bab ii kerangka teori a. perilaku remaja 1. ciri-ciri
TRANSCRIPT
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Perilaku Remaja
1. Ciri-ciri Umum Masa Remaja
Face remaja merupakan segmen perkembangan individu yang
sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik
(seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konopka, masa remaja
ini meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun, (b) remaja madya: 15-18 tahun,
dan (c) remaja akhir: 19-22 tahun.1Masa remaja merupakan masa transisi
atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini
individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis.
Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik di mana tubuh
berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang
disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Selain itu
remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berpikir abstrak
seperti orang dewasa. Pada periode ini pula remaja mulai melepaskan diri
secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran
sosialnya yang baru sebagai orang dewasa.2
Selain perubahan yang terjadi dalam diri remaja, terdapat pula
perubahan dalam lingkungan seperti sikap orang tua atau anggota keluarga
lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Kondisi ini
merupakan reaksi terhadap pertumbuhan remaja. Remaja dituntut untuk
mampu menampilkan tingkah laku yang dianggap pantas atau sesuai bagi
orang-orang seusianya.Adanya perubahan baik di dalam maupun di luar
dirinya itu membuat kebutuhan remaja semakin meningkat terutama
kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologisnya. Untuk memenuhi
1Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2012), h. 217 2Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 28
kebutuhan tersebut remaja memperluas lingkungan sosialnya di luar
lingkungan keluarga, seperti lingkungan teman sebaya dan lingkungan
masyarakat lain.Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu sebagai berikut:
a. Masa remaja awal (12-15 tahun)
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan
berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak
tergantung pada orang tua.Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap
bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman
sebaya.
b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang
baru.Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu
sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed).Pada masa ini
remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar
mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal
yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai.Selain itu
penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
c. Masa remaja akhir (19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang
dewasa.Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan
vokasional dan mengembangkan sense of personal identity.Keinginanat
yangkuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman
sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.3
3Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 28-29
2. Proses Perubahan Pada Remaja
Sejak daam kandungan hingga lahir, seorang individu tumbuh
anak, remaja sampai dewasa. Hal itu berarti terjadi proses perubahan
setiap individu. Aspek-aspek perubahan yang dialami oleh setiap individu
meliputi fisik, kognitif, maupun psikososialnya.4 Masa remaja dikenal
sebagai salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang
memiliki beberapa keunikan tersendiri. Keunikan tersebut bersumber dari
kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa kanak-
kanak dan masa dewasa. Kita semua mengetahui bahwa antara anak-anak
dan orang dewasa ada beberapa perbedaan yang selain bersifat biologis
atau fisiologis juga bersifat psikologis. Pada masa remaja perubahan-
perubahan besar terjadi dalam kedua aspek tersebut, sehingga dapat
dikatakan bahwa ciri umum yang menonjol pada masa remaja adalah
berlangsungnya perubahan itu sendiri, yang dalam interaksinya dengan
lingkungan sosial membawa berbagai dampak pada perlaku remaja. Secara
ringkas, proses perubahan tersebut dan interaksi antara beberapa aspek
yang berubah selama masa remaja bisa diuraikan seperti berikut ini:
a. Perubahan Fisık
Rankaian perubahan yang paling jelas yang nampak dialami oleh
remaja adalah perubahan biologis dan fisiologıs yang berlangsung
pada masa pubertas atau pada awal masa remaja, yaitu sekitar umur
11-15 tahun pada wanita dan 12-16 tahun pada pria. Hormon-hormon
baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan ini membawa perubahan
dalam ciri-cini seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder,
Gejala ini memberi isyarat bahwa fungsi reproduksi atau kemampuan
untuk menghasılkan keturunan sudah mulai bekerja. Seiring dengan
itu, berlangsung pula pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan
anggota-anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang
4 Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 14
dewasa.Seorang individu lalu mulai terlihat berbeda, dan sebagai
konsekuensi dari hormon yang baru, dia sendiri mulai merasa adanya
perbedaan.
b. Perubahan Emosionalitas
Akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal tadi adalah
perubahan dalam aspek emosionalitas pada remaja sebagai akibat dari
perubahan fisik dan hormonal tadi, dan juga pengaruh lingkungan
yang terkait dengan perubahan badaniah tersebut.
Hormonal menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan
dorongan-dorongan dan perasaan-perasaan baru. Keseimbangan
hormonal yang baru menyebabkan individu merasakan hal-hal yang
belum pernah dirasakan sebelumnya. Keterbatasannya untuk secara
kognitif mengolah perubahan-perubahan baru tersebut bisa membawa
perubahan besar dalam fluktuasi emosinya. Dikombinasikan dengin
pengaruh-pengaruh sosial yang juga senantiasa berubah, seperti
tekanan dari teman sebaya, media masa, dan minat pada jenis seks
lain, remaja menjadi lebih terorientasi secara seksual.Ini semua
menuntut kemampuan pengendalian dan pengaturan baru atas
perilakunya.
c. Perubahan Kognitif
Semua perubahan fisik yang membawa implikasi perubahan
emosional tersebut makin dirumitkan oleh fakta bahwa individu juga
sedang mengalami perubahan kognitif. Perubahan dalam kemampuan
berpikir inisebagai tahap terakhir yang disebut sebagai tahap formal
operation dalam perkembangan kognitifnya.
Dalam tahapan yang bermula pada umur 11 atau 12 tahun ini, remaja
tidak lagi terikat pada realitas fisik yang konkrit dari apa yang ada,
remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotetis
dan abstrak dari realitas. Bagaimana dunia ini tersusun tidak lagi
dilihat sebagai satu-satunya alternatif yang mungkin terjadi, misalnya,
aturan-aturan dari orang tua, status remaja dalam kelompok
sebayanya, dan aturan-aturan yang diberlakukan padanya tidak lagi
dipandang sebagai hal-hal yang tak mungkin berubah.
Kemampuan-kemampuan berpikir yang baru ini memungkinkan
individu untuk berpikir secara abstrak, hipotetis dan kontrafaktual,
yang pada gilirannya kemudian memberikan peluang bagi individu
untuk mengimajinasikan kemungkinan lain untuk segala hal. Imajinasi
ini bisa terkait pada kondisi masyarakat, diri sendiri, aturan- aturan
orang tua, atau apa yang akan dia lakukan dalam hidupnya.
