politik hidayah: analisis mitos dan kuasa dalam tayangan sinema reliji
TRANSCRIPT
1
Politik Hidayah: Analisis Mitos dan Kuasa dalam Tayangan Sinema Reliji1
Ikwan Setiawan Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember
Pendahuluan
Kehadiran televisi swasta di Indonesia telah memberikan atmosfer yang
‘semakin meriah’ dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Banyaknya
stasiun televisi dan program-program yang ditawarkan, tidak bisa dipungkiri,
telah memberikan alternatif-alternatif tontonan yang mampu menghadirkan
‘ritual’ bagi para audiens. Dari selepas subuh hingga menjelang subuh lagi,
penonton bisa menikmati acara-acara sesuai dengan selera mereka, dari pernik-
pernik dunia dapur, film, hingga gosip-gosip terhangat seputar selebritis yang
bercerai tersaji lengkap. Dengan kata lain, maraknya stasiun televisi swasta telah
memberikan peluang bagi lahirnya “demokratisasi tontonan dan selera” yang
pada masa satu televisi—TVRI—tidak pernah dinikmati audiens karena mereka
hanya menikmati acara-acara yang dikontrol dengan ketat oleh negara2.
Era reformasi yang oleh banyak aktivis, politikus, intelektual, maupun
tukang becak seringkali diagung-agungkan sebagai masa keterbukaan yang akan
mengantarkan bangsa ini ke gerbang pencerahan yang lebih demokratis, harus
diakui semakin membuka peluang bagi munculnya televisi-televisi baru, baik
yang berlokasi di Jakarta3 maupun daerah4. Era keterbukaan ini membawa angin
segar pula bagi munculnya program-program yang dulunya tidak pernah
ditayangkan oleh televisi swasta karena alasan kurang bermuatan edukatif atau
1 Artikel ini merupakan tugas akhir matakuliah “Budaya Visual” (Visual Culture) ketika penulis menempuh S-2 di Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2 TVRI dalam masa Orba telah menjadi aparatus hegemonik negara terutama dalam mengkampanyekan politik integritas nasional, termasuk di dalamnya slogan “menjalin persatuan dan kesatuan”. Tampak sekali betapa aparat negara pada waktu itu benar-benar menekankan pentingnya integritas sebagai syarat mutlak berlansungnya pembangunan yang menjadi program Orba. Dengan kata lain TVRI dengan tayangan-tayangan yang dikontrol oleh Departemen Penerangan telah menjadi alat hegemonik yang membuai audiens kala itu. Lebih lanjut baca Krishna Shen, “Television: Transborder, Transmissions, Local Images”, dalam Krishna Sen and David T Hill.2000. Media, Culture, and Politics in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.hlm.108-111. 3 Di Jakarta, misalnya, berdiri RCTI, SCTV, TPI, Trans TV, Lativi, TV 7, Metro TV, serta Global TV. 4 Di daerah berdiri JTV (Jawa Timur TV), Bali TV, Jogja TV, Lampung TV, TA TV (Solo) dan lain-lain.
2
bisa menyebabkan dekadensi moral. Akibatnya tayangan-tayangan yang
berkaitan dengan dunia ghaib, dunia malam, reality show yang mengekspos
kedermawanan, maupun tayangan sinetron remaja tumbuh dengan subur. Yang
menarik adalah bagaimana sebenarnya para kreator program di televisi bisa
dilihat kurang kreatif karena ketika suatu program memiliki rating bagus, maka
segera dibuat program serupa dalam label dan stasiun televisi yang berbeda.
Setelah dunia ghaib5 menjadi trend di televisi swasta, pada waktu yang
tidak terlalu lama muncul trend baru berupa sinema reliji, sebuah sinema televisi
yang menampilkan cerita-cerita yang dikatakan bijak dan agamis dalam
pandangan Islam. Adalah TPI yang pertama-tama menayangkan Sinema Reliji
dan ternyata mendapat sambutan cukup baik dari publik dan menempati rating
atas. Kenyataan itulah yang menjadikan sebagian besar televisi swasta
menayangkan program serupa, kecuali Metro TV. Pun label-label yang
digunakan hampir serupa—Sinema Hidayah (TransTV), Pintu Hidayah dan Maha
Kasih (RCTI), serta Misteri Illahi dan Dua Dunia (Indosiar).
Adalah kenyataan bahwa tayangan-tayangan tersebut merupakan produk
industri media yang membawa kepentingan kapitalis. Tapi, apakah benar bahwa
program-program tersebut hanya semata-mata untuk mencari keuntungan
ketika mereka menjadi trend dan digemari audiens? Titik keberangkatan dari
kajian ini adalah ‘kegalauan’ dan ‘kecurigaan’ penulis ketika melihat
menjamurnya tayangan sinema reliji. Berlandaskan dua hal itu, penulis
mengasumsikan bahwa dalam tayangan-tayangan yang terkadang menampilkan
gambar-gambar yang tidak masuk akal—seperti mayat penuh belatung—
tersebut sepertinya menyampaikan ‘sesuatu’. Artinya ada representasi wacana
yang hendak disampaikan kepada audiens. Dan, di balik wacana-wacana yang
disusun dengan apik melalui dinamisasi gambar-gambar visual bisa jadi terdapat
sebuah kepentingan ideologis yang terselip dalam tayangan-tayangan sinema reliji.
5 Program dunia ghaib ini mempertontonkan bagaimana peserta ditantang untuk datang ke tempat-tempat angker dengan harapan mereka akan melihat penampakan, meskipun sangat jarang tampak. Beberapa tayangan dunia ghaib antara lain: Dunia Lain (LaTivi) dan Uka-Uka (TPI), Kismis (Kamis Misteri RCTI).
3
Memahami Representasi: Mitos, Diskursus, dan Kuasa
Untuk memperoleh analisis yang komperhensif, penulis menganggap
tayangan sinema reliji sebagai teks yang bisa dikaji melalui model pendekatan
yang dianggap sesuai dengan tujuan analisis. Dalam hal ini model pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan diskursus (discourse approach) dengan rujukan
pada kajian Stuart Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and
Signifying Practice yang banyak menggunakan teori semiotika ala Roland Barthes
serta diskursus dan kuasa-nya Michel Foucault. Di samping itu, untuk semakin
memperkuat analisis penjelasan teoritik tentang bagaimana memperlakukan teks
televisi dari John Fiske dalam bukunya Television Culture juga dijadikan rujukan
penting.
Representasi
Sebuah tayangan televisi tidak bisa dipungkiri merupakan representasi dari
wacana tertentu yang ditawarkan kepada audiens. Memang sebagai produk, bisa
dikatakan, bahwa ia seolah-olah netral, tanpa tendensi ideologis, misalnya.
Namun, ketika diperhatikan dengan pendekatakan wacana sebenarnya ia
menawarkan representasi tertentu. Stuart Hall mendefinisikan representasi
sebagai (1) penggunaan bahasa untuk sesuatu yang bermakna atau
merepresentasikan dunia yang penuh makna kepada orang lain; (2) bagian
penting dari proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan oleh anggota
kebudayaan; (3) produksi makna melalui bahasa, dan; (4) produksi makna konsep
dalam pikiran kita melalui bahasa (proses mental)6. Dari beberapa definisi
sederhana tersebut, representasi bisa difokuskan sebagai makna yang diproduksi
melalui penggunaan ‘bahasa’. Tentu saja bahasa di sini bukan semata-mata
bahasa tulis atau ucap, tetapi bahasa bisa diterjemahkan dalam konteks yang
lebih luas. Lukisan, foto, patung, maupun tayangan televisi merupakan bentuk
lain bahasa yang bisa dianggap sebagai ‘teks ideologis’.
