putusan hakim dalam perkara ekonomi syariah
TRANSCRIPT
PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA
EKONOMI SYARIAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Neni Sri Imaniyati, SH., MH
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Hera Ananda ( 1133020084)
Hilman Anggi Miftahudin ( 1133020087)
Ibrahim Muhammad Samsi (1133020090)
Imas Nurul Fuadiah ( 1133020096)
Inayah ( 1133020098)
Ismat Fauzi ( 1133020105)
Muamalah / HPS B / VI
Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
2016 M/ 1437 H
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni
Nabi Besar Muhammad SAW. Tak lupa juga kepada para thabi‟in yang senantiasa
mengikuti ajaran-Nya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
pembelajaran mata kuliah Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada
jurusan Muamalah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penyajian materi-materi
pembahasan, seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena
itu, kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ini di masa yang akan datang.
Bandung, April 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 4
A. Definisi Putusan ......................................................................................... 4
B. Sifat Putusan .............................................................................................. 5
C. Jenis dan Isi Putusan .................................................................................. 7
D. Kekuatan Putusan ..................................................................................... 10
E. Analisis Kasus .......................................................................................... 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengadilan Agama merupakan merupakan pengadilan yang mempunyai
kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara – perkara tertentu antara orang – orang yang beragama
islam untuk menegakan hukum dan keadilan.1
Pada awalnya kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan UU No : 7
Tahun 1989 hanya berwenang untuk memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara tertentu antara orang–orang yang beraga islam dan
perkara perdata tertentu seputar perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf
dan sedekah berdasarkan hukum islam. Seiring dengan berjalanan waktu,
kebutuhan masyarakat Indonesia akan keadilan semakin kompleks, tidak hanya
seputar perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah. Semenjak
berkembangnya industri keuangan ekonomi syariah dalam aktivitas ekonomi
masyarakat Indonesia dengan diikutinya problema tentang perbedaan pendapat
dalam realisasi akad, maka menjadi suatu kebutuhan adanya lembaga
pemerintah yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara tersebut. Atas dasar tersebut dikeluarkanlah UU No : 3
Tahun 2006 tentang penambahan kewenagan Pengadilan Agama untuk
memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang
Ekonomi Syariah.
Setelah adanya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No : 7
Tahun 1989 ditambah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93 / PUU / X
/ 2012 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama mempunyai kewenangan
Absolut dalam memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara
ekonomi syariah yang ditempuh melalui jalur pengadilan, maka Pengadilan
1 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, ( Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1997 ) cet ke 1 hlm 36.
2
Agama dipandang sebagai lembaga yang representatif dan kompeten dalam
menangani perkara ekonomi syariah.2
Hakim adalah unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan
peradilan, yang berimplikasi pada putusan atas suatu perkara. Hakim
merupakan figur sentral yang harus selalu meningkatkan profesionalisme
dalam menegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Tidak hanya
hakim yang dituntut untuk selalu meningkatkan profesionalisme dalam
menegakan hukum dan keadilan, melainkan sudah menjadi keharusan bagi
seluruh jajaran dan korps Pengadilan Agama terlebih ada penambahan
kewenangan dalam menyelesaikan dan memutuskan perkara dibidang ekonomi
syariah yang masih tergolong baru.
Pada dasarnya putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus
perkara dibidang ekonomi syariah adalah untuk menyelesaikan perkara tersebut
dengan seadil – adilnya. Namun tak jarang putusan hakim dipandang oleh
mayoritas masyarakat awam bahkan para pakar sebagai putusan yang tidak
objektif, ditambah dalam realita dan fenomena keadilan di Indonesia dipandang
sebagai keputusan hukum yang tajam kebawah dan tumpul keatas. Sehingga
timbul pemahaman masyarakat bahwa putusan hakim menindas masyarakat
bawah.
Atas dasar uraian tersebut, maka kami tertarik untuk menganalisis dan
menulis jurnal dengan judul “ ANALISA PUTUSAN HAKIM DALAM
PERKARA EKONOMI SYARIAH “
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, bahwa putusan hakim harus
dapat menyelesaikan perkara dibidang ekonomi syariah, namun realitas
pemahaman yang berkembang terkadang masih terdapat putusan hakim yang
menimbulkan kebingungan dalam masyarakat. Oleh karena itu penulis
menuangkan masalah tersebut kedalam beberapa pertanyaan sebagai berikut :
2 Cik Hasan Bisri, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syariah, ( Jakarta : Kencana Persada Media Grup, 2010 ), hlm 99.
3
1. Bagaimana kewenangan Peradilan Agama kaitannya dengan putusan
perkara ekonomi syariah?
2. Bagaimana putusan perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama
kaitannya dengan ketidakpuasan para pihak yang melakukan banding dan
kasasi?
