empat karakter tokoh dongeng buton “wa ndiundiu”: sebuah pembacaan psikoanalisis sigmund freud

27
EMPAT KARAKTER TOKOH DONGENG BUTON WA NDIUNDIU”: SEBUAH PEMBACAAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD Four Characters on Butonese Fairytale Wa Ndiundiu: A Sigmund Freud Psikoanalysis Interpretation Syaifuddin Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara Jalan Haluoleo, Kompleks Bumi Praja, Anduonohu, Kendari Ponsel: 085247877676, Pos-el: [email protected] Naskah Masuk: 5 Maret 2015, disetujuai: 11 Mei 2015, revisi akhir: 25 Mei 2015 Abstrak: Wa Ndiundiuadalah dongeng yang dibangun melalui pergumulan karakter tokohnya. Setiap tokoh menampilkan watak sesuai kondisi kejiwaannya. Psikologi sastra adalah kajian yang memandang sastra sebagai aktivitas kejiwaan pelakunya. Permasalahan penelitian adalah bagaimanakah struktur kepribadian, kecemasan, dan klasifikasi emosi empat tokoh Wa Ndiundiu? Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan empat karakter tokoh Wa Ndiundiu, menggunakan teori Psikoanalisis Sigmund Freud. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif. Penulis menganalisis data dengan pendekatan tekstual, mengkaji aspek psikologisnya. Hasil penelitian menunjukkan tokoh Ayah adalah akumulasi karakter yang diliputi kecemasan, tanatos, dominasi id, kemarahan, kebencian. Wa Turungkoleo memiliki cinta, kesedihan, eros. Kecemasan terkendali oleh ego dan superegonya. La Mbatambata dikuasai alam bawah sadar dan fase id, muasal dorongan primitif yang belum dipengaruhi kebudayaan. Tokoh Wa Ndiundiu menghimpun beragam kerumitan kejiwaan. Antara id, ego, dan superego saling bersitegang pada jiwanya. Tiga kecemasan, eros dan tanatos, hadir sekaligus dalam dirinya. Beragam klasifikasi emosi mengelucak dan memengaruhi tindakannya. Kata Kunci: Dongeng, Karakter, Wa Ndiundiu, Psikoanalisis Sigmund Freud Abstract: Wa Ndiundiu is a kind of folktale which builds through the struggle of its characters. Every character show some characterizations which related with psychological problem. Psychology was used to describe psychological

Upload: independent

Post on 13-Nov-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

EMPAT KARAKTER TOKOH DONGENG BUTON“WA NDIUNDIU”: SEBUAH PEMBACAAN PSIKOANALISIS

SIGMUND FREUD

Four Characters on Butonese Fairytale Wa Ndiundiu:A Sigmund Freud Psikoanalysis Interpretation

Syaifuddin

Kantor Bahasa Sulawesi TenggaraJalan Haluoleo, Kompleks Bumi Praja, Anduonohu, KendariPonsel: 085247877676, Pos-el: [email protected]

Naskah Masuk: 5 Maret 2015, disetujuai: 11 Mei 2015, revisi akhir: 25 Mei 2015

Abstrak: “Wa Ndiundiu” adalah dongeng yang dibangun melaluipergumulan karakter tokohnya. Setiap tokoh menampilkan watak sesuaikondisi kejiwaannya. Psikologi sastra adalah kajian yang memandang sastrasebagai aktivitas kejiwaan pelakunya. Permasalahan penelitian adalahbagaimanakah struktur kepribadian, kecemasan, dan klasifikasi emosi empattokoh Wa Ndiundiu? Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan empatkarakter tokoh Wa Ndiundiu, menggunakan teori Psikoanalisis SigmundFreud. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif. Penulis menganalisis datadengan pendekatan tekstual, mengkaji aspek psikologisnya. Hasil penelitianmenunjukkan tokoh Ayah adalah akumulasi karakter yang diliputikecemasan, tanatos, dominasi id, kemarahan, kebencian. Wa Turungkoleomemiliki cinta, kesedihan, eros. Kecemasan terkendali oleh ego dansuperegonya. La Mbatambata dikuasai alam bawah sadar dan fase id, muasaldorongan primitif yang belum dipengaruhi kebudayaan. Tokoh Wa Ndiundiumenghimpun beragam kerumitan kejiwaan. Antara id, ego, dan superegosaling bersitegang pada jiwanya. Tiga kecemasan, eros dan tanatos, hadirsekaligus dalam dirinya. Beragam klasifikasi emosi mengelucak danmemengaruhi tindakannya.

Kata Kunci: Dongeng, Karakter, Wa Ndiundiu, Psikoanalisis SigmundFreud

Abstract: Wa Ndiundiu is a kind of folktale which builds through the struggleof its characters. Every character show some characterizations which relatedwith psychological problem. Psychology was used to describe psychological

fact of its characters. The problem which describe in this article is theactivity of four characters in this folktale, they are structure of personality,anxiety, emotional classification. The objective of this article is describingthe personality of four characters in this folktale by using Sigmund FreudPsychoanalysis. This article using descriptive qualitative method and textualapproach. The result of the analysis show that the first character “Ayah” is acharacter with anxiety, tanatos, id, madness, and hateness. The secondcharacter “Wa Turungkoleo” is a character that has love, sadness, and eros.His anxiety can be controlled by her ego and super ego. The third character,La Mbatambata is still driven by his subconscious mind and id phase as aplace of primitive stimulus which is influenced by the culture. The fourthcharacter, Wa Ndiundiu collects the entire psychological situation in hercharacterization. Three types of anxiety, eros, and tanatos have been existedin her characterization. Many types of emotional feeling has been disturbedin her mind and influenced her action.

Keywords: Folktale, Character, Wa Ndiundiu, Sigmund FreudPsychoanalysis

1. Pendahuluan

Dongeng adalah salah satu jenis cerita rakyat atau sastra lisan yangpenuturannya disampaikan secara berkisah yang bersifat prosa. Sebagaikisah yang dimiliki secara kolektif, sastra lisan atau dongeng bukanlahhasil ide satu orang, tetapi mungkin berasal dari masyarakat yang diangkatoleh seseorang berkat ketajaman penghayatannya (Rusyana dalamAmriani, 2011:304). Sementara itu, menurut Danandjaya dongeng adalahcerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Selanjutnyadikatakan bahwa dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walapunbanyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), ataubahkan sindiran (1994: 83). Selain dapat menghibur, dongeng dilahirkanterutama sebagai medium penyampai nilai yang hidup di masyarakatpendukungnya.

Dongeng dapat dinikmati sebagai karya sastra yang dibangunmelalui pergumulan karakter atau tokoh-tokohnya. Dengan kata lain,membaca dongeng adalah membaca setiap gerak dan sifat karakter yangmenghidupkan cerita. Setiap karakter menampilkan berbagai watak danperilaku yang terkait dengan masalah kejiwaan dan pengalaman psikologisatau konflik, sebagaimana yang dialami manusia dalam kehidupan nyata.

Dengan demikian, psikologi memiliki peran di dalam mengungkapfakta kejiwaan para tokohnya.

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastrasebagai aktivitas kejiwaan. Karya sastra dipandang sebagai fenomenapsikologis, akan menampilkan aspek kejiwaan melalui tokohnya jika teksyang dikaji berupa drama maupun prosa. Dengan demikian, asumsi dasarpenelitian psikologi sastra dipengaruhi, setidaknya dua hal. Pertama,adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatukejiwaan dan pemikiran pengarang pada situasi setengah sadar(subconcious) setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar(conscious). Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai proses imajinasipengarang. Kedua, kajian psikologi sastra selain meneliti perwatakantokoh secara psikologis juga aspek pemikiran dan perasaan pengarang(Endraswara, 2003: 96).

“Wa Ndiundiu” adalah sebuah dongeng yang hidup di masyarakatButon, memperlihatkan pergulatan psikologis setiap karakter tokoh yangkompleks dan unik. Sehingga tingkah laku, respon, dan sikap setiap tokohadalah pengejewantahan kondisi psikologis yang bersemayam di dalamdirinya. Dengan demikian, memelajari atau menerapkan analisis psikologisastra sebenarnya sama dengan memelajari manusia dari sisi dalam.

Dongeng “Wa Ndiundiu” menjadi sangat relevan dan pentingdidekati dalam pembacaan psikologi karena lebih memberi kesempatanuntuk mengkaji lebih dalam aspek psikologis tokohnya. Selain itu, untukmembuktikan bahwa karya sastra, khsusunya Wa Ndiundiu, memilikiaspek kejiwaan yang sangat kaya dan khas. Dengan demikian, setiaptindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya tidak dapat dilepaskan daripengaruh kondisi kejiwaan yang melekat padanya.

Pengkajian psikologis sastra tentunya berangkat dari aspek sastrawisebuah karya sastra itu sendiri. Itulah sebabnya, tokoh menjadi fokusutama di dalam penelitian karena dari sosoknyalah aspek-aspek kejiwaanyang mengemuka di dalam karya sastra, melekat dan termanipestasikan.Pada titik ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Minderop (2011:3) bahwaterkait dengan psikologi, terutama psikologi kepribadian, sastra menjadisuatu bahan telaah yang menarik karena sastra bukan sekadar telaah teksyang menjemukan tetapi menjadi bahan kajian yang melibatkanperwatakan/kepribadian para tokoh rekaan, pangarang sastra, danpembaca.

Untuk penelitian mengenai dongeng “Wa Ndiundiu” dari aspekpsikologis, penulis menggunakan teori Psikoanalisis Sigmund Freud yangmenitikberatkan analisis pada fungsi dan perkembangan mental manusia.

