penerapan asas akuntabilitas dalam kegiatan pendaftaran tanah di indonesia
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan lapisan permukaan bumi yang paling
atas. Tanah banyak dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-
tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah
pertanian dan tanah perkebunan, mendirikan bangunan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-pokok Agraria (UUPA) pasal 4 ayat (1), tanah
dikualifikasikan sebagai “permukaan bumi”, sedang di
dalam pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan
tubuh bumi” di bawahnya serta yang berada di bawah air.
Dalam pasal 4 UUPA dinyatakan, bahwa atas dasar
menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak
atas tanah permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh tiap orang,
dengan demikian, bahwa tanah dalam pengertian yuridis
adalah permukaan bumi.
Pembangunan hukum Indonesia, khususnya pembentukan
hukum tentang tanah, didasarkan nilai-nilai hukum adat.
Indonesia merupakan negara agraris, wajar apabila
pembangunan di bidang agraria menduduki tempat yang
penting dan mendesak. Urgensi ini disebabkan karena
pada zaman penjajahan, hukum agraria Indonesia kurang
memberi jaminan akan "kepastian hukum", karena ada
dualisme hukum, hukum barat dan hukum adat.
1
Pengaturan penguasaan, kepemilikan, serta
pemanfaatan tanah yang ditetapkan dalam Undang Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, merupakan pengembangan dari tujuan politik
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
yang kemudian dikembangkan ke dalam Pasal 11 UUPA dan
menjadi landasan kebijakan agraria/pertanahan untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pasal 11 UUPA,
menyatakan bahwa: "bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat".
Diawal kemerdekaan Indonesia, keadaan dualisme
hukum ini masih berlangsung sampai dikeluarkannya UUPA
(Undang-undang Pokok Agraria) atau UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Keberadaan
UU ini secara yuridis mengakhiri dominasi hukum barat
dalam urusan agraria. Selain itu hak-hak yang merupakan
warisan dari kolonialisme yang dianggap bertentangan
dengan falsafah bangsa Indonesia dengan UUPA sebagai
turunannya kemudian dihapus. Seperti, hak eigendom, hak
postal, dan hak erfpacht. Hak-hak ini berakhir pada
tanggal 24 September 1980.
Dalam hal pendaftaran tanah, hukum di Indonesia
mengalami dinamika yang merubah tatanan yuridis dalam
bidang agraria. Sejak zaman pra-kemerdekaan atau zaman
2
kolonialisme sampai reformasi ini pendaftaran tanah
mengalami berbagai perkembangan dari sisi landasan
hukumnya maupun dari sisi implementasi. Hal ini
disebabkan karena sempat ada dualisme hukum seperti
yang telah disebutkan sebelumnya.
Dengan dihilangkannya peraturan warisan
kolonialisme, maka tanah (masuk pula air, dan ruang
angkasa) dikuasai langsung oleh negara dan
pengelolaannya diselenggarakan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain,
dikuasai oleh pemerintah.
Bila kita membicarakan tentang kebijakan
pemerintah, apapun bidangnya, termasuk pendaftaran
tanah, mau tidak mau kita juga harus membahasnya dari
segi Hukum Administrasi Negara. Hukum Administrasi
Negara merupakan hukum yang mengatur bagaimana
administrasi negara (pemerintah) menjalankan tugasnya
dan bagaimana hubungan hukum pemerintah dengan warganya
(Ridwan, 2006:35). Oleh karena itu, dalam makalah kali
ini, penulis mencoba mengaitkan kegiatan pendaftaran
tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah atau pejabat
terkait dengan salah satu asas umum pemerintahan yang
baik, yaitu asas akuntabilitas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah?
3
2. Bagaimana sistem pelaksanaan pendaftaran tanah di
Indonesia?
3. Bagaimana peran asas akuntabilitas dalam
pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah?
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian pendaftaran tanah.
2. Menjelaskan bagaimana pelaksanaan pendaftaran
tanah di Indonesia.
3. Menjelaskan peran asas akuntabilitas dalam
pelaksanaan pendaftaran tanah.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendaftaran Tanah
Pendaftaran berasal dari bahasa Belanda “cadastre”,
suatu istilah teknis untuk record (rekaman), yang
merujuk pada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-
lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini
berasal dari bahasa Latin “capitastrum” yang berarti
suatu register atau kapita atau unit yang diperbuat
untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam artian
cadastre adalah rekaman dari pada lahan-lahan, nilai
daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk
kepentingan perpajakan (Parlindungan, 1999:18).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 1
menyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk
peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah
ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya.
Bila ditinjau dari UUPA, dalam Pasal 19 ayat (1)
UUPA menyatakan, Pemerintah adalah penyelenggara
5
Pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan
melindungi tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Demi menjamin kepastian hukum tersebut,
penyelenggaraan tanah dilakukan dengan cara :
Pengukuran, pemetaan, pembukuan tanah
Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan
hak-hak tersebut
Pemberian surat-surat tanda bukti, yang
berlakunya sebagai alat pembuktian yang kuat
Ketentuan tersebut menunjuk pemerintah untuk
melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia.
Dengan demikian, pendaftaran tanah merupakan kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh pemerintah secara terus
menerus dalam rangka menginventarisasi data-data
berkenaan dengan hak-hak atas tanah menurut Undang
Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 yang telah disempurnakan lagi dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah tersebut sebagai
salah satu upaya dalam administrasi negara, sehingga
merupakan bagian dari pemerintahan (Parlindungan,
1999:19).
Pendaftaran tanah merupakan hal yang sangat penting
karena merupakan awal dari kepemilikan hak atas tanah.
Oleh karena itu, dalam UUPA telah diatur mengenai
6
kewenangan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan
pendaftaran tanah sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Sedemikian pentingnya sehingga data-data
yang diperoleh harus didapat dengan cara yang seksama
dan seteliti mungkin oleh petugas terkait, baik data
yang menyangkut subyek hak atas tanah maupun yang
menyangkut obyek hak atas tanah.
Pendaftaran tanah merupakan pencatatan identitas
sebidang tanah pada Kantor Pertanahan Kota/ Kabupaten
yang nantinya kan menghasilkan sebuah sertifikat tanah
sebagai bukti yang kuat, sehingga jelas jenis haknya,
kuatnya, batas-batasnya, keadaanya, letaknya serta
pemiliknya. Kewajiban untuk melakukannya pada
prinsipnya dibebankan pada pemerintah dan
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap (Sumardjono,
2005:181).
Pendaftaran ini harus melalui proses yang teliti
dan terarah sehingga tidak mungkin sembarangan,
terlebih tujuan pendaftaran bukan hanya untuk
penerbitan sebuah bukti sertifikat tanah saja,
melainkan menjadi kepastian bahwa ada pemilik hak yang
sah atas tanah yang didaftarkan tersebut. Hal ini
seperti tercantum dalam tujuan pendaftaran tanah, yang
berdasarkan Pasal 19 UUPA, tujuan pendaftaran tanah
adalah :
7
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan yan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran Tanah tersebut dalam ayat (1) pasal
ini meliputi :
a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan
hak-hak tersebut
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
Sedangkan kepastian hukum yang dimaksud adalah :
1. Kepastian mengenai orang/badan hukum yang
menjadi pemegang hak atas tanah tersebut.
Kepastian berkenaan dengan siapakah pemegang hak
atas tanah disebut dengan kepastian mengenai
subyek hak atas tanah.
2. Kepastian mengenai letak tanah, batas-batas
tanah, panjang dan lebar tanah. Kepastian
berkenaan dengan letak, batas-batas dan panjang
serta lebar tanah ini disebut dengan kepastian
mengenai obyek hak atas tanah.
Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan
pendaftaran tanah antara lain :
1. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas tanah
8
2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan agar dapat mengakses data yang
diperlukan berkaitan dengan obyek yang
didaftarkan
Berdasarkan hal-hal diatas, jelaslah bahwa maksud
dan tujuan pemerintah mendaftarkan tanah atau
mendaftarkan hak atas tanah adalah guna menjamin adanya
kepastian hukum berkenaan dengan kepemilikan tanah
dalam rangka pembuktian jika ada persengketaan maupun
mengetahui data-data mengenai tanah tersebut.
Kegiatan pendaftaran tanah berakibat hukum
diberikannya surat tanda bukti hak atas tanah
(sertifikat tanah) kepada pihak yang bersangkutan, yang
berlaku sebagai alat bukti yang sah dan kuat terhadap
hak atas tanah yang dipegangnya itu. Maka, hubungan
antara tujuan pendaftaran tanah dengan tujuan UUPA
yaitu menuju cita-cita adanya kepastian hukum berkenaan
dengan hak-hak atas tanah yang umumnya dipegang oleh
sebagian besar rakyat Indonesia, diharapkan dapat
tercapai.
Kegiatan pendaftaran tanah dapat dilaksanakan
melalui dua cara yaitu :
a. Pendaftaran tanah secara sistematik
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang
dilakukan secara serentak yang meliputi semua
9
obyek pendaftaran yang belum didaftar dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.
Pendaftaran tanah secara sistematik
diselenggarakan atas prakarsa pemerintah
berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka
panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-
wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
b. Pendaftaran tanah secara sporadik
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu
atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam
wilayah suatu desa/kelurahan secara individual
atau masal. Pendaftaran tanah secara sporadik
dilaksanakan atas permintaan atau inisiatif dari
pemilik tanah secara individual atau juga
dilakukan oleh beberapa pemilik tanah secara masal
dengan biaya dari pemilik tanah itu sendiri.
B. Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia
Sistem pendaftaran tanah di suatu negara sangat
bergantung pada asas yang dianut negara tersebut dalam
proses pengalihan hak atas tanah. Umumnya ada dua asas
hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris.
Pada asas itikad baik berarti orang yang memperoleh
suatu hak dengan itikad baik akan menjadi pemegang hak
10
yang sah menurut hukum. Sedangkan asas nemo plus yuris
menyatakan orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi
hak yang ada padanya. Asas itikad baik digunakan dalam
sistem publikasi positif, sedangkan asas nemo plus yuris
diterapkan dalam sistem publikasi negatif. Indonesia
menganut sistem publikasi negatif.
Sistem publikasi negatif dinyatakan dalam
penjelasan pasal 32 PP No. 24 tahun 1997 yang
menyatakan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan
tidak menggunakan sistem publikasi positif, namun
negatif. Dalam sistem publikasi negatif, negara tidak
menjamin kebenaran dan keakuratan data yang diberikan,
atau negara bersifat pasif. Akan tetapi, Indonesia
tidak menganut sistem ini secara murni. Hal ini tampak
pada Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda
bukti hak yang diterbitkan merupakan alat bukti yang
kuat. Dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaran
berbagai peristiwa hukum merupakan alat bukti yang kuat
(Parlindungan, 1999:126).
Sesuai pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997, seseorang
yang menggugat keabsahan suatu sertifikat hak atas
tanah diberikan kesempatan selama 5 tahun untuk
menegakkan haknya apabila merasa dirugikan untuk
keberatan atau membatalkan sertifikat dimaksud. Maka
pendaftaran tanah menganut 2 sistem karena didalam
Pasal 32 memberikan pembatasan untuk dapat digugatnya
11
suatu sertifikat yaitu setelah berlakunya sertifikat
selama 5 tahun. Sistem tersebut adalah :
1. Sistem torrens negatif
Sebelum masa 5 tahun, sertifikat dapat
dibatalkan selama bisa dibuktikan
kepemilikannya.
2. Sistem torrens positif
Setelah berlalu 5 tahun, sertifikat tersebut
tidak dapat dibatalkan.
Berlakunya 2 asas tersebut bertujuan untuk
menyempurnakan PP Nomor 10 Tahun 1961 agar mampu
memberi kepastian hukum terhadap pemegang hak atas
tanah, namun sampai saat ini keberadaan Pasal 32 PP
Nomor 24 Tahun 1997 tidak pernah terealisasi dengan
baik karena pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia,
masih menganut seperti yang ada dalam PP Nomor 10 Tahun
1961.
Harusnya dengan diberlakukannya PP Nomor 24 Tahun
1997, sudah sepatutnya diberlakukan secara mutlak,
artinya, sertifikat tanah yang sudah berlaku lebih dari
5 tahun tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian sudah
tidak dapat digugat karena telah diberikan waktu yang
cukup lama. Dan kalau sudah lebih dari 5 tahun
sertifikat diterbitkan, sedangkan yang menggugat
mempunyai bukti-bukti yang kuat tentang kepemilikinnya,
gugatan itu tidak membatalkan sertifikat, sertifikat
12
tersebut tetap berlaku dan terhadap yang menggugat
diberikan ganti kerugian oleh Pemerintah karena
mempunyai alas hak yang kuat karena dapat dibuktikan
keabsahan dari penguasaan hak atas tanahnya.
Dalam hal ganti rugi, pelaksana pembayaran ganti
rugi adalah Badan Pertanahan Nasional, dengan
menggunakan sistem penganggaran yang ada di dalam
negara, dan didalam pelaksanaaannya tentu perlu dengan
pengawasan yang melekat. Dan apabila didalam penerbitan
sertifikat sebelumnnya bagi pejabat yang
menyalahgunakan kewenangannya atau memanfaatkan keadaan
tertentu untuk keuntungan pribadi atau orang lain atau
badan usaha lainnya, akan dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Maria Sumardjono (1997:1), tujuan Pasal 32
ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997, berasal dari Konsep
rechtsverwerking, dalam pendaftaran tanah adalah untuk
memberikan ketegasan pada 2 pihak, yakni:
1. Bagi pemegang sertifikat, jika telah lewat waktu
lima tahun tidak ada gugatan/keberatan, maka ia
terbebas dari gangguan pihak lain yang merasa
sebagai pemegang hak atas tanah tersebut.
2. Pemegang hak atas tanah wajib menguasai secara
fisik tanahnya dan melakukan suatu pendaftaran
agar terhindar dari kemungkinan tanahnya
disertifikatkan atas nama orang lain.
13
Apabila suatu bidang tanah sudah diterbitkan
sertifikatnya secara sah atas nama orang atau badan
hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik
dan secara nyata menguasai tanah tersebut, maka pihak
lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut
tidak dapat lagi menuntut haknya, apabila dalam jangka
waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat tersebut
tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada
pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan atau
tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat. Inilah
yang disebut rechtsverwerking (Yamin dan Rahim Lubis,
2010:147).
C. Penerapan Asas Akuntabilitas
Keberadaan pejabat dalam suatu ketatanegaraan
sangat penting, karena pejabat merupakan representasi
negara. Dalam konsep administrasi negara, dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, negara diwakili oleh
pemerintah, sedangkan pemerintah diwakili oleh pejabat.
Oleh karena itu, berjalannya suatu kebijakan bergantung
pada kompetensi pejabat yang berwenang. Indonesia
merupakan negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, dengan
kata lain, kehidupan hukum di masyarakat memerlukan
adanya alat bukti yang menentukan hak dan kewajiban
14
seseorang sebagai subyek hukum. Dalam asas-asas
pemerintahan yang baik, terdapat asas yang menyatakan
bahwa setiap perbuatan administrasi negara/pejabat,
harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum kepada
masyarakat. Asas tesebut adalah asas akntabilitas. Asas
akuntabilitas bertujuan untuk melindungi kepentingan
hukum masyarakat atas tindakan atau kebijakan yang
dibuat oleh pejabat berwenang. Dalam kaitannya dengan
pendaftaran tanah, pihak berwenang adalah BPN dibantu
PPAT. Sehingga, dalam menjalankan fungsi dan tugasnya,
PPAT harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan
yang ada agar hasil kerjanya yang berupa akta tanah
bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat secara
hukum.
Penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan tugas
negara yang dilaksanakan oleh pemerintah bagi
kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan
kepastian hukum dibidang pertanahan. Sebagian
kegiatannya yang berupa pengumpulan data fisik tanah
yang haknya didaftar, dapat ditugaskan kepada swasta.
Tetapi untuk memperoleh kekuatan hukum hasilnya
memerlukan pengesahan pejabat pendaftaran yang
berwenang, karena akan digunakan sebagai data bukti.
Sejalan dengan penjelasan umum Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, selain pejabat
struktural, terdapat pula pejabat fungsional yang
15
kedudukannya memegang peranan yang sangat penting,
yaitu Notaris. Dalam Pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2004,
menyatakan bahwa notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan. Maka,
sesuai pasal tersebut, kewenangan membuat akta tanah
termasuk wewenang notaris. Namun, untuk dapat
menerbitkan akta pertanahan, notaris harus lulus ujian
oleh Menteri Negara Agraria atau Badan Pertanahan
Nasional untuk bisa diangkat menjadi PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah). Negara selain menjamin kepastian
hukum, juga wajib memberi perlindungan hukum terhadap
hak atas tanah yang dimiliki warganya. Kegiatan
pendaftaran tanah akan menghasilkan sertifikat tanah
sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah.
Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah untuk
membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah, sehingga dalam melaksanakan
kegiatan pendaftaran tanah, Kantor Pertanahan mutlak
memerlukan data yang harus disajikan dalam bentuk akta
yang hanya boleh dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
PPAT merupakan pejabat umum. Menurut Boedi Harsono
(2007), pejabat umum adalah seseorang yang diangkat
oleh Pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan
pelayanan kepada umum dibidang tertentu. Sedangkan
16
menurut Sri Winarsih (2002:186), pengertian pejabat
umum memiliki sifat yuridis, yaitu selalu dalam
kerangka hukum publik. Sifat publiknya tersebut dapat
dilihat dari pengangkatan, pemberhentian, dan
kewenangan PPAT. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh
Kepala Badan Pertanahan Nasional, tugasnya adalah
membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota
dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah,
dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun. Pasal 6 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa:
“Dalam melaksankan pendaftaran tanah, Kepala Kantor
Pertanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah
ini dan peraturan perundangundangan yang bersangkutan”
A.P. Parlindungan (1999:83) menyatakan tugas PPAT
adalah melaksanakan recording of deeds of coveyance, yaitu
merekam pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi hak,
pengikatan jaminan dengan hak atas tanah sebagai hak
tanggungan, mendirikan hak baru diatas sebidang tanah
(Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik) ditambah memasang
surat kuasa memasang hak tanggungan.
17
Ada 8 jenis akta PPAT yang dapat menjadi alat bukti
dan dasar perubahan data pendaftaran tanah, yaitu :
1. Akta jual beli,
2. Akta tukar menukar,
3. Akta hibah,
4. Akta pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),
5. Akta pembagian bersama,
6. Akta pemberian hak guna bangunan/ hak pakai atas
tanah hak milik,
7. Akta pemberian hak tanggungan, dan
8. Akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan
Dalam rangka melaksanakan tugas pembuatan akta
otentik atas 8 jenis perbuatan hukum yang merupakan
bagian daripada kegiatan pendaftaran tanah, PPAT
memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 45
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Fungsi dan tanggung jawab PPAT serta tanggung jawab
pertanahan bertolak dari sistem publikasi negatif dan
kewajiban menilai dokumen, maka sebaiknya terdapat
pembagian fungsi dan tanggung jawab antar PPAT dan
petugas pendaftaran PPAT berfungsi dan bertanggung
jawab :
18
Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar
yang kuat bagi pelaksanaan pendaftaran peralihan
hak atau pembebanan hak.
PPAT bertanggung jawab terhadap terpenuhinya
unsur kecakapan dan kewenangan penghadap dalam
akta dan keabsahan perbuatan haknya sesuai data
dan keterangan yang disampaikan kepada para
penghadap yang dikenal atau diperkenalkan.
PPAT bertanggung jawab atas dokumen yang dipakai
dasar melakukan tindakan hukum kekuatan dan
pembuktiannya telah memenuhi jaminan kepastian
untuk ditindaklanjuti dalam akta otentik dan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum
sesuai data keterangan para penghadap serta
menjamin otensitas akta dan bertanggung jawab
bahwa perbuatannya sesuai prosedur.
Dari beberapa uraian diatas, terdapat prosedur dan
sistem yang harus dipatuhi oleh PPAT selaku pejabat
terkait pendaftaran tanah. Sistem dan prosedur tersebut
merupakan suatu kesatuan yang saling melengkapi. Sistem
merupakan kerangka mekanisme organisasi, sedangkan
prosedur berkaitan dengan jalannya organisasi tersebut.
Singkatnya, tanpa sistem prosedur tidak memiliki
landasan untuk mengatur, dan tanpa prosedur sistem
tidak akan berjalan dengan baik.
19
Dalam menjalankan profesinya, PPAT wajib berpedoman
pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, mengapa? Karena
PPAT merupakan pejabat yang berwenang dalam
mengeluarkan suatu ketetapan hak atas tanah dalam
bentuk sertifikat. Agar sertifikat yang diterbitkannya
bisa dipertanggungjawabkan didepan umum. Hal ini
disebabkan tidak lain karena PPAT merupakan pejabat
publik yang berhadapan langsung dengan kepentingan
masyarakat. Masyarakat selaku pemegang kedaulatan
tertinggi dalam negara demokrasi, berhak mendapat
kepastian dan perlindungan hukum atas kepentingannya.
Setiap pelaksanaan kewenangan pasti memiliki
pertanggungjawaban. Dalam ilmu Hukum Administrasi
Negara, dikatakan bahwa setiap tindakan pejabat harus
memiliki dasar hukum dan bisa dipertanggungjawabkan
(Ridwan, 2006:357). Pertanggungjawaban pemerintah atau
pejabat terhadap masyarakat dianut oleh sebagian besar
negara hukum.
Sejalan dengan tujuan pendaftaran tanah, yaitu
memberi kepastian dan perlindungan hukum, keberadaan
asas akuntabilitas sebagai salah satu asas umum
pemerintahan yang baik dalam kegiatan pendaftaran
tanah, menjadi sangat penting, mengingat hal ini
menyangkut dengan hak masyarakat atas tanah, dimana
kebutuhan manusia atas tanah dijamin oleh konstitusi
kita. Oleh karena itu, pemerintah selaku penguasa tanah
20
wajib menggunakan kewenangannya itu untuk kepentingan
rakyat, sehingga rakyat merasa terpenuhi hak dan
kewajibannya atas tanah dan pemerintah bisa
mempertanggungjawabkan kewenangannya itu kepada rakyat
selaku pemegang kedaulatan tertinggi.
21
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan :
1. Pendaftaran tanah merupakan pencatatan identitas
sebidang tanah pada Kantor Pertanahan Kota/
Kabupaten yang akan menghasilkan sebuah
sertifikat tanah sebagai bukti yang kuat,
sehingga jelas jenis haknya, kuatnya, batas-
batasnya, keadaanya, letaknya serta pemiliknya.
Kewajiban untuk melakukannya pada prinsipnya
dibebankan pada pemerintah dan pelaksanaannya
dilakukan secara bertahap.
2. Pendaftaran tanah adalah kewenangan negara, dalam
hal ini melalui BPN dibantu Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai peranan
selaku pejabat yang mempunyai fungsi dan tugas
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu
menurut peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, termasuk kegiatan pendaftaran
tanah.
4. PPAT wajib mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku berkaitan dengan profesinya karena
PPAT merupakan pejabat yang berhadapan secara
langsung dengan kepentingan masyarakat. PPAT
berwenang dalam mengeluarkan suatu bukti hak atas
22
tanah dalam bentuk akta otentik. Agar akta yang
diterbitkannya bisa dipertanggungjawabkan di
depan umum.
B. Saran :
1. Perlu adanya kesadaran sendiri dari seluruh pihak
terkait kegiatan pendaftaran tanah untuk
melaksanakan pendaftaran tanahnya yang telah
ditetapkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah untuk mendapatkan kepastian dan
perlindungan hukum.
2. Demi menjamin terlaksananya tujuan dari
pendaftaran tanah, maka pejabat atau badan
terkait harus mengikuti aturan yang ada sehingga
setiap perbuatan hukum pejabat atau badan
tersebut memiliki payung hukum dan bisa
dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
23
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Buku dan Artikel Ilmiah
H.R., Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta:
RajaGrafindo.
Parlindungan, A.P. 1999. Pendaftaran Tanah Di
Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Supriadi. 2010. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Winarsih, Sri. 2002. Pengaturan Notaris dan PPAT
sebagai Pejabat Umum. Yuridika Fakultas Hukum Universitas
Airlangga. Vol.17 (2), 186.
Artikel Online
Helda, Ade Restya. 2008. Peran Dan Tanggung Jawab Pejabat
Pembuat Akta Tanah Dalam Rangka Kegiatan Pendaftaran Tanah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (Studi
Pada Wilayah Kerja Kota Jambi).
http://eprints.undip.ac.id/16130/1/ADE_RESTYA_HELDA
.pdf. Diakses pada 5 Desember 2014.
Ismudiyatun, Anna. 2009. Tugas Dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) Dalam Pendaftaran Tanah Di Kabupaten Kudus
Propinsi Jawa Tengah.
http://eprints.undip.ac.id/16447/1/ANNA_ISMUDIYATUN
.pdf. Diakses pada 6 Desember 2014.
24