politik hidayah: analisis mitos dan kuasa dalam tayangan sinema reliji

27
1 Politik Hidayah: Analisis Mitos dan Kuasa dalam Tayangan Sinema Reliji 1 Ikwan Setiawan Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember Pendahuluan Kehadiran televisi swasta di Indonesia telah memberikan atmosfer yang ‘semakin meriah’ dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Banyaknya stasiun televisi dan program-program yang ditawarkan, tidak bisa dipungkiri, telah memberikan alternatif-alternatif tontonan yang mampu menghadirkan ‘ritual’ bagi para audiens. Dari selepas subuh hingga menjelang subuh lagi, penonton bisa menikmati acara-acara sesuai dengan selera mereka, dari pernik- pernik dunia dapur, film, hingga gosip-gosip terhangat seputar selebritis yang bercerai tersaji lengkap. Dengan kata lain, maraknya stasiun televisi swasta telah memberikan peluang bagi lahirnya “demokratisasi tontonan dan selera” yang pada masa satu televisi—TVRI—tidak pernah dinikmati audiens karena mereka hanya menikmati acara-acara yang dikontrol dengan ketat oleh negara 2 . Era reformasi yang oleh banyak aktivis, politikus, intelektual, maupun tukang becak seringkali diagung-agungkan sebagai masa keterbukaan yang akan mengantarkan bangsa ini ke gerbang pencerahan yang lebih demokratis, harus diakui semakin membuka peluang bagi munculnya televisi-televisi baru, baik yang berlokasi di Jakarta 3 maupun daerah 4 . Era keterbukaan ini membawa angin segar pula bagi munculnya program-program yang dulunya tidak pernah ditayangkan oleh televisi swasta karena alasan kurang bermuatan edukatif atau 1 Artikel ini merupakan tugas akhir matakuliah “Budaya Visual” (Visual Culture) ketika penulis menempuh S-2 di Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2 TVRI dalam masa Orba telah menjadi aparatus hegemonik negara terutama dalam mengkampanyekan politik integritas nasional, termasuk di dalamnya slogan “menjalin persatuan dan kesatuan”. Tampak sekali betapa aparat negara pada waktu itu benar-benar menekankan pentingnya integritas sebagai syarat mutlak berlansungnya pembangunan yang menjadi program Orba. Dengan kata lain TVRI dengan tayangan-tayangan yang dikontrol oleh Departemen Penerangan telah menjadi alat hegemonik yang membuai audiens kala itu. Lebih lanjut baca Krishna Shen, “Television: Transborder, Transmissions, Local Images”, dalam Krishna Sen and David T Hill.2000. Media, Culture, and Politics in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.hlm.108-111. 3 Di Jakarta, misalnya, berdiri RCTI, SCTV, TPI, Trans TV, Lativi, TV 7, Metro TV, serta Global TV. 4 Di daerah berdiri JTV (Jawa Timur TV), Bali TV, Jogja TV, Lampung TV, TA TV (Solo) dan lain-lain.

Upload: unej

Post on 17-Nov-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Politik Hidayah: Analisis Mitos dan Kuasa dalam Tayangan Sinema Reliji1

Ikwan Setiawan Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember

Pendahuluan

Kehadiran televisi swasta di Indonesia telah memberikan atmosfer yang

‘semakin meriah’ dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Banyaknya

stasiun televisi dan program-program yang ditawarkan, tidak bisa dipungkiri,

telah memberikan alternatif-alternatif tontonan yang mampu menghadirkan

‘ritual’ bagi para audiens. Dari selepas subuh hingga menjelang subuh lagi,

penonton bisa menikmati acara-acara sesuai dengan selera mereka, dari pernik-

pernik dunia dapur, film, hingga gosip-gosip terhangat seputar selebritis yang

bercerai tersaji lengkap. Dengan kata lain, maraknya stasiun televisi swasta telah

memberikan peluang bagi lahirnya “demokratisasi tontonan dan selera” yang

pada masa satu televisi—TVRI—tidak pernah dinikmati audiens karena mereka

hanya menikmati acara-acara yang dikontrol dengan ketat oleh negara2.

Era reformasi yang oleh banyak aktivis, politikus, intelektual, maupun

tukang becak seringkali diagung-agungkan sebagai masa keterbukaan yang akan

mengantarkan bangsa ini ke gerbang pencerahan yang lebih demokratis, harus

diakui semakin membuka peluang bagi munculnya televisi-televisi baru, baik

yang berlokasi di Jakarta3 maupun daerah4. Era keterbukaan ini membawa angin

segar pula bagi munculnya program-program yang dulunya tidak pernah

ditayangkan oleh televisi swasta karena alasan kurang bermuatan edukatif atau

1 Artikel ini merupakan tugas akhir matakuliah “Budaya Visual” (Visual Culture) ketika penulis menempuh S-2 di Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2 TVRI dalam masa Orba telah menjadi aparatus hegemonik negara terutama dalam mengkampanyekan politik integritas nasional, termasuk di dalamnya slogan “menjalin persatuan dan kesatuan”. Tampak sekali betapa aparat negara pada waktu itu benar-benar menekankan pentingnya integritas sebagai syarat mutlak berlansungnya pembangunan yang menjadi program Orba. Dengan kata lain TVRI dengan tayangan-tayangan yang dikontrol oleh Departemen Penerangan telah menjadi alat hegemonik yang membuai audiens kala itu. Lebih lanjut baca Krishna Shen, “Television: Transborder, Transmissions, Local Images”, dalam Krishna Sen and David T Hill.2000. Media, Culture, and Politics in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.hlm.108-111. 3 Di Jakarta, misalnya, berdiri RCTI, SCTV, TPI, Trans TV, Lativi, TV 7, Metro TV, serta Global TV. 4 Di daerah berdiri JTV (Jawa Timur TV), Bali TV, Jogja TV, Lampung TV, TA TV (Solo) dan lain-lain.

2

bisa menyebabkan dekadensi moral. Akibatnya tayangan-tayangan yang

berkaitan dengan dunia ghaib, dunia malam, reality show yang mengekspos

kedermawanan, maupun tayangan sinetron remaja tumbuh dengan subur. Yang

menarik adalah bagaimana sebenarnya para kreator program di televisi bisa

dilihat kurang kreatif karena ketika suatu program memiliki rating bagus, maka

segera dibuat program serupa dalam label dan stasiun televisi yang berbeda.

Setelah dunia ghaib5 menjadi trend di televisi swasta, pada waktu yang

tidak terlalu lama muncul trend baru berupa sinema reliji, sebuah sinema televisi

yang menampilkan cerita-cerita yang dikatakan bijak dan agamis dalam

pandangan Islam. Adalah TPI yang pertama-tama menayangkan Sinema Reliji

dan ternyata mendapat sambutan cukup baik dari publik dan menempati rating

atas. Kenyataan itulah yang menjadikan sebagian besar televisi swasta

menayangkan program serupa, kecuali Metro TV. Pun label-label yang

digunakan hampir serupa—Sinema Hidayah (TransTV), Pintu Hidayah dan Maha

Kasih (RCTI), serta Misteri Illahi dan Dua Dunia (Indosiar).

Adalah kenyataan bahwa tayangan-tayangan tersebut merupakan produk

industri media yang membawa kepentingan kapitalis. Tapi, apakah benar bahwa

program-program tersebut hanya semata-mata untuk mencari keuntungan

ketika mereka menjadi trend dan digemari audiens? Titik keberangkatan dari

kajian ini adalah ‘kegalauan’ dan ‘kecurigaan’ penulis ketika melihat

menjamurnya tayangan sinema reliji. Berlandaskan dua hal itu, penulis

mengasumsikan bahwa dalam tayangan-tayangan yang terkadang menampilkan

gambar-gambar yang tidak masuk akal—seperti mayat penuh belatung—

tersebut sepertinya menyampaikan ‘sesuatu’. Artinya ada representasi wacana

yang hendak disampaikan kepada audiens. Dan, di balik wacana-wacana yang

disusun dengan apik melalui dinamisasi gambar-gambar visual bisa jadi terdapat

sebuah kepentingan ideologis yang terselip dalam tayangan-tayangan sinema reliji.

5 Program dunia ghaib ini mempertontonkan bagaimana peserta ditantang untuk datang ke tempat-tempat angker dengan harapan mereka akan melihat penampakan, meskipun sangat jarang tampak. Beberapa tayangan dunia ghaib antara lain: Dunia Lain (LaTivi) dan Uka-Uka (TPI), Kismis (Kamis Misteri RCTI).

