penerapan asas akuntabilitas dalam kegiatan pendaftaran tanah di indonesia

25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan lapisan permukaan bumi yang paling atas. Tanah banyak dimanfaatkan untuk menanami tumbuh- tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian dan tanah perkebunan, mendirikan bangunan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) pasal 4 ayat (1), tanah dikualifikasikan sebagai “permukaan bumi”, sedang di dalam pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi” di bawahnya serta yang berada di bawah air. Dalam pasal 4 UUPA dinyatakan, bahwa atas dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh tiap orang, dengan demikian, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi. Pembangunan hukum Indonesia, khususnya pembentukan hukum tentang tanah, didasarkan nilai-nilai hukum adat. Indonesia merupakan negara agraris, wajar apabila pembangunan di bidang agraria menduduki tempat yang penting dan mendesak. Urgensi ini disebabkan karena pada zaman penjajahan, hukum agraria Indonesia kurang memberi jaminan akan "kepastian hukum", karena ada dualisme hukum, hukum barat dan hukum adat. 1

Upload: independent

Post on 29-Mar-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan lapisan permukaan bumi yang paling

atas. Tanah banyak dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-

tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah

pertanian dan tanah perkebunan, mendirikan bangunan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Pokok-pokok Agraria (UUPA) pasal 4 ayat (1), tanah

dikualifikasikan sebagai “permukaan bumi”, sedang di

dalam pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan

tubuh bumi” di bawahnya serta yang berada di bawah air.

Dalam pasal 4 UUPA dinyatakan, bahwa atas dasar

menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak

atas tanah permukaan bumi, yang disebut tanah, yang

dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh tiap orang,

dengan demikian, bahwa tanah dalam pengertian yuridis

adalah permukaan bumi.

Pembangunan hukum Indonesia, khususnya pembentukan

hukum tentang tanah, didasarkan nilai-nilai hukum adat.

Indonesia merupakan negara agraris, wajar apabila

pembangunan di bidang agraria menduduki tempat yang

penting dan mendesak. Urgensi ini disebabkan karena

pada zaman penjajahan, hukum agraria Indonesia kurang

memberi jaminan akan "kepastian hukum", karena ada

dualisme hukum, hukum barat dan hukum adat.

1

Pengaturan penguasaan, kepemilikan, serta

pemanfaatan tanah yang ditetapkan dalam Undang Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, merupakan pengembangan dari tujuan politik

sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

yang kemudian dikembangkan ke dalam Pasal 11 UUPA dan

menjadi landasan kebijakan agraria/pertanahan untuk

mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pasal 11 UUPA,

menyatakan bahwa: "bumi, air, ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat".

Diawal kemerdekaan Indonesia, keadaan dualisme

hukum ini masih berlangsung sampai dikeluarkannya UUPA

(Undang-undang Pokok Agraria) atau UU No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Keberadaan

UU ini secara yuridis mengakhiri dominasi hukum barat

dalam urusan agraria. Selain itu hak-hak yang merupakan

warisan dari kolonialisme yang dianggap bertentangan

dengan falsafah bangsa Indonesia dengan UUPA sebagai

turunannya kemudian dihapus. Seperti, hak eigendom, hak

postal, dan hak erfpacht. Hak-hak ini berakhir pada

tanggal 24 September 1980.

Dalam hal pendaftaran tanah, hukum di Indonesia

mengalami dinamika yang merubah tatanan yuridis dalam

bidang agraria. Sejak zaman pra-kemerdekaan atau zaman

2

kolonialisme sampai reformasi ini pendaftaran tanah

mengalami berbagai perkembangan dari sisi landasan

hukumnya maupun dari sisi implementasi. Hal ini

disebabkan karena sempat ada dualisme hukum seperti

yang telah disebutkan sebelumnya.

Dengan dihilangkannya peraturan warisan

kolonialisme, maka tanah (masuk pula air, dan ruang

angkasa) dikuasai langsung oleh negara dan

pengelolaannya diselenggarakan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain,

dikuasai oleh pemerintah.