Ketika tayangan diperlakukan sebagai bahasa, analisis struktur menjadi
penting—bukan semata-mata untuk mengkaji jalinan cerita, tetapi dengan
memahami struktur sebagai sistem representasi yang mengintrodusir makna dan
6 Stuart Hall (ed). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University Press.hlm.17-19.
4
relasi-relasi kuasa. Menurut Hall, terdapat dua sistem representasi, yang
berkaitan satu sama lain7. Pertama, representasi mental yaitu sistem yang terdiri
dari objek-objek, orang-orang, atau peristiwa-peristiwa yang dihubungkan
dengan rangkaian konsep yang kita bawa dalam pikiran. Artinya ketika melihat
sebuah tayangan, di situ kita bisa menemukan peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh,
maupun alur cerita yang biasa kita temukan dalam kehidupan nyata. Dengan
kata lain setiap individu sudah membawa ‘peta konseptual’ (conceptual map) ketika
menyaksikan sebuah tontonan di televisi. Peta konseptual inilah yang nantinya
akan membantu dalam menemukan representasi. Masalahnya, sangat mungkin
antarindividu memiliki peta konseptual yang berbeda. Meskipun demikian dalam
sebuah masyarakat yang secara umum memiliki tradisi kebudayaan yang sama
kita bisa jadi memiliki peta konseptual serupa sehingga akan lebih mudah
menemukan representasi yang ada. Kedua, bahasa, dimana di dalamnya terjadi
proses menyeluruh dalam mengkonstruksi makna. Bahasa di sini—sebagaimana
dibicarakan di atas—bukan hanya meliputi teks kata atau ucapan, tetapi
mencakup tanda-tanda yang terorganisir sehingga bahasa bisa jadi terdiri dari
kata-kata, percakapan, ataupun citra-citra visual.
Lalu, bagaimana kita bisa mengkorelasikan peta konseptual dengan bahasa
yang ada dalam sebuah tayangan televisi yang seringkali bersifat arbitrer
sehingga bisa menemukan makna. Di sinilah fungsi kode (code) yang sangat
dibutuhkan. Kode inilah nantinya yang menetapkan hubungan antara konsep dan
makna. Selanjutnya Fiske menjelaskan untuk bisa melakukan proses pemaknaan
dalam sebuah tayangan televisi, seorang audiens ataupun pengkaji hendaknya
memahami beberapa level kode—ia menggunakan istilah kode sosial (social
codes)—yang meliputi: (1) level realitas yang meliputi penampilan, pakaian, make-
up, lingkungan, kebiasaan, cara bicara, gesture, ekspresi, suara, dan lain-lain; (2)
level representasional, yakni kode-kode representasional konvensional yang
membentuk representasi antara lain cerita, konflik, tokoh, aksi, dialog, setting,
dan lain-lain; (3) level ideologi yang diorganisir dalam koherensi dan aseptabilitas
sosial oleh kode-kode ideologis seperti individualisme, patriarki, ras, kelas,
materialisme, kapitalisme, dan lain-lain.8
7 Ibid. 8 John Fiske.2002.Television Culture. London: Routledge.hlm.5-6.
5
Teori-teori representasi: dari mitologi menuju diskursus
Ada teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan bagaiamana representasi
makna melalui bahasa bekerja9. Pertama, pendekatan refleksif yang mana
makna dipikirkan sebagai sesuatu yang melekat pada objek, orang, ide atau
peristiwa di dunia nyata sehingga bahasa berfungsi sebagai cermin yang
merefleksikan makna sebenarnya sebagaimana sudah ada di dunia. Kedua,
pendekatan intensional yang mana pembicara atau pengaranglah yang
memaksakan maknanya tentang dunia melalui bahasa. Ketiga, pendekatan
konstruksionis yang mana menganggap bahwa benda atau sesuatu tidaklah
bermakna; kitalah yang memberinya makna. Pendekatan terakhir ini
menekankan bahwa bukanlah dunia material yang memberikan makna: sistem
bahasalah atau sistem apalah yang kita gunakan untuk merepresentasikan konsep
kita.
Dengan pemahaman seperti di atas, yang akan digunakan dalam analisis ini
adalah pendekatan konstruksionis yang lebih memungkinkan untuk
memperlakukan teks tayangan sinema reliji dengan pemaknaan ‘bebas’ namun
tetap mempertimbangkan perspektif-perspektif yang diaplikasikan. Adapun
perspektif yang akan digunakan dalam analisis ini adalah (1) perspektif semiotika
(terutama Roland Barthes yang berkaitan dengan mitologi); (2) perspektif
diskursus dan kuasa (Michel Foucault).
Semiotika Barthesian
Dari Barthes penulis akan menggunakan pendekatan perspektif semiotika
tentang mitos yang merupakan penandaan tingkat kedua. Menurut Barthes
sistem representasi berlangsung melalui dua jalur, yakni (1) sistem penandaan
tingkat pertama di mana penanda (signifier) merepresentasikan tinanda/petanda
(signified) dalam hubungan denotatif dan (2) sistem penandaan tingkat kedua di
mana penandaan tingkat pertama merepresentasikan tingkat kedua petanda
dalam hubungan konotatif—yang oleh Barthes disebut mitos atau meta-bahasa.
Dalam kajian ini tayangan sinema reliji dengan elemen-elemen visualnya
diasumsikan merepresentasikan mitos-mitos yang merupakan representasi
ideologi tertentu yang eksis dalam masyarakat.
9 Hall.Op.cit.hlm.
6
Roland Barthes dalam sebuah tulisannya menganalisis sebuah gambar
serdadu hitam Perancis yang memberi hormat kepada bendera nasional Perancis.
Dalam analisisnya ia mengutarakan:
Saya berada di tukang potong rambut, dan sebuah majalah Paris Match disodorkan pada saya. Pada sampul halamannya, seorang negro muda berseragam Perancis sedang memberikan penghormatan, dengan kedua matanya terangkat, mungkin diarahkan pada lipatan bendera triwarna. Semua itu adalah makna (denotatif, penulis) dari foto itu. Namun,….saya mampu melihat dengan baik sekali apa maknanya bagi saya: bahwa Perancis adalah sebuah Kerajaan besar, bahwa seluruh anak-anak negerinya, tanpa ada diskriminasi wana kulit, setia mengabdi pada benderanya, dan bahwa tidak ada jawaban yang lebih baik terhadap para pencela kolonialisme sekutu dibandingkan dengan semangat yang ditunjukkan oleh negro ini dalam melayani para penindasnya. Oleh karena itu, saya….dihadapkan dengan sebuah sistem semiologis yang lebih besar: ada sebuah penanda, yang dengan sendirinya sudah terbentuk dalam sistem terdahulu (seorang prajurit kulit hitam memberikan penghormatan kepada Perancis); ada sebuah petanda (tingkat pertama, penulis) yakni campuran yang disengaja antara sifat ke-Perancis-an dan kemiliteran. Akhirnya, ada suatu kehadiran petanda melalui penanda…imperialisme Perancis.10
Analisis Barthes tentang penandaan tingkat kedua inilah yang kemudian
melahirkan konsep mitos semiologi-nya. Dari sebuah gambar yang sangat
denotatif sebenarnya menyisakan jejak-jejak petanda yang lebih mendalam, dan
itu disebut mitos. Lebih jauh Barthes menjelaskan bahwa mitos merupakan sistem
komunikasi, yakni sebuah pesan, suatu cara penandaan, sebuah bentuk, salah satu jenis
tuturan yang dilakukan dalam wacana, tetapi mitos tidak didefinisikan oleh objek-
objek pesannya, melainkan oleh cara pengungkapan pesan ini.11 Dalam setiap
gambar iklan maupun tayangan film mitos sebenarnya tidak pernah
disembunyikan karena ia memang tidak menyembunyikan apapun. Fungsinya
adalah untuk mendistorsi, bukan menghilangkan sesuatu yang mistis. Jadi fungsi
mitos adalah mentransformasiakn sejarah ataupun kepentingan-kepentingan
yang bersifat khusus agar tampak seolah-olah alamiah.12
Jadi untuk menemukan makna sebenarnya dari sebuah gambar kita terlebih
dahulu harus menemukan perangkat mitos yang disajikan untuk mendistorsi
makna tersebut sehingga orang awam yang membacanya tidak menyadarinya,
kecuali jika ia punya pandangan semiologis. Dalam kasus cover tersebut yang
berfungsi sebagai mitos adalah si Negro yang menghormat sedangkan makna
10 Dikutip dari Dominic Strinati.2004. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Penerbit Bentang.hlm.128-129. 11 Ibid.hlm.126-127. 12 Ibid.hlm.130.
7
sebenarnya adalah kebesaran imperial Perancis.13 Dari pemaknaan tersebut bisa
dikatakan bahwa sebenarnya mitos dalam masyarakat modern tidak pernah
‘netral’, artinya ada tujuan-tujuan dan motivasi-motivasi tertentu di balik pesan
mitis yang disampaikannya melalui gambar ataupun tayangan-tayangan
televisi.14
Kalau merujuk pengertian mitos sebagai sistem penandaan tingkat kedua,
maka di dalam sebuah mitos terdiri dari: bentuk (penanda), konsep (petanda), dan
penandaan (tanda). Dengan kata lain sebenarnya mitos menggunakan sistem
penandaan tingkat satu (berbasis teori linguistik, denotatif) untuk menemukan
makna sebenarnya. Seorang pengkaji harus melihat mitos bukan dengan
menganalisis penandaan tingkat pertama, tetapi menghubungkan makna
penandaan tingkat pertama dengan kode-kode yang sudah ada dalam sebuah
masyarakat.15
Dari analisis mitos yang ada di balik sebuah tayangan, kajian dilanjutkan
pada analisis diskursus dengan perspektif Foucault untuk memperoleh
pemahaman yang lebih komperhensif tentang wacana dan kuasa yang
disampaikan melalui tayangan sinema reliji. Kalau pada analisis semiotik lebih
mendasarkan kajian pada aspek pembentukan makna melalui struktur linguistik,
pada analisis diskursus kajian bisa diperluas pada kecenderungan teks tayangan
sinema reliji sebagai wacana yang mengandung pengetahuan. Dari pengetahuan
yang ditawarkan diskursus bisa dilacak keberadaan relasi kuasa yang dibawa.
Wacana, Pengetahuan, dan Kuasa
Analisis semiotika Barthesian bagaimanapun menggunakan model struktur
linguistik untuk menemukan representasi melalui citra-citra yang
dikonstruksikan dalam tayangan tersebut. Namun di balik representasi mitis
tersebut sebenarnya ada pihak-pihak yang sengaja memainkan tayangan Sinema
Hidayah untuk mengintrodusir wacana-wacana keillahian di tengah-tengah
popularitas media. Dengan kata lain, tayangan sinema reliji dengan formula cerita
dan adegan-adegan visual yang sangat formulaik dan tipikal bisa jadi merupakan
13 Lebih jauh tentang pembahasan ini baca St. Sunardi.2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.hlm.88-91. 14 Ibid.hlm.97-100. 15 Ibid.hlm.101.
8
sebuah wacana dari ‘pihak-pihak tertentu’ yang sengaja ingin membangun sebuah
pengetahuan spesifik sehingga masyarakat akan menganggapnya sebagai sebuah
kebenaran yang sesuai dengan hukum-hukum illahiah. Dengan demikian
pengetahuan ideologis bisa menjadi ‘kebenaran’ (truth) yang diyakini oleh
masyarakat. Di sinilah sebenarnya tengah berlangsung sebuah operasi kuasa
melalui wacana Sinema Hidayah.
Di sinilah pentingnya untuk menggunakan pendekatan pengetahuan dan
kuasa (knowledge and power) yang dicetuskan oleh Michel Foucault. Titik
perhatian dari pemikiran Foucault adalah pada bagaimana proses produksi
pengetahuan melalui apa-apa yang ia sebut sebagai wacana (discourse). Dari proses
itulah kemudian dalam rentang historis tertentu pengetahuan tertentu muncul
menjadi sebuah kuasa. Dengan kata lain apa yang ingin diungkapkan oleh
Foucault adalah adanya relasi-relasi kuasa yang ada di balik pengetahuan tertentu, dan
bukannya relasi-relasi makna. Maka, untuk dapat menemukan representasi dari
relasi-relasi kuasa yang ada dalam Sinema Hidayah, pendekatan diskursif menjadi
sangat signifikan untuk digunakan dalam analisis ini. Untuk mendapatkan
gambaran yang jelas tentang pendekatan diskursif dalam mengkaji representasi
kuasa dalam Sinema Hidayah, analisis ini akan menggunakan pendekatan yang
digunakan oleh Stuart Hall16. Hall menggunakan istilah pendekatan diskursif
lebih pada usahanya untuk mempermudah analisis terhadap fenomena budaya
dengan pemikiran Foucault. Pendekatan ini pada dasarnya mengajak kita untuk
memahami 3 penting, yakni (a) wacana, (b) pengetahuan dan kuasa, dan (c) subjek.
Wacana memang berasal dari terminologi linguistik yang secara sederhana
berarti sekumpulan tulisan atau pembicaraan yang saling berhubungan. Namun,
Foucault memberikan definisi yang berbeda. Hall menjelaskan:
Wacana menurutnya merupakan sekelompok pernyataan yang menghasilkan bahasa untuk berbicara—sebuah cara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang—topik tertentu pada momen historis tertentu, sebuah produksi pengetahuan melalui bahasa. Namun…karena semua praktik sosial melibatkan makna, dan makna membentuk dan mempengaruhi apa yang kita kerjakan—kita laksanakan—(maka) semua praktik mempunyai aspek-aspek diskursif.17
Wacana kemudian sangat menentukan objek-objek pengetahuan kita. Wacana
pulalah yang mengarahkan topik-topik yang dibicarakan dan mempengaruhi
16 Hall. Op.cit.hlm.43-63. 17 Ibid.44.
9
bagaimana ide-ide ditempatkan dalam praktik serta digunakan untuk mengatur
semua pembicaraan dan praktik sesuai dengan topik wacana tertentu.
Karena wacana berfungsi untuk mengatur segala pembicaraan dan praktik
sosial, maka ia tidak pernah hanya terdiri dari satu pernyataan, satu tindakan,
atau satu sumber. Hall mengutip Cousins dan Hussain menerangkan:
Sebuah wacana yang sama, karakteristik dari cara berpikir atau keadaan pengetahuan pada sebuah masa (yang oleh Foucault disebut episteme), akan melintasi tingkatan teks-teks, dan sebagai bentuk-bentuk pelaksanaan, pada sejumlah medan-medan institusional di dalam masyarakat. Bahkan, kapanpun event-event diskursif ini ‘merujuk pada objek yang sama, berbagi gaya yang sama dan……mendukung sebuah strategi…. Bentuk institusional, politis, dan administratif yang umum. Foucault menyebutnya formasi diskursif.18
Satu wacana tentang “kegilaan” (madness), misalnya, pada sebuah rentang historis
tertentu dibicarakan dalam berbagai kesempatan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan sehingga menjadi pembicaraan umum dalam masyarakat.
Kegilaan tengah menjadi formasi diskursif yang mendapatkan perhatian di
mimbar-mimbar akademis, politik, maupun pemerintahan sehingga pada akhirnya
menghasilkan wacana-wacana baru dengan kekuasaan dan kekuatan—yang
akhirnya menjadi ‘kebenaran’—untuk mengendalikan praktik-praktik sosial baru
yang berkaitan dengan kegilaan. Semisal orang-orang gila yang semula bebas
berkeliaran di jalanan, ditempatkan di rumah sakit jiwa—dengan bangunan-
bangunan tertutup, para perawat, maupun dokter-dokter yang dididik khusus
untuk menangani mereka yang gila. Dan semua orang kemudian menganggapnya
sebagai tindakan yang benar. Dengan kata lain dalam setiap formasi diskursif
berlangsung pula sebuah “rejim kebenaran” (regime of truth).
Pengetahuan, dengan demikian, bekerja melalui praktik-praktik diskursif
dalam setting-setting institusional tertentu untuk mengatur tingkah laku liyan yang
bertentangan dengan wacana yang tengah dikonstruksikan sehingga kuasa bisa
berlangsung. Kuasa dalam hal ini berlangsung di dalam aparatus institusional dan
teknologi-teknologi-nya. Sebagai contoh konsepsi yang dibuat Foucault tentang
aparatus hukuman yang melibatkan beragam elemen, linguistik dan non-linguistik,
seperti wacana-wacana, institusi-institusi (semisal penegak hukum, pengadilan,
dan penjara), pengaturan arsitektur bangunan penjara, dalil-dalil filosofis,
moralitas, pilantropi, dan lain-lain. Jadi apparatus selalu dituliskan dalam
18 Ibid.
10
permainan kuasa, tetapi ia juga selalu dihubungkan dengan koordinat tertentu
dari pengetahuan sehingga ia terdiri dari strategi relasi-relasi terhadap dukungan
kekuatan-kekuatan dan didukung tipe-tipe pengetahuan.19
Pengetahuan yang dihasilkan dari wacana dengan demikian benar-benar
menjadi sebuah alat untuk membangun relasi kuasa di dalam masyarakat.
