perbandingan makronuklei dan mikronuklei ikan kerapu
TRANSCRIPT
PERBANDINGAN MAKRONUKLEI DAN MIKRONUKLEI IKAN KERAPU CANTANG (Epinephelus sp.) DENGAN TREATMENT Spirulina platensis,
Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata TERHADAP INFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)
SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Oleh:
WILDAN EFFENDY
NIM. 135080100111043
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
PERBANDINGAN MAKRONUKLEI DAN MIKRONUKLEI IKAN KERAPU CANTANG (Epinephelus sp.) DENGAN TREATMENT Spirulina platensis,
Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata TERHADAP INFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)
SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh:
WILDAN EFFENDY
NIM. 135080100111043
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
ii
Judul : PERBANDINGAN MAKRONUKLEI DAN
MIKRONUKLEI IKAN KERAPU CANTANG (Epinephelus
sp.) DENGAN TREATMENT Spirulina platensis,
Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis
oculata TERHADAP INFEKSI VIRAL NERVOUS
NECROSIS (VNN)
Nama Mahasiswa : Wildan Effendy
NIM : 135080100111043
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING:
Pembimbing 1 : Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si
Pembimbing 2 : Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:
Dosen Penguji 1 : Prof. Dr. Ir. Endang Yuli H., MS
Dosen Penguji 2 : Ir. Putut Widjanarko, MP
Tanggal Ujian : 19 APRIL 2018
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam usulan skripsi dengan judul
“Perbandingan Makronuklei dan Mirkonuklei Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus
sp.) dengan Treatment Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris,
Nannochloropsis oculata terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN)” yang
saya tulis benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 19 April 2018
Mahasiswa
Wildan Effendy
NIM. 135080100111043
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Yang Telah Membiayai : Skema Penelitian BOPTN Unggulan Perguruan Tinggi Nomor :
063/SP2H/LT/DRPM/IV/2017, Tanggal 6 April 2017
Dengan Judul : “Produksi Dan Pengembangan Produk Antiviral Berbasis Peridinin Chloropyll Cell Pigmen (PCP) Spesies Penting Mikroalga Laut Untuk Komoditas Unggulan Ikan
Ekspor”
Sebagai Ketua Peneliti Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si.
Anggota Tim Penelitian Sebagai Berikut:
1. Akbar Nugraha 13. Yosef Benny Alta
2. Irsyadul Fajri 14. Yuni Septiyani
3. Syamsul Rizal 15. Aji Sanjaya
4. Shabrina Andrawini 16. Fariz Nur Yahya
5. Yunda Deliza 17. Elsa Novan Alfiyanto
6. Mimin Wirawati 18. Dewi Mangshuroh
7. Faisal Nur Fachrudin 19. Amanda Agustina
8. M. Rizky Mustaqim 20. Ahmad Arief Fathoni
9. Gus Aryadi 21. Farouq Syahrondhi M.
10. Linda Ayu Pratiwi
11. Leny Rosiana
12. Wildan Effendy
Ketua Peneliti,
(Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si)
NIP. 19730404 200212 2 001
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam penulisan laporan skripsi sehingga dapat terselesaikan
dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang telah memberi nikmat sehat dan
kebaikan lainnya sehingga mampu mengerjakan laporan skripsi hingga
selesai.
2. Ayah, Ibu, Adik serta keluarga besar yang selalu mendoakan dan turut serta
memberikan semangat yang tiada hentinya.
3. Dosen Pembimbing Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si dan Dr. Ir. Mohammad
Mahmudi, MS yang juga telah memberikan arahan serta bimbingan dalam
pelaksanaan dan penulisan laporan Skripsi ini.
4. Teman-teman “Tim 17” di bawah bimbingan Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si yang
sudah bersama-sama melaksanakan penelitian skripsi.
5. Sahabat saya yang telah menyemangati dari semester 1 sampai akhir
Shabrina dan akbar
6. Teman-teman Kendalsari Supri, Ans, Rapoy, Kidut, Zaky, Ari yang selalu
memberikan arahan dan motivasi dalam menghambat dan mempercepat
pengerjaan laporan skripsi
7. Teman-teman Rija, Itok, Faisal, Bagus, Ikrima, Manda, Desy yang menemani
saya pada saat semester semester akhir
8. Devina Talitha yang telah menyemangati saya
9. Teman-teman angkatan MSP 2013 yang mendukung jasmani dan rohani
Malang, 20 April 2018
Penulis
vi
RINGKASAN
Wildan Effendy. Perbandingan Makronuklei dan Mikronuklei Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus sp.) dengan Treatment Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) (Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, MS dan Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS).
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi perikanan melalui perluasan lahan perikanan dengan memanfaatkan perairan umum adalah budidaya ikan di perairan umum. Kegiatan budidaya didunia perikanan telah mengalami perkembangan yang cukup tinggi salah satu subsektor dari kegiatan budidaya perikanan yaitu budidaya ikan laut yang kini cukup banyak diminati oleh nelayan karena kegiatan penangkapan mulai mengalami penurunan hasil dalam beberapa tahun terakhir.Air sebagai media tempat hidup organisme akuatik harus memenuhi persyaratan kuantitas (jumlah) dan kualitas (mutu). Tetapi akhir-akhir ini terdapat permasalahan pada kegiatan budidaya, kematian ikan yang disebabkan oleh virus Viral Nervous Necrosis (VNN). Salah satu penyakit yang telah dilaporkan oleh peneliti adalah viral nervous necrosis (VNN) yang dapat menyebabkan kematian massal pada ikan kerapu. Ketersediaan fitoplankton sangat dibutuhkan terutama pada usaha pembenihan udang dan ikan. Disamping sebagai sumber protein, karbohidrat dan lemak, pakan alami terutama mikroalga merupakan sumber utama asam lemak esensial Uji mikronuklei digunakan untuk mendeteksi genotoksik di dalam perairan dengan cara uji sampel pada sel darah merah (eritrosit) ikan. Semakin tinggi jumlah mikronuklei maka semakin tinggi pencemaran yang ada diperairan tersebut begitu pula sebaliknya semakin rendah jumlah mikronuklei pada ikan maka tingkat pencemaran pada perairan tersebut juga rendah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan kualitas makronuklei dan mikronuklei pada ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.) yang terinfeksi Viral Nerveous Necrosis (VNN) di bak pemeliharaan dengan pemberian Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis oculata.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis infeksi Viral Nerveous Necrosis (VNN) pada ikan kerapu dengan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction), analisis histopatologi organ ikan kerapu untuk mengetahui Mikronuklei dan Makronuklei, dan analisis data kualitas air dilakukan dengan membandingkan data kualitas air yang diteliti dengan nilai optimal parameter kualitas air untuk budidaya ikan kerapu.
Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan jumlah mikronuklei pada perlakuan S. platensis 13,1-13,9/100sel, perlakuan D. Salina 11,0-18,0/1000sel, perlakuan C. vulgaris 12,01-13,58/1000sel, perlakuan N. oculata 9,6-10,4/1000sel. Pemberian perlakuan dosis mikroalga yang berbeda antara 102,104,106 menunjukkan hasil yang paling baik terdapat pada dosis 104. Sedangkan Mikroalga yang paling baik pada S. platensis karena kandungan nutrisi yang lebih banyak di bandingkan mikroalga yang lain. Mikroalga yang di konsumsi ikan yang mengandung kandungan nutrisi ikan dapat meningkatkan daya tahan tubuh ikan yang terserang penyakit.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, dan tidak
lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw
sehingga saya dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul
“Perbandingan Makronuklei dan Mikronuklei Ikan Kerapu Cantang
(Epinephelus sp.) dengan Treatment Spirulina platensis, Dunaliella salina,
Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata terhadap Infeksi Viral Nervous
Necrosis (VNN)”. Laporan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
meraih gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Brawijaya.
Penulis mengucapkan terimaksih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian laporan skripsi. Penulis menyadari bahwa laporan
skripsi ini masih banyaknya kekurangan dikarenakan keterbatasan dari penulis,
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan laporan skripsi ini. Amin.
Malang, 30 Maret 2017
Wildan Effendy
viii
DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................... v RINGKASAN ...................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv 1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4 1.3 Tujuan ................................................................................................................. 5 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 5 1.5 Tempat dan Waktu ............................................................................................. 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 6
2.1 Taksonomi dan morfologi Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus sp.) ..................... 6 2.2 Ekologi Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus sp.) .................................................. 8 2.3 Parameter Kualitas Air Ikan Kerapu .................................................................... 8
2.3.1 Suhu ............................................................................................................ 8 2.3.2 Salinitas ....................................................................................................... 9 2.3.3 Oksigen Terlarut (DO) ................................................................................. 9 2.3.4 pH ................................................................................................................ 9
2.4 Sistem pertahanan tubuh ikan ............................................................................ 9 2.4.1 Sistem Pertahanan Non Spesifik ............................................................... 10 2.4.2 Sistem Pertahanan Spesifik ....................................................................... 11
2.5 Imunostimulan .................................................................................................. 12 2.6 Hematologi Darah ikan ..................................................................................... 12
2.6.1 Mikronuklei ............................................................................................... 13 2.6.2 Makronuklei .............................................................................................. 15
2.7 Viral Nervous Necrosis (VNN) ........................................................................... 15 2.7.1 Gejala dan patogenitas Viral Nervous Necrosis (VNN) ............................. 16
2.8 Mikroalga Spirulina platensis ............................................................................ 17 2.9 Mikroalga Dunaliellaa salina ............................................................................. 18 2.10 Mikroalga Chlorella vulgaris .............................................................................. 20 2.11 Mikroalga Nannochloropsis oculata ................................................................. 21 2.12 Kandungan Gizi Mikroalga ................................................................................ 22
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN ....................................................... 25
3.1 Materi penelitian .............................................................................................. 25 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................. 25
ix
3.3 Metode penelitian ............................................................................................ 25 3.4 Sumber Data ..................................................................................................... 26 3.5 Teknik Pengambilan Data ................................................................................. 27
3.5.1 Survey ........................................................................................................ 27 3.5.2 Observasi ................................................................................................... 27 3.5.3 eksperimen................................................................................................ 27
3.6 Prosedur Penelitian ........................................................................................... 28 3.6.1 Kultur Mikroalga ....................................................................................... 28 3.6.2 Aklimatisasi ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.) ................................. 28
3.7 Pemberian perlakuan Mikroalga ....................................................................... 29 3.8 Metode Pengambilan Darah Ikan (Svobodova dan Vyukusova 1991) .............. 30 3.9 Metode Pengamatan Sel Darah Ikan (Bijanti, 2005) ......................................... 31 3.10 Pengukuran Total Eritrosit ................................................................................ 32 3.11 Pengukuran Total Leukosit ................................................................................ 32 3.12 Pengukuran Kadar Hematokrit ......................................................................... 33 3.13 Metode Pengamatan Mikronuklei Pada Sel Darah Ikan. .................................. 33 3.14 Metode Pengamatan Makronuklei pada ikan .................................................. 33 3.15 Pengamatan Kualitas Air ................................................................................... 34
3.15.1 Suhu .......................................................................................................... 34 3.15.2 Salinitas ..................................................................................................... 34 3.15.3 Derajat Keasaman (pH) ............................................................................. 35 3.15.4 Disolved Oxygen (DO) / Oksigen Terlarut ................................................. 35
3.16 Analisis Data ...................................................................................................... 35 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 37
4.1 Treatment Mikroalga ........................................................................................ 37 4.2 Status Hematologi Ikan Perlakuan Spirulina platensis ...................................... 37
4.2.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) Perlakuan Spirulina platensis ............ 37 4.2.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Perlakuan Spirulina platensis ............. 39 4.2.3 Jumlah Hemoglobin Perlakuan Spirulina platensis ................................... 41 4.2.4 Jumlah Nilai Hematokrit Perlakuan Spirulina platensis ............................ 42 4.2.5 Kualitas Makronuklei Perlakuan Spirulina platensis ................................. 43 4.2.6 Kualitas Mikronuklei Ikan Perlakuan Spirulina platensis .......................... 45
4.3 Status Hematologi Ikan Perlakuan Dunaliella salina ........................................ 47 4.3.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) Perlakuan Dunaliella salina .............. 47 4.3.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Perlakuan Dunaliella salina ................ 49 4.3.3 Jumlah Hemoglobin Perlakuan Dunaliella salina ...................................... 50 4.3.4 Jumlah Nilai Hematokrit Perlakuan Dunaliella salina ............................... 51 4.3.5 Kualitas Makronuklei Ikan Perlakuan Dunaliella salina ............................ 53 4.3.6 Kualitas Mikronuklei Ikan Perlakuan Dunaliella salina ............................. 54
4.4 Status Hematologi Ikan Perlakuan Chlorella vulgaris ....................................... 56 4.4.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) ........................................................... 56 4.4.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) ............................................................. 57 4.4.3 Jumlah Hemoglobin .................................................................................. 59 4.4.4 Jumlah Nilai Hematokrit ............................................................................ 60 4.4.5 Kualitas Makronuklei Ikan ......................................................................... 61 4.4.6 Kualitas Mikronuklei Ikan .......................................................................... 63
4.5 Status Hematologi Ikan Nannochloropsis oculata ............................................ 64 4.5.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) ........................................................... 64 4.5.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) ............................................................. 66
x
4.5.3 Jumlah Hemoglobin .................................................................................. 67 4.5.4 Jumlah Nilai Hematokrit ............................................................................ 68 4.5.5 Kualitas Makronuklei Ikan ......................................................................... 69 4.5.6 Kualitas Mikronuklei Ikan .......................................................................... 71
4.6 Analisa Kualitas Air ............................................................................................ 72 4.6.1 Suhu .......................................................................................................... 72 4.6.2 Salinitas ..................................................................................................... 76 4.6.3 Derajat Keasaman (pH) ............................................................................. 80 4.6.4 Oksigen Terlarut (DO) ............................................................................... 84
4.7 Analisis Data ...................................................................................................... 88 5. PENUTUP .................................................................................................. 91
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 91 5.2 Saran ................................................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 92 LAMPIRAN ........................................................................................................ 96
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ikan kerapu cantang (Google Image, 2017) ....................................... 7
Gambar 2. Spirulina platensis (Google image, 2017) ........................................ 18
Gambar 3. Dunaliella salina (Google Image, 2017) ........................................... 19
Gambar 4. Chlorella vulgaris (Google Image, 2017) .......................................... 21
Gambar 5. Nannochloropsis oculata (Google Image, 2017) .............................. 22
Gambar 6. Kandungan nutrisi Spirulina platensis .............................................. 23
Gambar 7. Jumlah nutrisi mikroalga Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan
Nannochloropsis oculata .................................................................................... 24
Gambar 8. Jumlah eritrosit perlakuan Spirulina platensis .................................. 38
Gambar 9. Sel eritrosit perlakuan Spirulina platensis ........................................ 38
Gambar 10. Jumlah sel leukosit perlakuan Spirulina platensis .......................... 40
Gambar 11. Sel leukosit perlakuan Spirulina platensis ...................................... 40
Gambar 12. Jumlah total hemoglobin perlakuan Spirulina platensis .................. 42
Gambar 13. Jumlah total hematokrit perlakuan Spirulina platensis ................... 43
Gambar 14. Jumlah total makronuklei perlakuan Spirulina platensis ................. 44
Gambar 15. Sel makronuklei perlakuan Spirulina platensis ............................... 45
Gambar 16. Jumlah total mikronuklei perlakuan Spirulina platensis .................. 46
Gambar 17. Sel mikronuklei perlakuan Spirulina platensis ................................ 46
Gambar 18. Jumlah eritrosit perlakuan Dunaliella salina ................................... 48
Gambar 19. Sel eritrosit perlakuan Dunaliella salina ......................................... 48
Gambar 20. Jumlah sel leukosit perlakuan Dunaliella salina ............................. 50
Gambar 21. Sel leukosit perlakuan Dunaliella salina ......................................... 50
Gambar 22. Jumlah total hemoglobin perlakuan Dunaliella salina ..................... 51
Gambar 23. Jumlah total hematokrit perlakuan Dunaliella salina ...................... 52
Gambar 24. Jumlah total makronuklei perlakuan Dunaliella salina .................... 54
xii
Gambar 25. Sel makronuklei perlakuan Dunaliella salina .................................. 54
Gambar 26. Jumlah total mikronuklei perlakuan Dunaliella salina ..................... 55
Gambar 27. Sel mikronuklei pada perlakuan Dunaliella salina .......................... 55
Gambar 28. Jumlah sel eritrosit perlakuan Chlorella vulgaris ............................ 57
Gambar 29. Sel eritrosit perlakuan Chlorella vulgaris ........................................ 57
Gambar 30. Jumlah sel leukosit perlakuan Chlorella vulgaris ............................ 59
Gambar 31. Sel leukosit perlakuan Chlorella vulgaris ....................................... 59
Gambar 32. Jumlah total hemoglobin perlakuan Chlorella vulgaris ................... 60
Gambar 33. Jumlah total hematokrit perlakuan Chlorella vulgaris ..................... 61
Gambar 34. Jumlah total makronuklei perlakuan Chlorella vulgaris................... 62
Gambar 35. Sel makronuklei perlakuan Chlorella vulgaris ................................ 63
Gambar 36. Jumlah total mikronuklei perlakuan Chlorella vulgaris .................... 64
Gambar 37. Sel mikronuklei perlakuan Chlorella vulgaris .................................. 64
Gambar 38. Jumlah sel eritrosit perlakuan Nannochloropsis oculata ................. 65
Gambar 39. Sel eritrosit perlakuan Nannochloropsis oculata ............................ 66
Gambar 40. Jumlah sel leukosit perlakuan Nannochloropsis oculata ................ 67
Gambar 41. Sel leukosit perlakuan Nannochloropsis oculata ............................ 67
Gambar 42. Jumlah total hemoglobin perlakuan Nannochloropsis oculata ........ 68
Gambar 43. Jumlah total hematokrit perlakuan Nannochloropsis ocuata .......... 69
Gambar 44. Jumlah total makronuklei perlakuan Nannochloropsis oculata ....... 70
Gambar 45. Sel makronuklei perlakuan Nannochloropsis oculata ..................... 70
Gambar 46. Jumlah total mikronuklei perlakuan Nannochloropsis oculata ........ 71
Gambar 47. Sel mikronuklei perlakuan Nannochloropsis oculata ...................... 72
Gambar 48. Grafik suhu perlakuan Spirulina platensis ...................................... 73
Gambar 49. Grafik suhu perlakuan Dunaliella salina ......................................... 74
Gambar 50. Grafik suhu perlakuan Chlorella vulgaris ....................................... 75
Gambar 51. Grafik suhu perlakuan Nannochloropsis oculata ............................ 76
xiii
Gambar 52. Grafik salinitas perlakuan Spirulina platensis ................................. 77
Gambar 53. Grafik salinitas perlakuan Dunaliella salina .................................... 78
Gambar 54. Grafik salinitas perlakuan Chlorella vulgaris .................................. 79
Gambar 55. Grafik salinitas perlakuan Nannochloropsis oculata ....................... 80
Gambar 56. Grafik pH perlakuan Spirulina platensis ......................................... 81
Gambar 57. Grafik pH perlakuan Dunaliella salina ............................................ 82
Gambar 58. Grafik pH perlakuan Chlorella vulgaris ........................................... 83
Gambar 59. Grafik pH perlakuan Nannochloropsis oculata ............................... 84
Gambar 60. Grafik DO perlakuan Spirulina platensis ........................................ 85
Gambar 61. Grafik DO perlakuan Dunaliella salina ........................................... 86
Gambar 62. Grafik DO pengamatan Chlorella vulgaris ...................................... 87
Gambar 63. Grafik DO perlakuan Nannochloropsis oculata .............................. 88
Gambar 64. Hasil uji BNT .................................................................................. 90
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rancangan penelitian .......................................................................... 30
Tabel 2. Analisis ANOVA ................................................................................... 89
Tabel 3. Analisis hasil BNT ................................................................................ 89
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Kultur dan Perhitungan
Kelimpahan Sel N. oculata ................................................................................. 96
Lampiran 2. Alat dan Bahan Pengambilan Darah ............................................. 97
Lampiran 3. Alat dan Bahan untuk Ekstraksi Viral Nervous Necrosis (VNN) ..... 97
Lampiran 4. Alat dan Bahan untuk Perlakuan Penelitian .................................. 97
Lampiran 5. Alat dan Bahan untuk Pengukuran Kualitas Air ............................. 98
Lampiran 6. Perhitungan Pengkondisian Kepadatan Mikroalga ........................ 99
Lampiran 7. Analisis data software SPSS Factorial ........................................ 105
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian .............................................................. 107
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi perikanan melalui
perluasan lahan perikanan dengan memanfaatkan perairan umum adalah
budidaya ikan di perairan umum. Kegiatan budidaya didunia perikanan telah
mengalami perkembangan yang cukup tinggi salah satu subsektor dari kegiatan
budidaya perikanan yaitu budidaya ikan laut yang kini cukup banyak diminati oleh
nelayan karena kegiatan penangkapan mulai mengalami penurunan hasil dalam
beberapa tahun terakhir. Ada beberapa komoditas yang sudah dapat
dibudidayakan dan dikembangkan dibeberapa tempat di Indonesia antara lain:
rumput laut, ikan bandeng, kakap, baronang, dan ikan kerapu. Ikan kerapu
mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan bagi usaha marikultur, karena
pertumbuhannya cepat dan dapat diproduksi secara massal untuk melayani
permintaan pasar ikan kerapu dalam keadaan hidup (Paruntu, 2015).
