halusinasi case report
TRANSCRIPT
ABSTRAK
Latar Belakang : World Health Organitation (WHO) , prevalensi
masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi 25% dari penduduk
dunia pernah menderita masalah ini 1% diantaranya mengalami
gangguan jiwa berat. Kemenkes RI (2009) menyatakan lebih dari 450
juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa, termasuk pada
usia lanjut diatas 65 tahun.
Deskripsi kasus : Tn S usia 79 tahun mengalami gangguan
halusinasi sensorik berupa gangguan halusinasi pendengaran dan
penciuman. Tn S telah mendapat terapi obat yaitu
Thriheksipenidil , Merlopam , dan olanzapine namun baru 2,5 bulan
obatnya terhenti.
Diskusi : Terapi pengobatan pada pasien lanjut usia
dengan gangguan halusinasi harus memikirkan beberapa faktor
seperti tingkat toleransi tubuh usia lanjut dan efek samping yang
harus sangat minimal. Pengobatan yang belum tuntas pada episode
pertama akan menimbulkan kekambuhan hingga memberat gangguan
jiwanya. Pada pengobatan non farmako, pendekatan keluarga sangat
membantu proses penyembuhan namun banyak pasien halusinasi yang
sudah diterlantarkan keluarganya.
Kesimpulan : Pada pasien gangguan halusinasi lanjut usia perlu
diperhatikan bebarapa faktor dan ketepatan pemilihan obat ,
pemilihan obat berdasarkan minimalnya efek samping obat dan obat
obatan yang lama cara kerjanya. Pada penghentian obat , dimana
terapi belum tuntas maka dapat menimbulkan relaps hingga bertambah
beratnya gangguan halusinasi tersebut selain itu faktor lingkungan
dan keluarga juga diperlukan untuk mempercepat penyembuhan.
LATAR BELAKANG
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan
persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indera
tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang
dialami suatu persepsi melalui panca indera tanpa
stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), tipe halusinasi
sensorik yaitu halusinasi audiotorik, halusinasi
visual, halusinasi pengecapan, taktil dan penciuman.
Pasien merasakan halusinasi sebagai sesuatu yang amat
nyata, paling tidak untuk suatu saat tertentu (Kaplan,
1998).
World Health Organitation (WHO) , prevalensi masalah
kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi 25% dari penduduk
dunia pernah menderita masalah ini 1% diantaranya
mengalami gangguan jiwa berat. Kemenkes RI (2009)
menyatakan lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup
dengan gangguan jiwa. Riskesdas (2007) menyatakan
prevalensi nasional gangguan jiwa berat mencapai 4,6%
dari jumlah penduduk, sebanyak 7 provinsi mempunyai
prevalensi gangguan jiwa berat diatas prevalensi
nasional, yaitu prevalensi gangguan jiwa berat
tertinggi di Indonesia terdapat di Provinsi Daerah
Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta (20,3%), diikuti Nanggroe
Aceh Darussalam (18,5%), Sumatera Barat (16,7%), Nusa
Tenggara Barat (9,9%), Sumatera Selatan (9,2%), Bangka
Belitung (8,7%), dan Kepulauan Riau (7,4%). Sedangkan
data untuk Provinsi Riau tidak ada dicantumkan. Data
untuk provinsi Riau berdasarkan data dokumen rekam
medik Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru (2011) selama
tahun 2011 terdapat 1.069 pasien dengan status rawat
inap berdasarkan 10 besar penyakit atau diagnosa medis.
Adapun untuk diagnosa keperawatan selama tahun 2010
terdapat pasien gangguan jiwa sebanyak 1.310 pasien,
652 pasien dengan diagnosa halusinasi, 274 pasien
dengan diagnosa perilaku kekerasan, 114 pasien dengan
diagnosa isolasi sosial, 92 pasien dengan diagnosa
harga diri rendah, 69 pasien dengan diagnosa risiko
bunuh diri, 61 pasien dengan diagnosa waham, 48 pasien
dengan diagnosa defisit perawatan diri (RSJ Tampan,
2010).
Banyaknya kasus di Indonesia penatalaksanaannya
dan terapinya sendiri masih sangat kurang, karena
tingkat kesadarannya masyarakat mengenai gangguan jiwa
halusinasi ini masih sangat kurang. Kesadaran
pemerintah di bidang pengobatan juga sangat kurang hal
ini yang mendasari mengapa masih banyak kasus gangguan
jiwa terutama halusinasi yang banyak tidak dirawat atau
ditangani.
Tujuan penulisan case report ini untuk menjelaskan
tatalaksana pengobatan gangguan halusinasi pada
geriatri dengan tepat agar kasus pemberhetian obat
dapat berkurang dan begitu pun dalam pemilihan obat
yang tepat digunakan pada pasien geriatri.
PRESENTASI KASUS
Tn S 79 tahun mempunyai riwayat gangguan halusinasi
pendengaran dan penciuman. Dari hasil observasi Tn S :
Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
Gerakan mata yang cepat
Respon verbal yang lambat
Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan
Penyempitan kemampuan konsenstrasi
Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin
kehilangan kemampuan untuk membedakan antara
halusinasi dengan realita.
Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan
oleh halusinasinya daripada menolaknya
Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik
Dari hasil observasi didapati bahwa Tn S menderita
halusinasi sensorik pendengaran dan penciuman karena
pasien merasa sering mendengar bisikan dan mencium bau
kemenyan setiap malam.
Tn S. masuk ke Panti Sosial Tresno Werdha Budi Mulya
3 bulan Juli 2013 lalu dan mendapat terapi pengobatan :
Thriheksipenidil , Merlopam , dan Olanzapine tetapi
pengobatannya berhenti sejak 1 bulan lalu karena
petugas setempat menganggap bahwa Tn S sudah tenang
tidak mengamuk dan karena kekurangan dana untuk
melalukan checkup ke rumah sakit selain itu petugas
yang merawat Tn S tidak melaporkan jika obat Tn S sudah
habis. Pasien juga tidak mempunyai keluarga sehingga
terapi pendekatan keluarga tidak dapat diterapkan.
DISKUSI
Dasar Teori
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari
panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus)
eksternal (Stuart & Sundeen, 2007). Halusinasi
merupakan gangguan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Suatu pencerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari
luar. Suatu penghayatan yang dialami seperti suatu
persepsi melalui panca indera tanpa stimulus eksternal;
persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana pasien
mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah
persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus
eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan
sebagai sesuatu yang nyata oleh pasien.
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif
individu yang berada dalam rentang respon
neurobiologist (Stuart & Sundeen, 2007). Ini merupakan
respon persepsi paling maladaptif. Jika individu yang
sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi
yang diterima melalui panca indera (pendengaran,
penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan),
pasien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus
panca indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut
tidak ada.
Penatalaksanaan pasien gangguan halusinasi
geriatri adalah dengan pemberian obat-obatan dan
tindakan lain, yaitu :
Psiko Farmako
Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala
halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis
pada pasien gangguan halusinasi geriatri adalah obat-
obatan anti-psikosis yang resiko efek sampingnya
dapat ditolerir.
Golongan obat antipsikosis yang dapat digunakan untuk
pasien geriatri:
1. Antipsikotik Tipikal
Penggunaan obat golongan ini sudah mulai jarang
karena efek samping yang cukup berat dan ketersedian
obat antipsikotik atipikal yang semakin luas.
Haloperidol dan Trifluoperazine dengan dosis 10-30
mg/hari dapat memberikan perbaikan pada gejala
psikotik pasien usia lanjut. Namun efek samping yang
cukup berat pemakaiannya sangat tidak dianjurkan
lagi.
2. Antipsikotik Atipikal
Secara klinis golongan obat ini telah terbukti
mempunyai efektifitas dan keamanan yang cukup dalam
mengobati gejala psikotik pada pasien usia lanjut
Risperidone
Efektif pada dosis rendah 1,5 – 6 mg/hari dan
dapat memberikan perbaikan yang nyata. Tidak
menimbulkan efek samping ekstra piramidial yang
bermakna, tidak ada efek orthostatik ,
antikolinergik, dan penurunan kognitif
Olanzapine
Dosis pemberian 5 – 20 mg/hari namun ada yang
menyebutkan dosis yang lebih kecil 5 – 7mg/hari
lebih efektif. Menimbulkan efek samping
ektrapiramidial yang minimal namun dapat terjadi
somnolen, peningkatan berat badan, dizziness,
bradikinesia dan kelemahan kaki.
Quetiapine
Direkomendasikan pada dosis awal yang rendah 25 mg
yang dititrasi sampai 100 – 300 mg/hari. Obat ini
sering digunakan untuk menghindari efek samping
pada usia lanjut yaitu ; hipotensi postural,
dizziness dan agitasi.
Clozapine
Dapat diberikan dengan dosis 6,25 – 50 mg/hari dan
25 – 150 mg/hari pada usia lanjut. Dapat
mengurangi gejala psikotik pada pasien Parkinson,
tidak menimbulkan efek samping setelah putus obat
namun sering dilaporkan Clozapine mempunyai efek
samping sedasi hingga somnolen.
Zotepine
Sangat efektif untuk mengobati gejala negative
pasien skizofrenia dan mencegah kekambuhan pada
pasien skizofrenia kronis. Dosis yang dapat
diberikan 75 – 150 mg/hari . efek samping yang
sering muncul adalah rasa lelah dan sedasi.
Penggunaan zotepine dengan antidepresan paroxetine
dapat meningkatkan risiko thrombosis vena dalam.
(Andri, 2009)
1. Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan)
Atypical antipsychotic merupakan terapi pilihan untuk
penderita Skizofrenia episode pertama karena efek
samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk
terkena tardive dyskinesia lebih rendah.
Obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat
untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah
satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para ahli
biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu
(2 kali lebih lama pada Clozaril).
2. Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)
Relaps dapat timbul bila penderita berhenti minum
obat, untuk itu, sangat penting untuk mengetahui alasan
mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang
penderita berhenti minum obat karena efek samping yang
ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini
terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat
untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain
yang efek sampingnya lebih rendah.
Bila penderita berhenti minum obat karena alasan
lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi
yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu.
Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam
penerapannya.
Pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi
obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang
tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain,
misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan
newer atipycal antipsychotic atau newer atipycal antipsychotic
diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine
dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi
dengan obat-obatan diatas gagal. ( Diny & Rezky, 2013)
3. Pengobatan Selama fase Penyembuhan
Penting bagi pasien untuk tetap mendapat
pengobatan walaupun setelah sembuh. Pasien halusinasi
episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama
12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien
yang menderita halusinasi lebih dari satu episode, atau
belum sembuh total pada episode pertama membutuhkan
pengobatan yang lebih lama. Penghentian pengobatan
merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin
beratnya penyakit.
1. Terapi Perilaku
Perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial,
kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan
komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah
didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus
untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa.
Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara
sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat
diturunkan.
2. Terapi berorientasi – keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien halusinasi
seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial,
keluarga dimana pasien halusinasi kembali seringkali
mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat
namun intensif (setiap hari). Setelah periode
pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam
terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama
dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam
cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena
halusinasi untuk melakukan aktivitas teratur terlalu
cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal
dari ketidaktahuan tentang sifat halusinasi dan dari
penyangkalan tentang keparahan penyakitnya. Terapi
harus membantu keluarga dan pasien mengerti halusinasi
tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah
penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah
efektif dalam menurunkan relaps.
3. Terapi Kelompok
Kelompok bagi halusinasi biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku,
terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau
suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan
isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien halusinasi.
Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya
dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu
bagi pasien halusinasi.
4. Psikoterapi Individual
Terapi ini paling baik tentang efek psikoterapi
individual dalam pengobatan halusinasi telah memberikan
data bahwa terapi membantu dan menambah efek terapi
farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi
bagi pasien halusinasi adalah perkembangan suatu
hubungan terapetik yang dialami pasien sebagai aman.
Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat
dipercayainya ahli terapi, jarak emosional antara ahli
terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti
yang diinterpretasikan oleh pasien. Hubungan antara
dokter dan pasien berbeda dari yang ditemukan di dalam
pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan
seringkali sulit dilakukan; pasien halusinasi
seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan
kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas,
bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati.
Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah
sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan
terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada
informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama
yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi
persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan
kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan,
manipulasi, atau eksploitasi.
5. Perawatan di Rumah Sakit
Perawatan rumah sakit untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan obat, keamanan pasien karena gagasan bunuh
diri atau membunuh, perilaku kacau termasuk
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Perawatan di
rumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif
antara pasien dan sistem pendukung masyarakat.
Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan pada
perawatan rumah sakit harus direncanakan. Dokter harus
juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga
pasien tentang gangguan halusinasi. Lamanya perawatan
rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien.
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki
orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan
diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial.
Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat
pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga
pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien
membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.
Analisis
Pada presentasi kasus Tn. S baru mendapatkan
terapi selama 2,5 Bulan namun terputus padahal hasil
observasi menemukan bahwa Tn. S masih mengalami
gangguan halusinasi . Tn S mengalami relaps setelah 2
minggu lebih telah putus obat, ini karena
ketidaksadaran petugas yang merawat Tn. S petugas
menganggap bahwa Tn. S sudah sembuh karena sudah tenang
padahal penyembuhan episodik pertama belum tuntas.
Sebab lainnya adalah tidak teraturnya koordinasi antara
petugas dan kepala perawat , petugas tidak segera
melaporkan bahwa obat untuk Tn. S sudah habis. Maka
dari itu harus ada koordinasi yang baik agar kasus
penghentian obat ini tidak menimbulkan relaps dan
memperberat gangguan jiwa Tn.S. Pasien Tn S juga tidak
mempunyai keluarga atau pun sanak saudara terdekat, dia
hanya seorang diri jadi tidak dapat dilakukan
pendekatan terapi keluarga. Tn. S sendiri walaupun
mengalami gangguan halusinasi namun masih dapat
melakukan interaksi terhadap orang lain. Tidak ada
petugas khusus yang merawat Tn S. sehingga pemantauan
kemajuan terapi juga tidak ada yang memperhatikan.
Aspek Islam
Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama islam
sebab berobat termasuk upaya memelihara jiwa dan raga,
dan ini termasuk salah satu tujuan syari’at islam
ditegakkan, terdapat banyak hadits dalam hal ini,
diantaranya;
← Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ال�حرام داووا ب�� ت داووا ، ولا ت�� ت عل ل�كل داء دواء ، ف�� ل ال�داء وال�دواء ، وج�� ن��ز ن' ال�له ا# ا(‘’Sesungguhnya Alloh menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia
jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi
jangan berobat dengan yang haram.’’ (HR.Abu Dawud 3874, dan
disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if al-Jami’
2643)
2. Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab
baduwi berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ا ال�وا : ب+�* د ( ق+� لا داء واح+� اء ا( ف� ع ل+ه ش+�4 لا وض+�� ع داء ا( ض+� ن' ال�ل+ه ل�م ي�* ا( داووا ، ق�� ال : ) ب� داوى ؟ ق� ت لا ت� ا رش�ول ال�له ا# ب�*ال : ) ال�ه++رم ( و ؟ ق++� ا ه++� ول ال�ل++ه وم++� Wahai Rosululloh, apakah kita berobat?, Nabi’‘رش++�
bersabda,’’berobatlah, karena sesungguhnya Alloh tidak menurunkan
penyakit, kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang
tidak ada obatnya),’’ mereka bertanya,’’apa itu’’ ? Nabi bersabda,’’penyakit
tua.’’ (HR.Tirmidzi 2038, dan disahihkan oleh al-Albani
dalam Sunan Ibnu Majah 3436)
Hukum berobat berbeda beda
1. Menjadi wajib dalam beberapa kondisi:
A. Jika penyakit tersebut diduga kuat mengakibatkan
kematian, maka menyelamatkan jiwa adalah wajib.
B. Jika penyakit itu menjadikan penderitanya
meninggalkan perkara wajib padahal dia mampu berobat,
dan diduga kuat penyakitnya bisa sembuh, berobat
semacam ini adalah untuk perkara wajib, sehingga
dihukumi wajib.
C. Jika penyakit itu menular kepada yang lain,
mengobati penyakit menular adalah wajib untuk
mewujudkan kemaslahatan bersama.
D. Jika penyakit diduga kuat mengakibatkan kelumpuhan
total, atau memperburuk penderitanya, dan tidak
akan sembuh jika dibiarkan, lalu mudhorot yang
timbul lebih banyak daripada maslahatnya seperti
berakibat tidak bisa mencari nafkah untuk diri dan
keluarga, atau membebani orang lain dalam perawatan
dan biayanya, maka dia wajib berobat untuk
kemaslahatan diri dan orang lain.
2. Berobat menjadi sunnah/ mustahab
Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi
tidak sampai membahayakan diri dan orang lain, tidak
membebani orang lain, tidak mematikan, dan tidak
menular , maka berobat menjadi sunnah baginya.
3. Berobat menjadi mubah/ boleh
Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan
badan dan tidak berakibat seperti kondisi hukum wajib
dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya berobat
atau tidak berobat.
4. Berobat menjadi makruh dalam beberapa kondisi
A. Jika penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan,
sedangkan obat yang digunakan diduga kuat tidak
bermanfaat, maka lebih baik tidak berobat karena hal
itu diduga kuat akan berbuat sis- sia dan membuang
harta.
B. Jika seorang bersabar dengan penyakit yang
diderita, mengharap balasan surga dari ujian ini, maka
lebih utama tidak berobat, dan para ulama membawa
hadits Ibnu Abbas dalam kisah seorang wanita yang
bersabar atas penyakitnya kepada masalah ini.
C. Jika seorang fajir/rusak, dan selalu dholim
menjadi sadar dengan penyakit yang diderita, tetapi
jika sembuh ia akan kembali menjadi rusak, maka saat
itu lebih baik tidak berobat.
D. Seorang yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat,
lalu ditimpa suatu penyakit, dan dengan penyakit itu
dia berharap kepada Alloh mengampuni dosanya dengan
sebab kesabarannya.
Dan semua kondisi ini disyaratkan jika penyakitnya
tidak mengantarkan kepada kebinasaan, jika mengantarkan
kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka berobat
menjadi wajib.
5. Berobat menjadi haram
Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara
yang haram maka hukumnya haram, seperti berobat dengan
khomer/minuman keras, atau sesuatu yang haram lainnya.
KESIMPULAN
Gangguan halusinasi termasuk cukup besar di
Indonesia, tidak terkecuali pada lanjut usia. Tindakan
yang cepat dan dukungan lingkungan sekitar sangat
mempengaruhi dan mempercepat proses penyembuhan. Namun,
masih banyak kendala seperti : banyak petugas yang
tidak mengerti bagaimana tatalaksana pengobatan pasien
halusinasi ini, tidak ada dukungan lingkungan sekitar
atau kerabat dekat. Banyak kasus penghentian obat
akibat dari kurangnya pengetahuan dan koordinasi
petugas sehingga menyebabkan kekambuhan sampai
bertambah berat gangguan jiwa yang diderita. Atas
kurangnya pengetahuan petugas dan masyarakat maka
dibutuhkan penyuluhan bagaimana tatalaksana dan
perawatan yang tepat untuk pasien dengan gangguan
halusinasi pada lanjut usia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amelia, Dini & Anwar Zainul .(2013). Relaps Pada
Pasien Skizofrenia. Majalah Kedokteran Indonesia
Vol 01:01 . Fakultas Psikologi Universitas Malang :
Malang
2. Andri .(2009). Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen
Gejala Psikosis Pada Usia Lanjut. Majalah Kedokteran
Indonesia Vol 59:09. Jakarta : Universitas Kristen
Krida Wicana
3. Ibrohim, Abu.(2012). Berobat Dalam Islam. Fiqih
Islam . Diakses pada 13 November 2013 pada
http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/05/30/berobat-
dalam-islam/#_ftn3
4. Irwan, M.(2009). Tatalaksana Skizofrenia. Fakultas
Kedokteran Universitas Riau : Riau
5. Kaplan, Sadock.(2004). Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi 2. Hal 147 -167. Jakarta : EGC
6. Maramis, W.F.(2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa .
Surabaya : Airlangga University Press.
7. Noviati .(2005).Psikogeriatri . Buku Ajar Geriatri
Edisi 3.(Ed : R. Boedhi Darmojo).Hal 525 –
527 .Jakarta : FKUI
8. RSJ Tampan.(2011). Laporan akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah Rumah Sakit Jiwa Tampan
Propinsi Riau Tahun 2011. Pekan Baru : PMRSJ
Tampan
9. Sumiyoshi, Tomiki.(2013). Neural Basic for The Ability of
Atypical Antipsychotic Drugs to Improve Cognition In
Schizophrenia. Tokyo : National Center of Neurology
and Psychiatry. Diakses pada tanggal 13 November
2013 pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24137114
10.Stuart , G.W. & Sundeen, S.J. (2007). Buku Saku
Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
11.Zhao, Yueren.(2013). Combination treatment with
Risperidone long acting injection and psychoeducational
approaches for preventing relapse in schizophrenia. Tokyo :
Department of Psychiatry, Fujita Health University
School of Medicine.Diakses pada tanggal 13
November 2013 pada
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24194642