3

Memahami Representasi: Mitos, Diskursus, dan Kuasa

Untuk memperoleh analisis yang komperhensif, penulis menganggap

tayangan sinema reliji sebagai teks yang bisa dikaji melalui model pendekatan

yang dianggap sesuai dengan tujuan analisis. Dalam hal ini model pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan diskursus (discourse approach) dengan rujukan

pada kajian Stuart Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and

Signifying Practice yang banyak menggunakan teori semiotika ala Roland Barthes

serta diskursus dan kuasa-nya Michel Foucault. Di samping itu, untuk semakin

memperkuat analisis penjelasan teoritik tentang bagaimana memperlakukan teks

televisi dari John Fiske dalam bukunya Television Culture juga dijadikan rujukan

penting.

Representasi

Sebuah tayangan televisi tidak bisa dipungkiri merupakan representasi dari

wacana tertentu yang ditawarkan kepada audiens. Memang sebagai produk, bisa

dikatakan, bahwa ia seolah-olah netral, tanpa tendensi ideologis, misalnya.

Namun, ketika diperhatikan dengan pendekatakan wacana sebenarnya ia

menawarkan representasi tertentu. Stuart Hall mendefinisikan representasi

sebagai (1) penggunaan bahasa untuk sesuatu yang bermakna atau

merepresentasikan dunia yang penuh makna kepada orang lain; (2) bagian

penting dari proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan oleh anggota

kebudayaan; (3) produksi makna melalui bahasa, dan; (4) produksi makna konsep

dalam pikiran kita melalui bahasa (proses mental)6. Dari beberapa definisi

sederhana tersebut, representasi bisa difokuskan sebagai makna yang diproduksi

melalui penggunaan ‘bahasa’. Tentu saja bahasa di sini bukan semata-mata

bahasa tulis atau ucap, tetapi bahasa bisa diterjemahkan dalam konteks yang

lebih luas. Lukisan, foto, patung, maupun tayangan televisi merupakan bentuk

lain bahasa yang bisa dianggap sebagai ‘teks ideologis’.

Ketika tayangan diperlakukan sebagai bahasa, analisis struktur menjadi

penting—bukan semata-mata untuk mengkaji jalinan cerita, tetapi dengan

memahami struktur sebagai sistem representasi yang mengintrodusir makna dan

6 Stuart Hall (ed). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University Press.hlm.17-19.

4

relasi-relasi kuasa. Menurut Hall, terdapat dua sistem representasi, yang

berkaitan satu sama lain7. Pertama, representasi mental yaitu sistem yang terdiri

dari objek-objek, orang-orang, atau peristiwa-peristiwa yang dihubungkan

dengan rangkaian konsep yang kita bawa dalam pikiran. Artinya ketika melihat

sebuah tayangan, di situ kita bisa menemukan peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh,

maupun alur cerita yang biasa kita temukan dalam kehidupan nyata. Dengan

kata lain setiap individu sudah membawa ‘peta konseptual’ (conceptual map) ketika

menyaksikan sebuah tontonan di televisi. Peta konseptual inilah yang nantinya

akan membantu dalam menemukan representasi. Masalahnya, sangat mungkin

antarindividu memiliki peta konseptual yang berbeda. Meskipun demikian dalam

sebuah masyarakat yang secara umum memiliki tradisi kebudayaan yang sama

kita bisa jadi memiliki peta konseptual serupa sehingga akan lebih mudah

menemukan representasi yang ada. Kedua, bahasa, dimana di dalamnya terjadi

proses menyeluruh dalam mengkonstruksi makna. Bahasa di sini—sebagaimana

dibicarakan di atas—bukan hanya meliputi teks kata atau ucapan, tetapi

mencakup tanda-tanda yang terorganisir sehingga bahasa bisa jadi terdiri dari

kata-kata, percakapan, ataupun citra-citra visual.

Lalu, bagaimana kita bisa mengkorelasikan peta konseptual dengan bahasa

yang ada dalam sebuah tayangan televisi yang seringkali bersifat arbitrer

sehingga bisa menemukan makna. Di sinilah fungsi kode (code) yang sangat

dibutuhkan. Kode inilah nantinya yang menetapkan hubungan antara konsep dan

makna. Selanjutnya Fiske menjelaskan untuk bisa melakukan proses pemaknaan

dalam sebuah tayangan televisi, seorang audiens ataupun pengkaji hendaknya

memahami beberapa level kode—ia menggunakan istilah kode sosial (social

codes)—yang meliputi: (1) level realitas yang meliputi penampilan, pakaian, make-

up, lingkungan, kebiasaan, cara bicara, gesture, ekspresi, suara, dan lain-lain; (2)

level representasional, yakni kode-kode representasional konvensional yang

membentuk representasi antara lain cerita, konflik, tokoh, aksi, dialog, setting,

dan lain-lain; (3) level ideologi yang diorganisir dalam koherensi dan aseptabilitas

sosial oleh kode-kode ideologis seperti individualisme, patriarki, ras, kelas,

materialisme, kapitalisme, dan lain-lain.8

7 Ibid. 8 John Fiske.2002.Television Culture. London: Routledge.hlm.5-6.

5

Teori-teori representasi: dari mitologi menuju diskursus

Ada teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan bagaiamana representasi

makna melalui bahasa bekerja9. Pertama, pendekatan refleksif yang mana

makna dipikirkan sebagai sesuatu yang melekat pada objek, orang, ide atau

peristiwa di dunia nyata sehingga bahasa berfungsi sebagai cermin yang

merefleksikan makna sebenarnya sebagaimana sudah ada di dunia. Kedua,

pendekatan intensional yang mana pembicara atau pengaranglah yang

memaksakan maknanya tentang dunia melalui bahasa. Ketiga, pendekatan

konstruksionis yang mana menganggap bahwa benda atau sesuatu tidaklah

bermakna; kitalah yang memberinya makna. Pendekatan terakhir ini

menekankan bahwa bukanlah dunia material yang memberikan makna: sistem

bahasalah atau sistem apalah yang kita gunakan untuk merepresentasikan konsep

kita.

Dengan pemahaman seperti di atas, yang akan digunakan dalam analisis ini

adalah pendekatan konstruksionis yang lebih memungkinkan untuk

memperlakukan teks tayangan sinema reliji dengan pemaknaan ‘bebas’ namun

tetap mempertimbangkan perspektif-perspektif yang diaplikasikan. Adapun

perspektif yang akan digunakan dalam analisis ini adalah (1) perspektif semiotika

(terutama Roland Barthes yang berkaitan dengan mitologi); (2) perspektif

diskursus dan kuasa (Michel Foucault).

Semiotika Barthesian

Dari Barthes penulis akan menggunakan pendekatan perspektif semiotika

tentang mitos yang merupakan penandaan tingkat kedua. Menurut Barthes

sistem representasi berlangsung melalui dua jalur, yakni (1) sistem penandaan

tingkat pertama di mana penanda (signifier) merepresentasikan tinanda/petanda

(signified) dalam hubungan denotatif dan (2) sistem penandaan tingkat kedua di

mana penandaan tingkat pertama merepresentasikan tingkat kedua petanda

dalam hubungan konotatif—yang oleh Barthes disebut mitos atau meta-bahasa.

Dalam kajian ini tayangan sinema reliji dengan elemen-elemen visualnya

diasumsikan merepresentasikan mitos-mitos yang merupakan representasi

ideologi tertentu yang eksis dalam masyarakat.

9 Hall.Op.cit.hlm.

6

Roland Barthes dalam sebuah tulisannya menganalisis sebuah gambar

serdadu hitam Perancis yang memberi hormat kepada bendera nasional Perancis.

