kontradiksi hadis dengan al-qur’an

29
HADIS BERKONTRADIKSI DENGAN AL-QUR’AN Makalah Diajukan Untuk Seminar Kelas Mata Kuliah Metode Pemahaman Hadis Dosen Pengampu DR. H. Muchlisin Sa’ad, MA Oleh M. Syukrillah NIM. F08213256 PROGRAM STUDI ILMU HADIS PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN AMPEL SURABAYA 2013

Upload: independent

Post on 21-Apr-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HADIS BERKONTRADIKSI DENGAN AL-QUR’AN

Makalah

Diajukan Untuk Seminar Kelas

Mata Kuliah Metode Pemahaman Hadis

Dosen Pengampu

DR. H. Muchlisin Sa’ad, MA

Oleh

M. Syukrillah

NIM. F08213256

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SUNAN AMPEL SURABAYA

2013

ABSTRAK

M. Syukrillah, 2013. Hadis Bertentangan dengan Al-Qur’an.

Makalah, Konsentrasi Ilmu Hadis, Program Pascasarjana,

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Dosen

Pengampu : Dr. H. Muchlisin Sa’ad, MA

Al-Qur’an dan hadis sangat penting kedudukannya dalam

wacana keislaman. Keduanya memiliki hubungan dan keterkaitan

erat dalam memproduk aturan hukum dan pedoman hidup umat

Islam. Persoalan muncul dalam diskursus pemahanan hadis berupa

klaim adanya kontradiksi antara sejumlah hadis dengan ayat-ayat

al-Qur’an.

Dalam makalah ini akan dikaji persoalan ini melalui kajian

kepustakaan (library research). Simpulannya adalah metodologi

penyelesaian klaim kontradiksi antara al-Qur’an dan hadis Nabawi

dapat menggunakan perspektif ilmu kritik hadis (Naqd al-hadith)

dan pendekatan ilmu mukhtalaf al-hadith.

Pendekatan metodologi kritik hadis yaitu dengan metode

kritik internal (naqd al-dakhily) atau lebih dikenal dengan kritik

matan (naqd al-matan). Tujuannya untuk menguji validitas

(kesahihan) hadis tersebut. Sementara, pendekatan metodologi

ilmu mukhtalaf al-hadith digunakan untuk hadis-hadis yang dinilai

sahih namun secara tekstual diklaim bertentangan dengan ayat al-

Qur’an. Hal ini dilakukan dengan cara al-jam’u (kompromi), al-

naskh (abrogasi), al-tarji>h} (seleksi) dan al-tawa>quf (penundaan).

Kata Kunci: mutawa>tir, ahad, ta’a>rud}, naqd al-matan, al-jam’u,

al-naskh,al-tarji>h},al-tawa>quf.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem

hukum Islam (al-Tashri>’ al-Islami>) setelah al-Qur’a>n.1Bersama al-Qur’an, hadis

menjadi “sumber mata air” yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi

inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.

Hubungan simbiosis mutualism antara al-Qur’an dan al-sunnah sebagai

teks sentral dalam peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis

namun juga terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan

praktek keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya.

Masalah kemudian muncul ketika sejumlah hadis yang dinilai sahih oleh

para ulama hadis—bahkan tercantum di dalam kitab yang paling sahih setelah al-

Qur’an yaitu Sahih al-Bukhari dan Muslim 2—diklaim bertentangan dengan al-

Qur’an.3 Sikap kritis kemudian ditujukan kepada aplikasi kritik matan (al-naqd

al-dakhiliy/kritik internal) yang dilakukan ulama hadis dalam penilaian validitas

(kesahihan) hadis4 serta metode pemahaman (fiqh al-hadith) yang dikembangkan

oleh ahli hadis.5 Bahkan sikap skeptis secara totalitas terhadap otoritas hadis

muncul dari kalangan munkir al-sunnah dengan argumen dan bukti adanya hadis-

hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an.6

1Abdullah Hasan al-Haditsi.Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut :

Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005), 3 2Ibnu Sholah, Abu ‘Amr Utsman, ‘Ulu>m al-Hadith (Muqaddimah Ibn Al-S{olah), ed. Nuruddin ‘Itr

(Beirut: Dar al-Fikr, cet. 3, 1418 H),28, Ibnu Katsir. Al-Ba’its al-HatsisSyarh Ikhtishar Ulum al-Hadith. Tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tanpa tahun), 34.

Siddiq Hasan Al-Qonujy, Al-Hitthoh fi Dzikri as-Sihhah as-Sittah. Tahqiq: Ali Hasan al-Hlm.aby

(Beirut: Dar al-Jail, tanpa tahun), 312 3Misalnya Mahmud Abu Rayyah dalam kitabnya Adhwa’ ‘ala al-sunnah al-Muhammadiyah

4Seperti kritik Muhibbin dalam Disertasi doktornya yang berjudul Telaah Ulang Syarat Sahih al-

Bukhari dalam Kitab al-Jami’ al-Sahih(Jogjakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998) 5Misalnya Muhammad al-Ghazaly dalam Kitabnya As-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh

wa Ahl al-Hadith(Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 11, 1996). Kitab ini telah diterjemahkan oleh

Muhammad al-Baqir dengan judul; Studi Kritis Hadis Nabi SAW antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, Cet. 3, 1993) 6Di antara tokohnya di India; Ahmad Khan, Ciragh Ali. di Mesir; Tawfiq Shidqiy, Mahmud Abu

Rayyah, Ahmad Amin, Rasyad Khalifah, Ahmad Shubhiy Manshur, dan Musthafa mahmud. Di

Dalam makalah sederhana ini dibahas tentang masalah kontradiksi antara

hadis dengan al-Qur’an dalam perspektif ilmu kritik hadis (Naqd al-h}adi>th) dan

pendekatan ilmu mukhtalaf al-h}adi>th.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan dan otoritas hadis terhadap al-Qur’an?

2. Apa sebab terjadinya kontradiksi antara hadis dan al-Qur’an?

3. Bagaimana realitas klaim adanya kontradiksi antara hadis dan al-Qur’an?

4. Apa pendekatan metodologis untuk menghadapi klaim kontradiksi?

5. Bagaimana contoh aplikasinya?

Indonesia misalnya; Ir. Ircham Sutarto, Abdurrahman, Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu, di

Malaysia, seperti Kassim Ahmad. Lihat Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2011), 79-114

BAB II

PEMBAHASAN

A. Menimbang Otoritas Hadis terhadap Al-Qur’an

Mayoritas ulama sepakat bahwa kedudukan (manzilah) sunnah dalam

adillah ash-shar’yyah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an karena (1) al-

Qur’an bersifat qat}’iy al-thubut, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubut,

sehingga yang qat}’iy diutamakan daripada yang z}anny, (2) karena sunnah

berfungsi sebagai baya>>n bagi Al-Qur’an, sementara kedudukan penjelas (al-

baya>n) adalah adjektif (ta>bi’) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara

normatif, Rasulullah SAW secara taqri>ry menetapkan hal tersebut dalam hadis

Mu’adz tatkala diutus ke Yaman.7

Walaupun demikian, kedudukan hadis sebagai landasan normatif dan

logis bagi kehujahan (otoritas) hadis sebagai mas}dar (sumber) dan marja’

(rujukan) bagi ajaran Islam adalah adalah qat{’I, berdasarkan dalil-dalil Al-

Qur’an; (1) Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk

menjelaskan (tabyi>n) al-Qur’an.8 Allah SWT mewajibkan manusia untuk

mengikuti wahyu dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan pengajaran Allah

SWT (al-h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai pewahyuan al-Qur’an yang

setara dengan wahyu itu sendiri.9 Kalau al-Qur’an adalah wahyu matlu, maka

sunnah merupakan wahyu ghair al-matluw10. (2) Pemberian otoritas penetapan

hukum (tashri’) kepada Rasulullah disertai ancaman bagi yang sengaja

menyelisinya.11

Perintah untuk berhukum kepada keputusannya ketika terjadi

perbedaan pendapat dan perselisihan.12

Tidak ada alternatif pilihan lain bagi

orang yang beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a>’) itu.13

Menurut al-

7Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh, 37-38

8QS. 16: 44

9Imam al-Shafi’i berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut al-Kitab berarti al-Qur’an dan al-

hikmah berarti al-Sunnah.Di antara ayat-ayat yang menyebut tentang hal ini yaitu QS. 4: 113, 2

:129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-Shafi’i, Al-Risalah, 73-76 10

Al-Qur’an, 53: 3-4, Ibnu Hazm, Al-Ihkam 1/97 11

Ibid., 24: 63, 4: 65, 59: 7 12

Ibid., 4: 59 13

Ibid., 33:36

Shafi’i, adalah keputusan (qad}a>’) Rasulullah dalam bentuk sunnah yang tidak

disebutkan secara tekstual dalam al-Qur’an.14

Penegasan otoritas hukum ini

disertai ancaman penegasian iman15

, penetapan sifat hipokrit dalam keimanan

(nifa>q) bagi mereka tidak mengakuinya,16

serta ancaman keras berupa pembiaran

dalam kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci ajaran Rasulullah SAW.17

