krisis ekonomi, desakan liberalisasi, dan implikasinya bagi patronase bisnis militer pasca orde baru
TRANSCRIPT
KKRRIISSIISS EEKKOONNOOMMII,, DDEESSAAKKAANN LLIIBBEERRAALLIISSAASSII,, DDAANN
IIMMPPLLIIKKAASSIINNYYAA BBAAGGII PPAATTRROONNAASSEE BBIISSNNIISS MMIILLIITTEERR PPAASSCCAA
OORRDDEE BBAARRUU
OOlleehh::
NNuuggrroohhoo PPrraattoommoo
00999944002200228877
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia,
Depok, 2000
1
Bab I
Pendahuluan
1 Latar Belakang Masalah
Ketika kita hendak membicarakan hal-hal tentang politik di Indonesia, ada satu
hal yang sampai kapanpun tidak boleh kita lupakan; militer. Militer Indonesia yang
kesehariannya menamakan dirinya sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI)1, merupakan sebuah kekuatan politik yang selama lebih dari 50 tahun setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia telah berhasil menjadikan dirinya tidak hanya sebagai
kekuatan politik yang dominan, tetapi juga telah menempatkan dirinya dalam posisi yang
menentukan di berbagai bidang lain.2
Militer memang secara idealnya merupakan alat negara yang profesional dibidang
pertahanan, tetapi di dalam kenyataannya sehari-hari di Indonesia militer bukan lagi
sekedar merupakan alat negara, tetapi telah berubah menjadi sebuah kekuatan politik
yang sangat menentukan didalam perjalanan sistem politik Indonesia. Memang benar,
apabila diperhatikan fenomena seperti ini bukan merupakan realitas yang hanya terjadi di
negara Indonesia, namun hal tersebut seakan telah menjadi sebuah kecendrungan umum
yang banyak terjadi di negara-negara dunia ketiga.
Sebagai sebuah kekuatan bersenjata, pada dasarnya militer dituntut untuk mau
dan mampu untuk menempatkan dirinya sebagai sebuah organisasi yang profesional
dibidangnya. Dalam The Soldier And The State, Huntington melihat bahwa, pada
dasarnya profesi seorang militer tidaklah memiliki perbedaan yang terlalu signifikan
dengan bentuk profesi profesional lainnya. Ia menyebutkan, dalam profesi militer yang
profesional juga terdapat tiga hal penting yang juga terdapat pada profesi lain. Ketiga hal
tersebut ialah, expertise, responsibility dan corporateness.3
1 Ketika skripsi ini dibuat ABRI telah kembali mnyebut dirinya sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kemudian apabila dalam skripsi ini disebutkan militer, tentara atau ABRI, maka yang dimaksud adalah TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat), karena sesungguhnya dalam peta kekuatan politik Orba Angkatan Darat yang menjadi kekuatan dominan. 2 Begitu besarnya keterlibatan militer dalam politik, maka kemudian militer seringkali disebut dengan “The Shadow Government”. 3 The expertise of officership diartikan sebagai kemampuan para perwira untuk melaksanakan berbagai tugas dari setiap kekuatan militer, termasuk didalamnya pengorganisiran, pembekalan dan latihan. Kedua perencanaan setiap aktivitas dan mengarahkan setiap operasi dan peperangan. The responsibility of
2
Peran militer yang sangat dominan dalam praktek-praktek politik di sejumlah
negara, telah turut pula menciptakan rezim yang berkuasa menjadi otoriter. Penguasaan
rezim otoriter atas sebuah negara, secara langsung juga telah menjadikan dominasi negara
atas segala aspek kehidupan. Apabila rezim otoriter tersebut terdiri atas orang-orang yang
berasal dari kalangan militer, maka dalam prakteknya militer pulalah yang berkuasa atas
negara tersebut. Hal inilah yang terjadi di Indonesia. Indonesia (setidaknya selama rezim
Orde Baru), telah menjadi sebuah negara otoriter yang disertai pula oleh adanya dominasi
militer dalam kekuasaan politik. Secara historis, setelah kegagalan kudeta yang dilakukan
pada tahun 1965, militer (baca: Angkatan Darat) telah berhasil menempatkan dirinya
sebagai sebuah kekuatan politik satu-satunya yang berada di dalam lingkaran pusat
kekuasaan politik. Keberadaan Golkar yang juga bentukan pihak militer, kekuasaan yang
tersentralistis, dan terutama adanya konsep dwifungsi telah pula memperkokoh posisi
militer dalam sistem politik Indonesia. Konsep dwifungsi ini juga yang menjadi
legitimasi bagi pihak militer untuk terus dapat bersikap otoriter dalam berbagai persoalan
politik di Indonesia selama Orde Baru.
Ketika berada dalam tahun-tahun pertama kekuasaan Orde Baru, peranan militer
dalam praktek-praktek politik di Indonesia sangat besar. Indonesia yang baru saja
melepaskan diri dari demokrasi terpimpin dibawah Sukarno dan dari sebuah kudeta,
harus langsung berhadapan dengan berbagai persoalan yang dengan segera ditangani.
Kesulitan ekonomi yang membelit seluruh rakyat, hiperinflasi serta jumlah hutang luar
negeri yang kian membengkak, harus dijadikan prioritas penyelesaian bagi rezim Orde
Baru. Namun dari sisi finansial hal tersebut menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Satu-
satunya cara untuk meningkatkan pendapatan negara untuk dapat memperbaiki keadaan
ekonomi adalah dengan cara membuka kembali keran investasi asing. Agar para investor
tersebut memiliki kepercayaan untuk mau menginvestasikan modalnya di Indonesia,
pemerintah Orde Baru berkeyakinan bahwa stabilitas politik harus tetap terjaga. Dengan
argumentasi ini, rezim Orde Baru dibawah Suharto menempatkan militer dalam berbagai
bidang, terutama yang dianggap vital, dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Oleh officership ialah para perwira tersebut dituntut untuk memilki tanggung jawab pada negara, sehingga dimungkinkan untuk mengkoreksi komandannya apabila bertentangan dengan kepentingan nasional Dan the corporate character of officership ialah para perwira tersebut diharapkan memilki esprit de corps yang
3
karena itu, sampai kini kita masih dapat melihat para perwira militer yang ditempatkan
dalam posisi-posisi penting dalam jabatan birokrasi sipil, menteri, gubernur sampai
dengan keberadaan fraksi TNI/ Polri di DPR.
Ketika posisi negara secara ekonomi semakin menguat, terutama dengan adanya
boom minyak (oil boom) yang terjadi pada pertengahan 1970an dan awal 1980an juga
telah memberikan dampak tersendiri bagi kalangan militer. Terjadinya kenaikan harga
minyak mentah di pasaran internasional telah memberikan keuntungan yang sangat besar
bagi negara. Sebagai kelanjutan dari adanya penguasaan aset-aset penting negara oleh
pihak militer, adanya boom minyak secara langsung juga semakin memantapkan posisi
militer sebagai kekuatan politik yang dominan dalam pemerintahan Orde Baru, dalam
posisi yang sangat diuntungkan. Pertamina sebagai pengelola pertambangan minyak
nasional telah menjadi sumber pendapatan terbesar bagi negara. Sebagai efek
sampingnya Pertamina yang pada saat itu dipimpin oleh seorang militer, juga telah
dijadikan sumber pemasukan terbesar bagi kalangan militer itu sendiri terutama oleh
Angkatan Darat. Berbagai kebijakan juga telah dikeluarkan dengan tujuan untuk
memberikan keuntungan yang lebih besar lagi pada negara (baca:militer). Hal ini
dimungkinkan karena militer tersebut juga memiliki posisi yang kuat dalam birokrasi
pemerintahan.
Selain penguasaan atas aset-aset negara, fenomena lain juga yang berkembang di
Indonesia ialah keberadaan berbagai bentuk bisnis militer dalam bentuk perusahaan-
perusahaan yang dipayungi oleh yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi. Hal seperti ini
juga terjadi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Perkembangan dari fenomena bisnis
militer ini menjadi menarik untuk diperhatikan, karena dalam menjalankan bisnisnya
tersebut militer selalu menggunakan potensi yang dimilikinya dalam struktur politik dan
birokrasi. Sedangkan ditingkat teknis pelaksanaannya bisnis militer banyak sekali
melakukan kerjasama dengan para pengusaha, terutama para pengusaha keturunan Cina
atau yang biasa dikenal dengan sebutan cukong. Keterlibatan para pengusaha keturunan
Cina dalam bisnis-bisnis yang dilakukan oleh militer sebenarnya bukan merupakan
barang baru. Pada awal Orde Lama Nasution sebagai kepala staf Angkatan Darat,
kuat. Samuel P Huntington, The Soldier and State, The Theory and Politics of Civil-Military Relations, London, Harvard University Press, 1998, hal:11-18.
4
mencanangkan adanya program civic mision dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-
hari para anggotanya. Para perwira di daerah yang banyak mengalami kegagalan dalam
pelaksanaannya, kemudian melakukan kerjasama dengan para pedagang dan para
pengusaha keturunan Cina setempat. Para pedagang dan pengusaha Cina tersebut
bertindak sebagai pelaku bisnis sehari-hari, sedangkan para perwira militer tersebut
dengan kekuasaan yang dimilikinya memberikan perlindungan pada bisnis yang
dijalankan para pengusaha dan pedagang Cina tersebut. Adanya hubungan kolusif
semacam inilah yang kemudian melahirkan istilah "Ali-Baba".4 Bentuk-bentuk kolusi ini
pada masa Orde Baru semakin meluas tidak hanya melibatkan para pengusaha Cina.
Kedekatan pihak militer dengan sumbu kekuasaan juga turut membentuk hubungan bisnis
militer dengan bisnis yang dilakukan oleh keluarga Presiden Suharto. Bentuk dan
pengelolaan bisnis-bisnis militer tersebut diatas kiranya dapat memberikan sebuah
gambaran kepada kita, bahwa selama ini di Indonesia telah terjadi apa yang dikenal
dengan praktek-praktek patronase bisnis.
Sebenarnya keterlibatan militer dalam bidang bisnis atau praktek patronase bisnis
ini, bukan merupakan fenomena "asli" Indonesia. Di beberapa negara dunia ketiga
lainnya, juga terjadi hal serupa. Misalnya saja yang terjadi Thailand sebelum 19735 dan
bahkan seperti yang terjadi di negara Republik Rakyat Cina. Di Thailand sebelum 1973
hampir serupa dengan terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Pada tahun-tahun
tersebut, Thailand beberapa kali mengalami kudeta militer. Dari setiap kudeta militer
tersebut juga melahirkan klik-klik bisnis militer baru, sekaligus meruntuhkan klik bisnis
militer sebelumnya. Sehingga tidak tercipta sebuah kepercayaan di bidang bisnis
(business confidence) yang mempu menggiring investor asing untuk mau menanamkan
4 Tindakan seperti ini terjadi hampir di semua tempat, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Bahkan sebelumnya banyak terjadi di beberapa daerah para perwiranya melakukan pungutan ilegal pada para pengusaha, angkutan barang dan tenaga kerja gratis dari para petani. Hal ini terjadi sebagai akibat tidak adanya kontrol yang efektif dari pusat Dampak yang selanjutnya terjadi adalah meningkatnya penyelundupan terutama di daerah Sumatra dan Sulawesi yang berbuntut pada terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta. Selain itu banyak panglima teritorium membentuk yayasan untuk menjalankan usahanya tersebut. Lihat: Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis, Bandung, Mizan, 1998, hal:50-53. Penyelundupan itu sendiri masih terjadi dari akhir 1960an sampai awal tahun 70an. Lihat pula Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, Sydney, Allen & Unwin, 1986, hal: 250. 5 Alexander Irwan, "Kolaborasi Antara PMN,Postfordism dan Politik Ekonomi Indonesia", dalam Prisma, No:8, Tahun XIX, Jakarta, LP3ES, 1990, hal:27.
5
modalnya di Thailand. Perbedaannya dengan bisnis militer di Indonesia, pergantian klik
bisnis militer tersebut tidak terjadi melalui jalan kudeta.
Sementara di Cina keterlibatan pihak militernya dengan bidang bisnis, dapat
dilihat dari kerjasama pihak militer dan bisnis lebih difokuskan pada bisnis-bisnis
berskala besar. Misalnya seperti yang terjadi di dalam China International Trust and
Investment Corporation (CITIC), dimana salah satu pengendali usaha ini dijalankan oleh
seorang mantan militer bernama Wang Jun.6
Dalam perspektif ekonomi politik, fenomena seperti tersebut diatas nampaknya
menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Sebagai salah satu bagian atau alat dari
sebuah negara, militer nampaknya memiliki kepentingan langsung terhadap basis-basis
ekonomi yang dimiliki oleh negara. Apalagi dengan dominannya keterlibatan militer
dalam politik di Indonesia, jelas akan memberikan keuntungan yang lebih besar lagi pada
militer. Farchan Bulkin menyatakan bahwa, negara sebenarnya memiliki hubungan yang
langsung dan erat dengan kondisi, pertumbuhan dan sistem perekonomian yang sedang
berlangsung. Militer sebagai sebuah unsur penting dari sebuah negara ternyata juga
memiliki hubungan yang langsung dan erat dengan ekonomi. Sehingga wajarlah apabila
dalam memahami sebuah institusi militer, kesulitan dan kemudahan negara dalam
mendukung militer secara finansial menjadi patut pula untuk diperhitungkan.7
Kepentingan yang dimiliki militer dalam bidang ekonomi inilah yang kemudian
membawa militer menjadi salah satu kekuatan ekonomi politik yang patut diperhitungkan
di Indonesia.
Salah satu fenomena yang paling kontekstual pada akhir dekade 1990an ialah
terjadinya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara di kawasan Asia. Dimana
Indonesia juga termasuk ke dalam salah satu negara yang paling merasakan dampak dari
terjadinya krisis tersebut. Bagi sebuah bentuk patronase bisnis, timbulnya krisis ekonomi
ini nampaknya akan menjadi persoalan tersendiri yang harus dihadapi dan disiasati.
Selain persoalan krisis itu sendiri, dampak atau masalah-masalah baru yang mungkin
timbul dari pilihan (options) yang ditawarkan dalam rangka pemecahan krisis ekonomi
nampaknya menarik pula untuk dicermati. Karena persoalan yang menimpa Indonesia
6 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:28. 7 Farchan Bulkin, "Kekuatan Politik: Perspektif Dan Analisa", dalam pengantar Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1995, hal: xxii.
6
bisa dikategorikan sebagai kasus khusus yang disebabkan kompleksnya persoalan yang
timbul di berbagai bidang, maka dalam proses penanganannya-pun tidak bisa dilakukan
secara terpisah-pisah.
Dalam proses penanganan krisis tersebut Sjahrir melihat setidaknya ada empat hal
yang perlu menjadi perhatian dan dicoba untuk dibenahi. Pertama adalah masalah
keadilan. Keadilan disini dalam bentuk kongkritnya dapat dilihat dari perbaikan upah
buruh dan penciptaan suatu situasi yang memungkinkan timbulnya persaingan yang sehat
sehingga menutup kemungkinan adanya crony capitalism seperti masa-masa yang lalu.
Selain itu melakukan pembenahan dalam masalah hubungan pusat dan daerah, sehingga
tidak ada yang merasa paling diuntungkan atau dirugikan. Kedua, pemisahan yang tegas
tentang hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah dan pihak swasta, termasuk di
dalamnya adalah masalah pembentukan berbagai yayasan sebagai sebuah lembaga non
profit namun dalam pelaksanaannya lebih merupakan sebuah perusahaan komersial.
Ketiga adalah masalah demokratisasi, dan yang keempat masalah globalisasi. Masalah
globalisasi ini nampaknya dapat dianggap sebagai persoalan yang sangat penting, karena
perubahan dibidang politik dan ekonomi pada saat ini justru lebih banyak dipengaruhi
oleh hal ini. Selain itu pula di masa yang akan datang peranan dari pergerakan modal
internasional tersebut akan menjadi lebih penting. Sehingga wajar apabila pada akhirnya
nanti ia (modal asing) akan jauh lebih menentukan bahkan dari peran negara sekalipun.8
Dalam memahami peran dari modal asing seperti yang dikemukakan Sjahrir tersebut,
secara otomatis pemahaman tentang globalisasi menjadi sesuatu yang penting. Karena
pergerakan modal asing, baik berupa portofolio, barang impor dan jasa ataupun berupa
multinational corporation tersebut baru dimungkinkan dengan adanya arus globalisasi
yang kini tidak dapat ditolak oleh semua negara di dunia.
Hal yang serupa juga telah disampaikan oleh MacIntyre. Dalam salah satu
tulisannya yang dimuat oleh ASEAN Economic Bulletin, terlihat bahwa ia sangat percaya
bahwa krisis ekonomi yang sedang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara
bukanlah sekedar persoalan yang disebabkan faktor ekonomi semata, tetapi telah pula
menyangkut masalah politik.9 Ketika melihat kasus yang dialami Indonesia terlihat
8 Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:xi-xii. 9 Andrew MacIntyre, "Political Institutions and the Economic Crisis in Thailand and Indonesia", dalam ASEAN Economic Bulletin, December, 1998, hal: 362.
7
bahwa persoalan-persoalan politik seperti terbentuknya rezim otoriter semakin
memperburuk keadaan ekonomi dalam negeri. Menurut MacIntyre, tidak adanya sistem
politik yang demokratis dan kekuasaan politik yang terlalu tersentralistis (berada di
tangan presiden), ternyata telah merusak kepercayaan yang dimiliki oleh para investor
asing.10 Karena dalam kenyataannya dapat terlihat bahwa dengan kekuasaan yang
tersentralistis tersebut, maka pihak pemerintah (presiden) dapat dengan mudah membuat
atau membatalkan berbagai kebijakan yang sangat penting terutama di bidang ekonomi.
MacIntyre juga memperbandingkan krisis yang dialami oleh Indonesia ini dengan yang
terjadi di Thailand. Ia melihat bahwa ternyata di Thailand ketika mulai terjadi krisis,
pemerintah negara tersebut langsung me-respond-nya, sedangkan yang terjadi di
Indonesia justru sebaliknya. Ketika keadaan semakin parah, barulah pemerintah
Indonesia meminta bantuan pada IMF.
Paket bantuan semacam ini sebenarnya bukan kali pertama yang diterima oleh
Indonesia. Pada masa akhir demokrasi terpimpin (kabinet gotong royong dibawah PM
Djuanda), pemerintah Indonesia juga pernah mengajukan bantuan serupa. Hanya saja
pada masa itu bantuan yang telah dijanjikan tersebut batal direalisasikan karena adanya
masalah-masalah politik yang timbul di dalam negeri. Misalnya saja dengan terjadinya
konfrontasi dengan Malaysia dan banyaknya tentangan dari elit partai politik (PKI) pada
waktu itu. Presiden Sukarno sendiri tidak telalu antusias dengan bantuan untuk perbaikan
ekonomi tersebut, dan lebih mengkonsentrasikan pada masalah-masalah politik.
Adanya pengajuan bantuan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional
(IMF) oleh Indonesia dalam rangka pembenahan keadaan ekonominya bagaimanapun
juga akan turut mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia di masa datang. Ekonomi
Indonesia yang selama Orde Baru tumbuh dan berkembang dengan melibatkan secara
aktif peran negara, dan nampaknya di masa yang akan datang hal ini tidak dapat terus
bertahan. Strategi kebijakan perbaikan dan peningkatan tingkat ekonomi Indonesia di
masa yang akan datang mau tidak mau harus segera diubah. Sebab jika hal tersebut
dipertahankan mustahil bila kita mengharapkan perekonomian Indonesia bisa pulih. Agar
dalam pembenahan ekonomi tersebut Indonesia tidak mengulangi kesalahannya lagi,
maka aspek yang kemudian perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi dan kebijakan
10 Ibid.
8
ekonomi tersebut mampu menyesuaikan dengan fenomena yang berkembang di dunia
pada saat ini, yaitu liberalisasi ekonomi.
Liberalisasi (liberalization) yang juga dipercaya sebagai salah satu bagian dari
globalisasi, sebenarnya bukan lagi merupakan hal baru bagi perekonomian Indonesia.
Liberalisasi ekonomi di Indonesia sebenarnya telah dimulai semenjak kurang lebih 30
tahun yang lalu, yaitu ketika mulai terjadinya perubahan besar di pemerintahan tahun
1966.11 Namun kata liberalisasi seringkali masih "diharamkan" dalam jargon-jargon
politik Indonesia saat itu. Dalam konteks wacana ekonomi di Indonesia sampai saat akhir
dekade 1990an, liberalisasi dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama yaitu
antara tahun 1966-1973. Periode kedua yaitu 1982-1991, dan periode ketiga yang dimulai
semenjak tahun 1994, di mana Indonesia telah tergabung ke dalam beberapa blok-blok
ekonomi seperti, AFTA atau WTO.12 Dalam perkembangan ekonomi di Indonesia proses
liberalisasi dalam ketiga periode tersebut tidak berjalan dengan mulus dan terkesan
lambat. Adanya berbagai kebijakan proteksi, subsidi dan juga berkembangnya bentuk-
bentuk patronase bisnis telah turut pula menghambat jalannya proses liberalisasi ekonomi
Indonesia. Keberanian rezim yang berkuasa saat itu untuk melakukan hal-hal tersebut
dapat lebih dilihat sebagai konsekuensi posisi negara yang relatif kuat dalam sektor
keuangan dan ekonomi, yang misalnya saja ditunjukan dengan cukup besarnya
pendapatan dari sektor minyak.
Apapun yang akan terjadi, pada kenyataannya Indonesia dalam rangka pemulihan
ekonominya telah sepakat untuk meminta bantuan kepada IMF. Kesepakatan yang
pertama telah disepakati pada akhir tahun 1997 dan diikuti dengan kesepakatan kedua
pada 15 Januari 1998. Sebagai sebuah kesepakatan sudah sewajarnya apabila pemerintah
Indonesia melaksanakan hal-hal yang telah disepakatinya tersebut, dengan diikuti
penerimaan segala konsekuensi yang timbul dari adanya kesepakatan tersebut, seperti
diantaranya adanya dorongan untuk segera diadakannya liberalisasi perdagangan, bursa
saham, perbaikan pada sistem harga, penghapusan alokasi-alokasi kredit langsung,
peninjauan kembali berbagai kebijakan bea masuk, restrukturisasi bank-bank nasional,
11 Hadi Soesastro, "A Review of Current an Capital Account Liberalization in Indonesia", dalam Indonesian Quarterly, Vol: XXVI/1998, no:2, Jakarta, CSIS, hal:143. 12 Ibid, hal 143-144.
9
peninjauan ulang kebijakan sektor publik termasuk pengeluaran untuk BUMN dan
industri strategis, serta transparansi dalam anggaran pemerintah.13
Pada dasarnya IMF (International Monetary Fund) merupakan sebuah lembaga
keuangan internasional yang tidak ingin secara langsung mencampuri masalah politik
dalam negeri negara yang menjadi debiturnya. Namun dalam implementasinya, masalah-
masalah politik yang muncul di negara-negara tersebut seringkali juga mempengaruhi
berbagai kebijakan ekonomi. Agar pihak IMF mau memberikan bantuannya tersebut ada
beberapa prasyarat yang harus terlebih dahulu dipenuhi oleh negara debitur. Oleh
karenanya prasyarat-prasyarat tadi menjadi bersifat kondisionalitas. Prasyarat-prasyarat
kondisionalitas ini tercantum dalam sebuah kesepakatan bersama yang kemudian dikenal
dengan Letter of Intent (LoI).
Namun selain memunculkan berbagai persoalan baru di bidang ekonomi,
terjadinya krisis ternyata juga membawa persoalan yang lebih kompleks lagi terutama di
bidang politik. Tuntutan reformasi politik yang muncul di kemudian hari juga dapat
dilihat sebagai salah satu implikasi lain dari terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.
Keinginan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis, dimana
tidak ada lagi peran atau keterlibatan militer dalam politik seakan sudah menjadi sebuah
tuntutan yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh siapa saja yang berkuasa di negeri ini.
Pengalaman traumatik hidup selama 32 tahun dibawah bayang-bayang kekuatan militer,
nampaknya turut pula mendidik masyarakat dan bangsa Indonesia untuk lebih peka pada
persoalan-persoalan militerisme. Dimana temasuk di dalamnya adalah keterlibatan militer
di dunia bisnis dan ekonomi.
2 Permasalahan
Dalam penjelasan-penjelasan tersebut diatas, dapat diartikan bahwa liberalisasi
ekonomi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat ditolak kehadirannya oleh negara
manapun, termasuk Indonesia. Bahkan sampai saat sekarang ini tuntutan untuk
dilaksanakannya liberalisasi ekonomi dengan seluruh konsekuensi yang ditimbulkannya
(termasuk peminimalan peran negara dalam ekonomi), bagi Indonesia sudah dapat
dikatakan sebagai sebuah keharusan. Karena yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru
13 Bisnis Indonesia, 1 November 1997..
10
adalah sebaliknya. Negara Indonesia terutama selama rezim Orde Baru adalah sebuah
rezim yang lebih bersifat otoriterisme-birokratik14 yang didalamnya terdapat berbagai
bentuk patronase bisnis.
Kenyataan yang ada pada akhir dekade 1990an adalah negara Indonesia tengah
dihadapkan pada sebuah krisis ekonomi yang untuk penyelesaiannya tidak hanya
dilakukan pada bidang ekonomi semata, namun telah pula menempatkan problem politik
pada level yang signifikan untuk segera dilakukan pembenahan. Hal menarik yang juga
patut diperhatikan dalam memahami krisis ekonomi dan politik Indonesia adalah, bahwa
militer yang memiliki peran di berbagai bidang tadi ternyata telah melakukan bisnis
dengan alasan pemenuhan anggaran yang dirasakan kurang. Militer yang seharusnya
merupakan alat dari sebuah negara yang bertugas dalam bidang pertahanan, dalam
bisnisnya membentuk berbagai perusahaan. Sebagai sebuah bentuk patronase bisnis
(business patronage), bisnis militer mau tidak mau akan menghadapi desakan liberalisasi
yang timbul dari adanya kesepakatan yang ditandatangani oleh Indonesia dan IMF serta
penguatan peran modal asing dalam perekonomian Indonesia.
Berkaitan dengan berbagai hal tersebut, permasalahan yang akan dijawab dalam
skripsi ini adalah, sejauhmana desakan liberalisasi ekonomi dan politik serta
menguatnya peran modal asing dapat mempengaruhi praktek-praktek bisnis militer
Indonesia pasca Orde Baru yang merupakan salah satu bentuk patronase bisnis.
Namun untuk dapat menelaah hal tersebut ada beberapa hal yang perlu dicermati terlebih
dahulu, yaitu:
(a) Bagaimana organisasi kemiliteran Indonesia yang terbentuk dari berbagai kelompok-
kelompok perjuangan pada pasca kemerdekaan, mulai tumbuh sebagai sebuah
kekuatan politik.
(b) Bagaimana militer yang telah menjadi salah satu kekuatan politik tersebut kemudian
mulai berkembang sebagai sebuah kekuatan ekonomi dalam sistem ekonomi
Indonesia pasca proklamasi selama tiga periode (revolusi fisik, demokrasi
parlementer dan demokrasi terpimpin). Dalam penjelasan ketiga periode tersebut akan
14 Mengenai pengertian otoriterisme birokratis dapat dilihat pada Arief Budiman, Teori Negara, Negara, Kekuasaan Dan Ideologi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal:109-113. Sedang mengenai rezim negara Orde Baru lihat pula: Mochtar Mas'oed, Ekonomi Dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta, LP3ES, 1989, hal: 6-7. Penjelasan lanjut lihat bagian kerangka teori dalam bab ini.
11
ditelaah pula bagaimana negara memainkan perannya dalam sistem ekonomi,
terutama dalam membentuk kelompok-kelompok kapital pribumi yang kuat.
(c) Bisnis militer sebagai salah satu bentuk kongkrit dari kekuatan ekonomi politik
militer mulai berkembang menjadi salah satu bagian dari sistem ekonomi Indonesia
yang patut diperhitungkan selama masa Orde Baru.
(d) Bagaimana patronase bisnis militer pada pasca Orde Baru tersebut menghadapi krisis
ekonomi yang menimpa Asia termasuk Indonesia, serta implikasi yang
ditimbulkannya pada sistem ekonomi Indonesia.
(e) Bagaimana patronase bisnis militer menghadapi liberalisasi ekonomi, yang secara
langsung menuntut pula pengurangan peran negara dalam ekonomi.
(f) Bagaimana patronase bisnis militer menghadapi tekanan demokratisasi dari dalam
negeri, yang secara langsung menuntut penghapusan peran politik militer dan
keberadaan bisnis-bisnis militer.
3 Signifikansi Penelitian
Berbagai studi sebenarnya telah banyak dilakukan untuk berusaha memahami
peran militer Indonesia dalam politik maupun ekonomi. Para Indonesianis seperti Harold
Crouch, Richard Robison, Andrew Mc Intyre atau juga para pengamat politik dalam
negeri seperti yang dilakukan oleh peneliti dari LIPI akhir-akhir ini telah pula melakukan
penelitian serupa. Namun keterlibatan militer dalam politik, serta timbulnya fenomena
patronase bisnis terutama bisnis-bisnis yang dijalankan oleh pihak militer seperti
dijelaskan sebelumnya, menjadi akan semakin menarik untuk dicermati apabila kemudian
dihubungkan dengan masalah-masalah atau fenomena-fenomena baru yang muncul
sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan negara dan pengambilan
kebijakan-kebijakan oleh pemerintah sebelumnya. Keterlibatan pihak asing seperti IMF
serta semakin kuatnya desakan untuk segera memberlakukan liberalisasi ekonomi di
Indonesia, di satu sisi ternyata telah pula mampu untuk mempengaruhi kebijakan
ekonomi yang diambil oleh pemerintah Indonesia. Sehingga pada akhirnya juga turut
mempengaruhi struktur ekonomi (para pelaku bisnis terutama bisnis-bisnis yang banyak
dilakukan oleh militer). Oleh sebab itu pada akhirnya skripsi ini diharapkan mampu
menambah khasanah dalam wacana politik militer Indonesia.
12
4 Kerangka Teori.
4.1 Pengertian Negara.
Dalam menganalisa permasalahan diatas, penulis akan lebih melihat dari sisi
keberadaan sebuah patronase bisnis, yang dalam hal ini diwakili oleh bisnis militer,
terhadap berbagai konsekuensi yang lahir dari dari adanya "kebijakan-kebijakan" yang
lebih bersifat liberal tersebut. Oleh sebab itulah skripsi ini akan berusaha menganalisanya
dengan menggunakan teori otonomi relatif (relative autonomy).
Dalam pengertian umumnya teori otonomi relatif ini dapat diartikan sebagai,
negara adalah (memiliki) "otonomi yang relatif" berhadapan dengan kelas sosial yang
dominan.15 Namun sebelum menjelaskan mengenai otonomi relatif ini secara lebih
mendalam, penulis merasa perlu untuk memberikan batasan yang jelas tentang apa yang
dimaksud dengan negara dalam skripsi ini.
Secara umum ada beberapa pengertian tentang konsep negara yang banyak
berkembang sampai saat ini. Arif Budiman seorang sosiolog menyebutkan, ada dua
kesimpulan yang bisa menjelaskan tentang lembaga negara tersebut. Pertama, negara
merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam sebuah
masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga atau kelompok yang
ada di masyarakat. Bahkan kalau perlu, negara memiliki keabsahan untuk menggunakan
kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan masyarakat terhadap perintah-perintah
yang dikeluarkannya. Kedua, kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena negara
merupakan pelembagaan dari kepentingan umum. Sebagai lembaga yang mewakili
kepentingan umum, negara dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan-
kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang jumlahnya lebih kecil.16 Alfred
Stepan mengartikan negara sebagai sesuatu yang lebih dari "pemerintah". Negara
merupakan suatu sistem administratif, legal, birokratis dan koersif yang
berkesinambungan serta berusaha untuk tidak hanya mengelola aparat negara, tetapi juga
untuk menyusun hubungan antara kekuasaan sipil dan pemerintah, serta untuk menyusun 15 Yoo Hwan Shin, Demystifying The Capitalist State: Political Patronage, Bureaucraetic Interests, and Capitalist-In-Formation In Soeharto's Indonesia, A Dessertation, Yale University, 1989, hal: 65. Dan yang dimaksudkan dengan kelas sosial yang dominan ialah kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat yang dianggap mampu mempengaruhi kebijakan negara.
13
berbagai hubungan mendasar dalam masyarakat politik dan masyarakat sipil.17
Sedangkan untuk melihat negara dalam kaitannya dengan struktur sosial, ekonomi dan
ideologi, Farchan Bulkin, seorang ahli ekonomi politik berpendapat bahwa negara bisa
dipandang sebagai sebuah institusi umum yang imperatif sifatnya, yang demi
keselamatan ekonominya harus menguasai sebagian sumber ekonomi nasional melalui
sistem perpajakan dan membelanjakannya sesuai kebijakan umum ekonomi. Sehingga
negara memiliki relevansi ekonomi. Struktur pendapatannya tergantung pada struktur
ekonomi dan juga merefleksikan struktur ekonomi yang dominan.18
Namun agar pengertian negara disini tidak meluas dan tetap berada dalam
konteksnya, pengertian negara disini harus tetap diingat, bahwa negara yang
dimaksudkan dalam skripsi ini adalah negara Indonesia masa Orde Baru yang telah
didominasi oleh peran militer di berbagai aspek kehidupan, termasuk dialamnya adalah
aspek politik dan ekonomi. Dalam memahami rezim negara Orde Baru yang berkuasa
juga dapat digunakan model otoriterisme birokratik Guillermo O'Donnell dan
korporatisme negara Philippe C. Schmitter.19 O'Donnell melihat ada lima hal yang
dimiliki otoriterisme birokratik, yaitu pertama, pemerintah dipegang oleh militer, tidak
sebagai diktaktor pribadi, melainkan sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan
"teknokrat" sipil. Kedua, Ia didukung oleh enterpreneur oligopolistik, yang bersama
negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. Ketiga, pengambilan
keputusan dalam rezim otoriterisme birokratik bersifat birokratik-teknokratik, sebagai
lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses
bargaining yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan. Keempat, massa
didemobilisasikan, dan kelima, penggunaan tindakan-tindakan represif untuk
mengendalikan oposisi. Dalam konteks Indonesia hal-hal ini jelas terlihat. Dominasi
pihak militer atas lembaga-lembaga politik termasuk presiden yang pada masa awal Orde
Baru bersama teknokrat sipil memperbaiki keadaan ekonomi warisan demokrasi
terpimpin, dukungan kelas-kelas kapitalis yang juga merupakan bentukan rezim
16 Arief Budiman, Teori… op cit, hal:3. 17 Alfred Stepan, Militer Dan Demokratisasi, Pengalaman Brasil Dan Beberapa Negara Lain, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1996, hal:14-15. 18 Farchan Bulkin, "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian", dalam Prisma, 2 Februari 1984, Jakarta, LP3ES, hal:7. 19 Mochtar Mas'oed, op cit.
14
militeristik Orde Baru, serta birokrasi yang telah didominasi oleh militer dengan konsep
kekaryaannya. Selain itu dalam negara Orde Baru juga dapat dilihat seringkalinya
penggunaan pendekatan militeristik oleh pihak militer Indonesia dalam memecahkan
masalah keamanan.
Schmitter berpendapat bahwa korporatisme adalah suatu sistem perwakilan
kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi
yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan (keanggotaan), tidak saling
bersaing, diatur secara herarkis yang diakui atau diberi izin oleh negara dan diberi hak
monopoli, menjadi sangat kontekstual di Indonesia. Karena jika diperhatikan berbagai
korporasi yang merupakan bentuk dari patronase bisnis yang berkembang di Indonesia
jelas memiliki kesamaan dengan ciri-ciri yang disebutkan Schmitter.
Terakhir untuk dapat memahami negara Orde Baru dalam konteks keterlibatan
negara dalam pembentukan kelas-kelas kapital di Indonesia juga dapat digunakan
penjelasan mengenai negara otoriter birokratik (NOB) rente sebagaimana disebutkan oleh
Arief Budiman. Ia menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan negara otoriter
birokratis rente adalah sebuah negara yang bersifat otoriter dan sangat mengandalkan
birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Sehingga praktis partisipasi masyarakat
dibendung serta pembangunan ekonomi dan politik dilakukan secara top-down.20
4.2. Pengertian Patronase Bisnis.
Karena yang menjadi pokok bahasan dari skripsi ini adalah pola patronase bisnis,
maka selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian dari patronase bisnis tersebut.
Patronase bisnis sebenarnya hanya merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh para
ahli ekonomi politik untuk memahami sebuah fenomena yang terjadi di beberapa negara
di dunia. Patronase bisnis dapat diartikan sebagai sebuah pola bisnis atau ekonomi yang
terbentuk berdasarkan hubungan patron-klien.21 Karena itu pola patronase bisnis ini pada
umumnya berkembang di dalam sebuah masyarakat yang memiliki budaya patron-klien
(patrimonial) yang sangat kuat.
20 Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, Studi Tentang Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas, 1991, hal:14. 21 Suryadi A. Rajab, Praktik Culas Bisnis Gaya Orde Baru, Jakarta, PT Gramedia Widyasarana Indonesia, 1999, hal:33.
15
Agar mempermudah pengertian patronase bisnis ini dalam kaitannya dengan pola
hubungan patron-klien yang merupakan gejala umum di negara-negara Asia Tenggara,
maka di sini akan dijelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan patron-klien
tersebut. Oleh para antropolog "patron-klien" ini seringkali pula diartikan dengan
"solidaritas vertikal".22 Biasanya pola ini banyak terjadi di dalam sistem masyarakat yang
bersifat patrimonial. Lebih lanjut James C. Scott menjelaskan bahwa hubungan patron-
klien dapat diartikan sebagai sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran, yang dapat
dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan dua orang yang terutama melibatkan
persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status ekonomi yang lebih
tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk menyediakan
perlindungan dan/ atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih
rendah (klien). Selanjutnya sang klien akan membalasnya dengan menawarkan dukungan
umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi, kepada patron.23 Jadi secara khusus yang
dimaksudkan dengan praktek atau pola patronase bisnis ialah para pengusaha harus
punya patron politik untuk bisa melakukan akumulasi modal.24 Dengan demikian posisi
patron politik yang pada umumnya berada di tangan para pejabat negara menjadi sangat
penting.
Praktek patronase bisnis ini sebenarnya tidak hanya berkembang di Indonesia
saja. Di beberapa negara Asia lainnya seperti Thailand, Korea Selatan dan Jepang juga
mengenal patronase bisnis ini. Namun perbedaannya, di negara-negara seperti Korea
Selatan dan Jepang praktek bisnis seperti ini tidak menjadi sesuatu yang berkelanjutan.
Di Korea Selatan misalnya, pada masa awal industrialisasinya rezim dibawah pimpinan
Syngman Rhee juga memberikan berbagai lisensi impor dan alokasi mata uang asing
kepada para chaebol yang dekat dengan para pejabat tinggi dengan tujuan untuk dapat
menyalurkan dukungan dana dan politik kepada rezim. Nilai impor bahkan mencapai
sepuluh kali lipat nilai ekspor. Hal ini juga dapat terjadi berkat dukungan ekonomi yang
kuat dari AS. Pola seperti ini terus terjadi sampai tergulingnya Syngman Rhee.
22 James.C.Scott, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal:1. Namun patut diingat Scott mendefinisikan hal tersebut dalam konteks hubungan patrimonial di tingkat desa. 23 Ibid, hal:7. 24 Alexander Irwan, "Kolaborasi …opcit.
16
Pasca Rhee, Korea Selatan mengalami sedikit perubahan. Kemudahan di bidang
ekonomi yang sebelumnya diberikan pada para pengusaha yang dekat dengan kalangan
pejabat, dialihkan kepada para pengusaha yang berhasil mendirikan pabrik baru dan yang
mampu melakukan kegiatan ekspor. Kebijakan industri subtitusi impor (ISI) dilakukan
sebagai salah satu cara untuk dapat mengurangi impor serta meningkatkan nilai ekspor.
Persoalannya hal ini menjadi berbeda ketika terjadi di Indonesia. Keterlibatan negara
yang besar dalam proses industrialisasi tampak menjadi “kelewatan”. Sehingga ketika
terjadi krisis di akhir dekade 1990an, negara menjadi salah satu aktor ekonomi yang
paling bertanggung jawab.
4.3. Teori Otonomi Relatif Negara.
Teori otonomi relatif ini banyak dikembangkan oleh teoritisi neo-Marxis sebagai
kritik atas teori Marxis klasik yang melihat negara sebagai alat bagi kelas yang berkuasa
(dominan). Diantaranya adalah Ralph Miliband, Nicos Poulantzas dan Hamza Alavi,
yang dikenal termasuk Marxis struktural kontemporer. Dalam "The State in Post Colonial
Societies: Pakistan and Bangladesh", disebutkan oleh Alavi bahwa negara pada
masyarakat pasca kolonial mempunyai otonomi relatif terhadap kelas-kelas sosial, karena
lemahnya serta kurang berkembangnya kelas-kelas sosial tersebut25. Selain itu Alavi juga
melihat bahwa ada tiga kelas dominan yang lahir di negara-negara pasca kolonial. Ketiga
kelas tersebut adalah borjuasi metropolitan, borjuasi lokal dan kelas pemilik tanah.
Karena kepentingan ketiga kelas tersebut tidak berbeda, maka negara dapat dengan
mudah memediasi segala kepentingan mereka.26
Dalam konsep masyarakat feodal yang dimaksudkan dengan kelas yang dominan
adalah kelas bangsawan dan ditambah orang-orang yang berasal dari kalangan gereja.
Ketika dua revolusi besar terjadi (industri dan Perancis), pada saat yang bersamaan
terjadi pulalah perubahan dalam struktur masyarakat yang ada di Eropa. Pengaruh kelas
Bangsawan dan Gereja terhadap negara telah mengalami reduksi. Adanya dua revolusi itu
telah melahirkan kelas borjuis (kapitalis) baru yang lebih memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi negara. Dengan kata lain, negara-negara tersebut tumbuh dibawah
25 Mengenai pengertian kelas dalam pandangan Marxisme lihat Tom Bottomore (ed), The Dictionary of Marxist Thought,Massacussets, Blackwell Publisher, 1992. 26 Hamza Alavi, The State In Post Colonial Societies:Pakistan and Bangladesh, dikutip dari Vedi R. Hadiz, Teori Negara Pasca Kolonial, Skripsi Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, 1987, hal:40 dan 42.
17
hegemoni kelas-kelas borjuasinya. Sedangkan kenyataan yang muncul di negara-negara
dunia ketiga adalah tidak terbentuknya kelas-kelas sosial, terutama kelas borjuis
(kapitalis) yang kuat. Sehingga tidak memungkinkan adanya hegemoni dari kelas-kelas
sosial tertentu terhadap negara.
Tidak tumbuhnya kelas-kelas kapitalis yang kuat dan mandiri di negara-negara
dunia ketiga inilah yang berusaha dijelaskan oleh teori negara pasca kolonial. Teori yang
dikembangkan oleh Hamza Alavi ini melihat bahwa di dalam negara-negara yang baru
merdeka sebenarnya telah terbentuk tatanan sosial masyarakat yang relatif stabil. Ketika
negara-negara tersebut masih berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial,
pemerintahan tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap kelas-kelas sosial
lainnya. Pemerintahan kolonial yang merupakan perpanjangan tangan dari negara
induknya, telah berkuasa sedemikian rupa sehingga birokrasi, tatanan hukum dan
termasuk pula kekuatan militer dipergunakan semaksimal mungkin untuk mendukung
proses akumulasi modal. Sehingga tidak memungkinkan organisasi sosial politik yang
bertujuan memperkuat kedaulatan rakyat dapat tumbuh.
Namun dalam perkembangannya ketika negara-negara tersebut mendapatkan
kemerdekaannya, tatanan sosial politik tersebut ternyata tidak mengalami perubahan,
yang terjadi justru hanyalah sebatas pergantian penguasa. Pemerintah nasional yang
terbentuk, mewarisi tatanan kolonial tersebut dengan berbagai kemudahan didalamnya.
Dengan warisan tatanan tersebut pemerintahan (baca:negara) yang baru tersebut memiliki
posisi tawar menawar yang kuat terhadap pemilik modal. Sehingga dengan demikian
dapat dikatakan bahwa, negara secara terbatas memiliki otonomi terhadap kelas-kelas
sosial yang ada, termasuk kelas-kelas borjuisnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai
otonomi relatif negara.
Otonomi relatif ini sebenarnya tidak hanya terdapat di negara-negara pasca
kolonial saja. Di negara-negara maju juga mengenal otonomi relatif ini. Di negara
industri maju otonomi relatif terletak pada ketidakmampuan fraksi-fraksi dalam kelas
borjuasi yang hegemonis untuk menguasai negara sepenuhnya. Sedang pada negara pasca
kolonial ketidakmampuan terletak pada berbagai kelas dominan untuk menguasai
18
negara.27 Ketika negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia mendapat
kemerdekaannya, negara-negara itu kemudian memegang peran yang penting dalam
pembentukan kelas-kelas kapitalis. Karenanya dapat dipahami jika pada perkembangan
selanjutnya muncul fenomena-fenomena patronase bisnis di negara-negara tersebut.
Dominasi serta adanya intervensi negara dalam ekonomi itulah yang kemudian
meletakan negara pasca kolonial sebagai sesuatu yang memiliki “sentralitas”,
sebagaimana telah ditegaskan oleh Alavi. Meski penulis sendiri tidak terlalu setuju
dengan tesis “overdeveloped state”-nya Alavi, namun penulis melihat bahwa memang
ada kecenderungan dari negara-negara pasca kolonial yang dalam melakukan strategi
industrialisasinya sangat bergantung kepada negara. Hal ini mengakibatkan kelas-kelas
kapitalis yang muncul menjadi tidak kuat dan mandiri. Dalam konteks ini pula, seperti
telah ditegaskan oleh Zieman dan Landzendorfer, yang patut untuk disadari ialah bahwa
negara memiliki fungsi primer yaitu sebagai penjamin reproduksi sosial, dan itu berarti
adanya penjaminan keberadaan mode produksi kapitalis.28
Selanjutnya yang juga perlu untuk menjadi perhatian di sini ialah bagaimana
keterlibatan aparat birokrasi negara dengan pembentukan kelas-kelas kapital di negara-
negara pasca kolonial, terutama dalam kaitannya dengan otonomi relatif negara. Dalam
konteks ini Alavi melihat bahwa latar belakang sosial atau kelas dari aparat negara
menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Sejalan dengan itu, Shivji dan Saul
juga melihat birokrasi sebagai sebuh kelas atau suatu kelas dalam proses pembentukan.
Dengan demikian baik Shivji maupun Saul dalam hal ini sangat menekankan akan
pentingnya faktor-faktor kesadaran atau kemauan dari orang-orang yang menduduki
posisi-posisi dalam aparat birokrasi negara, terutama dalam mengarahkan perubahan
sosial.
Walau demikian, di dalam kasus negara-negara pasca kolonial, negara
(termasuk di dalamnya para aparatnya) bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan
dalam sebuah proses perubahan sosial. Menurut Ziemann, Lanzendorfer serta didukung
pula oleh Robison, negara bahkan asal usul aparat birokrasi negara, tidak mampu
menentukan arah dari perubahan sosial. Ada batasan-batasan atau faktor-faktor lain yang
27 Vedi R. Hadiz, Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dam INSIST, 1999, hal:55-56. 28 Ibid, hal: 61.
19
juga patut untuk menjadi perhatian, yaitu proses-proses konflik kelas dan logika
akumulasi modal.29 Dan keduanya harus terjadi terlebih dahulu di dalam masyarakat
pasca kolonial. Bagi penulis pandangan seperti ini setidaknya telah pula memberikan
pengertian lain kepada kita bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam
negara-negara pasca kolonial, bagaimanapun juga tidak akan terlepas dari partisipasi
masyarakat pasca kolonial itu sendiri dalam menciptakan sebuah perubahan.
Sedangkan untuk membantu menjelaskan perubahan politik yang terjadi di
Indonesia sebagai salah satu bentuk implikasi langsung dari terjadinya krisis ekonomi,
dalam skripsi ini penulis juga menggunakan teori atau argumentasi yang disampaikan
oleh Samuel P. Huntington tentang apa yang diistilahkannya sebagai gelombang
demokratisasi ketiga.30 Dalam melihat korelasi antara krisis ekonomi dan proses
demokratisasi, Huntington berpendapat bahwa,
“Pada umumnya ada korelasi antara tingkat pembangunan ekonomi dengan demokrasi, namun tingkat atau pola pembangunan ekonomi itu saja tidak mesti atau tidak memadai untuk mewujudkan demokratisasi.”31
Lebih lanjut Huntington menyebutkan bahwa,
“Perkembangan ekonomi menyediakan sebuah landasan bagi demokrasi; krisis-krisis yang timbul akibat perkembangan yang cepat atau resesi ekonomi melemahkan rezim otoriter.”32
Dari pernyataan diatas jelas bahwa, pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang
cukup signifikan bagi sebuah proses demokratisasi. Baginya proses demokratisasi tanpa
adanya pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah keniscayaan. Karenanya demokratisasi
tidak akan muncul di negara-negara yang miskin. Ada beberapa argumentasi yang
diberikan oleh Huntington untuk dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi
menjadi faktor penting dalam sebuah proses demokratisasi di suatu negara. Pertama,
dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menciptakan kemakmuran
ekonomi masyarakat tersebut ternyata telah membentuk “nilai-nilai dan sikap-sikap
kewarganegaraannya”, menyuburkan rasa tanggung jawab antarpribadi, karena dipercaya,
kepuasan hidup dan kopetensi yang pada gilirannya berkolerasi kuat dengan eksistensi
29 Robison menyebut konflik-konflik kelas ini sebagai struktur kelas. Ibid, hal:66-69. 30 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, 1997. 31 Ibid, hal:72 32 Ibid, hal:73.
20
lembaga-lembaga demokrasi. Kedua, perkembangan ekonomi telah meningkatkan taraf
pendidikan masyarakat. Ketiga, dengan adanya perkembangan ekonomi menyebabkan
lebih banyak sumber daya yang dapat didistribusikan di antara kelompok-kelompok
sosial sehingga memudahkan akomodasi dan kompromi. Keempat, perkembangan
ekonomi telah pula mendorong keterbukaan masyarakat bagi perdagangan, investasi,
teknologi, pariwisata dan terutama komunikasi dengan dunia internasional. Dengan
demikian memudahkan ide-ide demokrasi secara umum untuk masuk ke negara tersebut.
Terakhir, menurut Huntington, perkembangan ekonomi telah mendorong meluasnya
kelas menengah. Kelas menengah bagi Huntington meski pada awal fase demokratisasi
kelas menengah tidak mesti sebagai kekuatan pendukung demokratisasi, namun dalam
gerakan demokratisasi gelombang ketiga hampir di setiap negeri didukung oleh kelas
menengah perkotaan. Dimana jika kita mengacu pada kasus Taiwan “pelaku-pelaku
utama perubahan politik adalah kaum intelektual kelas menengah yang lahir selama
periode pertumbuhan ekonomi yang cepat”.33
Meski demikian perlu pula diingat dalam melihat kasus-kasus tertentu ada
beberapa varian yang penting untuk dijadikan perhatian. Sebab bagaimanapun juga dalam
mengamati setiap perubahan politik yang terjadi di suatu negara, terutama bila kita
hendak melihatnya dari faktor internal yang mempengaruhinya, terdapat beberapa
perbedaan yang tidak dapat dengan mudah digeneralisasi.
4.5 Beberapa pengertian lain.
Selain dari beberapa konsep yang telah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa
istilah atau konsep penting lain yang dirasa perlu untuk dijelaskan disini. Pertama ialah
ekonomi biaya tinggi (high cost economy).Salah satu penyebab terjadinya ekonomi biaya
tinggi ini ialah banyaknya praktek-praktek korupsi dan kolusi yang dilakukan oleh
pejabat negara dan birokrasi. Sehingga mengakibatkan peningkatan ongkos produksi
suatu produk. Kedua ialah pemburu rente (rent seekers). Munculnya istilah ini tidak bisa
terlepas dari penyebab terjadinya ekonomi biaya tinggi. Para pejabat negara dan birokrasi
yang melakukan KKN tadi mencoba mencari keuntungan dengan menggunakan aset-aset
yang dimiliki oleh negara. Mereka juga berusaha untuk menjadi patron politik dari para
pengusaha. Ketiga, kapitalisme semu (ersatz capitalism). Konsep ini ditawarkan oleh
33 Ibid, hal:81-82.
21
Yoshihara Kunio sebagai sebuah penggambaran atas fenomena yang terjadi di sebagian
besar negara-negara di Asia Tenggara. Adanya peran pemerintah begitu besar sehingga
mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis.
