perbandingan makronuklei dan mikronuklei ikan kerapu

124
PERBANDINGAN MAKRONUKLEI DAN MIKRONUKLEI IKAN KERAPU CANTANG (Epinephelus sp.) DENGAN TREATMENT Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata TERHADAP INFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN) SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Oleh: WILDAN EFFENDY NIM. 135080100111043 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Upload: khangminh22

Post on 25-Apr-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERBANDINGAN MAKRONUKLEI DAN MIKRONUKLEI IKAN KERAPU CANTANG (Epinephelus sp.) DENGAN TREATMENT Spirulina platensis,

Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata TERHADAP INFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

SKRIPSI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Oleh:

WILDAN EFFENDY

NIM. 135080100111043

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

PERBANDINGAN MAKRONUKLEI DAN MIKRONUKLEI IKAN KERAPU CANTANG (Epinephelus sp.) DENGAN TREATMENT Spirulina platensis,

Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata TERHADAP INFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

SKRIPSI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Brawijaya

Oleh:

WILDAN EFFENDY

NIM. 135080100111043

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

i

ii

Judul : PERBANDINGAN MAKRONUKLEI DAN

MIKRONUKLEI IKAN KERAPU CANTANG (Epinephelus

sp.) DENGAN TREATMENT Spirulina platensis,

Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis

oculata TERHADAP INFEKSI VIRAL NERVOUS

NECROSIS (VNN)

Nama Mahasiswa : Wildan Effendy

NIM : 135080100111043

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

PENGUJI PEMBIMBING:

Pembimbing 1 : Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si

Pembimbing 2 : Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS

PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:

Dosen Penguji 1 : Prof. Dr. Ir. Endang Yuli H., MS

Dosen Penguji 2 : Ir. Putut Widjanarko, MP

Tanggal Ujian : 19 APRIL 2018

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam usulan skripsi dengan judul

“Perbandingan Makronuklei dan Mirkonuklei Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus

sp.) dengan Treatment Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris,

Nannochloropsis oculata terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN)” yang

saya tulis benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis

atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil

penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Malang, 19 April 2018

Mahasiswa

Wildan Effendy

NIM. 135080100111043

iv

UCAPAN TERIMAKASIH

Yang Telah Membiayai : Skema Penelitian BOPTN Unggulan Perguruan Tinggi Nomor :

063/SP2H/LT/DRPM/IV/2017, Tanggal 6 April 2017

Dengan Judul : “Produksi Dan Pengembangan Produk Antiviral Berbasis Peridinin Chloropyll Cell Pigmen (PCP) Spesies Penting Mikroalga Laut Untuk Komoditas Unggulan Ikan

Ekspor”

Sebagai Ketua Peneliti Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si.

Anggota Tim Penelitian Sebagai Berikut:

1. Akbar Nugraha 13. Yosef Benny Alta

2. Irsyadul Fajri 14. Yuni Septiyani

3. Syamsul Rizal 15. Aji Sanjaya

4. Shabrina Andrawini 16. Fariz Nur Yahya

5. Yunda Deliza 17. Elsa Novan Alfiyanto

6. Mimin Wirawati 18. Dewi Mangshuroh

7. Faisal Nur Fachrudin 19. Amanda Agustina

8. M. Rizky Mustaqim 20. Ahmad Arief Fathoni

9. Gus Aryadi 21. Farouq Syahrondhi M.

10. Linda Ayu Pratiwi

11. Leny Rosiana

12. Wildan Effendy

Ketua Peneliti,

(Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si)

NIP. 19730404 200212 2 001

v

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

berkontribusi dalam penulisan laporan skripsi sehingga dapat terselesaikan

dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang telah memberi nikmat sehat dan

kebaikan lainnya sehingga mampu mengerjakan laporan skripsi hingga

selesai.

2. Ayah, Ibu, Adik serta keluarga besar yang selalu mendoakan dan turut serta

memberikan semangat yang tiada hentinya.

3. Dosen Pembimbing Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si dan Dr. Ir. Mohammad

Mahmudi, MS yang juga telah memberikan arahan serta bimbingan dalam

pelaksanaan dan penulisan laporan Skripsi ini.

4. Teman-teman “Tim 17” di bawah bimbingan Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si yang

sudah bersama-sama melaksanakan penelitian skripsi.

5. Sahabat saya yang telah menyemangati dari semester 1 sampai akhir

Shabrina dan akbar

6. Teman-teman Kendalsari Supri, Ans, Rapoy, Kidut, Zaky, Ari yang selalu

memberikan arahan dan motivasi dalam menghambat dan mempercepat

pengerjaan laporan skripsi

7. Teman-teman Rija, Itok, Faisal, Bagus, Ikrima, Manda, Desy yang menemani

saya pada saat semester semester akhir

8. Devina Talitha yang telah menyemangati saya

9. Teman-teman angkatan MSP 2013 yang mendukung jasmani dan rohani

Malang, 20 April 2018

Penulis

vi

RINGKASAN

Wildan Effendy. Perbandingan Makronuklei dan Mikronuklei Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus sp.) dengan Treatment Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) (Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, MS dan Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS).

Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi perikanan melalui perluasan lahan perikanan dengan memanfaatkan perairan umum adalah budidaya ikan di perairan umum. Kegiatan budidaya didunia perikanan telah mengalami perkembangan yang cukup tinggi salah satu subsektor dari kegiatan budidaya perikanan yaitu budidaya ikan laut yang kini cukup banyak diminati oleh nelayan karena kegiatan penangkapan mulai mengalami penurunan hasil dalam beberapa tahun terakhir.Air sebagai media tempat hidup organisme akuatik harus memenuhi persyaratan kuantitas (jumlah) dan kualitas (mutu). Tetapi akhir-akhir ini terdapat permasalahan pada kegiatan budidaya, kematian ikan yang disebabkan oleh virus Viral Nervous Necrosis (VNN). Salah satu penyakit yang telah dilaporkan oleh peneliti adalah viral nervous necrosis (VNN) yang dapat menyebabkan kematian massal pada ikan kerapu. Ketersediaan fitoplankton sangat dibutuhkan terutama pada usaha pembenihan udang dan ikan. Disamping sebagai sumber protein, karbohidrat dan lemak, pakan alami terutama mikroalga merupakan sumber utama asam lemak esensial Uji mikronuklei digunakan untuk mendeteksi genotoksik di dalam perairan dengan cara uji sampel pada sel darah merah (eritrosit) ikan. Semakin tinggi jumlah mikronuklei maka semakin tinggi pencemaran yang ada diperairan tersebut begitu pula sebaliknya semakin rendah jumlah mikronuklei pada ikan maka tingkat pencemaran pada perairan tersebut juga rendah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan kualitas makronuklei dan mikronuklei pada ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.) yang terinfeksi Viral Nerveous Necrosis (VNN) di bak pemeliharaan dengan pemberian Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis oculata.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis infeksi Viral Nerveous Necrosis (VNN) pada ikan kerapu dengan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction), analisis histopatologi organ ikan kerapu untuk mengetahui Mikronuklei dan Makronuklei, dan analisis data kualitas air dilakukan dengan membandingkan data kualitas air yang diteliti dengan nilai optimal parameter kualitas air untuk budidaya ikan kerapu.

Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan jumlah mikronuklei pada perlakuan S. platensis 13,1-13,9/100sel, perlakuan D. Salina 11,0-18,0/1000sel, perlakuan C. vulgaris 12,01-13,58/1000sel, perlakuan N. oculata 9,6-10,4/1000sel. Pemberian perlakuan dosis mikroalga yang berbeda antara 102,104,106 menunjukkan hasil yang paling baik terdapat pada dosis 104. Sedangkan Mikroalga yang paling baik pada S. platensis karena kandungan nutrisi yang lebih banyak di bandingkan mikroalga yang lain. Mikroalga yang di konsumsi ikan yang mengandung kandungan nutrisi ikan dapat meningkatkan daya tahan tubuh ikan yang terserang penyakit.

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, dan tidak

lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw

sehingga saya dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul

“Perbandingan Makronuklei dan Mikronuklei Ikan Kerapu Cantang

(Epinephelus sp.) dengan Treatment Spirulina platensis, Dunaliella salina,

Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata terhadap Infeksi Viral Nervous

Necrosis (VNN)”. Laporan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

meraih gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Brawijaya.

Penulis mengucapkan terimaksih kepada semua pihak yang telah membantu

dalam proses penyelesaian laporan skripsi. Penulis menyadari bahwa laporan

skripsi ini masih banyaknya kekurangan dikarenakan keterbatasan dari penulis,

sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi

kesempurnaan laporan skripsi ini. Amin.

Malang, 30 Maret 2017

Wildan Effendy

viii

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................... v RINGKASAN ...................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv 1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4 1.3 Tujuan ................................................................................................................. 5 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 5 1.5 Tempat dan Waktu ............................................................................................. 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 6

2.1 Taksonomi dan morfologi Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus sp.) ..................... 6 2.2 Ekologi Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus sp.) .................................................. 8 2.3 Parameter Kualitas Air Ikan Kerapu .................................................................... 8

2.3.1 Suhu ............................................................................................................ 8 2.3.2 Salinitas ....................................................................................................... 9 2.3.3 Oksigen Terlarut (DO) ................................................................................. 9 2.3.4 pH ................................................................................................................ 9

2.4 Sistem pertahanan tubuh ikan ............................................................................ 9 2.4.1 Sistem Pertahanan Non Spesifik ............................................................... 10 2.4.2 Sistem Pertahanan Spesifik ....................................................................... 11

2.5 Imunostimulan .................................................................................................. 12 2.6 Hematologi Darah ikan ..................................................................................... 12

2.6.1 Mikronuklei ............................................................................................... 13 2.6.2 Makronuklei .............................................................................................. 15

2.7 Viral Nervous Necrosis (VNN) ........................................................................... 15 2.7.1 Gejala dan patogenitas Viral Nervous Necrosis (VNN) ............................. 16

2.8 Mikroalga Spirulina platensis ............................................................................ 17 2.9 Mikroalga Dunaliellaa salina ............................................................................. 18 2.10 Mikroalga Chlorella vulgaris .............................................................................. 20 2.11 Mikroalga Nannochloropsis oculata ................................................................. 21 2.12 Kandungan Gizi Mikroalga ................................................................................ 22

3. MATERI DAN METODE PENELITIAN ....................................................... 25

3.1 Materi penelitian .............................................................................................. 25 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................. 25

ix

3.3 Metode penelitian ............................................................................................ 25 3.4 Sumber Data ..................................................................................................... 26 3.5 Teknik Pengambilan Data ................................................................................. 27

3.5.1 Survey ........................................................................................................ 27 3.5.2 Observasi ................................................................................................... 27 3.5.3 eksperimen................................................................................................ 27

3.6 Prosedur Penelitian ........................................................................................... 28 3.6.1 Kultur Mikroalga ....................................................................................... 28 3.6.2 Aklimatisasi ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.) ................................. 28

3.7 Pemberian perlakuan Mikroalga ....................................................................... 29 3.8 Metode Pengambilan Darah Ikan (Svobodova dan Vyukusova 1991) .............. 30 3.9 Metode Pengamatan Sel Darah Ikan (Bijanti, 2005) ......................................... 31 3.10 Pengukuran Total Eritrosit ................................................................................ 32 3.11 Pengukuran Total Leukosit ................................................................................ 32 3.12 Pengukuran Kadar Hematokrit ......................................................................... 33 3.13 Metode Pengamatan Mikronuklei Pada Sel Darah Ikan. .................................. 33 3.14 Metode Pengamatan Makronuklei pada ikan .................................................. 33 3.15 Pengamatan Kualitas Air ................................................................................... 34

3.15.1 Suhu .......................................................................................................... 34 3.15.2 Salinitas ..................................................................................................... 34 3.15.3 Derajat Keasaman (pH) ............................................................................. 35 3.15.4 Disolved Oxygen (DO) / Oksigen Terlarut ................................................. 35

3.16 Analisis Data ...................................................................................................... 35 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 37

4.1 Treatment Mikroalga ........................................................................................ 37 4.2 Status Hematologi Ikan Perlakuan Spirulina platensis ...................................... 37

4.2.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) Perlakuan Spirulina platensis ............ 37 4.2.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Perlakuan Spirulina platensis ............. 39 4.2.3 Jumlah Hemoglobin Perlakuan Spirulina platensis ................................... 41 4.2.4 Jumlah Nilai Hematokrit Perlakuan Spirulina platensis ............................ 42 4.2.5 Kualitas Makronuklei Perlakuan Spirulina platensis ................................. 43 4.2.6 Kualitas Mikronuklei Ikan Perlakuan Spirulina platensis .......................... 45

4.3 Status Hematologi Ikan Perlakuan Dunaliella salina ........................................ 47 4.3.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) Perlakuan Dunaliella salina .............. 47 4.3.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Perlakuan Dunaliella salina ................ 49 4.3.3 Jumlah Hemoglobin Perlakuan Dunaliella salina ...................................... 50 4.3.4 Jumlah Nilai Hematokrit Perlakuan Dunaliella salina ............................... 51 4.3.5 Kualitas Makronuklei Ikan Perlakuan Dunaliella salina ............................ 53 4.3.6 Kualitas Mikronuklei Ikan Perlakuan Dunaliella salina ............................. 54

4.4 Status Hematologi Ikan Perlakuan Chlorella vulgaris ....................................... 56 4.4.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) ........................................................... 56 4.4.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) ............................................................. 57 4.4.3 Jumlah Hemoglobin .................................................................................. 59 4.4.4 Jumlah Nilai Hematokrit ............................................................................ 60 4.4.5 Kualitas Makronuklei Ikan ......................................................................... 61 4.4.6 Kualitas Mikronuklei Ikan .......................................................................... 63

4.5 Status Hematologi Ikan Nannochloropsis oculata ............................................ 64 4.5.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) ........................................................... 64 4.5.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) ............................................................. 66

x

4.5.3 Jumlah Hemoglobin .................................................................................. 67 4.5.4 Jumlah Nilai Hematokrit ............................................................................ 68 4.5.5 Kualitas Makronuklei Ikan ......................................................................... 69 4.5.6 Kualitas Mikronuklei Ikan .......................................................................... 71

4.6 Analisa Kualitas Air ............................................................................................ 72 4.6.1 Suhu .......................................................................................................... 72 4.6.2 Salinitas ..................................................................................................... 76 4.6.3 Derajat Keasaman (pH) ............................................................................. 80 4.6.4 Oksigen Terlarut (DO) ............................................................................... 84

4.7 Analisis Data ...................................................................................................... 88 5. PENUTUP .................................................................................................. 91

5.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 91 5.2 Saran ................................................................................................................. 91

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 92 LAMPIRAN ........................................................................................................ 96

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ikan kerapu cantang (Google Image, 2017) ....................................... 7

Gambar 2. Spirulina platensis (Google image, 2017) ........................................ 18

Gambar 3. Dunaliella salina (Google Image, 2017) ........................................... 19

Gambar 4. Chlorella vulgaris (Google Image, 2017) .......................................... 21

Gambar 5. Nannochloropsis oculata (Google Image, 2017) .............................. 22

Gambar 6. Kandungan nutrisi Spirulina platensis .............................................. 23

Gambar 7. Jumlah nutrisi mikroalga Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan

Nannochloropsis oculata .................................................................................... 24

Gambar 8. Jumlah eritrosit perlakuan Spirulina platensis .................................. 38

Gambar 9. Sel eritrosit perlakuan Spirulina platensis ........................................ 38

Gambar 10. Jumlah sel leukosit perlakuan Spirulina platensis .......................... 40

Gambar 11. Sel leukosit perlakuan Spirulina platensis ...................................... 40

Gambar 12. Jumlah total hemoglobin perlakuan Spirulina platensis .................. 42

Gambar 13. Jumlah total hematokrit perlakuan Spirulina platensis ................... 43

Gambar 14. Jumlah total makronuklei perlakuan Spirulina platensis ................. 44

Gambar 15. Sel makronuklei perlakuan Spirulina platensis ............................... 45

Gambar 16. Jumlah total mikronuklei perlakuan Spirulina platensis .................. 46

Gambar 17. Sel mikronuklei perlakuan Spirulina platensis ................................ 46

Gambar 18. Jumlah eritrosit perlakuan Dunaliella salina ................................... 48

Gambar 19. Sel eritrosit perlakuan Dunaliella salina ......................................... 48

Gambar 20. Jumlah sel leukosit perlakuan Dunaliella salina ............................. 50

Gambar 21. Sel leukosit perlakuan Dunaliella salina ......................................... 50

Gambar 22. Jumlah total hemoglobin perlakuan Dunaliella salina ..................... 51

Gambar 23. Jumlah total hematokrit perlakuan Dunaliella salina ...................... 52

Gambar 24. Jumlah total makronuklei perlakuan Dunaliella salina .................... 54

xii

Gambar 25. Sel makronuklei perlakuan Dunaliella salina .................................. 54

Gambar 26. Jumlah total mikronuklei perlakuan Dunaliella salina ..................... 55

Gambar 27. Sel mikronuklei pada perlakuan Dunaliella salina .......................... 55

Gambar 28. Jumlah sel eritrosit perlakuan Chlorella vulgaris ............................ 57

Gambar 29. Sel eritrosit perlakuan Chlorella vulgaris ........................................ 57

Gambar 30. Jumlah sel leukosit perlakuan Chlorella vulgaris ............................ 59

Gambar 31. Sel leukosit perlakuan Chlorella vulgaris ....................................... 59

Gambar 32. Jumlah total hemoglobin perlakuan Chlorella vulgaris ................... 60

Gambar 33. Jumlah total hematokrit perlakuan Chlorella vulgaris ..................... 61

Gambar 34. Jumlah total makronuklei perlakuan Chlorella vulgaris................... 62

Gambar 35. Sel makronuklei perlakuan Chlorella vulgaris ................................ 63

Gambar 36. Jumlah total mikronuklei perlakuan Chlorella vulgaris .................... 64

Gambar 37. Sel mikronuklei perlakuan Chlorella vulgaris .................................. 64

Gambar 38. Jumlah sel eritrosit perlakuan Nannochloropsis oculata ................. 65

Gambar 39. Sel eritrosit perlakuan Nannochloropsis oculata ............................ 66

Gambar 40. Jumlah sel leukosit perlakuan Nannochloropsis oculata ................ 67

Gambar 41. Sel leukosit perlakuan Nannochloropsis oculata ............................ 67

Gambar 42. Jumlah total hemoglobin perlakuan Nannochloropsis oculata ........ 68

Gambar 43. Jumlah total hematokrit perlakuan Nannochloropsis ocuata .......... 69

Gambar 44. Jumlah total makronuklei perlakuan Nannochloropsis oculata ....... 70

Gambar 45. Sel makronuklei perlakuan Nannochloropsis oculata ..................... 70

Gambar 46. Jumlah total mikronuklei perlakuan Nannochloropsis oculata ........ 71

Gambar 47. Sel mikronuklei perlakuan Nannochloropsis oculata ...................... 72

Gambar 48. Grafik suhu perlakuan Spirulina platensis ...................................... 73

Gambar 49. Grafik suhu perlakuan Dunaliella salina ......................................... 74

Gambar 50. Grafik suhu perlakuan Chlorella vulgaris ....................................... 75

Gambar 51. Grafik suhu perlakuan Nannochloropsis oculata ............................ 76

xiii

Gambar 52. Grafik salinitas perlakuan Spirulina platensis ................................. 77

Gambar 53. Grafik salinitas perlakuan Dunaliella salina .................................... 78

Gambar 54. Grafik salinitas perlakuan Chlorella vulgaris .................................. 79

Gambar 55. Grafik salinitas perlakuan Nannochloropsis oculata ....................... 80

Gambar 56. Grafik pH perlakuan Spirulina platensis ......................................... 81

Gambar 57. Grafik pH perlakuan Dunaliella salina ............................................ 82

Gambar 58. Grafik pH perlakuan Chlorella vulgaris ........................................... 83

Gambar 59. Grafik pH perlakuan Nannochloropsis oculata ............................... 84

Gambar 60. Grafik DO perlakuan Spirulina platensis ........................................ 85

Gambar 61. Grafik DO perlakuan Dunaliella salina ........................................... 86

Gambar 62. Grafik DO pengamatan Chlorella vulgaris ...................................... 87

Gambar 63. Grafik DO perlakuan Nannochloropsis oculata .............................. 88

Gambar 64. Hasil uji BNT .................................................................................. 90

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rancangan penelitian .......................................................................... 30

Tabel 2. Analisis ANOVA ................................................................................... 89

Tabel 3. Analisis hasil BNT ................................................................................ 89

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Kultur dan Perhitungan

Kelimpahan Sel N. oculata ................................................................................. 96

Lampiran 2. Alat dan Bahan Pengambilan Darah ............................................. 97

Lampiran 3. Alat dan Bahan untuk Ekstraksi Viral Nervous Necrosis (VNN) ..... 97

Lampiran 4. Alat dan Bahan untuk Perlakuan Penelitian .................................. 97

Lampiran 5. Alat dan Bahan untuk Pengukuran Kualitas Air ............................. 98

Lampiran 6. Perhitungan Pengkondisian Kepadatan Mikroalga ........................ 99

Lampiran 7. Analisis data software SPSS Factorial ........................................ 105

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian .............................................................. 107

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi perikanan melalui

perluasan lahan perikanan dengan memanfaatkan perairan umum adalah

budidaya ikan di perairan umum. Kegiatan budidaya didunia perikanan telah

mengalami perkembangan yang cukup tinggi salah satu subsektor dari kegiatan

budidaya perikanan yaitu budidaya ikan laut yang kini cukup banyak diminati oleh

nelayan karena kegiatan penangkapan mulai mengalami penurunan hasil dalam

beberapa tahun terakhir. Ada beberapa komoditas yang sudah dapat

dibudidayakan dan dikembangkan dibeberapa tempat di Indonesia antara lain:

rumput laut, ikan bandeng, kakap, baronang, dan ikan kerapu. Ikan kerapu

mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan bagi usaha marikultur, karena

pertumbuhannya cepat dan dapat diproduksi secara massal untuk melayani

permintaan pasar ikan kerapu dalam keadaan hidup (Paruntu, 2015).