Ikan kerapu termasuk ikan perairan tropis dengan suhu pemeliharaan
optimal 20-30 oC mampu hidup pada air payau dan laut. Indonesia adalah
Negara produsen kerapu terbesar didunia. Berdasarkan data Departemen
Kelautan dan Perikanan, produksi ikan kerapu Indonesia pada tahun 2004
sebanyak 6.552 ton sedangkan pada tahun 2006 diperkirakan mencapai 12 ribu
ton dan pada 2009 diproyeksikan naik menjadi 30 ribu ton (Sumaryam et al.,
2011). Jenis-jenis ikan kerapu tersebut diantaranya adalah ikan kerapu lumpur,
ikan kerapu macan, ikan kerapu malabar, ikan kerapu sunu, dan ikan kerapu
totol. Wilayah penyebaran ikan kerapu meliputi daerah tropik dan sub tropik
(Randall dan Ben-Tuvia, 1983 dalam paruntu 2015). Salah satu cara untuk
2
mendapatkan panen ikan kerapu yang banyak dalam jangka waktu singkat
adalah memakai teknik budidaya intensif dengan padat tebar tinggi.
Salah satu faktor penting dalam manajemen budidaya adalah
pengelolaan kualitas air sebagai media hidup organisme akuatik. Air sebagai
media tempat hidup organisme akuatik harus memenuhi persyaratan kuantitas
(jumlah) dan kualitas (mutu). Suplai air yang cukup belum mampu menjamin
keberhasilan panen bila pengelolaan kualitas air selama pemeliharaan tidak
memadai. Kualitas air sangat dipengaruhi oleh mutu air sumber, kondisi dasar
media pemeliharaan, manajemen pakan, dan cuaca. Parameter kualitas air yang
dimaksud yaitu parameter fisika, kimia, dan biologi. Parameter fisika yaitu suhu
dan kecerahan, parameter kimia diantaranya yaitu pH, oksigen terlarut, amonia,
BOD5, COD, dan CO2. Intensifikasi budidaya perikanan melalui penggunaan
padat penebaran dan laju pemberian pakan yang tinggi dapat menimbulkan
masalah kualitas air yang berat. Sisa pakan, kotoran organisme budidaya,
organisme dan plankton yang mati serta material organik berupa padatan
tersuspensi maupun terlarut yang terangkut melalui pemasukan sumber air
(inflow water) merupakan sumber bahan organik pada media pemeliharaan. Input
bahan organik ini semakin bertambah seiring dengan aktivitas budidaya karena
kebutuhan pakan organisme akuatik mengikuti pertumbuhan biomassanya
(Boyd, 1990). Tetapi akhir-akhir ini terdapat permasalahan pada kegiatan
budidaya, kematian ikan yang disebabkan oleh virus Viral Nervous Necrosis
(VNN). Salah satu penyakit yang telah dilaporkan oleh peneliti adalah viral
nervous necrosis (VNN) yang dapat menyebabkan kematian massal pada ikan
kerapu (Sunaryanto 2001 dalam Lestari dan Sudaryatma, 2014). Di Indonesia
dilaporkan bahwa Viral Nervous Necrosis (VNN) telah menyerang sebagian
besar budidaya ikan kerapu dengan tingkat kematian 100%. Penyakit VNN
merupakan masalah serius pada budidaya ikan laut karena dapat menyebabkan
3
kematian 50-100% pada larva umur 10-20 hari (Koesharyani et al., 1999 dalam
Sudaryatma dan Lestari, 2014).
Ikan yang terinfeksi VNN menurut secara histopatologi memperlihatkan
keadaan gangguan saraf dengan terbentuknya vakuolisasi pada otak dan retina.
Gambaran infeksi virus di dalam sel maupun jaringan dapat mendeskripsikan
secara spesifik adanya perubahan suatu gejala serta fungsi sel dan jaringan
maupun sejauh mana virulensi virus berpengaruh terhadap tubuh inangnya,
sehingga dapat dilakukan pemetaan distribusi pathognomik virulensi VNN pada
inang (Prihartini, 2016). Gejala klinis yang tampak pada ikan kakap yang
terinfeksi VNN yaitu ikan tampak lesu, berenang berputar dengan perut di
permukaan dan sering muncul ke permukaan dengan berenang secara vertikal
(Sudaryatma et al., 2012). Menurut Uribe et al., (2011) dalam Arsal (2014),
Adanya infeksi akan ditanggapi oleh sistem imun dengan mengaktifkan
kekebalan tubuh bawaan (non-spesifik) yang merupakan pertahanan dasar
pertama yang aktif ketika terjadi infeksi baik viral maupun bakterial. Pada ikan,
respons imun bawaan memiliki peranan yang sangat penting dalam hal
pertahanan menghadapi invasi patogen.
Mikronuklei adalah gambaran fragmen kromosom atau bagian dari
kromosom yang tidak dapat bergabung dengan nucleus (inti) pada saat terjadi
pembelahan sel. Pengujian mikronuklei akan digunakan sebagai indicator
penyerapan dosis atau kerusakan kromosom maka pengamatan mikronuklei
harus berpatokan pada sel yang telah mengalami pembelahan inti (Lusiyanti et
al., 1996). Menurut Ozkan et al., (2011), uji mikronuklei digunakan untuk
mendeteksi genotoksik di dalam perairan dengan cara uji sampel pada sel darah
merah (eritrosit) ikan. Semakin tinggi jumlah mikronuklei maka semakin tinggi
pencemaran yang ada diperairan tersebut begitu pula sebaliknya semakin
rendah jumlah mikronuklei pada ikan maka tingkat pencemran pada perairan
4
tersebut juga rendah Fitoplankton dalam dunia perikanan mempunyai peranan
sangat penting karena merupakan mata rantai siklus makanan pada lingkungan
akuatik.
Ketersediaan fitoplankton sangat dibutuhkan terutama pada usaha
pembenihan udang dan ikan (Mahmud et al., 2012). Disamping sebagai sumber
protein, karbohidrat dan lemak, pakan alami terutama mikroalga merupakan
sumber utama asam lemak esensial (Renaud et al., 1999 dalam Mahmud et al.,
2012) salah satu alganya adalah Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella
vulgaris, dan Nannochloropsis oculata. Pentingnya mikroalga dalam rantai
makanan perairan membuat sebagian mikroalga dijadikan sebagai faktor penting
dalam pertumbuhan beberapa organisme akuatik.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan kualitas
makronuklei dan mikronuklei pada ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.) yang
terinfeksi Viral Nerveous Necrosis (VNN) di bak pemeliharaan dengan pemberian
Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis
oculata.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah penelitian
bagaimana perbandingan hasil uji kualitas makronuklei dan uji mikronuklei sel
darah ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.) yang terinfeksi Viral Nervous
Necrosis dengan Treatment Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella
vulgaris, dan Nannochloropsis oculata pada kolam pemeliharaan dengan di
BPBAP Situbondo?
5
1.3 Tujuan
Adapun Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan
kualitas makronuklei dan uji mikronuklei sel darah ikan kerapu cantang
(Epinephelus sp.) yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis dengan Treatment
Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis
oculata pada bak pemeliharaan dengan di BPBAP Situbondo.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Sebagai bahan informasi untuk kegiatan budidaya ikan kerapu cantang
dalam memahami penyakit yang disebabkan oleh VNN.
2. Mencegah dan membatasi penularan penyakit oleh VNN pada budidaya
ikan kerapu cantang.
1.5 Tempat dan Waktu
Kegiatan penelitian skripsi ini dilaksanakan pada tanggal Juni – Juli 2017
yang berlokasi di Laboratorium Lingkungan dan Bioteknologi Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Laboratorium Biosains
Universitas Brawijaya dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taksonomi dan morfologi Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus sp.)
Ikan kerapu cantang merupakan ikan jenis baru yang didapatkan dari
persilangan hibridasi antara ikan kerapu macan dan ikan kerapu kertang yang
telah menghasilkan satu varietas baru yang secara morfologis mirip dengan
kedua spesies induknya. Menurut Heemstradan dan Randall (1993) ikan kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus) diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Osteichtyes
Sub kelas : Actinopterigi
Ordo : Percomorphi
Sub Ordo : Percoidea
Famili : Serranidae
Genus : Cromileptes
Spesies : Cromileptes altivelis
7
Sedangkan pada klasifikasi ikan kerapu kertang (Epinephelus
lanceolatus) adalah sebagai berikut :
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidea
Divisi : Perciformis
Famili : Serranidea
Sub family : Epinephelinea
Genus :Epinephelus
Spesies :Epinephelus lanceolatus
Gambar 1. Ikan kerapu cantang (Google Image, 2017)
Berdasarkan morfologinya, ikan kerapu cantang memiliki bentuk
tubuh compres dan relative membulat dengan ukuran lebar kepala sedikit atau
hampir sama dengan lebar badannya. Warna kulit coklat kehitaman dengan 5
garis hitam melintang di bagian tubuhnya. Semua sirip (pectoral, anal, ventral,
dorsal dan caudal ) bercorak seperti kertang dengan dasar berwarna kuning
dilengkapi dengan bintik-bintik hitam. Bintik hitam banyak tersebar di kepala dan
didekat sirip pectoral dengan jumlah yang berlainan pada setiap individuSirip
punggung semakin melebar kearah belakang. Sirip punggung menyatu yang
8
terdiri atas 11 jari-jari keras dan 15 jari-jari lunak, sirip pectoral terdiri atas 17 jari-
jari lunak, sirip ventral terdiri dari 1 jari-jari keras dan 5 jari-jari lunak, sirip anal
terdiri dari 2 jari-jari keras dan 8 jari-jari lunak, sedangkan sirip caudal terdiri atas
13 jari-jari lunak. Bentuk ekor rounded Bentuk mulut lebar, superior (bibir bawah
lebih panjang dari bibir atas). Tipe sisik stenoid (bergerigi). Bentuk gigi runcing
(canine). Panjang ikan 48 cm. Panjang usus 63 cm (BPBAP Situbondo).
2.2 Ekologi Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus sp.)
Ikan kerapu merupakan ikan asli air laut yang hidup di berbagai habitat,
tergantung pada jenisnya. Ada yang hidup di terumbu karang, di perairan
berlumpur, di perairan hutan mangrove atau bahkan jenis kerapu tertentu yang
mampu hidup di air tawar (Ghufron dan Kordi, 2001). Ikan kerapu merupakan
ikan demersal yang bersifat nocturnal (aktif pada malam hari). Habitatnya
alaminya adalah perairan laut dengan dasar terumbu karang, kedalaman antara
40 meter samapi dengan 60 meter atau daerah dangkal berbatu koral. Ikan-ikan
muda biasanya hidup pada kedalama 0,5 meter sampai 3 meter (Rahwanto et
al., 2016).
Ikan kerapu merupakan ikan yang dapat bertahan hidup pada rentang
salinitas dari 15-45 ppt. Ikan kerapu juga dapat bertahan hidup pada pencucian
dengan air tawar selama 19 menit. Suhu optimal media pemeliharaannya adalah
22-28oC. Jika suhu turun sampai 15oC, maka ikan tidak mau makan (Sudjiharno,
2004).
2.3 Parameter Kualitas Air Ikan Kerapu
2.3.1 Suhu
Suhu merupakan parameter utama bagi pertumbuhan ikan, karena suhu
dapat mempengaruhi kelangsungan hidup ikan, suhu yang cocok bagi
pertumbuhan ikan yaitu antara 24-31oc. Amirudin et al., (2011), Menyataka suhu
9
air yang cocok untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan kerapu cantang
adalah suhu 27-29oC.
2.3.2 Salinitas
Salinitas merupakan faktor penting bagi kehidupan metabolisme ikan.
Apabila ikan kerapu hidup pada salinitas yang tidak sesuai dengan
kebutuhannya,secara fisiologis fungsi organ osmoregulasi ikan akan terganggu.
Ikan dewasa yang sudah matang gonad dan memijah membutuhkan salinitas 30-
35 ppt (Sudjiharno, 2004).
2.3.3 Oksigen Terlarut (DO)
Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut di dalam suatu perairan
sangat dibutuhkan oleh ikan dan organisme lainnya untuk hidup. Konsentrasi
oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan dan konversi pakan serta
dapat mengurangi daya dukung perairan. Nilai DO suatu perairan yang baik
untuk budidaya kerapu adalah lebih besar dari 6 ppm (Akbar, 2001).
2.3.4 pH
Derajat keasaman (pH) dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam
menentukan kondisi suatu perairan. Kondisi pH netral sampai sedikit basa sangat
ideal bagi kehidupan ikan air laut. Suatu perairan yang ber-pH rendah dapat
mengakibatkan aktivitas pertumbuhan menurun atau pergerakan ikan menjadi
lemah, ikan lebih mudah terinfeksi penyakit serta diikuti dengan tingginya tingkat
kematian (Akbar, 2001). ). Menurut Qodri et al., (1999), parameter-parameter
ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pH antara 6,5-9.
2.4 Sistem pertahanan tubuh ikan
Sistem pertahanan tubuh pada ikan dipengaruhi oleh kondisi anatomis,
fisiologis, spesies, umur, berat badan dan lingkungan luar sehingga
10
memungkinkan adanya tingkatan yang berbeda (Schaperlclaus, 1992), Sistem
pertahanan tubuh ikan terdiri dari 2 macam, yaitu system pertahanan non spesifik
dan spesifik (Davies, 1997).
Sistem pertahanan pada ikan melindungi ikan melawan penyakit. Sistem
pertahanan non spesifik dan spesifik dapat didiagnosa menggunakan sampel
darah ikan hidup. Sama dengan hewan lainnya, ikan memiliki mekanisme
respons pertahanan non spesifik dan spesifik, yang mudah terhadap peningkatan
kekebalan melalui pengaruh lingkungan dan stresor (Anderson dan Siwicki
1995).
2.4.1 Sistem Pertahanan Non Spesifik
Pertahana non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan
mengahadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat
memberikan respon langsung terhadapa antigen. Disebut system pertahanan
non spesifik, karean tidak ditunjukan terhadap mikroorganisme tertentu dan telah
ada sejak lahir (Satyatini, 2013).
Menurut Whyte (2007), Peranan utama system imun alami (imun non
spesifik) adalah sebagai pertahanan pertama iniang dari serangan organism
patogen dan beberapa bahan asing sampai system imun adaptif (imun spesifik)
muncul dan mengambil alih fungsi tersebut.
Beberapa tipe sel darah putih (Leukosit) terlibat dalam pertahanan seluler
ikan yaitu monosit/makrofag, granulosit dan sel-sel sitotoksi nonspesifik. sel-sel
sitotoksik non spesifik pada ikan sama fungsinya dengan sel NK. makrofag dan
granulosit adalah sel-sel fagosit yang banyak ditemukan dalam darah dan
jaringan limfoid sekunder dan sangat penting dalam inflamasi (Secombes, 1996).
Sistem pertahanan nonspesifik menggunakan mekanisme efektor seluler
berupa aktivitas fagositosis yang melibatkan sel-sel organ dan sel moil. Sel-sel
11
organ meliputi sel jaringan penghubung (Fibrioblast), jaringan limfoid dan saluran
pencernaan, sel reticuloandoyhelial, sel dinding kapiler, dan jaringan monosit. Sel
motil terdiri atas makrofag, leukosit nongranular (monosit dan limfosit), dan
leukosit granular (neutrofil, eusinofil, dan basofil) (Ingram, 1980 dan
Schaperclaus, 1992).
2.4.2 Sistem Pertahanan Spesifik
Sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenali
antigen terlebih dahulu namun sangat spesifik terhadap jenis patogen tertentu
dan mampu membentuk memori spesifik antigen. Kedua sistem tersebut bekerja
sama untuk mendeteksi beberapa antigen (virus‚ bakteri‚ fungi ataupun parasit)
yang masuk ke dalam tubuh inang dan selanjutnya akan menghancurkan serta
memusnahkannya dari inang (Yanuhar‚ 2010).
Sistem pertahanan spesifik teridir dari atas dua macam yaitu system
pertahanan seluler atau cell mediated immunity (CMI) dan system pertahanan
homural (produksi antibody) (Ellis, 1988 dalam Noble dan Noble, 1989). Respon
humoral merupakan respon spesifik (respon limfosit) timbul lebih lambat,
sedangkan respon seluler bersifat non spesifik yang meliputi barier mekanik dan
kimiawi (mukus, kulit sisik, dan insang), sel makrofag, leukosit, sel natural killer
(NK) ( Baratawidjaja, 2006). Sistem pertahanan seluler, ikan teleostei memiliki
sel-sel makrofag, neutrofil, sel NK, sel T dan sel B. Ikan teleostei juga memiliki
beberapa macam komponen sistem pertahanan homural seperti: komplemen,
lisozim, hemolisin alami, transferin dan C-reaktif protein (Sakai 1999).