Pengetahuan menjadi sebuah kebenaran yang mana setiap individu
menganggapnya sebagai sesuatu “yang wajar” dan pada akhirnya dipatuhi.
Begitupula dengan pengetahuan dalam sinema reliji. Meskipun tayangan ini
merupakan karya para pekerja rumah produksi yang berorientasi profit, namun
pengetahuan yang dibangunnya bisa dianggap sebagai sebuah hasil formasi
diskursif yang dibangun terus-menerus, di mana televisi merupakan aparatus-
nya. Model visualisasi dan alur cerita bisa dianggap pula sebagai bagian dari
formasi diskursif yang memang dikonstruksikan demikian demi mendukung
sebuah pengetahuan besar yang tengah beroperasi di ruang-ruang keluarga
Indonesia.
Sinema reliji: lahirnya sebuah jenre yang formulaik dan seragam
Sinema reliji (dalam hal ini berhubungan dengan agama Islam) di televisi
merupakan jenre tayangan baru yang pernah ditayangkan oleh televisi-televisi
swasta di Indonesia. Sinema reliji merupakan tayangan sinema di televisi yang
menampilkan kisah-kisah ‘hikmah’ yang dikatakan sebagai intisari ajaran Islam
dalam kehidupan di dunia ini. Dikatakan kisah hikmah karena dari cerita-
ceritanya selalu menyuguhkan tema formulaik tentang baik dan buruk dalam
pandangan Islam.
Sebelumnya televisi Indonesia memang sudah sering menayangkan acara-
acara bernuansa reliji, terutama yang berupa kuliah subuh maupun siraman ruhani.
Model kuliah subuh dan siraman ruhani yang sebelumnya terkesan monoton
kemudian mengalami transformasi dengan hadirnya acara serupa yang dipandu
oleh A’a Gym dengan gaya modernis, parlente, dan gaul. Acara-acara siraman
ruhani oleh para ustadz yang muda dan gaul ini biasanya semakin populer ketika
bulan puasa tiba di mana semua stasiun televisi berusaha menampilkan
‘penampakan islaminya’. Popularitas A’a Gym inilah tidak bisa dipungkiri
19 Ibid.
11
merupakan awal bagi munculnya para ustadz muda yang langsung memenuhi
‘kotak gambar hidup’ di ruang-ruang keluarga Indonesia dengan wajah yang
masih cukup muda serta teknik komunikasi dakwah yang cukup mudah dipahami.
Popularitas acara siraman rohani ini kemudian diiringi munculnya acara
sinema reliji pertama yang ditayangkan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia)—
belum ada kajian mendalam tentang relasi antara dua kondisi tersebut—dengan
judul tayangan Sinema Reliji. Dengan mengangkat cerita tentang orang-orang
yang medapatkan balasan yang ‘cukup kejam’—dari tubuh penuh belatung
hingga ditolak bumi—dari Tuhan pada saat kematiannya karena perbuatan dosa
yang dilakukan selama hidup, Sinema Reliji berhasil melejit menjadi tayangan
dengan rating cukup tinggi. Popularitas Sinema Reliji segera menarik stasiun-
stasiun televisi swasta lainnya untuk menayangkan program serupa meskipun
dengan kemasan yang agak berbeda satu sama lainnya. RCTI, misalnya,
menayangkan 3 program serupa yakni Pintu Hidayah, Ku Sebut Nama-Mu, dan
Maha Kasih. Pintu Hidayah menghadirkan cerita yang tidak terlalu bombastis—
dalam artian tidak ada belatung—dengan tema bahwa semua perbuatan jelek ada
balasannya yang kemudian akan mengantarkan si tokoh ke dalam suasana
kontemplatif untuk selanjutnya menyadari kesalahannya dan mendapatkan
‘hidayah’. Ku Sebut Namamu, sebaliknya, lebih memfokuskan cerita pada orang-
orang dari kelas menengah ke bawah yang selalu tabah dalam menghadapi
cobaan-Nya untuk kemudian menerima imbalan setimpal berupa keberhasilan
atau balasan yang baik. Sedangkan Maha Kasih mengetengahkan cerita tentang
orang-orang yang terombang-ambing di antara dua pilihan, pahala atau dosa,
yang mana biasanya para tokohnya kemudian memilih dosa terlebih dahulu
untuk kemudian insyaf.
Trans TV dengan muatan serupa menghadirkan Sinema Hidayah. Sinema
Hidayah Trans TV dalam setiap pembukaannya selalu disebutkan bahwa kisah-
kisahnya berasal dari majalah Hidayah yanh kemudian diadaptasi dalam skenario
sinema. Kisah-kisah dalam majalah itu dikatakan berasal dari kisah nyata yang
terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW serta para sahabat sesudahnya. Tema
dan struktur cerita yang diangkat juga tidak jauh berbeda yang ada di dalam
Kuasa Illahi dan Pintu Hidayah. Yakni tokoh-tokoh antagonis yang menganiaya
12
tokoh protagonis untuk kemudian mendapatkan imbalan berupa kecelakaan
ataupun siksaan menjelang ia dikubur.
Mitos-mitos di balik sinema reliji
Sebagai sebuah tayangan populer, tim kreatif dari sinema reliji ternyata
berhasil menyuguhkan sebuah struktur mitos dalam citra visual dan tema cerita
yang terkesan sangat alamiah dan wajar tejadi. Sebenarnya struktur mitos yang
ditayangkan sangat gampang dideteksi, tetapi banyak penonton yang mungkin
tidak menyadarinya. Berikut disajikan analisis mitos dari sebuah sinema reliji.
Dalam sebuah tayangan Sinema Hidayah (Trans TV) berjudul “Akibat
Merebut Harta Anak Yatim” diceritakan tentang tokoh-tokoh antagonis—yakni
Tante, Susan (anaknya), dan Pacar gelap si Tante—yang melakukan perbuatan
aniaya terhadap Irma yang masih keponakannya sendiri. Dalam sinema ini
sebenarnya kita bisa menemukan banyak mitos yang tersusun sangat rapi dalam
adegan-adegan visual dan dialog antartokoh. Memang dibutuhkan kejelian untuk
melihat mitos-mitos pada adegan per adegan karena sinema tidak bisa disamakan
dengan foto yang statis. Untuk itulah dalam kajian ini akan dipilih beberapa
adegan dan potongan gambar yang dianggap mewakili analisis mitos.
Dalam Adegan 1, cerita diawali dengan orang-orang kampung yang
membawa jenasah ke kuburan. Mereka terdiri dari para lelaki muda dan beberapa
perempuan muda. Di antara mereka juga terdapat seorang ustadz. Ketika hendak
dikubur tiba-tiba keranda mayat terbakar. Semua orang panik. Lalu si ustadz
menyuruh salah seorang laki-laki menjemput Irma karena hanya ia yang mampu
menghentikan kejadian itu. Irma begitu kaget ketika diberitahu kejadian
tersebut. Segera ia menuju kuburan. Di samping keranda yang terbakar itu—
disaksikan oleh orang-orang kampung—ia memohonkan ampun si jenasah yang
tidak lain adalah tantenya sendiri. Di saat berdoa itulah alur cerita berubah flash
back, menceritakan bagaimana perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan si Tante
dan Susan, anaknya.
13
Gambar 1
Potongan gambar dari adegan 1
Sebagai adegan flash back, apa-apa yang digambarkan dalam Figur 1
sebenarnya merupakan inti dari keseluruhan cerita tayangan ini. Gambar-gambar
visual denotatif yang ditampilkan di sini merupakan sistem mitos utama yang
berasal dari tampilan-tampilan yang cukup denotatif dan nantinya menjadi ‘induk’
dari rangkaian-rangkaian mitos pendukung yang terdapat pada adegan-adegan
lainnya.
Figur 1 ini menggambarkan bagaimana prosesi pemakaman jenasah Tante
Irma yang mengalami ‘musibah/bencana’. Ketika hendak dikubur, keranda
jenasah terbakar sehingga membuat orang-orang bingung dan harus memanggil
Irma yang dianggap mampu menghentikan semua kejadian yang mengerikan itu.
Kejadian-kejadian seperti ini dikatakan oleh tim kreatif berasal dari kisah nyata,
meskipun kita saat ini sudah sangat jarang menemukan peristiwa-peristiwa
serupa dalam kehidupan nyata. Terlepas dari ada atau tidaknya peristiwa tersebut
dalam kehidupan nyata, sebenarnya rangkaian gambar tersebut merupakan
14
sistem mitos yang berusaha menegaskan dan menetralisir satu nilai ilahiyah
(dalam hal ini Islam) yang selama ini diyakini kebenarannya. Setiap orang akan
mendapatkan balasan atas semua perbuatannya dan setiap orang tidak bisa menghindar
dari balasan itu karena itu semua adalah kekuasaan Illahi. Namun sistem mitos yang
beroperasi dalam figur tersebut lebih dalam negative sense dari “balasan Tuhan”.
Tuhan akan membalas perbuatan jahat umat-Nya juga dengan balasan yang
kejam, karena memang Dia yang berkuasa atas segala isi semesta ini. Balasan
kejam dalam visualitas ini berupa terbakarnya keranda dari Tantenya Irma secara
tiba-tiba dan tidak ada rasionalitas kondisi yang menyebabkannya, karena
kejadian seperti memang tidak bisa dirasionalkan sehingga tetap menjadi rahasia
Illahi.
Adegan jenasah si Tante yang terbakar dan Pak Ustadz menyuruh salah
satu warga untuk memanggil Irma yang dianggap mampu menghentikan semua
kejadian ghaib ini, sebenarnya juga berlangsung mitos lainny yang berasal dari
mitos sebelumnya. Artinya representasi yang muncul di sini adalah bahwa hanya
mereka yang hatinya bersih dan cenderung teraniaya hidupnya yang akan mampu
menolong si korban dari balasan kejam Tuhan. Visualitas denotatif digambarkan
betapa tak ada orang lain—bahkan si Ustadz—yang mampu menghentikan
kutukan itu, kecuali Irma yang selama ini dianiaya oleh si Tante dan anaknya,
tetapi tetap sabar dan tabah menghadapinya. Kejadian itupulah yang kemudian
menghasilkan representasi mitis ketiga yakni setiap orang yang menyakiti dan
menganiaya serta merampas harta anak yatim akan mendapat balasan setimpal yang
kejam, baik di dunia maupun di akhirat. Ketiga representasi pada level mitos yang
ada dalam Figur 1 inilah yang akan mempengaruhi struktur cerita keseluruhan
dari sinema ini. Dalam jejaring ketiganya kemudian melahirkan banyak sistem
mitos yang ada dalam adegan-adegan berikutnya. Dengan kata lain semua
representasi mitos yang ada pada adegan-adegan berikutnya bila ditarik benang
merah akan mengerucut pada ketiga sistem mitos induk pada Figur 1.
Dalam adegan-adegan berikutnya, cerita lebih menampilkan logika-logika
mengapa si Tante dan anaknya juga kekasih gelap si Tante pada akhirnya
menerima balasan kejam dari Tuhan. Logika tersebut berupa cerita-cerita visual
yang menampilkan bagaimana ketiganya melakukan perbuatan-perbuatan kejam
dan aniayah terhadap Irma. Sebelum masuk ke sistem mitos yang ditampilkan
15
pada adegan-adegan berikutnya, ada baiknya ditampilkan juga bagaimana
stereotype20 yang dikonstruksikan ke dalam tampilan-tampilan fisik dan perilaku
dari ketiga tokoh antagonis tersebut. Karena tampilan-tampilan visual mereka
juga akan mendukung mitos-mitos yang beroperasi.
Gambar 2
Susan (keji dan kejam), Tante (Mamanya Susan, keji dan kejam), dan Kekasih Gelap si Tante (culas)
Sekilas, mungkin potongan-potongan gambar tersebut tidak bermakna apa-
apa, selain tampang-tampang orang yang culas, kejam, dan dengki. Namun di
balik semua perwujudan denotatif tersebut, sebenarnya ada sebuah stereotipisasi
yang disengaja oleh tim kreatif karena mereka memang ingin menunjukkan
bahwa ketiga orang tersebut merupakan tipikal orang dengan watak kejam dan
culas sebagaimana terdapat dalam kehidupan nyata. Mengikuti pendekatan yang
ditawarkan Fiske maka perwujudan-perwujudan stereotip tersebut masuk ke
dalam level realitas yang mana para tokoh tersebut digambarkan dengan sangat
denotatif melalui ekspresi muka, gesture, kebiasaan, cara berbicara, suara, dan
lain-lain. Dalam sebagian besar adegan dalam sinema ini, ketiga tokoh antagonis
tersebut memang selalu diwujudkan dalam citra visual yang bengis, keji, dan
kejam.
20 Stereotype menurut Stuart Hall merupakan praktik representasional yang mereduksi orang ke dalam figur dan karakteristik esensial sebagaimana ditakdirkan oleh alam. Selebihnya baca Hall, Stuart.1997. “The Spectacle of The Other”, dalam Hall.Ibid.hlm.257.
16
Gambar 3 Beberapa perwujudan tipikal Irma
Sedangkan Irma sebagai protagonis dan korban dari kekejaman ketiga
tokoh sebelumnya, digambarkan dengan perwujudan fisik dan juga cara pakaian
yang kontras. Irma adalah seorang anak yatim yang alim, tabah, berbudi baik,
suka menolong, tetapi selalu teraniaya dan menderita. Dia adalah anak yatim
piatu yang baik, cantik, tabah, tetapi berada dalam lingkungan orang-orang yang
membenci dan tidak menginginkannya sehingga selalu memperoleh cercaan,
siksaan, dan perlakukan kasar lainnya. Kontradiksi-kontradiksi itulah yang
kemudian membentuk cerita serta adegan visual yang kemudian memunculkan
mitos-mitos yang terkait.
Dari mitos penyiksaan, perselingkuan, hingga datangnya ‘juru selamat’
Gambar 4 Beberapa adegan penyiksaan yang dilakukan oleh Tante dan Susan
17
Beberapa gambar adegan penyiksaan di atas semakin memperlihatkan
kontradiksi antara Irma dan Tante serta Susan. Irma selalu diposisikan tidak
berdaya menghadapi kedua tokoh tersebut, karena status Irma memang tinggal
bersama mereka setelah kedua orang tuanya meninggal. Irma dalam rumah
tersebut tidak ubahnya seorang pembantu yang selalu disuruh-suruh dan apabila
ada sesuatu yang dianggap salah akan mendapatkan hukuman berupa siksaan.
Sedangkan Tante dan Susan selalu berada dalam posisi superior karena ia ingin
menguasai semua harta Irma—warisan mendiang orang tuanya—yang dikelola
oleh Om-nya. Adegan-adegan penyiksaan tersebut dengan demikian menjadi
mitos yang biasa terjadi dan merepresentasikan betapa orang yang dikuasai oleh
keinginan-keinginan ekspansif akan cenderung melakukan perbuatan-perbuatan
aniaya terhadap pihak yang ingin dikuasai. Dengan menampilkan adegan-adegan
penyiksaan secara vulgar tim kreatif tampak begitu berkeinginan untuk
menegaskan betapa seorang Tante bisa menjadi sangat kejam kepada
keponakannya sendiri ketika ia dihadapkan pada hasrat untuk menjadi kaya raya.
Dengan kata lain, adegan-adegan tersebut ingin menggiring pemahaman
penonton bahwa wajar kiranya kalau nantinya si Tante dan Susan mendapatkan
balasan yang kejam.
