tax amnesty dan faktor penentu keberhasilannya

12
TAX AMNESTY DAN FAKTOR PENENTU KEBERHASILANNYA: PELAJARAN DARI BEBERAPA OTORITAS PAJAK Sekti Widihartanto, PhD & Herru Widiatmanti, S.E.,M.E. WORKING PAPER Tax Law Design and Policy Series No 1415, April 2016 WORKING PAPER

Upload: anu-au

Post on 03-Dec-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TAX AMNESTY DAN FAKTOR PENENTU

KEBERHASILANNYA: PELAJARAN DARI

BEBERAPA OTORITAS PAJAK

Sekti Widihartanto, PhD & Herru Widiatmanti, S.E.,M.E.

WORKING PAPERTax Law Design and Policy Series

No 1415, April 2016

WORKING PAPER

Disclaimer:

The information contained herein is of a general nature and is not intended to address the circumstances of any particular individual or entity. Although we endeavor to provide accurate and timely information, there can be no guarantee that such information is accurate as of the date received or that it will continue to be accurate in the future. The author’s views expressed in this Working Paper do not necessarily reflect of the views of DANNY DARUSSLAM Tax Center. Working Papers describe research in progress by the authors and are published to elicit comments and to further debate.

TABLE OF CONTENTS

TAX AMNESTY DAN FAKTOR PENENTU

KEBERHASILANNYA: PELAJARAN DARI

BEBERAPA OTORITAS PAJAK

Sekti Widihartanto, PhD & Herru Widiatmanti, S.E.,M.E.*1

Upaya mengoptimalkan penerimaan pajak dapat dilakukan melalui berbagai cara. Salah satu cara yang banyak ditempuh adalah melalui pemberlakuan program pengampunan pajak (PPP) atau tax amnesty program, yaitu sebuah program yang dilaksanakan dalam periode waktu tertentu untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak melunasi pajak terutang yang belum dibayar dan/atau pajak yang seharusnya terutang, dengan memberikan kompensasi berupa pembebasan dari sanksi (bunga maupun denda) dan tuntutan pidana (criminal prosecution).

Artikel ini disusun berdasarkan penelitian sekunder dengan mengambil sampel dari kasus-kasus penerapan PPP oleh beberapa otoritas pajak di dunia baik yang bersifat nasional maupun sub-nasional ini menggunakan metode review sistematis (systematic review) dari sejumlah artikel yang membahas PPP, dengan mengambil sampel di enam otoritas pajak (dua di tingkat nasional dan dua di tingat sub-nasional).

Penelitian menyimpulkan bahwa motivasi utama pemberlakuan PPP oleh hampir semua otoritas pajak adalah untuk mempersempit defisit anggaran melalui pemberian insentif berupa penurunan

* Sekti Widihartanto, PhD adalah pegawai CTO-Kemenkeu dan Herru Widiatmanti, S.E.,M.E. adalah Widyaiswara Pusdiklat Pajak.

tarif atau bahkan penghapusan sanksi administrasi dan tuntutan pidana. Agar PPP dapat memberikan dampak jangka panjang yang berkelanjutan maka sebuah PPP harus memenuhi persyarat bahwa ia harus dikombinaskikan dengan sebuah pendekatan baru dalam penegakan hukum yang lebih diperkuat (enhanced enforcement approaches) setelah periode pemberlakuan PPP berakhir. Tanpa terpenuhinya prasyarat ini maka sebuah program PPP, yang coba akan diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia, hanya akan menjadi macan ompong (teethless tiger) di mata wajib pajak, terutama yang selama ini memang memilih untuk tidak patuh (noncompliant taxpayers).

Tax Amnesty Program: Pengertian dan Perdebatan3Metode Penelitian4Keuntungan dan Kerugian dari Penerapan Tax Amnesty5Penerapan Tax Amnesty di Yuridiksi Sample6Bagaimana Agar PPP Efektif?8Bagaimana Pengaruh PPP terhadap Kepatuhan Pajak Jangka Panjang?9Kesimpulan dan Implikasi9

DDTC Working Paper 14163

1. Tax Amnesty Program: Pengertian dan Perdebatan

Sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan fiskalnya banyak pemerintah (baik di tingkat nasional maupun sub-nasional) berpaling pada tax amnesty program atau program pengampunan pajak (selanjutnya dalam artikel ini disingkat PPP). Dengan karakteristik demikian dapat dipahami bahwa motivasi utama dari hampir semua pemberlakuan PPP adalah untuk memenuhi target jangka pendek penerimaan negara. Alm (1998) menyebut program pengampunan pajak sebagai sebuah ‘controversial revenue tool’ (p.1). Sebagian kalangan bahkan meyakini bahwa keuntungan yang dihasilkan dari program ini tidak lebih baik dari dampak buruk yang dalam jangka panjang akan ditimbulkannya. ‘Tax amnesty: short-term solution with long-term problems’ tulis majalah online Governing (2013) dalam salah satu artikelnya. Smith (2003) bahkan menyebutkan bahwa pada sebuah PPP ‘hidden costs outweigh benefits’.

Program pengampunan pajak pada umumnya memperkenankan perorangan atau perusahaan untuk melunasi pajak yang belum dibayar dengan tidak menjadikannya sebagai subyek bagi sebagian atau seluruh pengenaan sanksi finansial atau pidana, sebagaimana pada umumnya diberlakukan pada suatu kasus penghindaran pajak (Alm 1998, p.1). Dengan definisi yang kurang-lebih serupa Angelini (1997, p.184) menambahkan bahwa PPP umumnya diberlakukan hanya sebagai satu kali kesempatan:

Tax amnesty can be defined as forgetting of tax penalties in exchange for the voluntary payment by the taxpayer of unassessed tax due in prior periods, which were the result of fraud or negligence […]. This is normally a one-time opportunity, after which the immunity will be withdrawn forever.