Teori psikoanalisis Sigmund Freud sangat relevan dengan kondisidan pergumulan psikologis keempat tokoh di dalam Dongeng WaNdiundiu. Keempat karakter tokoh yaitu Ayah, Wa Ndiunidu (Ibu), WaTurungkaleo (kakak), dan La Mbatambata (adik) adalah empat sifat yangkini terus-menerus dikenang masyarakat Buton sebagai ingatan kolektifyang tidak dapat dilepaskan dari kenyataan geografis dan kultural Buton.

Secara skematis Sigmund Freud mengambarkan jiwa sebagaiGunung Es. Bagian yang muncul di permukaan air merupakan bagianterkecil yaitu puncak dari Gunung Es itu yang dalam hal kejiwaan adalahbagian kesadaran (conciousnes), agak di bawah permukaan adalah bagianprakesadaran (sub conciousness) dan bagian terbesar terletak di dasar airyang dalam hal kejiwaan merupakan alam ketidaksadaran(unconciousness). Sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan mausiadikuasai oleh alam ketidaksadaran dan berbagai kelainan tingkat lakudapat disebabkan karena faktor-faktor yang terpendam dalam alamketidaksadaran.

Sebagai dongeng yang sangat familiar di masyarakat Buton,Dongeng “Wa Ndiundiu” telah mendapat penelitian dari berbagai pihak.Pada tahun 1985, M. Arief Mattalitti melakukan penelitian yang berjudulSastra di Buton. Dari 23 cerita yang diterbitkan, salah satunya adalah WaNdiundiu. Penelitian ini dimaksudkan sebagai pemetaan dan pengumpulandata saja, meskipun tetap menjelaskan beberapa unsur pembangun ceritaseperti tema cerita, pelaku cerita, dan fungsi cerita.

Sumiman Udu dkk. juga telah melakukan penelitian tentangDongeng Wa Ndiundiu tahun 2005. Penelitian tersebut menitikberatkananalisis perspektif gender. Sumiman Udu dkk menyimpulkan bahwa peranpublik dilakukan oleh laki-laki, sedangkan perempuan tinggal dalam ruangdomestik. Peran domestik dilakonkan oleh perempuan yang berakibatmendapat perlakuan tidak senonoh dari suami. Aspek sosial diperankanlaki-laki sedangkan aspek keagamaan diarahkan untuk menyudutkanperempuan. Aspek kepemilikan dimiliki laki-laki dan pengambilankeputusan didominasi laki-laki (2005: 107—112). Akan tetapi, keduapenelitian tersebut belum menganalisis aspek kejiwaan terhadap setiaptokohnya.

Berdasarkan uriaan tersebut, penelitian ini berfokus kepada aspekkejiwaan tokoh-tokohnya. Adapun yang menjadi permasalahan dalampenelitian ini adalah bagaimanakan struktur kepribadian, kecemasan(anxiety), dan klasifikasi emosi keempat tokoh Dongeng “Wa Ndiundiu”sebagaimana teori Psikoanalisis Sigmund Freud?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptifkualitatif. Menurut Moleong (2001:3) sebagaimana yang dikatakan olehBogdan dan Taylor bahwa metode kualitatif adalah prosedur penelitianyang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dariorang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sumber data penelitian iniadalah Cerita Rakyat Tradisional Wolio (Buton) yang disunting olehAbdul Mulku Zahari tahun 1979. Penelitian kualitatif, pada hakikatnya,berusaha mengamati, melakukan interaksi, memahami, dan menafsirkansesuatu yang menjadi fokus penelitian, dengan tujuan antara lainmemperoleh pemahaman dan makna. Dalam kaitannya dengan penelitianini, penulis melakukan pembacaan yang menyeluruh atas dongeng “WaNdiu-ndiu” untuk memahami struktur, terutama karakter tokohnya.Selanjutnya, akan diperoleh gambaran mengenai kondisi atau aspekpsikologisnya yang akan menjadi wilayah yang akan dianalismenggunakan teori Psikoanalisis Sigmund Freud yaitu strukturkepribadian, kecemasan, dan klasifikasi emosi.

2. Kajian Teori2.1.Sasra Lisan dan Dongeng

Sebagai sastra daerah, dongeng merupakan salah satu hasilkreativitas masyarakat daerah, merupakan kebudayaan daerah yangmerupakan sarana ekspresi budaya (Mastuti, 2014: 97). Heddy ShriAhimsa Putra (2006: 77) menjelaskan bahwa dongeng merupakan sebuahkisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari khayalanmanusia, walaupun unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang adadalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam khayalan ini, manusiamemperoleh kebebasannya yang mutlak. Di situ bisa ditemukan hal-halyang tidak masuk akal, yang tidak mungkin ditemui dalam kehidupansehari-hari.

Dongeng, dalam pandangan ahli folklor, James Danandjaja(1994:83), merupakan cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benarterjadi. Selain berisikan banyak pelajaran moral atau sindiran, dongengterutama diceritakan hanya sebagai hiburan, walaupun banyak juga yangmelukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran.Berdasarkan uraian tersebut, istilah dongeng mencakup apa yang disebutoleh Danandjaja sebagai mite atau dongeng tentang dewa, legenda atauasal-usul, dongeng binatang, dan dongeng biasa. Oleh karena itu,membahas sastra lisan “Wa Ndiundiu” menggunakan teori PsikoanalisisFreud dalam kedudukannya sebagai dongeng menggunakan pengertiannya

sebagaimana yang dikemumakan oleh Danandjaja dan Heddy ShriAhimsa Putra.

2.2. Tokoh dan KarakterMenurut Tarigan (1984:149) bahwa analisis mengenai motif,

gambaran psikologis, uraian fisik adalah juga merupakan sarana-saranapenting dalam memperkenalkan tokoh. Lalu dijelaskannya bahwa tokoh ituadalah gerak atau character is action. Masih sekaitan dengan karakter,Sudjiman (dalam Husen (2002: 86) mengatakan bahwa tokoh (karakter)adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalamberbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama (protagonis), adajenis tokoh lain, yang terpenting adalah tokoh lawan (antagonis) yaknitokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama. Hal yang pentingdan relevan dengan penelitian ini adalah bahwa konflik di antara merekaitulah yang menjadi inti dan menggerakkan cerita. Selanjutnya menurutStanton (2007: 33) bahwa karakter merujuk pada individu-individu yangmuncul dalam cerita.

Hal senada dikatakan Ibrahim (2013: 263), karakter ialah tabiat ataukebiasaan. Sementara menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuahsistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorangindividu. Karakter dapat dibagi dua yaitu karakter positif dan karakternegatif. Adapun Nurgiantoro (2000: 165) mengatakan bahwa characterdapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’. Antaraseorang tokoh dan perwatakan yang dimilikinya, memang, merupakansuatu kepaduan utuh. Minderop (2011:98) mengatakan bahwa perwatakanadalah kualitas nalar dan perasaan para tokoh di dalam suatu karya fiksiyang dapat mencakup tidak saja tingkah laku, tabiat, atau kebiasaan, tetapijuga penampilan.

Menurut seorang pakar kepribadian, G. Ewald yang dikutipSuryabrata, watak (charakter) sebagai totalitas dari keadaan-keadaan dancara bereaksi jiwa terhadap perangsang. Katanya, secara teoritis watakdibedakan atas dua jenis yaitu watak yang dibawa sejak lahir dan watakyang diperoleh. Watak bawaan merupakan aspek dasar daripada watakkarena erat hubungannya dengan keadaan fisiologis, yaki kualitas susunansyaraf pusat. Sedangkan watak yang diperoleh yakni watak yang telahdipengaruhi oleh lingkungan, pengalaman, dan pendidikan (Suryabrata,1988: 89).

2.3 Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

Sigmund Freud melihat manusia dalam keadaanya yangmemiliki kondisi kejiwaan yang kompleks. Freud menjelaskan bahwaketika orang memikirkan pengalaman hidupnya yang panjang, diamungkin berkata betapa banyak kekecewaan dan kepedihan yangdialaminya. Itu tidak akan terjadi jika saja dia berani menginterpretasikantanda-tanda yang ada sebagai kesalahan yang diperbuatnya danmenganggap kesalahan itu sebagai pertanda kecenderungan yangmelatarbelakangi tindakannya (Freud, 2009: 55).

Selanjutnya ia menjelaskan tentang kecemasan sebagai gejalakejiwaan manusia yang akan memengaruhi tindakannya. Freud membagikecemasan ke dalam tiga jenis yaitu, kecemasan objektif, kecemasanneurotik (neurotic anxiety), dan kecemasan moral (moral anxiety). Freudkemudian menjelaskan bahwa kecemasan yang pertama menunjukkan rasasakit yang serius, dan yang terakhir merupakan bentuk-bentuk keanehan(2009: 425).

Ketiga fobia (kecemasan) ini dikelompokkannya menjadi histeryakecemasan. Tiga kecemasan tersebut sangat penting artinya dalamPsikoanalisis Freud. Hilgard (dalam Minderop, 2011: 28) menjelaskanbahwa kecemasan objektif merupakan respon atas realitas ketika seseorangmerasakan bahaya dalam suatu lingkungan (menurut Freud kondisi inisama dengan rasa takut karena ada objek yang ditakuti). Sedangkankecemasan neurotik berasal dari konflik bawah sadar dalam diri individu,karena konflik tersebut tidak disadari orang tersebut orang tersebut tidakmenyadari alasan dari kecemasan tersebut. Kecemasan moral merupakankata lain dari rasa malu, rasa bersalah atau rasa takut mendapat sanksi.Kecemasan ini bisa muncul karena kegagalan bersikap konsisten denganapa yang mereka yakini benar secara moral, misal tidak mampu mengurusorang tua yang memasuki usia lanjut.

