tafsir adabi al-'ijtima'i

24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada abad ke-19 dunia Islam mengalami masa-masa suram, Bahkan terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Dan pada masa itulah muncul seorang pemimpin yang mengumandangkan seruan untuk membangkitkan umat Islam kembali, yaitu Jamaluddin al- Afghani. Murid pertamanya yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan. Maka dari itu lahirlah kitab-kitab tafsir yang sangat memberikan perhatian ummat, baik dari sisi-sisi maupun dari segi kajiannya. seperti nahwu, istilah- istilah dalam balaghah, bahasa dan lain-lain. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan kabar 1

Upload: independent

Post on 26-Feb-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada abad ke-19 dunia Islam mengalami masa-masa

suram, Bahkan terus-menerus merosot, terbelakang dan

banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi

pendudukan asing. Dan pada masa itulah muncul seorang

pemimpin yang mengumandangkan seruan untuk

membangkitkan umat Islam kembali, yaitu Jamaluddin al-

Afghani. Murid pertamanya yang mengikuti jejaknya ialah

Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan

dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia

menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan

modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak

bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta

apa yang bernama kemajuan.

Maka dari itu lahirlah kitab-kitab tafsir yang

sangat memberikan perhatian ummat, baik dari sisi-sisi

maupun dari segi kajiannya. seperti nahwu, istilah-

istilah dalam balaghah, bahasa dan lain-lain. Perhatian

pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan

al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai

dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang

bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan kabar

1

gembira. Oleh karena tafsir itu yang bermanfaat bagi

ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an

dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-

ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara

untuk  mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Corak ataupun model penafsiran tersebut dikenal

dengan nama al-Laun al-Adaby al-Ijtima’i. Dan salah

satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini adalah

tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua

tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu

Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.

Maka dari itu, dalam pembahasan kali ini pemakalah

akan mencoba memaparkan tafsir adabi ijtima’i, baik itu

dari mulai pengertian, latar blakang munculnya,

karakteristik, tokoh-tokoh, contoh penafsiran, serta

kelebihan dan kekurangan dari tafsir adabi ijtima’i,

semoga dapat bermanfaat dan menabah wawsan bagi para

pembaca sekalaian. Aamiin.

B. Rumusan Masalah

Guna untuk memahami latar blakang masalah di

atas, dan mempersempit/memperjelas materi yang

akan dibahas, maka disusunlah rumusan masalah

sebagai berikut:

2

1) Apa pengertian dari corak tafsir adabi

ijtima’i ?

2) Bagaimana latar belakang munculnya corak

penafsiran tersebut ?

3) Apa saja yang menjadi karakteristik dari

corak penafsiran tersebut?

4) Siapa sajakah tokoh yang menggunakan corak

penafsiran tersebut dalam penafsirannya ?

5) Apa kelebihan dan kekurangan dari corak

tafsir adabi ijtima’i ini ?

C. Tujuan Masalah

Dari rumusan masalah diatas dapat di pahami,

adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah

memberikan informasi mengenai:

1) Mengetahui pengertian dari corak tafsir adabi

ijtima’i.

2) Mengetahui latar belakang munculnya corak

penafsiran adabi ijtima’i.

3) Mengetahui karakteristik dari corak

penafsiran adabi ijtima’i ?

4) Mengetahui tokoh-tokoh yang menggunakan corak

penafsiran adabi ijtima’i dalam

penafsirannya.

3

5) Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari

corak tafsir adabi ijtim’i.

BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Corak Tafsir Adabi Ijtima’i

Kata al-Adaby, dilihat dari bentuknya termasuk masdhar

(infinitif) dari kata kerja Aduba, yang berarti sopan

santun, tatakrama dan sastera. Secara leksikal, kata

tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan

bagi seseotrang dalam bertingkah laku dalam

kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya.

oleh karena itu, istilah al-Adaby bisa diterjemahkan

secara budaya. Sedangkan kata al-Ijtima’i, yang berakar

pada huruf jim, mim, dan a’in, jama’a, bermakna menyatukan

sesuatu. Kata ini menjadi bentuk Ijtima’a, yang

melahirkan infinitif ijtima’, yang berarti banyak bergaul

dengan masyarakat , atau bisa diterjemahkan

kemasyarakatan. Jadi, secara Etimologis, Tafsir al-Adaby al-

Ijtima’iy adalah tafsir yang berorientasi pada sastera

budaya dan kemasyarakatan, yang oleh Mu’in salim

disebut tafsir dengan pendekatan Sosio-Kultural.

Sedangkan secara terminologis, tafsir al-adaby al-ijtima’iy

sebagai disebutkan oleh al-farmawy adalah corak tafsir

yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an

4

apada aspek ketelitian redaksinya, lalu menyusun

kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan

aspek-aspek petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan, serta

menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum

alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan

dunia.1

Corak tafsir Adabi Ijtima’i sebagai corak penafsiran

yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang

terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an

(balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas

dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat

al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di

alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat

memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin

secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara

universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh

al-Qur’an.2

Jadi, tafsir adaby ijtima’iy adalah tafsir yang menitik

berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan;

suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan

1 Supiana dan M. Karman. Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika,

2002), hlm. 316-317.

2 Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an(Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat) (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009), hlm. 108

5

ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian

redaksionalnya., kemudian menyusun kandungan ayat-

ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan

penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an-yakni

membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan

pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang

berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.3

B. Latar Belakang Munculnya Corak Tafsir Adabi

Ijtima’i

Mengenai latar belakang munculnya corak tafsir adabi

ijtimai pastilah tidak lepas dari tokoh pembaharu di

Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani.  Hal ini wajar

kiranya mengingat bahwa beliau adalah tokoh Islam yang

dianggap pertama kali bersikap tegas terhadap tantangan

modernitas, beliau menyatakan kembali kepada tradisi

Islam dengan cara yang sesuai untuk menjawab berbagai

problem penting yang muncul akibat “Barat” dengan klaim

modernitasnya yang semakin mengusik “Timur Tengah”

dengan tradisi Islam tradisionalnya. Tema besar yang

diperjuangkan Jamaluddin al-Afgani adalah bahwa Islam

merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menangkal

“Barat”. Pemikiran lain yang dimunculkan oleh

3 M. Quraish shihab, Studi KritisTafsir Al-Manar (Karya Muhammad Abduh dan M.Rasyid Ridha)(Bandung: Pustaka Hidayah., 1994), hlm.11.

6

Jamaluddin al-afgani adalah tentang adanya persamaan

antara pria dan wanita. Wanita dan pria sama dalam

pandangannya, keduanya mempunyai akal untuk berpikir.

Semangat pembaharuan jamaluddin al-Afgani yang

berangkat dari respon sosial politik itu diikuti oleh

para muridnya. Muhammad Abduh adalah salah satu murid

al-Afgani yang sejalan dengan pemikirannya dalam

mengadakan reformasi dengan cara menyadarkan umat akan

pentingnya mengusir penjajah, serta mengejar

ketertinggalan-ketertinggalan dunia Islam terhadap

dunia barat. Gerakan nyata dari reformasi keagamaan dan

politikal-Afgani dan Abduh adalah majalah al-Urwah al-

Wusqa yang mampu memberikan kesadaran kolektif terhadap

negara-negara Arab dan Islam lainnya untuk bangkit

menuju kemajuan dalam arti luas.4

Banyak ulama dan ilmuan Islam yang terpanggil dan

mengikuti jejak mereka, termasuk Muhammad Rasyid Ridha

yang telah menyaksikan penderitaan umat dan makin

merosotnya keadaan sosial keagamaan. Sehingga dari

kondisi sosial politik Timur Tengah tersebut,

dirumuskanlah Tafsir al-Manar  oleh Muhammad Abduh

beserta Rasyid Ridha. Disebutkan oleh Harun Nasution

dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam mengutip pendapat

4 Muhammad imrah, “Corak Tafsir Adabi Ijtima’i” dalam http://khazanahquranhadits.wordpress.com/2013/12/20/corak-tafsir-adabi-ijtimai, diakses tanggal 21 November 2014.

7

Muhammad Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-

Madaniah, menyebutkan bahwa “kondisi sebagian umat Islam

pada saat dituliskannya tafsir al-Manar itu adalah

kondisi jumud, statis dan tidak berkembang karena

tradisi Islam saat itu diwarnai oleh animisme dan

masyarakatnya enggan memakai akal”. Kondisi masyarakat

yang seperti itu diperparah oleh sistem pemerintahan

Mesir yang seolah sengaja membiarkan rakyat menjadi

bodoh.5

Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak

pembaharunya adalah memperbaiki sistem pendidikan

sebagai jantung umat Islam. Setelah munculnya putri-

putri Mesir yang terdidik dan terpelajar, baik dari

pendidikan lokal maupun pendidikan Barat, maka mulailah

ada gelombang-gelombang reformasi dan pembaharuan

sebagaimana yang diharapkan oleh Abduh. Dalam kondisi

politik dan masyarakat yang seperti itu, sebuah respon

politik yang belum pernah terjadi pada zaman mufassir

sebelumnya lahir. Majalah al-Manar yang nantinya menjadi

tafsir al-Manar ditulis dengan corak baru dalam tafsir

sebagai usaha menjawab tantangan zamannya. Corak tafsir

5 Dikutip dari Harun Nasution dalam Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan oleh Kukuh Budiman dalam skripsi Term Di’afan (Lemah) dalam Surat an-Nisa ayat 9 (Studi Tematik Kitab Tafsir al-Manar Karya Rasyid Ridha), Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hlm. 31-32.

8

yang dikembangkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha itu

kemudian dikenal corak adabi ijtima’i.

C. Karakteristik Corak Tafsir Adabi Ijtima’i

Adapun ciri dari corak adabi ijtima’i adalah

penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an,

penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan

redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk

menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum

alam yang berlaku dalam masyarakat. Dalam artian lain

bahwa memahami ayat dari segi balaghahnya untuk

kemudian difahami sesuai dengan makna yang dimaksud di

dalamnya dengan menggunakan bahasa yang mudah difahami

dan indah. Sehingga al-Qur’an dengan mudah difahami

oleh umat Islam dari kalangan manapun (bukan hanya

ulama) untuk dijadikan sebagai huda li al-nas, sebagaimana

yang merupakan fungsi utama dari al-Qur’an.6

D. Tokoh-Tokoh

Tokoh utama corak penafsiran ini sertayang berjasa

meletakan dasar-dasarnya adalad Syekh Muhammad Abduh,6 Muhammad imrah, “Corak Tafsir Adabi Ijtima’i” dalam http://khazanahquranhadits.wordpress.com/2013/12/20/corak-tafsir-adabi-ijtimai, diakses tanggal 21 November 2014.

9

yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus

sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan

dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad

Mustafa Al-Maraghi.

1). Biografi Syaikh Muhammad Abduh

Nama lengkap beliau adalah Syaikh Muhammad Abduh bin

Hasan Khairullah. Ia di lahirkan di desa Mahallat Nashr

di kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Ia

berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan

pula keturunan bangsawan. Namun ayahnya dikenal sebagai

orang terhormat yang suka memberi pertolongan.7

Muhammad Abduh hidup di dalam lingkungan keluarga

petani di pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya

mengelola pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh

ayahnya di tugaskan untuk menuntut ilmu pegetahuan.

Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin

juga ia sangat di cintai oleh ayah dan ibunya.

Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak

sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh kedesa lain.

Baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang

7 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 11.

10

menjenguk dan juga dikawinkannya Muhammad Abduh dalam

usia yang sangat muda pada tahun 1865, pada waktu itu

ia baru berusia 16 tahun.

Pendidikan Syekh Muhammad Abduh

Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke

Masjid Al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 km dari kairo)

untuk mempelajari Tajwid Al-Qur’an. Namun merasakan

sangat menjengkelkan, sehingga setelah dua tahun (tahun

1864) di sana, Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali

kedesanya dan bertani seperti saudara-saudara serta

kaum kerabatnya.8 Nah, waktu kembali kedesanya inilah

beliau di nikahkan.

Walaupun sudah menikah, akan tetapi ayahnya tetap

menyuruh putranya itu untuk blajar dan menuntut ilmu.

