tradisi aktualisasi islam indonesia suatu kajian historis interaksi islam dengan tradisi lokal

23
TRADISI AKTUALISASI ISLAM INDONESIA Suatu Kajian Historis Interaksi Islam Dengan Tradisi Lokal Oleh: Zainal [email protected] Abstrak Face of Indonesian Islam has a long historical and religious dynamics, in presenting themselves in the midst of a global civilization. Indonesia Muslim must fully understand the process of Islamization of the archipelago, in order to see Islam in a comprehensive manner. The success of the Sufis spread Islam throughout Indonesia, not in spite of their expertise to understand the social and cultural conditions Archipelago. Disclosure of the archipelago towards a more rational civilization and progress can accept with pleasure is the main capital of the Islamic propagator approach to the concept of community empowerment. The theory of religion is the religion of the king of the people, proving to the public that Islamic culture has managed to build the spirit of Islam in the recesses of people's lives. Shown as in the Islamic kingdom of Aceh sultanate, Sultanate Tidore sultanate of Banten and others is proof of interaction with the Islamic culture of political Islam. From historical records, that would be the belle of the Islamic culture in the wake of a bid emerging, due to the interaction of Islamic culture emphasizes the wealth of local traditions as an important pillar in the process of Islamization of Indonesia. New! Hold down the shift key, click, and drag the words above to reorder. Key Word: Interaksi, Islam dan Tradisi A. Pendahuluan Islam di Indonesia memiliki kekayaan tradisi dalam corak dan tampilan, sepintas orang heran kenapa Islam Indonesia dapat hidup berdampingan di tengah beragam pemahaman keagamaan di samping pluralnya agama yang diakui. 1 Seorang pengkaji Islam terkenal seperti Marshal G.S. Hodgson mengakui, bahwa proses Islam Indonesia tergolong cepat berkembang yang dibuktikan dengan dapatnya Islam 1 Lihat Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1996), 11. Bandingkan dengan Ernest Gevner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University, 1984), 5. Meminjam istilah Komaruddin Hidayat, Islam mempunyai seribu nyawa dalam mengartikulasikan penerapan Islam, maka wajar saja Islam kelihatannya beragam dari penampilan, tetapi dari segi spirit adalah satu yaitu mencapai kebenaran. Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Noura Books, 2012), xvi. 1

Upload: uinjkt

Post on 17-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TRADISI AKTUALISASI ISLAM INDONESIASuatu Kajian Historis Interaksi Islam Dengan Tradisi Lokal

Oleh: Zainal [email protected]

Abstrak

Face of Indonesian Islam has a long historical and religious dynamics, in presenting themselves in the midst of a global civilization. Indonesia Muslim must fully understand the process of Islamization of the archipelago, in order to see Islam in a comprehensive manner. The success of the Sufis spread Islam throughout Indonesia, not in spite of their expertise to understand the social and cultural conditions Archipelago. Disclosure of the archipelago towards a more rational civilization and progress can accept with pleasure is the main capital of the Islamic propagator approach to the concept of community empowerment. The theory of religion is the religion of the king of the people, proving to the public that Islamic culture has managed to build the spirit of Islam in the recesses of people's lives. Shown as in the Islamic kingdom of Aceh sultanate, Sultanate Tidore sultanate of Banten and others is proof of interaction with the Islamic culture of political Islam. From historical records, that would be the belle of the Islamic culture in the wake of a bid emerging, due to the interaction of Islamic culture emphasizes the wealth of local traditions as an important pillar in the process of Islamization of Indonesia.New! Hold down the shift key, click, and drag the words above to reorder.

Key Word: Interaksi, Islam dan Tradisi

A. Pendahuluan

Islam di Indonesia memiliki kekayaan tradisi dalam corak dan tampilan, sepintas orang heran kenapa Islam Indonesia dapat hidup berdampingan di tengah beragam pemahaman keagamaan di samping pluralnya agama yang diakui.1 Seorang pengkaji Islam terkenal seperti Marshal G.S. Hodgson mengakui, bahwa proses Islam Indonesia tergolong cepat berkembang yang dibuktikan dengan dapatnya Islam

1Lihat Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1996), 11. Bandingkan dengan Ernest Gevner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University, 1984), 5. Meminjam istilah Komaruddin Hidayat, Islam mempunyai seribu nyawa dalam mengartikulasikan penerapan Islam, maka wajar saja Islam kelihatannya beragam dari penampilan, tetapi dari segi spirit adalah satu yaitu mencapai kebenaran. Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Noura Books, 2012), xvi.

1

diterima masyarakat secara universal sebagai suatu keyakinan.2 Dalam kontek ini bukan berarti proses Islamisasi berhenti sampai di situ, tetapi terus bergulir mengiringi perkembangan masyarakat. Sudah dapat diduga tradisi yang mengakar di tengah masyarakat selama ini tetap saja mewarnai wajah Islam Indonesia sesuai dengan tradisi lokal.

Proses penyebaran Islam di Indonesia, memang memiliki corak unik apa bila dibandingkan dengan penyebaran Islam Timur Tengah. Mengutip pendapat Azra, Islam kawasan Asia Tenggara, Indonesia khususnya, harus diakui cendrung bersifat singkritisme, merupakan konsekuensi dari penyebaran Islam yang umumnya dengan pendekatan damai (penetration pacifique) di Nusantara. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah, yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh bala tentara Muslim, Islam di Asia Tenggara (Nusantara) terutama disebarkan oleh guru-guru agama dan dari pengembara yang bisa dipastikan kebanyakan mereka adalah sufi, atau pada batas tertentu, para pedagang.3

Penyerapan tradisi dan kultur lokal sulit dihindari bersenyawa dalam Islam, sehingga nuansa lokal cendrung mewarnai Islam. Menurut Taufik Abdullah hal ini menandakan bahwa meskipun Islam satu dari ajaran pokok, akan tetapi setelah terlempar dalam kontek sosial-politik tertentu, pada tingkat perkembangan tertentu pula

2Lihat Nurcholis Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), 44-45.

