halusinasi case report

21
ABSTRAK Latar Belakang : World Health Organitation (WHO) , prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi 25% dari penduduk dunia pernah menderita masalah ini 1% diantaranya mengalami gangguan jiwa berat. Kemenkes RI (2009) menyatakan lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa, termasuk pada usia lanjut diatas 65 tahun. Deskripsi kasus : Tn S usia 79 tahun mengalami gangguan halusinasi sensorik berupa gangguan halusinasi pendengaran dan penciuman. Tn S telah mendapat terapi obat yaitu Thriheksipenidil , Merlopam , dan olanzapine namun baru 2,5 bulan obatnya terhenti. Diskusi : Terapi pengobatan pada pasien lanjut usia dengan gangguan halusinasi harus memikirkan beberapa faktor seperti tingkat toleransi tubuh usia lanjut dan efek samping yang harus sangat minimal. Pengobatan yang belum tuntas pada episode pertama akan menimbulkan kekambuhan hingga memberat gangguan jiwanya. Pada pengobatan non farmako, pendekatan keluarga sangat membantu proses penyembuhan namun banyak pasien halusinasi yang sudah diterlantarkan keluarganya. Kesimpulan : Pada pasien gangguan halusinasi lanjut usia perlu diperhatikan bebarapa faktor dan ketepatan pemilihan obat , pemilihan obat berdasarkan minimalnya efek samping obat dan obat obatan yang lama cara kerjanya. Pada penghentian obat , dimana terapi belum tuntas maka dapat menimbulkan relaps hingga bertambah beratnya gangguan halusinasi tersebut selain itu faktor lingkungan dan keluarga juga diperlukan untuk mempercepat penyembuhan.

Upload: independent

Post on 22-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ABSTRAK

Latar Belakang : World Health Organitation (WHO) , prevalensi

masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi 25% dari penduduk

dunia pernah menderita masalah ini 1% diantaranya mengalami

gangguan jiwa berat. Kemenkes RI (2009) menyatakan lebih dari 450

juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa, termasuk pada

usia lanjut diatas 65 tahun.

Deskripsi kasus : Tn S usia 79 tahun mengalami gangguan

halusinasi sensorik berupa gangguan halusinasi pendengaran dan

penciuman. Tn S telah mendapat terapi obat yaitu

Thriheksipenidil , Merlopam , dan olanzapine namun baru 2,5 bulan

obatnya terhenti.

Diskusi : Terapi pengobatan pada pasien lanjut usia

dengan gangguan halusinasi harus memikirkan beberapa faktor

seperti tingkat toleransi tubuh usia lanjut dan efek samping yang

harus sangat minimal. Pengobatan yang belum tuntas pada episode

pertama akan menimbulkan kekambuhan hingga memberat gangguan

jiwanya. Pada pengobatan non farmako, pendekatan keluarga sangat

membantu proses penyembuhan namun banyak pasien halusinasi yang

sudah diterlantarkan keluarganya.

Kesimpulan : Pada pasien gangguan halusinasi lanjut usia perlu

diperhatikan bebarapa faktor dan ketepatan pemilihan obat ,

pemilihan obat berdasarkan minimalnya efek samping obat dan obat

obatan yang lama cara kerjanya. Pada penghentian obat , dimana

terapi belum tuntas maka dapat menimbulkan relaps hingga bertambah

beratnya gangguan halusinasi tersebut selain itu faktor lingkungan

dan keluarga juga diperlukan untuk mempercepat penyembuhan.

LATAR BELAKANG

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan

persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang

sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indera

tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang

dialami suatu persepsi melalui panca indera tanpa

stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).

Menurut Stuart dan Sundeen (1995), tipe halusinasi

sensorik yaitu halusinasi audiotorik, halusinasi

visual, halusinasi pengecapan, taktil dan penciuman.

Pasien merasakan halusinasi sebagai sesuatu yang amat

nyata, paling tidak untuk suatu saat tertentu (Kaplan,

1998).

World Health Organitation (WHO) , prevalensi masalah

kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi 25% dari penduduk

dunia pernah menderita masalah ini 1% diantaranya

mengalami gangguan jiwa berat. Kemenkes RI (2009)

menyatakan lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup

dengan gangguan jiwa. Riskesdas (2007) menyatakan

prevalensi nasional gangguan jiwa berat mencapai 4,6%

dari jumlah penduduk, sebanyak 7 provinsi mempunyai

prevalensi gangguan jiwa berat diatas prevalensi

nasional, yaitu prevalensi gangguan jiwa berat

tertinggi di Indonesia terdapat di Provinsi Daerah

Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta (20,3%), diikuti Nanggroe

Aceh Darussalam (18,5%), Sumatera Barat (16,7%), Nusa

Tenggara Barat (9,9%), Sumatera Selatan (9,2%), Bangka

Belitung (8,7%), dan Kepulauan Riau (7,4%). Sedangkan

data untuk Provinsi Riau tidak ada dicantumkan. Data

untuk provinsi Riau berdasarkan data dokumen rekam

medik Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru (2011) selama

tahun 2011 terdapat 1.069 pasien dengan status rawat

inap berdasarkan 10 besar penyakit atau diagnosa medis.

Adapun untuk diagnosa keperawatan selama tahun 2010

terdapat pasien gangguan jiwa sebanyak 1.310 pasien,

652 pasien dengan diagnosa halusinasi, 274 pasien

dengan diagnosa perilaku kekerasan, 114 pasien dengan

diagnosa isolasi sosial, 92 pasien dengan diagnosa

harga diri rendah, 69 pasien dengan diagnosa risiko

bunuh diri, 61 pasien dengan diagnosa waham, 48 pasien

dengan diagnosa defisit perawatan diri (RSJ Tampan,

2010).

Banyaknya kasus di Indonesia penatalaksanaannya

dan terapinya sendiri masih sangat kurang, karena

tingkat kesadarannya masyarakat mengenai gangguan jiwa

halusinasi ini masih sangat kurang. Kesadaran

pemerintah di bidang pengobatan juga sangat kurang hal

ini yang mendasari mengapa masih banyak kasus gangguan

jiwa terutama halusinasi yang banyak tidak dirawat atau

ditangani.

Tujuan penulisan case report ini untuk menjelaskan

tatalaksana pengobatan gangguan halusinasi pada

geriatri dengan tepat agar kasus pemberhetian obat

dapat berkurang dan begitu pun dalam pemilihan obat

yang tepat digunakan pada pasien geriatri.

PRESENTASI KASUS

Tn S 79 tahun mempunyai riwayat gangguan halusinasi

pendengaran dan penciuman. Dari hasil observasi Tn S :

Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai

Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara

Gerakan mata yang cepat

Respon verbal yang lambat

Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan

Penyempitan kemampuan konsenstrasi

Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin

kehilangan kemampuan untuk membedakan antara

halusinasi dengan realita.

Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan

oleh halusinasinya daripada menolaknya

Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain

Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik

Dari hasil observasi didapati bahwa Tn S menderita

halusinasi sensorik pendengaran dan penciuman karena

pasien merasa sering mendengar bisikan dan mencium bau

kemenyan setiap malam.

Tn S. masuk ke Panti Sosial Tresno Werdha Budi Mulya

3 bulan Juli 2013 lalu dan mendapat terapi pengobatan :

Thriheksipenidil , Merlopam , dan Olanzapine tetapi

pengobatannya berhenti sejak 1 bulan lalu karena

petugas setempat menganggap bahwa Tn S sudah tenang

tidak mengamuk dan karena kekurangan dana untuk

melalukan checkup ke rumah sakit selain itu petugas

yang merawat Tn S tidak melaporkan jika obat Tn S sudah

habis. Pasien juga tidak mempunyai keluarga sehingga

terapi pendekatan keluarga tidak dapat diterapkan.

DISKUSI

Dasar Teori

Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari

panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus)

eksternal (Stuart & Sundeen, 2007). Halusinasi

merupakan gangguan persepsi dimana pasien

mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.

