senyawa pops di atmosfer: toxaphene

12
SENYAWA POPs DI ATMOSFER: TOXAPHENE Anissa Rizky Faradilla Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Arsitektur Lansekap Dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti. Jl. Kyai Tapa No.1, Gedung K, Jakarta 11440, Indonesia E-mail : [email protected] Abstract Persistent Organic Pollutants (POPs) are organic compounds that can last a relatively long time in the environment because of the difficulty of these compounds are degraded through chemical processes , biological , and photolysis. One type a dangerous POPs is Toxaphene. Toxaphene was first introduced in 1947 and was probably the most heavily used pesticide in the United States during the 1970s after DDT was banned. Measurement of POPs including toxaphene can be done by using the Global Air Passive Sampling method ( GAPS ), Tree Bark Sampling Procedure, and High Volume Air Sampling method. The results showed concentrations of endosulfan compounds (I endo, endo II, and endoSO4) measured at Kototabang Hill is the highest, includes 45.5% in 2005 and jumped to 76.4% in 2006 of total concentrations of POPs measured. In an effort to control POPs including toxaphene, organized by the Stockholm convention. Stockholm Convention on POPs is an international agreement that was initiated by the Governing Council of the United Nations Environment Programme ( UNEP ) as main efforts in addressing POPs and wary at the same time improve human health and the environment . As a form of concern about the use of POPs, Indonesia also signed the Stockholm Convention, and is currently in the process of ratification is one of the requirements is the preparation of the National Implementation Plan documents ( NIP , the National Implementation Plan ) which was passed by the government . Keywords: POPs, Toxaphene, Passive Air Sampler,Tree Bark sampling, High Volume Sampler, Stockholm Convention Abstrak Persistent Organic Pollutants (POPs) merupakan senyawa organik yang relatif dapat bertahan lama di lingkungan karena sulitnya senyawa-senyawa ini terdegradasi baik melalui proses kimia, biologi, dan fotolisis. Salah satu jenis POPs yang berbahaya adalah Toxaphene. Toxaphene pertama kali diperkenalkan pada tahun 1947 dan mengalami kenaikan produksi sebagai pestisida pada tahun 1960 setelah DDT dilarang di AS. Pengukuran POPs termasuk toxaphene dapat dilakukan dengan menggunakan 3 metode, yaitu metode Global Air Passive Sampling (GAPS), metode Tree Bark Sampling Procedure, dan metode High Volume Air Sample. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi senyawa endosulfan (endo I, endo II, dan endoSO4) yang terukur di Bukit Kototabang merupakan yang tertinggi, mencakup 45,5% pada tahun 2005 dan melonjak menjadi 76,4% pada tahun 2006 dari total konsentrasi POPs yang terukur. Sebagai upaya pengendalian senyawa POPs termasuk toxaphene, diselenggarakan konvensi Stockholm. Konvensi Stockholm tentang POPs adalah sebuah perjanjian internasional yang diprakarsai oleh the Governing Council of the United Nations Environment Programme (UNEP) sebagai usaha utma dalam menyikapi dan mewaspadai POPs sekaligus meningkatkan taraf kesehatan manusia dan lingkungan. Sebagai bentuk keprihatinan tentang penggunaan senyawa POPs, Indonesia juga ikut menandatangani Konvensi Stockholm, dan saat ini sedang dalam proses  ratifikasi yang salah satu persyaratannya adalah penyusunan dokumen Rencana Penerapan Nasional (NIP, National Implementation Plan) yang disahkan  oleh pemerintah. 1. Pendahuluan Persistent Organic Pollutants (POPs) merupakan senyawa organik yang relatif dapat bertahan lama di lingkungan karena sulitnya senyawa- senyawa ini terdegradasi baik melalui proses kimia, biologi, dan fotolisis. Senyawa ini sukar larut di dalam air tetapi cenderung larut dalam lemak. Oleh karena sifatnya ini, POPs cenderung bersifat akumulatif dan selalu terdapat di lingkungan. Selain itu, senyawa ini juga bersifat semi volatil sehingga dapat berada dalam fase uap ataupun terserap di dalam partikel debu, sehingga POPs dapat menempuh jarak yang jauh di udara (long-range air transport) sebelum akhirnya terdeposisi di bumi (Ritter et al., 2007). Pada tahun 2001, United Nations Environment Programme (UNEP) melalui sebuah konvensi yang dilaksanakan di Stockholm, Swedia, melahirkan suatu persetujuan mengenai pengendalian emisi POPs yang berbahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan (Ritter et al, 2005). Awalnya, ada 12 senyawa kimia yang diklasifikasikan sebagai POPs berdasarkan sifatnya yang resisten di lingkungan, bioakumulasi di dalam makhluk hidup, dan memiliki toksisitas yang tinggi (Rodan et al., 1999). Dari 12 senyawa tersebut, 1

Upload: trisakti

Post on 28-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SENYAWA POPs DI ATMOSFER: TOXAPHENE

Anissa Rizky Faradilla

Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Arsitektur Lansekap Dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti.Jl. Kyai Tapa No.1, Gedung K, Jakarta 11440, Indonesia

E-mail : [email protected]

AbstractPersistent Organic Pollutants (POPs) are organic compounds that can last a relatively long time in the environment because of the difficulty of these compounds are degraded through chemical processes , biological , and photolysis. One type a dangerous POPs is Toxaphene. Toxaphene was first introduced in 1947 and was probably the most heavily used pesticide in the United States during the 1970s after DDT was banned. Measurement of POPs including toxaphene can be done by using the Global Air Passive Sampling method ( GAPS ), Tree Bark Sampling Procedure, and High Volume Air Sampling method. The results showed concentrations of endosulfan compounds (I endo, endo II, and endoSO4) measured at Kototabang Hill is the highest, includes 45.5% in 2005 and jumped to 76.4% in 2006 of total concentrations of POPs measured. In an effort to control POPs including toxaphene, organized by the Stockholm convention. Stockholm Convention on POPs is an international agreement that was initiated by the Governing Council of the United Nations Environment Programme ( UNEP ) as main efforts in addressing POPs and wary at the same time improve human health and the environment . As a form of concern about the use of POPs, Indonesia also signed the Stockholm Convention, and is currently in the process of ratification is one of the requirements is the preparation of the National Implementation Plan documents ( NIP , the National Implementation Plan ) which was passed by the government .