Program pengampunan pajak telah diberlakukan oleh banyak pemerintah baik di tingkat nasional maupun sub-nasional. Di tingkat nasional, misalnya, beberapa di negara Eropa, Amerika Latin, Asia, dan kawasan Pasifik telah memberlakukan program serupa (Alm 1998, p.1) (Tabel 1).Sedangkan di tingkat sub-nasional, dalam periode sembilan tahun dari 1981 hingga 1990 saja sudah 28 negara bagian di Amerika Serikat telah memberlakukan PPP (Dubin, Greatz, and Wilde 1992, p.1057).

Indonesia saat ini sedang dalam tahap pembahasan untuk memberlakukan program serupa dengan scope yang lebih luas daripada yang pernah diperkenalkan pada tahun 2008. Program yang diberlakukan di tahun 2008 dengan karateristik yang hampir sama, dikenal dengan nama generik Sunset Policy, penulis menyebutnya limited tax amnesty program mengingat scope pengampunannya yang terbatas, terutama karena aspek tuntutan pidana belum dimasukkan pada saat itu. Artikel ini tidak akan membahas mengenai PPP yang akan diberlakukan di Indonesia, namun lebih pada mencari karakter penting yang dapat dipelajari dari kebijakan serupa yang pernah diterapkan di yuridiksi lain di dunia.1

1 Ketika kata ‘yurisdiksi’ digunakan berarti dapat mengacu pada yurisdiksi setingkat negara (nation) atau negara bagian (sub-nation).

Table 1 - Daftar Negara yang Telah Menerapkan Tax Amnesty Program dan Periode Pemberlakuannya

Sub-nasional levelPeriode Waktu Nasional level *)

Negara-negara bagian ASIllinois (#1) Des ’81-Agt ‘82 Eropa

Idaho Nov ’82-Jan ‘83 Belgia

Missouri Jan ’83-Agt ‘83 Perancis

North Dakota Jan ’83-Okt ‘83 Irlandia

Massachusetts Okt ’83-Jan ‘83 Italia

Alabama Jan ’84-Apr ‘84 Swiss

Kansas Jan ’84-Sep ‘84 Amerika Latin

Oklahoma Jul ’84-Des ’84 Argentina

Minnesota Agt ’84-Okt ‘84 Bolivia

Illinois (#2) Okt ’84-Nov ‘84 Brasil

California Des ’84-Mar ‘85 Chile

New Mexico Agt ’85-Nov ‘85 Kolombia

DDTC Working Paper 14164

para pendukung program ini.

Kedua, peluang munculnya dampak psikologis buruk bagi wajib pajak yang selama ini masuk kategori patuh, yaitu jika mereka merasa diperlakukan tidak adil dibandingkan mereka yang tidak patuh; bukan tidak mungkin tingkat kepatuhan mereka justru akan menurun dalam jangka panjang.

Ketiga, jika masyarakat meyakini bahwa PPP bukanlah sebuah program ‘sekali kesempatan seumur hidup’, maka hal itu akan mengurangi tingkat kepatuhan mereka saat ini (current compliance) dengan harapan akan adanya program serupa di masa datang (Alm, Martinez-Vaquez, Wallace, 2009, p. 236-237).

Artikel ini mengulas mengenai pengalaman penerapan PPP di beberapa yuridiksi, baik di tingkat nasional (nations) maupun sub-nasional (states) terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan: (1) Bagaimana PPP diberlakukan di yuridiksi yang dijadikan sample? (2) Karakteristik apa yang harus dimiliki agar sebuah PPP dapat berhasil? (3) Bagaimana pengaruh PPP terhadap tingkat kepatuhan pajak jangka panjang?

2. Metode Penelitian

Artikel ini merupakan hasil penelitian sekunder dengan metode systematic analysis dari artikel-artikel yang dipilih secara tertuju (targeted) dari

Kalangan yang mendukung diberlakukannya PPP pada umumnya menekankan pada peluang adanya dampak singkat terhadap penerimaan (short-run revenue impact) mengingat masyarakat diharapkan akan mengambil keuntungan dari grace period yang diberikan untuk membayar pajak-pajak mereka (Alm, Martinez-Vaquez, and Wallace 2009, p. 236), khususnya karena adanya keuntungan dari pembebasan dari sanksi aministratif dan dari tuntutan pidana.

Kedua, para penganjur PPP juga berpendapat bahwa kepatuhan pajak dalam jangka panjang (dan dengan demikian penerimaan pajak di masa datang) akan meningkat jika PPP mendorong wajib pajak (perorangan atau korporasi) yang sebelumnya berada di luar sistem untuk berpartisipasi. Manfaat ini hanya dapat dicapai jika dan hanya jika program tersebut dibarengi dengan peningkatan layanan perpajakan, pendidikan mengenai tanggung jawab sebagai wajib pajak (termasuk haknya tentunya), sanksi yang lebih ketat pasca pemberlakuan PPP berakhir, dan yang tak kalah pentingnya adalah peningkatan anggaran untuk penegakan hukum (Alm, Martinez-Vaquez, and Wallace 2009, p. 236).