Suatu pencerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari

luar. Suatu penghayatan yang dialami seperti suatu

persepsi melalui panca indera tanpa stimulus eksternal;

persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana pasien

mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah

persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus

eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan

sebagai sesuatu yang nyata oleh pasien.

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif

individu yang berada dalam rentang respon

neurobiologist (Stuart & Sundeen, 2007). Ini merupakan

respon persepsi paling maladaptif. Jika individu yang

sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan

menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi

yang diterima melalui panca indera (pendengaran,

penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan),

pasien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus

panca indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut

tidak ada.

Penatalaksanaan pasien gangguan halusinasi

geriatri adalah dengan pemberian obat-obatan dan

tindakan lain, yaitu :

Psiko Farmako

Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala

halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis

pada pasien gangguan halusinasi geriatri adalah obat-

obatan anti-psikosis yang resiko efek sampingnya

dapat ditolerir.

Golongan obat antipsikosis yang dapat digunakan untuk

pasien geriatri:

1. Antipsikotik Tipikal

Penggunaan obat golongan ini sudah mulai jarang

karena efek samping yang cukup berat dan ketersedian

obat antipsikotik atipikal yang semakin luas.

Haloperidol dan Trifluoperazine dengan dosis 10-30

mg/hari dapat memberikan perbaikan pada gejala

psikotik pasien usia lanjut. Namun efek samping yang

cukup berat pemakaiannya sangat tidak dianjurkan

lagi.

2. Antipsikotik Atipikal

Secara klinis golongan obat ini telah terbukti

mempunyai efektifitas dan keamanan yang cukup dalam

mengobati gejala psikotik pada pasien usia lanjut

Risperidone

Efektif pada dosis rendah 1,5 – 6 mg/hari dan

dapat memberikan perbaikan yang nyata. Tidak

menimbulkan efek samping ekstra piramidial yang

bermakna, tidak ada efek orthostatik ,

antikolinergik, dan penurunan kognitif

Olanzapine

Dosis pemberian 5 – 20 mg/hari namun ada yang

menyebutkan dosis yang lebih kecil 5 – 7mg/hari

lebih efektif. Menimbulkan efek samping

ektrapiramidial yang minimal namun dapat terjadi

somnolen, peningkatan berat badan, dizziness,

bradikinesia dan kelemahan kaki.

Quetiapine

Direkomendasikan pada dosis awal yang rendah 25 mg

yang dititrasi sampai 100 – 300 mg/hari. Obat ini

sering digunakan untuk menghindari efek samping

pada usia lanjut yaitu ; hipotensi postural,

dizziness dan agitasi.

Clozapine

Dapat diberikan dengan dosis 6,25 – 50 mg/hari dan

25 – 150 mg/hari pada usia lanjut. Dapat

mengurangi gejala psikotik pada pasien Parkinson,

tidak menimbulkan efek samping setelah putus obat

namun sering dilaporkan Clozapine mempunyai efek

samping sedasi hingga somnolen.

Zotepine

Sangat efektif untuk mengobati gejala negative

pasien skizofrenia dan mencegah kekambuhan pada

pasien skizofrenia kronis. Dosis yang dapat

diberikan 75 – 150 mg/hari . efek samping yang

sering muncul adalah rasa lelah dan sedasi.

Penggunaan zotepine dengan antidepresan paroxetine

dapat meningkatkan risiko thrombosis vena dalam.

(Andri, 2009)

1. Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan)

Atypical antipsychotic merupakan terapi pilihan untuk

penderita Skizofrenia episode pertama karena efek

samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk

terkena tardive dyskinesia lebih rendah.

Obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat

untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah

satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para ahli

biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu

(2 kali lebih lama pada Clozaril).

2. Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)

Relaps dapat timbul bila penderita berhenti minum

obat, untuk itu, sangat penting untuk mengetahui alasan

mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang

penderita berhenti minum obat karena efek samping yang

ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini

terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat

untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain

yang efek sampingnya lebih rendah.

Bila penderita berhenti minum obat karena alasan

lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi

yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu.

Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam

penerapannya.

Pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi

obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang

tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain,

misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan

newer atipycal antipsychotic atau newer atipycal antipsychotic

diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine

dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi

dengan obat-obatan diatas gagal. ( Diny & Rezky, 2013)

3. Pengobatan Selama fase Penyembuhan

Penting bagi pasien untuk tetap mendapat

pengobatan walaupun setelah sembuh. Pasien halusinasi

episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama

12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien

yang menderita halusinasi lebih dari satu episode, atau

belum sembuh total pada episode pertama membutuhkan

pengobatan yang lebih lama. Penghentian pengobatan

merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin

beratnya penyakit.

1. Terapi Perilaku

Perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan

ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial,

kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan

komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah

didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus

untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa.

Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau

menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara

sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat

diturunkan.

2. Terapi berorientasi – keluarga

Terapi ini sangat berguna karena pasien halusinasi

seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial,

keluarga dimana pasien halusinasi kembali seringkali

mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat

namun intensif (setiap hari). Setelah periode

pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam

terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama

dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam

cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena

halusinasi untuk melakukan aktivitas teratur terlalu

cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal

dari ketidaktahuan tentang sifat halusinasi dan dari

penyangkalan tentang keparahan penyakitnya. Terapi

harus membantu keluarga dan pasien mengerti halusinasi

tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah

penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah

efektif dalam menurunkan relaps.

3. Terapi Kelompok

Kelompok bagi halusinasi biasanya memusatkan pada

rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.

Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku,

terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau

suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan

isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan

meningkatkan tes realitas bagi pasien halusinasi.

Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya

dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu

bagi pasien halusinasi.

4. Psikoterapi Individual

Terapi ini paling baik tentang efek psikoterapi

individual dalam pengobatan halusinasi telah memberikan

data bahwa terapi membantu dan menambah efek terapi

farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi

bagi pasien halusinasi adalah perkembangan suatu

hubungan terapetik yang dialami pasien sebagai aman.

Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat

dipercayainya ahli terapi, jarak emosional antara ahli

terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti

yang diinterpretasikan oleh pasien. Hubungan antara

dokter dan pasien berbeda dari yang ditemukan di dalam

pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan

seringkali sulit dilakukan; pasien halusinasi

seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan

kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas,

bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati.

Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah

sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan

terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada

informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama

yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi

persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan

kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan,

manipulasi, atau eksploitasi.

5. Perawatan di Rumah Sakit

Perawatan rumah sakit untuk tujuan diagnostik,

menstabilkan obat, keamanan pasien karena gagasan bunuh

diri atau membunuh, perilaku kacau termasuk

ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Perawatan di

rumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif

antara pasien dan sistem pendukung masyarakat.

Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan pada

perawatan rumah sakit harus direncanakan. Dokter harus

juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga

pasien tentang gangguan halusinasi. Lamanya perawatan

rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien.

Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki

orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan

diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial.

Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat

pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga

pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien

membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.

Analisis

Pada presentasi kasus Tn. S baru mendapatkan

terapi selama 2,5 Bulan namun terputus padahal hasil

observasi menemukan bahwa Tn. S masih mengalami

gangguan halusinasi . Tn S mengalami relaps setelah 2

minggu lebih telah putus obat, ini karena

ketidaksadaran petugas yang merawat Tn. S petugas

menganggap bahwa Tn. S sudah sembuh karena sudah tenang

padahal penyembuhan episodik pertama belum tuntas.

