skripsi (cover-kesimpulan) pdf

107
STRUKTUR TUMBUHAN CAGAR ALAM BAGIAN SELATAN (BLOK CIMANGGU DAN KARANG PANDAN) PANANJUNG PANGANDARAN KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT SKRIPSI Diajukan untuk Menempuh Ujian Sidang Sarjana pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Wishal Miggy Dasanova D 1 D 0 3 0 2 2 UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI JATINANGOR 2009

Upload: unpad

Post on 27-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

STRUKTUR TUMBUHAN CAGAR ALAM BAGIAN SELATAN (BLOK

CIMANGGU DAN KARANG PANDAN) PANANJUNG

PANGANDARAN KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

SKRIPSI

Diajukan untuk Menempuh Ujian Sidang Sarjana

pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Padjadjaran

Wishal Miggy Dasanova D 1 D 0 3 0 2 2

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI JATINANGOR

2009

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : WISHAL MIGGY DASANOVA

NPM : D1D 03 022

BIDANG ILMU : EKOLOGI TUMBUHAN

JUDUL : STRUKTUR TUMBUHAN CAGAR ALAM BAGIAN

SELATAN (BLOK CIMANGGU DAN KARANG

PANDAN) PANANJUNG PANGANDARAN

KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

Jatinangor, Desember 2009

Menyetujui,

Pembimbing,

Drs. Prihadi Santoso, MS.

NIP. 19510516 198103 1 002

Pembimbing,

Drs. Joko Kusmoro

NIP. 19600801 199101 1 001

STRUKTUR TUMBUHAN CAGAR ALAM BAGIAN SELATAN (BLOK CIMANGGU DAN KARANG PANDAN) PANANJUNG PANGANDARAN

KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

Oleh : Wishal Miggy Dasanova Pembimbing : Drs. Prihadi Santoso, MS. dan Drs. Joko Kusmoro

Universitas Padjadjaran Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Jurusan Biologi Jatinangor

ABSTRAK

Penelitian mengenai struktur tumbuhan Cagar Alam Bagian Selatan Pananjung Pangandaran, telah dilakukan dari bulan Januari hingga April 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan dan mendapatkan besaran nilai penting dari masing-masing tumbuhan penyusun Cagar Alam Bagian Selatan Pananjung Pangandaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi survai pendahuluan, transek sabuk, identifikasi tumbuhan, dan diagram profil. Penelitian ini menggunakan dua lokasi pencuplikan, yaitu daerah Cimanggu dan Karang Pandan. Hasil identifikasi jenis tumbuhan yang berada dalam Transek Cimanggu ditemukan sebanyak 46 jenis, 43 marga, dan 28 suku. Sedangkan pada Transek Karang Pandan ditemukan sebanyak 44 jenis, 40 marga, dan 27 suku. Pada Transek Cimanggu Litsea cassiaefolia memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi, yaitu sebesar 44,43 untuk kategori anakan dan jenis Cratoxylon formosum memiliki INP sebesar 151,54 untuk kategori pohon. Sedangkan pada Transek Karang Pandan Jenis Euginia densiflora yang memiliki INP tertinggi dengan nilai 60,65 pada kategori anakan dan pada kategori pohon tercatat jenis Phoebe excelsa dengan nilai sebesar 174. (Kata Kunci : Struktur tumbuhan, tumbuhan, INP).

VEGETATION STRUCTURE IN SOUTH OF PANANJUNG PANGANDARAN RESERVE NATURE (BLOCK CIMANGGU AND BLOC K

KARANG PANDAN) CIAMIS, WEST JAVA

By : Wishal Miggy Dasanova Supervisors : Drs. Prihadi Santoso, MS. dan Drs. Joko Kusmoro

Padjadjaran University Faculty of Mathematics and Natural Sciences

Departement of Biology Jatinangor

ABSTRACT

The research about the vegetation structure in South of Pananjung Pangandaran Reserve Nature, was implemented between January through April 2009. This research was intended to recognize the plant types and to measure the importance of it. The method used were the preliminary survey, belt transect, plant identification, and profile diagram. This research was done in 2 locations, Cimanggu and Karang Pandan. The result of the plan identification within the Cimanggu area were totaling about 46 spesies, 43 genus, 28 familia. Meanwhile in Karang Pandan, the total were 44 spesies, 40 genus, dan 27 familia. In Cimanggu, Litsea cassiaefolia has the highest INP (Important Value Index) totaling 44,43 for seedling category and Cratoxylon formosum has 151.54 for its INP in tree category. While in Karang Pandan, Euginia densiflora possess the highest INP with the score 60,65 in seedling category and in tree category, Phoebe excelsa scored 174. (Key words: Vegetation structure, Vegetation, INP)

K A T A P E N G A N T A R

Assalamualaikum wr. Wb,

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala

rahmat serta hidayah-Nya yang tiada terputus sehingga skripsi yang berjudul

“Struktur Tumbuhan Cagar Alam Bagian Selatan (Blok Cimanggu dan Blok Karang

Pandan) Pananjung Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa Barat” telah selsai disusun

meski jauh dari sempurna.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat menempuh ujian sarjana di

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Padjadjaran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara

ilmiah mengenai keanekaragaman tumbuhan di Cagar Alam bagian selatan Pananjung

Pangandaran. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan pertimbangan dan

pengelolaan sumber daya alam yang berkesinambungan. Penyusun sangat berharap

bahwa skripsi ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan dalam bidang

ekologi tumbuhan bagi pembaca dan mahasiswa Biologi pada umumnya dan bagi

Himpunan Mahasiswa Biologi Unpad pada khususnya.

Dalam menyusun skripsi ini, penyusun menyadari bahwa pelaksanaan dan

penulisan terdapat banyak hambatan dan tantangan. Oleh karena itu, kekurangan yang

ada dalam skripsi ini semata-mata merupakan kelemahan dari penyusun. Kritik dan

saran sangat diharapkan untuk penyusunan yang lebih baik kemudian hari.

Wassalam,

Bandung, Desember 2009

Penyusun

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji beserta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

menciptakan alam semesta beserta isinya, sehingga penulis dapat melakukan

penelitian mengenai “Struktur Tumbuhan Cagar Alam Bagian Selatan (Blok

Cimanggu dan Blok Karang Padan) Pananjung Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa

Barat”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

keanekaragaman dan struktur tumbuhan yang terdapat di Cagar Alam bagian Selatan

Pananjung Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa Barat.

Pada kesempatan kali ini secara khusus penyusun mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Ibu yang telah memberikan bantuan dan

dukungan yang terbesar baik berupa moril maupun materil, juga atas semua doa-

doanya sehingga penyusun dapat menyelsaikan skripsi ini. Tidak lupa penyusun juga

mengucapkan banyak terima kasih untuk kedua pembimbing skripsi Drs. Prihadi

Santoso, MS dan Drs. Joko Kusmoro atas segala waktu, tenaga, motivasi, kesabaran

dan perhatiannya selama perkuliahan hingga menyelsaikan tugas akhir ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih atas bantuan yang telah

diberikan selama perkuliahan dan penelitian kepada :

1. Dr. Wawan Hermawan, MS., Dekan FMIPA Unpad.

2. Drs. Hikmat Kasmara, MS.,Ketua Jurusan Biologi FMIPA Unpad.

3. Prof. Dr. Jetty Nurhajati, dosen wali yang telah memberikan perhatian, semangat

dan dorongan untuk menyelesaikan penelitian ini.

4. Prof. Dr. Johan Iskandar, Prof. Dr. Aseng Ramlan, Dr. Titin Supriatun, MS., Drs.

Herri Y. Hadikusumah, M.Si. dan Budi Irawan, M.Si., S.Si., tim penilai Seminar

I dan II yang berkenan memberikan saran-saran demi perbaikan skripsi ini.

5. Dr. Yayat Ruchiat, Dr. Nurzaman, M.Si, dan Dra. Mia Miranti, MP., dosen tim

penguji Sidang Sarjana yang memberikan saran dan masukan demi perbaikan

akhir skripsi ini.

6. Dr. Teguh Husodo, M.Si. dan Suryana, M.Si.,untuk kesempatan belajar dan

konsultasi yang sudah diberikan kepada penulis.

7. Staff Pengajar Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Padjadjaran.

8. Bpk. Aceng, Bpk Aryanto dan Kang Juhandi, staff Tata Usaha Jurusan Biologi

Unpad atas bantuan dan kelancaran dalam proses perizinan.

9. Drs. Unu; Kepala Balai Besar Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam yang

telah memberikan izin tempat kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

10. Drs. Yana, Kepala Resort Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Pangandaran

untuk pengertian, motivasi, pengetahuan dan kesempatan tinggal di kawasan

konservasi.

11. Drs. Kusay dan Drs. Sandot, Petugas Resort Balai Konservasi dan Sumber Daya

Alam Pangandaran untuk wawasan, pengetahuan mengenai tumbuhan,

persahabatan dan kesempatan untuk bermalam dirumahnya.

12. Drs. Asep, Drs. Yudi, Drs. Rachmat, Drs. Engkus (Uncal); Petugas Resort Balai

Konservasi dan Sumber Daya Alam Pangandaran untuk pengalamannya.

13. Ijo, S.Hut dan Glenn, S.Hut; atas segala pengetahuan scientific-nya.

14. Siti Hazar, S.Si; atas kesabaran, ketabahan, bantuan, dukungan beserta doa yang

telah diberikan selama pelaksanaan dan penyusunan skripsi.

15. Deri Achmad Fauzi, Riezkanisa Syakura, S.Si., Keluarga Irma Wachyuni, S.Si.,

atas kerjasamanya.

16. Ade Rahmat S.Si., Zaenal Muttaqien, S.Si., Sigit Wibisono S.Si dan Lita S.Si,

yang memberikan pengetahuan dan selalu sabar untuk sharing tentang bidang

ilmu yang penulis tempuh.

17. Raymond Jakub S.Si; atas diskusi, pengalaman menyelam, persahabatan dan

khususnya ruang untuk menggambar dalam menyusun skripsi ini.

18. Bpk. Agus, Andriantoro S.Si, Insan Kharisma S.Si, Joachim Baez S.Si; yang

telah memberikan arti persahabatan, kehidupan, berbagi pengalaman, tukar

pendapat dan diskusinya.

19. Teguh Atuyanuar, Reno Febrian, Muhamad Ramdhan dan Agung Hasan; yang

ikut serta membantu dalam pengambilan data lapangan.

20. Keluarga Besar Wiradinata dan Ishak Iskandar; yang telah banyak direpotkan

dalam penusunan skripsi ini.

21. Abdillah Luhur, S.Si dan Bowo Budileksono, S.Si, rekan seperjuangan Sidang

Sarjana.

22. Rekan-Rekan DPXXIX dan semua warga Himbio Unpad; yang selalu

memberikan motivasi kepada penyusun untuk cepat lulus!

23. Rekan-Rekan yang telah berhasil memperjuangkan PCA dan Praktek Lapangan..!

24. Saudara... yang telah meluangkan waktu untuk membaca skripsi ini..!!!

Selain itu, penyusun juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada berbagai pihak lain yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak

langsung selama pelaksanaan pengambilan data lapangan dan penyusunan skripsi ini.

Jatinangor, Desember 2009

Penyusun

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... i

ABSTRAK.............................................................................................................. ii

ABSTRACT............................................................................................................ iii

KATA PENGANTAR........................................................................................... iv

UCAPAN TERIMAKASIH.................................................................................. v

DAFTAR ISI.......................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL.................................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR............................................................................................. xvi

DAFTAR DIAGRAM........................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1

1.2 Identifikasi Masalah........................................................................................ 3

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian……………………...…................................ 4

1.4 Kerangka Pemikiran……………………………………............................... 4

1.5 Kegunaan Penelitian……………………………………............................... 6

1.6 Metode Penelitian………………………………………............................... 6

1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………….............................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………......…....... ..... 8

2.1 Deskripsi Umum Cagar Alam Pananjung Pangandaran…............................ 8

2.1.1 Sejarah dan Status Kawasan Cagar Alam Pananjung

Pangandaran ……….................................………………….........

8

2.1.2 Keadaan Biofisik Kawasan CAPP……………................…......... 10

2.2 Ekosistem Pantai ………………………………………................................ 12

2.3 Populasi dan Komunitas ………………………………................................ 13

2.3.1 Populasi ...……………………………………….......................... 13

2.3.2 Komunitas ………………………………………......................... 14

2.3.2.1 Perkembangan Komunitas Tumbuhan......................... 15

2.4 Struktur dan Komposisi Tumbuhan ……………………............................... 16

2.5 Diagram Profil…………………………………………................................ 18

2.6 Analisis Tumbuhan Berdasarkan Faktor Ekologi ……….............................. 20

2.7 Suksesi …………………………………………………............................... 22

2.7.1 Suksesi Primer ………………………………….......................... 23

2.7.2 Suksesi Sekunder ……………………………….......................... 24

2.8 Metode Identifikasi Tumbuhan…...……………………............................... 25

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN...……..……………... ......... 27

3.1 Bahan dan Alat Penelitian ………………………………............................. 27

3.1.1 Bahan …………………………………………............................ 27

3.1.2 Alat …………………..………………………….......................... 27

3.2 Metode ……….………………………………………….............................. 27

3.2.1 Survey Pendahuluan.....…………………………......................... 28

3.2.2 Metode Transek Sabuk....………………………........................... 28

3.2.3 Metode Profil Diagram.......…………………….......................... 29

3.2.4 Metode Identifikasi....................................................................... 29

3.3 Langkah Kerja/Prosedur Penelitian.......………………………………......... 30

3.3.1 Transek Sabuk................………. …………………………......... 30

3.3.2 Profil Diagram................................................................................ 30

3.3.3 Identifikasi Tumbuhan……………............................................... 33

3.4 Analisis Data Lapangan ………………………………................................. 33

3.4.1 Komposisi Jenis Tumbuhan.......................................................... 34

3.4.2 Analisis Kualitatif Struktur Tumbuhan.......................................... 34

3.4.2.1 Struktur Vertikal Tumbuhan....................................... 34

3.4.2.2 Struktur Horizontal Tumbuhan................................... 34

3.4.3 Analisis Kuantitatif Tumbuhan...................................................... 35

3.4.3.1 Frekuensi (Frequency)............................................... 35

3.4.3.2 Kerapatan (Density).................................................... 35

3.4.3.3 Dominansi (Dominance)............................................. 36

3.4.3.4 Indeks Nilai Penting/INP (Importance Value

Index)....................................................................

37

3.4.3.5 Indeks Kesamaan (Similarity Index)........................... 37

3.4.3.6 Indeks Keanekaan (Diversity Index)........................... 38

3.4.3.7 Indeks Kerataan (Evenness Index) – Indeks Pielou

(1977) (Ludwig and Reynolds,1988).........................

38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 39

4.1 Data Fisik Lapangan....................................................................................... 39

4.1.1 Temperatur Udara.......................................................................... 44

4.1.2 Kelembaban Udara......................................................................... 44

4.1.3 Kelembaban Tanah......................................................................... 45

4.1.4 Keasaman Tanah............................................................................ 46

4.1.5 Ketebalan Seresah.......................................................................... 46

4.1.6 Persentase Penutupan Seresah........................................................ 47

4.2 Komposisi Jenis Tumbuhan............................................................................ 47

4.3 Analisis Kualitatif Struktur Tumbuhan.......................................................... 50

4.3.1 Struktur Vertikal Tumbuhan.......................................................... 51

4.3.1.1 Struktur Vertikal Tumbuhan Penyusun Transek

Cimanggu....................................................................

51

4.3.1.1.1 Stratum A................................................. 53

4.3.1.1.2 Stratum B................................................. 55

4.3.1.1.3 Stratum C................................................. 56

4.3.1.1.4 Stratum D................................................. 59

4.3.1.1.5 Stratum E................................................. 60

4.3.1.2 Struktur Vertikal Tumbuhan Penyusun Transek

Karang Pandan............................................................

63

4.3.1.1.1 Stratum A................................................. 64

4.3.1.1.2 Stratum B................................................. 65

4.3.1.1.3 Stratum C................................................. 66

4.3.1.1.4 Stratum D................................................. 67

4.3.1.1.5 Stratum E................................................. 68

4.3.2 Struktur Horizontal Tumbuhan...................................................... 70

4.4 Perbandingan Komposisi Jenis dan Struktur Tumbuhan Padan Kedua

Transek Penelitian..........................................................................................

74

4.4.1 Kesamaan Tumbuhan..................................................................... 74

4.4.2 Keanekaan dan Perataan................................................................ 76

4.4.3 Struktur Tumbuhan........................................................................ 76

4.4.3.1 Struktur Vertikal Kedua Transek................................................... 78

4.4.3.2 Struktur Horizontal Kedua Transek............................................... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 83

5.1 Kesimpulan................................................................................... 83

5.2 Saran............................................................................................. 84

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 85

LAMPIRAN 1 Peta dan Perjalanan Menuju Transek.............………..... 88

LAMPIRAN 2 Pembagian Stratum dan Kategori Tumbuhan Pada

Transek Cimanggu........................................................

89

LAMPIRAN 3 Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Stratum dan

Kategori Pada Transek Karang Pandan.........................

92

LAMPIRAN 4 Indeks Nilai Penting Masing-Masing Jenis Tumbuhan

Berdasarkan Stratum Pada Transek

Cimanggu..........................................................................

94

LAMPIRAN 5 Indeks Nilai Penting Masing-Masing Jenis Tumbuhan

Berdasarkan Stratum Pada Transek Karang

Pandan.........................................................................

97

LAMPIRAN 6 Jenis-Jenis Tumbuhan Cagar Alam Bagian Selatan

Pananjung Pangandaran.................................................

99

LAMPIRAN 7 Kehadiran Setiap Jenis Tumbuhan Pada Masing-

Masing Plot Transek Cimanggu......................................

102

LAMPIRAN 9 Kehadiran Setiap Jenis Tumbuhan Pada Masing-

Masing Plot Transek Karang Pandan.............................

105

LAMPIRAN 10 Dokumentasi................................................................... 101

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Kondisi Fisik Transek Cimanggu................................................. 43

Tabel 4.2 Kondisi Fisik Transek Karang Pandan......................................... 43

Tabel 4.3 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum A Transek Cimanggu.. 53

Tabel 4.4 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum B Transek Cimanggu.. 55

Tabel 4.5 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum C Transek Cimanggu.. 57

Tabel 4.6 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum D Transek Cimanggu.. 59

Tabel 4.7 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum E Transek Cimanggu... 62

Tabel 4.8 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum A Transek Karang

Pandan............................................................................................

64

Tabel 4.9 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum B Transek Karang

Pandan............................................................................................

65

Tabel 4.10 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum C Transek Karang

Pandan............................................................................................

66

Tabel 4.11 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum D Transek Karang

Pandan............................................................................................

67

Tabel 4.12 Jenis-Jenis Tumbuhan Penyusun Stratum E Transek Karang

Pandan............................................................................................

68

Tabel 4.13 Nilai Penting Masing-Masing Kategori Tumbuhan pada Transek

Cimanggu.......................................................................................

70

Tabel 4.14 Penting Masing-Masing Kategori Tumbuhan pada Transek

Karang Pandan...............................................................................

73

Tabel 4.15 Jenis-Jenis Tumbuhan Pada Transek Cimanggu dan Karang

Pandan............................................................................................

74

Tabel 4.16 Perbandingan Parameter Indeks Keanekaan dan Indeks Perataan

Pada Kedua Transek Penelitian Berdasarkan Stratum..................

76

Tabel 4.17 Indeks Nilai Penting Pada Kedua Transek Untuk Setiap

Kategori.........................................................................................