Susanto (2012:57), menjelaskan bahwa Psikoanalisis SigmundFreud memusatkan perhatiannya pada satu konsep, yakni ketidaksadaran.Sigmund Freud menyebutnya sebagai dimensi yang tidak bersuara,tersembunyi, atau pun realitas psikologis. Secara umum, ketidaksadaran itusendiri diartikan sebagai satu rumah dari pengalaman-pengalaman yangmenyakitkan, tidak menyenangkan, dan emosi-emosi yang lain sepertigembira, hasrat, kecemasan, konflik atau ketegangan yang tidakterselesaikan, kesedihan, keinginan seksual, dan lain-lain.

Hal ini juga dijelaskan oleh Minderop (2011: 10—44), psikoanalisisSigmund Freud berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mentalmanusia. Meskipun pada awalnya bermula pada masalah seksual,Psikoanalisis Sigmund Freud dapat digunakan pada aspek kejiwaan yang

lebih mendalam bagi manusia. Minderop kemudian menjelaskan hal-hal yang menjadi ranah Psikoanalisis Freud yaitu stuktur kepribadian,kecemasan, klasifikasi emosi, dan mekanisme pertahanan. Strukturkepribadian Freud terdiri atas id (Das Es), ego (Das Ich), dan superego(Das Ueber Ich). Adapun kecemasan (anxiety) terbagi atas tiga jenis yaitukecemasan realistik (realistic anxiety), kecemasan neurotik (neuroticanxiety), dan kecemasan moral (moral anxiety). Klasifikasi emosiPsikoanalisis Sigmund Freud terdiri atas rasa bersalah, rasa bersalah yangdipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan, kebencian, dancinta.

Berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud analisis teks atasDongeng “Wa Ndiundiu” yang fokus pada struktur kepribadian,kecemasan, dan klasifikasi emosi.

.3. Hasil dan Pembahasan

Dongeng “Wa Ndiundiu” adalah sebuah sastra lisan yang hidup danbertahan di tengah masyarakat Buton. Betapa tidak, “Wa Ndiundiu”menjadi dongeng pengantar tidur bagi setiap generasi sehingga kisahtersebut tidak pernah lekang oleh waktu dan terus-menerus hidup diingatan kolektif setiap generasi. Dongeng “Wa Ndiundiu” memiliki empatkarakter yaitu Ayah, Wa Ndiundiu (Ibu), La Mbatambata (anak), dan WaTurungkoleo (kakak). Keempat karakter tersebut membentuk satu jalinancerita beralur maju, dikisahkan secara kronologis. Pada Dongeng WaNdiundiu, karakter Ayah tidak memiliki nama tersendiri, tidak sepertikarakter ibu yang memiliki nama yaitu Wa Ndiundiu. Selanjutnya, duakarakter lain yaitu adik dan kakak masing-masing bernama LaMbatambata (laki-laki) dan Wa Turungkoleo (perempuan).

Pada umumnya, keempat karakter di dalam Dongeng Wa Ndiundiumemiliki kedudukan signifikan di dalam cerita. Artinya, jika ada tokohyang hilang, akan memengaruhi jalinan cerita. Meskipun dongeng tersebuttergolong pendek, akan tetapi makna yang dikandungnya cukup panjangdan dalam. Hubungan antartokoh tergolong rumit dan tidak biasa. Tidakada karakter atau tokoh yang sekadar disebut namanya tetapi tidak hadirsecara fisik di dalam cerita. Dengan demikian, keempat karakter tersebutmemiliki peran, pesan, dan relasi berbeda-beda yang akan dibahas satu persatu berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud berikut ini.

3.1 Karakter AyahTokoh Ayah mengalami kompleksitas kecemasan yaitu kecemasan

moral (moral anxiety) disebabkan oleh perilakunya sendiri. Dorongan

psikisme alam bawah sadarnya sangat dominan sehingga ia tidakmemerhatikan nilai moral dan kepatutan dalam tindakannya. Di dalamDongeng “Wa Ndiundiu”, Ayah adalah satu-satunya karakter yang tidakmemiliki nama. Makna dari ketiadaan nama tersebut yaitu bahwa watakyang disandangnya jauh lebih penting dibanding hanya “sekadar” namayang dilekatkan padanya. Atau dengan kata lain bahwa dalam kontekscerita Wa Ndiundiu, akibat yang lahir dari watak tokoh Ayah jauh lebihbesar pengaruhnya bagi nasib tokoh-tokoh lainnya. Nasib tokoh-tokohlainnya lebih banyak diakibatkan oleh akibat perilaku yang dimiliki tokohAyah.

Seperti apakah karakter yang tumbuh pada tokoh Ayah sehingasedemikian rupa berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sebuah rumahtangga? Bagaimanakah akibatnya bagi tokoh-tokoh lainnya sehinggamenimbulkan tragedi besar kemanusiaan yaitu beralihnya kehidupanmanusia menjadi kehidupan binatang laut? Mari kita baca kutikan awalcerita ini.

“Pada suatu hari, sebagaimana hari biasanya, ia akan pergi melautuntuk menjaring ikan. Namun, sebelum dia pergi ke laut kembaliuntuk memasang jaring, dia berpesan kepada istrinya agar jangansekali-kali ada yang meminta ikan garam yang tergantung diperapian dapur”.

Kalimat “Agar jangan sekali-kali ada yang meminta ikan garamyang tergantung di perapian dapur” adalah penanda awal bahwa Ayahadalah tokoh yang pelit bagi keluarganya sendiri. Struktur kepribadian id(das es) sudah mulai berperan secara naluriah. Jika kita melihat ceritasecara holistik, pesan tokoh Ayah dapat juga dimaknai sebagai ujian bagikesetiaan istrinya. Akan tetapi, jika melihat bagian akhir cerita mengenaiperilaku ayah yang menghabiskan ikan anak-anaknya yang merupakanpemberian ibunya, menjadi tanda bahwa memang tokoh Ayah adalahseorang pelit yang tidak memiliki kebaikan hati bagi keluarganya sendiri.Di sini, struktur kepribadan dalam bentuk id menjadi bagian palingdominan dalam dirinya, sehingga egonya tidak berperan ke arah positif danjuga tidak ada kearifan superego yang dapat menahan untuk melakukanperbuatan yang tidak semestinya.

Pesan Ayah terhadap istrinya secara tersirat menyimpan kecemasanobjektif dan neurosis karena ada ketakutan dan kekhawatiran jika “ikangaram” tersebut diketahui keberadaan dan wujud aslinya. Kecemasantokoh Ayah menjadi semakin terkuak ketika ia pulang memasang jaringikan dan mendapati anaknya makan ekor ikan yang dilarangnya itu. Di

sini, kecemasan objektif dan neurosis, menyatu dalam satu peristiwadan tindakannya sekaligus. Ia cemas pada ikan garam yang ditemukan,sekaligus cemas kepada perilakunya yang menyembunyikan ikan garamitu. Akibatnya, penumpukan kecemasan itu ia wujudkan dengan caramemukul istrinya menggunakan “perkakas tenun” sampai hidung dantelinga istrinya mengeluarkan darah yang mengakibatkan pingsan.

Tokoh Ayah selaku suami dan kepala rumah tangga, juga tidakmemiliki belas kasihan. Hal ini dapat diketahui saat istrinya memilihmeninggalkan rumah akibat perbuatannya. Meskipun ia pada mulanyamenyesal setelah melihat istrinya pingsan akibat pukulannya, akan tetapitidak ada upaya mencari istrinya dan tidak ada reaksi untuk mengasihianak-anaknya yang masih kecil yang ditinggalkan ibunya. Di sini,kecemasan moral (moral anxiety) akibat perbuatan kasar itu membetotdirinya, sehingga ia hanya dapat mengurung diri di rumah agartindakannya tidak diketahui oleh orang banyak .

Kecemasan yang mendera tokoh Ayah merupakan perpaduankecemasan dari dalam dan luar. Kecemasan dari dalam karena pelanggaranyang dilakukan istrinya sudah dapat merusak martabatnya sebagai suami.Hal ini dapat pula berdampak ke luar yaitu secara sosial dalam statusnyasebagai kepala keluarga.Meskipun tidak dimunculkan dalam cerita, kondisi ekonomi keluarga WaNdiundiu dapat dikatakan tidak berkecukupan. Hal ini dapat diketahuikarena pekerjaan tokoh Ayah semata melaut dan ibu hanya “tinggal dirumah saja”. Bagian lain yang memaparkan hal ini adalah ketika sang istriberubah jadi ikan duyung, mereka hanya makan ikan pemberian ibu.Dapatlah dikatakan bahwa tokoh Ayah tidak punya kreativitas lain untukmenunjang kehidupan keluarganya. Tidak memiliki pekerjaan yangberpenghasilan tetap merupakan faktor pendorong kecemasan moral(moral anxiety), sehingga ketika mendapatkan alasan untuk marah, tokohAyah pun langsung bereaksi dengan cara memukul istrinya hinggaberdarah.