Keywords: POPs, Toxaphene, Passive Air Sampler,Tree Bark sampling, High Volume Sampler, Stockholm Convention

AbstrakPersistent Organic Pollutants (POPs) merupakan senyawa organik yang relatif dapat bertahan lama di lingkungan karena sulitnya senyawa-senyawa ini terdegradasi baik melalui proses kimia, biologi, dan fotolisis. Salah satu jenis POPs yang berbahaya adalah Toxaphene. Toxaphene pertama kali diperkenalkan pada tahun 1947 dan mengalami kenaikan produksi sebagai pestisida pada tahun 1960 setelah DDT dilarang di AS. Pengukuran POPs termasuk toxaphene dapat dilakukan dengan menggunakan 3 metode, yaitu metode Global Air Passive Sampling (GAPS), metode Tree Bark Sampling Procedure, dan metode High Volume Air Sample. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi senyawa endosulfan (endo I, endo II, dan endoSO4) yang terukur di Bukit Kototabang merupakan yang tertinggi, mencakup 45,5% pada tahun 2005 dan melonjak menjadi 76,4% pada tahun 2006 dari total konsentrasi POPs yang terukur. Sebagai upaya pengendalian senyawa POPs termasuk toxaphene, diselenggarakan konvensi Stockholm. Konvensi Stockholm tentang POPs adalah sebuah perjanjian internasional yang diprakarsai oleh the Governing Council of the United Nations Environment Programme (UNEP) sebagai usaha utma dalam menyikapi dan mewaspadai POPs sekaligus meningkatkan taraf kesehatan manusia dan lingkungan. Sebagai bentuk keprihatinan tentang penggunaan senyawa POPs, Indonesia juga ikut menandatangani Konvensi Stockholm, dan saat ini sedang dalam proses  ratifikasi  yang salah satu persyaratannya adalah penyusunan dokumen Rencana Penerapan Nasional (NIP, National Implementation Plan) yang disahkan  oleh pemerintah.

1. Pendahuluan Persistent Organic Pollutants (POPs)

merupakan senyawa organik yang relatif dapat bertahan lama di lingkungan karena sulitnya senyawa-senyawa ini terdegradasi baik melalui proses kimia, biologi, dan fotolisis. Senyawa ini sukar larut di dalam air tetapi cenderung larut dalam lemak. Oleh karena sifatnya ini, POPs cenderung bersifat akumulatif dan selalu terdapat di lingkungan. Selain itu, senyawa ini juga bersifat semi volatil sehingga dapat berada dalam fase uap ataupun terserap di dalam partikel debu, sehingga POPs dapat menempuh jarak yang jauh di

udara (long-range air transport) sebelum akhirnya terdeposisi di bumi (Ritter et al., 2007). Pada tahun 2001, United Nations Environment Programme (UNEP) melalui sebuah konvensi yang dilaksanakan di Stockholm, Swedia, melahirkan suatu persetujuan mengenai pengendalian emisi POPs yang berbahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan (Ritter et al, 2005). Awalnya, ada 12 senyawa kimia yang diklasifikasikan sebagai POPs berdasarkan sifatnya yang resisten di lingkungan, bioakumulasi di dalam makhluk hidup, dan memiliki toksisitas yang tinggi (Rodan et al., 1999). Dari 12 senyawa tersebut,

1

sembilan diantaranya merupakan senyawa yang terkandung dalam pestisida, yaitu aldrin, chlordane, DDT, dieldrin, endrin, heptachlor, hexachlorobenzene, mirex, dan toxaphene. Satu senyawa merupakan hasil dari industri kimia, yaitu polychlorinated biphenyls (PCB), sedangkan dua senyawa, yaitu polychlorinated dibenzo-p-dioxins dan polychlorinated dibenzofurans merupakan hasil samping dari industri kimia (Rodan et al, 1999).

Keberadaan POPs di alam, baik yang terkandung di daratan, perairan, dan atmosfer, sudah menjadi perhatian para peneliti. Hal ini terkait dengan sifat POPs yang dapat bertahan lama di lingkungan dan juga tingkat toksisitasnya yang tinggi, sehingga keberadaan POPs menjadi masalah yang pelik, baik bagi lingkungan maupun makhluk hidup. Penelitian yang dilakukan Simonich dan Hites (1995) pada lebih dari 200 sampel kulit kayu yang dikumpulkan dari 90 lokasi di seluruh dunia menunjukkan konsentrasi POPs yang cukup tinggi di hampir semua jenis lokasi pengambilan sampel, baik di negara-negara industri maju maupun di negara berkembang. Bahkan, meskipun beberapa senyawa seperti DDT dan γ-HCH sudah dilarang penggunaannya di banyak negara (Semeena & Lammel, 2005), namun konsentrasi yang terukur masih cukup signifikan. Sementara itu, ancaman senyawa POPs bagi makhluk hidup adalah sifat bioakumulatifnya di dalam jaringan lemak sehingga konsentrasi senyawa ini dapat bertambah melalui proses rantai makanan (Pozo et al., 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee et al. (2006) memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara tingginya konsentrasi POPs pada penderita penyakit diabetes.

Terdistribusinya konsentrasi POPs hingga ke daerah yang bukan sumbernya dipengaruhi oleh kemampuan POPs menempuh jarak yang jauh di atmosfer sebagai akibat tingkat volatilitasnya. Senyawa POPs yang bersifat semi volatil menyebabkannya dapat berpindah baik dalam bentuk gas ataupun dalam bentuk partikelnya. POPs yang lebih volatil, yaitu golongan organoklorida, cenderung berpindah dalam bentuk gas sehingga penyebarannya lebih terbatas ke daerah yang tidak terlalu jauh dari sumber emisinya, sementara POPs yang kurang volatil seperti golongan senyawa hidrokarbon poliaromatik mengalami perpindahan sebagai partikel yang bergerak bersamaan dengan aliran massa udara (Fernández & Grimalt, 2003).

Salah satu jenis POPs yang berbahaya adalah Toxaphene. Toxaphene adalah nama dagang untuk pestisida organoklorin yang terdiri dari campuran setidaknya 670 diklorinasi camphenes (C10H16Cl2) dengan kandungan klorin keseluruhan 67-69% berat. Sebagian besar senyawa ditemukan di Toxaphene memiliki rumus kimia mulai dari C10H11Cl5 sampai C10H6Cl12, dengan formula rata-rata C10H10Cl8. Bobot rumus senyawa ini berkisar 308-551 gram / mol.

Rumus rata-rata teoritis memiliki nilai 414 gram / mol. Karena sifat lipofilik dan volatilenya, bahan kimia ini dapat terakumulasi dalam hewan dan jaringan manusia dan terus menjadi kontaminan utama dalam laut dan biota air tawar (Gray Davis, Winston H. Hickox, 2003).

Toxaphene adalah campuran kompleks bahan kimia yang pembuatannya dimulai dengan pinus tar untuk membuat Camphene. Camphene itu kemudian dicampur dengan klorin. Campuran yang dihasilkan memiliki lebih dari 600 spesies kimia yang berbeda, tergantung pada sumber Camphene dan jumlah klorin ditambahkan. Biasanya, sekitar 200 bahan kimia utama untuk membuat toxaphene. Di lingkungan beberapa bahan kimia ini dapat menyebabkan kerusakan dengan cepat. Rata-rata waktu paruh untuk senyawa ini terdegradasi adalah sekitar 10-14 tahun.

Toxaphene digunakan terutama sebagai insektisida untuk kapas, jagung, biji-bijian kecil, buah-buahan, sayuran, dan kedelai serta untuk ektoparasit kontrol pada ternak misalnya, kutu, lalat, dan tungau kudis dan membunuh spesies ikan yang tidak diinginkan dalam danau dan sungai.

Toxaphene juga dapat dilepaskan ke lingkungan sebagai produk sampingan yang tidak disengaja dari proses manufaktur yang melibatkan klorinasi, seperti yang digunakan untuk pembuatan kertas dan pulp.

Sejarah Penggunaan ToxapheneToxaphene pertama kali diperkenalkan pada

tahun 1948, dan penggunaanya pertamakali sebagai insektisida pada tahun 1950 (Blair & Hoar Zahn, 1993; Agency for Toxic Substances and Disease Registry, 1998; FAO/UNEP, 1999). Toxaphene adalah salah satu insektisida yang paling banyak digunakan di Amerika Serikat, meskipun hanya digunakan secara terbatas di Kanada. Toxaphene digunakan terutama untuk mengendalikan serangga hama pada tanaman kapas, biji-bijian kecil, buah-buahan, sayuran, dan kedelai. Toxaphene juga digunakan untuk mengendalikan hama pada ternak dan membunuh spesies ikan yang tidak diinginkan dalam danau (Turner, W.V., Khalifa, S. & Casida, J.E, 1975).

Peningkatan produksi terjadi di Brunswick, Georgia terjadi pada akhir 1960 hingga 1970 awal ketika penggantian DDT dalam formulasi dikombinasikan dengan metil parathion. Toxaphene merupakan pestisida paling banyak diproduksi di Amerika Serikat dengan volume produksi maksimal 23.000 ton pada tahun 1973. Awal tahun 1970 Toxaphene atau campuran dari Toxaphene dengan rotenone digunakan secara luas di danau dan sungai untuk menghilangkan komunitas biologis yang dianggap merugikan untuk olahraga memancing. Namun tidak lama setelah itu, orang-orang menjadi khawatir tentang toksisitas yang terkandung dalam toxaphene (Turner, W.V., Khalifa, S. & Casida, J.E,

2

1975). Toxaphene dapat terakumulasi dalam organisme air dan tinggal di lingkungan selama bertahun-tahun.

Ketika Toxaphene menjadi kontaminan yang signifikan di Great Lakes pada akhir 1960-an, penggunaannya dibatasi dan akhirnya tersingkir di AS. Efek Toxaphene pada kesehatan manusia dan hewan menyebabkan larangan penggunaannya di Kanada dan Amerika Serikat pada tahun 1982. Namun, toxaphene masih digunakan di beberapa bagian dunia, terutama untuk mengendalikan serangga pada tanaman pisang dan nanas (Yang, C. & Chen, S. 1999).

Tabel 1.Identifikasi Sifat Fisik Dan Kimia Toxaphene

Keterangan Nilai InformasiBentuk Molekul

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Toxaphen.svg

Nama Kimia Toxaphene, campheclor, chlorinated camphene

Rumus kimia C10H10Cl8 (rata-rata mengandung komponen klorin 6-9)

Berat Molekul 414 (rata-rata)Nilai CAS 8001-35-2Kode limbah berbahaya EPA

P123

Nama umum Agricide Maggot Killer, Altox, Camphofene Huilex, Geniphene, Hercules 3956, Hercules Toxaphene, Motto, Penphen, Phenicide, Phenatox, Toxakil

Warna/Bentuk/Bau Kuning/lunak, padat, ringan/berbau

Titik leleh 65-90oCTekanan uap air 0,2-0,4 atau 4x10-6, 5x10-6,

3x10-7 mmHg pada 20oCKoefisien octanol air (Kow)

3,3 Log Kow

Berat Jenis 1,65 pada 25oCKelarutan dalam air

0,0003 gr/100 ml air

Sumber : Public Health Goals For Chemicals In Drinking Water,Toxaphene 2003

2. Metode Penelitian

Transportasi dan Penyebaran ToxapheneRute dari paparan potensi untuk Toxaphene adalah konsumsi, kontak kulit, dan inhalasi. Toxaphene ditemukan di banyak bagian dunia, meskipun tidak pernah digunakan di daerah itu. Toxaphene menguap ke udara dan melakukan perjalanan pada arus udara jarak jauh. Toxaphene tidak larut baik dalam air, sehingga hal ini sangat mungkin ditemukan di dalam tanah atau dalam sedimen di dasar danau atau sungai yang juga ditemukan dalam jaringan organisme akuatik. Toxaphene memasuki lingkungan dan bertahan untuk waktu yang lama karena bersifat persistant. Toxaphene memiliki waktu paruh sampai 14 tahun di dalam tanah (Swackhamer, D.L., Pearson, R.F. & Schlotter, S.P. 1998).

Atmosfer adalah media lingkungan hidup yang paling penting untuk pengangkutan Toxaphene. Dalam perjalananya juga dapat diangkut ke permukaan air dan tanah oleh deposisi basah dan kering. Akibatnya, Toxaphene dapat jatuh jauh dari lokasi pelepasan aslinya.

Meskipun pengunaannya telah dilarang di Amerika Serikat pada tahun 1982, namun pada tahun 2000, masih diperkirakan bahwa 15 juta kilogram toxaphene masih terkandung di udara, air dan tanah Amerika Utara dan bahwa lebih dari 25 % dari Toxaphene yang tersisa telah pindah melalui transportasi atmosfer jarak jauh ke wilayah Great Lakes, Amerika Utara (Swackhamer, D.L., Pearson, R.F. & Schlotter, S.P. 1998). Penelitian telah menunjukkan bahwa orang-orang di Kutub Utara Kanada yang mengkonsumsi ikan dan hewan laut sudah terpapar Toxaphene. Konsentrasi terbesar Toxaphene di lingkungan utara ditemukan dalam jaringan mamalia laut seperti paus dan anjing laut. Toxaphene bisa masuk ke badan air dari limpasan tanah dan juga dapat menguap dan diangkut ke badan air melalui atmosfer (Swackhamer, D.L., Pearson, R.F. & Schlotter, S.P. 1998). Toxaphene diserap oleh organisme terakumulasi dalam jaringan lemak dan telah terbukti mempengaruhi sistem saraf pusat dan hati.

Distribusi toxaphene di dalam tubuh manusia dan lingkungan dapat dilihat pada gambar 1 dan 2 berikut.

3

Gambar 1. Transportasi Toxaphene Di LingkunganSumber: http://andrypermana06.blogspot.com/2013/09/bab-ii-polusi.html

Gambar 2. Distribusi Toxaphene Pada Manusia

Sumber: Science and Technology 1(1):7-9. Suara Dari Bukit Kuto Tabang, Sumatera Barat

Metode PenelitianSecara umum, pengukuran POPs termasuk

toxaphene dapat dilakukan dengan menggunakan 3 metode yaitu:

1. Global Air Passive Sampling (GAPS)Pengukuran konsentrasi POPs di Stasiun

Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang telah dilakukan sejak bulan Maret 2005. Pengukuran ini dilakukan melalui kerjasama Stasiun Global Atmosfer Watch (GAW) Bukit

Kototabang melalui Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan Environment Canada sebagai bagian dari jaringan pasif sampling udara secara global (Global Air Passive Sampling Network). Sebagai stasiun referensi udara bersih di Indonesia dan digolongkan dalam kategori background area pada pengukuran konsentrasi POPs, menarik untuk dilihat bagaimana distribusi senyawa POPs baik secara global maupun spesifik di SPAG Bukit Kototabang.

4

Metode passive air samplerPengambilan sampel POPs dilakukan dengan metode passive air sampler menggunakan piringan PUF (Polyurethane Foam) yang berdimensi diameter 14 cm; tebal 1,35 cm; luas permukaan 365 cm2; berat 4,4 g; volume 207 cm3; kerapatan 0,0213 g cm-3. Piringan PUF diletakkan dalam sangkar dengan dua kubah berbentuk “piring terbang” (Gambar 3). Metode passive air sampler merupakan metode sampling udara dimana proses pengumpulan partikel diperoleh dari banyaknya partikel yang tertahan di dalam piringan PUF karena terbawa oleh angin (Harner et al., 2006). Periode sampling dilakukan tiap 3 bulan. Piringan PUF yang telah diletakkan selama 3 bulan kemudian dikemas di dalam wadah gelas yang ditutup rapat. Sampel kemudian dikirim ke Environment Canada untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis POPs meliputi senyawa-senyawa seperti α-HCH, γ-HCH, heptachlor, heptachlor epoxide, trans-chlordane, cis-chlordane, trans-nonachlor, endosulfan I, endosulfan II, endosulfan sulphate, dieldrin, p,p’-DDE, o,p’-DDE, p,p’-DDT, PCBs, aldrin, dan PBDEs. Analisis piringan PUF menggunakan Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS) yang lebih lanjut dijelaskan dalam Pozzo et al. (2004).

Gambar 3. Passive Air SamplerSumber: Science and Technology 1(1):7-9. Suara Dari

Bukit Kuto Tabang, Sumatera Barat

2. Tree Bark Sampling ProcedureStasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang menjalin kerjasama dengan Universitas Indiana-Amerika Serikat untuk melakukan pengambilan sampel senyawa POPs (Persistant Organic Pollutans) dari kulit kayu. Lokasi pengambilan sampling adalah area hutan di sekitar stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang. Peralatan yang dibawa adalah meteran, palu, pasak, timbangan, aluminium foil, kertas cetakan ukuran 10x10 cm, sabit, plastik clip untuk tempat sampel.

Metode Tree Bark Sampling Procedure Tahap awal pada proses sampling ini adalah

pemilihan pohon, pohon yang diambil secara visual lebih tinggi dari sekitarnya, ketinggian sampel pohon yang diambil kulit kayunya sekitar 1-1,5 m di atas permukaan tanah, dan jarak antar pohon yang diambil kulit kayunya masing-masing sekitar 50 m. Pohon yang diambil adalah pohon yang masih hidup/tumbuh bukan yang sudah ditebang.

Tahap kedua adalah pengambilan sampel kulit kayu. Kriteria sampel kulit kayu adalah berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10x10 cm, berat sampel kulit pohon tersebut minimal 100 gram dan dibungkus dengan aluminium foil. Setelah selesai kulit kayu ditimbang dimasukkan ke aluminium foil dan dikemas dalam plastik klip, dibungkus dalam paket dan dikirimkan ke alamat Amina Salamova di Amerika Serikat.

3. Melalui kerjasama dengan Pusarpedal (Pusat Sarana Pengendali Dampak Lingkungan) dan JESC (Japan Environmetal Sanitation Centre) pada 10-17 Desember 2012

Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang menjalin kerjasama dengan Pusarpedal (Pusat Sarana Pengendali Dampak Lingkungan/instansi di bawah Deputi VII, Kementrian Lingkungan Hidup) dan JESC (Japan Environmetal Sanitation Centre) mengadakan monitoring POPs.

Metode High Volume Air Sampler (HVAS)Perbedaan mendasar dari metode ini

dibandingkan kedua metode sebelumnya adalah pada metode ini sampel POPs diambil secara aktif menggunakan High Volume Air Sampler (HVAS) menggunakan pompa dan sampel PUF ditambahkan larutan standar (metode spiking) dengan larutan standar Surrogate.

Ada beberapa tahapan dalam melakukan monitoring POPs dengan metode ini:

o Perakitan HVASo Kalibrasi HVASo Preparasi Sampelo Proses Sampling

Untuk metode analisis yang digunakan untuk mengukur konsentrasi toxaphene, sangat bervariasi tergantung sampel yang digunakan seperti yang terlihat pada tabel 2 berikut:

5

Tabel 2. Analis Pengukuran Toxaphene

SampelMetode Pendahuluan Metode

analisisBatas sampel

terdeteksi Sumber

Udara Koleksi sampel udara dalam kotak sampling udara yang dilengkapi dengan prefilter dan etilena glikol; pengenceran etilena glikol dengan air dan di ekstraksi dengan heksana;ekstraksi prefilter dengan heksana; penyatuan ekstrak sebelum pengeringan

GC/ECD 0,234-0,926 µg/m3

Thomas and Nishioka 1985

Air Minum

Ekstraksi sampel dengan diklorometana, penghapusan air dan pertukaran pelarut metil-t-butil eter (Metode EPA 508)

GC/ECD atau GC/MC

0,001-0,01 µg/L

EPA 1987a

Air Limbah

Diekstrasi dengan dicholorometan GC/ECD 0,24 µg/L Hunt et al 1985

tanah Ekstraksi sampel dengan pelarut organik atau campuran pelarut organik, tergantung pada matriks sampel, diikuti oleh open-kolom, pembersihan kromatografi

GC/ECD atau GC/ECD

Tidak ada data EPA 2007a

ASI Manusia

Sentrifugasi sampel susu;pembekuan dan pengeringan konsentrat lemak;pembubaran dalam aseton dan pendinginan sampai -60°C;kembali pembubaran residu heksana dan pengadukan dengan H2SO4 pekat; pembersihan dengan menggunakan kolom silika gel

GC/ECD atau GC/NCIMS

100 µg/g Vaz dan Blomkvist 1985

Jaringan Ikan

Ekstraksi jaringan dengan campuran heksana dan aseton diikuti oleh ekstraksi kedua dengan heksana dan dietil eter; penguapan dan pembubaran ekstrak lipid dalam heksana; pengadukan ekstrak dengan H2SO4 untuk menghilangkan lipid

GC/NCIMS Tidak ada data Jansson dan Wildeqvist 1983

Jaringan Manusia

Maserasi jaringan menjadi bubur halus; penambahan Na2SO4 anhidrat dan aseton; filtrasi larutan dan penambahan air dan Na2SO4 jenuh metabolit); ekstraksi dengan kloroform; penambahan 5% KOH untuk ekstrak kloroform; ekstraksi dengan air; removal air (Na2SO4); penguapan dan pembubaran residu dalam aseton

TLC 1 µg/sampel Tewari dan Sharma 1977

Darah Manusia

Penambahan sampel ke dalam larutan encer H2SO4 dan 10% natrium tungstat; filtrasi larutan dan mencuci residu dengan air; removal air dengan (Na2SO4) dan ekstraksi dengan heksana; penyaringan ekstrak melalui anhidrat Na2SO4 dan penguapan sampai kering; pembubaran residu dalam aseton

TLC 1µg/sampel Tewari dan Sharma 1977

Ket : GC = Gas Chromatograph; ECD = Electron Capture Detector; TLC = Thin Layer Chromatograph; NCIMS = Negative Ion Chemical Ionization Mass Spectrometry; MC = Microulometry

6

3. HasilAnalisis sampel POPs memakan waktu lebih

kurang 18 bulan yang meliputi proses pengumpulan sampel, analisis laboratorium, sampai dengan publikasi data. Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data hasil pengukuran konsentrasi POPs di 53 lokasi (Tabel 3) pada tahun 2005, ditambah dengan data konsentrasi POPs di Bukit Kototabang tahun 2006. Data tersebut diperoleh dari hasil analisis sampel POPs yang dilakukan oleh Environment Canada. Data dari 53 lokasi sampel dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tipe masing-masing lokasi, yakni background, agricultural, rural, urban, dan polar. Tipe background untuk lokasi yang berada di daerah

terpencil dan jauh dari aktivitas manusia. Tipe agricultural merupakan daerah pedesaan yang berbasis pertanian. Tipe rural merupakan daerah pinggiran kota atau daerah pedesaan yang tidak berbasis pertanian. Tipe urban merupakan daerah perkotaan dan perindustrian. Tipe polar untuk daerah yang ada di bagian Kutub Utara dan Selatan. Konsentrasi POPs yang diperoleh dari tiap tipe sampling dibandingkan. Khusus untuk konsentrasi POPs di Bukit Kototabang, data yang digunakan adalah data hasil pengukuran tahun 2005 dan 2006 dimana untuk data tahun 2006, terdapat penambahan dua senyawa POPs yang diukur yaitu aldrin dan o,p’-DDE, sedangkan untuk PBDEs tidak dilakukan analisis.

Tabel 3. Lokasi sampling POPs tahun 2005 (dikelompokkan menurut tipe dan urutan garis lintang)

Sumber: Science and Technology 1(1):7-9. Suara Dari Bukit Kuto Tabang, Sumatera Barat

7

Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang dimasukkan dalam kategori background area. Hasil pengukuran konsentrasi POPs pada periode 2005 dan 2006 diperlihatkan oleh Tabel 4.

Pada tabel, terlihat bahwa nilai konsentrasi toxaphene sebesar 189,2 ug/m3 pada tahun 2005 dan menurun konsentrasi menjadi 2 ug/m3 pada tahun 2006. Sementara itu, POPs paling dominan konsentrasinya yang terukur di SPAG Bukit Kototabang adalah endosulfan I. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, golongan endosulfan merupakan POPs yang penggunaannya masih relatif tinggi sehingga sebanding dengan total emisi globalnya, konsentrasi senyawaan endosulfan (endo I, endo II, dan endoSO4) yang terukur di Bukit Kototabang merupakan yang tertinggi, mencakup 45,5% pada tahun 2005 dan melonjak menjadi 76,4% pada tahun 2006 dari total konsentrasi POPs yang terukur. Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat total konsentrasi POPs pada tahun 2006 mengalami penurunan dibanding konsentrasi pada tahun sebelumnya, yaitu lebih rendah 58,7%. Penurunan paling drastis terjadi pada senyawa α-HCH dan heptachlor epoxide.

Tabel 4. Konsentrasi POPs di SPAG Bukit Kototabang hasil pengukuran tahun 2005 dan 2006

Sumber: Environment Canada, N/A=tidak dilakukan analisis

4. PembahasanTinggi konsentrasi toxaphene di sekitar SPAG

Bukit Kototabang dikarenakan terdapat banyak lahan pertanian dan perkebunan, dan secara umum Indonesia sendiri merupakan negara agraris sehingga potensi emisi toxaphene yang digunakan sebagai pestisida cukup besar, mengingat sampai saat ini, Indonesia masih belum melarang penggunaan senyawa ini di bidang pertanian dan banyaknya kasus keracunan dan penyakit kanker yang disebabkan oleh senyawa ini (Anonim, 2008). Adanya penurunan konsentrasi toxaphene pada tahun 2006 dibanding tahun sebelumnya, belum diketahui secara pasti apakah penurunan ini terjadi karena emisi secara global, karena proses pengumpulan dan analisis data secara global untuk tahun 2006 masih terus dilakukan oleh Environment Canada. Telah disebutkan sebelumnya bahwa distribusi POPs dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi seperti suhu, arah, kecepatan angin, dan tekanan udara. Namun demikian, sulit untuk dipastikan apakah faktor-faktor tersebut juga menentukan

8

besarnya konsentrasi POPs yang terdistribusi termasuk toxaphene.

Dampak Toxaphene Toxaphene memiliki efek kesehatan negatif

pada manusia, termasuk penekanan pada sistem kekebalan tubuh, efek negatif pada sistem saraf pusat dan degenerasi ginjal dan hati pada paparan jangka panjang (Samosh, L.V. 1974). Toxaphene dapat masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru ketika manusia menghirup udara yang mengandung toxaphene, atau dapat juga melalui perut dan usus setelah makan makanan atau minum air yang mengandung toxaphene dan melalui kulit (Schwabe, U. & Wendling, I. 1967). Toxaphene menumpuk di lemak manusia, sehingga orang-orang yang paling berisiko adalah mereka mengkonsumsi jumlah besar dari jaringan lemak ikan, kerang atau mamalia laut (Smith, S.I., Weber, C.W. & Reid, B.L. 1970).

Studi pada hewan menunjukkan bahwa Toxaphene masuk ke dalam tubuh dengan cepat setelah terekspos (Allen, A.L., Koller, L.D. & Pollock, G.A. 1983). Karena Toxaphene tidak larut dalam air dan mudah berubah menjadi uap maka rute yang paling signifikan dari eksposur adalah melalui atmosfer yang mungkin akan terhirup. Selain itu, kontak dengan tanah yang terkontaminasi toxaphene juga dapat mengakibatkan eksposur yang signifikan bagi sebagian orang seperti, anak-anak. Toxaphene dapat masuk ke dalam tubuh lebih cepat jika diambil setelah makan berat dalam minyak karena minyak membantu Toxaphene bergerak dari perut ke dalam darah (Chernoff, N. & Carver, B.D. 1976).

Beberapa komponen Toxaphene sangat lipofilik dan memperburuk kerja metabolisme, komponen ini dapat terakumulasi dalam lemak tubuh. Dampak akut Toxaphene melalui makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa dan anak-anak dengan perkiraan dosis mematikan minimal 2 sampai 7 g , yang setara dengan 29-100 mg/kg untuk laki-laki dewasa. LD50 nilai dalam tikus adalah 80 mg / kg untuk perempuan dan 90 mg/kg untuk laki-laki. Efek hati dan ginjal serta periode kehilangan memori juga telah diamati dalam manusia setelah eksposur oral tunggal yang besar. Pada hewan, organ yang paling sensitif adalah hati. Toksisitas ke sistem saraf pusat, ginjal, dan kelenjar adrenal juga telah diamati. Toksisitas paparan kronis toxaphene dapat mengakibatkan kerusakan pada organ dan sistem hati, ginjal, adrenal, imunologi, dan neurologis. Paparan kronis Toxaphene mungkin menyebabkan perubahan hormonal. Beberapa efek samping dari Toxaphene yang tidak terjadi dengan paparan tunggal dapat terjadi akibat paparan berulang dengan total dosis kumulatif yang lebih rendah. Eksposur pada 0.06 mg / kg lebih dari 5 minggu menyebabkan pengurangan hormon adrenal, sedangkan dosis tunggal 16 mg / kg tidak tidak

menimbulkan efek. Wanita yang terkena Toxaphene akan memberikan dampak penyimpangan kromosom pada kultur limfosit daripada wanita yang tidak terpajan. Toxaphene memiliki potensi menyebabkan tumor kanker payudara pada wanita. Karena sifat toxaphene terakumulasi dalam tubuh jaringan, akibatnya, pada wanita hamil paparan yang terjadi sebelum kehamilan dapat berkontribusi pada ibu secara keseluruhan beban tubuh dan mengakibatkan paparan berkembang secara individual . Toxaphene dikenal akan cepat sampai ke ASI setelah paparan ibu hamil Oleh karena itu, perlu untuk mengurangi paparan anak-anak dan wanita subur untuk mengurangi potensi beban tubuh secara keseluruhan.

Pada awal 1990-an, konsentrasi tinggi Toxaphene ditemukan dalam jaringan ikan di beberapa danau Yukon, Columbia. Efek toksik utama Toxaphene pada hewan adalah pada sistem saraf (Crowder, L.A. & Dindal, E.F. 1974) . Ikan sangat sensitif dan menjadi hiperaktif, menderita kejang otot dan kehilangan keseimbangan mereka (Schmitt, C.J., Zajicek, J.L., May, T.W. & Cowman, D.F. 1999). Pada hasil studi yang diuji cobakan pada hewan, toxaphene tidak mengganggu kesuburan pada hewan percobaan di dosis yang diuji (sampai 25 mg/kg). Efek perkembangan merugikan yang terjadi adalah perubahan dalam enzim dalam ginjal dan hati serta tertundanya perkembangan tulang. Dampak merugikan lainnya dicatat dalam keturunan hewan maternal terkena termasuk perubahan histologis dalam hati, tiroid, dan ginjal (Schrader, T.J., Boyes, B.G., Matula, T.I., Héroux-Metcalf, C., Langlois, I. & Downie, R.H. 1998).

Tabel 5 menunjukkan rute paparan toxaphene dan dampaknya terhadap kesehatan.

Tabel 5. Jalur Toxaphene Masuk Tubuh, Toksisitas Dan Dampak Kesehatan

Senyawa POPs

Rute Paparan

Toksisitas Dampak Kesehatan

Toxaphene Ingesti, dari konsumsi makanan yang terkontaminasi, Air dan Udara yang terkontaminasi toxaphene

LD50 dari 740 mg/kg

Penyebab kanker pada manusia (USEPA), kerusakan hati, paru-paru, sistem syaraf dan kematian pada dosis yang besar

Sumber : WWF, 2005; Ritter et al 1995

Dampak Toxaphene Terhadap Perubahan Iklim

9

Kaitannya dengan perubahan iklim, penyebaran toxaphene di lingkungan akan semakin meluas. Dengan adanya perubahan iklim yang menyebabkan mencairnya es di kutub utara, maka senyawa toxaphene yang terbawa ke kutub oleh perjalanan jarak jauh karena distilasi global, yang semula tersimpan dalam es, maka akan ikut kembali ke perairan seiring dengan mencairnya es di kutub utara. Kembalinya toxaphene ke dalam perairan ini akan menyebabkan dampak panjang lagi penyebaran toxaphene di dalam air dan menyebabkan waktu paruh toxaphene semakin panjang. Upaya Pengendalian

Toxaphene adalah salah satu dari 12 bahan pencemar organik yang persisten, sedang dilakukan pertimbangan internasional dalam mengurangi atau menghilangkan toxaphene di bawah konvensi global (FAO/UNEP, 1999). Pada negosiasi bulan September 1999, pemerintah setuju untuk berpartisipasi dalam penghapusan penggunaan Toxaphene dan dua pestisida diklorinasi lainnya yaitu aldrin dan endrin. Kemudian pada Desember 2000, tiga pestisida diklorinasi lainnya juga telah dihapus, yaitu chlordane, heptaklor dan hexachlorobenzene (Hogue, 2000).

Pada tahun yang sama, toxaphene dianggap sebagai bahan berbahaya dan persyaratan khusus telah ditetapkan untuk menandai, pelabelan, dan mengangkut bahan ini oleh Environmental Protection Agency (EPA). Pada tahun 2000 EPA juga menetapkan tingkat kontaminan maksimum untuk toxaphene dalam air minum adalah 0,003 mg / L. Clean Air Act Juga telah menetapkan Emisi Standar Nasional Polutan Udara Berbahaya untuk toxaphene (EPA, Toxaphene Update: Impact on Fish Advisories, 1999)

Secara umum, sebagai upaya pengendalian senyawa POPs termasuk toxaphene, diselenggarakan konvensi Stockholm. Konvensi Stockholm tentang POPs adalah sebuah perjanjian internasional yang diprakarsai oleh the Governing Council of the United Nations Environment Programme (UNEP) sebagai usaha utama dalam menyikapi dan mewaspadai POPs sekaligus meningkatkan taraf kesehatan manusia dan lingkungan (United Nations Environmental Program, 2001; UNEP Chemicals 2001).

Sebagai langkah awal yang dilakukan UNEP adalah dengan membuat suatu penugasan internasional pada Mei 1995 untuk menginventarisir dan menganalis 12 macam POPs. Tugas tersebut sekaligus diimplementasikan dengan adanya usulan dari the Intergovernmental Forum on Chemical Safety (IFCS) untuk segera melaksanakan tindakan internasional sebagai langkah nyata dalam menyikapi POPs. Pada tanggal 22-23 Mei 2001 dihasilkannya Konvensi Stockholm dalam perundingan yang dibicarakan dalam Conference of Plenipotentiaries di Stockholm, Swedia sebagai bentuk jawaban dari keseriusan masyarakat

internasional dalam menyikapi maraknya POPs yang tertimbun dalam alam.

Konvensi Stockhom tentang POPs diratifikasi oleh 151 negara dunia dalam mewujudkan bentuk keprihatinan dan bentuk kesadaran akan arti pentingnya kesehatan manusia, terutama dalam negara berkembang.

(Wahyu, 2001) mengatakan bahwa, Konvensi Stockholm tentang POPs mewajibkan setiap negara anggota Konvensi untuk :

1. Mengupayakan tindakan untuk mengurangi atau menghentikan pelepasan dari produksi dan penggunaan secara sengaja POPs sebagai bahan (aldrin, klordan, DDT, dieldrin, endrin, heptaklor, mireks, toksafen, heksaklorobenzena, dan PCB);

2. Mengembangkan dan melaksanakan rencana tindak untuk mengidentifikasi sumber dan mengurangi pelepasan POPs tak sengaja (PCDD/polychlorinated dibenzo-p-dioxins, PCDF/polychlorinated dibenzofurans, PCB, dan HCB, selanjutnya diistilahkan sebagai UPOPs/unintentionalPOPs);

3.  Mengupayakan tindakan untuk mengurangi atau menghentikan pelepasan UPOPs;

4. Mengurangi/menghentikan pelepasan POPs dari timbunan bahan dan limbah;

5. Mempertukarkan informasi, menumbuhkan kesadaran, dan meningkatkan pendidikan masyarakat;

6. Mengembangkan strategi untuk mengidentifikasi, sedapat-dapatnya, timbunan dari semua jenis POPs dan produk yang mengandung POPs;

7. Melaksanakan penelitian, pengembangan, dan pemantauan; dan

8. Mengembangkan rencana untuk melaksanakan kewajibannya kepada Konvensi dan dalam waktu dua tahun setelah berstatus Para Pihak.Selain upaya preventif, upaya pengendalian

toxaphene yang telah terjadi, beberapa negara di Amerika telah menetapkan pelarangan untuk mengkonsumsi makanan laut bagi ibu hamil dan anak-anak. Pembatasan untuk mengkonsumsi makanan laut juga dilakukan untuk masyarakat tanpa perlakuan khusus, agar dampak penimbunan toxaphene di dalam jaringan manusia dapat diminimalisir.

Peran Indonesia Dalam PengendalianSebagai bentuk keprihatinan tentang

penggunaan senyawa POPs, Indonesia juga ikut menandatangani Konvensi Stockholm, dan saat ini sedang dalam proses  ratifikasi  yang salah satu persyaratannya adalah penyusunan dokumen Rencana Penerapan Nasional (NIP, National Implementation Plan) yang disahkan  oleh pemerintah. NIP diserahkan kepada pihak konferensi (COP, Conference of Parties)

10

dalam waktu dua tahun  setelah Indonesia mengikatkan diri pada Konvensi (Wahyu, 2001).

Republik Indonesia berkomitmen menyusun dokumen NIP ini sebagai kerangka kerja program dalam menyusun dan memformulasikan kebijakan, peraturan, kegiatan pembangunan kapasitas untuk kelembagaan maupun sumber daya manusia, program investasi, strategi, dan program yang memuat tindakan bagi pemenuhan kewajiban Konvensi dalam rangka mengurangi atau menghentikan pelepasan POPs di Indonesia. NIP disusun berdasarkan kesepakatan rencana tindak prioritas oleh stakeholder  (terdiri atas berbagai sektor, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat) pada bulan Maret 2005, dilanjutkan dengan serangkaian konsultasi dengan stakeholder sampai bulan November 2006.

Pemerintah Indonesia berketetapan melaksanakan NIP setelah Konvensi diratifikasi dengan target penghapusan POPs dan melibatkan semua stakeholder. Yang melatarbelakangi komitmen ini ialah (1) PCB (polychoro-byphenyls) dan HCB (hexachlorobenzene) masih digunakan di industri, dan residu POPs terdeteksi di lingkungan, (2) dampak akibat POPs belum dipahami oleh masyarakat luas, (3) kapasitas dan kemampuan infrastruktur dalam mengelola POPs masih terbatas.

Dengan meratifikasi Konvensi Stockholm, maka akan ada sejumlah manfaat diperoleh Indonesia dalam mengatasi ancaman POPs. Antara lain akan memperoleh fasilitas, baik dalam pengembangan rencana implementasi nasional yang sudah ada, maupun bagi pengembangan kapasitas untuk mengurangi, melenyapkan dan menghindari produk dan penggunaan POPs (Akar rumput, 2009).

Paulus Londo (2003) menambahkan, manfaat lain yang bila diperoleh dengan meratifikasi Konvensi Stockholm adalah terbuka kesempatan menggalang kerjasama secara global dan nasional dalam melindungi lingkungan hidup dan kesehatan manusia, memperoleh bantuan finansial dalam pengelolaan POPs, serta bantuan fasilitas bagi pengembangan sistem pengelolaan POPs secara komprehensif dan integratif.

Dalam skala nasional, upaya Indonesia dalam pengadalian POPs tertera dalam UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur kewenangan pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah. Pengelolaan lingkungan hidup antara lain terdiri atas pengaturan dan pengembangan kebijakan, pemanfaatan sumber daya alam, dan pengendalian kegiatan yang mempunyai dampak sosial, termasuk pengelolaan dan pengendalian bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbah B3. Sebagai implementasi dari UU ini telah diterbitkan PP No. 74/2001 tentang Pengelolaan B3. Peraturan ini mengatur pelarangan penggunaan 10 bahan kimia POPs di Indonesia. Selain itu telah ditetapkan Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang persyaratan teknis

pengolahan limbah B3 yang mengatur baku mutu untuk efisiensi penghancuran dan penghilangan senyawa POPs untuk insinerator. Parameter yang diatur adalah POHC (principle organic hazard constituents), PCB, PCDD, dan PCDF.

5. KesimpulanDari penelitian, maka dapat disimpulkan :

1. Distribusi POPs dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi seperti suhu, arah angin, kecepatan angin, dan tekanan udara

2. Pengukuran POPs termasuk toxaphene dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu: Metode Global Air Passive Sampling

(GAPS) Metode Tree Bark Sampling Procedure Metode High Volume Air Sampler

3. Dari hasil pemantauan, konsentrasi toxaphene yang terukur di SPAG Bukit Kototabang sebesar 189,2 ug/m3 pada tahun 2005 dan turun menjadi 2 ug/m3 pada tahun 2006

4. Pada tahun 2000 EPA juga menetapkan tingkat kontaminan maksimum untuk toxaphene dalam air minum adalah 0,003 mg / L.

5. Konsentrasi toxaphene lebih dari 740 mg/kg pada manusia dapat menyebabkan kanker.

6. Sebagai upaya pengendalian POPs, toxaphene khususnya, diselenggarakan Konvensi Stockholm yang telah diratifikasi oleh 151 negara, termasuk Indonesia.

6. Daftar Acuan[1] Akar Rumput, 2009. 10-16 Februari 2009[2] AnalyticalMethods.

Http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp94-c7.pdf.

[3] Bonefeld Jørgensen EC1, Autrup H, Hansen JC. 1997. Effect of toxaphene on estrogen receptor functions in human breast cancer cells. Aug;18(8):16514.

[4] Davis, Gray. 2003. Public Health Goals For Chemicals In Drinking, Toxaphene. Governor of the State of California

[5] Environmental Protection Agency. 1999. Toxaphene Update: Impact on Fish Advisories. Sept. (1-6)

[6] Environmental Protection Agency. 1999. Method 8276 Toxaphene and toxaphene congeners by gas chromatography/negative ion Chemical ionization mass spectrometry (gc-nici/ms)

11

[7] Kurniawan, Agusta (2013), Memantau POPs Dari Bukit Kuto Tabang. Science and Technology 1(1):7-9. Suara Dari Bukit Kuto Tabang, Sumatera Barat

[8] Nahas, Christian A. (2010). Distribusi Global Persistent Organic Pollutants (POPs). 2-4. Buletin Megasains Edisi Maret 2009

[9] Ritter, L., K.R. Solomon, J. Forget. 2007. Persistent Organic Pollutants: An Assessment ReportonDDT,Aldrin,Dieldrin,Endrin,Chlordane,Heptachlor,Hexachlorobenzene,Mirex,Toxaphene,Polychlorinated Biphenyls, Dioxins, and Furans. Canadian Network of Toxicologi Centres.

[10] Santoso, Wahyu. (2005). Urgensi Ratifikasi The 2001 Stockholm Convention On Persistent Organic Pollutants Bagi Indonesia. 1-2

[11] Toxaphene.http://monographs.iarc.fr/ENG/Monographs/vol79/mono79-19.pdf

[12] Potential For Human Exposure. http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp11-c6.pdf.

[13] Toxaphene. http://en.wikipedia.org/wiki/File:Toxaphen.svg

[14] Toxaphene and toxaphene congeners by gas chromatography/negative ion Chemical ionization mass spectrometry (gc-nici/ms). http://www.epa.gov/osw/hazard/testmethods/pdfs/8276.pdf. Method 8276.

[15] United Nation Industrial Development Organization,Toxaphene http://www.unido.org/en/what-we-do/environment/capacity-building-for-the implementation-of-multilateral-environmental-agreements/the-stockholm-convention/factsand-figures/what-are-persistent-organic-pollutants-pops/toxaphene.html

12