tinjauan hukum islam terhadap tradisi

84
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI MAPPASIKARAWA DALAM PERKAWINAN ADAT BUGIS (Studi di Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk Betung Timur) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat- Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana S1 (S.H.) Oleh : Rifdah Dzahabiyya Zayyan NPM : 1721010080 Program Studi: Hukum Keluarga Islam (Al- Ahwal As-Syakhsiyah) FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 1443H / 2022M

Upload: khangminh22

Post on 06-May-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI

MAPPASIKARAWA DALAM PERKAWINAN ADAT BUGIS

(Studi di Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-

Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana S1 (S.H.)

Oleh :

Rifdah Dzahabiyya Zayyan

NPM : 1721010080

Program Studi: Hukum Keluarga Islam (Al- Ahwal As-Syakhsiyah)

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

RADEN INTAN LAMPUNG

1443H / 2022M

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI

MAPPASIKARAWA DALAM PERKAWINAN ADAT BUGIS

(Studi di Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-

Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana S1 (S.H.)

Oleh :

Rifdah Dzahabiyya Zayyan

NPM : 1721010080

Program Studi: Hukum Keluarga Islam (Al- Ahwal As-Syakhsiyah)

Pembimbing I : Dr. Maimun, S.H., MA

Pembimbing II : Syeh Sarip Hadaiyatullah, M.H.

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

RADEN INTAN LAMPUNG

1443H / 2022M

ii

ABSTRAK

Perkawinan sebagai salah satu sendi kehidupan bermasyarakat

tidak lepas dari tradisi yang telah dimodifikasi agar sesuai dengan

ajaran agama yang dianut, baik sebelum atau sesudah upacara

perkawinan itu dilaksanakan. Perkawinan pada suatu masyarakat

biasanya diikuti oleh berbagai rangkaian acara adat dan upacara adat.

Dalam perkembangannya, masyarakat bugis tidak hanya berdomisili

di daerah Sulawesi saja akan tetapi telah menyebar ke berbagai

wilayah Indonesia, salah satunya adalah ke Kelurahan Kota Karang

Raya Teluk Betung Timur. Orang-orang Bugis disana membentuk

komunitas tersendiri dengan berbagai adat perkawinan yang masih

berlaku sampai sekarang. Seperti tradisi Mappasikarawa yang

dilaksanakan sesudah akad sebagai tanda sah nya ijab qabul yang

mempertemukan mempelai pria dengan mempelai wanita untuk

dipersentuhkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses

pelaksanaan Mappasikarawa dalam perkawinan adat Bugis dan untuk

mengetaui bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap

Mappasikarawa dalam Perkawinan adat Bugis di Kelurahan Kota

Karang Raya Kecamatan Teluk Betung Timur.

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian

kualitatif. Penulisan ini bersifat deskriptif analisis dengan

menggunakan sumber dari data primer dan sekunder. Adapun yang

menjadi data primer adalah hasil wawancara dengan tokoh agama,

tokoh adat, tokoh masyarakat dan data sekunder yang berasal dari

buku-buku yang berhubungan dengan skripsi ini diuraikan dan

dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan

yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat adat Bugis di

Kelurahan Kota Karang Raya menganggap bahwa Tradisi

Mappasikarawa adalah tradisi yang sangat berpengaruh dalam

perkawinan mengandung makna membawa keberkahan bagi

kehidupan kedua mempelai. Proses pelaksanaan tradisi

Mappasikarawa tersebut dilakukan setelah akad nikah, yang di mana

mempelai laki-laki menghampiri mempelai wanita untuk melakukan

tradisi Mappasikarawa yang dituntun oleh pappasikarawa untuk

bersentuhan, salah satunya mencium kening istri. Menurut Hukum

Islam tradisi Mappasikarawa hukum nya adalah mubah (boleh) karena

proses pelaksanaan tradisi ini dilakukan setelah akad nikah sehingga

iii

boleh untuk bersentuhan dan di mana hal ini juga dilakukan Nabi

Muhammad SAW mencium kening istrinya setelah pasca menikah.

Kata Kunci: Tinjauan Hukum Islam, Mappasikarawa, Perkawinan

Adat Bugis.

iv

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rifdah Dzahabiyya Zayyan

NPM : 1721010080

Program studi : Hukum Keluarga Islam (Al- Ahwal Al-Syakhsiyah)

Fakultas : Syari’ah

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM

ISLAM TERHADAP TRADISI MAPPASIKARAWA DALAM

PERKAWINAN ADAT BUGIS STUDI di KELURAHAN KOTA

KARANG RAYA KECAMATAN TELUK BETUNG TIMUR”

adalah benar-benar hasil karya penyusunan saya sendiri, kecuali pada

bagian yang telah ditunjuk disebut dalam footnote atau dalam pustaka.

Apabila di lain waktu terbukti adanya penyimpangan dalam karya ini,

maka tanggung jawab sepenuhnya ada pada penyusun.

Demikian surat pernyataan ini saya buat agar dapat di maklumi.

Bandar Lampung, 3 Januari 2022

Penulis,

Rifdah Dzahabiyya Zayyan

NPM: 1721010080

vii

MOTTO

األ صل فى المنافح اإلباحة وفى المضار التحريم

“Prinsip dasar pada masalah-masalah yang mendatangkan manfaat

adalah boleh dan dalam masalah-masalah yang menimbulkan

mudharat adalah haram”1.

1 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,

Qawa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2013), 73

viii

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahhirabbil’alamin segala puji dan syukur bagi

Allah SWT yang maha segalanya, dan shalawat serta salam semoga

selalu tercerah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad

SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya dan semoga kita selaku

umatnya mendapatkan syafa’at darinya di yaumil kiamah nanti.

Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang sudah memberikan

semangat dan kemudahan dalam menyusun skripsi ini.

1. Ayahku tersayang Rusli Ruswiandi dan ibuku tercinta Rismawati

terima kasih ayah ibu atas doa, dukungan, semangat, kesabaran,

nasihat, serta perhatian yang penuh dengan cinta dan kasih sayang

sampai saat ini, semoga dalam lindungan Allah dan di beri penuh

keberkahannya oleh-Nya.

2. Kakakku Rifka Humaida Dewi, dan adik-adiku Riska Aprilia

Islamia, Raffi Muhammad Ramka Ramadhan, Rissa Maryam yang

sangat aku sayangi.

3. Kepada kampusku terutama Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Raden Intan Lampung yang telah memberiku kesempatan untuk

menimba ilmu.

ix

RIWAYAT HIDUP

Rifdah Dzahabiyyah Zayyan di lahirkan di Bandar Lampung,

pada tanggal 12 Mei 1999 anak kedua dari pasangan Bapak Rusli

Ruswiandi dan Ibu Rismawati. Pendidikan dimulai dari TK Aisyah

Bandar Lampung, pada tahun 2004-2005, Kemudian lanjut ke Sekolah

Dasar, di SDN 2 Kotakarang, pada tahun 2005-2011, Kemudian lanjut

ke sekolah menengah pertama, di SMPN 3 Bandar Lampung, pada

tahun 2011-2014, Lalu melanjutkan ke Sekolah menengah atas di

SMAN 8 Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2017, Kemudian

mengikuti pendidikan tingkat perguruan tinggi pada Fakultas Syariah

dan Hukum di Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

dimulai pada semester 1 Tahun Akademik 2017M/1439H.

Bandar Lampung, 3 Januari 2022

Penulis,

Rifdah Dzahabiyya Zayyan

NPM 1721010080

x

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh.

Alhamdulillah, puji syukur kehadiran Allah SWT Tuhan

pencipta semesta alam dan segala isinya yang telah memberikan

kenikmatan iman, islam, dan kesehatan jasmani maupun rohani.

Shalawat salam disampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW,

semoga kita mendapatkan syafa’at-nya pada hari kiamat nanti. Skripsi

ini berjudul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

TRADISI MAPPASIKARAWA DALAM PERKAWINAN ADAT

BUGIS (Studi di Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk

Betung Timur) disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai

gelar sarjana Hukum di Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung.

Jika di dalamnya dapat dijumpai kebenaran maka itulah yang dituju

dan dikehendaki. Tetapi jika terdapat kekeliruan dan kesalahan

berfikir, sesungguhnya itu terjadi karena keterbatasan ilmu

pengetahuan penulis. Karena saran, koreksi dan kritik yang

proporsional dan konstruktif sangat diharapkan. Penyusun skripsi ini

tentu saja tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak, untuk itu penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada

yang terhormat :

1. Bapak prof. Dr. H. Moh. Mukri., M. Ag. selaku rektor Universitas

Islam Negeri Raden Intan Lampung yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di kampus

tercinta.

2. Bapak Dr. H. A Kumedi Jafar, S.Ag., M.H. Selaku Dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum di Universitas Islam Negeri Raden

Intan Lampung.

3. Bapak H. Rohmat, S. Ag., M.H.I., Selaku Ketua Jurusan Ahwal

Al- Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum di Universitas

Islam Negeri Raden Intan Lampung, yang telah memberikan

kemudahan dalam pelayanan yang berharga selama ini.

4. Bapak Dr. Abdul Qodir Zaelani, S.H.I., M.A., Selaku Wakil

Ketua Jurusan Ahwal Al- Syakhshiyyah Fakultas Fakultas Syariah

dan Hukum di Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

xi

5. Bapak Dr. Maimun, S.H., M.A., Selaku Pembimbing Akademik I

yang telah memberikan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi

ini.

6. Bapak Syeh Sarip Hadaiyatullah, M.H., selaku dosen pembimbing

Akademik II yang telah banyak menyediakan waktu dan pikiran

yang begitu banyak serta membimbing dan memberi arahan.

7. Bapak dan Ibu dosen Beserta Staf Akademik Fakultas Syari’ah

UIN Raden Intan Lampung yang telah membimbing dan

membantu penulisan selama mengikuti perkuliahan.

8. Pimpinan serta karyawan perpustakaan Fakultas Syari’ah dan juga

perpustakaan pusat UIN Raden Intan Lampung yang telah

memberikan informasi, referensi dan lainnya.

9. Tokoh Agama, Tokoh Adat, dan Tokoh Masyarakat Kelurahan

Kota Karang Raya Kecamatan Teluk Betung Timur yang telah

bersedia memberikan informasi dan memberikan jawaban atas

semua pertanyaan penulis.

10. Kepada Keluarga ku tercinta Ayah, ibu, kakak, adik-adiku dan

seluruh keluarga besar yang telah mendukung dan mendokanku

setiap waktu, memberiku semangat, menginspirasi, dan yang

selalu mengharapkan tumbuh menjadi pribadi yang baik dan

bermanfaat untuk semua orang. Terimakasih tak terhingga,

semoga Allah memberikan kalian umur yang panjang sehingga

aku bisa membahagiakan kalian kelak, dan semoga Allah selalu

memberikan kalian kebahagiaan dunia dan akhirat.

11. Almamater tercinta UIN Raden Intan Lampung.

12. Kepada teman-teman AS C yang telah memberikan semangat dan

dukungan serta rekan mahasiswa Fakultas Syari’ah angkatan

2017.

13. Untuk semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi

ini dan teman-teman yang kukenal semasa hidupku.

14. Untuk diri saya sendiri yang sudah mampu bertahan dan berusaha

sekuat yang saya bisa, terimakasih karena sudah berjuang sampai

di titik ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak

mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang telah

xii

menyumbangkan pikiran, waktu, tenaga, dan sebagainya. Menyadari

bahwa dalam penyusunan skripsi ini mungkin masih ada kekurangan

karena keterbatasan ilmu yang dimiliki, untuk itu diharapkan kritik

serta saran dari pembaca demi perbaikan di kemudian hari. Namun

demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin. Dan berharap

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan

pembaca umumnya.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh.

Bandar lampung, 3 Januari 2022

Penulis,

Rifdah Dzahabiyya Zayyan

NPM 1721010080

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................... i

ABSTRAK ......................................................................................... ii

SURAT PERNYATAAN ................................................................. iv

PERSETUJUAN ................................................................................ v

PENGESAHAN ................................................................................ vi

MOTO .............................................................................................. vii

PERSEMBAHAN ........................................................................... viii

RIWAYAT HIDUP .......................................................................... ix

KATA PENGANTAR ....................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL ............................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul...................................................................... 1

B. Latar Belakang Masalah ......................................................... 3

C. Fokus dan sub Fokus penelitian .............................................. 6

D. Rumusan Masalah .................................................................. 7

E. Tujuan Penelitian .................................................................... 7

F. Manfaat penelitian .................................................................. 8

G. Kajian Penelitian Terdahulu Yang Relevan ............................ 8

H. Metode Penelitian ................................................................. 12

I. Sistematika Pembahasan ....................................................... 17

BAB II LANDASAN TEORI

A. Perkawinan ........................................................................... 21

1. Pengertian Perkawinan .................................................... 21

2. Dasar Hukum Perkawinan ............................................... 23

3. Rukun dan Syarat perkawinan ......................................... 27

4. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan ..................................... 30

5. Asas-Asas perkawinan ..................................................... 35

B. Adat Perkawinan Budaya Bugis ........................................... 37

1. Tahapan Perkawinan Adat Bugis ..................................... 37

2. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat Bugis .......................... 49

C. Teori ‘Urf ............................................................................. 53

1. Pengertian ‘Urf ................................................................ 53

2. Dasar Penetapan ‘Urf....................................................... 54

3. Pembagian ‘Urf ............................................................... 56

4. ‘Urf Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam ................ 57

xiv

BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

A. Profil Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk

Betung Timur ....................................................................... 63

1. Sejarah Singkat Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur .................................... 63

2. Visi Misi Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan

Teluk Betung Timur ....................................................... 64

3. Keadaan Masyarakat Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur .................................... 64

B. Pandangan Tokoh-Tokoh Masyarakat Suku Bugis

terhadap Tradisi Mappasikarawa dalam perkawinan

adat Bugis di Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan

Teluk Betung Timur ............................................................. 73

BAB IV ANALISIS DATA PENELITIAN

A. Prosesi Pelaksanaan Tradisi Mappasikarawa dalam

Perkawinan Adat Bugis di Kelurahan Kota Karang

Raya Kecamatan Teluk Betung Timur ................................ 85

B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi

Mappasikarawa dalam perkawinan Adat Bugis di

Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk Betung

Timur .................................................................................... 92

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan ......................................................................... 105

B. Rekomendasi ...................................................................... 106

DAFTAR RUJUKAN

LAMPIRAN

xv

DAFTAR TABEL

Tabel

3.1 Nama-nama kepala desa atau kelurahan yang pernah

memimpin di Kelurahan Kota Karang Raya ............................. 63

3.2 Batas secara administratif Kelurahan Kota Karang Raya.......... 64

3.3 Jarak ke pusat pemerintahan dari Kelurahan Kota Karang

Raya ........................................................................................... 65

3.4 Jumlah penduduk menurut kelompok usia Kelurahan Kota

Karang Raya .............................................................................. 65

3.5 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan

Kota Karang Raya ..................................................................... 66

3.6 Data penduduk menurut pendidikan dan jenis kelamin

Kelurahan Kota Karang Raya .................................................... 67

3.7 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Kota

Karang Raya .............................................................................. 68

3.8 Ekonomi Masyarakat Kelurahan Kota Karang Raya ................. 69

3.9 Penduduk Kelurahan Kota Karang pada awal tahun 2019

berdasarkan agama .................................................................... 70

3.10 Jumlah penduduk Kota Karang Raya dari segi suku .................. 71

3.11 Jumlah tempat ibadah di Kelurahan Kota Karang Raya............. 71

3.12 Kesehatan masyarakat Kelurahan Kota Karang Raya ................ 72

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Proposal ini untuk memperjelas dan mempertegas

makna yang terkandung dalam judul ini, penulis akan terlebih

dahulu menjelaskan istilah-istilah yang terdapat di dalamnya.

