krisis ekonomi, desakan liberalisasi, dan implikasinya bagi patronase bisnis militer pasca orde baru

168
K KR RI I S SI I S S E EK KO ON NO OM MI I , , D DE ES SA AK KA AN N L LI I B BE ER RA AL LI I S SA AS SI I , , D DA AN N I I M MP PL LI I K KA AS SI I N NY YA A B BA AG GI I P PA AT TR RO ON NA AS SE E B BI I S SN NI I S S M MI I L LI I T TE ER R P PA AS SC CA A O OR RD DE E B BA AR RU U O Ol le eh h: : N Nu ug gr ro oh ho o P Pr ra at to om mo o 0 09 99 94 40 02 20 02 28 87 7 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, 2000

Upload: independent

Post on 12-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KKRRIISSIISS EEKKOONNOOMMII,, DDEESSAAKKAANN LLIIBBEERRAALLIISSAASSII,, DDAANN

IIMMPPLLIIKKAASSIINNYYAA BBAAGGII PPAATTRROONNAASSEE BBIISSNNIISS MMIILLIITTEERR PPAASSCCAA

OORRDDEE BBAARRUU

OOlleehh::

NNuuggrroohhoo PPrraattoommoo

00999944002200228877

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia,

Depok, 2000

Nugroho
Not For Public Release

1

Bab I

Pendahuluan

1 Latar Belakang Masalah

Ketika kita hendak membicarakan hal-hal tentang politik di Indonesia, ada satu

hal yang sampai kapanpun tidak boleh kita lupakan; militer. Militer Indonesia yang

kesehariannya menamakan dirinya sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

(ABRI)1, merupakan sebuah kekuatan politik yang selama lebih dari 50 tahun setelah

proklamasi kemerdekaan Indonesia telah berhasil menjadikan dirinya tidak hanya sebagai

kekuatan politik yang dominan, tetapi juga telah menempatkan dirinya dalam posisi yang

menentukan di berbagai bidang lain.2

Militer memang secara idealnya merupakan alat negara yang profesional dibidang

pertahanan, tetapi di dalam kenyataannya sehari-hari di Indonesia militer bukan lagi

sekedar merupakan alat negara, tetapi telah berubah menjadi sebuah kekuatan politik

yang sangat menentukan didalam perjalanan sistem politik Indonesia. Memang benar,

apabila diperhatikan fenomena seperti ini bukan merupakan realitas yang hanya terjadi di

negara Indonesia, namun hal tersebut seakan telah menjadi sebuah kecendrungan umum

yang banyak terjadi di negara-negara dunia ketiga.

Sebagai sebuah kekuatan bersenjata, pada dasarnya militer dituntut untuk mau

dan mampu untuk menempatkan dirinya sebagai sebuah organisasi yang profesional

dibidangnya. Dalam The Soldier And The State, Huntington melihat bahwa, pada

dasarnya profesi seorang militer tidaklah memiliki perbedaan yang terlalu signifikan

dengan bentuk profesi profesional lainnya. Ia menyebutkan, dalam profesi militer yang

profesional juga terdapat tiga hal penting yang juga terdapat pada profesi lain. Ketiga hal

tersebut ialah, expertise, responsibility dan corporateness.3

1 Ketika skripsi ini dibuat ABRI telah kembali mnyebut dirinya sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kemudian apabila dalam skripsi ini disebutkan militer, tentara atau ABRI, maka yang dimaksud adalah TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat), karena sesungguhnya dalam peta kekuatan politik Orba Angkatan Darat yang menjadi kekuatan dominan. 2 Begitu besarnya keterlibatan militer dalam politik, maka kemudian militer seringkali disebut dengan “The Shadow Government”. 3 The expertise of officership diartikan sebagai kemampuan para perwira untuk melaksanakan berbagai tugas dari setiap kekuatan militer, termasuk didalamnya pengorganisiran, pembekalan dan latihan. Kedua perencanaan setiap aktivitas dan mengarahkan setiap operasi dan peperangan. The responsibility of

2

Peran militer yang sangat dominan dalam praktek-praktek politik di sejumlah

negara, telah turut pula menciptakan rezim yang berkuasa menjadi otoriter. Penguasaan

rezim otoriter atas sebuah negara, secara langsung juga telah menjadikan dominasi negara

atas segala aspek kehidupan. Apabila rezim otoriter tersebut terdiri atas orang-orang yang

berasal dari kalangan militer, maka dalam prakteknya militer pulalah yang berkuasa atas

negara tersebut. Hal inilah yang terjadi di Indonesia. Indonesia (setidaknya selama rezim

Orde Baru), telah menjadi sebuah negara otoriter yang disertai pula oleh adanya dominasi

militer dalam kekuasaan politik. Secara historis, setelah kegagalan kudeta yang dilakukan

pada tahun 1965, militer (baca: Angkatan Darat) telah berhasil menempatkan dirinya

sebagai sebuah kekuatan politik satu-satunya yang berada di dalam lingkaran pusat

kekuasaan politik. Keberadaan Golkar yang juga bentukan pihak militer, kekuasaan yang

tersentralistis, dan terutama adanya konsep dwifungsi telah pula memperkokoh posisi

militer dalam sistem politik Indonesia. Konsep dwifungsi ini juga yang menjadi

legitimasi bagi pihak militer untuk terus dapat bersikap otoriter dalam berbagai persoalan

politik di Indonesia selama Orde Baru.

Ketika berada dalam tahun-tahun pertama kekuasaan Orde Baru, peranan militer

dalam praktek-praktek politik di Indonesia sangat besar. Indonesia yang baru saja

melepaskan diri dari demokrasi terpimpin dibawah Sukarno dan dari sebuah kudeta,

harus langsung berhadapan dengan berbagai persoalan yang dengan segera ditangani.

Kesulitan ekonomi yang membelit seluruh rakyat, hiperinflasi serta jumlah hutang luar

negeri yang kian membengkak, harus dijadikan prioritas penyelesaian bagi rezim Orde

Baru. Namun dari sisi finansial hal tersebut menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Satu-

satunya cara untuk meningkatkan pendapatan negara untuk dapat memperbaiki keadaan

ekonomi adalah dengan cara membuka kembali keran investasi asing. Agar para investor

tersebut memiliki kepercayaan untuk mau menginvestasikan modalnya di Indonesia,

pemerintah Orde Baru berkeyakinan bahwa stabilitas politik harus tetap terjaga. Dengan

argumentasi ini, rezim Orde Baru dibawah Suharto menempatkan militer dalam berbagai

bidang, terutama yang dianggap vital, dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Oleh officership ialah para perwira tersebut dituntut untuk memilki tanggung jawab pada negara, sehingga dimungkinkan untuk mengkoreksi komandannya apabila bertentangan dengan kepentingan nasional Dan the corporate character of officership ialah para perwira tersebut diharapkan memilki esprit de corps yang

3

karena itu, sampai kini kita masih dapat melihat para perwira militer yang ditempatkan

dalam posisi-posisi penting dalam jabatan birokrasi sipil, menteri, gubernur sampai

dengan keberadaan fraksi TNI/ Polri di DPR.

Ketika posisi negara secara ekonomi semakin menguat, terutama dengan adanya

boom minyak (oil boom) yang terjadi pada pertengahan 1970an dan awal 1980an juga

telah memberikan dampak tersendiri bagi kalangan militer. Terjadinya kenaikan harga

minyak mentah di pasaran internasional telah memberikan keuntungan yang sangat besar

bagi negara. Sebagai kelanjutan dari adanya penguasaan aset-aset penting negara oleh

pihak militer, adanya boom minyak secara langsung juga semakin memantapkan posisi

militer sebagai kekuatan politik yang dominan dalam pemerintahan Orde Baru, dalam

posisi yang sangat diuntungkan. Pertamina sebagai pengelola pertambangan minyak

nasional telah menjadi sumber pendapatan terbesar bagi negara. Sebagai efek

sampingnya Pertamina yang pada saat itu dipimpin oleh seorang militer, juga telah

dijadikan sumber pemasukan terbesar bagi kalangan militer itu sendiri terutama oleh

Angkatan Darat. Berbagai kebijakan juga telah dikeluarkan dengan tujuan untuk

memberikan keuntungan yang lebih besar lagi pada negara (baca:militer). Hal ini

dimungkinkan karena militer tersebut juga memiliki posisi yang kuat dalam birokrasi

pemerintahan.

Selain penguasaan atas aset-aset negara, fenomena lain juga yang berkembang di

Indonesia ialah keberadaan berbagai bentuk bisnis militer dalam bentuk perusahaan-

perusahaan yang dipayungi oleh yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi. Hal seperti ini

juga terjadi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Perkembangan dari fenomena bisnis

militer ini menjadi menarik untuk diperhatikan, karena dalam menjalankan bisnisnya

tersebut militer selalu menggunakan potensi yang dimilikinya dalam struktur politik dan

birokrasi. Sedangkan ditingkat teknis pelaksanaannya bisnis militer banyak sekali

melakukan kerjasama dengan para pengusaha, terutama para pengusaha keturunan Cina

atau yang biasa dikenal dengan sebutan cukong. Keterlibatan para pengusaha keturunan

Cina dalam bisnis-bisnis yang dilakukan oleh militer sebenarnya bukan merupakan

barang baru. Pada awal Orde Lama Nasution sebagai kepala staf Angkatan Darat,

kuat. Samuel P Huntington, The Soldier and State, The Theory and Politics of Civil-Military Relations, London, Harvard University Press, 1998, hal:11-18.

4

mencanangkan adanya program civic mision dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-

hari para anggotanya. Para perwira di daerah yang banyak mengalami kegagalan dalam

pelaksanaannya, kemudian melakukan kerjasama dengan para pedagang dan para

pengusaha keturunan Cina setempat. Para pedagang dan pengusaha Cina tersebut

bertindak sebagai pelaku bisnis sehari-hari, sedangkan para perwira militer tersebut

dengan kekuasaan yang dimilikinya memberikan perlindungan pada bisnis yang

dijalankan para pengusaha dan pedagang Cina tersebut. Adanya hubungan kolusif

semacam inilah yang kemudian melahirkan istilah "Ali-Baba".4 Bentuk-bentuk kolusi ini

pada masa Orde Baru semakin meluas tidak hanya melibatkan para pengusaha Cina.

Kedekatan pihak militer dengan sumbu kekuasaan juga turut membentuk hubungan bisnis

militer dengan bisnis yang dilakukan oleh keluarga Presiden Suharto. Bentuk dan

pengelolaan bisnis-bisnis militer tersebut diatas kiranya dapat memberikan sebuah

gambaran kepada kita, bahwa selama ini di Indonesia telah terjadi apa yang dikenal

dengan praktek-praktek patronase bisnis.

Sebenarnya keterlibatan militer dalam bidang bisnis atau praktek patronase bisnis

ini, bukan merupakan fenomena "asli" Indonesia. Di beberapa negara dunia ketiga

lainnya, juga terjadi hal serupa. Misalnya saja yang terjadi Thailand sebelum 19735 dan

bahkan seperti yang terjadi di negara Republik Rakyat Cina. Di Thailand sebelum 1973

hampir serupa dengan terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Pada tahun-tahun

tersebut, Thailand beberapa kali mengalami kudeta militer. Dari setiap kudeta militer

tersebut juga melahirkan klik-klik bisnis militer baru, sekaligus meruntuhkan klik bisnis

militer sebelumnya. Sehingga tidak tercipta sebuah kepercayaan di bidang bisnis

(business confidence) yang mempu menggiring investor asing untuk mau menanamkan

4 Tindakan seperti ini terjadi hampir di semua tempat, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Bahkan sebelumnya banyak terjadi di beberapa daerah para perwiranya melakukan pungutan ilegal pada para pengusaha, angkutan barang dan tenaga kerja gratis dari para petani. Hal ini terjadi sebagai akibat tidak adanya kontrol yang efektif dari pusat Dampak yang selanjutnya terjadi adalah meningkatnya penyelundupan terutama di daerah Sumatra dan Sulawesi yang berbuntut pada terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta. Selain itu banyak panglima teritorium membentuk yayasan untuk menjalankan usahanya tersebut. Lihat: Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis, Bandung, Mizan, 1998, hal:50-53. Penyelundupan itu sendiri masih terjadi dari akhir 1960an sampai awal tahun 70an. Lihat pula Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, Sydney, Allen & Unwin, 1986, hal: 250. 5 Alexander Irwan, "Kolaborasi Antara PMN,Postfordism dan Politik Ekonomi Indonesia", dalam Prisma, No:8, Tahun XIX, Jakarta, LP3ES, 1990, hal:27.

5

modalnya di Thailand. Perbedaannya dengan bisnis militer di Indonesia, pergantian klik

bisnis militer tersebut tidak terjadi melalui jalan kudeta.

Sementara di Cina keterlibatan pihak militernya dengan bidang bisnis, dapat

dilihat dari kerjasama pihak militer dan bisnis lebih difokuskan pada bisnis-bisnis

berskala besar. Misalnya seperti yang terjadi di dalam China International Trust and

Investment Corporation (CITIC), dimana salah satu pengendali usaha ini dijalankan oleh

seorang mantan militer bernama Wang Jun.6

Dalam perspektif ekonomi politik, fenomena seperti tersebut diatas nampaknya

menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Sebagai salah satu bagian atau alat dari

sebuah negara, militer nampaknya memiliki kepentingan langsung terhadap basis-basis

ekonomi yang dimiliki oleh negara. Apalagi dengan dominannya keterlibatan militer

dalam politik di Indonesia, jelas akan memberikan keuntungan yang lebih besar lagi pada

militer. Farchan Bulkin menyatakan bahwa, negara sebenarnya memiliki hubungan yang

langsung dan erat dengan kondisi, pertumbuhan dan sistem perekonomian yang sedang

berlangsung. Militer sebagai sebuah unsur penting dari sebuah negara ternyata juga

memiliki hubungan yang langsung dan erat dengan ekonomi. Sehingga wajarlah apabila

dalam memahami sebuah institusi militer, kesulitan dan kemudahan negara dalam

mendukung militer secara finansial menjadi patut pula untuk diperhitungkan.7

Kepentingan yang dimiliki militer dalam bidang ekonomi inilah yang kemudian

membawa militer menjadi salah satu kekuatan ekonomi politik yang patut diperhitungkan

di Indonesia.

Salah satu fenomena yang paling kontekstual pada akhir dekade 1990an ialah

terjadinya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara di kawasan Asia. Dimana

Indonesia juga termasuk ke dalam salah satu negara yang paling merasakan dampak dari

terjadinya krisis tersebut. Bagi sebuah bentuk patronase bisnis, timbulnya krisis ekonomi

ini nampaknya akan menjadi persoalan tersendiri yang harus dihadapi dan disiasati.

Selain persoalan krisis itu sendiri, dampak atau masalah-masalah baru yang mungkin

timbul dari pilihan (options) yang ditawarkan dalam rangka pemecahan krisis ekonomi

nampaknya menarik pula untuk dicermati. Karena persoalan yang menimpa Indonesia

6 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:28. 7 Farchan Bulkin, "Kekuatan Politik: Perspektif Dan Analisa", dalam pengantar Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1995, hal: xxii.

6

bisa dikategorikan sebagai kasus khusus yang disebabkan kompleksnya persoalan yang

timbul di berbagai bidang, maka dalam proses penanganannya-pun tidak bisa dilakukan

secara terpisah-pisah.

Dalam proses penanganan krisis tersebut Sjahrir melihat setidaknya ada empat hal

yang perlu menjadi perhatian dan dicoba untuk dibenahi. Pertama adalah masalah

keadilan. Keadilan disini dalam bentuk kongkritnya dapat dilihat dari perbaikan upah

buruh dan penciptaan suatu situasi yang memungkinkan timbulnya persaingan yang sehat

sehingga menutup kemungkinan adanya crony capitalism seperti masa-masa yang lalu.

Selain itu melakukan pembenahan dalam masalah hubungan pusat dan daerah, sehingga

tidak ada yang merasa paling diuntungkan atau dirugikan. Kedua, pemisahan yang tegas

tentang hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah dan pihak swasta, termasuk di

dalamnya adalah masalah pembentukan berbagai yayasan sebagai sebuah lembaga non

profit namun dalam pelaksanaannya lebih merupakan sebuah perusahaan komersial.

Ketiga adalah masalah demokratisasi, dan yang keempat masalah globalisasi. Masalah

globalisasi ini nampaknya dapat dianggap sebagai persoalan yang sangat penting, karena

perubahan dibidang politik dan ekonomi pada saat ini justru lebih banyak dipengaruhi

oleh hal ini. Selain itu pula di masa yang akan datang peranan dari pergerakan modal

internasional tersebut akan menjadi lebih penting. Sehingga wajar apabila pada akhirnya

nanti ia (modal asing) akan jauh lebih menentukan bahkan dari peran negara sekalipun.8

Dalam memahami peran dari modal asing seperti yang dikemukakan Sjahrir tersebut,

secara otomatis pemahaman tentang globalisasi menjadi sesuatu yang penting. Karena

pergerakan modal asing, baik berupa portofolio, barang impor dan jasa ataupun berupa

multinational corporation tersebut baru dimungkinkan dengan adanya arus globalisasi

yang kini tidak dapat ditolak oleh semua negara di dunia.

Hal yang serupa juga telah disampaikan oleh MacIntyre. Dalam salah satu

tulisannya yang dimuat oleh ASEAN Economic Bulletin, terlihat bahwa ia sangat percaya

bahwa krisis ekonomi yang sedang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara

bukanlah sekedar persoalan yang disebabkan faktor ekonomi semata, tetapi telah pula

menyangkut masalah politik.9 Ketika melihat kasus yang dialami Indonesia terlihat

8 Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:xi-xii. 9 Andrew MacIntyre, "Political Institutions and the Economic Crisis in Thailand and Indonesia", dalam ASEAN Economic Bulletin, December, 1998, hal: 362.

7

bahwa persoalan-persoalan politik seperti terbentuknya rezim otoriter semakin

memperburuk keadaan ekonomi dalam negeri. Menurut MacIntyre, tidak adanya sistem

politik yang demokratis dan kekuasaan politik yang terlalu tersentralistis (berada di

tangan presiden), ternyata telah merusak kepercayaan yang dimiliki oleh para investor

asing.10 Karena dalam kenyataannya dapat terlihat bahwa dengan kekuasaan yang

tersentralistis tersebut, maka pihak pemerintah (presiden) dapat dengan mudah membuat

atau membatalkan berbagai kebijakan yang sangat penting terutama di bidang ekonomi.

MacIntyre juga memperbandingkan krisis yang dialami oleh Indonesia ini dengan yang

terjadi di Thailand. Ia melihat bahwa ternyata di Thailand ketika mulai terjadi krisis,

pemerintah negara tersebut langsung me-respond-nya, sedangkan yang terjadi di

Indonesia justru sebaliknya. Ketika keadaan semakin parah, barulah pemerintah

Indonesia meminta bantuan pada IMF.

Paket bantuan semacam ini sebenarnya bukan kali pertama yang diterima oleh

Indonesia. Pada masa akhir demokrasi terpimpin (kabinet gotong royong dibawah PM

Djuanda), pemerintah Indonesia juga pernah mengajukan bantuan serupa. Hanya saja

pada masa itu bantuan yang telah dijanjikan tersebut batal direalisasikan karena adanya

masalah-masalah politik yang timbul di dalam negeri. Misalnya saja dengan terjadinya

konfrontasi dengan Malaysia dan banyaknya tentangan dari elit partai politik (PKI) pada

waktu itu. Presiden Sukarno sendiri tidak telalu antusias dengan bantuan untuk perbaikan

ekonomi tersebut, dan lebih mengkonsentrasikan pada masalah-masalah politik.

Adanya pengajuan bantuan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional

(IMF) oleh Indonesia dalam rangka pembenahan keadaan ekonominya bagaimanapun

juga akan turut mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia di masa datang. Ekonomi

Indonesia yang selama Orde Baru tumbuh dan berkembang dengan melibatkan secara

aktif peran negara, dan nampaknya di masa yang akan datang hal ini tidak dapat terus

bertahan. Strategi kebijakan perbaikan dan peningkatan tingkat ekonomi Indonesia di

masa yang akan datang mau tidak mau harus segera diubah. Sebab jika hal tersebut

dipertahankan mustahil bila kita mengharapkan perekonomian Indonesia bisa pulih. Agar

dalam pembenahan ekonomi tersebut Indonesia tidak mengulangi kesalahannya lagi,

maka aspek yang kemudian perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi dan kebijakan

10 Ibid.

8

ekonomi tersebut mampu menyesuaikan dengan fenomena yang berkembang di dunia

pada saat ini, yaitu liberalisasi ekonomi.

Liberalisasi (liberalization) yang juga dipercaya sebagai salah satu bagian dari

globalisasi, sebenarnya bukan lagi merupakan hal baru bagi perekonomian Indonesia.

Liberalisasi ekonomi di Indonesia sebenarnya telah dimulai semenjak kurang lebih 30

tahun yang lalu, yaitu ketika mulai terjadinya perubahan besar di pemerintahan tahun

1966.11 Namun kata liberalisasi seringkali masih "diharamkan" dalam jargon-jargon

politik Indonesia saat itu. Dalam konteks wacana ekonomi di Indonesia sampai saat akhir

dekade 1990an, liberalisasi dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama yaitu

antara tahun 1966-1973. Periode kedua yaitu 1982-1991, dan periode ketiga yang dimulai

semenjak tahun 1994, di mana Indonesia telah tergabung ke dalam beberapa blok-blok

ekonomi seperti, AFTA atau WTO.12 Dalam perkembangan ekonomi di Indonesia proses

liberalisasi dalam ketiga periode tersebut tidak berjalan dengan mulus dan terkesan

lambat. Adanya berbagai kebijakan proteksi, subsidi dan juga berkembangnya bentuk-

bentuk patronase bisnis telah turut pula menghambat jalannya proses liberalisasi ekonomi

Indonesia. Keberanian rezim yang berkuasa saat itu untuk melakukan hal-hal tersebut

dapat lebih dilihat sebagai konsekuensi posisi negara yang relatif kuat dalam sektor

keuangan dan ekonomi, yang misalnya saja ditunjukan dengan cukup besarnya

pendapatan dari sektor minyak.

Apapun yang akan terjadi, pada kenyataannya Indonesia dalam rangka pemulihan

ekonominya telah sepakat untuk meminta bantuan kepada IMF. Kesepakatan yang

pertama telah disepakati pada akhir tahun 1997 dan diikuti dengan kesepakatan kedua

pada 15 Januari 1998. Sebagai sebuah kesepakatan sudah sewajarnya apabila pemerintah

Indonesia melaksanakan hal-hal yang telah disepakatinya tersebut, dengan diikuti

penerimaan segala konsekuensi yang timbul dari adanya kesepakatan tersebut, seperti

diantaranya adanya dorongan untuk segera diadakannya liberalisasi perdagangan, bursa

saham, perbaikan pada sistem harga, penghapusan alokasi-alokasi kredit langsung,

peninjauan kembali berbagai kebijakan bea masuk, restrukturisasi bank-bank nasional,

11 Hadi Soesastro, "A Review of Current an Capital Account Liberalization in Indonesia", dalam Indonesian Quarterly, Vol: XXVI/1998, no:2, Jakarta, CSIS, hal:143. 12 Ibid, hal 143-144.

9

peninjauan ulang kebijakan sektor publik termasuk pengeluaran untuk BUMN dan

industri strategis, serta transparansi dalam anggaran pemerintah.13

Pada dasarnya IMF (International Monetary Fund) merupakan sebuah lembaga

keuangan internasional yang tidak ingin secara langsung mencampuri masalah politik

dalam negeri negara yang menjadi debiturnya. Namun dalam implementasinya, masalah-

masalah politik yang muncul di negara-negara tersebut seringkali juga mempengaruhi

berbagai kebijakan ekonomi. Agar pihak IMF mau memberikan bantuannya tersebut ada

beberapa prasyarat yang harus terlebih dahulu dipenuhi oleh negara debitur. Oleh

karenanya prasyarat-prasyarat tadi menjadi bersifat kondisionalitas. Prasyarat-prasyarat

kondisionalitas ini tercantum dalam sebuah kesepakatan bersama yang kemudian dikenal

dengan Letter of Intent (LoI).

Namun selain memunculkan berbagai persoalan baru di bidang ekonomi,

terjadinya krisis ternyata juga membawa persoalan yang lebih kompleks lagi terutama di

bidang politik. Tuntutan reformasi politik yang muncul di kemudian hari juga dapat

dilihat sebagai salah satu implikasi lain dari terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.

Keinginan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis, dimana

tidak ada lagi peran atau keterlibatan militer dalam politik seakan sudah menjadi sebuah

tuntutan yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh siapa saja yang berkuasa di negeri ini.

Pengalaman traumatik hidup selama 32 tahun dibawah bayang-bayang kekuatan militer,

nampaknya turut pula mendidik masyarakat dan bangsa Indonesia untuk lebih peka pada

persoalan-persoalan militerisme. Dimana temasuk di dalamnya adalah keterlibatan militer

di dunia bisnis dan ekonomi.

2 Permasalahan

Dalam penjelasan-penjelasan tersebut diatas, dapat diartikan bahwa liberalisasi

ekonomi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat ditolak kehadirannya oleh negara

manapun, termasuk Indonesia. Bahkan sampai saat sekarang ini tuntutan untuk

dilaksanakannya liberalisasi ekonomi dengan seluruh konsekuensi yang ditimbulkannya

(termasuk peminimalan peran negara dalam ekonomi), bagi Indonesia sudah dapat

dikatakan sebagai sebuah keharusan. Karena yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru

13 Bisnis Indonesia, 1 November 1997..

10

adalah sebaliknya. Negara Indonesia terutama selama rezim Orde Baru adalah sebuah

rezim yang lebih bersifat otoriterisme-birokratik14 yang didalamnya terdapat berbagai

bentuk patronase bisnis.

Kenyataan yang ada pada akhir dekade 1990an adalah negara Indonesia tengah

dihadapkan pada sebuah krisis ekonomi yang untuk penyelesaiannya tidak hanya

dilakukan pada bidang ekonomi semata, namun telah pula menempatkan problem politik

pada level yang signifikan untuk segera dilakukan pembenahan. Hal menarik yang juga

patut diperhatikan dalam memahami krisis ekonomi dan politik Indonesia adalah, bahwa

militer yang memiliki peran di berbagai bidang tadi ternyata telah melakukan bisnis

dengan alasan pemenuhan anggaran yang dirasakan kurang. Militer yang seharusnya

merupakan alat dari sebuah negara yang bertugas dalam bidang pertahanan, dalam

bisnisnya membentuk berbagai perusahaan. Sebagai sebuah bentuk patronase bisnis

(business patronage), bisnis militer mau tidak mau akan menghadapi desakan liberalisasi

yang timbul dari adanya kesepakatan yang ditandatangani oleh Indonesia dan IMF serta

penguatan peran modal asing dalam perekonomian Indonesia.

Berkaitan dengan berbagai hal tersebut, permasalahan yang akan dijawab dalam

skripsi ini adalah, sejauhmana desakan liberalisasi ekonomi dan politik serta

menguatnya peran modal asing dapat mempengaruhi praktek-praktek bisnis militer

Indonesia pasca Orde Baru yang merupakan salah satu bentuk patronase bisnis.

Namun untuk dapat menelaah hal tersebut ada beberapa hal yang perlu dicermati terlebih

dahulu, yaitu:

(a) Bagaimana organisasi kemiliteran Indonesia yang terbentuk dari berbagai kelompok-

kelompok perjuangan pada pasca kemerdekaan, mulai tumbuh sebagai sebuah

kekuatan politik.

(b) Bagaimana militer yang telah menjadi salah satu kekuatan politik tersebut kemudian

mulai berkembang sebagai sebuah kekuatan ekonomi dalam sistem ekonomi

Indonesia pasca proklamasi selama tiga periode (revolusi fisik, demokrasi

parlementer dan demokrasi terpimpin). Dalam penjelasan ketiga periode tersebut akan

14 Mengenai pengertian otoriterisme birokratis dapat dilihat pada Arief Budiman, Teori Negara, Negara, Kekuasaan Dan Ideologi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal:109-113. Sedang mengenai rezim negara Orde Baru lihat pula: Mochtar Mas'oed, Ekonomi Dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta, LP3ES, 1989, hal: 6-7. Penjelasan lanjut lihat bagian kerangka teori dalam bab ini.

11

ditelaah pula bagaimana negara memainkan perannya dalam sistem ekonomi,

terutama dalam membentuk kelompok-kelompok kapital pribumi yang kuat.

(c) Bisnis militer sebagai salah satu bentuk kongkrit dari kekuatan ekonomi politik

militer mulai berkembang menjadi salah satu bagian dari sistem ekonomi Indonesia

yang patut diperhitungkan selama masa Orde Baru.

(d) Bagaimana patronase bisnis militer pada pasca Orde Baru tersebut menghadapi krisis

ekonomi yang menimpa Asia termasuk Indonesia, serta implikasi yang

ditimbulkannya pada sistem ekonomi Indonesia.

(e) Bagaimana patronase bisnis militer menghadapi liberalisasi ekonomi, yang secara

langsung menuntut pula pengurangan peran negara dalam ekonomi.

(f) Bagaimana patronase bisnis militer menghadapi tekanan demokratisasi dari dalam

negeri, yang secara langsung menuntut penghapusan peran politik militer dan

keberadaan bisnis-bisnis militer.

3 Signifikansi Penelitian

Berbagai studi sebenarnya telah banyak dilakukan untuk berusaha memahami

peran militer Indonesia dalam politik maupun ekonomi. Para Indonesianis seperti Harold

Crouch, Richard Robison, Andrew Mc Intyre atau juga para pengamat politik dalam

negeri seperti yang dilakukan oleh peneliti dari LIPI akhir-akhir ini telah pula melakukan

penelitian serupa. Namun keterlibatan militer dalam politik, serta timbulnya fenomena

patronase bisnis terutama bisnis-bisnis yang dijalankan oleh pihak militer seperti

dijelaskan sebelumnya, menjadi akan semakin menarik untuk dicermati apabila kemudian

dihubungkan dengan masalah-masalah atau fenomena-fenomena baru yang muncul

sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan negara dan pengambilan

kebijakan-kebijakan oleh pemerintah sebelumnya. Keterlibatan pihak asing seperti IMF

serta semakin kuatnya desakan untuk segera memberlakukan liberalisasi ekonomi di

Indonesia, di satu sisi ternyata telah pula mampu untuk mempengaruhi kebijakan

ekonomi yang diambil oleh pemerintah Indonesia. Sehingga pada akhirnya juga turut

mempengaruhi struktur ekonomi (para pelaku bisnis terutama bisnis-bisnis yang banyak

dilakukan oleh militer). Oleh sebab itu pada akhirnya skripsi ini diharapkan mampu

menambah khasanah dalam wacana politik militer Indonesia.

12

4 Kerangka Teori.

4.1 Pengertian Negara.

Dalam menganalisa permasalahan diatas, penulis akan lebih melihat dari sisi

keberadaan sebuah patronase bisnis, yang dalam hal ini diwakili oleh bisnis militer,

terhadap berbagai konsekuensi yang lahir dari dari adanya "kebijakan-kebijakan" yang

lebih bersifat liberal tersebut. Oleh sebab itulah skripsi ini akan berusaha menganalisanya

dengan menggunakan teori otonomi relatif (relative autonomy).

Dalam pengertian umumnya teori otonomi relatif ini dapat diartikan sebagai,

negara adalah (memiliki) "otonomi yang relatif" berhadapan dengan kelas sosial yang

dominan.15 Namun sebelum menjelaskan mengenai otonomi relatif ini secara lebih

mendalam, penulis merasa perlu untuk memberikan batasan yang jelas tentang apa yang

dimaksud dengan negara dalam skripsi ini.

Secara umum ada beberapa pengertian tentang konsep negara yang banyak

berkembang sampai saat ini. Arif Budiman seorang sosiolog menyebutkan, ada dua

kesimpulan yang bisa menjelaskan tentang lembaga negara tersebut. Pertama, negara

merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam sebuah

masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga atau kelompok yang

ada di masyarakat. Bahkan kalau perlu, negara memiliki keabsahan untuk menggunakan

kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan masyarakat terhadap perintah-perintah

yang dikeluarkannya. Kedua, kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena negara

merupakan pelembagaan dari kepentingan umum. Sebagai lembaga yang mewakili

kepentingan umum, negara dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan-

kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang jumlahnya lebih kecil.16 Alfred

Stepan mengartikan negara sebagai sesuatu yang lebih dari "pemerintah". Negara

merupakan suatu sistem administratif, legal, birokratis dan koersif yang

berkesinambungan serta berusaha untuk tidak hanya mengelola aparat negara, tetapi juga

untuk menyusun hubungan antara kekuasaan sipil dan pemerintah, serta untuk menyusun 15 Yoo Hwan Shin, Demystifying The Capitalist State: Political Patronage, Bureaucraetic Interests, and Capitalist-In-Formation In Soeharto's Indonesia, A Dessertation, Yale University, 1989, hal: 65. Dan yang dimaksudkan dengan kelas sosial yang dominan ialah kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat yang dianggap mampu mempengaruhi kebijakan negara.

13

berbagai hubungan mendasar dalam masyarakat politik dan masyarakat sipil.17

Sedangkan untuk melihat negara dalam kaitannya dengan struktur sosial, ekonomi dan

ideologi, Farchan Bulkin, seorang ahli ekonomi politik berpendapat bahwa negara bisa

dipandang sebagai sebuah institusi umum yang imperatif sifatnya, yang demi

keselamatan ekonominya harus menguasai sebagian sumber ekonomi nasional melalui

sistem perpajakan dan membelanjakannya sesuai kebijakan umum ekonomi. Sehingga

negara memiliki relevansi ekonomi. Struktur pendapatannya tergantung pada struktur

ekonomi dan juga merefleksikan struktur ekonomi yang dominan.18

Namun agar pengertian negara disini tidak meluas dan tetap berada dalam

konteksnya, pengertian negara disini harus tetap diingat, bahwa negara yang

dimaksudkan dalam skripsi ini adalah negara Indonesia masa Orde Baru yang telah

didominasi oleh peran militer di berbagai aspek kehidupan, termasuk dialamnya adalah

aspek politik dan ekonomi. Dalam memahami rezim negara Orde Baru yang berkuasa

juga dapat digunakan model otoriterisme birokratik Guillermo O'Donnell dan

korporatisme negara Philippe C. Schmitter.19 O'Donnell melihat ada lima hal yang

dimiliki otoriterisme birokratik, yaitu pertama, pemerintah dipegang oleh militer, tidak

sebagai diktaktor pribadi, melainkan sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan

"teknokrat" sipil. Kedua, Ia didukung oleh enterpreneur oligopolistik, yang bersama

negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. Ketiga, pengambilan

keputusan dalam rezim otoriterisme birokratik bersifat birokratik-teknokratik, sebagai

lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses

bargaining yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan. Keempat, massa

didemobilisasikan, dan kelima, penggunaan tindakan-tindakan represif untuk

mengendalikan oposisi. Dalam konteks Indonesia hal-hal ini jelas terlihat. Dominasi

pihak militer atas lembaga-lembaga politik termasuk presiden yang pada masa awal Orde

Baru bersama teknokrat sipil memperbaiki keadaan ekonomi warisan demokrasi

terpimpin, dukungan kelas-kelas kapitalis yang juga merupakan bentukan rezim

16 Arief Budiman, Teori… op cit, hal:3. 17 Alfred Stepan, Militer Dan Demokratisasi, Pengalaman Brasil Dan Beberapa Negara Lain, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1996, hal:14-15. 18 Farchan Bulkin, "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian", dalam Prisma, 2 Februari 1984, Jakarta, LP3ES, hal:7. 19 Mochtar Mas'oed, op cit.

14

militeristik Orde Baru, serta birokrasi yang telah didominasi oleh militer dengan konsep

kekaryaannya. Selain itu dalam negara Orde Baru juga dapat dilihat seringkalinya

penggunaan pendekatan militeristik oleh pihak militer Indonesia dalam memecahkan

masalah keamanan.

Schmitter berpendapat bahwa korporatisme adalah suatu sistem perwakilan

kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi

yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan (keanggotaan), tidak saling

bersaing, diatur secara herarkis yang diakui atau diberi izin oleh negara dan diberi hak

monopoli, menjadi sangat kontekstual di Indonesia. Karena jika diperhatikan berbagai

korporasi yang merupakan bentuk dari patronase bisnis yang berkembang di Indonesia

jelas memiliki kesamaan dengan ciri-ciri yang disebutkan Schmitter.

Terakhir untuk dapat memahami negara Orde Baru dalam konteks keterlibatan

negara dalam pembentukan kelas-kelas kapital di Indonesia juga dapat digunakan

penjelasan mengenai negara otoriter birokratik (NOB) rente sebagaimana disebutkan oleh

Arief Budiman. Ia menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan negara otoriter

birokratis rente adalah sebuah negara yang bersifat otoriter dan sangat mengandalkan

birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Sehingga praktis partisipasi masyarakat

dibendung serta pembangunan ekonomi dan politik dilakukan secara top-down.20

4.2. Pengertian Patronase Bisnis.

Karena yang menjadi pokok bahasan dari skripsi ini adalah pola patronase bisnis,

maka selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian dari patronase bisnis tersebut.

Patronase bisnis sebenarnya hanya merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh para

ahli ekonomi politik untuk memahami sebuah fenomena yang terjadi di beberapa negara

di dunia. Patronase bisnis dapat diartikan sebagai sebuah pola bisnis atau ekonomi yang

terbentuk berdasarkan hubungan patron-klien.21 Karena itu pola patronase bisnis ini pada

umumnya berkembang di dalam sebuah masyarakat yang memiliki budaya patron-klien

(patrimonial) yang sangat kuat.

20 Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, Studi Tentang Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas, 1991, hal:14. 21 Suryadi A. Rajab, Praktik Culas Bisnis Gaya Orde Baru, Jakarta, PT Gramedia Widyasarana Indonesia, 1999, hal:33.

15

Agar mempermudah pengertian patronase bisnis ini dalam kaitannya dengan pola

hubungan patron-klien yang merupakan gejala umum di negara-negara Asia Tenggara,

maka di sini akan dijelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan patron-klien

tersebut. Oleh para antropolog "patron-klien" ini seringkali pula diartikan dengan

"solidaritas vertikal".22 Biasanya pola ini banyak terjadi di dalam sistem masyarakat yang

bersifat patrimonial. Lebih lanjut James C. Scott menjelaskan bahwa hubungan patron-

klien dapat diartikan sebagai sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran, yang dapat

dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan dua orang yang terutama melibatkan

persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status ekonomi yang lebih

tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk menyediakan

perlindungan dan/ atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih

rendah (klien). Selanjutnya sang klien akan membalasnya dengan menawarkan dukungan

umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi, kepada patron.23 Jadi secara khusus yang

dimaksudkan dengan praktek atau pola patronase bisnis ialah para pengusaha harus

punya patron politik untuk bisa melakukan akumulasi modal.24 Dengan demikian posisi

patron politik yang pada umumnya berada di tangan para pejabat negara menjadi sangat

penting.

Praktek patronase bisnis ini sebenarnya tidak hanya berkembang di Indonesia

saja. Di beberapa negara Asia lainnya seperti Thailand, Korea Selatan dan Jepang juga

mengenal patronase bisnis ini. Namun perbedaannya, di negara-negara seperti Korea

Selatan dan Jepang praktek bisnis seperti ini tidak menjadi sesuatu yang berkelanjutan.

Di Korea Selatan misalnya, pada masa awal industrialisasinya rezim dibawah pimpinan

Syngman Rhee juga memberikan berbagai lisensi impor dan alokasi mata uang asing

kepada para chaebol yang dekat dengan para pejabat tinggi dengan tujuan untuk dapat

menyalurkan dukungan dana dan politik kepada rezim. Nilai impor bahkan mencapai

sepuluh kali lipat nilai ekspor. Hal ini juga dapat terjadi berkat dukungan ekonomi yang

kuat dari AS. Pola seperti ini terus terjadi sampai tergulingnya Syngman Rhee.

22 James.C.Scott, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal:1. Namun patut diingat Scott mendefinisikan hal tersebut dalam konteks hubungan patrimonial di tingkat desa. 23 Ibid, hal:7. 24 Alexander Irwan, "Kolaborasi …opcit.

16

Pasca Rhee, Korea Selatan mengalami sedikit perubahan. Kemudahan di bidang

ekonomi yang sebelumnya diberikan pada para pengusaha yang dekat dengan kalangan

pejabat, dialihkan kepada para pengusaha yang berhasil mendirikan pabrik baru dan yang

mampu melakukan kegiatan ekspor. Kebijakan industri subtitusi impor (ISI) dilakukan

sebagai salah satu cara untuk dapat mengurangi impor serta meningkatkan nilai ekspor.

Persoalannya hal ini menjadi berbeda ketika terjadi di Indonesia. Keterlibatan negara

yang besar dalam proses industrialisasi tampak menjadi “kelewatan”. Sehingga ketika

terjadi krisis di akhir dekade 1990an, negara menjadi salah satu aktor ekonomi yang

paling bertanggung jawab.

4.3. Teori Otonomi Relatif Negara.

Teori otonomi relatif ini banyak dikembangkan oleh teoritisi neo-Marxis sebagai

kritik atas teori Marxis klasik yang melihat negara sebagai alat bagi kelas yang berkuasa

(dominan). Diantaranya adalah Ralph Miliband, Nicos Poulantzas dan Hamza Alavi,

yang dikenal termasuk Marxis struktural kontemporer. Dalam "The State in Post Colonial

Societies: Pakistan and Bangladesh", disebutkan oleh Alavi bahwa negara pada

masyarakat pasca kolonial mempunyai otonomi relatif terhadap kelas-kelas sosial, karena

lemahnya serta kurang berkembangnya kelas-kelas sosial tersebut25. Selain itu Alavi juga

melihat bahwa ada tiga kelas dominan yang lahir di negara-negara pasca kolonial. Ketiga

kelas tersebut adalah borjuasi metropolitan, borjuasi lokal dan kelas pemilik tanah.

Karena kepentingan ketiga kelas tersebut tidak berbeda, maka negara dapat dengan

mudah memediasi segala kepentingan mereka.26

Dalam konsep masyarakat feodal yang dimaksudkan dengan kelas yang dominan

adalah kelas bangsawan dan ditambah orang-orang yang berasal dari kalangan gereja.

Ketika dua revolusi besar terjadi (industri dan Perancis), pada saat yang bersamaan

terjadi pulalah perubahan dalam struktur masyarakat yang ada di Eropa. Pengaruh kelas

Bangsawan dan Gereja terhadap negara telah mengalami reduksi. Adanya dua revolusi itu

telah melahirkan kelas borjuis (kapitalis) baru yang lebih memiliki kemampuan untuk

mempengaruhi negara. Dengan kata lain, negara-negara tersebut tumbuh dibawah

25 Mengenai pengertian kelas dalam pandangan Marxisme lihat Tom Bottomore (ed), The Dictionary of Marxist Thought,Massacussets, Blackwell Publisher, 1992. 26 Hamza Alavi, The State In Post Colonial Societies:Pakistan and Bangladesh, dikutip dari Vedi R. Hadiz, Teori Negara Pasca Kolonial, Skripsi Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, 1987, hal:40 dan 42.

17

hegemoni kelas-kelas borjuasinya. Sedangkan kenyataan yang muncul di negara-negara

dunia ketiga adalah tidak terbentuknya kelas-kelas sosial, terutama kelas borjuis

(kapitalis) yang kuat. Sehingga tidak memungkinkan adanya hegemoni dari kelas-kelas

sosial tertentu terhadap negara.

Tidak tumbuhnya kelas-kelas kapitalis yang kuat dan mandiri di negara-negara

dunia ketiga inilah yang berusaha dijelaskan oleh teori negara pasca kolonial. Teori yang

dikembangkan oleh Hamza Alavi ini melihat bahwa di dalam negara-negara yang baru

merdeka sebenarnya telah terbentuk tatanan sosial masyarakat yang relatif stabil. Ketika

negara-negara tersebut masih berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial,

pemerintahan tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap kelas-kelas sosial

lainnya. Pemerintahan kolonial yang merupakan perpanjangan tangan dari negara

induknya, telah berkuasa sedemikian rupa sehingga birokrasi, tatanan hukum dan

termasuk pula kekuatan militer dipergunakan semaksimal mungkin untuk mendukung

proses akumulasi modal. Sehingga tidak memungkinkan organisasi sosial politik yang

bertujuan memperkuat kedaulatan rakyat dapat tumbuh.

Namun dalam perkembangannya ketika negara-negara tersebut mendapatkan

kemerdekaannya, tatanan sosial politik tersebut ternyata tidak mengalami perubahan,

yang terjadi justru hanyalah sebatas pergantian penguasa. Pemerintah nasional yang

terbentuk, mewarisi tatanan kolonial tersebut dengan berbagai kemudahan didalamnya.

Dengan warisan tatanan tersebut pemerintahan (baca:negara) yang baru tersebut memiliki

posisi tawar menawar yang kuat terhadap pemilik modal. Sehingga dengan demikian

dapat dikatakan bahwa, negara secara terbatas memiliki otonomi terhadap kelas-kelas

sosial yang ada, termasuk kelas-kelas borjuisnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai

otonomi relatif negara.

Otonomi relatif ini sebenarnya tidak hanya terdapat di negara-negara pasca

kolonial saja. Di negara-negara maju juga mengenal otonomi relatif ini. Di negara

industri maju otonomi relatif terletak pada ketidakmampuan fraksi-fraksi dalam kelas

borjuasi yang hegemonis untuk menguasai negara sepenuhnya. Sedang pada negara pasca

kolonial ketidakmampuan terletak pada berbagai kelas dominan untuk menguasai

18

negara.27 Ketika negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia mendapat

kemerdekaannya, negara-negara itu kemudian memegang peran yang penting dalam

pembentukan kelas-kelas kapitalis. Karenanya dapat dipahami jika pada perkembangan

selanjutnya muncul fenomena-fenomena patronase bisnis di negara-negara tersebut.

Dominasi serta adanya intervensi negara dalam ekonomi itulah yang kemudian

meletakan negara pasca kolonial sebagai sesuatu yang memiliki “sentralitas”,

sebagaimana telah ditegaskan oleh Alavi. Meski penulis sendiri tidak terlalu setuju

dengan tesis “overdeveloped state”-nya Alavi, namun penulis melihat bahwa memang

ada kecenderungan dari negara-negara pasca kolonial yang dalam melakukan strategi

industrialisasinya sangat bergantung kepada negara. Hal ini mengakibatkan kelas-kelas

kapitalis yang muncul menjadi tidak kuat dan mandiri. Dalam konteks ini pula, seperti

telah ditegaskan oleh Zieman dan Landzendorfer, yang patut untuk disadari ialah bahwa

negara memiliki fungsi primer yaitu sebagai penjamin reproduksi sosial, dan itu berarti

adanya penjaminan keberadaan mode produksi kapitalis.28

Selanjutnya yang juga perlu untuk menjadi perhatian di sini ialah bagaimana

keterlibatan aparat birokrasi negara dengan pembentukan kelas-kelas kapital di negara-

negara pasca kolonial, terutama dalam kaitannya dengan otonomi relatif negara. Dalam

konteks ini Alavi melihat bahwa latar belakang sosial atau kelas dari aparat negara

menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Sejalan dengan itu, Shivji dan Saul

juga melihat birokrasi sebagai sebuh kelas atau suatu kelas dalam proses pembentukan.

Dengan demikian baik Shivji maupun Saul dalam hal ini sangat menekankan akan

pentingnya faktor-faktor kesadaran atau kemauan dari orang-orang yang menduduki

posisi-posisi dalam aparat birokrasi negara, terutama dalam mengarahkan perubahan

sosial.

Walau demikian, di dalam kasus negara-negara pasca kolonial, negara

(termasuk di dalamnya para aparatnya) bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan

dalam sebuah proses perubahan sosial. Menurut Ziemann, Lanzendorfer serta didukung

pula oleh Robison, negara bahkan asal usul aparat birokrasi negara, tidak mampu

menentukan arah dari perubahan sosial. Ada batasan-batasan atau faktor-faktor lain yang

27 Vedi R. Hadiz, Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dam INSIST, 1999, hal:55-56. 28 Ibid, hal: 61.

19

juga patut untuk menjadi perhatian, yaitu proses-proses konflik kelas dan logika

akumulasi modal.29 Dan keduanya harus terjadi terlebih dahulu di dalam masyarakat

pasca kolonial. Bagi penulis pandangan seperti ini setidaknya telah pula memberikan

pengertian lain kepada kita bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam

negara-negara pasca kolonial, bagaimanapun juga tidak akan terlepas dari partisipasi

masyarakat pasca kolonial itu sendiri dalam menciptakan sebuah perubahan.

Sedangkan untuk membantu menjelaskan perubahan politik yang terjadi di

Indonesia sebagai salah satu bentuk implikasi langsung dari terjadinya krisis ekonomi,

dalam skripsi ini penulis juga menggunakan teori atau argumentasi yang disampaikan

oleh Samuel P. Huntington tentang apa yang diistilahkannya sebagai gelombang

demokratisasi ketiga.30 Dalam melihat korelasi antara krisis ekonomi dan proses

demokratisasi, Huntington berpendapat bahwa,

“Pada umumnya ada korelasi antara tingkat pembangunan ekonomi dengan demokrasi, namun tingkat atau pola pembangunan ekonomi itu saja tidak mesti atau tidak memadai untuk mewujudkan demokratisasi.”31

Lebih lanjut Huntington menyebutkan bahwa,

“Perkembangan ekonomi menyediakan sebuah landasan bagi demokrasi; krisis-krisis yang timbul akibat perkembangan yang cepat atau resesi ekonomi melemahkan rezim otoriter.”32

Dari pernyataan diatas jelas bahwa, pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang

cukup signifikan bagi sebuah proses demokratisasi. Baginya proses demokratisasi tanpa

adanya pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah keniscayaan. Karenanya demokratisasi

tidak akan muncul di negara-negara yang miskin. Ada beberapa argumentasi yang

diberikan oleh Huntington untuk dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi

menjadi faktor penting dalam sebuah proses demokratisasi di suatu negara. Pertama,

dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menciptakan kemakmuran

ekonomi masyarakat tersebut ternyata telah membentuk “nilai-nilai dan sikap-sikap

kewarganegaraannya”, menyuburkan rasa tanggung jawab antarpribadi, karena dipercaya,

kepuasan hidup dan kopetensi yang pada gilirannya berkolerasi kuat dengan eksistensi

29 Robison menyebut konflik-konflik kelas ini sebagai struktur kelas. Ibid, hal:66-69. 30 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, 1997. 31 Ibid, hal:72 32 Ibid, hal:73.

20

lembaga-lembaga demokrasi. Kedua, perkembangan ekonomi telah meningkatkan taraf

pendidikan masyarakat. Ketiga, dengan adanya perkembangan ekonomi menyebabkan

lebih banyak sumber daya yang dapat didistribusikan di antara kelompok-kelompok

sosial sehingga memudahkan akomodasi dan kompromi. Keempat, perkembangan

ekonomi telah pula mendorong keterbukaan masyarakat bagi perdagangan, investasi,

teknologi, pariwisata dan terutama komunikasi dengan dunia internasional. Dengan

demikian memudahkan ide-ide demokrasi secara umum untuk masuk ke negara tersebut.

Terakhir, menurut Huntington, perkembangan ekonomi telah mendorong meluasnya

kelas menengah. Kelas menengah bagi Huntington meski pada awal fase demokratisasi

kelas menengah tidak mesti sebagai kekuatan pendukung demokratisasi, namun dalam

gerakan demokratisasi gelombang ketiga hampir di setiap negeri didukung oleh kelas

menengah perkotaan. Dimana jika kita mengacu pada kasus Taiwan “pelaku-pelaku

utama perubahan politik adalah kaum intelektual kelas menengah yang lahir selama

periode pertumbuhan ekonomi yang cepat”.33

Meski demikian perlu pula diingat dalam melihat kasus-kasus tertentu ada

beberapa varian yang penting untuk dijadikan perhatian. Sebab bagaimanapun juga dalam

mengamati setiap perubahan politik yang terjadi di suatu negara, terutama bila kita

hendak melihatnya dari faktor internal yang mempengaruhinya, terdapat beberapa

perbedaan yang tidak dapat dengan mudah digeneralisasi.

4.5 Beberapa pengertian lain.

Selain dari beberapa konsep yang telah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa

istilah atau konsep penting lain yang dirasa perlu untuk dijelaskan disini. Pertama ialah

ekonomi biaya tinggi (high cost economy).Salah satu penyebab terjadinya ekonomi biaya

tinggi ini ialah banyaknya praktek-praktek korupsi dan kolusi yang dilakukan oleh

pejabat negara dan birokrasi. Sehingga mengakibatkan peningkatan ongkos produksi

suatu produk. Kedua ialah pemburu rente (rent seekers). Munculnya istilah ini tidak bisa

terlepas dari penyebab terjadinya ekonomi biaya tinggi. Para pejabat negara dan birokrasi

yang melakukan KKN tadi mencoba mencari keuntungan dengan menggunakan aset-aset

yang dimiliki oleh negara. Mereka juga berusaha untuk menjadi patron politik dari para

pengusaha. Ketiga, kapitalisme semu (ersatz capitalism). Konsep ini ditawarkan oleh

33 Ibid, hal:81-82.

21

Yoshihara Kunio sebagai sebuah penggambaran atas fenomena yang terjadi di sebagian

besar negara-negara di Asia Tenggara. Adanya peran pemerintah begitu besar sehingga

mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis.

Hal negatif lain yang ditimbulkan dari besarnya peran pemerintah atau negara ini ialah

adanya pencari rente di kalangan birokrat, yang secara langsung dapat menghambat

perkembangan para usahawan sejati. Sedangkan di sisi lain justru muncul pengusaha-

pengusaha keturunan Cina yang sukses sebagai akibat dari adanya koneksi-koneksi

dengan para birokrat untuk mendapatkan fasilitas.34

5 Model Analisa

Variabel Bebas Variabel Terikat

6 Operasionalisasi Konsep

Sebagai variabel terikat dalam skripsi ini ialah bisnis militer Orde Baru,

terutama yang dijalankan oleh Angkatan Darat. Bisnis militer di Indonesia selama Orde

Baru dianggap sebagai salah satu bentuk dari keberadaan patronase bisnis. Hal ini

disebabkan karena militer sebagai bagian dari negara, dalam menjalankan praktek-

praktek bisnisnya sangat mengandalkan hubungan dengan pusat kekuasaan birokrasi

politik, baik sipil ataupun militer ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Hal ini terjadi

34 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, 1991.

Melemahkan keberadaan Patronase Bisnis: • Bisnis militer

(Angkatan Darat/ Yayasan Kartika Eka Paksi)

Desakan Liberalisasi:

Tekanan institusi keuangan internasional (IMF, World Bank).

Menguatnya peran modal

asing (Direct dan , Indirect Investment).

Tekanan Domestik (masyarakat)

22

di perusahaan-perusahaan dibawah naungan sebuah yayasan ataupun yang berupa

koperasi-koperasi.

Dalam skripsi ini terdapat dua variabel bebas.Variabel bebas pertama ialah

tekanan institusi internasional. Secara lebih mendalam dapat dilihat, bahwa yang

dimaksudkan dengan tekanan institusi keuangan internasional dalam skripsi ini adalah

prasyarat yang disepakati bersama dengan lembaga keuangan internasional (IMF),

sebagai kondisionalitas pemberian bantuan keuangan pada Indonesia dimasa krisis

ekonomi. Prasyarat yang dimaksudkan diatas dilihat sebagai sebuah sarana atau alat bagi

IMF dan lembaga-lembaga internasional lainnya untuk dapat lebih leluasa memainkan

perannya dalam kebijakan ekonomi Indonesia di masa-masa selanjutnya. Secara kongkrit

yang dimaksudkan dengan prasyarat tersebut ialah hal-hal yang tercantum dalam letter of

intent dengan IMF 15 Januari 1998.

Penguatan modal asing disini diartikan sebagai sebuah bentuk pencapaian

kepentingan yang terakomodir oleh adanya persyaratan yang diajukan oleh IMF.

Sehingga pada akhirnya modal asing menjadi mampu secara lebih besar lagi untuk

mempengaruhi struktur ekonomi Indonesia dibandingkan sebelum masa krisis. Namun

yang patut diingat ialah bahwa kedua variabel bebas ini masih berada dalam satu konsep,

yaitu desakan liberalisasi ekonomi.

Sedangkan varibel bebas kedua ialah tekanan dari masyarakat domestik. Yang

diartikan sebagai tekanan disini ialah bagaimana masyarakat Indonesia secara

keseluruhan mulai secara lebih berani lagi menunjukan “ketidaksukaannya” pada negara,

terutama terhadap adanya dominasi militer dalam politik dan ekonomi.

7 Hipotesa

1. Semakin besar tekanan institusi keuangan dan perdagangan internasional serta

makin kuatnya peran modal asing dalam liberalisasi ekonomi Indonesia pasca

Orde Baru, akan memperlemah posisi patronase bisnis militer Indonesia.

2. Tekanan politik domestik di era transisi dari otoriter ke demokrasi akan

mereduksi peran bisnis militer.

23

8 Metode Penelitian

Skripsi ini mengunakan pendekatan kualitatif. Penulis memilih metode penelitian ini

karena dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat lebih menjelaskan (eksplanasi)

bagaimana proses mempengaruhi tersebut terjadi. Neuman menyebutkan bahwa salah

satu tujuan dari sebuah penelitian kualitatif ialah untuk menjelaskan sebuah proses

terjadi.35

Dalam skripsi ini sendiri, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan

melalui metode studi dokumen, dan literatur. Sedangkan dalam penjelasan data-data

tersebut digunakan penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat deskriptif.

9 Sistematika Penulisan

Bab I. Pendahuluan. Bab ini menggambarkan tentang latar belakang

permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Kemudian pokok permasalahan,

penjelasan kerangka teori yang akan digunakan, model analisa, operasionalisasi konsep,

hipotesa, signifikansi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II. Peran Militer Dalam Politik Dan Ekonomi 1945-1965. Bab ini

membahas bagaimana militer mulai memainkan perannya dalam berbagai masalah sosial,

politik dan ekonomi selama tiga periode pasca kemerdekaan (revolusi fisik, demokrasi

parlementer dan demokrasi terpimpin). Hal ini perlu dipahami sebelum melihat lebih jauh

tentang bisnis militer. Karena bagaimanapun juga pelaksanaan bisnis militer akan selalu

didukung oleh adanya militer yang terlibat dalam politik. Selain itu dalam bab ini juga

dibahas mengenai bagaimana negara Indonesia pasca kemerdekaan mulai memainkan

perannya secara lebih aktif dalam membentuk kelas-kelas kapitalis pribumi. Sedang

militer sendiri yang pada saat bersamaan juga tumbuh sebagai kekuatan politik, juga

tampak mulai memainkan perannya dalam bidang ekonomi secara luas.

Bab III. Bisnis Militer: Amal Atau Komersil? Setelah mengetahui asal usul dan

perkembangan keterlibatan militer dalam ekonomi dan politik, maka bab ini mengkaji

perkembangan dari keberadaan bisnis militer pada masa Orde Baru secara lebih

mendalam. Terutama yang dilakukan oleh Yayasan Kartika Eka Paksi. Selain itu juga

35 W.Lawrence Neuman, Social Research Methods:Qualitative And Quantitative Approaches 3rd Edition, Boston, Allyn and Bacon, 1997, hal:14.

24

akan dilihat tujuan serta implikasinya pada sistem politik dan ekonomi di Indonesia masa

Orde Baru.

Bab IV. Liberalisasi Ekonomi Dan Pengaruhnya Pada Patronase Bisnis

Militer.

Adanya fenomena patronase bisnis (bisnis militer) tersebut kemudian menjadi sesuatu

yang menarik untuk diamati secara lebih jauh lagi, terutama hubungannya dengan krisis

ekonomi serta adanya desakan liberalisasi. Karena itu bab ini kemudian juga membahas

tentang bagaimana peran modal asing dalam struktur ekonomi Indonesia (khususnya pada

permasalahan patronase bisnis militer) di masa mendatang.

Bab V. Krisis Ekonomi, Militer dan Proses Demokratisasi Pasca Orde Baru.

Dengan terjadinya krisis ekonomi tersebut ternyata patronase bisnis militer tidak hanya

harus berhadapan berbagai tantangan baru yang bersifat ekonomi. Terjadinya krisis

ekonomi ternyata di lain pihak juga telah menimbulkan berbagai implikasi politik,

termasuk di dalamnya adalah berkembangnya desakan demokratisasi dari masyarakat.

Dalam bab ini akan dibahas bagaimana kemampuan dan kekuatan masyarakat domestik

dalam penghapusan bisnis militer Indonesia pasca Orde Baru.

Bab VI. Kesimpulan.

25

Bab II

Peran Militer Dalam Politik Dan Ekonomi

1945-1965

Pada awal bagian latar belakang bab I, secara umum dan singkat telah disebutkan

bahwa keterlibatan militer dalam politik Indonesia adalah sangat dominan. Militer di

Indonesia tidak hanya sebagai kekuatan militer semata, tetapi juga telah menjadi

kekuatan sosial politik yang sangat penting. Oleh sebab itu tidak berlebihan apabila

militer Indonesia dapat disebut sebagai aktor utama dalam arena politik di Indonesia.36

Dalam proses perkembangannya menjadi sebuah kekuatan sosial politik yang

dominan di Indonesia setidaknya sampai pemilu 1999, militer Indonesia telah mengalami

berbagai peristiwa politik yang secara otomatis juga turut mempengaruhi pembentukan

karakter dari organisasi kemiliteran itu sendiri. Semenjak proklamasi kemerdekaan

dikumandangkan oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak

peristiwa politik penting yang terjadi di dalam negara Republik Indonesia, mulai dari

perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, pergantian di tingkat elit pemerintahan

sampai dengan penggantian sistim politik yang dianut. Pada saat-saat seperti inilah

militer Indonesia lahir dan berkembang menjadi sebuah kekuatan militer yang juga

sekaligus sebagai sebuah kekuatan sosial politik. Hal inilah yang telah memberikan

gambaran kepada Harold Crouch bahwa selama masa revolusi fisik tahun 1945 sampai

tahun 1949 tentara telah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, dimana tindakan politik

dan militer saling menjalin dan tak dapat terpisahkan.37

Agar dapat memahami keterlibatan militer yang begitu besar dalam arena politik

di Indonesia secara lebih mendalam, perlu kiranya terlebih dahulu untuk melihat kembali

bagaimana organisasi kemiliteran itu lahir dan berkembang. Setelah itu kita dapat melihat

bagaimana proses politisasi itu terjadi, terutama pada kalangan elit (perwira) militer itu

36 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Politik Dan Pembangunan, Jakarta, Rajawali Press, 1993, hal:49. Meski demikian dominasi peran militer tersebut hanya terjadi sampai dekade 80an. Dalam perkembangannya yang mendominasi adalah Suharto. Militer sendiri kemudian dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaannya. 37 Harold Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal:21.

26

sendiri. Karena berbagai peristiwa atau gejolak politik tersebut diatas sedikit banyak telah

mempengaruhi dalam penciptaan militer sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang

dominan di Indonesia, maka penulis membagi bab ini menjadi tiga bagian. Bagian

pertama adalah bagaimana organisasi kemiliteran itu terbentuk pada masa-masa awal

kemerdekaan Indonesia. Bagian kedua akan menggambarkan bagaimana awal peran

sosial politik dan ekonomi militer masa demokrasi parlementer sampai tahun 1959,

dimana Sukarno membentuk sebuah Dewan Nasional. Sedangkan bagian ketiga akan

membahas bagaimana peran sosial politik dan ekonomi militer selama demokrasi

terpimpin.

1 Pembentukan Tentara Nasional Indonesia.

Sampai pada saat diproklamasikan kemerdekaannya, Republik Indonesia secara

resmi belum memiliki sebuah institusi angkatan bersenjata yang terorganisir dengan baik.

Pada waktu itu yang ada hanya para pemuda yang sebelumnya tergabung dalam

organisasi-organisasi kemiliteran bentukan Belanda (KNIL) atau yang merupakan

bentukan Jepang seperti Peta dan Heiho. Selain itu juga terdapat laskar-laskar perjuangan

(para militer) di berbagai daerah. Biasanya para pemuda yang tergabung dalam laskar-

laskar perjuangan ini, memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok politik, seperti

Barisan Pelopor (nasionalis) dan Hizbullah (Masjumi).38

Di tengah semakin tidak menentunya situasi dan kondisi politik pada masa itu,

dimana terdapat perbedaan pendapat antara para pemimpin perjuangan (Sukarno-Hatta)

yang menginginkan untuk menempuh jalur diplomasi dengan semangat para pemuda

yang menginginkan penggunaan kekuatan bersenjata untuk mempertahankan

kemerdekaan39, Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat memutuskan untuk segera

dibentuk sebuah badan yang disebut dengan Badan Penolong Keluarga Korban Perang

(BPKKP) pada tanggal 22 Agustus 1945. Selanjutnya dibentuk pula sebuah Badan

Keamanan Rakyat (BKR), yang kedudukannya berada dibawah KNIP dan BPKKP.40

38 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwifungsi ABRI, Jakarta, LP3ES, 1986, hal: 4. 39 Hal ini oleh Feith dikatakan sebagai awal konflik antara Sukarno dan AD. Lihat Herbert Feith, Sukarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta, Sinar Harapan, 1995, hal:34. 40 Ben Anderson, Revolusi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan Di Jawa 1944-1946, Jakarta, Sinar Harapan, 1988, hal:125-126.

27

Badan ini sendiri berfungsi sebagai memelihara keamanan bersama-sama dengan rakyat

dan badan-badan negara yang bersangkutan.

Meski telah berusaha untuk menghimpun segala kekuatan bersenjata yang ada,

namun nampaknya keberadaan dari BKR tersebut tidak juga memuaskan para pemuda

pejuang pada waktu itu. Para pemuda pejuang lain yang tidak tergabung dalam BKR

secara sepihak juga telah melucuti persenjataan tentara Jepang. Perintah sekutu kepada

para tentara Jepang untuk mempertahankan keadaan status quo, ternyata di berbagai

wilayah telah menimbulkan bentrokan-bentrokan antara para pemuda dan tentara Jepang

tersebut. Kedatangan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administratation), telah

turut memperuncing keadaan keamanan di Indonesia, sehingga menimbulkan

pertempuran-pertempuran di berbagai daerah.

Perkembangan kondisi dan situasi inilah yang kemudian memaksa pemerintah

untuk membentuk sebuah organisasi Angkatan Perang yang lebih kondusif. Selanjutnya

dengan sebuah Maklumat Pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 5 Oktober 1945

dibentuklah sebuah organisasi kemiliteran dengan nama Tentara Keamanan Rakyat

(TKR). Pembentukan TKR ini dimaksudkan untuk menghimpun bekas para anggota

PETA, Heiho dan juga KNIL. Pembentukan TKR kemudian dilanjutkan pula dengan

pengangkatan Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Namun ternyata

pembentukan TKR juga tidak memberikan kepuasan pada para pemuda. Mereka

menganggap TKR tidak lebih sebagai sebuah bentuk keraguan pemerintah yang masih

ingin menitikberatkan pejuangan diplomasi dibanding perjuang bersenjata seperti yang

mereka inginkan. Mereka juga beranggapan bahwa yang dibutuhkan negara Indonesia

pada saat itu ialah sebuah alat organisasi pertahanan yang bersifat nasional, sehingga

mampu untuk menghadapi sekutu. Oleh sebab itulah, pada tanggal 26 Januari 1946

dikeluarkanlah ketetapan pemerintah tentang pembentukan Tentara Republik Indonesia

(TRI).41 Sebagai hasil konsolidasi TKR Laut dan dikeluarkannya ketetapan baru

no:6/S.D.1946 tentang TRI bagian perhubungan udara, kemudian dibentuk pula

41 Sebelumnya pada tanggal 1 Januari 1946 kata keamanan diganti dengan keselamatan, sehingga menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Selain itu nama kementrian keamanan diganti menjadi kementrian pertahanan, Yahya Muhaimin, Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966, Yogjakarta, Gajahmada University Press, 1982, hal: 25-26.

28

Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada tanggal 19 Juli 1946 dan Angkatan

Udara Republik Indonesia (AURI) 9 April 1946.

Ketika Belanda kembali melakukan agresi militernya, persoalan-persoalan seperti

perbedaan strategi dalam menghadapi Belanda kembali muncul dan semakin meruncing.

Selain itu, persoalan intern dalam tubuh TRI yang belum terselesaikan juga semakin

bertambah dengan persoalan-persoalan hubungan antara organisasi tentara resmi dengan

para laskar dengan berbagai ideologinya yang seringkali tidak searah dengan strategi dan

orientasi militer. Sebagai solusinya pada tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkanlah dekrit untuk

membentuk Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, yang pada

akhirnya menghasilkan sebuah ketetapan presiden tanggal 3 Juni 1947 tentang

pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dimana para anggotanya terdiri dari

seluruh kekuatan bersenjata, termasuk laskar-laskar perjuangan rakyat.

2 Peran Ekstramiliter Tentara Masa Demokrasi Parlementer.

2.1. Awal Peran Militer Dalam Politik.

Dalam memahami peran politik militer Indonesia, ternyata institusi angkatan

bersenjata yang baru saja terbentuk tersebut, memiliki perbedaan yang sangat signifikan

dengan institusi militer yang ada di Indonesia pada saat sekarang ini. Pada masa-masa

awal kemerdekaan Indonesia, kekuatan militer Indonesia belum secara langsung terjun

dan terlibat dalam praktek-praktek politik praktis. Para perwira militer masih menerima

asas keunggulan kekuasaan sipil dan menganggap bahwa peranannya di bidang politik

sewaktu-waktu diperlukan, tetapi tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang

utama. Pergeseran peranan militer sehingga menjadi sebuah kekuatan politik yang utama

ternyata lebih banyak disebabkan pula oleh keadaan dan situasi politik pada saat itu yang

semakin tidak menentu. Memasuki dekade 1950an, negara Indonesia yang baru merdeka

tersebut mencoba untuk menerapkan sebuah sistem politik parlementer. Pemberlakuan

sistem politik ini diharapkan dapat mengakomodir segala kepentingan masyarakat yang

tersalurkan melalui keberadaan partai-partai politik. Namun kenyataan yang ada adalah

sebaliknya. Pada masa demokrasi parlementer tersebut, keberadaan partai-partai politik

tersebut nampaknya justru semakin memperlihatkan perselisihan diantara para elit politik.

Terlalu seringnya pergantian kabinet yang berkuasa dari berbagai macam partai dan

29

golongan, setidaknya telah mengindikasikan perpecahan di dalam elit politik pada waktu

itu.

Selain itu dalam penanganan masalah angkatan bersenjata, para politisi sipil

tersebut juga menunjukan sikap yang tidak tegas, terutama dalam masalah pembentukan

sebuah organisasi kemiliteran. Para politisi sipil tersebut dianggap tidak mampu untuk

menentukan pengangkatan para perwira militer ataupun penentuan organisasi struktural

militer. Hal ini telah menimbulkan sebuah preseden buruk di kalangan militer tentang

para politisi sipil, yang sekaligus pula dapat dianggap sebagai permulaan yang buruk

dalam pembentukan hubungan sipil-militer di Indonesia pada masa-masa selanjutnya.

Dalam hal ini, para politisi sipil tersebut sebenarnya juga telah kehilangan sebuah

kesempatan untuk membentuk sebuah organisasi kemiliteran yang tunduk dan loyal pada

asas keunggulan kekuasaan sipil seperti pernah terjadi pada awal pasca proklamasi.

Sampai akhirnya para perwira militer tersebut memutuskan untuk menentukan sendiri

menteri pertahanan dan panglima mereka.

Hal lain yang juga menambah kekecewaan pihak militer kepada para politisi sipil

ketika itu ialah rencana diadakannya reorganisasi dan rasionalisasi jumlah kekuatan

militer tahun 1952. Ketika itu keadaan keuangan pemerintah tidak memungkinkan untuk

dapat membiayai sebuah angkatan bersenjata yang besar. Sampai menjelang akhir tahun

1952, angka produk eksport utama Indonesia terus mengalami penurunan.42 Oleh sebab

itulah pada saat kabinet Wilopo berkuasa, untuk mengatasi hal tersebut yang sekaligus

pula merupakan kesempatan untuk membentuk sebuah organisasi kemiliteran profesional

seperti yang diinginkan oleh para pimpinan militer saat itu (Nasution dan TB

Simatupang). Maka dengan dukungan dari sekjen kementerian pertahanan, Mr Ali

Budiardjo, diadakanlah reorganisasi dan rasionalisasi militer Indonesia dengan cara

melakukan demobilisasi. Dalam Catatan-Catatan Sekitar Politik Indonesia, Nasution

menggambarkan secara jelas jumlah personel militer yang terdemobilisasi ialah, personel

dengan melihat syarat-syarat kesehatan yang kurang memadai lagi sekitar 40.000 orang,

penaksiran akan adanya permintaan berhenti sekitar 30.000 orang, 10.000 orang akan

memasuki masa pensiun dan sisanya sekitar 8000 orang akan meninggalkan angkatan

42 Mengenai jumlah pasti penurunan tersebut lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, London, Cornell University Press, 1973, hal:246-248.

30

perang, dimana keseluruhan orang tersebut akan dijamin hidupnya sampai mereka

mendapat hidup yang layak dalam masyarakat.43 Rencana rasionalisasi ini segera saja

mendapat tantangan dari para perwira bekas Peta, yang merasa terancam kedudukannya

apabila diadakan rasionalisasi. Perasaan semacam itu timbul karena para bekas anggota

Peta tersebut tidak mendapat pendidikan kemiliteran, sebagaimana yang telah didapat

oleh para bekas anggota KNIL.

Sebagai kelanjutan dari dukungan yang diberikan oleh oposisi di parlemen pada

para perwira bekas Peta,44 serta diterimanya mosi PNI yang diajukan oleh Manai

Sophiaan, tentang perluasan tugas komisi parlemen yang dibentuk untuk memberi

laporan mengenai kemungkinan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dalam pimpinan

dan organisasi kementerian pertahanan dan Angkatan Perang45 pada tanggal 16 Oktober

1952, maka keesokan harinya, atas inisiatif kelompok "elang" (Sebuah faksi perwira

dalam kelompok reformator pada Angkatan Darat dan faksi ini merupakan faksi yang

paling keras/ radikal dalam menuntut keikutsertaan pihak Angkatan Darat dalam setiap

pengambilan keputusan dan kebijakan politik),46 dibawalah massa rakyat sekitar 30.000

orang untuk menduduki gedung parlemen dan kemudian berdemontrasi ke istana

presiden, dengan tuntutannya, yaitu pembubaran parlemen serta segera diadakan

pemilihan umum. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952 tersebut, oleh

Harold Crouch disebut sebagai sebuah krisis politik besar pertama yang melibatkan pihak

tentara.47 Dari pertemuan yang diadakan antara utusan para perwira senior dengan

Presiden Sukarno, ternyata presiden sendiri mendukung apa yang telah dilakukan oleh

para perwira bekas Peta. Sebagai akibatnya Nasution kemudian diberhentikan dari

jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.

43 A.H Nasution, Catatan-Catatan Sekitar Politik Militer Indonesia, Jakarta, CV Pembimbing Masa, 1955, hal: 273. 44 Dukungan ini sendiri oleh pimpinan AD dianggap sebagai "campur tangan" pihak sipil dalam persoalan intern AD. Harold Crouch, Militer…opcit, hal:27. 45 Mosi tersebut sebenarnya bukan murni dari PNI. Sebelumnya I.J Kasimo dari Partai Katolik telah mengusulkan agar dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari anggota-anggota parlemen dan kabinet untuk menyelidiki semua masalah yang telah dikemukakan dalam perdebatan selama enam bulan terakhir. Lihat Ulf Sudhaussen, Politik…opcit, hal:117. Dimana salah satunya adalah masalah organisasi kemiliteran. Lihat juga, Herbert Feith, The Decline …opcit, London, Cornell University Press, 1962, hal:256-258. 46 Kelompok/golongan "elang" ini berpendapat bahwa kemerdekaan yang telah dicapai sebagian merupakan hasil perjuangan mereka sendiri. Oleh sebab itu mereka juga merasa berhak dalam penentuan masalah-masalah politik di Indonesia. Ibid, hal:122. 47 Harold Crouch, Militer…opcit.

31

Meskipun persoalan intern dalam tubuh Angkatan Darat sendiri belum

sepenuhnya berhasil diselesaikan, namun situasi politik yang tidak stabil telah

menimbulkan kekecewaan bersama, baik para perwira yang berasal dari kalangan

teknokrat (yang menginginkan profesionalisasi tentara), maupun kalangan perwira yang

berasal dari bekas Peta. Kekecewaan terhadap pelaksanaan demokrasi parlementer inilah

yang menyatukan perbedaan diantara kedua golongan tersebut. Oleh sebab itulah pada

tahun 1955 diadakanlah rekonsiliasi formal diantara para perwira senior Angkatan Darat.

Kesadaran bahwa mereka merupakan sebuah kekuatan politik yang cukup efektif

semakin mencapai puncaknya setelah Kolonel Bambang Utoyo diangkat menjadi Kepala

Staf. Sebagai seorang perwira yunior nampaknya ia tidak mendapat dukungan dari kedua

kelompok di dalam Angkatan Darat. Penentangan itu sendiri berhasil, dengan berakibat

jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo I.

Persoalan lain yang perlu dipahami dalam membahas asal usul peran politik

militer adalah persoalan dwifungsi. Konsep ini sendiri menjadi sangat penting dalam

memahami peran politik militer Indonesia terutama Masa Orde Baru, karena konsep

inilah yang menjadi legitimasi bagi pihak militer untuk turut serta dalam masalah-

masalah politik. Secara khusus perjalanan sejarah dari konsep dwifungsi itu sendiri

berawal dari pidato Nasution pada tanggal 12 November 1958. Pidato pada peringatan

ulang tahun Akademi Militer Nasional di Magelang yang dikenal dengan jalan tengah

(army's middle way) tersebut pada intinya ialah mengenai formulasi tentang kedudukan

TNI AD dalam negara.48 Seperti dikutip oleh Azca, pada kesempatan itu Nasution

mengatakan bahwa:

"…..TNI AD tidak bisa mengikuti tingkah laku militer di Amerika Latin yang memainkan peran politik secara langsung, dan tidak pula akan merupakan institusi pasif dalam politik sebagaimana pada militer Barat. Tetapi tentara Indonesia akan mencari "jalan tengah" diantara kedua ekstrem itu; TNI sebagai tentara tidak akan melibatkan dirinya ke dalam persoalan politik--seperti kudeta-- tapi tidak pula akan menjadi penonton di dalam arena politik…."49

Meski demikian secara umum lahirnya konsep dwifungsi ini sendiri tidak dapat

dipisahkan dari perkembangan organisasi kemiliteran Indonesia, yang sejak awalnya

48 M. Najib Azca, Hegemoni Tentara, Yogyakarta, LKIS,1998, hal:72. 49 Ibid.

32

memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan-persoalan politik. Jadi, seperti yang

diutarakan oleh Bilveer Singh, meski konsep tersebut secara resmi baru diperkenalkan di

kemudian hari, namun dalam prakteknya konsep tersebut telah berjalan semenjak masa

revolusi fisik.50

2.2. Militer Dan Ekonomi Indonesia Era Demokrasi Parlementer.

Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan adalah sebuah negara tanpa basis

ekonomi yang kuat. Secara umum struktur ekonomi Indonesia masih banyak bergantung

pada para pengusaha Belanda atau orang-orang Eropa lain yang masih menguasai

sebagian besar perkebunan dan perdagangan, serta para pengusaha keturunan Cina yang

menguasai perdagangan. Sedangkan kaum pribumi sendiri mayoritas masih sebagai

petani kecil atau buruh tani.51 Hal ini terjadi sebagai kelanjutan dari struktur ekonomi

yang telah terbentuk selama masa kekuasaan kolonial Belanda. Pada masa penjajahan,

penguasa kolonial dengan sengaja membentuk sebuah struktur sosial, dimana masyarakat

pribumi tidak akan dapat memiliki jalur dalam penguasaan sektor-sektor ekonomi yang

penting. Dengan politik divide et impera-nya pemerintah kolonial berhasil "mengadu

domba" antara para bangsawan yang berada di pedalaman Jawa dengan bangsawan

pesisir atau antara para bangsawan dengan para pedagang. Dengan demikian pemerintah

kolonial dengan mudah menguasai tanah dan para petaninya. Dengan perlindungan dari

pemerintah kolonial, para bangsawan Jawa menjadi lebih menyukai untuk menjadi

pegawai negeri dibandingkan menjadi pedagang. Pemerintah kolonial sendiri kemudian

lebih banyak memberikan perlindungan dan kemudahan dalam sektor perdagangan ini ke

tangan pengusaha keturunan Cina. Dengan demikian pemerintah kolonial telah berhasil

meredam sebuah proses pembentukan kelas-kelas borjuis (kapitalis) pribumi yang kuat.

Tidak adanya kelas borjuis pribumi yang kuat inilah yang selama masa demokrasi

parlementer berusaha diakomodir oleh pemerintah dengan melakukan sebuah program.

Program yang kemudian dikenal dengan Program Benteng ini sebenarnya telah

diluncurkan semenjak bulan April 1950. Namun program tersebut baru mulai

dilaksanakan pada masa Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951). Program Benteng

ini bertujuan untuk membentuk kelompok-kelompok pengusaha pribumi yang kuat. Hal

50 Bilveer Singh, Dwifungsi ABRI, Asal Usul, Aktualisasi Dan Implikasinya Bagi Stabilitas dan Pembangunan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal: 45-46. 51 Arief Budiman, Negara…opcit, hal: 30.

33

ini dilakukan dengan cara memberikan lisensi, subsidi dan berbagai kemudahan lainnya

kepada para pengusaha pribumi tersebut untuk mengimpor barang.52 Barang-barang

tersebut kemudian kembali dijual di dalam negeri. Dengan memanfaatkan perbedaan

antara kurs mata uang resmi dengan kurs di pasar gelap, mereka berhasil mendapatkan

keuntungan yang cukup besar. Sedangkan para pengusaha keturunan Cina dilarang untuk

mengikuti program ini. Dalam pelaksanaan Program Benteng ini, peran dari partai-partai

politik yang berkuasa dalam membentuk kelompok-kelompok pengusaha pribumi

menjadi sangat signifikan. Karena pada saat itu, para pengusaha pribumi yang terlibat

dalam Program Benteng hanyalah yang memiliki hubungan khusus dengan para politisi

partai politik. Oleh sebab itulah pembentukan kelas-kelas kapital pribumi tersebut, juga

terpengaruh oleh adanya pergantian-pergantian elit politik yang berkuasa.

Pemberian proteksi, subsidi dan berbagai kemudahan lain tersebut, secara

kuantitas memang telah pula berhasil meningkatkan jumlah pengusaha pribumi. Robison

mencatat jumlah importir pribumi meningkat, dari 100 ditahun 1949, meningkat menjadi

250 ditahun berikutnya, dan 7000 pada pertengahan 1953.Apabila dipersentasikan, dari

37% ditahun 1952-53 menjadi 76,2% pada akhir 1954.53 Meski demikian juga tidak

sedikit diantara para pengusaha tersebut yang gagal atau hanya menjadi bayang-bayang

para pengusaha keturungan Cina dan India. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan

program Benteng tersebut, Robison juga melihat ada tiga hal yang perlu menjadi

perhatian dalam memahami pembentukan hubungan antara negara dengan para pemodal.

Pertama program tersebut telah pula menjadikan para pengusaha keturunan Cina tersebut

bagian yang menyatu dalam struktur kapitalisme Indonesia. Secara cepat pula mereka

menjadi bagian dominan dari penanam modal (investor) dalam negeri. Kedua, hal ini juga

membuktikan bahwa kelompok-kelompok pribumi tidak mampu untuk dapat

mengembangkan usahanya. Ketiga, sumber-sumber modal dalam negeri, termasuk pula

yang dimiliki oleh para pengusaha Cina, ternyata tidak mampu untuk menggantikan

modal asing, terutama dalam industri berskala besar dan perusahaan-perusahaan

pertambangan. Dalam situasi dan kondisi seperti ini negara kemudian memulai untuk

mengambil peran utama dalam keuangan, kepemilikan dan pengelolaan investasi dalam

52 Richard Robison, Indonesia: The Rise…opcit, hal:44-45. 53 Ibid.

34

sektor-sektor tersebut. Dalam keadaan seperti ini kita dapat memahami kekuasaan negara

pada dua level. Level pertama diamana berbagai kebijakan publik (fiskal, keuangan dan

hukum) dibentuk berdasarkan hubungan antara negara dengan modal. Level kedua,

dimana hubungan tercipta antara pejabat negara dan pemilik modal pribadi (individual

capitalist) yang didasarkan pada kecocokan pribadi antara keduanya.54

Hal lain yang dapat dilihat dari pelaksanaan Program Benteng ini, ialah bahwa

ternyata setidaknya selama dekade pertama pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia

sebenarnya belum mampu merubah apalagi membentuk sebuah sistem sosial ekonomi

yang sama sekali baru dibandingkan dengan sistem sosial ekonomi yang telah terbentuk

pada masa kolonial. Sehingga pada waktu itu para pemimpin pemerintahan hanya sekedar

menjalankan sebuah sistim sosial yang vakum, serta diikuti pula dengan pertarungan di

tingkat elit politik yang ditandai dengan seringnya pergantian kabinet.

Dalam mensikapi hal tersebut, militer yang mulai menyadari potensi kekuatan

politik yang dimilikinya, semakin bertambah kecewa. Hal yang serupa juga mulai

dirasakan oleh Presiden Sukarno, yang melihat pengakuan dirinya sebagai presiden hanya

sebatas simbolik saja. Sementara yang berkuasa dalam menjalankan pemerintahan ialah

perdana menteri. Pemilihan umum yang dilakukan pada tahun 1955, ternyata hasilnya

tidak seperti yang banyak diharapkan. Perpecahan intern dalam kabinet koalisi yang

terbentuk pasca pemilu (Ali Sastroamidjojo II) mengakibatkan kabinet ini kurang dapat

bertindak cepat. Selain itu semakin gencarnya serangan dari pihak oposisi, terutama dari

kalangan panglima militer di berbagai daerah di luar Jawa, telah pula mempersulit posisi

kabinet koalisi PNI, Masyumi dan NU tersebut. Para panglima militer tersebut merasa

bahwa kepentingan daerahnya telah dirugikan dengan terjadinya nilai tukar yang tidak

realistis. Pada pertengahan 1956 mereka kemudian mulai mengatur berbagai

penyelundupan secara besar-besaran. Mereka memberikan alasan bahwa hal tersebut

dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dan ekonomi daerah

mereka.55 Dengan terjadinya penyelundupan di berbagai daerah tersebut jelas akan

semakin menurunkan kredibilitas dari kabinet yang berkuasa. Terjadinya pemberontakan

di berbagai daerah seperti terjadinya peristiwa PRRI/Permesta kiranya dapat

54 Ibid. 55 Herbert Feith, Sukarno…opcit, hal:17-18.

35

menggambarkan bagaimana para panglima daerah tersebut semakin tidak mempercayai

pelaksanaan demokrasi parlementer tersebut.

Sebenarnya tindakan penyelundupan seperti itu bukan merupakan hal yang baru.

Ketika bangsa Indonesia berada pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan

sampai tahun 1950, para pejuang baik yang tergabung dalam pasukan "reguler" atau yang

tergabung ke dalam laskar perjuangan rakyat, juga melakukan berbagai kegiatan yang

bersifat ekonomi. Kegiatan itu sendiri bertujuan untuk mendapatkan dana perjuangan.

Kesatuan-kesatuan perjuangan yang belum teratur itu, kemudian melakukan berbagai

tindakan penyelundupan dan perdagangan candu, yang memang menjadi komoditas

utama pada masanya. Hasil didapat dari kegiatan-kegiatan tersebut kemudian ditukar

dengan senjata.56

Di sisi lain dapat terlihat bahwa pergolakan di berbagai daerah, seperti yang

terjadi pada peristiwa PRRI/Permesta, ternyata tidak bisa diartikan sebagai persoalan

politik semata. Namun persoalan yang lebih penting ialah bagaimana pihak pemerintahan

di daerah (yang didukung oleh pihak militer setempat) memandang pemerintah pusat di

Jakarta dari sisi ekonomi. Masalah pengaturan devisa antara pusat dan daerah (terutama

di luar Jawa), ternyata sudah menjadi persoalan yang serius. Kenyataannya memang,

pada waktu itu pembayar pajak terbesar berada di luar pulau Jawa. Padahal kebijakan

alokasi devisa yang ada, justru cenderung lebih memberikan keuntungan bagi importir

dan konsumen di pulau Jawa ketimbang para eksportir dan para pengusaha di daerah.57

Sedang bagi para panglima wilayah berbagai penyelendupan yang mereka lakukan

dianggap sebagai satu-satunya cara untuk memperlancar dukungan keuangan yang

mereka butuhkan untuk operasi-operasi kemiliteran. Karena pada masa itu

penyalahgunaan sumber devisa, pemberian izin istimewa pada anggota partai dan

birokrasi yang berbelit telah menyulitkan para pedagang.58

Namun secara khusus pula, terjadinya peristiwa di berbagai daerah tersebut juga

dimungkinkan karena rapuhnya organisasi kemiliteran yang ada, terutama antara tahun

1952-1955. Dalam rangka membentuk organisasi kemiliteran yang kuat dan efektif, maka

56 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, 1998, hal:45. 57 Barbara Silars Harvey, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta, Grafitipers,1989, hal:17. 58 R. Z Leirissa, PRRI/Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta, Grafitipers, 1997, hal:13.

36

Nasution sebagai KSAD memperkenalkan konsep mengenai pembentukan organisasi

pertahanan yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian dikenal dengan

konsep tentara dan teritorium. Nasution kemudian membaginya menjadi 7 wilayah TT.

Dengan adanya para panglima teritorium di ketujuh wilayah tersebut, maka panglima

daerah yang telah ada sebelumnya memiliki kewenangan yang semakin luas. Para

panglima daerah tersebut tidak hanya berwenang dalam bidang militer dan politik saja,

tetapi juga dibidang ekonomi Kewenangan tersebut dapat dilihat pada keterlibatannya

didalam berbagai bidang usaha. Sistem perekonomian dibawah para panglima TT ini,

sebenarnya banyak memberikan dampak positif bagi pembangunan di daerah. Misalnya

saja dalam pemenuhan kebutuhan akan logistik dan pemeliharaan pemukiman bagi

militer dapat diberikan oleh rakyat setempat, sedangkan kebutuhan rakyat seperti gula

dan sebagainya yang masih sulit pada saat itu, dapat diberikan oleh militer sebagai timbal

baliknya.59 Tindakan lain yang dilakukan oleh para panglima daerah sebagai solusi dalam

mengatasi persoalan anggaran ialah dengan cara melakukan berbagai pungutan liar

(ilegal) kepada para pengusaha daerah. Sementara itu di berbagai daerah lain, terutama di

tingkat kesatuan-kesatuan yang lebih rendah, militer dalam memenuhi anggaran yang

dirasakan kurang tersebut melakukan bisnis dengan memanfaatkan alat-alat yang

dimilikinya. Mereka juga membuka toko murah untuk menyediakan kebutuhan sehari-

hari para anggotanya, peternakan ayam dan sebagainya. Konsep ini sendiri kemudian

dikenal dengan civic missions (operasi karya). Pengertian dari konsep ini sendiri adalah

penyatuan kegiatan ketentaraan dengan masyarakat sipil. Konsep ini sebenarnya juga

diadopsi dari sebuah model dinas ketentaraan Amerika Serikat.60 Namun pada

perkembangan selanjutnya ternyata banyak dari bisnis yang dilakukan oleh militer

tersebut menjadi hancur akibat sering terjadinya kesalahan dalam pengelolaannya. Oleh

sebab itulah, maka tindakan kolusi antara para perwira dengan para pengusaha Cina

menjadi semakin merebak. Persekutuan diantara para perwira militer dengan para

pengusaha Cina tersebut kemudian dikenal dengan istilah Ali-Baba, dimana salah satunya

59 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:48-49. 60 Ibid, hal: 53.

37

pelakunya adalah panglima divisi Diponegoro yaitu Suharto dengan pengusaha Liem

Sioe Liong.61

Menyusul pengunduran diri kabinet Ali Sastroamidjojo II dan timbulnya berbagai

gejolak yang terjadi di berbagai daerah tersebut, kemudian dijadikan alasan bagi

pimpinan militer untuk segera mendesak Sukarno agar mengumumkan pemberlakuan

undang-undang keadaan darurat perang (Staat van Oorlog en Beleg / S.O.B) di seluruh

Indonesia. Dengan pemberlakuan undang-undang ini sebenarnya secara langsung telah

pula memberikan legitimasi kepada pihak tentara untuk pengambilan tindakan-tindakan

non militer secara lebih leluasa terutama turut serta dalam masalah-masalah bidang

politik. Pemberlakuan undang-undang ini sendiri juga telah dimanfaatkan oleh para

panglima militer di daerah untuk memperoleh kekuasaan administrasi pemerintahan di

daerahnya dari tangan penguasa sipil semaksimal mungkin. Para panglima di daerah yang

bertindak seperti itu pada umumnya beralasan bahwa, pada waktu itu mereka telah

memposisikan dirinya secara berlawanan dengan kekuasaan militer pusat di Jakarta.

Selain itu pula, secara ekonomi mereka juga mendapatkan posisi yang semakin

menguntungkan, misalnya saja dalam hal penyelundupan. Hal lain yang memungkinkan

mereka dapat melakukan pengambilalihan kekuasaan administrasi pemerintahan di

daerah ialah, karena pada waktu itu stuktur administrasi di daerah terutama di luar Jawa

masih lebih buruk dibandingkan dengan di Jawa, baik secara organisasi maupun

otoritasnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberlakuan undang-undang

darurat perang tersebut tidak hanya berimplikasi pada masalah politik tetapi telah pula

berpengaruh dalam masalah ekonomi.

Berbagai peristiwa politik memang telah banyak terjadi pada tahun 1957. Pada

menjelang akhir dekade 1950an. PBB dalam sidang umumnya telah mengalahkan mosi

yang diajukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka penyelesaian masalah Irian Barat.

Seperti sesuai dengan janji Sukarno yang akan membuat "dunia terkejut" apabila mosi

tersebut ditolak, maka pada tanggal 3 Desember 1957 dimulailah pengambilalihan

perusahaan-perusahaan milik Belanda. Dimulai dari pengambilalihan Maskapai

Perkapalan Belanda (KPM) dan berbagai perusahaan dagang besar milik Belanda oleh

61 Yahya Muhaimin, Bisnis Dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta, LP3ES, 1990, hal: 97-98.

38

serikat buruh lokal secara spontan, dan hal itu terus berlanjut sampai dengan tanggal 13

Desember 1957 dimana hampir semua perusahaan Belanda telah diambil alih.

Militer yang melihat hal tersebut kemudian merasa khawatir kalau perusahaan-

perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi tersebut jatuh ke tangan pihak komunis.

Karena itulah Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat kemudian segera

memerintahkan penguasaan pengelolaan atas perusahaan-perusahaan bekas Belanda

tersebut oleh pihak militer semenjak tahun 1958. Dengan dikuasainya pengelolaan dari

perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah dinasionalisasi tersebut oleh pihak

militer, maka semenjak itu secara langsung militer (Angkatan Darat) telah terlibat dalam

praktek-praktek bisnis dalam skala yang lebih besar. Dengan dikuasainya pengelolaan

perusahaan-perusahaan tersebut oleh pihak militer, maka terjadi pula sebuah transformasi

kepentingan di kalangan militer sendiri. Militer yang sebelumnya menjalankan

peranannya di bidang ekonomi hanya sebagai usaha pemenuhan anggaran (extra

budgetary funds) yang dirasa kurang, berubah menjadi sebuah pemenuhan kepentingan

perusahaan (corporate interest) secara lebih meluas.62 Sedang di sisi lain, Robison juga

melihat bahwa pengelolaan oleh negara (militer) atas perusahaan-perusahaan bekas milik

Belanda yang telah dinasionalisasi tersebut, sebagai sebuah bukti ketidakpercayaan

pemerintah atas kemampuan para pengusaha pribumi dalam mengelola usaha-usaha

berskala besar.

Sementara itu, pada waktu yang bersamaan, yaitu sekitar bulan Mei 1957,

Sukarno kemudian membentuk sebuah Dewan Nasional. Dewan Nasional tersebut

kemudian dipimpin oleh Sukarno sendiri. Pembentukan Dewan nasional ini tersebut

sebenarnya merupakan salah satu program dari Kabinet Djuanda yang bertujuan sebagai

"tandingan" dari partai-partai politik di parlemen yang telah ada sebelumnya. Anggota-

anggota dari Dewan Nasional itu adalah orang-orang yang berasal dari golongan

fungsional, dimana militer merupakan salah satu bagiannya. Oleh sebab itu pihak militer

terutama Angkatan Darat sangat mendukung pembentukan Dewan Nasional ini. Dengan

keterlibatan pihak militer dalam Dewan Nasional yang baru terbentuk tersebut, maka

secara langsung hal ini telah pula memperkukuh peranan militer dalam sistem politik di

Indonesia. Sebaliknya terbentuknya Dewan Nasional ini jelas semakin memperlemah

62 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:54.

39

posisi parlemen dalam sistem politik Indonesia. Sukarno yang semakin kecewa dengan

demokrasi parlementer tersebut, kemudian semakin menekankan idenya tentang

pelaksanaan demokrasi terpimpin sebagai solusi bagi berbagai persoalan yang muncul

selama diadakannya demokrasi parlementer. Idenya ini kemudian mendapat dukungan

yang kuat dari kalangan Angkatan Darat dan PKI, serta para pendukung fanatisnya.

Sebagai kelanjutannya, pada 5 Juli 1959 Sukarno mengumumkan dekrit yang isinya ialah

pembubaran badan konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 45, yang sebelumnya

digantikan oleh UUDS 1950.

Perubahan konstelasi politik terutama di tingkat elit tersebut secara langsung atau

tidak langsung telah pula berimplikasi pada sistem ekonomi Indonesia pada waktu itu.

Secara khusus perubahan konstelasi politik tersebut juga sangat berpengaruh pada usaha

pembentukan kelas-kelas kapital pribumi yang dijalankan melalui Program Benteng.

Kelompok-kelompok pengusaha pribumi yang sebelumnya sangat bergantung pada

hubungannya dengan elit-elit partai politik di parlemen merasa sangat terpukul. Dekrit ini

oleh Arief Budiman dikatakan sebagai kudeta terhadap kelompok-kelompok kelas

menengah yang selama demokrasi parlementer merajalela dalam ekonomi maupun

politik.63 Dengan melalui semacam aliansi dengan militer dan rakyat, Sukarno berhasil

menggeser posisi politik kelas menengah dari arena perpolitikan di Indonesia.64 Program

Benteng sendiri sebagai sebuah program pembentukan kelas-kelas kapitalis pribumi yang

kuat, berakhir tepat pada saat kabinet Djuanda mulai berkuasa tahun 1957.65

Sementara itu menjelang akhir pemerintahan partai-partai, juga dikeluarkan

kebijakan ekonomi lain yang kemudian dikenal dengan nama Rencana Lima Tahun.

Program itu disetujui oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada bulan September 1956.

Rencana Lima Tahun itu (1956-1960) sebenarnya merupakan perkembangan dari rencana

ekonomi yang telah ada sebelumnya.Tujuan dari Rencana Lima Tahun itu ialah untuk

mendorong industri dasar, perusahaan-perusahaan pelayanan umum dan jasa sektor

publik, yang diharapkan dapat mendorong penanaman modal swasta.66 Selain itu

Rencana Lima Tahun ini juga lebih bersifat eksplisit, teknis dan terinci, bahkan sampai

63 Arief Budiman, Negara…opcit, hal: 37. 64 Ibid. 65 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal: 46. 66 Yahya Muhaimin, Bisnis…opcit, hal:39.

40

ke tingkat proyek yang lebih rendah. Hal ini dilakukan untuk membentuk perusahaan-

perusahaan negara dan mengingat tidak adanya golongan pengusaha pribumi yang kuat,

dan sekaligus untuk mengimbangi kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh para pengusaha

Cina dan pengusaha asing lain.

Namun sama halnya dengan Program Benteng, program yang tidak

memperhitungkan peningkatan inflasi ini, juga tidak dapat berjalan sesuai rencana.

Karena memburuknya situasi keamanan dalam negeri dan terjadinya nasionalisasi

perusahaan-perusahaan Belanda, yang secara langsung berdampak pada penanaman

modal asing. Pengambilalihan menurut Robison, merupakan pukulan berat bagi modal

asing di Indonesia dan secara mendasar mengubah struktur ekonomi Indonesia.67

3 Era Demokrasi Terpimpin.

3.1. Konstelasi Politik Era Demokrasi Terpimpin.

Memasuki era demokrasi dan ekonomi terpimpin konstelasi politik Indonesia di

tingkat elit juga mengalami perubahan. Pada masa tersebut terdapat tiga pilar kekuatan

politik yang sangat berpengaruh. Ketiga kekuatan politik tersebut ialah militer (Angkatan

Darat), Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski terlihat sebagai

pendukung setia Sukarno, namun sebenarnya antara Angkatan Darat dan PKI terjadi

perseteruan. Oleh sebab itulah Crouch mengistilahkannya dengan perjuangan untuk

meraih simpati presiden belaka.68

Bagi pihak Angkatan Darat sendiri, pemberlakuan sistem demokrasi terpimpin

merupakan sebuah kesempatan besar untuk dapat memantapkan perannya dalam berbagai

persoalan-persoalan politik di Indonesia. Keberadaan dari lembaga-lembaga yang

dibentuk pada masa itu, seperti Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Komando Operasi

Tertinggi (Koti), kabinet serta Dewan Nasional. Dalam kabinet hampir sepertiga dari

jumlah anggota kabinet berasal dari kalangan Angkatan Bersenjata. Sedangkan dalam

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dam Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara (MPRS) pihak Angkatan Bersenjata juga cukup terwakili. Sementara

itu pada tahun 1960 juga diangkat 5 orang perwira Angkatan Darat sebagai gubernur. 69

67 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal: 72. 68 Harold Crouch, Militer…opcit, hal:45. 69 Ibid, hal:49.

41

Di lain pihak Sukarno sebagai presiden dan "pemimpin besar revolusi" dengan

kekuasaan yang sangat besar juga tidak tinggal diam. Pada saat yang bersamaan Sukarno

berusaha untuk mengkosolidasikan kekuatan politik lain sebagai penyeimbang kekuatan

yang dimiliki oleh Angkatan Darat. Namun pada kenyataannya ia dan kawan-kawan

setianya hanya mampu untuk membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari politisi-

politisi di tingkat elit, dan tidak bisa memberikan kekuatan massa secara nyata. Oleh

sebab itulah kemudian Sukarno mencari dukungan ke partai-partai politik yang masih

ada, dan nampaknya Partai Komunis Indonesia (PKI)-lah yang menjadi pilihannya.

Pilihan PKI sebagai penyeimbang kekuatan militer oleh Sukarno jelas

memberikan arti tersendiri bagi pihak militer (Angkatan Darat). Karena PKI memang

sebelumnya telah menjadi musuh besar Angkatan Darat. Sehingga dengan adanya

keinginan Sukarno tersebut PKI menjadi seakan mendapatkan perlindungan. Sementara

Sukarno sendiri dalam berbagai tindakannya misalnya, pengakuan PKI sebagai salah satu

bagian dari NASAKOM dan adanya permintaan untuk membebaskan para pimpinan PKI

yang ditahan Angkatan Darat pada awal 1960an, juga tampak seakan membenarkan

dugaan yang muncul.

Pada masa demokrasi terpimpin ini, Sukarno juga mengutarakan kembali idenya

tentang Nasionalisme, Agama dan Komunisme (NASAKOM), yang ketika pada awal

pergerakan kemerdekaan (tahun 1926) disebutnya sebagai Nasionalisme, Agama dan

Marxisme. Dalam prakteknya golongan nasionalis akan terwakili oleh PNI, golongan

agama oleh NU dan pihak komunis oleh PKI. Keterlibatan PKI sebagi salah satu

kekuatan dalam pemerintahan inilah yang tidak dapat diterima oleh pihak militer.

Untuk dapat mengimbangi kekuatan massa yang diorganisir oleh kekuatan PKI,

Nasution sebagai Menhankam juga membentuk berbagai Badan Kerjasama (BKS) antara

sipil dan militer. Terbentuknya Front Nasional pada tahun 1959 juga telah memberikan

ruang gerak yang lebih luas pada PKI. Selain itu PKI juga gencar mengkampanyekan

"nasakomisasi" tentara. Sebagai jalan untuk menggalang kekuatan anti komunis yang

lebih luas, Nasution dan beberapa rekannya berencana untuk membentuk Sekertariat

Bersama Golongan Karya (Sekber-Golkar). Pada waktu pembentukan organisasi tersebut

(21 Oktober 1964) setidaknya ada 97 organisasi dan lembaga yang menjadi

pendukungnya. Mereka terdiri dari 53 organisasi serikat buruh bentukan militer, 10

42

organisasi cedekiawan, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa, 4 organisasi angkatan

bersenjata, 4 organisasi wanita, 2 organisasi petani dan nelayan, serta 9 organisasi lain-

lain. Ketidakefektifan Sekber tersebut mengakibatkan hanya pihak militer, Soksi,

Kosgoro dan MKGR yang aktif dalam organisasi tersebut. Sedang yang agresif dalam

usaha-usaha menentang komunis hanya pihak militer.70

Politik Indonesia pada masa demokrasi terpimpin juga ditandai dengan adanya

dua peristiwa penting, yaitu perebutan kembali Irian Barat dan konfrontasi dengan

Malaysia. Masalah Irian Barat yang menurut persetujuan Konfrensi Meja Bundar (KMB)

akan dikembalikan oleh Belanda setahun kemudian setelah konfrensi tersebut, ternyata

sampai tahun 1960 belum juga dilaksanakan. Hal ini jelas memancing emosi Sukarno.

Sehingga ia memutuskan untuk memutuskan hubungan diplomatik Indonesia dengan

Belanda. Sukarno kemudian juga membentuk sebuah Komando Operasi Tinggi (Koti)

Bagi Pembebasan Irian Barat. Sebagai salah satu pelaksanaan program kerja kabinet

Djuanda, Sukarno juga memutuskan untuk menggunakan kekuatan bersenjata dalam

merebut kembali Irian Barat.

Pada awalnya pihak militer menyambut dingin keputusan Sukarno untuk

menempuh kekuatan bersenjata dalam usaha merebut kembali Irian Barat. Tanggapan ini

secara politis bisa dimengerti karena apabila militer terkonsentrasi pada perjuangan

tersebut, maka militer khawatir partai-partai politik yang masih ada akan kembali

berperan dalam arena politik. Hal ini juga berarti akan terjadi perubahan perimbangan

kekuatan politik yang telah ada sebelumnya.71 Nasution sebagai kepala staf juga berulang

kali meyakinkan banyak pihak bahwa masalah Irian Barat tidak akan diselesaikan dengan

kekuatan militer. Terlalu besarnya kharisma Sukarno sebagai seorang presiden dan cukup

banyaknya perwira militer yang setuju digunakannya kekuatan bersenjata dalam merebut

Irian, mengakibatkan seruan Nasution tidak terlalu berpengaruh. Karena itu pada 19

Desember 1961 diumumkanlah Tri Komando Rakyat (Trikora).

Sementara itu sebaliknya di sisi lain PKI justru langsung menyambut baik

keputusan yang diambil oleh presiden Sukarno tersebut. PKI dengan segala

kemampuannya berusaha untuk memobilisasi massa untuk dapat ikut serta dalam

70Leo Suryadinata, Golkar Dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta, LP3ES, 1992, hal:14-16. 71 Todiruan Dydo, Pergolakan Politik Tentara, Sebelum dan Sesudah G30S/PKI, Jakarta, Golden Terayon Press, 1990, hal:62.

43

kampanye perebutan kembali Irian Barat. Selama kampanye Irian Barat itu politik luar

negeri Indonesia juga semakin condong kepada blok timur. Hampir semua peralatan

perang yang digunakan oleh Indonesia dibeli dari Uni Soviet. Hal ini menjadikan

pemerintah Amerika Serikat semakin khawatir. Dengan bujukan pemerintah AS akhirnya

pada tahun 1962 Belanda mau melepaskan Irian ke tangan Indonesia.

Sedang konfrontasi dengan Malaysia terjadi sebagai akibat adanya rencana pihak

Inggris untuk memberi pengakuan pada negara baru Malaysia (Malaya) dan Singapura.

Konflik yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia semakin memanas setelah

Sukarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora sebagai usaha penggagalan

pembentukan negara boneka Malaysia. Selain itu Sukarno juga membentuk Komando

Siaga (Koga), yang kemudian dipimpin oleh Omar Dhani. Diterimanya Malaysia sebagai

anggota PBB, juga turut menambah kekecewaan Sukarno yang segera memutuskan untuk

menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Keluarnya Indonesia dari PBB tersebut mendapat

dukungan dari PKI. Begitu pula dengan pembentukan CONEFO (Conference of the New

Emerging Forces) dan politik luar negeri poros "Jakarta-Peking".

Angkatan Darat sendiri dalam menanggapi konfrontasi dengan Malaysia ini,

melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk tetap eksis dalam arena politik di dalam

negeri, pasca Trikora. Meski demikian, sebaliknya Angkatan Darat juga semakin

waspada dengan situasi yang berkembang. Karena pada saat yang sama dengan adanya

konfrontasi ini PKI juga semakin meningkatkan militansinya. Menjelang pertengahan

dekade 60an perseteruan antara keduanya semakin memanas. Sukarno sebagai presiden

dalam pidato-pidatonya lebih banyak memihak PKI dan sikap anti neokolim-nya.

Berbagai isu politik yang bertujuan untuk menyudutkan militer, seperti Dewan Jendral

dan hubungan khusus dengan AS dan Inggris semakin meningkat. Tetapi sampai

menjelang terjadinya kudeta 1 Oktober 1965, persoalan mengenai kesehatan Sukarno

merupakan isu politik yang paling dikhawatirkan oleh PKI.

3.2. Sistem Ekonomi Terpimpin.

Berakhirnya kampanye Irian Barat berarti pula timbulnya kekhawatiran baru

pihak militer. Karena bisa saja undang-undang darurat perang yang selama ini menjadi

legitimasi militer dalam politik akan dicabut dan ancaman terjadinya pengurangan

anggaran militer. Selain itu ekonomi Indonesia pada tahun-tahun awal dekade 60an

44

memang berada pada situasi yang sulit. Terjadinya hiperinflasi yang terus terjadi sampai

pertengahan dekade 60an tidak memungkinkan APBN dapat tetap membiayai organisasi

militer yang besar. Oleh sebab itulah pada tahun 1963 diadakanlah pengurangan jumlah

anggaran belanja negara, yang termasuk di dalamnya pengurangan anggaran militer.

Meski demikian, berakhirnya kampanye Irian Barat juga berarti memberikan harapan

baru bagi ekonomi Indonesia yang telah hancur. Karena pihak AS dan IMF berjanji akan

memberikan bantuan pinjaman keuangan.

Namun dengan diumumkannya konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963,

maka oleh IMF bantuan tersebut ditangguhkan. Bahkan bantuan ekonomi yang dijanjikan

Amerika Serikat terpaksa dibatalkan. Sedangkan bagi pihak militer terutama pada

beberapa kalangan perwira Angkatan Darat, konfrontasi dengan Malaysia juga dapat

diartikan sebagai sebuah keuntungan ekonomi baru. Karena pada tahun itu juga dimulai

pula proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Inggris, yang dilanjutkan dengan

nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Amerika Serikat setelah pada tahun 1964

Amerika Serikat memberikan bantuan militer pada Malaysia.72

Seperti yang telah tercantum dalam MANIPOL USDEK, ekonomi terpimpin

merupakan salah satu bagian yang integral dari sistem demokrasi terpimpin Sukarno.

Diikuti dengan semboyan "merubah perekonomian kolonial menjadi perekonomian

Indonesia", maka dikeluarkanlah berbagai kebijakan yang menyangkut pelaksanaan

ekonomi terpimpin. Meski ekonomi terpimpin tersebut tidak terdefinisi secara jelas,

namun nampaknya Sukarno sebagai presiden dan sekaligus sebagai pencetus ekonomi

terpimpin ini begitu yakin hal ini dapat terlaksana dengan baik. Mengenai hal ini,

Robison setidaknya mencatat tiga hal penting yang dapat disimpulkan dari ekonomi

terpimpin Sukarno, yaitu:

(a) Koordinasi dan regulasi oleh negara terhadap semua sektor ekonomi Indonesia,

negara (state), swasta (private) dan kooperatif untuk menjamin integrasi

investasi dan produksi ke arah tujuan kepentingan sosial politik Indonesia yang

lebih besar. Kepemimpinan negara diberikan dalam bentuk perencanaan secara

terpusat dan kontrol terhadap distribusi, kredit dan produksi dan investasi

negara secara langsung.

72 Arief Budiman, Negara…opcit, hal:37. Lihat pula Yahya Muhaimin, Perkembangan…opcit, hal:163.

45

(b) Penghancuran imperialisme dan subordinasi modal asing diarahkan kepada

tujuan sosial dan ekonomi nasional. Subordinasi modal asing dicapai dalam hal

kombinasi pengambilalihan, pilihan pinjaman antar pemerintah secara

langsung, usaha bersama (joint venture) dan perjanjian bagi hasil.

(c) Pergantian ekonomi ekport/import kolonial dengan ekonomi untuk memenuhi

kebutuhan sendiri (self sufficient) dan industrialisasi. 73

Hampir serupa dengan Program Benteng yang dilakukan pada masa demokrasi

liberal, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan dalam sistem ekonomi terpimpin ini juga

tidak akan melepaskan peranan negara. Bahkan negara yang diwakili oleh lembaga

kepresidenan dan militer tampak menjadi lebih dominan. Sukarno dalam kapasitasnya

sebagai presiden menjadi lebih dominan perannya dalam berbagai masalah (termasuk

ekonomi), karena sistem demokrasi terpimpin telah memberikan ruang gerak politik yang

lebih luas kepadanya dibanding pada waktu demokrasi liberal. Sementara militer sendiri

menjadi sebuah institusi negara yang penting dalam perekonomian terpimpin karena

adanya penguasaan atas perusahaan-perusahaan negara hasil nasionalisasi.

Kebijakan ekonomi utama dan yang paling terkenal selama masa ekonomi

terpimpin ialah dikeluarkannya program pembangunan ekonomi, yang dikenal dengan

nama Rencana Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun. Rencana Pembangunan

Nasional Semesta Delapan Tahun ini pada awalnya merupakan hasil kerja dari Dewan

Perancang Nasional (Depernas) yang dibentuk oleh Sukarno pada tanggal 17 Agustus

1960. Setelah mendapat persetujuan dari MPRS, kemudian pada tanggal 1 Januari

program ini secara resmi diluncurkan.

Program pembangunan ini menggunakan strategi pembangunan yang kemudian

dikenal dengan strategi "pertumbuhan yang tidak seimbang". Dikatakan demikian karena

strategi yang digunakan ialah dengan cara melaksanakan pembangunan tersebut tahap

demi tahap, dan daerah demi daerah. Tahapan pembangunan itu sendiri terbagi menjadi

dua tahap utama. Tahap pertama akan berlangsung selama tiga tahun. Dalam tahap ini,

diharapkan Indonesia akan berswasembada dalam ketiga kebutuhan pokok (sandang,

pangan dan papan). Sedang tahap kedua yang rencananya akan dilaksanakan dalam lima

tahun, diharapkan akan membawa Indonesia ke arah tahap lepas landas memasuki tahap

73 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:71-72.

46

"pertumbuhan terus menerus dengan kekuatan sendiri" (self-sustained growth). Oleh

sebab itulah proyek ini dapat dikatakan sebagai sebuah proyek industrialisasi subtitusi

impor pertama yang berskala besar. Meski demikian, di tingkat strategi teknis

pelaksanaan, proyek pembangunan ekonomi ini akan sangat bergantung pada investasi

asing.74

Mandeknya pelaksanaan Rencana Pembangunan Nasional Semesta Delapan

Tahun setelah dua tahun program tersebut dikeluarkan, mengharuskan Presiden Sukarno

untuk segera mencanangkan sebuah kebijakan ekonomi baru yang dikenal dengan nama

Deklarasi Ekonomi (Dekon). Tujuan utama dari Dekon ini sendiri sebenarnya ialah

sebagai penjelas (untuk menguraikan) metode yang digunakan dalam Rencana

Pembangunan Semesta tersebut. Dalam Deklarasi Ekonomi tersebut disebutkan bahwa

pertumbuhan ekonomi akan ditepuh melalui dua tahap. Tahap pertama, disebut dengan

periode penataan ekonomi (economic establishment period) yang sifatnya nasional dan

demokratis, bersih dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme. Tahap kedua, ialah tahap

pembangunan sosialis Indonesia. Dikeluarkannya Dekon ini juga tampak menunjukan

pemikiran Sukarno tentang cita-cita ekonomi sosialis Indonesia yang hanya akan tercapai

setelah imperialisme dan feodalisme dihancurkan secara total, baik di dalam maupun di

luar negeri. Kebijakan lain pemerintah tentang ekonomi terpimpin ialah dikeluarkannya

Peraturan-Peraturan 26 Mei. Peraturan-peraturan ini lebih bersifat liberal, karena dalam

keempatbelas peraturan tersebut, perekonomian Indonesia akan tergantung pada

mekanisme pasar. Sedang devisa yang didapat akan digunakan untuk membeli persediaan

bahan baku dan bahan pembantu yang dibutuhkan. Dikeluarkannya kebijakan tersebut

jelas mendapat tantangan dari PKI. PKI mengatakan bahwa bahwa Indonesia telah

menyerah pada imperialisme Barat. Hasilnya pada April 1964 kebijakan tersebut dicabut.

Di lain pihak pada waktu yang bersamaan, militer semakin memperkuat posisinya

tidak hanya dibidang politik tapi juga di bidang ekonomi. Dengan dikuasainya sumber-

sumber ekonomi negara oleh militer, jelas telah pula memberikan keuntungan tidak

hanya kepada militer secara institusional, tetapi juga kepada para pejabatnya secara

pribadi. Karena itulah dalam kampanye PKI tahun pada pertengahan 1960an, muncul

74 Strategi yang digunakan ialah dengan membuat dua proyek (A dan B), dimana hasil dari proyek B yang dikerjakan oleh investor asing akan mensubsidi proyek A yang dilakukan oleh pengusaha pribumi. Yahya Muhaimin, Bisnis…opcit, hal:45. Lihat pula Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:74.

47

istilah kapitalis-kapitalis birokrat (kabir). Selain itu PKI juga menuduh bahwa para

pejabat militer telah melakukan tindakan korupsi dan bagian dari "dinasti ekonomi".

Mungkin saja apa yang dituduhkan PKI tersebut tidak terlalu berlebihan. Karena dalam

memahami peran militer dalam ekonomi terpimpin yang diperlihatkan dalam bentuk

penguasaan atas pengelolaaan perusahaan-perusahaan negara, terlihat bahwa dengan

dikuasainya perusahaan-perusahaan negara tersebut, militer tidak hanya mendapat

keuntungan secara materi, tetapi yang jauh lebih penting ialah keuntungan pihak militer

dalam pengendalian sumber-sumber ekonomi nasional.

PKI sebagai penyeimbang kekuatan politik militer, dalam masalah sosial

ekonomi juga tidak mau ketinggalan. Sebagai sebuah partai massa, PKI pada saat yang

sama juga sibuk mengorganisir rakyat baik di kota maupun di desa ke dalam organisasi-

organisasi yang berafiliasi dengannya. Selain itu partai komunis ini juga aktif dalam

mengkampanyekan UU land reform dan pembentukan Angkatan Kelima. Hal-hal ini

semakin mempertajam perseteruan politik yang terjadi dengan pihak militer (Angkatan

Darat) dan para pemilik modal atau pemilik tanah (yang kebanyakan dimiliki oleh para

ulama). Selain itu PKI juga harus menerima tuduhan sebagai sebuah kelompok anti

agama oleh kelompok-kelompok Islam.

Situasi seperti tersebut terjadi sampai menjelang berakhirnya sistem ekonomi

terpimpin, yaitu pada tahun 1965. Setidaknya ada dua hal penting yang berusaha

digambarkan oleh Arief Budiman dalam memahami situasi ekonomi Indonesia sampai

pertengahan 60an:

(a) Perusahaan-perusahaan negara membengkak, akibat nasionalisasi perusahaan-

perusahaan asing yang dijalankan oleh pemerintah. Perusahaan negara menjadi

tulang punggung dari ekonomi negara, karena asetnya yang besar. Pengelolaan

perusahaan negara ini praktis berada ditangan militer.

(b) Di sektor swasta, bisnis masih dikuasai oleh pengusaha-pengusaha Cina,

meskipun pengusaha-pengusaha pribumi besar mulai muncul sebagai hasil dari

Politik Benteng. Kelompok pengusaha pribumi ini jumlahnya sedikit, dengan

demikian dibentuk oleh negara. Meskipun beberapa dari mereka menjadi

48

mandiri dan menjadi pengusaha yang tangguh, kebanyakan mereka masih

bergantung pada negara.75

Jadi sampai berakhirnya sistem demokrasi dan ekonomi terpimpin, dapat dilihat

bahwa negara Indonesia pasca kolonial masih merupakan elemen terpenting dalam

pembentukan kelas-kelas kapital pribumi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan

ekonomi yang justru terlihat sangat ambisius. Bahkan dapat dikatakan bahwa peran

negara justru semakin kuat. Sedangkan militer (Angkatan Darat) sebagai salah bagian

dari sebuah negara Indonesia baru, justru semakin memantapkan perannya di luar bidang

militer.

Hal lain yang dapat dilihat dari perkembangan struktur ekonomi Indonesia pasca

kolonial sampai pertengahan 1960an, ialah bahwa ternyata investasi (modal) asing telah

lama berperan dalam pembentukan struktur ekonomi Indonesia. Peran ini bahkan sudah

terlihat ketika diadakannya kebijakan cultuurstelsel oleh pemerintah kolonial.

Keberadaan investasi asing tidak bisa dilihat hanya sebagai sebuah elemen dalam sebuah

struktur ekonomi yang modern semata. Tetapi yang lebih penting, investasi asing tersebut

(terutama di Indonesia pasca kolonial ) ternyata juga merupakan salah satu faktor dalam

pembentukan kelas kapital pribumi, yang dalam hal ini "diwakili" oleh pihak militer.

75 Arief Budiman, Negara…opcit, hal:38.

49

Bab III

Bisnis Militer: Amal Atau Komersil?

Indonesia pada awal Orde Baru adalah sebuah negara yang tengah diliputi oleh

kekacauan, baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik. Di bidang politik Indonesia

baru saja melepaskan diri dari pertarungan berbagai ideologi, yang hampir membawa

bangsa dan rakyat Indonesia ke dalam jurang perpecahan. Pertarungan di tingkat ideologi

tersebut akhirnya juga membawa Indonesia ke dalam sebuah mimpi yang sangat buruk.

Sebagian kalangan masyarakat percaya bahwa telah terjadi pembantaian terhadap

anggota dan para simpatisan Partai Komunis terbesar ketiga di dunia pada saat itu, yang

sampai saat ini belum diketahui jumlah pastinya. Indonesia awal Orde Baru adalah saat

dimana militer, terutama Angkatan Darat, mulai memainkan peran politiknya dengan

lebih leluasa. Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Suharto juga telah memberikan

kesempatan pada kekuatan-kekuatan dan aktor-aktor politik baru untuk dapat memainkan

peranannya dalam membentuk sebuah rezim. Pihak militer sendiri sebagai sebuah

kekuatan negara yang dianggap "banyak berjasa" dalam menumpas rezim sebelumnya,

juga telah mendapat kepercayaan yang sangat besar dari Suharto untuk dapat menjaga

sumber-sumber kekuasaannya. Tidak saja di bidang politik, namun juga dalam bidang

ekonomi.

Pada bidang ekonomi, Orde Baru mulai membangun kekuasaannya di tengah

keterpurukan ekonomi yang sangat dalam. Terjadinya hiperinflasi dan terus

membengkaknya hutang luar negeri, setidaknya dapat dijadikan indikator betapa

hancurnya ekonomi Indonesia sampai menjelang akhir dekade 1960an. Bahkan dalam

tingkat pendapatan ekonomi perkapita disebutkan bisa jadi lebih rendah dari tahun

1938.76

Namun di sisi lain kita bisa melihat bahwa selama kekuasaannya, rezim Orde

Baru juga mampu membangun sebuah tatanan dan kondisi ekonomi yang lebih baik

dibandingkan masa sebelumnya. Meski demikian, keberhasilan rezim ini harus dibayar

76 Anne Booth dan Peter McCawley, "Perekonomian Indonesia Sejak Pertengahan Tahun Enampuluhan", dalam Anne Booth dan Peter McCawley (editor), Ekonomi Orde Baru, Jakarta LP3ES, 1990, hal:1.

50

dengan sangat mahal oleh kekuatan-kekuatan politik yang lain. Terbentuknya sebuah

rezim pemerintahan yang otoriter, pembatasan jumlah partai-partai politik, pelaksanaan

kebijakan massa mengambang (floating mass) serta berbagai kebijakan politik lain adalah

beberapa bukti yang mengindikasikan betapa kuatnya posisi rezim dalam sistem sosial,

ekonomi maupun sistem politik yang terbentuk. Ciri lainnya juga dapat dilihat dari

bagaimana negara memposisikan dirinya di dalam pembentukan kelas-kelas kapital.

Negara yang didominasi oleh kelompok militer, telah menjadi sebuah kekuatan sentral

dalam penentuan kelompok-kelompok kapital yang akan bermain dalam konstelasi

ekonomi politik negara Indonesia Orde Baru. Apabila negara telah menjadi kekuatan atau

aktor sentral dalam berbagai masalah terutama masalah ekonomi, hal ini jelas akan

berimplikasi pada struktur dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Bab ini, akan mengkaji secara lebih mendalam lagi bagaimana negara

(baca:militer) Orde Baru yang telah menjadi salah satu aktor atau kekuatan ekonomi

politik tersebut memainkan perannya sekaligus juga bagaimana memposisikan dirinya

terhadap kekuatan ekonomi lainnya. Selain itu juga akan dilihat bagaimana implikasi dari

hal tersebut pada sistem ekonomi yang terbentuk.

1 Ekonomi Politik Awal Orde Baru

1.1 Kondisi Ekonomi Politik Pasca G.30 S.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, pada masa awal kekuasaan rezim Orde

Baru, Indonesia tengah berada ditengah keterpurukan ekonomi yang sangat parah.

Berbagai pendapat menyebutkan bahwa jika melihat tingkat inflasi ekonomi Indonesia

pada saat itu, sudah dapat dikatakan bahwa telah terjadi hiperinflasi. Hal Hill mencatat

tingkat inflasi Indonesia sampai menjelang akhir dekade 1960an telah berada diatas

500%.77 Sedangkan Arief Budiman menyebutkan antara tahun 1964-1965 tingkat inflasi

Indonesia telah mencapai angka 732%.78 Tingginya tingkat inflasi ini jelas sangat tidak

akan menguntungkan bagi sebuah rezim baru yang akan menitikberatkan program-

programnya pada pembangunan dan peningkatan di bidang ekonomi.

77 Lihat tabel 1.2 indikator pembangunan ekonomi pertengahan 1960an sampai awal 1990, dalam Hal Hill, The Indonesia Economy Since 1966, Southeast Asia's Emerging Giant, Melbourne, Cambridge University Press, 1996, hal:5. 78 Arief Budiman, Negara…opcit, hal:48.

51

Setelah diangkatnya Jendral Suharto secara resmi sebagai Presiden Republik

Indonesia pada Maret 1968, maka dimulailah rencana pembangunan dibidang ekonomi.

Rencana pembangunan ekonomi jangka panjang yang kemudian dikenal dengan

REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) ini, secara jelas memiliki perbedaan

yang sangat tajam dengan berbagai program pembangunan ekonomi yang pernah

diajukan pada masa pemerintahan rezim Sukarno. Warna dan gaya ekonomi kapitalistis

lebih nyata terlihat dalam program pembangunan ekonomi Orde Baru ini.

Sebagai sebuah rezim yang anti komunis, pada saat itu Orde Baru jelas banyak

mendapat dukungan dan kemudahan dari negara-negara Barat. Untuk membiayai

perbaikan ekonomi pada tahap awal, seperti pengendalian terhadap tingkat inflasi dan

sebagainya. Pihak Indonesia juga mendapat bantuan dari IMF, diadakannya penjadwalan

ulang (rescheduling) terhadap pembayaran hutang luar negeri serta diikuti dengan

pembentukan sebuah lembaga donor internasional IGGI (Inter-Govermental Group for

Indonesia).

Dalam pengembangan sistem ekonomi model kapitalistis pada masa awal Orde

Baru, investasi asing menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang paling signifikan. Ketika

itu pemerintah Orde Baru menilai bahwa pembukaan kesempatan dalam skala besar bagi

para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, merupakan salah satu

cara yang dapat ditempuh untuk dapat memutar kembali roda perekonomian. Oleh sebab

itu, pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan kebijakan undang-undang tentang

penanaman modal asing (PMA) pada bulan Januari 1967. Mengenai UU tentang PMA

tersebut, M. Sadli menyatakan bahwa,

“...untuk memenuhi kebutuhan yang menyangkut pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, dalam undang-undang PMA pemerintah Indonesia menawarkan perangsang dan jaminan. Misalnya, bebas pajak, penurunan tarif pada faktor-faktor produksi yang diimpor dan lain sebagainya. Meski demikian UU tersebut juga tidak secara tegas memberikan jaminan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.”79 Di sisi lain Jeffry A.Winters, seorang pakar ekonomi politik dari NorthWestern

University juga melihat bahwa, pada masa itu hanya ada dua kelompok investor swasta

yang mempunyai sumber daya paling besar dan berpengalaman dalam produksi, yaitu

52

investor transnasional dan penduduk keturunan Cina. Namun alasan mengapa para

investor asing yang pertama menjadi perhatian, adalah karena pada waktu itu rasa

permusuhan terhadap etnis Cina masih sangat tinggi.80

Sebagai aktor sentral dalam bidang ekonomi, negara pada masa itu juga

mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih menitikberatkan pada pembangunan sektor

industri nasional yang didasarkan pada sumber-sumber utama, seperti baja, gas alam,

pengeboran minyak dan alumunium. Selain itu juga dikembangkan berbagai industri

substitusi impor. Keterlibatan negara yang besar dalam penentuan kebijakan perbaikan

dan pembangunan ekonomi pada masa awal Orde Baru secara langsung ternyata

menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tersendiri dalam struktur ekonomi nasional.

Posisi negara yang menjadi relatif lebih kuat tersebut, juga telah memberikan keuntungan

ekonomis yang besar kepada para pejabat negara.

Struktur ekonomi Indonesia awal Orde Baru juga ditandai dengan lahirnya sebuah

kelompok teknokrat ekonomi. Kelompok teknokrat ekonomi yang kemudian banyak

dikenal dengan nama "Mafia Berkley" ini, memiliki peran yang sangat besar dan penting

dalam penentuan kebijakan ekonomi Orde Baru. Ketika Jendral Suharto masih menjadi

ketua presidium kabinet pada tahun 1966, orang-orang yang termasuk ke dalam

kelompok teknokrat ini duduk menjadi anggota dalam Staf Pribadi (SPRI) bersama-sama

dengan beberapa orang jendral kepercayaan Suharto. Mereka bertugas untuk menyusun

rencana-rencana kebijakan pembangunan ekonomi yang akan dilakukan. Dalam

perencanaan kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pemerintah Orde Baru, sebagian

dari mereka menduduki jabatan-jabatan penting dalam kabinet yang dibentuk. Sedangkan

sebagian lainnya duduk dalam lembaga negara yang dikenal dengan nama Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan di Badan Koordinasi Penanaman

Modal (BKPM) yang dibentuk tahun 1973.

Ketika berada pada awal-awal tahun keberadaannya sebagai pembuat kebijakan

ekonomi, seringkali kebijakan yang dibuat oleh BAPPENAS berlawanan dengan

keinginan atau rencana yang dibuat oleh IMF. Pihak IMF dan IBRD sendiri melihat

bahwa ekonomi pasar bebas dengan diikuti pembatasan peran negara terutama dalam

79 Jeffry A. Winters, Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Jakarta, Sinar Harapan, 1999, hal:88. 80 Ibid, hal:76-77.

53

kebijakan moneter dan fiskal serta mempercayakan akumulasi modal kepada pasar,

merupakan jalan keluar bagi Indonesia untuk dapat kembali menstabilkan

perekonomiannya. Sedangkan di sisi lain para teknokarat BAPPENAS justru

berpandangan sebaliknya. Perekonomian yang didasarkan pada ideologi pasar bebas

tersebut akan dapat menimbulkan social cost yang besar. Mereka yang pada waktu itu

lebih mengkonsentrasikan pada pertumbuhan ekonomi, stabilisasi mata uang dan

perbaikan infrastruktur, berpendapat bahwa, kapitalisme di satu sisi memang merupakan

energi dalam kekuatan pasar untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Tetapi

secara bersamaan kapitalisme juga dianggap seringkali mengabaikan rasa keadilan sosial.

Setelah dibukanya kesempatan secara luas bagi investor asing untuk menanamkan

modalnya di Indonesia, kemudian pada Juli 1968 dikeluarkan sebuah undang-undang

yang mengatur tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN). Namun dalam

perjalanannya justru hanya para pemodal domestik yang memiliki kedekatan hubungan

dengan pusat-pusat kekuasaan politik yang mampu terus mengembangkan bisnisnya.

Karena dari adanya hubungan kedekatan dengan para pejabat negara dan para birokrat,

para pemodal dalam negeri tersebut mendapatkan berbagai kemudahan dan keistimewaan

dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini terjadi semenjak tahun 1968, terutama bagi para

pemodal yang bergerak di bidang industri substitusi impor yang saat itu merupakan

perhatian utama kebijakan para teknokrat BAPPENAS.

Undang-undang penanaman modal dalam negeri tersebut dibuat sebagai salah

satu cara untuk memobilisasi modal yang dimiliki oleh para penguasa keturunan Cina.

Dikatakan oleh Sarbini alasan mengapa UU ini dibuat ialah, agar dana-dana yang didapat

oleh orang-orang etnis Cina tersebut melalui pertukaran mata uang ilegal,

penyelundupan atau cara-cara ilegal lainnya bisa kembali dibawa masuk ke Indonesia

dengan tanpa rasa takut. Dengan tujuan serupa juga dibentuk undang-undang tentang

deposito berjangka, yang diharapkan bisa memacu investasi domestik tanpa menanyakan

asal usul uang tersebut.81

Meski merupakan penanggung jawab utama perencana pembangunan ekonomi

Indonesia pada awal Orde Baru, para teknokrat BAPPENAS ini bukan berarti tidak

mendapat halangan dalam menjalankan tugasnya. Di sisi lain mereka ini juga harus

81Jeffry A.Winters, Power… opcit, hal:101-102.

54

berhadapan dengan dominasi militer. Karena bagaimanapun juga militer juga merupakan

salah faksi politik yang sangat signifikan dalam konstelasi politik maupun ekonomi awal

Orde Baru. Sebagaimana telah digambarkan pada bab sebelumnya, semenjak awal

kekuasaan demokrasi terpimpin, militer telah menjadi satunya-satunya kelompok yang

menguasai dan mengendalikan aset-aset utama negara (perusahaan-perusahaan negara).

Dengan dikuasainya aset-aset negara tersebut, militer juga menjadi lebih leluasa dalam

pemberian lisensi perdagangan dan produksi, kredit serta kontrak untuk membangun

perusahaan-perusahaan berskala besar, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sutowo.82 Hal

ini kebanyakan diberikan pada para pengusaha keturunan Cina yang menjadi partner

mereka. Karenanya wajar jika dalam perkembangan konglomerasi di Indonesia lebih

banyak didominasi oleh pengusaha keturunan Cina.

1.2. Konstelasi dan Aktor-Aktor Politik Awal Orde Baru.

Pelaksanaan program stabilisasi ekonomi Indonesia awal Orde Baru secara umum

tidak mungkin dipisahkan begitu saja dari kondisi dan situasi politik yang berkembang.

Dalam konstelasi politik tahun-tahun pertama pasca kudeta dan awal kekuasaan Orde

Baru, militer merupakan kekuatan sentral dalam konstelasi politik di Indonesia. Dominasi

yang kian meluas dari pihak militer selama Orde Baru di bidang politik dan bidang-

bidang lainnya dimulai secara "resmi" semenjak diadakannya seminar Angkatan Darat II

tahun 1966 di Bandung. Dalam salah satu keputusan seminar tersebut disebutkan bahwa,

“Angkatan Darat, yang lahir dalam Revolusi dan dengan demikian mempunyai hak dan kewajiban untuk memikul tanggung jawab diluar bidang militer, telah terpaksa memperluas kegiatan non militernya. Selain itu mereka juga berkeyakinan bahwa harapan rakyat agar tercipta pemerintahan yang lebih baik berada di tangan Angkatan Darat. Karena itu mereka wajib memenuhi keinginan dan harapan rakyat tersebut”.83 Keyakinan seperti tersebut yang menjadi salah salah satu alasan mengapa dalam

perkembangan politik Orde Baru Militer terutama Angkatan Darat, menjadi sebuah

kekuatan politik yang dominan. Hasil lain yang didapat dari seminar tersebut ialah

adanya konsep dwifungsi ABRI. Secara teoritis terlihat bahwa konsep ini hampir sama

dengan kebijakan darurat militer yang pernah dikeluarkan pada masa Sukarno. Dwifungsi

juga dapat dikatakan sebagai sebuah legitimasi bagi pihak militer Orde Baru untuk dapat 82 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:140.

55

turut serta secara aktif dalam masalah-masalah sosial politik dan juga ekonomi. Dalam

definisi resmi militer, dwifungsi ABRI adalah fungsi-fungsi yang dimiliki dan melekat

kepada ABRI sebagai kekuatan Hankam dan kekuatan sosial dalam rangka perjuangan

nasional untuk mencapai tujuan nasional.84

Namun dalam perkembangan berikutnya keberadaan dwifungsi ini tidak hanya

berimplikasi pada persoalan-persoalan politik. Tetapi lebih jauh lagi keberadaan konsep

dwifungsi tersebut selama Orde Baru juga memberikan legitimasi bagi militer untuk turut

serta dalam bidang-bidang sosial ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Karena itu

sangat wajar jika di sisi lain keberadaan dwifungsi ini juga dianggap sebagai kontra

posisi atas paham supremasi sipil. Meski demikian nampaknya rezim Orde Baru belum

cukup puas dengan keberadaan dwifungsi tersebut sebagai alat legitimasi peran sosial

politik bagi militer. Pada tahun 1982 disahkan pula sebuah Undang-Undang No:20 tahun

1982, yang salah satu pasalnya mengatakan bahwa militer (ABRI) merupakan kekuatan

sosial yang bertindak selaku dinamisator dan stabilisator. Sehingga militer memiliki

keabsahan untuk memperoleh posisi di dalam lembaga legislatif dan eksekutif.85

Konstelasi politik Indonesia awal Orde Baru juga tidak terlepas dari berbagai

konflik intern yang timbul di tingkat elit kekuasaan. Jika dibidang perencanaan ekonomi

kita mengenal BAPPENAS, maka secara politik pada awal Orde Baru juga terdapat

lembaga-lembaga negara maupun non negara yang juga berperan cukup signifikan dalam

politik Indonesia. Dari sisi birokratis, rezim Orde Baru pada awal kekuasaannya

menjalankan pemerintahannya dengan didukung oleh dua lembaga utama. Secara

finansial pemerintahan Orde Baru didukung oleh keberadaan Pertamina sebagai satu-

satunya perusahaan minyak negara dan Opsus (Operasi Khusus), yaitu sebuah lembaga

pusat operasi intelijen politik dan ekonomi dibawah pimpinan Jendral Ali Murtopo.

Opsus tersebut pada prakteknya mendapat "dukungan" dari sebuah lembaga non

pemerintah yang dikenal dengan nama CSIS (Centre for Strategic and International

Studies). Lembaga yang didukung oleh beberapa pengusaha dan intelektual keturunan

Cina seperti Harry Tjan Silalahi, Liem Bian Koen, Liem Bian Kie dan J.Panglaykim ini,

83 Ulf Sudhaussen, Politik…opcit, hal:422-423. 84 M Najib Azca, Hegemoni…opcit, hal:4. 85 Ibrahim Ambong, "Hubungan ABRI-Golkar", dalam Jurnal Ilmu Politik no:6, Jakarta, PT Gramedia, 1990, hal:35.

56

pada perkembangan selanjutnya juga menjadi oposisi bagi kebijakan yang dikeluarkan

oleh BAPPENAS.86 Untuk penanganan masalah keamanan dalam negeri, pada awal Orde

Baru juga dibentuk sebuah lembaga yang disebut dengan Kopkamtib (Komando

Keamanan dan Ketertiban). Komando yang dipimpin oleh Jendral Sumitro ini pada

perkembangannya juga seringkali terlibat konflik dengan Opsus.87

Masalah lain yang menjadi persoalan politik awal Orde Baru adalah partai politik.

Harapan untuk bisa kembali menjadikan partai politik sebagai aktor politik yang

signifikan seperti pada masa demokrasi parlementer, ternyata tidak bisa tercapai. Militer

sebagai kelompok yang dominan dalam masa awal pemerintahan Orde Baru nampaknya

tidak terlalu menginginkan hal tersebut. Sedangkan Suharto sebagai presiden justru

menginginkan partai-partai politik yang ada tersebut untuk menggabungkan dirinya

menjadi tiga golongan, yaitu golongan nasionalis dan non Islam, golongan spiritual

(partai-partai Islam) dan golongan karya. Karena itu dalam perkembangan selanjutnya

terjadi penyederhanaan partai politik (fusi) menjadi tiga partai politik yaitu Partai

Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya

(Golkar). Mencermati peran militer yang besar dalam pembentukan Golkar, dapat

dikatakan bahwa kelahiran Golkar merupakan suatu bentuk legitimasi lain bagi militer

untuk dapat terus berperan dalam masalah-masalah politik. Maka wajar jika pada awal

Orde Baru militer meduduki posisi-posisi penting dalam Golkar. Keterlibatan yang besar

dari pihak militer dalam percaturan politik yang dimainkan oleh Golkar jelas memberikan

keuntungan yang sangat besar pula pada Golkar. Dengan menjadikan militer sebagai

salah satu pilar pendukung utamanya, Golkar selama Orde Baru telah berhasil

menjadikan dirinya sebagai mayoritas tunggal di arena politik Indonesia. Sehingga sangat

terlihat bahwa Golkar dan kepentingan sosial politik militer merupakan dua hal yang

tidak terpisahkan satu dengan lainnya, terutama dalam kekuasaan politik.

Akhirnya kembali pada persoalan stabilisasi dan perbaikan ekonomi Indonesia,

secara jelas terlihat bahwa ternyata para aktor-aktor politik dan situasi serta kondisi

politik Indonesia awal Orde Baru juga sangat berpengaruh dalam penciptaan struktur 86 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:148. 87 Mengenai persaingan antara kedua institusi tersebut lihat Michael R.J Vatikiotis, Indonesian Politics Under SuhartoOrder, Development and Pressure for Change, London, Routledge, 1994, hal:75. Mengenai

57

ekonomi. Misalnya seperti telah disebutkan diatas militer yang merupakan kekuatan

sentral dalam politik Indonesia, ternyata juga sekaligus berperan sebagai kekuatan

ekonomi yang cukup signifikan. Signifikansi tersebut semakin nyata terlihat mengingat

sampai pertengahan dekade 1980an, militer adalah pemegang kekuasaan atas berbagai

sumber-sumber keuangan dan pendapatan negara yang strategis. Salah satu contohnya

ialah seperti yang terjadi di dalam perusahaan minyak (Pertamina) yang merupakan

sumber pendanaan terpenting masa-masa awal rezim Orde Baru. Begitu pula halnya

dengan lembaga-lembaga lainnya sebagaimana telah dijelaskan diatas. Namun dalam

memahami konstelasi politik Orde Baru, kita juga harus kembali melihat bagaimana

peranan yang dimainkan Suharto sebagai pimpinan rezim, yang juga sekaligus sebagai

"manajer" konflik dan kepentingan. Karena bagaimanapun juga di dalam rezim Orde

Baru yang otoriter peran Jendral Suharto jelas tidak bisa diabaikan begitu saja.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mulai pertengahan 1980an, secara

umum militer sudah tidak memiliki pengaruh yang terlalu signifikan seperti masa-masa

sebelumnya. Karena semenjak Suharto telah berhasil memantapkan kekuasaannya, maka

sedikit demi sedikit peran militer telah mengalami reduksi. Selain itu militer juga telah

diposisikan sebagai alat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan Suharto beserta

keluarganya. Diakui oleh kalangan militer sendiri bahwa selama Suharto berkuasa,

militer merasa telah dijadikan alat untuk mempertahankan status quo kekuasaan

Suharto.88

1.3.Oil Boom Dan Implikasinya Pada Perekonomian Indonesia.

Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan dalam perkembangan ekonomi politik

Indonesia pada masa Orde Baru adalah masa boom minyak. Boom minyak (oil boom) ini

menjadi sangat penting karena implikasi yang ditimbulkan, baik selama sampai pasca oil

boom, dalam perekonomian Indonesia sangat besar. Masa oil boom ialah tahun-tahun

dimana harga minyak mentah dipasaran dunia meningkat dengan drastis. Sehingga bagi

negara-negara pengekspor minyak seperti Indonesia, keadaan seperti ini jelas akan

memberikan keuntungan keuangan yang besar. Peningkatan harga minyak ini secara

Malari lihat juga pledoi Sjahrir tanggal 7 April 1975 tentang peristiwa Malari, dalam Sjahrir, Pikiran Politik Sjahrir, Jakarta, LP3ES, 1994, hal:3-24. 88 "Dwifungsi ABRI, Antara Klaim Historis dan Privelese", Kompas 1 Oktober 1998.

58

periodik terjadi dua kali. Boom minyak pertama terjadi antara tahun 1973-1974, sedang

yang kedua antara tahun 1979-1980/1.

Dalam mencermati boom minyak ini yang menarik ialah apa dan bagaimana

implikasi yang ditimbulkan oleh adanya boom minyak tersebut, terhadap struktur

ekonomi Indonesia. Dari sini akan terlihat perkembangan yang sangat pesat dari apa

yang disebut dengan pola patronase bisnis. Keterlibatan militer dalam ekonomi, terutama

dalam penguasaan sumber-sumber keuangan negara termasuk Pertamina, jelas telah

memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pihak militer. Baik secara institusional

maupun secara personal. Pertamina sebagai satu-satunya badan resmi pengelola sektor

migas di Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Ibnu Sutowo, ketika terjadi boom minyak

menjadi "lahan basah" bagi para pejabat negara terutama para pejabat militer dan

sekaligus sebagai "sapi perah" bagi proyek-proyek besar lainnya.

Pada akhir tahun 1960an Pertamina (Permina--perusahaan minyak negara-- waktu

itu) telah menjadi sumber pendanaan terpenting bagi militer. Namun sebenarnya hal ini

telah berlangsung dari semenjak tahun 1957, yaitu ketika militer mulai menguasai

perusahaan-perusahaan bekas milik Belanda yang dinasionalisasi. Dimulai ketika

Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Darat memerintahkan Kolonel Ibnu Sutowo untuk

mengambil alih sebuah ladang minyak di utara Sumatra dengan dukungan dana dari

sebuah kelompok pengusaha dari Jepang dalam pengelolaannya. Dengan dominasi yang

besar dari pihak militer pada awal Orde Baru, Pertamina kembali menjadi sumber

pendanaan militer. Setelah dikuasai oleh AD dan membeli Shell pada tahun 1965,

berbagai kontrak bagi hasil dengan Caltex dan Stanvac mulai dilakukan oleh Pertamina,

terutama dalam pengelolaan eksplorasi minyak lepas pantai. Karena banyak bertentangan

dengan liberalisasi ekonomi, maka banyak perusahaan-perusahaan minyak internasional

tersebut yang mengundurkan diri. Meski sempat menghadapi beberapa masalah dengan

kontrak-kontrak tersebut, Pertamina akhirnya kembali mendapat kepercayaan dari

beberapa perusahaan minyak internasional setelah Mobil Oil menandatangani kontrak

pada bulan Oktober 1968. Sampai 1975 tercatat Pertamina telah melakukan kerjasama

dengan 35 perusahaan asing. Dengan hasil yang di dapat dari berbagai kontrak tersebut,

Pertamina kemudian melanjutkankan pembangunan pabrik baja Krakatau Steel,

menanamkan modal di proyek petrokimia, membangun daerah industri dan turisme di

59

Batam (tahun 1970an), membangun rumah sakit di Jakarta, stasiun TV di Medan, stadion

olahraga di Palembang, mesjid di UI dan Bina Graha.89

Sebagai sumber pendapatan keuangan utama militer pada awal Orde Baru,

Pertamina benar-benar menjadi sumber pembiayaan kebutuhan organisasi militer

(Angkatan Darat) dan terutama para pimpinannya. Dalam persoalan pertanggung

jawaban, Ibnu Sutowo sebagai presiden direktur Pertamina hanya bertanggung jawab

pada pimpinan militer. Jadi meski merupakan perusahaan negara, Pertamina ketika

dibawah Ibnu Sutowo dalam prakteknya sudah tidak banyak berbeda seperti layaknya

perusahaan-perusahaan milik swasta lainnya. Sumber pendapatan lain yang dimiliki oleh

pihak militer pada masa itu ialah Bulog (Badan Urusan Logistik). Bulog dibawah

pimpinan Brigadir Jendral Achmad Tirtosudiro sebenarnya telah menjadi sumber

pemasukan dana yang juga penting bagi militer. Namun jika dilihat dari segi jumlah yang

dapat diberikan pada kas Angkatan Darat, maka Permina merupakan sumber pemasukan

terbesar sejak 1960an sampai tahun 1974. Selain kedua badan tersebut, juga ada sebuah

PT yang juga disponsori oleh AD, yaitu PT Berdikari. Perusahaan ini sendiri merupakan

warisan dari Jend. Achmad Yani, yang kemudian dikelola oleh Brigjen Suhardiman.

Meski telah mendapatkan berbagai kemudahan seperti mendapat izin untuk mengimpor

mobil mewah dan juga dalam pendirian Bank Dharma Ekonomi, yang akhirnya runtuh

tahun 1969.90

Selain itu, seperti yang telah disebutkan diatas, Ibnu Sutowo juga mampu

memberikan lisensi perdagangan dan produksi serta kredit untuk mendirikan perusahaan

besar pada para pengusaha keturunan Cina. Hal tersebut terjadi selama kurang lebih dua

puluh tahun tahun sampai menjelang tahun 1974, ketika mencuatnya kasus korupsi yang

menimpa Pertamina.91 Di sisi lain, krisis yang menimpa Pertamina ini juga dinilai sebagai

pertarungan untuk mendapatkan hak kendali atas keuangan perusahaan minyak milik

negara tersebut, antara para teknokrat BAPPENAS yang merupakan aktor sentral dalam

pembuatan strategi pembangunan ekonomi negara pada awal Orde Baru dengan para

pimpinan militer yang banyak memegang kendali atas perusahaan-perusahaan milik

89Harold Crouch, Militer…opcit, hal:311-312. 90 Ibid, hal: 317. 91 Mengenai kasus korupsi yang melanda Pertamina lihat Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:153.

60

negara.92 Namun yang terpenting ialah, ternyata dengan terjadinya boom minyak telah

membawa banyak implikasi dalam struktur ekonomi Indonesia, dan salah satu implikasi

penting yang akan menjadi perhatian dalam bab ini ialah semakin berkembangnya pola

patronase bisnis.

Sebelum melihat lebih jauh keberadaan patronase bisnis tersebut ada baiknya kita

lihat dahulu bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil serta struktur ekonomi

Indonesia pasca boom minyak. Berangkat dari pengertian istilah yang diberikan oleh

Yoshihara Kunio tentang ersatz capitalism (kapitalisme semu) yang banyak terjadi di

negara-negara Asia Tenggara, terlihat bahwa terjadinya boom minyak telah

mengakibatkan peran negara Orde Baru dalam struktur ekonomi Indonesia semakin besar

dan kuat. Oleh Arief Budiman disimpulkan bahwa, Kunio melihat ada dua hal yang

menyebabkan timbulnya kapitalisme semu tersebut. Pertama ialah karena di negara-

negara tersebut peran pemerintah begitu besar sehingga mengganggu prinsip persaingan

bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis. Hal negatif lain yang ditimbulkan

dari besarnya peran pemerintah atau negara ini ialah adanya pencari rente di kalangan

birokrat, yang secara langsung dapat menghambat perkembangan para usahawan sejati.

Sedangkan di sisi lain justru muncul pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang sukses

sebagai akibat dari adanya koneksi-koneksi dengan para birokrat untuk mendapatkan

fasilitas. Kedua ialah, kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan pada perkembangan

teknologi yang memadai. Sebagai akibatnya tidak terbentuk industrialisasi yang mandiri.

Sedang industrialisasi sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi.93

Dalam kasus negara Orde Baru ketika dan pasca boom minyak jelas terlihat

adanya keterlibatan negara yang sangat besar. Namun dengan besarnya peran negara

tersebut di sisi lain justru mengakibatkan tidak munculnya kelompok-kelompok pemodal

domestik yang mandiri. Kelompok-kelompok pemodal domestik yang justru muncul

ialah para pemodal atau pelaku-pelaku bisnis yang memiliki tingkat ketergantungan

tinggi pada negara. Sehingga pada akhirnya kapitalisme yang berkembang adalah

kapitalisme semu. Tingkat ketergantungan yang tinggi pada negara serta berkembangnya

92 John Bresnan, Managing Indonesia: The Modern Political Economy, New York, Colombia University Press, 1993, hal:165. 93 Arief Budiman, "Kapitalisme Ersatz: Sebuah Pengantar", dalam Yoshihara Kunio, Kapitalisme…opcit, hal:xiv.

61

kapitalisme semu tadi, ternyata telah pula menyebabkan negara Orde Baru menjadi

sebuah negara yang seringkali dikatagorikan sebagai negara Otoriter Birokratik Rente

(OB Rente). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, para pejabat negara telah berhasil

mengambil keuntungan ekonomis dari kemunculan patronase bisnis tersebut.

Menyusul jatuhnya harga minyak mentah pada pertengahan dekade 1980an, telah

mengharuskan pemerintah Orde Baru untuk segera mengubah strategi pembangunannya.

Strategi industri substitusi impor yang dijalankan sebelumnya menjadi terhambat. Hal ini

terjadi karena anggaran negara yang sangat tergantung pada minyak mengalami defisit.

Oleh sebab itu, Orde Baru kemudian mengganti kebijakan ekonominya dengan strategi

yang berorientasi ekspor, terutama mengembangkan industri non minyak. Selain itu

negara juga memperbanyak sumber-sumber pendapatan yang berasal dari pajak, seperti

pajak pertambahan nilai, pajak perusahaan dan perorangan. Dalam hal investasi,

pemerintah Orde Baru kemudian juga mendorong keterlibatan investasi asing dengan

mencabut berbagai pembatasan yang ada sebelumnya.94 Pada masa-masa inilah yang

oleh sebagian kalangan seringkali dikatakan sebagai periode kedua liberalisasi ekonomi

Indonesia.

2 Perkembangan Pola Patronase Bisnis di Indonesia.

2.1 Perkembangan Patronase Bisnis Di Indonesia.

Pada bagian kerangka teori telah dijelaskan secara mendalam tentang pengertian

dari patronase bisnis tersebut. Tetapi tidak ada salahnya jika sebelum menjelaskan lebih

lanjut tentang perkembangan patronase bisnis di Indonesia, di sini akan kembali

dijelaskan kembali secara singkat mengenai apa yang dimaksud dengan patronase bisnis.

Patronase bisnis sendiri dalam konteks ini diartikan sebagai adanya keterlibatan dari para

pejabat negara baik secara langsung maupun tidak dalam suatu proses akumulasi modal.

Dalam hal ini para pejabat negara tadi bertindak sebagai patron politik bagi para

pengusaha. Keterlibatan para pejabat negara dalam pembentukan sebuah pola patronase

bisnis otomatis secara langsung menempatkan negara dalam posisi yang paling

signifikan. Namun di sisi lain, kemunculan peran negara yang begitu penting tersebut

94 Richard Robison, "Pengambangan Industri dan Ekonomi -Politik Pengembangan Modal:Indonesia", dalam Ruth Mc Vey (ed) Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:117.

62

juga didasari atas penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh negara. Penguasaan atas

sumber-sumber ekonomi ini menyebabkan para pengusaha tidak bisa menciptakan

proyek-proyek sendiri.

Sebelumnya telah pula dijelaskan bahwa, ketika Indonesia memproklamirkan

kemerdekaannya tidak satupun sebuah kekuatan ekonomi domestik yang mampu menjadi

basis atau pendukung utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia justru

masih sangat bergantung pada para pengusaha Belanda dan keturunan Cina. Keinginan

negara untuk membentuk kelompok-kelompok pemodal domestik yang diharapkan

mampu menggantikan posisi keduanya ternyata mengalami banyak kegagalan. Hal yang

serupa juga terjadi pada masa awal Orde Baru. Sebaliknya keterlibatan negara dalam

pembentukan pengusaha-pengusaha domestik tersebut justru berakibat semakin

berkembangnya praktek-praktek patronase bisnis. Patronase bisnis pada masa Orde Baru

mulai menampakan perkembangan yang pesat ketika Indonesia mendapatkan pemasukan

yang berlimpah dari terjadinya boom minyak. Ketika itu rezim Orde Baru semakin giat

melakukan industrialisasi subtitusi impor, sekaligus pula melakukan pembatasan terhadap

peran modal asing.95 Karena itu masa boom minyak sering disebut sebagai masa kejayaan

patronase bisnis di Indonesia.96

Sebenarnya persoalan strategi industrialisasi dengan menggunakan sistem industri

subtitusi impor (ISI) ini sudah seringkali disarankan oleh Bank Dunia untuk digantikan

dengan industri yang berorientasi ekspor (Export-Oriented Industrialization/ EOI).

