tokoh-tokoh sudut pandang kebudayaan diferensial

17
Nama : Ni Putu Diah Paramitha G. NIM : 1201605003 Prodi : Antropologi TOKOH-TOKOH SUDUT PANDANG KEBUDAYAAN DIFERENSIAL Sudut pandang diferensial melihat bahwa kebudayaan bersifat liquid (cair), dinamis, dan kompleks. Berbeda dari pandangan generik yang melihat bahwa kebudayaan bersifat turun-temurun, pandangan diferensial melihat bahwa kebudayaan lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu. Adapun teori yang digunakan untuk mengamati kebudayaan diferensial ini adalah teori-teori yang bernuansa posmodern. Teori-teori tersebut beserta tokoh pendukungnya dijabarkan sebagai berikut. 1. POS-STRUKTURALISME Pos-strukturalisme adalah gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap strukturalisme, yang membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarki, dan validitas kebenaran universal, sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual. Kaum pos-strukturalis pada umumnya melihat bahwa bahasa sebagai sistem tanda yang sangat dinamis. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut. a. ROLAND BARTHES Salah satu ungkapan Barthes yang paling terkenal adalah “pegarang sudah mati”. Ungkapan tersebut adalah sebagai simbol bahwa dalam kondisi posmodern, pengarang

Upload: universitasudayana

Post on 13-Nov-2023

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Nama : Ni Putu Diah Paramitha G.

NIM : 1201605003

Prodi : Antropologi

TOKOH-TOKOH SUDUT PANDANG KEBUDAYAAN DIFERENSIAL

Sudut pandang diferensial melihat bahwa kebudayaan bersifat liquid (cair), dinamis,

dan kompleks. Berbeda dari pandangan generik yang melihat bahwa kebudayaan bersifat

turun-temurun, pandangan diferensial melihat bahwa kebudayaan lebih bersifat situasional

yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang

berubah dari waktu ke waktu. Adapun teori yang digunakan untuk mengamati kebudayaan

diferensial ini adalah teori-teori yang bernuansa posmodern. Teori-teori tersebut beserta

tokoh pendukungnya dijabarkan sebagai berikut.

1. POS-STRUKTURALISME

Pos-strukturalisme adalah gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap

strukturalisme, yang membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarki, dan validitas

kebenaran universal, sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta

ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual. Kaum pos-strukturalis pada umumnya

melihat bahwa bahasa sebagai sistem tanda yang sangat dinamis. Tokoh-tokoh pendukung

teori ini adalah sebagai berikut.

a. ROLAND BARTHES

Salah satu ungkapan Barthes yang paling terkenal adalah “pegarang sudah mati”.

Ungkapan tersebut adalah sebagai simbol bahwa dalam kondisi posmodern, pengarang

dengan semangat Cartesian, tidak memiliki tempat dalam diskursus. Ungkapan tersebut

adalah sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak ada lagi semangat dan jiwa

pengarang dalam karyanya. Pengarang tidak lagi bicara.

Karya atau teks posmodern, dalam hal ini, tidak dapat lagi dikategorikan menjadi teks

atau karya dalam pengertian modernisme, yaitu karya yang memiliki arti yang tunggal dan

utuh. Hal ini disebabkan bahasa yang digunakan tidak lagi bahasa tunggal dan subyektif

pencipta, akan tetapi aneka ragam bahasa masa lalu dengan asal-usul yang tidak pasti. Hal ini

dijelaskan Barthes, sebagaimana yang ditulisnya,

“…sebuah teks bukanlah sebaris kata-kata yang menghasilkan makna tunggal teologis (pesan atau wahyu Pengarang – Tuhan), akan tetapi ruang multi-dimensional yang di dalamnya aneka ragam tulisan-tulisan, tak satu pun di antaranya yang orisinal, bercampur, dan bertumpang tindih. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya.”

