skripsi (cover-kesimpulan) pdf
TRANSCRIPT
STRUKTUR TUMBUHAN CAGAR ALAM BAGIAN SELATAN (BLOK
CIMANGGU DAN KARANG PANDAN) PANANJUNG
PANGANDARAN KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT
SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Ujian Sidang Sarjana
pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Wishal Miggy Dasanova D 1 D 0 3 0 2 2
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI JATINANGOR
2009
LEMBAR PENGESAHAN
NAMA : WISHAL MIGGY DASANOVA
NPM : D1D 03 022
BIDANG ILMU : EKOLOGI TUMBUHAN
JUDUL : STRUKTUR TUMBUHAN CAGAR ALAM BAGIAN
SELATAN (BLOK CIMANGGU DAN KARANG
PANDAN) PANANJUNG PANGANDARAN
KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT
Jatinangor, Desember 2009
Menyetujui,
Pembimbing,
Drs. Prihadi Santoso, MS.
NIP. 19510516 198103 1 002
Pembimbing,
Drs. Joko Kusmoro
NIP. 19600801 199101 1 001
STRUKTUR TUMBUHAN CAGAR ALAM BAGIAN SELATAN (BLOK CIMANGGU DAN KARANG PANDAN) PANANJUNG PANGANDARAN
KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT
Oleh : Wishal Miggy Dasanova Pembimbing : Drs. Prihadi Santoso, MS. dan Drs. Joko Kusmoro
Universitas Padjadjaran Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jurusan Biologi Jatinangor
ABSTRAK
Penelitian mengenai struktur tumbuhan Cagar Alam Bagian Selatan Pananjung Pangandaran, telah dilakukan dari bulan Januari hingga April 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan dan mendapatkan besaran nilai penting dari masing-masing tumbuhan penyusun Cagar Alam Bagian Selatan Pananjung Pangandaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi survai pendahuluan, transek sabuk, identifikasi tumbuhan, dan diagram profil. Penelitian ini menggunakan dua lokasi pencuplikan, yaitu daerah Cimanggu dan Karang Pandan. Hasil identifikasi jenis tumbuhan yang berada dalam Transek Cimanggu ditemukan sebanyak 46 jenis, 43 marga, dan 28 suku. Sedangkan pada Transek Karang Pandan ditemukan sebanyak 44 jenis, 40 marga, dan 27 suku. Pada Transek Cimanggu Litsea cassiaefolia memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi, yaitu sebesar 44,43 untuk kategori anakan dan jenis Cratoxylon formosum memiliki INP sebesar 151,54 untuk kategori pohon. Sedangkan pada Transek Karang Pandan Jenis Euginia densiflora yang memiliki INP tertinggi dengan nilai 60,65 pada kategori anakan dan pada kategori pohon tercatat jenis Phoebe excelsa dengan nilai sebesar 174. (Kata Kunci : Struktur tumbuhan, tumbuhan, INP).
VEGETATION STRUCTURE IN SOUTH OF PANANJUNG PANGANDARAN RESERVE NATURE (BLOCK CIMANGGU AND BLOC K
KARANG PANDAN) CIAMIS, WEST JAVA
By : Wishal Miggy Dasanova Supervisors : Drs. Prihadi Santoso, MS. dan Drs. Joko Kusmoro
Padjadjaran University Faculty of Mathematics and Natural Sciences
Departement of Biology Jatinangor
ABSTRACT
The research about the vegetation structure in South of Pananjung Pangandaran Reserve Nature, was implemented between January through April 2009. This research was intended to recognize the plant types and to measure the importance of it. The method used were the preliminary survey, belt transect, plant identification, and profile diagram. This research was done in 2 locations, Cimanggu and Karang Pandan. The result of the plan identification within the Cimanggu area were totaling about 46 spesies, 43 genus, 28 familia. Meanwhile in Karang Pandan, the total were 44 spesies, 40 genus, dan 27 familia. In Cimanggu, Litsea cassiaefolia has the highest INP (Important Value Index) totaling 44,43 for seedling category and Cratoxylon formosum has 151.54 for its INP in tree category. While in Karang Pandan, Euginia densiflora possess the highest INP with the score 60,65 in seedling category and in tree category, Phoebe excelsa scored 174. (Key words: Vegetation structure, Vegetation, INP)
K A T A P E N G A N T A R
Assalamualaikum wr. Wb,
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala
rahmat serta hidayah-Nya yang tiada terputus sehingga skripsi yang berjudul
“Struktur Tumbuhan Cagar Alam Bagian Selatan (Blok Cimanggu dan Blok Karang
Pandan) Pananjung Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa Barat” telah selsai disusun
meski jauh dari sempurna.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat menempuh ujian sarjana di
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Padjadjaran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara
ilmiah mengenai keanekaragaman tumbuhan di Cagar Alam bagian selatan Pananjung
Pangandaran. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan pertimbangan dan
pengelolaan sumber daya alam yang berkesinambungan. Penyusun sangat berharap
bahwa skripsi ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan dalam bidang
ekologi tumbuhan bagi pembaca dan mahasiswa Biologi pada umumnya dan bagi
Himpunan Mahasiswa Biologi Unpad pada khususnya.
Dalam menyusun skripsi ini, penyusun menyadari bahwa pelaksanaan dan
penulisan terdapat banyak hambatan dan tantangan. Oleh karena itu, kekurangan yang
ada dalam skripsi ini semata-mata merupakan kelemahan dari penyusun. Kritik dan
saran sangat diharapkan untuk penyusunan yang lebih baik kemudian hari.
Wassalam,
Bandung, Desember 2009
Penyusun
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji beserta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
menciptakan alam semesta beserta isinya, sehingga penulis dapat melakukan
penelitian mengenai “Struktur Tumbuhan Cagar Alam Bagian Selatan (Blok
Cimanggu dan Blok Karang Padan) Pananjung Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa
Barat”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
keanekaragaman dan struktur tumbuhan yang terdapat di Cagar Alam bagian Selatan
Pananjung Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa Barat.
Pada kesempatan kali ini secara khusus penyusun mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Ibu yang telah memberikan bantuan dan
dukungan yang terbesar baik berupa moril maupun materil, juga atas semua doa-
doanya sehingga penyusun dapat menyelsaikan skripsi ini. Tidak lupa penyusun juga
mengucapkan banyak terima kasih untuk kedua pembimbing skripsi Drs. Prihadi
Santoso, MS dan Drs. Joko Kusmoro atas segala waktu, tenaga, motivasi, kesabaran
dan perhatiannya selama perkuliahan hingga menyelsaikan tugas akhir ini.
Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih atas bantuan yang telah
diberikan selama perkuliahan dan penelitian kepada :
1. Dr. Wawan Hermawan, MS., Dekan FMIPA Unpad.
2. Drs. Hikmat Kasmara, MS.,Ketua Jurusan Biologi FMIPA Unpad.
3. Prof. Dr. Jetty Nurhajati, dosen wali yang telah memberikan perhatian, semangat
dan dorongan untuk menyelesaikan penelitian ini.
4. Prof. Dr. Johan Iskandar, Prof. Dr. Aseng Ramlan, Dr. Titin Supriatun, MS., Drs.
Herri Y. Hadikusumah, M.Si. dan Budi Irawan, M.Si., S.Si., tim penilai Seminar
I dan II yang berkenan memberikan saran-saran demi perbaikan skripsi ini.
5. Dr. Yayat Ruchiat, Dr. Nurzaman, M.Si, dan Dra. Mia Miranti, MP., dosen tim
penguji Sidang Sarjana yang memberikan saran dan masukan demi perbaikan
akhir skripsi ini.
6. Dr. Teguh Husodo, M.Si. dan Suryana, M.Si.,untuk kesempatan belajar dan
konsultasi yang sudah diberikan kepada penulis.
7. Staff Pengajar Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran.
8. Bpk. Aceng, Bpk Aryanto dan Kang Juhandi, staff Tata Usaha Jurusan Biologi
Unpad atas bantuan dan kelancaran dalam proses perizinan.
9. Drs. Unu; Kepala Balai Besar Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam yang
telah memberikan izin tempat kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.
10. Drs. Yana, Kepala Resort Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Pangandaran
untuk pengertian, motivasi, pengetahuan dan kesempatan tinggal di kawasan
konservasi.
11. Drs. Kusay dan Drs. Sandot, Petugas Resort Balai Konservasi dan Sumber Daya
Alam Pangandaran untuk wawasan, pengetahuan mengenai tumbuhan,
persahabatan dan kesempatan untuk bermalam dirumahnya.
12. Drs. Asep, Drs. Yudi, Drs. Rachmat, Drs. Engkus (Uncal); Petugas Resort Balai
Konservasi dan Sumber Daya Alam Pangandaran untuk pengalamannya.
13. Ijo, S.Hut dan Glenn, S.Hut; atas segala pengetahuan scientific-nya.
14. Siti Hazar, S.Si; atas kesabaran, ketabahan, bantuan, dukungan beserta doa yang
telah diberikan selama pelaksanaan dan penyusunan skripsi.
15. Deri Achmad Fauzi, Riezkanisa Syakura, S.Si., Keluarga Irma Wachyuni, S.Si.,
atas kerjasamanya.
16. Ade Rahmat S.Si., Zaenal Muttaqien, S.Si., Sigit Wibisono S.Si dan Lita S.Si,
yang memberikan pengetahuan dan selalu sabar untuk sharing tentang bidang
ilmu yang penulis tempuh.
17. Raymond Jakub S.Si; atas diskusi, pengalaman menyelam, persahabatan dan
khususnya ruang untuk menggambar dalam menyusun skripsi ini.
18. Bpk. Agus, Andriantoro S.Si, Insan Kharisma S.Si, Joachim Baez S.Si; yang
telah memberikan arti persahabatan, kehidupan, berbagi pengalaman, tukar
pendapat dan diskusinya.
19. Teguh Atuyanuar, Reno Febrian, Muhamad Ramdhan dan Agung Hasan; yang
ikut serta membantu dalam pengambilan data lapangan.
20. Keluarga Besar Wiradinata dan Ishak Iskandar; yang telah banyak direpotkan
dalam penusunan skripsi ini.
21. Abdillah Luhur, S.Si dan Bowo Budileksono, S.Si, rekan seperjuangan Sidang
Sarjana.
22. Rekan-Rekan DPXXIX dan semua warga Himbio Unpad; yang selalu
memberikan motivasi kepada penyusun untuk cepat lulus!
23. Rekan-Rekan yang telah berhasil memperjuangkan PCA dan Praktek Lapangan..!
24. Saudara... yang telah meluangkan waktu untuk membaca skripsi ini..!!!
Selain itu, penyusun juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada berbagai pihak lain yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung selama pelaksanaan pengambilan data lapangan dan penyusunan skripsi ini.
Jatinangor, Desember 2009
Penyusun
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... i
ABSTRAK.............................................................................................................. ii
ABSTRACT............................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR........................................................................................... iv
UCAPAN TERIMAKASIH.................................................................................. v
DAFTAR ISI.......................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL.................................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR............................................................................................. xvi
DAFTAR DIAGRAM........................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1
1.2 Identifikasi Masalah........................................................................................ 3
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian……………………...…................................ 4
1.4 Kerangka Pemikiran……………………………………............................... 4
1.5 Kegunaan Penelitian……………………………………............................... 6
1.6 Metode Penelitian………………………………………............................... 6
1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………….............................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………......…....... ..... 8
2.1 Deskripsi Umum Cagar Alam Pananjung Pangandaran…............................ 8
2.1.1 Sejarah dan Status Kawasan Cagar Alam Pananjung
Pangandaran ……….................................………………….........
8
2.1.2 Keadaan Biofisik Kawasan CAPP……………................…......... 10
2.2 Ekosistem Pantai ………………………………………................................ 12
2.3 Populasi dan Komunitas ………………………………................................ 13
2.3.1 Populasi ...……………………………………….......................... 13
2.3.2 Komunitas ………………………………………......................... 14
2.3.2.1 Perkembangan Komunitas Tumbuhan......................... 15
2.4 Struktur dan Komposisi Tumbuhan ……………………............................... 16
2.5 Diagram Profil…………………………………………................................ 18
2.6 Analisis Tumbuhan Berdasarkan Faktor Ekologi ……….............................. 20
2.7 Suksesi …………………………………………………............................... 22
2.7.1 Suksesi Primer ………………………………….......................... 23
2.7.2 Suksesi Sekunder ……………………………….......................... 24
2.8 Metode Identifikasi Tumbuhan…...……………………............................... 25
BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN...……..……………... ......... 27
3.1 Bahan dan Alat Penelitian ………………………………............................. 27
3.1.1 Bahan …………………………………………............................ 27
3.1.2 Alat …………………..………………………….......................... 27
3.2 Metode ……….………………………………………….............................. 27
3.2.1 Survey Pendahuluan.....…………………………......................... 28
3.2.2 Metode Transek Sabuk....………………………........................... 28
3.2.3 Metode Profil Diagram.......…………………….......................... 29
3.2.4 Metode Identifikasi....................................................................... 29
3.3 Langkah Kerja/Prosedur Penelitian.......………………………………......... 30
3.3.1 Transek Sabuk................………. …………………………......... 30
3.3.2 Profil Diagram................................................................................ 30
3.3.3 Identifikasi Tumbuhan……………............................................... 33
3.4 Analisis Data Lapangan ………………………………................................. 33
3.4.1 Komposisi Jenis Tumbuhan.......................................................... 34
3.4.2 Analisis Kualitatif Struktur Tumbuhan.......................................... 34
3.4.2.1 Struktur Vertikal Tumbuhan....................................... 34
3.4.2.2 Struktur Horizontal Tumbuhan................................... 34
3.4.3 Analisis Kuantitatif Tumbuhan...................................................... 35
3.4.3.1 Frekuensi (Frequency)............................................... 35
3.4.3.2 Kerapatan (Density).................................................... 35
3.4.3.3 Dominansi (Dominance)............................................. 36
3.4.3.4 Indeks Nilai Penting/INP (Importance Value
Index)....................................................................
37
3.4.3.5 Indeks Kesamaan (Similarity Index)........................... 37
3.4.3.6 Indeks Keanekaan (Diversity Index)........................... 38
3.4.3.7 Indeks Kerataan (Evenness Index) – Indeks Pielou
(1977) (Ludwig and Reynolds,1988).........................
38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 39
4.1 Data Fisik Lapangan....................................................................................... 39
4.1.1 Temperatur Udara.......................................................................... 44
4.1.2 Kelembaban Udara......................................................................... 44
4.1.3 Kelembaban Tanah......................................................................... 45
4.1.4 Keasaman Tanah............................................................................ 46
4.1.5 Ketebalan Seresah.......................................................................... 46
4.1.6 Persentase Penutupan Seresah........................................................ 47
4.2 Komposisi Jenis Tumbuhan............................................................................ 47
4.3 Analisis Kualitatif Struktur Tumbuhan.......................................................... 50
4.3.1 Struktur Vertikal Tumbuhan.......................................................... 51
4.3.1.1 Struktur Vertikal Tumbuhan Penyusun Transek
Cimanggu....................................................................
51
4.3.1.1.1 Stratum A................................................. 53
4.3.1.1.2 Stratum B................................................. 55
4.3.1.1.3 Stratum C................................................. 56
4.3.1.1.4 Stratum D................................................. 59
4.3.1.1.5 Stratum E................................................. 60
4.3.1.2 Struktur Vertikal Tumbuhan Penyusun Transek
Karang Pandan............................................................
63
4.3.1.1.1 Stratum A................................................. 64
4.3.1.1.2 Stratum B................................................. 65
4.3.1.1.3 Stratum C................................................. 66
4.3.1.1.4 Stratum D................................................. 67
4.3.1.1.5 Stratum E................................................. 68
4.3.2 Struktur Horizontal Tumbuhan...................................................... 70
4.4 Perbandingan Komposisi Jenis dan Struktur Tumbuhan Padan Kedua
Transek Penelitian..........................................................................................
74
4.4.1 Kesamaan Tumbuhan..................................................................... 74
4.4.2 Keanekaan dan Perataan................................................................ 76
4.4.3 Struktur Tumbuhan........................................................................ 76
4.4.3.1 Struktur Vertikal Kedua Transek................................................... 78
4.4.3.2 Struktur Horizontal Kedua Transek............................................... 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 83
5.1 Kesimpulan................................................................................... 83
5.2 Saran............................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 85
LAMPIRAN 1 Peta dan Perjalanan Menuju Transek.............………..... 88
LAMPIRAN 2 Pembagian Stratum dan Kategori Tumbuhan Pada
Transek Cimanggu........................................................
89
LAMPIRAN 3 Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Stratum dan
Kategori Pada Transek Karang Pandan.........................
92
LAMPIRAN 4 Indeks Nilai Penting Masing-Masing Jenis Tumbuhan
Berdasarkan Stratum Pada Transek
Cimanggu..........................................................................
94
LAMPIRAN 5 Indeks Nilai Penting Masing-Masing Jenis Tumbuhan
Berdasarkan Stratum Pada Transek Karang
Pandan.........................................................................
97
LAMPIRAN 6 Jenis-Jenis Tumbuhan Cagar Alam Bagian Selatan
Pananjung Pangandaran.................................................
99
LAMPIRAN 7 Kehadiran Setiap Jenis Tumbuhan Pada Masing-
Masing Plot Transek Cimanggu......................................
102
LAMPIRAN 9 Kehadiran Setiap Jenis Tumbuhan Pada Masing-
Masing Plot Transek Karang Pandan.............................
105
LAMPIRAN 10 Dokumentasi................................................................... 101
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Kondisi Fisik Transek Cimanggu................................................. 43
Tabel 4.2 Kondisi Fisik Transek Karang Pandan......................................... 43
Tabel 4.3 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum A Transek Cimanggu.. 53
Tabel 4.4 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum B Transek Cimanggu.. 55
Tabel 4.5 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum C Transek Cimanggu.. 57
Tabel 4.6 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum D Transek Cimanggu.. 59
Tabel 4.7 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum E Transek Cimanggu... 62
Tabel 4.8 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum A Transek Karang
Pandan............................................................................................
64
Tabel 4.9 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum B Transek Karang
Pandan............................................................................................
65
Tabel 4.10 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum C Transek Karang
Pandan............................................................................................
66
Tabel 4.11 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum D Transek Karang
Pandan............................................................................................
67
Tabel 4.12 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum E Transek Karang
Pandan............................................................................................
68
Tabel 4.13 Nilai Penting Masing-Masing Kategori Tumbuhan pada Transek
Cimanggu.......................................................................................
70
Tabel 4.14 Penting Masing-Masing Kategori Tumbuhan pada Transek
Karang Pandan...............................................................................
73
Tabel 4.15 Jenis-Jenis Tumbuhan Pada Transek Cimanggu dan Karang
Pandan............................................................................................
74
Tabel 4.16 Perbandingan Parameter Indeks Keanekaan dan Indeks Perataan
Pada Kedua Transek Penelitian Berdasarkan Stratum..................
76
Tabel 4.17 Indeks Nilai Penting Pada Kedua Transek Untuk Setiap
Kategori.........................................................................................
79
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Langkah penggambaran struktur vertikal dan horizontal........................ 29
Gambar 3.2 Pengukuran DBH................................................................................... 31
Gambar 3.3 Blume Leisz........................................................................................... 32
Gambar 3.4 Cara Mengukur Koordinat Pohon........................................................... 32
Gambar 4.1 Profil Diagram Transek Cimanggu......................................................... 40
Gambar 4.2 Profil Diagram Transek Karang Pandan................................................. 41
Gambar 4.3 Lokasi Penelitian..................................................................................... 42
Gambar 4.4 Struktur dan Pertumbuhan Hutan (Oldeman, 1979)............................... 53
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan hujan tropis merupakan jenis hutan yang paling subur dan ditumbuhi
oleh berbagai jenis tumbuhan serta menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000-
4000 mm per tahun, suhu tinggi ± 25o-26oC dengan kelembaban sekitar 80%.