Hal negatif lain yang ditimbulkan dari besarnya peran pemerintah atau negara ini ialah
adanya pencari rente di kalangan birokrat, yang secara langsung dapat menghambat
perkembangan para usahawan sejati. Sedangkan di sisi lain justru muncul pengusaha-
pengusaha keturunan Cina yang sukses sebagai akibat dari adanya koneksi-koneksi
dengan para birokrat untuk mendapatkan fasilitas.34
5 Model Analisa
Variabel Bebas Variabel Terikat
6 Operasionalisasi Konsep
Sebagai variabel terikat dalam skripsi ini ialah bisnis militer Orde Baru,
terutama yang dijalankan oleh Angkatan Darat. Bisnis militer di Indonesia selama Orde
Baru dianggap sebagai salah satu bentuk dari keberadaan patronase bisnis. Hal ini
disebabkan karena militer sebagai bagian dari negara, dalam menjalankan praktek-
praktek bisnisnya sangat mengandalkan hubungan dengan pusat kekuasaan birokrasi
politik, baik sipil ataupun militer ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Hal ini terjadi
34 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, 1991.
Melemahkan keberadaan Patronase Bisnis: • Bisnis militer
(Angkatan Darat/ Yayasan Kartika Eka Paksi)
Desakan Liberalisasi:
Tekanan institusi keuangan internasional (IMF, World Bank).
Menguatnya peran modal
asing (Direct dan , Indirect Investment).
Tekanan Domestik (masyarakat)
22
di perusahaan-perusahaan dibawah naungan sebuah yayasan ataupun yang berupa
koperasi-koperasi.
Dalam skripsi ini terdapat dua variabel bebas.Variabel bebas pertama ialah
tekanan institusi internasional. Secara lebih mendalam dapat dilihat, bahwa yang
dimaksudkan dengan tekanan institusi keuangan internasional dalam skripsi ini adalah
prasyarat yang disepakati bersama dengan lembaga keuangan internasional (IMF),
sebagai kondisionalitas pemberian bantuan keuangan pada Indonesia dimasa krisis
ekonomi. Prasyarat yang dimaksudkan diatas dilihat sebagai sebuah sarana atau alat bagi
IMF dan lembaga-lembaga internasional lainnya untuk dapat lebih leluasa memainkan
perannya dalam kebijakan ekonomi Indonesia di masa-masa selanjutnya. Secara kongkrit
yang dimaksudkan dengan prasyarat tersebut ialah hal-hal yang tercantum dalam letter of
intent dengan IMF 15 Januari 1998.
Penguatan modal asing disini diartikan sebagai sebuah bentuk pencapaian
kepentingan yang terakomodir oleh adanya persyaratan yang diajukan oleh IMF.
Sehingga pada akhirnya modal asing menjadi mampu secara lebih besar lagi untuk
mempengaruhi struktur ekonomi Indonesia dibandingkan sebelum masa krisis. Namun
yang patut diingat ialah bahwa kedua variabel bebas ini masih berada dalam satu konsep,
yaitu desakan liberalisasi ekonomi.
Sedangkan varibel bebas kedua ialah tekanan dari masyarakat domestik. Yang
diartikan sebagai tekanan disini ialah bagaimana masyarakat Indonesia secara
keseluruhan mulai secara lebih berani lagi menunjukan “ketidaksukaannya” pada negara,
terutama terhadap adanya dominasi militer dalam politik dan ekonomi.
7 Hipotesa
1. Semakin besar tekanan institusi keuangan dan perdagangan internasional serta
makin kuatnya peran modal asing dalam liberalisasi ekonomi Indonesia pasca
Orde Baru, akan memperlemah posisi patronase bisnis militer Indonesia.
2. Tekanan politik domestik di era transisi dari otoriter ke demokrasi akan
mereduksi peran bisnis militer.
23
8 Metode Penelitian
Skripsi ini mengunakan pendekatan kualitatif. Penulis memilih metode penelitian ini
karena dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat lebih menjelaskan (eksplanasi)
bagaimana proses mempengaruhi tersebut terjadi. Neuman menyebutkan bahwa salah
satu tujuan dari sebuah penelitian kualitatif ialah untuk menjelaskan sebuah proses
terjadi.35
Dalam skripsi ini sendiri, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan
melalui metode studi dokumen, dan literatur. Sedangkan dalam penjelasan data-data
tersebut digunakan penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat deskriptif.
9 Sistematika Penulisan
Bab I. Pendahuluan. Bab ini menggambarkan tentang latar belakang
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Kemudian pokok permasalahan,
penjelasan kerangka teori yang akan digunakan, model analisa, operasionalisasi konsep,
hipotesa, signifikansi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II. Peran Militer Dalam Politik Dan Ekonomi 1945-1965. Bab ini
membahas bagaimana militer mulai memainkan perannya dalam berbagai masalah sosial,
politik dan ekonomi selama tiga periode pasca kemerdekaan (revolusi fisik, demokrasi
parlementer dan demokrasi terpimpin). Hal ini perlu dipahami sebelum melihat lebih jauh
tentang bisnis militer. Karena bagaimanapun juga pelaksanaan bisnis militer akan selalu
didukung oleh adanya militer yang terlibat dalam politik. Selain itu dalam bab ini juga
dibahas mengenai bagaimana negara Indonesia pasca kemerdekaan mulai memainkan
perannya secara lebih aktif dalam membentuk kelas-kelas kapitalis pribumi. Sedang
militer sendiri yang pada saat bersamaan juga tumbuh sebagai kekuatan politik, juga
tampak mulai memainkan perannya dalam bidang ekonomi secara luas.
Bab III. Bisnis Militer: Amal Atau Komersil? Setelah mengetahui asal usul dan
perkembangan keterlibatan militer dalam ekonomi dan politik, maka bab ini mengkaji
perkembangan dari keberadaan bisnis militer pada masa Orde Baru secara lebih
mendalam. Terutama yang dilakukan oleh Yayasan Kartika Eka Paksi. Selain itu juga
35 W.Lawrence Neuman, Social Research Methods:Qualitative And Quantitative Approaches 3rd Edition, Boston, Allyn and Bacon, 1997, hal:14.
24
akan dilihat tujuan serta implikasinya pada sistem politik dan ekonomi di Indonesia masa
Orde Baru.
Bab IV. Liberalisasi Ekonomi Dan Pengaruhnya Pada Patronase Bisnis
Militer.
Adanya fenomena patronase bisnis (bisnis militer) tersebut kemudian menjadi sesuatu
yang menarik untuk diamati secara lebih jauh lagi, terutama hubungannya dengan krisis
ekonomi serta adanya desakan liberalisasi. Karena itu bab ini kemudian juga membahas
tentang bagaimana peran modal asing dalam struktur ekonomi Indonesia (khususnya pada
permasalahan patronase bisnis militer) di masa mendatang.
Bab V. Krisis Ekonomi, Militer dan Proses Demokratisasi Pasca Orde Baru.
Dengan terjadinya krisis ekonomi tersebut ternyata patronase bisnis militer tidak hanya
harus berhadapan berbagai tantangan baru yang bersifat ekonomi. Terjadinya krisis
ekonomi ternyata di lain pihak juga telah menimbulkan berbagai implikasi politik,
termasuk di dalamnya adalah berkembangnya desakan demokratisasi dari masyarakat.
Dalam bab ini akan dibahas bagaimana kemampuan dan kekuatan masyarakat domestik
dalam penghapusan bisnis militer Indonesia pasca Orde Baru.
Bab VI. Kesimpulan.
25
Bab II
Peran Militer Dalam Politik Dan Ekonomi
1945-1965
Pada awal bagian latar belakang bab I, secara umum dan singkat telah disebutkan
bahwa keterlibatan militer dalam politik Indonesia adalah sangat dominan. Militer di
Indonesia tidak hanya sebagai kekuatan militer semata, tetapi juga telah menjadi
kekuatan sosial politik yang sangat penting. Oleh sebab itu tidak berlebihan apabila
militer Indonesia dapat disebut sebagai aktor utama dalam arena politik di Indonesia.36
Dalam proses perkembangannya menjadi sebuah kekuatan sosial politik yang
dominan di Indonesia setidaknya sampai pemilu 1999, militer Indonesia telah mengalami
berbagai peristiwa politik yang secara otomatis juga turut mempengaruhi pembentukan
karakter dari organisasi kemiliteran itu sendiri. Semenjak proklamasi kemerdekaan
dikumandangkan oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak
peristiwa politik penting yang terjadi di dalam negara Republik Indonesia, mulai dari
perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, pergantian di tingkat elit pemerintahan
sampai dengan penggantian sistim politik yang dianut. Pada saat-saat seperti inilah
militer Indonesia lahir dan berkembang menjadi sebuah kekuatan militer yang juga
sekaligus sebagai sebuah kekuatan sosial politik. Hal inilah yang telah memberikan
gambaran kepada Harold Crouch bahwa selama masa revolusi fisik tahun 1945 sampai
tahun 1949 tentara telah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, dimana tindakan politik
dan militer saling menjalin dan tak dapat terpisahkan.37
Agar dapat memahami keterlibatan militer yang begitu besar dalam arena politik
di Indonesia secara lebih mendalam, perlu kiranya terlebih dahulu untuk melihat kembali
bagaimana organisasi kemiliteran itu lahir dan berkembang. Setelah itu kita dapat melihat
bagaimana proses politisasi itu terjadi, terutama pada kalangan elit (perwira) militer itu
36 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Politik Dan Pembangunan, Jakarta, Rajawali Press, 1993, hal:49. Meski demikian dominasi peran militer tersebut hanya terjadi sampai dekade 80an. Dalam perkembangannya yang mendominasi adalah Suharto. Militer sendiri kemudian dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaannya. 37 Harold Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal:21.
26
sendiri. Karena berbagai peristiwa atau gejolak politik tersebut diatas sedikit banyak telah
mempengaruhi dalam penciptaan militer sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang
dominan di Indonesia, maka penulis membagi bab ini menjadi tiga bagian. Bagian
pertama adalah bagaimana organisasi kemiliteran itu terbentuk pada masa-masa awal
kemerdekaan Indonesia. Bagian kedua akan menggambarkan bagaimana awal peran
sosial politik dan ekonomi militer masa demokrasi parlementer sampai tahun 1959,
dimana Sukarno membentuk sebuah Dewan Nasional. Sedangkan bagian ketiga akan
membahas bagaimana peran sosial politik dan ekonomi militer selama demokrasi
terpimpin.
1 Pembentukan Tentara Nasional Indonesia.
Sampai pada saat diproklamasikan kemerdekaannya, Republik Indonesia secara
resmi belum memiliki sebuah institusi angkatan bersenjata yang terorganisir dengan baik.
Pada waktu itu yang ada hanya para pemuda yang sebelumnya tergabung dalam
organisasi-organisasi kemiliteran bentukan Belanda (KNIL) atau yang merupakan
bentukan Jepang seperti Peta dan Heiho. Selain itu juga terdapat laskar-laskar perjuangan
(para militer) di berbagai daerah. Biasanya para pemuda yang tergabung dalam laskar-
laskar perjuangan ini, memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok politik, seperti
Barisan Pelopor (nasionalis) dan Hizbullah (Masjumi).38
Di tengah semakin tidak menentunya situasi dan kondisi politik pada masa itu,
dimana terdapat perbedaan pendapat antara para pemimpin perjuangan (Sukarno-Hatta)
yang menginginkan untuk menempuh jalur diplomasi dengan semangat para pemuda
yang menginginkan penggunaan kekuatan bersenjata untuk mempertahankan
kemerdekaan39, Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat memutuskan untuk segera
dibentuk sebuah badan yang disebut dengan Badan Penolong Keluarga Korban Perang
(BPKKP) pada tanggal 22 Agustus 1945. Selanjutnya dibentuk pula sebuah Badan
Keamanan Rakyat (BKR), yang kedudukannya berada dibawah KNIP dan BPKKP.40
38 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwifungsi ABRI, Jakarta, LP3ES, 1986, hal: 4. 39 Hal ini oleh Feith dikatakan sebagai awal konflik antara Sukarno dan AD. Lihat Herbert Feith, Sukarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta, Sinar Harapan, 1995, hal:34. 40 Ben Anderson, Revolusi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan Di Jawa 1944-1946, Jakarta, Sinar Harapan, 1988, hal:125-126.
27
Badan ini sendiri berfungsi sebagai memelihara keamanan bersama-sama dengan rakyat
dan badan-badan negara yang bersangkutan.
Meski telah berusaha untuk menghimpun segala kekuatan bersenjata yang ada,
namun nampaknya keberadaan dari BKR tersebut tidak juga memuaskan para pemuda
pejuang pada waktu itu. Para pemuda pejuang lain yang tidak tergabung dalam BKR
secara sepihak juga telah melucuti persenjataan tentara Jepang. Perintah sekutu kepada
para tentara Jepang untuk mempertahankan keadaan status quo, ternyata di berbagai
wilayah telah menimbulkan bentrokan-bentrokan antara para pemuda dan tentara Jepang
tersebut. Kedatangan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administratation), telah
turut memperuncing keadaan keamanan di Indonesia, sehingga menimbulkan
pertempuran-pertempuran di berbagai daerah.
Perkembangan kondisi dan situasi inilah yang kemudian memaksa pemerintah
untuk membentuk sebuah organisasi Angkatan Perang yang lebih kondusif. Selanjutnya
dengan sebuah Maklumat Pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 5 Oktober 1945
dibentuklah sebuah organisasi kemiliteran dengan nama Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Pembentukan TKR ini dimaksudkan untuk menghimpun bekas para anggota
PETA, Heiho dan juga KNIL. Pembentukan TKR kemudian dilanjutkan pula dengan
pengangkatan Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Namun ternyata
pembentukan TKR juga tidak memberikan kepuasan pada para pemuda. Mereka
menganggap TKR tidak lebih sebagai sebuah bentuk keraguan pemerintah yang masih
ingin menitikberatkan pejuangan diplomasi dibanding perjuang bersenjata seperti yang
mereka inginkan. Mereka juga beranggapan bahwa yang dibutuhkan negara Indonesia
pada saat itu ialah sebuah alat organisasi pertahanan yang bersifat nasional, sehingga
mampu untuk menghadapi sekutu. Oleh sebab itulah, pada tanggal 26 Januari 1946
dikeluarkanlah ketetapan pemerintah tentang pembentukan Tentara Republik Indonesia
(TRI).41 Sebagai hasil konsolidasi TKR Laut dan dikeluarkannya ketetapan baru
no:6/S.D.1946 tentang TRI bagian perhubungan udara, kemudian dibentuk pula
41 Sebelumnya pada tanggal 1 Januari 1946 kata keamanan diganti dengan keselamatan, sehingga menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Selain itu nama kementrian keamanan diganti menjadi kementrian pertahanan, Yahya Muhaimin, Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966, Yogjakarta, Gajahmada University Press, 1982, hal: 25-26.
28
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada tanggal 19 Juli 1946 dan Angkatan
Udara Republik Indonesia (AURI) 9 April 1946.
Ketika Belanda kembali melakukan agresi militernya, persoalan-persoalan seperti
perbedaan strategi dalam menghadapi Belanda kembali muncul dan semakin meruncing.
Selain itu, persoalan intern dalam tubuh TRI yang belum terselesaikan juga semakin
bertambah dengan persoalan-persoalan hubungan antara organisasi tentara resmi dengan
para laskar dengan berbagai ideologinya yang seringkali tidak searah dengan strategi dan
orientasi militer. Sebagai solusinya pada tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkanlah dekrit untuk
membentuk Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, yang pada
akhirnya menghasilkan sebuah ketetapan presiden tanggal 3 Juni 1947 tentang
pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dimana para anggotanya terdiri dari
seluruh kekuatan bersenjata, termasuk laskar-laskar perjuangan rakyat.
2 Peran Ekstramiliter Tentara Masa Demokrasi Parlementer.
2.1. Awal Peran Militer Dalam Politik.
Dalam memahami peran politik militer Indonesia, ternyata institusi angkatan
bersenjata yang baru saja terbentuk tersebut, memiliki perbedaan yang sangat signifikan
dengan institusi militer yang ada di Indonesia pada saat sekarang ini. Pada masa-masa
awal kemerdekaan Indonesia, kekuatan militer Indonesia belum secara langsung terjun
dan terlibat dalam praktek-praktek politik praktis. Para perwira militer masih menerima
asas keunggulan kekuasaan sipil dan menganggap bahwa peranannya di bidang politik
sewaktu-waktu diperlukan, tetapi tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang
utama. Pergeseran peranan militer sehingga menjadi sebuah kekuatan politik yang utama
ternyata lebih banyak disebabkan pula oleh keadaan dan situasi politik pada saat itu yang
semakin tidak menentu. Memasuki dekade 1950an, negara Indonesia yang baru merdeka
tersebut mencoba untuk menerapkan sebuah sistem politik parlementer. Pemberlakuan
sistem politik ini diharapkan dapat mengakomodir segala kepentingan masyarakat yang
tersalurkan melalui keberadaan partai-partai politik. Namun kenyataan yang ada adalah
sebaliknya. Pada masa demokrasi parlementer tersebut, keberadaan partai-partai politik
tersebut nampaknya justru semakin memperlihatkan perselisihan diantara para elit politik.
Terlalu seringnya pergantian kabinet yang berkuasa dari berbagai macam partai dan
29
golongan, setidaknya telah mengindikasikan perpecahan di dalam elit politik pada waktu
itu.
Selain itu dalam penanganan masalah angkatan bersenjata, para politisi sipil
tersebut juga menunjukan sikap yang tidak tegas, terutama dalam masalah pembentukan
sebuah organisasi kemiliteran. Para politisi sipil tersebut dianggap tidak mampu untuk
menentukan pengangkatan para perwira militer ataupun penentuan organisasi struktural
militer. Hal ini telah menimbulkan sebuah preseden buruk di kalangan militer tentang
para politisi sipil, yang sekaligus pula dapat dianggap sebagai permulaan yang buruk
dalam pembentukan hubungan sipil-militer di Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Dalam hal ini, para politisi sipil tersebut sebenarnya juga telah kehilangan sebuah
kesempatan untuk membentuk sebuah organisasi kemiliteran yang tunduk dan loyal pada
asas keunggulan kekuasaan sipil seperti pernah terjadi pada awal pasca proklamasi.
Sampai akhirnya para perwira militer tersebut memutuskan untuk menentukan sendiri
menteri pertahanan dan panglima mereka.
Hal lain yang juga menambah kekecewaan pihak militer kepada para politisi sipil
ketika itu ialah rencana diadakannya reorganisasi dan rasionalisasi jumlah kekuatan
militer tahun 1952. Ketika itu keadaan keuangan pemerintah tidak memungkinkan untuk
dapat membiayai sebuah angkatan bersenjata yang besar. Sampai menjelang akhir tahun
1952, angka produk eksport utama Indonesia terus mengalami penurunan.42 Oleh sebab
itulah pada saat kabinet Wilopo berkuasa, untuk mengatasi hal tersebut yang sekaligus
pula merupakan kesempatan untuk membentuk sebuah organisasi kemiliteran profesional
seperti yang diinginkan oleh para pimpinan militer saat itu (Nasution dan TB
Simatupang). Maka dengan dukungan dari sekjen kementerian pertahanan, Mr Ali
Budiardjo, diadakanlah reorganisasi dan rasionalisasi militer Indonesia dengan cara
melakukan demobilisasi. Dalam Catatan-Catatan Sekitar Politik Indonesia, Nasution
menggambarkan secara jelas jumlah personel militer yang terdemobilisasi ialah, personel
dengan melihat syarat-syarat kesehatan yang kurang memadai lagi sekitar 40.000 orang,
penaksiran akan adanya permintaan berhenti sekitar 30.000 orang, 10.000 orang akan
memasuki masa pensiun dan sisanya sekitar 8000 orang akan meninggalkan angkatan
42 Mengenai jumlah pasti penurunan tersebut lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, London, Cornell University Press, 1973, hal:246-248.
30
perang, dimana keseluruhan orang tersebut akan dijamin hidupnya sampai mereka
mendapat hidup yang layak dalam masyarakat.43 Rencana rasionalisasi ini segera saja
mendapat tantangan dari para perwira bekas Peta, yang merasa terancam kedudukannya
apabila diadakan rasionalisasi. Perasaan semacam itu timbul karena para bekas anggota
Peta tersebut tidak mendapat pendidikan kemiliteran, sebagaimana yang telah didapat
oleh para bekas anggota KNIL.
Sebagai kelanjutan dari dukungan yang diberikan oleh oposisi di parlemen pada
para perwira bekas Peta,44 serta diterimanya mosi PNI yang diajukan oleh Manai
Sophiaan, tentang perluasan tugas komisi parlemen yang dibentuk untuk memberi
laporan mengenai kemungkinan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dalam pimpinan
dan organisasi kementerian pertahanan dan Angkatan Perang45 pada tanggal 16 Oktober
1952, maka keesokan harinya, atas inisiatif kelompok "elang" (Sebuah faksi perwira
dalam kelompok reformator pada Angkatan Darat dan faksi ini merupakan faksi yang
paling keras/ radikal dalam menuntut keikutsertaan pihak Angkatan Darat dalam setiap
pengambilan keputusan dan kebijakan politik),46 dibawalah massa rakyat sekitar 30.000
orang untuk menduduki gedung parlemen dan kemudian berdemontrasi ke istana
presiden, dengan tuntutannya, yaitu pembubaran parlemen serta segera diadakan
pemilihan umum. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952 tersebut, oleh
Harold Crouch disebut sebagai sebuah krisis politik besar pertama yang melibatkan pihak
tentara.47 Dari pertemuan yang diadakan antara utusan para perwira senior dengan
Presiden Sukarno, ternyata presiden sendiri mendukung apa yang telah dilakukan oleh
para perwira bekas Peta. Sebagai akibatnya Nasution kemudian diberhentikan dari
jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
43 A.H Nasution, Catatan-Catatan Sekitar Politik Militer Indonesia, Jakarta, CV Pembimbing Masa, 1955, hal: 273. 44 Dukungan ini sendiri oleh pimpinan AD dianggap sebagai "campur tangan" pihak sipil dalam persoalan intern AD. Harold Crouch, Militer…opcit, hal:27. 45 Mosi tersebut sebenarnya bukan murni dari PNI. Sebelumnya I.J Kasimo dari Partai Katolik telah mengusulkan agar dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari anggota-anggota parlemen dan kabinet untuk menyelidiki semua masalah yang telah dikemukakan dalam perdebatan selama enam bulan terakhir. Lihat Ulf Sudhaussen, Politik…opcit, hal:117. Dimana salah satunya adalah masalah organisasi kemiliteran. Lihat juga, Herbert Feith, The Decline …opcit, London, Cornell University Press, 1962, hal:256-258. 46 Kelompok/golongan "elang" ini berpendapat bahwa kemerdekaan yang telah dicapai sebagian merupakan hasil perjuangan mereka sendiri. Oleh sebab itu mereka juga merasa berhak dalam penentuan masalah-masalah politik di Indonesia. Ibid, hal:122. 47 Harold Crouch, Militer…opcit.
31
Meskipun persoalan intern dalam tubuh Angkatan Darat sendiri belum
sepenuhnya berhasil diselesaikan, namun situasi politik yang tidak stabil telah
menimbulkan kekecewaan bersama, baik para perwira yang berasal dari kalangan
teknokrat (yang menginginkan profesionalisasi tentara), maupun kalangan perwira yang
berasal dari bekas Peta. Kekecewaan terhadap pelaksanaan demokrasi parlementer inilah
yang menyatukan perbedaan diantara kedua golongan tersebut. Oleh sebab itulah pada
tahun 1955 diadakanlah rekonsiliasi formal diantara para perwira senior Angkatan Darat.
Kesadaran bahwa mereka merupakan sebuah kekuatan politik yang cukup efektif
semakin mencapai puncaknya setelah Kolonel Bambang Utoyo diangkat menjadi Kepala
Staf. Sebagai seorang perwira yunior nampaknya ia tidak mendapat dukungan dari kedua
kelompok di dalam Angkatan Darat. Penentangan itu sendiri berhasil, dengan berakibat
jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo I.
Persoalan lain yang perlu dipahami dalam membahas asal usul peran politik
militer adalah persoalan dwifungsi. Konsep ini sendiri menjadi sangat penting dalam
memahami peran politik militer Indonesia terutama Masa Orde Baru, karena konsep
inilah yang menjadi legitimasi bagi pihak militer untuk turut serta dalam masalah-
masalah politik. Secara khusus perjalanan sejarah dari konsep dwifungsi itu sendiri
berawal dari pidato Nasution pada tanggal 12 November 1958. Pidato pada peringatan
ulang tahun Akademi Militer Nasional di Magelang yang dikenal dengan jalan tengah
(army's middle way) tersebut pada intinya ialah mengenai formulasi tentang kedudukan
TNI AD dalam negara.48 Seperti dikutip oleh Azca, pada kesempatan itu Nasution
mengatakan bahwa:
"…..TNI AD tidak bisa mengikuti tingkah laku militer di Amerika Latin yang memainkan peran politik secara langsung, dan tidak pula akan merupakan institusi pasif dalam politik sebagaimana pada militer Barat. Tetapi tentara Indonesia akan mencari "jalan tengah" diantara kedua ekstrem itu; TNI sebagai tentara tidak akan melibatkan dirinya ke dalam persoalan politik--seperti kudeta-- tapi tidak pula akan menjadi penonton di dalam arena politik…."49
Meski demikian secara umum lahirnya konsep dwifungsi ini sendiri tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan organisasi kemiliteran Indonesia, yang sejak awalnya
48 M. Najib Azca, Hegemoni Tentara, Yogyakarta, LKIS,1998, hal:72. 49 Ibid.
32
memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan-persoalan politik. Jadi, seperti yang
diutarakan oleh Bilveer Singh, meski konsep tersebut secara resmi baru diperkenalkan di
kemudian hari, namun dalam prakteknya konsep tersebut telah berjalan semenjak masa
revolusi fisik.50
2.2. Militer Dan Ekonomi Indonesia Era Demokrasi Parlementer.
Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan adalah sebuah negara tanpa basis
ekonomi yang kuat. Secara umum struktur ekonomi Indonesia masih banyak bergantung
pada para pengusaha Belanda atau orang-orang Eropa lain yang masih menguasai
sebagian besar perkebunan dan perdagangan, serta para pengusaha keturunan Cina yang
menguasai perdagangan. Sedangkan kaum pribumi sendiri mayoritas masih sebagai
petani kecil atau buruh tani.51 Hal ini terjadi sebagai kelanjutan dari struktur ekonomi
yang telah terbentuk selama masa kekuasaan kolonial Belanda. Pada masa penjajahan,
penguasa kolonial dengan sengaja membentuk sebuah struktur sosial, dimana masyarakat
pribumi tidak akan dapat memiliki jalur dalam penguasaan sektor-sektor ekonomi yang
penting. Dengan politik divide et impera-nya pemerintah kolonial berhasil "mengadu
domba" antara para bangsawan yang berada di pedalaman Jawa dengan bangsawan
pesisir atau antara para bangsawan dengan para pedagang. Dengan demikian pemerintah
kolonial dengan mudah menguasai tanah dan para petaninya. Dengan perlindungan dari
pemerintah kolonial, para bangsawan Jawa menjadi lebih menyukai untuk menjadi
pegawai negeri dibandingkan menjadi pedagang. Pemerintah kolonial sendiri kemudian
lebih banyak memberikan perlindungan dan kemudahan dalam sektor perdagangan ini ke
tangan pengusaha keturunan Cina. Dengan demikian pemerintah kolonial telah berhasil
meredam sebuah proses pembentukan kelas-kelas borjuis (kapitalis) pribumi yang kuat.
Tidak adanya kelas borjuis pribumi yang kuat inilah yang selama masa demokrasi
parlementer berusaha diakomodir oleh pemerintah dengan melakukan sebuah program.
Program yang kemudian dikenal dengan Program Benteng ini sebenarnya telah
diluncurkan semenjak bulan April 1950. Namun program tersebut baru mulai
dilaksanakan pada masa Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951). Program Benteng
ini bertujuan untuk membentuk kelompok-kelompok pengusaha pribumi yang kuat. Hal
50 Bilveer Singh, Dwifungsi ABRI, Asal Usul, Aktualisasi Dan Implikasinya Bagi Stabilitas dan Pembangunan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal: 45-46. 51 Arief Budiman, Negara…opcit, hal: 30.
33
ini dilakukan dengan cara memberikan lisensi, subsidi dan berbagai kemudahan lainnya
kepada para pengusaha pribumi tersebut untuk mengimpor barang.52 Barang-barang
tersebut kemudian kembali dijual di dalam negeri. Dengan memanfaatkan perbedaan
antara kurs mata uang resmi dengan kurs di pasar gelap, mereka berhasil mendapatkan
keuntungan yang cukup besar. Sedangkan para pengusaha keturunan Cina dilarang untuk
mengikuti program ini. Dalam pelaksanaan Program Benteng ini, peran dari partai-partai
politik yang berkuasa dalam membentuk kelompok-kelompok pengusaha pribumi
menjadi sangat signifikan. Karena pada saat itu, para pengusaha pribumi yang terlibat
dalam Program Benteng hanyalah yang memiliki hubungan khusus dengan para politisi
partai politik. Oleh sebab itulah pembentukan kelas-kelas kapital pribumi tersebut, juga
terpengaruh oleh adanya pergantian-pergantian elit politik yang berkuasa.
Pemberian proteksi, subsidi dan berbagai kemudahan lain tersebut, secara
kuantitas memang telah pula berhasil meningkatkan jumlah pengusaha pribumi. Robison
mencatat jumlah importir pribumi meningkat, dari 100 ditahun 1949, meningkat menjadi
250 ditahun berikutnya, dan 7000 pada pertengahan 1953.Apabila dipersentasikan, dari
37% ditahun 1952-53 menjadi 76,2% pada akhir 1954.53 Meski demikian juga tidak
sedikit diantara para pengusaha tersebut yang gagal atau hanya menjadi bayang-bayang
para pengusaha keturungan Cina dan India. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan
program Benteng tersebut, Robison juga melihat ada tiga hal yang perlu menjadi
perhatian dalam memahami pembentukan hubungan antara negara dengan para pemodal.
Pertama program tersebut telah pula menjadikan para pengusaha keturunan Cina tersebut
bagian yang menyatu dalam struktur kapitalisme Indonesia. Secara cepat pula mereka
menjadi bagian dominan dari penanam modal (investor) dalam negeri. Kedua, hal ini juga
membuktikan bahwa kelompok-kelompok pribumi tidak mampu untuk dapat
mengembangkan usahanya. Ketiga, sumber-sumber modal dalam negeri, termasuk pula
yang dimiliki oleh para pengusaha Cina, ternyata tidak mampu untuk menggantikan
modal asing, terutama dalam industri berskala besar dan perusahaan-perusahaan
pertambangan. Dalam situasi dan kondisi seperti ini negara kemudian memulai untuk
mengambil peran utama dalam keuangan, kepemilikan dan pengelolaan investasi dalam
52 Richard Robison, Indonesia: The Rise…opcit, hal:44-45. 53 Ibid.
34
sektor-sektor tersebut. Dalam keadaan seperti ini kita dapat memahami kekuasaan negara
pada dua level. Level pertama diamana berbagai kebijakan publik (fiskal, keuangan dan
hukum) dibentuk berdasarkan hubungan antara negara dengan modal. Level kedua,
dimana hubungan tercipta antara pejabat negara dan pemilik modal pribadi (individual
capitalist) yang didasarkan pada kecocokan pribadi antara keduanya.54
Hal lain yang dapat dilihat dari pelaksanaan Program Benteng ini, ialah bahwa
ternyata setidaknya selama dekade pertama pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia
sebenarnya belum mampu merubah apalagi membentuk sebuah sistem sosial ekonomi
yang sama sekali baru dibandingkan dengan sistem sosial ekonomi yang telah terbentuk
pada masa kolonial. Sehingga pada waktu itu para pemimpin pemerintahan hanya sekedar
menjalankan sebuah sistim sosial yang vakum, serta diikuti pula dengan pertarungan di
tingkat elit politik yang ditandai dengan seringnya pergantian kabinet.
Dalam mensikapi hal tersebut, militer yang mulai menyadari potensi kekuatan
politik yang dimilikinya, semakin bertambah kecewa. Hal yang serupa juga mulai
dirasakan oleh Presiden Sukarno, yang melihat pengakuan dirinya sebagai presiden hanya
sebatas simbolik saja. Sementara yang berkuasa dalam menjalankan pemerintahan ialah
perdana menteri. Pemilihan umum yang dilakukan pada tahun 1955, ternyata hasilnya
tidak seperti yang banyak diharapkan. Perpecahan intern dalam kabinet koalisi yang
terbentuk pasca pemilu (Ali Sastroamidjojo II) mengakibatkan kabinet ini kurang dapat
bertindak cepat. Selain itu semakin gencarnya serangan dari pihak oposisi, terutama dari
kalangan panglima militer di berbagai daerah di luar Jawa, telah pula mempersulit posisi
kabinet koalisi PNI, Masyumi dan NU tersebut. Para panglima militer tersebut merasa
bahwa kepentingan daerahnya telah dirugikan dengan terjadinya nilai tukar yang tidak
realistis. Pada pertengahan 1956 mereka kemudian mulai mengatur berbagai
penyelundupan secara besar-besaran. Mereka memberikan alasan bahwa hal tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dan ekonomi daerah
mereka.55 Dengan terjadinya penyelundupan di berbagai daerah tersebut jelas akan
semakin menurunkan kredibilitas dari kabinet yang berkuasa. Terjadinya pemberontakan
di berbagai daerah seperti terjadinya peristiwa PRRI/Permesta kiranya dapat
54 Ibid. 55 Herbert Feith, Sukarno…opcit, hal:17-18.
35
menggambarkan bagaimana para panglima daerah tersebut semakin tidak mempercayai
pelaksanaan demokrasi parlementer tersebut.
Sebenarnya tindakan penyelundupan seperti itu bukan merupakan hal yang baru.
Ketika bangsa Indonesia berada pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan
sampai tahun 1950, para pejuang baik yang tergabung dalam pasukan "reguler" atau yang
tergabung ke dalam laskar perjuangan rakyat, juga melakukan berbagai kegiatan yang
bersifat ekonomi. Kegiatan itu sendiri bertujuan untuk mendapatkan dana perjuangan.
Kesatuan-kesatuan perjuangan yang belum teratur itu, kemudian melakukan berbagai
tindakan penyelundupan dan perdagangan candu, yang memang menjadi komoditas
utama pada masanya. Hasil didapat dari kegiatan-kegiatan tersebut kemudian ditukar
dengan senjata.56
Di sisi lain dapat terlihat bahwa pergolakan di berbagai daerah, seperti yang
terjadi pada peristiwa PRRI/Permesta, ternyata tidak bisa diartikan sebagai persoalan
politik semata. Namun persoalan yang lebih penting ialah bagaimana pihak pemerintahan
di daerah (yang didukung oleh pihak militer setempat) memandang pemerintah pusat di
Jakarta dari sisi ekonomi. Masalah pengaturan devisa antara pusat dan daerah (terutama
di luar Jawa), ternyata sudah menjadi persoalan yang serius. Kenyataannya memang,
pada waktu itu pembayar pajak terbesar berada di luar pulau Jawa. Padahal kebijakan
alokasi devisa yang ada, justru cenderung lebih memberikan keuntungan bagi importir
dan konsumen di pulau Jawa ketimbang para eksportir dan para pengusaha di daerah.57
Sedang bagi para panglima wilayah berbagai penyelendupan yang mereka lakukan
dianggap sebagai satu-satunya cara untuk memperlancar dukungan keuangan yang
mereka butuhkan untuk operasi-operasi kemiliteran. Karena pada masa itu
penyalahgunaan sumber devisa, pemberian izin istimewa pada anggota partai dan
birokrasi yang berbelit telah menyulitkan para pedagang.58
Namun secara khusus pula, terjadinya peristiwa di berbagai daerah tersebut juga
dimungkinkan karena rapuhnya organisasi kemiliteran yang ada, terutama antara tahun
1952-1955. Dalam rangka membentuk organisasi kemiliteran yang kuat dan efektif, maka
56 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, 1998, hal:45. 57 Barbara Silars Harvey, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta, Grafitipers,1989, hal:17. 58 R. Z Leirissa, PRRI/Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta, Grafitipers, 1997, hal:13.
36
Nasution sebagai KSAD memperkenalkan konsep mengenai pembentukan organisasi
pertahanan yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian dikenal dengan
konsep tentara dan teritorium. Nasution kemudian membaginya menjadi 7 wilayah TT.
Dengan adanya para panglima teritorium di ketujuh wilayah tersebut, maka panglima
daerah yang telah ada sebelumnya memiliki kewenangan yang semakin luas. Para
panglima daerah tersebut tidak hanya berwenang dalam bidang militer dan politik saja,
tetapi juga dibidang ekonomi Kewenangan tersebut dapat dilihat pada keterlibatannya
didalam berbagai bidang usaha. Sistem perekonomian dibawah para panglima TT ini,
sebenarnya banyak memberikan dampak positif bagi pembangunan di daerah. Misalnya
saja dalam pemenuhan kebutuhan akan logistik dan pemeliharaan pemukiman bagi
militer dapat diberikan oleh rakyat setempat, sedangkan kebutuhan rakyat seperti gula
dan sebagainya yang masih sulit pada saat itu, dapat diberikan oleh militer sebagai timbal
baliknya.59 Tindakan lain yang dilakukan oleh para panglima daerah sebagai solusi dalam
mengatasi persoalan anggaran ialah dengan cara melakukan berbagai pungutan liar
(ilegal) kepada para pengusaha daerah. Sementara itu di berbagai daerah lain, terutama di
tingkat kesatuan-kesatuan yang lebih rendah, militer dalam memenuhi anggaran yang
dirasakan kurang tersebut melakukan bisnis dengan memanfaatkan alat-alat yang
dimilikinya. Mereka juga membuka toko murah untuk menyediakan kebutuhan sehari-
hari para anggotanya, peternakan ayam dan sebagainya. Konsep ini sendiri kemudian
dikenal dengan civic missions (operasi karya). Pengertian dari konsep ini sendiri adalah
penyatuan kegiatan ketentaraan dengan masyarakat sipil. Konsep ini sebenarnya juga
diadopsi dari sebuah model dinas ketentaraan Amerika Serikat.60 Namun pada
perkembangan selanjutnya ternyata banyak dari bisnis yang dilakukan oleh militer
tersebut menjadi hancur akibat sering terjadinya kesalahan dalam pengelolaannya. Oleh
sebab itulah, maka tindakan kolusi antara para perwira dengan para pengusaha Cina
menjadi semakin merebak. Persekutuan diantara para perwira militer dengan para
pengusaha Cina tersebut kemudian dikenal dengan istilah Ali-Baba, dimana salah satunya
59 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:48-49. 60 Ibid, hal: 53.
37
pelakunya adalah panglima divisi Diponegoro yaitu Suharto dengan pengusaha Liem
Sioe Liong.61
Menyusul pengunduran diri kabinet Ali Sastroamidjojo II dan timbulnya berbagai
gejolak yang terjadi di berbagai daerah tersebut, kemudian dijadikan alasan bagi
pimpinan militer untuk segera mendesak Sukarno agar mengumumkan pemberlakuan
undang-undang keadaan darurat perang (Staat van Oorlog en Beleg / S.O.B) di seluruh
Indonesia. Dengan pemberlakuan undang-undang ini sebenarnya secara langsung telah
pula memberikan legitimasi kepada pihak tentara untuk pengambilan tindakan-tindakan
non militer secara lebih leluasa terutama turut serta dalam masalah-masalah bidang
politik. Pemberlakuan undang-undang ini sendiri juga telah dimanfaatkan oleh para
panglima militer di daerah untuk memperoleh kekuasaan administrasi pemerintahan di
daerahnya dari tangan penguasa sipil semaksimal mungkin. Para panglima di daerah yang
bertindak seperti itu pada umumnya beralasan bahwa, pada waktu itu mereka telah
memposisikan dirinya secara berlawanan dengan kekuasaan militer pusat di Jakarta.
Selain itu pula, secara ekonomi mereka juga mendapatkan posisi yang semakin
menguntungkan, misalnya saja dalam hal penyelundupan. Hal lain yang memungkinkan
mereka dapat melakukan pengambilalihan kekuasaan administrasi pemerintahan di
daerah ialah, karena pada waktu itu stuktur administrasi di daerah terutama di luar Jawa
masih lebih buruk dibandingkan dengan di Jawa, baik secara organisasi maupun
otoritasnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberlakuan undang-undang
darurat perang tersebut tidak hanya berimplikasi pada masalah politik tetapi telah pula
berpengaruh dalam masalah ekonomi.
Berbagai peristiwa politik memang telah banyak terjadi pada tahun 1957. Pada
menjelang akhir dekade 1950an. PBB dalam sidang umumnya telah mengalahkan mosi
yang diajukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka penyelesaian masalah Irian Barat.
Seperti sesuai dengan janji Sukarno yang akan membuat "dunia terkejut" apabila mosi
tersebut ditolak, maka pada tanggal 3 Desember 1957 dimulailah pengambilalihan
perusahaan-perusahaan milik Belanda. Dimulai dari pengambilalihan Maskapai
Perkapalan Belanda (KPM) dan berbagai perusahaan dagang besar milik Belanda oleh
61 Yahya Muhaimin, Bisnis Dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta, LP3ES, 1990, hal: 97-98.
38
serikat buruh lokal secara spontan, dan hal itu terus berlanjut sampai dengan tanggal 13
Desember 1957 dimana hampir semua perusahaan Belanda telah diambil alih.
Militer yang melihat hal tersebut kemudian merasa khawatir kalau perusahaan-
perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi tersebut jatuh ke tangan pihak komunis.
Karena itulah Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat kemudian segera
memerintahkan penguasaan pengelolaan atas perusahaan-perusahaan bekas Belanda
tersebut oleh pihak militer semenjak tahun 1958. Dengan dikuasainya pengelolaan dari
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah dinasionalisasi tersebut oleh pihak
militer, maka semenjak itu secara langsung militer (Angkatan Darat) telah terlibat dalam
praktek-praktek bisnis dalam skala yang lebih besar. Dengan dikuasainya pengelolaan
perusahaan-perusahaan tersebut oleh pihak militer, maka terjadi pula sebuah transformasi
kepentingan di kalangan militer sendiri. Militer yang sebelumnya menjalankan
peranannya di bidang ekonomi hanya sebagai usaha pemenuhan anggaran (extra
budgetary funds) yang dirasa kurang, berubah menjadi sebuah pemenuhan kepentingan
perusahaan (corporate interest) secara lebih meluas.62 Sedang di sisi lain, Robison juga
melihat bahwa pengelolaan oleh negara (militer) atas perusahaan-perusahaan bekas milik
Belanda yang telah dinasionalisasi tersebut, sebagai sebuah bukti ketidakpercayaan
pemerintah atas kemampuan para pengusaha pribumi dalam mengelola usaha-usaha
berskala besar.
Sementara itu, pada waktu yang bersamaan, yaitu sekitar bulan Mei 1957,
Sukarno kemudian membentuk sebuah Dewan Nasional. Dewan Nasional tersebut
kemudian dipimpin oleh Sukarno sendiri. Pembentukan Dewan nasional ini tersebut
sebenarnya merupakan salah satu program dari Kabinet Djuanda yang bertujuan sebagai
"tandingan" dari partai-partai politik di parlemen yang telah ada sebelumnya. Anggota-
anggota dari Dewan Nasional itu adalah orang-orang yang berasal dari golongan
fungsional, dimana militer merupakan salah satu bagiannya. Oleh sebab itu pihak militer
terutama Angkatan Darat sangat mendukung pembentukan Dewan Nasional ini. Dengan
keterlibatan pihak militer dalam Dewan Nasional yang baru terbentuk tersebut, maka
secara langsung hal ini telah pula memperkukuh peranan militer dalam sistem politik di
Indonesia. Sebaliknya terbentuknya Dewan Nasional ini jelas semakin memperlemah
62 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:54.
39
posisi parlemen dalam sistem politik Indonesia. Sukarno yang semakin kecewa dengan
demokrasi parlementer tersebut, kemudian semakin menekankan idenya tentang
pelaksanaan demokrasi terpimpin sebagai solusi bagi berbagai persoalan yang muncul
selama diadakannya demokrasi parlementer. Idenya ini kemudian mendapat dukungan
yang kuat dari kalangan Angkatan Darat dan PKI, serta para pendukung fanatisnya.
Sebagai kelanjutannya, pada 5 Juli 1959 Sukarno mengumumkan dekrit yang isinya ialah
pembubaran badan konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 45, yang sebelumnya
digantikan oleh UUDS 1950.
Perubahan konstelasi politik terutama di tingkat elit tersebut secara langsung atau
tidak langsung telah pula berimplikasi pada sistem ekonomi Indonesia pada waktu itu.
Secara khusus perubahan konstelasi politik tersebut juga sangat berpengaruh pada usaha
pembentukan kelas-kelas kapital pribumi yang dijalankan melalui Program Benteng.
Kelompok-kelompok pengusaha pribumi yang sebelumnya sangat bergantung pada
hubungannya dengan elit-elit partai politik di parlemen merasa sangat terpukul. Dekrit ini
oleh Arief Budiman dikatakan sebagai kudeta terhadap kelompok-kelompok kelas
menengah yang selama demokrasi parlementer merajalela dalam ekonomi maupun
politik.63 Dengan melalui semacam aliansi dengan militer dan rakyat, Sukarno berhasil
menggeser posisi politik kelas menengah dari arena perpolitikan di Indonesia.64 Program
Benteng sendiri sebagai sebuah program pembentukan kelas-kelas kapitalis pribumi yang
kuat, berakhir tepat pada saat kabinet Djuanda mulai berkuasa tahun 1957.65
Sementara itu menjelang akhir pemerintahan partai-partai, juga dikeluarkan
kebijakan ekonomi lain yang kemudian dikenal dengan nama Rencana Lima Tahun.
Program itu disetujui oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada bulan September 1956.
Rencana Lima Tahun itu (1956-1960) sebenarnya merupakan perkembangan dari rencana
ekonomi yang telah ada sebelumnya.Tujuan dari Rencana Lima Tahun itu ialah untuk
mendorong industri dasar, perusahaan-perusahaan pelayanan umum dan jasa sektor
publik, yang diharapkan dapat mendorong penanaman modal swasta.66 Selain itu
Rencana Lima Tahun ini juga lebih bersifat eksplisit, teknis dan terinci, bahkan sampai
63 Arief Budiman, Negara…opcit, hal: 37. 64 Ibid. 65 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal: 46. 66 Yahya Muhaimin, Bisnis…opcit, hal:39.
40
ke tingkat proyek yang lebih rendah. Hal ini dilakukan untuk membentuk perusahaan-
perusahaan negara dan mengingat tidak adanya golongan pengusaha pribumi yang kuat,
dan sekaligus untuk mengimbangi kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh para pengusaha
Cina dan pengusaha asing lain.
Namun sama halnya dengan Program Benteng, program yang tidak
memperhitungkan peningkatan inflasi ini, juga tidak dapat berjalan sesuai rencana.
Karena memburuknya situasi keamanan dalam negeri dan terjadinya nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda, yang secara langsung berdampak pada penanaman
modal asing. Pengambilalihan menurut Robison, merupakan pukulan berat bagi modal
asing di Indonesia dan secara mendasar mengubah struktur ekonomi Indonesia.67
3 Era Demokrasi Terpimpin.
3.1. Konstelasi Politik Era Demokrasi Terpimpin.
Memasuki era demokrasi dan ekonomi terpimpin konstelasi politik Indonesia di
tingkat elit juga mengalami perubahan. Pada masa tersebut terdapat tiga pilar kekuatan
politik yang sangat berpengaruh. Ketiga kekuatan politik tersebut ialah militer (Angkatan
Darat), Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski terlihat sebagai
pendukung setia Sukarno, namun sebenarnya antara Angkatan Darat dan PKI terjadi
perseteruan. Oleh sebab itulah Crouch mengistilahkannya dengan perjuangan untuk
meraih simpati presiden belaka.68
Bagi pihak Angkatan Darat sendiri, pemberlakuan sistem demokrasi terpimpin
merupakan sebuah kesempatan besar untuk dapat memantapkan perannya dalam berbagai
persoalan-persoalan politik di Indonesia. Keberadaan dari lembaga-lembaga yang
dibentuk pada masa itu, seperti Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Komando Operasi
Tertinggi (Koti), kabinet serta Dewan Nasional. Dalam kabinet hampir sepertiga dari
jumlah anggota kabinet berasal dari kalangan Angkatan Bersenjata. Sedangkan dalam
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dam Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) pihak Angkatan Bersenjata juga cukup terwakili. Sementara
itu pada tahun 1960 juga diangkat 5 orang perwira Angkatan Darat sebagai gubernur. 69
67 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal: 72. 68 Harold Crouch, Militer…opcit, hal:45. 69 Ibid, hal:49.
41
Di lain pihak Sukarno sebagai presiden dan "pemimpin besar revolusi" dengan
kekuasaan yang sangat besar juga tidak tinggal diam. Pada saat yang bersamaan Sukarno
berusaha untuk mengkosolidasikan kekuatan politik lain sebagai penyeimbang kekuatan
yang dimiliki oleh Angkatan Darat. Namun pada kenyataannya ia dan kawan-kawan
setianya hanya mampu untuk membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari politisi-
politisi di tingkat elit, dan tidak bisa memberikan kekuatan massa secara nyata. Oleh
sebab itulah kemudian Sukarno mencari dukungan ke partai-partai politik yang masih
ada, dan nampaknya Partai Komunis Indonesia (PKI)-lah yang menjadi pilihannya.
Pilihan PKI sebagai penyeimbang kekuatan militer oleh Sukarno jelas
memberikan arti tersendiri bagi pihak militer (Angkatan Darat). Karena PKI memang
sebelumnya telah menjadi musuh besar Angkatan Darat. Sehingga dengan adanya
keinginan Sukarno tersebut PKI menjadi seakan mendapatkan perlindungan. Sementara
Sukarno sendiri dalam berbagai tindakannya misalnya, pengakuan PKI sebagai salah satu
bagian dari NASAKOM dan adanya permintaan untuk membebaskan para pimpinan PKI
yang ditahan Angkatan Darat pada awal 1960an, juga tampak seakan membenarkan
dugaan yang muncul.
Pada masa demokrasi terpimpin ini, Sukarno juga mengutarakan kembali idenya
tentang Nasionalisme, Agama dan Komunisme (NASAKOM), yang ketika pada awal
pergerakan kemerdekaan (tahun 1926) disebutnya sebagai Nasionalisme, Agama dan
Marxisme. Dalam prakteknya golongan nasionalis akan terwakili oleh PNI, golongan
agama oleh NU dan pihak komunis oleh PKI. Keterlibatan PKI sebagi salah satu
kekuatan dalam pemerintahan inilah yang tidak dapat diterima oleh pihak militer.
Untuk dapat mengimbangi kekuatan massa yang diorganisir oleh kekuatan PKI,
Nasution sebagai Menhankam juga membentuk berbagai Badan Kerjasama (BKS) antara
sipil dan militer. Terbentuknya Front Nasional pada tahun 1959 juga telah memberikan
ruang gerak yang lebih luas pada PKI. Selain itu PKI juga gencar mengkampanyekan
"nasakomisasi" tentara. Sebagai jalan untuk menggalang kekuatan anti komunis yang
lebih luas, Nasution dan beberapa rekannya berencana untuk membentuk Sekertariat
Bersama Golongan Karya (Sekber-Golkar). Pada waktu pembentukan organisasi tersebut
(21 Oktober 1964) setidaknya ada 97 organisasi dan lembaga yang menjadi
pendukungnya. Mereka terdiri dari 53 organisasi serikat buruh bentukan militer, 10
42
organisasi cedekiawan, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa, 4 organisasi angkatan
bersenjata, 4 organisasi wanita, 2 organisasi petani dan nelayan, serta 9 organisasi lain-
lain. Ketidakefektifan Sekber tersebut mengakibatkan hanya pihak militer, Soksi,
Kosgoro dan MKGR yang aktif dalam organisasi tersebut. Sedang yang agresif dalam
usaha-usaha menentang komunis hanya pihak militer.70
Politik Indonesia pada masa demokrasi terpimpin juga ditandai dengan adanya
dua peristiwa penting, yaitu perebutan kembali Irian Barat dan konfrontasi dengan
Malaysia. Masalah Irian Barat yang menurut persetujuan Konfrensi Meja Bundar (KMB)
akan dikembalikan oleh Belanda setahun kemudian setelah konfrensi tersebut, ternyata
sampai tahun 1960 belum juga dilaksanakan. Hal ini jelas memancing emosi Sukarno.
Sehingga ia memutuskan untuk memutuskan hubungan diplomatik Indonesia dengan
Belanda. Sukarno kemudian juga membentuk sebuah Komando Operasi Tinggi (Koti)
Bagi Pembebasan Irian Barat. Sebagai salah satu pelaksanaan program kerja kabinet
Djuanda, Sukarno juga memutuskan untuk menggunakan kekuatan bersenjata dalam
merebut kembali Irian Barat.
Pada awalnya pihak militer menyambut dingin keputusan Sukarno untuk
menempuh kekuatan bersenjata dalam usaha merebut kembali Irian Barat. Tanggapan ini
secara politis bisa dimengerti karena apabila militer terkonsentrasi pada perjuangan
tersebut, maka militer khawatir partai-partai politik yang masih ada akan kembali
berperan dalam arena politik. Hal ini juga berarti akan terjadi perubahan perimbangan
kekuatan politik yang telah ada sebelumnya.71 Nasution sebagai kepala staf juga berulang
kali meyakinkan banyak pihak bahwa masalah Irian Barat tidak akan diselesaikan dengan
kekuatan militer. Terlalu besarnya kharisma Sukarno sebagai seorang presiden dan cukup
banyaknya perwira militer yang setuju digunakannya kekuatan bersenjata dalam merebut
Irian, mengakibatkan seruan Nasution tidak terlalu berpengaruh. Karena itu pada 19
Desember 1961 diumumkanlah Tri Komando Rakyat (Trikora).
Sementara itu sebaliknya di sisi lain PKI justru langsung menyambut baik
keputusan yang diambil oleh presiden Sukarno tersebut. PKI dengan segala
kemampuannya berusaha untuk memobilisasi massa untuk dapat ikut serta dalam
70Leo Suryadinata, Golkar Dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta, LP3ES, 1992, hal:14-16. 71 Todiruan Dydo, Pergolakan Politik Tentara, Sebelum dan Sesudah G30S/PKI, Jakarta, Golden Terayon Press, 1990, hal:62.
43
kampanye perebutan kembali Irian Barat. Selama kampanye Irian Barat itu politik luar
negeri Indonesia juga semakin condong kepada blok timur. Hampir semua peralatan
perang yang digunakan oleh Indonesia dibeli dari Uni Soviet. Hal ini menjadikan
pemerintah Amerika Serikat semakin khawatir. Dengan bujukan pemerintah AS akhirnya
pada tahun 1962 Belanda mau melepaskan Irian ke tangan Indonesia.
Sedang konfrontasi dengan Malaysia terjadi sebagai akibat adanya rencana pihak
Inggris untuk memberi pengakuan pada negara baru Malaysia (Malaya) dan Singapura.
Konflik yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia semakin memanas setelah
Sukarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora sebagai usaha penggagalan
pembentukan negara boneka Malaysia. Selain itu Sukarno juga membentuk Komando
Siaga (Koga), yang kemudian dipimpin oleh Omar Dhani. Diterimanya Malaysia sebagai
anggota PBB, juga turut menambah kekecewaan Sukarno yang segera memutuskan untuk
menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Keluarnya Indonesia dari PBB tersebut mendapat
dukungan dari PKI. Begitu pula dengan pembentukan CONEFO (Conference of the New
Emerging Forces) dan politik luar negeri poros "Jakarta-Peking".
Angkatan Darat sendiri dalam menanggapi konfrontasi dengan Malaysia ini,
melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk tetap eksis dalam arena politik di dalam
negeri, pasca Trikora. Meski demikian, sebaliknya Angkatan Darat juga semakin
waspada dengan situasi yang berkembang. Karena pada saat yang sama dengan adanya
konfrontasi ini PKI juga semakin meningkatkan militansinya. Menjelang pertengahan
dekade 60an perseteruan antara keduanya semakin memanas. Sukarno sebagai presiden
dalam pidato-pidatonya lebih banyak memihak PKI dan sikap anti neokolim-nya.
Berbagai isu politik yang bertujuan untuk menyudutkan militer, seperti Dewan Jendral
dan hubungan khusus dengan AS dan Inggris semakin meningkat. Tetapi sampai
menjelang terjadinya kudeta 1 Oktober 1965, persoalan mengenai kesehatan Sukarno
merupakan isu politik yang paling dikhawatirkan oleh PKI.
3.2. Sistem Ekonomi Terpimpin.
Berakhirnya kampanye Irian Barat berarti pula timbulnya kekhawatiran baru
pihak militer. Karena bisa saja undang-undang darurat perang yang selama ini menjadi
legitimasi militer dalam politik akan dicabut dan ancaman terjadinya pengurangan
anggaran militer. Selain itu ekonomi Indonesia pada tahun-tahun awal dekade 60an
44
memang berada pada situasi yang sulit. Terjadinya hiperinflasi yang terus terjadi sampai
pertengahan dekade 60an tidak memungkinkan APBN dapat tetap membiayai organisasi
militer yang besar. Oleh sebab itulah pada tahun 1963 diadakanlah pengurangan jumlah
anggaran belanja negara, yang termasuk di dalamnya pengurangan anggaran militer.
Meski demikian, berakhirnya kampanye Irian Barat juga berarti memberikan harapan
baru bagi ekonomi Indonesia yang telah hancur. Karena pihak AS dan IMF berjanji akan
memberikan bantuan pinjaman keuangan.
Namun dengan diumumkannya konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963,
maka oleh IMF bantuan tersebut ditangguhkan. Bahkan bantuan ekonomi yang dijanjikan
Amerika Serikat terpaksa dibatalkan. Sedangkan bagi pihak militer terutama pada
beberapa kalangan perwira Angkatan Darat, konfrontasi dengan Malaysia juga dapat
diartikan sebagai sebuah keuntungan ekonomi baru. Karena pada tahun itu juga dimulai
pula proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Inggris, yang dilanjutkan dengan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Amerika Serikat setelah pada tahun 1964
Amerika Serikat memberikan bantuan militer pada Malaysia.72
Seperti yang telah tercantum dalam MANIPOL USDEK, ekonomi terpimpin
merupakan salah satu bagian yang integral dari sistem demokrasi terpimpin Sukarno.
Diikuti dengan semboyan "merubah perekonomian kolonial menjadi perekonomian
Indonesia", maka dikeluarkanlah berbagai kebijakan yang menyangkut pelaksanaan
ekonomi terpimpin. Meski ekonomi terpimpin tersebut tidak terdefinisi secara jelas,
namun nampaknya Sukarno sebagai presiden dan sekaligus sebagai pencetus ekonomi
terpimpin ini begitu yakin hal ini dapat terlaksana dengan baik. Mengenai hal ini,
Robison setidaknya mencatat tiga hal penting yang dapat disimpulkan dari ekonomi
terpimpin Sukarno, yaitu:
(a) Koordinasi dan regulasi oleh negara terhadap semua sektor ekonomi Indonesia,
negara (state), swasta (private) dan kooperatif untuk menjamin integrasi
investasi dan produksi ke arah tujuan kepentingan sosial politik Indonesia yang
lebih besar. Kepemimpinan negara diberikan dalam bentuk perencanaan secara
terpusat dan kontrol terhadap distribusi, kredit dan produksi dan investasi
negara secara langsung.
72 Arief Budiman, Negara…opcit, hal:37. Lihat pula Yahya Muhaimin, Perkembangan…opcit, hal:163.
45
(b) Penghancuran imperialisme dan subordinasi modal asing diarahkan kepada
tujuan sosial dan ekonomi nasional. Subordinasi modal asing dicapai dalam hal
kombinasi pengambilalihan, pilihan pinjaman antar pemerintah secara
langsung, usaha bersama (joint venture) dan perjanjian bagi hasil.
(c) Pergantian ekonomi ekport/import kolonial dengan ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan sendiri (self sufficient) dan industrialisasi. 73
Hampir serupa dengan Program Benteng yang dilakukan pada masa demokrasi
liberal, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan dalam sistem ekonomi terpimpin ini juga
tidak akan melepaskan peranan negara. Bahkan negara yang diwakili oleh lembaga
kepresidenan dan militer tampak menjadi lebih dominan. Sukarno dalam kapasitasnya
sebagai presiden menjadi lebih dominan perannya dalam berbagai masalah (termasuk
ekonomi), karena sistem demokrasi terpimpin telah memberikan ruang gerak politik yang
lebih luas kepadanya dibanding pada waktu demokrasi liberal. Sementara militer sendiri
menjadi sebuah institusi negara yang penting dalam perekonomian terpimpin karena
adanya penguasaan atas perusahaan-perusahaan negara hasil nasionalisasi.
Kebijakan ekonomi utama dan yang paling terkenal selama masa ekonomi
terpimpin ialah dikeluarkannya program pembangunan ekonomi, yang dikenal dengan
nama Rencana Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun. Rencana Pembangunan
Nasional Semesta Delapan Tahun ini pada awalnya merupakan hasil kerja dari Dewan
Perancang Nasional (Depernas) yang dibentuk oleh Sukarno pada tanggal 17 Agustus
1960. Setelah mendapat persetujuan dari MPRS, kemudian pada tanggal 1 Januari
program ini secara resmi diluncurkan.
Program pembangunan ini menggunakan strategi pembangunan yang kemudian
dikenal dengan strategi "pertumbuhan yang tidak seimbang". Dikatakan demikian karena
strategi yang digunakan ialah dengan cara melaksanakan pembangunan tersebut tahap
demi tahap, dan daerah demi daerah. Tahapan pembangunan itu sendiri terbagi menjadi
dua tahap utama. Tahap pertama akan berlangsung selama tiga tahun. Dalam tahap ini,
diharapkan Indonesia akan berswasembada dalam ketiga kebutuhan pokok (sandang,
pangan dan papan). Sedang tahap kedua yang rencananya akan dilaksanakan dalam lima
tahun, diharapkan akan membawa Indonesia ke arah tahap lepas landas memasuki tahap
73 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:71-72.
46
"pertumbuhan terus menerus dengan kekuatan sendiri" (self-sustained growth). Oleh
sebab itulah proyek ini dapat dikatakan sebagai sebuah proyek industrialisasi subtitusi
impor pertama yang berskala besar. Meski demikian, di tingkat strategi teknis
pelaksanaan, proyek pembangunan ekonomi ini akan sangat bergantung pada investasi
asing.74
Mandeknya pelaksanaan Rencana Pembangunan Nasional Semesta Delapan
Tahun setelah dua tahun program tersebut dikeluarkan, mengharuskan Presiden Sukarno
untuk segera mencanangkan sebuah kebijakan ekonomi baru yang dikenal dengan nama
Deklarasi Ekonomi (Dekon). Tujuan utama dari Dekon ini sendiri sebenarnya ialah
sebagai penjelas (untuk menguraikan) metode yang digunakan dalam Rencana
Pembangunan Semesta tersebut. Dalam Deklarasi Ekonomi tersebut disebutkan bahwa
pertumbuhan ekonomi akan ditepuh melalui dua tahap. Tahap pertama, disebut dengan
periode penataan ekonomi (economic establishment period) yang sifatnya nasional dan
demokratis, bersih dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme. Tahap kedua, ialah tahap
pembangunan sosialis Indonesia. Dikeluarkannya Dekon ini juga tampak menunjukan
pemikiran Sukarno tentang cita-cita ekonomi sosialis Indonesia yang hanya akan tercapai
setelah imperialisme dan feodalisme dihancurkan secara total, baik di dalam maupun di
luar negeri. Kebijakan lain pemerintah tentang ekonomi terpimpin ialah dikeluarkannya
Peraturan-Peraturan 26 Mei. Peraturan-peraturan ini lebih bersifat liberal, karena dalam
keempatbelas peraturan tersebut, perekonomian Indonesia akan tergantung pada
mekanisme pasar. Sedang devisa yang didapat akan digunakan untuk membeli persediaan
bahan baku dan bahan pembantu yang dibutuhkan. Dikeluarkannya kebijakan tersebut
jelas mendapat tantangan dari PKI. PKI mengatakan bahwa bahwa Indonesia telah
menyerah pada imperialisme Barat. Hasilnya pada April 1964 kebijakan tersebut dicabut.
Di lain pihak pada waktu yang bersamaan, militer semakin memperkuat posisinya
tidak hanya dibidang politik tapi juga di bidang ekonomi. Dengan dikuasainya sumber-
sumber ekonomi negara oleh militer, jelas telah pula memberikan keuntungan tidak
hanya kepada militer secara institusional, tetapi juga kepada para pejabatnya secara
pribadi. Karena itulah dalam kampanye PKI tahun pada pertengahan 1960an, muncul
74 Strategi yang digunakan ialah dengan membuat dua proyek (A dan B), dimana hasil dari proyek B yang dikerjakan oleh investor asing akan mensubsidi proyek A yang dilakukan oleh pengusaha pribumi. Yahya Muhaimin, Bisnis…opcit, hal:45. Lihat pula Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:74.
47
istilah kapitalis-kapitalis birokrat (kabir). Selain itu PKI juga menuduh bahwa para
pejabat militer telah melakukan tindakan korupsi dan bagian dari "dinasti ekonomi".
Mungkin saja apa yang dituduhkan PKI tersebut tidak terlalu berlebihan. Karena dalam
memahami peran militer dalam ekonomi terpimpin yang diperlihatkan dalam bentuk
penguasaan atas pengelolaaan perusahaan-perusahaan negara, terlihat bahwa dengan
dikuasainya perusahaan-perusahaan negara tersebut, militer tidak hanya mendapat
keuntungan secara materi, tetapi yang jauh lebih penting ialah keuntungan pihak militer
dalam pengendalian sumber-sumber ekonomi nasional.
PKI sebagai penyeimbang kekuatan politik militer, dalam masalah sosial
ekonomi juga tidak mau ketinggalan. Sebagai sebuah partai massa, PKI pada saat yang
sama juga sibuk mengorganisir rakyat baik di kota maupun di desa ke dalam organisasi-
organisasi yang berafiliasi dengannya. Selain itu partai komunis ini juga aktif dalam
mengkampanyekan UU land reform dan pembentukan Angkatan Kelima. Hal-hal ini
semakin mempertajam perseteruan politik yang terjadi dengan pihak militer (Angkatan
Darat) dan para pemilik modal atau pemilik tanah (yang kebanyakan dimiliki oleh para
ulama). Selain itu PKI juga harus menerima tuduhan sebagai sebuah kelompok anti
agama oleh kelompok-kelompok Islam.
Situasi seperti tersebut terjadi sampai menjelang berakhirnya sistem ekonomi
terpimpin, yaitu pada tahun 1965. Setidaknya ada dua hal penting yang berusaha
digambarkan oleh Arief Budiman dalam memahami situasi ekonomi Indonesia sampai
pertengahan 60an:
(a) Perusahaan-perusahaan negara membengkak, akibat nasionalisasi perusahaan-
perusahaan asing yang dijalankan oleh pemerintah. Perusahaan negara menjadi
tulang punggung dari ekonomi negara, karena asetnya yang besar. Pengelolaan
perusahaan negara ini praktis berada ditangan militer.
(b) Di sektor swasta, bisnis masih dikuasai oleh pengusaha-pengusaha Cina,
meskipun pengusaha-pengusaha pribumi besar mulai muncul sebagai hasil dari
Politik Benteng. Kelompok pengusaha pribumi ini jumlahnya sedikit, dengan
demikian dibentuk oleh negara. Meskipun beberapa dari mereka menjadi
48
mandiri dan menjadi pengusaha yang tangguh, kebanyakan mereka masih
bergantung pada negara.75
Jadi sampai berakhirnya sistem demokrasi dan ekonomi terpimpin, dapat dilihat
bahwa negara Indonesia pasca kolonial masih merupakan elemen terpenting dalam
pembentukan kelas-kelas kapital pribumi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan
ekonomi yang justru terlihat sangat ambisius. Bahkan dapat dikatakan bahwa peran
negara justru semakin kuat. Sedangkan militer (Angkatan Darat) sebagai salah bagian
dari sebuah negara Indonesia baru, justru semakin memantapkan perannya di luar bidang
militer.
Hal lain yang dapat dilihat dari perkembangan struktur ekonomi Indonesia pasca
kolonial sampai pertengahan 1960an, ialah bahwa ternyata investasi (modal) asing telah
lama berperan dalam pembentukan struktur ekonomi Indonesia. Peran ini bahkan sudah
terlihat ketika diadakannya kebijakan cultuurstelsel oleh pemerintah kolonial.
Keberadaan investasi asing tidak bisa dilihat hanya sebagai sebuah elemen dalam sebuah
struktur ekonomi yang modern semata. Tetapi yang lebih penting, investasi asing tersebut
(terutama di Indonesia pasca kolonial ) ternyata juga merupakan salah satu faktor dalam
pembentukan kelas kapital pribumi, yang dalam hal ini "diwakili" oleh pihak militer.
75 Arief Budiman, Negara…opcit, hal:38.
49
Bab III
Bisnis Militer: Amal Atau Komersil?
Indonesia pada awal Orde Baru adalah sebuah negara yang tengah diliputi oleh
kekacauan, baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik. Di bidang politik Indonesia
baru saja melepaskan diri dari pertarungan berbagai ideologi, yang hampir membawa
bangsa dan rakyat Indonesia ke dalam jurang perpecahan. Pertarungan di tingkat ideologi
tersebut akhirnya juga membawa Indonesia ke dalam sebuah mimpi yang sangat buruk.
Sebagian kalangan masyarakat percaya bahwa telah terjadi pembantaian terhadap
anggota dan para simpatisan Partai Komunis terbesar ketiga di dunia pada saat itu, yang
sampai saat ini belum diketahui jumlah pastinya. Indonesia awal Orde Baru adalah saat
dimana militer, terutama Angkatan Darat, mulai memainkan peran politiknya dengan
lebih leluasa. Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Suharto juga telah memberikan
kesempatan pada kekuatan-kekuatan dan aktor-aktor politik baru untuk dapat memainkan
peranannya dalam membentuk sebuah rezim. Pihak militer sendiri sebagai sebuah
kekuatan negara yang dianggap "banyak berjasa" dalam menumpas rezim sebelumnya,
juga telah mendapat kepercayaan yang sangat besar dari Suharto untuk dapat menjaga
sumber-sumber kekuasaannya. Tidak saja di bidang politik, namun juga dalam bidang
ekonomi.
Pada bidang ekonomi, Orde Baru mulai membangun kekuasaannya di tengah
keterpurukan ekonomi yang sangat dalam. Terjadinya hiperinflasi dan terus
membengkaknya hutang luar negeri, setidaknya dapat dijadikan indikator betapa
hancurnya ekonomi Indonesia sampai menjelang akhir dekade 1960an. Bahkan dalam
tingkat pendapatan ekonomi perkapita disebutkan bisa jadi lebih rendah dari tahun
1938.76
Namun di sisi lain kita bisa melihat bahwa selama kekuasaannya, rezim Orde
Baru juga mampu membangun sebuah tatanan dan kondisi ekonomi yang lebih baik
dibandingkan masa sebelumnya. Meski demikian, keberhasilan rezim ini harus dibayar
76 Anne Booth dan Peter McCawley, "Perekonomian Indonesia Sejak Pertengahan Tahun Enampuluhan", dalam Anne Booth dan Peter McCawley (editor), Ekonomi Orde Baru, Jakarta LP3ES, 1990, hal:1.
50
dengan sangat mahal oleh kekuatan-kekuatan politik yang lain. Terbentuknya sebuah
rezim pemerintahan yang otoriter, pembatasan jumlah partai-partai politik, pelaksanaan
kebijakan massa mengambang (floating mass) serta berbagai kebijakan politik lain adalah
beberapa bukti yang mengindikasikan betapa kuatnya posisi rezim dalam sistem sosial,
ekonomi maupun sistem politik yang terbentuk. Ciri lainnya juga dapat dilihat dari
bagaimana negara memposisikan dirinya di dalam pembentukan kelas-kelas kapital.
Negara yang didominasi oleh kelompok militer, telah menjadi sebuah kekuatan sentral
dalam penentuan kelompok-kelompok kapital yang akan bermain dalam konstelasi
ekonomi politik negara Indonesia Orde Baru. Apabila negara telah menjadi kekuatan atau
aktor sentral dalam berbagai masalah terutama masalah ekonomi, hal ini jelas akan
berimplikasi pada struktur dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Bab ini, akan mengkaji secara lebih mendalam lagi bagaimana negara
(baca:militer) Orde Baru yang telah menjadi salah satu aktor atau kekuatan ekonomi
politik tersebut memainkan perannya sekaligus juga bagaimana memposisikan dirinya
terhadap kekuatan ekonomi lainnya. Selain itu juga akan dilihat bagaimana implikasi dari
hal tersebut pada sistem ekonomi yang terbentuk.
1 Ekonomi Politik Awal Orde Baru
1.1 Kondisi Ekonomi Politik Pasca G.30 S.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pada masa awal kekuasaan rezim Orde
Baru, Indonesia tengah berada ditengah keterpurukan ekonomi yang sangat parah.
Berbagai pendapat menyebutkan bahwa jika melihat tingkat inflasi ekonomi Indonesia
pada saat itu, sudah dapat dikatakan bahwa telah terjadi hiperinflasi. Hal Hill mencatat
tingkat inflasi Indonesia sampai menjelang akhir dekade 1960an telah berada diatas
500%.77 Sedangkan Arief Budiman menyebutkan antara tahun 1964-1965 tingkat inflasi
Indonesia telah mencapai angka 732%.78 Tingginya tingkat inflasi ini jelas sangat tidak
akan menguntungkan bagi sebuah rezim baru yang akan menitikberatkan program-
programnya pada pembangunan dan peningkatan di bidang ekonomi.
77 Lihat tabel 1.2 indikator pembangunan ekonomi pertengahan 1960an sampai awal 1990, dalam Hal Hill, The Indonesia Economy Since 1966, Southeast Asia's Emerging Giant, Melbourne, Cambridge University Press, 1996, hal:5. 78 Arief Budiman, Negara…opcit, hal:48.
51
Setelah diangkatnya Jendral Suharto secara resmi sebagai Presiden Republik
Indonesia pada Maret 1968, maka dimulailah rencana pembangunan dibidang ekonomi.
Rencana pembangunan ekonomi jangka panjang yang kemudian dikenal dengan
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) ini, secara jelas memiliki perbedaan
yang sangat tajam dengan berbagai program pembangunan ekonomi yang pernah
diajukan pada masa pemerintahan rezim Sukarno. Warna dan gaya ekonomi kapitalistis
lebih nyata terlihat dalam program pembangunan ekonomi Orde Baru ini.
Sebagai sebuah rezim yang anti komunis, pada saat itu Orde Baru jelas banyak
mendapat dukungan dan kemudahan dari negara-negara Barat. Untuk membiayai
perbaikan ekonomi pada tahap awal, seperti pengendalian terhadap tingkat inflasi dan
sebagainya. Pihak Indonesia juga mendapat bantuan dari IMF, diadakannya penjadwalan
ulang (rescheduling) terhadap pembayaran hutang luar negeri serta diikuti dengan
pembentukan sebuah lembaga donor internasional IGGI (Inter-Govermental Group for
Indonesia).
Dalam pengembangan sistem ekonomi model kapitalistis pada masa awal Orde
Baru, investasi asing menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang paling signifikan. Ketika
itu pemerintah Orde Baru menilai bahwa pembukaan kesempatan dalam skala besar bagi
para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, merupakan salah satu
cara yang dapat ditempuh untuk dapat memutar kembali roda perekonomian. Oleh sebab
itu, pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan kebijakan undang-undang tentang
penanaman modal asing (PMA) pada bulan Januari 1967. Mengenai UU tentang PMA
tersebut, M. Sadli menyatakan bahwa,
“...untuk memenuhi kebutuhan yang menyangkut pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, dalam undang-undang PMA pemerintah Indonesia menawarkan perangsang dan jaminan. Misalnya, bebas pajak, penurunan tarif pada faktor-faktor produksi yang diimpor dan lain sebagainya. Meski demikian UU tersebut juga tidak secara tegas memberikan jaminan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.”79 Di sisi lain Jeffry A.Winters, seorang pakar ekonomi politik dari NorthWestern
University juga melihat bahwa, pada masa itu hanya ada dua kelompok investor swasta
yang mempunyai sumber daya paling besar dan berpengalaman dalam produksi, yaitu
52
investor transnasional dan penduduk keturunan Cina. Namun alasan mengapa para
investor asing yang pertama menjadi perhatian, adalah karena pada waktu itu rasa
permusuhan terhadap etnis Cina masih sangat tinggi.80
Sebagai aktor sentral dalam bidang ekonomi, negara pada masa itu juga
mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih menitikberatkan pada pembangunan sektor
industri nasional yang didasarkan pada sumber-sumber utama, seperti baja, gas alam,
pengeboran minyak dan alumunium. Selain itu juga dikembangkan berbagai industri
substitusi impor. Keterlibatan negara yang besar dalam penentuan kebijakan perbaikan
dan pembangunan ekonomi pada masa awal Orde Baru secara langsung ternyata
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tersendiri dalam struktur ekonomi nasional.
Posisi negara yang menjadi relatif lebih kuat tersebut, juga telah memberikan keuntungan
ekonomis yang besar kepada para pejabat negara.
Struktur ekonomi Indonesia awal Orde Baru juga ditandai dengan lahirnya sebuah
kelompok teknokrat ekonomi. Kelompok teknokrat ekonomi yang kemudian banyak
dikenal dengan nama "Mafia Berkley" ini, memiliki peran yang sangat besar dan penting
dalam penentuan kebijakan ekonomi Orde Baru. Ketika Jendral Suharto masih menjadi
ketua presidium kabinet pada tahun 1966, orang-orang yang termasuk ke dalam
kelompok teknokrat ini duduk menjadi anggota dalam Staf Pribadi (SPRI) bersama-sama
dengan beberapa orang jendral kepercayaan Suharto. Mereka bertugas untuk menyusun
rencana-rencana kebijakan pembangunan ekonomi yang akan dilakukan. Dalam
perencanaan kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pemerintah Orde Baru, sebagian
dari mereka menduduki jabatan-jabatan penting dalam kabinet yang dibentuk. Sedangkan
sebagian lainnya duduk dalam lembaga negara yang dikenal dengan nama Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan di Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) yang dibentuk tahun 1973.
Ketika berada pada awal-awal tahun keberadaannya sebagai pembuat kebijakan
ekonomi, seringkali kebijakan yang dibuat oleh BAPPENAS berlawanan dengan
keinginan atau rencana yang dibuat oleh IMF. Pihak IMF dan IBRD sendiri melihat
bahwa ekonomi pasar bebas dengan diikuti pembatasan peran negara terutama dalam
79 Jeffry A. Winters, Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Jakarta, Sinar Harapan, 1999, hal:88. 80 Ibid, hal:76-77.
53
kebijakan moneter dan fiskal serta mempercayakan akumulasi modal kepada pasar,
merupakan jalan keluar bagi Indonesia untuk dapat kembali menstabilkan
perekonomiannya. Sedangkan di sisi lain para teknokarat BAPPENAS justru
berpandangan sebaliknya. Perekonomian yang didasarkan pada ideologi pasar bebas
tersebut akan dapat menimbulkan social cost yang besar. Mereka yang pada waktu itu
lebih mengkonsentrasikan pada pertumbuhan ekonomi, stabilisasi mata uang dan
perbaikan infrastruktur, berpendapat bahwa, kapitalisme di satu sisi memang merupakan
energi dalam kekuatan pasar untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Tetapi
secara bersamaan kapitalisme juga dianggap seringkali mengabaikan rasa keadilan sosial.
Setelah dibukanya kesempatan secara luas bagi investor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia, kemudian pada Juli 1968 dikeluarkan sebuah undang-undang
yang mengatur tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN). Namun dalam
perjalanannya justru hanya para pemodal domestik yang memiliki kedekatan hubungan
dengan pusat-pusat kekuasaan politik yang mampu terus mengembangkan bisnisnya.
Karena dari adanya hubungan kedekatan dengan para pejabat negara dan para birokrat,
para pemodal dalam negeri tersebut mendapatkan berbagai kemudahan dan keistimewaan
dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini terjadi semenjak tahun 1968, terutama bagi para
pemodal yang bergerak di bidang industri substitusi impor yang saat itu merupakan
perhatian utama kebijakan para teknokrat BAPPENAS.
Undang-undang penanaman modal dalam negeri tersebut dibuat sebagai salah
satu cara untuk memobilisasi modal yang dimiliki oleh para penguasa keturunan Cina.
Dikatakan oleh Sarbini alasan mengapa UU ini dibuat ialah, agar dana-dana yang didapat
oleh orang-orang etnis Cina tersebut melalui pertukaran mata uang ilegal,
penyelundupan atau cara-cara ilegal lainnya bisa kembali dibawa masuk ke Indonesia
dengan tanpa rasa takut. Dengan tujuan serupa juga dibentuk undang-undang tentang
deposito berjangka, yang diharapkan bisa memacu investasi domestik tanpa menanyakan
asal usul uang tersebut.81
Meski merupakan penanggung jawab utama perencana pembangunan ekonomi
Indonesia pada awal Orde Baru, para teknokrat BAPPENAS ini bukan berarti tidak
mendapat halangan dalam menjalankan tugasnya. Di sisi lain mereka ini juga harus
81Jeffry A.Winters, Power… opcit, hal:101-102.
54
berhadapan dengan dominasi militer. Karena bagaimanapun juga militer juga merupakan
salah faksi politik yang sangat signifikan dalam konstelasi politik maupun ekonomi awal
Orde Baru. Sebagaimana telah digambarkan pada bab sebelumnya, semenjak awal
kekuasaan demokrasi terpimpin, militer telah menjadi satunya-satunya kelompok yang
menguasai dan mengendalikan aset-aset utama negara (perusahaan-perusahaan negara).
Dengan dikuasainya aset-aset negara tersebut, militer juga menjadi lebih leluasa dalam
pemberian lisensi perdagangan dan produksi, kredit serta kontrak untuk membangun
perusahaan-perusahaan berskala besar, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sutowo.82 Hal
ini kebanyakan diberikan pada para pengusaha keturunan Cina yang menjadi partner
mereka. Karenanya wajar jika dalam perkembangan konglomerasi di Indonesia lebih
banyak didominasi oleh pengusaha keturunan Cina.
1.2. Konstelasi dan Aktor-Aktor Politik Awal Orde Baru.
Pelaksanaan program stabilisasi ekonomi Indonesia awal Orde Baru secara umum
tidak mungkin dipisahkan begitu saja dari kondisi dan situasi politik yang berkembang.
Dalam konstelasi politik tahun-tahun pertama pasca kudeta dan awal kekuasaan Orde
Baru, militer merupakan kekuatan sentral dalam konstelasi politik di Indonesia. Dominasi
yang kian meluas dari pihak militer selama Orde Baru di bidang politik dan bidang-
bidang lainnya dimulai secara "resmi" semenjak diadakannya seminar Angkatan Darat II
tahun 1966 di Bandung. Dalam salah satu keputusan seminar tersebut disebutkan bahwa,
“Angkatan Darat, yang lahir dalam Revolusi dan dengan demikian mempunyai hak dan kewajiban untuk memikul tanggung jawab diluar bidang militer, telah terpaksa memperluas kegiatan non militernya. Selain itu mereka juga berkeyakinan bahwa harapan rakyat agar tercipta pemerintahan yang lebih baik berada di tangan Angkatan Darat. Karena itu mereka wajib memenuhi keinginan dan harapan rakyat tersebut”.83 Keyakinan seperti tersebut yang menjadi salah salah satu alasan mengapa dalam
perkembangan politik Orde Baru Militer terutama Angkatan Darat, menjadi sebuah
kekuatan politik yang dominan. Hasil lain yang didapat dari seminar tersebut ialah
adanya konsep dwifungsi ABRI. Secara teoritis terlihat bahwa konsep ini hampir sama
dengan kebijakan darurat militer yang pernah dikeluarkan pada masa Sukarno. Dwifungsi
juga dapat dikatakan sebagai sebuah legitimasi bagi pihak militer Orde Baru untuk dapat 82 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:140.
55
turut serta secara aktif dalam masalah-masalah sosial politik dan juga ekonomi. Dalam
definisi resmi militer, dwifungsi ABRI adalah fungsi-fungsi yang dimiliki dan melekat
kepada ABRI sebagai kekuatan Hankam dan kekuatan sosial dalam rangka perjuangan
nasional untuk mencapai tujuan nasional.84
Namun dalam perkembangan berikutnya keberadaan dwifungsi ini tidak hanya
berimplikasi pada persoalan-persoalan politik. Tetapi lebih jauh lagi keberadaan konsep
dwifungsi tersebut selama Orde Baru juga memberikan legitimasi bagi militer untuk turut
serta dalam bidang-bidang sosial ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Karena itu
sangat wajar jika di sisi lain keberadaan dwifungsi ini juga dianggap sebagai kontra
posisi atas paham supremasi sipil. Meski demikian nampaknya rezim Orde Baru belum
cukup puas dengan keberadaan dwifungsi tersebut sebagai alat legitimasi peran sosial
politik bagi militer. Pada tahun 1982 disahkan pula sebuah Undang-Undang No:20 tahun
1982, yang salah satu pasalnya mengatakan bahwa militer (ABRI) merupakan kekuatan
sosial yang bertindak selaku dinamisator dan stabilisator. Sehingga militer memiliki
keabsahan untuk memperoleh posisi di dalam lembaga legislatif dan eksekutif.85
Konstelasi politik Indonesia awal Orde Baru juga tidak terlepas dari berbagai
konflik intern yang timbul di tingkat elit kekuasaan. Jika dibidang perencanaan ekonomi
kita mengenal BAPPENAS, maka secara politik pada awal Orde Baru juga terdapat
lembaga-lembaga negara maupun non negara yang juga berperan cukup signifikan dalam
politik Indonesia. Dari sisi birokratis, rezim Orde Baru pada awal kekuasaannya
menjalankan pemerintahannya dengan didukung oleh dua lembaga utama. Secara
finansial pemerintahan Orde Baru didukung oleh keberadaan Pertamina sebagai satu-
satunya perusahaan minyak negara dan Opsus (Operasi Khusus), yaitu sebuah lembaga
pusat operasi intelijen politik dan ekonomi dibawah pimpinan Jendral Ali Murtopo.
Opsus tersebut pada prakteknya mendapat "dukungan" dari sebuah lembaga non
pemerintah yang dikenal dengan nama CSIS (Centre for Strategic and International
Studies). Lembaga yang didukung oleh beberapa pengusaha dan intelektual keturunan
Cina seperti Harry Tjan Silalahi, Liem Bian Koen, Liem Bian Kie dan J.Panglaykim ini,
83 Ulf Sudhaussen, Politik…opcit, hal:422-423. 84 M Najib Azca, Hegemoni…opcit, hal:4. 85 Ibrahim Ambong, "Hubungan ABRI-Golkar", dalam Jurnal Ilmu Politik no:6, Jakarta, PT Gramedia, 1990, hal:35.
56
pada perkembangan selanjutnya juga menjadi oposisi bagi kebijakan yang dikeluarkan
oleh BAPPENAS.86 Untuk penanganan masalah keamanan dalam negeri, pada awal Orde
Baru juga dibentuk sebuah lembaga yang disebut dengan Kopkamtib (Komando
Keamanan dan Ketertiban). Komando yang dipimpin oleh Jendral Sumitro ini pada
perkembangannya juga seringkali terlibat konflik dengan Opsus.87
Masalah lain yang menjadi persoalan politik awal Orde Baru adalah partai politik.
Harapan untuk bisa kembali menjadikan partai politik sebagai aktor politik yang
signifikan seperti pada masa demokrasi parlementer, ternyata tidak bisa tercapai. Militer
sebagai kelompok yang dominan dalam masa awal pemerintahan Orde Baru nampaknya
tidak terlalu menginginkan hal tersebut. Sedangkan Suharto sebagai presiden justru
menginginkan partai-partai politik yang ada tersebut untuk menggabungkan dirinya
menjadi tiga golongan, yaitu golongan nasionalis dan non Islam, golongan spiritual
(partai-partai Islam) dan golongan karya. Karena itu dalam perkembangan selanjutnya
terjadi penyederhanaan partai politik (fusi) menjadi tiga partai politik yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya
(Golkar). Mencermati peran militer yang besar dalam pembentukan Golkar, dapat
dikatakan bahwa kelahiran Golkar merupakan suatu bentuk legitimasi lain bagi militer
untuk dapat terus berperan dalam masalah-masalah politik. Maka wajar jika pada awal
Orde Baru militer meduduki posisi-posisi penting dalam Golkar. Keterlibatan yang besar
dari pihak militer dalam percaturan politik yang dimainkan oleh Golkar jelas memberikan
keuntungan yang sangat besar pula pada Golkar. Dengan menjadikan militer sebagai
salah satu pilar pendukung utamanya, Golkar selama Orde Baru telah berhasil
menjadikan dirinya sebagai mayoritas tunggal di arena politik Indonesia. Sehingga sangat
terlihat bahwa Golkar dan kepentingan sosial politik militer merupakan dua hal yang
tidak terpisahkan satu dengan lainnya, terutama dalam kekuasaan politik.
Akhirnya kembali pada persoalan stabilisasi dan perbaikan ekonomi Indonesia,
secara jelas terlihat bahwa ternyata para aktor-aktor politik dan situasi serta kondisi
politik Indonesia awal Orde Baru juga sangat berpengaruh dalam penciptaan struktur 86 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:148. 87 Mengenai persaingan antara kedua institusi tersebut lihat Michael R.J Vatikiotis, Indonesian Politics Under SuhartoOrder, Development and Pressure for Change, London, Routledge, 1994, hal:75. Mengenai
57
ekonomi. Misalnya seperti telah disebutkan diatas militer yang merupakan kekuatan
sentral dalam politik Indonesia, ternyata juga sekaligus berperan sebagai kekuatan
ekonomi yang cukup signifikan. Signifikansi tersebut semakin nyata terlihat mengingat
sampai pertengahan dekade 1980an, militer adalah pemegang kekuasaan atas berbagai
sumber-sumber keuangan dan pendapatan negara yang strategis. Salah satu contohnya
ialah seperti yang terjadi di dalam perusahaan minyak (Pertamina) yang merupakan
sumber pendanaan terpenting masa-masa awal rezim Orde Baru. Begitu pula halnya
dengan lembaga-lembaga lainnya sebagaimana telah dijelaskan diatas. Namun dalam
memahami konstelasi politik Orde Baru, kita juga harus kembali melihat bagaimana
peranan yang dimainkan Suharto sebagai pimpinan rezim, yang juga sekaligus sebagai
"manajer" konflik dan kepentingan. Karena bagaimanapun juga di dalam rezim Orde
Baru yang otoriter peran Jendral Suharto jelas tidak bisa diabaikan begitu saja.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mulai pertengahan 1980an, secara
umum militer sudah tidak memiliki pengaruh yang terlalu signifikan seperti masa-masa
sebelumnya. Karena semenjak Suharto telah berhasil memantapkan kekuasaannya, maka
sedikit demi sedikit peran militer telah mengalami reduksi. Selain itu militer juga telah
diposisikan sebagai alat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan Suharto beserta
keluarganya. Diakui oleh kalangan militer sendiri bahwa selama Suharto berkuasa,
militer merasa telah dijadikan alat untuk mempertahankan status quo kekuasaan
Suharto.88
1.3.Oil Boom Dan Implikasinya Pada Perekonomian Indonesia.
Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan dalam perkembangan ekonomi politik
Indonesia pada masa Orde Baru adalah masa boom minyak. Boom minyak (oil boom) ini
menjadi sangat penting karena implikasi yang ditimbulkan, baik selama sampai pasca oil
boom, dalam perekonomian Indonesia sangat besar. Masa oil boom ialah tahun-tahun
dimana harga minyak mentah dipasaran dunia meningkat dengan drastis. Sehingga bagi
negara-negara pengekspor minyak seperti Indonesia, keadaan seperti ini jelas akan
memberikan keuntungan keuangan yang besar. Peningkatan harga minyak ini secara
Malari lihat juga pledoi Sjahrir tanggal 7 April 1975 tentang peristiwa Malari, dalam Sjahrir, Pikiran Politik Sjahrir, Jakarta, LP3ES, 1994, hal:3-24. 88 "Dwifungsi ABRI, Antara Klaim Historis dan Privelese", Kompas 1 Oktober 1998.
58
periodik terjadi dua kali. Boom minyak pertama terjadi antara tahun 1973-1974, sedang
yang kedua antara tahun 1979-1980/1.
Dalam mencermati boom minyak ini yang menarik ialah apa dan bagaimana
implikasi yang ditimbulkan oleh adanya boom minyak tersebut, terhadap struktur
ekonomi Indonesia. Dari sini akan terlihat perkembangan yang sangat pesat dari apa
yang disebut dengan pola patronase bisnis. Keterlibatan militer dalam ekonomi, terutama
dalam penguasaan sumber-sumber keuangan negara termasuk Pertamina, jelas telah
memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pihak militer. Baik secara institusional
maupun secara personal. Pertamina sebagai satu-satunya badan resmi pengelola sektor
migas di Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Ibnu Sutowo, ketika terjadi boom minyak
menjadi "lahan basah" bagi para pejabat negara terutama para pejabat militer dan
sekaligus sebagai "sapi perah" bagi proyek-proyek besar lainnya.
Pada akhir tahun 1960an Pertamina (Permina--perusahaan minyak negara-- waktu
itu) telah menjadi sumber pendanaan terpenting bagi militer. Namun sebenarnya hal ini
telah berlangsung dari semenjak tahun 1957, yaitu ketika militer mulai menguasai
perusahaan-perusahaan bekas milik Belanda yang dinasionalisasi. Dimulai ketika
Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Darat memerintahkan Kolonel Ibnu Sutowo untuk
mengambil alih sebuah ladang minyak di utara Sumatra dengan dukungan dana dari
sebuah kelompok pengusaha dari Jepang dalam pengelolaannya. Dengan dominasi yang
besar dari pihak militer pada awal Orde Baru, Pertamina kembali menjadi sumber
pendanaan militer. Setelah dikuasai oleh AD dan membeli Shell pada tahun 1965,
berbagai kontrak bagi hasil dengan Caltex dan Stanvac mulai dilakukan oleh Pertamina,
terutama dalam pengelolaan eksplorasi minyak lepas pantai. Karena banyak bertentangan
dengan liberalisasi ekonomi, maka banyak perusahaan-perusahaan minyak internasional
tersebut yang mengundurkan diri. Meski sempat menghadapi beberapa masalah dengan
kontrak-kontrak tersebut, Pertamina akhirnya kembali mendapat kepercayaan dari
beberapa perusahaan minyak internasional setelah Mobil Oil menandatangani kontrak
pada bulan Oktober 1968. Sampai 1975 tercatat Pertamina telah melakukan kerjasama
dengan 35 perusahaan asing. Dengan hasil yang di dapat dari berbagai kontrak tersebut,
Pertamina kemudian melanjutkankan pembangunan pabrik baja Krakatau Steel,
menanamkan modal di proyek petrokimia, membangun daerah industri dan turisme di
59
Batam (tahun 1970an), membangun rumah sakit di Jakarta, stasiun TV di Medan, stadion
olahraga di Palembang, mesjid di UI dan Bina Graha.89
Sebagai sumber pendapatan keuangan utama militer pada awal Orde Baru,
Pertamina benar-benar menjadi sumber pembiayaan kebutuhan organisasi militer
(Angkatan Darat) dan terutama para pimpinannya. Dalam persoalan pertanggung
jawaban, Ibnu Sutowo sebagai presiden direktur Pertamina hanya bertanggung jawab
pada pimpinan militer. Jadi meski merupakan perusahaan negara, Pertamina ketika
dibawah Ibnu Sutowo dalam prakteknya sudah tidak banyak berbeda seperti layaknya
perusahaan-perusahaan milik swasta lainnya. Sumber pendapatan lain yang dimiliki oleh
pihak militer pada masa itu ialah Bulog (Badan Urusan Logistik). Bulog dibawah
pimpinan Brigadir Jendral Achmad Tirtosudiro sebenarnya telah menjadi sumber
pemasukan dana yang juga penting bagi militer. Namun jika dilihat dari segi jumlah yang
dapat diberikan pada kas Angkatan Darat, maka Permina merupakan sumber pemasukan
terbesar sejak 1960an sampai tahun 1974. Selain kedua badan tersebut, juga ada sebuah
PT yang juga disponsori oleh AD, yaitu PT Berdikari. Perusahaan ini sendiri merupakan
warisan dari Jend. Achmad Yani, yang kemudian dikelola oleh Brigjen Suhardiman.
Meski telah mendapatkan berbagai kemudahan seperti mendapat izin untuk mengimpor
mobil mewah dan juga dalam pendirian Bank Dharma Ekonomi, yang akhirnya runtuh
tahun 1969.90
Selain itu, seperti yang telah disebutkan diatas, Ibnu Sutowo juga mampu
memberikan lisensi perdagangan dan produksi serta kredit untuk mendirikan perusahaan
besar pada para pengusaha keturunan Cina. Hal tersebut terjadi selama kurang lebih dua
puluh tahun tahun sampai menjelang tahun 1974, ketika mencuatnya kasus korupsi yang
menimpa Pertamina.91 Di sisi lain, krisis yang menimpa Pertamina ini juga dinilai sebagai
pertarungan untuk mendapatkan hak kendali atas keuangan perusahaan minyak milik
negara tersebut, antara para teknokrat BAPPENAS yang merupakan aktor sentral dalam
pembuatan strategi pembangunan ekonomi negara pada awal Orde Baru dengan para
pimpinan militer yang banyak memegang kendali atas perusahaan-perusahaan milik
89Harold Crouch, Militer…opcit, hal:311-312. 90 Ibid, hal: 317. 91 Mengenai kasus korupsi yang melanda Pertamina lihat Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:153.
60
negara.92 Namun yang terpenting ialah, ternyata dengan terjadinya boom minyak telah
membawa banyak implikasi dalam struktur ekonomi Indonesia, dan salah satu implikasi
penting yang akan menjadi perhatian dalam bab ini ialah semakin berkembangnya pola
patronase bisnis.
Sebelum melihat lebih jauh keberadaan patronase bisnis tersebut ada baiknya kita
lihat dahulu bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil serta struktur ekonomi
Indonesia pasca boom minyak. Berangkat dari pengertian istilah yang diberikan oleh
Yoshihara Kunio tentang ersatz capitalism (kapitalisme semu) yang banyak terjadi di
negara-negara Asia Tenggara, terlihat bahwa terjadinya boom minyak telah
mengakibatkan peran negara Orde Baru dalam struktur ekonomi Indonesia semakin besar
dan kuat. Oleh Arief Budiman disimpulkan bahwa, Kunio melihat ada dua hal yang
menyebabkan timbulnya kapitalisme semu tersebut. Pertama ialah karena di negara-
negara tersebut peran pemerintah begitu besar sehingga mengganggu prinsip persaingan
bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis. Hal negatif lain yang ditimbulkan
dari besarnya peran pemerintah atau negara ini ialah adanya pencari rente di kalangan
birokrat, yang secara langsung dapat menghambat perkembangan para usahawan sejati.
Sedangkan di sisi lain justru muncul pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang sukses
sebagai akibat dari adanya koneksi-koneksi dengan para birokrat untuk mendapatkan
fasilitas. Kedua ialah, kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan pada perkembangan
teknologi yang memadai. Sebagai akibatnya tidak terbentuk industrialisasi yang mandiri.
Sedang industrialisasi sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi.93
Dalam kasus negara Orde Baru ketika dan pasca boom minyak jelas terlihat
adanya keterlibatan negara yang sangat besar. Namun dengan besarnya peran negara
tersebut di sisi lain justru mengakibatkan tidak munculnya kelompok-kelompok pemodal
domestik yang mandiri. Kelompok-kelompok pemodal domestik yang justru muncul
ialah para pemodal atau pelaku-pelaku bisnis yang memiliki tingkat ketergantungan
tinggi pada negara. Sehingga pada akhirnya kapitalisme yang berkembang adalah
kapitalisme semu. Tingkat ketergantungan yang tinggi pada negara serta berkembangnya
92 John Bresnan, Managing Indonesia: The Modern Political Economy, New York, Colombia University Press, 1993, hal:165. 93 Arief Budiman, "Kapitalisme Ersatz: Sebuah Pengantar", dalam Yoshihara Kunio, Kapitalisme…opcit, hal:xiv.
61
kapitalisme semu tadi, ternyata telah pula menyebabkan negara Orde Baru menjadi
sebuah negara yang seringkali dikatagorikan sebagai negara Otoriter Birokratik Rente
(OB Rente). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, para pejabat negara telah berhasil
mengambil keuntungan ekonomis dari kemunculan patronase bisnis tersebut.
Menyusul jatuhnya harga minyak mentah pada pertengahan dekade 1980an, telah
mengharuskan pemerintah Orde Baru untuk segera mengubah strategi pembangunannya.
Strategi industri substitusi impor yang dijalankan sebelumnya menjadi terhambat. Hal ini
terjadi karena anggaran negara yang sangat tergantung pada minyak mengalami defisit.
Oleh sebab itu, Orde Baru kemudian mengganti kebijakan ekonominya dengan strategi
yang berorientasi ekspor, terutama mengembangkan industri non minyak. Selain itu
negara juga memperbanyak sumber-sumber pendapatan yang berasal dari pajak, seperti
pajak pertambahan nilai, pajak perusahaan dan perorangan. Dalam hal investasi,
pemerintah Orde Baru kemudian juga mendorong keterlibatan investasi asing dengan
mencabut berbagai pembatasan yang ada sebelumnya.94 Pada masa-masa inilah yang
oleh sebagian kalangan seringkali dikatakan sebagai periode kedua liberalisasi ekonomi
Indonesia.
2 Perkembangan Pola Patronase Bisnis di Indonesia.
2.1 Perkembangan Patronase Bisnis Di Indonesia.
Pada bagian kerangka teori telah dijelaskan secara mendalam tentang pengertian
dari patronase bisnis tersebut. Tetapi tidak ada salahnya jika sebelum menjelaskan lebih
lanjut tentang perkembangan patronase bisnis di Indonesia, di sini akan kembali
dijelaskan kembali secara singkat mengenai apa yang dimaksud dengan patronase bisnis.
Patronase bisnis sendiri dalam konteks ini diartikan sebagai adanya keterlibatan dari para
pejabat negara baik secara langsung maupun tidak dalam suatu proses akumulasi modal.
Dalam hal ini para pejabat negara tadi bertindak sebagai patron politik bagi para
pengusaha. Keterlibatan para pejabat negara dalam pembentukan sebuah pola patronase
bisnis otomatis secara langsung menempatkan negara dalam posisi yang paling
signifikan. Namun di sisi lain, kemunculan peran negara yang begitu penting tersebut
94 Richard Robison, "Pengambangan Industri dan Ekonomi -Politik Pengembangan Modal:Indonesia", dalam Ruth Mc Vey (ed) Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:117.
62
juga didasari atas penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh negara. Penguasaan atas
sumber-sumber ekonomi ini menyebabkan para pengusaha tidak bisa menciptakan
proyek-proyek sendiri.
Sebelumnya telah pula dijelaskan bahwa, ketika Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya tidak satupun sebuah kekuatan ekonomi domestik yang mampu menjadi
basis atau pendukung utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia justru
masih sangat bergantung pada para pengusaha Belanda dan keturunan Cina. Keinginan
negara untuk membentuk kelompok-kelompok pemodal domestik yang diharapkan
mampu menggantikan posisi keduanya ternyata mengalami banyak kegagalan. Hal yang
serupa juga terjadi pada masa awal Orde Baru. Sebaliknya keterlibatan negara dalam
pembentukan pengusaha-pengusaha domestik tersebut justru berakibat semakin
berkembangnya praktek-praktek patronase bisnis. Patronase bisnis pada masa Orde Baru
mulai menampakan perkembangan yang pesat ketika Indonesia mendapatkan pemasukan
yang berlimpah dari terjadinya boom minyak. Ketika itu rezim Orde Baru semakin giat
melakukan industrialisasi subtitusi impor, sekaligus pula melakukan pembatasan terhadap
peran modal asing.95 Karena itu masa boom minyak sering disebut sebagai masa kejayaan
patronase bisnis di Indonesia.96
Sebenarnya persoalan strategi industrialisasi dengan menggunakan sistem industri
subtitusi impor (ISI) ini sudah seringkali disarankan oleh Bank Dunia untuk digantikan
dengan industri yang berorientasi ekspor (Export-Oriented Industrialization/ EOI).
Namun seperti yang banyak terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia
adalah terjadinya ketegangan-ketegangan politik antar kepentingan. Kelompok elit-elit
militer, birokrat tingkat tinggi, para teknokrat nasionalis dan industrial ISI adalah faksi-
faksi penentang penghapusan kebijakan pemberian proteksi, lisensi subsidi dan
sebagainya.97
Keterlibatan negara dalam pembentukan pola patronase bisnis tersebut, tentu telah
memiliki alasan-alasan serta implikasi-implikasi tersendiri bagi perkembangan keadaan
ekonomi politik di Indonesia. Alexander Irwan melihat bahwa salah satu alasan mengapa
95 Mengenai bentuk-bentuk pembatasan tersebut lihat Richard Robison, “Pengembangan…, opcit, hal:116. 96 Suryadi A. Rajab, Praktik…opcit, hal:40. 97 Alexander Irwan, Patronase Bisnis, Kelas Dan Politik: Studi Tentang Indonesia, Korea Selatan dan Muangthai, Jakarta, SPES, 1994, hal:10.
63
negara memberikan akses-akses ekonomi kepada para birokrat, kelompok-kelompok
bisnis militer dan para pimpinan militer adalah untuk mendapatkan dana di luar anggaran
resmi pemerintah untuk membiayai kegiatan militer dan untuk membangun dan
mempertahankan loyalitas. Sedangkan jika yang diberi akses adalah anggota keluarga,
maka tujuannya adalah membangun kerajaan bisnis mereka. Namun yang terpenting,
tujuan pemberian akses-akses tersebut oleh negara ialah agar oposisi tidak dapat
membangun landasan ekonomi yang kuat.98
Berkaitan dengan peran negara dalam kemunculan praktek-praktek patronase
bisnis tersebut, terlihat bahwa patronase bisnis muncul sebagai salah satu akibat
dijalankannya sistem sentralisasi oleh penguasa negara baik dalam bidang ekonomi
maupun politik. Dengan demikian negara tumbuh menjadi aktor sentral ekonomi
Indonesia, dimana dalam perkembangannya ternyata juga merupakan aktor penentu
dalam pembentukan pola patronase bisnis. Selanjutnya dengan telah terbentuknya pola
patronase bisnis di Indonesia, akan memunculkan berbagai implikasi. Di satu sisi
kemunculan patronase bisnis ini mengakibatkan negara Orde Baru tumbuh menjadi
sebuah negara otoriter birokratis rente. Dengan berkembangnya negara Orde Baru
sebagai sebuah negara otoriter birokratis rente, maka negara relatif menjadi lebih kuat.
Sebaliknya masyarakat sipil menjadi semakin lemah, dan di tatanan sosial organisasi-
organisasi kemasyarakatan lebih banyak dibentuk dan dikelola oleh negara.
Sedangkan secara ekonomis, jelas bahwa pemunculan negara otoriter birokratis
rente dengan diikuti oleh berkembangnya patronase bisnis tersebut, telah pula
mengakibatkan kesenjangan ekonomi antara golongan kaya dan miskin semakin lebar.
Karena dalam kenyataannya patronase bisnis telah pula menimbulkan diskriminasi
ekonomi. Para pengusaha yang memiliki patron politik pada umumnya merupakan
pengusaha besar sehingga semakin memudahkan dalam pengembangan bisnisnya.
Sementara hal yang sebaliknya banyak dialami oleh para pengusaha menengah dan kecil.
Patronase bisnis ini secara ekonomi juga mengakibatkan para investor terutama para
investor asing menjadi ragu dalam menanamkan modalnya. Mereka melihat munculnya
patron-patron politik dalam kaitannya dengan penanaman modal adalah sesuatu hal yang
sangat riskan. Mereka juga berpendapat bahwa jika suatu saat patron politik mereka
98 Ibid, hal:16.
64
jatuh, maka akan berimplikasi langsung pada kelancaran bisnis mereka. Karena itu
kemunculan patronase bisnis dapat juga dikatakan sebagai salah satu penghambat
masuknya investasi asing ke Indonesia. Dengan kata lain patronase bisnis tidak
memunculkan kepercayaan bisnis (business confidence) terutama untuk usaha jangka
panjang.99 Selain para investor asing, adanya patronase bisnis ini juga mengakibatkan
para pemilik modal domestik keturunan Cina menanam modal mereka di luar negeri.100
Indenpendensi finansial yang dimiliki dari adanya jaringan finansial dengan kelompok
bisnis Cina di negara-negara Asia Tenggara lain, telah menjadikan mereka sebagai
sebuah kekuatan bisnis yang cukup signifikan dalam struktur ekonomi Orde Baru. Meski
demikian, patronase bisnis telah menjadikan mereka enggan untuk menanamkan investasi
jangka panjang di Indonesia. Ketika pemerintah Orde Baru memaksa mereka untuk
menanamkan investasi jangka panjang, mereka kemudian akan meminta hak monopoli
untuk produk-produk mereka tersebut.101
Berkembangnya praktek patronase bisnis di masa Orde Baru ini juga ditandai
dengan pembentukan sebuah tim dari Sekneg, yang dikenal dengan nama tim sepuluh.
Kewenangan yang dimiliki oleh tim ini sangat besar dan luas. Tim sepuluh ini memiliki
wewenang antara lain ialah dalam pembebasan tanah untuk kepentingan sebuah proyek,
pemberian izin untuk pengawasan tender juga dalam hal pemberian wewenang pada
lembaga-lembaga yang lebih bersifat teknis. Wewenang itu sendiri terus mengalami
perluasan terutama setelah menjadi lembaga yang permanen di Sekneg. Dari yang
sebelumnya hanya berwenang mengawasi pembelian besar kebutuhan departemental dan
non-departemental diperluas terus sehingga tim sepuluh ini juga berwenang dalam
pengawasan di BUMN dan swasta.102
Namun yang paling penting dari perluasan wewenang tim sepuluh ini ialah
keluarnya dekrit presiden no 29 tahun 1984 tentang pemberian wewenang melakukan
pengendalian lebih lanjut atas proses “pra kualifikasi” yang akan menentukan perusahaan
mana, sampai tingkat propinsi yang akan dimasukkan ke dalam daftar, sehingga mereka
berkesempatan untuk ikut dalam pengajuan tender-tender proyek. Lebih celakanya lagi
99 Alexander Irwan, "Kolaborasi …opcit, hal:27 100 Alexander Irwan, Patronase…opcit, hal:17. 101 Ibid. 102 Jeffry A.Winters, Power ...opcit, hal:176.
65
setiap instansi pemerintah yang berkepentingan dalam pengadaan proyek tersebut
diharuskan untuk membentuk tim sepuluh mini untuk menentukan hal tersebut. Tim
sepuluh mini yang biasanya dipimpin oleh menteri atau kepala instansi yang
bersangkutan tersebut kemudian bertanggung jawab pada tim sepuluh yang ada di
Sekneg.103 Dengan demikian tim sepuluh telah berkembang menjadi sebuah instrumen
untuk membangun, memperluas dan mempertahankan struktur patronase yang ada di
Indonesia. Sebab pada akhirnya hanyalah orang-orang yang berada dekat baik secara
politik atau pribadi dengan para pejabat istana dan Sekneg, yang mampu mengambil
keuntungan dari keberadaan tim sepuluh ini. Dan yang pasti dengan adanya tim sepuluh
ini sekali lagi akan memberikan kesempatan dan legalitas baru bagi para pejabat negara
untuk menjadi pemburu rente.
Dengan demikian setidaknya ada sepuluh hal yang patut dicermati untuk dapat
memahami mengapa patronase bisnis ini dapat tumbuh dan berkembang pada masa Orde
Baru. Pertama, dominannya peran negara dalam perekonomian yang ditunjukan dengan
tumbuhnya lapisan birokrat-politik atau pejabat militer, telah mengakibatkan mereka
dapat mengembangkan kepentingan-kepentingan pribadinya. Tidak profesionalnya para
pejabat dan birokrat tersebut mengakibatkan terjadinya kekaburan antara bidang yang
seharusnya mereka geluti dengan masalah-masalah bisnis. Kedua, dengan semakin
berkembangnya kepentingan-kepentingan pribadi mereka, telah mendorong penggunaan
akses-akses negara, seperti lisensi, konsesi, hak monopoli dan sebagainya oleh para
pejabat negara, untuk dibagikan pada para pengusaha. Perlakuan seperti ini yang
kemudian banyak diistilahkan dengan kolusi. Ketiga, adanya hubungan yang terjalin
antara para pengusaha dan para pejabat, ternyata mengakibatkan digunakannya kekayaan
negara seperti APBN dan perusahaan-perusahaan negara untuk membantu investasi
dalam bisnis-bisnis mereka. Keempat, ketidakmampuan negara dalam mengatur
perekonomian menjadikan hal tersebut sebagai rebutan para birokrat. Para birokrat
tersebut berharap dapat menggunakan posisi tersebut untuk dapat mempengaruhi
perusahaan swasta. Dengan demikian diharapkan pula akan terjalin hubungan yang lebih
erat dangan para pengusaha yang ingin mengembangkan usahanya. Kelima,
ketergantungan pada patron politik dalam mengembangkan usaha, mengakibatkan
103 Ibid, hal:178.
66
keinginan untuk mengumpulkan kekayaan dalam waktu sesingkat mungkin. Karena jika
jatuh bangunnya posisi patron politik juga berarti maju mundurnya usaha yang
dijalankan.
Keenam, keinginan untuk mendapatan kekayaan dalam tempo sesingkat mungkin,
mengakibatkan para pejabat dan pengusaha menjadi sangat berkepentingan dalam
persoalan proteksi tarif yang tinggi, pembatasan modal asing serta hal monopoli. Ketujuh,
ketidakpastian politik bisa mengakibatkan para investor terutama para investor asing
menjadi enggan untuk menginvestasikan modalnya untuk jangka panjang. Sehingga tidak
muncul kepercayaan di bidang usaha (business confidence) di Indonesia dari para
investor. Kedelapan, ketakuatan yang berlebihan dari para pemilik modal mengakibatkan
Indonesia menjadi salah satu negara yang beresiko tinggi. Tidak hanya jika patron
politiknya jatuh tetapi juga kemungkinan untuk terjadinya perampasan kepemilikan
usaha-usaha tersebut oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa. Kesembilan, dikuasainya dan
didirikannya perusahan-perusahan dagang oleh para pejabat yang dalam pelaksanaannya
tidak lagi menghiraukan moralitas dan etika usaha. Karena mereka hanya berorientasi
pada kekayaan dengan berbagai cara. Kesepuluh, keterlibatan -para pejabat tersebut
ternyata juga memunculkan bisnis-bisnis kroni. Dimana yang melakukan bisnis adalah
keluarga dan teman-teman dekat para pejabat pemilik akses politik. Sehingga seringkali
mereka saling berebut untuk mendapatkan kemudahan dalam memperluas bisnisnya.104
Jadi dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, ketika negara tidak lagi sekedar
sebagai penjaga kekayaan dan kepentingan bisnis maupun menjalankan tugas dalam
penciptaan keadaan yang kondusif bagi akumulasi modal, tetapi telah pula sebagai
pengendali kekayaan ekonomi dan kepentingan bisnis secara keseluruhan, maka
kekuasaan negara yang sangat besar yang dipegang oleh sebuah rezim politik ini akan
membawa akibat bagi kehidupan ekonomi nasional yang didominasi patronase bisnis.105
2.2 Implikasi Patronase Bisnis Pada Perekonomian Orde Baru
Pada penjelasan sebelumnya disebutkan apabila terdapat peran yang begitu besar
dari negara, maka yang terjadi adalah pemunculan kapitalisme yang semu (ersatz
capitalism). Jika hal ini dikaitkan dengan perkembangan patronase bisnis, yang kemudian
104 Achmad Ali, "Patronase Bisnis Orde Baru Berlanjut di Era Reformasi", Kompas, 4 Oktober 1999. 105 Suryadi A. Rajab, Praktik…opcit, hal:41.
67
nampak jelas terlihat sebagai implikasi pertama dari adanya patronase bisnis tersebut
ialah lahirnya kelas-kelas kapital yang tidak mandiri. Ketergantungan mereka pada patron
politik, ternyata telah menjadikan bisnis yang dilakukannya menjadi sangat rawan
terhadap perubahan politik yang terjadi. Implikasi kedua yang muncul sebagai akibat dari
adanya pola patronase bisnis tersebut ialah lahirnya kalangan birokrasi pemburu rente
(rent seekers). Adanya pemburu rente ini berpengaruh langsung pada pembentukan
negara otoriter birokratis rente. Adanya praktek patronase bisnis ternyata di satu sisi juga
menyebabkan tidak adanya kepercayaan bisnis dari para investor, terutama dari para
investor asing yang menanamkan modalnya untuk jangka panjang.
Implikasi berikutnya dari patronase bisnis di bidang ekonomi ialah, timbulnya
ekonomi biaya tinggi. Ekonomi biaya tinggi ini muncul karena dalam patronase bisnis
industri yang dimungkinkan untuk dapat muncul adalah industri substitusi impor yang
tidak efisien. Para penanam modal juga selalu menekan negara untuk mau memberikan
berbagai keistimewaan, seperti subsidi, monopoli dan proteksi, sehingga hasil produksi
mereka dapat bersaing dangan barang-barang serupa yang diimpor. Dari beberapa
implikasi yang ditimbulkan tersebut, jelas bahwa adanya praktek patronase bisnis secara
ekonomis tidak akan memberikan perkembangan yang sehat bagi perekonomian
Indonesia.
Hal lain yang juga menarik untuk dicermati dari berkembangnya patronase bisnis
ini ialah, siapa-siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan. Jika kembali mencermati
penjelasan-penjelasan sebelumnya, mungkin kita akan segera tahu dengan jelas siapa-
siapa saja yang diuntungkan selama ini. Namun yang pasti, pengusaha-pengusaha klien
tersebut pada umumnya merupakan pelaku-pelaku bisnis yang mempunyai kedekatan
dengan para perwira tinggi militer atau pejabat sipil negara lainnya, termasuk dari
kalangan birokrat. Karena para pejabat militer tersebut merupakan patron politik dalam
pengembangan bisnis mereka.
Sedangkan di sisi lain, tidak sedikit pula pihak-pihak yang dirugikan dengan
kehadiran patronase bisnis ini. Di dalam sebuah pola patronase bisnis sangat jelas bahwa
yang dapat dikatagorikan sebagai pihak-pihak yang dirugikan ialah para pelaku bisnis
yang secara langsung, tidak memiliki akses kepada pemegang kekuasaan politik. Hal ini
68
biasanya terjadi pada investor asing106 dan sebagian besar pengusaha pribumi, terutama
pada level menengah dan kecil. Jadi seperti dijelaskan di atas, bahwa kemunculan
patronase bisnis ini telah pula memunculkan tindakan atau kebijakan yang bersifat
diskriminatif terhadap para pelaku bisnis yang dilakukan oleh penguasa politik. Sekali
lagi hal ini merupakan sebuah bukti ketidakkonsistenan rezim Orde dalam menjalankan
kebijakan ekonominya, yang di satu sisi menginginkan masuknya investasi asing, sedang
di sisi lain menjalankan patronase bisnis yang justru sangat dibenci oleh para investor
asing.
Kedua, yang secara tidak langsung juga dirugikan dari berkembangnya praktek-
praktek patronase bisnis ini ialah negara sebagai sebuah organisasi (khususnya keuangan
negara). Karena dengan berkembangnya patronase bisnis ini, ternyata telah menciptakan
pemburu-pemburu rente di kalangan birokrat. Dengan semakin berkembangnya birokrat-
birokrat pemburu rente ini, jelas tindakan korupsi akan semakin tidak terkendali serta
masyarakat akan makin banyak dirugikan.
3 Patronase Bisnis Militer Orde Baru
3.1 Anggaran Pertahanan dan Patronase Bisnis Militer.
Selama kekuasaan Orde Baru pola patronase bisnis mengalami masa kejayaannya.
Salah satu bentuk patronase bisnis yang berkembang dengan baik ialah bisnis militer.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, militer Indonesia selama lebih dari lima puluh
tahun keberadaannya, ternyata selain menjalankan fungsi utamanya di bidang pertahanan
dan keamanan, telah banyak pula melakukan aktifitas bisnis dan ekonomi lainnya. Dalam
perjalanannya tersebut, ternyata bisnis yang dijalankan oleh pihak militer sangat terkait
erat dengan keterlibatannya di bidang sosial politik. Karena itu tak heran jika dwifungsi
ABRI saat itu seringkali juga dianggap sebagai alat legitimasi militer Orde Baru dalam
menjalankan fungsi-fungsi diluar masalah pertahanan keamanan.
Namun demikian hal terpenting yang patut pula menjadi perhatian utama sebelum
mengamati keberadaan patronase bisnis militer di masa Orde Baru ini ialah, persoalan
106 Untuk menyiasati hal ini biasanya para investor asing kemudian melakukan kerjasama dengan para investor lokal yang telah memiliki akses ke pejabat-pejabat pemegang kekuasaan politik, atau langsung kepada Presiden Suharto, keluarga dan kroni-kroni dekat lainnya. Hal ini jelas akan makin memperluas ekonomi biaya tinggi yang sebelumnya telah banyak terjadi.
69
anggaran pertahanan yang diberikan dalam APBN. Hal ini menjadi penting untuk terlebih
dahulu dicermati, karena sebagaimana kita ketahui militer seringkali menggunakan alasan
kurangnya anggaran militer dalam APBN sebagai legitimasi bagi pengembangan bisnis-
bisnisnya. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk terlebih dahulu memberikan sedikit
gambaran tentang jumlah anggaran pertahanan yang ditetapkan dalam APBN, dan
mencoba untuk membandingkannya dengan biaya yang dianggarkan dalam APBN
kepada sektor lain.
Sampai dengan tahun 1991, dilaporkan bahwa anggaran militer yang disediakan
dalam APBN sebesar US$ 1,7 Juta atau sekiar 7,4 % dari keseluruhan pengeluaran
pemerintah (lihat tabel III.1). Sedangkan apabila kita melihat grafik anggaran militer dari
tahu 1983 sampai dengan tahun 1992, tampak bahwa ada kecenderungan peningkatan
jumlah anggaran (lihat lampiran grafik World Bank Loans & Military Budget). Namun
demikian bukan berarti hal ini akan menutup kemungkinan bahwa militer juga akan
menerima berbagai sumber pendanaan lain yang sebenarnya juga menjadi bagian dari
APBN atau anggaran resmi lainnya.
Tabel III.1
Perbandingan Jumlah Anggaran Militer Regional
Sampai Dengan Tahun 1991.
POPULASI (JUTA)
JUMLAH PASUKAN
(000)
ANGGARAN (MILYAR)
US$/ PRAJURIT
GNP/ ORANG
Indonesia 192 285 US$ 1,7 US$ 6077 US$ 577
Filipina 66 112 US$ 1,0 US$ 8455 US$ 694
Malaysia 18 114 US$ 1,7 US$ 14.482 US$ 2,506
Australia 17 68 US$ 7,4 US$ 108,824 US$16,600
Singapura 3 55 US$ 2,1 US$ 38,309 US$14,840
Sumber: Financing Military Rule: The Clinton Administration, The World Bank, and Indonesia.
Sedangkan jika dilihat pada pengeluaran rutin APBN 1997/1998, anggaran militer
(pertahanan dan keamanan), mencapai Rp 6.277.700.000,00dan itu terus mengalami
peningkatan pada setiap APBN berikutnya (lihat tabel III.2).
70
Tabel III.2
Perkembangan Pengeluaran Rutin Berdasarkan Sektor
1997/1998-1999/2000
(dalam miliar rupiah)
1997/1998 1998/1999 1999/2000 Uraian
APBN Realisasi APBN Realisasi
(sementara)
APBN Perkiraan
Realisasi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Sektor Pertahanan
dan Keamanan
6.277,7 6.280,2 7.628,2 8.174,1 9.909,7 152.989,9
Sumber:Departemen Keuangan
Dari data-data tersebut diatas, terlihat bahwa pada dasarnya anggaran yang
diberikan kepada sektor pertahanan keamanan sendiri di dalam APBN selama Orde Baru
cukup besar. Apalagi jika kita coba perbandingkan dengan berbagai sektor lain. Bahkan
pada APBN 1997/1998 saja anggaran untuk sektor hankam merupakan anggaran terbesar
ketiga setelah sektor ekonomi dan pembangunan daerah.107
3.2 Perkembangan Bisnis Militer Orde Baru.
Peran sosial politik militer yang semakin luas dan mendomisasi kehidupan sosial
politik serta perekonomian di Indonesia, akan semakin terlihat setelah kita mencermati
perilaku militer Indonesia, terutama dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi yang ada
di Indonesia dan mengolahnya menjadi sumber-sumber pemasukan diluar anggaran yang
telah di sediakan oleh pemerintah (pendapatan non-budgeter). Dalam menjalankan
bisnisnya tersebut, pihak militer seringkali menggunakan para perwira yang duduk dalam
jabatan-jabatan politis atau struktural birokratis lainnya untuk mendapatkan kemudahan-
kemudahan atau privelege, sehingga memudahkan kelancaran bisnis mereka. Dengan
demikian apa yang kemudian dikenal dengan tugas kekaryaan menjadi sesuatu yang tak
terpisahkan dari perkembangan bisnis militer di Indonesia masa Orde Baru.
Selain mengandalkan para perwiranya tersebut, kedekatan hubungan dengan
Presiden Suharto dan keluarga serta kroni-kroni dekatnya juga dapat dijadikan sebagai
sarana pengembangan bisnisnya. Pada umumnya mereka melakukan berbagai kerjasama,
107 Lihat lampiran Perkembangan Pengeluaran Rutin Berdasarkan Sektor 1997/1998-1999/2000
71
misalnya dalam bentuk joint venture untuk dapat meningkatkan modal serta
kemampuannya. Sebagai contoh dari kerjasama tersebut ialah salah satu perusahaan
pertambangan milik Angkatan Darat menjadi partner salah satu perusahaan milik Bob
Hasan (PT Nusamba), yang juga merupakan perusahaan pertambangan swasta terbesar di
Indonesia. Contoh lain ialah kerjasama joint venture P.T Sempati Air antara Angkatan
Darat dengan kelompok Humpuss.108 Karena kemudahan-kemudahan seperti inilah, maka
bisnis militer dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk patronase bisnis. Namun
bagaimanapun juga meski bisnis militer Orde Baru memiliki banyak keistimewaan dan
kelebihan lain terutama di bidang politik, tetapi peran aktif dari para pengusaha Cina
tidak bisa diabaikan atau hilang begitu saja.
Mencermati keterlibatan militer Orde Baru dalam bisnis atau ekonomi ini,
setidaknya telah memunculkan dua pandangan tentang orientasi bisnis militer. Pertama
militer "berbisnis" untuk menghidupi dirinya sendiri secara kelembagaan. Kurangnya
dana anggaran taktis terutama dalam masalah-masalah sosial politik yang tidak bisa
diprediksikan serta peningkatan kesejahteraan merupakan alasan pertama mengapa
militer berbisnis. Kedua, keterlibatan di dalam dunia usaha demi kepentingan diluar
tubuh organisasinya. Misalnya penyediaan jasa "keamanan". Meski demikian
keterbatasan anggaran dalam peningkatan kesejahteraan yang lebih sering dijadikan
sebagai alasan mengapa militer Indonesia terjun dalam dunia bisnis, yang termasuk di
dalamnya adalah perhatian terhadap usia para perwira senior dan para pensiunan. Karena
alasan itu, maka kemudian militer membentuk berbagai perusahaan atau badan usaha
lainnya, juga koperasi, untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Hal itu juga diikuti
dengan pemberian jabatan penting kepada para perwira aktif maupun non aktif untuk
duduk dalam perusahaan-perusahaan swasta atau BUMN. Meski merupakan kelanjutan
dari keterlibatannya di bidang ekonomi pada masa kekuasaan Sukarno, namun
nampaknya militer Orde Baru berusaha untuk menciptakan legitimasi-legitimasi baru
untuk melapangkan bisnisnya. Diawali dengan keputusan yang diambil dalam seminar
AD II pada tanggal 25-31 Agustus 1966, yang menegaskan bahwa kepedulian ABRI
dalam ikut mengatasi tiga masalah nasional: stabilitas sosial politik, stabilitas sosial,
ekonomi dan peran serta TNI-AD dalam revolusi Indonesia sebagai kekuatan revolusi,
108 Robert Lowry, The Armed Forces of Indonesia, Sydney, Allen & Unwin, 1996, hal:136.
72
alat penegak demokrasi dan sebagai alat pertahanan keamanan negara, dan diperkuat
dengan UU no:1/1988 dan UU no:20/1988.109
Pada bagian awal bab ini telah dijelaskan bagaimana militer awal Orde Baru
memainkan perannya di bidang ekonomi secara luas, dengan Pertamina dan Bulog
sebagai sumber pendapatan utamanya. Ketika Orde Baru berkuasa, militer memiliki
beberapa sumber pendapatan lain, diluar anggaran yang telah disediakan oleh APBN.
Secara umum, selama Orde Baru bentuk bisnis yang dilakukan oleh pihak militer dapat
terbagi menjadi dua. Pertama, badan-badan usaha atau jaringan bisnis yang dikelola oleh
yayasan. Kedua yang dikelola oleh koperasi, dan ketiga keterlibatannya dalam badan-
badan usaha milik negara (BUMN) seperti yang dilakukannya pada kedua badan tersebut
diatas.110 Unit usaha koperasi yang dimiliki oleh militer ini dibentuk dengan tujuan
sebagai penyedia berbagai kebutuhan sehari-hari bagi para anggotanya dengan harga
murah, yang biasanya tidak dapat dipenuhi oleh anggaran. Mereka kemudian membuka
toko-toko atau beberapa jenis usaha yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Koperasi merupakan unit usaha yang paling mudah ditemui. Karena koperasi terdapat
pada hampir semua struktur komando yang ada. Baik dari tingkat pusat sampai ke tingkat
daerah, dari tingkat yang tinggi (Kodam) sampai yang terendah (Korem). Pada tingkat
Kodam koperasi yang ada dikenal dengan nama induk koperasi, sedang di tingkat Korem
disebut dengan koperasi primer. Seperti bentuk-bentuk unit-unit usaha koperasi lainnya
sumber pendapatan dari koperasi-koperasi tersebut ialah iuran dari para anggotanya.
Namun koperasi-koperasi itu juga memiliki sumber pendanaan lain yang lebih penting.
Sumber pendapatan itu biasanya berupa perusahaan-perusahaan atau unit usaha.111
Perusahaan-perusahaan atau bentuk-bentuk usaha tersebut terkadang dijalankan dan
dikelola oleh sebuah holding company (perusahaan induk) atau melalui sebuah
yayasan.112
Namun demikian tidak semua yayasan-yayasan tersebut berada dibawah koperasi.
Beberapa yayasan tersebut berdiri dibawah kendali suatu struktur komando, baik di
tingkat nasional maupun ditingkat daerah. Di tingkat pusat atau nasional ini dapat dilihat 109 Dr Indria Samego et al, "…Bila ABRI Menghendaki", Desakan Kuat Reformasi Atas Konsep Dwifungsi ABRI, Bandung, PT Mizan, 1998, hal:29-32. 110 Indria Samego, et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:67. 111Robert Lowry, The Armed…opcit, hal:137-138.
73
dari keberadaan berbagai yayasan yang berada dibawah sebuah markas besar. Seperti
misalnya Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik Angkatan Darat, Yayasan Dharma
Putra Kostrad, atau Yayasan Kobame milik Kopassus. Seperti penjelasan sebelumnya
mengenai patronase bisnis secara umum, maka dalam kasus patronase bisnis militer ini
juga tampak terlihat adanya pihak-pihak yang diuntungkan. Pertama, jika dilihat kembali
pada tujuan awal dari keberadaan bisnis militer tersebut, maka pihak pertama yang
tampak terlihat diuntungkan adalah para prajurit dan keluarganya. Karena seperti telah
dijelaskan diatas, dengan adanya bisnis tersebut, maka para prajurit ini dimungkinkan
untuk mendapatkan berbagai kebutuhan sehari-harinya dengan harga yang relatif lebih
murah daripada harga di pasaran.
Kedua, pihak yang juga seringkali mendapat keuntungan dari bisnis militer ini
ialah para pengusaha, terutama mereka-mereka yang memiliki hubungan bisnis dengan
pihak militer. Dimana selama Orde Baru, hal ini lebih banyak dimiliki oleh para
pengusaha keturunan Cina. Sedang pihak ketiga atau pihak yang paling berkepentingan
dalam pengambilan keuntungan dari bisnis militer ini ialah institusi militer itu sendiri.
Secara langsung hal ini masih berkaitan dengan keterbatasan anggaran yang disediakan
oleh pemerintah. Sehingga dengan adanya bisnis militer tersebut, maka militer dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya akan mendapat tambahan dana.
3.3 Implikasi Bisnis Militer Dalam Struktur Ekonomi Politik Orde Baru
Setelah mencermati apa dan bagaimana patronase bisnis militer tersebut
berkembang, maka pada bagian ini akan dibahas apa-apa saja yang menjadi implikasi
dari keberadaan bisnis militer tersebut, terutama pada pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi Orde Baru. Karena bagaimanapun juga keberadaan bisnis militer tersebut telah
memberikan warna tersendiri bagi ekonomi Orde Baru.
Sebagaimana bentuk-bentuk patronase bisnis lainnya, implikasi yang ditimbulkan
dari adanya patronase bisnis militer ialah munculnya kelas kapitalis yang semu. Dalam
hal ini militer lebih diposisikan sebagai patron dalam pemunculan kapitalisme semu di
Indonesia. Dengan dominannya peran militer pada jabatan-jabatan elit politis di
Indonesia, di satu sisi ternyata telah menjadikan mereka sebagai cantolan atau patron
112 Ibid.
74
politik bagi kalangan pengusaha. Dari sini kemudian muncul dan berkembang para
pencari rente proyek-proyek pemerintah.113
Praktek komersialisasi jabatan seperti yang telah banyak diceritakan sebelumnya,
secara langsung telah pula memberikan kontribusi yang besar pada munculnya ekonomi
biaya tinggi. Pembengkakan biaya produksi yang harus ditanggung oleh para pengusaha
tersebut, ternyata seringkali disebabkan adanya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh
para pemburu rente proyek pemerintah tadi. Dimana pada akhirnya masyarakat juga yang
harus membayar extra cost itu melalui harga barang yang dibelinya. Dengan adanya hal
yang demikian ini korupsi jelas akan semakin tidak terkendali.
Implikasi lain yang ditimbulkan dari adanya patronase bisnis militer ialah
kemunculan kelompok militer sebagai bagian dari kelas komprador. Kelas komprador ini
sendiri lahir dari adanya hubungan kemitraan terutama di bidang bisnis antara militer,
pengusaha Cina atau investor asing. Kemudian dari hubungan ini berkembang menjadi
tindakan kolusi antara para penguasa politik ( yang didominasi militer) dengan pengusaha
Cina atau asing tersebut. Namun yang paling penting jika dilihat dari perspektif militer
sebagai sebuah institusi, keberadaan bisnis ini telah pula menjadikan militer Indonesia
kian tidak profesional. Karena mau tidak mau dan disadari atau tidak, meski berawal dari
usaha pemenuhan kekurangan dana anggaran operasionalnya, keterlibatan militer dalam
bidang bisnis ini ternyata juga telah mampu merubah orientasi para pelakunya (terutama
bagi perwira yang masih aktif) menjadi lebih berorientasi pada tujuan-tujuan yang
bersifat komersil. Hal ini dapat dibuktikan dari makin meningkatnya jumlah bisnis
pribadi yang dilakukan oleh para perwira tersebut. Karena seiring dengan semakin
meningkatnya kemampuan dalam pengelolaan bisnis oleh para perwira tersebut, maka
semakin meningkat pula keinginan untuk cenderung lebih memberikan perhatian pada
bisnis-bisnis yang dijalankannya ketimbang pelaksanaan tugas pokoknya sebagai birokrat
di bidang pertahanan dan keamanan. Dengan adanya militer yang tidak profesional ini
jelas akan merugikan banyak pihak. Selain itu juga akan makin berkembang pandangan
bahwa militer tidak lagi menjadi penjaga rasa keamanan bagi masyarakat secara
keseluruhan, tetapi sebaliknya militer telah menjadi alat bagi kelompok-kelompok
tertentu dalam masyarakat atau negara. Seperti kelompok-kelompok elit penguasa,
113 Indria Samego, et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:133.
75
kalangan birokrasi dan para pemilik modal (pengusaha) --terutama pengusaha keturunan
Cina--.
Apabila anggapan tersebut semakin berkembang dalam masyarakat, maka dapat
dikatakan bahwa mungkin inilah salah satu bentuk kasus kongkrit dari apa yang oleh
teoritisi Marxis klasik dikatakan dengan negara sebagai alat kelas dominan. Namun
dalam kasus negara Orde Baru, militer tidak bisa langsung diposisikan seperti disebutkan
diatas. Karena di sisi lain militer Orde Baru dengan dominasinya pada jabatan-jabatan
penting di pemerintahan sipil, birokrasi dan jabatan politis lainnya seperti menteri dan
sebagainya, telah pula memperkuat posisi militer ketika berhadapan dengan para
pemodal. Jadi dengan kata lain dapat dikatakan bahwa militer Orde Baru memiliki
bargaining position yang cukup kuat terhadap para pengusaha atau para pemilik modal
tadi. Bargaining position yang dimiliki oleh militer inilah yang oleh para neo Marxis
seperti Alavi diartikan sebagai otonomi relatif. Karena dengan demikian militer mampu
memilih dan mengendalikan kelas-kelas atau kelompok-kelompok kapital sesuai dengan
keinginannya.
Dengan posisi yang demikian ini, maka kemudian terciptalah bentuk-bentuk
"kerjasama" antara para pengusaha atau pemodal tersebut dengan pihak militer. Bentuk-
bentuk kerjasama tersebut bermacam-macam. Ada bentuk kerjasama bisnis langsung
misalnya antara bisnis yang dimiliki oleh pihak militer dengan bisnis para pengusaha
tersebut, ada bentuk kerjasamanya lebih berupa penggunaan kekuasaan atau wewenang
yang dimiliki oleh para perwira militer dalam politik dan birokrasi dan ada yang
merupakan gabungan keduanya. Maksudnya ialah para pengusaha tadi melakukan
kerjasama dengan bisnis militer, yang dalam operasionalisasinya sehari-hari banyak
mengandalkan fasilitas dan kemudahan dari para perwira militer yang duduk dalam
jabatan-jabatan di pemerintahan dan birokrasi. Bentuk kerjasama terakhir inilah yang
paling lazim dan paling sering terjadi. Sehingga bisnis yang banyak berkembang seperti
itu sering disebut dengan patronase bisnis.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada masa Orde Baru militer di Indonesia
memiliki berbagai macam perusahaan atau bisnis. Bisnis-bisnis tadi kebanyakan dalam
pelaksanaannya dilakukan dengan para pengusaha terutama para pengusaha keturunan
Cina. Dalam mencoba menjelaskan mengenai praktek patronase bisnis militer di masa
76
Orde Baru sampai menjelang krisis ekonomi 1997/8, maka pada bagian ini juga akan
dilihat salah satu bentuk kasus bisnis militer, yaitu bisnis-bisnis yang berada dibawah
Yayasan Kartika Eka Paksi. Sebuah yayasan terbesar yang dimiliki pihak Angkatan
Darat.
4 Contoh Kasus:Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP)
4.1.1 Dari Truba ke YKEP.
Meskipun Pertamina dan Bulog telah menjadi sumber pendapatan yang cukup
besar bagi AD, namun dalam tingkat yang lebih rendah dibentuk berbagai macam
yayasan kesejahteraan dan berbagai macam perusahaan yang lain dengan tujuan
pembiayaan operasi dan juga terutama bertujuan meningkatkan kesejahteraan bagi para
anggotanya. Sehingga pada akhirnya pada tahun 1969 dilakukan pemusatan kegiatan
peningkatan dana dengan tujuan mempermudah pengalokasian sumber-sumber
pendanaan tersebut secara lebih rasional dan dikelola oleh delapan direktorat di dalam
AD yang dikoordinasikan oleh PT Truba (Tri Usaha Bakti). Tri Usaha Bakti sebagai
suatu perusahaan induk (holding companies) yang didirikan tahun 1969,114 juga harus
memberikan seluruh pendapatannya pada sebuah yayasan milik AD yaitu Yayasan
Kartika Eka Paksi (YKEP) yang sejak 1973 merupakan pemilik seluruh saham PT Truba.
Secara umum ada tiga misi yang dimiliki oleh PT Truba ini. Pertama, mencari
dana untuk kesejahteraan anggota TNI Angkatan Darat beserta keluarganya. Kedua, turut
berperan serta dalam pembangunan ekonomi nasional dan ketiga, memberikan
kesempatan kerja bagi anggota TNI Angkatan Darat yang masih aktif maupun yang
sudah pensiun, sesuai kebutuhan dan kemampuan yang diperlukan.115 Pada awal
berdirinya Truba merupakan sebuah badan usaha. Tetapi semenjak tahun 1974
perusahaan ini memulai aktifitasnya sebagai pusat pengendalian perusahaan-perusahaan
yang ditetapkan oleh pimpinan Angkatan Darat. Selanjutnya Truba juga mulai
menghentikan kegiatan usahanya dan memusatkan perhatiannya sebagai sebuah holding
114 Lihat Richard Robinson, Indonesia:The Rise…opcit, hal:261. Lihat pula "Memorandum Serah Terima Direksi PT Tri Usaha Bhakti, YKEP, Jakarta, 30 Juli 1998", tidak Dipublikasikan, hal:3. 115 "Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP tanggal 23 Februari 1998", Jakarta, YKEP, tidak dipublikasikan, bagian Grup Tri Usaha Bakti, hal:3.
77
company yang berfungsi sebagai pusat perencanaan, pengendalian dan pengkoordinasian
terhadap anak-anak perusahaannya dan perusahaan patungan.116
Sampai tahun 1992 anak perusahaan yang berada dibawahnya berjumlah 22 buah
dan 12 perusahaan lainnya adalah perusahaan kerja sama (joint ventures).117 Namun
dalam perkembangan selanjutnya jumlah anak perusahaan menjadi 15 buah, 6
diantaranya tidak aktif dan 22 perusahaan joint ventures dengan 3 perusahaan yang tidak
aktif.118
Semenjak Juli 1998 secara bertahap beberapa anak perusahaan yang dimiliki oleh
PT Truba secara bertahap sejak tanggal 16-28 diambil alih langsung oleh pihak
yayasan.119 Hal tersebut dilakukan dengan alasan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan
bisnis yang dilakukannya. Dengan demikian PT Truba bukanlah lagi sebuah holding
company yang mengelola berbagai anak perusahaan yang dimiliki oleh Angkatan Darat,
namun hanyalah sebuah perusahaan biasa yang hasilnya juga harus disetor ke kas
yayasan. Berbagai macam anak perusahaan yang sebelumnya dibawah kendali PT Truba,
menjadi dikelola langsung oleh pihak yayasan. Oleh sebab itu wewenang pihak yayasan
untuk mengelola perusahaan-perusahaan tersebut berikut keuntungan yang didapat oleh
perusahaan-perusahaan tersebut juga bertambah besar, dan sampai saat ini perusahaan-
perusahaan yang berada langsung dibawah yayasan tersebut bergerak di berbagai bidang
bisnis.
4.1.2 PT Truba Sebagai Holding Company
Dari berbagai perusahaan yang sebelumnya ada dibawah kendali PT Truba (ketika
masih berupa holding company), secara umum dapat dikatagorikan menjadi dua bentuk,
yaitu yang berupa anak perusahaan dan perusahaan patungan. Anak perusahaan yang
dimaksudkan di sini adalah perusahaan- perusahaan yang sahamnya dimiliki 100% atau
minimal 51% oleh pihak Truba. Dari 17 anak perusahaan yang dimiliki Truba, 7
diantaranya tidak aktif dan akan ditutup.120 Sedang yang dimaksud dengan perusahaan
patungan ialah perusahaan yang didirikan dengan mitra usaha dangan kepemilikan 116 Ibid. 117 Robert Lowry, The Armed Forces…op cit, hal:139. 118 Penciutan jumlah anak perusahaan disebabkan adanya likuidasi, lihat "Memorandum Serah Terima Direksi PT Tri Usaha Bhakti, opcit, hal:4-13. Lihat pula Indria Samego et.al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:79. 119 "Memorandum…Ibid, hal:16.
78
sahamnya 50% atau kurang. Terdapat 22 perusahaan patungan yang dimiliki oleh Truba
sampai tahun 1998. Namun 4 diantaranya masih belum menghasilkan karena baru berdiri
tahun 1996 dan 3 lainnya tidak aktif.121
Dari berbagai perusahaan tadi, setidaknya ada 13 jenis usaha yang dilakukan oleh
PT Truba. Ketigabelasjenis usaha tersebut ialah: perdagangan umum, perdagangan
khusus, konstruksi, industri alat-alat ringan, industri alat-alat berat, industri perkayuan,
pengusahaan hutan, survey dan pemetaan, pertambangan, perkebunan, angkutan (darat
dan udara), perbengkelan dan jasa keuangan.122
4.2.1 Yayasan Kartika Eka Paksi.
Yayasan Kartika Eka Paksi ini sendiri adalah suatu yayasan terbesar yang dimiliki
langsung oleh pihak AD. Yayasan ini didirikan oleh Jendral Umar Wirahadikusuma pada
tanggal 10 Agustus 1972. Ketika pertama kali didirikan, susunan dewan pengurusnya
terdiri dari: 1)Ketua dewan pengurus, 2) Sekertaris, 3) Bendahara, 4) Pelindung dan
beberapa anggota kehormatan, 5) Ketua harian, dan 6) beberapa anggota lainnya.123
Namun dalam perjalanan selanjutnya, struktur organisasi ini mengalami berbagai
perubahan. Sampai tahun 1998 struktur pengurus yayasan ini terdiri atas 1) Pelindung, 2)
Dewan kehormatan, 3) Ketua umum, 4) Wakil ketua umum, 5) Ketua dewan pengawas, 6)
Ketua dan anggota dewan pertimbangan, 7) Ketua harian, 8)Wakil ketua harian, 9)
Bendahara, 10) Ketua bidang usaha, 11) Ketua bidang kesejahteraan, 12) Ketua bidang
umum, 13) Sekertaris, 14) Badan pelaksana.124 Fungsi resmi dari yayasan ini terbagi
menjadi 2 yaitu fungsi sosial yaitu untuk peningkatan kesejahteraan anggota AD dan
fungsi usaha. Pada akhir tahun 1970an sampai dengan awal tahun 1980an, yayasan ini
mengalami kemunduran, namun kembali dihidupkan oleh Jendral Rudini.125
120 "Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP, opcit, hal:4. 121 Ibid, hal:5. Mengenai keadaan berbagai perusahaan tersebut lihat pula lampiran I dan II, Daftar Anak Perusahaan. 122 Ibid. Lihat pula lampiran III, Bidang Usaha Truba Group (28 perusahaan). 123 Ibid, bagian pendahuluan, hal:3. 124 Anggaran rumah tangga YKEP, no Skep/03/YKEP/II/1998, tidak dipublikasikan, hal:3-4. 125 Tidak jelas mengapa yayasan ini mengalami kemunduran, namun menurut laporan resmi yang dikeluarkan oleh pihak AD, pada sekitar awal tahun 1980an telah dibentuk suatu forum studi dan komunikasi (FOSKO) yang dibentuk oleh Jend. Widodo sebagai ketua dewan pengurus dengan tujuan sebagai wadah pengkajian, dianggap telah diselewengkan dan beberapa anggotanya masuk dalam "petisi 50", dan adanya anggapan para senior AD yang duduk dalam jabatan strategis di dalam yayasan tidak dapat menjalankan tugasnya. Lihat Robert Lowry, The Armed Forces….opcit, hal:139. Lihat pula "Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP….opcit, hal:4.
79
Sebagai sebuah yayasan yang dimiliki oleh sebuah institusi militer, maka
bagaimanapun juga keterlibatan dan campur tangan dari pihak pejabat militer--Angkatan
Darat-- tetap tidak bisa dihindari. Bentuk-bentuk keterlibatan dan campur tangan tersebut
bermacam-macam, misalnya saja dari adanya bentuk hubungan struktural organisasi
antara struktur organisasi di yayasan dengan struktur organisasi di Angkatan Darat,
penggunaan dana-dana yang dimiliki oleh yayasan ini, sampai bentuk-bentuk keterlibatan
tidak langsung lain. Keterlibatan dalam bentuk struktur organisasi yang dimaksudkan di
sini ialah adanya jabatan-jabatan di dalam yayasan, yang merupakan jabatan rangkap (ex
officio) dengan jabatan struktural di Angkatan Darat. Misalnya saja jabatan ketua umum
yayasan yang dijabat oleh Kasad atau ketua harian yang dijabat oleh asisten perencanaan
dan anggaran Kasad (Asrena) dan sebagainya.126 Sedangkan keterlibatan di bidang
keuangan dapat dilihat dari bagaimana seorang Kasad dalam jabatannya sebagai ketua
umum yayasan ini memiliki "otoritas" dalam hal penggunaan dana-dana yayasan meski
hanya dalam bentuk pengarahan.
Hal yang menarik dari keberadaan yayasan ini ialah bagaimana yayasan ini
menjalankan unit-unit usaha atau bisnis-bisnisnya. Dalam mencermati persoalan ini,
ternyata keterlibatan dan peran aktif dari para perwira di jajaran Angkatan Darat menjadi
tidak bisa di pandang sebelah mata. Keterlibatan tersebut menjadi penting ketika dalam
menjalankan dan mengembangkan bisnisnya tersebut mereka (YKEP) seringkali
membutuhkan akses-akses politik. Sehingga seringkali pula mereka mempergunakan para
perwiranya yang duduk dalam jabatan-jabatan di pemerintahan sipil dan birokrasi lainnya
agar mempermudah dalam mecari solusi ketika mereka menemui persoalan-persoalan
yang menyangkut masalah-masalah seperti perizinan dan sebagainya.
Sudah merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa semasa Orde
Baru peran Suharto sebagai seorang presiden sangat besar. Sehingga dalam masalah-
masalah ekonomi dan bisnis, Suharto merupakan sebuah faktor yang tidak bisa diabaikan
terutama oleh para pelaku bisnis. Dalam menjalankan bisnisnya, YKEP juga tidak bisa
melepaskan ketergantungan ini. Tidak sedikit bisnis-bisnis yang berada di bawah YKEP
ini merupakan bisnis yang dilakukan bersama-sama dengan bisnis-bisnis milik keluarga
Cendana atau kroni-kroni dekatnya. Selain dari pembentukan yayasan ini yang atas
126 Lihat anggaran dasar YKEP, no Skep/02/YKEP/II/1998, tidak dipublikasikan, hal:5-7.
80
"restu" dari Suharto, pengangkatan Suharto sebagai salah seorang jendral besar sekaligus
sesepuh Angkatan Darat, adanya kenyataan bahwa sebagian besar Kasad adalah
merupakan mantan ajudan Suharto, dan digunakannya kekuatan militer (terutama
Angkatan Darat) sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya, baik secara politik
maupun ekonomi, merupakan beberapa indikasi adanya kedekatan hubungan antara pihak
Angkatan Darat dengan pihak keluarga Cendana. Sehingga dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa, dalam menjalankan berbagai bisnisnya, yayasan ini juga
mempergunakan secara maksimal semua akses-akses kekuasaan yang dimilikinya baik di
dalam politik maupun birokrasi.
4.2.2 YKEP Dan Anggaran Militer.
Kalau kita lihat anggaran untuk pihak militer dalam setiap RAPBN yang diajukan
oleh pemerintah Orde Baru dapat dikatakan sangat kecil bila dibandingkan dengan
jumlah wilayah negara yang harus dijaga. Dari data terakhir terlihat bahwa sejak tahun
1980 anggaran militer Indonesia masih berjumlah kurang dari 3% dari GNP atau kurang
dari 10% dari APBN127, bahkan apabila anggaran militer Indonesia tersebut dibandingkan
dengan negara-negara lain seperti Cina, Jepang atau India sekalipun masih terlampau
kecil. Hal ini sangat berbeda jauh dengan pada masa Orde Lama dimana anggaran militer
bisa mencapai 83% dari jumlah pengeluaran pemerintah. Mungkin hal ini dilakukan agar
terkesan bahwa pemerintah Orde Baru sangat memprioritaskan pembangunan dibidang
ekonomi.
Dengan jumlah anggaran yang sangat kecil tersebut dengan sendirinya Yayasan
Kartika Eka Paksi merasa berkewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan para
anggotanya, terutama yang hendak dan telah memasuki masa pensiun. Dari jabatan yang
didapat oleh seseorang di dalam yayasan tersebut, maka ia akan mendapatkan tambahan
penghasilan/ honorarium selain dari gaji atau pensiun. Sedangkan apabila seseorang tidak
terlibat langsung dalam pengelolaan yayasan tersebut ia bisa mendapat keuntungan lain,
misalnya bisa mendapatkan barang-barang kebutuhan dengan harga lebih murah dari
harga di pasaran. Selain itu pihak yayasan juga memberikan penyediaan perumahan bagi
para anggota dan keluarganya atau pemberian beasiswa.128 Khusus mengenai penyediaan
127 Robert Lowry, The Indonesian…opcit, hal:23-24. 128 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis….opcit, hal:129-130.
81
fasilitas perumahan melalui YKEP, PT Asabri dan bank KPR antara tahun 1987-1993
disebutkan telah membangun rumah sebanyak 22.664 dengan biaya sebesar Rp 220
milyar (US$110 milyar), dengan kontribusi masing-masing: YKEP (US$12 juta), PT
Asabri (US$ 33 juta) dan sisanya berasal dari bank.129 Selain itu dalam usahanya untuk
memenuhi meningkatkan kesejahteraan anggotanya, dana yang diperoleh berbagai
macam usaha yang dijalankan oleh YKEP tersebut diberikan pula untuk perbaikan dan
pemeliharaan klinik-klinik kesehatan, sekolah (termasuk Universitas A.Yani) dan
sebagainya. Secara keseluruhan penggunaan dana yayasan untuk usaha peningkatan
kesejahteraan prajurit sampai tahun 1997 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:130
Tabel III.2
Garis Besar Program dan Anggaran
Yayasan Kartika Eka Paksi
(dalam jutaan rupiah)
Pendidikan No Tahun Bantuan uang
muka KPR-
TWP
Rehab/
bangun
asrama
Binwat
personil/THR Subsidi Sarana/
Prasarana
Kuliah
Pa
1 89/90 949 - - - - -
2 90/91 4.933 - - 498 1.128 -
3 91/92 5.868 - - 556 1.113 -
4 92/93 6.000 11.272 600 711 752 -
5 93/94 6.000 12.000 600 777 426 1.000
6 94/95 8.000 - 1.000 250 3.691 100
7 1996 8.000 16.200 1.000 - 3.560 80
8 1997 425 - 1.100 - 2.168 75
Jumlah 40.172 39.475 4.300 2.792 17.838 1.255
Sumber: Lampiran "B" Garis Besar Program Dan Anggaran Yayasan Kartika Eka Paksi
Namun menjelang akhir 1997 sampai 1999 Indonesia masih berada di dalam
sebuah krisis ekonomi yang melilit seluruh lapisan masyarakat, terutama ialah para
pelaku bisnis. Adanya krisis ekonomi yang diawali dengan terjadinya krisis moneter ini,
secara otomatis telah menghentikan sebagian besar aktifitas bisnis yang ada di Indonesia.
Bisnis militer sebagai salah satu pelaku bisnis secara langsung turut pula merasakan
129 Robert Lowry, The Armed Forces …opcit, hal:127. 130 "Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP….opcit, lampiran "B".
82
pengaruh dari adanya krisis tersebut. Sebagai dampak lanjutannya, anggaran yayasan
yang digunakan dalam usaha peningkatan kesejahteraan akan turut terpengaruh. Meski
demikian nampaknya YKEP ini tetap berusaha untuk bisa menjalankan misinya, yaitu
untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit.
4.2.3 Bentuk-Bentuk Usaha di Bawah YKEP.
Namun seperti juga disebutkan diatas, selain berfungsi untuk meningkatkan
kesejahteraan, sebagai bentuk dari fungsi usaha pihak yayasan juga melakukan kerjasama
bisnis dengan para pengusaha keturunan Cina dan terutama juga bekerjasama dengan
bisnis yang dilakukan oleh keluarga Suharto. Misalnya saja dalam bisnis perkayuan yaitu
PT International Timber Corp. Indonesia. Dalam susunan pemegang saham terlihat
bahwa YKEP memegang 50,71%, Bambang Trihatmodjo memegang 33,71%, Muh./Bob
Hasan (Nusamba Group) memegang 14,71 % dan sisanya dibagi-bagi pada 6 koperasi.131
Contoh lain yang akhir-akhir ini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan
ialah usaha yang dijalankan YKEP dibidang properti dan perbankan, yaitu mengenai
kerjasamanya dengan pengusaha Tomy Winata yang membangun Sudirman Central
Bussines District (SCBD) yang telah menghabiskan dana sebesar US$32 milyar. Dalam
bisnis ini YKEP menguasai 40% sahamnya sedangkan Tommy Winata 30% dan seorang
lagi yaitu Sugiato Kusuma 30%.132 Meski demikian dalam menjalankan bisnisnya ini
pihak yayasan sendiri nampaknya “tidak menganggap” bahwa SCBD merupakan
miliknya. Karena dalam bisnis tersebut pihak yayasan hanya membantu pengusaha Tomy
Winata dalam menyelesaikan pembebasan tanah yang akan digunakan, melalui
“hubungan politis” yang dimilikinya dengan pihak pemda. Hal-hal seperti disebutkan
terakhir inilah yang patut menjadi perhatian utama, terutama dalam kaitannya dengan
pembentukan dan pelaksanaan pola patronase bisnis yang dilakukan oleh pihak militer.
Kasus ini sekaligus telah menunjukan kepada kita bahwa apabila militer yang merupakan
salah satu instrumen negara melakukan kegiatan yang bersifat bisnis, maka kemungkinan
untuk menggunakan kekuasaan yang dimilikinya dalam pemerintahan untuk memajukan
kepentingan bisnisnya akan sangat besar. Apalagi ditambah dengan kenyataan
dominannya peran militer dalam negara selama Orde Baru.
131 Lihat lampiran IV, Daftar Pemegang Saham PT International Timber Corp. 132 "Medan Tempurnya di Ladang Bisnis", majalah Panji, no:25 th:II, 7 Oktober 1998, hal:18.
83
Sedangkan jasa perbankan yang dilakukan oleh YKEP dengan Tomy Winata ialah
Bank Artha Graha. Bank ini pada awalnya merupakan kelanjutan dari Bank Propelat
yang sebelumnya merupakan bank milik PT Propelat di Bandung. Namun karena
pemerintah mengadakan deregulasi di bidang perbankan di tahun 1983, maka bank
tersebut mengalami banyak kemunduran. Selanjutnya pada tahun 1988 pihak yayasan
bersama pihak swasta (P.T Karya Nusantara Permai dan P.T Cerana Karthapura)
mengambil alih kepemilikan bank tersebut. Akhirnya pada tanggal 16 mei 1989 nama
Bank Propelat ini diganti dengan nama Bank Artha Graha.133
Dari berbagai jenis usaha yang berada dibawah kendali yayasan ini, ternyata
dalam pengelolaannya tidak semua berjalan dengan mulus. Beberapa jenis usaha tersebut
ada yang tidak mengalami kemajuan bahkan ada yang akhirnya harus ditutup. Sampai
menjelang krisis sekurang-kurangnya ada 9 buah perusahaan yang telah dilikuidasi.
Diantaranya adalah P.T Truba Anugerah Elektronik, PT Kartika Bhakti Tex, dan P.T
Truba Gatra Perkasa.134 Namun setelah terjadi krisis ekonomi keadaan berbagai
perusahaan tersebut juga mengalami perubahan. Beberapa perusahaan dan unit usaha
yang dimiliki oleh YKEP ini terpaksa harus menghadapi kebangkrutan dan harus
dilikuidasi. Perusaahan-perusahaan yang harus ditutup tersebut antara lain ialah P.T
Sempati Air dan pengambilalihan pengelolaan Bank PDFCI oleh pemerintah (BPPN).
Meski mengalami banyak kerugian, perusahaan-perusahaan yang tidak menguntungkan
tadi tidak semua langsung ditutup. Mereka melakukan reinventarisir dan memilah-milah
mana perusahaan yang dianggap masih memiliki prospek dan mana yang tidak
berprospek. Jika dianggap masih memiliki prospek, maka biasanya perusahaan tersebut
mendapat suntikan dana segar. Suntikan dana ini diberikan karena pada umumnya
perusahaan-perusahaan merugi tersebut diakibatkan adanya kesalahan dalam manajemen
keuangannya. Dana yang diberikan ini sendiri merupakan pinjaman dengan bunga
pinjaman antara 12%-15%. Sementara itu perusahaan-perusahaan yang dilikuidasi
biasanya diakibatkan terlalu parahnya krisis keuangan yang dialami oleh perusahaan
tersebut, misalnya karena terlilit hutang dalam bentuk dolar.
133 "Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP….opcit, bagian perkembangan Bank Artha Graha, hal:1-2. Lihat pula Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis….opcit, hal:80-81. 134 Lihat lampiran I dan II.
84
Di sisi lain ternyata semasa sebelum dan awal krisis ini perusahaan-perusahaan
yang tetap dapat bertahan dan baik di bidang keuangannya adalah perusahaan-perusahaan
yang berorientasi ekspor. Seperti P.T Truba Jurong Engineering, P.T Asuransi Cigna
Indonesia, P.T Cilegon Fabricators dan sebagainya.135
4.3 Implikasi Bisnis YKEP Terhadap Ekonomi Nasional
Jika sebelumnya telah dibahas mengenai berbagai implikasi yang ditimbulkan
dari keberadaan pola patronase bisnis secara umum, maka dalam kasus YKEP ini juga
akan dicermati implikasi apa saja yang ditimbulkan dari bisnis yang dijalankan oleh
yayasan terhadap ekonomi nasional terutama semasa Orde Baru.
Bila dicermati, praktek-praktek bisnis yang banyak dilakukan oleh Yayasan
Kartika Eka Paksi dan dalam kaitannya dengan perkembangan patronase bisnis selama
Orde Baru, akan tampak bahwa militer memiliki dua peran, yang pertama, militer tumbuh
dan berkembang menjadi patron politik bagi sebagian kalangan pengusaha nasional,
sedang di sisi lain militer juga bertindak sebagai klien terhadap bisnis-bisnis yang
dilakukan oleh keluarga Suharto. Kemunculan pihak militer menjadi patron politik bagi
kalangan pengusaha ini dapat dibuktikan dari banyaknya bisnis yang merupakan
kerjasama antara para pengusaha tersebut dengan bisnis yang dilakukan oleh militer.
Banyaknya para perwira militer yang duduk dalam pemerintahan seringkali dimanfaatkan
oleh para pengusaha tadi untuk melancarkan bisnisnya, dimana salah satu caranya dengan
menjadi mitra bisnis dari unit-unit usaha yang selama ini banyak dilakukan oleh Yayasan
Kartika Eka Paksi tersebut.
Sementara itu terlihat bahwa, banyak dari bisnis yang dijalankan oleh yayasan ini
memiliki hubungan atau berkaitan dengan bisnis yang dilakukan oleh keluarga Suharto
(anak-anaknya atau kroni dekatnya). Di satu sisi kemunculan praktek bisnis seperti ini
tidak bisa dilepaskan begitu saja dari adanya hubungan emosional antara Suharto sebagai
presiden yang sekaligus sebagai panglima tertinggi militer dengan para anak buahnya.
Hal ini juga masih berkaitan dengan masih sangat kentalnya budaya Jawa dalam tradisi
kemiliteran di Indonesia, dimana secara sengaja ditekankan etika-etika ketaatan kejiwaan
sebagaimana layaknya seorang kesatria Jawa, yang tercermin dalam doktrin Tri Ubaya
135 Lihat lampiran 3.I
85
Cakti.136 Di sisi lain bisnis yang dilakukan oleh pihak militer ini mau tidak mau juga
harus bekerjasama dengan pihak keluarga Suharto jika ingin usahanya maju. Hal ini
mengingat betapa sangat besarnya peran Suharto dalam kehidupan bisnis-bisnis masa
Orde Baru. Sehingga pada akhirnya yang terlihat adalah banyaknya patronase bisnis
yang bergantung pada keluarga Suharto atau kroninya. Dari berbagai penjelasan di atas
menunjukkan kepada kita bagaimana bisnis yang dilakukan oleh Yayasan Kartika Eka
Paksi ini lebih dapat dikatakan sebagai sebuah praktek patronase bisnis.
Dari sisi perkembangan ekonomi hal tersebut diatas jelas menjadi sangat tidak
menguntungkan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, praktek-praktek patronase bisnis
memiliki implikasi yang luas pada perekonomian nasional. Adanya praktek-praktek
patronase bisnis secara langsung telah pula menciptakan iklim persaingan yang tidak
sehat di kalangan pelaku bisnis. Selain itu ekonomi biaya tinggi dan tidak adanya
kepercayaan bisnis adalah implikasi utama yang juga patut untuk diperhatikan. Khusus
mengenai implikasi yang ditimbulkan dari bisnis-bisnis yang dijalankan oleh yayasan ini
terhadap perekonomian nasional, secara langsung dan dalam jangka pendek sepintas
tidak akan terlihat. Namun dalam jangka panjang dengan adanya praktek-praktek bisnis
seperti dijelaskan diatas, maka disadari atau tidak bisnis militer juga telah memberikan
kontribusi yang cukup banyak dalam perkembangan patronase bisnis di Indonesia dengan
berbagai implikasinya.
Akhirnya dari berbagai penjelasan diatas, kita setidaknya dapat mengambil dua
kesimpulan. Pertama dari sisi bisnis militer itu sendiri. Dengan mencermati
perkembangan bisnis militer yang selama Orde Baru ini dijalankan, akan terlihat apakah
bisnis tersebut merupakan sebuah bentuk usaha sebagaimana layaknya sebuah usaha
komersil atau sekedar bisnis yang bertujuan untuk menggalang dana, sehingga dalam
menjalankan usahanya sebagai sebuah yayasan yang bertujuan untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan anggota tidak mengalami kesulitan. Kedua selama dan pasca
krisis ekonomi akan terjadi perubahan struktur ekonomi Indonesia (baca:pelaku bisnis),
dimana peran modal asing akan menjadi kian dominan. Hal ini dapat diartikan sebagai
salah satu indikasi kegagalan manajemen ekonomi Orde Baru. Salah satu penyebab
136 Mengenai Tri Ubaya Cakti lihat Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia,Perspektif Tradisi-Tradisi Jawa Dan Barat, Jakarta, LP3ES, 1996, hal:152.
86
kegagalan ini dapat dilihat dari dijalankannya praktek-praktek patronase bisnis, dimana
bisnis militer merupakan salah satu diantaranya.
87
Bab IV
Liberalisasi Ekonomi
Dan Pengaruhnya Pada Patronase Bisnis Militer
The “crises and depressions” were caused by goverment interference, not by capitalist system.
(Ayn Rand, Capitalism: The Unknown Ideal, pg:31)
Ketika beberapa chaebol Korea Selatan mulai mengalami kebangkrutan pada
Januari tahun 1997 dan dilanjutkan dengan terjadinya fluktuasi terhadap Baht Thailand,
mungkin sebagian besar dari masyarakat pelaku ekonomi dan juga para pengamat
ekonomi Indonesia137 tidak akan menyangka bahwa hal yang serupa akan menimpa bisnis
mereka pada khususnya dan ekonomi Indonesia pada umumnya. Bahkan mungkin yang
lebih tidak terbayangkan lagi ialah, ternyata apa yang dialami oleh Indonesia menjadi
jauh lebih parah dari yang terjadi di negara-negara tersebut. Kompleksnya persoalan
sebagaimana yang digambarkan oleh Sjahrir dan McIntyre pada latar belakang masalah
di atas, setidaknya telah mengindikasikan kepada kita bahwa ada persoalan-persoalan lain
di luar persoalan ekonomi yang juga mampu mempengaruhi tingkat kompleksitas krisis
yang dialami oleh Indonesia saat ini.
Kompleksnya bidang krisis yang harus ditangani dan kurang seriusnya perhatian
yang diberikan oleh rezim Orde Baru pada masa-masa awal terjadinya krisis,
menyebabkan timbulnya berbagai gejolak di dalam masyarakat. Di sebagian dari
kalangan masyarakat terutama dari para kelompok intelektual, kemudian berkembang
berbagai wacana yang menginginkan untuk segera diadakannya perubahan mendasar
pada sistem ekonomi maupun politik di Indonesia. Mereka secara umum berpendapat
bahwa perubahan yang diikuti dengan perbaikan pada bidang politik menjadi sangat
diperlukan sebagai modal awal dalam memperbaiki keadaan ekonomi. Karena
bagaimanapun juga kompleksnya persoalan krisis yang tengah dihadapi Indonesia pada
akhir abad ke 20 ini, ternyata juga banyak dipengaruhi oleh adanya ketidakberesan dalam
persoalan politik. Sehingga pada akhirnya persoalan krisis yang muncul tersebut ternyata
88
telah berkembang tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi telah pula meluas ke bidang-
bidang lain termasuk bidang politik. Karena itu muncul berbagai tanggapan yang
menginginkan perbaikan menyeluruh di berbagai bidang, atau yang kemudian lebih
populer dengan istilah reformasi.
Bab ini sendiri tidak akan menceritakan bagaimana proses reformasi tersebut
berjalan. Tetapi yang akan ditelaah pada bab ini ialah apa dan bagaimana implikasi yang
ditimbulkan dari adanya krisis ekonomi tersebut pada perkembangan kebijakan ekonomi
dan politik Indonesia pasca kekuasaan Orde Baru. Terutama bila dikaitkan dengan
perkembangan patronase bisnis.
1 Memasuki Krisis Ekonomi Asia.
1.1 Akhir Dari Sebuah Era.
Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar bahwa abad ke-21 adalah abad
Asia Pasifik. Namun pada tahun-tahun terakhir abad ke 20, negara-negara di Asia seakan
dikejutkan oleh sebuah krisis ekonomi yang menimpa beberapa negara di kawasan
tersebut. Serangan krisis ekonomi tersebut nampaknya tidak main-main. Bahkan Korea
Selatan yang seringkali dikatakan sebagai negara industri baru, juga turut merasakan
krisis ekonomi tersebut. Seperti sebuah efek domino, negara-negara yang terkena krisis
juga terus bertambah, tidak terkecuali Indonesia.
Indonesia yang secara geopolitik merupakan sebuah negara besar di kawasan Asia
Tenggara, ternyata secara ekonomi tidak cukup “besar dan kuat” untuk mampu menahan
arus krisis tersebut. Justru sebaliknya, Indonesia kini merupakan sebuah negara yang
paling menderita apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang
juga terkena krisis ekonomi. Jika demikian adanya, lantas yang mungkin pertanyaan
muncul dibenak kita adalah bagaimana krisis ekonomi Asia tersebut bisa terjadi.
Untuk dapat memahami penyebab krisis ekonomi Asia tersebut, hal pertama yang
kita harus cermati ialah pertumbuhan ekonomi regional Asia, terutama selama dekade
1990an. Pertumbuhan ekonomi regional yang pesat inilah yang kemudian memunculkan
sebuah istilah “The Asian Miracle”. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Asia, terutama Asia
137 Lihat prediksi Econit yang menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan pulih dalam jangka waktu setahun. Dalam “Ekonomi Indonesia Pulih akhir 1998”, Kompas, 28 Oktober 1997.
89
Timur tersebut ternyata di sisi lain dikatakan sebagai sebuah pertumbuhan yang negatif.
Karena sejak awal pertumbuhannya pada awal 1990an, yaitu ketika pertumbuhan tersebut
mulai memasuki tahap tinggal landas, pertumbuhan tersebut dibiayai secara besar-
besaran dengan dasar pay-as-you-go, yaitu pembiayaan pertumbuhan ekonomi yang
melampaui jumlah tabungan pada tiap-tiap negara. Investasi asing yang masuk
kebanyakan berbentuk “foreign direct investment”, seperti pembangunan berbagai
industri untuk ekspor.138
Krugman sendiri tidak secara tegas menyebutkan penyebab terjadinya krisis Asia
tahun 1997. Namun lebih lanjut ia menggambarkan bahwa, awal penyebab terjadinya
krisis yang dialami oleh negara-negara di Asia dapat dicermati dari beberapa fenomena
yang muncul selama dekade 90an. Pertama adanya fenomena berfluktuasinya nilai Yen
terhadap Dollar AS, antara tahun 1995-1997. Karena sebagian besar produk-produk
ekspor Asia dinilai dengan Dollar AS, maka hal ini menyebabkan produk-produk tersebut
menjadi mahal di pasar Jepang, apalagi jika bersaing dengan produk Jepang. Kedua,
devaluasi Yuan Cina tahun 1994. Ketiga, terjadinya persaingan buruh murah antara Cina,
Malaysia dan Thailand. Keempat, turunnya permintaan barang elektronik umumnya dan
semikonduktor pada khususnya di pasaran dunia. Padahal produk-produk tersebut
merupakan spesialisasi barang-barang ekspor Asia. Selain itu resesi ekonomi antara tahun
1990-91, sedikit banyak juga turut memberikan kontribusi pada penurunan ekspor Asia.
Meski demikian, dari berbagai penjelasan Krugman, ada dua hal yang merupakan
pokok penyebab terjadinya krisis Asia, terutama Asia Tenggara. Pertama kecenderungan
terjadinya bubble economy di beberapa negara Asia Tenggara tersebut, seperti Thailand
dan Indonesia. Kedua ialah terjadinya kepanikan ekonomi terutama dalam persoalan mata
uang. Di Thailand hal tersebut dapat mulai terlihat ketika pada tahun 1997 bank sentral
Thailand mengadakan devaluasi baht. Hal ini mengakibatkan permintaan baht meningkat,
dan sekaligus pula meningkatkan pembelian mata uang asing.139 Kepanikan serupa juga
terjadi di Indonesia. Terutama setelah munculnya kebijakan untuk melikuidasi 16 bank
tanggal 1 November 1997.
138 Paul Krugman, The Return of Depression Economics, New York, W.W Norton & Comp, 1999, hal:27. Lihat pula teori ekonomi pembangunan Harrod-Domar tentang tabungan dan investasi dalam Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, PT Gramedia, 1995, hal:18-20. 139 Ibid, hal:86-98.
90
Sementara itu, belajar dari pengalaman krisis yang dialami Amerika Latin tahun
80-90an, Hal Hill memberikan hipotesanya bahwa ada beberapa argumen awal yang
dapat menjelaskan mengapa terjadi krisis ekonomi di Asia. Pertama, sifat pasar keuangan
internasional yang tidak stabil, dan sentimen pasar cenderung untuk sulit dikendalikan,
yang sekaligus merupakan penggambaran dari eforia dan kepanikan. Kedua, penjelasan
eksplisit tentang perkembangan di dalam pasar modal internasional di tahun 1990an,
telah pula membuat pasar menjadi tidak stabil. Perkembangan tersebut terjadi terutama
juga disebabkan adanya faktor dorongan dari OECD (Organization for Economic
Cooperation and Development) kepada para pemodal untuk masuk ke dalam pasar
global. Meningkatnya arus modal --yang sebelumnya 9 milyar Dollar ditahun 80an
menjadi lebih dari 240 milyar Dollar menjelang krisis--, ternyata di satu sisi juga telah
membuat pasar semakin tidak stabil. Persoalan ini sendiri sangat berkaitan dengan
kebijakan moneter dari AS dan Jepang. Argumen ketiga yang dikatakan Hill ialah, bahwa terjadinya krisis ekonomi Asia
tersebut ternyata juga dapat dikatakan sebagai salah satu pertanda kelemahan dari para
pembuat kebijakan makroekonomi. Keempat ialah sektor keuangan domestik negara.
Mengutip Krugman, menurut Hill yang juga patut dicermati ialah, memang benar di satu
sisi ada “jaminan” yang diberikan oleh pemerintah, namun di sisi lain pemerintah juga
tidak memberikan regulasi yang mendukung kebijakan tersebut. Jadi misalnya saja dalam
kasus perbankan di Indonesia. Dalam masa-masa pra-krisis tidak satupun dari operasional
sistem perbankan Indonesia yang memiliki jaminan regulasi dan kepastian hukum yang
baik. Bahkan laporan dari sektor finansial seringkali menjadi tidak kredibel. Kelima, Hill
juga memberi kritik atas apa yang disebutnya dengan “The Asian style”, yaitu tentang
kapitalisme kroni (crony capitalism), atau yang dalam wacana reformasi Indonesia
dikenal dengan istilah KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Terakhir menurut Hill salah
satu penyebab meluasnya krisis ekonomi Asia ini ialah kesalahan dalam penanganan
awal krisis, terutama oleh para pemerintah negara-negara yang terkena krisis.140
Dari penjelasan keduanya nampak bahwa ada kompleksitas persoalan, yang
muncul dalam mencermati krisis ekonomi Asia di akhir dekade 1990an ini, dimana antara
140 Hall Hill, The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences and Lessons, Singapore, ISEAS, 1999, hal:48-52.
91
satu hal dengan lainnya tidak bisa dipisahkan. Sehingga kita tidak dapat dengan mudah
menunjukan apa penyebab utama terjadinya krisis ekonomi Asia. Dari kompleksitas
persoalan tersebut penulis melihat, bahwa pada dasarnya ketika kita hendak memahami
penyebab krisis ini, kita tidak dapat melihatnya secara umum. Dengan kata lain kita
harus melihatnya kasus per kasus. Sebab setiap negara yang terkena krisis memiliki
spesifikasi penyebab terjadinya krisis yang berbeda-beda. Jadi rasanya sulit
membayangkan apabila dalam penanganannya digunakan prinsip one-size-fits-all (satu
ukuran untuk semua). Namun demikian hampir dapat dipastikan bahwa penyebaran yang
cepat dari krisis ini sendiri merupakan salah satu implikasi langsung dari makin
mengglobalnya ekonomi dunia yang dapat dengan mudah menembus batas-batas negara.
1.2 Krisis Ekonomi Indonesia; Implikasi dan Penyebabnya.
Indonesia yang juga merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia,
pada perkembangannya ternyata juga telah menjadi salah satu korban dari krisis ekonomi
tersebut. Jadi jika kembali mencermati bagaimana krisis tersebut berkembang dan
meluas, maka terlihat bahwa secara khusus negara-negara di Asia Tenggara mulai
merasakan serangan krisis tersebut ketika pada Juli 1997 Baht Thailand mengalami
fluktuasi. Hal ini terus berlanjut dengan meningkatnya modal yang keluar (capital
outflows). Dengan terjadinya fluktuasi tersebut, maka berakhir pula keberhasilan
pemerintah Thailand yang telah mempertahankan posisi nilai tukar selama 13 tahun.141
Fluktuasi mata uang tersebut nampak mulai menularkan “penyakitnya” di
Indonesia ketika Rupiah mengalami kejatuhan sampai 7% pada tanggal 21 Juli 1997, dan
mulai berfluktuasi pada bulan-bulan berikutnya. Perlahan tapi pasti nilai Rupiah terus
mengalami kemerosotan, dan nilai Dollar AS terus merangkak naik. Dari sebelumnya
yang berkisar antara Rp 2400 per 1 Dollar AS pada akhir Juli 1998, jatuh hampir
mendekati Rp 16.000 per 1 Dollar AS pada Juli 1998 (lihat grafik IV.I).
Jika dicermati posisi nilai tukar Rupiah yang relatif stabil pada masa sebelumnya
menjadi nampak terlihat sebagai sesuatu yang semu atau palsu. Bahkan para pengamat
ekonomi sendiri menilai bahwa stabilnya nilai tukar tersebut justru merupakan sebuah
indikasi Rupiah telah mengalami overvalue pada tingkat yang tinggi. Overvalue Rupiah
141 Douglas Sikorski, “The Financial Crisis in Indonesia: Explanations and Controversies”, dalam The Indonesian Quarterly, Vol: XXVI. No:4, 4th Quarter, Jakarta, CSIS, 1998, hal:365.
92
tersebut terjadi tidak terlepas dari terlalu seringnya pemerintah Orde Baru untuk
menciptakan perhitungan-perhitungan “rekayasa”, sehingga hasil yang didapatpun juga
merupakan hasil “rekayasa”. Salah satu dari perhitungan rekayasa tersebut adalah
perhitungan tentang tingkat inflasi, sehingga menyebabkan angka inflasi yang
dikeluarkan pemerintah seringkali dikatakan tidak mencerminkan angka riil inflasi.142
Grafik IV.I
Fluktuasi nilai Rupiah terhadap Dollar AS
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
Aug-
97
Sep-
97
Oct
-97
Nov
-97
Dec
-97
Jan-
98
Feb-
98M
ar-9
8
Apr-9
8
May
-98
Jun-
98
Jul-9
8
Aug-
98
Sep-
98
Oct
-98
Nov
-98
Dec
-98
Jan-
99
Feb-
99M
ar-9
9
RP/1US$
142 Alexander Irwan, “Bad Governance” dan Keruntuhan Ekonomi di Indonesia”, dalam Alexander Irwan,
93
Sumber:Tabel 1 dalam Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998,
hal:279-280, dan dalam The World Bank, Indonesia From Crisis to Opportunity, 1999, Figure 1.1, hal:1.2. Ket: nilai
tukar Rupiah per bulan dilihat pada nilai tukar terakhir bulan tersebut, yaitu antara tanggal 27-31.
Kenaikan tingkat inflasi ini tersebut jelas akan berhubungan langsung dengan
penentuan tingkat deprisiasi Rupiah. Selain itu inflasi juga digunakan sebagai indikator
tingkat kemakmuran masyarakat, disamping jumlah penduduk yang hidup berada
dibawah garis kemiskinan. Dengan demikian wajar jika pemerintah Orde Baru merasa
sangat berkepentingan untuk “mengendalikan” angka tingkat inflasi sampai dibawah dua
digit. Terjadinya overvalue Rupiah selama kurang lebih 20 tahun --jika dihitung
semenjak berakhirnya boom minyak--, telah menyebabkan harga barang-barang impor
menjadi lebih murah, disamping karena adanya hambatan birokratis dalam usaha
peningkatan produksi dalam negeri. Sementara itu dari sisi pertumbuhan ekonomi terjadinya krisis ekonomi ini
memiliki implikasi yang lebih mendalam lagi. Untuk pertama kalinya semenjak Orde
Baru berkuasa, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi minus 4%. Hal ini dapat
diartikan bahwa telah terjadi penurunan produksi nasional yang secara langsung berakibat
pada penurunan jumlah pendapatan.143
Dengan terjadinya fluktuasi nilai Rupiah tersebut, maka dapat dipastikan bahwa
berbagai implikasi sosial ekonomi akan segera muncul. Implikasi atau efek samping
pertama krisis ekonomi ini secara jelas dapat dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi.
Misalnya saja dalam RAPBN 1998/1999, pertumbuhan ekonomi diprediksikan tetap
berada pada posisi 4%. Sedang kontraksi yang terjadi diperkirakan sebesar 13%-14% di
tahun 1998. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Di beberapa sektor, kontraksi yang
terjadi telah mencapai 21,4%. Bahkan kontraksi yang terjadi pada sektor konstruksi
mencapai 35,4%. Jadi dari sisi pertumbuhan ekonomi terlihat bahwa sektor-sektor non-
perdagangan seperti properti, konstruksi dan juga sektor finansial, merupakan sektor-
sektor yang paling merasakan efek samping dari terjadinya krisis ini. Selain itu pada
sektor manufaktur, terutama yang masih banyak mengandalkan komponen impor, juga
Jejak-Jejak Krisis Di Asia: Ekonomi, Politik, Industrialisasi, Jakarta, Kanisius, 1999, hal: 202. 143 Sjahrir, “Makroekonomi Indonesia dalam Krisis:Implikasi bagi Dunia Usaha”, dalam Sjahrir, Krisis…opcit, hal:97.
94
turut merasakan hal yang sama. Sementara itu pada sektor-sektor seperti pertanian,
perikanan, kehutanan dan sebagainya relatif tetap dapat bertahan di tengah krisis ekonomi
seperti ini.
Implikasi kedua dapat dilihat pada kenaikan tingkat inflasi. Sejak terdeprisiasinya
rupiah (Desember 97-Januari 98) sampai 500-600%, maka tingkat inflasi juga meningkat
sampai 70% dalam 8 bulan pertama. Bahkan ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, inflasi
meningkat mencapai sekitar 90%. Peningkatan inflasi ini pada awalnya merupakan efek
samping dari terjadinya deprisiasi nilai Rupiah dan berkurangnya suplai bahan makanan.
Namun dalam perkembangannya kepanikan masyarakat yang berlanjut dengan terjadinya
rush terhadap sejumlah kebutuhan pokok juga turut memicu peningkatan inflasi.
Hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan, yang ditandai dengan terjadinya rush
di berbagai bank nasional menyusul dilikuidasinya 16 bank, serta peningkatan jumlah
uang beredar sebagai akibat adanya kebijakan untuk mencetak uang baru, merupakan
faktor lain yang secara langsung juga berakibat pada peningkatan tingkat inflasi sampai
akhir tahun 1998.
Ketiga ialah peningkatan likuiditas dan suplai uang. Karena seperti dijelaskan di
atas, untuk mengantisipasi lonjakan permintaan uang yang beredar akibat terjadinya rush,
maka bank sentral terpaksa melakukan intervensi untuk mendukung likuiditas sistem
perbankan yang ada. Salah satu bentuk intervensi yang dilakukan oleh bank sentral dalam
hal ini ialah dengan mengeluarkan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selain itu
untuk menanggapi deprisiasi nilai Rupiah yang cepat tersebut, bank sentral juga
menaikan suku bunga rata-ratanya dua kali lipat, dari 15% menjadi 30%. Meski demikian
ternyata peningkatan permintaan uang tersebut ternyata tidak hanya terjadi pada Rupiah.
Hal yang sama juga terjadi pada beberapa mata uang asing terutama Dollar AS. Nilai
deposito dalam bentuk Dollar AS meningkat dari US$25 milyar menjadi US$30 milyar.
Terakhir, implikasi yang paling jelas ditimbulkan dari adanya krisis ekonomi
tersebut ialah terjadinya perubahan besar-besaran pada nilai tukar rata-rata Rupiah
terhadap sejumlah mata uang asing. Seperti digambarkan diatas, semenjak terjadinya
fluktuasi sejumlah mata uang regional, Rupiah tampak terus mengalami deprisiasi. Meski
demikian selain disebabkan adanya faktor fluktuasi mata uang regional yang turut
menyebabkan deprisiasi Rupiah, pencetakan uang baru pada Januari dan Februari 1998
95
dan terjadinya kerusuhan pada bulan Mei 1998 juga merupakan faktor pendorong
terjadinya deprisiasi.144
Implikasi lain yang dapat dilihat dari terjadinya krisis ini ialah dalam penanganan
masalah hutang luar negeri. Apabila kita cermati masalah hutang luar negeri ini secara
lebih mendalam, maka kita akan segera menyadari bahwa sebenarnya kemapanan dan
pertumbuhan tingkat ekonomi yang mungkin dirasakan oleh sebagian masyarakat selama
Orde Baru, adalah salah satu bagian dari “keberhasilan” rezim terus untuk menciptakan
hutang-hutang baru. Betapa tidak, karena misalnya saja pada kenyataan defisit dalam
setiap APBN, selalu berhasil ditutup oleh pengadaan hutang luar negeri. Sebagai
akibatnya dari hutang luar negeri yang hampir seluruhnya dinilai dalam Dollar AS, maka
secara otomatis dari sisi Rupiah jumlah hutang yang harus dikembalikan akan bertambah.
Jika dicermati, penggelembungan jumlah hutang luar negeri Indonesia sampai
November 1998 telah mencapai lebih dari US$110 milyar. Angka ini terdiri dari hutang
lama sebesar US$53 milyar, bantuan IMF dan negara-negara donor sebesar US$43 milyar
dan hutang dar CGI yang US$8 milyar. Bila dihitung dengan kurs Rp7000, maka jumlah
hutang luar negeri Indonesia mencapai Rp 770 trilyun atau 177% dari PDB tahun
1997.145
Selanjutnya yang juga layak untuk dicermati ialah implikasi sosial dari krisis
ekonomi ini. Sebagai sebuah krisis, nampaknya krisis ekonomi yang tengah melanda
Indonesia ini telah semakin memperdalam kesenjangan ekonomi yang telah banyak
terjadi sebelumnya. Karena, pada masa krisis seperti ini akan semakin banyak jumlah
orang yang kehilangan pekerjaannya. Persoalan ini disebabkan karena perusahaan dimana
ia bekerja tidak dapat lagi berproduksi atau bahkan mengalami kebangkrutan. Hal itu
berarti akan menambah jumlah angka pengangguran di Indonesia. Jika hal ini terus
terjadi, maka jelas akan mempengaruhi tingkat pendapatan dan kehidupan keluarga para
pekerja tersebut. Sebagai akibat selanjutannya, bukan mustahil apabila jumlah anak-anak
yang kekurangan gizi dan putus sekolah akan terus bertambah. Sehingga munculnya
kekhawatiran tentang adanya “generasi yang hilang” (the lost generation) juga kian
144 Tubagus Feridhanustyawan, “Social Impact of the Indonesian Economic Crisis”, dalam Indonesia Quarterly…opcit, hal: 329-337 145 Kwik Kian Gie, “Utang, Utang Dan Kemplang”, dalam Kwik kian Gie, Ekonomi Indonesia: Dalam Krisis dan Transisi Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, hal:77-78.
96
menjadi kenyataan. Selain itu dengan terjadinya krisis ekonomi ini secara langsung juga
telah menghentikan berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh
pemerintah.
Mencermati berbagai implikasi yang ditimbulkannya seperti tersebut diatas, maka
hal tersebut akan semakin meyakinkan kepada kita bahwa ada ada berbagai kesalahan
dan kegagalan oleh pemerintah sebelumnya dalam pengelolaan negara. Sehingga kini kita
dapat merasakan sebuah krisis ekonomi yang sangat parah dan berkepanjangan. Secara
umum penyebab terjadinya krisis ekonomi di Indonesia dapat dibagi menjadi dua faktor,
yaitu eksternal dan internal. Faktor eksternal yang dimaksudkan di sini ialah, bagaimana
krisis ekonomi regional yang melanda sebagian negara-negara di Asia seperti dijelaskan
diatas, juga telah memicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Sedang faktor internal,
menunjukan bahwa ternyata parahnya krisis yang melanda Indonesia saat ini juga tidak
bisa dilepaskan begitu saja berbagai kebijakan ekonomi yang diambil pada masa
sebelumnya. Karena seperti telah disebutkan diatas, kegagalan dalam pengelolaan negara
juga menjadi salah satu penyebab mengapa kini Indonesia merupakan negara yang paling
menderita dibanding negara Asia lainnya yang juga terkena krisis.
Ketidakseimbangan yang terjadi antara kebijakan makro dan mikroekonomi, yang
merupakan kelanjutan dari deregulasi ekonomi di tahun 1980an, seringkali dituduh
sebagai penyebab utama parahnya krisis yang terjadi di Indonesia. Dalam mencermati hal
tersebut, yang menjadi fokus perhatian kita ialah fundamental ekonomi. Secara mikro,
terlihat bahwa dasar ekonomi Indonesia pasca deregulasi sangat lemah. Ada dua hal yang
dapat mengindikasikan hal tersebut. Pertama ialah adanya gangguan dalam kebijakan,
seperti tidak transparannya berbagai kebijakan yang diambil, tidak terkendalinya hutang
luar negeri dan sebagainya. Indikasi kedua ialah tidak adanya kepastian hukum yang
berlaku. Hal ini terlihat dengan lemahnya sektor finansial, jaminan dari sistem perbankan
dan sebagainya. Sebagai kelanjutannya ialah meningkatnya praktek-praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan fenomena yang banyak berkembang pasca
deregulasi.
Sementara itu dari sisi makroekonomi, yang terjadi justru sebaliknya. Tingginya
angka pertumbuhan, terjadinya booming di sektor finansial serta meningkatnya
pendapatan pemerintah, merupakan beberapa indikasi kuatnya fundamental makro
97
ekonomi Indonesia. Sebagai efek sampingnya, juga terjadi penggelembungan harga di
sektor non perdagangan dan defisit dalam berbagai laporan keuangan. Dan sebagai hasil
kombinasi antara keduanya (makro dan mikro ekonomi) tersebut menimbulkan banyak
aksi spekulatif, collaps-nya sektor finansial --dalam hal ini perbankan--.146 Dari
penjelasan tersebut diatas, nampak bahwa ternyata terjadinya krisis ekonomi regional
tidak lebih dari sebuah faktor pemicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Sebaliknya
ada ketidak kompakan antara kebijakan makro dan mikro ekonomi Indonesia, yang pada
akhirnya menciptakan sebuah krisis ekonomi.
Untuk dapat memahami situasi dan kondisi hal tersebut diatas, mungkin kita dapat
kembali mencermati periodesasi industrialisasi yang ditawarkan oleh Mari Pangestu.
Oleh Mari disebutkan bahwa, pada periode ketiga industrialisasi Indonesia (1982-1985),
merupakan periode kebijakan industrialisasi yang ambivalen. Disebut demikian karena
pada satu sisi ada pengurangan dari penekanan dari industri berat dan proyek padat modal
oleh pemerintah dengan dijadwalkannya beberapa proyek besar pada tahun 1983.
Sementara di sisi lain antara 1983-1986, mulai muncul berbagai kebijakan tentang sistem
tata niaga impor, penggunaan instrumen non-tarif, terutama lisensi impor dan
peningkatan upaya penggunaan komponen lokal meningkat.147
Sementara itu di lain pihak, menurut Hill, dalam mencermati kasus Indonesia, ada
beberapa faktor lain yang telah memberikan kontribusi terjadinya krisis ekonomi yang
dialami oleh Indonesia. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor-faktor pra krisis yang
oleh Hill distilahkan sebagai faktor-faktor vulnerabilitas (vulnerability factors). Faktor
pertama, ialah hutang luar negeri yang besar dan terjadinya mobilitas modal. Sampai
akhir tahun 1998, total hutang luar negeri Indonesia telah mencapai US$142 milyar.
Hutang yang besar ini nampaknya lebih banyak dipicu adanya kecenderungan
peningkatan hutang luar negeri jangka menengah yang dimiliki oleh pihak swasta.
Sedangkan dari sisi mobilitas modal, menjelang krisis ekonomi terjadi tampak bahwa
jumlah modal yang keluar cenderung meningkat. Misalnya saja pada tahun 1996, jumlah
modal yang masuk adalah US$97,1 milyar, sedangkan arus modal yang keluar tahun
146 Ibid, hal:329-337. 147 Lihat periodesasi industrialisasi di Indonesia oleh Mari Pangestu dalam pengantar Thee Kian Wie, Industrialisasi Di Indonesia: Beberapa Kajian, Jakarta, LP3ES, 1996, hal:xx-xxiii.
98
1997 adalah US$11,9 milyar. Sedang dalam tahun fiskal 96/97, tercatat modal yang
masuk mencapai US$13,5 milyar, sedang modal yang keluar mencapai US$11,8 milyar. Kedua adalah lemahnya manajemen makroekonomi. Hill mencontohkan
kelemahan manajemen makroekonomi Indonesia dapat dilihat dari kebijakan yang
diambil dalam mempertahankan nilai tukar. Adanya intervensi bank sentral menunjukan
bahwa sebenarnya selama ini stabilitas kurs yang didapat pada dasarnya lebih disebabkan
usaha dari pihak pemerintah dalam menstabilkan rupiah. Dan bukan didapat dari harga
pasar. Ketiga lemahnya regulasi sektor finansial. Hal ini menjadi penting menurut Hill
karena dengan lemahnya regulasi sektor finansial, adanya intervensi politik dalam
berbagai pinjaman komersial perbankan, liberalisasi finansial yang prematur dan terburu-
buru serta laporan modal intenasional yang terbuka merupakan faktor kunci dalam
menjelaskan krisis ekonomi Asia. Salah satu alasan yang menyebabkan buruknya
regulasi finansial Indonesia adalah terjadinya “bubble economy”. Sebagai salah satu
indikasinya, hal ini dapat dilihat dari berkembangnya sektor real estate pada tahun-tahun
terakhir menjelang krisis. Selain itu buruknya kesehatan keuangan perusahaan-
perusahaan di Indonesia, dimana akan berdampak langsung pada kinerja dari perusahaan-
perusahaan tersebut, menurut Hill juga merupakan penyebab lain mengapa regulasi
finansial yang terjadi terkesan sangat lemah.
Faktor vulnerabilitas yang keempat menurut Hill adalah korupsi dan
pemerintahan. Meski demikian diakui pula oleh Hill sendiri bahwa faktor ini tidak dapat
dikatakan penyebab utama timbulnya krisis ekonomi. Karena di negara-negara lain
dimana tingkat korupsinya juga tinggi seperti Cina, dan Vietnam, tidak mengalami krisis
ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia.148
Selain itu Hal Hill juga menunjukan ada beberapa hal yang dapat dijadikan
indikasi awal terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Pertama, pertumbuhan ekonomi
yang terlalu cepat. Percepatan ini dapat dilihat dari penurunan tingkat penduduk miskin
yang sangat tajam di semua propinsi, terutama jika mengacu pada data-data yang
dikeluarkan oleh BPS. Misalnya jumlah penduduk miskin tahun 1990 adalah 15,1%
turun menjadi 13,7% ditahun 1993 dan terus turun mencapai 11,3% ditahun 1996. Angka
penurunan yang sangat tajam ini mengakibatkan data yang dikeluarkan menjadi kurang
148 Hal Hill, The Indonesian…opcit, hal: 54-70.
99
dapat dipercaya. Karena jika dicermati dari sisi peningkatan pendapatan perkapita yang
menjadi ukuran dalam menghitung tingkat kemiskinan, pada kenyataannya terjadi secara
tidak merata. Bisa saja ada sebagian kecil kalangan yang memiliki kekayaan begitu besar,
dan sebagian besar lainnya justru merasakan sebaliknya. Sehingga bukannya tidak
mungkin apabila pendapatan perkapita meningkat di satu sisi, sedang di sisi lain relitas
yang terjadi juga memperlihatkan peningkatan penduduk miskin. Kedua, mengutip
pendapat Krugman, menurut Hill pembangunan ekonomi Indonesia yang selama ini
terlihat pesat tersebut, ternyata lebih disebabkan adanya faktor-faktor lain dan bukan
disebabkan meningkatnya faktor total produktivitas (TFP: Total Factor Productivity).
Artinya dengan dukungan dana yang tersedia misalnya dari terjadinya oil boom dan
sebagainya, telah memungkinkan Indonesia memiliki kemampuan untuk membangun.149
Sehingga menimbulkan kesan bahwa pembangunan yang dilakukan selama masa Orba,
bukan merupakan pembangunan yang berkelanjutan dan lebih bersifat temporer. Karena
apabila faktor pendukung tersebut telah hilang, maka pemerintah mau tidak mau harus
mengubah strategi pembangunan yang dijalankan sebelumnya, sehingga memungkinkan
pembangunan seperti yang diinginkan dapat terus berlanjut. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa “pembangunan” semasa Orde Baru pada dasarnya tidak memiliki atau
tidak didukung oleh kekuatan modal domestik yang relatif kuat.
Persoalannya, ketika krisis ekonomi Asia 1997 mulai terjadi, dukungan keuangan
yang dimiliki pemerintah Indonesia pada saat itu sangat lemah. Hal ini masih ditambah
dengan adanya tekanan dari dunia internasional berkaitan dengan proyek mobil nasional
serta goyahnya stabilitas politik dalam negeri terutama menjelang pemilu. Dimana hal ini
akan sangat berkaitan langsung dengan jumlah investasi asing yang masuk ke Indonesia.
Padahal kita tahu bahwa semenjak Orde Baru peran investasi asing telah menjadi salah
satu faktor penting dalam perekonomian Indonesia.
1.3Krisis Ekonomi dan Patronase Bisnis Militer.
Setelah mengetahui bagaimana pengaruh terjadinya krisis ekonomi terhadap
perekonomian Indonesia secara umum, maka kini kita akan melihat bagaimana krisis
yang terjadi tersebut mempengaruhi keberadaan praktek patronase bisnis militer. Kalau
149 Ibid, hal:5-6. Hill sendiri menyebutkan ada 4 ciri yang dapat dikatagorikan sebagai peringatan awal pra krisis. Mengenai TFP, lihat pula Krugman, The Return…opcit, hal:27-35
100
mencermati penjelasan sebelumnya nampak bahwa ternyata tidak semua bidang bisnis
mengalami kemunduran di masa krisis. Ada beberapa bidang bisnis yang relatif masih
dapat bertahan ditengah krisis ekonomi namun ada pula yang sampai harus menutup
usahanya. Bidang-bidang bisnis seperti bidang kehutanan, perkebunan dan semacamnya
adalah bisnis-bisnis yang masih dapat bertahan. Sedangkan bisnis-bisnis seperti jasa
properti, konstruksi dan sejenisnya, merupakan “korban” terparah dari krisis ekonomi
1997-1999 ini.
Pada bisnis militer hal yang terjadi tidak jauh berbeda. Banyak unit bisnis militer
yang sebelumnya diprediksikan memiliki prospek yang relatif baik, ternyata yang terjadi
adalah sebaliknya. Contoh dari kenyataan seperti ini dapat dilihat dari perkembangan
bisnis-bisnis yang berada dibawah Yayasan Kartika Eka Paksi. Seperti digambarkan
dalam perbandingan berikut ini:
Tabel IV.1
Kolektibilitas150 Perusahaan Bidang Perkebunan dan Kehutanan
1998 1999 Keterangan
Jumlah % Jumlah %
Sehat 4 36,36 6 54,55
Kurang Sehat 3 27,28 2 18,18
Tidak Sehat 4 36,36 3 27,27
Jumlah 11 100,00 11 100,00 Sumber: Lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta
Peran Organ Perusahaan dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.
150 Ada Beberapa kriteria kolektibilitas tersebut: (1) Likuid: mampu memenuhi kewajiban jangka pendek. (2) Solid: mampu memenuhi kewajiban bila perusahaan dilikuidasi, (3) Profitable:mampu mengelola seluruh sumber daya yang dimiliki untuk memperoleh keuntungan. (4) Sehat:likuid, solid dan profitable. (5) Kurang sehat:satu dari tiga syarat tidak terpenuhi. (6) Tidak sehat:lebih dari satu syarat tidak terpenuhi. Lihat pula lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta Peran Organ Perusahaan dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.
101
Tabel IV.2
Kolektibilitas Perusahaan Bidang Jasa Perhotelan dan Properti
1998 1999 Keterangan
Jumlah % Jumlah %
Sehat 0 0,0 0 0,0
Kurang Sehat 1 33,33 1 33,33
Tidak Sehat 2 66,67 2 66,67
Jumlah 3 100,00 3 100,00 Sumber: Lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta
Peran Organ Perusahaan Dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.
Tabel IV.3
Kolektibilitas Perusahaan Bidang Jasa Konstruksi
1998 1999 Keterangan
Jumlah % Jumlah %
Sehat 1 50,00 1 50,00
Kurang Sehat 0 0,00 0 0,00
Tidak Sehat 1 50,00 1 50,00
Jumlah 2 100,00 2 100,00 Sumber: Lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta
Peran Organ Perusahaan Dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.
Jika dicermati, nampak bahwa dalam tabel IV.1 terjadi penambahan jumlah
perusahaan yang sehat. Sebaliknya dalam tabel IV.2, dan IV.3 selama krisis terjadi tidak
ada satu perusahaan-pun yang mengalami perkembangan. Bahkan yang terjadi justru
cenderung menunjukan terjadinya stagnasi. Selain itu secara keseluruhan terjadi
penurunan deviden yang diterima oleh pihak yayasan. Pada tahun 1998 berjumlah Rp
53.228.952.070,00. Sementara pada tahun berikutnya (1999), deviden yang diterima oleh
yayasan hanya sebesar Rp 30.767.723.383,00.151 Dari contoh-contoh tersebut tampak
151 Ibid.
102
bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia secara langsung juga telah mempengaruhi
bisnis-bisnis yang dimiliki oleh militer. Selain itu jika dimasa sebelum krisis sebagian
dana tersebut ada yang digunakan untuk investasi lain, maka selama krisis ini dana yang
ada digunakan sebagian digunakan untuk memperbaiki keadaan keuangan perusahaan-
perusahaan yang hampir bangkrut karena krisis ekonomi ini.
2 Institusi Ekonomi Global: Wajah Baru Imperialisme Ekonomi?
2.1 Menuju Reformasi Ekonomi.
Dari berbagai penjelasan diatas tampak bahwa ternyata krisis ekonomi yang
terjadi di Indonesia pada akhir dekade 90an ini, telah memberikan implikasi yang begitu
luas di berbagai bidang. Tidak saja secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan politik.
Hal ini jelas menjadi sangat tidak menguntungkan, terutama apabila dilihat dari
kehidupan bernegara dan berbangsa. Karenanya kebijakan dari rezim yang berkuasa
untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan tersebut menjadi sangat penting untuk
segera dilakukan.
Begitu parahnya krisis ekonomi yang tengah melanda Indonesia telah
mengakibatkan usaha menyelesaikan berbagai persoalan terutama di bidang ekonomi,
tidak lagi dapat menyelesaikannya dengan tanpa melibatkan lembaga internasional.
Dalam posisi ekonomi yang sedemikian ini, dapat dipastikan bahwa tingkat
ketergantungan Indonesia terhadap hutang luar negeri akan semakin bertambah. Dan
dapat dipastikan pula, sebagai akibat lanjutnya keterlibatan pihak asing dalam berbagai
kebijakan ekonomi Indonesia juga akan meluas dan mendalam. Keterlibatan pihak asing
dalam berbagai kebijakan ekonomi sebagai prasyarat diberikannya bantuan bukannya
tidak memberikan efek negatif secara sosial ekonomi. Bahkan jika dicermati secara lebih
mendalam, bukan mustahil apabila terjadinya perubahan iklim politik saat ini juga
merupakan dampak --meski tidak langsung-- dari adanya keterlibatan yang luas dari
pihak asing tersebut.
Keterlibatan pihak asing dalam penanganan krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia, diawali dengan dilikuidasinya 16 bank pada November 1997, sebagai tindak
lanjut ditandatanganinya kesepakatan bersama tanggal 31 Oktober 1997 yang sekaligus
prasyarat awal diberikannya bantuan oleh IMF. Keterlibatan institusi keuangan
103
internasional ini terus berlanjut ketika pada tanggal 15 Januari 1998, Suharto sebagai
presiden Indonesia menandatangani kesepakatan kedua dengan pihak IMF mengenai
bantuan yang akan diberikan untuk mengatasi krisis ekonomi. Kesepakatan atau yang
kemudian lebih dikenal dengan Letter of Intent (LoI) tersebut, menjadi legitimasi yang
kuat bagi IMF untuk terus terlibat dalam penentuan kebijakan ekonomi Indonesia.
Penutupan 16 bank tersebut ternyata hanya merupakan langkah awal dan sebagian kecil
dari program perbaikan dan stabilisasi ekonomi versi IMF. Dalam Letter of Intent kedua
yang telah disepakati pada tanggal 15 Januari 1998 tersebut, keterlibatan IMF dalam
perekonomian Indonesia nampak makin mendalam.
Letter of Intent atau yang dalam dokumennya dinamakan dengan Memorandum of
Economic and Financial Policies (MEFP) adalah sebuah kesepakatan bersama antara
pemerintah Indonesia dengan IMF. Kesepakatan ini sendiri setiap tiga bulan mengalami
revisi yang dilakukan oleh kedua pihak. Kesepakatan semacam ini tidak hanya dikenakan
pada Indonesia. Tetapi kesepakatan LoI ini merupakan perlakukan umum yang
diberlakukan oleh IMF kepada setiap negara yang menjadi “pasiennya”. Letter of Intent
ini pada umumnya merupakan hal-hal yang menjadi orientasi utama pemerintah negara
kreditor dalam kebijakan makroekonomi dan penanganan hutang untuk kemudian
diidentifikasi oleh IMF. Agar pada proses selanjutnya IMF dapat memberikan garis
kebijakan (policy guidelines) dan technical advice kepada pemerintah yang bersangkutan
dalam membenahi perekonomiannya. Proses identifikasi inilah yang kemudian sering
dikenal dengan nama “IMF Shadow Programme”.152 Bila dicermati, dalam kesepakatan tersebut ada 7 bidang yang menjadi inti dari
program pemulihan ekonomi Indonesia, yang diatur dalam kesepakatan ini. Pertama
adalah penyehatan kerangka makroekonomi. Ada 2 program yang menyangkut
penyehatan kerangka makroekonomi ini, yaitu pengendalian inflasi sampai 20% serta
penghapusan defisit transaksi berjalan menjadi surplus sehingga mampu digunakan untuk
pembayaran hutang. Kedua, revisi APBN, yang terdiri dari penekanan defisit anggaran
menjadi 1% dari produk domesti bruto (PDB) dan dimulainya pengurangan subsidi
energi minyak dan listrik. Ketiga, transparansi kebijakan fiskal. Misalnya dengan
152 Michael Chossudovsky, The Globalisation of Poverty, Impacts of IMF and World Bank Reform, Penang, Zed Books Ltd, 1997, hal:53.
104
memasukan dana-dana dan investasi (misal: dana reboisasi) yang sebelumnya merupakan
dana non-budgeter ke dalam RAPBN. Keempat, penanganan proyek swasta. Program ini
terdiri dari: pembatasan pengeluaran negara hanya untuk proyek-proyek yang dianggap
vital, penjadwalan kembali 12 proyek infrastruktur, penghentian pendanaan bagi IPTN
dan pencabutan berbagai previlege bagi proyek mobil nasional.
Kelima, pembenahan kebijakan moneter. Dalam pembenahan kebijakan moneter
ini Bank Indonesia menjadi relatif lebih otonom. BI juga diberi keleluasaan dalam
penetapan suku bunga. Selain itu juga diharapkan adanya dukungan dari pemerintah
dalam merger bank-bank, baik swasta maupun bank pemerintah. Keenam, restrukturisasi
sektor perbankan dan swasta. Dan ketujuh ialah restrukturisasi struktural. Ada beberapa
hal yang harus dibenahi berkaitan dengan restukturisasi struktural tersebut. Seperti
pembatasan monopoli yang dilakukan oleh Bulog, deregulasi perdagangan domestik
terutama produk pertanian, penghapusan berbagai bentuk kartel-kartel, penghapusan
peraturan tentang perdagangan grosir, pemotongan pajak produk pertanian dan
pemusatan perhatian pada usaha kecil terutama oleh Bank Pembangunan Asia.153
Meski telah menandatangani kesepakatan dengan pihak IMF, stabilitas ekonomi
yang terus melemah telah memunculkan ide baru tentang penerapan CBS (Currency
Board System) atau sistem dewan mata uang. Sebagai kelanjutannya Suharto sendiri telah
mengeluarkan idenya tentang program IMF plus. Karena ketidakjelasan tentang apa yang
dimaksud dengan “plus” tersebut, maka yang justru terjadi kemudian adalah munculnya
perdebatan tentang program apakah yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi krisis
yang mulai berkepanjangan tersebut. Di sisi lain dengan munculnya berbagai pemikiran
baru tersebut justru mendapat tanggapan negatif dari dunia internasional terutama AS dan
IMF, yang pada intinya menginginkan agar pemerintah Indonesia tetap konsisten dalam
menjalankan kesepakatannya dengan IMF. Dan sebagai tindak lanjutnya IMF sendiri
akhirnya menghentikan sementara bantuan yang akan diberikan.
Sementara itu kesepakatan dengan IMF tersebut bukannya tidak mendapat
tantangan dan reaksi negatif, terutama dari para pengusaha yang selama Orde Baru
terutama yang telah mendapat keuntungan besar dari sistem yang ada sebelumnya. Reaksi
153 “Isi Nota Kesepakatan IMF-Pemerintah Indonesia”, Kompas 16 Januari 1998. Lihat pula lampiran tentang LoI.
105
seperti itu nampaknya merupakan hal yang wajar. Karena dengan demikian berbagai
previlege yang sebelumnya banyak dinikmati para pengusaha tersebut akan segera hilang.
Sedang apabila para pengamat seringkali membagi periodesasi liberalisasi ekonomi
Indonesia menjadi tiga periode154, maka bagi penulis mungkin inilah saat dimulainya
liberalisasi ekonomi Indonesia periode keempat.
Kesalahan dalam penanganan krisis ekonomi ini nampaknya juga menjadi hal
yang perlu untuk dicermati lebih mendalam. Karena berlarutnya krisis ekonomi yang
dialami oleh Indonesia saat ini bukannya mustahil juga disebabkan adanya kesalahan
dalam teknis penanganannya. Hal Hill menunjuk setidaknya ada tiga persoalan yang
dapat dikatakan sebagai penyebab semakin parahnya krisis ekonomi Indonesia. Pertama
ialah adanya rentetan kesalahan kebijakan penanganan krisis. Dengan ditutupnya 16 bank
pada 1 November 1997, ternyata membawa dampak yang sangat luas dan fatal. Selain
implikasi yang ditimbulkannya, seperti telah dijelaskan sebelumnya, ketidakjelasan
kriteria mengapa sebuah bank sampai perlu dilikuidasi juga menjadi hal yang perlu untuk
dicermati secara lebih mendalam lagi. Meski demikian kemunculan persepsi bahwa
kebijakan penutupan 16 bank tersebut dan kesepakatan dengan IMF tanggal 31 Oktober
1997 sebagai usaha untuk tetap dapat melindungi bisnis keluarganya, secara langsung
juga berdampak pada makin menurunnya kepercayaan publik pada pemerintah.Celakanya
lagi penurunan tingkat kepercayaan tersebut makin bertambah ketika dalam kabinet yang
dibentuk Suharto muncul sejumlah nama kontroversial.
Persoalan kedua yang dianggap Hill sebagai indikator kesalahan atau kegagalan
manajemen krisis ialah masih banyaknya terjadi praktek-praktek KKN di dalam
pemerintahan. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa pada tahun-tahun terakhir kekuasaan
Orde Baru peran Suharto sebagai presiden di pemerintahan sangat dominan. Kekuasaaan
yang terlalu tersentralistis tersebut pada akhirnya melahirkan berbagai praktek-praktek
KKN terutama di lingkungan sekitar Suharto. Meluasnya praktek-praktek KKN inilah
yang kemudian sangat mempengaruhi makin merosotnya kepercayaan publik pada rezim.
Karenanya dapat dipahami ketika Suharto turun pada akhir 1997, maka sistem politik
yang ada sebelumnya secara cepat segera ambruk.
154 Lihat periodesasi liberalisasi ekonomi Indonesia oleh Hadi Soesastro “A Review…opcit.
106
Ketiga ialah keterlibatan pihak IMF. Keterlibatan pihak IMF dalam pemulihan
krisis ekonomi Indonesia menjadi faktor yang paling signifikan. Karena seperti telah
dijelaskan diatas, IMF dengan letter of intent-nya dapat dengan mudah untuk ikut serta
dalam penentuan kebijakan ekonomi Indonesia. Besarnya peran IMF dalam rangka
pemulihan kondisi ekonomi Indonesia pasca krisis, ternyata juga menyebabkan
munculnya pemikiran lain bahwa lambannya pemulihan ekonomi Indonesia ini tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari keterlibatan pihak IMF. Di satu sisi mungkin munculnya
pemikiran seperti diatas ada benarnya. Karena dengan prinsip one-size-fits-all (satu
ukuran untuk semua) seperti seringkali digunakan selama ini, bukan tidak mungkin akan
terjadi mis-diagnosis. Meski demikian bukan berarti hal tersebut kemudian membuat IMF
menjadi penyebab utama berlarutnya krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia. Karena
seperti juga telah disebutkan sebelumnya, banyak persoalan lain diluar persoalan
finansial semata yang juga menjadi penyebab mengapa krisis yang dialami Indonesia
menjadi berlarut. Misalnya saja dengan adanya situasi politik yang tidak stabil. Selain
ketiga hal tersebut, Hill juga menambahkan beberapa contoh penyebab lain mengapa
pemulihan krisis ekonomi di Indonesia dan Asia umumnya tidak secepat Meksiko. Ia
menambahkan persoalan-persoalan seperti fenomena alam El Nino, kerusuhan rasial pada
Mei 1998 dan Jepang yang juga tengah mengalami kesulitan finansial dengan
bangkrutnya sejumlah bank, merupakan penyebab lain lambannya pemulihan ekonomi
Asia. Sehingga sebagai akibatnya Jepang sebagai pemimpin ekonomi di Asia tidak dapat
banyak berbuat seperti apa yang telah dilakukan Amerika Serikat pada Meksiko di tahun
1994-95. 155
Persoalan lain yang juga patut menjadi perhatian kita dalam mencermati usaha
pemulihan ekonomi Indonesia ialah rekapitalisasi perbankan. Persoalan ini menjadi
penting karena parahnya krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia saat ini juga banyak
disebabkan oleh lemahnya sistem perbankan di masa lalu. Rekapitalisasi ini sendiri
menjadi sangat penting karena membaiknya sektor perbankan juga dapat dijadikan salah
salah satu indikator kembalinya kepercayaan bisnis yang telah hilang selama krisis
ekonomi terjadi. Karenanya dapat dipahami jika rekapitalisasi perbankan ini mendapat
perhatian serius dari pemerintah Indonesia dan IMF melalui kesepakatan yang telah
155 Lihat Hal Hill, The Indonesian…opcit, hal:70-80.
107
dibuat oleh kedua belah pihak. Lebih lanjut lagi, sebagaimana juga terjadi Thailand,
faktor hilangnya kepercayaan ini, terutama pasca penutupan 16 bank, juga merupakan
salah satu penyebab awal keruntuhan sektor finansial Indonesia.
Meski demikian, patut menjadi catatan bahwa dalam mencermati kasus
restrukturisasi perbankan ini ternyata usaha rekapitalisasi tersebut tidak lebih dari sekedar
memperpanjang umur bank-bank yang ada di Indonesia. Bank-bank yang kini mengalami
kebangkrutan akibat banyaknya kredit macet, membengkaknya jumlah hutang dan
sebagainya, kini dengan mengikuti program rekapitalisasi tersebut mendapat suntikan
modal dari pemerintah yang berupa obligasi. Tetapi hal tersebut bukan berarti bank-bank
tersebut serta merta langsung dapat beroperasi seperti sebelum krisis terjadi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa program rekapitalisasi tersebut akan terus dilakukan sampai bank-
bank tersebut bisa mendapat cash inflow dari masyarakat dan terutama kalangan bisnis.
2.2. IMF, World Bank dan Institusi Internasional Lain.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam proses pemulihan ekonomi ini,
Indonesia jelas tidak bisa lagi melepaskan keterlibatan masyarakat internasional. Telah
menjadi kebijakan pemerintah Indonesia, bahwa dalam program pemulihan dan
stabilisasi ekonomi ini akan melibatkan institusi-institusi internasional yaitu IMF dan
World Bank. Namun sebenarnya apakah IMF dan World Bank itu, sehingga diharapkan
mampu menjadi “dokter ekonomi” dalam mengatasi krisis ekonomi yang melanda
Indonesia?
IMF (International Monetary Fund) adalah sebuah lembaga keuangan
internasional yang dibentuk dengan bertujuan untuk memantau dan menstabilkan sistem
finansial internasional melalui penyediaan dana-dana jangka pendek guna menanggulangi
defisit neraca pembayaran suatu negara. Selain itu, seringkali dikatakan bahwa IMF
dibentuk untuk bertindak sebagai bank sentral bagi bank-bank sentral negara-negara
anggotanya.156 Dengan demikian ia (IMF) diharapkan dapat memberikan dukungan
finansial untuk menghindari persaingan mata uang akibat adanya devaluasi, yang dapat
menciptakan ketidakstabilan aliran dana internasional. Karenanya institusi keuangan
internasional yang terbentuk sebagai hasil konfrensi Bretton Woods ini, memiliki
156 Helen Hughes, “International Cronyism --the Role of the International Monetary Fund and the World Bank” dalam The Indonesian Quarterly, Vol:XXVII, no:3, 3rd Quarter, Jakarta, CSIS, 1999, hal:195.
108
pengaruh yang sangat besar dalam kebijakan makro ekonomi dan pengucuran dana-dana
pinjaman bagi suatu negara. Misalnya saja dalam memberikan pinjaman (hutang). IMF
seringkali mengaitkan bantuan yang akan diberikannya dengan prasyarat-prasyarat
tertentu, seperti mengharuskan negara-negara debitur mengikuti apa yang menjadi
kehendak pihak IMF. Karenanya pembiayaan yang berasal dari IMF tersebut bersifat
kondisional (bersyarat).157 Dengan kata lain bantuan hutang baru akan diberikan setelah
prasyarat-prasyarat yang terdapat dalam kesepakatan bersama tersebut telah dipenuhi.
Dan hal seperti inilah yang harus dialami oleh Indonesia.
“Pemaksaan kehendak” IMF melalui berbagai kesepakatan yang dibuatnya
bersama dengan negara-negara penghutang, bukannya tidak menghasilkan implikasi
negatif bagi negara-negara tersebut. Dengan berbagai kebijakan neoliberalisme dengan
dilandasi oleh falsafah laissez faire, IMF secara langsung atau tidak telah menciptakan
kondisi yang kondusif untuk terjadinya “economic genocide”. Selain itu, restrukturisasi
ekonomi dunia yang dilakukan berdasarkan petunjuk IMF, dimana akan menciptakan
kebijakan ekonomi yang lebih terbuka di seluruh dunia, disadari atau tidak secara teratur
juga telah menghancurkan kekuatan ekonomi nasional negara-negara tersebut. Karena
dengan semakin banyaknya negara dunia ketiga yang menerapkan kebijakan ekonomi
terbuka, bukannya mustahil bahwa yang terjadi justru adalah terciptanya sistem
perdagangan dunia yang semakin tidak seimbang. Dimana negara-negara dunia ketiga
sekali lagi berada pada posisi yang dirugikan.
Namun jika melihat kembali kepada awal pembentukannya, ada beberapa tujuan
umum yang menjadi dasar pembentukan institusi keuangan (IMF) ini, seperti tercakup
dalam Article 1 dari Articles of Agreement. Pertama, untuk dapat mengembangkan
kerjasama keuangan internasional yang berkelanjutan di dalam sebuah institusi yang
permanen. Dimana instutusi tersebut juga menyediakan alat konsultasi dan kerjasama
dalam memecahkan berbagai persoalan keuangan. Kedua, untuk memfasilitasi ekspansi
dan penyeimbang pertumbuhan perdagangan internasional, dan memberikan kontribusi
dalam peningkatan pendapatan dan membangun sumber-sumber produktif dari semua
negara anggota yang merupakan obyek utama kebijakan ekonomi. Ketiga, untuk
157, Michael P Todaro, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Jilid 2, Jakarta, Erlangga, 1998, hal:136-137.
109
meningkatkan stabilitas nilai tukar. Untuk memelihara posisi nilai tukar diantara tiap
anggota. Dan untuk mencegah terjadinya deprisasi. Keempat, untuk membantu dalam
pembentukan sebuah sistem pembayaran multilateral yang dapat diterima semua pihak
sehingga tidak menghambat pertumbuhan perdagangan dunia. Kelima, untuk
memberikan kepercayaan kepada tiap anggota dengan cara membuat sumber-sumber
(baca:pendanaan) yang dapat digunakan sewaktu-waktu sehingga dapat membantu
negara-negara yang sedang mengalami kesulitan dalam keseimbangan pembayaran tanpa
merusak kemakmuran yang telah ada. Keenam, dalam mempersingkat durasi dan
mengurangi tingkat disequilibirium pembayaran internasional tiap-tiap anggota.158
Tetapi persoalan yang muncul kemudian menunjukan bahwa peran IMF sebagai
sebuah institusi keuangan internasional menjadi makin terpinggirkan, terutama terhadap
negara-negara industri. Kemunculan berbagai kesepakatan baru diantara negara-negara
industri seperti G-7 dan G-3, nampaknya akan semakin meningkatkan jumlah kebijakan
makroekonomi internasional yang terbentuk tanpa melakukan koordinasi dengan pihak
IMF. Hal tersebut jelas dimungkinkan karena negara-negara tersebut memiliki sumber-
sumber keuangan lain yang bahkan cenderung lebih kuat dari IMF. Sebaliknya di negara-
negara dunia ketiga, terutama yang terkena krisis, tingkat ketergantungannya terhadap
badan internasional ini justru menunjukan peningkatan. IMF sendiri dalam menjalankan
fungsinya untuk menciptakan kestabilan ekonomi dunia nampaknya tidak bisa
melepaskan diri dari keterkaitannya dengan modal internasional. Percepatan akumulasi
modal internasional semenjak tahun 1970an yang ditandai dengan makin berkembangnya
fenomena Multi National Corporations (MNCs), ternyata di satu sisi telah pula
memberikan kontribusinya dalam penciptaan IMF sebagai alat penjamin keberlangsungan
akumulasi modal tersebut.
Selain IMF, badan dunia lain yang kini juga sangat berperan dalam membantu
memulihkan situasi ekonomi Indonesia ialah Bank Dunia (World Bank). Seperti juga
IMF, Bank Dunia juga merupakan sebuah institusi keuangan internasional yang terbentuk
dari konfrensi Bretton Woods tahun 1944. Dan jika IMF sering dikatakan sebagai bank
sentral internasional bagi bank-bank sentral negara-negara anggotanya, maka Bank Dunia
158 Graham Bird, IMF Lending to Developing Countries: Issues and Evidence, London, Routledge, 1995, hal:1-2.
110
dibentuk sebagai penyedia dana dan untuk membantu proyek-proyek yang mendukung
pembangunan. Untuk menjamin kelancaran pembayaran kembali bantuan-bantuan
tersebut, maka Bank Dunia memberikan dana-dananya pada pemerintah pusat.159 Meski
demikian sampai saat ini apa yang telah dilakukan oleh kedua institusi internasional
tersebut menjadi terkesan tidak efektif. Berbagai bantuan yang sering mereka berikan
nampaknya juga perlu dipertanyakan lagi. Apakah benar berbagai bantuan tersebut benar-
benar dapat membantu negara-negara di dunia --terutama negara-negara dunia ketiga--
dalam melaksanakan pembangunannya, atau justru sebaliknya, turut memberikan
kontribusinya dalam menciptakan kemiskinan baru di berbagai negara. Karena seringkali
dalam memberikan bantuannya, Bank Dunia menekankan kepada pihak penerima
bantuan agar mau mengikuti apa yang menjadi persyaratannya. Misalnya saja dalam
pembiayaan suatu proyek Bank Dunia mensyaratkan bahwa produk-produk yang akan
digunakan dalam proyek tersebut, harus merupakan barang-barang yang merupakan
produk dari salah satu negara donor yang sudah ditentukan oleh pihak Bank Dunia.
Selain itu tidak jarang pemerintah Indonesia pada akhirnya juga harus menyediakan dana
pendamping agar proyek tersebut dapat terus berjalan.
Di satu sisi memang benar jika dikatakan bahwa kedua badan internasional
tersebut telah berhasil menciptakan sebuah iklim investasi yang mendukung
terlaksananya perdagangan bebas. Namun di sisi lain, keberhasilan tersebut telah pula
membawa keduanya pada sikap yang berlebihan. Sikap yang berlebihan ini dapat
ditunjukan ketika bagaimana mereka turut serta dalam berbagai pembuatan kebijakan
ekonomi, seperti terlihat dalam berbagai kesepakatan yang dibuat antara IMF dan
Indonesia. Sehingga kesan yang muncul kemudian ialah keberhasilan mereka dalam
menciptakan perdagangan bebas tersebut merupakan sesuatu yang sangat dipaksakan.
Jadi seperti telah disebutkan diatas, bahwa ternyata IMF kini telah berkembang tidak
lebih dari sekedar menjadi fasilitator bagi kepentingan akumulasi modal. Bahkan dengan
terjadinya krisis ekonomi Asia ini akan semakin menunjukan kepada kita, bahwa mereka
telah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai penasehat reformasi ekonomi di
berbagai negara. Hal ini sekaligus pula memperlihatkan bahwa sebenarnya mereka tidak
lagi memainkan peran yang berguna bagi menciptakan stabilitas ekonomi Internasional.
159Helen Hughes, “International Cronyism…”, opcit, hal: 200.
111
Bukti lain dari kegagalan IMF dalam menciptakan kestabilan ekonomi dunia
sebenarnya juga sudah mulai tampak ketika kita kembali melihat pengalaman krisis
1980an yang menimpa negara-negara di kawasan Afrika dan Amerika Latin. Pada masa
itu terlihat bahwa pendapatan perkapita negara-negara di kedua kawasan itu justru
cenderung memperlihatkan penurunan lebih dari 70%. Seiring dengan itu terjadi pula
peningkatan jumlah pengangguran. Misalnya di Chili tingkat pengangguran meningkat
dari 10,4% pada tahun 1981 menjadi 15,4% pada tahun 1984.160 Berangkat dari berbagai
pengalaman tersebut, rasanya tidak mustahil bahwa hal yang sama juga akan dapat
menimpa perekonomian Indonesia di kemudian hari. Karena jika kita cermati berbagai
kesepakatan yang dibuat pemerintah Indonesia dengan IMF, nampaknya kecenderungan
untuk terciptanya hal-hal seperti dijelaskan diatas sangat besar.
2.3 IMF World Bank dan Patronase Bisnis Militer.
Terlepas dari berbagai kelemahan yang muncul di kemudian hari, persoalan yang
patut disadari di sini ialah, bahwa institusi-institusi keuangan internasional tersebut
memiliki kemampuan yang cukup besar untuk mengendalikan dan mempengaruhi
kebijakan ekonomi suatu negara. Dengan berbagai kesepakatan yang dibuatnya bersama
dengan pemerintah Indonesia, IMF dapat menentukan proyek-proyek mana saja yang
harus dihentikan atau diteruskan. Dengan kemampuan seperti itu, --setidaknya selama
krisis-- hampir dapat dipastikan bahwa pada akhirnya IMF juga yang akan menjadi
penentu segala kebijakan ekonomi di Indonesia, dimana termasuk di dalamnya mengenai
para pelaku bisnis dan ekonomi di Indonesia.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dengan falsafah laissez faire, IMF, World
Bank serta institusi-institusi ekonomi dan keuangan internasional lainnya, sangat
menginginkan ekonomi Indonesia benar-benar terbebas dari keterlibatan pihak negara.
Agar keinginan atau tujuan tersebut dapat tercapai, maka pihak IMF mempergunakan
momentum krisis ekonomi ini dengan secara langsung telah memaksa pihak Indonesia
untuk menghilangkan intervensi pihak negara melalui letter of intent yang dibuatnya
tersebut. Hal tersebut jelas akan menjadi sangat berpengaruh pada bisnis-bisnis yang
telah ada selama ini, terutama dalam kaitannya dengan keberadaan patronase bisnis.
160 Khosrow Doroodian, “IMF Stabilization Policies in Developing Countries: A Disaggregated Quantitative Analysis”, dalam International Economic Journal, Vol. 8 No.4 Winter 1994.
112
Negara melalui para aparatnya yang selama ini telah bertindak sebagai patron bagi bisnis-
bisnis yang ada di Indonesia, pada masa pasca Orde Baru ini tampak tidak lagi dapat
berbuat banyak. Tidak adanya dukungan finansial yang cukup kuat juga telah
menempatkan posisi negara pada posisi yang kian melemah. Dalam hal ini negara telah
dipaksa untuk tidak lagi dapat mempergunakan otonomi relatif yang sebelumnya
dimiliki, serta menyerahkan semuanya pada mekanisme pasar.
Terjadinya hal yang demikian ini jelas akan sangat berpengaruh pada praktek-
praktek patronase bisnis. Negara yang telah kehilangan otonomi relatifnya tadi jelas tidak
akan mampu lagi untuk memberikan berbagai kemudahan seperti proteksi, tax holiday,
atau bentuk-bentuk kemudahan lainnya kepada para pengusaha. Sebaliknya negara kini
justru semakin mendapat tekanan untuk tidak lagi banyak terlibat dalam persoalan-
persoalan ekonomi dan bisnis. Hilangnya otonomi relatif ini juga berarti ancaman bagi
kegiatan para pejabat negara dan birokrasi yang selama Orde Baru telah menjadi
pemburu-pemburu rente. Sebab para pemburu rente yang dahulu dengan mudah
mempergunakan dan mengekploitasi kekuasaan politik dan aset-aset negara demi
kepentingan pribadinya, nampaknya pada masa pasca krisis ini kegiatannya tersebut
menjadi terancam. Meski demikian tidak berarti bahwa dengan diserahkannya kegiatan
ekonomi dan bisnis pada mekanisme pasar serta merta akan menghilangkan kebiasaan
buruk itu. Meski demikian, sampai di sini yang dapat kita tarik sebagai garis merahnya
ialah, bahwa pada masa-masa berikutnya negara tidak banyak berbuat sekalipun hanya
sebatas penyeimbang kekuatan ekonomi.
Lebih lanjut lagi hilang atau melemahnya otonomi relatif ini juga berarti ancaman
baru bagi konglomerasi yang pernah ada di masa Orde Baru. Konglomerasi yang
dibangun juga melalui praktek-praktek patronase bisnis ini selain juga disebabkan oleh
adanya krisis ekonomi regional, juga turut runtuh seiring dengan kejatuhan rezim Orde
Baru. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa tidak akan ada patronase bisnis yang kekal
dalam sebuah kerangka ekonomi yang makin liberal. Namun persoalannya di Indonesia
praktek patronase bisnis ini tidak hanya dilakukan oleh pengusaha. Tetapi juga dilakukan
oleh institusi atau alat negara itu sendiri, seperti apa yang dilakukan oleh militer.
Di dalam bab 3 telah digambarkan bagaimana di masa Orde Baru praktek
patronase bisnis militer ini dijalankan dan dikembangkan dengan banyak melibatkan
113
kekuasaan politik. Sehingga ketika muncul tuntutan untuk mereduksi --bahkan kalau bisa
menghapuskan-- keterlibatan pihak negara di dalam perekonomian Indonesia, maka
keberadaan praktek-praktek patronase bisnis militer ini rasanya perlu kembali untuk
dikaji. Bila dicermati secara lebih mendalam, memang benar bahwa ada kepentingan dan
alasan pertimbangan non-komersial lainnya yang menjadikan patronase bisnis militer ini
muncul di masa Orde Baru. Namun yang menjadi persoalannya sekarang adalah apakah
pihak internasional mau menerima alasan-alasan tersebut? Tetapi yang pasti
bagaimanapun juga pada akhirnya militer Indonesia harus kembali diletakan pada posisi
utamanya, yaitu sebagai alat negara di bidang pertahanan.
Namun dengan semakin lemahnya posisi Indonesia di hadapan lembaga-lembaga
internasional tersebut di masa pasca Orde Baru ini, serta mengingat berbagai kemampuan
yang dimiliki oleh mereka, tidak mustahil apabila pada akhirnya mereka akan menuntut
dihapusnya keterlibatan militer di dalam dunia bisnis melalui berbagai kesepakatan yang
dibuat bersama dengan pemerintah Indonesia. Nasib seperti yang telah dialami oleh
proyek mobil nasional atau IPTN rasanya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
terus mempertahankan praktek patronase bisnis militer tersebut. Kalau benar praktek
patronase bisnis militer ini akan dihapuskan, lantas bagaimana dengan persoalan
anggaran militer Indonesia yang seringkali dianggap kurang memadai dan merupakan
alasan utama munculnya fenomena ini. Di dalam konsep militer profesional yang
berkembang saat ini, militer benar-benar diletakan pada porsi utamanya, yaitu sebagai
alat negara dalam bidang pertahanan. Sehingga kalau selama ini militer Indonesia telah
berkembang menjadi kekuatan dominan diluar kekuatan pertahanan, maka jelas bahwa
selama Orde Baru militer Indonesia bukan merupakan institusi militer yang profesional.
Munculnya militer sebagai sebuah kekuatan ekonomi politik melalui bisnis-bisnis yang
dijalankannya, pada akhirnya justru menjadi bukti yang memperkuat tuduhan dan
anggapan tentang tidak profesionalnya institusi militer di Indonesia selama ini.
Ketika muncul desakan untuk membangun militer yang profesional, persoalan
anggaran akan segera menjadi salah satu bahan pertimbangan utama. Karena, alasan tidak
adanya anggaran militer yang dianggap cukup memadai itulah yang seringkali terlontar
ketika muncul perdebatan tentang keberadaan bisnis militer. Oleh sebab itu penting pula
kiranya untuk melihat sejauh mana implikasi yang kemudian muncul, apabila hendak
114
meniadakan lagi praktek-praktek bisnis militer. Pihak-pihak seperti IMF, Bank Dunia
atau lembaga-lembaga internasional lainnya secara sepintas mungkin terlihat tidak
memiliki kepentingan dan keterkaitan langsung dengan anggaran militer Indonesia.
Tetapi pada kenyataannya di lapangan yang terjadi adalah justru sebaliknya. Mereka
menjadi sangat peduli dalam mencermati penggunaan dana pinjaman mereka yang
digunakan dalam bidang pertahanan dan keamanan, terutama dalam kaitannya dengan
isu-isu internasional seperti demokratisasi dan hak azazi manusia (HAM). Dari sini akan
terlihat bahwa pada kenyataannya ada keterkaitan secara langsung antara lembaga-
lembaga keuangan internasional dengan anggaran militer.161
Jika demikian halnya, bagaimana dengan nasib bisnis-bisnis militer yang banyak
dijalankan oleh koperasi atau yayasan-yayasan seperti yayasan Kartika Eka Paksi. Dari
penjelasan sebelumnya setidaknya kita telah memahami bagaimana yayasan ini
menjalankan unit-unit bisnisnya. Mereka seperti umumnya bisnis militer di masa Orde
Baru juga telah banyak melibatkan para perwiranya terutama yang duduk di birokrasi dan
pejabat politik lainnya untuk melancarkan bisnisnya. Kalau kemudian di masa pasca Orde
Baru ini keterlibatan negara dalam ekonomi terus dicoba untuk direduksi, maka ini juga
berarti persoalan baru bagi bisnis-bisnis tersebut. Apalagi hal ini masih ditambah dengan
makin gencarnya tuntutan untuk mengakhiri peran militer di bidang politik.
Bisnis militer yang sejak awalnya merupakan sebuah usaha atau upaya
pemenuhan anggaran yang kurang, nampaknya akan lebih banyak memiliki persoalan
dibandingkan dengan bentuk patronase bisnis lainnya. Tumbuh dan berkembangnya
militer sebagai salah satu kekuatan ekonomi politik, yang ditandai dengan makin
maraknya bisnis militer di masa Orde Baru, ternyata telah pula mengakibatkan
pembangunan ekonomi yang dilakukan selama Orde Baru menjadi tidak sehat. Karena
disadari atau tidak, keberadaan bisnis militer juga telah ikut merangsang pembentukan
kelas-kelas kapital domestik yang tidak mandiri. Dengan adanya bisnis militer tersebut,
maka banyak dari kalangan pengusaha yang kemudian melakukan “kerjasama” agar
mereka dapat dengan mudah memperoleh berbagai kemudahan dalam melakukan
akumulasi modalnya.
161 Lihat pula rekomendasi yang diberikan pemerintah AS dalam Financing Military Rule: The Clinton Administration, The World Bank, and Indonesia; A Research Report by the Project on Demilitarization and Democracy, released April, 19, 1994, hal:4 dan hal:16-18.
115
Tetapi dengan adanya kesepakatan antara Indonesia dengan IMF, dimana dalam
kesepakatan tersebut juga dituntut adanya transparansi kebijakan ekonomi terutama dana-
dana non-budgeter ke dalam APBN. IMF dan World Bank sendiri telah meminta kepada
Departemen Pertahanan untuk segera mengaudit dana-dana tersebut.162 Bagi terutama
bisnis militer sebagai salah satu penyedia dana non-budgeter bagi militer, hal ini juga
dapat diartikan sebagai sebuah tantangan. Sebab hal ini juga akan dijadikan salah satu
indikator keseriusan pihak pemerintah, terutama militer untuk melakukan reformasi
internalnya. Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya sudah terlalu banyak kepentingan
yang bermain di dalam bisnis militer tersebut. Sehingga jika dana non-budgeter ini akan
dihapuskan (dimasukan ke dalam RAPBN), maka tentu akan banyak mendapat tentangan.
Terutama dari kalangan militer sendiri, maupun pihak-pihak lain di luar militer yang
sebelumnya telah banyak diuntungkan oleh keberadaan bisnis militer.
Jika pemerintah atau dalam hal ini Departemen Pertahanan tidak mampu
melaksanakan permintaan tersebut, maka hal ini akan berpengaruh pada program
perbaikan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Karena Indonesia bisa saja
kemudian dianggap tidak dapat melakukan transparansi dalam kebijakan ekonominya,
yang berarti pula tidak adanya komitmen untuk melaksanakan LoI. Padahal sebagaimana
telah diketahui, kebijakan ekonomi yang transparan adalah salah satu cara untuk kembali
membangun kepercayaan para investor.
Sebenarnya hal seperti diatas bukan merupakan persoalan yang baru. Dengan
rekomendasi pihak AS, pihak World Bank sebenarnya juga telah lama menginginkan
penghapusan keterlibatan militer dalam politik dan ekonomi. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, dalam salah satu rekomendasi tersebut mereka meminta agar militer
Indonesia segera mengakhiri keterlibatannya (baik secara individual dan institusi) dalam
berbagai perusahaan baik yang merupakan milik negara maupun milik swasta.163 Dengan
adanya tuntutan dan tekanan seperti ini, akan semakin mempertegas bahwa keberadaan
praktek patronase bisnis militer harus segera diakhiri. Namun persoalannya sekarang
ialah bahwa posisi negara Indonesia secara ekonomi sangat lemah dan sangat
mengharapkan bantuan dari pihak asing. Hal ini jelas akan sangat berpengaruh pada
162 “Bank Dunia dan IMF Minta Dana Nonbujeter TNI Diaudit”, Kompas, 2 Juni 2000. 163 Ibid.
116
APBN, terutama bagi anggaran pertahanan. Dalam periode anggaran April-Desember
2000, nilai anggaran pertahanan hanya Rp 10,9 trilyun atau 5,5% dari keseluruhan nilai
APBN yang berjumlah Rp 198 trilyun. Dengan jumlah ini anggaran pertahanan Indonesia
dinilai sebagai jumlah terendah di ASEAN. Dengan anggaran sekecil ini hanya dapat
memenuhi kebutuhan antara 25-30%.164 Selain itu untuk melakukan operasi di daerah-
daerah rawan kerusuhan Dephan telah menerima anggaran belanja tambahan sebesar Rp
500 miliar. Di mana di dalamnya termasuk pengiriman batalyon tambahan ke Ambon
yang besarnya Rp 4 miliar per batalyon.165
Rendahnya anggaran pertahanan tersebut bukan berarti dapat diartikan sebagai
sebuah alasan bagi keberlangsungan praktek bisnis militer. Bisnis militer sebagai salah
satu bentuk praktek patronase bisnis tetap harus dihapuskan, meki itu harus dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi negara. Karena sudah terlalu banyak
implikasi yang ditimbulkan dari adanya bisnis militer, baik secara politik maupun
ekonomi. Secara politik hal ini akan sangat berkaitan dengan keterlibatan militer dalam
politik. Sebab seperti telah banyak disebutkan sebelumnya, hampir semua praktek bisnis
militer dilakukan dengan didukung oleh para perwiranya yang duduk dalam
pemerintahan dan birokrasi. Sementara secara ekonomi, adanya bisnis militer juga telah
membentuk kelas-kelas pengusaha domestik yang tidak mandiri (kapitalis semu). Hal ini
dikarenakan banyak dari pengusaha domestik yang memanfaatkan bisnis militer ini untuk
dengan mudah memperoleh akses-akses ekonomi maupun politik.
3. Globalisasi dan Mobilitas Modal Internasional
3.1 Perkembangan Modal Internasional
Pasca perang dunia II, merupakan masa dimana ekonomi dunia mengalami
pertumbuhannya secara pesat. Munculnya negara-negara baru di sisi lain ternyata juga
turut memberikan kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi --terutama perdagangan--
internasional. Karena seiring dengan munculnya negara-negara baru tersebut, maka
164 Meski demikian selain dari APBN, pihak militer dan polisi juga telah menerima Anggaran Belanja Tambahan (ABT) sebesar RP 500 milyar dari Departemen Keuangan dan Bapenas untuk membiayai operasi-operasi di daerah rawan. Lihat “Anggaran TNI dan Polri RP 10,9 Trilyun”, Kompas 24 Mei 2000. 165 Tempo interaktif, 23-Mei-2000. http//www.tempo.co.id
117
tercipta pula pasar-pasar baru bagi produk-produk yang dihasilkan oleh negara-negara
industri. Dan Asia merupakan pasar terbesar bagi produk-produk tersebut.
Ekspansi modal (capital) di seluruh dunia sebenarnya telah lama dimulai. Jika
melihat kembali pada sejarahnya, ekspansi modal sebenarnya telah terjadi semenjak abad
ke-18. Ketika itu negara-negara di Eropa yang mengalami surplus produksi mulai
menunjukan kebutuhan akan adanya perluasan pasar. Semenjak itu dimulailah praktek-
praktek imperialisme dan kolonialisme di berbagai daerah Asia, Afrika dan bahkan
Amerika. Dan nampaknya selain kebutuhan akan pasar, perebutan untuk mendapatkan
bahan-bahan mentah juga menjadi pertimbangan lain terjadinya imperialisme dan
kolonialisme.
Dalam perkembangannya sebagai sebuah kekuatan ekonomi internasional, kini
nampaknya pergerakan modal tidak dapat lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia dapat
dengan leluasa bergerak ke mana saja tanpa lagi harus menggantungkan lagi pada
kekuatan lain. Sebaliknya, justru kekuatan-kekuatan lain seperti kekuatan politik (negara)
dan sosial yang memiliki “ketergantungan” padanya. Tingginya tingkat independensi
yang dimiliki oleh kekuatan modal transnasional tersebut di satu sisi, mengakibatkan
makin lemahnya posisi negara-negara dunia ketiga untuk dapat mendatangkan modal-
modal tersebut ke negara-negara mereka. Selain itu persoalan klasik yang seringkali
muncul ialah stabilitas politik. Persoalan stabilitas politik ini menjadi signifikan karena
pada umumnya para pemilik modal baru mau masuk untuk berinvestasi apabila ada
jaminan stabilitas politik dari negara.
Semenjak tahun 1970an, di dunia berkembang sebuah fenomena yang dikenal
dengan nama transnational corporation (TNC), atau yang kemudian lebih dikenal
dengan multinational corporations (MNCs). Kemunculan fenomena tersebut di satu sisi
merupakan salah satu indikator dari globalisasi ekonomi dunia. Proses globalisasi itu
sendiri makin berkembang setelah pada awal abad ke 20 terjadi perkembangan yang pesat
dalam teknologi transportasi, elektronika dan komunikasi. Selain itu, tuduhan dari para
kelompok pecinta lingkungan yang menyatakan bahwa pabrik-pabrik mereka merupakan
penyebab utama terjadinya polusi, juga menjadi penyebab lain berkembangnya
perusahaan-perusahaan multinasional tersebut.
118
Sedangkan dilihat dari sisi ekonomi, globalisasi makin terpacu setelah adanya
peningkatan proteksi dunia dan berkembangnya sistem kurs mengambang sejak awal
tahun 1970an. Oleh karenanya globalisasi ini juga dijadikan instrumen bagi para pemodal
transnasional untuk dapat menembus berbagai proteksi tersebut. Selain sebagai
penghancur tembok proteksi, globalisasi juga dapat diartikan sebagai strategi dari
perusahaan multinasional untuk dengan mudah melakukan penetrasi pasar dan membuka
akses-akses bahan baku dan berbagai faktor produksi lainnya. Sehingga diharapkan dapat
menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Sementara itu di lain pihak globalisasi oleh
Ankie Hoogvelt dapat dipandang sebagai sebuah bentuk baru dari core-periphery
relations di dalam sistem ekonomi dunia.166
Seperti telah diangkapkan diatas perusahaan-perusahaan multinasional yang
merupakan subyek utama dari globalisasi tersebut, mengalami pertumbuhan yang pesat
pada masa 1950-1970an. Bahkan sedikit lebih cepat dari rata-rata GDP negara-negara
asal investasi. Namun demikian, dapat dicirikan bahwa ada perubahan arah dari
perkembangan atau aliran foreign direct investment pada pasca PD II dari negara
periphery ke negara pusat (core). Sebagai contoh dapat dilihat bahwa semenjak masa
kolonial sampai 1960 negara-negara dunia ketiga menerima separuh dari keseluruhan
aliran investasi langsung tesebut. Hal ini terus turun sampai 1/3 pada tahun 1966, dan
sampai seperempat pada tahun 1974. 1988-89 investasi tersebut terus turun sampai
16,9%. Sisa dari investasi langsung tersebut, mengalir ke Asia bagian Timur, Selatan, dan
Tenggara.167
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata Cina dengan jumlah penduduknya
yang besar terutama dengan kedelapan propinsi pantai (kesemuanya berada di selatan)
utamanya ditambah Beijing, Cina saat ini telah berkembang menjadi negara terbesar
penerima investasi langsung tersebut. Bila jumlah populasi di kesembilan daerah di Cina
ini ditambahkan dengan populasi di 10 negara berkembang yang terpenting, terlihat
bahwa 14% dari keseluruhan populasi dunia menerima 16,5% dari keseluruhan investasi
langsung tersebut. Meski demikian hal yang mengejutkan dari perkembangan investasi
langsung global ini ialah, bahwa ternyata secara keseluruhan hanya 2/3 dari total populasi
166 Ankie Hoogvelt, Globalization and The Postcolonial World: The New Political Economy of Development, Baltimore, Maryland, The John Hopkins University Press, 1997. 167 Ibid, hal 77.
119
dunia yang telah menerima keuntungan dari adanya foreign direct investment (FDI)
tersebut.168
Dalam perkembangan ekonomi dunia saat ini, selain bentuk investasi langsung
seperti telah dijelaskan diatas juga berkembang bentuk-bentuk investasi tidak langsung
(indirect investment). Bahkan trend yang berkembang saat ini menunjukan bahwa
bentuk-bentuk investasi tidak langsung seperti pinjaman komersial, pinjaman resmi
(official loans), hibah dan hutang bank cenderung menunjukan peningkatan. Munculnya
pasar modal atau bursa efek serta komoditas di beberapa negara, merupakan indikator
lain dari berkembangnya investasi tidak langsung tersebut. Derasnya aliran, arus atau
perputaran investasi tidak langsung di dunia pada saat ini menyebabkan timbulnya
kesulitan dalam melacak dari mana investasi tersebut berasal. Bahkan dengan data
statistik sekalipun. Apalagi mengenai jumlah keseluruhan transaksi internasional yang
terjadi di seluruh dunia sampai tingkat individual.
Perkembangan yang pesat dari modal transnasional ini pada akhirnya membawa
sistem perdagangan dunia kepada sebuah sistem yang berupaya untuk menghapuskan
berbagai hambatan yang seringkali muncul. Hambatan yang seringkali muncul tersebut
ternyata lebih banyak sebagai sebuah hambatan yang distilahkan sebagai hambatan non-
tarif. Untuk itu, maka negara-negara di dunia kemudian berupaya untuk menghapuskan
segala bentuk hambatan non tarif (non-tarrif barriers) tersebut. Salah satu upayanya ialah
dengan membuat kesepakatan diantara mereka untuk membentuk sebuah badan
perdagangan dunia, yang kemudian dikenal dengan nama World Trade Organization
(WTO). Organisasi ini sendiri dalam pembentukannya merupakan kelanjutan (pengganti)
dari keberadaan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang telah ada
sebelumnya. Untuk mengatasi berbagai hambatan dalam perdagangan dunia ini juga,
beberapa negara telah melakukan beberapa kali pertemuan. Dimana telah menjadikan
pertemuan putaran Uruguay (Uruguay Round) sebagai titik penting dalam kesepakatan
penghapusan hambatan tarif dan non tarif.
Pembentukan organisasi perdagangan dunia serta blok-blok perdagangan regional
di berbagai kawasan, juga berfungsi untuk mencegah terjadinya pemungutan pajak
berganda. Negara-negara anggota dari organisasi-organisasi tersebut secara bersama
168 Ibid.
120
memberlakukan tingkat tarif yang sama terhadap produk-produk impor, dan secara
bertahap menghapuskannya. Dengan demikian tercipta kawasan-kawasan perdagangan
bebas atau yang lebih dikenal dengan free trade area. Namun kemudian persoalannya
ialah tidak sedikit dari negara-negara dunia ketiga yang telah tergabung ke dalam
organisasi atau lembaga-lembaga tersebut. Padahal kita tahu bahwa tidak semua dari
blok-blok perdagangan regional dan dunia tersebut yang hanya beranggotakan negara-
negara berkembang. Sehingga jika tidak berhati-hati bukannya tidak mungkin kalau
pengintegrasian negara-negara dunia ketiga di dalamnya justru menjadi bumerang
ekonomi bagi mereka. Sebaliknya, ketika negara-negara dunia ketiga tersebut
mengintergrasikan dirinya ke dalam sebuah lembaga atau organisasi serupa dengan lebih
sedikit melibatkan negara-negara maju di dalamnya, maka hal tersebut dapat dijadikan
instrumen yang efektif untuk mencegah bentuk-bentuk perdagangan dengan negara-
negara maju yang seringkali bersifat eksploitatif dan mengancam keberadaan industri
domestik mereka.
3.2 Modal Asing dan Pemulihan Ekonomi Indonesia
Dalam awal bab 3 telah dijelaskan bagaimana modal asing menjadi sebuah
kekuatan utama dalam membangun kembali perekonomian Indonesia di bawah Orde
Baru. Pemerintah rezim Orde Baru di bawah Jendral Suharto yang saat itu hendak
memprioritaskan untuk melakukan pembenahan di bidang ekonomi, segera saja
mengeluarkan berbagai kebijakan yang pada intinya mempermudah keterlibatan modal
asing di dalam perekonomian Indonesia. Sehingga akhirnya kita mengenal apa yang
dinamakan dengan UU penanaman modal asing (PMA) tahun 1967.
Ketika Indonesia kembali dihadapkan pada sebuah krisis ekonomi yang cukup
parah di akhir 1990an, nampaknya modal asing diharapkan dapat kembali menjadi
“pahlawan” bagi pemulihan perekonomian Indonesia. Sebagai sebuah kekuatan
transnasional, keterlibatan modal asing dalam upaya pemulihan keadaan ekonomi
Indonesia menjadi sangat signifikan. Karena dengan masuknya kembali modal asing,
diharapkan akan kembali memberikan pemasukan bagi negara. Sehingga pada akhirnya
akan kembali menggerakan perekonomian Indonesia yang sempat terhenti di saat krisis.
Signifikansi modal asing dalam perekonomian Indonesia sebenarnya juga sudah dapat
terlihat ketika krisis ekonomi mulai terjadi. Menjelang terjadinya krisis nampak terjadi
121
penurunan jumlah investasi asing yang masuk ke Indonesia. Dalam laporan yang
dikeluarkan oleh BKPM tercatat bahwa nilai investasi asing antara 1 Januari-15 Juli 1997
hanya mencapai US$16.161,7 juta. Sedangkan pada periode yang sama tahun 1996 nilai
investasi asing yang masuk mencapai US$21.512,1 juta (lihat tabel IV.1).169
Tabel IV.1
Ikhtisar Perkembangan Persetujuan
Penanaman Modal Asing
Uraian 16 Juni-15
Juli 1997
1 Jan- 15
Juli 1997
1 Jan-15
Juli 1996
1967/1968
s/d 15 Juli 199
Perbandingan
3 dan 4
dalam (%)
1 2 3 4 5 6
1.Jumlah Proyek
55
428
611
5.221
70
2.Nilai investasi (US$ Juta) 1.334,3
16.161,7
21.512,1
185.968,1
75,1
3.Tenaga Kerja
a.TKI
b.TKA
16.405
535
121.799
4.365
224.282
6.044
2.934.295
81.463
54,3
72,2
4.Proyek berorientasi ekspor
a.Jumlah proyek
b.Nilai investasi (US$ Juta)
c.Potensi nilai ekspor (US$
Juta)/ tahun
28
908,0
440,5
217
11.292,2
6.799,8
346
12.252,7
6.855,8
3.172
104.929,9
76.616,2
62,7
92,2
99,2
Sumber: Lampiran IA, Laporan Perkembangan Penanaman Modal BKPM Sampai Juli 1997.
169 Laporan Perkembangan Modal BKPM sampai Juli 1997.
122
Begitu besarnya ketergantungan Indonesia pada modal asing untuk memulihkan
situasi ekonominya, telah menempatkan posisi pemerintah Indonesia dalam posisi yang
dilematis. Di satu sisi pemerintah Indonesia mengharapkan investasi asing dapat kembali
masuk untuk dapat memutar kembali perekonomiannya. Sementara di sisi lain
pemerintah juga dihadapkan pada persoalan, bahwa krisis yang dialami oleh Indonesia
telah meruntuhkan sebagian besar kelompok-kelompok bisnis yang ada. Sehingga apabila
para investor asing tersebut telah kembali masuk, bukan mustahil jika pada akhirnya
nanti seluruh sektor bisnis dan ekonomi Indonesia akan dikuasai oleh para investor asing. Masuknya investasi asing pada dasarnya selain dapat berfungsi sebagai penambah
pemasukan bagi negara, juga dapat digunakan sebagai alat pendorong peningkatan
kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship) para pengusaha domestik. Namun sekali
lagi, persoalan yang ada selama ini adalah bahwa ternyata banyak dari pengusaha
Indonesia yang kurang bahkan tidak memiliki kemampuan tersebut. Sebab selama
puluhan tahun kebanyakan dari mereka telah dimanjakan dengan berbagai kemudahan
dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Sehingga dengan masuknya investasi asing
pasca krisis ini, kita tidak lagi hanya sekedar meningkatkan kemampuan kewirausahaan
tersebut, tetapi lebih jauh lagi kita harus mulai kembali membentuk kemampuan seperti
itu dikalangan pengusaha.
Meski negara telah kehilangan otonomi relatifnya, dengan masuknya modal asing
ke Indonesia hal ini tidak berarti bahwa para pejabat negara atau para birokrat juga akan
kehilangan kesempatan untuk menjadi pemburu rente. Sebab kalau tidak hati-hati hal ini
akan dapat melahirkan bentuk lain dari patronase bisnis, yang pada intinya tetap
didasarkan pada praktek-praktek korupsi dan kolusi. Sikap kehati-hatian ini perlu untuk
terus dikembangkan karena bagaimanapun juga tidak sedikit aset nasional yang masih
berada dibawah pengawasan dan pengendalian negara. Sehingga ketika hendak
mengekploitasinya diperlukan izin khusus.
Di negara manapun di dunia ini institusi militer bukan merupakan institusi bisnis
yang profesional. Jadi ketika militer tersebut turut serta didalam kegiatan bisnis, maka
dalam pengelolaan bisnisnya-pun menjadi tidak profesional. Ketika kasus ini terjadi di
Indonesia, bisnis militer yang berkembang adalah praktek-praktek bisnis yang seringkali
melibatkan kekuasaan-kekuasaan politik Selain itu bisnis militer yang telah menjadi
123
“bagian” dari pelaku ekonomi dan bisnis nasional Orde Baru tersebut, juga telah
menikmati berbagai fasilitas lain dari pemerintah. Sehingga setelah Orde Baru runtuh,
maka kemampuan kewirausahaan dari bisnis militer juga akan menjadi sebuah
pertanyaan besar. Modal asing yang telah menjadi faktor penting--dan terus bertambah
penting-- dalam perekonomian Indonesia pasca Orba, nampaknya tidak akan mau
dirugikan dengan masih adanya praktek-praktek bisnis semacam ini. Sehingga pada
akhirnya akan memunculkan persoalan baru tentang nasib dari bisnis militer ini. Agar
dapat memahaminya, perlu kiranya kita kembali melihat latar belakang dari kemunculan
bisnis militer tersebut.
Berbagai uraian sebelumnya secara jelas menyebutkan bahwa alasan yang
seringkali dilontarkan oleh pihak militer ketika ditanyakan tentang keberadaan dari bisnis
ini adalah keterbatasan dana, terutama untuk peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan
sebagian dana oprasional non-budgeter. Namun dalam kenyataannya selama bertahun-
tahun dengan adanya praktek bisnis militer tersebut, telah mengakibatkan institusi militer
berkembang tidak lebih dari sekedar sebuah institusi komprador ekonomi. Adanya hal
yang demikian ini jelas akan menimbulkan kesan yang buruk kepada para investor asing.
Bila diperhatikan, adanya praktek bisnis militer di satu sisi dan modal asing di lain pihak
juga akan menimbulkan kesan adanya kebijakan yang ambivalen dari pemerintah. Namun
dalam konteks skripsi ini menurut penulis persoalan utamanya tidak terletak pada
kebijakan yang ambivalen tersebut, tetapi pada bagaimana meletakan bisnis militer di
dalam sebuah kerangka kebijakan ekonomi yang lebih liberal. Sebab jelas di dalam
sebuah negara dengan kebijakan ekonomi yang liberal, tentangan terhadap praktek-
praktek bisnis dengan banyak melibatkan institusi negara akan semakin besar.
Berkembangnya militer sebagai sebuah institusi komprador ini tidak mustahil
akan dapat menjadi salah satu penghambat program perbaikan ekonomi Indonesia. Sebab
hal ini akan memberi kesan kepada para investor bahwa pemerintah Indonesia tidak
serius dalam menjalankan reformasi ekonominya. Sehingga pada akhirnya investor
menjadi segan untuk menamkan investasinya di Indonesia. Padahal kita tahu bahwa
negara Indonesia pasca krisis sangat mengharapkan investasi asing mau kembali masuk
dan menanamkan modalnya di Indonesia. Dari sini perlu kembali kita pertimbangkan
apakah bisnis militer tersebut perlu terus diadakan atau tidak.
124
Jika kita hendak meneruskan keberadaan bisnis militer ini yang juga perlu
kemudian kita lihat adalah profesionalitas dari institusi militer Indonesia. Hal ini menjadi
penting karena selama Orde Baru ini keberadaan bisnis militer tersebut merupakan
sebuah indikasi dari tidak profesionalnya militer di Indonesia. Militer yang telah banyak
terlibat dalam bidang-bidang ekonomi, bisnis, sosial dan politik telah melupakan peran
utamanya sebagai alat negara di bidang pertahanan.
Sementara itu jika hendak menghapuskan keberadaan bisnis militer ini, persoalan
anggaran-lah yang perlu menjadi bahan pertimbangan. Pembentukan militer Indonesia
menjadi sebuah institusi militer yang profesional tentu bukan persoalan yang mudah.
Diperlukan kearifan dari rezim yang berkuasa untuk dapat memberikan anggaran yang
cukup bagi militer Indonesia. Tetapi persoalannya kondisi ekonomi dan finansial yang
dimiliki negara saat ini sangat tidak memungkinkan hal tersebut dilakukan. Sehingga
diperlukan jalan pemecahan lain yang dapat menjadikan militer Indonesia profesional,
namun tidak juga menambah persoalan keuangan pemerintah. Mungkin untuk sementara
waktu bisnis militer ini bisa tetap dipertahankan. Setidaknya sampai persoalan utama dari
ekonomi Indonesia terselesaikan. Namun selama itu bukan berarti restrukturisasi institusi
militer tidak dilakukan. Hal tersebut perlu terus dilakukan, hingga pada akhirnya
diharapkan begitu bisnis militer ini dihapuskan telah pula terbentuk sebuah organisasi
atau institusi kemiliteran yang lebih efektif dan profesional.
Jadi, dari berbagai penjelasan dalam bab ini secara keseluruhan kita akan melihat
bahwa ada sebuah rangkaian peristiwa dan perubahan yang saling berkaitan satu dengan
lainnya. Perubahan dan krisis yang terjadi di negara Indonesia, baik secara ekonomi dan
terutama politik saat ini, ternyata tidak terlepas dari terjadinya krisis ekonomi dan
moneter yang terjadi semenjak tahun 1997. Secara politik, terlihat bahwa ada korelasi
yang sangat kuat antara jatuhnya rezim otoriter Orde Baru dibawah Jendral Besar Suharto
dengan terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah berhasil
memperlemah kekuasaan Orde Baru. Orde baru yang selama lebih dari tiga dekade
mengkonsentrasikan pemerintahannya pada persoalan ekonomi, telah terbukti gagal
untuk menciptakan sebuah kestabilan dan keseimbangan fundamental ekonomi. Peran
negara yang besar dalam ekonomi menjadi terbukti tidak efektif. Sebaliknya peran negara
yang besar tadi pada akhirnya justru telah menciptakan bumerang bagi kekuasaan
125
Suharto. Sejalan dengan itu semua, jika dicermati kemunculan gerakan reformasi pada
dasarnya juga merupakan salah satu akibat dari terjadinya krisis ekonomi. Hal ini
menunjukan bahwa tuntutan reformasi seperti yang tengah terjadi sampai saat ini, dapat
menjadi sebuah “senjata demokratisasi” yang efektif ketika negara berada pada posisi
yang lemah secara ekonomi. Lemahnya posisi negara secara ekonomi ini, jelas akan
sangat berdampak pada otonomi relatif yang dimiliki negara sebelumnya.
Lebih jauh lagi, ternyata dengan lengsernya Suharto yang selanjutnya diikuti
dengan kemunculan gerakan reformasi, juga semakin menyudutkan posisi militer. Militer
yang telah selama lebih dari 32 tahun mapan dalam dunia politik, kini semakin mendapat
sorotan tajam. Konsep dwifungsi yang selama Orde Baru telah menjadi alat legitimasi
bagi keterlibatan militer dalam masalah-masalah sosial dan politik juga terus mendapat
kecaman. Sementara itu, krisis ekonomi yang kemudian terus berkembang menjadi krisis
politik tersebut, terbukti cukup ampuh sebagai alat penghapusan peran militer dalam
politik di Indonesia. Bila demikian, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa berbagai
perubahan politik yang terjadi selama ini adalah salah satu “hasil” dari terjadinya krisis
ekonomi. Dan dengan semakin berkembangnya kecaman dan tuntutan untuk
menghapuskan dwifungsi tersebut, berarti pula adanya peningkatan kesadaran dalam
masyarakat untuk menjadikan militer Indonesia sebagai militer yang profesional. Dan hal
ini juga dapat dilihat sebagai sebuah tuntutan dihapusnya bisnis militer.
126
Bab V Krisis Ekonomi, Militer dan Proses Demokratisasi
Pasca Orde Baru.
Krisis ekonomi ternyata dalam perkembangannya tidak hanya menimbulkan
berbagai implikasi yang bersifat ekonomi. Berbagai perubahan politik yang terjadi
menjelang kejatuhan rezim Orde Baru dan pasca Orde Baru, ternyata pada dasarnya tidak
dapat dilepaskan begitu saja dari terjadinya krisis ekonomi yang telah mengakibatkan
melemahnya posisi tawar menawar negara terhadap masyarakat. Masyarakat domestik
yang selama ini menganggap bahwa negara Orde Baru merupakan sebuah negara yang
sangat “kuat” dan otoriter, ternyata dengan terjadinya krisis ini telah dibangunkan dari
“mimpi buruknya” selama ini, bahwa negara Orde Baru bukanlah sebuah negara yang
apabila ditinjau dari perpektif ekonomi politik, merupakan negara yang kuat dengan
dukungan kekuatan ekonomi yang kuat pula. Dalam bab ini akan dibahas secara lebih
mendalam lagi bagaimana negara Indonesia Orde Baru yang telah terlebih dahulu
“dihancurkan” otonomi relatifnya oleh kekuatan kapitalisme internasional --IMF dan
modal asing--, kemudian juga harus berhadapan dengan kekuatan politik dalam negeri
yang secara terus menerus menuntut perubahan sistem politik, yang juga berarti
merupakan tuntutan penghapusan peran sosial politik militer. Dimana bisnis militer juga
merupakan salah satu bagian yang tak dapat dipisahkan darinya.
1 Negara dan Masyarakat.
1.1 Melemahnya Negara.
Sebagaimana telah banyak dijelaskan dalam bab IV, ketika krisis ekonomi terjadi,
negara Orde Baru telah kehilangan kemampuan tawar menawarnya terhadap kekuatan
modal internasional. Begitu lemahnya posisi negara tersebut sehingga IMF dengan
mudah mendikte segala kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pemerintah
Indonesia. Disepakatinya nota kesepahaman (LoI) kiranya dapat dijadikan salah satu
bukti yang jelas akan adanya bentuk-bentuk ketergantungan ekonomi gaya baru dari
negara Indonesia kepada kekuatan kapitalisme internasional. Dan disadari atau tidak,
sampai kapanpun Indonesia tidak akan dapat melepaskan bentuk ketergantungan
127
ekonomi tersebut, apalagi di tengah perubahan situasi ekonomi internasional yang makin
mengglobal.
Melemahnya negara Indonesia Orde Baru, ternyata tidak hanya dapat dilihat dari
sisi ekonominya saja. Dengan terjadinya krisis ekonomi pada akhir dekade 1990an,
secara posisi politik negara Orde Baru terutama terhadap masyarakat domestik juga turut
melemah. Melemahnya posisi politik ini sebenarnya dapat dilihat dari munculnya
berbagai persoalan dan gejolak sosial dan politik yang banyak terjadi semenjak tahun
1996.
Kemunculan berbagai gejolak politik politik tersebut sebenarnya pada awalnya
dapat dilihat dari perubahan cara pandang masyarakat terhadap negara. Terjadinya krisis
ekonomi itu sendiri sebenarnya telah menciptakan sebuah kesempatan baru bagi gerakan
demokratisasi di Indonesia. Dalam pengertian bahwa tuntutan reformasi yang kemudian
banyak disuarakan menjadi efektif ketika terjadi krisis ekonomi. Hal ini dimungkinkan
karena posisi negara pada saat terjadi krisis terhadap masyarakat, menjadi lemah. Negara
Orde Baru yang sebelumnya dianggap sebagai sebuah negara yang sangat kuat dengan
didukung oleh kekuatan militer yang cukup solid, ternyata dengan terjadinya krisis ini
membuktikan bahwa kekuatan negara Orde Baru selama ini adalah semu. Sehingga
menjadikan krisis ekonomi ini di satu sisi sebagai instrumen yang telah “menyadarkan”
sebagian besar masyarakat untuk secara lebih berani lagi menghadapi sikap otoriterisme
rezim Orde Baru.
Dalam melihat hubungan atau signifikansi partisipasi masyarakat dalam proses
demokratisasi di Indonesia, hal pertama yang harus kita lakukan ialah memilah-milah
siapa yang dimaksud dengan masyarakat tersebut diatas. Setidaknya kita dapat membagi
masyarakat tadi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama dari masyarakat tersebut
ialah orang-orang yang secara jelas menjadi pendukung rezim Orde Baru. Kelompok
kedua terdiri atas orang-orang yang secara terus terang menyebutkan ketidaksetujuannya
pada rezim Orde Baru. Dan sebagai pencerminan dari ketidaksetujuan tersebut, maka
mereka kemudian melakukan bentuk-bentuk perlawanan. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kemunculan LSM-LSM atau lembaga-lembaga lain yang kerap kali melakukan kritikan
terhadap pemerintah Orde Baru. Diluar itu bentuk-bentuk perlawanan lain dapat juga
dilihat dari mulai tumbuhnya berbagai gerakan yang meski belum teroganisir secara baik,
128
tetapi telah mampu menunjukan bahwa ada kesadaran yang cukup tinggi dalam
masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap otoritas politik pada masa itu, seperti
yang dapat dilihat dari perkembangan aksi-aksi buruh.170
Kelompok ketiga dari masyarakat tersebut diatas ialah orang-orang yang pada
dasarnya bukan atau tidak mendukung rezim Orde Baru, namun mereka tidak melakukan
tindakan-tindakan seperti yang dilakukan oleh kelompok kedua. Jika dicermati mereka
tersebut bukannya tidak berdaya, tetapi tampaknya dalam hal ini mereka jugalah yang
tidak ingin memberdayakan dirinya sendiri. Dalam pengertian bahwa mereka tidak mau
mengambil sikap yang berhadapan langsung dengan rezim. Mungkin di dalam sebuah
kesempatan mereka menunjukan ketidaksetujuan mereka terhadap rezim Orde Baru.
Namun ketika berhadapan dengan penguasa mereka justru tidak ingin menunjukan
ketidaksetujuannya tersebut. Hal ini dimungkinkan karena mereka telah mendapatkan
keuntungan dari sistem yang ada. Tetapi ketika terjadi krisis ekonomi, mereka kemudian
merasa bahwa negara Orde Baru tidak lagi dapat memberikan keuntungan sebagaimana
yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Mereka yang sebelumnya mampu
menyekolahkan anaknya ke luar negeri, berkeliling dunia dan sebagainya, dengan
terjadinya krisis ini mereka terpaksa harus memulangkan kembali anaknya atau tidak lagi
dapat berbelanja ke luar negeri. Sebagai akibatnya mereka kemudian menjadikan rezim
Orde Baru sebagai sumber kehancuran ekonomi yang harus segera dimusnahkan.
Di lain pihak militer yang sebelumnya seringkali dianggap solid dan merupakan
salah satu pendukung utama dari kekuasaan Suharto mulai menunjukan fragmentasi,
terutama di kalangan pejabat dan perwira tingginya. Sebagai sebuah kekuatan politik
pendukung jelas hal ini akan sangat tidak menguntungkan bagi rezim Orde Baru. Sebab
sebagai salah satu alat penopang utama kekuasaan Suharto, perpecahan dalam tubuh
militer juga dapat dijadikan salah satu indikator turunnya “kewibawaan” rezim di
hadapan publik dalam negeri. Pertentangan dalam memandang keberadaan dwifungsi
ABRI diantara para pejabat militer rasanya dapat dijadikan salah satu indikator yang jelas
dalam melihat perpecahan yang terjadi di dalam tubuh organisasi militer menjelang
kejatuhan Orde Baru. Fragmentasi atau perpecahan yang terjadi di dalam tubuh militer
170 Meski diawali dari kebutuhan ekonomis mereka, perkembangan aksi-aksi buruh di Indonesia masa Orde Baru secara umum telah pula memberikan kontribusinya dalam proses demokratisasi di Indonesia.
129
menjadi semakin nampak jelas terlihat setelah munculnya dua faksi yang saling
bertentangan, yaitu adanya “ABRI hijau” dan “ABRI merah-putih”. Dengan munculnya
kedua faksi tersebut, jelas akan sangat berpengaruh kepada peran politik militer, dimana
pada akhirnya juga akan akan sangat berpengaruh pada stabilitas politik nasional
Indonesia. Misalnya saja hal tersebut dapat dilihat ketika terjadi penggusuran yang
dilakukan oleh para perwira yang tergolong di dalam kelompok “ABRI merah-putih”
yang didukung oleh Wiranto terhadap kelompok “ABRI hijau”. Hal ini seringkali
diartikan sebagai salah satu sarana untuk memuluskan jalan Wiranto ke jabatan
Wapres.171
Dari sisi perkembangan sebuah institusi kemiliteran, perpecahan semacam itu
mungkin saja dapat dipandang sebagai sebuah awal dari hancurnya sebuah tatanan
hirarkis. Namun di sisi demokratisasi, dengan adanya perpecahan semacam itu dapat
diartikan sebagai sebuah “awal yang baik” dari proses demokratisasi politik. Sebab
seperti telah seringkali disebutkan sebelumnya, peta perpolitik Indonesia banyak
ditentukan oleh peran politik militer. Meski selama Orde Baru Suharto merupakan kunci
utama dari berbagai kebijakan politik, namun mengabaikan faktor militer dalam
memahami sistem politik Indonesia terutama semasa Orde Baru adalah merupakan
sebuah kesalahan besar.
Hal yang tidak jauh berbeda ternyata juga dialami oleh Golkar. Sebagai organisasi
sosial politik yang juga menjadi pendukung utama Orde Baru, perpecahan yang terjadi
juga tidak dapat dihindari. Terutama menjelang munas yang akan memilih ketua umum
baru. Selain itu Golkar yang merupakan tunggangan politik Orde Baru dalam beberapa
kali pemilihan umum,172 ternyata juga harus berhadapan dengan opini publik yang telah
memandangnya sebagai dalang bagi segala sumber keborokan sistem politik selama ini.
Dengan demikian ia juga harus menjadi salah satu kekuatan politik yang harus
dimusnahkan. Karena itu perpecahan yang terjadi di dalam Golkar merupakan sesuatu hal
yang tidak bisa di abaikan begitu saja dalam memahami hilangnya kewibawaan rezim
Orde Baru.
171 Ikrar Nusa Bhakti et al, Tentara Yang Gelisah, Jakarta, Mizan, 1999, hal:146 172 Lihat Golkar Retak, Jakarta, ISAI, 1999.
130
Selain itu berkembanganya isu-isu seperti pelanggaran hak azasi manusia (HAM) yang
sebelumnya banyak dilakukan oleh negara --terutama militer--, juga semakin
mempersulit posisi negara. Beberapa aksi kekerasan yang dilakukan oleh negara, seperti
peristiwa 27 Juli, penculikan serta penahanan beberapa aktivis pro demokrasi, dan
terakhir disusul dengan terjadinya kerusuhan rasial pada pertengahan Mei 1998, ternyata
sangat berimplikasi pada semakin turunnya kewibawaan atau legitimasi rezim Orde Baru
di hadapan publik domestik. Dengan terjadinya berbagai peristiwa tersebut, masyarakat
pada akhirnya justru menjadi semakin disadarkan akan posisi politik mereka yang sangat
penting bagi sebuah proses perubahan sistem politik. Sebab bagaimanapun juga ada
tidaknya dukungan masyarakat merupakan faktor yang penting bagi keberlangsungan
sebuah rezim, terlepas apakah dukungan yang diberikan tersebut memang benar
merupakan hasil dari kesadaran politik mereka sendiri atau itu merupakan hasil dari
sebuah mobilisasi politik.
1.2 Menuntut Perubahan.
Sebagaimana telah menjadi tradisi politik Orde Baru sebelumnya, ketika itu
(1997) rezim yang berkuasa tengah mempersiapkan sebuah pemilihan umum. Sebuah
pemilu yang juga telah menjadi sebuah alat legitimasi bagi keberlangsungan kekuasaan
yang otoriter. Besarnya kekuasaan Suharto saat itu, turut pula menjadikan pemilu sebagai
sebuah sarana untuk lebih mempertegas bahwa, tidak ada penguasa politik lain selain
Orde Baru. Meski demikian, ketika itu bukan berarti tidak ada isu mengenai suksesi
politik. Orde Baru yang telah berkuasa selama tiga dekade, menjelang pelaksanaan
pemilu mulai berhadapan dengan masyarakat yang menginginkan akan adanya perubahan
politik. Semakin berkembangnya isu suksesi kepemimpinan setidaknya juga dapat
dijadikan sebagai salah satu indikasi dari adanya tuntutan perubahan tersebut.
Dalam bab IV telah digambarkan bagaimana negara Indonesia di bawah Orde Baru mulai
mengalami keterpurukan ekonomi. Sehingga menyebabkan Indonesia harus meminta
bantuan kepada IMF. Dimana hal tersebut jelas akan menciptakan sebuah bentuk
ketergantungan ekonomi baru yang sangat mengikat173. Krisis ekonomi Asia yang juga
dirasakan di Indonesia pada pertengahan 1997 ternyata telah pula membuka “mata”
sebagian besar dari masyarakat Indonesia tentang situasi dan keadaan yang sebenarnya
173 Lihat pula lampiran LoI.
131
dari kondisi ekonomi (dan politik) Indonesia selama Orde Baru. Dari sinilah mulai
muncul berbagai tuntutan perubahan baik secara ekonomi maupun politik.
Mengacu kepada berbagai argumentasi diatas yang telah menyebutkan bahwa, terjadinya
krisis ekonomi merupakan “instrumen” yang telah menyadarkan masyarakat tentang
pentingnya posisi politik mereka dalam proses perubahan politik, maka ketika terjadi
tuntutan untuk melakukan perubahan --atau yang kemudian dikenal dengan nama
reformasi-- tidak mengherankan apabila berbagai tuntutan yang pertama muncul dan
berkembang adalah tuntutan tentang perbaikan di bidang ekonomi. Kalau kita melihat
kembali kepada masa-masa awal terjadinya tuntutan reformasi, mungkin kita akan
kembali diingatkan pada terjadinya kelangkaan sembilan bahan pokok (sembako) di
kalangan masyarakat. Sulitnya masyarakat untuk mendapatkan berbagai kebutuhannya
sehari-hari jelas telah menimbulkan berbagai keresahan. Keresahan itu kemudian
berlanjut dengan terjadinya penimbunan bahan-bahan kebutuhan pokok tersebut oleh
sebagian masyarakat. Dan bukan sesuatu yang mengherankan apabila kemudian harga-
harga kebutuhan pokok tersebut menjadi semakin meningkat. Kesulitan-kesulitan dan
keresahan-keresahan semacam itulah yang pertama kali menjadi pemicu munculnya
berbagai desakan perubahan. Sehingga mengakibatkan desakan pertama perubahan
tersebut adalah tuntutan penurunan harga-harga kebutuhan pokok oleh masyarakat.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, tuntutan perubahan yang dilakukan
oleh masyarakat tidak lagi sebatas penurunan harga. Lebih jauh lagi masyarakat
kemudian meminta atau mendesakan perubahan yang lebih substansial di bidang-bidang
seperti ekonomi, hukum dan terutama di bidang politik. Ada beberapa hal yang dapat
dijadikan inti dari tuntutan perubahan yang muncul di masyarakat:
a. Turunnya Suharto agar bisa membentuk pemerintahan yang bersih dan
kuat, dan menuntut MPR untuk secara khusus bertemu dan berbicara
dengan Suharto tentang akuntabilitasnya sebagai presiden, dan
menggantikannya.
b. Kabinet harus di-reshuffle, terutama untuk menteri-menteri di bidang
ekonomi, keuangan dan industri.
c. Revisi terhadap lima UU politik, yaitu UU Kepartaian, UU Ormas, Pmilu,
referendum dan komposisi keanggotaan DPR dan MP. Mereka juga
132
menuntut perlu adanya peraturan dan hukum untuk memperkuat parlemen,
serta masalah dwifungsi ABRI. Disamping itu juga dituntut penghapusan
rekayasa politik yang bertujuan pemusatan kekuasaan pada suharto dan
Golkar.
d. Revisi terhadap rekrutmen anggota MPR, terutama untuk utusan daerah dan
organisasi politik dimana mereka harus mewakili kelompok masyarakat.
Penghapusan nepotisme dan mengajukan anggota DPR dan MPR. Fraksi-
fraksi di DPR harus berani menyuarakan aspirasi rakyat dan mengawasi
pemerintahan bukan sebaliknya.
e. Pelaksanaan HAM di segala bidang, hak hukum warga negara harus
dihormati dan dijamin. Aparat negara khususnya ABRI tidak boleh bersikap
represif dalam menghadapi rakyat khususnya para aktivis. Rakyat harus
memiliki kesempatan untuk menyatakan aspirasinya melalu demonstrasi.
f. Reformasi hukum, dan dihapuskannya korupsi, kolusi, nepotisme dan
monopoli di segala bidang.174
Dari berbagai tuntutan reformasi yang muncul seperti disebutkan di atas,
membuktikan bahwa, bagi masyarakat perubahan sistem sosial, hukum, ekonomi maupun
politik merupakan sesuatu yang tidak dapat ditunda lagi. Atau dengan kata lain reformasi
harus mencakup adanya pergantian rezim lama ke rezim baru, adanya keberpihakan
kepada rakyat yang salama ini terabaikan, mengurangi kecenderungan sentralisme
kekuasaan, pendistribusian kekuasaan, supremasi hukum yang tidak bisa dikalahkan oleh
kekuatan politik maupun ekonomi.175
Begitu pula apabila kita mencoba memahami meluasnya tuntutan reformasi dari
sisi masyarakatnya. Jika kita melihat kembali pada penjelasan awal bab ini, nampak
bahwa ada pergeseran cara pandang sebagian golongan dari masyarakat terhadap negara.
Pergeseran cara pandang sebagian golongan dalam masyarakat ini akan semakin nampak
terlihat bila kita mencoba untuk melihat siapa-siapa saja yang aktif terlibat untuk
menuntut diadakannya perubahan. Meski diawali dengan kemunculan demonstrasi yang
dilakukan mahasiswa, tetapi pada perkembangannya, tuntutan akan adanya perubahan
174 Ikrar Nusa Bhakti et al, Tentara…opcit, hal:87-88. 175 Ibid, hal:89.
133
atau reformasi tersebut menjadi berkembang ke berbagai kelompok masyarakat, seperti
yang dikeluarkan oleh kelompok-kelompok alumni dari berbagai perguruan tinggi di
Indonesia dan termasuk juga yang dilakukan oleh para peneliti LIPI melalui pernyataan
keprihatinannya.
Mencermati berbagai tuntutan perubahan tersebut, dan kemudian mengaitkannya
dengan argumentasi yang dikemukakan oleh Huntington diatas, nampak jelas bahwa
turunnya legitimasi dan “kewibawaan” negara Orde Baru pada awalnya sangat
dipengaruhi oleh terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia di akhir dekade
1990an. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab IV, Asia mengalami pertumbuhannya
yang pesat pada dekade 1990an, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang juga
mengalami pertumbuhan yang pesat tersebut. Namun hantaman badai krisis ekonomi
Asia yang juga dirasakan di Indonesia, telah melemahkan posisi negara atau dalam hal ini
rezim otoriter Orde Baru terhadap masyarakat. Dengan melemahnya posisi ini
mengakibatkan munculnya kekuatan baru dalam masyarakat yang mampu menghadapi
otoritas negara, yang perwujudannya dapat dilihat dari adanya berbagai tuntutan seperti
di atas.
Selain itu seperti juga telah dijelaskan dalam tesis Huntington tersebut di atas,
pertumbuhan ekonomi sebelum krisis telah pula mengakibatkan meningkatnya tingkat
pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Berkembangnya teknologi terutama di bidang
komunikasi juga menjadi pendukung berkembangnya tuntutan akan perubahan tersebut.
Karena dengan adanya berbagai kemajuan tersebut masyarakat dapat dengan lebih mudah
menyerap berbagai ide-ide baru tentang demokratisasi, yang pada gilirannya juga
menjadi alat penekan yang efektif bagi perubahan politik di Indonesia. Dan sekali lagi hal
ini dapat pula diartikan sebagai salah satu bukti lain dari hilangnya otonomi relatif negara
terhadap masyarakat. Karena negara tidak lagi mampu memediasi segala kepentingan
yang muncul di masyarakat. Apalagi untuk memajukan kepentingannya sendiri. Sebab
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, otonomi relatif dalam konteks negara pasca
kolonial, seringkali diartikan pula sebagai perwujudan dari adanya kepentingan negara
yang terpisah dari kepentingan-kepentingan kelas yang ada dalam masyarakat.
134
2. Menciptakan Institusi Militer Yang Profesional
2.1 Pencabutan Dwifungsi
Dari berbagai penjelasan terdahulu telah banyak disebutkan bahwa perkembangan
patronase bisnis militer tidak dapat dipisahkan begitu saja dari keberadaan doktrin
dwifungsi. Dwifungsi ABRI sebagaimana telah banyak diketahui merupakan dasar
legitimasi bagi pihak militer untuk dapat berkecimpung di bidang-bidang lain, diluar
persoalan pertahanan. Termasuk di dalamya adalah keterlibatannya dalam praktek-
praktek bisnis. Dalam rangka pembentukan kembali militer Indonesia sebagai sebuah
institusi kemiliteran yang profesional, sangat jelas bahwa penghapusan atau pencabutan
dwifungsi ini sudah menjadi suatu keharusan.
Seperti telah pula disebutkan diatas, terjadinya krisis ekonomi telah pula
“menciptakan” kesadaran politik bagi sebagian masyarakat untuk lebih gigih menuntut
perubahan di bidang politik dimana penghapusan peran sosial politik militer merupakan
salah satunya. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi telah memberikan kesempatan baru
bagi masyarakat untuk dapat dengan lebih leluasa menyuarakan berbagai keinginannya,
termasuk di dalamnya ialah penghapusan dwifungsi.
Menjelang kejatuhan Suharto, tuntutan akan penghapusan doktrin dwifungsi
ABRI ini semakin membesar dan meluas. Suharto sebagai panglima tertinggi Angkatan
Bersenjata dengan pangkat Jendral Besarnya, selama Orde Baru telah berhasil
menciptakan ketergantungan yang besar dari para pejabat dan perwira militer
terhadapnya. Dengan adanya kedua hal tersebut pula ia mampu menentukan siapa-siapa
saja yang duduk pada berbagai jabatan strategis, baik itu yang masih berada dibawah
struktur organisasi kemiliteran itu sendiri maupun pada berbagai jabatan politik dan
birokrasi yang sebenarnya berada di luar struktur kemiliteran atau berbagai jabatan lain
yang berhubungan dengan doktrin dwifungsi dan konsep kekaryaan. Dominannya
kekuasaan Suharto dalam struktur kemiliteran tersebut akan semakin terlihat apabila kita
mencoba mencermati berbagai fenomena atau peristiwa tang terjadi semasa Orde Baru.
Karir seorang perwira --terutama perwira tinggi-- dapat saja tiba-tiba melejit atau bahkan
terhenti di tengah jalan sesuai dengan kebutuhan politik Suharto. Meski di dalam
organisasi kemiliteran itu sendiri dikenal adanya dewan jabatan dan kepangkatan tinggi
(Wanjakti), namun pada akhirnya pada keputusan Suharto --terlepas dari jabatannya
135
sebagai presiden-- pulalah karir seorang perwira akan ditentukan. Hal-hal semacam inilah
yang seringkali menimbulkan “kekecewaan” di sebagian kalangan perwira militer.
Karena dengan demikian militer memang benar-benar telah menjadi alat bagi
kelangsungan kekuasaan Suharto.176 Oleh karena itu wajar apabila kemudian timbul
keinginan pada sebagian kecil kalangan militer untuk menghapuskan doktrin dwifungsi
dan juga kekaryaan tersebut. Sebab bagaimanapaun juga dengan adanya kedua hal
tersebut, maka keterlibatan militer dalam politik dan juga bidang-bidang lain menjadi
terlegitimasi.
Tuntutan atas penghapusan doktrin dwifungsi ini sebanarnya bukan lagi menjadi
sesuatu yang baru dalam proses demokratisasi di Indonesia. Jika mencermati berbagai
penjelasan dalam bab-bab sebelumnya, nampak bahwa penghapusan peran politik militer
adalah kunci utama dari dimulainya sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Untuk hal
itulah, maka pencabutan dwifungsi ABRI menjadi faktor yang sangat signifikan. Dan
momentum krisis ekonomi ini sebenarnya dapat dijadikan sebagai sebuah kesempatan
yang baik bagi pelaksanaan pencabutan dwifungsi tersebut. Karena seperti telah pula
dijelaskan pada awal bab ini, bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia ini telah
membalikan semua kenyataan dan fakta yang ada, dimana telah menjadikan posisi tawar
menawar negara lebih lemah di hadapan publiknya sendiri.
Apabila kita cermati berbagai tuntutan yang disuarakan oleh masyarakat seperti
disebutkan diatas, hal tersebut jelas sekali memperlihatkan bahwa pada masyarakat
Indonesia sekarang di masa pasca Orde Baru ini, ada sebuah keinginan yang besar untuk
menjadikan militer Indonesia kembali tumbuh sebagai sebuah kekuatan bersenjata yang
memang benar-benar hanya berkecimpung dalam persoalan pertahanan (profesional).
Tidak lagi turut serta dalam berbagai persoalan sosial politik seperti pada masa-masa
sebelumnya. Tuntutan akan adanya pengurangan dan penghapusan fraksi TNI/Polri di
DPR atau pemisahan kepolisian dari angkatan bersenjata hanya merupakan sebagian kecil
dari tuntutan penghapusan peran politik militer serta pembentukan organisasi militer yang
lebih profesional. Namun sekali lagi untuk mencapai itu semua hal pertama yang harus
disadari dan dilakukan ialah penghapusan dari doktrin dwifungsi tersebut.
176 Lihat penjelasan sebelumnya dalam catatan kaki no:82.
136
Apabila ditelusuri kebelakang sebenarnya telah banyak dari kalangan aktivis pro
demokrasi yang sudah terlebih dahulu menuntut penghapusan dwifungsi tersebut di masa
Orde Baru. Misalnya saja dalam manifesto Partai Rakyat Demokrat (PRD) --salah satu
partai terlarang semasa Orde Baru-- telah pula menuntut akan adanya penghapusan
dwifungsi tersebut.177 Begitu pula dengan berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh
mahasiswa pada masa-masa awal reformasi. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya pada
sebagian kalangan masyarakat sendiri telah tumbuh semacam kesadaran akan pentingnya
penghapusan dwifungsi ABRI untuk dapat menciptakan militer Indonesia menjadi lebih
profesional sekaligus pembentukan sebuah sistem politik yang lebih demokratis.178
Bila di masyarakat telah terjadi perubahan cara pandang terhadap dwifungsi
tersebut, yang kemudian patut dipertanyakan adalah bagaimana institusi militer itu
sendiri melihat berbagai tuntutan tersebut. Hal ini menjadi penting karena tuntutan-
tuntutan tersebut bisa menjadi tidak telalu efektif tanpa dibarengi dengan adanya
keinginan dari pihak militer sendiri untuk mau melakukan redefinisi, reposisi, dan
reaktualisasi peran politiknya.
Militer sendiri pada masa pasca Orde Baru ini sebenarnya sudah dapat dikatakan
telah mencoba untuk merubah cara pandang mereka tersebut terhadap doktrin dwifungsi.
Dengan dilaksanakannya seminar tentang “Peran ABRI Abad XXI” di Sesko ABRI
Bandung tanggal 22-24 September 1998, menunjukan bagaimana pihak militer berusaha
untuk menanggapi berbagai keinginan dan tuntutan yang muncul di masyarakat untuk
menghapus dwifungsi ABRI. Pengurangan anggota fraksi TNI/Polri179 di DPR, dari 100
orang menjadi 75 orang dan kemudian menjadi 35 orang, penghapusan BAKORTANAS
(Badan Koordinasi Pertahanan Nasional), penghapusan jabatan Kassospol (Kepala Staf
sosial dan Politik) dan menggantinya dengan Kaster (Kepala Staf Teritorial), mungkin di
satu pihak dapat dikatakan sebagai adanya “kemauan” untuk secara bertahap
menghapuskan peran politik militer. Begitu pula halnya dengan demiliterisasi yang
177 Lihat manifesto PRD…. 178 Lihat pula diagram 4 tentang hasil jajak pendapat peran ABRI yang dilakukan oleh LP3ES (Sept-98), Litbang Kompas (4-Okt-98) dan Tabloid Kontan(5-Okt-98). Dikutip dari M Riefqi Muna, “Persepsi Militer Dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Katagori Ganda” dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (ed), Hubungan Sipil-Militer Dan Transisi Demokrasi Di Indonesia:Persepsi Sipil Dan Militer, Jakarta, CSIS, 1999, hal:57. 179 Sebelumnya fraksi militer di DPR disebut dengan fraksi ABRI.
137
diberlakukan kepada beberapa perwira militer yang duduk dalam berbagai jabatan politik
dan birokrasi.
Meski demikian nampaknya dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh
beberapa pejabat dan perwira tinggi militer menunjukan masih adanya keengganan
untuk melepaskan sepenuhnya peran sosial politik yang dimilikinya selama ini. Bahkan
dari pernyataan yang dilontarkan oleh Jendral Wiranto --pejabat Menhankam dan Pangab
semasa akhir Orde Baru-- mengesankan bahwa ada “perasaan tidak bersalah” dari pihak
militer dalam melihat barbagai tindakan yang telah dilakukannya selama Orde baru.180
Dengan adanya berbagai pernyataan semacam itu bukan berarti bahwa tidak ada diantara
para perwira dan pejabat militer yang menginginkan penghapusan dwifungsi tersebut.
Ada beberapa perwira militer --atau yang kemudian seringkali disebut sebagai intelektual
militer--, yang kerap kali memberikan kritikan pedas terhadap pelaksanaan dwifungsi
tersebut. Sehingga tidak jarang pula hal tersebut mengakibatkan timbulnya friksi-friksi
yang tajam diantara para perwira tersebut. Namun demikian, terlepas dari munculnya
perpecahan yang muncul kemudian diantara faksi-faksi di dalam tubuh militer, hal-hal
tersebut di atas setidaknya telah menunjukan kepada kita bahwa, dalam proses
demokratisasi di Indonesia pasca Orde Baru ini akan sangat dibutuhkan peran aktif dari
masyarakat yang ditunjukan melalui adanya berbagai tuntutan untuk menghapuskan
peran politik (baca:dwifungsi) ABRI. Karena sekali lagi penulis tegaskan bahwa, salah
satu prasyarat utama pelaksanaan demokratisasi di Indonesia ialah dihapuskannya
dwifungsi ABRI dan berbagai peraturan lain yang juga turut mensahkan adanya
keterlibatan militer di bidang sosial, politik termasuk ekonomi.
Namun demikian dalam implementasinya tampaknya juga diperlukan sebuah
tindakan yang dianggap cukup realistis. Sebab setelah 30 tahun lebih mendominasi
panggung politik Indonesia, tidak mudah bagi militer untuk mau melepaskan dan
memberikan peran sosial politik mereka kepada para politisi sipil. Oleh Karenanya di
dalam masa transisi menuju terbentuknya supermasi sipil dan militer yang profesional,
diperlukan adanya negosisasi kepentingan antara para elit politik sipil dengan pihak
militer sehingga terbentuk sebuah platform yang jelas dalam proses demokratisasi di
180 Lihat pula pernyataan Wiranto sebagaimana dikutip dalam: Ikrar Nusa Bhakti et al, Tentara…opcit, hal: 121.
138
Indonesia pasca Orde Baru. Hal tersebut dibutuhkan agar militer tidak merasa
dihilangkan haknya untuk dapat turut serta membangun dan mempertahankan kedaulatan
negara Indonesia. Selain itu hal ini juga untuk dapat menciptakan dan mempertahankan
“hubungan yang baik” antara politisi sipil dengan militer di kemudian hari. Dan satu hal
yang tidak dapat diabaikan begitu saja dari proses negosiasi kepentingan tersebut ialah,
perlunya kesadaran dari kedua pihak bahwa negosiasi itu sendiri merupakan bagian tidak
terpisahkan dari upaya rekonsiliasi politik nasional.
2.2 Tuntutan Penghapusan Patronase Bisnis Militer
Setelah melihat besarnya tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI tersebut,
kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana dengan nasib berbagai bisnis
yang dijalankan oleh militer? Bisnis militer seperti telah seringkali disebutkan diatas
sangat menggantungkan proses akumulasi modalnya pada berbagai perwira militer yang
banyak duduk di pemerintahan,yang juga merupakan salah satu bentuk nyata pelaksanaan
dwifungsi dan kekaryaan. Karenanya ketika di saat pasca Orde Baru ini masyarakat
tengah gencar-gencarnya menuntut pencabutan dwifungsi dan profesionalisasi militer
(TNI), maka hal tersebut juga dapat diartikan sebagai kemunculan tuntutan penghapusan
bisnis militer oleh masyarakat.
Praktek bisnis militer sebagai salah satu warisan dari rezim Orde Baru, kini --di
masa pasca Orde Baru-- juga mulai banyak mendapat perhatian dan kritikan dari
masyarakat. Jika pada masa sebelumnya keberadaan bisnis militer hampir tidak pernah
menjadi perhatian dari orang-orang yang mengkritisi peran sosial politik ABRI, maka
saat ini yang terjadi adalah sebaliknya. Kritik untuk menghapuskan praktek bisnis militer
sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari tuntutan masyarakat tentang penciptaan
militer yang profesional.
Pada awalnya kritik terhadap bisnis militer oleh masyarakat ini muncul hanya di
tingkat wacana. Hal ini mungkin masih dapat dimengerti karena di masa awal reformasi,
informasi tentang keberadaan bisnis militer tersebut dapat dikatakan masih terbatas.
Namun seiring dengan bergulirnya tuntutan reformasi, maka tampaknya masyarakat
semakin menyadari bahwa faktor ekonomi dan bisnis sebenarnya telah menjadi salah satu
penyebab mengapa militer tetap bersikeras untuk berusaha mempertahankan peran sosial
politiknya. Dengan demikian, jika masyarakat menginginkan pencabutan peran sospol
139
militer, maka adalah sangat tepat apabila hal tersebut juga diikuti dengan tuntutan
penghapusan keberadaan bisnis militer.
Dalam keadaan seperti ini jelas bahwa posisi bisnis militer sendiri akan semakin
tersudut. Apabila masyarakat juga semakin mendesakan penghapusan bisnis militer ini,
tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terwujud. Tetapi patut pula disadari bahwa
keberhasilan meniadakan bisnis militer ini sendiri juga sangat tergantung pada posisi
militer di dalam konstelasi politik pasca Orde Baru. Karena penulis melihat bahwa,
apabila militer yang kini tengah menghadapi berbagai “gempuran” untuk menjadikan
dirinya menjadi institusi militer yang profesional berhasil mengkonsolidasikan dirinya
lagi dan berhasil kembali dikuasai oleh faksi perwira yang konservatif, maka nampaknya
proses penghapusan bisnis militer tersebut dapat saja terhambat. Dan nampaknya
perubahan situasi politik yang sangat cepat di masa transisi, sangat memungkinkan hal
tersebut terjadi.
Selain itu, meski di masa pasca Orde Baru ini jumlah militer aktif yang duduk
dalam struktur birokrasi dan kabinet berkurang --terutama sehubungan dengan adanya
program demiliterisasi yang mulai berlaku 1 April 1999--181, hal tersebut tidak berarti
bisnis militer tidak lagi mendapat dukungan dari para mantan perwira tersebut.
Keberadaan bisnis militer pada masa transisi ini bagi institusi militer masih dianggap
sebagai sesuatu yang dibutuhkan, terlepas dari bagaimana pengelolaan dari dana atau
keuntungan yang didapatnya. Sehingga apabila masyarakat hendak mendesakan
penghapusan bisnis militer, maka agar lebih efektif desakan tersebut tidak hanya
didesakan pada institusi militer semata, tetapi juga kepada lembaga-lembaga negara
lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut. Misalnya saja kepada DPR dan Departemen
Pertahanan.
Sedangkan bagi bisnis militer dan institusi militer sendiri, desakan yang besar
bagi masyarakat untuk meniadakan bisnis militer, sebenarnya merupakan sebuah sarana
bagi militer untuk membuktikan seberapa besar komitmen mereka dalam reposisi,
reaktualisasi dan redefinisi yang selama ini digembar-gemborkan. Karena apabila praktek
patronase bisnis militer tersebut masih dilaksanakan dengan bentuk baru itu sama saja
181 Lihat keputusan yang diambil Wiranto untuk memberikan pilihan pensiun kepada para perwira yang dikaryakan. Ibid, hal:143-145.
140
dengan mengingkari apa yang telah menjadi komitmen bersama, yaitu menjadikan militer
Indonesia di kemudian hari sebagai sebuah institusi kemiliteran yang profesional. Dengan
demikian jika pihak militer benar-benar ingin membuktikan bahwa militer pasca Orde
Baru berbeda dengan militer di masa Orde Baru, maka di masa transisi inilah mereka
harus segera mengurangi dan menghapuskan praktek patronase bisnis yang selama ini
dijalankan. Meski kemampuan negara pasca krisis ini masih sangat terbatas, namun hal
itu bukan berarti sebuah legitimasi untuk terus mempertahankan keberadaan patronase
bisnis. Justru dengan adanya praktek patronase bisnis inilah, yang bisa jadi menghambat
investor masuk ke Indonesia. Sebab para investor dengan laissez-faire-nya jelas sangat
menginginkan iklim investasi dan persaingan yang sehat.
Sebagai sebuah salah satu bentuk patronase bisnis militer, berbagai unit usaha
yang berada di bawah yayasan Kartika Eka Paksi juga tidak bisa melepaskan diri dari
adanya berbagai tuntutan penghapusan bisnis militer. Sehingga secara bertahap mereka
juga harus mulai memikirkan bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk
menghadapi tekanan masyarakat tersebut. Penulis melihat bahwa apa yang telah
dilakukan selama ini bisa terus dilakukan. Penutupan berbagai unit usaha yang tidak lagi
produktif dapat dilakukan sebagai tahap pertama penghapusan praktek patronase bisnis
militer. Kedua, sebagai sebuah bisnis peninggalan Orde Baru, jelas bisnis yang
dijalankannya banyak menggantungkan pada kemudahan yang didapat dari perwira yang
duduk dalam jabatan birokrasi dan politik. Hal inilah yang harus dihilangkan dan lebih
mengarah kepada pembentukan kelompok usaha yang kompetitif. Seiiring dengan itu,
bisnis-bisnis yang berada dibawah yayasan harus mulai memisahkan diri dari struktur
kemiliteran. Sehingga pada akhirnya hanya ada sebuah kelompok bisnis yang sama sekali
terlepas dari struktur kemiliteran.
141
Bab VI
Kesimpulan
Mencermati berbagai penjelasan bab-bab sebelumnya, nampak bahwa semasa
Orde Baru signifikansi keterlibatan pihak negara dalam proses industrialisasi di Indonesia
merupakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam konteks tersebut, negara
muncul sebagai sebuah kekuatan politik dan ekonomi yang paling dominan. Selain itu
negara juga merupakan tempat bernaung bagi berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan
politik lainnya.
Seperti juga telah banyak dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, kita tahu bahwa
sebagian besar pelaku bisnis dan ekonomi Indonesia masa Orde Baru adalah para pelaku
bisnis yang banyak menggantungkan kemajuan usahanya pada patron politik. Sehingga
melahirkan praktek-praktek patronase bisnis (bussiness patronage). Adanya praktek
patronase bisnis selama masa Orde Baru juga telah terbukti lebih banyak memunculkan
dampak negatifnya ketimbang positifnya. Dominasi negara dalam bidang ekonomi
selama ini ternyata telah menimbulkan “ketergantungan” yang besar dari para pemilik
modal (dalam hal ini pemodal domestik) kepada negara. Hal ini juga diikuti dengan
berkembangnya praktek-praktek korupsi dan kolusi yang banyak dilakukan oleh para
birokrat dan pejabat negara lainnya. Dimana pada akhirnya hal tersebut dipandang
sebagai salah satu penyebab dari terjadinya ekonomi biaya tinggi. Selain itu yang lebih
parahnya lagi dengan adanya praktek patronase bisnis, aset-aset ekonomi negara juga
telah berkembang menjadi “sapi perah” bagi para pejabat dan para pengusaha tersebut.
Karenanya, jelas tidak akan ada keadilan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat.
Jika ditarik kebelakang dominasi negara terhadap para pengusaha tersebut
muncul dari adanya penguasaan aset-aset ekonomi oleh negara. Dengan dikuasainya aset-
aset ekonomi oleh negara tadi, mengakibatkan para pemodal menjadi tidak dapat berbuat
banyak dalam melakukan investasi dan akumulasi modalnya. Apalagi dengan tanpa
melibatkan pejabat negara atau birokrat. Selain itu, tiadanya pemodal domestik yang kuat
juga merupakan faktor lain mengapa muncul praktek-praktek patronase bisnis. Dari sini
negara kemudian disebut memiliki otonomi relatif yang cukup besar terutama di dalam
struktur modal. Jadi dengan adanya otonomi relatif tersebut, negara telah berkembang
142
tidak lagi sekedar sebagai penjaga kekayaan atau kepentingan bisnis yang memungkinkan
terciptanya iklim yang kondusif bagi pelaksanaan akumulasi modal.
Lebih jauh lagi, negara melalui para penyelenggaranya justru telah menjadi aktor
yang paling signifikan dalam proses akumulasi modal itu sendiri. Bahkan lebih celaka
lagi, dengan berbekal eksploitasi terhadap aset-aset ekonomi nasional, penyelenggara
negara tersebut telah menjadikan dirinya sebagai pencari rente (rent seekers), yang pada
gilirannya turut menciptakan iklim yang kondusif bagi praktek patronase bisnis. Dengan
kata lain negara memiliki kepentingan ekonomi sendiri, di luar kepentingan para
pengusaha tersebut dan bertindak sesuai dengan kepentingannya tersebut.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, sebagai konsekuensi dari adanya
keterlibatan pihak internasional dalam pemulihan ekonomi Indonesia, dapat dipastikan
bahwa sistem ekonomi Indonesia pasca krisis akan segera mengalami perubahan besar.
Dari penjelasan sebelumnya kita juga telah melihat bahwa pihak-pihak internasional yang
banyak terlibat dalam program pemulihan ekonomi Indonesia, menginginkan dan
mengharuskan agar sistem ekonomi Indonesia membuka pasar domestiknya seluas-
luasnya. Sehingga memungkinkan semua produk yang dihasilkan oleh negara-negara di
seluruh dunia dapat masuk dengan lebih leluasa. Bahkan lebih dari itu, dengan sistem
ekonomi yang lebih terbuka ini memungkinkan para investor asing dapat lebih leluasa
lagi untuk masuk dan “bermain” dengan lebih leluasa di dalam struktur ekonomi
Indonesia.
Pemulihan ekonomi dengan melibatkan pihak internasional pada kenyataannya
ternyata telah mematahkan dominasi negara dalam ekonomi. Hal ini berarti pula otonomi
relatif yang dimiliki negara akan terus mengalami reduksi. Ketidak berdayaan negara
sebagai akibat lemahnya dukungan sektor keuangan juga telah melahirkan bentuk-bentuk
ketergantungan baru dari negara terhadap pihak internasional. Namun perlu pula disadari
bahwa menurunnya tingkat derajat otonomi relatif negara tersebut, tidak lebih sebagai
sesuatu yang bersifat temporer. Maksudnya ialah, ketika negara Indonesia pasca kolonial
memiliki dukungan finansial yang kuat, maka otonomi relatif yang dimiliki negara juga
akan menguat. Karena mereka kemudian memiliki posisi tawar menawar yang juga
cukup kuat terhadap pemilik modal (terutama modal asing). Sebaliknya otonomi relatif
143
ini akan terus mengalami reduksi ketika tidak ada dukungan finansial yang dapat
memperkuat posisi negara terhadap pemilik modal.
Dan kalau kita mau melihat kembali ke pada awal kekuasaan Orde Baru dimana
situasi ekonomi juga tengah mengalami kehancuran, pemerintah saat itu juga dengan
terpaksa mengikuti saran-saran yang diberikan oleh IMF. Tetapi pada masa selanjutnya
ketika negara tengah berada dalam masa kelimpahan rezeki minyak, otonomi relatif dari
negara itu menguat lagi dan menghasilkan banyak melahirkan praktek patronase bisnis.
Jadi nampaknya kalau tidak berhati-hati, apa yang kini tengah terjadi pada pasca Orde
Baru ini dapat berubah menjadi sebuah pengulangan sejarah. Dimana keterlibatan negara
dalam ekonomi yang kini sedikit demi sedikit dikurangi, namun akan kembali muncul
sebagai kekuatan yang dominan tatkala negara kembali memiliki dukungan finansial
yang sangat kuat.
Di satu sisi dengan masuknya investor asing ke Indonesia pasca krisis mungkin
diharapkan akan mampu membawa ekonomi Indonesia kepada posisi lebih baik. Karena
dengan masuknya para investor asing akan memberikan pemasukan devisa yang lebih
besar pada negara.Tetapi persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan
nasib para pengusaha dan pelaku ekonomi domestik lainnya. Apakah mereka telah siap
dan mampu menghadapi mereka. Karena kita tahu bahwa sebagian besar pelaku ekonomi
dan bisnis yang berhasil di masa Orde Baru merupakan orang-orang yang memiliki
kedekatan hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan politik. Dengan kata lain kemampuan
kewirausahaan dari para pelaku bisnis Indonesia menjadi patut dipertanyakan kembali.
Karena jika tidak hati-hati yang akan terjadi justru hanya sebuah economic genocide dari
kekuatan-kekuatan ekonomi domestik.
Mengacu pada penjelasan sebelumnya tentang keberadaan dari patronase bisnis
dan kemudian mengkaitkannya dengan kondisi dan situasi ekonomi Indonesia pasca
krisis tersebut, jelas yang akan kita temui kemudian adalah dua hal yang saling bertolak
belakang. Di satu sisi muncul tekanan dari pihak internasional agar Indonesia segera
menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih terbuka, sementara di sisi lain muncul
keraguan akan kemampuan pelaku bisnis domestik untuk dapat berkompetisi secara lebih
fair. Dalam arti kata tidak lagi melibatkan dan menggunakan berbagai previlege dari
negara. Oleh karena itu, menjadi menarik ketika hal tersebut dibenturkan dengan realitas
144
yang ada, bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, sistem ekonomi Indonesia pasca krisis
kini tengah bergerak ke arah yang lebih terbuka.
Kita juga telah ketahui dari pejelasan sebelumnya bahwa militer Orde Baru telah
berkembang tidak sekedar sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan saja. Tetapi ia
juga telah berkembang menjadi kekuatan lain seperti sosial, politik dan juga ekonomi.
Peranan militer sebagai kekuatan ekonomi ini, jelas menjadi tidak bisa dilepaskan dari
keterlibatannya sebagai kekuatan non hankam lainnya terutama politik. Karenanya,
ketika militer ini melakukan bisnis, maka seringkali praktek atau pola bisnis yang
dimunculkannya adalah sebuah patronase bisnis. Telah pula dijelaskan pada bab
sebelumnya bahwa salah satu cara mengapa patronase bisnis ini berhasil dibangun dan
dipertahankan ialah adanya penggunaan perwira militer di dalam perusahaan-perusahaan
yang ada di Indonesia. Dari contoh kasus yayasan yang telah diuraikan diatas semakin
nampak bahwa, mereka seringkali pula berfungsi sebagai penjamin “legalitas” bisnis
yang dijalankan oleh para pengusaha khususnya para pengusaha keturunan Cina dan
“penghubung” kerjasama dengan para pejabat birokrasi dan pejabat negara
lainnya.Termasuk didalamnya kerjasama dengan kelompok-kelompok bisnis keluarga
atau kroni dekat Suharto. Banyaknya bisnis-bisnis milik militer yang dijalankan bersama-
sama dengan para pengusaha keturunan Cina tadi juga semakin meningkatkan tingkat
kepentingan militer dalam dunia bisnis.
Juga telah dijelaskan sebelumnya bagaimana mobilitas modal transnasional yang
telah menjadi kekuatan sentral dalam perekonomian internasional saat ini, menjadi
sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi terutama oleh para pelaku bisnis domestik. Oleh
karena itu dalam menjalankan bisnisnya, para pelaku bisnis dan ekonomi tersebut
semakin dituntut untuk mampu meningkatkan kinerjanya. Sehingga dapat menjadikan
mereka sebagai pengusaha yang lebih kompetitif di dalam persaingan ekonomi global.
Bisnis militer yang selama ini kita ketahui --atau bahkan sebagian besar para pelaku
bisnis Orde Baru pada umumnya--, adalah para pelaku bisnis yang lebih banyak
menggantungkan kemampuan berbisnisnya pada fasilitas negara. Terlepas dari maksud
dan tujuannya, penjelasan dalam sebelumnya setidaknya telah memberikan gambaran
kepada kita bagaimana mereka (bisnis militer) tersebut dapat secara mudah menggunakan
kemampuan dan kekuasaan politik yang dimiliki oleh institusi militer selama Orde Baru
145
Namun dalam situasi yang telah berubah seperti saat ini, bisnis militer juga hrus
mengantisipasi arus investasi asing tersebut. Untuk mensiasati hal tersebut mungkin akan
muncul pertanyaan; “mengapa bisnis militer tersebut lantas tidak bekerja sama saja
dengan para investor asing tersebut?” Jika dilihat sepintas, nampaknya persoalan diatas
akan segera terselesaikan. Karena berbagai previlege yang sebelumnya dimiliki dan
dihilangkan akan “tergantikan” dengan kekuatan modal asing tersebut. Meski demikian
bagi penulis persoalan tersebut tidak selesai sampai di sini saja. Apalagi jika pernyataan
tersebut di dasarkan pada asumsi bahwa para pemodal asing tersebut tidak banyak
mengetahui tentang kondisi Indonesia yang sesungguhnya (seperti kondisi alam, kondisi
masyarakat dan sebagainya). Justru sebaliknya, ditengah kemajuan teknologi komunikasi
pada saat ini bukan sesuatu yang mustahil apabila para investor asing tersebut akan jauh
lebih mengerti tentang kondisi dan situasi di Indonesia dibandingkan dengan kita yang
berada di Indonesia.
Memang benar, bahwa sebelumnya banyak bidang bisnis yang dilakukan oleh
militer yang tergolong merupakan bisnis besar. Seperti kehutanan, perkebunan
pertambangan dan lain sebaginya. Namun seiring dengan perubahan-perubahan sosial
politik yang terjadi di dalam masyarakat, hal tersebut terus mengalami reduksi. Proses
reformasi yang telah terjadi selama ini, bagaimanapun juga telah memberikan perubahan
cara pandang dan cara berfikir masyarakat tentang keberadaan bisnis militer. Sehingga
wajar jika pada masa pasca Orde Baru ini, bisnis militer terus mendapat perhatian, yang
pada akhirnya memunculkan sebuah kesadaran baru bahwa militer Indonesia harus
kembali kepada fungsi utamanya sebagai kekuatan pertahanan. Pada posisi yang
demikian ini rasanya menjadi sulit untuk tetap mempertahankan keberadaan praktek
patronase bisnis militer tersebut, apalagi jika hendak berfikir untuk mengajak
bekerjasama dengan para investor asing tersebut. Dengan kata lain diperlukan tindakan
proaktif dari kalangan masyarakat untuk kembali menempatkan institusi militer dalam
fungsinya sebagai alat negara di bidang pertahanan.
Namun demikian pertarungan berbagai kepentingan rasanya menjadi sulit untuk
dihindarkan ketika muncul keinginan dari pihak militer untuk tetap mempertahankan
keberadaan praktek patronase bisnis tersebut. Karena hampir dapat dipastikan jika bisnis-
bisnis yang dilakukan militer selama ini segera dihapuskan, maka pihak militer akan
146
meminta konsesinya, yaitu penyediaan anggaran yang dianggap memadai bagi mereka.
Selain itu dengan dihapuskannya sistem kekaryaan ABRI yang tidak lagi memungkinkan
anggota TNI, khususnya para perwira menengah dan tinggi untuk dapat ditempatkan oleh
pihak militer di jajaran birokrasi sipil maupun perusahaan BUMN menyebabkan perlunya
masa transisi untuk menghapuskan bisnis militer. Hal ini diperlukan untuk menghindari
terjadinya masalah-masalah internal dalam TNI dan persoalan-persoalan pelik antara TNI
dan pemerintahan sipil yang dapat mengganggu stabilitas politik dan integrasi nasional.
Meski demikian, terlepas dari persoalan yang muncul tersebut, berbagai tantangan
seperti telah dikhawatirkan sebelumnya, merupakan hal yang patut pula untuk
diperhitungkan ketika hendak mempertahankan praktek patronase bisnis militer di masa
pasca Orde Baru. Karena sebagai sebuah institusi dibawah negara yang bukan merupakan
institusi ekonomi atau bisnis profesional, bisnis militer pada akhirnya juga harus
menghadapi kekuatan modal internasional, yang secara teratur namun pasti akan
berusaha untuk menguasai setiap sudut di dalam sistem perekonomian Indonesia.
Di dalam proses demokratisasi politik dan ekonomi yang makin liberal pada pasca
Orde Baru ini, keberadaan praktek bisnis seperti bisnis militer tersebut nampaknya akan
semakin banyak menemui tantangan dan kendala. Karena dengan semakin terbukanya
sistem perekonomian serta pasar domestik Indonesia pasca krisis, sebagai akibat dari
makin meluasnya keterlibatan pihak asing dalam program pemulihan ekonomi, akan
menyebabkan meningkatnya tuntutan untuk mereduksi keterlibatan pihak negara di
dalam ekonomi dan bisnis. Kemampuan pihak Internasional untuk mereduksi keterlibatan
negara dalam berbagai kegiatan ekonomi dan bisnispun nampaknya sudah tidak perlu lagi
diragukan. Butir-butir kesepakatan yang tercantum dalam letter of intent antara
pemerintah Indonesia dan IMF, nampaknya sudah cukup memberikan gambaran kepada
kita tentang bagaimana lemahnya posisi Indonesia di dalam perekonomian internasional
saat ini. Sehingga menjadikan mereka mampu untuk dengan lebih leluasa mendikte
segala kebijakan ekonomi yang akan dijalankan oleh Indonesia.
Bila hal ini kemudian dikaitkan dengan perubahan isu-isu global yang saat ini
berkembang, tentu persoalan yang muncul akan semakin kompleks lagi. Berkembangnya
isu-isu tentang demokratisasi, hak azazi manusia dan sebagainya, serta termasuk
147
didalamnya adalah proyek demiliterisasi dan demokrasi182 yang dilakukan oleh pihak AS
kepada Indonesia, merupakan persoalan yang patut pula diperhitungkan ketika hendak
mempertahankan praktek patronase bisnis militer ini.
Dari sini rasanya juga perlu kembali dipertimbangkan apakah praktek patronase
bisnis militer yang selama ini telah dijalankan perlu terus dilakukan. Karena bukannya
mustahil apabila nasib seperti yang dialami oleh proyek mobil nasional serta IPTN akan
menimpa pelaksanaan patronase bisnis militer. Sebab selain bertentangan dengan falsafah
pasar bebas atau laissez faire yang dianut oleh institusi-institusi internasional tersebut,
praktek-praktek bisnis yang masih banyak melibatkan negara bukannya tidak mungkin
akan menceburkan Indonesia ke dalam kesulitan yang lebih besar lagi. Seperti penjatuhan
sangsi embargo ekonomi. Apalagi mengingat Indonesia kini juga telah masuk ke dalam
blok-blok perdagangan ekonomi, yang pada dasarnya hendak menghapuskan berbagai
hambatan di dalam perdagangan dunia.
Dengan masuknya Indonesia ke dalam sistem ekonomi dunia, di satu sisi juga
menjadi perlu untuk diwaspadai. Sebab dengan makin terbukanya ekonomi Indonesia
juga dapat menyebabkan makroekonomi makin sulit terkendali. Perubahan dan gejolak
kongjuntur ekonomi dunia, akan semakin mudah mempengaruhi perekonomian nasional.
Dan bila hal itu terjadi, bukannya tidak mungkin bahwa Indonesia akan mengalami krisis
ekonomi seperti sekarang di tahun-tahun yang akan datang. Dari sini nampaknya perlu
dikembangkan sikap berhati-hati dalam mengambil berbagai kebijakan ekonomi, baik
makroekonomi maupun mikroekonomi.
Meski demikian, penulis melihat bahwa pada akhirnya keberlangsungan dari
bisnis militer itu sendiri di masa pasca Orde Baru akan tergantung kembali kepada
keinginan masyarakat Indonesia. Apakah mereka menginginkan militer Indonesia pasca
Orde Baru ini tumbuh dan berkembang menjadi sebuah institusi militer yang profesional,
dalam pengertian mereka (militer) hanya mengkonsentrasikan dirinya pada persoalan
pertahanan, tanpa lagi harus terlibat dalam persoalan bisnis atau ekonomi atau justru
sebaliknya. Jika yang diinginkan adalah militer yang profesional, maka seperti telah
dikemukakan dalam bagian awal bab ini, yang perlu terus dikembangkan saat ini adalah
wacana, perdebatan dan kesadaran masyarakat bahwa militer Indonesia tidak boleh lagi
182 Lihat Financing Military…opcit.
148
terlibat dalam persoalan bisnis. Hal ini menjadi penting karena kita tidak bisa terlalu
mengandalkan keterlibatan pihak internasional apalagi modal asing dalam usaha
menjadikan militer Indonesia menjadi militer yang profesional. Sebab berbeda dengan
ketika kita hendak memulai reformasi di tahun 1997-98, dimana tampak keterlibatan
pihak internasional dalam proses turunnya Suharto. Selain itu pada saat yang bersamaan
pula, pemerintah yang berkuasa juga harus kembali mempertimbangkan jumlah anggaran
militer ini yang selama ini disediakan. Karena bagi penulis hanyalah sebuah “mimpi”
kalau kita hendak memiliki tentara yang profesional tetapi anggaran yang disediakan
kurang memadai. Dan kalau hal ini telah dilakukan, tetapi hal serupa masih terulang,
maka persoalannya bukan lagi persoalan institusi tetapi sudah menjadi persoalan
mentalitas yang bagi penulis sudah merupakan hal yang absurd untuk diperdebatkan.
Dalam hipotesa pertama dari skripsi ini, disebutkan bahwa semakin besar tekanan
institusi keuangan dan perdagangan internasional serta makin kuatnya peran modal asing
dalam liberalisasi ekonomi Indonesia, akan memperlemah posisi patronase bisnis militer
Indonesia. Tidak adanya dukungan keuangan yang memadai, terutama setelah terjerumus
ke dalam lubang krisis yang sangat dalam telah, memaksa pemerintah Indonesia untuk
meminta bantuan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF). Lembaga-
lembaga keuangan internasional ini dalam setiap prakteknya akan selalu meminta
prasyarat-prasyarat kondisionalitas yang harus dipenuhi oleh Indonesia. Disadari atau
tidak, melalui kesepakatan Letter of Intent, IMF menjadi semakin leluasa untuk turut
serta dalam penentuan kebijakan ekonomi Indonesia, yang secara langsung juga akan
berpengaruh pada bisnis-bisnis yang ada di Indonesia.
Sedangkan seperti telah banyak disebutkan, bahwa sebagian besar pelaku bisnis di
Indonesia masa Orde Baru adalah para pelaku bisnis yang banyak melibatkan patron
politik. Bisnis militer dalam perkembangan sebelumnya juga telah mengalami hal serupa.
Namun dengan adanya keterlibatan IMF dalam perekonomian Indonesia pasca krisis,
praktek-praktek patronase bisnis termasuk di dalamnya adalah bisnis militer, dengan
lebih banyak melibatkan negara atau alat-alat negara lainnya akan mengalami reduksi.
Karena dengan adanya tuntutan transparansi pemerintahan dimana juga merupakan salah
satu kesepakatan dalam LoI, tindakan-tindakan yang bersifat kolusi seperti banyak terjadi
dalam praktek patronase bisnis harus segera dihilangkan.
149
Selanjutnya ialah menguatnya peran modal asing dalam perekonomian di
Indonesia pasca Orde Baru akan melemahkan praktek patronase bisnis militer di
Indonesia. Hal ini sangat berkaitan persoalan sebelumnya mengenai adanya tekanan dari
dunia internasional dalam proses liberalisasi ekonomi di Indonesia. Perkembangan
perkonomian Indonesia pasca krisis nampaknya mengindikasikan bahwa perekonomian
Indonesia bergerak ke arah yang lebih liberal. Arus investasi asing diharapkan juga akan
menunjukan peningkatan. Semakin besarnya arus investasi asing ini jelas akan sangat
berpengaruh pada struktur modal di Indonesia. Pelaku bisnis domestik mau tidak mau
juga didorong jiwa kewirausahaannya sehingga dapat menunjukan kinerja yang lebih
baik dan kompetitif. Hal seperti ini pula yang akan dihadapi oleh bisnis militer.
Sedangkan dalam hipotesa kedua disebutkan bahwa, tekanan politik domestik di
era transisi dari otoriter ke demokrasi akan mereduksi peran bisnis militer adalah benar.
Bisnis militer sebagai salah satu bentuk patronase bisnis akan menghadapi bentuk-bentuk
persaingan bisnis yang lebih berat. Sebab di satu sisi ia telah kehilangan pijakan
utamanya dalam mengembangkan bisnisnya, yaitu kekuasaan politik. Sementara di sisi
lain ia juga “dipaksa” untuk tetap eksis di dalam sebuah situasi ekonomi yang liberal. Jadi
jelas, ketika bisnis militer harus juga berhadapan dengan kemampuan modal asing, maka
harus mengubah strateginya sebagai sebuah institusi bisnis yang lebih profesional, yaitu
sebuah institusi bisnis yang tidak lagi bersandar pada kekuasaan politik. Sehingga unit-
unit bisnisnya menjadi lebih kompetitif. Meski demikan tetap perlu diingat bahwa hal
tersebut bersifat sementara. Karena apabila ekonomi negara telah pulih, maka bisnis
militer ini harus segera dihilangkan. Sebab jika tidak dihapuskan, maka institusi militer
Indonesia selamanya akan tidak profesional. Di sinilah, maka peran aktif dari masyarakat
domestik untuk terus mengadakan tuntutan penghapusan keterlibatan militer di bidang
politik, sosial maupun ekonomi menjadi sangat penting. Selain itu dengan terus
berkembangnya tekanan tersebut, maka diharapkan pemerintah terutama institusi militer
juga akan terus melanjutkan reformasi internalnya sampai benar-benar tercipta sebuah
institusi militer yang profesional di Indonesia.
Namun begitu, dalam penghapusan bisnis militer ini yang perlu diperhatikan
ialah skala prioritas dari pembuatan anggaran militer. Sebab selama ini selain sebagai
usaha peningkatan kesejahteraan, keberadaan bisnis militer juga digunakan sebagai usaha
150
penggalangan dana bagi dana-dana non-budgeter. Misalnya saja untuk pendanaan
peralatan infrastruktur pendukung operasional atau untuk operasi-operasi sosial politik.
Seiring dengan dihapuskannya peran sospol, maka dalam perencanaan anggaran militer
di kemudian hari perlu dipertimbangkan prioritas anggaran bagi berbagai infrastruktur
standar yang sebelumnya dipenuhi oleh bisnis militer.
Jadi secara keseluruhan penulis melihat bahwa dalam rangka penghapusan bisnis
militer tadi, kita dapat menggunakan instrumen mekanisme pasar. Maksudnya ialah
dengan tidak adanya lagi pejabat militer yang duduk dalam struktur pemerintahan, maka
bisnis militer telah kehilangan “nilai tambah” yang dimilikinya selama ini. Sehingga
dengan demikian bisnis militer dipaksa untuk dapat berkompetisi dengan kelompok
bisnis lainnya. Dengan meletakan bisnis militer yang telah kehilangan nilai tambahnya
tadi pada sebuah mekanisme pasar diharapkan keberadaan bisnis militer secara bertahap
akan terhapuskan. Sementara itu pemerintah juga harus secara tegas memerintahkan
kepada panglima dan kepala staf untuk terus menutup unit bisnis militer yang tidak
berpotensi dan berprospek. Walau demikian yang patut pula menjadi perhatian ialah
perlunya batasan waktu yang jelas kapan militer masih boleh berbisnis. Sementara itu
untuk bisnis-bisnis yang berprospek secara bertahap dipisahkan dari institusi militer dan
dibiarkan berkembang sebagai sebuah kekuatan ekonomi nasional yang kompetitif,
sehingga diharapkan pula dapat mencegah economic genocide seperti yang dikhawatirkan
di atas.
Akhirnya kembali kepada permasalahan awal yang ingin dijawab dalam skripsi
ini, bahwa ternyata secara umum jelas keterlibatan pihak IMF dan modal asing dalam
perekonomian Indonesia pasca Orde Baru jelas akan membawa implikasi yang tidak
kecil. Bagi para pelaku bisnis dan ekonomi nasional, terlibatnya IMF dalam rangka
pemulihan ekonomi Indonesia dan semakin besarnya peran modal asing juga akan sangat
berpengaruh pada bisnis mereka. Dan bisnis militer sebagai salah satu pelaku bisnis juga
tidak dapat mengelak dari kenyataan ini.
151
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anderson, Benedict, Revolusi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan Di Jawa
1944-1946, Jakarta, Sinar Harapan, 1988.
Azca, M. Najib, Hegemoni Tentara, Yogyakarta, LKIS,1998.
Bhakti, Ikrar Nusa, et al, Tentara Yang Gelisah, Jakarta, Mizan, 1999.
Bird, Graham, IMF Lending to Developing Countries: Issues and Evidence, London,
Routledge, 1995.
Booth, Anne dan Peter McCawley (ed), Ekonomi Orde Baru, Jakarta LP3ES, 1990.
Bresnan, John Managing Indonesia: The Modern Political Economy, New York,
Colombia University Press, 1993.
Britton, Peter. Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia, Perspektif Tradisi-
Tradisi Jawa Dan Barat, Jakarta, LP3ES, 1996.
Budiman, Arief, Teori Negara, Negara, Kekuasaan Dan Ideologi, Jakarta, PT Gramedia
Pustaka Utama, 1997.
------------------, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, PT Gramedia, 1995.
------------------, Negara Dan Pembangunan, Studi Tentang Indonesia dan Korea Selatan,
Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas, 1991.
Bulkin, Farchan (kata pengantar), Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, Jakarta,
LP3ES, 1995.
Chossudovsky, Michael, The Globalisation of Poverty, Impacts of IMF and World Bank
Reform, Penang, Zed Books Ltd, 1997.
Crouch, Harold, Militer dan Politik Di Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Dydo, Todiruan, Pergolakan Politik Tentara, Sebelum dan Sesudah G30S/PKI, Jakarta,
Golden Terayon Press, 1990.
Feith, Herbert, Sukarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta, Sinar Harapan,
1995.
-----------------, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, London, Cornell
University Press, 1973.
Hadiz, Vedi R., Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar dan INSIST, 1999.
152
Harvey, Barbara Silars, Permesta, Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta,
Grafitipers,1989.
Hill, Hal, The Indonesia Economy Since 1966, Southeast Asia's Emerging Giant,
Melbourne, Cambridge University Press, 1996.
-----------, The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences and Lessons,
Singapore, ISEAS, 1999.
Hoogvelt, Ankie, Globalization and The Postcolonial World: The New Political Economy
of Development, Baltimore, Maryland, The John Hopkins University Press,
1997.
Huntington, Samuel. P, The Soldier and State, The Theory and Politics of Civil-Military
Relations, London, Harvard University Press, 1998.
---------------------------, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, PT Pustaka Utama
Grafiti, 1997.
Irwan, Alexander, Patronase Bisnis, Kelas Dan Politik: Studi Tentang Indonesia, Korea
Selatan dan Muangthai, Jakarta, SPES, 1994.
--------------------, Jejak-Jejak Krisis Di Asia: Ekonomi, Politik, Industrialisasi, Jakarta,
Kanisius, 1999.
Kwik Kian Gie, Ekonomi Indonesia: Dalam Krisis dan Transisi Politik, Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Krugman, Paul The Return of Depression Economics, New York, W.W Norton & Comp,
1999.
Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, 1991.
Lowry, Robert , The Armed Forces of Indonesia, Sydney, Allen & Unwin, 1996.
Mas'oed, Mochtar, Ekonomi Dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta, LP3ES,
1989.
Muhaimin, Yahya, Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966,
Yogjakarta, Gajahmada University Press, 1982.
----------------------, Bisnis Dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta
LP3ES, 1990.
153
Neuman, W.Lawrence, Social Research Methods: Qualitative And Quantitative
Approaches 3rd Edition, Boston, Allyn and Bacon, 1997.
Notosusanto, Nugroho, Pejuang Dan Prajurit, Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi
ABRI, Jakarta, Sinar Harapan, 1985.
Robison, Richard, Indonesia: The Rise of Capital, Sydney, Allen & Unwin, 1986.
Samego, Indria, et al, Bila ABRI Berbisnis, Bandung, Mizan, 1998.
---------------------, "…Bila ABRI Menghendaki", Desakan Kuat Reformasi Atas Konsep
Dwifungsi ABRI, Bandung, PT Mizan, 1998.
Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Politik Dan Pembangunan,
Jakarta, Rajawali Press, 1993.
Singh, Bilveer, Dwifungsi ABRI, Asal Usul, Aktualisasi Dan Implikasinya Bagi Stabilitas
dan Pembangunan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Stepan, Alfred, Militer Dan Demokratisasi, Pengalaman Brasil Dan Beberapa Negara
Lain, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1996.
Sundhaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwifungsi ABRI, Jakarta,
LP3ES, 1986.
Suryadinata, Leo, Golkar Dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta, LP3ES,
1992.
Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998.
-----------, Pikiran Politik Sjahrir, Jakarta, LP3ES, 1994.
Thee Kian Wie, Industrialisasi Di Indonesia: Beberapa Kajian, Jakarta, LP3ES, 1996.
Todaro, Michael P, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Jilid 2, Jakarta, Erlangga,
1998.
Vatikiotis, Michael R.J, Indonesian Politics Under Suharto Order, Development and
Pressure for Change, London, Routledge, 1994.
Vey, Ruth Mc (ed), Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
1998.
Winters, Jeffry, Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Jakarta, Sinar
Harapan, 1999.
Memorandum Serah Terima Direksi PT Tri Usaha Bhakti, Jakarta 30 Juli 1994, tidak
dipublikasikan.
154
Memorandum serah terima jabatan ketua umum YKEP tanggal 23 Februari 1998, Jakarta,
YKEP, tidak dipublikasikan.
Anggaran dasar YKEP, no Skep/02/YKEP/II/1998, tidak dipublikasikan.
Anggaran rumah tangga YKEP, no Skep/03/YKEP/II/1998, tidak dipublikasikan.
Financing Military Rule: The Clinton Administration, The World Bank, and Indonesia; A
Research Report by the Project on Demilitarization and Democracy, released
April, 19, 1994.
Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta Peran
Organ Perusahaan dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4
Mei 2000, tidak dipublikasikan.
Skripsi/Tesis/Desertasi.
Hadiz, Vedi R, Teori Negara Pasca Kolonial, Skripsi Jurusan Ilmu Politik FISIP UI,
1987.
Yoo Hwan Shin, Demystifying The Capitalist State: Political Patronage, Bureaucraetic
Interests, and Capitalist-In-Formation In Soeharto's Indonesia, A Dessertation,
Yale University, 1989.
Jurnal/Majalah Ilmiah Berkala.
Ambong, Ibrahim "Hubungan ABRI-Golkar", dalam Jurnal Ilmu Politik no:6, Jakarta,
PT Gramedia, 1990.
Bulkin, Farchan "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan
Penelitian", dalam Prisma, No:2, Februari 1984, Jakarta, LP3ES.
Doroodian, Khosrow, “IMF Stabilization Policies in Developing Countries: A
Disaggregated Quantitative Analysis”, dalam International Economic Journal,
Vol. 8 No.4 Winter 1994.
Irwan, Alexander, "Kolaborasi Antara PMN, Postfordism dan Politik Ekonomi
Indonesia", dalam Prisma, No:8, Agustus 1990, Tahun XIX, Jakarta, LP3ES.
MacIntyre, Andrew, "Political Institutions and the Economic Crisis in Thailand and
Indonesia", ASEAN Economic Bulletin, December, 1998.
155
Sikorski, Douglas “The Financial Crisis in Indonesia: Explanations and Controversies”,
dalam The Indonesian Quarterly, Vol: XXVI. No:4, 4th Quarter, Jakarta, CSIS,
1998.
Soesastro, Hadi, "A Review of Current an Capital Account Liberalisation in Indonesia",
Indonesia Quarterly, Vol: XXVI/1998, no:2, Jakarta, CSIS.
Koran/Majalah.
Bisnis Indonesia, 1 November 1997.
Kompas, 3 Desember 1997.
Kompas 16 Januari 1998.
Kompas 1 Oktober 1998.
Panji, no:25 th:II, 7 Oktober 1998.
Kompas, 4 Oktober 1999.
Kompas, 24 Mei 2000.
Kompas, 2 Juni 2000.
156
The following item is a Memorandum of Economic and Financial Policies of the government of Indonesia, which describes the policies that Indonesia intends to implement in the context of its request for financial support from the IMF. The document, which is the property of Indonesia, is being made available on the IMF website by agreement with the member as a service to users of the IMF website.
Jakarta, Indonesia January 15, 1998
Indonesia—Memorandum of Economic and Financial Policies
I. BACKGROUND
1. For the past several decades, prudent macroeconomic policies and continuing structural reforms have kept Indonesia on a path of rapid economic development. Since the 1970s, economic growth has averaged 7 percent per annum, raising GDP per capita toward the level of middle income countries, while dramatically lowering the incidence
of poverty. The economic structure has become diversified, as dependency on the oil sector has declined and an export-oriented manufacturing base has emerged, led by a
dynamic private sector and fueled by high domestic savings and large inflows of foreign direct investment. Meanwhile, macroeconomic balance has been maintained: the budget has been balanced; inflation has been contained at relatively low levels; current account
deficits have been kept moderate; and international reserves have remained at comfortable levels.
2. Despite this strong macroeconomic performance, a number of underlying weaknesses have made the country vulnerable to adverse external shocks. Structural rigidities arising
from regulations in domestic trade and import monopolies have impeded economic efficiency and competitiveness. At the same time, the relative stability of the rupiah
during most of the 1990s, together with high rates of return on domestic investment, both encouraged and facilitated high levels of overseas borrowing, a significant portion of
which has been private short-term debt that has been unhedged. By end-December 1997, Indonesia’s external debt stood at $140 billion (about two-thirds of GDP), of which $20
billion was short term, while its debt service has remained close to one-third of exports of goods and services. Also, the rapid expansion of the financial system since the late 1980s
has left a number of banks with significant amounts of nonperforming loans, straining their liquidity and, in a number of cases, undermining their financial viability.
3. In the wake of the recent currency turmoil in the region, the exchange rate has depreciated to alarming levels. From mid-July last year to early January this year, the
cumulative depreciation of the rupiah reached 70 percent, with over half of this decline occurring since the end of November, while the fall in the Jakarta stock exchange index reached 50 percent, both the largest declines in the region. The enormous depreciation of the rupiah did not seem to stem from macroeconomic imbalances, which remained quite
modest. Instead, the large depreciation reflected a severe loss of confidence in the currency, the financial sector, and the overall economy.
157
4. The plummeting of the rupiah has led to very large increases in the rupiah debt service costs of banks and corporations that had borrowed—largely without hedging—from
abroad. Moreover, since the currency depreciation has engendered a substantial rise in domestic interest rates, the burden of paying for, and collecting, domestic currency loans has also increased, further straining the position of corporations and financial institutions, particularly those that were already weak. A major concern for the government is that the
process has become self-reinforcing: growing strains on firms have amplified investor uncertainty and encouraged capital flight, thereby intensifying pressures on the exchange
rate and domestic interest rates.
5. From the outset of the currency crisis, the government has taken strong corrective action. To discourage speculative attacks, the exchange rate band was widened in July
and, in August, in the face of continued pressure on the currency, the rupiah was allowed to float. This policy was backed by a significant tightening of liquidity conditions and an
announcement that the budget surplus would be preserved by postponing major infrastructure projects, cutting low priority development programs, and extending the coverage of the luxury sales tax. At the same time, import tariffs on over 150 items (mainly raw materials and other intermediate goods) were reduced effective mid-
September, while the 49 percent limit on foreign holdings of listed shares was abolished. Further trade liberalization measures, including removing monopoly restrictions on
agricultural imports were announced in November last year. These actions, however, were not sufficient to restore confidence in the rupiah and the economy.
II. THE POLICY FRAMEWORK 6. In November, in the context of an IMF-supported program, the government put in place a comprehensive
policy package to restore confidence and arrest the decline of the rupiah. Fiscal policy was formulated to preserve a budget surplus of about 1 percent of GDP while monetary policy aimed at containing inflation
and supporting the exchange rate. These policies were to provide the supportive macroeconomic framework for the continuing efforts to restructure the financial sector and accelerate structural reforms.
7. However, following a short-lived strengthening, the rupiah plummeted owing to a combination of contagion from currency turmoil in the region, political developments,
and other uncertainties. It is now clear that the original macroeconomic targets cannot be realized. Under current volatile conditions, it is difficult to set precise macroeconomic
targets. Nevertheless the program is designed to avoid a decline in output, while limiting inflation to about 20 percent, which, although high by Indonesian standards, is
unavoidable given the substantial depreciation of the rupiah. At the same time, the external current account balance is expected to move from a deficit in 1997/98 to a
surplus in 1998/99. A. Macroeconomic Policies
Fiscal Policy
8. The government is fully committed to maintaining a sound fiscal policy. However, with the sharp depreciation of the rupiah and the deterioration in the economy, it is no
longer feasible to aim at a surplus of 1 percent of GDP in 1998/99. The budget has therefore been framed to strike an appropriate balance between preventing undue deterioration of the fiscal position and avoiding an excessive fiscal contraction.
Accordingly, the government is determined to follow its long-standing policy of a balanced budget (in the Indonesian presentation), which avoids any recourse to domestic financing. The corresponding deficit in the IMF presentation is about 1 percent of GDP.
158
To realize this objective, the government has strengthened the budget introduced on January 6 by adopting new measures.
9. To reduce economic distortions, and strengthen the fiscal position, the government intends to adjust administered prices with the aim of gradually eliminating subsidies on
fuel and electricity. As the price increases necessary to eliminate these subsidies are very large owing to the depreciation, it is not feasible to bring domestic prices to the level of
international prices abruptly. The government will therefore aim to eliminate these subsidies gradually over the course of the program, starting with the sizable initial
adjustment in April 1, 1998 in fuel and electricity prices, except for prices of kerosene and diesel fuel, where increases will be kept to a minimum so as to protect the poor.
10. On the revenue side, the government has already announced increases in excises on alcohol and tobacco, which will effectively raise revenue from these items by 80 percent and 10 percent, respectively. These excises will be increased further on July 1, 1998 to reflect exchange rate and price developments. In addition, effective April 1, 1998, the
government will remove all VAT exemptions (apart from those on capital goods or those explicitly mandated by law); these include, inter alia, electricity for private companies,
taxis, soybean food for cattle, sugar, personal goods, medical equipment, and other machinery and capital equipment. All VAT exemption arrangements will be reviewed
regularly. With regard to other taxes, a 5 percent local sales tax on gasoline will be introduced on April 1, 1998 and the number of goods subject to the luxury sales tax will
be increased. The government will also shortly increase the proportion of the market value of land and buildings assessable for tax to 40 percent for plantations and forestry
property.
11. In order to improve tax administration and the structure of the tax system, the government has introduced a single taxpayer registration number which will come into
effect on April 1, 1998. Further planned improvements, in line with recommendations of the Fiscal Affairs Department of the IMF, to increase non-oil tax revenue, include: (i)
raising the annual audit coverage; (ii) developing improved VAT audit programs to target large potential taxpayers; and (iii) increasing the recovery of tax arrears. To accelerate
progress in this area, the government intends to request further technical assistance from the Fund.
12. To ensure the quality and durability of the fiscal reform, the government will move to a comprehensive and transparent system to report on the public sector financial position, particularly including quasi-fiscal operations. Accordingly, the government has decided to accelerate provisions under the Nontax Revenue Law of May 1997 which require all off-budget funds to be incorporated in the budget within five years. The accounts of the two large off-budget accounts, the Investment Fund and the Reforestation Fund, will be
incorporated in the central government budget at the beginning of the 1998/99 fiscal year. In the specific case of the Reforestation Fund, the government will ensure that the funds
are used exclusively for their intended purpose of financing reforestation programs, which include those outside the concessional forest areas, development of industrial forestry areas, reforestation of unproductive land, and other reforestation programs.
159
13. In recognition of the serious financial crisis facing Indonesia, the government has canceled 12 major infrastructure projects that had been reinstated earlier, including the
Tanjung Jati-C power plant. The government has also decided to discontinue immediately any special tax, customs, or credit privileges granted to the National Car. In any event, the government will implement ahead of schedule the ruling of the WTO dispute panel.
Moreover, consistent with Indonesia’s commitment to the WTO, the local content program for motor vehicles, which gives preferential tariff rates to vehicle manufacturers using a high percentage of local parts, will be phased out by 2000. It has also decided to discontinue immediately any budgetary and extrabudgetary support and credit privileges
granted to IPTN projects.
Monetary and Exchange Rate Policy
14. Since the crisis began, Bank Indonesia’s monetary strategy has been to support the rupiah exchange rate, and limit any increase in inflation, by maintaining a firm monetary
stance. The execution of this policy, however, has been hampered by problems in the banking system. Following the closure of 16 insolvent banks in November last year, customers concerned about the safety of private banks have been shifting sizeable
amounts of deposits to state and foreign banks, while some have been withdrawing funds from the banking system entirely.
15. These movements in deposits have greatly complicated the task of monetary policy, because they have led to a bifurcation of the banking system. By mid-November, a large
number of banks were facing growing liquidity shortages, and were unable to obtain sufficient funds in the interbank market to cover this gap, even after paying interest rates
ranging up to 75 percent. At the same time, another smaller group of banks were becoming increasingly liquid, and were trading among themselves at a relatively low
JIBOR (Jakarta Interbank Offer Rate) of about 15 percent. As this segmentation continued to increase, while the stress on the banking system intensified, Bank Indonesia
was compelled to act. It provided banks in distress with liquidity support, while withdrawing funds from banks with excess liquidity, thereby raising JIBOR to over 30
percent in early December, where it has since remained.
16. Nevertheless, despite this increase in interest rates—to levels higher than in any other country in the region—the problems of the rupiah have only intensified. From early December to early January, the exchange rate lost a further 53 percent of its external
value, falling from around Rp 3,700 per U.S. dollar to around Rp 8,000 per U.S. dollar. Part of the reason was that the rupiah was affected by the financial turmoil in other
neighboring countries. Another factor was that markets became increasingly concerned about the deterioration in Indonesia’s economic situation, which has weakened the
financial health of the banking system and the corporate sector. Most of all, however, markets were concerned that the program originally designed in November was no longer
sufficient to overcome the country’s economic predicament.
17. With the overall policy package that has recently been adopted, and set out in this Memorandum, the government is now convinced that confidence in the economic
direction of the country will be speedily restored. And as this occurs, the exchange rate of the rupiah will finally stabilize. However, during the transitional period, in which
160
confidence is taking hold, lingering concerns about exchange rate depreciation are likely to keep market interest rates at high levels. Bank Indonesia recognizes that, in these
circumstances, it will need to keep its own interest rates high, as well. Accordingly, Bank Indonesia is raising interest rates on SBI (central bank) certificates across the entire
spectrum of maturities, from overnight to one year, thereby bringing them in line with conditions prevailing in the money market—and sending a clear message to financial
markets that it will maintain a firm monetary stance for as long as proves necessary. At the same time, Bank Indonesia is also providing full autonomy to state banks to adjust
rates on credit and deposit liabilities, so that their rates could also reflect developments in money and credit markets.
18. This tight monetary stance will inevitably mean that, at least for the time being, the amount of credit available for lending to the corporate sector will remain constrained and the cost of credit will remain very high. Such a situation will place a particular burden on
smaller enterprises, which rely on bank credit for their sole source of financing. To alleviate this burden, the government has introduced a temporary program under which credit will be provided to small-scale enterprises through the state banks at subsidized
interest rates. The cost of the subsidy will be borne not by the state banks, but rather by the central government budget. A facility will also be established to extend credit to exporters at commercial terms. Eventually, though, these arrangements should prove redundant, since once confidence is fully restored and the exchange rate stability is
regained, then funds should flow back into the banking system and the overall policy stance can be relaxed gradually, thereby providing greater room for banks to expand
credit and lower their interest rates—for all firms.
19. Bank Indonesia’s financial program has been formulated in the context of extremely uncertain financial conditions, including with regard to the demand for monetary
aggregates. Over the course of 1997, the growth of broader monetary aggregates, slowed considerably, with M2 growth falling from year-on-year rates of 25 1/2 percent in June to
23 percent by November. At the same time, the money multiplier has fallen sharply, partly because there has been a marked increase in the demand for currency, as concerns
grew over the scale of banking sector difficulties, but also because financial intermediation has declined, as banks become more reluctant to lend. Consequently, even
though base money growth exceeded the program objective, broad money was well within the December target.
20. Bank Indonesia has established, in consultation with the Fund, a financial program for 1998, to ensure that monetary policy continues to operate within a well-defined
framework, with a clear inflation objective. This program aims to contain inflation to less than 20 percent, implying that policy will ensure that there is only a limited pass through of the very substantial depreciation onto the prices of imports, and only a muted impact
of the drought on food prices. To achieve this ambitious objective, Bank Indonesia plans to limit the growth of broad money to 16 percent in 1998. As in 1997, broad money
growth targets will be attained by controlling base money, rather than by relying on direct quantitative lending targets.
21. This monetary strategy will be complemented by judicious foreign exchange intervention to stabilize and support the exchange rate. The scale of this intervention will
161
be determined in close consultation with IMF staff, and will also be subject to Bank Indonesia maintaining net international reserves above the monthly and quarterly floors specified in the program. As in our previous Memorandum on Economic and Financial
Policies, any sterilization of exchange market intervention will be strictly limited so as to ensure that monetary conditions become firmer as the scale of intervention increases.
22. Bank Indonesia will immediately be given autonomy in formulating and implementing monetary policy. To ensure that the central bank remains accountable, the
inflation objective will continue to be decided by the government as a whole, but the policies for achieving this objective, such as changes in official interest rates, will be determined solely by the central bank. To institutionalize the autonomy of the central bank, a draft law will be submitted to Parliament by the end of 1998, which will also
include changes in the composition and mandate of the Monetary Board. B. Financial Sector Restructuring
Bank restructuring program
23.. The government has already taken decisive action to implement a comprehensive program of bank restructuring aimed at restoring the soundness of the banking system. On November 1, 1997, sixteen insolvent banks were closed. The bank closures made it clear to the market that owners would lose their stake in banks that become unviable. A number of other banks, including regional development banks, have been placed under intensive supervision by the central bank. Rehabilitation plans for some of these banks
have been approved by the central bank and are being implemented, while others are still under preparation.
24. However, the continued depreciation of the rupiah, the slowdown in growth, and high interest rates since then have led to a marked deterioration of the financial condition of
the remaining banks. This deterioration has been exacerbated by deposit runs and capital flight, forcing many banks to increasingly resort to central bank liquidity support. The
large depreciation of the rupiah in recent weeks has raised the concern that these problems will only intensify.
25. In these circumstances, the government believes that re-establishing confidence in the ability of the banking system to meet its commitments and play its intermediation role is of paramount importance. Therefore, Bank Indonesia is working closely with the AsDB,
IMF, and World Bank staff to establish and expeditiously implement uniform, transparent and equitable rules for resolving liquidity and solvency problems, of private banks. These
measures will be announced shortly. The central bank will provide liquidity support to banks subject to increasing conditions, while ensuring that liquidity support extended to
banks will be consistent with the program’s monetary growth objectives.
26. With technical assistance from the World Bank, the government has also taken steps to resolve the problems of the state banks and ensure their safety and soundness. The aim of this program is to improve their efficiency and subsequently privatize them. Toward this objective, the government announced in December 1997 that BTN will become a
subsidiary of BNI and that four state banks, Bapindo, Bank Bumi Daya, BDN and Bank Exim, will be merged. The government will ensure that the merger process will be used
to downsize the operations of the merging banks, sell redundant facilities and bank
162
branches, reduce excessive manpower, economize on automated systems, maximize benefits from complementary strengths, and prepare the institutions for privatization. The
state banks will not be recapitalized except in conjunction with privatization. The government will ensure that, until privatization, the state banks perform according to
criteria detailed in performance contracts, prepared by the Ministry of Finance (Directorate General for State Enterprises) with assistance from the World Bank, by end-
March 1998. These contracts will spell out the objectives of the management of each institution and form the basis for assessing performance.
27. In support of the ultimate goal of full privatization of all state banks, the government will introduce legislation by end-June 1998 to amend the Banking law in order to remove
the limit on private ownership. The new bank formed from the merger of the four state banks will be staffed by new managing directors. This new management will be in place by end-February 1998 and will formulate and implement a plan for interim operations of
the four merging banks including a timetable for the final merger. Foreign strategic partners will be sought for the merged bank to assist in attracting other private sector participation and for eventual privatization. The timetable for privatization for all the
state banks will be determined in consultation with the IMF and the World Bank.
28. As preparation for the mergers and acquisition process, as well as for privatization, all state banks (including those that will not be merged) will conduct portfolio, systems, and financial reviews to internationally acceptable standards using teams from internationally
recognized audit firms. These reviews will be initiated by end-February 1998 and completed by end-June 1998. Subsequent reviews will be conducted annually. The
portfolio, systems, and financial reviews will serve to appraise the value of the assets and establish a basis for segregation of good and bad assets, according to uniform criteria and procedures. In addition, a financial plan for funding of bad debts of the state banks will
be prepared with the assistance of the World Bank by end-July 1998. A new asset resolution entity will be established by end-March 1998, and made fully operational by end-July 1998. This entity will receive the bad debts of state banks and will concentrate
solely on debt recovery within a defined time schedule.
Strengthening the legal and supervisory framework for banking
29. The government is firmly committed to improving the supervision of the banking system. Enforcement of prudential regulation has been strengthened through
establishment of a graduated system of penalties for noncompliance, culminating in the withdrawal of banking license. Capital adequacy rules are being enforced within the
context of the bank restructuring strategy, and in the case of the non-foreign exchange banks, minimum capital requirements will be increased gradually to put them on par with
the foreign exchange banks. New loan classification and provisioning guidelines have been prepared and loan loss provisions will be made fully tax-deductible by end-March 1998. The reporting and monitoring procedures for foreign exchange exposure of banks have been upgraded and the limits strictly enforced. The central bank’s capacity for risk-
based supervision will be further strengthened with technical assistance from the IMF and the World Bank. Beginning in March 1998, internationally-recognized specialists are to
provide active support in on- and off-site supervision. Moreover, to eliminate the conflict of interest inherent in central bank ownership of banks, Bank Indonesia has established a
163
program for divestiture of its interests in private banks, and has already made substantial progress towards this goal.
30. To further strengthen the policy and institutional infrastructure for banking, the government has taken steps to:
(a) revise the legal framework for banking operations, after a thorough review of central bank and banking laws as well the company law and liquidation regulations, which will be completed by end-September, 1998. Areas of focus will include, bankruptcy, banking disclosure, taking and realizing collateral, and regulations on financial instruments. Action plans to improve the legal framework will be prepared by the end of 1998 with the help of the IMF and the World Bank.
(b) improve transparency and disclosure in banking. To this end, the government will immediately require all banks to publish audited financial statements annually. Bank Indonesia will also review the adequacy of data provided in banks’ condensed biannual balance sheets with a view to improving the dissemination of information on the financial condition of individual banks. The government will also require banks to regularly publish more comprehensive data on their operations, after a transition period that is expected to be less than two years. Banks wishing to publish such data prior to the end of the transition period would be free to do so.
(c) level the playing field for foreign investors in banking. As part of its WTO negotiations for liberalizing trade in financial services, the government has decided to: lift restrictions on branching of foreign banks by February 1998; in addition, it will submit to the Parliament a draft law to eliminate restrictions on foreign investment in listed banks by June 1998.
(d) eliminate all restrictions on bank lending, other than those required for prudential reasons, or those to support co-operatives and small-scale enterprises (the KUK scheme).
C. Structural Reforms
31. In November, the government set out an ambitious strategy of structural reform, aimed at bringing the economy back to a path of rapid growth, by transforming the "high-cost economy" into one which would be more open, competitive, and efficient. To achieve this transformation, the strategy called for foreign trade and investment to be further liberalized, domestic activities to be further deregulated, and the privatization program accelerated. At the same time, it envisaged that measures would continue to be taken to alleviate
poverty.
32. The government has already made considerable progress toward the strategy’s objectives. In November, a major step was taken toward opening up the economy and
increasing competition, when BULOG’s import monopoly over wheat and wheat flour, soybeans, and garlic were eliminated. To ensure that final consumers obtained maximum
benefits from this reform, importers were allowed to market all of these products domestically, except wheat (until recently; see paragraph 44 below). Similarly, to ease the adjustment costs for farmers, tariffs were simultaneously introduced on all of these
products, but these rates were limited to 20 percent or less, and will be reduced to 5 percent by 2003.
33. In addition, two other important structural measures have also been taken under the program. First, in November, the administrative retail price for cement was eliminated, thereby improving the degree of competition in this industry, and immediately reducing prices for construction firms and consumers. Second, the medium-term tariff reduction
program was extended to cover two key additional sectors, chemicals and metal products. Tariffs on most chemical products have already been reduced by 5 percentage points,
effective January 1, 1998 while those on steel/metals will be lowered beginning January
164
1, 1999. In line with the overall program, further reductions in these tariffs are scheduled for subsequent years, so that by 2003, the maximum tariff on these products will be
brought down to the medium-term target of 10 percent.
34. Despite this steady progress, the economic crisis has deepened during December and early January, making it clear that bolder, and faster, reform will be necessary to overcome the economy’s problems. Accordingly, the government has decided to
reinforce its structural reform program, by accelerating some of the measures that were earlier planned, and by supplementing them with additional actions.
Foreign Trade and Investment
35. Over the past two months, it has become evident that the drought afflicting the country is the most severe in half a century, and requires emergency measures.
Accordingly, to ensure that adequate food supplies will be available to the population at reasonable prices, the government has decided to go beyond the original program strategy, and include agricultural goods in the general program of tariff reduction
(leaving motor vehicles as the only exception). As an immediate measure, tariffs on all food items have been cut to a maximum of 5 percent, while local content regulations on dairy products have been abolished, both effective February 1, 1998,. At the same time, tariff rates on non-food agricultural products will be reduced by 5 percentage points, and
will gradually be reduced to a maximum of 10 percent by 2003.
36. At the same time, as another major step in assuring a level playing field, on February 1, 1998, all import restrictions on all new and used ships were also abolished. All other remaining quantitative import restrictions, other than those which may be justified for
health, safety, environment and security reasons, and other nontariff barriers that protect domestic production, will be completely phased out by the end of the program period.
37. The government also intends to phase out punitive export taxes, since these can no longer be justified, given the country’s now-pressing need to augment its inflows of
foreign exchange. Accordingly, on February 1, 1998, export taxes on a wide range of products—including leather, cork, ores and waste aluminum products—will be abolished. For other products, however, export taxes cannot simply be eliminated, since they serve
as an important means of discouraging overexploitation of Indonesia’s natural environment. In such cases, therefore, export taxes will be replaced by resource rent
taxes, which would protect the environment, while eliminating the bias against production for export, rather than for domestic use. As a first step, in March 1998, export
taxes on logs, sawn timber, rattan, and minerals will be reduced to a maximum of 10 percent ad valorem, and appropriate resource rent taxes imposed. At the same time,
similar steps will be taken for all of the remaining items currently subject to an export tax: the levies on exporting will be abolished and replaced by resource rent taxes, where
appropriate.
38. The government will also eliminate all other types of export restrictions, such as quotas, by the end of three years. The only exceptions will be for those restrictions
imposed for health and security reasons, as well as time-bound, temporary, measures introduced in the event of occasional domestic shortages—such as the recently imposed
165
export ban on palm oil. This ban will need to be retained through the first quarter of 1998, to ensure adequate domestic supplies of palm oil and restrain price rises. After March, however, it will not be renewed, nor will the previous system of export quotas
and punitive taxes will be reintroduced. Instead, palm oil will be subject to export taxes at rates not exceeding 20 percent.
39. Another pressing need in the current circumstances is to encourage foreign investment. Accordingly, the government has decided that in June 1998 it will issue a
revised and shortened negative list of activities closed to foreign investors. As part of this process, the government has removed restrictions on foreign investment in palm oil
plantations on February 1, 1998 while those on wholesale and retail trade will be lifted by March 1998.
Deregulation and Privatization
40. The second major thrust of the structural reform strategy will be to deregulate and privatize the economy, in order to promote domestic competition and expand the scope of the private sector. As a first, bold step, all of the existing formal and informal restrictive
marketing arrangement—including those for cement, paper, and plywood—will be dissolved, as of February 1, 1998. Henceforth, no firm will be forced to sell its product
through a joint marketing organization, nor be required to pay fees or commissions to it. Neither will any organization be allowed to assign exclusive marketing areas, or to dictate production volumes or market shares to individual enterprises. In the case of
cement, internal and external trade restrictions have also been eliminated, so that traders are now free to purchase and distribute all brands of cement in all provinces and export
without acquiring permits other than a general exporters’ license.
41. Similarly, trade in agricultural products is also being deregulated. Effective February 1, 1998, traders will have the freedom to buy, sell, and transfer all commodities across
district and provincial boundaries, including cloves, cashew nuts, oranges, and vanilla. In particular, traders will be able to buy and sell cloves at unrestricted prices to all agents, effective immediately, and the Clove Marketing Board will be eliminated by June 1998. The system of quotas limiting the sale of livestock will be abolished by September 1998. Furthermore, provincial governments will be prohibited from restricting interprovincial
or intraprovincial trade, effective February 1, 1998.
42. To support export expansion the government is now enforcing the prohibition of retribusi (local taxes) at all levels on export goods. To strengthen competition and market integration, government will develop and implement a one-year program for abolishing taxes on interprovincial and inter-district trade. Any loss of local government revenue
will be addressed through a combination of local fuel taxes and transfers from the central government.
43. BULOG’s monopoly will be limited to rice. Earlier, the government had planned that, following the November 1997 liberalization of wheat imports, domestic millers should
distribute their flour through BULOG for a 3-5 year transition period. Now, however, we have decided to eliminate this requirement, while flour millers will be permitted to sell or
distribute flour to any agent, both effective February 1, 1998. Also, effective the same
166
date, all traders will be allowed to import sugar and market it domestically, while farmers will be released from the formal and informal requirements for the forced planting of sugar cane. This major measure will have a number of important economic benefits. It will rationalize sugar production, enabling old and inefficient government mills to be
closed. It would increase rice output, as farmers switched from growing cane on irrigated land to producing higher value-added paddy. And it would increase the efficiency and
competitiveness of sugar-using industries, such as food processing.
44. In parallel with these efforts to increase private sector productivity, the government is undertaking a public sector expenditure and investment review in order to promote a
more efficient use of government resources. This review, which is being carried out in collaboration with the World Bank, will be completed by June 1998 and will result in a
comprehensive program to improve fiscal efficiency, and restructure state-owned enterprises and strategic industries.
45. This review will also be the basis for an accelerated program of privatization. Already, oversight of public enterprises was moved to the Ministry of Finance from line
ministries and a Privatization Board has been established. A clear framework will be established for the management and privatization (either through share flotation or
negotiated enterprise sales) of government assets by April 1998, including: (i) criteria for determining whether enterprises should be closed, restructured or fully privatized; and (ii) a transparent sales process that maximizes the return to government and treats all bidders
equally.
46. Within this framework, the government aims to accelerate privatization and to take decisive action to restructure or close poorly performing enterprises. Twelve enterprises will be prepared for listing during the first year of the program. In all of these cases, the government intends to go beyond the recent pattern of seeking minority shareholders in
public enterprises, by selling controlling, or even complete, stakes to the private sector. In addition, further tranches of government-controlled shares in public enterprises which are
already listed will be offered for sale, so that these enterprises, too, can be fully privatized.
47. As for those enterprises remaining within the public portfolio, clear profit and performance targets will be established, which will be made public and reported upon annually. Nonviable enterprises will be audited by end-1998 and nonviable enterprises
closed. Progress in this area will be assessed at the time of the second review.
Social Safety Net
48. Indonesia has made significant progress in alleviating poverty over the past 30 years. Yet large numbers of poor still remain, and it is imperative that the adjustment program does not result in a worsening of their economic and social conditions. To some extent,
the depreciation should benefit the rural poor by raising output prices in the export-oriented agricultural sector. Nonetheless, the poor are likely to suffer extensively from
the economic crisis, particularly as it has been compounded by an unusually severe drought. In these circumstance, special government initiatives will be necessary. In
167
particular, the government plans to introduce community-based work programs to sustain the purchasing power of the poor in both rural and urban areas.
49. In addition, efforts to target assistance to the poor will be intensified, including by expanding the program for the least developed villages, initiated in 1994, which has
proved to be cost effective in creating rural infrastructure and expanding employment opportunities for the poor. Moreover, poverty eradication and more equal income
distribution are to be major themes of the next five-year development plan, which begins in 1999. In particular, budgetary allocations for social spending will be increased, so as to
ensure that all Indonesians receive at least nine years of education and better basic medical services.
Environment
50. To strengthen overall environmental sustainability, the government will draft and establish implementation rules for the new environmental law by March 1998. In
addition, government will review and raise stumpage fees, auction concessions, lengthen the concession period, and allow transferability by June 1998, and will implement
performance bonds and reduce land conversion targets to environmentally sustainable levels by the end of 1998. To improve air quality, the government is accelerating its
program for conversion to cleaner fuels, including unleaded gasoline, to meet the President’s 1999 deadline.