79

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Langkah penggambaran struktur vertikal dan horizontal........................ 29

Gambar 3.2 Pengukuran DBH................................................................................... 31

Gambar 3.3 Blume Leisz........................................................................................... 32

Gambar 3.4 Cara Mengukur Koordinat Pohon........................................................... 32

Gambar 4.1 Profil Diagram Transek Cimanggu......................................................... 40

Gambar 4.2 Profil Diagram Transek Karang Pandan................................................. 41

Gambar 4.3 Lokasi Penelitian..................................................................................... 42

Gambar 4.4 Struktur dan Pertumbuhan Hutan (Oldeman, 1979)............................... 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan hujan tropis merupakan jenis hutan yang paling subur dan ditumbuhi

oleh berbagai jenis tumbuhan serta menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000-

4000 mm per tahun, suhu tinggi ± 25o-26oC dengan kelembaban sekitar 80%.

Tumbuhan tergabung dari kategori terna, perambat, epifit, pencekik, saprofit, parasit

dan liana merupakan bagian dari struktur vegetasi (Ewusie, 1990).

Indriyanto (2006), menjelaskan bahwa definisi hutan adalah lapangan yang

ditumbuhi tumbuhan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam

hayati beserta alam lingkungannya atau tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh

antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi atau biasa disebut

dengan ekosistem.

Salah satu hutan hujan tropis yang terdapat di Jawa Barat tepatnya di

Pananjung Pangandaran adalah hutan hujan dataran rendah. Hutan Pananjung

Pangandaran terdapat komponen-komponen penyusun suatu tumbuhan yang

bermanfaat bagi kehidupan manusia, contohnya sebagai sumber tumbuhan obat, atau

bahkan sebagai media rekreasi dan objek wisata alam.

Fachrul (2007), mengemukakan bahwa analisis tumbuhan adalah cara

mempelajari susunan komposisi jenis, morfologi dan struktur tumbuhan atau

masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dalam ekologi hutan yang diteliti adalah suatu

tegakan. Hutan merupakan tumbuhan alami yang menempati dua pertiga bagian

bumi. Hutan didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang rapat dan luas. Hutan

menutupi areal yang cukup luas untuk menimbulkan kondisi iklim dan ekologi yang

berbeda dari lingkungan luarnya.

Pengkajian struktur vertikal hutan merupakan bagian dari upaya memahami

kondisi hutan di Pananjung Pangandaran. Berbagai macam eksploitasi tumbuhan

yang berada di Pananjung Pangandaran menyebabkan kerusakan di beberapa lokasi,

menghilangkan tutupan hutan secara permanen maupun sementara, mengubah

struktur dan komposisi hutan semula. Tanpa terkecuali pada kawasan hutan lindung

dan hutan sekunder tua yang terletak dalam Cagar Alam Pananjung Pangandaran.

Komposisi dan struktur vegetasi dari masyarakat tumbuhan mencirikan

bentuk tumbuhan dari suatu tipe komunitas. Bentuk tumbuhan di suatu masyarakat

tumbuhan beserta faktor-faktor lingkungannya memperlihatkan hubungan antara satu

dengan yang lainnya. Struktur vertikal memperlihatkan stratifikasi lapisan kanopi

pada tumbuhan di komunitasnya, sedangkan struktur horizontal memperlihatkan pola

distribusi populasi dari spesies dan individu (Daubenmire, 1968).

Berbagai struktur dan komposisi masyarakat tumbuhan ini, terutama hutan,

memberikan manfaat dan fungsi yang beragam bagi kehidupan. Bagi manusia,

masyarakat tumbuhan memberikan nilai ekonomis yang tinggi, dan bagi makhluk lain

juga tidak kalah penting fungsinya seperti dalam mengatur iklim lokal maupun global

yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan.

Kawasan Pananjung Pangandaran secara umum terdiri dari formasi hutan

pantai, hutan dataran rendah, dan hutan sekunder tua yang cukup terjaga dan

dilindungi oleh Undang-Undang sebagai suatu kawasan konservasi, sehingga

komposisi dan strukturnya belum banyak terganggu.

Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran memiliki tempat yang

terbuka dari laut dan sulit ditempuh dari darat, sehingga memudahkan bagi nelayan

dan pengunjung untuk memasuki kawasan tersebut. Kurangnya pengawasan dari

petugas dapat menyebabkan terganggunya kondisi alam di Pantai Selatan Pananjung

Pangandaran. Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pandaran meliputi daerah

Cimanggu dan Karang Pandan.

Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu penelitian mengenai analisis

vegetasi di Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran beserta nama jenis-

jenis tumbuhannya. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran

secara umum mengenai kondisi struktur tumbuhan beserta jenis-jenis tumbuhan

penyusun pantai di Pananjung Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

1.2 Identifikasi masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, diperoleh identifikasi masalah

sebagai berikut :

1. Jenis tumbuhan apa saja yang menyusun Transek Cimanggu dan Karang Pandan

berdasarkan stratum.

2. Bagaimana perbedaan komposisi dan struktur tumbuhan antara Transek

Cimanggu dengan Karang Pandan Pananjung Pangandaran.

3. Bagaimanakah gambaran vertikal dan horizontal tumbuhan penyusun Transek

Cimanggu dan Karang Pandan Pananjung Pangandaran

4. Berapa besaran nilai penting dari masing-masing jenis tumbuhan yang berada

dalam daerah penelitian di Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk melengkapi data vegetasi yang ada di

Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran dan memberikan gambaran

mengenai kondisi Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan dan mendapatkan besaran nilai

penting dari masing-masing tumbuhan penyusun Cagar Alam bagian Selatan

Pananjung Pangandaran.

1.4 Kerangka Pemikiran

Kawasan pesisir pantai tersusun oleh berbagai ekosistem yang dicirikan oleh

sifat dan proses biotik dan abiotik yang jelas satu sama lain, tidak berdiri sendiri,

bahkan saling berkaitan (Soerianegara, 1988). Dahuri, (1996), menjelaskan bahwa

kawasan pesisir pantai adalah unik karena dipengaruhi oleh berbagai aktivitas

manusia dan proses alami yang terdapat di kawasan bagian atas daratan (upland

areas) ataupun di lautan atau samudra (oceans).

Menurut Dahuri (1996), kawasan pesisir meliputi daratan yang mengelilingi

benua (continents) dan kepulauan, merupakan perluasan daratan yang dibatasi oleh

pengaruh pasang surut yang terluar dari suatu paparan benua (continental shelf). Oleh

karena itu, setiap aspek pengelolaan kawasan pesisir dan lautan baik secara langsung

maupun tidak langsung, selalu berhubungan dengan air. Hubungan tersebut terjadi

melalui pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-off), aliran air tanah (ground

water), air tawar beserta segenap isinya (seperti nutrisi, bahan pencemar, dan

sedimen) yang berasal dari ekosistem dataran, dan akhirnya akan bermuara di

perairan pesisir. Sedangkan menurut Fachrul, (2007), kawasan pesisir pantai

merupakan daerah terjadinya interaksi antara tiga unsur alam utama yaitu, daratan,

perairan, dan udara. Proses interaksi tersebut berlangsung sejak ketiga unsur ini

terbentuk.

Kawasan Pananjung Pangandaran memiliki beberapa tipe ekosistem, di

antaranya ekosistem padang penggembalaan, ekosistem hutan sekunder tua,

ekosistem laut, ekosistem tebing, dan ekosistem pantai. Dari beberapa lokasi yang

terdapat di Pananjung Pangandaran, daerah selatan Cagar Alam merupakan tempat

dimana belum memiliki data mengenai struktur vegetasi dan keanekaan jenis

tumbuhan.

Hutan hujan tropis dataran rendah yang terletak di Pananjung Pangandaran

memiliki tingkat keanekaragaman jenis cukup tinggi terutama pada bidang tumbuhan.

Keragaman atau kesamaan jenis itulah yang dijadikan dasar dalam mengadakan

klasifikasi tumbuhan yang berada di pesisir pantai Pananjung Pangandaran.

Diagram profil digunakan sebagai salah satu cara untuk memahami struktur

tumbuhan suatu masyarakat tumbuhan. Gambaran profil dapat menggambarkan

pelapisan tajuk dari setiap jenis pohon dan dapat melukiskan secara detail ruang

vertikal antar jenis. Diagram profil yang digambarkannya adalah struktur tumbuhan

suatu plot yang merupakan sampel perwakilan dari suatu daerah tertentu secara

vertikal dan horizontal (Mueller-Dumbois, 1974).

Macam/tipe struktur yang dimaksud pada identifikasi masalah penelitian ini

yaitu untuk mengetahui ruang vertikal dan horizontal vegetasi Pantai Selatan,

membedakan strata vegetasi, mengetahui frekuensi, kerapatan, dominansi, nilai

penting dan perbedaan serta persamaan vegetasi dari kedua lokasi penelitian.

Sedangkan deskripsi mengenai jenis-jenis tumbuhan tingkat tinggi merupakan

gambaran tipe dari suatu ekosistem yang menutupi suatu wilayah yang luas (Fachrul,

2007).

Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan dilakukannya kajian mengenai

struktur vertikal dan horizontal pada Cagar Alam bagian Selatan Pananjung

Pangandaran. Selain itu, melakukan pengenalan jenis-jenis tumbuhan penyusun

Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran sehingga tidak akan terjadi

kesalahan informasi dari berbagai pihak mengenai nama jenis-jenis tumbuhan yang

berada di Pantai Pananjung Pangandaran.

1.5 Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

struktur vegetasi dan keanekaragaman jenis tumbuhan penyusun ekosistem Cagar

Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran. Selain itu, dapat memberikan

tambahan informasi bagi kelengkapan data dari pihak BKSDA setempat.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mengguakan metode deskriptif. Analisis data

kualitatif berupa inventarisasi jenis tumbuhan beserta data fisik yang terdapat di plot

penelitian. Sedangkan analisis data kuantitatif berupa besaran nilai penting dan indeks

kesamaan dari masing-masing jenis tumbuhan dikedua plot penelitian. Analisis

vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode diagram profil dengan dua buah

transek sabuk yang diletakan tegak lurus dari Selatan ke Utara dan Barat ke Timur,

keduanya dimulai dari pinggiran pulau yang menuju pusat pulau daerah Cagar Alam

bagian Selatan Pantai Pananjung Pangandaran. Transek sabuk dibuat dengan petak-

petak plot berbentuk persegi dengan ukuran 10 x 10 m sepanjang 200 m sebanyak

dua buah transek.

Metode identifikasi merupakan teknik pengenalan spesimen tumbuhan yang

belum ditemukan identitasnya. Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan dengan cara

studi literatur atau studi wawancara terhadap para ahli (Rugayah dkk., 2004).

1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian telah dilakukan di Cagar Alam bagian Selatan Pananjung

Pangandaran Jawa Barat. Sedangkan waktu penelitian telah dilakukan pada Bulan

Januari 2009 sampai dengan Bulan April 2009.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian

2.1.1 Sejarah dan Status Kawasan Cagar Alam Pananjung Pangandaran

Definisi hutan menurut UU No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan yaitu suatu

lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan

persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang terdiri dari udara,

air, tanah, cahaya matahari dan lain-lain yang satu sama lain tidak dapat dipisah-

pisahkan yang menempati suatu lapangan yang cukup luas, dengan luas minimum

seperempat hektar. Namun istilah hutan sendiri telah disempurnakan dalam UU

Kehutanan No. 41 tahun 1999 menyebutkan bahwa hutan adalah suatu ekosistem

berupa hamparan lahan berisi sumber alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Pangandaran terdiri dari Cagar

Alam Darat seluas ± 419 Ha, Cagar Alam Laut seluas ± 470, dan Taman Wisata

Alam seluas ± 37 Ha. Secara administratif, ketiga kawasan tersebut terletak di Desa

Pangandaran Kecamatan Ciamis, Provinsi Jawa Barat (BKSDA, 2003).

Pada tahun 1922, ketika Y. Eycken menjabat Residen Priangan Pananjung

Pangandaran, diusulkan menjadi Taman Buru. Pada waktu itu dilepaskan seekor

Banteng, 3 ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa. Karena memiliki keanekaragam

satwa yang unik dan khas serta perlu dijaga habitat dan kelangsungan hidupnya maka

pada tanggal 7 Desember 1934, status kawasan tersebut diubah menjadi Suaka

Margasatwa berdasarkan Gauverment bisluit dengan luas 530 Ha. Kemudian pada

tahun 1961 statusnya diubah menjadi Cagar Alam berdasarkan S.K. Menteri

Pertanian No.34/KMP/1961 setelah ditemukan Rafflesia patma. Perkembangan

selanjutnya, sebagian kawasan Cagar Alam seluas ± 37 Ha berubah fungsi dan

statusnya menjadi Taman Wisata Alam berdasarkan S.K. Menteri Pertanian

No.170/Kpts-II/1990 tanggal 8 Maret 1990.

Status Pengelolaan kawasan mulai dari ditetapkan hingga saat ini telah

mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan kebijakan pemerintah

sebagai berikut :

1. Pertama kali ditetapkan sampai dengan tahun 1957, pengelolaan Pananjung

Pangandaran ditangani oleh Kebun Raya Bogor.

2. Tahun 1957-1972 pengelolaan Pananjung Pangandaran ditangani oleh Jawatan

Kehutanan, dikarenakan belum ada Departemen kehutanan.

3. Tahun 1972-1978 pengelolaan Pananjung Pangandaran ditangani oleh seksi PPA

Jawa Barat II yang berkedudukan di Bandung.

4. Tahun 1978-1999 pengelolaan Pananjung Pangandaran ditangani oleh Sub Balai

Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat II, BKSDA III Bandung.

5. Tahun 1999-sekarang pengelolaan Pananjung Pangandaran ditangani oleh

BKSDA II Jawa Barat Seksi Wilayah Konservasi I, Resort KSDA Pangandaran.

Sedangkan Taman Wisata Alam ditangani oleh PT. PERHUTANI KPH Ciamis

Unit III Jawa Barat.

2.1.2 Keadaan Biofisik Kawasan CAPP

Berdasarkan data BKSDA (2003), kawasan ini memiliki keadaan biofisik

sebagai berikut:

1. Letak Geografis

Pananjung Pangandaran merupakan semenanjung di Pantai Selatan Jawa

Barat, berbatasan dengan Jawa Tengah. Terletak diantara 180o 50’ sampai 109o BT

dan 7o 40’ sampai 7o 45’ LS. Daerah ini dibatasi oleh Samudera Hindia di sebelah

selatan, Kabupaten Ciamis di sebelah utara, Teluk Pangandaran atau Pananjung di

sebelah Timur, dan Teluk Parigi di sebelah Barat.

2. Topografi

Daerah ini terletak pada ketinggian antara 0 sampai 148 meter di atas

permukaan laut. Hutan cagar alam terdiri dari 50% kawasan datar, 35% kawasan

berbukit, dan 15% kawasan bergunung, dengan ketinggian rata-rata 100 meter di atas

permukaan laut. Daerah tertinggi terletak di sebelah selatan padang rumput Badeto,

sedangkan keadaan berbukit ditemukan di bagian selatan Taman Wisata Alam

Pangandaran, memanjang di sepanjang wilayah Ciborok (Barat) sampai Cirengganis

(Timur), dan keadaan bergunung ditemukan dalam bentuk tonjolan-tonjolan batu

karang yang terpisah dan menjulang dengan tinggi 5-20 m.

3. Iklim

Curah hujan di Pananjung Pangandaran cukup tinggi, kurang lebih 3.196

mm/tahun. Hal ini sangat penting karena hubungannya dengan persediaan air tanah

dan karakteristik tanah di daerah tersebut. Musim basah terjadi pada bulan Oktober

dan Maret bersamaan dengan tingginya angin Timur, sedangkan musim kering terjadi

selama periode angin tenggara. Kelembabannya berkisar antara 80-90%, disebabkan

oleh hutan yang terdiri atas pohon-pohon tinggi dan berdaun lebat, serta seresah yang

mempertahankan kelembaban.

Suhu harian berkisar antara 25oC-30oC, sinar matahari tidak langsung

mencapai lantai hutan karena kerapatan tajuk pohon di daerah taman hutan,

sedangkan padang penggembalaan yang merupakan daerah terbuka mendapatkan

sinar matahari yang cukup.

4. Keadaan Air dan Tanah

Di dalam kawasan Taman Wisata dan Cagar Alam Pangandaran terdapat 10

buah sungai yang panjangnya tidak lebih dari 1-2 Km. Sungai terbesar adalah Sungai

Cikamal yang mempunyai muara di Pantai Barat, dan sungai Cirengganis yang

bermuara di Pantai Timur.

Tanah di daerah Pananjung Pangandaran mengandung banyak kapur atau

CaCO3, sesuai dengan topografinya yang berbukit-bukit dan berkarang. Sebagian

besar terdiri dari breksi abu-abu tua terutama podsolik kuning merah, latosol, endapan

aluvial yang berasal dari laut yang terdiri dari pasir dan tanah berpasir yang terdapat

diantara pantai sebelah selatan semenanjung yang berbentuk karang-karang terjal.

5. Flora dan Fauna

a. Flora

Flora yang berada di kawasan ini terdiri dari berbagai suku dan jenis,

diantaranya kelompok pohon 249 jenis, perdu 71 jenis, liana 66 jenis, semak 193

jenis, rumput 53 jenis, epifit 26 jenis dan parasit 10 jenis (BKSDA, 2003).

b. Fauna

Fauna yang terdapat di lokasi ini cukup beragam yang terdiri dari : kelas

Mammalia 30 jenis, Amphibia 4 jenis, Aves 78 jenis, Reptilia 18 jenis, Pisces 75

jenis dan terumbu karang 15 jenis (BKSDA, 2003).

2.2 Ekosistem Pantai

Menurut Dahuri (1996), kawasan pesisir meliputi daratan yang mengelilingi

benua (continents) dan kepulauan, merupakan perluasan daratan yang dibatasi oleh

pengaruh pasang surut yang terluar dari suatu paparan benua (continental shelf). Oleh

karena itu, setiap aspek pengelolaan kawasan pesisir dan lautan baik secara langsung

maupun tidak langsung, selalu berhubungan dengan air. Hubungan tersebut terjadi

melalui pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-off), aliran air tanah (ground

water), air tawar beserta segenap isinya (seperti nutrisi, bahan pencemar, dan

sedimen) yang berasal dari ekosistem dataran, dan akhirnya akan bermuara di

perairan pesisir. Sedangkan menurut Fachrul, (2007), kawasan pesisir pantai

merupakan daerah terjadinya interaksi antara tiga unsur alam utama yaitu, daratan,

perairan, dan udara. Proses interaksi tersebut berlangsung sejak ketiga unsur ini

terbentuk.

Tipe ekosistem pantai terdapat di daerah-daerah kering tepi pantai dengan

kondisi tanah berpasir atau berbatu dan terletak di atas garis pasang tertinggi. Di

daerah ekosistem pantai pada umumnya jarang tergenang air laut, namun sering

terjadi atau terkena angin kencang dengan hembusan garam (Indriyanto, 2006).

Ekosistem pantai dapat dibedakan dengan hutan tropis pegunungan dimana

pada ekosistem pantai mempunyai jumlah jenis pohon yang lebih tinggi, sedangkan

epifit, paku-pakuan, serta lumut tidak banyak berkembang di daerah ini. Ciri lain dari

hutan hujan dataran rendah adalah banyak terdapat liana dan saprofit.