Bagi Barthes, sebuah teks adalah kombinasi dari tulisan-tulisan, yang diambil dari

berbagai kebudayaan, dan memasuki suatu ruang tertentu, yang di dalamnya semuanya

dipusatkan dan berinteraksi dalam bentuk dialog, parodi, arena kontes, atau alegori. Ruang

ini, menurut Barthes adalah pembaca. Matinya sang pengarang dalam era posmodern diiringi

dengan lahirnya pembaca (reader), dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang

menjadikan pembaca/teks-teks sebagai pusat penciptaan ketimbang pengarangnya sendiri

(lihat Piliang, 2003: 118-121).

b. JULIA KRISTEVA

Julia Kristeva adalah seorang pemikir pos-strukturalis Prancis. Dalam bukunya

Revolution in Poetic Language dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature

and Art, ia memperkenalkan istilah intertekstualitas. Dalam kedua buku ini, Kristeva

membawa istilah intertekstualitas, sebagai satu konsep kunci dari paham pos-strukturalisme,

yang sekaligus menantang model berpikir struktur, sinkronik, dan bersistem dari paham

strukturalis. Apa yang dilihat Kristeva dalam suatu teks dan karya seni, tidaklah sesederhana

relasi-relasi antara bentuk dan makna atau penanda (signifer) dan petanda (signified),

sebagaimana yang dipertahankan oleh semiotika konvensional. Sebaliknya, Kristeva melihat

pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam analisis teks.

Sebuah teks atau karya seni dibuat dalam waktu yang konkrit. Oleh sebab itu, mesti

ada relasi-relasi antara satu teks atau karya dengan teks atau karya lainnya dalam ruang, dan

antara satu teks atau karya seni dengan teks yang sebelumnya di dalam garis waktu.

Singkatnya, Kristeva melihat bahwa satu teks atau karya seni tidak berdiri sendiri, tidak

mempunyai landasan atau kriteria dalam dirinya sendiri – tidak otonom (lihat Piliang, 2003:

121-122).

c. JACQUES DERRIDA

Salah satu konsep yang paling penting dari Derrida adalah mengenai kritik

‘dekonstruksi’ yang merupakan pengembangan dari pemikiran Nietzsche. Dekonstruksi

Derrida menekankan pada ‘logosentrisme’ filsafat Barat dan mengusulkan bahwa oposisi

biner sentral yang membangun pemikiran Barat (ucapan/tulisan, hadir/absen, makna/bentuk,

pikiran/jasmani, dan hurufiah/metaforis) adalah arbiter, tidak stabil, dan dapat berbolak-balik.

Derrida ingin menunjukkan bahwa upaya untuk membangun landasan perlu menjadikan

kemauan menjadi kekuasaan (Saiffudin, 2006).

Ia menentang banyak asumsi pokok dalam filsafat Barat modern yang memandang

dualisme objek-subjek dan memandang bahasa sebagai representasi dan kebenaran sebagai

cermin antara kata dan dunia. Ia menawarkan cara pandang pragmatik: pengetahuan sebagai

praktik sosial, yang bernilai karena peranan sosialnya.

Derrida mendemonstrasikan bahwa tulisan – kalau dinilai secara benar- merupakan

prakondisi bahasa, dan bahkan ada sebelum ucapan oral. Kalau tulisan lebih dari sekadar

grafis atau prasasti dalam pengertiannya yang normal, maka tidaklah benar bahwa tulisan

adalah representasi palsu, atau topeng dari ucapan. Tulisan, menurut Derrida, pada

kenyataannya melepaskan diri dari ucaan dengan sengaja membuat asumsi kebenaran

alamiah (logos)nya, dan dari predikat sebagai topong dari logos. Tulisan adalah sebuah

permainan bebas unsur-unsur dalam bahasa dan komunikasi. Tulisan adalah proses

perubahan makna secara terus-menerus, dan perubahan ini menempatkannya pada posisi di

luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Dalam hal ini, Derrida melihat tulisan sebagai jejak

(trace) – bekas tapak kaki yang mengharuskan kita menelusurinya untuk mencari si empunya

kaki. Adalah proses berpikir, menulis, berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebuk

Derrida sebagai difference (Piliang, 2003: 126-127).

d. MICHEL FOUCAULT

Foucault adalah seorang pos-strukturalis asal Prancis. Ia membicarakan permasalahan

diskursus (wacana) dengan cara yang baru. Bukunya yang berjudul The Archaeology of

Knowledge, dianggap sebagai buku yang berbicara mengenai diskursus secara inovatif. Di

dalam buku tersebut, Foucault menjelaskan diskursus tidak dalam konteks kontinuitas

sejarah, tetapi di dalam konteks diskontinuitas. Apa yang dilihat Foucault di dalam satu

rentang waktu adalah sesuatu yang terputus atau sesuatu yang kontradiktif.

Foucault mengemukakan bahwa di dalam satu masyarakat, peristiwa berbeda

(misalnya praktik bahasa), badan pengajaran yang berbeda, gagasan filsafat, opini sehari-hari,

berbagai institusi, praktik komersial, penggunaan ruang dan objek, serta pennggunaan tubuh,

semuanya berlandaskan pada pengetahuan implisit yang khusus pada masyarakat tersebut

yang disebutnya savoir (knowledge atau pengetahuan) (Piliang, 2003: 107).

2. POSKOLONIALISME

Pos-kolonialisme sendiri merupakan studi yang mempelajari interaksi antara negara

Eropa dengan negara jajahan mereka di era modern (Wardhani, 2014). Pos-kolonialisme lahir

pada tahun 1960-an, dengan ditandai oleh terbitnya buku The Wretched of the Earth karya

Frantz Fanon di Prancis. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.

a. FRANTZ FANON

The Wretched of the Earth (2000), buku karyanya, disebut sebagai pegangan bagi

revolusi hitam yang sukses di negerinya; Aljazair. Buku ini adalah kecaman bagi kulit putih

dan barat agar sadar bahwa kolonalisme telah berakhir. Bukunya telah menginspirasi praktik-

praktik revolusi dan re-organisasi sosial. Fanon adalah seorang psikiater kulit hitam yang

sukses keluar dari kolonisasi mental yang dikonstruksi oleh kolonialisme, bahkan

mengorganisir dan menginspirasi gerakan-gerakan dekolonisasi Afrika.

b. EDWARD SAID

Dengan meminjam analisis Fuchoult tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan, Said,

menemukan adanya relasi antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme,

dengan kuasa kolonial di negara-negara koloninya. Pada awalnya orientalisme ini seperti

gerakan ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat, budayanya, struktur bahasanya,

dll. Tetapi dalam praktiknya pengetahuan ini digunakan untuk melanggengkan kolonialisme.

Kata Said ‘orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur. Sejarawan,

antropolog, sosiolog, sastrawan dan ilmuwan barat dengan kekuatan wacana mengkonstruksi

timur sebagai inferior'. Dengan kata lain, orientalisme adalah diskursus yang bukannya

memvisualisasikan dan merepresentasikan kebenaran tentang kebudayaan non-Barat, tetapi

mengadilinya berdasarkan pengetahuan Barat.

Kolonialisme membentuk orientalisme ini seperti mengerahkan 'aparatus ideologis'

negara kolonial untuk menundukkan warga pribumi yang dikoloni. Mereka memproduksi

pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, 'prilaku layak', dan secara jangka pajang mengkonstruksi

nalar pribumi. Hal inilah yang ingin dibongkar oleh Said. Meruntuhkan hegemoni teori

pengetahuan barat yang ternyata tidak pernah 'netral', namun memuat struktur ideologi

tertentu yang disusupkan dengan data-data (pseudo) ilmiah.

c. HOMI K. BHABHA

Menurut Bhabha, poskolonialitas adalah 'ruang antara' atau kondisi liminalitas menuju

merdeka sepenuhnya. Diintrodusir dari istilah psikologi untuk menunjukkan ruang antara

alam sadar dan alam bawah sadar. Dalam konsepsi sastra poskolonial, nalar kita berada

dalam 'ruang antara', ruang liminalitas, antara pra kemerdekaan menuju kemerdekaan

sepenuhnya.