Dari segi klasifikasi emosi, tokoh Ayah memperlihatkan kemarahanyang tidak terbendung, sebagai reaksi atas pelanggaran pesannya.Kemarahan, sebagaimana yang dikatakan Krech (dalam Minderop, 2011:39) adalah salah emosi yang paling mendasar (primary emotions). Di sisilain, tokoh Ayah tengah memamerkan rasa kebenciannya (hate) kepadaistri. Kebencian dalam klasifikasi emosi Freud bertujuan menghancurkanobjek yang menjadi sasaran kebencian. Pada konteks cerita ini, yangmenjadi objek adalah istri.

Kebencian (hate) tersebut dipertontonkan sang Ayah ketikaanak-anaknya yang menghabiskan seluruh ikan pemberian ibunya. Wujudkebencian dalam bentuk pemukulan itu ia juga lakukan di hadapananaknya. Secara naluriah, dalam teori Freud, tokoh Ayah menyimpaninsting tanatos secara samar di bawah alam sadarnya, melalui wujudtindakan fisik dan kebencian yang dia lakukan. Ketiadaan kasih sayang,pemukulan, dan perampasan ikan kepada anaknya adalah sebuah ekspresimeledaknya “gunung es” ketidaksadarannya ke atas permukaan.

Jika kita menggunakan bahasa modern apa yang dilakukan olehtokoh Ayah adalah termasuk kategori KDRT atau kekerasan dalam rumahtangga. Kekerasan tersebut tergolong berat karena mengakibatkanpendarahan dari telinga dan hidung istri dan mengakibatkan pingsan.Perbuatannya selain mengakibatkan rumah tangganya berantakan, jugaberakibat penderitaan bagi istri dan kedua anaknya. Penderitaan tersebuttidak hanya sebatas fisik tetapi juga psikologis. Bahkan hal yang lebih fataladalah “terkutuknya” sang istri menjadi bangsa ikan yaitu ikan duyung.

Ditinjau dari segi struktur kepribadian menurut Freud, id (das es)tokoh Ayah lebih berperan dibanding ego (das ich), dan superego (dasueber ich). Id (das es) yang hanya meminta pemenuhan lahiriah dan hawanafsu, termanifestasikan pada tindakan pemukulan tanpa adanyakompromi. Hal ini menunjukkan bahwa ego (das ich), sang Ayah lebihcondong ke wilayah negatif, sedangkan superegonya sama sekali tidakberperan. Tokoh Ayah pada dongeng “Wa Ndiundiu” adalah akumulasikarakter yang diliputi kecemasan (anxiety), pemuasan kebutuhan naluriahdan dasariah (id), kemarahan, dan kebencian yang tidak terkontrol. Haltersebut berakibat pada kekerasan fisik yang berefek pada aspek psikisistrinya hingga berdarah, pingsan, dan meninggalkan rumah.

3.2 Karakter Wa TurungkoleoKarakter lain yang terlibat di dalam Dongeng “Wa Ndiundiu” adalah

Wa Turungkoleo. Wa Turungkoleo adalah anak pertama yang berjeniskelamin perempuan. Ia adalah tokoh yang paling dekat secara emosionaldengan tokoh La Mbatambata, anak bungsu yang menjadi pemicu tragediWa Ndiundiu. Wa Turungkoleo boleh dikata adalah saksi atas peristiwayang dialami tiga tokoh lainnya yaitu La Mbatambata memakan ekor ikanAyah yang dilarang, murkanya sang Ayah, dipukulnya sang Ibu (WaNdiundiu), dan minggatnya ibu dari rumah menuju laut menjadi seekorikan duyung.

Pada diri Wa Turungkoleo, bersemayam kecemasan objektif danneurosis sebagai reaksi atas perlakukan ayahnya kepada ibunya dan

dampak yang diperoleh adiknya karena kepergian ibunya. WaTurungkoleo berada dalam pusaran kecemasan yang didapat karena adanyafaktor dalam dan luar yang menakutkan. Ia cemas melihat perilakukekerasan ayahnya terhadap ibunya. Ia juga takut melihat ibunya yangmeninggalkan rumah. Pada sisi lain ia cemas melihat keadaan dan nasibyang menimpa adiknya yang masih bayi, yang masih membutuhkan airsusu ibu.

Menurut Sigmund Freud (2009: 444—445), kecemasan objektifadalah reaksi terhadap persepsi bahaya eksternal terhadap suatu cederayang diramalkan dan diketahui sebelumnya. Rekasi Wa Turungkoleo diatas sangat relevan dengan apa yang dikatakan Freud. Ia cemas kepadatindakan dan akibat dari tindakan ayahnya. Reaksi paling mungkin ialakukan adalah dengan tidak melawan ayahnya serta membawa LaMbatambata mencari ibunya yang pergi.

Wa Turungkoleo adalah tokoh yang tidak memiliki andil terjadinyapetaka di keluarganya, sehingga dapat dikatakan ia adalah korban.Meskipun demikian, ia tetap memiliki rasa kasih sayang yang dalamterhadap adiknya yang masih menyusui tetapi harus menanggung bebanditinggalkan ibunya. Ketika ibunya pergi ia pun menangis seperti kutipanberikut: “Ketika malam tiba, La Mbatambata haus ingin menyusui makaWa Turungkoleo menangis mencari ibunya”. Pada keadaan ini, WaTurungkoleo tengah memanifestasikan naluri hidup (eros), selain bagidirinya, terutama bagi adiknya. Padahal, pada saat yang sama ia sementaraterancam akibat naluri tanatos yang menguat dalam diri ayahnya, nalurimembunuh yang destruktif.

Pada diri Wa Turungkoleo terdapat rasa kesedihan (grief) dan cinta(love) sebagai perwujudan emosi yang terdapat di dalam dirinya.Kesedihan terjadi karena ia melihat langsung ibunya dipukul oleh ayahnya.Rasa sedih itu bertambah ketika sang ibu meninggalkan rumah untukselamanya. Rasa sedih itu semakin memuncak ketika adiknya, LaMbatambata, juga ikut kehilangan ibu dan tidak dapat menikmati air susuibu dan kasih sayang ibu.

Menangis adalah wujud adanya rasa cinta (love) Wa Turungkoleo.Rasa cinta itu muncul karena nasib yang dialami adik kecilnya yang haruskehilangan ibu pada saat ia sangat membutuhkan kehadirannya. Selain itu,tangisan itu muncul karena rasa kehilangan ibu yang dicintainya. Di dalamkisah ini, tidak ada bagian yang menunjukkan rasa cinta atau benci kepadaAyah oleh Wa Turungkoleo. Hal ini sebetulnya menunjukkan bahwa rasacinta kepada adik dan ibunya, serta rasa kehilangannya atas kepergianibunya mengalahkan rasa benci kepada ayahnya.

Bagian yang paling menunjukkan rasa cinta Wa Turungkoleoyang sesungguhnya adalah ketika ia berupaya mencari ibunya yang telahpergi meninggalkan rumah. Sambil mencari jejak ibunya, ia menggendongLa Mbatambata sambil bernyanyi yang sangat menggugah hati. Responyang dilakukan oleh Wa Turungkoleo tersebut dalam struktur kepribadianFreud berada pada tahap ego (das ich) yang merupakan aspek psikologisyang timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan baik dengandunia kenyataan. Hal yang menarik adalah selain karena ingin bertemuibunya, respon psikologis Wa Turungkoleo tersebut dimaksudkan agar LaMbatambata dapat bertemu dan menyusui kepada ibunya. Respon tersebutoleh Suryabrata (1988: 147) disebut proses sekunder yaitu proses berpikirrealistis merumuskan suatu rencana untuk pemuasan kebutuhan danmengujinya dengan suatu tindakan, apakah rencana tersebut berhasil atautidak. Terkait dengan dongeng ini, usaha yang dilakukan Wa Ndiundiuuntuk bertemu dengan ibunya dan agar La Mbatambata dapat menyusui,berhasil.

Wa Turungkoleo sebetulnya menaruh rasa sakit hati kepada adiknya,“andai kemarin engkau tidak makan ikan garam bapak, maka tidak akanseperti ini”. Akan tetapi, itu hanya sebatas ucapan saja. Ia tahu bahwaadiknya yang masih kecil, tidak tahu-menahu hal yang dilarang olehayahnya. Di sini, Wa Turungkoleo menunjukkan sifat sabar yang besaryaitu menggendong adiknya (wujud tanggung jawab) menuju ibunya yangjauh di tepi pantai. Ia memikul rasa tanggung itu agar adiknya yang masihbalita dapat menyusui ibunya yang tidak lama lagi berubah menjadi ikanduyung. Wa Turungkoleo tahu bahwa meskipun masalah yang menderakeluarganya sangat rumit dan besar (ibunya menjadi ikan), tetapi prosesmenyusui sebagai hak dan kewajiban (La Mbatambata dan ibunya) tetapberjalan. Wa Turungkoleo adalah karakter yang mengemban sisi moralpada dongeng ini. Pada keadaan ini, Wa Turungkoleo tidak hanya mampumemperlihatkan ego (das ich) yang positif, tetapi sekaligus memberikankearifan super ego (das ueber ich) yang matang.

Wa Turungkoleo memiliki naluri atau insting yang baik bagikelangsungan hidup keluarganya. Menurt Freud, naluri itu terbagi duayaitu eros atau naluri kehidupan (life instinct) dan nalur kematian(destructive instinct). Pada diri Wa Turungkoleo ia memiliki nalurikehidupan yaitu eros bagi keluarganya, khususnya bagi adiknya, LaMbatambata. Hal itu ia tunjukkan dengan cara mencari ibunya ke pantaiagar adiknya tetap dapat menyusui untuk kelangsungan pertumbuhanbadannya. Agar ia dapat bertahan hidup. Wa Turungkoleo memiliki sifatbaik untuk keluarganya seperti tampak dalam kutipan berikut:

Tidak lama berjalan ia menemukan sobekan baju ibunya dan berkatalagi kepada adiknya, “Ibu kita telah telanjang tidak ada sehelai kainpun yang meliliti tubuhnya karena baju yang dikenakan habis dirobek-robek.” Tidak lama kemudian mereka sampai ke tepi pantaiberhadapan dengan tempat ibunya menyelam kemarin. Di atas batu,Wa Turungkoleo melihat jimat milik ibunya dan menyimpan sebagaitanda mata dari ibunya.

Meskipun ibunya meninggalkan ia dan adiknya, Wa Turungkoleotetap memiliki rasa belas kasih kepada ibunya yang rela telanjang demimeninggalkan jejaknya kepada dua anaknya dengan cara menyobek-nyobek kain bajunya sepanjang jalan. Pada tahap ini, Wa Turungkoleotidak menghardik adiknya dan sebaliknya tidak mengutuk ibunya.Sepertinya, meskipun tidak ia katakan secara langsung, ia menimpakankesalahan itu kepada ayahnya yang memiliki sifat tanatos, membunuh.

Di sisi lain, meskipun Wa Turungkoleo memiliki rasa rindu yangbesar kepada ibunya, tetapi dalam nyanyian yang dilantunkannya iamemanggil ibunya untuk menyusui adiknya, La Mbatambata. Ia relamemendam rasa rindunya itu dengan mengutamakan nasib adiknya yangmasih kecil, menyusui, dan tergantung kepada ibunya. Pada posisi ini, WaTurungkoleo tidak ingin menjadi bagian yang justru memperumit masalahyang terjadi di dalam keluarganya. Ia tidak melawan bapaknya yang penuhamarah memukul ibunya. Ia tidak menghardik adiknya yang telahmemakan ikan terlarang ayahnya. Ia juga tidak dendam terhadap ibunyayang “tega” meninggalkan rumah menuju rumah yang lain yaitu laut.

Di tengah kemelut yang melanda keluarganya, Wa Turungkoleomemperlihatkan jiwa yang matang dengan tetap menjaga rahasia dankejujuran sebagai wujud cinta. Hal ini dibuktikan dengan tidakmemberitahukan kepada ayahnya bahwa ikan yang ia bawa adalahpemberian ibunya. Kutipan berikut ini mempertegas hal itu “WaTurungkoleo mengingat pesan ibunya, bahwa jangan sekali-kali bilangbahwa ikan itu pemberian ibunya tetapi diberikan oleh orang yang merasakasihan. Jika bapak bertanya apakah kalian bertemu ibu kalian, jawabtidak”. Hal tersebut ia lakukan, selain sebagai sifat kejujuran, juga ia tidakingin ayahnya tahu bahwa ibunya tinggal di laut. Ia tidak ingin ayahnyatahu bahwa ia dan La Mbatambata bertemu ibunya di tepi laut. Sebab jikaayahnya tahu, boleh saja ia ikut menemui ibunya. Jika hal tersebut terjadi,segala hal yang tidak diinginkan dapat saja terjadi.

Di balik kejujuran dan kesabaran tersebut, terdapat rasa takutkepada ayahnya yang dapat berbuat brutal kapan saja. Wa Turungkoleobenar-benar tidak ingin menimbulkan masalah dalam keadaan ditinggalibunya. Saat ayahnya menghabiskan seluruh ikan pemberian ibunya, iatidak melakukan perlawanan saat tulang-belulang ikan diberikan untuk diadan adiknya. Masa depan adiknya jauh lebih penting dibanding melakukanperlawanan terhadap ayahnya.

Sampai dongeng tersebut berakhir, tokoh Ayah tidak pernahmengetahui bahwa istrinya telah berubah menjadi Wa Ndiundiu atau ikanduyung. Meskipun La Mbatambata menyaksikan ibunya di laut bahkansempat dua kali menyusui di pasir tepi pantai, tetapi ia tidak benar-benarmengerti apa yang terjadi, karena usianya yang masih balita. Sebaliknya,meskipun bukan tokoh utama, Wa Turungkoleo menjadi saksi utamakejadian yang dialami ibunya. Akan tetapi, demi menjaga rahasia ibunya,ia tidak menceritakan persoalan tersebut kepada ayahnya. Baginya,Ayahnya adalah bagian dari masalah, bukan solusi! Kesabaran WaTurungkoleo untuk mempertemukan ibu dan adiknya tidak pernah reda.Bahkan saat detik-detik perubahan ibunya menjadi ikan duyung ia punmasih sempat ke tepi pantai untuk mencari ibunya, meskipun tidak ketemu.

Meskipun belum berusia dewasa, Wa Turungkoleo memperlihatkanadanya kecemasan objektif dan neurosis dalam dirinya. Akan tetapi, iajuga memperlihatkan keseimbangan ego yang matang, menunjukkansuperego yang begitu arif, jiwa eros yang kuat. Ia rela menggendongadiknya, tidak melakukan perlawanan kepada ayahnya, tidak memarahiadiknya, dan ia pun mencari ibunya ke pantai demi adiknya agar tetapdapat menyusui. Cinta (love) sebagai tingkat klasifikasi emosi tertinggi, iapersembahkan bagi keluarganya.

3.3 Karakter La MbatambataStruktur kepribadian manusia dalam teori psikoanalisis terdiri dari

id, ego, dan superego. Id adalah struktur paling mendasar atau bersifatdasariah dari kepribadian. Ia bekerja dalam keadaan tidak disadari menurutprinsip kesenangan yang bertujuan pemenuhan kepuasan yang segera.Untuk dapat memosisikan struktur kepribadian La Mbatambata dalamDongeng “Wa Ndiundiu”, ada baiknya penulis menggambarkan siatuasikeluarga ketika masih aman.

Pada mulanya, kehidupan keluarga La Mbatambata berjalan normalsebagaimana biasa. Ayahnya pergi memasang jaring ikan setiap pagi,ibunya memasak, dan La Mbatambata serta Wa Turungkoleo bermain dirumah. Akan tetapi, masalah muncul ketika La Mbatambata menangis

minta makan ikan yang digarami ayahnya di perapian. Ibunya yangtelah diamanati untuk tidak boleh ada yang meminta ikan garam tersebut,akhirnya melanggar pesan suaminya. Tangisan La Mbatambata yangmembanting-banting dirinya di lantai membuat ibunya melanggar amanat.

Berdasarkan kutipan tersebut dipat dikatakan tragedi yang menimpakeluarga Wa Turungkoleo bermula dari La Mbtambata. Akan tetapi,karena ia adalah sosok yang masih balita, sehingga kesalahan tidak dapatditimpakan kepadanya. Ia tidak pernah tahu bahwa ayahnya melarangibunya siapa pun yang meminta ikan garam itu, tidak boleh diberikan.Jelaslah bahwa, La Mbatambata yang masih berusia balita itu lebihdidominasi struktur kepribadian id. Dorongan ingin makan merupakanrangsangan paling primitif dan dasariah yang harus dipenuhi tanpaterhalang oleh nilai dan sistem tertentu.

Kondisi La Mbatambata yang masih kecil, mengharuskan ia untukmeminta terpenuhi kebutuhannya. Keadaan ini disebut sebagai tak sadaryaitu bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran dan menurut Freud,merupakan bagian terpenting dari jiwa manusia. Secara khusus Freudmembuktikan bahwa ketidaksadaran itu berisi insting dan impuls yangdibawa dari lahir, dan pengalaman-pengalaman traumatik (biasanya padamasa anak-anak) yang ditekan oleh kesadaran dipindah ke daerah taksadar. Pada tahap perkembangan kepribadian menurut Freud sebagaimanayang dikutip Agustina (2014: 12), La Mbatambata berada pada faseinfantile (0,0-5,0 tahun). Fase ini dibedakan menjadi tiga yaitu fase oral (0-1 tahun), fase anal (1-3 tahun), dan fase falik (3-5 tahun). Pada dongengWa Ndiundiu tidak ada uraian mengenai usia La Mbatambata, tetapi dariperilakunya dapat dipastikan bahwa ia lebih dekat kepada fase pertama,karena kebergantungannya terhadap air susu ibu.

Fase infantile La Mbatambata tersebut relevan dengan kepribadianid (das es) pada dirinya yang masih didominasi hal-hal yang dibawa sejaklahir (unsur biologis), termasuk insting-insting. Jadi yang pedomanmenjadi pedoman dalam berfungsinya id (da es) ialah menghindarakan diridari ketidakenakan dan mengejar keenakan. Pedoman ini disebut Freudsebagai prinsif kenikmatan atau prinsif keenakan ‘Lust prinzip, thepleasure principle’ (Suryabrata, 1988: 146). Jadi, rengekan dan tangisanLa Mbatambata sampai membanting diri di lantai adalah bagian dari usahapemenuhan prinsif kenikmatan itu.

Sejalan dengan pendapat Agustina, Desyandri (2014) menjelaskanbahwa struktur kepribadian La Mbatambata tersebut beroperasiberdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu: berusahamemperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Bagi kepribadian id

(das es), kenikmatan adalah keadaan yang relatif inaktif atau tingkatenergi yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan energiyang mendambakan kepuasan. La Mbatambata tidak menginginkan rasalapar pada dirinya, sehingga meronta-ronta menangis dan tidak ingin adarasa sakit.Masih dijelaskan Desyandri (2014) bahwa ketika ada stimulus yangmemicu energi untuk bekerja–timbul tegangan energi–-id beroperasidengan prinsip kenikmatan, berusaha mengurangi atau menghilangkantegangan itu. Pleasure principle diproses dengan dua cara, tindak refleks(reflex actions) dan proses primer (primary process). Tindak refleks adalahreaksi otomatis yang dibawa sejak lahir seperti mengejapkan mata –dipakai untuk menangani pemuasan rangsang sederhana dan biasanyasegera dapat dilakukan. Proses primer adalah reaksimembayangkan/mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi ataumenghilangkan tegangan–dipakai untuk menangani stimulus kompleks,seperti bayi yang lapar membayangkan makanan atau puting ibunya.Proses membentuk gambaran objek yang dapat mengurangi tegangan,disebut pemenuhan hasrat (nosh fullment), misalnya mimpi, lamunan, danhalusinasi psikotik. Pada kondisi inilah, yang menyebabkan LaMbatambata menangis karena ingin makan ikan garam yang terlarang itu.

Jika dimaknai bahwa La Mbatambata tidak mengetahui kalau ikangaram itu dilarang ayahnya untuk memakannya, maka pesan yang dapatditarik dari kejadian tersebut sangat sederhana, yaitu anak kecil tidak tahumasalah. Akan tetapi banyak tafsir yang dapat hadir dari rontaan LaMbatambata sebagai anak kecil untuk minta ikan garam yang ternyataadalah seekor tikus yang dibelah lalu digarami ayahnya. Pertanyaannya,mengapa La Mbatambata tidak menerima saran ibunya untuk memakanikan mas saja yang jauh lebih lezat dan bergizi?

Dari segi psikologis, La Mbatambata adalah simbol kepolosan dankejujuran. Sehingga, secara semiotik, ia mengungkap sebuah kenyataankenyataan di dalam keluarganya. Pertanyaan yang relevan dengan konteksini adalah mengapa tidak ada reaksi ibu dan La Mbatambata terhadapkeberadaan tikus yang dianggap sebagai seekor ikan? Bukankahselayaknya manusia tidak pantas memakan seekor tikus? Hal yang menarikdan sekaligus pertanyaan dari dongeng “Wa Ndiundiu” adalah tidak adadialog atau narasi selanjutnya tentang seekor tikus yang digarami sangayah tersebut. Seakan-akan secara sepintas, ia bukanlah persoalan yangpantas diungkit di jalinan cerita selanjutnya.

Terkait dengan “tikus” tersebut, ternyata ia bukanlah sebuah maknasimbolik bahwa watak ayahnya seperti tikus, tetapi pada kurun waktu

tertentu pada masyarakat Buton di masa silam, sering terjadi paceklikdan kelaparan berkepanjanga sehingga tikus pun dijadikan sebagai laukpengganti ikan (Asrif, 2015). Itulah sebabnya, di dalam keluarga LaMbatambata, tidak reaksi khusus atas kehadiran tikus dan tidak adakelanjutan cerita yang membahas tikus tersebut.

Struktur kepribadian id (das es) hanya mampu membayangkansesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yangbenar-benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai ataumembedakan benar-salah, tidak tabu, dan moral. Dengan demikian,kepolosan seorang La Mbatambata yang meminta ikan garam untuk iamakan sehingga membuka watak ayahnya yang sesungguhnya yaitupemarah, pendendam, pemalas, dan telah menggarami tikus untuk dimakanseperti ikan. Kepolosan yang natural tersebut adalah wujud dari nalurialam bawah sadar La Mbatambata yang nirmoral. Meskipun demikian,dapat dijelaskan bahwa tikus dalam keluarga La Mbatambata adalahsebuah tanda kelaparan dan kemiskinan, sehingga menjadi salah satupemicu konflik psikologis yang mendera, baik bagi tokoh Ayah maupunbagi tokoh ibu atau Wa Ndiundiu.

Pada konteks dongeng “Wa Ndiundiu”, karakter La Mbatambatadihadirkan untuk menyeimbangkan peran tokoh orang dewasa dan tokohkepolosan. Tokoh dewasa (ayah dan ibu) identik dengan berbagaimasalah, sedangkan tokoh anak-anak yang polos (La Mbatambata)meskipun ia yang memantik permasalahan yang tidak disengaja, ia hadirjustru menelenjangi pokok persoalan yang sebenarnya, baik yang dialamiayahnya maupun ibunya.

La Mbatambata, meskipun adalah pihak pemantik persoalan, tetapiia memberi pesan kuat bahwa sebesar apa pun masalah yang dihadapikedua orang tuanya, akan tetapi sebagai balita ia tetap harus mendapatkanhaknya yang paling azazi yaitu air susu ibu. Itulah sebabnya, meskipunibunya memilih tinggal di laut sebagai ikan duyung, ia tetap bersusahpayah ke sana untuk menyusui bersama Wa Turungkoleo yangmenggendongnya. Hal yang paling menyentuh adalah ketika dalam prosesperubahan dari manusia menjadi ikan duyung, ibunya tetap setiamenyusui La Mbatambata, agar keberlangsungna kehidupan anaknya(umat manusia) tetap terjaga.

Menurut Freud, alam bawah sadar merupakan kunci memahamiperilaku seseorang (Minderop, 2011: 13). Dalam hubungannya dengan WaNdiundiu, tokoh La Mbatambata masih dikuasai oleh alam bawah sadardan struktur kepribadian dalam fase id (Das Es). Ia merupakan tempat daridorongan-dorongan primitif, yaitu dorongan-dorongan yang belum

dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaan yaitu dorongan untukhidup dan mempertahankan kehidupan (life instinct) dan dorongan untukmati (death instinct).

3.4 Karakter Wa Ndiundiu (Ibu)Dongeng “Wa Ndiundiu” terkenal salah satunya disebabkan karena

judulnya adalah nama karakter utamanya yaitu Wa Ndiundiu. Wa Ndiundiudalam bahasa-bahasa di Buton berarti ikan duyung. Mengapa dongeng inimenggunakan nama tokohnya sebagai judulnya? Jawaban yang palingmungkin adalah karena Wa Ndiudiu merupakan tokoh yang dapatmerepresentasikan tema dan amanat cerita. Tokoh Wa Ndiudiu adalahsosok yang paling menanggung derita besar yaitu berubah wujud darimanusia menjadi ikan duyung.

Mengapa tokoh ibu dapat dengan mudah berubah wujud jadi ikanduyung? Mari kita baca kutipan berikut ini:

Pada suatu hari, sebagaimana hari biasanya, ia akan pergi melautuntuk menjaring ikan. Namun, sebelum dia pergi ke laut kembaliuntuk memasang jaring, dia berpesan kepada istrinya agar jangansekali-kali ada yang meminta ikan garam yang tergantung diperapian dapur. Istrinya menyahuti, bahwa siapa lagi yang beranimeminta dan mengambil ikan itu kalau bukan anak-anak ini. Sangsuami menjawab, sekali pun mereka, jangan berikan, demikianpesan suaminya sambil mengambil pukatnya lalu pergi ke laut.Belum lama setelah bapaknya pergi, anak kecilnya La Mbata-mbatamenangis ingin makan ikan garam milik bapaknya. Tidak inginmelanggar pesan suaminya, ibunya memberikan ikan mas tapi anakitu tidak mau. Maunya makan ikan milik bapaknya. Dia menangistidak berhenti dan membanting-mbanting dirinya. Ibunya merasakasiahan melihat La Mbatambata, karena itu ia pergi ke dapur untukmemotong ikan bagian ekornya lalu dibakarkan untuk anaknya.Karena tangisan anakanya itu maka si ibu pun lupa pesan suaminya.

Kutipan paragraf tersebut menjelaskan bahwa sebetulnya tidak adamasalah besar yang terjadi di dalam keluarga Wa Ndiundiu. Suaminyapergi bekerja di laut yaitu memasang jaring untuk mendapatkan ikan.Sebelum berangkat ia berpesan kepada Wa Ndiundiu agar tidak boleh adayang meminta ikan garam—yang sebetulnya adalah tikus digarami—yangtergantung di perapian dapur. Awal petaka datang ketika La Mbatambatameronta-ronta minta ikan garam yang terlarang itu. Karena tidak tegamelihat anak bungsunya yang masih balita itu mengguling-gulinggkan

dirinya ke lantai, ia pun memotong bagian ekor ikan lalu dibakaruntuk sang anak. Ia lupa pesan suami. Tidak tega adalah wujud kesadaranego (das ich) yang positif seorang ibu, meskipun berkibat fatal baginyananti.

Tidak lama kemudian, suaminya datang dan marah besar karenaikan garam yang dilarang untuk dimakan itu telah disantap oleh anaknya.Merasa pesannya tidak dihiraukan, ia pun memukul istrinya menggunakanperkakas tenun sampai telinga dan hidung istrinya mengeluarkan darah.Di sini, kecemasan objektif (objektif neurosis) melanda diri Wa Ndiundiu.Hal itu dapat ketahui melalui reaksi yang dilakukannya yaitu tidakmelawan dan pergid ari rumah. Menurut Sigmund Freud, kecemasanobjektif adalah ketakutan riil terkait dengan reflkes gerakan dan dianggapsebagai suatu wujud dari insting perlindungan diri. Kemunculannya, yaituobjek-objek dan situasi-situasi di mana kecemasan dirasakan akan sangatbergantung kepada seberapa besar pengetahuan dan rasa berkuasaseseorang berkaitan dengan dunia luar (2009:445). Penjelasan mengenaihal ini akan penulis uraikan selanjutnya.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Wa Ndiundiu tidakmelakukan perlawanan atau setidaknya pembelaan? Tidak ada teks yangmenunjukkan hal itu terjadi. Di sini, pemaknaan dapat dikatakan bahwaketiadaan pembelaan apalagi perlawanan sang istri disebabkan olehperasaan bersalah karena telah melanggar pesan suami. Rasa bersalahdalam teori Freud disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impulsdan standar moral (impuls expression versus moral standrads). Rasabersalah itu hadir karena ia berposisi sebagai istri sehingga ia tidakmungkin melakukan perlawanan. Artinya, budaya patriarki telah mengakarbegitu kuat di rumah tangganya, yang sangat mungkin merupakancerminan sosial di lingkungannya. Ada stereotype selaku istri di dalamkeluarga. Akan tetapi, reaksi yang muncul dari dalam diri karakter WaNdiundiu sungguh di luar dugaan, yaitu meninggalkan rumah denganalasan yang sangat menyentuh, seperti kutipan di bawah ini:

Tidak lama kemudian sang ibu sadar dan memanggil anak-anaknya dia berkata “Saya akan meningggalkan kalian karenabapak kalian lebih menyayangi ikannya dibandingkan kaliananak-anakanya.

Alasan keperigian Wa Ndiundiu dari rumah bukan karena ia telahdisakiti oleh suaminya sebagai korban dari kekerasan dalam rumah tangga(KDRT), tetapi karena “Bapak kalian lebih menyayangi ikannyadibandingkan kalian anak-anakanya”. Alasan ini adalah sebuah tanda

betapa besar rasa sayangnya Wa Ndiundiu sebagai ibu kepada anak-anaknya. Meskipun ia sendiri yang menjadi korban kekerasan suaminyatetapi ia telah melampaui rasa sayang hanya kepada dirinya. Cinta kepadaanaknya mengalahkan derita yang menderanya. Cinta (love) dalamklasifikasi emosi Freudian, berada pada tingkatan tertinggi. Ia merasa adapengkhianatan besar dari suaminya sebagai bapak dari anak-anaknya yanglebih mementingkan ikan garam daripada rasa lapar dan rasa sayangkepada anaknya.

Terkait dengan hal ini, sebagaimana yang dikatakan Freud di atasmengenai kecemasan objektif bahwa kemunculannya yaitu objek-objekdan situasi-situasi di mana kecemasan dirasakan akan sangat bergantungkepada seberapa besar pengetahuan dan rasa berkuasa seseorang berkaitandengan dunia luar. Kekuasaan Wa Ndiundiu terkait dengan dunia luarsangat lemah, sehingga hal yang dapat ia lakukan adalah dengan caramenenggelamkan diri ke laut, yang kemudian membuatnya berubah jadiikan duyung. Objek dan situasi yang ia rasakan adalah kekasaran sangsuami dan tekanan batin yang mendalam akibat kesalahan yang ialakukan. Pada situasi ini, kecemasan neurotik juga hadir sekaligus. Akibatpemenuhan instingnya sendiri—dengan cara mengambil ika garamterlrang itu—ia dilanda kecemasan psikologis yaitu merasa akanmendapatkan hukuman akibat perbuatannya. Hukuman tersebut padaakhirnya menjadi kenyataan.

Selain itu, alasan Wa Ndiundiu bahwa suaminya lebih sayang ikandibanding kepada anaknya adalah wujud dari pertimbangannya bahwa iamemang mengakui adanya pelanggaran terhadap standar moral. Standarmoral tersebut adalah melanggar petuah suami. Rasa bersalah tersebutdiperparah oleh perilaku neurotik yakni ketika individu tidak mampumengatasi problem hidup seraya menghindarinya melalui manuverdefensif yang mengakibatkan rasa bersalah dan tidak bahagia. Ia gagalberhubungan langsung dengan kondisi tertentu, dalam hal ini gagalmeyakinkan suaminya (Minderop, 2011: 40).

Dari struktur kepribadian, Wa Ndiundiu berada pada tingkatn egodan superego. Setelah lama ia mempertimbangkan, apakah ia akanmenuruti keinginan insting lapar anaknya yang didominasi oleh ia, iaakhirnya mengikuti keinginan anaknya itu. Ia berada dalam situasi sulit,antara mengikuti permintaan naluriah anaknya atau mendapat ancamanego negatif dari suaminya. Akan tetapi, pada saat suaminya marah danberlaku kasar, ia berhasil menahan diri untuk tidak melawan kekerasansuaminya tersebut. Ia juga tidak memarahi dan menyakiti anak kecilnya

yang meminta ikan garam yang mengakibatkan lahirnya siksaan darisuaminya.

Disebabkan oleh rasa sayang kepada ikan melebihi rasa sayangnyakepada anaknya yang mengakibatkan Wa Ndiudiu mengalamai kekerasanfisik dan fsikis, Wa Ndiundiu memilih meninggalkan rumah. Sebenarnya,rasa sakit yang ia alami adalah representasi kesakitan lain yang dialamioleh anaknya yang dilarang memakan ikan garam oleh ayahnya. Artinya,derita Wa Ndiundiu adalah derita anaknya juga. Wa Ndiundiu mengalamiderita fisik yaitu pemukulan yang mengakibatkan pendarahan di hidungdan telinga. Ia juga mengalami derita fsikis yaitu guncangan batin karenasang suami tega melakukan kekerasan terhadap dirinya. Guncangan fsikisyang lain adalah karena suamianya lebih sayang kepada ikan garamdibanding kepada anaknya. Kecemasan (anxiety) dalam dirinya sudahbegitu kompleks.

Di tengah belitan derita yang mendera, cinta Wa Ndiundiu kepadakedua anaknya tidak pernah luntur, meskipun awal mula kejadian tersebutdisebabkan oleh keinginan La Mbatambata untuk makan ikan garam yangdlarang bapaknya itu. Akan tetapi, Wa Ndiundiu tidak menimpakankesalahan tersebut karena ia tahu, La Mbatambata masih kecil, belummengerti salah dan tidak salah. Rasa cinta muncul dapat ditelusri melaluikutian berikut:

Dia mengelus-elus kedua naknya tersebut dan disusuinya LaMbatambata sampai kenyang. Dicium dan dipeluknya anaknyasepuas-puasnya. Lalu berkatalah dia kepada anaknya yang tua“Sayangilah adikmu, jaga, dan pelihara dia dengan baik! Berkatapula dia kepada La Mbata-mbta, andai engkau La Mbata-mbatatidak ingin makan ikan garam bapakmu tidaklah aku menderitaseperti ini. Setelah kenyang disusui, La mbatambata tidur di tempattidunya, lalu ibu itu mengambil baju dan sarungnya. Ia punmemberi tahu anaknya bahwa dia akan pergi.

Wa Ndiundiu mengerti bahwa dalam keadaan apa pun, anaknyaharus mendapatkan haknya yaitu air susu ibu yang menjadi kewajibanbaginya. Bahkan dalam situasi batin yang tertekan dan tidak menentu, iamenyusui La Mbatambata sampai kekenyangan. Di tengah kekalutan yangbesar, ia berpesan kepada Wa Turungkoleo, “Sayangilah adikmu, jaga,dan pelihara dia dengan baik”! Ada perasaan tidak tega meninggalkananaknya yang masih menyusui, tetapi ia harus pergi karena ia tidak kuasamenanggung luka lebih besar besar jika ia tetap bertahan di rumah yaitupenderitaan lahir batin akibat kekerasan fisik dan psikis dari suaminya.

Sempat pula Wa Ndiundiu mengatakan kepada anaknya yangmasih bayi itu bahwa “Andai engkau La Mbata-mbata tidak ingin makanikan garam bapakmu tidaklah aku menderita seperti ini”. Rasa kesalkepada La Mbatambata tidak diutarakan secara prontal oleh ibunya,karena ia tahu bahwa sesungguhnya dialah yang melanggar pesansuaminya. Ia pun tahu bahwa “kekerasan hati” La Mbatambata untukmeminta ikan garam tersebut adalah karena usianya yang masih kecilyang belum mengerti larangan. Akan tetapi, hal yang tidak ia duga adalahjustru reaksi suaminya yang di luar dugaan: memukulnya hingga berdarahdan pingsan!

Dari klasifikasi emosionalitas, Wa Ndiundiu mengalami tigakecemasan sekaligus. Kecemasan realistik (realistic anxiety) munculakibat takut kepada bahaya yang nyata ada di dunia luar. Bahaya yangnyata itu adalah tindakan kekerasan suaminya. Kecemasan ini menjadi asalmuasal timbulnya kecemasan neurotik dan kecemasan moral. Padakecemasan neurotik (neurotic anxiety) Wa Ndiundiu cemas dan takutterhadap hukuman yang bakal diterima dari suami akibat ia memuaskaninsting dengan caranya sendiri, yang diyakininya bakal menuai hukuman.Insting yang dimaksud adalah pemenuhan keinginan anaknya yangmeminta ikan garam akibat kelaparan. Hukuman itu memang nyata adanyayaitu pemukulan secara fisik. Sementara kecemasan moral (moral anxiety)timbul karena Wa Ndiundiu melanggar standar nilai keluarga yaitu pesansuaminya agar tidak memakan ikan garam.

