kedudukan instrumen hak asasi manusia dalam hukum nasional

19
Kedudukan Instrumen Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional Tristam. P. Moeliono (1/6/2016) Pengantar Bagaimana sebenarnya status, kekuatan mengikat dan kedudukan (hukum) dari instrumen-instrumen hak asasi manusia, terutama yang bersifat umum, misalnya Universal Declaration of Human Rights 1948 (tidak berbentuk hard law) dan dua konvensi terpenting yang muncul darinya ICCPR & ICESCR serta protokol-protokol yang mengikutinya di hadapan negara berdaulat dan hukum nasionalnya? Apakah kekuatan mengikat instrumen demikian hanya bersifat moral (himbauan moral) atau juga sekaligus legal, dan bila demikian halnya apakah keterikatan negara nasional (dan hakim di peradilan nasional) akan tergantung pada ratifikasi (yang diikuti dengan inkorporasi atapun transformasi ke dalam hukum nasional)? Bagaimana pula dengan keberlakuan instrumen-instrumen hak asasi manusia lainnya yang muncul setelahnya, seperti Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT), Convention on the Rights of The Child (CRC), Convention on the Elimination of Discrimination Against Women(CEDAW), Convention on the Elimination of All Form of Racial Discrimination (CERD) atau konvensi di bidang perburuhan seperti Convention on the Protection of the Rights of all Migrant Workers and Their Families (CMW)? Dari sudut pandang hukum internasional, tidak semua konvensi dikatakan memiliki kekuatan sebagai hukum (positif) yang mengikat. Sebagai perjanjian internasional, keberlakuan aturan-aturan di dalam instrumen-instrumen di atas sepenuhnya digantungkan pada penerimaan dan kesepakatan Negara penandatangan dan peratifikasi. Artinya Negara yang tidak meratifikasi selalu dapat berdalih tidak terikat dan tidak perlu tunduk. Namun pada lain pihak, dapat dicermati bahwa banyak dari norma yang termuat di dalamnya merupakan cerminan dari hukum kebiasaan internasional atau bahkan general principles of law as recognized by civilized nations. Artinya keberlakuannya tidak niscaya digantungkan pada penerimaan dan pengakuan Negara berdaulat. Pertanyaan ini terkait pula dengan pertanggungjawaban hukum dan moral dari penyelenggara Negara (pemerintah yang berkuasa) terhadap pada satu sisi masyarakat internasional, dan, pada sisi lain, terhadap warga (termasuk bukan warga: aliens) yang bersentuhan langsung dengan kebijakan- kebijkakan yang dikembangkan penyelenggara Negara. Apakah perlu dan mungkin ada satu instrumen atau alat ukur (parameter) untuk mengukur tidak saja keabsahan hukum namun juga moralitas penyelenggara Negara (pemerintah atau siapapun yang pada suatu waktu dan tempat berkuasa dan memerintah)? Apakah pemerintah suatu Negara berdaulat bertanggungjawab kepada dan dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum oleh masyarakat internasional (di tataran internasional) atau khususnya oleh warga Negara (di forum peradilan nasional atau melalui lembaga-lembaga lain yang tersedia) bila penyelenggara Negara melanggar instrumen hak asasi umum maupun khusus? Apa arti kedaulatan rakyat (demokrasi) bila dihadapkan pada persoalan-persoaln di atas? Apa yang jelas adalah

Upload: independent

Post on 18-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kedudukan Instrumen Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional

Tristam. P. Moeliono (1/6/2016)

Pengantar

Bagaimana sebenarnya status, kekuatan mengikat dan kedudukan (hukum) dari instrumen-instrumen

hak asasi manusia, terutama yang bersifat umum, misalnya Universal Declaration of Human Rights 1948

(tidak berbentuk hard law) dan dua konvensi terpenting yang muncul darinya ICCPR & ICESCR serta

protokol-protokol yang mengikutinya di hadapan negara berdaulat dan hukum nasionalnya? Apakah

kekuatan mengikat instrumen demikian hanya bersifat moral (himbauan moral) atau juga sekaligus

legal, dan bila demikian halnya apakah keterikatan negara nasional (dan hakim di peradilan nasional)

akan tergantung pada ratifikasi (yang diikuti dengan inkorporasi atapun transformasi ke dalam hukum

nasional)?

Bagaimana pula dengan keberlakuan instrumen-instrumen hak asasi manusia lainnya yang muncul

setelahnya, seperti Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment (CAT), Convention on the Rights of The Child (CRC), Convention on the Elimination of

Discrimination Against Women(CEDAW), Convention on the Elimination of All Form of Racial

Discrimination (CERD) atau konvensi di bidang perburuhan seperti Convention on the Protection of the

Rights of all Migrant Workers and Their Families (CMW)? Dari sudut pandang hukum internasional,

tidak semua konvensi dikatakan memiliki kekuatan sebagai hukum (positif) yang mengikat. Sebagai

perjanjian internasional, keberlakuan aturan-aturan di dalam instrumen-instrumen di atas sepenuhnya

digantungkan pada penerimaan dan kesepakatan Negara penandatangan dan peratifikasi. Artinya

Negara yang tidak meratifikasi selalu dapat berdalih tidak terikat dan tidak perlu tunduk. Namun pada

lain pihak, dapat dicermati bahwa banyak dari norma yang termuat di dalamnya merupakan cerminan

dari hukum kebiasaan internasional atau bahkan general principles of law as recognized by civilized

nations. Artinya keberlakuannya tidak niscaya digantungkan pada penerimaan dan pengakuan Negara

berdaulat.

Pertanyaan ini terkait pula dengan pertanggungjawaban hukum dan moral dari penyelenggara Negara

(pemerintah yang berkuasa) terhadap pada satu sisi masyarakat internasional, dan, pada sisi lain,

terhadap warga (termasuk bukan warga: aliens) yang bersentuhan langsung dengan kebijakan-

kebijkakan yang dikembangkan penyelenggara Negara. Apakah perlu dan mungkin ada satu instrumen

atau alat ukur (parameter) untuk mengukur tidak saja keabsahan hukum namun juga moralitas

penyelenggara Negara (pemerintah atau siapapun yang pada suatu waktu dan tempat berkuasa dan

memerintah)? Apakah pemerintah suatu Negara berdaulat bertanggungjawab kepada dan dapat

dimintakan pertanggungjawaban hukum oleh masyarakat internasional (di tataran internasional) atau

khususnya oleh warga Negara (di forum peradilan nasional atau melalui lembaga-lembaga lain yang

tersedia) bila penyelenggara Negara melanggar instrumen hak asasi umum maupun khusus? Apa arti

kedaulatan rakyat (demokrasi) bila dihadapkan pada persoalan-persoaln di atas? Apa yang jelas adalah

bahwa titik tolak untuk menjawab kesemua pertanyaan di atas tidak boleh dan dapat dilakukan dengan

mengabaikan pandangan Negara berdaulat atau mereka yang mewakilinya. Namun pada saat sama,

suara dari para korban pelanggaran hak asasi manusia (individual atau kelompok) yang kerap tidak

terdengar (bahkan dibungkam nararasi sejarah resmi) juga harus turut diperhatikan. Pertanyaan ini

dalam tulisan ini akan difokuskan pada situasi Indonesia dan hukum nasional Indonesia

Instrumen hak asasi manusia utama sebagai parameter legalitas dan legitimitas hukum nasional

Bagaimana kita menjawab persoalan kekuatan mengikat dari instrumen-instrumen hak asasi manusia

(UDHR, ICCPR dan ICESCR dan perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur lebih rinci hak asasi

manusia lainnya) akan sangat tergantung pada pandangan yang dianut perihal klaim universality and

indivisibility of human right norms. Diyakni bahwa nilai yang diusung dalam ketiga instrumen (hak asasi)

tersebut di atas sudah sepantasnya atau sudah dengan sendirinya berlaku dan dianggap mengikat bagi

setiap budaya, di setiap Negara maupun masyarakat. Selanjutnya bahwa hak asasi (generasi pertama:

hak-hak sipil & politik), generasi kedua (hak sosial ekonomi dan budaya) serta generasi ketiga (hak-hak

komunal) saling kait mengait dan tidak dapat dibicarakan terlepas satu dari lainnya. Apakah keberlakuan

(universal dan tidak terbagi [indivisibility]) norma-norma internasional tentang perlindungan hak asasi

manusia sesederhana itu?

Apa yang menjadi dan masih akan menjadi persoalan besar ialah bahwa instrumen hak asasi manusia

(internasional) tidak serta merta dianggap cocok untuk menilai masyarakat negara berkembang yang

dipostulatkan secara umum menganut pandangan hidup yang bertolak-belakang (komunal dan

religius).1 Juga dinyatakan pada waktu itu bahwa masyarakat berbudaya Timur (dan itu artinya juga

kebijakan politik dan hukum di negara-negara berkembang) – berbeda dengan yang terjadi di negara-

negara barat - tidak perlu memprioritaskan perlindungan hak-hak sipil-politik yang cenderung liberalis-

individualistik (dan sekuler).