Bhaba mengatakan bahwa setiap momen harus sebagai rangkaian sebuah revisi

dimana ada keterbukaan dan kontingensi dalam keyakinannya untuk mendapatkan kebebasan.

Bagi korban kolonialisme, strategi budaya sebagai cara dari kebertahanan (survival) yang

lebih banyak diperoleh dari warisan. Ada jarak antara warisan dan pemahaman ofisial

(ideologi) dan penyediaan ruang tampilan individu untuk pertahanan dan individualitas.

Menurut Bhabha, bila dilihat dari sudut pandang poskolonial, ada 2 kutub biner yang

berbeda, yakni colonized (dijajah) dan colonizer (penjajah). Keduanya harus dilihat sebagai

konteks historis yang tidak selalu linear satu arah. Bila colonized bersikap resisten, maka

colonizer bersikap anxiety atau cemas. Namun sikap perlawanan dan cemas dapat saja terjadi

dikedua belah pihak, seperti perlawanan dan resistensi dari colonizer yang khawatir akan

ancaman terhadap daerah jajahannya oleh penjajah lainnya. Sedangkan dari pihak yang

dijajah, tidak selalu resisten, melainkan terkadang bisa menerima kehadiran penjajah, meski

tidak sepenuhnya. Berdasarkan hal ini, Bhaba melihat pentingnya penyelamatan kondisi yang

tidak menentu (resist dan anxiety) yang dilakukan oleh para agen melalui budaya. Dengan

kata lain, budaya sebagai strategi pertahanan yang dilakukan oleh agen: pihak penjajah

maupun yang dijajah.

d. GAYATRI SPIVAK

Bila Said melalui orientalisme, sebuah buku rumit yang ditulis melalui riset serius atas

naskah-naskah kolonial, maka Spivak mengenalkan dirinya masuk menjadi intelektual

poskolonial melalui artikel pendeknya berjudul 'Can the Subaltern Speak?' dan bukunya A

Critique of Postkolonial Reason. Naskah ini telah banyak dikutip sebagai contoh teks teori

poskolonial.

Tulisan-tulisan Spivak yang terpenting adalah konsepsi yang berkisar pada kajian

subaltern. Berangkat dari pengamatan tentang bagaimana perempuan-perempuan selatan

terpinggirkan dan tidak bisa bersuara. Perempuan, petani desa, kaum terpinggirkan lainnya

inilah yang disebut oleh Spivak sebagai subaltern. Konsepsi ini sebenarnya pernah disebutkan

oleh Gramsci untuk merujuk petani desa di Italia yang tersubordinasi oleh kekuatan negara.

Spivak sendiri menganggap bahwa suara dan perwakilan perempuan dimarjinalkan.

3. POSFEMINISME

Posfeminisme merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang menempatkan diri pada

posisi yang kritis. Posfeminisme mempertanyakan asumsi-asumsi feminisme seperti patriarki

sebagai situs utama penindasan, pengalaman penindasan yang universal, keseragaman,

monovokal dan monologis. Posfeminisme mempertanyakan kiprah perjuangan feminisme

yang melenceng dari visinya sebagai gerakan pembebasan menjadi sebuah gerakan yang

justru menciptakan dominasi baru. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.

a. LINDA NICHOLSON

Linda Nicholson, seorang profesor sejarah dan studi perempuan di Washington

University di St Louis, mengklaim bahwa gagasan tubuh manusia dipisahkan menjadi dua

jenis kelamin tidak historis konsisten. Dia berpendapat bahwa alat kelamin pria dan alat

kelamin perempuan dianggap inheren sama dalam masyarakat Barat sampai abad ke-18. Pada

saat itu, alat kelamin perempuan dianggap sebagai alat kelamin pria tidak lengkap, dan

perbedaan antara kedua dikandung sebagai masalah derajat. Dengan kata lain, ada gradasi

bentuk fisik, atau spektrum. Oleh karena itu, cara pandang seperti ini terhadap seks, yang

mempertimbangkan perempuan dan laki-laki dan alat kelamin yang khas mereka sebagai

pilihan alami hanya mungkin, muncul menjadi ada melalui sejarah, akar tidak biologis.