Wa Ndiundiu adalah sosok ibu yang sangat mencintai anak-anaknya.Cinta adalah bentuk perwujudan emosi paling tinggi dalam teori Freud.Wa Ndiundiu rela telanjang demi meninggalkan jejak dirinya kepadakedua anaknya. Saat meninggalkan rumah, ia merobek-robek sarung danbajunya lalu dijatuhkan sepanjang jalan agar anak-anaknya mudahmenemukannya bila anak-ananya mencarinya besok lusa. Tidak hanyabaju yang ia robek-robek, sesampainya di pantai dia membuka jimat yangmelilit di pinggangnya dan diletakkan di atas batu di pinggir pantai.

Apa yang dilakukan oleh Wa Ndiundiu adalah sebentukpengorbanan eksistensial dalam merespon penderitaan yang ia alami darisuaminya sendiri. Bahkan, sebagaimana yang dikatakan oleh WaTurungkoleo, “Ibu kita telah telanjang tidak ada sehelai kain pun yangmeliliti tubuhnya karena baju yang dikenakan habis dirobek-robek”. Ia relamenanggalkan seluruh pakaian yang menutup tubuhnya, agar ia tidakhilang begitu saja dari pencarian anak-anaknya, dan tidak raib begitu sajadari sejarah kemanusiaan. Dengan demikian, Wa Ndiundiu telah sampaikepada “ketelanjangan” spiritual dan filosofis yang paling sublim.

Perasaan cinta bervariasi dalam beberapa bentuk. Intensitaspengalaman pun memiliki rentang dari yang terlembut sampai yang amatmendalam. Derajat tensi dari rasa sayang yang paling sublim sampaikepada gelora nafsu yang kasar dan agitatif. Cinta diikuti perasaan setiadan sayang. Cinta tidak mementingkan diri sendiri, sebagai cinta sejati(Minderop, 2011: 45). Dalam konteks cerita ini, Wa Ndiundiu telahmewujudkan cintanya kepada anaknya, meskipun ia harus menjadi korban.

Pada hari terakhir pertemuan dengan kedua anaknya, Wa Ndiundiumenyusui La Mbatambata dengan penuh cinta sampai kekenyangan. Hariitu adalah terakhir kalinya mereka bertemu. Wa Ndiundiu segera menjadiikan, seluruh tubuhnya ditumbuhi sisik sehingga tidak mungkin lagi naikke darat. Derita yang ia alami telah paripurna. Cinta yang ia berikankepada anaknya sudah sempurna. Akan tetapi, sesungguhnya WaNdiundiu adalah wujud sosok yang dalam dirinya terhimpun berbagaigejala kejiwaan sekaligus. Kepergiannya ke laut adalah akibat dari rasabersalah yang dipendam. Dalam kasus rasa bersalah yang dipendam,seseorang dapat bersikap baik, tetapi dapat juga buruk. Pada kasus WaNdiundiu ia memperlihatkan sikap baik kepada La Mbatambata dengancara menyusuinya, dan memberi ikan kepada kedua anaknya untuk dibawapulang. Akan tetapi, di sisi lain, keputusannya ke laut berakibat tidak baikbaginya, yaitu berubah wujud jadi ikan.

Selain itu, Wa Ndiundiu juga berada pada keadaan menghukum dirisendiri (self punshing). Hukuman pada diri sendiri yaitu ia mengubah diridari manusia ke ikan, selamanya. Sebuah hukuman yang fatalistis. Erosdan tanatos hadir sekaligus dalam reaksi hidupnya. Eros, karena ia masihmenyusui anaknya dan memikirkan keluarganya dan tanatos karena iamengakhiri hidupnya sebagai manusia menjadi ikan. Ia juga terbelenggurasa malu dan sedih (grief) karena dipukul oleh suami di hadapan anaknya.Rasa malu juga diakibatkan oleh kelakuannya melanggar pesan suaminya.Beragam kondisi emosional ini serta deraan kecemasan yang tidak dapat iahindari’’, membawa Wa Ndiundiu kepada keputusan yaitu meninggalkanrumah, pergi ke laut, dan mengubah diri menjadi ikan duyung.

4. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik beberapa simpulanberikut. Ditinjau dari segi struktur kepribadian menurut Freud, id tokohAyah lebih berperan tinimban ego, dan superego. Id yang hanya memintapemenuhan lahiriah dan hawa nafsu, termanifestasikan pada tindakanpemukulan. Hal ini ini menunjukkan bahwa ego sang Ayah lebih condongke wilayah negatif, sedangkan superego-nya sama sekali tidak berperan.

Tokoh Ayah pada dongeng “Wa Ndiundiu” adalah akumulasikarkater yang diliputi kecemasan (anxiety), pemuasan kebutuhan naluriahdan dasariah (id), kemarahan, dan kebencian yang tidak terkontrol,berakibat pada kekerasan fisik berakibat psikis kepada istrinya hinggaberdarah pingsan, dan meninggalkan rumah. Tokoh Ayah adalahakumulasi karkater yang diliputi kecemasan (anxiety), pemuasankebutuhan naluriah dan dasariah (id), kemarahan, dan kebencian yangtidak terkontrol.

Tokoh Wa Turungkoleo memiliki rasa kesedihan, cinta dan eros.Kecemasan juga mengemuka dalam dirinya akan tetapi ia dengan baikmampu mengendalikan diri dan keluarganya karena ia memiliki ego dansuperego yang baik.

Tokoh La Mbatambata dari segi perkembangan kepribadian beradapada fase infantile yang dikuasai pemenuhan prinsip kenikmatan. Ia masihdikuasai oleh alam bawah sadar dan fase id . Ia merupakan tempat daridorongan-dorongan primitif, yaitu dorongan yang belum dibentuk ataudipengaruhi oleh kebudayaan.

Tokoh Wa Ndiundiu menghimpun seluruh keadaan psikologis dalamdirinya. Fase id (das es) dapat dikendalikan oleh ego (das ich) dansuperego-nya (das ueber ich). Tiga kecemasana bersemayam dalamdirinya sekaligus. Eros dan tanatos hadir bersisian dalam reaksi hidupnya.Sebagai seorang ibu dan pemantik permasalahan dalam keluarga, beragamemosi bercampur aduk dalam dirinya dan memengaruhi tindakannya yaiturasa bersalah, hukuman pada diri sendiri, rasa malu, kesedihan, tetapidibalut dengan cinta sejati.

Adapun rekomendasi atas penelitian ini adalah agar penelitian mengenai“Wa Ndiundiu” ke depan dapat diitensifkan lagi terutama pengkajian darisegi sisiologis dan antropologis. Dongeng “Wa Ndiundiu” harus diajarkandi sekolah-sekolah pendidikan dasar dan menengah khususnya di KotaBaubau, agar siswa dapat memetik hikmah dan pesan besar yangterkandung di dalam cerita. Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggaradiharapkan dapat lebih progresif di dalam melakukan pengkajian,penelitian, dan pemetaan sastra lisan di Sulawesi Tenggara, khsusunyayang ada di wilayah geobudaya Buton.

5. Daftar Pustaka

Agustina, Pera. 2014. “Psikologi Kepribadian Tentang Teori SigmundFreud”. Makalah. Universitas Lampung.

Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Lesi-Strauss Mitosdan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.

Amriani, H. 2011. ”Refleksi Sirik dalam Cerita Ana’ TurusienngiPappasenna to Matoanna”, Sawerigading Vol. 17, No. 2, Agustus2011, hlm. 304. Makassar: Balai Bahasa Ujung Pandang.

Asrif. 2015. Pengurus Asosiasi Tradisi Lisan Pusat. Dikemukakan saatDiskusi Kegiatan Pembekalan Metodologi Penelitian Sastra, di GedungKantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Kegiatan yangmenghadirkan Melani Budianta sebagai pembicara tersebut,dilaksanakan oleh Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara, tanggal 11—12Mei 2015.

Danandjaja, James. 1994. Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, danlain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Desyandri. 2014. “Teori Perkembangan Psikoanalisis Sigmund Freud”.https://desyandri.wordpress.com/2014/01/21/teori-perkembangan-psikoanalisis -sigmund-freud/. Diunduh pada tanggal 12 Februari 2015,Pukul 14.24 Wita.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:Pustaka Widyatama.

Endraswara, Suwardi dkk. 2013. “Pembentukan Karakter Negatif dalamCerita Rakyat Terpilih” dalam Folklor dan Folklife dalam KehidupanModern. Roshanizam Ibrahim dkk. (Ed). Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Freud, Sigmund.2009. Pengantar Umum Psikoanalisis. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Husen, Ida Sundari. 2008. “Prosa” dalam Budiman (Penyunting).Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera.

Mastuti, Yeni. 2014. ”Profil Nabi Muhammad dalam Naskah Gelumpaidan Bazanji”, Metasastra Volume 7, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 97.Bandung: Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat.

Miderop, Albertine.2011. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka OborIndonesia.

Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosda Karya.

Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gajah Mada University Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsif-prinsif Dasar Sastra. Bandung:Angkasa.

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi Robert Stanton. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.

Suryabrata, Sumadi. 1988. Psikologi Kepribadian. Jakarta. Rajawali Pers.

Susanto, Dwi.2012. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Caps.

Udu, Sumiman dkk. 2005. “Cerita Rakyat Buton dalam PrespektifGender”. Laporan Penelitian. Kantor Bahasa Provinsi SulawesiTenggara.

SUMBER:METASASTRA (JURNAL PENELITIAN SASTRA)ISSN: 2085-7268Volume 8, Nomor 1, Juni 2015Halaman 121—138Diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat