beban ekonomi akibat pertumbuhan transportasi di kota batam

28
BEBAN EKONOMI AKIBAT PERTUMBUHAN TRANSPORTASI DI KOTA BATAM DISUSUN OLEH : FITRI DIAN NILA SARI 117032164

Upload: usu-id

Post on 03-Feb-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BEBAN EKONOMI AKIBAT PERTUMBUHAN TRANSPORTASI

DI KOTA BATAM

DISUSUN OLEH :

FITRI DIAN NILA SARI 117032164

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKATMAGISTER KESEHATAN LINGKUNGAN INDUSTRI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA2011/ 2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT,

karena atas rahmat dan ridho-Nya, sehingga saya dapat

menyelesaikan makalah ini dengan judul ”Beban Ekonomi

Akibat Pertumbuhan Transportasi di Kota Batam”.

Saya menyadari bahwa apa yang disajikan dalam

makalah masih terdapat kekurangan yang harus

diperbaiki. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima

kasih kepada Prof.Ramli selaku dosen yang telah

memberikan tugas makalah ini dan telah meluangkan waktu

dan pemikirannya untuk memberikan bimbingan dan masukan

kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis

dan pihak lain yang membutuhkan materi ini. Amin.

Medan, 4 Mei

2012

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk

mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan

semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan

hidupnya. Udara bersih yang dibutuhkan untuk kehidupan

di bumi merupakan gas yang tidak nampak, tidak berbau,

tidak berwarna maupun berasa. Akan tetapi udara yang

benar-benar bersih sudah sulit diperoleh, khususnya di

daerah yang banyak industri. Kebutuhan akan udara

bersih semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

jumlah penduduk di dunia, hal ini perlu diantisipasi

agar tidak krisis udara yang sehat oleh karena itu

udara perlu dijaga dan diperhatikan kesehatannya. Udara

dikatakan normal dan dapat mendukung kehidupan manusia

apabila komposisinya terdiri dari sekitar 78% nitrogen;

20% oksigen; 0,93% argon; 0,03% karbon dioksida (CO2)

dan sisanya terdiri dari neon (Ne), helium (He), metan

(CH4) dan hidrogen (H2). Apabila terjadi penambahan

gas-gas lain yang menimbulkan gangguan serta perubahan

komposisi tersebut, maka udara dikatakan sudah

tercemar.

Kegiatan manusia seiring dengan kebutuhan dasar

manusia dengan manusia lainnya atau system kebutuhan

lainnya seperti alat perhubungan yang disebut dengan

alat transportasi. Dengan adanya alat transportasi,

maka pergerakan lalu lintas menjadi lebih cepat, aman,

nyaman dan terintegrasi. Sarana transportasi (alat

angkut) berkembang mengikuti fenomena yang timbul

akibat penggalian sumberdaya seperti penemuan teknologi

baru, perkembangan struktur masyarakat, dan peningkatan

pertumbuhan.

Di banyak kota-kota besar, transportasi melalui

jalan merupakan moda yang paling dominan dibandingkan

dengan moda transportasi lainnya. Dari sejumlah

angkutan yang melalui jalan tersebut, penggunaan

kendaraan pribadi cenderung lebih dominan dari pada

kendaraan angkutan umum. Untuk terwujudnya lalu lintas

dan angkutan jalan yang aman, nyaman, cepat, tertib dan

menjangkau seluruh wilayah daratan dibutuhkan manajemen

transportasi yang antara lain meliputi pengembangan

moda transportasi, penataan frekuensi dan jarak

perjalanan lalu lintas kendaraan, bahan bakar yang

digunakan, dan pengaturan serta pembinaan terhadap

kendaraan bermotor dan kendaraan angkutan umum.