b. NANCY FRASER

Fraser membagi gelombang kedua feminisme menjadi tiga babak berdasarkan

tuntutannya, antara lain (1) the personal is political, (2) Arah redistribusi sosial-politis yang

bergerak menjadi penyadaran identitas, dan (3) hubungan berbahaya (dangerous liaison)

antara feminisme dan neoliberalisme. Fraser mengkritik bahwa akar keadaan ini terjadi ketika

“the personal is political” tidak dilanjutkan dalam konteks sosio-ekonomi, melainkan hanya

berlandaskan pada kultural, dan lebih spesifik ke permasalahan identitas. Akibatnya, agenda

gelombang feminisme kedua yang menuntut keadilan dalam permasalahan sosio-ekonomi

belum selesai, tapi didahului oleh agenda kultural, yang bermain dalam kerangka identitas.

Fraser tidak serta merta meninggalkan kultural, tapi yang ia tanyakan adalah

genealogi permasalahan kultural itu sendiri. Jika feminisme abai pada permasalahan sosio-

ekonomi mereka, maka penindasan akan selalu terjadi dan justru membuat terpecah-pecahnya

gerakan perempuan, termasuk pemisahannya dari gerakan sosial lain—suatu hal yang

diinginkan oleh patriarki. Permasalahan identitas yang penting seperti kritik Bell Hooks

direduksi menjadi sekadar pembenaran perbedaan perempuan dari laki-laki. Ini akan menjadi

gerakan perempuan yang tidak bernas, sebab memahami perempuan berarti juga memahami

laki-laki dan subjek-subjek sosial lainnya di masyarakat.

Fraser tidak berusaha melupakan kultural, melainkan ia mempertanyakan isu

kebudayaan di dalam feminisme yang mana hanya disempitkan menjadi problem identitas

semata dan bagaimana para feminis sekarang memaknai gender. Di sini, Fraser menyorot

kritiknya kepada Lacanianism, atau bagaimana pemikiran Lacan diterjemahkan oleh para

feminis. Para perempuan feminis yang gandrung kepada pemikiran (pseudo) pascamodernis

khususnya Lacan, mengamini gender sebagai konstruksi diskursif (discursive construction)

dan pemisahan gender tidak lagi dikaitkan dengan fungsi biologisnya, melainkan pada proses

identifikasi, bahasa dan sosialisasi ketika anak belajar di tengah-tengah lingkungannya.

Setelahnya, anak tunduk pada peraturan di masyarakat. Namun, argumen ini dianggap Fraser

tidak terlalu akurat secara historis dan bahkan kultural. Sebab, pembacaan Lacanianism

terhadap gender hanya berorientasi pada simbol-simbol, tapi abai pada struktur yang telah

menghasilkan simbol-simbol tersebut.

4. POSDEVELOPMENTALISME

Posdevelopmentalisme adalah suatu pemikiran bahwa pembangunan masyarakat,

terutama negara-negara berkembang yang dilakukan dalam era pasca-kolonial dan pada era

modern. Pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang bersifat berkelanjutan.

Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.

a. ARTURO ESCOBAR

Arturo Escobar (1995) dalam teks pasca-pembangunan klasiknya, Encountering

Development, menjelaskan bagaimana wacana pembangunan yang dominan bermain keluar.