3Azra memberikan istilah Islam Nusantara adalah Islam “Lunak” sedangkan Islam Timur Tengah adalah Islam “Keras”. Mengiktui pendapat ini dapat dipastikan corak Islam Nusantara lebih memahami budaya local, bahkan dijadikan media penyebaran Islam. Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan ( Jakarta: Rosda, 1999), 8. Sedangkan M. Dawam Rahardjo mengistilahkan Islam lunak dengan sebutan “Islam Kultur” kebalikan dari Islam Keras dikategorikan “Islam Politik” yang telah muncul sejak awal perkembangan Islam di Indonesia, bahkan sejak awal perkembangan Islam itu sendiri sebagai agama di tanah kelahirannya. Islam kultur muncul sulit dibantah adanya karena ia adalah suatu gejala sosiologis dan teologis. Lihat Asep Gunawan (ed), Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Priode Sejarah (Jakarta: Grafindo, 2004), v.

2

agama bisa memperlihatkan struktur intern yang berbeda-beda.4 Artinya meskipun Islam dilihat berbeda dalam tampilan sesuai dengan kultur dan budaya lokal, akan tetapi pada intinya bukan berlainan dengan masalah pokok ajaran Islam itu sendiri, namun bagaimana memanifestasikan ajaran Islam dalam kehidupan sosial kelihatan yang berbeda. Menggunakan istilah Bambang Pranonowo berarti Islam hadir dengan kemasan tradisi besar dan tradisi kecil.5

Berangkat dari paparan di atas dapat diungkap beberapa pertanyaan yang menjadi perhatian dalam tulisan ini. Pertama, bagaimana interaksi Islam dengan tradisi dan budaya lokal pada masa awal perkembangan Islam, kedua bagaimana tarik menarik antara Islam dengan budaya lokal dalam dinamika Islam di Indonesia, ketiga bagaimana Islam Indonesia di tengah globalisasi, dan keempat bagaimana interaksi Islam kultur dengan Islam politik. Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan di atas maka dalam pengkajian ini digunakan pendekatan sosiologis-antropologis. Sosiologi setidak-tidaknya bagi Comte –yang dianggap pertama kali menemukan istilah itu- adalah suatu ilmu atau cabang ilmu yang mempergunakan observasi, eksprimentasi, dan komparasi sebagai metode untuk memahami realitas. Perkembangan antropologi juga berasal dari aliran positivisme atau yang dekat dengan paham itu, misalnya rasionalisme yang beranggapan bahwa penalaran adalah dasar dari pengetahuan mengenai realitas. Rasionalisasi umpamanya, menolak wahyu sebagai sumber pengetahuan. Hanya penalaran melalui metode deduktif dan lebih-lebih induktif, yang menghasilkan penjelasan yang dapat diandalkan.

B. Interaksi Islam Pada Masa Awal Perkembangan

4Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1996), 11. Bandingkan dengan Ernest Gevner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University, 1984), 5.

5M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Alvabet, 2011),13.

3

1. Membangun JaringanKeberhasilan Islam menjadi agama mayoritas Indonesia adalah

fakta sejarah yang tidak dapat dibantah oleh teori apa pun, terlepas dari persoalan model Islam yang ditampilkan Muslim Indonesia seperti model Jawa, model Minang, model Madura, dan model lainnya. Namun adalah sesuatu mesti diapresiasi serta patut hargai. Walaupun tokoh yang tampil menyebarkan Islam para Sufi sambil berdagang, bukan berarti mereka tidak memperhatikan persoalan rasional dan intelektual, tetapi semua yang mereka lakukan adalah untuk mencapai tujuan awal yaitu bagaimana Islam bisa diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Menciptakan sesuatu sekali jadi atau instan bukan lah tujuan utama yang mereka harapkan dalam menyelesaikan suatu permasalahan masyarakat. Agar Islam dapat berintegrasi dengan kehidupan masyarakat membangun jaringan merupakan langkah yang mendukung terhadap penyebaran Islam di Nusantara, tidak dengan cara menaklukkan daerah setempat dengan kekuatan militer. Dapat dibayangkan seperti apa jaringan yang mereka bangun, setidaknya ada tiga pola jaringan yang mereka lakukan.

Pertama jaringan melalui perdagangan. Kontak dagang antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, lebih disebabkan oleh faktor alam. Seperti yang diketahui bahwa alam yang disediakan Tuhan memiliki kelebihan dan kekurangan, untuk menutupi kekurangan tersebut lewat jalur perdagangan adalah metode yang tepat serta diakui sah oleh semua pihak.6 Sesuai dengan kondisi wilayah Indonesia yang terkenal oleh semua anak bangsa di dunia ini dengan kesuburannya, sehingga silih berganti para pedagang datang dan pergi menghampiri Indonesia guna melangsungkan transaksi perdagangan berbagai jenis komodi dan sumber daya alam lainnya. Saling ketergantungan antara kedua belah pihak tidak bisa dielakkan.

6Lihat JC. Van Leur, Indonesian Trade and Society (Den Haag: Van Hoeve, 1955), 72, bandingkan dengan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 13

4

Berbagai bangsa yang datang menjajah Indonesia, mulai Belanda, Spanyol, Portugis, dan Jepang pada umumnya adalah untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.