Namun muhammad abduh sudah bertekad untuk tidak

kembali. Muhammad Abduh lalu pergi kedesa Syibral Khit,

di desa inilah banyak paman dari pihak ayahnya yang

bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan

Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang

mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an dan menganut

Tasawuf Al-Syaidziliah. Pamannya berhasil mengubah

pandangan Muhammad Abduh yang semula seorang yang

8 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 12.

11

membenci ilmu pengetahuan menjadi seseorang

menggemarinya.

Dari Thantha, Muhammad Abduh menunju ke Kairo untuk

belajar di Al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Di

perguruan inilah Muhammad Abduh mengenal dengan sekian

banyak dengan dosen yang dikaguminya, antara lain.

Syaikh Hasan Al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab

filasafat karangan Ibnu Sina,

logikakaranganAristotelesdan lain sebagainya,

padahalkitab-kita btersebut tidak diajarkan di Al-Azha

rpad awaktu itu dan juga Muhammad Basyuni, seorang yang

banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra

bahasa, bukan melalui pengajaran bahasa melainkan

melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.9

Karya-Karya dalam Bidang Tafsir

Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang tafsir

terbilan gsedikit jika diukur dengan kemampuan tokoh

ini.Karya-karya tersebut adalah:

a) Tafsir Juz’ ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi

peganganpara guru mengaji di Marokko pada tahun

1321 H.

9 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 12-13.

12

b) Tafsir surah Wal-‘Ashr, karya ini berasal dari

kuliah atau pengajian-pengajian yang

disampaikannya dihadapan ulama dan pemuka-pemuka

masyarakat Al-Jazair.

c) Tafsir ayat-ayat surah An-Nisa’ : 77 dan 78, Al-

Haj : 52, 53, dan 54, dan Al-Ahzab : 37. Karya ini

dimaksudkan untuk membantah tanggapan-tanggapan

negatif terhadap Islam dan Nabinya.

d) Tafsir Al-Qur’an bermula dari Al-Fatihah sampai

dengan ayat 129 dari surah An-Nisa’ yang di

sampaikannya di Masjid Al-Azhar, kairo, sejak awal

Muharram 1317 H sampai dengan pertengahan Muharram

1323. Walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak

ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, namun ia

dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karena

muridnya (Rasyid Ridha) yang menulis kuliah-kuliah

tafsir menunjukkan artikel yang dibuatnya itu

kepada Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan

penambahan dan pengurangan satu atau beberapa

kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-

Manar.10

Ciri-Ciri Penafsiran Syekh Muhammad Abduh

10 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 20-21.

13

1) Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan

ayat-ayat yang serasi.

2) Ayat al-Qur’an bersifat umum.

3) Ayat al-Qur’an adalah sumber aqidah dan

hukum.

4) Penggunaan akal secara luas dalam memahami

ayat-ayat al-Qur’an.11

2. Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun,

suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada

27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang keturunan

bangsawan arab yang mempunyai garis keturunan langsung

dari sayyidina husain, putra Ali bin Abi Thalib dan

Fatimah putri Rasulullah SAW.

Gelar “sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar

yang biasa diberikan kepada semua garis keturunan

tersebut. Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya

sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta

menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal

dengan sebutan “syaikh”.12

11 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 26.12 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 59.

14

Dalam perjalanan pulang dari kota suez di mesir,

setelah mengantar pangeran Sa’ud Al-Faisal (yang

kemudian menjadi raja saudi arabia), mobil yang

dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita

geger otak. Selama dalam perjalanan, beliau hanya

membaca al-Qur’an, walau beliau telah sekian kali

muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari

oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat

dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman,

tepatnya pada 23 Jumadil-‘Ula 1354/22 Agustus 1935.

Pendidikan Muhammad Rasyid Ridha

Di samping orangtuanya sendiri, beliau belajar juga

ke sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di

taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika itu

dinamai al-kuttab, disana ia beliau diajarkan membaca

al-Qur’an, menulis dan dasar-dasar menghitung.