4
BAB II
PENDAHULUAN
A. Definisi Putusan
Putusan adalah suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim dalam
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri sekaligus menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa para pihak. Disisi lain istilah putusan dapat dimaknai
sebagai suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi
wewenang untuk itu, dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk
umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara
pihak yang berperkara.3
Mahkamah Agung dengan surat edarnya no. 5/1959 tanggal 20 April
1959 dan no. 1/ 1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain agar
pada waktu putusan diucapkan konsep harus sudah sudah selesai. Sekalipun
maksud surat edaran ialah mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara,
tetapi dapat dicegah pula adanya perbedaan isi putusan yang diucapkan
dengan yang tertulis. Kalau ternyata ada perbedaan antara yang diucapkan
dengan yang tertulis maka yang sah adalah yang diucapkan lahirnya putusan
itu sejak diucapkan. Tetapi disini ialah pembuktian bahwa yang diucapkan
berbeda dengan yang ditulis. Oleh karena itu setiap berita acara sidang
seyogyanya harus sudah selesai sehari sebelum berikutnya atau paling lama
satu minggu sesudah sidang dan setiap putusan yang akan dijatuhkan sudah
harus ada konsepnya.4
Menurut Pasal 20 UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa semua
putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam siding terbuka untuk umum. Sebelum putusan diambil
majelis hakim secara rahasia melakukan sidang permusyawaratan dan setiap
hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap
3 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan hukum Acara peradilan Agama, bogor: Ghalia Indonesia
2012. Hlm 227 4 Metokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesi, Bandung: Libery, 1993, hlm. 173-174
5
perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari putusan. Apabila dalam siding permusyawaratan hakim yang rahasia itu
tidak tercapai mufakat bulat maka pendapat hakim yang berbeda wajib
dimuat dalam putusan.
Putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan,
harus memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili. Kemudian setiap putusan harus ditandatangani oleh majelis hakim
yang menyidang seluruhnya ditambah dengan panitera yang ikut serta
bersidang.
Mengenai arti dan pengertian putusan dapat diperhatikan hal-hal
sebagai berikut.
1. Pengertian putusan, menurut bahasa adalah “al-qadha” (keputusan) dan
jamaknya adalah “ aqdhiyyah” yang menurut asal muasal artinya adalah
dikatakan untuk menyempurnakan sesuatu dan menetapkan hukumnya,
menyelesaikan dan memutuskannya.
2. Pengertian putusan menurut istilah “syara” ialah memisahkan sengketa
gugatan dan menyelesaikan, serta memutuskan pertentangan. Keputusan
menurut istilah bahasa belanda dikenal dengan istilah “vonis” dan
“gewijsde” adapun pengertian vonis adalah putusan yang mempunyai
kekuatan hukum pasti sehingga masih ada peluang upaya hukum biasa,
sedangkan gewijsde adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang pasti, sehingga hanya dimungkinkan upaya hukum khusus.
Vonis sering disebut juga dengan “voorlopiggewijsde” sedang gewijsde
disebut juga dengan “terlijskgewijsde”.
B. Sifat Putusan
1. Putusan Deklaratif
Putusan deklaratif adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan
atau menyatakan apa yang sah, misalnya pembayaran angsuran tiga bulan
6
terakhir berturut-turut, maka dinyatakan telah membayar angsuran bulan-
bulan sebelumnya, menyatakan gugatan ditolak dan lain-lain.
2. Putusan Konstitutif
Putusan konstitutif adalah putusan yang bersifat menghentikan atau
menimbulkan hukum baru yang tidak memerlukan pelaksanaan dengan
paksa, misalnya memutuskan hubungan perikatan yang cacat.
3. Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak
yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh majelis
hakim. dalam putusan yang bersifat condemnatoir, amar putusan harus
mengandung kalimat “menghukum tergugat untuk berbuat sesuatu tidak
berbuat sesuatu, menyerahkan sesuatu, membongkar sesuatu ,
menyerahkan sejumlah uang, membagi dan mengosongkan.
4. Putusan Contradictoir
Putusan contradictoir adalah putusan yang diambil dalam hal tergugat
pernah datang menghadap di persidangan. jadi, apabila penggugat pada
hari sidang pertama datang, tetapi pada hari-hari sidang berikutnya tidak
datang, maka perkaranya diperiksa secara contradictoir, kemudian
diputuskannya, artinya diputus di luar hadirnya salah satu pihak yang
berperkara.
5. Putusan Verstek
Putusan verstek adalah putusan diambil hal tergugat tidak pernah
hadir di persidangan, meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut,
maka gugatan dikabulkan dengan putusan diluar hadirnya tergugat, kecuali
apabila gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan putusan verstek itu
pada prinsipnya untuk melealisir asas “audit at alteram parterm”.5
5 Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, bogor:
Ghalia Indonesia 2010. Hlm 102
7
C. Jenis dan Isi Putusan
Memerhatikan pasal 185 (1) HIR dan Pasal 196 RBg, isi putusan
dibedakan antara putusan bukan akhir (tussen vonnis) dan putusan akhir (eind
vonnis). Adapun jenis-jenis putusan sebagai berikut.6
1. Putusan Sela (Tussen Vonnis)
Putusan sela (Tussen Vonnis) adalah putusan yang diadakan
sebelum hakim memutuskan perkaranya demi untuk mempermudah
kelanjutan pemeriksaan perkara, putusan sela harus diucapkan oleh jakim
ketua majelis dan harus dimuat dalam berita acara persidangan.
adapun putusan sela itu terdiri atas beberapa bentuk yang berbeda-
beda dan masing-masing memiliki ciri-ciri khusus, yakni sebagai berikut.
a. Pututsan preparatior (Preparatior Vonnis) adalah putusan sebagai
persiapan akhir yang tanpa ada pengaruh terhadap pokok perkara
atau putusan akhir, contoh putusan untuk menggabungkan dua
perkara atau untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi.
b. Putusan Interlucutioir (Interlucutioir vonnis) adalah putusan sela
yang dapat memengaruhi akan bunyi putusan akhir itu.
Contohnya, pemeriksaan saksi, putusan untuk mendengar para
ahli, pemeriksaan setempat, putusan tentang pembebanan pihak,
sumpah dan putusan yang memerintahkan salah satu pihak untuk
membuktikan sesuatu.
c. Putusan Provisionil (Provisionol vonnis) adalah putusan yang
menjawab tuntutan provisional, yakni pemerintah pihak
bersangkutan agar sementara diadakan tindak pendahuluan guna
kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
d. Putusan Insidentil (Insidentiele vonnis) adalah putusan yang
berhubungan dengan insiden, yaitu suatu peristiwa atau kejadian
yang mengehntikan prosedur peradilan biasa. Putusan insidentil
ini belum mempunyai hubungan dengan pokok perkara, sebagai
6 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan hukum Acara peradilan Agama, bogor: Ghalia Indonesia
2012. Hlm 231
8
contoh putusan yang membolehkan seseorang ikut serta dalam
perkara „voeging”, ”urijwaring” atau “tussenkomse”.
2. Putusan Akhir (Eind Vonnis)
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa dalam
suatu tingkatan peradilan tertentu.
Adapun sifat-sifat dari putusan akhir adalah sebagai berikut.
a. Putusan kondemnatior (comdemnatior vonnis)
b. Putusan konsitutif (constitutieve vonnis)
c. Putusan deklaratior (declaratior vonnis)
d. Putusan kontradiktor (contradictior vonnis)
e. Putusan verstek (verstek vonnis)
f. Putusan gugur
3. Kekuatan Putusan
Kekuatan putusan majelis hakim dalam persidangan, dibedakan
menjadi beberapa jenis, yakni sebagai berikut.
a. Kekuatan mengikat, yaitu suatu putusan yang mengikat kepada kedua
belah pihak antara penggugat dan tergugat yang berperkara, untuk
direalisasikan suatu hak secara paksa, dalam hal ini memerlukan suatu
putusan pengadilan berupa akta autentik yang dapat menetapkan hak
itu.
b. Kekuatan pembuktian, yaitu putusan yang berbentuk akta autentik,
yang bertujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak,
yang tidak tertutup kemungkinan dipergunakan untuk mengajukan
upaya hukum, seperti banding,kasasi, dan peninjauan kembali, serta
digunakan sebagai dasar eksekusi.
c. Kekuatan eksekutorial (putusan hakim) yaitu ketetapan yang tegas atas
suatu hak dalam hukum, yang selanjutnya menunutut untuk bisa
direalisasikan.
Mencermati suatu putusan diatas, isi putusan itu dinyatakan sumpah,
keadlian kepada Tuhan “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa “, kalimat ini memberi kekuatan eksekutorial terhadap
9
sebuah putusan, hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 UU Nomor 48 Tahun
2009.
4. Susunan dan Isi Putusan
Mengenai susunan dan isi putusan diataur dalam Pasal 178, 182,
183 dan 185 HIR, serta diatur dalam Pasal 194, 195, dan 198 R.Bg,
bahwa putusan hakim terdiri atas empat bagian, yaitu sebagai berikut.7
Pertama, kepala putusan, yakni setiap putusan pengadilan harus
mempunyai kepala pada bagian atas “putusan” atau “penetapan”. Adapun
kalimay kepala putusan atau penetapan adalah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kedua, identitas para pihak, yakni dalam setiap putusan atau penetapan
harus memuat identitas para pihak, yakni: nama, umur, agama, pekerjaan,
alamat dan nama pengacara apabila ada.
Ketiga, pertimbangan, yakni berkaitan dengan pertimbangan dalam
putusan, yang sering disebut dengan konsederani yang merupakan dasar
dari putusan. Adapun pertimbangan terbagi menjadi dua bagian.
a. Pertimbangan mengenai duduk perkaranya atau peristiwanya
(kejadiannya); dan
b. Pertimbangan mengenai hukumnya.
Berkaitan dengan pertimbangan duduk perkaranya adalah memuat
hal-hal sebagai berikut.
1) Gugatan dan jawaban,replik dan duplik dalam praktik dimuat secara
ringkas dan jelas, begitupun tidak tertutup kemungkinan untuk
dimuat seluruhnya.
2) Alat-alat bukti yang diajukan di muka persidangan oleh pengguagat
atua tergugat.
3) Kesimpulan yang diperoleh dari masing-masing pihak, baik
penggugat maupun tergugat, sehingga kepada para pihak dapat
mengerti apa yang menjadi pokok masalah dan jalannya
pemeriksaan pada saat dilangsungkan persidangan.
10
Keempat, amar (dictum), ada dua bentuk dalam amar putusan, yakni
sebagai berikut.
1) Deklaratif, yaitu penetapan yang bersumber dari hubungan hukum yang
menjadi sengketa.
2) Dispositif, yaitu yang memberi hukum atau hukumannya atau yang
menyifati untuk mengabulkan suatu gugatan atau menolak suatu gugatan.
D. Kekuatan Putusan
HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan
mempunyai 2 macam kekuatan : kekuatan mengikat, dan kekuatan
eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.
1. Kekuatan Mengikat
Untuk Kekuatan mengikat, yaitu suatu putusan yang mengikat
kepada kedua belah pihak antara penggugat dan tergugat yang berperkara,
untuk direalisasikan suatu hak secara paksa, dalam hal ini memerlukan
suatu putusan pengadilan berupa akta autentik yang dapat menetapkan
hak itu. Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan
suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau sengketanya
kepada pengadilan atau Hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini
mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tundukdan
patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu
haruslah dihormati kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh
bertindak bertentangan dengan putusan.8
Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat: mengikat kedua
belah pihak (ps, 1917 BW). Terikatnya para pihak kapada putusan
menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar
tentang kekuatan mengikat daripada putusan.
a. Teori hukum Materiil
Menurut teori ini maka kekuatan mengikat daripada putusan
yang lazimnya disebut “geza van gewijsde” mempunyai sifat hukum
8 Metokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesi, Bandung: Libery, 1993, hlm. 178
11
materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang
terhadap dan kewajiban keperdataan: menetapkan,
menghapuskanatau mengubah. Menurut teori ini putusan itu dapat
menimbulkan atau meniadakan hubungan hukum. Jadi putusan
merupakan sumber materiil. Suatu tuntutan atau pelunasan hutang
dari penggugat yang dikabulkan oleh pengadilan menyebabkan
penggugat menjadi kreditur, sekalipun putusannya belum tentu
benar. Demikian pula kalau pengadilan mengabulkan tuntutan
tentang hak milik, maka karena putusan penggugat menjadi pemilik.
Sebaliknya tuntutan untuk membayar sejumlah uang ditolak oleh
pengadilan itu berarti bahwa tuntutanya batal. Disebut
sebagai ajaran hukum materiil karena memberi akibat yang bersifat
hukum materiil pada putusan. Mengingat bahwa putusan itu hanya
mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori
ini tidaklah tepat. Ajaran ini tidak memberi wewenang untuk
mempertahankan hak seseorang terhadap pihak ketiga. Ajaran ini
sekarang telah lama ditinggalkan.
b. Teori Hukum Acara
Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil,
melainkan sumber daripada wewenag prosesuil. Siapa yang dalam
suatu putusan diakui sebagai pemilik, maka ia dengan sarana
prisesuil terhadap lawannya dapat bertindak sebagai pemilik. Baru
apabila undang-undang mensyaratkan adanya putusan untuk
timbulnya keadaan hukum baru, maka putusan itu mempunyai arti
hukum materiil. Akibat putusan itu bersifat hukum acara, yaitu
diciptakannya atau dihapuskan wewenang dan kewajiban prosesuil.
Ajaran ini sangat sempit, sebab suatu putusan bukanlah semata-mata
hanyalah sumber wewenang persesuil, karena menuju kepada
penetapan yang pasti tentang hubungan hukum yang merupakan
pokok sengketa.
c. Teori Hukum Pembuktian
12
Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang
ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat
oleh karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak
diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah yang sudah
tidak banyak penganutnya.
d. Terikatnya Para Pihak pada Putusan
Tetikatnya para pihak kepada pihak kepada dapat putusan dapat
mempunyai arti positif dan dapat pula arti negatif.
1) Arti Positif
Arti positif daripada kekuatan mengikat sesuatu putusan
ialah bahwa apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku
sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus
dianggap benar: res judicata pro veritate hebetur. Pembuktian lawan
tidak dimungkinkan . terikatnya para pihak ini didasarkan pada
undang-undang (ps. 1917, 1920 BW).
2) Arti negatif
Arti negatif daripada kekuatan mengikat suatu putusan ialah
bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus
sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara
yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak akan mempunyai akibat
hukum: nebis in idem (ps. 134 Rv). Kecuali berdasarkan atas pasal
134 Rv kekuatan mengikat dalam arti negatif ini juga didasarkan
pada asas “litis finiri opertet”, yang menjadi dasar ketentuan tentang
tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum: apa yang pada
suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi
kepada hakim. Dalam hukum acara kita putusan mempunyai
kekuatan dalam mengikat baik arti positif maupun negatif (ps. 1917,
1920 BW, 134 Rv).
13
e. Kekuatan Hukum yang pasti
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap
(kracht van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa
tersedia. Termasuk upaya hukum biasa ialah perlawanan,
banding dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang
pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh
pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang
khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga.