Dalam kontek ini, Islam hadir berinteraksi dengan budaya lokal, melalui aktor para pedagang tadi, dapat diketahui komunikasi yang berlangsung adalah horizontal. Artinya, mereka tidak ego menyatakan secara terbuka bahwa budaya dan tradisi lokal masyarakat adalah irasional, jumud, dan lain-lain, atau sebaliknya mereka langsung menyatakan Islam lah yang paling benar sementara tradisi dan budaya lokal adalah salah, tetapi upaya mempertemukan antara Islam dengan budaya lokal lebih mengedepankan kerangka saling mengisi dan ada tarik ulurnya antar masing-masing.7 Kasus di Indonesia, di Jawa khususnya peran wali songo merupakan contoh tokoh yang telah mempraktekkan interaksi Islam dengan budaya dan tradisi lokal tanpa meninggalkan kesan kontradiktif antara keduanya, sehingga peleburan budaya sebagai tradisi kecil ke dalam Islam sebagai tradisi besar dikategorikan sukses, sekaligus menjadikan dunia memberikan penilaian yang sangat positif terhadap perkembangan Islam di Indonesia.8

Kedua jaringan lewat kekuasaan. Prinsip perdagangan pada dasarnya tidak membedakan tingkat status sosial seseorang, selama masih dalam tataran saling melengkapi, transaksi perdagang dapat berlangsung. Begitu halnya dengan hubungan dagang para pedagang tadi dengan para penguasa lokal di Nusantara. Memenuhi keperluan istana, keluarga raja dan masyarakat yang dipimpinnya, hubungan dagang sama sekali tidak bisa dihindarkan. Keperluan di sini bisa bersifat jasa, komoditi, alat kelengkapan dan segala macamnya, yang

7Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya R. Ng. Ranggawarsita (Yogyakarta: Narasi, 2003), 9-10.

8R. Redfield, Peasent Society and Culture: An Anthropological Approach to Civilization (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1956), 4-6. Lihat juga M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa, 15.

5

penting adalah untuk kelangsungan hidup raja bersama keluarga, dan masyarakat pada umumnya.

Ketiga adalah melalui ikatan pernikahan. Sudah menjadi lumrah para raja ingin kekuasaan mereka langgeng tanpa ada kesulitan dalam menjalankan tugas. Salah satu upaya tersebut adalah menjadikan wilayah kerajaan mereka memiliki kecukupan dalam berbagai kebutuhan, sementara investor yang disebut sebagai pemilik modal cukup mendukung hal tersebut kebanyakan mereka adalah para pedagang di samping mereka bertugas menyebarkan Islam. Menikahkan investor dengan putri raja adalah salah satu metode yang dianggap tepat melanggengkan kekuasaan mereka. Tentu saja hal ini menjadi kesempatan bagi pedagang tadi sebagian mereka pengikut tarekat untuk menyampaikan Islam di kalangan Istana, yang pada akhirnya rakyat mengikuti agama yang dianut oleh raja mereka.

2. Mendirikan institusiLangkah berikut melihat interaksi Islam dengan budaya dan

tradisi lokal adalah hadirnya institusi yang menjadi pusat aktivitas dan gerakan penyebaran Islam. Surau di Sumatera Barat, Pesantren di Jawa, Menuasah di Aceh adalah contoh institusi yang dibangun untuk menjadi ajang interaksi Islam dengan budaya dan tradisi. Institusi tersebut adakala hasil modifikasi dari lembaga yang telah, seperti surau di Minangkabau, kata Azra merupakan tempat pemujaan leluhur bagi masyarakat setempat disaat mereka masih meyakini kepercayaan pada dewa, kemudian dialih fungsikan menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah setempat. Atau institusi tersebut sengaja dibuat baru sebagai media penyerapan Islam terhadap budaya lokal.

Menurut Bulliet dengan berdirinya institusi tersebut dapat membentuk dan menciptakan media sebagai penghubung antara Islam dengan budaya lokal, sekaligus menjadi identitas atau ciri khas masyarakat telah mengenal dan menganut Islam. Kehadiran institusi

6

seperti madrasah, tarekat sufi, futuwwah, dan kelompok-kelompok usaha kecil dapat menambah keakraban budaya lokal dengan Islam.9 Melalui kumpulan yang digagas beberapa kelompok institusi di atas terjadi proses penyerapan nilai Islam ke dalam budaya lokal. Media seni seperti Wayang di Jawa, pertunjukan shalawat Dulang di Sumatera Barat, adalah bukti sejarah penyerapan nilai Islam ke dalam tradisi lokal. Akhirnya beberapa institusi yang ada telah diwarnai oleh nilai Islam, paling kurang spirit yang terkandung di dalamnya terselip nuansa Islam. Dapat diketahui bahwa interaksi Islam dengan budaya lokal cukup memiliki historis yang panjang, sehingga Islam yang ada sekarang merupakan hasil aktivitas dan kontribusi besar yang telah diperan masing-masing tokoh.

C. Tarik Menarik Islam dengan Budaya Lokal Dalam Dinamika Islam IndonesiaSatu sisi memang sulit menghindari tarik menarik antara Islam

dengan budaya lokal, ketika interaksi terjalin, tetapi perlu diingat batasan toleransi masing-masingnya seperti apa, serta bagaimana dampaknya tentu harus dipertimbangkan. Tarik menarik antara Islam dengan budaya lokal telah menjadi dinamika dalam perjalanan Islam di Indonesia.

Kasus Sumatera Barat, interaksi Islam dengan budaya dan tradisi lokal menghasilkan sebuah falsafah hidup masyarakat setempat dengan slogan “Syarak Mangato, Adat Memakai” artinya apa yang tertuang dalam aturan Islam, menjadi ketetapan adat yang akan diterapkan. Dalam catatan sejarah, kelahiran pepatah demikian memerlukan waktu yang cukup dan memerlukan beberapa pelunakan antara Islam dengan adat. Tetap saja tidak dapat dipungkiri, pada sisi lain, Islam melunak terhadap budaya adan tradisi lokal. Penampakan

9T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A History of Propagation of the Muslim Faith (London: Constable, 1913), 364. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 6

7

wajah Islam dalam kontek ini lebih dominasi apabila dibanding dengan penampakan wajah adat. Dalam prakteknya, tetap saja budaya dan tradisi lokal yang aktor dalam memerankan Islam.10 Maksudnya Islam merupakan menjadi spirit adat. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi tarik menarik Islam dengan tradisi dan budaya lokal berimplikasi pada lahir tiga kelompok Islam Indonesia, yaitu: tradisionalisme dan modernism.