Sementara itu, kalangan yang mengkritisi kebijakan PPP berargumen bahwa, pertama, berdasarkan pengalaman empiris dari negara-negara (dan negara bagian) yang telah menerapkan PPP, dampak fiskal yang dihasilkan hampir semua relatif kecil. Mereka juga menyangsikan dampak fiskal jangka panjang yang digembar-gemborkan

South Carolina Sep ’85-Nov ‘85 Kosta Rika

Wisconsin Sep ’85-Nov ‘85 Ekuador

Colorado Sep ’85-Nov ‘85 Honduras

Lousiana (#1) Okt ’85-Des ‘85 Mexico

New York Nov ’85-Jan ‘86 Panama

Michigan Mei ’86-Jun ‘86 Peru

Iowa Sep ’86-Okt ‘86 Uruguay

West Virginia Okt ’86-Des ‘86 Asia

Rhode Island Okt ’86-Jan ‘86 India

Arkansas Sep ’87-Nov ‘87 Indonesia

Maryland Sep ’87-Nov ‘87 Malaysia

New Jersey Sep ’87-Agt ‘87 Pakistan

Louisiana (#2) Okt ’87-Des ‘87 Philipina

Kentucky Sep ’88-Des ‘88 Srilangka

North Carolina Sep ’89-Jan ‘90 Pacific

Virginia Jan ’90-Mar ‘90 Australia

Selandia Baru

Source: Dubin, Graetz, Wilde (1992, pp.1057-1058), Alm (1998, p.1) *) Tidak terdapat data yang cukup lengkap mengenai tahun berlakunya PPP di masing-masing negara

DDTC Working Paper 14165

sejumlah artikel yang membahas mengenai tax amnesty. Artikel dipilih dengan batasan-batasan sebagai berikut:

1. Periode penelitian tidak lebih lama dari tahun 1990.

2. Penelitian tidak sekedar membahas aspek kuantitatif dari sebuah PPP.

3. Penelitian mewakili yuridiksi di level nasional dan sub-nasional.Pembatasan periode waktu penelitian (bukan

periode pemberlakuan PPP) dimaksudkan agar hasil penelitian yang tercakup relatif relevan dengan kondisi sekarang. Kondisi ideal memang tidak lebih dari sepuluh tahun, namun jangka waktu 25 tahun kiranya masih dapat diterima. Dengan pembatasan jangka waktu ini dapat diperoleh efisiensi dalam penyeleksian artikel, mengingat sangat banyaknya artikel yang membahas topik tax amnesty karena sejarah panjang kebijakan ini. Sejarah mencatat kebijakan tax amnesty bahkan sudah diperkenalkan pertama kali 200 tahun Sebelum Masehi di Mesir (Baer and Le Borgne 2008).

Dengan sejarah panjang kebijakan PPP tersebut maka dapat dipahami jika sudah banyak artikel yang membahas mengenai PPP dan dari yang banyak tersebut, sebagian besar membahas aspek kuantitatif dari pemberlakuan PPP (lihat misalnya (Crane & Nourzad 1992; Young 1994; Alm & Rath 1998; Crane & Nourzad 1990; Kellner 2004; Lerman 1986). Penulis memilih untuk membatasi artikel yang membahas tidak sekedar aspek kuantitatif dari kebijakan PPP.

Kebijakan ini banyak diadopsi oleh pemerintah baik di scope nasional maupun sub-nasional. Dengan demikian penelitian terkait PPP pun ini dilakukan baik pada tataran nasional (misalnya Torgler et al. 2003; Alm et al. 2000; Martinez 1990) maupun sub-nasional (Parle and Hirlinger 1986; Christian, Gupta, and Young 2002; Young 1994; Mikesell 1986; Joulfaian 1988; Dubin, Graetz, and Wilde 1992)”container-title”:”The Journal of the American Taxation

Berdasarkan batasan tersebut maka dipilih sampel penerapan kebijakan di PPP untuk dua negara (India dan Rusia) dan dua negara bagian di Amerika (State of Colorado dan State of Massachusetts). Namun sebelumnya akan dibahas mengenai kerugian dan keuntungan dari pemberlakukan PPP.

3. Keuntungan dan Kerugian dari Penerapan Tax Amnesty

Seperti pada umumnya sebuah kebijakan, program pengampunan pajak atau tax amnesty program pun tidak luput dari pros dan cons terutama menyangkut pertanyaan mendasar apakah program tersebut benar-benar akan memberi manfaat jangka panjang yang diharapkan, atau justru akan mengakibatkan dampak negatif yang tidak diperkirakan sebelumnya. Lebih tegas lagi, apakah PPP hanya diorientasikan pada pencapaian target jangka pendek (short-term target) dalam rangka mempersempit defisit anggaran?

Tidak dipungkiri PPP akan memberikan manfaat (benefits) baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, apabila program tersebut direncanakan dan dikelola dengan baik. Salah satu manfaat dari pemberlakuan PPP adalah, pertama, menagih kembali pajak yang semula dianggap sulit (Leonard and Zeckhauser 1987). Konsekuensi dari kemampuan untuk menagih pajak yang sebelumnya sulit ditagih karena adanya pembebasan sanksi adalah pemerintah dapat meningkatkan penerimaan hanya dalam waktu singkat (J. Alm and Beck 1993; J. R. Alm, Martinez-Vazquez, and Wallace 2000; J. Alm and Rath 1998). Manfaat inilah yang mendasari alasan program ini banyak diadopsi oleh banyak pemerintahan (di tingkat nasinal atau sub-nasional) terutama ketika kebutuhan untuk menutup anggaran yang defisit sangat mendesak.

Namun demikian, pendapat bahwa PPP mampu memberikan manfaat pada peningkatan penerimaan dalam jangka pendek bukannya tanpa perdebatan. Banyak studi menunjukkan bahwa pada kenyataannya peningkatan penerimaan dari hasil PPP tidak sesignifikan yang diharapkan (misal Dubin, Graetz, and Wilde 1992). Program pengampunan pajak yang tidak efektif dalam meningkatkan penerimaan adalah apabila administrasi pajak belum memiliki kemampuan untuk mendeteksi mereka yang berada di luar sistem administrasi perpajakan (tax net) untuk berperan serta dalam program tersebut.

