tafsir adabi al-'ijtima'i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad ke-19 dunia Islam mengalami masa-masa
suram, Bahkan terus-menerus merosot, terbelakang dan
banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi
pendudukan asing. Dan pada masa itulah muncul seorang
pemimpin yang mengumandangkan seruan untuk
membangkitkan umat Islam kembali, yaitu Jamaluddin al-
Afghani. Murid pertamanya yang mengikuti jejaknya ialah
Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan
dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia
menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan
modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak
bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta
apa yang bernama kemajuan.
Maka dari itu lahirlah kitab-kitab tafsir yang
sangat memberikan perhatian ummat, baik dari sisi-sisi
maupun dari segi kajiannya. seperti nahwu, istilah-
istilah dalam balaghah, bahasa dan lain-lain. Perhatian
pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan
al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai
dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang
bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan kabar
1
gembira. Oleh karena tafsir itu yang bermanfaat bagi
ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an
dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-
ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Corak ataupun model penafsiran tersebut dikenal
dengan nama al-Laun al-Adaby al-Ijtima’i. Dan salah
satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini adalah
tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua
tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu
Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
Maka dari itu, dalam pembahasan kali ini pemakalah
akan mencoba memaparkan tafsir adabi ijtima’i, baik itu
dari mulai pengertian, latar blakang munculnya,
karakteristik, tokoh-tokoh, contoh penafsiran, serta
kelebihan dan kekurangan dari tafsir adabi ijtima’i,
semoga dapat bermanfaat dan menabah wawsan bagi para
pembaca sekalaian. Aamiin.
B. Rumusan Masalah
Guna untuk memahami latar blakang masalah di
atas, dan mempersempit/memperjelas materi yang
akan dibahas, maka disusunlah rumusan masalah
sebagai berikut:
2
1) Apa pengertian dari corak tafsir adabi
ijtima’i ?
2) Bagaimana latar belakang munculnya corak
penafsiran tersebut ?
3) Apa saja yang menjadi karakteristik dari
corak penafsiran tersebut?
4) Siapa sajakah tokoh yang menggunakan corak
penafsiran tersebut dalam penafsirannya ?
5) Apa kelebihan dan kekurangan dari corak
tafsir adabi ijtima’i ini ?
C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah diatas dapat di pahami,
adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
memberikan informasi mengenai:
1) Mengetahui pengertian dari corak tafsir adabi
ijtima’i.
2) Mengetahui latar belakang munculnya corak
penafsiran adabi ijtima’i.
3) Mengetahui karakteristik dari corak
penafsiran adabi ijtima’i ?
4) Mengetahui tokoh-tokoh yang menggunakan corak
penafsiran adabi ijtima’i dalam
penafsirannya.
3
5) Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari
corak tafsir adabi ijtim’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Corak Tafsir Adabi Ijtima’i
Kata al-Adaby, dilihat dari bentuknya termasuk masdhar
(infinitif) dari kata kerja Aduba, yang berarti sopan
santun, tatakrama dan sastera. Secara leksikal, kata
tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan
bagi seseotrang dalam bertingkah laku dalam
kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya.
oleh karena itu, istilah al-Adaby bisa diterjemahkan
secara budaya. Sedangkan kata al-Ijtima’i, yang berakar
pada huruf jim, mim, dan a’in, jama’a, bermakna menyatukan
sesuatu. Kata ini menjadi bentuk Ijtima’a, yang
melahirkan infinitif ijtima’, yang berarti banyak bergaul
dengan masyarakat , atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan. Jadi, secara Etimologis, Tafsir al-Adaby al-
Ijtima’iy adalah tafsir yang berorientasi pada sastera
budaya dan kemasyarakatan, yang oleh Mu’in salim
disebut tafsir dengan pendekatan Sosio-Kultural.
Sedangkan secara terminologis, tafsir al-adaby al-ijtima’iy
sebagai disebutkan oleh al-farmawy adalah corak tafsir
yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an
4
apada aspek ketelitian redaksinya, lalu menyusun
kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan
aspek-aspek petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan, serta
menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan
dunia.1
Corak tafsir Adabi Ijtima’i sebagai corak penafsiran
yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang
terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an
(balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas
dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat
al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di
alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat
memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin
secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara
universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh
al-Qur’an.2
Jadi, tafsir adaby ijtima’iy adalah tafsir yang menitik
berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan;
suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan
1 Supiana dan M. Karman. Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika,
2002), hlm. 316-317.
2 Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an(Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat) (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009), hlm. 108
5
ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian
redaksionalnya., kemudian menyusun kandungan ayat-
ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan
penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an-yakni
membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan
pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.3
B. Latar Belakang Munculnya Corak Tafsir Adabi
Ijtima’i
Mengenai latar belakang munculnya corak tafsir adabi
ijtimai pastilah tidak lepas dari tokoh pembaharu di
Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani. Hal ini wajar
kiranya mengingat bahwa beliau adalah tokoh Islam yang
dianggap pertama kali bersikap tegas terhadap tantangan
modernitas, beliau menyatakan kembali kepada tradisi
Islam dengan cara yang sesuai untuk menjawab berbagai
problem penting yang muncul akibat “Barat” dengan klaim
modernitasnya yang semakin mengusik “Timur Tengah”
dengan tradisi Islam tradisionalnya. Tema besar yang
diperjuangkan Jamaluddin al-Afgani adalah bahwa Islam
merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menangkal
“Barat”. Pemikiran lain yang dimunculkan oleh
3 M. Quraish shihab, Studi KritisTafsir Al-Manar (Karya Muhammad Abduh dan M.Rasyid Ridha)(Bandung: Pustaka Hidayah., 1994), hlm.11.
6
Jamaluddin al-afgani adalah tentang adanya persamaan
antara pria dan wanita. Wanita dan pria sama dalam
pandangannya, keduanya mempunyai akal untuk berpikir.
Semangat pembaharuan jamaluddin al-Afgani yang
berangkat dari respon sosial politik itu diikuti oleh
para muridnya. Muhammad Abduh adalah salah satu murid
al-Afgani yang sejalan dengan pemikirannya dalam
mengadakan reformasi dengan cara menyadarkan umat akan
pentingnya mengusir penjajah, serta mengejar
ketertinggalan-ketertinggalan dunia Islam terhadap
dunia barat. Gerakan nyata dari reformasi keagamaan dan
politikal-Afgani dan Abduh adalah majalah al-Urwah al-
Wusqa yang mampu memberikan kesadaran kolektif terhadap
negara-negara Arab dan Islam lainnya untuk bangkit
menuju kemajuan dalam arti luas.4
Banyak ulama dan ilmuan Islam yang terpanggil dan
mengikuti jejak mereka, termasuk Muhammad Rasyid Ridha
yang telah menyaksikan penderitaan umat dan makin
merosotnya keadaan sosial keagamaan. Sehingga dari
kondisi sosial politik Timur Tengah tersebut,
dirumuskanlah Tafsir al-Manar oleh Muhammad Abduh
beserta Rasyid Ridha. Disebutkan oleh Harun Nasution
dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam mengutip pendapat
4 Muhammad imrah, “Corak Tafsir Adabi Ijtima’i” dalam http://khazanahquranhadits.wordpress.com/2013/12/20/corak-tafsir-adabi-ijtimai, diakses tanggal 21 November 2014.
7
Muhammad Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-
Madaniah, menyebutkan bahwa “kondisi sebagian umat Islam
pada saat dituliskannya tafsir al-Manar itu adalah
kondisi jumud, statis dan tidak berkembang karena
tradisi Islam saat itu diwarnai oleh animisme dan
masyarakatnya enggan memakai akal”. Kondisi masyarakat
yang seperti itu diperparah oleh sistem pemerintahan
Mesir yang seolah sengaja membiarkan rakyat menjadi
bodoh.5
Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak
pembaharunya adalah memperbaiki sistem pendidikan
sebagai jantung umat Islam. Setelah munculnya putri-
putri Mesir yang terdidik dan terpelajar, baik dari
pendidikan lokal maupun pendidikan Barat, maka mulailah
ada gelombang-gelombang reformasi dan pembaharuan
sebagaimana yang diharapkan oleh Abduh. Dalam kondisi
politik dan masyarakat yang seperti itu, sebuah respon
politik yang belum pernah terjadi pada zaman mufassir
sebelumnya lahir. Majalah al-Manar yang nantinya menjadi
tafsir al-Manar ditulis dengan corak baru dalam tafsir
sebagai usaha menjawab tantangan zamannya. Corak tafsir
5 Dikutip dari Harun Nasution dalam Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan oleh Kukuh Budiman dalam skripsi Term Di’afan (Lemah) dalam Surat an-Nisa ayat 9 (Studi Tematik Kitab Tafsir al-Manar Karya Rasyid Ridha), Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hlm. 31-32.
8
yang dikembangkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha itu
kemudian dikenal corak adabi ijtima’i.
C. Karakteristik Corak Tafsir Adabi Ijtima’i
Adapun ciri dari corak adabi ijtima’i adalah
penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an,
penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan
redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk
menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat. Dalam artian lain
bahwa memahami ayat dari segi balaghahnya untuk
kemudian difahami sesuai dengan makna yang dimaksud di
dalamnya dengan menggunakan bahasa yang mudah difahami
dan indah. Sehingga al-Qur’an dengan mudah difahami
oleh umat Islam dari kalangan manapun (bukan hanya
ulama) untuk dijadikan sebagai huda li al-nas, sebagaimana
yang merupakan fungsi utama dari al-Qur’an.6
D. Tokoh-Tokoh
Tokoh utama corak penafsiran ini sertayang berjasa
meletakan dasar-dasarnya adalad Syekh Muhammad Abduh,6 Muhammad imrah, “Corak Tafsir Adabi Ijtima’i” dalam http://khazanahquranhadits.wordpress.com/2013/12/20/corak-tafsir-adabi-ijtimai, diakses tanggal 21 November 2014.
9
yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus
sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan
dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad
Mustafa Al-Maraghi.
1). Biografi Syaikh Muhammad Abduh
Nama lengkap beliau adalah Syaikh Muhammad Abduh bin
Hasan Khairullah. Ia di lahirkan di desa Mahallat Nashr
di kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Ia
berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan
pula keturunan bangsawan. Namun ayahnya dikenal sebagai
orang terhormat yang suka memberi pertolongan.7
Muhammad Abduh hidup di dalam lingkungan keluarga
petani di pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya
mengelola pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh
ayahnya di tugaskan untuk menuntut ilmu pegetahuan.
Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin
juga ia sangat di cintai oleh ayah dan ibunya.
Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak
sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh kedesa lain.
Baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang
7 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 11.
10
menjenguk dan juga dikawinkannya Muhammad Abduh dalam
usia yang sangat muda pada tahun 1865, pada waktu itu
ia baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Syekh Muhammad Abduh
Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke
Masjid Al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 km dari kairo)
untuk mempelajari Tajwid Al-Qur’an. Namun merasakan
sangat menjengkelkan, sehingga setelah dua tahun (tahun
1864) di sana, Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali
kedesanya dan bertani seperti saudara-saudara serta
kaum kerabatnya.8 Nah, waktu kembali kedesanya inilah
beliau di nikahkan.
Walaupun sudah menikah, akan tetapi ayahnya tetap
menyuruh putranya itu untuk blajar dan menuntut ilmu.
Namun muhammad abduh sudah bertekad untuk tidak
kembali. Muhammad Abduh lalu pergi kedesa Syibral Khit,
di desa inilah banyak paman dari pihak ayahnya yang
bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan
Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang
mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an dan menganut
Tasawuf Al-Syaidziliah. Pamannya berhasil mengubah
pandangan Muhammad Abduh yang semula seorang yang
8 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 12.
11
membenci ilmu pengetahuan menjadi seseorang
menggemarinya.
Dari Thantha, Muhammad Abduh menunju ke Kairo untuk
belajar di Al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Di
perguruan inilah Muhammad Abduh mengenal dengan sekian
banyak dengan dosen yang dikaguminya, antara lain.
Syaikh Hasan Al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab
filasafat karangan Ibnu Sina,
logikakaranganAristotelesdan lain sebagainya,
padahalkitab-kita btersebut tidak diajarkan di Al-Azha
rpad awaktu itu dan juga Muhammad Basyuni, seorang yang
banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra
bahasa, bukan melalui pengajaran bahasa melainkan
melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.9
Karya-Karya dalam Bidang Tafsir
Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang tafsir
terbilan gsedikit jika diukur dengan kemampuan tokoh
ini.Karya-karya tersebut adalah:
a) Tafsir Juz’ ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi
peganganpara guru mengaji di Marokko pada tahun
1321 H.
9 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 12-13.
12
b) Tafsir surah Wal-‘Ashr, karya ini berasal dari
kuliah atau pengajian-pengajian yang
disampaikannya dihadapan ulama dan pemuka-pemuka
masyarakat Al-Jazair.
c) Tafsir ayat-ayat surah An-Nisa’ : 77 dan 78, Al-
Haj : 52, 53, dan 54, dan Al-Ahzab : 37. Karya ini
dimaksudkan untuk membantah tanggapan-tanggapan
negatif terhadap Islam dan Nabinya.
d) Tafsir Al-Qur’an bermula dari Al-Fatihah sampai
dengan ayat 129 dari surah An-Nisa’ yang di
sampaikannya di Masjid Al-Azhar, kairo, sejak awal
Muharram 1317 H sampai dengan pertengahan Muharram
1323. Walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak
ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, namun ia
dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karena
muridnya (Rasyid Ridha) yang menulis kuliah-kuliah
tafsir menunjukkan artikel yang dibuatnya itu
kepada Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan
penambahan dan pengurangan satu atau beberapa
kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-
Manar.10
Ciri-Ciri Penafsiran Syekh Muhammad Abduh
10 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 20-21.
13
1) Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan
ayat-ayat yang serasi.
2) Ayat al-Qur’an bersifat umum.
3) Ayat al-Qur’an adalah sumber aqidah dan
hukum.
4) Penggunaan akal secara luas dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an.11
2. Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun,
suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada
27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang keturunan
bangsawan arab yang mempunyai garis keturunan langsung
dari sayyidina husain, putra Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah putri Rasulullah SAW.
Gelar “sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar
yang biasa diberikan kepada semua garis keturunan
tersebut. Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya
sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta
menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal
dengan sebutan “syaikh”.12
11 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 26.12 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 59.
14
Dalam perjalanan pulang dari kota suez di mesir,
setelah mengantar pangeran Sa’ud Al-Faisal (yang
kemudian menjadi raja saudi arabia), mobil yang
dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita
geger otak. Selama dalam perjalanan, beliau hanya
membaca al-Qur’an, walau beliau telah sekian kali
muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari
oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat
dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman,
tepatnya pada 23 Jumadil-‘Ula 1354/22 Agustus 1935.
Pendidikan Muhammad Rasyid Ridha
Di samping orangtuanya sendiri, beliau belajar juga
ke sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di
taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika itu
dinamai al-kuttab, disana ia beliau diajarkan membaca
al-Qur’an, menulis dan dasar-dasar menghitung.
Setelah tamat beliau dikirim oleh orang tuanya ke
Tripoli (lebanon) untuk belajar di madrasah ibtidaiyyah
yang mengajarkan nahwu, shorof, aqidah, fiqih,
berhitung, dan ilmu bumi. Bahasa yang digunakan daerah
tersebut adalah bahasa turki, mengingat lebanaon itu
berada di bawah kekuasaan kerajaan ustmaniyyah.