Pasal 1917 ayat 1 BW berbunyi, bahwa kekuatan mengikat
daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan (onderwerp van
het vonnis)
Sutu putusan itu terdiri dari bagian yang merupakan dasar dari
putusan dan bagian yang merupakan putusn itu sendiri atau yang
lazim disebut amar (dictum). Timbullah pertanyaan, apakah dan
sampai berapa jauhkah masing-masing bagian dari putusan itu
mempunyai kekuatan mengikat ?
Suatu putusan hakim sekalipun terdiri dari dasar putusan dan
dictum, namun merupakan suatu kesatuan, sehingga kekuatan
mengikat dari putusan itu umumnya tidak terbatas pada dictun saja,
tetapi meliputi juga bagian dari putusan yang merupakan dasar
putusan. Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi
penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam
suatu putusan telah mengconstatir suatu peristiwa tertentu
berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain
peristiwa tersebut masih disengketakan.
2. Kekuatan Eksekutorial
Suatu keputusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu
persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak
berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumannya saja,
melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (ekskutorialnya) secara
14
paksa. Kekuatan mengikat saja dari dari suatu putusan pengadilan
belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat realisir
atau dilaksanakan. Oleh karena itu putusan itu menetapkan dengan tegas
hak atau hukumnya untuk kemudian realisir, maka putusan hakimm
memounyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya
apa yang ditetapkan itu secara paksa oleh alat-alat negara.
Apakah ada persyaratannya bagi suatu putusan untuk memperoleh
kekuatan eksekutorial ? Peradilan di Indonesia dilakukan “demi keadilan
berdasarkan keTuhan yang maha Esa” (ps, 4 1 UU. 14/1970) dan semua
putusan pengadilan diseluruh Indonesia harus diberi kepala di bagian
atasnya yang berbunyi: “ Demi keadilan berdasarkan keTuhanan yang
maha Esa” (ps. 435 Rv jo. Ps . 4 ayat 1 UU 14/1970) suatu akta
notariilpun akan mempunyai kekuatan yang sama dengan suatu putusan
pengadilan apabila dibubuhi kata-kata: “Demi keadilan berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa” (ps. 224 HIR, 258 Rbg, 440 Rv). Dapat
ditafsirkan dari pasal 224 HIR (ps. 258 Rbg) bahwa “mempunyai
kekuatan yamg sama dengan putusan pengadilan “berarti bahwa akta
notariilpun yang diberi kata-kata “ Demi Keadilan berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa “ dibagian atasnya dapat dilaksanakan atau
dijalankan seperti putusan pengadilan yang memang harus mempunyai
kepala ekskutorial itu.
Dapatlah ditarik kesimpulan dari apa yang diuraikan di atas, bahwa
kata-kata “Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”
memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan-putusan di Indonesia.
15
E. ANALISIS KASUS
1. Kasus
Pada awalnya para Penggugat tersebut adalah suami isteri, dan pada
tanggal 30 Juli 2008 telah mengikatkan diri dengan cara melakukan
perjanjian kerja sama peminjaman sertifikat tanah dengan pihak Tergugat II
yang diwakili oleh Tergugat III sebagai Direktur Amratani Group;
berdasarkan surat perjanjian kerja sama peminjaman sertifikat tanah tersebut,
pihak pertama adalah Tergugat II yang diwakili oleh Tergugat III selaku
Direktur Amratani Group dan pihak kedua adalah Penggugat I (Budi Legowo
SP.) serta pihak Penggugat II (Akhadina Nurhayati Agustien) isteri
Penggugat I yang merupakan Pemilik Sertifikat Tanah SHM Nomor 05074
luas tanah 357 m² yang di atasnya berdiri bangunan rumah yang permanen
(yang dikenal dengan obyek sengketa) dan juga merupakan obyek perjanjian
peminjaman sertifikat tanah tersebut;
Secara historis jaminan tanah milik Penggugat II berada di tangan
Tergugat I berawal dari perjanjian utang piutang antara para Tergugat II
(Pusat Koperasi Syariah Baitul Maal Wal Tamwil Amratani) sebagai debitur
dengan Tergugat I sebagai kreditur, dengan piutang sebanyak
Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah) dengan jaminan
beberapa sertifikat tanah milik pihak lain (secara kolektif), hal ini dibuat akad
perjanjian melalui Notaris Wahyu Wiryono, S.H., Notaris di Yogyakarta Akta
Nomor 72 tanggal 27 Desember 2007, antara lain sertifikat tanah yang
dijaminkan oleh Tergugat II adalah Sertifikat Tanah Milik Prof. DR.
Kuswandi sebagaimana tersebut dalam Sertifikat Tanah Hak Milik Nomor
658/Kelurahan Maguwoharjo, tanah tersebut terletak di Cassa Grande Blok
III Nomor 309, Maguwoharjo, Sleman, seluas 204 m²; Bahwa dengan akal-
akalan dan atau tipu muslihat Tergugat II dengan Tergugat I pada waktu itu,
sehingga jaminan sertifikat tanah milik Prof. DR. Kuswandi sebagaimana
tersebut di atas ditarik keluar sebagai jaminan oleh Tergugat II bekerja sama
dengan Tergugat I dan diganti dengan sertifikat tanah milik Penggugat II,
yakni Sertifikat Tanah Hak Milik Nomor 05074 atas nama Akhadina
16
Nurhayati Agustine (Penggugat II isteri dari Penggugat I) luas 357 m² yang
terletak di Ngestiharjo Kasihan Bantul (obyek sengketa) sehingga dengan
perbuatan Tergugat I dan Tergugat II ini yang menjerat para Penggugat yang
semula hanya dipinjam sertifikat tanah milik Penggugat II kemudian ternyata
dijadikan jaminan pengganti oleh Tergugat II kepada Tergugat I berdasarkan
adendum akad pembiayaan mudharabah tanggal 28 Juli 2008, dengan
demikian Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan
hukum dan atau fasakh dan pihak Tergugat I dan Tergugat II adalah pihak
yang beritikad tidak baik; 10 Bahwa terkait adanya tanda tangan para
Penggugat dalam adendum akad pembiayaan mudharabah tanggal 28 Juli
2008 tersebut, yang seakan-akan mengetahui dan menyetujui adalah tulisan
tambahan yang pada waktu itu oleh para Tergugat II, III dan IV menyodorkan
adendum tersebut, dengan ancaman bahwa jika tidak ditandatangani, maka
dana dari pihak Tergugat I tidak akan keluar, padahal sebenarnya semua dana
yang dikeluarkan oleh Tergugat I yang menerima adalah Tergugat I
semuanya dan para Penggugat sama sekali tidak menerima uang pinjaman
dari Tergugat I tersebut, sehingga secara hukum tidak bisa dipertanggung-
jawabkan secara hukum untuk mengembalikan pinjamannya, hanya secara
formal para Penggugat yang seakanakan meminjam uang pada Tergugat I dan
hal ini tidak adil secara hukum syariah, sehingga dengan demikian, tindakan
dan perbuatan Tergugat I dan para Tergugat II, III dan IV bertentangan
dengan Syariat Islam, yakni salah satu tujuan akad harus dibenarkan syariat,
jika mengandung tipu muslihat, ancaman dan pura-pura, maka akad tersebut
dinyatakan tidak sah (vide Buku Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum
Perdata Islam) karangan KH. Ahmad Azhar Basyir penerbit UUI Press
cetakan ketiga Januari 2009 halaman 100);
1. Putusan Peradilan Agama, Mengadili :
DALAM PROVISI :
• Menyatakan tuntutan Provisi Para Penggugat tidak dapat diterima.
17
DALAM EKSEPSI :
1. Mengabulkan eksepsi Tergugat I.
2. Menyatakan bahwa Pengadilan Agama Bantul tidak berwenang untuk
memeriksa dan mengadili perkara a quo.
3. Menghukum Para Penggugat untuk membayar semua biaya perkara ini
yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 881.000,-- (delapan ratus delapan
puluh satu ribu rupiah).
Demikian putusan ini diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
pada hari Senin, tanggal 26 Nopember 2012 Masehi, bertepatan dengan
tanggal 12 Muharram 1434 Hijriyah, oleh kami Drs. H. M. SYAFI‟IE
THOYYIB, SH, M.H. selaku Ketua Majelis dan Dra. ROSMALIAH,
S.H.,M.S.I. serta Dra. ULIL USWAH, M.H. masingmasing selaku Hakim
Anggota, dengan dibantu oleh Dra. SUHADIYAH selaku Panitera Pengganti,
dengan dihadiri oleh Kuasa Hukum Para Penggugat dan Kuasa Hukum
Tergugat I, tanpa hadirnya Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV. 9
2. Dalam Tingkat Banding, Menimbang :
Permohonan para Penggugat putusan Pengadilan Agama Bantul
tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta dengan
putusan Nomor 05/Pdt.G/2013/ PTA.Yk. tanggal 21 November 2013 M.
bertepatan dengan tanggal 17 Muharram 1435 H. yang amarnya sebagai
berikut:
• Menyatakan permohonan banding Pembanding dapat diterima;
• Membatalkan putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor
0328/Pdt.G/2012/ PA.Btl. tanggal 26 November 2012 Masehi, bertepatan
dengan tanggal 12 Muharram 1434 Hijriyah, selanjutnya mengadili
sendiri;
DALAM EKSEPSI:
9 putusan.mahkamahagung.go.id putusan Nomor : 0328/Pdt.G/2012/ PA.Btl. diakses pada tanggal
08 April 2016, pukul 16.55
18
• Mengabulkan eksepsi Tergugat sebagian dan menolak selebihnya;
• Menyatakan Pengadilan Agama Bantul tidak berwenang mengadili
sengketa tentang sah atau tidak sahnya akad pembiayaan Al-
Mudharabah Nomor 72, tanggal 21 Desember 2007 berikut
adendumnya;
• Menyatakan Pengadilan Agama Bantul berwenang mengadili sengketa
pembebanan hak tanggungan;
DALAM PROVISI
• Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;
DALAM KONVENSI:
• Menolak gugatan Penggugat Konvensi tentang pembatalan hak
tanggungan atas tanah milik Penggugat Konvensi II sebagaimana
ternyata dalam Sertifikat Hak Tanggungan Nomor 03422/2008 yang
diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul berikut segala
akibat hukumnya;
• Menyatakan gugatan Penggugat Konvensi selebihnya tidak dapat
diterima;
DALAM REKONVENSI
• Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi seluruhnya;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI
• Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi/Pembanding
untuk membayar biaya perkara pada tingkat pertama sebesar
Rp881.000,00 (delapan ratus delapan puluh satu ribu rupiah) dan pada
tingkat banding sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah)
secara tanggung renteng;
19
3. Tingkat Kasasi, mengadili :
Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: 1. BUDI
LEGOWO, SP., 2. AKHADINA NURHAYATI AGUSTIEN tersebut;
Menghukum para Pemohon Kasasi/para Penggugat untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim
pada hari Senin tanggal 29 September 2014 oleh Prof. Dr. H. ABDUL
MANAN, S.H., S.IP., M.Hum., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. MUKHTAR ZAMZAMI,
S.H., M.H. dan Dr. H. HABIBURRAHMAN, M.Hum., Hakim-Hakim Agung
sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari
itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut dan
dibantu oleh Drs. H. YAYAN ATMAJA, S.H., M.H., Panitera Pengganti,
dengan tidak dihadiri oleh para pihak;10
2. Kewenangan Hakim Pengadilan Agama Kaitannya Dengan Putusan
Perkara Ekonomi Syariah
Kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk mengambil suatu
kebijaksanaan dalam memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menentukan : “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”.
Berdasarkan aturan hukum tersebut, terdapat norma hukum
“mewajibkan Hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk memenuhi
norma tersebut, maka Hakim harus mengambil kebijaksanaan hukum”.
Penentuan atas tuntutan rasa keadilan yang harus diterapkan oleh Hakim
10
putusan.mahkamahagung.go.id Putusan Nomor 410 K/Ag/2014 di akses pada tanggal 08 April
2016, pukul 16.42
20
dalam memutus suatu perkara, secara teori para Hakim akan melihat
“Konsep-konsep keadilan yang telah baku”. Konsep keadilan tersebut
sepanjang sejarah telah banyak macamnya, sejak zaman Yunani Kuno dan
Romawi keadilan dianggap sebagai salah satu dari kebajikan utama (cardinal
virtue). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang
mengikat para anggota masyarakat dalam hubungannya yang satu terhadap
yang lainnya.
Berhubungan erat dengan pengertian tersebut di atas konsepsi tentang
keadilan sebagai unsur ideal, suatu cita atau sebuah ide yang terdapat dalam
hukum. Dalam pengertian ini keadilan sering diartikan terlampau luas
sehingga tampak berbaur dengan seluruh isi dari moralitas.
Dalam bidang hukum pada umumnya keadilan dipandang sebagai
tujuan akhir (end) yang harus dicapai dalam hubungan-hubungan hukum
antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan pemerintah
dan lembaga-lembaga negara yang berdaulat serta perseorangan dengan
masyarakat lainnya. Tujuan mencapai keadilan itu melahirkan konsep
keadilan sebagai hasil (result) atau keputusan (decision) yang diperoleh dari
penerapan atau pelaksanaan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum. Pengertian
keadilan ini dapat disebut keadilan prosedural (“Procedural justice”) dan
konsep inilah yang dilambangkan dengan dewi keadilan, pedang, timbangan
dan penutup mata untuk menjamin pertimbangan yang tak memihak dan tak
memandang orang. Sejalan dengan ini pengertian keadilan sebagai suatu asas
(principle). Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah
umum tanpa memperhatikan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang
diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat
bagi perbuatan itu.
Ciri atau sifat konsep keadilan dapat diikhtisarkan maknanya sebagai
berikut : adil (just), bersifat hukum (legal), sah menurut hukum (lawful), tak
memihak (impartial), sama hak (equal), layak (fair), wajar secara moral
21
(equitable), benar secara moral (righteous). Dari perincian tersebut ternyata
bahwa pengertian konsep keadilan mempunyai makna ganda yang
perbedaannya satu dengan yang lain samar-samar atau kecil sekali. Dalam
setiap pengambilan kebijaksanaan oleh Hakim, maka Hakim selalu
berlindung kepada Upaya Hukum yaitu Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali, artinya apabila Hakim Tingkat Pertama mengambil kebijaksanaan
dalam memutus perkara tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang harus
dipatuhi, maka solusinya dipersilahkan naik banding untuk diuji
kebijaksanaan tersebut, demikian pula kebijaksanaan hukum yang diambil
oleh Hakim Tingkat banding apabila melanggar standard suatu norma hukum,
pengujiannya melalui Kasasi Mahkamah Agung RI dan seterusnya sampai
pengujian di Peninjauan Kembali, oleh karena itu diperlukan norma hukum
sebagai standard bagi para Hakim dalam hal pengambilan suatu
kebijaksanaan hukum untuk memutus perkara.
