Umum) kelima Ikhwanul Muslimin.

c. Performance research prinsip-prinsip dan metode-metode da’wah

Natsir dalam bentuk da’wah kreatif seperti pembuatan animasi,

aplikasi pada gawai, sticker pada aplikasi Line dan WhatsApp,

poster da’wah, komik da’wah, dan bentuk-bentuk media lainnya.

d. Research by traveling komunikasi da’wah ke pedalaman DDII

dengan ikut serta menjadi da’i dan da’iah DDII.

5) Kajian Jurnalisme, Dokumentasi dan Kearsipan

a. Kajian newsroom, manajemen, dan analisis wacana media-media

massa yang diterbitkan oleh JIB, Persis, Partai Masjumi, dan DDII.

346

b. Kajian mendalam mengenai Muktamar Media Massa Islam se-

Dunia yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Kajian ini

sangat penting karena merupakan memori kolektif terkait

jurnalisme Islam se-dunia yang menjadi simbol persatuan dan

kekuatan umat Islam dunia dalam jurnalisme. Selain itu, masih

sedikit orang yang mengetahui peristiwa ini, terlebih lagi bangsa

Indonesia, padahal kesempatan menjadi tuan rumah pertama adalah

sebuah keistimewaan yang dimiliki Indonesia.

c. Kajian majalah Sahabat yang dapat mengarah pada action research

pembuatan majalah untuk anak yang berisikan pesan-pesan Islami.

d. Action research penyelematan, pelestarian dan digitalisasi

dokumen-dokumen penting yang dimiliki oleh Perpustakaan

Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin Abdul Aziz

alu Saud, Pimpinan Pusat DDII, seperti majalah-majalah dan foto-

foto klasik. Salah satu contoh digitalisasi yang baik adalah

konstituante.net yang merupakan bagian dari produk penelitian

yang dilakukan oleh Kevin W. Fogg dan Syahrul Hidayat. Adapun

tampilan dari situs yang dimaksud seperti berikut ini.

Gambar 41. Tampilan Situs konstituante.net.

Sumber: http://www.konstituante.net/

347

e. Research by traveling situs-situs bersejarah yang pernah disinggahi

dan ditempati Natsir, seperti kampung halaman Natsir, rumah

pengasingan di Batu, rumah dinas, dan lainnya.

6) Kajian Komunikasi Internasional

a. Kajian mendalam mengenai peran Natsir dan strategi diplomasinya

di berbagai organisasi Islam Internasional, seperti Rabithah Alam

Islamy, Muktamar Alam Islamy, IICO, dan lainnya.

b. Studi analisis jaringan komunikasi Natsir dengan tokoh-tokoh

dunia, termasuk tokoh-tokoh Islam Internasional seperti Takeo

Fukuda, Raja Faisal, Abu Hassan An Nadwi, Abul Ala al Maududi

dan lainnya.

c. Kajian spesifik mengenai Islamic Studies di Oxford University.

6.2.2 Saran Praktis

Peringatan peristiwa bersejarah adalah salah satu metode untuk

melestarikan memori kolektif yang memiliki pengaruh penting dalam

kehidupan di masa berikutnya, khususnya dalam konteks berbangsa dan

bernegara. Pemutusan “jejak-jejak” sejarah tidak hanya dapat merusak rasa

syukur dan semangat untuk menjaga apa yang menjadi hasil perjuangan,

tetapi juga dapat menyebabkan pemalsuan sejarah yang dapat berdampak

negatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara – misalnya klaim tidak

mendasar dan berintensi politik atas suatu hal yang sangat erat kaitannya

dengan suatu peristiwa bersejarah untuk mendeskriditkan kelompok lainya.

348

Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada pemerintah untuk menetapkan

tanggal 3 April sebagai hari “Mosi Integral Natsir – Integrasi NKRI”.