Singkatnya, segala sesuatu menjadi fokus dari kemampuan berpikir
hipotetis, kontrafaktual, dan imajinatif dari remaja.
d. Implikasi Psikososial
Semua perubahan yang terjadi dalam waktu yang singkat itu
membawa akibat bahwa fokus utama dari perhatian remaja adalah
dirinya sendiri Secara psikologis proses-proses dalam diri remaja
semuanya tengah mengalami perubahan, dan komponen-komponen
fisik, fisiologis, emosional, dan kognitif sedang mengalami perubahan
besar. Sekarang dengan terbukanya kemungkinan bagi semua objek
untuk dipikirkan dengan cara yang hipotetis, berbeda dan baru, dan
dengan perubahan dirinya yang radikal, sepantasnyalah bagi individu
untuk memfokuskan pada dirinya sendiri dan mencoba mengerti apa
yang sedang terjadi.
Masyarakat, melalui orang tua atau guru, bertanya kepada remaja
untuk memilih satu peran. Dalam masyarakat kita ketika anak
memasuki SMA anak harus sudah memilih jurusan pendidikan yang
akan ditempuh yang akhirnya akan menentukan perannya nanti. Jadi
ketika berumur sekitar 15 atau 16 tahun seseorang sudah mulai
menempatkan dirinya pada satu jalur yang akan membawa akibat pada
apa yang akan dilakukannya pada tahun-tahun selanjutnya.
Masalahnya terjadi tepat pada saat ketika remaja berada dalam posisi
yang sangat tidak siap untuk mengambil keputusan yang berakibat
jangka panjang, mereka malah diminta untuk melakukannya.
Karenanya banyak remaja berada dalam dilemma. Mereka tidak bisa
menjawab pertanyaan tentang peran sosial yang akan mereka jalankan
tanpa menyelesaikan beberapa pertanyaan lain tentang dirinya sendiri
Jawaban terhadap perangkat pertanyaan yang satu saling tergantung
dengan jawaban terhadap rangkaian pertanyaan yang lain. Perasaan
tertentu yang berada dalam situasi krisis bisa muncul, krisis yang
membutuhkan jawaban yang tepat tentang siapa sebenarnya dirinya
Ini adalah pertanyaan tentang definisi diri, tentang identifikasi diri
Erikson menamai dilemma ini sebagai.krisis identitas.
Menurut Erikson, seorang remaja bukan sekedar mempertanyakan
siapa dirinya, tapi bagaimana dan dalam konteks apa atau dalam
kelompok apa dia bisa menjadi bermakna dan dimaknakan. Dengan
kata lain, identitas seseorang tergantung pula pada bagaimana orang
lain mempertimbangkan kehadirannya. Karenanya bisa lebih dipahami
mengapa keinginan untuk diakui, keinginan untuk memperkuat
kepercayaan diri, dan keinginan untuk menegaskan kemandirian
menjadi hal yang sangat penting bagi remaja, terutama mereka yang
akan mengakhiri masa itu.5
3. Permasalahan Yang Timbul Pada Masa Remaja
Proses perkembangan perilaku dan pribadi di pengaruhi oleh tiga
faktor dominan yaitu faktor bawaan (heredity), kematangan (maturation),
dan lingkungan (environment) termasuk belajar dan latihan (training and
learning). Ketiga faktor ini yang kemudian saling bervariasi menjadi hal
yang menguntungkan atau menghambat proses perkembangan, yang
kemudian menjadi masalah yang tidak mudah di atasi oleh individu yang
bersangkutan maupun oleh masyarakat secara keseluruhan. Masalah
tersebut antara lain :
5Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 29-31
1. Masalah-masalah yang mungkin timbul berkaitan dengan
perkembangan fisik dan psikomotorik
a. Adanya variasi yang mencolok dalam tempo dan irama serta
kecepatan perkembangan fisik antarindividu atau kelompok.
b. Perubahan suara dan peristiwa menstruasi dapat juga
menimbukan gejala-gejala emosinal seperti perasaan malu.
2. Masalah-masalah yang mungkin timbul bertalian dengan
perkembangan bahasa dan perilaku kognitif
a. Bagi individu-individu tertentu, mempelajari bahasa asing
bukanlah hal yang menyenangkan, kelemahan dalam bahasa
dapat menjadikan bahan cemooh yang bersifat negative
b. Intelegensi merupakan kapasitas dasar belajar, bagi yang
mempunyai IQ kurang dan tidak mendapat bimbingan yang
memadai akan mendapat ekses psikologis yang tidak mencapai
hasil yang diharapkan.
3. Masalah-masalah yang timbul bertalian dengan perkembangan
perilaku afektif, konatif, dan kepribadian
a. Keterikatan hidup di jalan yang tidak terbimbing menimbulkan
kenakalan remaja yang berbentuk perkelahian antarkelompok,
pencurian, perampokan, prostitusi, dan bentuk-bentuk anti
sosial lainnya.
b. Konflik dengan orang tua, yang berakibat tidak senang di
rumah, bahkan melarikan diri dari rumah.
c. Melakukan perbuatan-perbuatan yang justru bertentangan
dengan norma masyarakat atau agama, seperti mengonsumsi
ganja, narkotika, dan sebagainya.6
b. Perilaku Menyimpang Pada Remaja
Definisi perilaku menyimpang adalah hal yangcukup sulit
dilakukan. Problemnya adalah menyimpang terhadap apa? Penyimpangan
terhadap peraturan orang tua, seperti pulang terlalu malam atau merokok
bisa dikatakan penyimpangan juga dan karena itu dinamakan
kenakalan.Penyimpangan terhadap tatakrama masyarakat, seperti duduk
mengangkat kaki di hadapan orang yang lebih tinggi derajatnya (di
kalangan suku tertentu) bisa juga digolongkan penyimpangan yang dalam
hal ini dinamakan kekurangajaran.Dan tentu saja tingkah laku yang
melanggar hukum seperti membawa ganja ke sekolah atau mencuri uang
orang tua adalah penyimpangan juga.Sebalikya., menyebabkan kematian
beberapa orang seperti diutarakan dalam Kasus 2, bisa tidak dinamakan
penyimpangan, karena tidak ada norma yang berlaku di masyarakat saat
itu yang dilanggarnya.
Salah satu upaya untuk mendefinisikan penyimpangan perilaku
remaja dalam arti kenakalan anak (juvenile delinquency) dilakukan oleh
M. Gold dan J. Petronio, yaitu sebagai berikut:
Kenakalan anak adalah tindakan oleh seseorang yang belum
dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh
anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh
petugas hukum ia bisa dikenai hukuman.
Dalam definisi-definisi tersebut disebutkan faktor yang penting
adalah unsur pelanggaran hukum dan usia anak yang di bawah batas usia
tertentu sehingga tidak dapat dipidana. Oleh karena itu, merokok menurut
definisi tersebut bukanlah kenakalan selama tidak ada undang-undang
6 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya , 2012),
h. 94-95
yang melarang anak di bawah usia untuk merokok. Demikian juga halnya
dengan seorang anak yang berusia 17 tahun yang minum bir di suatu
negara bagian (di Amerika Serikat) yang tidak melarang anak di bawah
usia 18 tahun untuk minum. Ia tidak dianggap nakal selama ia tidak
mengetahui adanya ketentuan-ketentuan hukum itu dan karenanya ia tidak
sengaja melanggar hukum yang berlaku (misalnya karena remaja itu
sedang berlibur ke negara bagian lain, sedangkan di negara bagiannya
sendiri batas usia minum minuman keras adalah 16 tahun)
Kalau definisi ini digunakan, maka yang termasuk kenakalan
remaja menjadi sangat terbatas.Padahal, kelakuan-kelakuan yang
menyimpang dari peraturan orang tua, peraturan sekolah atau norma-
norma masyarakat yang bukan hukum juga bisa membawa remaja kepada
kenakalan-kenakalan yang lebih serius, atau bahkan kejahatan yang benar-
benar melanggar hukum pada masa dewasanya remaja. Dengan perkataan
lain, dari sudut Psikologi perkembangan dan dari sudut kesehatan mental
remaja, kita juga endefinisikan kenakalan remaja secara lebih luas. Di
pihak lain, kita juga jangan sampai begitu saja mencap anak sebagai makal
hanya dari penampilannya yang berambut gondrong dan berpakaian jorok.
Dalam hubungan ini, penulis sendiri cenderung untuk membuat
berbagai penggolongan terhadap tingkah laku remaja yang menyimpang
ini. Secara keseluruhan, semua tingkah laku yang menyimpang dari
ketentuan yang berlaku dalam masya- rakat (norma agama, etika,
peraturan sekolah dan keluarga, dan lain-lain) dapat disebut sebagai
perilaku menyimpang (deviation) Namun, jika penyimpangan itu terjadi
terhadap norma-norma hukum pidana barulah disebut kenakalan
(delinquent). Dengan demikian, kenakalan dalam buku ini akan dibatasi
pengertiannya pada tingkah laku-tingkah laku yang jika dilakukan oleh
orang dewasa disebut sebagai kejahatan. Di luar itu, penyimpangan-
penyimpangan lainnya akan disebut perilaku menyimpang saja.
Tentu saja, dengan demikian terjadi penggolongan yang relatif.
Suatu perbuatan yang di mata masyarakat tertentu diangap menyimpang
(misalnya kawin pada usia 16 tahun sehingga melanggar Undang-Undang
Perkawinan) di masyarakat lain dianggap biasa saja. Untuk Indonesia yang
masyarakatnya plural dan heterogen sekali, definisi ini memang
membingungkan, terutama bagi para praktisi (pendidik, konselor, dan lain-
lain) Akan tetapi, hal ini tidak dapat dihindari karena bagaimanapun iuga
remaja adalah bagian dari masyarakat (subkultur) dan tingkah laku remaja
mau tidak mau harus diukur dari kebudayaan norma dan nilai yang berlaku
dalam masyarakatnya. Justru berbahaya adalah jika kita mencoba menilai
tingkah laku remaja terlepas dari kaitan masyarakat atau lingkungan
sosial-budayanya.7
c. Kasus Siswa di Sekolah
Banyak kasus siswa di sekolah yang bersumber dari keadaan
keluarganya, misalnya keluarga krisis. Biasanya jika ternyata memang
kasus itu berkaitan erat dengan masalah keluarga, maka guru pembimbing
(GP) akan berusaha melakukan kunjuangan rumah (home visit).
Melakukan kegiatan home visit bukanlah pekerjaan yang mudah. Hal ini
disebabkan:
a. Orang tua kurang menerima kehadiran GP karena dianggap ikut
campurdengan urusan keluarga, orang tua merasa malu dan risih, dan
dianggap mengganggu ketenteraman rumah tangganya. Akibatnya
kemungkinan GP diusir, atau setidak-tidaknya secara halus ditolak. Jika
masih bisa menahan diri maka data tentang anaknya itu tidak akan
diungkapkan secara benar. Jika terjadi demikian, maka kesimpulan GP
tentang siswa tersebut bisa keliru dan membimbing dengan data keliru
berarti tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan.
b. Pelayanan bimbingan dan konseling (BK) di sekolah masih berjalan
secara tradisional, yakni hanya memberi nasehat, kurang melayani
perkembangan siswa, guru banyak bicara, memarahi dan memaksa
7Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 251-253
siswa, dan biasanya siswa diam dan takut dengan panggilan GP. Ha ini
disebabkan: (1) GP kurang perencanaan karena tidak memaham tentang
riset BK di sekolah misalnya terhadap siswa, guru, orang tu dan
sebagainya. (2) kurang pengetahuan dan wawasan, kurang
keterampilan, dan kepribadian otoriter yang kurang mendukung untuk
jadi pembimbing.
Banyaknya GP di sekolah-sekolah yang tidak berasal da
jurusanBimbingan dan Konseling (BK). Mereka menjadi pembimbin
karena untuk memenuhi jam mengajar. Namun sering menganggap dirinya
amat kompeten dalam bidang itu.Mereka itu kurang menghargai disiplin
ilmu Bimbingan dan Psikologi.Pernah ditemui sebuah SMA seorang
lulusan Sarjana Muda atau D3 BK tidak mendapat tempat selayaknya.
Koordinator BK bukan dari Jurusan BK dan merasa lebih hebat karena
usia sudah lanjut, dan lulusan BK itu masih muda, masih hijau dan belum
matang.
Sebagai contoh kegiatan "konseling" tradisional di sekolah adalah
yang dilakukan GP secara paksa seperti polisi menginterogasi
pencuri.Siswa yang melanggar disiplin semuanya ke BK (terlambat, bolos,
tidak lengkap seragamnya, dan sebagainya) Padahal masalah-masalah
tersebut termasuk tugas guru dan wali kelas.8
B. Relasi orang Tua-Anak
Menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh
pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tuapada saat
kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalahbagi relasi
pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan.Selain itu,
kajian psikologis juga memperlihatkan bahwa perempuanmenjalani
transisi yang lebih sulit daripada laki-laki. Apalagi bila masalah ini
berkaitan dengan pilihan antara mengurus anak dan kesempatan ekonomis.
Dukungan dari sanak keluarga sangat diperlukan agar perempuan tidak
8Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 67
berjuang dengan susah payah imbaldalam menjalankan fungsi keibuannya
dengan baik. Bila dukungan sanak keluarga sangat kurang, maka
keterlibatan dan dukungan suami menjadi andalan utama.9
Relasi pasangan secara alamiah bergerak melalui tahap
perkembangan, salah satu tahap melibatkan transisi ke dalam peran
pengasuhan, dan bagi banyak orang hal ini dapat menjadi pengalaman
yang membuat kewaahan. Problem ini membuat lebih buruk dalam
masyarakat Barat dimana keluarga-keluarga secara umum harus pindah ke
tempat yang jauh dari tempat tinggal orang tua agar dapat memperoleh
pekerjaan. Akibatnya banyak orang tua yang tidak mempunyai dukungan
dari keluarga luas saat merekan sedang membesarkan anak-anaknya.
Selain itu, secara umum ada kekurangan pendidikan yang memadai bagi
remaja dalam mempersiapkan diri untuk melaksanakan pengasuhan. Hal
ini memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana para orang tua baru
mempelajari keterampilan mengasuh. Bagi banyak orang, itu adalah kasus
belajar melalui trail and error, dan hal ini secara emosional merugikan
bagi kedua orang tua secara individual, bagi relasi mereka, dan bagi
kesejahteraan anak-anak mereka.10
Anak merupakan anamah dari Allah SWT yang diberikan kepada
setiap orang tua, anak juga buah hati dan juga tumpuan harapan serta
kebanggaan keluarga. Anak adlah generasi mendatang yang mewarnai
masa kini dan diharapkan membawa kemajuan dimasa mendatang. Akan
tetapi anak juga merupakan ujian bagia setiap orang tua sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an surah An-Anfal ayat 28:
9Sri Lestari, Psikologi Keluarga (Jakarta: Kencana, 2012), h. 16
10 Kathryn Geldard dan David Geldard, Konseling Keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
h. 386
Artinya: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah
cobaan dan sesungguhnya disisi Allah pahala yang besar”
Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan sosial yang terjadi pada
perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi
orang tua-anak. Salah satu ciri yang menonjol pada remaja yang
mempengaruhi relasinya dengan orang tua adalah perjuangan untuk
memperoleh otonomi, baik secara fisik dan psikologis.karena remaja
meluangkan lebih sedikit waktunya bersama orang tua dan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk saling berinteraksi dengan dunia yang lebih
luas, maka mereka berhadapan dengan bermacam-macam nilai dan ide-ide.
Seiring dengan terjadinya perubahan kognitif selama masa remaja,
berbedaan ide-ide yang dihadapi seiring mendorongnya untuk melakukan
pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran-pelajaran yang berasal dari
orang tua. Akibatnya, remaja mulai mempertanyakan dan menentang
pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka
sendiri. Orang tua tidak lagi di pandang sebagai otoritas yang serba tahu.
Secara optimal, remaja mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih
matang dan realistis dari orang tua mereka. Kesadaran bahwa mereka
adalah seorang yang memiliki kemampuan, bakan, dan pengetahuan
tertentu, mereka memandang orang tua sebagai orang yang harus
dihormati, dan sekaligus sebagai orang yang dapat berbuat kesalahan.
Sebagian dari proses pencapaian otonomi psikologis ini mengharuskan
anak remaja untuk menijau kembali gambaran tentang orang tua dan
mengembangkan ide-ide pribadi.11
11
Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008) h.217
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan paling utama bagi
anak untuk membentuk kepribadian dan mencapai tugas-tugas
perkembangannya. Oleh karena itu, kelurga menjadi faktor yang terpenting
bagi pembentukan sikap dan perilaku anak baik dalam segi kepribadian,
sosial maupun emosional anak. Keluarga memiliki peran yang sangat
penting dalam upaya mengembangkan kepribadian anak. Perawatan orang
tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan,
baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang
sangat mendukung untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan
anggota masyarakat yang baik.12
Menurut Soelaeman, fungsi keluarga
adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Edukasi
Fungsi edukasi adalah fungsi yang berkaitan dengan pendidikan anak
khususnya dan pendidikan serta pembinaan anggota keluarga pada
umumnya.
2. Fungsi Sosialisasi
Orang tua dan keluarga dalam melaksanakan fungsi sosialisasi ini
mempunyai kedudukan sebagai penghubung anak dengan kehidupan
sosial dan norma-norma sosial, yang meliputi penerangan, penyaringan
dan penafsirannya ke dalam bahasa yang dimengerti dan ditangkap
maknanya oleh anak.
3. Fungsi Proteksi (Perlindungan)
Mendidik anak pada hakikatnya bersifat melindungi, yaitu
membentengi dari tindakan-tindakan yang akan merusak norma-norma.
Dengan kata lain, fungsi ini melindungi anak dari ketidakmampuannya
bergaul dengan lingkungan sosialnya, melindungi dari pengaruh yang
tidak baik yang mungkin mengancamnya sehingga anak merasa
terlindungi dan aman.
4. Fungsi Afeksi
12
Ulfiah, Psikologi Keluarga (Bogor: Ghalia Indonesia, 2016) h. 3
Anak bisa merasakan atau menangkap suasana perasaan yang
melingkupi orang tuanya pada saat komunikasi. Kehangatan yang
terpancar dari aktivitas gerakan, ucapan mimik serta perbuatan orang
tua merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan
dalam keluarga.
5. Fungsi Religius
Keluarga berkewajiban untuk mengikut sertakan anak dan anggota
keluarga lainnya kepada kehidupan beragama. Tujuannya bukan hanya
mengetahui kaidah-kaidah agama saja, tetapi untuk menjadi insan yang
beragama sehingga menjadi anggota keluarga yang sadar bahwa hidup
hanyalah untuk mencari ridha-Nya.
6. Fungsi Ekonomis
Fungsi ekonomis keluarga meliputi pencarian nafkah, perencanaan
pembelajaran serta pemanfaatannya. Dalam mendidik anak, keluarga
dengan fungsi ekonominya perlu diperhatikan karena jika tidak
seimbang dalam mengelola ini, maka akan berakibat pula pada
perkembangan anak dan pembentukan kepribadian anak.
7. Fungsi Rekreatif
Fungsi rekreatif dapat terlaksana jika keluarga dapat menciptakan rasa
aman, nyaman, ceria agar dapat dinikmati dengan tenang, damai dan
jauh dari ketegangan batin, sehingga memberikan perasaan yang bebas
dari tekanan. Hal ini akan memberikan rasa saling memiliki dan
kedekatan antara tiap anggota keluarga.
8. Fungsi Biologis
Fungsi biologis keluarga, yaitu berhubungan dengan kebutuhan-
kebutuhan biologis anggota keluarga. Kebutuhan ini meliputi
kebutuhan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan akan
keterlindungan fisik termasuk di dalamnya kehidupan seksual.13
13
Ibid,. h. 4-6
Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam
lingkungan, maka pendidikan yang diberikan tersebut merupakan
pemberian yang berharga bagi sang anak, meski hal itu terkadang jarang
disadari. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim Nabi
shalallahu’alaihi wasallam bersabda:
ما نحل وا لد ولدا من نحل أ فضل من أدب حسن
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya
selain pendidikan yang baik.” (HR. Al-Hakim: 7679)
Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu
lingkungan dan hubungan. Pengalaman mereka sepanjang waktu bersama
orang-orang yang mengenal mereka dengan baik, serta berbagai
karakteristik dan kecenderungan yangmulai mereka pahami merupakan
hal-hal pokok yang memengaruhi perkembangan konsep dan kepribadian
sosial mereka. Menurut Thompson, kualitas hubungan menjadi katalis bagi
perkembangan dan merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan
informasi, penguasaanketerampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan
berbagai pengaruh lain semenjak dini. Suatu hubungan dengan kualitas
yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan.
Kajian tentang hubungan orang tua-anak dapat dibagi ke dalam dua
masa, yaitu sebelum berkembangnya paham dua arah (bidirection ality)
pada akhir tahun 60-an dan setelahnya. Semasa berkembangnya paham
satu arah (unidirectionality), penelitian tentang hubungan orang tua-anak
memfokuskan pada mengenali strategi pengasuhan, praktik-praktik,
perilaku, gaya, dan pembawaan yang memengaruhi akibat pada anak,
misalnya kompetensi, perkembangan yang sehat, prestasi akademik, dan
problem perilaku. Walaupun topik tersebut masih menarik minat para
ilmuwan, tetapi setelah era paham dua arah pengaruh imbal balik antara
orang tua dan anak mulai diperhatikan. Para ilmuwan mulai mengenali
bahwa baik orang tua mau pun anak merupakan agen bagi proses
sosialisasi.14
Menurut Chen, kualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan
tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security),
kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect), dan ketanggapan
(responssiveness) dalam hubungan mereka. Kehangatan menjadi
komponen mendasar dalam hubungan orang tua-anak yang dapat membuat
anak merasa dicintai dan mengembangkan rasa percaya diri.Mereka
memiliki rasa percaya dan menikmati kesertaan mereka dalam aktivitas
bersama orang tua. Kehangatan memberi konteks bagi afeksi positif yang
akan meningkatkan mood untuk peduli dan tanggap terhadap satu sama
lain.15
C. Pengaruh Relasi Orang Tua dengan Anak Terhadap Perilaku
Lembaga pendidikan yang tidak kalah penting dengan sekolah
adalah keluarga. Seorang individu tidak akan lepas dari keluarga sebagai
lembaga pendidikan sepanjang hayatnya. Burhanudin dalam bukunya
menyatakan bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama
dan utama, berlangsung secara wajar dan informal. Keluarga menjadi
tempat seorang individu memulai berinteraksi dan menerima pendidikan.
Keluarga mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap perkembangan
anak. Anak akan mendapatkan pengasuhan dan pendidikan sesuai
karakteristik orang tua di dalam keluarga. Semua perilaku anak akan
disesuaikan dengan aturan yang didapat dalam keluarga.
Keluarga mempunyai peran memberi kasih sayang, aturan, contoh
perilaku, dukungan moral dan berbagai sumbangan lain bagi
perkembangan anak. Keluarga harus mampu memberikan berbagai
sumbangan penting bagi anak untuk memenuhi kebutuhan perkembangan
14
Sri Lestari, Psikologi Keluarga (Jakarta: Kencana, 2012), h. 17
15Ibid,. h. 18
anak. Sumbangan yang diberikan pada anak ditentukan oleh sifat
hubungan antara anak dengan berbagai anggota keluarga.16
Jenis pola
keluarga dan siapa saja anggota keluarga yang berperan dalam
memberikan sumbangan pada anak akan berpengaruh pula pada
perkembangan anak.
Semua tindakan anak tidak akan terlepas dari tanggung jawab
keluarga terutama orang tua yang memegang peran yang sangat penting
bagi kehidupan anaknya, oleh karena itu orang tua bertanggung jawab atas
proses pembentukan perilaku anak, sehingga diharapkan selalu
memberikan arahan, memantau, mengawasi dan membimbing
perkembangan anak melalui interaksi antara orang tua dengan anak dalam
lingkungan keluarga.
Tetapi, dewasa ini peranan keluarga (orang tua) sebagai pendidik
yang pertama bagi anak-anaknya nampak semakin terabaikan di
masyarakat kita. Dengan alasan berbagai kesibukan orang tua bik karena
desakan kebutuhan ekonomi atau pun profesi yang sering menjadi
penyebab kurang adanya kedekatan antara orang tua dengan anak-
anaknya, yang berarti terganggulah hubungan saling pengaruhi antara
keduanya. Sementara kita mengetahui bahwa hubungan yang harmonis
antara keduanya di dalam keluarga akan banya berpengaruh terhadap
perkembangan anak baik secara fisik maupun psikis.17
Bahkan sedikitnya peran komunikasi keluarga pun semakin
berkurang dan tidak mempunyai arti yang begitu penting, karena sebagian
orang tua cenderung mengalihkan tanggung jawabnya kepada pembantu,
sehingga paling tidak sedikitnya perhatian menjadi berkurang terhadap
anak-anaknya karena berbagai macam kesibukan orang tua yang banyak
menyita waktu seperti pekerjaan di kantor, kegiatan-kegiatan sosial hingga
pekerjaannya di rumah. Dan pada akhirnya tanpa disadari akan berdampak
16
Hurlock, Psikologi Perkembangan Edisi Kelima (Jakarta:Erlangga. 2013) h. 202 17
Skripsi Hilmi Mufidah. Komunikasi Antara Orang Tua Dengan Anak dan Pengaruhnya
Terhadap Perilaku Anak, Studi Kasus di SMP Islam Al-Azhar 2 Pejaten Jakarta Selatan
(Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2008)
pada hubungan orang tua dan anak menjadi sedikit merenggang, sehingga
untuk berkomunikasi diantar keduanya tidak terjalin keharmonisan.
Dalam hal ini, Satu yang perlu diingat oleh para orang tua, bahwa
masalah komunikasi adalah masalah kebiasaan, artinya komunikasi harus
dipelihara terus sejak anak-anak masih berada dalam kandungan ibunya
sampai mereka dewasa. Biasanya orang tua menjadi lengah akan
komunikasi dengan anak-anaknya, justru pada saat anak-anak itu
meningkat dewasa, karena pada saat itu orang tua tengah menanjak
karirnya dan perhatian orang tua banyak disita oleh kesibukan pekerjaan
maupun kegiatan-kegiatan sosialnya dan adapula orang tua yang
mempercayakan sepenuhnya karena mereka akan dewasa dengan
sendirinya, hal tersebut biasanya tidak disadari oleh orang tua namun
sangan dirasakan oleh anak-anak. Dan pada waktu orang tua menyadari
kekurangan ini, keadaan sudah terlanjur parah untuk diselamatkan.18
D. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan merupakan salah satu bidang dan program dari
pendidikan, dan program ini ditujukan untuk membantu meng- optimalkan
perkembangan siswa. Menurut Tolbert, bimbingan adalah seluruh program
atau semua kegiatan dan layanan dalam lembaga pendidikan yang
diarahkan pada membantu individu agar mereka dapat menyusun dan
melaksanakan rencana serta melakukan penyesuaian diri dalam semua
aspek kehidupannya sehari-hari. Bimbingan merupakan layanan khusus
yang berbeda.dengan bidang pendidikan lainnya.19
Konseling merupakan salah satu teknik dalam bimbingan, tetapi
merupakan teknik inti atau teknik kunci. Hal ini dikarenakan konseling
dapat memberikan perubahan yang mendasar, yaitu mengubah sikap.
Sikap mendasari perbuatan, pemikiran, pandangan, perasaan, dan lain-lain.
18
Alex Sobur, Anak Masa Depan (Bandung: Angkasa, 1986) h. 228 19
Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 1
Bila kita simak definisi konseling di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Konseling sebagai jantungnya program bimbingan. Dalam program
bimbingan, konseling dipandang sebagai layanan bimbing an yang
terpenting atau intinya program bimbingan.
2. Bimbingan lebih luas daripada konseling Bimbingan mencakup
banyak pelayanan yang di dalamnya terdapat pelayanan konse- ling,
konseling dipandang sebagai salah satu teknik bimbingan.
3. Konseling merupakan bantuan yang diberikan oleh konselor ke- pada
konseli secara langsung (direct contacts), tidak bisa diberikan secara
tidak langsung melalui perantara (media) seperti media cetak dan
media elektronik. Sebagai contoh media cetak adalah surat kabar,
majalah, buku; dan contoh media elektronik adalah internet, radio,
televisi, dan telekonferensi.
4. Konseling sebagai bantuan pribadi secara tatap muka (face to face)
yang diberikan oleh seorang konselor profesional yang ber kompeten
dalam bidang konseling kepada seorang konseli yang memiliki
masalah agar konseli dapat memecahkan masalahnya. Dalam batasan
ini, pelayanan konseling harus diberikan secara tatap muka, tidak bisa
tidak, yaitu seorang konselor berhadapan langsung dengan seorang
konseli dalam situasi proses belajar (situation of learning process),
agar konseli dapat memahami dirinya dan juga dapat memperoleh
pemahaman tentang situasi sekarang dan akan datang Bila konseli bisa
memahami dirinya dan lingkungannya, diharap kan ia dapat
melakukan penyesuaian terhadap lingkungan (adjusment sehingga ia
terhindar dari semua bentuk perilaku yang menyimpang
(maladjusmen) seperti: pengingkaran, ketidakpuasan yang berlarut-
larut, kedengkian, kecemburuan, dendam, dan tidak percaya diri,
semuanya itu sangat mengganggu kehidupan konseli.20
Bimbingan dan Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta
didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan
berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan
pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karier,
melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan
norma-norma yang berlaku.
Berdasarkan istilah tersebut, maka bimbingan dan konseling
diartikan secara umum sebagai suatu proses bantuan (helping). Namun
perlu diingat bahwa "tidak setiap bentuk bantuan adalah bimbingan. Oleh
karena itu, akan dikemukakan pendapat beberapa ahli tentang bimbingan
dan konseling sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing
sehinggamendapat gambaran yang komprehensif tentang bimbingan dan
konseling.21
Secara umum dan luas, program bimbingan dilaksanakan dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Membantu individu dalam mencapai kebahagiaan hidup pribadi.
2. Membantu individu dalam mencapai kehidupan yang efektif dan
produktif dalam masyarakat.
3. Membantu individu dalam mencapai kehidupan yang damai dan
tentram bersama dengan individu-individu yang lain.
4. Membantu individu dalam mencapai harmoni antara cita-cita dan
kemampuan yang dimiliki.22
20
Ibid,. h. 28 21
Fuad Anwar, Landasan Bimbingan dan Konseling Islam (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 2 22
Samsul Munir Amin, Bimbingan Konseling Islam (Jakarta: Amzah, 2010), h. 38
Konsep konseling pun dapat terlihat dari banyaknya perintah ayat-
ayat Al-Qur’an kepada manusia agar dapat menghiasi diri dan jiwa mereka
dengan nilai- nilai yang baik, keistimewaan dan juga etika yang akan
mengarahkan manusia kepada jlan yang lurus. Islam pun telah menetapkan
interaksi yang ada sesama manusia dengan meletakan kaidah-kaidah
dasarnya. Allah berfirman:
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar: merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imron 3:104)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untu manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman tentulah itu yang lebih baik bagi
mereka diantara mereka yang beriman dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imron 3:110)
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tetang siapa yang tersesat dari
jalannya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (Q.S. An-Nahl 16:125)
E. Strategi Bimbingan dan Konseling
1. Penanganan Siswa Bermasalah di Sekolah
Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang bermasalah,
dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku yang
merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk
menangani siswayang bermasalah, khusus nya yang terkait dengan
pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan
yaitu: (a) pendekatan disiplin dan (b) pendekatan bimbingan dan
konseling.23
Penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan disiplin merujuk
pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta
sangsinya.Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata
tertib) siswa beserta sangsinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah
sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku
siswa.Kendati demikian, sekolah bukan "lembaga hukum"yang harus
mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan
perilaku.Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah
bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang
terjadi pada para siswanya.
Oleh karena itu, di sinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan,
yaitu pendekatan melalui bimbingan dan konseling Berbeda dengan
23
Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 24
pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk
menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui bimbingan
dan konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan
dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan
siswa bermasalah melalui bimbingan dan konseling sama sekali tidak
menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada
terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara
konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa
tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta
dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih
baik.24
Secara visual, kedua pendekatan dalam menangani siswa yang
bermasalah dapat dilihat dalam bagan 1 berikut:
Bagan 1: Pendekatan dalam Menangani Siswa Bermasalah
Dari bagan 1 setidaknya dapat dipahami, di kedua pendekatan
penanganan siswa bermasalah, meski memiliki cara berbeda, tetapi jika
dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama, yaitu tercapainya
penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada siswa, sehingga
tidak menjadi siswa yang bermasalah lagi. Oleh karena itu, kedua
pendekatan tersebut seyogianya dapat berjalan sinergis dan saling
melengkapi.25
24
Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 25 25
Ibid,. h. 26
Siswa
Bermasalah
Pendekatan
Disiplin
Pendekatan
BK
Penyesuaian
diri/Perkembang
an Siswa yang
Optimal
Paradigma pelayanan bimbingan dan konseling lebih
mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan,
pelayanan bimbingan dan konseling terhadap siswa bermasalah tetap
masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua
masalah siswa harus ditangani oleh guru bimbingan dan konseling
(konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tentang
tingkatan masalah beserta mekanisme dan petugas yang menanganinya,
sebagai berikut:
a. Masalah (kasus ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar
pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar,
minum minuman keras tahap awal berpacaran, mencuri kelas ringan.
Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan
berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan
mengadakan kunjungan rumah.
b. Masalah (kasus sedang, seperti: gangguan emosional berpacaran
dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan
belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap
pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan
asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru bimbingan dan konseling
(konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah.ahli
profesional, polisi, guru, dan sebagainya. Dapat pula mengadakan
konferensi kasus.
c. Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat kecanduan
alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan
bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus
berat dilakukan referal (alih tangan kasus) kepada psikolog, psikiater,
dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan
kegiatan konferensi kasus. Secara visual, penanganan siswa
bermasalah melalui pendekatan bimbingan dan konseling dapat dilihat
dalam bagan 2 berikut ini:
Bagan 2: Penanganan Siswa Bermasalah melalui Pendekatan Bimbingan
dan Konseling
Dengan melihat bagan 2 tampak jelas, bahwa penanganan siswa
bermasalah melalui pendekatan bimbingan dan konseling tidak semata-
mata menjadi tanggung jawab guru bimbingan dan konseling konselor di
sekolah, tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-
sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan
perkembangan pribadi secara optimal.26
2. Teknik Bimbingan dan Konseling
Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan
konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai pada: (a) pemusatan
perhatian pada bentuk perilaku yang tampak dan spesifik; (b) kecermatan
dan penguraian tujuan treatment; (c) perumusan prosedur treatment yang
spesifik yang sesuai dengan masalah; dan (d) penafsiran yang objektif
terhadap hasil terapi.27
26
Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 27-28
27Hartono & Soedarmadji, Psikologi Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Kencana, 2012), h. 125
Masalah
Siswa
Ringan
Sedang
Berat
Semua
Guru/Wali
Kelas
Guru BK/
Konselor
Ahli Tangan
Kasus
Beberapa teknik yang digunakan dalam pendekatan behavioristik
sebagai berikut:
a. Self-Management
Istilah self-management mengacu pada harapan agar konseli dapat
lebih aktif dalam proses terapi. Cormier & Cormier dalam Sutijono &
Soedarmadji menyatakan, bahwa keaktifan ini ditunjukkan untuk mengatur
atau memanipulasi lingkungan sesuai dengan perilaku apa yang akan
dibentuk.
b. Latihan Asertif
Latihan asertif (assertive trainning) merupakan teknik yang sering kali
digunakan oleh pengikut aliran behavioristik.Teknik ini sangat efektif jika
dipakai untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan rasa
percaya diri, pengungkapan diri, atau ketegasan diri.
c. Memberi contoh (Modeling)
Pemberian contoh merupakan teknik yang sering dilakukan
olehkonselor. Keuntungan memberikan contoh adalah konselitidak merasa
ketakutan terhadap objek yang dihadapinya. Bandura dalam Corey (1986)
menyatakan, bahwa semua pengalaman yang didapat dari hasil belajar
dapat dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung atau
tidak langsung kepada objek berikut konsekuensinya. Dengan pemberian
contoh, konseli akan belajar dari orang lain yang menjadi objek. Konseli
akan belajar dari sisi negatif dan positif yang dimiliki oleh objek. Jika
objek memperoleh banyak sisi negatif terhadap suatu kejadian, maka
konseli belajar untuk tidak mendekati sisi negatif objek yang dicontoh.
d. Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan
buruk.Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar
mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan
stimulus tersebut.Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan
tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang
tidak dikehendaki kemunculannya.Pengkondisian ini diharapkan terbentuk
asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang
tidak menyenangkan.28
3. Proses Konseling
a. Tahap Awal Konseling
Tahap ini terjadi sejak klien menemui konselor hingga berjalan
proses konseling sampai konselor dan klien menemukan definisi
masalah klien atas dasar isu, kepedulian, atau masalah klien. Adapun
proses konseling tahap awal dilakukan konselor sebagai berikut:
1) Membangun hubungan konseling (Building Trust)
Hubungan konseling yang bermakna ialah jika klien terlibat
berdiskusi dengan konselor. Hubungan tersebut dinamakan a
working relationship, hubungan yang berfungsi, bermakna, berguna.
Keberhasilan proses konseling amat ditentukan oleh keberhasilan
tahap awal ini.
2) Identifikasi dan penilaian masalah (Assessment)
Apabila hubungan konseling telah berjalan baik, maka langkah
selanjutnya adalah memulai mendiskusikan saran-saran spesifik dan
tingkah laku seperti apa yang menjadi ukuran keberhasilan
konseling. Konselor memperjelas tujuan yang ingin dicapai oleh
mereka berdua. Hal yang penting dalam langkah ini adalah
bagaimana keterampilan konselor dapat mengangkat isu dan masalah
yang dihadapi klien.
28
Hartono & Soedarmadji, Psikologi Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Kencana, 2012), h. 130
3) Membuat penafsiran dan penjajakan.
Konselor berusaha menjajaki atau menafsir kemungkinan
mengembangkan isu atau masalah, dan merancang bantuan yang
mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi
klien, dan dia menentukan berbagai alternatif yang sesuai dengan
antisipasi masalah.
b. Tahap Pertengahan (Tahap Kerja)
Berangkat dari definisi masalah klien yang disepakati pada tahap
awal, kegiatan selanjutnya adalah memfokuskan pada hal sebagai
berikut;
1) Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah, isu, dan kepedulian klien
lebih jauh.
2) Menjaga agar hubungan konseling selalu terpelihara. Tiga, agar
berjalan sesuai harapan.
c. Tahap Akhir Konseling (Tahap Tindakan).
1) Memutuskan perubahan sikap dan perilaku yang memadai.
2) Terjadinya transfer oflearning pada diri klien.
3) Melakukan perubahan perilaku. Empat, mengakhiri hubungan
konseling.29
F. Relasi Antara Strategi Bimbingan Konseling dengan Hasil Perbaikan
Perilaku Siswa
Masa remaja adalah masa transisi dimana pada usia tersebut terjadi
sebuah perubahan-perubahan baik perubahan fisik maupun perubahan
psikologisnya. Perubahan inilah yang menimbulkan beberapa
29
Sofyan S. Willis, Konseling Individual; Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 50-53
permasalahan yang berkaitan dengan pemikiran dan perasaan sosialnya.
Dalam kondisi psikologis yang seperti itu, akan lebih mudah terpengaruh
dengan lingkungan, hal ini sangat berpengaruh dalam pembentukan
perilaku mereka.30
Dengan demikian, pada pasa peralihan tersebut
membutuhkan pendampingan yang dapat membantu sebagai filter ketika
akan melakukan hal diluar normatif.
Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari
pendidikan kita, mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah
merupakan suatu kegiatan bantuan dan tuntutan yang diberikan kepada
individu pada umumnya dan peserta didik khususnya di sekolah dalam
rangka meningkatkan mutunya. Berbagai aktifitas bimbingan dan
konseling dapat diupayakan untuk mengembangkan potensi dan
kompetensi hidup siswa yang efektif serta memfasilitasi mereka secara
sistematis, terprogram dan kolaboratif agar siswa betul-betul mencapai
kompetensi perkembangan atau pada pola perilaku dalam kondisi yang
diharapkan.
Hal ini sangat relevan dengan fungsi dari Pendidikan Nasional
yaitu:
“Mengembangkan kemampuan untuk membentuk karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agat
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri untuk
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.31
1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Strategi Bimbingan
dan Konseling.
Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi keberhasilan
pemberian layanan konseling individu, yaitu:
a. Faktor dari Siswa
30
Sri Esti Wuryani Djiwadono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2006) h. 93 31
UU RI No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2003) h. 5
Dalam proses konseling individu ada beberapa kondisi yang
harus dilakukan oleh siswa untuk mendukung keberhasilan
konseling yaitu keadaan awal, maksudnya keadaan sebelum proses
konseling dan keadaan yang menyangkut proses konseling secara
langsung, yaitu:
1) Siswa harus termotivasi untuk mencari penyelesaian terhadap
masalah yang sedang dihadapi.
2) Siswa harus mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan
apa yang diputuskan dalam proses konseling.
3) Siswa harus mempunyai keberanian dan kemampuan untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaannya serta masalah yang
sedang dihadapi.32
b. Faktor dari Guru BK
Menurut Belkin, dalam buku yang ditulis Fenti Hikmawati
yang berjudul bimbingan konseling edisi revisi menyatakan bahwa
seorang guru BK harus itu harus mempunyai tiga kemampuan
yaitu kemampuan mengenal diri sendiri, kemampuan memahami
orang lain dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.33
Sedangkan guru BK yang efektif dan tidak efektif dapat
dibedakan atas tiga dimensi yaitu pengalaman, corak hubungan
antar pribadi dan faktor-faktor non kognitif.34
Dalam proses
konseling individu, ada beberapa kondisi yang harus dilakukan
guru BK, yaitu:35
32
Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2011),h. 26. 33 Ibid., h. 27. 34
Ibid., h. 27. 35
Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)h.
28.
1) Guru BK dituntut untuk mampu bersikap simpatik dan empati.
Keberhasilan pembimbing bersimpati dan berempati akan
memberikan kepercayaan yang sepenuhnya kepada konselor.
2) Guru BK berpakaian rapi. Kerapian dalam berpakaian sudah
menimbulkan kesan pada siswa bahwa siswa dihormati dan
sekaligus menciptakan suasana agak formal.
3) Guru BK tidak memasang rekaman atas pembicaraannya
dengan siswa, baik berupa rekaman radio ataupun video.
4) Penggunaan sistem janji. Guru BK membuat janji dengan
siswa kapan konseling dapat dilakukan, sehingga siswa tidak
perlu menunggu lama dan tidak kecewa karena konseling tidak
dapat dilakukan.
c. Faktor Setting atau Tempat
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan layanan
konseling individu dalam hal setting (tempat) atau ruangan
konseling yaitu sebagai berikut:36
1) Lingkungan fisik dan tempat wawancara berlangsung. Warna
cat tembok yang terang, beberapa hiasan dinding, satu atau dua
pot tumbuhan dan sinar cahaya yang tidak menyilaukan
membantu suasana yang tenang sehingga siswa merasa
nyaman di ruang konseling.
2) Penataan ruangan, misalnya tempat duduk yang
memungkinkan duduk dengan enak sampai agak lama.
Susunan tempat duduk guru BK dan siswa sebaiknya diatur
dengan posisi siswa duduk agak ke samping di sisi kiri atau
kanan meja dan tidak duduk berhadapan langsung dengan
36
Ibid., h. 28.
pembimbing. jarak antara guru BK dan siswa adalah antara 1,5
meter, namun tidak ditumbuhkan kesan bahwa pembimbing
dan siswa sedang berkencan. Serta barang atau perabot yang
terdapat di ruang dan di atas meja guru BK diatur dengan rapi,
berkas-berkas yang berserakan di mana-mana dan ruangan
yang tidak bersih, mudah menimbulkan kesan bahwa siswa
adalah orang yang tidak tahu disiplin diri dan sopan santun
terhadap tamu.
3) Bentuk bangunan ruangan, yang memungkinkan pembicaraan
secara pribadi (private). Pembicaraan di dalam ruang tidak
boleh didengarkan orang lain di luar ruang, dan orang lain
tidak boleh melihat ke dalam, paling sedikit tidak dapat
melihat siswa dari depan. Hal ini berkaitan erat dengan etika
jabatan pembimbing, yang mengharuskan guru BK untuk
menjamin kerahasiaan pembicaraan dan karena itu merupakan
prasyarat. Namun perlu diingat pertemuan dua orang yang
berlainan jenis di ruang tertutup, harus dijaga jangan sampai
timbul kesan-kesan yang dapat mencemarkan nama baik guru
BK dan siswa.
Berdasarkan pemaparan faktor-faktor yang mempengaruhi
proses konseling individu di atas maka dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi proses konseling terdiri dari
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terdiri dari
lingkungan fisik dan tempat wawancara berlangsung, penataan
ruangan, dan bentuk bangunan ruangan.
Sedangkan faktor internal terdiri dari pihak siswa yang harus
termotivasi untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang
sedang dihadapi, harus mempunyai tanggung jawab untuk
melaksanakan apa yang diputuskan dalam proses konseling, harus