Ikan kerapu termasuk ikan perairan tropis dengan suhu pemeliharaan

optimal 20-30 oC mampu hidup pada air payau dan laut. Indonesia adalah

Negara produsen kerapu terbesar didunia. Berdasarkan data Departemen

Kelautan dan Perikanan, produksi ikan kerapu Indonesia pada tahun 2004

sebanyak 6.552 ton sedangkan pada tahun 2006 diperkirakan mencapai 12 ribu

ton dan pada 2009 diproyeksikan naik menjadi 30 ribu ton (Sumaryam et al.,

2011). Jenis-jenis ikan kerapu tersebut diantaranya adalah ikan kerapu lumpur,

ikan kerapu macan, ikan kerapu malabar, ikan kerapu sunu, dan ikan kerapu

totol. Wilayah penyebaran ikan kerapu meliputi daerah tropik dan sub tropik

(Randall dan Ben-Tuvia, 1983 dalam paruntu 2015). Salah satu cara untuk

2

mendapatkan panen ikan kerapu yang banyak dalam jangka waktu singkat

adalah memakai teknik budidaya intensif dengan padat tebar tinggi.

Salah satu faktor penting dalam manajemen budidaya adalah

pengelolaan kualitas air sebagai media hidup organisme akuatik. Air sebagai

media tempat hidup organisme akuatik harus memenuhi persyaratan kuantitas

(jumlah) dan kualitas (mutu). Suplai air yang cukup belum mampu menjamin

keberhasilan panen bila pengelolaan kualitas air selama pemeliharaan tidak

memadai. Kualitas air sangat dipengaruhi oleh mutu air sumber, kondisi dasar

media pemeliharaan, manajemen pakan, dan cuaca. Parameter kualitas air yang

dimaksud yaitu parameter fisika, kimia, dan biologi. Parameter fisika yaitu suhu

dan kecerahan, parameter kimia diantaranya yaitu pH, oksigen terlarut, amonia,

BOD5, COD, dan CO2. Intensifikasi budidaya perikanan melalui penggunaan

padat penebaran dan laju pemberian pakan yang tinggi dapat menimbulkan

masalah kualitas air yang berat. Sisa pakan, kotoran organisme budidaya,

organisme dan plankton yang mati serta material organik berupa padatan

tersuspensi maupun terlarut yang terangkut melalui pemasukan sumber air

(inflow water) merupakan sumber bahan organik pada media pemeliharaan. Input

bahan organik ini semakin bertambah seiring dengan aktivitas budidaya karena

kebutuhan pakan organisme akuatik mengikuti pertumbuhan biomassanya

(Boyd, 1990). Tetapi akhir-akhir ini terdapat permasalahan pada kegiatan

budidaya, kematian ikan yang disebabkan oleh virus Viral Nervous Necrosis

(VNN). Salah satu penyakit yang telah dilaporkan oleh peneliti adalah viral

nervous necrosis (VNN) yang dapat menyebabkan kematian massal pada ikan

kerapu (Sunaryanto 2001 dalam Lestari dan Sudaryatma, 2014). Di Indonesia

dilaporkan bahwa Viral Nervous Necrosis (VNN) telah menyerang sebagian

besar budidaya ikan kerapu dengan tingkat kematian 100%. Penyakit VNN

merupakan masalah serius pada budidaya ikan laut karena dapat menyebabkan

3

kematian 50-100% pada larva umur 10-20 hari (Koesharyani et al., 1999 dalam

Sudaryatma dan Lestari, 2014).

Ikan yang terinfeksi VNN menurut secara histopatologi memperlihatkan

keadaan gangguan saraf dengan terbentuknya vakuolisasi pada otak dan retina.

Gambaran infeksi virus di dalam sel maupun jaringan dapat mendeskripsikan

secara spesifik adanya perubahan suatu gejala serta fungsi sel dan jaringan

maupun sejauh mana virulensi virus berpengaruh terhadap tubuh inangnya,

sehingga dapat dilakukan pemetaan distribusi pathognomik virulensi VNN pada

inang (Prihartini, 2016). Gejala klinis yang tampak pada ikan kakap yang

terinfeksi VNN yaitu ikan tampak lesu, berenang berputar dengan perut di

permukaan dan sering muncul ke permukaan dengan berenang secara vertikal

(Sudaryatma et al., 2012). Menurut Uribe et al., (2011) dalam Arsal (2014),

Adanya infeksi akan ditanggapi oleh sistem imun dengan mengaktifkan

kekebalan tubuh bawaan (non-spesifik) yang merupakan pertahanan dasar

pertama yang aktif ketika terjadi infeksi baik viral maupun bakterial. Pada ikan,

respons imun bawaan memiliki peranan yang sangat penting dalam hal

pertahanan menghadapi invasi patogen.

Mikronuklei adalah gambaran fragmen kromosom atau bagian dari

kromosom yang tidak dapat bergabung dengan nucleus (inti) pada saat terjadi

pembelahan sel. Pengujian mikronuklei akan digunakan sebagai indicator

penyerapan dosis atau kerusakan kromosom maka pengamatan mikronuklei

harus berpatokan pada sel yang telah mengalami pembelahan inti (Lusiyanti et

al., 1996). Menurut Ozkan et al., (2011), uji mikronuklei digunakan untuk

mendeteksi genotoksik di dalam perairan dengan cara uji sampel pada sel darah

merah (eritrosit) ikan. Semakin tinggi jumlah mikronuklei maka semakin tinggi

pencemaran yang ada diperairan tersebut begitu pula sebaliknya semakin

rendah jumlah mikronuklei pada ikan maka tingkat pencemran pada perairan

4

tersebut juga rendah Fitoplankton dalam dunia perikanan mempunyai peranan

sangat penting karena merupakan mata rantai siklus makanan pada lingkungan

akuatik.

Ketersediaan fitoplankton sangat dibutuhkan terutama pada usaha

pembenihan udang dan ikan (Mahmud et al., 2012). Disamping sebagai sumber

protein, karbohidrat dan lemak, pakan alami terutama mikroalga merupakan

sumber utama asam lemak esensial (Renaud et al., 1999 dalam Mahmud et al.,

2012) salah satu alganya adalah Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella

vulgaris, dan Nannochloropsis oculata. Pentingnya mikroalga dalam rantai

makanan perairan membuat sebagian mikroalga dijadikan sebagai faktor penting

dalam pertumbuhan beberapa organisme akuatik.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan kualitas

makronuklei dan mikronuklei pada ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.) yang

terinfeksi Viral Nerveous Necrosis (VNN) di bak pemeliharaan dengan pemberian

Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis

oculata.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah penelitian

bagaimana perbandingan hasil uji kualitas makronuklei dan uji mikronuklei sel

darah ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.) yang terinfeksi Viral Nervous

Necrosis dengan Treatment Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella

vulgaris, dan Nannochloropsis oculata pada kolam pemeliharaan dengan di

BPBAP Situbondo?

5

1.3 Tujuan

Adapun Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan

kualitas makronuklei dan uji mikronuklei sel darah ikan kerapu cantang

(Epinephelus sp.) yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis dengan Treatment

Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis

oculata pada bak pemeliharaan dengan di BPBAP Situbondo.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Sebagai bahan informasi untuk kegiatan budidaya ikan kerapu cantang

dalam memahami penyakit yang disebabkan oleh VNN.

2. Mencegah dan membatasi penularan penyakit oleh VNN pada budidaya

ikan kerapu cantang.

1.5 Tempat dan Waktu

Kegiatan penelitian skripsi ini dilaksanakan pada tanggal Juni – Juli 2017

yang berlokasi di Laboratorium Lingkungan dan Bioteknologi Perairan Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Laboratorium Biosains

Universitas Brawijaya dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya.

6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi dan morfologi Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus sp.)

Ikan kerapu cantang merupakan ikan jenis baru yang didapatkan dari

persilangan hibridasi antara ikan kerapu macan dan ikan kerapu kertang yang

telah menghasilkan satu varietas baru yang secara morfologis mirip dengan

kedua spesies induknya. Menurut Heemstradan dan Randall (1993) ikan kerapu

macan (Epinephelus fuscoguttatus) diklasifikasikan sebagai berikut :

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Osteichtyes

Sub kelas : Actinopterigi

Ordo : Percomorphi

Sub Ordo : Percoidea

Famili : Serranidae

Genus : Cromileptes

Spesies : Cromileptes altivelis

7

Sedangkan pada klasifikasi ikan kerapu kertang (Epinephelus

lanceolatus) adalah sebagai berikut :

Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Sub ordo : Percoidea

Divisi : Perciformis

Famili : Serranidea

Sub family : Epinephelinea

Genus :Epinephelus

Spesies :Epinephelus lanceolatus

Gambar 1. Ikan kerapu cantang (Google Image, 2017)

Berdasarkan morfologinya, ikan kerapu cantang memiliki bentuk

tubuh compres dan relative membulat dengan ukuran lebar kepala sedikit atau

hampir sama dengan lebar badannya. Warna kulit coklat kehitaman dengan 5

garis hitam melintang di bagian tubuhnya. Semua sirip (pectoral, anal, ventral,

dorsal dan caudal ) bercorak seperti kertang dengan dasar berwarna kuning

dilengkapi dengan bintik-bintik hitam. Bintik hitam banyak tersebar di kepala dan

didekat sirip pectoral dengan jumlah yang berlainan pada setiap individuSirip

punggung semakin melebar kearah belakang. Sirip punggung menyatu yang

8

terdiri atas 11 jari-jari keras dan 15 jari-jari lunak, sirip pectoral terdiri atas 17 jari-

jari lunak, sirip ventral terdiri dari 1 jari-jari keras dan 5 jari-jari lunak, sirip anal

terdiri dari 2 jari-jari keras dan 8 jari-jari lunak, sedangkan sirip caudal terdiri atas

13 jari-jari lunak. Bentuk ekor rounded Bentuk mulut lebar, superior (bibir bawah

lebih panjang dari bibir atas). Tipe sisik stenoid (bergerigi). Bentuk gigi runcing

(canine). Panjang ikan 48 cm. Panjang usus 63 cm (BPBAP Situbondo).

2.2 Ekologi Ikan Kerapu Cantang (Epinephelus sp.)

Ikan kerapu merupakan ikan asli air laut yang hidup di berbagai habitat,

tergantung pada jenisnya. Ada yang hidup di terumbu karang, di perairan

berlumpur, di perairan hutan mangrove atau bahkan jenis kerapu tertentu yang

mampu hidup di air tawar (Ghufron dan Kordi, 2001). Ikan kerapu merupakan

ikan demersal yang bersifat nocturnal (aktif pada malam hari). Habitatnya

alaminya adalah perairan laut dengan dasar terumbu karang, kedalaman antara

40 meter samapi dengan 60 meter atau daerah dangkal berbatu koral. Ikan-ikan

muda biasanya hidup pada kedalama 0,5 meter sampai 3 meter (Rahwanto et

al., 2016).

Ikan kerapu merupakan ikan yang dapat bertahan hidup pada rentang

salinitas dari 15-45 ppt. Ikan kerapu juga dapat bertahan hidup pada pencucian

dengan air tawar selama 19 menit. Suhu optimal media pemeliharaannya adalah

22-28oC. Jika suhu turun sampai 15oC, maka ikan tidak mau makan (Sudjiharno,

2004).

2.3 Parameter Kualitas Air Ikan Kerapu

2.3.1 Suhu

Suhu merupakan parameter utama bagi pertumbuhan ikan, karena suhu

dapat mempengaruhi kelangsungan hidup ikan, suhu yang cocok bagi

pertumbuhan ikan yaitu antara 24-31oc. Amirudin et al., (2011), Menyataka suhu

9

air yang cocok untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan kerapu cantang

adalah suhu 27-29oC.

2.3.2 Salinitas

Salinitas merupakan faktor penting bagi kehidupan metabolisme ikan.

Apabila ikan kerapu hidup pada salinitas yang tidak sesuai dengan

kebutuhannya,secara fisiologis fungsi organ osmoregulasi ikan akan terganggu.

Ikan dewasa yang sudah matang gonad dan memijah membutuhkan salinitas 30-

35 ppt (Sudjiharno, 2004).

2.3.3 Oksigen Terlarut (DO)

Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut di dalam suatu perairan

sangat dibutuhkan oleh ikan dan organisme lainnya untuk hidup. Konsentrasi

oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan dan konversi pakan serta

dapat mengurangi daya dukung perairan. Nilai DO suatu perairan yang baik

untuk budidaya kerapu adalah lebih besar dari 6 ppm (Akbar, 2001).

2.3.4 pH

Derajat keasaman (pH) dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam

menentukan kondisi suatu perairan. Kondisi pH netral sampai sedikit basa sangat

ideal bagi kehidupan ikan air laut. Suatu perairan yang ber-pH rendah dapat

mengakibatkan aktivitas pertumbuhan menurun atau pergerakan ikan menjadi

lemah, ikan lebih mudah terinfeksi penyakit serta diikuti dengan tingginya tingkat

kematian (Akbar, 2001). ). Menurut Qodri et al., (1999), parameter-parameter

ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pH antara 6,5-9.

2.4 Sistem pertahanan tubuh ikan

Sistem pertahanan tubuh pada ikan dipengaruhi oleh kondisi anatomis,

fisiologis, spesies, umur, berat badan dan lingkungan luar sehingga

10

memungkinkan adanya tingkatan yang berbeda (Schaperlclaus, 1992), Sistem

pertahanan tubuh ikan terdiri dari 2 macam, yaitu system pertahanan non spesifik

dan spesifik (Davies, 1997).

Sistem pertahanan pada ikan melindungi ikan melawan penyakit. Sistem

pertahanan non spesifik dan spesifik dapat didiagnosa menggunakan sampel

darah ikan hidup. Sama dengan hewan lainnya, ikan memiliki mekanisme

respons pertahanan non spesifik dan spesifik, yang mudah terhadap peningkatan

kekebalan melalui pengaruh lingkungan dan stresor (Anderson dan Siwicki

1995).

2.4.1 Sistem Pertahanan Non Spesifik

Pertahana non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan

mengahadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat

memberikan respon langsung terhadapa antigen. Disebut system pertahanan

non spesifik, karean tidak ditunjukan terhadap mikroorganisme tertentu dan telah

ada sejak lahir (Satyatini, 2013).

Menurut Whyte (2007), Peranan utama system imun alami (imun non

spesifik) adalah sebagai pertahanan pertama iniang dari serangan organism

patogen dan beberapa bahan asing sampai system imun adaptif (imun spesifik)

muncul dan mengambil alih fungsi tersebut.

Beberapa tipe sel darah putih (Leukosit) terlibat dalam pertahanan seluler

ikan yaitu monosit/makrofag, granulosit dan sel-sel sitotoksi nonspesifik. sel-sel

sitotoksik non spesifik pada ikan sama fungsinya dengan sel NK. makrofag dan

granulosit adalah sel-sel fagosit yang banyak ditemukan dalam darah dan

jaringan limfoid sekunder dan sangat penting dalam inflamasi (Secombes, 1996).

Sistem pertahanan nonspesifik menggunakan mekanisme efektor seluler

berupa aktivitas fagositosis yang melibatkan sel-sel organ dan sel moil. Sel-sel

11

organ meliputi sel jaringan penghubung (Fibrioblast), jaringan limfoid dan saluran

pencernaan, sel reticuloandoyhelial, sel dinding kapiler, dan jaringan monosit. Sel

motil terdiri atas makrofag, leukosit nongranular (monosit dan limfosit), dan

leukosit granular (neutrofil, eusinofil, dan basofil) (Ingram, 1980 dan

Schaperclaus, 1992).

2.4.2 Sistem Pertahanan Spesifik

Sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenali

antigen terlebih dahulu namun sangat spesifik terhadap jenis patogen tertentu

dan mampu membentuk memori spesifik antigen. Kedua sistem tersebut bekerja

sama untuk mendeteksi beberapa antigen (virus‚ bakteri‚ fungi ataupun parasit)

yang masuk ke dalam tubuh inang dan selanjutnya akan menghancurkan serta

memusnahkannya dari inang (Yanuhar‚ 2010).

Sistem pertahanan spesifik teridir dari atas dua macam yaitu system

pertahanan seluler atau cell mediated immunity (CMI) dan system pertahanan

homural (produksi antibody) (Ellis, 1988 dalam Noble dan Noble, 1989). Respon

humoral merupakan respon spesifik (respon limfosit) timbul lebih lambat,

sedangkan respon seluler bersifat non spesifik yang meliputi barier mekanik dan

kimiawi (mukus, kulit sisik, dan insang), sel makrofag, leukosit, sel natural killer

(NK) ( Baratawidjaja, 2006). Sistem pertahanan seluler, ikan teleostei memiliki

sel-sel makrofag, neutrofil, sel NK, sel T dan sel B. Ikan teleostei juga memiliki

beberapa macam komponen sistem pertahanan homural seperti: komplemen,

lisozim, hemolisin alami, transferin dan C-reaktif protein (Sakai 1999).

Respon imun terhadap suatu antigen tergantung pada dosis dan cara

pemasukannya kedalam tubuh. Pada umunya, cara pemasukan antigen ke

dalam tubuh dapat langsung melalui kulit, organ pernapasan, saluran

12

pencernaan, atau disuntikan, dan masing-masing cara tersebut dapat

menimbulkan respon imun yang berbeda intensitasnya (subowo,1993).

2.5 Imunostimulan

Imunostimulan merupakan senyawa biologi dan sintesis yang dapat

meningkatkan respon imun non spesifik. Imunostimulan yang telah banyak

dikenal antara lain β-glukan‚ peptidoglikan dan lipopolisakarida (LPS) (Roza et

al.‚ 2006). Imunostimulan dapat diberikan melalui injeksi, bersama pakan (per

oral) dan perendaman (Anderson‚ 1992).

Imunostimulan penting untuk kesehatan sebagai pembangun mekanisme

sistem pertahanan dan perlindungan melawan penyakit. Beberapa

imunostimulan seperti ajuvan, bahan-bahan alami maupun sintetik dan bahan-

bahan biologi telah diuji pada ikan secara in vitro dan in vivo. Beberapa bahan

yang memiliki efek imunostimulator seperti glukan, chitin, lactoferin, levamisole,

vitamin B, vitamin C, hormon pertumbuhan dan prolaktin telah banyak dilaporkan

pada ikan dan udang (Sakai 1999).

Apabila masuk ke dalam tubuh ikan, imunostimulan akan merangsang

makrofag untuk memproduksi interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit

yang kemudian membelah menjadi limfosit-T dan B. Limfosit-T memproduksi

interferon yang meningkatkan kemampuan makrofag sehingga dapat

memfagositosis bakteri, virus dan partikel asing lainnya yang masuk ke dalam

tubuh ikan. Masuknya imunostimulan juga akan merangsang makrofag untuk

memproduksi lisozim dan komplemen. Interleukin juga menggiatkan limfosit-B

untuk memproduksi antibodi (Raa et al., 1992).

2.6 Hematologi Darah ikan

Hematologi merupakan cabang ilmu yang digunakan untuk mempelajari

komponen sel darah dan adanya kelainan fungsional sel darah (Suhermanto et

13

al., 2011). Darah ikan terdiri dari atas komponen cairan (plasma) dan komponen

seluler (sel - sel darah). Sel-sel darah terdiri dari eritrosit (sel darah merah),

leukosit (sel darah putih) dan trombosit (keping darah), yang diedarkan ke

seluruh tubuh melalui sistem sirkulasi tertutup (Wedemeyer and Yasutke,1977).

Sel dan cairan darah (plasma darah) merupakan aspek diagnosa yang

penting untuk dikaji, karena aspek tersebut mempunyai peran fisiologis yang

sangat penting serta mampu menggambarkan kondisi kesehatan ikan.

Svobodova and Vyukusova (1991) menjelaskan bahwa pemeriksaan darah dapat

digunakan untuk mengevaluasi kondisi ikan, menguji efek zat beracun pada ikan,

menguji kualitas pakan yang diberikan pada ikan dan mengevaluasi efek tekanan

situasi.

Hematologi sering juga digunakan untuk mendeteksi perubahan

fisiologis yang disebabkan oleh stres lingkungan dan juga berhubungan

dengan status kesehatan ikan (Al-Attar, 2005). Parameter yang biasa

menjadi indeks dalam menentukan status kesehatan ikan adalah total sel

darah merah, sel darah putih, hematokrit, sedangkan untuk melihat tingkat

stres biasanya juga diukur kadar kortisol dan glukosa darah (Alifuddin, 1999).

Kortisol, glukosa darah, hematokrit, jumlah sel darah merah, dan jumlah sel

darah putih merupakan indikator stres pada ikan (Porchaz et al., 2009).

Makronukleus berhubungan dengan metabolisme, perkembangan, dan karakter

fisik sel. Sedangkan mikronukleus berperan dalam transmisi informasi genetik

selama pembelahan.

2.6.1 Mikronuklei

Mikronukleus adalah nukleus kecil yang merupakan materi nukleus (DNA),

ukurannya kecil apabila dibandingkan dengan nukleusnya. Kriteria mikronuklei

adalah diameter kurang dari 1/5 diameter nukleus, lokasinya didalam sitoplasma

14

diluar nukleus, tidak ada kontak dengan nukleus dan Intensitas pewarnaan sama

dengan nukleus. Pada individu normal frekuensi micronuklei untuk 500 cell

binucleat adalah 4,4 ± 2,6. Penentuan mikro- nuklei sebagai indikator

penyerapan dosis menarik perhatian peneliti karena mempunyai hubungan yang

erat antara aberasi kromosom dengan mikronuklei, dan terdapat korelasi yang

posirif dengan dosis. Dengan demikian teknik pengamatan mikronuklei pada

limfosit yang telah dikultur selama 72 jam dapat dijadikan metoda alternatif

sebagai indikator penyerapan dosis untuk memantau kerusakan kromosom

(Lusiyanti et al., 1996).

Menurut Heddie (1973) dan Schmidt (1975), bahwa mikronuklei dibentuk

oleh fragmen kromosom asentrik atau kromosom yang terbentuk pada inti

anaphase. Mikronuklei terbentuk dalam sitoplasma melalui peristiwa anaphase

yang dimana kromatid sentrik dan fragmen kromosom tertinggal ketika unsur

sentries bergerak menuju kutub sel. Selanjutnya kromosom asentrik dimasukan

pada inti mitosis. Mikronuklei memiliki elemen yang tertinggal yang dapat

dimasukan salam inti sel, akan tetapi bentuk inti sel sekunder lebih kecil dari

pada inti primer. mikronuklei pada ikan memiliki nuclei yang lebih daripada inti sel

yang lain, karena sebagian besar kromosom pada ikan jauh lebih kecil dari pda

ikuran kromosom mamalia. Mikronuklei muncul sebagai inti yang lebih kecil

dalam sitoplasma. Frekuuensi mikronuklei pada ikan bervariasi tergantung jenis

ikan dan kondisi lingkungan.

Uji mikronukleus atau uji mikronuklei dalam sel darah merah (eritrosit) ikan

merupakan alternative untuk mendetuksi genotoksik didalam perairan menurut

Lusiyanti dan Abdul (1999), sel terdiri dari dua komponen utama yaitu sitoplasma

yang berisi berbagai organel sel untuk menjalankan aktivitas sel dan inti sel

(nucleus) yang mengansung kromosom.

15

2.6.2 Makronuklei

Makronukleus adalah inti somatic ( yaitu, tidak terlibat dalam transmisi

informasi turun-menurun dari generasi ke generasi seksual). Pada sel ikan

terdapat inti sel yang disebut oleh nucleus, dimana di dalam nucleus terdapat

materi genetic seperti DNA (Deoxyribonucleic acid) yang berfungsi untuk

mengontrol pada aktivitas sel, dan fungsi utama pada sel reproduksi (Astari et al.,

2015). Makronukleus menjamin keberlangsungan hidup, sedangkan

mikronukleus bertanggung jawab terhadap reproduksi (Dewi,2013).

Nukleus terdiri dari mikronukleus dan makronukleus jenis heteromerik.

Dalam makronukleus dapat dibedakan menjadi dua zona: satu bagian luar

(orthomere), terdiri dari akhir replikasi kromatin yang kaya DNA dan mengandung

banyak nucleolus, dan satu bagian dalam (paramere) terdiri dari awal replikasi

kromatin. Kandungan DNA di makronukleus bervariasi tergantung pada kondisi

budaya, dalam kondisi optimal kandungan rata-rata DNA makrinuklear tetap

konstan selama beberapa generasi. Ketika kondisi memburuk kandungan DNA

rata-rata menurun dan ketika mereka meningkatkan, maka mereka tingkatkan.

Perubahan ini menyangkut DNA yang merupakan orthomere jumlah yang lebih

besar dari paramere tersebut, sedangkan tingkat DNA di paramere tidak

berubah, perubahan jumlah DNA di orthomere ini adalah hasil dari replikasi

diferensial. (Radzikowski,1985).

2.7 Viral Nervous Necrosis (VNN)

Menurut Bofo et al., (1999) dalam Prihartini (2016) Viral Nerveous Necrosis

(VNN), atau Viral Ecephalopathy and Retinopathy (VER) merupakan penyakit

yang disebabkan betanodavirus dan telah mengakibatkan kematian massal ikan

budidaya laut, terutama stadia larva dan juvenil. Kejadian penyakit VNN di

Indonesia dilaporkan terjadi pertama kali pada tahun 1997, di daerah

16

Banyuwangi, Jawa Timur pada budidaya Kakap Putih (Lates calcaliver)

kemudian menyebar ke Bali pada tahun 1998, dan merambah ke pembenihan

Kerapu di Bali yang menyebabkan kematian massal 100% (Zafran et al., 2000).

Muroga (2001) dalam Oh et al., (2012), menyatakan bahwa Viral Nervous

Necrosis (VNN) menjadi penyakit serius yang menyerang lebih dari 30 species

ikan laut di seluruh dunia selama lebih dari satu dekade terakhir. Menurut

Prajitno (2008), penyakit Viral Enchephalopathy and Retinophaty (VER) atau

lebih dikenal Viral Nervous Necrosis (VNN) disebabkan oleh Nodavirus yang

termasuk golongan virus RNA, Berbentuk icosahedral tanpa envelop berdiameter

25 – 30 nanometer (nm). Penyakit ini merupakan permasalahan serius pada

budidaya ikan laut terutama ikan kerapu dan kakap karena dapat menyebabkan

kematian 50 – 100 % pada larva umur 10 - 20 hari.

Virus VNN digolongkan dalam genus Betanodavirus, famili Nodaviridae

(Banu et al., 2004). Betanodavirus berbentuk ikosahedral, berdiameter 23-25 nm.

tidak beramplop, genomnya terdiri atas 2 untai ganda RNA sense positif. RNA1

berukuran besar (110 kDa) menyandikan RNA-dependent RNA

polymerase/RdRp, dan RNA2 ukuran kecil (40-42 kDa) menyandikan coat protein

(Mori et al., 1992 dalam Fenner et al., 2006).

2.7.1 Gejala dan patogenitas Viral Nervous Necrosis (VNN)

kerapu yang terinfeksi VNN akan menunjukan gejala klinis pada

keseimbangannya, yaitu berenang secara terbalik dengan bagian ventral pada

permukaan air‚ pola berenang yang memutar dan tidak teratur. Selain itu terjadi

perubahan pigmentasi serta gejala umum lainnya meliputi anorexia‚ lethargy dan

anemia (Korsnes‚ 2008). Sifat VNN yang menyerang syaraf (otak dan mata)

dapat menyebabkan gerak renang yang tidak normal, sehingga kondisi ikan

17

menjadi lemah dan akan berlanjut pada tingkat kematian yang tinggi (Amelia,

2012).

Serangan VNN menyebabkan kematian pada larva mencapai 70%,

kematian pada ikan-ikan yang berukuran 2,5-7‚5 cm mencapai 100% dan pada

ikan yang berukuran >15 cm tingkat kematian yang ditimbulkan mencapai <20%

(Nagasawa and Cruz-Lacierda, 2004).

2.8 Mikroalga Spirulina platensis

Spirulina adalah gangga renik (mikroalga) berwarna hijau kebiruan yang

hidupnya tersebar luas dalam semua ekosistem mencakup ekosistem daratan

dan ekosistem perairan baik itu air tawar, payau, maupun laut. Spirulina mudah

tumbuh didanau-danau alami dengan keasaman air alkalis (pH 8,5-11) dan dapat

tumbuh subur pada kisaran suhu 18-40oc dengan intensitas cahaya rendah

sampai tinggi (500-359.00 lux) sehingga bisa dikultur murni (Monokultur) di

Indonesia mikroalga ini tumbuh endemic di situ cuburuji, padalarang dan ranu

kelakah (Kabinawa, 2006). Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan spirulina

aalah lingkungan yang terkena sinar matahari, curah hujan sedang, Kualitas air

baik (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995).

Tingkatan taksonomi Spirulina platensis menurut Smith (1950) dalam

Rahayu (2007) adalah sebagai berikut :

Divisi : Cyanophyta

Kelas : Cyanophyceae

Ordo : Oscillatoriales

Sub Ordo : Oscillatorianeae

Famili : Oscillatoriacea

Genus : Spirulina

Spesies : Spirulina platensis

18

Gambar 2. Spirulina platensis (Google image, 2017)

Spirulina Platensis adalah salah satu jenis mikroalga dari kelompok

cyanophyceae yang dikarakterisasi dengan bentuk trichome yang tersusun

secara spiral. Spirulina platensis merupakan kelompok alga hijau biru yang dapat

dimakan, karena kaya akan protein, vitamin, mineral dan asam lemak esensial.

Spirulina platensis biasanya digunakan untuk pakan larva ikan ataupun non ikan.

Spirulina mengandung protein tinggi (hingga 65% berat kering), sejumlah asam

lemak baik (Gamma linolenic acid, GLA), polisakarida, fikobiliprotein, karotenoid,

vitamin (khususnya vitamin B12) dan mineral, membuat Spirulina dibutuhkan

sebagai sumber makanan (Hu 2004 dalam Capelli dan Cysewski 2010).

2.9 Mikroalga Dunaliellaa salina

Dunaliella salina termasuk salah satu jenis fitoplankton dalam kelas

Chlorophyceae (alga hijau) yang sering disebut flagellata hijau bersel satu (green

unicellulair flagellata). Keberadaan fitoplankton jenis ini berperan penting dalam

lingkungan perairan sebagai produsen primer karena Dunaliella salina bersifat

fotosintetik, mempunyai klorofil untuk menangkap energi matahari dan karbon

dioksida menjadi karbon organik yang berguna sebagai sumber energi bagi

kehidupan konsumen copepoda, larva moluska, udang, teripang dan jenis

19

zooplankton. Selain peranannya sebagai produsen primer, hasil dari fotosintesis

mikroalgae yaitu oksigen yang berperan sebagai respirasi biota air sekitarnya

(Prasojo, 2010)

Klasifikasi Dunaliella salina Menurut Wahyuni et al., (2002) adalah sebagai

berikut :

Divisi : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Volvocales

Family : Polyblepharidaceae

Genus : Dunaliella

Spesies : Dunaliella sp.

Gambar 3. Dunaliella salina (Google Image, 2017)

Dunaliella salina merupakan salah satu pakan alami yang cukup baik untuk

ikan. fitoplankton ini juga dapat digunakan sebagai pakan Artemia pada budidaya

Artemia dalam bentuk segar. Komposisi nutrisi Dunaliella salina berdasarkan

berat kering (%) adalah sebagai berikut : protein 57%; lemak 6%; karbohidrat

32% (Bekker, 1994 dalam Putranto, 2007).

20

2.10 Mikroalga Chlorella vulgaris

Chlorella vulgaris merupakan jenis mikroalga uniseluler yang berbentuk

simpel, fotosintetik, sehingga banyak dikembangkan dalam pengolahan limbah.

Mikroalga ini mudah diperoleh di tempat-tempat pembudidayaan sumber daya

laut meskipun secara alami juga banyak terdapat di perairan (Purnamawati et al.,

2013). Sel Chlorella berbentuk bulat, hidup soliter, berukuran 2-8 μm. Dalam sel

Chlorella mengandung 50% protein, lemak serta vitamin A, B, D, E dan K,

disamping banyak terdapat pigmen hijau (klorofil) yang berfungsi sebagai

katalisator dalam proses fotosintesis (Sachlan, 1982 dalam Purnamawati et al.,

2013).

Klasifikasi Chlorella vulgaris menurut (Bold dan Wayne, 1985 dalam

Prabowo, 2009) adalah sebagai berikut :

Divisi : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Chlorococcales

Familia : Oocystaceae

Genus : Chlorella

Spesies : Chlorella sp.

21

Gambar 4. Chlorella vulgaris (Google Image, 2017)

Chlorella vulgaris dimanfaatkan secara komersial karena tingginya nilai gizi

yang dimiliki. Chlorella vulgaris merupakan makanan hidup bagi jenis-jenis

tertentu golongan ikan sehingga seringkali sangat diperlukan dalam budidaya.

Mikroalga ini mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, asam

amino esensial, asam lemak esensial, enzim, beta karoten dan klorofil sehingga

banyak digunakan sebagai pakan ikan (Purnamawati, 2015).

2.11 Mikroalga Nannochloropsis oculata

Nannochloropsis oculata adalah salah satu alga yang paling efisien dalam

menangkap dan memanfaatkan energi cahaya dan CO2 untuk keperluan

fotosintesis (Diharmi, 2001 dalam Widyaningrum et al., 2013). Mikroalga ini tidak

hanya memiliki kapasitas untuk memproduksi produk alga yang bernilai tinggi

tetapi juga memiliki kemampuan untuk berkembang biak hanya dengan

menggunakan cahaya matahari, karbon dioksida dan air laut. Selain itu,

Nannochloropsis oculata. dapat tumbuh dengan kerapatan sel yang tinggi (50

dan 27.5 g/L) dalam kondisi tumbuh autothropic dan menghasilkan konten tinggi

lipid (52% dan 46%) (Moazami, 2011 dalam Widyaningrum et al., 2013).

22

Menurut Wahyuni et al., (2002) Nannochloropsis sp. diklasifikasikan

sebagai berikut :

Divisi : Chromophyta

Kelas :Eustigmatophyceae

Genus : Nannochloropsis

Spesies : Nannochloropsis sp

Gambar 5. Nannochloropsis oculata (Google Image, 2017)

. Salah satu mikroalga yang dimanfaatkan sebagai alternatif untuk

mengurangi pencemaran logam berat adalah Nannochloropsis salina. Mikroalga

ini mengandung gugus fungsi COO , CO, N 2 dan CON 2. ugus ini berfungsi

sebagai ligan sehingga mempunyai kemampuan untuk menyerap logam berat.

Gugus fungsi ini berasal dari polisakarida dan polipeptida (Sembiring et al.,

2009).

2.12 Kandungan Gizi Mikroalga

Mikroalgae, atau yang lebih dikenal dengan fitoplankton, sudah mulai

diperkenalkan sebagai sumber makanan sejak beberapa waktu yang lalu. Namun

respons masyarakat terhadap sumberdaya ini terlihat kurang begitu antusias.

Padahal mikroalgae memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik, bahkan lebih

23

baik dibandingkan makanan yang biasa dimakan oleh masyarakat Indonesia

pada umumnya. Selain di manfaatkan oleh manusia, alga juga dapat digunakan

sebagai pakan alami untuk ikan. Menurut Erlania (2009), mikroalgae termasuk

tumbuhan tingkat rendah yang memiliki nilai gizi yang tinggi, bahkan bisa

dikatakanmelebihi nilai gizi tumbuhan maupun hewan yang umumnya dijadikan

sumber pangan masyarakat. Lebih dari 70.000 spesies algae hidup di perairan

seluruh dunia, baik yang uni-seluler maupun multi-seluler. Mikroalgae dapat

ditemukan di seluruh perairan, baik di perairan tawar, payau maupun laut.

Mikroalgae tersebar pada zona fotik dan berperan sebagai penyumbang utama

bagi produktivitas primer di laut. Setiap mikroalga memiliki kandungan nilai gizi

yang berbeda-beda, berikut nilai gizi yang ada pada gambar menurut Spolaore et

al., (2006) dalam Erlania (2009). Kandungan gizi pada mikroalga Spirulina

platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata Dapat di

lihat pada Tabel di bawah.

Gambar 6. Kandungan nutrisi Spirulina platensis

24

Gambar 7. Jumlah nutrisi mikroalga Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis oculata

25

3. MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1 Materi penelitian

Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah pengamatan

perbandingan makronuklei dan Mikronuklei larva ikan kerapu yang terkena VNN

yang diberi perlakuan pakan alami Spiruina platensis. Pada penelitian ini

dilakukan analisa kualitas air pada kolam pemeliharaan yang terjangkit VNN,

adapun kualitas air yang dianalisa meliputi parameter fisika meliputi suhu, dan

parameter kimia meliputi oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (pH), Salinitas.

Dalam mendiagnosis penyakit VNN pada penelitian ini menggunakan metode

PCR (Polymerase Chain Reaction) dan sedangkan untuk mengetahui

makronuklei dan parasit menggunakan preparat apus darah dan pengamatan

mikroskopis.

3.2 Alat dan Bahan

Dalam penelitian mengenai kualitas makronuklei dan mikronuklei pada

larva ikan kerapu cantang yang terinfeksi VNN dengan perlakuan spirulina

platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata ini

tentunya membutuhkan alat dan bahan. Hal ini dimaksudkan untuk membantu

penelitian dalam memperoleh hasil data pengamatan. Alat dan bahan yang

digunakan dalam peneitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.3 Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan eksperimental. Menurut

Surakhmad (1998), menyebutkan bahwa metode deskriptif adalah sebuah

metode yang menggambarkan keadaan atau kejadian di suatu daerah tertentu.

Pelaksanaan metode deskriptif tidak terbatas pada pengumpulan dan

penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan pembahasan tentang data tersebut,

26

sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran secara umum, sistematis,

aktual dan valid mengenai fakta dan sifat-sifat populasi daerah tersebut. Metode

Deskriptif dalam ini bertujuan untuk mengetahui kualitas makronuklei dan

mikronuklei pada ikan kerapu cantang yang terinfeksi VNN maupun yang tidak

terinfeksi dan diberi perlakuan mikroalga Spirulina sp., Dunaliella sp., Chlorella

sp., Nannochloropsis sp., dan yang tidak diberi perlakuan mikroalga.

Darmono dan Hasan (2002), menyebutkan bahwa metode eksperimen

adalah hasil kajian empiris dan menggunakan analisis dengan bantuan statistic

untuk menguji hipotesis. Metode eksperimen dalam ini bertujuan untuk

mengetahui kualitas makronuklei dan mikronuklei pada ikan kerapu cantang yang

terinfeksi maupun yang tidak dan diberikan perlakuan mikroalga Spirulina sp.,

Dunaliella sp., Chlorella sp., Nannochloropsis sp., maupun yang tidak diberikan

mikroalga.

3.4 Sumber Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini ialah terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer dan data sekunder merupakan pengelompokan data

berdasarkan sumber data.

a. Data Primer

Sumber data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang

bersangkutan yang memerlukannya (Hasan,2002). Data primer pada penelitian

ini diperoleh dari hasil observasi mengenai kualitas makronuklei dan mikronuklei

pada larva ikan kerapu yang terinfeksi VNN maupun yang tidak dan diberikan

perlakuan Spirulina platensis maupun yang tidak diberi perlakuan tersebut.

b. Data Sekunder

27

Menurut Hasan (2002), data sekunder adalah data yang diperoleh atau

dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang

telah ada. Data ini biasaya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan

penelitian terdahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia.

3.5 Teknik Pengambilan Data

Teknik pengambilan datanya dilakukan dengan cara observasi, wawancara

dan partisipasi aktif di lapangan (Surakhmad, 1985).

3.5.1 Survey

Informasi diperoleh melalui permintaan keterangan-keterangan kepada

pihak yang memberikan keterangan atau jawaban (responden). Metode ini

bergantung pada kerja ssama dan kecakapan responden. Sebagai factor yang

dapat mempengaruhi proses survey, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan

sangat kecil. Tetapi sering kali opini yang muncul mungkin sangat penting dalam

pemecahan masalah.

3.5.2 Observasi

Menurut Arikunto (2002), observasi merupakan pengamatan yang dapat

meliputi kegiatan dengan menggunakan indera yang dimiliki oleh manusia yaitu

penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. pada penelitian

ini dilakukan dengn pengamatan dan pencatatan secaa sistematis terhadap

gejala/ fenomena yang diselidiki. Catatan yang dikumpulkan lebih teliti, tetapi

terbatas pada gejala sejenis. Serta menggunnakan bantuan alat pemotret.

3.5.3 eksperimen

Diperlukan untuk menguji kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari

penelitian dengan metode survey dan observasi. Dari hasil kesimpulan

sementara atau usul pemecahan masalah, dilakukan percobaan-percobaan

28

apakah memberi jawaban seperti apa yang ditemukan pada metode survey.

Pada metode ini, peneliti dapat mengatur atau memberikan perlakuan tertentu

pada suatu variabel.

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Kultur Mikroalga

Pelaksanaan kultur mikroalga laut Spirulina platensis, Dunaliella salina,

Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis oculata dilakukan di BBAP (Balai

Budidaya Air Payau) Situbondo selama 1 minggu Pengkulturan dilakukan skala

Intermediete.

a. Kultur skala Intermediete

1. Air laut disterilisasi menggunakan kaporit 10 ppm dan dinetralkan dengan

thiosufat 5 ppm, lama sterilissasi min 24 jam.

2. Sebelum dilakukan pemberian bibit terlebih dahulu diberi pupuk TG

(Technical Growth) dengan dosis 1 ml/l

3. Untuk Spesies diatom menggunakan pupuk diatom (TG) kalau untuk spesies

Chlorophyceae menggunakan pupuk Walne (TG).

4. Perbandingan penggunaan bibit dan media adalah 3:7 kultur dilakukan pada

ruangan semi outdoor dengan atap fiber tembus cahaya matahari dan lama

inkubasi 5-7 hari.

3.6.2 Aklimatisasi ikan kerapu cantang (Epinephelus sp.)

Ikan uji yang digunakan yaitu ikan kerapu cantang yang pengujiannya di

BBAP Situbondo. Ikan kerapu cantang yang digunakan berukuran 3 sampai 5

cm. Menurut Yanuhar (2013) benih ikan kerapu tikus yang baru datang tidak

langsung diberikan pakan, karena memerlukan adaptasi terhadap media

pemeliharaanya yang baru. Pakan diberikan setelah ikan terihat sehat dan

agresif. Pakan diberikan secara adlibitum yaitu pemberian pakan sedikit demi

29

sedikit sampai ikan kenyang tujuannya yaitu menghindari adanya pengendapan

sisa pakan yang tidak dimakan pada dasar kolam sehingga mengakibatkan

kolam ikan mengalami kualitas air, Setelah itu dilakukan pengukuran parameter

kualitas air seperti suhu, salinitas, pH, Oksigen terlarut untuk menjaga agar

kondisi lingkungan ikan kerapu tikus tetap terjaga

3.7 Pemberian perlakuan Mikroalga

Untuk melihat pengaruh pemberian mikroalga Spirulina platensis,

Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis oculata pada ikan

Kerapu Cantang (Epinephelus sp.), pada penelitian ini dilakukan 8 perlakuan dan

3 Kelompok :

- A : Ikan kontrol merupakan ikan kerapu normal yang dipelihara dengan

pemberian pakan normal (tidak ada pemberian mikroalga maupun penginfeksian

virus).

- B : ikan kerapu cantang yang diberi pakan normal dan diberi perlakuan dengan

penginfeksian Viral Nervous Necrosis (VNN), penginfeksian dilakukan dengan

memberikan virulen yang di masukkan kedalam media pemeliharaan.

- C : (ikan + mikroalga kepadatan 102) : ikan kerapu cantang yang diberi pakan

normal dan diberi perlakuan pemberian mikroalga dengan kepadatan 102.

- D : (ikan + mikroalga kepadatan 104) : ikan kerapu cantang yang diberi pakan

normal dan diberi perlakuan pemberian mikroalga dengan kepadatan 104.

- E : (ikan + mikroalga kepadatan 106) : ikan kerapu cantang yang diberi pakan

normal dan diberi perlakuan pemberian mikroalga dengan kepadatan 106.

- F : (ikan + mikroalga kepadatan 102 + VNN) : ikan kerapu cantang yang diberi

pakan normal dan diberi perlakuan dengan mikroalga dengan kepadatan 102 dan

Virulen VNN.

30

- G : (ikan + mikroalga kepadatan 104 + VNN) : ikan kerapu cantang yang diberi

pakan normal dan diberi perlakuan dengan mikroalga dengan kepadatan 104 dan

Virulen VNN.

- H : (ikan + mikroalga kepadatan 106 + VNN) : ikan kerapu cantang yang diberi

pakan normal dan diberi perlakuan dengan mikroalga dengan kepadatan 106 dan

Virulen VNN.

Denah percobaan penelitian ini digunakan untuk menentukan rancangan

penelitian, yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rancangan penelitian

A E H C

F B D G

Keterangan : A = Kontrol B = Perlakuan Pemberian VNN

C = Perlakuan Pemberian mikroalga 102 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata D = Perlakuan Pemberian mikroalga 104 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata E = Perlakuan Pemberian mikroalga 106 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata F = Perlakuan Pemberian mikroalga 102 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata + VNN G = Perlakuan Pemberian mikroalga 104 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata + VNN H = Perlakuan Pemberian mikroalga 106 Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis Oculata + VNN

3.8 Metode Pengambilan Darah Ikan (Svobodova dan Vyukusova 1991)

Adapun metode pengambilan sampel darah ikan Kerapu Cantang

(Epinephelus sp.) sebagai berikut:

31

1. Yang pertama ialah membius ikan kerapu menggunakan larutan anastesi.

2. Menyiapkan mikro spuit lengkap dengan jarumnya, hisap larutan

antikoagulan sampai memenuhi seluruh dinding syringe.

3. Mengeluarkan larutan Antikoagulan (Na Sitrat 3,8%) dari spuit, Sisakan

larutan heparin tersebut sebanyak 50 dalam spuit.

4. Menusukan jarum/spuit dan jarumnya yang telah berisi larutan

antikoagulan pada garis tengah tubuh di balakang sirip anal.

5. Memasukan jarum kedalam musculus sampai mencapai tulang belakang

(columa spinal).

6. Memastikan tidak ada gelembung air yang masuk kedalam spuit,

kemudian ditarik perlahan-lahan sampai darah masuk kedalam spuit.

7. Setelah mendapatkan sampel darah, kemudian memasukan darah ke

dalam tabung apendorf.

3.9 Metode Pengamatan Sel Darah Ikan (Bijanti, 2005)

Dalam metode pengamatan sel darah ikan dilakukan dengan prosedur

sebagai berikut :

1. Mengambil contoh darah sebanyak satu tetes, kemudian meletakannya

diatas objek glass dan dibuat hapusan darah ditunggu hingga kering

kemudian diberi methanol.

2. Menyemir darah yang telah kering kemudian memberikan pewarna

giemsa sebanyak 1 tetes kemudian hapusan dan dibiarkan selama 20

menit agar warna terserap.

3. Ketika sudah 20 menit, selanjutnya mencuci dengan menggunakan air

mengalir dan kemudian dikeringkan.

4. Langkah terakhir adalah mengamati preparat di bawah mikroskop.

32

3.10 Pengukuran Total Eritrosit

Darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah

sampai skala 0,5. Lalu ditambahkan larutan ayem’s (berfungsi untuk mematikan

sel-sel darah putih) sampai skala 101. Pengadukan darah di dalam pipet

dilakukan dengan mengayunkan tangan selama 3 – 5 menit sehingga darah

tercampur rata. Setelah itu tetesan pertama larutan darah dalam pipet dibuang,

selanjutnya teteskan pada haemacytometer tipe Neubauer kemudian ditutup

dengan cover glass bagian yang berlekuk. Rumus untuk menghitung eritrosit

adalah sebagai berikut (Nabib dan Pasaribu, 1989):

A : Σ sel terhitung

V : Volume kotak Haemocytometer

N : Σ kotak aemocytometer yang diamati

Fp : Faktor Pengenceran

3.11 Pengukuran Total Leukosit

Mengambil sampel darah ikan kerapu cantang dengan menggunakan spuit

1 cc, sebanyak ± 1ml. Sampel kemudian diencerkan dengan menggunakan

larutan Turk’s, campur darah secara perlahan agar tidak merusak sel darah.

Mengambil darah dengan menggunakan pipet dan letakkan ujung pipet pada

Neubauer. Lalu meletakkan coverglass diatas petak hitung Neubauer, kemudian

diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000 kali. Penghitungan

jumlah leukosit hanya pada empat bidang besar, dimulai dari sudut sebelah kiri

atas, lalu kekanan, kemudian turun kebawah dan dari kanan kemudian kekiri

(Blaxhall and Daisley, 1973).

33

3.12 Pengukuran Kadar Hematokrit

Mengambil sampel darah ikan kerapu cantang dengan menggunakan spuit

1 cc, sebanyak ± 1ml. Pengambilan darah melalui vena caudalis. Sampel darah

kemudian dimasukkan kedalam tabung mikrohematokrit hingga mencapai ¾

bagian, lalu disumbat pada bagian ujung dengan menggunakan kretoseal.

Sampel darah tersebut di centrifuge dengan kecepatan 6.000 rpm selama 5

menit. Pengukuran kadar hematokrit dilakukan dengan menggunakan

microhematocrit reader (Anderson and Siwicki, 1993).

3.13 Metode Pengamatan Mikronuklei Pada Sel Darah Ikan.

Sampel darah perifer diperoleh dari vena caudal dari sampel ikan dioleskan

pada slide yang bersih. Setelah difiksasi dalam etanol murni selama 20 menit,

slide dibiarkan kering udara dan kemudian dilanjukan dengan pewarnaan

Giemsa 10% selama 25 menit. pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop

Olympus BH2, liam slide dibuat dari masing-masing ikan 1.000 eritrosir dilakukan

scoring dari setiap slide diamatai dibawah perbesaran 1000X untuk menentukan

frekuensi inti berlekuk, inti lobed, pemula, memecah-belah dan juga sel

mikronuklei yang dihitung seperti sel per 1000(%) (Guner, 2011).

Diamati tiap sel dan dihitung frekuensi mikronuklei dengan menggunakan

rumus sebagai berikut Menurut Betancur et al., (2009).

3.14 Metode Pengamatan Makronuklei pada ikan

Pada dasarnya pengamatan makronuklei hampir sama dengan

pengamatan mikronukei yaitu setelah sampel darah dan difiksasi lalu diberikan

Frekuensi Mikronuklei = ⬚𝑀𝑖𝑘𝑟𝑜𝑛𝑢𝑘𝑙𝑒𝑖 𝑋 (1000)

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

34

warna. Selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000X , dan

diamati tiap sel lalu dihitung frekuensi makronukleinya menggunakan rumus:

3.15 Pengamatan Kualitas Air

3.15.1 Suhu

Rahayu, (2009), menjelaskan alat yang digunakan dalam pengukuran suhu

air adalah termometer standar. Langkah dalam pengukuran suhu adalah:

1. Catat suhu udara sebelum mengukur suhu di dalam air.

2. Masukkan termometer ke dalam air selama 1-2 menit.

3. Baca suhu saat termometermasih di dalam air atau secepatnya setelah

dikeluarkan dari dalam air.

3.15.2 Salinitas

Kordi (2005), menjelaskan pengukuran salinitas dilakukan dengan

menggunakan alat refraktometer, adapun cara pengukuran salinitas adalah:

1. Mengangkat penutup kaca prisma

2. Meletakkan 1-2 tetes air yang akan diukur

3. Menutup kembali denganhati-hati agar jangan sampai terjadi gelembung

udara dipermukaan kaca prisma

4. Melihat kaca pengintai dan akan terlihat pada lensa nilai atau salinitas dari

air yang sedang diukur

5. Membersihkan permukaan prisma setelah selesai digunakan

6. Melihat nilai salinitasnya dari air yang diukur melalui kaca pengintai.

Frekuensi Mikronuklei = ⬚𝑀𝑎𝑘𝑟𝑜𝑛𝑢𝑘𝑙𝑒𝑖 𝑋 (1000)

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

35

3.15.3 Derajat Keasaman (pH)

Jeffries dan Mills dalam Hartanti, (2008) menjelaskan pengukuran pH

dilakukan dengan menggunakan alat pH meter, adapun cara pengukuran pH

adalah:

1. Menstandarkan alat ukur (pH meter)

2. Membilas elektroda (sensor) dengan aquades lalu mengeringkannya

dengan menggunakan tissue

3. Memasukkan ujung elektroda ke dalam perairan

4. Mencatat nilai yang tertera pada alat

3.15.4 Disolved Oxygen (DO) / Oksigen Terlarut

Salmin, (2005), menjelaskan cara penentuan oksigen terlarut dengan

metode elektrokimia adalah langsung untuk menentukan oksigen terlarut dengan

alat DO meter prinsip kerjanya adalah:

1. Menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang

direndam dalam larutan elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini biasanya

menggunakan katode perak (Ag) dan anoda timbal (Pb) secara

keseluruhan, elektroda ini dilapisi dengan membran plastik yang bersifat

semi permiabel terhadap oksigen

2. Probe yang menggunakan katoda perak (Ag) dan anoda timbal (Pb)

dimasukkan kedalam sampel air

3. Ditunggu hasil yang ditunjukkan pada DO meter beserta nilai suhu yang

ada.

3.16 Analisis Data

Analisa data pada penelitian ini menggunakan software SPSS

dimaksudkan untuk mempercepat perhitungan tanpa menghilangkan

pemahaman tentang rancangan percobaannya (Harjosuwono et al., 2011). Pada

36

hasil perhitungan akan muncul nilai F dan nilai Sig. Jika nilai Sig yang dihasilkan

kurang dari taraf signifikasi yang telah ditentukan maka dapat disimpulkan bahwa

perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon yang diamati. Begitu pula

sebaliknya, jika nilai Sig melebihi taraf signifikasi yang telah ditentukan, maka

perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati.

37

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Treatment Mikroalga

Bibit mikroalga di ambil dari BBAP Situbondo Jawa Timur yang meliputi

Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, Nannochloropsis oculata.

Kemudian bibit dikultur sesuai dengan kepadatan 102 = 0,22ml, 104 = 22,47ml,

dan 106 = 2,247ml. Pada kultur harus menyiapkan media steril, selanjutnya di

pindahkan bibit kedalam toples 10ml yang berisi media yang sudah ada

aerasinya. Setelah itu bibit diberikan pupuk walne dan vitamin untuk

pertumbuhan mikroalga itu sendiri. Waktu dalam pengkulturan mikroalga sampai

7 hari baru bisa di panen. Setelah 7 hari, mikroalga diberikan kepada setiap

toples ikan dengan perlakuan mikroalga dan kepadatan yang telah di tentukan.

4.2 Status Hematologi Ikan Perlakuan Spirulina platensis

4.2.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) Perlakuan Spirulina platensis

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah eritrosit pada ikan kerapu

yang diberikan Spirulina sp. berkisar 840000 - 930000 sel/mm3. Sedangkan pada

hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah eritrosit

berkisar 600000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang

diberi Spirulina sp. dan VNN diperoleh jumlah eritrosit berkisar 760000 - 910000

sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah eritrosit

ikan kerapu berkisar 890000 sel/mm3.

Hasil pengamatan total eritrosit pada perlakuan infeksi virus VNN (V)

kadar eritrosit sangat rendah dibandingkan perlakuan kontrol (K) dan pemberian

Spirulina sp. (S), dikarenakan ikan yang sakit jumlah eritrositnya akan menurun

dari biasanya dan dalam keadaan stress dan kemampuan dalam menyerap

oksigen. Eritrosit yang sudah matang berbentuk oval sampai bundar, inti

38

Gambar 8. Jumlah eritrosit ikan perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104

+ VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN

890000

600000

840000

930000 870000

760000

910000

810000

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

700000

800000

900000

1000000

K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6

Tota

l (Se

l/m

m3

)

Perlakuan

berukuran kecil dengan sitoplasma besar. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan

sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al.‚

1991). Grafik pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat pada

Gambar 8 dan Gambar 9.

Eritrosit

Gambar 9. Sel eritrosit perlakuan (SV4) S. platensis 104 + VNN

39

4.2.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Perlakuan Spirulina platensis

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah leukosit pada ikan kerapu

yang diberikan Spirulina platensis berkisar 105000 - 120000 sel/mm3. Sedangkan

pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah

leukosit berkisar 220000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan

kerapu yang diberi Spirulina platensis dan VNN diperoleh jumlah leukosit berkisar

135000 - 155000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaaan jumlah leukosit ikan kerapu berkisar 140000 sel/mm3.

Spirulina sp. Meningkatkan produksi leukosit pada ikan karena spirulina

sp. mengandung senyawa flavonoid seperti yang dinyatakan Jose et al., (2014)

bahwa kandungan flavonoid berpotensi meningkatkan proliferasi limfosit,

meningkatkan jumlah sel T serta sel B dan meningkatkan aktivitas IL-2 yang ada

di leukosit. Penurunan leukosit pada perlakuan SV2, SV4, SV6 terjadi

disebabkan oleh leukosit yang ada pada pembuluh darah sangat berkurang

karena sebagian besar leukosit bergerak menuju jaringan-jaringan yang

terinfeksi. Menurut Affandi dan Tang (2002) dalam Dontriska et al.(2014) yaitu

jumlah total leukosit pada ikan telestoei pada umumnya berkisar antara 20.000 –

150.000 sel/mm3 ikan yang biasanya memiliki sel darah putih yang lebih rendah

dibandingkan ikan yang sakit atau stress. Grafik pengamatan sel leukosit dan sel

leukosit dapat di lihat pada Gambar 10 dan Gambar 11.

40

Gambar 10. Jumlah sel leukosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis

102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN

140000

220000

120000 105000

115000

155000

135000

155000

0

50000

100000

150000

200000

250000

K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6

Tota

l (Se

l/m

m3

)

Perlakuan

Leukosit

Gambar 11. Sel leukosit perlakuan (SV4) S. platensis 104 + VNN

41

4.2.3 Jumlah Hemoglobin Perlakuan Spirulina platensis

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hemoglobin pada ikan

kerapu yang diberikan Spirulina platensis berkisar 3,7 – 3,8 gr/100ml. Sedangkan

pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah

hemoglobin berkisar 2,9 gr/100ml, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan

kerapu yang diberi Spirulina platensis dan VNN diperoleh jumlah hemoglobin

berkisar 3 – 3,1 gr/100ml. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan

jumlah hemoglobin ikan kerapu berkisar 3,7 gr/100ml.

Menurunnya kadar hemoglobin darah pada perlakuan VNN (V) dan

Spirulina sp + VNN (SV) dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya

kandungan protein pakan, defisiensi vitamin atau ikan mendapat infeksi. Menurut

Krams et al, 2013 dalam Arewartha et al, (2016) bahwa konsentrasi hemagoblin

memberikan indikasi pada kadar oksigen dan bioindikator yang digunakan untuk

mengetahui fisiologi dasar, sistem imun, toksik. Grafik pengamatan hemoglobin

dapat di lihat pada Gambar 12.

42

Gambar 12. Jumlah total hemoglobin perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S.

platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN

4.2.4 Jumlah Nilai Hematokrit Perlakuan Spirulina platensis

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hematokrit pada ikan kerapu

yang diberikan Spirulina platensis berkisar 41 – 44%. Sedangkan pada hasil

pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah hematokrit

berkisar 23%, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi

Spirulina platensis dan VNN diperoleh jumlah hematokrit berkisar 26 – 28%.

Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah hematokrit ikan

kerapu berkisar 43%.

Nilai hematokrit dibawah 30% menunujukan adanya defisiensi eritrosit.

Amlacher (1970) mengemukakan bahwa selain infeksi bakteri, nafsu makan juga

berpengaruh pada jumlah eritrosit sehingga berpengaruh pula terhadap nilai

hematokrit dan konsentrasi hemoglobin di dalam sirkulasi darah. Menurut Jawad

et al.,(2004), hematokrit adalah persentase volume eritrosit di dalam darah, dan

nilainya berhubungan dengan jumlah sel darah merah. Peningkatan kadar

3,7

2,9

3,7 3,8 3,8

3 3,1 3,1

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6

Tota

l (gr

/10

0m

l)

Perlakuan

43

hematokrit ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan

terutama suhu perairan serta keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang

dibutuhkan. Grafik pengamatan hematrokit dapat di lihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Jumlah total hematokrit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S.

platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN

4.2.5 Kualitas Makronuklei Perlakuan Spirulina platensis

Hasil pengamatan sampel Jumlah makronuklei pada ikan kerapu yang

diberi Spirulina platensis berkisar 8,3 – 9,1/1000sel. Pada hasil pengamatan

sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah makronuklei sebesar

19,3/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamtaan sampel ikan kerapu yang

diberikan Spirulina platensis dan VNN didapatkan hasil Jumlah makronuklei

berkisar 13,7 – 16,1/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pe

meliharaan didapatkan hasil Jumlah makronuklei berkisar 12,2/1000sel.

Hal ini menunjukkan bahwa jumlah makronuklei ikan kerapu yang

diinfeksi VNN lebih banyak daripada ikan kerapu yang kontrol, dan perlakuan

spirulina sp. Menurut Radzikowski (1985), ketika kondisi memburuk, kandungan

43

23

43 44 41

27 28 26

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6

Tota

l (%

)

Perlakuan

44

DNA menurun Perubahan ini menyangkut DNA yang merupakan orthomere,

jumlah yang lebih besar dari yang di paramere tersebut. Tingkat DNA di

paramere tidak berubah. Perubahan jumlah DNA di orthomere adalah hasil dari

replikasi diferensial. Dalam budaya dengan kondisi membaik fenomena over-

replikasi dapat diamati, dan dalam kondisi memburuk, yang di bawah-replikasi

(Radzikowski, 1985). Grafik pengamatan dan Gambar makronuklei dapat di lihat

pada Gambar 14 dan 15.

Gambar 14. Jumlah total makronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S.

platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN

12,2

19,3

8,3 8,3 9,1

15,1 16,1

13,7

0

5

10

15

20

25

K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6

Tota

l (/1

00

0se

l)

Perlakuan

45

4.2.6 Kualitas Mikronuklei Ikan Perlakuan Spirulina platensis

Hasil pengamatan sampel Jumlah mikronuklei pada ikan kerapu yang

diberi Spirulina platensis berkisar 9,7 – 10,3/1000sel. Pada hasil pengamatan

sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah mikronuklei sebesar

23,1/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang

diberikan Spirulina platensis dan VNN didapatkan hasil Jumlah mikronuklei

berkisar 13,1 – 13,9/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah mikronuklei berkisar 11,3/1000sel.

Jumlah mikronuklei terbaik terdapat pada takaran 104 dengan

13,1/1000sel karena makronuklei berpengaruh pada eritrosit, semakin banyak

mirkonuklei yang didapat maka semakin banyak paparan penyakit yang masuk

dalam tubuh ikan. Menurut Lusiyanti dan Abdul, 1999 menyatakan bahwa tes

mikronuklei pada ikan memiliki potensi untuk mendeteksi zat toksik yang berada

dalam perairan. Eritrosit pada ikan teleostei yang berinti dapat menghasilkan

jumlah mikronuklei yang tinggi akibat pencemaran. Peningkatan pada

mikronuklei terjadi karena paparan pencemaran atau serangan penyakit dalam

tubuh ikan. Grafik pengamatan dan gambar makronuklei dapat di lihat pada

Gambar 16 dan 17.

Gambar 15. Sel makronuklei perlakuan (SV4) S. platensis 104 + VNN

46

Gambar 17. Sel mikronuklei perlakuan (SV4) S. platensis 104 + VNN

Gambar 16. Jumlah total mikronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 +

VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN

11,3

23,1

10,3 9,7 10,3

13,9 13,1 13,6

0

5

10

15

20

25

K V S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6

Tota

l (/1

00

0se

l)

Perlakuan

47

4.3 Status Hematologi Ikan Perlakuan Dunaliella salina

4.3.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) Perlakuan Dunaliella salina

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah eritrosit pada ikan kerapu

yang diberikan Dunaliella salina berkisar 480000 - 750000 sel/mm3. Sedangkan

pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah

eritrosit berkisar 450000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan

kerapu yang diberi Dunaliella salina dan VNN diperoleh jumlah eritrosit berkisar

500000 - 590000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaaan jumlah eritrosit ikan kerapu berkisar 600000 sel/mm3.

Ikan yang sakit jumlah eritrositnya akan menurun dari biasanya dan

dalam keadaan stress dan kemampuan dalam menyerap oksigen. Hal ini

ditunjukan dengan rendahnya nilai sel darah merah pada perlakuan VNN (V) dan

Dunaliella sp + VNN (DV). Menurut Zonneveld et al (1991) dalam Irianto (2005)

menyatakan bahwa kebutuhan oksigen pada ikan terdapat perbedaan Dallam

suatu lingkungan, bagi ikan pada spesies tertentu memiliki struktur yang berbeda

pada molekul sel darah dan mempengaruhi hubungan antra tekanan parsial

oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah. Grafik

pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat pada Gambar 18 dan

Gambar 19.

48

Gambar 18. Jumlah eritrosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102,

(D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN

Gambar 19. Sel eritrosit perlakuan (DV4) D. salina 104 + VNN

600000

450000 500000

750000

480000 500000

590000 550000

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

700000

800000

K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6

Tota

l (Se

l/m

m3

)

Perlakuan

Eritrosit

49

4.3.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Perlakuan Dunaliella salina

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah leukosit pada ikan kerapu

yang diberikan Dunaliella salina berkisar 150000 - 210000 sel/mm3. Sedangkan

pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah

leukosit berkisar 275000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan

kerapu yang diberi Dunaliella salina dan VNN diperoleh jumlah leukosit berkisar

215000 - 255000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaaan jumlah leukosit ikan kerapu berkisar 105000 sel/mm3.

Jumlah leukosit pada ikan dipengaruhi oleh jenis atau speies dan faktor

faktor fisiologis seperti, umur, aktivitas otot. Jumlah leukosit yang meningkat

pada perlakuan VNN (V) dan Dunaliella sp + VNN (DV) disebabkan karena ikan

sedang mengalami infeksi dalam sistem pertahanan tubuhnya dan leukosit akan

berperan dalam melawan penyakit infeksi yang terdapat di dalam tubuh ikan

(Yanto et al., 2015). Grafik pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat

pada Gambar 20 dan Gambar 21.

50

Gambar 20. Jumlah sel leukosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D.

salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN

Gambar 21. Sel leukosit perlakuan (DV4) D. salina 104 + VNN

4.3.3 Jumlah Hemoglobin Perlakuan Dunaliella salina

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hemoglobin pada ikan

kerapu yang diberikan Dunaliella salina berkisar 4 - 7 gr/100ml. Sedangkan pada

hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah

105000

275000

150000

200000 210000

255000

215000 220000

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6

Tota

l (Se

l/m

m3

)

Perlakuan

Leukosit

51

hemoglobin berkisar 5 gr/100ml, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu

yang diberi Dunaliella salina dan VNN diperoleh jumlah hemoglobin berkisar 3 –

6 gr/100ml. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah

hemoglobin ikan kerapu berkisar 6 gr/100ml.

Pada perlakuan VNN (V) dan Dunaliella sp + VNN (DV) kadar hemoglobin

ikan menurun, menurunnya kadar hemoglobin ini karena ikan mendapat infeksi

dari VNN. Menurut Bastiawan et al, (2001) dalam Almanda et al. 2007, bahwa

rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme menurun dan energi yang

dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan menjadi lemah dan tidak

memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau menggantung di bawah

permukaan air. Grafik pengamatan hemoglobin dapat di lihat pada Gambar 22.

Gambar 22. Jumlah total hemoglobin perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN,

(DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN

4.3.4 Jumlah Nilai Hematokrit Perlakuan Dunaliella salina

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hematokrit pada ikan kerapu

yang diberikan Dunaliella salina berkisar 27 – 30%. Sedangkan pada hasil

6

5

4

7

5,5

3

5

6

0

1

2

3

4

5

6

7

8

K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6

Tota

l (gr

/10

0m

l)

Perlakuan

52

pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah hematokrit

berkisar 14%, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi

Dunaliella salina dan VNN diperoleh jumlah hematokrit berkisar 16 – 20%. Pada

sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah hematokrit ikan kerapu

berkisar 28%.

Menurunnya kadar hematokrit pada perlakuan VNN (V) dan Dunaliella sp

+ VNN (DV) berbanding lurus dengan penurunan sel darah merah perlakuan

Dunaliella sp. Menurut Wedemeyer &Yasutake 1977 dalam Mudjiutami et al

(2007), nilai hematokrit akan mengalami penurunan pada kasus anemia.

Penurunan nilai hematokrit dapat dijadikan petunjuk mengenai

rendahnyakandungan protein, defisiensi vitamin atau ikan yang terkena infeksi.

Grafik pengamatan hematrokit dapat di lihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Jumlah total hematokrit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN,

(DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN

28

14

28 30

27

19 20

16

0

5

10

15

20

25

30

35

K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6

Tota

l (%

)

Perlakuan

53

4.3.5 Kualitas Makronuklei Ikan Perlakuan Dunaliella salina

Hasil pengamatan sampel Jumlah makronuklei pada ikan kerapu yang

diberi Dunaliella salina berkisar 7,9 – 9,8/1000sel. Pada hasil pengamatan

sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah makronuklei sebesar

13,5/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamtaan sampel ikan kerapu yang

diberikan Dunaliella salina dan VNN didapatkan hasil Jumlah makronuklei

berkisar 7,8 – 10,4/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah makronuklei berkisar 9,3/1000sel.

Jumlah makronuklei ikan kerapu yang diinfeksi VNN lebih banyak

daripada ikan kerapu yang kontrol, dan perlakuan Dunaliella sp. Pada sel ikan

terdapat inti sel yang disebut oleh nukleus, dimana didalam nukleus terdapat

matei genetic seperti DNA (Deoxyribonucleic Acid) yang berfungsi untuk

mengontrol pada aktivitas sel, dan fungsi utama pada sel reproduksi (Astari et al.,

2015). Grafik pengamatan dan Gambar makronuklei dapat di lihat pada Gambar

24 dan 25.

9,3

13,5

8,8 7,9

9,8 9,7 10,4

7,8

0

2

4

6

8

10

12

14

16

K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6

Tota

l (/1

00

0 s

el)

Perlakuan

54

Gambar 24. Jumlah total makronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN,

(DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN

Gambar 25. Sel makronuklei perlakuan (DV4) D. salina 104 + VNN

4.3.6 Kualitas Mikronuklei Ikan Perlakuan Dunaliella salina

Hasil pengamatan sampel Jumlah mikronuklei pada ikan kerapu yang

diberi Dunaliella salina berkisar 6 - 8/1000sel. Pada hasil pengamatan sampel

ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah mikronuklei sebesar 3/1000sel.

Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberikan

Dunaliella salina dan VNN didapatkan hasil Jumlah mikronuklei berkisar 11 -

18/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaan

didapatkan hasil Jumlah mikronuklei berkisar 2/1000sel.

Jumlah mikronuklei terbaik terdapat pada takaran 104 dengan

11,0/1000sel karena makronuklei berpengaruh pada eritrosit, semakin banyak

mirkonuklei yang didapat maka semakin banyak paparan penyakit yang masuk

dalam tubuh ikan. Hintzsche et al. (2017) menyatakan bahwa struktur

pembungkus micronuclear adalah faktor penentu yang mempengaruhi perbaikan

DNA lesi di dalam micronuclei dan photolesions di micronuclei diproses dengan

55

kurang baik karena faktor perbaikan tidak mampu mencapai Kromatin

micronuclear. Grafik pengamatan dan Gambar makronuklei dapat di lihat pada

Gambar 26 dan 27.

Gambar 26. Jumlah total mikronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN,

(DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN

Gambar 27. Sel mikronuklei pada perlakuan (DV4) D. salina 104 + VNN

2 3

8 8

6

16

11

18

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6

Tota

l (/1

00

0se

l)

Perlakuan

56

4.4 Status Hematologi Ikan Perlakuan Chlorella vulgaris

4.4.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah eritrosit pada ikan kerapu

yang diberikan Chlorella vulgaris berkisar 1060000 – 1070000 sel/mm3.

Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN

diperoleh jumlah eritrosit berkisar 1036700 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan

sampel ikan kerapu yang diberi Chlorella vulgaris dan VNN diperoleh jumlah

eritrosit berkisar 1040000 - 1046700 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol

di bak pemeliharaaan jumlah eritrosit ikan kerapu berkisar 1073300 sel/mm3.

Berdasarkan pengamatan hasil rata-rata Total jumlah eritrosit pada setiap

perlakuan dapat dikatakan masih dalam kisaran Total jumlah eritrosit normal bagi

ikan kerapu. Apabila kadar eritrosit melebihi kadar normal dapat dikatakan bahwa

ikan mengalami stres sedangkan kadar eritrosit rendah menandakan ikan

mengalami anemia. Menurut Irianto (2005), eritrosit ikan memiliki inti dan jumlah

eritrosit bervariasi tergantung pada spesies, kondisi stress dan suhu lingkungan,

akan tetapi kisaran eritrosit pada umumnya berkisar 1,05 – 3,0 × 106 sel/mm3.

Grafik pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat pada Gambar 28

dan Gambar 29

57

Gambar 28. Jumlah sel eritrosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris

102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN

Gambar 29. Sel eritrosit perlakuan (CV4) C. Vulgaris 104 + VNN

4.4.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit)

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah leukosit pada ikan kerapu

yang diberikan Chlorella vulgaris berkisar 116670 - 117000 sel/mm3. Sedangkan

1.073.300

1.036.700

1.070.000

1.060.000

1.066.700

1.040.000

1.046.700

1.040.000

1.010.000

1.020.000

1.030.000

1.040.000

1.050.000

1.060.000

1.070.000

1.080.000

K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6

Tota

l (Se

l/m

m3

)

Perlakuan

Eritrosit

58

pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah

leukosit berkisar 133330 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan

kerapu yang diberi Chlorella vulgaris dan VNN diperoleh jumlah leukosit berkisar

116670 - 133000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaaan jumlah leukosit ikan kerapu berkisar 100000 sel/mm3.

Berdasarkan pengamatan hasil rata-rata kadar Leukosit pada setiap

perlakuan yang telah didapat dapat dikatakan bahwa secara umum kadar

Leukosit tersebut masih dalam kisaran Leukosit yang normal, termasuk juga

normal bagi ikan kerapu. Menurut Moyle and Cech (2004), leukosit merupakan

sel darah yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Leukosit membantu

membersihkan tubuh dari benda asing, termasuk invasi patogen melalui sistem

tanggap kebal dan respon lainnya. Banyak tidaknya sel leukosit berpengaruh

pada kondisi ikan apakah sedang terserang penyakit atau tidak. Grafik

pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat pada Gambar 30 dan

Gambar 31.

100000

133330

116670 117000 117000 116670

133000

116670

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

140000

K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6

Tota

l (Se

l/m

m3

)

Perlakuan

59

Gambar 30. Jumlah sel leukosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN,

(CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN

Gambar 31. Sel leukosit perlakuan (CV4) C. Vulgaris 104 + VNN

4.4.3 Jumlah Hemoglobin

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hemoglobin pada ikan

kerapu yang diberikan Chlorella vulgaris berkisar 5 - 6 gr/100ml. Sedangkan

pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah

hemoglobin berkisar 3,7 gr/100ml, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan

kerapu yang diberi Chlorella vulgaris dan VNN diperoleh jumlah hemoglobin

berkisar 3,7 – 4,7 gr/100ml. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaaan jumlah hemoglobin ikan kerapu berkisar 6 gr/100ml.

Berdasarkan pengamatan hasil rata-rata kadar hemoglobin pada

perlakuan tanpa inveksi VNN dapat dikatakan masih dalam kisaran hemoglobin

normal bagi ikan kerapu. Sedangkan pada perlakuan dengan inveksi VNN dapat

dikatakan hasil rata-rata kadar hemoglobin tergolong rendah. Menurut Salasia et

al. (2001) kadar hemoglobin normal pada ikan nila berkisar 5,05-8,33 G%.

Rendahnya nilai hemoglobin akibat buruknya kualitas air. Buruknya kualitas air

dikarenakan ikan langsung mengalami perubahan lingkungan (salinitas) tanpa

Leukosit

60

proses adaptasi terlebih dahulu. Grafik pengamatan hemoglobin dapat di lihat

pada Gambar 32.

Gambar 32. Jumlah total hemoglobin perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 +

VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN

4.4.4 Jumlah Nilai Hematokrit

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hematokrit pada ikan kerapu

yang diberikan Chlorella vulgaris berkisar 27 – 29%. Sedangkan pada hasil

pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah hematokrit

berkisar 14%, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi

Chlorella vulgaris dan VNN diperoleh jumlah hematokrit berkisar 18 – 20%. Pada

sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah hematokrit ikan kerapu

berkisar 26%.

Berdasarkan pengamatan hasil rata-rata kadar hematokrit pada perlakuan

tanpa inveksi VNN dapat dikatakan masih dalam kisaran hematokrit normal bagi

ikan kerapu. Sedangkan pada perlakuan dengan inveksi VNN dapat dikatakan

hasil rata-rata kadar hematokrit tergolong rendah. Menurut Jawad et al., (2004),

6

3,7

5,3 5

6

3,7 4

4,7

0

1

2

3

4

5

6

7

K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6

Tota

l (gr

/10

0m

l)

Perlakuan

61

hematokrit adalah persentase volume hematokrit di dalam darah, dan nilainya

berhubungan dengan jumlah sel darah merah. Peningkatan kadar hematokrit ini

dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan terutama

suhu perairan serta keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang dibutuhkan.

Grafik pengamatan hematrokit dapat di lihat pada Gambar 33.

Gambar 33. Jumlah total hematokrit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C.

vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN

4.4.5 Kualitas Makronuklei Ikan

Hasil pengamatan sampel Jumlah makronuklei pada ikan kerapu yang

diberi Chlorella vulgaris berkisar 7,9 – 9,8/1000sel. Pada hasil pengamatan

sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah makronuklei sebesar

13,5/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamtaan sampel ikan kerapu yang

diberikan Chlorella vulgaris dan VNN didapatkan hasil Jumlah makronuklei

berkisar 7,8 – 10,4/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah makronuklei berkisar 9,3/1000sel.

26

14

27 27 29

20 18 18

0

5

10

15

20

25

30

35

K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6

Tota

l (%

)

Perlakuan

62

Jumlah makronuklei ikan kerapu yang diinfeksi VNN lebih banyak

daripada ikan kerapu yang kontrol, dan perlakuan Chlorella sp. Menurut

Radzikowski (1985), ketika kondisi memburuk, kandungan DNA menurun

Perubahan ini menyangkut DNA yang merupakan orthomere, jumlah yang lebih

besar dari yang di paramere tersebut. Grafik pengamatan dan Gambar

makronuklei dapat di lihat pada Gambar 34 dan 35.

Gambar 34. Jumlah total makronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 +

VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN

12,2

13,8

10,3 11 10,8

12,6 12,9 12,9

0

2

4

6

8

10

12

14

16

K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6

Tota

l (/1

00

0se

l)

Perlakuan

63

Gambar 35. Sel makronuklei perlakuan (CV4) C. Vulgaris 104 + VNN

4.4.6 Kualitas Mikronuklei Ikan

Hasil pengamatan sampel Jumlah mikronuklei pada ikan kerapu yang

diberi Chlorella vulgaris berkisar 9,3 – 10,6/1000sel. Pada hasil pengamatan

sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah mikronuklei sebesar

14,5/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang

diberikan Chlorella vulgaris dan VNN didapatkan hasil Jumlah mikronuklei

berkisar 12 – 13,5/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah mikronuklei berkisar 10,7/1000sel. Jumlah

mikronuklei terbaik terdapat pada takaran 104 dengan 12,01/1000sel karena

makronuklei berpengaruh pada eritrosit, semakin banyak mirkonuklei yang

didapat maka semakin banyak paparan penyakit yang masuk dalam tubuh ikan

Menurut Lusiyanti dan Alatas (2011), mikronuklei terbentuk dari fragmen asentrik

yang gagal bergabung dengan sel anak selama proses pembelahan sel. Dapat

juga terbentuk dari sebuah kromosom yang tertinggal, atau tidak terbawa dalam

proses mitosis, atau terjadi akibat konfigurasi kromosom yang kompleks, pada

waktu proses anafase. Kriteria mikronuklei di antaranya yaitu diameter kurang

dari seperlima diameter nukleus (10μm), terletak dalam sitoplasma dan diluar

nukleus, tidak ada kontak dengan nukleus.Mikronuklei terbentuk akibat adanya

kerusakan struktur kromosom yang terjadi pada fase G0-G1 dari siklus sel,

sehingga mikronukleus muncul setelah sel mengalami pembelahan inti. Grafik

pengamatan dan Gambar makronuklei dapat di lihat pada Gambar 36 dan 37.

64

Gambar 36. Jumlah total mikronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 +

VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN

Gambar 37. Sel mikronuklei perlakuan (CV4) C. Vulgaris 104 + VNN

4.5 Status Hematologi Ikan Nannochloropsis oculata

4.5.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah eritrosit pada ikan kerapu

yang diberikan Nannochloropsis oculata berkisar 500000 - 940000 sel/mm3.

[VALUE]8

[VALUE]0

[VALUE]6 [VALUE]2

[VALUE]2

[VALUE]6 [VALUE],01

[VALUE]8

0

2

4

6

8

10

12

14

16

K V C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6

Tota

l (/1

00

0se

l)

Perlakuan

65

Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN

diperoleh jumlah eritrosit berkisar 480000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan

sampel ikan kerapu yang diberi Nannochloropsis oculata dan VNN diperoleh

jumlah eritrosit berkisar 500000 - 800000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu

kontrol di bak pemeliharaaan jumlah eritrosit ikan kerapu berkisar 700000

sel/mm3. Menurut Irianto (2005), eritrosit ikan memiliki inti dan jumlah eritrosit

bervariasi tergantung pada spesies, kondisi stress dan suhu lingkungan, akan

tetapi kisaran eritrosit pada umumnya berkisar 1,05 – 3,0 × 106 sel/mm3. Grafik

pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat di lihat pada Gambar 38 dan

Gambar 39.

Gambar 38. Jumlah sel eritrosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4)

N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN

700000

480000

600000

940000

500000 500000

800000

550000

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

700000

800000

900000

1000000

K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6

Tota

l (Se

l/m

m3

)

Perlakuan

66

Gambar 39. Sel eritrosit perlakuan (NV4) N. Oculata 104 + VNN

4.5.2 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit)

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah leukosit pada ikan kerapu

yang diberikan Spirulina platensis berkisar 150000 - 200000 sel/mm3. Sedangkan

pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah

leukosit berkisar 300000 sel/mm3, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan

kerapu yang diberi Spirulina platensis dan VNN diperoleh jumlah leukosit berkisar

150000 - 250000 sel/mm3. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaaan jumlah leukosit ikan kerapu berkisar 125000 sel/mm3. Menurut

Paulo et al.,(2009) leukosit akan meningkat jumlahnya seiring dengan

meningkatnya infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, fungi maupun akibat

memburuknya kualitas air. Grafik pengamatan sel eritrosit dan sel eritrosit dapat

di lihat pada Gambar 40 dan Gambar 41.

Eritrosit

67

Gambar 40. Jumlah sel leukosit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4)

N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN

Gambar 41. Sel leukosit perlakuan (NV4) N. Oculata 104 + VNN

4.5.3 Jumlah Hemoglobin

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hemoglobin pada ikan

kerapu yang diberikan Chlorella vulgaris berkisar 5 - 6 gr/100ml. Sedangkan

pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah

125000

300000

150000 150000

200000

250000

150000

200000

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

350000

K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6

Tota

l (Se

l/m

m3

)

Perlakuan

Leukosit

68

hemoglobin berkisar 3,7 gr/100ml, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan

kerapu yang diberi Chlorella vulgaris dan VNN diperoleh jumlah hemoglobin

berkisar 3,7 – 4,7 gr/100ml. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak

pemeliharaaan jumlah hemoglobin ikan kerapu berkisar 6 gr/100ml. Buruknya

kualitas air dikarenakan ikan langsung mengalami perubahan lingkungan

(salinitas) tanpa proses adaptasi terlebih dahulu. Menurut Salasia et al. (2001)

kadar hemoglobin normal pada ikan nila berkisar 5,05-8,33 G%. Rendahnya nilai

hemoglobin akibat buruknya kualitas air. Grafik pengamatan hemoglobin dapat di

lihat pada Gambar 42.

Gambar 42. Jumlah total hemoglobin perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 +

VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN

4.5.4 Jumlah Nilai Hematokrit

Hasil pengamatan darah ikan kerapu jumlah hematokrit pada ikan kerapu

yang diberikan Nannochloropsis oculata berkisar 22 – 30%. Sedangkan pada

hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang diberi VNN diperoleh jumlah

hematokrit berkisar 13%, lalu pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu yang

6,5

4

5

7

5,5

4,5

6,5

5

0

1

2

3

4

5

6

7

8

K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6

Tota

l (gr

/10

0m

l)

Perlakuan

69

diberi Nannochloropsis oculata dan VNN diperoleh jumlah hematokrit berkisar 18

– 28%. Pada sampel ikan kerapu kontrol di bak pemeliharaaan jumlah hematokrit

ikan kerapu berkisar 25%. Nilai hematokrit pada ikan teleostei berkisar antara 20-

30% dan pada spesies ikan laut sekitar 42% (Royan, 2014). Indikator terjadinya

stress pada ikan adalah terjadinya penurunan hematokrit darah (Tanbisyakur

2011). Grafik pengamatan hematrokit dapat di lihat pada Gambar 43.

Gambar 43. Jumlah total hematokrit perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 +

VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN

4.5.5 Kualitas Makronuklei Ikan

Hasil pengamatan sampel Jumlah makronuklei pada ikan kerapu yang

diberi Nannochloropsis oculata berkisar 7,7 – 7,9/1000sel. Pada hasil

pengamatan sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah makronuklei

sebesar 13,4/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu

yang diberikan Nannochloropsis oculata dan VNN didapatkan hasil Jumlah

makronuklei berkisar 10 – 10,9/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di

bak pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah makronuklei berkisar 8,1/1000sel.

25

13

25

30

22

18

28

21

0

5

10

15

20

25

30

35

K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6

Tota

l (%

)

Perlakuan

70

Akumulasi DNA juga menghasilkan macronuclei dengan distribusi konten DNA

bahkan dalam sel yang sama (Yan et al., 2017). Menurut Radzikowski (1985),

ketika kondisi memburuk, kandungan DNA menurun Perubahan ini menyangkut

DNA yang merupakan orthomere, jumlah yang lebih besar dari yang di paramere

tersebut. Grafik pengamatan dan gambar makronuklei dapat di lihat pada

Gambar 44 dan 45.

Gambar 44. Jumlah total makronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 +

VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN

Gambar 45. Sel makronuklei perlakuan (NV4) N. oculata 104 + VNN

8,1

13,4

7,8 7,7 7,9

10,9 10

10,5

0

2

4

6

8

10

12

14

16

K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6

Tota

l (/1

00

0se

l)

Perlakuan

71

4.5.6 Kualitas Mikronuklei Ikan

Hasil pengamatan sampel Jumlah mikronuklei pada ikan kerapu yang

diberi Nannochloropsis oculata berkisar 7,6 – 7,8/1000sel. Pada hasil

pengamatan sampel ikan yang diberikan VNN diperoleh Jumlah mikronuklei

sebesar 14,6/1000sel. Sedangkan pada hasil pengamatan sampel ikan kerapu

yang diberikan Nannochloropsis oculata dan VNN didapatkan hasil Jumlah

mikronuklei berkisar 9,6 – 10,4/1000sel. Lalu pada sampel ikan kerapu kontrol di

bak pemeliharaan didapatkan hasil Jumlah mikronuklei berkisar 7,9/1000sel.

Jumlah mikronuklei terbaik terdapat pada takaran 104 dengan 9,6/1000sel karena

makronuklei berpengaruh pada eritrosit, semakin banyak mirkonuklei yang

didapat maka semakin banyak paparan penyakit yang masuk dalam tubuh ikan.

MN normal tanpa paparan genotoksik, nilai rata-rata mikronuklei berkisar antara

0,05-11,5 MN/1000 sel dengan rata-rata 0,5-2,5 MN/1000 sel (Lusiyanti dan

Abdul, 1999). Grafik pengamatan dan gambar makronuklei dapat di lihat pada

Gambar 46 dan 47.

Gambar 46. Jumlah total mikronuklei perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 +

VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN

7,9

14,6

7,7 7,6 7,8

10,4 9,6

10,3

0

2

4

6

8

10

12

14

16

K V N2 N4 N6 NV2 NV4 NV6

Tota

l (/1

00

0se

l)

Perlakuan

72

Gambar 47. Sel mikronuklei perlakuan (NV4) N. oculata 104 + VNN

4.6 Analisa Kualitas Air

Kualitas air untuk pemeliharaan di kondisikan homogen pada parameter

pendukung kualitas air. Dalam penelitian ini analisa kualitas air yang diukur

meliputi suhu, pH, salinitas, dan DO didapatkan hasil dari perlakuan mikroalga

Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis

oculata adalah sebagai berikut :

4.6.1 Suhu

Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang mempengaruhi

pertumbuhan ikan didalam perairan. Didapatkan hasil pengukuran suhu dari

perlakuan mikroalga Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan

Nannochloropsis oculata adalah sebagai berikut :

a. Analisa Suhu Perlakuan Mikroalga Spirulina platensis

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter suhu berkisar 23.2o c -

25.9o c. Suhu tersebut termasuk dalam kategori yang normal untuk kehidupan

ikan karena menurut kordi (2009), menyebutkan pertumbuhan ikan pada wilayah

tropis akan berlangsung optimal pada kisaran suhu 280C - 320C. Berikut grafik

pengukuran suhu pada Gambar 48.

73

b. Analisa Suhu Perlakuan Mikroalga Dunaliella salina

Pada grafik didapatkan hasil pengukuran parameter suhu berkisar 23-

26OC. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), bahsa suhu yang

baik untuk kolam budidaya secara umum yaitu berkisar antara 27-31 oC. Suhu

sangat berpengaruh pada metaobolisme ikan. Suhu perairan yang optimal

(sesuai kebutuhan ikan di daerah tropis) adalah 27-31 oC. pada suhu perairan

yang berada dibawah 25 oC dapat menurunkan kecepatan metabolisme ikan,

sehingga ikan akan terhambat pertumbuhannya. Sedangkan bila suhu perairan >

35 oC dapat menyebabkan kematian ikan. Grafik pengamatan suhu dapat di lihat

pada Gambar 49.

21,5

22

22,5

23

23,5

24

24,5

25

25,5

26

26,5

k v S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6

Nila

i

Perlakuan

Suhu

hari ke-0

hari ke-3

hari ke-6

hari ke-9

hari ke-12

Gambar 48. Grafik suhu perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 +

VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN

74

Gambar 49. Grafik suhu perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D. salina 104

+ VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN

c. Analisa Suhu Perlakuan Mikroalga Chlorella vulgaris

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran kualitas air khususnya

parameter suhu pada perlakuan ikan kontrol berkisar pada 23,4oC. Selanjutnya

pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN rata-rata hasil pengukuran suhu yang

didapat yaitu 24,5oC. Selanjutnya pengukuran suhu pada perlakuan ikan dengan

alga mulai dari 102, 104, dan 106 didapatkan hasil rata-rata yaitu 24,3oC, 24,2oC,

dan 24,2oC. Selanjutnya pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN dengan alga

mulai dari 102, 104, dan 106 rata-rata hasil pengukuran suhu yang didapat yaitu

24,2oC, 24,2oC, dan 24,3oC. Hal ini sesuai dengan pendapat Chua dan Teng

(1978) dalam Langkosono (2007), bahwa kualitas perairan yang optimal untuk

pertumbuhan ikan kerapu, seperti suhu berkisar antara 24oC - 31ºC. Berikut

grafik pengukuran suhu pada Gambar 50.

20

21

22

23

24

25

26

27

K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6

Suhu

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

75

Gambar 50. Grafik suhu perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102,

(C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN

d. Analisa Suhu Perlakuan Mikroalga Nannochloropsis oculata

Pada hasil pengukuran suhu yang diperoleh berkisar antara 22oC-26oC.

Suhu tersebut masih dapat ditoleransi oleh ikan kerapu cantang, karena pada

suhu tersebut ikan dapat tumbuh. Kordi (2010), suhu yang digunakan dalam

pemeliharaan ikan haruslah mempunyai nilai yang konstan. Berikut grafik

pengukuran suhu pada Gambar 51.

20,0

21,0

22,0

23,0

24,0

25,0

26,0

27,0

C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6 V K

Suh

u (

⁰C)

Treatment

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

76

Gambar 51. Grafik suhu perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN

4.6.2 Salinitas

Nilai salinitas diperairan mempengaruhi kesuburan perairan dan juga

pertumbuhan ikan kerapu cantang. Didapatkan hasil pengukuran salinitas dari

perlakuan mikroalga Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan

Nannochloropsis oculata adalah sebagai berikut :

a. Analisa Salinitas Perlakuan Mikroalga Spirulina platensis

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter salinitas pada

akuarium berkisar pada 29 – 36 ‰ , dari hasil tersebut dapat dikategorikan

salinitas diakuarium termasuk normal untuk kehidupan ikan kerapu cantang

sesuai pernyataan dari Putra (2008), salinitas yang ideal untuk pembesaran ikan

Kerapu tikus adalah 28-33 ppt. Berikut grafik pengukuran salinitas pada Gambar

52.

20

21

22

23

24

25

26

27

28

K V N 10^2 N 10^4 N 10^6 NV 10^2 NV 10^4 NV 10^6

Suhu

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

77

0

5

10

15

20

25

30

35

40

k v S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6

Nila

i (m

g/l)

Perlakuan

Salinitas

hari ke-0

hari ke-3

hari ke-6

hari ke-9

hari ke-12

Gambar 52. Grafik salinitas perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S.

platensis 102 + VNN, (SV4) S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN

b. Analisa Salinitas Perlakuan Mikroalga Dunaliella salina

Hasil pengamatan kualitas air di bak pemeliharaan ikan kerapu cantang

didapatkan salinitas berkisar 29 – 35 ppt, dari hasil tersebut dapat dikategorikan

salinitas di bak pemeliharaan termasuk normal untuk kehidupan ikan kerapu

cantang sesuai pernyataan dari Putra (2008), salinitas yang ideal untuk

pembesaran ikan kerapu adalah 28-33 ppt. Berikut grafik pengukuran salinitas

pada Gambar 53.

78

Gambar 53. Grafik salinitas perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102,

(D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D. salina 104 + VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN

c. Analisa Salinitas Perlakuan Mikroalga Chlorella vulgaris

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter salinitas pada

perlakuan ikan kontrol didapatkan hasil rata-rata yaitu sebesar 34 ppt. Kemudian

pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN rata-rata hasil pengukuran salinitas yang

didapat yaitu 33 ppt. Sedangkan pengukuran salinitas pada perlakuan ikan

dengan alga mulai dari 102, 104, dan 106 didapatkan hasil rata-rata yaitu 33, 32,

dan 33 ppt. Selanjutnya pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN dengan alga

mulai dari 102, 104, dan 106 rata-rata hasil pengukuran salinitas yang didapat

yaitu 33, 32, dan 33 ppt. Hal ini sesuai dengan pendapat Chua dan Teng (1978)

dalam Langkosono (2007), bahwa kualitas perairan yang optimal untuk

pertumbuhan ikan kerapu, seperti salinitas antara 30-33 ppt. Berikut grafik

pengukuran salinitas pada Gambar 54.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6

Salinitas

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

79

Gambar 54. Grafik salinitas perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C.

vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN

d. Analisa Salinitas Perlakuan Mikroalga Nannochloropsis oculata

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter salinitas yang

diperoleh berkisar antara 30 ppt – 36 ppt. Kisaran salinitas masih dalam ambang

batas normal. Ghani et al. (2015), Salinitas perairan merupakan kadar garam

yang terkandung dalam air laut. Toleransi kisaran salinitas untuk budidaya ikan

kerapu adalah berkisar antara 31 - 34 ppt. Salinitas yang tidak sesuai akan

mengakibatkan tidak maksimalnya tingkat produksi dari kegiatan budidaya

tersebut. Berikut grafik pengukuran salinitas pada Gambar 55.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6 V K

Salin

itas

(p

pt)

Treatment

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

80

Gambar 55. Grafik salinitas perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4) N.

oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN

4.6.3 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) adalah salah satu faktor dalam budidaya ikan

mas yang harus diperhatikan. Pengukuran pH dalam perairan sangat diperlukan

karena pH merupakan indikator untuk mengetahui konsentrasi ion hidrogen yang

ada di perairan. Didapatkan hasil pengukuran pH dari perlakuan mikroalga

Spirulina platensis, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis

oculata adalah sebagai berikut :

a. Analisa pH Perlakuan Mikroalga Spirulina platensis

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter derajat

keasaman (pH) diakurium yaitu berkisar 7,5 – 8, dan sesuai dengan Amiruddin et

al., (2011), pernyataan pH yang optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu antara

7,0-7,8 sehingga dapat derajat keasaman yang ada di dalam akuarium termasuk

kategori yang normal untuk kehidupan ikan kerapu cantang. Berikut grafik

pengukuran pH pada Gambar 56.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

K V N 10^2 N 10^4 N 10^6 NV 10^2NV 10^4 NV 10^6

Salinitas

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

81

Gambar 56. Grafik pH perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4)

S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN

b. Analisa pH Perlakuan Mikroalga Dunaliella salina

Dari hasil yang didapatkan pada pengukuran derajat keasaman di bak

pemeliharaan yaitu berkisar 7.5-8, dan sesuai dengan Amiruddin et al . (2011),

pernyataan Ph yang optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu antara 7,0-7,8

sehingga dapat derajat keasaman yang ada di dalam bak pemeliharaan

termasuk kategori yang normal. Berikut grafik pengukuran pH pada Gambar 57.

7,2

7,3

7,4

7,5

7,6

7,7

7,8

7,9

8

8,1

k v S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6

Nila

i

Perlakuan

Derajat Keasaman

hari ke-0

hari ke-3

hari ke-6

hari ke-9

hari ke-12

82

Gambar 57. Grafik pH perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D. salina 104 +

VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN

c. Analisa pH Perlakuan Mikroalga Chlorella vulgaris

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter derajat

keasaman (pH) pH pada perlakuan ikan kontrol didapatkan hasil rata-rata yaitu

sebesar 7,8. Kemudian pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN rata-rata hasil

pengukuran pH yang didapat yaitu 7,7. Selanjutnya pengukuran pH pada

perlakuan ikan dengan alga mulai dari 102, 104, dan 106 didapatkan hasil rata-

rata yaitu 7,8, 7,9 dan 7,8. Sedangkan pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN

dengan alga mulai dari 102, 104, dan 106 rata-rata hasil pengukuran pH yang

didapat yaitu 7,8 sama pada setiap kepadatan. Dapat disimpulkan pengukuran

kualitas air pada parameter pH dapat dikatakan masih mendukung kelangsungan

hidup ikan kerapu hal ini sesuai dengan pendapat Chua dan Teng (1978) dalam

Langkosono (2007), bahwa kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan

ikan kerapu, seperti pH berkisar antara 7,8 - 8,0. Sedangkan menurut Boyd

(1982) dalam Suwoyo (2011), ikan kerapu dapat mentolerir kisaran pH air antara

6,5 – 9,0. Berikut grafik pengukuran pH pada Gambar 58.

6,8

7

7,2

7,4

7,6

7,8

8

8,2

K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6

pH

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

83

Gambar 58. Grafik pH perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102, (C4)

C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN

d. Analisa pH Perlakuan Mikroalga Nannochloropsis oculata

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter pH yang didapat

berkisar antara 7.6-7.9. Nilai pH tersebut masih dalam batas normal untuk

pemeliharaan ikan kerapu. Hal sesuai dengan pernyataan Qodri et al., (1999),

parameter-parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu

pH antara 6,5-9. Berikut grafik pengukuran pH pada Gambar 59.

7,1

7,2

7,3

7,4

7,5

7,6

7,7

7,8

7,9

8,0

C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6 V K

pH

Treatment

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

84

Gambar 59. Grafik pH perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4)

N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN

4.6.4 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan

organik dan anorganik dalam air. Selain itu, oksigen juga menentukan kondisi

biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Didapatkan hasil

pengukuran DO dari perlakuan mikroalga Spirulina platensis, Dunaliella salina,

Chlorella vulgaris, dan Nannochloropsis oculata adalah sebagai berikut :

a. Analisa DO Perlakuan Mikroalga Spirulina platensis

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter oksigen terlarut

pada akuarium berkisar pada 5,10 – 6,72 mg/l. sehingga dapat disimpulkan

kadar oksigen yang ada diakuarium tergolong optimal untuk kehidupan dan

pertumbuhan ikan kerapu cantang. Menurut Ahmad et al., (1991) dalam Affan

(2012), kisaran oksigen terlarut optimal untuk pemeliharaan ikan kerapu tikus

berkisar 5 – 8 mg/l. Berikut grafik pengukuran oksigen terlarut pada Gambar 60.

0

2

4

6

8

10

K V N 10^2 N 10^4 N 10^6 NV 10^2 NV 10^4 NV 10^6

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

85

0

1

2

3

4

5

6

7

8

k v S2 S4 S6 SV2 SV4 SV6

Nila

i (m

g/l)

Perlakuan

Oksigen terlarut

hari ke-0

hari ke-3

hari ke-6

hari ke-9

hari ke-12

Gambar 60. Grafik DO perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (S2) S. platensis 102, (S4) S.platensis 104, (S6) S. platensis 106, (SV2) S. platensis 102 + VNN, (SV4)

S.platensis 104 + VNN, (SV6) S. platensis 106 + VNN

b. Analisa DO Perlakuan Mikroalga Dunaliella salina

Dari hasil pengamatan didapatkan hasil pengukuran oksigen terlarut

berkisar 5,2 – 6,9 mg/l, sehingga dapat disimpulkan kadar oksigen yang ada di

bak pemeliharaan tergolong optimal untuk kehidupan dan prtumbuhan ikan

kerapu. Menurut Ahmad et al., (1991) dalam Affan (2012), kisaran oksigen

terlarut optimal untuk pemeliharaan ikan kerapu berkisar 5 – 8 mg/l. Berikut grafik

oksisgen terlarut pada Gambar 61.

86

Gambar 61. Grafik DO perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (D2) D. salina 102, (D4) D. salina 104, (D6) D. salina 106, (DV2) D. salina 102 + VNN, (DV4) D. salina 104

+ VNN, (DV6) D. salina 106 + VNN

c. Analisa DO Perlakuan Mikroalga Chlorella vulgaris

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter DO pada

perlakuan ikan kontrol didapatkan hasil rata-rata yaitu sebesar 5,45 mg/l.

Selanjutnya pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN rata-rata hasil pengukuran

suhu yang didapat yaitu 5,30 mg/l. Kemudian pengukuran suhu pada perlakuan

ikan dengan alga mulai dari 102, 104, dan 106 didapatkan hasil rata-rata yaitu

5,54, 5,65, dan 5,72 mg/l. Sedangkan pada perlakuan ikan yang diinfeksi VNN

dengan alga mulai dari 102, 104, dan 106 rata-rata hasil pengukuran suhu yang

didapat yaitu 5,56, 5,60, dan 5,61 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas

air pada parameter oksigen terlarut dapat dikatakan masih mendukung

kelangsungan hidup ikan kerapu hal ini sesuai dengan pendapat Chua dan Teng

(1978) dalam Langkosono (2007), bahwa kualitas perairan yang optimal untuk

pertumbuhan ikan kerapu, seperti oksigen terlarut > 3,5 ppm. Kemudian Supito et

al., (1998) dalam Suwoyo (2011) mengatakan bahwa ikan kerapu masih dapat

hidup pada nilai oksigen terlarut berkisar antara 3.21 - 6,5 mg/l. Berikut grafik

pengukuran oksigen terlarut pada Gambar 62.

0

2

4

6

8

K V D2 D4 D6 DV2 DV4 DV6

Oksigen Terlarut

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

87

Gambar 62. Grafik DO pengamatan (K) kontrol, (V) VNN, (C2) C. vulgaris 102,

(C4) C. vulgaris 104, (C6) C. vulgaris 106, (CV2) C. vulgaris 102 + VNN, (CV4) C. vulgaris 104 + VNN, (CV6) C. vulgaris 106 + VNN

d. Analisa DO Perlakuan Mikroalga Nannochloropsis oculata

Pada penelitian didapatkan hasil pengukuran parameter DO pada grafik

berkisar antar 5.04 - 6.62 mg/l. Kisaran tersebut masih dalam batas normal untuk

pemeliharaan ikan kerapu. Menurut Kristanto (2002), kandungan oksigen terlarut

di dalam perairan minimal 5 ppm. Fluktuasi oksigen terlarut harian dapat

mempengaruhi parameter kimia, terutama pada saat kondisi tanpa oksigen, yang

dapat mengakibatkan perubahan sifat kelarutan beberapa unsur kimia di perairan

(Apridayanti, 2005). Berikut grafik pengukuran oksigen terlarut pada Gambar 63.

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

C2 C4 C6 CV2 CV4 CV6 V K

DO

(m

g/l)

Treatment

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

88

Gambar 63. Grafik DO perlakuan (K) kontrol, (V) VNN, (N2) N. oculata 102, (N4) N. oculata 104, (N6) N. oculata 106, (NV2) N. oculata 102 + VNN, (NV4) N. oculata 104 + VNN, (NV6) N. oculata 106 + VNN

4.7 Analisis Data

Analysis of varians (ANOVA) perlu dilakukan untuk melihat ada atau

tidaknya pengaruh perlakuan yang berbeda pada treatment S. platensis, N.

oculata, dan C. Vulgaris dengan tiap alga memiliki 32 perlakuan (Kontrol, VNN,

S. platensis 102, 104, 106, S. platensis 102, 104, 106 + VNN, Kontrol, VNN, D.

salina 102, 104, 106, D. salina 102, 104, 106 + VNN, Kontrol, VNN, C. vulgaris 102,

104, 106, C. vulgaris 102, 104, 106 + VNN, Kontrol, VNN, N. oculata 102, 104, 106,

N. oculata 102, 104, 106 + VNN. Analisis data menggunakan software SPSS

factorial RAL. Hasil dapat di lihat pada tabel 2.

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

K V N 10^2 N 10^4 N 10^6 NV 10^2 NV 10^4 NV 10^6

Oksigen Terlarut

Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12

89

Tabel 2. Analisis ANOVA

Berdasarkan analisa tabel diatas didapatkan nilai Sig. sebesar 0,005

dimana nilai tersebut berada dibawah nilai 0,05 yang menunjukkan bahwa

treatment S. platensis, D. salina, C. Vulgaris, dan N. oculata berbeda nyata atau

terdapat perbedaan. Maka dilakukan uji lanjut untuk mengetahui bagaimana

pengaruh dari perlakuan yang berbeda. Berikut ini hasil uji BNT dapat dilihat

pada table 3 dan Gambar 64.

Tabel 3. Analisis hasil BNT

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Histopatologi

850.822a 31 27.446 10.225 .000

11790.672 1 11790.672 4392.670 .000

518.424 7 74.061 27.592 .000

200.105 3 66.702 24.850 .000

132.293 21 6.300 2.347 .005

171.787 64 2.684

12813.281 96

1022.609 95

Source

Corrected Model

Intercept

KLP

ALG

KLP * ALG

Error

Total

Corrected Total

Type I II Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .832 (Adjusted R Squared = .751)a.

Histopatologi

Tukey HSDa,b

24 9.53

24 9.99

24 11.62

24 13.19

.765 1.000 1.000

Alga

NO

DS

CV

SP

Sig.

N 1 2 3

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are display ed.

Based on Ty pe III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 2.684.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.a.

Alpha = .05.b.

90

Gambar 64. Hasil uji BNT

Hasil uji BNT dan grafik diatas diketahui bahwa setiap perlakuan memiliki

hasil yang berbeda. Perbedaan tiap perlakuan diketahui dengan melakukan Uji

Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf nyata 0,05 (selang kepercayaan 95%).

Perlakuan yang terbaik adalah treatment Spirulina platensis 104 karena memiliki

jumlah rata-rata terendah diikuti dengan pemberian D. salina, C. vulgaris dan N.

oculata. maka perlakuan yang paling berpengaruh dengan signifikasi 0,05 adalah

treatment S. platensis. Pada treatment tersebut memiliki jumlah mikronuklei yang

rendah. Pada perlakuan VNN memiliki jumlah mikronuklei yang paling tinggi,

dikarenakan adanya infeksi virulen VNN yang menyebabkan ikan menjadi stress

sehingga jumlah mikronuklei menjadi meningkat. Sedangkan perlakuan yang

paling baik adalah pemberian S. platensis pada kepadatan 104.

Estimated Marginal Means of Histopatologi

Kelompok

SV6SV4SV2S6S4S2VK

Estim

ate

d M

arg

inal M

eans

30

20

10

0

Alga

SP

DS

CV

NO

91

5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Perbandingan mikronuklei terbaik didapatkan pada tiap mikroalga dengan

kepadatan 104, hasil ini di tunjukan pada hasil mikronuklei setiap perlakuan nilai

terkecil pada kepadatan 104. Kemudian perbandingan mikrolga terbaik

didapatkan pada mikroalga N. oculata, hasil ini di dukung dengan jumlah nutrisi

yang terdapat pada setiap mikroalga N. oculata lebih banyak mengandung nutrisi

dari pada mikroalga yang lain.

5.2 Saran

Perlu diadakannya penelitian lebih lanjut terkait dengan kemampuan

mikroalga sebagai antiviral virus VNN ikan kerapu, sehingga dapat mengurangi

jumlah kematian pada ikan kerapu yang terserang virus VNN.

92

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Syamsul dan Sudaryanto. 2001. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Jakara: Penebar Swadaya.

Amelia, N., Prayitno. dan B. Slamet. 2012. Pengaruh ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava) untuk menginaktifkan Viral Nervous Necrosis (VNN) pada ikan kerapu bebek (Epinephelus fuscoguttatus). Journal Of Aquaculture Management and Technology. 1: 264 - 278.

Amiruddin, H., R. K. Dongoran, R. Nurhadi, dan L. Darto. 2012. Manajemen Induk Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) sebagai Upaya Optimalisasi Produksi Telur Berkualitas. Balai Budidaya Laut Ambon.

Anderson DP. 1992. Immunostimulant, Adjuvant and Vaccine Carier in Fish. Application to Aquaculture. Annual Review of Fish Diseases. 21:281-307.

Anderson, D.P. and A.K. Siwicki. 1993. Basic Hematology and Serology for Fish Health Programs. Asian Fisheries Society. 17 hlm.

Arikunto, S/ 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Arsal, L. O. M. 2014. Evaluasi Ketahanan Ikan Mas Turunan Ketiga yang Mempunyai Marka Molekuler Cyca-DAB1 05 Terhadap Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Edisi ke tujuh. Fakultas Kedokteran.

Universitas Indonesia. Jakarta (ID). 572 hlm.

Bijanti, R. 2005. Hematologi Ikan (Teknik Pengambilan Darah dan Pemeriksaan Hematologi Ikan). Buku Ajar. Bagian Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. hal. 22.

Blaxhall PC, Daisley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. Journal Fish Biology 5:577-581.

Boyd, C. E. 1990. Water Quality Management in Aquaculture and Fisheries Sciense. Elsevier Scientific Publishing Company Amsterdam. 3125p.

Capelli B, Cysewski GR. 2010. Potential health benefits of Spirulina microalgae.

A review of the existing literature. Cyanotech Corporation. Hawaii, 96740, USA. 8 hlm.

Chinabut, S., C. Limsuwan. and Katsuwan. 1991. Histology of Walking Catfish Clarius batracus. IDRC, Canada.

Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland, alih bahasa Huriwati Hartanto, edisi 29, ECG, Jakarta.

93

Duncan PL, Klesius PH. 1996. Effects of Feeding Spirulina on Specific and Nonspecific Immune Responses of Channel catfish. Journal of Aquatic Animal Health 8:308-313.

eemstra‚ P.C. and J.E. Randall. 1993. Vol.16. Groupers of the world (Family Serranidae‚ Subfamily Epinephelinae). FAO Species Catalogue.

offbrand‚ A.V. and J.E. Pettit. 1992. Kapita Selekta Hematologi. Edisi ke-2. Terjemahan I. Darmawan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Irianto‚ A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.

Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995.Teknik Kultur Fitoplankton dan zooplankton : Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut, Kanisius: Yogyakarta.

Kabinawa INK. 2006. Kandungan nutrisi Spirulina platensis dalam medium kultur teknik komersial. Prosiding Seminar Nasional Kimia dalam industry Jasa KIAI. Yogyakarta. knowledge. Fish & Shellfish Immunology 23:1127-1151.

Kordi, K. M. Ghufran. 2010. Budi Daya Ikan Nila di Kolam Terpal. Yogyakarta: Lily Publisher.

Korsnes, K. 2008. Nervous Necrosis virus (VNN) in farmed Norwegian fish species. Thesis of Philosopiae Doctor (PhD) University of Bergen. Norway: Bergen. p45-60.

Kozenko R, Henson RH. 2010. The Study of Spirulina. Effects on the AIDS Virus, Cancer and the Immune System. Healthy & Natural Journal. Diunduh pada: 4 April 2010. 2 hlm.

Lestari A. T. dan P. E. Sudaryatma. 2014. Studi Imunositokimia Darah dan Suspensi Organ Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus) yang diinfeksi virus Isolat Lapang Penyebab Viral Nervous Necrosis, Jurnal Sain Veteriner, 32(1) :126-421

Lusiyanti Y., I. Indrawati, A. Wa’id dan M. Lubis. 1996. Studi Awal Mikronuklei Pada Sel Limfosit Perifer, Prosiding Presentasi Ilmiah Kesehatan Radiasi dan Lingkungan, :278-282.

Mahmud, S., Aunurohim, dan T.D. Tjahyaningrum. 2012. Struktur komunitas fitoplankton pada tambak dengan pupuk dan tambak tanpa pupuk di Kelurahan Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur. Jurnal Sains dan Seni ITS. 1:10-15.

Nabib, R. dan F.H. Pasaribu. 1989. Patologi Dan Penyakit Ikan. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor.

Nagasawa‚ K. And E. Cruz-Lacierda. 2004. Diseases of Cultured Groupers. Goverment of Japan Trust Fund.

94

Ozkan, F., S. G. Gunduz., M. Berkoz and A. Ozlner- unt. 2011. “Induction of micronuclei and other nuclear abnormalities in peripheral erythrocytes of Nile tilapia, Oreochromis niloticus, following exposure to sublethal cadmium dose”. Turk. J. Zool. 35 (4) : 585-592. DOI : 10.3906/zoo-0907-77.

Paruntu, C. P. 2015. Budidaya Ikan Kerapu (Epinephelus tauvina Forsskal, 1775)

dan Ikan Beronang (Siganus canaliculatus Park, 1797) dalam Karamba Jaring Apung dengan Sistim Polikultur. Jurnal Budidaya Perairan. 32(1): 1-10.

Prihartini, N. C. 2016. Distribusi Pathognomik Virulensi VNN (Viral Nervous

Necrotic) pada Benih Nila (Oreochromis sp.). Jurnal Ilmu Perikanan. 7(2). Raa R, Rorstad G, Engstad R, Robertsen B. 1992. The use of imunostimulants to

increase resistance of aquatic organisms to microbial infections. Didalam: Shariff M, Subasighe RP, Arthur JR, editor. Diseases in Asian Aquaculture Vol. I. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines (PH). hlm 39-50.

Randall, J.E. 1987. “A Preliminary Synopsis of the roupers(Perciformes: Seranidae; Epinephelinae) of the Indo-Pasific Region”, in J. J. Polovina, S. Ralston Tropical Snappers and Groupers: Biology and Fisheries Management (Boulder and London: Westview Press, Inc.

Sakai M. 1999. Current research status of fish immunostimulants. J.Aquaculture. 172:63-92.

Satyantini, W. H. 2013. Teknologi Produksi Fikosianin Spirulina Platensis Dan Pemanfaatannya Sebagai Imunostimulan Pada Ikan kerapu Bebek (Cromileptes altivelis), DIsertasi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Secombes CJ. 1996. The nonspecific immune system: Cellular Defenses In Iwama G, Nakanishi T. (eds). The Immune System: Organism, Pathogen and Environment. USA (US): Academic Press. hlm 63-103.

Simanjuntak, S. B. I., Yuwono, E., & Rachmawati, F. N. 2006. Pengaruh

Penyuplemenan Spirulina dalam Pakan terhadap Hematologis Ikan Nilem (Osteochilus hasselti cv). Pembangunan Pedesaan, 6 (2).

Stock‚ W. and R. offman. 2000. White blood cells 1: non-malignant disorders. The Lance. 355: 1351-1357.

Sudaryatma P.E. dan A.T. Lestari. 2014. Imonuhistokimia Patogenitas Viral Nervous Necrosis Isolat Lapang Bali yang Diinfeksikan Pada Kerapu Macan Budidaya, ACTA VETERINARA INDONESIANA. 2(2):54-61.

Sudaryatma, P.E., Artanti, T.L., Trisnasari, T., Lidayana, D.L. dan Nurlita, W. 2012. Pemeriksaan Viral Nervous Necrosis Pada Sampel Air Pemeliharaan Ikan Kerapu Macan Dengan Metode Imunositokimia Streptavidin Biotin. J. Sain Vet. 2: 2-12.

95

Sudjiharno. 2004. Pembenihan Ikan Kerapu. Lampung: Proyek Pengembangan Perekayasaan Teknologi Balai Budidaya Laut Lampung. Tampubolon, G. H. Dan E. Mulyadi, Sinopsis Ikan Kerapu di Perairan

Sumaryam, Kusyairi, S. Oetami, H. Suprapto, G.C.D. Vries. 2010. Kultur Sel Otak dan Mata Ikan Kerapu (Chromileptes altivelis) Untuk Replikasi Viral Nervous Necrosis (VNN), Berita Biologi, 10 (4).

Surachmad, W. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik Edisi Kedelapan. Tarsito. Bandung.

Svobodova, Z. and B. Vyukusova. 1991. Diagnostik, Prevention and Therapy of Fish Disease and Intoxication. Research Institute of fish Culture and Hydrobiology Vodnany Czechoslovakia.

Takashima T, Hibiya T. 1995. An atlas of Fish Histology. Normal and Pathological Features. Tokyo (JP): Kodansha Ltd. 195 hlm.

Tampubolon, G. H. Dan E. Mulyadi. 1989. Sinopsis Ikan Kerapu di Perairan Indonesia, Balitbangkan, Semarang.

Wedemeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical methods for the assessment of effect on environmental stress on fish health. Technical Papers of the U.S.

Whyte SK. 2007. The innate immune response of finfish-A review of current Wildlife Service 89:1-17.

Yanuhar, U. 2011. The Function of Receptor Protein Humpback Grouper Cromileptes altivelis in Expression and Proliferation of CD4 and CD8 cells in Defence Immunity of Viral Nervous Necrotic Infection. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics, Vol. 1, No. 2.

Yanuhar‚ U. 2010. The role of immunogenic adhesin Vibrio alginolyticus 49 kDa to molecule expression of majorhistocompatibility complex on receptors of Humpback Grouper Cromileptes altivelis. World Academy of Science‚ Engineering and Technology. 43: 968 - 973.

96

LAMPIRAN

No

N. oculata

Alat

Bahan

1. Kultur skala

laboratorium

- Toples 10 L - Aerator set - Pipet volume - Lambu - Plastik penutup

- Starter N. oculata - Air laut - Pupuk Walne - Vitamin - Clorine (Cl2) - Natrium thio sulfat

(Na2S2O3)

2. Perhitungan

kelimpahan sel

- Pipet tetes - Washing bottle - Haemocytometer - Cover glass - Mikroskop binokuler - handcounter - Kamera

- Air sampel - Aquades - Tissue

Lampiran 1. Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Kultur dan Perhitungan Kelimpahan Sel N. oculata

No Parameter Alat Bahan

1 Darah Ikan Spuit

Ependorf

Stereofoam

Na Sitrat 3,8 %

2 Preparat

Darah Ikan

Mikroskop

Objek Glass

Pipet Tetes

Darah

Methanol

Giemsa

Aquades

Air

3 Sel Darah

Merah

Pipet Eritrosit

Cover Glass

Kamar Hitung

Neubauer

Mikroskop

Darah Ikan

Larutan Giemsa

4 Sel Darah

Putih

Pipet Leukosit

Cover Glass

Haemocytometer

Mikroskop

Darah Ikan

Larutan Turk

97

5 Konsentrasi

Hemoglobin

Hemometer

Pipet Sahli

Darah Ikan

HCL 0,1

6 Nilai

Hematokrit

Microhematokrit centrifuge (Hemofuge Darah)

Darah Ikan

Lilin penyumbat/malam

Lampiran 2. Alat dan Bahan Pengambilan Darah

No

Viral Nervous

Necrosis (VNN)

Alat

Bahan

1. Ekstraksi Viral

Nervous Necrosis

(VNN)

- Mortart dan alu - Gelas ukur 25 ml - Spatula - centrifuge - cuvet - rak cuvet

- Ikan kerapu terinfeksi VNN

- Aquades

Lampiran 3. Alat dan Bahan untuk Ekstraksi Viral Nervous Necrosis (VNN)

No

Perlakuan

Alat

Bahan

1. Aklimatisasi - Akuarium - Aerator set - Plastik penutup

- Ikan kerapu cantang

2. Perlakuan Penelitian - Akuarium - Aerator set

- Ikan kerapu cantang - Ekstraksi VNN - N. oculata - Air laut steril - Kertas label

Lampiran 4. Alat dan Bahan untuk Perlakuan Penelitian

98

No

Parameter Fisika

Alat

Bahan

1. 1. Suhu - DO meter - Air sampel

No

Parameter Kimia

Alat

Bahan

1. Potential of Hydrogen

(pH) - pH meter - Air sampel

2. Dissolved Oxygen

(DO)

- DO meter

- Air sampel

3. Salinitas - Refraktometer

- Air sampel

Lampiran 5. Alat dan Bahan untuk Pengukuran Kualitas Air

A. Treatment Alga

Diketahui: Kepadatan Awal (N1) : 8,9 x 106 (BPBAP Situbondo) Volume yg diinginkan (V2) : 20 L / 20.000 ml Kepadatan yg diinginkan (N2) : 102 ; 104 ; 106

Ditanya: Volume awal: ........? Penyelesaian:

99

Kepadatan 102

N1 x V1 = N2 x V2

V1 = N2 x V2 / N1

V1 = 1 x 102 x 2 x 104 / 8,9 x 106

V1 = 0,22 ml

Kepadatan 106

N1 x V1 = N2 x V2

V1 = N2 x V2 / N1

V1 = 1 x 106 x 2 x 104 / 8,9 x 106

V1 = 2.247,19 ml

V1= 2,247 L

Lampiran 6. Perhitungan Pengkondisian Kepadatan Mikroalga

100

Lampiran 7. Hasil Analisa Data dengan Menggunakan software SPSS

Univariate Analysis of Variance

101

Descriptive Statistics

Dependent Variable: Histopatologi

11.37 .709 3

9.30 2.093 3

10.78 .433 3

8.00 .838 3

9.86 1.713 12

23.13 2.419 3

13.51 .712 3

14.50 2.556 3

14.66 2.376 3

16.45 4.453 12

10.30 1.153 3

8.77 1.582 3

10.66 .652 3

7.71 .137 3

9.36 1.523 12

9.73 .808 3

7.85 3.012 3

9.82 3.143 3

7.62 .315 3

8.76 2.175 12

10.30 1.473 3

9.49 1.825 3

9.32 1.824 3

7.83 .454 3

9.24 1.583 12

13.93 1.818 3

10.69 1.966 3

12.36 2.080 3

10.48 .725 3

11.87 2.078 12

13.10 1.039 3

11.28 1.502 3

11.92 2.251 3

9.60 .590 3

11.47 1.827 12

13.67 1.914 3

9.04 1.377 3

13.58 1.456 3

10.35 .336 3

11.66 2.422 12

13.19 4.334 24

9.99 2.306 24

11.62 2.400 24

9.53 2.429 24

11.08 3.281 96

Alga

SP

DS

CV

NO

Total

SP

DS

CV

NO

Total

SP

DS

CV

NO

Total

SP

DS

CV

NO

Total

SP

DS

CV

NO

Total

SP

DS

CV

NO

Total

SP

DS

CV

NO

Total

SP

DS

CV

NO

Total

SP

DS

CV

NO

Total

Kelompok

K

V

S2

S4

S6

SV2

SV4

SV6

Total

Mean Std. Dev iation N

102

Estimated Marginal Means

Levene's Test of Equality of Error Variancesa

Dependent Variable: Histopatologi

1.468 31 64 .098

F df1 df2 Sig.

Tests the null hypothesis that the error variance of

the dependent variable is equal across groups.

Design: Intercept+KLP+ALG+KLP * ALGa.

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Histopatologi

850.822a 31 27.446 10.225 .000

11790.672 1 11790.672 4392.670 .000

518.424 7 74.061 27.592 .000

200.105 3 66.702 24.850 .000

132.293 21 6.300 2.347 .005

171.787 64 2.684

12813.281 96

1022.609 95

Source

Corrected Model

Intercept

KLP

ALG

KLP * ALG

Error

Total

Corrected Total

Type I II Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .832 (Adjusted R Squared = .751)a.

Grand Mean

Dependent Variable: Histopatologi

11.082 .167 10.748 11.416

Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound

95% Conf idence Interv al

103

Post Hoc Tests Kelompok

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Histopatologi

Tukey HSD

-6.59* .669 .000 -8.69 -4.49

.50 .669 .995 -1.60 2.60

1.11 .669 .717 -.99 3.20

.63 .669 .981 -1.47 2.72

-2.01 .669 .070 -4.10 .09

-1.61 .669 .253 -3.71 .48

-1.80 .669 .145 -3.89 .30

6.59* .669 .000 4.49 8.69

7.09* .669 .000 4.99 9.19

7.69* .669 .000 5.60 9.79

7.21* .669 .000 5.12 9.31

4.58* .669 .000 2.49 6.68

4.98* .669 .000 2.88 7.07

4.79* .669 .000 2.70 6.89

-.50 .669 .995 -2.60 1.60

-7.09* .669 .000 -9.19 -4.99

.60 .669 .985 -1.49 2.70

.12 .669 1.000 -1.97 2.22

-2.51* .669 .009 -4.60 -.41

-2.11* .669 .047 -4.21 -.02

-2.30* .669 .022 -4.39 -.20

-1.11 .669 .717 -3.20 .99

-7.69* .669 .000 -9.79 -5.60

-.60 .669 .985 -2.70 1.49

-.48 .669 .996 -2.58 1.62

-3.11* .669 .000 -5.21 -1.02

-2.72* .669 .003 -4.81 -.62

-2.90* .669 .001 -5.00 -.81

-.63 .669 .981 -2.72 1.47

-7.21* .669 .000 -9.31 -5.12

-.12 .669 1.000 -2.22 1.97

.48 .669 .996 -1.62 2.58

-2.63* .669 .005 -4.73 -.54

-2.24* .669 .028 -4.33 -.14

-2.42* .669 .013 -4.52 -.33

2.01 .669 .070 -.09 4.10

-4.58* .669 .000 -6.68 -2.49

2.51* .669 .009 .41 4.60

3.11* .669 .000 1.02 5.21

2.63* .669 .005 .54 4.73

.39 .669 .999 -1.70 2.49

.21 .669 1.000 -1.89 2.30

1.61 .669 .253 -.48 3.71

-4.98* .669 .000 -7.07 -2.88

2.11* .669 .047 .02 4.21

2.72* .669 .003 .62 4.81

2.24* .669 .028 .14 4.33

-.39 .669 .999 -2.49 1.70

-.18 .669 1.000 -2.28 1.91

1.80 .669 .145 -.30 3.89

-4.79* .669 .000 -6.89 -2.70

2.30* .669 .022 .20 4.39

2.90* .669 .001 .81 5.00

2.42* .669 .013 .33 4.52

-.21 .669 1.000 -2.30 1.89

.18 .669 1.000 -1.91 2.28

(J) Kelompok

V

S2

S4

S6

SV2

SV4

SV6

K

S2

S4

S6

SV2

SV4

SV6

K

V

S4

S6

SV2

SV4

SV6

K

V

S2

S6

SV2

SV4

SV6

K

V

S2

S4

SV2

SV4

SV6

K

V

S2

S4

S6

SV4

SV6

K

V

S2

S4

S6

SV2

SV6

K

V

S2

S4

S6

SV2

SV4

(I) Kelompok

K

V

S2

S4

S6

SV2

SV4

SV6

Mean

Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the .05 level.*.

104

Homogeneous Subsets

Alga

Histopatologi

Tukey HSDa,b

12 8.76

12 9.24

12 9.36

12 9.86 9.86

12 11.47

12 11.66

12 11.87

12 16.45

.717 .070 1.000

Kelompok

S4

S6

S2

K

SV4

SV6

SV2

V

Sig.

N 1 2 3

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on Ty pe III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 2.684.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000.a.

Alpha = .05.b.

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Histopatologi

Tukey HSD

3.20* .473 .000 1.95 4.45

1.57* .473 .008 .33 2.82

3.66* .473 .000 2.41 4.91

-3.20* .473 .000 -4.45 -1.95

-1.63* .473 .006 -2.87 -.38

.46 .473 .765 -.79 1.71

-1.57* .473 .008 -2.82 -.33

1.63* .473 .006 .38 2.87

2.09* .473 .000 .84 3.34

-3.66* .473 .000 -4.91 -2.41

-.46 .473 .765 -1.71 .79

-2.09* .473 .000 -3.34 -.84

(J) AlgaDS

CV

NO

SP

CV

NO

SP

DS

NO

SP

DS

CV

(I) AlgaSP

DS

CV

NO

Mean

Dif f erence

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Conf idence Interval

Based on observ ed means.

The mean dif f erence is signif icant at the .05 level.*.

105

Homogeneous Subsets

Profile Plots

Lampiran 7. Analisis data software SPSS Factorial

Histopatologi

Tukey HSDa,b

24 9.53

24 9.99

24 11.62

24 13.19

.765 1.000 1.000

Alga

NO

DS

CV

SP

Sig.

N 1 2 3

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are display ed.

Based on Ty pe III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 2.684.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.a.

Alpha = .05.b.

Estimated Marginal Means of Histopatologi

Kelompok

SV6SV4SV2S6S4S2VK

Estim

ate

d M

arg

inal M

eans

30

20

10

0

Alga

SP

DS

CV

NO

106

Kultur Alga

Perhitungan Kepadatan

Aklimatisasi Ikan Kerapu

107

Ekstraksi VNN

Pengambilan sampel darah ikan

kerapu cantang

Treatment pada bak

pemeliharan pada penelitian

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian