case sn (arawinda haniastri)

69
BAB I PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan hilangnya protein urine secara masif (albuminuria), diikuti dengan hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dan akhirnya mengakibatkan edema. Dan hal ini berkaitan dengan timbulnya hiperlipidemia, hiperkolesterolemia dan lipiduria. (1) SN pada anak dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun. (2) . Pada anak-anak yang onsetnya dibawah usia 8 tahun, ratio antara anak laki-laki dan perempuan bervariasi dari 2 : 1 hingga 3 : 2. Pada anak yang lebih tua, remaja dan dewasa, prevalensi antara laki-laki dan perempuan kira-kira sama. Data dari International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menunjukkan bahwa 66% pasien dengan minimal change nephrotic syndrome (MCNS) dan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) adalah laki-laki dan untuk membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN) 65 % nya adalah perempuan. (1) Di USA, SN merupakan suatu kondisi yang jarang terjadi. Dari seluruh pengalaman praktek, ahli pediatri hanya menemukan 1-3 pasien dengan kondisi seperti ini. Dilaporkan angka kejadian tahunan rata-rata 2-5 per 100.000 anak dibawah usia 16 tahun. Prevalensi kumulatif rata-rata adalah kira-kira 15,5 per 100.000 individu. (1) SN bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu petunjuk awal adanya kerusakan pada 1

Upload: independent

Post on 27-Apr-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi

klinis yang ditandai dengan hilangnya protein urine secara

masif (albuminuria), diikuti dengan hipoproteinemia

(hipoalbuminemia) dan akhirnya mengakibatkan edema. Dan hal

ini berkaitan dengan timbulnya hiperlipidemia,

hiperkolesterolemia dan lipiduria.(1)

SN pada anak dapat terjadi pada semua usia, tetapi

lebih banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun.(2).

Pada anak-anak yang onsetnya dibawah usia 8 tahun, ratio

antara anak laki-laki dan perempuan bervariasi dari 2 : 1

hingga 3 : 2. Pada anak yang lebih tua, remaja dan dewasa,

prevalensi antara laki-laki dan perempuan kira-kira sama.

Data dari International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)

menunjukkan bahwa 66% pasien dengan minimal change nephrotic

syndrome (MCNS) dan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) adalah

laki-laki dan untuk membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN)

65 % nya adalah perempuan. (1)

Di USA, SN merupakan suatu kondisi yang jarang

terjadi. Dari seluruh pengalaman praktek, ahli pediatri

hanya menemukan 1-3 pasien dengan kondisi seperti ini.

Dilaporkan angka kejadian tahunan rata-rata 2-5 per 100.000

anak dibawah usia 16 tahun. Prevalensi kumulatif rata-rata

adalah kira-kira 15,5 per 100.000 individu.(1)

SN bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri,

tetapi merupakan suatu petunjuk awal adanya kerusakan pada

1

unit filtrasi darah terkecil (glomerulus) pada ginjal,

dimana urine dibentuk.(2). Sekitar 20% anak dengan SN dari

hasil biopsi ginjalnya menunjukkan adanya skar atau deposit

pada glomerulus. Dua macam penyakit yang paling sering

mengakibatkan kerusakan pada unit filtrasi adalah

Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS) dan Glomerulonefritis

Membranoproliferatif (GNMP). Seorang anak yang lahir dengan

kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya Sindrom nefrotik.(2)

BAB II

LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

RS PENDIDIKAN : RSUD KOTA BEKASI

STATUS PASIEN KASUS

Nama Mahasiswa : Arawinda Haniastri

NIM : 1061050069

Pembimbing : dr. Thomas Harry Adoe, Sp.A

Tanda tangan :

I. IDENTITAS

Data Pasien Ayah IbuNama An. Z Tn. I Ny. DUmur 5 tahun 27 tahun 28 tahun

2

Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki PerempuanAlamat KP. Kapling Baru RT 001/001 Kel. Setia Makmur

Kec. Tarumajaya Bekasi Utara.Agama IslamSuku bangsa BetawiPendidikan - SLTA SLTAPekerjaan - Nelayan Ibu Rumah

TanggaPenghasilan - ±Rp 1.500.000 -Keterangan Hubungan

dengan orang

tua : Anak

kandungTanggal Masuk

RS

2 Juni 2015

II. ANAMNESIS

Dilakukan secara Alloanamnesis kepada ibu pasien pada hari

Rabu tanggal 3 juni 2015 di bangsal Melati kamar nomor 7.

a. Keluhan Utama :

• Pasien datang dengan keluhan bengkak pada kelaminnya ±

3 hari SMRS

b. Keluhan Tambahan :

Kelopak mata, wajah, perut dan kedua kaki bengkak

Sakit pada perut

c. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Bekasi bersama orang tua nya

dengan keluhan dari ibu pasien bahwa pasien mengalami

bengkak pada kelaminnya. Bengkak dirasakan sejak ±3 hari3

SMRS. Selain pada kelaminnya ibu pasien juga mengatakan

bahwa wajah, perut dan kedua kaki bengkak sejak ± 7 hari

SMRS. Bengkak pada pasien tidak disertai rasa nyeri.

Bengkak dimulai dari kelopak mata, wajah, kedua kaki lalu

ke alat kelaminnya. Ibu pasien mengaku keluhan ini baru

pertama kali dialami pasien, awalnya mengira bahwa anaknya

bertambah gemuk, tetapi karena bagian genitalnya bengkak

sehingga ± 3 hari lalu pasien dibawa ke klinik pasien

menderita radang ginjal. Sebelum dibawa ke klinik pasien

juga sempat demam, pasien di beri obat racikan dan

paracetamol keluhan demam hilang namun bengkak tidak

membaik. Selain itu pasien juga mengeluh sakit pada

perutnya. BAK tidak ada keluahan. Mual -, muntah -, diare-,

batuk-, pilek-, sesak nafas-.

a. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyak

itUmur

Penyaki

tUmur Penyakit Umur

Alergi -Difteri

a- Jantung -

Cacing

an- Diare 2 Ginjal -

DBD - Kejang - Darah -Thypoi

d- Maag -

Radang

paru-

Syn.Nefr

otik-

Varicel

a-

Tuberkul

osis-

Paroti - Asma - Morbili -

4

sKesan : pasien pernah menderita diare

b. Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

c. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :

KEHAMILAN Morbiditas

kehamilan

Anak tunggal

Perawatan

antenatal

Periksa ke bidan 1

kali tiap bulanKELAHIRAN Tempat kelahiran Bidan

Penolong

persalinan

Bidan

Cara persalinan NormalMasa gestasi 37 mingguPenyulit Tidak ada

Keadaan bayi

Berat lahir 3.100

gram

Panjang badan 51 cm

Lingkar kepala tidak

ingat

Langsung menangis

Nilai apgar tidak

tahu

Tidak ada kelainan

bawaan

5

Kesan : Riwayat kehamilan baik dan kelahiran pasien baik

d. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Pertumbuhan gigi I : - (normal: 5-9 bulan)