Namun seperti yang banyak terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia

adalah terjadinya ketegangan-ketegangan politik antar kepentingan. Kelompok elit-elit

militer, birokrat tingkat tinggi, para teknokrat nasionalis dan industrial ISI adalah faksi-

faksi penentang penghapusan kebijakan pemberian proteksi, lisensi subsidi dan

sebagainya.97

Keterlibatan negara dalam pembentukan pola patronase bisnis tersebut, tentu telah

memiliki alasan-alasan serta implikasi-implikasi tersendiri bagi perkembangan keadaan

ekonomi politik di Indonesia. Alexander Irwan melihat bahwa salah satu alasan mengapa

95 Mengenai bentuk-bentuk pembatasan tersebut lihat Richard Robison, “Pengembangan…, opcit, hal:116. 96 Suryadi A. Rajab, Praktik…opcit, hal:40. 97 Alexander Irwan, Patronase Bisnis, Kelas Dan Politik: Studi Tentang Indonesia, Korea Selatan dan Muangthai, Jakarta, SPES, 1994, hal:10.

63

negara memberikan akses-akses ekonomi kepada para birokrat, kelompok-kelompok

bisnis militer dan para pimpinan militer adalah untuk mendapatkan dana di luar anggaran

resmi pemerintah untuk membiayai kegiatan militer dan untuk membangun dan

mempertahankan loyalitas. Sedangkan jika yang diberi akses adalah anggota keluarga,

maka tujuannya adalah membangun kerajaan bisnis mereka. Namun yang terpenting,

tujuan pemberian akses-akses tersebut oleh negara ialah agar oposisi tidak dapat

membangun landasan ekonomi yang kuat.98

Berkaitan dengan peran negara dalam kemunculan praktek-praktek patronase

bisnis tersebut, terlihat bahwa patronase bisnis muncul sebagai salah satu akibat

dijalankannya sistem sentralisasi oleh penguasa negara baik dalam bidang ekonomi

maupun politik. Dengan demikian negara tumbuh menjadi aktor sentral ekonomi

Indonesia, dimana dalam perkembangannya ternyata juga merupakan aktor penentu

dalam pembentukan pola patronase bisnis. Selanjutnya dengan telah terbentuknya pola

patronase bisnis di Indonesia, akan memunculkan berbagai implikasi. Di satu sisi

kemunculan patronase bisnis ini mengakibatkan negara Orde Baru tumbuh menjadi

sebuah negara otoriter birokratis rente. Dengan berkembangnya negara Orde Baru

sebagai sebuah negara otoriter birokratis rente, maka negara relatif menjadi lebih kuat.

Sebaliknya masyarakat sipil menjadi semakin lemah, dan di tatanan sosial organisasi-

organisasi kemasyarakatan lebih banyak dibentuk dan dikelola oleh negara.

Sedangkan secara ekonomis, jelas bahwa pemunculan negara otoriter birokratis

rente dengan diikuti oleh berkembangnya patronase bisnis tersebut, telah pula

mengakibatkan kesenjangan ekonomi antara golongan kaya dan miskin semakin lebar.

Karena dalam kenyataannya patronase bisnis telah pula menimbulkan diskriminasi

ekonomi. Para pengusaha yang memiliki patron politik pada umumnya merupakan

pengusaha besar sehingga semakin memudahkan dalam pengembangan bisnisnya.

Sementara hal yang sebaliknya banyak dialami oleh para pengusaha menengah dan kecil.

Patronase bisnis ini secara ekonomi juga mengakibatkan para investor terutama para

investor asing menjadi ragu dalam menanamkan modalnya. Mereka melihat munculnya

patron-patron politik dalam kaitannya dengan penanaman modal adalah sesuatu hal yang

sangat riskan. Mereka juga berpendapat bahwa jika suatu saat patron politik mereka

98 Ibid, hal:16.

64

jatuh, maka akan berimplikasi langsung pada kelancaran bisnis mereka. Karena itu

kemunculan patronase bisnis dapat juga dikatakan sebagai salah satu penghambat

masuknya investasi asing ke Indonesia. Dengan kata lain patronase bisnis tidak

memunculkan kepercayaan bisnis (business confidence) terutama untuk usaha jangka

panjang.99 Selain para investor asing, adanya patronase bisnis ini juga mengakibatkan

para pemilik modal domestik keturunan Cina menanam modal mereka di luar negeri.100

Indenpendensi finansial yang dimiliki dari adanya jaringan finansial dengan kelompok

bisnis Cina di negara-negara Asia Tenggara lain, telah menjadikan mereka sebagai

sebuah kekuatan bisnis yang cukup signifikan dalam struktur ekonomi Orde Baru. Meski

demikian, patronase bisnis telah menjadikan mereka enggan untuk menanamkan investasi

jangka panjang di Indonesia. Ketika pemerintah Orde Baru memaksa mereka untuk

menanamkan investasi jangka panjang, mereka kemudian akan meminta hak monopoli

untuk produk-produk mereka tersebut.101

Berkembangnya praktek patronase bisnis di masa Orde Baru ini juga ditandai

dengan pembentukan sebuah tim dari Sekneg, yang dikenal dengan nama tim sepuluh.

Kewenangan yang dimiliki oleh tim ini sangat besar dan luas. Tim sepuluh ini memiliki

wewenang antara lain ialah dalam pembebasan tanah untuk kepentingan sebuah proyek,

pemberian izin untuk pengawasan tender juga dalam hal pemberian wewenang pada

lembaga-lembaga yang lebih bersifat teknis. Wewenang itu sendiri terus mengalami

perluasan terutama setelah menjadi lembaga yang permanen di Sekneg. Dari yang

sebelumnya hanya berwenang mengawasi pembelian besar kebutuhan departemental dan

non-departemental diperluas terus sehingga tim sepuluh ini juga berwenang dalam

pengawasan di BUMN dan swasta.102

Namun yang paling penting dari perluasan wewenang tim sepuluh ini ialah

keluarnya dekrit presiden no 29 tahun 1984 tentang pemberian wewenang melakukan

pengendalian lebih lanjut atas proses “pra kualifikasi” yang akan menentukan perusahaan

mana, sampai tingkat propinsi yang akan dimasukkan ke dalam daftar, sehingga mereka

berkesempatan untuk ikut dalam pengajuan tender-tender proyek. Lebih celakanya lagi

99 Alexander Irwan, "Kolaborasi …opcit, hal:27 100 Alexander Irwan, Patronase…opcit, hal:17. 101 Ibid. 102 Jeffry A.Winters, Power ...opcit, hal:176.

65

setiap instansi pemerintah yang berkepentingan dalam pengadaan proyek tersebut

diharuskan untuk membentuk tim sepuluh mini untuk menentukan hal tersebut. Tim

sepuluh mini yang biasanya dipimpin oleh menteri atau kepala instansi yang

bersangkutan tersebut kemudian bertanggung jawab pada tim sepuluh yang ada di

Sekneg.103 Dengan demikian tim sepuluh telah berkembang menjadi sebuah instrumen

untuk membangun, memperluas dan mempertahankan struktur patronase yang ada di

Indonesia. Sebab pada akhirnya hanyalah orang-orang yang berada dekat baik secara

politik atau pribadi dengan para pejabat istana dan Sekneg, yang mampu mengambil

keuntungan dari keberadaan tim sepuluh ini. Dan yang pasti dengan adanya tim sepuluh

ini sekali lagi akan memberikan kesempatan dan legalitas baru bagi para pejabat negara

untuk menjadi pemburu rente.

Dengan demikian setidaknya ada sepuluh hal yang patut dicermati untuk dapat

memahami mengapa patronase bisnis ini dapat tumbuh dan berkembang pada masa Orde

Baru. Pertama, dominannya peran negara dalam perekonomian yang ditunjukan dengan

tumbuhnya lapisan birokrat-politik atau pejabat militer, telah mengakibatkan mereka

dapat mengembangkan kepentingan-kepentingan pribadinya. Tidak profesionalnya para

pejabat dan birokrat tersebut mengakibatkan terjadinya kekaburan antara bidang yang

seharusnya mereka geluti dengan masalah-masalah bisnis. Kedua, dengan semakin

berkembangnya kepentingan-kepentingan pribadi mereka, telah mendorong penggunaan

akses-akses negara, seperti lisensi, konsesi, hak monopoli dan sebagainya oleh para

pejabat negara, untuk dibagikan pada para pengusaha. Perlakuan seperti ini yang

kemudian banyak diistilahkan dengan kolusi. Ketiga, adanya hubungan yang terjalin

antara para pengusaha dan para pejabat, ternyata mengakibatkan digunakannya kekayaan

negara seperti APBN dan perusahaan-perusahaan negara untuk membantu investasi

dalam bisnis-bisnis mereka. Keempat, ketidakmampuan negara dalam mengatur

perekonomian menjadikan hal tersebut sebagai rebutan para birokrat. Para birokrat

tersebut berharap dapat menggunakan posisi tersebut untuk dapat mempengaruhi

perusahaan swasta. Dengan demikian diharapkan pula akan terjalin hubungan yang lebih

erat dangan para pengusaha yang ingin mengembangkan usahanya. Kelima,

ketergantungan pada patron politik dalam mengembangkan usaha, mengakibatkan

103 Ibid, hal:178.

66

keinginan untuk mengumpulkan kekayaan dalam waktu sesingkat mungkin. Karena jika

jatuh bangunnya posisi patron politik juga berarti maju mundurnya usaha yang

dijalankan.

Keenam, keinginan untuk mendapatan kekayaan dalam tempo sesingkat mungkin,

mengakibatkan para pejabat dan pengusaha menjadi sangat berkepentingan dalam

persoalan proteksi tarif yang tinggi, pembatasan modal asing serta hal monopoli. Ketujuh,

ketidakpastian politik bisa mengakibatkan para investor terutama para investor asing

menjadi enggan untuk menginvestasikan modalnya untuk jangka panjang. Sehingga tidak

muncul kepercayaan di bidang usaha (business confidence) di Indonesia dari para

investor. Kedelapan, ketakuatan yang berlebihan dari para pemilik modal mengakibatkan

Indonesia menjadi salah satu negara yang beresiko tinggi. Tidak hanya jika patron

politiknya jatuh tetapi juga kemungkinan untuk terjadinya perampasan kepemilikan

usaha-usaha tersebut oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa. Kesembilan, dikuasainya dan

didirikannya perusahan-perusahan dagang oleh para pejabat yang dalam pelaksanaannya

tidak lagi menghiraukan moralitas dan etika usaha. Karena mereka hanya berorientasi

pada kekayaan dengan berbagai cara. Kesepuluh, keterlibatan -para pejabat tersebut

ternyata juga memunculkan bisnis-bisnis kroni. Dimana yang melakukan bisnis adalah

keluarga dan teman-teman dekat para pejabat pemilik akses politik. Sehingga seringkali

mereka saling berebut untuk mendapatkan kemudahan dalam memperluas bisnisnya.104

Jadi dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, ketika negara tidak lagi sekedar

sebagai penjaga kekayaan dan kepentingan bisnis maupun menjalankan tugas dalam

penciptaan keadaan yang kondusif bagi akumulasi modal, tetapi telah pula sebagai

pengendali kekayaan ekonomi dan kepentingan bisnis secara keseluruhan, maka

kekuasaan negara yang sangat besar yang dipegang oleh sebuah rezim politik ini akan

membawa akibat bagi kehidupan ekonomi nasional yang didominasi patronase bisnis.105

2.2 Implikasi Patronase Bisnis Pada Perekonomian Orde Baru

Pada penjelasan sebelumnya disebutkan apabila terdapat peran yang begitu besar

dari negara, maka yang terjadi adalah pemunculan kapitalisme yang semu (ersatz

capitalism). Jika hal ini dikaitkan dengan perkembangan patronase bisnis, yang kemudian

104 Achmad Ali, "Patronase Bisnis Orde Baru Berlanjut di Era Reformasi", Kompas, 4 Oktober 1999. 105 Suryadi A. Rajab, Praktik…opcit, hal:41.

67

nampak jelas terlihat sebagai implikasi pertama dari adanya patronase bisnis tersebut

ialah lahirnya kelas-kelas kapital yang tidak mandiri. Ketergantungan mereka pada patron

politik, ternyata telah menjadikan bisnis yang dilakukannya menjadi sangat rawan

terhadap perubahan politik yang terjadi. Implikasi kedua yang muncul sebagai akibat dari

adanya pola patronase bisnis tersebut ialah lahirnya kalangan birokrasi pemburu rente

(rent seekers). Adanya pemburu rente ini berpengaruh langsung pada pembentukan

negara otoriter birokratis rente. Adanya praktek patronase bisnis ternyata di satu sisi juga

menyebabkan tidak adanya kepercayaan bisnis dari para investor, terutama dari para

investor asing yang menanamkan modalnya untuk jangka panjang.

Implikasi berikutnya dari patronase bisnis di bidang ekonomi ialah, timbulnya

ekonomi biaya tinggi. Ekonomi biaya tinggi ini muncul karena dalam patronase bisnis

industri yang dimungkinkan untuk dapat muncul adalah industri substitusi impor yang

tidak efisien. Para penanam modal juga selalu menekan negara untuk mau memberikan

berbagai keistimewaan, seperti subsidi, monopoli dan proteksi, sehingga hasil produksi

mereka dapat bersaing dangan barang-barang serupa yang diimpor. Dari beberapa

implikasi yang ditimbulkan tersebut, jelas bahwa adanya praktek patronase bisnis secara

ekonomis tidak akan memberikan perkembangan yang sehat bagi perekonomian

Indonesia.

Hal lain yang juga menarik untuk dicermati dari berkembangnya patronase bisnis

ini ialah, siapa-siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan. Jika kembali mencermati

penjelasan-penjelasan sebelumnya, mungkin kita akan segera tahu dengan jelas siapa-

siapa saja yang diuntungkan selama ini. Namun yang pasti, pengusaha-pengusaha klien

tersebut pada umumnya merupakan pelaku-pelaku bisnis yang mempunyai kedekatan

dengan para perwira tinggi militer atau pejabat sipil negara lainnya, termasuk dari

kalangan birokrat. Karena para pejabat militer tersebut merupakan patron politik dalam

pengembangan bisnis mereka.

Sedangkan di sisi lain, tidak sedikit pula pihak-pihak yang dirugikan dengan

kehadiran patronase bisnis ini. Di dalam sebuah pola patronase bisnis sangat jelas bahwa

yang dapat dikatagorikan sebagai pihak-pihak yang dirugikan ialah para pelaku bisnis

yang secara langsung, tidak memiliki akses kepada pemegang kekuasaan politik. Hal ini

68

biasanya terjadi pada investor asing106 dan sebagian besar pengusaha pribumi, terutama

pada level menengah dan kecil. Jadi seperti dijelaskan di atas, bahwa kemunculan

patronase bisnis ini telah pula memunculkan tindakan atau kebijakan yang bersifat

diskriminatif terhadap para pelaku bisnis yang dilakukan oleh penguasa politik. Sekali

lagi hal ini merupakan sebuah bukti ketidakkonsistenan rezim Orde dalam menjalankan

kebijakan ekonominya, yang di satu sisi menginginkan masuknya investasi asing, sedang

di sisi lain menjalankan patronase bisnis yang justru sangat dibenci oleh para investor

asing.

Kedua, yang secara tidak langsung juga dirugikan dari berkembangnya praktek-

praktek patronase bisnis ini ialah negara sebagai sebuah organisasi (khususnya keuangan

negara). Karena dengan berkembangnya patronase bisnis ini, ternyata telah menciptakan

pemburu-pemburu rente di kalangan birokrat. Dengan semakin berkembangnya birokrat-

birokrat pemburu rente ini, jelas tindakan korupsi akan semakin tidak terkendali serta

masyarakat akan makin banyak dirugikan.

3 Patronase Bisnis Militer Orde Baru

3.1 Anggaran Pertahanan dan Patronase Bisnis Militer.

Selama kekuasaan Orde Baru pola patronase bisnis mengalami masa kejayaannya.

Salah satu bentuk patronase bisnis yang berkembang dengan baik ialah bisnis militer.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, militer Indonesia selama lebih dari lima puluh

tahun keberadaannya, ternyata selain menjalankan fungsi utamanya di bidang pertahanan

dan keamanan, telah banyak pula melakukan aktifitas bisnis dan ekonomi lainnya. Dalam

perjalanannya tersebut, ternyata bisnis yang dijalankan oleh pihak militer sangat terkait

erat dengan keterlibatannya di bidang sosial politik. Karena itu tak heran jika dwifungsi

ABRI saat itu seringkali juga dianggap sebagai alat legitimasi militer Orde Baru dalam

menjalankan fungsi-fungsi diluar masalah pertahanan keamanan.

Namun demikian hal terpenting yang patut pula menjadi perhatian utama sebelum

mengamati keberadaan patronase bisnis militer di masa Orde Baru ini ialah, persoalan

106 Untuk menyiasati hal ini biasanya para investor asing kemudian melakukan kerjasama dengan para investor lokal yang telah memiliki akses ke pejabat-pejabat pemegang kekuasaan politik, atau langsung kepada Presiden Suharto, keluarga dan kroni-kroni dekat lainnya. Hal ini jelas akan makin memperluas ekonomi biaya tinggi yang sebelumnya telah banyak terjadi.

69

anggaran pertahanan yang diberikan dalam APBN. Hal ini menjadi penting untuk terlebih

dahulu dicermati, karena sebagaimana kita ketahui militer seringkali menggunakan alasan

kurangnya anggaran militer dalam APBN sebagai legitimasi bagi pengembangan bisnis-

bisnisnya. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk terlebih dahulu memberikan sedikit

gambaran tentang jumlah anggaran pertahanan yang ditetapkan dalam APBN, dan

mencoba untuk membandingkannya dengan biaya yang dianggarkan dalam APBN

kepada sektor lain.

Sampai dengan tahun 1991, dilaporkan bahwa anggaran militer yang disediakan

dalam APBN sebesar US$ 1,7 Juta atau sekiar 7,4 % dari keseluruhan pengeluaran

pemerintah (lihat tabel III.1). Sedangkan apabila kita melihat grafik anggaran militer dari

tahu 1983 sampai dengan tahun 1992, tampak bahwa ada kecenderungan peningkatan

jumlah anggaran (lihat lampiran grafik World Bank Loans & Military Budget). Namun

demikian bukan berarti hal ini akan menutup kemungkinan bahwa militer juga akan

menerima berbagai sumber pendanaan lain yang sebenarnya juga menjadi bagian dari

APBN atau anggaran resmi lainnya.

Tabel III.1

Perbandingan Jumlah Anggaran Militer Regional

Sampai Dengan Tahun 1991.

POPULASI (JUTA)

JUMLAH PASUKAN

(000)

ANGGARAN (MILYAR)

US$/ PRAJURIT

GNP/ ORANG

Indonesia 192 285 US$ 1,7 US$ 6077 US$ 577

Filipina 66 112 US$ 1,0 US$ 8455 US$ 694

Malaysia 18 114 US$ 1,7 US$ 14.482 US$ 2,506

Australia 17 68 US$ 7,4 US$ 108,824 US$16,600

Singapura 3 55 US$ 2,1 US$ 38,309 US$14,840

Sumber: Financing Military Rule: The Clinton Administration, The World Bank, and Indonesia.

Sedangkan jika dilihat pada pengeluaran rutin APBN 1997/1998, anggaran militer

(pertahanan dan keamanan), mencapai Rp 6.277.700.000,00dan itu terus mengalami

peningkatan pada setiap APBN berikutnya (lihat tabel III.2).

70

Tabel III.2

Perkembangan Pengeluaran Rutin Berdasarkan Sektor

1997/1998-1999/2000

(dalam miliar rupiah)

1997/1998 1998/1999 1999/2000 Uraian

APBN Realisasi APBN Realisasi

(sementara)

APBN Perkiraan

Realisasi

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Sektor Pertahanan

dan Keamanan

6.277,7 6.280,2 7.628,2 8.174,1 9.909,7 152.989,9

Sumber:Departemen Keuangan

Dari data-data tersebut diatas, terlihat bahwa pada dasarnya anggaran yang

diberikan kepada sektor pertahanan keamanan sendiri di dalam APBN selama Orde Baru

cukup besar. Apalagi jika kita coba perbandingkan dengan berbagai sektor lain. Bahkan

pada APBN 1997/1998 saja anggaran untuk sektor hankam merupakan anggaran terbesar

ketiga setelah sektor ekonomi dan pembangunan daerah.107

3.2 Perkembangan Bisnis Militer Orde Baru.

Peran sosial politik militer yang semakin luas dan mendomisasi kehidupan sosial

politik serta perekonomian di Indonesia, akan semakin terlihat setelah kita mencermati

perilaku militer Indonesia, terutama dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi yang ada

di Indonesia dan mengolahnya menjadi sumber-sumber pemasukan diluar anggaran yang

telah di sediakan oleh pemerintah (pendapatan non-budgeter). Dalam menjalankan

bisnisnya tersebut, pihak militer seringkali menggunakan para perwira yang duduk dalam

jabatan-jabatan politis atau struktural birokratis lainnya untuk mendapatkan kemudahan-

kemudahan atau privelege, sehingga memudahkan kelancaran bisnis mereka. Dengan

demikian apa yang kemudian dikenal dengan tugas kekaryaan menjadi sesuatu yang tak

terpisahkan dari perkembangan bisnis militer di Indonesia masa Orde Baru.

Selain mengandalkan para perwiranya tersebut, kedekatan hubungan dengan

Presiden Suharto dan keluarga serta kroni-kroni dekatnya juga dapat dijadikan sebagai

sarana pengembangan bisnisnya. Pada umumnya mereka melakukan berbagai kerjasama,

107 Lihat lampiran Perkembangan Pengeluaran Rutin Berdasarkan Sektor 1997/1998-1999/2000

71

misalnya dalam bentuk joint venture untuk dapat meningkatkan modal serta

kemampuannya. Sebagai contoh dari kerjasama tersebut ialah salah satu perusahaan

pertambangan milik Angkatan Darat menjadi partner salah satu perusahaan milik Bob

Hasan (PT Nusamba), yang juga merupakan perusahaan pertambangan swasta terbesar di

Indonesia. Contoh lain ialah kerjasama joint venture P.T Sempati Air antara Angkatan

Darat dengan kelompok Humpuss.108 Karena kemudahan-kemudahan seperti inilah, maka

bisnis militer dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk patronase bisnis. Namun

bagaimanapun juga meski bisnis militer Orde Baru memiliki banyak keistimewaan dan

kelebihan lain terutama di bidang politik, tetapi peran aktif dari para pengusaha Cina

tidak bisa diabaikan atau hilang begitu saja.

Mencermati keterlibatan militer Orde Baru dalam bisnis atau ekonomi ini,

setidaknya telah memunculkan dua pandangan tentang orientasi bisnis militer. Pertama

militer "berbisnis" untuk menghidupi dirinya sendiri secara kelembagaan. Kurangnya

dana anggaran taktis terutama dalam masalah-masalah sosial politik yang tidak bisa

diprediksikan serta peningkatan kesejahteraan merupakan alasan pertama mengapa

militer berbisnis. Kedua, keterlibatan di dalam dunia usaha demi kepentingan diluar

tubuh organisasinya. Misalnya penyediaan jasa "keamanan". Meski demikian

keterbatasan anggaran dalam peningkatan kesejahteraan yang lebih sering dijadikan

sebagai alasan mengapa militer Indonesia terjun dalam dunia bisnis, yang termasuk di

dalamnya adalah perhatian terhadap usia para perwira senior dan para pensiunan. Karena

alasan itu, maka kemudian militer membentuk berbagai perusahaan atau badan usaha

lainnya, juga koperasi, untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Hal itu juga diikuti

dengan pemberian jabatan penting kepada para perwira aktif maupun non aktif untuk

duduk dalam perusahaan-perusahaan swasta atau BUMN. Meski merupakan kelanjutan

dari keterlibatannya di bidang ekonomi pada masa kekuasaan Sukarno, namun

nampaknya militer Orde Baru berusaha untuk menciptakan legitimasi-legitimasi baru

untuk melapangkan bisnisnya. Diawali dengan keputusan yang diambil dalam seminar

AD II pada tanggal 25-31 Agustus 1966, yang menegaskan bahwa kepedulian ABRI

dalam ikut mengatasi tiga masalah nasional: stabilitas sosial politik, stabilitas sosial,

ekonomi dan peran serta TNI-AD dalam revolusi Indonesia sebagai kekuatan revolusi,

108 Robert Lowry, The Armed Forces of Indonesia, Sydney, Allen & Unwin, 1996, hal:136.

72

alat penegak demokrasi dan sebagai alat pertahanan keamanan negara, dan diperkuat

dengan UU no:1/1988 dan UU no:20/1988.109

Pada bagian awal bab ini telah dijelaskan bagaimana militer awal Orde Baru

memainkan perannya di bidang ekonomi secara luas, dengan Pertamina dan Bulog

sebagai sumber pendapatan utamanya. Ketika Orde Baru berkuasa, militer memiliki

beberapa sumber pendapatan lain, diluar anggaran yang telah disediakan oleh APBN.

Secara umum, selama Orde Baru bentuk bisnis yang dilakukan oleh pihak militer dapat

terbagi menjadi dua. Pertama, badan-badan usaha atau jaringan bisnis yang dikelola oleh

yayasan. Kedua yang dikelola oleh koperasi, dan ketiga keterlibatannya dalam badan-

badan usaha milik negara (BUMN) seperti yang dilakukannya pada kedua badan tersebut

diatas.110 Unit usaha koperasi yang dimiliki oleh militer ini dibentuk dengan tujuan

sebagai penyedia berbagai kebutuhan sehari-hari bagi para anggotanya dengan harga

murah, yang biasanya tidak dapat dipenuhi oleh anggaran. Mereka kemudian membuka

toko-toko atau beberapa jenis usaha yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

Koperasi merupakan unit usaha yang paling mudah ditemui. Karena koperasi terdapat

pada hampir semua struktur komando yang ada. Baik dari tingkat pusat sampai ke tingkat

daerah, dari tingkat yang tinggi (Kodam) sampai yang terendah (Korem). Pada tingkat

Kodam koperasi yang ada dikenal dengan nama induk koperasi, sedang di tingkat Korem

disebut dengan koperasi primer. Seperti bentuk-bentuk unit-unit usaha koperasi lainnya

sumber pendapatan dari koperasi-koperasi tersebut ialah iuran dari para anggotanya.

Namun koperasi-koperasi itu juga memiliki sumber pendanaan lain yang lebih penting.

Sumber pendapatan itu biasanya berupa perusahaan-perusahaan atau unit usaha.111

Perusahaan-perusahaan atau bentuk-bentuk usaha tersebut terkadang dijalankan dan

dikelola oleh sebuah holding company (perusahaan induk) atau melalui sebuah

yayasan.112

Namun demikian tidak semua yayasan-yayasan tersebut berada dibawah koperasi.

Beberapa yayasan tersebut berdiri dibawah kendali suatu struktur komando, baik di

tingkat nasional maupun ditingkat daerah. Di tingkat pusat atau nasional ini dapat dilihat 109 Dr Indria Samego et al, "…Bila ABRI Menghendaki", Desakan Kuat Reformasi Atas Konsep Dwifungsi ABRI, Bandung, PT Mizan, 1998, hal:29-32. 110 Indria Samego, et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:67. 111Robert Lowry, The Armed…opcit, hal:137-138.

73

dari keberadaan berbagai yayasan yang berada dibawah sebuah markas besar. Seperti

misalnya Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik Angkatan Darat, Yayasan Dharma

Putra Kostrad, atau Yayasan Kobame milik Kopassus. Seperti penjelasan sebelumnya

mengenai patronase bisnis secara umum, maka dalam kasus patronase bisnis militer ini

juga tampak terlihat adanya pihak-pihak yang diuntungkan. Pertama, jika dilihat kembali

pada tujuan awal dari keberadaan bisnis militer tersebut, maka pihak pertama yang

tampak terlihat diuntungkan adalah para prajurit dan keluarganya. Karena seperti telah

dijelaskan diatas, dengan adanya bisnis tersebut, maka para prajurit ini dimungkinkan

untuk mendapatkan berbagai kebutuhan sehari-harinya dengan harga yang relatif lebih

murah daripada harga di pasaran.

Kedua, pihak yang juga seringkali mendapat keuntungan dari bisnis militer ini

ialah para pengusaha, terutama mereka-mereka yang memiliki hubungan bisnis dengan

pihak militer. Dimana selama Orde Baru, hal ini lebih banyak dimiliki oleh para

pengusaha keturunan Cina. Sedang pihak ketiga atau pihak yang paling berkepentingan

dalam pengambilan keuntungan dari bisnis militer ini ialah institusi militer itu sendiri.

Secara langsung hal ini masih berkaitan dengan keterbatasan anggaran yang disediakan

oleh pemerintah. Sehingga dengan adanya bisnis militer tersebut, maka militer dalam

menjalankan kegiatan operasionalnya akan mendapat tambahan dana.

3.3 Implikasi Bisnis Militer Dalam Struktur Ekonomi Politik Orde Baru

Setelah mencermati apa dan bagaimana patronase bisnis militer tersebut

berkembang, maka pada bagian ini akan dibahas apa-apa saja yang menjadi implikasi

dari keberadaan bisnis militer tersebut, terutama pada pertumbuhan dan perkembangan

ekonomi Orde Baru. Karena bagaimanapun juga keberadaan bisnis militer tersebut telah

memberikan warna tersendiri bagi ekonomi Orde Baru.

Sebagaimana bentuk-bentuk patronase bisnis lainnya, implikasi yang ditimbulkan

dari adanya patronase bisnis militer ialah munculnya kelas kapitalis yang semu. Dalam

hal ini militer lebih diposisikan sebagai patron dalam pemunculan kapitalisme semu di

Indonesia. Dengan dominannya peran militer pada jabatan-jabatan elit politis di

Indonesia, di satu sisi ternyata telah menjadikan mereka sebagai cantolan atau patron

112 Ibid.

74

politik bagi kalangan pengusaha. Dari sini kemudian muncul dan berkembang para

pencari rente proyek-proyek pemerintah.113

Praktek komersialisasi jabatan seperti yang telah banyak diceritakan sebelumnya,

secara langsung telah pula memberikan kontribusi yang besar pada munculnya ekonomi

biaya tinggi. Pembengkakan biaya produksi yang harus ditanggung oleh para pengusaha

tersebut, ternyata seringkali disebabkan adanya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh

para pemburu rente proyek pemerintah tadi. Dimana pada akhirnya masyarakat juga yang

harus membayar extra cost itu melalui harga barang yang dibelinya. Dengan adanya hal

yang demikian ini korupsi jelas akan semakin tidak terkendali.

Implikasi lain yang ditimbulkan dari adanya patronase bisnis militer ialah

kemunculan kelompok militer sebagai bagian dari kelas komprador. Kelas komprador ini

sendiri lahir dari adanya hubungan kemitraan terutama di bidang bisnis antara militer,

pengusaha Cina atau investor asing. Kemudian dari hubungan ini berkembang menjadi

tindakan kolusi antara para penguasa politik ( yang didominasi militer) dengan pengusaha

Cina atau asing tersebut. Namun yang paling penting jika dilihat dari perspektif militer

sebagai sebuah institusi, keberadaan bisnis ini telah pula menjadikan militer Indonesia

kian tidak profesional. Karena mau tidak mau dan disadari atau tidak, meski berawal dari

usaha pemenuhan kekurangan dana anggaran operasionalnya, keterlibatan militer dalam

bidang bisnis ini ternyata juga telah mampu merubah orientasi para pelakunya (terutama

bagi perwira yang masih aktif) menjadi lebih berorientasi pada tujuan-tujuan yang

bersifat komersil. Hal ini dapat dibuktikan dari makin meningkatnya jumlah bisnis

pribadi yang dilakukan oleh para perwira tersebut. Karena seiring dengan semakin

meningkatnya kemampuan dalam pengelolaan bisnis oleh para perwira tersebut, maka

semakin meningkat pula keinginan untuk cenderung lebih memberikan perhatian pada

bisnis-bisnis yang dijalankannya ketimbang pelaksanaan tugas pokoknya sebagai birokrat

di bidang pertahanan dan keamanan. Dengan adanya militer yang tidak profesional ini

jelas akan merugikan banyak pihak. Selain itu juga akan makin berkembang pandangan

bahwa militer tidak lagi menjadi penjaga rasa keamanan bagi masyarakat secara

keseluruhan, tetapi sebaliknya militer telah menjadi alat bagi kelompok-kelompok

tertentu dalam masyarakat atau negara. Seperti kelompok-kelompok elit penguasa,

113 Indria Samego, et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:133.

75

kalangan birokrasi dan para pemilik modal (pengusaha) --terutama pengusaha keturunan

Cina--.

Apabila anggapan tersebut semakin berkembang dalam masyarakat, maka dapat

dikatakan bahwa mungkin inilah salah satu bentuk kasus kongkrit dari apa yang oleh

teoritisi Marxis klasik dikatakan dengan negara sebagai alat kelas dominan. Namun

dalam kasus negara Orde Baru, militer tidak bisa langsung diposisikan seperti disebutkan

diatas. Karena di sisi lain militer Orde Baru dengan dominasinya pada jabatan-jabatan

penting di pemerintahan sipil, birokrasi dan jabatan politis lainnya seperti menteri dan

sebagainya, telah pula memperkuat posisi militer ketika berhadapan dengan para

pemodal. Jadi dengan kata lain dapat dikatakan bahwa militer Orde Baru memiliki

bargaining position yang cukup kuat terhadap para pengusaha atau para pemilik modal

tadi. Bargaining position yang dimiliki oleh militer inilah yang oleh para neo Marxis

seperti Alavi diartikan sebagai otonomi relatif. Karena dengan demikian militer mampu

memilih dan mengendalikan kelas-kelas atau kelompok-kelompok kapital sesuai dengan

keinginannya.

Dengan posisi yang demikian ini, maka kemudian terciptalah bentuk-bentuk

"kerjasama" antara para pengusaha atau pemodal tersebut dengan pihak militer. Bentuk-

bentuk kerjasama tersebut bermacam-macam. Ada bentuk kerjasama bisnis langsung

misalnya antara bisnis yang dimiliki oleh pihak militer dengan bisnis para pengusaha

tersebut, ada bentuk kerjasamanya lebih berupa penggunaan kekuasaan atau wewenang

yang dimiliki oleh para perwira militer dalam politik dan birokrasi dan ada yang

merupakan gabungan keduanya. Maksudnya ialah para pengusaha tadi melakukan

kerjasama dengan bisnis militer, yang dalam operasionalisasinya sehari-hari banyak

mengandalkan fasilitas dan kemudahan dari para perwira militer yang duduk dalam

jabatan-jabatan di pemerintahan dan birokrasi. Bentuk kerjasama terakhir inilah yang

paling lazim dan paling sering terjadi. Sehingga bisnis yang banyak berkembang seperti

itu sering disebut dengan patronase bisnis.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada masa Orde Baru militer di Indonesia

memiliki berbagai macam perusahaan atau bisnis. Bisnis-bisnis tadi kebanyakan dalam

pelaksanaannya dilakukan dengan para pengusaha terutama para pengusaha keturunan

Cina. Dalam mencoba menjelaskan mengenai praktek patronase bisnis militer di masa

76

Orde Baru sampai menjelang krisis ekonomi 1997/8, maka pada bagian ini juga akan

dilihat salah satu bentuk kasus bisnis militer, yaitu bisnis-bisnis yang berada dibawah

Yayasan Kartika Eka Paksi. Sebuah yayasan terbesar yang dimiliki pihak Angkatan

Darat.

4 Contoh Kasus:Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP)

4.1.1 Dari Truba ke YKEP.

Meskipun Pertamina dan Bulog telah menjadi sumber pendapatan yang cukup

besar bagi AD, namun dalam tingkat yang lebih rendah dibentuk berbagai macam

yayasan kesejahteraan dan berbagai macam perusahaan yang lain dengan tujuan

pembiayaan operasi dan juga terutama bertujuan meningkatkan kesejahteraan bagi para

anggotanya. Sehingga pada akhirnya pada tahun 1969 dilakukan pemusatan kegiatan

peningkatan dana dengan tujuan mempermudah pengalokasian sumber-sumber

pendanaan tersebut secara lebih rasional dan dikelola oleh delapan direktorat di dalam

AD yang dikoordinasikan oleh PT Truba (Tri Usaha Bakti). Tri Usaha Bakti sebagai

suatu perusahaan induk (holding companies) yang didirikan tahun 1969,114 juga harus

memberikan seluruh pendapatannya pada sebuah yayasan milik AD yaitu Yayasan

Kartika Eka Paksi (YKEP) yang sejak 1973 merupakan pemilik seluruh saham PT Truba.

Secara umum ada tiga misi yang dimiliki oleh PT Truba ini. Pertama, mencari

dana untuk kesejahteraan anggota TNI Angkatan Darat beserta keluarganya. Kedua, turut

berperan serta dalam pembangunan ekonomi nasional dan ketiga, memberikan

kesempatan kerja bagi anggota TNI Angkatan Darat yang masih aktif maupun yang

sudah pensiun, sesuai kebutuhan dan kemampuan yang diperlukan.115 Pada awal

berdirinya Truba merupakan sebuah badan usaha. Tetapi semenjak tahun 1974

perusahaan ini memulai aktifitasnya sebagai pusat pengendalian perusahaan-perusahaan

yang ditetapkan oleh pimpinan Angkatan Darat. Selanjutnya Truba juga mulai

menghentikan kegiatan usahanya dan memusatkan perhatiannya sebagai sebuah holding

114 Lihat Richard Robinson, Indonesia:The Rise…opcit, hal:261. Lihat pula "Memorandum Serah Terima Direksi PT Tri Usaha Bhakti, YKEP, Jakarta, 30 Juli 1998", tidak Dipublikasikan, hal:3. 115 "Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP tanggal 23 Februari 1998", Jakarta, YKEP, tidak dipublikasikan, bagian Grup Tri Usaha Bakti, hal:3.

77

company yang berfungsi sebagai pusat perencanaan, pengendalian dan pengkoordinasian

terhadap anak-anak perusahaannya dan perusahaan patungan.116

Sampai tahun 1992 anak perusahaan yang berada dibawahnya berjumlah 22 buah

dan 12 perusahaan lainnya adalah perusahaan kerja sama (joint ventures).117 Namun

dalam perkembangan selanjutnya jumlah anak perusahaan menjadi 15 buah, 6

diantaranya tidak aktif dan 22 perusahaan joint ventures dengan 3 perusahaan yang tidak

aktif.118

Semenjak Juli 1998 secara bertahap beberapa anak perusahaan yang dimiliki oleh

PT Truba secara bertahap sejak tanggal 16-28 diambil alih langsung oleh pihak

yayasan.119 Hal tersebut dilakukan dengan alasan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan

bisnis yang dilakukannya. Dengan demikian PT Truba bukanlah lagi sebuah holding

company yang mengelola berbagai anak perusahaan yang dimiliki oleh Angkatan Darat,

namun hanyalah sebuah perusahaan biasa yang hasilnya juga harus disetor ke kas

yayasan. Berbagai macam anak perusahaan yang sebelumnya dibawah kendali PT Truba,

menjadi dikelola langsung oleh pihak yayasan. Oleh sebab itu wewenang pihak yayasan

untuk mengelola perusahaan-perusahaan tersebut berikut keuntungan yang didapat oleh

perusahaan-perusahaan tersebut juga bertambah besar, dan sampai saat ini perusahaan-

perusahaan yang berada langsung dibawah yayasan tersebut bergerak di berbagai bidang

bisnis.

4.1.2 PT Truba Sebagai Holding Company

Dari berbagai perusahaan yang sebelumnya ada dibawah kendali PT Truba (ketika

masih berupa holding company), secara umum dapat dikatagorikan menjadi dua bentuk,

yaitu yang berupa anak perusahaan dan perusahaan patungan. Anak perusahaan yang

dimaksudkan di sini adalah perusahaan- perusahaan yang sahamnya dimiliki 100% atau

minimal 51% oleh pihak Truba. Dari 17 anak perusahaan yang dimiliki Truba, 7

diantaranya tidak aktif dan akan ditutup.120 Sedang yang dimaksud dengan perusahaan

patungan ialah perusahaan yang didirikan dengan mitra usaha dangan kepemilikan 116 Ibid. 117 Robert Lowry, The Armed Forces…op cit, hal:139. 118 Penciutan jumlah anak perusahaan disebabkan adanya likuidasi, lihat "Memorandum Serah Terima Direksi PT Tri Usaha Bhakti, opcit, hal:4-13. Lihat pula Indria Samego et.al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:79. 119 "Memorandum…Ibid, hal:16.

78

sahamnya 50% atau kurang. Terdapat 22 perusahaan patungan yang dimiliki oleh Truba

sampai tahun 1998. Namun 4 diantaranya masih belum menghasilkan karena baru berdiri

tahun 1996 dan 3 lainnya tidak aktif.121

Dari berbagai perusahaan tadi, setidaknya ada 13 jenis usaha yang dilakukan oleh

PT Truba. Ketigabelasjenis usaha tersebut ialah: perdagangan umum, perdagangan

khusus, konstruksi, industri alat-alat ringan, industri alat-alat berat, industri perkayuan,

pengusahaan hutan, survey dan pemetaan, pertambangan, perkebunan, angkutan (darat

dan udara), perbengkelan dan jasa keuangan.122

4.2.1 Yayasan Kartika Eka Paksi.

Yayasan Kartika Eka Paksi ini sendiri adalah suatu yayasan terbesar yang dimiliki

langsung oleh pihak AD. Yayasan ini didirikan oleh Jendral Umar Wirahadikusuma pada

tanggal 10 Agustus 1972. Ketika pertama kali didirikan, susunan dewan pengurusnya

terdiri dari: 1)Ketua dewan pengurus, 2) Sekertaris, 3) Bendahara, 4) Pelindung dan

beberapa anggota kehormatan, 5) Ketua harian, dan 6) beberapa anggota lainnya.123

Namun dalam perjalanan selanjutnya, struktur organisasi ini mengalami berbagai

perubahan. Sampai tahun 1998 struktur pengurus yayasan ini terdiri atas 1) Pelindung, 2)

Dewan kehormatan, 3) Ketua umum, 4) Wakil ketua umum, 5) Ketua dewan pengawas, 6)

Ketua dan anggota dewan pertimbangan, 7) Ketua harian, 8)Wakil ketua harian, 9)

Bendahara, 10) Ketua bidang usaha, 11) Ketua bidang kesejahteraan, 12) Ketua bidang

umum, 13) Sekertaris, 14) Badan pelaksana.124 Fungsi resmi dari yayasan ini terbagi

menjadi 2 yaitu fungsi sosial yaitu untuk peningkatan kesejahteraan anggota AD dan

fungsi usaha. Pada akhir tahun 1970an sampai dengan awal tahun 1980an, yayasan ini

mengalami kemunduran, namun kembali dihidupkan oleh Jendral Rudini.125

120 "Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP, opcit, hal:4. 121 Ibid, hal:5. Mengenai keadaan berbagai perusahaan tersebut lihat pula lampiran I dan II, Daftar Anak Perusahaan. 122 Ibid. Lihat pula lampiran III, Bidang Usaha Truba Group (28 perusahaan). 123 Ibid, bagian pendahuluan, hal:3. 124 Anggaran rumah tangga YKEP, no Skep/03/YKEP/II/1998, tidak dipublikasikan, hal:3-4. 125 Tidak jelas mengapa yayasan ini mengalami kemunduran, namun menurut laporan resmi yang dikeluarkan oleh pihak AD, pada sekitar awal tahun 1980an telah dibentuk suatu forum studi dan komunikasi (FOSKO) yang dibentuk oleh Jend. Widodo sebagai ketua dewan pengurus dengan tujuan sebagai wadah pengkajian, dianggap telah diselewengkan dan beberapa anggotanya masuk dalam "petisi 50", dan adanya anggapan para senior AD yang duduk dalam jabatan strategis di dalam yayasan tidak dapat menjalankan tugasnya. Lihat Robert Lowry, The Armed Forces….opcit, hal:139. Lihat pula "Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP….opcit, hal:4.

79

Sebagai sebuah yayasan yang dimiliki oleh sebuah institusi militer, maka

bagaimanapun juga keterlibatan dan campur tangan dari pihak pejabat militer--Angkatan

Darat-- tetap tidak bisa dihindari. Bentuk-bentuk keterlibatan dan campur tangan tersebut

bermacam-macam, misalnya saja dari adanya bentuk hubungan struktural organisasi

antara struktur organisasi di yayasan dengan struktur organisasi di Angkatan Darat,

penggunaan dana-dana yang dimiliki oleh yayasan ini, sampai bentuk-bentuk keterlibatan

tidak langsung lain. Keterlibatan dalam bentuk struktur organisasi yang dimaksudkan di

sini ialah adanya jabatan-jabatan di dalam yayasan, yang merupakan jabatan rangkap (ex

officio) dengan jabatan struktural di Angkatan Darat. Misalnya saja jabatan ketua umum

yayasan yang dijabat oleh Kasad atau ketua harian yang dijabat oleh asisten perencanaan

dan anggaran Kasad (Asrena) dan sebagainya.126 Sedangkan keterlibatan di bidang

keuangan dapat dilihat dari bagaimana seorang Kasad dalam jabatannya sebagai ketua

umum yayasan ini memiliki "otoritas" dalam hal penggunaan dana-dana yayasan meski

hanya dalam bentuk pengarahan.

Hal yang menarik dari keberadaan yayasan ini ialah bagaimana yayasan ini

menjalankan unit-unit usaha atau bisnis-bisnisnya. Dalam mencermati persoalan ini,

ternyata keterlibatan dan peran aktif dari para perwira di jajaran Angkatan Darat menjadi

tidak bisa di pandang sebelah mata. Keterlibatan tersebut menjadi penting ketika dalam

menjalankan dan mengembangkan bisnisnya tersebut mereka (YKEP) seringkali

membutuhkan akses-akses politik. Sehingga seringkali pula mereka mempergunakan para

perwiranya yang duduk dalam jabatan-jabatan di pemerintahan sipil dan birokrasi lainnya

agar mempermudah dalam mecari solusi ketika mereka menemui persoalan-persoalan

yang menyangkut masalah-masalah seperti perizinan dan sebagainya.

Sudah merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa semasa Orde

Baru peran Suharto sebagai seorang presiden sangat besar. Sehingga dalam masalah-

masalah ekonomi dan bisnis, Suharto merupakan sebuah faktor yang tidak bisa diabaikan

terutama oleh para pelaku bisnis. Dalam menjalankan bisnisnya, YKEP juga tidak bisa

melepaskan ketergantungan ini. Tidak sedikit bisnis-bisnis yang berada di bawah YKEP

ini merupakan bisnis yang dilakukan bersama-sama dengan bisnis-bisnis milik keluarga

Cendana atau kroni-kroni dekatnya. Selain dari pembentukan yayasan ini yang atas

126 Lihat anggaran dasar YKEP, no Skep/02/YKEP/II/1998, tidak dipublikasikan, hal:5-7.

80

"restu" dari Suharto, pengangkatan Suharto sebagai salah seorang jendral besar sekaligus

sesepuh Angkatan Darat, adanya kenyataan bahwa sebagian besar Kasad adalah

merupakan mantan ajudan Suharto, dan digunakannya kekuatan militer (terutama

Angkatan Darat) sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya, baik secara politik

maupun ekonomi, merupakan beberapa indikasi adanya kedekatan hubungan antara pihak

Angkatan Darat dengan pihak keluarga Cendana. Sehingga dengan kata lain dapat

dikatakan bahwa, dalam menjalankan berbagai bisnisnya, yayasan ini juga

mempergunakan secara maksimal semua akses-akses kekuasaan yang dimilikinya baik di

dalam politik maupun birokrasi.

4.2.2 YKEP Dan Anggaran Militer.

Kalau kita lihat anggaran untuk pihak militer dalam setiap RAPBN yang diajukan

oleh pemerintah Orde Baru dapat dikatakan sangat kecil bila dibandingkan dengan

jumlah wilayah negara yang harus dijaga. Dari data terakhir terlihat bahwa sejak tahun

1980 anggaran militer Indonesia masih berjumlah kurang dari 3% dari GNP atau kurang

dari 10% dari APBN127, bahkan apabila anggaran militer Indonesia tersebut dibandingkan

dengan negara-negara lain seperti Cina, Jepang atau India sekalipun masih terlampau

kecil. Hal ini sangat berbeda jauh dengan pada masa Orde Lama dimana anggaran militer

bisa mencapai 83% dari jumlah pengeluaran pemerintah. Mungkin hal ini dilakukan agar

terkesan bahwa pemerintah Orde Baru sangat memprioritaskan pembangunan dibidang

ekonomi.

Dengan jumlah anggaran yang sangat kecil tersebut dengan sendirinya Yayasan

Kartika Eka Paksi merasa berkewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan para

anggotanya, terutama yang hendak dan telah memasuki masa pensiun. Dari jabatan yang

didapat oleh seseorang di dalam yayasan tersebut, maka ia akan mendapatkan tambahan

penghasilan/ honorarium selain dari gaji atau pensiun. Sedangkan apabila seseorang tidak

terlibat langsung dalam pengelolaan yayasan tersebut ia bisa mendapat keuntungan lain,

misalnya bisa mendapatkan barang-barang kebutuhan dengan harga lebih murah dari

harga di pasaran. Selain itu pihak yayasan juga memberikan penyediaan perumahan bagi

para anggota dan keluarganya atau pemberian beasiswa.128 Khusus mengenai penyediaan

127 Robert Lowry, The Indonesian…opcit, hal:23-24. 128 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis….opcit, hal:129-130.

81

fasilitas perumahan melalui YKEP, PT Asabri dan bank KPR antara tahun 1987-1993

disebutkan telah membangun rumah sebanyak 22.664 dengan biaya sebesar Rp 220

milyar (US$110 milyar), dengan kontribusi masing-masing: YKEP (US$12 juta), PT

Asabri (US$ 33 juta) dan sisanya berasal dari bank.129 Selain itu dalam usahanya untuk

memenuhi meningkatkan kesejahteraan anggotanya, dana yang diperoleh berbagai

macam usaha yang dijalankan oleh YKEP tersebut diberikan pula untuk perbaikan dan

pemeliharaan klinik-klinik kesehatan, sekolah (termasuk Universitas A.Yani) dan

sebagainya. Secara keseluruhan penggunaan dana yayasan untuk usaha peningkatan

kesejahteraan prajurit sampai tahun 1997 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:130

Tabel III.2

Garis Besar Program dan Anggaran

Yayasan Kartika Eka Paksi

(dalam jutaan rupiah)

Pendidikan No Tahun Bantuan uang

muka KPR-

TWP

Rehab/

bangun

asrama

Binwat

personil/THR Subsidi Sarana/

Prasarana

Kuliah

Pa

1 89/90 949 - - - - -

2 90/91 4.933 - - 498 1.128 -

3 91/92 5.868 - - 556 1.113 -

4 92/93 6.000 11.272 600 711 752 -

5 93/94 6.000 12.000 600 777 426 1.000

6 94/95 8.000 - 1.000 250 3.691 100

7 1996 8.000 16.200 1.000 - 3.560 80

8 1997 425 - 1.100 - 2.168 75

Jumlah 40.172 39.475 4.300 2.792 17.838 1.255

Sumber: Lampiran "B" Garis Besar Program Dan Anggaran Yayasan Kartika Eka Paksi

Namun menjelang akhir 1997 sampai 1999 Indonesia masih berada di dalam

sebuah krisis ekonomi yang melilit seluruh lapisan masyarakat, terutama ialah para

pelaku bisnis. Adanya krisis ekonomi yang diawali dengan terjadinya krisis moneter ini,

secara otomatis telah menghentikan sebagian besar aktifitas bisnis yang ada di Indonesia.

Bisnis militer sebagai salah satu pelaku bisnis secara langsung turut pula merasakan

129 Robert Lowry, The Armed Forces …opcit, hal:127. 130 "Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP….opcit, lampiran "B".

82

pengaruh dari adanya krisis tersebut. Sebagai dampak lanjutannya, anggaran yayasan

yang digunakan dalam usaha peningkatan kesejahteraan akan turut terpengaruh. Meski

demikian nampaknya YKEP ini tetap berusaha untuk bisa menjalankan misinya, yaitu

untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit.

4.2.3 Bentuk-Bentuk Usaha di Bawah YKEP.

Namun seperti juga disebutkan diatas, selain berfungsi untuk meningkatkan

kesejahteraan, sebagai bentuk dari fungsi usaha pihak yayasan juga melakukan kerjasama

bisnis dengan para pengusaha keturunan Cina dan terutama juga bekerjasama dengan

bisnis yang dilakukan oleh keluarga Suharto. Misalnya saja dalam bisnis perkayuan yaitu

PT International Timber Corp. Indonesia. Dalam susunan pemegang saham terlihat

bahwa YKEP memegang 50,71%, Bambang Trihatmodjo memegang 33,71%, Muh./Bob

Hasan (Nusamba Group) memegang 14,71 % dan sisanya dibagi-bagi pada 6 koperasi.131

Contoh lain yang akhir-akhir ini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan

ialah usaha yang dijalankan YKEP dibidang properti dan perbankan, yaitu mengenai

kerjasamanya dengan pengusaha Tomy Winata yang membangun Sudirman Central

Bussines District (SCBD) yang telah menghabiskan dana sebesar US$32 milyar. Dalam

bisnis ini YKEP menguasai 40% sahamnya sedangkan Tommy Winata 30% dan seorang

lagi yaitu Sugiato Kusuma 30%.132 Meski demikian dalam menjalankan bisnisnya ini

pihak yayasan sendiri nampaknya “tidak menganggap” bahwa SCBD merupakan

miliknya. Karena dalam bisnis tersebut pihak yayasan hanya membantu pengusaha Tomy

Winata dalam menyelesaikan pembebasan tanah yang akan digunakan, melalui

“hubungan politis” yang dimilikinya dengan pihak pemda. Hal-hal seperti disebutkan

terakhir inilah yang patut menjadi perhatian utama, terutama dalam kaitannya dengan

pembentukan dan pelaksanaan pola patronase bisnis yang dilakukan oleh pihak militer.

Kasus ini sekaligus telah menunjukan kepada kita bahwa apabila militer yang merupakan

salah satu instrumen negara melakukan kegiatan yang bersifat bisnis, maka kemungkinan

untuk menggunakan kekuasaan yang dimilikinya dalam pemerintahan untuk memajukan

kepentingan bisnisnya akan sangat besar. Apalagi ditambah dengan kenyataan

dominannya peran militer dalam negara selama Orde Baru.

131 Lihat lampiran IV, Daftar Pemegang Saham PT International Timber Corp. 132 "Medan Tempurnya di Ladang Bisnis", majalah Panji, no:25 th:II, 7 Oktober 1998, hal:18.

83

Sedangkan jasa perbankan yang dilakukan oleh YKEP dengan Tomy Winata ialah

Bank Artha Graha. Bank ini pada awalnya merupakan kelanjutan dari Bank Propelat

yang sebelumnya merupakan bank milik PT Propelat di Bandung. Namun karena

pemerintah mengadakan deregulasi di bidang perbankan di tahun 1983, maka bank

tersebut mengalami banyak kemunduran. Selanjutnya pada tahun 1988 pihak yayasan

bersama pihak swasta (P.T Karya Nusantara Permai dan P.T Cerana Karthapura)

mengambil alih kepemilikan bank tersebut. Akhirnya pada tanggal 16 mei 1989 nama

Bank Propelat ini diganti dengan nama Bank Artha Graha.133

Dari berbagai jenis usaha yang berada dibawah kendali yayasan ini, ternyata

dalam pengelolaannya tidak semua berjalan dengan mulus. Beberapa jenis usaha tersebut

ada yang tidak mengalami kemajuan bahkan ada yang akhirnya harus ditutup. Sampai

menjelang krisis sekurang-kurangnya ada 9 buah perusahaan yang telah dilikuidasi.

Diantaranya adalah P.T Truba Anugerah Elektronik, PT Kartika Bhakti Tex, dan P.T

Truba Gatra Perkasa.134 Namun setelah terjadi krisis ekonomi keadaan berbagai

perusahaan tersebut juga mengalami perubahan. Beberapa perusahaan dan unit usaha

yang dimiliki oleh YKEP ini terpaksa harus menghadapi kebangkrutan dan harus

dilikuidasi. Perusaahan-perusahaan yang harus ditutup tersebut antara lain ialah P.T

Sempati Air dan pengambilalihan pengelolaan Bank PDFCI oleh pemerintah (BPPN).

Meski mengalami banyak kerugian, perusahaan-perusahaan yang tidak menguntungkan

tadi tidak semua langsung ditutup. Mereka melakukan reinventarisir dan memilah-milah

mana perusahaan yang dianggap masih memiliki prospek dan mana yang tidak

berprospek. Jika dianggap masih memiliki prospek, maka biasanya perusahaan tersebut

mendapat suntikan dana segar. Suntikan dana ini diberikan karena pada umumnya

perusahaan-perusahaan merugi tersebut diakibatkan adanya kesalahan dalam manajemen

keuangannya. Dana yang diberikan ini sendiri merupakan pinjaman dengan bunga

pinjaman antara 12%-15%. Sementara itu perusahaan-perusahaan yang dilikuidasi

biasanya diakibatkan terlalu parahnya krisis keuangan yang dialami oleh perusahaan

tersebut, misalnya karena terlilit hutang dalam bentuk dolar.

133 "Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP….opcit, bagian perkembangan Bank Artha Graha, hal:1-2. Lihat pula Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis….opcit, hal:80-81. 134 Lihat lampiran I dan II.

84

Di sisi lain ternyata semasa sebelum dan awal krisis ini perusahaan-perusahaan

yang tetap dapat bertahan dan baik di bidang keuangannya adalah perusahaan-perusahaan

yang berorientasi ekspor. Seperti P.T Truba Jurong Engineering, P.T Asuransi Cigna

Indonesia, P.T Cilegon Fabricators dan sebagainya.135

4.3 Implikasi Bisnis YKEP Terhadap Ekonomi Nasional

Jika sebelumnya telah dibahas mengenai berbagai implikasi yang ditimbulkan

dari keberadaan pola patronase bisnis secara umum, maka dalam kasus YKEP ini juga

akan dicermati implikasi apa saja yang ditimbulkan dari bisnis yang dijalankan oleh

yayasan terhadap ekonomi nasional terutama semasa Orde Baru.

Bila dicermati, praktek-praktek bisnis yang banyak dilakukan oleh Yayasan

Kartika Eka Paksi dan dalam kaitannya dengan perkembangan patronase bisnis selama

Orde Baru, akan tampak bahwa militer memiliki dua peran, yang pertama, militer tumbuh

dan berkembang menjadi patron politik bagi sebagian kalangan pengusaha nasional,

sedang di sisi lain militer juga bertindak sebagai klien terhadap bisnis-bisnis yang

dilakukan oleh keluarga Suharto. Kemunculan pihak militer menjadi patron politik bagi

kalangan pengusaha ini dapat dibuktikan dari banyaknya bisnis yang merupakan

kerjasama antara para pengusaha tersebut dengan bisnis yang dilakukan oleh militer.

Banyaknya para perwira militer yang duduk dalam pemerintahan seringkali dimanfaatkan

oleh para pengusaha tadi untuk melancarkan bisnisnya, dimana salah satu caranya dengan

menjadi mitra bisnis dari unit-unit usaha yang selama ini banyak dilakukan oleh Yayasan

Kartika Eka Paksi tersebut.

Sementara itu terlihat bahwa, banyak dari bisnis yang dijalankan oleh yayasan ini

memiliki hubungan atau berkaitan dengan bisnis yang dilakukan oleh keluarga Suharto

(anak-anaknya atau kroni dekatnya). Di satu sisi kemunculan praktek bisnis seperti ini

tidak bisa dilepaskan begitu saja dari adanya hubungan emosional antara Suharto sebagai

presiden yang sekaligus sebagai panglima tertinggi militer dengan para anak buahnya.

Hal ini juga masih berkaitan dengan masih sangat kentalnya budaya Jawa dalam tradisi

kemiliteran di Indonesia, dimana secara sengaja ditekankan etika-etika ketaatan kejiwaan

sebagaimana layaknya seorang kesatria Jawa, yang tercermin dalam doktrin Tri Ubaya

135 Lihat lampiran 3.I

85

Cakti.136 Di sisi lain bisnis yang dilakukan oleh pihak militer ini mau tidak mau juga

harus bekerjasama dengan pihak keluarga Suharto jika ingin usahanya maju. Hal ini

mengingat betapa sangat besarnya peran Suharto dalam kehidupan bisnis-bisnis masa

Orde Baru. Sehingga pada akhirnya yang terlihat adalah banyaknya patronase bisnis

yang bergantung pada keluarga Suharto atau kroninya. Dari berbagai penjelasan di atas

menunjukkan kepada kita bagaimana bisnis yang dilakukan oleh Yayasan Kartika Eka

Paksi ini lebih dapat dikatakan sebagai sebuah praktek patronase bisnis.

Dari sisi perkembangan ekonomi hal tersebut diatas jelas menjadi sangat tidak

menguntungkan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, praktek-praktek patronase bisnis

memiliki implikasi yang luas pada perekonomian nasional. Adanya praktek-praktek

patronase bisnis secara langsung telah pula menciptakan iklim persaingan yang tidak

sehat di kalangan pelaku bisnis. Selain itu ekonomi biaya tinggi dan tidak adanya

kepercayaan bisnis adalah implikasi utama yang juga patut untuk diperhatikan. Khusus

mengenai implikasi yang ditimbulkan dari bisnis-bisnis yang dijalankan oleh yayasan ini

terhadap perekonomian nasional, secara langsung dan dalam jangka pendek sepintas

tidak akan terlihat. Namun dalam jangka panjang dengan adanya praktek-praktek bisnis

seperti dijelaskan diatas, maka disadari atau tidak bisnis militer juga telah memberikan

kontribusi yang cukup banyak dalam perkembangan patronase bisnis di Indonesia dengan

berbagai implikasinya.

Akhirnya dari berbagai penjelasan diatas, kita setidaknya dapat mengambil dua

kesimpulan. Pertama dari sisi bisnis militer itu sendiri. Dengan mencermati

perkembangan bisnis militer yang selama Orde Baru ini dijalankan, akan terlihat apakah

bisnis tersebut merupakan sebuah bentuk usaha sebagaimana layaknya sebuah usaha

komersil atau sekedar bisnis yang bertujuan untuk menggalang dana, sehingga dalam

menjalankan usahanya sebagai sebuah yayasan yang bertujuan untuk membantu

meningkatkan kesejahteraan anggota tidak mengalami kesulitan. Kedua selama dan pasca

krisis ekonomi akan terjadi perubahan struktur ekonomi Indonesia (baca:pelaku bisnis),

dimana peran modal asing akan menjadi kian dominan. Hal ini dapat diartikan sebagai

salah satu indikasi kegagalan manajemen ekonomi Orde Baru. Salah satu penyebab

136 Mengenai Tri Ubaya Cakti lihat Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia,Perspektif Tradisi-Tradisi Jawa Dan Barat, Jakarta, LP3ES, 1996, hal:152.

86

kegagalan ini dapat dilihat dari dijalankannya praktek-praktek patronase bisnis, dimana

bisnis militer merupakan salah satu diantaranya.

87

Bab IV

Liberalisasi Ekonomi

Dan Pengaruhnya Pada Patronase Bisnis Militer

The “crises and depressions” were caused by goverment interference, not by capitalist system.

(Ayn Rand, Capitalism: The Unknown Ideal, pg:31)

Ketika beberapa chaebol Korea Selatan mulai mengalami kebangkrutan pada

Januari tahun 1997 dan dilanjutkan dengan terjadinya fluktuasi terhadap Baht Thailand,

mungkin sebagian besar dari masyarakat pelaku ekonomi dan juga para pengamat

ekonomi Indonesia137 tidak akan menyangka bahwa hal yang serupa akan menimpa bisnis

mereka pada khususnya dan ekonomi Indonesia pada umumnya. Bahkan mungkin yang

lebih tidak terbayangkan lagi ialah, ternyata apa yang dialami oleh Indonesia menjadi

jauh lebih parah dari yang terjadi di negara-negara tersebut. Kompleksnya persoalan

sebagaimana yang digambarkan oleh Sjahrir dan McIntyre pada latar belakang masalah

di atas, setidaknya telah mengindikasikan kepada kita bahwa ada persoalan-persoalan lain

di luar persoalan ekonomi yang juga mampu mempengaruhi tingkat kompleksitas krisis

yang dialami oleh Indonesia saat ini.

Kompleksnya bidang krisis yang harus ditangani dan kurang seriusnya perhatian

yang diberikan oleh rezim Orde Baru pada masa-masa awal terjadinya krisis,

menyebabkan timbulnya berbagai gejolak di dalam masyarakat. Di sebagian dari

kalangan masyarakat terutama dari para kelompok intelektual, kemudian berkembang

berbagai wacana yang menginginkan untuk segera diadakannya perubahan mendasar

pada sistem ekonomi maupun politik di Indonesia. Mereka secara umum berpendapat

bahwa perubahan yang diikuti dengan perbaikan pada bidang politik menjadi sangat

diperlukan sebagai modal awal dalam memperbaiki keadaan ekonomi. Karena

bagaimanapun juga kompleksnya persoalan krisis yang tengah dihadapi Indonesia pada

akhir abad ke 20 ini, ternyata juga banyak dipengaruhi oleh adanya ketidakberesan dalam

persoalan politik. Sehingga pada akhirnya persoalan krisis yang muncul tersebut ternyata

88

telah berkembang tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi telah pula meluas ke bidang-

bidang lain termasuk bidang politik. Karena itu muncul berbagai tanggapan yang

menginginkan perbaikan menyeluruh di berbagai bidang, atau yang kemudian lebih

populer dengan istilah reformasi.

Bab ini sendiri tidak akan menceritakan bagaimana proses reformasi tersebut

berjalan. Tetapi yang akan ditelaah pada bab ini ialah apa dan bagaimana implikasi yang

ditimbulkan dari adanya krisis ekonomi tersebut pada perkembangan kebijakan ekonomi

dan politik Indonesia pasca kekuasaan Orde Baru. Terutama bila dikaitkan dengan

perkembangan patronase bisnis.

1 Memasuki Krisis Ekonomi Asia.

1.1 Akhir Dari Sebuah Era.

Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar bahwa abad ke-21 adalah abad

Asia Pasifik. Namun pada tahun-tahun terakhir abad ke 20, negara-negara di Asia seakan

dikejutkan oleh sebuah krisis ekonomi yang menimpa beberapa negara di kawasan

tersebut. Serangan krisis ekonomi tersebut nampaknya tidak main-main. Bahkan Korea

Selatan yang seringkali dikatakan sebagai negara industri baru, juga turut merasakan

krisis ekonomi tersebut. Seperti sebuah efek domino, negara-negara yang terkena krisis

juga terus bertambah, tidak terkecuali Indonesia.

Indonesia yang secara geopolitik merupakan sebuah negara besar di kawasan Asia

Tenggara, ternyata secara ekonomi tidak cukup “besar dan kuat” untuk mampu menahan

arus krisis tersebut. Justru sebaliknya, Indonesia kini merupakan sebuah negara yang

paling menderita apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang

juga terkena krisis ekonomi. Jika demikian adanya, lantas yang mungkin pertanyaan

muncul dibenak kita adalah bagaimana krisis ekonomi Asia tersebut bisa terjadi.

Untuk dapat memahami penyebab krisis ekonomi Asia tersebut, hal pertama yang

kita harus cermati ialah pertumbuhan ekonomi regional Asia, terutama selama dekade

1990an. Pertumbuhan ekonomi regional yang pesat inilah yang kemudian memunculkan

sebuah istilah “The Asian Miracle”. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Asia, terutama Asia

137 Lihat prediksi Econit yang menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan pulih dalam jangka waktu setahun. Dalam “Ekonomi Indonesia Pulih akhir 1998”, Kompas, 28 Oktober 1997.

89

Timur tersebut ternyata di sisi lain dikatakan sebagai sebuah pertumbuhan yang negatif.

Karena sejak awal pertumbuhannya pada awal 1990an, yaitu ketika pertumbuhan tersebut

mulai memasuki tahap tinggal landas, pertumbuhan tersebut dibiayai secara besar-

besaran dengan dasar pay-as-you-go, yaitu pembiayaan pertumbuhan ekonomi yang

melampaui jumlah tabungan pada tiap-tiap negara. Investasi asing yang masuk

kebanyakan berbentuk “foreign direct investment”, seperti pembangunan berbagai

industri untuk ekspor.138

Krugman sendiri tidak secara tegas menyebutkan penyebab terjadinya krisis Asia

tahun 1997. Namun lebih lanjut ia menggambarkan bahwa, awal penyebab terjadinya

krisis yang dialami oleh negara-negara di Asia dapat dicermati dari beberapa fenomena

yang muncul selama dekade 90an. Pertama adanya fenomena berfluktuasinya nilai Yen

terhadap Dollar AS, antara tahun 1995-1997. Karena sebagian besar produk-produk

ekspor Asia dinilai dengan Dollar AS, maka hal ini menyebabkan produk-produk tersebut

menjadi mahal di pasar Jepang, apalagi jika bersaing dengan produk Jepang. Kedua,

devaluasi Yuan Cina tahun 1994. Ketiga, terjadinya persaingan buruh murah antara Cina,

Malaysia dan Thailand. Keempat, turunnya permintaan barang elektronik umumnya dan

semikonduktor pada khususnya di pasaran dunia. Padahal produk-produk tersebut

merupakan spesialisasi barang-barang ekspor Asia. Selain itu resesi ekonomi antara tahun

1990-91, sedikit banyak juga turut memberikan kontribusi pada penurunan ekspor Asia.

Meski demikian, dari berbagai penjelasan Krugman, ada dua hal yang merupakan

pokok penyebab terjadinya krisis Asia, terutama Asia Tenggara. Pertama kecenderungan

terjadinya bubble economy di beberapa negara Asia Tenggara tersebut, seperti Thailand

dan Indonesia. Kedua ialah terjadinya kepanikan ekonomi terutama dalam persoalan mata

uang. Di Thailand hal tersebut dapat mulai terlihat ketika pada tahun 1997 bank sentral

Thailand mengadakan devaluasi baht. Hal ini mengakibatkan permintaan baht meningkat,

dan sekaligus pula meningkatkan pembelian mata uang asing.139 Kepanikan serupa juga

terjadi di Indonesia. Terutama setelah munculnya kebijakan untuk melikuidasi 16 bank

tanggal 1 November 1997.

138 Paul Krugman, The Return of Depression Economics, New York, W.W Norton & Comp, 1999, hal:27. Lihat pula teori ekonomi pembangunan Harrod-Domar tentang tabungan dan investasi dalam Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, PT Gramedia, 1995, hal:18-20. 139 Ibid, hal:86-98.

90

Sementara itu, belajar dari pengalaman krisis yang dialami Amerika Latin tahun

80-90an, Hal Hill memberikan hipotesanya bahwa ada beberapa argumen awal yang

dapat menjelaskan mengapa terjadi krisis ekonomi di Asia. Pertama, sifat pasar keuangan

internasional yang tidak stabil, dan sentimen pasar cenderung untuk sulit dikendalikan,

yang sekaligus merupakan penggambaran dari eforia dan kepanikan. Kedua, penjelasan

eksplisit tentang perkembangan di dalam pasar modal internasional di tahun 1990an,

telah pula membuat pasar menjadi tidak stabil. Perkembangan tersebut terjadi terutama

juga disebabkan adanya faktor dorongan dari OECD (Organization for Economic

Cooperation and Development) kepada para pemodal untuk masuk ke dalam pasar

global. Meningkatnya arus modal --yang sebelumnya 9 milyar Dollar ditahun 80an

menjadi lebih dari 240 milyar Dollar menjelang krisis--, ternyata di satu sisi juga telah

membuat pasar semakin tidak stabil. Persoalan ini sendiri sangat berkaitan dengan

kebijakan moneter dari AS dan Jepang. Argumen ketiga yang dikatakan Hill ialah, bahwa terjadinya krisis ekonomi Asia

tersebut ternyata juga dapat dikatakan sebagai salah satu pertanda kelemahan dari para

pembuat kebijakan makroekonomi. Keempat ialah sektor keuangan domestik negara.

Mengutip Krugman, menurut Hill yang juga patut dicermati ialah, memang benar di satu

sisi ada “jaminan” yang diberikan oleh pemerintah, namun di sisi lain pemerintah juga

tidak memberikan regulasi yang mendukung kebijakan tersebut. Jadi misalnya saja dalam

kasus perbankan di Indonesia. Dalam masa-masa pra-krisis tidak satupun dari operasional

sistem perbankan Indonesia yang memiliki jaminan regulasi dan kepastian hukum yang

baik. Bahkan laporan dari sektor finansial seringkali menjadi tidak kredibel. Kelima, Hill

juga memberi kritik atas apa yang disebutnya dengan “The Asian style”, yaitu tentang

kapitalisme kroni (crony capitalism), atau yang dalam wacana reformasi Indonesia

dikenal dengan istilah KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Terakhir menurut Hill salah

satu penyebab meluasnya krisis ekonomi Asia ini ialah kesalahan dalam penanganan

awal krisis, terutama oleh para pemerintah negara-negara yang terkena krisis.140

Dari penjelasan keduanya nampak bahwa ada kompleksitas persoalan, yang

muncul dalam mencermati krisis ekonomi Asia di akhir dekade 1990an ini, dimana antara

140 Hall Hill, The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences and Lessons, Singapore, ISEAS, 1999, hal:48-52.

91

satu hal dengan lainnya tidak bisa dipisahkan. Sehingga kita tidak dapat dengan mudah

menunjukan apa penyebab utama terjadinya krisis ekonomi Asia. Dari kompleksitas

persoalan tersebut penulis melihat, bahwa pada dasarnya ketika kita hendak memahami

penyebab krisis ini, kita tidak dapat melihatnya secara umum. Dengan kata lain kita

harus melihatnya kasus per kasus. Sebab setiap negara yang terkena krisis memiliki

spesifikasi penyebab terjadinya krisis yang berbeda-beda. Jadi rasanya sulit

membayangkan apabila dalam penanganannya digunakan prinsip one-size-fits-all (satu

ukuran untuk semua). Namun demikian hampir dapat dipastikan bahwa penyebaran yang

cepat dari krisis ini sendiri merupakan salah satu implikasi langsung dari makin

mengglobalnya ekonomi dunia yang dapat dengan mudah menembus batas-batas negara.

1.2 Krisis Ekonomi Indonesia; Implikasi dan Penyebabnya.

Indonesia yang juga merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia,

pada perkembangannya ternyata juga telah menjadi salah satu korban dari krisis ekonomi

tersebut. Jadi jika kembali mencermati bagaimana krisis tersebut berkembang dan

meluas, maka terlihat bahwa secara khusus negara-negara di Asia Tenggara mulai

merasakan serangan krisis tersebut ketika pada Juli 1997 Baht Thailand mengalami

fluktuasi. Hal ini terus berlanjut dengan meningkatnya modal yang keluar (capital

outflows). Dengan terjadinya fluktuasi tersebut, maka berakhir pula keberhasilan

pemerintah Thailand yang telah mempertahankan posisi nilai tukar selama 13 tahun.141

Fluktuasi mata uang tersebut nampak mulai menularkan “penyakitnya” di

Indonesia ketika Rupiah mengalami kejatuhan sampai 7% pada tanggal 21 Juli 1997, dan

mulai berfluktuasi pada bulan-bulan berikutnya. Perlahan tapi pasti nilai Rupiah terus

mengalami kemerosotan, dan nilai Dollar AS terus merangkak naik. Dari sebelumnya

yang berkisar antara Rp 2400 per 1 Dollar AS pada akhir Juli 1998, jatuh hampir

mendekati Rp 16.000 per 1 Dollar AS pada Juli 1998 (lihat grafik IV.I).

Jika dicermati posisi nilai tukar Rupiah yang relatif stabil pada masa sebelumnya

menjadi nampak terlihat sebagai sesuatu yang semu atau palsu. Bahkan para pengamat

ekonomi sendiri menilai bahwa stabilnya nilai tukar tersebut justru merupakan sebuah

indikasi Rupiah telah mengalami overvalue pada tingkat yang tinggi. Overvalue Rupiah

141 Douglas Sikorski, “The Financial Crisis in Indonesia: Explanations and Controversies”, dalam The Indonesian Quarterly, Vol: XXVI. No:4, 4th Quarter, Jakarta, CSIS, 1998, hal:365.

92

tersebut terjadi tidak terlepas dari terlalu seringnya pemerintah Orde Baru untuk

menciptakan perhitungan-perhitungan “rekayasa”, sehingga hasil yang didapatpun juga

merupakan hasil “rekayasa”. Salah satu dari perhitungan rekayasa tersebut adalah

perhitungan tentang tingkat inflasi, sehingga menyebabkan angka inflasi yang

dikeluarkan pemerintah seringkali dikatakan tidak mencerminkan angka riil inflasi.142

Grafik IV.I

Fluktuasi nilai Rupiah terhadap Dollar AS

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

Aug-

97

Sep-

97

Oct

-97

Nov

-97

Dec

-97

Jan-

98

Feb-

98M

ar-9

8

Apr-9

8

May

-98

Jun-

98

Jul-9

8

Aug-

98

Sep-

98

Oct

-98

Nov

-98

Dec

-98

Jan-

99

Feb-

99M

ar-9

9

RP/1US$

142 Alexander Irwan, “Bad Governance” dan Keruntuhan Ekonomi di Indonesia”, dalam Alexander Irwan,

93

Sumber:Tabel 1 dalam Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998,

hal:279-280, dan dalam The World Bank, Indonesia From Crisis to Opportunity, 1999, Figure 1.1, hal:1.2. Ket: nilai

tukar Rupiah per bulan dilihat pada nilai tukar terakhir bulan tersebut, yaitu antara tanggal 27-31.

Kenaikan tingkat inflasi ini tersebut jelas akan berhubungan langsung dengan

penentuan tingkat deprisiasi Rupiah. Selain itu inflasi juga digunakan sebagai indikator

tingkat kemakmuran masyarakat, disamping jumlah penduduk yang hidup berada

dibawah garis kemiskinan. Dengan demikian wajar jika pemerintah Orde Baru merasa

sangat berkepentingan untuk “mengendalikan” angka tingkat inflasi sampai dibawah dua

digit. Terjadinya overvalue Rupiah selama kurang lebih 20 tahun --jika dihitung

semenjak berakhirnya boom minyak--, telah menyebabkan harga barang-barang impor

menjadi lebih murah, disamping karena adanya hambatan birokratis dalam usaha

peningkatan produksi dalam negeri. Sementara itu dari sisi pertumbuhan ekonomi terjadinya krisis ekonomi ini

memiliki implikasi yang lebih mendalam lagi. Untuk pertama kalinya semenjak Orde

Baru berkuasa, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi minus 4%. Hal ini dapat

diartikan bahwa telah terjadi penurunan produksi nasional yang secara langsung berakibat

pada penurunan jumlah pendapatan.143

Dengan terjadinya fluktuasi nilai Rupiah tersebut, maka dapat dipastikan bahwa

berbagai implikasi sosial ekonomi akan segera muncul. Implikasi atau efek samping

pertama krisis ekonomi ini secara jelas dapat dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi.

Misalnya saja dalam RAPBN 1998/1999, pertumbuhan ekonomi diprediksikan tetap

berada pada posisi 4%. Sedang kontraksi yang terjadi diperkirakan sebesar 13%-14% di

tahun 1998. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Di beberapa sektor, kontraksi yang

terjadi telah mencapai 21,4%. Bahkan kontraksi yang terjadi pada sektor konstruksi

mencapai 35,4%. Jadi dari sisi pertumbuhan ekonomi terlihat bahwa sektor-sektor non-

perdagangan seperti properti, konstruksi dan juga sektor finansial, merupakan sektor-

sektor yang paling merasakan efek samping dari terjadinya krisis ini. Selain itu pada

sektor manufaktur, terutama yang masih banyak mengandalkan komponen impor, juga

Jejak-Jejak Krisis Di Asia: Ekonomi, Politik, Industrialisasi, Jakarta, Kanisius, 1999, hal: 202. 143 Sjahrir, “Makroekonomi Indonesia dalam Krisis:Implikasi bagi Dunia Usaha”, dalam Sjahrir, Krisis…opcit, hal:97.

94

turut merasakan hal yang sama. Sementara itu pada sektor-sektor seperti pertanian,

perikanan, kehutanan dan sebagainya relatif tetap dapat bertahan di tengah krisis ekonomi

seperti ini.

Implikasi kedua dapat dilihat pada kenaikan tingkat inflasi. Sejak terdeprisiasinya

rupiah (Desember 97-Januari 98) sampai 500-600%, maka tingkat inflasi juga meningkat

sampai 70% dalam 8 bulan pertama. Bahkan ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, inflasi

meningkat mencapai sekitar 90%. Peningkatan inflasi ini pada awalnya merupakan efek

samping dari terjadinya deprisiasi nilai Rupiah dan berkurangnya suplai bahan makanan.

Namun dalam perkembangannya kepanikan masyarakat yang berlanjut dengan terjadinya

rush terhadap sejumlah kebutuhan pokok juga turut memicu peningkatan inflasi.

Hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan, yang ditandai dengan terjadinya rush

di berbagai bank nasional menyusul dilikuidasinya 16 bank, serta peningkatan jumlah

uang beredar sebagai akibat adanya kebijakan untuk mencetak uang baru, merupakan

faktor lain yang secara langsung juga berakibat pada peningkatan tingkat inflasi sampai

akhir tahun 1998.

Ketiga ialah peningkatan likuiditas dan suplai uang. Karena seperti dijelaskan di

atas, untuk mengantisipasi lonjakan permintaan uang yang beredar akibat terjadinya rush,

maka bank sentral terpaksa melakukan intervensi untuk mendukung likuiditas sistem

perbankan yang ada. Salah satu bentuk intervensi yang dilakukan oleh bank sentral dalam

hal ini ialah dengan mengeluarkan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selain itu

untuk menanggapi deprisiasi nilai Rupiah yang cepat tersebut, bank sentral juga

menaikan suku bunga rata-ratanya dua kali lipat, dari 15% menjadi 30%. Meski demikian

ternyata peningkatan permintaan uang tersebut ternyata tidak hanya terjadi pada Rupiah.

Hal yang sama juga terjadi pada beberapa mata uang asing terutama Dollar AS. Nilai

deposito dalam bentuk Dollar AS meningkat dari US$25 milyar menjadi US$30 milyar.

Terakhir, implikasi yang paling jelas ditimbulkan dari adanya krisis ekonomi

tersebut ialah terjadinya perubahan besar-besaran pada nilai tukar rata-rata Rupiah

terhadap sejumlah mata uang asing. Seperti digambarkan diatas, semenjak terjadinya

fluktuasi sejumlah mata uang regional, Rupiah tampak terus mengalami deprisiasi. Meski

demikian selain disebabkan adanya faktor fluktuasi mata uang regional yang turut

menyebabkan deprisiasi Rupiah, pencetakan uang baru pada Januari dan Februari 1998

95

dan terjadinya kerusuhan pada bulan Mei 1998 juga merupakan faktor pendorong

terjadinya deprisiasi.144

Implikasi lain yang dapat dilihat dari terjadinya krisis ini ialah dalam penanganan

masalah hutang luar negeri. Apabila kita cermati masalah hutang luar negeri ini secara

lebih mendalam, maka kita akan segera menyadari bahwa sebenarnya kemapanan dan

pertumbuhan tingkat ekonomi yang mungkin dirasakan oleh sebagian masyarakat selama

Orde Baru, adalah salah satu bagian dari “keberhasilan” rezim terus untuk menciptakan

hutang-hutang baru. Betapa tidak, karena misalnya saja pada kenyataan defisit dalam

setiap APBN, selalu berhasil ditutup oleh pengadaan hutang luar negeri. Sebagai

akibatnya dari hutang luar negeri yang hampir seluruhnya dinilai dalam Dollar AS, maka

secara otomatis dari sisi Rupiah jumlah hutang yang harus dikembalikan akan bertambah.

Jika dicermati, penggelembungan jumlah hutang luar negeri Indonesia sampai

November 1998 telah mencapai lebih dari US$110 milyar. Angka ini terdiri dari hutang

lama sebesar US$53 milyar, bantuan IMF dan negara-negara donor sebesar US$43 milyar

dan hutang dar CGI yang US$8 milyar. Bila dihitung dengan kurs Rp7000, maka jumlah

hutang luar negeri Indonesia mencapai Rp 770 trilyun atau 177% dari PDB tahun

1997.145

Selanjutnya yang juga layak untuk dicermati ialah implikasi sosial dari krisis

ekonomi ini. Sebagai sebuah krisis, nampaknya krisis ekonomi yang tengah melanda

Indonesia ini telah semakin memperdalam kesenjangan ekonomi yang telah banyak

terjadi sebelumnya. Karena, pada masa krisis seperti ini akan semakin banyak jumlah

orang yang kehilangan pekerjaannya. Persoalan ini disebabkan karena perusahaan dimana

ia bekerja tidak dapat lagi berproduksi atau bahkan mengalami kebangkrutan. Hal itu

berarti akan menambah jumlah angka pengangguran di Indonesia. Jika hal ini terus

terjadi, maka jelas akan mempengaruhi tingkat pendapatan dan kehidupan keluarga para

pekerja tersebut. Sebagai akibat selanjutannya, bukan mustahil apabila jumlah anak-anak

yang kekurangan gizi dan putus sekolah akan terus bertambah. Sehingga munculnya

kekhawatiran tentang adanya “generasi yang hilang” (the lost generation) juga kian

144 Tubagus Feridhanustyawan, “Social Impact of the Indonesian Economic Crisis”, dalam Indonesia Quarterly…opcit, hal: 329-337 145 Kwik Kian Gie, “Utang, Utang Dan Kemplang”, dalam Kwik kian Gie, Ekonomi Indonesia: Dalam Krisis dan Transisi Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, hal:77-78.

96

menjadi kenyataan. Selain itu dengan terjadinya krisis ekonomi ini secara langsung juga

telah menghentikan berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh

pemerintah.

Mencermati berbagai implikasi yang ditimbulkannya seperti tersebut diatas, maka

hal tersebut akan semakin meyakinkan kepada kita bahwa ada ada berbagai kesalahan

dan kegagalan oleh pemerintah sebelumnya dalam pengelolaan negara. Sehingga kini kita

dapat merasakan sebuah krisis ekonomi yang sangat parah dan berkepanjangan. Secara

umum penyebab terjadinya krisis ekonomi di Indonesia dapat dibagi menjadi dua faktor,

yaitu eksternal dan internal. Faktor eksternal yang dimaksudkan di sini ialah, bagaimana

krisis ekonomi regional yang melanda sebagian negara-negara di Asia seperti dijelaskan

diatas, juga telah memicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Sedang faktor internal,

menunjukan bahwa ternyata parahnya krisis yang melanda Indonesia saat ini juga tidak

bisa dilepaskan begitu saja berbagai kebijakan ekonomi yang diambil pada masa

sebelumnya. Karena seperti telah disebutkan diatas, kegagalan dalam pengelolaan negara

juga menjadi salah satu penyebab mengapa kini Indonesia merupakan negara yang paling

menderita dibanding negara Asia lainnya yang juga terkena krisis.

Ketidakseimbangan yang terjadi antara kebijakan makro dan mikroekonomi, yang

merupakan kelanjutan dari deregulasi ekonomi di tahun 1980an, seringkali dituduh

sebagai penyebab utama parahnya krisis yang terjadi di Indonesia. Dalam mencermati hal

tersebut, yang menjadi fokus perhatian kita ialah fundamental ekonomi. Secara mikro,

terlihat bahwa dasar ekonomi Indonesia pasca deregulasi sangat lemah. Ada dua hal yang

dapat mengindikasikan hal tersebut. Pertama ialah adanya gangguan dalam kebijakan,

seperti tidak transparannya berbagai kebijakan yang diambil, tidak terkendalinya hutang

luar negeri dan sebagainya. Indikasi kedua ialah tidak adanya kepastian hukum yang

berlaku. Hal ini terlihat dengan lemahnya sektor finansial, jaminan dari sistem perbankan

dan sebagainya. Sebagai kelanjutannya ialah meningkatnya praktek-praktek korupsi,

kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan fenomena yang banyak berkembang pasca

deregulasi.

Sementara itu dari sisi makroekonomi, yang terjadi justru sebaliknya. Tingginya

angka pertumbuhan, terjadinya booming di sektor finansial serta meningkatnya

pendapatan pemerintah, merupakan beberapa indikasi kuatnya fundamental makro

97

ekonomi Indonesia. Sebagai efek sampingnya, juga terjadi penggelembungan harga di

sektor non perdagangan dan defisit dalam berbagai laporan keuangan. Dan sebagai hasil

kombinasi antara keduanya (makro dan mikro ekonomi) tersebut menimbulkan banyak

aksi spekulatif, collaps-nya sektor finansial --dalam hal ini perbankan--.146 Dari

penjelasan tersebut diatas, nampak bahwa ternyata terjadinya krisis ekonomi regional

tidak lebih dari sebuah faktor pemicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Sebaliknya

ada ketidak kompakan antara kebijakan makro dan mikro ekonomi Indonesia, yang pada

akhirnya menciptakan sebuah krisis ekonomi.

Untuk dapat memahami situasi dan kondisi hal tersebut diatas, mungkin kita dapat

kembali mencermati periodesasi industrialisasi yang ditawarkan oleh Mari Pangestu.

Oleh Mari disebutkan bahwa, pada periode ketiga industrialisasi Indonesia (1982-1985),

merupakan periode kebijakan industrialisasi yang ambivalen. Disebut demikian karena

pada satu sisi ada pengurangan dari penekanan dari industri berat dan proyek padat modal

oleh pemerintah dengan dijadwalkannya beberapa proyek besar pada tahun 1983.

Sementara di sisi lain antara 1983-1986, mulai muncul berbagai kebijakan tentang sistem

tata niaga impor, penggunaan instrumen non-tarif, terutama lisensi impor dan

peningkatan upaya penggunaan komponen lokal meningkat.147

Sementara itu di lain pihak, menurut Hill, dalam mencermati kasus Indonesia, ada

beberapa faktor lain yang telah memberikan kontribusi terjadinya krisis ekonomi yang

dialami oleh Indonesia. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor-faktor pra krisis yang

oleh Hill distilahkan sebagai faktor-faktor vulnerabilitas (vulnerability factors). Faktor

pertama, ialah hutang luar negeri yang besar dan terjadinya mobilitas modal. Sampai

akhir tahun 1998, total hutang luar negeri Indonesia telah mencapai US$142 milyar.

Hutang yang besar ini nampaknya lebih banyak dipicu adanya kecenderungan

peningkatan hutang luar negeri jangka menengah yang dimiliki oleh pihak swasta.

Sedangkan dari sisi mobilitas modal, menjelang krisis ekonomi terjadi tampak bahwa

jumlah modal yang keluar cenderung meningkat. Misalnya saja pada tahun 1996, jumlah

modal yang masuk adalah US$97,1 milyar, sedangkan arus modal yang keluar tahun

146 Ibid, hal:329-337. 147 Lihat periodesasi industrialisasi di Indonesia oleh Mari Pangestu dalam pengantar Thee Kian Wie, Industrialisasi Di Indonesia: Beberapa Kajian, Jakarta, LP3ES, 1996, hal:xx-xxiii.

98

1997 adalah US$11,9 milyar. Sedang dalam tahun fiskal 96/97, tercatat modal yang

masuk mencapai US$13,5 milyar, sedang modal yang keluar mencapai US$11,8 milyar. Kedua adalah lemahnya manajemen makroekonomi. Hill mencontohkan

kelemahan manajemen makroekonomi Indonesia dapat dilihat dari kebijakan yang

diambil dalam mempertahankan nilai tukar. Adanya intervensi bank sentral menunjukan

bahwa sebenarnya selama ini stabilitas kurs yang didapat pada dasarnya lebih disebabkan

usaha dari pihak pemerintah dalam menstabilkan rupiah. Dan bukan didapat dari harga

pasar. Ketiga lemahnya regulasi sektor finansial. Hal ini menjadi penting menurut Hill

karena dengan lemahnya regulasi sektor finansial, adanya intervensi politik dalam

berbagai pinjaman komersial perbankan, liberalisasi finansial yang prematur dan terburu-

buru serta laporan modal intenasional yang terbuka merupakan faktor kunci dalam

menjelaskan krisis ekonomi Asia. Salah satu alasan yang menyebabkan buruknya

regulasi finansial Indonesia adalah terjadinya “bubble economy”. Sebagai salah satu

indikasinya, hal ini dapat dilihat dari berkembangnya sektor real estate pada tahun-tahun

terakhir menjelang krisis. Selain itu buruknya kesehatan keuangan perusahaan-

perusahaan di Indonesia, dimana akan berdampak langsung pada kinerja dari perusahaan-

perusahaan tersebut, menurut Hill juga merupakan penyebab lain mengapa regulasi

finansial yang terjadi terkesan sangat lemah.

Faktor vulnerabilitas yang keempat menurut Hill adalah korupsi dan

pemerintahan. Meski demikian diakui pula oleh Hill sendiri bahwa faktor ini tidak dapat

dikatakan penyebab utama timbulnya krisis ekonomi. Karena di negara-negara lain

dimana tingkat korupsinya juga tinggi seperti Cina, dan Vietnam, tidak mengalami krisis

ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia.148

Selain itu Hal Hill juga menunjukan ada beberapa hal yang dapat dijadikan

indikasi awal terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Pertama, pertumbuhan ekonomi

yang terlalu cepat. Percepatan ini dapat dilihat dari penurunan tingkat penduduk miskin

yang sangat tajam di semua propinsi, terutama jika mengacu pada data-data yang

dikeluarkan oleh BPS. Misalnya jumlah penduduk miskin tahun 1990 adalah 15,1%

turun menjadi 13,7% ditahun 1993 dan terus turun mencapai 11,3% ditahun 1996. Angka

penurunan yang sangat tajam ini mengakibatkan data yang dikeluarkan menjadi kurang

148 Hal Hill, The Indonesian…opcit, hal: 54-70.

99

dapat dipercaya. Karena jika dicermati dari sisi peningkatan pendapatan perkapita yang

menjadi ukuran dalam menghitung tingkat kemiskinan, pada kenyataannya terjadi secara

tidak merata. Bisa saja ada sebagian kecil kalangan yang memiliki kekayaan begitu besar,

dan sebagian besar lainnya justru merasakan sebaliknya. Sehingga bukannya tidak

mungkin apabila pendapatan perkapita meningkat di satu sisi, sedang di sisi lain relitas

yang terjadi juga memperlihatkan peningkatan penduduk miskin. Kedua, mengutip

pendapat Krugman, menurut Hill pembangunan ekonomi Indonesia yang selama ini

terlihat pesat tersebut, ternyata lebih disebabkan adanya faktor-faktor lain dan bukan

disebabkan meningkatnya faktor total produktivitas (TFP: Total Factor Productivity).

Artinya dengan dukungan dana yang tersedia misalnya dari terjadinya oil boom dan

sebagainya, telah memungkinkan Indonesia memiliki kemampuan untuk membangun.149

Sehingga menimbulkan kesan bahwa pembangunan yang dilakukan selama masa Orba,

bukan merupakan pembangunan yang berkelanjutan dan lebih bersifat temporer. Karena

apabila faktor pendukung tersebut telah hilang, maka pemerintah mau tidak mau harus

mengubah strategi pembangunan yang dijalankan sebelumnya, sehingga memungkinkan

pembangunan seperti yang diinginkan dapat terus berlanjut. Dengan kata lain dapat

dikatakan bahwa “pembangunan” semasa Orde Baru pada dasarnya tidak memiliki atau

tidak didukung oleh kekuatan modal domestik yang relatif kuat.

Persoalannya, ketika krisis ekonomi Asia 1997 mulai terjadi, dukungan keuangan

yang dimiliki pemerintah Indonesia pada saat itu sangat lemah. Hal ini masih ditambah

dengan adanya tekanan dari dunia internasional berkaitan dengan proyek mobil nasional

serta goyahnya stabilitas politik dalam negeri terutama menjelang pemilu. Dimana hal ini

akan sangat berkaitan langsung dengan jumlah investasi asing yang masuk ke Indonesia.

Padahal kita tahu bahwa semenjak Orde Baru peran investasi asing telah menjadi salah

satu faktor penting dalam perekonomian Indonesia.

1.3Krisis Ekonomi dan Patronase Bisnis Militer.

Setelah mengetahui bagaimana pengaruh terjadinya krisis ekonomi terhadap

perekonomian Indonesia secara umum, maka kini kita akan melihat bagaimana krisis

yang terjadi tersebut mempengaruhi keberadaan praktek patronase bisnis militer. Kalau

149 Ibid, hal:5-6. Hill sendiri menyebutkan ada 4 ciri yang dapat dikatagorikan sebagai peringatan awal pra krisis. Mengenai TFP, lihat pula Krugman, The Return…opcit, hal:27-35

100

mencermati penjelasan sebelumnya nampak bahwa ternyata tidak semua bidang bisnis

mengalami kemunduran di masa krisis. Ada beberapa bidang bisnis yang relatif masih

dapat bertahan ditengah krisis ekonomi namun ada pula yang sampai harus menutup

usahanya. Bidang-bidang bisnis seperti bidang kehutanan, perkebunan dan semacamnya

adalah bisnis-bisnis yang masih dapat bertahan. Sedangkan bisnis-bisnis seperti jasa

properti, konstruksi dan sejenisnya, merupakan “korban” terparah dari krisis ekonomi

1997-1999 ini.

Pada bisnis militer hal yang terjadi tidak jauh berbeda. Banyak unit bisnis militer

yang sebelumnya diprediksikan memiliki prospek yang relatif baik, ternyata yang terjadi

adalah sebaliknya. Contoh dari kenyataan seperti ini dapat dilihat dari perkembangan

bisnis-bisnis yang berada dibawah Yayasan Kartika Eka Paksi. Seperti digambarkan

dalam perbandingan berikut ini:

Tabel IV.1

Kolektibilitas150 Perusahaan Bidang Perkebunan dan Kehutanan

1998 1999 Keterangan

Jumlah % Jumlah %

Sehat 4 36,36 6 54,55

Kurang Sehat 3 27,28 2 18,18

Tidak Sehat 4 36,36 3 27,27

Jumlah 11 100,00 11 100,00 Sumber: Lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta

Peran Organ Perusahaan dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.

150 Ada Beberapa kriteria kolektibilitas tersebut: (1) Likuid: mampu memenuhi kewajiban jangka pendek. (2) Solid: mampu memenuhi kewajiban bila perusahaan dilikuidasi, (3) Profitable:mampu mengelola seluruh sumber daya yang dimiliki untuk memperoleh keuntungan. (4) Sehat:likuid, solid dan profitable. (5) Kurang sehat:satu dari tiga syarat tidak terpenuhi. (6) Tidak sehat:lebih dari satu syarat tidak terpenuhi. Lihat pula lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta Peran Organ Perusahaan dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.

101

Tabel IV.2

Kolektibilitas Perusahaan Bidang Jasa Perhotelan dan Properti

1998 1999 Keterangan

Jumlah % Jumlah %

Sehat 0 0,0 0 0,0

Kurang Sehat 1 33,33 1 33,33

Tidak Sehat 2 66,67 2 66,67

Jumlah 3 100,00 3 100,00 Sumber: Lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta

Peran Organ Perusahaan Dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.

Tabel IV.3

Kolektibilitas Perusahaan Bidang Jasa Konstruksi

1998 1999 Keterangan

Jumlah % Jumlah %

Sehat 1 50,00 1 50,00

Kurang Sehat 0 0,00 0 0,00

Tidak Sehat 1 50,00 1 50,00

Jumlah 2 100,00 2 100,00 Sumber: Lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta

Peran Organ Perusahaan Dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.

Jika dicermati, nampak bahwa dalam tabel IV.1 terjadi penambahan jumlah

perusahaan yang sehat. Sebaliknya dalam tabel IV.2, dan IV.3 selama krisis terjadi tidak

ada satu perusahaan-pun yang mengalami perkembangan. Bahkan yang terjadi justru

cenderung menunjukan terjadinya stagnasi. Selain itu secara keseluruhan terjadi

penurunan deviden yang diterima oleh pihak yayasan. Pada tahun 1998 berjumlah Rp

53.228.952.070,00. Sementara pada tahun berikutnya (1999), deviden yang diterima oleh

yayasan hanya sebesar Rp 30.767.723.383,00.151 Dari contoh-contoh tersebut tampak

151 Ibid.

102

bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia secara langsung juga telah mempengaruhi

bisnis-bisnis yang dimiliki oleh militer. Selain itu jika dimasa sebelum krisis sebagian

dana tersebut ada yang digunakan untuk investasi lain, maka selama krisis ini dana yang

ada digunakan sebagian digunakan untuk memperbaiki keadaan keuangan perusahaan-

perusahaan yang hampir bangkrut karena krisis ekonomi ini.

2 Institusi Ekonomi Global: Wajah Baru Imperialisme Ekonomi?

2.1 Menuju Reformasi Ekonomi.

Dari berbagai penjelasan diatas tampak bahwa ternyata krisis ekonomi yang

terjadi di Indonesia pada akhir dekade 90an ini, telah memberikan implikasi yang begitu

luas di berbagai bidang. Tidak saja secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan politik.

Hal ini jelas menjadi sangat tidak menguntungkan, terutama apabila dilihat dari

kehidupan bernegara dan berbangsa. Karenanya kebijakan dari rezim yang berkuasa

untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan tersebut menjadi sangat penting untuk

segera dilakukan.

Begitu parahnya krisis ekonomi yang tengah melanda Indonesia telah

mengakibatkan usaha menyelesaikan berbagai persoalan terutama di bidang ekonomi,

tidak lagi dapat menyelesaikannya dengan tanpa melibatkan lembaga internasional.

Dalam posisi ekonomi yang sedemikian ini, dapat dipastikan bahwa tingkat

ketergantungan Indonesia terhadap hutang luar negeri akan semakin bertambah. Dan

dapat dipastikan pula, sebagai akibat lanjutnya keterlibatan pihak asing dalam berbagai

kebijakan ekonomi Indonesia juga akan meluas dan mendalam. Keterlibatan pihak asing

dalam berbagai kebijakan ekonomi sebagai prasyarat diberikannya bantuan bukannya

tidak memberikan efek negatif secara sosial ekonomi. Bahkan jika dicermati secara lebih

mendalam, bukan mustahil apabila terjadinya perubahan iklim politik saat ini juga

merupakan dampak --meski tidak langsung-- dari adanya keterlibatan yang luas dari

pihak asing tersebut.

Keterlibatan pihak asing dalam penanganan krisis ekonomi yang terjadi di

Indonesia, diawali dengan dilikuidasinya 16 bank pada November 1997, sebagai tindak

lanjut ditandatanganinya kesepakatan bersama tanggal 31 Oktober 1997 yang sekaligus

prasyarat awal diberikannya bantuan oleh IMF. Keterlibatan institusi keuangan

103

internasional ini terus berlanjut ketika pada tanggal 15 Januari 1998, Suharto sebagai

presiden Indonesia menandatangani kesepakatan kedua dengan pihak IMF mengenai

bantuan yang akan diberikan untuk mengatasi krisis ekonomi. Kesepakatan atau yang

kemudian lebih dikenal dengan Letter of Intent (LoI) tersebut, menjadi legitimasi yang

kuat bagi IMF untuk terus terlibat dalam penentuan kebijakan ekonomi Indonesia.

Penutupan 16 bank tersebut ternyata hanya merupakan langkah awal dan sebagian kecil

dari program perbaikan dan stabilisasi ekonomi versi IMF. Dalam Letter of Intent kedua

yang telah disepakati pada tanggal 15 Januari 1998 tersebut, keterlibatan IMF dalam

perekonomian Indonesia nampak makin mendalam.

Letter of Intent atau yang dalam dokumennya dinamakan dengan Memorandum of

Economic and Financial Policies (MEFP) adalah sebuah kesepakatan bersama antara

pemerintah Indonesia dengan IMF. Kesepakatan ini sendiri setiap tiga bulan mengalami

revisi yang dilakukan oleh kedua pihak. Kesepakatan semacam ini tidak hanya dikenakan

pada Indonesia. Tetapi kesepakatan LoI ini merupakan perlakukan umum yang

diberlakukan oleh IMF kepada setiap negara yang menjadi “pasiennya”. Letter of Intent

ini pada umumnya merupakan hal-hal yang menjadi orientasi utama pemerintah negara

kreditor dalam kebijakan makroekonomi dan penanganan hutang untuk kemudian

diidentifikasi oleh IMF. Agar pada proses selanjutnya IMF dapat memberikan garis

kebijakan (policy guidelines) dan technical advice kepada pemerintah yang bersangkutan

dalam membenahi perekonomiannya. Proses identifikasi inilah yang kemudian sering

dikenal dengan nama “IMF Shadow Programme”.152 Bila dicermati, dalam kesepakatan tersebut ada 7 bidang yang menjadi inti dari

program pemulihan ekonomi Indonesia, yang diatur dalam kesepakatan ini. Pertama

adalah penyehatan kerangka makroekonomi. Ada 2 program yang menyangkut

penyehatan kerangka makroekonomi ini, yaitu pengendalian inflasi sampai 20% serta

penghapusan defisit transaksi berjalan menjadi surplus sehingga mampu digunakan untuk

pembayaran hutang. Kedua, revisi APBN, yang terdiri dari penekanan defisit anggaran

menjadi 1% dari produk domesti bruto (PDB) dan dimulainya pengurangan subsidi

energi minyak dan listrik. Ketiga, transparansi kebijakan fiskal. Misalnya dengan

152 Michael Chossudovsky, The Globalisation of Poverty, Impacts of IMF and World Bank Reform, Penang, Zed Books Ltd, 1997, hal:53.

104

memasukan dana-dana dan investasi (misal: dana reboisasi) yang sebelumnya merupakan

dana non-budgeter ke dalam RAPBN. Keempat, penanganan proyek swasta. Program ini

terdiri dari: pembatasan pengeluaran negara hanya untuk proyek-proyek yang dianggap

vital, penjadwalan kembali 12 proyek infrastruktur, penghentian pendanaan bagi IPTN

dan pencabutan berbagai previlege bagi proyek mobil nasional.

Kelima, pembenahan kebijakan moneter. Dalam pembenahan kebijakan moneter

ini Bank Indonesia menjadi relatif lebih otonom. BI juga diberi keleluasaan dalam

penetapan suku bunga. Selain itu juga diharapkan adanya dukungan dari pemerintah

dalam merger bank-bank, baik swasta maupun bank pemerintah. Keenam, restrukturisasi

sektor perbankan dan swasta. Dan ketujuh ialah restrukturisasi struktural. Ada beberapa

hal yang harus dibenahi berkaitan dengan restukturisasi struktural tersebut. Seperti

pembatasan monopoli yang dilakukan oleh Bulog, deregulasi perdagangan domestik

terutama produk pertanian, penghapusan berbagai bentuk kartel-kartel, penghapusan

peraturan tentang perdagangan grosir, pemotongan pajak produk pertanian dan

pemusatan perhatian pada usaha kecil terutama oleh Bank Pembangunan Asia.153

Meski telah menandatangani kesepakatan dengan pihak IMF, stabilitas ekonomi

yang terus melemah telah memunculkan ide baru tentang penerapan CBS (Currency

Board System) atau sistem dewan mata uang. Sebagai kelanjutannya Suharto sendiri telah

mengeluarkan idenya tentang program IMF plus. Karena ketidakjelasan tentang apa yang

dimaksud dengan “plus” tersebut, maka yang justru terjadi kemudian adalah munculnya

perdebatan tentang program apakah yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi krisis

yang mulai berkepanjangan tersebut. Di sisi lain dengan munculnya berbagai pemikiran

baru tersebut justru mendapat tanggapan negatif dari dunia internasional terutama AS dan

IMF, yang pada intinya menginginkan agar pemerintah Indonesia tetap konsisten dalam

menjalankan kesepakatannya dengan IMF. Dan sebagai tindak lanjutnya IMF sendiri

akhirnya menghentikan sementara bantuan yang akan diberikan.

Sementara itu kesepakatan dengan IMF tersebut bukannya tidak mendapat

tantangan dan reaksi negatif, terutama dari para pengusaha yang selama Orde Baru

terutama yang telah mendapat keuntungan besar dari sistem yang ada sebelumnya. Reaksi

153 “Isi Nota Kesepakatan IMF-Pemerintah Indonesia”, Kompas 16 Januari 1998. Lihat pula lampiran tentang LoI.

105

seperti itu nampaknya merupakan hal yang wajar. Karena dengan demikian berbagai

previlege yang sebelumnya banyak dinikmati para pengusaha tersebut akan segera hilang.

Sedang apabila para pengamat seringkali membagi periodesasi liberalisasi ekonomi

Indonesia menjadi tiga periode154, maka bagi penulis mungkin inilah saat dimulainya

liberalisasi ekonomi Indonesia periode keempat.

Kesalahan dalam penanganan krisis ekonomi ini nampaknya juga menjadi hal

yang perlu untuk dicermati lebih mendalam. Karena berlarutnya krisis ekonomi yang

dialami oleh Indonesia saat ini bukannya mustahil juga disebabkan adanya kesalahan

dalam teknis penanganannya. Hal Hill menunjuk setidaknya ada tiga persoalan yang

dapat dikatakan sebagai penyebab semakin parahnya krisis ekonomi Indonesia. Pertama

ialah adanya rentetan kesalahan kebijakan penanganan krisis. Dengan ditutupnya 16 bank

pada 1 November 1997, ternyata membawa dampak yang sangat luas dan fatal. Selain

implikasi yang ditimbulkannya, seperti telah dijelaskan sebelumnya, ketidakjelasan

kriteria mengapa sebuah bank sampai perlu dilikuidasi juga menjadi hal yang perlu untuk

dicermati secara lebih mendalam lagi. Meski demikian kemunculan persepsi bahwa

kebijakan penutupan 16 bank tersebut dan kesepakatan dengan IMF tanggal 31 Oktober

1997 sebagai usaha untuk tetap dapat melindungi bisnis keluarganya, secara langsung

juga berdampak pada makin menurunnya kepercayaan publik pada pemerintah.Celakanya

lagi penurunan tingkat kepercayaan tersebut makin bertambah ketika dalam kabinet yang

dibentuk Suharto muncul sejumlah nama kontroversial.

Persoalan kedua yang dianggap Hill sebagai indikator kesalahan atau kegagalan

manajemen krisis ialah masih banyaknya terjadi praktek-praktek KKN di dalam

pemerintahan. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa pada tahun-tahun terakhir kekuasaan

Orde Baru peran Suharto sebagai presiden di pemerintahan sangat dominan. Kekuasaaan

yang terlalu tersentralistis tersebut pada akhirnya melahirkan berbagai praktek-praktek

KKN terutama di lingkungan sekitar Suharto. Meluasnya praktek-praktek KKN inilah

yang kemudian sangat mempengaruhi makin merosotnya kepercayaan publik pada rezim.

Karenanya dapat dipahami ketika Suharto turun pada akhir 1997, maka sistem politik

yang ada sebelumnya secara cepat segera ambruk.

154 Lihat periodesasi liberalisasi ekonomi Indonesia oleh Hadi Soesastro “A Review…opcit.

106

Ketiga ialah keterlibatan pihak IMF. Keterlibatan pihak IMF dalam pemulihan

krisis ekonomi Indonesia menjadi faktor yang paling signifikan. Karena seperti telah

dijelaskan diatas, IMF dengan letter of intent-nya dapat dengan mudah untuk ikut serta

dalam penentuan kebijakan ekonomi Indonesia. Besarnya peran IMF dalam rangka

pemulihan kondisi ekonomi Indonesia pasca krisis, ternyata juga menyebabkan

munculnya pemikiran lain bahwa lambannya pemulihan ekonomi Indonesia ini tidak bisa

dilepaskan begitu saja dari keterlibatan pihak IMF. Di satu sisi mungkin munculnya

pemikiran seperti diatas ada benarnya. Karena dengan prinsip one-size-fits-all (satu

ukuran untuk semua) seperti seringkali digunakan selama ini, bukan tidak mungkin akan

terjadi mis-diagnosis. Meski demikian bukan berarti hal tersebut kemudian membuat IMF

menjadi penyebab utama berlarutnya krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia. Karena

seperti juga telah disebutkan sebelumnya, banyak persoalan lain diluar persoalan

finansial semata yang juga menjadi penyebab mengapa krisis yang dialami Indonesia

menjadi berlarut. Misalnya saja dengan adanya situasi politik yang tidak stabil. Selain

ketiga hal tersebut, Hill juga menambahkan beberapa contoh penyebab lain mengapa

pemulihan krisis ekonomi di Indonesia dan Asia umumnya tidak secepat Meksiko. Ia

menambahkan persoalan-persoalan seperti fenomena alam El Nino, kerusuhan rasial pada

Mei 1998 dan Jepang yang juga tengah mengalami kesulitan finansial dengan

bangkrutnya sejumlah bank, merupakan penyebab lain lambannya pemulihan ekonomi

Asia. Sehingga sebagai akibatnya Jepang sebagai pemimpin ekonomi di Asia tidak dapat

banyak berbuat seperti apa yang telah dilakukan Amerika Serikat pada Meksiko di tahun

1994-95. 155

Persoalan lain yang juga patut menjadi perhatian kita dalam mencermati usaha

pemulihan ekonomi Indonesia ialah rekapitalisasi perbankan. Persoalan ini menjadi

penting karena parahnya krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia saat ini juga banyak

disebabkan oleh lemahnya sistem perbankan di masa lalu. Rekapitalisasi ini sendiri

menjadi sangat penting karena membaiknya sektor perbankan juga dapat dijadikan salah

salah satu indikator kembalinya kepercayaan bisnis yang telah hilang selama krisis

ekonomi terjadi. Karenanya dapat dipahami jika rekapitalisasi perbankan ini mendapat

perhatian serius dari pemerintah Indonesia dan IMF melalui kesepakatan yang telah

155 Lihat Hal Hill, The Indonesian…opcit, hal:70-80.

107

dibuat oleh kedua belah pihak. Lebih lanjut lagi, sebagaimana juga terjadi Thailand,

faktor hilangnya kepercayaan ini, terutama pasca penutupan 16 bank, juga merupakan

salah satu penyebab awal keruntuhan sektor finansial Indonesia.

Meski demikian, patut menjadi catatan bahwa dalam mencermati kasus

restrukturisasi perbankan ini ternyata usaha rekapitalisasi tersebut tidak lebih dari sekedar

memperpanjang umur bank-bank yang ada di Indonesia. Bank-bank yang kini mengalami

kebangkrutan akibat banyaknya kredit macet, membengkaknya jumlah hutang dan

sebagainya, kini dengan mengikuti program rekapitalisasi tersebut mendapat suntikan

modal dari pemerintah yang berupa obligasi. Tetapi hal tersebut bukan berarti bank-bank

tersebut serta merta langsung dapat beroperasi seperti sebelum krisis terjadi. Sehingga

dapat dikatakan bahwa program rekapitalisasi tersebut akan terus dilakukan sampai bank-

bank tersebut bisa mendapat cash inflow dari masyarakat dan terutama kalangan bisnis.

2.2. IMF, World Bank dan Institusi Internasional Lain.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam proses pemulihan ekonomi ini,

Indonesia jelas tidak bisa lagi melepaskan keterlibatan masyarakat internasional. Telah

menjadi kebijakan pemerintah Indonesia, bahwa dalam program pemulihan dan

stabilisasi ekonomi ini akan melibatkan institusi-institusi internasional yaitu IMF dan

World Bank. Namun sebenarnya apakah IMF dan World Bank itu, sehingga diharapkan

mampu menjadi “dokter ekonomi” dalam mengatasi krisis ekonomi yang melanda

Indonesia?

IMF (International Monetary Fund) adalah sebuah lembaga keuangan

internasional yang dibentuk dengan bertujuan untuk memantau dan menstabilkan sistem

finansial internasional melalui penyediaan dana-dana jangka pendek guna menanggulangi

defisit neraca pembayaran suatu negara. Selain itu, seringkali dikatakan bahwa IMF

dibentuk untuk bertindak sebagai bank sentral bagi bank-bank sentral negara-negara

anggotanya.156 Dengan demikian ia (IMF) diharapkan dapat memberikan dukungan

finansial untuk menghindari persaingan mata uang akibat adanya devaluasi, yang dapat

menciptakan ketidakstabilan aliran dana internasional. Karenanya institusi keuangan

internasional yang terbentuk sebagai hasil konfrensi Bretton Woods ini, memiliki

156 Helen Hughes, “International Cronyism --the Role of the International Monetary Fund and the World Bank” dalam The Indonesian Quarterly, Vol:XXVII, no:3, 3rd Quarter, Jakarta, CSIS, 1999, hal:195.

108

pengaruh yang sangat besar dalam kebijakan makro ekonomi dan pengucuran dana-dana

pinjaman bagi suatu negara. Misalnya saja dalam memberikan pinjaman (hutang). IMF

seringkali mengaitkan bantuan yang akan diberikannya dengan prasyarat-prasyarat

tertentu, seperti mengharuskan negara-negara debitur mengikuti apa yang menjadi

kehendak pihak IMF. Karenanya pembiayaan yang berasal dari IMF tersebut bersifat

kondisional (bersyarat).157 Dengan kata lain bantuan hutang baru akan diberikan setelah

prasyarat-prasyarat yang terdapat dalam kesepakatan bersama tersebut telah dipenuhi.

Dan hal seperti inilah yang harus dialami oleh Indonesia.

“Pemaksaan kehendak” IMF melalui berbagai kesepakatan yang dibuatnya

bersama dengan negara-negara penghutang, bukannya tidak menghasilkan implikasi

negatif bagi negara-negara tersebut. Dengan berbagai kebijakan neoliberalisme dengan

dilandasi oleh falsafah laissez faire, IMF secara langsung atau tidak telah menciptakan

kondisi yang kondusif untuk terjadinya “economic genocide”. Selain itu, restrukturisasi

ekonomi dunia yang dilakukan berdasarkan petunjuk IMF, dimana akan menciptakan

kebijakan ekonomi yang lebih terbuka di seluruh dunia, disadari atau tidak secara teratur

juga telah menghancurkan kekuatan ekonomi nasional negara-negara tersebut. Karena

dengan semakin banyaknya negara dunia ketiga yang menerapkan kebijakan ekonomi

terbuka, bukannya mustahil bahwa yang terjadi justru adalah terciptanya sistem

perdagangan dunia yang semakin tidak seimbang. Dimana negara-negara dunia ketiga

sekali lagi berada pada posisi yang dirugikan.

Namun jika melihat kembali kepada awal pembentukannya, ada beberapa tujuan

umum yang menjadi dasar pembentukan institusi keuangan (IMF) ini, seperti tercakup

dalam Article 1 dari Articles of Agreement. Pertama, untuk dapat mengembangkan

kerjasama keuangan internasional yang berkelanjutan di dalam sebuah institusi yang

permanen. Dimana instutusi tersebut juga menyediakan alat konsultasi dan kerjasama

dalam memecahkan berbagai persoalan keuangan. Kedua, untuk memfasilitasi ekspansi

dan penyeimbang pertumbuhan perdagangan internasional, dan memberikan kontribusi

dalam peningkatan pendapatan dan membangun sumber-sumber produktif dari semua

negara anggota yang merupakan obyek utama kebijakan ekonomi. Ketiga, untuk

157, Michael P Todaro, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Jilid 2, Jakarta, Erlangga, 1998, hal:136-137.

109

meningkatkan stabilitas nilai tukar. Untuk memelihara posisi nilai tukar diantara tiap

anggota. Dan untuk mencegah terjadinya deprisasi. Keempat, untuk membantu dalam

pembentukan sebuah sistem pembayaran multilateral yang dapat diterima semua pihak

sehingga tidak menghambat pertumbuhan perdagangan dunia. Kelima, untuk

memberikan kepercayaan kepada tiap anggota dengan cara membuat sumber-sumber

(baca:pendanaan) yang dapat digunakan sewaktu-waktu sehingga dapat membantu

negara-negara yang sedang mengalami kesulitan dalam keseimbangan pembayaran tanpa

merusak kemakmuran yang telah ada. Keenam, dalam mempersingkat durasi dan

mengurangi tingkat disequilibirium pembayaran internasional tiap-tiap anggota.158

Tetapi persoalan yang muncul kemudian menunjukan bahwa peran IMF sebagai

sebuah institusi keuangan internasional menjadi makin terpinggirkan, terutama terhadap

negara-negara industri. Kemunculan berbagai kesepakatan baru diantara negara-negara

industri seperti G-7 dan G-3, nampaknya akan semakin meningkatkan jumlah kebijakan

makroekonomi internasional yang terbentuk tanpa melakukan koordinasi dengan pihak

IMF. Hal tersebut jelas dimungkinkan karena negara-negara tersebut memiliki sumber-

sumber keuangan lain yang bahkan cenderung lebih kuat dari IMF. Sebaliknya di negara-

negara dunia ketiga, terutama yang terkena krisis, tingkat ketergantungannya terhadap

badan internasional ini justru menunjukan peningkatan. IMF sendiri dalam menjalankan

fungsinya untuk menciptakan kestabilan ekonomi dunia nampaknya tidak bisa

melepaskan diri dari keterkaitannya dengan modal internasional. Percepatan akumulasi

modal internasional semenjak tahun 1970an yang ditandai dengan makin berkembangnya

fenomena Multi National Corporations (MNCs), ternyata di satu sisi telah pula

memberikan kontribusinya dalam penciptaan IMF sebagai alat penjamin keberlangsungan

akumulasi modal tersebut.

Selain IMF, badan dunia lain yang kini juga sangat berperan dalam membantu

memulihkan situasi ekonomi Indonesia ialah Bank Dunia (World Bank). Seperti juga

IMF, Bank Dunia juga merupakan sebuah institusi keuangan internasional yang terbentuk

dari konfrensi Bretton Woods tahun 1944. Dan jika IMF sering dikatakan sebagai bank

sentral internasional bagi bank-bank sentral negara-negara anggotanya, maka Bank Dunia

158 Graham Bird, IMF Lending to Developing Countries: Issues and Evidence, London, Routledge, 1995, hal:1-2.

110

dibentuk sebagai penyedia dana dan untuk membantu proyek-proyek yang mendukung

pembangunan. Untuk menjamin kelancaran pembayaran kembali bantuan-bantuan

tersebut, maka Bank Dunia memberikan dana-dananya pada pemerintah pusat.159 Meski

demikian sampai saat ini apa yang telah dilakukan oleh kedua institusi internasional

tersebut menjadi terkesan tidak efektif. Berbagai bantuan yang sering mereka berikan

nampaknya juga perlu dipertanyakan lagi. Apakah benar berbagai bantuan tersebut benar-

benar dapat membantu negara-negara di dunia --terutama negara-negara dunia ketiga--

dalam melaksanakan pembangunannya, atau justru sebaliknya, turut memberikan

kontribusinya dalam menciptakan kemiskinan baru di berbagai negara. Karena seringkali

dalam memberikan bantuannya, Bank Dunia menekankan kepada pihak penerima

bantuan agar mau mengikuti apa yang menjadi persyaratannya. Misalnya saja dalam

pembiayaan suatu proyek Bank Dunia mensyaratkan bahwa produk-produk yang akan

digunakan dalam proyek tersebut, harus merupakan barang-barang yang merupakan

produk dari salah satu negara donor yang sudah ditentukan oleh pihak Bank Dunia.

Selain itu tidak jarang pemerintah Indonesia pada akhirnya juga harus menyediakan dana

pendamping agar proyek tersebut dapat terus berjalan.

Di satu sisi memang benar jika dikatakan bahwa kedua badan internasional

tersebut telah berhasil menciptakan sebuah iklim investasi yang mendukung

terlaksananya perdagangan bebas. Namun di sisi lain, keberhasilan tersebut telah pula

membawa keduanya pada sikap yang berlebihan. Sikap yang berlebihan ini dapat

ditunjukan ketika bagaimana mereka turut serta dalam berbagai pembuatan kebijakan

ekonomi, seperti terlihat dalam berbagai kesepakatan yang dibuat antara IMF dan

Indonesia. Sehingga kesan yang muncul kemudian ialah keberhasilan mereka dalam

menciptakan perdagangan bebas tersebut merupakan sesuatu yang sangat dipaksakan.

Jadi seperti telah disebutkan diatas, bahwa ternyata IMF kini telah berkembang tidak

lebih dari sekedar menjadi fasilitator bagi kepentingan akumulasi modal. Bahkan dengan

terjadinya krisis ekonomi Asia ini akan semakin menunjukan kepada kita, bahwa mereka

telah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai penasehat reformasi ekonomi di

berbagai negara. Hal ini sekaligus pula memperlihatkan bahwa sebenarnya mereka tidak

lagi memainkan peran yang berguna bagi menciptakan stabilitas ekonomi Internasional.

159Helen Hughes, “International Cronyism…”, opcit, hal: 200.

111

Bukti lain dari kegagalan IMF dalam menciptakan kestabilan ekonomi dunia

sebenarnya juga sudah mulai tampak ketika kita kembali melihat pengalaman krisis

1980an yang menimpa negara-negara di kawasan Afrika dan Amerika Latin. Pada masa

itu terlihat bahwa pendapatan perkapita negara-negara di kedua kawasan itu justru

cenderung memperlihatkan penurunan lebih dari 70%. Seiring dengan itu terjadi pula

peningkatan jumlah pengangguran. Misalnya di Chili tingkat pengangguran meningkat

dari 10,4% pada tahun 1981 menjadi 15,4% pada tahun 1984.160 Berangkat dari berbagai

pengalaman tersebut, rasanya tidak mustahil bahwa hal yang sama juga akan dapat

menimpa perekonomian Indonesia di kemudian hari. Karena jika kita cermati berbagai

kesepakatan yang dibuat pemerintah Indonesia dengan IMF, nampaknya kecenderungan

untuk terciptanya hal-hal seperti dijelaskan diatas sangat besar.

2.3 IMF World Bank dan Patronase Bisnis Militer.

Terlepas dari berbagai kelemahan yang muncul di kemudian hari, persoalan yang

patut disadari di sini ialah, bahwa institusi-institusi keuangan internasional tersebut

memiliki kemampuan yang cukup besar untuk mengendalikan dan mempengaruhi

kebijakan ekonomi suatu negara. Dengan berbagai kesepakatan yang dibuatnya bersama

dengan pemerintah Indonesia, IMF dapat menentukan proyek-proyek mana saja yang

harus dihentikan atau diteruskan. Dengan kemampuan seperti itu, --setidaknya selama

krisis-- hampir dapat dipastikan bahwa pada akhirnya IMF juga yang akan menjadi

penentu segala kebijakan ekonomi di Indonesia, dimana termasuk di dalamnya mengenai

para pelaku bisnis dan ekonomi di Indonesia.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dengan falsafah laissez faire, IMF, World

Bank serta institusi-institusi ekonomi dan keuangan internasional lainnya, sangat

menginginkan ekonomi Indonesia benar-benar terbebas dari keterlibatan pihak negara.

Agar keinginan atau tujuan tersebut dapat tercapai, maka pihak IMF mempergunakan

momentum krisis ekonomi ini dengan secara langsung telah memaksa pihak Indonesia

untuk menghilangkan intervensi pihak negara melalui letter of intent yang dibuatnya

tersebut. Hal tersebut jelas akan menjadi sangat berpengaruh pada bisnis-bisnis yang

telah ada selama ini, terutama dalam kaitannya dengan keberadaan patronase bisnis.

160 Khosrow Doroodian, “IMF Stabilization Policies in Developing Countries: A Disaggregated Quantitative Analysis”, dalam International Economic Journal, Vol. 8 No.4 Winter 1994.

112

Negara melalui para aparatnya yang selama ini telah bertindak sebagai patron bagi bisnis-

bisnis yang ada di Indonesia, pada masa pasca Orde Baru ini tampak tidak lagi dapat

berbuat banyak. Tidak adanya dukungan finansial yang cukup kuat juga telah

menempatkan posisi negara pada posisi yang kian melemah. Dalam hal ini negara telah

dipaksa untuk tidak lagi dapat mempergunakan otonomi relatif yang sebelumnya

dimiliki, serta menyerahkan semuanya pada mekanisme pasar.

Terjadinya hal yang demikian ini jelas akan sangat berpengaruh pada praktek-

praktek patronase bisnis. Negara yang telah kehilangan otonomi relatifnya tadi jelas tidak

akan mampu lagi untuk memberikan berbagai kemudahan seperti proteksi, tax holiday,

atau bentuk-bentuk kemudahan lainnya kepada para pengusaha. Sebaliknya negara kini

justru semakin mendapat tekanan untuk tidak lagi banyak terlibat dalam persoalan-

persoalan ekonomi dan bisnis. Hilangnya otonomi relatif ini juga berarti ancaman bagi

kegiatan para pejabat negara dan birokrasi yang selama Orde Baru telah menjadi

pemburu-pemburu rente. Sebab para pemburu rente yang dahulu dengan mudah

mempergunakan dan mengekploitasi kekuasaan politik dan aset-aset negara demi

kepentingan pribadinya, nampaknya pada masa pasca krisis ini kegiatannya tersebut

menjadi terancam. Meski demikian tidak berarti bahwa dengan diserahkannya kegiatan

ekonomi dan bisnis pada mekanisme pasar serta merta akan menghilangkan kebiasaan

buruk itu. Meski demikian, sampai di sini yang dapat kita tarik sebagai garis merahnya

ialah, bahwa pada masa-masa berikutnya negara tidak banyak berbuat sekalipun hanya

sebatas penyeimbang kekuatan ekonomi.

Lebih lanjut lagi hilang atau melemahnya otonomi relatif ini juga berarti ancaman

baru bagi konglomerasi yang pernah ada di masa Orde Baru. Konglomerasi yang

dibangun juga melalui praktek-praktek patronase bisnis ini selain juga disebabkan oleh

adanya krisis ekonomi regional, juga turut runtuh seiring dengan kejatuhan rezim Orde

Baru. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa tidak akan ada patronase bisnis yang kekal

dalam sebuah kerangka ekonomi yang makin liberal. Namun persoalannya di Indonesia

praktek patronase bisnis ini tidak hanya dilakukan oleh pengusaha. Tetapi juga dilakukan

oleh institusi atau alat negara itu sendiri, seperti apa yang dilakukan oleh militer.

Di dalam bab 3 telah digambarkan bagaimana di masa Orde Baru praktek

patronase bisnis militer ini dijalankan dan dikembangkan dengan banyak melibatkan

113

kekuasaan politik. Sehingga ketika muncul tuntutan untuk mereduksi --bahkan kalau bisa

menghapuskan-- keterlibatan pihak negara di dalam perekonomian Indonesia, maka

keberadaan praktek-praktek patronase bisnis militer ini rasanya perlu kembali untuk

dikaji. Bila dicermati secara lebih mendalam, memang benar bahwa ada kepentingan dan

alasan pertimbangan non-komersial lainnya yang menjadikan patronase bisnis militer ini

muncul di masa Orde Baru. Namun yang menjadi persoalannya sekarang adalah apakah

pihak internasional mau menerima alasan-alasan tersebut? Tetapi yang pasti

bagaimanapun juga pada akhirnya militer Indonesia harus kembali diletakan pada posisi

utamanya, yaitu sebagai alat negara di bidang pertahanan.

Namun dengan semakin lemahnya posisi Indonesia di hadapan lembaga-lembaga

internasional tersebut di masa pasca Orde Baru ini, serta mengingat berbagai kemampuan

yang dimiliki oleh mereka, tidak mustahil apabila pada akhirnya mereka akan menuntut

dihapusnya keterlibatan militer di dalam dunia bisnis melalui berbagai kesepakatan yang

dibuat bersama dengan pemerintah Indonesia. Nasib seperti yang telah dialami oleh

proyek mobil nasional atau IPTN rasanya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk

terus mempertahankan praktek patronase bisnis militer tersebut. Kalau benar praktek

patronase bisnis militer ini akan dihapuskan, lantas bagaimana dengan persoalan

anggaran militer Indonesia yang seringkali dianggap kurang memadai dan merupakan

alasan utama munculnya fenomena ini. Di dalam konsep militer profesional yang

berkembang saat ini, militer benar-benar diletakan pada porsi utamanya, yaitu sebagai

alat negara dalam bidang pertahanan. Sehingga kalau selama ini militer Indonesia telah

berkembang menjadi kekuatan dominan diluar kekuatan pertahanan, maka jelas bahwa

selama Orde Baru militer Indonesia bukan merupakan institusi militer yang profesional.

Munculnya militer sebagai sebuah kekuatan ekonomi politik melalui bisnis-bisnis yang

dijalankannya, pada akhirnya justru menjadi bukti yang memperkuat tuduhan dan

anggapan tentang tidak profesionalnya institusi militer di Indonesia selama ini.

Ketika muncul desakan untuk membangun militer yang profesional, persoalan

anggaran akan segera menjadi salah satu bahan pertimbangan utama. Karena, alasan tidak

adanya anggaran militer yang dianggap cukup memadai itulah yang seringkali terlontar

ketika muncul perdebatan tentang keberadaan bisnis militer. Oleh sebab itu penting pula

kiranya untuk melihat sejauh mana implikasi yang kemudian muncul, apabila hendak

114

meniadakan lagi praktek-praktek bisnis militer. Pihak-pihak seperti IMF, Bank Dunia

atau lembaga-lembaga internasional lainnya secara sepintas mungkin terlihat tidak

memiliki kepentingan dan keterkaitan langsung dengan anggaran militer Indonesia.

Tetapi pada kenyataannya di lapangan yang terjadi adalah justru sebaliknya. Mereka

menjadi sangat peduli dalam mencermati penggunaan dana pinjaman mereka yang

digunakan dalam bidang pertahanan dan keamanan, terutama dalam kaitannya dengan

isu-isu internasional seperti demokratisasi dan hak azazi manusia (HAM). Dari sini akan

terlihat bahwa pada kenyataannya ada keterkaitan secara langsung antara lembaga-

lembaga keuangan internasional dengan anggaran militer.161

Jika demikian halnya, bagaimana dengan nasib bisnis-bisnis militer yang banyak

dijalankan oleh koperasi atau yayasan-yayasan seperti yayasan Kartika Eka Paksi. Dari

penjelasan sebelumnya setidaknya kita telah memahami bagaimana yayasan ini

menjalankan unit-unit bisnisnya. Mereka seperti umumnya bisnis militer di masa Orde

Baru juga telah banyak melibatkan para perwiranya terutama yang duduk di birokrasi dan

pejabat politik lainnya untuk melancarkan bisnisnya. Kalau kemudian di masa pasca Orde

Baru ini keterlibatan negara dalam ekonomi terus dicoba untuk direduksi, maka ini juga

berarti persoalan baru bagi bisnis-bisnis tersebut. Apalagi hal ini masih ditambah dengan

makin gencarnya tuntutan untuk mengakhiri peran militer di bidang politik.

Bisnis militer yang sejak awalnya merupakan sebuah usaha atau upaya

pemenuhan anggaran yang kurang, nampaknya akan lebih banyak memiliki persoalan

dibandingkan dengan bentuk patronase bisnis lainnya. Tumbuh dan berkembangnya

militer sebagai salah satu kekuatan ekonomi politik, yang ditandai dengan makin

maraknya bisnis militer di masa Orde Baru, ternyata telah pula mengakibatkan

pembangunan ekonomi yang dilakukan selama Orde Baru menjadi tidak sehat. Karena

disadari atau tidak, keberadaan bisnis militer juga telah ikut merangsang pembentukan

kelas-kelas kapital domestik yang tidak mandiri. Dengan adanya bisnis militer tersebut,

maka banyak dari kalangan pengusaha yang kemudian melakukan “kerjasama” agar

mereka dapat dengan mudah memperoleh berbagai kemudahan dalam melakukan

akumulasi modalnya.

161 Lihat pula rekomendasi yang diberikan pemerintah AS dalam Financing Military Rule: The Clinton Administration, The World Bank, and Indonesia; A Research Report by the Project on Demilitarization and Democracy, released April, 19, 1994, hal:4 dan hal:16-18.

115

Tetapi dengan adanya kesepakatan antara Indonesia dengan IMF, dimana dalam

kesepakatan tersebut juga dituntut adanya transparansi kebijakan ekonomi terutama dana-

dana non-budgeter ke dalam APBN. IMF dan World Bank sendiri telah meminta kepada

Departemen Pertahanan untuk segera mengaudit dana-dana tersebut.162 Bagi terutama

bisnis militer sebagai salah satu penyedia dana non-budgeter bagi militer, hal ini juga

dapat diartikan sebagai sebuah tantangan. Sebab hal ini juga akan dijadikan salah satu

indikator keseriusan pihak pemerintah, terutama militer untuk melakukan reformasi

internalnya. Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya sudah terlalu banyak kepentingan

yang bermain di dalam bisnis militer tersebut. Sehingga jika dana non-budgeter ini akan

dihapuskan (dimasukan ke dalam RAPBN), maka tentu akan banyak mendapat tentangan.

Terutama dari kalangan militer sendiri, maupun pihak-pihak lain di luar militer yang

sebelumnya telah banyak diuntungkan oleh keberadaan bisnis militer.

Jika pemerintah atau dalam hal ini Departemen Pertahanan tidak mampu

melaksanakan permintaan tersebut, maka hal ini akan berpengaruh pada program

perbaikan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Karena Indonesia bisa saja

kemudian dianggap tidak dapat melakukan transparansi dalam kebijakan ekonominya,

yang berarti pula tidak adanya komitmen untuk melaksanakan LoI. Padahal sebagaimana

telah diketahui, kebijakan ekonomi yang transparan adalah salah satu cara untuk kembali

membangun kepercayaan para investor.

Sebenarnya hal seperti diatas bukan merupakan persoalan yang baru. Dengan

rekomendasi pihak AS, pihak World Bank sebenarnya juga telah lama menginginkan

penghapusan keterlibatan militer dalam politik dan ekonomi. Seperti telah disebutkan

sebelumnya, dalam salah satu rekomendasi tersebut mereka meminta agar militer

Indonesia segera mengakhiri keterlibatannya (baik secara individual dan institusi) dalam

berbagai perusahaan baik yang merupakan milik negara maupun milik swasta.163 Dengan

adanya tuntutan dan tekanan seperti ini, akan semakin mempertegas bahwa keberadaan

praktek patronase bisnis militer harus segera diakhiri. Namun persoalannya sekarang

ialah bahwa posisi negara Indonesia secara ekonomi sangat lemah dan sangat

mengharapkan bantuan dari pihak asing. Hal ini jelas akan sangat berpengaruh pada

162 “Bank Dunia dan IMF Minta Dana Nonbujeter TNI Diaudit”, Kompas, 2 Juni 2000. 163 Ibid.

116

APBN, terutama bagi anggaran pertahanan. Dalam periode anggaran April-Desember

2000, nilai anggaran pertahanan hanya Rp 10,9 trilyun atau 5,5% dari keseluruhan nilai

APBN yang berjumlah Rp 198 trilyun. Dengan jumlah ini anggaran pertahanan Indonesia

dinilai sebagai jumlah terendah di ASEAN. Dengan anggaran sekecil ini hanya dapat

memenuhi kebutuhan antara 25-30%.164 Selain itu untuk melakukan operasi di daerah-

daerah rawan kerusuhan Dephan telah menerima anggaran belanja tambahan sebesar Rp

500 miliar. Di mana di dalamnya termasuk pengiriman batalyon tambahan ke Ambon

yang besarnya Rp 4 miliar per batalyon.165

Rendahnya anggaran pertahanan tersebut bukan berarti dapat diartikan sebagai

sebuah alasan bagi keberlangsungan praktek bisnis militer. Bisnis militer sebagai salah

satu bentuk praktek patronase bisnis tetap harus dihapuskan, meki itu harus dilakukan

secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi negara. Karena sudah terlalu banyak

implikasi yang ditimbulkan dari adanya bisnis militer, baik secara politik maupun

ekonomi. Secara politik hal ini akan sangat berkaitan dengan keterlibatan militer dalam

politik. Sebab seperti telah banyak disebutkan sebelumnya, hampir semua praktek bisnis

militer dilakukan dengan didukung oleh para perwiranya yang duduk dalam

pemerintahan dan birokrasi. Sementara secara ekonomi, adanya bisnis militer juga telah

membentuk kelas-kelas pengusaha domestik yang tidak mandiri (kapitalis semu). Hal ini

dikarenakan banyak dari pengusaha domestik yang memanfaatkan bisnis militer ini untuk

dengan mudah memperoleh akses-akses ekonomi maupun politik.

3. Globalisasi dan Mobilitas Modal Internasional

3.1 Perkembangan Modal Internasional

Pasca perang dunia II, merupakan masa dimana ekonomi dunia mengalami

pertumbuhannya secara pesat. Munculnya negara-negara baru di sisi lain ternyata juga

turut memberikan kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi --terutama perdagangan--

internasional. Karena seiring dengan munculnya negara-negara baru tersebut, maka

164 Meski demikian selain dari APBN, pihak militer dan polisi juga telah menerima Anggaran Belanja Tambahan (ABT) sebesar RP 500 milyar dari Departemen Keuangan dan Bapenas untuk membiayai operasi-operasi di daerah rawan. Lihat “Anggaran TNI dan Polri RP 10,9 Trilyun”, Kompas 24 Mei 2000. 165 Tempo interaktif, 23-Mei-2000. http//www.tempo.co.id

117

tercipta pula pasar-pasar baru bagi produk-produk yang dihasilkan oleh negara-negara

industri. Dan Asia merupakan pasar terbesar bagi produk-produk tersebut.

Ekspansi modal (capital) di seluruh dunia sebenarnya telah lama dimulai. Jika

melihat kembali pada sejarahnya, ekspansi modal sebenarnya telah terjadi semenjak abad

ke-18. Ketika itu negara-negara di Eropa yang mengalami surplus produksi mulai

menunjukan kebutuhan akan adanya perluasan pasar. Semenjak itu dimulailah praktek-

praktek imperialisme dan kolonialisme di berbagai daerah Asia, Afrika dan bahkan

Amerika. Dan nampaknya selain kebutuhan akan pasar, perebutan untuk mendapatkan

bahan-bahan mentah juga menjadi pertimbangan lain terjadinya imperialisme dan

kolonialisme.

Dalam perkembangannya sebagai sebuah kekuatan ekonomi internasional, kini

nampaknya pergerakan modal tidak dapat lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia dapat

dengan leluasa bergerak ke mana saja tanpa lagi harus menggantungkan lagi pada

kekuatan lain. Sebaliknya, justru kekuatan-kekuatan lain seperti kekuatan politik (negara)

dan sosial yang memiliki “ketergantungan” padanya. Tingginya tingkat independensi

yang dimiliki oleh kekuatan modal transnasional tersebut di satu sisi, mengakibatkan

makin lemahnya posisi negara-negara dunia ketiga untuk dapat mendatangkan modal-

modal tersebut ke negara-negara mereka. Selain itu persoalan klasik yang seringkali

muncul ialah stabilitas politik. Persoalan stabilitas politik ini menjadi signifikan karena

pada umumnya para pemilik modal baru mau masuk untuk berinvestasi apabila ada

jaminan stabilitas politik dari negara.

Semenjak tahun 1970an, di dunia berkembang sebuah fenomena yang dikenal

dengan nama transnational corporation (TNC), atau yang kemudian lebih dikenal

dengan multinational corporations (MNCs). Kemunculan fenomena tersebut di satu sisi

merupakan salah satu indikator dari globalisasi ekonomi dunia. Proses globalisasi itu

sendiri makin berkembang setelah pada awal abad ke 20 terjadi perkembangan yang pesat

dalam teknologi transportasi, elektronika dan komunikasi. Selain itu, tuduhan dari para

kelompok pecinta lingkungan yang menyatakan bahwa pabrik-pabrik mereka merupakan

penyebab utama terjadinya polusi, juga menjadi penyebab lain berkembangnya

perusahaan-perusahaan multinasional tersebut.

118

Sedangkan dilihat dari sisi ekonomi, globalisasi makin terpacu setelah adanya

peningkatan proteksi dunia dan berkembangnya sistem kurs mengambang sejak awal

tahun 1970an. Oleh karenanya globalisasi ini juga dijadikan instrumen bagi para pemodal

transnasional untuk dapat menembus berbagai proteksi tersebut. Selain sebagai

penghancur tembok proteksi, globalisasi juga dapat diartikan sebagai strategi dari

perusahaan multinasional untuk dengan mudah melakukan penetrasi pasar dan membuka

akses-akses bahan baku dan berbagai faktor produksi lainnya. Sehingga diharapkan dapat

menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Sementara itu di lain pihak globalisasi oleh

Ankie Hoogvelt dapat dipandang sebagai sebuah bentuk baru dari core-periphery

relations di dalam sistem ekonomi dunia.166

Seperti telah diangkapkan diatas perusahaan-perusahaan multinasional yang

merupakan subyek utama dari globalisasi tersebut, mengalami pertumbuhan yang pesat

pada masa 1950-1970an. Bahkan sedikit lebih cepat dari rata-rata GDP negara-negara

asal investasi. Namun demikian, dapat dicirikan bahwa ada perubahan arah dari

perkembangan atau aliran foreign direct investment pada pasca PD II dari negara

periphery ke negara pusat (core). Sebagai contoh dapat dilihat bahwa semenjak masa

kolonial sampai 1960 negara-negara dunia ketiga menerima separuh dari keseluruhan

aliran investasi langsung tesebut. Hal ini terus turun sampai 1/3 pada tahun 1966, dan

sampai seperempat pada tahun 1974. 1988-89 investasi tersebut terus turun sampai

16,9%. Sisa dari investasi langsung tersebut, mengalir ke Asia bagian Timur, Selatan, dan

Tenggara.167

Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata Cina dengan jumlah penduduknya

yang besar terutama dengan kedelapan propinsi pantai (kesemuanya berada di selatan)

utamanya ditambah Beijing, Cina saat ini telah berkembang menjadi negara terbesar

penerima investasi langsung tersebut. Bila jumlah populasi di kesembilan daerah di Cina

ini ditambahkan dengan populasi di 10 negara berkembang yang terpenting, terlihat

bahwa 14% dari keseluruhan populasi dunia menerima 16,5% dari keseluruhan investasi

langsung tersebut. Meski demikian hal yang mengejutkan dari perkembangan investasi

langsung global ini ialah, bahwa ternyata secara keseluruhan hanya 2/3 dari total populasi

166 Ankie Hoogvelt, Globalization and The Postcolonial World: The New Political Economy of Development, Baltimore, Maryland, The John Hopkins University Press, 1997. 167 Ibid, hal 77.

119

dunia yang telah menerima keuntungan dari adanya foreign direct investment (FDI)

tersebut.168

Dalam perkembangan ekonomi dunia saat ini, selain bentuk investasi langsung

seperti telah dijelaskan diatas juga berkembang bentuk-bentuk investasi tidak langsung

(indirect investment). Bahkan trend yang berkembang saat ini menunjukan bahwa

bentuk-bentuk investasi tidak langsung seperti pinjaman komersial, pinjaman resmi

(official loans), hibah dan hutang bank cenderung menunjukan peningkatan. Munculnya

pasar modal atau bursa efek serta komoditas di beberapa negara, merupakan indikator

lain dari berkembangnya investasi tidak langsung tersebut. Derasnya aliran, arus atau

perputaran investasi tidak langsung di dunia pada saat ini menyebabkan timbulnya

kesulitan dalam melacak dari mana investasi tersebut berasal. Bahkan dengan data

statistik sekalipun. Apalagi mengenai jumlah keseluruhan transaksi internasional yang

terjadi di seluruh dunia sampai tingkat individual.

Perkembangan yang pesat dari modal transnasional ini pada akhirnya membawa

sistem perdagangan dunia kepada sebuah sistem yang berupaya untuk menghapuskan

berbagai hambatan yang seringkali muncul. Hambatan yang seringkali muncul tersebut

ternyata lebih banyak sebagai sebuah hambatan yang distilahkan sebagai hambatan non-

tarif. Untuk itu, maka negara-negara di dunia kemudian berupaya untuk menghapuskan

segala bentuk hambatan non tarif (non-tarrif barriers) tersebut. Salah satu upayanya ialah

dengan membuat kesepakatan diantara mereka untuk membentuk sebuah badan

perdagangan dunia, yang kemudian dikenal dengan nama World Trade Organization

(WTO). Organisasi ini sendiri dalam pembentukannya merupakan kelanjutan (pengganti)

dari keberadaan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang telah ada

sebelumnya. Untuk mengatasi berbagai hambatan dalam perdagangan dunia ini juga,

beberapa negara telah melakukan beberapa kali pertemuan. Dimana telah menjadikan

pertemuan putaran Uruguay (Uruguay Round) sebagai titik penting dalam kesepakatan

penghapusan hambatan tarif dan non tarif.

Pembentukan organisasi perdagangan dunia serta blok-blok perdagangan regional

di berbagai kawasan, juga berfungsi untuk mencegah terjadinya pemungutan pajak

berganda. Negara-negara anggota dari organisasi-organisasi tersebut secara bersama

168 Ibid.

120

memberlakukan tingkat tarif yang sama terhadap produk-produk impor, dan secara

bertahap menghapuskannya. Dengan demikian tercipta kawasan-kawasan perdagangan

bebas atau yang lebih dikenal dengan free trade area. Namun kemudian persoalannya

ialah tidak sedikit dari negara-negara dunia ketiga yang telah tergabung ke dalam

organisasi atau lembaga-lembaga tersebut. Padahal kita tahu bahwa tidak semua dari

blok-blok perdagangan regional dan dunia tersebut yang hanya beranggotakan negara-

negara berkembang. Sehingga jika tidak berhati-hati bukannya tidak mungkin kalau

pengintegrasian negara-negara dunia ketiga di dalamnya justru menjadi bumerang

ekonomi bagi mereka. Sebaliknya, ketika negara-negara dunia ketiga tersebut

mengintergrasikan dirinya ke dalam sebuah lembaga atau organisasi serupa dengan lebih

sedikit melibatkan negara-negara maju di dalamnya, maka hal tersebut dapat dijadikan

instrumen yang efektif untuk mencegah bentuk-bentuk perdagangan dengan negara-

negara maju yang seringkali bersifat eksploitatif dan mengancam keberadaan industri

domestik mereka.

3.2 Modal Asing dan Pemulihan Ekonomi Indonesia

Dalam awal bab 3 telah dijelaskan bagaimana modal asing menjadi sebuah

kekuatan utama dalam membangun kembali perekonomian Indonesia di bawah Orde

Baru. Pemerintah rezim Orde Baru di bawah Jendral Suharto yang saat itu hendak

memprioritaskan untuk melakukan pembenahan di bidang ekonomi, segera saja

mengeluarkan berbagai kebijakan yang pada intinya mempermudah keterlibatan modal

asing di dalam perekonomian Indonesia. Sehingga akhirnya kita mengenal apa yang

dinamakan dengan UU penanaman modal asing (PMA) tahun 1967.

Ketika Indonesia kembali dihadapkan pada sebuah krisis ekonomi yang cukup

parah di akhir 1990an, nampaknya modal asing diharapkan dapat kembali menjadi

“pahlawan” bagi pemulihan perekonomian Indonesia. Sebagai sebuah kekuatan

transnasional, keterlibatan modal asing dalam upaya pemulihan keadaan ekonomi

Indonesia menjadi sangat signifikan. Karena dengan masuknya kembali modal asing,

diharapkan akan kembali memberikan pemasukan bagi negara. Sehingga pada akhirnya

akan kembali menggerakan perekonomian Indonesia yang sempat terhenti di saat krisis.

Signifikansi modal asing dalam perekonomian Indonesia sebenarnya juga sudah dapat

terlihat ketika krisis ekonomi mulai terjadi. Menjelang terjadinya krisis nampak terjadi

121

penurunan jumlah investasi asing yang masuk ke Indonesia. Dalam laporan yang

dikeluarkan oleh BKPM tercatat bahwa nilai investasi asing antara 1 Januari-15 Juli 1997

hanya mencapai US$16.161,7 juta. Sedangkan pada periode yang sama tahun 1996 nilai

investasi asing yang masuk mencapai US$21.512,1 juta (lihat tabel IV.1).169

Tabel IV.1

Ikhtisar Perkembangan Persetujuan

Penanaman Modal Asing

Uraian 16 Juni-15

Juli 1997

1 Jan- 15

Juli 1997

1 Jan-15

Juli 1996

1967/1968

s/d 15 Juli 199

Perbandingan

3 dan 4

dalam (%)

1 2 3 4 5 6

1.Jumlah Proyek

55

428

611

5.221

70

2.Nilai investasi (US$ Juta) 1.334,3

16.161,7

21.512,1

185.968,1

75,1

3.Tenaga Kerja

a.TKI

b.TKA

16.405

535

121.799

4.365

224.282

6.044

2.934.295

81.463

54,3

72,2

4.Proyek berorientasi ekspor

a.Jumlah proyek

b.Nilai investasi (US$ Juta)

c.Potensi nilai ekspor (US$

Juta)/ tahun

28

908,0

440,5

217

11.292,2

6.799,8

346

12.252,7

6.855,8

3.172

104.929,9

76.616,2

62,7

92,2

99,2

Sumber: Lampiran IA, Laporan Perkembangan Penanaman Modal BKPM Sampai Juli 1997.

169 Laporan Perkembangan Modal BKPM sampai Juli 1997.

122

Begitu besarnya ketergantungan Indonesia pada modal asing untuk memulihkan

situasi ekonominya, telah menempatkan posisi pemerintah Indonesia dalam posisi yang

dilematis. Di satu sisi pemerintah Indonesia mengharapkan investasi asing dapat kembali

masuk untuk dapat memutar kembali perekonomiannya. Sementara di sisi lain

pemerintah juga dihadapkan pada persoalan, bahwa krisis yang dialami oleh Indonesia

telah meruntuhkan sebagian besar kelompok-kelompok bisnis yang ada. Sehingga apabila

para investor asing tersebut telah kembali masuk, bukan mustahil jika pada akhirnya

nanti seluruh sektor bisnis dan ekonomi Indonesia akan dikuasai oleh para investor asing. Masuknya investasi asing pada dasarnya selain dapat berfungsi sebagai penambah

pemasukan bagi negara, juga dapat digunakan sebagai alat pendorong peningkatan

kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship) para pengusaha domestik. Namun sekali

lagi, persoalan yang ada selama ini adalah bahwa ternyata banyak dari pengusaha

Indonesia yang kurang bahkan tidak memiliki kemampuan tersebut. Sebab selama

puluhan tahun kebanyakan dari mereka telah dimanjakan dengan berbagai kemudahan

dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Sehingga dengan masuknya investasi asing

pasca krisis ini, kita tidak lagi hanya sekedar meningkatkan kemampuan kewirausahaan

tersebut, tetapi lebih jauh lagi kita harus mulai kembali membentuk kemampuan seperti

itu dikalangan pengusaha.

Meski negara telah kehilangan otonomi relatifnya, dengan masuknya modal asing

ke Indonesia hal ini tidak berarti bahwa para pejabat negara atau para birokrat juga akan

kehilangan kesempatan untuk menjadi pemburu rente. Sebab kalau tidak hati-hati hal ini

akan dapat melahirkan bentuk lain dari patronase bisnis, yang pada intinya tetap

didasarkan pada praktek-praktek korupsi dan kolusi. Sikap kehati-hatian ini perlu untuk

terus dikembangkan karena bagaimanapun juga tidak sedikit aset nasional yang masih

berada dibawah pengawasan dan pengendalian negara. Sehingga ketika hendak

mengekploitasinya diperlukan izin khusus.

Di negara manapun di dunia ini institusi militer bukan merupakan institusi bisnis

yang profesional. Jadi ketika militer tersebut turut serta didalam kegiatan bisnis, maka

dalam pengelolaan bisnisnya-pun menjadi tidak profesional. Ketika kasus ini terjadi di

Indonesia, bisnis militer yang berkembang adalah praktek-praktek bisnis yang seringkali

melibatkan kekuasaan-kekuasaan politik Selain itu bisnis militer yang telah menjadi

123

“bagian” dari pelaku ekonomi dan bisnis nasional Orde Baru tersebut, juga telah

menikmati berbagai fasilitas lain dari pemerintah. Sehingga setelah Orde Baru runtuh,

maka kemampuan kewirausahaan dari bisnis militer juga akan menjadi sebuah

pertanyaan besar. Modal asing yang telah menjadi faktor penting--dan terus bertambah

penting-- dalam perekonomian Indonesia pasca Orba, nampaknya tidak akan mau

dirugikan dengan masih adanya praktek-praktek bisnis semacam ini. Sehingga pada

akhirnya akan memunculkan persoalan baru tentang nasib dari bisnis militer ini. Agar

dapat memahaminya, perlu kiranya kita kembali melihat latar belakang dari kemunculan

bisnis militer tersebut.

Berbagai uraian sebelumnya secara jelas menyebutkan bahwa alasan yang

seringkali dilontarkan oleh pihak militer ketika ditanyakan tentang keberadaan dari bisnis

ini adalah keterbatasan dana, terutama untuk peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan

sebagian dana oprasional non-budgeter. Namun dalam kenyataannya selama bertahun-

tahun dengan adanya praktek bisnis militer tersebut, telah mengakibatkan institusi militer

berkembang tidak lebih dari sekedar sebuah institusi komprador ekonomi. Adanya hal

yang demikian ini jelas akan menimbulkan kesan yang buruk kepada para investor asing.

Bila diperhatikan, adanya praktek bisnis militer di satu sisi dan modal asing di lain pihak

juga akan menimbulkan kesan adanya kebijakan yang ambivalen dari pemerintah. Namun

dalam konteks skripsi ini menurut penulis persoalan utamanya tidak terletak pada

kebijakan yang ambivalen tersebut, tetapi pada bagaimana meletakan bisnis militer di

dalam sebuah kerangka kebijakan ekonomi yang lebih liberal. Sebab jelas di dalam

sebuah negara dengan kebijakan ekonomi yang liberal, tentangan terhadap praktek-

praktek bisnis dengan banyak melibatkan institusi negara akan semakin besar.

Berkembangnya militer sebagai sebuah institusi komprador ini tidak mustahil

akan dapat menjadi salah satu penghambat program perbaikan ekonomi Indonesia. Sebab

hal ini akan memberi kesan kepada para investor bahwa pemerintah Indonesia tidak

serius dalam menjalankan reformasi ekonominya. Sehingga pada akhirnya investor

menjadi segan untuk menamkan investasinya di Indonesia. Padahal kita tahu bahwa

negara Indonesia pasca krisis sangat mengharapkan investasi asing mau kembali masuk

dan menanamkan modalnya di Indonesia. Dari sini perlu kembali kita pertimbangkan

apakah bisnis militer tersebut perlu terus diadakan atau tidak.

124

Jika kita hendak meneruskan keberadaan bisnis militer ini yang juga perlu

kemudian kita lihat adalah profesionalitas dari institusi militer Indonesia. Hal ini menjadi

penting karena selama Orde Baru ini keberadaan bisnis militer tersebut merupakan

sebuah indikasi dari tidak profesionalnya militer di Indonesia. Militer yang telah banyak

terlibat dalam bidang-bidang ekonomi, bisnis, sosial dan politik telah melupakan peran

utamanya sebagai alat negara di bidang pertahanan.

Sementara itu jika hendak menghapuskan keberadaan bisnis militer ini, persoalan

anggaran-lah yang perlu menjadi bahan pertimbangan. Pembentukan militer Indonesia

menjadi sebuah institusi militer yang profesional tentu bukan persoalan yang mudah.

Diperlukan kearifan dari rezim yang berkuasa untuk dapat memberikan anggaran yang

cukup bagi militer Indonesia. Tetapi persoalannya kondisi ekonomi dan finansial yang

dimiliki negara saat ini sangat tidak memungkinkan hal tersebut dilakukan. Sehingga

diperlukan jalan pemecahan lain yang dapat menjadikan militer Indonesia profesional,

namun tidak juga menambah persoalan keuangan pemerintah. Mungkin untuk sementara

waktu bisnis militer ini bisa tetap dipertahankan. Setidaknya sampai persoalan utama dari

ekonomi Indonesia terselesaikan. Namun selama itu bukan berarti restrukturisasi institusi

militer tidak dilakukan. Hal tersebut perlu terus dilakukan, hingga pada akhirnya

diharapkan begitu bisnis militer ini dihapuskan telah pula terbentuk sebuah organisasi

atau institusi kemiliteran yang lebih efektif dan profesional.

Jadi, dari berbagai penjelasan dalam bab ini secara keseluruhan kita akan melihat

bahwa ada sebuah rangkaian peristiwa dan perubahan yang saling berkaitan satu dengan

lainnya. Perubahan dan krisis yang terjadi di negara Indonesia, baik secara ekonomi dan

terutama politik saat ini, ternyata tidak terlepas dari terjadinya krisis ekonomi dan

moneter yang terjadi semenjak tahun 1997. Secara politik, terlihat bahwa ada korelasi

yang sangat kuat antara jatuhnya rezim otoriter Orde Baru dibawah Jendral Besar Suharto

dengan terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah berhasil

memperlemah kekuasaan Orde Baru. Orde baru yang selama lebih dari tiga dekade

mengkonsentrasikan pemerintahannya pada persoalan ekonomi, telah terbukti gagal

untuk menciptakan sebuah kestabilan dan keseimbangan fundamental ekonomi. Peran

negara yang besar dalam ekonomi menjadi terbukti tidak efektif. Sebaliknya peran negara

yang besar tadi pada akhirnya justru telah menciptakan bumerang bagi kekuasaan

125

Suharto. Sejalan dengan itu semua, jika dicermati kemunculan gerakan reformasi pada

dasarnya juga merupakan salah satu akibat dari terjadinya krisis ekonomi. Hal ini

menunjukan bahwa tuntutan reformasi seperti yang tengah terjadi sampai saat ini, dapat

menjadi sebuah “senjata demokratisasi” yang efektif ketika negara berada pada posisi

yang lemah secara ekonomi. Lemahnya posisi negara secara ekonomi ini, jelas akan

sangat berdampak pada otonomi relatif yang dimiliki negara sebelumnya.

Lebih jauh lagi, ternyata dengan lengsernya Suharto yang selanjutnya diikuti

dengan kemunculan gerakan reformasi, juga semakin menyudutkan posisi militer. Militer

yang telah selama lebih dari 32 tahun mapan dalam dunia politik, kini semakin mendapat

sorotan tajam. Konsep dwifungsi yang selama Orde Baru telah menjadi alat legitimasi

bagi keterlibatan militer dalam masalah-masalah sosial dan politik juga terus mendapat

kecaman. Sementara itu, krisis ekonomi yang kemudian terus berkembang menjadi krisis

politik tersebut, terbukti cukup ampuh sebagai alat penghapusan peran militer dalam

politik di Indonesia. Bila demikian, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa berbagai

perubahan politik yang terjadi selama ini adalah salah satu “hasil” dari terjadinya krisis

ekonomi. Dan dengan semakin berkembangnya kecaman dan tuntutan untuk

menghapuskan dwifungsi tersebut, berarti pula adanya peningkatan kesadaran dalam

masyarakat untuk menjadikan militer Indonesia sebagai militer yang profesional. Dan hal

ini juga dapat dilihat sebagai sebuah tuntutan dihapusnya bisnis militer.

126

Bab V Krisis Ekonomi, Militer dan Proses Demokratisasi

Pasca Orde Baru.

Krisis ekonomi ternyata dalam perkembangannya tidak hanya menimbulkan

berbagai implikasi yang bersifat ekonomi. Berbagai perubahan politik yang terjadi

menjelang kejatuhan rezim Orde Baru dan pasca Orde Baru, ternyata pada dasarnya tidak

dapat dilepaskan begitu saja dari terjadinya krisis ekonomi yang telah mengakibatkan

melemahnya posisi tawar menawar negara terhadap masyarakat. Masyarakat domestik

yang selama ini menganggap bahwa negara Orde Baru merupakan sebuah negara yang

sangat “kuat” dan otoriter, ternyata dengan terjadinya krisis ini telah dibangunkan dari

“mimpi buruknya” selama ini, bahwa negara Orde Baru bukanlah sebuah negara yang

apabila ditinjau dari perpektif ekonomi politik, merupakan negara yang kuat dengan

dukungan kekuatan ekonomi yang kuat pula. Dalam bab ini akan dibahas secara lebih

mendalam lagi bagaimana negara Indonesia Orde Baru yang telah terlebih dahulu

“dihancurkan” otonomi relatifnya oleh kekuatan kapitalisme internasional --IMF dan

modal asing--, kemudian juga harus berhadapan dengan kekuatan politik dalam negeri

yang secara terus menerus menuntut perubahan sistem politik, yang juga berarti

merupakan tuntutan penghapusan peran sosial politik militer. Dimana bisnis militer juga

merupakan salah satu bagian yang tak dapat dipisahkan darinya.

1 Negara dan Masyarakat.

1.1 Melemahnya Negara.

Sebagaimana telah banyak dijelaskan dalam bab IV, ketika krisis ekonomi terjadi,

negara Orde Baru telah kehilangan kemampuan tawar menawarnya terhadap kekuatan

modal internasional. Begitu lemahnya posisi negara tersebut sehingga IMF dengan

mudah mendikte segala kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pemerintah

Indonesia. Disepakatinya nota kesepahaman (LoI) kiranya dapat dijadikan salah satu

bukti yang jelas akan adanya bentuk-bentuk ketergantungan ekonomi gaya baru dari

negara Indonesia kepada kekuatan kapitalisme internasional. Dan disadari atau tidak,

sampai kapanpun Indonesia tidak akan dapat melepaskan bentuk ketergantungan

127

ekonomi tersebut, apalagi di tengah perubahan situasi ekonomi internasional yang makin

mengglobal.

Melemahnya negara Indonesia Orde Baru, ternyata tidak hanya dapat dilihat dari

sisi ekonominya saja. Dengan terjadinya krisis ekonomi pada akhir dekade 1990an,

secara posisi politik negara Orde Baru terutama terhadap masyarakat domestik juga turut

melemah. Melemahnya posisi politik ini sebenarnya dapat dilihat dari munculnya

berbagai persoalan dan gejolak sosial dan politik yang banyak terjadi semenjak tahun

1996.

Kemunculan berbagai gejolak politik politik tersebut sebenarnya pada awalnya

dapat dilihat dari perubahan cara pandang masyarakat terhadap negara. Terjadinya krisis

ekonomi itu sendiri sebenarnya telah menciptakan sebuah kesempatan baru bagi gerakan

demokratisasi di Indonesia. Dalam pengertian bahwa tuntutan reformasi yang kemudian

banyak disuarakan menjadi efektif ketika terjadi krisis ekonomi. Hal ini dimungkinkan

karena posisi negara pada saat terjadi krisis terhadap masyarakat, menjadi lemah. Negara

Orde Baru yang sebelumnya dianggap sebagai sebuah negara yang sangat kuat dengan

didukung oleh kekuatan militer yang cukup solid, ternyata dengan terjadinya krisis ini

membuktikan bahwa kekuatan negara Orde Baru selama ini adalah semu. Sehingga

menjadikan krisis ekonomi ini di satu sisi sebagai instrumen yang telah “menyadarkan”

sebagian besar masyarakat untuk secara lebih berani lagi menghadapi sikap otoriterisme

rezim Orde Baru.

Dalam melihat hubungan atau signifikansi partisipasi masyarakat dalam proses

demokratisasi di Indonesia, hal pertama yang harus kita lakukan ialah memilah-milah

siapa yang dimaksud dengan masyarakat tersebut diatas. Setidaknya kita dapat membagi

masyarakat tadi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama dari masyarakat tersebut

ialah orang-orang yang secara jelas menjadi pendukung rezim Orde Baru. Kelompok

kedua terdiri atas orang-orang yang secara terus terang menyebutkan ketidaksetujuannya

pada rezim Orde Baru. Dan sebagai pencerminan dari ketidaksetujuan tersebut, maka

mereka kemudian melakukan bentuk-bentuk perlawanan. Hal ini dapat dibuktikan dengan

kemunculan LSM-LSM atau lembaga-lembaga lain yang kerap kali melakukan kritikan

terhadap pemerintah Orde Baru. Diluar itu bentuk-bentuk perlawanan lain dapat juga

dilihat dari mulai tumbuhnya berbagai gerakan yang meski belum teroganisir secara baik,

128

tetapi telah mampu menunjukan bahwa ada kesadaran yang cukup tinggi dalam

masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap otoritas politik pada masa itu, seperti

yang dapat dilihat dari perkembangan aksi-aksi buruh.170

Kelompok ketiga dari masyarakat tersebut diatas ialah orang-orang yang pada

dasarnya bukan atau tidak mendukung rezim Orde Baru, namun mereka tidak melakukan

tindakan-tindakan seperti yang dilakukan oleh kelompok kedua. Jika dicermati mereka

tersebut bukannya tidak berdaya, tetapi tampaknya dalam hal ini mereka jugalah yang

tidak ingin memberdayakan dirinya sendiri. Dalam pengertian bahwa mereka tidak mau

mengambil sikap yang berhadapan langsung dengan rezim. Mungkin di dalam sebuah

kesempatan mereka menunjukan ketidaksetujuan mereka terhadap rezim Orde Baru.

Namun ketika berhadapan dengan penguasa mereka justru tidak ingin menunjukan

ketidaksetujuannya tersebut. Hal ini dimungkinkan karena mereka telah mendapatkan

keuntungan dari sistem yang ada. Tetapi ketika terjadi krisis ekonomi, mereka kemudian

merasa bahwa negara Orde Baru tidak lagi dapat memberikan keuntungan sebagaimana

yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Mereka yang sebelumnya mampu

menyekolahkan anaknya ke luar negeri, berkeliling dunia dan sebagainya, dengan

terjadinya krisis ini mereka terpaksa harus memulangkan kembali anaknya atau tidak lagi

dapat berbelanja ke luar negeri. Sebagai akibatnya mereka kemudian menjadikan rezim

Orde Baru sebagai sumber kehancuran ekonomi yang harus segera dimusnahkan.

Di lain pihak militer yang sebelumnya seringkali dianggap solid dan merupakan

salah satu pendukung utama dari kekuasaan Suharto mulai menunjukan fragmentasi,

terutama di kalangan pejabat dan perwira tingginya. Sebagai sebuah kekuatan politik

pendukung jelas hal ini akan sangat tidak menguntungkan bagi rezim Orde Baru. Sebab

sebagai salah satu alat penopang utama kekuasaan Suharto, perpecahan dalam tubuh

militer juga dapat dijadikan salah satu indikator turunnya “kewibawaan” rezim di

hadapan publik dalam negeri. Pertentangan dalam memandang keberadaan dwifungsi

ABRI diantara para pejabat militer rasanya dapat dijadikan salah satu indikator yang jelas

dalam melihat perpecahan yang terjadi di dalam tubuh organisasi militer menjelang

kejatuhan Orde Baru. Fragmentasi atau perpecahan yang terjadi di dalam tubuh militer

170 Meski diawali dari kebutuhan ekonomis mereka, perkembangan aksi-aksi buruh di Indonesia masa Orde Baru secara umum telah pula memberikan kontribusinya dalam proses demokratisasi di Indonesia.

129

menjadi semakin nampak jelas terlihat setelah munculnya dua faksi yang saling

bertentangan, yaitu adanya “ABRI hijau” dan “ABRI merah-putih”. Dengan munculnya

kedua faksi tersebut, jelas akan sangat berpengaruh kepada peran politik militer, dimana

pada akhirnya juga akan akan sangat berpengaruh pada stabilitas politik nasional

Indonesia. Misalnya saja hal tersebut dapat dilihat ketika terjadi penggusuran yang

dilakukan oleh para perwira yang tergolong di dalam kelompok “ABRI merah-putih”

yang didukung oleh Wiranto terhadap kelompok “ABRI hijau”. Hal ini seringkali

diartikan sebagai salah satu sarana untuk memuluskan jalan Wiranto ke jabatan

Wapres.171

Dari sisi perkembangan sebuah institusi kemiliteran, perpecahan semacam itu

mungkin saja dapat dipandang sebagai sebuah awal dari hancurnya sebuah tatanan

hirarkis. Namun di sisi demokratisasi, dengan adanya perpecahan semacam itu dapat

diartikan sebagai sebuah “awal yang baik” dari proses demokratisasi politik. Sebab

seperti telah seringkali disebutkan sebelumnya, peta perpolitik Indonesia banyak

ditentukan oleh peran politik militer. Meski selama Orde Baru Suharto merupakan kunci

utama dari berbagai kebijakan politik, namun mengabaikan faktor militer dalam

memahami sistem politik Indonesia terutama semasa Orde Baru adalah merupakan

sebuah kesalahan besar.

Hal yang tidak jauh berbeda ternyata juga dialami oleh Golkar. Sebagai organisasi

sosial politik yang juga menjadi pendukung utama Orde Baru, perpecahan yang terjadi

juga tidak dapat dihindari. Terutama menjelang munas yang akan memilih ketua umum

baru. Selain itu Golkar yang merupakan tunggangan politik Orde Baru dalam beberapa

kali pemilihan umum,172 ternyata juga harus berhadapan dengan opini publik yang telah

memandangnya sebagai dalang bagi segala sumber keborokan sistem politik selama ini.

Dengan demikian ia juga harus menjadi salah satu kekuatan politik yang harus

dimusnahkan. Karena itu perpecahan yang terjadi di dalam Golkar merupakan sesuatu hal

yang tidak bisa di abaikan begitu saja dalam memahami hilangnya kewibawaan rezim

Orde Baru.

171 Ikrar Nusa Bhakti et al, Tentara Yang Gelisah, Jakarta, Mizan, 1999, hal:146 172 Lihat Golkar Retak, Jakarta, ISAI, 1999.

130

Selain itu berkembanganya isu-isu seperti pelanggaran hak azasi manusia (HAM) yang

sebelumnya banyak dilakukan oleh negara --terutama militer--, juga semakin

mempersulit posisi negara. Beberapa aksi kekerasan yang dilakukan oleh negara, seperti

peristiwa 27 Juli, penculikan serta penahanan beberapa aktivis pro demokrasi, dan

terakhir disusul dengan terjadinya kerusuhan rasial pada pertengahan Mei 1998, ternyata

sangat berimplikasi pada semakin turunnya kewibawaan atau legitimasi rezim Orde Baru

di hadapan publik domestik. Dengan terjadinya berbagai peristiwa tersebut, masyarakat

pada akhirnya justru menjadi semakin disadarkan akan posisi politik mereka yang sangat

penting bagi sebuah proses perubahan sistem politik. Sebab bagaimanapun juga ada

tidaknya dukungan masyarakat merupakan faktor yang penting bagi keberlangsungan

sebuah rezim, terlepas apakah dukungan yang diberikan tersebut memang benar

merupakan hasil dari kesadaran politik mereka sendiri atau itu merupakan hasil dari

sebuah mobilisasi politik.

1.2 Menuntut Perubahan.

Sebagaimana telah menjadi tradisi politik Orde Baru sebelumnya, ketika itu

(1997) rezim yang berkuasa tengah mempersiapkan sebuah pemilihan umum. Sebuah

pemilu yang juga telah menjadi sebuah alat legitimasi bagi keberlangsungan kekuasaan

yang otoriter. Besarnya kekuasaan Suharto saat itu, turut pula menjadikan pemilu sebagai

sebuah sarana untuk lebih mempertegas bahwa, tidak ada penguasa politik lain selain

Orde Baru. Meski demikian, ketika itu bukan berarti tidak ada isu mengenai suksesi

politik. Orde Baru yang telah berkuasa selama tiga dekade, menjelang pelaksanaan

pemilu mulai berhadapan dengan masyarakat yang menginginkan akan adanya perubahan

politik. Semakin berkembangnya isu suksesi kepemimpinan setidaknya juga dapat

dijadikan sebagai salah satu indikasi dari adanya tuntutan perubahan tersebut.

Dalam bab IV telah digambarkan bagaimana negara Indonesia di bawah Orde Baru mulai

mengalami keterpurukan ekonomi. Sehingga menyebabkan Indonesia harus meminta

bantuan kepada IMF. Dimana hal tersebut jelas akan menciptakan sebuah bentuk

ketergantungan ekonomi baru yang sangat mengikat173. Krisis ekonomi Asia yang juga

dirasakan di Indonesia pada pertengahan 1997 ternyata telah pula membuka “mata”

sebagian besar dari masyarakat Indonesia tentang situasi dan keadaan yang sebenarnya

173 Lihat pula lampiran LoI.

131

dari kondisi ekonomi (dan politik) Indonesia selama Orde Baru. Dari sinilah mulai

muncul berbagai tuntutan perubahan baik secara ekonomi maupun politik.

Mengacu kepada berbagai argumentasi diatas yang telah menyebutkan bahwa, terjadinya

krisis ekonomi merupakan “instrumen” yang telah menyadarkan masyarakat tentang

pentingnya posisi politik mereka dalam proses perubahan politik, maka ketika terjadi

tuntutan untuk melakukan perubahan --atau yang kemudian dikenal dengan nama

reformasi-- tidak mengherankan apabila berbagai tuntutan yang pertama muncul dan

berkembang adalah tuntutan tentang perbaikan di bidang ekonomi. Kalau kita melihat

kembali kepada masa-masa awal terjadinya tuntutan reformasi, mungkin kita akan

kembali diingatkan pada terjadinya kelangkaan sembilan bahan pokok (sembako) di

kalangan masyarakat. Sulitnya masyarakat untuk mendapatkan berbagai kebutuhannya

sehari-hari jelas telah menimbulkan berbagai keresahan. Keresahan itu kemudian

berlanjut dengan terjadinya penimbunan bahan-bahan kebutuhan pokok tersebut oleh

sebagian masyarakat. Dan bukan sesuatu yang mengherankan apabila kemudian harga-

harga kebutuhan pokok tersebut menjadi semakin meningkat. Kesulitan-kesulitan dan

keresahan-keresahan semacam itulah yang pertama kali menjadi pemicu munculnya

berbagai desakan perubahan. Sehingga mengakibatkan desakan pertama perubahan

tersebut adalah tuntutan penurunan harga-harga kebutuhan pokok oleh masyarakat.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, tuntutan perubahan yang dilakukan

oleh masyarakat tidak lagi sebatas penurunan harga. Lebih jauh lagi masyarakat

kemudian meminta atau mendesakan perubahan yang lebih substansial di bidang-bidang

seperti ekonomi, hukum dan terutama di bidang politik. Ada beberapa hal yang dapat

dijadikan inti dari tuntutan perubahan yang muncul di masyarakat:

a. Turunnya Suharto agar bisa membentuk pemerintahan yang bersih dan

kuat, dan menuntut MPR untuk secara khusus bertemu dan berbicara

dengan Suharto tentang akuntabilitasnya sebagai presiden, dan

menggantikannya.

b. Kabinet harus di-reshuffle, terutama untuk menteri-menteri di bidang

ekonomi, keuangan dan industri.

c. Revisi terhadap lima UU politik, yaitu UU Kepartaian, UU Ormas, Pmilu,

referendum dan komposisi keanggotaan DPR dan MP. Mereka juga

132

menuntut perlu adanya peraturan dan hukum untuk memperkuat parlemen,

serta masalah dwifungsi ABRI. Disamping itu juga dituntut penghapusan

rekayasa politik yang bertujuan pemusatan kekuasaan pada suharto dan

Golkar.

d. Revisi terhadap rekrutmen anggota MPR, terutama untuk utusan daerah dan

organisasi politik dimana mereka harus mewakili kelompok masyarakat.

Penghapusan nepotisme dan mengajukan anggota DPR dan MPR. Fraksi-

fraksi di DPR harus berani menyuarakan aspirasi rakyat dan mengawasi

pemerintahan bukan sebaliknya.

e. Pelaksanaan HAM di segala bidang, hak hukum warga negara harus

dihormati dan dijamin. Aparat negara khususnya ABRI tidak boleh bersikap

represif dalam menghadapi rakyat khususnya para aktivis. Rakyat harus

memiliki kesempatan untuk menyatakan aspirasinya melalu demonstrasi.

f. Reformasi hukum, dan dihapuskannya korupsi, kolusi, nepotisme dan

monopoli di segala bidang.174

Dari berbagai tuntutan reformasi yang muncul seperti disebutkan di atas,

membuktikan bahwa, bagi masyarakat perubahan sistem sosial, hukum, ekonomi maupun

politik merupakan sesuatu yang tidak dapat ditunda lagi. Atau dengan kata lain reformasi

harus mencakup adanya pergantian rezim lama ke rezim baru, adanya keberpihakan

kepada rakyat yang salama ini terabaikan, mengurangi kecenderungan sentralisme

kekuasaan, pendistribusian kekuasaan, supremasi hukum yang tidak bisa dikalahkan oleh

kekuatan politik maupun ekonomi.175

Begitu pula apabila kita mencoba memahami meluasnya tuntutan reformasi dari

sisi masyarakatnya. Jika kita melihat kembali pada penjelasan awal bab ini, nampak

bahwa ada pergeseran cara pandang sebagian golongan dari masyarakat terhadap negara.

Pergeseran cara pandang sebagian golongan dalam masyarakat ini akan semakin nampak

terlihat bila kita mencoba untuk melihat siapa-siapa saja yang aktif terlibat untuk

menuntut diadakannya perubahan. Meski diawali dengan kemunculan demonstrasi yang

dilakukan mahasiswa, tetapi pada perkembangannya, tuntutan akan adanya perubahan

174 Ikrar Nusa Bhakti et al, Tentara…opcit, hal:87-88. 175 Ibid, hal:89.

133

atau reformasi tersebut menjadi berkembang ke berbagai kelompok masyarakat, seperti

yang dikeluarkan oleh kelompok-kelompok alumni dari berbagai perguruan tinggi di

Indonesia dan termasuk juga yang dilakukan oleh para peneliti LIPI melalui pernyataan

keprihatinannya.

Mencermati berbagai tuntutan perubahan tersebut, dan kemudian mengaitkannya

dengan argumentasi yang dikemukakan oleh Huntington diatas, nampak jelas bahwa

turunnya legitimasi dan “kewibawaan” negara Orde Baru pada awalnya sangat

dipengaruhi oleh terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia di akhir dekade

1990an. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab IV, Asia mengalami pertumbuhannya

yang pesat pada dekade 1990an, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang juga

mengalami pertumbuhan yang pesat tersebut. Namun hantaman badai krisis ekonomi

Asia yang juga dirasakan di Indonesia, telah melemahkan posisi negara atau dalam hal ini

rezim otoriter Orde Baru terhadap masyarakat. Dengan melemahnya posisi ini

mengakibatkan munculnya kekuatan baru dalam masyarakat yang mampu menghadapi

otoritas negara, yang perwujudannya dapat dilihat dari adanya berbagai tuntutan seperti

di atas.

Selain itu seperti juga telah dijelaskan dalam tesis Huntington tersebut di atas,

pertumbuhan ekonomi sebelum krisis telah pula mengakibatkan meningkatnya tingkat

pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Berkembangnya teknologi terutama di bidang

komunikasi juga menjadi pendukung berkembangnya tuntutan akan perubahan tersebut.

Karena dengan adanya berbagai kemajuan tersebut masyarakat dapat dengan lebih mudah

menyerap berbagai ide-ide baru tentang demokratisasi, yang pada gilirannya juga

menjadi alat penekan yang efektif bagi perubahan politik di Indonesia. Dan sekali lagi hal

ini dapat pula diartikan sebagai salah satu bukti lain dari hilangnya otonomi relatif negara

terhadap masyarakat. Karena negara tidak lagi mampu memediasi segala kepentingan

yang muncul di masyarakat. Apalagi untuk memajukan kepentingannya sendiri. Sebab

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, otonomi relatif dalam konteks negara pasca

kolonial, seringkali diartikan pula sebagai perwujudan dari adanya kepentingan negara

yang terpisah dari kepentingan-kepentingan kelas yang ada dalam masyarakat.

134

2. Menciptakan Institusi Militer Yang Profesional

2.1 Pencabutan Dwifungsi

Dari berbagai penjelasan terdahulu telah banyak disebutkan bahwa perkembangan

patronase bisnis militer tidak dapat dipisahkan begitu saja dari keberadaan doktrin

dwifungsi. Dwifungsi ABRI sebagaimana telah banyak diketahui merupakan dasar

legitimasi bagi pihak militer untuk dapat berkecimpung di bidang-bidang lain, diluar

persoalan pertahanan. Termasuk di dalamya adalah keterlibatannya dalam praktek-

praktek bisnis. Dalam rangka pembentukan kembali militer Indonesia sebagai sebuah

institusi kemiliteran yang profesional, sangat jelas bahwa penghapusan atau pencabutan

dwifungsi ini sudah menjadi suatu keharusan.

Seperti telah pula disebutkan diatas, terjadinya krisis ekonomi telah pula

“menciptakan” kesadaran politik bagi sebagian masyarakat untuk lebih gigih menuntut

perubahan di bidang politik dimana penghapusan peran sosial politik militer merupakan

salah satunya. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi telah memberikan kesempatan baru

bagi masyarakat untuk dapat dengan lebih leluasa menyuarakan berbagai keinginannya,

termasuk di dalamnya ialah penghapusan dwifungsi.

Menjelang kejatuhan Suharto, tuntutan akan penghapusan doktrin dwifungsi

ABRI ini semakin membesar dan meluas. Suharto sebagai panglima tertinggi Angkatan

Bersenjata dengan pangkat Jendral Besarnya, selama Orde Baru telah berhasil

menciptakan ketergantungan yang besar dari para pejabat dan perwira militer

terhadapnya. Dengan adanya kedua hal tersebut pula ia mampu menentukan siapa-siapa

saja yang duduk pada berbagai jabatan strategis, baik itu yang masih berada dibawah

struktur organisasi kemiliteran itu sendiri maupun pada berbagai jabatan politik dan

birokrasi yang sebenarnya berada di luar struktur kemiliteran atau berbagai jabatan lain

yang berhubungan dengan doktrin dwifungsi dan konsep kekaryaan. Dominannya

kekuasaan Suharto dalam struktur kemiliteran tersebut akan semakin terlihat apabila kita

mencoba mencermati berbagai fenomena atau peristiwa tang terjadi semasa Orde Baru.

Karir seorang perwira --terutama perwira tinggi-- dapat saja tiba-tiba melejit atau bahkan

terhenti di tengah jalan sesuai dengan kebutuhan politik Suharto. Meski di dalam

organisasi kemiliteran itu sendiri dikenal adanya dewan jabatan dan kepangkatan tinggi

(Wanjakti), namun pada akhirnya pada keputusan Suharto --terlepas dari jabatannya

135

sebagai presiden-- pulalah karir seorang perwira akan ditentukan. Hal-hal semacam inilah

yang seringkali menimbulkan “kekecewaan” di sebagian kalangan perwira militer.

Karena dengan demikian militer memang benar-benar telah menjadi alat bagi

kelangsungan kekuasaan Suharto.176 Oleh karena itu wajar apabila kemudian timbul

keinginan pada sebagian kecil kalangan militer untuk menghapuskan doktrin dwifungsi

dan juga kekaryaan tersebut. Sebab bagaimanapaun juga dengan adanya kedua hal

tersebut, maka keterlibatan militer dalam politik dan juga bidang-bidang lain menjadi

terlegitimasi.

Tuntutan atas penghapusan doktrin dwifungsi ini sebanarnya bukan lagi menjadi

sesuatu yang baru dalam proses demokratisasi di Indonesia. Jika mencermati berbagai

penjelasan dalam bab-bab sebelumnya, nampak bahwa penghapusan peran politik militer

adalah kunci utama dari dimulainya sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Untuk hal

itulah, maka pencabutan dwifungsi ABRI menjadi faktor yang sangat signifikan. Dan

momentum krisis ekonomi ini sebenarnya dapat dijadikan sebagai sebuah kesempatan

yang baik bagi pelaksanaan pencabutan dwifungsi tersebut. Karena seperti telah pula

dijelaskan pada awal bab ini, bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia ini telah

membalikan semua kenyataan dan fakta yang ada, dimana telah menjadikan posisi tawar

menawar negara lebih lemah di hadapan publiknya sendiri.

Apabila kita cermati berbagai tuntutan yang disuarakan oleh masyarakat seperti

disebutkan diatas, hal tersebut jelas sekali memperlihatkan bahwa pada masyarakat

Indonesia sekarang di masa pasca Orde Baru ini, ada sebuah keinginan yang besar untuk

menjadikan militer Indonesia kembali tumbuh sebagai sebuah kekuatan bersenjata yang

memang benar-benar hanya berkecimpung dalam persoalan pertahanan (profesional).

Tidak lagi turut serta dalam berbagai persoalan sosial politik seperti pada masa-masa

sebelumnya. Tuntutan akan adanya pengurangan dan penghapusan fraksi TNI/Polri di

DPR atau pemisahan kepolisian dari angkatan bersenjata hanya merupakan sebagian kecil

dari tuntutan penghapusan peran politik militer serta pembentukan organisasi militer yang

lebih profesional. Namun sekali lagi untuk mencapai itu semua hal pertama yang harus

disadari dan dilakukan ialah penghapusan dari doktrin dwifungsi tersebut.

176 Lihat penjelasan sebelumnya dalam catatan kaki no:82.

136

Apabila ditelusuri kebelakang sebenarnya telah banyak dari kalangan aktivis pro

demokrasi yang sudah terlebih dahulu menuntut penghapusan dwifungsi tersebut di masa

Orde Baru. Misalnya saja dalam manifesto Partai Rakyat Demokrat (PRD) --salah satu

partai terlarang semasa Orde Baru-- telah pula menuntut akan adanya penghapusan

dwifungsi tersebut.177 Begitu pula dengan berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh

mahasiswa pada masa-masa awal reformasi. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya pada

sebagian kalangan masyarakat sendiri telah tumbuh semacam kesadaran akan pentingnya

penghapusan dwifungsi ABRI untuk dapat menciptakan militer Indonesia menjadi lebih

profesional sekaligus pembentukan sebuah sistem politik yang lebih demokratis.178

Bila di masyarakat telah terjadi perubahan cara pandang terhadap dwifungsi

tersebut, yang kemudian patut dipertanyakan adalah bagaimana institusi militer itu

sendiri melihat berbagai tuntutan tersebut. Hal ini menjadi penting karena tuntutan-

tuntutan tersebut bisa menjadi tidak telalu efektif tanpa dibarengi dengan adanya

keinginan dari pihak militer sendiri untuk mau melakukan redefinisi, reposisi, dan

reaktualisasi peran politiknya.

Militer sendiri pada masa pasca Orde Baru ini sebenarnya sudah dapat dikatakan

telah mencoba untuk merubah cara pandang mereka tersebut terhadap doktrin dwifungsi.

Dengan dilaksanakannya seminar tentang “Peran ABRI Abad XXI” di Sesko ABRI

Bandung tanggal 22-24 September 1998, menunjukan bagaimana pihak militer berusaha

untuk menanggapi berbagai keinginan dan tuntutan yang muncul di masyarakat untuk

menghapus dwifungsi ABRI. Pengurangan anggota fraksi TNI/Polri179 di DPR, dari 100

orang menjadi 75 orang dan kemudian menjadi 35 orang, penghapusan BAKORTANAS

(Badan Koordinasi Pertahanan Nasional), penghapusan jabatan Kassospol (Kepala Staf

sosial dan Politik) dan menggantinya dengan Kaster (Kepala Staf Teritorial), mungkin di

satu pihak dapat dikatakan sebagai adanya “kemauan” untuk secara bertahap

menghapuskan peran politik militer. Begitu pula halnya dengan demiliterisasi yang

177 Lihat manifesto PRD…. 178 Lihat pula diagram 4 tentang hasil jajak pendapat peran ABRI yang dilakukan oleh LP3ES (Sept-98), Litbang Kompas (4-Okt-98) dan Tabloid Kontan(5-Okt-98). Dikutip dari M Riefqi Muna, “Persepsi Militer Dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Katagori Ganda” dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (ed), Hubungan Sipil-Militer Dan Transisi Demokrasi Di Indonesia:Persepsi Sipil Dan Militer, Jakarta, CSIS, 1999, hal:57. 179 Sebelumnya fraksi militer di DPR disebut dengan fraksi ABRI.

137

diberlakukan kepada beberapa perwira militer yang duduk dalam berbagai jabatan politik

dan birokrasi.

Meski demikian nampaknya dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh

beberapa pejabat dan perwira tinggi militer menunjukan masih adanya keengganan

untuk melepaskan sepenuhnya peran sosial politik yang dimilikinya selama ini. Bahkan

dari pernyataan yang dilontarkan oleh Jendral Wiranto --pejabat Menhankam dan Pangab

semasa akhir Orde Baru-- mengesankan bahwa ada “perasaan tidak bersalah” dari pihak

militer dalam melihat barbagai tindakan yang telah dilakukannya selama Orde baru.180

Dengan adanya berbagai pernyataan semacam itu bukan berarti bahwa tidak ada diantara

para perwira dan pejabat militer yang menginginkan penghapusan dwifungsi tersebut.

Ada beberapa perwira militer --atau yang kemudian seringkali disebut sebagai intelektual

militer--, yang kerap kali memberikan kritikan pedas terhadap pelaksanaan dwifungsi

tersebut. Sehingga tidak jarang pula hal tersebut mengakibatkan timbulnya friksi-friksi

yang tajam diantara para perwira tersebut. Namun demikian, terlepas dari munculnya

perpecahan yang muncul kemudian diantara faksi-faksi di dalam tubuh militer, hal-hal

tersebut di atas setidaknya telah menunjukan kepada kita bahwa, dalam proses

demokratisasi di Indonesia pasca Orde Baru ini akan sangat dibutuhkan peran aktif dari

masyarakat yang ditunjukan melalui adanya berbagai tuntutan untuk menghapuskan

peran politik (baca:dwifungsi) ABRI. Karena sekali lagi penulis tegaskan bahwa, salah

satu prasyarat utama pelaksanaan demokratisasi di Indonesia ialah dihapuskannya

dwifungsi ABRI dan berbagai peraturan lain yang juga turut mensahkan adanya

keterlibatan militer di bidang sosial, politik termasuk ekonomi.

Namun demikian dalam implementasinya tampaknya juga diperlukan sebuah

tindakan yang dianggap cukup realistis. Sebab setelah 30 tahun lebih mendominasi

panggung politik Indonesia, tidak mudah bagi militer untuk mau melepaskan dan

memberikan peran sosial politik mereka kepada para politisi sipil. Oleh Karenanya di

dalam masa transisi menuju terbentuknya supermasi sipil dan militer yang profesional,

diperlukan adanya negosisasi kepentingan antara para elit politik sipil dengan pihak

militer sehingga terbentuk sebuah platform yang jelas dalam proses demokratisasi di

180 Lihat pula pernyataan Wiranto sebagaimana dikutip dalam: Ikrar Nusa Bhakti et al, Tentara…opcit, hal: 121.

138

Indonesia pasca Orde Baru. Hal tersebut dibutuhkan agar militer tidak merasa

dihilangkan haknya untuk dapat turut serta membangun dan mempertahankan kedaulatan

negara Indonesia. Selain itu hal ini juga untuk dapat menciptakan dan mempertahankan

“hubungan yang baik” antara politisi sipil dengan militer di kemudian hari. Dan satu hal

yang tidak dapat diabaikan begitu saja dari proses negosiasi kepentingan tersebut ialah,

perlunya kesadaran dari kedua pihak bahwa negosiasi itu sendiri merupakan bagian tidak

terpisahkan dari upaya rekonsiliasi politik nasional.

2.2 Tuntutan Penghapusan Patronase Bisnis Militer

Setelah melihat besarnya tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI tersebut,

kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana dengan nasib berbagai bisnis

yang dijalankan oleh militer? Bisnis militer seperti telah seringkali disebutkan diatas

sangat menggantungkan proses akumulasi modalnya pada berbagai perwira militer yang

banyak duduk di pemerintahan,yang juga merupakan salah satu bentuk nyata pelaksanaan

dwifungsi dan kekaryaan. Karenanya ketika di saat pasca Orde Baru ini masyarakat

tengah gencar-gencarnya menuntut pencabutan dwifungsi dan profesionalisasi militer

(TNI), maka hal tersebut juga dapat diartikan sebagai kemunculan tuntutan penghapusan

bisnis militer oleh masyarakat.

Praktek bisnis militer sebagai salah satu warisan dari rezim Orde Baru, kini --di

masa pasca Orde Baru-- juga mulai banyak mendapat perhatian dan kritikan dari

masyarakat. Jika pada masa sebelumnya keberadaan bisnis militer hampir tidak pernah

menjadi perhatian dari orang-orang yang mengkritisi peran sosial politik ABRI, maka

saat ini yang terjadi adalah sebaliknya. Kritik untuk menghapuskan praktek bisnis militer

sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari tuntutan masyarakat tentang penciptaan

militer yang profesional.

Pada awalnya kritik terhadap bisnis militer oleh masyarakat ini muncul hanya di

tingkat wacana. Hal ini mungkin masih dapat dimengerti karena di masa awal reformasi,

informasi tentang keberadaan bisnis militer tersebut dapat dikatakan masih terbatas.

Namun seiring dengan bergulirnya tuntutan reformasi, maka tampaknya masyarakat

semakin menyadari bahwa faktor ekonomi dan bisnis sebenarnya telah menjadi salah satu

penyebab mengapa militer tetap bersikeras untuk berusaha mempertahankan peran sosial

politiknya. Dengan demikian, jika masyarakat menginginkan pencabutan peran sospol

139

militer, maka adalah sangat tepat apabila hal tersebut juga diikuti dengan tuntutan

penghapusan keberadaan bisnis militer.

Dalam keadaan seperti ini jelas bahwa posisi bisnis militer sendiri akan semakin

tersudut. Apabila masyarakat juga semakin mendesakan penghapusan bisnis militer ini,

tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terwujud. Tetapi patut pula disadari bahwa

keberhasilan meniadakan bisnis militer ini sendiri juga sangat tergantung pada posisi

militer di dalam konstelasi politik pasca Orde Baru. Karena penulis melihat bahwa,

apabila militer yang kini tengah menghadapi berbagai “gempuran” untuk menjadikan

dirinya menjadi institusi militer yang profesional berhasil mengkonsolidasikan dirinya

lagi dan berhasil kembali dikuasai oleh faksi perwira yang konservatif, maka nampaknya

proses penghapusan bisnis militer tersebut dapat saja terhambat. Dan nampaknya

perubahan situasi politik yang sangat cepat di masa transisi, sangat memungkinkan hal

tersebut terjadi.

Selain itu, meski di masa pasca Orde Baru ini jumlah militer aktif yang duduk

dalam struktur birokrasi dan kabinet berkurang --terutama sehubungan dengan adanya

program demiliterisasi yang mulai berlaku 1 April 1999--181, hal tersebut tidak berarti

bisnis militer tidak lagi mendapat dukungan dari para mantan perwira tersebut.

Keberadaan bisnis militer pada masa transisi ini bagi institusi militer masih dianggap

sebagai sesuatu yang dibutuhkan, terlepas dari bagaimana pengelolaan dari dana atau

keuntungan yang didapatnya. Sehingga apabila masyarakat hendak mendesakan

penghapusan bisnis militer, maka agar lebih efektif desakan tersebut tidak hanya

didesakan pada institusi militer semata, tetapi juga kepada lembaga-lembaga negara

lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut. Misalnya saja kepada DPR dan Departemen

Pertahanan.

Sedangkan bagi bisnis militer dan institusi militer sendiri, desakan yang besar

bagi masyarakat untuk meniadakan bisnis militer, sebenarnya merupakan sebuah sarana

bagi militer untuk membuktikan seberapa besar komitmen mereka dalam reposisi,

reaktualisasi dan redefinisi yang selama ini digembar-gemborkan. Karena apabila praktek

patronase bisnis militer tersebut masih dilaksanakan dengan bentuk baru itu sama saja

181 Lihat keputusan yang diambil Wiranto untuk memberikan pilihan pensiun kepada para perwira yang dikaryakan. Ibid, hal:143-145.

140

dengan mengingkari apa yang telah menjadi komitmen bersama, yaitu menjadikan militer

Indonesia di kemudian hari sebagai sebuah institusi kemiliteran yang profesional. Dengan

demikian jika pihak militer benar-benar ingin membuktikan bahwa militer pasca Orde

Baru berbeda dengan militer di masa Orde Baru, maka di masa transisi inilah mereka

harus segera mengurangi dan menghapuskan praktek patronase bisnis yang selama ini

dijalankan. Meski kemampuan negara pasca krisis ini masih sangat terbatas, namun hal

itu bukan berarti sebuah legitimasi untuk terus mempertahankan keberadaan patronase

bisnis. Justru dengan adanya praktek patronase bisnis inilah, yang bisa jadi menghambat

investor masuk ke Indonesia. Sebab para investor dengan laissez-faire-nya jelas sangat

menginginkan iklim investasi dan persaingan yang sehat.

Sebagai sebuah salah satu bentuk patronase bisnis militer, berbagai unit usaha

yang berada di bawah yayasan Kartika Eka Paksi juga tidak bisa melepaskan diri dari

adanya berbagai tuntutan penghapusan bisnis militer. Sehingga secara bertahap mereka

juga harus mulai memikirkan bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk

menghadapi tekanan masyarakat tersebut. Penulis melihat bahwa apa yang telah

dilakukan selama ini bisa terus dilakukan. Penutupan berbagai unit usaha yang tidak lagi

produktif dapat dilakukan sebagai tahap pertama penghapusan praktek patronase bisnis

militer. Kedua, sebagai sebuah bisnis peninggalan Orde Baru, jelas bisnis yang

dijalankannya banyak menggantungkan pada kemudahan yang didapat dari perwira yang

duduk dalam jabatan birokrasi dan politik. Hal inilah yang harus dihilangkan dan lebih

mengarah kepada pembentukan kelompok usaha yang kompetitif. Seiiring dengan itu,

bisnis-bisnis yang berada dibawah yayasan harus mulai memisahkan diri dari struktur

kemiliteran. Sehingga pada akhirnya hanya ada sebuah kelompok bisnis yang sama sekali

terlepas dari struktur kemiliteran.

141

Bab VI

Kesimpulan

Mencermati berbagai penjelasan bab-bab sebelumnya, nampak bahwa semasa

Orde Baru signifikansi keterlibatan pihak negara dalam proses industrialisasi di Indonesia

merupakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam konteks tersebut, negara

muncul sebagai sebuah kekuatan politik dan ekonomi yang paling dominan. Selain itu

negara juga merupakan tempat bernaung bagi berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan

politik lainnya.

Seperti juga telah banyak dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, kita tahu bahwa

sebagian besar pelaku bisnis dan ekonomi Indonesia masa Orde Baru adalah para pelaku

bisnis yang banyak menggantungkan kemajuan usahanya pada patron politik. Sehingga

melahirkan praktek-praktek patronase bisnis (bussiness patronage). Adanya praktek

patronase bisnis selama masa Orde Baru juga telah terbukti lebih banyak memunculkan

dampak negatifnya ketimbang positifnya. Dominasi negara dalam bidang ekonomi

selama ini ternyata telah menimbulkan “ketergantungan” yang besar dari para pemilik

modal (dalam hal ini pemodal domestik) kepada negara. Hal ini juga diikuti dengan

berkembangnya praktek-praktek korupsi dan kolusi yang banyak dilakukan oleh para

birokrat dan pejabat negara lainnya. Dimana pada akhirnya hal tersebut dipandang

sebagai salah satu penyebab dari terjadinya ekonomi biaya tinggi. Selain itu yang lebih

parahnya lagi dengan adanya praktek patronase bisnis, aset-aset ekonomi negara juga

telah berkembang menjadi “sapi perah” bagi para pejabat dan para pengusaha tersebut.

Karenanya, jelas tidak akan ada keadilan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat.

Jika ditarik kebelakang dominasi negara terhadap para pengusaha tersebut

muncul dari adanya penguasaan aset-aset ekonomi oleh negara. Dengan dikuasainya aset-

aset ekonomi oleh negara tadi, mengakibatkan para pemodal menjadi tidak dapat berbuat

banyak dalam melakukan investasi dan akumulasi modalnya. Apalagi dengan tanpa

melibatkan pejabat negara atau birokrat. Selain itu, tiadanya pemodal domestik yang kuat

juga merupakan faktor lain mengapa muncul praktek-praktek patronase bisnis. Dari sini

negara kemudian disebut memiliki otonomi relatif yang cukup besar terutama di dalam

struktur modal. Jadi dengan adanya otonomi relatif tersebut, negara telah berkembang

142

tidak lagi sekedar sebagai penjaga kekayaan atau kepentingan bisnis yang memungkinkan

terciptanya iklim yang kondusif bagi pelaksanaan akumulasi modal.

Lebih jauh lagi, negara melalui para penyelenggaranya justru telah menjadi aktor

yang paling signifikan dalam proses akumulasi modal itu sendiri. Bahkan lebih celaka

lagi, dengan berbekal eksploitasi terhadap aset-aset ekonomi nasional, penyelenggara

negara tersebut telah menjadikan dirinya sebagai pencari rente (rent seekers), yang pada

gilirannya turut menciptakan iklim yang kondusif bagi praktek patronase bisnis. Dengan

kata lain negara memiliki kepentingan ekonomi sendiri, di luar kepentingan para

pengusaha tersebut dan bertindak sesuai dengan kepentingannya tersebut.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, sebagai konsekuensi dari adanya

keterlibatan pihak internasional dalam pemulihan ekonomi Indonesia, dapat dipastikan

bahwa sistem ekonomi Indonesia pasca krisis akan segera mengalami perubahan besar.

Dari penjelasan sebelumnya kita juga telah melihat bahwa pihak-pihak internasional yang

banyak terlibat dalam program pemulihan ekonomi Indonesia, menginginkan dan

mengharuskan agar sistem ekonomi Indonesia membuka pasar domestiknya seluas-

luasnya. Sehingga memungkinkan semua produk yang dihasilkan oleh negara-negara di

seluruh dunia dapat masuk dengan lebih leluasa. Bahkan lebih dari itu, dengan sistem

ekonomi yang lebih terbuka ini memungkinkan para investor asing dapat lebih leluasa

lagi untuk masuk dan “bermain” dengan lebih leluasa di dalam struktur ekonomi

Indonesia.

Pemulihan ekonomi dengan melibatkan pihak internasional pada kenyataannya

ternyata telah mematahkan dominasi negara dalam ekonomi. Hal ini berarti pula otonomi

relatif yang dimiliki negara akan terus mengalami reduksi. Ketidak berdayaan negara

sebagai akibat lemahnya dukungan sektor keuangan juga telah melahirkan bentuk-bentuk

ketergantungan baru dari negara terhadap pihak internasional. Namun perlu pula disadari

bahwa menurunnya tingkat derajat otonomi relatif negara tersebut, tidak lebih sebagai

sesuatu yang bersifat temporer. Maksudnya ialah, ketika negara Indonesia pasca kolonial

memiliki dukungan finansial yang kuat, maka otonomi relatif yang dimiliki negara juga

akan menguat. Karena mereka kemudian memiliki posisi tawar menawar yang juga

cukup kuat terhadap pemilik modal (terutama modal asing). Sebaliknya otonomi relatif

143

ini akan terus mengalami reduksi ketika tidak ada dukungan finansial yang dapat

memperkuat posisi negara terhadap pemilik modal.

Dan kalau kita mau melihat kembali ke pada awal kekuasaan Orde Baru dimana

situasi ekonomi juga tengah mengalami kehancuran, pemerintah saat itu juga dengan

terpaksa mengikuti saran-saran yang diberikan oleh IMF. Tetapi pada masa selanjutnya

ketika negara tengah berada dalam masa kelimpahan rezeki minyak, otonomi relatif dari

negara itu menguat lagi dan menghasilkan banyak melahirkan praktek patronase bisnis.

Jadi nampaknya kalau tidak berhati-hati, apa yang kini tengah terjadi pada pasca Orde

Baru ini dapat berubah menjadi sebuah pengulangan sejarah. Dimana keterlibatan negara

dalam ekonomi yang kini sedikit demi sedikit dikurangi, namun akan kembali muncul

sebagai kekuatan yang dominan tatkala negara kembali memiliki dukungan finansial

yang sangat kuat.

Di satu sisi dengan masuknya investor asing ke Indonesia pasca krisis mungkin

diharapkan akan mampu membawa ekonomi Indonesia kepada posisi lebih baik. Karena

dengan masuknya para investor asing akan memberikan pemasukan devisa yang lebih

besar pada negara.Tetapi persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan

nasib para pengusaha dan pelaku ekonomi domestik lainnya. Apakah mereka telah siap

dan mampu menghadapi mereka. Karena kita tahu bahwa sebagian besar pelaku ekonomi

dan bisnis yang berhasil di masa Orde Baru merupakan orang-orang yang memiliki

kedekatan hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan politik. Dengan kata lain kemampuan

kewirausahaan dari para pelaku bisnis Indonesia menjadi patut dipertanyakan kembali.

Karena jika tidak hati-hati yang akan terjadi justru hanya sebuah economic genocide dari

kekuatan-kekuatan ekonomi domestik.

Mengacu pada penjelasan sebelumnya tentang keberadaan dari patronase bisnis

dan kemudian mengkaitkannya dengan kondisi dan situasi ekonomi Indonesia pasca

krisis tersebut, jelas yang akan kita temui kemudian adalah dua hal yang saling bertolak

belakang. Di satu sisi muncul tekanan dari pihak internasional agar Indonesia segera

menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih terbuka, sementara di sisi lain muncul

keraguan akan kemampuan pelaku bisnis domestik untuk dapat berkompetisi secara lebih

fair. Dalam arti kata tidak lagi melibatkan dan menggunakan berbagai previlege dari

negara. Oleh karena itu, menjadi menarik ketika hal tersebut dibenturkan dengan realitas

144

yang ada, bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, sistem ekonomi Indonesia pasca krisis

kini tengah bergerak ke arah yang lebih terbuka.

Kita juga telah ketahui dari pejelasan sebelumnya bahwa militer Orde Baru telah

berkembang tidak sekedar sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan saja. Tetapi ia

juga telah berkembang menjadi kekuatan lain seperti sosial, politik dan juga ekonomi.

Peranan militer sebagai kekuatan ekonomi ini, jelas menjadi tidak bisa dilepaskan dari

keterlibatannya sebagai kekuatan non hankam lainnya terutama politik. Karenanya,

ketika militer ini melakukan bisnis, maka seringkali praktek atau pola bisnis yang

dimunculkannya adalah sebuah patronase bisnis. Telah pula dijelaskan pada bab

sebelumnya bahwa salah satu cara mengapa patronase bisnis ini berhasil dibangun dan

dipertahankan ialah adanya penggunaan perwira militer di dalam perusahaan-perusahaan

yang ada di Indonesia. Dari contoh kasus yayasan yang telah diuraikan diatas semakin

nampak bahwa, mereka seringkali pula berfungsi sebagai penjamin “legalitas” bisnis

yang dijalankan oleh para pengusaha khususnya para pengusaha keturunan Cina dan

“penghubung” kerjasama dengan para pejabat birokrasi dan pejabat negara

lainnya.Termasuk didalamnya kerjasama dengan kelompok-kelompok bisnis keluarga

atau kroni dekat Suharto. Banyaknya bisnis-bisnis milik militer yang dijalankan bersama-

sama dengan para pengusaha keturunan Cina tadi juga semakin meningkatkan tingkat

kepentingan militer dalam dunia bisnis.

Juga telah dijelaskan sebelumnya bagaimana mobilitas modal transnasional yang

telah menjadi kekuatan sentral dalam perekonomian internasional saat ini, menjadi

sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi terutama oleh para pelaku bisnis domestik. Oleh

karena itu dalam menjalankan bisnisnya, para pelaku bisnis dan ekonomi tersebut

semakin dituntut untuk mampu meningkatkan kinerjanya. Sehingga dapat menjadikan

mereka sebagai pengusaha yang lebih kompetitif di dalam persaingan ekonomi global.

Bisnis militer yang selama ini kita ketahui --atau bahkan sebagian besar para pelaku

bisnis Orde Baru pada umumnya--, adalah para pelaku bisnis yang lebih banyak

menggantungkan kemampuan berbisnisnya pada fasilitas negara. Terlepas dari maksud

dan tujuannya, penjelasan dalam sebelumnya setidaknya telah memberikan gambaran

kepada kita bagaimana mereka (bisnis militer) tersebut dapat secara mudah menggunakan

kemampuan dan kekuasaan politik yang dimiliki oleh institusi militer selama Orde Baru

145

Namun dalam situasi yang telah berubah seperti saat ini, bisnis militer juga hrus

mengantisipasi arus investasi asing tersebut. Untuk mensiasati hal tersebut mungkin akan

muncul pertanyaan; “mengapa bisnis militer tersebut lantas tidak bekerja sama saja

dengan para investor asing tersebut?” Jika dilihat sepintas, nampaknya persoalan diatas

akan segera terselesaikan. Karena berbagai previlege yang sebelumnya dimiliki dan

dihilangkan akan “tergantikan” dengan kekuatan modal asing tersebut. Meski demikian

bagi penulis persoalan tersebut tidak selesai sampai di sini saja. Apalagi jika pernyataan

tersebut di dasarkan pada asumsi bahwa para pemodal asing tersebut tidak banyak

mengetahui tentang kondisi Indonesia yang sesungguhnya (seperti kondisi alam, kondisi

masyarakat dan sebagainya). Justru sebaliknya, ditengah kemajuan teknologi komunikasi

pada saat ini bukan sesuatu yang mustahil apabila para investor asing tersebut akan jauh

lebih mengerti tentang kondisi dan situasi di Indonesia dibandingkan dengan kita yang

berada di Indonesia.

Memang benar, bahwa sebelumnya banyak bidang bisnis yang dilakukan oleh

militer yang tergolong merupakan bisnis besar. Seperti kehutanan, perkebunan

pertambangan dan lain sebaginya. Namun seiring dengan perubahan-perubahan sosial

politik yang terjadi di dalam masyarakat, hal tersebut terus mengalami reduksi. Proses

reformasi yang telah terjadi selama ini, bagaimanapun juga telah memberikan perubahan

cara pandang dan cara berfikir masyarakat tentang keberadaan bisnis militer. Sehingga

wajar jika pada masa pasca Orde Baru ini, bisnis militer terus mendapat perhatian, yang

pada akhirnya memunculkan sebuah kesadaran baru bahwa militer Indonesia harus

kembali kepada fungsi utamanya sebagai kekuatan pertahanan. Pada posisi yang

demikian ini rasanya menjadi sulit untuk tetap mempertahankan keberadaan praktek

patronase bisnis militer tersebut, apalagi jika hendak berfikir untuk mengajak

bekerjasama dengan para investor asing tersebut. Dengan kata lain diperlukan tindakan

proaktif dari kalangan masyarakat untuk kembali menempatkan institusi militer dalam

fungsinya sebagai alat negara di bidang pertahanan.

Namun demikian pertarungan berbagai kepentingan rasanya menjadi sulit untuk

dihindarkan ketika muncul keinginan dari pihak militer untuk tetap mempertahankan

keberadaan praktek patronase bisnis tersebut. Karena hampir dapat dipastikan jika bisnis-

bisnis yang dilakukan militer selama ini segera dihapuskan, maka pihak militer akan

146

meminta konsesinya, yaitu penyediaan anggaran yang dianggap memadai bagi mereka.

Selain itu dengan dihapuskannya sistem kekaryaan ABRI yang tidak lagi memungkinkan

anggota TNI, khususnya para perwira menengah dan tinggi untuk dapat ditempatkan oleh

pihak militer di jajaran birokrasi sipil maupun perusahaan BUMN menyebabkan perlunya

masa transisi untuk menghapuskan bisnis militer. Hal ini diperlukan untuk menghindari

terjadinya masalah-masalah internal dalam TNI dan persoalan-persoalan pelik antara TNI

dan pemerintahan sipil yang dapat mengganggu stabilitas politik dan integrasi nasional.

Meski demikian, terlepas dari persoalan yang muncul tersebut, berbagai tantangan

seperti telah dikhawatirkan sebelumnya, merupakan hal yang patut pula untuk

diperhitungkan ketika hendak mempertahankan praktek patronase bisnis militer di masa

pasca Orde Baru. Karena sebagai sebuah institusi dibawah negara yang bukan merupakan

institusi ekonomi atau bisnis profesional, bisnis militer pada akhirnya juga harus

menghadapi kekuatan modal internasional, yang secara teratur namun pasti akan

berusaha untuk menguasai setiap sudut di dalam sistem perekonomian Indonesia.

Di dalam proses demokratisasi politik dan ekonomi yang makin liberal pada pasca

Orde Baru ini, keberadaan praktek bisnis seperti bisnis militer tersebut nampaknya akan

semakin banyak menemui tantangan dan kendala. Karena dengan semakin terbukanya

sistem perekonomian serta pasar domestik Indonesia pasca krisis, sebagai akibat dari

makin meluasnya keterlibatan pihak asing dalam program pemulihan ekonomi, akan

menyebabkan meningkatnya tuntutan untuk mereduksi keterlibatan pihak negara di

dalam ekonomi dan bisnis. Kemampuan pihak Internasional untuk mereduksi keterlibatan

negara dalam berbagai kegiatan ekonomi dan bisnispun nampaknya sudah tidak perlu lagi

diragukan. Butir-butir kesepakatan yang tercantum dalam letter of intent antara

pemerintah Indonesia dan IMF, nampaknya sudah cukup memberikan gambaran kepada

kita tentang bagaimana lemahnya posisi Indonesia di dalam perekonomian internasional

saat ini. Sehingga menjadikan mereka mampu untuk dengan lebih leluasa mendikte

segala kebijakan ekonomi yang akan dijalankan oleh Indonesia.

Bila hal ini kemudian dikaitkan dengan perubahan isu-isu global yang saat ini

berkembang, tentu persoalan yang muncul akan semakin kompleks lagi. Berkembangnya

isu-isu tentang demokratisasi, hak azazi manusia dan sebagainya, serta termasuk

147

didalamnya adalah proyek demiliterisasi dan demokrasi182 yang dilakukan oleh pihak AS

kepada Indonesia, merupakan persoalan yang patut pula diperhitungkan ketika hendak

mempertahankan praktek patronase bisnis militer ini.

Dari sini rasanya juga perlu kembali dipertimbangkan apakah praktek patronase

bisnis militer yang selama ini telah dijalankan perlu terus dilakukan. Karena bukannya

mustahil apabila nasib seperti yang dialami oleh proyek mobil nasional serta IPTN akan

menimpa pelaksanaan patronase bisnis militer. Sebab selain bertentangan dengan falsafah

pasar bebas atau laissez faire yang dianut oleh institusi-institusi internasional tersebut,

praktek-praktek bisnis yang masih banyak melibatkan negara bukannya tidak mungkin

akan menceburkan Indonesia ke dalam kesulitan yang lebih besar lagi. Seperti penjatuhan

sangsi embargo ekonomi. Apalagi mengingat Indonesia kini juga telah masuk ke dalam

blok-blok perdagangan ekonomi, yang pada dasarnya hendak menghapuskan berbagai

hambatan di dalam perdagangan dunia.

Dengan masuknya Indonesia ke dalam sistem ekonomi dunia, di satu sisi juga

menjadi perlu untuk diwaspadai. Sebab dengan makin terbukanya ekonomi Indonesia

juga dapat menyebabkan makroekonomi makin sulit terkendali. Perubahan dan gejolak

kongjuntur ekonomi dunia, akan semakin mudah mempengaruhi perekonomian nasional.

Dan bila hal itu terjadi, bukannya tidak mungkin bahwa Indonesia akan mengalami krisis

ekonomi seperti sekarang di tahun-tahun yang akan datang. Dari sini nampaknya perlu

dikembangkan sikap berhati-hati dalam mengambil berbagai kebijakan ekonomi, baik

makroekonomi maupun mikroekonomi.

Meski demikian, penulis melihat bahwa pada akhirnya keberlangsungan dari

bisnis militer itu sendiri di masa pasca Orde Baru akan tergantung kembali kepada

keinginan masyarakat Indonesia. Apakah mereka menginginkan militer Indonesia pasca

Orde Baru ini tumbuh dan berkembang menjadi sebuah institusi militer yang profesional,

dalam pengertian mereka (militer) hanya mengkonsentrasikan dirinya pada persoalan

pertahanan, tanpa lagi harus terlibat dalam persoalan bisnis atau ekonomi atau justru

sebaliknya. Jika yang diinginkan adalah militer yang profesional, maka seperti telah

dikemukakan dalam bagian awal bab ini, yang perlu terus dikembangkan saat ini adalah

wacana, perdebatan dan kesadaran masyarakat bahwa militer Indonesia tidak boleh lagi

182 Lihat Financing Military…opcit.

148

terlibat dalam persoalan bisnis. Hal ini menjadi penting karena kita tidak bisa terlalu

mengandalkan keterlibatan pihak internasional apalagi modal asing dalam usaha

menjadikan militer Indonesia menjadi militer yang profesional. Sebab berbeda dengan

ketika kita hendak memulai reformasi di tahun 1997-98, dimana tampak keterlibatan

pihak internasional dalam proses turunnya Suharto. Selain itu pada saat yang bersamaan

pula, pemerintah yang berkuasa juga harus kembali mempertimbangkan jumlah anggaran

militer ini yang selama ini disediakan. Karena bagi penulis hanyalah sebuah “mimpi”

kalau kita hendak memiliki tentara yang profesional tetapi anggaran yang disediakan

kurang memadai. Dan kalau hal ini telah dilakukan, tetapi hal serupa masih terulang,

maka persoalannya bukan lagi persoalan institusi tetapi sudah menjadi persoalan

mentalitas yang bagi penulis sudah merupakan hal yang absurd untuk diperdebatkan.

Dalam hipotesa pertama dari skripsi ini, disebutkan bahwa semakin besar tekanan

institusi keuangan dan perdagangan internasional serta makin kuatnya peran modal asing

dalam liberalisasi ekonomi Indonesia, akan memperlemah posisi patronase bisnis militer

Indonesia. Tidak adanya dukungan keuangan yang memadai, terutama setelah terjerumus

ke dalam lubang krisis yang sangat dalam telah, memaksa pemerintah Indonesia untuk

meminta bantuan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF). Lembaga-

lembaga keuangan internasional ini dalam setiap prakteknya akan selalu meminta

prasyarat-prasyarat kondisionalitas yang harus dipenuhi oleh Indonesia. Disadari atau

tidak, melalui kesepakatan Letter of Intent, IMF menjadi semakin leluasa untuk turut

serta dalam penentuan kebijakan ekonomi Indonesia, yang secara langsung juga akan

berpengaruh pada bisnis-bisnis yang ada di Indonesia.

Sedangkan seperti telah banyak disebutkan, bahwa sebagian besar pelaku bisnis di

Indonesia masa Orde Baru adalah para pelaku bisnis yang banyak melibatkan patron

politik. Bisnis militer dalam perkembangan sebelumnya juga telah mengalami hal serupa.

Namun dengan adanya keterlibatan IMF dalam perekonomian Indonesia pasca krisis,

praktek-praktek patronase bisnis termasuk di dalamnya adalah bisnis militer, dengan

lebih banyak melibatkan negara atau alat-alat negara lainnya akan mengalami reduksi.

Karena dengan adanya tuntutan transparansi pemerintahan dimana juga merupakan salah

satu kesepakatan dalam LoI, tindakan-tindakan yang bersifat kolusi seperti banyak terjadi

dalam praktek patronase bisnis harus segera dihilangkan.

149

Selanjutnya ialah menguatnya peran modal asing dalam perekonomian di

Indonesia pasca Orde Baru akan melemahkan praktek patronase bisnis militer di

Indonesia. Hal ini sangat berkaitan persoalan sebelumnya mengenai adanya tekanan dari

dunia internasional dalam proses liberalisasi ekonomi di Indonesia. Perkembangan

perkonomian Indonesia pasca krisis nampaknya mengindikasikan bahwa perekonomian

Indonesia bergerak ke arah yang lebih liberal. Arus investasi asing diharapkan juga akan

menunjukan peningkatan. Semakin besarnya arus investasi asing ini jelas akan sangat

berpengaruh pada struktur modal di Indonesia. Pelaku bisnis domestik mau tidak mau

juga didorong jiwa kewirausahaannya sehingga dapat menunjukan kinerja yang lebih

baik dan kompetitif. Hal seperti ini pula yang akan dihadapi oleh bisnis militer.

Sedangkan dalam hipotesa kedua disebutkan bahwa, tekanan politik domestik di

era transisi dari otoriter ke demokrasi akan mereduksi peran bisnis militer adalah benar.

Bisnis militer sebagai salah satu bentuk patronase bisnis akan menghadapi bentuk-bentuk

persaingan bisnis yang lebih berat. Sebab di satu sisi ia telah kehilangan pijakan

utamanya dalam mengembangkan bisnisnya, yaitu kekuasaan politik. Sementara di sisi

lain ia juga “dipaksa” untuk tetap eksis di dalam sebuah situasi ekonomi yang liberal. Jadi

jelas, ketika bisnis militer harus juga berhadapan dengan kemampuan modal asing, maka

harus mengubah strateginya sebagai sebuah institusi bisnis yang lebih profesional, yaitu

sebuah institusi bisnis yang tidak lagi bersandar pada kekuasaan politik. Sehingga unit-

unit bisnisnya menjadi lebih kompetitif. Meski demikan tetap perlu diingat bahwa hal

tersebut bersifat sementara. Karena apabila ekonomi negara telah pulih, maka bisnis

militer ini harus segera dihilangkan. Sebab jika tidak dihapuskan, maka institusi militer

Indonesia selamanya akan tidak profesional. Di sinilah, maka peran aktif dari masyarakat

domestik untuk terus mengadakan tuntutan penghapusan keterlibatan militer di bidang

politik, sosial maupun ekonomi menjadi sangat penting. Selain itu dengan terus

berkembangnya tekanan tersebut, maka diharapkan pemerintah terutama institusi militer

juga akan terus melanjutkan reformasi internalnya sampai benar-benar tercipta sebuah

institusi militer yang profesional di Indonesia.

Namun begitu, dalam penghapusan bisnis militer ini yang perlu diperhatikan

ialah skala prioritas dari pembuatan anggaran militer. Sebab selama ini selain sebagai

usaha peningkatan kesejahteraan, keberadaan bisnis militer juga digunakan sebagai usaha

150

penggalangan dana bagi dana-dana non-budgeter. Misalnya saja untuk pendanaan

peralatan infrastruktur pendukung operasional atau untuk operasi-operasi sosial politik.

Seiring dengan dihapuskannya peran sospol, maka dalam perencanaan anggaran militer

di kemudian hari perlu dipertimbangkan prioritas anggaran bagi berbagai infrastruktur

standar yang sebelumnya dipenuhi oleh bisnis militer.

Jadi secara keseluruhan penulis melihat bahwa dalam rangka penghapusan bisnis

militer tadi, kita dapat menggunakan instrumen mekanisme pasar. Maksudnya ialah

dengan tidak adanya lagi pejabat militer yang duduk dalam struktur pemerintahan, maka

bisnis militer telah kehilangan “nilai tambah” yang dimilikinya selama ini. Sehingga

dengan demikian bisnis militer dipaksa untuk dapat berkompetisi dengan kelompok

bisnis lainnya. Dengan meletakan bisnis militer yang telah kehilangan nilai tambahnya

tadi pada sebuah mekanisme pasar diharapkan keberadaan bisnis militer secara bertahap

akan terhapuskan. Sementara itu pemerintah juga harus secara tegas memerintahkan

kepada panglima dan kepala staf untuk terus menutup unit bisnis militer yang tidak

berpotensi dan berprospek. Walau demikian yang patut pula menjadi perhatian ialah

perlunya batasan waktu yang jelas kapan militer masih boleh berbisnis. Sementara itu

untuk bisnis-bisnis yang berprospek secara bertahap dipisahkan dari institusi militer dan

dibiarkan berkembang sebagai sebuah kekuatan ekonomi nasional yang kompetitif,

sehingga diharapkan pula dapat mencegah economic genocide seperti yang dikhawatirkan

di atas.

Akhirnya kembali kepada permasalahan awal yang ingin dijawab dalam skripsi

ini, bahwa ternyata secara umum jelas keterlibatan pihak IMF dan modal asing dalam

perekonomian Indonesia pasca Orde Baru jelas akan membawa implikasi yang tidak

kecil. Bagi para pelaku bisnis dan ekonomi nasional, terlibatnya IMF dalam rangka

pemulihan ekonomi Indonesia dan semakin besarnya peran modal asing juga akan sangat

berpengaruh pada bisnis mereka. Dan bisnis militer sebagai salah satu pelaku bisnis juga

tidak dapat mengelak dari kenyataan ini.

151

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anderson, Benedict, Revolusi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan Di Jawa

1944-1946, Jakarta, Sinar Harapan, 1988.

Azca, M. Najib, Hegemoni Tentara, Yogyakarta, LKIS,1998.

Bhakti, Ikrar Nusa, et al, Tentara Yang Gelisah, Jakarta, Mizan, 1999.

Bird, Graham, IMF Lending to Developing Countries: Issues and Evidence, London,

Routledge, 1995.

Booth, Anne dan Peter McCawley (ed), Ekonomi Orde Baru, Jakarta LP3ES, 1990.

Bresnan, John Managing Indonesia: The Modern Political Economy, New York,

Colombia University Press, 1993.

Britton, Peter. Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia, Perspektif Tradisi-

Tradisi Jawa Dan Barat, Jakarta, LP3ES, 1996.

Budiman, Arief, Teori Negara, Negara, Kekuasaan Dan Ideologi, Jakarta, PT Gramedia

Pustaka Utama, 1997.

------------------, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, PT Gramedia, 1995.

------------------, Negara Dan Pembangunan, Studi Tentang Indonesia dan Korea Selatan,

Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas, 1991.

Bulkin, Farchan (kata pengantar), Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, Jakarta,

LP3ES, 1995.

Chossudovsky, Michael, The Globalisation of Poverty, Impacts of IMF and World Bank

Reform, Penang, Zed Books Ltd, 1997.

Crouch, Harold, Militer dan Politik Di Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Dydo, Todiruan, Pergolakan Politik Tentara, Sebelum dan Sesudah G30S/PKI, Jakarta,

Golden Terayon Press, 1990.

Feith, Herbert, Sukarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta, Sinar Harapan,

1995.

-----------------, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, London, Cornell

University Press, 1973.

Hadiz, Vedi R., Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial, Yogyakarta,

Pustaka Pelajar dan INSIST, 1999.

152

Harvey, Barbara Silars, Permesta, Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta,

Grafitipers,1989.

Hill, Hal, The Indonesia Economy Since 1966, Southeast Asia's Emerging Giant,

Melbourne, Cambridge University Press, 1996.

-----------, The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences and Lessons,

Singapore, ISEAS, 1999.

Hoogvelt, Ankie, Globalization and The Postcolonial World: The New Political Economy

of Development, Baltimore, Maryland, The John Hopkins University Press,

1997.

Huntington, Samuel. P, The Soldier and State, The Theory and Politics of Civil-Military

Relations, London, Harvard University Press, 1998.

---------------------------, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, PT Pustaka Utama

Grafiti, 1997.

Irwan, Alexander, Patronase Bisnis, Kelas Dan Politik: Studi Tentang Indonesia, Korea

Selatan dan Muangthai, Jakarta, SPES, 1994.

--------------------, Jejak-Jejak Krisis Di Asia: Ekonomi, Politik, Industrialisasi, Jakarta,

Kanisius, 1999.

Kwik Kian Gie, Ekonomi Indonesia: Dalam Krisis dan Transisi Politik, Jakarta, PT

Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Krugman, Paul The Return of Depression Economics, New York, W.W Norton & Comp,

1999.

Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, 1991.

Lowry, Robert , The Armed Forces of Indonesia, Sydney, Allen & Unwin, 1996.

Mas'oed, Mochtar, Ekonomi Dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta, LP3ES,

1989.

Muhaimin, Yahya, Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966,

Yogjakarta, Gajahmada University Press, 1982.

----------------------, Bisnis Dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta

LP3ES, 1990.

153

Neuman, W.Lawrence, Social Research Methods: Qualitative And Quantitative

Approaches 3rd Edition, Boston, Allyn and Bacon, 1997.

Notosusanto, Nugroho, Pejuang Dan Prajurit, Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi

ABRI, Jakarta, Sinar Harapan, 1985.

Robison, Richard, Indonesia: The Rise of Capital, Sydney, Allen & Unwin, 1986.

Samego, Indria, et al, Bila ABRI Berbisnis, Bandung, Mizan, 1998.

---------------------, "…Bila ABRI Menghendaki", Desakan Kuat Reformasi Atas Konsep

Dwifungsi ABRI, Bandung, PT Mizan, 1998.

Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Politik Dan Pembangunan,

Jakarta, Rajawali Press, 1993.

Singh, Bilveer, Dwifungsi ABRI, Asal Usul, Aktualisasi Dan Implikasinya Bagi Stabilitas

dan Pembangunan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Stepan, Alfred, Militer Dan Demokratisasi, Pengalaman Brasil Dan Beberapa Negara

Lain, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1996.

Sundhaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwifungsi ABRI, Jakarta,

LP3ES, 1986.

Suryadinata, Leo, Golkar Dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta, LP3ES,

1992.

Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998.

-----------, Pikiran Politik Sjahrir, Jakarta, LP3ES, 1994.

Thee Kian Wie, Industrialisasi Di Indonesia: Beberapa Kajian, Jakarta, LP3ES, 1996.

Todaro, Michael P, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Jilid 2, Jakarta, Erlangga,

1998.

Vatikiotis, Michael R.J, Indonesian Politics Under Suharto Order, Development and

Pressure for Change, London, Routledge, 1994.

Vey, Ruth Mc (ed), Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,

1998.

Winters, Jeffry, Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Jakarta, Sinar

Harapan, 1999.

Memorandum Serah Terima Direksi PT Tri Usaha Bhakti, Jakarta 30 Juli 1994, tidak

dipublikasikan.

154

Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP tanggal 23 Februari 1998, Jakarta,

YKEP, tidak dipublikasikan.

Anggaran dasar YKEP, no Skep/02/YKEP/II/1998, tidak dipublikasikan.

Anggaran rumah tangga YKEP, no Skep/03/YKEP/II/1998, tidak dipublikasikan.

Financing Military Rule: The Clinton Administration, The World Bank, and Indonesia; A

Research Report by the Project on Demilitarization and Democracy, released

April, 19, 1994.

Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta Peran

Organ Perusahaan dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4

Mei 2000, tidak dipublikasikan.

Skripsi/Tesis/Desertasi.

Hadiz, Vedi R, Teori Negara Pasca Kolonial, Skripsi Jurusan Ilmu Politik FISIP UI,

1987.

Yoo Hwan Shin, Demystifying The Capitalist State: Political Patronage, Bureaucraetic

Interests, and Capitalist-In-Formation In Soeharto's Indonesia, A Dessertation,

Yale University, 1989.

Jurnal/Majalah Ilmiah Berkala.

Ambong, Ibrahim "Hubungan ABRI-Golkar", dalam Jurnal Ilmu Politik no:6, Jakarta,

PT Gramedia, 1990.

Bulkin, Farchan "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan

Penelitian", dalam Prisma, No:2, Februari 1984, Jakarta, LP3ES.

Doroodian, Khosrow, “IMF Stabilization Policies in Developing Countries: A

Disaggregated Quantitative Analysis”, dalam International Economic Journal,

Vol. 8 No.4 Winter 1994.

Irwan, Alexander, "Kolaborasi Antara PMN, Postfordism dan Politik Ekonomi

Indonesia", dalam Prisma, No:8, Agustus 1990, Tahun XIX, Jakarta, LP3ES.

MacIntyre, Andrew, "Political Institutions and the Economic Crisis in Thailand and

Indonesia", ASEAN Economic Bulletin, December, 1998.

155

Sikorski, Douglas “The Financial Crisis in Indonesia: Explanations and Controversies”,

dalam The Indonesian Quarterly, Vol: XXVI. No:4, 4th Quarter, Jakarta, CSIS,

1998.

Soesastro, Hadi, "A Review of Current an Capital Account Liberalisation in Indonesia",

Indonesia Quarterly, Vol: XXVI/1998, no:2, Jakarta, CSIS.

Koran/Majalah.

Bisnis Indonesia, 1 November 1997.

Kompas, 3 Desember 1997.

Kompas 16 Januari 1998.

Kompas 1 Oktober 1998.

Panji, no:25 th:II, 7 Oktober 1998.

Kompas, 4 Oktober 1999.

Kompas, 24 Mei 2000.

Kompas, 2 Juni 2000.

156

The following item is a Memorandum of Economic and Financial Policies of the government of Indonesia, which describes the policies that Indonesia intends to implement in the context of its request for financial support from the IMF. The document, which is the property of Indonesia, is being made available on the IMF website by agreement with the member as a service to users of the IMF website.

Jakarta, Indonesia January 15, 1998

Indonesia—Memorandum of Economic and Financial Policies

I. BACKGROUND

1. For the past several decades, prudent macroeconomic policies and continuing structural reforms have kept Indonesia on a path of rapid economic development. Since the 1970s, economic growth has averaged 7 percent per annum, raising GDP per capita toward the level of middle income countries, while dramatically lowering the incidence

of poverty. The economic structure has become diversified, as dependency on the oil sector has declined and an export-oriented manufacturing base has emerged, led by a

dynamic private sector and fueled by high domestic savings and large inflows of foreign direct investment. Meanwhile, macroeconomic balance has been maintained: the budget has been balanced; inflation has been contained at relatively low levels; current account

deficits have been kept moderate; and international reserves have remained at comfortable levels.

2. Despite this strong macroeconomic performance, a number of underlying weaknesses have made the country vulnerable to adverse external shocks. Structural rigidities arising

from regulations in domestic trade and import monopolies have impeded economic efficiency and competitiveness. At the same time, the relative stability of the rupiah

during most of the 1990s, together with high rates of return on domestic investment, both encouraged and facilitated high levels of overseas borrowing, a significant portion of

which has been private short-term debt that has been unhedged. By end-December 1997, Indonesia’s external debt stood at $140 billion (about two-thirds of GDP), of which $20

billion was short term, while its debt service has remained close to one-third of exports of goods and services. Also, the rapid expansion of the financial system since the late 1980s

has left a number of banks with significant amounts of nonperforming loans, straining their liquidity and, in a number of cases, undermining their financial viability.

3. In the wake of the recent currency turmoil in the region, the exchange rate has depreciated to alarming levels. From mid-July last year to early January this year, the

cumulative depreciation of the rupiah reached 70 percent, with over half of this decline occurring since the end of November, while the fall in the Jakarta stock exchange index reached 50 percent, both the largest declines in the region. The enormous depreciation of the rupiah did not seem to stem from macroeconomic imbalances, which remained quite

modest. Instead, the large depreciation reflected a severe loss of confidence in the currency, the financial sector, and the overall economy.

157

4. The plummeting of the rupiah has led to very large increases in the rupiah debt service costs of banks and corporations that had borrowed—largely without hedging—from

abroad. Moreover, since the currency depreciation has engendered a substantial rise in domestic interest rates, the burden of paying for, and collecting, domestic currency loans has also increased, further straining the position of corporations and financial institutions, particularly those that were already weak. A major concern for the government is that the

process has become self-reinforcing: growing strains on firms have amplified investor uncertainty and encouraged capital flight, thereby intensifying pressures on the exchange

rate and domestic interest rates.

5. From the outset of the currency crisis, the government has taken strong corrective action. To discourage speculative attacks, the exchange rate band was widened in July

and, in August, in the face of continued pressure on the currency, the rupiah was allowed to float. This policy was backed by a significant tightening of liquidity conditions and an

announcement that the budget surplus would be preserved by postponing major infrastructure projects, cutting low priority development programs, and extending the coverage of the luxury sales tax. At the same time, import tariffs on over 150 items (mainly raw materials and other intermediate goods) were reduced effective mid-

September, while the 49 percent limit on foreign holdings of listed shares was abolished. Further trade liberalization measures, including removing monopoly restrictions on

agricultural imports were announced in November last year. These actions, however, were not sufficient to restore confidence in the rupiah and the economy.

II. THE POLICY FRAMEWORK 6. In November, in the context of an IMF-supported program, the government put in place a comprehensive

policy package to restore confidence and arrest the decline of the rupiah. Fiscal policy was formulated to preserve a budget surplus of about 1 percent of GDP while monetary policy aimed at containing inflation

and supporting the exchange rate. These policies were to provide the supportive macroeconomic framework for the continuing efforts to restructure the financial sector and accelerate structural reforms.

7. However, following a short-lived strengthening, the rupiah plummeted owing to a combination of contagion from currency turmoil in the region, political developments,

and other uncertainties. It is now clear that the original macroeconomic targets cannot be realized. Under current volatile conditions, it is difficult to set precise macroeconomic

targets. Nevertheless the program is designed to avoid a decline in output, while limiting inflation to about 20 percent, which, although high by Indonesian standards, is

unavoidable given the substantial depreciation of the rupiah. At the same time, the external current account balance is expected to move from a deficit in 1997/98 to a

surplus in 1998/99. A. Macroeconomic Policies

Fiscal Policy

8. The government is fully committed to maintaining a sound fiscal policy. However, with the sharp depreciation of the rupiah and the deterioration in the economy, it is no

longer feasible to aim at a surplus of 1 percent of GDP in 1998/99. The budget has therefore been framed to strike an appropriate balance between preventing undue deterioration of the fiscal position and avoiding an excessive fiscal contraction.

Accordingly, the government is determined to follow its long-standing policy of a balanced budget (in the Indonesian presentation), which avoids any recourse to domestic financing. The corresponding deficit in the IMF presentation is about 1 percent of GDP.

158

To realize this objective, the government has strengthened the budget introduced on January 6 by adopting new measures.

9. To reduce economic distortions, and strengthen the fiscal position, the government intends to adjust administered prices with the aim of gradually eliminating subsidies on

fuel and electricity. As the price increases necessary to eliminate these subsidies are very large owing to the depreciation, it is not feasible to bring domestic prices to the level of

international prices abruptly. The government will therefore aim to eliminate these subsidies gradually over the course of the program, starting with the sizable initial

adjustment in April 1, 1998 in fuel and electricity prices, except for prices of kerosene and diesel fuel, where increases will be kept to a minimum so as to protect the poor.

10. On the revenue side, the government has already announced increases in excises on alcohol and tobacco, which will effectively raise revenue from these items by 80 percent and 10 percent, respectively. These excises will be increased further on July 1, 1998 to reflect exchange rate and price developments. In addition, effective April 1, 1998, the

government will remove all VAT exemptions (apart from those on capital goods or those explicitly mandated by law); these include, inter alia, electricity for private companies,

taxis, soybean food for cattle, sugar, personal goods, medical equipment, and other machinery and capital equipment. All VAT exemption arrangements will be reviewed

regularly. With regard to other taxes, a 5 percent local sales tax on gasoline will be introduced on April 1, 1998 and the number of goods subject to the luxury sales tax will

be increased. The government will also shortly increase the proportion of the market value of land and buildings assessable for tax to 40 percent for plantations and forestry

property.

11. In order to improve tax administration and the structure of the tax system, the government has introduced a single taxpayer registration number which will come into

effect on April 1, 1998. Further planned improvements, in line with recommendations of the Fiscal Affairs Department of the IMF, to increase non-oil tax revenue, include: (i)

raising the annual audit coverage; (ii) developing improved VAT audit programs to target large potential taxpayers; and (iii) increasing the recovery of tax arrears. To accelerate

progress in this area, the government intends to request further technical assistance from the Fund.

12. To ensure the quality and durability of the fiscal reform, the government will move to a comprehensive and transparent system to report on the public sector financial position, particularly including quasi-fiscal operations. Accordingly, the government has decided to accelerate provisions under the Nontax Revenue Law of May 1997 which require all off-budget funds to be incorporated in the budget within five years. The accounts of the two large off-budget accounts, the Investment Fund and the Reforestation Fund, will be

incorporated in the central government budget at the beginning of the 1998/99 fiscal year. In the specific case of the Reforestation Fund, the government will ensure that the funds

are used exclusively for their intended purpose of financing reforestation programs, which include those outside the concessional forest areas, development of industrial forestry areas, reforestation of unproductive land, and other reforestation programs.

159

13. In recognition of the serious financial crisis facing Indonesia, the government has canceled 12 major infrastructure projects that had been reinstated earlier, including the

Tanjung Jati-C power plant. The government has also decided to discontinue immediately any special tax, customs, or credit privileges granted to the National Car. In any event, the government will implement ahead of schedule the ruling of the WTO dispute panel.

Moreover, consistent with Indonesia’s commitment to the WTO, the local content program for motor vehicles, which gives preferential tariff rates to vehicle manufacturers using a high percentage of local parts, will be phased out by 2000. It has also decided to discontinue immediately any budgetary and extrabudgetary support and credit privileges

granted to IPTN projects.

Monetary and Exchange Rate Policy

14. Since the crisis began, Bank Indonesia’s monetary strategy has been to support the rupiah exchange rate, and limit any increase in inflation, by maintaining a firm monetary

stance. The execution of this policy, however, has been hampered by problems in the banking system. Following the closure of 16 insolvent banks in November last year, customers concerned about the safety of private banks have been shifting sizeable

amounts of deposits to state and foreign banks, while some have been withdrawing funds from the banking system entirely.

15. These movements in deposits have greatly complicated the task of monetary policy, because they have led to a bifurcation of the banking system. By mid-November, a large

number of banks were facing growing liquidity shortages, and were unable to obtain sufficient funds in the interbank market to cover this gap, even after paying interest rates

ranging up to 75 percent. At the same time, another smaller group of banks were becoming increasingly liquid, and were trading among themselves at a relatively low

JIBOR (Jakarta Interbank Offer Rate) of about 15 percent. As this segmentation continued to increase, while the stress on the banking system intensified, Bank Indonesia

was compelled to act. It provided banks in distress with liquidity support, while withdrawing funds from banks with excess liquidity, thereby raising JIBOR to over 30

percent in early December, where it has since remained.

16. Nevertheless, despite this increase in interest rates—to levels higher than in any other country in the region—the problems of the rupiah have only intensified. From early December to early January, the exchange rate lost a further 53 percent of its external

value, falling from around Rp 3,700 per U.S. dollar to around Rp 8,000 per U.S. dollar. Part of the reason was that the rupiah was affected by the financial turmoil in other

neighboring countries. Another factor was that markets became increasingly concerned about the deterioration in Indonesia’s economic situation, which has weakened the

financial health of the banking system and the corporate sector. Most of all, however, markets were concerned that the program originally designed in November was no longer

sufficient to overcome the country’s economic predicament.

17. With the overall policy package that has recently been adopted, and set out in this Memorandum, the government is now convinced that confidence in the economic

direction of the country will be speedily restored. And as this occurs, the exchange rate of the rupiah will finally stabilize. However, during the transitional period, in which

160

confidence is taking hold, lingering concerns about exchange rate depreciation are likely to keep market interest rates at high levels. Bank Indonesia recognizes that, in these

circumstances, it will need to keep its own interest rates high, as well. Accordingly, Bank Indonesia is raising interest rates on SBI (central bank) certificates across the entire

spectrum of maturities, from overnight to one year, thereby bringing them in line with conditions prevailing in the money market—and sending a clear message to financial

markets that it will maintain a firm monetary stance for as long as proves necessary. At the same time, Bank Indonesia is also providing full autonomy to state banks to adjust

rates on credit and deposit liabilities, so that their rates could also reflect developments in money and credit markets.

18. This tight monetary stance will inevitably mean that, at least for the time being, the amount of credit available for lending to the corporate sector will remain constrained and the cost of credit will remain very high. Such a situation will place a particular burden on

smaller enterprises, which rely on bank credit for their sole source of financing. To alleviate this burden, the government has introduced a temporary program under which credit will be provided to small-scale enterprises through the state banks at subsidized

interest rates. The cost of the subsidy will be borne not by the state banks, but rather by the central government budget. A facility will also be established to extend credit to exporters at commercial terms. Eventually, though, these arrangements should prove redundant, since once confidence is fully restored and the exchange rate stability is

regained, then funds should flow back into the banking system and the overall policy stance can be relaxed gradually, thereby providing greater room for banks to expand

credit and lower their interest rates—for all firms.

19. Bank Indonesia’s financial program has been formulated in the context of extremely uncertain financial conditions, including with regard to the demand for monetary

aggregates. Over the course of 1997, the growth of broader monetary aggregates, slowed considerably, with M2 growth falling from year-on-year rates of 25 1/2 percent in June to

23 percent by November. At the same time, the money multiplier has fallen sharply, partly because there has been a marked increase in the demand for currency, as concerns

grew over the scale of banking sector difficulties, but also because financial intermediation has declined, as banks become more reluctant to lend. Consequently, even

though base money growth exceeded the program objective, broad money was well within the December target.

20. Bank Indonesia has established, in consultation with the Fund, a financial program for 1998, to ensure that monetary policy continues to operate within a well-defined

framework, with a clear inflation objective. This program aims to contain inflation to less than 20 percent, implying that policy will ensure that there is only a limited pass through of the very substantial depreciation onto the prices of imports, and only a muted impact

of the drought on food prices. To achieve this ambitious objective, Bank Indonesia plans to limit the growth of broad money to 16 percent in 1998. As in 1997, broad money

growth targets will be attained by controlling base money, rather than by relying on direct quantitative lending targets.

21. This monetary strategy will be complemented by judicious foreign exchange intervention to stabilize and support the exchange rate. The scale of this intervention will

161

be determined in close consultation with IMF staff, and will also be subject to Bank Indonesia maintaining net international reserves above the monthly and quarterly floors specified in the program. As in our previous Memorandum on Economic and Financial

Policies, any sterilization of exchange market intervention will be strictly limited so as to ensure that monetary conditions become firmer as the scale of intervention increases.

22. Bank Indonesia will immediately be given autonomy in formulating and implementing monetary policy. To ensure that the central bank remains accountable, the

inflation objective will continue to be decided by the government as a whole, but the policies for achieving this objective, such as changes in official interest rates, will be determined solely by the central bank. To institutionalize the autonomy of the central bank, a draft law will be submitted to Parliament by the end of 1998, which will also

include changes in the composition and mandate of the Monetary Board. B. Financial Sector Restructuring

Bank restructuring program

23.. The government has already taken decisive action to implement a comprehensive program of bank restructuring aimed at restoring the soundness of the banking system. On November 1, 1997, sixteen insolvent banks were closed. The bank closures made it clear to the market that owners would lose their stake in banks that become unviable. A number of other banks, including regional development banks, have been placed under intensive supervision by the central bank. Rehabilitation plans for some of these banks

have been approved by the central bank and are being implemented, while others are still under preparation.

24. However, the continued depreciation of the rupiah, the slowdown in growth, and high interest rates since then have led to a marked deterioration of the financial condition of

the remaining banks. This deterioration has been exacerbated by deposit runs and capital flight, forcing many banks to increasingly resort to central bank liquidity support. The

large depreciation of the rupiah in recent weeks has raised the concern that these problems will only intensify.

25. In these circumstances, the government believes that re-establishing confidence in the ability of the banking system to meet its commitments and play its intermediation role is of paramount importance. Therefore, Bank Indonesia is working closely with the AsDB,

IMF, and World Bank staff to establish and expeditiously implement uniform, transparent and equitable rules for resolving liquidity and solvency problems, of private banks. These

measures will be announced shortly. The central bank will provide liquidity support to banks subject to increasing conditions, while ensuring that liquidity support extended to

banks will be consistent with the program’s monetary growth objectives.

26. With technical assistance from the World Bank, the government has also taken steps to resolve the problems of the state banks and ensure their safety and soundness. The aim of this program is to improve their efficiency and subsequently privatize them. Toward this objective, the government announced in December 1997 that BTN will become a

subsidiary of BNI and that four state banks, Bapindo, Bank Bumi Daya, BDN and Bank Exim, will be merged. The government will ensure that the merger process will be used

to downsize the operations of the merging banks, sell redundant facilities and bank

162

branches, reduce excessive manpower, economize on automated systems, maximize benefits from complementary strengths, and prepare the institutions for privatization. The

state banks will not be recapitalized except in conjunction with privatization. The government will ensure that, until privatization, the state banks perform according to

criteria detailed in performance contracts, prepared by the Ministry of Finance (Directorate General for State Enterprises) with assistance from the World Bank, by end-

March 1998. These contracts will spell out the objectives of the management of each institution and form the basis for assessing performance.

27. In support of the ultimate goal of full privatization of all state banks, the government will introduce legislation by end-June 1998 to amend the Banking law in order to remove

the limit on private ownership. The new bank formed from the merger of the four state banks will be staffed by new managing directors. This new management will be in place by end-February 1998 and will formulate and implement a plan for interim operations of

the four merging banks including a timetable for the final merger. Foreign strategic partners will be sought for the merged bank to assist in attracting other private sector participation and for eventual privatization. The timetable for privatization for all the

state banks will be determined in consultation with the IMF and the World Bank.

28. As preparation for the mergers and acquisition process, as well as for privatization, all state banks (including those that will not be merged) will conduct portfolio, systems, and financial reviews to internationally acceptable standards using teams from internationally

recognized audit firms. These reviews will be initiated by end-February 1998 and completed by end-June 1998. Subsequent reviews will be conducted annually. The

portfolio, systems, and financial reviews will serve to appraise the value of the assets and establish a basis for segregation of good and bad assets, according to uniform criteria and procedures. In addition, a financial plan for funding of bad debts of the state banks will

be prepared with the assistance of the World Bank by end-July 1998. A new asset resolution entity will be established by end-March 1998, and made fully operational by end-July 1998. This entity will receive the bad debts of state banks and will concentrate

solely on debt recovery within a defined time schedule.

Strengthening the legal and supervisory framework for banking

29. The government is firmly committed to improving the supervision of the banking system. Enforcement of prudential regulation has been strengthened through

establishment of a graduated system of penalties for noncompliance, culminating in the withdrawal of banking license. Capital adequacy rules are being enforced within the

context of the bank restructuring strategy, and in the case of the non-foreign exchange banks, minimum capital requirements will be increased gradually to put them on par with

the foreign exchange banks. New loan classification and provisioning guidelines have been prepared and loan loss provisions will be made fully tax-deductible by end-March 1998. The reporting and monitoring procedures for foreign exchange exposure of banks have been upgraded and the limits strictly enforced. The central bank’s capacity for risk-

based supervision will be further strengthened with technical assistance from the IMF and the World Bank. Beginning in March 1998, internationally-recognized specialists are to

provide active support in on- and off-site supervision. Moreover, to eliminate the conflict of interest inherent in central bank ownership of banks, Bank Indonesia has established a

163

program for divestiture of its interests in private banks, and has already made substantial progress towards this goal.

30. To further strengthen the policy and institutional infrastructure for banking, the government has taken steps to:

(a) revise the legal framework for banking operations, after a thorough review of central bank and banking laws as well the company law and liquidation regulations, which will be completed by end-September, 1998. Areas of focus will include, bankruptcy, banking disclosure, taking and realizing collateral, and regulations on financial instruments. Action plans to improve the legal framework will be prepared by the end of 1998 with the help of the IMF and the World Bank.

(b) improve transparency and disclosure in banking. To this end, the government will immediately require all banks to publish audited financial statements annually. Bank Indonesia will also review the adequacy of data provided in banks’ condensed biannual balance sheets with a view to improving the dissemination of information on the financial condition of individual banks. The government will also require banks to regularly publish more comprehensive data on their operations, after a transition period that is expected to be less than two years. Banks wishing to publish such data prior to the end of the transition period would be free to do so.

(c) level the playing field for foreign investors in banking. As part of its WTO negotiations for liberalizing trade in financial services, the government has decided to: lift restrictions on branching of foreign banks by February 1998; in addition, it will submit to the Parliament a draft law to eliminate restrictions on foreign investment in listed banks by June 1998.

(d) eliminate all restrictions on bank lending, other than those required for prudential reasons, or those to support co-operatives and small-scale enterprises (the KUK scheme).

C. Structural Reforms

31. In November, the government set out an ambitious strategy of structural reform, aimed at bringing the economy back to a path of rapid growth, by transforming the "high-cost economy" into one which would be more open, competitive, and efficient. To achieve this transformation, the strategy called for foreign trade and investment to be further liberalized, domestic activities to be further deregulated, and the privatization program accelerated. At the same time, it envisaged that measures would continue to be taken to alleviate

poverty.

32. The government has already made considerable progress toward the strategy’s objectives. In November, a major step was taken toward opening up the economy and

increasing competition, when BULOG’s import monopoly over wheat and wheat flour, soybeans, and garlic were eliminated. To ensure that final consumers obtained maximum

benefits from this reform, importers were allowed to market all of these products domestically, except wheat (until recently; see paragraph 44 below). Similarly, to ease the adjustment costs for farmers, tariffs were simultaneously introduced on all of these

products, but these rates were limited to 20 percent or less, and will be reduced to 5 percent by 2003.

33. In addition, two other important structural measures have also been taken under the program. First, in November, the administrative retail price for cement was eliminated, thereby improving the degree of competition in this industry, and immediately reducing prices for construction firms and consumers. Second, the medium-term tariff reduction

program was extended to cover two key additional sectors, chemicals and metal products. Tariffs on most chemical products have already been reduced by 5 percentage points,

effective January 1, 1998 while those on steel/metals will be lowered beginning January

164

1, 1999. In line with the overall program, further reductions in these tariffs are scheduled for subsequent years, so that by 2003, the maximum tariff on these products will be

brought down to the medium-term target of 10 percent.

34. Despite this steady progress, the economic crisis has deepened during December and early January, making it clear that bolder, and faster, reform will be necessary to overcome the economy’s problems. Accordingly, the government has decided to

reinforce its structural reform program, by accelerating some of the measures that were earlier planned, and by supplementing them with additional actions.

Foreign Trade and Investment

35. Over the past two months, it has become evident that the drought afflicting the country is the most severe in half a century, and requires emergency measures.

Accordingly, to ensure that adequate food supplies will be available to the population at reasonable prices, the government has decided to go beyond the original program strategy, and include agricultural goods in the general program of tariff reduction

(leaving motor vehicles as the only exception). As an immediate measure, tariffs on all food items have been cut to a maximum of 5 percent, while local content regulations on dairy products have been abolished, both effective February 1, 1998,. At the same time, tariff rates on non-food agricultural products will be reduced by 5 percentage points, and

will gradually be reduced to a maximum of 10 percent by 2003.

36. At the same time, as another major step in assuring a level playing field, on February 1, 1998, all import restrictions on all new and used ships were also abolished. All other remaining quantitative import restrictions, other than those which may be justified for

health, safety, environment and security reasons, and other nontariff barriers that protect domestic production, will be completely phased out by the end of the program period.

37. The government also intends to phase out punitive export taxes, since these can no longer be justified, given the country’s now-pressing need to augment its inflows of

foreign exchange. Accordingly, on February 1, 1998, export taxes on a wide range of products—including leather, cork, ores and waste aluminum products—will be abolished. For other products, however, export taxes cannot simply be eliminated, since they serve

as an important means of discouraging overexploitation of Indonesia’s natural environment. In such cases, therefore, export taxes will be replaced by resource rent

taxes, which would protect the environment, while eliminating the bias against production for export, rather than for domestic use. As a first step, in March 1998, export

taxes on logs, sawn timber, rattan, and minerals will be reduced to a maximum of 10 percent ad valorem, and appropriate resource rent taxes imposed. At the same time,

similar steps will be taken for all of the remaining items currently subject to an export tax: the levies on exporting will be abolished and replaced by resource rent taxes, where

appropriate.

38. The government will also eliminate all other types of export restrictions, such as quotas, by the end of three years. The only exceptions will be for those restrictions

imposed for health and security reasons, as well as time-bound, temporary, measures introduced in the event of occasional domestic shortages—such as the recently imposed

165

export ban on palm oil. This ban will need to be retained through the first quarter of 1998, to ensure adequate domestic supplies of palm oil and restrain price rises. After March, however, it will not be renewed, nor will the previous system of export quotas

and punitive taxes will be reintroduced. Instead, palm oil will be subject to export taxes at rates not exceeding 20 percent.

39. Another pressing need in the current circumstances is to encourage foreign investment. Accordingly, the government has decided that in June 1998 it will issue a

revised and shortened negative list of activities closed to foreign investors. As part of this process, the government has removed restrictions on foreign investment in palm oil

plantations on February 1, 1998 while those on wholesale and retail trade will be lifted by March 1998.

Deregulation and Privatization

40. The second major thrust of the structural reform strategy will be to deregulate and privatize the economy, in order to promote domestic competition and expand the scope of the private sector. As a first, bold step, all of the existing formal and informal restrictive

marketing arrangement—including those for cement, paper, and plywood—will be dissolved, as of February 1, 1998. Henceforth, no firm will be forced to sell its product

through a joint marketing organization, nor be required to pay fees or commissions to it. Neither will any organization be allowed to assign exclusive marketing areas, or to dictate production volumes or market shares to individual enterprises. In the case of

cement, internal and external trade restrictions have also been eliminated, so that traders are now free to purchase and distribute all brands of cement in all provinces and export

without acquiring permits other than a general exporters’ license.

41. Similarly, trade in agricultural products is also being deregulated. Effective February 1, 1998, traders will have the freedom to buy, sell, and transfer all commodities across

district and provincial boundaries, including cloves, cashew nuts, oranges, and vanilla. In particular, traders will be able to buy and sell cloves at unrestricted prices to all agents, effective immediately, and the Clove Marketing Board will be eliminated by June 1998. The system of quotas limiting the sale of livestock will be abolished by September 1998. Furthermore, provincial governments will be prohibited from restricting interprovincial

or intraprovincial trade, effective February 1, 1998.

42. To support export expansion the government is now enforcing the prohibition of retribusi (local taxes) at all levels on export goods. To strengthen competition and market integration, government will develop and implement a one-year program for abolishing taxes on interprovincial and inter-district trade. Any loss of local government revenue

will be addressed through a combination of local fuel taxes and transfers from the central government.

43. BULOG’s monopoly will be limited to rice. Earlier, the government had planned that, following the November 1997 liberalization of wheat imports, domestic millers should

distribute their flour through BULOG for a 3-5 year transition period. Now, however, we have decided to eliminate this requirement, while flour millers will be permitted to sell or

distribute flour to any agent, both effective February 1, 1998. Also, effective the same

166

date, all traders will be allowed to import sugar and market it domestically, while farmers will be released from the formal and informal requirements for the forced planting of sugar cane. This major measure will have a number of important economic benefits. It will rationalize sugar production, enabling old and inefficient government mills to be

closed. It would increase rice output, as farmers switched from growing cane on irrigated land to producing higher value-added paddy. And it would increase the efficiency and

competitiveness of sugar-using industries, such as food processing.

44. In parallel with these efforts to increase private sector productivity, the government is undertaking a public sector expenditure and investment review in order to promote a

more efficient use of government resources. This review, which is being carried out in collaboration with the World Bank, will be completed by June 1998 and will result in a

comprehensive program to improve fiscal efficiency, and restructure state-owned enterprises and strategic industries.

45. This review will also be the basis for an accelerated program of privatization. Already, oversight of public enterprises was moved to the Ministry of Finance from line

ministries and a Privatization Board has been established. A clear framework will be established for the management and privatization (either through share flotation or

negotiated enterprise sales) of government assets by April 1998, including: (i) criteria for determining whether enterprises should be closed, restructured or fully privatized; and (ii) a transparent sales process that maximizes the return to government and treats all bidders

equally.

46. Within this framework, the government aims to accelerate privatization and to take decisive action to restructure or close poorly performing enterprises. Twelve enterprises will be prepared for listing during the first year of the program. In all of these cases, the government intends to go beyond the recent pattern of seeking minority shareholders in

public enterprises, by selling controlling, or even complete, stakes to the private sector. In addition, further tranches of government-controlled shares in public enterprises which are

already listed will be offered for sale, so that these enterprises, too, can be fully privatized.

47. As for those enterprises remaining within the public portfolio, clear profit and performance targets will be established, which will be made public and reported upon annually. Nonviable enterprises will be audited by end-1998 and nonviable enterprises

closed. Progress in this area will be assessed at the time of the second review.

Social Safety Net

48. Indonesia has made significant progress in alleviating poverty over the past 30 years. Yet large numbers of poor still remain, and it is imperative that the adjustment program does not result in a worsening of their economic and social conditions. To some extent,

the depreciation should benefit the rural poor by raising output prices in the export-oriented agricultural sector. Nonetheless, the poor are likely to suffer extensively from

the economic crisis, particularly as it has been compounded by an unusually severe drought. In these circumstance, special government initiatives will be necessary. In

167

particular, the government plans to introduce community-based work programs to sustain the purchasing power of the poor in both rural and urban areas.

49. In addition, efforts to target assistance to the poor will be intensified, including by expanding the program for the least developed villages, initiated in 1994, which has

proved to be cost effective in creating rural infrastructure and expanding employment opportunities for the poor. Moreover, poverty eradication and more equal income

distribution are to be major themes of the next five-year development plan, which begins in 1999. In particular, budgetary allocations for social spending will be increased, so as to

ensure that all Indonesians receive at least nine years of education and better basic medical services.

Environment

50. To strengthen overall environmental sustainability, the government will draft and establish implementation rules for the new environmental law by March 1998. In

addition, government will review and raise stumpage fees, auction concessions, lengthen the concession period, and allow transferability by June 1998, and will implement

performance bonds and reduce land conversion targets to environmentally sustainable levels by the end of 1998. To improve air quality, the government is accelerating its

program for conversion to cleaner fuels, including unleaded gasoline, to meet the President’s 1999 deadline.