Potensi manfaat dari PPP lainnya adalah bahwa ia dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan sukarela (voluntary compliance) pasca pemberlakuannya, melalui perbaikan pencatatan dan administrasi perpajakan terhadap wajib pajak yang sebelumnya telah ada dalam tax net, namun jauh lebih penting dari itu adalah merka yang sebelumnya berada di luar sistem perpajakan. Melalui PPP otoritas pajak memiliki kesempatan untuk menjaring mereka yang selama ini tidak tersentuh sistem melalui pelaporan surat pemberitahuan pajak

DDTC Working Paper 14166

(tax return) mereka. Dengan laporan pajak ini otoritas pajak memiliki data baru dan/atau data yang telah diperbaiki. Kondisi ini secara teoritis dapat meningkatkan kepatuhan sukarela di masa mendatang (future compliance), terutama pada adanya keyakinan di benak wajib pajak bahwa mereka saat ini telah berada dalam sistem administrasi perpajakan.

Ketiga, sejalan dengan pandangan Leonard dan Zeckhauser (1987), kami berpendapat bahwa PPP akan membuat transisi menuju sebuah rezim penegakan hukum yang baru (new enforcement regime), misalnya rezim enforcement yang lebih ‘keras’, dipandang lebih fair. Hal ini terutama bagi wajib pajak yang karena kelalaiannya (negligence) tidak memenuhi kewajiban perpajakannya di masa lalu; bukan karena sengaja berlaku curang (fraud). Bagi wajib pajak kategori ini PPP memberikan semacam lembaran baru bagi mereka untuk mulai mentaati ketentuan perpajakan dengan memberikan pembebasan sanksi atas “dosa” masa lalunya. Di sisi lain mereka sadar bahwa sanksi yang lebih keras siap menanti jika setelah periode pemberlakuan PPP berakhir mereka masih tetap lalai atau bahkan sengaja menghindari kewajiban pajak.

Di samping manfaat sebagaimana diutarakan di atas, PPP juga memiliki dampak negatif yang melekat (inherent negative impacts). Dampak negatif ini terutama lebih bersifat psikologis daripada ekonomis (lihat misalnya Leonard dan Zeckhauser (1987), Nar (2015), dan Alm (1998)). Dampak negatif yang bersifat psikologis tersebut adalah: pertama, PPP sangat berpeluang untuk memunculkan kemarahan di kalangan wajib pajak yang selama ini telah merasa patuh (honest taxpayers). Kemarahan ini sangat mungkin tidak dimanifestasikan dalam tindakan destruktif, namun lebih pada menurunnya kepercayaan (trust) dari wajib pajak kategori ini kepada otoritas pajak atau pemerintah secara keseluruhan. Menurunnya kepercayaan kepada otoritas merupakan cikal bakal munculnya perilaku tidak patuh (non-compliance behaviour) (Cook and Cooper 2003; Braithwaite 1995). Dalam benak mereka akan muncul pernyataan kurang lebih seperti: “Untuk apa saya selama ini patuh, kalau toh mereka yang selama ini curang dengan tidak bayar pajak, pada akhirnya bisa membayar pajak dengan tarif lebih murah dan dibebaskan sanksinya”. Dalam jangka panjang kondisi psikologis di kalangan wajib pajak seperti ini akan sangat berpengaruh kepada tingkat kepatuhan kolektif jangka panjang (long-term tax compliance).

Kedua, bertolak belakang dengan yang pertama, dampak psikologis yang lain justru muncul dari kalangan wajib pajak yang mengambil

keuntungan dari diterapkannya PPP, terutama mereka yang selama ini memang penghindar pajak (tax avoiders). Pemberlakuan PPP, menurut Leonard dan Zeckhauser (1987) ‘undermines guilt from tax evasion’ (p.66). Wajib pajak yang di masa lalunya memang secara sengaja menghindari pajak akan meremehkan rasa bersalah dari tindakan mereka menghindari pajak di masa lalu karena adanya pengampunan ini. Sebagai sebuah ilustrasi, misalkan di sebuah negeri begitu banyak pencuri. Suatu ketika pemerintah negeri tersebut memberikan pengampunan atas kesalahan para pencuri tersebut. Dengan kebijakan tersebut para pencuri akan ‘meremehkan’ tindakan yang telah dilakukannya dan tidak melihatnya sebagai sebuah kesalahan.

Akhirnya, jika tidak dikelola dengan baik pasca pemberlakuannya PPP justru akan menurunkan tingkat kepatuhan sukarela pasca-PPP (post-amnesty voluntary compliance) (Alm 1998 dan Leonard dan Zeckhauser 1987). Mengapa demikian? Karena, sebagaima diungkap sebelumnya, wajib pajak yang sebelumnya memang patuh akan merasa diberlakukan tidak adil. Wajib Pajak yang tidak lagi terlalu merasa bersalah jika tidak patuh. Wajib Pajak yang baru terbuka matanya akan adanya sekelompok orang yang selama ini tidak membayar pajak. Wajib Pajak yang menyadari bahwa selama ini ternyata pemerintah tidak mampu menegakkan hukum pajak dengan baik sehingga banyak orang yang bisa menghindar.Terakhir, Wajib Pajak yang mengantisipasi akan adanya program serupa suatu saat di masa datang sehingga mereka menahan diri untuk patuh saat ini.

Keadaan tersebut di atas, baik yang positif maupun negatif, akan selalu muncul dari pemberlakuan PPP. Namun demikian, dampak negatif dapat diminimalisir sedemikian rupa jika sejumlah kondisi dapat terpenuhi sehingga menjadikan PPP efektif. Sebelum membahas bagaimana agar PPP yang diterapkan dapat efektif, akan dikaji terlebih dahulu bagaimana sample yuridiksi menerapkan PPP.

4. Penerapan Tax Amnesty di Yuridiksi Sample

Pembahasan mengenai bagaimana PPP diterapkan di beberapa sample mengikuti sistematika Alm (1998, pp.1-3), meliputi: kelayakan (eligibility), cakupan (coverage), bentuk insetif (incentives), dan jangka waktu (duration).

