putusan hakim dalam perkara ekonomi syariah

27
PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA EKONOMI SYARIAH Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Neni Sri Imaniyati, SH., MH Disusun Oleh : Kelompok 2 Hera Ananda ( 1133020084) Hilman Anggi Miftahudin ( 1133020087) Ibrahim Muhammad Samsi (1133020090) Imas Nurul Fuadiah ( 1133020096) Inayah ( 1133020098) Ismat Fauzi ( 1133020105) Muamalah / HPS B / VI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung 2016 M/ 1437 H

Upload: uinsgd

Post on 10-Dec-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA

EKONOMI SYARIAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Penyelesaian

Sengketa Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. H. Neni Sri Imaniyati, SH., MH

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Hera Ananda ( 1133020084)

Hilman Anggi Miftahudin ( 1133020087)

Ibrahim Muhammad Samsi (1133020090)

Imas Nurul Fuadiah ( 1133020096)

Inayah ( 1133020098)

Ismat Fauzi ( 1133020105)

Muamalah / HPS B / VI

Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

2016 M/ 1437 H

i

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena

berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Sholawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni

Nabi Besar Muhammad SAW. Tak lupa juga kepada para thabi‟in yang senantiasa

mengikuti ajaran-Nya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam

pembelajaran mata kuliah Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada

jurusan Muamalah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini

masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penyajian materi-materi

pembahasan, seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena

itu, kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan

dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ini di masa yang akan datang.

Bandung, April 2016

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 4

A. Definisi Putusan ......................................................................................... 4

B. Sifat Putusan .............................................................................................. 5

C. Jenis dan Isi Putusan .................................................................................. 7

D. Kekuatan Putusan ..................................................................................... 10

E. Analisis Kasus .......................................................................................... 15

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengadilan Agama merupakan merupakan pengadilan yang mempunyai

kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan

menyelesaikan perkara – perkara tertentu antara orang – orang yang beragama

islam untuk menegakan hukum dan keadilan.1

Pada awalnya kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan UU No : 7

Tahun 1989 hanya berwenang untuk memeriksa, mengadili, memutus dan

menyelesaikan perkara tertentu antara orang–orang yang beraga islam dan

perkara perdata tertentu seputar perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf

dan sedekah berdasarkan hukum islam. Seiring dengan berjalanan waktu,

kebutuhan masyarakat Indonesia akan keadilan semakin kompleks, tidak hanya

seputar perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah. Semenjak

berkembangnya industri keuangan ekonomi syariah dalam aktivitas ekonomi

masyarakat Indonesia dengan diikutinya problema tentang perbedaan pendapat

dalam realisasi akad, maka menjadi suatu kebutuhan adanya lembaga

pemerintah yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan

menyelesaikan perkara tersebut. Atas dasar tersebut dikeluarkanlah UU No : 3

Tahun 2006 tentang penambahan kewenagan Pengadilan Agama untuk

memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang

Ekonomi Syariah.

Setelah adanya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No : 7

Tahun 1989 ditambah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93 / PUU / X

/ 2012 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama mempunyai kewenangan

Absolut dalam memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara

ekonomi syariah yang ditempuh melalui jalur pengadilan, maka Pengadilan

1 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, ( Bandung : Remaja

Rosdakarya, 1997 ) cet ke 1 hlm 36.

2

Agama dipandang sebagai lembaga yang representatif dan kompeten dalam

menangani perkara ekonomi syariah.2

Hakim adalah unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan

peradilan, yang berimplikasi pada putusan atas suatu perkara. Hakim

merupakan figur sentral yang harus selalu meningkatkan profesionalisme

dalam menegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Tidak hanya

hakim yang dituntut untuk selalu meningkatkan profesionalisme dalam

menegakan hukum dan keadilan, melainkan sudah menjadi keharusan bagi

seluruh jajaran dan korps Pengadilan Agama terlebih ada penambahan

kewenangan dalam menyelesaikan dan memutuskan perkara dibidang ekonomi

syariah yang masih tergolong baru.

Pada dasarnya putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus

perkara dibidang ekonomi syariah adalah untuk menyelesaikan perkara tersebut

dengan seadil – adilnya. Namun tak jarang putusan hakim dipandang oleh

mayoritas masyarakat awam bahkan para pakar sebagai putusan yang tidak

objektif, ditambah dalam realita dan fenomena keadilan di Indonesia dipandang

sebagai keputusan hukum yang tajam kebawah dan tumpul keatas. Sehingga

timbul pemahaman masyarakat bahwa putusan hakim menindas masyarakat

bawah.

Atas dasar uraian tersebut, maka kami tertarik untuk menganalisis dan

menulis jurnal dengan judul “ ANALISA PUTUSAN HAKIM DALAM

PERKARA EKONOMI SYARIAH “

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, bahwa putusan hakim harus

dapat menyelesaikan perkara dibidang ekonomi syariah, namun realitas

pemahaman yang berkembang terkadang masih terdapat putusan hakim yang

menimbulkan kebingungan dalam masyarakat. Oleh karena itu penulis

menuangkan masalah tersebut kedalam beberapa pertanyaan sebagai berikut :

2 Cik Hasan Bisri, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan

Mahkamah Syariah, ( Jakarta : Kencana Persada Media Grup, 2010 ), hlm 99.

3

1. Bagaimana kewenangan Peradilan Agama kaitannya dengan putusan

perkara ekonomi syariah?

2. Bagaimana putusan perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama

kaitannya dengan ketidakpuasan para pihak yang melakukan banding dan

kasasi?

4

BAB II

PENDAHULUAN

A. Definisi Putusan

Putusan adalah suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim dalam

persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri sekaligus menyelesaikan suatu

perkara atau sengketa para pihak. Disisi lain istilah putusan dapat dimaknai

sebagai suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi

wewenang untuk itu, dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk

umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara

pihak yang berperkara.3

Mahkamah Agung dengan surat edarnya no. 5/1959 tanggal 20 April

1959 dan no. 1/ 1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain agar

pada waktu putusan diucapkan konsep harus sudah sudah selesai. Sekalipun

maksud surat edaran ialah mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara,

tetapi dapat dicegah pula adanya perbedaan isi putusan yang diucapkan

dengan yang tertulis. Kalau ternyata ada perbedaan antara yang diucapkan

dengan yang tertulis maka yang sah adalah yang diucapkan lahirnya putusan

itu sejak diucapkan. Tetapi disini ialah pembuktian bahwa yang diucapkan

berbeda dengan yang ditulis. Oleh karena itu setiap berita acara sidang

seyogyanya harus sudah selesai sehari sebelum berikutnya atau paling lama

satu minggu sesudah sidang dan setiap putusan yang akan dijatuhkan sudah

harus ada konsepnya.4

Menurut Pasal 20 UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa semua

putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila

diucapkan dalam siding terbuka untuk umum. Sebelum putusan diambil

majelis hakim secara rahasia melakukan sidang permusyawaratan dan setiap

hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap

3 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan hukum Acara peradilan Agama, bogor: Ghalia Indonesia

2012. Hlm 227 4 Metokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesi, Bandung: Libery, 1993, hlm. 173-174

5

perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dari putusan. Apabila dalam siding permusyawaratan hakim yang rahasia itu

tidak tercapai mufakat bulat maka pendapat hakim yang berbeda wajib

dimuat dalam putusan.

Putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan,

harus memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili. Kemudian setiap putusan harus ditandatangani oleh majelis hakim

yang menyidang seluruhnya ditambah dengan panitera yang ikut serta

bersidang.

Mengenai arti dan pengertian putusan dapat diperhatikan hal-hal

sebagai berikut.

1. Pengertian putusan, menurut bahasa adalah “al-qadha” (keputusan) dan

jamaknya adalah “ aqdhiyyah” yang menurut asal muasal artinya adalah

dikatakan untuk menyempurnakan sesuatu dan menetapkan hukumnya,

menyelesaikan dan memutuskannya.

2. Pengertian putusan menurut istilah “syara” ialah memisahkan sengketa

gugatan dan menyelesaikan, serta memutuskan pertentangan. Keputusan

menurut istilah bahasa belanda dikenal dengan istilah “vonis” dan

“gewijsde” adapun pengertian vonis adalah putusan yang mempunyai

kekuatan hukum pasti sehingga masih ada peluang upaya hukum biasa,

sedangkan gewijsde adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan

hukum yang pasti, sehingga hanya dimungkinkan upaya hukum khusus.

Vonis sering disebut juga dengan “voorlopiggewijsde” sedang gewijsde

disebut juga dengan “terlijskgewijsde”.

B. Sifat Putusan

1. Putusan Deklaratif

Putusan deklaratif adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan

atau menyatakan apa yang sah, misalnya pembayaran angsuran tiga bulan

6

terakhir berturut-turut, maka dinyatakan telah membayar angsuran bulan-

bulan sebelumnya, menyatakan gugatan ditolak dan lain-lain.

2. Putusan Konstitutif

Putusan konstitutif adalah putusan yang bersifat menghentikan atau

menimbulkan hukum baru yang tidak memerlukan pelaksanaan dengan

paksa, misalnya memutuskan hubungan perikatan yang cacat.

3. Putusan Condemnatoir

Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak

yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh majelis

hakim. dalam putusan yang bersifat condemnatoir, amar putusan harus

mengandung kalimat “menghukum tergugat untuk berbuat sesuatu tidak

berbuat sesuatu, menyerahkan sesuatu, membongkar sesuatu ,

menyerahkan sejumlah uang, membagi dan mengosongkan.

4. Putusan Contradictoir

Putusan contradictoir adalah putusan yang diambil dalam hal tergugat

pernah datang menghadap di persidangan. jadi, apabila penggugat pada

hari sidang pertama datang, tetapi pada hari-hari sidang berikutnya tidak

datang, maka perkaranya diperiksa secara contradictoir, kemudian

diputuskannya, artinya diputus di luar hadirnya salah satu pihak yang

berperkara.

5. Putusan Verstek

Putusan verstek adalah putusan diambil hal tergugat tidak pernah

hadir di persidangan, meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut,

maka gugatan dikabulkan dengan putusan diluar hadirnya tergugat, kecuali

apabila gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan putusan verstek itu

pada prinsipnya untuk melealisir asas “audit at alteram parterm”.5

5 Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, bogor:

Ghalia Indonesia 2010. Hlm 102

7

C. Jenis dan Isi Putusan

Memerhatikan pasal 185 (1) HIR dan Pasal 196 RBg, isi putusan

dibedakan antara putusan bukan akhir (tussen vonnis) dan putusan akhir (eind

vonnis). Adapun jenis-jenis putusan sebagai berikut.6

1. Putusan Sela (Tussen Vonnis)

Putusan sela (Tussen Vonnis) adalah putusan yang diadakan

sebelum hakim memutuskan perkaranya demi untuk mempermudah

kelanjutan pemeriksaan perkara, putusan sela harus diucapkan oleh jakim

ketua majelis dan harus dimuat dalam berita acara persidangan.

adapun putusan sela itu terdiri atas beberapa bentuk yang berbeda-

beda dan masing-masing memiliki ciri-ciri khusus, yakni sebagai berikut.

a. Pututsan preparatior (Preparatior Vonnis) adalah putusan sebagai

persiapan akhir yang tanpa ada pengaruh terhadap pokok perkara

atau putusan akhir, contoh putusan untuk menggabungkan dua

perkara atau untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi.

b. Putusan Interlucutioir (Interlucutioir vonnis) adalah putusan sela

yang dapat memengaruhi akan bunyi putusan akhir itu.

Contohnya, pemeriksaan saksi, putusan untuk mendengar para

ahli, pemeriksaan setempat, putusan tentang pembebanan pihak,

sumpah dan putusan yang memerintahkan salah satu pihak untuk

membuktikan sesuatu.

c. Putusan Provisionil (Provisionol vonnis) adalah putusan yang

menjawab tuntutan provisional, yakni pemerintah pihak

bersangkutan agar sementara diadakan tindak pendahuluan guna

kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

d. Putusan Insidentil (Insidentiele vonnis) adalah putusan yang

berhubungan dengan insiden, yaitu suatu peristiwa atau kejadian

yang mengehntikan prosedur peradilan biasa. Putusan insidentil

ini belum mempunyai hubungan dengan pokok perkara, sebagai

6 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan hukum Acara peradilan Agama, bogor: Ghalia Indonesia

2012. Hlm 231

8

contoh putusan yang membolehkan seseorang ikut serta dalam

perkara „voeging”, ”urijwaring” atau “tussenkomse”.

2. Putusan Akhir (Eind Vonnis)

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa dalam

suatu tingkatan peradilan tertentu.

Adapun sifat-sifat dari putusan akhir adalah sebagai berikut.

a. Putusan kondemnatior (comdemnatior vonnis)

b. Putusan konsitutif (constitutieve vonnis)

c. Putusan deklaratior (declaratior vonnis)

d. Putusan kontradiktor (contradictior vonnis)

e. Putusan verstek (verstek vonnis)

f. Putusan gugur

3. Kekuatan Putusan

Kekuatan putusan majelis hakim dalam persidangan, dibedakan

menjadi beberapa jenis, yakni sebagai berikut.

a. Kekuatan mengikat, yaitu suatu putusan yang mengikat kepada kedua

belah pihak antara penggugat dan tergugat yang berperkara, untuk

direalisasikan suatu hak secara paksa, dalam hal ini memerlukan suatu

putusan pengadilan berupa akta autentik yang dapat menetapkan hak

itu.

b. Kekuatan pembuktian, yaitu putusan yang berbentuk akta autentik,

yang bertujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak,

yang tidak tertutup kemungkinan dipergunakan untuk mengajukan

upaya hukum, seperti banding,kasasi, dan peninjauan kembali, serta

digunakan sebagai dasar eksekusi.

c. Kekuatan eksekutorial (putusan hakim) yaitu ketetapan yang tegas atas

suatu hak dalam hukum, yang selanjutnya menunutut untuk bisa

direalisasikan.

Mencermati suatu putusan diatas, isi putusan itu dinyatakan sumpah,

keadlian kepada Tuhan “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa “, kalimat ini memberi kekuatan eksekutorial terhadap

9

sebuah putusan, hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 UU Nomor 48 Tahun

2009.

4. Susunan dan Isi Putusan

Mengenai susunan dan isi putusan diataur dalam Pasal 178, 182,

183 dan 185 HIR, serta diatur dalam Pasal 194, 195, dan 198 R.Bg,

bahwa putusan hakim terdiri atas empat bagian, yaitu sebagai berikut.7

Pertama, kepala putusan, yakni setiap putusan pengadilan harus

mempunyai kepala pada bagian atas “putusan” atau “penetapan”. Adapun

kalimay kepala putusan atau penetapan adalah “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kedua, identitas para pihak, yakni dalam setiap putusan atau penetapan

harus memuat identitas para pihak, yakni: nama, umur, agama, pekerjaan,

alamat dan nama pengacara apabila ada.

Ketiga, pertimbangan, yakni berkaitan dengan pertimbangan dalam

putusan, yang sering disebut dengan konsederani yang merupakan dasar

dari putusan. Adapun pertimbangan terbagi menjadi dua bagian.

a. Pertimbangan mengenai duduk perkaranya atau peristiwanya

(kejadiannya); dan

b. Pertimbangan mengenai hukumnya.

Berkaitan dengan pertimbangan duduk perkaranya adalah memuat

hal-hal sebagai berikut.

1) Gugatan dan jawaban,replik dan duplik dalam praktik dimuat secara

ringkas dan jelas, begitupun tidak tertutup kemungkinan untuk

dimuat seluruhnya.

2) Alat-alat bukti yang diajukan di muka persidangan oleh pengguagat

atua tergugat.

3) Kesimpulan yang diperoleh dari masing-masing pihak, baik

penggugat maupun tergugat, sehingga kepada para pihak dapat

mengerti apa yang menjadi pokok masalah dan jalannya

pemeriksaan pada saat dilangsungkan persidangan.

10

Keempat, amar (dictum), ada dua bentuk dalam amar putusan, yakni

sebagai berikut.

1) Deklaratif, yaitu penetapan yang bersumber dari hubungan hukum yang

menjadi sengketa.

2) Dispositif, yaitu yang memberi hukum atau hukumannya atau yang

menyifati untuk mengabulkan suatu gugatan atau menolak suatu gugatan.

D. Kekuatan Putusan

HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan

mempunyai 2 macam kekuatan : kekuatan mengikat, dan kekuatan

eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.

1. Kekuatan Mengikat

Untuk Kekuatan mengikat, yaitu suatu putusan yang mengikat

kepada kedua belah pihak antara penggugat dan tergugat yang berperkara,

untuk direalisasikan suatu hak secara paksa, dalam hal ini memerlukan

suatu putusan pengadilan berupa akta autentik yang dapat menetapkan

hak itu. Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan

suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau sengketanya

kepada pengadilan atau Hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini

mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tundukdan

patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu

haruslah dihormati kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh

bertindak bertentangan dengan putusan.8

Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat: mengikat kedua

belah pihak (ps, 1917 BW). Terikatnya para pihak kapada putusan

menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar

tentang kekuatan mengikat daripada putusan.

a. Teori hukum Materiil

Menurut teori ini maka kekuatan mengikat daripada putusan

yang lazimnya disebut “geza van gewijsde” mempunyai sifat hukum

8 Metokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesi, Bandung: Libery, 1993, hlm. 178

11

materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang

terhadap dan kewajiban keperdataan: menetapkan,

menghapuskanatau mengubah. Menurut teori ini putusan itu dapat

menimbulkan atau meniadakan hubungan hukum. Jadi putusan

merupakan sumber materiil. Suatu tuntutan atau pelunasan hutang

dari penggugat yang dikabulkan oleh pengadilan menyebabkan

penggugat menjadi kreditur, sekalipun putusannya belum tentu

benar. Demikian pula kalau pengadilan mengabulkan tuntutan

tentang hak milik, maka karena putusan penggugat menjadi pemilik.

Sebaliknya tuntutan untuk membayar sejumlah uang ditolak oleh

pengadilan itu berarti bahwa tuntutanya batal. Disebut

sebagai ajaran hukum materiil karena memberi akibat yang bersifat

hukum materiil pada putusan. Mengingat bahwa putusan itu hanya

mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori

ini tidaklah tepat. Ajaran ini tidak memberi wewenang untuk

mempertahankan hak seseorang terhadap pihak ketiga. Ajaran ini

sekarang telah lama ditinggalkan.

b. Teori Hukum Acara

Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil,

melainkan sumber daripada wewenag prosesuil. Siapa yang dalam

suatu putusan diakui sebagai pemilik, maka ia dengan sarana

prisesuil terhadap lawannya dapat bertindak sebagai pemilik. Baru

apabila undang-undang mensyaratkan adanya putusan untuk

timbulnya keadaan hukum baru, maka putusan itu mempunyai arti

hukum materiil. Akibat putusan itu bersifat hukum acara, yaitu

diciptakannya atau dihapuskan wewenang dan kewajiban prosesuil.

Ajaran ini sangat sempit, sebab suatu putusan bukanlah semata-mata

hanyalah sumber wewenang persesuil, karena menuju kepada

penetapan yang pasti tentang hubungan hukum yang merupakan

pokok sengketa.

c. Teori Hukum Pembuktian

12

Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang

ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat

oleh karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak

diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah yang sudah

tidak banyak penganutnya.

d. Terikatnya Para Pihak pada Putusan

Tetikatnya para pihak kepada pihak kepada dapat putusan dapat

mempunyai arti positif dan dapat pula arti negatif.

1) Arti Positif

Arti positif daripada kekuatan mengikat sesuatu putusan

ialah bahwa apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku

sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus

dianggap benar: res judicata pro veritate hebetur. Pembuktian lawan

tidak dimungkinkan . terikatnya para pihak ini didasarkan pada

undang-undang (ps. 1917, 1920 BW).

2) Arti negatif

Arti negatif daripada kekuatan mengikat suatu putusan ialah

bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus

sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara

yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak akan mempunyai akibat

hukum: nebis in idem (ps. 134 Rv). Kecuali berdasarkan atas pasal

134 Rv kekuatan mengikat dalam arti negatif ini juga didasarkan

pada asas “litis finiri opertet”, yang menjadi dasar ketentuan tentang

tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum: apa yang pada

suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi

kepada hakim. Dalam hukum acara kita putusan mempunyai

kekuatan dalam mengikat baik arti positif maupun negatif (ps. 1917,

1920 BW, 134 Rv).

13

e. Kekuatan Hukum yang pasti

Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap

(kracht van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa

tersedia. Termasuk upaya hukum biasa ialah perlawanan,

banding dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang

pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh

pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang

khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga.

Pasal 1917 ayat 1 BW berbunyi, bahwa kekuatan mengikat

daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan (onderwerp van

het vonnis)

Sutu putusan itu terdiri dari bagian yang merupakan dasar dari

putusan dan bagian yang merupakan putusn itu sendiri atau yang

lazim disebut amar (dictum). Timbullah pertanyaan, apakah dan

sampai berapa jauhkah masing-masing bagian dari putusan itu

mempunyai kekuatan mengikat ?

Suatu putusan hakim sekalipun terdiri dari dasar putusan dan

dictum, namun merupakan suatu kesatuan, sehingga kekuatan

mengikat dari putusan itu umumnya tidak terbatas pada dictun saja,

tetapi meliputi juga bagian dari putusan yang merupakan dasar

putusan. Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi

penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam

suatu putusan telah mengconstatir suatu peristiwa tertentu

berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain

peristiwa tersebut masih disengketakan.

2. Kekuatan Eksekutorial

Suatu keputusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu

persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak

berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumannya saja,

melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (ekskutorialnya) secara

14

paksa. Kekuatan mengikat saja dari dari suatu putusan pengadilan

belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat realisir

atau dilaksanakan. Oleh karena itu putusan itu menetapkan dengan tegas

hak atau hukumnya untuk kemudian realisir, maka putusan hakimm

memounyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya

apa yang ditetapkan itu secara paksa oleh alat-alat negara.

Apakah ada persyaratannya bagi suatu putusan untuk memperoleh

kekuatan eksekutorial ? Peradilan di Indonesia dilakukan “demi keadilan

berdasarkan keTuhan yang maha Esa” (ps, 4 1 UU. 14/1970) dan semua

putusan pengadilan diseluruh Indonesia harus diberi kepala di bagian

atasnya yang berbunyi: “ Demi keadilan berdasarkan keTuhanan yang

maha Esa” (ps. 435 Rv jo. Ps . 4 ayat 1 UU 14/1970) suatu akta

notariilpun akan mempunyai kekuatan yang sama dengan suatu putusan

pengadilan apabila dibubuhi kata-kata: “Demi keadilan berdasarkan

keTuhanan Yang Maha Esa” (ps. 224 HIR, 258 Rbg, 440 Rv). Dapat

ditafsirkan dari pasal 224 HIR (ps. 258 Rbg) bahwa “mempunyai

kekuatan yamg sama dengan putusan pengadilan “berarti bahwa akta

notariilpun yang diberi kata-kata “ Demi Keadilan berdasarkan

keTuhanan Yang Maha Esa “ dibagian atasnya dapat dilaksanakan atau

dijalankan seperti putusan pengadilan yang memang harus mempunyai

kepala ekskutorial itu.

Dapatlah ditarik kesimpulan dari apa yang diuraikan di atas, bahwa

kata-kata “Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”

memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan-putusan di Indonesia.

15

E. ANALISIS KASUS

1. Kasus

Pada awalnya para Penggugat tersebut adalah suami isteri, dan pada

tanggal 30 Juli 2008 telah mengikatkan diri dengan cara melakukan

perjanjian kerja sama peminjaman sertifikat tanah dengan pihak Tergugat II

yang diwakili oleh Tergugat III sebagai Direktur Amratani Group;

berdasarkan surat perjanjian kerja sama peminjaman sertifikat tanah tersebut,

pihak pertama adalah Tergugat II yang diwakili oleh Tergugat III selaku

Direktur Amratani Group dan pihak kedua adalah Penggugat I (Budi Legowo

SP.) serta pihak Penggugat II (Akhadina Nurhayati Agustien) isteri

Penggugat I yang merupakan Pemilik Sertifikat Tanah SHM Nomor 05074

luas tanah 357 m² yang di atasnya berdiri bangunan rumah yang permanen

(yang dikenal dengan obyek sengketa) dan juga merupakan obyek perjanjian

peminjaman sertifikat tanah tersebut;

Secara historis jaminan tanah milik Penggugat II berada di tangan

Tergugat I berawal dari perjanjian utang piutang antara para Tergugat II

(Pusat Koperasi Syariah Baitul Maal Wal Tamwil Amratani) sebagai debitur

dengan Tergugat I sebagai kreditur, dengan piutang sebanyak

Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah) dengan jaminan

beberapa sertifikat tanah milik pihak lain (secara kolektif), hal ini dibuat akad

perjanjian melalui Notaris Wahyu Wiryono, S.H., Notaris di Yogyakarta Akta

Nomor 72 tanggal 27 Desember 2007, antara lain sertifikat tanah yang

dijaminkan oleh Tergugat II adalah Sertifikat Tanah Milik Prof. DR.

Kuswandi sebagaimana tersebut dalam Sertifikat Tanah Hak Milik Nomor

658/Kelurahan Maguwoharjo, tanah tersebut terletak di Cassa Grande Blok

III Nomor 309, Maguwoharjo, Sleman, seluas 204 m²; Bahwa dengan akal-

akalan dan atau tipu muslihat Tergugat II dengan Tergugat I pada waktu itu,

sehingga jaminan sertifikat tanah milik Prof. DR. Kuswandi sebagaimana

tersebut di atas ditarik keluar sebagai jaminan oleh Tergugat II bekerja sama

dengan Tergugat I dan diganti dengan sertifikat tanah milik Penggugat II,

yakni Sertifikat Tanah Hak Milik Nomor 05074 atas nama Akhadina

16

Nurhayati Agustine (Penggugat II isteri dari Penggugat I) luas 357 m² yang

terletak di Ngestiharjo Kasihan Bantul (obyek sengketa) sehingga dengan

perbuatan Tergugat I dan Tergugat II ini yang menjerat para Penggugat yang

semula hanya dipinjam sertifikat tanah milik Penggugat II kemudian ternyata

dijadikan jaminan pengganti oleh Tergugat II kepada Tergugat I berdasarkan

adendum akad pembiayaan mudharabah tanggal 28 Juli 2008, dengan

demikian Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan

hukum dan atau fasakh dan pihak Tergugat I dan Tergugat II adalah pihak

yang beritikad tidak baik; 10 Bahwa terkait adanya tanda tangan para

Penggugat dalam adendum akad pembiayaan mudharabah tanggal 28 Juli

2008 tersebut, yang seakan-akan mengetahui dan menyetujui adalah tulisan

tambahan yang pada waktu itu oleh para Tergugat II, III dan IV menyodorkan

adendum tersebut, dengan ancaman bahwa jika tidak ditandatangani, maka

dana dari pihak Tergugat I tidak akan keluar, padahal sebenarnya semua dana

yang dikeluarkan oleh Tergugat I yang menerima adalah Tergugat I

semuanya dan para Penggugat sama sekali tidak menerima uang pinjaman

dari Tergugat I tersebut, sehingga secara hukum tidak bisa dipertanggung-

jawabkan secara hukum untuk mengembalikan pinjamannya, hanya secara

formal para Penggugat yang seakanakan meminjam uang pada Tergugat I dan

hal ini tidak adil secara hukum syariah, sehingga dengan demikian, tindakan

dan perbuatan Tergugat I dan para Tergugat II, III dan IV bertentangan

dengan Syariat Islam, yakni salah satu tujuan akad harus dibenarkan syariat,

jika mengandung tipu muslihat, ancaman dan pura-pura, maka akad tersebut

dinyatakan tidak sah (vide Buku Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum

Perdata Islam) karangan KH. Ahmad Azhar Basyir penerbit UUI Press

cetakan ketiga Januari 2009 halaman 100);

1. Putusan Peradilan Agama, Mengadili :

DALAM PROVISI :

• Menyatakan tuntutan Provisi Para Penggugat tidak dapat diterima.

17

DALAM EKSEPSI :

1. Mengabulkan eksepsi Tergugat I.

2. Menyatakan bahwa Pengadilan Agama Bantul tidak berwenang untuk

memeriksa dan mengadili perkara a quo.

3. Menghukum Para Penggugat untuk membayar semua biaya perkara ini

yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 881.000,-- (delapan ratus delapan

puluh satu ribu rupiah).

Demikian putusan ini diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum

pada hari Senin, tanggal 26 Nopember 2012 Masehi, bertepatan dengan

tanggal 12 Muharram 1434 Hijriyah, oleh kami Drs. H. M. SYAFI‟IE

THOYYIB, SH, M.H. selaku Ketua Majelis dan Dra. ROSMALIAH,

S.H.,M.S.I. serta Dra. ULIL USWAH, M.H. masingmasing selaku Hakim

Anggota, dengan dibantu oleh Dra. SUHADIYAH selaku Panitera Pengganti,

dengan dihadiri oleh Kuasa Hukum Para Penggugat dan Kuasa Hukum

Tergugat I, tanpa hadirnya Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV. 9

2. Dalam Tingkat Banding, Menimbang :

Permohonan para Penggugat putusan Pengadilan Agama Bantul

tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta dengan

putusan Nomor 05/Pdt.G/2013/ PTA.Yk. tanggal 21 November 2013 M.

bertepatan dengan tanggal 17 Muharram 1435 H. yang amarnya sebagai

berikut:

• Menyatakan permohonan banding Pembanding dapat diterima;

• Membatalkan putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor

0328/Pdt.G/2012/ PA.Btl. tanggal 26 November 2012 Masehi, bertepatan

dengan tanggal 12 Muharram 1434 Hijriyah, selanjutnya mengadili

sendiri;

DALAM EKSEPSI:

9 putusan.mahkamahagung.go.id putusan Nomor : 0328/Pdt.G/2012/ PA.Btl. diakses pada tanggal

08 April 2016, pukul 16.55

18

• Mengabulkan eksepsi Tergugat sebagian dan menolak selebihnya;

• Menyatakan Pengadilan Agama Bantul tidak berwenang mengadili

sengketa tentang sah atau tidak sahnya akad pembiayaan Al-

Mudharabah Nomor 72, tanggal 21 Desember 2007 berikut

adendumnya;

• Menyatakan Pengadilan Agama Bantul berwenang mengadili sengketa

pembebanan hak tanggungan;

DALAM PROVISI

• Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;

DALAM KONVENSI:

• Menolak gugatan Penggugat Konvensi tentang pembatalan hak

tanggungan atas tanah milik Penggugat Konvensi II sebagaimana

ternyata dalam Sertifikat Hak Tanggungan Nomor 03422/2008 yang

diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul berikut segala

akibat hukumnya;

• Menyatakan gugatan Penggugat Konvensi selebihnya tidak dapat

diterima;

DALAM REKONVENSI

• Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi seluruhnya;

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

• Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi/Pembanding

untuk membayar biaya perkara pada tingkat pertama sebesar

Rp881.000,00 (delapan ratus delapan puluh satu ribu rupiah) dan pada

tingkat banding sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah)

secara tanggung renteng;

19

3. Tingkat Kasasi, mengadili :

Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: 1. BUDI

LEGOWO, SP., 2. AKHADINA NURHAYATI AGUSTIEN tersebut;

Menghukum para Pemohon Kasasi/para Penggugat untuk membayar biaya

perkara dalam tingkat kasasi sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim

pada hari Senin tanggal 29 September 2014 oleh Prof. Dr. H. ABDUL

MANAN, S.H., S.IP., M.Hum., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua

Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. MUKHTAR ZAMZAMI,

S.H., M.H. dan Dr. H. HABIBURRAHMAN, M.Hum., Hakim-Hakim Agung

sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari

itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut dan

dibantu oleh Drs. H. YAYAN ATMAJA, S.H., M.H., Panitera Pengganti,

dengan tidak dihadiri oleh para pihak;10

2. Kewenangan Hakim Pengadilan Agama Kaitannya Dengan Putusan

Perkara Ekonomi Syariah

Kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk mengambil suatu

kebijaksanaan dalam memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang

menentukan : “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”.

Berdasarkan aturan hukum tersebut, terdapat norma hukum

“mewajibkan Hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk memenuhi

norma tersebut, maka Hakim harus mengambil kebijaksanaan hukum”.

Penentuan atas tuntutan rasa keadilan yang harus diterapkan oleh Hakim

10

putusan.mahkamahagung.go.id Putusan Nomor 410 K/Ag/2014 di akses pada tanggal 08 April

2016, pukul 16.42

20

dalam memutus suatu perkara, secara teori para Hakim akan melihat

“Konsep-konsep keadilan yang telah baku”. Konsep keadilan tersebut

sepanjang sejarah telah banyak macamnya, sejak zaman Yunani Kuno dan

Romawi keadilan dianggap sebagai salah satu dari kebajikan utama (cardinal

virtue). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang

mengikat para anggota masyarakat dalam hubungannya yang satu terhadap

yang lainnya.

Berhubungan erat dengan pengertian tersebut di atas konsepsi tentang

keadilan sebagai unsur ideal, suatu cita atau sebuah ide yang terdapat dalam

hukum. Dalam pengertian ini keadilan sering diartikan terlampau luas

sehingga tampak berbaur dengan seluruh isi dari moralitas.

Dalam bidang hukum pada umumnya keadilan dipandang sebagai

tujuan akhir (end) yang harus dicapai dalam hubungan-hubungan hukum

antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan pemerintah

dan lembaga-lembaga negara yang berdaulat serta perseorangan dengan

masyarakat lainnya. Tujuan mencapai keadilan itu melahirkan konsep

keadilan sebagai hasil (result) atau keputusan (decision) yang diperoleh dari

penerapan atau pelaksanaan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum. Pengertian

keadilan ini dapat disebut keadilan prosedural (“Procedural justice”) dan

konsep inilah yang dilambangkan dengan dewi keadilan, pedang, timbangan

dan penutup mata untuk menjamin pertimbangan yang tak memihak dan tak

memandang orang. Sejalan dengan ini pengertian keadilan sebagai suatu asas

(principle). Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah

umum tanpa memperhatikan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang

diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat

bagi perbuatan itu.

Ciri atau sifat konsep keadilan dapat diikhtisarkan maknanya sebagai

berikut : adil (just), bersifat hukum (legal), sah menurut hukum (lawful), tak

memihak (impartial), sama hak (equal), layak (fair), wajar secara moral

21

(equitable), benar secara moral (righteous). Dari perincian tersebut ternyata

bahwa pengertian konsep keadilan mempunyai makna ganda yang

perbedaannya satu dengan yang lain samar-samar atau kecil sekali. Dalam

setiap pengambilan kebijaksanaan oleh Hakim, maka Hakim selalu

berlindung kepada Upaya Hukum yaitu Banding, Kasasi dan Peninjauan

Kembali, artinya apabila Hakim Tingkat Pertama mengambil kebijaksanaan

dalam memutus perkara tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang harus

dipatuhi, maka solusinya dipersilahkan naik banding untuk diuji

kebijaksanaan tersebut, demikian pula kebijaksanaan hukum yang diambil

oleh Hakim Tingkat banding apabila melanggar standard suatu norma hukum,

pengujiannya melalui Kasasi Mahkamah Agung RI dan seterusnya sampai

pengujian di Peninjauan Kembali, oleh karena itu diperlukan norma hukum

sebagai standard bagi para Hakim dalam hal pengambilan suatu

kebijaksanaan hukum untuk memutus perkara.