(3) Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat tersebut

sebagaimana kewajiban ta’at kepada Allah SWT.18

Tentunya, menaati Rasulullah

berarti menaati ajarannya yang terdokumentasikan dalam hadis. (4) Penetapan

Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh dan diikuti peri

kehidupannya,19

disertai penegasan bahwa Beliau adalah pribadi agung yang

layak diteladani.20

Mengikutinya merupakan manifestasi cinta kepada Allah .21

Ijma’ (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat

Islam.22

Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki independensi

dalam penetapan hukum syari’at dan produk hukumnya berkedudukan sama

dengan al-Qur’an dalam penetapan hal dan haram.23

Demikian pula, adanya

realitas ijma’ kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW dan

menjadikan sunnah sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak

masa sahabat,24

tabi’in dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.25

14

Ibid., 83 15

Ibid., 3: 65 16

Ibid., 3: 61 17

Ibid., 3:115 18

Lihat al-Qur’an, 3:: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll. 19

Ibid., 33:21 20

Ibid., 68:4 21

Ibid., 3: 31 22

S{ubhi S{a>lih, 291 23

Ash-Shaukany. Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Us}ul (Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1,

1421 H/2000), 1/187 24

Al-Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk ijma’ mereka tentang

kewajiban ittiba’ kepada Rasulullah SAW, antara lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan

para sahabat tentang kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa

inzal, Umar menanyakan masalah itu kepada Aisyah dan mendapatkan jawaban bahwa dirinya

dan Rasulullah melakukan hal itu dan mandi. Hadis ini dijadikan dalil oleh Umar dan para

sahabat lainnya. Demikian pula pernyataan Umar di hadapan para sahabat lainya bahwa

seandainya dia tidak melihat Rasulullah mencium Hajar aswad maka dia tidak akan

melakukannya. Lihat Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify (Riya>d} :

Dar Al-S{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M), 1/206 25

Wahbah al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’as}ir, 1419 H/1999 M),

40

Demikian pula secara logika (al-Ma’qu>l) menetapkan bahwa; (1) Tidak

mungkin beramal dengn hanya mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat

global dalam al-Qur’an tanpa penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah

wahyu oleh Nabi SAW melibatkan pembacaan al-Qur’an dan penjelasan dengan

sunnah. Sehingga, tidak cukup mengambil salah satu dan meninggalkan yang

lain.26

Bahkan menurut al-Auza’y, al-Qur’an lebih membutuhkan (penjelasan)

sunnah daripada sebaliknya (al-Kitab ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-

Kitab).27

Yahya bin Abi Kathir—seorang imam hafidz—menegaskan bahwa

sunnah adalah penentu hukum bagi al-Qur’an (al-Sunnah qad}iyatun ‘ala al-

Kitab).28

(2) Jika perbuatan Nabi mengandung probabilitas hukum; wajib untuk

diikuti atau sebaliknya tidak wajib. Maka mengambil kemungkinan wajib lebih

utama dan lebih hati-hati (ikhtiyat}) dari perbuatan meninggalkan kewajiban, hal

ini bisa dianalogikan dengan orang yang lupa apakah sudah mengerjakan suatu

shalat fardhu atau belum. (3) Martabat nubuwwah adalah level yang tinggi dan

mulia dan yang terpilih adalah pemilik sifat-sifat yang agung. Mengikuti

perbuatannnya adalah bentuk pengagungan dan pemuliaan. (4) Perbuatan Nabi

SAW di atas kebenaran adalah suatu keniscayaan, maka meninggalkan kebenaran

adalah kesalahan dan kebatilan.29

B. Sebab terjadinya Kontradiksi (ta’a>rud}) Hadis dengan ayat al-Qur’an

Tidak diragukan bahwa al-Qur’an dari aspek tsubut-nya seluruhnya

bernilai qat}’iyyah al-thubu>t, sementara hadis hanya sebagian kecil yang berstatus

qat}’iyyah al-thubu>t yaitu hadis mutawa>tir. Mayoritas hadis bernilai ahad.30

Namun keduanya, baik al-Qur’an maupun al-hadis, sama-sama memiliki dimensi

26

Wahbah Al-Zuhaily, Al-Wajiz, 40 27

Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi tashri’ al-Islamy (Beirut: al-maktab al-Islamy,

cet.3, 1402 H/1982 M), 387 28

Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 189 29

Al-Amidy, Al-Ihkam, 1/237-238. Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 1/ 203-207 30

Para ulama berbeda pendapat tentang nilai hadis ahad, apakah membari faidah al-ilmu al-yaqiny

atau tidak. Menurut Ibnu Hajar, hadis ahad yang maqbul bisa memberikan faidah ilmu secara

teoritis (al-naz{ary) jika didukung oleh sejumlah bukti tambahan (qari>nah), seperti; dikeluarkan

oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab sahihnya,

z}anniyah dari dari aspek dilalah (indikasi makna).31

Sisi inilah yang

memungkinkan terjadinya ta’a>rud} z}ahiry.

Sebab terjadinya ta’a>rud}, antara lain:

1- Adanya sebagian nash yang maknanya berindikasi umum dan yang lain

khusus, ada yang bersifat mutlak dan ada yang muqayyad, atau

pengecualian (istisna>’), dll. Bagi sebagian orang menilai kondisi teks-teks

semacam ini kontradiktif (ta’a>rud}).

2- Ketidaktahuan tentang keluasan makna bahasa Arab yang menjadi bahasa

media teks.

3- Adanya pemalsuan terhadap hadis. Dengan demikian, hadis-hadis yang

bertentangan ternyata palsu.

4- Ketidaktahuan tentang konsep na>sikh dan mansu>kh antardalil dalam

masalah hukum.32

C. Realitas Kontradiksi Hadis dengan ayat al-Qur’an

Realitas kontradiksi hadis dengan ayat al-Qur’an dapat dilihat dalam dua

perspektif, yaitu perspektif naqd al-matan (naqd al-dakhily) dan perspektif ilmu

mukhtalaf al-h}adi>th. Berikut penjelasannya:

1. Perspektif Naqd al-Matan

Berbeda dengan hadis mutawatir yang sudah pasti kesahihannya, hadis

ahad memerlukan penelitian validitas untuk membuktikan kebenaran dan

kejujuran periwayatan.33

Definisi hadis sahih yang populer di kalangan ulama

hadis adalah definisi yang disampaikan oleh Ibnu Sholah sebagai berikut:

الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه وال يكون شاذا وال معلال.

“Hadis yang musnad yang sanadnya bersambung (ittis}al) dengan proses

transfer oleh perawi yang adil dan dhobith dari perawi yang ‘adil dan

31

Wahbah al-Zuhaily. Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, 37. Mustafa al-Siba’y. Al-Sunnah wa Makanatuha fi Tashri’ al-Islamy, 377 32

Ustman Ali Hasan, Qawa’id al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad (Riyadh: Dar al-Watn, vol.2, cet.

1, 1413 H), 53 33

Ali Hasan al-Halaby, al-Nukat ‘ala Nuzhah al-Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Dammam :

Dar Ibn al-Jauzy’, cet. 1, 1413 H/1996 M), 71

do>bit} sampai akhir sanad, tanpa ada s}hadh (kejanggalan) dan illat (cacat)

di dalamnya.” 34

Dalam kritik sanad, aspek yang diuji adalah ittis}al sanad, ‘adalah dan

d}abit} perawi, s}hadh serta illat (cacat). Sementara kritik matan meliputi dua aspek

yaitu s}hadh serta illat (cacat).

Secara bahasa s}hadh artinya menyendiri dan terasing (tafarrud). Adapun

secara istilah, para ulama sejak dulu berbeda pendapat, walaupun sepakat untuk

menolak hadis s}hadh.35

Adapun secara istilah, Imam asy-Syafi’i (w. 204 H)

berpendapat bahwa s}hadh yaitu seorang perawi tsiqot meriwayatkan suatu hadis

yang menyelisihi riwayat para perawi tsiqot yang banyak.36

Selaras dengan

pendapat asy-Syafi’i ini, Ibnu sholah mendefinisikan hadis s}hadh yaitu hadis

yang diriwayatkan oleh perawi maqbul yang menyelisihi perawi yang lebih

unggul darinya baik dari segi jumlah maupun kekuatan hafalan.37

Sebenarnya tiga syarat hadis shohih sebelumnya sudah mempersempit

peluang terjadinya s}hadh dalam hadis. Namun, karena penilaian ‘adalah dan

dhobt seorang perawi biasanya bersifat global, sementara perawi tsiqoh sekalipun

terkadang bisa terkena wahm dalam suatu hadis yang diriwayatkannya, maka

penelitian syadz perlu dilakukan persatuan hadisnya.38

Masalah s}hadh bukan hanya terjadi dalam aspek sanad saja, namun juga

pada matan hadis.39

Maka, metode kritik matan dilakukan oleh ulama hadis

dalam menyaring hadis yang terbebas dari s}hadh dengan cara sebagai berikut;

(1) Ketidaksesuaian dan pertentangannya dengan Al-Qur’an, sebab tidak

mungkin Nabi SAW menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan wahyu

34

Ibnu Sholah,‘Ulu>m al-Hadith, hlm.11-12, Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taisir Must}alah al-Hadi>th, hlm.

31, Al-Baits al-Hatsis. Hlm. 19. As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, 1/79,

An-Nukat. 1/234, al-Muqidzah. Hlm. 24. Asy-Syadza al-Fiyah. 1/66, Al-Wasith, hlm. 55. At-Taqyid wa al-Idhah. Hlm. 8, Taudhih al-Afkar. 1/18 Nuruddin ‘itr, Manh}aj al-Naqd, hlm. 242.

Hadis yang memenuhi kriteria di ataslah yang dikatakan oleh Ibnu Sholah sebagai hadis tidak

diperselisihkan keshahihannya oleh ahli hadis. Adapun munculnya perbedaan penilaian status

kesahihan sebagian hadis di antara ahli hadis lantaran perbedaan mereka dalam menetapkan

terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat tersebut pada hadis yang diperselisihkan atau perbedaan

dalam penetapan syarat tertentu dalam kasus tertentu seperti status keshahihan hadis mursal. Lihat Ibnu Sholah,‘Ulu>m al-Hadith, hlm. 12 35

Hamzah al-Malibary. Al-Hadis al-Ma’lul, 26 36

Al-Khatib. Al-Kifayah, 171 37

Hamzah al-Malibary. Al-hadits al-ma’lul. 26 38

Nuruddin ‘Itr. Manhaj naqd., 242-243 39

Idem., 428

Allah SWT. Perkataan Nabi tidaklah bersumber dari selera pribadi beliau (al-

Hawa) tetapi wahyu dari Allah SWT. (2) Bertentangan dengan sunah yang sahih,

sebab tidak mungkin terkumpul kontradiksi dalam diri Nabi SAW, (3)

Ketidaksesuaian dengan perawi yang lebih tsiqoh. Terkadang matan hadis yang

diriwayatkan bertentangan dengan perawi yang lebih kuat ke-tsiqoh-annya dan

lebih mengetahui tentang hadis. Hal ini mengungkap indikasi tingkat kejujuran

perawi. (4) Ketidaksesuaian lafal/redaksi hadis dengan lafal/ungkapan dan gaya

bahasa Rasulullah SAW yang dikenal ahli hadis, (5) Keterkaitan antar kandungan

matan dengan keyakinan (isme/aliran) perawi. Bisa jadi perawi memiliki

keyakinan yang bertentangan dengan keyakinan ahlu sunah wal jama’ah

kemudian mengikuti keyakinan atau madzab teologi tertentu dan membuat-buat

hadis untuk memperkuat keyakinan dan propaganda bid’ahnya. (6)

Ketidaksesuaian antara matan dengan mazhab yang dipegang oleh sang perawi.

Seperti kasus hadis-hadis yang dikatakan bersumber dari Abu Hurairah ra

tentang al mashu ‘ala al-khuffain (mengusap kasut). Ibnu Rajab menjelaskan

bahwa Imam Ahmad dan Muslim serta ulama lainnya mendho’if kan riwayat

tersebut karena Abu Hurairah diketahui mengingkari adanya al-mashu ‘ala al-

khuffain.40

Sementara illat pada matan dapat berupa idraj (sisipan lafal), ziyadah

(penambahan), id}tirab (pemutarbalikkan lafal), dll.

Di antara contoh pembuktian kepalsuan (mawd}u’) suatu hadis dengan

pendekatan kritik matan dengan metode ‘ard{ al-hadith ‘ala al-Qur’an dan sanad

sekaligus adalah pada hadis berikut;

ث نا أحمد قال : نا الحسين بن إدريس الحلواني قال : نا سليمان بن أبي هوذة قال : حدنا عمرو بن أبي ق يس ، عن إب راهيم بن أبي المهاجر ، عن مجاهد ، عن عبد الرحمن بن

ال يدخل ولد » رة قال : قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم : أبي ذباب ، عن أبي هريعة آباء «الزنا الجنة وال شيء من نسله إلى سب

Telah menceritakan kepada kami Ahmad, dia berkata telah menceritakan

kepada kami al-Husain bin Idris al-Hulwany, dia berkata; telah

menceritakan kepada kami Sulaiman bin Abu Haudhah, dia berkata; telah

40

Musfir ad-Daminy. Maqayis Naqd Mutun al-Hadith, 110-219, Hasan Fauzy al-Sho’idy. Al-Manhaj an-Naqdy, 415-419

menceritakan kepada kami ‘Amru bin Abu Qais dari Ibrahim bin Abu al-

Muhajir dari Mujahid dari Abd al-Rahman bin Abu Dhi’bin dari Abu

Hurairah berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk Surga

anak (hasil) zina dan tidak seorang pun di antara tujuh keturunannya.”41

Dari aspek kritik matan, hadis tersebut s}hadh karena sangat bertentangan

dengan al-Qur’an yaitu ayat Alla taziru wa>ziratu wizra ‘ukhra>(sesungguhnya

sesorang tidak akan menanggung dosa yang dilakukan orang lain).42

Tidak ada

istilah “dosa waris” dalam Islam. Sesorang akan mendapatkan kebaikan dan

keburukan dari hasil usahanya dan Allah tidak berbuat z}alim kepada hamba-

Nya.43

Ternyata hadis tersebut terbukti secara sanad adalah hadis yang sangat

lemah karena disamping sanadnya mudhtarib pada isnad perawi Mujahid,44

ada

perawi yang lemah (d}a>’if) bernama Ibrahim bin Muhajir. Menurut penelitian Ibnu

al-Jauzy dalam al-Mawdu’at, Al-Sakhawi dalam al-Maqasid al-Hasanah, Ibnu

Tahir dalam Tadhkirah al-Maudhu’at dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam al-

Manar al-Munif, bahwa tidak ada satu sanad hadis tersebut pun yang dapat

dijadikan hujjah.45

2. Perspektif Mukhtalaf Al-Hadith

Dalam klasifikasi hadis yang maqbu>l(sahih dan hasan) terdapat dua

macam hadis yaitu hadis maqbu>l yang muhka>m (terbebas dari pertentangan

dengan dalil lain yang setara) sehingga bisa langsung diamalkan (ma’mu>l bih)

ada hadis maqbu>l yang mukhtalif (bertentangan secara makna dengan dalil lain

yang setara) sehingga tidak bisa langsung diamalkan (ghair al-ma’mu>l bih) dan

41

HR. At-Tabrany dalam al-Mu’jam al-Wasit Juz 2 hal. 369, hadis nomor 870 versi al-Maktabah

al-Shamilah edisi 3.48 42

Al-Qur’an, 53: 38. Lihat pula ayat lain dengan ungkapan yang sama; 6: 164, 17: 15, 35: 18, 39:

7 43

Al-Qur’an, 41: 46, 45: 15 44

Ada 10 versi yang ambigu dalam sanad, apakah Mujahid dari Abu Hurairah atau dari Ibnu Umar

atau dari Ibn Abu Dzi’bin yang mawquf, dll sebagaimana dirujuk oleh Nasiruddin al-Albany dari

Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’. 45

Lihat penelitian Nasiruddin al-Albany, Silsilah al-Da’ifah wa al-Mawdu’at (al-Maktabah al-

Shamilah) Juz 3 h. 286. Hadis nomor 1287

harus dilakukan upaya menghilangkan pertentangan tersebut.46

Dengan

demikian, objek dalam wacana kontradiksi antara hadis dan al-Qur’an dalam

perspektif ilmu mukhtalaf al-hadith adalah hadis-hadis maqbu>lyang secara kritik

hadis bernilaisahih atau hasan.

Term yang sering muncul dalam wacana kontradiksi hadis adalah ta’a>rud,

mukhtalif dan mushkilah. Menurut Sulaiman bin Muhammad al-Dabikhy bahwa

term al-ta’a>rud lebih populer dipakai oleh kalangan usuliyyun sementara ahli

hadis lebih umum menggunakan term ikhtila>f al-h}adi>th.47

Secara etimologis, al-ta’a>rud merupakan masdar dari kata kerja ta’a>rada

yang memiliki setidaknya tiga makna yaitu al-man’u (hal menghalangi), al-

muqa>balah (hal berhadapan), dan al-d}uhu>r (hal mengungguli).48

Jika dilekatkan

dengan kata dalil berarti relasi antara dua dalil atau lebih yang saling berlawanan

dan saling mengalahkan (kontradiksi). Adapun al-mukhtalif secara etimologis

berasal dari kata al-ikhtilaf yang merupakan masdar dari kata kerja ikhtalafa. Al-

mukhtalif adalah isim fa>’il dan al-mukhtalaf adalah isim maf’u>l. Al-

ikhtila>fadalah antonim dari al-ittifa>q (bersatu dan sepakat). Jadi ikhtilaf al-hadith

adalah dua hadis atau lebih yang secara dhahir maknanya saling berlawanan.

Sementara mushkil al-hadith dari kata mushki>l yang merupakan isim fa’il dari

kata ishkal yang artinya iltiba>s (kesamaran) dan ikhtila>t} (bercampur-baur). 49

Secara makna, istilah mushkilah adalah term yang lebih luas maknanya

daripada term ta’a>rud dan ikhtila>f. Term mushkil (problematis) lebih lebih luas

maknanya karena faktor penyebab ishkal lebih banyak, bukan hanya kontradiksi

tekstual dengan hadis-hadis lain tetapi juga dengan al-Qur’an, atau kejanggalan

maknanya yang mustahil secara akal maupun syari’at. Tetapi juga sebab

problematisnya karena kesamaran makna (ambiguitas) pada dilalah lafaz

46

Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, 46 47Ahadith al-Aqidah, 24. Bahkan kitab-kitab ulum hadis tidak ada yang menggunakan term

ta’arudh sebagai istilah teknis untuk hadis-hadis yang problematis. Lihat Abdul Majid

Muhammad Isma’ilAl-Suwsuh. Manhaj al-Taufiq wa al-Tarjih Baina al-Mukhtalaf al-Hadith wa Atharuhu fi al-Fiqh al-Islamy (ttp: Dar al-Nafais, tth), 52 48

Abdul Majid Muhammad Isma’ilAl-Suwsuh,Manhaj al-taufiq wa al-tarjih, 45-46 49Ta’rudh al-Akhbar, 29, Abdul Majid Muhammad Isma’ilAl-Suwsuh,Manhaj al-Taufiq…, 57

(indikasi makna leksikal) karena makna ganda (mushtarak) atau karena makna

alegoris dan metaforis (majazy).50

Ta’a>rud} ada dua macam yaitu al-ta’a>rud}} al-h}aqi>qi>y (kontradiksi

substansial) dan al-ta’a>rudal-z}ahiry (kontradiksi tekstual).51Ta’a>rud} hakiki terjadi

jika memenuhi empat hal; (1) kontradiksi sempurna antara dua dalil, (2) hujjiyah

dalam dua dalil yang kontradiksi, (3) kesamaan level antara dua dalil tersebut, (4)

kesatuan waktu dan tempat yang menjadi konteks terjadinya kontradiksi.52

Mayoritas ulama usul, ahli hadis dan ulama fikih

menegasikankemungkinan adanya ta’a>rud} h}aqi>qy antara nash-nash yang sahih.

Ta’a>rud} yang mungkin terjadi adalah pada dhohir masalah dalam teks dan pada

pandangan (perspektif) mujtahid.53

Imam Syafi’i yang menolak adanya

pertentangan antara hukum-hukum Allah dan hukum-hukum Rasul-Nya

beralasan bahwa semua hukum tersebut berjalan di atas satu konsep yang sama

(mithal wahid).54

Ash-Shatiby yang juga menolak hal tersebut merujuk kepada

keadaanmasing-masing mujtahid yang tidakma’sum (terjaga) dari kesalahan

dalam berpendapat sehingga muncul kemungkinan klaim ta’a>rud} antardalil itu

dalam perspektif mereka. Demikian pula penolakan Imam syafi’i, Ibnu

Khuzaimah, al-Qadi Abubakar al-Baqilany, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dll. 55

Di antara dalil yang dikemukakan oleh ulama yang kontraadanya ta’a>rud

haqiqyadalah:

1- Hadis Nabi juga wahyu.56

Sementara wahyu dari Allah telah dinegasikan

dengan tegas adanya salingberkontradiksi dalam Surat al-Nisa’ ayat 82. 57

50

Abdul Majid Muhammad Isma’ilAl-Suwsuh,Manhaj Taufiq wa tarjih, 57-58 51

Ibid., 43 52

Ibid., 60 53

Sulaiman bin Muhammad al-Dabikhy. Ahadith al-Aqidah Allati Yuwham Z}ahiruha al-Ta’a>rud} fi> Sah{ih}ain; Dirasatun wa Tarjih (T{a>if: Maktabah Dar al-Bayan al-Hadithiyah, cet.1, 1422

H/2001 M ), 35, Nafiz Husain Hammad, Mukhtalaf al-Hadith baina al-Fuqaha wa al-Muhaddithin (al-Mashurah: Dar al-Wafa’, cet. 1, 1414 H/1993 M), 26, Abdul Majid Muhammad Isma’il,

Manhaj al-Tawfiq wa al-Tarjih fi Mukhtalif al-Hadith, 87 54

Ash-Shafi’i, Al-Risalah, ed. Ahmad Shakir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, ttp), 173 55

Lihat Ahadith al-Aqidah, 35-36 56

Al-Qur’an, 35: 3-4. Wahyu dalam bentuk hadis bisa berbentuk wahyu insha>’i dan wahyu taqriry

(ijtihad Nabi yang dibenarkan) 57

Nafiz Husain Hammad, Mukhtalaf al-Hadith baina al-Fuqaha wa al-Muhadithin, 23

2- Adanya perintah mengembalikan urusan kepada Allah (al-Qur’an) dan

kepada Rasul (sunnah) dalam menyelesaikan perselisihan masalah58

akan

percuma jika secara hakiki kedua sumber tersebut kontradiktif.

3- Jika terjadi ta’a>rud haqiqyantar sumber tashri’ maka implementasi dari

pembebanan syari’at menjadi di luar kemampuan manusia.59

4- Ulama us}ul menetapkan metode tarjih dan nashk dalam masalah ta’a>rud}

adillah. Jika benar ta’a>rud terjadi secara hakiki, maka kedua metode

tersebut tidak valid dan tidak perlu ada.

D. Pendekatan metodologis untuk menghadapi klaim kontradiksi

Tertib (urutan berdasarkan prioritas) pendekatan solutif terhadap ta’a>rud}

z}a>hiry menurut mayoritas (jumhur) ulama hadis baik Syafi’iyah, Zaidiyah,

Hanabilah, sebagian al-Ahnaf dan Malikiyah, adalah sebagai berikut: (1) al-

jam’u, (2) al-Naskh, (3) al-Tarjih, dan (4) al-tawaqquf.60

1) Pendekatan al-jam’u (kompromistis)

Tidak ada sunnah yang sahih dantha>bit berlawanan dengan muh}kama>t al-

Qur’an yang distingtif. Apabila ada yang mengklaim demikian, maka pasti

sunnahnya yang tidak sahih atau pemahaman tentang sunah itu yang tidak benar

atau ta’arud yang terjadi bersifat wah}m (pada tataran prediksi/hipotesis) bukan

hakikat (pada tataran realitas).61

Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk mengkompromikan (al-

jam’u) di antara dalil-dalil yang ada karena kemungkinan konteks hadis berbeda,

atau adanya keumuman dan kekhususan, atau sifanya mutlak dan muqayyad. Hal

ini mengingat bahwa mengaplikasikan seluruh dalil lebih utama dari pada

membuang sebagian atau seluruhnya.62

58

Al-Qur’an, 4: 59 59

Idem, 2: 286. Misalnya satu dalil memerintahkan, sementara dalil lain melarang. 60

Abdul Majid Muhammad Isma’il. Manhaj al-Taufiq…, 113 61

Yusuf al-Qardawy, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah (Kairo: Dar al-Shuruq, cet.

2, 1423 H/2002 M), 113 62

Uthman Ali Hasan, Qawaid.., 53

Tidak diragukan bahwa hadis ahad memang berada pada level kedua

setelah al-Qur’an dari aspek thubut. Akan tetapi dari aspek ijtihad dan

pemahaman nash-nash maka rujukan pertama yang harus diperhatikan adalah

sunnah sebelum mengaplikasi tekstualal-Qur’an. Hal ini karena kemungkinan

adanya takhsi>s oleh sunnah terhadap teks tersebut atau taqyid dan lain-lain dari

aspek penjelasan (syarh dan bayan) hadis terhadap ayat. Dari aspek ini posisi

hadis dapat disejajarkan dengan al-Qur’an jika terjadi perbedaan makna antarteks

dengan melakukan upaya kompromi (tawfiq dan jam’u) di antara keduanya.

Pendapat ini tidak ada perbedaan di antara ulama yang menetapkan hujjiyah

sunnah.63

Perlu diakui adanya perbedaan perpektif dan kemampuan analisa akal

manusia. Hal ini harus diperhatikan agar ada kehati-hatian dalam menghukumi

dho’if hadis-hadis yang secara sanad sangat kuat validitas (kesahihan)-

nya.Karena—sebagaimana dinyatakan oleh Yusuf al-Qardawy-bahwa menolak

hadis-hadis sahih sama jeleknya dengan menerima hadis-hadis palsu.64

Oleh karena itu, para ulama hadis tidak terburu-buru mendho’ifkan hadis

yang secara dzohir kelihatan matannya kontradiktif (ta’arud), selama masih ada

intepretasi (ta’wi>l) yang dapat diterima. Dalam realitasnya, terkadang suatu

hadis dianggap bertentangan (ta’a>rud}) dengan ayat al-Qur’an, padahal ulama dan

pakar yang lain menegasikan kontradiksi tersebut (wa fawqa kulli dhy> ‘ilmin

‘ali>mun). Kaedah yang dikedepankan adalah al-jam’u wa at-taufiq (kompromi)

sebelum at-tarjih.65

Kaidah al-jam’u muqaddamun ‘ala al-tarji>h merupakan

kaidah yang dipegang oleh Imam Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Khuzaimah,

dll.Kaidah lain yang senada sebagai acuan adalah i’mal al-adillah awla min

ihma>liha (penerapan seluruh dalil lebih diutamakan dan dikedepankan daripada

pengabaian dalam bentuk tarjih atas alasan ta’a>rud}).66

63

Mustafa al-Siba’i., Al-Sunnah.., 379 64

Yusuf al-Qardawy, Kaifa Nata’amal ma’a as-Sunnah, 113 65

AbdulMajid Muhammad Ismail as-Suwsuh.Manhaj at-Taufiq…., 55 66

Abu Sholih. Naqd al-Matan wa ‘alaqatuhu bi al-Hukm ‘ala ruwat al-hadist Inda Ulama al-Jarh wa Ta’dil. www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=85894..Abdullah Hasan al-Haditsi.Atsar al-Hadist …, 291-292. Muhammad Abu Zahwu. Al-Hadits wa al-Muhaditsun, 367-369

Metode al-jam’u (kompromi) ini memperhatikan relasi fungsional antara

hadis dengan al-Qur’an dalam wacana agama. Dalam konteks relasi ini, hadis

memiliki beberapa fungsi terhadap al-Qur’an, yaitu:

1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Qur’an. Contohnya

hadis Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri,

saksi palsu, durhaka kepada orang tua67

menegaskan dan memperkuat

larangan tersebut dalam Al-Qur’an.68

2- Hadis sebagai mubayyin bagi al-Qur’an. Dalam hal ada tiga bentuk,

yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Qur’an yang bersifat

global (mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan sholat69

yang diperintahkan dalam Al-Qur’an70

, (b) mengkhususkan (lex

specialis) petunjuk yang bersifat umum (‘a>m) dari Al-Qur’an. Seperti

hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa71

sebagai pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa’ ayat 2472

.

Dan yang ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan

persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Qur’an, seperti

hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam

hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan

sebagai taqyid kata ‘yad’ dalam Al-Qur’an 5:38.73

3- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh al-

Qur’an (hadis tashri’). Kedudukan al-Sunnah sama dengan al-Qur’an

dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Hal ini disepakati 67

Al-Bukhari, al-Jami al-Sahih 2/251, hadis no. 2653 ;

ث نا شع ع وهب بن جرير وعبد الملك بن إب راهيم قال حد ث نا عبد الله بن منري س يد الله بن أب بكر بن أنس عن أنس رضي الحد له عنه قالسئل النب بة عن عب فس شراك بالله وعقوق الوالدين وق تل الن وشهادة الزور صلى الله عليه وسلم عن الكبائر قال ال

68Sebagai contohal-Qur’an, 31: 13 dan4: 48 tentang larangan syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang

larangan perkataan dusta, 17: 23-24 dan47: 22-23 tentang larangan durhaka kepada kedua orang

tua, 4: 29, 17: 33, dan 5: 32, tentang larangan membunuh jiwa. 69

Lihat hadis-hadis dalam Sahih al-Jami’ pada juz 1 mulai Kitab al-Wudhu’ sampai Kitab as-

Sahwi 70

al-Qur’an, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll 71

Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih 3/365, hadis no. 5108 dan 5109

ع جابرا رضي الله ع عب س رنا عبد الله أخب رنا عاصم عن الش ث نا عبدان أخب تها أو حد نه قالن هى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ت نكح المرأة على عم خالتها

72Di antara penggalan ayatnya :

وأحل لكم ما وراء ذلكم 73

Wahbah al-Zuhaily. Al-Wajiz, 38-39. Ini adalah pendapat mayoritas ulama selain Imam ash-

Shafi’i

oleh para ulama menurut Ash-Shatiby. Contohnya; hukuman rajam bagi

pezina muhsan, keharaman perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki,

kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai jinak, dll.74

Dalilnya;

secara logika hal tersebut tidak mustahil karena Rasulullah diberikan

sifat ma’shum dan tugas menyampaikan syari’at. Adapun secara nash,

Allah SWT menetapkan hak Rasulullah untuk ditaati secara umum

termasuk terhadap sunnah istiqlaliyah (independen)-nya.75

2) Pendekatan al-Na>sikh wa al-Mansu>kh

Apabila kompromi tidak memungkinkan, sementara masing-masing dalil

yang saling berlawanan membuka peluang untuk naskh dengan adanya data

sejarah tentang kronologisnya munculnya masing-masing nash.

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang bolehnya

naskhal-Qur’an dengan al-Qur’an atau sunnah dengan sunnah dalam status

mutawatir berhadapan dengan sesama mutawatir atau mutawatir terhadap ahad

atau ahad terhadap ahad. Yang jadi perbedaan pendapat adalah naskhal-Qur’an

dengan sunnah dan sunnah dengan al-Qur’an.76

Dalam hal ini jumhur ulama

membolehkan naskh sunnah dengan al-kitab seperti perubahan arah kiblat yang

sebelumnya menghadap Bait al-Maqdis ke arah Ka’bah.77

Adapun naskhal-Qur’an dengan sunnah yang ahad menurut jumhur ulama

tidak dibolehkan. Sementara ulama hanafiyah membolehkan hadis sebagai na>sikh

(meng-abrogasi) hukum al-Qur’an,78

seperti hadis “La was{iyyah li wa>rith”

sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180.79

74

Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 187 75

Al-Qur’an., 4: 59, 4: 75, 5: 92, 4: 80, 24: 63, 59: 7. Mustafaal-Siba’i, al-Sunnah, 382 76

Idem., 394 77

HR. Al-Bukhari no. 40 dalam al-Jami’ al-Sahih. Vol 1, 29 terhadap Al-Qur’an 2: 144 78

Al-Qur’an 2: 180 yang menetapkan kewajiban wasiat dinaskh oeh hadis la was}iyyata li wa>rith (HR. Ibnu Majah nomor 2705, Mustafa al-Siba’i., Al-Sunnah.., 340 79

Wahbah al-Zuhaily. Al-Wajiz, 38-39. Ini adalah pendapat mayoritas ulama selain Imam ash-

Shafi’i

3) Pendekatan al-Tarji>h

Apabila tidak ada sejarah yang dapat digunakan untuk naskh, maka

dilakukan tarji>h dengan melihat berbagai aspek. Dalil yang rajah (paling kuat)-

lah yang diamalkan sebagaimana ditegaskan dalam ijma’ dan rasio.80

Dengan merujuk istilah Sharaf al-Qudhah bahwa bagian yang qat}’i>y al-

dila>lah dari al-Qur’an sebagai haqiqah qur’aniyyah. Sementara aspek z}anny dari

dila>lah al-Qur’an disebut z}anny qur’any. Adapun hadis yang mutawa>tir dan

qat’i}dila>lah-nya disebut haqiqah hadi>thiyyah. Sementara hadis yang z}anny

thubut atau z}anny dila>lah atau z}anny thubut dan dila>lah sekaligus disebut z}anny

hadi>thy.81

Maka, dari klasifikasi istilah tersebut dapat dibuat pemetaan aspek

ta’a>rud} antara hadis dan al-Qur’an sebagai berikut:

No Bentuk Ta’arud Probabilitas wujud Tarjih

1 Haqiqah hadithiyah X

haqiqah Qur’aniyah

secara praktis tidak

ada contohnya

Secara teoritis

Mustahil82

2 Zanny hadithiy X haqiqah

Qur’aniyah

Mungkin terjadi Haqiqah Qur’aniyah

diunggulkan atas

zanny hadithiy

3 Haqiqah hadithiyah X

zanny Qur’any

Mungkin terjadi Haqiqah hadithiyah

diunggulkan atas

zanny Qur’any

4 Zanny hadithiy X zanny

Qur’any

Paling banyak

terjadi

Tarjih dengan

qarinah

4) Pendekatan al-Tawaqquf(penangguhan)

Apabila tarjih tidak bisa dilakukan, maka solusinya terdapat perbedaan

pendapat di kalangan ulama. Di antaranya ada yang berpendapat dilakukan

80

Ustman Ali Hasan, Qawa’id…, 53 81

Sharaf al-Qud{ah. Hal Yata’aradu al-Hadith ma’a al-Qur’an al-Karim aw al-‘Ilm Hadith”Khalaqallah al-Turab Yawm al-Sabt. Jurnal al-Bayan. Department of al-Qur’an and al-

Hadith, Academy of Islamic Studies, University of Malaya, 2013. Akses 20 September 2013 dari

www.albayanjournal.com 82

Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, juz 2, hal. 1120

pilihan (takhayyur) atau menggungurkan penggunaan dalil (tasa>>qut}) dan beralih

menggunakan dalil berikutnya dalam urutan.83

E. Contoh Aplikatif Solusi Kontradiksi hadis dengan al-Qur’an

Hadis yang terdapat di dalam Kitabal-T{ibb (76) bab as-Sih}r (50) nomor

5766

ث نا أبو أسامة عن هشام عن أبيه عن عائشة قالت سحر ث نا عب يد بن إسماعيل حد حدىء وما ف عله ، حتى –صلى اهلل عليه وسلم –النبى حتى إنه ليخيل إليه أنه ي فعل الش

أشعرت يا عائشة أن الله » إذا كان ذات ي وم وهو عندى دعا الله ودعاه ، ثم قال جاءنى رجالن ، » ق لت وما ذاك يا رسول الله قال « . قد أف تانى فيما است فت يته فيه

فجلس أحدهما عند رأسى واآلخر عند رجلى ، ثم قال أحدهما لصاحبه ما وجع م ، الي هودى من بنى زريق . الرجل قال مطبوب . قال ومن طبه قال لبيد بن األعص

قال فيما ذا قال فى مشط ومشاطة ، وجف طلعة ذكر . قال فأين هو قال فى بئر فى أناس من أصحابه إلى –صلى اهلل عليه وسلم –قال فذهب النبى « . ذى أروان

ها نخل ، ثم رجع إلى عائشة ف قال ال ها وعلي والله لكأن ماءها ن قاعة » بئر ، ف نظر إلي ياطين ال ، » ق لت يا رسول الله أفأخرجته قال « . الحناء ، ولكأن نخلها رءوس الش

وأمر بها « . نا ف قد عافانى الله وشفانى ، وخشيت أن أث ور على الناس منه شرا أما أ 84فدفنت .

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Isma’il telah menceritakan

kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari Ayahnya dari Aisyah dia

berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disihir hingga seakan-akan beliau mengangan-angan telah berbuat sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, hingga ketika beliau berada di sampingku, beliau berdo’a kepada Allah dan selalu berdo’a, kemudian beliau bersabda: “Wahai Aisyah, apakah kamu telah merasakan bahwa Allah telah memberikan fatwa (menghukumi) dengan apa yang telah aku fatwakan (hukumi)? Jawabku; “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Dua orang laki-laki telah datang kepadaku, lalu salah seorang dari keduanya duduk di atas kepalaku dan satunya lagi di kakiku. Kemudian salah seorang berkata kepada yang satunya; “Menderita sakit apakah laki-laki ini?” temannya menjawab; “Terkena sihir.’Salah seorang darinya bertanya; “Siapakah yang menyihirnya?” temannya menjawab; “Lubid bin Al A’sham seorang

83

Idem, 53-54 84

Al-Bukhari. Al-Jami’ As-Shohih. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. Al-Maktabah as-Salafiyah,

Kairo, cet. 1, 1400 H) Juz 4 hal 49.

Yahudi dari Bani Zuraiq.” Salah satunya bertanya; “Dengan benda apakah dia menyihir?” temannya menjawab; “Dengan rambut yang terjatuh ketika disisir dan seludang mayang kurma.” Salah seorang darinya bertanya; “Di manakah benda itu di letakkan?” temannya menjawab; “Di dalam sumur Dzi Arwan.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi sumur tersebut bersama beberapa orang sahabatnya, beliau pun melihat ke dalam ternyata di dalamnya terdapat pohon kurma, lalu beliau kembali menemui ‘Aisyah bersabda: “Wahai Aisyah! Seakan-akan airnya berubah bagaikan rendaman pohon inai atau seakan-akan pohon kurmanya bagaikan kepala syetan.” Aku bertanya; “Wahai Rasulullah, tidakkah anda mengeluarkannya?” beliau menjawab: “Tidak, sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku dan aku hanya tidak suka memberikan kesan buruk kepada orang lain dari peristiwa itu.” Kemudian beliau memerintahkan seseorang membawanya (barang yang dipakai untuk menyihir) lalu menguburnya.”

Untuk diketahui bahwa hadis tentang disihirnya Nabi tersebut

dicantumkan dalam tiga tempat oleh al-Bukhari dalam shohihnya. Menurut

penelitian, Muqbil bin Hady al-Wad’y ada 14 (empat belas) jalur periwayatan

hadis tersebut dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah ra. Hadis

tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama hadis selain al-Bukhari seperti Muslim,

An-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Baihaqy, Ibnu Abi Syaibah, dll. Disamping

itu terdapat syawahid dari hadis riwayat Ahmad, an-Nasai, Ibnu Abi Syaibah,

Ath-Thabrany, Ibnu Sa’ad, dll.85

Kesahihan hadis ini diakui dan ditetapkan oleh para ulama senior baik

dari aspek riwayat maupun dirayah-nya. Di antara ulama tersebut adalah al-

Khattaby, al-Qodhi ‘Iyadh, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qoyyim, Ibnu Katsir, An-

Nawawy, Ibnu Hajar, al-Qurthuby, al-Alusi, dll.86

85

Muqbil bin Hady al-Wad’y. Rudud Ahl al-‘Ilm ‘ala al-T{a’ini>n fi Hadith al-Sihr (S{an’a: Dar al-

Athar, Cet. 2, 1420 H/1999 M), 87-96 86

Muhammad Abu Syuhbah dan Abdul Ghany Abdul Khaliq. Difa’ ‘Anis Sunnah, 362-364.

Sebagian orang mengkritik hadis ini karena tafarrudnya Hisyam bin ‘Urwah. Namun, pendapat

tersebut ditolak para ulama karena Hisyam adalah orang paling tsiqoh dan paling alim.Tidak ada

seorang ulama yang menilai negative ketsiqohan hadisnya.Al-Bukhari dan Muslim sepakat

menshohihkannya (muttafaq ‘alaih).Ulama ahlul hadis tidak ada yang mengkritik apalagi

mendho’ifkan hadis ini.Hadisnya menjadi masyhur di kalangan ahli tafsir, ashabus sunan, ahli

hadis, ahli sejarah, dan ahli fiqh.

Demikian pula sebenarnya riwayat Hisyam ini tidak tafarrud karena al-A’masy meriwayatkan

dari Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam ra. HR. An-Nasai dalam Sunannya Kitab Tahrim ad-

Dam nomor 4080, Ibnu Syaibah dalam al-Mushannaf (5/40), Imam Ahmad dalam musnadnya

(4/367).Di-shohih-kan Al-Albany dalam Shohih Sunan An-Nasai (3/98) hadis no. 4091. Lihat

Ahmad bin Abdul Azis al-Qushayyir. Ajwibatul ‘Ulama ‘an Khobar Sihr an-Nabi SAW.

http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=22652. Di akses 14 Juni 2013.

Muhammad Abduh, Mahmud Abu Rayyah,87

dan Muhibbin dalam

disertasi doktoralnya menolak kesahihan hadis Nabi disihir dengan klaim bahwa

hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an. Di antara ayat yang bertentangan

dengan hadis di atas adalah:

1-Surat al-Furqan ayat 8 :

ها وقال الظالمون إن ت تبعون إال رجال ز أو تكون له جنة يأكل من (8 مسحورا أو ي لقى إليه كن

Artinya : “..... Dan orang-orang yang zalim itu berkata: “Kamu sekalian

tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.”

Hadis di atas dianggap membenarkan tuduhan orang-orang musyrik

bahwa Nabi adalah adalah orang gila dibawah pengaruh sihir.Dengan

demikiandapat menyebabkan adanya keraguan terhadap kebenaran ajaran yang

dibawa oleh Nabi SAW, karena mungkin sajaNabi terkena pengaruh sihir pada

saat menerima wahyu.

2. Surat Al-Hijr ayat 42:88

(42عك من الغاوين إن عبادي ليس لك عليهم سلطان إال من ات ب

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka,

kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat”

Hadis di atas bertentangan dengan ayat ini ias apabila sihir merupakan

perbuatan setan, maka setan tidak memiliki kekuasaan atas hamba Allah. Apalagi

kekuasaan atas diri seorang Rasul Allah.

3. Surat al-Maidah ayat 67:

ه ي عصمك من يا أي ها الرسول ب لغ ما أنزل إليك من ربك وإن لم ت فعل فما ب لغت رسالته والل

الناس إن الله ال ي هدي القوم الكافرين

87

Muhammad Muhammad Abu Shuhbah, Difa’ ‘an al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, ttt),

223 88

Ayat yang semakna terdapat dalam QS. An-Nahl : 99, al-Isra’ : 65, Saba’ : 21

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan

jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak

menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

Hadis di atas bertentangan dengan jaminan perlindungan (ismah) Allah

kepada Nabi SAW.

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menelaah ulang apakah

pertentangan itu benar-benar terbukti atau tidak. Apakah bisa diaplikasikan

metode al-Jam’u antara hadis di atas dengan ayat yang diklaim kontradiktif?

1. Firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 8 menjelaskan maksud

orang-orang musyrik dengan perkataan meraka bahwa setanlah yang

membisikkan ajaran-ajarannya kepada Rasulullah dan dituliskan untuknya,

sebagaimana siyaq as-sibaq dari ayat sebelumnya di ayat 5: “Dan mereka

berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya

dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.”

Mashuura artinya telah disihir sampai kerasukan seperti orang gila yang

hilang dan rusak akalnya dan tidak menyadari apa yang dikatakannya sehingga

tidak pantas untuk diikuti. Hal ini selaras dengan tuduhan mereka yang

termaktub di ayat lain “Kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata:

“Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang

yang gila”.89

Tuduhan orang kafir dalam ayat dimaksud akibat sihir yang

membuat gila, merancau dalam perkataan yang diklaim wahyu tidak sesuai

dengan konteks makna hadis di atas yang menunjukkan bahwa akibat disihir itu

berupa kondisi sakit yang menimpa fisik.90

Pengaruh maksimal dari sihir yang dialami oleh Nabi—menurut

keterangan Sufyan bin ‘Uyainah yang menjadi salah seorang perawi hadis itu—

hanyaberbentuk halusinasi.Jadi, bukan dalam bentuk lepas kontrol kesadaran diri

dan itupun hanya berkaitan dengan kondisi ketika beliau berinteraksi khusus

dengan istri beliau sebagaimana disebutkan dalam hadis ( كان ي رى أنه يأتي النساء 89

Al-Qur’an, 44: 14 90

Muhammad al-Amin al-Shinqit}y. Ad}wa’ al-Bayan fi I<d}ah al-Qur’an bi al-Qur’an, vol. 4 (Jeddah:

Dar ‘Alam al-Fawa’id, ttp), 587

.(وال يأتيهن 91

Tidak ada data sejarah dan riwayat yang menjelaskan bahwa akibat

sihir yang menimpa Nabi tersebut berpengaruh negatif terhadap aktivitas Nabi

dalam penerimaan dan penyampaian wahyu, risalah, beribadah, berdakwah,

tabligh, menyampaikan sunnah dan tashri’.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan bahwa peristiwa yang menimpa

Rasulullah saw berupa sihir adalah bentuk musibah sakit yang bersifat manusiawi

yang bisa dialami oleh manusia biasa. Musibah yang menimpa beliau bersifat

sementara dan tidak berkaitan dengan wahyu dan risalah. Di antara dalil yang

menunjukkan hal itu sebgai bentuk sakit yaitu bagian akhir hadits menyebutkan:

“ ه وشفانىأما أنا ف قد عافانى الل ” (adapun saya telah Allah sembuhkan). Dalil ini

diperkuat oleh hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’id : “Rasulullah

SAW sakit dan terhalang dari menggauli istri-istrinya dan dari makan dan

minum, maka dua Malaikat pun turun menemui beliau”.92

Demikian pula, upaya membenturkanhadis di atas dengan ayat dalam

surat al-Furqan tersebut kurang relevan karena ayat dan surat tesebut adalah

Makkiyah sementara hadis tersebut madanysehingga ada kesenjangan (gap)dalam

konteks dan momentum.93

2. Maksud dari “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada

kekuasaan bagimu terhadap mereka” adalah dalam konteks penyesatan.

Kekuasaan yang diberikan kepada setan adalah kemampuan untuk melakukan

aktivitas-aktivitas penyesatan dengan memperindah perbuatan buruk sehingga

tampak baik dan sebaliknya, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hijr : 39-40.

94 Dengan demikian, ayat ini tidak sesuai dengan realitas pada diri Nabi SAW.

91

Al-Bukhari.Al-Jami’ al-Sahih Vol. 4, 48-49.Hadis nomor 5765.Pengaruh sihir dalam kehidupan

suami-istri semacam ini telah ditegaskan oleh al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 102. 92

Ibnu Hajar. Fath al-Bary.10/237-238.Muhammad Abu Syuhbah.Difa’ an as-Sunnah. Hal.362-

364. Muhammad al-Amin al-Shinqit}y. Ad}wa’ al-Bayan fi I<d}ah al-Qur’an bi al-Qur’an, vol. 4

(Jeddah: Dar ‘Alam al-Fawa’id, ttp), 583-586 93

Kejadian Nabi disihir terjadi setelah kembalinya Nabi dari Hudaibiyah sekitar akhir tahun ke-6

dan awal tahun ke-7 Hijriyah 94

Muhammad Amin As-Sinqithy. Adwa’ al-Bayan fi Idah al-Quran bi al-Quran. Hal.82-83

Adapun jika aktivitas setan yang berdampak bagi fisik menimpa hamba

yang sholeh tidak dinafikan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menunjukkan

terjadinya hal itu dalam kisah Nabi Ayyub ‘alaih al-sala>m:

يطان بنصب وعذاب ني الش واذكر عبدنا أيوب إذ نادى ربه أني مس

“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya:

“Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.95

Demikian pula, pengaruh sihir dalam bentuk halusinasi pernah dialami

oleh Nabi Musa ‘alaih al-sala>m sebagai Nabi ulul ‘azmi ketika tukang sihir

Fir’aun yang melempar tali-temali kemudian terlihat hidup seperti ular.

هم يخيل إليه من سحرهم أن ها تسعى ( فأوجس 66قال بل ألقوا فإذا حبالهم وعصي

(67في ن فسه خيفة موسى

Berkata Musa: “Silahkan kamu sekalian melemparkan.” Maka tiba-tiba tali-tali

dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap

cepat, lantaran sihir mereka. (66) Maka Musa merasa takut dalam hatinya (67)

Bentuk pengaruh sihir yang terjadi pada Nabi Musa berupa halusinasi

tersebut serupa dengan yang terjadi atas diri Rasulullah SAW. Pengaruh sihir

pada para nabi tersebut tidak berdampak pada penerimaan wahyu, pengamalan

dan penyampaiannya.Interaksi di alam sadar Nabi Musa dengan wahyu walau ada

pengaruh sihir ini secara eksplisit ditegaskan dalam lanjutan ayat dari surat

Thaha di atas: “Kami berkata: “janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah

yang paling unggul (menang) (68) Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan

kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. “Sesungguhnya apa

yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan

menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang” (69).

3. Hadis tentang Nabi disihir tidaklah bertentangan dengan ayat

ishmah karena konteks jaminan penjagaan dimaksud adalah dari pembunuhan,

bukan dalam bentuk gangguan fisik. Sebab gangguan fisik dari orang-orang kafir

95

QS. Shod : 41

sering kali menimpa Nabi sejak Nabi berdakwah di Makkah dan dalam berbagai

peperangan seperti dalam perang Uhud. Hal ini diperkuat dengan data dari

konteks asbab al-nuzul dari surat al-Maidah: 67 yang berkaitan dengan

pengawalan khusus yang dilakukan oleh para sahabat terhadap rumah Nabi SAW

dan ditiadakan setelah turunnya ayat tersebut.96

Dengan keterangan di atas, maka klaim kontradiksi hadis Nabi disihir

dengan sejumlah ayat tidaklah tepat. Bahkan bila dicermati lebih jauh, hadis

tersebut selaras dengan ayat-ayat al-Qur’an, antara lain: penetapan adanya sihir

dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusiabahkan bisamenimpa Rasulullah

SAW.97

Penegasan sifat bashariah Rasulullah yang bisa ditimpa sakit dan

merasakan pengaruhnya.98

Kondisi yang dialami Rasulullah SAW menjadi sebab

kesempurnaan pengajaran cara menghadapi dan mengobati sihir melalui contoh

dari Rasulullah SAW. Demikian bentuk kesempurnaan qudwah hasanah yang

diberikan oleh seorang rasul yang dipilih dari kalangan manusia bukan malaikat

melalui cara menyikapi hal-hal terkait dengan tabi’at insaniyah dan hal-hal yang

bersifat manusiawi.99

Kondisi yang dialami Rasulullah menjadi realita bahwa

upaya-upaya gangguan dari orang-orang kafir baik dari kalangan manusia

maupun jin menjadi ujian dalam kehidupan dan perjuangan orang-orang yang

beriman.100

96

Abu al-Hasan al-Wahidy, Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 135 97

Al-Qur’an, 2: 102 98

Idem, 18: 110, 41: 6 99

Idem, 33: 21. Menurut penelitian Khader Ahmad dan Ishak Suliaman, terdapat 36 hadis di

dalam al-kutub al-sittah yang menjelaskan tentang petunjuk Nabi mengenai sihir dan cara

pengobatannya dan 31 di antaranya berkualitas sahih, 2 hadis hasan dan 3 hadis d}a’if. Khader

Ahmad dan Ishak Suliaman, Hadith-Hadith mengenai Sihir dan Rawatannnya dalam al-Kutub al-

Sittah :Satu analisis Kualitatif, 22. albayanjournal.com/uploads/articles/7Hadith-Hadith

mengenai Sihir dan Rawatannnya.Pdf. Diunduh 15 September 2013

100Idem, 6: 112, 41: 6

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Meneliti kontradiksi antara hadis dan al-Qur’an sangat penting dalam

studi matan hadis, baik untuk keperluan kritik matan maupun untuk

pemahaman hadis.

2. Kontradiksi (Ta’a>rud}) antara al-Qur’an dan hadis ada dua macam yaitu

ta’a>rud}haqi>qy pada hadis palsu dan ta’a>rud}z}ahiry pada hadis sahih.

3. Metodologi penyelesaian ta’a>rud} z}ahiryyang dikenalkan oleh jumhur

ulama dalam ilmu mukhtalaf al-hadith yaitu cara al-jam’u (kompromi),

al-naskh (abrogasi), al-tarji>h} (seleksi) dan al-tawaqquf (penundaan).

4. Perlu kehati-hatian (ikhtiyat}) dalam mensahihkan hadis syadh atau

menolak hadis yang telah disahihkan para pakar hadis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis

(Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2011)

Abdul Majid Muhammad Isma’il Al-Suwsuh, Manhaj al-Taufiq wa al-Tarjih Baina al-Mukhtalaf al-Hadith wa Atharuhu fi al-Fiqh al-Islamy (ttp: Dar al-

Nafais, ttt)

Abdul Majid Muhammad Isma’il, Manhaj al-Tawfiq wa al-Tarjih fi Mukhtalif al-Hadith

Abdullah Hasan al- Hadithy. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet. 1, 2005)

Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Shafi’I. Al-Risalah, ed. Ahmad Shakir (Beirut:

Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, ttp)

Abu ‘Amr Utsman Ibnu Sholah, ‘Ulu>m al-Hadith (MuqaddimahIbn Al-S{olah), ed. Nuruddin ‘Itr (Beirut: Dar al-Fikr, cet. 3, 1418 H)

Abu Abdillah al-Bukhari, Al-Jami’ As-Sahi>h. Juz 1-4, ed.Muhibuddin al-

Khatib(Kairo: Al-Maktabah as-Salafiyah,Cet. 1, 1400 H)

Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. Al-Wasi>t} fi ‘Ulu>m wa Must}ola>h al-H{adi>th (Jeddah : ‘Alam al-Ma’rifah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 1, 1403

H/1983 M)

Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi, Muqaddimah Sharh al-Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim, Juz 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet.

1, 1347 H/1929 M)

Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Vol. 1. Ed. Abdul Razzaq al-‘Afify

(Riya>d} : Dar Al-S{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M)

Ali Hasan al- Halaby, al-Nukat ‘ala Nuzhah al-Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Dammam : Dar Ibn al-Jauzy’, cet. 1, 1413 H/1996 M)

Al-Sakhawy, Fath al-Mughits. Tahqiq Abdul Karim al-Khudhoir dan Muhammad

bin Abdullah Alu Fuhaid (ar-Riyadh : Maktabah Dar al-Minhaj, cet. 1,

1426 H

Al-Shaukany, Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Us}ul. Vol. 1 dan 2

(Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000)

Al-Suyuthi, Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, Tahqiq; Abu Mu’adz

Thoriq bin ‘Audhillah bin Muhammad (Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H)

Hasan Fauzy al- S}a’idy. Al-Manhaj al-Naqdy ‘inda al-Mutaqaddimi>n min al-Muhaddithi>n waatharTaba>yun al-Minhaj. (Tesis Magister, Jami’ah

‘AinSyams. KuliahTarbiyahQism al-Lughah al-‘Arabiyah, 1421 H/2000 M)

Ibnu Hajar al- Asqalany, Fath al-Bary. Ed. Syaikh Abdul Qadir Shaibah al-Hamd

(Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, Cet. 1, 1421 H/ 2001)

Ibnu Katsir. al-Ba’ist al-Hatsis Syarh Ikhtishar Ulum al-Hadits, Syarah; Ahmad

Muhammad Syakir. Vol.1 (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif lin al-Nasyr wa

at-Tauzi’, 1996 M)

Mah}mu>d al- T{ah}h}a>n`.Taisir Must}alah al-Hadi>th (Iskandariyah: Markaz al-Huda li

al-Dirasah, Cet. 7, 1405)

Muhammad al- Ghazaly, As-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith (Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 11, 1996).

Muhammad al-Amin al-Shinqit}y. Ad}wa’ al-Bayan fi I<d}ah al-Qur’an bi al-Qur’an,

vol. 4 (Jeddah: Dar ‘Alam al-Fawa’id, ttp)

Muhammad Muhammad Abu Shuhbah, Difa’ ‘an al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-

Sunnah, ttt)

Muhibbin. Disertasi Telaah Ulang Syarat Sahih al-Bukhari dalam Kitab al-Jami’

al-Sahih(Jogjakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998)

Muqbil bin Hady al-Wad’y. RududAhl al-‘Ilm ‘ala al-T{a’ini>n fi Hadith al-Sihr(S{an’a: Dar al-Athar, Cet. 2, 1420 H/1999 M),

Musfir Azmullah al- Daminy, Maqayis Naqd Mutun as-Sunnah. (Riyadh: tanpa

tahun, cet. 1, 1404 H/1984M)

Mustafa al- Siba’I. Al-Sunnah wa Makanatuha fi tashri’ al-Islamy (Beirut: al-

Maktab al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M)

Nafiz Husain Hammad.Mukhtalaf al-Hadith baina al-Fuqaha wa al-Muhaddithin (al-Mashurah: Dar al-Wafa’, cet. 1, 1414 H/1993 M)

Nasiruddin al-Albany. Silsilah al-Da’ifah wa al-Mawdu’at (al-Maktabah al-

Shamilah edisi 3.48)

Nuruddin ‘Itr, Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet.

3, 1418 H/1997 M)

Rabi’ bin Hady al- Madkhaly, Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam

(Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M)

S{ubhi al-S{a>lih, Ulum al-Hadith wa Must}alahuhu; ‘Ard{un wa Dirasatun (Libanon:

Matba’ah al-‘Ulum, ttt)

Siddiq Hasan al-Qonujy. Al-Hitthoh fi Dzikri as-Sihhah as-Sittah. Tahqiq: Ali

Hasan al-Hlm.aby (Beirut: Dar al-Jail, t.th)

Sulaiman bin Muhammad al-Dabikhy, Ahadith al-Aqidah Allati Yuwham Z}ahiruha al-Ta’a>rud} fi> Sah{ih}ain; Dirasatun wa Tarjih (T{a>if: Maktabah Dar

al-Bayan al-Hadithiyah, cet.1, 1422 H/2001 M )

Ustman Ali Hasan, Qawa’id al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad (Riyadh: Dar al-

Watn, Vol.2, cet. 1, 1413 H)

Wahbah al- Zuhaily, Al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’as}ir,

1419 H/1999 M)

Yusuf al- Qardawy. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah (Kairo: Dar

al-Shuruq, cet. 2, 1423 H/2002 M)

Sumber Internet:

Abu Sholih. Naqd al-Matan wa ‘ala >qatuhu bi al-Hukm ‘ala ruwa>t al-hadith Inda Ulama al-Jarh wa Ta’dil www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=85894.

Ahmad bin Abdul Azis al- Qushayyir. Ajwibatul ‘Ulama ‘anKhobarSihr an-NabiSAW. http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=22652. Di

akses 14 Juni 2013.

Sharaf al- Qud{ah. Hal Yata’aradu al-Hadith ma’a al-Qur’an al-Karim aw al-‘Ilm Hadith”Khalaq Allah al-Turab Yawm al-Sabt. Jurnal al-Bayan. Department

of al-Qur’an and al-Hadith, Academy of Islamic Studies, University of

Malaya, 2013. Akses 20 September 2013 dari www.albayanjournal.com