Sampai saat ini pengawasan terhadap pengambilan kebijaksanaan oleh
para Hakim dalam memutus perkara belumlah begitu efektif untuk
diterapkan. Hal ini terbukti belum adanya para Hakim yang diproses secara
pidana karena melanggar standard norma yang harus dipatuhi oleh para
Hakim dalam hal pengambilan suatu kebijaksanaan hukum untuk memutus
perkara. Dengan demikian penegakan hukum terhadap tindakan Hakim dalam
pengambilan suatu kebijaksanaan hukum mutlak diperlukan, baik penegakaan
hukum administrasi maupun penegakan hukum pidana terhadap para Hakim
yang melanggar standard norma hukum yang telah ditetapkan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hakim dalam memutus
perkara ekonomi syariah selalu dihadapkan pada persoalan keadilan, artinya
Hakim selalu dituntut berlaku adil dalam memutuskan suatu perkara yang
dihadapinya. Persoalan yang dihadapi Hakim untuk menuju suatu keadilan
adalah menghadapi suatu kasus yang dilatar belakangi oleh perbedaan latar
belakang, motivasi terjadinya suatu kasus dan lain-lain sekalipun persoalan
hukum dari beberapa kasus yang sama. Oleh karena itu untuk menuju suatu
22
keadilan tersebut diperlukan standard norma hukum sebagai patokan bagi
para Hakim dalam memutus perkara, sehingga tidak terjadi lagi adanya
Contempt of Court. 11
3. Putusan Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama Kaitannya
Dengan Ketidakpuasan Para Pihak Yang Melakukan Banding Dan
Kasasi.
Berdasarkan kasus di atas, penggugat I maupun II tidak puas dengan
keputusan hakim, karena sertifikat tanah yang mereka miliki tidak kembali,
dan mereka hanya diberikan ganti rugi sebesar Rp. 450.000.000 namun, pihak
penggugat harus mengikuti keputusan tersebut karena keputsan tersebut
bersifat Deklaratif serta kekuatan hukum tersebut termasuk pada kekuatan
hukum yang pasti.
kekuatan hukum yang pasti atau tetap (kracht van gewijsde) apabila tidak
ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa
ialah perlawanan, banding dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum
yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh
pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus,
yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Jadi Pada intinya pihak
penggugat
11
http://www.dilmil-banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=8 diakses pada 8 april
2016 pukul 17:01
23
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Putusan adalah suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim
dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri sekaligus
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak. Sifat putusan
diantaranya Putusan Deklaratif, Putusan Konstitutif, Putusan
Condemnatoir, Putusan Contradictoir, Putusan Verstek. Putusan
mempunyai dua macam kekuatan : kekuatan mengikat, dan kekuatan
eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah putusan
Pengadilan Negeri yang telah diterima oleh kedua belah pihak yang
berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak
diajukan verset atau banding. Atau, putusan Pengadilan Tinggi yang
diterima oleh kedua belah pihak dan tidak domohonkan kasasi; dan
putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
B. Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan setelah menyusun makalah
ini ialah kita sebagai mahasiswa hendaknya lebih memahami tentang
putusan perkara, agar kita dapat peka dalam memahami masalah-masalah
sengketa pada ekonomi syariah, juga dapat mengetahui lebih luas
mengetahui Mata kuliah hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
24
DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Cik Hasan . 1997. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Bisri, Cik Hasan. 2010. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah, Jakarta : Kencana Persada
Media Grup.
Dewi, Gemala. 2005 Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia.Jakarta : Kencana
Gautama, Sudargo. 1998. Hukum Perdata Internasional. Bandung : PT Eresko
Mardani, 2009. hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah.
Jakarta : Sinar Grafika
Metokusumo, Sudikno. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesi, Bandung: Libery.
Mujahidin, Ahmad. 2010. kewenangan dan prosedur penyelesaian sengketa
ekonomi syariah di indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia
Mujahidin, Ahmad. 2010. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia. bogor : Ghalia Indonesia.
Mujahidin, Ahmad.2012. Pembaharuan hukum Acara peradilan Agama. bogor:
Ghalia Indonesia
Gautama, Sudargo. 1998. Hukum Perdata Internasional. Bandung : PT Eresko
putusan.mahkamahagung.go.id putusan Nomor : 0328/Pdt.G/2012/ PA.Btl.
diakses pada tanggal 08 April 2016, pukul 16.55
putusan.mahkamahagung.go.id Putusan Nomor 410 K/Ag/2014 di akses pada
tanggal 08 April 2016, pukul 16.42
http://www.dilmil-banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=8
diakses pada 8 april 2016 pukul 17:01