Psikomotor

Mengangkat kepala : 1 bulan (normal: 1-3 bulan)

MIKA, MIKI : 1 bulan 2 minggu (normal: 2-5

bulan)

Duduk : - (normal: 6 bulan)

Berdiri : - (normal: 9-12

bulan)

Berjalan : - (normal: 13 bulan)

Bicara : - (normal: 9-12

bulan)

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien

baik.

e. Riwayat Makanan

Umur

(bulan)

ASI/PASI Buah/

biskuit

Bubur

susu

Nasi

tim0-2 -/+2-4 -/+4-6 -/+6-8 -/ + + +8-10 -/- + + +10-12 -/- + + +Kesan : Pasien tidak minum ASI sampai umur 2 tahun tetapi pasien minum

susu formula, pasien mulai makan makanan buah atau biskuit sejak

berumur 6 bulan

6

f. Riwayat Imunisasi :

Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)BCGDPTPOLIO Lahi

rCAMPAKHEPATITIS

B

Lahi

rKesan : Riwayat imunisasi pasien tidak lengkap

g. Riwayat Keluarga

Ayah IbuNama Tn. N Ny.NPerkawinan ke Pertama Pertam

aUmur saat

menikah

23

tahun

23

tahunUmur 27

tahun

28

tahunKeadaan

kesehatan

Baik,

Ayah

merokok

Baik

Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua keadaan baik

h. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :

Tinggal dirumah sendiri di lingkungan padat penduduk.

Tinggal bertiga oleh ayah dan ibunya. Terdapat dua kamar

7

tidur, satu dapur, satu ruang tamu, dan satu kamar mandi.

Keadaan rumah bersih, ventilasi baik, pencahayaan baik, air

minum dan air mandi berasal dari air sumur. Air limbah

rumah tangga disalurkan dengan baik dan pembuangan sampah

hampir setiap hari diangkut petugas kebersihan.

Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 2 Juni 2015

a. Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

b. PAT:

A: Tonus (+) Consibility (+) Look (+) Speech (+)

Interactiveness (+)

B: Nafas Normal, NCH (-), Retraksi (-) ,Dyspneu (-)

C: Sianosis (-), CRT <2”, Anemis (-), ikterik (-)

c. Tanda Vital

- Frekuensi nadi : 110 x/menit

- Tekanan darah : 110/80 mmHg

- Frekuensi pernapasan : 24 x/menit

- Suhu tubuh : 36.8 oC

d. Kepala dan Leher

- Bentuk : normocephali

- Rambut : rambut hitam, tidak mudah

dicabut, distribusi

merata

8

- Mata : Edema palpebrae +/+, conjungtiva

anemis -/-,

sklera ikterik -/-, pupil

isokor, RCL +/+, RCTL +/+

- Telinga : normotia, membran timpani intak,

serumen -/-

- Hidung : bentuk normal, sekret -/-, napas

cuping hidung -/-

- Mulut : bibir kering (-), sianosis

(-)

- Lidah : normoglasia, warna merah

muda, lidah kotor (-)

- Tenggorokan : tonsil T1-T1, kriptus -/-,

detritus -/-, faring

simetris, arkus faring simetris,

granula (-)

- Leher : KGB tidak membesar,

kelenjar tiroid tidak membesar, trakea letak

normal

e. Thoraks

Paru

- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris,

retraksi subcostal dan

intercostal (-)

- Palpasi : gerak napas simetris, vocal fremitus

simetris

- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

9

- Auskultasi : SN vesikuler, ronkhii -/-, wheezing

-/-

Jantung

- Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak

- Palpasi : ictus cordis teraba

- Perkusi : redup, batas jantung dalam batas

normal

- Auskultasi : BJ I & II reguler, murmur -,

gallop -

f. Abdomen

- Inspeksi : perut tampak buncit

- Auskultasi : bising usus 4x/menit

- Palpasi : distensi, nyeri tekan (+), hepar dan lien

tidak teraba membesar

- Perkusi : shifting dullness +, nyeri ketok -,

shifting dullness(+),

undulasi (+)

g. Kulit : ikterik -, petechie –, sianosis -,

turgor kulit normal

h. Ekstremitas : akral hangat, sianosis -, edema +/+,

CRT < 2 detik

i. Genitalia : Edema (+)

j. Data antropometri

- Berat badan : 18 kg

- Lingkar Kepala : 49,5 cm

- Tinggi badan : 105 cm

- Status Gizi menurut CDC :

o BB/U : 18/18 x 100 % = 100% Gizi baik

10

o TB/U : 105/109 x 100 % = 96,3% Normal

o BB/TB : 18/17x 100% = 105,8% Gizi baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Penunjang (saat pasien berobat di klinik)

Tgl 30-05-2015 pukul 18.30

URIN LENGKAP

Glukosa Negatif Negatif Normal

Protein ++++ Negatif Positif

Keton Negatif Negatif Normal

Bilirubin Negatif Negatif Normal

Urobilinogen Positif < 16 Positif

11

Nitrit + Negatif Positif

pH 6.5 4.5-8.0 Normal

Berat jenis 1.025 1.003-1.030 Normal

Sedimen :

Epitel Positif Positif Normal

Leukosit 40-50 0-5 /LPB Meningkat

Eritrosit 6-8 0-3 /LPB Meningkat

Silinder Granular +++ Negatif Positif

Kristal Negatif Negatif Negatif

Bakteri ++ Negatif Positif

Jamur Negatif Negatif Negatif

Test Darah rutin di RSUD Bekasi

Tgl :2 Juni 2015 (Pukul 09.06)

12

Test Darah Lengkap di RSUD Bekasi

Tgl: 2 Juni 2015 (pukul 16.00)

13

KIMIA KLINIK

SGOT 32 u/L < 37 Normal

SGPT 7 u/L < 41 Normal

Ureum 27 mg/dL 20-40 mg/dL Normal

Kreatinin 0.28 mg/dL 0.5-1.3 mg/dL Menurun

Kolesterol

total

528 mg/dL < 200 meningkat

V. RESUME

Anamnesis

Pasien anak laki-laki usia 5 tahun, BB: 18 kg datang

ke IGD RSUD Bekasi bersama orang tua nya dengan keluhan

dari ibu pasien bahwa pasien mengalami bengkak pada

kelaminnya. Bengkak dirasakan sejak ±3 hari SMRS. Selain

pada kelaminnya ibu pasien juga mengatakan bahwa wajah,

perut dan kedua kaki bengkak sejak ± 7 hari SMRS. Bengkak

pada pasien tidak disertai rasa nyeri. Bengkak dimulai dari

kelopak mata, wajah, kedua kaki lalu ke alat kelaminnya.