Sebab lainnya adalah tidak teraturnya koordinasi antara

petugas dan kepala perawat , petugas tidak segera

melaporkan bahwa obat untuk Tn. S sudah habis. Maka

dari itu harus ada koordinasi yang baik agar kasus

penghentian obat ini tidak menimbulkan relaps dan

memperberat gangguan jiwa Tn.S. Pasien Tn S juga tidak

mempunyai keluarga atau pun sanak saudara terdekat, dia

hanya seorang diri jadi tidak dapat dilakukan

pendekatan terapi keluarga. Tn. S sendiri walaupun

mengalami gangguan halusinasi namun masih dapat

melakukan interaksi terhadap orang lain. Tidak ada

petugas khusus yang merawat Tn S. sehingga pemantauan

kemajuan terapi juga tidak ada yang memperhatikan.

Aspek Islam

Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama islam

sebab berobat termasuk upaya memelihara jiwa dan raga,

dan ini termasuk salah satu tujuan syari’at islam

ditegakkan, terdapat banyak hadits dalam hal ini,

diantaranya;

← Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda:

ال�حرام داووا ب�� ت داووا ، ولا ت�� ت عل ل�كل داء دواء ، ف�� ل ال�داء وال�دواء ، وج�� ن��ز ن' ال�له ا# ا(‘’Sesungguhnya  Alloh menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia

jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi

jangan berobat dengan yang haram.’’ (HR.Abu Dawud 3874, dan

disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if al-Jami’

2643)

2. Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab

baduwi berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ا ال�وا : ب+�* د ( ق+� لا داء واح+� اء ا( ف� ع ل+ه ش+�4 لا وض+�� ع داء ا( ض+� ن' ال�ل+ه ل�م ي�* ا( داووا ، ق�� ال : ) ب� داوى ؟ ق� ت لا ت� ا رش�ول ال�له ا# ب�*ال : ) ال�ه++رم ( و ؟ ق++� ا ه++� ول ال�ل++ه وم++� Wahai Rosululloh, apakah kita berobat?, Nabi’‘رش++�

bersabda,’’berobatlah, karena sesungguhnya Alloh tidak menurunkan

penyakit, kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang

tidak ada obatnya),’’ mereka bertanya,’’apa itu’’ ? Nabi bersabda,’’penyakit

tua.’’ (HR.Tirmidzi 2038, dan disahihkan oleh al-Albani

dalam Sunan Ibnu Majah 3436)

Hukum berobat berbeda beda

1. Menjadi wajib dalam beberapa kondisi:

A. Jika penyakit tersebut diduga kuat mengakibatkan

kematian, maka menyelamatkan jiwa adalah wajib.

B. Jika penyakit itu menjadikan penderitanya

meninggalkan perkara wajib padahal dia mampu berobat,

dan diduga kuat penyakitnya bisa sembuh, berobat

semacam ini adalah untuk perkara wajib, sehingga

dihukumi wajib.

C. Jika penyakit itu menular kepada yang lain,

mengobati penyakit menular adalah wajib untuk

mewujudkan kemaslahatan bersama.

D. Jika penyakit diduga kuat  mengakibatkan kelumpuhan

total, atau  memperburuk penderitanya, dan tidak

akan sembuh jika dibiarkan, lalu mudhorot yang

timbul lebih banyak daripada maslahatnya seperti

berakibat tidak bisa mencari nafkah untuk diri dan

keluarga, atau membebani orang lain dalam perawatan

dan biayanya, maka dia wajib berobat untuk

kemaslahatan diri dan orang lain.

2.  Berobat menjadi sunnah/ mustahab

Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi

tidak sampai membahayakan diri dan orang lain, tidak

membebani orang lain, tidak mematikan, dan tidak

menular , maka berobat menjadi sunnah baginya.

3. Berobat menjadi mubah/ boleh

Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan

badan dan tidak berakibat seperti kondisi hukum wajib

dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya berobat

atau tidak berobat.

4. Berobat menjadi makruh dalam beberapa kondisi

A. Jika penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan,

sedangkan obat yang digunakan diduga kuat tidak

bermanfaat, maka lebih baik tidak berobat karena hal

itu diduga kuat akan berbuat sis- sia dan membuang

harta.

B. Jika seorang bersabar dengan penyakit yang

diderita, mengharap balasan surga dari ujian ini, maka

lebih utama tidak berobat, dan para ulama membawa

hadits Ibnu Abbas dalam kisah seorang wanita yang

bersabar atas penyakitnya kepada masalah ini.

C. Jika seorang fajir/rusak, dan selalu dholim 

menjadi sadar dengan penyakit yang diderita, tetapi

jika sembuh ia akan kembali menjadi rusak, maka saat

itu lebih baik tidak berobat.

D. Seorang yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat,

lalu ditimpa suatu penyakit, dan dengan penyakit itu

dia berharap kepada Alloh mengampuni dosanya dengan

sebab kesabarannya.

Dan semua kondisi ini disyaratkan jika penyakitnya

tidak mengantarkan kepada kebinasaan, jika mengantarkan

kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka berobat

menjadi wajib.

5. Berobat menjadi haram

Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara

yang haram maka hukumnya haram, seperti berobat dengan

khomer/minuman keras, atau sesuatu yang haram lainnya.

KESIMPULAN

Gangguan halusinasi termasuk cukup besar di

Indonesia, tidak terkecuali pada lanjut usia. Tindakan

yang cepat dan dukungan lingkungan sekitar sangat

mempengaruhi dan mempercepat proses penyembuhan. Namun,

masih banyak kendala seperti : banyak petugas yang

tidak mengerti bagaimana tatalaksana pengobatan pasien

halusinasi ini, tidak ada dukungan lingkungan sekitar

atau kerabat dekat. Banyak kasus penghentian obat

akibat dari kurangnya pengetahuan dan koordinasi

petugas sehingga menyebabkan kekambuhan sampai

bertambah berat gangguan jiwa yang diderita. Atas

kurangnya pengetahuan petugas dan masyarakat maka

dibutuhkan penyuluhan bagaimana tatalaksana dan

perawatan yang tepat untuk pasien dengan gangguan

halusinasi pada lanjut usia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amelia, Dini & Anwar Zainul .(2013). Relaps Pada

Pasien Skizofrenia. Majalah Kedokteran Indonesia

Vol 01:01 . Fakultas Psikologi Universitas Malang :

Malang

2. Andri .(2009). Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen

Gejala Psikosis Pada Usia Lanjut. Majalah Kedokteran

Indonesia Vol 59:09. Jakarta : Universitas Kristen

Krida Wicana

3. Ibrohim, Abu.(2012). Berobat Dalam Islam. Fiqih

Islam . Diakses pada 13 November 2013 pada

http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/05/30/berobat-

dalam-islam/#_ftn3

4. Irwan, M.(2009). Tatalaksana Skizofrenia. Fakultas

Kedokteran Universitas Riau : Riau

5. Kaplan, Sadock.(2004). Buku Ajar Psikiatri Klinis

Edisi 2. Hal 147 -167. Jakarta : EGC

6. Maramis, W.F.(2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa .

Surabaya : Airlangga University Press.

7. Noviati .(2005).Psikogeriatri . Buku Ajar Geriatri

Edisi 3.(Ed : R. Boedhi Darmojo).Hal 525 –

527 .Jakarta : FKUI

8. RSJ Tampan.(2011). Laporan akuntabilitas kinerja

instansi pemerintah Rumah Sakit Jiwa Tampan

Propinsi Riau Tahun 2011. Pekan Baru : PMRSJ

Tampan

9. Sumiyoshi, Tomiki.(2013). Neural Basic for The Ability of

Atypical Antipsychotic Drugs to Improve Cognition In

Schizophrenia. Tokyo : National Center of Neurology

and Psychiatry. Diakses pada tanggal 13 November

2013 pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24137114

10.Stuart , G.W. & Sundeen, S.J. (2007). Buku Saku

Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

11.Zhao, Yueren.(2013). Combination treatment with

Risperidone long acting injection and psychoeducational

approaches for preventing relapse in schizophrenia. Tokyo :

Department of Psychiatry, Fujita Health University

School of Medicine.Diakses pada tanggal 13

November 2013 pada

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24194642