Tingkat kepadatan lalu lintas di kota-kota besar

seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan

sampai saat ini masih menjadi masalah khususnya pada

upaya pengendalian pencemaran udara dari emisi

kendaraan bermotor. Pertumbuhan kendaraan yang cukup

tinggi di kota-kota besar ini tidak saja menimbulkan

masalah kemacetan lalu lintas tetapi juga menimbulkan

masalah lain seperti kecelakaan lalu lintas, polusi

udara, dan kebisingan. Sekitar 87 % kontribusi

pencemaran udara berasal dari sektor transportasi. Saat

ini jumlah dan penggunaan kendaraan bermotor bertambah

dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12% per tahun.

Komposisi terbesar adalah sepeda motor (73% dari jumlah

kendaraan pada tahun 2002-2003 dan pertumbuhannya

mencapai 30% dalam 5 tahun terakhir). Rasio jumlah

sepeda motor dan penduduk diperkirakan 1:8 pada akhir

tahun 2005.

Program pengendalian ISPA (Infeksi Saluran

Pernafasan Akut) menetapkan bahwa semua kasus yang

ditemukan harus mendapat tata laksana sesuai standar,

dengan demikian penemuan angka kasus ISPA juga

menggambarkan penatalaksanaan kasus ISPA. Jumlah kasus

ISPA di masyarakat diperkirakan sebanyak 10% dari

populasi. Target cakupan program ISPA nasional pada

balita sebesar 76% dari perkiraan jumlah kasus, namun

pada tahun 2008 cakupan penemuan kasus baru mencapai

18,81% (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) tahun 2007, Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA) merupakan masalah kesehatan yang penting di

Indonesia karena menyebabkan kematian yang cukup tinggi

dengan proporsi 3,8% untuk penyebab kematian di semua

umur, sementara prevalensi nasional ISPA sebesar

25,5%.Untuk angka kunjungan pasien ke rumah sakit

dengan penyakit gangguan sistem pernafasan berada di

peringkat pertama yaitu sebesar 18,6% (Ditjen Bina

Yanmedik, 2009). Berdasarkan data dari Pemerintah Kota

Batam Tahun 2010 Jenis penyakit No.1 yang diderita

penduduk kota Batam adalah ISPA (Infeksi Saluran Napas

Akut) yaitu sebanyak 2696 orang..

Kebutuhan model transportasi yang berwawasan

lingkungan sangat diharapkan realisasinya, khususnya

untuk angkutan umum antar dan di kota-kota besar

seperti Jakarta dan wilayah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-

Depok-Tangerang- Bekasi). Kebutuhan ini diupayakan

dalam rangka menurunkan tingkat emisi dan konsumsi

bahan bakar.

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas dapat

dirumuskan suatu masalah yaitu : bagaimana dampak

pembangunan industrilisasi terhadap beban ekonomi

terutama beban ekonomi yang dikeluarkan untuk

pemeliharaan kesehatan akibat dampak industrialisasi

tersebut.

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini antara lain:

1. Untuk melihat sejauh mana dampak kepadatan

transportasi terhadap beban ekonomi pada masyarakat.

2. Untuk mengestimasi nilai kerugian masyarakat

akibat peningkatan volume lalu lintas.

3. Untuk mengestimasi biaya yang harus dikeluarkan

pemerintah dalam mengatasi dampak negatif

transportasi terhadap lingkungan.

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini antara lain:

1. Sebagai informasi kepada para pembaca dalam

mengatasi dampak kepadatan transportasi terhadap

beban ekonomi pada masyarakat.

2. Sebagai bahan pertimbangan kepada para pembuat

kebijakan (pemerintah) dalam mengatasi dampak negatif

transportasi terhadap lingkungan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Transportasi

Pengertian transportasi berasal dari kata Latin,

yaitu transportare, di mana trans berarti seberang atau

sebelah lain dan portare berarti mengangkut atau membawa.

Jadi, transportasi berarti mengangkut atau membawa

(sesuatu) ke sebelah lain atau suatu tempat ke tempat

lainnya. Transportasi dapat didefinisikan sebagai usaha

dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/atau

penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Ahmad

Munawar mendefinisikan transportasi hampir sama dengan

Rustian Kamaluddin, beliau mendefinisikan transportasi

sebagai kegiatan pemindahan penumpang dan barang dari

satu tempat ke tempat lain.

