kedudukan instrumen hak asasi manusia dalam hukum nasional
TRANSCRIPT
Kedudukan Instrumen Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional
Tristam. P. Moeliono (1/6/2016)
Pengantar
Bagaimana sebenarnya status, kekuatan mengikat dan kedudukan (hukum) dari instrumen-instrumen
hak asasi manusia, terutama yang bersifat umum, misalnya Universal Declaration of Human Rights 1948
(tidak berbentuk hard law) dan dua konvensi terpenting yang muncul darinya ICCPR & ICESCR serta
protokol-protokol yang mengikutinya di hadapan negara berdaulat dan hukum nasionalnya? Apakah
kekuatan mengikat instrumen demikian hanya bersifat moral (himbauan moral) atau juga sekaligus
legal, dan bila demikian halnya apakah keterikatan negara nasional (dan hakim di peradilan nasional)
akan tergantung pada ratifikasi (yang diikuti dengan inkorporasi atapun transformasi ke dalam hukum
nasional)?
Bagaimana pula dengan keberlakuan instrumen-instrumen hak asasi manusia lainnya yang muncul
setelahnya, seperti Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (CAT), Convention on the Rights of The Child (CRC), Convention on the Elimination of
Discrimination Against Women(CEDAW), Convention on the Elimination of All Form of Racial
Discrimination (CERD) atau konvensi di bidang perburuhan seperti Convention on the Protection of the
Rights of all Migrant Workers and Their Families (CMW)? Dari sudut pandang hukum internasional,
tidak semua konvensi dikatakan memiliki kekuatan sebagai hukum (positif) yang mengikat. Sebagai
perjanjian internasional, keberlakuan aturan-aturan di dalam instrumen-instrumen di atas sepenuhnya
digantungkan pada penerimaan dan kesepakatan Negara penandatangan dan peratifikasi. Artinya
Negara yang tidak meratifikasi selalu dapat berdalih tidak terikat dan tidak perlu tunduk. Namun pada
lain pihak, dapat dicermati bahwa banyak dari norma yang termuat di dalamnya merupakan cerminan
dari hukum kebiasaan internasional atau bahkan general principles of law as recognized by civilized
nations. Artinya keberlakuannya tidak niscaya digantungkan pada penerimaan dan pengakuan Negara
berdaulat.
Pertanyaan ini terkait pula dengan pertanggungjawaban hukum dan moral dari penyelenggara Negara
(pemerintah yang berkuasa) terhadap pada satu sisi masyarakat internasional, dan, pada sisi lain,
terhadap warga (termasuk bukan warga: aliens) yang bersentuhan langsung dengan kebijakan-
kebijkakan yang dikembangkan penyelenggara Negara. Apakah perlu dan mungkin ada satu instrumen
atau alat ukur (parameter) untuk mengukur tidak saja keabsahan hukum namun juga moralitas
penyelenggara Negara (pemerintah atau siapapun yang pada suatu waktu dan tempat berkuasa dan
memerintah)? Apakah pemerintah suatu Negara berdaulat bertanggungjawab kepada dan dapat
dimintakan pertanggungjawaban hukum oleh masyarakat internasional (di tataran internasional) atau
khususnya oleh warga Negara (di forum peradilan nasional atau melalui lembaga-lembaga lain yang
tersedia) bila penyelenggara Negara melanggar instrumen hak asasi umum maupun khusus? Apa arti
kedaulatan rakyat (demokrasi) bila dihadapkan pada persoalan-persoaln di atas? Apa yang jelas adalah
bahwa titik tolak untuk menjawab kesemua pertanyaan di atas tidak boleh dan dapat dilakukan dengan
mengabaikan pandangan Negara berdaulat atau mereka yang mewakilinya. Namun pada saat sama,
suara dari para korban pelanggaran hak asasi manusia (individual atau kelompok) yang kerap tidak
terdengar (bahkan dibungkam nararasi sejarah resmi) juga harus turut diperhatikan. Pertanyaan ini
dalam tulisan ini akan difokuskan pada situasi Indonesia dan hukum nasional Indonesia
Instrumen hak asasi manusia utama sebagai parameter legalitas dan legitimitas hukum nasional
Bagaimana kita menjawab persoalan kekuatan mengikat dari instrumen-instrumen hak asasi manusia
(UDHR, ICCPR dan ICESCR dan perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur lebih rinci hak asasi
manusia lainnya) akan sangat tergantung pada pandangan yang dianut perihal klaim universality and
indivisibility of human right norms. Diyakni bahwa nilai yang diusung dalam ketiga instrumen (hak asasi)
tersebut di atas sudah sepantasnya atau sudah dengan sendirinya berlaku dan dianggap mengikat bagi
setiap budaya, di setiap Negara maupun masyarakat. Selanjutnya bahwa hak asasi (generasi pertama:
hak-hak sipil & politik), generasi kedua (hak sosial ekonomi dan budaya) serta generasi ketiga (hak-hak
komunal) saling kait mengait dan tidak dapat dibicarakan terlepas satu dari lainnya. Apakah keberlakuan
(universal dan tidak terbagi [indivisibility]) norma-norma internasional tentang perlindungan hak asasi
manusia sesederhana itu?
Apa yang menjadi dan masih akan menjadi persoalan besar ialah bahwa instrumen hak asasi manusia
(internasional) tidak serta merta dianggap cocok untuk menilai masyarakat negara berkembang yang
dipostulatkan secara umum menganut pandangan hidup yang bertolak-belakang (komunal dan
religius).1 Juga dinyatakan pada waktu itu bahwa masyarakat berbudaya Timur (dan itu artinya juga
kebijakan politik dan hukum di negara-negara berkembang) – berbeda dengan yang terjadi di negara-
negara barat - tidak perlu memprioritaskan perlindungan hak-hak sipil-politik yang cenderung liberalis-
individualistik (dan sekuler).
Khususnya harus diperhatikan pula tantangan yang muncul dari negara-negara Islam. Mereka
memunculkan konsepsi hak asasi manusia yang diturunkan langsung dari Allah (hak asasi yang non-
sekuler). Tertulis bahwa:2
“On 5 August 1990, the then 45 member states of the OIC adopted The Cairo Declaration of Human Rights in Islam. In this document all rights are seen as derived from God. The preamble states that "no one as a matter of principle has the right to suspend them in whole or in part or violate or ignore them in as much as they are binding divine commandments". At the 1993 World Conference on Human Rights in Vienna, Iran, supported by several other Islamic States,
1 Persoalan serupa: “what is the source of the rules or standards under which government, inter-governmental and
nongovernmental organizations evaluate and criticize a state?” secara khusus di bahas meluas di dalam Henry J. Steiner, Philip Alston & Ryan Goodman, International Human Rights in Context: Law, Politics, Morals. Text and Materials, Third edition, (Oxford University Press, 2007) 2 in Human Rights: A Compilation of International Instruments: Volume II: Regional Instruments, (New York and
Geneva, 1997, OHCHR, Geneva). Untuk ulasan lebih lanjut baca: Islamic Law vs Human Rights (10 march 2008) dalam situs International Humanist and Ethical Union (the world of Humanist organization). Bdgkan pula dengan telaahan dari Austin Dacey & Colin Koproske, “Islam & Human Rights: Defending Universality at the United Nations, 2008, available at www.centerforinquiry.net.
pressed for the acceptance of the Cairo Declaration as an alternative to the Universal Declaration of Human Rights. This objective was partly achieved in 1997 when the Cairo Declaration was included by the Office of the High Commissioner for Human Rights as the last document”.
