final journey

38
COLLABORATIVE GOVERNANCE [Pemerintahan Kolaborasi] Kumpulan Jurnal dan Hasil Penelitian : Konsep, Model Dan Studi Tentang Kerjasama Antar Daerah / Negara Dianjukan untuk Memenuhi Tugas, Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial Dosen PJMK : Prof. Dr. Mustain, M.Si Oleh: M. HUSNI TAMRIN NPM : 071414353008 MAGISTER KEBIJAKAN PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014

Upload: airlangga

Post on 27-Feb-2023

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

COLLABORATIVE GOVERNANCE[Pemerintahan Kolaborasi]Kumpulan Jurnal dan Hasil Penelitian :Konsep, Model Dan Studi Tentang Kerjasama Antar Daerah / Negara

Dianjukan untuk Memenuhi Tugas, Mata

Kuliah Metode Penelitian Sosial

Dosen PJMK : Prof. Dr. Mustain, M.Si

Oleh: M. HUSNI TAMRIN

NPM : 071414353008

MAGISTER KEBIJAKAN PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA2014

DAFTAR ISIJUDUL HAL

1. Networking Dalam Intergovernmental Management1

Hardi Warsono

2. Collaborative government: meanings, dimensions, 4

drivers and outcomes

John Wanna

3. Konsep Kerjasama Daerah Antar Negara dalam Kerangka 6

Otonomi Daerah: Peluang dan TantanganSlamet Rosyadi

4. Governing through collaboration8

Dr Peter Shergold

5. Menyikapi Isu Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah Di Tengah Lompatan Kolaborasi Stratejik Global: Sebuah Prognosa Awal

9Haris Faozan

6. The changing nature of government: network governance12

William D. Eggers

7. Penyusunan Model Kerja Sama Ciayumajakuning14

Haris Budiyono

8. Doing Things Collaboratively: Realizing the Advantage or 17

Succumbing to Inertia?Chris Huxham and Siv Vangen

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 1

9. Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi: 20

Isu Strategis, Bentuk Dan Prinsip Yeremias T. Keban

10. Hit or myth? Stories of collaborative success21

Chris Huxham and Paul Hibbert

11. Hasil Penelitian25

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 2

1. Networking Dalam Intergovernmental Management

Hardi Warsono

Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 yangmengamanatkan kerjasama antar daerah dalam rangka efisensi dan sinergidalam meningkatkankesejahteraan masyarakat. Pasal 195 Undang-undangtersebut berbunyi:

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapatmengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan padapertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dansaling menguntungkan.

Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah beserta PermendagriNo 59 Tahun 2007) yang kurang memberikan keleluasaan dalampenyelenggaraan kerjasama antar daerah melalui mekanisme kelembagaanpermanen yang biasa dikenal dengan “Regional Manajemen”. Meskipuntelah terbit regulasi baru terkait tatacara kerjasama antar daerah(Permendagri Nomor 22 Tahun 2009) beserta tatacara pembinaan danpengawasan kerjasama antar daerah (Permendagri nomor 23 Tahun 2009),kegalauan sejumlah daerah untuk merintis kerjasama antar daerahsemakin menjadi jadi dengan kurangnya acuan yang dapat dipergunakansebagai pedoman penggerak langkah pada tingkat provincial.

Kenapa fenomena kemandekan manajemen regional ini mendominasikondisi kerjasama antar daerah yang berdekatan di Indonesia, dan polanetworking apa yang dapat dijadikan alternative pengembangan kerjasamaantar daerah, menjadi fokus tulisan ini.

B. PEMBAHASAN1. Prinsip Intergovernmental Networking yang Terabaikan dalam Kerjasama Antar Daerah.

Pendekatan konvensional memandang organisasi dengan pendekatanbirokrasi Weberian (intra organization), sedangkan kerjasama antar daerahbersifat intergovermental networking lebih tepat didekati dengan konsep interorganization. Secara khusus ada 2 fenomena teoritis, yakni pertama,pentingnya pergeseran pendekatan organisasi kerjasama antar daerahdari konsep intra organization ke arah interorganization. Kedua, pendekatankerjasama antar daerah yang karena struktur hubungannya yang merupakan

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 3

“relasi horisontal” dari bersifat voluntary ke arah semangat kolaborasiyang lebih punya kekuatan dalam collective action.

2. Semangat Kolaborasi dalam Kerjasama RegionalKerjasama antar pemerintah daerah (intergovernmental cooperation),

didefinisikan sebagai “an arrangement between two or more governments foraccomplishing common goals, providing a service or solving a mutual problem” (Patterson,2008). Dalam definisi ini tersirat adanya kepentingan bersama yangmendorong dua atau lebih pemerintah daerah untuk memberikan pelayananbersama atau memecahkan masalah secara bersama-sama. Atau dengan katalain, pengaturan ini bersifat pengaturan bersama (joint), yang tentusaja berbeda karakteristiknya dibandingkan dengan pengaturan sendiri(internal daerah).

Kolaborasi dapat dijelaskan bahwa ada sebuah konsep yang miripdengan kerjasama tetapi memiliki makna yang lebih dalam, yaknikolaborasi. Koo-perasi, koordinasi dan kolaborasi berbeda dalam haltingkat kedalaman interaksi, integrasi, komitmen dan kompleksitasnya.Sebuah kerjasama (cooperation) yang menggabungkan 2 sifat, yakni salingmemberi atau bertukar sumberdaya dan sifat saling menguntungkan akanmengarah pada sebuah proses kolaborasi.

Dalam format networking, beberapa jenis governmental networks, sesuai urutan derajat networks-nya dikemukakan oleh Robert Agranoff (2003), mulaidari

(i) Information networks(ii) Developmental networks, (iii) Outreach networks, (iv) Action networks

Dari penelusuran praktek kerjasama antar daerah di beberapaNegara dapat ditemukan bentuk kerjasama dan pola kelembagaannya.Bentuk dan metode kerjasama antar daerah meliputi (1) intergovernmentalservice contract; (2) joint service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer(Henry,1995).

Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayardaerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu sepertipenjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiranpajak. Jenis kerjasama yang kedua biasanya dilakukan untuk menjalankanfungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepadamasyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturanperpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran,

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 4

kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketigamerupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah kedaerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana,kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik.

C. PENUTUPAda 4 (empat) bentuk networking dari Robert Agranoff yang dapat

dipilih ketika dua atau lebih daerah kabupaten/ kota akan mengadakankerjasama. Ke empat bentuk networking tersebut adalah:(a) informationnetworks:beberapa daerah dapat membuat sebuah forum tetapi hanyaberfungsi sebagai pertukaran kebijakan, program, teknologi dan solusiatas masalah-masalah bersama. (b) developmental networks: antarkabupaten/kota memiliki kaitan lebih kuat, karena selain pertukaraninformasi juga dibarengi dengan pendidikan dan pelayanan yang secaralangsung dapat meningkatkan kapasitas informasi daerah dalam mengatasimasalah di daerah masing-masing. (c) outreach networks: kabupaten/ kotayang tergabung dalam networking menyusun program dan strategi untukmasing masing daerahnya yang diadopsi dan dilaksanakan oleh daerahlain (biasanya melalui fasilitasi organisasi partner), dan (d) actionnetworks:daerah-daerah yang menjadi anggota secara bersama-sama menyusunprogram aksi bersama, dilaksanakan bersama atau oleh pelaksana lembagakerjasama.

Selain 4 (empat) bentuk networking yang dapat dipilih oleh daerahyang merintis kerjasama antar daerah secara umum, bagi daerah yangberdekatan dapat juga mempertimbangkan 2 (dua) bentuk kelembagaankerjasama yang lebih serius (diambil dari pengalaman praktek dibeberapa negara), yakni: intergovernmental relation (IGR) atau intergovernmentalmanagement (IGM yang dibarengi dengan pengembangan semangat kolaborasi.

2. Collaborative government:meanings, dimensions, drivers andoutcomes

John Wanna

Collaboration means joint working or working in conjunction withothers. It implies actors individuals, groups or organisations—

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 5

cooperating in some endeavour. The participants are ‘co labouring’with others on terms and conditions that, as we know, can varyenormously. The word ‘collaboration’ originally came into use in thenineteenth century as industrialization developed, more complexorganisations emerged and the division of labour and tasks increased.It was a fundamental norm of utilitarianism, socialliberalism,collectivism, mutual aid and, later, scientific managementand human relations organisational theory. Explanations ofcollaboration could stress the descriptive/pragmatic side focusing onthe practical realities of working with or through others, or thenormative/intrinsic side emphasising participatory endeavour and thedevelopment of trust relations. For the most part, collaboration wasportrayed at least as an essential imperative or more ideally as ahighly desirable aspect of social, economic and political life.

Lessons from collaborationOne of the main aims of this monograph is to identify and debate

the substantive lessons from real experiences of collaboration in thepublic sector but involving the private sector and the wider community—to enable policymakers to better understand the processes and therange of possibilities available. We aim to analyse the ‘black box’ ofopacity that often characterises the practice of collaboration(Thomson and Perry 2006). Already from experiences and from theliterature, we know that collaborative arrangements are costly in timeand resources, are inherently fragile, need to be constantly managedand nurtured, involve trust and reciprocal obligations and are suigeneris or uniquely distinct (Huxham 2005; Entwistle and Martin 2005;Agranoff 2006; Bardach 1998; and, for the private sector, see Simonin1997). We know that successful collaboration requires commitment,trust, leadership, clarity of objectives and planning stages,developing understanding and mutual working relations (Huxham andVangen 2000). From within government there is a belief thatcollaboration works best when responsibilities are clear and when alead agency or ‘champion’ has been selected. Is this empiricallyvalid? Can responsibilities be clearly separated in collaborativeventures and can leadership be successfully anointed in an a priorimanner? How can the momentum for collaboration be generated andsustained? In this monograph, many of the contributors speak fromyears of practical experience engaged in collaborative endeavours.Many identify general lessons from their specific if diverseexperiences. Some of the lessons highlight the perspectives of the

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 6

individual players (the official, the community representative, thebusiness manager, or the end user) about what collaboration entails,how it impacts on them and how players can collaborate better. Otherspresent collaboration as a new organising principle of government andpolicymaking—a structured set of collective choices from which newpolicy possibilities develop and germinate—feeding into policyformulation, implementation and evaluation.

Others tend to see collaboration as a new form of democraticengagement bringing substantial deliberative benefit to thedevelopment of good public policy and quality services. Othersdisseminate comparative policy learning from overseas—indicating howother jurisdictions have gone about the journey of collaboration inpolicy setting, encouraging policy transfer or emulation andillustrating how beneficial outcomes have been achieved in theirparticular context.

We hope that the sharing of this combined learning, experienceand understanding will inform governments and policy processes intothe future—and give non-government participants and policy networks arealistic if not sanguine view of the potentialities and implicationsof collaborative government. Governing through collaboration willchange not only how we make policy, it will change what policy is madeand who cooperates in its delivery. Collaboration poses a majorchallenge to the traditional ways of making policy and to theconventional departmental cultures of ‘government knows best’.Governing though collaboration throws out many challenges to allplayers in almost all policy fields; it poses challenges but alsoopens the possibility of truly sustained improvements in the qualityof implementation and service delivery.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 7

3. Konsep Kerjasama Daerah Antar Negara dalam Kerangka Otonomi Daerah:Peluang dan Tantangan

Slamet RosyadiKerjasama Selatan-Selatan antara Provinsi Gorontalo dan Provinsi

Sri Lanka yang dimediasi oleh ART-Gold UNDP merupakan contoh baik dariimplementasi otonomi daerah. Di saat daerah-daerah lain menghadapikendala kerjasama antar daerah dan sibuk berkompetisi satu sama lainuntuk membangun daerahnya, Provinsi Gorontola telah melangkah lebihmaju dengan membangun kerjasama internasional dengan Provinsi SelatanSri Lanka. Kerjasama yang dikembangkan mencakup bidang-bidang pentingseperti: pendidikan, pertanian, dan kesehatan. Gorontalo mempelajarisistem pendidikan gratis dari Sri Lanka, sementara Sri Langka belajartentang pengembangan komoditas jagung. Gorontalo tertarik untukbelajar sistem pendidikan gratis karena Sri Lanka meskipun miskintetapi sukses dalam mengembangkan pendidikan gratis untuk semuakalangan masyarakat. Sedangkan Sri Lanka tertarik mempelajaripengelolaan jagung karena Gorontalo mampu memproduksi jagung hinggamenembus pasaran internasional dan tentunya berdampak positif terhadapkesejahteraan petaninya. Terbangunnya kerjasama dua provinsi bukanlahperkara mudah.

Secara normatif, kerjasama antar daerah antar negara juga telahdifasilitasi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 tahun 2008tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan PihakLuar Negeri (lihat Bab III Pasal 3). Ketentuan normatif tersebutmengatur bentuk-bentuk kerjasama sebagai berikut:

1. Kerjasama provinsi dan kabupaten / kota “kembar”, 2. Kerjasama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, 3. Kerjasama penyertaan modal, dan 4. Kerjasama lain sesuai dengan peraturan perundangan

Dari kasus tersebut, kerjasama antar daerah antar negara adalahsuatu kerangka hubungan kerja yang dilakukan oleh dua daerah atau

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 8

lebih dari negara yang berbeda, dalam posisi yang setingkat danseimbang untuk mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkankesejahteraan rakyat (diadaptasi dari Pamuji, 1985). Kerjasama antardaerah antar negara juga dapat diartikan sebagai sebuah kesepakatandua atau lebih pemerintah daerah dari negara yang berbeda dalam rangkamerealisasikan tujuan bersama, menyediakan layanan atau menyelesaikanpersoalan yang sama (lihat Patterson, 2008).

Ada banyak model kerjasama atau kolaborasi antar daerah. Salahsatunya adalah model manajemen berbasis yurisdiksi (Agranoef danMcGuire, 2003:50). Menurut pandangan penulis, kasus kerjasama antaraProvinsi Gorontalo dan Selatan Sri Lanka dapat diklasifikasikan dalammodel manajemen berbasis yurisdiksi horisontal. Model tersebutmenjelaskan hubungan kolaborasi antar pemerintah. Pihak-pihak yangbekerjasama khususnya para pejabat publiknya saling bergantung samalain karena mereka membutuhkan sumber daya yang dimiliki masing-masinguntuk mendukung pencapaian tujuan mereka. Kolaborasi dalam modelyurisdiksi horisontal tidak terbatas pada para pejabat publik tetapijuga dapat meluas menjangkau kemitraan pemerintah-swasta. Hal palingpenting dari kecenderungan kerjasama berbasis yurisdiksi horisontaladalah pelembagaan prinsip kemitraan (partnership). Kekuatan darikerjasama tersebut adalah masing-masing aktor yang berkolaborasimendapatkan berbagai sumber daya baru dan dapat meningkatkan perannyamenjadi lebih besar (Agranoef dan McGuire, 2003:51).

Peluang Pengembangan kerjasama antar daerah antar negara seperti yang

dipelopori Provinsi Gorontalo dan Selatan Sri Lanka menyediakanbeberapa peluang sebagai berikut:

1) Pertukaran informasi, kemampuan teknis, dan teknologimelalui berbagai kesepakatan internasional.

2) Fasilitasi pendanaan dari UNDP. 3) Pengembangan jejaring kerjasama yang lebih luas dengan

berbagai daerah di negara lain. Tantangan

Beberapa tantangan yang dapat diidentifikasi bersumber darilemahnya faktor kelembagaan sebagai berikut:

1) Tradisi kerjasama.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 9

2) Dukungan kelembagaan. 3) Dukungan Pendanaan. 4) dukungan yang rendah dari pemerintah kabupaten/kota.

Kesimpulan 1) Model kerjasama antar daerah antar negara menawarkan prospek yang

cerah. Perubahan paradigma administrasi negara dari birokrasitradisional ke arah pasca birokrasi telah membawa pengaruhmengenai pola kerjasama yang semakin luas dan melibatkan aktor-aktor eksternal. Berbagai peluang tersedia dari pengembangankerjasama antar daerah antar negara seperti: pertukaran sumberdaya, bantuan teknis, dan teknologi, fasilitas pendanaan, danpengembangan jejaring kerjasama untuk akselerasi pembangunan.Namun demikian, berbagai tantagan kelembagaan perlu segeradirespon oleh pemerintah daerah maupun pusat melalui penguatankepemimpinan gubernur dan kapasitas pemerintah provinsi,penyediaan aturan hukum dan teknis pelaksanaan yang jelas sertapendanaan yang memadai.

4. Governing through collaborationDr Peter Shergold

There are new and exciting changes occurring in the processes ofgovernance, which have profound implications for public services. Theprovision of policy advice is becoming more contested. The views ofofficials now compete with those of political advisers, advocacyorganisations and policy think tanks. The implementation of policy isincreasingly contracted out and delivered through third parties, withthe Public Service taking responsibility for oversight, evaluation andaccountability.

Genuine collaboration in governance involves recognition ofinterdependence within the network of institutional structures. Itdepends on accepting mutuality of interest. It should not naively

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 10

assume consensus. The parties will often come to the table withcompeting interests. Their different perspectives will be resolved—indeed, they will be properly understood—only by interaction andnegotiation. The entire process of seeking solutions needs to beiterative: not just reaching agreement on answers, but jointly framingthe questions and identifying the problems.

Through a process of integration, collaboration can bring anetwork of interested parties to mutually beneficial outcomes,sometimes in unexpected ways. I have been fortunate enough on occasionto be present at meetings during which collective deliberation hasadded creative value. It has fired imagination beyond the capacity ofany single participant. When collaboration works, the whole can begreater than the sum of its parts. The process of governance isimproved. The key to success is to appreciate these characteristicsand seize the opportunities they provide. To build collaborationrequires the Public Service to recognize the innate differences inpower and to consciously modify its approach to mitigate theseimbalances.

The success or failure of collaboration lies not in the emergingnetwork structures of governance or even in the evolving systems bywhich influence is wielded. It requires new forms of leadershipbehaviour, particularly on the part of the public servants who remaincentral to most discussions of public policy and administration.Instead of agendas being imposed, they need to be negotiated.Collaboration demands public servants who can stand in the shoes ofthose with whom they deal, who can understand their particularperspectives and interests and, by doing so, can build trust.Collaboration can also be enhanced by a clear indication that publicservants will champion the collective decisions of the group—usingtheir disproportionate power on behalf of the collaborative venture.

Genuine collaboration will not come about simply as a result ofevolving networks of democratic governance or the changing role of thenation-state. It requires public servants who, with eyes wide open,can exert the qualities of leadership necessary to forsake thesimplicity of control for the complexity of influence. Moreexplicitly, they need to operate outside the traditionally narrowframework of government, which they have for so long worked within.Public Service leadership has always been premised on the ability toinfluence. The challenge now is to extend that capacity from

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 11

government structures to governance networks. While it will not be aneasy path to travel, the prospect is alluring.

5. Menyikapi Isu Kelembagaan Kerjasama AntarDaerah Di Tengah Lompatan KolaborasiStratejik Global: Sebuah Prognosa Awal

Haris Faozan

A. PendahuluanSalah satu hal penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah

adalah penyelenggaraannya harus menjamin keserasian hubungan antardaerah dan mampu membangun kerjasama antar daerah guna meningkatkankesejahteraan bersama. Secara teoritis dan praktis, sebuah kerjasamayang dikelola dengan baik akan membuahkan hasil yang bermanfaat bagipihak-pihak yang berada di dalamnya.

Faozan (2002) mengidentifikasi beberapa faktor administratif penyebab belum optimalnya kerjasama antar pemerintah daerah, yaitu:

1. Kolaborasi antar instansi pemerintah daerah seringkali hanyamerupakan media formalitas, bukan karena keinginan untukmengambil manfaat sebesar-besarnya dari kolaborasi yangdibangun.

2. Kolaborasi antar instansi pemerintah daerah kerapkali dibentukhanya dikarenakan oleh adanya tekanan dari suatu kebijakanyang biasanya disusun oleh instansi pusat atau yang lebihtinggi, yang pada umumnya validitas dan reliabilitasnya layakdipertanyakan.

3. Kolaborasi kerap diperkeruh oleh oknum-oknum pimpinan instansipemerintah —perancang atau pengusu kebijakan tersebut— sebagailahan added salary tanpa mempertimbangkan berbagai faktorsensitif yang berkembang.

Tulisan ini bermaksud membahas kelembagaan kerjasama antar daerahyang sampai saat ini menyisakan masalah pelik dan membutuhkan jawaban konkrit (explicit knowledge) di tengah kolaborasi stratejik global yang terus dikembangkan. COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 12

B. KONSEPSI UMUM DAN PENTINGNYA KERJASAMA ANTAR KELEMBAGAAN

Menurut Kwan (1999) sebagaimana diungkapkan oleh Mariman Darto, terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dalam penyelenggaraan pelayanan public melalui kemitraan antara pemerintah daerah dengan pihak swasta, antara lain:

1. Penghematan biaya (cost saving). 2. Pembagian resiko (risk sharing).3. Peningkatan atau pemeliharan kualitas pelayanan (improved levels of

service or maintaining existing levels of service). 4. Meningkatkan pendapatan (enhancement of revenue). 5. Implementasi yang lebih efisien (more efficient implementation). 6. Keuntungan ekonomi (economics benefits).

C. DESAIN ORGANISASI KONVENSIONAL PEMERINTAH DAERAH TIDAK MAMPU MENJAWAB PELUANG KERJASAMA ANTAR DAERAH DAN TANTANGAN KEKINIAN

Sistem kepemimpinan pemerintahan memberi pengaruh yang sangat besarterhadap efisiensi dan efektivitas sistem kelembagaan pemerintahansecara menyeluruh. Kondisi demikian dapat juga dikaitkan denganpermasalahan lama yang tetap eksis dan melekat dalam kelembagaanpemerintah (pusat dan daerah) di Indonesia.

Model Struktur Birokratik Model Struktur AdaptableKompleksitas Diferensiasi

1Diferensiasi vertikal & horizontal tinggi &Gemuk

1Diferensiasi vertikal & horizontal dibuatdatar & ramping

2

Jabatan-jabatan struktural yangdiciptakankurang memperhatikan mekanismekoordinasi dalam implementasitugas danfungsi

2

Jabatan-jabatan struktural yang diciptakanmerupakan satu kesatuan yang utuh untukmencapai visi, tujuan, dan sasaranorganisasi secara terpadu

3

Struktur organisasi yang dibangunberdasarkan aspirasi yangkurang memadai

3

Struktur organisasi yang dibangunberdasarkan visi sukses yangjelas

Formalisasi Penataan [Formalization]

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 13

1 Formalisasi penataan (aturan, prosedur, dsb.) terpusat berdasarkan prosedur yang seragam

1 Formalisasi penataan (aturan,prosedur, dsb.)disentralisasikan berdasarkansatu tujuan melalui nilai-nilaibersama dan kerangka kerja yanglebih luas

2 Aturan-aturan diciptakan untukmemastikan suatu respon sesuaidengan kebiasaan rutin

2 Menyediakan kerangka kerja yangmampu memberikan kebebasanrespon terhadap tantangan(challenges) yang berkembang

3 Menilai kinerja berdasarkanprosesprosesnya

3 Menilai kinerja berdasarkanhasil yang dicapai

4 Pengawasan dan pengecekanpekerjaan dilakukan setelahselesainya pekerjaan

4 Pengawasan dan pengecekankualitas pekerjaan yangdilakukan sejak awal

Sentralisasi Kewenangan [Centralization]1 Kewenangan berada pada pusat

kekuasaan1 Kewenangan didesentralisasikan

pada pimpinan di bawahnya secaramenyeluruh

2 Pegawai dipandang sebagai bebanatau bahkan sumber kesalahan

2 Pegawai dipandang sebagai assetbernilai dan sumber kreativitas

3 Tujuan dan sasarandidefinisikan sebagai fungsi-fungsi yang ada

3 Tujuan dan sasaran didefinisikandengan strategic issues

Gambar 1Pergeseran Model Struktur Birokratik menuju Model Struktur Adaptable

(Perspektif Dimensi-dimensi Struktur Organisasi)

Merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 195 dan Pasal 196 (lihatpada Tabel 1), maka sangat jelas bahwa pembentukan “Badan KerjasamaAntar Daerah” memiliki ketentuan dasar hukum yang sangat kuat.Meskipun Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara pelaksanaan ketentuanpembentukkan “Badan Kerjasama Antar Daerah” belum ada, PemerintahDaerah perlu mengambil inisitif secara kreatif dan inovatif. Langkahdemikianlah yang disebut dengan positioning kelembagaan (lihat Gambar 2Model Kerangka Pikir)

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 14

Gambar 2Model Kerangka Pikir

D. PenutupKandungan terdalam dari konsepsi otonomi daerah adalah

menciptakan kesejahteraan masyarakat daerah. Di dalam konsepsi otonomidaerah, salah satu langkah yang dicanangkan untuk menuju padakesejahteraan rakyat adalah terbangunnya kerjasama antar daerah secaraoptimal. Konsepsi good governance yang menitikberatkan pada sinergismetiga pilar, yaitu negara, masyarakat, dan dunia usaha bagi bangsaIndonesia bukanlah barang baru. Esensi good governance tersebut sudahdikenal sangat lama di dalam konsepsi kebijakan otonomi daerah dankonsepsi demokrasi ekonomi di Indonesia. Tetapi sayangnya,operasionalisasi dan instrumentasi konsep kerjasama antar daerahtersebut belum mampu diciptakan. Melihat keadaan seperti ini,sebaiknya pemerintah daerah mengambil sikap dan melakukan terobosandengan cerdas.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 15

6. The changing nature of government: network governanceWilliam D. Eggers

Governing by network is at the heart of numerous major AustralianFederal Government initiatives. In the twentieth century, hierarchicalgovernment bureaucracy was the predominant organisational model usedto deliver public services and fulfil public-policy goals. Publicmanagers won acclaim by ordering those under them to accomplish highlyroutine—albeit professional—tasks with uniformity but withoutdiscretion. Today, increasingly complex societies force publicofficials to develop new governance modelsA final summary

Sometimes networked governance fails not because of how aparticular venture is managed, but because of what was delegated tothe private sector in the first place. All too often, precious littlethought is given to what policy goals an agency is trying toaccomplish and how they relate to what is contracted out. Instead,agency officials pick up their organisational chart, look forsomething they are not doing very well and then get the private sectorto do it for them.

Before federal executives think about how they should dosomething, they need to figure out what they are trying to do in thefirst place. The government executive, hamstrung by precedent andreinforced by well-intentioned bureaucratic practices, often will findit difficult to step into the larger, more important and more excitingrole of conceptualising new models and solutions.

I have argued that thriving in the networked age requiresgovernments to change the way they think and operate. Governments inthe future will not simply be bureaucratic providers of a narrow rangeof public goods. They will no longer merely occupy the spacetraditionally promulgated and occupied by governments to act asmonopolist service owner and direct service provider. Instead,governments will act as aggregators of networks, managers or partneredarrangements and buyers of diverse services and new forms of value. Inthis transformation, they will need to refashion their systems,practices, structures and skill sets in a way that reflects thegovernment’s new roles in service delivery and working through networkgovernance models.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 16

It is important to understand that today’s complex problems oftenrequire carefully integrated solutions. In certain instances,governments can act as their own ‘general contractor’, but that rolerequires the federal executive to think creatively across productlines and agencies, build an intergovernmental network before theprocurement process starts and find internal management talent thatcan creatively configure the best possible solution. When the capacityto do this is absent, executives must recognise that the ability ofthe private sector to properly integrate the parties into a solutionmight, in fact, be the most important asset to be procured.

The day-to-day business of working in networks is infinitely morecomplex and more difficult than managing a traditional bureaucracy. Itrequires a whole different set of skills. In addition to knowing aboutplanning, budgeting, staffing and other traditional government duties,networked management requires proficiency in a host of new tasks, suchas business process re-engineering, negotiation, mediation and networkdesign.

Unfortunately, such skills aren’t exactly plentiful in the publicsector, nor are they typically recognised or rewarded. The way to getahead in government has been to be an adviser on policy issues ordemonstrate a solid ability to manage government employees, not toshow proficiency in negotiating deals and managing third-party serviceproviders. As a result, some agencies don’t even have effectivecontract-management capabilities, much less the capacity to handle thevastly more sophisticated requirements of network management. Buildingsuch capacity requires not only far-reaching training and recruitmentstrategies, it requires a full-blown cultural transformation. What isrequired is nothing less than changing the definition of what it meansto be a public employee.

Contracting and relationship skills can no longer be the provinceonly of acquisition employees. People with these skills—skills thatcurrently are not highly valued in government—need to be recruited,rewarded and promoted. The reflexive opposition on the political leftto all things outsourced, and the failure of those on the right toacknowledge that far too many contracting endeavours fail to measureup to expectations, are symptomatic of a stale debate that is stillstuck in a 1980s ideological box. To succeed in an age of networkedgovernment, we need not only to update our approach to government, weneed to update our thinking.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 17

7. Penyusunan Model Kerja Sama Ciayumajakuning

Haris Budiyono

1. PendahuluanDalam konteks ini, kerja sama antar pemerintah daerah memiliki peran

strategis agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapatdiselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang merekamiliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Namun programpengembangan kerja sama biasanya mendapat bobot prioritas palingrendah dibandingkan dengan program-program lain, penempatankepentingan kerja sama antar daerah (KSAD) biasanya tersisihkan olehkepentingan program yang bersifat lebih pragmatis dan bahkan cenderungterabaikan oleh penempatan program yang dilandasi motif menuaipopularitas bagi kepala daerah.

2. Bentuk, Prinsip, Tahapan, dan Model Kerja Sama Antar Daerah Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentangPetunjuk Teknis Tata Cara Kerja sama Daerah terdapat 3 (tiga) bentukKerja Sama Antar Daerah (KSAD) dan Kerja Sama Daerah dengan PihakKetiga (KSPK), seperti tertuang pada ilustrasi berikut ini.

Perjanjian KSAD yang jangka waktunya lebih dari 5 (lima) tahundan atas persetujuan bersama, dapat dibentuk badan kerja sama daerah.Untuk menjamin tata kelola kerja sama yang baik, maka Peraturan

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 18

Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan KerjaSama Daerah telah mengarahkan 11 (sebelas) prinsip kerja sama, antaralain: efisiensi, efektivitas, sinergi, saling menguntungkan,kesepakatan bersama, itikad baik, mengutamakan kepentingan nasionaldan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, persamaankedudukan, transparansi, keadilan, dan kepastian hukum.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentangPetunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah telah mengatur tahapanpembentukan kerja sama antar daerah, ada 7 (tujuh) tahapan yang harusdilalui, yakni: persiapan, penawaran, penyiapan kesepakatan,penandatanganan kesepakatan, penyiapan perjanjian, penandatangananperjanjian, dan pelaksanaan.

Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah juga mengaturBentuk/Model Kerja Sama Antar Daerah. Ada 9 (sembilan) bentuk/modelkerja sama antar daerah yang dapat dilaksanakan, yakni: Kerja SamaPelayanan Bersama, Kerja Sama Pelayanan Antar Daerah, Kerja SamaPengembangan Sumberdaya Manusia, Kerja Sama Pelayanan denganPembayaran Retribusi, Kerja Sama Perencanaan dan Pengurusan, KerjaSama Pembelian Penyediaan Pelayanan, Kerja Sama Pertukaran Layanan,dan Kerja Sama Kebijakan dan Pengaturan.

3. Kajian Akademik Konsep Pengembangan Kerja Sama Antar Daerah Hakikat Kerja Sama

Thomson (2001); Thomson dan Perry (2006) dalam Keban (2009)menyebutkan bahwa “kerja sama” memiliki derajat yang berbeda, mulaidari koordinasi dan kooperasi (cooperation) sampai pada derajat yangpaling tinggi yaitu kolaborasi (collaboration). Para ahli pada dasarnyamenyetujui bahwa perbedaan terletak dalam kedalaman interaksi,integrasi, komitmen, dan kompleksitas dimana cooperation terletak padatingkatan terendah, sedangkan collaboration pada tingkatan yang palingtinggi.

Tujuan Kerja Sama Antar DaerahBentuk/model kerja sama yang dikembangkan dapat berdasarkan

tujuan kerja sama, yakni: mengatasi masalah secara bersama-sama(problem solving), meningkatkan kinerja pembangunan yang sudah ada secarabersama-sama (enhancing/optimizing), melaksanakan konsep/sistem barusecara bersama-sama (entrepreneuring), mengimplementasikan kesepakatannasional, regional, dan dunia (implementating), dan mengantisipasi danmempersiapkan diri terhadap potensi ancaman PEST (politik, ekonomi,sosial, dan teknologi) dan potensi perubahan iklim/lingkungan secarabersama-sama (anticipating)

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 19

Format Pengelolaan Kerja Sama Antar Daerah Format pengelolaan kerja sama antar daerah yang dituliskan oleh

Taylor (2003) dalam Tarigan (2009), yakni: Handshake Agreement; Fee forservice contracts (service agreements); Joint Agreements (Pengusahaan bersama);Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama); dan Regional Bodies(Pembentukan badan kerja sama daerah).

Tantangan dan Potensi Penyimpangan dalam Melaksanakan Kegiatanpada KSAD Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pada KSAD kelak bakalditemui beberapa tantangan dan potensi penyimpangan, yang perludicermati, antara lain: Mekanisme perencanaan pembangunan yang sudahtertata sedemikian rupa; Akuntabilitas penganggaran dan penggunaandana; Inovasi kegiatan; dan “Tour of Duty”.

Kesimpulan Berikut ini disampaikan beberapa hal penting yang menyangkut hasil kajian:

1. Fokus tujuan pengembangan KSAD Ciayumajakuning, yaknipengembangan KSAD berdasarkan kepentingan tujuan pengembanganekonomi daerah;

2. Aspek-aspek yang akan dikerjasamakan berdasarkan kepentingantujuan pengembangan ekonomi daerah Ciayumajakuning, meliputipelembagaan pengembangan ekonomi daerah, pengembangan sumberdaya manusia untuk pengembangan ekonomi daerah, penciptaaniklim usaha yang dapat menarik modal dan investasi, danpromosi untuk mendorong peran aktif swasta dan masyarakat;

3. Format (wadah) pengelolaan KSAD dengan istilah “RegionalManagement”, sebagai format (wadah) pengelolaan KSADberdasarkan kepentingan tujuan pengembangan ekonomi daerahCiayumajakuning. Istilah yang dipakai selanjutnya adalahpengembangan Kerja Sama Ekonomi Daerah (KSED) Ciayumajakuningdengan format (wadah) pengelolaan bernama “regional management”;

4. Hasil kajian melahirkan 3 (tiga) model “Regional Management”KSED Ciayumajakuning, yang selanjutnya oleh TKKSD Provinsiperlu didiskusikan, dibahas, dipilih, atau bahkan bila perludimodifikasi lebih lanjut, bersama dengan TKKSD kabupaten/kotadi wilayah Ciayumajakuning;

5. Direkomendasikan beberapa langkah/kontribusi/peran ProvinsiJawa Barat dalam rangka Pengembangan “Regional Management” KSEDCiayumajakuning, yakni: a. Kegiatan Seminar dan Lokakarya (Semiloka) : “Konsep dan

Model Regional Management KSED Ciayumajakuning”;

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 20

b. Kegiatan “Persiapan Pembentukan KSED Ciayumajakuning”; c. Hibah pendanaan untuk pembangunan kantor dan perlengkapan

kantor bagi pelembagaan “Regional Management KSEDCiayumajakuning”;

d. Hibah pendanaan untuk proses penyusunan kualifikasi, uraianjabatan, renumerasi, dan rekruitmen Dewan Eksekutif, TimMonevin, Tim Pakar, Direktur, dan Manajer bagi pelembagaan“Regional Management KSED Ciayumajakuning”;

e. Hibah pendanaan untuk operasionalisasi kantor dan pemenuhangaji/insentif kepengurusan “Regional Management KSEDCiayumajakuning” selama 1 (satu) tahun pertama.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 21

8. Doing Things Collaboratively:Realizing the Advantage or Succumbing to Inertia?Chris Huxham and Siv Vangen

Not everyone who works daily in collaborative alliances, partnerships or networks reports such negative experiences as those quoted above. Indeed the Financial Times (24 June 2003, p. 14) reports a Nokia executive as saying that their linkages are paying off. Others talk similarly enthusiastically about their partnership experiences:

When it works well you feel inspired ... you can feel the collaborative energy

We have kept detailed records about the challenges and dilemmas facedby managers, and of comments they make in the course of enacting theircollaborative endeavours. Many such statements are reproduced asillustrative examples in this article.

PERSPECTIVE 1: WE MUST HAVE COMMON AIMS BUT WE CANNOT AGREE ON THEMAgreement on aims is an appropriate starting point because it is

raised consistently as an issue. Common wisdom suggests that it is necessary to be clear about the aims of joint working if partners are to work together to operationalize policies.

PERSPECTIVE 2: SHARING POWER IS IMPORTANT, BUT PEOPLE BEHAVE AS IF IT’S ALL IN THE PURSE STRINGS

As with the previous perspective, the ‘pain’ associated withissues of power is often raised by practitioners of collaboration.Common wisdom is that ‘the power is in the purse strings,’ whichsuggests that those who do not have control of the financial resourceare automatically deprived of power. Viewed dispassionately, theseperceptions quite often seem at odds with ‘reality’ since most partiesdo, minimally, have at least the ‘power of exit.’

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 22

PERSPECTIVE 3: TRUST IS NECESSARY FOR SUCCESSFUL COLLABORATION, BUT WEARE SUSPICIOUS OF EACH OTHER

Issues relating to trust are also commonly raised byparticipants. The common wisdom seems to be that trust is aprecondition for successful collaboration. However, while theexistence of trusting relationships between partners probably would bean ideal situation, the common practice appears to be that suspicion,rather than trust, is the starting point. Often participants do nothave the luxury to choose their partners. Either imposed (e.g.government) policy dictates who the partners must be or, as expressedby the business development manager of the Far East operation of amajor oil producer below, the pragmatics of the situation dictate thatpartners are needed where trust is weak:

You may have to jump into bed with someone you don’t like inorder to prevent a competitor coming into the market.

PERSPECTIVE 4: WE ARE PARTNERSHIP-FATIGUED AND TIRED OF BEING PULLED IN ALL DIRECTIONS

In this perspective it is not so much the common wisdom but thetaken for granted assumptions that are to be challenged. One of the mostsurprising observations about collaborative situations is the frequencywith which clarity about who the collaborators are is lacking.Different members often list different partners from each other, andstaff who are very centrally involved in managing collaborations oftencannot name partners without referring to formal documentation.Reasons for this include the different statuses or commitment thatpeople or organisations have with regard to the network:

They were only involved to provide the financial support ...(rather than as a proper member);

PERSPECTIVE 5: EVERYTHING KEEPS CHANGING

Collaborative structures are commonly talked about as thoughstability of membership can be taken for granted, at least for a tangibleperiod. The ambiguity and complexity indicated in the previous sectionwould be difficult enough for participants to cope with if that werethe case. In practice, however, policy influences, which may beinternal but are frequently imposed externally, often generate

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 23

restructuring of member organisations. Merger and de-merger, newstart-ups and closures, acquisitions and sell-offs, and restructuringsare all commonplace. In turn, these imply a necessary restructuring ofany collaboration in which they participated.

PERSPECTIVE 6: LEADERSHIP IS NOT ALWAYS IN THEHANDS OF MEMBERS

Given the inherent difficulties with collaborative forms thathave been discussed so far, the issue of leadership seems highlyrelevant. Because traditional hierarchies do not exist incollaborative settings, it is appropriate to consider leadership in ageneral sense, rather than as specifically the realm of seniorexecutives or prominent public figures. Here, we consider leadershipas being concerned with the mechanisms that lead to the actual outcomes of acollaboration. Put simply, we are concerned with what ‘makes things happen’in a collaboration. More formally, this concern is with the formationand implementation of the collaboration’s policy and activity agenda.

PERSPECTIVE 7: LEADERSHIP ACTIVITIES CONTINUALLY MEET WITH DILEMMAS AND DIFFICULTIES

Despite the strong contextual leadership derived from structuresand processes, participants (whether or not they actually are members)do carry out leadership activities in order to move a collaboration forwardin ways that they regard as beneficial. In carrying out theseactivities, they do affect the outcomes of collaborative initiatives.However they are frequently thwarted by difficulties, so that theoutcomes are not as they intend. For example, despite his war ofattrition, the information manager quoted above was continuouslythwarted inhis attempts to create events in which key members of the partneringorganisations would jointly consider their modes of thinking andworking. Several dates set aside for group workshops were ultimatelyused for other kindsof meetings, as issues needing immediate attentionemerged.

DON’T WORK COLLABORATIVELY UNLESS YOU HAVE TOOne definite conclusion can, however, be drawn. That is, that makingcollaboration work effectively is highly resource-consuming and oftenpainful. The strongest piece of advice to managers (and policy makers)

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 24

that derives from the above perspectives, therefore, is ‘don’t do itunless you have to.’ Put rather more formally, the argument is thatunless potential for real collaborative advantage is clear, it isgenerally best, if there is a choice, to avoid collaboration. It is worthnoting, however, that collaborative advantage sometimes comes in non-obvious forms and may be concerned with the process of collaborating—for example from the development of a relationship with a partner—rather than the actual output.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 25

9. Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi: Isu Strategis, Bentuk Dan Prinsip

Yeremias T. Keban

A. Latar BelakangMandat untuk membina hubungan kerjasama antar daerah telah

diungkapkan dalam Nomor 22 Tahun 1999 sejak 1 Januari 2000 yangkemudian direvisi melalui UU Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini menunjukanbahwa Pemerintah RI memang telah menyadari arti pentingnya kerjasamaini. Namun sangat disayangkan bahwa sampai saat ini kebijakan tersebutbelum ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang bersifatteknis.

B. Mengapa Diperlukan KerjasamaDalam konteks ini, alasan utama diperlukan kerjasama antara

pemerintah daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayahadministratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyakpotensi yang mereka miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentinganbersama. Konsekuensinya adalah harus dilakukan pembenahanmicroorganizationnal abilities of governments di tingkat daerah – suatu bentukreformasi manajemen publik yang harus diperhatikan pemerintah saatini, dan tidak semata membenahi macroorganizational capacities ditingkat pusat (lihat Pollit & Bouckaert, 2000: 10).

Alasan lain dilakukannya kerja sama antar pemerintah daerahadalah sebagai berikut:

1. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat membentuk kekuatan yang lebihbesar..

2. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat mencapai kemajuan yang lebihtinggi..

3. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat lebih berdaya. 4. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat memperkecil atau mencegah

konflik. 5. Masing-masing pihak lebih merasakan keadilan. 6. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memelihara

keberlanjutan penanganan bidang-bidang yang dikerjasamakan.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 26

7. Kerjasama ini dapat menghilangkan ego daerah.

C. Beberapa Isu-isu Strategis Dalam kaitan dengan kerjasama tersebut terdapat tiga isu

strategis yang harus diidentifikasikan untuk kemudian dipelajari dandibenahi, yaitu (1) membenahi peran dan kemampuan Propinsi dalammenyelenggarakan fungsi kerjasama antar daerah atau “local governmentcooperation”, (2) menentukan bidang-bidang yang dapat atau patutdikerjasamakan, dan (3) memilih model-model kerjasama yang sesuaidengan hakekat bidang-bidang tersebut. Isu-isu ini dianggap strategiskarena posisinya sangat menentukan keberhasilan kerjasama antarpemerintah daerah di masa mendatang.

1. Peran dan Kemampuan PropinsiDi dalam menjalankan kewenangan ini, Propinsi tidak hanya memainkanperan sebagai pelaksana dan pengatur bidang tersebut secara langsungdan lintas Kabupaten/Kota, tetapi juga menyediakan dukungan/bantuankerjasama antar Kabupaten/Kota dalam bidang tertentu sepertipengembangan prasarana dan sarana wilayah, penanaman modal, industridan perdagangan, pertanian, dan sebagainya. Dengan demikian secaraformal, kerjasama antar Kabupaten/Kota harus diatur atau difasilitasioleh Propinsi

2. Bidang-bidang yang dikerjasamakanCara yang efektif untuk menentukan kebutuhan tersebut adalah

dengan mempelajari hakekat permasalahan yang dihadapi atau kebutuhanyang dirasakan dengan menggunakan prinsip “demand driven”, yaitu (1)apakah suatu masalah tersebut timbul dari luar wilayah administratif PemerintahDaerah dan telah memberikan dampak yang serius ke dalam wilayahadministratif Pemerintah Daerah yang bersangkutan, atau (2) apakahsuatu masalah timbul dari dalam suatu wilayah administratif Pemerintah Daerahdan telah memberikan dampak yang serius keluar wilayah administratifPemerintah Daerah yang lain. Cara untuk mengetahui dampak tersebutadalah dengan melakukan survey, kunjungan lapangan secara langsung,mendengar berbagai keluhan warga yang terkena dampak, melakukan focusgroup discussion dan penilaian terhadap keseriusan dampak tersebut.

D. Bentuk-Bentuk KerjasamaBentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi (1)

intergovernmental service contract; (2) joint service agreement, dan(3) intergovernmental service transfer (lihat Henry, 1995). Jeniskerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerahyang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara,

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 27

pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jeniskerjasama yang kedua diatas biasanya dilakukan untuk menjalankanfungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepadamasyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturanperpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran,kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenisk kerjasama ketigamerupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu dearah kedaerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana,kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik.

E. Prinsip-Prinsip Kerjasama Beberapa prinsip diantara prinsip good governance yang ada dapat

dijadikan pedoman dalam melakukan kerjasama antar Pemda yaitu: 1. Transparansi. 2. Akuntabilitas. 3. Partisipatif. 4. Efisiensi. 5. Efektivitas. 6. Konsensus. 7. Saling menguntungkan dan memajukan.

Selain enam prinsip umum di atas, beberapa prinsip khusus yang dapatdigunakan sebagai acuan dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah yaitu:

a. Kerjasama tersebut harus dibangun untuk kepentingan umum dankepentingan yang lebih luas

b. Keterikatan yang dijalin dalam kerjasama tersebut harusdidasarkan atas saling membutuhkan

c. Keberadaan kerjasama tersebut harus saling memperkuat pihak-pihak yang terlibat

d. Harus ada keterikatan masing-masing pihak terhadap perjanjianyang telah disepakati

e. Harus tertib dalam pelaksanaan kerjasama sebagaimana telahdiputuskan

f. Kerjasama tidak boleh bersifat politis dan bernuansa KKN g. Kerjasama harus dibangun diatas rasa saling percaya, saling

menghargai, saling memahami dan manfaat yang dapat diambilkedua belah pihak.

F. Penutup: Agenda Kegiatan

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 28

Pertama, mengidentifikasi kebutuhan akan bidang-bidang kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota dalam propinsi.Kedua, mengukur tingkat kemampuan Propinsi dalam menanganikerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota dalam wilayahnya. Ketiga, menyusun suatu bentuk desain training khusus dalammembantu Propinsi untuk memfasilitasi kerjasama antarKabupaten/Kota dalam wilayahnya.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 29

10. Hit or myth? Stories of collaborativesuccessChris Huxham and Paul Hibbert

Partnering is notoriously difficult; success rates as low as 20 per cent are often quoted. So, is success achievable or are the benefits to be gained from partnering just a myth?

Five types of collaborative success1. Achieving outcomes

People often point to particular outcomes for their shareholders,customers, clients or other stakeholders, but these can be outcomes ofradically different types.2. Getting the processes to work

People don’t just value the ‘end result’; they are proud ofgetting the processes right, too. The ‘how’ seems to matter at leastas much as the ‘what’. We were given many examples of process success,and these could be things that worked at the individual as well as theorganisational or inter-organisational levels. Clearly, processes areimportant to partnerships at all of these levels, and capturing thelearning from process successes could be helpful in the future. Thefirst step is to take the time to look for, and recognise, them.3. Reaching emergent milestones

Good project planning in partnership—setting plans and milestones—is standard practice for many. Emergent milestones are, however, different. These are not events planned from the start, but semi-serendipitous achievements as particular circumstances come together in a helpful way. They are signals that the partnership has really achieved something, however great or small, and they are important indicators of success for many.4. Gaining recognition—from others

People seem to value partnership processes that work and outcomesthat make a difference to the people they are serving not simply asends in themselves. Often, they or their organisations receivesomething that they value just as much: recognition. Personalrecognition seems to be the type of recognition that people mentionmost often, but they do like to see their organisations recognisedtoo. Both of these seem quite legitimate aspirations, so perhaps the

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 30

lesson is to not lose the people under the umbrella of thepartnership.5. Acknowledging personal pride in championing a partnership

As we have mentioned, people do seek recognition and therefore,perhaps understandably, they are often not shy about highlightingtheir role in ‘making things happen’. To be motivated, people have tobe able to identify with the success that is achieved and see it astheir own. Reaching the point at which individuals are willing toacknowledge overtly—and even promote—their own role in a partnershipis therefore significant. If people portray themselves as heroes in acollaboration story, it is a sure indicator of some of the other fourtypes of success, as well as being a positive outcome in itself.

Is successful collaboration just a myth?

The answer to this question is no! The collaborations we heardabout were definitely hits. They were success stories for at leastsome—and probably many—of the participants. They were, however,stories told with hindsight and at a moment in a partnership’s lifewhen success was tangible. When you are in the thick of normalpartnership life the story is likely to involve a lot of suspense andit might not be clear whether the plot involves a happy ending.

In those situations, it can be useful to think about the fivetypes of success. They can be useful landmarks, ways to acknowledgethe progress that is being made. Remembering that progress might notbe on a single dimension is important, as well as the fact thatpartners can find different things to celebrate in each dimension. The‘five types’ can form a useful basis for discussion between partnersabout past and future progress. They can also be useful indemonstrating value to external stakeholders.How to seek successful partnership

First, take courage! The newcomer to partnership working can findtheir optimism quickly eroded, and ‘battle-scarred’ wisdom can driftover into calculating cynicism—with devastating consequences for thepartnership. You need to have a clear sense of the benefits and awillingness to live with process pain and a level of risk in order toachieve the desired ends. All of this can be minimized through activemanagement of the collaboration. There will always be a need to managethe complex balance between processes, substantive outcomes andrecognition if commitment and energy are to be kept alive. Perhaps the

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 31

likelihood of being able to have a story of successful partnership torecount depends on the expectations that you bring to the enterprise.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 32

Hasil penelitian Kerjasama Antar Daerah

Oleh : M Husni Tamrin

NOPenelitian dan

JudulPenelitian

Fokus PenelitianMetode

Penelitian

Temuan / Hasil

1 Siti Zuhro TriRatnawati LiliRomli. Konflikdan KerjasamaAntarPemerintahdaerah : StudiKasusPengelolaanHubunganKewenanganDaerah di JawaTimur, BangkaBelitung danKalimantanTimur

Mengkaji konflikdan kerjasamaantara Provinsi –kabupaten / kotadi dalam satuprovinsi, antarkabupaten / kotalintas provinsidalam pengelolaankewenanganotonomi daerah.

StudiKasus,kualitatif –deskriptif dananalitis

Pengelolaan hubungankewenangan daerah danantar daerah bukanlah halyang mudah

Munculnya konflik ataubenturan kepentingan antardaerah sulit dihindari

Kerjasama yang berbentukbaik antar daerah danprovinsi, dan antar daerahcenderung minim

2 Pamudji (1985)Kerjasamaanatar Daerah;Dalam RangkaPembinaanWilayah

Kerjasamaantar daerahdalammengatasimasalah sampah

Kerjasamaantar daerahdalamperencanaanbersama umtukpengembanganwilayah

Kerjasamaantar daerahdalam usahapengamanan DASCimanuk

Kerjasamaantar daerahProvinsiTingkat I danNTT dalam

Deskriptif danStudiKasus

Kerjasama antar daerahdalam berbagai bentuk danruang lingkup yangdimumgkinkan olehperaaturan perundang-undangan yang berlaku,belum terwujud secara luas

Pemerintah daerah hinggadesa ini masih terpusatperhatiannya pada problemyang dihadapi dalam ruanglingkup terbatas, dimanakepentingan-kepentinganyang dapat mendorong keatas kerjasama anatardaerah belum tersorotsecara langsung

Permasalahan –permasalahan yang bersifatrutin telah menyita waktudan perhatian pemerintahdalam proses

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 33

rangkapengembangankepariwisataan

Kerjasamaantar daerahKalimantanSelatan,KalimantanTimur dalamsuatu proyekpengerukanterusan

Kerjasamaantar KodyaDati II BandaAceh denganKabupaten DatiII Aceh Besardalam rangkapembinaanproyekrekreasiPantai Lhoknga

penanganannya, sehinggausaha kreatif menujukerjasama antar daerahbelum dikembangkan.

3 Pratikno dkk(2007) ModelKerjasama AntarDaerah

Kerjasama antarProvinsi Dati IJawa Timur denganProvinsi Dati ISulawesi Tengandan Selatan dalampelaksanaanTransmigrasi

Kualitatif

Dalam Kasus Kartamantuldalam proses membangunlembaga antar daerah samabesarnya

Kasus Barlingmascakeb,tidak semua pemerintahmemiliki inisiatif

Peranan Kabupaten dan JavaPromo dan Peran KotaMakassar dalam peran KotaMakassar dalam SekberLomwil VI APEKSI danADEKSI besar

Format kelembagaan keempatlembaga tersebutmengadospsi bentuk “Actionnetwork”’ yaitu forumkoordinasi, monitoring danevaluasi

Dalam mekanisme kerjasamakeempat lembagra kerjasamaantar daerah tersebut

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 34

mengdopsi“intergovernmentalNetworks” demua mengadopsigovernance denganmelibatkan peran darisector privat danmasyarakat.

Bidang keuangan beberapakerjasama antar daerahmasih sepenuhnyamengandalkan sumberdayadari dukungan lembagainternasional

Sistem pendukung yangrelative masih lemah

4 Tim PenelitianProgram S2 PLODUGM (2007)Asosiasi antardaerah dalamTataPemerintahanIndonesia

AssosiasiAPPSI

APEKSI APKSI ADEPSI ADEKSI ADKSI

Studi danEtudiKomparasi

Asosiasi-asosiasi daerahbelum mampu menjadikekuatan “collectiveaction” yang efektif

Performance asosiasi-asosiasi secara umum masihlemah

Masih belum kuatnyaperformance assosiasi yangbaik sebagai kekuatansinergi antara daerahmaupun “interest group”berhadapan denganpemerintah pusat daninstrument kelembagaanmasih lemah

5 Hardi Warsono

(2004) ResolusiKonflik MenujuKerjasama AntarKota di EraOtonomi

Perumahan danpemukiman

Pengelolahanlimbah

Pengelolahanair bersih

Persampahan Pengendalian

banjirdrainase

Jalan dantransformasi

Kuaifikasi

Survey Focal

groupinterview

Kerjasama antar daerahtanpa kelembagaan permanen(forum koordinasi)

Kerjasama antar daerah ditingkat metro dankelembagaaan permanen(Badan Metropolitan)

Kerjasama antar daerahdengan kelembagaanprovinsi tanpa kelembagganpermanen

6 Tjahjanulin Penentuan Deskrip Penentuan bidang yang

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 35

Domai (2009)Implementasikebijakankerjasama antarDaerah dalamPemanfaatanSumberdayaDaerah (StudiKerjasama AntarDaerah DalamPerspektifSoundGovernance)

sumberdayayangdikerjasamakan

Prosesdibangunnyalembaga yangmenanganikerjasama

Implementasikerjasamaantar daerah

Pola kerjasamayang dipilihdanpermasalahan

Strategi danmodelmembangunkerjasamaantar daerah

tif –kualitatif

dikerjasamakan melaluiidentifikasi masalah,agenda kebijakan danpenetapan kebijakan

Digagas oleh YoogyakartaUrban Angglomeration tahun1989, tahun 1990 masing-masing Kepala Daerahmengeluarkan SK Tim KerjaMengatasi permasalahanYogyakarta, tahun 1991keluar SK Gubernurpenetapan Tim PrnyusunProgram PembangunanPrasarana Kota Terpadu(pembentukan Sekber)

Keputusan bersama BupatiBantul, Bupati Sleman danWalikota Yogyakartatentang pembentukanSekretariat bersamaKartamantul

Secretariat BersamaKartamantul memelikikewenangan yang penuhuntuk mengelola prasaranadan sarana perkotaanwilayah Yogyakarta,didukung oleh tenaga yangprofessional, komitmenyang tinggi, komunikasiyang efektif, koordinasiyang terarah, kapasitasyang memadai, perencanaanberdasarkan kebutuhan,kebijakan yang jelas danmanajeman sertakepemimpinan yang kuat.

Dipilih pola kerjasamadalam pemanfaatansumberdaya daerah danpemecahan masalah didaerah.

Strategi yang adaptif,proaktif, reaktif dan

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 36

akomodatif digunakandalammembangun kerjasamadalam membangun kerjasama(kemitraan) antar daerah.Modl otonom,interdependensi dan modelelit digunakan untukmembangunan kerjasama(kemitraan) antar daerah

7 Martin Lundin(2007) TheConditions forMultilevelGovernance :Implementation,Politics, andCooperation inSwedish, ActiveLabor MarketPolicy

Bagaimanapolitik lokalbisamempengaruhiaksi lokal

Kerjasamaantar agensiberkaitandengankepercayaan,kangruensitujuan,keterkaitansumberdaya

Apakahkerjasama bisameningkatkanimplementasikebijakan

Kualitatif –survey

Agensi lokal dari levelpemerintahan salingberhubungan dalamimplementasi kebijakan dilevel lokal

Aksi pemeritah lokal dimotivasi oleh kebutuhanlokal selain itu, ketikaagensi membutuhkan satusama lain kerjasama diantara mereka akanmeningkat

Idiologi politik tidakmemainkan peran pentingdalam aksi pemerintahlokal di dalam entitaskecil, tapi dalam entitasbesar, partisanshipmemiliki sebuah dampakyang nyata

Kepercayaan, kesamaantujuan dan keterekaitansumberdaya bisa menguatkankerjasama

Kompleksitas tugas bisadijalankan lewat kerjasamaantar organisasi yangintensif.

COLLABORATIVE GOVERNANCE (Konsep Kerjasama Antar Daerah / Negara) 37