2.3 Populasi dan Komunitas

Suatu organisme tidak hidup menyendiri, tetapi harus hidup bersama-sama

dengan organisme sejenis atau dengan yang tidak sejenis. Berbagai organisme hidup

di suatu tempat, baik yang besar maupun yang kecil, tergabung dalam suatu

persekutuan yang disebut komunitas biotik. Suatu komunitas biotik terikat sebagai

suatu unit oleh saling ketergantungan anggota-anggotanya. Suatu komunitas adalah

suatu unit fungsional dan mempunyai struktur yang pasti. Populasi merupakan

berbagai kelompok dalam komunitas biotik. Secara umum populasi dapat dianggap

sebagai suatu kelompok organisme yang terdiri atas individu-individu yang tergolong

dalam satu jenis, atau satu varietas, satu ekotipe atau satu unit. Populasi dan

komunitas mempunyai tingkat organisasi yang lebih tinggi daripada individu dan juga

merupakan kesatuan yang nyata, karena populasi dan komunitas memiliki

karakteristik tambahan selain karakteristik yang dimiliki oleh individu-individu

penyusunnya (Resosoedarmo, 1988).

2.3.1 Populasi

Dalam ilmu ekologi, yang dimaksud dengan populasi adalah sekelompok

individu yang sejenis atau sama jenisnya (Indriyanto, 2006). Menurut Resosoedarmo

dkk, (1986), populasi merupakan kelompok organisme sejenis yang hidup dan

berkembang biak pada suatu daerah tertentu. Populasi mempunyai karakteristik yang

khas untuk kelompok yang tidak dimiliki oleh masing-masing individu anggotanya.

Karakteristik tersebut antara lain adalah densitas, natalitas, mortalitas, penyebaran

umur dalam bentuk pertumbuhan, dan distribusi.

Indriyanto, (2006), menyebutkan tentang karakteristik yang dimiliki suatu

populasi mencakup kepadatan, natalitas, mortalitas, penyebaran umur, potensi biotik,

dispersi (penyebaran organisme antar habitat), dan bentuk pertumbuhan atau

perkembangan. Populasi juga mempunyai karakteristik genetik yang secara langsung

berhubungan dengan ekologinya. Karakteristik populasi yang sangat penting untuk

menyatakan kondisi suatu populasi, yaitu distribusi atau penyebaran intern.

2.3.2 Komunitas

Tumbuhan dari berbagai jenis yang hidup secara alami di suatu tempat

membentuk suatu kumpulan yang di dalamnya setiap individu menemukan

lingkungan yang dapat memenuhi kehidupannya. Komunitas mempunyai derajat

keterpaduan yang lebih tinggi daripada individu-individu dan populasi tumbuhan

yang menyusunnya. Komposisi suatu komunitas ditentukan oleh seleksi tumbuhan

yang mencapai dan mampu hidup pada suatu tempat. Suatu komunitas dapat

mengkarakteristikan suatu unit lingkungan yang mempunyai kondisi habitat utama

yang seragam. Unit lingkungan ini disebut biotop. Genangan lumpur, pantai pesisir,

gurun pasir, dan unit lautan merupakan contoh biotop. Biotop sangat ditentukan oleh

sifat-sifat fisik. Biotop-biotop lain dapat pula dicirikan oleh unsur organismenya,

misalnya padang alang-alang, hutan tusam, hutan cemara, rawa kumpai, dan

sebagainya (Resosoedarmo, 1988).

Hutan tropika basah merupakan komunitas yang dominan di Indonesia. Sifat

yang menarik dari hutan tropis basah adalah volume per satuan luas dari biomassa

yang ada diatas tanah, sehingga memberi kesan bahwa lahan yang ditumbuhinya

merupakan lahan yang sangat subur. Tetapi pada kenyataannya tanah hutan

dikawasan tropis itu umumnya miskin, kecuali tanah-tanah aluvial yang baru dan

tanah-tanah vulkanik. Karena hujan lebat sering terjadi, maka tanah juga mudah

sekali terbilas. Sistem daur hara dalam hutan hujan tropis basah sangat ketat, tahan

kebocoran, dan berjalan cepat karena hara makanan yang dilepas oleh dekomposisi

seresah segera diserap kembali untuk digunakan dalam pertumbuhan dan kemudian

digabungkan kedalam tubuh tumbuhan. Karena itu temperatur dan kelembaban di

kawasan tropik sangat tinggi, seresah yang digugurkan oleh tumbuhan setiap hari

tidak tertimbun terlalu lama pada lantai hutan melainkan segera mengalami

dekomposisi. Proses dekomposisi berjalan jauh lebih cepat daripada di hutan-hutan

beriklim sedang dan dingin. Penyerapan hara sering juga dibantu oleh kehadiran

jamur-jamur mikoriza yang hidup bersimbiosis pada akar-akar (Fachrul, 2007).

2.3.2.1 Perkembangan Komunitas Tumbuhan

Setiap komunitas tumbuhan tidak selalu berada dalam keadaan yang statis,

akan tetapi megalami perubahan dari waktu ke waktu. Suatu kajian ekologi belum

lengkap tanpa analisis mengenai asas yang mengatur bagaimana komunitas tumbuhan

berkembang dan tumbuh mencapai kedudukan tertentu. Dengan kata lain, penting

untuk memahami proses yang menyebabkan adanya keteraturan pada komunitas

tumbuhan, seperti suksesi, persaingan toleransi, dan konsep zona optimum

(Indriyanto, 2006).

Perubahan langsung dalam komposisi jenis timbul ketika individu-individu

dari beberapa jenis digantikan oleh individu-individu dari jenis lain pada waktu

individu pertama mati. Interaksi sejenis diantara koloni, sifat tempat hidup, dan sifat

adaptif koloni potensial mempengaruhi suksesi di hutan (Indriyanto, 2006).

Perubahan dari suatu tipe komunitas ke tipe komunitas yang lebih kompleks

yang terjadi secara berangkai disebut sebagai suksesi. Suksesi tumbuhan merupakan

perubahan tipe tumbuhan yang terarah (directional), setiap tumbuhan berkembang

dengan baik karena tipe tumbuhan sebelumnya telah menciptakan kondisi tempat

tumbuh yang sesuai dengan kebutuhan tipe tumbuhan berikutnya (Fachrul, 2007).

2.4 Struktur dan Komposisi Tumbuhan

Tumbuhan adalah penutupan massa tumbuhan pada suatu daerah tertentu

dengan luas yang bervariasi, dapat berupa sejumlah pohon-pohonan, semak, dan

herba yang secara bersama-sama menutupi suatu wilayah yang luas. Berbagai

komunitas tumbuhan (asosiasi) yang dapat ditentukan dengan struktur dan komposisi

jenis. Struktur tumbuhan suatu komunitas memberikan ungkapan keanekaragaman,

perubahan suksesi, dan kemantapan komunitas itu. Penggambaran struktur tumbuhan

sebagai suatu organisasi individual dalam ruang yang membentuk tipe tumbuhan atau

asosiasi tumbuhan dan menyatakan bahwa elemen primer suatu struktur terdiri dari

bentuk perkembangan, stratifikasi, dan penutupan (Ewusie, 1990).

Bagian utama dari struktur tumbuhan antara lain, penutupan, stratifikasi, dan

bentuk pertumbuhan. Menurut Dombois dan Mueller (1974) satu klasifikasi yang

rasional haruslah berdasarkan pada :

1. Fisiognomi tumbuhan

2. Struktur dan komposisi tumbuhan

3. Fungsi dan sifat-sifat fenotifik

4. Komposisi susunan floristik

5. Dinamika suksesi

6. Hubungan habitat dengan keadaan lingkungan

7. Sejarah tumbuhan

Kecendrungan jenis merupakan tumbuhan lain struktur tumbuhan yang

dijabarkan dalam dimensi vertikal dan horizontal dengan menitikbetratkan pada

komposisi floristik tumbuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa struktur dan

perbedaan jenis dalam komunitas yang terdapat di lantai hutan mendukung tingginya

keanekaan jenis, dalam hal ini merupakan hasil dari suatu proses evolusi dalam

komunitas tersebut (Van Steenis, 1957 dalam Polunin, 1990).

Ewusie (1990), mengatakan bahwa berkurangnya keanekaragaman dalam

jumlah jenis, ketinggian pohon, luas pangkal, dan jumlah batang yang terdapat pada

hutan hujan tropis terkait dengan meningkatnya ketinggian letak dan curah hujan

yang berkurang.

2.5 Diagram Profil

Diagram profil merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui

kondisi struktur vertikal dan horizontal masyarakat tumbuhan di suatu tempat

(Indriyanto, 2006). Tumbuhan adalah masyarakat tumbuhan yang menutupi suatu

daerah. Struktur tumbuhan dibagi menjadi tiga, terdiri dari :

1. Struktur vertikal yang berupa stratifikasi lapisan tajuk

2. Struktur horizontal yang berupa distribusi jenis penyusunnya

3. Struktur kualitatif yang menyebutkan berbagai macam jenis tumbuhan penyusun

komunitas tumbuhan dalam suatu daerah.

4. Struktur kuantitatif yang berhubungan dengan frekuensi, kerapatan, dominansi

dan indeks nilai penting tiap jenis dalam komunitas serta indeks kesamaan jenis

tumbuhan antar lokasi.

Stratifikasi adalah salah satu sifat fisiognomis dari suatu formasi hutan.

Stratifikasi memberikan gambaran terpisah antara persamaan dan perbedaan masing-

masing stratum serta dapat diperkirakan dengan presisi yang besar. Hutan hujan

tropis terkenal dengan stratifikasinya, populasi yang terdapat didalamnya disusun

pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tidak sinambung (Polunin, 1990).

Menurut Ewusie, (1990) pembagian stratifikasi pada hutan hujan tropis dibagi

menjadi lima kategori, diantaranya :

1. Lapisan paling atas (stratum A)

Lapisan paling atas terdiri dari pepohonan yang memiliki tinggi lebih dari 30

meter. Biasanya memiliki tajuk permanen, batang pohon tinggi dan lurus, batang

bebas cabang (clear bole) tinggi. Pepohonan yang muncul ini mencuat tinggi pada

tajuk hutan bertajuk lebar dan umumnya tersebar sedemikian rupa sehingga tidak

saling bersentuhan membentuk lapisan yang bersinambung.

2. Lapisan pepohonan kedua (stratum B)

Tumbuhan pada lapisan ini tumbuh dengan tinggi antara 15-30 meter. Ada

kalanya disebut juga sebagai tingkat atas. Pepohonan ini tumbuh lebih berdekatan dan

cenderung membentuk tajuk yang berkesinambungan.

3. Lapisan pepohonan ketiga (stratum C)

Lapisan ketiga ini biasa juga dinamakan tingkat bawah. Terdiri dari tumbuhan

dengan tinggi antara 5-15 meter. Tumbuhan stratum ini cendrung membentuk lapisan

yang rapat.

4. Lapisan belukar (stratum D)

Lapisan stratum D terdiri dari jenis dengan ketinggian yang umumnya kurang

dari lima meter, dan memiliki percabangan dekat dengan permukaan tanah karena

tidak mempunyai sumbu utama.

5. Lapisan terna (stratum E)

Lapisan stratum E merupakan tumbuhan paling bawah yang terdiri dari herba

dan terna atau tumbuh-tumbuhan penutup bawah (cover ground). Kelompok ini

memiliki ketinggian antara 0-1 meter.

Soerianegara dan Indrawan (1983), menyatakan bahwa klasifikasi pohon

dapat dibedakan berdasarkan tahapan perkembangan dan kelas diameter batang

setinggi dada adalah sebagai berikut :

1. Semai (seedling), permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1 meter.

2. Pancang (sapling), pemudaan yang tingginya lebih dari 1 meter sampai pohon

muda dengan diameter batang setinggi dada kurang dari 10 cm.

3. Tiang (pole), pohon muda dengan diameter batang setinggi dada 10-35 cm.

4. Pohon dewasa, pohon dengan diameter batang setinggi dada lebih dari 35 cm

2.6 Analisis Tumbuhan Berdasarkan Faktor Ekologi

Untuk dapat melangsungkan kehidupan dan bertahan dalam waktu yang lama,

tumbuhan harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Kemampuan

menyesuaikan diri terhadap kelembaban dan pH tanah, kelembaban udara, ketinggian

tempat, dan intensitas cahaya merupakan alasan yang dapat menjelaskan keberadaan

suatu tumbuhan di tempat hidupnya. Jenis pada lapisan tertinggi misalnya,

memperoleh cahaya matahari lebih cerah, kelembaban lebih rendah, serta angin lebih

kencang dan suhu lebih tinggi dibandingkan dengan jenis dari lapis tajuk. Suatu jenis

lapis rendah dapat hidup dalam intensitas cahaya yang lebih rendah, kelembaban

yang tinggi dan udara lebih dingin.

Faktor-faktor ekologi yang merupakan kondisi lingkungan yang

mempengaruhi kehidupan dan perkembangan tumbuhan-tumbuhan meliputi :

1. Faktor iklim

Iklim merupakan salah satu faktor alam yang penting dalam pengatur

kehidupan tumbuhan. Faktor iklim terdiri dari cahaya, temperatur, angin, dan

kelembaban udara.

2. Faktor edaphik

Perbedaan tanah dapat membedakan vegetasi dan iklim yang sama, sehingga

tanah mempunyai arti yang besar dalam proses penyebaran komunitas tumbuhan.

Faktor-faktor edaphik penting yang dapat mempengaruhi tumbuhan adalah

kelembaban, kesuburan, temperatur, pH, warna, aerasi, dan organisme dalam tanah.

3. Faktor fisiografi atau topografi

Faktor fisiografi ini meliputi struktur dan sifat-sifat permukaan bumi, dengan

ciri-ciri topografi seperti elevasi/ketinggian dan kemiringan lereng dengan proses

perubahannya seperti sedimentasi, erosi dan akibat yang ditimbulkan pada daerah

setempat.

4. Faktor biotik

Faktor biotik adalah aktivitas organisme yang beraneka ragam dapat

menimbulkan dampak terhadap vegetasi.

Faktor fisik lingkungan dapat mempengaruhi distribusi jenis tumbuhan,

karena kondisi lingkungan pada keadaan tertentu dapat menyebabkan kematian

terhadap beberapa jenis tumbuhan terutama sekali terhadap kecambah dan semai

pohon yang tersebar pada lantai hutan. Lebih jauh lagi komposisi vegetasi yang

terdapat di lantai hutan dapat menentukan tipe komunitas yang akan terbentuk pada

masa yang akan datang (Hardiansyah, 2004).

Walaupun penyebaran tumbuhan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,

akan tetapi komposisi lingkungan tersebut tidak menimbulkan pengaruh yang sama

pada setiap jenis. Suatu faktor lingkungan yang cukup kritis atau merupakan ambang

bagi suatu jenis tumbuhan, tidak akan begitu berpengaruh terhadap jenis tumbuhan

lainnya yang berada pada lingkungan yang sama (Polunin, 1990).

2.7 Suksesi

Proses perubahan dalam komunitas yang berlangsung menuju ke satu arah

secara teratur disebut suksesi. Suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi

lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan

sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimaks atau telah mencapai

homeostatis. Dapat diartikan bahwa komunitas sudah dapat mempertahankan

kestabilan internalnya sebagai akibat dari tanggap (response) yang terkoordinasi dari

komponen-komponen terhadap setiap kondisi atau rangsangan yang cendrung

menggangu kondisi atau fungsi normal komunitas (Ewusie, 1990).

Frick, H. dan Suskiyanto B.FX. (1998) mengemukakan bahwa lingkungan

alam selalu mengalami perubahan-perubahan dalam ekosistem. Perubahan-perubahan

atau pergantian-pergantian pada ekosistem tersebut terjadi tanpa ataupun dengan

campur tangan manusia. Perubahan ekosistem ini disebut suksesi ekologi dan dapat

diterangkan sebagai berikut :

1. Perkembangan komunitas teratur yang menyangkut perubahan susunan jenis dan

proses-proses komunitas

2. Perubahan-perubahan fisik akibat pengaruh pekerjaan komunitas

3. Mencapai puncak (klimaks) pada waktu terjadi ekosistem stabil dengan biomassa

dan fungsi kerja sama antar organisme dan komunitas ada pada titik maksimum

Komunitas yang terlihat stabil dan permanen, misalnya hutan, terdapat unsur-

unsur perubahan yang bersinambungan. Perubahan-perubahan berupa perbaikan-

perbaikan secara berkelanjutan merupakan regenerasi secara alami, sedangkan yang

dikelola oleh manusia perubahan regenerasinya terjadi dalam waktu tertentu.

Sehingga regenerasi hutan di kelompokkan menjadi dua tipe, yaitu regenerasi alami

(unmanage forest) dan tipe yang dikelola oleh manusia (manage forest).

2.7.1 Suksesi Primer

Diantara keadaan ekstrem yang lazim ditemukan diberbagai tempat untuk

pemtumbuhanan koloni pertama adalah permukaan kering seperti batuan gundul atau

permukaan yang sangat basah seperti air yang tergenang. Suksesi primer terjadi

apabila komunitas asal terganggu yang mengakibatkan hilangnya komunitas asal

secara keseluruhan sehingga di tempat komunitas asal tertumbuhan habitat baru. Pada

habitat baru ini tidak ada lagi organisme yang memtumbuhan komunitas asal yang

tertinggal. Gangguan dapat terjadi secara alami (separti tanah longsor, letusan gunung

berapi, endapan lumpur baru di muara sungai dan endapan pasir di pantai) atau dibuat

oleh manusia (penambangan timah dan batu bara). Pada substrat yang baru akan

berkembang suatu komunitas yang baru pula. Biji, spora dan benih dalam tumbuhan

lain datang dari luar dan sampai kesubstrat baru tersebut dibawa oleh angin, air dan

atau hewan (Ewusie, 1990).

Suksesi primer biasanya terjadi jika tumbuhan dan tanah tidak ada dan pada

umumnya sebagai akibat dari ganguan geologi. Dapat pula terjadi apabila komunitas

asal terganggu yang menyebabkan hilangnya komunitas asal secara keseluruhan

sehingga di tempat komunitas asal tertumbuhan habitat baru. Tumbuhan yang

pertama tumbuh adalah tumbuhan jenis pioneer yang mempunyai toleransi yang

tinggi terhadap segala faktr lingkungan.

Pada habitat yang ekstrim yang terdiri atas batu-batuan padat dan keras,

organisme yang pertama dapat hidup biasanya adalah ganggang dan lumut kerak.

Suksesi primer yang berawal dari habitat kering disebut suksesi xerark, sedangkan

yang bermula dari air yang tergenang dikenal dengan suksesi hidrark. Dalam masing-

masing jenis ini, suksesi primer dimulai dengan komunitas perintis yang mempunyai

kesamaan mencolok tanpa tergantung pada iklim (Resosoedarmo, 1988).

2.7.2 Suksesi Sekunder

Suksesi sekunder merujuk pada suksesi yang bermula dari daerah yang

sebelumnya pernah dihuni oleh tumbuhan, dan mempunyai sisa natabah atau bijinya.

Suksesi sekunder terjadi apabila suatu komunitas atau ekosistem terganggu baik

secara alami ataupun karena manusia, dan gangguan tersebut tidak menimbulkan

kerusakan total pada komunitas asalnya sehingga pada komunitas asal tersebut masih

terdapat substrat lama dan kehidupan. Banjir, gelombang laut, penebangan hutan

adalah contoh gangguan yang menimbulkan suksesi sekunder.

Fase suksesi sekunder yang terjadi baik melalui proses-proses alami seperti

pemtumbuhanan rumpang dan pengisiannya kembali di hutan maupun sebagai akibat

dari penggembalaan atau kebakaran di savana. Suksesi sekunder mengikuti tahap-

tahap yang sama seperti suksesi primer, tetapi tanpa tahap awal kolonisasi pada

substrat organik dan tanpa pemtumbuhanan tanah berikutnya (Deshmukh, 1992). Jika

pohon tumbang, baik karena mati maupun sebab-sebab luar (badai, tanah longsor,

petani berpindah), suatu rumpang dalam tajuk hutan akan tertumbuhan, kemudian

akan diisi oleh pohon lain.

Proses-proses selanjutnya yang akan menjurus terciptanya kembali suatu tajuk

yang rapat dan sangat bervariasi dengan jenis-jenis yang makin lama makin besar

(tetapi tumbuh lebih lambat dan toleran terhadap naungan) yang akhirnya tumbuh

lebih tinggi dari jenis-jenis perintis dan menyebakan kematian jenis pioneer tersebut

naungannya.

Jika suatu pohon mati di hutan, maka akan tertumbuhan suatu gap atau kesenjangan

pada stratum dimana pohon tersebut berada. Tetapi kondisi terdapat kesenjangan atau

tidak, proses regenerasi tetap memerlukan sejumlah anakan (seedling), pohon remaja

(sapling), dan pohon-pohon dewasa untuk kelangsungan proses regenerasi (Ewusie,

1990).

2.8 Metode Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aspek

taksonomi. Pada umumnya para sistematis menggunakan sejumlah metoda untuk

mendapatkan identifikasi yang benar dari suatu jenis tumbuhan (Tjitrosoepomo,

1998).

Spesimen yang tidak diketahui dapat diidentifikasi dengan menggunakan

kunci determinasi. Alat yang digunakan untuk memudahkan proses identifikasi

tumbuhan yang tidak diketahui dengan menggunakan serangkaian pilihan terhadap

dua atau lebih pernyataan (deskripsi) disebut sebagai kunci. Selain itu, orang yang

faham mengenai sejumlah besar tumbuhan pada suatu daerah biasanya dapat

mengenali dan memberikan nama yang sesuai terhadap sejumlah spesimen

(Tjitrosoepomo, 1998).

BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan pada subbab

berikut.

3.1.1 Bahan

Bahan penelitian yang digunakan adalah kantung plastik untuk menyimpan

spesimen yang diawetkan secara sementara, kertas koran bekas untuk menyimpan

spesimen, amplop, tali rafia, dan label gantung.

3.1.2 Alat

Alat yang digunakan adalah peta lokasi, GPS (Global Positioning System),

untuk menentukan koordinat, kompas, soiltaster atau pH meter, altimeter,

termohigrometer, plannimeter, meteran gulung 50 meter, diameter batang, golok

tebas, kamera, Blume Leisz atau Clinometer, Munsell soil colour chart, alat tulis,

protaktor, kertas milimeter blok, buku identifikasi (Backer, CA and Bakkuizen v/d

Brink RC Jr. Flora of Java, Vol I, II, dan III).

3.2 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian meliputi : survey pendahuluan,

transek sabuk, metode Profil Diagram dan identifikasi tumbuhan.

3.2.1 Survey Pendahuluan

Survey dilakukan untuk mengetahui gambaran umum tumbuhan dan untuk

menentukan peletakan areal penelitian. Dalam melakukan penelitian terlebih dahulu

mempertimbangkan kondisi fisik meliputi keanekaan tumbuhan, ketinggian lokasi,

kemiringan lereng dan jenis substrat. Tujuan survey pendahuluan adalah untuk

mengetahui adanya perbedaan tumbuhan hutan diantara kondisi fisik lokasi yang

berbeda.

3.2.2 Metode Transek Sabuk

Transek adalah jalur sempit melintang pada daerah yang akan dipelajari.

Tujuan dari metode transek sabuk ini untuk mengetahui jenis tumbuhan yang berada

didalam daerah secara cepat. Transek sabuk merupakan jalur tumbuhan yang lebarnya

sama dan sangat panjang. Lebar jalur ditentukan oleh sifat tumbuhan untuk

menunjukan bagian yang sebenarnya. Lebar jalur untuk hutan berkisar antara 1-10

meter. Panjang transek dibentangkan sepanjang 200 meter didalam lokasi penelitian.

Lokasi penelitian dibagi menjadi dua, yaitu Transek Cimanggu dengan

ketinggian >80 m dpl (diatas permukaan laut), dan Transek Karang Pandan dengan

ketinggian <20 m dpl. Peletakan dua transek tersebut bertujuan untuk mengetahui

tingkat keragaman jenis tumbuhan pada ketinggian yang berbeda serta mewakili

kondisi tumbuhan pada Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran.

Peletakan transek dilakukan secara tegak lurus dari bibir pantai dengan tujuan

mengetahui zonasi penyebaran jenis-jenis tumbuhan.

3.2.3 Metode Profil Diagram

Metode Profil Diagram digunakan untuk memahami struktur tumbuhan. Profil

Diagram yang digambarkan adalah struktur tumbuhan suatu daerah yang merupakan

sampel perwakilan dari suatu daerah tertentu secara vertikal dan horizontal (Mueller-

Dumbois, 1974).

Gambar 3.1 Langkah penggambaran struktur vertikal dan horizontal

3.2.4 Metode Identifikasi

Identifikasi tumbuhan selalu didasarkan atas spesimen (bahan) yang nyata,

baik spesimen yang masih hidup atau yang telah diawetkan. Identifikasi spesimen

yang belum dikenal, dapat dilakukan dengan studi deskripsi di samping gambar-

gambar terinci mengenai bagian-bagian tumbuhan yang memuat ciri-ciri

diagnostiknya (Tjitrosoepomo, 1998). Identifikasi nama jenis tumbuhan dilakukan

secara langsung dengan buku panduan lapangan dan kunci identifikasi baik dari

famili sampai ke tingkat jenis. Sedangkan identifikasi nama lokal tumbuhan

dilakukan dengan metode wawancara terhadap pengelola atau masyarakat yang sudah

dianggap ahli.

3.3 Langkah Kerja/Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian meliputi peletakan transek sabuk, Profil Diagram dan

identifikasi tumbuhan.

3.3.1 Transek Sabuk

Dibuat plot berbentuk bujur sangkar yang berukuran 10x10 meter dalam

daerah penelitian. Transek sabuk dibentangkan sepanjang 200 meter sebanyak dua

buah dengan tujuan dapat menggambarkan kondisi tumbuh-tumbuhan yang berada di

Cagar Alam bagian Selatan Pananjung Pangandaran. Titik awal dan titik akhir transek

dicatat koordinatnya kemudian tali rafia dibentangkan dan diukur menggunakan

meteran gulung. Setiap kelipatan 10 meter, tali rafia diberi tanda.

3.3.2 Profil Diagram

Bengen (2002), menyatakan bahwa pada setiap stasiun pengamatan tumbuhan

harus mewakili wilayah pencuplikan dan dapat diasumsikan mewakili setiap zona

hutan yang terdapat di wilayah pencuplikan.

Data fisik lapangan dilakukan di dalam plot penelitian. Parameter yang diukur

antara lain, ketinggian tempat, kemiringan lereng, temperatur udara, kelembaban

udara, warna tanah, keasaman tanah, kelembaban tanah, persentase penutupan

seresah, ketebalan seresah.

Data komunitas tumbuhan yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Nama spesies tumbuhan yang berada dalam plot pengamatan dicatat, baik nama

latin maupun nama daerahnya.

b. Diukur diameter batang setinggi dada dengan menggunakan diameter tape.

a b

Gambar 3.2 Pengukuran DBH: a. (Oldeman, 1979); b. Pengukuran di lokasi

penelitian

c. Diukur tinggi pohon dan letak percabangan pertama dengan menggunakan Blume

leisz, dimana pengukur berdiri pada jarak 15, 20, 30, atau 40 meter dari pohon

yang akan diukur. Kemudian membidik ujung tajuk pohon dan letak percabangan

pertama untuk memperoleh tinggi tajuk dan tinggi percabangan pertamanya.

Gambar 3.3 Blume Leisz

d. Jarak absis dan ordinat dicatat dari lokasi pohon di dalam plot pengamatan

dengan menggunakan meteran.

Gambar 3.4 Cara mengukur koordinat pohon

e. Penaksiran tutupan kanopi empat arah (utara, selatan, timur dan barat atau depan,

belakang, kanan, dan kiri) dilakukan dari pangkal pohon dengan menggunakan

meteran.

f. Dilakukan pengukuran dari bayangan kanopi di tanah atau dengan melihat

langsung, yang perlu diperhatikan pada saat penggambaran vertikal di milimeter

blok adalah kecendrungan ke arah mana condongnya pohon.

g. Gambaran Profil Diagram dibuat secara keseluruhan baik horizontal maupun

vertikal setelah data terkumpul.

Kondisi struktur tumbuhan dilakukan dengan cara penggambaran ruang

vertikal dan horizontal pada kertas millimeter blok dengan skala 1:100.

3.3.3 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi jenis dilakukan dengan menggunakan studi literatur. Wawancara

baik nama ilmiah maupun daerah tumbuhan yang berada di lokasi penelitian

dilakukan dengan mengacu pada orang ahli atau responden yang dianggap menguasai

bidang ilmu yang bersangkutan. Responden dapat berasal dari dosen, mahasiswa,

masayarakat atau pihak pengelola Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung

Pangandaran.

3.4 Analisis Data Lapangan

Analisis data lapangan dilakukan dengan melakukan analisis terhadap

komposisi jenis tumbuhan, analisis kualitatif struktur tumbuhan dan analisis

kuantitatif tumbuhan.

3.4.1 Komposisi Jenis Tumbuhan

Tumbuhan yang berada didalam transek pengamatan akan dikelompokan

berdasarkan pertelaan jenis tumbuhan dan bentuk pertumbuhannya Jacobs (1981).

Pengelompokan dilakukan untuk mengetahui komposisi tumbuhan, jumlah jenis,

marga suku dan bentuk pertumbuhan dari jenis yang menyusun tumbuhan tersebut.

3.4.2 Analisis Kualitatif Struktur Tumbuhan

Analisis data kualitatif yang digunakan di lapangan adalah dengan

mengidentifikasi tumbuhan yang terdapat dalam plot penelitian, kemudian jenis-jenis

tumbuhan tersebut di golongkan ke dalam lima strata yaitu A, B, C, D dan E sehingga

diperoleh komposisi tumbuhan penyusun lokasi penelitian.

3.4.2.1 Struktur Vertikal Tumbuhan

Struktur dan komposisi tumbuhan dapat diperoleh dari penggambaran ruang

vertikal dan horizontal dari Profil Diagram. Sedangkan data-data yang diperlukan

untuk pembuatan Profil Diagram diambil dari hasil pengukuran (kuantitatif), antara

lain nama latin dan nama daerah tumbuhan, koordinat, diameter batang, ketinggian

cabang pertama, ketinggian tumbuhan, luas tajuk, dan arsitektur tumbuhan.

3.4.2.2 Struktur Horizontal Tumbuhan

Data jumlah keberadaan jenis pada setiap plot yang digunakan untuk

menghitung frekuensi, data jumlah individu jenis digunakan untuk mengetahui

tingkat kerapatan, dan data diameter batang dan luas tajuk untuk mengetahui

dominansi masing-masing jenis. Penjumlahan nilai relatif dari ketiga variabel

(frekuensi, kerapatan, dan dominansi) digunakan untuk menentukan nilai penting

masing-masing jenis tumbuhan.

3.4.3 Analisis Kuantitatif Tumbuhan

Komposisi jenis adalah pengelompokan jenis berdasarkan fungsi. Muller-

Dumbois & Ellenberg (1974), mengemukakan bahwa perhitungan analisis data

mengikuti cara sebagai berikut :

3.4.3.1 Frekuensi (Frequency)

Frekuensi jenis tumbuhan adalah jumlah plot penelitian yang ditemukannya

suatu spesies. Untuk kepentingan analisis tumbuhan, frekuensi spesies (F), frekuensi

mutlak (FM); spesies ke-i (FMi), frekuensi relatif spesies ke-i (FRi) dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut :

FM = ������ �� ����� �� ���� � ��������� ���� ���� ��

������ �� ����� ��

FMi = ������ �� ����� �� ���� � ��������� ���� �� ��−�

������ ��

FRi = �� ∑ �� x 100%

3.4.3.2 Kerapatan (Density)

Kerapatan adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume. Untuk

kepentingan analisis tumbuhan, istilah kerapatan mempunyai arti yang sama dengan

densitas dan diberi notasi K. Kerapatan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

K = ������ �� � ��

���� �� �� ����� ��

Kerapatan mutlak spesies ke-i dapat dihitung sebagai KMi, dan kerapatan

relatif setiap spesies ke-i dapat dihitung sebagai KRi.

KMi = ������ �� � �� ���� ���� �� ��−�

���� �� �� ����� ��

KRi = �� ∑ �� x 100%

3.4.3.3 Dominansi (Dominance)

Dominansi merupakan perhitungan untuk luas penutupan (coverage) jenis

terhadap luas seluruh plot pengamatan. Luas penutupan dapat dinyatakan dengan

menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (basal area). Analisis

data dalam menghitung persentase dominansi adalah sebagai berikut :

Stratum A, B dan C

DMi = � ����� ���� ���� �� ��

� ����� ����

DRi = !�

∑ ����� ���� x 100%

Stratum D dan E

DMi = ∑ Luas penutupan tajuk per spesies dalam plot

∑ Luas wilayah transek penelitian

DRi = !� ∑ !� x 100%

Dimana; DMi = Dominansi mutlak spesies ke-i

Σ Basal area spesies ke-i = Total luas diameter batang setinggi dada

spesies ke-i

DRi = Dominansi relatif spesies ke-i

3.4.3.4 Indeks Nilai Penting / INP (Importace Value Index)

Muller-Dumbois & Ellenberg (1974), menyatakan bahwa nilai penting

merupakan hasil penjumlahan kuantitatif relatif (frekuensi dan kerapatan) yang dapat

menunjukan parameter ekologi distribusi tumbuhan yang signifikan dibandingkan

pada dominan absolut. Soegianto (1994) mengemukakan INP adalah parameter

kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi jenis-jenis dalam

masyarakat tumbuhan.

INP = FR + KR + DR

Suatu jenis tumbuhan yang memiliki nilai penting tinggi menunjukan bahwa

spesies itu lebih dominan dibandingkan dengan jenis lain. Nilai penting berkisar

antara 0 – 300. Nilai penting dapat menggambarkan mengenai pengaruh suatu jenis

dalam komunitas dan dapat menunjukan suatu proses suksesi.

3.4.3.5 Indeks Kesamaan (Similarity Index)

Merupakan harga besaran kesamaan jenis-jenis yang tercatat pada dua habitat

yang berbeda. Semakin besar nilai indeks kesamaan, maka menandakan semakin

banyak kesamaan jenis yang terdapat di kedua habitat atau lokasi yang dibandingkan.

Menurut Sørensen (1948) dalam Muller-Dumbois & Ellenberg (1974) menyatakan

bahwa rumus indeks kesamaan adalah sebagai berikut :

ISs = 56

78� x 100%

Dimana : ISs = Indeks kesamaan menurut Sørensen

C = Jumlah jenis yang terdapat pada dua contoh yang dibedakan

A = Jumlah semua jenis yang terdapat di lokasi A

B = Jumlah semua jenis yang terdapat di lokasi B

3.4.3.6 Indeks Keanekaan (Diversity Index)

Penilaian terhadap keanekaan tumbuhan penyusun komunitas, dilakukan

dengan menggunakan indeks keanekaan Shannon-Wiener (Ĥ) sebagai berikut :

Ĥ = − ;{=>�? @A

BCDE> =>�? @}

Dimana : Ĥ = Indeks keanekaan, di setiap lokasi

ni = Jumlah individu jenis i

N = Jumlah seluruh individu, di setiap lokasi

3.4.3.7 Indeks Kerataan (Evenness Index) – Indeks Pielou (1977) (Ludwig and

Reynolds, 1988)

Penilaian derajat perataan jumlah individu suatu jenis dalam komunitas

dilakukan dengan menggunakan Indeks Perataan sebagai berikut:

Ĵ = H ĤE> IJ

Dimana : Ĵ = Indeks kerataan jenis, di setiap lokasi

Ĥ = Indeks keanekaan, di setiap lokasi

s = Jumlah jenis, di setiap lokasi

Indeks Perataan menunjukan nilai perataan relatif (keseragaman) dari jumlah

individu setiap jenis pada suatu komunitas. Semakin tinggi nilai indeks perataan,

maka semakin merata jumlah individu pada setiap jenis pada komunitas tersebut.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Fisik Lapangan

Cagar Alam Pananjung Pangandaran merupakan tipe hutan hujan tropis yang

berada di daerah Jawa Barat bagian selatan. Penelitian ini menggunakan dua stasiun

penelitian, yaitu daerah Cimanggu dan Karang Pandan. Letak Transek Cimanggu

dapat ditempuh sekitar 2 jam waktu normal dari Kantor Resort BKSDA dengan

medan yang relatif terjal. Sedangkan lokasi Transek Karang Pandan dapat ditempuh

melalui jalur Pantai Timur dengan menghabiskan waktu selama 1,5 jam perjalanan

normal.

Transek Cimanggu adalah tempat paling selatan yang terdapat di Cagar Alam

Pananjung Pangandaran. Transek Cimanggu merupakan titik awal peletakan transek

penelitian dengan koordinat 07˚ 43’ 40.10” LS 108˚ 40’ 06.72” BT sampai 07˚ 43’

33.62” LS 108˚ 40’ 06.98” BT dengan ketinggian 80m dpl dan berbatasan langsung

dengan Samudra Hindia. Sedangkan Transek Karang Pandan adalah tempat yang

berada disebelah tenggara dari Pulau Pananjung yang merupakan bagian dari pantai

selatan Pananjung Pangandaran. Transek Karang Pandan merupakan titik kedua

transek penelitian dengan koordinat 07 43’ 02.27 LS 108˚ 40’ 32.44” BT sampai 07˚

43’ 02.29” LS 108˚ 40’ 25.86” (Gambar 4.3). Hal ini dikarenakan perbedaan kontur

yang ditemukan di setiap lokasi serta untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan pada

ketinggian yang berbeda (Tabel 4.1 dan Tabel 4.2).

Gambar 4.1 Profil Diagram Transek Cimanggu

Gambar 4.2 Profil Diagram Transek Karang Pandan

Gambar 4.3 Lokasi Penelitian: 1. Transek Cimanggu; 2. Transek Karang Pandan

Tabel 4.1 Kondisi Fisik Transek Cimanggu

No. Data Fisik

Plot

Σ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

1 Temperatur Udara (˚C) 32 32 30 30 30 29 29 29 28 28 28 29 28 28 27 26 28 28 28 28 28.75

2 Kelembaban Udara (%) 80 80 86 86 86 86 86 82 80 80 82 84 86 86 86 90 86 86 86 86 84.5

3 Kelembaban Tanah (%) 70 80 80 80 82 80 82 82 85 85 85 85 85 90 90 90 90 90 85 85 84.05

4 pH Tanah 5 5 5.5 5.5 5.5 6 5.5 5.5 5.5 5.5 5.5 5 5 5.2 5.2 5 5 5.2 5.2 5.2 5.3

5 Ketebalan Seresah (cm) 0-3 0-3 0-5 1-5 1-5 1-5 1-5 1-5 1-5 1-5 3-5 3-5 5-10 5-15 5-20 5-15 5-10 5-10 3-5 3-5 2,5-7

6 Penutupan Seresah (%) 60 70 80 80 80 80 90 90 90 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 90 90.5

Sumber : data primer 2009

Tabel 4.2 Kondisi Fisik Transek Karang Pandan

No. Data Fisik Plot

Σ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

1 Temperatur Udara (˚C) 42 41 38 34 34 32 32 31 30 29 29 29 30 29 28 28 27 28 28 28 31.35

2 Kelembaban Udara (%) 78 80 80 80 82 82 82 82 85 85 85 84 84 82 82 80 80 82 80 80 81.75

3 Kelembaban Tanah (%) 96 90 85 85 90 85 85 85 85 85 85 90 90 90 90 90 90 90 90 90 88.3

4 pH Tanah 5.8 5.8 6 6 6 5.8 5.8 6 5.6 5.6 5.6 5.6 5.4 5.4 5.2 5.2 5 5.2 5.2 5.4 5.58

5 Ketebalan Seresah (cm) 0-1 0-15 0-10 0-15 0-15 0-10 1-5 1-5 3-5 3-5 1-10 1-10 3-10 3-10 3-10 3-15 5-15 5-10 5-10 5-10 2-9

6 Penutupan Seresah (%) 5 10 20 20 20 20 40 40 50 50 75 75 80 80 90 100 100 100 100 90 58.25

Sumber : Data Primer 2009

100

4.1.1 Temperatur Udara

Titik awal kedua transek (Transek Cimanggu dan Transek Karang Panadan)

merupakan daerah yang terbuka, sehingga intensitas cahaya matahari sebesar 1,24 x

103 Candela dapat menjangkau ke lantai dasar plot tersebut. Plot pertama Transek

Cimanggu berhadapan langsung dengan laut, namun berada pada ketinggian 85 m dpl

dengan kondisi tebing. Hal ini menyebabkan pada plot pertama Transek Cimanggu

cukup terbuka. Sedangkan pada plot awal Transek Karang Pandan temperatur udara

mencapai ± 42˚C. Hal ini dikarenakan peletakan transek berada tepat pada batas

pasang permukaan air laut tertinggi. Selain itu, hanya stratum E dengan tinggi antara

0-1 meter yang menyusun plot awal Karang Pandan tersebut.