Sampai saat ini pengawasan terhadap pengambilan kebijaksanaan oleh

para Hakim dalam memutus perkara belumlah begitu efektif untuk

diterapkan. Hal ini terbukti belum adanya para Hakim yang diproses secara

pidana karena melanggar standard norma yang harus dipatuhi oleh para

Hakim dalam hal pengambilan suatu kebijaksanaan hukum untuk memutus

perkara. Dengan demikian penegakan hukum terhadap tindakan Hakim dalam

pengambilan suatu kebijaksanaan hukum mutlak diperlukan, baik penegakaan

hukum administrasi maupun penegakan hukum pidana terhadap para Hakim

yang melanggar standard norma hukum yang telah ditetapkan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hakim dalam memutus

perkara ekonomi syariah selalu dihadapkan pada persoalan keadilan, artinya

Hakim selalu dituntut berlaku adil dalam memutuskan suatu perkara yang

dihadapinya. Persoalan yang dihadapi Hakim untuk menuju suatu keadilan

adalah menghadapi suatu kasus yang dilatar belakangi oleh perbedaan latar

belakang, motivasi terjadinya suatu kasus dan lain-lain sekalipun persoalan

hukum dari beberapa kasus yang sama. Oleh karena itu untuk menuju suatu

22

keadilan tersebut diperlukan standard norma hukum sebagai patokan bagi

para Hakim dalam memutus perkara, sehingga tidak terjadi lagi adanya

Contempt of Court. 11

3. Putusan Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama Kaitannya

Dengan Ketidakpuasan Para Pihak Yang Melakukan Banding Dan

Kasasi.

Berdasarkan kasus di atas, penggugat I maupun II tidak puas dengan

keputusan hakim, karena sertifikat tanah yang mereka miliki tidak kembali,

dan mereka hanya diberikan ganti rugi sebesar Rp. 450.000.000 namun, pihak

penggugat harus mengikuti keputusan tersebut karena keputsan tersebut

bersifat Deklaratif serta kekuatan hukum tersebut termasuk pada kekuatan

hukum yang pasti.

kekuatan hukum yang pasti atau tetap (kracht van gewijsde) apabila tidak

ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa

ialah perlawanan, banding dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum

yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh

pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus,

yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Jadi Pada intinya pihak

penggugat

11

http://www.dilmil-banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=8 diakses pada 8 april

2016 pukul 17:01

23

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Putusan adalah suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim

dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri sekaligus

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak. Sifat putusan

diantaranya Putusan Deklaratif, Putusan Konstitutif, Putusan

Condemnatoir, Putusan Contradictoir, Putusan Verstek. Putusan

mempunyai dua macam kekuatan : kekuatan mengikat, dan kekuatan

eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah putusan

Pengadilan Negeri yang telah diterima oleh kedua belah pihak yang

berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak

diajukan verset atau banding. Atau, putusan Pengadilan Tinggi yang

diterima oleh kedua belah pihak dan tidak domohonkan kasasi; dan

putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.

B. Saran

Adapun saran yang dapat kami berikan setelah menyusun makalah

ini ialah kita sebagai mahasiswa hendaknya lebih memahami tentang

putusan perkara, agar kita dapat peka dalam memahami masalah-masalah

sengketa pada ekonomi syariah, juga dapat mengetahui lebih luas

mengetahui Mata kuliah hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

24

DAFTAR PUSTAKA

Bisri, Cik Hasan . 1997. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia.

Bandung : Remaja Rosdakarya.

Bisri, Cik Hasan. 2010. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di

Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah, Jakarta : Kencana Persada

Media Grup.

Dewi, Gemala. 2005 Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di

Indonesia.Jakarta : Kencana

Gautama, Sudargo. 1998. Hukum Perdata Internasional. Bandung : PT Eresko

Mardani, 2009. hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah.

Jakarta : Sinar Grafika

Metokusumo, Sudikno. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesi, Bandung: Libery.

Mujahidin, Ahmad. 2010. kewenangan dan prosedur penyelesaian sengketa

ekonomi syariah di indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia

Mujahidin, Ahmad. 2010. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di

Indonesia. bogor : Ghalia Indonesia.

Mujahidin, Ahmad.2012. Pembaharuan hukum Acara peradilan Agama. bogor:

Ghalia Indonesia

Gautama, Sudargo. 1998. Hukum Perdata Internasional. Bandung : PT Eresko

putusan.mahkamahagung.go.id putusan Nomor : 0328/Pdt.G/2012/ PA.Btl.

diakses pada tanggal 08 April 2016, pukul 16.55

putusan.mahkamahagung.go.id Putusan Nomor 410 K/Ag/2014 di akses pada

tanggal 08 April 2016, pukul 16.42

http://www.dilmil-banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=8

diakses pada 8 april 2016 pukul 17:01