Setelah tamat beliau dikirim oleh orang tuanya ke

Tripoli (lebanon) untuk belajar di madrasah ibtidaiyyah

yang mengajarkan nahwu, shorof, aqidah, fiqih,

berhitung, dan ilmu bumi. Bahasa yang digunakan daerah

tersebut adalah bahasa turki, mengingat lebanaon itu

berada di bawah kekuasaan kerajaan ustmaniyyah.

Pada tahun 1299 H/1822 M, beliau pindah ke sekolah

islam negeri, yang merupakan sekolah terbaik pada saat

15

itu dengan bahasa arab sebagai bahasa pengantar, di

samping diajarkan pula bahasa turki dan prancis.

Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh ulama besar

syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Pada

tahun 1314 H/1897 M, syaikh al-jisr memberikan ijazah

kepada beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan

filsafat. Selain belajar pada  Syaikh Husain al-Jisr

beliau juga belajar pada guru yang lain,

diantaranya:Syaikh Mahmud Nasyabah, Syaikh Muhammad Al-

Qawijiy, Syaikh Abdul-Gani Ar-Rafi,Al-Ustadz Muhammad

Al-Husaini, danSyaikh muhammad kamil ar-rafi.13

Karya-Karya Ilmiah Muhammad Rasyid Ridha

Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa

Al-Rafi’iyah, Al-azhar dan al-manar dan masih banyak

lagi yang lainnya.

Ciri-ciri Pokok Tafsir Muhammad Rasyid Ridha

1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang

ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi SAW.

2. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan

ayat lain.

3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang

hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat

13 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 60-61.

16

pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada

penjelasan tentang petunjuk agama, yang menyangkut

argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-

problem yang berkembang.

4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan

redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat

ulama dalam bidang tersebut.

3. Pertemuan Muhammad Rasyid Ridha dengan Muhammad

Abduh

Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung

halamannya, baik melalui pengajian-pengajian untuk kaum

pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media

massa, muhammad abduh mempin pula gerkan pembaruan

Mesir.

Majalah al-urwah al-wutsqo yang di terbitkan oleh

jamaluddin al-afghani dan muhammad abduh di paris, yang

tersebar ke seluruh dunia islam, ikut juga dibaca oleh

muhammad rasyid ridha dan memberi pengaruh yang sangat

besar pada jiwanya, sehingga memberi pengaruh pada

sikap yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang

penuh semangat.

Pada awalnya usaha-usaha rasyid ridha hanya terbatas

pada usaha perbaikan aqidah dan syariah masyarakatnya

serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan

17

melakukan zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut

ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat

kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara

utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu

pengetahuan dan industri.

Pada tahun 1315 H/18 januari 1898  Rasyid Ridha

mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat

kabar yang memuat masalah-masalah sosial, budaya, dan

agama. Pada mulanya abduh tidak menyetujui gagasan ini,

karena pada saat itu di mesir sudah cukup banyak media

massa, apalagi persoalan yang akan diolah diduga kurang

menarik perhatian umum. Namun rasyid ridha menyatakan

tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian material

selama satu sampai dua tahun setelah penerbitan itu.

Akhirnya abduh merestui dan memilih al-manar dari

sekian banyak nama yang di usulkan oleh rasyid ridha.

Al-manar terbit pertama kali pada 22 syawal 1315 H/17

Maret 1898 M berupa mingguan sebanyak delapan halaman

dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya di mesir atau

negara-negara arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke

eropa bahkan ke indonesia.14

4. Contoh Tafsir Adabi Ijtima’i

14 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 63-64

18

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa tafsir-

tafsir sebelumnya menitikberatkan hanya pada pemaknaan

terhadap makna linguistik yang terdapat pada ayat,

namun penafsiran dalam corak tafsir adabi ijtimai ini

bukan lagi hanya mefokuskan pada pemaknaan linguistik,

tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan

aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman

sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap

sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun

al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya

bagi masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk

dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan

antara corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya.

Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran juz

Amma oleh Muhammad Abduh dalam QS. Al-Fiil: 3-4.

“Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-

bondong”. Kata ل ي� ب�� ا ب� ialah kawanan burung atau kuda dan أ�sebagainya yang masing-masing kelompok mengikuti

kelompok lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan ًرأ ي� ط������ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh

kecil ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata

ataupun tidak (3). “yang melempari mereka dengan batu-batu

dari tanah yang membatu”. Kata ل ي� ج� berasal س��������� dari bahasa

19

Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti

tanah yang membatu.15

Di dalam tafsir tersebut, Muhammad Abduh menjelaskan

bahwa lafadz ي�رأ tersebut merupakan dari jenis nyamuk ط������atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan

bahwa lafadh ارة� حج������� itu berasal dari tanah kering yang ب�bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel

di kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila tanah

bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun

itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan

menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan

rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh

itu.16

Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh

ini, lebih bersifat soaial masyarakat modern. Dalam

artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian

redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna

yang dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang

menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan

ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang

berlaku dalam masyarakat.

15 Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, terj.  Muhammad Bagir (Bandung:Mizan, 1998), hlm. 320.

16 Muhammad Abduh. Tafsir Juz Ama, terj. Muhammad Bagir, hlm. 322.

20

E. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Adabi Ijtima’i

Sebagaimana corak-corak tafsir yang ada, corak

tafsir adabi ijtima’i juga mempunyai kelebihan dan

kekurangan. Adapun kelebihannya adalah  dalam

menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan hanya terfokus

pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan

makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang ada,

juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi

perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak

berbelit, sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja

(bukan hanya ulama saja). Dalam tafsirannya, corak

tafsir adabi ijtima’i ini menganalogikan dengan sesuatu

berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu

pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat

dengan mudah ditangkap oleh pembaca/pendengarnya.

Sedangkan  sisi kekurangannya yaitu, terkadang

kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi

mufassir tinggal  ketika itu (bisa dikatakan bersifat

lokal). Sehingga bisa dipastikan bahwa penafsiran yang

bercorak adabi ijtima’i belum tentu sesuai dengan

keadaan yang ada pada masyarakat lain.

21

BAB III

PENUTUP

1.Kesimpulan

Tafsir adaby ijtima’iy adalah tafsir yang berorientasi

pada sastra, budaya dan kemasyarakatan, suatu corak

penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-

Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya.

kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu

redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama

turunnya al-Qur’an, yakni membawa petunjuk dalam

kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat

tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam

masyarakat dan pembangunan dunia.

Kemudian tokoh-tokoh yang berperan dalam kajian

tafsir adabi ijtima’i ini tidak terlepas dari para

tokoh-tokoh pembaharu di mesir yakni jamaluddin al-

Afghani, syekh Muhammad Abduh,Muhammd Rasyid Ridha dan

dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad

Mustafa Al-Maraghi. Adapun ciri dari corak adabi

ijtima’i adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat

al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat

22

dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya

untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-

hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.

2.Kritik dan Saran

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Demikianlah

makalah singkat tentang “Tafsir Adabi Ijtima’i (Sastera dan

Sosiologis)” yang dapat kami sampaikan, apabila terdapat

banyak kesalahan atau kekurangan di dalam penulisan

makalah ini, sudi kiranya kami (Penulis) mohon ma’af

yang sebesar-besarnya.

Dan kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya

dari para pembaca yang budiman sekalian yang bersifat

membangun demi kesempurnaan makalah ini dan untuk

penulisan makalah kami pada fase selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1998. Tafsir Juz Amma. terj.  Muhammad

Bagir. Bandung: Mizan.

Budiman, Kukuh. 2011. Dalam skripsi Term Di’afan (Lemah)

dalam Surat an-Nisa ayat 9 (Studi Tematik Kitab Tafsir al-Manar

Karya Rasyid Ridha). Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN

Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

23

Imrah, Muhammad. “Corak Tafsir Adabi Ijtima’i” dalam

http//khazanahquranhadits.Wordpress.com/2013/12/20/

corak-tafsir-adabi-ijtima’i, diakses tanggal 21

November 2014 pukul 22.10 WIB.

M. Karman, Supiana. 2002. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka

Islamika.

Shihab, M. Quraish. 20009. Membumikan al-Qur’an (Fungsi dan

Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat). Bandung: PT.

Mizan Pustaka.

-------1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Karya Muhammad Abduh

dan M.Rasyid Ridha). Bandung: Pustaka Hidayah.

24