Bila kita membicarakan tentang kebijakan

pemerintah, apapun bidangnya, termasuk pendaftaran

tanah, mau tidak mau kita juga harus membahasnya dari

segi Hukum Administrasi Negara. Hukum Administrasi

Negara merupakan hukum yang mengatur bagaimana

administrasi negara (pemerintah) menjalankan tugasnya

dan bagaimana hubungan hukum pemerintah dengan warganya

(Ridwan, 2006:35). Oleh karena itu, dalam makalah kali

ini, penulis mencoba mengaitkan kegiatan pendaftaran

tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah atau pejabat

terkait dengan salah satu asas umum pemerintahan yang

baik, yaitu asas akuntabilitas.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah?

3

2. Bagaimana sistem pelaksanaan pendaftaran tanah di

Indonesia?

3. Bagaimana peran asas akuntabilitas dalam

pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah?

C. Tujuan

1. Menjelaskan pengertian pendaftaran tanah.

2. Menjelaskan bagaimana pelaksanaan pendaftaran

tanah di Indonesia.

3. Menjelaskan peran asas akuntabilitas dalam

pelaksanaan pendaftaran tanah.

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendaftaran Tanah

Pendaftaran berasal dari bahasa Belanda “cadastre”,

suatu istilah teknis untuk record (rekaman), yang

merujuk pada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-

lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini

berasal dari bahasa Latin “capitastrum” yang berarti

suatu register atau kapita atau unit yang diperbuat

untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam artian

cadastre adalah rekaman dari pada lahan-lahan, nilai

daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk

kepentingan perpajakan (Parlindungan, 1999:18).

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 1

menyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian

kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus

menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk

peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat

tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah

ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta

hak-hak tertentu yang membebaninya.

Bila ditinjau dari UUPA, dalam Pasal 19 ayat (1)

UUPA menyatakan, Pemerintah adalah penyelenggara

5

Pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia

yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan

melindungi tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Demi menjamin kepastian hukum tersebut,

penyelenggaraan tanah dilakukan dengan cara :

Pengukuran, pemetaan, pembukuan tanah

Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan

hak-hak tersebut

Pemberian surat-surat tanda bukti, yang

berlakunya sebagai alat pembuktian yang kuat

Ketentuan tersebut menunjuk pemerintah untuk

melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia.

Dengan demikian, pendaftaran tanah merupakan kewajiban

yang harus dilaksanakan oleh pemerintah secara terus

menerus dalam rangka menginventarisasi data-data

berkenaan dengan hak-hak atas tanah menurut Undang

Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 yang telah disempurnakan lagi dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah tersebut sebagai

salah satu upaya dalam administrasi negara, sehingga

merupakan bagian dari pemerintahan (Parlindungan,

1999:19).

Pendaftaran tanah merupakan hal yang sangat penting

karena merupakan awal dari kepemilikan hak atas tanah.

Oleh karena itu, dalam UUPA telah diatur mengenai

6

kewenangan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan

pendaftaran tanah sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya. Sedemikian pentingnya sehingga data-data

yang diperoleh harus didapat dengan cara yang seksama

dan seteliti mungkin oleh petugas terkait, baik data

yang menyangkut subyek hak atas tanah maupun yang

menyangkut obyek hak atas tanah.

Pendaftaran tanah merupakan pencatatan identitas

sebidang tanah pada Kantor Pertanahan Kota/ Kabupaten

yang nantinya kan menghasilkan sebuah sertifikat tanah

sebagai bukti yang kuat, sehingga jelas jenis haknya,

kuatnya, batas-batasnya, keadaanya, letaknya serta

pemiliknya. Kewajiban untuk melakukannya pada

prinsipnya dibebankan pada pemerintah dan

pelaksanaannya dilakukan secara bertahap (Sumardjono,

2005:181).