Tuntutan yang diajukan, sebagaimana terbaca di atas adalah “the acceptance of the Cairo Declaration as
an alternative to the Universal Declaration of Human Rights” dengan penekanan pada kata “as an
alternative”dan bukan sebagai pelengkap atau tambahan. Dalam bahasa lebih sederhana, Negara-
negara Islam (anggota OKI?) menuntut dibebaskan dari keberlakuan instrumen-instrumen hak asasi
manusia (universal) karena hanya akan mengakui nilai-nilai hak asasi manusia berbasis pada Q’uran. Ini
memunculkan sejumlah persoalan lain: apakah mereka yang tidak beragama Islam, bahkan yang ateis
dan agnostic (yang kebetulan bermukim di wilayah Negara Islam atau Dar’ Al Salam), akan diakui dan
dilindungi hak asasi-nya oleh penyelenggara Negara (teokrasi) Islam? Satu dan lain karena titik tolak
keanggotaan dalam masyarakat muslim jelas bukan kewarganegaraan (citizenship) melainkan kesatuan
dan persaudaraan dalam satu iman (brotherhood atau ummah). Tidakkah hal ini otomatis
menempatkan warga Negara non-muslim di luar perlindungan Negara Islam atau setidak-tidaknya
menempatkannya sebagai warga kelas dua?3
3 Di sini kita bersentuhan dengan konsep dhimmitude yang secara sederhana dirumuskan sebagai: “the Islamic
system of governing populations conquered by jihad wars, encompassing all of the demographic, ethnic, and religious aspects of the political system. (…) The word "dhimmitude" as a historical concept, was coined by Bat Ye'or in 1983 to describe the legal and social conditions of Jews and Christians subjected to Islamic rule. The word "dhimmitude" comes from dhimmi, an Arabic word meaning "protected". Dhimmi was the name applied by the Arab-Muslim conquerors to indigenous non-Muslim populations who surrendered by a treaty (dhimma) to Muslim domination (…).encompasses the relationship of Muslims and non-Muslims at the theological, social, political and economical levels. It also incorporates the relationship between the numerous ethno-religious dhimmi groups and the type of mentality that they have developed out of their particular historical condition which lasted for centuries, even in some Muslim countries, till today. (it) is an entire integrated system, based on Islamic theology. It cannot be judged from the circumstantial position of any one community, at a given time and in a given place. Periksa: http://www.dhimmitude.org/ (12/22/2015). Untuk pandangan berbeda periksa: Abdul Kareem, DHIMMI – Non-Muslims living in the Khilafah, 13
th july 2015 http://www.khilafah.com/dhimmi-non-muslims-living-in-
the-khilafah-2/ (12/22/2015). Ia menyatakan: “Citizenship in Islam is based on someone permanently living within the lands of the Khilafah regardless of their ethnicity or creed. It is not a requirement for someone to become Muslim and adopt the values of Islam in order to become a citizen of the state. Muslims living outside the Islamic State do not enjoy the rights of citizenship, whereas a non-Muslim living permanently within the Islamic State (dar ul-Islam) does. (…)The Islamic state is forbidden from discriminating between citizens on the basis of race, creed, colour or anything else. In origin all the rules of Islam apply equally to Muslims and non-Muslims. The Islamic scholars have agreed, especially the scholars of Usul (foundations), that the divine rules are addressed to every sane person able to understand the speech, whether he is Muslim or not, male or female. However, there are exceptions to this. If the Shari’ah rule is dependent on belief in Islam such as praying salah or giving the zakat tax then it applies only to Muslims. These exceptions are not discriminatory rules as some have claimed, but take in to account the beliefs and values of the citizen so as not to cause oppression to them. They in no way detract from being equal citizens. Namun pada saat sama ia mengakui pula bahwa: It’s true that a dhimmi cannot hold any ruling position within the Khilafah. This is because the Shari’ah has restricted these positions to those who believe in the ideology of the state i.e. Islam.
Jelas di sini ada titik tolak berbeda antara Negara bangsa (sekuler-modern) dan Negara teokrasi (Islam)-
modern dalam memandang tujuan bernegara bahkan juga peran hukum dalam penyelenggaraan Negara
serta kedudukan warga negara atau kaula di dalam negara. Namun demikian, di luar persoalan ini
ditengarai pula penolakan terhadap gagasan universalisme hak asasi muncul sangat kuat justru di
Negara yang terindikasikan melanggar hak asasi warganya sendiri.
Pada 1984, wakil Iran di PBB, Said Raja’i Khorasani, menyatakan, sebagai reaksi atas indikasi pelanggaran
hak asasi manusia di Iran bahwa:4
“*Iran+ recognized no authority … apart from Islamic law (…) conventions, declarations and resolutions or decisions of international organizations, which were contrary to Islam, had no validity in the Islamic Republic of Iran ( …) The Universal Declaration of Human Rights, which represented secular understanding of the Judaeo-Christian tradition, could not be implemented by Muslims and did not accord with the system of values recognized by the Islamic Republic of Iran; [t]his country would therefore not hesitate to violate its provisions”.
Pandangan ini dapat diperbandingkan dengan sikap Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak,
yang pada 2014 menyatakan: 5
“Islam must be defended as human rights, if not defined according to the religion, could be used for other purposes which might cause deviation from the religion's teaching”, (…) This is what we must defend. Although in terms of definition, human rights have been defined universally, in this country [Malaysia] we still define human rights according to the Islamic context and its principles (syariat)”.
Dalam kedua pandangan di atas hak asasi manusia dibenturkan dan sengaja dikontraskan dengan nilai-
nilai Islam. Seolah-olah ketika kita membela hak asasi manusia, otomatis (masyarakat dan agama) Islam
diserang. Di balik itu, muncul kembali kesan kuat bahwa apa yang menjadi masalah adalah
ketidaksukaan pimpinan Negara-negara (berkembang dan/atau Muslim) untuk dikritik-dikecam oleh
Negara-negara (Barat/maju) yang memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda, termasuk ke dalamnya
adalah cara pandang terhadap hak asasi manusia. Cara suatu pemerintah menyelenggarakan urusan
Negara dikaitkan dengan kedaulatan penuh-kewibawaan Negara (atau dominasi atas suatu pandangan
kebenaran Ilahi) dan itu artinya Negara-negara lain (apalagi Negara-negara Barat) tidak layak atau
pantas turut mengomentari. Terkesan Negara-negara muslim tidak sudi dan terima harus dinilai oleh
nilai-nilai (sekuler dan asing?). Perdebatannya bergeser menjadi apakah Negara-negara lain
diperkenankan turut campurtangan dalam urusan dalam negeri atau penyelenggaraan pemerintah dari
Negara lain? Bilamana diperkenankan apakah alat ukurnya hanya boleh yang disepakati Negara yang
sedang dinilai?
4 Dikutip dari Ibid. (Austin Dacey & Colin Korproske)
5 See more at: http://www.themalaysianinsider.com/malaysia/article/define-human-rights-according-to-islam-
even-if-not-universal-says-najib#sthash.7ru4t1xn.dpuf (12/15/2015).
Apakah seseorang atau bahkan suatu Negara bisa menjadi hakim bagi dirinya sendiri? Lagipula dari
sudut pandang korban (individu atau kelompok), bisa jadi minoritas yang terpinggirkan dan sebab itu
suaranya dibungkam oleh mayoritas atau sekadar diabaikan oleh pemerintah Negara yang tidak peduli,
jelas ada kebutuhan alat ukur yang tidak digantungkan pada penerimaan atau kesetujuan pemerintah
Negara yang perilakunya diukur. Itu pula sebabnya, keberlakuan nilai-nilai yang dikandung instrumen
hak asasi manusia tidak boleh diserahkan pada adanya persetujuan atau penerimaan pihak yang
perilakunya sedang ditimbang dan dinilai.
Beranjak dari semangat universalisme dan humanism itulah tidak mengherankan apabila tidak semua
penulis Islam sepaham. Setidak-tidaknya dari pustaka dapat ditemukan pandangan berbeda juga dari
penulis Malaysia lainnya. Di dalam suatu abstrak tulisan6 dengan tegas dinyatakan:
“ (…) Human rights, despite being a basic tenet of Islam, have frequently and widely been misunderstood by many Muslims. Indeed, the protection of human rights is consistent with the very objective of the coming of Islam i.e. as a mercy to the whole universe and for safeguarding the sacred values of humanity. As such, it is not an exaggeration to consider that Islam is a strong proponent of human rights and violations of human rights may be tantamount to disregarding Islamic principles.”
Berbeda dengan titik tolak di awal, penulis ini justru menegaskan keselarasan antara hak asasi manusia
dengan tujuan kedatangan Islam, yaitu sebaga: “a mercy to the whole universe and for safeguarding the
sacred values of humanity”.
Terlepas dari itu di sini hanya dapat disimpulkan bahwa perdebatan masih (akan) terus berlangsung dan
nuansanya kemungkinan besar bukan kepedulian nyata pada persoalan penegakan hak asasi manusia,
namun lebih pada nilai-nilai manakah (barat-timur-islam) yang harus jadi acuan perilaku Negara.