1. Kelompok Tradisionalis Suatu hal yang sulit dihindari dalam dinamika Islam Indonesia

dalam catatan sejarah yaitu menghindari pergumulan pemikiran yang disebabkan oleh perkembangan pemikiran. Di antaranya disebabkan oleh keharusan mempertahankan doktrin norma agama dalam stuasi dunia yang selalu berubah, seterusnya dipengaruhi oleh kehadiran suatu gagasan keagamaan dalam bentuk sosiologis. Pengalaman Islam Indonesia tentang pergumulan pemikiran tergambar pada polarisasi tradisionalis, modernis, dan fundamentalis. Seperti diketahui dari catatan sejarah Islam masuk ke Indonesia yang menerapkan akomodatif terhadap budaya dan tradisi lokal, belakangan di istilahkan oleh beberapa ahli dengan sebutan tradisional. Kalang ini telah tumbuh subur sejak awal masuknya Islam ke Indonesia yang berjalan secara evolutif dan relatif tanpa kekerasan. Sesuai dengan kondisi kesuburan Indonesia, sebagian besar masyarakat Islam Indonesia adalah petani. Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier yang dimaksud dengan pemikiran Islam tradisional adalah pikiran-pikiran keislaman yang masih terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran ulama fiqih, hadis, tasawuf, tafsir, tauhid, yang hidup antara abad ketujuh hingga abad ketiga belas.11

10M. Nasrun, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971) ,h. 130. Lihat juga, Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung, 1984), 143-146

11Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES , 1982), 1.

8

Muhith Muzadi menambahkan, bahwa tradisionalisme memiliki tiga visi dasar dalam paham keagamaan. Pertama, dalam bidang hukum, kelompok ini menganut ajaran salah satu mazhab empat, meskipun pada kenyataannya banyak yang mengamalkan ajaran sesuai dengan mazhab Syafi’i. Kedua, dalam bidang tauhid, kelompok ini menganut paham yang dikembangkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Ketiga, dalam hal bidang tasawuf/akhlak, mereka menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim Junaid Al-Baghdai dan Imam Al-Ghazali.12 Dari beberapa penjelasan di atas, secara umum mempengaruhi terhadap seluruh tingkah keagamaan, politik dan kemasyarakatan mereka, terkhusus terhadap ideologi Ahlussunah Wal-Jama’ah secara ketat, sehingga lahirlah namanya klaim sepihak atas nama istilah ini.

Menurut Deliar Noer, klaim seperti ini yang mengakibatkan terjadinya perbedaan golongan sunni dengan non-sunni (syi’ah, khawarij, mu’tazilah), juga menjadi penyebab pembedaan antara golongan tradisionalis dengan modernis. Akhirnya dalam tataran seperti ini munculnya pergumulan pemikiran yang cukup melelahkan.13 Di samping juga berdampak pada lahirnya trade mark tradisionalisme Islam yang menjadi bagian isu penting dalam misi dakwahnya, seperti bertahan pada praktek-praktek amalan keagamaan yang dinilai paling absah. Di antara yang menonjol adalah bacaan ushalli di awal shalat, ziarah kubur, talqin pada jenazah, dan tradisi tahlil. Pada umumnya gerakan ini dipelopori oleh kelompok ulama yang mendirikan pesantren, surau, meunasah sebagai basis penyeberan paham-paham keagamaan.

Kreativitas yang telah mereka perjuangkan dalam mengisi dan memberikan dinamika wajah Islam Indonesia, mesti diapresiasi oleh kalangan Muslim, karena bagaimana pun usaha mereka menunjukkan

12A. Muhith Muzadi, NU dan Fikih Kontekstual (Yogyakarta: LKPPSM, 1994), 29. 13Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980), 235.

9

penyebaran Islam tidak bisa berlangsung sekali jadi. Tentu saja kekurangan yang ada seperti terlalu jauh melebur dalam budaya dan tradisi lokal, cendrung bertahan pada produk pemikiran masa lampau, sangat ketat terhadap ide-ide baru, menganggap pintu ijtihad sudah tertutup yang berdampak pada mandeknya dinamika pemikiran keislaman serta tidak memiliki keberanian melampaui pemikiran ulama salaf adalah permasalahan mendasar yang menyebabkan mereka tetap dianggap berjalan lambat. Pencerahan serta perluasan cakrawala merupakan agenda utama dalam menghadirkan wajah Islam lebih segar.

2. Kelompok Modernisme Sementara itu muncul modernisasi Islam dalam teori Deliar

dianggap merupakan gerakan pembaharuan atas kemapanan aliran tradisionalisme Islam yang telah terlebih dahulu mengakar dalam masyarakat, meskipun secara institusional muncul lebih belakangan. Gerakan ini dipengaruhi oleh aktivitas Wahabisme yang digelorakan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab di Jazirah Arabia dan Pan-Islamisme Jamaluddin Al-Afghani, kemudian dikembang suburkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.14 Penekanan gerakan modernisme ini lebih banyak pada pencerdasan masyarakat lewat pendidikan yang dikelola secara professional serta memberikan gagasan baru dengan menyatakan pintu ijtihad masih terbuka. Karena selama ini, kebodohan, kemiskinan, keterbelakang, dan perpecah belahan lebih disebabkan oleh pendidikan yang tidak tertata dengan baik serta terhambatnya kreativitas umat dalam berkreasi menampilkan sesuatu baru menuju suatu perubahan lebih menjanjikan dengan tertutupnya pintu ijtihad. Hanya dengan gerak demikian yang dapat mempercepat proses tujuan tercapai.

14Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 58.