Pendaftaran ini harus melalui proses yang teliti

dan terarah sehingga tidak mungkin sembarangan,

terlebih tujuan pendaftaran bukan hanya untuk

penerbitan sebuah bukti sertifikat tanah saja,

melainkan menjadi kepastian bahwa ada pemilik hak yang

sah atas tanah yang didaftarkan tersebut. Hal ini

seperti tercantum dalam tujuan pendaftaran tanah, yang

berdasarkan Pasal 19 UUPA, tujuan pendaftaran tanah

adalah :

7

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah

diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

Republik Indonesia menurut ketentuan yan diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran Tanah tersebut dalam ayat (1) pasal

ini meliputi :

a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan

hak-hak tersebut

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat

Sedangkan kepastian hukum yang dimaksud adalah :

1. Kepastian mengenai orang/badan hukum yang

menjadi pemegang hak atas tanah tersebut.

Kepastian berkenaan dengan siapakah pemegang hak

atas tanah disebut dengan kepastian mengenai

subyek hak atas tanah.

2. Kepastian mengenai letak tanah, batas-batas

tanah, panjang dan lebar tanah. Kepastian

berkenaan dengan letak, batas-batas dan panjang

serta lebar tanah ini disebut dengan kepastian

mengenai obyek hak atas tanah.

Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan

pendaftaran tanah antara lain :

1. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan

hukum kepada pemegang hak atas tanah

8

2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan agar dapat mengakses data yang

diperlukan berkaitan dengan obyek yang

didaftarkan

Berdasarkan hal-hal diatas, jelaslah bahwa maksud

dan tujuan pemerintah mendaftarkan tanah atau

mendaftarkan hak atas tanah adalah guna menjamin adanya

kepastian hukum berkenaan dengan kepemilikan tanah

dalam rangka pembuktian jika ada persengketaan maupun

mengetahui data-data mengenai tanah tersebut.

Kegiatan pendaftaran tanah berakibat hukum

diberikannya surat tanda bukti hak atas tanah

(sertifikat tanah) kepada pihak yang bersangkutan, yang

berlaku sebagai alat bukti yang sah dan kuat terhadap

hak atas tanah yang dipegangnya itu. Maka, hubungan

antara tujuan pendaftaran tanah dengan tujuan UUPA

yaitu menuju cita-cita adanya kepastian hukum berkenaan

dengan hak-hak atas tanah yang umumnya dipegang oleh

sebagian besar rakyat Indonesia, diharapkan dapat

tercapai.

Kegiatan pendaftaran tanah dapat dilaksanakan

melalui dua cara yaitu :

a. Pendaftaran tanah secara sistematik

Pendaftaran tanah secara sistematik adalah

kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang

dilakukan secara serentak yang meliputi semua

9

obyek pendaftaran yang belum didaftar dalam

wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.

Pendaftaran tanah secara sistematik

diselenggarakan atas prakarsa pemerintah

berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka

panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-

wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

b. Pendaftaran tanah secara sporadik

Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu

atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam

wilayah suatu desa/kelurahan secara individual

atau masal. Pendaftaran tanah secara sporadik

dilaksanakan atas permintaan atau inisiatif dari

pemilik tanah secara individual atau juga

dilakukan oleh beberapa pemilik tanah secara masal

dengan biaya dari pemilik tanah itu sendiri.

B. Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia

Sistem pendaftaran tanah di suatu negara sangat

bergantung pada asas yang dianut negara tersebut dalam

proses pengalihan hak atas tanah. Umumnya ada dua asas

hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris.

Pada asas itikad baik berarti orang yang memperoleh

suatu hak dengan itikad baik akan menjadi pemegang hak

10

yang sah menurut hukum. Sedangkan asas nemo plus yuris

menyatakan orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi

hak yang ada padanya. Asas itikad baik digunakan dalam

sistem publikasi positif, sedangkan asas nemo plus yuris

diterapkan dalam sistem publikasi negatif. Indonesia

menganut sistem publikasi negatif.

Sistem publikasi negatif dinyatakan dalam

penjelasan pasal 32 PP No. 24 tahun 1997 yang

menyatakan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan

tidak menggunakan sistem publikasi positif, namun

negatif. Dalam sistem publikasi negatif, negara tidak

menjamin kebenaran dan keakuratan data yang diberikan,

atau negara bersifat pasif. Akan tetapi, Indonesia

tidak menganut sistem ini secara murni. Hal ini tampak

pada Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda

bukti hak yang diterbitkan merupakan alat bukti yang

kuat. Dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaran

berbagai peristiwa hukum merupakan alat bukti yang kuat

(Parlindungan, 1999:126).

Sesuai pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997, seseorang

yang menggugat keabsahan suatu sertifikat hak atas

tanah diberikan kesempatan selama 5 tahun untuk

menegakkan haknya apabila merasa dirugikan untuk

keberatan atau membatalkan sertifikat dimaksud. Maka

pendaftaran tanah menganut 2 sistem karena didalam

Pasal 32 memberikan pembatasan untuk dapat digugatnya

11

suatu sertifikat yaitu setelah berlakunya sertifikat

selama 5 tahun. Sistem tersebut adalah :

1. Sistem torrens negatif

Sebelum masa 5 tahun, sertifikat dapat

dibatalkan selama bisa dibuktikan

kepemilikannya.

2. Sistem torrens positif

Setelah berlalu 5 tahun, sertifikat tersebut

tidak dapat dibatalkan.

Berlakunya 2 asas tersebut bertujuan untuk

menyempurnakan PP Nomor 10 Tahun 1961 agar mampu

memberi kepastian hukum terhadap pemegang hak atas

tanah, namun sampai saat ini keberadaan Pasal 32 PP

Nomor 24 Tahun 1997 tidak pernah terealisasi dengan

baik karena pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia,

masih menganut seperti yang ada dalam PP Nomor 10 Tahun

1961.

Harusnya dengan diberlakukannya PP Nomor 24 Tahun

1997, sudah sepatutnya diberlakukan secara mutlak,

artinya, sertifikat tanah yang sudah berlaku lebih dari

5 tahun tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian sudah

tidak dapat digugat karena telah diberikan waktu yang

cukup lama. Dan kalau sudah lebih dari 5 tahun

sertifikat diterbitkan, sedangkan yang menggugat

mempunyai bukti-bukti yang kuat tentang kepemilikinnya,

gugatan itu tidak membatalkan sertifikat, sertifikat

12

tersebut tetap berlaku dan terhadap yang menggugat

diberikan ganti kerugian oleh Pemerintah karena

mempunyai alas hak yang kuat karena dapat dibuktikan

keabsahan dari penguasaan hak atas tanahnya.

Dalam hal ganti rugi, pelaksana pembayaran ganti

rugi adalah Badan Pertanahan Nasional, dengan

menggunakan sistem penganggaran yang ada di dalam

negara, dan didalam pelaksanaaannya tentu perlu dengan

pengawasan yang melekat. Dan apabila didalam penerbitan

sertifikat sebelumnnya bagi pejabat yang

menyalahgunakan kewenangannya atau memanfaatkan keadaan

tertentu untuk keuntungan pribadi atau orang lain atau

badan usaha lainnya, akan dikenakan sanksi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Maria Sumardjono (1997:1), tujuan Pasal 32

ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997, berasal dari Konsep

rechtsverwerking, dalam pendaftaran tanah adalah untuk

memberikan ketegasan pada 2 pihak, yakni:

1. Bagi pemegang sertifikat, jika telah lewat waktu

lima tahun tidak ada gugatan/keberatan, maka ia

terbebas dari gangguan pihak lain yang merasa

sebagai pemegang hak atas tanah tersebut.

2. Pemegang hak atas tanah wajib menguasai secara

fisik tanahnya dan melakukan suatu pendaftaran

agar terhindar dari kemungkinan tanahnya

disertifikatkan atas nama orang lain.