Dengan demikian, diharapkan tidak akan menimbulkan

pemahaman yang berbeda dengan apa yang penulis maksud.

Judul penelitian yang dibahas adalah : Tinjauan Hukum Islam

terhadap Tradisi Mappasikarawa dalam Perkawinan Adat

Bugis (Studi di kelurahan Kota Karang Raya, Kecamatan

Teluk Betung Timur). Adapun maksud dan pengertiannya,

dapat dilihat dari penjelasan berikut ini:

1. Tinjauan adalah meninjau, melihat sesuatu yang sangat

jauh dari tempat yang tinggi (datang, pergi) melihat-lihat

(menengok, memeriksa, mengamati dan sebagainya).1

2. Hukum Islam adalah seperangkat aturan atau kaidah-

kaidah hukum yang berdasarkan pada wahyu Allah swt

dan sunnah rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang

yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan

diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluk agama

islam.2

3. Tradisi Mappasikarawa dalam perkawinan adat bugis

merupakan salah satu proses adat dalam upacara

pernikahan adat bugis, yang mempertemukan antara

mempelai pria dengan mempelai wanita setelah

melakukan akad nikah dan telah sempurnanya ucapan ijab

kabul, yang dimana mempelai pria akan memegang

1 Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Terj. Amelia,

(Surabaya, 2005), 336. 2 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,

Cet.Ketiga), 17-18.

2

beberapa bagian tubuh wanitanya sebagai tanda keduanya

telah sah bersentuhan.3

4. Perkawinan menurut istilah syara‟ adalah ijab dan qabul

(„aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara laki-laki

dan perempuan, yang tidak ada hubungan mahram,

sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewajiban

antara kedua insan. Istilah lain menyebutkan perkawinan

adalah sunnah karunia yang apabila dilaksanakan tidak

mendapat pahala tetapi apabila tidak dilaksanakan tidak

mendapat dosa tetapi di makruhkan karena tidak

mengikuti sunnah Rasul.4

Sementara itu, menurut imam Syafi‟i pengertian

nikah ialah:5

“Adakalanya suatu akad yang mencakup kepemilikan

terhadap wath‟I dengan lafadz inkah atau tazwij atau

dengan menggunakan lafadz yang semakna dengan

keduanya”.

5. Adat adalah aturan (perbuatan dan sebagainya) yang

lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala atau

kebiasaan cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah

menjadi kebiasaan.6 Jadi dapat disimpulkan adat adalah

suatu gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai

budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu

dengan yang lainnya saling berkaitan.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditegaskan bahwa

yang dimaksud dengan judul ini adalah sebuah penelitian

untuk mengungkap dan mengkaji secara lebih dalam tentang

“Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi

Mappasikarawa dalam Perkawinan Adat Bugis (Studi di

3 Hj. Nurma, Tokoh Masyarakat, Wawancara, 26 Juli 2021, di Kediaman

Lingkungan Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk Betung Timur 4 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: pustaka Al-

Kautsar,1998), 375. 5 Jalaludin al-mahalli, al-Mahalli, Juz III, (Indonesia: Nur Asia, tt), 206 6 Tri Rama K. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Mitra Pelajar, (Surabaya,

2010), 13.

3

Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk Betung

Timur).

B. Latar belakang Masalah

Perkawinan atau sering disebut pernikahan merupakan

sunatullah yang umumnya dan berlaku pada semua makhluk

hidup-Nya, ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah

sebagai jalan bagi semua makhluk-Nya untuk berkembak biak

dan melestarikan hidupnya. Sebagaimana yang telah

dijelaskan dalam firman Allah sebagai berikut :

ث ثبخ بش قيخح دز ط ف ن قيخر ى ا ن ث زا ق ر ا بض باى أ

هللامب زب ز ا ل ث ار ق ا ا هللاى ر رعبءى عبء ا بز خبل مث س

زق ج ب)اىعآء:۱( ن ػي

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-

mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari

padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada

keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang

dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta

satu sama yang lain, dan (peliharalah) hubungan

silatturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu.” (Qs. An-Nisa‟ [4] : 1).

Dalam Undang-undang RI Nomor 1 tahun 1974

tentang perkawinan yang telah diubah dengan Undang-undang

No 16 tahun 2019 tentang perkawinan Bab 1 pasal 1,

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan untuk

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7

Perkawinan merupakan pertalian hubungan

kekeluargaan antara pihak pria dan wanita tetapi lebih dari itu,

pernikahan merupakan pertalian hubungan kekeluargaan

antara pihak pria dan dengan pihak wanita yang akan

7 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 Ayat (1)

4

membentuk rukun keluarga yang lebih besar lagi. Hubungan

suami dan istri yang harmonis serta rasa cinta dan kasih

sayang dalam kehidupan rumah tangga merupakan idaman

bagi semua orang yang telah melewati pasca perkawinan,

sejak dari zaman Nabi Adam as dan Hawa kita ketahui

bersama bahwa laki-laki dan perempuan merupakan dua insan

yang saling membutuhkan dan saling melengkapi antara satu

dengan yang lain dalam menjalani kehidupan sehari-harinya,

dan Allah Swt berfirman dalam Al-Qur‟an surah Az-Zariyat

ayat 46 :

ق ق ى بفع اق مب ا قج و ذ (٦6)اىرازذ:

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-

pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Qs. Az-

Zariyat [51] : 46)

Dari terjemah ayat tersebut memberikan pemahaman

kepada umat Islam bahwa salah satu tujuan diciptakan dimuka

bumi ini adalah untuk melakukan proses pernikahan antara

pria dan wanita agar kesempurnaan ibadahnya bukti bahwa

dia adalah ummat Nabi Muhammad Saw yang mengikuti

sunnahnya.

Maka dari itu tanpa perkawinan yang dilakukan oleh

umat Islam yang bersumber dari prinsip-prinsip agama maka

kehidupan dalam masyarakat akan kacau bahkan bisa saling

memangsa antara satu dengan yang lain sebab manusia selalu

mengikuti hawa nafsunya. Oleh sebab itu perkawinan yang

sesuai dengan syariat agama Islam adalah cara atau jalan yang

akan menghindari kekacauan tersebut. Sebab perkawinan

dalam Islam adalah perbuatan yang luhur didasari ketakwaan

kepada Allah Swt.8

Perkawinan sangat berguna untuk memlihara

kerukunan terhadap anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak

dengan pernikahan maka anak yang dilahirkan tidak diketahui

siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung

8 Cholil Nafis, Fikih Keluarga, Cet I (Jakarta Selatan: Mitra Abadi press,

2009), 39.

5

jawab menjaga dan mendidiknya. Perkawinan juga dipandang

sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada

pernikahan manusia akan mengikuti hawa nafsunya

sebagaimana layaknya binatang dan dengan sifat itu akan

timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara manusia,

Tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan

akhlak manusia dan memanusiakan manusia sehingga

hubungan yang terjadi antara dua gender yang berbeda dapat

membangun kehidupan baru secara sosial dan kultural.

Hubungan dalam bangunan tersebut adalah kehidupan rumah

tangga dan terbentuknya generasi keturunan manusia yang

memberikan kemaslahatan bagi masa depan masyarakat dan

negara.9

Perkawinan bagi suku bugis sering di pandang

sebagai suatu hal yang sakral, relegius, dan sangat di hargai

oleh karena itu forum adat, yang sudah lama sekali ada. Sebab

pernikahan tidak hanya menyangkut ikatan lahir batin antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan tetapi lebih dari itu.

Perkawinan adalah pertalian hubunga kekeluargaan antara

pihak laki-laki dan pihak perempuan yang akan membangun

rukun family yang lebih besar lagi.

Pelaksnaan perkawinan adalah sebuah event sosial yang

sangat penting dalam adat norma masyarakat Bugis. Untuk

masyarakat Bugis hubungan antara laki-laki dan perempuan

tanpa di dahului oleh pesta perkawinan adalah perbuatan

yang mappaskasirri atau malu, karna dalam adat Bugis

prosesi perkawinan adalah sebuah sistem nilai budaya yang

memberi arah dan pandangan untuk mempertahankan nilai-

nilai kehidupan, terkhusus dalam hal mempertahankan dan

melestarikan keturunan.

Maka dari itu adat istiadat sangat berpengaruh dalam

sebuah pernikahan dan harus tetap terlaksana salah satunya

seperti tradisi dalam masyarakat bugis yaitu mappasikarawa,

9 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 2001),

19.

6

tradissi mappasikarawa adalah salah satu rangkaian dalam

pernikahan yang bersumber dari adat-istiadat dengan tujuan

untuk merekatkan hubungan kedua mempelai yaitu pria dan

wanita, selain merekatkan hubungan dari kedua mempelai,

tradisi ini juga dipercayai bahwa dalam kegiatan

mappasikarawa bisa memperbaiki rezeki setelah kedua

mempelai menjalani hidup sehari-hari yang notabenenya

banyak menyebabkan perceraian. Maka untuk memperbaiki

dan mengantisipasi hal tersebut perlu memperbaiki pola pikir,

mental serta kemandirian ekonomi agar dapat meminimalisir

konflik dan perceraian yang ada dalam rumah tangga, salah

satunya adalah menjaga tradisi. Mungkin para pembaca

merasa masih penasaran dengan kebiasaan yang menjadi adat

perkawinan masyarakat Bugis di Kelurahan Kota Karang

Raya dan ingin mengetahui segi hukum Islamnya dan

pelaksanaannya dalam Perkawinan adat-istiadat tersebut,

maka dari itu penulis akan menjelaskan lebih detail pada bab

selanjutnya.

Salah satu daerah yang masih mempertahankan tradisi

mappasikarawa ini adalah di Kota Karang Raya Kecamatan

Teluk Betung Timur, maka dari itu penulis sangat tertarik

meneliti aspek hukum perkawinan masyarakat bugis di

Kelurahan Kota Karang Raya ditinjau dari sudut pandang

hukum Islam yang relevan dengan keudayaan masyarakat

tersebut yang pastinya mempunyai nilai-nilai dan moral serta

tujuan yang terkandung di dalamnya. Berangkat dari keunikan

kebudayaan masyarakat tersebut penulis lebih tertarik untuk

meneliti lebih lanjut mengenai Tinjauan Hukum Islam

terhadap Tradisi Mappasikarawa dalam Perkawinan

Adat Bugis (Studi di Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur).

C. Fokus dan sub fokus Masalah

Untuk mempermudah kajian dalam penelitian ini

maka, perlu adanya fokus penelitian. Dengan adanya fokus

penelitian akan memberikan arah dalam mencapai tujuan

7

penelitian yang diharapkan. Fokus penelitian ini adalah tradisi

upacara perkawinan yang dilakukan setelah ijab qabul,

Mappasikarawa yang berlaku di Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang di atas, Penulis

mengungkapkan satu pokok masalah tentang Tinjauan Hukum

Islam Terhadap Tradisi Mappasikarawa dalam Perkawinan

Adat Bugis. Adapun sub masalah dari pokok permasalahan

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan mappasikarawa dalam perkawinan

adat bugis di Kelurahan kotakarang Raya Kecamatan

Teluk Betung Timur?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap

mappasikarawa dalam perkawinan adat bugis di

Kelurahan Kotakarang Raya Kecamatan Teluk Betung

Timur?

E. Tujuan penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk menjawab

pertanyaan rumusan masalah di atas, adapun tujuan tersebut

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan mappasikarawa dalam

perkawinan adat bugis di Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap tradisi

mappasikarawa dalam perkawinan adat bugis di

Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk Betung

Timur.

8

F. Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara akademis penelitian ini dapat digunakan sebagai

bahan penelitian lanjutan bagi mahasiswa atau peneliti

yang akan melakukan penelitian yang sama atau serupa.

Selain itu, sebagai bahan pustaka atau bacaan bagi

mahasiswa yang akan mendalami atau mengetahui tentang

tradisi Mappasikarawa dalam perkawinan masyarakat

Bugis di Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk

Betung Timur.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat Bugis di Kelurahan Kota

Karang Raya Kecamatan Teluk Betung Timur dalam

pelaksanaan perkawinan.

G. Kajian Penelitian Terdahulu yang Relavan

Setelah peneliti mengadakan penelusuran terhadap

beberapa literatur, karya ilmiah berupa skripsi, ada beberapa

jurnal memiliki kolerasi tema dengan topik skripsi ini.

terjadinya pengulangan hasil temuan yang membahas

permasalahan yang sama dari seseorang, maka peneliti akan

menyebutkan beberapa yang menjadi previous finding

(penelitian, penemuan sebelumnya) penelitian ini. Peneliti

tidak menafikan keberadaan literatur lain ketika literatur

tersebut tidak disebutkan dalam telaah pustaka ini. Di

antaranya skripsi dan jurnal yang dibuat oleh:

1. Paisal10

, dengan judul “Mappasikarawa dalam

Perkawinan Masyarakat Bugis Wajo” Hasil penelitiannya

diperoleh bahwa mappasikarawa adalah pengetahuan

lokal masyarakat Bugis Wajo dalam kegiatan perkawinan.

Kegiatan ini telah mengakar dalam kegiatan perkawinan

masyarakat Bugis Wajo sehingga tiada perkawinan yang

luput dari kegiatan mappasikarawa. Pengetahuan lokal

10 Paisal, “Mappasikarawa dalam Perkawinan Masyarakat Bugis Wajo”

(Disertasi, Universitas cokroaminoto, 2009(.

9

tersebut diterapkan dengan cara dan teknik yang berbeda

beda berdasarkan pengetahuan pappasikarawa di daerah

masing-masing. Ada pappasikarawa yang hanya

berpegang pada pengetahuan lokal semata, ada pula yang

berdasarkan tuntunan agama dan ada versi yang

memadukan antara tuntunan agama dengan pengetahuan

lokal setempat. Masyarakat Wajo tetap eksis memelihara

pengetahuan lokal tersebut disebabkan antara lain karena

dorongan :

a. faktor arolang (patron clien) meliputi: Gurunya

(anregurunna), orang tuanya (tomatowanna),orang

yang dituakan (nalae tomatowa), orang-orang pintar

(toaccana, serta pappasikarawa);

b. faktor keluarga dekat (significant others) dan orang

lain yang ada di sekeliling aktor (Generalis others);

dan

c. faktor pengalaman, faktor keyakinan secara turun-

temurun, serta faktor nilai dan norma yang dianut

masyarakatnya.

Dari hasil penelitian di atas, dapat dilihat adanya

perbedaan mendasar dengan penelitian yang akan

dilakukan yaitu : Penelitian ini fokusnya pada wilayah

metode mappasikarawa yaitu dari adat dan agama, serta

sumber adat istiadat tersebut. Sedangkan penelitian ini

fokusnya pada prosesi adat mappasikrawa yang ditinjau

dari hukum Islam.

2. Seliana11

, makna simbolik mappasikarawa dalam

pernikahan suku bugis di sebatik nunukan. Jurnal ini

menjelaskan tentang simbol-simbol dalam tradisi

mappasikarawa pernikahan suku bugis di sebatik

nunukan. Pada Penelitian ini menghasilkan simbol dan

makna Denotatif yaitu :

11 Seliana, “makna simbolik mappasikarawa dalam pernikahan suku bugis di

sebatik nunukan” (Disertasi, Universitas Mulawarman.Vol. 2, No. 3, 2018).

10

a. jempol/ibu jari dapat dipergunakan untuk memegang

suatu benda dengan menekannya kebagian tangan

atau jemari lain harapan kerja sama membangun

rumah tangga yang berkah

b. Jabat tangan merupakan interaksi yang bisa meredam

efek negatif dengan harapan saling memaafkan

c. Pangkal Lengan karena biasanya sebagian besar

pekerjaan dan kegiatan dilakukan oleh lengan harapan

bekerja keras dan tidak merasakan kesulitan rezeki.

d. Hidung merupakan alat indera indera penciuman yang

bisa mengenali berbagai macam aroma, harapan agar

dapat mencium aroma masakan istri.

e. Leher (Tenggorokan) adalah tempat untuk jalannya

makanan harapan menikmati apapun masakan isteri.

Dada (diatas payudara) merupakan salah satu organ

tubuh wanita yang menonjol, harapan agar dapat

mendatangkan rezeki yang melimpah seperti

tingginya gunung.

f. Telinga adalah alat indera pendengaran yang mampu

mengenal suara, harapan agar senantiasa mendengar

ajaran suaminya.

g. Perut merupakan pencerna makanan selepas

mengunyah makanan, harapan dengan anggapan

bahwa perut selalu diisi. Mencium ubun-ubun adalah

ungkapan kasih sayang, perlindungan, dan rasa

hormat, harapan agar saling sayang sebagai suami-

isteri.

Dari hasil penelitian di atas, dapat dilihat adanya

perbedaan mendasar dengan penelitian yang akan

dilakukan yaitu penelitian ini fokus menjelaskan arti dari

makna simbol Mappasikarawa, sedangkan penelitian ini

fokusnya pada prosesi adat mappasikarawa yang ditinjau

dari hukum Islam.

11

3. Nasriah Kadir12

, Adat perkawinan Masyarakat Bugis

Dalam Perspektif UU No. 1 tahun 1974 Tentang

Perkawinan Di Desa Doping Kecamatan Penrang

Kabupaten Wajo. Hasil penelitian diperoleh bahwa :

a. Bentuk pelaksanaan perkawinan adat Bugis diawali

dengan tahap-tahap sebagai berikut: Tahap penjajakan

(Mammanu‟ manu‟, Mappesek-pesek, Mattiro),

kunjungan lamaran (Madduta), penerimaan lamaran

(Mappetuada, Mappasiarekkeng), jenjang pernikahan

(ritual) sebelum akad nikah seperti, Mabedda,

Mappasau, Manre Lebbe atau khatam Al-Qur‟an,

Mappacci. Dan ritual setelah akad nikah seperti,

Mappasikarawa, Jai Kamma atau Maloange Lipa;

b. Masyarakat Bugis di Desa Doping Kecamatan

Penrang Kabupaten Wajo dalam proses pelaksanaan

perkawinan tidak menyalahi Agama dan sesuai

dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

dan yang dimaksud oleh masyarakat Bugis mengenai

tata cara pelaksanaan perkawinan menurut UU No. 1

Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu dalam proses

pelaksanaan perkawinan adalah syarat sah

perkawinan, tujuan perkawinan, umur, dan mahar;

c. Masyarakat Bugis di Desa Doping Kecamatan

Penrang Kabupaten Wajo dalam pelaksanaan

perkawinan ataupun sebelum pelaksanaan perkawinan

sesuai dengan perkembangan zaman dan tradisi adat

yang ada di Desa Doping Kecamatan Penrang

Kabupaten Wajo. Dan yang sesuai dengan

perkembangan zaman yaitu alat musik tradisional ke

alat musik modern seperti elekton, dan baju

pengantin.

12 Nasriah Kadir, “Adat perkawinan Masyarakat Bugis Dalam Perspektif

UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Desa Doping Kecamatan Penrang

Kabupaten Wajo” (Disertasi, Universitas Negeri Makassar,2015).

12

Dari hasil penelitian di atas, dapat dilihat adanya

perbedaan mendasar dengan penelitian yang akan

dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada penelitian kedua

yang membahas tentang tahap-tahap dari adat

perkawinan Bugis mulai dari awal sampai akhir dan yang

kedua lebih kepada prosesi adat perkawinan Bugis dan

menjelaskan tentang tidak bertentangannya antara adat-

istidat dengan agama dalam hal pelaksanaan perkawinan

serta UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

sedangkan penelitian ini fokusnya pada wilayah prosesi

adat mappasikarawa pada perkawinan adat bugis di

kelurahan kotakarang raya kecamatan teluk betung timur

serta di tinjau dari hukum islam.

Adapun persamaan dari ke tiga penelitian ini yaitu

sama-sama meneliti tentang adat istiadat perkawinan Bugis

dari pra perkawinan sampai pasca perkawinan walaupun

dengan metode yang berbeda serta lokasi penelitian yang

berbeda. disini penulis meneliti tradisi mappasikarawa di

kelurahan kotakarang raya kecamatan teluk betung timur di

tinjau dari hukum Islam.

H. Metode Penelitian

Untuk penelitian pada dasarnya merupakan cara

ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan

kegunaannya. Metode adalah cara yang tepat untuk

melakukan sesuatu dengan menggunakan pemikiran secara

seksama untuk mencapai tujuan. Berdasarkan pengertian

tersebut dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah

ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara-cara yng

digunakan dalam mengadakan penelitian. Jadi, metode

merupakan acuan, jalan atau cara yang dilakukan untuk

mengadakan suatu penelitian. Untuk menjawab permasalahan

di atas, penulis melakukan penelitian sebagai berikut :

13

1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

a. Jenis penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis

menggunakan metode penelitian lapangan (field

Research) yaitu suatu penelitian yang mengharuskan

penelitian untuk mencari data-data primer ke

lapangan berupa pertanyaan tertulis dan prilaku yang

dapat dipahami13

. Dalam penelitian ini akan dilakukan

di Kota Karang Raya Kecamatan Teluk Betung Timur

dengan cara melakukan wawancara dengan tokoh adat

Bugis yang mengerti secara mendalam perkawinan

adat Bugis di Kotakarang raya. Di samping itu juga

dilandasi dengan penelitian kepustakaan seperti buku-

buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas

dalam skripsi ini.

b. Sifat penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis adalah

bersifat kualitatif yaitu penelitian yang menyajikan

hasil berupa kalimat deskriptif yang biasa

memberikan gambaran yang luas tentang objek

penelitian14

. Dalam kaitannya penelitian ini berusaha

menggambarkan tentang pelaksanaan tradisi

Mappasikarawa dan pengaruhnya bagi masyarakat

Adat Bugis di Kelurahan Kota Karang Kecamatan

Teluk Betung Timur.

2. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan,

Melalui observasi, wawancara dengan responden dan

mengambil data dari lapangan. Dalam hal ini yang

menjadi sasaran wawancara adalah tokoh tokoh

13 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdak

Arya, 2004), 3 14 Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika),

105-106.

14

masyarakat yang mengerti secara mendalam perkawinan

adat bugis.

a. Data primer

Sumber data primer yaitu data yang diperoleh

secara langsung dari responden, melalui wawancara,

observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen

tidak resmi kemudian akan diolah oleh peneliti. Data

primer pada penelitian ini adalah data yang diperoleh

dari tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat

di Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk

Betung Timur.

b. Data sekunder

Sumber data sekunder yaitu data yang telah

lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang

atau instansi di luar dari peneliti sendiri, walaupun

yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data yang

asli. Data sekunder dapat diperoleh dari instansi-

instansi, perpustakaan, maupun dari pihak lainnya.15

Dalam hal ini, data sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini diperoleh melalui data-data dari

berbagai literature yang mempunyai relevansi dengan

pembahasan yang peneliti lakukan.

3. Metode Pengumpulan Data

a. Observasi

Adalah pengamatan dan pencatatan adat

perkawinan suku Bugis yaitu Mappasikarawa di

Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk

Betung Timur secara sistematika. Dalam observasi ini

peneliti terjun langsung ke lapangan untuk

mendapatkan data-data yang akurat dan nyata.

15 Sutrisno Hadi, Metode Research (Jogjakarta: Fakultas Psikologi UGM,

1994), 142.

15

b. Wawancara

Adalah kegiatan pengumpulan data yang

bersumber langsung dari responden penelitian di

lapangan.16

Yang akan memberikan peneliti informasi

mengenai pengetahuan, pengalaman, perasaan,

perlakuan, tindakan, dan pendapat responden

mengenai gejala yang ada atau peristiwa hukum yang

terjadi. Hingga kini metode wawancara dianggap

sebagai metode yang paling efektif dalam

pengumpulan data karena pewawancara bertatapan

muka langsung dengan informan untuk menanyakan

perihal pribadi responden, pendapat atau persepsi

serta saran responden dan fakta yang terjadi di lokasi

penelitian.17

Adapun metode pengumpulan informasi

melalui wawancara yang merupakan metode utama di

dalam penelitian ini. Wawancara jenis ini merupakan

wawancara yang dipandu oleh sejumlah pertanyaan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut disusun oleh peneliti

yang akan di ajukan pada narasumber tentang

perkawinan adat bugis, khususnya menyangkut adat

mappasikarawa.

c. Studi Pustaka

Studi pustaka adalah pengkajian informasi

tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai

macam sumber buku, jurnal, artikel yang

dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam

penelitian ini. Studi ini dimaksudkan untuk

memaksudkan atau memahami tentang data-data

skunder dengan berpijak pada berbagai literatur dan

dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian .

16 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet 1,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), 86. 17 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet 1,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), 88.

16

d. Dokumentasi

Adalah pengumpulan data dan bahan-bahan

berupa dokumen, catatan, transkip, buku-buku, surat

kabar dan sebagainya18

. Dokumentasi ini penulis

dapatkan dengan cara pra riset sebagai upaya untuk

mengumpulkan data-data awal, dan berupa foto-foto

yang penulis dapatkan ketika melakukan wawancara

sebagai bukti penulisan skripsi ini.

4. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian

dari satuan-satuan atau individu-individu yang

karakteristiknya hendak diduga atau diteliti. Populasi

merupakan totalitas dari semua objek individu yang

memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang

akan diteliti. Adapun yang menjadi populasi dari

penelitian ini yaitu masyarakat yang ada di Kelurahan

Kota Karang Raya khususnya masyarakat Adat Bugis

dan memenuhi kriteria sebagaimana ditetapkan

jumlah penduduk yang beradatkan bugis kurang lebih

3.530 Kepala Keluarga dari Jumlah penduduk 6.282

orang/jiwa.19

b. Sampel

Dalam hal menentukan sampel, penulis

menggunakan teknik purposive sampling, yaitu

“pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan

atas tujuan tertentu”. Yakni untuk memilih responden

yang benar-benar tepat, relevan, dan kompeten

dengan masalah yang dipecahkan. Adapun yang

dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah orang

yang dianggap dapat memberikan informasi tentang

18Suharsimi Arikunto, prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (

Jakarta: Bina Akasara, 1981), 206. 19 Sumber data diperoleh dari keterangan arsip Kepala Kelurahan Kota

Karang Raya

17

tinjauan hukum Islam terhadap tradisi mappasikarawa

dalam perkawinan adat Bugis. Jumlah sampel yang

akan diambil dalam masyarakatnya yaitu terdiri dari:

1) Tokoh Adat : 3 orang

2) Tokoh Masyarakat : 3 orang

3) Tokoh Agama : 2 orang

5. Teknik Pengolahan Data

Setelah data terhimpun maka langkah selanjutnya

adalah mengolah data agar menjadi sebuah penelitian

yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data (editing)

Editing merupakan memeriksa atau

menyeleksi ulang data-data yang telah dikumpulkan

baik dari wawancara maupun dokumentasi. Dari data

tersebut, peneliti memilih data yang jelas, khususnya

dapat menjawab pertanyaan yang terkandung dalam

fokus penelitian yaitu Tinjauan hukum Islam terhadap

Tradisi Mappasikarawa dalam Perkawinan Adat

Bugis di kelurahan Kota Karang Raya, Kecamatan

Teluk Betung Timur. Kemudian peneliti rangkum

hingga dapat tersusun suatu analisis yang benar, tepat

dan jelas.

b. Klasifikasi (Classiffiying)

Classiffiying yaitu merupakan dimana peneliti

mengkalsifikasikan data-data yang diperoleh di awal

berdasarkan fokus permasalahan yang diteliti. Dengan

cara data hasil wawancara maupun dikumentasi yang

sejenis di kelompokkan menjadi satu dan seterusnya.

I. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini di susun dalam lima bab yang setiap bab

nya mempunyai beberapa sub bab, untuk memberikan

gambaran dari pembahasan yang akan disajikan, penulis

membuat sistematika pembahasan sebagai berikut :

18

Bab I : Pendahuluan

Untuk mengantarkan pembahasan hasil

penelitian secara menyeluruh dan sistematis serta

menjadi bahan pijakan pokok masalah. Bab ini

meliputi: penegasan judul, yaitu penjelasan yang

menjadi inti judul penelitian diuraikan dan

dijelaskan agar mudah dipahami. Selanjutnya latar

belakang maalah merupakan sekilas uraian

pengertian mappasikarawa dalam perkawinan adat

Bugis, kemudian fokus dan sub fokus masalah

upaya menetapkan batasan-batasan masalah

sehingga lebih jelas. Dilanjutkan dengan rumusan

masalah sebagai penegasan inti permasalahan

penelitian yag dicari jawabannya, maka diperlukan

tujuan penelitian dan manfaat penelitian yang

diharapkan dalam penelitian ini. Kajian yang

terdahuku relevan, berisi tentang uraian hasil

penelitian terdahulu yang dilakukan oleh orang lain

dan relevan dengan topik penelitian. Tujuannya

adalah untuk mengetahui batas akhir penelitian

yang sudah ada, sehingga diketahui ruang kosong

atau wilayah yang belum dikaji oleh orang lain

sehingga berbeda dengan penelitian yang akan

dilakukan. Serta metode penelitian merupakan

langkah-langkah yang digunakan dalam sebuah

penelitian sehingga hasil penelitian sesuai dengan

apa yang menjadi pokok permasalahan. Serta

sistematika pembahasan sebagai proyek gambaran

awal alur penelitian.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menjelaskan tentang Pengertian

perkawinan, dasar Hukum perkawinan, rukun dan

syarat perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan,

asas-asas perkawinan, adat perkawinan budaya

bugis, pengertian „urf, dasar penetapan „urf,

19

pembagian „urf, dan „urf sebagainmetode

penetapan hukum Islam.

Bab III : Deskripsi Objek Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum

di kelurahan kotakarang raya kecamatan teluk

betung timur, dimulai dengan menguraikan sejarah,

keadaan geografis dan keadaan demografi,

kemudian pandangan dari tokoh-tokoh masyarakat

kelurahan Kota Karang Raya mengenai tradisi

mappasikarawa dalam perkawinan adat bugis.

Bab IV : Analisis Penelitian

Pembahasan dalam bab ini meliputi analisis

penulisan terhadap data yang di dapat di lapangan.

Analisis terhadap pelaksanaan tradisi

mappasikarawa dalam perkawinan adat bugis dan

tinjauan hukum Islam terhadap tradisi

mappasikarawa dalam perkawinan adat bugis

Bab V : Penutup

Bab ini merupakan penutup dari semua

rangkaian penelitian, yang berisi tentang

kesimpulan dari seluruh pembahasan sebelumnya

dan diakhiri dengan saran-saran. Kesimpulan ini

berupa jawaban singkat atas rumusan masalah yang

telah di uraikan.

20

21

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalam fiqh berbahasa

Arab disebut dengan dua kata, yaitu Nika>h ( نبذ ) dan

Zawa>j (شاج )Kata Na-kaha dan Za-wa-ja terdapat dalam Al-

Qur‟an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan

kelamin, dan juga berarti akad. Menurut Fiqih, nikah adalah

salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam

pergaulan masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan

hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan

keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan

kaum yang lainnya.20

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata nikah

diartikan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk

bersuami isteri dengan resmi. Sedangkan kata pernikahan

diartikan perbuatan nikah.21

Perkawinan menurut syara yaitu akad yang ditetapkan

syara untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki

dan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya

perempuan dan laki-laki.22

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

perkawinan itu mempunyai pengaruh secara jenis kelamin

terhadap kebahagian atau kesenangan.

a. Abu Yahyah Zakaria Al-Anshari mendefinisikan nikah

adalah akad yang mengandung ketentuan hukum

20Anita Marwing, Fiqh Munakahat (Palopo: Laskar Perubahan, 2014), 12. 21 Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka,1999), 398-399. 22 Wahbah Alisuhaili, Al- Fiqh al-Islami wa adillatuh (Beirut: Dar Al-Fikr,

t.th), 8.

22

kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau

dengan kata-kata yang semakna dengannya.23

b. Definisi yang dikutip Zakiah Daradjat ialah akad yang

mengandung ketentuan hukum kebolehan seksual dengan

lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya.24

Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu

perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama

secara sah antara seorang laki laki dengan seorang perempuan

membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih

mengasihi, tenteram dan bahagia. Perkawinan itu ialah

perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki

dengan seseorang perempuan, unsur perjanjian di sini untuk

memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinan serta

penampakannya kepada masyarakat ramai. Sedangkan

sebutan suci untuk pernyataan segi keagamaannya dari suaatu

perkawinan.25

Definisi tentang perkawinan diatas sudah bergeser

menuju kepada nilai, yaitu substansi sampai tujuan

perkawinan. Karena perkawinan bukan hanya sekedar sexual

saja namun lebih dari itu, yaitu memberi nilai manfaat apa

saja bagi pelakunya. Manfaat dari sebuah perkawinan bukan

hanya pemenuhan kebutuhan seksual saja, tapi saling

memberi ketentraman, kedamaian, kasih sayang, peningkatan

ibadah pada tuhan dan sebagainya.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, nikah

adalah akad yang sangat kuat atau Mitsaaqon Ghalidan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

suatu ibadah, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

23 Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab (singapura: Sulaiman

Ma‟iy, t.th), 30. 24 Zakih Drajat, Ilmu Fiqh, jilid 2 (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995),

37. 25 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan Pertama,

(Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), 47.

23

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

warohmah.26

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun

1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.27

Beberapa pandangan definisi perkawinan ini tidak

hanya dilihat sebagai sebuat hubungan jasmani saja tetapi juga

merupakan hubungan rohani, peneliti menganggap bahwa

pengertian-pengertian diatas memberi definisi perkawinan

lebih kepada penghalalan seksual melalui hukum sehingga

agar tidak haram dalam melakukannya dan menjadi halal

maka harus melalui jalur hukum yaitu perkawinan.

2. Dasar Hukum Perkawinan

Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu

merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan

melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka

dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah

boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya

sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin

dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata

mubah.28

Islam sangat menganjurkan pernikahan, banyak

sekali ayat-ayat al-Qur‟an maupun hadits-hadits Rasulullah

saw yang memberikan anjuran kepada umat Islam untuk

menikah, di antaranya yaitu:

26 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999), 14. 27 Departemen Agama RI, Undang-undang perkawinan: penjelasan dan

plaksaannya, cetak kedua, (Bandung: Cahya Bemadja, 1975), 5. 28Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih

Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), 43.

24

a. Al-Qur‟an

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur‟an Surat adz-

Dzaariyat [51] : 49

خ شو م ي ؼى خ شبق يء رن س (٦٤)اىدازذ:رم

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-

pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran

Allah.”(Qs. adz-Dzaariyat [51] : 49)

Allah SWT, juga berfirman dalam surah An-Nur [24] : 32

أ اا ن س جل ػ ي س اىص ن ببد ب ا م ا ى ن

افقس آ ن ا هللا ء غ ي فظ ر اهللا ظ (٢٣)اىز:ػي

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian

diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)

dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-

hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin

Allah akan memampukan mereka dengan Kurnia-Nya dan

Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha

mengetahui”(Qs. An-Nur [24] : 32)

b. Hadist Rasulullah Saw.

1) Hadits Nabi Muhammad Saw. Tentang syari‟at nikah

antara lain :

ه ظ ػقبه:قبهزهللاضازد ؼ ع ث هللااد ج ػ ػ

شسػيهللاصياهللا ا ؼ زطبعظي:ب اظ جبة اىش

ج فس ى ي ص أز , ى ي جصس أغض ج,فب زص

ن اى جبءحفي

ف ر زط ع ى :ف ثب ىص يؼ, .بء خ ى إ

(زفقػي)

“Abdullah Ibnu Mas‟ud Radiyallaahu‟anhu

berkata: Rasulullah Shalallahu‟ alaihi wa Sallam

bersabda pada kami: Wahai generasi muda,

barangsiapa di antara kamu telah mampu

berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat

25

menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan.

Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa,

sebab ia dapat mengendalikanmu.” (Muttafaq

Alaihi).29

2) Rasulullah juga bersabda dalam hadist yang lain :

يػهللا اي ص ج اى ػ ػهللا اض زحس س ث ا ػ

ر وقي ظ ز ح اس اى ر ن : ى ب,ر ثل ب ى ببج عسى : ى د ,

ى ى ب, ف د اكدذ ثس ر اىد اد رث س فبظ ب,

)زابزدعي(

“Perempuan dinikahi lantaran empat hal,

karena harta benda (kekayaan), karena

keturunannya, karena kecantikannya, dan karena

agamanya, pilihlah karena agamanya niscahaya

kamu akan selamat.” (HR. Ahmad dan Muslim).30

Berdasarkan pada perubahan „illah nya maka dari

kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih

menjadi wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

a. Pernikahan yang wajib

Menikah itu wajib hukumnya bagi orang yang

telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk

kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada

perbuatan zina jika tidak menikah. Hal ini didasarkan

pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib

menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang,

sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum

melakukan perkawinan juga wajib sesuai dengan

kaidah: “ Apabila suatu perbuatan bergantung pada

sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun

wajib”.31

29 Imam Abu Husein Muslim, Shahih Muslim, Alih Bahasa Adib Bisri

Musthafa, Shahih Muslim, Jilid II,CV, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), 745. 30 Al Imam Al-Bukhary, shahih Bukhari, Terjemah Hadist Bukhari, Alih

Bahasa Zainuddin dkk, jilid IV (Malaysia: Klang Book Centre, Selangor, 1990), 10. 31 Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqhi (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 139.

26

b. Pernikahan yang sunnah

Perkawinan itu hukumnya sunnat menurut

pendapat jumhur ulama.32

Yaitu orang yang telah

mempunyai kemauan dan kemampuan untuk

melaksanakan perkawinan tetapi kalau tidak kawin

dikhawatirkan berbuat zina.

c. Pernikahan yang haram

Tidak mampu memberikan nafkah dan tidak

mampu melakukan hubungan seksual.33

pernikahan

yang haram hukumnya yaitu pernikahan apabila

dilaksanakan dapat mebahayakan (lebih banyak

mudharatnya daripada kebaikannya). Secara normal

ada dua hal utama yang membuat seseorang haram

untuk menikah, pertama, tidak mampu memberikan

nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan

seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang.

d. Pernikahan yang makruh

Makruh kawin bagi seseorang yang lemah

syahwat dan tidak mampu member belanja isterinya,

walaupun tidak merugikan isterinya, karena ia kaya

dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat.

Juga bertambah makruh hukumnya jika karena lemah

syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah

atau menuntut suatu ilmu.

e. Pernikahan yang mubah

Bagi orang-orang yang tidak berhalangan

untuk menikah dan dorongan untuk menikah juga

belum membahayakan dirinya, sehingga ia belum

32 Al-Mawardi, Hukum Perkawinan Dalam Islam (Yogyakarta: BPFE,

1998), 1. 33 Cholis Nafis, Fikih Keluarga, Cet I, (Jakarta Selatan: Mitra Abadi Press,

2009), 16.

27

wajib menikah dan tidak haram apabila tidak

menikah. 34

Uraian diatas dapat menggambarkan bahwa

perkawinan menurut Islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib,

haram, sunnah, makruh, dan mubah tergantung dengan

keadaan maslahat atau mafsadatnya.

3. Rukun dan Syarat Perkawinan

a. Rukun perkawinan

Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu, yang

telah menjadi adanya suatu hukum.35

Rukun merupakan

sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu

termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Keberadaan

rukun ini lebih dipandang penting daripada syarat

walaupun keduanya tidak bisa ditinggalkan dalam suatu

pekerjaan ibadah. Karena rukun merupakan bagian dari

pekerjaan itu, sedangkan syarat berada di luar daripada

pekerjaan ibadah.

Berkenaan dengan rukun perkawinan ini, dalam

pandangan ulama terdapat perbedaan. Imam malik

mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima yaitu wali

dari pihak perempuan, mahar, calon, pengantin laki-laki,

calon pengantin perempuan, sighat dan nikah. Imam

syafi‟i mengatakaan rukun nikah itu ada lima yaitu calon

pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua

orang saksi, sighat akad nikah. Menurut ulama

Hanafi>yyah, rukun nikah itu ada dua yaitu ijab dan qobul

(yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan

dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut

golongan Hanafi>yyah lain adalah sighat, calon pengantin

34 Kumedi Ja‟far, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Bandar

Lampung: Arjasa Pratama, 2021), 30-31. 35 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani,

2003), 167.

28

perempuan, calon pengantin laki-laki, dan wali dari pihak

pengantin perempuan.36

Perbedaan pendapat dalam pandangan ulama

tersebut di atas, sesungguhnya jika diamati, mereka

sepakat dalam beberapa hal yang harus ada dalam rukun

perkawinan yaitu :

1) Calon mempelai laki-laki

2) Calon mempelai perempuan

3) Wali nikah

4) Dua orang saksi

5) Ijab qabul

Kemudian adanya saksi dan mahar dalam

pandangan ulama memang berbeda. Berkenaan dengan

adanya mahar dan saksi, walaupun tidak dimasukkan

dalam rukun tetapi ia harus ada dalam perkawinan.

Namun pendapat yang kuat di Indonesia yang mayoritas

bermadzab Syafi‟i saksi masuk dalam rukun pekawinan.

Sedangkan untuk mahar walaupun tidak masuk dalam

hakikat pernikahan ia harus ada.37

b. Syarat Perkawinan

Syarat adalah sesuatu yang adanya hukum itu

tergantung pada adanya sesuatu itu, dan tidak adanya

menjadi tidak adanya hukum. Yang dimaksud adalah

keberadaan menurut syara‟ yang dapat meimbulkan suatu

pengaruh. Kemunulan syarat ini biasanya mengiringi

suatu perbuatan, di mana seseorang dianggap cakap dan

mampu untuk pantas melakukan suatu tindakan. Untuk itu

dalam menjalankan suatu perbuatan, sesorang harus

memenuhi syarat yang telah ditentukan. Jika syarat itu

belum mampu untuk dipenuhi, maaka suatu perbuatan

belum boleh dijalankan.

36 Abdurahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003),

48. 37 Tim, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi

Hukum Islam (Bandung: Fokus Media, 2005),14.

29

Atas pandngan tersebut di atas, keberadaan syarat

dalam suatu perbuatan wajib dipenuhi dan jika tidak

dipenuhi maka perbuatan yang dilakukan tidak dianggap

dijalankan. Secara sederhana syarat adalah sesuatu yang

harus dipenuhi sebelum melakukan sesuatu. Namun

demikian hal nya, keberadaan syarat di luar dari perbuatan

pokoknya.

Menurut Abdul Wahab Khallaf, syarat adalah

sesuatu yang berada di luar sesuatu yang disyaratkan.

Tidak adanya syarat menjadi tidak adanya yang

disyaratkan, tetapi adanya syarat belum tentu menjadikan

adanya yang di syaratkan.38

Sebagai contohnya adalah

wudhu menjadi syarat dalam shalat, tetapi adanya wudhu

belum tentu adanya shalat. Dari rukum perkawinan diatas,

maka menjadi syarat perkawinan adalah :39

1) Calon mempelai laki-laki, syaratnya adalah seorang

laki-laki, beragama islam, Bukan mahram bersama

calon istri, Berdasarkan kerelaan sendiri dan bukan

dalam suasana terpaksa.

2) Calon istri mempelai perempuan, syaratnya adalah

Seorang perempuan, beragama Islam, bukan mahram

bersama calon suami, sudah akil baligh, tidak dalam

masa iddah, bukan istri orang lain.

3) Wali nikah, syaratnya adalah laki-laki, beragama

Islam, aqil baligh, adil, tidak cacat akal pikiran, tuna

wicara, atau uzur.

4) Dua orang saksi, syaratnya adalah laki-laki, beragama

islam, adil, akil baligh, berakal, tidak terganggu

kesehatannya, hadir saat prosesi akad nikah.

5) Ijab Qabul, syaratnya adalah adanya pernyataan

mengawinkan dari wali, adanya pernyataan menerima

dari calon mempelai pria, memakai kata-kata nikah,

38 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, 164. 39 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2003), 71-72

30

antara ijab dan qabul bersambung, antara ijab dan

qabul jelas maksudnya, majelis ijab dan qabul itu

menimal harus dihadiri empat orang yaitu, calon

mempelai laki-laki, wali dari mempelai wanita atau

wakilnya, dan dua orang saksi.

4. Tujuan dan Hikmah perkawinan

a. Tujuan perkawinan

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

rohmah.40

Perkawinan merupakan tujuan syariat islam yang

dibawa Rasulullah Saw, yaitu penataan hal ihwal manusia

dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Menurut ali yafie

pada batang tubuh ajaran fiqih dapat dilihat adanya empat

garis dari penataan itu yakni :

1) Rub‟al ibadah, yang menata hubungan manusia selaku

makhluk dengan khaliknya,

2) Rub‟al muamalat, yang menata hubungan manusia

dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya

untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari,

3) Rub‟al munakahat, yang menata hubungan manusia

dalam lingkungan keluarga dan,

4) Rub‟al junayah, yang menata pengamanannya dalam

suatu tertib pergaulan yang menjamin

ketentramannya.41

Adapun menurut Taqiyudin Abi Bakar

menjelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk

menghindari diri dari perbuatan zina, mempunyai anak

dan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT.

40 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 12. 41 Ali Yafie, Pandangan Islam Terhadap Kependudukan dan Berencana

(Jakarta: Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdatul Ulama dan BKKBN, 1982), 1.

31

Sedang Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa

tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan naluri

manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan

dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai

ajaran Allah dan rasul-Nya.42

Menurut Soemijati, tujuan dari perkawinan itu

sendiri adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat

manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan

dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia

dengan dasar cintah kasih dan sayang. Untuk memperoleh

keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti

ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari‟at.43

Sedangkan menurut undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 1 tujuan

perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang

Maha Esa.44

Lebih lanjut Kompilasi Hukum Islam

menjelaskan tujuan perkawinan adaalah untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, dan rohmah.45

Dari beberapa pengertian diatas, yang telah

diungkapkan, ada beberapa kesimpulan dari tujuan

perkawinan yaitu: (1) berkaitan dengan menghindari zina

sebagai tuntutan nafsu naluri kemanusiaan. Perkawinan

merupakan aturan yang membolehkan secara hukum

untuk melakukan hubungan biologis kepada laki-laki dan

perempuan. Kebutuhan manusia akan hubungan seksual

ini haruslah disalurkan dengan benar dan jalan yang akan

42 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet ke-9, (Yogyakarta:

UII Pres, 1999), 13. 43 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1997 (Yogyakarta: Liberti, 2007), 12. 44 Departemen Agama RI, Undang-Undang Perkawinan: Penjelasan dan

Pelaksanaannya, Cetakan Kedua, (Bandung: Cahya Bermadja, 1975), 7. 45 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999), 7.

32

ditempuh yaitu dengan melakukan perkawinan. Sehingga

dengan perkawinan, seorang akan terjaga dari pandangan

dan syahwat kemaluannya, (2) untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan

rohmah. Dengan melakukan perkawinan akan terjalin

hubungan rumah tangga yang membutuhkan dan

melindungi satu dengan yang lainnya atas dasar cinta dan

kasih sayang, (3) berkaitan dengan memperoleh keturunan

yang sah. Perkawinan menjadi standarisasi bagi manusia

untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat

dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur

oleh syara‟.46

Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah

bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini

terlihat dari isyarat ayat 1 surat an-Nisa‟ ayat 1:

ب خيق دح ز ف ط ا ى ر خيقن ا زث ن ا ر ق ؤ با ى بض

ا ى ر رع هللا ا ر ق عآء ا س مث بز خبل ثث خب آءش

ج ب زق ن ػي مب هللا ا زب ز ا ل ث (۱)اىعآء:ى

“wahai sekalian manusia bertaqwalah

kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri

yang satu, dan dari padanya. Allah menciptakan istrinya;

dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-

laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah

kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya

kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)

hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu

menjaga dan mengawasi kamu.”(Qs. an-Nisa‟ [4] : 1).

Keinginan untuk melanjutkan keturunan

merupakan naluri atau garizah umat manusia bahkan juga

garizah bagi makhluk hidup yang diciptakan Allah. Untuk

maksud itu Allah menciptakan bagi manusia nafsu

46 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1997, 13.

33

syahwat yang mendorongnya untuk mencari pasangan

hidupnya untuk menyalurkan nafsu syahwat tersebut.

Untuk memberi saluran yang sah dan legal bagi

penyaluran nafsu syahwat tersebut adalah melalui

lembaga perkawinan. Untuk mendapatkan keluarga

bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih

sayang hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat ar-

Rum ayat 21 :

خؼو ب ا ى ن بى زع خ أش ن ف ع أ خيقىن أ ز ءا

ذ ى ق ذى لل ف خ زز ح د ن ث )اىسزفن س

:٣۱)

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah

Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,

supaya kamu menemukan ketenangan padanya dan

menjadikan diantaramu rasa cinta dan kasih sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

menjadi tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Qs. ar-

Rum [30] : 21).

b. Hikmah perkawinan

Hikmah perkawinan adalah untuk menghalangi

mata dari melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan

Syara‟ dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada

kerusakan seksual. Hal ini adalah sebagaimana yang

dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam hadisnya yang

muttafaq alaih yang berasal dari abdulllah ibn Ma‟us,

ucapan Nabi:

ض غأ إ ,فج صزي فحبءجى ا ن عبطزاظ بة جىش اسشؼ ب

ى إ ف بىص ث يؼفغ ط زع ى ج س في ى صأز س صجي ى

)زفقػي(ء بخ

“Wahai pemuda, siapa di antaramu telah

mempunyai kemampuan untuk kawin, maka kawinlah;

karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan

(dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari

34

kerusakan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah

berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang

syahwat.” (Muttafaq „alaih) 47

Islam sangat menyukai sebuah perkawinan dan

segala akibat yang berhubungan dengan perkawinan, bagi

masyarakat maupun bagi kemanusiaan pada umumnya

diantaranya hikmah perkawinan adalah:

1) Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan

menghindarkan perbuatan maksiat, serta meredam

emosi, menutup pandangan dari hal yang dilarang

oleh Allah dan untuk mendapatkan kasih sayang

suami dan istri yang dihalalkan oleh Allah Swt.

2) Perkawinan untuk melanjutkan keturunaan.

3) Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan

anak-anak.

4) Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan

sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam mencukupi

keluarga.

5) Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah

tangga dan yang lain bekerja diluar.

6) Menumbuhkan tali kekeluargaan dan memperat

hubungan.48

7) Menjaga kelestarian umat manusia secara bersih dan

sehat, karena nikah merupakan faktor

pengembakbiakan keturunan demi kelestarian ummat

manusia.49

47 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh

Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), 44 48 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: CV

Pustaka Setia, 1999), 12. 49 M. Shalih Al-Utsmania, Aziz Ibn Muhammad Dawud, pernikahan Islami

Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga (Surabaya: Risalah Guati, 1995), 50.

35

5. Asas-Asas Hukum Perkawinan

Dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk

perjanjian suci antara seorang pria dengan seorang wanita,

yang mempunyai segi-segi perdata, berlaku beberapa asas di

antara nya adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah

pihak, kebebasan memmilih, kemitraan suami istri, untuk

selama-lamanya, dan monogami terbuka (karena darurat).50

a. Asas kesukarelaan

Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting

perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus

terdapat antara kedua calon suami-istri, tetapi juga antara

kedua orang tua kedua belah pihak. Ke sukarelaan orang

tua yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi

asasi perkawinan Islam. Dalam berbagi hadis Nabi, asas

ini dinyatakan dengan tegas.

b. Asas persetujuan kedua belah pihak

Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan

konsekuensi logis asas pertama tadi. Ini berarti bahwa

tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan

perkawinan. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan

dengan seorang pemuda, Misalnya, harus diminta lebih

dahulu oleh wali atau orang tuanya. Menurut sunnah

Nabi, persetujuan itu dapat disimpulkan dari diamnya

gadis tersebut. Dari berbagai Sunnah Nabi dapat

diketahui bahwa perkawinan yang dilangsungkan tanpa

persetujuan kedua belah pihak dapat dibatalkan oleh

pengadilan.

c. Asas kebebasan memilih pasangan

Asas kebebasan memilih pasangan, juga

disebutkan dalam Sunnah Nabi. Diceritakan oleh Ibnu

Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama

jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia

telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang

50 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia, Cet I (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2000), 12.

36

tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, Nabi

menegaskan bahwa ia (jariyah) dapat memilih untuk

meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak

disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya

dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin

dengan orang lain yang disukainya.

d. Asas kemitraan suami istri

Dalam beberapa hal kedudukan suami isteri

adalah sama, namun beberapa hal berbeda disebut dalam

al-Qur‟an surat an-nisa ayat 34 dan surat al-Baqarah ayat

187. Asas kemitraan suami isteri dengan tugas dan fungsi

yang berbeda kodrat (sifat asal, pembawaan). Suami

menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan

penanggung jawab pengaturan rumah tangga.

e. Asas Untuk Selama-lamanya

Asas untuk selama-lamanya menunjukan bahwa

perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan

keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama

hidup ( Q.S. ar-Rum ayat 21). Karena asas ini pula maka

perkawinan mut‟ah yaitu perkawinan sementara untuk

bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti

yang terdapat pada masyarakat arab Jahiliyyah dahulu

dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi

Muhammad. Perkawinan dilaksanakan untuk selama-

lamanya tanpa diperjanjikan jangka waktunya. Tujuan

perkawinan adalah untuk membina cinta dan kasih

sayang selama hidup serta melanjutkan keturunan.

f. Asas monogami terbuka

Disimpulkan dari al-Qur‟an surat an-Nisa (4)

ayat 3. Didalam ayat 3 dinyatakan bahwa seorang pria

muslim dibolehkan atau boleh beristri lebih dari seorang,

asal memenuhi beberapa syarat tertentu, di antaranya

adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita

yang menjadi istrinya. Dalam ayat 129 surat yang sama

Allah menyatakan bahwa manusia tidak mungkin berlaku

37

adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat

demikian. Oleh karena ketidakmungkinan berlaku adil

terhadap istri-istri itu maka allah menegaskan bahwa

seorang laki-laki kalau terjadi bahaya, antara lain, untuk

menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, kalau, istrinya

misalnya, tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai

istri.

B. Adat Perkawinan Budaya Bugis

1. Tahapan Perkawinan Adat Bugis

Perkawinan adat budaya bugis adalah salah satu

budaya pernikahan di Indonesia yang paling kompleks dan

melibatkan banyak emosi, mulai dari ritual lamaran hingga

selesai resepsi pernikahan akan melibatkan seluruh keluarga

yang berkaitan dengan kedua pasangan kedua mempelai, Bagi

masyarakat bugis dalam perkawinan bukan hanya menyatukan

kedua mempelai dalam hubungan ikatan suami istri, namun

perkawinan itu tujuannya untuk menyatukan dua keluarga

besar yang sudah menjalin sebelumnya menjadi erat atau

istilah bugisnya adalah mappasideppe‟ mabe‟lae atau

mendekatkan yang jauh.

pernikahan adat bugis akan nampak pada upacara-

upacara sesudah akad nikah dan ini dipenuhi dengan makna

yang sangat sakral dengan budaya-budaya mereka dan akan

sarat makna dengan ritual-ritual yang dilaksanakan. Mereka

sangat meyakini dan mempercayai akan makna yang

tekandung dengan tradisi-tradisi mereka, mulai dari tahap

perencanaan sampai pada berlangsungnya pernikahan yaitu :

a. Pra perkawinan

1) Pemilihan jodoh

Proses paling awal menuju perkawinan dalam

adat Bugis adalah pemilihan jodoh. Orang Bugis

umumnya mempunyai kecenderungan memilih jodoh

dari lingkungan keluarga sendiri karena dianggap

sebagai hubungan perkawinan atau perjodohan yang

38

ideal. Perjodohan ideal yang dimaksud adalah siala

massaposiseng (perkawinan antar sepupu satu kali),

siala massapokadua (perkawinan antar sepupu dua

kali), dansiala massoppokatellu (perkawinan antar

sepupu tiga kali). Dengan adanya perjodohan seperti

ini maka masyarakat yang ada di Kelurahan Kota

Karang Raya tidak khawatir dengan adanya

pernikahan sepupu, karena masyarakat bugis berfikir

dengan adanya perjodohan sepupu sendiri maka

keluarga mereka akan baik-baik saja dan

mempertahankan dan meneruskan garis keturunan,

mencapai kehidupan rumah tangga keluarga/kerabat,

untuk memperoleeh adat budaya dan kedamaian, dan

untuk mempertahankan kewarisan .51

2) Mammanu‟-manu‟ (penjajakan/pendekatan)

Pendekatan atau biasa juga disebut mappaese-

pesse, mattiro, atau mabbaja laleng adalah suatu

kegiatan penyelidikan yang biasanya dilakukan secara

rahasia oleh seorang perempuan dari pihak laki-laki

untuk memastikan apakah gadis yang telah dipilih

sudah ada yang mengikatnya atau belum. Kegiatan

penyelidikan ini juga bertujuan untuk mengenali jati

diri gadis itu dan kedua orang tuanya, terutama hal-hal

yang berkaitan dengan keterampilan rumah tangga,

adab sopan-santun, tingkah laku, kecantikan, dan juga

pengetahuan agama gadis tersebut. Jika menurut hasil

penyelidikan belum ada yang mengikat gadis itu,

maka pihak keluarga laki-laki memberikan kabar

kepada pihak keluarga gadis bahwa mereka akan

datang menyampaikan pinangan. Tahap lamaran

dalam perkawinan bagi masyarakat Bugis dimulai dari

penjajakan yang disebut mammanu‟-manu.52

Hal ini

51 Yunus, “Islam dan Budaya: Nilai-nilai Islam dalam proses pernikahan

Masyarakat Bugis”. (Titian: Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 2 No. 1, Juni 2018), 89. 52 Ibid., 90.

39

tentu memiliki unsur sarak bila dikaitkan riwayat

hadis sebagai berikut:

هللا صي ج اى د ػ ذ م بهق ػهللا ض زحس س أث ػ

يػ ظي أس ا ج صر أ سجخ ؤفو خ زب رؤف بز ص ا ل ح

ت ر فبهلقبهقدس ظأي ظ يػهللاهللا ه ظ ز ىبهقف

ف اعي()زب ى س ظ ب53

“Dari Abī Hurairah ra berkata, ketika saya di

sisi Nabi saw, beliau didatangi seorang laki-laki dan

menyatakan hendak ār, lalu Nabi saw bertanya,

apakah menikahi seorang perempuan dari golongan

Ans engkau telah melihat perempuan tersebut.

Jawabnya, belum. Maka Nabi saw memerintahkannya

agar terlebih dahulu melihat perempuan yang akan

dinikahinya …. (HR.Muslim).54

3) Madduta atau Massuro (meminang)

Madduta atau Massuro artinya pihak laki-laki

mengutus beberapa orang terpandang, baik dari

kalangan keluarga maupun selain keluarga, untuk

menyampaikan lamaran kepada pihak keluarga gadis.

Utusan ini disebut ToMadduta sedangkan pihak

keluarga gadis yang dikunjungi disebut To Riaddutai.

To Madduta memiliki peranan yang sangat penting

dalam menentukan diterima atau tidaknya suatu

pinangan. Oleh karena itu, To Madduta harus berhati-

hati, bijaksana, dan pandai membawa diri agar kedua

orang tua gadis itu tidak tersinggung. Kegiatan

madduta biasa juga disebut dengan istilah mapettu

ada, yaitu pertemuan antara kedua belah pihak

keluarga untuk merundingkan dan memutuskan segala

sesuatu yang bertalian denga upacara pernikahan

53 Husain Muslim bin Muhammad al-Hajjaj Abu al-H al-Nasyaburi, Sahih

Muslim, jilid II (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th), 172. 54 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar

Baru Algensindo,2009), 382.

40

putra-putri mereka. Hal-hal yang dibicarakan dalam

acara mapettu ada tersebut di antaranya mahar dan

penentuan hari. Pembicaraan harus dimulai dari

masalah mahar karena merupakan tahap yang paling

prinsipil dan menjadi penentu diterima atau

ditolaknya sebuah pinangan.55

4) Mappettu ada (Penerimaan lamaran)

Mapettu ada dalam prosesi ini banyak hal

yang dibicarakan misalnya apakah perkawinan

dilakukan dengan sederhana atau dengan pesta besar,

pakaian apa saja yang akan digunakan nantinya,

kemudian berapa uang belanja dan apa yang sompa

atau maharnya yang akan diberikan oleh mempelai

laki-laki ke mempelai perempuan. Mappettu ada

maksudnya kedua belah pihak bersama-sama

mengikuti janji yang kuat atas kesepakatan

pembicaraan yang dirintis sebelumnya. Apabila

perempuan sudah menerima lamaran pihak laki-laki,

maka pihak perempuan masih merasa perlu untuk

merundingkan dengan keluarganya. Apabila telah

disepakati dengan keluarganya, barulah kemudian

acara mappettu ada dilakukan dalam acara ini dan

dirundingkan seperti diputuskan segala sesuatu yang

bertalian dengan upacara perkawinan seperti tanra

esso atau penentuan hari, belanca (uang belanja), doi

menre (uang naik), dan sompa (mahar) dan lain-lain.

Apabila lamaran itu diterima oleh pihak keluarga

gadis, untuk suatu proses peminangan bagi orang

kebanyakan, maka pada kesempatan itu juga kedua

belah pihak membicarakan jumlah mas kawin mahar

(sompa), dan uang belanja (dui balanca) yang

merupakan kewajiban pihak keluarga laki-laki untuk

biaya pelaksanaan upacara/pesta perkawinan itu.

Setelah acara lamaran selesai, maka para hadirin

55 Ibid., 90.

41

mapettu ada di suguhi hidangan terdiri dari kue-kue

tradisonal masyarakat bugis yang pada umumnya

manis-manis agar hidup calon pengantin selalu manis

dikemudian hari. Masih ada kemungkinan peserta

perkawinan tidak bisa dilaakukan apabila tidak terjadi

kesepakatan kedua belah pihak. Ketidaksepakatan

biasanya disebabkan oleh ketidak mampuan pihak

laki-laki untuk memenuhi sejumlah uang belanja yang

ditetapkan oleh mempelai perempuan.

Uang belanja atau dui menre merupakan uang

hantaran yang harus diantarkan dan diserahkan oleh

keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan sebagai

biaya dari prosesi perkawinan. Penyerahan uang

belanja ini juga menelan biaya yang banyak, dimana

keluarga perempuan akan membuat persiapan yang

besar untuk menyambut kedatangan rombongan calon

mempelai laki-laki yang akan membawa uang

hantaran. Dalam acara pengantaran uang hantaran dua

keluarga merundingkan dan membuat keputusan

segala sesuatu yang bertalian dengan upcara

perkawinan, antara lain :

a) Tanra esso (penentuan hari)

Penentuan hari perkawinan baik laki-laki

maupun pihak laki-laki maupun pihak perempuan

mempertimbangkan tentang waktu-waktu luang

bagi keluarga. Misalnya saja apabila keluarga

tersebut terdiri dari petani maka diplih waktu

pada saat selesai panen, sedaangkan apabila

keluarga terdiri dari pegawai maka dipilih pada

waktu libur atau hari minggu.

b) Belanca (uang belanja) atau doi menre (uang

naik)

Sudah menetapkan hari perkawinan

(tanra esso) maka hal yang paling penting adalah

besarnya uang naik yang diberikan oleh pihak

laki-laki kepada pihak perempuan. Sekarang ini

42

untuk menetapkan uang belanja pihak perempuan

selalu melihat harga yang berlaku dipasaran.

Kalau pihak perempuan menghendaki pesta

perkawinan itu ramai, maka uang belanja yang

diminta juga tinggi kecuali antara laki-laki dan

perempuan itu saling pengertian, biasanya

diserahkan saja kepada pihak laki-laki tentang

berapa kemampuannya. Menurut aturan nya uang

belanja ini merupakan biaya yang diberikan oleh

laki-laki kepada perempuan dalam rangka

pelaksanaan pesta perkawinan tersebut. Dalam

acara mappetu ada tersebut memang telah

dibicarakan dan disepakati apabila sesudah

menikah dan terjadi masalah, misalnya laki-laki

tidak mampu memberi nafkah batin kepada

istrinya, sehingga terjadi perceraian dan uang

belanja tersebut tidak dikembalikan.

c) Sompa (emas kawin) atau mahar

Sompa (mahar) adalah pemberian pihak

laki-laki ke pihak perempuan yang dinikahinya,

baik itu berupa uang atau benda, sebagai salah

satu syarat sahnya perkawinan. Jumlah sompa

sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai laki-

laki pada saat akad nikah, menurut ketentuan

jumlahnya bervariasi tingkat kebangsaan

seseorang. Dan biasanya tidak mematok berapa

yang harus diberikan pihak laki-laki kepada

pihak perempuan sebagai sompa haanya

memberikan sebatas kemampuan laaki-laki

berapa yang ia bisa berikan kepada calon istrinya

sebagai sompa atau mahar berbeda dengan uang

belanja atau dui menre biasanya ada patokan

berapa yag harus diberikan dan sering pula terjadi

tawar-menawar antara utusan laki-laki dengan

keluarga perempuan mengenai dui menre atau

uang belanja ini.

43

5) Mappaisseng dan mattampa (menyebarkan undangan)

Mappaisseng adalah mewartakan berita

mengenai perkawinan putra-putri mereka kepada

pihak keluarga yang dekat, para tokoh masyarakat,

dan para tetangga. Pemberitahuan tersebut sekaligus

sebagai permohonan bantuan baik pikiran, tenaga,

maupun harta demi kesuksesan seluruh rangkaian

Prosesi perkawinan tersebut.

Sementara itu, mattampa atau mappalettu

selleng (mappada) adalah mengundang seluruh sanak

keluarga dan handai taulan yang rumahnya jauh, baik

dalam bentuk lisan maupun tertulis. Kegiatan ini

biasanya dilakukan sekitar satu hingga sepuluh hari

sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan. Tujuan

dari mengundang seluruh sanak keluarga dan handai

taulan tentu saja dengan harapan mereka bersedia

memberikan doa restu kepada kedua mempelai.56

6) Mappatettong sarapo atau baruga (mendirikan

bangunan)

Mappatettong sarapo atau baruga adalah

mendirikan bangunan tambahan untuk tempat

pelaksanaan acara perkawinan. Sarapo adalah

bangunan tambahan yang didirikan di samping

kiri/kanan rumah induk sedangkan baruga adalah

bangunan tambahan yang didirikan terpisah dari

rumah induk. Pada kedua bangunan tersebut biasanya

diberi dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang

disebut dengan wolasuji dan di atasnya digantung

janur kuning. Di dalam kedua bangunan tambahan

tersebut juga dibuatkan pula lamming atau pelaminan

sebagai tempat duduk mempelai dan kedua orang

tuanya.57

56 Ibid., 91. 57 Ibid.

44

7) Mappassau botting dan cemme passili (merawat dan

memandikan pengantin)

Mappassau botting yang artinya merawat

pengantin kegiatan ini ialah merupakan proses

perawatan pengantin baik itu pengantin laki-laki

maupun pengantin perempuan. Biaasanya yang

dilakukan ialah ma bedak tettu atau menggunakan

bedak tumbu yang terbuat dari beras, kunyit, cengkeh,

dan kemudian di tumbuk dan di beri air secukupnya,

adapun jika rumah mempelai laki-laki dengan

perempuan berdekatan maka ada yang dikatakan

dengan ma‟tti bedda yang artinya membawa bedak,

biasanya bedak yang berasal dari mempelai

perempuan dibawa ke mempelai laki-laki untuk

digunakan, adapun pelaksanaan nya yaitu pada malam

hari sebelum perkawinan, utusan perempuan

membawa bedak tersebut yang belum di campur air

kemudian sesampai disana pengantar bedak memakan

makanan-makanan manis. Kemudian dilain pihak

perempuan juga melakukan hal tersebut setelah itu

ada yang dinamakan mandi kembang yaitu mandi

dengan kembang atau bunga yang dicampur dalam air

ini bertujuan untuk membuat calon pengantin

perempuan harum pada saaat duduk di pelaminan.

8) Mappanre Temme (khatam al-Quran) dan pembacaan

barzanji

Dilaksanakan Sebelum memasuki acara

mappaci, terlebih dilakukan acara khatam al-Qur‟an

dan pembacaan barzanji sebagai ungkapan rasa

syukur kepada Allah swt dan sanjungan kepad Nabi

Muhammad saw. Acara ini biasanya dilaksanakan

pada sore hari atau sesudah shalat ashar dan dipimpin

oleh seorang imam. Setelah itu, dilanjutkan acara

makan bersama dan sebelum pulang, para pembaca

barzanji dihadiahi kaddo, yaitu nasi ketan yang

45

dibungkus dengan daun pisang sebagai oleh-oleh

untuk keluarga di rumah.58

9) Mappacci atau Tudammpenni (mensucikan diri)

Dilaksanakan pada malam menjelang hari

“H” perkawinan, kedua mempelai melakukan

kegiatan mappaci atau tudammpenni di rumah

masing-masing. Acara ini dihadiri oleh kerabat,

pegawai syara‟, orang-orang terhormat, dan para

tetangga. Kata mappaci berasal dari kata pacci, yaitu

daun pacar (lawsania alba). Pacci dalam kata bahasa

Bugis berarti bersih atau suci sedangkan

tudammpenni secara harfiah berarti duduk malam.

Dengan demikian, mappacci dapat diartikan

mensucikan diri pada malam menjelang hari “H”

perkawinan. Dalam kegiatan mappaci terdapat daun

nangka merupakan simbol harapan keluarga hidup

bahagia, sedangkan daun pisang atau daun utti

menyimbolkan pelindung segala bencana, sedangkan

sarung tenung, merupakan simbol pembungkus atau

penutup aurat digunakan tujuh sarung, karena angka

tujuh sumber kebahagiaan pada manusia dan di antara

tujuh sarung tersebut di tengahnya di selipkan sarung

putih yang melambangkan kesucian, kemudian di

dalam mappaci ada bantal dibawah tangan pengantin,

melambangkan pengantin tersebut dapat membuat

tempat tinggal atau rumah untuk anak-anaknya

dengan tangannya sendiri (hasil keringat sendiri) dan

harus mandiri.59

10) Mappenre Botting (mengantar pengantin)

Mappenre Botting adalah mengantar

mempelai pria ke rumah mempelai wanita untuk

melaksanakan beberapa serangkaian kegiatan seperti

madduppa botting, akad nikah, dan mappasiluka.

58 Ibid. 59 Ibid.

46

Mempelai pria diantar oleh iring-iringan tanpa

kehadiran kedua orang tuanya. Adapun orang-orang

yang ikut dalam iring-iringan tersebut diantaranya

indo‟ botting, dua orang passeppi (pendamping

mempelai) yang terdiri dari anak laki-laki, beberapa

kerabat atau orang-orang tua sebagai saksi-saksi pada

acara akad nikah, pembawa mas kawin, dan pembawa

hadiah-hadiah lainnya.60

11) Madduppa botting (menyambut kedatangan

pengantin)

Madduppa botting berarti menyambut

kedatangan mempelai pria di rumah mempelai wanita.

Acara penyambutan tersebut dilakukan oleh beberapa

orang yaitu dua orang paddupa atau penyambut (satu

remaja pria dan satu wanita remaja), dua orang

pakkusu-kusu (perempuan yang sudah menikah), dua

orang pallipa sabbé (orang tua pria dan wanita

setengah baya mengenakan sarung sutra sebagai wakil

orang tua mempelai wanita), seorang wanita

pangampo wenno (penebar wenno), serta satu atau

dua orang paddupa botting yang bertugas menjemput

dan menuntun mempelai pria turun dari mobil menuju

ke dalam rumah. Sementara itu, seluruh rombongan

mempelai pria dipersilakan duduk pada tempat yang

telah disediakan untuk menyaksikan pelaksanaan

acara akad nikah.61

b. Pada saat perkawinan

1). Ippanika (Akad nikah)

Orang Bugis umumnya beragama Islam. Oleh

karena itu, acara akad nikah dilangsungkan menurut

tuntunan ajaran Islam dan dipimpin oleh imam

kampung atau seorang penghulu dari Kantor Urusan

Agama (KUA) setempat. Sebelum akad nikah atau

60 Ibid. 61 Ibid., 92.

47

ijab qabul dilaksanakan, mempelai laki-laki, orang tua

laki-laki (ayah) atau wali mempelai wanita, dan dua

saksi dari kedua belah pihak dihadirkan di tempat

pelaksanaan akad nikah yang telah disiapkan. Setelah

semuanya siap, acara akad nikah segera dimulai.62

2). Mappasikarawa atau mappasiluka (persentuhan

pertama)

Setelah proses akad nikah selesai, mempelai

pria dituntun oleh orang yang dituakan menuju ke

dalam kamar mempelai wanita untuk ipasikawara

(dipersentuhkan). Kegiatan ini disebut dengan

mappasikarawa, mappasiluka atau ma‟dusa‟ jenne,

yaitu mempelai pria harus menyentuh salah satu

anggota tubuh mempelai wanita. Kegiatan ini

dianggap penting karena menurut anggapan sebagian

masyarakat Bugis bahwa keberhasilan kehidupan

rumah tangga kedua mempelai tergantung pada

sentuhan pertama mempelai pria terhadap mempelai

wanita.63

3) Tudangbotting (Upacara nasehat pernikahan dan

perjamuan)

Setelah kedua mempelai duduk bersanding di

pelaminan, selanjutnya diadakan acara nasehat

perkawinan. Tujuan dari acara ini adalah untuk

menyampaikan petuah, pesan, dan nasehat kepada

kedua mempelai agar mereka mampu membangun

rumah tangga yang sejahtera, rukun, dan damai. 64

4) Marola atau mapparola

Marola atau mapparola adalah kunjungan

balasan dari pihak mempelai wanita ke rumah

mempelai pria. Pengantin wanita diantar oleh iring-

iringan yang biasanya membawa hadiah sarung tenun

62 Ibid. 63 Ibid. 64 Ibid.

48

untuk keluarga suaminya. Setelah mempelai wanita

dan pengiringnya tiba di rumah mempelai pria,

mereka langsung disambut oleh seksi padduppa

(penyambut) untuk kemudian dibawa ke pelaminan.

Kedua orang tua mempelai pria segera menemui

menantunya untuk memberikan hadiah paddupa

berupa perhiasan, pakaian, dan sebagainya sebagai

tanda kegembiraan. Biasanya, beberapa kerabat dekat

turut memberikan hadiah berupa cincin atau kain

sutera kepada mempelai wanita, kemudian disusul

oleh tamu undangan memberikan passolo (kado).65

c. Pasca perkawinan

1) Barasanji

Barasanji adalah sebuah kitab yang populer

di kalangan dunia Islam, demikian juga Negara

Indonesia yang dimana didalamnya terkandung

sejarah dan pelajaran hidup Rasulullah Saw. Secara

singkat mulai sejak beliau lahir, di angkat menjadi

Rasul, peristiwa hijrah dan pada saat peperangan

hingga wafatnya beliau, dalam adat bugis setelah

perkawinan melaksanakan barasanji sebagai

ungkapan rasa syukur dikarenakan acara perkawinan

telah selesai, setelah itu sanak saudara menyiapkan

makanan untuk dimakan bersama setelah melakukan

barasanji.

2) Ziarah kubur

Ziarah kubur dilakukan biasanya dua hari

setelah perkawinan. Kuburan yang didatangi adalah

kuburan sanak keluarga yang telah dahulu di panggil

oleh Allah Swt, dan mengenang para leluhur dan

perempuan begitupun sebaliknya

3) Massita biseng (pertemuan antara orang tua laki-laki

dengan orang tua perempuan)

65 Ibid.

49

Prosesi ini dilakukan setelah beberapa hari

perkawinan biasanya dilakukan setelah satu minggu

perkawinan atau sesuai dengan kesepakatan kedua

keluarga suami dan istri Dalam massita biseng

masyarakat bugis bahwa orang tua laki-laki harus

tidur walaupun sebentar saja dirumah perempuan

setelah itu bisa dibolehkan pulang dengan bertujuan

untuk membangun tali silahturahmi antara dua

keluarga yang sudah sah menjadi suami istri.

2. Bentuk- Bentuk Perkawinan Adat Bugis

a. Perkawinan dengan peminangan

Bentuk perkawinan dengan peminangan ini berlaku

umum baik dari golongan bangsawan maupun dari

golongan biasa. Hanya golongan bangsawan banyak

melalui proses-proses dan upacara-upacara adat tertentu.

Apabila terjadi kesepakatan dalam peminangan, maka

hubungan kedua calon pengantin ini disebut abbayuang

atau bertunangan. Cara perkawinan dengan peminangan

ini adalah suatu cara adat untuk menjamin terciptanya

keluarga yang dierima umum dalam lingkungan keluarga

maupun masyarakat.66

b. Perkawinan dengan Annyala

Annyala berarti berbuat salah, dalam hal ini

berbuat salah terhadap adat perkawinan yang diwujudkan

dengan kawin lari, dengan peristiwa itu, maka timbullah

ketegangan dalam masyarakat, terutama keluarga gadis

yang lari atau dibawa lari.67

Sebab umum daripada peristiwa annyala ini ialah

karna yang bersangkutan tidak dapat melakukan syarat-

syarat terlaksananya perkawinan adat sehingga mereka

berusaha melakukan perkawinan diluar tata cara

66 Sudirman, “Adat Perkawinan Budaya Bugis Makassar” (Mimbar. Vol. 2

No. 1, 2016), 17. 67 Ibid.

50

perkawinan adat dengan jalan annyala. Bila Tu-Mannyala

telah berada dirumah salah satu pemuka masyarakat

(dalam hal ini imam atau kadhi), maka menjadi kewajiban

baginya untuk segera menikahkan tu-manyyala.

Annyala ada beberapa macam :

1) Silariang (sama-sama lari)

Yang dimaksud dengan silariang adalah dua

orang yang saling mencintai sama-sama lari dari

keluarganya. Pada masyarakat bugis merupakan hal

yang tidak direstui bahkan menjadi aib dalam

masyarakat.

Adapun sebab-sebab khusus terjadinya silariang atau

kawin lari adalah:

a) Karena sigadis telah mempunyai tambatan hati

dengan seorang lelaki, lalu ia akan dikawinkan

dengan sesorang yang tidak dicintainya yang

merupakan suatu paksaan baginya.

b) Keduanya telah saling cinta mencintai, akan tetapi

lelaki tidak mampu untuk melaksanakan tuntutan

pihak keluarga gadisnya.

c) Karena perbedaan tingkatan/derajat keduanya telah

saling cinta mencintai, menyadari bahwa walaupun

sang pemuda akan melamar tetapi lamarannya

pasti tak akan diterima.68

2) Nilariang (dibawa lari)

Nilariang adalah proses annyala dimana si

gadis dilarikan oleh si pemuda atau oleh si pemuda

dan keluarganya. Karena namanya nilariang, maka

faktanya di lapangan bisa beragam. Bisa aja perbuatan

si pemuda melarikan anak gadisnya orang tanpa

sepengetahuan orang tuanya, bisa juga terjadi orang

68 Ibid., 18.

51

tua dan keluarga si pemuda tidak merestui tindakan

anaknya melarikan anak gadis orang.69

3) Erangkale (melarikan diri)

Erangkale artinya membawa diri. proses

annyala ini pada umumnya dimaknai sebagai tindakan

si gadis lari dari keluarganya dan kerabatnya untuk

menemui si pemuda, dan selanjutnya kawin di suatu

tempat yang tidak diketahui oleh kedua keluarga

kecuali oleh mereka berdua.

Sebab-sebab terjadinya Erangkale ialah:

a) Karena pangngisengang(guna-guna), hal ini bisa

terjadibila pemuda itu dihina baik oleh gadis itu

sendiri maupun oleh keluarga gadis itu dan

pemuda/ laki-laki itu tak dapat melarikan gadis itu

secara paksa, maka ia melakukanya secara gaib

dengan pangngisengang(guna-guna).

b) Karena sigadis telah melakukan hubungan rahasia

sehinggah ia hamil atau dituduh melakukan

hubungan gelap dengan seorang lelaki, sehinggah

tak ada jalan lain baginya kecuali mendatangi laki-

laki tadi untuk dikawini.

c) Menghindari kawin paksa, sehinggah sigadis

mendatangi pemuda idamanya untuk minta

dikawini.

Dengan uraian diatas jelaslah alasan-alasan

yang menyebabkan terjadinya annyala yang

merupakan suatu masalah yang menimbulkan

ketegangan di dalam masyarakat. Tiap Tu-

Mannyala mempunyai niat kembali meminta

damai agar ia dapat hidup tidak tersisih dari

keluarganya untuk selamanya. Oleh karena itu, bila

si Tu-mannyala mampu dan berkesempatan untuk

abbajik (berdamai) ia lalu minta bantuan kepada

penghulu adat tempat ia minta perlindungan

69 Ibid.

52

dahulu. Lalu diutuslah seseorang untuk

menyampaikan maksud appala bajik (meminta

damai) kepada keluarga/ tu-masirik yang

selanjutnya menghubungi keluarga tu-masirik agar

berkeinginan menerima kembali tu-tallasana

(orang mati yang masih hidup).

Dalam hubungan ini keluarga tu-masiri

menyampaikan pada sanak keluarganya tentang

maksud kedatangan tu-mannyala appala bajik

(orang yang bersalah meminta perbaikan/

berdamai). Bila seluruh keluarga berkenaan

menerima kembali tu-mannyala tersebut, maka hal

ini akan disampaikan kepada yang mengurus,

selanjutnya pada pihak tu-mannyala.

Si tu-mannyala menyediakan sunrang

(mas kawin) sesuai dengan aturan sunrang

menurut ketentuan sunrang wanita tersebut

sebagaimana halnya dalam perkawinan adat.

Selain sunrang, tu-mannyala juga menyediakan

pappasala (denda karena berbuat salah.

Suatu proses yang menyebabkan

perkawinan selain yang telah diuraikan, ialah yang

disebut dalam bahasa Makassar nipakatianang

(hamil sebelum nikah). Kawin secara adat

terlaksana apabila kehamilan siperempuan belum

tersebar, baru diketahui oleh ibu dan kerabat

wanita. Ibu yang terdekat sehinggah mereka

berusaha secara rahasia berhubungan dengan

keluarga si lelaki agar dalam tempo singkat

perkawinan dapat dilangsungkan melalui prosedur

yang biasa. Kedua bela pihak berusaha melindungi

rahasia demi nama baik kedua keluarga.

Bila mana jalan pertama (kawin secara

adat) gagal, maka terjadilah suatu prosedur yang

sama dengan annyala, dalam hubungan ini

keadaan perempuan lebih menyedihkan kalau

53

silelaki tidak bertanggun jawab/ menhilang. Si

perempuan yang berlindung kepada imam atau

kadhi dengan seorang laki-laki yang sifatnya

darurat. Lelaki yang menikahi seorang perempuan

karena terlebi dahulu hamil yang sebelumnya tidak

ada hubungan di sebut pa‟tongko sirik (kawin

penutup malu). Si perempuan yang bernasib sial

ini oleh orang tuanya/ kerabatnya . Adapun anak

yang dilahirkan kemudian disebut anak di luar

nikah. Anak yang demikian bila hidup sampai

besar sangat sulit kedudukanya dalam masyarat,

karna seola-olah anak itulah yang menanggung

segala konsekuensinya atau kesalahan dan dosa

daripada ibu dan lelaki yang bertanggun jawab

itu.70

C. Teori al-‘Urf

1. Pengertian „Urf

Kata adat dan „urf termasuk dua kata yang sering

dibicarakan dalam literatur ushul fiqh keduanya berasal dari

bahasa arab. Dan bahkan kata „adah sudah menjadi kata

serapan di dalam bahasa Indonesia nya yaitu adat. Kata „urf

merupakan derivasi dari kata „arafa-ya‟rifu ( س ف ؼ atau (ػسف-

biasa juga disebut dengan kata al-ma‟ruf ( ف س ؼ اى ) artinya

sesuatu yang dikenal. Artinya sesuatu yang telah dikenal oleh

orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka baik berupa

perkataan, perbuatan, atau keadaan meninggalkan.71

Adapun kata adat juga berasal dari bahasa arab yaitu

“ دح بػ ” merupakan derivasi dari kata „ada-yau>du ( د -ػبد ؼ )

artinya perulangan. Oleh karena itu, sesuatu yang baru

dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Dan perulangan

adat itu dilakukan baru bisa disebut adat tidak ada ukurannya

70 Ibid., 20. 71 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cet ke-1, (Jakarta: Rineka Cipta,

1993), 123.

54

dan banyaknya, tergantung pada perbuatan yang dilakukan

tersebut.

Bila diperhatikan kedua kata tersebut di atas

penggunaan dan akar katanya terlihat pada perbedaannya

yaitu kata „adah hanya memandang dari segi berulang kalinya

sesuatu perbuatan dilakukan dan tidak meliputi penilaian

mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut. Dan

kata „urf pengertiannya tidak melihat dan segi berulang

kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dinilai dari segi

perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh

orang banyak.

Diantara ahli bahasa arab ada yang menyamakan kata

adat dan „urf tersebut, karena mereka mengatakan bahwa ada

dua kata tersebut mutaradif (sinonim). Akan tetapi jika kita

analisa kembali pengertian dari dua kata tersebut di atas dapat

dikatakan bahwa dua kata tersebut saling berkaitan dan tidak

ada perbedaan diaantaranya secara prinsip karena dua kata itu

pengertiannya sama yaitu suatu perbuatan yang telah berulang

kali dilakukan menjadi dikenal dan diakui oleh orang banyak,

dan sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui

oleh orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan secara

berulang-ulang.72

2. Dasar Penetapan „Urf

Para ulama „ushul fiqh sepakat bahwa „urf yang tidak

bertentangan dengan syara‟ dapat dijadikan hujjah dalam

menetapkan hukum syara‟ baik urf itu bersifat umum atau

khusus, baik „urf itu berupa perkataan ataupun perbuatan.

Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum

harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu

tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang

menyangkut masyarakat tersebut. Menurut imam Al-Syatibi

dan Imam Ibnu Qayyim bahwa seluruh ulama‟ maz|hab

72 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Cet ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2008), 410-411.

55

menerima dan menjadikan „urf sebagai dalil syara‟ dalam

menetapkan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan

hukum suatu masalaah yang dihadapi.73

Oleh karena itu maka „urf yang shahih wajib

dipelihara dalam pembentukan hukum dalam peradilan, maka

seorang mujtahid haruslah memperhatikannya dalam

peradilannya. Karena sesuatu yang telah menjadi adat

manusia dan sesuatu itu telah biasa mereka jalani, maka hal

itu telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai

pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka

sepanjang ia tidak bertentangan dengan syara‟ maka wajib

diperhatikan sebagaimana syara‟ telah memelihara terhadap

tradisi bangsa arab dalam pembentukan hukumnya.74

Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika

ayat-ayat Al-Qur‟an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang

mengukuhkan kebiasaan yang terdapat yang ditengah-tengah

masyarakat. Misalnya kebolehan jual beli yang sudah ada

sebelum Islam. Hadis-hadis Rasululah saw juga banyak sekali

yang mengakui eksistensi „urf yang berlaku di tengah

masyarakat seperti hadis yang berkaitan dengan jual beli

pesanan.

a. Dasar penetapan „urf dari nash yaitu sebagai berikut:75

1) Hadist Nabi

دا ػ ئ بف ظ ي ع اى بزا دهللا زع ػ زع بف ي ع بزا اى ف

)زاأزد( هللا شء

“apa yang dianggap baik oleh orang-orang

Islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah, dan apa

yang dianggap orang-orang Islam jelek maka jelek

pulalah di sisi Allah”. (HR.Ahmad)76

73 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Cet ke-III, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,

2001), 142. 74 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 124. 75 Djazuli Dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Cet ke-I,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 186. 76 Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris, Musnad

Ahmad Bin Hambal, Jilid V ( Beirut: Dar al-kutub, 1999), 323

56

2) QS. Al-Hajj ayat 78

اىد ف ن بخؼوػي زسج (۸۷)اىسح:

“Dan Allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan

agama” (Qs. Al-Hajj [22] : 78).

3. Pembagian „Urf

Para ulama ushul fiqh membagi „urf kepada tiga

bagian, yaitu : „urf dari segi objek, „urf dari segi cakupannya,

dan „urf dari segi keabsahannya. Yaitu sebagai berikut :

a. „Urf dari segi objeknya

„Urf dari segi objeknya dibagi kepada dua bagian

yaitu „urf lafzi (kebiasaan yang berbentuk perbuatan)

yaitu sebagai berikut :

1) „Urf lafzi (kebiasaan yang menyangkut ungakapan)

„Urf lafzi adalah kebiasaan masyarakat dalam

mempergunakan ungkapan tertentu dalam

mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan

itulah yang dipahami dan terlintas di dalam pikiran

masyarakat.

2) „Urf amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan)

„Urf amali adalaah kebiasaan masyarakat

yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau

mu‟amalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan

biasa di sini adalah perbuatan masyarakat dalam

kehidupan mereka yang tidak terkait dengan

kepentingan orang lain.

Adapun yang berkaitan dengan muamalah

perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam

melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu.77

77 Ibid., 139-140.

57

b. „Urf sari segi cakupannya

„Urf dari segi cakupannya dibagi dua yaitu : „urf

„am (kebiasaan yang bersifat umum) dan „urf khash

(kebiasaan yang bersifat khusus), yaitu sebagai berikut :

1) „Urf „am (kebiasaan yang bersifat umum)

„Urf „am adalah kebiasaan tertentu yang

berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan

diseluruh daerah, atau kebiasaan yang dilakukan oleh

manusia pada umumnya pada setiap tempat.

2) „Urf khash (kebiasaan yang bersifat khusus)

„Urf khash adalah kebiasaan yang berlaku di

negara tertentu atau masyarakat tertentu. 78

c. „Urf dari segi keabsahannya

„Urf dari segi keabsahannya di bagi kepada

dua macam, yaitu : „Urf shahih (kebiasaan yang dianggap

sah) dan „Urf fasid (kebiasaan yang dinggap rusak), yaitu

sebagai berikut :

1) „Urf shahih (Kebiasaan yang dianggap sah)

Urf shahih adalah kebiasaan yang berlaku di

tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan

dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan

mereka. Dan tidak pula membawa mudharat kepada

mereka.

2) „Urf fasid (Kebiasaan yang dianggap rusak)

„Urf fasid adalah kebiasaan yang bertentangan

dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar

yang ada dalam syara‟.79

4. „Urf Berdasarkan Hukum Islam

Pada waktu Islam masuk dan berkembang di Arab,

di sana berlaku norma yang mengatur kehidupan

bermuamalah yang telah berlangsung lama yang disebut

78 Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, 188. 79 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, 141.

58

dengan adat. Adat tersebut diterima dari generasi

sebelumnya dan diyakini serta dijalankan oleh umat

dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah baik

untuk mereka.

Islam datang dengan seperangkat norma syara‟

yang mengatur kehidupan muamalah yang harus dipatuhi

umat Islam sebagai konsekuensi keimanannya kepada

Allah dan Rasulnya. Sebagian dari adat lama itu ada yang

selaras da nada yang bertentangan dengan hukum syara‟

yang datang kemudian. Adat yang bertentangan itu dengan

sendirinya tidak mungkin dilaksanakan dengan umat Islam

secara bersamaan dengan hukum syara‟. Pertemuan antara

adat dan syariat tersebut terjadilah perbenturan,

penyerapan, dan pembauran antara ke duanya.

Abu sunnah menyatakan bahwa sesungguhnya pra

syarat minimal keberlakuan „urf hanya ada dua syarat yaitu

: ketetapan (al-Istiqrar) dan kontinuitas (al-istimrar).

Istiqrar menunjukan bahwa „urf harus merupakan sesuatu

yang mendapat kesepakatan antar para pelaku-pelakunya.

Di pihak lain adanya al-istimrar dimaksudkan agar „urf

dapat dijadikan pedoman hukum yang memadai dan

permanen serta tidak berubah-ubah. Karena bagaimana

jadinya, jika hukum Islam yang semestinya didasarkan

pada prinsip stabilitas hukum (istiqamat al-hukm), tiba-tiba

harus berubah-ubah dan berwatak temporer dalam tempo

waktu yang sangat cepat.

Oleh karena itu, Islam hadir tidak sedang

memusnahkan „urf yang tumbuh dan berkembang di dalam

masyarakat. Akan tetapi Islam hadir dengan keadaan

menyeleksi „urf yang ada, jika tidak bertentangan dengan

Islam, maka „urf tetap dijalankan. Akan tetapi jika

sebaliknya, maka Islam memusnahkan atau

memodifikasinya agar sesuai dengan nilai-nilai ajaran

Islam.

Secara historis, akomodasi „urf dalam Islam adalah

sebuah kenicayaan. Bukti menunjukan beberapa „urf pada

59

masa sebelum Nabi Muhammad diadopsi dalam agama

Islam. Nabi Muhammad seringkali menetapkan adat-adat

arab yang sudah berkembang secara turun temurun dari

nenek moyang mereka. Penetapan ini diistilahkan di dalam

hadis dengan istilah sunnah taqririyah. Ini artinya

sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka

Nabi Muhammad terlebih dahuli mengakomodasi „urf yang

ada di Arab. Karena Nabi Muhammad sadar bahwa „urf ini

tidak seketika dapat dihapuskan, namun justru dapat

dijadikan penguat ajaran Islam dengan melegalkannya.80

Adapun yang dijadikan pedoman dalam

menyeleksi adat lama itu adalah kemaslahatan menurut

wahyu. Berdasarakan hasil seleksi tersebut, adat dapat

dibagi menjadi empat kelompok yaitu :

a. Adat yang secara substansi dan dalam hal

pelaksanannya mengandung unsur kemaslahatan.

Maksudnya dalam perbuatan itu terdapat unsur

manfaat dan tidak ada unsur mudaratnya. Atau dengan

kata lain bahwa unsur manfaatnya lebih besar dari pada

unsur mudharatnya. Adat seperti ini diterima

sepenuhnya dalam hukum Islam.

b. Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial

mengandung unsur mashlahat, namun dalam

pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh hukum Islam.

Adat dalam bentuk ini dapat diterima dalam Islam.

Namun dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami

perubahan dan penyesuaian.

c. Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya

mengandung unsur mafsadat dan tidak mengandung

unsur maslahat atau ada unsur manfaatnya tetapi unsur

perusaknya lebih besar, maka adat dalam bentuk ini

ditolak oleh Islam secara mutlak.

80 M. Noor Harisuddin, „Urf Sebagai Sumber Hukum Islam Fiqh Nusantara,

Vol. 20, (Jember, 2016), 68-69.

60

d. Adat yang berlangsung lama, diterima oleh orang

banyak karena tidak mengandung unsur mafsadat dan

tidak bertentangan dengan dalil syara‟ yang datang

kemudian, namun secara jelas belum terserap kedalam

syara‟ baik secara langsung ataupun tidak, maka adat

seperti ini jumlahnya sangat banyak sekali dan menjadi

perbincangan dikalangan ulama.81

Para ulama yang mengamalkan „urf di dalam

menetapkan suatu hukum, menetapkan beberapa

persyaratan untuk menerima „urf tersebut yaitu :

a. „urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal

sehat.

b. „urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-

orang yang berada dalam lingkungan adat itu, atau di

kalangan sebagian besar warganya.

c. „Urf telah berlaku pada saat itu, bukan „Urf yang

muncul dikemudian hari.

d. „Urf tersebut tidak bertentangan dan melalaikan dalil

syara‟ yang ada atau bertentangan dengan prinsip

yang pasti.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa adat digunakan

sebagai landasan menetapkan hukum. Namun penerimaan

ulama atas adat itu bukanlah karena semata-mata ia

bernama adat atau „urf sebab adat atau „urf itu bukanlah

dalil yang berdiri sendiri akan tetapi adat atau „urf itu

menjadi dalil karena ada yang mendukungnya atau ada

tempat sandarannya. Baik dalam bentuk ijma‟ atau

maslahat. Adat yang berlaku di kalangan umat dan telah

berlangsung lama berarti telah di terima secara baik oleh

umat. Jika ulama telah mengamalkannya berarti secara

tidak langsung telah terjadi ijma‟ walaupun dalam bentuk

sukuti.

Adat itu berlaku dan diterima orang banyak karena

mengandung maslahat. Tidak memakai adat seperti ini

81 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 416-418.

61

berarti menolak maslahat, sedangkan semua pihak telah

sepakat untuk mengambil sesuatu yang bernilai maslahat

meskipun tidak ada nash yang secara langsung

mendukungnya.82

82 Ibid., 424-426.

62

DAFTAR RUJUKAN

Abbas Arfan, 99 Kaidah Fiqh muamalah Kuliyyah, Cet ke-2, Malang:

Uin Maliki pres, 2013.

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet 1,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet 1,

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: Pustaka Amani,

2003.

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cet ke-1, Jakarta: Rineka

Cipta, 1993.

Abdullah Al juda‟i, Tafsir Ilmu Ushul Fiqh, bieru, Muassasah Al

Rayyan, 1997.

Abdurahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media,

2003

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,

Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab, singapura:

Sulaiman Ma‟iy, t.th.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet ke-9,

Yogyakarta: UII Pres, 1999.

Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris,

Musnad Ahmad Bin Hambal, Jilid V, Beirut: Dar al-kutub,

1999.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2003.

Al Imam Al-Bukhary, shahih Bukhari, Terjemah Hadist Bukhari, Alih

Bahasa Zainuddin dkk, jilid IV Malaysia: Klang Book

Centre, Selangor, 1990.

Ali Yafie, Pandangan Islam Terhadap Kependudukan dan Berencana,

Jakarta: Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdatul Ulama

dan BKKBN.

Al-Mawardi, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Yogyakarta: BPFE,

1998.

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara

Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta:

Kencana, 2006.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, 2008.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Cet ke-4, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2008.

Anita Marwing, Fiqh Munakahat, Palopo: Laskar Perubahan, 2014.

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, Bandung: Pustaka Setia,

2001.

Bocah Randue Blog, Prinsip Perkawinan Menurut Undang-undang

No 1 Tahun 1974 dan KHI

Brown, R, Taboo, Cambridge University press. 1939

Cholil Nafis, Fikih Keluarga, Cet I, Jakarta Selatan: Mitra Abadi

press, 2009.

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,

1999.

Departemen Agama RI, Undang-Undang Perkawinan: Penjelasan

dan Pelaksanaannya, Cetakan Kedua, Bandung: Cahya

Bermadja, 1975.

Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Terj. Amelia,

Surabaya, 2005.

Djazuli Dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Cet ke-

I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Hamid,A. Kebudayaan Bugis. Dinas Kebudayaan dan pariwisata

provinsi Sulawesi Selatan, 2006

Husain Muslim bin Muhammad al-Hajjaj Abu al-H al-Nasyaburi,

Sahih Muslim, jilid II Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.

Imam Abu Husein Muslim, Shahih Muslim, Alih Bahasa Adib Bisri

Musthafa, Shahih Muslim, Jilid II,CV, Semarang: Asy-Syifa,

1993.

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Cet.Ketiga , Jakarta:

Bumi Aksara,

Jalaludin al-mahalli, al-Mahalli, Juz III, Indonesia: Nur Asia, tt.

Kementrian Agama RI, At-Thayyib Al-Qur‟an Transliterasi per kata

dan terjemah per kata, ciputat: cipta Bagus Segera, 2011.

Kumedi Ja‟far, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Bandar

Lampung: Arjasa Pratama, 2021.

Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja

Rosdak Arya, 2004.

M. Noor Harisuddin, „Urf Sebagai Sumber Hukum Islam Fiqh

Nusantara, Vol. 20, Jember, 2016.

M. Shalih Al-Utsmania, Aziz Ibn Muhammad Dawud, pernikahan

Islami Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga, Surabaya:

Risalah Guati, 1995.

Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan ketidakadilan social , cet I,

Yogyakarta: pustaka pelajar, 2002.

Moh. Dahlan, Epistimologi hukum Islam, Yogyakarta; pustaka

pelajar,2009.

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Cet I, Jakarta: PT Raja Grafindo

persada, 2000.

Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah Dan Fiqiyah, Cet ke-3,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.th.

Muhammad Thalhah Hasan, AhlussunahWal Jamaah, Jakarta:

Lantabora, 2005.

Nasriah Kadir, “Adat perkawinan Masyarakat Bugis Dalam Perspektif

UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Desa Doping

Kecamatan Penrang Kabupaten Wajo” Disertasi, Universitas

Negeri Makassar,2015.

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Cet ke-III, Ciputat: Logos Wacana

Ilmu, 2001.

Paisal, “Mappasikarawa dalam Perkawinan Masyarakat Bugis Wajo”

(Disertasi, Universitas cokroaminoto, 2009(.

Pepi Al-Bayqunie, Calabai, Tanggerang Selatan: Kaurama Buana

Antara, 2016.

Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqhi, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan Pertama,

Jakarta: Universitas Indonesia, 1974.

Sayyid M.H Thabatha‟ I, Hikmah Islam, Jakarta; Mizan, 1993.

Seliana, “makna simbolik mappasikarawa dalam pernikahan suku

bugis di sebatik nunukan” Disertasi, Universitas

Mulawarman.Vol. 2, No. 3, 2018.

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, Bandung: CV

Pustaka Setia, 1999.

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat I, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1997 Yogyakarta: Liberti,

2007.

Spradley, J.P. Metode etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Yogya, 1997.

Sudirman, “Adat Perkawinan Budaya Bugis Makassar” Mimbar. Vol.

2 No. 1, 2016.

Suha Raya rto, Buana, dan Ari, perekayasaan metodologi penelitian,

Yogyakarta: Andi, 2004.

Suharsimi Arikunto, prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik,

Jakarta: Bina Akasara, 1981.

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, Bandung: Sinar

Baru Algensindo,2009.

Sumber data diperoleh dari keterangan arsip Kepala Kelurahan Kota

Karang Raya

Sutrisno Hadi, Metode Research, Jogjakarta: Fakultas Psikologi

UGM, 1994.

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita, Jakarta: pustaka

Al-Kautsar,1998.

Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka,1999.

Tim, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi

Hukum Islam (Bandung: Fokus Media, 2005.

Tri Rama K. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Mitra Pelajar,

Surabaya, 2010.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 Ayat

(1).

Wahbah Alisuhaili, Al- Fiqh al-Islami wa adillatuh, Beirut: Dar Al-

Fikr, t.th.

Yunus, “Islam dan Budaya: Nilai-nilai Islam dalam proses

pernikahan Masyarakat Bugis”. Titian: Jurnal Ilmu

Humaniora, Vol. 2 No. 1, Juni 2018.

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Zakih Drajat, Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.

Wawancara

Ibu Ruaidah, S.Sos, wawancara, 22 Juli di Kantor Kelurahan Kota

Karang Raya Kecamatan Teluk Betung Timur.

Ibu Hj. Nurma, Tokoh Adat, Wawancara, 26 Juli 2021, di kediaman

Lingkungan Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk

Betung Timur.

Bapak H.Jusman, Tokoh Agama, Wawancara, 27 Juli 2021, di

kediaman Lingkungan Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur.

Bapak H. Ambo,Tokoh Adat, Wawancara, 30 Juli 2021, di kediaman

Lingkungan Kelurahan Kota Karang Raya Kecamatan Teluk

Betung Timur.

Bapak H. Sirri Tokoh Agama dan Tokoh adat, Wawancara, 1 Agustus

2021, di kediaman Lingkungan Kelurahan Kota Karang

Raya Kecamatan Teluk Betung Timur.

Ibu Hj.Hamdiah, Tokoh Adat, Wawancara, 1 Agustus 2021, di

kediaman Lingkungan Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur.

Ibu Ani, Tokoh Masyarakat, Wawancara, 10 Agustus 2021, di

Kediaman Lingkungan Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur.

Bapak Andi Hendra, Tokoh Masyarakat, Wawancara, 25 Agustus

2021, di kediaman Lingkungan Kelurahan Kota Karang

Raya Kecamatan Teluk Betung Timur.

Ibu Ratnawati, Tokoh Masyarakat, Wawancara, 26 Agustus 2021, di

Kediaman Lingkungan Kelurahan Kota Karang Raya

Kecamatan Teluk Betung Timur.