10

Keberagamaan masyarakat Islam yang selama ini didominasi oleh praktek-praktek tradisional dalam pandang kelompok modernis sarat dengan khurafat, bid’ah dan tahyul menjadi bulan-bulanan, karena dinilai disamping bertentangan dengan Islam murni, juga dianggap sebagai sesuatu sulit menghadapi pengaruh budaya Barat. Dapat dipastikan tidak selamanya gerakan modernisme ini mendapat dukungan masyarakat, terlebih dari kalangan yang menjadi sasaran kelompok modernis yang secara umum berasal dari ulama yang menghabis waktu, hari mereka mengurus umat di surau, di pesantren, dan di menuasah. Perlawanan dari kelompok tradisional tidak dapat dielakkan, karena masing-masing kelompok bertahan atas pendirian dan argument mereka. Walau pun diupayakan beberapa langkah untuk mencari titik temunya, namun hanya sedikit menghasilkan kesesuai, karena perbedaan antara kedua belah pihak semakin melebar. Isu khilafiyah sering menjadikan ajang pergumulan mereka, yang juga berdampak pada tataran social keagamaan, seperti tidak mau bergabung menunaikan shalat dalam satu mesjid, begitu juga dengan aktivitas sosial mereka terbagi menjadi menjadi berkelompok.

Pusat aktivitas gerakan modernisme Islam umumnya berada di perkotaan yang masyarakatnya cendrung lebih terbuka dan mudah menerima gagasan-gagasan baru. Pada umumnya masyarakat perkotaan tidak begitu memiliki tradisi dan budaya yang mengikat secara ketat seperti hal nya di pedesaan. Di samping mereka sebagian besar adalah penduduk pendatang dengan berbagai tujuan, mereka juga tidak terbiasa dengan sesuatu yang berbelit-belit, karena waktu sangat berharga bagi mereka. Pada umumnya, mereka lebih mudah menjangkau lembaga pendidikan yang bermutu serta diuntungkan oleh akses informasi yang sangat cepat. Dapat diduga seperti apa gerakan keislaman yang dilancarkan oleh kelompok Islam seperti ini.

Pada dasarnya prinsip utama yang mereka usung dalam gerakan ini adalah bagaimana menciptakan masyarakat Islam yang dinamis

11

dan mampu berpikir kritis-rasional.15 Harapan besar tersebut muncul disaat mayoritas umat Islam lengah dan selalu berupaya melanggengkan warisan tradisi sosial intelektual yang telah berkembang di tengah masyarakat tanpa didasari sifat kritik dan rasional.16 Keinginan ini dimaksudkan untuk memacu kebangkitan Islam di tengah penduduk Muslim terbesar di dunia ini.17

Kelompok ini cendrung terlena dengan kemodern yang dimiliki, terbelenggu oleh rutinitas mengelola lembaga-lembaga pembaruannya, serta banyak menghabiskan waktu dan perhatian terhadap menentang pada tradisi dan khazanah lokal. Tidak hanya itu kelompok ini juga terkesan memiliki kecendrungan menolak warisan khazanah klasik Islam. Beberapa hal yang disampaikan diatas adalah penyebab ide modernisasi yang digelorakan kelompok ini mengalami kekeringan spiritual intelektual. Memberikan ruang beragam di tengah kehidupan beragama perlu dipertimbangkan oleh kelompok ini agar Islam tidak hidup dengan satu tampilan, karena kekuatan Islam yang mengakar dengan budaya dan tradisi lokal menjadikan Islam lebih dinamis. Tuntutan produktif dan kreatif tidak serta merta mesti

15Gerakan sosial intelektual yang dicita-citakan kelompok ini merujuk pada perkembangan pemikiran Muslim di masa keemasan Islam dulu, sehingga dalam kontek ini yang ada hanya inklusif dan integral dalam menggapai renaissance Islam untuk terwujudnya Islamietish Paedagogisch Ideal. Lihat Taufik Abdullah, School and Politic; The Kaum Muda Movement in West Sumatera Barat 1927-1933 (New York: Cornel University, 1971), 15. Lihat juga Mochtar Naim, “Mohammad Natsir dan Konsep Pendidikan Intergaral “. dalam Anwar Harjono, et-al, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 124. Bandingkan dengan Samsul Nizar, Seabad Buya Hamka: Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 9.

16Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), 26-29.

17Dalam pandangan Mulyadhi Kartanegara rasa hormat hanya tertuju pada bangsa memiliki aspek fundamental seperti memegang aspek ilmu pengetahuan, karena dalam catatan sejarah bangsa yang dirujuk pada umum adalah bangsa mempunyai ilmu pengetahuan sekaligus sebagai indikator maju dan mundurnya suatu bangsa. Dalam hal ini Indonesia sama seperti raksasa yang sedang tidur (the sleeping giant), banyak dari segi jumlah tetapi minim dari segi kualitas. lihat Mulyadhi Kartanegara,Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), 1.

12

menyeragamkan Islam, tetapi keberagaman Islam di tengah dinamika budaya lokal adalah kreasi menghadirkan Islam yang orisinil.

D. Islam Indonesia di Tengah GlobalisasiAgama pada umumnya, termasuk Islam antara lain mengajarkan

percaya pada yang gaib, Tuhan, wahyu, kiamat. Hal-hal yang disebut jelas tidak dalam kategori gejala yang dapat diamati, agama merupakan hal yang harus dipercayai begitu saja dan bukan pengalaman langsung manusia, apalagi manusia modern . Ilmu pengetahuan dalam paham positivisme dan emperisme tidak berurusan dengan masalah-masalah tersebut. Bicara masalah agama akhirnya orang sampai pada kata akhir percaya atau tidak. Seorang yang beragama sulit bertemu dalam pandangan hidupnya dengan yang berpaham materialism dan naturalism. Dalam materialism-suatu paham yang sebenarnya tidak hanya dianut oleh orang Barat, tetapi juga orang Timur, walaupun secara sistematis ditulis dalam tradisi pemikiran filsafat Barat-yang dianggap nyata atau primer hanyalah materi. Kesadaran akal atau perasaan yang naturalism, realitas adalah dunia emperis. Realitas hanya dapat dipahami lewat sains yang dapat memberikan inspirasi mengenai dunia secara memuaskan.