Namun, di samping semua peristiwa kejam yang dialami, Irma pada adegan-
adegan berikutnya juga mendapatkan bantuan dan simpati dari orang-orang yang
merasa iba atau jatuh cinta kepada kesabaran dan kesalehannya.
Gambar 5
Irma ditolong oleh Mbok Pembantu dan berjalan dengan Mario, teman yang akhirnya menjadi pacarnya
18
Apa-apa yang dilakukan si Mbok terhadap Irma sesungguhnya menjadi
penandaan mitis tentang selalu datangnya bantuan bagi orang-orang yang tabah
dan sabar serta tetap saleh dalam menjalani siksaan dari orang-orang dzalim.
Ajaran Islam memang selalu menganjurkan orang-orang untuk bersabar dalam
menghadapi cobaan karena pasti akan tiba masa di mana ada jalan keluar bagi
semua permasalahan dan cobaan yang dihadapi. Di sini sangat jelas betapa para
kreator tayangan ini berhasil meramu ajaran-ajaran agama dengan dongeng yang
selama ini berkembang di masyarakat, datangnya ‘juru selamat’ (messian) bagi
mereka yang menderita. Dalam cerita pewayangan posisi yang digambarkan oleh
si Mbok bisa disejajarkan dengan para tokoh punakawan (Semar, Bagong, Petruk,
Gareng) yang selalu memberikan bantuan bagi semua masalah yang dihadapi
keluarga Pandawa. Si Mbok adalah representasi ‘kekuatan illahiyah’ yang menjadi
penolong di saat Irma yang baik mengalami musibah. Posisinya sebagai
pembantu tidak menghalanginya untuk menjelma sebagai Semar yang
mengejawantah. Kehadiran seorang Mario—yang digambarkan sebagai siswa
yang baru saja pindah ke SMA tempat Irma sekolah—semakin menegaskan
bahwa orang yang sabar dan saleh akan mendapatkan imbalan setimpal, dicintai
oleh seseorang yang mirip pangeran—ganteng dan gagah serta tidak sombong. Ia tidak
jauh dengan Sang Pangeran dalam dongeng Cinderela yang mencintainya justru
karena kesederhanaan dan kesabarannya dalam menghadapi cobaan hidupnya.
Dengan adegan-adegan, di atas lebih jauh lagi, sebenarnya ada pesan ideologis
bahwa setiap insan harus rela untuk menderita.
Yang menarik dari adegan-adegan selanjutnya adalah betapa Tante juga
berlaku keji terhadap suaminya. Si suami—Om-nya Irma—digambarkan sebagai
orang yang terlalu sibuk kerja dengan mengelola perusahaan peninggalan orang
tua Irma. Sebenarnya si Tante tidak mencintai suaminya dengan jujur karena ia
hanya ingin memperoleh harta yang sebenarnya bukan miliknya. Karena tidak
benar-benar cinta maka ia berhubungan kembali dengan mantan kekasihnya,
meskipun di depan suaminya ia berpura-pura baik dan patuh kepada suaminya.
19
Gambar 6 Tante bermuka manis di depan suaminya, tetapi di kesempatan lain ia berselingkuh
Penandaan level denotatif adegan di atas bercerita bahwa seorang
perempuan bisa saja bermuka dua. Ia begitu pintar bermain sandiwara di depan
suami untuk meyakinkan bahwa ia perempuan baik-baik. Sedangkan ‘lepas dari
muka suami’, ia begitu menikmati ‘permainan-permainan liar’ dengan mantan
kekasihnya. Raut muka si Tante yang tersenyum “puas dan nakal” menampakkan
betapa ia ingin mengumbar keinginan-keinginan birahinya dan juga impian masa
depannya dengan sang kekasih. Meskipun ia tidak menyadari betapa si kekasih
juga menyimpan keinginan-keinginan “culas” dengan cara meyakinkan si Tante
tentang masa depan bersama yang indah. Keseluruhan adegan tersebut secara
ideologis ingin menyampaikan satu ajaran Islam bahwa perempuan itu bisa merusak
ketika ia tidak bisa dikendalikan karena ia mempunyai nafsu yang begitu besar. Dengan
demikian perempuan adalah makhluk yang begitu jahat ketika ia tidak dikekang
oleh aturan-aturan yang ketat dari suaminya dan juga dalil-dalil agama. Tentu
hal itu berkesesuaian dengan stereotip Tante yang bengis dan suka memakai baju
seksi, sesuatu yang dilarang oleh ajaran Islam. Dengan kata lain perempuan-
perempuan yang sering memakai baju-baju dan berpenampilan erotis sangat
mungkin berperilaku amoral dan a-agamis.
Representasi-representasi yang telah dibahas melalui penandaan mitos-
mitos di atas paling tidak menyiratkan makna-makna ideologis (terkait dengan
ajaran-ajaran agama) yang pada akhirnya menjadi pembenar dari balasan kejam
yang akan diberikan Tuhan kepada para tokoh antagonis. Artinya di balik
adegan-adegan visual tersebut ingin meyakinkan makna-makna ideologis
20
tertentu, antara lain: (1) bahwa orang-orang yang serakah cenderung melakukan
aniaya terhadap orang lain karena ia sudah dikuasai oleh hasrat kuasa; (2) bahwa
seorang perempuan yang jauh dari nilai-nilai agama akan cenderung melakukan
perbuatan-perbuatan kejam, aniaya, zinah, dan lain-lain, dan (3) orang itu harus
sabar dalam menghadapi cobaan maupun siksaan oleh orang lain, karena ia akan
mendapatkan hikmah dari Tuhan dan akan datang juru selamat. Representasi-
representasi turunan inilah yang kemudian kemudian menggiring pemahaman
akan pembenaran representasi utama, bahwa orang-orang yang berbuat aniaya
akan mendapat balasan kejam langsung dari Tuhan di dunia ini, dan yang bisa
menghentikan itu semua adalah doa ikhlas orang-orang yang pernah dianiaya
oleh mereka. Representasi mitis utama inilah yang kemudian bisa digunakan
untuk menemukan apa-apa sebenarnya tengah beroperasi dalam melalui tayangan
Sinema Hidayah dan tayangan-tayangan sejenis.
Wacana dan kuasa di balik sinema reliji
Analisis Sinema Hidayah Akibat Merebut Harta Anak Yatim dengan
menggunakan semiotika-mitologis Barthes menunjukkan bahwa keseluruhan
tayangan tersebut merujuk pada satu representasi ideologis Islam bahwa Tuhan
akan membalas (dengan kejam) orang-orang yang berbuat aniaya terhadap anak
yatim. Representasi tersebut, tentu saja, tidak berada dalam ruang netral yang
terbebas dari pengetahuan tertentu. Pengetahuan tersebut kemudian menjadi
representasi baru yang berkaitan dengan relasi kuasa yang tengah beroperasi di
balik tayangan tersebut. Analisis berikut lebih banyak menyoroti bagaimana
pengetahuan tertentu dibangun melalui formasi diskursif di dalam Sinema
Hidayah Akibat Merebut Harta Anak Yatim. Selanjutnya akan dihubungkan
bagaimana pengetahuan dalam tayangan tersebut sebenarnya berkaitan erat
dengan ‘pengetahuan besar’ yang tengah berlangsung menjadi relasi kuasa dalam
masyarakat.
Sebagaiamana dijelaskan dalam penjelasan sebelumnya bahwa tayangan ini
menceritakan tentang balasan Tuhan kepada mereka yang menganiaya anak
yatim. Dari keseluruhan analisis mitos sebenarnya bisa disimpulkan adanya
wacana yang dikembangkan yakni hukuman Tuhan kepada umat-Nya yang berbuat
aniaya terhadap anak yatim. Tentu hal itu berbeda dengan konteks wacana
21
hukuman yang dilakukan Foucault yang menghasilkan formasi diskursif berupa
lembaga-lembaga pengadilan, penjara, maupun aparat penegak hukum sehingga
hukuman menjadi pengetahuan yang dianggap benar. Hukuman dalam tayangan
ini berasal dari Tuhan, terutama yang berasal dari ajaran Islam.
Ketika hukuman Tuhan menjadi wacana (sebagaimana diwujudkan dalam
adegan awal) dalam tayangan ini segera saja ia ditransformasikan dalam formasi
diskursif yang sepertinya berisi wacana-wacana yang berbeda namun sejatinya
tetap mendukung wacana utama tersebut. Formasi diskursif tersebut antara lain
berupa (1) perbuatan aniaya yang dilakukan oleh si Tante dan anaknya, Susan,
kepada tokoh yatim piatu, Irma, serta ketabahan Irma menghadapi itu semua; (2)
perbuatan zina yang dilakukan si Tante dengan mantan kekasihnya; (3) perbuatan
aniaya yang dilakukan oleh si Tante kepada Mbok Pembantu akibat melaporkan
perbuatannya kepada si Suami, Om-nya Irma; (4) pembunuhan si Om oleh kekasih
gelap yang bersekongkol dengan si Tante; (5) penghinaan si Tante kepada
Ustadz yang meminta sumbangan untuk pembangunan masjid; (6) perbuatan keji
yang dilakukan oleh Susan kepada Mario, pacarnya Irma; (7) kecelakaan yang
menimpa Irma hingga ia meninggal; (8) serangan jantung yang menimpa si
Tante hingga meninggal; (9) meninggalnya kekasih gelap si Tante akibat
ditembak polisi ketika hendak kabur, dan; (10) terbakarnya keranda mayat si
Tante ketika hendak dikubur.
Sepanjang tayangan formasi diskursif dari wacana-wacana tersebut melalui
visualitas yang begitu terbuka dan lugas. Artinya gambar-gambar dan angel-
angel kamera sebagian besar sangat verbal. Kesan yang muncul kemudian adalah
bahwa semua yang dilakukan oleh tokoh-tokoh antagonis memang sesuatu yang
sangat kejam menurut standard moralitas dalam masyarakat. Akhirnya penonton
digiring untuk menyepakati bahwa apa-apa yang dilakukan mereka itu benar-
benar bertentangan dengan moralitas masyarakat maupun ajaran-ajaran Islam.
Akibatnya balasan (hukuman) Tuhan pantas diberikan kepada mereka. Inilah,
balasan (hukuman) kemudian menjadi pengetahuan dalam tayangan ini. Dan ini
merupakan wacana yang sudah menjadi pengetahuan dalam semua tayangan
Sinema Hidayah Trans TV, bahkan tayangan-tayangan di televisi lain yang ber-
jenre serupa.
22
Untuk mendapatkan perbandingan yang lebih komperhensif berikut
disajikan alur cerita (plot) beberapa tayangan ber-jenre “sinema reliji” di beberapa
stasiun televisi swasta Indonesia.
Judul Tayang
an
Eksposisi Awal Konflik
Klimaks Anti-klimaks hingga
Resolusi Sinema Hidayah (Trans TV)
Disuguhkan balasan Tuhan kepada mereka yang berbuat keji (sebagai pengantar ke dalam cerita, relasi akibat-sebab-akibat)
Para tokoh antagonis mulai melakukan perbuatan-perbuatan keji kepada protagonis
Konflik antagonis dengan protagonis dan tokoh pendukung lainnya, si antagonis semakin kejam
Para antagonis mengalami peristiwa tragis sebagai bentuk balasan Tuhan atas kekejaman mereka, hanya protagonis ‘yang bisa’ mengehentikan kejadian itu
Pintu Hidayah (RCTI)
Ditampilkan karakter yang biasanya bergelimang dengan harta-benda.
Ia mulai memamerkan kekayaannya dan meremehkan serta aniaya terhadap tokoh lainnya
Ia mulai mengalami peristiwa-peristiwa yang kurang mengenakkan
Ia mengalami peristiwa tragis—tidak sampai meninggal, lalu bertobat dan memintamaaf kepada yang dianiaya
Kuasa Illahi (TPI)
Ditampilkan karakter yang berbuat sombong dengan harta kekayaannya
Ia melakukan memamerkan segala kekayaannya untuk menghina dan menganiaya orang lain
Ia mengalami peristiwa yang menyakitkan
Ia meninggal sambil diikuti hukuman berupa peristiwa tragis
Dari perbandingan alur cerita di atas kiranya bisa ditarik satu korelasi
antara tayangan satu dengan yang lain. Terdapat kesamaan representasi tentang
balasan (hukuman) Tuhan kepada orang-orang yang dalam kehidupannya
berbuat keji dan kejam kepada orang lain. Dengan kata lain tema tentang balasan
(hukuman) Tuhan telah menjadi ‘pengetahuan atau cerita utama’ yang
dipraktikkan dalam media televisi. Tayangan tersebut merupakan aparatus
diskursif untuk sebuah representasi atau pengetahuan yang bernama balasan
(hukuman) Tuhan di muka bumi. Dan, itu berarti pemunculan ajaran-ajaran Islam
secara verbal di televisi. Televisi dengan orientasi komersilnya telah menjadi
medan negosiasi bagi penguatan ajaran-ajaran Islam secara formal dan verbal,
sebuah pengetahuan utama yang hendak ditawarkan. Penguatan ajaran-ajaran
23
Islam tersebut ternyata tidak hanya menjadi praktik diskursif di televisi, lebih
dari itu ada sebuah fromasi diskursif yang lebih luas, dan berlangsung dalam
ruang-ruang kehidupan yang lain.
Tayangan-tayangan televisi yang membawa representasi tersebut baru
mengalami booming pada tahun 2004-hingga saat ini. Menariknya, sebelum masa
itu televisi juga sudah biasa menampilkan para dai muda yang memberikan
siraman rohani sebelum buka puasa dan berlanjut pada hari-hari biasa. Pada saat
itu pula aktivitas pengajian di kota-kota besar yang melibatkan para profesional
serta ibu-ibu dari kelas menengah ke atas tengah marak. Gerakan dakwah masuk
ke dalam kehidupan masyarakat modern kota untuk memberikan siraman-
siraman yang menyegarkan di tengah-tengah orientasi material yang tengah
berkembang. Di kampus gerakan serupa semakin menemukan eksistensinya
dengan berdirinya KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang
membawa spirit formalisme Islam dalam bentuk busana maupun dakwah yang
berusaha mengembalikan pada “Islam yang dianggap benar”. Dan, PKS (Partai
Keadilan Sejahtera)—partai yang berideologi Islam—memperoleh pengaruh yang
cukup siginifikan dalam Pemilu 1999. Simbol-simbol keislaman menjadi trend
yang diulas dan didiskusikan dalam ruang-ruang pengajian, seminar, maupun
tayangan-tayangan komersil televisi. Bisa dikatakan bahwa terdapat semacam
gerakan untuk mengembalikan kejayaan formalisme Islam dalam praktik-praktik
politik, media massa, kebiasaan sehari-hari, maupun wilayah akademis. Bahkan di
beberapa daerah formalisme Islam menjadi semangat untuk menerapkan syariat
dalam sebagai aturan daerah yang mengikat masyarakat.
Formalisme Islam, dengan demikian, telah menjadi pengetahuan utama
yang itu direpresentasikan dalam bermacam formasi diskursif dan masuk ke
dalam wilayah kultur masyarakat. Televisi memang lebih menjadi pilihan karena
televisi merupakan benda budaya yang paling populer saat ini. Dengan pencitraan
Islam formalis di televisi baik melalui siraman rohani para dai muda yang trendy
maupun tayangan ber-jenre sinema reliji yang muncul kemudian adalah relasi
imajiner dalam diri penonton (dalam hal ini penonton muslim) dengan tayangan
tersebut sehingga dalam kehidupan nyata mereka akan menjadi orang-orang
yang taat kepada aturan-aturan agama dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan
keji. Penonton adalah subjek yang sudah semestinya mengikuti ajaran-ajaran
24
tersebut, kalau tidak maka mereka akan dianggap subjek liyan/other yang
dianggap ‘kafir’. Sepertihalnya si Tante, kekasih gelapnya, dan Susan yang
mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Apabila ini berlangsung secara intensif dan terus-menerus melalui
tayangan-tayangan televisi maka bisa menjadi kebenaran yang sangat
mempengaruhi pola pikir dan tindakan para penonton—bersifat ideologis.
Pengetahuan tentang Islam formalis yang sangat verbalistik dalam televisi
merupakan representasi dari gerakan yang lebih luas dan tengah beroperasi di
tataran kehidupan riil, baik melalui representasi partai berazaskan Islam,
penerapan syariat Islam, dan sebagainya, yang semuanya berujung pada
eksistensi tatanan masyarakat Islami yang dikatakan berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadist Rasulullah SAW dalam setiap sendi kehidupan. Dalam konteks itulah
sebenarnya dalam tayangan sinema ber-jenre reliji tengah berlangsung sebuah
“relasi kuasa” (power relation) yang diproduksi oleh ‘kelompok tertentu’—
kepentingan ideologis—dan kemudian direproduksi oleh pihak industri televisi—
kepentingan kapitalis. Kelompok ini melihat televisi sebagai sebuah bentuk
budaya populer yang sangat digemari oleh masyarakat sehingga dianggap sangat
efektif untuk menyebarkan ideologi Islam formalis tersebut. Dan kepentingan
tersebut rupa-rupanya sinergis dengan kepentingan kapitalis pada kreator
indsutri televisi karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim sehingga
sangat menguntungkan dari perspektif bisnis.
Pertanyaannya adalah siapakah kelompok tertentu ini? Memang sampai
tulisan ini dibuat belum bisa ditemukan fakta tentang kelompok tersebut. Namun,
dari sekian paparan representasi di atas dan dengan mempertimbangkan kondisi-
kondisi riil yang terjadi dalam masyarakat, kelompok tersebut bisa
diidentifikasikan sebagai kelompok yang dalam gerakannya ingin memuwujudkan
penerapan syariat Islam secara formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dan kalau kita perhatikan dalam konstalasi sosio-politik nasional kelompok-
kelompok ini paling tidak bisa diidentifikasikan ke dalam beberapa varian
gerakan. Pertama, partai politik berazas Islam, dalam hal ini yang paling
representatif adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kedua, kelompok gerakan
penegakan syariat Islam, seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hisbut Tahrir
Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan lain-lain. Ketiga, kelompok-
25
kelompok pengajian di perkotaan yang menghimpun para ibu-ibu, selebritis,
maupun para profesional yang kering akan siraman rohani, yang dipelopori A’a
Gym.
Masalahnya, siapakah dari kelompok tersebut yang melakukan
“perselingkuhan mutualis” dengan pihak televisi? Inilah kesulitan utama ketika
harus menentukan kelompok yang bermain dengan wacana Islam formalis di
televisi. Bisa ditebak bahwa pihak televisipun akan “diam” ketika ditanya perihal
tersebut. Yang pasti, dalam beberapa tayangan sinema reliji, seperti Pintu
Hidayah (RCTI) dan Kuasa Illahi (TPI) juga menampilkan seorang
ustadz/ustadzah yang memberikan tausiyah yang bisa dikatakan sebagai
pembenar dari rangkaian cerita yang ditampilkan dan mereka juga biasanya aktif
mengisi pengajian-pengajian di perkotaan. Mereka antara lain Ustadz Jeffry,
Ustadz Arifin, Ustadzah Latifah Sungkar, dan lain-lain. Namun itupun belum bisa
dijadikan sebagai pembenar bahwa kelompok-kelompok pengajianlah yang
mengusung pengetahuan tentang Islam formalis di tayangan sinema reliji.
Atau jangan-jangan pihak televisilah yang memanfaatkan tayangan sinema
reliji untuk mendongkrak rating mereka di mata audiens sehingga iklan yang
masuk semakin banyak? Masalahnya, pihak televisi sebelum membuat sebuah
program pasti akan melihat kecenderungan yang ada di dalam masyarakat. Dan,
sangat mungkin mereka melihat wacana tentang gerakan Islam formalis menjadi
kecenderungan baru di tengah-tengah masyarakat sehingga bisa
dikomodifikasikan ke dalam televisi. Semua serba mungkin.
Simpulan: kuasa ideologis yang menyesatkan
Terlepas dari ‘keruwetan’ tersebut, minimal, kita bisa mengetahui betapa
melalui tayangan-tayangan sinema reliji, wacana tentang balasan (hukuman)
Tuhan kepada umatnya yang berbuat salah telah menjadi bagian dari
pengetahuan ideologis bernama Islam formalis yang pada akhirnya membangun
sebuah relasi kuasa dalam penonton muslim. Dan sebuah pengetahuan ideologis
tidak bisa muncul dalam “kenetralan” dan “tanpa intensi kuasa” dari kelompok
tertentu yang berkepentingan dengan penyebarannya ke tengah-tengah penonton
muslim. Kelompok-kelompok inilah yang akan terus memanfaatkan segala
kecenderungan institusi media untuk terus mengintrodusir nilai-nilai Islam
26
formalis sesuai dengan tafsir mereka. Media, terutama televisi, oleh kelompok-
kelompok ini disadari sebagai agen budaya yang pengaruhnya sangat luas di
tengah-tengah masyarakat.
Berlangsungnya kuasa Islam formalis melalui tayangan sinema reliji, di satu
sisi, memang dianggap cukup efektif karena jangkauannya sangat luas
dibandingkan dengan menggelar tabligh akbar yang hanya terbatas pada satu
masyarakat tertentu dalam sebuah wilayah. Di sisi lain, tayangan sinema reliji
dengan alur cerita di atas secara terus-menerus hanya akan menggiring warga
muslim pada pemahaman ajaran agama yang sempit. Agama hanya sebatas
dimaknai sebagai balasan Tuhan kepada makhluk-Nya yang melakukan
perbuatan, baik buruk maupun baik. Artinya agama hanya dipahami sebagai
oposisi binner hitam-putih, baik-buruk, dan surga-neraka sehingga menegasikan
ajaran-ajaran substansial agama yang lain. Agama dengan demikian hanya
menjadi praktik-praktik verbal yang kehilangan substansi dan aura
ketuhanannya.
Dan lebih jauh lagi, ketika pengetahuan Islam formalis telah menjadi kuasa
hegemonik dalam masyarakat yang diaplikasikan dalam wujud kultural maupun
peraturan berlandaskan syariat, maka yang terjadi adalah politisasi simbol-simbol
agama sebagai aparatus untuk terus melanggengkan kuasa dalam masyarakat.
Siapa-siapa yang tidak mengidentifikasikan tindakan dan perbuatannya dalam
simbol-simbol keislaman adalah mereka yang kafir, tidak islami, dan akan
dihukum Tuhan. Maka orang-orang beragama semata-mata takut karena
dianggap sebagai liyan yang wajib untuk disadarkan meskipun melalui hukuman.
Contoh riil kejadian tersebut bisa di lihat pada beberapa kasus hukuman cambuk
di Aceh bagi mereka yang berjudi. Lalu apa bedanya dengan kenyataan tragis
historis ketika pasca G 30 S 1965 orang-orang dipaksa untuk beragama formal
yang lima (Islam, Katolik, Kristen, Budha, dan Hindu) dan lepas dari keyakinan-
keyakinan tentang Tuhan yang tidak tercakup dalam agama formal agar tidak
dicap sebagai komunis dan agar terbebas dari hukuman penggal. Meskipun modus
operandinya berbeda namun pada dasarnya mempunyai semangat yang sama.
Lalu, kalau sudah seperti itu berarti Tuhan itu sangat kejam karena langsung
mencelakai (menghukum) umat-Nya yang dianggap melanggar ajaran-ajaran agama.
Dan kalaupun Tuhan tidak menghukum langsung, aparat-aparat yang
27
mengatasnamakan hukum Islam siap menjadi wakil Tuhan untuk mencambuk atau
merajam liyan yang kafir tersebut. Betapa absurdnya agama dan Tuhan!
Gejayan, merindu senyum ikhlas di masa kecil, November-Desember 2006.
Bacaan Pendukung
Fiske, John.2002.Television Culture. London: Routledge
Hall, Stuart.(ed). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University Press.
Shen, Krishna. “Television: Transborder, Transmissions, Local Images”, dalam Krishna Sen and David T Hill.2000. Media, Culture, and Politics in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.
Strinati, Dominic.2004. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Sunardi, St.2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.