hapus piutang bank

35
amis, 27 September 2012 Kemenkeu Pelajari Putusan MK Soal Piutang BUMN Kementerian BUMN menyambut baik putusan MK tersebut. Kemenkeu pelajari Putusan MK soal Piutang BUMN. Foto: Sgp Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Hadiyanto, menyatakan akan mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membebaskan piutang bank-bank badan usaha milik negara (BUMN). "Kita akan mempelajari langkah selanjutnya berkaitan dengan keputusan itu, khususnya berkaitan hubungan dengan tata kelola keuangan negara," ujarnya di Jakarta, Rabu (27/9). Menurutnya, pemerintah belum mempertimbangkan kemungkinan kerugian negara dari putusan MK itu karena yang terpenting adalah respon terkait aspek dan ketetapan hukum. "Kalau dari aspek hukum mestinya tidak melihat (kerugian) itu, substansinya adalah apakah piutang BUMN merupakan piutang negara atau bukan," katanya. Hadiyanto mengatakan, dalam waktu dekat pemerintah akan mengundang bank-bank BUMN untuk membicarakan implementasi dan legalitas hukum terkait putusan MK tersebut. Dia menjelaskan, putusan MK itu harus disikapi oleh pemerintah ke depannya seperti apa, terutama dari bank-bank BUMN yang sudah ada. “Bagaimana statusnya dengan adanya keputusan itu. Itu yang harus didudukkan," katanya. Dia menambahkan, putusan MK tersebut harus dipertanggungjawabkan dan pemerintah wajib menjaga implementasi keputusan itu, apalagi ini berhubungan dengan kinerja BUMN secara keseluruhan. "Ini berarti berkaitan dengan kinerja BUMN, berarti juga dengan dividen. Dividen ada kaitannya dengan fiskal sehingga kita ingin pastikan proses pelaksanaan implementasi keptusan MK itu harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan," tuturnya. Untuk sementara, sambung Hadiyanto, pemerintah menerima penghapusan piutang tersebut serta mempelajari dampaknya kepada pengurusan piutang negara di masa mendatang.

Upload: independent

Post on 04-Dec-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

amis, 27 September 2012 Kemenkeu Pelajari Putusan MK Soal Piutang BUMNKementerian BUMN menyambut baik putusan MK tersebut. Kemenkeu pelajari Putusan MK soal Piutang BUMN. Foto: Sgp

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Hadiyanto, menyatakan akan mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membebaskan piutang bank-bank badan usaha milik negara (BUMN).

"Kita akan mempelajari langkah selanjutnya berkaitan dengan keputusan itu, khususnya berkaitan hubungan dengan tata kelola keuangan negara," ujarnya di Jakarta, Rabu (27/9).

Menurutnya, pemerintah belum mempertimbangkan kemungkinan kerugian negara dari putusan MK itu karena yang terpenting adalah respon terkait aspek dan ketetapan hukum.

"Kalau dari aspek hukum mestinya tidak melihat (kerugian) itu, substansinya adalah apakah piutang BUMN merupakan piutang negara atau bukan," katanya.

Hadiyanto mengatakan, dalam waktu dekat pemerintah akan mengundang bank-bank BUMN untuk membicarakan implementasi dan legalitas hukum terkait putusan MK tersebut. Dia menjelaskan, putusan MK itu harus disikapi oleh pemerintah ke depannya seperti apa, terutama dari bank-bank BUMN yang sudah ada.

“Bagaimana statusnya dengan adanya keputusan itu. Itu yang harus didudukkan," katanya.

Dia menambahkan, putusan MK tersebut harus dipertanggungjawabkan dan pemerintah wajib menjaga implementasi keputusan itu, apalagi ini berhubungan dengan kinerja BUMN secara keseluruhan.

"Ini berarti berkaitan dengan kinerja BUMN, berarti juga dengan dividen. Dividen ada kaitannya dengan fiskal sehingga kita ingin pastikan proses pelaksanaan implementasi keptusan MK itu harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan," tuturnya.

Untuk sementara, sambung Hadiyanto, pemerintah menerima penghapusan piutang tersebut serta mempelajari dampaknya kepada pengurusan piutang negara di masa mendatang.

"Prinsip kita menghormati keputusan seperti keputusan pengadilan lainnya. Itu sudah keputusan hukum, harus dilaksanakan," ujarnya.

Sementara itu, Kementerian BUMN menyambut gembira putusan MK tentang piutang BUMN bukan piutang negara, termasuk penyelesaian piutang macet yang merupakan kewenangan korporasi.

"Alhamdulillah, purifikasi BUMN sebagai korporasi semakin kuat," tutur Kepala Biro Hukum Kementerian BUMN, Hambra Samal.

Ia mengungkapkan, pertimbangan MK karena BUMN merupakan badan usaha yang memiliki kekayaan sendiri, terpisah dari kekayaan negara, sehingga pengurusan kekayaan, usaha, dan piutangnya dilakukan oleh manajemen sesuai dengan UUPT.

"Ini modal besar bagi 'judicial review' UUKN Pasal 2 huruf G dan I," terangnya.

Seperti diketahui, putusan MK No. 77 tanggal 21 September 2012 yang dibacakan oleh Ketua MK Mahfud MD membatalkan frasa 'badan-badan negara' pada UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN).

Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa jenis piutang negara sebagaimana UU PUPN ada dua jenis, yakni piutang negara dan piutang badan-badan yang dikuasai oleh negara. Dalam pengertian ini, piutang-piutang bank BUMN yang ada dan jumlahnya telah pasti dilimpahkan penyelesaiannya kepada PUPN, yang tidak memiliki kebebasan melakukan restrukturisasi utang termasuk pemberian "hair cut".

Di sisi lain, kenyataannya debitur pada bank non-BUMN mendapatkan fasilitas restrukturisasi utang, termasuk pemberian hair cut kepada debiturnya oleh manajemen bank yang bersangkutan.

Pasal 1 angka 1 dan angka 10 UU No, 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Pasal 1 angka 6 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat atau hak pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Oleh karena itu, piutang BUMN bukanlah piutang negara.

Kamis, 27 September 2012 - 04:30 | 38 pembaca

BERITA TERKAIT

ICW desak KPK umumkan tersangka Century

20 jam lalu

Harga Esemka mulai Rp65 juta

24 jam lalu

Pasek Suardika minta Ketua MK buktikan perkataannya

1 hari lalu

Sambut KTT APEC, pemkot Denpasar tata jalan utama

1 hari lalu

Sabtu, PKS Umumkan Nama Cagub-Cawagub Jabar

2 hari lalu

WATNYUS.COM Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto mengatakan pihaknya akan mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membebaskan piutang bank-bank badan usaha milik negara (BUMN).

Kita akan mempelajari langkah selanjutnya berkaitan dengan keputusan itu, khususnya berkaitan hubungan dengan tata kelola keuangan negara,"Galeri Terkait Video Terkait Jakarta (ANTARA News) -

"Kita akan mempelajari langkah selanjutnya berkaitan dengan keputusan itu, khususnya berkaitan hubungan dengan tata kelola keuangan negara," ujarnya di Jakarta, Rabu malam.

Menurut Hadiyanto pemerintah belum mempertimbangkan kemungkinan kerugian negara dari putusan MK itu karena yang terpenting adalah respon terkait aspek dan ketetapan hukum.

"Kalau dari aspek hukum mestinya tidak melihat (kerugian) itu, substansinya adalah apakah piutang BUMN merupakan piutang negara atau bukan," ujarnya.

Hadiyanto mengatakan dalam waktu dekat pemerintah akan mengundang bank-bank BUMN

untuk membicarakan implementasi dan legalitas hukum terkait putusan MK tersebut.

"Ini harus disikapi oleh pemerintah ke depannya seperti apa, terutama dari bank-bank BUMN yang sudah ada. Bagaimana statusnya dengan adanya keputusan itu. Itu yang harus didudukkan," katanya.

Menurut dia, putusan MK tersebut harus dipertanggungjawabkan dan pemerintah wajib menjaga implementasi keputusan itu, apalagi ini berhubungan dengan kinerja BUMN secara keseluruhan.

"Ini berarti berkaitan dengan kinerja BUMN, berarti juga dengan dividen. Dividen ada kaitannya dengan fiskal sehingga kita ingin pastikan proses pelaksanaan implementasi keptusan MK itu harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan," katanya.

Untuk sementara, Hadiyanto mengatakan pemerintah menerima penghapusan piutang tersebut serta mempelajari dampaknya kepada pengurusan piutang negara di masa mendatang.

"Prinsip kita menghormati keputusan seperti keputusan pengadilan lainnya. Itu sudah keputusan hukum, harus dilaksanakan," ujarnya.

PERSPEKTIF PIDANA PENYELESAIAN PIUTANG/KREDIT MACET PADA BUMN/BUMD MAUPUN BANK MILIK NEGARA/DAERAH

 

 

I. Pendahuluan

 

Industri perbankan memiliki peran yang begitu besar dan dominan dalam sistem keuangan suatu negara. Di Indonesia, industri perbankan menguasai sekitar 93% dari total aset industri keuangan, dan selebihnya dikuasai oleh industri non-bank, seperti asuransi dan perusahaan pembiayaan (multi finance) . Setelah terjadi krisis ekonomi dan perbankan di Indonesia pada bulan juli 1997, jumlah bank umum terus menurun dengan adanya pencabutan izin usaha, pembekuan kegiatan usaha dan merger antar bank. Salah satu penyebab utama terjadinya krisis perbankan adalah karena sangat kurangnya penerapan good corporate governance yang bukan saja terjadi pada industri perbankan, tetapi juga pada sektor swasta lainnya dan sektor pemerintahan . Lemahnya penegakan hukum, minimnya informasi tentang debitur merupakan andil lain yang tak kalah besarnya dalam mempengaruhi tingkat kesehatan sistem keuangan dan perbankan . Oleh sebab itu, untuk melakukan program restrukturisasi perbankan sekarang ini, setidak-tidaknya terdapat dua hal yang harus dilakukan. Pertama, penyelesaian aset bermasalah (kredit macet), dan Kedua, mengupayakan terciptanya good corporate governance .

   

Upaya restrukturisasi kredit macet oleh bank-bank BUMN/BUMD menghadapi tantangan yang cukup sulit. Pemerintah pada 16 Oktober 2006 melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan peraturan pelaksanaan penyelesaian kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank BUMN/BUMD yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.87/PMK.07/ 2006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah. PMK ini merupakan kelanjutan dari penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Keluarnya PP No. 33 Tahun 2006 disambut dengan euforia oleh bank-bank BUMN. Beberapa bank BUMN, bahkan langsung memasukkan haircut kredit macet yang dimilikinya menjadi agenda Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Namun, euforia ini akhirnya tidak berlangsung lama. Bank-bank BUMN/BUMD akhirnya harus kembali kepada mekanisme lama terkait dengan penyelesaian kredit macetnya. Penyebabnya, masih terjadi perbedaan cara pandang antara kalangan bank BUMN/BUMD dengan aparatur penegak hukum di lapangan yang melihat bahwa landasan hukum untuk melakukan haircut kredit macet melalui mekanisme RUPS lemah karena didasarkan pada PP No. 33 Tahun 2006. Sementara itu, Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960, yang kedudukannya lebih tinggi dibanding PP, masih tetap berlaku. Pasal 12 ayat (1) UU No. 49.Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan: “Instansi-instansi Pemerintah dan Badan-Badan Negara yang dimaksud Pasal 8 peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).” Sedangkan dalam Pasal 8 disebutkan: “yang dimaksud dengan piutang negara atau hutang kepada Negara oleh Peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun”. Implikasinya, sesuai mekanisme yang berlaku dalam UU No. 49 Prp Tahun 1960, jika penyelesaian kredit macet tidak dapat dilakukan oleh bank BUMN/BUMD terkait, maka kredit macet tersebut diserahkan kepada Kementerian Keuangan (dan diperlakukan sebagai “piutang negara”) untuk proses penyelesaian lebih lanjut. Oleh karena kredit macet tersebut diperlakukan sebagai piutang negara, maka secara yuridis mana kala terbukti keuangan negara dirugikan, para bankir bank-bank BUMN/BUMD dapat terancam sanksi pidana.

 

 II. Kredit Macet dan Tindak Pidana

 

Kemelut tentang haircut kredit macet bank BUMN/BUMD pada dasarnya bersumber dari problem hukum yang hingga kini belum tuntas. Problem hukum tersebut adalah kontradiksi antar undang-undang, terutama antara UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Penyelesaian Urusan Piutang Negara (PUPN). Kontradiksi tersebut terletak pada pengertian tentang piutang negara. UU No. 1 Tahun 2004 menyatakan bahwa piutang

BUMN/BUMD bukan merupakan piutang negara. Akan tetapi mengapa selama ini piutang BUMN/BUMD (termasuk kredit bank BUMN/BUMD) diperlakukan sebagai piutang negara? Jawabnya, karena hingga kini masih berlaku UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN yang memasukkan piutang BUMN/BUMD sebagai piutang negara. Betul bahwa kredit macet adalah sebuah kesalahan dan betul pula bahwa pelakunya harus mendapatkan hukuman. Namun, perlakuannya tidak selalu dapat dimasukkan dalam ranah hukum pidana dan korupsi. Untuk memutuskan apakah kredit macet masuk ranah hukum pidana dan korupsi atau tidak, semestinya perlu dilihat bagaimana prosesnya. Sepanjang keputusan kredit (yang akhirnya macet) diambil berdasarkan business judgement, diputus tanpa adanya conflict of interest, dan telah accountable, semestinya hal itu tidak dapat dinyatakan salah secara pidana. Namun, apabila persoalan ini hanya dilihat berdasarkan hasil akhirnya (yaitu kredit macet), bukan pada prosesnya, tidak menutup kemungkinan akibatnya adalah bahwa kredit macet dianggap sebagai bentuk kejahatan perbankan dan tak jarang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tidak terdapat suatu definisi yang seragam tentang kejahatan perbankan. UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) tidak memberikan definisi tertentu tentang kejahatan perbankan. Di Amerika Serikat bank fraud diartikan sebagai “the criminal offence of knowingly executing, or attempting to execute, a scheme or artifice to defraud a financial institution, or to obtain property owned by or under the control of financial institution, by means of false or fraudulent pretenses, representations or promises” . Meski tidak memberikan definisi tentang kejahatan perbankan, UU Perbankan menetapkan tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu: (1) tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan; (2) tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank; (3) tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan; dan (4) tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.

 

III. Upaya Penegakan Hukum

 

Pelaksanaan penegakan hukum wajib mengikuti ketentuan aturan hukum, penegakan hukum yang dilakukan tidak menurut hukum dapat berakibat batal demi hukum. Keharusan penegakan hukum mengikuti ketentuan hukum dimaksudkan untuk mencegah aparat penegak hukum berlaku sewenang-wenang, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan mencederai rasa keadilan. Ajaran sifat melawan hukum formil mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah sesuai dengan semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut dianggap sebagai tindak pidana. Ajaran sifat melawan hukum materiil mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu sesuai dengan semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela . Apabila kita mengkaji secara mendalam substansi UU No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan negara, jelas dan tegas bahwa aset berupa piutang BUMN/BUMD masuk dalam lingkup keuangan negara. Perlu dipahami bersama bahwa kredit yang diberikan bank kepada masyarakat, baik kredit produktif maupun konsumtif, dananya berasal dari pihak ketiga yang menyimpan dananya di bank. Bank wajib membayar kembali dana ini bilamana si pemilik dana tersebut mengambilnya. Oleh karenanya pemberian kredit harus dilaksanakan secara hati-hati, sehingga kredit yang diberikan akan dapat dibayar kembali pada waktu yang telah diperjanjikan. Untuk itu bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dalam memberikan kredit, yang secara umum dikenal dengan prinsip "the 5 C's of credit, yakni character, condition, capacity, capital dan collateral. Dalam pemberian kredit oleh bank dikenal ada 2 (dua) jenis risiko, yakni risiko bisnis dan risiko non bisnis. Manakala dalam pemberian kredit, pejabat/petugas bank telah menerapkan prinsip kehati-hatian dengan benar, kemudian kredit menjadi macet akibat dari misalnya kalah bersaing dengan usaha sejenis atau rugi terus menerus karena omzet yang kian menurun, maka kredit macet seperti ini menjadi risiko bisnis bank. Namun apabila kredit macet itu terjadi akibat kesalahan dalam proses pemberiannya, misalnya tidak diperiksa ke tempat usahanya, tidak dianalisis dengan benar prinsip 5c's of credit tadi, maka ini menjadi risiko non bisnis, risiko yang tidak diterima oleh bank dan menjadi tanggung jawab para petugas dan pejabat yang terkait dengan pemberian kredit tersebut. Apabila kredit sudah macet dan menjadi risiko non bisnis, maka pejabat/pegawai terkait berarti telah melanggar prinsip kehati-hatian dari Bank Indonesia, dan secara pidana dapat dikategorikan sebagai memperkaya orang lain dengan cara yang tidak benar, sehingga secara yuridis dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Adalah wajar sekiranya pemerintah Pusat maupun Daerah sangat berkepentingan untuk mengusut para pejabat bank yang nakal dalam pemberian kredit, karena cepat atau lambat apabila tidak mendapat penaganan yang serius akan menghambat perkembangan ekonomi baik mikro maupun makro. Disinilah peran Polri dan aparat penegak hukum lain dituntut untuk tanggap melakukan upaya penegakan hukum demi menjaga kondisi perekonomian tetap kondusif.

 

IV. Penutup

 

Berdasarkan uraian diatas dapat dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam memandang proses penyelesaian piutang negara yang berasal dari kredit macet Bank-bank BUMN/BUMD, secara yuridis Polri akan berpijak pada konsep sifat melawan hukum formil dengan tetap memperhatikan konsep sifat melawan hukum materiil. Polri tidak akan gegabah melihat kredit macet hanya sebagai akibat, namun akan melakukan penyelidikan untuk mengetahui apakah kredit macet yang terjadi merupakan resiko bisnis

atau non bisnis. Sebagai akhir dari tanggapan ini disarankan sudah waktunya terbentuk satu konsensus nasional dan koordinasi yang rapi antar lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif sehingga salah satu constraint dalam perbankan BUMN/BUMD, yaitu NPL, dapat segera diselesaikan. Semangat ini membutuhkan kearifan dan kerendahan hati dari masing-masing lembaga tersebut dan bukan sekadar mempertahankan argumen yang pada gilirannya akan menjadi polemik yang berlarut-larut dan menyebabkan semakin tidak terselesaikannya permasalahan utama, yaitu kredit macet atau non performing loan (NPL) yang tinggi di bank BUMN/BUMD. Kesadaran bahwa kunci dari keberhasilan konsensus nasional pun tidak dapat dilepaskan dari pemahaman bahwa semua kembali kepada the man behind the gun atau manajemen di bank BUMN. Jakarta, September 2010

Last update : 22-10-2010 14:07

Jumat, 07 Januari 2011

Penghapusan Piutang Penghapusan piutang adalah suatu kerugian yang timbul karena adanya piutang yang tak tertagih oleh perusahaan. Piutang kurang terjamin pelunasannya, karena tidak dibuat dalam suatu perjanjian khusus seperti yang diatur oleh peraturan hukum. Oleh sebab itu, maka piutang inilah yang biasanya mengandung penghapusan piutang (bad debt). Adakalanya telah dapat dipastikan bahwa piutang kepada seorang pelanggan tertentu tidak akan dapat ditagih. Sebabnya macam-macam, yaitu karena pelanggan yang bersangkutan telah dinyatakan pailit, bangkrut, meninggal dunia, atau lari ke luar negri.Ayat jurnal yang perlu dibuat untuk mencatat penghapusan piutang ini adalah sebagai berikut :Penyisihan piutang tak tertagih xxxPiutang dagang xxx

Untuk itu membukukan penghapusan piutang, dikenal dua metode, yaitu :1. Metode Langsung (Direct Write Off Method)Menurut metode ini, pembukuan penghapusan piutang baru akan dilakukan pada saat suatu piutang benar-benar dinyatakan tidak tertagih oleh perusahaan. Pada saat itulah diadakan pencatatan kerugian tersebut kedalam perkiraan penghapusan piutang disebalah debit, serta mengkreditkan perkiraaan piutang dalam jumlah yang sama, guna mengeluarkan piutang yang tidak tertagih itu dari catatan. (M. Munandar : 2006 : 77)

2. Metode Cadangan (Allowance Method)Menurut metode ini, setiap akhir periode perusahaan perlu mengadakan penaksiran tentang besarnya piutang yang kira-kira tidak tertagih. Pada saat ini jumlah yang diperkirakan tidak tertagih tersebut dianggap dan dicatat sebagi kerugian, dengan cara mendebitkannya kedalam perkiraan penghapusan piutang. Tetapi pada saat ini jumlah piutang yang diduga tidak tertagih tersebut belum dikeluarkan dari perkiraan piutang, melainkan baru dianggap dan dicatat sebagai cadangan piutang yang sekiranya tidak tertagih. Pencadangan ini dilakukan dengan membukukannya ke dalam perkiraan cadangan penghapusan piutang (Allowance For Bad Debt) disebelah kredit.

Bilamana pada sesuatu waktu nanti, piutang yang dicadangkan tidak tertagih itu benar-benar dinyatakan tidak tertagih, maka jumlah tersebut harus dikeluarkan dari catatan perkiraan cadangan penghapusan piutang, karena status cadangan telah berubah menjadi suatu kepastian, yakni dipastikan tidak tertagih lagi. Dengan demikian perkiraan cadangan penghapusan piutang harus didebitkan sebesar piutang yang dinytakan tidak tertagih tersebut. Di samping itu, dengan dipastikannya bahwa piutang yang bersangkutan tidak akan tertagih, maka jumlah tersebut harus pula dikeluarkan dari catatan perkiraan piutang, dengan cara mengkreditkannya sebesar jumlah tersebut. (M. Munandar : 2006 : 77)

Diposkan oleh Lukas di 18:53

 Jika melihat beberapa prinsip yang telah dikemukakan diatas, menurut hemat penulis prinsip 5-C yang dikemukakan lebih dahulu telah mengcover prinsip 5-P dan 3-R yang diuraikan berikutnya. Jika melihat ketentuan kredit yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tampak bahwa UU tersebut secara eksplisit telah mencantumkan prinsip 5-C.

2 Comments | Hukum Perbankan | Permalink Posted by kuliahade

Hukum Perbankan : Kredit   Bank June 27, 2010

Pengertian Kredit

Kredit berasal dari kata “Credere” artinya percaya. Seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit berdasarkan analisa “The five of credit atau 5 c

yaitu: character (watak), capital (modal), capacity (kemampuan), collateral (jaminan), condition of Economy (kondisi ekonomi)

KREDIT BANK

Pasal 1 angka 11 UUPerbankan No. 10 Tahun 1998. Pengertian :

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Unsur-unsur Kredit

1. Kepercayaan, keyakinan bank bahwa prestasi yg diberikan akan diterima kembali dlm jangka waktu tertentu.

2. Tenggang waktu, masa yg memisahkan antara pemberian prestasi dg kontra prestasi. 3. Degree of risk, tingkat risiko yg dihadapi, akibat adanya jangka waktu tertentu. 4. Prestasi, objek kredit, bisa uang, benda atau jasa.

FUNGSI KREDIT

1. Meningkatkan daya guna uang 2. Meningkatkan peredaran dan lalulintas uang 3. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang. 4. Salah satu alat stabilitas ekonomi 5. Meningkatkan kegairahan berusaha 6. Meningkatkan pemerataan pendapatan 7. Meningkatkan hubungan internasional.

JENIS KREDIT

Pengklasifikasian jenis kredit didasarkan pd:

1. Kelembagaannya: Bank, Bank Indonesia 2. Jangka waktunya: jangka pendek, menengah, panjang 3. Penggunaan kredit: Konsumtif, produktif 4. Kelengkapan dan keterikatannya dg dokumen yg dibutuhkan: Kredit ekspor, impor 5. Aktivitas perputaran usaha: Kredit kecil,Menengah, Kredit besar (sindikasi/konsorsium) 6. Jaminannya: tanpa jaminan, dengan jaminan. 7. Atau dari berbagai kriteria lainnya.

PERJANJIAN KREDIT

Menurut KUHPerdata, Perjanjian Kredit merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam buku ketiga KUHPerdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 s/d 1769 KUHPerdata.

Sesuai dgn asas yg utama dr suatu perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, maka pihak2 yg akan mengikatkan diri dlm perjanjian dapat mendasarkan kepada kesepakatan bersama.

Perjanjian Kredit selain dikuasai oleh asas –asas umum hukum perjanjian, juga dikuasai oleh apa yg secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak.

FUNGSI PERJANJIAN KREDIT

1. Perjanjian kredi berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yg menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yg mengikutinya, mis perjjn pengikatan jaminan.

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

KLAUSUL-KLAUSUL DALAM PERJANJIAN KREDIT

1. Syarat2 penarikan kredit pertama kali (pembayaran profisi, penyerahan brg jaminan, penutupan asuransi).

2. Maksimum kredit 3. Jangka waktu kredit

4. Bunga pinjaman 5. Barang agunan kredit 6. Asuransi 7. Tindakan yang dilarang oleh bank (mengubah bentuk hukum prusahaan) 8. Tigger clause atau Opeisbaar Clause ( Bank mengakhiri perjjn secara sepihak) 9. Denda 10. Expence Clause (beban biaya dan ongkos sbg akibat pemberian kredit) 11. Debet Authorization Clause (pendebetan rekening hrs seijin debitur) 12. Representation and Warranties 13. Ketaatan pada ketentuan bank 14. Pasal-pasal tambahan 15. Alternatif Dispute Resolution 16. Pasal Penutup

ASAS-ASAS PERKREDITAN

Kredit yg diberikan oleh bank mengandung risiko, shg hrs diperhatikan asas2 perkreditan yg sehat, al:

1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis.

2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yg sejak semula kurang sehat.

3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit utk pembelian saham.

4. Bank tdk diperkenankan memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (Legal Lending Limit)

1. Untuk satu peminjam yang tidak terkait dengan bank, BPMK adalah 20% dari modal bank. 2. Untuk satu kelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank, PBMK adalah 20% dari modal

bank. 3. Untuk pihak-pihak yang terkait dengan bank, baik satu pinjaman atau keseluruhan, BPMK

adalah 10% dari modal bank.

BPMK adalah batas maskimum penyediaan dana yang dikenakan dilakukan oleh bank kepada peminjan atau kelompok-kelompok peminjam tertentu.

Penyediaan dana adalah pemberian fasilitas kredit, fasilitas jaminan atau hal-hal yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau kelompok-kelompok peminjam.

Peminjam adalah nasabah perorangan atau badan yang memperoleh satu atau lebih fasilitas penyediaan dana.

Kelompok peminjam adalah kumpulan peminjam yang satu sama lain mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, dan atau hubungan keuangan.

    Pihak-pihak yang terkait dengan bank adalah:

1. Pemegang saham yang memiliki saham 10% atau lebih dari modal di stor bank. 2. Anggota Dewan Komisaris. 3. Anggota Direksi. 4. Keluarga dari pihak-pihak tersebut pada butir (a), (b), dan (c). 5. Pejabat bank. 6. Perusahan-perusahan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak yang dimaksud

di atas yaitu yang kepemilikannya mencapai 25% atau lebih.

Pengamanan Resiko Kredit

Dalam rangka pengamanan resiko kredit, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Penyebaran kredit yang baik dari jumlah kredit yang diberikan hingga tidak terjadi konsentrasi pemberian kredit kepada sejumlah kecil debitur. Untuk BI telah menetapkan BPMK.

2. Penutupan ansuransi atas barang jaminan dengan Banker’s Clause. 3. Memanfaatkan lembaga asuransi kredit, yaitu dengan jalan mengasuransikan kredit yang

diberikan dengan menutup perjanjian pertanggungan (polis) dengan PT Askarido (Asuransi kredit Indonesia).

 

 

Leave a Comment » | Hukum Perbankan | Permalink Posted by kuliahade

Hukum Perbankan : Kredit   Bank June 27, 2010

Pengertian Kredit

Kredit berasal dari kata “Credere” artinya percaya. Seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit berdasarkan analisa “The five of credit atau 5 c

yaitu: character (watak), capital (modal), capacity (kemampuan), collateral (jaminan), condition of Economy (kondisi ekonomi)

KREDIT BANK

Pasal 1 angka 11 UUPerbankan No. 10 Tahun 1998. Pengertian :

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Unsur-unsur Kredit

1. Kepercayaan, keyakinan bank bahwa prestasi yg diberikan akan diterima kembali dlm jangka waktu tertentu.

2. Tenggang waktu, masa yg memisahkan antara pemberian prestasi dg kontra prestasi. 3. Degree of risk, tingkat risiko yg dihadapi, akibat adanya jangka waktu tertentu. 4. Prestasi, objek kredit, bisa uang, benda atau jasa.

FUNGSI KREDIT

1. Meningkatkan daya guna uang 2. Meningkatkan peredaran dan lalulintas uang 3. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang. 4. Salah satu alat stabilitas ekonomi 5. Meningkatkan kegairahan berusaha 6. Meningkatkan pemerataan pendapatan 7. Meningkatkan hubungan internasional.

JENIS KREDIT

Pengklasifikasian jenis kredit didasarkan pd:

1. Kelembagaannya: Bank, Bank Indonesia 2. Jangka waktunya: jangka pendek, menengah, panjang 3. Penggunaan kredit: Konsumtif, produktif 4. Kelengkapan dan keterikatannya dg dokumen yg dibutuhkan: Kredit ekspor, impor 5. Aktivitas perputaran usaha: Kredit kecil,Menengah, Kredit besar (sindikasi/konsorsium) 6. Jaminannya: tanpa jaminan, dengan jaminan. 7. Atau dari berbagai kriteria lainnya.

PERJANJIAN KREDIT

Menurut KUHPerdata, Perjanjian Kredit merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam buku ketiga KUHPerdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 s/d 1769 KUHPerdata.

Sesuai dgn asas yg utama dr suatu perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, maka pihak2 yg akan mengikatkan diri dlm perjanjian dapat mendasarkan kepada kesepakatan bersama.

Perjanjian Kredit selain dikuasai oleh asas –asas umum hukum perjanjian, juga dikuasai oleh apa yg secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak.

FUNGSI PERJANJIAN KREDIT

1. Perjanjian kredi berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yg menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yg mengikutinya, mis perjjn pengikatan jaminan.

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

KLAUSUL-KLAUSUL DALAM PERJANJIAN KREDIT

1. Syarat2 penarikan kredit pertama kali (pembayaran profisi, penyerahan brg jaminan, penutupan asuransi).

2. Maksimum kredit 3. Jangka waktu kredit 4. Bunga pinjaman 5. Barang agunan kredit 6. Asuransi 7. Tindakan yang dilarang oleh bank (mengubah bentuk hukum prusahaan) 8. Tigger clause atau Opeisbaar Clause ( Bank mengakhiri perjjn secara sepihak) 9. Denda 10. Expence Clause (beban biaya dan ongkos sbg akibat pemberian kredit) 11. Debet Authorization Clause (pendebetan rekening hrs seijin debitur) 12. Representation and Warranties 13. Ketaatan pada ketentuan bank 14. Pasal-pasal tambahan 15. Alternatif Dispute Resolution 16. Pasal Penutup

ASAS-ASAS PERKREDITAN

Kredit yg diberikan oleh bank mengandung risiko, shg hrs diperhatikan asas2 perkreditan yg sehat, al:

1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis.

2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yg sejak semula kurang sehat.

3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit utk pembelian saham.

4. Bank tdk diperkenankan memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (Legal Lending Limit)

1. Untuk satu peminjam yang tidak terkait dengan bank, BPMK adalah 20% dari modal bank. 2. Untuk satu kelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank, PBMK adalah 20% dari modal

bank. 3. Untuk pihak-pihak yang terkait dengan bank, baik satu pinjaman atau keseluruhan, BPMK

adalah 10% dari modal bank.

BPMK adalah batas maskimum penyediaan dana yang dikenakan dilakukan oleh bank kepada peminjan atau kelompok-kelompok peminjam tertentu.

Penyediaan dana adalah pemberian fasilitas kredit, fasilitas jaminan atau hal-hal yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau kelompok-kelompok peminjam.

Peminjam adalah nasabah perorangan atau badan yang memperoleh satu atau lebih fasilitas penyediaan dana.

Kelompok peminjam adalah kumpulan peminjam yang satu sama lain mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, dan atau hubungan keuangan.

    Pihak-pihak yang terkait dengan bank adalah:

1. Pemegang saham yang memiliki saham 10% atau lebih dari modal di stor bank. 2. Anggota Dewan Komisaris. 3. Anggota Direksi. 4. Keluarga dari pihak-pihak tersebut pada butir (a), (b), dan (c). 5. Pejabat bank. 6. Perusahan-perusahan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak yang dimaksud

di atas yaitu yang kepemilikannya mencapai 25% atau lebih.

Pengamanan Resiko Kredit

Dalam rangka pengamanan resiko kredit, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Penyebaran kredit yang baik dari jumlah kredit yang diberikan hingga tidak terjadi konsentrasi pemberian kredit kepada sejumlah kecil debitur. Untuk BI telah menetapkan BPMK.

2. Penutupan ansuransi atas barang jaminan dengan Banker’s Clause. 3. Memanfaatkan lembaga asuransi kredit, yaitu dengan jalan mengasuransikan kredit yang

diberikan dengan menutup perjanjian pertanggungan (polis) dengan PT Askarido (Asuransi kredit Indonesia).

 

UU PUPN Jadi Landasan Mengurus Piutang NegaraKamis, 5 Januari 2012 | 15:47

JAKARTA - Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN) menjadi  landasan hukum dalam mengurus piutang negara yang telah diserahkan pengurusannya kepada pemerintah.

"Pengurusan piutang berasal dari instansi pemerintah berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan sesuai UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara," kata Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu Hadiyanto saat mewakili pemerintah dalam sidang

pengujian UU PUPN di MK, Jakarta, Kamis.

Permohonan pengujian UU PUPN di MK diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group Syaiful yang menaungi tujuh perusahaan di antaranya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk.

Para pemohon menilai berlakunya pasal-pasal yang diuji itu menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum selaku debitur yang mengalami kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI).

Menurut pemohon, UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 karena sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah masih belum bisa melakukan pemotongan utang (haircut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank pemerintah karena terikat dengan kewenangan PUPN.

Jika pemotongan utang dilakukan berdasarkan struktur keuangan negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai korupsi.

Sementara itu, kalau di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan. Hal ini menimbulkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang dialami pemohon.

Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dengan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menurut Hadiyanto jika pasal-pasal yang diuji itu dibatalkan, akan terjadi kekosongan hukum dalam upaya penagihan piutang negara oleh Menkeu sebagai diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara dan dapat menimbulkan kerugian besar bagi negara. Sebab, piutang negara tidak dapat ditagih secara cepat.

Selain itu, berdasarkan Pasal 8 UU Perbendaharaan Negara, piutang badan atau BUMN tidak ada kewajiban bagi bank BUMN untuk menyerahkan pengurusan piutang kredit macetnya kepada PUPN lagi.

Bank BUMN dapat melaksanakan penagihan dan restrukturisasi sendiri termasuk pemotongan utang pokok/bunga (hair cut) dan penjadwalan kembali (reschduling) terhadap kredit macetnya.

Karena Pasal 4, Pasal 6, Pasal 10, Pasal 12, ayat (1) UU PUPN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

"Jika pasal-pasal itu dibatalkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengurusan piutang negara yang bukan berasal dari instansi BUMN," kata Hadiyanto. (tk/ant)

MK: Piutang Bank BUMN Tidak Diserahkan PUPN

Antara – Sel, 25 Sep 2012

Konten Terkait

Lihat Foto

MK: Piutang Bank BUMN Tidak Diserahkan PUPN

Berita Lainnya

Akui Beri Grasi, SBY Diduga Sengaja Tutupi Perilaku Menyimpang Bawahan   …

TRIBUNnews.com

Ruhut : Mahfud MD Kebelet Jadi Capres

TRIBUNnews.com

Keliru Beri Grasi, SBY Lebih Baik Minta Maaf

TRIBUNnews.com

Lainnya »

Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan piutang badan atau Bank BUMN (badan Usaha Milik Negara) tidak perlu lagi menyerahkan piutang kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

Pernyataan MK ini termuat dalam putusan terkait permohonan pengujian Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang membatalkan frasa "badan-badan negara".

"Frasa atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara dalam Pasal 8 UU PUPN bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis MK Mahfud MD, saat membacakan putusannya di Jakarta, Selasa .

Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengatakan penyelesaian piutang Bank BUMN masih terdapat dua aturan yang berlaku yakni UU PUPN dan UU Perbendaharaan Negara jo UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.

"Ini menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur bank BUMN dan bank swasta, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," kata Akil.

Karena itu, kata Akil, piutang bank BUMN setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2004, UU BUMN, dan serta UU Perseroan Terbatas bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN, sehingga piutang bank-bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat.

"Menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b PP No. 36 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas PP No 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah tidak sejalan dengan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT. Dengan demikian, piutang negara yang berkaitan dengan piutang badan-badan usaha baik

secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara dalam UU No. 49 Tahun 1960 adalah beralasan menurut hukum," katanya.

Usai sidang, Kuasa hukum pemohon, Gradios Nyoman Tio Rae menyambut baik putusan MK ini karena memberikan kepastian hukum.

"Putusan ini secara jelas memberi arahan kepada bank BUMN dalam melaksanakan tugasnya secara profesiomal berdasarkan RUPS," kata Nyoman.

Gradios mengatakan sejak 2010 hingga 2012 kredit macet mencapai sekitar Rp60 triliun. "Khusus kredit macet di BNI sekitar Rp25 triliun, sisanya ada pada beberapa

bank lain. Kalau 50 persen saja dari Rp25 triliun yang mampu dibayar oleh debitur, sangat berarti bagi BNI untuk kelanjutannya," katanya.

Permohonan pengujian UU PUPN ini diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group

Syaiful yang menaungi tujuh perusahaan, salah satunya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk.

Pemohon menilai berlakunya pasal-pasal itu menimbulkan ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum bagi debitur yang mengalami kredit macet di Bank Negara

Indonesia (BNI) dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Pemohon menilai sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah masih belum bisa melakukan pemotongan utang (haircut) kepada debitur yang mengalami kredit macet

di bank pemerintah karena terikat dengan kewenangan PUPN.

Jika pemotongan hutang dilakukan berdasarkan struktur keuangan negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai korupsi.

Sementara di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan

sehingga menimbulkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang dialami pemohon.

Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dengan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (tp)

Kamis, 05 Januari 2012 Tanpa UU PUPN, Negara Sulit Tagih PiutangPengurusan piutang negara BUMN perbankan nantinya bukan lagi menjadi kewenangan PUPN karena dianggap bukan piutang negara lagi. ASh Dibaca: 1355 Tanggapan: 0

Share:

   

Majelis Hakim Konstitusi (MK) saat pengujian UU PUPN di ruang sidang MK. Foto: SGP

Pemerintah berpendapat Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) merupakan landasan hukum kewenangan PUPN dalam mengurus piutang negara yang telah diserahkan pengurusannya kepada pemerintah.

 

“Pengurusan piutang ini yang berasal dari instansi pemerintah berdasarkan suatu peraturan, pejanjian atau sebab apapun sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan sesuai UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,” kata Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu Hadiyanto dalam pengujian UU PUPN di ruang sidang MK, Kamis (5/1).

 

Permohonan ini diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group Syaiful yang menaungi tujuh perusahaan, salah satunya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk. Para pemohon menilai berlakunya pasal-pasal yang diuji itu menimbulkan ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum bagi debitur yang mengalami kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI). Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

 

Sebab, sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah (bank pemerintah, red) masih belum bisa melakukan pemotongan utang (haircut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank pemerintah karena terikat dengan kewenangan PUPN. Jika pemotongan hutang dilakukan

berdasarkan struktur keuangan negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai korupsi.

 

Sementara kalau di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan. Hal ini menimbulkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang dialami pemohon. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dengan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Menurut Hadiyanto, jika pasal-pasal yang diuji itu dibatalkan, maka akan terjadi kekosongan hukum dalam upaya penagihan piutang negara oleh Menkeu sebagai diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara. Hal ini akan menimbulkan kerugian besar bagi negara. Sebab, piutang negara tidak dapat ditagih secara cepat.

 

Selain itu, berdasarkan Pasal 8 UU Perbendaharaan Negara, piutang badan atau BUMN tidak ada kewajiban bagi bank BUMN untuk menyerahkan pengurusan piutang kredit macetnya kepada PUPN lagi. Bank BUMN dapat melaksanakan penagihan dan restrukturisasi sendiri termasuk pemotongan utang pokok/bunga (hair cut) dan penjadwalan kembali terhadap kredit macetnya.

 

“Hal itu berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas, UU BUMN, dan UU Perbankan. Jadi tidak perlu menunggu dicabutnya UU PUPN karena tanpa mengkaitkan UU PUPN, bank BUMN bebas memberikan pemotongan utang atau restrukturisasi kredit lainnya kepada debiturnya lewat persetujuan RUPS,” dalihnya.

 

Terlebih, lanjutnya, dalam RUU Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah yang akan menggantikan UU PUPN, pengurusan piutang negara BUMN perbankan bukan lagi menjadi kewenangan PUPN karena dianggap bukan piutang negara lagi.

 

“Karena Pasal 4, Pasal 6, Pasal 10, Pasal 12, ayat (1) UU PUPN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Jika pasal-pasal itu dibatalkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengurusan piutang negara yang bukan berasal dari instansi BUMN,” katanya.

Kamis, 05 Januari 2012 Tanpa UU PUPN, Negara Sulit Tagih Piutang

Pengurusan piutang negara BUMN perbankan nantinya bukan lagi menjadi kewenangan PUPN karena dianggap bukan piutang negara lagi. ASh Dibaca: 1355 Tanggapan: 0

Share:

   

Majelis Hakim Konstitusi (MK) saat pengujian UU PUPN di ruang sidang MK. Foto: SGP

Pemerintah berpendapat Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) merupakan landasan hukum kewenangan PUPN dalam mengurus piutang negara yang telah diserahkan pengurusannya kepada pemerintah.

 

“Pengurusan piutang ini yang berasal dari instansi pemerintah berdasarkan suatu peraturan, pejanjian atau sebab apapun sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan sesuai UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,” kata Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu Hadiyanto dalam pengujian UU PUPN di ruang sidang MK, Kamis (5/1).

 

Permohonan ini diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group Syaiful yang menaungi tujuh perusahaan, salah satunya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk. Para pemohon menilai berlakunya pasal-pasal yang diuji itu menimbulkan ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum bagi debitur

yang mengalami kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI). Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

 

Sebab, sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah (bank pemerintah, red) masih belum bisa melakukan pemotongan utang (haircut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank pemerintah karena terikat dengan kewenangan PUPN. Jika pemotongan hutang dilakukan berdasarkan struktur keuangan negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai korupsi.

 

Sementara kalau di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan. Hal ini menimbulkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang dialami pemohon. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dengan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Menurut Hadiyanto, jika pasal-pasal yang diuji itu dibatalkan, maka akan terjadi kekosongan hukum dalam upaya penagihan piutang negara oleh Menkeu sebagai diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara. Hal ini akan menimbulkan kerugian besar bagi negara. Sebab, piutang negara tidak dapat ditagih secara cepat.

 

Selain itu, berdasarkan Pasal 8 UU Perbendaharaan Negara, piutang badan atau BUMN tidak ada kewajiban bagi bank BUMN untuk menyerahkan pengurusan piutang kredit macetnya kepada PUPN lagi. Bank BUMN dapat melaksanakan penagihan dan restrukturisasi sendiri termasuk pemotongan utang pokok/bunga (hair cut) dan penjadwalan kembali terhadap kredit macetnya.

 

“Hal itu berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas, UU BUMN, dan UU Perbankan. Jadi tidak perlu menunggu dicabutnya UU PUPN karena tanpa mengkaitkan UU PUPN, bank BUMN bebas memberikan pemotongan utang atau restrukturisasi kredit lainnya kepada debiturnya lewat persetujuan RUPS,” dalihnya.

 

Terlebih, lanjutnya, dalam RUU Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah yang akan menggantikan UU PUPN, pengurusan piutang negara BUMN perbankan bukan lagi menjadi kewenangan PUPN karena dianggap bukan piutang negara lagi.

 

“Karena Pasal 4, Pasal 6, Pasal 10, Pasal 12, ayat (1) UU PUPN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Jika pasal-pasal itu dibatalkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengurusan piutang negara yang bukan berasal dari instansi BUMN,” katanya.

Share: tanggapanBelum ada tanggapan untuk ditampilkan pada artikel ini. disclaimer

Kirim TanggapanNama

Email

Judul

Tanggapan

Ketik dua kata ini:

Jika anda member Hukumonline, silahkan login, atau Daftar ID anda. <a href='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/ck.php?n=a9d09d51&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/avw.php?zoneid=5&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a9d09d51' border='0' alt='' /></a>

Produk Awal Kenapa Kami? Produk dan Jasa Daftar Gratis Mobile

Perusahaan Tentang Kami Kode Etik Karir Pedoman berita Support Help Center FAQ Kontak Layanan Marketing Talks holnetwork

62-21-83701827 Informasi yang tersedia di www.hukumonline.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.Akses dan penggunaan situs ini tunduk pada Syarat dan Ketentuan ©2009. ^ scroll to top

Nurhidayat RooM

"when skill meet power..."

WeLCoMe to My RooM.......

Pages

Home

Kontradiksi UU No. 49/Prp 1960 dengan PP No. 33 Tahun 2006 dan PMK No. 87 Tahun 2006 Tentang Penyelesaian Non Performing Loan (NPL) Bank-Bank BUMN.

Filed Under : by .......DEN MAZ NOERHIDAYAT.......

Friday, April 9, 2010

Latar Belakang

Pemerintah pada 16 Oktober 2006 melalui Departemen Keuangan telah mengumumkan

peraturan pelaksanaan penyelesaian non performing loan (NPL)/ kredit bermasalah bank

BUMN yang di-tuangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.87/PMK.07/ 2006

tentang Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah. PMK ini merupakan kelanjutan dari

penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 2006 sebagai pengganti PP No.14 tahun

2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Reaksi kalangan bank BUMN

pun melebar hingga ke soal wewenang Departemen Keuangan dalam pengurusan piutang

macet perusahaan negara/daerah yang dianggap out of date, karena didasari Undang-Undang

Nomor 49 Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, yang ditetapkan dalam keadaan

darurat. Salah satu aturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14/2005

tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dianggap menghambat penyelesaian

NPL bank-bank BUMN dan, karena itu, harus direvisi. Ide revisi yang diumumkan pada Juli

2006 sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi itu sempat mengundang pro-kontra (DPR,

BPK, kejaksaan) karena dianggap menghambat upaya pemberantasan korupsi di lingkungan

bank BUMN. Namun, setelah mendapat petuah atau fatwa dari Mahkamah Agung, pemerintah

akhirnya merevisi PP Nomor 14/2005 dengan menerbitkan PP Nomor 33/2006 dan Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006 untuk mencabut seluruh aturan penghapusan

piutang macet BUMN yang merujuk ke UU Nomor 49 Prp/1960. Dengan aturan yang baru itu,

penghapusan kredit macet BUMN dipisahkan dari pengurusan piutang negara dan selanjutnya

dilakukan sendiri oleh masing-masing BUMN. Seperti disebut dalam press release Humas

Departemen Keuangan (16 Oktober 2006), revisi itu dimaksudkan untuk menyamakan level of

playing field antara bank BUMN dan bank swasta.

Permasalahan

Adanya kontradiksi antara UU No. 49/Prp 1960 dengan PP No. 33 Tahun 2006 dan

PMK No. 87 Tahun 2006.

Pembahasan

Menyelesaikan kredit macet di bank pemerintah tak ubahnya mengurai benang kusut.

Berbelit-belit dan cenderung menyebalkan. Tengok saja upaya para bankir pelat merah yang

berniat melakukan restrukturisasi kredit macet. Keluarnya PP No. 33/2006 disambut dengan

euforia oleh bank-bank BUMN. Beberapa bank BUMN, bahkan langsung memasukkan hair cut

kredit macet yang dimilikinya menjadi agenda Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Namun, seperti yang penulis prediksikan, euforia ini akhirnya tidak berlangsung lama. Bankir-

bankir bank BUMN akhirnya harus kembali kepada mekanisme lama terkait dengan

penyelesaian kredit macetnya. Penyebabnya, aparat hukum di lapangan melihat bahwa

landasan hukum yang digunakan sebagai acuan untuk melakukan hair cut kredit macet melalui

mekanisme RUPS lemah karena didasarkan pada PP No. 33/2006. Sementara itu, UU No. 49

Prp/1960, yang kedudukannya lebih tinggi dibanding PP, masih tetap berlaku karena fatwa MA

memang tidak menggugurkan berlakunya UU No. 49 Prp/1960. Implikasinya, sesuai

mekanisme yang berlaku dalam UU No. 49 Prp/1960, jika penyelesaian kredit macet tidak dapat

dilakukan oleh bank BUMN dan BPD terkait, maka kredit macet tersebut diserahkan kepada

Departemen Keuangan (dan diperlakukan sebagai “piutang negara”) untuk proses penyelesaian

lebih lanjut. Hasil penagihan piutang BUMN/BUMD oleh Departemen Keuangan dikembalikan

kepada BUMN/BUMD bersangkutan. Proses penyelesesaian melalui Departemen Keuangan

inilah yang sesungguhnya tidak diinginkan oleh bank BUMN dan BPD, karena pasti akan

membutuhkan waktu panjang dan kompleks.

Inti dari PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006

adalah penegasan bahwa kini bank BUMN memiliki wewenang untuk menyelesaikan kredit

bermasalah secara lebih luwes, seperti layaknya bank swasta, dengan kewenangan untuk

memberikan keringanan kepada debitor bermasalah. Dengan PP No.33 dan PMK No.87  Kini

kewenangan tersebut telah dimiliki bank BUMN dan percepatan penyelesaian NPL bank BUMN

tentunya akan segera menjadi kenyataan. Pemerintah telah pula menyampaikan bahwa untuk

menjamin asas governance dalam pelaksanaan PP No 33 dan PMK No 87 akan dibentuk

Oversight Committee (OC) yang tugas utamanya adalah mengawasi agar penyelesaian NPL

benar-benar dilaksanakan sesusai tata kelola yang baik. Tentunya keberadaan OC ini akan

semakin memperkuat upaya penyelesaian NPL di bank BUMN dan kembali menjauhkan

adanya moral hazard. Dari uraian di atas, terlihat bahwa muara kemelut hair cut kredit macet

bank BUMN dan BPD adalah bersumber dari kontradiksi antara UU No. 49/Prp 1960 dengan

PP No. 33 Tahun 2006 dan PMK No. 87 Tahun 2006. Penyelesaian kredit macet ini, jelas tidak

akan pernah tuntas bila kontradiksi ini tidak diselesaikan.

Rekomendasi

1.    Pengelolaan piutang bank BUMN harus bersifat konservatif untuk mencegah praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan kinerja bank pasien Badan Penyehatan

Perbankan Nasional lebih dari cukup sebagai pelajaran pahit mengenai pengelolaan NPL oleh

bank-bank swasta yang tentu saja tidak layak dijadikan model untuk bank BUMN. Model yang

pas untuk bank BUMN adalah bank yang konservatif mengelola piutang; yang tidak menyuap

debitor dengan haircut karena tidak tertekan moral hazard; yang menghajar debitor nakal

dengan debt collector sangar atau jalur hukum; dan yang tidak pernah menghapus NPL tanpa

persetujuan dan kata putus dari pemilik bank. Bank swasta seperti ini adalah pelaku sejati

substansi UU Nomor 49/Prp/1960. Bank seperti itu masih ada di Indonesia. Buktinya,

pengadilan selalu disibukkan dengan sengketa perdata atau pidana kredit macet. Mereka sadar

penghapusan NPL menghilangkan potensi pemulihan kerugian akibat pembebanan biaya

piutang tak tertagih (bad debt expenses). Mereka tidak memoles kinerja bank secara window

dressing karena itu adalah produk management by hypocrisy. Sekiranya itu model bank swasta

yang hendak diadopsi oleh bank BUMN, yang seharusnya direvisi bukan PP Nomor 14/2005,

melainkan UU Nomor 49 Prp/1960, yang perlu disempurnakan agar lebih efektif mencegah

korupsi pada bank-bank BUMN. Sekurang-kurangnya ada empat alasan untuk itu, meliputi:

a). berdasarkan UU Nomor 28/1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari

korupsi-kolusi-nepotisme (pasal 2 angka 7 dan penjelasannya), pejabat struktural dan komisaris

bank BUMN masuk kategori penyelenggara negara yang memiliki fungsi strategis dengan tugas

dan wewenang yang rawan praktek korupsi, kolusi, nepotisme.

b). pokok kredit atau piutang adalah aset bank. Sedangkan hasilnya berupa bunga adalah

pendapatan. Namun, jika piutang menjadi macet, menyimpang dari perjanjian, pokok dan bunga

yang seharusnya menjadi aset dan pendapatan terpaksa dibebankan menjadi biaya. Dari sisi

pandang ekonomi-akuntansi, NPL bank BUMN adalah kejadian yang pasti telah menimbulkan

kerugian keuangan negara walaupun belum tentu NPL-nya berakar praktek korupsi-kolusi-

nepotisme.

c). pengurusan piutang adalah operasi normal bank sehari-hari. Namun, ketika piutang menjelma

jadi NPL, yang berarti melanggar loan agreement, dari sisi pandang good corporate

governance, penghapusan NPL bukan lagi urusan internal. Berdasarkan UU Nomor 49

Prp/1960--hingga saat ini belum dicabut--penghapusan NPL bank BUMN adalah urusan

pemerintah (PUPN).

d). berdasarkan UU Nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU Nomor

17/2003 tentang keuangan negara, UU Nomor 19/2003 tentang BUMN, UU Nomor 1/2004

tentang perbendaharaan negara, dan UU Nomor 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan

dan pertanggungjawaban keuangan negara, jelas dan tegas bahwa aset-piutang BUMN masuk

scope keuangan negara.