Kelayakan penerima pengampunan

Sebuah PPP secara spesifik kategori wajib pajak

DDTC Working Paper 14167

yang layak (eligible) untuk dapat berpartisipasi dalam program. Menurut standar praktek yang berlaku, sebuah PPP akan memberikan peluang bagi mereka (perorangan atau badan hukum) yang memiliki pajak yang belum dibayar untuk ikut serta dalam program, sepanjang kewajiban pajak tersebut berasal dari penghasilan belum diketahui oleh otoritas pajak (Alm, 1998).

Program amnesti juga membedakan mereka yang telah berada dalam sistem administrasi perpajakan (filers) dengan mereka yang belum (non-filers), dan mereka yang berdomisili di dalam negeri (domiciled residents) atau yang tengah berdomisili di luar negari (non-domiciled residents), atau apakah program mencakup wajib pajak yang memiliki utang pajak (disebut ‘known delinquents’ atau ‘account receivables’ ) (Alm 1998, pp.1-2).

Penentuan siapa saja yang layak mengikuti program ini penting untuk ditentukan secara spesifik agar tidak terjadi sengketa di belakang hari, terutama menyangkut siapa yang berhak dan tidak berhak mendapat amnesti. Lebih penting dari itu adalah untuk menghindari para ‘penumpang gelap’ (free rider) dari kebijakan ini

Selain State of Colorado, tiga sample yuridiksi lainnya hanya memberikan kesempatan kepada wajib pajak orang pribadi sebagai subyek pajak yang dapat memanfaatkan PPP. Dengan menjadikan korporasi sebagai subyek pajak yang eligible untuk mengikuti program amnesti, State of Colorado memberi peluang yang lebih luas dari sisi subyek pajak dibandingkan dengan sample yuridiksi yang lain.

Namun demikian, sebuah catatan penting dapat kita ambil darii yuridiksi yang tidak memberikan amnesti kepada korporasi adalah pemerintah dan otoritas pajak di yuridiksi tersebut ingin memberikan sebuah pesan bahwa bagi korporasi penghindaran pajak adalah tindakan yang tidak dapat ditolerir. Berbeda dengan individual yang terkadang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai perpajakan, korporasi memiliki sumber daya yang memadai untuk mengelola administrasi pajak perusahaan baik in-house maupun dengan menyewa konsultan. Dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak memahami aturan pajak yang menjadikan mereka lalai.

Cakupun pengampunan

Di samping “siapa” yang layak mendapatkan pengampunan, program amnesti juga harus secara spesifik mengatur jenis-jenis pajak “apa” saja yang akan termaktub dalam program.

Sebagai contoh, apakah PPP mencakup hanya pajak penghasilan (perorangan atau badan, atau keduanya), pajak pertambahan nilai atau pajak penjualan, dan pajak properti.

Berbeda dengan State of Massachusetts yang memberikan pengampunan kepada utang pajak yang tertunggak (tentunya berupa pengurangan sanksi), State of Colorado justru tidak menjadikan account receivable sebagai pajak yang bisa diberikan amnesti. India juga memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan taxable assets yang dibeli tahun sebelumnya dengan harga historis (Alm 1998, p.5), untuk kemudian dikenakan pajak.

Bentuk insentif

Kebijakan PPP harus juga menentukan batasan (threshold) dari jumlah pajak, bunga, atau denda yang akan diampuni. Di samping itu harus juga diperjelas apakah PPP mencakup juga pembebasan dari tuntutan hukum baik perdata maupun pidana.

Rusia memberikan insentif yang cukup luas tidak saja berupa tarif pajak yang lebih rendah untuk penghasilan yang belum dilaporkan, namun juga pembebasan dari tuntutan pidana dari aktivitas yang mungkin terkait dengan tindakan kriminal, demikian pula halnya dengan yuridiksi sample yang lain. Namun demikian, State of Massachusetts memberikan pengecualian kepada mereka yang telah diumumkan sebagai penunggak pajak dan hanya memberikan pengampunan terbatas (partial amnesty) (Leonard and Zeckhauser 1987, 67).

Jangka waktu pemberlakuan

Terakhir, program amnesti pajak harus dibatasi jangka waktu pemberlakuannya–umumnya tidak terlalu lama. Dengan analogi program diskon di toko-toko, PPP harus mampu mendorong publik memanfaatkan jangka waktu yang terbatas. State of Colorado termasuk singkat memberikan jangka waktu PPP (hanya tiga bulan, dari 16 September sampai dengan 15 November 1985), sementara Massachusetts empat bulan (17 Oktober 1983 sampai dengan 17 Januari 1984). India memberikan jangka waktu yang panjang yaitu enam bulan (Juli – Desember 1997). Periode yang lebih panjang diberikan oleh Rusia, hingga sepuluh bulan (Maret-Desember 2007).

Dari contoh beberapa yuridiksi tersebut pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa program amnesti hendaknya diberlakukan tidak lebih dari dua belas bulan, apalagi lebih. Jangka

DDTC Working Paper 14168

waktu yang lama hanya akan memberi kesan bahwa program tidak benar-benar serius–kesan yang sama muncul jika kita melihat program diskon di mall yang berlaku untuk jangka waktu yang sangat lama.

Selain jangka waktu pemberlakuan, PPP juga harus secara spesifik menentukan untuk periode kapan penghasilan (dan atau aset) yang belum dilaporkan atau pajak yang belum dibayar atasnya dapat diberikan amnesti. Rusia, misalnya, membatasi untuk penghasilan enam tahun ke belakang (2001-2006) dari saat amnesti diberlakukan (2007) yang dapat diberikan amnesti (J. R. Alm, Martinez-Vazquez, and Wallace 2000). Dalam kasus Rusia tujuan yang hendak dicapai oleh Pemerintah adalah untuk menarik kembali asset yang keluar dari negeri itu (capital outflow) pada beberapa tahun sebelumnya.