Dalam analisisnya ia mengutarakan:

Saya berada di tukang potong rambut, dan sebuah majalah Paris Match disodorkan pada saya. Pada sampul halamannya, seorang negro muda berseragam Perancis sedang memberikan penghormatan, dengan kedua matanya terangkat, mungkin diarahkan pada lipatan bendera triwarna. Semua itu adalah makna (denotatif, penulis) dari foto itu. Namun,….saya mampu melihat dengan baik sekali apa maknanya bagi saya: bahwa Perancis adalah sebuah Kerajaan besar, bahwa seluruh anak-anak negerinya, tanpa ada diskriminasi wana kulit, setia mengabdi pada benderanya, dan bahwa tidak ada jawaban yang lebih baik terhadap para pencela kolonialisme sekutu dibandingkan dengan semangat yang ditunjukkan oleh negro ini dalam melayani para penindasnya. Oleh karena itu, saya….dihadapkan dengan sebuah sistem semiologis yang lebih besar: ada sebuah penanda, yang dengan sendirinya sudah terbentuk dalam sistem terdahulu (seorang prajurit kulit hitam memberikan penghormatan kepada Perancis); ada sebuah petanda (tingkat pertama, penulis) yakni campuran yang disengaja antara sifat ke-Perancis-an dan kemiliteran. Akhirnya, ada suatu kehadiran petanda melalui penanda…imperialisme Perancis.10

Analisis Barthes tentang penandaan tingkat kedua inilah yang kemudian

melahirkan konsep mitos semiologi-nya. Dari sebuah gambar yang sangat

denotatif sebenarnya menyisakan jejak-jejak petanda yang lebih mendalam, dan

itu disebut mitos. Lebih jauh Barthes menjelaskan bahwa mitos merupakan sistem

komunikasi, yakni sebuah pesan, suatu cara penandaan, sebuah bentuk, salah satu jenis

tuturan yang dilakukan dalam wacana, tetapi mitos tidak didefinisikan oleh objek-

objek pesannya, melainkan oleh cara pengungkapan pesan ini.11 Dalam setiap

gambar iklan maupun tayangan film mitos sebenarnya tidak pernah

disembunyikan karena ia memang tidak menyembunyikan apapun. Fungsinya

adalah untuk mendistorsi, bukan menghilangkan sesuatu yang mistis. Jadi fungsi

mitos adalah mentransformasiakn sejarah ataupun kepentingan-kepentingan

yang bersifat khusus agar tampak seolah-olah alamiah.12

Jadi untuk menemukan makna sebenarnya dari sebuah gambar kita terlebih

dahulu harus menemukan perangkat mitos yang disajikan untuk mendistorsi

makna tersebut sehingga orang awam yang membacanya tidak menyadarinya,

kecuali jika ia punya pandangan semiologis. Dalam kasus cover tersebut yang

berfungsi sebagai mitos adalah si Negro yang menghormat sedangkan makna

10 Dikutip dari Dominic Strinati.2004. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Penerbit Bentang.hlm.128-129. 11 Ibid.hlm.126-127. 12 Ibid.hlm.130.

7

sebenarnya adalah kebesaran imperial Perancis.13 Dari pemaknaan tersebut bisa

dikatakan bahwa sebenarnya mitos dalam masyarakat modern tidak pernah

‘netral’, artinya ada tujuan-tujuan dan motivasi-motivasi tertentu di balik pesan

mitis yang disampaikannya melalui gambar ataupun tayangan-tayangan

televisi.14

Kalau merujuk pengertian mitos sebagai sistem penandaan tingkat kedua,

maka di dalam sebuah mitos terdiri dari: bentuk (penanda), konsep (petanda), dan

penandaan (tanda). Dengan kata lain sebenarnya mitos menggunakan sistem

penandaan tingkat satu (berbasis teori linguistik, denotatif) untuk menemukan

makna sebenarnya. Seorang pengkaji harus melihat mitos bukan dengan

menganalisis penandaan tingkat pertama, tetapi menghubungkan makna

penandaan tingkat pertama dengan kode-kode yang sudah ada dalam sebuah

masyarakat.15

Dari analisis mitos yang ada di balik sebuah tayangan, kajian dilanjutkan

pada analisis diskursus dengan perspektif Foucault untuk memperoleh

pemahaman yang lebih komperhensif tentang wacana dan kuasa yang

disampaikan melalui tayangan sinema reliji. Kalau pada analisis semiotik lebih

mendasarkan kajian pada aspek pembentukan makna melalui struktur linguistik,

pada analisis diskursus kajian bisa diperluas pada kecenderungan teks tayangan

sinema reliji sebagai wacana yang mengandung pengetahuan. Dari pengetahuan

yang ditawarkan diskursus bisa dilacak keberadaan relasi kuasa yang dibawa.

Wacana, Pengetahuan, dan Kuasa

Analisis semiotika Barthesian bagaimanapun menggunakan model struktur

linguistik untuk menemukan representasi melalui citra-citra yang

dikonstruksikan dalam tayangan tersebut. Namun di balik representasi mitis

tersebut sebenarnya ada pihak-pihak yang sengaja memainkan tayangan Sinema

Hidayah untuk mengintrodusir wacana-wacana keillahian di tengah-tengah

popularitas media. Dengan kata lain, tayangan sinema reliji dengan formula cerita

dan adegan-adegan visual yang sangat formulaik dan tipikal bisa jadi merupakan

13 Lebih jauh tentang pembahasan ini baca St. Sunardi.2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.hlm.88-91. 14 Ibid.hlm.97-100. 15 Ibid.hlm.101.

8

sebuah wacana dari ‘pihak-pihak tertentu’ yang sengaja ingin membangun sebuah

pengetahuan spesifik sehingga masyarakat akan menganggapnya sebagai sebuah

kebenaran yang sesuai dengan hukum-hukum illahiah. Dengan demikian

pengetahuan ideologis bisa menjadi ‘kebenaran’ (truth) yang diyakini oleh

masyarakat. Di sinilah sebenarnya tengah berlangsung sebuah operasi kuasa

melalui wacana Sinema Hidayah.

Di sinilah pentingnya untuk menggunakan pendekatan pengetahuan dan

kuasa (knowledge and power) yang dicetuskan oleh Michel Foucault. Titik

perhatian dari pemikiran Foucault adalah pada bagaimana proses produksi

pengetahuan melalui apa-apa yang ia sebut sebagai wacana (discourse). Dari proses

itulah kemudian dalam rentang historis tertentu pengetahuan tertentu muncul

menjadi sebuah kuasa. Dengan kata lain apa yang ingin diungkapkan oleh

Foucault adalah adanya relasi-relasi kuasa yang ada di balik pengetahuan tertentu, dan

bukannya relasi-relasi makna. Maka, untuk dapat menemukan representasi dari

relasi-relasi kuasa yang ada dalam Sinema Hidayah, pendekatan diskursif menjadi

sangat signifikan untuk digunakan dalam analisis ini. Untuk mendapatkan

gambaran yang jelas tentang pendekatan diskursif dalam mengkaji representasi

kuasa dalam Sinema Hidayah, analisis ini akan menggunakan pendekatan yang

digunakan oleh Stuart Hall16. Hall menggunakan istilah pendekatan diskursif

lebih pada usahanya untuk mempermudah analisis terhadap fenomena budaya

dengan pemikiran Foucault. Pendekatan ini pada dasarnya mengajak kita untuk

memahami 3 penting, yakni (a) wacana, (b) pengetahuan dan kuasa, dan (c) subjek.

Wacana memang berasal dari terminologi linguistik yang secara sederhana

berarti sekumpulan tulisan atau pembicaraan yang saling berhubungan. Namun,

Foucault memberikan definisi yang berbeda. Hall menjelaskan:

Wacana menurutnya merupakan sekelompok pernyataan yang menghasilkan bahasa untuk berbicara—sebuah cara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang—topik tertentu pada momen historis tertentu, sebuah produksi pengetahuan melalui bahasa. Namun…karena semua praktik sosial melibatkan makna, dan makna membentuk dan mempengaruhi apa yang kita kerjakan—kita laksanakan—(maka) semua praktik mempunyai aspek-aspek diskursif.17

Wacana kemudian sangat menentukan objek-objek pengetahuan kita. Wacana

pulalah yang mengarahkan topik-topik yang dibicarakan dan mempengaruhi

16 Hall. Op.cit.hlm.43-63. 17 Ibid.44.

9

bagaimana ide-ide ditempatkan dalam praktik serta digunakan untuk mengatur

semua pembicaraan dan praktik sesuai dengan topik wacana tertentu.

Karena wacana berfungsi untuk mengatur segala pembicaraan dan praktik

sosial, maka ia tidak pernah hanya terdiri dari satu pernyataan, satu tindakan,

atau satu sumber. Hall mengutip Cousins dan Hussain menerangkan:

Sebuah wacana yang sama, karakteristik dari cara berpikir atau keadaan pengetahuan pada sebuah masa (yang oleh Foucault disebut episteme), akan melintasi tingkatan teks-teks, dan sebagai bentuk-bentuk pelaksanaan, pada sejumlah medan-medan institusional di dalam masyarakat. Bahkan, kapanpun event-event diskursif ini ‘merujuk pada objek yang sama, berbagi gaya yang sama dan……mendukung sebuah strategi…. Bentuk institusional, politis, dan administratif yang umum. Foucault menyebutnya formasi diskursif.18

Satu wacana tentang “kegilaan” (madness), misalnya, pada sebuah rentang historis

tertentu dibicarakan dalam berbagai kesempatan oleh pihak-pihak yang

berkepentingan sehingga menjadi pembicaraan umum dalam masyarakat.

Kegilaan tengah menjadi formasi diskursif yang mendapatkan perhatian di

mimbar-mimbar akademis, politik, maupun pemerintahan sehingga pada akhirnya

menghasilkan wacana-wacana baru dengan kekuasaan dan kekuatan—yang

akhirnya menjadi ‘kebenaran’—untuk mengendalikan praktik-praktik sosial baru

yang berkaitan dengan kegilaan. Semisal orang-orang gila yang semula bebas

berkeliaran di jalanan, ditempatkan di rumah sakit jiwa—dengan bangunan-

bangunan tertutup, para perawat, maupun dokter-dokter yang dididik khusus

untuk menangani mereka yang gila. Dan semua orang kemudian menganggapnya

sebagai tindakan yang benar. Dengan kata lain dalam setiap formasi diskursif

berlangsung pula sebuah “rejim kebenaran” (regime of truth).

Pengetahuan, dengan demikian, bekerja melalui praktik-praktik diskursif

dalam setting-setting institusional tertentu untuk mengatur tingkah laku liyan yang

bertentangan dengan wacana yang tengah dikonstruksikan sehingga kuasa bisa

berlangsung. Kuasa dalam hal ini berlangsung di dalam aparatus institusional dan

teknologi-teknologi-nya. Sebagai contoh konsepsi yang dibuat Foucault tentang

aparatus hukuman yang melibatkan beragam elemen, linguistik dan non-linguistik,

seperti wacana-wacana, institusi-institusi (semisal penegak hukum, pengadilan,

dan penjara), pengaturan arsitektur bangunan penjara, dalil-dalil filosofis,

moralitas, pilantropi, dan lain-lain. Jadi apparatus selalu dituliskan dalam

18 Ibid.

10

permainan kuasa, tetapi ia juga selalu dihubungkan dengan koordinat tertentu

dari pengetahuan sehingga ia terdiri dari strategi relasi-relasi terhadap dukungan

kekuatan-kekuatan dan didukung tipe-tipe pengetahuan.19

Pengetahuan yang dihasilkan dari wacana dengan demikian benar-benar

menjadi sebuah alat untuk membangun relasi kuasa di dalam masyarakat.

Pengetahuan menjadi sebuah kebenaran yang mana setiap individu

menganggapnya sebagai sesuatu “yang wajar” dan pada akhirnya dipatuhi.

Begitupula dengan pengetahuan dalam sinema reliji. Meskipun tayangan ini

merupakan karya para pekerja rumah produksi yang berorientasi profit, namun

pengetahuan yang dibangunnya bisa dianggap sebagai sebuah hasil formasi

diskursif yang dibangun terus-menerus, di mana televisi merupakan aparatus-

nya. Model visualisasi dan alur cerita bisa dianggap pula sebagai bagian dari

formasi diskursif yang memang dikonstruksikan demikian demi mendukung

sebuah pengetahuan besar yang tengah beroperasi di ruang-ruang keluarga

Indonesia.

Sinema reliji: lahirnya sebuah jenre yang formulaik dan seragam

Sinema reliji (dalam hal ini berhubungan dengan agama Islam) di televisi

merupakan jenre tayangan baru yang pernah ditayangkan oleh televisi-televisi

swasta di Indonesia. Sinema reliji merupakan tayangan sinema di televisi yang

menampilkan kisah-kisah ‘hikmah’ yang dikatakan sebagai intisari ajaran Islam

dalam kehidupan di dunia ini. Dikatakan kisah hikmah karena dari cerita-

ceritanya selalu menyuguhkan tema formulaik tentang baik dan buruk dalam

pandangan Islam.

Sebelumnya televisi Indonesia memang sudah sering menayangkan acara-

acara bernuansa reliji, terutama yang berupa kuliah subuh maupun siraman ruhani.

Model kuliah subuh dan siraman ruhani yang sebelumnya terkesan monoton

kemudian mengalami transformasi dengan hadirnya acara serupa yang dipandu

oleh A’a Gym dengan gaya modernis, parlente, dan gaul. Acara-acara siraman

ruhani oleh para ustadz yang muda dan gaul ini biasanya semakin populer ketika

bulan puasa tiba di mana semua stasiun televisi berusaha menampilkan

‘penampakan islaminya’. Popularitas A’a Gym inilah tidak bisa dipungkiri

19 Ibid.

11

merupakan awal bagi munculnya para ustadz muda yang langsung memenuhi

‘kotak gambar hidup’ di ruang-ruang keluarga Indonesia dengan wajah yang

masih cukup muda serta teknik komunikasi dakwah yang cukup mudah dipahami.

Popularitas acara siraman rohani ini kemudian diiringi munculnya acara

sinema reliji pertama yang ditayangkan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia)—

belum ada kajian mendalam tentang relasi antara dua kondisi tersebut—dengan

judul tayangan Sinema Reliji. Dengan mengangkat cerita tentang orang-orang

yang medapatkan balasan yang ‘cukup kejam’—dari tubuh penuh belatung

hingga ditolak bumi—dari Tuhan pada saat kematiannya karena perbuatan dosa

yang dilakukan selama hidup, Sinema Reliji berhasil melejit menjadi tayangan

dengan rating cukup tinggi. Popularitas Sinema Reliji segera menarik stasiun-

stasiun televisi swasta lainnya untuk menayangkan program serupa meskipun

dengan kemasan yang agak berbeda satu sama lainnya. RCTI, misalnya,

menayangkan 3 program serupa yakni Pintu Hidayah, Ku Sebut Nama-Mu, dan

Maha Kasih. Pintu Hidayah menghadirkan cerita yang tidak terlalu bombastis—

dalam artian tidak ada belatung—dengan tema bahwa semua perbuatan jelek ada

balasannya yang kemudian akan mengantarkan si tokoh ke dalam suasana

kontemplatif untuk selanjutnya menyadari kesalahannya dan mendapatkan

‘hidayah’. Ku Sebut Namamu, sebaliknya, lebih memfokuskan cerita pada orang-

orang dari kelas menengah ke bawah yang selalu tabah dalam menghadapi

cobaan-Nya untuk kemudian menerima imbalan setimpal berupa keberhasilan

atau balasan yang baik. Sedangkan Maha Kasih mengetengahkan cerita tentang

orang-orang yang terombang-ambing di antara dua pilihan, pahala atau dosa,

yang mana biasanya para tokohnya kemudian memilih dosa terlebih dahulu

untuk kemudian insyaf.

Trans TV dengan muatan serupa menghadirkan Sinema Hidayah. Sinema

Hidayah Trans TV dalam setiap pembukaannya selalu disebutkan bahwa kisah-

kisahnya berasal dari majalah Hidayah yanh kemudian diadaptasi dalam skenario

sinema. Kisah-kisah dalam majalah itu dikatakan berasal dari kisah nyata yang

terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW serta para sahabat sesudahnya. Tema

dan struktur cerita yang diangkat juga tidak jauh berbeda yang ada di dalam

Kuasa Illahi dan Pintu Hidayah. Yakni tokoh-tokoh antagonis yang menganiaya

12

tokoh protagonis untuk kemudian mendapatkan imbalan berupa kecelakaan

ataupun siksaan menjelang ia dikubur.

Mitos-mitos di balik sinema reliji

Sebagai sebuah tayangan populer, tim kreatif dari sinema reliji ternyata

berhasil menyuguhkan sebuah struktur mitos dalam citra visual dan tema cerita

yang terkesan sangat alamiah dan wajar tejadi. Sebenarnya struktur mitos yang

ditayangkan sangat gampang dideteksi, tetapi banyak penonton yang mungkin

tidak menyadarinya. Berikut disajikan analisis mitos dari sebuah sinema reliji.

Dalam sebuah tayangan Sinema Hidayah (Trans TV) berjudul “Akibat

Merebut Harta Anak Yatim” diceritakan tentang tokoh-tokoh antagonis—yakni

Tante, Susan (anaknya), dan Pacar gelap si Tante—yang melakukan perbuatan

aniaya terhadap Irma yang masih keponakannya sendiri. Dalam sinema ini

sebenarnya kita bisa menemukan banyak mitos yang tersusun sangat rapi dalam

adegan-adegan visual dan dialog antartokoh. Memang dibutuhkan kejelian untuk

melihat mitos-mitos pada adegan per adegan karena sinema tidak bisa disamakan

dengan foto yang statis. Untuk itulah dalam kajian ini akan dipilih beberapa

adegan dan potongan gambar yang dianggap mewakili analisis mitos.

Dalam Adegan 1, cerita diawali dengan orang-orang kampung yang

membawa jenasah ke kuburan. Mereka terdiri dari para lelaki muda dan beberapa

perempuan muda. Di antara mereka juga terdapat seorang ustadz. Ketika hendak

dikubur tiba-tiba keranda mayat terbakar. Semua orang panik. Lalu si ustadz

menyuruh salah seorang laki-laki menjemput Irma karena hanya ia yang mampu

menghentikan kejadian itu. Irma begitu kaget ketika diberitahu kejadian

tersebut. Segera ia menuju kuburan. Di samping keranda yang terbakar itu—

disaksikan oleh orang-orang kampung—ia memohonkan ampun si jenasah yang

tidak lain adalah tantenya sendiri. Di saat berdoa itulah alur cerita berubah flash

back, menceritakan bagaimana perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan si Tante

dan Susan, anaknya.

13

Gambar 1

Potongan gambar dari adegan 1

Sebagai adegan flash back, apa-apa yang digambarkan dalam Figur 1

sebenarnya merupakan inti dari keseluruhan cerita tayangan ini. Gambar-gambar

visual denotatif yang ditampilkan di sini merupakan sistem mitos utama yang

berasal dari tampilan-tampilan yang cukup denotatif dan nantinya menjadi ‘induk’

dari rangkaian-rangkaian mitos pendukung yang terdapat pada adegan-adegan

lainnya.

Figur 1 ini menggambarkan bagaimana prosesi pemakaman jenasah Tante

Irma yang mengalami ‘musibah/bencana’. Ketika hendak dikubur, keranda

jenasah terbakar sehingga membuat orang-orang bingung dan harus memanggil

Irma yang dianggap mampu menghentikan semua kejadian yang mengerikan itu.

Kejadian-kejadian seperti ini dikatakan oleh tim kreatif berasal dari kisah nyata,

meskipun kita saat ini sudah sangat jarang menemukan peristiwa-peristiwa

serupa dalam kehidupan nyata. Terlepas dari ada atau tidaknya peristiwa tersebut

dalam kehidupan nyata, sebenarnya rangkaian gambar tersebut merupakan

14

sistem mitos yang berusaha menegaskan dan menetralisir satu nilai ilahiyah

(dalam hal ini Islam) yang selama ini diyakini kebenarannya. Setiap orang akan

mendapatkan balasan atas semua perbuatannya dan setiap orang tidak bisa menghindar

dari balasan itu karena itu semua adalah kekuasaan Illahi. Namun sistem mitos yang

beroperasi dalam figur tersebut lebih dalam negative sense dari “balasan Tuhan”.

Tuhan akan membalas perbuatan jahat umat-Nya juga dengan balasan yang

kejam, karena memang Dia yang berkuasa atas segala isi semesta ini. Balasan

kejam dalam visualitas ini berupa terbakarnya keranda dari Tantenya Irma secara

tiba-tiba dan tidak ada rasionalitas kondisi yang menyebabkannya, karena

kejadian seperti memang tidak bisa dirasionalkan sehingga tetap menjadi rahasia

Illahi.

Adegan jenasah si Tante yang terbakar dan Pak Ustadz menyuruh salah

satu warga untuk memanggil Irma yang dianggap mampu menghentikan semua

kejadian ghaib ini, sebenarnya juga berlangsung mitos lainny yang berasal dari

mitos sebelumnya. Artinya representasi yang muncul di sini adalah bahwa hanya

mereka yang hatinya bersih dan cenderung teraniaya hidupnya yang akan mampu

menolong si korban dari balasan kejam Tuhan. Visualitas denotatif digambarkan

betapa tak ada orang lain—bahkan si Ustadz—yang mampu menghentikan

kutukan itu, kecuali Irma yang selama ini dianiaya oleh si Tante dan anaknya,

tetapi tetap sabar dan tabah menghadapinya. Kejadian itupulah yang kemudian

menghasilkan representasi mitis ketiga yakni setiap orang yang menyakiti dan

menganiaya serta merampas harta anak yatim akan mendapat balasan setimpal yang

kejam, baik di dunia maupun di akhirat. Ketiga representasi pada level mitos yang

ada dalam Figur 1 inilah yang akan mempengaruhi struktur cerita keseluruhan

dari sinema ini. Dalam jejaring ketiganya kemudian melahirkan banyak sistem

mitos yang ada dalam adegan-adegan berikutnya. Dengan kata lain semua

representasi mitos yang ada pada adegan-adegan berikutnya bila ditarik benang

merah akan mengerucut pada ketiga sistem mitos induk pada Figur 1.

Dalam adegan-adegan berikutnya, cerita lebih menampilkan logika-logika

mengapa si Tante dan anaknya juga kekasih gelap si Tante pada akhirnya

menerima balasan kejam dari Tuhan. Logika tersebut berupa cerita-cerita visual

yang menampilkan bagaimana ketiganya melakukan perbuatan-perbuatan kejam

dan aniayah terhadap Irma. Sebelum masuk ke sistem mitos yang ditampilkan

15

pada adegan-adegan berikutnya, ada baiknya ditampilkan juga bagaimana

stereotype20 yang dikonstruksikan ke dalam tampilan-tampilan fisik dan perilaku

dari ketiga tokoh antagonis tersebut. Karena tampilan-tampilan visual mereka

juga akan mendukung mitos-mitos yang beroperasi.

Gambar 2

Susan (keji dan kejam), Tante (Mamanya Susan, keji dan kejam), dan Kekasih Gelap si Tante (culas)

Sekilas, mungkin potongan-potongan gambar tersebut tidak bermakna apa-

apa, selain tampang-tampang orang yang culas, kejam, dan dengki. Namun di

balik semua perwujudan denotatif tersebut, sebenarnya ada sebuah stereotipisasi

yang disengaja oleh tim kreatif karena mereka memang ingin menunjukkan

bahwa ketiga orang tersebut merupakan tipikal orang dengan watak kejam dan

culas sebagaimana terdapat dalam kehidupan nyata. Mengikuti pendekatan yang

ditawarkan Fiske maka perwujudan-perwujudan stereotip tersebut masuk ke

dalam level realitas yang mana para tokoh tersebut digambarkan dengan sangat

denotatif melalui ekspresi muka, gesture, kebiasaan, cara berbicara, suara, dan

lain-lain. Dalam sebagian besar adegan dalam sinema ini, ketiga tokoh antagonis

tersebut memang selalu diwujudkan dalam citra visual yang bengis, keji, dan

kejam.

20 Stereotype menurut Stuart Hall merupakan praktik representasional yang mereduksi orang ke dalam figur dan karakteristik esensial sebagaimana ditakdirkan oleh alam. Selebihnya baca Hall, Stuart.1997. “The Spectacle of The Other”, dalam Hall.Ibid.hlm.257.

16

Gambar 3 Beberapa perwujudan tipikal Irma

Sedangkan Irma sebagai protagonis dan korban dari kekejaman ketiga

tokoh sebelumnya, digambarkan dengan perwujudan fisik dan juga cara pakaian

yang kontras. Irma adalah seorang anak yatim yang alim, tabah, berbudi baik,

suka menolong, tetapi selalu teraniaya dan menderita. Dia adalah anak yatim

piatu yang baik, cantik, tabah, tetapi berada dalam lingkungan orang-orang yang

membenci dan tidak menginginkannya sehingga selalu memperoleh cercaan,

siksaan, dan perlakukan kasar lainnya. Kontradiksi-kontradiksi itulah yang

kemudian membentuk cerita serta adegan visual yang kemudian memunculkan

mitos-mitos yang terkait.

Dari mitos penyiksaan, perselingkuan, hingga datangnya ‘juru selamat’

Gambar 4 Beberapa adegan penyiksaan yang dilakukan oleh Tante dan Susan

17

Beberapa gambar adegan penyiksaan di atas semakin memperlihatkan

kontradiksi antara Irma dan Tante serta Susan. Irma selalu diposisikan tidak

berdaya menghadapi kedua tokoh tersebut, karena status Irma memang tinggal

bersama mereka setelah kedua orang tuanya meninggal. Irma dalam rumah

tersebut tidak ubahnya seorang pembantu yang selalu disuruh-suruh dan apabila

ada sesuatu yang dianggap salah akan mendapatkan hukuman berupa siksaan.

Sedangkan Tante dan Susan selalu berada dalam posisi superior karena ia ingin

menguasai semua harta Irma—warisan mendiang orang tuanya—yang dikelola

oleh Om-nya. Adegan-adegan penyiksaan tersebut dengan demikian menjadi

mitos yang biasa terjadi dan merepresentasikan betapa orang yang dikuasai oleh

keinginan-keinginan ekspansif akan cenderung melakukan perbuatan-perbuatan

aniaya terhadap pihak yang ingin dikuasai. Dengan menampilkan adegan-adegan

penyiksaan secara vulgar tim kreatif tampak begitu berkeinginan untuk

menegaskan betapa seorang Tante bisa menjadi sangat kejam kepada

keponakannya sendiri ketika ia dihadapkan pada hasrat untuk menjadi kaya raya.

Dengan kata lain, adegan-adegan tersebut ingin menggiring pemahaman

penonton bahwa wajar kiranya kalau nantinya si Tante dan Susan mendapatkan

balasan yang kejam.

Namun, di samping semua peristiwa kejam yang dialami, Irma pada adegan-

adegan berikutnya juga mendapatkan bantuan dan simpati dari orang-orang yang

merasa iba atau jatuh cinta kepada kesabaran dan kesalehannya.

Gambar 5

Irma ditolong oleh Mbok Pembantu dan berjalan dengan Mario, teman yang akhirnya menjadi pacarnya

18

Apa-apa yang dilakukan si Mbok terhadap Irma sesungguhnya menjadi

penandaan mitis tentang selalu datangnya bantuan bagi orang-orang yang tabah

dan sabar serta tetap saleh dalam menjalani siksaan dari orang-orang dzalim.

Ajaran Islam memang selalu menganjurkan orang-orang untuk bersabar dalam

menghadapi cobaan karena pasti akan tiba masa di mana ada jalan keluar bagi

semua permasalahan dan cobaan yang dihadapi. Di sini sangat jelas betapa para

kreator tayangan ini berhasil meramu ajaran-ajaran agama dengan dongeng yang

selama ini berkembang di masyarakat, datangnya ‘juru selamat’ (messian) bagi

mereka yang menderita. Dalam cerita pewayangan posisi yang digambarkan oleh

si Mbok bisa disejajarkan dengan para tokoh punakawan (Semar, Bagong, Petruk,

Gareng) yang selalu memberikan bantuan bagi semua masalah yang dihadapi

keluarga Pandawa. Si Mbok adalah representasi ‘kekuatan illahiyah’ yang menjadi

penolong di saat Irma yang baik mengalami musibah. Posisinya sebagai

pembantu tidak menghalanginya untuk menjelma sebagai Semar yang

mengejawantah. Kehadiran seorang Mario—yang digambarkan sebagai siswa

yang baru saja pindah ke SMA tempat Irma sekolah—semakin menegaskan

bahwa orang yang sabar dan saleh akan mendapatkan imbalan setimpal, dicintai

oleh seseorang yang mirip pangeran—ganteng dan gagah serta tidak sombong. Ia tidak

jauh dengan Sang Pangeran dalam dongeng Cinderela yang mencintainya justru

karena kesederhanaan dan kesabarannya dalam menghadapi cobaan hidupnya.

Dengan adegan-adegan, di atas lebih jauh lagi, sebenarnya ada pesan ideologis

bahwa setiap insan harus rela untuk menderita.

Yang menarik dari adegan-adegan selanjutnya adalah betapa Tante juga

berlaku keji terhadap suaminya. Si suami—Om-nya Irma—digambarkan sebagai

orang yang terlalu sibuk kerja dengan mengelola perusahaan peninggalan orang

tua Irma. Sebenarnya si Tante tidak mencintai suaminya dengan jujur karena ia

hanya ingin memperoleh harta yang sebenarnya bukan miliknya. Karena tidak

benar-benar cinta maka ia berhubungan kembali dengan mantan kekasihnya,

meskipun di depan suaminya ia berpura-pura baik dan patuh kepada suaminya.

19

Gambar 6 Tante bermuka manis di depan suaminya, tetapi di kesempatan lain ia berselingkuh

Penandaan level denotatif adegan di atas bercerita bahwa seorang

perempuan bisa saja bermuka dua. Ia begitu pintar bermain sandiwara di depan

suami untuk meyakinkan bahwa ia perempuan baik-baik. Sedangkan ‘lepas dari

muka suami’, ia begitu menikmati ‘permainan-permainan liar’ dengan mantan

kekasihnya. Raut muka si Tante yang tersenyum “puas dan nakal” menampakkan

betapa ia ingin mengumbar keinginan-keinginan birahinya dan juga impian masa

depannya dengan sang kekasih. Meskipun ia tidak menyadari betapa si kekasih

juga menyimpan keinginan-keinginan “culas” dengan cara meyakinkan si Tante

tentang masa depan bersama yang indah. Keseluruhan adegan tersebut secara

ideologis ingin menyampaikan satu ajaran Islam bahwa perempuan itu bisa merusak

ketika ia tidak bisa dikendalikan karena ia mempunyai nafsu yang begitu besar. Dengan

demikian perempuan adalah makhluk yang begitu jahat ketika ia tidak dikekang

oleh aturan-aturan yang ketat dari suaminya dan juga dalil-dalil agama. Tentu

hal itu berkesesuaian dengan stereotip Tante yang bengis dan suka memakai baju

seksi, sesuatu yang dilarang oleh ajaran Islam. Dengan kata lain perempuan-

perempuan yang sering memakai baju-baju dan berpenampilan erotis sangat

mungkin berperilaku amoral dan a-agamis.

Representasi-representasi yang telah dibahas melalui penandaan mitos-

mitos di atas paling tidak menyiratkan makna-makna ideologis (terkait dengan

ajaran-ajaran agama) yang pada akhirnya menjadi pembenar dari balasan kejam

yang akan diberikan Tuhan kepada para tokoh antagonis. Artinya di balik

adegan-adegan visual tersebut ingin meyakinkan makna-makna ideologis

20

tertentu, antara lain: (1) bahwa orang-orang yang serakah cenderung melakukan

aniaya terhadap orang lain karena ia sudah dikuasai oleh hasrat kuasa; (2) bahwa

seorang perempuan yang jauh dari nilai-nilai agama akan cenderung melakukan

perbuatan-perbuatan kejam, aniaya, zinah, dan lain-lain, dan (3) orang itu harus

sabar dalam menghadapi cobaan maupun siksaan oleh orang lain, karena ia akan

mendapatkan hikmah dari Tuhan dan akan datang juru selamat. Representasi-

representasi turunan inilah yang kemudian kemudian menggiring pemahaman

akan pembenaran representasi utama, bahwa orang-orang yang berbuat aniaya

akan mendapat balasan kejam langsung dari Tuhan di dunia ini, dan yang bisa

menghentikan itu semua adalah doa ikhlas orang-orang yang pernah dianiaya

oleh mereka. Representasi mitis utama inilah yang kemudian bisa digunakan

untuk menemukan apa-apa sebenarnya tengah beroperasi dalam melalui tayangan

Sinema Hidayah dan tayangan-tayangan sejenis.

Wacana dan kuasa di balik sinema reliji

Analisis Sinema Hidayah Akibat Merebut Harta Anak Yatim dengan

menggunakan semiotika-mitologis Barthes menunjukkan bahwa keseluruhan

tayangan tersebut merujuk pada satu representasi ideologis Islam bahwa Tuhan

akan membalas (dengan kejam) orang-orang yang berbuat aniaya terhadap anak

yatim. Representasi tersebut, tentu saja, tidak berada dalam ruang netral yang

terbebas dari pengetahuan tertentu. Pengetahuan tersebut kemudian menjadi

representasi baru yang berkaitan dengan relasi kuasa yang tengah beroperasi di

balik tayangan tersebut. Analisis berikut lebih banyak menyoroti bagaimana

pengetahuan tertentu dibangun melalui formasi diskursif di dalam Sinema

Hidayah Akibat Merebut Harta Anak Yatim. Selanjutnya akan dihubungkan

bagaimana pengetahuan dalam tayangan tersebut sebenarnya berkaitan erat

dengan ‘pengetahuan besar’ yang tengah berlangsung menjadi relasi kuasa dalam

masyarakat.

Sebagaiamana dijelaskan dalam penjelasan sebelumnya bahwa tayangan ini

menceritakan tentang balasan Tuhan kepada mereka yang menganiaya anak

yatim. Dari keseluruhan analisis mitos sebenarnya bisa disimpulkan adanya

wacana yang dikembangkan yakni hukuman Tuhan kepada umat-Nya yang berbuat

aniaya terhadap anak yatim. Tentu hal itu berbeda dengan konteks wacana

21

hukuman yang dilakukan Foucault yang menghasilkan formasi diskursif berupa

lembaga-lembaga pengadilan, penjara, maupun aparat penegak hukum sehingga

hukuman menjadi pengetahuan yang dianggap benar. Hukuman dalam tayangan

ini berasal dari Tuhan, terutama yang berasal dari ajaran Islam.

Ketika hukuman Tuhan menjadi wacana (sebagaimana diwujudkan dalam

adegan awal) dalam tayangan ini segera saja ia ditransformasikan dalam formasi

diskursif yang sepertinya berisi wacana-wacana yang berbeda namun sejatinya

tetap mendukung wacana utama tersebut. Formasi diskursif tersebut antara lain

berupa (1) perbuatan aniaya yang dilakukan oleh si Tante dan anaknya, Susan,

kepada tokoh yatim piatu, Irma, serta ketabahan Irma menghadapi itu semua; (2)

perbuatan zina yang dilakukan si Tante dengan mantan kekasihnya; (3) perbuatan

aniaya yang dilakukan oleh si Tante kepada Mbok Pembantu akibat melaporkan

perbuatannya kepada si Suami, Om-nya Irma; (4) pembunuhan si Om oleh kekasih

gelap yang bersekongkol dengan si Tante; (5) penghinaan si Tante kepada

Ustadz yang meminta sumbangan untuk pembangunan masjid; (6) perbuatan keji

yang dilakukan oleh Susan kepada Mario, pacarnya Irma; (7) kecelakaan yang

menimpa Irma hingga ia meninggal; (8) serangan jantung yang menimpa si

Tante hingga meninggal; (9) meninggalnya kekasih gelap si Tante akibat

ditembak polisi ketika hendak kabur, dan; (10) terbakarnya keranda mayat si

Tante ketika hendak dikubur.

Sepanjang tayangan formasi diskursif dari wacana-wacana tersebut melalui

visualitas yang begitu terbuka dan lugas. Artinya gambar-gambar dan angel-

angel kamera sebagian besar sangat verbal. Kesan yang muncul kemudian adalah

bahwa semua yang dilakukan oleh tokoh-tokoh antagonis memang sesuatu yang

sangat kejam menurut standard moralitas dalam masyarakat. Akhirnya penonton

digiring untuk menyepakati bahwa apa-apa yang dilakukan mereka itu benar-

benar bertentangan dengan moralitas masyarakat maupun ajaran-ajaran Islam.

Akibatnya balasan (hukuman) Tuhan pantas diberikan kepada mereka. Inilah,

balasan (hukuman) kemudian menjadi pengetahuan dalam tayangan ini. Dan ini

merupakan wacana yang sudah menjadi pengetahuan dalam semua tayangan

Sinema Hidayah Trans TV, bahkan tayangan-tayangan di televisi lain yang ber-

jenre serupa.

22

Untuk mendapatkan perbandingan yang lebih komperhensif berikut

disajikan alur cerita (plot) beberapa tayangan ber-jenre “sinema reliji” di beberapa

stasiun televisi swasta Indonesia.

Judul Tayang

an

Eksposisi Awal Konflik

Klimaks Anti-klimaks hingga

Resolusi Sinema Hidayah (Trans TV)

Disuguhkan balasan Tuhan kepada mereka yang berbuat keji (sebagai pengantar ke dalam cerita, relasi akibat-sebab-akibat)

Para tokoh antagonis mulai melakukan perbuatan-perbuatan keji kepada protagonis

Konflik antagonis dengan protagonis dan tokoh pendukung lainnya, si antagonis semakin kejam

Para antagonis mengalami peristiwa tragis sebagai bentuk balasan Tuhan atas kekejaman mereka, hanya protagonis ‘yang bisa’ mengehentikan kejadian itu

Pintu Hidayah (RCTI)

Ditampilkan karakter yang biasanya bergelimang dengan harta-benda.

Ia mulai memamerkan kekayaannya dan meremehkan serta aniaya terhadap tokoh lainnya

Ia mulai mengalami peristiwa-peristiwa yang kurang mengenakkan

Ia mengalami peristiwa tragis—tidak sampai meninggal, lalu bertobat dan memintamaaf kepada yang dianiaya

Kuasa Illahi (TPI)

Ditampilkan karakter yang berbuat sombong dengan harta kekayaannya

Ia melakukan memamerkan segala kekayaannya untuk menghina dan menganiaya orang lain

Ia mengalami peristiwa yang menyakitkan

Ia meninggal sambil diikuti hukuman berupa peristiwa tragis

Dari perbandingan alur cerita di atas kiranya bisa ditarik satu korelasi

antara tayangan satu dengan yang lain. Terdapat kesamaan representasi tentang

balasan (hukuman) Tuhan kepada orang-orang yang dalam kehidupannya

berbuat keji dan kejam kepada orang lain. Dengan kata lain tema tentang balasan

(hukuman) Tuhan telah menjadi ‘pengetahuan atau cerita utama’ yang

dipraktikkan dalam media televisi. Tayangan tersebut merupakan aparatus

diskursif untuk sebuah representasi atau pengetahuan yang bernama balasan

(hukuman) Tuhan di muka bumi. Dan, itu berarti pemunculan ajaran-ajaran Islam

secara verbal di televisi. Televisi dengan orientasi komersilnya telah menjadi

medan negosiasi bagi penguatan ajaran-ajaran Islam secara formal dan verbal,

sebuah pengetahuan utama yang hendak ditawarkan. Penguatan ajaran-ajaran

23

Islam tersebut ternyata tidak hanya menjadi praktik diskursif di televisi, lebih

dari itu ada sebuah fromasi diskursif yang lebih luas, dan berlangsung dalam

ruang-ruang kehidupan yang lain.

Tayangan-tayangan televisi yang membawa representasi tersebut baru

mengalami booming pada tahun 2004-hingga saat ini. Menariknya, sebelum masa

itu televisi juga sudah biasa menampilkan para dai muda yang memberikan

siraman rohani sebelum buka puasa dan berlanjut pada hari-hari biasa. Pada saat

itu pula aktivitas pengajian di kota-kota besar yang melibatkan para profesional

serta ibu-ibu dari kelas menengah ke atas tengah marak. Gerakan dakwah masuk

ke dalam kehidupan masyarakat modern kota untuk memberikan siraman-

siraman yang menyegarkan di tengah-tengah orientasi material yang tengah

berkembang. Di kampus gerakan serupa semakin menemukan eksistensinya

dengan berdirinya KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang

membawa spirit formalisme Islam dalam bentuk busana maupun dakwah yang

berusaha mengembalikan pada “Islam yang dianggap benar”. Dan, PKS (Partai

Keadilan Sejahtera)—partai yang berideologi Islam—memperoleh pengaruh yang

cukup siginifikan dalam Pemilu 1999. Simbol-simbol keislaman menjadi trend

yang diulas dan didiskusikan dalam ruang-ruang pengajian, seminar, maupun

tayangan-tayangan komersil televisi. Bisa dikatakan bahwa terdapat semacam

gerakan untuk mengembalikan kejayaan formalisme Islam dalam praktik-praktik

politik, media massa, kebiasaan sehari-hari, maupun wilayah akademis. Bahkan di

beberapa daerah formalisme Islam menjadi semangat untuk menerapkan syariat

dalam sebagai aturan daerah yang mengikat masyarakat.

Formalisme Islam, dengan demikian, telah menjadi pengetahuan utama

yang itu direpresentasikan dalam bermacam formasi diskursif dan masuk ke

dalam wilayah kultur masyarakat. Televisi memang lebih menjadi pilihan karena

televisi merupakan benda budaya yang paling populer saat ini. Dengan pencitraan

Islam formalis di televisi baik melalui siraman rohani para dai muda yang trendy

maupun tayangan ber-jenre sinema reliji yang muncul kemudian adalah relasi

imajiner dalam diri penonton (dalam hal ini penonton muslim) dengan tayangan

tersebut sehingga dalam kehidupan nyata mereka akan menjadi orang-orang

yang taat kepada aturan-aturan agama dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan

keji. Penonton adalah subjek yang sudah semestinya mengikuti ajaran-ajaran

24

tersebut, kalau tidak maka mereka akan dianggap subjek liyan/other yang

dianggap ‘kafir’. Sepertihalnya si Tante, kekasih gelapnya, dan Susan yang

mendapatkan hukuman dari Tuhan.

Apabila ini berlangsung secara intensif dan terus-menerus melalui

tayangan-tayangan televisi maka bisa menjadi kebenaran yang sangat

mempengaruhi pola pikir dan tindakan para penonton—bersifat ideologis.

Pengetahuan tentang Islam formalis yang sangat verbalistik dalam televisi

merupakan representasi dari gerakan yang lebih luas dan tengah beroperasi di

tataran kehidupan riil, baik melalui representasi partai berazaskan Islam,

penerapan syariat Islam, dan sebagainya, yang semuanya berujung pada

eksistensi tatanan masyarakat Islami yang dikatakan berdasarkan Al-Qur’an dan

Hadist Rasulullah SAW dalam setiap sendi kehidupan. Dalam konteks itulah

sebenarnya dalam tayangan sinema ber-jenre reliji tengah berlangsung sebuah

“relasi kuasa” (power relation) yang diproduksi oleh ‘kelompok tertentu’—

kepentingan ideologis—dan kemudian direproduksi oleh pihak industri televisi—

kepentingan kapitalis. Kelompok ini melihat televisi sebagai sebuah bentuk

budaya populer yang sangat digemari oleh masyarakat sehingga dianggap sangat

efektif untuk menyebarkan ideologi Islam formalis tersebut. Dan kepentingan

tersebut rupa-rupanya sinergis dengan kepentingan kapitalis pada kreator

indsutri televisi karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim sehingga

sangat menguntungkan dari perspektif bisnis.

Pertanyaannya adalah siapakah kelompok tertentu ini? Memang sampai

tulisan ini dibuat belum bisa ditemukan fakta tentang kelompok tersebut. Namun,

dari sekian paparan representasi di atas dan dengan mempertimbangkan kondisi-

kondisi riil yang terjadi dalam masyarakat, kelompok tersebut bisa

diidentifikasikan sebagai kelompok yang dalam gerakannya ingin memuwujudkan

penerapan syariat Islam secara formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dan kalau kita perhatikan dalam konstalasi sosio-politik nasional kelompok-

kelompok ini paling tidak bisa diidentifikasikan ke dalam beberapa varian

gerakan. Pertama, partai politik berazas Islam, dalam hal ini yang paling

representatif adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kedua, kelompok gerakan

penegakan syariat Islam, seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hisbut Tahrir

Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan lain-lain. Ketiga, kelompok-

25

kelompok pengajian di perkotaan yang menghimpun para ibu-ibu, selebritis,

maupun para profesional yang kering akan siraman rohani, yang dipelopori A’a

Gym.

Masalahnya, siapakah dari kelompok tersebut yang melakukan

“perselingkuhan mutualis” dengan pihak televisi? Inilah kesulitan utama ketika

harus menentukan kelompok yang bermain dengan wacana Islam formalis di

televisi. Bisa ditebak bahwa pihak televisipun akan “diam” ketika ditanya perihal

tersebut. Yang pasti, dalam beberapa tayangan sinema reliji, seperti Pintu

Hidayah (RCTI) dan Kuasa Illahi (TPI) juga menampilkan seorang

ustadz/ustadzah yang memberikan tausiyah yang bisa dikatakan sebagai

pembenar dari rangkaian cerita yang ditampilkan dan mereka juga biasanya aktif

mengisi pengajian-pengajian di perkotaan. Mereka antara lain Ustadz Jeffry,

Ustadz Arifin, Ustadzah Latifah Sungkar, dan lain-lain. Namun itupun belum bisa

dijadikan sebagai pembenar bahwa kelompok-kelompok pengajianlah yang

mengusung pengetahuan tentang Islam formalis di tayangan sinema reliji.

Atau jangan-jangan pihak televisilah yang memanfaatkan tayangan sinema

reliji untuk mendongkrak rating mereka di mata audiens sehingga iklan yang

masuk semakin banyak? Masalahnya, pihak televisi sebelum membuat sebuah

program pasti akan melihat kecenderungan yang ada di dalam masyarakat. Dan,

sangat mungkin mereka melihat wacana tentang gerakan Islam formalis menjadi

kecenderungan baru di tengah-tengah masyarakat sehingga bisa

dikomodifikasikan ke dalam televisi. Semua serba mungkin.

Simpulan: kuasa ideologis yang menyesatkan

Terlepas dari ‘keruwetan’ tersebut, minimal, kita bisa mengetahui betapa

melalui tayangan-tayangan sinema reliji, wacana tentang balasan (hukuman)

Tuhan kepada umatnya yang berbuat salah telah menjadi bagian dari

pengetahuan ideologis bernama Islam formalis yang pada akhirnya membangun

sebuah relasi kuasa dalam penonton muslim. Dan sebuah pengetahuan ideologis

tidak bisa muncul dalam “kenetralan” dan “tanpa intensi kuasa” dari kelompok

tertentu yang berkepentingan dengan penyebarannya ke tengah-tengah penonton

muslim. Kelompok-kelompok inilah yang akan terus memanfaatkan segala

kecenderungan institusi media untuk terus mengintrodusir nilai-nilai Islam

26

formalis sesuai dengan tafsir mereka. Media, terutama televisi, oleh kelompok-

kelompok ini disadari sebagai agen budaya yang pengaruhnya sangat luas di

tengah-tengah masyarakat.

Berlangsungnya kuasa Islam formalis melalui tayangan sinema reliji, di satu

sisi, memang dianggap cukup efektif karena jangkauannya sangat luas

dibandingkan dengan menggelar tabligh akbar yang hanya terbatas pada satu

masyarakat tertentu dalam sebuah wilayah. Di sisi lain, tayangan sinema reliji

dengan alur cerita di atas secara terus-menerus hanya akan menggiring warga

muslim pada pemahaman ajaran agama yang sempit. Agama hanya sebatas

dimaknai sebagai balasan Tuhan kepada makhluk-Nya yang melakukan

perbuatan, baik buruk maupun baik. Artinya agama hanya dipahami sebagai

oposisi binner hitam-putih, baik-buruk, dan surga-neraka sehingga menegasikan

ajaran-ajaran substansial agama yang lain. Agama dengan demikian hanya

menjadi praktik-praktik verbal yang kehilangan substansi dan aura

ketuhanannya.

Dan lebih jauh lagi, ketika pengetahuan Islam formalis telah menjadi kuasa

hegemonik dalam masyarakat yang diaplikasikan dalam wujud kultural maupun

peraturan berlandaskan syariat, maka yang terjadi adalah politisasi simbol-simbol

agama sebagai aparatus untuk terus melanggengkan kuasa dalam masyarakat.

Siapa-siapa yang tidak mengidentifikasikan tindakan dan perbuatannya dalam

simbol-simbol keislaman adalah mereka yang kafir, tidak islami, dan akan

dihukum Tuhan. Maka orang-orang beragama semata-mata takut karena

dianggap sebagai liyan yang wajib untuk disadarkan meskipun melalui hukuman.

Contoh riil kejadian tersebut bisa di lihat pada beberapa kasus hukuman cambuk

di Aceh bagi mereka yang berjudi. Lalu apa bedanya dengan kenyataan tragis

historis ketika pasca G 30 S 1965 orang-orang dipaksa untuk beragama formal

yang lima (Islam, Katolik, Kristen, Budha, dan Hindu) dan lepas dari keyakinan-

keyakinan tentang Tuhan yang tidak tercakup dalam agama formal agar tidak

dicap sebagai komunis dan agar terbebas dari hukuman penggal. Meskipun modus

operandinya berbeda namun pada dasarnya mempunyai semangat yang sama.

Lalu, kalau sudah seperti itu berarti Tuhan itu sangat kejam karena langsung

mencelakai (menghukum) umat-Nya yang dianggap melanggar ajaran-ajaran agama.

Dan kalaupun Tuhan tidak menghukum langsung, aparat-aparat yang

27

mengatasnamakan hukum Islam siap menjadi wakil Tuhan untuk mencambuk atau

merajam liyan yang kafir tersebut. Betapa absurdnya agama dan Tuhan!

Gejayan, merindu senyum ikhlas di masa kecil, November-Desember 2006.

Bacaan Pendukung

Fiske, John.2002.Television Culture. London: Routledge

Hall, Stuart.(ed). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University Press.

Shen, Krishna. “Television: Transborder, Transmissions, Local Images”, dalam Krishna Sen and David T Hill.2000. Media, Culture, and Politics in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.

Strinati, Dominic.2004. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Sunardi, St.2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.