Temperatur udara terendah pada Transek Cimanggu berada dalam plot 16

yaitu 26˚C. sedangkan pada Transek Karang Pandan temperatur minimum mencapai

titik 27˚C yaitu pada plot 17. Rata-rata temperatur udara dalam Transek Cimanggu

adalah 28,75˚C, sedangkan temperatur udara rata-rata pada Transek Karang Pandan

adalah 31,35˚C. Perbandingan rata-rata temperatur udara pada kedua transek

dipengaruhi oleh ketinggian lokasi (Transek Cimanggu ± 85-100 m dpl dan Karang

Pandan ± 1-20 m dpl) serta dari tumbuhan yang berada dalam transek penelitian

tersebut.

4.1.2 Kelembaban Udara

Kelembaban udara yang berada didalam Transek Cimanggu berkisar 84,5%.

Kelembaban udara yang berada di dalam Transek Karang Pandan berkisar 81,75%.

Selisih kelembaban udara kedua transek adalah 2,75%. Kelembaban udara paling

101

rendah didalam Transek Cimanggu terdapat pada plot 1,2,9 dan 10 dengan nilai 80%.

Sedangkan daerah Transek Cimanggu yang paling lembab terdapat pada plot 16

dengan nilai 90%.

Kelembaban udara paling rendah didalam Transek Karang Pandan terdapat

pada plot 1 dengan nilai 78%. Sedangkan daerah Transek Karang Pandan yang paling

lembab terdapat pada plot 9, 10 dan 11 dengan nilai 85%. Kelembaban udara

menyatakan banyaknya uap air dalam udara. Kelembaban relatif adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan jumlah uap air yang terkandung di dalam

campuran air-udara dalam fasa gas.

4.1.3 Kelembaban Tanah

Kelembaban tanah yang berada didalam Transek Cimanggu berkisar 84,05%.

Kelembaban tanah yang berada didalam Transek Karang Pandan berkisar 88,3%.

Selisih kelembaban tanah dari kedua transek adalah 4.25%. Kelembaban tanah paling

rendah didalam Transek Cimanggu terdapat pada plot 1 dengan nilai 70%. Sedangkan

daerah Transek Cimanggu yang paling lembab terdapat pada plot 14, 15, 16, 17 dan

18 dengan nilai kelembaban masing-masing 90%.

Kelembaban tanah paling rendah didalam Transek Karang Pandan terdapat

pada plot 1 dengan nilai 78%. Sedangkan daerah Transek Karang Pandan yang paling

lembab terdapat pada plot 1 dengan nilai 96%. Hal ini dikarenakan oleh peletakan

transek yang terpengaruhi oleh titik pasang permukaan air laut tertinggi.

102

Kelembaban tanah merupakan salah satu variabel kunci dalam proses

hidrologi yang berperan penting dalam menentukan ketersediaan air sebagai unsur

yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia.

4.1.4 Keasaman Tanah

Keasaman tanah atau pH tanah yang berada didalam Transek Cimanggu

berkisar 5,3. pH yang berada didalam Transek Karang Pandan berkisar 5,58. Selisih

pH tanah dari kedua transek adalah 0.28. Kondisi tanah paling asam didalam Transek

Cimanggu terdapat pada plot 1, 2, 12, 13, 16 dan 17 dengan nilai 5. Sedangkan

kondisi tanah dengan keadaan mendekati normal pada Transek Cimanggu terdapat

dalam plot 6 dengan nilai keasaman 6. Hal ini disebabkan karena kondisi tanah

merupakan pasir yang terbasahi oleh air laut.

Kondisi tanah paling asam didalam Transek Karang Pandan terdapat pada plot

17 dengan nilai 5. Sedangkan kondisi tanah dengan keadaan mendekati normal (nilai

7) pada Transek Karang Pandan terdapat dalam plot 3, 4, 5 dan 8 dengan nilai

keasaman 6.

4.1.5 Ketebalan Seresah

Ketebalan seresah yang berada didalam Transek Cimanggu memiliki tebal

sekitar 2,5-7 cm. Ketebalan seresah yang berada didalam Transek Karang Pandan

memiliki tebal sekitar 2-9 cm. Ketebalan seresah paling tipis didalam Transek

Cimanggu terdapat pada plot 1 dan 3 dengan tebal 0-3 cm. Sedangkan daerah Transek

Cimanggu yang paling tebal terdapat pada plot 15 dengan ketebalan 5-20 cm.

103

Ketebalan seresah paling tipis didalam Transek Karang Pandan terdapat pada

plot 1 dengan tebal 0-1 cm. Sedangkan daerah Transek Karang Pandan yang paling

tebal terdapat pada plot 17 dengan ketebalan 5-15 cm. Ketebalan seresah didalam

suatu plot sangat dipengaruhi oleh vegetasi penyusunnya.

4.1.6 Persentase Penutupan Seresah

Penutupan seresah yang berada didalam Transek Cimanggu berkisar 90,5%.

Penutupan seresah yang berada didalam Transek Karang Pandan berkisar 58,25 %.

Selisih penutupan seresah dari kedua transek adalah 32,25%.

Penutupan seresah paling rendah didalam Transek Cimanggu terdapat pada

plot 1 dengan nilai 60%. Sedangkan penutupan seresah dalam Transek Cimanggu

yang paling besar terdapat pada plot 10 sampai 19 dengan nilai penutupan masing-

masing 100%.

Penutupan seresah paling rendah didalam Transek Karang Pandan terdapat

pada plot 1 dengan nilai 5%. Sedangkan penutupan seresah dalam Transek Karang

Pandan yang paling besar terdapat pada plot 16, 17, 18 dan 19 dengan nilai 100%.

Besaran persantase penutupan seresah didalam plot penelitian sangat dipengaruhi dari

jenis dan jumlah vegetasinya.

4.2 Komposisi Jenis Tumbuhan

Hasil identifikasi jenis tumbuhan yang berada dalam Transek Cimanggu

Cagar Alam Pananjung Pangandaran bagian Selatan yaitu berupa pohon, tiang,

pancang dan anakan. Telah ditemukan sebanyak 46 jenis, 43 marga dan 28 suku yang

104

terdapat di Transek Cimanggu dengan ketinggian >85 m dpl. Sedangkan pada

Transek Karang Pandan yang memiliki ketinggian 1-20 m dpl ditemukan sebanyak 45

jenis, 40 marga, dan 27 suku.

Tumbuhan yang hidup didalam kedua transek ditemukan sebanyak 23 jenis,

20 marga dan 14 suku. Tumbuhan yang hidup hanya berada didalam Transek

Cimanggu ditemukan sebanyak 23 jenis, 23 marga dan 20 suku. Sedangkan tumbuhan

yang hanya hidup di Transek Karang Pandan ditemukan sebanyak 22 jenis, 22 marga

dan 18 suku. Hal ini disebabkan karena perbedaan kondisi fisik sangat mempengaruhi

baik morfologi ataupun pertumbuhan dari jenis-jenis tumbuhan penyusun Cagar

Alam bagian Selatan Pananjung Pangadaran (Lampiran 6).

Didalam diagram profil tersebut, telah dibuat sebanyak 20 plot untuk dapat

memberikan gambaran struktur tumbuhan pada daerah penelitian. Komposisi

tumbuhan tersusun oleh 67 jenis dengan 34 suku. Rubiaceae, Myrtaceae, Myrsinaceae

dan Euphorbiaceae merupakan suku dengan jenis terbanyak dari kelompok tumbuhan

(Diagram 4.1).

Suku Rubiaceae tersusun dari 4 jenis, diantaranya adalah Soka Leuweung

(Ixora salicifolia). Balundeng (Ixora nigricans), Pacok Gaok (Hedyotis herbacea)

dan Cangkudu (Morinda citrifolia). Soka Leuweung adalah tumbuhan yang hanya

sekali ditemukan dalam areal penelitian yaitu pada Transek Karang Pandan. Hal ini

dipengaruhi oleh kondisi abiotik yang mencakup faktor kimia dan fisik baik tanah

maupun udara serta kondisi kontur dan ketinggian areal penelitian. Selain itu, kedua

jenis ini tidak dapat bersaing dengan jenis lain baik penyerapan zat hara maupun

intensitas cahaya matahari yang terhalang tajuk tumbuhan lain dalam kedua transek

tersebut.

Diagram 4.1 Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di Cagar Alam Bagian

Selatan Pananjung Pangandaran

Jenis dari suku yang paling sering dijumpai adalah Ki Andong (

cinerea) pada Transek Cimanggu dan Kopo (

Karang Pandan, keduanya termasuk kedalam suku Myrtaceae. kedua jenis ini

0

1

2

3

4

5

Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di

Cagar Alam Bagian Selatan Pananjung

1 Amarilidaceae

5 Ebenaceae

9 Podocarpaceae

13 Tiliaceae

17 Araceae

21 Menispermaceae

25 Arecaceae

29 Lauraceae

33 Myrtaceae

intensitas cahaya matahari yang terhalang tajuk tumbuhan lain dalam kedua transek

(Sumber: Data Primer, 2009)

Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di Cagar Alam Bagian

n Pananjung Pangandaran

Jenis dari suku yang paling sering dijumpai adalah Ki Andong (

) pada Transek Cimanggu dan Kopo (Euginia densiflora

Karang Pandan, keduanya termasuk kedalam suku Myrtaceae. kedua jenis ini

Suku-Suku Tumbuhan

Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di

Cagar Alam Bagian Selatan Pananjung

Pangandaran

1 Amarilidaceae 2 Anacardiaceae 3 Aspleniaceae

5 Ebenaceae 6 Flacourtiaceae 7 Malvaceae

9 Podocarpaceae 10 Rutaceae 11 Solanaceae

13 Tiliaceae 14 Urticaceae 15 Zingiberaceae

18 Asteraceae 19 Combretaceae

21 Menispermaceae 22 Moraceae 23 Pandanaceae

25 Arecaceae 26 Clussiaceae 27 Dilleniaceae

29 Lauraceae 30 Sapindaceae 31 Euphorbiaceae

33 Myrtaceae 34 Rubiaceae

105

intensitas cahaya matahari yang terhalang tajuk tumbuhan lain dalam kedua transek

Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di Cagar Alam Bagian

Jenis dari suku yang paling sering dijumpai adalah Ki Andong (Rhodamnia

Euginia densiflora) pada Transek

Karang Pandan, keduanya termasuk kedalam suku Myrtaceae. kedua jenis ini

Jumlah Jenis Tumbuhan Berdasarkan Suku di

Cagar Alam Bagian Selatan Pananjung

4 Convolvulaceae

8 Phyllanthaceae

12 Theaceae

16 Apocynaceae

20 Cyperaceae

24 Vitaceae

28 Fabaceae

32 Myrsinaceae

106

ditemukan pada kedua transek. Perbedaan yang mencolok dari kedua jenis tersebut

adalah bentuk arsitektur pohonnya (Gambar 4.1 dan 4.2).

4.3 Analisis Kualitatif Struktur Tumbuhan Model arsitektur pohon merupakan salah satu ciri morfologi yang penting

artinya dalam pencirian masing-masing pohon. Konsep model arsitektur pohon

berkembang sejak tahun 1970-an yang merupakan hasil sintesis dari konsep pada

bidang teknik arsitektur, morfologi tumbuhan dan taksonomi tumbuhan.

Perkembangan konsep model arsitektur yang dipelopori oleh Halle, Oldeman, dan

Tomlison (1978), pada awalnya bertujuan untuk melengkapi ciri pembeda jenis

pohon tertentu.

Model arsitektur pohon merupakan gambaran morfologi pada suatu waktu

yang merupakan hasil rangkaian seri pertumbuhan yang nyata dan dapat diamati

setiap saat. Model arsitektur biasanya diterapkan untuk tumbuhan berhabitus pohon

sebagai gambaran dari salah satu fase dalam rangkaian proses pertumbuhannya yang

diwariskan secara genetik pada keturunannya. Variasi model arsitektur pohon akan

memberikan dampak bagi fungsi dan peranan pohon tersebut dalam komunitasnya

maupun dalam ekosistem secara keseluruhan.

Komposisi jenis tumbuhan didalam transek dikelompokkan berdasarkan

masing-masing stratum. Pengelompokan tumbuh-tumbuhan dibagi kedalam lima

stratum dan empat kategori tumbuhan (Lampiran 2 dan Lampiran 3).

107

4.3.1 Struktur Vertikal Tumbuhan

Struktur vertikal tumbuhan adalah gambaran mengenai tegakan tumbuhan

yang hidup di dalam daerah penelitian. Tegakan ini meliputi arsitektur dan stratum

tumbuhan. Model arsitektur pohon merupakan salah satu ciri morfologi tumbuhan

yang penting artinya dalam pencirian masing-masing pohon. Konsep model arsitektur

pohon berkembang sejak tahun 1970 yang merupakan hasil sintesis dari konsep pada

bidang teknik arsitektur, morfologi dan taksonomi tumbuhan. Perkembangan konsep

model arsitektur yang dipelopori oleh Halle, Oldeman & Tomlison (1978), pada

awalnya bertujuan untuk melengkapi ciri pembeda jenis pohon tertentu.

4.3.1.1 Struktur Vertikal Tumbuhan Penyusun Transek Cimanggu

Peletakkan Transek Cimanggu berada di paling Selatan Pananjung

Pangandaran yang termasuk kedalam Cagar Alam bagian selatan. Titik awal

diletakkan pada tebing dengan ketinggian ± 85 m dpl. Blok Cimanggu ini diberi

nama berdasarkan banyaknya jenis Manggu Leuweung (Garcinia mangostana) oleh

petugas BKSDA Pangandaran. Namun, jenis Manggu Leuweung pada transek ini

tidak begitu banyak, tercatat sebanyak 26 individu baik dari Stratum B sampai

Stratum E.

Jenis yang paling banyak ditemukan pada Transek Cimanggu adalah Ki Kores

(Litsea cassiaefolia) sebanyak 77 individu dari Stratum C sampai Stratum E. Hal ini

menandakan bahwa jenis Ki Kores akan menjadi lebih dominan pada masa yang akan

datang. Namun, selama survey pendahuluan peneliti tidak menemukan jenis Ki Kores

108

menyusun Stratum A, tetapi hanya menemukan pada Stratum B dengan tinggi

maksimum 20 meter.

Stratum A sampai stratum E ditemukan dalam Transek Cimanggu. Dalam

Transek Cimanggu ini tersusun dari 46 jenis tumbuhan, baik dari divisi

Magnoliophyta maupun epifit seperti Paku Sarang Burung (Asplenium nidus).

Kanopi masing-masing jenis tumbuhan dari stratum B sangat besambungan

satu dan lainnya. Oleh karena itu, jenis-jenis tumbuhan penyusun lantai dasar hutan

sangat sulit mendapatkan cahaya matahari. Selain itu, persaingan dalam penyerapan

zat hara yang dibutuhkan oleh masing-masing jenis sangat tinggi.

Beberapa jenis tumbuhan seperti Marong, Rukem, Ki Calung, Ki Hoe, Balung

Injuk, dan Ki Segel memiliki batang utama yang jelas (monopodial) yaitu

percabangan batang pertama yang cukup tinggi dari permukaan tanah. Berbeda

dengan jenis Laban, meski memiliki batang yang kokoh namun percabangan batang

berada sekitar 0-2 meter diatas permukaan tanah.

Komposisi tumbuhan penyusun Transek Cimanggu berada pada fase

“kemunduran” dimana ditemukan jenis Marong, Laban, dan Rukem tumbang dan

jenis Rukem dan Marong yang sudah mati (Oldeman dan Halley, 1979). Kondisi

tersebut merupakan awal terjadinya suksesi sekunder, yaitu dipengaruhi oleh

kematian tumbuhan penyusun transek tersebut yang disebabkan oleh alam dan

gangguan manusia seperti penebangan pohon untuk kayu bakar (Gambar 4.4).

109

Gambar 4.4. Struktur dan Pertumbuhan Hutan (Oldeman, 1979)

4.3.1.1.1 Stratum A

Stratum A tersusun oleh pohon yang memiliki tinggi lebih dari 30 meter.

Jenis-jenis pohon penyusun Transek Cimanggu yang termasuk Stratum A adalah

Laban dan Marong.

Tabel 4.3 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum A Penyusun Transek Cimanggu

No Nama

Famili Daerah Latin

1 Laban Vitex fubescens Myrtaceae 2 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae

Jenis Marong merupakan tumbuhan yang dapat bersaing dengan jenis lainnya.

Dilihat dari pola persebaran, Marong ditemukan dikedua lokasi penelitian dan

ditemukan pada semua kategori.

Dilihat dari gambar 4.1 diagram profil Transek Cimanggu yang dihasilkan

pada stratum A diketemukan antara lain jenis Laban dan Marong dengan ketinggian

antara 31-33 m (Gambar Diagram Profil Transek Cimanggu). Laban yang termasuk

110

kedalam suku Myrtaceae memiliki struktur batang yang kokoh, bercabang pada

pangkal dan batang berwarna abu-abu serta berdaun majemuk tiga (trifoliolatus).

Masyarakat sering menggunakan Laban sebagai bahan bangunan, hal ini dapat

menyebabkan kerusakan hutan yang permanen. Karena apabila dilihat dari

regenerasinya Laban tidak ditemukan pada stratum D dan E.

Jenis kedua yang termasuk stratum A adalah jenis Marong. Ciri morfologi

Marong sangat unik, yaitu pada batang terdapat duri (spinosus) yang keras dan

tersusun rapi pada tiap ruas permukaan batangnya. Duri ini hanya ditemukan ketika

Marong tumbuh sampai stratum C dengan ketinggian 0-15 meter. Karena setelah

memiliki batang yang kokoh dengan ketinggian lebih dari 15 meter, duri tersebut

akan hilang. Hal ini membuat presepsi, bahwa duri Marong berfungsi sebagai bentuk

pertahanan diri dari tumbuhan jenis lain terutama tumbuhan pencekik. Berbeda

dengan duri pada jenis Rukem (Flacourtia rukam), yang memiliki cabang kecil pada

setiap durinya serta susunannya tidak teratur.

Daya regenerasi dari jenis Marong sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari

keberadaannya pada semua stratum, yakni stratum A sampai E. Selain itu, Marong

merupakan tumbuhan penyusun hutan dataran rendah dan tidak ditemukan diatas

ketinggian >1000 m dpl. Berbeda dengan Laban yang hanya ditemukan pada stratum

A, B dan C saja. Laban sangat membutuhkan cahaya matahari yang sangat panjang.

Tumbuhan penyusun Transek Cimanggu memiliki tajuk yang cukup luas, dan setara

dengan luasnya penampang batang, sehingga cahaya matahari sulit menjangkau lantai

dasar hutan pada daerah selatan Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Oleh karena

111

itu, Laban sulit untuk melakukan pertumbuhan karena masa dorman dari biji belum

tercapai.

Meskipun Marong dan Laban memiliki luas daun yang kecil, namun kanopi

dari kedua jenis tersebut sehingga menyulitkan cahaya matahari untuk masuk dan

menyinari tumbuhan yang berada dibawahnya.

4.3.1.1.2 Stratum B

Terdapat 11 jenis, 11 marga dan enam suku tumbuhan penyusun stratum B

dalam Transek Cimanggu (Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum B Penyusun Transek Cimanggu

No Nama

Famili Daerah Latin

1 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae 2 Ipis Kulit Syzygium lineatum Myrtaceae 3 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae 4 Ki Calung Diospyros truncata Ebenaceae 5 Ki Hoe Guioa diplopetala Sapindaceae 6 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae 7 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae 8 Laban Vitex fubescens Myrtaceae 9 Manggu Leuweung Garcinia mangostana Clussiaceae

10 Marong Cratoxylon formosum Clussiaceae 11 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae

Tumbuhan yang termasuk kedalam Stratum B, yaitu memiliki tinggi antara

15-30 meter. Jenis-jenis yang ditemukan pada stratum B yaitu Balung Injuk, Ipis

Kulit, Ki Andong, Ki Calung, Ki Hoe, Ki Segel, Kopo, Laban, Manggu Leuweung,

Marong, dan Rukem. Dua jenis diantaranya merupakan jenis yang ditemukan pada

112

stratum A. Jenis-jenis tersebut dapat menyusun hutan sampai stratum A, yaitu tinggi

lebih dari 30 meter dalam pertumbuhannya. Hanya jenis Balung Injuk yang tidak bisa

melanjutkan kedalam stratum A. Hal ini merupakan kesimpulan dari peneliti, bahwa

tidak ditemukannya Balung Injuk lebih dari 25 meter setelah melakukan survey dan

mengelilingi Cagar Alam Pananjung Pangandaran.

Jenis-jenis tumbuhan yang termasuk kedalam stratum B akan menggantikan

tumbuhan stratum A pada pertumbuhannya dan stratum A akan mati kemudian

tumbang dan membuat celah pada daerah penelitian yang disebut dengan gap.

Peristiwa ini disebut dengan suksesi sekunder yang alamiah.

Faktor yang mempengaruhi jenis-jenis tumbuhan stratum B ini adalah angin.

Karena kondisi medan pada Transek Cimanggu merupakan tebing yang tinggi dan

berada tepat paling selatan, hembusan angin sangat kencang dan mempengaruhi

persebaran dari biji-biji tumbuhan stratum B tersebut. Hal ini terlihat dari jenis Ki

Calung dan Laban tidak ditemukan anakannya. Selain itu, jenis Ki Hoe hanya

ditemukan satu individu pada kategori anakan.

4.3.1.1.3 Stratum C

Stratum C merupakan lapisan tumbuhan dengan tinggi antara lima sampai 15

meter. Lapisan ini terdiri dari 23 jenis, 23 marga dan 18 suku (Tabel 4.5). Stratum ini

akan menjadi generasi penerus stratum B dan A pada masa yang akan datang.

Namun, terdapat beberapa jenis yang perkembangan maksimumnya hanya ditemukan

pada stratum ini.

113

Tabel 4.5 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum C Penyusun Transek Cimanggu

No Nama

Famili Daerah Latin

1 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae

2 Bingbin Pinanga kuhlii Arecaceae 3 Ipis Kulit Syzigium lineatum Araceae 4 Jejerukan Acronychia laurifolia Rutaceae 5 Ketapang Terminalia catappa Combretaceae 6 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae 7 Ki Hapit Euphorbia chasembila Euphorbiaceae 8 Ki Hoe Guioa diplopetala Sapindaceae 9 Ki Kores Litsea cassiaefolia Lauraceae

10 Ki Lalayu Erioglossum rubiginosum Sapindaceae 11 Ki Pancar Podocarpus neriifolius Podocarpaceae 12 Ki Paray Debregeasia longifolia Urticaceae 13 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae 14 Kondang Ficus variegata Moraceae 15 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae 16 Laban Vitex fubescens Myrtaceae 17 Lampeni Ardisia humilis Myrsinaceae 18 Manggu Leuweung Garcinia mangostana Clusiaceae 19 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae 20 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae 21 Sulangkar Leea indica Vitaceae 22 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae 23 Songgom Barringtonia insignis Combretaceae

Tumbuhan lapisan ini yang paling sering ditemukan adalah jenis Ki Andong

dan Umpang. Jenis Umpang merupakan tumbuhan yang sering digunakan masyarakat

untuk meracuni ikan di perairan terbuka Pangandaran. Khasiat dari akar dan daun

Umpang dapat membuat ikan mabuk sesaat namun tidak merusak habitat sekitarnya.

Namun, hanya beberapa masyarakat yang masih menggunakannya. Penggunaan yang

berkelanjutan dapat membuat kerusakan pada stratum C pada jenis Umpang tersebut,

114

sehingga peluang untuk melanjutkan regenerasi akan terhambat. Ki Andong dan

Umpang memiliki jumlah daun yang banyak sehingga kanopinya sangat menghalangi

cahaya matahari menyentuh lantai dasar hutan. Selain itu, kedua jenis ini mudah

diidentifikasi dari struktur dan morfologi tumbuhannya.

Ki Andong berbatang coklat dan bertekstur vertikal sering dijumpai selama

perjalanan menuju transek. Sedangkan Umpang berbatang kehitaman dan teratur,

tetapi batang utama terlihat jelas (monopodial). Bentuk percabangan dari suku

Theaceae ini mirip dengan jenis Ketapang yaitu Aubrevielle (Oldeman, 1979).

Lampeni dan Ki Lalayu ditemukan masing-masing sekali kemunculannya

pada lapisan ini. Morfologi jenis Lampeni sangat mirip dengan Nyamplung, hanya

saja daunnya memiliki panjang 2-10 cm sedangkan Nyamplung bisa lebih panjang

(Backer, 1963). Ki Lalayu adalah jenis yang sangat sulit bersaing dengan tumbuhan

lainnya. Hal ini terlihat pada (Lampiran 4), dimana kehadirannya hanya sekali pada

stratum C dan E saja. Ki Lalayu dapat diperkirakan punah pada masa yang akan

datang.

Jenis Palm Bingbin adalah salah satu jenis tumbuhan yang ditemukan hanya

pada Transek Cimanggu. Jenis ini sangat sensitif terhadap salinitas. Terlihat

kemunculannya pada plot 10, 14 dan 15, dimana kelembaban tanah, kelembaban

udara yang tinggi dengan keasaman yang menuju netral. Berbeda dengan kondisi

fisik pada Transek Karang Pandan (Tabel 4.2). Selain Palm Bingbin, yang tidak

ditemukan pada Transek Karang Pandan adalah jenis Jejerukan, Ki Hapit, Ki Lalayu,

Ki Pancar, Kondang, Manggu Leuweung dan Sulangkar.

115

4.3.1.1.4 Stratum D

Stratum D adalah lapisan kedua paling bawah setelah Stratum E (Tabel 4.6).

Jenis Balundeng ditemukan hanya muncul sekali pada plot 18 dan tidak ditemukan di

Transek Karang Pandan (Lampiran 5). Hal tersebut menandakan bahwa keberadaan

jenis Balundeng di Cagar Alam bagian Selatan sangat penting bagi sisi ekologi.

Apabila Balundeng tidak mampu bertahan hidup dan berregenerasi, akibatnya akan

musnah.

Jenis Ki Kores sangat mendominasi Transek Cimanggu pada stratum D. Jenis

ini hampir merata menutupi lapisan startum D (Lampiran 4). Beberapa jenis yang

termasuk kategori semai dan anakan pohon ditemui pada lapisan ini, seperti jenis

Gebang, Ki Segel, Kopo, Rukem, dan Marong.

Tabel 4.6 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum D Penyusun Transek Cimanggu

No Nama

Famili Daerah Latin

1 Balundeng Ixora nigricans Rubiaceae

2 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae

3 Cangkuang Pandanus furcatus Pandanaceae

4 Gebang Corypha gebanga Arecaceae

5 Huru Manuk Litsea resinosa Lauraceae

6 Ipis Kulit Syzygium lineatum Myrtaceae

7 Jejerukan Acronychia laurifolia Rutaceae

8 Kakalapaan Licuala spinosa Arecaceae

9 Kebo Jalu Sauropus rhamnoides Euphorbiaceae

10 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae

116

No Nama

Famili Daerah Latin

11 Ki Endog Aporosa sphaeridophora Phyllanthaceae

12 Ki Hapit Euphorbia chasembila Euphporbiaceae

13 Ki Hoe Rege Leea angulata Vitaceae

14 Ki Kores Litsea cassiaefolia Lauraceae

15 Ki Minyak Stephania capitata Menispermaceae

16 Ki Pancar Debregeasia longifolia Urticaceae

17 Ki Paray Dillenia excelsa Dilleniaceae

18 Ki Segel Pentace polyantha Malvaceae

19 Ki Sinduk Phoebe excelsa Lauraceae

20 Ki Tundunan Maesa latifolia Myrsinaceae

21 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae

22 Lampeni Ardisia humilis Myrsinaceae

23 Manggu Leuweung Garcinia mangostana Clusiaceae

24 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae

25 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae

26 Songgom Barringtonia insignis Combretaceae

27 Sulangkar Leea indica Vitaceae

28 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae

4.3.1.1.5 Stratum E

Telah ditemukan sebanyak 33 jenis yang berada dalam stratum E. Lapisan ini

merupakan kategori penutup lantai hutan (ground cover) seperti rumput yang

ketinggiannya tidak melebihi satu meter dan anakan dari tiang serta pohon dalam

Transek Cimanggu.

117

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan Lutung Jawa (Trachypitecus

auratus) merupakan salah satu jenis satwa yang berada di Cagar Alam Pananjung

Pangandaran. Mereka memiliki peranan ekologis yang sangat penting dalam hal

penyebaran biji dari kategori tiang dan pohon.

Terlihat dengan jumlah individu terbanyak pada lapisan ini ditemukan pada

plot 20 sebanyak 32 individu (Lampiran 8). Peneliti dapat menyimpulkan, bahwa

pada plot ke-20 ini merupakan core area dari kelompok Monyet Ekor Panjang.

Dalam anggota kelompoknya terlihat satu ekor pemimpin, empat ekor betina dan dua

jantan muda. Kelompok ini terbiasa memakan buah Manggu Leuweung dan Huni.

Karena plot ke-20 menjadi “rumah” bagi kelompok ini, maka kotoran yang dihasilkan

merupakan biji-biji dari tumbuhan yang berada dalam area penelitian seperti Manggu

Leuweung. Selain itu, Ki Kores merupakan tumbuhan paling sering dikonsumsi oleh

Careuh Paradoxurus hermaphroditus yang berada di sebelah Selatan Cagar Alam.

Oleh karena itu, penyebaran Ki Kores hampir merata pada setiap plot dalam Transek

Cimanggu ini.

Apabila stratum E mendominasi suatu daerah, menandakan bahwa tingkat

erosi sangat kecil. Hal ini disebabkan karena air lebih mudah diserap kedalam tanah

dan tidak menyebabkan air limpahan (run-off). Berbeda dengan plot ke-7, dimana

total individu stratum E paling sedikit dan dapat diperkirakan tingkat erosi pada plot

tersebut sangat tinggi dibanding plot lainnya.

Jenis Ileus dari suku Araceae ditemukan hanya sekali, yaitu hanya pada plot

ke-5 dan tidak ditemukan di Transek Karang Pandan. Jenis ini sudah berada dalam

118

status appendix 1 dalam IUCN RED LIST. Artinya, Ileus di Pangandaran sudah

terancam punah dan keberadaannya sangat dilindungi.

Areuy Gadel, Areuy Ki Cacing, Kekerisan, Jujukutan dan Singa Depa

merupakan tumbuhan penutup lantai hutan Transek Cimanggu. Tumbuhan tersebut

tidak akan berkembang sampai stratum D. Paku Sarang Burung juga termasuk

kedalam stratum ini, namun hidupnya epifit di Pohon Laban pada ketinggian rata-rata

diatas 10 meter dari permukaan tanah.

Didalam lapisan ini, kategori anakan dari stratum B yang berada dalam

Transek Cimanggu adalah jenis Rukem, Marong, Manggu Leuweung, Ki Segel, Ki

Hoe, Ki Andong, Ipis Kulit dan Balung Injuk (Tabel 4.7). Jenis-Jenis tersebut

menjadi pesaing bagi tumbuhan lain yang berada dalam Transek Cimanggu.

Tabel 4.7 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum E Penyusun Transek Cimanggu

No Nama

Famili Daerah Latin

1 Areuy Gedel Rapanea sp. Myrsinaceae

2 Areuy Ki Balera Tetrastigma lanceolarium Fabaceae

3 Areuy Ki Cacing Agalmyla sp. Myrsinaceae

4 Areuy Tali Koja Tetrastigma papillosum. Fabaceae

5 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae

6 Cangkuang Pandanus furcatus Pandanaceae

7 Derewak Grewia paniculta Tiliaceae

8 Huru Manuk Litsea resinosa Lauraceae

9 Ileus Amorphophallus oncophyllus Araceae

10 Ipis Kulit Syzygium lineatum Myrtaceae

11 Jejerukan Acronychia laurifolia Rutaceae

119

No Nama

Famili Daerah Latin

12 Jujukutan Cyperus sp. Cyperaceae

13 Kebo Jalu Sauropus rhamnoides Euphorbiaceae

14 Kekerisan Mariscus compactus Cyperaceae

15 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae

16 Ki Asahan Tetracera scandens Dilleniaceae

17 Ki Endog Aporosa sphaeridophora Phyllanthaceae

18 Ki Hoe Guioa diplopetala Sapindaceae

19 Ki Hoe Rege Leea angulata Vitaceae

20 Ki Kores Litsea cassiaefolia Lauraceae

21 Ki Lalayu Erioglossum rubiginosum Sapindaceae

22 Ki Minyak Stephania capitata Menispermaceae

23 Ki Paray Podocarpus neriifolius Podocarpaceae

24 Ki Pancar Debregeasia longifolia Urticaceae

25 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae

26 Lampeni Ardisia humilis Myrsinaceae

27 Manggu Leuweung Garcinia mangostana Clusiaceae

28 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae

29 Paku Sarang Burung Asplenium nidus Aspleniaceae

30 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae

31 Singa Depa Apama tomentosa Menispermaceae

32 Sulangkar Leea indica Vitaceae

33 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae

4.3.1.2 Struktur Vertikal Tumbuhan Penyusun Transek Karang Pandan

Transek Karang Pandan diletakan tegak lurus dari bibir pantai yang bertujuan

untuk mengetahui perubahan dari tumbuhan pantai. Peletakan awal transek dimulai

120

dari daerah pasang tertinggi. Terlihat jelas terdapat perubahan dalam transek ini

(Gambar 4.1). Transek Karang Pandan ini tidak melebihi ketinggian 20 m dpl. Nama

daerah ini diambil dari formasi tumbuhan pantai yang disusun oleh Pandan Laut

(Pandanus bidur).

Kondisi landscape dari Karang Pandan berbentuk teluk kecil dengan dua

muara sungai besar. Sungai pertama merupakan sungai yang memiliki aliran air

sepanjang musim dan sungai kedua adalah sungai intermiten. Substrat dari Transek

Karang Pandan ini tersusun dari pasir, bebatuan, dan tanah. Kondisi seperti inilah

yang membedakan Transek Karang Pandan dengan Transek Cimanggu.

4.3.1.2.1 Stratum A

Tumbuhan yang menyusun lapisan ini diantaranya adalah, Junti dan Ki Taleus

(Tabel 4.8). Kedua jenis ini tidak ditemukan pada Transek Cimanggu dan stratum

dibawahnya. Tajuk pohon yang menyusun stratum A tidak bersambungan.

Tabel 4.8 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum A Penyusun Transek Karang Pandan

No Nama

Famili Daerah Latin

1 Junti Dillenia indica Dilleniaceae

2 Ki Taleus Phoebe excelsa Lauraceae

Jenis Junti dan Ki Taleus ini termasuk kedalam formasi tumbuhan pantai

(Backer, 1975). Kedua jenis ini diperkirakan akan hilang karena tidak adanya

regenerasi. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan dan persaingan dengan

tumbuhan lainnya di dalam Cagar Alam bagian selatan. Arsitektur batang dan tajuk

121

dari kedua jenis ini hampir identik, yaitu memiliki batang tegak lurus dan

percabangan batang utamanya berada lebih 20 m diatas permukaan tanah. Tajuk

kedua jenis ini dapat menghalangi cahaya matahari untuk menembus dasar hutan.

Oleh sebab itu, pada plot 19 frekuensi kemunculan stratum D dan E lebih sedikit

dimabding plot lainnya.

Pada Plot 19, dimana kedua jenis ini tumbuh kondisi lahan sangat rentan

erosi. Tidak ditemukannya jenis tumbuhan lapisan bawah akan memperbesar tingkat

erosi. Hal ini berhubungan dengan penyerapan aliran air permukaan oleh tumbuhan

tingkat bawah tersebut.

4.3.1.2.2 Stratum B

Terdiri dari tumbuhan dengan ketinggian antara 15 meter hingga 12 meter.

Tumbuhan pada lapisan ini tercatat sebanyak 10 jenis (Tabel 4.9). Berbeda dengan

Stratum A, lapisan tajuk pohon yang menyusun stratum B mulai berkesinambungan,

terlihat dari plot 12 sampai plot 20.

Tabel 4.9 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum B Penyusun Transek Karang Pandan

No Nama

Famili Daerah Latin

1 Ki Hoe Guioa diplopetala Sapindaceae

2 Kiara Beas Ficus indica Moraceae

3 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae

4 Laban Vitex fubescens Verbenaceae

5 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae

6 Pandan Laut Pandanus bidur Pandanaceae

122

No Nama

Famili Daerah Latin

7 Pisitan Mega Baccaurea racemosa Euphorbiaceae

8 Pohpoan Buchanania arborescens Anacardiaceae

9 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae

10 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae

Pandan Laut adalah jenis tumbuhan yang hampir mendominasi Transek

Karang Pandan. Jenis ini ditemukan pada Stratum B sampai E, menandakan bahwa

pertumbuhannya sangat cocok dengan kondisi fisik transek. Pertumbuhan dari

Pandan Laut ini hanya dapat mencapai ketinggian 25 m, yaitu hanya sampai stratum

B saja. Berbeda dengan jenis Ki Hoe, Laban, Marong, Pohpoan dan Rukem yang

dapat mencapai ketinggian lebih dari 30 m dan diameter batang lebih dari 35 cm.

4.3.1.2.3 Stratum C

Stratum C merupakan lapisan pancang dengan ketinggian lima meter sampai

15 meter. Hampir menyerupai stratum B, dimana tajuk tumbuhan penyusun Transek

Karang Pandan berkesinambungan dari plot 9 sampai plot 20. Ditemukan sebanyak

14 jenis tumbuhan yang berada pada lapisan ini dalam Transek Karang Pandan (Tabel

4.10).

Jenis Kopo merupakan tumbuhan yang dominan didalam Transek Karang

Pandan terutama pada Stratum C dan D. Tumbuhan khas pantai yang termasuk dalam

kategori Mangrove Ikutan adalah Bintaro. Jenis ini banyak dijumpai dipinggir jalan

123

sebagai pohon pelindung dan peneduh jalan. Namun, jenis Bintaro hanya ditemukan

satu individu di dalam Transek Karang Pandan.

Tabel 4.10 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum C Penyusun Transek Karang Pandan

No Nama

Famili Daerah Latin

1 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae

2 Bintaro Barringtonia asiatica Apocynaceae

3 Gebang Corypha gebanga Arecaceae

4 Huru Manuk Litsea resinosa Lauraceae

5 Ipis Kulit Syzygium lineatum Myrtaceae

6 Ketapang Terminalia catappa Combretaceae

7 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae

8 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae

9 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae

10 Laban Vitex fubescens Verbenaceae

11 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae

12 Pandan Laut Pandanus bidur Pandanaceae

13 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae

14 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae

4.3.1.2.4 Stratum D

Lapisan ini tersusun dari 14 jenis tumbuhan (Tabel 4.11). Jenis yang

mencirikan tumbuhan pantai diantaranya Ki Balanak, Nyamplung dan Umpang.

Stratum ini tidak berkembang pada aliran sungai intermiten. Hal ini disebabkan oleh

substrat seperti batu serta pasir pantai.

124

Anakan dari pohon yang berada dalam lapisan ini diantaranya adalah Ki Hoe,

Ki Segel, Kopo, Nyamplung dan Rukem. Persebaran dari benih pohon pada transek

ini sebagian besar oleh faktor iklim, seperti cahaya, temperatur udara, angin dan

kelembaban udara.

Tabel 4.11 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum D Penyusun Transek Karang Pandan

No Nama

Famili Daerah Latin

1 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae

2 Cangkudu Morinda citrifolia Rubiaceae

3 Huru Manuk Litsea resinosa Lauraceae

4 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae

5 Ki Balanak Desmodium umbellatum Fabaceae

6 Ki Hoe Guioa diplopetala Sapindaceae

7 Ki Kores Litsea cassiaefolia Lauraceae

8 Ki Paray Debregeasia longifolia Urticaceae

9 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae

10 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae

11 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae

12 Nyamplung Calophyllum inophyllum Clussiaceae

13 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae

14 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae

4.3.1.2.5 Stratum E

Lapisan paling bawah penyusun Transek Karang Pandan ini berjumlah 33

jenis. Tumbuhan lapisan bawah dalam transek ini mendapatkan cahaya matahari yang

berlebih dibandingkan pada Transek Cimanggu. Plot 1-10 memperlihatkan tajuk

125

tumbuhan pada stratum diatasnya kurang bersinambungan sehingga cahaya matahari

dapat menembus lantai dasar Transek Karang Pandan.

Jenis yang hanya ditemukan pada daerah pasang surut adalah Bakung Laut,

Kangkung Laut, Makaranga, Pacok Gaok dan Seruni selebihnya tidak ditemukan lagi.

Kondisi salinitas yang tinggi, substrat pasir dan cahaya matahari berlebih dapat

menunjang pertumbuhannya. Jenis-jenis tersebut tidak ditemukan pada substrat tanah

yang kurang cahaya matahari. Pada lapisan ini ditemukan 2 kategori, yaitu anakan

dan penutup lantai dasar. Kategori anakan diantaranya Balung Injuk, Cangkudu, Huru

Manuk, Ki Andong, Ki Balanak, Ki Hoe Rege, Ki Kores, Ki Paray, Ki Segel,

Kirinyuh, Kopo, Lampeni, Marong, Nyamplung, Pandan Laut, Soka Leuweung,

Songgom dan Umpang. Kategori tersebut dapat berkembang menjadi semak,

pancang, tiang sampai pohon dewasa.

Tabel 4.12 Jenis-Jenis Tumbuhan Stratum E Penyusun Transek Karang Pandan

No Nama

Famili Daerah Latin

1 Areuy Gadel Rapanea sp. Myrsinaceae

2 Areuy Ki Balera Tetrastigma lanceolarium Fabaceae

3 Areuy Ki Cacing Agalmyla sp. Myrsinaceae

4 Areuy Tali Koja Tetrastigma papillosum Fabaceae

5 Bakung Laut Crinum asiaticum Amarilidaceae

6 Balung Injuk Alstonia villosa Apocynaceae

7 Cangkudu Morinda citrifolia Rubiaceae

8 Huru Manuk Litsea resinosa Lauraceae

9 Jajahean Renealmia sp. Zingiberaceae

10 Kacukilan Allophylus cobbe Sapindaceae

126

No Nama

Famili Daerah Latin

11 Kajar-kajar Valeriana hardwickii Araceae

12 Kangkung Laut Ipomoea pes-caprae Convolvulaceae

13 Ki Andong Rhodamnia cinerea Myrtaceae

14 Ki Balanak Desmodium umbellatum Fabaceae

15 Ki Hoe Rege Leea angulata Vitaceae

16 Ki Kores Litsea cassiaefolia Lauraceae

17 Ki Paray Debregeasia longifolia Urticaceae

18 Ki Segel Dillenia excelsa Dilleniaceae

19 Kirinyuh Eupatorium odoratum Asteraceae

20 Kopo Eugenia densiflora Myrtaceae

21 Lampeni Ardisia humilis Myrsinaceae

22 Makaranga Macaranga javanica Euphorbiaceae

23 Marong Cratoxylon formosum Clusiaceae

24 Nyamplung Calophyllum inophyllum Clussiaceae

25 Pacok Gagok Hedyotis herbacea Rubiaceae

26 Pandan Laut Pandanus bidur Pandanaceae

27 Rukem Flacourtia rukam Flacourtiaceae

28 Seruni Wedelia biflora Asteraceae

29 Singa Depa Apama tomentosa Menispermaceae

30 Soka Leuweung Ixora salicifolia Rubiaceae

31 Songgom Barringtonia insignis Combretaceae

32 Takokak Solanum torvum Solanaceae

33 Umpang Ternstroemia polypetala Theaceae

127

4.3.2 Struktur Horizontal Tumbuhan

Struktur Horizontal merupakan gambaran tajuk-tajuk tumbuhan yang

berfungsi untuk mengetahui tingkat dominansi suatu jenis pada areal penelitian.

Pengukuran dari beberapa parameter menghasilkan INP (Indeks Nilai Penting) dan

dibagi kedalam setiap kategori tumbuhan, dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.13 Nilai Penting Masing-Masing Kategori Tumbuhan pada Transek

Cimanggu

Kategori Nama Daerah Nama Jenis FM

FR KM KR DM

DR INP

Pohon Laban Vitex fubescens 0.05 50 1 50 0.08

48.46

148.46

Marong Cratoxylon formosum 0.05 50 1 50 0.09

51.54

151.54

Tiang

Balung Injuk Alstonia villosa 0.05 3.57 1 3.23 0.01

1 1.05 7.85

Ipis Kulit Syzygium lineatum 0.1 7.14 2 6.45

0.134

13.39 26.98

Ki Andong Rhodamnia cinerea 0.25 17.86 5

16.13

0.131

13.15 47.14

Ki Calung Diospyros truncata 0.05 3.57 1 3.23

0.042 4.22 11.01

Ki Hoe Guioa diplopetala 0.05 3.57 1 3.23 0.01

1 1.05 7.85

Ki Segel Dillenia excelsa 0.15 10.71 4 12.9

0 0.19

3 19.2

6 42.87

Kopo Eugenia densiflora 0.1 7.14 2 6.45

0.075 7.50 21.09

Laban Vitex fubescens 0.3 21.43 7 22.5

8 0.23

6 23.6

4 67.65

Manggu Leuweung

Garcinia mangostana 0.05 3.57 1 3.23

0.009 0.90 7.70

Marong Cratoxylon formosum 0.1 7.14 2 6.45

0.053 5.32 18.92

Rukem Flacourtia rukam 0.2 14.29 5 16.1

3 0.10

5 10.5

2 40.93

Pancang

Balung Injuk Alstonia villosa 0.15 3.41 3 2.59 0.02

7 2.70 8.70

Palm Bingbin Pinanga kuhlii 0.15 3.41 3 2.59 0.03

8 3.75 9.75

Ipis Kulit Syzygium lineatum 0.1 2.27 2 1.72

0.040 4.05 8.05

Jejerukan Acronychia laurifolia 0.15 3.41 4 3.45

0.050 4.98 11.84

Ketapang Terminalia catappa 0.1 2.27 3 2.59

0.066 6.59 11.45

128

Kategori Nama Daerah Nama Jenis FM

FR KM KR DM

DR INP

Ki Andong Rhodamnia cinerea 0.6 13.64 19

16.38

0.076 7.64 37.65

Ki Hapit Euphorbia chasembila 0.25 5.68 5 4.31

0.014 1.40 11.39

Ki Hoe Guioa diplopetala 0.15 3.41 3 2.59 0.02

6 2.64 8.64

Ki Kores Litsea cassiaefolia 0.15 3.41 3 2.59

0.004 0.41 6.41

Ki Lalayu Erioglossum rubiginosum 0.05 1.14 1 0.86

0.001 0.09 2.08

Ki Pancar Podocarpus neriifolius 0.1 2.27 2 1.72

0.077 7.67 11.67

Ki Paray Debregeasia longifolia 0.1 2.27 3 2.59

0.004 0.43 5.29

Ki Segel Dillenia excelsa 0.4 9.09 12 10.3

4 0.16

8 16.7

8 36.22

Kondang Ficus variegata 0.05 1.14 1 0.86 0.00

4 0.45 2.45

Kopo Eugenia densiflora 0.2 4.55 8 6.90

0.052 5.23 16.67

Laban Vitex fubescens 0.15 3.41 3 2.59 0.05

0 5.02 11.02

Lampeni Ardisia humilis 0.05 1.14 1 0.86 0.01

6 1.58 3.57

Manggu Leuweung

Garcinia mangostana 0.5 11.36 12

10.34

0.067 6.69 28.40

Marong Cratoxylon formosum 0.15 3.41 3 2.59

0.054 5.44 11.43

Rukem Flacourtia rukam 0.25 5.68 5 4.31 0.04

4 4.41 14.40

Songgom Barringtonia insignis 0.15 3.41 3 2.59

0.002 0.18 6.17

Sulangkar Leea indica 0.1 2.27 2 1.72 0.00

2 0.18 4.17

Umpang Ternstroemia polypetala 0.35 7.95 15

12.93

0.117

11.70 32.58

Anakan

Balung Injuk Alstonia villosa 0.45 5.20 11 3.68 0.03

7 3.68 12.56

Derewak Grewia paniculta 0.45 5.20 11 3.68 0.03

7 3.68 12.56

Huru Manuk Litsea resinosa 0.2 2.31 7 2.34 0.02

3 2.34 6.99

Ipis Kulit Syzygium lineatum 0.45 5.20 10 3.34

0.037 3.68 12.23

Jejerukan Acronychia laurifolia 0.1 1.16 2 0.67

0.003 0.33 2.16

Kebo Jalu Sauropus rhamnoides 0.1 1.16 2 0.67

0.007 0.67 2.49

Ki Andong Rhodamnia cinerea 0.35 4.05 8 2.68

0.027 2.68 9.40

Ki Asahan Tetracera scandens 0.6 6.94 21 7.02

0.070 7.02 20.98

Ki Endog Aporosa sphaeridophora 0.15 1.73 3 1.00

0.010 1.00 3.74

129

Kategori Nama Daerah Nama Jenis FM

FR KM KR DM

DR INP

Ki Hoe Guioa diplopetala 0.1 1.16 2 0.67 0.00

7 0.67 2.49

Ki Hoe Rege Leea angulata 0.2 2.31 4 1.34 0.01

3 1.34 4.99

Ki Kores Litsea cassiaefolia 0.95 10.98 50

16.72

0.167

16.72 44.43

Ki Lalayu Erioglossum rubiginosum 0.05 0.58 1 0.33

0.003 0.33 1.25

Ki Minyak Stephania capitata 0.05 0.58 1 0.33

0.003 0.33 1.25

Ki Pancar Podocarpus neriifolius 0.05 0.58 1 0.33

0.020 2.01 2.92

Ki Paray Debregeasia longifolia 0.2 2.31 6 2.01

0.003 0.33 4.65

Ki Segel Dillenia excelsa 0.35 4.05 7 2.34 0.02

0 2.01 8.39

Lampeni Ardisia humilis 0.35 4.05 9 3.01 0.03

3 3.34 10.40

Manggu Leuweung

Garcinia mangostana 0.2 2.31 6 2.01

0.017 1.67 5.99

Marong Cratoxylon formosum 0.1 1.16 2 0.67

0.010 1.00 2.83

Rukem Flacourtia rukam 0.05 0.58 3 1.00 0.01

0 1.00 2.58

Sulangkar Leea indica 0.1 1.16 2 0.67 0.00

7 0.67 2.49

Umpang Ternstroemia polypetala 0.25 2.89 19 6.35

0.027 2.68 11.92

Tumbuhan Lantai

Areuy Gadel Rapanea sp. 0.65 7.51 28 9.36 0.09

4 9.36 26.24

Areuy Ki Balera Tetrastigma lanceolarium 0.35 4.05 10 3.34

0.033 3.34 10.74

Areuy Ki Cacing Agalmyla sp. 0.65 7.51 24 8.03 0.08

0 8.03 23.57

Areuy Tali Koja Tetrastigma papillosum 0.05 0.58 1 0.33

0.003 0.33 1.25

Cangkuang Pandanus furcatus 0.2 2.31 6 2.01

0.020 2.01 6.33

Ileus Amorphophallus oncophyllus 0.1 1.16 2 0.67

0.003 0.33 2.16

Jujukutan Cyperus sp. 0.15 1.73 8 2.68 0.03

0 3.01 7.42

Kekerisan Mariscus compactus 0.25 2.89 12 4.01

0.040 4.01 10.92

Paku Sarang Burung

Asplenium nidus 0.2 2.31 6 2.01

0.020 2.01 6.33

Singa Depa Apama tomentosa 0.2 2.31 14 4.68 0.08

4 8.36 15.36

130

Tabel 4.14 Indeks Nilai Penting Masing-Masing Kategori Tumbuhan pada Transek

Karang Pandan

Kategori Nama Daerah Nama Jenis FR KR DR INP

Pohon Ki Taleus Phoebe excelsa 50 50 74.01 174.01

Junti Dillenia indica 50 50 25.99 125.99

Tiang

Ki Hoe Guioa diplopetala 5.13 3.23 2.98 11.34

Kiara Beas Ficus indica 2.56 1.61 14.62 18.80

Kopo Eugenia densiflora 25.64 25.81 34.54 85.98

Laban Vitex fubescens 12.82 9.68 9.53 32.03

Marong Cratoxylon formosum 20.51 14.52 7.23 42.26

Pandan Laut Pandanus bidur 12.82 29.03 23.73 65.58

Pisitan Mega Baccaurea racemosa 5.13 3.23 1.12 9.48

Pohpoan Buchanania arborescens 5.13 4.84 3.29 13.26

Rukem Flacourtia rukam 7.69 4.84 1.66 14.19

Umpang Ternstroemia polypetala 2.56 3.23 1.29 7.08

Pancang

Balung Injuk Alstonia villosa 7.84 5.6 0.77 14.16

Bintaro Barringtonia asiatica 1.96 1.4 18.46 21.81

Gebang Corypha gebanga 1.96 1.4 30.51 33.86

Huru Manuk Litsea resinosa 3.92 4.2 0.20 8.29

Ipis Kulit Syzygium lineatum 1.96 1.4 0.38 3.73

Ketapang Terminalia catappa 3.92 2.8 6.83 13.53

Ki Andong Rhodamnia cinerea 7.84 5.6 0.28 13.68

Ki Segel Dillenia excelsa 7.84 5.6 0.86 14.26

Kopo Eugenia densiflora 29.41 41.7 28.06 99.14

Laban Vitex fubescens 3.92 2.8 2.97 9.67

Marong Cratoxylon formosum 1.96 1.4 0.09 3.44

Pandan Laut Pandanus bidur 3.92 4.2 5.94 14.03

Rukem Flacourtia rukam 1.96 1.4 0.15 3.50

Umpang Ternstroemia polypetala 21.57 20.8 4.51 46.91

Anakan

Balung Injuk Alstonia villosa 14.29 14.6 11.6 40.5

Cangkudu Morinda citrifolia 3.17 4.9 9.1 17.19

Huru Manuk Litsea resinosa 1.59 1.2 1.5 4.29

Ki Andong Rhodamnia cinerea 14.29 15.9 12.8 42.98

Ki Balanak Desmodium umbellatum 1.59 1.2 0.8 3.62

131

Kategori Nama Daerah Nama Jenis FR KR DR INP

Ki Hoe Guioa diplopetala 1.59 1.2 2.3 5.10

Ki Kores Litsea cassiaefolia 1.59 1.2 1.7 4.51

Ki Paray Debregeasia longifolia 1.59 2.4 0.5 4.54

Ki Segel Dillenia excelsa 11.11 11.0 10.5 32.60

Kopo Eugenia densiflora 22.22 19.5 18.9 60.65

Marong Cratoxylon formosum 6.35 7.3 6.3 19.96

Nyamplung Calophyllum inophyllum 1.59 1.2 0.8 3.62

Rukem Flacourtia rukam 3.17 2.4 3.8 9.43

Umpang Ternstroemia polypetala 15.87 15.9 19.2 50.97

Tumbuhan Lantai

Areuy Gadel Rapanea sp. 7.27 8.2 3.9 19.4

Areuy Ki Balera

Tetrastigma lanceolarium 2.42 1.4 0.7 4.50

Areuy Ki Cacing

Agalmyla sp. 6.67 7.5 3.6 17.73

Areuy Tali Koja

Tetrastigma papillosum 1.21 2.1 1.0 4.32

Bakung Laut Crinum asiaticum 1.82 4.4 4.3 10.52

Jajahean Renealmia sp. 2.42 2.1 1.0 5.54

Kajar-Kajar Valeriana hardwickii 2.42 2.1 1.0 5.54

Kangkung Laut

Ipomoea pes-caprae 0.61 0.2 11.2 12.05

Makaranga Macaranga javanica 1.82 1.9 0.9 4.58

Pacok Gaok Hedyotis herbacea 3.64 6.1 2.9 12.63

Singa Depa Apama tomentosa 1.82 1.2 0.6 3.5

4.4 Perbandingan Komposisi Jenis dan Struktur Tumbuhan Pada Kedua

Transek Penelitian

Perbandingan komposisi dan struktur tumbuhan diuraikan pada subbab

berikut.