Ibu pasien mengaku keluhan ini baru pertama kali dialami

pasien, awalnya mengira bahwa anaknya bertambah gemuk,

tetapi karena bagian genitalnya bengkak sehingga ± 3 hari14

lalu pasien dibawa ke klinik pasien menderita radang

ginjal. Sebelum dibawa ke klinik pasien juga sempat demam,

pasien di beri obat racikan dan paracetamol keluhan demam

hilang namun bengkak tidak membaik. Selain itu pasien juga

mengeluh sakit pada perutnya. BAK tidak ada keluahan.

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda Vital

TD : 110/80 mmHg

Frekuensi nadi : 110 x/menit

Frekuensi pernapasan : 24 x/menit

Suhu tubuh : 36.8 oC

Data antropometri : BB/U : gizi baik

TB/U : normal

BB/TB : gizi baik

Wajah : edema +, edema palpebra +/+

Abdomen : tampak buncit, distensi, nyeri tekan

(+),

BU (+), shifting dullness (+)

undulasi (+)

Ekstremitas : akral hangat, pitting edema

tungkai +/+

Kelamin : edema (+)

15

Pemeriksaan penunjang

URIN LENGKAP

Protein ++++ Negatif Positif

Nitrit + Negatif Positif

Leukosit 40-50 0-5 /LPB Meningkat

Eritrosit 6-8 0-3 /LPB Meningkat

Silinder Granular +++ Negatif Positif

Bakteri ++ Negatif Positif

VI. DIAGNOSIS KERJA

Sindrom nefrotik16

VII. DIAGNOSA BANDING

GNA

VIII. PENATALAKSANAAN

Pro rawat inap

Diet : Biasa

IVFD : tridex 27 B 8 tpm (makro)

Medikamentosa :

Prednison 3 x ½ tab

Rencana Transfusi albumin 20% 100cc

IX. PROGNOSIS

- Ad vitam : Dubia Ad Bonam

- As fungsionam : Dubia Ad Bonam

- Ad sanationam : Dubia Ad Bonam

FOLLOW UP

Hari/

tangg

al

Subjekt

if

Objektif Assesm

ent

Planning

2

Juni

2015

Sakit

perut

Bengkak

wajah ,

perut,

kaki,

kelamin

TD : 110/80mmhg

S : 36,8

N : 110x/m

RR :24x/mnt

Edema palpebra

(+/+)

Edema Wajah (+)

Thoraks dbn

Abdomen distensi,

SN Tx/

IVFD : Tridex

27 B (8 tpm)

Prednison 3 x

1/2 tab

Rencana

Transfusi albumin

20% 100 cc

17

nyeri tekan (+)

daerah epigastrium,

hipokondria dan

umbilical sinistra

dextra, asites (+)

Edema kelamin (+)

Edema tungkai (+)3

Juni

2015

Sakit

perut

Bengkak

pada

kaki

berkura

ng

TD : 110/70 mmHg

S : 36

N : 100x/m

RR: 20x/m

Edema palpebra

(+/+)

Edema Wajah (+)

Thoraks dbn

Abdomen distensi,

nyeri tekan (+)

daerah epigastrium,

hipokondria dan

umbilical sinistra

dextra, asites (+)

Edema kelamin (+)

Edema tungkai (+)

IWL : 20x18 = 360

Urin : 700 cc

Output: urin + IWL:

700+360 = 1.060 CC

Intake : minum +

SN Tx/

IVFD : Tridex 27 B

(8 tpm)

Prednison 3 x 1/2

tab

Transfusi albumin

20% 100 cc (3jam)

Monitor urin

Diet biasa TKTP

rendah garam

18

IVFD :

500cc+500cc = 1000

cc

Balance : Intake –

output:

1.000 – 1.060 = -60

cc

Diuresis : 1,6

cc/jam4

Juni

2015

Nyeri

perut

Bengkak

berkura

ng

TD :120/80mmHg

S : 36

N : 90x/m

FH: 24x/m

Edema palpebra -/-

Edema Wajah (-)

Thoraks dbn

Abdomen nyeri tekan

(+) daerah

epigastrium,

hipokondria dan

umbilical sinistra

dextra, asites (+)

berkurang

Edema kelamin (+)

berkurang

Edema tungkai (-)

IWL : 20 x 18= 360

Urin : 800 cc

SN Tx/

IVFD : Tridex 27

B (8 tpm)

Prednison 3 x 1/2

tab

Post transfusi

albumin 20% 100 cc

19

Intake : minum +

IVFD =

480cc + 576cc =

1.056 cc

Output : urin + IWL

=

800 cc + 360 cc =

1.160 cc

Balance : Intake –

output :

1.056 – 1.160 = -

104 cc

Diuresis : 1,8

cc/jam5

Juni

2015

Nyeri

perut

berkura

ng

Bengkak

berkura

ng

TD : 120/80 mmHg

S : 36,7

N : 110x/m

FN: 24x/m

Edema palpebra

-/-

Edema Wajah

(-)

Thoraks dbn

Abdomen asites

(+) berkurang

Edema kelamin

(+)

berkurang

SN Lab tgl 4/6/15

Protein total : 4,70

g/dl

Albumin : 2,14 g/dl

Globulin : 2,56 g/dl

Tx/

IVFD : Tridex 27

B (8 tpm)

Prednison 3-2-2

Transfusi

albumin 20% 100 cc

20

Edema tungkai

(-)

IWL : 20 x 18= 360

Urin : 1.800 cc

Intake : minum +

IVFD =

600cc + 576cc =

1.176 cc

Output : urin + IWL

=

1.800 cc + 360 cc =

2.160 cc

Balance : Intake –

output =

1.176 – 2.160 = -

984 cc

Diuresis : 4,1

cc/jam

6

Juni

2015

Bengkak

berkura

ng

hanya

tinggal

di

scrotum

aja

TD : 120/80mmhg

S : 37

N : 100x/m

FN :22x/mnt

Edema palpebra -/-

Edema Wajah (-)

Thoraks dbn

Abdomen asites (-)

SN Tx/

IVFD : Tridex 27 B

(8 tpm)

Prednison 3-2-2

Post Transfusi

albumin 20% 100 cc

21

Edema kelamin (+)

scrotum

Edema tungkai (-)

IWL : 20 x 18= 360

Urin : 1.500 cc

Intake : minum +

IVFD :

1000cc + 550cc =

1.550 cc

Output : urin + IWL

=

1.500 cc + 360 cc =

1.860 cc

Balance : Intake –

output :

1.550 – 1.860 = -

310 cc

Diuresis : 3,47

cc/jam7

Juni

2015

Keluhan

-

TD : 110/80 mmHg

S :36,2

N : 100x/menit

FN : 23x/menit

Edema palpebra -/-

Edema Wajah (-)

Thoraks dbn

Abdomen asites (-)

Edema kelamin (-)

SN Lab tgl 6-6-2015:

Protein total : 5,60

g/dl

Albumin : 3,04 g/dl

Globulin : 2,56 g/dl

Tx /

IVFD: IVFD : Tridex

27 B (8 tpm)

22

Edema tungkai (-)

IWL : 20 x 18= 360

Urin : 1.500 cc

Intake : minum +

IVFD :

1.200cc + 550cc =

1.750 cc

Output :urin + IWL+

BAB =

1.500 cc + 360 cc

+200cc = 2.060 cc

Balance : Intake –

output :

1.750 – 2.060 = -

310 cc

Diuresis : 3,47

cc/jam

Prednison 3-2-2

8

Juni

2015

Keluhan

-

TD : 110/70 mmHg

S : 36,3

N : 100x/menit

FN : 24x/menit

Edema palpebra -/-

Edema Wajah (-)

Thoraks dbn

Abdomen asites (-)

Edema kelamin (-)

Edema tungkai (-)

IWL : 20 x 18= 360

SN Tx/

AFF infus

Prednisone 3-2-2

23

Urin : 1.200 cc

Intake : minum +

IVFD :

1.000cc + 300cc =

1.300 cc

Output :urin + IWL+

BAB =

1.200 cc + 360 cc

+150cc = 1.710 cc

Balance : Intake –

output :

1.300– 1.710 = -410

cc

Diuresis : 2,7

cc/jam

Foto pasien

24

BAB III

ANALISA KASUS

25

Pada kasus ini ada seorang anak berusia 5 tahun datang

ke rumah sakit RSUD Bekasi Berdasarkan alloanamnesa dengan

orangtua penderita, setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan

penunjang didapatkan :

1. Anamnesis :

Kelopak mata, wajah, perut, kedua tungkai dan genital

bengkak. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri pada perut.

Dari anamnesa data mengenai adanya pembengkakan pada mata,

perut, tungkai dan genital sudah sesuai dengan teori.

2. Pemeriksaan fisik :

Tanda vital tekanan darah pasien normal. Ditemukan

edema pada kedua kelopak mata, abdomen distensi dan pada

perkusi abdomen ditemukan pekak sisi dan pekak alih positif

dan undulasi (+), palpasi abdomen terdapat nyeri tekan pada

epigastrium, hipokondria dextra sinistra dan umbilical

dextra sinistra, edema pada alat genital serta terdapat

pitting edem pada kedua tungkai bawah.

3. Laboratorium :

Dari hasil laboratorium sudah sesuai dengan teori

yaitu di dapatkan proteinuria (4+), hipoalbuminemia (0,80

mg/dl), kolesterol total 528 mg/dl, kreatinin 0,11 mg/dl,

ureum 27 mg/dl, natrium 133 mmol/L, kalium 4,3 mmol/L.

4. Diagnosa kerja :

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium, pasien ini didapatkan edema

anaksarka, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan

proteinuria masif, maka pasien ini didiagnosis Sindrom

Nefrotik berdasarkan Konsensus tatalaksana Sindrom

26

Nefrotik Idiopatik Pada Anak (Ikatan Dokter Anak Indonesia

2012) :

1. Proteinuria masif (>40 mg/m LPB/jam atau 50

mg/kg/hari atau rasio

protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau

dipstik ≥ 2+);

2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL;

3. Edema;

4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200

mg/dL

Pasien ini didiagnosis menderita sindrom nefrotik

kasus baru, bukan sindrom nefrotik kasus relaps

ataupun sindrom nefrotik resisten steroid. Dikarenakan

yang dimaksud relaps adalah keadaan proteinuria ≥2+

(proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut

dalam 1 minggu setelah pemberian terapi steroid,

sedangkan yang dimaksud dengan resisten adalah tidak

terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh

(full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu. Pada

kasus ini, orang tua pasien mengaku keluhan ini baru

pertama kali dirasakan pasien.

Penyebab utama terjadinya SN pada anak ini merupakan

tipe primer sesuai teori karena tidak dapatkan ada riwayat

infeksi atau penyakit sistemik sebelumnya tidak timbul

sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai

akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek

samping obat.

27

SN pada kasus ini didiagnosa banding dengan GNA karena

gejala klinis yang ditimbulkan sama yakni berupa edema.

Pada anak ini tidak ditemukan adanya hipertensi. Sesuai

dengan teori di atas hipertensi lebih sering terjadi pada

GNA. Namun pada literatur lain dinyatakan bahwa hipertensi

ringan sedang sering ditemukan pada SN dan menjadi

normotensi bersamaan dengan peningkatan diuresis.

5. Terapi :

Pada pasien ini dietnya juga dibatasi mengikuti

anjuran diet pada orang SN yaitu tidak diberikan diet

tinggi protein. Diet untuk pasien SN adalah 35

kal/kgbb/hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat.

Diet rendah garam (1-2 gr/hari) dan rendah lemak

harus diberikan. Pada pasien SN asupan protein

dibatasi sekitar 0,8-1 gr/kgbb/hari. Kebutuhan cairan

pada pasien ini juga sebaiknya dibatasi.

Untuk pengobatan pada pasien ini diberikan

steroid full dose sesuai dengan International Study

on Kidney Diseases in Children (ISKDC) diberikan

prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal

80 mg/hari dalam dosis terbagi untuk menginduksi remisi).

Untuk pemberian dosis prednison sesuai berat badan ideal

(BB terhadap TB). Berdasarkan WHO Growth Chart Standart,

pada pasien ini BB ideal nya di umur 5 tahun dengan TB 105

cm adalah 18 kg, sehingga dosis prednison yang

diberikan adalah 18 kg x 2 mg/kgBB/hari = 36 mg/hari,

dibulatkan menjadi 35 mg/hari dikarenakan:

28

1. Satu tablet prednison mengandung 5 mg sehingga

mempermudah dalam penentuan jumlah tablet yang

akan diberikan dan mempermudah dalam pengkonsumsian

obat;

2. Dosis pembulatan menjadi 35 mg masih dalam dosis aman

prednison yaitu maksimal 80 mg/hari.

Sehingga pasien ini menggunakan prednison sebanyak 7

tablet sehari dengan dosis terbagi 3-2-2.

Pada kasus ini pasien tidak perlu diberikan diuretic

dikarenakan pasien masih bisa mengeluarkan urin dalam

jumlah yang cukup banyak. Pada pasien ini diberikan terapi

albumin karena indikasi pemberian albumin 20% 1 g/kgBB

apabila nilai albumin <1 sedangkan pada pasien ini

kadar albuminnya 0,80 g/dl.

Pada kasus ini prognosisnya dubia ad bonam

dikarenakan pasien didiagnosis Sindrom Nefrotik yang dalam

perjalanan penyakitnya masih sensitif terhadap pengobatan

steroid ditandai dengan kondisi pasien sampai pulang.

29

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal

yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpilan

gejala –gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,

hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta edema anasarka.(3)

B. ETIOLOGI

30

Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini

dianggap sebagai penyakit autoimun (reaksi antigen-

antibodi).

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi :

Sindrom nefrotik kongenital7

Salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak

anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.

- Finnish type-congenital nephrotic syndrome (NPHSI,

nephrin)

- Denys-drash syndrom (WT1)

- Frasier syndrom (WT1)

- Diffuse mesangial sclerosis (WTI, PLCE1)

- Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)

- Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin 4,

TRPC6)

- Nail-patella syndrom (LMX1B)

- Pierson syndrom (LAMB2)

- Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)

- Galloway-mowat syndrom

- Oculocerebrorenal (lowe) syndrom

Sindrom nefrotik primer

Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom

nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara

primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri

tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering

dijumpai pada anak.

31

Menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of

Kidney Disease in Children) Berdasarkan gambaran patalogi

anatominya sindrom nefrotik primer dikelompokkan menjadi 4

tipe. Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan

melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila

diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop

elektron dan imunofluoresensi. 1,5

Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik

primer

1. Sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM)

Tipe ini paling sering terjadi pada anak-anak sekitar

77-85% kasus. Biasanya idiopatik dan dengan mikroskop

biasanya glomerulus tampak normal, sedangkan dengan

mikroskop elektron tampak foot processus sel epitel

berpadu. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak dari

pada orang dewasa. Prognosisnya lebih baik dari pada

golongan lain.

2. Glumerulosclerosis fokal segmental (GSFS)

Terjadi sekitar 10-15% dari kasus sindroma nefrotik.

Tipe ini lebih sering terjadi pada dewasa. Pada mikroskop

cahaya akan terlihat scar atau sklerosis, pada glomerulus

sklerosis akan berkembang lebih luas lagi. Pada biopsi

ginjal akan didapatkan gambaran histologis mirip kelainan

minimal yaitu dapat terlihat foot processes pada EM dan

pada kebanyakan kasus negatif.

3. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

Terdapat proliferassi sel mesangial dan infiltrasi sel

polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang

32

menyebabkan kapiler tersumbat. Pada mikroskop cahaya akan

terlihat penebalan dari membran basal.7 Kelainan ini sering

ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan

streptokokus yang berjalan progresif. 1,4,5,6

4. Glomerulopati membranosa (GM)

Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler

yang tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan

pada anak. Prognosis nya kurang baik.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak

biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal.

Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan

minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.5

Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik

primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila

Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364

anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi,

sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan

minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang

dibiopsi.3,5

Sindrom nefrotik sekunder

Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik

atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti

misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai

adalah :

1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus,

amiloidosis, sindrom Alport, miksedema.

33

2. Infeksi : hepatitis B dan C, malaria, Schistosomiasis

mansoni, Lues, Subacute Bacterial Endocarditis, Cytomegalic

Inclusion Disease, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.

3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion,

paramethadion, probenecid, penisillamin, vaksin polio,

tepung sari, racun serangga, bisa ular.

4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus

Eritematosus Sistemik, purpura Henoch-Schonlein,

sarkoidosis.

5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia,

tumor gastrointestinal.

6. Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome1,3,5

C. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Kelainan pokok pada sindroma nefrotik adalah

peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang

menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada

biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit

tanda sindroma nefrotik idiopatik) menunjukan peran penting

podosit. Sindroma nefrotik berkaitan juga dengan gangguan

kompleks pada sistem imun terutama imun yang dimediasi oleh

sel T. Pada focal segmental glumerulosclerosis (FSGS). Faktor plasma

diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi,

bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding

kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin

α-actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan focal

segmental glomerulosclerosis (FSGS). Sindroma nefrotik resisten

steroid dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen

34

WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus,

seperti celah pori dan termasuk nephrin, NEPH1 dan CD-2

yang terkait protein.7

Ada beberapa teori mengenai patogenesis dari sindroma

nefrotik tipe kelainan minimal :

1. Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)

Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibody

sehingga terjadi reaksi antigen dan antibody yang larut

(“soluble”) dalam darah. SAAC ini kemudian menyebabkan system

komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C3 akan

bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian

terperangkap di bawah epitel kapsula Bowman yang secara

imunofloresensi terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS

sepanjang membrane basalis glomerulus (mbg) berbentuk

granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS ini

lah yang menyebabkan permeabilitas mbg terganggu sehingga

eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati mbg

sehingga dapat dijumpai dalam urine.3

2. Perubahan Elektrokemis

Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan

elektrokemis dapat juga menimbulkan proteinuria. Dari

beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan terpenting pada

glomerulus berupa gangguan fungsi elektrostatik (sebagai

sawar glomerulus terhadap filtrasi protein ) yaitu

hilangnya fixed negative ion yang terdapat pada lapisan

sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik

ini maka permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul

35

rendah seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat

keluar bersama urine.3

Proteinuria dan hipoalbuminemia

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab

utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab

terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu

teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan

negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler

glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif

tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif

tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.

Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria

yang hebat. Edema muncul akibat rendahnya kadar albumin

serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma

dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke

ruang interstitial.1,3,5

Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang

berarti eksresi protein > 50 mg/kgBB/hari atau >40 mg/m2/jam

atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai ++++. Oleh

karena proteinuria paralel dengan kerusakan MBG , maka

proteinuria dapat dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk

menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur

adalah Index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat

ditentukan dengan cara mengukur ratio antara Clearance IgG

dan Clearence Transferin.

ISP = Clearance IgG

Clearance Transferin

36

Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective

Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan kerusakan

glomerulus ringan dan respons terhadap kortikosteroid baik.

Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective

Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan kerusakan

glomerulus berat dan tidak adanya respons terhadap

kortikosteroid.3,5

Hipoalbuminemia terjadi apabila kadar albumin dalam

darah < 2,5 gr/100 ml. Hipoalbuminemia pada SN dapat

disebabkan oleh proteinuria, katabolisme protein yang

berlebihan dan nutrional deficiency. Hipoalbuminemia

menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma

intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi

cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke

ruang interstitial yang menyebabkan edema.

Edema

Edema merupakan gejala kardinal pada SN. Mekanisme

terjadinya edema dapat dijelaskan melalui dua teori yaitu

teori Underfill dan Ovefill/overflow. Pembentukan edema pada sindrom

nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin

saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan

atau pada waktu berlainan pada individu yang sama.3 Edema

mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun

tidur. Edema yang hebat / anasarca sering disertai edema

genitalia eksterna. Edema anasarca terjadi bila kadar

albumin darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema anasarca

ini dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan

37

karena edema mukosa usus. Akibat anoreksia dan proteinuria

masif, anak dapat menderita PEM. Hernia umbilikalis,

dilatasi vena, prolaps rekstum dan sesak nafas dapat pula

terjadi akibat edema anasarca ini. 1,3,4,5

Teori underfill adalah teori klasik mengenai pembentukan

edema, yakni menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang

menyebabkan cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan

meningkatnya permeabilitas glomerulus, albumin akan keluar

dan kemudia menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.

Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik

koloid plasma intravaskular. Keadaain ini menyababkan

meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari

ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan

edema. Sebagai akibat dari pergeseran cairan ini, volume

plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran

menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif.

Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif

merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium

renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha

kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan

intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya

mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian

menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya

mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.1,3,5

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin

yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-

aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga

produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium

38

rendah. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar

renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena

hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom

nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita

sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume

plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar

aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori

overfill. Menurut teori ini meningkatnya volume plasma karena

tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron.

Retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme

intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi

sistemik perifer. Retensi natrium renal primer

mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan

ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat

overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori

overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat

dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai

akibat hipervolemia.5

Hiperlipidemia

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan

onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi

lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang

lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik

secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka

umumnya kadar lipid kembali normal. Dikatakan

hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang

meninggi ( kolesterol > 250 mg/100 ml ) tetapi juga

beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen

39

lemak itu adalah kolesterol, Low Density Lipoprotein (LDL),

Very Low Density Lipoprotein (VLDL), dan trigliserida (baru

meningkat bila plasma albumin < 1gr/100 mL. Akibat

hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat

albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis

albumin ini, sel sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam

keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL pleh lipoprotein

lipase. Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh

adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak

bebas. Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein

lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar

apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke

dalam urine. Jadi, hiperkolesteronemia ini tidak hanya

disebabkan oleh produksi yang berlebihan , tetapi juga

akibat gangguan katabolisme fosfolipid.1,3,5

Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala klinik

yang disebut diatas tanpa gejala-gejala lain. Oleh karena

itu, secara klinik SNKM ini dapat dibedakan dari SN dengan

kelainan histologis tipe lain yaitu pada SNKM dijumpai hal-

hal sebagai berikut pada umunya :

Anak berumur 1-6 tahun

Tidak ada hipertensi

Tidak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis

Fungsi ginjal normal

Titer komplemen C3 normal

Respons terhadap kortikosteroid baik sekali.

Oleh karena itulah, bila dijumpai kasus SN dengan gejala-

gejala diatas dan mengingat bahwa SNKM terdapat pada 70-80%

40

kasus, maka pada beberapa penelitian tidak dilakukan biopsi

ginjal.2,3

D. GEJALA KLINIS

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama

adalah edema, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan

sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara lambat

sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada

fase awal edema sering bersifat intermiten; biasanya

awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi

jaringan yang rendah (misalnya daerah periorbita, skrotum

atau labia). Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif

(anasarka).1,2,4,5

Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak

sebagai edema muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan

kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang

harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila

ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat,

kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Edema

biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan

pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan

karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada

pasien SNKM.2,5

Edema paling parah biasanya dijumpai pada sindrom

nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, edema

biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi

jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum,

labia. Edema bersifat menyeluruh, dependen dan pitting.

41

Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-

anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan,

dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat edema kulit,

anak tampak lebih pucat.4,5

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam

perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami

pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa

usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang

meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien,

nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada

sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena edema dinding

perut atau pembengkakan hati.2,4

Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan

terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama

pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid.2,4

Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan

prolaps ani.5

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai

efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu,

bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat

diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.5

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti

halnya pada penyakit berat dan kronik umumnya yang

merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang

berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah

merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua

pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan

orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama

42

menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi

terganggu.5

Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom

nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease

in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai

tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil

umur.2

Tanda sindrom nefrotik yaitu :

1. Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria

yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam;

biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM

biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-

pasien dengan tipe yang lain.5

2. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar

albumin serum < 2.5 g/dL.

3. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom

nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan

kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL

meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun.

Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah

remisi sempurna dari proteinuria. 1,5

4. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada

sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan

petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom

nefrotik.1,5

5. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar

pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi

43

ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin

serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari

tipe histologik yang bukan SNKM. 1,5

6. Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada

pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto

toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura

dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan

derajat sembab dan secara tidak langsung dengan

kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran

asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun

kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua

ginjal dengan ekogenisitas yang normal. 1,5

E. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Kriteria SN9 :

1. Proteinuria masif (>40 mg/m LPB/jam atau 50

mg/kg/hari atau rasio

protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau

dipstik ≥ 2+);

2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL;

3. Edema;

4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200

mg/dL

Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua

kelopak mata,perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat

44

disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga

dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.5

Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan

edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites

dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan

hipertensi.5

Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :

Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan albumin secara

kualitatif +2 sampai +4. Secara kuantitatif > 50

mg/kgBB/hari ( diperiksa memakai reagen ESBACH ). Pada

sedimen ditemukan oval fat bodies yakni epitel sel yang

mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai

eritrosit, leukosit, toraks hialin dan toraks

eritrosit.2,3,4,5

Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total

menurun (N:6,2-8,1 gm/100ml), albumin menurun (N: 4-5,8

gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2

globulin meninggi (N:0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N:

0,5-09 gm/100ml), γ globulin normal (N:0,3-1 gm/100ml),

rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3

normal/rendah (N:80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan

klirens kreatinin normal kecuali ada penurunan fungsi

ginjal, hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang

meningkat. 2,3,4

45

Foto Thorax PA dan LDK dilakukan bila ada sindrom

gangguan nafas untuk mencari penyebabnya apakah pneumonia

atau edema paru akut.2

Pemeriksaan histologik yaitu biopsy ginjal. Namun

biopsy ginjal secara perkutan atau pembedahan bersifat

invasive, maka biopsy ginjal hanya dilakukan atas indikasi

tertentu dan bila orang tua dan anak setuju.2

F. DIAGNOSIS BANDING

1. Edema non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan

nutrisi, edema hepatal.

2. Glomerulonefritis akut

3. Lupus sistemik eritematosus.5

G. PENATALAKSANAAN

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali,

sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk

mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,

penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan

edukasi orangtua.

1. Diitetik

Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan

kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus

untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein

(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.

Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi

energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan

anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai

46

dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2

g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya

diperlukan selama anak menderita edema.9

2. Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema

berat. Biasanya diberikan loop diureticseperti furosemid

1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan

spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium)

2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu

disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian

diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan

elektrolit kalium dan natrium darah.

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema

refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau

hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus

albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk

menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri

dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila

pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma

20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk

mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila

diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari

untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah

overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga

mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites

berulang. Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema

tampak pada Gambar 1.

47

Gambar 1. Algoritma pemberian diuretik8

3. Imunisasi

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan

kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari,

selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien

imunokompromais.8 Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6

minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan

vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine).

Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat

diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak,

MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan

untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan

varisela.9

4. Pengobatan dengan kortikosteroid

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan,

sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi48

kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-

10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau

memburuk dalam waktu 10-14 hari. Untuk menggambarkan

respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom

nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada

tabel 2 berikut :2,3,4,5

Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak

dengan sindrom nefrotik

Remisi

Relaps

Relaps tidak

sering

Relaps sering

Responsif-

steroid

Dependen-

steroid

Resisten-

steroid

Responder

lambat

Proteinuria negatif atau seangin, atau trace

proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari

berturut-turut dalam 1 minggu

Proteinuria ≥ 2 + atau proteinuria > 40

mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana

sebelumnya pernah mengalami remisi.

Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan pertama

setelah respon awal , atau < 4 kali per tahun

pengamatan.

Kambuh ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah

respons awal atau 4 kali kambuh dalam periode 1

tahun.

Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid

saja.

Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa

tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14

hari setelah terapi steroid dihentikan.

Tidak terjadi remisi meskipun telah diberikan

terapi prednison dosis penuh 2 mg/kgbb/hari

selama 4 minggu

49

Nonresponder

awal

Nonresponder

lambat

Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi dosis

penuh 2 mg/kgbb/hari tanpa tambahan terapi lain.

Resisten-steroid sejak terapi awal.

Resisten-steroid terjadi pada pasien yang

sebelumnya responsif-steroid.Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan

awal, kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang

diberikan adalah prednison atau prednisolon.9

a. Terapi Inisial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik

idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan

anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari

atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis

terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung

sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap

tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)

inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi

dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua

dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5

mg/kgbb/hari, secara alternating(selang sehari), 1 x sehari

setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggupengobatan steroid

dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan

sebagai resisten steroid (Gambar 2). 9

50

Gambar 2. Pengobatan inisial kortikosteroid

b. Pengobatan SN Relaps

Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3,

yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi

(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating

selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami

proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum

pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya,

biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi

diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian

proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan

relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai

edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan

prednison mulai diberikan.9

Gambar 3. Pengobatan sindrom nefrotik relaps

Keterangan :

Pengobatan SN relaps : prednison dosis penuh (FD) setiap

hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan

dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40

mg/m2/LPB/hari selama 4 minggu.

c. Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid

51

Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau

dependen steroid:

1. Pemberian steroid jangka panjang

2. Pemberian levamisol

3. Pengobatan dengan sitostatik

4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat

mofetil (opsi terakhir)

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti

tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah, atau

kecacingan.9

c.1 Steroid jangka panjang

Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau

dependen steroid, setelah remisi dengan prednison dosis

penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara

alternating. Dosis ini kemudian diturunkan

perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu.

Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis

terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1

– 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis

threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan,

kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah

dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,

sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1mg/kgbb secara

alternating.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 –

0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi

dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan

52

setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka

prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara

alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2

minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis

prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau

relaps yang terakhir.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5

mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa

efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan

dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12

bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:

1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau

2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:

a. Efek samping steroid yang berat

b. Trombosis, dan sepsis diberikan siklofosfamid

(CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.9

c.2 Levamisol

Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing

agent. Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis

tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping

levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic

rash, dan neutropenia yang reversibel. 9

c.3 Sitostatika

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada

pengobatan SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau

klorambusil.

53

Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3

mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara

intravena atau puls (Gambar 5). CPA puls diberikan

dengan dosis 500 – 750 mg/m2LPB, yang dilarutkan dalam

250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls

diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total

durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA

adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia,

sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang

dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu

pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin,

leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila

jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung

trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan

diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin

>8 g/dL, trombosit >100.000/uL.

Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi

bila dosis total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb.

Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180

mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg

bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS

sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan

infeksi.9

54

Gambar 4. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral

Keterangan :

Relaps sering : prednison dosis penuh (FD) setiap hari

sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan

dengan prednison intermitten atau alternating (AD) 40

mg/m2/LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per

oral, dosis tunggal selama 8 minggu

Gambar 5. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid

Keterangan :

Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi

(maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan

siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan

melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan

prednison intermitten atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/

hari selama 12 minggu. Kemudian prednison ditappering off

dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkna

55

dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2

bulan)

Atau

Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi

(maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan

siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 12

minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari

selama 12 minggu. Kemudia prednison ditappering off dengan

dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5

mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tappering off 2 bulan)

c.4 Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan

pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan untuk

pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-

150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan

kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL.

Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA

dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga

pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi

bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen

siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA

dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.9

c.5 Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil= MMF)

Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan

levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF

diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30

mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12

- 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare,

56

leukopenia. Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps

sering atau dependen steroid dapat dilihat pada Gambar 6.9

Gambar 6. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen

steroid

Keterangan :

1. Pengobatan steroid jangka panjang

2. Langsung di beri CPA

3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan

CPA

4. Sesudah jangka panjang dan levamisol dilanjutkan

dengan CPA

d. Pengobatan SN dengan kontraindikasi steroid

57

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan

kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi,

peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,

maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA

puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis

2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena

(CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls

diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan

dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA

puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan

(total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

e. Pengobatan sn resisten steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai

sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai

pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk

melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran

patologi anatomi mempengaruhi prognosis.

e.1 Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid

dilaporkan dapat menimbulkan remisi. Pada SN resisten

steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila

terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi

karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif

kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh

tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau

menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan

58

siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat

dilihat pada Gambar 7.9

e.2 Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat

menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan

remisi parsial pada 13%.15 Efek samping CyA adalah

hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi

gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu

menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada

pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:

1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-

250 nanogram/mL

2. Kadar kreatinin darah berkala

3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak

dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat yang

mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.

Gambar 7. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid

Keterangan :

59

Sitostatik oral : siklosfosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis

tunggal selama 3-6 bulan Prednison alternating dosis

40mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid oral.

Kemudian prednison di tapering off dengan dosis 1

mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5

mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan)

Atau

Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan

melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat

dilanjutkan tergantung keadaan pasien. Prednison

alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian

sikofosfamid puls (6bulan). Kemudian prednison ditapering

off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan

dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2

bulan)

Tabel 1. Protokol metilprednisolon dosis tinggi

Keterangan :

Dosis maksimum metilrednisolon 1000 mg; dosis maksimum

prednison oral 60 mg, siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari)

60

atau klorambusil (0,18-0,22 mg/kgbb/hari) selama 8-12

minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih

didapatkan setelah pemberian metilprednisolon selama 10

minggu.

e.3 Obat imunosupresif lain

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan

pada SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat

mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik

dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini

belum direkomendasi di Indonesia. Skema tata laksana

sindrom nefrotik selengkapnya seperti terlihat pada Gambar

8.9

Gambar 8. Tatalaksana sindorm nefrotik

f. Pemberian obat non-imunosupresif untuk mengurangi

proteinuria

61

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan

angiotensin receptor blocker(ARB) telah banyak digunakan

untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini

dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan

tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus.

ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui

penurunan sintesis transforming growth factor(TGF)-β1 dan

plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan

sitokin penting yang berperan dalam terjadinya

glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin

sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan

SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko

untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan

SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian

kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan

proteinuria lebih banyak. Pada anak dengan SNSS relaps

sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk

diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,

bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis

obat ini yang bisa digunakan adalah:

1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x

sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,

lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal

2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal9

 

H. KOMPLIKASI

Infeksi sekunder : mungkin karena kadar immunoglobulin

yang rendah akibat hipoalbuminemia

62

Syok : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (<1

gm/100 ml) yang menyebabkan hipovolemi berat sehingga

terjadi syok.

Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan system

koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma

atau factor V,VII,VIII dan X. Trombus lebih sering terjadi

di system vena apalagi bila disertai pengobatan

kortikosteroid.

Komplikasi lain yang bisa timbul ialah malnutrisi atau

kegagalan ginjal.1,3,4,5

I. TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK

1. Infeksi

Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap

infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera diobati

dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama

adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi

peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman

Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu

diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi

dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim

atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang

sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan

infeksi saluran napas atas karena virus.9

Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak

dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan

profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam

waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat

63

diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena

(400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat

asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau

asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis

selama 7 – 10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya

dihentikan sementara.9

2. Trombosis

Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN

relaps menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada

pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis

pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis

trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis

dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan,

dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih.

Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis

rendah, saat ini tidak dianjurkan.9

3. Hiperlipidemia

Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi

peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol, trigliserida dan

lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun

atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan

trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas

kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis. Pada

SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut

bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka

panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak.

Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk

mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya,

64

dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian

obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase

(statin).8

4. Hipokalsemia

Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:

1. Penggunaan steroid jangka panjang yang

menimbulkan osteoporosis dan osteopenia

2. Kebocoran metabolit vitamin D

Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid

jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian

suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D

(125-250 U).

Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium

glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.9

5. Hipovolemia

Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan

SN relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala

hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering

disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl

fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam

20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau

plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila

hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria,

diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena9

6. Hipertensi

Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau

dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid.

Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE

65

(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor

blocker) calcium channel blockers, atau antagonis β

adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.8

7. Efek samping steroid

Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping

yang signifikan, karenanya hal tersebut harus

dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping

tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan

pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko

infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan

demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan

pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran

tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan

setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak

setiap tahun sekali.8

J. INDIKASI BIOPSI GINJAL

Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah

ini8:

1. Pada presentasi awal

a. Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau

lebih dari 16 tahun

b. Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik

persisten, atau kadar

komplemen C3 serum yang rendah

c. Hipertensi menetap

d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan

oleh hipovolemia

66

e. Tersangka sindrom nefrotik sekunder

2. Setelah pengobatan inisial

a. SN resisten steroid

b. Sebelum memulai terapi siklosporin

K. INDIKASI MELAKUKAN RUJUKAN KEPADA AHLI NEFROLOGI ANAK

Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk

pasien kepada ahli nefrologi anak8:

1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun,

riwayat penyakit sindrom nefrotik di dalam keluarga

2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata

persisten, penurunan fungsi ginjal, atau disertai gejala

ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di

kulit

3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter,

trombosis, infeksi berat, toksik steroid

4. Sindrom nefrotik resisten steroid

5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid

L. PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan

sebagai berikut :

1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2

tahun atau di atas 6 tahun.

2. Disertai oleh hipertensi.

3. Disertai hematuria.

4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.

67

5.Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal. Misalnya

pada focal glomerulosklerosis, membranoproliferative

glomerulonephritis mempunyai prognosis yang kurang baik

karena sering mengalami kegagalan ginjal.1,3,4,5

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik

primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal

dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan

relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons

lagi dengan pengobatan steroid.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar IKA FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan

Anak FKUI. Vol.2. Edited by Dr.Rusepno Hasan dan

Dr.Husein Alatas. Infomedika. Jakarta. 2007.

2. Staf Pengajar IKA FK UH. Standar Pelayanan Medik BIKA

FKUH. Edited by Dr. Syarifudin Rauf,dkk. BIKA FKUH.

Makassar.2009

3. Syarifuddin Rauf, Dr.,dr.,Sp.A,. Catatan Kuliah

Nefrologi Anak. BIKA FK UH. Makassar. 2009

4. Behrman. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. EGC.

2000

5. Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso. Sindrom

Nefrotik. [Online]. [Cited On 2015]. Available from

URL: http://www.pediatrik.com/isi03.php?

68

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&h

tml=07110-ebtq258.htm

6. Eric P.Cohen, MD. Nephrotic Syndrome. [Online].[Cited

On 9 maret 2015]. Aailable From URL :

http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview

7. Lennon, R, L. Watson and N.J.A. webb. 2010. “Nephrotic

Syndrom in Children”. Pediatric and child health. 20

(1): 36-42.

8. Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy of

Pediatrics. Management

of steroid sensitive nephrotic syndrome: revised

guidelines. Indian Pediatr 2008;45:203-14.

9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tatalaksana

Sindroma Nefrotik Idiopatik pada Anak. Edisi Kedua.

2012.

69