Pada tahun 1299 H/1822 M, beliau pindah ke sekolah
islam negeri, yang merupakan sekolah terbaik pada saat
15
itu dengan bahasa arab sebagai bahasa pengantar, di
samping diajarkan pula bahasa turki dan prancis.
Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh ulama besar
syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Pada
tahun 1314 H/1897 M, syaikh al-jisr memberikan ijazah
kepada beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan
filsafat. Selain belajar pada Syaikh Husain al-Jisr
beliau juga belajar pada guru yang lain,
diantaranya:Syaikh Mahmud Nasyabah, Syaikh Muhammad Al-
Qawijiy, Syaikh Abdul-Gani Ar-Rafi,Al-Ustadz Muhammad
Al-Husaini, danSyaikh muhammad kamil ar-rafi.13
Karya-Karya Ilmiah Muhammad Rasyid Ridha
Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa
Al-Rafi’iyah, Al-azhar dan al-manar dan masih banyak
lagi yang lainnya.
Ciri-ciri Pokok Tafsir Muhammad Rasyid Ridha
1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang
ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi SAW.
2. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan
ayat lain.
3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang
hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
13 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 60-61.
16
pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada
penjelasan tentang petunjuk agama, yang menyangkut
argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-
problem yang berkembang.
4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan
redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat
ulama dalam bidang tersebut.
3. Pertemuan Muhammad Rasyid Ridha dengan Muhammad
Abduh
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung
halamannya, baik melalui pengajian-pengajian untuk kaum
pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media
massa, muhammad abduh mempin pula gerkan pembaruan
Mesir.
Majalah al-urwah al-wutsqo yang di terbitkan oleh
jamaluddin al-afghani dan muhammad abduh di paris, yang
tersebar ke seluruh dunia islam, ikut juga dibaca oleh
muhammad rasyid ridha dan memberi pengaruh yang sangat
besar pada jiwanya, sehingga memberi pengaruh pada
sikap yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang
penuh semangat.
Pada awalnya usaha-usaha rasyid ridha hanya terbatas
pada usaha perbaikan aqidah dan syariah masyarakatnya
serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan
17
melakukan zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut
ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat
kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara
utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu
pengetahuan dan industri.
Pada tahun 1315 H/18 januari 1898 Rasyid Ridha
mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat
kabar yang memuat masalah-masalah sosial, budaya, dan
agama. Pada mulanya abduh tidak menyetujui gagasan ini,
karena pada saat itu di mesir sudah cukup banyak media
massa, apalagi persoalan yang akan diolah diduga kurang
menarik perhatian umum. Namun rasyid ridha menyatakan
tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian material
selama satu sampai dua tahun setelah penerbitan itu.
Akhirnya abduh merestui dan memilih al-manar dari
sekian banyak nama yang di usulkan oleh rasyid ridha.
Al-manar terbit pertama kali pada 22 syawal 1315 H/17
Maret 1898 M berupa mingguan sebanyak delapan halaman
dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya di mesir atau
negara-negara arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke
eropa bahkan ke indonesia.14
4. Contoh Tafsir Adabi Ijtima’i
14 M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 63-64
18
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa tafsir-
tafsir sebelumnya menitikberatkan hanya pada pemaknaan
terhadap makna linguistik yang terdapat pada ayat,
namun penafsiran dalam corak tafsir adabi ijtimai ini
bukan lagi hanya mefokuskan pada pemaknaan linguistik,
tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan
aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman
sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap
sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun
al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya
bagi masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk
dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan
antara corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran juz
Amma oleh Muhammad Abduh dalam QS. Al-Fiil: 3-4.
“Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-
bondong”. Kata ل ي� ب�� ا ب� ialah kawanan burung atau kuda dan أ�sebagainya yang masing-masing kelompok mengikuti
kelompok lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan ًرأ ي� ط������ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh
kecil ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata
ataupun tidak (3). “yang melempari mereka dengan batu-batu
dari tanah yang membatu”. Kata ل ي� ج� berasal س��������� dari bahasa
19
Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti
tanah yang membatu.15
Di dalam tafsir tersebut, Muhammad Abduh menjelaskan
bahwa lafadz ي�رأ tersebut merupakan dari jenis nyamuk ط������atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan
bahwa lafadh ارة� حج������� itu berasal dari tanah kering yang ب�bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel
di kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila tanah
bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun
itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan
menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan
rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh
itu.16
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh
ini, lebih bersifat soaial masyarakat modern. Dalam
artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian
redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna
yang dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang
menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat.
15 Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, terj. Muhammad Bagir (Bandung:Mizan, 1998), hlm. 320.
16 Muhammad Abduh. Tafsir Juz Ama, terj. Muhammad Bagir, hlm. 322.
20
E. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Adabi Ijtima’i
Sebagaimana corak-corak tafsir yang ada, corak
tafsir adabi ijtima’i juga mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Adapun kelebihannya adalah dalam
menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan hanya terfokus
pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan
makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang ada,
juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi
perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak
berbelit, sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja
(bukan hanya ulama saja). Dalam tafsirannya, corak
tafsir adabi ijtima’i ini menganalogikan dengan sesuatu
berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat
dengan mudah ditangkap oleh pembaca/pendengarnya.
Sedangkan sisi kekurangannya yaitu, terkadang
kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi
mufassir tinggal ketika itu (bisa dikatakan bersifat
lokal). Sehingga bisa dipastikan bahwa penafsiran yang
bercorak adabi ijtima’i belum tentu sesuai dengan
keadaan yang ada pada masyarakat lain.
21
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Tafsir adaby ijtima’iy adalah tafsir yang berorientasi
pada sastra, budaya dan kemasyarakatan, suatu corak
penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-
Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya.
kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama
turunnya al-Qur’an, yakni membawa petunjuk dalam
kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia.
Kemudian tokoh-tokoh yang berperan dalam kajian
tafsir adabi ijtima’i ini tidak terlepas dari para
tokoh-tokoh pembaharu di mesir yakni jamaluddin al-
Afghani, syekh Muhammad Abduh,Muhammd Rasyid Ridha dan
dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad
Mustafa Al-Maraghi. Adapun ciri dari corak adabi
ijtima’i adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat
al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat
22
dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya
untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-
hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.
2.Kritik dan Saran
Kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Demikianlah
makalah singkat tentang “Tafsir Adabi Ijtima’i (Sastera dan
Sosiologis)” yang dapat kami sampaikan, apabila terdapat
banyak kesalahan atau kekurangan di dalam penulisan
makalah ini, sudi kiranya kami (Penulis) mohon ma’af
yang sebesar-besarnya.
Dan kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya
dari para pembaca yang budiman sekalian yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini dan untuk
penulisan makalah kami pada fase selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 1998. Tafsir Juz Amma. terj. Muhammad
Bagir. Bandung: Mizan.
Budiman, Kukuh. 2011. Dalam skripsi Term Di’afan (Lemah)
dalam Surat an-Nisa ayat 9 (Studi Tematik Kitab Tafsir al-Manar
Karya Rasyid Ridha). Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
23
Imrah, Muhammad. “Corak Tafsir Adabi Ijtima’i” dalam
http//khazanahquranhadits.Wordpress.com/2013/12/20/
corak-tafsir-adabi-ijtima’i, diakses tanggal 21
November 2014 pukul 22.10 WIB.
M. Karman, Supiana. 2002. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka
Islamika.
Shihab, M. Quraish. 20009. Membumikan al-Qur’an (Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat). Bandung: PT.
Mizan Pustaka.
-------1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Karya Muhammad Abduh
dan M.Rasyid Ridha). Bandung: Pustaka Hidayah.
24