Wacana ini didasarkan pada modernisasi dan gagasan kemajuan bangsa Barat, yang

menciptakan konsep ‘Dunia Ketiga’. Dunia Ketiga tersebut dikatakan terdiri dari populasi

yang kurang beruntung dan membutuhkan 'bantuan'. Agar Dunia Ketiga menjadi modern dan

'progresif,' maka Dunia Pertama (sebagai negara yang model modernitas dan kemajuan)

memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan kepada Dunia Ketiga tersebut.

b. MAJID RAHNEMA

Rahnema (1991), dalam karya-karyanya yang membahas masalah kemiskinan,

menyatakan bahwa tidak ada 'solusi' untuk 'kemiskinan' dalam modernitas; akan tetapi

mencari alternatif tidaklah mudah karena struktur kekuasaan yang ada itulah yang telah

‘menjaga keberadaan kemiskinan’ sehingga kekuasaan dapat tercipta dan dipertahankan.

Struktur kekuasaan yang ada meliputi berbagai negara-bangsa yang terlibat dalam

pembangunan, tetapi juga kekuatan pasar ekonomi global modern dan kontrol masyarakat

dengan elitisme teknis. Untuk mewujudkan paradigma alternatif, Rahnema menyatakan

bahwa pasca-pembangunan "tidak harus difokuskan pada 'rencana aksi' hanya operasional

atau spektakuler atau 'strategi.'" Sebaliknya, ia menyerukan komitmen dari orang-orang 'baik

orang dalam setiap komunitas untuk membuat paradigma baru berdasarkan persahabatan dan

rasa sebenarnya dari masyarakat dengan tujuan mengakhiri modernitas dan hegemoni global.

5. POSMODERNISME

Istilah posmodern muncul pertama kali pada wilayah seni dan digunakan Frederico de

Onis pada tahun 1930. Istilah ini kemudian banyak digunakan dalam bidang-bidang seperti

seni rupa, arsitektur, politik, sastra, antropologi, sosiologi, feminisme, psikologi, filsafat, dan

lain-lain. Posmodern adalah term deskriptif untuk menggambarkan apa yang datang setelah

era modern. Term posmodern bukan bersifat ‘anti modern’. Posmodern memanfaatkan hal-

hal yang dianggap baik pada era modern (re-use) dan penyusunan kembali potongan-

potongan (collage) dari unsur-unsur tradidional dan modern serta mendaur ulang dalam

konteks yang baru. Istilah posmodern dapat pula mengacu pada satu era (periode) di mana

kepercayaan pada modernitas (the Enlightemen belief) mulai memudar. Tokoh-tokoh

pendukung teori ini adalah sebagai berikut.

a. FRIEDRICH NIETZSCHE

Doktrin penghapusan nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh

Nietzsche (1844-1900) adalah doktrin nihilisme. Dalam karyanya Will to Power, Nietzsche

menggambarkan nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari pusat ke arah titik

X”, artinya “nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya. Dalam pandangan

Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan

doktrin “kematian Tuhan”.

Dalam terminologi Nietzsche, perubahan kebenaran menjadi sekadar nilai berbentuk

apa yang dia istilahkan “will to power.” Ini berarti bahwa filsafat nihilism bertujuan untuk

mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran

metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan fondasi pemikiran dan

nilai dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, seperti yang dinyatakan oleh Nietzsche, ketika

metafisika telah mencapai suatu poin di mana kebenaran telah dianggap seperti Tuhan,

sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana

kepercayaan dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan

salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat

diandalkan. Maka dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus menolak kebenaran.

Membuang yang satu berarti juga harus membuang yang lain. Berdasarkan pada doktrin ini

maka Nietzsche mendefinisikan metafisika secara peyoratif sebagai “ilmu yang membahas

tentang kesalahan manusia yang fundamental, seakan-akan semua itu kebenaran yang

fundamental”. Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas

serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.

b. MARTIN HEIDEGGER

Bersama dengan Nietzsche, Heidegger disebut sebagai Bapak Posmodernisme.

Heidegger (1889-1976) dengan nada yang sama dengan Nietzsche mendefinisikan nihilisme

sebagai “suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa”. Dalam pandangan

Heidegger, nihilisme menunjukkan penghapusan “being” dengan sedemikian rupa sehingga

menjelma menjadi nilai. Di sini realitas tidak lagi dipahami dalam bentuk suatu susunan di

mana sang pencipta berada pada puncak hirarki yang absolut. Keduanya menuju suatu titik di

mana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai makna.

Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, relijius

ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine).

Seperti Nietzsche, penolakan Heidegger terhadap Tuhan yang metafisis sejalan

dengan persepsinya tentang Tuhan secara non-metafisis. Baginya akhir dari pemikiran

teologis adalah berhenti berfikir tentang Tuhan sebagai cause sui, yaitu Tuhan yang dianggap

sebagai kekuatan penyebab yang mencipta dan menjaga alam kosmos, dan sebagai gantinya

adalah Tuhan yang manusia dapat menari dan melutut di depanNya. Inilah yang ia sebut

Tuhan yang sebenarnya (Truly Divine God).

Filsafat diferensi yang dikembangkan oleh Heidegger merupakan satu upaya untuk

mendekonstruksi oposisi biner dan kontradiksi, serta menghindari diri dari penyangkalan dan

melakukan semacam rekonstruksi dari apa-apa saja yang telah didekonstruksi. Seperti yang

dikatakan Levin, bahwa Heidegger berupaya melakukan “pengumpulan kembali Ada, dengan

segala dimensi-dimensinya” yang telah dilupakan oleh modernitas.

c. FRANCOIS LYOTARD

Posmodern menurut Lyotard adalah kondisi hilangnya kredibilitas metanarasi dan

berkembangnya perhatian pada pengembangan ‘pengetahuan-pengetahuan baru’ yang serta-

merta meruntuhkan metanarasi itu.

Pemikiran dan pengamatan Lyotard menimbulkan implikasi penting bagi pemahaman

tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan pramodern dan modern menurut Lyotard,

mempunyai bentuk kesatuan (unity) yang didasarkan pada cerita-cerita besar (grand-

narratives). Selanjutnya, grand narrative itu menjadi kerangka untuk menjelaskan berbagai

permasalahan penelitian dalam skala mikro dan terpencil sekalipun. Grand narrative

(metanarasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia yang mencakup segala hal/masalah, dan

menetapkan kriteria kebenaran dan obyektivitas ilmu pengetahuan. Konsekuensinya, narasi-

narasi ‘yang lain’, narasi yang berada di luar narasi besar, dianggap sebagai narasi non-

ilmiah.

Lyotard menolak pandangan Pencerahan atau paradigma positivisme itu, khususnya

tentang kesatuan ilmu pengetahuan (unifed sciences), obyektivitas dengan menolak meta-

narasi dan membiarkan berkembangnya ‘narasi-narasi lain’ atau peristiwa-peristiwa berbicara

untuk mereka dengan kriteria/aturannya sendiri. Ia menyatakan adanya unsur ketidak-adilan,

bahkan imperialisme kultural Barat yang termuat dalam pandangan positivisme ilmiah itu.

d. JEAN BAUDRILLARD

Konsep-konsep penting dalam pemikiran Baudrillard adalah mengenai simulasi dan

hiperealitas. Bagi Baudrillard, simulasi adalah suatu proses atau strategi intelektual.

Pernyataan Baudrillard tentang simulasi adalah sebagai berikut.

“Simulasi bukan lagi wilayah, sebuah wujud, atau substansi referensial. Ia adalah penciptaan lewat model-model sesuatu yang real, yang tanpa asal-usul atau realitas: sebuah hipereal. Wilayah tidak lagi mendahului peta, tidak juga mempertahankannya. Mulai kini, adalah peta yang mendahului wilayah –precession of simulacra. (Piliang, 2003: 1).”