Dari beberapa contoh pemberlakuan PPP tersebut sebagian dikenal sebagai contoh sukses (success story), misalnya Massachusetts (Leonard and Zeckhauser 1987), India (J. Alm and Rath 1998), dan Colorado (J. Alm and Rath 1998), namun juga terdapat contoh program amnesti yang tidak berhasil yaitu Rusia (Alm, Martinez-Vazquez, and Wallace 2009). Bagian berikut akan membahas bagaimana agar PPP dapat berjalan efektif dan mengapa program tersebut dapat tidak berhasil seperti yang terjadi di Rusia

5. Bagaimana Agar PPP Efektif?

Banyak penelitian menyebutkan (J. Alm, McKee, and Beck 1990; Stella 1991; Christian, Gupta, and Young 2002; Parle and Hirlinger 1986; Joulfaian 1988; Pommerehne and Zweifel 1991) bahwa salah satu aspirasi yang mendasari pemberlakuan PPP di sebuah yuridiksi adalah kebutuhan akan tambahan penerimaan untuk menambal defisit anggaran. Orientasi jangka pendek inilah yang pada umumnya menjadikan PPP tidak dilihat sebagai sebuah bagian penting dari program reformasi perpajakan yang seharusnya memiliki orientasi jangka panjang.

Rusia merupakan contoh nyata bagaimana PPP semata diorientasikan pada peningkatan penerimaan. Dengan menempatkan PPP semata sebagai sebuah revenue-raising tool maka kita dapat dengan mudah memahami mengapa PPP di Rusia diberlakukan berulang-ulang (1993, 1996, 1997, 2000, dan 2007). Pemberlakuan PPP yang bukan lagi sebagai ‘a one-time opportunity’ (Angelini 1987) menjadikan program tersebut kehilangan kredibilitasnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, program amnesti tersebut kehilangan wibawanya di hadapan wajib pajak dan

publik secara keseluruhan. Publik akan menilai bahwa PPP hanyalah sebuah program reguler yang dapat sewaktu-waktu di masa yang akan datang diadakan kembali, bukan sebuah “kesempatan sekali seumur hidup”. Dengan demikian agar PPP memiliki integritas di mata publik landasan hukum yang memayungi program tersebut harus secara eksplisit menyatakan bahwa PPP hanya akan diberlakukan sekali. Smith (2003, p.1, penekanan ditambahkan penulis) menyatakan bahwa:

‘…the best amnesty programs are committed to the premise that they represent a one-time, never-to-be-repeated opportunity’.

Program amnesti yang diberlakukan di Colorado, Massachusetts dan India dapat dikatakan efektif karena ia dikaitkan dengan program reformasi perpajakan secara menyeluruh. Dimaksud demikian karena ia ditargetkan untuk meningkatkan kepatuhan jangka (long term compliance) dan tidak semata untuk mengejar peningkatan penerimaan jangka pendek (raising revenue in the short run).

Selanjutnya, terdapat kesamaan antara ketiga contoh success stories di atas untuk dapat memenuhi aspirasi bahwa PPP dapat meningkatkan kepatuhan pajak dalam jangka panjang. Kesamaan tersebut adalah bahwa program amnesti harus diikuti dengan sebuah perubahan nyata dalam rezim penegakan hukum (enforcement regime) dan biasanya rezim tersebut lebih keras (harsher enforcement regime) (Leonard and Zeckhauser 1987) dibandingkan sebelumnya.

Penerapan rezim penegakan hukum pasca pemberlakuan PPP menjadi elemen penting pada kampanye PPP itu sendiri. Sebagai makhluk ekonomi yang rasional, individu akan berhitung ulang jika akan mengindari pajak jika biaya yang ditimbulkannya (berupa sanksi, denda, bahkan hukuman penjara) lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh, dan itu hanya dapat dicapai melalui pola penegakan hukum yang lebih tegas dan keras. Sebagaimana diungkapkan Alm (1998, p.8).

An individual with unpaid tax liabilities has made the decision that the benefits of evasion (e.g., reduced taxes) exceed the costs (e.g., the risk of detection and punishment). It it was rational for the individual to evade taxes in the past, then in an unchanged environment it is rational for him to continue to evade taxes if a tax amnesty is enacted.

Penerapan sebuah rezim penegakan hukum yang lebih ketat pasca pemberlakuan PPP akan meyakinkan wajib pajak dan publik pada umumnya bahwa jika di masa depan mereka melakukan

DDTC Working Paper 14169

kesalahan yang sama maka sanksi yang mereka terima (misalnya berupa bunga atau denda) lebih tinggi, misalnya, akan mendorong wajib pajak untuk berpartisipasi dalam sebuah PPP.

Di samping itu, penerapan rezim penegakan hukum (enforcement regime) yang lebih ketat akan memberikan keuntungan jangka panjang (Leonard & Zeckhauser 1987) berupa kemampuan otoritas pajak untuk meningkatkan penagihan pajak secara substansial dari para penunggak pajak, dan yang terpenting adalah meningkatkanya kepatuhan sukarela (p.68). State of Massachusetts mengklaim bahwa dengan penerimaan yang mereka terima dari audit yang dilaksanakan setelah pemberlakukan pola penegakan hukum yang baru melebihi periode hal tersebut diberlakukan. Jumlah pelunasan utang pajak juga meningkat secara signifikan bahkan jika dibandingkan dengan penerimaan selama berlangsungnya amnesti.

Terakhir, elemen penting yang tak kalah pentingnya yang perlu mengiringi sebuah PPP adalah program edukasi yang menyeluruh kepada publik umumnya dan wajib pajak khususnya. Program edukasi yang dimaksud di sini khususnya memberikan penekanan bahwa PPP merupakan sebuah kesempatan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi di masa lalu yang tidak pernah akan terulang. Di samping itu, perlu juga diberikan pemahaman bahwa melalui PPP pemerintah dan otoritas pajak akan lebih memiliki data yang lengkap yang dapat dimanfaatkan untuk mengawasi kepatuhan pajak seseorang di masa datang.

Selanjutnya, perlu juga diberikan pemahaman kepada publik bahwa sebuah perubahan dalam sistem perpajakan (dan mungkin reorganisasi dalam adminsitrasi pajak) akan berlangsung pasca berlakunya PPP yang akan membuat sistem perpajakan berjalan lebih efektif dan administrasi pajak yang makin handal. Tanpa program edukasi yang baik, yang mengiringi sebuah PPP maka dapat dipastikan bahwa PPP itu sendiri akan berjalan kurang efektif karena ia tidak didukung oleh publik yang terinformasi dengan baik (well-informed). Yang terjadi selama ini adalah otoritas pajak terlalu fokus pada aspek teknis pelaksanaan PPP itu sendiri. Program sosialisasi yang dilaksanakan lebih menekankan pada aspek “bagaimana” wajib pajak atau publik berpartisipasi pada PPP, dan kurang pada aspek “mengapa” dan “bagaimana jika”.

6. Bagaimana Pengaruh PPP terhadap Kepatuhan Pajak Jangka Panjang?

Tidak dapat dipungkiri bahwa motivator utama pemberlakuan PPP oleh berbagai yuridiksi di dunia adalah keinginan untuk mendapatkan tambahan penerimaan pajak dalam waktu singkat. Namun demikian, PPP juga dapat seperti pedang bermata dua terhadap aspek kepatuhan jangka panjang (compliance in the long run). Di satu sisi, jika ia dirancang dan dikelola dengan baik, akan mampu meningkatkan kepatuhan jangka panjang dan –sebagai konsekuensi logisya–akan mampu meningkatkan penerimaan. Namun di sisi lain PPP justru akan berdampak sebaliknya.

Alm dan Beck (1993, p.53) menyinalir beberapa penyebab kepatuhan dalam jangka panjang pasca diberlakukannya PPP cenderung untuk menurun. Pertama, karena para wajib pajak jujur yang selama ini patuh membayar pajak memandang bahwa PPP sebagai kebijakan yang unfair yang diberikan kepada para wajib pajak yang telah berlaku curang.

Kedua, PPP akan berpeluang menurunkan tingkat kepatuhan jangka panjang karena publik berharap akan adanya amnesti lain di masa mendatang. Penerapan PPP di Rusia merupakan contoh nyata kondisi tersebut. Pemerintah kehilangan kredibilitasnya sehingga setiap kali PPP diberlakukan hanya memberikan dampak penerimaan yang tidak signifikan, apalagi terhadap tingkat kepatuhan.

Terakhir, meskipun publikasi akan adanya PPP sangat penting untuk menunjang keberhasilan program tersebut, kampanye yang masif menyadarkan publik akan keberadaan wajib pajak tidak patuh dan “kemudahan” yang diterima wajib pajak tidak patuh. Kondisi ini dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan dalam jangka panjang, jika pemerintah tidak menyertakan dalam kampanye PPP pengetahuan yang tepat mengenai PPP itu sendiri dan langkah kebijakan (policy actions) apa yang akan diberlakukan pasca PPP.

7. Kesimpulan dan Implikasi

Pilihan kebijakan untuk menerapkan program pengampunan pajak (tax amnesty) telah banyak dilakukan oleh banyak yuridiksi di dunia,baik di tingkat nasional maupun sub-nasional. Pada umumnya penerapan PPP dilatarbelakangi keinginan untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam rangka menutup defisit anggaran.

Agar PPP dapat berlangsung efektif, beberapa prasyarat harus dipenuhi. Prasyarat penting agar sebuah program pengampunan pajak memiliki

DDTC Working Paper 141610

dampak jangka panjang, tidak saja terhadap penerimaan namun jauh lebih penting adalah terhadap tingkat kepatuhan, adalah ia harus diikuti dengan perubahan terhadap sistem dan adminsitrasi perpajakan secara keselurhan, terutama pada aspek penegakan hukum (law enforcement). Sebuah rezim penegakan hukum yang lebih keras dari sebelumnya harus sudah disiapkan untuk menjaring mereka yang memilih untuk tidak patuh pasca berakhirnya PPP.

Prasyarat lainnya agar PPP berlangsung efektif adalah pemerintah harus memastikan secara sungguh-sungguh bahwa kebijakan pengampunan pajak yang akan diterapkan adalah “kebijakan pertama dan terakhir” (a one-time policy). Jika tidak demikian, maka pemerintah akan kehilangan kredibilitasnya di hadapan publik dan terutama di hadapan wajib pajak yang selama ini telah patuh. Contoh kasus penerapan PPP di Rusia memberikan pelajaran kepada kita (lessons learned) bahwa program pengampunan yang berulang hanya akan dipandang sebelah mata oleh publik dan kehilangan wibawanya di mata wajib pajak.

Agar efektif, sebuah kebijakan PPP juga harus direncanakan secara sungguh-sungguh, bukan saja terhadap pelaksanaan PPP-nya itu sendiri, namun jauh lebih penting adalah perencanaan yang baik terhadap kebijakan lain yang menyertainya pasca berakhirnya periode PPP. Kebijakan itu diantara pelayanan yang lebih baik kepada wajib pajak, pengelolaan data perpajakan yang efektif untuk memantau kepatuhan wajib pajak, organisasi administrasi perpajakan yang efisien, dan pendidikan kepada wajib pajak.

Pelayanan yang baik akan membuat wajib pajak yang patuh (choose to comply) akan dengan mudah melaksanakan kewajibannya. Teknologi informasi perpajakan yang membuat wajib pajak justri mengalami kesulitan untuk melaporkan SPT-nya secara on-line misalnya, akan menurunkan tingkat kepatuhan dalam jangka panjang.

Penerapan PPP akan memberikan otoritas pajak banyak informasi yang selama ini tidak dimiliki. Pengelolaan data perpajakan yang diperoleh selama berlangsungnya PPP dan pemanfaatannya yang baik dalam rangka pengawasan akan menjadikan PPP sebagai program yang memiliki dampak jangka panjang, utamanya pada aspek kepatuhan, karena wajib pajak meyakini bahwa otoritas pajak memiliki informasi yang lebih lengkap dibandingkan sebelumnya.

Di banyak yuridiksi, penerapan PPP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program reformasi perpajakan secara keselurahan. Termasuk di dalamnya adalah reorganisasi

administrasi perpajakan agar terbentuk adminsitrasi pajak yang efisien. Adminsitrasi pajak yang efisien merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai tingkat kepatuhan yang diinginkan. Reorganisasi adminsitrasi perpajakan bukanlah sesederhana pilihan untuk memilih bentuk organisasi otoritas pajak yang otonom, semi-otonom, dan sebagainya. Jauh lebih esensial daripada itu adalah bagaimana sebuah administrasi pajak dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagai pelaksana yang efektif dari kebijakan fiskal (fiscal policy) yang telah digariskan oleh Pemerintah.

DDTC Working Paper 141611

Referensi

Alm, James, and William Beck. 1993. “Tax Amnesties and Compliance in the Long Run: A Time Series Analysis.” National Tax Journal, 53–60.

Alm, James, Michael McKee, and William Beck. 1990. “Amazing Grace: Tax Amnesties and Compliance.” National Tax Journal, 23–37.

Alm, James, and David M. Rath. 1998. “Tax Policy Analysis: The Introduction of a Russian Tax Amnesty.” GSU Andrew Young School of Policy Studies Working Paper, no. 98-6. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=471321.

Alm, James R., Jorge Martinez-Vazquez, and Sally Wallace. 2000. “Tax Amnesties and Tax Collections in the Russian Federation.” In Proceedings. Annual Conference on Taxation and Minutes of the Annual Meeting of the National Tax Association, 93:239–47. JSTOR. http://www.jstor.org/stable/41950614.

Baer, Katherine, and Eric Le Borgne. 2008. Tax Amnesties: Theory, Trends, and Some Alternatives. Washington, D.C: Intl Monetary Fund.

Braithwaite, Valerie. 1995. “Games of Engagement: Postures within the Regulatory Community.” Law & Policy 17 (3): 225–55.

Christian, Charles W., Sanjay Gupta, and James C. Young. 2002. “Evidence on Subsequent Filing from the State of Michigan’s Income Tax Amnesty.” National Tax Journal, 703–21.

Cook, Karen S., and Robin M. Cooper. 2003. “Experimental Studies of Cooperation, Trust, and Social Exchange.” In Trust and Reciprocity: Interdisciplinary Lesson from Experimental Research, VI:209–44. The Russel Sage Foundation Series on Trust. New York: Russel Sage Foundation.

Crane, Stephen E., and Fouraz Nourzad. 1992. “Analyzing Income Tax Evasion Using Amnesty Data with Self-Selection Correction: The Case of the Michigan Tax Amnesty Program.” Why People Pay Taxes. Tax Compliance and Enforcement. The University of Michigan Press, Ann Arbor, 167–89.

Crane, Steven E., and Farrokh Nourzad. 1990. “Tax Rates and Tax Evasion: Evidence from California Amnesty Data.” National Tax Journal, 189–99.

Dubin, Jeffrey A., Michael J. Graetz, and Louis L. Wilde. 1992. “State Income Tax Amnesties: Causes.” The Quarterly Journal of Economics, 1057–70.

Joulfaian, David. 1988. “Participation in Tax Amnesties: Evidence from a State.” In Proceedings of the Annual Conference on Taxation Held under the Auspices of the National Tax Association-Tax Institute of America, 128–33. JSTOR. http://www.jstor.org/stable/42912201.

Kellner, Martin. 2004. “Tax Amnesty 2004/2005-An Appropriate Revenue Tool.” German LJ 5: 339.

Leonard, Dutch, and Richard J. Zeckhauser. 1987. “Amnesty, Enforcement, and Tax Policy,” November. http://www.hbs.edu/faculty/Pages/item.aspx?num=45860.

Lerman, Allen H. 1986. “Tax Amnesty: The Federal Perspective.” National Tax Journal 39 (3): 325–32.

Martinez, Leo P. 1990. “Federal Tax Amnesty: Crime and Punishment Revisited.” Va. Tax Rev. 10: 535.

Mikesell, John L. 1986. “Amnesties for State Tax Evaders: The Nature of and Response to Recent Programs.” National Tax Journal, 507–25.

Parle, William M., and Mike W. Hirlinger. 1986. “Evaluating the Use of Tax Amnesty by State Governments.” Public Administration Review, 246–55.

Pommerehne, Werner W., and Peter Zweifel. 1991. “Success of a Tax Amnesty: At the Polls, for the Fisc?” Public Choice 72 (2-3): 131–65.

Ross, Bonnie G. 1986. “Federal Tax Amnesty: Reflecting on the States’ Experiences.” The Tax Lawyer, 145–84.

Stella, Peter. 1991. “An Economic Analysis of Tax Amnesties.” Journal of Public Economics 46 (3): 383–400.

Torgler, Benno, Christoph A. Schaltegger, Markus Schaffner, and others. 2003. “Is Forgiveness Divine? A Cross-Culture Comparison of Tax Amnesties.” Swiss Journal of Economics and Statistics (SJES) 139 (III): 375–96.

Young, James C. 1994. “Factors Associated with Noncompliance: Evidence from the Michigan Tax Amnesty Program.” The Journal of the American Taxation Association 16 (2): 82.

DDTC Working Paper 141612

Indonesian Tax Firm, Worldwide Knowledge

Menara Satu Sentra Kelapa Gading5th Floor Unit #0501 & 6th Floor Unit #0601 - #0602 - #0606

Jl. Bulevar Kelapa Gading LA3 No. 1Summarecon, Kelapa Gading

Jakarta Utara 14240Indonesia

+62 21 2938 5758+62 21 2938 5759

www.dannydarussalam.comDDTC