Selain itu, berdasarkan pengalaman peneliti selama melakukan

pengambilan data, maka dipelrukan kolaborasi perguruan tinggi, DDII,

pemerintah, perpustakaan nasional dan tokoh-tokoh terkait untuk melakukan

penyelamatan, pelestarian dan digitalisasi berbagai dokumen penting yang

terkait langsung dengan peristiwa-peristiwa sejarah, khususnya yang

mengenai Mohammad Natsir. Pada tingkat perguruan tinggi, dapat dilakukan

kolaborasi transdisipliner antara ilmu komunikasi, ilmu perpustakaan, ilmu

komputer, ilmu budaya, dan ilmu desain komunikasi visual.Kolaborasi seperti

ini tidak hanya berpotensi untuk memperkaya perspektif kajian, tetapi juga

mendorong upaya dokumentasi sejarah yang lebih komprehensif.

Hal lainnya yang menjadi saran peneliti adalah penguatan organisasi

pergerakan pemuda Islam sebagai sarana pengkaderan pemimpin-pemimpin

dan cendekiawan yang memegang teguh prinsip-prinsip Islam. Terlebih lagi,

dengan disahkannya Permenristekdikti nomor 55 tahun 2018 tentang

Pembinaan Ideologi Bangsa, organisasi-organisai kepemudaan seperti HMI,

KAMMI, PMII bahkan GMNI mendapatkan legitimasi untuk masuk ke

wilayah kampus. Selain organisasi pergerakan pemuda Islam, penulis juga

menyarankan kepada partai-partai politik Islam untuk menguatkan

persaudaraan dan berkomitmen untuk menjadikan partai sebagai alat untuk

memperjuangkan pemberlakuan ketentuan-ketentuan Islam dalam konstitusi

sebagaimana yang dilakukan Mohammad Natsir.

349

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. (1999). Jong Islamieten Bond 1925 – 1942 : Sejarah, pemikiran,

dan gerakan (Disertasi). Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga.

Algemene Inlichtingen-en Veiligheidsdienst. (2004). From dawa to jihad: The

various threats from radical Islam to the democratic legal order. The

Hague: Algemene Inlichtingen-en Veiligheidsdienst.

At-Tirmidzi, M. (t.t.). Sunan at-Tirmidzi (Juz 5). Beirut: Dar Ihya al-Tura al-

„Arabi.

Al-Mubarakfuri, S. (2011). Ar-Rahiq al-Makhtum - sirah nabawiyah : Sejarah

hidup nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. Jakarta : Ummul

Quro.

Ambrose, S., Bridges, M., DiPietro, M., Lovett, M., & Norman, M. (2010). How

learning works: Seven research-based principles for smart teaching. San

Francisco: John Wiley & Sons, Inc.

Amin, S. (1989). Eurocentrism: Critique of an ideology. New York: Monthly

Review Press.

Amir, M. (1990, Oktober). Markaz al-Quds‟ al-Islamy di kota Padang. Panji

Masyarakat, (661), 51-52.

An-Nawawi, I. (2013). Matan hadits arba’in an-nawawi. Solo: Insan Kamil.

Antoni. (2004). Riuhnya persimpangan itu: Profil dan pemikiran para penggagas

kajian ilmu komunikasi. Solo: Tiga Serangkai.

Artawijaya. (2014). Belajar dari partai Masjumi. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.

Asante, M. K. (1998). The Afrocentric idea (edisi revisi). Philadelphia, PA:

Temple University Press.

Ashcroft, B., Griffiths, G., dan Tiffin, H. (2007). Post-colonial studies : The key

concepts (2nd

Edition). New York : Routledge.

350

Assad, A.S. (1995, Juli). RS Ibnu Sina Bukittinggi, 25 tahun mengemban amanah

tokoh besar. Media Dakwah, (254), 37 – 38.

Asshiddiqie, J., Ikhwan, Hadiana, D., dan Mustofa (Editor). (2002). Bang ‘Imad :

pemikiran dan gerakan dakwahnya. Jakarta : Gema Insani Press.

Ayish, M. (2003). Beyond western-oriented communication theories : A

normative Arab-Islamic perspective. Journal of the European Institute for

Communication and Culture, 10 (2), 79-92.

Blaut, J. M. (1993). The colonizer’s model of the world: Vol. 1. Geographical

diffusionism and Eurocentric history. New York: Guildford Press.

Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J.G. Richardson (ed), Handbook of

theory and research for the sociology of education (pp. 241-258), New

York: Greenwood Press.

Bryman, A. (2012). Social research methods. New York : Oxford University

Press Inc.

Chaffee, S.H., & Hochheimer, J.L. (1985). The beginnings of political

communication research in the united states: Origins of the “limited effects”

model. In E.M. Rogers & F. Balle (Eds.), The media revolution in America

and in western Europe (pp. 267-296). Norwood, NJ: Ablex.

Chen, G.-M., & Miike, Y. (2006). The ferment and future of communication

studies in Asia: Chinese and Japanese perspectives. China Media Research ,

2 (1), 1-12.

Coleman, J.S. (1988). Social capital in the creation of human capital. American

Journal of Sociology, 94 (Supplement): S95–S120.

Comite Pembela Islam. (1929 a, Oktober). Asas dan toedjoean comite “Pembela

Islam”. Madjalah Pembela Islam, (1), 1-2.

Comite Pembela Islam. (1929 b, Oktober). Sebab2 terbitnja “Pembela Islam.

Madjalah Pembela Islam, (1), 3-4.

351

Conley, N.A. (2015). A survey of instructional communication: A content analysis

of communication education from 2000 to 2015 (Tesis). Sacramento:

California State University.

Dahlan, M.A. (1989). Perkembangan komunikasi politik sebagai bidang kajian.

Jurnal Ilmu Politik, 6.

Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia. (2016). Profil dewan da’wah, diakses pada 9

Februari 2018 melalui http://dewandakwah.or.id/profil-dewan-dawah/

Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia. (2018). Kunjungi Dewan Dakwah, kapolri

minta maaf dan klarifikasi soal video, diakses pada 5 April 2018 melalui

https://dewandakwah.or.id/kunjungi-dewan-dakwah-kapolri-minta-maaf-

dan-klarifikasi-soal-video/

Dewey, J. (2004). Democracy and education. New York: Macmillan.

Dissanayake. W. (1988). Communication theory : The Asian perspective.

Singapore: Asian Media. Information and Communication Center.

Dissanayake, W. (2003). Asian approaches to human communication : Retrospect

and prospect. Intercultural Communication Studies, 12 (4), 17 – 37.

Dissanayake, W. (2009). The production of Asian theories of communication:

contexts and challenges. Asian Journal of Communication, 19 (4), 453-468.

Dzulfikriddin, M. (2010). Mohammad Natsir dalam sejarah politik Indonesia :

Peran dan jasa Mohammad Natsir dalam dua orde Indonesia. Bandung :

PT Mizan Pustaka.

Eriadi, M.H. (2007). Pengaruh pemikiran politik Masyumi di partai keadilan /

partai keadilan sejahtera (Tesis). Jakarta : Universitas Indonesia.

Fals-Borda, O., & Mora-Osejo, L. E. (2003). Context and diffusion of knowledge:

A critique of Eurocentrism. Action Research, 1 (1), 29-37

Farris, K.L., Houser, M.L., dan Hosek, A.M. (2018). Historical root and

trajectories of instructional communication. In L.H. Marian dan A.M.

352

Hosek (eds.), Handbook of instructional communication (2nd

ed.) (pp. 7-8),

New York: Routledge.

Feith, H. (1971). The Indonesian elections of 1955. New York : Souteast Asia

Program Cornell University Ithaca.

Freire, P. (2018). Pedagogy of the oppressed (50th

Anniversary edition). New

York: Bloomsbury Publishing.

Futaki, S. (1980, Maret). Umat Islam Jepang perlu belajar kepada Indonesia.

Serial Media Dakwah, (69), 22 – 26.

Gadamer, H. (1977). Phylosophical hermeneutic, (terj.) David. E Linge.

California: The University of California.

Gadamer, H. (2006). Classical and philosophical hermeneutics. Theory, Culture

and Society, 23 (1) 29-56.

Galander, M.M. (2002). Communication in the early Islamic era: A social and

historical analysis. Intellectual Discourse, 10 (1), 61 – 75.

Given, L.M. (editor). (2008). The SAGE encyclopedia of qualitative research

methods. California : SAGE Publications.

Government of UK. (2015). The purpose of education, diakses pada 2 Desember

2018 melalui https://www.gov.uk/government/speeches/the-purpose-of-

education

Graber, D.A., dan Smith, J.M. (2005). Political communication faces the 21st

century. Journal of Communication, 55 (3), 479 – 507.

Hadi, Y.S. (2000). Masjid kampus untuk umat dan bangsa : Masjid Arief Rahman

Hakim UI. Jakarta : Lembaga Kajian Budaya Nusantara.

Hakiem, L. (1995, Desember ). ICMI : Harapan umat atau alat politik penguasa?

Media Dakwah, (258) 42-48.

353

Hakiem, L. (Editor). (2008 a). M. Natsir di panggung sejarah republik. Jakarta :

Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir.

Hakiem, L. (Editor). (2008 b). 100 tahun Mohammad Natsir : Berdamai dengan

sejarah. Jakarta : Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir.

Hakiem, L. (2017 a). Merawat Indonesia; Belajar dari tokoh dan peristiwa.

Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.

Hakiem, L. (Editor). (2017 b). Pendiri dan pemimpin Dewan Da’wah Islamiyah

Indonesia. Jakarta : Penerbit Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia.

Hakiem, L. (2018). Pak kapolri, pelajarilah sejarah dengan benar, diakses pada 5

April 2018 melalui https://telusur.co.id/2018/01/29/pak-kapolri-pelajarilah-

sejarah-dengan-benar/?telusur.co.id

Hamka. (1988). Tafsir Al-Azhar (Juz 21). Jakarta: Pustaka Panjimas.

Hanifan, L.J. (1916). The rural school community centre. Annuals of the

American Academy of Political and Social Science, 67, 130 – 138.

Hanson, E. (2017, November 30). A History of International Communication

Studies. Oxford Research Encyclopedia of International Studies. Ed.

Retrieved 10 Nov. 2018, from

http://internationalstudies.oxfordre.com/view/10.1093/acrefore/9780190846

626.001.0001/acrefore-9780190846626-e-63.

Harjono, A., dan Hakiem, L. (1995, Maret). Mohammad Natsir: Pemikiran dan

Sumbangannya untuk Indonesia. Media Dakwah, (249) 33 – 36.

Hassan, M.Z. (1980). Diplomasi revolusi Indonesia di luar negeri. Jakarta: Bulan

Bintang.

Haykal, M.A. (1993). The life of Muhammad. (Terjemahan). Ismail Raji al-Faruqi.

Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Hidayat, S., dan Fogg, K.W. (2018). Mainpage, diakses pada 8 Agustus 2018

melalui http://www.konstituante.net/en

354

Husaini, A., Noer, M., dan Habibi, U. (2017). Pemikiran dan perjuangan

Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan. Jakarta : Penerbit Dewan

Da‟wah Islamiyah Indonesia.

Husni, D. (1998). Jong Islamieten Bond : A study of a muslim youth movement in

Indonesia during the dutch colonial era, 1924 – 1942 (Tesis). Montreal :

McGill University.

ICR (Institute of Communication Research). (t.t.). History, diakses pada 28

Oktober 2018 melalui https://media.illinois.edu/node/58/history

Jama‟ah Shalahuddin. (tt.). Profil Jama’ah Shalahuddin, diakses pada 20 Juni

2018 melalui http://www.js.ugm.ac.id

Janssen, G.H. (1979). Militant Islam. London: Pan Books.

Kahin, A. R. (2012). Islam, nationalism and democracy : A political biography of

Mohammad Natsir. Singapura : National University of Singapore Press.

Kahin, G.M. (1993). In Memoriam: Mohammad Natsir (1908-

1993). Indonesia, (56), 159-165. Retrieved from

http://www.jstor.org/stable/3351203

Kaid, L.L. (2004). Handbook of political communication research. Mahwah, New

Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Kamaludin, L.M. (2008). Mohammad Natsir – Sang Negarawan Konstitusionalis

(bagian 1 dan 2). [Video recording]. Jakarta : Dewan Da‟wah Islamiyah

Indonesia.

Karim, A.G. (2006). Jamaah Shalahuddin : Islamic student organisation in

Indonesia. FJHP, 23, 48.

Kemenag RI. (2011). Al- qur’an dan terjemahnya. Jakarta: Adhi Aksara Abadi

Indonesia.

355

Kemendikbud RI. (2016). Analisis kearifan lokal ditinjau dari keragaman

budaya. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan

Kemendikbud RI.

Kim, M.S. (2002). Non-Western perspectives on human communication:

Implications for theory and practice. Thousand Oaks, California: SAGE

Publications, Inc.

Kincaid, D.L. (Ed.). (1987). Communication theory : Eastern and western

perspective. San Diego, California : Academic Press, Inc.

Kincheloe, J.L. (2005). Critical contructivism primer. New York : Peter Lang

Publishing, Inc.

Kirkwood, W. G. (1990). Shiva‟s dance at sundown: Implications of Indian

aesthetics for poetics and rhetoric. Text and Performance Quarterly, 10 (2),

93-110.

Komisi Pemilihan Umum RI. (2008). Pemilu 1995, diakses pada 11 Agustus 2018

melalui http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2018/8/PEMILU-

1955/MzQz

Latif, Y. (2013). Genealogi intelegensia : Pengetahuan & kekuasaan intelegensia

Muslim Indonesia abad XX. Jakarta : Kencana Prenada Media

Littlejohn, S.W. dan Foss, K.A. (2008). Theories of human communication (9th

edition). Belmot: Thomson Wadsworth.

Littlejohn, S.W. dan Foss, K.A. (2009). Encyclopedia of communication theory.

California: SAGE Publications, Inc.

Liu, X., dan Wei, R. (2017). Trends and patterns in communication research on

Asia: A review of publications in top SSCI journals, 1995-2014.

MedieKultur: Journal of Media and Communication Research, 62, 6 – 17.

356

Locke, E. A., & Latham, G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal

setting and task motivation: A 35-year odyssey. American Psychologist, 57,

705–717.

Luth, T. (1999). M. Natsir : Dakwah dan pemikirannya. Jakarta : Gema Insani

Press.

Maarif, A.S. (1985). Islam dan masalah kenegaraan:Studi tentang percaturan

dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.

Mahendra, Y.I. (1994, Januari-Maret). Modernisme Islam dan demokrasi:

Pandangan politik Muhammad Natsir. Islamika, (3), 68 - 70.

McCroskey, J. C., & McCroskey, L. L. (2006). Instructional communication: The

historical perspective. In T. P. Mottet, V. P. Richmond, & J. C. McCroskey

(eds.), Handbook of instructional communication: Rhetorical and relational

perspectives (pp. 33–47). Boston, MA: Allyn and Bacon.

McCroskey, L.L., Teven, J.T., Minielli, M.C., dan Richmond V.P. (2014). James

C. McCroskey‟s instructional communication legacy: Collaborations,

mentorships, teachers, and students. Communication Education, 63 (4) 283

– 307.

McCroskey,J.C., Valenic, K.M., dan Richmond V.P. (2004). Toward a general

model of instructional communication. Communication Quarterly, 52

(3),197 – 210.

McNair, B. (2011). An introduction to political communication. New York:

Routledge.

Miike, Y. (2003). Toward an alternative metatheory of human communication :

An asiacentric vision. Intercultural Communication Studies, 12 (4), 39 – 63.

Miike, Y. (2004). Rethinking humanity, culture, and communication: Asiacentric

critiques and contributions. Human Communication: A journal of the

Pacific and Asian Communication Association, 7(1), 67-82.

357

Miike, Y. (2006). Non-wetern theory in western research? An asiasentric agenda

for asian communication studies. The Review of Comunication, 6 (1-2), 4 –

31.

Miike, Y. (2014). “Harmony without uniformity” : An Asiasentric worldview and

its communicative implications.

Miles, M.B., Huberman, A.M., dan Saldana, J. (2014). Qualitative data analysis :

A methods sourcebook (3rd edition). California : SAGE Publications, Inc.

Moleong, L.J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : Remaja

Rosdakarya.

Motamar al-Alam al-Islami. (tt.). History, diakses pada 23 Juni 2018 melalui

http://www.motamaralalamalislami.org/history.html

Moustakas, Clark E. (1994). Phenomenological research methods. Thousand

Oaks: Sage Publication.

Mowlana, H. (1973). Trends in research on international communication in the

United States. Gazette: International Journal for Mass Communication

Studies, 19 (2), 79 – 90.

Mowlana, H. (1996). Global communication in transition: the end of diversity?.

Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.

Mowlana, H. (2007). Theoretical perspectives on Islam and communication.

China Media Research, 3(4), 23 – 33.

Muchtar, N., Hamada, B.I., Hanitzsch, T., Galal, A., Masduki dan Ullah, M.S.

(2017). Journalism and the Islamic Worldview. Journalism Studies, DOI:

10.1080/1461670X.2017.1279029

Muftisany, H. (2014). Mengenal rabithah alam islami, dikases pada 23 Juni 2018

melalui https://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-

jumat/14/09/19/nc4tw828-mengenal-rabithah-alam-islami

358

Muhtadi, B. (2013). Dilema PKS : Suara dan syariah. Jakarta : Kepustakaan

Populer Gramedia.

Myers, S.A. (2010). Instructional communication: The emergence of a field. In

Fasset, D.L., dan Warren, J.T. (eds.), The SAGE handbook of

communication and instruction (pp. 1-11). Thousand Oaks, California:

SAGE Publications, Inc.

Natsir, M. (1961). Capita selecta (Jilid I). Bandung : Penerbitan Sumup.

Natsir, M. (1968). Persatuan agama dengan negara: M. Natsir versus Soekarno.

Padang: Jajasan Pendidikan Islam.

Natsir, M. (1975). Capita selecta (Jilid II). Jakarta : Pustaka Pendis.

Natsir, M. (1977). Kenang-kenangan 70 tahun Buya HAMKA. Jakarta: Yayasan

Nurul Islam.

Natsir, M. (1979, Agustus). Pancasila jangan dilepaskan dari nilai-nilai agama.

Serial Media Dakwah, (62), 12 – 17.

Natsir, M. (1980 a, Februari). Penghargaan internasional untuk M. Natsir. Serial

Media Dakwah, (68), 3 – 6.

Natsir, M. (1980 b, Mei). Politik Internasional dan Masa Depan Dunia Islam.

Serial Media Dakwah, (71), 3-5.

Natsir, M. (2014). Islam sebagai dasar negara. Bandung : Sega Arsy.

Natsir, M. (2015). Islam dan akal merdeka. Bandung : Sega Arsy.

Natsir, M. (2017). Fiqhud da’wah. Jakarta: Penerbit Dewan Da‟wah Islamiyah

Indonesia.

NCA (National Communication Association). (t.t.). A brief history of NCA,

diakses pada 28 Oktober 2018 melalui https://www.natcom.org/about-

nca/what-nca/nca-history/brief-history-nca

359

Neuman, W.L. (2014). Social research methods : Qualitative and Quantitative

Approaches. Essex : Pearson Education Limited.

Olasinde, E.A. dan Ojebuyi, B.R. (2017). Trends in methodological and

theoretical orientations in contemporary political communication research.

UNIUYO Journal of Communication, UJCS, 1 (1), 20 – 32.

Omar, T.J. (1967). Ilmu da’wah. Jakarta: Penerbit Widjaya.

Partai Bulan Bintang. (tt.). Susunan pengurus, diakses pada 20 Juni 2018 melalui

http://www.pbb.or.id/susunan-pengurus

Pengurus Besar HMI. (tt.). Tentang HMI, diakses pada 29 Juli 2018 melalui

https://pbhmi.id/tentang/

Pengurus Besar PII. (tt.). Selayang pandang PII, diakses pada 29 Juli 2018

melalui https://pbpii.or.id/sample-page/

Pengurus Pusat GPII. (tt.). Tentang GPII, diakses pada 29 Juli 2018 melalui

http://www.gpii.or.id/p/tentang-gpii.html

Pimpinan Pusat Persis. (2016). Para ketua umum persatuan Islam dari masa ke

masa, diakses pada 2 Maret 2018 melalui http://persis.or.id/para-ketua-

umum-persatuan-islam-dari-masa-ke-masa/

Pozzolini, A. (2006). Pijar-pijar pemikiran Gramsci. Yogyakarta : Resist Book.

PP At-Taqwa Putra. (tt.). K.H. Noer Ali, diakses pada 9 Juni 2018 melalui

https://www.attaqwaputra.sch.id/index.php/tentang-attaqwa/kh-noer-alie\

Public Agenda. (tt.). The purpose of education: A public agenda citizen

choicework guide. New York: Public Agenda.

Putnam, R.D. (1993). Making democracy work: Civic traditions in modern Italy.

Princeton, NJ: Princeton University Press.

Racius, E. (2004). The multiple nature of the Islamic da’wa (Disertasi). Helsinki:

University of Helsinki.

360

Rahardjo, M. D. (1993). Intelektual, intelegensia, dan perilaku politik bangsa.

Bandung: Penerbit Mizan.

Rahmat, M.I. (2008). Ideologi politik PKS: Dari masjid kampus ke gedung

parlemen. Yogyakarta : PT LKiS Pelangi Aksara.

Ratya, M.P. (2017). Kisah kunjungan raja Faisal ke Indonesia 47 tahun silam,

diakses pada 23 Juni 2018 melalui https://news.detik.com/berita/d-

3432155/kisah-kunjungan-raja-faisal-ke-indonesia-47-tahun-silam

Redaksi Majalah Media Dakwah. (1995, Mei). IICO Menjawab tantangan dunia.

Media Dakwah, (251).

Redaksi Majalah Media Dakwah. (1995, Desember). Reuni sesudah 35 tahun

membubarkan diri. Media Dakwah, (258), 52 - 55.

Redaksi Majalah Serial Media Dakwah. (1979, Oktober). Serial media dakwah.

Serial Media Dakwah, (64) ii.

Redaksi Majalah Serial Media Dakwah. (1980, September). Muktamar media

massa Islam sedunia. Serial Media Dakwah, (75), 29 – 31.

Roem, M. (1980, Mei). Sidang muktamar alam islami VIII di Kibris. Serial Media

Dakwah, (71) 1 – 2.

Roem, M. (1983). Bunga rampai dari sejarah (Jilid III). Jakarta : Penerbit Bulan

Bintang.

Rokhman, L.N. (2015). Corak kajian komunikasi Salemba School (Studi

eksploratif pada kajian ilmu komunikasi di Departemen Ilmu Komunikais

FISIP Universitas Indonesia) (Skripsi). Malang: Universitas Brawijaya.

Rosidi, A. (1990). M. Natsir, sebuah biografi. Jakarta : Girimukti Pasaka.

Rubin, R.B. (2011). Educational communication. In D. Wolfgang (ed.), The

international encyclopedia of communicatison (1st Edition) (pp. 1-11). New

Jersey: John Wiley & Sons, Ltd.

361

Rubin, R. B., & Feezel, J. D. (1986). A needs assessment of research in

communication education. Central States Speech Journal, 37, 113–118.

Ryfe, D.M. (2001). History and Political Communication: An Introduction.

Political Communication, 18, 407 – 420.

Saefuddin, A.M. (1996). Ijtihad politik cendekiawan muslim. Jakarta : Gema

Insani Press.

Said, E. (1978). Orientalism. New York : Pantheon Books.

Saidi, R. (1984). Pemuda islam dalam dinamika politik bangsa. Jakarta: CV

Rajawali.

Saleh, M. (1995). Pemikiran Muhammad Natsir dan Hasan Al-Banna tentang

negara (Suatu studi analisis komparatif) (Tesis). Banda Aceh: Institut

Agama Islam Negeri Ar-Raniry.

Sekretariat Umum Partai Masjumi. (1949). Anggaran dasar dan rumah tangga

Masjumi. Jakarta : Sekretariat Umum Partai Masjumi.

Siddiq, M. (2003). Peran politik KAMMI dalam perjuangan demokratisasi di

Indonesia (Tesis). Jakarta : Universitas Nasional.

Simonson, P., Peck, J., Craig, R.T., dan Jackson Jr., J.P. (Editor). (2013). The

handbook of communication history. New York : Routledge.

Steele, J. (2011). Justice and journalism: Islam and journalistic values in

Indonesia and Malaysia. Journalism, 12 (5), 533 – 549.

Steele, J. (2014). Journalism and Islam in Indonesia and Malaysia: Five

approaches. Studia Islamika, 21 (3), 459 – 487.

STID Mohammad Natsir. (2010). Koleksi perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu

Da’wah Mohammad Natsir, diaskes pada 14 November 2018 melalui

https://www.scribd.com/document/28066344/koleksi-skripsi

362

STIKES YARSI, (tt.). Sejarah berdirinya STIKES YARSI Bukittinggi, diakses

pada 10 Juni 2018 melalui

http://www.stikesyarsi.ac.id/index.php/profil/sejarah

Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d. Bandung:

Alfabeta.

Suhelmi, A. (1999). Soekarno versus Natsir : Kemenangan barisan Megawati

reinkarnasi nasionalis sekuler. Jakarta : Darul Falah.

Suryanegara, A.M. (2016). Api sejarah 2 : Mahakarya perjuangan ulama dan

santri dalam menegakkan negara kesatuan republik Indonesia. Bandung:

Surya Dinasti.

Taharani, M. (2018, Juni 25). Melawan Lupa : Keteladanan Mohammad Natsir.

[Television broadcast]. Jakarta, Indonesia : Metro TV.

Tim KPG-Tempo. (2011). Natsir, politik santun di antara dua rezim. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia-Tempo.

Tzanakis, M. (2013). Social capital in Bourdieu‟s, Coleman‟s and Putnam‟s

theory: Empirical evidence and emergent measurement issues. Educate, 13

(2), 2 – 23.

UIN Sunan Kalijaga. (t.t.). Profil fakultas dakwah, diakses pada 14 November

2018 melalui http://uin-suka.ac.id/id/page/universitas/80-fdk

UMM. (t.t.). Mata kuliah. Diakses melalui

http://komunikasi.umm.ac.id/id/pages/mata-kuliah.html

UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003

(Kemenristekdikti) s. 3.5 (Indonesia), diakses melalui

http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-

content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf

363

Uslaner, E. M. (2005). Political parties and social capital, political parties or

social capital.. In Richard S. Katz und William Crotty (Hg.), Handbook of

political parties. London: Sage Publications.

Wagner, W. (2003). A comparison of Christian missions and Islamic da'wah.

Missiology: An International Review, 31 (3), 339 – 347.

Wedhaswary, I.D. (2011). Perlu dikembangkan ilmu komunikasi khas Indonesia,

diakses pada 13 November 2018 melalui

https://edukasi.kompas.com/read/2011/11/09/15512862/Perlu.Dikembangka

n.Ilmu.Komunikasi.Khas.Indonesia

Weinsheimer, J.C. (1985). Gadamer’s hermeneutics: A reading of truth and

method. New Haven : Yale University Press.

Wirdani, M. (2018). HAMKA, jurnalisme Islam sepanjang hidup (Studi pemikiran

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Prof. Dr. Buya HAMKA sebagai

tokoh jurnalisme Islam di Indonesia) (Skripsi). Malang: Universitas

Brawijaya.

World Bank. (t.t.). Social capital, diakses pada 12 November 2018 melalui

http://www.worldbank.org/en/webarchives/archive?url=httpzzxxweb.worldb

ank.org/archive/website01360/WEB/0__MEN-2.HTM&mdk=23354653

Yusran, R. (Editor). (2001). Debat dasar negara Islam dan Pancasila. Jakarta :

Pustaka Panjimas.

Zen. (1995, September). Dimanakah penghargaan kepada pemimpin bangsa.

Media Dakwah, (255), 17 – 19.

Zubaidi, N. (1980, Maret). Dari kunjungan Ali Harakan. Serial Media Dakwah,

(69), 43 – 45.