Respon imun terhadap suatu antigen tergantung pada dosis dan cara
pemasukannya kedalam tubuh. Pada umunya, cara pemasukan antigen ke
dalam tubuh dapat langsung melalui kulit, organ pernapasan, saluran
12
pencernaan, atau disuntikan, dan masing-masing cara tersebut dapat
menimbulkan respon imun yang berbeda intensitasnya (subowo,1993).
2.5 Imunostimulan
Imunostimulan merupakan senyawa biologi dan sintesis yang dapat
meningkatkan respon imun non spesifik. Imunostimulan yang telah banyak
dikenal antara lain β-glukan‚ peptidoglikan dan lipopolisakarida (LPS) (Roza et
al.‚ 2006). Imunostimulan dapat diberikan melalui injeksi, bersama pakan (per
oral) dan perendaman (Anderson‚ 1992).
Imunostimulan penting untuk kesehatan sebagai pembangun mekanisme
sistem pertahanan dan perlindungan melawan penyakit. Beberapa
imunostimulan seperti ajuvan, bahan-bahan alami maupun sintetik dan bahan-
bahan biologi telah diuji pada ikan secara in vitro dan in vivo. Beberapa bahan
yang memiliki efek imunostimulator seperti glukan, chitin, lactoferin, levamisole,
vitamin B, vitamin C, hormon pertumbuhan dan prolaktin telah banyak dilaporkan
pada ikan dan udang (Sakai 1999).
Apabila masuk ke dalam tubuh ikan, imunostimulan akan merangsang
makrofag untuk memproduksi interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit
yang kemudian membelah menjadi limfosit-T dan B. Limfosit-T memproduksi
interferon yang meningkatkan kemampuan makrofag sehingga dapat
memfagositosis bakteri, virus dan partikel asing lainnya yang masuk ke dalam
tubuh ikan. Masuknya imunostimulan juga akan merangsang makrofag untuk
memproduksi lisozim dan komplemen. Interleukin juga menggiatkan limfosit-B
untuk memproduksi antibodi (Raa et al., 1992).
2.6 Hematologi Darah ikan
Hematologi merupakan cabang ilmu yang digunakan untuk mempelajari
komponen sel darah dan adanya kelainan fungsional sel darah (Suhermanto et
13
al., 2011). Darah ikan terdiri dari atas komponen cairan (plasma) dan komponen
seluler (sel - sel darah). Sel-sel darah terdiri dari eritrosit (sel darah merah),
leukosit (sel darah putih) dan trombosit (keping darah), yang diedarkan ke
seluruh tubuh melalui sistem sirkulasi tertutup (Wedemeyer and Yasutke,1977).
Sel dan cairan darah (plasma darah) merupakan aspek diagnosa yang
penting untuk dikaji, karena aspek tersebut mempunyai peran fisiologis yang
sangat penting serta mampu menggambarkan kondisi kesehatan ikan.
Svobodova and Vyukusova (1991) menjelaskan bahwa pemeriksaan darah dapat
digunakan untuk mengevaluasi kondisi ikan, menguji efek zat beracun pada ikan,
menguji kualitas pakan yang diberikan pada ikan dan mengevaluasi efek tekanan
situasi.
Hematologi sering juga digunakan untuk mendeteksi perubahan
fisiologis yang disebabkan oleh stres lingkungan dan juga berhubungan
dengan status kesehatan ikan (Al-Attar, 2005). Parameter yang biasa
menjadi indeks dalam menentukan status kesehatan ikan adalah total sel
darah merah, sel darah putih, hematokrit, sedangkan untuk melihat tingkat
stres biasanya juga diukur kadar kortisol dan glukosa darah (Alifuddin, 1999).
Kortisol, glukosa darah, hematokrit, jumlah sel darah merah, dan jumlah sel
darah putih merupakan indikator stres pada ikan (Porchaz et al., 2009).
Makronukleus berhubungan dengan metabolisme, perkembangan, dan karakter
fisik sel. Sedangkan mikronukleus berperan dalam transmisi informasi genetik
selama pembelahan.
2.6.1 Mikronuklei
Mikronukleus adalah nukleus kecil yang merupakan materi nukleus (DNA),
ukurannya kecil apabila dibandingkan dengan nukleusnya. Kriteria mikronuklei
adalah diameter kurang dari 1/5 diameter nukleus, lokasinya didalam sitoplasma
14
diluar nukleus, tidak ada kontak dengan nukleus dan Intensitas pewarnaan sama
dengan nukleus. Pada individu normal frekuensi micronuklei untuk 500 cell
binucleat adalah 4,4 ± 2,6. Penentuan mikro- nuklei sebagai indikator
penyerapan dosis menarik perhatian peneliti karena mempunyai hubungan yang
erat antara aberasi kromosom dengan mikronuklei, dan terdapat korelasi yang
posirif dengan dosis. Dengan demikian teknik pengamatan mikronuklei pada
limfosit yang telah dikultur selama 72 jam dapat dijadikan metoda alternatif
sebagai indikator penyerapan dosis untuk memantau kerusakan kromosom
(Lusiyanti et al., 1996).
Menurut Heddie (1973) dan Schmidt (1975), bahwa mikronuklei dibentuk
oleh fragmen kromosom asentrik atau kromosom yang terbentuk pada inti
anaphase. Mikronuklei terbentuk dalam sitoplasma melalui peristiwa anaphase
yang dimana kromatid sentrik dan fragmen kromosom tertinggal ketika unsur
sentries bergerak menuju kutub sel. Selanjutnya kromosom asentrik dimasukan
pada inti mitosis. Mikronuklei memiliki elemen yang tertinggal yang dapat
dimasukan salam inti sel, akan tetapi bentuk inti sel sekunder lebih kecil dari
pada inti primer. mikronuklei pada ikan memiliki nuclei yang lebih daripada inti sel
yang lain, karena sebagian besar kromosom pada ikan jauh lebih kecil dari pda
ikuran kromosom mamalia. Mikronuklei muncul sebagai inti yang lebih kecil
dalam sitoplasma. Frekuuensi mikronuklei pada ikan bervariasi tergantung jenis
ikan dan kondisi lingkungan.
Uji mikronukleus atau uji mikronuklei dalam sel darah merah (eritrosit) ikan
merupakan alternative untuk mendetuksi genotoksik didalam perairan menurut
Lusiyanti dan Abdul (1999), sel terdiri dari dua komponen utama yaitu sitoplasma
yang berisi berbagai organel sel untuk menjalankan aktivitas sel dan inti sel
(nucleus) yang mengansung kromosom.
15
2.6.2 Makronuklei
Makronukleus adalah inti somatic ( yaitu, tidak terlibat dalam transmisi
informasi turun-menurun dari generasi ke generasi seksual). Pada sel ikan
terdapat inti sel yang disebut oleh nucleus, dimana di dalam nucleus terdapat
materi genetic seperti DNA (Deoxyribonucleic acid) yang berfungsi untuk
mengontrol pada aktivitas sel, dan fungsi utama pada sel reproduksi (Astari et al.,
2015). Makronukleus menjamin keberlangsungan hidup, sedangkan
mikronukleus bertanggung jawab terhadap reproduksi (Dewi,2013).
Nukleus terdiri dari mikronukleus dan makronukleus jenis heteromerik.
Dalam makronukleus dapat dibedakan menjadi dua zona: satu bagian luar
(orthomere), terdiri dari akhir replikasi kromatin yang kaya DNA dan mengandung
banyak nucleolus, dan satu bagian dalam (paramere) terdiri dari awal replikasi
kromatin. Kandungan DNA di makronukleus bervariasi tergantung pada kondisi
budaya, dalam kondisi optimal kandungan rata-rata DNA makrinuklear tetap
konstan selama beberapa generasi. Ketika kondisi memburuk kandungan DNA
rata-rata menurun dan ketika mereka meningkatkan, maka mereka tingkatkan.
Perubahan ini menyangkut DNA yang merupakan orthomere jumlah yang lebih
besar dari paramere tersebut, sedangkan tingkat DNA di paramere tidak
berubah, perubahan jumlah DNA di orthomere ini adalah hasil dari replikasi
diferensial. (Radzikowski,1985).
2.7 Viral Nervous Necrosis (VNN)
Menurut Bofo et al., (1999) dalam Prihartini (2016) Viral Nerveous Necrosis
(VNN), atau Viral Ecephalopathy and Retinopathy (VER) merupakan penyakit
yang disebabkan betanodavirus dan telah mengakibatkan kematian massal ikan
budidaya laut, terutama stadia larva dan juvenil. Kejadian penyakit VNN di
Indonesia dilaporkan terjadi pertama kali pada tahun 1997, di daerah
16
Banyuwangi, Jawa Timur pada budidaya Kakap Putih (Lates calcaliver)
kemudian menyebar ke Bali pada tahun 1998, dan merambah ke pembenihan
Kerapu di Bali yang menyebabkan kematian massal 100% (Zafran et al., 2000).
Muroga (2001) dalam Oh et al., (2012), menyatakan bahwa Viral Nervous
Necrosis (VNN) menjadi penyakit serius yang menyerang lebih dari 30 species
ikan laut di seluruh dunia selama lebih dari satu dekade terakhir. Menurut
Prajitno (2008), penyakit Viral Enchephalopathy and Retinophaty (VER) atau
lebih dikenal Viral Nervous Necrosis (VNN) disebabkan oleh Nodavirus yang
termasuk golongan virus RNA, Berbentuk icosahedral tanpa envelop berdiameter
25 – 30 nanometer (nm). Penyakit ini merupakan permasalahan serius pada
budidaya ikan laut terutama ikan kerapu dan kakap karena dapat menyebabkan
kematian 50 – 100 % pada larva umur 10 - 20 hari.
Virus VNN digolongkan dalam genus Betanodavirus, famili Nodaviridae
(Banu et al., 2004). Betanodavirus berbentuk ikosahedral, berdiameter 23-25 nm.
tidak beramplop, genomnya terdiri atas 2 untai ganda RNA sense positif. RNA1
berukuran besar (110 kDa) menyandikan RNA-dependent RNA
polymerase/RdRp, dan RNA2 ukuran kecil (40-42 kDa) menyandikan coat protein
(Mori et al., 1992 dalam Fenner et al., 2006).
2.7.1 Gejala dan patogenitas Viral Nervous Necrosis (VNN)
kerapu yang terinfeksi VNN akan menunjukan gejala klinis pada
keseimbangannya, yaitu berenang secara terbalik dengan bagian ventral pada
permukaan air‚ pola berenang yang memutar dan tidak teratur. Selain itu terjadi
perubahan pigmentasi serta gejala umum lainnya meliputi anorexia‚ lethargy dan
anemia (Korsnes‚ 2008). Sifat VNN yang menyerang syaraf (otak dan mata)
dapat menyebabkan gerak renang yang tidak normal, sehingga kondisi ikan
17
menjadi lemah dan akan berlanjut pada tingkat kematian yang tinggi (Amelia,
2012).
Serangan VNN menyebabkan kematian pada larva mencapai 70%,
kematian pada ikan-ikan yang berukuran 2,5-7‚5 cm mencapai 100% dan pada
ikan yang berukuran >15 cm tingkat kematian yang ditimbulkan mencapai <20%
(Nagasawa and Cruz-Lacierda, 2004).
2.8 Mikroalga Spirulina platensis
Spirulina adalah gangga renik (mikroalga) berwarna hijau kebiruan yang
hidupnya tersebar luas dalam semua ekosistem mencakup ekosistem daratan
dan ekosistem perairan baik itu air tawar, payau, maupun laut. Spirulina mudah
tumbuh didanau-danau alami dengan keasaman air alkalis (pH 8,5-11) dan dapat
tumbuh subur pada kisaran suhu 18-40oc dengan intensitas cahaya rendah
sampai tinggi (500-359.00 lux) sehingga bisa dikultur murni (Monokultur) di
Indonesia mikroalga ini tumbuh endemic di situ cuburuji, padalarang dan ranu
kelakah (Kabinawa, 2006). Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan spirulina
aalah lingkungan yang terkena sinar matahari, curah hujan sedang, Kualitas air
baik (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995).
Tingkatan taksonomi Spirulina platensis menurut Smith (1950) dalam
Rahayu (2007) adalah sebagai berikut :
Divisi : Cyanophyta
Kelas : Cyanophyceae
Ordo : Oscillatoriales
Sub Ordo : Oscillatorianeae
Famili : Oscillatoriacea
Genus : Spirulina
Spesies : Spirulina platensis
18
Gambar 2. Spirulina platensis (Google image, 2017)
Spirulina Platensis adalah salah satu jenis mikroalga dari kelompok
cyanophyceae yang dikarakterisasi dengan bentuk trichome yang tersusun
secara spiral. Spirulina platensis merupakan kelompok alga hijau biru yang dapat
dimakan, karena kaya akan protein, vitamin, mineral dan asam lemak esensial.
Spirulina platensis biasanya digunakan untuk pakan larva ikan ataupun non ikan.
Spirulina mengandung protein tinggi (hingga 65% berat kering), sejumlah asam
lemak baik (Gamma linolenic acid, GLA), polisakarida, fikobiliprotein, karotenoid,
vitamin (khususnya vitamin B12) dan mineral, membuat Spirulina dibutuhkan
sebagai sumber makanan (Hu 2004 dalam Capelli dan Cysewski 2010).
2.9 Mikroalga Dunaliellaa salina
Dunaliella salina termasuk salah satu jenis fitoplankton dalam kelas
Chlorophyceae (alga hijau) yang sering disebut flagellata hijau bersel satu (green
unicellulair flagellata). Keberadaan fitoplankton jenis ini berperan penting dalam
lingkungan perairan sebagai produsen primer karena Dunaliella salina bersifat
fotosintetik, mempunyai klorofil untuk menangkap energi matahari dan karbon
dioksida menjadi karbon organik yang berguna sebagai sumber energi bagi
kehidupan konsumen copepoda, larva moluska, udang, teripang dan jenis
19
zooplankton. Selain peranannya sebagai produsen primer, hasil dari fotosintesis
mikroalgae yaitu oksigen yang berperan sebagai respirasi biota air sekitarnya
(Prasojo, 2010)
Klasifikasi Dunaliella salina Menurut Wahyuni et al., (2002) adalah sebagai
berikut :
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Volvocales
Family : Polyblepharidaceae
Genus : Dunaliella
Spesies : Dunaliella sp.
Gambar 3. Dunaliella salina (Google Image, 2017)
Dunaliella salina merupakan salah satu pakan alami yang cukup baik untuk
ikan. fitoplankton ini juga dapat digunakan sebagai pakan Artemia pada budidaya
Artemia dalam bentuk segar. Komposisi nutrisi Dunaliella salina berdasarkan
berat kering (%) adalah sebagai berikut : protein 57%; lemak 6%; karbohidrat
32% (Bekker, 1994 dalam Putranto, 2007).
20
2.10 Mikroalga Chlorella vulgaris
Chlorella vulgaris merupakan jenis mikroalga uniseluler yang berbentuk
simpel, fotosintetik, sehingga banyak dikembangkan dalam pengolahan limbah.
Mikroalga ini mudah diperoleh di tempat-tempat pembudidayaan sumber daya
laut meskipun secara alami juga banyak terdapat di perairan (Purnamawati et al.,
2013). Sel Chlorella berbentuk bulat, hidup soliter, berukuran 2-8 μm. Dalam sel
Chlorella mengandung 50% protein, lemak serta vitamin A, B, D, E dan K,
disamping banyak terdapat pigmen hijau (klorofil) yang berfungsi sebagai
katalisator dalam proses fotosintesis (Sachlan, 1982 dalam Purnamawati et al.,
2013).
Klasifikasi Chlorella vulgaris menurut (Bold dan Wayne, 1985 dalam
Prabowo, 2009) adalah sebagai berikut :
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Familia : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella sp.
21
Gambar 4. Chlorella vulgaris (Google Image, 2017)
Chlorella vulgaris dimanfaatkan secara komersial karena tingginya nilai gizi
yang dimiliki. Chlorella vulgaris merupakan makanan hidup bagi jenis-jenis
tertentu golongan ikan sehingga seringkali sangat diperlukan dalam budidaya.
Mikroalga ini mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, asam
amino esensial, asam lemak esensial, enzim, beta karoten dan klorofil sehingga
banyak digunakan sebagai pakan ikan (Purnamawati, 2015).
2.11 Mikroalga Nannochloropsis oculata
Nannochloropsis oculata adalah salah satu alga yang paling efisien dalam
menangkap dan memanfaatkan energi cahaya dan CO2 untuk keperluan
fotosintesis (Diharmi, 2001 dalam Widyaningrum et al., 2013). Mikroalga ini tidak
hanya memiliki kapasitas untuk memproduksi produk alga yang bernilai tinggi
tetapi juga memiliki kemampuan untuk berkembang biak hanya dengan
menggunakan cahaya matahari, karbon dioksida dan air laut. Selain itu,
Nannochloropsis oculata. dapat tumbuh dengan kerapatan sel yang tinggi (50
dan 27.5 g/L) dalam kondisi tumbuh autothropic dan menghasilkan konten tinggi
lipid (52% dan 46%) (Moazami, 2011 dalam Widyaningrum et al., 2013).
22
Menurut Wahyuni et al., (2002) Nannochloropsis sp. diklasifikasikan
sebagai berikut :
Divisi : Chromophyta
Kelas :Eustigmatophyceae
Genus : Nannochloropsis
Spesies : Nannochloropsis sp
Gambar 5. Nannochloropsis oculata (Google Image, 2017)
. Salah satu mikroalga yang dimanfaatkan sebagai alternatif untuk
mengurangi pencemaran logam berat adalah Nannochloropsis salina. Mikroalga
ini mengandung gugus fungsi COO , CO, N 2 dan CON 2. ugus ini berfungsi
sebagai ligan sehingga mempunyai kemampuan untuk menyerap logam berat.
Gugus fungsi ini berasal dari polisakarida dan polipeptida (Sembiring et al.,
2009).
2.12 Kandungan Gizi Mikroalga
Mikroalgae, atau yang lebih dikenal dengan fitoplankton, sudah mulai
diperkenalkan sebagai sumber makanan sejak beberapa waktu yang lalu. Namun
respons masyarakat terhadap sumberdaya ini terlihat kurang begitu antusias.