Seperti demikian kondisi agama dalam pandangan masyarakat modern yang cendrung mengedepan akal dalam semua hal, sehingga agama terkesan hanya menghalangi kemajuan dan penemuan yang baru. Pada masyarakat Barat saat ini peranan agama telah terbatas. Agama tidak berpengaruh langsung terhadap negara. Sesungguhnya terpisahnya agama dari negara merupakan gambaran utamanya.18 Arti

18Chandra Muzaffar, “Kebangkitan Kembali Islam: Tinjauan Global Dengan Ilustrasi dari Asia Tenggara” dalam Taufik Abdullah & Sharon Siddique (Ed), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1989),37.

13

kata pemisahan agama dengan kehidupan dunia seseorang, yang dikenal dengan istilah sekularisme merupakan idaman utama mereka.

Di antara Tokoh yang termasuk kelompok pengagum sekularisme yang dilontarkan Barat adalah Thaha Husein seperti ungkapnya dalam Mustaqbal ath-Thaqafah: “Kita sepatutnya dihadapan Eropa, mengikuti jalan yang ditempuh oleh mereka di bidang hukum, menempuh jalan mereka di bidang managemen, dan mengikuti mereka dalam bidang perundang-undangan”.19 Tokoh lain yang sejalan dengan pandangan demikian adalah Muhammad Imarah, Muhammad an-Nuwaihi, pada intinya mereka memprogandakan sekularisme yang dibungkus dengan pakaian agama. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa nash-nash al-Qur’an dan as-Sunah, terutama dalam berbagai persoalan akidah dan ibadah saja yang dapat diterima. Adapun dalam berbagai persoalan lain, seperti dalam bidang perundang-undangan, harus bisa mengalami renovasi, pengubahan, penambahan, dan pengurangan.20

Kalau dicermati lebih dalam, kecendrungan yang dikemukan di atas sudah jelas menganggap peran agama tidak ada sama sekali, karena pada umumnya mereka tidak memperhatikan pesan-pesan agama dalam memberikan informasi terkait perihal kehidupan manusia. Islam cukup terbuka ditafsirkan sesuai dengan kondisi masyarakat tempat Islam tumbuh dan berkembang, hanya saja keberbatasan mereka melihat Islam secara lebih luas yang menjadi kendalanya.

Pada prinsipnya kelompok ini juga menginginkan perubahan tetapi perubahan yang dimaksudkan adalah kembali menghidupkan nilai-nilai, institusi-institusi dan tradisi klasik, sebagaimana hal ini

19Thaha Husein Mustaqbal ath-Thaqafah, 36-37. Bandingkan dengan Muhammad ‘Iamarah, Perang Terminologi Islam, 65.

20Muhammad Hamid an-Nashir, Menjawab Modernisasi Islam: Membedah Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani Hingga Islam Liberal, Terj (Jakarta: Dar Haq, 2004), 414.

14

telah dicapai Islam pada masa lampau.21 Dalam pandangan Barat perkembangan tradisi intelektual Islam adalah kembali Islam sebagai bentuk pembalikan Islam ke masa silam suatu perjalanan balik keabad pertengahan dan perkembangan yang mundur.

Dari tiga bentuk pemikiran di atas, berarti ide sekularisme yang diusung Barat, tergolong pada kelompok pertama, yaitu agama dianggap tidak berperan dalam menyelesaikan kehidupan manusia. Pada hal faktanya, Islam tidak seperti demikian, sebagaimana yang diutarakan Komaruddin Hidayat, bahwa Islam tidak akan pernah mati di mana pun, dan sampai kapan pun, karena ia punya seribu nyawa. Kenyataan demikian terbukti di saat munculnya propaganda sekularisme di Barat. Dalam kontek Indonesia, Islam tidak berlaku seperti demikian, hanya saja segelintir orang yang nyeleneh mengemukakan sekularisme adalah pilihan tepat untuk kasus Indonesia. Pada umumnya mereka tidak menjadikan Islam sebagai spirit dalam menyemangat aktivitas kehidupan mereka, karena terlena dengan sesuatu yang belum teruji keampuhannya. Mayoritas kaum Muslim di manapun mengakui bahwa ajaran Islam bersumber pada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Kedua sumber itu dianggap bersifat transenden, namun untuk memahami agama tidak cukup memahami sumbernya saja, tetapi juga harus diperhatikan bagaimana proses aktualisasi ke dalam realitas sosial penganutnya. Tentu saja aktualisasi itu, dapat diduga dipengaruhi oleh corak pemahaman dan penafsiran mereka terhadap doktrin.

Sejalan dengan pandangan di atas, seorang dramawan, penyair dan budayawan terkenal W.S. Rendra, tahun 1971 memberikan pernyataan tiga poin tentang umat Islam: pertama, Umat Islam tidak hadir secara fungsional dalam tata kehidupan masyarakat. Artinya, eksistensi umat Islam memang besar, akan tetapi mereka tidak

21Issa J. Boulata, Dekonstruksi Tradisi: Gelagar Pemikiran Arab Islam (Yogyakarta: LKiS, 2001), 4-5.

15

mampu memfungsikan kebesarannya. Kedua, umat Islam seakan-akan bukan sahabat kemanusiaan lagi. Maksudnya, umat Islam telah mundur dalam bidang seni budaya dan science. Ketiga, umat Islam cendrung menjadi masyarakat tertutup. Penilaian ini berdasarkan pada anggapan kebanyakan umat Islam adalah umat yang terbesar.

Namun perlu diingat, ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak semua perubahan yang dibawakan agama itu memiliki relevansi tinggi bagi kebutuhan masyarakat untuk mengangkat derajat dan martabat warganya. Justru sebaliknya yang terjadi, seperti terlihat dari kasus rabbi Barkochba di kalangan bangsa Yahudi dan tradisi puputan di kalangan kaum Hindu di Bali.22 Perubahan arti kehidupan hanya terhenti pada penjagaan kemurnian corak kehidupan yang ada. Bukannya progesi atau kemajuan yang menjadi watak perubahan seperti itu, dan nilai-nilai emansipatoris dari perubahan yang dilakukan tidak muncul di permukaan maupun terpendam dalam jiwanya. Ini adalah potret agama di tengah global yang cendrung terlunta-lunta ditinggalkan umat.

Nah, bagaimana dengan Islam? Memperhatikan kegalauan demikian tampil sejumlah tokoh yang telah dimatangkan oleh pergulatan pemikiran keislaman seperti Harun Nasution, Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Munawir Syadzali, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Djohan Efendi, Kuntowijoyo, dan sederet figur lain untuk membawa keluar dari kerapuhan ide-ide sekulerisme serta kemandekan gagasan-gagasan yang telah ada cendrung melilit pemikiran keislaman.23 Mereka menawarkan ide ide lain seperti new-modernisme sebagai alternatif atas dinamika corak Islam Indonesia.

22Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), xii 23Menurut Dawam peranan intelektual, keterpaduan antara tanggung jawab

ilmiah, tanggung jawab moral atau etis dan tanggung jawab masyarakat, sulitnya dipisahkan antara sifat kritis dengan hasrat untuk melihat kebenaran yang lebih fundamental, atau kebenaran yang lebih relevan dengan persoalan masyarakat dalam peran seorang intelektual,( M. Dawam Raharjo, Intelektual Inteligensi dan prilaku politik Bangsa, Risalah Cendikiawan Muslim ( Bandung: Mizan, 1999) h. 131

16

Meskipun demikian bukan berarti pemikiran keislam di Indonesia berhenti sampai di situ, namun pemikiran keislaman terus mengisi ruang waktu sepanjang zaman.

E. Interaksi Islam dengan kultur dan politikBentuk interaksi Islam kultur dengan Islam politik, dalam

pandangan Taufik Abdullah tidak menghadapi tantangan yang besar. Meskipun dilihat dari ukuran apa saja, Islam adalah agama mayoritas dan dalam sejarah komunitas bangsa Indonesia yang multi etnis ini Islam secara konsisten telah menunjukkan diri sebagai kekuatan integratif paling besar dalam menentang dominasi kolonial, Indonesia walau bagaimana pun tidak dijadikan Negara Islam. Sejak dari awal, untuk keperluan praktis Republik Indonesia telah mendasarkan diri pada Pancasila, sebagai ideologi yang berdasarkan pada sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. 24

Menurut yang diutarakan Taufik Abdullah dalam menyorot tardisi berislam di Indonesia, ia melihat kata tradisi, pembaruan, dan pembentukan negara adalah tiga pokok pikiran, dalam mengamati interaksi Islam kultur dengan Islam Politik. Kemudian tiga tema tadi didekati melalui tiga persfektif yaitu: perspektif universal, konteks nasional, dan kondisi lokal. Setelah diamati secara seksama akhirnya melahirkan sebuah kesimpulan bahwa ketiga perspektif dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing tema. Ketegangan antara Islam universal dan Islam lokal, besar harapan dapat melebur menjadi suatu format wajah Islam. Di sini prinsip-prinsip suatu agama dunia yang tak dapat diubah, universal dan holistik, menghadapi atau dihadapi oleh proses pempribumian di mana Islam menghadapi dirinya sendiri, mengkontekstualkan diri, sehingga menjadi relevan dan bermakna bagi penduduk lokal.

24Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru Sketsa Wacana Islam Kontemporer”. Dalam Mark R. Woodward (ed). Jalan Baru Islam,, Terjemahan Ihsan Ali-Fauzi (Bandung: Mizan, 1998), 59.

17

Tradisi untuk mempertahankan hak hidup suatu bangsa merupakan bagian dari interaksi agama terhadap hak dasar manusia dalam tataran hidup kolektif, bila ditempa dengan semangat keagamaan, juga dapat menimbulkan kekuatan dahsyat untuk melakukan perubahan.. Contoh yang dapat digunakan untuk meyakinkan adalah perjuang Salahuddin al-Ayubi dalam sejarah Islam dan perjuangan panjang bangsa Yahudi untuk mempertahankan hak hidup mereka. Rabbi Yahudi seperti Barkochba memperbaharui arti kehadiran sebagai manusia beragama dalam bentuk yang mendasar, di hadapan persekusi para prokonsul Romawi yang menjajah dan menjarahi tanah air mereka.25 Tradisi puputan di Bali, untuk menolak kehinaan menjadi bangsa terjajah, tidak akan mungkin tumbuh jika tidak diberi motivasi oleh agama, sedangkan sekali ia menjadi tradisi maka ia merubah sama sekali arti ajaran agama yang ada sebelumnya, berarti juga mengubah pengertian para pemeluknya atas kehidupan.

Kehadiran Islam di beberapa tempat mendorong terjadinya perubahan pola kekuasaan dan melahirkan kesatuan-kesatuan politik Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan. Agama Islam juga membawa berbagai pandangan baru yang revolusioner untuk masa itu. Dapat dua hal yang amat penting di sini. Pertama, ialah sifat Islam sebagai agama egaliter radikal, yang antara lain berakibat pada penyudahan system kasta dalam masyarakat Hindu Nusantara dan penghentian praktek sati (keharusan seorang janda untuk terjun ke dalam api yang juga digunakan untuk membakar jenazah suaminya). Kedua, Agama Islam dengan kesadaran hukumnya yang amat kuat (kesadaran syari’at dalam makna sekundernya) telah melengkapi penduduk Nusantara, khususnya para pedagang, dengan system

25Abdurrahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial?” Sebuah Pengantar dalam Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), xii.

18

hukum yang berjangkauan internasional, yang mampu mendukung kegiatan perdagangan dalam konteks ekonomi global yang saat itu sedang berada dalam kekuasaan Islam.26

Tetapi, kekuasaan politik Islam di Nusantara belum pernah bisa mencapai kebesaran dan kehebatan sebagaimana yang ditunjukkan oleh kekuasan politik Budhisme Sriwijaya dan Hinduisme Majapahit. Apalagi tidak lama setelah Islam mulai hadir di Nusantara ini bangsa-bangsa Barat juga mulai berdatangan. Mula-mula agaknya mereka hanya bermaksud mengembangkan perdagangan sebagai kelanjutan dorongan Merkantilisme Eropa setelah perkenalan mereka dengan Dunia Islam. Tetapi kemudian ternyata mereka tidak cukup puas dengan hanya melakukan perdagangan, dan mulai melakukan praktek-praktek penjajahan dan imperalisme.

F. KesimpulanIslam yang hadir di Indonesia sepintas terkesan wajah lokal,

apabila dibanding dengan Islam Timur Tengah, namun setelah dikaji lebih dalam, ternyata hal itu menggambarkan keberhasilan Islam berinteraksi, sehingga peleburan Islam ke dalam tradisi lokal atau peleburan tradisi lokal ke dalam Islam. Meskipun Islam berada di tengah kondisi sosial yang beragam, tetap saja ia dapat tumbuh subur mewarnai kehidupan penganutnya. Kedinamisan Islam merupakan salah satu faktor menjadikan Islam sesuai dengan kondisi umat penganutnya, di mana pun mereka berada hingga sampai kapan pun. Kematangan dalam memberikan interpretasi terhadap Islam mampu melahirkan serangkaian konsep menjadikan Islam produktif.

Seiring dengan perkembangan pemikiran umat, Islam tidak kering-keringnya ditimba untuk dijadikan memenuhi seluruh kebutuhan yang diperlukan. Akhirnya sampai pada suatu kesimpulan

26Lihat Nurcholis Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), 17.

19

bahwa umat tidak perlu melepaskan agama dalam ruang kehidupan mereka, tetapi menghadirkan Islam dalam setiap langkah yang dituju adalah sebuah pilihan yang tepat.

Silih berganti istilah yang dilekatkan pada Islam sepanjang sejarah sosial suatu masyarakat, membuktikan tidak henti-hentinya Islam mempengaruhi kehidupan umat sebagai buah dari Interaksi Islam dengan kondisi sosial dan tradisi penganutnya. Maka sepantasnya keinginan menyeragamkan Islam dalam berbagai kawasan adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan, tetapi menghidupkan Islam penuh dengan keragaman, akan menjadi ia tumbuh dan mengakar dalam semua lapisan umat.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan ( Jakarta: Rosda, 1999)

----------------------, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos, 2003)

-----------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007)

-----------------------, “Prof DR. Hamka Pribadi Institusi MUI”. dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (eds), Tokoh dan Pemimpin Agama ; Biografi sosial-intelektual (Jakarta: Litbang Depag RI dan PPIM, 1998)

Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1996)

----------------------, School and Politic; The Kaum Muda Movement in West Sumatera Barat 1927-1933 (New York: Cornel University, 1971)

20

An-Nashir, Muhammad Hamid, Menjawab Modernisasi Islam: Membedah Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani Hingga Islam Liberal, Terj (Jakarta: Dar Haq, 2004)

Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. III

Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998)

Boulata, Issa J., Dekonstruksi Tradisi: Gelagar Pemikiran Arab Islam (Yogyakarta: LKiS, 2001)

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES , 1982)

Gevner, Ernest, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University, 1984)

Gunawan, Asep (ed), Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Priode Sejarah (Jakarta: Grafindo, 2004)

Geertz, Clifford, The Relegion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1960)

Gauhar, Altaf (ed), The Challenge of Islam (London: Islamic Council of Erope, 1978)

Husein, Thaha, Mustaqbal ath-Thaqafah fi Mis}r (Kairo< 1925)

Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987)

Hidayat, Komaruddin, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Noura Books, 2012)

Hamka, Falsafah Hidup (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994)

Hurgronje, Christiaan Snouck, Aceh, Rakyat, dan Adat Istiadatnya, (terj) (Jakarta: INIS, 1996)

---------------------------------------, Islam di Hindia Belanda, (terj) (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), cet. II.

Hasjmi, A. (peny), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-Maarif, 1989)

21

‘Iamarah, Muhammad, Perang Terminologi Islam Versus Barat ( Jakarta: Robbani Press, 1998)

Ismail, Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1996)

Koto, Alaiddin, Pemikiran Politik PERTI Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1945-1970 (Jakarta: Nimas Multima, 1997)

Kartanegara, Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006)

Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997)

Muzaffar, Chandra “Kebangkitan Kembali Islam: Tinjauan Global Dengan Ilustrasi dari Asia Tenggara” dalam Taufik Abdullah & Sharon Siddique (Ed), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1989)

Muzadi, A. Muhith, NU dan Fikih Kontekstual (Yogyakarta: LKPPSM, 1994)

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980)

Nasution, Harun, Pembaruan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)

Naim, Mochtar, “Mohammad Natsir dan Konsep Pendidikan Intergaral “. dalam Anwar Harjono, et-al, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996)

Nizar, Samsul, Seabad Buya Hamka: Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008)

Nafis, M. Wahyuni (ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Jakarta: Paramadina, 1996), 112.

Nasrun, M., Dasar Falsafah Adat Minangkabau, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971)

Raziq, Ali Abdul, al-Isla>m wa Us}ul al-Hukm (Kairo: 1925)

Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Inteligensia dan Prilaku Politik Bangsa Risalah Cendikiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1999)

22

Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1994)

Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung, 1984)

Pranowo, M. Bambang, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Alvabet, 2011)

Wahid, Abdurrahman, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial?” Sebuah Pengantar dalam Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987)

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996)

Zubaedi, Islam Benturan & Antarperadaban (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)

23