demokrasi, bahasa dan ceruk kemungkinan
TRANSCRIPT
Demokrasi, Bahasa dan Ceruk
Kemungkinan
Oleh Richard Oh
Walau kecepatan internet masih berkisar di
300 kilobits per detik, hampir belum bisa
disebut kecepatan broadband (512 kilobits
ke atas), kenyataannya masyarakat terbuka
di Indonesia telah memasuki era tanggap
modernitas. Tanggap bereaksi. Kecenderungan
ini tercermin dalam keriuhan di media
elektronik, media sosial dan percakapan di
setiap sudut kafe. Tanggapan demi tanggapan
bersahutan. Opini tak perlu tajam atau
punya sebuah perspektif menggali. Yang
penting, ekspresif penuh pendirian.
Ketrampilan bermain-main dengan kata dengan
tujuan akhir sebuah kehebohan opini menjadi
kriteria utama sebuah ‘pendirian’.
Bahasapun hilang fungsinya: yakni, fungsi
politisnya. Manusia yang berbahasa, berbeda
dengan hewan yang hanya bisa
mengomunikasikan sakit dan kesenangannya
lewat suara, memiliki kemampuan untuk
membedakan mana yang benar dan salah, adil
dan tak adil. Bahasa (kotoba), seperti yang
diurai oleh Heidegger, selalu melambai-
lambai pada hakiki (iki) walau tak pernah
berhasil menggapainya. Dua manusia yang
berdebat tentang satu hal, pada intinya
berbeda bukan karena objek perselisihan
berbeda, tapi lebih karena deskripsi mereka
pada objek dalam kontestasi berbeda.
Perbedaan dengan demikian selalu ada karena
konsepsi masing-masing terhadap isi tiap
objek selalu tak sama. Ini terjadi karena
bahasa tertulis (kotoba) adalah tertutup,
internal, logis, tapi selalu mencoba
menggapai (iki) yang terbuka, eksternal, dan
tak tertanda. Persoalan ini menjadi lebih
runyam lagi dalam sebuah interaksi
komunikasi. Dalam sebuah percakapan antara
dua manusia, minimal ada empat dialog yang
berlangsung dalam waktu yang sama: a-b, ab,
a-a, a-b-a.
Terasa sekali saat ini, bahasa dimanipulasi
laik sebuah objek permainan harafiah.
Mempunyai opini saat ini tak lagi berarti
perlu mempunyai sebuah sudut pandang, point
of view, tapi sekadar membuat pandangan
(points). Apa saja yang terlintas dalam
benak menjadi sebuah objek opini. Dan
menyiarkan opini menjadi sebuah
‘pendirian,’ sebuah hak prerogatif
demokrasi setiap individu.
Semakin cepat peredaran informasi
dimungkinkan oleh kemajuan teknologi,
semakin cepat dan ringkas tanggapan. Opini
(doxa) selalu terjerat dalam sirkulasi
deskripsinya. Dan seperti pusaran hypertext
yg digambarkan oleh Zizek: ketika amplop-
amplop opini memasuki muara pusaran,
beberapa dari amplop-amplop tersebut
termuntah ke permukaan menjadi pesan-pesan
dominan. Opini-opini dominan ini kemudian
terbangun menjadi institusi-institusi.
Institusi, yang seharusnya sebuah modalitas
berorientasi pada apa-apa yang tak
berkaitan dengan yang terinstitusi,
menjadikan dirinya sebuah benteng arkhé,
pusat semua yang terinstitusi.
Perkembangan, sebuah gerakan perubahan
abadi, patah dalam sirkulasi seperti itu.
Oleh karena itu, opini adalah sebuah
konsensus. Opini terbentuk dari himpunan
terjumlah tidak merujuk pada hal-hal paling
mendasar, namun pada hal-hal yang paling
sekadar: seperti sentimen mayoritas. Ia
adalah sebuah kompromi pemikiran
individual. Demokrasi yang latah dengan
kebebasan ekspresi membentuk sebuah
masyarakat yang monoton, walau polysyllabis
dalam ekspresi, tapi tak preskriptif: opini
tak menyeruak sebuah ceruk pikiran yang
membuka jalan keluar dari pembuhulan.
Di masyarat seperti ini, beropini adalah
hak prerogatif semua individu, namun
tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah
selalu menjadi urusan ‘orang-orang lain’.
Ini bisa dilihat dari tiap kejadian yang
menghebohkan di negeri ini, dari kasus
tabrak lari anak di bawah umur berkendara
seorang artis terkenal, protes terhadap FPI
yang melarang diskusi, hingga skandal demi
skandal korupsi. Setiap kejadian disambut
riuh opini dari berbagai pihak, dari yang
terlibat, yang berwenang, yang berjarak
dari kedua ini, dalam sebuah kekisruhan
ekspresi tanpa preskripsi yang semakin
mengeruhkan persoalan. Kemudian semua
berangsur hempas, sedangkan akar
permasalahan hampir tak pernah tertuntas.
Intensitas reaksi dan kontra-reaksi dalam
tiap kehebohan menjadi ‘pengisi’ kesibukan
keseharian warga, sejenis pergeseran
kegundahan, sebuah ketakberdayaan
terpuaskan sesaat lewat letupan-letupan
ekspresi. Tanpa disadari, namun semakin
kentara, masyarakat kita seperti yang
digambarkan oleh Max Scheler di Ressentiment.
Sebuah masyarakat yang tak lagi memikirkan
yang lain dan nilai-nilai kebersamaan,
namun terjerat dalam sebuah dunia
kegundahan tak berujung. Kegalauan,
sinisisme dan sarkasme yang terproyeksi
hampir seragam dalam individualitas
penampilannya.
Di Neuropolitics, Michael E. Connoly
mengurai symptom modernitas di dunia serba
pesat seperti ini. Kecepatan informasi kini
selalu mendahului setiap kampanye aksi,
maka aksipun kehilangan daya geraknya. Aksi
menjadi terhempas pada titik saturasi
informasi jauh sebelum ia terformasi. Riuh
seruan berdemonstrasi, berprotes seperti
deru ombak di pantai, berisik ketika
pasang, surut kemudian dalam keheningan
waktu. Tak menggurat sesuatu yang berarti
dari tiap riak gejolak.
Imperatif, engage, libatkan diri, yang
dikumandangkan oleh Sartre, kini menjadi
lagu Madonna, Express Yourself, tunjukkan
dirimu. Di masa Soekarno, kita harus
berpikir keras karena terpanggil sebuah
tujuan besar: kemerdekaan dan kemandirian.
Di masa Soeharto, kita dipaksa untuk
berpikir karena kemandirian kita dibatasi.
Pasca reformasi, kita dibebaskan dari
keharusan untuk berpikir karena bebas dari
sebuah objektif kebebasan.
Kebebasan berekspresi, bagian tak
terpisahkan dari demokrasi dan demokrasi
adalah pluralitas: demikian kira-kira
dengung slogan-slogan reformasi yang sering
terdengar. Beda pendapat dan kebebasan
mengekspresikan apa saja menjadi hak
prerogratif setiap individu. Hal-hal yang
sering kita dengar tanpa kemudian diyakini
dengan penjelasan lebih mendalam, seperti
ke arah manakah perbedaan pendapat dan
kebebasan berekspresi itu seharusnya
membawa kita? Karena kebebasan tanpa sebuah
objektif bukanlah sebuah kebebasan, namun
sebuah penerjunan bebas menunggu
keambrukan. Semua yang tercapai, tercapai
dengan sebuah harga. Dan harga, seperti
yang kita semua tahu, semestinya membuat yg
tercapai menjadi bernilai. Bukan
dihamburkan di sebuah malam pesta
pembebasan tak berujung.
Penafsiran demokrasi dan pluralitas secara
harafiah dikumandangkan laik sebuah kereta
dengan komponen-komponen spesifik yang bisa
dipreteli dan dikonstitusikan. Definisi-
definisi harafiah menjadi terinstitusi
sebagai arkhé. Baku, terkonsolidasi sebagai
sebuah referensi utama. Padahal,
kemajemukan bermakna justru karena ia tak
bisa ditotalkan. Ia selalu kontingen,
selalu dalam proses pembentukan, selalu
terbesit dalam tiap rujukan pakam: ia
adalah sebuah acuan terdistribusi menuju
emansipasi. Walau ternamakan, ia tak bisa
disetarakan dengan hal-hal yang
mengkonstitusikannya menjadi sebuah nama:
dus, ia tak bisa diinstitusikan. Ia adalah
sebuah proses perkalian, penambahan,
pengurangan, pembagian, yang selalu
menyisakan, sehingga perhitungan bisa
dilakukan kembali tanpa batas. Ia adalah
sebuah ruang kosong berkonstruksi. Ia
adalah pluralisasi, bukan pluralitas.
Mereka yang cenderung menotalkan demokrasi
dengan mengacu pada apa-apa yang
terinstitusi pada akhirnya menemukan ini:
yang terinstitusi (berdasar) memberi
eksistensi pada yang tak berdasar
(negasinya). Sebuah sirkulasi merangkap
yang tak mengkonstruksi pembahruan. Baik
1+1=2 atau 1-1=0 dilihat dari hasil
produknya tanpa menelisik funktor-funktor
penambahan atau pengurangan, ataupun
menggali lebih dalam lagi, bahwa dalam tiap
bilangan terbesit selalu ada sebuah
bilangan kosong yang memungkinkan sebuah
bilangan terwujud: (0)=1
Mereka yang merujuk pada libertas,
kesetaraan, hak azasi laik properti-
properti demokrasi, sering melibatkan diri
dalam sebuah kekalutan yang pada akhirnya
menghasilkan penggandaan-penggandaan
harafiah. Nama dan hal-hal disetarakan
seakan satu sama lain adalah padanan dalam
sebuah penamaan. Padahal, predikat yg
mendefinisikan demokrasi seperti libertas,
sebagai contoh, sendirinya adalah sebuah
akronim. Ia terkonstitusi dari banyak
anasir di luar kerangka kata itu. Sebagai
contoh, kata demokrasi terdiri dari kata
demos (rakyat) dan kratos (kekuatan). Dua
anasir berbeda terpadu dalam satu kata.
Tapi terselubung dalam kata itu adalah
sebuah parataksis (kata penghubung),
negara-kota (city-state), yang menyampulkan
kedua anasir itu. Kekuatan dan rakyat
terpadu, mengacu pada sebuah orientasi
hakiki: otonomi, dari rakyat untuk rakyat,
emansipasi, sebuah eksternalitas dari kata
demokrasi. Berdiri sendiri demokrasi
menjadi sebuah penanda x yang tak bisa
dirujuk secara konkret seperti sebuah objek
dalam realita, seperti sebuah kereta,
dengan roda dan mesin dan komponen-komponen
yang terakit. Demokrasi terinkripsi menjadi
sebuah nama lewat penguraian berulang dan
berbeda (heterogeneous) menanjaki hieraki
pemaknaan menuju ke sebuah keluhuran
humanitas: emansipasi.
Demokrasi yang dikenal kita semua pada saat
ini adalah sebuah warisan dari Aristotle.
Sebuah demokrasi representasi. Aristotle
berseberang dengan gurunya Platon yang
berpikir bahwa masyarakat yang adil
sejahtera adalah sebuah masyarakat yang
homonym: sebuah masyarakat di mana setiap
individu menawarkan keahlian masing-masing
dan mendapat kebahagian setimpal dari apa
saja yang bisa dihasilkan oleh keahlian
masing-masing. Dengan demikian, Platon
berpikir, semua warga mendapat tempat
masing-masing di sebuah masyarakat. Tukang
roti bikin roti, sang pengrajin
berprakarya, sang guru mengajar, pemusik
bermain music, dst. Aristotle tak setuju.
Menurutnya, dalam kesibukan mengejar
keahlian masing-masing, para warga sering
tak hadir ketika sebuah pertemuan hitung
suara diadakan. Mereka yang tak hadir
dengan demikian menjadi bagian tak
terhitung (uncountables). Kesetaraan menjadi
bermasalah karena antara yang hadir dan tak
hadir menjadi tak terdistribusi secara rata
dalam sebuah perhitungan. Aristotle
menawarkan sebuah sistem di mana pengurusan
polis (kota-negara) dilakukan oleh wakil-
wakil rakyat terpilih lewat sebuah proses
pemungutan suara. Terciptalah sebuah sistem
penataan negara-kota yang hingga hari ini
masih dipertahankan: sistem perwakilan
rakyat.
Sistem ini sekarang terbukti, baik di sini
dan di banyak negara, termasuk negara-
negara maju, berkendala. Kendala-kendala
yang dihadapi ironisnya mengembalikan kita
pada posisi yang semula diajukan oleh
Platon dan dikritik oleh Aristotle: yakni
kesibukan para warga mengejar impian
masing-masing telah membuat mereka ‘absen’
dari keterlibatan pengurusan negeri. Rakyat
berasumsi dengan terpilihnya wakil-wakil
rakyat maka tanggung jawab masing-masing
sudah beralih pada mereka. Jacques Ranciere
mengupas persoalan ini dalam tulisannya di
Hatred of Democracy. Para wakil rakyat yang
sebenarnya minoritas menjadi mayoritas,
karena mereka berpegang kuasa dalam tiap
keputusan, sedangkan rakyat, tak berdaya
melihat situasi berkembang tanpa bisa
kendalikan, hanya bisa mengeluh (sambil
tenggelam dalam kemasyukan hidup) ketika
keputusan-keputusan yang diloloskan tidak
selaras dengan keinginan mereka. Gejala ini
menjadi kendala demokrasi versi
representasi. Mayoritas menjadi minoritas
tak berdaya, tersudutkan, bahkan boleh
disebut sebagai tak terhitung (uncountables).
Karena kuasa mereka semakin dirampas oleh
para minoritas yang mereka kuasakan.
Kekuatiran Platon pada yang berambisi
menjadi pejabat negara menjadi realita.
Para wakil terpilih, terpilih lebih karena
ambisi mereka daripada prakualifikasinya,
atau keinginan mereka untuk mengabdi pada
yang lain. Bilamana gurunya Platon ingin
menyingkirkan politik dari penataan negara-
kota, muridnya Aristotle yang mementingkan
kesetaraan kini terusik oleh ketakberdayaan
politik yang dihadirkan dalam sistemnya.
Sang guru Platon, yang anti demokrasi,
pernah menawarkan sebuah solusi. Ia
menganjurkan sebaiknya orang-orang yang
berambisi tak diberikan izin untuk menjadi
pejabat negara, karena mereka memiliki
motivasi. Yang bermotivasi cenderung lebih
mementingkan objek-objek ambisi diri yang
ingin dicapai. Platon menawarkan sebuah
metode pemilihan di mana semua warga yang
berkualifikasi, sehat, cerdas, di umur
tertentu akan berkumpul dan mengadakan
sebuah undian setiap tujuh hari. Yang
terpilih dengan demikian bukan mereka-
mereka yang berambisi, punya banyak duit,
dsbnya, namun mereka terpilih dari sebuah
kemungkinan. Setelah terpilih, para wakil
harus mengemban tugas sebagai pemimpin
bukan karena keinginannya tapi berdasarkan
kewajiban seorang warga berkomitmen
melaksanakan tugas sebatas kemampuan
terbaik sebagai warga untuk semua. Sebuah
gagasan yang jelas-jelas bersandar pada
nilai-nilai luhur manusia bekerja untuk
komunitasnya. Sang pemimpin yang jauh dari
ambisi, motivasi, bebas pengaruh moneter,
karena ia tak perlu berkampanye, terlepas
dari permainan kuasa karena ia hanya
diberikan kuasa untuk memimpin selama tujuh
hari.
Althusser mengupas Montesquiue menyatakan
regim pemerintahan yang paling adil adalah
regim bentuk monarki. Alasannya, yang
berkuasa di regim monarki hanya satu orang:
sang raja atau ratu. Oleh karena itu, yang
berkuasa selalu terancam ketakutan
dilengserkan. Untuk menghadapi rakyatnya,
yang berkuasa seorang ini harus membuat
barisan garda depan untuk mengamankan
posisinya. Para ninggrat ditempatkan di
garda depan, karena mereka berpengaruh atas
kebanyakan rakyat lewat interaksi usaha.
Dengan regim seperti itu, menurut
Althusser, rakyat cenderung mendapat apa
yang dituntutnya, karena sang penguasa tak
ingin bermasalah dengan rakyat dalam jumlah
besar yang senantiasa bisa menyebabkan
keruntuhan tahtanya. Dalam penguraian lima
regim pemerintahan, Platon menyebut
penguasa raja ini, agak beda rujukannya
dengan Montesqueiu, sebagai aristokrat,
sang filosof raja. Sang pemimpin Aristokrat
didukung oleh jajaran pejabat dan birokrat
dari golongan yang sama untuk menciptakan
sebuah kehidupan adil dan sejahtera. Walau
sering menjadi pertanyaan apa bedanya regim
aristokrasi dengan timokrasi, salah satu
dari lima regim pemerintahan disebut
Platon. Walaupun ada perbedaan tipis antara
aristokrat dan timokrat: yang pertama dari
keluarga mapan, berpendidikan dan yang
terakhir dari prestasi keberhasilannya,
mereka pada intinya golongan-golongan
berhasil. Terkesan kesetaraan yang diacu
masih di seputar pengaruh pemilikan dan
posisi antar golongan.
Opini dan konsensus menurut Ranciere tak
bisa dipungkiri dalam sebuah masyarakat.
Cuma, ia menjelaskan, yang perlu
dikonsensuskan dan ini salah satu kemampuan
manusia berbahasa, adalah hal-hal mengenai
yang benar dan salah, yang adil dan tak
adil, yang kaya dan miskin. Hal-hal ini
penting untuk menjadi konsensus karena
menyangkut sebuah kehidupan bersama yang
adil dan sejahtera. Perlunya konsensus
seperti itu juga menyangkut perhitungan
yang bisa dilakukan ketika terjadi sebuah
ketidakadilan. Hal ini akan diurai lebih
jelas di bawah. Opini harus bisa dikacakan
pada dirinya sendiri menjadi sebuah sains,
agar ia tidak terinstitusi menjadi arkhé,
tradisi baku yang menolak perkembangan
waktu dan dalam konsolidasi dirinya
membuatnya tidak memerhatikan pada
ketimpangan dalam tiap situs perselisihan.
Opini yang telah dijadikan sains dalam
sebuah konsensus, menurut Ranciere, adalah
kebajikan paling rendah, namun diperlukan
untuk sebuah acuan sehingga sebuah
perhitungan bisa dimulai di setiap
perselisihan kesetaraan. Konsensus ilmiah
ini terutama penting karena tiga golongan
dalam sebuah masyarakat, yang kaya, yang
berilmu dan punya keahlian, dan pekerja
biasa, sering ditotalkan menjadi kelompok-
kelompok dari sebuah keseluruhan. Padahal
setiap warga adalah bagian dari sebuah
partai (golongan) yang tak
mengkonstitusikan pada keseluruhan golongan
karena tiap bagian senantiasa tak sebanding
dengan bagian lain dan kelompoknya atau
kelompok-kelompok lain. Dengan demikian
dalam sebuah masyarakat keseluruhan tak
berarti totalitas dari semua bagian yang
terjumlah. Karena setiap perhitungan akan
selalu menghasilkan ketaksebandingan dalam
perhitungan atau menuntut sebuah
perhitungan ulang. Sebagai contoh, golongan
pekerja biasa, walau sebagai bagian dari
keseluruhan, tapi kebebasan dan fasilitas
kehidupan yang mereka nikmati tak sebanding
dengan yang kaya. Mereka boleh disebut
sebagai bagian yang tak terbagian.
Keberadaan mereka dimungkinkan oleh yang
berada. Yang dipersoalkan bukan karena
perbedaan kuasa atau properti antar
golongan, tapi ruang kebebasan yang bisa
dinikmati secara setara antar warga. Dengan
demikian, perhitungan yang diperlukan bukan
sebuah perhitungan aritmatika, tapi sebuah
perhitungan geometris.
Politik tak hadir karena ia punya sebuah
objek pencapaian. Ia tak punya properti
baku. Ia tak punya sebuah nama, bukan
laskar perlawanan terhadap yang salah. Ia
hadir sebagai yang politis pada setiap
interseksi perhitungan antara yang terlihat
(perceptible) dan tak kelihatan
(imperceptible). Yang tak kelihatan selalu
terbesit dalam sebuah ruang di antara. Maka
yang politis timbul dalam setiap
aktifisasis persilangan tak setara.
Kesetaraan dengan demikian bukanlah sebuah
status konsistensi yang bisa dirujuk
sebagai sebuah tujuan ultimate dari
politik. Merujuk kesetaraan sebagai sebuah
konsensus atau menjadikannya sebuah
objektif terdefinisi mengembalikan kita
pada pelipatan ganda institusi dan arké.
Karena kesetaraan bukan sebuah politik
lokal, namun ia adalah sebuah pengaktifan
yang politis dalam setiap persilangan
kemajemukan. Kehadiran yang politis dari
sebuah ruang antara menuntut sebuah
perhitungan ulang dilakukan, tidak dengan
merujuk kembali pada institusi-institusi
bersirkulasi namun pada yang tak terlihat,
dus tak terhitung, sehingga sebuah etika
baru terbangun dan mengambil kembali setara
dari ketidaksetaraan dari para pengelola
pemerintahan dan sirkulasi hukum. Setiap
pergeseran menuntut sebuah perhitungan
baru, dan sebuah etika baru. Dengan
demikian yang adil tak mengandalkan apa-apa
yang terlegitimasi oleh sebuah pemerintahan
manjerial, namun pada sebuah pemerintahan
tak terlihat yang resmi. Ia adalah ruang
gerak yang menyetarakan dalam tiap
perhitungan.
Yang politis telah hadir di kejadian paling
mutakhir di Mesir. Pemerintahan Morsi yang
terpilih secara resmi lewat sebuah proses
pemilihan umum diakui oleh semua pihak di
negaranya dilengser setahun kemudian oleh
rakyat itu sendiri. Kejadian ini
menghebohkan dunia. Fokus perdebatan
terpusat pada: apakah pelengseran Morsi
sebuah kudeta. Opini, bila disorot dari
sebuah dikotomi antar yang berdasar
(mengikuti yang terinstitusi) dan kontranya
(seberang dari lipatan yang sama) terjerat
dalam sebuah perselisihan yang tak politis.
Sebuah persilangan yang tak paradigmatis
karena baik yang mengecam apa yang terjadi
di Mesir sebagai sebuah kudeta atau mereka
yang memihak pada kekuasaan massa luput
dari perhatian pada yang selalu imanen di
antara kedua sisi, yakni yang politis,
ruang parataksis konstruksi. Yang politis
tak berada di pihak manejerial
pemerintahan, atau kisaran hukum, tapi di
sebuah ruang antara institusi dan rakyat
yang mengkonstitusikan sebuah negara resmi.
Resmi dalam pengertian di sini yang
senantiasa menjadi orientasi semua bagian
dari sebuah keseluruhan, bernama bangsa.
Kesetaraan bukanlah sebuah tujuan, karena
ia tak konstan, bukan juga sebuah nama
untuk beroposisi, namun adalah yang
senantiasa terbesit dalam sebuah emansipasi
kehidupan yang menuntut perhitungan ulang.
Perhitungan ini menuntut kita untuk
menggali lebih tajam yang tak terlihat dari
tiap persilangan perbedaan, mencari sebuah
etika perhitungan yang selalu mengembalikan
sebuah kesetaraan. Seruan Sartre, engage,
libatkan diri, tak lagi sebuah seruan aksi
melawan, yang tak berkuasa melawan kuasa,
tapi sebuah seruan yang mengajak kita untuk
bisa memetakan persoalan secara lebih
cermat, bukan lagi sebuah aksi bergerak,
namun sebuah pemetaan topologi yang mampu
memisahkan mana yang terinstitusi,
terlihat, dan mana yang tak terlihat, dus
tak terhitung, pertimpangan hakiki setiap
interseksi kemajemukan, sehingga kita tak
hanyut dalam sebuah sirkulasi ekspresi yang
menenggelamkan semua dalam sebuah samudera
ketakberdayaan yang tanpa dasar.
Bila dahulu Chomsky berseru, Tak Ada Negara
Yang Baik, maka di masa ini kita
memodifikasinya menjadi: Setiap Negara
Manajerial Perlu Dibayangi oleh Sebuah
Negara Resmi Yang Tak Terlihat. Karena
sebuah perlawanan yang membawakan
pembaharuan bukanlah sebuah perlawanan
antar kuasa, representasi diri atau
kontradiksi diri, namun sebuah gerakan
paradigma, sebuah pengitaran tanpa oposisi
yang memungkinkan sebuah ceruk terkuak dari
pengulangan berbeda. Reformasi yang
berjalan sekarang terkesan pelipatan ganda
dari yang lama: walau sebuah nama telah
berubah namun praxisnya bergerak dalam
kisaran lama. Reformasi berkonotasi
membentuk kembali dari formasi lama. Bukan
sebuah pencuatan revolusioner dari
sirkulasi partikuler. Bila Walter Benjamin
menggambarkan sejarah seperti Angelus
Novus, malaikat dalam lukisan Klee, dengan
sayap terbentang, punggung membelakangi
masa depan, tak berdaya mengepakkan
sayapnya karena dorongan badai yang deras
dari sejarah, maka kita menilik sejarah
dari sebuah posisi berbeda: di tengah
pusaran badai, tak terusik oleh hirukpikuk
di sekitar, menyari mata jarum ketimpangan
sejarah, supaya yang politis, yang
senantiasa imanen dalam persilangan,
terkuak dan membawa kita ke sebuah ambang
terlepas dari sebuah pelipatan ganda tanpa
henti.
Bahasa dengan kemampuannya untuk
berorientasi secara paradigmatis pada yang
hakiki (iki), semestinya membuka banyak
kemungkinan untuk mengitari sebuah
pembuhulan tanpa oposisi. Logos diurai oleh
berbagai pemikir dengan definisi berbeda,
antara lain: sebuah ranah, sebuah
permohonan, sebuah opini, sebuah kata,
sebuah ekspektasi, diskursus, akal, etc.
Dari penjelasan yang tersedia, terkesan
Logos terpartisi oleh dua kelompok
pemaknaan: sebagai kata, ranah, opini dan
ekspektasi, diskursus, akal: di satu sisi,
kata, ranah, opini, sebagai tanda makna,
internal, di sisi lain, ekspektasi,
diskursus, akal, eksternal, sebagai lencana
penghubung. Sebuah contoh bahwa dalam tubuh
bahasa terdapat sebuah dikotomi yang selalu
mengacu pada sebuah parataksis sehingga ia
tak terpatri di tempat. Maka setiap
subtraksi, gerakan, menampilkan sebuah
lokus, dan setiap seruan menyeruak sebuah
topologi. Bahasa memiliki: ruang
bersebelahan (adjacent) yang memungkinkannya
sebuah multiplisitas dari sebuah pernyataan
terhadir di luar sebuah sistem peraturan
atau struktur, ruang korelasi di mana
relasi antar subjek, objek dan konsep
ditelisik dari pertautan sudut internal dan
eksternalnya, seperti asdfgh sendirinya
bukan sebuah kalimat namun ia merujuk pada
sebuah objek diskursif yang terdapat di
dunia mesin ketik pada umumnya dan ruang
komplementari di mana sebuah pernyataan,
seperti seorang dokter, dirujuk dari sudut
eksternalnya. Seorang doktor, sebagai
contoh, berbicara atas nama profesinya,
sebagai subjek, sekaligus berlatar di
institusi yang mengkonstitusinnya sebagai
objek. Fungsi-fungsi ini terbesit secara
intrinsik dalam kemampuan bahasa, terlepas
dari material dan aturannya.
Namun, Logos lebih sering dilihat dari sisi
kemampuan material presentasinya, seperti
presisi, keindahan rangkaian, dan
eksplisitasnya dalam sebuah padanan kata
dan frase dan kalimat, sehingga bahasapun
menjadi ekspresi-ekspresi harafiah tak
membuka topologi baru.
Logos, oleh para pemikir pascamoderen,
telah dijadikan tubuh persembahan bagi
vitalitas kehidupan, sebuah objek pelecehan
permainan metabahasa tak berarti, yang
sekarang terbukti menjadikan bahasa dan
tubuh dan keterbatasan-keterbatasannya
sebuah perayaan kemanusiaan. Padahal tanpa
penguraian di atas pun, kita paham bahwa
walau kita punya tangan kiri dan kanan,
kaki kiri dan kanan, tak berarti orientasi
kita terbatas oleh sebuah haluan tubuh,
ataupun gerakan fisik tubuh itu sendiri.
Tanpa bergerakpun kita bisa menjurus ke
kiri atau ke kanan, lewat sebuah ekstensi
tubuh seperti sebuah tombol elektronika
atau lewat penglihatan. Tubuh kita pun
dengan demikian tak lagi bisa dibatasi oleh
gravitasi, karena kita sekarang bisa
bermigrasi dari dunia ke dunia. Kuncinya,
mencari penghubung-penghubung yang
menghubungkan kita dari dunia ke dunia,
agar kita tak lagi tertelan dalam pelipatan
ganda, oleh lipatan bahasa ataupun
lingkaran kuasa, yang tak produktif.