Hiperealitas adalah efek, keadaan, atau pengalaman kebendaan dan atau ruang yang

dihasilkan dari proses tersebut. awal dari hiperealitas, menurut Baudrillard, ditandai dengan

lenyapnya petanda, dan metafisika representasi; runtuhnya ideologi; dan bangkrutnya realitas

itu sendiri yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi. Tanda tidak lagi

merepresentasikan sesuatu. Satu-satunya refrensi dari tanda yang ada adalah massa, dan

massa ini, menurut Baudrillard adalah mayoritas yang diam.

e. JACQUES LACAN

Lacan merupakan salah satu tokoh penganut posmodernisme yang mencoba untuk

mengembangkan kembali konsep psikoalanisa milik Sigmund Freud.

Bagi Jacquez Lacan, pembentukan subjek di dalam rentang sejarah dapat dijelaskan

sebagai suatu fenomena psikoanalisis. Di dalam bukunya, Ecrits, Lacan menjelaskan bahwa

proses pembentukan manusia sebagai subjek dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari

pengalaman kelahiran sang manusia tersebut, dalam kaitannya dengan cerita-cerita, mitos-

mitos, dan bahasa-bahasa yang mendahuluinya. Bagi Lacan, manusia lahir tak ubahnya

seperti apa yang disebutnya hommelette – seperti telor pecah yang tak bisa menemukan

bentuknya yang pasti. Akan tetapi, sekali ia –pada tahap balita– masuk ke dalam satu sistem

sosial (pertama-tama dalam sistem keluarga, dan yang berkaitan dengan seksual), maka ia

akan dibentuk oleh mitos, tabu, atau hukum yang dikenalnya melalui bahasa simbolik, yang

selanjutnya akan mematrikan posisi subjektivitasnya di dalam proses kehidupan sosialnya

seterusnya (Piliang, 2003: 83-84).

f. GILLES DELEUZE DAN FELIX GUATTARI

Deleuze Guattari

Deleuze dan Guattari dalam bukunya, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia,

mengembangkan model subjektivitas dengan berlandaskan pada wawasan keterbukaan

terhadap penafsiran. Bagi Deleuze dan Guattari, meskipun manusia lahir seperti hommelette

(lihat pada uraian Jacques Lacan) – yang harus berhadapan dengan mitos, tabu, dan bahasa

simbolik dalam sistem keluarga, namun manusia harus keluar dari rumah penjara simbolik

tersebut, dan mencoba menafsirkan kembali bahasa simbolik yang telah diterima tersebut.

Untuk itu, manusia harus melepaskan diri dari ikatan segitiga Oedipus Complex, dan

mengembangkan serta memasuki satu ruang dan bahasa yang memungkinkan bagi pengakuan

akan abnormalitas, pelanggaran tabu, pemutar-balikkan grammar atau tata bahasa (Piliang,

2003: 84).

Dalam pembahasannya mengenai skizofrenik, berbeda dengan Lacan yang melihat

fenomena skizofrenik dalam fenomena bahasa, Deleuze dan Guattari lebih melihat gejala

skizofrenik berdasarkan fenomena sosial, politik, dan ekonomi. Bagi mereka “skizofrenik

bagaikan cinta; tak ada fenomena atau hakikat yang khusus skizofrenik; skizofrenia adalah

jagat mesin-mesin keinginan yang produktif dan reproduktif, produksi primer universal

sebaai realitas esensial manusia dan alam”.

Refrensi

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada.

Anonim. Lyotard Francois.Anonim. Pengertian Posmodern, Posmodernisme, dan Posmodernitas.

http://amirchinggu.blogspot.com/2013/01/gender-2.htmlhttp://hamidfahmy.com/agama-dalam-pemikiran-barat-modern-dan-post-modern/http://mhakicky.blogspot.com/2011/01/seri-buku-iii-budaya.htmlhttp://rayarken.xtgem.com/artikel/teori/postkolonialhttp://repository.upi.edu/3721/6/D_PU_0907863_Chapter3.pdfhttp://sociolovers-ui.blogspot.com/2012/06/poskolonial-homi-k-bhaba.htmlhttp://syaebani.blogspot.com/2009/08/posfeminisme.htmlhttps://www.academia.edu/2373970/

Postdevelopment_Postmodernity_and_Deconstructionism_A_Practical_Program