13

Apabila suatu bidang tanah sudah diterbitkan

sertifikatnya secara sah atas nama orang atau badan

hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik

dan secara nyata menguasai tanah tersebut, maka pihak

lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut

tidak dapat lagi menuntut haknya, apabila dalam jangka

waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat tersebut

tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada

pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan atau

tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai

penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat. Inilah

yang disebut rechtsverwerking (Yamin dan Rahim Lubis,

2010:147).

C. Penerapan Asas Akuntabilitas

Keberadaan pejabat dalam suatu ketatanegaraan

sangat penting, karena pejabat merupakan representasi

negara. Dalam konsep administrasi negara, dalam

menjalankan tugas dan fungsinya, negara diwakili oleh

pemerintah, sedangkan pemerintah diwakili oleh pejabat.

Oleh karena itu, berjalannya suatu kebijakan bergantung

pada kompetensi pejabat yang berwenang. Indonesia

merupakan negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin

kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, dengan

kata lain, kehidupan hukum di masyarakat memerlukan

adanya alat bukti yang menentukan hak dan kewajiban

14

seseorang sebagai subyek hukum. Dalam asas-asas

pemerintahan yang baik, terdapat asas yang menyatakan

bahwa setiap perbuatan administrasi negara/pejabat,

harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum kepada

masyarakat. Asas tesebut adalah asas akntabilitas. Asas

akuntabilitas bertujuan untuk melindungi kepentingan

hukum masyarakat atas tindakan atau kebijakan yang

dibuat oleh pejabat berwenang. Dalam kaitannya dengan

pendaftaran tanah, pihak berwenang adalah BPN dibantu

PPAT. Sehingga, dalam menjalankan fungsi dan tugasnya,

PPAT harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan

yang ada agar hasil kerjanya yang berupa akta tanah

bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat secara

hukum.

Penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan tugas

negara yang dilaksanakan oleh pemerintah bagi

kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan

kepastian hukum dibidang pertanahan. Sebagian

kegiatannya yang berupa pengumpulan data fisik tanah

yang haknya didaftar, dapat ditugaskan kepada swasta.

Tetapi untuk memperoleh kekuatan hukum hasilnya

memerlukan pengesahan pejabat pendaftaran yang

berwenang, karena akan digunakan sebagai data bukti.

Sejalan dengan penjelasan umum Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, selain pejabat

struktural, terdapat pula pejabat fungsional yang

15

kedudukannya memegang peranan yang sangat penting,

yaitu Notaris. Dalam Pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2004,

menyatakan bahwa notaris berwenang membuat akta otentik

mengenai perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang

diharuskan oleh peraturan perundang-undangan. Maka,

sesuai pasal tersebut, kewenangan membuat akta tanah

termasuk wewenang notaris. Namun, untuk dapat

menerbitkan akta pertanahan, notaris harus lulus ujian

oleh Menteri Negara Agraria atau Badan Pertanahan

Nasional untuk bisa diangkat menjadi PPAT (Pejabat

Pembuat Akta Tanah). Negara selain menjamin kepastian

hukum, juga wajib memberi perlindungan hukum terhadap

hak atas tanah yang dimiliki warganya. Kegiatan

pendaftaran tanah akan menghasilkan sertifikat tanah

sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah.

Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah untuk

membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah, sehingga dalam melaksanakan

kegiatan pendaftaran tanah, Kantor Pertanahan mutlak

memerlukan data yang harus disajikan dalam bentuk akta

yang hanya boleh dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah.

PPAT merupakan pejabat umum. Menurut Boedi Harsono

(2007), pejabat umum adalah seseorang yang diangkat

oleh Pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan

pelayanan kepada umum dibidang tertentu. Sedangkan

16

menurut Sri Winarsih (2002:186), pengertian pejabat

umum memiliki sifat yuridis, yaitu selalu dalam

kerangka hukum publik. Sifat publiknya tersebut dapat

dilihat dari pengangkatan, pemberhentian, dan

kewenangan PPAT. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh

Kepala Badan Pertanahan Nasional, tugasnya adalah

membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota

dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah,

dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun. Pasal 6 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa:

“Dalam melaksankan pendaftaran tanah, Kepala Kantor

Pertanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah

ini dan peraturan perundangundangan yang bersangkutan”

A.P. Parlindungan (1999:83) menyatakan tugas PPAT

adalah melaksanakan recording of deeds of coveyance, yaitu

merekam pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi hak,

pengikatan jaminan dengan hak atas tanah sebagai hak

tanggungan, mendirikan hak baru diatas sebidang tanah

(Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik) ditambah memasang

surat kuasa memasang hak tanggungan.

17

Ada 8 jenis akta PPAT yang dapat menjadi alat bukti

dan dasar perubahan data pendaftaran tanah, yaitu :

1. Akta jual beli,

2. Akta tukar menukar,

3. Akta hibah,

4. Akta pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),

5. Akta pembagian bersama,

6. Akta pemberian hak guna bangunan/ hak pakai atas

tanah hak milik,

7. Akta pemberian hak tanggungan, dan

8. Akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan

Dalam rangka melaksanakan tugas pembuatan akta

otentik atas 8 jenis perbuatan hukum yang merupakan

bagian daripada kegiatan pendaftaran tanah, PPAT

memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 45

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Fungsi dan tanggung jawab PPAT serta tanggung jawab

pertanahan bertolak dari sistem publikasi negatif dan

kewajiban menilai dokumen, maka sebaiknya terdapat

pembagian fungsi dan tanggung jawab antar PPAT dan

petugas pendaftaran PPAT berfungsi dan bertanggung

jawab :

18

Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar

yang kuat bagi pelaksanaan pendaftaran peralihan

hak atau pembebanan hak.

PPAT bertanggung jawab terhadap terpenuhinya

unsur kecakapan dan kewenangan penghadap dalam

akta dan keabsahan perbuatan haknya sesuai data

dan keterangan yang disampaikan kepada para

penghadap yang dikenal atau diperkenalkan.

PPAT bertanggung jawab atas dokumen yang dipakai

dasar melakukan tindakan hukum kekuatan dan

pembuktiannya telah memenuhi jaminan kepastian

untuk ditindaklanjuti dalam akta otentik dan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum

sesuai data keterangan para penghadap serta

menjamin otensitas akta dan bertanggung jawab

bahwa perbuatannya sesuai prosedur.

Dari beberapa uraian diatas, terdapat prosedur dan

sistem yang harus dipatuhi oleh PPAT selaku pejabat

terkait pendaftaran tanah. Sistem dan prosedur tersebut

merupakan suatu kesatuan yang saling melengkapi. Sistem

merupakan kerangka mekanisme organisasi, sedangkan

prosedur berkaitan dengan jalannya organisasi tersebut.

Singkatnya, tanpa sistem prosedur tidak memiliki

landasan untuk mengatur, dan tanpa prosedur sistem

tidak akan berjalan dengan baik.

19

Dalam menjalankan profesinya, PPAT wajib berpedoman

pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, mengapa? Karena

PPAT merupakan pejabat yang berwenang dalam

mengeluarkan suatu ketetapan hak atas tanah dalam

bentuk sertifikat. Agar sertifikat yang diterbitkannya

bisa dipertanggungjawabkan didepan umum. Hal ini

disebabkan tidak lain karena PPAT merupakan pejabat

publik yang berhadapan langsung dengan kepentingan

masyarakat. Masyarakat selaku pemegang kedaulatan

tertinggi dalam negara demokrasi, berhak mendapat

kepastian dan perlindungan hukum atas kepentingannya.

Setiap pelaksanaan kewenangan pasti memiliki

pertanggungjawaban. Dalam ilmu Hukum Administrasi

Negara, dikatakan bahwa setiap tindakan pejabat harus

memiliki dasar hukum dan bisa dipertanggungjawabkan

(Ridwan, 2006:357). Pertanggungjawaban pemerintah atau

pejabat terhadap masyarakat dianut oleh sebagian besar

negara hukum.

Sejalan dengan tujuan pendaftaran tanah, yaitu

memberi kepastian dan perlindungan hukum, keberadaan

asas akuntabilitas sebagai salah satu asas umum

pemerintahan yang baik dalam kegiatan pendaftaran

tanah, menjadi sangat penting, mengingat hal ini

menyangkut dengan hak masyarakat atas tanah, dimana

kebutuhan manusia atas tanah dijamin oleh konstitusi

kita. Oleh karena itu, pemerintah selaku penguasa tanah

20

wajib menggunakan kewenangannya itu untuk kepentingan

rakyat, sehingga rakyat merasa terpenuhi hak dan

kewajibannya atas tanah dan pemerintah bisa

mempertanggungjawabkan kewenangannya itu kepada rakyat

selaku pemegang kedaulatan tertinggi.

21

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan :

1. Pendaftaran tanah merupakan pencatatan identitas

sebidang tanah pada Kantor Pertanahan Kota/

Kabupaten yang akan menghasilkan sebuah

sertifikat tanah sebagai bukti yang kuat,

sehingga jelas jenis haknya, kuatnya, batas-

batasnya, keadaanya, letaknya serta pemiliknya.

Kewajiban untuk melakukannya pada prinsipnya

dibebankan pada pemerintah dan pelaksanaannya

dilakukan secara bertahap.

2. Pendaftaran tanah adalah kewenangan negara, dalam

hal ini melalui BPN dibantu Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT).

3. Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai peranan

selaku pejabat yang mempunyai fungsi dan tugas

untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu

menurut peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan, termasuk kegiatan pendaftaran

tanah.

4. PPAT wajib mematuhi peraturan perundang-undangan

yang berlaku berkaitan dengan profesinya karena

PPAT merupakan pejabat yang berhadapan secara

langsung dengan kepentingan masyarakat. PPAT

berwenang dalam mengeluarkan suatu bukti hak atas

22

tanah dalam bentuk akta otentik. Agar akta yang

diterbitkannya bisa dipertanggungjawabkan di

depan umum.

B. Saran :

1. Perlu adanya kesadaran sendiri dari seluruh pihak

terkait kegiatan pendaftaran tanah untuk

melaksanakan pendaftaran tanahnya yang telah

ditetapkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah untuk mendapatkan kepastian dan

perlindungan hukum.

2. Demi menjamin terlaksananya tujuan dari

pendaftaran tanah, maka pejabat atau badan

terkait harus mengikuti aturan yang ada sehingga

setiap perbuatan hukum pejabat atau badan

tersebut memiliki payung hukum dan bisa

dipertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah.

23

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Buku dan Artikel Ilmiah

H.R., Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta:

RajaGrafindo.

Parlindungan, A.P. 1999. Pendaftaran Tanah Di

Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Supriadi. 2010. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.

Winarsih, Sri. 2002. Pengaturan Notaris dan PPAT

sebagai Pejabat Umum. Yuridika Fakultas Hukum Universitas

Airlangga. Vol.17 (2), 186.

Artikel Online

Helda, Ade Restya. 2008. Peran Dan Tanggung Jawab Pejabat

Pembuat Akta Tanah Dalam Rangka Kegiatan Pendaftaran Tanah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (Studi

Pada Wilayah Kerja Kota Jambi).

http://eprints.undip.ac.id/16130/1/ADE_RESTYA_HELDA

.pdf. Diakses pada 5 Desember 2014.

Ismudiyatun, Anna. 2009. Tugas Dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) Dalam Pendaftaran Tanah Di Kabupaten Kudus

Propinsi Jawa Tengah.

http://eprints.undip.ac.id/16447/1/ANNA_ISMUDIYATUN

.pdf. Diakses pada 6 Desember 2014.

24

25