Untuk setiap bentuk transportasi terdapat empat

unsur pokok transportasi, yaitu: jalan, kendaraan dan

alat angkutan, tenaga penggerak, dan terminal. Ahmad

Munawar (Kadir, 2006) menjelaskan dalam bukunya bahwa

ada lima unsur pokok dalam sistem transportasi yaitu:

1. Orang yang membutuhkan.

2. Barang yang dibutuhkan.

3. Kendaraan sebagai alat angkut.

4. Jalan sebagai prasarana angkutan.

5. Organisasi yaitu pengelola angkutan.

2.2. Dampak Transportasi Terhadap Lingkungan

Perencanaan sistem transportasi yang kurang

matang, bisa menimbulkan berbagai permasalahan,

diantaranya kemacetan dan tingginya kadar polutan udara

akibat berbagai pencemaran dari asap kendaraan

bermotor. Dampak yang dirasakan akibat menurunnya

kualitas udara perkotaan adalah adanya pemanasan kota

akibat perubahan iklim, penipisan lapisan ozon secara

regional, dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat

yang ditandai terjadinya infeksi saluran pencernaan,

timbulnya penyakit pernapasan, adanya Pb (timbal) dalam

darah, dan menurunnya kualitas air bila terjadi hujan

(hujan asam).

Polutan (bahan pencemar) yang ada di udara–seperti

gas buangan CO (karbon monoksida)– lambat laun telah

memengaruhi komposisi udara normal di atmosfer. Hal ini

dapat memengaruhi kondisi lingkungan dengan adanya

dampak perubahan iklim. Ketidakpastian masih banyak

dijumpai dalam “model prediktif” yang ada sekarang,

antara lain mengenai respons alam terhadap kenaikan

temperatur bumi sendiri, serta disagregasi perubahan

iklim global ke tingkat regional, dan sebagainya.

Dalam sebuah bukunya tentang pencemaran udara

(2001), Dr, Ir. Moestikahadi Soedomo, M.Sc, DEA,

menyebutkan tentang pengaruh pencemaran udara bagi

lingkungan–khususnya bagi terjadinya pemanasan global

dalam setengah abad mendatang– diperkirakan akan

meliputi kenaikan permukaan laut, perubahan pola angin,

penumpukan es dan salju di kutub. Selain itu juga akan

terjadi peningkatan badai atmosferik, bertambahnya

populasi dan jenis organisme penyebab penyakit dan

dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, perubahan pola

curah hujan, dan perubahan ekosistem hutan, daratan

serta ekosistem lainnya.

Adapun dampak negatif bagi kesehatan masyarakat,

diketahui kontak antara manusia dengan CO, misalnya,

pada konsentrasi yang relatif rendah, yakni 100 ppm

(mg/lt) akan berdampak pada gangguan kesehatan. Hal ini

perlu diketahui terutama dalam hubungannya dengan

masalah lingkungan karena konsentrasi CO di udara

umumnya memang kurang dari 100 ppm. Senyawa CO dapat

menimbulkan reaksi pada hemoglobin (Hb) dalam darah.

Adapun faktor penting yang menentukan pengaruh

COHb terdapat dalam darah, makin tinggi persentase

hemoglobin yang terikat dalam bentuk COHb, semakin

fatal pengaruhnya terhadap kesehatan manusia.

2.3. ISPA

Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi,

saluran pernapasan dan

akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme

ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga

menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernapasan

adalah organ dimulai dari hidung sampai alveoli beserta

organ adneksa seperti sinus-sinus, rongga telinga dan

pleura. Istilah ISPA secara anatomis mencakup saluran

pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru)

dan organ adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan

infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai

dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan

proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat

digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih

dari 14 hari (Depkes RI, 2002).

Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai

jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh

invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis

batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan

dinding dada bagian bawah/kedalam (Depkes RI, 2002).

2.4. Sistem Transportasi Ramah Lingkungan

Perencanaan sistem transportasi harus disertai

dengan pengadaan prasarana yang sesuai dan memenuhi

persyaratan dan kriteria transportasi antara lain

volume penampungan, kecepatan rata-rata, aliran puncak,

keamanan pengguna jalan. Selain itu harus juga memenuhi

persyaratan lingkungan yang meliputi jenis permukaan,

pengamanan penghuni sepanjang jalan, kebisingan,

pencemaran udara, penghijauan, dan penerangan.

Dalam mencapai sistem transportasi yang ramah

lingkungan dan hemat energi, persyaratan spesifikasi

dasar prasarana jalan yang digunakan sangat menentukan.

Permukaan jalan halus, misalnya, akan mengurangi emisi

pencemaran debu akibat gesekan ban dengan jalan. Tabir

akustik atau tunggul tanah dan jalur hijau sepanjang

jalan raya akan mereduksi tingkat kebisingan lingkungan

pemukiman yang ada di sekitar dan sepanjang jalan, dan

juga akan mengurangi emisi pencemar udara keluar batas

jalan kecepatan tinggi.

Dalam konteks ini, untuk mencapai sistem

transportasi darat tersebut, ada beberapa hal yang

perlu dijalankan, di antaranya (Walhi, 2007):

1. Rekayasa lalu lintas.

Rekayasa lalu lintas khususnya menentukan jalannya

sistem transportasi yang direncanakan. Penghematan

energi dan reduksi emisi pencemar dapat dioptimalkan

secara terpadu dalam perencanaan jalur, kecepatan rata-

rata, jarak tempuh per kendaraan per tujuan (vehicle

mile trip dan passenger mile trip), dan seterusnya.

pola berkendara (driving pattern/cycle) pada dasarnya

dapat direncanakan melalui rekayasa lalu lintas.

Data mengenai pola dan siklus berkendaraan yang

tepat di Indonesia belum tersedia hingga saat ini.

Dalam perencanaan, pertimbangan utama diterapkan adalah

bahwa aliran lalu lintas berjalan dengan selancar

mungkin, dan dengan waktu tempuh yang sekecil mungkin,

seperti yang dapat di uji dengan model asal-tujuan

(origin-destination). Dengan meminimumkan waktu tempuh

dari setiap titik asal ke titik tujuannya masing-masing

akan dapat dicapai efisiensi bahan bakar yang maksimum,

dan reduksi pencemar udara yang lebih besar.

2. Pengendalian pada sumber (mesin kendaraan).

Jenis kendaraan yang digunakan sebagai alat

transportasi merupakan bagian di dalam sistem

transportasi yang akan memberikan dampak bagi

lingkungan fisik dan biologi akibat emisi pencemaran

udara dan kebisingan. Kedua jenis pencemaran ini sangat

ditentukan oleh jenis dan kinerja mesin penggerak yang

digunakan. Persyaratan pengendalian pencemaran seperti

yang diterapkan Amerika Serikat (AS) telah terbukti

membawa perubahan-perubahan besar dalam perencanaan

mesin kendaraan bermotor yang beredar di dunia sekarang

ini.

Sejak tahun 1970, bersamaan dengan krisis energi

dan fenomena pencemaran udara di Los Angeles Smog,

dikeluarkan persyaratan-persyaratan yang ketat oleh

pemerintah Federal untuk mengendalikan emisi kendaraan

bermotor dan efisiensi bahan bakar. Perubahan-perubahan

yang dilakukan dalam rencana mesin, meliputi pemasangan

(katup) PCV palse sistem karburasi, sistem pemantikan

yang memungkinkan pembakaran lebih sempurna, sirkulasi

uap bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi emisi

tangki BBM, dan after burner untuk menurunkan emisi.

Sedangkan teknologi retrofit disyaratkan dengan

pemasangan alat Retrofit Catalitic Converter untuk

mereduksi emisi HC dan NOX dan debu (TSP). Teknologi

ini membawa implikasi yang besar terhadap sistem BBM,

karena TEL tidak dapat lagi ditambahkan dalam BBM.

3. Energi transportasi.

Besarnya intensitas emisi yang dikeluarkan

kendaraan bermotor selain ditentukan oleh jenis dan

karakteristik mesin, juga sangat ditentukan oleh jenis

BBM yang digunakan. Seperti halnya penggunaan LPG, akan

memungkinkan pembakaran sempurna dan efisiensi energi

yang tinggi. Selain itu dalam rangka upaya pengendalian

emisi gas buang, bila peralatan retrofit digunakan,

diperlukan syarat bahan bakar, khusus yaitu bebas

timbal.

2.5. Perwujudan Transportasi Ramah Lingkungan

Upaya mewujudkan transportasi yang ramah

lingkungan pada dasarnya dapat dilakukan dengan upaya

mencegah terjadinya perjalanan yang tidak perlu

(unnecessary mobility) atau dengan penggunaan teknologi

angkutan yang dapat mengurangi dampak lingkungan akibat

kendaraan bermotor.

Bentuk-bentuk yang terkait dengan upaya pencegahan

atau pengurangan jumlah perjalanan yang tidak perlu

dapat berupa pengembangan kawasan terpadu yang masuk

kategori compact city seperti kawasan super-block,

kawasan mix-used zone, maupun transit-oriented

development. Selain itu, pengurangan jumlah perjalanan

dapat dilakukan dengan melakukan manajemen kebutuhan

transport (TDM- Transport Demand Management).

Transit Oriented Development (TOD). Transit

Oriented Development adalah upaya revitalisasi kawasan

lama atau kawasan terpadu baru yang berlokasi pada

jalur-jalur transportasi utama seperti jalur KA,

busway, dll, dengan mengembangkan kawasan berfungsi

campuran (mixed-use) antara fungsi hunian, komersial

dan perkantoran. Dengan akses yang mudah terhadap

aktivitas hunian, komersial dan perkantoran serta

jaringan transportasi umum yang terpadu dengan

fasilitas pedestrian dan jalur sepeda, konsep kawasan

TOD diharapkan dapat mengurangi kebutuhan pergerakan

transportasi antar kawasan dan mengurangi penggunaan

kendaraan bermotor pribadi.

Sebuah kawasan TOD umumnya memiliki pusat kawasan

berupa stasiun kereta, metro, trem atau stasiun bus

yang dikelilingi oleh blok-blok hunian, perkantoran

atau komersial berkepadatan tinggi yang makin berkurang

kepadatannya ke arah luar. Kawasan TOD umumnya memiliki

radius 400-800m dari pusat terminal, yaitu dalam jarak

yang masih dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Selain sifatnya yang mixed used, kawasan TDM

umumnya dicirikan oleh fasilitas pejalan kaki yang

sangat nyaman, penyeberangan, jalan yang tidak terlalu

lebar, gradasi kepadatan bangunan ke arah luar.

Kawasan ini juga umumnya membatasi jumlah lahan parkir

untuk kendaraan pribadi.

Transport Demand Management (TDM) dilakukan

melalui penerapan kebijakan dan strategi transportasi

untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan

mendistribusikan beban transportasi yang ada ke dalam

moda transport, lokasi dan waktu berbeda.

Upaya ini dianggap merupakan penanganan

transportasi yang relatif murah untuk meningkatkan

tingkat pelayanan jaringan transportasi. Dengan

demikian penerapan TDM juga diharapkan dapat

menghasilkan kondisi lingkungan yang lebih baik,

meningkatkan kesehatan publik, yang pada akhirnya dapat

mendorong kesejahteraan masyarakat dan tingkat

kelayakan huni suatu kota.

Beberapa bentuk penerapan TDM yang mungkin

dilakukan adalah (Widiantono, 2010):

Mendorong peningkatan okupansi kendaraan melalui

kebijakan ride-sharing, three-in-one, car-pooling dan

lain-lain.

Menyediakan sarana angkutan umum yang cepat, murah

dan nyaman yang dapat menjangkau seluruh bagian kota.

Menyediakan fasilitas untuk mendorong penggunaan

sarana angkutan tak bermotor seperti jalur sepeda,

jalur pejalan kaki yang dapat mengurangi

ketergantungan kepada kendaraan bermotor.

Menerapkan jam kerja yang lebih fleksibel atau

penggeseran waktu kerja (staggering work hours) dan

pemisahan waktu kerja dan sekolah untuk mengurangi

beban lalu lintas pada jam puncak.

Membatasi penggunaan kendaraan pribadi melalui

penerapan pembatasan plat nomor kendaraan yang dapat

dioperasikan pada kawasan atau waktu tertentu.

Menerapkan congestion pricing, pengenaan tarif

parkir yang tinggi pada kawasan-kawasan CBD untuk

memberikan disinsentif bagi pengguna kendaraan

pribadi.

2.6. Biaya Kesehatan

Nilai kerugian akibat penurunan kualitas udara,

diperoleh dengan menghitung biaya kesehatan. Nilai

kerugian dapat dihitung dengan mengalikan jumlah

masyarakat di kota x yang diduga dapat terkena efek

langsung dari lalu lintas (masyarakat yang bermukim

dalam jarak 15 meter dari ruas jalan) dengan rataan

biaya berobat yang ditanggung masyarakat untuk sekali

pengobatan ISPA tanpa Jaminan Kesehatan Masyarakat

(Jamkesmas).

Total nilai kerugian akibat peningkatan debu jalan = n

penderita x rata-rata biaya

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1. Peringkat Penyakit di BatamBerdasarkan data dari Pemerintah Kota Batam Tahun

2010 Jenis penyakit No.1 yang diderita penduduk kotaBatam adalah ISPA (Infeksi Saluran Napas Akut), yaitu:

3.2. Biaya Kesehatan Masyarakat

Biaya kesehatan digunakan untuk menilai kerugian

masyarakat akibat peningkatan polusi (debu) jalan.

Analisis difokuskan pada penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Atas (ISPA). ISPA merupakan penyakit yang

secara umum diderita oleh masyarakat dan terkait dengan

peningkatan konsentrasi debu di udara. Nilai kerugian

akibat polusi udara dapat diketahui dengan melihat

jumlah warga Kota Batam (Wijayanti, 2011).

Jika rata-rata biaya pengobatan penyakit ISPA

adalah sebesar Rp 27.000,00 untuk satu kali berobat dan

60 diasumsikan tiap warga menjalani pengobatan ISPA

satu kali dalam satu tahun, maka:

Total nilai kerugian akibat peningkatan debu jalan = n

penderita x rata-rata biaya

Total nilai kerugian akibat peningkatan debu jalan =

766 x Rp 27.000,00 = Rp 20.682.000,00.

Jadi total nilai kerugian masyarakat sepanjang

jalan raya akibat peningkatan debu jalan per tahun

adalah sebesar Rp 20.682.000,00.

3.3. Estimasi Beban Ekonomi Pemerintah

Pemerintah memiliki anggaran khusus untuk biaya

pengobatan ISPA pada masyarakat miskin, yaitu melalui

jamkesmas. Namun selain itu pemerintah juga perlu

melakukan program dan kegiatan pemeliharaan dan

perbaikan lingkungan akibat transportasi, yaitu dalam

perbaikan pada sektor transportasi agar lebih ramah

lingkungan. Beberapa estimasi perkiraan beban ekonomi

yeng ditanggung pemerintah, antara lain :

1. Penanggulangan ISPA.

Jumlah anggaran Rp 13.880.000,00 dengan realisasi

keuangan Rp.13.880.000,00 (100 %).

2. Realisasi

Pelaksanaan Program dan Kegiatan Transportasi.

a. Program Pembangunan Prasarana dan Fasilitas

Perhubungan

Program ini mengalokasikan anggaran sebesar Rp

16.000.000,00 dengan realisasi keuangan sebesar Rp

14.061.0000,00 (87,88 %) dan sisa anggaran sebesar Rp

1.939.000,00 (12,12 %).

b. Program Pembangunan Sarana dan Prasarana

Perhubungan

Program ini mengalokasikan anggaran sebesar Rp

201.825.100,00 dengan realisasi keuangan Rp

186.288.000,00 (92,30 %) dan sisa anggaran sebesar Rp

15.537.100,00 (7,7 %).

c. Program Pengendalian dan Pengamanan Lalu Lintas

Program ini mengalokasikan anggaran sebesar Rp

125.682.000,00 dengan realisasi anggaran sebesar Rp

125.650.000,00 (99,97 %) dan sisa anggaran Rp 32.000,00

(0,03 %).

d. Program Peningkatan Kelayakan Pengoperasian

Kendaraan Bermotor

Program ini mengalokasikan anggaran sebesar Rp

46.650.000,00 dengan realisasi keuangan sebesar Rp

46.650.000,00 (100 %).

e. Program Pengembangan dan Pendayagunaan Teknologi

Program ini mengalokasikan anggaran sebesar Rp

21.908.000,00 dengan realisasi keuangan Rp

21.908.000,00 (100 %).

3.4. Strategi Pemecahan Masalah

Strategi pemecahan masalah transportasi perkotaan

kedepan difokuskan dalam 2 hal yaitu konsep “Travel

Demand Management (TDM)” dan “Green Transport”.

3.4.1 Travel Demand Management

Travel Demand Management (TDM) atau Manajemen

Kebutuhan Transportasi sebagai bagian Sustainable

Transport memiliki VISI untuk mengatasi kemacetan

dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Tujuan

TDM adalah “..to reduce the number of vehicles using the road system

while providing a wide variety of mobility options to those who wish to

travel..” 1. Atau dengan perkataan lain, TDM berusaha

untuk mengurangi kendaraan yang menggunakan sistem

jaringan jalan dengan memberikan berbagai pilihan

mobilitas.

TDM juga didefinisikan sebagai “measures to reduce transport

demand, hence the induces movement under the bearing capacity of

social, environment and operational”1. Menurut Ohta, TDM adalah

alat untuk mengurangi kebutuhan perjalanan sehingga

perjalanan yang dilakukan masih dalam batas-batas

lingkungan dan operasional.

Strategi TDM yang dilakukan mencakup 4 buah komponen

utama yaitu:

A. PENYUSUNAN KEBIJAKAN TDM

Langkah aksi yang dapat dilakukan oleh pemerintah

pusat dan daerah dalam penyusunan kebijakan TDM antara

lain adalah:

Kementerian Perhubungan menyusun Draft Kebijakan

Nasional (White Paper) tentang Pedoman TDM dan Petunjuk

Penyelenggaraan TDM untuk Perkotaan di Indonesia.

Pemerintah Daerah DKI Jakarta menetapkan Draft

Kebijakan Perkotaan (City Policy Papers) mencakup strategi

secara khusus bagi setiap kota-kota, sesuai Manual

White Paper yang disusun pemerintah pusat.

Kementerian Perhubungan melakukan pembinaan secaar

efektif, realistis dan terarah kepada pemerintah

daerah.

Kementerian Perhubungan menyusun upaya Kebijakan/

Regulasi/ Tindakan yang bersifat ekonomi agar kota-kota

dapat mudah melakukan akses TDM, baik yang bersifat

regulatif, teknis maupun penegakan hukum.

Pemerintah pusat memfasilitas daerah dalam bentuk

dukungan subsidi bagi pembangunan fasilitas TDM yang

berguna untuk meningkatkan perpindahan pengguna

kendaraan pribadi ke angkutan umum.

Pemerintah memberikan reward bagi daerah yang berhasil

menurunkan tingkat ketergantungan sistem

transportasinya kepada kendaraan pribadi, mengurangi

konsumsi bahan bakar dan mengurangi tingkat emisi

kendaraan.

B. Pull- PENGEMBANGAN ANGKUTAN UMUM MASSAL - BRT

Pengembangan BRT untuk kota-kota besar dan

metropolitan dilakukan secara terpadu. Konsep penerapan

BRT untuk kota-kota dapat mengacu konsep BRT sebagai

“high-quality, customer-oriented transit [system] that delivers fast,

comfortable and low-cost urban mobility” (IEA, 2002), dimana

prosedur impementasi penerapan BRT dengan mengacu

kepada rekomendasi Wright (GTZ, 2009). Rincian

pengembangan BRT untuk kota-kota di Indonesia dapat

dilihat pada Discussion Paper Public Transport.

C Push-PENGURANGAN KETERSEDIAAN RUANG PARKIR

Keterbatasan ruang parkir kendaraan pada kawasan

pusat kota akan menyebabkan kendaraan yang masuk akan

memenuhi seluruh akses ruang parkir, sehingga

diperlukan upaya untuk membatasi jumalh dan

ketersediaan lokasi parkir. Alternative lain adalah

dengan meningkatkan tarif parkir pada jam-jam tertentu.

D. Sosialisasi TDM

Penerapan TDM dimulai dari tahap sosialisasi

kebijakan dan strategi agar mempunyai akar pemahaman

kepada masyarakat.

3.4.2 Green Transport

Green Transport secara umum adalah sistem

transportasi yang bersifat ramah lingkungan. Green

transport “any means of transport with low impact on the

environment, and includes walking and cycling, transit oriented

development, green vehicles, Car Sharing, and building or protecting

urban transport systems that are fuel-efficient, space-saving and promote

healthy lifestyles”. Strategi Green Transport dapat

dirangkum dalam 2 hal yaitu:

A PERBAIKAN PRASARANA PEJALAN KAKI DAN SEPEDA

Penyediaan kawasan khusus bagi pejalan kaki dan

pengguna sepeda merupakan upaya untuk mengurangi

pemborosan energi, sarana berolah raga, meningkatkan

akses angkutan umum melalui penyediaan jalur khusus

sepeda. Sedangkan penyediaan fasilitas bagi pejalan

kaki merupakan upaya untuk memuliakan pengguna jalan

yang berjalan menyusur atau menyebarang jalan.

B PERBAIKAN PELAYANAN CAR SHARING

Penggunaan kendaraan secara bersama-sama perlu

didorong agar mencegah keterisian kendaraan tunggal (1

orang) dan 2 (dua orang). Fasilitas untuk Car Sharing

perlu dibuat terutama pada kawasan perumahan dan

stasiun atau terminal.

3.5. Alternatif Pemecahan Masalah

3.5.1 Pengembangan Angkutan Umum

a. Pengembangan BRT di Kota Besar

b. Bantuan bus untuk kota Metropolitan dan Kota besar

c. Penyusunan KM tentang SPM

d. Penyusunan KM tentang Pedoman BRT

e. Pengembangan Terminal Terpadu

3.5.2 Pembatasan Kendaraan Pribadi

a. Penyusunan KM tentang Road Pricing

b. PP Menteri Keuangan tentang Pemberlakuan Road

Pricing

c. PP Menteri Keuangan tentang Ear Marking

d. Pilot Proyek Percontohan Penerapan Road Pricing

e. Pembatasan Kawasan Penggunaan Sepeda Motor

3.5.3 Pembatasan Ruang Parkir

a. Penyusunan KM Parkir Maksimum pada Pusat Perkotaan.

b. Penetapan Standard Pelayanan Parkir Kendaraan.

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/14161

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/23540

http://skpd.batamkota.go.id/hukum/files/2009/08/

Lampiran-Tarif-Perda-Tarif-RSUD-20071.pdf