132

4.4.1 Kesamaan Tumbuhan

Tumbuhan yang berada pada kedua transek dihitung dengan rumus Sørensen

untuk mengetahui derajat kesamaannya. Jenis-jenis tumbuhan yang berada pada

kedua transek dapat dilihat pada Tabel 4.15 berikut ini:

Tabel 4.15 Jenis-Jenis Tumbuhan Pada Transek Cimanggu dan Karang Pandan

No Nama

Daerah Latin 1 Areuy Gedel Rapanea sp. 2 Areuy Ki Balera Tetrastigma lanceolarium 3 Areuy Ki Cacing Agalmyla sp. 4 Areuy Tali Koja Tetrastigma papillosum 5 Balung Injuk Alstonia villosa 6 Gebang Corypha gebanga 7 Huru Manuk Litsea resinosa 8 Ipis Kulit Syzygium lineatum 9 Ketapang Terminalia catappa

10 Ki Andong Rhodamnia cinerea 11 Ki Hoe Guioa diplopetala 12 Ki Hoe Rege Leea angulata 13 Ki Kores Litsea cassiaefolia 14 Ki Segel Dillenia excelsa 15 Kopo Eugenia densiflora 16 Laban Vitex fubescens 17 Lampeni Ardisia humilis 18 Marong Cratoxylon formosum 19 Rukem Flacourtia rukam 20 Singa Depa Apama tomentosa 21 Songgom Barringtonia insignis 22 Sulangkar Leea indica 23 Umpang Ternstroemia polypetala

(Sumber: Data Primer 2009)

Hasil perhitungan dengan rumus Sørensen menunjukan indeks kesamaan

sebesar 50,55. Artinya tumbuhan yang hidup di Cagar Alam bagian Selatan

133

khususnya pada Blok Cimanggu dan Karang Pandan, memiliki kesamaan jenis yang

cukup tinggi. Jika dilihat dari rumus tersebut, Habitat pada Blok Cimanggu dan

Karang Pandan tidak jauh berbeda yaitu hutan hujan tropis dataran rendah. Tetapi jika

dilihat dari kondisi fisik, terdapat beberapa parameter yang berbeda. Tumbuhan yang

tumbuh pada salah satu transek dapat dijadikan indikator. Tercatat Kangkung Laut

(Ipomea pescaprae) hanya ditemukan pada Transek Karang Pandan dengan substrat

pasir dan kondisi toleran air laut.

4.4.2 Keanekaan dan Perataan

Indeks keanekaan dan perataan yang berada pada kedua transek penelitian

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.16 Perbandingan Parameter Indeks Keanekaan dan Indeks Perataan Pada

Kedua Transek Penelitian Berdasarkan Stratum

Lokasi TC TKP TC TKP Stratum/Parameter Ĥ Ĵ A 0.019 0.018 0.003 0.003 B 0.154 0.225 0.024 0.035 C 0.319 0.245 0.050 0.038 D 0.346 0.262 0.054 0.040 E 0.346 0.273 0.054 0.042

Dimana :

TC : Transek Cimanggu TKP : Transek Karang Pandan

Ĥ : Indeks Keanekaan Ĵ : Indeks Kerataan

(Sumber : Data Primer 2009)

Indeks Ĥ merupakan jumlah total perbandingan antara jumlah individu setiap

jenis dengan jumlah individu yang ditemukan di dalam lokasi penelitian. Hasil yang

134

diperoleh dengan menggunakan Indeks Keanekaan Shannon-Wiener (1949) terlihat

jelas perbedaan keanekaan pada masing-masing stratum. Secara keseluruhan, hasil

yang diperoleh dari kedua transek melihatkan bahwa Transek Cimanggu memiliki

nilai keanekaan yang lebih tinggi dibanding Transek Karang Pandan. Walaupun

demikian, Transek Karang Pandan memiliki keanekaan tumbuhan yang tinggi pada

Stratum B.

Stratum A pada Transek Cimanggu hampir sama nilai keanekaannya dengan

Transek Karang Pandan dimana selisih nilainya 0,001. Tumbuhan penyusun Stratum

A pada kedua lokasi masing-masing berjumlah dua individu yang berbeda.

Berbeda dengan Stratum B, Transek Karang Pandan memiliki nilai keanekaan

yang tinggi dibanding Transek Cimanggu. Hal ini disebabkan karena tumbuhan

penyusun Stratum B pada Transek Karang Pandan lebih banyak dan beragam. Hal ini

didukung oleh kondisi substrat yang berbeda dimana terdapat pasir, bebatuan dan

tanah.

Nilai keanekaan tumbuhan tertinggi penyusun Stratum C ditemukan pada

Transek Cimanggu sebesar 0,319. Terdapat 116 individu dari 23 jenis tumbuhan yang

berada pada Transek Cimanggu. Kondisi ini akan menyebabkan tingginya tingkat

persaingan pada periode waktu berikutnya untuk menggantikan jenis-jenis yang

berada pada Stratum B. Kondisi ini dijawab oleh tumbuhan penyusun pada Stratum B

Transek Cimanggu. Ditemukan 10 jenis dari Stratum C yang tumbuh pada Stratum B,

13 jenis tumbuhan Stratum C tidak bisa melanjutkan pertumbuhan sampai Stratum B.

Tingkat keanekaan yang menonjol juga ditemukan pada tumbuhan Stratum D dan E.

135

Indeks perataan kedua transek pada Stratum D dan Stratum E mununjukan

nilai yang tinggi. Hal ini menandakan bahwa semakin merata jumlah individu pada

setiap jenis dalam komunitas tersebut.

4.4.3 Struktur Tumbuhan

Kesamaan struktur tumbuhan pada kedua lokasi terdapat pada struktur

vertikal, yaitu terdapat lima stratum dan enam kategori tumbuhan. Tegakan tumbuhan

kedua lokasi penelitian memperlihatkan tipe arsitektur dari masing-masing tumbuhan.

Penutupan kanopi tumbuhan akan mempengaruhi tingkat dominansi pada struktur

horizontal.

4.4.3.1 Struktur Vertikal Kedua Transek

Tegakan tumbuhan penyusun Transek Cimanggu lebih beragam dibandingkan

Transek Karang Pandan. Struktur vertikal pada Transek Cimanggu terlihat lebih rapat

dan keanekaan jenisnya melimpah sehingga mempengaruhi luas penutupan tajuk dari

masing-masing tumbuhan yang menyebabkan sinar matahari sulit menembus lantai

hutan.

Struktur vertikal pada Transek Karang Pandan terlihat lebih terbuka.

Tumbuhan pada lokasi ini rata-rata memiliki ketinggian antara 17-20 m serta

keanekaan jenisnya pun lebih tinggi dibandingkan dengan Transek Cimanggu.

Terbukanya tegakan tumbuhan penyusun Stratum C dan Stratum D pada

Transek Karang Pandan disebabkan oleh kegiatan manusia. Aktivitas ini lambat laun

akan merusak struktur vertikal secara menyeluruh. Dapat diperkirakan dengan

136

terbukanya ruang pada Stratum C dan D ini disebabkan oleh pemanfaatan kayu

sebagai bahan bakar. Terlihat banyaknya kayu hangus sisa-sisa pembakaran dari jenis

Kopo dan Laban. Menurut nelayan sekitar, kayu tersebut dimanfaatkan untuk

menghangatkan badan pada saat menunggu pancingan. Selain itu, jenis Kopo dan

Laban yang terdapat pada daerah Karang Pandan ini sangat tahan lama

pembakarannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Pengaruh lain terhadap

perbedaan tegakan pada kedua transek adalah ketinggian dan substrat.

4.4.3.2 Struktur Horizontal Kedua Transek

Indeks Nilai Penting diperoleh dari beberapa parameter, diantaranya

frekuensi, dominansi dan kerapatan. Struktur horizontal pada kedua transek ini

melihatkan tingkat dominansi masing-masing tumbuhan. Fungsi INP pada kedua

transek adalah untuk mengetahui tingkat dominansi masing-masing tumbuhan (Tabel

4.17). Hasil pengukuran tingkat dominansi dilakukan dengan cara menghitung luas

tajuk yang telah dikonversikan ke bidang datar dan diameter batang setinggi dada.

Tabel 4.17 Indeks Nilai Penting Pada Kedua Transek Untuk Setiap Kategori

Kategori Cimanggu Karang Pandan

Nama Jenis INP Nama Jenis INP

Pohon Vitex fubescens 148 Phoebe excelsa 174

Cratoxylon formosum 152 Dillenia indica 126

Tiang

Alstonia villosa 7,85 Guioa diplopetala 11,34

Syzygium lineatum 26,98 Ficus indica 18,80

Rhodamnia cinerea 47,14 Eugenia densiflora 85,98

Diospyros truncata 11,01 Vitex fubescens 32,03

Guioa diplopetala 7,85 Cratoxylon formosum 42,26

Dillenia excelsa 42,87 Pandanus bidur 65,58

Eugenia densiflora 21,09 Baccaurea racemosa 9,48

137

Kategori Cimanggu Karang Pandan

Nama Jenis INP Nama Jenis INP Vitex fubescens 67,65 Buchanania arborescens 13,26

Garcinia mangostana 7,70 Flacourtia rukam 14,19

Cratoxylon formosum 18,92 Ternstroemia polypetala 7,08

Flacourtia rukam 40,93

Pancang

Alstonia villosa 8,70 Alstonia villosa 14,16

Pinanga kuhlii 9,75 Barringtonia asiatica 21,81

Syzygium lineatum 8,05 Corypha gebanga 33,86

Acronychia laurifolia 11,84 Litsea resinosa 8,29

Terminalia catappa 11,45 Syzygium lineatum 3,73

Rhodamnia cinerea 37,65 Terminalia catappa 13,53

Euphorbia chasembila 11,39 Rhodamnia cinerea 13,68

Guioa diplopetala 8,64 Dillenia excelsa 14,26

Litsea cassiaefolia 6,41 Eugenia densiflora 99,14

Erioglossum rubiginosum 2,08 Vitex fubescens 9,67

Podocarpus neriifolius 11,67 Cratoxylon formosum 3,44

Debregeasia longifolia 5,29 Pandanus bidur 14,03

Dillenia excelsa 36,22 Flacourtia rukam 3,50

Ficus variegata 2,45 Ternstroemia polypetala 46,91

Eugenia densiflora 16,67

Vitex fubescens 11,02

Ardisia humilis 3,57

Garcinia mangostana 28,40

Cratoxylon formosum 11,43

Flacourtia rukam 14,40

Barringtonia insignis 6,17

Leea indica 4,17

Ternstroemia polypetala 32,58

Anakan

Alstonia villosa 12,56 Alstonia villosa 40,5

Grewia paniculta 6,33 Morinda citrifolia 17,19

Litsea resinosa 12,56 Litsea resinosa 4,29

Syzygium lineatum 6,99 Rhodamnia cinerea 42,98

Acronychia laurifolia 2,16 Desmodium umbellatum 3,62

Sauropus rhamnoides 2,49 Guioa diplopetala 5,10

Rhodamnia cinerea 9,40 Litsea cassiaefolia 4,51

Tetracera scandens 20,98 Debregeasia longifolia 4,54

Aporosa sphaeridophora 3,74 Dillenia excelsa 32,60

138

Kategori Cimanggu Karang Pandan

Nama Jenis INP Nama Jenis INP Guioa diplopetala 2,49 Eugenia densiflora 60,65

Leea angulata 4,99 Cratoxylon formosum 19,96

Litsea cassiaefolia 44,43 Calophyllum inophyllum 3,62

Erioglossum rubiginosum 1,25 Flacourtia rukam 9,43

Stephania capitata 1,25 Ternstroemia polypetala 50,97

Podocarpus neriifolius 2,92

Debregeasia longifolia 4,65

Dillenia excelsa 8,39

Ardisia humilis 10,40

Garcinia mangostana 5,99

Cratoxylon formosum 2,83

Flacourtia rukam 15,36

Leea indica 2,49

Ternstroemia polypetala 11,92

Tumbuhan Lantai

Rapanea sp. 26,24 Rapanea sp. 19,4

Tetrastigma lanceolarium 10,74 Tetrastigma lanceolarium 4,50

Agalmyla sp. 23,57 Agalmyla sp. 17,73

Tetrastigma papillosum 1,25 Tetrastigma papillosum 4,32

Pandanus furcatus 6,33 Crinum asiaticum 10,52

Amorphophallus oncophyllus 2,16 Renealmia sp. 5,54

Cyperus sp, 7,42 Valeriana hardwickii 5,54

Mariscus compactus 10,92 Ipomoea pes-caprae 12,05

Asplenium nidus 6,33 Macaranga javanica 4,58

Apama tomentosa 15,36 Hedyotis herbacea 12,63

Apama tomentosa 3,5 Keterangan : Jenis : INP terendah Jenis : INP tertinggi (Sumber: Data Primer 2009)

Jenis Marong memiliki INP tertinggi kategori pohon pada Transek Cimanggu

dengan nilai 152. Sedangkan pada Transek Karang Pandan INP tertinggi pada jenis

Ki Taleus dengan nilai 174. Tingginya nilai penting yang berada dalam kedua transek

ini dipengaruhi dari morfologi tumbuhan tersebut, yaitu luas penampang batang dan

tajuknya.

139

Nilai penting tertinggi kategori tiang pada Transek Cimanggu adalah jenis

Laban dengan nilai 67,65. Pada Transek Karang Pandan, Kopo adalah jenis yang

memiliki INP tertinggi dengan nilai 85,96. Keberadaan jenis tersebut tidak terlepas

dari tajuk dan batang saja, tetapi jumlah kehadirannya lebih banyak dibandingkan

jenis lain yang berada pada masing-masing transek. Selain itu, jenis Kopo juga

tercatat memiliki nilai penting tertinggi pada kategori pancang dengan nilai 99,14

pada Transek Karang Pandan.

Kategori Pancang pada Transek Cimanggu dengan INP tertinggi, ditemukan

pada jenis Ki Andong dengan nilai 37,65. Kehadiran Ki Andong pada kategori

pancang yang terdapat di Transek Cimanggu sangat dominan, sehingga

mempengaruhi nilai pentingnya.

Pada kategori anakan, jenis Ki Kores memiliki nilai penting yang signifikan

dibandingkan jenis lain, yaitu sebesar 44,43. Hal ini terlihat pada gambar 4.1 dan 4.2,

bahwa Ki Kores sangat terlihat mendominasi Transek Cimanggu. Pengaruh ekologi

dari jenis ini memperlihatkan ketahanan yang tinggi untuk melakukan regenerasi

pada tahap berikutnya. Peluang terjadinya erosi pada Transek Cimanggu diperkecil

oleh kehadiran jenis ini. Kategori anakan pada Transek Karang Pandan dengan INP

tertinggi adalah jenis Kopo dengan nilai 60,65.

Jenis Areuy Gadel merupakan kategori tumbuhan lantai pada Transek

Cimanggu dengan INP tertinggi, yaitu sebesar 26,24. Jenis ini hampir ditemukan

pada setiap plot penelitian. Berbeda pada Transek Karang Pandan, jenis yang

memiliki INP tertinggi adalah jenis Areuy Ki Cacing dengan nilai 17,73. Areuy

Gadel dan Areuy Ki Cacing diduga memiliki asosiasi yang erat didalam kedua

140

transek. Gambar profil diagram melihatkan asosiasi dengan tingkat kehadiran kedua

jenis tersebut.

141

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :

1. Struktur tumbuhan Cagar Alam bagian Selatan Pananjung merupakan tipe hutan

hujan tropis yang terdiri atas 5 (lima) stratum dan lima kategori.

2. Jenis yang ditemukan pada stratum A adalah Phoebe excelsa dan Dillenia indica.

Jenis yang ditemukan pada stratum B adalah Diospyros truncata dan Ficus

indica. Jenis yang hanya ditemukan pada stratum C adalah Terminalia catappa,

Pinanga kuhlii dan Barringtonia asiatica. Jenis yang hanya ditemukan pada

stratum E terdiri atas Rapaena sp., Tetrastigma lanceolarium, Agalmyla sp.,

Grewia paniculata, Tetracera scandens, asplenium nidus, Valeriana hardwickii,

Ipomoea pes-caprae, Macaranga javanica, Hedyotis herbacea, Wedelia biflora

dan Apama tomentosa. Stratum D tidak ditemukan jenis yang khusus.

3. Terdapat 46 jenis, 43 marga dan 28 suku penyusun Transek Cimanggu.

Sedangkan pada Transek Karang Pandan terdapat 45 jenis, 40 marga, dan 27

suku. Dari kedua lokasi transek yang berbeda, diperoleh kesamaan tumbuhan

dengan nilai 50,55%. Jenis tumbuhan yang berada dalam kedua transek hampir

homogen. Perbedaan dapat dilihat dari struktur ruang dari vegetasi sangat

dipengaruhi oleh faktor fisik berupa ketinggian lokasi, salinitas, angin, substrat

dan masyarakat sekitar.

142

4. Pada kategori anakan yang menyusun Transek Cimanggu, jenis Litsea

cassiaefolia memiliki INP (Indeks Nilai Penting) sebesar 44,43. Sedangkan pada

kategori pohon, ditemukan pada jenis Cratoxylon formosum dengan nilai 151,54.

Jenis Euginia densiflora yang memiliki INP tertinggi dengan nilai 60,65 pada

kategori anakan Transek Karang Pandan. Sedangkan kategori pohon Transek

Karang Pandan adalah jenis Phoebe excelsa dengan nilai sebesar 174.

5.2 Saran

1. Struktur tumbuhan Cagar Alam bagian Selatan akan lebih terdeskripsikan dengan

lengkap apabila dilakukan penelitian tentang keanekaan, taksonomi dan

kelimpahan jenis tumbuhan tingkat tinggi dan tumbuhan tingkat rendah yang

berada di Cagar Alam Pananjung Pangandaran.

2. Hasil penelitian diketahui adanya kemunduran kondisi tumbuhan, untuk itu perlu

diadakannya pengawasan dan penelitian secara rutin sehingga hutan di Cagar

Alam Bagian Selatan Pananjung Pangandaran dapat terjaga dengan baik.

143

DAFTAR PUSTAKA

Backer, CA and Bakkuinzen v/d Brink RC Jr. 1967. Flora of Java, Vol III. Wolter-

Noordhoff NV. Groningen.

Cronquist, Arthur. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering

Plants. Columbia Univerity Press:New York.

Dahuri, Rokhmin, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber

Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya

Paramita.

Daubenmire, R. 1968. Plant Communities, A Textbook of Plant Synecology. Harper

and Row Publisher, New York Evanston and London.

Deshmukh, I. 1991. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Dumbois, M. and Ellenberg. 1974. Aims and Methods of vegetation Ecology. John

Wiley and Sons Inc. New York.

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung : Institut Teknologi

Bandung.

Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Frick, H. Suskiyanto, B.FX.1998. Dasar-Dasar Eko-arsitektur. Kansius. Yogyakarta

: Soegijapranata University Press.

144

Hardiansyah. 2004. Skripsi: Hubungan Antara Distribusi Jenis Tumbuhan pada

Vegetasi Lantai Hutan dengan Beberapa Faktor Lingkungan yang Diukur.

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Padjadjaran, Bandung.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Irwanto. 2007. Tesis: Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan

Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi

Maluku. Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Irwanto. 2008. Pengukuran Biodiversitas. URL :

http://www.irwantoshut.com/

(Dikunjungi pada tanggal 26 Mei 2009)

Musyafa. 2005. Journal Biodiversitas Vol.6, No.1;Hal 63-65. ISSN:1412-033X.

Peranan Makrofauna Tanah dalam Proses Dekomposisi Serasah Acacia

mangium Willd. Laboratorium Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Nashrrullah, S., Darmawan, Hadi, F., Budi Harto, Wikantika, K. 2008. Journal :

Analisis Kelembaban Tanah Dengan Landsat ETM Menggunakan Metode

TVDI (Temperature-Vegetation Dryness Index). Center for Remote Sensing,

Institute of Technology Bandung (ITB).

Oldeman, RAA. 1979. Scale Drawing and Architectural Analysis of Vegetation.

Institut of Ecology Padjadjaran University, Bandung. LH Departement of

Silviculture Agricultural University.

145

Polunin, N. 1990. Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Yogyakarta :

Gadjah Mada University Press.

Resosoedarmo, S. Kartawinata, K. Soegiarto, A. 1988. Pengantar Ekologi. Bandung

: CV Remaja Karya.

Soegianto, A. 1994. Ekologi kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas.

Jakarta : Penerbit Usaha Nasional.

Soerianegara, I. dan Indrawan, A. 1983. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor : Institut

Pertanian Bogor.

Tjitrosoepomo, G. 1998. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Saida Rasnovi. 2006. Disertasi : Ekologi Regenerasi Tumbuhan Berkayu

Pada Agroforest Karet. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,

Bogor.