Tumbuhan tergabung dari kategori terna, perambat, epifit, pencekik, saprofit, parasit
dan liana merupakan bagian dari struktur vegetasi (Ewusie, 1990).
Indriyanto (2006), menjelaskan bahwa definisi hutan adalah lapangan yang
ditumbuhi tumbuhan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam
hayati beserta alam lingkungannya atau tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh
antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi atau biasa disebut
dengan ekosistem.
Salah satu hutan hujan tropis yang terdapat di Jawa Barat tepatnya di
Pananjung Pangandaran adalah hutan hujan dataran rendah. Hutan Pananjung
Pangandaran terdapat komponen-komponen penyusun suatu tumbuhan yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia, contohnya sebagai sumber tumbuhan obat, atau
bahkan sebagai media rekreasi dan objek wisata alam.
Fachrul (2007), mengemukakan bahwa analisis tumbuhan adalah cara
mempelajari susunan komposisi jenis, morfologi dan struktur tumbuhan atau
masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dalam ekologi hutan yang diteliti adalah suatu
tegakan. Hutan merupakan tumbuhan alami yang menempati dua pertiga bagian
bumi. Hutan didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang rapat dan luas. Hutan
menutupi areal yang cukup luas untuk menimbulkan kondisi iklim dan ekologi yang
berbeda dari lingkungan luarnya.
Pengkajian struktur vertikal hutan merupakan bagian dari upaya memahami
kondisi hutan di Pananjung Pangandaran. Berbagai macam eksploitasi tumbuhan
yang berada di Pananjung Pangandaran menyebabkan kerusakan di beberapa lokasi,
menghilangkan tutupan hutan secara permanen maupun sementara, mengubah
struktur dan komposisi hutan semula. Tanpa terkecuali pada kawasan hutan lindung
dan hutan sekunder tua yang terletak dalam Cagar Alam Pananjung Pangandaran.
Komposisi dan struktur vegetasi dari masyarakat tumbuhan mencirikan
bentuk tumbuhan dari suatu tipe komunitas. Bentuk tumbuhan di suatu masyarakat
tumbuhan beserta faktor-faktor lingkungannya memperlihatkan hubungan antara satu
dengan yang lainnya. Struktur vertikal memperlihatkan stratifikasi lapisan kanopi
pada tumbuhan di komunitasnya, sedangkan struktur horizontal memperlihatkan pola
distribusi populasi dari spesies dan individu (Daubenmire, 1968).
Berbagai struktur dan komposisi masyarakat tumbuhan ini, terutama hutan,
memberikan manfaat dan fungsi yang beragam bagi kehidupan. Bagi manusia,
masyarakat tumbuhan memberikan nilai ekonomis yang tinggi, dan bagi makhluk lain
juga tidak kalah penting fungsinya seperti dalam mengatur iklim lokal maupun global
yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan.
Kawasan Pananjung Pangandaran secara umum terdiri dari formasi hutan
pantai, hutan dataran rendah, dan hutan sekunder tua yang cukup terjaga dan
dilindungi oleh Undang-Undang sebagai suatu kawasan konservasi, sehingga
komposisi dan strukturnya belum banyak terganggu.
Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran memiliki tempat yang
terbuka dari laut dan sulit ditempuh dari darat, sehingga memudahkan bagi nelayan
dan pengunjung untuk memasuki kawasan tersebut. Kurangnya pengawasan dari
petugas dapat menyebabkan terganggunya kondisi alam di Pantai Selatan Pananjung
Pangandaran. Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pandaran meliputi daerah
Cimanggu dan Karang Pandan.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu penelitian mengenai analisis
vegetasi di Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran beserta nama jenis-
jenis tumbuhannya. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran
secara umum mengenai kondisi struktur tumbuhan beserta jenis-jenis tumbuhan
penyusun pantai di Pananjung Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
1.2 Identifikasi masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, diperoleh identifikasi masalah
sebagai berikut :
1. Jenis tumbuhan apa saja yang menyusun Transek Cimanggu dan Karang Pandan
berdasarkan stratum.
2. Bagaimana perbedaan komposisi dan struktur tumbuhan antara Transek
Cimanggu dengan Karang Pandan Pananjung Pangandaran.
3. Bagaimanakah gambaran vertikal dan horizontal tumbuhan penyusun Transek
Cimanggu dan Karang Pandan Pananjung Pangandaran
4. Berapa besaran nilai penting dari masing-masing jenis tumbuhan yang berada
dalam daerah penelitian di Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melengkapi data vegetasi yang ada di
Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran dan memberikan gambaran
mengenai kondisi Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan dan mendapatkan besaran nilai
penting dari masing-masing tumbuhan penyusun Cagar Alam bagian Selatan
Pananjung Pangandaran.
1.4 Kerangka Pemikiran
Kawasan pesisir pantai tersusun oleh berbagai ekosistem yang dicirikan oleh
sifat dan proses biotik dan abiotik yang jelas satu sama lain, tidak berdiri sendiri,
bahkan saling berkaitan (Soerianegara, 1988). Dahuri, (1996), menjelaskan bahwa
kawasan pesisir pantai adalah unik karena dipengaruhi oleh berbagai aktivitas
manusia dan proses alami yang terdapat di kawasan bagian atas daratan (upland
areas) ataupun di lautan atau samudra (oceans).
Menurut Dahuri (1996), kawasan pesisir meliputi daratan yang mengelilingi
benua (continents) dan kepulauan, merupakan perluasan daratan yang dibatasi oleh
pengaruh pasang surut yang terluar dari suatu paparan benua (continental shelf). Oleh
karena itu, setiap aspek pengelolaan kawasan pesisir dan lautan baik secara langsung
maupun tidak langsung, selalu berhubungan dengan air. Hubungan tersebut terjadi
melalui pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-off), aliran air tanah (ground
water), air tawar beserta segenap isinya (seperti nutrisi, bahan pencemar, dan
sedimen) yang berasal dari ekosistem dataran, dan akhirnya akan bermuara di
perairan pesisir. Sedangkan menurut Fachrul, (2007), kawasan pesisir pantai
merupakan daerah terjadinya interaksi antara tiga unsur alam utama yaitu, daratan,
perairan, dan udara. Proses interaksi tersebut berlangsung sejak ketiga unsur ini
terbentuk.
Kawasan Pananjung Pangandaran memiliki beberapa tipe ekosistem, di
antaranya ekosistem padang penggembalaan, ekosistem hutan sekunder tua,
ekosistem laut, ekosistem tebing, dan ekosistem pantai. Dari beberapa lokasi yang
terdapat di Pananjung Pangandaran, daerah selatan Cagar Alam merupakan tempat
dimana belum memiliki data mengenai struktur vegetasi dan keanekaan jenis
tumbuhan.
Hutan hujan tropis dataran rendah yang terletak di Pananjung Pangandaran
memiliki tingkat keanekaragaman jenis cukup tinggi terutama pada bidang tumbuhan.
Keragaman atau kesamaan jenis itulah yang dijadikan dasar dalam mengadakan
klasifikasi tumbuhan yang berada di pesisir pantai Pananjung Pangandaran.
Diagram profil digunakan sebagai salah satu cara untuk memahami struktur
tumbuhan suatu masyarakat tumbuhan. Gambaran profil dapat menggambarkan
pelapisan tajuk dari setiap jenis pohon dan dapat melukiskan secara detail ruang
vertikal antar jenis. Diagram profil yang digambarkannya adalah struktur tumbuhan
suatu plot yang merupakan sampel perwakilan dari suatu daerah tertentu secara
vertikal dan horizontal (Mueller-Dumbois, 1974).
Macam/tipe struktur yang dimaksud pada identifikasi masalah penelitian ini
yaitu untuk mengetahui ruang vertikal dan horizontal vegetasi Pantai Selatan,
membedakan strata vegetasi, mengetahui frekuensi, kerapatan, dominansi, nilai
penting dan perbedaan serta persamaan vegetasi dari kedua lokasi penelitian.
Sedangkan deskripsi mengenai jenis-jenis tumbuhan tingkat tinggi merupakan
gambaran tipe dari suatu ekosistem yang menutupi suatu wilayah yang luas (Fachrul,
2007).
Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan dilakukannya kajian mengenai
struktur vertikal dan horizontal pada Cagar Alam bagian Selatan Pananjung
Pangandaran. Selain itu, melakukan pengenalan jenis-jenis tumbuhan penyusun
Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran sehingga tidak akan terjadi
kesalahan informasi dari berbagai pihak mengenai nama jenis-jenis tumbuhan yang
berada di Pantai Pananjung Pangandaran.
1.5 Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
struktur vegetasi dan keanekaragaman jenis tumbuhan penyusun ekosistem Cagar
Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran. Selain itu, dapat memberikan
tambahan informasi bagi kelengkapan data dari pihak BKSDA setempat.
1.6 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengguakan metode deskriptif. Analisis data
kualitatif berupa inventarisasi jenis tumbuhan beserta data fisik yang terdapat di plot
penelitian. Sedangkan analisis data kuantitatif berupa besaran nilai penting dan indeks
kesamaan dari masing-masing jenis tumbuhan dikedua plot penelitian. Analisis
vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode diagram profil dengan dua buah
transek sabuk yang diletakan tegak lurus dari Selatan ke Utara dan Barat ke Timur,
keduanya dimulai dari pinggiran pulau yang menuju pusat pulau daerah Cagar Alam
bagian Selatan Pantai Pananjung Pangandaran. Transek sabuk dibuat dengan petak-
petak plot berbentuk persegi dengan ukuran 10 x 10 m sepanjang 200 m sebanyak
dua buah transek.
Metode identifikasi merupakan teknik pengenalan spesimen tumbuhan yang
belum ditemukan identitasnya. Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan dengan cara
studi literatur atau studi wawancara terhadap para ahli (Rugayah dkk., 2004).
1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian telah dilakukan di Cagar Alam bagian Selatan Pananjung
Pangandaran Jawa Barat. Sedangkan waktu penelitian telah dilakukan pada Bulan
Januari 2009 sampai dengan Bulan April 2009.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian
2.1.1 Sejarah dan Status Kawasan Cagar Alam Pananjung Pangandaran
Definisi hutan menurut UU No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan yaitu suatu
lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan
persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang terdiri dari udara,
air, tanah, cahaya matahari dan lain-lain yang satu sama lain tidak dapat dipisah-
pisahkan yang menempati suatu lapangan yang cukup luas, dengan luas minimum
seperempat hektar. Namun istilah hutan sendiri telah disempurnakan dalam UU
Kehutanan No. 41 tahun 1999 menyebutkan bahwa hutan adalah suatu ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Pangandaran terdiri dari Cagar
Alam Darat seluas ± 419 Ha, Cagar Alam Laut seluas ± 470, dan Taman Wisata
Alam seluas ± 37 Ha. Secara administratif, ketiga kawasan tersebut terletak di Desa
Pangandaran Kecamatan Ciamis, Provinsi Jawa Barat (BKSDA, 2003).
Pada tahun 1922, ketika Y. Eycken menjabat Residen Priangan Pananjung
Pangandaran, diusulkan menjadi Taman Buru. Pada waktu itu dilepaskan seekor
Banteng, 3 ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa. Karena memiliki keanekaragam
satwa yang unik dan khas serta perlu dijaga habitat dan kelangsungan hidupnya maka
pada tanggal 7 Desember 1934, status kawasan tersebut diubah menjadi Suaka
Margasatwa berdasarkan Gauverment bisluit dengan luas 530 Ha. Kemudian pada
tahun 1961 statusnya diubah menjadi Cagar Alam berdasarkan S.K. Menteri
Pertanian No.34/KMP/1961 setelah ditemukan Rafflesia patma. Perkembangan
selanjutnya, sebagian kawasan Cagar Alam seluas ± 37 Ha berubah fungsi dan
statusnya menjadi Taman Wisata Alam berdasarkan S.K. Menteri Pertanian
No.170/Kpts-II/1990 tanggal 8 Maret 1990.
Status Pengelolaan kawasan mulai dari ditetapkan hingga saat ini telah
mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan kebijakan pemerintah
sebagai berikut :
1. Pertama kali ditetapkan sampai dengan tahun 1957, pengelolaan Pananjung
Pangandaran ditangani oleh Kebun Raya Bogor.
2. Tahun 1957-1972 pengelolaan Pananjung Pangandaran ditangani oleh Jawatan
Kehutanan, dikarenakan belum ada Departemen kehutanan.
3. Tahun 1972-1978 pengelolaan Pananjung Pangandaran ditangani oleh seksi PPA
Jawa Barat II yang berkedudukan di Bandung.
4. Tahun 1978-1999 pengelolaan Pananjung Pangandaran ditangani oleh Sub Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat II, BKSDA III Bandung.
5. Tahun 1999-sekarang pengelolaan Pananjung Pangandaran ditangani oleh
BKSDA II Jawa Barat Seksi Wilayah Konservasi I, Resort KSDA Pangandaran.
Sedangkan Taman Wisata Alam ditangani oleh PT. PERHUTANI KPH Ciamis
Unit III Jawa Barat.
2.1.2 Keadaan Biofisik Kawasan CAPP
Berdasarkan data BKSDA (2003), kawasan ini memiliki keadaan biofisik
sebagai berikut:
1. Letak Geografis
Pananjung Pangandaran merupakan semenanjung di Pantai Selatan Jawa
Barat, berbatasan dengan Jawa Tengah. Terletak diantara 180o 50’ sampai 109o BT
dan 7o 40’ sampai 7o 45’ LS. Daerah ini dibatasi oleh Samudera Hindia di sebelah
selatan, Kabupaten Ciamis di sebelah utara, Teluk Pangandaran atau Pananjung di
sebelah Timur, dan Teluk Parigi di sebelah Barat.
2. Topografi
Daerah ini terletak pada ketinggian antara 0 sampai 148 meter di atas
permukaan laut. Hutan cagar alam terdiri dari 50% kawasan datar, 35% kawasan
berbukit, dan 15% kawasan bergunung, dengan ketinggian rata-rata 100 meter di atas
permukaan laut. Daerah tertinggi terletak di sebelah selatan padang rumput Badeto,
sedangkan keadaan berbukit ditemukan di bagian selatan Taman Wisata Alam
Pangandaran, memanjang di sepanjang wilayah Ciborok (Barat) sampai Cirengganis
(Timur), dan keadaan bergunung ditemukan dalam bentuk tonjolan-tonjolan batu
karang yang terpisah dan menjulang dengan tinggi 5-20 m.
3. Iklim
Curah hujan di Pananjung Pangandaran cukup tinggi, kurang lebih 3.196
mm/tahun. Hal ini sangat penting karena hubungannya dengan persediaan air tanah
dan karakteristik tanah di daerah tersebut. Musim basah terjadi pada bulan Oktober
dan Maret bersamaan dengan tingginya angin Timur, sedangkan musim kering terjadi
selama periode angin tenggara. Kelembabannya berkisar antara 80-90%, disebabkan
oleh hutan yang terdiri atas pohon-pohon tinggi dan berdaun lebat, serta seresah yang
mempertahankan kelembaban.
Suhu harian berkisar antara 25oC-30oC, sinar matahari tidak langsung
mencapai lantai hutan karena kerapatan tajuk pohon di daerah taman hutan,
sedangkan padang penggembalaan yang merupakan daerah terbuka mendapatkan
sinar matahari yang cukup.
4. Keadaan Air dan Tanah
Di dalam kawasan Taman Wisata dan Cagar Alam Pangandaran terdapat 10
buah sungai yang panjangnya tidak lebih dari 1-2 Km. Sungai terbesar adalah Sungai
Cikamal yang mempunyai muara di Pantai Barat, dan sungai Cirengganis yang
bermuara di Pantai Timur.
Tanah di daerah Pananjung Pangandaran mengandung banyak kapur atau
CaCO3, sesuai dengan topografinya yang berbukit-bukit dan berkarang. Sebagian
besar terdiri dari breksi abu-abu tua terutama podsolik kuning merah, latosol, endapan
aluvial yang berasal dari laut yang terdiri dari pasir dan tanah berpasir yang terdapat
diantara pantai sebelah selatan semenanjung yang berbentuk karang-karang terjal.
5. Flora dan Fauna
a. Flora
Flora yang berada di kawasan ini terdiri dari berbagai suku dan jenis,
diantaranya kelompok pohon 249 jenis, perdu 71 jenis, liana 66 jenis, semak 193
jenis, rumput 53 jenis, epifit 26 jenis dan parasit 10 jenis (BKSDA, 2003).
b. Fauna
Fauna yang terdapat di lokasi ini cukup beragam yang terdiri dari : kelas
Mammalia 30 jenis, Amphibia 4 jenis, Aves 78 jenis, Reptilia 18 jenis, Pisces 75
jenis dan terumbu karang 15 jenis (BKSDA, 2003).
2.2 Ekosistem Pantai
Menurut Dahuri (1996), kawasan pesisir meliputi daratan yang mengelilingi
benua (continents) dan kepulauan, merupakan perluasan daratan yang dibatasi oleh
pengaruh pasang surut yang terluar dari suatu paparan benua (continental shelf). Oleh
karena itu, setiap aspek pengelolaan kawasan pesisir dan lautan baik secara langsung
maupun tidak langsung, selalu berhubungan dengan air. Hubungan tersebut terjadi
melalui pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-off), aliran air tanah (ground
water), air tawar beserta segenap isinya (seperti nutrisi, bahan pencemar, dan
sedimen) yang berasal dari ekosistem dataran, dan akhirnya akan bermuara di
perairan pesisir. Sedangkan menurut Fachrul, (2007), kawasan pesisir pantai
merupakan daerah terjadinya interaksi antara tiga unsur alam utama yaitu, daratan,
perairan, dan udara. Proses interaksi tersebut berlangsung sejak ketiga unsur ini
terbentuk.
Tipe ekosistem pantai terdapat di daerah-daerah kering tepi pantai dengan
kondisi tanah berpasir atau berbatu dan terletak di atas garis pasang tertinggi. Di
daerah ekosistem pantai pada umumnya jarang tergenang air laut, namun sering
terjadi atau terkena angin kencang dengan hembusan garam (Indriyanto, 2006).
Ekosistem pantai dapat dibedakan dengan hutan tropis pegunungan dimana
pada ekosistem pantai mempunyai jumlah jenis pohon yang lebih tinggi, sedangkan
epifit, paku-pakuan, serta lumut tidak banyak berkembang di daerah ini. Ciri lain dari
hutan hujan dataran rendah adalah banyak terdapat liana dan saprofit.
2.3 Populasi dan Komunitas
Suatu organisme tidak hidup menyendiri, tetapi harus hidup bersama-sama
dengan organisme sejenis atau dengan yang tidak sejenis. Berbagai organisme hidup
di suatu tempat, baik yang besar maupun yang kecil, tergabung dalam suatu
persekutuan yang disebut komunitas biotik. Suatu komunitas biotik terikat sebagai
suatu unit oleh saling ketergantungan anggota-anggotanya. Suatu komunitas adalah
suatu unit fungsional dan mempunyai struktur yang pasti. Populasi merupakan
berbagai kelompok dalam komunitas biotik. Secara umum populasi dapat dianggap
sebagai suatu kelompok organisme yang terdiri atas individu-individu yang tergolong
dalam satu jenis, atau satu varietas, satu ekotipe atau satu unit. Populasi dan
komunitas mempunyai tingkat organisasi yang lebih tinggi daripada individu dan juga
merupakan kesatuan yang nyata, karena populasi dan komunitas memiliki
karakteristik tambahan selain karakteristik yang dimiliki oleh individu-individu
penyusunnya (Resosoedarmo, 1988).
2.3.1 Populasi
Dalam ilmu ekologi, yang dimaksud dengan populasi adalah sekelompok
individu yang sejenis atau sama jenisnya (Indriyanto, 2006). Menurut Resosoedarmo
dkk, (1986), populasi merupakan kelompok organisme sejenis yang hidup dan
berkembang biak pada suatu daerah tertentu. Populasi mempunyai karakteristik yang
khas untuk kelompok yang tidak dimiliki oleh masing-masing individu anggotanya.
Karakteristik tersebut antara lain adalah densitas, natalitas, mortalitas, penyebaran
umur dalam bentuk pertumbuhan, dan distribusi.
Indriyanto, (2006), menyebutkan tentang karakteristik yang dimiliki suatu
populasi mencakup kepadatan, natalitas, mortalitas, penyebaran umur, potensi biotik,
dispersi (penyebaran organisme antar habitat), dan bentuk pertumbuhan atau
perkembangan. Populasi juga mempunyai karakteristik genetik yang secara langsung
berhubungan dengan ekologinya. Karakteristik populasi yang sangat penting untuk
menyatakan kondisi suatu populasi, yaitu distribusi atau penyebaran intern.
2.3.2 Komunitas
Tumbuhan dari berbagai jenis yang hidup secara alami di suatu tempat
membentuk suatu kumpulan yang di dalamnya setiap individu menemukan
lingkungan yang dapat memenuhi kehidupannya. Komunitas mempunyai derajat
keterpaduan yang lebih tinggi daripada individu-individu dan populasi tumbuhan
yang menyusunnya. Komposisi suatu komunitas ditentukan oleh seleksi tumbuhan
yang mencapai dan mampu hidup pada suatu tempat. Suatu komunitas dapat
mengkarakteristikan suatu unit lingkungan yang mempunyai kondisi habitat utama
yang seragam. Unit lingkungan ini disebut biotop. Genangan lumpur, pantai pesisir,
gurun pasir, dan unit lautan merupakan contoh biotop. Biotop sangat ditentukan oleh
sifat-sifat fisik. Biotop-biotop lain dapat pula dicirikan oleh unsur organismenya,
misalnya padang alang-alang, hutan tusam, hutan cemara, rawa kumpai, dan
sebagainya (Resosoedarmo, 1988).
Hutan tropika basah merupakan komunitas yang dominan di Indonesia. Sifat
yang menarik dari hutan tropis basah adalah volume per satuan luas dari biomassa
yang ada diatas tanah, sehingga memberi kesan bahwa lahan yang ditumbuhinya
merupakan lahan yang sangat subur. Tetapi pada kenyataannya tanah hutan
dikawasan tropis itu umumnya miskin, kecuali tanah-tanah aluvial yang baru dan
tanah-tanah vulkanik. Karena hujan lebat sering terjadi, maka tanah juga mudah
sekali terbilas. Sistem daur hara dalam hutan hujan tropis basah sangat ketat, tahan
kebocoran, dan berjalan cepat karena hara makanan yang dilepas oleh dekomposisi
seresah segera diserap kembali untuk digunakan dalam pertumbuhan dan kemudian
digabungkan kedalam tubuh tumbuhan. Karena itu temperatur dan kelembaban di
kawasan tropik sangat tinggi, seresah yang digugurkan oleh tumbuhan setiap hari
tidak tertimbun terlalu lama pada lantai hutan melainkan segera mengalami
dekomposisi. Proses dekomposisi berjalan jauh lebih cepat daripada di hutan-hutan
beriklim sedang dan dingin. Penyerapan hara sering juga dibantu oleh kehadiran
jamur-jamur mikoriza yang hidup bersimbiosis pada akar-akar (Fachrul, 2007).
2.3.2.1 Perkembangan Komunitas Tumbuhan
Setiap komunitas tumbuhan tidak selalu berada dalam keadaan yang statis,
akan tetapi megalami perubahan dari waktu ke waktu. Suatu kajian ekologi belum
lengkap tanpa analisis mengenai asas yang mengatur bagaimana komunitas tumbuhan
berkembang dan tumbuh mencapai kedudukan tertentu. Dengan kata lain, penting
untuk memahami proses yang menyebabkan adanya keteraturan pada komunitas
tumbuhan, seperti suksesi, persaingan toleransi, dan konsep zona optimum
(Indriyanto, 2006).
Perubahan langsung dalam komposisi jenis timbul ketika individu-individu
dari beberapa jenis digantikan oleh individu-individu dari jenis lain pada waktu
individu pertama mati. Interaksi sejenis diantara koloni, sifat tempat hidup, dan sifat
adaptif koloni potensial mempengaruhi suksesi di hutan (Indriyanto, 2006).
Perubahan dari suatu tipe komunitas ke tipe komunitas yang lebih kompleks
yang terjadi secara berangkai disebut sebagai suksesi. Suksesi tumbuhan merupakan
perubahan tipe tumbuhan yang terarah (directional), setiap tumbuhan berkembang
dengan baik karena tipe tumbuhan sebelumnya telah menciptakan kondisi tempat
tumbuh yang sesuai dengan kebutuhan tipe tumbuhan berikutnya (Fachrul, 2007).
2.4 Struktur dan Komposisi Tumbuhan
Tumbuhan adalah penutupan massa tumbuhan pada suatu daerah tertentu
dengan luas yang bervariasi, dapat berupa sejumlah pohon-pohonan, semak, dan
herba yang secara bersama-sama menutupi suatu wilayah yang luas. Berbagai
komunitas tumbuhan (asosiasi) yang dapat ditentukan dengan struktur dan komposisi
jenis. Struktur tumbuhan suatu komunitas memberikan ungkapan keanekaragaman,
perubahan suksesi, dan kemantapan komunitas itu. Penggambaran struktur tumbuhan
sebagai suatu organisasi individual dalam ruang yang membentuk tipe tumbuhan atau
asosiasi tumbuhan dan menyatakan bahwa elemen primer suatu struktur terdiri dari
bentuk perkembangan, stratifikasi, dan penutupan (Ewusie, 1990).
Bagian utama dari struktur tumbuhan antara lain, penutupan, stratifikasi, dan
bentuk pertumbuhan. Menurut Dombois dan Mueller (1974) satu klasifikasi yang
rasional haruslah berdasarkan pada :
1. Fisiognomi tumbuhan
2. Struktur dan komposisi tumbuhan
3. Fungsi dan sifat-sifat fenotifik
4. Komposisi susunan floristik
5. Dinamika suksesi
6. Hubungan habitat dengan keadaan lingkungan
7. Sejarah tumbuhan
Kecendrungan jenis merupakan tumbuhan lain struktur tumbuhan yang
dijabarkan dalam dimensi vertikal dan horizontal dengan menitikbetratkan pada
komposisi floristik tumbuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa struktur dan
perbedaan jenis dalam komunitas yang terdapat di lantai hutan mendukung tingginya
keanekaan jenis, dalam hal ini merupakan hasil dari suatu proses evolusi dalam
komunitas tersebut (Van Steenis, 1957 dalam Polunin, 1990).
Ewusie (1990), mengatakan bahwa berkurangnya keanekaragaman dalam
jumlah jenis, ketinggian pohon, luas pangkal, dan jumlah batang yang terdapat pada
hutan hujan tropis terkait dengan meningkatnya ketinggian letak dan curah hujan
yang berkurang.
2.5 Diagram Profil
Diagram profil merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui
kondisi struktur vertikal dan horizontal masyarakat tumbuhan di suatu tempat
(Indriyanto, 2006). Tumbuhan adalah masyarakat tumbuhan yang menutupi suatu
daerah. Struktur tumbuhan dibagi menjadi tiga, terdiri dari :
1. Struktur vertikal yang berupa stratifikasi lapisan tajuk
2. Struktur horizontal yang berupa distribusi jenis penyusunnya
3. Struktur kualitatif yang menyebutkan berbagai macam jenis tumbuhan penyusun
komunitas tumbuhan dalam suatu daerah.
4. Struktur kuantitatif yang berhubungan dengan frekuensi, kerapatan, dominansi
dan indeks nilai penting tiap jenis dalam komunitas serta indeks kesamaan jenis
tumbuhan antar lokasi.
Stratifikasi adalah salah satu sifat fisiognomis dari suatu formasi hutan.
Stratifikasi memberikan gambaran terpisah antara persamaan dan perbedaan masing-
masing stratum serta dapat diperkirakan dengan presisi yang besar. Hutan hujan
tropis terkenal dengan stratifikasinya, populasi yang terdapat didalamnya disusun
pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tidak sinambung (Polunin, 1990).
Menurut Ewusie, (1990) pembagian stratifikasi pada hutan hujan tropis dibagi
menjadi lima kategori, diantaranya :
1. Lapisan paling atas (stratum A)
Lapisan paling atas terdiri dari pepohonan yang memiliki tinggi lebih dari 30
meter. Biasanya memiliki tajuk permanen, batang pohon tinggi dan lurus, batang
bebas cabang (clear bole) tinggi. Pepohonan yang muncul ini mencuat tinggi pada
tajuk hutan bertajuk lebar dan umumnya tersebar sedemikian rupa sehingga tidak
saling bersentuhan membentuk lapisan yang bersinambung.
2. Lapisan pepohonan kedua (stratum B)
Tumbuhan pada lapisan ini tumbuh dengan tinggi antara 15-30 meter. Ada
kalanya disebut juga sebagai tingkat atas. Pepohonan ini tumbuh lebih berdekatan dan
cenderung membentuk tajuk yang berkesinambungan.
3. Lapisan pepohonan ketiga (stratum C)
Lapisan ketiga ini biasa juga dinamakan tingkat bawah. Terdiri dari tumbuhan
dengan tinggi antara 5-15 meter. Tumbuhan stratum ini cendrung membentuk lapisan
yang rapat.
4. Lapisan belukar (stratum D)
Lapisan stratum D terdiri dari jenis dengan ketinggian yang umumnya kurang
dari lima meter, dan memiliki percabangan dekat dengan permukaan tanah karena
tidak mempunyai sumbu utama.
5. Lapisan terna (stratum E)
Lapisan stratum E merupakan tumbuhan paling bawah yang terdiri dari herba
dan terna atau tumbuh-tumbuhan penutup bawah (cover ground). Kelompok ini
memiliki ketinggian antara 0-1 meter.
Soerianegara dan Indrawan (1983), menyatakan bahwa klasifikasi pohon
dapat dibedakan berdasarkan tahapan perkembangan dan kelas diameter batang
setinggi dada adalah sebagai berikut :
1. Semai (seedling), permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1 meter.
2. Pancang (sapling), pemudaan yang tingginya lebih dari 1 meter sampai pohon
muda dengan diameter batang setinggi dada kurang dari 10 cm.
3. Tiang (pole), pohon muda dengan diameter batang setinggi dada 10-35 cm.
4. Pohon dewasa, pohon dengan diameter batang setinggi dada lebih dari 35 cm
2.6 Analisis Tumbuhan Berdasarkan Faktor Ekologi
Untuk dapat melangsungkan kehidupan dan bertahan dalam waktu yang lama,
tumbuhan harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Kemampuan
menyesuaikan diri terhadap kelembaban dan pH tanah, kelembaban udara, ketinggian
tempat, dan intensitas cahaya merupakan alasan yang dapat menjelaskan keberadaan
suatu tumbuhan di tempat hidupnya. Jenis pada lapisan tertinggi misalnya,
memperoleh cahaya matahari lebih cerah, kelembaban lebih rendah, serta angin lebih
kencang dan suhu lebih tinggi dibandingkan dengan jenis dari lapis tajuk. Suatu jenis
lapis rendah dapat hidup dalam intensitas cahaya yang lebih rendah, kelembaban
yang tinggi dan udara lebih dingin.
Faktor-faktor ekologi yang merupakan kondisi lingkungan yang
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan tumbuhan-tumbuhan meliputi :
1. Faktor iklim
Iklim merupakan salah satu faktor alam yang penting dalam pengatur
kehidupan tumbuhan. Faktor iklim terdiri dari cahaya, temperatur, angin, dan
kelembaban udara.
2. Faktor edaphik
Perbedaan tanah dapat membedakan vegetasi dan iklim yang sama, sehingga
tanah mempunyai arti yang besar dalam proses penyebaran komunitas tumbuhan.
Faktor-faktor edaphik penting yang dapat mempengaruhi tumbuhan adalah
kelembaban, kesuburan, temperatur, pH, warna, aerasi, dan organisme dalam tanah.
3. Faktor fisiografi atau topografi
Faktor fisiografi ini meliputi struktur dan sifat-sifat permukaan bumi, dengan
ciri-ciri topografi seperti elevasi/ketinggian dan kemiringan lereng dengan proses
perubahannya seperti sedimentasi, erosi dan akibat yang ditimbulkan pada daerah
setempat.
4. Faktor biotik
Faktor biotik adalah aktivitas organisme yang beraneka ragam dapat
menimbulkan dampak terhadap vegetasi.
Faktor fisik lingkungan dapat mempengaruhi distribusi jenis tumbuhan,
karena kondisi lingkungan pada keadaan tertentu dapat menyebabkan kematian
terhadap beberapa jenis tumbuhan terutama sekali terhadap kecambah dan semai
pohon yang tersebar pada lantai hutan. Lebih jauh lagi komposisi vegetasi yang
terdapat di lantai hutan dapat menentukan tipe komunitas yang akan terbentuk pada
masa yang akan datang (Hardiansyah, 2004).
Walaupun penyebaran tumbuhan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
akan tetapi komposisi lingkungan tersebut tidak menimbulkan pengaruh yang sama
pada setiap jenis. Suatu faktor lingkungan yang cukup kritis atau merupakan ambang
bagi suatu jenis tumbuhan, tidak akan begitu berpengaruh terhadap jenis tumbuhan
lainnya yang berada pada lingkungan yang sama (Polunin, 1990).
2.7 Suksesi
Proses perubahan dalam komunitas yang berlangsung menuju ke satu arah
secara teratur disebut suksesi. Suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi
lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan
sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimaks atau telah mencapai
homeostatis. Dapat diartikan bahwa komunitas sudah dapat mempertahankan
kestabilan internalnya sebagai akibat dari tanggap (response) yang terkoordinasi dari
komponen-komponen terhadap setiap kondisi atau rangsangan yang cendrung
menggangu kondisi atau fungsi normal komunitas (Ewusie, 1990).
Frick, H. dan Suskiyanto B.FX. (1998) mengemukakan bahwa lingkungan
alam selalu mengalami perubahan-perubahan dalam ekosistem. Perubahan-perubahan
atau pergantian-pergantian pada ekosistem tersebut terjadi tanpa ataupun dengan
campur tangan manusia. Perubahan ekosistem ini disebut suksesi ekologi dan dapat
diterangkan sebagai berikut :
1. Perkembangan komunitas teratur yang menyangkut perubahan susunan jenis dan
proses-proses komunitas
2. Perubahan-perubahan fisik akibat pengaruh pekerjaan komunitas
3. Mencapai puncak (klimaks) pada waktu terjadi ekosistem stabil dengan biomassa
dan fungsi kerja sama antar organisme dan komunitas ada pada titik maksimum
Komunitas yang terlihat stabil dan permanen, misalnya hutan, terdapat unsur-
unsur perubahan yang bersinambungan. Perubahan-perubahan berupa perbaikan-
perbaikan secara berkelanjutan merupakan regenerasi secara alami, sedangkan yang
dikelola oleh manusia perubahan regenerasinya terjadi dalam waktu tertentu.
Sehingga regenerasi hutan di kelompokkan menjadi dua tipe, yaitu regenerasi alami
(unmanage forest) dan tipe yang dikelola oleh manusia (manage forest).
2.7.1 Suksesi Primer
Diantara keadaan ekstrem yang lazim ditemukan diberbagai tempat untuk
pemtumbuhanan koloni pertama adalah permukaan kering seperti batuan gundul atau
permukaan yang sangat basah seperti air yang tergenang. Suksesi primer terjadi
apabila komunitas asal terganggu yang mengakibatkan hilangnya komunitas asal
secara keseluruhan sehingga di tempat komunitas asal tertumbuhan habitat baru. Pada
habitat baru ini tidak ada lagi organisme yang memtumbuhan komunitas asal yang
tertinggal. Gangguan dapat terjadi secara alami (separti tanah longsor, letusan gunung
berapi, endapan lumpur baru di muara sungai dan endapan pasir di pantai) atau dibuat
oleh manusia (penambangan timah dan batu bara). Pada substrat yang baru akan
berkembang suatu komunitas yang baru pula. Biji, spora dan benih dalam tumbuhan
lain datang dari luar dan sampai kesubstrat baru tersebut dibawa oleh angin, air dan
atau hewan (Ewusie, 1990).
Suksesi primer biasanya terjadi jika tumbuhan dan tanah tidak ada dan pada
umumnya sebagai akibat dari ganguan geologi. Dapat pula terjadi apabila komunitas
asal terganggu yang menyebabkan hilangnya komunitas asal secara keseluruhan
sehingga di tempat komunitas asal tertumbuhan habitat baru. Tumbuhan yang
pertama tumbuh adalah tumbuhan jenis pioneer yang mempunyai toleransi yang
tinggi terhadap segala faktr lingkungan.
Pada habitat yang ekstrim yang terdiri atas batu-batuan padat dan keras,
organisme yang pertama dapat hidup biasanya adalah ganggang dan lumut kerak.
Suksesi primer yang berawal dari habitat kering disebut suksesi xerark, sedangkan
yang bermula dari air yang tergenang dikenal dengan suksesi hidrark. Dalam masing-
masing jenis ini, suksesi primer dimulai dengan komunitas perintis yang mempunyai
kesamaan mencolok tanpa tergantung pada iklim (Resosoedarmo, 1988).
2.7.2 Suksesi Sekunder
Suksesi sekunder merujuk pada suksesi yang bermula dari daerah yang
sebelumnya pernah dihuni oleh tumbuhan, dan mempunyai sisa natabah atau bijinya.
Suksesi sekunder terjadi apabila suatu komunitas atau ekosistem terganggu baik
secara alami ataupun karena manusia, dan gangguan tersebut tidak menimbulkan
kerusakan total pada komunitas asalnya sehingga pada komunitas asal tersebut masih
terdapat substrat lama dan kehidupan. Banjir, gelombang laut, penebangan hutan
adalah contoh gangguan yang menimbulkan suksesi sekunder.
Fase suksesi sekunder yang terjadi baik melalui proses-proses alami seperti
pemtumbuhanan rumpang dan pengisiannya kembali di hutan maupun sebagai akibat
dari penggembalaan atau kebakaran di savana. Suksesi sekunder mengikuti tahap-
tahap yang sama seperti suksesi primer, tetapi tanpa tahap awal kolonisasi pada
substrat organik dan tanpa pemtumbuhanan tanah berikutnya (Deshmukh, 1992). Jika
pohon tumbang, baik karena mati maupun sebab-sebab luar (badai, tanah longsor,
petani berpindah), suatu rumpang dalam tajuk hutan akan tertumbuhan, kemudian
akan diisi oleh pohon lain.
Proses-proses selanjutnya yang akan menjurus terciptanya kembali suatu tajuk
yang rapat dan sangat bervariasi dengan jenis-jenis yang makin lama makin besar
(tetapi tumbuh lebih lambat dan toleran terhadap naungan) yang akhirnya tumbuh
lebih tinggi dari jenis-jenis perintis dan menyebakan kematian jenis pioneer tersebut
naungannya.
Jika suatu pohon mati di hutan, maka akan tertumbuhan suatu gap atau kesenjangan
pada stratum dimana pohon tersebut berada. Tetapi kondisi terdapat kesenjangan atau
tidak, proses regenerasi tetap memerlukan sejumlah anakan (seedling), pohon remaja
(sapling), dan pohon-pohon dewasa untuk kelangsungan proses regenerasi (Ewusie,
1990).
2.8 Metode Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi tumbuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aspek
taksonomi. Pada umumnya para sistematis menggunakan sejumlah metoda untuk
mendapatkan identifikasi yang benar dari suatu jenis tumbuhan (Tjitrosoepomo,
1998).
Spesimen yang tidak diketahui dapat diidentifikasi dengan menggunakan
kunci determinasi. Alat yang digunakan untuk memudahkan proses identifikasi
tumbuhan yang tidak diketahui dengan menggunakan serangkaian pilihan terhadap
dua atau lebih pernyataan (deskripsi) disebut sebagai kunci. Selain itu, orang yang
faham mengenai sejumlah besar tumbuhan pada suatu daerah biasanya dapat
mengenali dan memberikan nama yang sesuai terhadap sejumlah spesimen
(Tjitrosoepomo, 1998).
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan pada subbab
berikut.
3.1.1 Bahan
Bahan penelitian yang digunakan adalah kantung plastik untuk menyimpan
spesimen yang diawetkan secara sementara, kertas koran bekas untuk menyimpan
spesimen, amplop, tali rafia, dan label gantung.
3.1.2 Alat
Alat yang digunakan adalah peta lokasi, GPS (Global Positioning System),
untuk menentukan koordinat, kompas, soiltaster atau pH meter, altimeter,
termohigrometer, plannimeter, meteran gulung 50 meter, diameter batang, golok
tebas, kamera, Blume Leisz atau Clinometer, Munsell soil colour chart, alat tulis,
protaktor, kertas milimeter blok, buku identifikasi (Backer, CA and Bakkuizen v/d
Brink RC Jr. Flora of Java, Vol I, II, dan III).
3.2 Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian meliputi : survey pendahuluan,
transek sabuk, metode Profil Diagram dan identifikasi tumbuhan.
3.2.1 Survey Pendahuluan
Survey dilakukan untuk mengetahui gambaran umum tumbuhan dan untuk
menentukan peletakan areal penelitian. Dalam melakukan penelitian terlebih dahulu
mempertimbangkan kondisi fisik meliputi keanekaan tumbuhan, ketinggian lokasi,
kemiringan lereng dan jenis substrat. Tujuan survey pendahuluan adalah untuk
mengetahui adanya perbedaan tumbuhan hutan diantara kondisi fisik lokasi yang
berbeda.
3.2.2 Metode Transek Sabuk
Transek adalah jalur sempit melintang pada daerah yang akan dipelajari.
Tujuan dari metode transek sabuk ini untuk mengetahui jenis tumbuhan yang berada
didalam daerah secara cepat. Transek sabuk merupakan jalur tumbuhan yang lebarnya
sama dan sangat panjang. Lebar jalur ditentukan oleh sifat tumbuhan untuk
menunjukan bagian yang sebenarnya. Lebar jalur untuk hutan berkisar antara 1-10
meter. Panjang transek dibentangkan sepanjang 200 meter didalam lokasi penelitian.
Lokasi penelitian dibagi menjadi dua, yaitu Transek Cimanggu dengan
ketinggian >80 m dpl (diatas permukaan laut), dan Transek Karang Pandan dengan
ketinggian <20 m dpl. Peletakan dua transek tersebut bertujuan untuk mengetahui
tingkat keragaman jenis tumbuhan pada ketinggian yang berbeda serta mewakili
kondisi tumbuhan pada Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran.
Peletakan transek dilakukan secara tegak lurus dari bibir pantai dengan tujuan
mengetahui zonasi penyebaran jenis-jenis tumbuhan.
3.2.3 Metode Profil Diagram
Metode Profil Diagram digunakan untuk memahami struktur tumbuhan. Profil
Diagram yang digambarkan adalah struktur tumbuhan suatu daerah yang merupakan
sampel perwakilan dari suatu daerah tertentu secara vertikal dan horizontal (Mueller-
Dumbois, 1974).
Gambar 3.1 Langkah penggambaran struktur vertikal dan horizontal
3.2.4 Metode Identifikasi
Identifikasi tumbuhan selalu didasarkan atas spesimen (bahan) yang nyata,
baik spesimen yang masih hidup atau yang telah diawetkan. Identifikasi spesimen
yang belum dikenal, dapat dilakukan dengan studi deskripsi di samping gambar-
gambar terinci mengenai bagian-bagian tumbuhan yang memuat ciri-ciri
diagnostiknya (Tjitrosoepomo, 1998). Identifikasi nama jenis tumbuhan dilakukan
secara langsung dengan buku panduan lapangan dan kunci identifikasi baik dari
famili sampai ke tingkat jenis. Sedangkan identifikasi nama lokal tumbuhan
dilakukan dengan metode wawancara terhadap pengelola atau masyarakat yang sudah
dianggap ahli.
3.3 Langkah Kerja/Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian meliputi peletakan transek sabuk, Profil Diagram dan
identifikasi tumbuhan.
3.3.1 Transek Sabuk
Dibuat plot berbentuk bujur sangkar yang berukuran 10x10 meter dalam
daerah penelitian. Transek sabuk dibentangkan sepanjang 200 meter sebanyak dua
buah dengan tujuan dapat menggambarkan kondisi tumbuh-tumbuhan yang berada di
Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran. Titik awal dan titik akhir transek
dicatat koordinatnya kemudian tali rafia dibentangkan dan diukur menggunakan
meteran gulung. Setiap kelipatan 10 meter, tali rafia diberi tanda.
3.3.2 Profil Diagram
Bengen (2002), menyatakan bahwa pada setiap stasiun pengamatan tumbuhan
harus mewakili wilayah pencuplikan dan dapat diasumsikan mewakili setiap zona
hutan yang terdapat di wilayah pencuplikan.
Data fisik lapangan dilakukan di dalam plot penelitian. Parameter yang diukur
antara lain, ketinggian tempat, kemiringan lereng, temperatur udara, kelembaban
udara, warna tanah, keasaman tanah, kelembaban tanah, persentase penutupan
seresah, ketebalan seresah.
Data komunitas tumbuhan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Nama spesies tumbuhan yang berada dalam plot pengamatan dicatat, baik nama
latin maupun nama daerahnya.
b. Diukur diameter batang setinggi dada dengan menggunakan diameter tape.
a b
Gambar 3.2 Pengukuran DBH: a. (Oldeman, 1979); b. Pengukuran di lokasi
penelitian
c. Diukur tinggi pohon dan letak percabangan pertama dengan menggunakan Blume
leisz, dimana pengukur berdiri pada jarak 15, 20, 30, atau 40 meter dari pohon
yang akan diukur. Kemudian membidik ujung tajuk pohon dan letak percabangan
pertama untuk memperoleh tinggi tajuk dan tinggi percabangan pertamanya.
Gambar 3.3 Blume Leisz
d. Jarak absis dan ordinat dicatat dari lokasi pohon di dalam plot pengamatan
dengan menggunakan meteran.
Gambar 3.4 Cara mengukur koordinat pohon
e. Penaksiran tutupan kanopi empat arah (utara, selatan, timur dan barat atau depan,
belakang, kanan, dan kiri) dilakukan dari pangkal pohon dengan menggunakan
meteran.
f. Dilakukan pengukuran dari bayangan kanopi di tanah atau dengan melihat
langsung, yang perlu diperhatikan pada saat penggambaran vertikal di milimeter
blok adalah kecendrungan ke arah mana condongnya pohon.
g. Gambaran Profil Diagram dibuat secara keseluruhan baik horizontal maupun
vertikal setelah data terkumpul.
Kondisi struktur tumbuhan dilakukan dengan cara penggambaran ruang
vertikal dan horizontal pada kertas millimeter blok dengan skala 1:100.
3.3.3 Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi jenis dilakukan dengan menggunakan studi literatur. Wawancara
baik nama ilmiah maupun daerah tumbuhan yang berada di lokasi penelitian
dilakukan dengan mengacu pada orang ahli atau responden yang dianggap menguasai
bidang ilmu yang bersangkutan. Responden dapat berasal dari dosen, mahasiswa,
masayarakat atau pihak pengelola Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung
Pangandaran.
3.4 Analisis Data Lapangan
Analisis data lapangan dilakukan dengan melakukan analisis terhadap
komposisi jenis tumbuhan, analisis kualitatif struktur tumbuhan dan analisis
kuantitatif tumbuhan.
3.4.1 Komposisi Jenis Tumbuhan
Tumbuhan yang berada didalam transek pengamatan akan dikelompokan
berdasarkan pertelaan jenis tumbuhan dan bentuk pertumbuhannya Jacobs (1981).
Pengelompokan dilakukan untuk mengetahui komposisi tumbuhan, jumlah jenis,
marga suku dan bentuk pertumbuhan dari jenis yang menyusun tumbuhan tersebut.
3.4.2 Analisis Kualitatif Struktur Tumbuhan
Analisis data kualitatif yang digunakan di lapangan adalah dengan
mengidentifikasi tumbuhan yang terdapat dalam plot penelitian, kemudian jenis-jenis
tumbuhan tersebut di golongkan ke dalam lima strata yaitu A, B, C, D dan E sehingga
diperoleh komposisi tumbuhan penyusun lokasi penelitian.
3.4.2.1 Struktur Vertikal Tumbuhan
Struktur dan komposisi tumbuhan dapat diperoleh dari penggambaran ruang
vertikal dan horizontal dari Profil Diagram. Sedangkan data-data yang diperlukan
untuk pembuatan Profil Diagram diambil dari hasil pengukuran (kuantitatif), antara
lain nama latin dan nama daerah tumbuhan, koordinat, diameter batang, ketinggian
cabang pertama, ketinggian tumbuhan, luas tajuk, dan arsitektur tumbuhan.
3.4.2.2 Struktur Horizontal Tumbuhan
Data jumlah keberadaan jenis pada setiap plot yang digunakan untuk
menghitung frekuensi, data jumlah individu jenis digunakan untuk mengetahui
tingkat kerapatan, dan data diameter batang dan luas tajuk untuk mengetahui
dominansi masing-masing jenis. Penjumlahan nilai relatif dari ketiga variabel
(frekuensi, kerapatan, dan dominansi) digunakan untuk menentukan nilai penting
masing-masing jenis tumbuhan.
3.4.3 Analisis Kuantitatif Tumbuhan
Komposisi jenis adalah pengelompokan jenis berdasarkan fungsi. Muller-
Dumbois & Ellenberg (1974), mengemukakan bahwa perhitungan analisis data
mengikuti cara sebagai berikut :
3.4.3.1 Frekuensi (Frequency)
Frekuensi jenis tumbuhan adalah jumlah plot penelitian yang ditemukannya
suatu spesies. Untuk kepentingan analisis tumbuhan, frekuensi spesies (F), frekuensi
mutlak (FM); spesies ke-i (FMi), frekuensi relatif spesies ke-i (FRi) dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
FM = ������ �� ����� �� ���� � ��������� ���� ���� ��
������ �� ����� ��
FMi = ������ �� ����� �� ���� � ��������� ���� �� ��−�
������ ��
FRi = �� ∑ �� x 100%
3.4.3.2 Kerapatan (Density)
Kerapatan adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume. Untuk
kepentingan analisis tumbuhan, istilah kerapatan mempunyai arti yang sama dengan
densitas dan diberi notasi K. Kerapatan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
K = ������ �� � ��
���� �� �� ����� ��
Kerapatan mutlak spesies ke-i dapat dihitung sebagai KMi, dan kerapatan
relatif setiap spesies ke-i dapat dihitung sebagai KRi.
KMi = ������ �� � �� ���� ���� �� ��−�
���� �� �� ����� ��
KRi = �� ∑ �� x 100%
3.4.3.3 Dominansi (Dominance)
Dominansi merupakan perhitungan untuk luas penutupan (coverage) jenis
terhadap luas seluruh plot pengamatan. Luas penutupan dapat dinyatakan dengan
menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (basal area). Analisis
data dalam menghitung persentase dominansi adalah sebagai berikut :
Stratum A, B dan C
DMi = � ����� ���� ���� �� ��
� ����� ����
DRi = !�
∑ ����� ���� x 100%
Stratum D dan E
DMi = ∑ Luas penutupan tajuk per spesies dalam plot
∑ Luas wilayah transek penelitian
DRi = !� ∑ !� x 100%
Dimana; DMi = Dominansi mutlak spesies ke-i
Σ Basal area spesies ke-i = Total luas diameter batang setinggi dada
spesies ke-i
DRi = Dominansi relatif spesies ke-i
3.4.3.4 Indeks Nilai Penting / INP (Importace Value Index)
Muller-Dumbois & Ellenberg (1974), menyatakan bahwa nilai penting
merupakan hasil penjumlahan kuantitatif relatif (frekuensi dan kerapatan) yang dapat
menunjukan parameter ekologi distribusi tumbuhan yang signifikan dibandingkan
pada dominan absolut. Soegianto (1994) mengemukakan INP adalah parameter
kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi jenis-jenis dalam
masyarakat tumbuhan.
INP = FR + KR + DR
Suatu jenis tumbuhan yang memiliki nilai penting tinggi menunjukan bahwa
spesies itu lebih dominan dibandingkan dengan jenis lain. Nilai penting berkisar
antara 0 – 300. Nilai penting dapat menggambarkan mengenai pengaruh suatu jenis
dalam komunitas dan dapat menunjukan suatu proses suksesi.
3.4.3.5 Indeks Kesamaan (Similarity Index)
Merupakan harga besaran kesamaan jenis-jenis yang tercatat pada dua habitat
yang berbeda. Semakin besar nilai indeks kesamaan, maka menandakan semakin
banyak kesamaan jenis yang terdapat di kedua habitat atau lokasi yang dibandingkan.
Menurut Sørensen (1948) dalam Muller-Dumbois & Ellenberg (1974) menyatakan
bahwa rumus indeks kesamaan adalah sebagai berikut :
ISs = 56
78� x 100%
Dimana : ISs = Indeks kesamaan menurut Sørensen
C = Jumlah jenis yang terdapat pada dua contoh yang dibedakan
A = Jumlah semua jenis yang terdapat di lokasi A
B = Jumlah semua jenis yang terdapat di lokasi B
3.4.3.6 Indeks Keanekaan (Diversity Index)
Penilaian terhadap keanekaan tumbuhan penyusun komunitas, dilakukan
dengan menggunakan indeks keanekaan Shannon-Wiener (Ĥ) sebagai berikut :
Ĥ = − ;{=>�? @A
BCDE> =>�? @}
Dimana : Ĥ = Indeks keanekaan, di setiap lokasi
ni = Jumlah individu jenis i
N = Jumlah seluruh individu, di setiap lokasi
3.4.3.7 Indeks Kerataan (Evenness Index) – Indeks Pielou (1977) (Ludwig and
Reynolds, 1988)
Penilaian derajat perataan jumlah individu suatu jenis dalam komunitas
dilakukan dengan menggunakan Indeks Perataan sebagai berikut:
Ĵ = H ĤE> IJ
Dimana : Ĵ = Indeks kerataan jenis, di setiap lokasi
Ĥ = Indeks keanekaan, di setiap lokasi
s = Jumlah jenis, di setiap lokasi
Indeks Perataan menunjukan nilai perataan relatif (keseragaman) dari jumlah
individu setiap jenis pada suatu komunitas. Semakin tinggi nilai indeks perataan,
maka semakin merata jumlah individu pada setiap jenis pada komunitas tersebut.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Fisik Lapangan
Cagar Alam Pananjung Pangandaran merupakan tipe hutan hujan tropis yang
berada di daerah Jawa Barat bagian selatan. Penelitian ini menggunakan dua stasiun
penelitian, yaitu daerah Cimanggu dan Karang Pandan. Letak Transek Cimanggu
dapat ditempuh sekitar 2 jam waktu normal dari Kantor Resort BKSDA dengan
medan yang relatif terjal. Sedangkan lokasi Transek Karang Pandan dapat ditempuh
melalui jalur Pantai Timur dengan menghabiskan waktu selama 1,5 jam perjalanan
normal.
Transek Cimanggu adalah tempat paling selatan yang terdapat di Cagar Alam
Pananjung Pangandaran. Transek Cimanggu merupakan titik awal peletakan transek
penelitian dengan koordinat 07˚ 43’ 40.10” LS 108˚ 40’ 06.72” BT sampai 07˚ 43’
33.62” LS 108˚ 40’ 06.98” BT dengan ketinggian 80m dpl dan berbatasan langsung
dengan Samudra Hindia. Sedangkan Transek Karang Pandan adalah tempat yang
berada disebelah tenggara dari Pulau Pananjung yang merupakan bagian dari pantai
selatan Pananjung Pangandaran. Transek Karang Pandan merupakan titik kedua
transek penelitian dengan koordinat 07 43’ 02.27 LS 108˚ 40’ 32.44” BT sampai 07˚
43’ 02.29” LS 108˚ 40’ 25.86” (Gambar 4.3). Hal ini dikarenakan perbedaan kontur
yang ditemukan di setiap lokasi serta untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan pada
ketinggian yang berbeda (Tabel 4.1 dan Tabel 4.2).
Tabel 4.1 Kondisi Fisik Transek Cimanggu
No. Data Fisik
Plot
Σ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1 Temperatur Udara (˚C) 32 32 30 30 30 29 29 29 28 28 28 29 28 28 27 26 28 28 28 28 28.75
2 Kelembaban Udara (%) 80 80 86 86 86 86 86 82 80 80 82 84 86 86 86 90 86 86 86 86 84.5
3 Kelembaban Tanah (%) 70 80 80 80 82 80 82 82 85 85 85 85 85 90 90 90 90 90 85 85 84.05
4 pH Tanah 5 5 5.5 5.5 5.5 6 5.5 5.5 5.5 5.5 5.5 5 5 5.2 5.2 5 5 5.2 5.2 5.2 5.3
5 Ketebalan Seresah (cm) 0-3 0-3 0-5 1-5 1-5 1-5 1-5 1-5 1-5 1-5 3-5 3-5 5-10 5-15 5-20 5-15 5-10 5-10 3-5 3-5 2,5-7
6 Penutupan Seresah (%) 60 70 80 80 80 80 90 90 90 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 90 90.5
Sumber : data primer 2009
Tabel 4.2 Kondisi Fisik Transek Karang Pandan
No. Data Fisik Plot
Σ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1 Temperatur Udara (˚C) 42 41 38 34 34 32 32 31 30 29 29 29 30 29 28 28 27 28 28 28 31.35
2 Kelembaban Udara (%) 78 80 80 80 82 82 82 82 85 85 85 84 84 82 82 80 80 82 80 80 81.75
3 Kelembaban Tanah (%) 96 90 85 85 90 85 85 85 85 85 85 90 90 90 90 90 90 90 90 90 88.3
4 pH Tanah 5.8 5.8 6 6 6 5.8 5.8 6 5.6 5.6 5.6 5.6 5.4 5.4 5.2 5.2 5 5.2 5.2 5.4 5.58
5 Ketebalan Seresah (cm) 0-1 0-15 0-10 0-15 0-15 0-10 1-5 1-5 3-5 3-5 1-10 1-10 3-10 3-10 3-10 3-15 5-15 5-10 5-10 5-10 2-9
6 Penutupan Seresah (%) 5 10 20 20 20 20 40 40 50 50 75 75 80 80 90 100 100 100 100 90 58.25
Sumber : Data Primer 2009
100
4.1.1 Temperatur Udara
Titik awal kedua transek (Transek Cimanggu dan Transek Karang Panadan)
merupakan daerah yang terbuka, sehingga intensitas cahaya matahari sebesar 1,24 x
103 Candela dapat menjangkau ke lantai dasar plot tersebut. Plot pertama Transek
Cimanggu berhadapan langsung dengan laut, namun berada pada ketinggian 85 m dpl
dengan kondisi tebing. Hal ini menyebabkan pada plot pertama Transek Cimanggu
cukup terbuka. Sedangkan pada plot awal Transek Karang Pandan temperatur udara
mencapai ± 42˚C. Hal ini dikarenakan peletakan transek berada tepat pada batas
pasang permukaan air laut tertinggi. Selain itu, hanya stratum E dengan tinggi antara
0-1 meter yang menyusun plot awal Karang Pandan tersebut.
Temperatur udara terendah pada Transek Cimanggu berada dalam plot 16
yaitu 26˚C. sedangkan pada Transek Karang Pandan temperatur minimum mencapai
titik 27˚C yaitu pada plot 17. Rata-rata temperatur udara dalam Transek Cimanggu
adalah 28,75˚C, sedangkan temperatur udara rata-rata pada Transek Karang Pandan
adalah 31,35˚C. Perbandingan rata-rata temperatur udara pada kedua transek
dipengaruhi oleh ketinggian lokasi (Transek Cimanggu ± 85-100 m dpl dan Karang
Pandan ± 1-20 m dpl) serta dari tumbuhan yang berada dalam transek penelitian
tersebut.
4.1.2 Kelembaban Udara
Kelembaban udara yang berada didalam Transek Cimanggu berkisar 84,5%.
Kelembaban udara yang berada di dalam Transek Karang Pandan berkisar 81,75%.
Selisih kelembaban udara kedua transek adalah 2,75%. Kelembaban udara paling
101
rendah didalam Transek Cimanggu terdapat pada plot 1,2,9 dan 10 dengan nilai 80%.
Sedangkan daerah Transek Cimanggu yang paling lembab terdapat pada plot 16
dengan nilai 90%.
Kelembaban udara paling rendah didalam Transek Karang Pandan terdapat
pada plot 1 dengan nilai 78%. Sedangkan daerah Transek Karang Pandan yang paling
lembab terdapat pada plot 9, 10 dan 11 dengan nilai 85%. Kelembaban udara
menyatakan banyaknya uap air dalam udara. Kelembaban relatif adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan jumlah uap air yang terkandung di dalam
campuran air-udara dalam fasa gas.
4.1.3 Kelembaban Tanah
Kelembaban tanah yang berada didalam Transek Cimanggu berkisar 84,05%.
Kelembaban tanah yang berada didalam Transek Karang Pandan berkisar 88,3%.
Selisih kelembaban tanah dari kedua transek adalah 4.25%. Kelembaban tanah paling
rendah didalam Transek Cimanggu terdapat pada plot 1 dengan nilai 70%. Sedangkan
daerah Transek Cimanggu yang paling lembab terdapat pada plot 14, 15, 16, 17 dan
18 dengan nilai kelembaban masing-masing 90%.
Kelembaban tanah paling rendah didalam Transek Karang Pandan terdapat
pada plot 1 dengan nilai 78%. Sedangkan daerah Transek Karang Pandan yang paling
lembab terdapat pada plot 1 dengan nilai 96%. Hal ini dikarenakan oleh peletakan
transek yang terpengaruhi oleh titik pasang permukaan air laut tertinggi.
102
Kelembaban tanah merupakan salah satu variabel kunci dalam proses
hidrologi yang berperan penting dalam menentukan ketersediaan air sebagai unsur
yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia.
4.1.4 Keasaman Tanah
Keasaman tanah atau pH tanah yang berada didalam Transek Cimanggu
berkisar 5,3. pH yang berada didalam Transek Karang Pandan berkisar 5,58. Selisih
pH tanah dari kedua transek adalah 0.28. Kondisi tanah paling asam didalam Transek
Cimanggu terdapat pada plot 1, 2, 12, 13, 16 dan 17 dengan nilai 5. Sedangkan
kondisi tanah dengan keadaan mendekati normal pada Transek Cimanggu terdapat
dalam plot 6 dengan nilai keasaman 6. Hal ini disebabkan karena kondisi tanah
merupakan pasir yang terbasahi oleh air laut.
Kondisi tanah paling asam didalam Transek Karang Pandan terdapat pada plot
17 dengan nilai 5. Sedangkan kondisi tanah dengan keadaan mendekati normal (nilai
7) pada Transek Karang Pandan terdapat dalam plot 3, 4, 5 dan 8 dengan nilai
keasaman 6.
4.1.5 Ketebalan Seresah
Ketebalan seresah yang berada didalam Transek Cimanggu memiliki tebal
sekitar 2,5-7 cm. Ketebalan seresah yang berada didalam Transek Karang Pandan
memiliki tebal sekitar 2-9 cm. Ketebalan seresah paling tipis didalam Transek
Cimanggu terdapat pada plot 1 dan 3 dengan tebal 0-3 cm. Sedangkan daerah Transek
Cimanggu yang paling tebal terdapat pada plot 15 dengan ketebalan 5-20 cm.
103
Ketebalan seresah paling tipis didalam Transek Karang Pandan terdapat pada
plot 1 dengan tebal 0-1 cm. Sedangkan daerah Transek Karang Pandan yang paling
tebal terdapat pada plot 17 dengan ketebalan 5-15 cm. Ketebalan seresah didalam
suatu plot sangat dipengaruhi oleh vegetasi penyusunnya.
4.1.6 Persentase Penutupan Seresah
Penutupan seresah yang berada didalam Transek Cimanggu berkisar 90,5%.
Penutupan seresah yang berada didalam Transek Karang Pandan berkisar 58,25 %.
Selisih penutupan seresah dari kedua transek adalah 32,25%.
Penutupan seresah paling rendah didalam Transek Cimanggu terdapat pada
plot 1 dengan nilai 60%. Sedangkan penutupan seresah dalam Transek Cimanggu
yang paling besar terdapat pada plot 10 sampai 19 dengan nilai penutupan masing-
masing 100%.
Penutupan seresah paling rendah didalam Transek Karang Pandan terdapat
pada plot 1 dengan nilai 5%. Sedangkan penutupan seresah dalam Transek Karang
Pandan yang paling besar terdapat pada plot 16, 17, 18 dan 19 dengan nilai 100%.
Besaran persantase penutupan seresah didalam plot penelitian sangat dipengaruhi dari
jenis dan jumlah vegetasinya.
4.2 Komposisi Jenis Tumbuhan
Hasil identifikasi jenis tumbuhan yang berada dalam Transek Cimanggu
Cagar Alam Pananjung Pangandaran bagian Selatan yaitu berupa pohon, tiang,
pancang dan anakan. Telah ditemukan sebanyak 46 jenis, 43 marga dan 28 suku yang
104
terdapat di Transek Cimanggu dengan ketinggian >85 m dpl. Sedangkan pada
Transek Karang Pandan yang memiliki ketinggian 1-20 m dpl ditemukan sebanyak 45
jenis, 40 marga, dan 27 suku.
Tumbuhan yang hidup didalam kedua transek ditemukan sebanyak 23 jenis,
20 marga dan 14 suku. Tumbuhan yang hidup hanya berada didalam Transek
Cimanggu ditemukan sebanyak 23 jenis, 23 marga dan 20 suku. Sedangkan tumbuhan
yang hanya hidup di Transek Karang Pandan ditemukan sebanyak 22 jenis, 22 marga
dan 18 suku. Hal ini disebabkan karena perbedaan kondisi fisik sangat mempengaruhi
baik morfologi ataupun pertumbuhan dari jenis-jenis tumbuhan penyusun Cagar
Alam bagian Selatan Pananjung Pangadaran (Lampiran 6).
Didalam diagram profil tersebut, telah dibuat sebanyak 20 plot untuk dapat
memberikan gambaran struktur tumbuhan pada daerah penelitian. Komposisi
tumbuhan tersusun oleh 67 jenis dengan 34 suku. Rubiaceae, Myrtaceae, Myrsinaceae
dan Euphorbiaceae merupakan suku dengan jenis terbanyak dari kelompok tumbuhan
(Diagram 4.1).
Suku Rubiaceae tersusun dari 4 jenis, diantaranya adalah Soka Leuweung
(Ixora salicifolia). Balundeng (Ixora nigricans), Pacok Gaok (Hedyotis herbacea)
dan Cangkudu (Morinda citrifolia). Soka Leuweung adalah tumbuhan yang hanya
sekali ditemukan dalam areal penelitian yaitu pada Transek Karang Pandan. Hal ini
dipengaruhi oleh kondisi abiotik yang mencakup faktor kimia dan fisik baik tanah
maupun udara serta kondisi kontur dan ketinggian areal penelitian. Selain itu, kedua
jenis ini tidak dapat bersaing dengan jenis lain baik penyerapan zat hara maupun
intensitas cahaya matahari yang terhalang tajuk tumbuhan lain dalam kedua transek
tersebut.
Diagram 4.1 Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di Cagar Alam Bagian
Selatan Pananjung Pangandaran
Jenis dari suku yang paling sering dijumpai adalah Ki Andong (
cinerea) pada Transek Cimanggu dan Kopo (
Karang Pandan, keduanya termasuk kedalam suku Myrtaceae. kedua jenis ini
0
1
2
3
4
5
Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di
Cagar Alam Bagian Selatan Pananjung
1 Amarilidaceae
5 Ebenaceae
9 Podocarpaceae
13 Tiliaceae
17 Araceae
21 Menispermaceae
25 Arecaceae
29 Lauraceae
33 Myrtaceae
intensitas cahaya matahari yang terhalang tajuk tumbuhan lain dalam kedua transek
(Sumber: Data Primer, 2009)
Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di Cagar Alam Bagian
n Pananjung Pangandaran
Jenis dari suku yang paling sering dijumpai adalah Ki Andong (
) pada Transek Cimanggu dan Kopo (Euginia densiflora
Karang Pandan, keduanya termasuk kedalam suku Myrtaceae. kedua jenis ini
Suku-Suku Tumbuhan
Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di
Cagar Alam Bagian Selatan Pananjung
Pangandaran
1 Amarilidaceae 2 Anacardiaceae 3 Aspleniaceae
5 Ebenaceae 6 Flacourtiaceae 7 Malvaceae
9 Podocarpaceae 10 Rutaceae 11 Solanaceae
13 Tiliaceae 14 Urticaceae 15 Zingiberaceae
18 Asteraceae 19 Combretaceae
21 Menispermaceae 22 Moraceae 23 Pandanaceae
25 Arecaceae 26 Clussiaceae 27 Dilleniaceae
29 Lauraceae 30 Sapindaceae 31 Euphorbiaceae
33 Myrtaceae 34 Rubiaceae
105
intensitas cahaya matahari yang terhalang tajuk tumbuhan lain dalam kedua transek
Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di Cagar Alam Bagian
Jenis dari suku yang paling sering dijumpai adalah Ki Andong (Rhodamnia
Euginia densiflora) pada Transek
Karang Pandan, keduanya termasuk kedalam suku Myrtaceae. kedua jenis ini
Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di
Cagar Alam Bagian Selatan Pananjung
4 Convolvulaceae
8 Phyllanthaceae
12 Theaceae
16 Apocynaceae
20 Cyperaceae
24 Vitaceae
28 Fabaceae
32 Myrsinaceae
106
ditemukan pada kedua transek. Perbedaan yang mencolok dari kedua jenis tersebut
adalah bentuk arsitektur pohonnya (Gambar 4.1 dan 4.2).
4.3 Analisis Kualitatif Struktur Tumbuhan Model arsitektur pohon merupakan salah satu ciri morfologi yang penting
artinya dalam pencirian masing-masing pohon. Konsep model arsitektur pohon
berkembang sejak tahun 1970-an yang merupakan hasil sintesis dari konsep pada
bidang teknik arsitektur, morfologi tumbuhan dan taksonomi tumbuhan.
Perkembangan konsep model arsitektur yang dipelopori oleh Halle, Oldeman, dan
Tomlison (1978), pada awalnya bertujuan untuk melengkapi ciri pembeda jenis
pohon tertentu.
Model arsitektur pohon merupakan gambaran morfologi pada suatu waktu
yang merupakan hasil rangkaian seri pertumbuhan yang nyata dan dapat diamati
setiap saat. Model arsitektur biasanya diterapkan untuk tumbuhan berhabitus pohon
sebagai gambaran dari salah satu fase dalam rangkaian proses pertumbuhannya yang
diwariskan secara genetik pada keturunannya. Variasi model arsitektur pohon akan
memberikan dampak bagi fungsi dan peranan pohon tersebut dalam komunitasnya
maupun dalam ekosistem secara keseluruhan.
Komposisi jenis tumbuhan didalam transek dikelompokkan berdasarkan
masing-masing stratum. Pengelompokan tumbuh-tumbuhan dibagi kedalam lima
stratum dan empat kategori tumbuhan (Lampiran 2 dan Lampiran 3).
107
4.3.1 Struktur Vertikal Tumbuhan
Struktur vertikal tumbuhan adalah gambaran mengenai tegakan tumbuhan
yang hidup di dalam daerah penelitian. Tegakan ini meliputi arsitektur dan stratum
tumbuhan. Model arsitektur pohon merupakan salah satu ciri morfologi tumbuhan
yang penting artinya dalam pencirian masing-masing pohon. Konsep model arsitektur
pohon berkembang sejak tahun 1970 yang merupakan hasil sintesis dari konsep pada
bidang teknik arsitektur, morfologi dan taksonomi tumbuhan. Perkembangan konsep
model arsitektur yang dipelopori oleh Halle, Oldeman & Tomlison (1978), pada
awalnya bertujuan untuk melengkapi ciri pembeda jenis pohon tertentu.
4.3.1.1 Struktur Vertikal Tumbuhan Penyusun Transek Cimanggu
Peletakkan Transek Cimanggu berada di paling Selatan Pananjung
Pangandaran yang termasuk kedalam Cagar Alam bagian selatan. Titik awal
diletakkan pada tebing dengan ketinggian ± 85 m dpl. Blok Cimanggu ini diberi
nama berdasarkan banyaknya jenis Manggu Leuweung (Garcinia mangostana) oleh
petugas BKSDA Pangandaran. Namun, jenis Manggu Leuweung pada transek ini
tidak begitu banyak, tercatat sebanyak 26 individu baik dari Stratum B sampai
Stratum E.
Jenis yang paling banyak ditemukan pada Transek Cimanggu adalah Ki Kores
(Litsea cassiaefolia) sebanyak 77 individu dari Stratum C sampai Stratum E. Hal ini
menandakan bahwa jenis Ki Kores akan menjadi lebih dominan pada masa yang akan
datang. Namun, selama survey pendahuluan peneliti tidak menemukan jenis Ki Kores
108
menyusun Stratum A, tetapi hanya menemukan pada Stratum B dengan tinggi
maksimum 20 meter.
Stratum A sampai stratum E ditemukan dalam Transek Cimanggu. Dalam
Transek Cimanggu ini tersusun dari 46 jenis tumbuhan, baik dari divisi
Magnoliophyta maupun epifit seperti Paku Sarang Burung (Asplenium nidus).
Kanopi masing-masing jenis tumbuhan dari stratum B sangat besambungan
satu dan lainnya. Oleh karena itu, jenis-jenis tumbuhan penyusun lantai dasar hutan
sangat sulit mendapatkan cahaya matahari. Selain itu, persaingan dalam penyerapan
zat hara yang dibutuhkan oleh masing-masing jenis sangat tinggi.
Beberapa jenis tumbuhan seperti Marong, Rukem, Ki Calung, Ki Hoe, Balung
Injuk, dan Ki Segel memiliki batang utama yang jelas (monopodial) yaitu
percabangan batang pertama yang cukup tinggi dari permukaan tanah. Berbeda
dengan jenis Laban, meski memiliki batang yang kokoh namun percabangan batang
berada sekitar 0-2 meter diatas permukaan tanah.
Komposisi tumbuhan penyusun Transek Cimanggu berada pada fase
“kemunduran” dimana ditemukan jenis Marong, Laban, dan Rukem tumbang dan
jenis Rukem dan Marong yang sudah mati (Oldeman dan Halley, 1979). Kondisi
tersebut merupakan awal terjadinya suksesi sekunder, yaitu dipengaruhi oleh
kematian tumbuhan penyusun transek tersebut yang disebabkan oleh alam dan
gangguan manusia seperti penebangan pohon untuk kayu bakar (Gambar 4.4).
109
Gambar 4.4. Struktur dan Pertumbuhan Hutan (Oldeman, 1979)
4.3.1.1.1 Stratum A
Stratum A tersusun oleh pohon yang memiliki tinggi lebih dari 30 meter.
Jenis-jenis pohon penyusun Transek Cimanggu yang termasuk Stratum A adalah
Laban dan Marong.
Tabel 4.3 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum A Penyusun Transek Cimanggu
No Nama
Famili Daerah Latin
1 Laban Vitex fubescens Myrtaceae 2 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae
Jenis Marong merupakan tumbuhan yang dapat bersaing dengan jenis lainnya.
Dilihat dari pola persebaran, Marong ditemukan dikedua lokasi penelitian dan
ditemukan pada semua kategori.
Dilihat dari gambar 4.1 diagram profil Transek Cimanggu yang dihasilkan
pada stratum A diketemukan antara lain jenis Laban dan Marong dengan ketinggian
antara 31-33 m (Gambar Diagram Profil Transek Cimanggu). Laban yang termasuk
110
kedalam suku Myrtaceae memiliki struktur batang yang kokoh, bercabang pada
pangkal dan batang berwarna abu-abu serta berdaun majemuk tiga (trifoliolatus).
Masyarakat sering menggunakan Laban sebagai bahan bangunan, hal ini dapat
menyebabkan kerusakan hutan yang permanen. Karena apabila dilihat dari
regenerasinya Laban tidak ditemukan pada stratum D dan E.
Jenis kedua yang termasuk stratum A adalah jenis Marong. Ciri morfologi
Marong sangat unik, yaitu pada batang terdapat duri (spinosus) yang keras dan
tersusun rapi pada tiap ruas permukaan batangnya. Duri ini hanya ditemukan ketika
Marong tumbuh sampai stratum C dengan ketinggian 0-15 meter. Karena setelah
memiliki batang yang kokoh dengan ketinggian lebih dari 15 meter, duri tersebut
akan hilang. Hal ini membuat presepsi, bahwa duri Marong berfungsi sebagai bentuk
pertahanan diri dari tumbuhan jenis lain terutama tumbuhan pencekik. Berbeda
dengan duri pada jenis Rukem (Flacourtia rukam), yang memiliki cabang kecil pada
setiap durinya serta susunannya tidak teratur.
Daya regenerasi dari jenis Marong sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari
keberadaannya pada semua stratum, yakni stratum A sampai E. Selain itu, Marong
merupakan tumbuhan penyusun hutan dataran rendah dan tidak ditemukan diatas
ketinggian >1000 m dpl. Berbeda dengan Laban yang hanya ditemukan pada stratum
A, B dan C saja. Laban sangat membutuhkan cahaya matahari yang sangat panjang.
Tumbuhan penyusun Transek Cimanggu memiliki tajuk yang cukup luas, dan setara
dengan luasnya penampang batang, sehingga cahaya matahari sulit menjangkau lantai
dasar hutan pada daerah selatan Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Oleh karena
111
itu, Laban sulit untuk melakukan pertumbuhan karena masa dorman dari biji belum
tercapai.
Meskipun Marong dan Laban memiliki luas daun yang kecil, namun kanopi
dari kedua jenis tersebut sehingga menyulitkan cahaya matahari untuk masuk dan
menyinari tumbuhan yang berada dibawahnya.
4.3.1.1.2 Stratum B
Terdapat 11 jenis, 11 marga dan enam suku tumbuhan penyusun stratum B
dalam Transek Cimanggu (Tabel 4.4).
Tabel 4.4 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum B Penyusun Transek Cimanggu
No Nama
Famili Daerah Latin
1 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae 2 Ipis Kulit Syzygium lineatum Myrtaceae 3 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae 4 Ki Calung Diospyros truncata Ebenaceae 5 Ki Hoe Guioa diplopetala Sapindaceae 6 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae 7 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae 8 Laban Vitex fubescens Myrtaceae 9 Manggu Leuweung Garcinia mangostana Clussiaceae
10 Marong Cratoxylon formosum Clussiaceae 11 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae
Tumbuhan yang termasuk kedalam Stratum B, yaitu memiliki tinggi antara
15-30 meter. Jenis-jenis yang ditemukan pada stratum B yaitu Balung Injuk, Ipis
Kulit, Ki Andong, Ki Calung, Ki Hoe, Ki Segel, Kopo, Laban, Manggu Leuweung,
Marong, dan Rukem. Dua jenis diantaranya merupakan jenis yang ditemukan pada
112
stratum A. Jenis-jenis tersebut dapat menyusun hutan sampai stratum A, yaitu tinggi
lebih dari 30 meter dalam pertumbuhannya. Hanya jenis Balung Injuk yang tidak bisa
melanjutkan kedalam stratum A. Hal ini merupakan kesimpulan dari peneliti, bahwa
tidak ditemukannya Balung Injuk lebih dari 25 meter setelah melakukan survey dan
mengelilingi Cagar Alam Pananjung Pangandaran.
Jenis-jenis tumbuhan yang termasuk kedalam stratum B akan menggantikan
tumbuhan stratum A pada pertumbuhannya dan stratum A akan mati kemudian
tumbang dan membuat celah pada daerah penelitian yang disebut dengan gap.
Peristiwa ini disebut dengan suksesi sekunder yang alamiah.
Faktor yang mempengaruhi jenis-jenis tumbuhan stratum B ini adalah angin.
Karena kondisi medan pada Transek Cimanggu merupakan tebing yang tinggi dan
berada tepat paling selatan, hembusan angin sangat kencang dan mempengaruhi
persebaran dari biji-biji tumbuhan stratum B tersebut. Hal ini terlihat dari jenis Ki
Calung dan Laban tidak ditemukan anakannya. Selain itu, jenis Ki Hoe hanya
ditemukan satu individu pada kategori anakan.
4.3.1.1.3 Stratum C
Stratum C merupakan lapisan tumbuhan dengan tinggi antara lima sampai 15
meter. Lapisan ini terdiri dari 23 jenis, 23 marga dan 18 suku (Tabel 4.5). Stratum ini
akan menjadi generasi penerus stratum B dan A pada masa yang akan datang.
Namun, terdapat beberapa jenis yang perkembangan maksimumnya hanya ditemukan
pada stratum ini.
113
Tabel 4.5 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum C Penyusun Transek Cimanggu
No Nama
Famili Daerah Latin
1 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae
2 Bingbin Pinanga kuhlii Arecaceae 3 Ipis Kulit Syzigium lineatum Araceae 4 Jejerukan Acronychia laurifolia Rutaceae 5 Ketapang Terminalia catappa Combretaceae 6 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae 7 Ki Hapit Euphorbia chasembila Euphorbiaceae 8 Ki Hoe Guioa diplopetala Sapindaceae 9 Ki Kores Litsea cassiaefolia Lauraceae
10 Ki Lalayu Erioglossum rubiginosum Sapindaceae 11 Ki Pancar Podocarpus neriifolius Podocarpaceae 12 Ki Paray Debregeasia longifolia Urticaceae 13 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae 14 Kondang Ficus variegata Moraceae 15 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae 16 Laban Vitex fubescens Myrtaceae 17 Lampeni Ardisia humilis Myrsinaceae 18 Manggu Leuweung Garcinia mangostana Clusiaceae 19 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae 20 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae 21 Sulangkar Leea indica Vitaceae 22 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae 23 Songgom Barringtonia insignis Combretaceae
Tumbuhan lapisan ini yang paling sering ditemukan adalah jenis Ki Andong
dan Umpang. Jenis Umpang merupakan tumbuhan yang sering digunakan masyarakat
untuk meracuni ikan di perairan terbuka Pangandaran. Khasiat dari akar dan daun
Umpang dapat membuat ikan mabuk sesaat namun tidak merusak habitat sekitarnya.
Namun, hanya beberapa masyarakat yang masih menggunakannya. Penggunaan yang
berkelanjutan dapat membuat kerusakan pada stratum C pada jenis Umpang tersebut,
114
sehingga peluang untuk melanjutkan regenerasi akan terhambat. Ki Andong dan
Umpang memiliki jumlah daun yang banyak sehingga kanopinya sangat menghalangi
cahaya matahari menyentuh lantai dasar hutan. Selain itu, kedua jenis ini mudah
diidentifikasi dari struktur dan morfologi tumbuhannya.
Ki Andong berbatang coklat dan bertekstur vertikal sering dijumpai selama
perjalanan menuju transek. Sedangkan Umpang berbatang kehitaman dan teratur,
tetapi batang utama terlihat jelas (monopodial). Bentuk percabangan dari suku
Theaceae ini mirip dengan jenis Ketapang yaitu Aubrevielle (Oldeman, 1979).
Lampeni dan Ki Lalayu ditemukan masing-masing sekali kemunculannya
pada lapisan ini. Morfologi jenis Lampeni sangat mirip dengan Nyamplung, hanya
saja daunnya memiliki panjang 2-10 cm sedangkan Nyamplung bisa lebih panjang
(Backer, 1963). Ki Lalayu adalah jenis yang sangat sulit bersaing dengan tumbuhan
lainnya. Hal ini terlihat pada (Lampiran 4), dimana kehadirannya hanya sekali pada
stratum C dan E saja. Ki Lalayu dapat diperkirakan punah pada masa yang akan
datang.
Jenis Palm Bingbin adalah salah satu jenis tumbuhan yang ditemukan hanya
pada Transek Cimanggu. Jenis ini sangat sensitif terhadap salinitas. Terlihat
kemunculannya pada plot 10, 14 dan 15, dimana kelembaban tanah, kelembaban
udara yang tinggi dengan keasaman yang menuju netral. Berbeda dengan kondisi
fisik pada Transek Karang Pandan (Tabel 4.2). Selain Palm Bingbin, yang tidak
ditemukan pada Transek Karang Pandan adalah jenis Jejerukan, Ki Hapit, Ki Lalayu,
Ki Pancar, Kondang, Manggu Leuweung dan Sulangkar.
115
4.3.1.1.4 Stratum D
Stratum D adalah lapisan kedua paling bawah setelah Stratum E (Tabel 4.6).
Jenis Balundeng ditemukan hanya muncul sekali pada plot 18 dan tidak ditemukan di
Transek Karang Pandan (Lampiran 5). Hal tersebut menandakan bahwa keberadaan
jenis Balundeng di Cagar Alam bagian Selatan sangat penting bagi sisi ekologi.
Apabila Balundeng tidak mampu bertahan hidup dan berregenerasi, akibatnya akan
musnah.
Jenis Ki Kores sangat mendominasi Transek Cimanggu pada stratum D. Jenis
ini hampir merata menutupi lapisan startum D (Lampiran 4). Beberapa jenis yang
termasuk kategori semai dan anakan pohon ditemui pada lapisan ini, seperti jenis
Gebang, Ki Segel, Kopo, Rukem, dan Marong.
Tabel 4.6 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum D Penyusun Transek Cimanggu
No Nama
Famili Daerah Latin
1 Balundeng Ixora nigricans Rubiaceae
2 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae
3 Cangkuang Pandanus furcatus Pandanaceae
4 Gebang Corypha gebanga Arecaceae
5 Huru Manuk Litsea resinosa Lauraceae
6 Ipis Kulit Syzygium lineatum Myrtaceae
7 Jejerukan Acronychia laurifolia Rutaceae
8 Kakalapaan Licuala spinosa Arecaceae
9 Kebo Jalu Sauropus rhamnoides Euphorbiaceae
10 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae
116
No Nama
Famili Daerah Latin
11 Ki Endog Aporosa sphaeridophora Phyllanthaceae
12 Ki Hapit Euphorbia chasembila Euphporbiaceae
13 Ki Hoe Rege Leea angulata Vitaceae
14 Ki Kores Litsea cassiaefolia Lauraceae
15 Ki Minyak Stephania capitata Menispermaceae
16 Ki Pancar Debregeasia longifolia Urticaceae
17 Ki Paray Dillenia excelsa Dilleniaceae
18 Ki Segel Pentace polyantha Malvaceae
19 Ki Sinduk Phoebe excelsa Lauraceae
20 Ki Tundunan Maesa latifolia Myrsinaceae
21 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae
22 Lampeni Ardisia humilis Myrsinaceae
23 Manggu Leuweung Garcinia mangostana Clusiaceae
24 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae
25 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae
26 Songgom Barringtonia insignis Combretaceae
27 Sulangkar Leea indica Vitaceae
28 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae
4.3.1.1.5 Stratum E
Telah ditemukan sebanyak 33 jenis yang berada dalam stratum E. Lapisan ini
merupakan kategori penutup lantai hutan (ground cover) seperti rumput yang
ketinggiannya tidak melebihi satu meter dan anakan dari tiang serta pohon dalam
Transek Cimanggu.
117
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan Lutung Jawa (Trachypitecus
auratus) merupakan salah satu jenis satwa yang berada di Cagar Alam Pananjung
Pangandaran. Mereka memiliki peranan ekologis yang sangat penting dalam hal
penyebaran biji dari kategori tiang dan pohon.
Terlihat dengan jumlah individu terbanyak pada lapisan ini ditemukan pada
plot 20 sebanyak 32 individu (Lampiran 8). Peneliti dapat menyimpulkan, bahwa
pada plot ke-20 ini merupakan core area dari kelompok Monyet Ekor Panjang.
Dalam anggota kelompoknya terlihat satu ekor pemimpin, empat ekor betina dan dua
jantan muda. Kelompok ini terbiasa memakan buah Manggu Leuweung dan Huni.
Karena plot ke-20 menjadi “rumah” bagi kelompok ini, maka kotoran yang dihasilkan
merupakan biji-biji dari tumbuhan yang berada dalam area penelitian seperti Manggu
Leuweung. Selain itu, Ki Kores merupakan tumbuhan paling sering dikonsumsi oleh
Careuh Paradoxurus hermaphroditus yang berada di sebelah Selatan Cagar Alam.
Oleh karena itu, penyebaran Ki Kores hampir merata pada setiap plot dalam Transek
Cimanggu ini.
Apabila stratum E mendominasi suatu daerah, menandakan bahwa tingkat
erosi sangat kecil. Hal ini disebabkan karena air lebih mudah diserap kedalam tanah
dan tidak menyebabkan air limpahan (run-off). Berbeda dengan plot ke-7, dimana
total individu stratum E paling sedikit dan dapat diperkirakan tingkat erosi pada plot
tersebut sangat tinggi dibanding plot lainnya.
Jenis Ileus dari suku Araceae ditemukan hanya sekali, yaitu hanya pada plot
ke-5 dan tidak ditemukan di Transek Karang Pandan. Jenis ini sudah berada dalam
118
status appendix 1 dalam IUCN RED LIST. Artinya, Ileus di Pangandaran sudah
terancam punah dan keberadaannya sangat dilindungi.
Areuy Gadel, Areuy Ki Cacing, Kekerisan, Jujukutan dan Singa Depa
merupakan tumbuhan penutup lantai hutan Transek Cimanggu. Tumbuhan tersebut
tidak akan berkembang sampai stratum D. Paku Sarang Burung juga termasuk
kedalam stratum ini, namun hidupnya epifit di Pohon Laban pada ketinggian rata-rata
diatas 10 meter dari permukaan tanah.
Didalam lapisan ini, kategori anakan dari stratum B yang berada dalam
Transek Cimanggu adalah jenis Rukem, Marong, Manggu Leuweung, Ki Segel, Ki
Hoe, Ki Andong, Ipis Kulit dan Balung Injuk (Tabel 4.7). Jenis-Jenis tersebut
menjadi pesaing bagi tumbuhan lain yang berada dalam Transek Cimanggu.
Tabel 4.7 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum E Penyusun Transek Cimanggu
No Nama
Famili Daerah Latin
1 Areuy Gedel Rapanea sp. Myrsinaceae
2 Areuy Ki Balera Tetrastigma lanceolarium Fabaceae
3 Areuy Ki Cacing Agalmyla sp. Myrsinaceae
4 Areuy Tali Koja Tetrastigma papillosum. Fabaceae
5 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae
6 Cangkuang Pandanus furcatus Pandanaceae
7 Derewak Grewia paniculta Tiliaceae
8 Huru Manuk Litsea resinosa Lauraceae
9 Ileus Amorphophallus oncophyllus Araceae
10 Ipis Kulit Syzygium lineatum Myrtaceae
11 Jejerukan Acronychia laurifolia Rutaceae
119
No Nama
Famili Daerah Latin
12 Jujukutan Cyperus sp. Cyperaceae
13 Kebo Jalu Sauropus rhamnoides Euphorbiaceae
14 Kekerisan Mariscus compactus Cyperaceae
15 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae
16 Ki Asahan Tetracera scandens Dilleniaceae
17 Ki Endog Aporosa sphaeridophora Phyllanthaceae
18 Ki Hoe Guioa diplopetala Sapindaceae
19 Ki Hoe Rege Leea angulata Vitaceae
20 Ki Kores Litsea cassiaefolia Lauraceae
21 Ki Lalayu Erioglossum rubiginosum Sapindaceae
22 Ki Minyak Stephania capitata Menispermaceae
23 Ki Paray Podocarpus neriifolius Podocarpaceae
24 Ki Pancar Debregeasia longifolia Urticaceae
25 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae
26 Lampeni Ardisia humilis Myrsinaceae
27 Manggu Leuweung Garcinia mangostana Clusiaceae
28 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae
29 Paku Sarang Burung Asplenium nidus Aspleniaceae
30 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae
31 Singa Depa Apama tomentosa Menispermaceae
32 Sulangkar Leea indica Vitaceae
33 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae
4.3.1.2 Struktur Vertikal Tumbuhan Penyusun Transek Karang Pandan
Transek Karang Pandan diletakan tegak lurus dari bibir pantai yang bertujuan
untuk mengetahui perubahan dari tumbuhan pantai. Peletakan awal transek dimulai
120
dari daerah pasang tertinggi. Terlihat jelas terdapat perubahan dalam transek ini
(Gambar 4.1). Transek Karang Pandan ini tidak melebihi ketinggian 20 m dpl. Nama
daerah ini diambil dari formasi tumbuhan pantai yang disusun oleh Pandan Laut
(Pandanus bidur).
Kondisi landscape dari Karang Pandan berbentuk teluk kecil dengan dua
muara sungai besar. Sungai pertama merupakan sungai yang memiliki aliran air
sepanjang musim dan sungai kedua adalah sungai intermiten. Substrat dari Transek
Karang Pandan ini tersusun dari pasir, bebatuan, dan tanah. Kondisi seperti inilah
yang membedakan Transek Karang Pandan dengan Transek Cimanggu.
4.3.1.2.1 Stratum A
Tumbuhan yang menyusun lapisan ini diantaranya adalah, Junti dan Ki Taleus
(Tabel 4.8). Kedua jenis ini tidak ditemukan pada Transek Cimanggu dan stratum
dibawahnya. Tajuk pohon yang menyusun stratum A tidak bersambungan.
Tabel 4.8 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum A Penyusun Transek Karang Pandan
No Nama
Famili Daerah Latin
1 Junti Dillenia indica Dilleniaceae
2 Ki Taleus Phoebe excelsa Lauraceae
Jenis Junti dan Ki Taleus ini termasuk kedalam formasi tumbuhan pantai
(Backer, 1975). Kedua jenis ini diperkirakan akan hilang karena tidak adanya
regenerasi. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan dan persaingan dengan
tumbuhan lainnya di dalam Cagar Alam bagian selatan. Arsitektur batang dan tajuk
121
dari kedua jenis ini hampir identik, yaitu memiliki batang tegak lurus dan
percabangan batang utamanya berada lebih 20 m diatas permukaan tanah. Tajuk
kedua jenis ini dapat menghalangi cahaya matahari untuk menembus dasar hutan.
Oleh sebab itu, pada plot 19 frekuensi kemunculan stratum D dan E lebih sedikit
dimabding plot lainnya.
Pada Plot 19, dimana kedua jenis ini tumbuh kondisi lahan sangat rentan
erosi. Tidak ditemukannya jenis tumbuhan lapisan bawah akan memperbesar tingkat
erosi. Hal ini berhubungan dengan penyerapan aliran air permukaan oleh tumbuhan
tingkat bawah tersebut.
4.3.1.2.2 Stratum B
Terdiri dari tumbuhan dengan ketinggian antara 15 meter hingga 12 meter.
Tumbuhan pada lapisan ini tercatat sebanyak 10 jenis (Tabel 4.9). Berbeda dengan
Stratum A, lapisan tajuk pohon yang menyusun stratum B mulai berkesinambungan,
terlihat dari plot 12 sampai plot 20.
Tabel 4.9 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum B Penyusun Transek Karang Pandan
No Nama
Famili Daerah Latin
1 Ki Hoe Guioa diplopetala Sapindaceae
2 Kiara Beas Ficus indica Moraceae
3 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae
4 Laban Vitex fubescens Verbenaceae
5 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae
6 Pandan Laut Pandanus bidur Pandanaceae
122
No Nama
Famili Daerah Latin
7 Pisitan Mega Baccaurea racemosa Euphorbiaceae
8 Pohpoan Buchanania arborescens Anacardiaceae
9 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae
10 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae
Pandan Laut adalah jenis tumbuhan yang hampir mendominasi Transek
Karang Pandan. Jenis ini ditemukan pada Stratum B sampai E, menandakan bahwa
pertumbuhannya sangat cocok dengan kondisi fisik transek. Pertumbuhan dari
Pandan Laut ini hanya dapat mencapai ketinggian 25 m, yaitu hanya sampai stratum
B saja. Berbeda dengan jenis Ki Hoe, Laban, Marong, Pohpoan dan Rukem yang
dapat mencapai ketinggian lebih dari 30 m dan diameter batang lebih dari 35 cm.
4.3.1.2.3 Stratum C
Stratum C merupakan lapisan pancang dengan ketinggian lima meter sampai
15 meter. Hampir menyerupai stratum B, dimana tajuk tumbuhan penyusun Transek
Karang Pandan berkesinambungan dari plot 9 sampai plot 20. Ditemukan sebanyak
14 jenis tumbuhan yang berada pada lapisan ini dalam Transek Karang Pandan (Tabel
4.10).
Jenis Kopo merupakan tumbuhan yang dominan didalam Transek Karang
Pandan terutama pada Stratum C dan D. Tumbuhan khas pantai yang termasuk dalam
kategori Mangrove Ikutan adalah Bintaro. Jenis ini banyak dijumpai dipinggir jalan
123
sebagai pohon pelindung dan peneduh jalan. Namun, jenis Bintaro hanya ditemukan
satu individu di dalam Transek Karang Pandan.
Tabel 4.10 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum C Penyusun Transek Karang Pandan
No Nama
Famili Daerah Latin
1 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae
2 Bintaro Barringtonia asiatica Apocynaceae
3 Gebang Corypha gebanga Arecaceae
4 Huru Manuk Litsea resinosa Lauraceae
5 Ipis Kulit Syzygium lineatum Myrtaceae
6 Ketapang Terminalia catappa Combretaceae
7 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae
8 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae
9 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae
10 Laban Vitex fubescens Verbenaceae
11 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae
12 Pandan Laut Pandanus bidur Pandanaceae
13 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae
14 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae
4.3.1.2.4 Stratum D
Lapisan ini tersusun dari 14 jenis tumbuhan (Tabel 4.11). Jenis yang
mencirikan tumbuhan pantai diantaranya Ki Balanak, Nyamplung dan Umpang.
Stratum ini tidak berkembang pada aliran sungai intermiten. Hal ini disebabkan oleh
substrat seperti batu serta pasir pantai.
124
Anakan dari pohon yang berada dalam lapisan ini diantaranya adalah Ki Hoe,
Ki Segel, Kopo, Nyamplung dan Rukem. Persebaran dari benih pohon pada transek
ini sebagian besar oleh faktor iklim, seperti cahaya, temperatur udara, angin dan
kelembaban udara.
Tabel 4.11 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum D Penyusun Transek Karang Pandan
No Nama
Famili Daerah Latin
1 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae
2 Cangkudu Morinda citrifolia Rubiaceae
3 Huru Manuk Litsea resinosa Lauraceae
4 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae
5 Ki Balanak Desmodium umbellatum Fabaceae
6 Ki Hoe Guioa diplopetala Sapindaceae
7 Ki Kores Litsea cassiaefolia Lauraceae
8 Ki Paray Debregeasia longifolia Urticaceae
9 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae
10 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae
11 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae
12 Nyamplung Calophyllum inophyllum Clussiaceae
13 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae
14 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae
4.3.1.2.5 Stratum E
Lapisan paling bawah penyusun Transek Karang Pandan ini berjumlah 33
jenis. Tumbuhan lapisan bawah dalam transek ini mendapatkan cahaya matahari yang
berlebih dibandingkan pada Transek Cimanggu. Plot 1-10 memperlihatkan tajuk
125
tumbuhan pada stratum diatasnya kurang bersinambungan sehingga cahaya matahari
dapat menembus lantai dasar Transek Karang Pandan.
Jenis yang hanya ditemukan pada daerah pasang surut adalah Bakung Laut,
Kangkung Laut, Makaranga, Pacok Gaok dan Seruni selebihnya tidak ditemukan lagi.
Kondisi salinitas yang tinggi, substrat pasir dan cahaya matahari berlebih dapat
menunjang pertumbuhannya. Jenis-jenis tersebut tidak ditemukan pada substrat tanah
yang kurang cahaya matahari. Pada lapisan ini ditemukan 2 kategori, yaitu anakan
dan penutup lantai dasar. Kategori anakan diantaranya Balung Injuk, Cangkudu, Huru
Manuk, Ki Andong, Ki Balanak, Ki Hoe Rege, Ki Kores, Ki Paray, Ki Segel,
Kirinyuh, Kopo, Lampeni, Marong, Nyamplung, Pandan Laut, Soka Leuweung,
Songgom dan Umpang. Kategori tersebut dapat berkembang menjadi semak,
pancang, tiang sampai pohon dewasa.
Tabel 4.12 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum E Penyusun Transek Karang Pandan
No Nama
Famili Daerah Latin
1 Areuy Gadel Rapanea sp. Myrsinaceae
2 Areuy Ki Balera Tetrastigma lanceolarium Fabaceae
3 Areuy Ki Cacing Agalmyla sp. Myrsinaceae
4 Areuy Tali Koja Tetrastigma papillosum Fabaceae
5 Bakung Laut Crinum asiaticum Amarilidaceae
6 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae
7 Cangkudu Morinda citrifolia Rubiaceae
8 Huru Manuk Litsea resinosa Lauraceae
9 Jajahean Renealmia sp. Zingiberaceae
10 Kacukilan Allophylus cobbe Sapindaceae
126
No Nama
Famili Daerah Latin
11 Kajar-kajar Valeriana hardwickii Araceae
12 Kangkung Laut Ipomoea pes-caprae Convolvulaceae
13 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae
14 Ki Balanak Desmodium umbellatum Fabaceae
15 Ki Hoe Rege Leea angulata Vitaceae
16 Ki Kores Litsea cassiaefolia Lauraceae
17 Ki Paray Debregeasia longifolia Urticaceae
18 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae
19 Kirinyuh Eupatorium odoratum Asteraceae
20 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae
21 Lampeni Ardisia humilis Myrsinaceae
22 Makaranga Macaranga javanica Euphorbiaceae
23 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae
24 Nyamplung Calophyllum inophyllum Clussiaceae
25 Pacok Gagok Hedyotis herbacea Rubiaceae
26 Pandan Laut Pandanus bidur Pandanaceae
27 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae
28 Seruni Wedelia biflora Asteraceae
29 Singa Depa Apama tomentosa Menispermaceae
30 Soka Leuweung Ixora salicifolia Rubiaceae
31 Songgom Barringtonia insignis Combretaceae
32 Takokak Solanum torvum Solanaceae
33 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae
127
4.3.2 Struktur Horizontal Tumbuhan
Struktur Horizontal merupakan gambaran tajuk-tajuk tumbuhan yang
berfungsi untuk mengetahui tingkat dominansi suatu jenis pada areal penelitian.
Pengukuran dari beberapa parameter menghasilkan INP (Indeks Nilai Penting) dan
dibagi kedalam setiap kategori tumbuhan, dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4.13 Nilai Penting Masing-Masing Kategori Tumbuhan pada Transek
Cimanggu
Kategori Nama Daerah Nama Jenis FM
FR KM KR DM
DR INP
Pohon Laban Vitex fubescens 0.05 50 1 50 0.08
48.46
148.46
Marong Cratoxylon formosum 0.05 50 1 50 0.09
51.54
151.54
Tiang
Balung Injuk Alstonia villosa 0.05 3.57 1 3.23 0.01
1 1.05 7.85
Ipis Kulit Syzygium lineatum 0.1 7.14 2 6.45
0.134
13.39 26.98
Ki Andong Rhodamnia cinerea 0.25 17.86 5
16.13
0.131
13.15 47.14
Ki Calung Diospyros truncata 0.05 3.57 1 3.23
0.042 4.22 11.01
Ki Hoe Guioa diplopetala 0.05 3.57 1 3.23 0.01
1 1.05 7.85
Ki Segel Dillenia excelsa 0.15 10.71 4 12.9
0 0.19
3 19.2
6 42.87
Kopo Eugenia densiflora 0.1 7.14 2 6.45
0.075 7.50 21.09
Laban Vitex fubescens 0.3 21.43 7 22.5
8 0.23
6 23.6
4 67.65
Manggu Leuweung
Garcinia mangostana 0.05 3.57 1 3.23
0.009 0.90 7.70
Marong Cratoxylon formosum 0.1 7.14 2 6.45
0.053 5.32 18.92
Rukem Flacourtia rukam 0.2 14.29 5 16.1
3 0.10
5 10.5
2 40.93
Pancang
Balung Injuk Alstonia villosa 0.15 3.41 3 2.59 0.02
7 2.70 8.70
Palm Bingbin Pinanga kuhlii 0.15 3.41 3 2.59 0.03
8 3.75 9.75
Ipis Kulit Syzygium lineatum 0.1 2.27 2 1.72
0.040 4.05 8.05
Jejerukan Acronychia laurifolia 0.15 3.41 4 3.45
0.050 4.98 11.84
Ketapang Terminalia catappa 0.1 2.27 3 2.59
0.066 6.59 11.45
128
Kategori Nama Daerah Nama Jenis FM
FR KM KR DM
DR INP
Ki Andong Rhodamnia cinerea 0.6 13.64 19
16.38
0.076 7.64 37.65
Ki Hapit Euphorbia chasembila 0.25 5.68 5 4.31
0.014 1.40 11.39
Ki Hoe Guioa diplopetala 0.15 3.41 3 2.59 0.02
6 2.64 8.64
Ki Kores Litsea cassiaefolia 0.15 3.41 3 2.59
0.004 0.41 6.41
Ki Lalayu Erioglossum rubiginosum 0.05 1.14 1 0.86
0.001 0.09 2.08
Ki Pancar Podocarpus neriifolius 0.1 2.27 2 1.72
0.077 7.67 11.67
Ki Paray Debregeasia longifolia 0.1 2.27 3 2.59
0.004 0.43 5.29
Ki Segel Dillenia excelsa 0.4 9.09 12 10.3
4 0.16
8 16.7
8 36.22
Kondang Ficus variegata 0.05 1.14 1 0.86 0.00
4 0.45 2.45
Kopo Eugenia densiflora 0.2 4.55 8 6.90
0.052 5.23 16.67
Laban Vitex fubescens 0.15 3.41 3 2.59 0.05
0 5.02 11.02
Lampeni Ardisia humilis 0.05 1.14 1 0.86 0.01
6 1.58 3.57
Manggu Leuweung
Garcinia mangostana 0.5 11.36 12
10.34
0.067 6.69 28.40
Marong Cratoxylon formosum 0.15 3.41 3 2.59
0.054 5.44 11.43
Rukem Flacourtia rukam 0.25 5.68 5 4.31 0.04
4 4.41 14.40
Songgom Barringtonia insignis 0.15 3.41 3 2.59
0.002 0.18 6.17
Sulangkar Leea indica 0.1 2.27 2 1.72 0.00
2 0.18 4.17
Umpang Ternstroemia polypetala 0.35 7.95 15
12.93
0.117
11.70 32.58
Anakan
Balung Injuk Alstonia villosa 0.45 5.20 11 3.68 0.03
7 3.68 12.56
Derewak Grewia paniculta 0.45 5.20 11 3.68 0.03
7 3.68 12.56
Huru Manuk Litsea resinosa 0.2 2.31 7 2.34 0.02
3 2.34 6.99
Ipis Kulit Syzygium lineatum 0.45 5.20 10 3.34
0.037 3.68 12.23
Jejerukan Acronychia laurifolia 0.1 1.16 2 0.67
0.003 0.33 2.16
Kebo Jalu Sauropus rhamnoides 0.1 1.16 2 0.67
0.007 0.67 2.49
Ki Andong Rhodamnia cinerea 0.35 4.05 8 2.68
0.027 2.68 9.40
Ki Asahan Tetracera scandens 0.6 6.94 21 7.02
0.070 7.02 20.98
Ki Endog Aporosa sphaeridophora 0.15 1.73 3 1.00
0.010 1.00 3.74
129
Kategori Nama Daerah Nama Jenis FM
FR KM KR DM
DR INP
Ki Hoe Guioa diplopetala 0.1 1.16 2 0.67 0.00
7 0.67 2.49
Ki Hoe Rege Leea angulata 0.2 2.31 4 1.34 0.01
3 1.34 4.99
Ki Kores Litsea cassiaefolia 0.95 10.98 50
16.72
0.167
16.72 44.43
Ki Lalayu Erioglossum rubiginosum 0.05 0.58 1 0.33
0.003 0.33 1.25
Ki Minyak Stephania capitata 0.05 0.58 1 0.33
0.003 0.33 1.25
Ki Pancar Podocarpus neriifolius 0.05 0.58 1 0.33
0.020 2.01 2.92
Ki Paray Debregeasia longifolia 0.2 2.31 6 2.01
0.003 0.33 4.65
Ki Segel Dillenia excelsa 0.35 4.05 7 2.34 0.02
0 2.01 8.39
Lampeni Ardisia humilis 0.35 4.05 9 3.01 0.03
3 3.34 10.40
Manggu Leuweung
Garcinia mangostana 0.2 2.31 6 2.01
0.017 1.67 5.99
Marong Cratoxylon formosum 0.1 1.16 2 0.67
0.010 1.00 2.83
Rukem Flacourtia rukam 0.05 0.58 3 1.00 0.01
0 1.00 2.58
Sulangkar Leea indica 0.1 1.16 2 0.67 0.00
7 0.67 2.49
Umpang Ternstroemia polypetala 0.25 2.89 19 6.35
0.027 2.68 11.92
Tumbuhan Lantai
Areuy Gadel Rapanea sp. 0.65 7.51 28 9.36 0.09
4 9.36 26.24
Areuy Ki Balera Tetrastigma lanceolarium 0.35 4.05 10 3.34
0.033 3.34 10.74
Areuy Ki Cacing Agalmyla sp. 0.65 7.51 24 8.03 0.08
0 8.03 23.57
Areuy Tali Koja Tetrastigma papillosum 0.05 0.58 1 0.33
0.003 0.33 1.25
Cangkuang Pandanus furcatus 0.2 2.31 6 2.01
0.020 2.01 6.33
Ileus Amorphophallus oncophyllus 0.1 1.16 2 0.67
0.003 0.33 2.16
Jujukutan Cyperus sp. 0.15 1.73 8 2.68 0.03
0 3.01 7.42
Kekerisan Mariscus compactus 0.25 2.89 12 4.01
0.040 4.01 10.92
Paku Sarang Burung
Asplenium nidus 0.2 2.31 6 2.01
0.020 2.01 6.33
Singa Depa Apama tomentosa 0.2 2.31 14 4.68 0.08
4 8.36 15.36
130
Tabel 4.14 Indeks Nilai Penting Masing-Masing Kategori Tumbuhan pada Transek
Karang Pandan
Kategori Nama Daerah Nama Jenis FR KR DR INP
Pohon Ki Taleus Phoebe excelsa 50 50 74.01 174.01
Junti Dillenia indica 50 50 25.99 125.99
Tiang
Ki Hoe Guioa diplopetala 5.13 3.23 2.98 11.34
Kiara Beas Ficus indica 2.56 1.61 14.62 18.80
Kopo Eugenia densiflora 25.64 25.81 34.54 85.98
Laban Vitex fubescens 12.82 9.68 9.53 32.03
Marong Cratoxylon formosum 20.51 14.52 7.23 42.26
Pandan Laut Pandanus bidur 12.82 29.03 23.73 65.58
Pisitan Mega Baccaurea racemosa 5.13 3.23 1.12 9.48
Pohpoan Buchanania arborescens 5.13 4.84 3.29 13.26
Rukem Flacourtia rukam 7.69 4.84 1.66 14.19
Umpang Ternstroemia polypetala 2.56 3.23 1.29 7.08
Pancang
Balung Injuk Alstonia villosa 7.84 5.6 0.77 14.16
Bintaro Barringtonia asiatica 1.96 1.4 18.46 21.81
Gebang Corypha gebanga 1.96 1.4 30.51 33.86
Huru Manuk Litsea resinosa 3.92 4.2 0.20 8.29
Ipis Kulit Syzygium lineatum 1.96 1.4 0.38 3.73
Ketapang Terminalia catappa 3.92 2.8 6.83 13.53
Ki Andong Rhodamnia cinerea 7.84 5.6 0.28 13.68
Ki Segel Dillenia excelsa 7.84 5.6 0.86 14.26
Kopo Eugenia densiflora 29.41 41.7 28.06 99.14
Laban Vitex fubescens 3.92 2.8 2.97 9.67
Marong Cratoxylon formosum 1.96 1.4 0.09 3.44
Pandan Laut Pandanus bidur 3.92 4.2 5.94 14.03
Rukem Flacourtia rukam 1.96 1.4 0.15 3.50
Umpang Ternstroemia polypetala 21.57 20.8 4.51 46.91
Anakan
Balung Injuk Alstonia villosa 14.29 14.6 11.6 40.5
Cangkudu Morinda citrifolia 3.17 4.9 9.1 17.19
Huru Manuk Litsea resinosa 1.59 1.2 1.5 4.29
Ki Andong Rhodamnia cinerea 14.29 15.9 12.8 42.98
Ki Balanak Desmodium umbellatum 1.59 1.2 0.8 3.62
131
Kategori Nama Daerah Nama Jenis FR KR DR INP
Ki Hoe Guioa diplopetala 1.59 1.2 2.3 5.10
Ki Kores Litsea cassiaefolia 1.59 1.2 1.7 4.51
Ki Paray Debregeasia longifolia 1.59 2.4 0.5 4.54
Ki Segel Dillenia excelsa 11.11 11.0 10.5 32.60
Kopo Eugenia densiflora 22.22 19.5 18.9 60.65
Marong Cratoxylon formosum 6.35 7.3 6.3 19.96
Nyamplung Calophyllum inophyllum 1.59 1.2 0.8 3.62
Rukem Flacourtia rukam 3.17 2.4 3.8 9.43
Umpang Ternstroemia polypetala 15.87 15.9 19.2 50.97
Tumbuhan Lantai
Areuy Gadel Rapanea sp. 7.27 8.2 3.9 19.4
Areuy Ki Balera
Tetrastigma lanceolarium 2.42 1.4 0.7 4.50
Areuy Ki Cacing
Agalmyla sp. 6.67 7.5 3.6 17.73
Areuy Tali Koja
Tetrastigma papillosum 1.21 2.1 1.0 4.32
Bakung Laut Crinum asiaticum 1.82 4.4 4.3 10.52
Jajahean Renealmia sp. 2.42 2.1 1.0 5.54
Kajar-Kajar Valeriana hardwickii 2.42 2.1 1.0 5.54
Kangkung Laut
Ipomoea pes-caprae 0.61 0.2 11.2 12.05
Makaranga Macaranga javanica 1.82 1.9 0.9 4.58
Pacok Gaok Hedyotis herbacea 3.64 6.1 2.9 12.63
Singa Depa Apama tomentosa 1.82 1.2 0.6 3.5
4.4 Perbandingan Komposisi Jenis dan Struktur Tumbuhan Pada Kedua
Transek Penelitian
Perbandingan komposisi dan struktur tumbuhan diuraikan pada subbab
berikut.