Khususnya harus diperhatikan pula tantangan yang muncul dari negara-negara Islam. Mereka

memunculkan konsepsi hak asasi manusia yang diturunkan langsung dari Allah (hak asasi yang non-

sekuler). Tertulis bahwa:2

“On 5 August 1990, the then 45 member states of the OIC adopted The Cairo Declaration of Human Rights in Islam. In this document all rights are seen as derived from God. The preamble states that "no one as a matter of principle has the right to suspend them in whole or in part or violate or ignore them in as much as they are binding divine commandments". At the 1993 World Conference on Human Rights in Vienna, Iran, supported by several other Islamic States,

1 Persoalan serupa: “what is the source of the rules or standards under which government, inter-governmental and

nongovernmental organizations evaluate and criticize a state?” secara khusus di bahas meluas di dalam Henry J. Steiner, Philip Alston & Ryan Goodman, International Human Rights in Context: Law, Politics, Morals. Text and Materials, Third edition, (Oxford University Press, 2007) 2 in Human Rights: A Compilation of International Instruments: Volume II: Regional Instruments, (New York and

Geneva, 1997, OHCHR, Geneva). Untuk ulasan lebih lanjut baca: Islamic Law vs Human Rights (10 march 2008) dalam situs International Humanist and Ethical Union (the world of Humanist organization). Bdgkan pula dengan telaahan dari Austin Dacey & Colin Koproske, “Islam & Human Rights: Defending Universality at the United Nations, 2008, available at www.centerforinquiry.net.

pressed for the acceptance of the Cairo Declaration as an alternative to the Universal Declaration of Human Rights. This objective was partly achieved in 1997 when the Cairo Declaration was included by the Office of the High Commissioner for Human Rights as the last document”.

Tuntutan yang diajukan, sebagaimana terbaca di atas adalah “the acceptance of the Cairo Declaration as

an alternative to the Universal Declaration of Human Rights” dengan penekanan pada kata “as an

alternative”dan bukan sebagai pelengkap atau tambahan. Dalam bahasa lebih sederhana, Negara-

negara Islam (anggota OKI?) menuntut dibebaskan dari keberlakuan instrumen-instrumen hak asasi

manusia (universal) karena hanya akan mengakui nilai-nilai hak asasi manusia berbasis pada Q’uran. Ini

memunculkan sejumlah persoalan lain: apakah mereka yang tidak beragama Islam, bahkan yang ateis

dan agnostic (yang kebetulan bermukim di wilayah Negara Islam atau Dar’ Al Salam), akan diakui dan

dilindungi hak asasi-nya oleh penyelenggara Negara (teokrasi) Islam? Satu dan lain karena titik tolak

keanggotaan dalam masyarakat muslim jelas bukan kewarganegaraan (citizenship) melainkan kesatuan

dan persaudaraan dalam satu iman (brotherhood atau ummah). Tidakkah hal ini otomatis

menempatkan warga Negara non-muslim di luar perlindungan Negara Islam atau setidak-tidaknya

menempatkannya sebagai warga kelas dua?3

3 Di sini kita bersentuhan dengan konsep dhimmitude yang secara sederhana dirumuskan sebagai: “the Islamic

system of governing populations conquered by jihad wars, encompassing all of the demographic, ethnic, and religious aspects of the political system. (…) The word "dhimmitude" as a historical concept, was coined by Bat Ye'or in 1983 to describe the legal and social conditions of Jews and Christians subjected to Islamic rule. The word "dhimmitude" comes from dhimmi, an Arabic word meaning "protected". Dhimmi was the name applied by the Arab-Muslim conquerors to indigenous non-Muslim populations who surrendered by a treaty (dhimma) to Muslim domination (…).encompasses the relationship of Muslims and non-Muslims at the theological, social, political and economical levels. It also incorporates the relationship between the numerous ethno-religious dhimmi groups and the type of mentality that they have developed out of their particular historical condition which lasted for centuries, even in some Muslim countries, till today. (it) is an entire integrated system, based on Islamic theology. It cannot be judged from the circumstantial position of any one community, at a given time and in a given place. Periksa: http://www.dhimmitude.org/ (12/22/2015). Untuk pandangan berbeda periksa: Abdul Kareem, DHIMMI – Non-Muslims living in the Khilafah, 13

th july 2015 http://www.khilafah.com/dhimmi-non-muslims-living-in-

the-khilafah-2/ (12/22/2015). Ia menyatakan: “Citizenship in Islam is based on someone permanently living within the lands of the Khilafah regardless of their ethnicity or creed. It is not a requirement for someone to become Muslim and adopt the values of Islam in order to become a citizen of the state. Muslims living outside the Islamic State do not enjoy the rights of citizenship, whereas a non-Muslim living permanently within the Islamic State (dar ul-Islam) does. (…)The Islamic state is forbidden from discriminating between citizens on the basis of race, creed, colour or anything else. In origin all the rules of Islam apply equally to Muslims and non-Muslims. The Islamic scholars have agreed, especially the scholars of Usul (foundations), that the divine rules are addressed to every sane person able to understand the speech, whether he is Muslim or not, male or female. However, there are exceptions to this. If the Shari’ah rule is dependent on belief in Islam such as praying salah or giving the zakat tax then it applies only to Muslims. These exceptions are not discriminatory rules as some have claimed, but take in to account the beliefs and values of the citizen so as not to cause oppression to them. They in no way detract from being equal citizens. Namun pada saat sama ia mengakui pula bahwa: It’s true that a dhimmi cannot hold any ruling position within the Khilafah. This is because the Shari’ah has restricted these positions to those who believe in the ideology of the state i.e. Islam.

Jelas di sini ada titik tolak berbeda antara Negara bangsa (sekuler-modern) dan Negara teokrasi (Islam)-

modern dalam memandang tujuan bernegara bahkan juga peran hukum dalam penyelenggaraan Negara

serta kedudukan warga negara atau kaula di dalam negara. Namun demikian, di luar persoalan ini

ditengarai pula penolakan terhadap gagasan universalisme hak asasi muncul sangat kuat justru di

Negara yang terindikasikan melanggar hak asasi warganya sendiri.

Pada 1984, wakil Iran di PBB, Said Raja’i Khorasani, menyatakan, sebagai reaksi atas indikasi pelanggaran

hak asasi manusia di Iran bahwa:4

“*Iran+ recognized no authority … apart from Islamic law (…) conventions, declarations and resolutions or decisions of international organizations, which were contrary to Islam, had no validity in the Islamic Republic of Iran ( …) The Universal Declaration of Human Rights, which represented secular understanding of the Judaeo-Christian tradition, could not be implemented by Muslims and did not accord with the system of values recognized by the Islamic Republic of Iran; [t]his country would therefore not hesitate to violate its provisions”.

Pandangan ini dapat diperbandingkan dengan sikap Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak,

yang pada 2014 menyatakan: 5

“Islam must be defended as human rights, if not defined according to the religion, could be used for other purposes which might cause deviation from the religion's teaching”, (…) This is what we must defend. Although in terms of definition, human rights have been defined universally, in this country [Malaysia] we still define human rights according to the Islamic context and its principles (syariat)”.

Dalam kedua pandangan di atas hak asasi manusia dibenturkan dan sengaja dikontraskan dengan nilai-

nilai Islam. Seolah-olah ketika kita membela hak asasi manusia, otomatis (masyarakat dan agama) Islam

diserang. Di balik itu, muncul kembali kesan kuat bahwa apa yang menjadi masalah adalah

ketidaksukaan pimpinan Negara-negara (berkembang dan/atau Muslim) untuk dikritik-dikecam oleh

Negara-negara (Barat/maju) yang memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda, termasuk ke dalamnya

adalah cara pandang terhadap hak asasi manusia. Cara suatu pemerintah menyelenggarakan urusan

Negara dikaitkan dengan kedaulatan penuh-kewibawaan Negara (atau dominasi atas suatu pandangan

kebenaran Ilahi) dan itu artinya Negara-negara lain (apalagi Negara-negara Barat) tidak layak atau

pantas turut mengomentari. Terkesan Negara-negara muslim tidak sudi dan terima harus dinilai oleh

nilai-nilai (sekuler dan asing?). Perdebatannya bergeser menjadi apakah Negara-negara lain

diperkenankan turut campurtangan dalam urusan dalam negeri atau penyelenggaraan pemerintah dari

Negara lain? Bilamana diperkenankan apakah alat ukurnya hanya boleh yang disepakati Negara yang

sedang dinilai?

4 Dikutip dari Ibid. (Austin Dacey & Colin Korproske)

5 See more at: http://www.themalaysianinsider.com/malaysia/article/define-human-rights-according-to-islam-

even-if-not-universal-says-najib#sthash.7ru4t1xn.dpuf (12/15/2015).

Apakah seseorang atau bahkan suatu Negara bisa menjadi hakim bagi dirinya sendiri? Lagipula dari

sudut pandang korban (individu atau kelompok), bisa jadi minoritas yang terpinggirkan dan sebab itu

suaranya dibungkam oleh mayoritas atau sekadar diabaikan oleh pemerintah Negara yang tidak peduli,

jelas ada kebutuhan alat ukur yang tidak digantungkan pada penerimaan atau kesetujuan pemerintah

Negara yang perilakunya diukur. Itu pula sebabnya, keberlakuan nilai-nilai yang dikandung instrumen

hak asasi manusia tidak boleh diserahkan pada adanya persetujuan atau penerimaan pihak yang

perilakunya sedang ditimbang dan dinilai.

Beranjak dari semangat universalisme dan humanism itulah tidak mengherankan apabila tidak semua

penulis Islam sepaham. Setidak-tidaknya dari pustaka dapat ditemukan pandangan berbeda juga dari

penulis Malaysia lainnya. Di dalam suatu abstrak tulisan6 dengan tegas dinyatakan:

“ (…) Human rights, despite being a basic tenet of Islam, have frequently and widely been misunderstood by many Muslims. Indeed, the protection of human rights is consistent with the very objective of the coming of Islam i.e. as a mercy to the whole universe and for safeguarding the sacred values of humanity. As such, it is not an exaggeration to consider that Islam is a strong proponent of human rights and violations of human rights may be tantamount to disregarding Islamic principles.”

Berbeda dengan titik tolak di awal, penulis ini justru menegaskan keselarasan antara hak asasi manusia

dengan tujuan kedatangan Islam, yaitu sebaga: “a mercy to the whole universe and for safeguarding the

sacred values of humanity”.

Terlepas dari itu di sini hanya dapat disimpulkan bahwa perdebatan masih (akan) terus berlangsung dan

nuansanya kemungkinan besar bukan kepedulian nyata pada persoalan penegakan hak asasi manusia,

namun lebih pada nilai-nilai manakah (barat-timur-islam) yang harus jadi acuan perilaku Negara.

Pandangan yang menentang universalitas hak asasi dilandaskan pula pada pandangan keliru bahwa

masyarakat timur (sebagian rusia, cina, india, timur tengah, asia minor sampai dengan asia tenggara)

sesungguhnya tidak mengenal konsep hak asasi manusia. Gagasan hak asasi manusia dianggap

sepenuhnya merupakan produk perkembangan budaya Barat. Satu penulis (Islam) menyebutkan

dengan tegas:7

Though the Universal declaration of Human Rights is called "Universal", it "was articulated along the lines of historical trends of the Western world during the last three centuries, and a certain philosophical anthropology of individualistic humanism which helped justify them". The basic

6 Mohamed Azam Mohamed Adil, Nisar Mohammad Ahmad, Islamic Law and Human Rights in Malaysia, Islam and

Civilisational Renewal, Vol. 5 no. 1, Januari 2014. Cf. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam, Islamic Law and the Dilemma of Cultural Legitimacy for Universal Human Rights, artikel.pdf dapat diperoleh di w18.american.edu/~dfagel/islam&universalrights.pd (12/22/2015). Lihat juga dari pengarang sama: Abdullahi A.

An-Na'im ”The Synergy and Interdependence of Human Rights, Religion and Secularism” polylog: Forum for Intercultural Philosophy 3 (2001). Online: http://them.polylog.org/3/faa-en.htm ISSN 1616-2943. (12/22/2015). 7 Riffat Hassan, “Are Human Rights Compatible with Islam? The Issue of the Rights of Women in Muslim

Communities, University of Louisville, Louisville, Kentuckyhttp://www.religiousconsultation.org/hassan2.htm (16/12/2015).

assumptions underlying the Declaration were a) of a universal human nature common to all the peoples, b) of the dignity of the individual, and c) of a democratic social order.

Meski demikian perlu disadari pula penelitian sejarah kemunculan UDHR yang justru menunjukkan

bahwa:8

(…) that almost all of these (Islamic ) nations were not only signatories to the UDHR and later agreements such as the ICCPR and ICESCR, but also active contributors in their formulation (….). Further, the universality of human rights was not an object of great concern for Muslim states during the drafting process; most showed general support for the motivations and prescriptions therein, and none cast a vote against the resulting document (Saudi Arabia was alone among Muslim states in abstaining, joining South Africa and various Eastern Bloc states). Contemporary leaders who would denounce the UDHR as an exclusively “Western project” therefore fail to acknowledge the important contributions of Islamic states to its creation. In their ignorance of history, they reveal the harmful political dimension of their cause—the appropriation, rigidification, and politicization of Islam as an obstacle to international human rights law

Faktual harus diakui bahwa pemikiran gagasan tentang hak asasi (modern) bermula dari pemikir-pemikir

filsafat Barat (antara lain, T. Hobbes, J.J. Roueseau, John Locke dll.) dan menjadi bagian dari hukum

publik internasional pasca Perang Dunia ke II berkat upaya pemikir-pemikir hukum dari negara-negara

barat. Namun sejarah kemunculan UDHR sebagaimana disebutkan di atas tidak dapat dan boleh

dilupakan melibatkan pula Negara-negara Islam yang ada saat itu (1948).

Keberatan lain terhadap universalisme dari instrumen hak asasi manusia muncul dari mereka yang

bertitik tolak dari kesejajaran dari ‘nilai-nilai yang dikandung oleh ragam budaya masyarakat’

(relativisme (nilai-nilai) budaya) dan sebab itu tidak mungkin dan boleh ada satu parameter yang dapat

digunakan untuk menilai keabsahan dan moralitas dari semua masyarakat (atau Negara) di dunia.

Disebutkan bahwa:9

Cultural relativism is the position to which local cultural traditions (religious, political and legal practices included) properly determine the existence and scope of civil and political rights enjoyed by individuals in a given society. It is premised on the idea that all cultures are equally valid and that standards of evaluation are internal to traditions. It sees that values emerge in the context of particular social, cultural, economic and political conditions and therefore vary enormously between different communities

Beranjak dari pandangan ini, maka sama seperti yang terjadi dalam hal dibenturkannya nilai Islam

dengan nilai hak asasi manusia kembali lagi nilai-nilai hak asasi manusia yang dianggap universal

dikecam sebagai hanya mewakili pandangan Negara (masyarakat) barat. Pandangan masyarakat (atau

8 Op. cit. Austin Dacey & Colin Korproske), p. 10.

9 Patrick Chin-Dahler, ANU, “Universal human rights, cultural relativism and the Asian values debate”

http://www.eastasiaforum.org/2010/10/09/ (1/4/2016)

budaya) Barat ini dikontraskan dengan pandangan atau nilai-nilai ketimuran (Asian values) yang

dianggap lebih luhung (luhur). Maka:10

Within this construct, values such as privileging the community over the individual, respect for authority and filial duty are dichotomised against Western values such as individualism and materialism. (….) The dichotomy between Asian values and Western values therefore frames Asian values in a positive light and perpetuates the idea that a distinct set of Asian values is important. By implication, this means that Asian societies have their own way of doing things and that Western ideas are invalid and illegitimate within Asian societies. Moreover, because a binary logic exists where Asia is dichotomised against the West, many of the values associated with the West are also demonised. This establishes a precedent for legitimising repressive policies and actions that can be passed off under the guise of Asian values.

Pemikir (filsuf) lainnya dari Asia, Amartya Sen, justru mengkritik dikotomi antara nilai/budaya Barat

versus Timur.11 Ia menyatakan pertama-tama ketidakmungkinan adanya Asian values atau culture

sebagai satu kesatuan utuh. Sebaliknya ada keragaman budaya dan tata nilai yang begitu besar di dalam

dan di antara Negara-negara di benua Asia (Cina, Jepang, Korea, Negara-negara Arab/Timur Tengah) dan

Negara-negara di Asia Tenggara. Selain itu ia juga merujuk pada sejarah kerajaan Hindu Budha (Ashoka)

maupun kesultanan Islam (Moghul Emperor Akbar) di India yang memerintah dengan memajukan nilai-

nilai kemanusiaan (setidaknya berkenaan dengan religious tolerance) yang sekarang ini kita pandang

sebagai kewajaran dan bahkan harus dianut. Sebab itu Sen kemudian menyimpulkan dua hal.

Pertama:12

In the most general form, the notion of human rights builds on our shared humanity. These rights are not derived from the citizenship of any country, or the membership of any nation, but taken as entitlements of every human being. They differ, thus, from constitutionally created rights guaranteed for specified people (such as, say, American or French citizens).

Dan kedua:13

The so-called Asian values that are invoked to justify authoritarianism are not especially Asian in

any significant sense. Nor is it easy to how they could be made into an Asian cause against the

West, by the mere force of rhetoric. The people whose rights are being disputed are Asians, and

no matter what the West’s guilt may be (there are many skeletons in many cupboards across

the world), the rights of the Asian can scarcely be compromised on those grounds.

10

Ibidem 11

Amartya Sen, “Human Rights and Asian Values”, paper presented at the Sixteenth Morgenthau Memorial Lecture on Ethics & Foreign Policy, sponsored by the Carnegie Council on Ethics and International Affairs, in New York City on May 1, 1997. Di muat dalam http://www.carnegiecouncil.org/publications/archive/morgenthau/254.html (1/4/2016). 12

Ibid, 13

Ibid.

Selain, sebagaimana juga diargumentasikan Sen di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan

masyarakat di budaya non-barat ternyata juga mengembangkan pemikiran tentang perlu dan

pentingnya Negara menghormati, menjaga dan melindungi harkat-martabat manusia dan artinya juga

pengakuan adanya kewajiban penguasa terhadap kaula untuk memerintah dengan bijak dan baik.

Nihal Jayawickrama,14 antara lain, dengan mempelajari naskah-naskah kuno budaya India (termasuk

Ramayana, Mahabrata, dll) menunjukkan berlaku dan ditaatinya norma-norma yang nyata

mengedepankan atau dibangun di atas prinsip penghormatan atas harkat-martabat manusia.

Kesimpula akhir yang dapat ditarik ialah bahwa sekalipun kita tidak dapat begitu saja mengabaikan

kenyataan empiri adanya heterogenitas atau pluralism budaya dan tata nilai, pada akhirnya

keberagaman ini tidak dapat dan boleh di(salah-)gunakan untuk melestarikan praktik penindasan

manusia atau kelompok manusia oleh negara atau masyarakat lainnya. Pelanggaran hak asasi manusia,

sekalipun mungkin dapat dimengerti dalam konteks budaya tertentu, tidak sekaligus dapat dibenarkan

oleh cultural relativism.

Tantangan dan penerimaan nilai-nilai universal dari hak asasi manusia di Indonesia

Bagi Indonesia sebagai Negara berdaulat persoalan di atas tidak sekadar diskursus di tataran abstrak

melainkan menyentuh aspek yang lebih konkrit. Ketika perilaku kita sebagai penyelenggara Negara atau

sebagai anggota masyarakat diukur berdasarkan instrumen hak asasi manusia dan dinilai tidak

memenuhi, maka kadang persoalannya berkaitan dengan urusan harga diri dan ketersinggungan.

Mungkin bukan sesuatu hal penting dari kacamata Negara maju yang mengajukan kritikan. Juga terjadi

bahwa apa yang sebenarnya ditolak bukanlah nilai-nilai hak asasi manusia, namun tekanan politik dan

ekonomi yang dilakukan Negara-negara maju.

Ilustrasi dari persoalan ini muncul dari pengalaman sejarah. Presiden Soekarno dalam satu pidato (25

maret 1964) yang dihadiri dutabesar Amerika. Ia menyatakan: go to hell with your aid!. Namun

bersamaan dengan itu sebenarnya ia mengindikasikan bahwa bantuan yang ditolak adalah bantuan yang

dikaitkan pada “kewajiban Indonesia berpihak pada blok Barat dan mengadopsi nilai-nilai yang diusung

oleh blok Barat”. Sikap politik yang sebenarnya sudah ditegaskan 1955 dalam KKT Non-Blok di Bandung

dan muncul dalam upaya mengedepankan pembangunan ekonomi yang berdiri di atas kaki sendiri.

Kemarahan atau ketersinggungan serupa ditunjukkan pula oleh Presiden Soeharto. Ihwalnya, ialah

kecaman negara-negara donor (negara maju) yang tergabung dalam IGGI terhadap kinerja pemerintah

Indonesia di bidang penghormatan dan penegakan hak asasi manusia.15 Reaksi pemerintah Indonesia

14

Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence, (Cambridge University Press, 2002). 15

John Jansen van Galen, “”Het Belang van Mensenrechten” 14/05/2012 dalam http://www.twenteuitdekunst.nl/boeken/het-belang-van-mensenrechten (21/11/2012) yang merupakan komentar terhadap buku Schaakmat in Jakarta: Soeharto’s revance op de Haagse Politiek, karangan Gerard Kramer & Thecla Berghuis (Amsterdam : KIT Publishers, cop. 2012). Namun baca pula ulasan George Junus Aditjondro, “Holland Randstad: Suharto’s Lucrative Capital Market”, di muat di http://www.michr.net/the-dutch---indonesia-

pada masa pemerintahan Pres. Soeharto sangat keras. Semua program bantuan yang berjalan dalam

kerangka IGGI dihentikan sepihak. Dijelaskan bahwa keputusan Soeharto untuk menghentikan program

bantuan dari IGGI dilandaskan sejumlah faktor: kritik pemerintah Belanda terhadap keputusan untuk

mengeksekusi sejumlah orang yang dituduh terlibat kudeta 1965, penghentian bantuan Belanda

terhadap program keluarga berencana karena dugaan digunakannya paksaan dan sikap politik Belanda

terhadap pertumpahan darah di Dilli, Timor-Timur. Padahal dalam kasus terakhir Soeharto di luar

dugaan banyak pihak bertindak sangat keras: memerintahkan penyelidikan dan penindakan

(pemberhentian) perwira-perwira militer yang dianggap paling bertanggungjawab.16 Ia sangat

tersinggung bahwa pemerintah Belanda setelah itu masih menuntut dilakukan penyelidikan ulang dan

penjatuhan sanksi yang lebih keras. Namun titik baliknya ialah kekerasan sikap Belanda untuk

mengaitkan program bantuan dengan penegakan hak asasi manusia. Pentingnya hal ini tidak disangkal

oleh Jakarta, namun yang dikritik adalah landasan hak Belanda dan negara-negara Barat untuk duduk

sebagai wasit atau penguji dengan pundi-pundi uang sebagai hadiah bagi perilaku baik. Apa hak Negara-

negara maju untuk menilai, mengukur, dan kemudian memberikan catatan merah atas kinerja

pemerintahan Negara berdaulat?

Uraian di atas jelas menunjukkan bahwa hak asasi manusia sudah dan dapat di (salah-)gunakan oleh

Negara-negara maju untuk menekan Negara-negara berkembang. Instrumen hukum (internasional)

menjadi sekadar alat dalam hubungan-politik-ekonomi internasional dan sebab itu mudah dilupakan

normativitasnya. Pada satu pihak tidak dapat dipungkiri tidak ada yang keliru dengan tuntutan Negara

maju bahwa bantuan (apapun) yang mereka berikan tidak disalahgunakan untuk mendukung rezim

pemerintahan yang mengembangkan banyak kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat. Pada lain

pihak yang mungkin tidak terbaca atau luput dari perhatian pimpinan Negara maju adalah

“ketersinggungan” dan “perasaan tidak dihormati-dihargai sebagai mitra-sejajar” yang dirasakan

pimpinan (atau mungkin) rakyat Negara-negara berkembang (penerima bantuan).

Penggunaan atau penyalahgunaan tuntutan Negara maju untuk memenuhi standar (universal) hak asasi

manusia kemudian bergeser – dari sudut pandang Negara yang menerima kritikan - menjadi persoalan

berbeda (kesopanan dalam pergaulan internasional) dengan “collateral damage” terlupakannya mereka

(individu atau kelompok) yang hak-hak asasinya betul dilanggar. Maka pertanyaannya adalah apakah

corporate-connection.html (21/11/2012). Ia menulis: “(…) ironically, while opposing any cricism from then IGGI chairperson, Jan Pieter Pronk on the violations of the East Timorese people's human rights and the violation of Indonesian women's reproductive rights, Suharto himself unshamefully used a Dutch subsidiary of the Indonesian central bank to launder around one billion US dollars of his ill-gotten wealth, as has been charged by the Indonesian Attorney General in the trial which the former dictator is currently facing in Jakarta.” 16

Untuk ulasan tentang peristiwa ‘pembantaian” Santa Cruz dalam konteks yang lebih luas baca baca: Douglas Kammen, “The Trouble with Normal: The Indonesian Military, Paramilitaries, and the Final Solution in East Timor” dalam Benedict R.O’G Anderson (eds), Violence and the State in Suharto’s Indonesia, (Ithaca, NY, Central Southeast Asia Program Publications, second printing 2002), pp 156-188 . Ia mencermati bahwa: “in the face of fierce international condemnation, military officials and politicians in Jakarta resorted to denials, finger-pointing, and finaly, to the establishment of a Military Honorary Board commissioned to investigate the massacre, a pretence of accoutability. Soeharto promplty ordered the summary and highly publicized sacking of both Military Region 9 (formerly 16) commander Major-General Sintong Panjaitan dan Kolakops commander Brigadier-General Warouw (164-5).”

betul nilai-nilai hak asasi manusia merupakan nilai universal dan bukan nilai particular yang berkembang

dalam ranah sejarah dan budaya politik Negara-negara maju (barat) dan sebab itu tidak cocok dengan

Negara-negara yang menggusung ideologi berbeda?

Pertanyaan ini menjadi titik tolak disertasi Adnan Buyung Nasution di Univ. Utrecht pada 2000. Ia

berhasil menunjukkan bagaimana para anggota konstituante (dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada

1959 dengan suatu dekrit) tatkala merancang konstitusi baru (untuk mengganti UUD 1945, dari awal

dirancang untuk berlaku sementara, berdebat panjang lebar tentang pentingnya hak asasi manusia

dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia.17 Apa yang perlu dicatat ialah bahwa para

anggota Konstituante tersebut berasal dari ragam golongan dan mewakili kebhinekaan pandangan hidup

masyarakat Indonesia (dari sekuler-modern, Islam-non Islam bahkan komunis). Mereka yang berdebat di

dalam konstituante pada masa 1955 sd. 1959 juga dipersatukan oleh semangat anti kolonialisme

maupun kapitalisme liberalis (yang dianggap memunculkan kolonialisme). Artinya tidak tepat pula

gagasan bahwa masyarakat komunal yang anti individualism dipandang niscaya menafikan pentingnya

pengakuan atas hak asasi manusia di bumi Indonesia.

Betul pula bahwa konsep Negara integralistik yang dikembangkan Soepomo (perancang UUD 1945 asli)

sangat menentang individualisme dalam penyelenggaraan kehidupan Negara. Adalah individualisme

yang diyakini sebagai akar dari imperialisme-kolonialisme Negara-negara Eropa. Sebaliknya Soepomo

dengan konsep negara yang bersandar atas kekeluargaan merujuk pada sistem pemerintahan

totalitarian NAZI maupun Jepang (sebelum perang dunia II). Keduanya mengidealisasi persatuan antara

pimpinan dan rakyat dalam Negara.18 Beranjak dari pemikiran ini pula Soepomo menyatakan yang

diperlukan oleh individu karenanya bukanlah jaminan hak-hak perorangan (perlindungan hak asasi oleh

negara), tapi pelaksanaan kewajiban kepada negara, pengabdian dan disiplin. Di samping itu pula, dapat

dimengerti mengapa Soepomo menyatakan pula bahwa Negara harus berkuasa secara total (berdiri

mengatasi semua golongan dan pada saat sama juga tidak memihak kepentingan perseorangan) karena

kekuasaan dipahami sebagai bersumber dari satu kesatuan tunggal antara rakyat dan pemimpin

(manunggaling kawulo lan gusti). Beranjak dari itu Soepomo menolak teori Montesquieu tentang

pemisahan kekuasaan (separation power), dan menganjurkan pembagian-penyebaran kekuasaan

(distribution of power) antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia tidak diperlukan adanya

perhatian pada perlindungan hak asasi manusia dari negara. Kemungkinan besar pemahaman negara

integralistik dengan penekanan pada tanggungjawab warga untuk menjaga wibawa hukum (negara) dan

pemerintahan (dalam kerangka pemeliharaan stabilitas politik) menginspirasi rezim pemerintahan Orde

Baru. Paham itu pula yang mewarnai sikap-pandangan rezim ini terhadap perlindungan dan penegakan

hak asasi manusia, termasuk ke dalamnya persoalan kedudukan serta kekuatan mengikat instrumen-

instrumen hak asasi manusia (legal-non legal).

17

Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia; A socio-legal study of the Indonesian Konstituante, 1956-1959 (dissertation, Univ. Utrecht, 1992). 18

Supomo, Negara Integralis, dalam Herbert Feith & Lance Castles, (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, 1970

Sebaliknya perlu dicatat bahwa Penjelasan Umum KUHAP (UU 8/1981) dibuat untuk menggantikan R.I.B

(Het Herziene Inlandsch Reglement" (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dan Undang-undang Nomor 1

Drt/1951 (Lembaran Negara 1951/ 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81), menyatakan bahwa

alasan untuk mencabut dan mengganti peraturan perundang-undangan lama adalah karena di dalamnya

ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Maka

sebagai Negara hukum jelas:

”bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warganegara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warganegara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini.”

Kutipan di atas sejatinya menunjukkan bahwa setidak-tidaknya secara formal pemerintahan Orde Baru

yang mengacu pada konsep Negara kekeluargaan dan dalam praktiknya sangat otoriter sudah mengakui

dan menerima keberlakuan hak asasi sebagai tolok ukur untuk menguji keabsahan suatu undang-undang

dan menjadikannya sebagai landasan untuk meng-amanden.

Pada saat sama harus diakui pula sebenarnya UUD 1945 asli memuat ketentuan-ketentuan yang sumir

tentang hak asasi manusia dan menyatakan akan mengaturnya lebih lanjut. Ketentuan yang membuka

peluang bagi pemerintah otoriter (Orde Lama maupun Orde Baru) untuk sama sekali tidak mengaturnya

lebih lanjut atau justru mengatur dalam rangka mengendalikan, membatasi, mengurangi bahkan

meniadakan hak asasi tersebut. Baru setelah kejatuhan rezim Orde Baru (pasca 1999) pengakuan akan

pentingnya perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia lebih dieksplisitkan. Hal mana ternyata

dari Amandemen ke-II UUD 1945, diterbitkannya TAP MPR No XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM, UU

39/1999 tentang HAM, dan UU 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan

Politik. Bahkan pada 2003 dibentuk pula Mahkamah Konstitusi dengan mandat menguji peraturan

perundang-undangan terhadap UUD (atau tepatnya terhadap hak-hak dasar/konstitusional- termasuk

hak asasi yang ditetapkan dalam UUD 1945).19 Berkaitan dengan ini, menarik untuk kemudian

mencermati konsiderans UU 39/1999:

(d) bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung- jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen hukum internasional lainnnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;

19

Ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan Pasal 10 UU 24/2003 tentang MK mengatur kewenangan MK untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

(e) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c dan d dalam rangka melaksanakan TAP MPR XVI/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk UU tentang Hak Asasi Manusia.

Berangkat dari UU 39/1999 di atas, Damos menyimpulkan adanya karakter monism dari kebijakan

hukum di Indonesia.20 Kendati demikian, terlepas dari penerimaan tanggungjawab moral dan hukum

untuk menegakkan norma-norma dasar yang termuat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia, perlu

dicermati bahwa pertimbangan di atas sekaligus menyiratkan sikap pemerintah Indonesia: hanya akan

secara selektif menghormati dan menegakkan norma-norma hak asasi manusia yang telah (secara

eksplisit) diterima oleh Negara. Lagipula instrumen-instrumen tersebut hanya dapat diberlakukan di

tataran nasional bila telah dibuat peraturan pelaksananya, in casu, UU tentang hak asasi manusia

(inkorporasi) atau telah diubah (transformasi) dan melandasi hukum acara pidana nasional (KUHAP).

Pertanyaan menarik di sini ialah apakah pengadilan Indonesia (yang wajib menemukan hukum

bersumberkan pada hukum nasional dan melakukan judicial review) akan berwenang langsung merujuk

pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UDHR, termasuk instrumen-instrumen hak asasi

manusia lainnya yang kerap memuat kewajiban negara untuk secara umum memajukan perlindungan

dan penegakan hak asasi tertentu?

Kemungkinan ini secara nyata digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Ad Hoc HAM ketika memutus

perkara pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan oleh (jend.) Adam Damiri sebagai

komandan.21 Langkah yang sekalipun dipuji oleh pengamat asing tetap memunculkan pertanyaan

seberapa jauhkah hakim Indonesia dapat mencari dan menemukan hukum? Apakah semua sumber

hukum (nasional dan internasional) dapat didayagunakan untuk mengungkap kebenaran dan

memutuskan apa yang seharusnya berlaku sebagai hukum dan dalam kerangka itu memutus terdakwa

bersalah (beyond reasonable doubt: berdasarkan dua alat bukti yang sah serta keyakinan hakim) atau

justru tidak bersalah?

Berkaitan dengan ini dapat pula disinggung peran dari lembaga-lembaga lain yang secara langsung/tidak

langsung berurusan dengan pemantauan penghormatan/penegakan hak asasi manusia oleh negara cq

pemerintah: misalnya KomNas HAM,22 Ombudsman23 (merujuk pada asas-asas pemerintahan yang baik

20

Agusman Damos Damoli, Perjanjian Internasional dalam teori dan praktik di Indonesia: kompilasi permasalahan (international treaty in theory and practice in Indonesia: compilation of problems), (Jakarta: Directorate of Treaties for Economic and Socio-Cultural Affairs, Ministry of Foreign Affairs of Republic of Indonesia, 2008). 21

Sejumlah putusan pengadilan ham internasional (jean paul akayesu (ict ruanda) dan timohir blaskic (ict yugoslavia)) digunakan untuk menjelaskan unsur serangan yang sistematis-meluas dari ketentuan pidana yang didakwakan. Baca lebih lanjut: Raimondus Arwalembun, Pengadilan Setengah Hati: Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM Kasus Timor-Timur (Jakarta: Elsam dengan bantuan The Asia Foundation dan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, 2008). Putusan lengkap (di tingkat pertama) (no.09/PID>HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT/PST (dalam bahasa Inggris) dapat diperoleh di wcsc.berkeley.edu/wp-content/.../Indonesia_Damiri_Judgement.htm (accessed 11/08/2013). 22

Dibentuk Pres. Soeharto pertama kali pada 1993, berdasarkan KePres 50/1993, sebagai upaya diplomasi untuk merespons kecaman dunia internasional dan terbitnya Deklarasi Wina 1993 karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste. Todung Mulya Lubis, “Masa Depan Penegakan HAM”, (Kompas, 16 maret 2013). Pasca Orde Baru, dasar hukum KepPres diganti dengan UU 39/1999.

sebagai bagian dari upaya membentuk negara hukum) dan lembaga-lembaga bantuan hukum. Bila

mereka berhadapan dengan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia apakah lembaga-lembaga in

kemudian dibenarkan untuk langsung merujuk pada norma-norma hukum internasional, termasuk juga

yang tidak diratifikasi Indonesia? Misalnya norma tentang kebebasan beragama atau hak masyarakat

adat untuk mempertahankan adat/istiadat, keduanya memberikan landasan hak komunal untuk

menjalankan ibadah menurut agama/kepercayaan yang ‘tidak diakui kementerian agama’?

Kekuatan mengikat instrumen-instrumen hak asasi manusia khusus

Dalam kurun waktu panjang yang sama Indonesia juga meratifikasi kovenan-kovenan hak asasi manusia

khusus, seperti Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment (CAT/diratifikasi UU 5/1998); International Convention on the Elimination of All Forms of

Racial Discrimination (CERD/diratifikasi UU 29/1999); Covention on the Elimination of Discrimination

against Women (CEDAW, diratifikasi dengan UU 7/1984), Convention on the Rights of the Child 1989

(CRC/diratifikasi dengan KepPres 36/1990, dan dua optional protocol yang mengikutinya: Optional

Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution (enter

into force 18 january 2002) dan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the

Involvement of Children in Armed Conflict (enter into force 12 february 2002); kedua protocol diratifikasi

Indonesia pada 26 juni 2012). Masih berkaitan dengan anak, pemerintah Indonesia juga meratifikasi"ILO

Convention no. 138/1973" on the minimum Age for Admission to Employment and "ILO Convention no.

182/1999 on Immediate Action to Eliminate the Worst Forms of Child Labor. dll.24

Bahkan juga Indonesia meratifikasi instrumen-instrumen internasional yang berbicara tentang hak-hak

buruh pada umumnya seperti International Convention on the Protection of all migrant workers and

members of their families (UU 6/2012). Di sini perlu diperhatikan bahwa kebanyakan konvensi

(kovenan) di atas pada prinsipnya mewajibkan negara, dalam rangka memenuhi kewajiban di bawah

perjanjian internasional untuk melakukan tindakan positif (membuat kebijakan, peraturan perundang-

undangan, program). Artinya norma-norma hukum internasional baru terwujud nyata bagi warganegara

tatkala ditransformasikan oleh negara ke dalam kebijakan dan tindakan nyata di tataran nasional

(termasuk mengejewantahkannya ke dalam hukum nasional).

Convention on the Right of the Child

Sebagai ilustrasi konkrit, Convention on the Right of the Child maupun kedua protocol yang disebut di

atas pada prinsipnya mendorong proses transformasi kewajiban Negara di bawah perjanjian

23

Dibentuk pertama kali berdasarkan KepPres 44/2000 (komisi ombudsman nasional). Pada 2008, KepPres ini diganti oleh UU 37/2008 (tentang ombudsman). 24

Untuk daftar dari semua instrumen hak asasi manusia (khusus), serta daftar negara-negara yang sudah menandatangani dan meratifikasi, serta berdasarkan itu status hukum konvensi yang bersangkutan periksa Office of the UN High Commissioner for Human Rights (www2.ohchr.org). Ditengarai bahwa Indonesia tidak meratifikasi sejumlah konvensi hak asasi manusia lainnya. Diantaranya adalah Convention against Discrimination in Education (1960); Convention on the rights of persons with disabilities (2006). Menarik pula mencermati bahwa Indonesia juga tidak meratifikasi International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Dissapearance (1992).

(internasional) menjadi langkah-langkah konkrit di tataran hukum nasional. Hal ini tercermin dari tabel

di bawah yang memuat kewajiban utama Negara pihak (yang telah meratifikasi) dalam rangka

memenuhi tujuan pembentukan konvensi. Reformasi legislasi merupakan elemen utama kewajiban

yang dimandatkan oleh Pasal 4 Convention on the Right of the Child agar tidak terjadi perbenturan

dengan hukum nasional dan seluruh legislasi domestik secara penuh berkesesuaian dengannya.

Reformasi hukum merupakan langkah pertama ke arah implementasi yang efektif dan berkelanjutan

hak-hak anak.25 Kewajiban untuk menyeleraskan hukum nasional muncul dalam frasa: shall undertake,

shall take maupun shall adopt or strenghten.

Convention on the right of the

Child

Optional Protocol to the

Convention on the Rights of the

Child on the Involvement of

Children in Armed Conflict

Optional Protocol to the

Convention on the Rights of the

Child on the Sale of Children,

Child Prostitution

State Parties shall undertake all

appropriate legislative,

administrative, and other

measures for the

implementation of the rights

recognized in the present

Convention. With regard to

economic, social and cultural

rights, State parties shall

undertake such measures to the

maximum extent of their

available resources and, where

needed within the framework of

of international co-operation

(Art. 4)

Each state party shall take all

necessary legal, administrative

and other measures to ensure

the effective implementation

and enforcement of the

provisions of the present

Protocol within its jurisdiction

(Art. 6(1).

State parties shall adopt or

strengthen, implement and

disseminate laws,

administrative measures, social-

policies and programmes to

prevent the offences reffered to

in the present Protocol.

Particular attention shall be

given to protect children who

are especially vulnerable to

these practices (Art. 9(1))

Sudah jelas bahwa Indonesia dengan meratifikasi Convention on the Rights of the Child (dan hal ini

secara umum berlaku untuk konvensi-konvensi hak asasi khusus lainnya) diwajibkan di bawah hukum

internasional untuk menyelaraskan kebijakan nasional termasuk di dalamnya sistem hukum nasional

(terutama yang berkaitan dengan perlindungan anak) dengan ukuran atau standar yang ditetapkan di

25

Yayasan Pemantau Hak Anak, “Implikasi Lebih Lanjut Setelah Mengundangkan 2 Protokol Opsional KHA”, Mata Anak Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012:1.

dalam konvensi. Juga diharapkan bahwa Indonesia mengembangkan program-program sosial dalam

rangka pemajuan (kesadaran) tentang hak-hak anak.

Konsekuensi dari ratifikasi Child Convention ialah bahwa Indonesia menyatakan setuju dengan norma-

norma yang hendak diusung: perlunya anak (laki-laki maupun perempuan) karena posisi rentan

kelompok ini dalam struktur masyarakat yang ada menikmati perlakuan khusus. Misalnya berkenaan

dengan kewajiban orangtua (atau negara) untuk mendidik, merawat, memelihara anak, mengatur batas

usia menikah, dll. Dalam pada itu negara seyogianya tidak lagi menenggang sikap tindak masyarakat

yang dilandaskan pada norma yang berbeda: yaitu bahwa sudah kewajiban anak untuk turut bekerja

meringankan ekonomi keluarga, hak orang tua untuk menikahkan anak pada jodoh yang ditentukan

keluarga dll.). Pada tataran lebih praktikal, organ-organ negara (legislatif-eksekutif) di bawah Child

Convention wajib membuat implementing policy dan regulation di tingkat nasional bahkan lokal. Salah

satu wujud pemenuhan kewajiban demikian ialah pembentukanKomisi Perlindungan Anak (KPA).

Berkaitan dengan ini perlu pula diperhatikan sistem peradilan pidana anak yang memaksa kekuasaan

kehakiman untuk lebih peka terhadap posisi rentan anak baik sebagai pelaku maupun korban.

Penaatan atas kewajiban hukum negara tersebut di tataran internasional di atas dipantau melalui proses

pelaporan sukarela (voluntary self assesment). Laporan berkala (dua tahun pertama setelah ratifikasi

dan kemudian lima tahun sekali) ini harus diajukan kehadapan Committee on the Rigths of the Child

(body of independent experts)26 untuk didiskusikan, dievaluasi dan ditindaklanjuti. Tidak boleh dilupakan

di sini adalah sistem pemantauan umum oleh masyarakat internasional yang dipercayakan kepada Office

of the United Nations High Commissioner for Human Rights. Country reports yang kemudian

dipublikasikan secara berkala sebagai keluaran sistem pemantauan internasional di atas pada prinsipnya

menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengembangkan langkah-langkah perbaikan dan tindak lanjut

lainnya. Laporan resmi yang sama juga dapat menjadi titik tolak bagi lembaga-lembaga swadaya

masyarakat (human rights ngo’s atau defenders) untuk menagih janji pemerintah atau mengajukan

laporan tandingan. Maka tidak tepat pula untuk begitu saja memandang laporan-laporan (dan

komentar yang diberikan terkait dengan laporan tersebut) sebagai campurtangan asing ke dalam urusan

internal. Pada prinsipnya negara (cq.) pemerintah harus dianggap sudah menerima kemungkinan

laporan yang dibuat sukarela dikomentari dan dikritik.

International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination

Selain itu kita juga dapat singgung di sini ICERD (international Convention of the Elimination of All Forms

of Racial Discrimination). Perjanjian ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan pensyaratan

(reservasi) terhadap ketentuan Pasal 22 melalui Undang-Undang 29/ 1999.27

Ketentuan Pasal 2 ICERD menetapkan bahwa:

26

Periksa lebih lanjut OHCHR (www2.ohchr.org/english/bodies/crc/comments.htm). 27

Pensyaratan ini berkenaan dengan penolakan Indonesia atas berlakunya kompentensi absolut Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa antar Negara yang mungkin muncul dalam kaitan dengan penafsiran atau pelaksanaan ICERD.

(b) each state party undertakes not to sponsor, defend or support racial discrimination by any persons or organizations;

(c) each state party shall take effective measures to review governmental, national and local policies, and to amend, rescind or nullify any laws and regulations which have the effect of creating or perpetuating racial discrimination wherever it exists;

(d) each state party shall prohibit and bring to an end, by all appropriate means, including legislations as required by circumstances, racial discrimination by any persons, groups or organizations;

Ketentuan di atas memuat dua bentuk janji. Pertama adalah kesepakatan Negara yang dapat langsung

dilaksanakan, tanpa perlu ada implementing legislation, yaitu: (b) not to sponsor dstnya. Kedua adalah

kesepakatan yang baru dianggap terpenuhi bila telah diterjemahkan (transformasikan) ke dalam

tindakan konkrit ((c) effective measure to review dstnya) maupun ke dalam legislasi nasional (prohibit by

all appropriate means, including legislation dstnya). Kewajiban yang terakhir ini selanjutnya dipertegas

dalam ketentuan Pasal 4:

“States parties condem all propaganda and all organizations which are based on ideas or theories of superiority of one race or group of persons of one colour or etnic origin, or which attempt to justify or promote racial hatred and discrimination in any form, and undertake to adopt immediate and positive measures designed to eradicate all incitement to, or acts of, such discrimination and, to this end, with due regard to the principles embodied in the Universal Declaration of Human Rights and the rights expressly set forth in article 5 of this Convention, inter alia:

(a) Shall declare an offence punishable by law all dissemination of ideas based on racial superiority or hatred, incitement to racial discrimination, as well as all acts of violence or incitement to such acts against any race or groups of persons of another colour or ethnic origin, and also the provision of any assistance to racist activities, including the financing thereof;

(b) Shall declare illegal and prohibit organizations, and also organized and all other propaganda activities, which promote and incite racial discrimination, and shall recognize participation in such organization or activities as an offence punishable by law;

(c) Shall not permit public authorities or public institutions, national or local, to promote or incite racial discrimination.”

Dari daftar kewajiban di atas tentunya ada yang langsung dapat dilaksanakan pemerintah (dan organ-

organ negara) tanpa perlu adanya national implementing regulation, misalnya yang berkaitan dengan

perintah kepada negara untuk “not permit public authorities to promote or incite racial discrimination.”

Dengan demikian, ICERD sudah dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah nasional

atau lokal yang bersifat atau mendorong perlakuan diskriminatif.

Pada lain pihak ada perintah (kewajiban) di pasal yang sama yang akan dianggap belum terlaksana bila

tidak diterbitkan ketentuan nasional yang melarang atau menyatakan illegal perbuatan tertentu (butir a

dan b). Artinya ketentuan-ketentuan di atas sepanjang berkaitan dengan larangan diskriminasi atas

dasar perbedaan etnisitas atau warna kulit (agama/kepercayaan?) tidak otomatis berlaku atau non-self

executing. Polisi, Jaksa maupun Hakim Pidana Indonesia belum dapat menggunakan ketentuan tersebut

dalam kasus-kasus konkrit yang dihadapi, satu dan lain, karena dalam sistem hukum pidana berlaku azas

legalitas dan bagaimanapun juga mereka itu sebagai penegak hukum (yang bekerja dalam sistem hukum

pidana nasional) hanya mungkin menegakan hukum positif.

Sekalipun ketentuan tersebut sudah ada (yang melarang atau mengkriminalisasi perbuatan

diskriminatif), Indonesia akan tetap dianggap lalai memenuhi kewajiban internasional tersebut bila

ketentuan tersebut tidak digunakan. Dalam hal ini unable (tidak mampu) harus disandingkan pula

dengan konsep unwilling (tidak mau). Khususnya mengenai larangan “dissemination of ideas based on

racial superiority or hatred, incitement to racial discrimination, as well as all acts of violence or

incitement to such acts against any race or groups of persons of another colour or ethnic origin”,

ternyata hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 28 (2) Undang-Undang 11/2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik. Apakah ini cukup? Karena Negara di bawah ICERD juga berkewajiban

mengimplementasikan dan menegakan aturan. Bukan sekadar mengatur (mengkriminalisasi) tanpa

sungguh-sungguh hendak melaksanakannya (able yet unwilling).

Kesimpulan

Kekuatan mengikat secara hukum dari norma-norma hak asasi tidak sepenuhnya dapat dilandaskan

pada “penerimaan dan pengakuan” instrumen hak asasi oleh negara-negara berdaulat. Prinsip-prinsip

yang termuat di dalam instrumen tersebut diandaikan mengikat negara-negara, terlepas dari

persetujuan atau ketidaksetujuan pemerintah negara yang bersangkutan. Dalam hal ini pendekatan

murni positivistic terhadap (keberlakuan hukum) harus ditolak. 28 Dengan kata lain, keberlakuan prinsip-

prinsip yang berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia secara logikal tidak dapat dilepas dan

hanya dikaitkan pada penerimaan atau persetujuan negara-negara. Itu juga berarti bahwa persoalan

penegakan dan penghormatan hak asasi manusia sejatinya tidak layak dipertentangkan dengan

semangat mempertahankan kedaulatan atau kewibawaan hukum dan pemerintahan nasional. Lagipula

kerapkali justru negara-negara yang paling otoriter yang bersikeras menolak keberlakuan norma-norma

hak asasi. Sebaliknya, dari sudut pandang warganegara biasa sudah sewajarnya Negara (pemerintah

dan organ-organ negara) melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya oleh rakyat dengan

melandaskan diri pada penghormatan atas hak asasi warga. Dari sudut pandang ini sudah sewajarnya

penghormatan hak asasi manusia terutama dibebankan pada negara sebagai organisasi kekuasaan (yang

seharusnya sebagai negara berdaulat menjaga kewibawaannya dihadapan kaula dengan memonopoli

penggunaan kekerasan dalam rangka penegakan hukum).

28

Bandingkan dengan imajinasi perdebatan antara Radbruch dengan Hans Kelsen (ajaran hukum murni) sebagaimana dinarasikan oleh: Frank Haldemann, Gustav Radbruch vs. Hans Kelsen: A Debate on NAZI law, Ratio Juris. Vol. 18 No. 2 June 2005 (162–78). Ditulis bahwa: Radbruch finds that law can only be defined as the reality striving towards “the idea of law,” which is justice (Gerechtigkeit) (Radbruch 1950b, 91–3). But the idea of justice Radbruch is referring to—an objective idea of distributive justice, essentially meaning equality—does not fully exhaust the concept of law. To complete the concept of law, Radbruch adds two elements: purposiveness (Zweckmässigkeit) and legal certainty (Rechtssicherheit).

Maka juga keliru pandangan bahwa karena beban utama penghormatan/penegakan hak asasi ada pada

negara (alat-alat kekuasaan negara) otomatis anggota polisi atau tentara tidak memiliki hak asasi. Apa

yang diabaikan dalam pandangan ini ialah perlu dan pentingnya pembedaan kedudukan anggota

polisi/tentara ketika bertindak sebagai alat kekuasaan negara dan kedudukan mereka sebagai

warganegara. Sebagai alat negara mereka bertindak mewakili negara (dan bukan partai politik) dan

memiliki privelege tertentu (memegang dan menggunakan senjata api, misalnya) yang karena itu sudah

seharusnya tidak dimiliki warganegara biasa. Sebaliknya sebagai warganegara biasa mereka sudah

semestinya dianggap berkedudukan setara dihadapan hukum dan pemerintahan (Pasal 27 UUD 1945).

Pentingnya perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia akan sangat terasa dalam penegakan

hukum pidana. Sikap tindak polisi atau tentara (yang pada dasarnya sebagai aparat negara sudah

berkedudukan lebih kuat) terhadap rakyat harus dapat dinilai dan dievaluasi berdasarkan kriteria hak

asasi manusia. Singkat kata penegakan hukum (bahkan yang dilakukan demi menjaga ketertiban-

keamanan atau dalam rangka menjaga wibawa hukum dan pemerintahan) tetap harus dilaksanakan

dalam batasan-batasan atau berlandaskan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang landasannya

tidak mungkin dikaitkan hanya pada penerimaan/persetujuan negara. Lagipula sistem peradilan pidana

Indonesia yang dilandaskan KUHAP (UU 1/1981),dikaitkan dengan tujuan sistem penitensier dengan

tujuan mulia: pemasyarakatan kembali, kiranya secara ideal sudah menegaskan hal itu.

Dari titik tolak ini pula (hak asasi manusia sebagai norma kritik yang diakui di tataran domestik), kritikan

dan kecaman yang diajukan lembaga-lembaga pemantau hak asasi manusia dari luar negeri atau

pemerintahan negara asing tidak perlu dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan maupun

kewibawaan pemerintahan.29 Setiap pemerintah (tidak terkecuali Indonesia) mungkin akan merasa

jengkel dan kritikan dari pemerintahan asing atau lembaga internasional dirasakan sebagai

campurtangan yang tidak diinginkan dalam urusan domestik. Tidak boleh diabaikan adalah kewajiban

moral negara Indonesia terhadap rakyat dan dari segi hukum internasional, kewajiban hukum di bawah

instrumen-instrumen hak asasi manusia khusus yang terutama dibebankan pada negara. Kendati begitu,

persoalan yang akan terus menggangu (dalam konteks hubungan hukum internasional-hukum nasional)

ialah bagaimana dan sejauh mana hakim-hakim pengadilan Indonesia dan para pencari keadilan dapat

merujuk secara langsung norma-norma hak asasi manusia (UDHR maupun instrumen-instrumen hak

asasi manusia lainnya yang sudah terseleksi) untuk menilai pelanggaran hukum (dan hak asasi) yang

terjadi di Indonesia.

29

Bdgkan pula dengan pandangan T. Mulya Lubis, “Menjawab Problem Kemanusiaan Kontemporer: Dari Res Publica ke ‘the aesthetic of the self’”, dalam Mirwan Andan & Martin Suryajaya, Imajinasi Kebudayaan: Kompilasi Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 1998-2013 (Jakarta: Perhimpunan Koalisi Seni Indonesia, 2013), pp. 101-113. Di dalam tulisan ini ia mengaitkan persoalan pengakuan dan penghormatan ham pada urusan penjagaan martabat manusia dan bagaimana memahami kekerasan yang disponsori negara. Dinyatakan: “Sungguh, kalau orang tahu apa bedanya ia dengan binatang, maka tak perlu rumit-rumit kita belajar HAM dan ilmu hukum. Juga seandainya apabila kaum konservatif mengerti ini, mereka tentu tidak perlu lagi repot-repot mengeluarkan hinaan terhadap para pejuang HAM sebagai antek asing. Karena di sini urusan kemanusiaan sesungguhnya bukan lagi urusan yang terlampau mewah hingga melibatkan kekuasaan asing segala, melainkan urusan yang justru sangat dasariah, yakni untuk membuktikan bahwa manusia bukan binatang!” (p.109).

Instrumen-instrumen hak asasi khusus pada prinsipnya menegaskan dan memperjelas apa yang sudah

seharusnya atau yang sewajarnya dianggap menjadi kewajiban negara terhadap rakyat. Nilai atau

norma yang diusung, misalnya perlunya anak (sebagai anggota kelompok rentan) di lindungi dan

berkembang dalam lingkungan keluarga yang damai-sejahtera atau larangan diskriminasi terhadap

perempuan dengan tujuan agar perempuan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berpartisipasi

dalam kehidupan sosial-politik, sebagaimana ditemukan di dalam Konvensi maupun Konstitusi Negara

harus diterjemahkan lebih lanjut ke dalam kebijakan resmi pemerintah dan tercermin dalam peraturan

perundang-undangan. Affirmative action yang bersumber dari keberpihakan negara (terhadap

kelompok rentan: perempuan dan anak atau minority groups30 bahkan indigenous populations31 dalam

hal ini menjadi niscaya pertama dalam rangka mewujudkan ketentuan Pasal 27 UUD 1945 (kesetaraan

warga dihadapan hukum dan pemerintahan) dan kedua karena tidak selamanya nilai-nilai itu sejalan

dengan pandangan hidup masyarakat lokal atau masyarakat hukum adat.

Dalam situasi seperti ini, tidak dapat dipungkiri bahwa konvensi-konvensi internasional menjadi tolok

ukur untuk mengukur, menilai, bahkan instrumen untuk melakukan judicial atau administrative review

terhadap aturan-aturan lokal yang “menyimpang”. Apakah ini otomatis secara teoretik harus ditafsirkan

sebagai supremasi hukum internasional atas kedaulatan masyarakat nasional atau lokal? Keberlakuan

instrumen-instrumen hak asasi tersebut (khususnya tentang anak dan perempuan) mungkin tidak perlu

dilandaskan pada gagasan adanya superioritas hukum internasional atas hukum nasional/lokal.

Pendekatan ini dalam banyak kasus justru memunculkan perlawanan, terutama ketika masyarakat lokal

(atau justru kelompok masyarakat dominan dalam negara) berupaya mempertegas identitas diri yang

berhadapan diametral dengan nilai-nilai “imperialisme barat” yang muncul dalam hukum internasional

(khususnya berkaitan dengan hak asasi manusia).

30

Adopted by consensus in 1992, the UN Minorities Declaration in its article 1 refers to minorities as based on national or ethnic, cultural, religious and linguistic identity, and provides that states should protect their existence. There is no internationally agreed definition as to which groups constitute minorities. It is often stressed that the existence of a minority is a question of fact and that any definition must include both objective factors (such as the existence of a shared ethnicity, language or religion) and subjective factors (including that individuals must identify themselves as members of a minority). Periksa lebih lanjut “Minorities under International Law” (www.ohchr.org accessed 07/08/2013). 31

Didefinisikan WHO sebagai “communities that live within, or are attached to, geographically distinct traditional habitats or ancestral territories, and who identify themselves as being part of a distinct cultural group, descended from groups present in the area before modern states were created and current borders defined. They generally maintain cultural and social identities, and social, economic, cultural and political institutions, separate from the mainstream or dominant society or culture” (www.who.int/topics/health_services_indigenous/en/ accessed 08/08/2013). Hak-hak indigenous and tribal peoples dirumuskan dalam Konvensi ILO no. 169 (1989) concerning Indigenous and Tribal Peoples dan Konvensi ILO No. 107 (1957) concerning Indigenous and Tribal Populations . Sekalipun masih dapat diperdebatkan apakah, misalnya di bumi Indonesia di mana tinggal dan menetap ragam suku bangsa (dan yang mempersatukan diri ke dalam satu bangsa: bhineka tunggal ika) dapat ditemukan adanya “indigenous populations”. Dalam lingkup negara kesatuan Indonesia persoalan yang muncul adalah bagaimana memberikan perlindungan dan penghormatan atas satuan-satuan swapraja/swatantra (disebut dalam Pasal 18 UUD 1945 yang dalam praktik merujuk pada kesultanan atau kerajaan tradisional yang masih ada; kelompok-kelompok masyarakat (hukum) adat dan masyarakat yang hidup dalam lingkungan pedesaan (otonomi desa). Ketiga bentuk wilayah swa-praja/swa tantra sekarang ini terus “berjuang” mempertahankan adat-istiadat, bahasa bahkan keberlakuan tata hukum mereka sendiri yang berdiri berhadapan dengan hukum nasional (state law).