Pandangan yang menentang universalitas hak asasi dilandaskan pula pada pandangan keliru bahwa
masyarakat timur (sebagian rusia, cina, india, timur tengah, asia minor sampai dengan asia tenggara)
sesungguhnya tidak mengenal konsep hak asasi manusia. Gagasan hak asasi manusia dianggap
sepenuhnya merupakan produk perkembangan budaya Barat. Satu penulis (Islam) menyebutkan
dengan tegas:7
Though the Universal declaration of Human Rights is called "Universal", it "was articulated along the lines of historical trends of the Western world during the last three centuries, and a certain philosophical anthropology of individualistic humanism which helped justify them". The basic
6 Mohamed Azam Mohamed Adil, Nisar Mohammad Ahmad, Islamic Law and Human Rights in Malaysia, Islam and
Civilisational Renewal, Vol. 5 no. 1, Januari 2014. Cf. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam, Islamic Law and the Dilemma of Cultural Legitimacy for Universal Human Rights, artikel.pdf dapat diperoleh di w18.american.edu/~dfagel/islam&universalrights.pd (12/22/2015). Lihat juga dari pengarang sama: Abdullahi A.
An-Na'im ”The Synergy and Interdependence of Human Rights, Religion and Secularism” polylog: Forum for Intercultural Philosophy 3 (2001). Online: http://them.polylog.org/3/faa-en.htm ISSN 1616-2943. (12/22/2015). 7 Riffat Hassan, “Are Human Rights Compatible with Islam? The Issue of the Rights of Women in Muslim
Communities, University of Louisville, Louisville, Kentuckyhttp://www.religiousconsultation.org/hassan2.htm (16/12/2015).
assumptions underlying the Declaration were a) of a universal human nature common to all the peoples, b) of the dignity of the individual, and c) of a democratic social order.
Meski demikian perlu disadari pula penelitian sejarah kemunculan UDHR yang justru menunjukkan
bahwa:8
(…) that almost all of these (Islamic ) nations were not only signatories to the UDHR and later agreements such as the ICCPR and ICESCR, but also active contributors in their formulation (….). Further, the universality of human rights was not an object of great concern for Muslim states during the drafting process; most showed general support for the motivations and prescriptions therein, and none cast a vote against the resulting document (Saudi Arabia was alone among Muslim states in abstaining, joining South Africa and various Eastern Bloc states). Contemporary leaders who would denounce the UDHR as an exclusively “Western project” therefore fail to acknowledge the important contributions of Islamic states to its creation. In their ignorance of history, they reveal the harmful political dimension of their cause—the appropriation, rigidification, and politicization of Islam as an obstacle to international human rights law
Faktual harus diakui bahwa pemikiran gagasan tentang hak asasi (modern) bermula dari pemikir-pemikir
filsafat Barat (antara lain, T. Hobbes, J.J. Roueseau, John Locke dll.) dan menjadi bagian dari hukum
publik internasional pasca Perang Dunia ke II berkat upaya pemikir-pemikir hukum dari negara-negara
barat. Namun sejarah kemunculan UDHR sebagaimana disebutkan di atas tidak dapat dan boleh
dilupakan melibatkan pula Negara-negara Islam yang ada saat itu (1948).
Keberatan lain terhadap universalisme dari instrumen hak asasi manusia muncul dari mereka yang
bertitik tolak dari kesejajaran dari ‘nilai-nilai yang dikandung oleh ragam budaya masyarakat’
(relativisme (nilai-nilai) budaya) dan sebab itu tidak mungkin dan boleh ada satu parameter yang dapat
digunakan untuk menilai keabsahan dan moralitas dari semua masyarakat (atau Negara) di dunia.
Disebutkan bahwa:9
Cultural relativism is the position to which local cultural traditions (religious, political and legal practices included) properly determine the existence and scope of civil and political rights enjoyed by individuals in a given society. It is premised on the idea that all cultures are equally valid and that standards of evaluation are internal to traditions. It sees that values emerge in the context of particular social, cultural, economic and political conditions and therefore vary enormously between different communities
Beranjak dari pandangan ini, maka sama seperti yang terjadi dalam hal dibenturkannya nilai Islam
dengan nilai hak asasi manusia kembali lagi nilai-nilai hak asasi manusia yang dianggap universal
dikecam sebagai hanya mewakili pandangan Negara (masyarakat) barat. Pandangan masyarakat (atau
8 Op. cit. Austin Dacey & Colin Korproske), p. 10.
9 Patrick Chin-Dahler, ANU, “Universal human rights, cultural relativism and the Asian values debate”
http://www.eastasiaforum.org/2010/10/09/ (1/4/2016)
budaya) Barat ini dikontraskan dengan pandangan atau nilai-nilai ketimuran (Asian values) yang
dianggap lebih luhung (luhur). Maka:10
Within this construct, values such as privileging the community over the individual, respect for authority and filial duty are dichotomised against Western values such as individualism and materialism. (….) The dichotomy between Asian values and Western values therefore frames Asian values in a positive light and perpetuates the idea that a distinct set of Asian values is important. By implication, this means that Asian societies have their own way of doing things and that Western ideas are invalid and illegitimate within Asian societies. Moreover, because a binary logic exists where Asia is dichotomised against the West, many of the values associated with the West are also demonised. This establishes a precedent for legitimising repressive policies and actions that can be passed off under the guise of Asian values.
Pemikir (filsuf) lainnya dari Asia, Amartya Sen, justru mengkritik dikotomi antara nilai/budaya Barat
versus Timur.11 Ia menyatakan pertama-tama ketidakmungkinan adanya Asian values atau culture
sebagai satu kesatuan utuh. Sebaliknya ada keragaman budaya dan tata nilai yang begitu besar di dalam
dan di antara Negara-negara di benua Asia (Cina, Jepang, Korea, Negara-negara Arab/Timur Tengah) dan
Negara-negara di Asia Tenggara. Selain itu ia juga merujuk pada sejarah kerajaan Hindu Budha (Ashoka)
maupun kesultanan Islam (Moghul Emperor Akbar) di India yang memerintah dengan memajukan nilai-
nilai kemanusiaan (setidaknya berkenaan dengan religious tolerance) yang sekarang ini kita pandang
sebagai kewajaran dan bahkan harus dianut. Sebab itu Sen kemudian menyimpulkan dua hal.
Pertama:12
In the most general form, the notion of human rights builds on our shared humanity. These rights are not derived from the citizenship of any country, or the membership of any nation, but taken as entitlements of every human being. They differ, thus, from constitutionally created rights guaranteed for specified people (such as, say, American or French citizens).
Dan kedua:13
The so-called Asian values that are invoked to justify authoritarianism are not especially Asian in
any significant sense. Nor is it easy to how they could be made into an Asian cause against the
West, by the mere force of rhetoric. The people whose rights are being disputed are Asians, and
no matter what the West’s guilt may be (there are many skeletons in many cupboards across
the world), the rights of the Asian can scarcely be compromised on those grounds.
10
Ibidem 11
Amartya Sen, “Human Rights and Asian Values”, paper presented at the Sixteenth Morgenthau Memorial Lecture on Ethics & Foreign Policy, sponsored by the Carnegie Council on Ethics and International Affairs, in New York City on May 1, 1997. Di muat dalam http://www.carnegiecouncil.org/publications/archive/morgenthau/254.html (1/4/2016). 12
Ibid, 13
Ibid.
Selain, sebagaimana juga diargumentasikan Sen di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan
masyarakat di budaya non-barat ternyata juga mengembangkan pemikiran tentang perlu dan
pentingnya Negara menghormati, menjaga dan melindungi harkat-martabat manusia dan artinya juga
pengakuan adanya kewajiban penguasa terhadap kaula untuk memerintah dengan bijak dan baik.
Nihal Jayawickrama,14 antara lain, dengan mempelajari naskah-naskah kuno budaya India (termasuk
Ramayana, Mahabrata, dll) menunjukkan berlaku dan ditaatinya norma-norma yang nyata
mengedepankan atau dibangun di atas prinsip penghormatan atas harkat-martabat manusia.
Kesimpula akhir yang dapat ditarik ialah bahwa sekalipun kita tidak dapat begitu saja mengabaikan
kenyataan empiri adanya heterogenitas atau pluralism budaya dan tata nilai, pada akhirnya
keberagaman ini tidak dapat dan boleh di(salah-)gunakan untuk melestarikan praktik penindasan
manusia atau kelompok manusia oleh negara atau masyarakat lainnya. Pelanggaran hak asasi manusia,
sekalipun mungkin dapat dimengerti dalam konteks budaya tertentu, tidak sekaligus dapat dibenarkan
oleh cultural relativism.
Tantangan dan penerimaan nilai-nilai universal dari hak asasi manusia di Indonesia
Bagi Indonesia sebagai Negara berdaulat persoalan di atas tidak sekadar diskursus di tataran abstrak
melainkan menyentuh aspek yang lebih konkrit. Ketika perilaku kita sebagai penyelenggara Negara atau
sebagai anggota masyarakat diukur berdasarkan instrumen hak asasi manusia dan dinilai tidak
memenuhi, maka kadang persoalannya berkaitan dengan urusan harga diri dan ketersinggungan.
Mungkin bukan sesuatu hal penting dari kacamata Negara maju yang mengajukan kritikan. Juga terjadi
bahwa apa yang sebenarnya ditolak bukanlah nilai-nilai hak asasi manusia, namun tekanan politik dan
ekonomi yang dilakukan Negara-negara maju.
Ilustrasi dari persoalan ini muncul dari pengalaman sejarah. Presiden Soekarno dalam satu pidato (25
maret 1964) yang dihadiri dutabesar Amerika. Ia menyatakan: go to hell with your aid!. Namun
bersamaan dengan itu sebenarnya ia mengindikasikan bahwa bantuan yang ditolak adalah bantuan yang
dikaitkan pada “kewajiban Indonesia berpihak pada blok Barat dan mengadopsi nilai-nilai yang diusung
oleh blok Barat”. Sikap politik yang sebenarnya sudah ditegaskan 1955 dalam KKT Non-Blok di Bandung
dan muncul dalam upaya mengedepankan pembangunan ekonomi yang berdiri di atas kaki sendiri.
Kemarahan atau ketersinggungan serupa ditunjukkan pula oleh Presiden Soeharto. Ihwalnya, ialah
kecaman negara-negara donor (negara maju) yang tergabung dalam IGGI terhadap kinerja pemerintah
Indonesia di bidang penghormatan dan penegakan hak asasi manusia.15 Reaksi pemerintah Indonesia
14
Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence, (Cambridge University Press, 2002). 15
John Jansen van Galen, “”Het Belang van Mensenrechten” 14/05/2012 dalam http://www.twenteuitdekunst.nl/boeken/het-belang-van-mensenrechten (21/11/2012) yang merupakan komentar terhadap buku Schaakmat in Jakarta: Soeharto’s revance op de Haagse Politiek, karangan Gerard Kramer & Thecla Berghuis (Amsterdam : KIT Publishers, cop. 2012). Namun baca pula ulasan George Junus Aditjondro, “Holland Randstad: Suharto’s Lucrative Capital Market”, di muat di http://www.michr.net/the-dutch---indonesia-
pada masa pemerintahan Pres. Soeharto sangat keras. Semua program bantuan yang berjalan dalam
kerangka IGGI dihentikan sepihak. Dijelaskan bahwa keputusan Soeharto untuk menghentikan program
bantuan dari IGGI dilandaskan sejumlah faktor: kritik pemerintah Belanda terhadap keputusan untuk
mengeksekusi sejumlah orang yang dituduh terlibat kudeta 1965, penghentian bantuan Belanda
terhadap program keluarga berencana karena dugaan digunakannya paksaan dan sikap politik Belanda
terhadap pertumpahan darah di Dilli, Timor-Timur. Padahal dalam kasus terakhir Soeharto di luar
dugaan banyak pihak bertindak sangat keras: memerintahkan penyelidikan dan penindakan
(pemberhentian) perwira-perwira militer yang dianggap paling bertanggungjawab.16 Ia sangat
tersinggung bahwa pemerintah Belanda setelah itu masih menuntut dilakukan penyelidikan ulang dan
penjatuhan sanksi yang lebih keras. Namun titik baliknya ialah kekerasan sikap Belanda untuk
mengaitkan program bantuan dengan penegakan hak asasi manusia. Pentingnya hal ini tidak disangkal
oleh Jakarta, namun yang dikritik adalah landasan hak Belanda dan negara-negara Barat untuk duduk
sebagai wasit atau penguji dengan pundi-pundi uang sebagai hadiah bagi perilaku baik. Apa hak Negara-
negara maju untuk menilai, mengukur, dan kemudian memberikan catatan merah atas kinerja
pemerintahan Negara berdaulat?
Uraian di atas jelas menunjukkan bahwa hak asasi manusia sudah dan dapat di (salah-)gunakan oleh
Negara-negara maju untuk menekan Negara-negara berkembang. Instrumen hukum (internasional)
menjadi sekadar alat dalam hubungan-politik-ekonomi internasional dan sebab itu mudah dilupakan
normativitasnya. Pada satu pihak tidak dapat dipungkiri tidak ada yang keliru dengan tuntutan Negara
maju bahwa bantuan (apapun) yang mereka berikan tidak disalahgunakan untuk mendukung rezim
pemerintahan yang mengembangkan banyak kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat. Pada lain
pihak yang mungkin tidak terbaca atau luput dari perhatian pimpinan Negara maju adalah
“ketersinggungan” dan “perasaan tidak dihormati-dihargai sebagai mitra-sejajar” yang dirasakan
pimpinan (atau mungkin) rakyat Negara-negara berkembang (penerima bantuan).
Penggunaan atau penyalahgunaan tuntutan Negara maju untuk memenuhi standar (universal) hak asasi
manusia kemudian bergeser – dari sudut pandang Negara yang menerima kritikan - menjadi persoalan
berbeda (kesopanan dalam pergaulan internasional) dengan “collateral damage” terlupakannya mereka
(individu atau kelompok) yang hak-hak asasinya betul dilanggar. Maka pertanyaannya adalah apakah
corporate-connection.html (21/11/2012). Ia menulis: “(…) ironically, while opposing any cricism from then IGGI chairperson, Jan Pieter Pronk on the violations of the East Timorese people's human rights and the violation of Indonesian women's reproductive rights, Suharto himself unshamefully used a Dutch subsidiary of the Indonesian central bank to launder around one billion US dollars of his ill-gotten wealth, as has been charged by the Indonesian Attorney General in the trial which the former dictator is currently facing in Jakarta.” 16
Untuk ulasan tentang peristiwa ‘pembantaian” Santa Cruz dalam konteks yang lebih luas baca baca: Douglas Kammen, “The Trouble with Normal: The Indonesian Military, Paramilitaries, and the Final Solution in East Timor” dalam Benedict R.O’G Anderson (eds), Violence and the State in Suharto’s Indonesia, (Ithaca, NY, Central Southeast Asia Program Publications, second printing 2002), pp 156-188 . Ia mencermati bahwa: “in the face of fierce international condemnation, military officials and politicians in Jakarta resorted to denials, finger-pointing, and finaly, to the establishment of a Military Honorary Board commissioned to investigate the massacre, a pretence of accoutability. Soeharto promplty ordered the summary and highly publicized sacking of both Military Region 9 (formerly 16) commander Major-General Sintong Panjaitan dan Kolakops commander Brigadier-General Warouw (164-5).”
betul nilai-nilai hak asasi manusia merupakan nilai universal dan bukan nilai particular yang berkembang
dalam ranah sejarah dan budaya politik Negara-negara maju (barat) dan sebab itu tidak cocok dengan
Negara-negara yang menggusung ideologi berbeda?
Pertanyaan ini menjadi titik tolak disertasi Adnan Buyung Nasution di Univ. Utrecht pada 2000. Ia
berhasil menunjukkan bagaimana para anggota konstituante (dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada
1959 dengan suatu dekrit) tatkala merancang konstitusi baru (untuk mengganti UUD 1945, dari awal
dirancang untuk berlaku sementara, berdebat panjang lebar tentang pentingnya hak asasi manusia
dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia.17 Apa yang perlu dicatat ialah bahwa para
anggota Konstituante tersebut berasal dari ragam golongan dan mewakili kebhinekaan pandangan hidup
masyarakat Indonesia (dari sekuler-modern, Islam-non Islam bahkan komunis). Mereka yang berdebat di
dalam konstituante pada masa 1955 sd. 1959 juga dipersatukan oleh semangat anti kolonialisme
maupun kapitalisme liberalis (yang dianggap memunculkan kolonialisme). Artinya tidak tepat pula
gagasan bahwa masyarakat komunal yang anti individualism dipandang niscaya menafikan pentingnya
pengakuan atas hak asasi manusia di bumi Indonesia.
Betul pula bahwa konsep Negara integralistik yang dikembangkan Soepomo (perancang UUD 1945 asli)
sangat menentang individualisme dalam penyelenggaraan kehidupan Negara. Adalah individualisme
yang diyakini sebagai akar dari imperialisme-kolonialisme Negara-negara Eropa. Sebaliknya Soepomo
dengan konsep negara yang bersandar atas kekeluargaan merujuk pada sistem pemerintahan
totalitarian NAZI maupun Jepang (sebelum perang dunia II). Keduanya mengidealisasi persatuan antara
pimpinan dan rakyat dalam Negara.18 Beranjak dari pemikiran ini pula Soepomo menyatakan yang
diperlukan oleh individu karenanya bukanlah jaminan hak-hak perorangan (perlindungan hak asasi oleh
negara), tapi pelaksanaan kewajiban kepada negara, pengabdian dan disiplin. Di samping itu pula, dapat
dimengerti mengapa Soepomo menyatakan pula bahwa Negara harus berkuasa secara total (berdiri
mengatasi semua golongan dan pada saat sama juga tidak memihak kepentingan perseorangan) karena
kekuasaan dipahami sebagai bersumber dari satu kesatuan tunggal antara rakyat dan pemimpin
(manunggaling kawulo lan gusti). Beranjak dari itu Soepomo menolak teori Montesquieu tentang
pemisahan kekuasaan (separation power), dan menganjurkan pembagian-penyebaran kekuasaan
(distribution of power) antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia tidak diperlukan adanya
perhatian pada perlindungan hak asasi manusia dari negara. Kemungkinan besar pemahaman negara
integralistik dengan penekanan pada tanggungjawab warga untuk menjaga wibawa hukum (negara) dan
pemerintahan (dalam kerangka pemeliharaan stabilitas politik) menginspirasi rezim pemerintahan Orde
Baru. Paham itu pula yang mewarnai sikap-pandangan rezim ini terhadap perlindungan dan penegakan
hak asasi manusia, termasuk ke dalamnya persoalan kedudukan serta kekuatan mengikat instrumen-
instrumen hak asasi manusia (legal-non legal).
17
Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia; A socio-legal study of the Indonesian Konstituante, 1956-1959 (dissertation, Univ. Utrecht, 1992). 18
Supomo, Negara Integralis, dalam Herbert Feith & Lance Castles, (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, 1970
Sebaliknya perlu dicatat bahwa Penjelasan Umum KUHAP (UU 8/1981) dibuat untuk menggantikan R.I.B
(Het Herziene Inlandsch Reglement" (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dan Undang-undang Nomor 1
Drt/1951 (Lembaran Negara 1951/ 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81), menyatakan bahwa
alasan untuk mencabut dan mengganti peraturan perundang-undangan lama adalah karena di dalamnya
ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Maka
sebagai Negara hukum jelas:
”bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warganegara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warganegara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini.”
Kutipan di atas sejatinya menunjukkan bahwa setidak-tidaknya secara formal pemerintahan Orde Baru
yang mengacu pada konsep Negara kekeluargaan dan dalam praktiknya sangat otoriter sudah mengakui
dan menerima keberlakuan hak asasi sebagai tolok ukur untuk menguji keabsahan suatu undang-undang
dan menjadikannya sebagai landasan untuk meng-amanden.
Pada saat sama harus diakui pula sebenarnya UUD 1945 asli memuat ketentuan-ketentuan yang sumir
tentang hak asasi manusia dan menyatakan akan mengaturnya lebih lanjut. Ketentuan yang membuka
peluang bagi pemerintah otoriter (Orde Lama maupun Orde Baru) untuk sama sekali tidak mengaturnya
lebih lanjut atau justru mengatur dalam rangka mengendalikan, membatasi, mengurangi bahkan
meniadakan hak asasi tersebut. Baru setelah kejatuhan rezim Orde Baru (pasca 1999) pengakuan akan
pentingnya perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia lebih dieksplisitkan. Hal mana ternyata
dari Amandemen ke-II UUD 1945, diterbitkannya TAP MPR No XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM, UU
39/1999 tentang HAM, dan UU 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik. Bahkan pada 2003 dibentuk pula Mahkamah Konstitusi dengan mandat menguji peraturan
perundang-undangan terhadap UUD (atau tepatnya terhadap hak-hak dasar/konstitusional- termasuk
hak asasi yang ditetapkan dalam UUD 1945).19 Berkaitan dengan ini, menarik untuk kemudian
mencermati konsiderans UU 39/1999:
(d) bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung- jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen hukum internasional lainnnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;
19
Ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan Pasal 10 UU 24/2003 tentang MK mengatur kewenangan MK untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
(e) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c dan d dalam rangka melaksanakan TAP MPR XVI/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk UU tentang Hak Asasi Manusia.
Berangkat dari UU 39/1999 di atas, Damos menyimpulkan adanya karakter monism dari kebijakan
hukum di Indonesia.20 Kendati demikian, terlepas dari penerimaan tanggungjawab moral dan hukum
untuk menegakkan norma-norma dasar yang termuat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia, perlu
dicermati bahwa pertimbangan di atas sekaligus menyiratkan sikap pemerintah Indonesia: hanya akan
secara selektif menghormati dan menegakkan norma-norma hak asasi manusia yang telah (secara
eksplisit) diterima oleh Negara. Lagipula instrumen-instrumen tersebut hanya dapat diberlakukan di
tataran nasional bila telah dibuat peraturan pelaksananya, in casu, UU tentang hak asasi manusia
(inkorporasi) atau telah diubah (transformasi) dan melandasi hukum acara pidana nasional (KUHAP).
Pertanyaan menarik di sini ialah apakah pengadilan Indonesia (yang wajib menemukan hukum
bersumberkan pada hukum nasional dan melakukan judicial review) akan berwenang langsung merujuk
pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UDHR, termasuk instrumen-instrumen hak asasi
manusia lainnya yang kerap memuat kewajiban negara untuk secara umum memajukan perlindungan
dan penegakan hak asasi tertentu?
Kemungkinan ini secara nyata digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Ad Hoc HAM ketika memutus
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan oleh (jend.) Adam Damiri sebagai
komandan.21 Langkah yang sekalipun dipuji oleh pengamat asing tetap memunculkan pertanyaan
seberapa jauhkah hakim Indonesia dapat mencari dan menemukan hukum? Apakah semua sumber
hukum (nasional dan internasional) dapat didayagunakan untuk mengungkap kebenaran dan
memutuskan apa yang seharusnya berlaku sebagai hukum dan dalam kerangka itu memutus terdakwa
bersalah (beyond reasonable doubt: berdasarkan dua alat bukti yang sah serta keyakinan hakim) atau
justru tidak bersalah?
Berkaitan dengan ini dapat pula disinggung peran dari lembaga-lembaga lain yang secara langsung/tidak
langsung berurusan dengan pemantauan penghormatan/penegakan hak asasi manusia oleh negara cq
pemerintah: misalnya KomNas HAM,22 Ombudsman23 (merujuk pada asas-asas pemerintahan yang baik
20
Agusman Damos Damoli, Perjanjian Internasional dalam teori dan praktik di Indonesia: kompilasi permasalahan (international treaty in theory and practice in Indonesia: compilation of problems), (Jakarta: Directorate of Treaties for Economic and Socio-Cultural Affairs, Ministry of Foreign Affairs of Republic of Indonesia, 2008). 21
Sejumlah putusan pengadilan ham internasional (jean paul akayesu (ict ruanda) dan timohir blaskic (ict yugoslavia)) digunakan untuk menjelaskan unsur serangan yang sistematis-meluas dari ketentuan pidana yang didakwakan. Baca lebih lanjut: Raimondus Arwalembun, Pengadilan Setengah Hati: Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM Kasus Timor-Timur (Jakarta: Elsam dengan bantuan The Asia Foundation dan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, 2008). Putusan lengkap (di tingkat pertama) (no.09/PID>HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT/PST (dalam bahasa Inggris) dapat diperoleh di wcsc.berkeley.edu/wp-content/.../Indonesia_Damiri_Judgement.htm (accessed 11/08/2013). 22
Dibentuk Pres. Soeharto pertama kali pada 1993, berdasarkan KePres 50/1993, sebagai upaya diplomasi untuk merespons kecaman dunia internasional dan terbitnya Deklarasi Wina 1993 karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste. Todung Mulya Lubis, “Masa Depan Penegakan HAM”, (Kompas, 16 maret 2013). Pasca Orde Baru, dasar hukum KepPres diganti dengan UU 39/1999.
sebagai bagian dari upaya membentuk negara hukum) dan lembaga-lembaga bantuan hukum. Bila
mereka berhadapan dengan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia apakah lembaga-lembaga in
kemudian dibenarkan untuk langsung merujuk pada norma-norma hukum internasional, termasuk juga
yang tidak diratifikasi Indonesia? Misalnya norma tentang kebebasan beragama atau hak masyarakat
adat untuk mempertahankan adat/istiadat, keduanya memberikan landasan hak komunal untuk
menjalankan ibadah menurut agama/kepercayaan yang ‘tidak diakui kementerian agama’?
Kekuatan mengikat instrumen-instrumen hak asasi manusia khusus
Dalam kurun waktu panjang yang sama Indonesia juga meratifikasi kovenan-kovenan hak asasi manusia
khusus, seperti Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (CAT/diratifikasi UU 5/1998); International Convention on the Elimination of All Forms of
Racial Discrimination (CERD/diratifikasi UU 29/1999); Covention on the Elimination of Discrimination
against Women (CEDAW, diratifikasi dengan UU 7/1984), Convention on the Rights of the Child 1989
(CRC/diratifikasi dengan KepPres 36/1990, dan dua optional protocol yang mengikutinya: Optional
Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution (enter
into force 18 january 2002) dan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the
Involvement of Children in Armed Conflict (enter into force 12 february 2002); kedua protocol diratifikasi
Indonesia pada 26 juni 2012). Masih berkaitan dengan anak, pemerintah Indonesia juga meratifikasi"ILO
Convention no. 138/1973" on the minimum Age for Admission to Employment and "ILO Convention no.
182/1999 on Immediate Action to Eliminate the Worst Forms of Child Labor. dll.24
Bahkan juga Indonesia meratifikasi instrumen-instrumen internasional yang berbicara tentang hak-hak
buruh pada umumnya seperti International Convention on the Protection of all migrant workers and
members of their families (UU 6/2012). Di sini perlu diperhatikan bahwa kebanyakan konvensi
(kovenan) di atas pada prinsipnya mewajibkan negara, dalam rangka memenuhi kewajiban di bawah
perjanjian internasional untuk melakukan tindakan positif (membuat kebijakan, peraturan perundang-
undangan, program). Artinya norma-norma hukum internasional baru terwujud nyata bagi warganegara
tatkala ditransformasikan oleh negara ke dalam kebijakan dan tindakan nyata di tataran nasional
(termasuk mengejewantahkannya ke dalam hukum nasional).
Convention on the Right of the Child
Sebagai ilustrasi konkrit, Convention on the Right of the Child maupun kedua protocol yang disebut di
atas pada prinsipnya mendorong proses transformasi kewajiban Negara di bawah perjanjian
23
Dibentuk pertama kali berdasarkan KepPres 44/2000 (komisi ombudsman nasional). Pada 2008, KepPres ini diganti oleh UU 37/2008 (tentang ombudsman). 24
Untuk daftar dari semua instrumen hak asasi manusia (khusus), serta daftar negara-negara yang sudah menandatangani dan meratifikasi, serta berdasarkan itu status hukum konvensi yang bersangkutan periksa Office of the UN High Commissioner for Human Rights (www2.ohchr.org). Ditengarai bahwa Indonesia tidak meratifikasi sejumlah konvensi hak asasi manusia lainnya. Diantaranya adalah Convention against Discrimination in Education (1960); Convention on the rights of persons with disabilities (2006). Menarik pula mencermati bahwa Indonesia juga tidak meratifikasi International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Dissapearance (1992).
(internasional) menjadi langkah-langkah konkrit di tataran hukum nasional. Hal ini tercermin dari tabel
di bawah yang memuat kewajiban utama Negara pihak (yang telah meratifikasi) dalam rangka
memenuhi tujuan pembentukan konvensi. Reformasi legislasi merupakan elemen utama kewajiban
yang dimandatkan oleh Pasal 4 Convention on the Right of the Child agar tidak terjadi perbenturan
dengan hukum nasional dan seluruh legislasi domestik secara penuh berkesesuaian dengannya.
Reformasi hukum merupakan langkah pertama ke arah implementasi yang efektif dan berkelanjutan
hak-hak anak.25 Kewajiban untuk menyeleraskan hukum nasional muncul dalam frasa: shall undertake,
shall take maupun shall adopt or strenghten.
Convention on the right of the
Child
Optional Protocol to the
Convention on the Rights of the
Child on the Involvement of
Children in Armed Conflict
Optional Protocol to the
Convention on the Rights of the
Child on the Sale of Children,
Child Prostitution
State Parties shall undertake all
appropriate legislative,
administrative, and other
measures for the
implementation of the rights
recognized in the present
Convention. With regard to
economic, social and cultural
rights, State parties shall
undertake such measures to the
maximum extent of their
available resources and, where
needed within the framework of
of international co-operation
(Art. 4)
Each state party shall take all
necessary legal, administrative
and other measures to ensure
the effective implementation
and enforcement of the
provisions of the present
Protocol within its jurisdiction
(Art. 6(1).
State parties shall adopt or
strengthen, implement and
disseminate laws,
administrative measures, social-
policies and programmes to
prevent the offences reffered to
in the present Protocol.
Particular attention shall be
given to protect children who
are especially vulnerable to
these practices (Art. 9(1))
Sudah jelas bahwa Indonesia dengan meratifikasi Convention on the Rights of the Child (dan hal ini
secara umum berlaku untuk konvensi-konvensi hak asasi khusus lainnya) diwajibkan di bawah hukum
internasional untuk menyelaraskan kebijakan nasional termasuk di dalamnya sistem hukum nasional
(terutama yang berkaitan dengan perlindungan anak) dengan ukuran atau standar yang ditetapkan di
25
Yayasan Pemantau Hak Anak, “Implikasi Lebih Lanjut Setelah Mengundangkan 2 Protokol Opsional KHA”, Mata Anak Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012:1.
dalam konvensi. Juga diharapkan bahwa Indonesia mengembangkan program-program sosial dalam
rangka pemajuan (kesadaran) tentang hak-hak anak.
Konsekuensi dari ratifikasi Child Convention ialah bahwa Indonesia menyatakan setuju dengan norma-
norma yang hendak diusung: perlunya anak (laki-laki maupun perempuan) karena posisi rentan
kelompok ini dalam struktur masyarakat yang ada menikmati perlakuan khusus. Misalnya berkenaan
dengan kewajiban orangtua (atau negara) untuk mendidik, merawat, memelihara anak, mengatur batas
usia menikah, dll. Dalam pada itu negara seyogianya tidak lagi menenggang sikap tindak masyarakat
yang dilandaskan pada norma yang berbeda: yaitu bahwa sudah kewajiban anak untuk turut bekerja
meringankan ekonomi keluarga, hak orang tua untuk menikahkan anak pada jodoh yang ditentukan
keluarga dll.). Pada tataran lebih praktikal, organ-organ negara (legislatif-eksekutif) di bawah Child
Convention wajib membuat implementing policy dan regulation di tingkat nasional bahkan lokal. Salah
satu wujud pemenuhan kewajiban demikian ialah pembentukanKomisi Perlindungan Anak (KPA).
Berkaitan dengan ini perlu pula diperhatikan sistem peradilan pidana anak yang memaksa kekuasaan
kehakiman untuk lebih peka terhadap posisi rentan anak baik sebagai pelaku maupun korban.
Penaatan atas kewajiban hukum negara tersebut di tataran internasional di atas dipantau melalui proses
pelaporan sukarela (voluntary self assesment). Laporan berkala (dua tahun pertama setelah ratifikasi
dan kemudian lima tahun sekali) ini harus diajukan kehadapan Committee on the Rigths of the Child
(body of independent experts)26 untuk didiskusikan, dievaluasi dan ditindaklanjuti. Tidak boleh dilupakan
di sini adalah sistem pemantauan umum oleh masyarakat internasional yang dipercayakan kepada Office
of the United Nations High Commissioner for Human Rights. Country reports yang kemudian
dipublikasikan secara berkala sebagai keluaran sistem pemantauan internasional di atas pada prinsipnya
menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengembangkan langkah-langkah perbaikan dan tindak lanjut
lainnya. Laporan resmi yang sama juga dapat menjadi titik tolak bagi lembaga-lembaga swadaya
masyarakat (human rights ngo’s atau defenders) untuk menagih janji pemerintah atau mengajukan
laporan tandingan. Maka tidak tepat pula untuk begitu saja memandang laporan-laporan (dan
komentar yang diberikan terkait dengan laporan tersebut) sebagai campurtangan asing ke dalam urusan
internal. Pada prinsipnya negara (cq.) pemerintah harus dianggap sudah menerima kemungkinan
laporan yang dibuat sukarela dikomentari dan dikritik.
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
Selain itu kita juga dapat singgung di sini ICERD (international Convention of the Elimination of All Forms
of Racial Discrimination). Perjanjian ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan pensyaratan
(reservasi) terhadap ketentuan Pasal 22 melalui Undang-Undang 29/ 1999.27
Ketentuan Pasal 2 ICERD menetapkan bahwa:
26
Periksa lebih lanjut OHCHR (www2.ohchr.org/english/bodies/crc/comments.htm). 27
Pensyaratan ini berkenaan dengan penolakan Indonesia atas berlakunya kompentensi absolut Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa antar Negara yang mungkin muncul dalam kaitan dengan penafsiran atau pelaksanaan ICERD.
(b) each state party undertakes not to sponsor, defend or support racial discrimination by any persons or organizations;
(c) each state party shall take effective measures to review governmental, national and local policies, and to amend, rescind or nullify any laws and regulations which have the effect of creating or perpetuating racial discrimination wherever it exists;
(d) each state party shall prohibit and bring to an end, by all appropriate means, including legislations as required by circumstances, racial discrimination by any persons, groups or organizations;
Ketentuan di atas memuat dua bentuk janji. Pertama adalah kesepakatan Negara yang dapat langsung
dilaksanakan, tanpa perlu ada implementing legislation, yaitu: (b) not to sponsor dstnya. Kedua adalah
kesepakatan yang baru dianggap terpenuhi bila telah diterjemahkan (transformasikan) ke dalam
tindakan konkrit ((c) effective measure to review dstnya) maupun ke dalam legislasi nasional (prohibit by
all appropriate means, including legislation dstnya). Kewajiban yang terakhir ini selanjutnya dipertegas
dalam ketentuan Pasal 4:
“States parties condem all propaganda and all organizations which are based on ideas or theories of superiority of one race or group of persons of one colour or etnic origin, or which attempt to justify or promote racial hatred and discrimination in any form, and undertake to adopt immediate and positive measures designed to eradicate all incitement to, or acts of, such discrimination and, to this end, with due regard to the principles embodied in the Universal Declaration of Human Rights and the rights expressly set forth in article 5 of this Convention, inter alia:
(a) Shall declare an offence punishable by law all dissemination of ideas based on racial superiority or hatred, incitement to racial discrimination, as well as all acts of violence or incitement to such acts against any race or groups of persons of another colour or ethnic origin, and also the provision of any assistance to racist activities, including the financing thereof;
(b) Shall declare illegal and prohibit organizations, and also organized and all other propaganda activities, which promote and incite racial discrimination, and shall recognize participation in such organization or activities as an offence punishable by law;
(c) Shall not permit public authorities or public institutions, national or local, to promote or incite racial discrimination.”
Dari daftar kewajiban di atas tentunya ada yang langsung dapat dilaksanakan pemerintah (dan organ-
organ negara) tanpa perlu adanya national implementing regulation, misalnya yang berkaitan dengan
perintah kepada negara untuk “not permit public authorities to promote or incite racial discrimination.”
Dengan demikian, ICERD sudah dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah nasional
atau lokal yang bersifat atau mendorong perlakuan diskriminatif.
Pada lain pihak ada perintah (kewajiban) di pasal yang sama yang akan dianggap belum terlaksana bila
tidak diterbitkan ketentuan nasional yang melarang atau menyatakan illegal perbuatan tertentu (butir a
dan b). Artinya ketentuan-ketentuan di atas sepanjang berkaitan dengan larangan diskriminasi atas
dasar perbedaan etnisitas atau warna kulit (agama/kepercayaan?) tidak otomatis berlaku atau non-self
executing. Polisi, Jaksa maupun Hakim Pidana Indonesia belum dapat menggunakan ketentuan tersebut
dalam kasus-kasus konkrit yang dihadapi, satu dan lain, karena dalam sistem hukum pidana berlaku azas
legalitas dan bagaimanapun juga mereka itu sebagai penegak hukum (yang bekerja dalam sistem hukum
pidana nasional) hanya mungkin menegakan hukum positif.
Sekalipun ketentuan tersebut sudah ada (yang melarang atau mengkriminalisasi perbuatan
diskriminatif), Indonesia akan tetap dianggap lalai memenuhi kewajiban internasional tersebut bila
ketentuan tersebut tidak digunakan. Dalam hal ini unable (tidak mampu) harus disandingkan pula
dengan konsep unwilling (tidak mau). Khususnya mengenai larangan “dissemination of ideas based on
racial superiority or hatred, incitement to racial discrimination, as well as all acts of violence or
incitement to such acts against any race or groups of persons of another colour or ethnic origin”,
ternyata hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 28 (2) Undang-Undang 11/2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Apakah ini cukup? Karena Negara di bawah ICERD juga berkewajiban
mengimplementasikan dan menegakan aturan. Bukan sekadar mengatur (mengkriminalisasi) tanpa
sungguh-sungguh hendak melaksanakannya (able yet unwilling).
Kesimpulan
Kekuatan mengikat secara hukum dari norma-norma hak asasi tidak sepenuhnya dapat dilandaskan
pada “penerimaan dan pengakuan” instrumen hak asasi oleh negara-negara berdaulat. Prinsip-prinsip
yang termuat di dalam instrumen tersebut diandaikan mengikat negara-negara, terlepas dari
persetujuan atau ketidaksetujuan pemerintah negara yang bersangkutan. Dalam hal ini pendekatan
murni positivistic terhadap (keberlakuan hukum) harus ditolak. 28 Dengan kata lain, keberlakuan prinsip-
prinsip yang berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia secara logikal tidak dapat dilepas dan
hanya dikaitkan pada penerimaan atau persetujuan negara-negara. Itu juga berarti bahwa persoalan
penegakan dan penghormatan hak asasi manusia sejatinya tidak layak dipertentangkan dengan
semangat mempertahankan kedaulatan atau kewibawaan hukum dan pemerintahan nasional. Lagipula
kerapkali justru negara-negara yang paling otoriter yang bersikeras menolak keberlakuan norma-norma
hak asasi. Sebaliknya, dari sudut pandang warganegara biasa sudah sewajarnya Negara (pemerintah
dan organ-organ negara) melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya oleh rakyat dengan
melandaskan diri pada penghormatan atas hak asasi warga. Dari sudut pandang ini sudah sewajarnya
penghormatan hak asasi manusia terutama dibebankan pada negara sebagai organisasi kekuasaan (yang
seharusnya sebagai negara berdaulat menjaga kewibawaannya dihadapan kaula dengan memonopoli
penggunaan kekerasan dalam rangka penegakan hukum).
28
Bandingkan dengan imajinasi perdebatan antara Radbruch dengan Hans Kelsen (ajaran hukum murni) sebagaimana dinarasikan oleh: Frank Haldemann, Gustav Radbruch vs. Hans Kelsen: A Debate on NAZI law, Ratio Juris. Vol. 18 No. 2 June 2005 (162–78). Ditulis bahwa: Radbruch finds that law can only be defined as the reality striving towards “the idea of law,” which is justice (Gerechtigkeit) (Radbruch 1950b, 91–3). But the idea of justice Radbruch is referring to—an objective idea of distributive justice, essentially meaning equality—does not fully exhaust the concept of law. To complete the concept of law, Radbruch adds two elements: purposiveness (Zweckmässigkeit) and legal certainty (Rechtssicherheit).
Maka juga keliru pandangan bahwa karena beban utama penghormatan/penegakan hak asasi ada pada
negara (alat-alat kekuasaan negara) otomatis anggota polisi atau tentara tidak memiliki hak asasi. Apa
yang diabaikan dalam pandangan ini ialah perlu dan pentingnya pembedaan kedudukan anggota
polisi/tentara ketika bertindak sebagai alat kekuasaan negara dan kedudukan mereka sebagai
warganegara. Sebagai alat negara mereka bertindak mewakili negara (dan bukan partai politik) dan
memiliki privelege tertentu (memegang dan menggunakan senjata api, misalnya) yang karena itu sudah
seharusnya tidak dimiliki warganegara biasa. Sebaliknya sebagai warganegara biasa mereka sudah
semestinya dianggap berkedudukan setara dihadapan hukum dan pemerintahan (Pasal 27 UUD 1945).
Pentingnya perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia akan sangat terasa dalam penegakan
hukum pidana. Sikap tindak polisi atau tentara (yang pada dasarnya sebagai aparat negara sudah
berkedudukan lebih kuat) terhadap rakyat harus dapat dinilai dan dievaluasi berdasarkan kriteria hak
asasi manusia. Singkat kata penegakan hukum (bahkan yang dilakukan demi menjaga ketertiban-
keamanan atau dalam rangka menjaga wibawa hukum dan pemerintahan) tetap harus dilaksanakan
dalam batasan-batasan atau berlandaskan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang landasannya
tidak mungkin dikaitkan hanya pada penerimaan/persetujuan negara. Lagipula sistem peradilan pidana
Indonesia yang dilandaskan KUHAP (UU 1/1981),dikaitkan dengan tujuan sistem penitensier dengan
tujuan mulia: pemasyarakatan kembali, kiranya secara ideal sudah menegaskan hal itu.
Dari titik tolak ini pula (hak asasi manusia sebagai norma kritik yang diakui di tataran domestik), kritikan
dan kecaman yang diajukan lembaga-lembaga pemantau hak asasi manusia dari luar negeri atau
pemerintahan negara asing tidak perlu dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan maupun
kewibawaan pemerintahan.29 Setiap pemerintah (tidak terkecuali Indonesia) mungkin akan merasa
jengkel dan kritikan dari pemerintahan asing atau lembaga internasional dirasakan sebagai
campurtangan yang tidak diinginkan dalam urusan domestik. Tidak boleh diabaikan adalah kewajiban
moral negara Indonesia terhadap rakyat dan dari segi hukum internasional, kewajiban hukum di bawah
instrumen-instrumen hak asasi manusia khusus yang terutama dibebankan pada negara. Kendati begitu,
persoalan yang akan terus menggangu (dalam konteks hubungan hukum internasional-hukum nasional)
ialah bagaimana dan sejauh mana hakim-hakim pengadilan Indonesia dan para pencari keadilan dapat
merujuk secara langsung norma-norma hak asasi manusia (UDHR maupun instrumen-instrumen hak
asasi manusia lainnya yang sudah terseleksi) untuk menilai pelanggaran hukum (dan hak asasi) yang
terjadi di Indonesia.
29
Bdgkan pula dengan pandangan T. Mulya Lubis, “Menjawab Problem Kemanusiaan Kontemporer: Dari Res Publica ke ‘the aesthetic of the self’”, dalam Mirwan Andan & Martin Suryajaya, Imajinasi Kebudayaan: Kompilasi Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 1998-2013 (Jakarta: Perhimpunan Koalisi Seni Indonesia, 2013), pp. 101-113. Di dalam tulisan ini ia mengaitkan persoalan pengakuan dan penghormatan ham pada urusan penjagaan martabat manusia dan bagaimana memahami kekerasan yang disponsori negara. Dinyatakan: “Sungguh, kalau orang tahu apa bedanya ia dengan binatang, maka tak perlu rumit-rumit kita belajar HAM dan ilmu hukum. Juga seandainya apabila kaum konservatif mengerti ini, mereka tentu tidak perlu lagi repot-repot mengeluarkan hinaan terhadap para pejuang HAM sebagai antek asing. Karena di sini urusan kemanusiaan sesungguhnya bukan lagi urusan yang terlampau mewah hingga melibatkan kekuasaan asing segala, melainkan urusan yang justru sangat dasariah, yakni untuk membuktikan bahwa manusia bukan binatang!” (p.109).
Instrumen-instrumen hak asasi khusus pada prinsipnya menegaskan dan memperjelas apa yang sudah
seharusnya atau yang sewajarnya dianggap menjadi kewajiban negara terhadap rakyat. Nilai atau
norma yang diusung, misalnya perlunya anak (sebagai anggota kelompok rentan) di lindungi dan
berkembang dalam lingkungan keluarga yang damai-sejahtera atau larangan diskriminasi terhadap
perempuan dengan tujuan agar perempuan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial-politik, sebagaimana ditemukan di dalam Konvensi maupun Konstitusi Negara
harus diterjemahkan lebih lanjut ke dalam kebijakan resmi pemerintah dan tercermin dalam peraturan
perundang-undangan. Affirmative action yang bersumber dari keberpihakan negara (terhadap
kelompok rentan: perempuan dan anak atau minority groups30 bahkan indigenous populations31 dalam
hal ini menjadi niscaya pertama dalam rangka mewujudkan ketentuan Pasal 27 UUD 1945 (kesetaraan
warga dihadapan hukum dan pemerintahan) dan kedua karena tidak selamanya nilai-nilai itu sejalan
dengan pandangan hidup masyarakat lokal atau masyarakat hukum adat.
Dalam situasi seperti ini, tidak dapat dipungkiri bahwa konvensi-konvensi internasional menjadi tolok
ukur untuk mengukur, menilai, bahkan instrumen untuk melakukan judicial atau administrative review
terhadap aturan-aturan lokal yang “menyimpang”. Apakah ini otomatis secara teoretik harus ditafsirkan
sebagai supremasi hukum internasional atas kedaulatan masyarakat nasional atau lokal? Keberlakuan
instrumen-instrumen hak asasi tersebut (khususnya tentang anak dan perempuan) mungkin tidak perlu
dilandaskan pada gagasan adanya superioritas hukum internasional atas hukum nasional/lokal.
Pendekatan ini dalam banyak kasus justru memunculkan perlawanan, terutama ketika masyarakat lokal
(atau justru kelompok masyarakat dominan dalam negara) berupaya mempertegas identitas diri yang
berhadapan diametral dengan nilai-nilai “imperialisme barat” yang muncul dalam hukum internasional
(khususnya berkaitan dengan hak asasi manusia).
30
Adopted by consensus in 1992, the UN Minorities Declaration in its article 1 refers to minorities as based on national or ethnic, cultural, religious and linguistic identity, and provides that states should protect their existence. There is no internationally agreed definition as to which groups constitute minorities. It is often stressed that the existence of a minority is a question of fact and that any definition must include both objective factors (such as the existence of a shared ethnicity, language or religion) and subjective factors (including that individuals must identify themselves as members of a minority). Periksa lebih lanjut “Minorities under International Law” (www.ohchr.org accessed 07/08/2013). 31
Didefinisikan WHO sebagai “communities that live within, or are attached to, geographically distinct traditional habitats or ancestral territories, and who identify themselves as being part of a distinct cultural group, descended from groups present in the area before modern states were created and current borders defined. They generally maintain cultural and social identities, and social, economic, cultural and political institutions, separate from the mainstream or dominant society or culture” (www.who.int/topics/health_services_indigenous/en/ accessed 08/08/2013). Hak-hak indigenous and tribal peoples dirumuskan dalam Konvensi ILO no. 169 (1989) concerning Indigenous and Tribal Peoples dan Konvensi ILO No. 107 (1957) concerning Indigenous and Tribal Populations . Sekalipun masih dapat diperdebatkan apakah, misalnya di bumi Indonesia di mana tinggal dan menetap ragam suku bangsa (dan yang mempersatukan diri ke dalam satu bangsa: bhineka tunggal ika) dapat ditemukan adanya “indigenous populations”. Dalam lingkup negara kesatuan Indonesia persoalan yang muncul adalah bagaimana memberikan perlindungan dan penghormatan atas satuan-satuan swapraja/swatantra (disebut dalam Pasal 18 UUD 1945 yang dalam praktik merujuk pada kesultanan atau kerajaan tradisional yang masih ada; kelompok-kelompok masyarakat (hukum) adat dan masyarakat yang hidup dalam lingkungan pedesaan (otonomi desa). Ketiga bentuk wilayah swa-praja/swa tantra sekarang ini terus “berjuang” mempertahankan adat-istiadat, bahasa bahkan keberlakuan tata hukum mereka sendiri yang berdiri berhadapan dengan hukum nasional (state law).