132
4.4.1 Kesamaan Tumbuhan
Tumbuhan yang berada pada kedua transek dihitung dengan rumus Sørensen
untuk mengetahui derajat kesamaannya. Jenis-jenis tumbuhan yang berada pada
kedua transek dapat dilihat pada Tabel 4.15 berikut ini:
Tabel 4.15 Jenis-Jenis Tumbuhan Pada Transek Cimanggu dan Karang Pandan
No Nama
Daerah Latin 1 Areuy Gedel Rapanea sp. 2 Areuy Ki Balera Tetrastigma lanceolarium 3 Areuy Ki Cacing Agalmyla sp. 4 Areuy Tali Koja Tetrastigma papillosum 5 Balung Injuk Alstonia villosa 6 Gebang Corypha gebanga 7 Huru Manuk Litsea resinosa 8 Ipis Kulit Syzygium lineatum 9 Ketapang Terminalia catappa
10 Ki Andong Rhodamnia cinerea 11 Ki Hoe Guioa diplopetala 12 Ki Hoe Rege Leea angulata 13 Ki Kores Litsea cassiaefolia 14 Ki Segel Dillenia excelsa 15 Kopo Eugenia densiflora 16 Laban Vitex fubescens 17 Lampeni Ardisia humilis 18 Marong Cratoxylon formosum 19 Rukem Flacourtia rukam 20 Singa Depa Apama tomentosa 21 Songgom Barringtonia insignis 22 Sulangkar Leea indica 23 Umpang Ternstroemia polypetala
(Sumber: Data Primer 2009)
Hasil perhitungan dengan rumus Sørensen menunjukan indeks kesamaan
sebesar 50,55. Artinya tumbuhan yang hidup di Cagar Alam bagian Selatan
133
khususnya pada Blok Cimanggu dan Karang Pandan, memiliki kesamaan jenis yang
cukup tinggi. Jika dilihat dari rumus tersebut, Habitat pada Blok Cimanggu dan
Karang Pandan tidak jauh berbeda yaitu hutan hujan tropis dataran rendah. Tetapi jika
dilihat dari kondisi fisik, terdapat beberapa parameter yang berbeda. Tumbuhan yang
tumbuh pada salah satu transek dapat dijadikan indikator. Tercatat Kangkung Laut
(Ipomea pescaprae) hanya ditemukan pada Transek Karang Pandan dengan substrat
pasir dan kondisi toleran air laut.
4.4.2 Keanekaan dan Perataan
Indeks keanekaan dan perataan yang berada pada kedua transek penelitian
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.16 Perbandingan Parameter Indeks Keanekaan dan Indeks Perataan Pada
Kedua Transek Penelitian Berdasarkan Stratum
Lokasi TC TKP TC TKP Stratum/Parameter Ĥ Ĵ A 0.019 0.018 0.003 0.003 B 0.154 0.225 0.024 0.035 C 0.319 0.245 0.050 0.038 D 0.346 0.262 0.054 0.040 E 0.346 0.273 0.054 0.042
Dimana :
TC : Transek Cimanggu TKP : Transek Karang Pandan
Ĥ : Indeks Keanekaan Ĵ : Indeks Kerataan
(Sumber : Data Primer 2009)
Indeks Ĥ merupakan jumlah total perbandingan antara jumlah individu setiap
jenis dengan jumlah individu yang ditemukan di dalam lokasi penelitian. Hasil yang
134
diperoleh dengan menggunakan Indeks Keanekaan Shannon-Wiener (1949) terlihat
jelas perbedaan keanekaan pada masing-masing stratum. Secara keseluruhan, hasil
yang diperoleh dari kedua transek melihatkan bahwa Transek Cimanggu memiliki
nilai keanekaan yang lebih tinggi dibanding Transek Karang Pandan. Walaupun
demikian, Transek Karang Pandan memiliki keanekaan tumbuhan yang tinggi pada
Stratum B.
Stratum A pada Transek Cimanggu hampir sama nilai keanekaannya dengan
Transek Karang Pandan dimana selisih nilainya 0,001. Tumbuhan penyusun Stratum
A pada kedua lokasi masing-masing berjumlah dua individu yang berbeda.
Berbeda dengan Stratum B, Transek Karang Pandan memiliki nilai keanekaan
yang tinggi dibanding Transek Cimanggu. Hal ini disebabkan karena tumbuhan
penyusun Stratum B pada Transek Karang Pandan lebih banyak dan beragam. Hal ini
didukung oleh kondisi substrat yang berbeda dimana terdapat pasir, bebatuan dan
tanah.
Nilai keanekaan tumbuhan tertinggi penyusun Stratum C ditemukan pada
Transek Cimanggu sebesar 0,319. Terdapat 116 individu dari 23 jenis tumbuhan yang
berada pada Transek Cimanggu. Kondisi ini akan menyebabkan tingginya tingkat
persaingan pada periode waktu berikutnya untuk menggantikan jenis-jenis yang
berada pada Stratum B. Kondisi ini dijawab oleh tumbuhan penyusun pada Stratum B
Transek Cimanggu. Ditemukan 10 jenis dari Stratum C yang tumbuh pada Stratum B,
13 jenis tumbuhan Stratum C tidak bisa melanjutkan pertumbuhan sampai Stratum B.
Tingkat keanekaan yang menonjol juga ditemukan pada tumbuhan Stratum D dan E.
135
Indeks perataan kedua transek pada Stratum D dan Stratum E mununjukan
nilai yang tinggi. Hal ini menandakan bahwa semakin merata jumlah individu pada
setiap jenis dalam komunitas tersebut.
4.4.3 Struktur Tumbuhan
Kesamaan struktur tumbuhan pada kedua lokasi terdapat pada struktur
vertikal, yaitu terdapat lima stratum dan enam kategori tumbuhan. Tegakan tumbuhan
kedua lokasi penelitian memperlihatkan tipe arsitektur dari masing-masing tumbuhan.
Penutupan kanopi tumbuhan akan mempengaruhi tingkat dominansi pada struktur
horizontal.
4.4.3.1 Struktur Vertikal Kedua Transek
Tegakan tumbuhan penyusun Transek Cimanggu lebih beragam dibandingkan
Transek Karang Pandan. Struktur vertikal pada Transek Cimanggu terlihat lebih rapat
dan keanekaan jenisnya melimpah sehingga mempengaruhi luas penutupan tajuk dari
masing-masing tumbuhan yang menyebabkan sinar matahari sulit menembus lantai
hutan.
Struktur vertikal pada Transek Karang Pandan terlihat lebih terbuka.
Tumbuhan pada lokasi ini rata-rata memiliki ketinggian antara 17-20 m serta
keanekaan jenisnya pun lebih tinggi dibandingkan dengan Transek Cimanggu.
Terbukanya tegakan tumbuhan penyusun Stratum C dan Stratum D pada
Transek Karang Pandan disebabkan oleh kegiatan manusia. Aktivitas ini lambat laun
akan merusak struktur vertikal secara menyeluruh. Dapat diperkirakan dengan
136
terbukanya ruang pada Stratum C dan D ini disebabkan oleh pemanfaatan kayu
sebagai bahan bakar. Terlihat banyaknya kayu hangus sisa-sisa pembakaran dari jenis
Kopo dan Laban. Menurut nelayan sekitar, kayu tersebut dimanfaatkan untuk
menghangatkan badan pada saat menunggu pancingan. Selain itu, jenis Kopo dan
Laban yang terdapat pada daerah Karang Pandan ini sangat tahan lama
pembakarannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Pengaruh lain terhadap
perbedaan tegakan pada kedua transek adalah ketinggian dan substrat.
4.4.3.2 Struktur Horizontal Kedua Transek
Indeks Nilai Penting diperoleh dari beberapa parameter, diantaranya
frekuensi, dominansi dan kerapatan. Struktur horizontal pada kedua transek ini
melihatkan tingkat dominansi masing-masing tumbuhan. Fungsi INP pada kedua
transek adalah untuk mengetahui tingkat dominansi masing-masing tumbuhan (Tabel
4.17). Hasil pengukuran tingkat dominansi dilakukan dengan cara menghitung luas
tajuk yang telah dikonversikan ke bidang datar dan diameter batang setinggi dada.
Tabel 4.17 Indeks Nilai Penting Pada Kedua Transek Untuk Setiap Kategori
Kategori Cimanggu Karang Pandan
Nama Jenis INP Nama Jenis INP
Pohon Vitex fubescens 148 Phoebe excelsa 174
Cratoxylon formosum 152 Dillenia indica 126
Tiang
Alstonia villosa 7,85 Guioa diplopetala 11,34
Syzygium lineatum 26,98 Ficus indica 18,80
Rhodamnia cinerea 47,14 Eugenia densiflora 85,98
Diospyros truncata 11,01 Vitex fubescens 32,03
Guioa diplopetala 7,85 Cratoxylon formosum 42,26
Dillenia excelsa 42,87 Pandanus bidur 65,58
Eugenia densiflora 21,09 Baccaurea racemosa 9,48
137
Kategori Cimanggu Karang Pandan
Nama Jenis INP Nama Jenis INP Vitex fubescens 67,65 Buchanania arborescens 13,26
Garcinia mangostana 7,70 Flacourtia rukam 14,19
Cratoxylon formosum 18,92 Ternstroemia polypetala 7,08
Flacourtia rukam 40,93
Pancang
Alstonia villosa 8,70 Alstonia villosa 14,16
Pinanga kuhlii 9,75 Barringtonia asiatica 21,81
Syzygium lineatum 8,05 Corypha gebanga 33,86
Acronychia laurifolia 11,84 Litsea resinosa 8,29
Terminalia catappa 11,45 Syzygium lineatum 3,73
Rhodamnia cinerea 37,65 Terminalia catappa 13,53
Euphorbia chasembila 11,39 Rhodamnia cinerea 13,68
Guioa diplopetala 8,64 Dillenia excelsa 14,26
Litsea cassiaefolia 6,41 Eugenia densiflora 99,14
Erioglossum rubiginosum 2,08 Vitex fubescens 9,67
Podocarpus neriifolius 11,67 Cratoxylon formosum 3,44
Debregeasia longifolia 5,29 Pandanus bidur 14,03
Dillenia excelsa 36,22 Flacourtia rukam 3,50
Ficus variegata 2,45 Ternstroemia polypetala 46,91
Eugenia densiflora 16,67
Vitex fubescens 11,02
Ardisia humilis 3,57
Garcinia mangostana 28,40
Cratoxylon formosum 11,43
Flacourtia rukam 14,40
Barringtonia insignis 6,17
Leea indica 4,17
Ternstroemia polypetala 32,58
Anakan
Alstonia villosa 12,56 Alstonia villosa 40,5
Grewia paniculta 6,33 Morinda citrifolia 17,19
Litsea resinosa 12,56 Litsea resinosa 4,29
Syzygium lineatum 6,99 Rhodamnia cinerea 42,98
Acronychia laurifolia 2,16 Desmodium umbellatum 3,62
Sauropus rhamnoides 2,49 Guioa diplopetala 5,10
Rhodamnia cinerea 9,40 Litsea cassiaefolia 4,51
Tetracera scandens 20,98 Debregeasia longifolia 4,54
Aporosa sphaeridophora 3,74 Dillenia excelsa 32,60
138
Kategori Cimanggu Karang Pandan
Nama Jenis INP Nama Jenis INP Guioa diplopetala 2,49 Eugenia densiflora 60,65
Leea angulata 4,99 Cratoxylon formosum 19,96
Litsea cassiaefolia 44,43 Calophyllum inophyllum 3,62
Erioglossum rubiginosum 1,25 Flacourtia rukam 9,43
Stephania capitata 1,25 Ternstroemia polypetala 50,97
Podocarpus neriifolius 2,92
Debregeasia longifolia 4,65
Dillenia excelsa 8,39
Ardisia humilis 10,40
Garcinia mangostana 5,99
Cratoxylon formosum 2,83
Flacourtia rukam 15,36
Leea indica 2,49
Ternstroemia polypetala 11,92
Tumbuhan Lantai
Rapanea sp. 26,24 Rapanea sp. 19,4
Tetrastigma lanceolarium 10,74 Tetrastigma lanceolarium 4,50
Agalmyla sp. 23,57 Agalmyla sp. 17,73
Tetrastigma papillosum 1,25 Tetrastigma papillosum 4,32
Pandanus furcatus 6,33 Crinum asiaticum 10,52
Amorphophallus oncophyllus 2,16 Renealmia sp. 5,54
Cyperus sp, 7,42 Valeriana hardwickii 5,54
Mariscus compactus 10,92 Ipomoea pes-caprae 12,05
Asplenium nidus 6,33 Macaranga javanica 4,58
Apama tomentosa 15,36 Hedyotis herbacea 12,63
Apama tomentosa 3,5 Keterangan : Jenis : INP terendah Jenis : INP tertinggi (Sumber: Data Primer 2009)
Jenis Marong memiliki INP tertinggi kategori pohon pada Transek Cimanggu
dengan nilai 152. Sedangkan pada Transek Karang Pandan INP tertinggi pada jenis
Ki Taleus dengan nilai 174. Tingginya nilai penting yang berada dalam kedua transek
ini dipengaruhi dari morfologi tumbuhan tersebut, yaitu luas penampang batang dan
tajuknya.
139
Nilai penting tertinggi kategori tiang pada Transek Cimanggu adalah jenis
Laban dengan nilai 67,65. Pada Transek Karang Pandan, Kopo adalah jenis yang
memiliki INP tertinggi dengan nilai 85,96. Keberadaan jenis tersebut tidak terlepas
dari tajuk dan batang saja, tetapi jumlah kehadirannya lebih banyak dibandingkan
jenis lain yang berada pada masing-masing transek. Selain itu, jenis Kopo juga
tercatat memiliki nilai penting tertinggi pada kategori pancang dengan nilai 99,14
pada Transek Karang Pandan.
Kategori Pancang pada Transek Cimanggu dengan INP tertinggi, ditemukan
pada jenis Ki Andong dengan nilai 37,65. Kehadiran Ki Andong pada kategori
pancang yang terdapat di Transek Cimanggu sangat dominan, sehingga
mempengaruhi nilai pentingnya.
Pada kategori anakan, jenis Ki Kores memiliki nilai penting yang signifikan
dibandingkan jenis lain, yaitu sebesar 44,43. Hal ini terlihat pada gambar 4.1 dan 4.2,
bahwa Ki Kores sangat terlihat mendominasi Transek Cimanggu. Pengaruh ekologi
dari jenis ini memperlihatkan ketahanan yang tinggi untuk melakukan regenerasi
pada tahap berikutnya. Peluang terjadinya erosi pada Transek Cimanggu diperkecil
oleh kehadiran jenis ini. Kategori anakan pada Transek Karang Pandan dengan INP
tertinggi adalah jenis Kopo dengan nilai 60,65.
Jenis Areuy Gadel merupakan kategori tumbuhan lantai pada Transek
Cimanggu dengan INP tertinggi, yaitu sebesar 26,24. Jenis ini hampir ditemukan
pada setiap plot penelitian. Berbeda pada Transek Karang Pandan, jenis yang
memiliki INP tertinggi adalah jenis Areuy Ki Cacing dengan nilai 17,73. Areuy
Gadel dan Areuy Ki Cacing diduga memiliki asosiasi yang erat didalam kedua
140
transek. Gambar profil diagram melihatkan asosiasi dengan tingkat kehadiran kedua
jenis tersebut.
141
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Struktur tumbuhan Cagar Alam bagian Selatan Pananjung merupakan tipe hutan
hujan tropis yang terdiri atas 5 (lima) stratum dan lima kategori.
2. Jenis yang ditemukan pada stratum A adalah Phoebe excelsa dan Dillenia indica.
Jenis yang ditemukan pada stratum B adalah Diospyros truncata dan Ficus
indica. Jenis yang hanya ditemukan pada stratum C adalah Terminalia catappa,
Pinanga kuhlii dan Barringtonia asiatica. Jenis yang hanya ditemukan pada
stratum E terdiri atas Rapaena sp., Tetrastigma lanceolarium, Agalmyla sp.,
Grewia paniculata, Tetracera scandens, asplenium nidus, Valeriana hardwickii,
Ipomoea pes-caprae, Macaranga javanica, Hedyotis herbacea, Wedelia biflora
dan Apama tomentosa. Stratum D tidak ditemukan jenis yang khusus.
3. Terdapat 46 jenis, 43 marga dan 28 suku penyusun Transek Cimanggu.
Sedangkan pada Transek Karang Pandan terdapat 45 jenis, 40 marga, dan 27
suku. Dari kedua lokasi transek yang berbeda, diperoleh kesamaan tumbuhan
dengan nilai 50,55%. Jenis tumbuhan yang berada dalam kedua transek hampir
homogen. Perbedaan dapat dilihat dari struktur ruang dari vegetasi sangat
dipengaruhi oleh faktor fisik berupa ketinggian lokasi, salinitas, angin, substrat
dan masyarakat sekitar.
142
4. Pada kategori anakan yang menyusun Transek Cimanggu, jenis Litsea
cassiaefolia memiliki INP (Indeks Nilai Penting) sebesar 44,43. Sedangkan pada
kategori pohon, ditemukan pada jenis Cratoxylon formosum dengan nilai 151,54.
Jenis Euginia densiflora yang memiliki INP tertinggi dengan nilai 60,65 pada
kategori anakan Transek Karang Pandan. Sedangkan kategori pohon Transek
Karang Pandan adalah jenis Phoebe excelsa dengan nilai sebesar 174.
5.2 Saran
1. Struktur tumbuhan Cagar Alam bagian Selatan akan lebih terdeskripsikan dengan
lengkap apabila dilakukan penelitian tentang keanekaan, taksonomi dan
kelimpahan jenis tumbuhan tingkat tinggi dan tumbuhan tingkat rendah yang
berada di Cagar Alam Pananjung Pangandaran.
2. Hasil penelitian diketahui adanya kemunduran kondisi tumbuhan, untuk itu perlu
diadakannya pengawasan dan penelitian secara rutin sehingga hutan di Cagar
Alam Bagian Selatan Pananjung Pangandaran dapat terjaga dengan baik.
143
DAFTAR PUSTAKA
Backer, CA and Bakkuinzen v/d Brink RC Jr. 1967. Flora of Java, Vol III. Wolter-
Noordhoff NV. Groningen.
Cronquist, Arthur. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering
Plants. Columbia Univerity Press:New York.
Dahuri, Rokhmin, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Daubenmire, R. 1968. Plant Communities, A Textbook of Plant Synecology. Harper
and Row Publisher, New York Evanston and London.
Deshmukh, I. 1991. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Dumbois, M. and Ellenberg. 1974. Aims and Methods of vegetation Ecology. John
Wiley and Sons Inc. New York.
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung : Institut Teknologi
Bandung.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Frick, H. Suskiyanto, B.FX.1998. Dasar-Dasar Eko-arsitektur. Kansius. Yogyakarta
: Soegijapranata University Press.
144
Hardiansyah. 2004. Skripsi: Hubungan Antara Distribusi Jenis Tumbuhan pada
Vegetasi Lantai Hutan dengan Beberapa Faktor Lingkungan yang Diukur.
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Irwanto. 2007. Tesis: Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan
Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi
Maluku. Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Irwanto. 2008. Pengukuran Biodiversitas. URL :
http://www.irwantoshut.com/
(Dikunjungi pada tanggal 26 Mei 2009)
Musyafa. 2005. Journal Biodiversitas Vol.6, No.1;Hal 63-65. ISSN:1412-033X.
Peranan Makrofauna Tanah dalam Proses Dekomposisi Serasah Acacia
mangium Willd. Laboratorium Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nashrrullah, S., Darmawan, Hadi, F., Budi Harto, Wikantika, K. 2008. Journal :
Analisis Kelembaban Tanah Dengan Landsat ETM Menggunakan Metode
TVDI (Temperature-Vegetation Dryness Index). Center for Remote Sensing,
Institute of Technology Bandung (ITB).
Oldeman, RAA. 1979. Scale Drawing and Architectural Analysis of Vegetation.
Institut of Ecology Padjadjaran University, Bandung. LH Departement of
Silviculture Agricultural University.
145
Polunin, N. 1990. Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Resosoedarmo, S. Kartawinata, K. Soegiarto, A. 1988. Pengantar Ekologi. Bandung
: CV Remaja Karya.
Soegianto, A. 1994. Ekologi kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas.
Jakarta : Penerbit Usaha Nasional.
Soerianegara, I. dan Indrawan, A. 1983. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Tjitrosoepomo, G. 1998. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Saida Rasnovi. 2006. Disertasi : Ekologi Regenerasi Tumbuhan Berkayu
Pada Agroforest Karet. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor.