larangan capres independen vs demokrasi politik

26
Pendahuluan Demokrasi sebagai sebuah system pemerintahan dan politik semakin mendapatkan simpati dari masyarakat dunia, karena demokrasi menjanjikan persamaan hak dalam semua lini kehidupan. Demokarasi menafikan hegemoni golongan tertentu terhadap golongan lain, semua golongan atau individu mendapatkan kesempatan yang sama dalam atmosfir demokrasi. Secara das sollen, dalam demokrasi semua orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam bidang pemerintahan. Namun tidak demikian halnya dalam system pencalonan presiden di Indonesia, pasal 6 A UUD 1945 seakan menutup peluang itu dengan memperinci tata cara pencalonan presiden. Pasal 6 A bisa dikatakan sebagai lex specialis dari keumuman pasal 28 D yang menjamin hak seorang warga Negara untuk turut serta dalam pemerintahan. 1

Upload: uinsby

Post on 24-Jan-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pendahuluan

Demokrasi sebagai sebuah system pemerintahan dan

politik semakin mendapatkan simpati dari masyarakat

dunia, karena demokrasi menjanjikan persamaan hak dalam

semua lini kehidupan. Demokarasi menafikan hegemoni

golongan tertentu terhadap golongan lain, semua golongan

atau individu mendapatkan kesempatan yang sama dalam

atmosfir demokrasi. Secara das sollen, dalam demokrasi semua

orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam bidang

pemerintahan.

Namun tidak demikian halnya dalam system pencalonan

presiden di Indonesia, pasal 6 A UUD 1945 seakan menutup

peluang itu dengan memperinci tata cara pencalonan

presiden. Pasal 6 A bisa dikatakan sebagai lex specialis dari

keumuman pasal 28 D yang menjamin hak seorang warga

Negara untuk turut serta dalam pemerintahan.

1

Fadjroel Rahman mencoba mengupas makna pasal 6 A

tersebut dengan mengajukan judicial review tekait capres

dan/atau cawapres independen. Pokok permohonanya tentang

pasal 1 ayat 4, pasal 8, pasal 9 dan pasal 13 ayat 1 UU

No 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan

wakil peresiden. Pada pokok permohonan ia meminta agar

MK menafsirkan pasal 6 A ayat 2 sebagai system terbuka,

artinya pasal tersebut tidak boleh memuat kata “hanya”

sehingga dengan memohon penafasiran seperti itu, ia

meminta agar pasal-pasal terkait pencalonan presiden di

atas dianggap inkonstitusional. Ia juga “membenturkan”

hal ini dengan pasal-pasal lain dalam UUD, yakni 27 ayat

1, pasal 28 D ayat 1, pasal 28 D ayat 3 dan pasal 28 I

ayat 2, ia berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut

merupakan perwujudan dari pasal 1 ayat 2 tentang

kedaulatan rakyat. Dengan putusan MK ini maka tertutup

sudah peluang bagi calon independen dalam bursa

pencalonan presiden.

2

Pemohon juga berargumen dengan putusan MK no 5/PUU-

V/2007 tentang pemilihan kepala daerah yang

memperbolehkan bagi calon independen untuk mengikuti

pilkada. Namun itu tidak menjadikan permohonanya

diterima, karena dalam pilkada pasal 18 UUD hanya

mengatakan dipilih secara demokratis tanpa diiringi

dengan mekanismenya. Sedangkan dalam kasus pemilihan

presiden kategori demokratis dan kesamaan hak didepan

hukum dibatasi dengan kehadiran pasal 6 A yang

mengharuskan diusung oleh parpol atau gabungan parpol

peserta pemilu.

Rumusan Masalah:

Dari uraian di atas, saya mengajukan rumusan masalah

sebagai berikut:

Apakah larangan capres dan cawapres independen (dalam

putusan MK No. 56/PUU-VI/2008) bertentangan dengan

demokrasi politik?

3

Pembahasan

1. Teori Demokrasi

Secara bahasa demokrasi merupakan gabungan dari demos

(rakyat) dan kratos (pemerintah)1. Demokrasi pertama-tama

adalah sebuah gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan

itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat.

Dalam pengertian yang partisipatif, demokrasi

dimaknai sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan

bersama rakyat. Menurut jimly ash-Shidiqie, kekuasaan itu

pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu

rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah

serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan

kenegaraan. Menurutnya pula bahwa keseluruhan system

penyelenggaraan Negara itu pada dasarnya juga1 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, alih bahasa I. Made

Krisna, (yogyakrta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 2

4

diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri, Negara

yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-

sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan

masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya2.

Makna demokrasi partisipatif yang berarti “dari,

oleh, untuk, dan bersama rakyat” kemudian dicakup dalam

konsep kedaualatan rakyat, kedaulatan rakyat

mengasumsikan bahwa kekuasan tertinggi ada ditangan

rakyat, diselenggarakan untuk rakyat dan oleh rakyat3.

Munir Fuady menjelaskan makna demokrasi sebagai

sistem pemerintahan dalam suatu Negara dimana semua warga

Negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan kekuasaan

yang baik dalam menjalankan kehidupanya maupun dalam

berpartisipasi terhadap kekuasaan Negara, dimana rakyat

berhak untuk ikut serta dalam menjalankan Negara atau

mengawasi jalanya kekuasaan Negara, baik secara langsung

2 Jily as-Shiddiqie, Hokum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press), hlm. 241

3 Ibid.., hlm. 242

5

misalnya melalaui ruang-ruang publik maupun melalui

wakil-wakilnya yang telah dipilih secara adil dan jujur

dengan pemerintahan yang dijalankan semata-mata untuk

kepentingan rakyat, sehingga system pemerintahan dalam

Negara tersebut berasal dari rakyat, dijalankan oleh

rakyat dan untuk kepentingan rakyat4.

Dahl menekankan sifat dasar demokrasi ada pada

responsifitas pemerintah terhadap preferensi warga

negaranya yang setara secara politis. Responsifitas

tersebut mensyaratkan warga Negara yang memiliki

kesempatan untuk: merumuskan preferensinya, menunjukan

preferensinya kepada warga-warga lain dan pemerintah

melalui tindakan pribadi dan kolektif dan memberikan

bobot yang sama pada preferensinya yang dilakukan oleh

warga Negara. Ketiga hal tersebut kemudian dijabarkan

4 Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm 2

6

dalam bentuk-bentuk yang lebih konkret seperti di bawah

ini5:

1. Kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggotaorganisasi

2. Kebebeasan mengeluarkan pendapat3. Hak memilih4. Kesempatan menjadi pejabat pemerintah5. Hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam

mencari dukungan6. Hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam

meraih suara7. Sumber-sumber informasi alternative8. Pemilihan umum yang bebas dan adil9. Lembaga yang embuat kebijakan pemerintah tergantung

pada perolehan suara dan pengungkapan preferensilainya

Dipenuhinya hal-hal di atas merupakan bentuk dari

demokrasi politik. Dari sembilan penjabaran diatas

jika diringkas akan mencakup tiga dimensi utama

demokrasi politik; yaitu partisipasi, kebebasan

politik dan sipil. Dari ketiga dimensi utama itu,

Georg Sorensen kemudian menerangkan secara lebih luas5 Georg Sorensen. Op, cit., hlm. 18

7

tentang maknanya satu persatu, bahwa demokrasi politik

adalah6:

a. Kompetisi yang luas dan bermakna diantara individudan kelompok organisasi (khususnya partai-partaipolitik) pada seluruh posisi kekuasaan pemerintahyang efektif, dalam jangkan waktu yang teratur danmeniadakan penggunaan kekerasan

b. Tingkat partisipasi politik yang inklusif dalampemilihan pemimpin dan kebijakan, paling tidakmelalui pemilihan bebas secara terautur, dan tidakada kelompok social yang disingkirkan

c. Tingkat kebebasan politik dan sipil-kebebasanberpendapat, kebebasan pers, kebebasan mendirikandan menjadi anggota organisasi-cukup untukmemastikan integritas partisipasi dan kompetisipolitik.

Demokrasi politik sutau aturan main untuk

mendistribusikan kekuasaan secara adil diantra anggota

masyarakat. Adil bermakna bahwa semua warga masyarakat

memperoleh hak yang sama untuk terlibat dalam

pembuatan keputusan dan memiliki hak yang sama untuk

berjuang memperebutkan kekuasaan7.

6 Ibid., hlm. 197 Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1996), hlm. VII

8

Dalam Negara hukum baik itu rechstaat maupun rule of

law, hukum bisa saja dijadikan alat bagi orang yang

berkuasa. Demi tercapainya tujuan dari dibentuknya

neagara hukum, substansi hukum harus memiliki nilai-

nilai yang demokratis, istilah untuk hal ini adalah

democratische rechstaat yang mempersyaraktan prinsip negara

hukum harus dijalankan menurut porsedur demokrasi yang

disepakati bersama. Negara hukum haruslah demokratis

begitu juga demokrasi juga harus didasarkan pada

hukum. Jimly ash Shidiqiey memaparkan empat prinsip

pokok dalam democratische rechstaat, yakni:

a. Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam

kehidupan bersama

b. Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan

atau pluralitas

c. Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber

rujukan bersama

9

d. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa

berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati

bersama.

Keempat prinsip tersebut kemudian ditambahakan dengan

prinisp-prinsip negara hokum, yaitu8:

a. Pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi

manusia

b. Pembatasan kekuasaan melalui mekansime

pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai

mekanisme penyelesaian sengketa ketetanegaraan

antar lembaga Negara, baik secara vertical

maupun horizontal

c. Adanya peradilan yang bersifat independen dan

tidak memihak

d. Dibentuknya lembaga peradilan yang khsusu untuk

menjamin keadilan bagi warga Negara yang

8 Jimly ash Shidiqiey, op, cit, hlm. 246

10

dirugikan akibat putusan atau kebijakan

pemerintah

e. Adanya mekanisme “judicial review” oeleh

lembaga peradilan terhadap norma-norma

ketentuan legislative, baik ya g ditetapkan

oleh legislative maupun eksekutif

f. Dibuatnya konstitusi dan perundang-undangan

g. Pengakuan terhadap asas legalitas

2. Larangan Pencalonan Presiden Dan Wakil

Presiden Dari Calon Independen

Sebagaimana yang telah saya tuliskan dalam

pendahuluan makalah ini, bahwa dalam keputusanya

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang diajukan

Fadjroel Rachman terkait kemungkinan pencalonan

presiden dan wakil presiden dari non partai politik.

Dalam putusan tersebut Fadjroel Rachman berasumsi

11

kalau partai politik hanyalah salah satu instrument

untuk menajalanakan kekuasaan dan pemerintahan suatu

Negara. Karena merupakan salah stau instrument, parpol

tidak boleh memonompoli kekuasaan demokrasi, sebab

selain parpol terdapat pula saluran-saluran lain yang

dapat digunakan warga Negara untuk mempergunakan hak

berpartisipasinya dalam demokrasi dan saluran ini

tidak boleh ditutup jika memang menghendaki

terwujudnya demokrasi9. Hak yang diberikan kepada

partai politik tidak boleh melampaui hak warga Negara,

alat dalam hal ini parpol tidak boleh melampaui subjek

yang dalam hal ini adalah warga Negara.

Pasal yang diminta untuk dibatalkan adalah pasal 1

ayat 4, pasal 8, pasal 9 dan pasal 13 ayat 1 UU No 42

tahun 2008, yang mana jika pasal-pasal tersebut

dirangkai dalam suatu pemikiran, maka akan memunculkan

kesimpulan bahwa satu-staunya mekanisme atau jalur

9 Putusan MK no 56/PUU-VI/2008 tentang pengujian UU no 42 th 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, hlm. 3

12

untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah

melalui usulan partai politik atau gabungan partai

politik dan tidak ada kemungkinan sama sekali bagi

pasangan calon independen di luar yang diusulkan

partai politik atau gabungan partai politik. Para

pemohon juga mengatakan kalau pasal 6 A ayat 2

bukanlah pengahalang bagi adanya calon predien dan

wakil presiden dai jalur independen jika dibaca secara

holisitik, apalagi MK juga telah memutuskan

diperbolehkanya calon independen dalam pilkada.

Namun MK menafsirkan pasal 6 A dalam kondisi original

intent pasal tersebut, original intent dari pasal 6A ayat 2

adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden

diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai

politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan

pemilihan umum. Sehingga dengan penafsiran seperti

itu, UUD 1945 hanya memberikan kendaraan bagi parpol

atau gabungan parpol peserta pemilu sebagai kendaraan

13

utama untuk melaju dalam pencalonan presiden dan wakil

presiden. MK mengatakan pemohon bisa saja mendirikan

partai sendiri sesuai visi-misi partai yang

dikehendakinya apabila tidak suka dengan partai yang

telah ada. 10

Tidak semua hakim MK menyetujui penafsiran seperti

itu, Abdul Mukhtie Fadjar, Maruar Siahaan dan Akil

Mochtar melakukan dissenting opinion, berikut ini akan saya

paparkan pendapat mereka. Abdul Mukhtie Fadjar

berpendapat bahwa pasal 27 ayat 1, 28 D ayat 3 telah

dengan tegas menentukan prinsip bahwa setiap warga

Negara mempunyai kedudukan, hak dan kesempatan yang

sama dalam pemerintahan, sehingga tidak boleh ada

ketentuan yang menghalang-halangi akses bagi seseorang

akses bagi seseorang jika ia sudah memenuhi

persyaratan sebagai presiden. Jika seseorang dihalang-

halangi berarti ia telah didiskriminasi yang larangan

10 Ibid, hlm. 124

14

seperti ini telah dijamin dalam pasal 28 I ayat 2.

Dalam pasal 6 A ayat 1 dan 2 tidak frasa yang

mengaharuskan dari partai politik, baginya pasal 6 A

bukanlah ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan,

melainkan menganai cara pencalonan yang seharusnya

tidak menafikan siapapun yang memenuhi persyaratan

untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden, baik

melalaui parpol ataupun independen. Seharusnya

prosedur tidak boleh menganlahkan persyaratan11.

Maruar siahaan berpendapat agar pasal 6 A ayat 2

harus dibaca secara komprehensif dengna memperthatikan

pasal 1 ayat 2. Negara konstitusional menurutnya harus

menjamin kesempatan yang sama bagi setiap orang earga

Negara dalam partisipasi untuk turut menentukan arah

kebijakan pemerintah demi mewujudkan tujuan bernegara

yang digariskan dengan hak memilih dan dipilih untuk

jabatan public seperti presiden dan wakil presiden12.

11 Ibid, hlm. 12812 Ibid, hlm. 134

15

Seandaiyna pun pasal 6 A ayat 2 merupakan hak

konstitusional partai politik, maka hak yang demikian

hanyalah merupakan derivasi dari hak-hak dasar

warganegara untuk turut serta dalam pemerintahan.

Maruar Siahaan juga mengatakan kalau putusan MK

tentang pemilukada yang membolehkan calon independen

merupakan rujukan yang sangat relevan bagi tafsir 6 A

ayat 2. Dia mengutip pendapat MK dalam putusan calon

independen pilkada, dalam putusanya, MK emgnatakan

“partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi

masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan

demokrasi, sehingga adalah wajar apabila dibuka

partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol

secara poerseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah.

M. Akil Mochtar mengatkaan jika pasal 6 A ayat 2

ditafsirakan secara eksplisit, kategorikal dan

imperative yang meutup ruang untuk diartikan lain maka

16

hal yang seperti itu meruapakan suatu undang-undang,

bukan sifatnya konstitusi. Karena konstitusi, dengan

mengutip pendapatnya Kammen, hanya memasukkan prinsip-

prinsip esensial saja, karena dengan demikian dapat

dihindari terbentuknya ketentuan-ketentuan yang

bersifat permanen dan tidak dapat diubah-uabah yang

mungkin akan sulit mengakomodasikan dirinya dengan

perkembangan masa dan kejadian dalam masyarakat,

konsittusi juga seyogyanya menggunakan bahasa yang

sederhana dan akurat. Selanjutnya ia mengatakan kalau

pasal 6 A adalah pasal yang mengatur tentang prosedur

pencalonan presiden dan wakil presiden yang tidak

dapat mendiskriminasikan seoran warganegara untuk

menjadi calon presiden dan wakil presiden, jika ia

mendiskriminasikan warga Negara maka prinsip tersebut

telah mealnggar hak seriap warga Negara yang mempunyai

kedudukan, hak, dan kesempatan yang sama dalam

pemerintahan. Sehingga siapapun yang telah memenuhi

17

pasal 6 A ayat 1 harus mendapat kesempatan yang sama

untuk menjadi presiden dan wakil presiden, baik

melalaui partai politik maupun dari jalur independen13.

Meskipun ketiga hakim konstitusi tersebut sepakat

kalau calon indpenden bisa mencalonakan diri dalam

pemilu presiden dan wakil presiden, namun mereka

sepakat kalau prosedur ini tidak bisa dilaksanakan

dalam pilpres 2009 karena sempitnya waktu tetapi bisa

diimplementasikan dalam pemilu 2014.

Disini saya akan menggaris bawahi makna demokrasi

politik sebagai aturan main dalam politik yang

mengharuskan setiap orang mempunyai hak yang sama baik

sebagai orang yang memilih maupun orang yang dipilih.

Jika dikaitkan dalam undang-undang dasar, maka saya

sepakat dengan makna demokrasi sebagaimana terkandung

dalam pasal 28 D ayat 3 yang menyatakan setiap warga

Negara berhak memeproleh kesempatan yang sama dalam

13 Ibid, hlm, 139

18

pemerintahan. Sehingga ketika dihadapkan dengan

penafrsiran pasal 6 A ayat 2 seharusnya MK jangan

semata-mata menggunakan penafsiran sesuai original intent,

sebagai penafsir konstitusi MK bebas menggunakan

metode penafsiran yang lain, baik secara holistik

maupun kosntekstual atau model the living constituion. Ketika

pasal 6 A ayat 2 ditafsirkan dengan dengan sifat

“tertutup” maka niscaya pasal tersebut akan

bertentangan dengan semangat demokrasi dan pasal-pasal

lain dalam konstitusi yang menjamin hak seorang warga

Negara untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan

dan bebas dari diskriminasi.

Berdarkan survey yang disebutkan dalam putusan

tersebut, sebagian besar rakyat Indonesia menginkan

dibukanya peluang calon presiden dan wakil presiden

perseorangan/independen. Survey dilakukan pada tahun

2007 dan 2008, pemohon menggunakan tiga jenis survey:

19

1. Survey yang menyatakan persetujuanya bahwa

ketentuan yang mengatur irang yang ingin

mencalonkan diri menjad presiden harus

dicalonkan oleh parpol merupakan pengurangan

hak-hak warga Negara untuk mencalonakan

presiden. Hasilnya 57,7% di tahun 2007 dan 53,1%

di tahun 2008 yang menyatakan setuju, sedangkan

yang tidak setuju 28,5% ditahun 2007 dan 28,6%

ditahun 2008.

2. Survey yang menyatakan persetujuanya agar

pencalonan presiden tidak harus hanya oleh

parpol tetapi dibolehkan juga oleh individu tau

kelompok masyarakat dluar parpol. Hasilnya 68,8%

ditahun 2007 dan 64% ditahun 2008, sedangkan

yang tidak setuju 20,2% ditahun 2007 dan 20%

ditahun 2008.

3. Survey yang menyatakan presentase yang mendukung

calon presiden perseorangan sebesar 67% pada

20

tahun 2007 dan 64% ditahun 2008, sedangkan yang

tidak mendukung 24% ditahun 2004 dan 24% ditahun

2007 dan 20% ditahun 2008.

Hasil keseluruhan dari survey tersebut dari asumsi 10

orang, hanya 2 orang yang menolak calon presiden dari

jalur independen14.

Dalam teori perubahan konstitusi, KC. Wheare

memaparkan dalam kekutan-kekutan yang menyebabkan

berubahnya kosntitusi dalam dua bentuk. Pertama, kekutan

itu dapat menimbulkan perubahan situasi yang dengan

sendirinya tidak menyebabkan perubahan nyata pada susunan

kalimta konstitusi, namun dapat menjadikan konstitusi itu

diebrikan makna yang berbeda dari makna sebelumnya.

Kedua, kekuatan tersebut menciptakan keadaan yang

mengakibatkan perubahan pada konstitusi baik melalui

proses amandemen formal maupun melalui keputusan hakim

atau dengan berkembang dan terbangunya adat atau

14 Putusan Mahkamah Kosntitusi, op, cit, hlm. 43

21

kebiasaan konstitusi15. Apa yang dikatakan oleh Wheare

dengan penafsiran hakim bisa saja digunakan oleh MK dalam

kasus ini, MK hanya perlu memberikan tafsiran bahwa pasal

6 A ayat 2 tidak memuat kata “hanya”, sehingga dengan

penafsiran seperti itu pencalonan independen bagi capres

dan cawapres bisa terwujud.

15 KC. Wheare, Modern Constitution, alih bahasa Imam Baehaqi, (Bandung: Nusa Media, tanpa tahun) hlm. 110

22

Penutup

Dari uraian makalah ini, saya akan mentupnya dengan

memberikan jawaban atas rumusan masalah yang diajukan

pada pendahuluan. Bahwa larangan capres dan cawapres

dari jalur indepeneden yang terdapat dalam putusan

Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-VI/2008 “bertentangan

dengan demokrasi politik”. Demokrasi—sebagaimana yang

dijelaskan oleh para pakar— harus menjamin hak-hak

asasi manusia. Jika dirujuk kepada undang-undang

dasar, salah satu hak asasi manusia adalah kesempatan

yang sama bagi setiap warga Negara dalam pemerintahan

yang terdapat dalam pasal 28 D ayat 3, sehingga

membatasi jalur capres dan cawapres hanya dari partai

politik melanggar hak asasi manusia dan bertentangan

dengan demokrasi.

23

Pencalonan presiden dan wakil presiden yang

didominasi parpol hanya akan menambah lingkaran

oligarki partai. Dengan adanya calon independen,

demokrasi akan bertumbuh kian subur di Indonesia,

terlepas dari terpilih atau tidaknya calon independen

tersebut. Karena democratische rechstaat mengamanatkan

bahwa prinsip negara hukum harus dijalankan menurut

prosedur demokrasi. Pembatasan hak asasi manusia

dengan undang-undang sebagaimana yang diamantakan

dalam pasal 28 J semata-mata untuk menjamin hak-hak

setiap orang agar sesuai dengan prinsip demokrasi

politik dalam Negara hokum, sehingga sebuah undang-

undang yang tidak sesuai dengan asas demokrasi dan

juga melanggar hak asasi manusia sudah selayaknya

dibatalkan.

Daftar Pustaka

A. Buku-Buku

24

as-Shiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi,

Jakarta: Konstitusi Press

Fuady, Munir, Konsep Negara Demokrasi, Bandung: Refika

Aditama, 2010, hlm 2

Held, David, Democracy and the Global Order, alih bahasa

Damanhuri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Noer Arfani, Riza, Demokrasi Indonesia Kontemporer,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Sorensen, Georg, Demokrasi dan Demokratisasi, alih bahasa I.

Made Krisna, yogyakrta: Pustaka Pelajar, 2003

Wheare, KC., modern constitution, alih bahasa Imam Baehaqi,

Bandung: Nusa Media, tanpa tahun

B. Peraturan Perundang-undangan dan putusan

UUD 1945

UU No. 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil

presiden

Putusan MK no 5/PUU-V/2007 tentang pengujian UU no 32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

25

Putusan MK no 56/PUU-VI/2008 tentang pengujian UU no 42

tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden

26