2.      Mengamandemen atau merevisi UU Nomor 49/1960 dengan UU Piutang Negara yang lebih baru.

Bank badan usaha milik negara diberi peluang merestrukturisasi kredit macet dari debitor usaha

mikro, kecil, dan menengah. Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR memutuskan kebijakan itu

berlaku pada 2010 dan menjadi satu pasal khusus dalam UU APBN 2010. bank-bank BUMN

tidak bisa dengan mudah melakukan restrukturisasi utang itu tanpa melanggar peraturan

karena dana untuk pengucuran kredit itu terkait dengan keuangan negara. dalam kondisi

normal, bank swasta akan mendatangi debitor yang utangnya macet, melihat kondisi bisnis dan

keuangan perusahaan debitor. Jika bisnisnya masih bisa diselamatkan, bank bisa memberi

keringanan agar pengusaha dapat melanjutkan pengembangan bisnisnya. ”Kedua belah pihak

(bank swasta dan debitornya) tujuannya sama, mendorong agar bisnis terus berjalan dan kredit

dapat dibayar. Di bank BUMN ini tidak bisa. Ada hambatan peraturan pemerintah yang terbit

sebelum undang-undang keuangan negara disahkan, Berbeda dengan bank BUMN, yakni Bank

Mandiri, BRI, dan BNI, bank swasta diperkenankan menghapus tagih piutang yang sudah tidak

bisa ditagih sehingga neracanya menjadi lebih ringan. Hal itu dimungkinkan karena bank

swasta tidak butuh pencadangan dana yang sama besarnya dengan nilai piutang tak tertagih

itu. Padahal, selama pencadangan tidak dihapus, bank tidak bisa menggunakan dana dalam

pencadangan untuk kebutuhan lain, termasuk untuk investasi dan memperkuat kredit.

Perbedaan ketentuan bagi bank BUMN itu tercantum dalam Pasal 8 UU Nomor 49 Tahun 1960

tentang Piutang Negara, yaitu penghapusan tagih atas piutang bisa dilakukan pada semua

perusahaan kecuali bank BUMN. Aturan yang ditandatangani Presiden Soekarno itu dinilai

sudah tidak relevan dengan kondisi industri bank BUMN saat ini.

3.      Perlunya konsensus nasional dan koordinasi yang rapi antar lembaga negara agar tercapai kesepakatan untuk penyelesaian NPL di bank BUMN.

Sudah waktunya terbentuk satu konsensus nasional dan koordinasi yang rapi antar lembaga

eksekutif, legislatif, maupun yudikatif sehingga salah satu constraint dalam perbankan BUMN,

yaitu NPL, dapat segera diselesaikan.  Semangat ini membutuhkan kearifan dan kerendahan

hati dari masing-masing lembaga tersebut dan bukan sekadar mempertahankan argumen yang

pada gilirannya akan menjadi polemik yang berlarut-larut dan menyebabkan semakin tidak

terselesaikannya permasalahan utama, yaitu NPL yang tinggi di bank BUMN. Kesadaran bahwa

kunci dari keberhasilan konsensus nasional pun tidak dapat dilepaskan dari pemahaman bahwa

semua kembali kepada the man behind the gun atau manajemen di bank BUMN.

4.      Manajemen bank BUMN harus memiliki kewenangan terukur dan diberikan fleksibilitas.

Manajemen bank BUMN seharusnya memiliki kewenangan yang terukur dan diberikan

fleksibilitas untuk lebih menitikberatkan pada aspek komersial bisnis sehingga mampu bersaing

dengan bank-bank swasta atau asing (khususnya dalam konteks penyelesaian NPL dan

pengembangan bisnis).

5.      Adanya sistem pengawasan yang melekat pada bank BUMN.

Sistem pengawasan melekat (built in control), maksudnya adalah adanya komisaris yang

profesional, berintegritas tinggi dengan organisasi internal audit dan kepatuhan yang tinggi

serta adanya pengawasan eksternal (auditor independen dan BPK) yang simultan dan

berkelanjutan.

6.      Adanya kesamaan pemahaman dan pandangan mengenai PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006.

Bank BUMN mengharapkan adanya kesamaan pandang antara aparat hukum dan pengawas

mengenai PP No.33/2006 tentang Tata Cara Penyelesaian Piutang Negara sehingga

menghilangkan ketakutan direksi bank BUMN dalam merestrukturisasi kredit bermasalah (NPL).

Masih adanya ketakutan direksi bank BUMN untuk merestrukturisasi kredit macet di banknya

meskipun sudah ada jaminan dari PP itu dan Keputusan Menkeu PMK No 87/2006 tentang

Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang pada dasarnya memberi kewenangan

pada bank BUMN untuk menangani NPL sesuai mekanisme korporasi. Bank BUMN sudah

menyiapkan program untuk melakukan restrukturisasi NPLnya, namun belum dilakukan karena

masih dibayangi ketakutan jika restrukturisasi yang dilakukan dianggap melanggar hukum oleh

Kejaksaan, Kepolisian atau BPK.

7.      Memperjelas status Oversight Committee (OC).

Pemerintah harus segera memperjelas status tim monitoring restrukturisasi dan penyelesaian

kredit bermasalah bank BUMN (oversight committee) ketidakjelasan status tersebut akan

membuat ketidakpastian di kalangan bank BUMN dalam keberlanjutan penyelesaian kredit

bermasalahnya. Di samping itu ketidakpastian itu, lanjut dia, akan memberikan tekanan besar

bagi kinerja bank-bank BUMN. Tim monitoring tersebut antara lain bertugas melakukan kajian

atas peraturan perundangan terkait penyelesaian kredit bermasalah dan melakukan koordinasi

dengan Bank Indonesia (BI) untuk memastikan kecukupan penerapan manajeman resiko dan

prinsip tata kelola yang baik atau “good corporate governance” pada penyelesaian kredit

bermasalah.

8.      Perlunya persiapan internal bank BUMN.

Dengan terbitnya PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006

tersebut, bank-bank BUMN akan memiliki kepastian hukum dalam melakukan akselerasi

penyelesaian NPL sesuai dengan koridor hukum korporasi, sehingga akan mampu

menyelesaikan piutang bermasalahnya dengan lebih baik serta memiliki level playing field

sebagaimana dimiliki oleh bank-bank swasta lainnya. Bank BUMN harus melaksanakan

berbagai persiapan internal untuk menjalankan kewenangan sesuai PP 33/2006 dan PMK

87/2006, diantaranya mempersiapkan kebijakan internal, governance model serta kerangka risk

management, sehingga dalam pelaksanaan kewenangan nantinya tidak menimbulkan moral

hazard yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

9.      Bank BUMN dan BPD bersama-sama membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendapatkan keputusan hukum terkait dengan kontradiksi antara UU No. 49 Prp/1960 versus PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006.

Penulis yakin bahwa dengan mengacu pada bukti-bukti hukum yang dimiliki bank BUMN dan

BPD, MK akan menganulir klausul mengenai piutang negara yang terdapat pada UU No. 49

Prp/1960. Terlebih lagi, sesungguhnya sejak tahun 2005, dukungan pemerintah terhadap

masalah ini juga sangat besar.

Newer Post Older Post Home

Facebook Share

날짜......

Free Blog Content

JaM..

Blog Archive

▼ 2010 (53) o ► September (1) o ► June (1) o ► May (1) o ▼ April (32)

▼ Apr 09 (17) Kontradiksi UU No. 49/Prp 1960 dengan PP No. 33 Ta... Manajemen Keuangan Keluarga Manajemen Waktu MANAJEMEN ORGANISASI Manajemen Proyek MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA. Manajemen Keuangan MANAJEMEN PEMASARAN Paypal untuk Transaksi dan Bisnis Online Komputer Berbasis GNU/Linux dan Peluang Bisnisnya PELUANG DALAM SETIAP MASALAH PERILAKU INDIVIDU DALAM ORGANISASI PERKEMBANGAN SISTEM MONETER INTERNASIONAL TEORI EKONOMI MIKRO Dasar-dasar Asuransi Prospek Ekonomi Indonesia 2010 EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

► Apr 08 (10) ► Apr 05 (2) ► Apr 01 (3)

o ► March (7) o ► February (2) o ► January (9)

► 2009 (13)

My LinKs:Universitas Gunadarma Digital Library Gunadarma Repository Gunadarma Open CourseWare Gunadarma Blog Komunitas Perbankan Univ. Gunadarma Dr. Budi Hermana Mbak MiMiN Mas Juzan Tri H. Cut Srikandee

Nur-hidayat.co.cc. Powered by Blogger.

There was an error in this gadget

Followers

About Me.......DEN MAZ NOERHIDAYAT.......

bIaSa Aj GtU.....

View my complete profile

There was an error in this gadget

Video

TranslatE my PagE

Diberdayakan oleh Terjemahan

Search This Blog

Wp Theme by Promiseringsdesigns | Blogger Template by Anshul