Padahal mikroalgae memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik, bahkan lebih
23
baik dibandingkan makanan yang biasa dimakan oleh masyarakat Indonesia
pada umumnya. Selain di manfaatkan oleh manusia, alga juga dapat digunakan
sebagai pakan alami untuk ikan. Menurut Erlania (2009), mikroalgae termasuk
tumbuhan tingkat rendah yang memiliki nilai gizi yang tinggi, bahkan bisa
dikatakanmelebihi nilai gizi tumbuhan maupun hewan yang umumnya dijadikan
sumber pangan masyarakat. Lebih dari 70.000 spesies algae hidup di perairan
seluruh dunia, baik yang uni-seluler maupun multi-seluler. Mikroalgae dapat
ditemukan di seluruh perairan, baik di perairan tawar, payau maupun laut.
Mikroalgae tersebar pada zona fotik dan berperan sebagai penyumbang utama
bagi produktivitas primer di laut. Setiap mikroalga memiliki kandungan nilai gizi
yang berbeda-beda, berikut nilai gizi yang ada pada gambar menurut Spolaore et
al., (2006) dalam Erlania (2009). Kandungan gizi pada mikroalga Spirulina
platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata Dapat di
lihat pada Tabel di bawah.
Gambar 6. Kandungan nutrisi Spirulina platensis
24
Gambar 7. Jumlah nutrisi mikroalga Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis oculata
25
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi penelitian
Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah pengamatan
perbandingan makronuklei dan Mikronuklei larva ikan kerapu yang terkena VNN
yang diberi perlakuan pakan alami Spiruina platensis. Pada penelitian ini
dilakukan analisa kualitas air pada kolam pemeliharaan yang terjangkit VNN,
adapun kualitas air yang dianalisa meliputi parameter fisika meliputi suhu, dan
parameter kimia meliputi oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (pH), Salinitas.
Dalam mendiagnosis penyakit VNN pada penelitian ini menggunakan metode
PCR (Polymerase Chain Reaction) dan sedangkan untuk mengetahui
makronuklei dan parasit menggunakan preparat apus darah dan pengamatan
mikroskopis.
3.2 Alat dan Bahan
Dalam penelitian mengenai kualitas makronuklei dan mikronuklei pada
larva ikan kerapu cantang yang terinfeksi VNN dengan perlakuan spirulina
platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata ini
tentunya membutuhkan alat dan bahan. Hal ini dimaksudkan untuk membantu
penelitian dalam memperoleh hasil data pengamatan. Alat dan bahan yang
digunakan dalam peneitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
3.3 Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan eksperimental. Menurut
Surakhmad (1998), menyebutkan bahwa metode deskriptif adalah sebuah
metode yang menggambarkan keadaan atau kejadian di suatu daerah tertentu.
Pelaksanaan metode deskriptif tidak terbatas pada pengumpulan dan
penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan pembahasan tentang data tersebut,
26
sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran secara umum, sistematis,
aktual dan valid mengenai fakta dan sifat-sifat populasi daerah tersebut. Metode
Deskriptif dalam ini bertujuan untuk mengetahui kualitas makronuklei dan
mikronuklei pada ikan kerapu cantang yang terinfeksi VNN maupun yang tidak
terinfeksi dan diberi perlakuan mikroalga Spirulina sp., Dunaliella sp., Chlorella
sp., Nannochloropsis sp., dan yang tidak diberi perlakuan mikroalga.
Darmono dan Hasan (2002), menyebutkan bahwa metode eksperimen
adalah hasil kajian empiris dan menggunakan analisis dengan bantuan statistic
untuk menguji hipotesis. Metode eksperimen dalam ini bertujuan untuk
mengetahui kualitas makronuklei dan mikronuklei pada ikan kerapu cantang yang
terinfeksi maupun yang tidak dan diberikan perlakuan mikroalga Spirulina sp.,
Dunaliella sp., Chlorella sp., Nannochloropsis sp., maupun yang tidak diberikan
mikroalga.
3.4 Sumber Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini ialah terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer dan data sekunder merupakan pengelompokan data
berdasarkan sumber data.
a. Data Primer
Sumber data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang
bersangkutan yang memerlukannya (Hasan,2002). Data primer pada penelitian
ini diperoleh dari hasil observasi mengenai kualitas makronuklei dan mikronuklei
pada larva ikan kerapu yang terinfeksi VNN maupun yang tidak dan diberikan
perlakuan Spirulina platensis maupun yang tidak diberi perlakuan tersebut.
b. Data Sekunder
27
Menurut Hasan (2002), data sekunder adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang
telah ada. Data ini biasaya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan
penelitian terdahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia.
3.5 Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan datanya dilakukan dengan cara observasi, wawancara
dan partisipasi aktif di lapangan (Surakhmad, 1985).
3.5.1 Survey
Informasi diperoleh melalui permintaan keterangan-keterangan kepada
pihak yang memberikan keterangan atau jawaban (responden). Metode ini
bergantung pada kerja ssama dan kecakapan responden. Sebagai factor yang
dapat mempengaruhi proses survey, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan
sangat kecil. Tetapi sering kali opini yang muncul mungkin sangat penting dalam
pemecahan masalah.
3.5.2 Observasi
Menurut Arikunto (2002), observasi merupakan pengamatan yang dapat
meliputi kegiatan dengan menggunakan indera yang dimiliki oleh manusia yaitu
penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. pada penelitian
ini dilakukan dengn pengamatan dan pencatatan secaa sistematis terhadap
gejala/ fenomena yang diselidiki. Catatan yang dikumpulkan lebih teliti, tetapi
terbatas pada gejala sejenis. Serta menggunnakan bantuan alat pemotret.
3.5.3 eksperimen
Diperlukan untuk menguji kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian dengan metode survey dan observasi. Dari hasil kesimpulan
sementara atau usul pemecahan masalah, dilakukan percobaan-percobaan
28
apakah memberi jawaban seperti apa yang ditemukan pada metode survey.
Pada metode ini, peneliti dapat mengatur atau memberikan perlakuan tertentu
pada suatu variabel.
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Kultur Mikroalga
Pelaksanaan kultur mikroalga laut Spirulina platensis, Dunaliella salina,
Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis oculata dilakukan di BBAP (Balai
Budidaya Air Payau) Situbondo selama 1 minggu Pengkulturan dilakukan skala
Intermediete.
a. Kultur skala Intermediete
1. Air laut disterilisasi menggunakan kaporit 10 ppm dan dinetralkan dengan
thiosufat 5 ppm, lama sterilissasi min 24 jam.
2. Sebelum dilakukan pemberian bibit terlebih dahulu diberi pupuk TG
(Technical Growth) dengan dosis 1 ml/l
3. Untuk Spesies diatom menggunakan pupuk diatom (TG) kalau untuk spesies
Chlorophyceae menggunakan pupuk Walne (TG).
4. Perbandingan penggunaan bibit dan media adalah 3:7 kultur dilakukan pada
ruangan semi outdoor dengan atap fiber tembus cahaya matahari dan lama
inkubasi 5-7 hari.
3.6.2 Aklimatisasi ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.)
Ikan uji yang digunakan yaitu ikan kerapu cantang yang pengujiannya di
BBAP Situbondo. Ikan kerapu cantang yang digunakan berukuran 3 sampai 5
cm. Menurut Yanuhar (2013) benih ikan kerapu tikus yang baru datang tidak
langsung diberikan pakan, karena memerlukan adaptasi terhadap media
pemeliharaanya yang baru. Pakan diberikan setelah ikan terihat sehat dan
agresif. Pakan diberikan secara adlibitum yaitu pemberian pakan sedikit demi
29
sedikit sampai ikan kenyang tujuannya yaitu menghindari adanya pengendapan
sisa pakan yang tidak dimakan pada dasar kolam sehingga mengakibatkan
kolam ikan mengalami kualitas air, Setelah itu dilakukan pengukuran parameter
kualitas air seperti suhu, salinitas, pH, Oksigen terlarut untuk menjaga agar
kondisi lingkungan ikan kerapu tikus tetap terjaga
3.7 Pemberian perlakuan Mikroalga
Untuk melihat pengaruh pemberian mikroalga Spirulina platensis,
Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis oculata pada ikan
Kerapu Cantang (Epinephelus sp.), pada penelitian ini dilakukan 8 perlakuan dan
3 Kelompok :
- A : Ikan kontrol merupakan ikan kerapu normal yang dipelihara dengan
pemberian pakan normal (tidak ada pemberian mikroalga maupun penginfeksian
virus).
- B : ikan kerapu cantang yang diberi pakan normal dan diberi perlakuan dengan
penginfeksian Viral Nervous Necrosis (VNN), penginfeksian dilakukan dengan
memberikan virulen yang di masukkan kedalam media pemeliharaan.
- C : (ikan + mikroalga kepadatan 102) : ikan kerapu cantang yang diberi pakan
normal dan diberi perlakuan pemberian mikroalga dengan kepadatan 102.
- D : (ikan + mikroalga kepadatan 104) : ikan kerapu cantang yang diberi pakan
normal dan diberi perlakuan pemberian mikroalga dengan kepadatan 104.
- E : (ikan + mikroalga kepadatan 106) : ikan kerapu cantang yang diberi pakan
normal dan diberi perlakuan pemberian mikroalga dengan kepadatan 106.
- F : (ikan + mikroalga kepadatan 102 + VNN) : ikan kerapu cantang yang diberi
pakan normal dan diberi perlakuan dengan mikroalga dengan kepadatan 102 dan
Virulen VNN.
30
- G : (ikan + mikroalga kepadatan 104 + VNN) : ikan kerapu cantang yang diberi
pakan normal dan diberi perlakuan dengan mikroalga dengan kepadatan 104 dan
Virulen VNN.
- H : (ikan + mikroalga kepadatan 106 + VNN) : ikan kerapu cantang yang diberi
pakan normal dan diberi perlakuan dengan mikroalga dengan kepadatan 106 dan
Virulen VNN.
Denah percobaan penelitian ini digunakan untuk menentukan rancangan
penelitian, yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rancangan penelitian
A E H C
F B D G
Keterangan : A = Kontrol B = Perlakuan Pemberian VNN
C = Perlakuan Pemberian mikroalga 102 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata D = Perlakuan Pemberian mikroalga 104 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata E = Perlakuan Pemberian mikroalga 106 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata F = Perlakuan Pemberian mikroalga 102 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata + VNN G = Perlakuan Pemberian mikroalga 104 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata + VNN H = Perlakuan Pemberian mikroalga 106 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata + VNN
3.8 Metode Pengambilan Darah Ikan (Svobodova dan Vyukusova 1991)
Adapun metode pengambilan sampel darah ikan Kerapu Cantang
(Epinephelus sp.) sebagai berikut:
31
1. Yang pertama ialah membius ikan kerapu menggunakan larutan anastesi.
2. Menyiapkan mikro spuit lengkap dengan jarumnya, hisap larutan
antikoagulan sampai memenuhi seluruh dinding syringe.
3. Mengeluarkan larutan Antikoagulan (Na Sitrat 3,8%) dari spuit, Sisakan
larutan heparin tersebut sebanyak 50 dalam spuit.
4. Menusukan jarum/spuit dan jarumnya yang telah berisi larutan
antikoagulan pada garis tengah tubuh di balakang sirip anal.
5. Memasukan jarum kedalam musculus sampai mencapai tulang belakang
(columa spinal).
6. Memastikan tidak ada gelembung air yang masuk kedalam spuit,
kemudian ditarik perlahan-lahan sampai darah masuk kedalam spuit.
7. Setelah mendapatkan sampel darah, kemudian memasukan darah ke
dalam tabung apendorf.
3.9 Metode Pengamatan Sel Darah Ikan (Bijanti, 2005)
Dalam metode pengamatan sel darah ikan dilakukan dengan prosedur
sebagai berikut :
1. Mengambil contoh darah sebanyak satu tetes, kemudian meletakannya
diatas objek glass dan dibuat hapusan darah ditunggu hingga kering
kemudian diberi methanol.
2. Menyemir darah yang telah kering kemudian memberikan pewarna
giemsa sebanyak 1 tetes kemudian hapusan dan dibiarkan selama 20
menit agar warna terserap.
3. Ketika sudah 20 menit, selanjutnya mencuci dengan menggunakan air
mengalir dan kemudian dikeringkan.
4. Langkah terakhir adalah mengamati preparat di bawah mikroskop.
32
3.10 Pengukuran Total Eritrosit
Darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah
sampai skala 0,5. Lalu ditambahkan larutan ayem’s (berfungsi untuk mematikan
sel-sel darah putih) sampai skala 101. Pengadukan darah di dalam pipet
dilakukan dengan mengayunkan tangan selama 3 – 5 menit sehingga darah
tercampur rata. Setelah itu tetesan pertama larutan darah dalam pipet dibuang,
selanjutnya teteskan pada haemacytometer tipe Neubauer kemudian ditutup
dengan cover glass bagian yang berlekuk. Rumus untuk menghitung eritrosit
adalah sebagai berikut (Nabib dan Pasaribu, 1989):
A : Σ sel terhitung
V : Volume kotak Haemocytometer
N : Σ kotak aemocytometer yang diamati
Fp : Faktor Pengenceran
3.11 Pengukuran Total Leukosit
Mengambil sampel darah ikan kerapu cantang dengan menggunakan spuit
1 cc, sebanyak ± 1ml. Sampel kemudian diencerkan dengan menggunakan
larutan Turk’s, campur darah secara perlahan agar tidak merusak sel darah.
Mengambil darah dengan menggunakan pipet dan letakkan ujung pipet pada
Neubauer. Lalu meletakkan coverglass diatas petak hitung Neubauer, kemudian
diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000 kali. Penghitungan
jumlah leukosit hanya pada empat bidang besar, dimulai dari sudut sebelah kiri
atas, lalu kekanan, kemudian turun kebawah dan dari kanan kemudian kekiri
(Blaxhall and Daisley, 1973).
∑
33
3.12 Pengukuran Kadar Hematokrit
Mengambil sampel darah ikan kerapu cantang dengan menggunakan spuit
1 cc, sebanyak ± 1ml. Pengambilan darah melalui vena caudalis. Sampel darah
kemudian dimasukkan kedalam tabung mikrohematokrit hingga mencapai ¾
bagian, lalu disumbat pada bagian ujung dengan menggunakan kretoseal.
Sampel darah tersebut di centrifuge dengan kecepatan 6.000 rpm selama 5
menit. Pengukuran kadar hematokrit dilakukan dengan menggunakan
microhematocrit reader (Anderson and Siwicki, 1993).
3.13 Metode Pengamatan Mikronuklei Pada Sel Darah Ikan.
Sampel darah perifer diperoleh dari vena caudal dari sampel ikan dioleskan
pada slide yang bersih. Setelah difiksasi dalam etanol murni selama 20 menit,
slide dibiarkan kering udara dan kemudian dilanjukan dengan pewarnaan
Giemsa 10% selama 25 menit. pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop
Olympus BH2, liam slide dibuat dari masing-masing ikan 1.000 eritrosir dilakukan
scoring dari setiap slide diamatai dibawah perbesaran 1000X untuk menentukan
frekuensi inti berlekuk, inti lobed, pemula, memecah-belah dan juga sel
mikronuklei yang dihitung seperti sel per 1000(%) (Guner, 2011).
Diamati tiap sel dan dihitung frekuensi mikronuklei dengan menggunakan
rumus sebagai berikut Menurut Betancur et al., (2009).
3.14 Metode Pengamatan Makronuklei pada ikan
Pada dasarnya pengamatan makronuklei hampir sama dengan
pengamatan mikronukei yaitu setelah sampel darah dan difiksasi lalu diberikan
Frekuensi Mikronuklei = ⬚𝑀𝑖𝑘𝑟𝑜𝑛𝑢𝑘𝑙𝑒𝑖 𝑋 (1000)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
34
warna. Selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000X , dan
diamati tiap sel lalu dihitung frekuensi makronukleinya menggunakan rumus:
3.15 Pengamatan Kualitas Air
3.15.1 Suhu
Rahayu, (2009), menjelaskan alat yang digunakan dalam pengukuran suhu
air adalah termometer standar. Langkah dalam pengukuran suhu adalah:
1. Catat suhu udara sebelum mengukur suhu di dalam air.
2. Masukkan termometer ke dalam air selama 1-2 menit.
3. Baca suhu saat termometermasih di dalam air atau secepatnya setelah
dikeluarkan dari dalam air.
3.15.2 Salinitas
Kordi (2005), menjelaskan pengukuran salinitas dilakukan dengan
menggunakan alat refraktometer, adapun cara pengukuran salinitas adalah:
1. Mengangkat penutup kaca prisma
2. Meletakkan 1-2 tetes air yang akan diukur
3. Menutup kembali denganhati-hati agar jangan sampai terjadi gelembung
udara dipermukaan kaca prisma
4. Melihat kaca pengintai dan akan terlihat pada lensa nilai atau salinitas dari
air yang sedang diukur
5. Membersihkan permukaan prisma setelah selesai digunakan
6. Melihat nilai salinitasnya dari air yang diukur melalui kaca pengintai.
Frekuensi Mikronuklei = ⬚𝑀𝑎𝑘𝑟𝑜𝑛𝑢𝑘𝑙𝑒𝑖 𝑋 (1000)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
35
3.15.3 Derajat Keasaman (pH)
Jeffries dan Mills dalam Hartanti, (2008) menjelaskan pengukuran pH
dilakukan dengan menggunakan alat pH meter, adapun cara pengukuran pH
adalah:
1. Menstandarkan alat ukur (pH meter)
2. Membilas elektroda (sensor) dengan aquades lalu mengeringkannya
dengan menggunakan tissue
3. Memasukkan ujung elektroda ke dalam perairan
4. Mencatat nilai yang tertera pada alat
3.15.4 Disolved Oxygen (DO) / Oksigen Terlarut
Salmin, (2005), menjelaskan cara penentuan oksigen terlarut dengan
metode elektrokimia adalah langsung untuk menentukan oksigen terlarut dengan
alat DO meter prinsip kerjanya adalah:
1. Menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang
direndam dalam larutan elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini biasanya
menggunakan katode perak (Ag) dan anoda timbal (Pb) secara
keseluruhan, elektroda ini dilapisi dengan membran plastik yang bersifat
semi permiabel terhadap oksigen
2. Probe yang menggunakan katoda perak (Ag) dan anoda timbal (Pb)
dimasukkan kedalam sampel air
3. Ditunggu hasil yang ditunjukkan pada DO meter beserta nilai suhu yang
ada.
3.16 Analisis Data
Analisa data pada penelitian ini menggunakan software SPSS
dimaksudkan untuk mempercepat perhitungan tanpa menghilangkan
pemahaman tentang rancangan percobaannya (Harjosuwono et al., 2011). Pada
36
hasil perhitungan akan muncul nilai F dan nilai Sig. Jika nilai Sig yang dihasilkan
kurang dari taraf signifikasi yang telah ditentukan maka dapat disimpulkan bahwa
perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon yang diamati. Begitu pula
sebaliknya, jika nilai Sig melebihi taraf signifikasi yang telah ditentukan, maka
perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati.
37
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Treatment Mikroalga
Bibit mikroalga di ambil dari BBAP Situbondo Jawa Timur yang meliputi
Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata.
Kemudian bibit dikultur sesuai dengan kepadatan 102 = 0,22ml, 104 = 22,47ml,
dan 106 = 2,247ml. Pada kultur harus menyiapkan media steril, selanjutnya di
pindahkan bibit kedalam toples 10ml yang berisi media yang sudah ada
aerasinya. Setelah itu bibit diberikan pupuk walne dan vitamin untuk
pertumbuhan mikroalga itu sendiri. Waktu dalam pengkulturan mikroalga sampai
7 hari baru bisa di panen. Setelah 7 hari, mikroalga diberikan kepada setiap
toples ikan dengan perlakuan mikroalga dan kepadatan yang telah di tentukan.
4.2 Status Hematologi Ikan Perlakuan Spirulina platensis
4.2.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) Perlakuan Spirulina platensis
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah eritrosit pada ikan kerapu
yang diberikan Spirulina sp. berkisar 840000 - 930000 sel/mm3. Sedangkan pada
hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah eritrosit
berkisar 600000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang
diberi Spirulina sp. dan VNN diperoleh jumlah eritrosit berkisar 760000 - 910000
sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah eritrosit
ikan kerapu berkisar 890000 sel/mm3.
Hasil pengamatan total eritrosit pada perlakuan infeksi virus VNN (V)
kadar eritrosit sangat rendah dibandingkan perlakuan kontrol (K) dan pemberian
Spirulina sp. (S), dikarenakan ikan yang sakit jumlah eritrositnya akan menurun
dari biasanya dan dalam keadaan stress dan kemampuan dalam menyerap
oksigen. Eritrosit yang sudah matang berbentuk oval sampai bundar, inti
38
Gambar 8. Jumlah eritrosit ikan perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104
+ VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN
890000
600000
840000
930000 870000
760000
910000
810000
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
900000
1000000
K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6
Tota
l (Se
l/m
m3
)
Perlakuan
berukuran kecil dengan sitoplasma besar. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan
sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al.‚
1991). Grafik pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat pada
Gambar 8 dan Gambar 9.
Eritrosit
Gambar 9. Sel eritrosit perlakuan (SV4) S. platensis 104 + VNN
39
4.2.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Perlakuan Spirulina platensis
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah leukosit pada ikan kerapu
yang diberikan Spirulina platensis berkisar 105000 - 120000 sel/mm3. Sedangkan
pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah
leukosit berkisar 220000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan
kerapu yang diberi Spirulina platensis dan VNN diperoleh jumlah leukosit berkisar
135000 - 155000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaaan jumlah leukosit ikan kerapu berkisar 140000 sel/mm3.
Spirulina sp. Meningkatkan produksi leukosit pada ikan karena spirulina
sp. mengandung senyawa flavonoid seperti yang dinyatakan Jose et al., (2014)
bahwa kandungan flavonoid berpotensi meningkatkan proliferasi limfosit,
meningkatkan jumlah sel T serta sel B dan meningkatkan aktivitas IL-2 yang ada
di leukosit. Penurunan leukosit pada perlakuan SV2, SV4, SV6 terjadi
disebabkan oleh leukosit yang ada pada pembuluh darah sangat berkurang
karena sebagian besar leukosit bergerak menuju jaringan-jaringan yang
terinfeksi. Menurut Affandi dan Tang (2002) dalam Dontriska et al.(2014) yaitu
jumlah total leukosit pada ikan telestoei pada umumnya berkisar antara 20.000 –
150.000 sel/mm3 ikan yang biasanya memiliki sel darah putih yang lebih rendah
dibandingkan ikan yang sakit atau stress. Grafik pengamatan sel leukosit dan sel
leukosit dapat di lihat pada Gambar 10 dan Gambar 11.
40
Gambar 10. Jumlah sel leukosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis
102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN
140000
220000
120000 105000
115000
155000
135000
155000
0
50000
100000
150000
200000
250000
K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6
Tota
l (Se
l/m
m3
)
Perlakuan
Leukosit
Gambar 11. Sel leukosit perlakuan (SV4) S. platensis 104 + VNN
41
4.2.3 Jumlah Hemoglobin Perlakuan Spirulina platensis
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hemoglobin pada ikan
kerapu yang diberikan Spirulina platensis berkisar 3,7 – 3,8 gr/100ml. Sedangkan
pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah
hemoglobin berkisar 2,9 gr/100ml, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan
kerapu yang diberi Spirulina platensis dan VNN diperoleh jumlah hemoglobin
berkisar 3 – 3,1 gr/100ml. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan
jumlah hemoglobin ikan kerapu berkisar 3,7 gr/100ml.
Menurunnya kadar hemoglobin darah pada perlakuan VNN (V) dan
Spirulina sp + VNN (SV) dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya
kandungan protein pakan, defisiensi vitamin atau ikan mendapat infeksi. Menurut
Krams et al, 2013 dalam Arewartha et al, (2016) bahwa konsentrasi hemagoblin
memberikan indikasi pada kadar oksigen dan bioindikator yang digunakan untuk
mengetahui fisiologi dasar, sistem imun, toksik. Grafik pengamatan hemoglobin
dapat di lihat pada Gambar 12.
42
Gambar 12. Jumlah total hemoglobin perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S.
platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN
4.2.4 Jumlah Nilai Hematokrit Perlakuan Spirulina platensis
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hematokrit pada ikan kerapu
yang diberikan Spirulina platensis berkisar 41 – 44%. Sedangkan pada hasil
pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah hematokrit
berkisar 23%, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi
Spirulina platensis dan VNN diperoleh jumlah hematokrit berkisar 26 – 28%.
Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah hematokrit ikan
kerapu berkisar 43%.
Nilai hematokrit dibawah 30% menunujukan adanya defisiensi eritrosit.
Amlacher (1970) mengemukakan bahwa selain infeksi bakteri, nafsu makan juga
berpengaruh pada jumlah eritrosit sehingga berpengaruh pula terhadap nilai
hematokrit dan konsentrasi hemoglobin di dalam sirkulasi darah. Menurut Jawad
et al.,(2004), hematokrit adalah persentase volume eritrosit di dalam darah, dan
nilainya berhubungan dengan jumlah sel darah merah. Peningkatan kadar
3,7
2,9
3,7 3,8 3,8
3 3,1 3,1
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6
Tota
l (gr
/10
0m
l)
Perlakuan
43
hematokrit ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan
terutama suhu perairan serta keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang
dibutuhkan. Grafik pengamatan hematrokit dapat di lihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Jumlah total hematokrit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S.
platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN
4.2.5 Kualitas Makronuklei Perlakuan Spirulina platensis
Hasil pengamatan sampel Jumlah makronuklei pada ikan kerapu yang
diberi Spirulina platensis berkisar 8,3 – 9,1/1000sel. Pada hasil pengamatan
sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah makronuklei sebesar
19,3/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamtaan sampel ikan kerapu yang
diberikan Spirulina platensis dan VNN didapatkan hasil Jumlah makronuklei
berkisar 13,7 – 16,1/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pe
meliharaan didapatkan hasil Jumlah makronuklei berkisar 12,2/1000sel.
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah makronuklei ikan kerapu yang
diinfeksi VNN lebih banyak daripada ikan kerapu yang kontrol, dan perlakuan
spirulina sp. Menurut Radzikowski (1985), ketika kondisi memburuk, kandungan
43
23
43 44 41
27 28 26
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6
Tota
l (%
)
Perlakuan
44
DNA menurun Perubahan ini menyangkut DNA yang merupakan orthomere,
jumlah yang lebih besar dari yang di paramere tersebut. Tingkat DNA di
paramere tidak berubah. Perubahan jumlah DNA di orthomere adalah hasil dari
replikasi diferensial. Dalam budaya dengan kondisi membaik fenomena over-
replikasi dapat diamati, dan dalam kondisi memburuk, yang di bawah-replikasi
(Radzikowski, 1985). Grafik pengamatan dan Gambar makronuklei dapat di lihat
pada Gambar 14 dan 15.
Gambar 14. Jumlah total makronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S.
platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN
12,2
19,3
8,3 8,3 9,1
15,1 16,1
13,7
0
5
10
15
20
25
K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6
Tota
l (/1
00
0se
l)
Perlakuan
45
4.2.6 Kualitas Mikronuklei Ikan Perlakuan Spirulina platensis
Hasil pengamatan sampel Jumlah mikronuklei pada ikan kerapu yang
diberi Spirulina platensis berkisar 9,7 – 10,3/1000sel. Pada hasil pengamatan
sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah mikronuklei sebesar
23,1/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang
diberikan Spirulina platensis dan VNN didapatkan hasil Jumlah mikronuklei
berkisar 13,1 – 13,9/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah mikronuklei berkisar 11,3/1000sel.
Jumlah mikronuklei terbaik terdapat pada takaran 104 dengan
13,1/1000sel karena makronuklei berpengaruh pada eritrosit, semakin banyak
mirkonuklei yang didapat maka semakin banyak paparan penyakit yang masuk
dalam tubuh ikan. Menurut Lusiyanti dan Abdul, 1999 menyatakan bahwa tes
mikronuklei pada ikan memiliki potensi untuk mendeteksi zat toksik yang berada
dalam perairan. Eritrosit pada ikan teleostei yang berinti dapat menghasilkan
jumlah mikronuklei yang tinggi akibat pencemaran. Peningkatan pada
mikronuklei terjadi karena paparan pencemaran atau serangan penyakit dalam
tubuh ikan. Grafik pengamatan dan gambar makronuklei dapat di lihat pada
Gambar 16 dan 17.
Gambar 15. Sel makronuklei perlakuan (SV4) S. platensis 104 + VNN
46
Gambar 17. Sel mikronuklei perlakuan (SV4) S. platensis 104 + VNN
Gambar 16. Jumlah total mikronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 +
VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN
11,3
23,1
10,3 9,7 10,3
13,9 13,1 13,6
0
5
10
15
20
25
K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6
Tota
l (/1
00
0se
l)
Perlakuan
47
4.3 Status Hematologi Ikan Perlakuan Dunaliella salina
4.3.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) Perlakuan Dunaliella salina
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah eritrosit pada ikan kerapu
yang diberikan Dunaliella salina berkisar 480000 - 750000 sel/mm3. Sedangkan
pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah
eritrosit berkisar 450000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan
kerapu yang diberi Dunaliella salina dan VNN diperoleh jumlah eritrosit berkisar
500000 - 590000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaaan jumlah eritrosit ikan kerapu berkisar 600000 sel/mm3.
Ikan yang sakit jumlah eritrositnya akan menurun dari biasanya dan
dalam keadaan stress dan kemampuan dalam menyerap oksigen. Hal ini
ditunjukan dengan rendahnya nilai sel darah merah pada perlakuan VNN (V) dan
Dunaliella sp + VNN (DV). Menurut Zonneveld et al (1991) dalam Irianto (2005)
menyatakan bahwa kebutuhan oksigen pada ikan terdapat perbedaan Dallam
suatu lingkungan, bagi ikan pada spesies tertentu memiliki struktur yang berbeda
pada molekul sel darah dan mempengaruhi hubungan antra tekanan parsial
oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah. Grafik
pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat pada Gambar 18 dan
Gambar 19.
48
Gambar 18. Jumlah eritrosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102,
(D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN
Gambar 19. Sel eritrosit perlakuan (DV4) D. salina 104 + VNN
600000
450000 500000
750000
480000 500000
590000 550000
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6
Tota
l (Se
l/m
m3
)
Perlakuan
Eritrosit
49
4.3.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Perlakuan Dunaliella salina
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah leukosit pada ikan kerapu
yang diberikan Dunaliella salina berkisar 150000 - 210000 sel/mm3. Sedangkan
pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah
leukosit berkisar 275000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan
kerapu yang diberi Dunaliella salina dan VNN diperoleh jumlah leukosit berkisar
215000 - 255000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaaan jumlah leukosit ikan kerapu berkisar 105000 sel/mm3.
Jumlah leukosit pada ikan dipengaruhi oleh jenis atau speies dan faktor
faktor fisiologis seperti, umur, aktivitas otot. Jumlah leukosit yang meningkat
pada perlakuan VNN (V) dan Dunaliella sp + VNN (DV) disebabkan karena ikan
sedang mengalami infeksi dalam sistem pertahanan tubuhnya dan leukosit akan
berperan dalam melawan penyakit infeksi yang terdapat di dalam tubuh ikan
(Yanto et al., 2015). Grafik pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat
pada Gambar 20 dan Gambar 21.
50
Gambar 20. Jumlah sel leukosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D.
salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN
Gambar 21. Sel leukosit perlakuan (DV4) D. salina 104 + VNN
4.3.3 Jumlah Hemoglobin Perlakuan Dunaliella salina
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hemoglobin pada ikan
kerapu yang diberikan Dunaliella salina berkisar 4 - 7 gr/100ml. Sedangkan pada
hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah
105000
275000
150000
200000 210000
255000
215000 220000
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6
Tota
l (Se
l/m
m3
)
Perlakuan
Leukosit
51
hemoglobin berkisar 5 gr/100ml, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu
yang diberi Dunaliella salina dan VNN diperoleh jumlah hemoglobin berkisar 3 –
6 gr/100ml. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah
hemoglobin ikan kerapu berkisar 6 gr/100ml.
Pada perlakuan VNN (V) dan Dunaliella sp + VNN (DV) kadar hemoglobin
ikan menurun, menurunnya kadar hemoglobin ini karena ikan mendapat infeksi
dari VNN. Menurut Bastiawan et al, (2001) dalam Almanda et al. 2007, bahwa
rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme menurun dan energi yang
dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan menjadi lemah dan tidak
memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau menggantung di bawah
permukaan air. Grafik pengamatan hemoglobin dapat di lihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Jumlah total hemoglobin perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN,
(DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN
4.3.4 Jumlah Nilai Hematokrit Perlakuan Dunaliella salina
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hematokrit pada ikan kerapu
yang diberikan Dunaliella salina berkisar 27 – 30%. Sedangkan pada hasil
6
5
4
7
5,5
3
5
6
0
1
2
3
4
5
6
7
8
K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6
Tota
l (gr
/10
0m
l)
Perlakuan
52
pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah hematokrit
berkisar 14%, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi
Dunaliella salina dan VNN diperoleh jumlah hematokrit berkisar 16 – 20%. Pada
sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah hematokrit ikan kerapu
berkisar 28%.
Menurunnya kadar hematokrit pada perlakuan VNN (V) dan Dunaliella sp
+ VNN (DV) berbanding lurus dengan penurunan sel darah merah perlakuan
Dunaliella sp. Menurut Wedemeyer &Yasutake 1977 dalam Mudjiutami et al
(2007), nilai hematokrit akan mengalami penurunan pada kasus anemia.
Penurunan nilai hematokrit dapat dijadikan petunjuk mengenai
rendahnyakandungan protein, defisiensi vitamin atau ikan yang terkena infeksi.
Grafik pengamatan hematrokit dapat di lihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Jumlah total hematokrit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN,
(DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN
28
14
28 30
27
19 20
16
0
5
10
15
20
25
30
35
K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6
Tota
l (%
)
Perlakuan
53
4.3.5 Kualitas Makronuklei Ikan Perlakuan Dunaliella salina
Hasil pengamatan sampel Jumlah makronuklei pada ikan kerapu yang
diberi Dunaliella salina berkisar 7,9 – 9,8/1000sel. Pada hasil pengamatan
sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah makronuklei sebesar
13,5/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamtaan sampel ikan kerapu yang
diberikan Dunaliella salina dan VNN didapatkan hasil Jumlah makronuklei
berkisar 7,8 – 10,4/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah makronuklei berkisar 9,3/1000sel.
Jumlah makronuklei ikan kerapu yang diinfeksi VNN lebih banyak
daripada ikan kerapu yang kontrol, dan perlakuan Dunaliella sp. Pada sel ikan
terdapat inti sel yang disebut oleh nukleus, dimana didalam nukleus terdapat
matei genetic seperti DNA (Deoxyribonucleic Acid) yang berfungsi untuk
mengontrol pada aktivitas sel, dan fungsi utama pada sel reproduksi (Astari et al.,
2015). Grafik pengamatan dan Gambar makronuklei dapat di lihat pada Gambar
24 dan 25.
9,3
13,5
8,8 7,9
9,8 9,7 10,4
7,8
0
2
4
6
8
10
12
14
16
K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6
Tota
l (/1
00
0 s
el)
Perlakuan
54
Gambar 24. Jumlah total makronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN,
(DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN
Gambar 25. Sel makronuklei perlakuan (DV4) D. salina 104 + VNN
4.3.6 Kualitas Mikronuklei Ikan Perlakuan Dunaliella salina
Hasil pengamatan sampel Jumlah mikronuklei pada ikan kerapu yang
diberi Dunaliella salina berkisar 6 - 8/1000sel. Pada hasil pengamatan sampel
ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah mikronuklei sebesar 3/1000sel.
Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberikan
Dunaliella salina dan VNN didapatkan hasil Jumlah mikronuklei berkisar 11 -
18/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaan
didapatkan hasil Jumlah mikronuklei berkisar 2/1000sel.
Jumlah mikronuklei terbaik terdapat pada takaran 104 dengan
11,0/1000sel karena makronuklei berpengaruh pada eritrosit, semakin banyak
mirkonuklei yang didapat maka semakin banyak paparan penyakit yang masuk
dalam tubuh ikan. Hintzsche et al. (2017) menyatakan bahwa struktur
pembungkus micronuclear adalah faktor penentu yang mempengaruhi perbaikan
DNA lesi di dalam micronuclei dan photolesions di micronuclei diproses dengan
55
kurang baik karena faktor perbaikan tidak mampu mencapai Kromatin
micronuclear. Grafik pengamatan dan Gambar makronuklei dapat di lihat pada
Gambar 26 dan 27.
Gambar 26. Jumlah total mikronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN,
(DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN
Gambar 27. Sel mikronuklei pada perlakuan (DV4) D. salina 104 + VNN
2 3
8 8
6
16
11
18
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6
Tota
l (/1
00
0se
l)
Perlakuan
56
4.4 Status Hematologi Ikan Perlakuan Chlorella vulgaris
4.4.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah eritrosit pada ikan kerapu
yang diberikan Chlorella vulgaris berkisar 1060000 – 1070000 sel/mm3.
Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN
diperoleh jumlah eritrosit berkisar 1036700 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan
sampel ikan kerapu yang diberi Chlorella vulgaris dan VNN diperoleh jumlah
eritrosit berkisar 1040000 - 1046700 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol
di bak pemeliharaaan jumlah eritrosit ikan kerapu berkisar 1073300 sel/mm3.
Berdasarkan pengamatan hasil rata-rata Total jumlah eritrosit pada setiap
perlakuan dapat dikatakan masih dalam kisaran Total jumlah eritrosit normal bagi
ikan kerapu. Apabila kadar eritrosit melebihi kadar normal dapat dikatakan bahwa
ikan mengalami stres sedangkan kadar eritrosit rendah menandakan ikan
mengalami anemia. Menurut Irianto (2005), eritrosit ikan memiliki inti dan jumlah
eritrosit bervariasi tergantung pada spesies, kondisi stress dan suhu lingkungan,
akan tetapi kisaran eritrosit pada umumnya berkisar 1,05 – 3,0 × 106 sel/mm3.
Grafik pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat pada Gambar 28
dan Gambar 29
57
Gambar 28. Jumlah sel eritrosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris
102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN
Gambar 29. Sel eritrosit perlakuan (CV4) C. Vulgaris 104 + VNN
4.4.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit)
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah leukosit pada ikan kerapu
yang diberikan Chlorella vulgaris berkisar 116670 - 117000 sel/mm3. Sedangkan
1.073.300
1.036.700
1.070.000
1.060.000
1.066.700
1.040.000
1.046.700
1.040.000
1.010.000
1.020.000
1.030.000
1.040.000
1.050.000
1.060.000
1.070.000
1.080.000
K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6
Tota
l (Se
l/m
m3
)
Perlakuan
Eritrosit
58
pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah
leukosit berkisar 133330 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan
kerapu yang diberi Chlorella vulgaris dan VNN diperoleh jumlah leukosit berkisar
116670 - 133000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaaan jumlah leukosit ikan kerapu berkisar 100000 sel/mm3.
Berdasarkan pengamatan hasil rata-rata kadar Leukosit pada setiap
perlakuan yang telah didapat dapat dikatakan bahwa secara umum kadar
Leukosit tersebut masih dalam kisaran Leukosit yang normal, termasuk juga
normal bagi ikan kerapu. Menurut Moyle and Cech (2004), leukosit merupakan
sel darah yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Leukosit membantu
membersihkan tubuh dari benda asing, termasuk invasi patogen melalui sistem
tanggap kebal dan respon lainnya. Banyak tidaknya sel leukosit berpengaruh
pada kondisi ikan apakah sedang terserang penyakit atau tidak. Grafik
pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat pada Gambar 30 dan
Gambar 31.
100000
133330
116670 117000 117000 116670
133000
116670
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6
Tota
l (Se
l/m
m3
)
Perlakuan
59
Gambar 30. Jumlah sel leukosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN,
(CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN
Gambar 31. Sel leukosit perlakuan (CV4) C. Vulgaris 104 + VNN
4.4.3 Jumlah Hemoglobin
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hemoglobin pada ikan
kerapu yang diberikan Chlorella vulgaris berkisar 5 - 6 gr/100ml. Sedangkan
pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah
hemoglobin berkisar 3,7 gr/100ml, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan
kerapu yang diberi Chlorella vulgaris dan VNN diperoleh jumlah hemoglobin
berkisar 3,7 – 4,7 gr/100ml. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaaan jumlah hemoglobin ikan kerapu berkisar 6 gr/100ml.
Berdasarkan pengamatan hasil rata-rata kadar hemoglobin pada
perlakuan tanpa inveksi VNN dapat dikatakan masih dalam kisaran hemoglobin
normal bagi ikan kerapu. Sedangkan pada perlakuan dengan inveksi VNN dapat
dikatakan hasil rata-rata kadar hemoglobin tergolong rendah. Menurut Salasia et
al. (2001) kadar hemoglobin normal pada ikan nila berkisar 5,05-8,33 G%.
Rendahnya nilai hemoglobin akibat buruknya kualitas air. Buruknya kualitas air
dikarenakan ikan langsung mengalami perubahan lingkungan (salinitas) tanpa
Leukosit
60
proses adaptasi terlebih dahulu. Grafik pengamatan hemoglobin dapat di lihat
pada Gambar 32.
Gambar 32. Jumlah total hemoglobin perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 +
VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN
4.4.4 Jumlah Nilai Hematokrit
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hematokrit pada ikan kerapu
yang diberikan Chlorella vulgaris berkisar 27 – 29%. Sedangkan pada hasil
pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah hematokrit
berkisar 14%, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi
Chlorella vulgaris dan VNN diperoleh jumlah hematokrit berkisar 18 – 20%. Pada
sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah hematokrit ikan kerapu
berkisar 26%.
Berdasarkan pengamatan hasil rata-rata kadar hematokrit pada perlakuan
tanpa inveksi VNN dapat dikatakan masih dalam kisaran hematokrit normal bagi
ikan kerapu. Sedangkan pada perlakuan dengan inveksi VNN dapat dikatakan
hasil rata-rata kadar hematokrit tergolong rendah. Menurut Jawad et al., (2004),
6
3,7
5,3 5
6
3,7 4
4,7
0
1
2
3
4
5
6
7
K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6
Tota
l (gr
/10
0m
l)
Perlakuan
61
hematokrit adalah persentase volume hematokrit di dalam darah, dan nilainya
berhubungan dengan jumlah sel darah merah. Peningkatan kadar hematokrit ini
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan terutama
suhu perairan serta keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang dibutuhkan.
Grafik pengamatan hematrokit dapat di lihat pada Gambar 33.
Gambar 33. Jumlah total hematokrit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C.
vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN
4.4.5 Kualitas Makronuklei Ikan
Hasil pengamatan sampel Jumlah makronuklei pada ikan kerapu yang
diberi Chlorella vulgaris berkisar 7,9 – 9,8/1000sel. Pada hasil pengamatan
sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah makronuklei sebesar
13,5/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamtaan sampel ikan kerapu yang
diberikan Chlorella vulgaris dan VNN didapatkan hasil Jumlah makronuklei
berkisar 7,8 – 10,4/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah makronuklei berkisar 9,3/1000sel.
26
14
27 27 29
20 18 18
0
5
10
15
20
25
30
35
K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6
Tota
l (%
)
Perlakuan
62
Jumlah makronuklei ikan kerapu yang diinfeksi VNN lebih banyak
daripada ikan kerapu yang kontrol, dan perlakuan Chlorella sp. Menurut
Radzikowski (1985), ketika kondisi memburuk, kandungan DNA menurun
Perubahan ini menyangkut DNA yang merupakan orthomere, jumlah yang lebih
besar dari yang di paramere tersebut. Grafik pengamatan dan Gambar
makronuklei dapat di lihat pada Gambar 34 dan 35.
Gambar 34. Jumlah total makronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 +
VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN
12,2
13,8
10,3 11 10,8
12,6 12,9 12,9
0
2
4
6
8
10
12
14
16
K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6
Tota
l (/1
00
0se
l)
Perlakuan
63
Gambar 35. Sel makronuklei perlakuan (CV4) C. Vulgaris 104 + VNN
4.4.6 Kualitas Mikronuklei Ikan
Hasil pengamatan sampel Jumlah mikronuklei pada ikan kerapu yang
diberi Chlorella vulgaris berkisar 9,3 – 10,6/1000sel. Pada hasil pengamatan
sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah mikronuklei sebesar
14,5/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang
diberikan Chlorella vulgaris dan VNN didapatkan hasil Jumlah mikronuklei
berkisar 12 – 13,5/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah mikronuklei berkisar 10,7/1000sel. Jumlah
mikronuklei terbaik terdapat pada takaran 104 dengan 12,01/1000sel karena
makronuklei berpengaruh pada eritrosit, semakin banyak mirkonuklei yang
didapat maka semakin banyak paparan penyakit yang masuk dalam tubuh ikan
Menurut Lusiyanti dan Alatas (2011), mikronuklei terbentuk dari fragmen asentrik
yang gagal bergabung dengan sel anak selama proses pembelahan sel. Dapat
juga terbentuk dari sebuah kromosom yang tertinggal, atau tidak terbawa dalam
proses mitosis, atau terjadi akibat konfigurasi kromosom yang kompleks, pada
waktu proses anafase. Kriteria mikronuklei di antaranya yaitu diameter kurang
dari seperlima diameter nukleus (10μm), terletak dalam sitoplasma dan diluar
nukleus, tidak ada kontak dengan nukleus.Mikronuklei terbentuk akibat adanya
kerusakan struktur kromosom yang terjadi pada fase G0-G1 dari siklus sel,
sehingga mikronukleus muncul setelah sel mengalami pembelahan inti. Grafik
pengamatan dan Gambar makronuklei dapat di lihat pada Gambar 36 dan 37.
64
Gambar 36. Jumlah total mikronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 +
VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN
Gambar 37. Sel mikronuklei perlakuan (CV4) C. Vulgaris 104 + VNN
4.5 Status Hematologi Ikan Nannochloropsis oculata
4.5.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah eritrosit pada ikan kerapu
yang diberikan Nannochloropsis oculata berkisar 500000 - 940000 sel/mm3.
[VALUE]8
[VALUE]0
[VALUE]6 [VALUE]2
[VALUE]2
[VALUE]6 [VALUE],01
[VALUE]8
0
2
4
6
8
10
12
14
16
K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6
Tota
l (/1
00
0se
l)
Perlakuan
65
Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN
diperoleh jumlah eritrosit berkisar 480000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan
sampel ikan kerapu yang diberi Nannochloropsis oculata dan VNN diperoleh
jumlah eritrosit berkisar 500000 - 800000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu
kontrol di bak pemeliharaaan jumlah eritrosit ikan kerapu berkisar 700000
sel/mm3. Menurut Irianto (2005), eritrosit ikan memiliki inti dan jumlah eritrosit
bervariasi tergantung pada spesies, kondisi stress dan suhu lingkungan, akan
tetapi kisaran eritrosit pada umumnya berkisar 1,05 – 3,0 × 106 sel/mm3. Grafik
pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat pada Gambar 38 dan
Gambar 39.
Gambar 38. Jumlah sel eritrosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4)
N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN
700000
480000
600000
940000
500000 500000
800000
550000
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
900000
1000000
K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6
Tota
l (Se
l/m
m3
)
Perlakuan
66
Gambar 39. Sel eritrosit perlakuan (NV4) N. Oculata 104 + VNN
4.5.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit)
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah leukosit pada ikan kerapu
yang diberikan Spirulina platensis berkisar 150000 - 200000 sel/mm3. Sedangkan
pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah
leukosit berkisar 300000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan
kerapu yang diberi Spirulina platensis dan VNN diperoleh jumlah leukosit berkisar
150000 - 250000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaaan jumlah leukosit ikan kerapu berkisar 125000 sel/mm3. Menurut
Paulo et al.,(2009) leukosit akan meningkat jumlahnya seiring dengan
meningkatnya infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, fungi maupun akibat
memburuknya kualitas air. Grafik pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat
di lihat pada Gambar 40 dan Gambar 41.
Eritrosit
67
Gambar 40. Jumlah sel leukosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4)
N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN
Gambar 41. Sel leukosit perlakuan (NV4) N. Oculata 104 + VNN
4.5.3 Jumlah Hemoglobin
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hemoglobin pada ikan
kerapu yang diberikan Chlorella vulgaris berkisar 5 - 6 gr/100ml. Sedangkan
pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah
125000
300000
150000 150000
200000
250000
150000
200000
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6
Tota
l (Se
l/m
m3
)
Perlakuan
Leukosit
68
hemoglobin berkisar 3,7 gr/100ml, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan
kerapu yang diberi Chlorella vulgaris dan VNN diperoleh jumlah hemoglobin
berkisar 3,7 – 4,7 gr/100ml. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak
pemeliharaaan jumlah hemoglobin ikan kerapu berkisar 6 gr/100ml. Buruknya
kualitas air dikarenakan ikan langsung mengalami perubahan lingkungan
(salinitas) tanpa proses adaptasi terlebih dahulu. Menurut Salasia et al. (2001)
kadar hemoglobin normal pada ikan nila berkisar 5,05-8,33 G%. Rendahnya nilai
hemoglobin akibat buruknya kualitas air. Grafik pengamatan hemoglobin dapat di
lihat pada Gambar 42.
Gambar 42. Jumlah total hemoglobin perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 +
VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN
4.5.4 Jumlah Nilai Hematokrit
Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hematokrit pada ikan kerapu
yang diberikan Nannochloropsis oculata berkisar 22 – 30%. Sedangkan pada
hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah
hematokrit berkisar 13%, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang
6,5
4
5
7
5,5
4,5
6,5
5
0
1
2
3
4
5
6
7
8
K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6
Tota
l (gr
/10
0m
l)
Perlakuan
69
diberi Nannochloropsis oculata dan VNN diperoleh jumlah hematokrit berkisar 18
– 28%. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah hematokrit
ikan kerapu berkisar 25%. Nilai hematokrit pada ikan teleostei berkisar antara 20-
30% dan pada spesies ikan laut sekitar 42% (Royan, 2014). Indikator terjadinya
stress pada ikan adalah terjadinya penurunan hematokrit darah (Tanbisyakur
2011). Grafik pengamatan hematrokit dapat di lihat pada Gambar 43.
Gambar 43. Jumlah total hematokrit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 +
VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN
4.5.5 Kualitas Makronuklei Ikan
Hasil pengamatan sampel Jumlah makronuklei pada ikan kerapu yang
diberi Nannochloropsis oculata berkisar 7,7 – 7,9/1000sel. Pada hasil
pengamatan sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah makronuklei
sebesar 13,4/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu
yang diberikan Nannochloropsis oculata dan VNN didapatkan hasil Jumlah
makronuklei berkisar 10 – 10,9/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di
bak pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah makronuklei berkisar 8,1/1000sel.
25
13
25
30
22
18
28
21
0
5
10
15
20
25
30
35
K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6
Tota
l (%
)
Perlakuan
70
Akumulasi DNA juga menghasilkan macronuclei dengan distribusi konten DNA
bahkan dalam sel yang sama (Yan et al., 2017). Menurut Radzikowski (1985),
ketika kondisi memburuk, kandungan DNA menurun Perubahan ini menyangkut
DNA yang merupakan orthomere, jumlah yang lebih besar dari yang di paramere
tersebut. Grafik pengamatan dan gambar makronuklei dapat di lihat pada
Gambar 44 dan 45.
Gambar 44. Jumlah total makronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 +
VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN
Gambar 45. Sel makronuklei perlakuan (NV4) N. oculata 104 + VNN
8,1
13,4
7,8 7,7 7,9
10,9 10
10,5
0
2
4
6
8
10
12
14
16
K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6
Tota
l (/1
00
0se
l)
Perlakuan
71
4.5.6 Kualitas Mikronuklei Ikan
Hasil pengamatan sampel Jumlah mikronuklei pada ikan kerapu yang
diberi Nannochloropsis oculata berkisar 7,6 – 7,8/1000sel. Pada hasil
pengamatan sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah mikronuklei
sebesar 14,6/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu
yang diberikan Nannochloropsis oculata dan VNN didapatkan hasil Jumlah
mikronuklei berkisar 9,6 – 10,4/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di
bak pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah mikronuklei berkisar 7,9/1000sel.
Jumlah mikronuklei terbaik terdapat pada takaran 104 dengan 9,6/1000sel karena
makronuklei berpengaruh pada eritrosit, semakin banyak mirkonuklei yang
didapat maka semakin banyak paparan penyakit yang masuk dalam tubuh ikan.
MN normal tanpa paparan genotoksik, nilai rata-rata mikronuklei berkisar antara
0,05-11,5 MN/1000 sel dengan rata-rata 0,5-2,5 MN/1000 sel (Lusiyanti dan
Abdul, 1999). Grafik pengamatan dan gambar makronuklei dapat di lihat pada
Gambar 46 dan 47.
Gambar 46. Jumlah total mikronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 +
VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN
7,9
14,6
7,7 7,6 7,8
10,4 9,6
10,3
0
2
4
6
8
10
12
14
16
K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6
Tota
l (/1
00
0se
l)
Perlakuan
72
Gambar 47. Sel mikronuklei perlakuan (NV4) N. oculata 104 + VNN
4.6 Analisa Kualitas Air
Kualitas air untuk pemeliharaan di kondisikan homogen pada parameter
pendukung kualitas air. Dalam penelitian ini analisa kualitas air yang diukur
meliputi suhu, pH, salinitas, dan DO didapatkan hasil dari perlakuan mikroalga
Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis
oculata adalah sebagai berikut :
4.6.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang mempengaruhi
pertumbuhan ikan didalam perairan. Didapatkan hasil pengukuran suhu dari
perlakuan mikroalga Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan
Nannochloropsis oculata adalah sebagai berikut :
a. Analisa Suhu Perlakuan Mikroalga Spirulina platensis
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter suhu berkisar 23.2o c -
25.9o c. Suhu tersebut termasuk dalam kategori yang normal untuk kehidupan
ikan karena menurut kordi (2009), menyebutkan pertumbuhan ikan pada wilayah
tropis akan berlangsung optimal pada kisaran suhu 280C - 320C. Berikut grafik
pengukuran suhu pada Gambar 48.
73
b. Analisa Suhu Perlakuan Mikroalga Dunaliella salina
Pada grafik didapatkan hasil pengukuran parameter suhu berkisar 23-
26OC. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), bahsa suhu yang
baik untuk kolam budidaya secara umum yaitu berkisar antara 27-31 oC. Suhu
sangat berpengaruh pada metaobolisme ikan. Suhu perairan yang optimal
(sesuai kebutuhan ikan di daerah tropis) adalah 27-31 oC. pada suhu perairan
yang berada dibawah 25 oC dapat menurunkan kecepatan metabolisme ikan,
sehingga ikan akan terhambat pertumbuhannya. Sedangkan bila suhu perairan >
35 oC dapat menyebabkan kematian ikan. Grafik pengamatan suhu dapat di lihat
pada Gambar 49.
21,5
22
22,5
23
23,5
24
24,5
25
25,5
26
26,5
k v S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6
Nila
i
Perlakuan
Suhu
hari ke-0
hari ke-3
hari ke-6
hari ke-9
hari ke-12
Gambar 48. Grafik suhu perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 +
VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN
74
Gambar 49. Grafik suhu perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D. salina 104
+ VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN
c. Analisa Suhu Perlakuan Mikroalga Chlorella vulgaris
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran kualitas air khususnya
parameter suhu pada perlakuan ikan kontrol berkisar pada 23,4oC. Selanjutnya
pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN rata-rata hasil pengukuran suhu yang
didapat yaitu 24,5oC. Selanjutnya pengukuran suhu pada perlakuan ikan dengan
alga mulai dari 102, 104, dan 106 didapatkan hasil rata-rata yaitu 24,3oC, 24,2oC,
dan 24,2oC. Selanjutnya pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN dengan alga
mulai dari 102, 104, dan 106 rata-rata hasil pengukuran suhu yang didapat yaitu
24,2oC, 24,2oC, dan 24,3oC. Hal ini sesuai dengan pendapat Chua dan Teng
(1978) dalam Langkosono (2007), bahwa kualitas perairan yang optimal untuk
pertumbuhan ikan kerapu, seperti suhu berkisar antara 24oC - 31ºC. Berikut
grafik pengukuran suhu pada Gambar 50.
20
21
22
23
24
25
26
27
K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6
Suhu
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
75
Gambar 50. Grafik suhu perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102,
(C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN
d. Analisa Suhu Perlakuan Mikroalga Nannochloropsis oculata
Pada hasil pengukuran suhu yang diperoleh berkisar antara 22oC-26oC.
Suhu tersebut masih dapat ditoleransi oleh ikan kerapu cantang, karena pada
suhu tersebut ikan dapat tumbuh. Kordi (2010), suhu yang digunakan dalam
pemeliharaan ikan haruslah mempunyai nilai yang konstan. Berikut grafik
pengukuran suhu pada Gambar 51.
20,0
21,0
22,0
23,0
24,0
25,0
26,0
27,0
C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6 V K
Suh
u (
⁰C)
Treatment
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
76
Gambar 51. Grafik suhu perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN
4.6.2 Salinitas
Nilai salinitas diperairan mempengaruhi kesuburan perairan dan juga
pertumbuhan ikan kerapu cantang. Didapatkan hasil pengukuran salinitas dari
perlakuan mikroalga Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan
Nannochloropsis oculata adalah sebagai berikut :
a. Analisa Salinitas Perlakuan Mikroalga Spirulina platensis
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter salinitas pada
akuarium berkisar pada 29 – 36 ‰ , dari hasil tersebut dapat dikategorikan
salinitas diakuarium termasuk normal untuk kehidupan ikan kerapu cantang
sesuai pernyataan dari Putra (2008), salinitas yang ideal untuk pembesaran ikan
Kerapu tikus adalah 28-33 ppt. Berikut grafik pengukuran salinitas pada Gambar
52.
20
21
22
23
24
25
26
27
28
K V N 10^2 N 10^4 N 10^6 NV 10^2 NV 10^4 NV 10^6
Suhu
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
77
0
5
10
15
20
25
30
35
40
k v S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6
Nila
i (m
g/l)
Perlakuan
Salinitas
hari ke-0
hari ke-3
hari ke-6
hari ke-9
hari ke-12
Gambar 52. Grafik salinitas perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S.
platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN
b. Analisa Salinitas Perlakuan Mikroalga Dunaliella salina
Hasil pengamatan kualitas air di bak pemeliharaan ikan kerapu cantang
didapatkan salinitas berkisar 29 – 35 ppt, dari hasil tersebut dapat dikategorikan
salinitas di bak pemeliharaan termasuk normal untuk kehidupan ikan kerapu
cantang sesuai pernyataan dari Putra (2008), salinitas yang ideal untuk
pembesaran ikan kerapu adalah 28-33 ppt. Berikut grafik pengukuran salinitas
pada Gambar 53.
78
Gambar 53. Grafik salinitas perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102,
(D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN
c. Analisa Salinitas Perlakuan Mikroalga Chlorella vulgaris
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter salinitas pada
perlakuan ikan kontrol didapatkan hasil rata-rata yaitu sebesar 34 ppt. Kemudian
pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN rata-rata hasil pengukuran salinitas yang
didapat yaitu 33 ppt. Sedangkan pengukuran salinitas pada perlakuan ikan
dengan alga mulai dari 102, 104, dan 106 didapatkan hasil rata-rata yaitu 33, 32,
dan 33 ppt. Selanjutnya pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN dengan alga
mulai dari 102, 104, dan 106 rata-rata hasil pengukuran salinitas yang didapat
yaitu 33, 32, dan 33 ppt. Hal ini sesuai dengan pendapat Chua dan Teng (1978)
dalam Langkosono (2007), bahwa kualitas perairan yang optimal untuk
pertumbuhan ikan kerapu, seperti salinitas antara 30-33 ppt. Berikut grafik
pengukuran salinitas pada Gambar 54.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6
Salinitas
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
79
Gambar 54. Grafik salinitas perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C.
vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN
d. Analisa Salinitas Perlakuan Mikroalga Nannochloropsis oculata
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter salinitas yang
diperoleh berkisar antara 30 ppt – 36 ppt. Kisaran salinitas masih dalam ambang
batas normal. Ghani et al. (2015), Salinitas perairan merupakan kadar garam
yang terkandung dalam air laut. Toleransi kisaran salinitas untuk budidaya ikan
kerapu adalah berkisar antara 31 - 34 ppt. Salinitas yang tidak sesuai akan
mengakibatkan tidak maksimalnya tingkat produksi dari kegiatan budidaya
tersebut. Berikut grafik pengukuran salinitas pada Gambar 55.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6 V K
Salin
itas
(p
pt)
Treatment
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
80
Gambar 55. Grafik salinitas perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4) N.
oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN
4.6.3 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) adalah salah satu faktor dalam budidaya ikan
mas yang harus diperhatikan. Pengukuran pH dalam perairan sangat diperlukan
karena pH merupakan indikator untuk mengetahui konsentrasi ion hidrogen yang
ada di perairan. Didapatkan hasil pengukuran pH dari perlakuan mikroalga
Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis
oculata adalah sebagai berikut :
a. Analisa pH Perlakuan Mikroalga Spirulina platensis
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter derajat
keasaman (pH) diakurium yaitu berkisar 7,5 – 8, dan sesuai dengan Amiruddin et
al., (2011), pernyataan pH yang optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu antara
7,0-7,8 sehingga dapat derajat keasaman yang ada di dalam akuarium termasuk
kategori yang normal untuk kehidupan ikan kerapu cantang. Berikut grafik
pengukuran pH pada Gambar 56.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
K V N 10^2 N 10^4 N 10^6 NV 10^2NV 10^4 NV 10^6
Salinitas
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
81
Gambar 56. Grafik pH perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4)
S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN
b. Analisa pH Perlakuan Mikroalga Dunaliella salina
Dari hasil yang didapatkan pada pengukuran derajat keasaman di bak
pemeliharaan yaitu berkisar 7.5-8, dan sesuai dengan Amiruddin et al . (2011),
pernyataan Ph yang optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu antara 7,0-7,8
sehingga dapat derajat keasaman yang ada di dalam bak pemeliharaan
termasuk kategori yang normal. Berikut grafik pengukuran pH pada Gambar 57.
7,2
7,3
7,4
7,5
7,6
7,7
7,8
7,9
8
8,1
k v S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6
Nila
i
Perlakuan
Derajat Keasaman
hari ke-0
hari ke-3
hari ke-6
hari ke-9
hari ke-12
82
Gambar 57. Grafik pH perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D. salina 104 +
VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN
c. Analisa pH Perlakuan Mikroalga Chlorella vulgaris
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter derajat
keasaman (pH) pH pada perlakuan ikan kontrol didapatkan hasil rata-rata yaitu
sebesar 7,8. Kemudian pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN rata-rata hasil
pengukuran pH yang didapat yaitu 7,7. Selanjutnya pengukuran pH pada
perlakuan ikan dengan alga mulai dari 102, 104, dan 106 didapatkan hasil rata-
rata yaitu 7,8, 7,9 dan 7,8. Sedangkan pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN
dengan alga mulai dari 102, 104, dan 106 rata-rata hasil pengukuran pH yang
didapat yaitu 7,8 sama pada setiap kepadatan. Dapat disimpulkan pengukuran
kualitas air pada parameter pH dapat dikatakan masih mendukung kelangsungan
hidup ikan kerapu hal ini sesuai dengan pendapat Chua dan Teng (1978) dalam
Langkosono (2007), bahwa kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan
ikan kerapu, seperti pH berkisar antara 7,8 - 8,0. Sedangkan menurut Boyd
(1982) dalam Suwoyo (2011), ikan kerapu dapat mentolerir kisaran pH air antara
6,5 – 9,0. Berikut grafik pengukuran pH pada Gambar 58.
6,8
7
7,2
7,4
7,6
7,8
8
8,2
K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6
pH
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
83
Gambar 58. Grafik pH perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4)
C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN
d. Analisa pH Perlakuan Mikroalga Nannochloropsis oculata
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter pH yang didapat
berkisar antara 7.6-7.9. Nilai pH tersebut masih dalam batas normal untuk
pemeliharaan ikan kerapu. Hal sesuai dengan pernyataan Qodri et al., (1999),
parameter-parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu
pH antara 6,5-9. Berikut grafik pengukuran pH pada Gambar 59.
7,1
7,2
7,3
7,4
7,5
7,6
7,7
7,8
7,9
8,0
C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6 V K
pH
Treatment
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
84
Gambar 59. Grafik pH perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4)
N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN
4.6.4 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan
organik dan anorganik dalam air. Selain itu, oksigen juga menentukan kondisi
biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Didapatkan hasil
pengukuran DO dari perlakuan mikroalga Spirulina platensis, Dunaliella salina,
Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis oculata adalah sebagai berikut :
a. Analisa DO Perlakuan Mikroalga Spirulina platensis
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter oksigen terlarut
pada akuarium berkisar pada 5,10 – 6,72 mg/l. sehingga dapat disimpulkan
kadar oksigen yang ada diakuarium tergolong optimal untuk kehidupan dan
pertumbuhan ikan kerapu cantang. Menurut Ahmad et al., (1991) dalam Affan
(2012), kisaran oksigen terlarut optimal untuk pemeliharaan ikan kerapu tikus
berkisar 5 – 8 mg/l. Berikut grafik pengukuran oksigen terlarut pada Gambar 60.
0
2
4
6
8
10
K V N 10^2 N 10^4 N 10^6 NV 10^2 NV 10^4 NV 10^6
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
85
0
1
2
3
4
5
6
7
8
k v S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6
Nila
i (m
g/l)
Perlakuan
Oksigen terlarut
hari ke-0
hari ke-3
hari ke-6
hari ke-9
hari ke-12
Gambar 60. Grafik DO perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4)
S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN
b. Analisa DO Perlakuan Mikroalga Dunaliella salina
Dari hasil pengamatan didapatkan hasil pengukuran oksigen terlarut
berkisar 5,2 – 6,9 mg/l, sehingga dapat disimpulkan kadar oksigen yang ada di
bak pemeliharaan tergolong optimal untuk kehidupan dan prtumbuhan ikan
kerapu. Menurut Ahmad et al., (1991) dalam Affan (2012), kisaran oksigen
terlarut optimal untuk pemeliharaan ikan kerapu berkisar 5 – 8 mg/l. Berikut grafik
oksisgen terlarut pada Gambar 61.
86
Gambar 61. Grafik DO perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D. salina 104
+ VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN
c. Analisa DO Perlakuan Mikroalga Chlorella vulgaris
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter DO pada
perlakuan ikan kontrol didapatkan hasil rata-rata yaitu sebesar 5,45 mg/l.
Selanjutnya pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN rata-rata hasil pengukuran
suhu yang didapat yaitu 5,30 mg/l. Kemudian pengukuran suhu pada perlakuan
ikan dengan alga mulai dari 102, 104, dan 106 didapatkan hasil rata-rata yaitu
5,54, 5,65, dan 5,72 mg/l. Sedangkan pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN
dengan alga mulai dari 102, 104, dan 106 rata-rata hasil pengukuran suhu yang
didapat yaitu 5,56, 5,60, dan 5,61 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas
air pada parameter oksigen terlarut dapat dikatakan masih mendukung
kelangsungan hidup ikan kerapu hal ini sesuai dengan pendapat Chua dan Teng
(1978) dalam Langkosono (2007), bahwa kualitas perairan yang optimal untuk
pertumbuhan ikan kerapu, seperti oksigen terlarut > 3,5 ppm. Kemudian Supito et
al., (1998) dalam Suwoyo (2011) mengatakan bahwa ikan kerapu masih dapat
hidup pada nilai oksigen terlarut berkisar antara 3.21 - 6,5 mg/l. Berikut grafik
pengukuran oksigen terlarut pada Gambar 62.
0
2
4
6
8
K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6
Oksigen Terlarut
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
87
Gambar 62. Grafik DO pengamatan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102,
(C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN
d. Analisa DO Perlakuan Mikroalga Nannochloropsis oculata
Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter DO pada grafik
berkisar antar 5.04 - 6.62 mg/l. Kisaran tersebut masih dalam batas normal untuk
pemeliharaan ikan kerapu. Menurut Kristanto (2002), kandungan oksigen terlarut
di dalam perairan minimal 5 ppm. Fluktuasi oksigen terlarut harian dapat
mempengaruhi parameter kimia, terutama pada saat kondisi tanpa oksigen, yang
dapat mengakibatkan perubahan sifat kelarutan beberapa unsur kimia di perairan
(Apridayanti, 2005). Berikut grafik pengukuran oksigen terlarut pada Gambar 63.
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6 V K
DO
(m
g/l)
Treatment
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
88
Gambar 63. Grafik DO perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN
4.7 Analisis Data
Analysis of varians (ANOVA) perlu dilakukan untuk melihat ada atau
tidaknya pengaruh perlakuan yang berbeda pada treatment S. platensis, N.
oculata, dan C. Vulgaris dengan tiap alga memiliki 32 perlakuan (Kontrol, VNN,
S. platensis 102, 104, 106, S. platensis 102, 104, 106 + VNN, Kontrol, VNN, D.
salina 102, 104, 106, D. salina 102, 104, 106 + VNN, Kontrol, VNN, C. vulgaris 102,
104, 106, C. vulgaris 102, 104, 106 + VNN, Kontrol, VNN, N. oculata 102, 104, 106,
N. oculata 102, 104, 106 + VNN. Analisis data menggunakan software SPSS
factorial RAL. Hasil dapat di lihat pada tabel 2.
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
K V N 10^2 N 10^4 N 10^6 NV 10^2 NV 10^4 NV 10^6
Oksigen Terlarut
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12
89
Tabel 2. Analisis ANOVA
Berdasarkan analisa tabel diatas didapatkan nilai Sig. sebesar 0,005
dimana nilai tersebut berada dibawah nilai 0,05 yang menunjukkan bahwa
treatment S. platensis, D. salina, C. Vulgaris, dan N. oculata berbeda nyata atau
terdapat perbedaan. Maka dilakukan uji lanjut untuk mengetahui bagaimana
pengaruh dari perlakuan yang berbeda. Berikut ini hasil uji BNT dapat dilihat
pada table 3 dan Gambar 64.
Tabel 3. Analisis hasil BNT
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Histopatologi
850.822a 31 27.446 10.225 .000
11790.672 1 11790.672 4392.670 .000
518.424 7 74.061 27.592 .000
200.105 3 66.702 24.850 .000
132.293 21 6.300 2.347 .005
171.787 64 2.684
12813.281 96
1022.609 95
Source
Corrected Model
Intercept
KLP
ALG
KLP * ALG
Error
Total
Corrected Total
Type I II Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .832 (Adjusted R Squared = .751)a.
Histopatologi
Tukey HSDa,b
24 9.53
24 9.99
24 11.62
24 13.19
.765 1.000 1.000
Alga
NO
DS
CV
SP
Sig.
N 1 2 3
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2.684.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.a.
Alpha = .05.b.
90
Gambar 64. Hasil uji BNT
Hasil uji BNT dan grafik diatas diketahui bahwa setiap perlakuan memiliki
hasil yang berbeda. Perbedaan tiap perlakuan diketahui dengan melakukan Uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf nyata 0,05 (selang kepercayaan 95%).
Perlakuan yang terbaik adalah treatment Spirulina platensis 104 karena memiliki
jumlah rata-rata terendah diikuti dengan pemberian D. salina, C. vulgaris dan N.
oculata. maka perlakuan yang paling berpengaruh dengan signifikasi 0,05 adalah
treatment S. platensis. Pada treatment tersebut memiliki jumlah mikronuklei yang
rendah. Pada perlakuan VNN memiliki jumlah mikronuklei yang paling tinggi,
dikarenakan adanya infeksi virulen VNN yang menyebabkan ikan menjadi stress
sehingga jumlah mikronuklei menjadi meningkat. Sedangkan perlakuan yang
paling baik adalah pemberian S. platensis pada kepadatan 104.
Estimated Marginal Means of Histopatologi
Kelompok
SV6SV4SV2S6S4S2VK
Estim
ate
d M
arg
inal M
eans
30
20
10
0
Alga
SP
DS
CV
NO
91
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Perbandingan mikronuklei terbaik didapatkan pada tiap mikroalga dengan
kepadatan 104, hasil ini di tunjukan pada hasil mikronuklei setiap perlakuan nilai
terkecil pada kepadatan 104. Kemudian perbandingan mikrolga terbaik
didapatkan pada mikroalga N. oculata, hasil ini di dukung dengan jumlah nutrisi
yang terdapat pada setiap mikroalga N. oculata lebih banyak mengandung nutrisi
dari pada mikroalga yang lain.
5.2 Saran
Perlu diadakannya penelitian lebih lanjut terkait dengan kemampuan
mikroalga sebagai antiviral virus VNN ikan kerapu, sehingga dapat mengurangi
jumlah kematian pada ikan kerapu yang terserang virus VNN.
92
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Syamsul dan Sudaryanto. 2001. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Jakara: Penebar Swadaya.
Amelia, N., Prayitno. dan B. Slamet. 2012. Pengaruh ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava) untuk menginaktifkan Viral Nervous Necrosis (VNN) pada ikan kerapu bebek (Epinephelus fuscoguttatus). Journal Of Aquaculture Management and Technology. 1: 264 - 278.
Amiruddin, H., R. K. Dongoran, R. Nurhadi, dan L. Darto. 2012. Manajemen Induk Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) sebagai Upaya Optimalisasi Produksi Telur Berkualitas. Balai Budidaya Laut Ambon.
Anderson DP. 1992. Immunostimulant, Adjuvant and Vaccine Carier in Fish. Application to Aquaculture. Annual Review of Fish Diseases. 21:281-307.
Anderson, D.P. and A.K. Siwicki. 1993. Basic Hematology and Serology for Fish Health Programs. Asian Fisheries Society. 17 hlm.
Arikunto, S/ 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Arsal, L. O. M. 2014. Evaluasi Ketahanan Ikan Mas Turunan Ketiga yang Mempunyai Marka Molekuler Cyca-DAB1 05 Terhadap Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Edisi ke tujuh. Fakultas Kedokteran.
Universitas Indonesia. Jakarta (ID). 572 hlm.
Bijanti, R. 2005. Hematologi Ikan (Teknik Pengambilan Darah dan Pemeriksaan Hematologi Ikan). Buku Ajar. Bagian Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. hal. 22.
Blaxhall PC, Daisley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. Journal Fish Biology 5:577-581.
Boyd, C. E. 1990. Water Quality Management in Aquaculture and Fisheries Sciense. Elsevier Scientific Publishing Company Amsterdam. 3125p.
Capelli B, Cysewski GR. 2010. Potential health benefits of Spirulina microalgae.
A review of the existing literature. Cyanotech Corporation. Hawaii, 96740, USA. 8 hlm.
Chinabut, S., C. Limsuwan. and Katsuwan. 1991. Histology of Walking Catfish Clarius batracus. IDRC, Canada.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland, alih bahasa Huriwati Hartanto, edisi 29, ECG, Jakarta.
93
Duncan PL, Klesius PH. 1996. Effects of Feeding Spirulina on Specific and Nonspecific Immune Responses of Channel catfish. Journal of Aquatic Animal Health 8:308-313.
eemstra‚ P.C. and J.E. Randall. 1993. Vol.16. Groupers of the world (Family Serranidae‚ Subfamily Epinephelinae). FAO Species Catalogue.
offbrand‚ A.V. and J.E. Pettit. 1992. Kapita Selekta Hematologi. Edisi ke-2. Terjemahan I. Darmawan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
Irianto‚ A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.
Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995.Teknik Kultur Fitoplankton dan zooplankton : Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut, Kanisius: Yogyakarta.
Kabinawa INK. 2006. Kandungan nutrisi Spirulina platensis dalam medium kultur teknik komersial. Prosiding Seminar Nasional Kimia dalam industry Jasa KIAI. Yogyakarta. knowledge. Fish & Shellfish Immunology 23:1127-1151.
Kordi, K. M. Ghufran. 2010. Budi Daya Ikan Nila di Kolam Terpal. Yogyakarta: Lily Publisher.
Korsnes, K. 2008. Nervous Necrosis virus (VNN) in farmed Norwegian fish species. Thesis of Philosopiae Doctor (PhD) University of Bergen. Norway: Bergen. p45-60.
Kozenko R, Henson RH. 2010. The Study of Spirulina. Effects on the AIDS Virus, Cancer and the Immune System. Healthy & Natural Journal. Diunduh pada: 4 April 2010. 2 hlm.
Lestari A. T. dan P. E. Sudaryatma. 2014. Studi Imunositokimia Darah dan Suspensi Organ Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus) yang diinfeksi virus Isolat Lapang Penyebab Viral Nervous Necrosis, Jurnal Sain Veteriner, 32(1) :126-421
Lusiyanti Y., I. Indrawati, A. Wa’id dan M. Lubis. 1996. Studi Awal Mikronuklei Pada Sel Limfosit Perifer, Prosiding Presentasi Ilmiah Kesehatan Radiasi dan Lingkungan, :278-282.
Mahmud, S., Aunurohim, dan T.D. Tjahyaningrum. 2012. Struktur komunitas fitoplankton pada tambak dengan pupuk dan tambak tanpa pupuk di Kelurahan Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur. Jurnal Sains dan Seni ITS. 1:10-15.
Nabib, R. dan F.H. Pasaribu. 1989. Patologi Dan Penyakit Ikan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor.
Nagasawa‚ K. And E. Cruz-Lacierda. 2004. Diseases of Cultured Groupers. Goverment of Japan Trust Fund.
94
Ozkan, F., S. G. Gunduz., M. Berkoz and A. Ozlner- unt. 2011. “Induction of micronuclei and other nuclear abnormalities in peripheral erythrocytes of Nile tilapia, Oreochromis niloticus, following exposure to sublethal cadmium dose”. Turk. J. Zool. 35 (4) : 585-592. DOI : 10.3906/zoo-0907-77.
Paruntu, C. P. 2015. Budidaya Ikan Kerapu (Epinephelus tauvina Forsskal, 1775)
dan Ikan Beronang (Siganus canaliculatus Park, 1797) dalam Karamba Jaring Apung dengan Sistim Polikultur. Jurnal Budidaya Perairan. 32(1): 1-10.
Prihartini, N. C. 2016. Distribusi Pathognomik Virulensi VNN (Viral Nervous
Necrotic) pada Benih Nila (Oreochromis sp.). Jurnal Ilmu Perikanan. 7(2). Raa R, Rorstad G, Engstad R, Robertsen B. 1992. The use of imunostimulants to
increase resistance of aquatic organisms to microbial infections. Didalam: Shariff M, Subasighe RP, Arthur JR, editor. Diseases in Asian Aquaculture Vol. I. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines (PH). hlm 39-50.
Randall, J.E. 1987. “A Preliminary Synopsis of the roupers(Perciformes: Seranidae; Epinephelinae) of the Indo-Pasific Region”, in J. J. Polovina, S. Ralston Tropical Snappers and Groupers: Biology and Fisheries Management (Boulder and London: Westview Press, Inc.
Sakai M. 1999. Current research status of fish immunostimulants. J.Aquaculture. 172:63-92.
Satyantini, W. H. 2013. Teknologi Produksi Fikosianin Spirulina Platensis Dan Pemanfaatannya Sebagai Imunostimulan Pada Ikan kerapu Bebek (Cromileptes altivelis), DIsertasi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Secombes CJ. 1996. The nonspecific immune system: Cellular Defenses In Iwama G, Nakanishi T. (eds). The Immune System: Organism, Pathogen and Environment. USA (US): Academic Press. hlm 63-103.
Simanjuntak, S. B. I., Yuwono, E., & Rachmawati, F. N. 2006. Pengaruh
Penyuplemenan Spirulina dalam Pakan terhadap Hematologis Ikan Nilem (Osteochilus hasselti cv). Pembangunan Pedesaan, 6 (2).
Stock‚ W. and R. offman. 2000. White blood cells 1: non-malignant disorders. The Lance. 355: 1351-1357.
Sudaryatma P.E. dan A.T. Lestari. 2014. Imonuhistokimia Patogenitas Viral Nervous Necrosis Isolat Lapang Bali yang Diinfeksikan Pada Kerapu Macan Budidaya, ACTA VETERINARA INDONESIANA. 2(2):54-61.
Sudaryatma, P.E., Artanti, T.L., Trisnasari, T., Lidayana, D.L. dan Nurlita, W. 2012. Pemeriksaan Viral Nervous Necrosis Pada Sampel Air Pemeliharaan Ikan Kerapu Macan Dengan Metode Imunositokimia Streptavidin Biotin. J. Sain Vet. 2: 2-12.
95
Sudjiharno. 2004. Pembenihan Ikan Kerapu. Lampung: Proyek Pengembangan Perekayasaan Teknologi Balai Budidaya Laut Lampung. Tampubolon, G. H. Dan E. Mulyadi, Sinopsis Ikan Kerapu di Perairan
Sumaryam, Kusyairi, S. Oetami, H. Suprapto, G.C.D. Vries. 2010. Kultur Sel Otak dan Mata Ikan Kerapu (Chromileptes altivelis) Untuk Replikasi Viral Nervous Necrosis (VNN), Berita Biologi, 10 (4).
Surachmad, W. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik Edisi Kedelapan. Tarsito. Bandung.
Svobodova, Z. and B. Vyukusova. 1991. Diagnostik, Prevention and Therapy of Fish Disease and Intoxication. Research Institute of fish Culture and Hydrobiology Vodnany Czechoslovakia.
Takashima T, Hibiya T. 1995. An atlas of Fish Histology. Normal and Pathological Features. Tokyo (JP): Kodansha Ltd. 195 hlm.
Tampubolon, G. H. Dan E. Mulyadi. 1989. Sinopsis Ikan Kerapu di Perairan Indonesia, Balitbangkan, Semarang.
Wedemeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical methods for the assessment of effect on environmental stress on fish health. Technical Papers of the U.S.
Whyte SK. 2007. The innate immune response of finfish-A review of current Wildlife Service 89:1-17.
Yanuhar, U. 2011. The Function of Receptor Protein Humpback Grouper Cromileptes altivelis in Expression and Proliferation of CD4 and CD8 cells in Defence Immunity of Viral Nervous Necrotic Infection. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics, Vol. 1, No. 2.
Yanuhar‚ U. 2010. The role of immunogenic adhesin Vibrio alginolyticus 49 kDa to molecule expression of majorhistocompatibility complex on receptors of Humpback Grouper Cromileptes altivelis. World Academy of Science‚ Engineering and Technology. 43: 968 - 973.
96
LAMPIRAN
No
N. oculata
Alat
Bahan
1. Kultur skala
laboratorium
- Toples 10 L - Aerator set - Pipet volume - Lambu - Plastik penutup
- Starter N. oculata - Air laut - Pupuk Walne - Vitamin - Clorine (Cl2) - Natrium thio sulfat
(Na2S2O3)
2. Perhitungan
kelimpahan sel
- Pipet tetes - Washing bottle - Haemocytometer - Cover glass - Mikroskop binokuler - handcounter - Kamera
- Air sampel - Aquades - Tissue
Lampiran 1. Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Kultur dan Perhitungan Kelimpahan Sel N. oculata
No Parameter Alat Bahan
1 Darah Ikan Spuit
Ependorf
Stereofoam
Na Sitrat 3,8 %
2 Preparat
Darah Ikan
Mikroskop
Objek Glass
Pipet Tetes
Darah
Methanol
Giemsa
Aquades
Air
3 Sel Darah
Merah
Pipet Eritrosit
Cover Glass
Kamar Hitung
Neubauer
Mikroskop
Darah Ikan
Larutan Giemsa
4 Sel Darah
Putih
Pipet Leukosit
Cover Glass
Haemocytometer
Mikroskop
Darah Ikan
Larutan Turk
97
5 Konsentrasi
Hemoglobin
Hemometer
Pipet Sahli
Darah Ikan
HCL 0,1
6 Nilai
Hematokrit
Microhematokrit centrifuge (Hemofuge Darah)
Darah Ikan
Lilin penyumbat/malam
Lampiran 2. Alat dan Bahan Pengambilan Darah
No
Viral Nervous
Necrosis (VNN)
Alat
Bahan
1. Ekstraksi Viral
Nervous Necrosis
(VNN)
- Mortart dan alu - Gelas ukur 25 ml - Spatula - centrifuge - cuvet - rak cuvet
- Ikan kerapu terinfeksi VNN
- Aquades
Lampiran 3. Alat dan Bahan untuk Ekstraksi Viral Nervous Necrosis (VNN)
No
Perlakuan
Alat
Bahan
1. Aklimatisasi - Akuarium - Aerator set - Plastik penutup
- Ikan kerapu cantang
2. Perlakuan Penelitian - Akuarium - Aerator set
- Ikan kerapu cantang - Ekstraksi VNN - N. oculata - Air laut steril - Kertas label
Lampiran 4. Alat dan Bahan untuk Perlakuan Penelitian
98
No
Parameter Fisika
Alat
Bahan
1. 1. Suhu - DO meter - Air sampel
No
Parameter Kimia
Alat
Bahan
1. Potential of Hydrogen
(pH) - pH meter - Air sampel
2. Dissolved Oxygen
(DO)
- DO meter
- Air sampel
3. Salinitas - Refraktometer
- Air sampel
Lampiran 5. Alat dan Bahan untuk Pengukuran Kualitas Air
A. Treatment Alga
Diketahui: Kepadatan Awal (N1) : 8,9 x 106 (BPBAP Situbondo) Volume yg diinginkan (V2) : 20 L / 20.000 ml Kepadatan yg diinginkan (N2) : 102 ; 104 ; 106
Ditanya: Volume awal: ........? Penyelesaian:
99
Kepadatan 102
N1 x V1 = N2 x V2
V1 = N2 x V2 / N1
V1 = 1 x 102 x 2 x 104 / 8,9 x 106
V1 = 0,22 ml
Kepadatan 106
N1 x V1 = N2 x V2
V1 = N2 x V2 / N1
V1 = 1 x 106 x 2 x 104 / 8,9 x 106
V1 = 2.247,19 ml
V1= 2,247 L
Lampiran 6. Perhitungan Pengkondisian Kepadatan Mikroalga
101
Descriptive Statistics
Dependent Variable: Histopatologi
11.37 .709 3
9.30 2.093 3
10.78 .433 3
8.00 .838 3
9.86 1.713 12
23.13 2.419 3
13.51 .712 3
14.50 2.556 3
14.66 2.376 3
16.45 4.453 12
10.30 1.153 3
8.77 1.582 3
10.66 .652 3
7.71 .137 3
9.36 1.523 12
9.73 .808 3
7.85 3.012 3
9.82 3.143 3
7.62 .315 3
8.76 2.175 12
10.30 1.473 3
9.49 1.825 3
9.32 1.824 3
7.83 .454 3
9.24 1.583 12
13.93 1.818 3
10.69 1.966 3
12.36 2.080 3
10.48 .725 3
11.87 2.078 12
13.10 1.039 3
11.28 1.502 3
11.92 2.251 3
9.60 .590 3
11.47 1.827 12
13.67 1.914 3
9.04 1.377 3
13.58 1.456 3
10.35 .336 3
11.66 2.422 12
13.19 4.334 24
9.99 2.306 24
11.62 2.400 24
9.53 2.429 24
11.08 3.281 96
Alga
SP
DS
CV
NO
Total
SP
DS
CV
NO
Total
SP
DS
CV
NO
Total
SP
DS
CV
NO
Total
SP
DS
CV
NO
Total
SP
DS
CV
NO
Total
SP
DS
CV
NO
Total
SP
DS
CV
NO
Total
SP
DS
CV
NO
Total
Kelompok
K
V
S2
S4
S6
SV2
SV4
SV6
Total
Mean Std. Dev iation N
102
Estimated Marginal Means
Levene's Test of Equality of Error Variancesa
Dependent Variable: Histopatologi
1.468 31 64 .098
F df1 df2 Sig.
Tests the null hypothesis that the error variance of
the dependent variable is equal across groups.
Design: Intercept+KLP+ALG+KLP * ALGa.
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Histopatologi
850.822a 31 27.446 10.225 .000
11790.672 1 11790.672 4392.670 .000
518.424 7 74.061 27.592 .000
200.105 3 66.702 24.850 .000
132.293 21 6.300 2.347 .005
171.787 64 2.684
12813.281 96
1022.609 95
Source
Corrected Model
Intercept
KLP
ALG
KLP * ALG
Error
Total
Corrected Total
Type I II Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .832 (Adjusted R Squared = .751)a.
Grand Mean
Dependent Variable: Histopatologi
11.082 .167 10.748 11.416
Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Conf idence Interv al
103
Post Hoc Tests Kelompok
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Histopatologi
Tukey HSD
-6.59* .669 .000 -8.69 -4.49
.50 .669 .995 -1.60 2.60
1.11 .669 .717 -.99 3.20
.63 .669 .981 -1.47 2.72
-2.01 .669 .070 -4.10 .09
-1.61 .669 .253 -3.71 .48
-1.80 .669 .145 -3.89 .30
6.59* .669 .000 4.49 8.69
7.09* .669 .000 4.99 9.19
7.69* .669 .000 5.60 9.79
7.21* .669 .000 5.12 9.31
4.58* .669 .000 2.49 6.68
4.98* .669 .000 2.88 7.07
4.79* .669 .000 2.70 6.89
-.50 .669 .995 -2.60 1.60
-7.09* .669 .000 -9.19 -4.99
.60 .669 .985 -1.49 2.70
.12 .669 1.000 -1.97 2.22
-2.51* .669 .009 -4.60 -.41
-2.11* .669 .047 -4.21 -.02
-2.30* .669 .022 -4.39 -.20
-1.11 .669 .717 -3.20 .99
-7.69* .669 .000 -9.79 -5.60
-.60 .669 .985 -2.70 1.49
-.48 .669 .996 -2.58 1.62
-3.11* .669 .000 -5.21 -1.02
-2.72* .669 .003 -4.81 -.62
-2.90* .669 .001 -5.00 -.81
-.63 .669 .981 -2.72 1.47
-7.21* .669 .000 -9.31 -5.12
-.12 .669 1.000 -2.22 1.97
.48 .669 .996 -1.62 2.58
-2.63* .669 .005 -4.73 -.54
-2.24* .669 .028 -4.33 -.14
-2.42* .669 .013 -4.52 -.33
2.01 .669 .070 -.09 4.10
-4.58* .669 .000 -6.68 -2.49
2.51* .669 .009 .41 4.60
3.11* .669 .000 1.02 5.21
2.63* .669 .005 .54 4.73
.39 .669 .999 -1.70 2.49
.21 .669 1.000 -1.89 2.30
1.61 .669 .253 -.48 3.71
-4.98* .669 .000 -7.07 -2.88
2.11* .669 .047 .02 4.21
2.72* .669 .003 .62 4.81
2.24* .669 .028 .14 4.33
-.39 .669 .999 -2.49 1.70
-.18 .669 1.000 -2.28 1.91
1.80 .669 .145 -.30 3.89
-4.79* .669 .000 -6.89 -2.70
2.30* .669 .022 .20 4.39
2.90* .669 .001 .81 5.00
2.42* .669 .013 .33 4.52
-.21 .669 1.000 -2.30 1.89
.18 .669 1.000 -1.91 2.28
(J) Kelompok
V
S2
S4
S6
SV2
SV4
SV6
K
S2
S4
S6
SV2
SV4
SV6
K
V
S4
S6
SV2
SV4
SV6
K
V
S2
S6
SV2
SV4
SV6
K
V
S2
S4
SV2
SV4
SV6
K
V
S2
S4
S6
SV4
SV6
K
V
S2
S4
S6
SV2
SV6
K
V
S2
S4
S6
SV2
SV4
(I) Kelompok
K
V
S2
S4
S6
SV2
SV4
SV6
Mean
Difference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Based on observed means.
The mean difference is significant at the .05 level.*.
104
Homogeneous Subsets
Alga
Histopatologi
Tukey HSDa,b
12 8.76
12 9.24
12 9.36
12 9.86 9.86
12 11.47
12 11.66
12 11.87
12 16.45
.717 .070 1.000
Kelompok
S4
S6
S2
K
SV4
SV6
SV2
V
Sig.
N 1 2 3
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2.684.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000.a.
Alpha = .05.b.
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Histopatologi
Tukey HSD
3.20* .473 .000 1.95 4.45
1.57* .473 .008 .33 2.82
3.66* .473 .000 2.41 4.91
-3.20* .473 .000 -4.45 -1.95
-1.63* .473 .006 -2.87 -.38
.46 .473 .765 -.79 1.71
-1.57* .473 .008 -2.82 -.33
1.63* .473 .006 .38 2.87
2.09* .473 .000 .84 3.34
-3.66* .473 .000 -4.91 -2.41
-.46 .473 .765 -1.71 .79
-2.09* .473 .000 -3.34 -.84
(J) AlgaDS
CV
NO
SP
CV
NO
SP
DS
NO
SP
DS
CV
(I) AlgaSP
DS
CV
NO
Mean
Dif f erence
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Conf idence Interval
Based on observ ed means.
The mean dif f erence is signif icant at the .05 level.*.
105
Homogeneous Subsets
Profile Plots
Lampiran 7. Analisis data software SPSS Factorial
Histopatologi
Tukey HSDa,b
24 9.53
24 9.99
24 11.62
24 13.19
.765 1.000 1.000
Alga
NO
DS
CV
SP
Sig.
N 1 2 3
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2.684.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.a.
Alpha = .05.b.
Estimated Marginal Means of Histopatologi
Kelompok
SV6SV4SV2S6S4S2VK
Estim
ate
d M
arg
inal M
eans
30
20
10
0
Alga
SP
DS
CV
NO