bab ii kerangka teori a. perilaku remaja 1. ciri-ciri

34
BAB II KERANGKA TEORI A. Perilaku Remaja 1. Ciri-ciri Umum Masa Remaja Face remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konopka, masa remaja ini meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun, (b) remaja madya: 15-18 tahun, dan (c) remaja akhir: 19-22 tahun. 1 Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik di mana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berpikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini pula remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa. 2 Selain perubahan yang terjadi dalam diri remaja, terdapat pula perubahan dalam lingkungan seperti sikap orang tua atau anggota keluarga lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Kondisi ini merupakan reaksi terhadap pertumbuhan remaja. Remaja dituntut untuk mampu menampilkan tingkah laku yang dianggap pantas atau sesuai bagi orang-orang seusianya.Adanya perubahan baik di dalam maupun di luar dirinya itu membuat kebutuhan remaja semakin meningkat terutama kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologisnya. Untuk memenuhi 1 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), h. 217 2 Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 28

Upload: khangminh22

Post on 23-Jan-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Perilaku Remaja

1. Ciri-ciri Umum Masa Remaja

Face remaja merupakan segmen perkembangan individu yang

sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik

(seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konopka, masa remaja

ini meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun, (b) remaja madya: 15-18 tahun,

dan (c) remaja akhir: 19-22 tahun.1Masa remaja merupakan masa transisi

atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini

individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis.

Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik di mana tubuh

berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang

disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Selain itu

remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berpikir abstrak

seperti orang dewasa. Pada periode ini pula remaja mulai melepaskan diri

secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran

sosialnya yang baru sebagai orang dewasa.2

Selain perubahan yang terjadi dalam diri remaja, terdapat pula

perubahan dalam lingkungan seperti sikap orang tua atau anggota keluarga

lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Kondisi ini

merupakan reaksi terhadap pertumbuhan remaja. Remaja dituntut untuk

mampu menampilkan tingkah laku yang dianggap pantas atau sesuai bagi

orang-orang seusianya.Adanya perubahan baik di dalam maupun di luar

dirinya itu membuat kebutuhan remaja semakin meningkat terutama

kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologisnya. Untuk memenuhi

1Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2012), h. 217 2Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 28

kebutuhan tersebut remaja memperluas lingkungan sosialnya di luar

lingkungan keluarga, seperti lingkungan teman sebaya dan lingkungan

masyarakat lain.Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian,

yaitu sebagai berikut:

a. Masa remaja awal (12-15 tahun)

Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan

berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak

tergantung pada orang tua.Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap

bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman

sebaya.

b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)

Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang

baru.Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu

sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed).Pada masa ini

remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar

mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal

yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai.Selain itu

penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.

c. Masa remaja akhir (19-22 tahun)

Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang

dewasa.Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan

vokasional dan mengembangkan sense of personal identity.Keinginanat

yangkuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman

sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.3

3Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 28-29

2. Proses Perubahan Pada Remaja

Sejak daam kandungan hingga lahir, seorang individu tumbuh

anak, remaja sampai dewasa. Hal itu berarti terjadi proses perubahan

setiap individu. Aspek-aspek perubahan yang dialami oleh setiap individu

meliputi fisik, kognitif, maupun psikososialnya.4 Masa remaja dikenal

sebagai salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang

memiliki beberapa keunikan tersendiri. Keunikan tersebut bersumber dari

kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa kanak-

kanak dan masa dewasa. Kita semua mengetahui bahwa antara anak-anak

dan orang dewasa ada beberapa perbedaan yang selain bersifat biologis

atau fisiologis juga bersifat psikologis. Pada masa remaja perubahan-

perubahan besar terjadi dalam kedua aspek tersebut, sehingga dapat

dikatakan bahwa ciri umum yang menonjol pada masa remaja adalah

berlangsungnya perubahan itu sendiri, yang dalam interaksinya dengan

lingkungan sosial membawa berbagai dampak pada perlaku remaja. Secara

ringkas, proses perubahan tersebut dan interaksi antara beberapa aspek

yang berubah selama masa remaja bisa diuraikan seperti berikut ini:

a. Perubahan Fisık

Rankaian perubahan yang paling jelas yang nampak dialami oleh

remaja adalah perubahan biologis dan fisiologıs yang berlangsung

pada masa pubertas atau pada awal masa remaja, yaitu sekitar umur

11-15 tahun pada wanita dan 12-16 tahun pada pria. Hormon-hormon

baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan ini membawa perubahan

dalam ciri-cini seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder,

Gejala ini memberi isyarat bahwa fungsi reproduksi atau kemampuan

untuk menghasılkan keturunan sudah mulai bekerja. Seiring dengan

itu, berlangsung pula pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan

anggota-anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang

4 Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 14

dewasa.Seorang individu lalu mulai terlihat berbeda, dan sebagai

konsekuensi dari hormon yang baru, dia sendiri mulai merasa adanya

perbedaan.

b. Perubahan Emosionalitas

Akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal tadi adalah

perubahan dalam aspek emosionalitas pada remaja sebagai akibat dari

perubahan fisik dan hormonal tadi, dan juga pengaruh lingkungan

yang terkait dengan perubahan badaniah tersebut.

Hormonal menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan

dorongan-dorongan dan perasaan-perasaan baru. Keseimbangan

hormonal yang baru menyebabkan individu merasakan hal-hal yang

belum pernah dirasakan sebelumnya. Keterbatasannya untuk secara

kognitif mengolah perubahan-perubahan baru tersebut bisa membawa

perubahan besar dalam fluktuasi emosinya. Dikombinasikan dengin

pengaruh-pengaruh sosial yang juga senantiasa berubah, seperti

tekanan dari teman sebaya, media masa, dan minat pada jenis seks

lain, remaja menjadi lebih terorientasi secara seksual.Ini semua

menuntut kemampuan pengendalian dan pengaturan baru atas

perilakunya.

c. Perubahan Kognitif

Semua perubahan fisik yang membawa implikasi perubahan

emosional tersebut makin dirumitkan oleh fakta bahwa individu juga

sedang mengalami perubahan kognitif. Perubahan dalam kemampuan

berpikir inisebagai tahap terakhir yang disebut sebagai tahap formal

operation dalam perkembangan kognitifnya.

Dalam tahapan yang bermula pada umur 11 atau 12 tahun ini, remaja

tidak lagi terikat pada realitas fisik yang konkrit dari apa yang ada,

remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotetis

dan abstrak dari realitas. Bagaimana dunia ini tersusun tidak lagi

dilihat sebagai satu-satunya alternatif yang mungkin terjadi, misalnya,

aturan-aturan dari orang tua, status remaja dalam kelompok

sebayanya, dan aturan-aturan yang diberlakukan padanya tidak lagi

dipandang sebagai hal-hal yang tak mungkin berubah.

Kemampuan-kemampuan berpikir yang baru ini memungkinkan

individu untuk berpikir secara abstrak, hipotetis dan kontrafaktual,

yang pada gilirannya kemudian memberikan peluang bagi individu

untuk mengimajinasikan kemungkinan lain untuk segala hal. Imajinasi

ini bisa terkait pada kondisi masyarakat, diri sendiri, aturan- aturan

orang tua, atau apa yang akan dia lakukan dalam hidupnya.

Singkatnya, segala sesuatu menjadi fokus dari kemampuan berpikir

hipotetis, kontrafaktual, dan imajinatif dari remaja.

d. Implikasi Psikososial

Semua perubahan yang terjadi dalam waktu yang singkat itu

membawa akibat bahwa fokus utama dari perhatian remaja adalah

dirinya sendiri Secara psikologis proses-proses dalam diri remaja

semuanya tengah mengalami perubahan, dan komponen-komponen

fisik, fisiologis, emosional, dan kognitif sedang mengalami perubahan

besar. Sekarang dengan terbukanya kemungkinan bagi semua objek

untuk dipikirkan dengan cara yang hipotetis, berbeda dan baru, dan

dengan perubahan dirinya yang radikal, sepantasnyalah bagi individu

untuk memfokuskan pada dirinya sendiri dan mencoba mengerti apa

yang sedang terjadi.

Masyarakat, melalui orang tua atau guru, bertanya kepada remaja

untuk memilih satu peran. Dalam masyarakat kita ketika anak

memasuki SMA anak harus sudah memilih jurusan pendidikan yang

akan ditempuh yang akhirnya akan menentukan perannya nanti. Jadi

ketika berumur sekitar 15 atau 16 tahun seseorang sudah mulai

menempatkan dirinya pada satu jalur yang akan membawa akibat pada

apa yang akan dilakukannya pada tahun-tahun selanjutnya.

Masalahnya terjadi tepat pada saat ketika remaja berada dalam posisi

yang sangat tidak siap untuk mengambil keputusan yang berakibat

jangka panjang, mereka malah diminta untuk melakukannya.

Karenanya banyak remaja berada dalam dilemma. Mereka tidak bisa

menjawab pertanyaan tentang peran sosial yang akan mereka jalankan

tanpa menyelesaikan beberapa pertanyaan lain tentang dirinya sendiri

Jawaban terhadap perangkat pertanyaan yang satu saling tergantung

dengan jawaban terhadap rangkaian pertanyaan yang lain. Perasaan

tertentu yang berada dalam situasi krisis bisa muncul, krisis yang

membutuhkan jawaban yang tepat tentang siapa sebenarnya dirinya

Ini adalah pertanyaan tentang definisi diri, tentang identifikasi diri

Erikson menamai dilemma ini sebagai.krisis identitas.

Menurut Erikson, seorang remaja bukan sekedar mempertanyakan

siapa dirinya, tapi bagaimana dan dalam konteks apa atau dalam

kelompok apa dia bisa menjadi bermakna dan dimaknakan. Dengan

kata lain, identitas seseorang tergantung pula pada bagaimana orang

lain mempertimbangkan kehadirannya. Karenanya bisa lebih dipahami

mengapa keinginan untuk diakui, keinginan untuk memperkuat

kepercayaan diri, dan keinginan untuk menegaskan kemandirian

menjadi hal yang sangat penting bagi remaja, terutama mereka yang

akan mengakhiri masa itu.5

3. Permasalahan Yang Timbul Pada Masa Remaja

Proses perkembangan perilaku dan pribadi di pengaruhi oleh tiga

faktor dominan yaitu faktor bawaan (heredity), kematangan (maturation),

dan lingkungan (environment) termasuk belajar dan latihan (training and

learning). Ketiga faktor ini yang kemudian saling bervariasi menjadi hal

yang menguntungkan atau menghambat proses perkembangan, yang

kemudian menjadi masalah yang tidak mudah di atasi oleh individu yang

bersangkutan maupun oleh masyarakat secara keseluruhan. Masalah

tersebut antara lain :

5Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 29-31

1. Masalah-masalah yang mungkin timbul berkaitan dengan

perkembangan fisik dan psikomotorik

a. Adanya variasi yang mencolok dalam tempo dan irama serta

kecepatan perkembangan fisik antarindividu atau kelompok.

b. Perubahan suara dan peristiwa menstruasi dapat juga

menimbukan gejala-gejala emosinal seperti perasaan malu.

2. Masalah-masalah yang mungkin timbul bertalian dengan

perkembangan bahasa dan perilaku kognitif

a. Bagi individu-individu tertentu, mempelajari bahasa asing

bukanlah hal yang menyenangkan, kelemahan dalam bahasa

dapat menjadikan bahan cemooh yang bersifat negative

b. Intelegensi merupakan kapasitas dasar belajar, bagi yang

mempunyai IQ kurang dan tidak mendapat bimbingan yang

memadai akan mendapat ekses psikologis yang tidak mencapai

hasil yang diharapkan.

3. Masalah-masalah yang timbul bertalian dengan perkembangan

perilaku afektif, konatif, dan kepribadian

a. Keterikatan hidup di jalan yang tidak terbimbing menimbulkan

kenakalan remaja yang berbentuk perkelahian antarkelompok,

pencurian, perampokan, prostitusi, dan bentuk-bentuk anti

sosial lainnya.

b. Konflik dengan orang tua, yang berakibat tidak senang di

rumah, bahkan melarikan diri dari rumah.

c. Melakukan perbuatan-perbuatan yang justru bertentangan

dengan norma masyarakat atau agama, seperti mengonsumsi

ganja, narkotika, dan sebagainya.6

b. Perilaku Menyimpang Pada Remaja

Definisi perilaku menyimpang adalah hal yangcukup sulit

dilakukan. Problemnya adalah menyimpang terhadap apa? Penyimpangan

terhadap peraturan orang tua, seperti pulang terlalu malam atau merokok

bisa dikatakan penyimpangan juga dan karena itu dinamakan

kenakalan.Penyimpangan terhadap tatakrama masyarakat, seperti duduk

mengangkat kaki di hadapan orang yang lebih tinggi derajatnya (di

kalangan suku tertentu) bisa juga digolongkan penyimpangan yang dalam

hal ini dinamakan kekurangajaran.Dan tentu saja tingkah laku yang

melanggar hukum seperti membawa ganja ke sekolah atau mencuri uang

orang tua adalah penyimpangan juga.Sebalikya., menyebabkan kematian

beberapa orang seperti diutarakan dalam Kasus 2, bisa tidak dinamakan

penyimpangan, karena tidak ada norma yang berlaku di masyarakat saat

itu yang dilanggarnya.

Salah satu upaya untuk mendefinisikan penyimpangan perilaku

remaja dalam arti kenakalan anak (juvenile delinquency) dilakukan oleh

M. Gold dan J. Petronio, yaitu sebagai berikut:

Kenakalan anak adalah tindakan oleh seseorang yang belum

dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh

anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh

petugas hukum ia bisa dikenai hukuman.

Dalam definisi-definisi tersebut disebutkan faktor yang penting

adalah unsur pelanggaran hukum dan usia anak yang di bawah batas usia

tertentu sehingga tidak dapat dipidana. Oleh karena itu, merokok menurut

definisi tersebut bukanlah kenakalan selama tidak ada undang-undang

6 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya , 2012),

h. 94-95

yang melarang anak di bawah usia untuk merokok. Demikian juga halnya

dengan seorang anak yang berusia 17 tahun yang minum bir di suatu

negara bagian (di Amerika Serikat) yang tidak melarang anak di bawah

usia 18 tahun untuk minum. Ia tidak dianggap nakal selama ia tidak

mengetahui adanya ketentuan-ketentuan hukum itu dan karenanya ia tidak

sengaja melanggar hukum yang berlaku (misalnya karena remaja itu

sedang berlibur ke negara bagian lain, sedangkan di negara bagiannya

sendiri batas usia minum minuman keras adalah 16 tahun)

Kalau definisi ini digunakan, maka yang termasuk kenakalan

remaja menjadi sangat terbatas.Padahal, kelakuan-kelakuan yang

menyimpang dari peraturan orang tua, peraturan sekolah atau norma-

norma masyarakat yang bukan hukum juga bisa membawa remaja kepada

kenakalan-kenakalan yang lebih serius, atau bahkan kejahatan yang benar-

benar melanggar hukum pada masa dewasanya remaja. Dengan perkataan

lain, dari sudut Psikologi perkembangan dan dari sudut kesehatan mental

remaja, kita juga endefinisikan kenakalan remaja secara lebih luas. Di

pihak lain, kita juga jangan sampai begitu saja mencap anak sebagai makal

hanya dari penampilannya yang berambut gondrong dan berpakaian jorok.

Dalam hubungan ini, penulis sendiri cenderung untuk membuat

berbagai penggolongan terhadap tingkah laku remaja yang menyimpang

ini. Secara keseluruhan, semua tingkah laku yang menyimpang dari

ketentuan yang berlaku dalam masya- rakat (norma agama, etika,

peraturan sekolah dan keluarga, dan lain-lain) dapat disebut sebagai

perilaku menyimpang (deviation) Namun, jika penyimpangan itu terjadi

terhadap norma-norma hukum pidana barulah disebut kenakalan

(delinquent). Dengan demikian, kenakalan dalam buku ini akan dibatasi

pengertiannya pada tingkah laku-tingkah laku yang jika dilakukan oleh

orang dewasa disebut sebagai kejahatan. Di luar itu, penyimpangan-

penyimpangan lainnya akan disebut perilaku menyimpang saja.

Tentu saja, dengan demikian terjadi penggolongan yang relatif.

Suatu perbuatan yang di mata masyarakat tertentu diangap menyimpang

(misalnya kawin pada usia 16 tahun sehingga melanggar Undang-Undang

Perkawinan) di masyarakat lain dianggap biasa saja. Untuk Indonesia yang

masyarakatnya plural dan heterogen sekali, definisi ini memang

membingungkan, terutama bagi para praktisi (pendidik, konselor, dan lain-

lain) Akan tetapi, hal ini tidak dapat dihindari karena bagaimanapun iuga

remaja adalah bagian dari masyarakat (subkultur) dan tingkah laku remaja

mau tidak mau harus diukur dari kebudayaan norma dan nilai yang berlaku

dalam masyarakatnya. Justru berbahaya adalah jika kita mencoba menilai

tingkah laku remaja terlepas dari kaitan masyarakat atau lingkungan

sosial-budayanya.7

c. Kasus Siswa di Sekolah

Banyak kasus siswa di sekolah yang bersumber dari keadaan

keluarganya, misalnya keluarga krisis. Biasanya jika ternyata memang

kasus itu berkaitan erat dengan masalah keluarga, maka guru pembimbing

(GP) akan berusaha melakukan kunjuangan rumah (home visit).

Melakukan kegiatan home visit bukanlah pekerjaan yang mudah. Hal ini

disebabkan:

a. Orang tua kurang menerima kehadiran GP karena dianggap ikut

campurdengan urusan keluarga, orang tua merasa malu dan risih, dan

dianggap mengganggu ketenteraman rumah tangganya. Akibatnya

kemungkinan GP diusir, atau setidak-tidaknya secara halus ditolak. Jika

masih bisa menahan diri maka data tentang anaknya itu tidak akan

diungkapkan secara benar. Jika terjadi demikian, maka kesimpulan GP

tentang siswa tersebut bisa keliru dan membimbing dengan data keliru

berarti tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan.

b. Pelayanan bimbingan dan konseling (BK) di sekolah masih berjalan

secara tradisional, yakni hanya memberi nasehat, kurang melayani

perkembangan siswa, guru banyak bicara, memarahi dan memaksa

7Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 251-253

siswa, dan biasanya siswa diam dan takut dengan panggilan GP. Ha ini

disebabkan: (1) GP kurang perencanaan karena tidak memaham tentang

riset BK di sekolah misalnya terhadap siswa, guru, orang tu dan

sebagainya. (2) kurang pengetahuan dan wawasan, kurang

keterampilan, dan kepribadian otoriter yang kurang mendukung untuk

jadi pembimbing.

Banyaknya GP di sekolah-sekolah yang tidak berasal da

jurusanBimbingan dan Konseling (BK). Mereka menjadi pembimbin

karena untuk memenuhi jam mengajar. Namun sering menganggap dirinya

amat kompeten dalam bidang itu.Mereka itu kurang menghargai disiplin

ilmu Bimbingan dan Psikologi.Pernah ditemui sebuah SMA seorang

lulusan Sarjana Muda atau D3 BK tidak mendapat tempat selayaknya.

Koordinator BK bukan dari Jurusan BK dan merasa lebih hebat karena

usia sudah lanjut, dan lulusan BK itu masih muda, masih hijau dan belum

matang.

Sebagai contoh kegiatan "konseling" tradisional di sekolah adalah

yang dilakukan GP secara paksa seperti polisi menginterogasi

pencuri.Siswa yang melanggar disiplin semuanya ke BK (terlambat, bolos,

tidak lengkap seragamnya, dan sebagainya) Padahal masalah-masalah

tersebut termasuk tugas guru dan wali kelas.8

B. Relasi orang Tua-Anak

Menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh

pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tuapada saat

kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalahbagi relasi

pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan.Selain itu,

kajian psikologis juga memperlihatkan bahwa perempuanmenjalani

transisi yang lebih sulit daripada laki-laki. Apalagi bila masalah ini

berkaitan dengan pilihan antara mengurus anak dan kesempatan ekonomis.

Dukungan dari sanak keluarga sangat diperlukan agar perempuan tidak

8Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 67

berjuang dengan susah payah imbaldalam menjalankan fungsi keibuannya

dengan baik. Bila dukungan sanak keluarga sangat kurang, maka

keterlibatan dan dukungan suami menjadi andalan utama.9

Relasi pasangan secara alamiah bergerak melalui tahap

perkembangan, salah satu tahap melibatkan transisi ke dalam peran

pengasuhan, dan bagi banyak orang hal ini dapat menjadi pengalaman

yang membuat kewaahan. Problem ini membuat lebih buruk dalam

masyarakat Barat dimana keluarga-keluarga secara umum harus pindah ke

tempat yang jauh dari tempat tinggal orang tua agar dapat memperoleh

pekerjaan. Akibatnya banyak orang tua yang tidak mempunyai dukungan

dari keluarga luas saat merekan sedang membesarkan anak-anaknya.

Selain itu, secara umum ada kekurangan pendidikan yang memadai bagi

remaja dalam mempersiapkan diri untuk melaksanakan pengasuhan. Hal

ini memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana para orang tua baru

mempelajari keterampilan mengasuh. Bagi banyak orang, itu adalah kasus

belajar melalui trail and error, dan hal ini secara emosional merugikan

bagi kedua orang tua secara individual, bagi relasi mereka, dan bagi

kesejahteraan anak-anak mereka.10

Anak merupakan anamah dari Allah SWT yang diberikan kepada

setiap orang tua, anak juga buah hati dan juga tumpuan harapan serta

kebanggaan keluarga. Anak adlah generasi mendatang yang mewarnai

masa kini dan diharapkan membawa kemajuan dimasa mendatang. Akan

tetapi anak juga merupakan ujian bagia setiap orang tua sebagaimana

disebutkan dalam Al-Qur’an surah An-Anfal ayat 28:

9Sri Lestari, Psikologi Keluarga (Jakarta: Kencana, 2012), h. 16

10 Kathryn Geldard dan David Geldard, Konseling Keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),

h. 386

Artinya: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah

cobaan dan sesungguhnya disisi Allah pahala yang besar”

Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan sosial yang terjadi pada

perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi

orang tua-anak. Salah satu ciri yang menonjol pada remaja yang

mempengaruhi relasinya dengan orang tua adalah perjuangan untuk

memperoleh otonomi, baik secara fisik dan psikologis.karena remaja

meluangkan lebih sedikit waktunya bersama orang tua dan lebih banyak

menghabiskan waktu untuk saling berinteraksi dengan dunia yang lebih

luas, maka mereka berhadapan dengan bermacam-macam nilai dan ide-ide.

Seiring dengan terjadinya perubahan kognitif selama masa remaja,

berbedaan ide-ide yang dihadapi seiring mendorongnya untuk melakukan

pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran-pelajaran yang berasal dari

orang tua. Akibatnya, remaja mulai mempertanyakan dan menentang

pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka

sendiri. Orang tua tidak lagi di pandang sebagai otoritas yang serba tahu.

Secara optimal, remaja mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih

matang dan realistis dari orang tua mereka. Kesadaran bahwa mereka

adalah seorang yang memiliki kemampuan, bakan, dan pengetahuan

tertentu, mereka memandang orang tua sebagai orang yang harus

dihormati, dan sekaligus sebagai orang yang dapat berbuat kesalahan.

Sebagian dari proses pencapaian otonomi psikologis ini mengharuskan

anak remaja untuk menijau kembali gambaran tentang orang tua dan

mengembangkan ide-ide pribadi.11

11

Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008) h.217

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan paling utama bagi

anak untuk membentuk kepribadian dan mencapai tugas-tugas

perkembangannya. Oleh karena itu, kelurga menjadi faktor yang terpenting

bagi pembentukan sikap dan perilaku anak baik dalam segi kepribadian,

sosial maupun emosional anak. Keluarga memiliki peran yang sangat

penting dalam upaya mengembangkan kepribadian anak. Perawatan orang

tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan,

baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang

sangat mendukung untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan

anggota masyarakat yang baik.12

Menurut Soelaeman, fungsi keluarga

adalah sebagai berikut:

1. Fungsi Edukasi

Fungsi edukasi adalah fungsi yang berkaitan dengan pendidikan anak

khususnya dan pendidikan serta pembinaan anggota keluarga pada

umumnya.

2. Fungsi Sosialisasi

Orang tua dan keluarga dalam melaksanakan fungsi sosialisasi ini

mempunyai kedudukan sebagai penghubung anak dengan kehidupan

sosial dan norma-norma sosial, yang meliputi penerangan, penyaringan

dan penafsirannya ke dalam bahasa yang dimengerti dan ditangkap

maknanya oleh anak.

3. Fungsi Proteksi (Perlindungan)

Mendidik anak pada hakikatnya bersifat melindungi, yaitu

membentengi dari tindakan-tindakan yang akan merusak norma-norma.

Dengan kata lain, fungsi ini melindungi anak dari ketidakmampuannya

bergaul dengan lingkungan sosialnya, melindungi dari pengaruh yang

tidak baik yang mungkin mengancamnya sehingga anak merasa

terlindungi dan aman.

4. Fungsi Afeksi

12

Ulfiah, Psikologi Keluarga (Bogor: Ghalia Indonesia, 2016) h. 3

Anak bisa merasakan atau menangkap suasana perasaan yang

melingkupi orang tuanya pada saat komunikasi. Kehangatan yang

terpancar dari aktivitas gerakan, ucapan mimik serta perbuatan orang

tua merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan

dalam keluarga.

5. Fungsi Religius

Keluarga berkewajiban untuk mengikut sertakan anak dan anggota

keluarga lainnya kepada kehidupan beragama. Tujuannya bukan hanya

mengetahui kaidah-kaidah agama saja, tetapi untuk menjadi insan yang

beragama sehingga menjadi anggota keluarga yang sadar bahwa hidup

hanyalah untuk mencari ridha-Nya.

6. Fungsi Ekonomis

Fungsi ekonomis keluarga meliputi pencarian nafkah, perencanaan

pembelajaran serta pemanfaatannya. Dalam mendidik anak, keluarga

dengan fungsi ekonominya perlu diperhatikan karena jika tidak

seimbang dalam mengelola ini, maka akan berakibat pula pada

perkembangan anak dan pembentukan kepribadian anak.

7. Fungsi Rekreatif

Fungsi rekreatif dapat terlaksana jika keluarga dapat menciptakan rasa

aman, nyaman, ceria agar dapat dinikmati dengan tenang, damai dan

jauh dari ketegangan batin, sehingga memberikan perasaan yang bebas

dari tekanan. Hal ini akan memberikan rasa saling memiliki dan

kedekatan antara tiap anggota keluarga.

8. Fungsi Biologis

Fungsi biologis keluarga, yaitu berhubungan dengan kebutuhan-

kebutuhan biologis anggota keluarga. Kebutuhan ini meliputi

kebutuhan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan akan

keterlindungan fisik termasuk di dalamnya kehidupan seksual.13

13

Ibid,. h. 4-6

Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam

lingkungan, maka pendidikan yang diberikan tersebut merupakan

pemberian yang berharga bagi sang anak, meski hal itu terkadang jarang

disadari. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim Nabi

shalallahu’alaihi wasallam bersabda:

ما نحل وا لد ولدا من نحل أ فضل من أدب حسن

“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya

selain pendidikan yang baik.” (HR. Al-Hakim: 7679)

Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu

lingkungan dan hubungan. Pengalaman mereka sepanjang waktu bersama

orang-orang yang mengenal mereka dengan baik, serta berbagai

karakteristik dan kecenderungan yangmulai mereka pahami merupakan

hal-hal pokok yang memengaruhi perkembangan konsep dan kepribadian

sosial mereka. Menurut Thompson, kualitas hubungan menjadi katalis bagi

perkembangan dan merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan

informasi, penguasaanketerampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan

berbagai pengaruh lain semenjak dini. Suatu hubungan dengan kualitas

yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan.

Kajian tentang hubungan orang tua-anak dapat dibagi ke dalam dua

masa, yaitu sebelum berkembangnya paham dua arah (bidirection ality)

pada akhir tahun 60-an dan setelahnya. Semasa berkembangnya paham

satu arah (unidirectionality), penelitian tentang hubungan orang tua-anak

memfokuskan pada mengenali strategi pengasuhan, praktik-praktik,

perilaku, gaya, dan pembawaan yang memengaruhi akibat pada anak,

misalnya kompetensi, perkembangan yang sehat, prestasi akademik, dan

problem perilaku. Walaupun topik tersebut masih menarik minat para

ilmuwan, tetapi setelah era paham dua arah pengaruh imbal balik antara

orang tua dan anak mulai diperhatikan. Para ilmuwan mulai mengenali

bahwa baik orang tua mau pun anak merupakan agen bagi proses

sosialisasi.14

Menurut Chen, kualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan

tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security),

kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect), dan ketanggapan

(responssiveness) dalam hubungan mereka. Kehangatan menjadi

komponen mendasar dalam hubungan orang tua-anak yang dapat membuat

anak merasa dicintai dan mengembangkan rasa percaya diri.Mereka

memiliki rasa percaya dan menikmati kesertaan mereka dalam aktivitas

bersama orang tua. Kehangatan memberi konteks bagi afeksi positif yang

akan meningkatkan mood untuk peduli dan tanggap terhadap satu sama

lain.15

C. Pengaruh Relasi Orang Tua dengan Anak Terhadap Perilaku

Lembaga pendidikan yang tidak kalah penting dengan sekolah

adalah keluarga. Seorang individu tidak akan lepas dari keluarga sebagai

lembaga pendidikan sepanjang hayatnya. Burhanudin dalam bukunya

menyatakan bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama

dan utama, berlangsung secara wajar dan informal. Keluarga menjadi

tempat seorang individu memulai berinteraksi dan menerima pendidikan.

Keluarga mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap perkembangan

anak. Anak akan mendapatkan pengasuhan dan pendidikan sesuai

karakteristik orang tua di dalam keluarga. Semua perilaku anak akan

disesuaikan dengan aturan yang didapat dalam keluarga.

Keluarga mempunyai peran memberi kasih sayang, aturan, contoh

perilaku, dukungan moral dan berbagai sumbangan lain bagi

perkembangan anak. Keluarga harus mampu memberikan berbagai

sumbangan penting bagi anak untuk memenuhi kebutuhan perkembangan

14

Sri Lestari, Psikologi Keluarga (Jakarta: Kencana, 2012), h. 17

15Ibid,. h. 18

anak. Sumbangan yang diberikan pada anak ditentukan oleh sifat

hubungan antara anak dengan berbagai anggota keluarga.16

Jenis pola

keluarga dan siapa saja anggota keluarga yang berperan dalam

memberikan sumbangan pada anak akan berpengaruh pula pada

perkembangan anak.

Semua tindakan anak tidak akan terlepas dari tanggung jawab

keluarga terutama orang tua yang memegang peran yang sangat penting

bagi kehidupan anaknya, oleh karena itu orang tua bertanggung jawab atas

proses pembentukan perilaku anak, sehingga diharapkan selalu

memberikan arahan, memantau, mengawasi dan membimbing

perkembangan anak melalui interaksi antara orang tua dengan anak dalam

lingkungan keluarga.

Tetapi, dewasa ini peranan keluarga (orang tua) sebagai pendidik

yang pertama bagi anak-anaknya nampak semakin terabaikan di

masyarakat kita. Dengan alasan berbagai kesibukan orang tua bik karena

desakan kebutuhan ekonomi atau pun profesi yang sering menjadi

penyebab kurang adanya kedekatan antara orang tua dengan anak-

anaknya, yang berarti terganggulah hubungan saling pengaruhi antara

keduanya. Sementara kita mengetahui bahwa hubungan yang harmonis

antara keduanya di dalam keluarga akan banya berpengaruh terhadap

perkembangan anak baik secara fisik maupun psikis.17

Bahkan sedikitnya peran komunikasi keluarga pun semakin

berkurang dan tidak mempunyai arti yang begitu penting, karena sebagian

orang tua cenderung mengalihkan tanggung jawabnya kepada pembantu,

sehingga paling tidak sedikitnya perhatian menjadi berkurang terhadap

anak-anaknya karena berbagai macam kesibukan orang tua yang banyak

menyita waktu seperti pekerjaan di kantor, kegiatan-kegiatan sosial hingga

pekerjaannya di rumah. Dan pada akhirnya tanpa disadari akan berdampak

16

Hurlock, Psikologi Perkembangan Edisi Kelima (Jakarta:Erlangga. 2013) h. 202 17

Skripsi Hilmi Mufidah. Komunikasi Antara Orang Tua Dengan Anak dan Pengaruhnya

Terhadap Perilaku Anak, Studi Kasus di SMP Islam Al-Azhar 2 Pejaten Jakarta Selatan

(Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2008)

pada hubungan orang tua dan anak menjadi sedikit merenggang, sehingga

untuk berkomunikasi diantar keduanya tidak terjalin keharmonisan.

Dalam hal ini, Satu yang perlu diingat oleh para orang tua, bahwa

masalah komunikasi adalah masalah kebiasaan, artinya komunikasi harus

dipelihara terus sejak anak-anak masih berada dalam kandungan ibunya

sampai mereka dewasa. Biasanya orang tua menjadi lengah akan

komunikasi dengan anak-anaknya, justru pada saat anak-anak itu

meningkat dewasa, karena pada saat itu orang tua tengah menanjak

karirnya dan perhatian orang tua banyak disita oleh kesibukan pekerjaan

maupun kegiatan-kegiatan sosialnya dan adapula orang tua yang

mempercayakan sepenuhnya karena mereka akan dewasa dengan

sendirinya, hal tersebut biasanya tidak disadari oleh orang tua namun

sangan dirasakan oleh anak-anak. Dan pada waktu orang tua menyadari

kekurangan ini, keadaan sudah terlanjur parah untuk diselamatkan.18

D. Pengertian Bimbingan dan Konseling

Bimbingan merupakan salah satu bidang dan program dari

pendidikan, dan program ini ditujukan untuk membantu meng- optimalkan

perkembangan siswa. Menurut Tolbert, bimbingan adalah seluruh program

atau semua kegiatan dan layanan dalam lembaga pendidikan yang

diarahkan pada membantu individu agar mereka dapat menyusun dan

melaksanakan rencana serta melakukan penyesuaian diri dalam semua

aspek kehidupannya sehari-hari. Bimbingan merupakan layanan khusus

yang berbeda.dengan bidang pendidikan lainnya.19

Konseling merupakan salah satu teknik dalam bimbingan, tetapi

merupakan teknik inti atau teknik kunci. Hal ini dikarenakan konseling

dapat memberikan perubahan yang mendasar, yaitu mengubah sikap.

Sikap mendasari perbuatan, pemikiran, pandangan, perasaan, dan lain-lain.

18

Alex Sobur, Anak Masa Depan (Bandung: Angkasa, 1986) h. 228 19

Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 1

Bila kita simak definisi konseling di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut:

1. Konseling sebagai jantungnya program bimbingan. Dalam program

bimbingan, konseling dipandang sebagai layanan bimbing an yang

terpenting atau intinya program bimbingan.

2. Bimbingan lebih luas daripada konseling Bimbingan mencakup

banyak pelayanan yang di dalamnya terdapat pelayanan konse- ling,

konseling dipandang sebagai salah satu teknik bimbingan.

3. Konseling merupakan bantuan yang diberikan oleh konselor ke- pada

konseli secara langsung (direct contacts), tidak bisa diberikan secara

tidak langsung melalui perantara (media) seperti media cetak dan

media elektronik. Sebagai contoh media cetak adalah surat kabar,

majalah, buku; dan contoh media elektronik adalah internet, radio,

televisi, dan telekonferensi.

4. Konseling sebagai bantuan pribadi secara tatap muka (face to face)

yang diberikan oleh seorang konselor profesional yang ber kompeten

dalam bidang konseling kepada seorang konseli yang memiliki

masalah agar konseli dapat memecahkan masalahnya. Dalam batasan

ini, pelayanan konseling harus diberikan secara tatap muka, tidak bisa

tidak, yaitu seorang konselor berhadapan langsung dengan seorang

konseli dalam situasi proses belajar (situation of learning process),

agar konseli dapat memahami dirinya dan juga dapat memperoleh

pemahaman tentang situasi sekarang dan akan datang Bila konseli bisa

memahami dirinya dan lingkungannya, diharap kan ia dapat

melakukan penyesuaian terhadap lingkungan (adjusment sehingga ia

terhindar dari semua bentuk perilaku yang menyimpang

(maladjusmen) seperti: pengingkaran, ketidakpuasan yang berlarut-

larut, kedengkian, kecemburuan, dendam, dan tidak percaya diri,

semuanya itu sangat mengganggu kehidupan konseli.20

Bimbingan dan Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta

didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan

berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan

pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karier,

melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan

norma-norma yang berlaku.

Berdasarkan istilah tersebut, maka bimbingan dan konseling

diartikan secara umum sebagai suatu proses bantuan (helping). Namun

perlu diingat bahwa "tidak setiap bentuk bantuan adalah bimbingan. Oleh

karena itu, akan dikemukakan pendapat beberapa ahli tentang bimbingan

dan konseling sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing

sehinggamendapat gambaran yang komprehensif tentang bimbingan dan

konseling.21

Secara umum dan luas, program bimbingan dilaksanakan dengan

tujuan sebagai berikut:

1. Membantu individu dalam mencapai kebahagiaan hidup pribadi.

2. Membantu individu dalam mencapai kehidupan yang efektif dan

produktif dalam masyarakat.

3. Membantu individu dalam mencapai kehidupan yang damai dan

tentram bersama dengan individu-individu yang lain.

4. Membantu individu dalam mencapai harmoni antara cita-cita dan

kemampuan yang dimiliki.22

20

Ibid,. h. 28 21

Fuad Anwar, Landasan Bimbingan dan Konseling Islam (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 2 22

Samsul Munir Amin, Bimbingan Konseling Islam (Jakarta: Amzah, 2010), h. 38

Konsep konseling pun dapat terlihat dari banyaknya perintah ayat-

ayat Al-Qur’an kepada manusia agar dapat menghiasi diri dan jiwa mereka

dengan nilai- nilai yang baik, keistimewaan dan juga etika yang akan

mengarahkan manusia kepada jlan yang lurus. Islam pun telah menetapkan

interaksi yang ada sesama manusia dengan meletakan kaidah-kaidah

dasarnya. Allah berfirman:

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang

munkar: merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imron 3:104)

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untu manusia, menyuruh

kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada

Allah. Sekiranya ahli kitab beriman tentulah itu yang lebih baik bagi

mereka diantara mereka yang beriman dan kebanyakan mereka adalah

orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imron 3:110)

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran

yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya

Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tetang siapa yang tersesat dari

jalannya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat

petunjuk.” (Q.S. An-Nahl 16:125)

E. Strategi Bimbingan dan Konseling

1. Penanganan Siswa Bermasalah di Sekolah

Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang bermasalah,

dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku yang

merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk

menangani siswayang bermasalah, khusus nya yang terkait dengan

pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan

yaitu: (a) pendekatan disiplin dan (b) pendekatan bimbingan dan

konseling.23

Penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan disiplin merujuk

pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta

sangsinya.Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata

tertib) siswa beserta sangsinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah

sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku

siswa.Kendati demikian, sekolah bukan "lembaga hukum"yang harus

mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan

perilaku.Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah

bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang

terjadi pada para siswanya.

Oleh karena itu, di sinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan,

yaitu pendekatan melalui bimbingan dan konseling Berbeda dengan

23

Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 24

pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk

menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui bimbingan

dan konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan

dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan

siswa bermasalah melalui bimbingan dan konseling sama sekali tidak

menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada

terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara

konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa

tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta

dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih

baik.24

Secara visual, kedua pendekatan dalam menangani siswa yang

bermasalah dapat dilihat dalam bagan 1 berikut:

Bagan 1: Pendekatan dalam Menangani Siswa Bermasalah

Dari bagan 1 setidaknya dapat dipahami, di kedua pendekatan

penanganan siswa bermasalah, meski memiliki cara berbeda, tetapi jika

dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama, yaitu tercapainya

penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada siswa, sehingga

tidak menjadi siswa yang bermasalah lagi. Oleh karena itu, kedua

pendekatan tersebut seyogianya dapat berjalan sinergis dan saling

melengkapi.25

24

Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 25 25

Ibid,. h. 26

Siswa

Bermasalah

Pendekatan

Disiplin

Pendekatan

BK

Penyesuaian

diri/Perkembang

an Siswa yang

Optimal

Paradigma pelayanan bimbingan dan konseling lebih

mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan,

pelayanan bimbingan dan konseling terhadap siswa bermasalah tetap

masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua

masalah siswa harus ditangani oleh guru bimbingan dan konseling

(konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tentang

tingkatan masalah beserta mekanisme dan petugas yang menanganinya,

sebagai berikut:

a. Masalah (kasus ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar

pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar,

minum minuman keras tahap awal berpacaran, mencuri kelas ringan.

Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan

berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan

mengadakan kunjungan rumah.

b. Masalah (kasus sedang, seperti: gangguan emosional berpacaran

dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan

belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap

pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan

asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru bimbingan dan konseling

(konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah.ahli

profesional, polisi, guru, dan sebagainya. Dapat pula mengadakan

konferensi kasus.

c. Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat kecanduan

alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan

bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus

berat dilakukan referal (alih tangan kasus) kepada psikolog, psikiater,

dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan

kegiatan konferensi kasus. Secara visual, penanganan siswa

bermasalah melalui pendekatan bimbingan dan konseling dapat dilihat

dalam bagan 2 berikut ini:

Bagan 2: Penanganan Siswa Bermasalah melalui Pendekatan Bimbingan

dan Konseling

Dengan melihat bagan 2 tampak jelas, bahwa penanganan siswa

bermasalah melalui pendekatan bimbingan dan konseling tidak semata-

mata menjadi tanggung jawab guru bimbingan dan konseling konselor di

sekolah, tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-

sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan

perkembangan pribadi secara optimal.26

2. Teknik Bimbingan dan Konseling

Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan

konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai pada: (a) pemusatan

perhatian pada bentuk perilaku yang tampak dan spesifik; (b) kecermatan

dan penguraian tujuan treatment; (c) perumusan prosedur treatment yang

spesifik yang sesuai dengan masalah; dan (d) penafsiran yang objektif

terhadap hasil terapi.27

26

Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 27-28

27Hartono & Soedarmadji, Psikologi Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Kencana, 2012), h. 125

Masalah

Siswa

Ringan

Sedang

Berat

Semua

Guru/Wali

Kelas

Guru BK/

Konselor

Ahli Tangan

Kasus

Beberapa teknik yang digunakan dalam pendekatan behavioristik

sebagai berikut:

a. Self-Management

Istilah self-management mengacu pada harapan agar konseli dapat

lebih aktif dalam proses terapi. Cormier & Cormier dalam Sutijono &

Soedarmadji menyatakan, bahwa keaktifan ini ditunjukkan untuk mengatur

atau memanipulasi lingkungan sesuai dengan perilaku apa yang akan

dibentuk.

b. Latihan Asertif

Latihan asertif (assertive trainning) merupakan teknik yang sering kali

digunakan oleh pengikut aliran behavioristik.Teknik ini sangat efektif jika

dipakai untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan rasa

percaya diri, pengungkapan diri, atau ketegasan diri.

c. Memberi contoh (Modeling)

Pemberian contoh merupakan teknik yang sering dilakukan

olehkonselor. Keuntungan memberikan contoh adalah konselitidak merasa

ketakutan terhadap objek yang dihadapinya. Bandura dalam Corey (1986)

menyatakan, bahwa semua pengalaman yang didapat dari hasil belajar

dapat dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung atau

tidak langsung kepada objek berikut konsekuensinya. Dengan pemberian

contoh, konseli akan belajar dari orang lain yang menjadi objek. Konseli

akan belajar dari sisi negatif dan positif yang dimiliki oleh objek. Jika

objek memperoleh banyak sisi negatif terhadap suatu kejadian, maka

konseli belajar untuk tidak mendekati sisi negatif objek yang dicontoh.

d. Pengkondisian Aversi

Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan

buruk.Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar

mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan

stimulus tersebut.Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan

tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang

tidak dikehendaki kemunculannya.Pengkondisian ini diharapkan terbentuk

asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang

tidak menyenangkan.28

3. Proses Konseling

a. Tahap Awal Konseling

Tahap ini terjadi sejak klien menemui konselor hingga berjalan

proses konseling sampai konselor dan klien menemukan definisi

masalah klien atas dasar isu, kepedulian, atau masalah klien. Adapun

proses konseling tahap awal dilakukan konselor sebagai berikut:

1) Membangun hubungan konseling (Building Trust)

Hubungan konseling yang bermakna ialah jika klien terlibat

berdiskusi dengan konselor. Hubungan tersebut dinamakan a

working relationship, hubungan yang berfungsi, bermakna, berguna.

Keberhasilan proses konseling amat ditentukan oleh keberhasilan

tahap awal ini.

2) Identifikasi dan penilaian masalah (Assessment)

Apabila hubungan konseling telah berjalan baik, maka langkah

selanjutnya adalah memulai mendiskusikan saran-saran spesifik dan

tingkah laku seperti apa yang menjadi ukuran keberhasilan

konseling. Konselor memperjelas tujuan yang ingin dicapai oleh

mereka berdua. Hal yang penting dalam langkah ini adalah

bagaimana keterampilan konselor dapat mengangkat isu dan masalah

yang dihadapi klien.

28

Hartono & Soedarmadji, Psikologi Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Kencana, 2012), h. 130

3) Membuat penafsiran dan penjajakan.

Konselor berusaha menjajaki atau menafsir kemungkinan

mengembangkan isu atau masalah, dan merancang bantuan yang

mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi

klien, dan dia menentukan berbagai alternatif yang sesuai dengan

antisipasi masalah.

b. Tahap Pertengahan (Tahap Kerja)

Berangkat dari definisi masalah klien yang disepakati pada tahap

awal, kegiatan selanjutnya adalah memfokuskan pada hal sebagai

berikut;

1) Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah, isu, dan kepedulian klien

lebih jauh.

2) Menjaga agar hubungan konseling selalu terpelihara. Tiga, agar

berjalan sesuai harapan.

c. Tahap Akhir Konseling (Tahap Tindakan).

1) Memutuskan perubahan sikap dan perilaku yang memadai.

2) Terjadinya transfer oflearning pada diri klien.

3) Melakukan perubahan perilaku. Empat, mengakhiri hubungan

konseling.29

F. Relasi Antara Strategi Bimbingan Konseling dengan Hasil Perbaikan

Perilaku Siswa

Masa remaja adalah masa transisi dimana pada usia tersebut terjadi

sebuah perubahan-perubahan baik perubahan fisik maupun perubahan

psikologisnya. Perubahan inilah yang menimbulkan beberapa

29

Sofyan S. Willis, Konseling Individual; Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 50-53

permasalahan yang berkaitan dengan pemikiran dan perasaan sosialnya.

Dalam kondisi psikologis yang seperti itu, akan lebih mudah terpengaruh

dengan lingkungan, hal ini sangat berpengaruh dalam pembentukan

perilaku mereka.30

Dengan demikian, pada pasa peralihan tersebut

membutuhkan pendampingan yang dapat membantu sebagai filter ketika

akan melakukan hal diluar normatif.

Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari

pendidikan kita, mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah

merupakan suatu kegiatan bantuan dan tuntutan yang diberikan kepada

individu pada umumnya dan peserta didik khususnya di sekolah dalam

rangka meningkatkan mutunya. Berbagai aktifitas bimbingan dan

konseling dapat diupayakan untuk mengembangkan potensi dan

kompetensi hidup siswa yang efektif serta memfasilitasi mereka secara

sistematis, terprogram dan kolaboratif agar siswa betul-betul mencapai

kompetensi perkembangan atau pada pola perilaku dalam kondisi yang

diharapkan.

Hal ini sangat relevan dengan fungsi dari Pendidikan Nasional

yaitu:

“Mengembangkan kemampuan untuk membentuk karakter serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agat

menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri untuk

menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.31

1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Strategi Bimbingan

dan Konseling.

Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi keberhasilan

pemberian layanan konseling individu, yaitu:

a. Faktor dari Siswa

30

Sri Esti Wuryani Djiwadono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2006) h. 93 31

UU RI No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2003) h. 5

Dalam proses konseling individu ada beberapa kondisi yang

harus dilakukan oleh siswa untuk mendukung keberhasilan

konseling yaitu keadaan awal, maksudnya keadaan sebelum proses

konseling dan keadaan yang menyangkut proses konseling secara

langsung, yaitu:

1) Siswa harus termotivasi untuk mencari penyelesaian terhadap

masalah yang sedang dihadapi.

2) Siswa harus mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan

apa yang diputuskan dalam proses konseling.

3) Siswa harus mempunyai keberanian dan kemampuan untuk

mengungkapkan pikiran dan perasaannya serta masalah yang

sedang dihadapi.32

b. Faktor dari Guru BK

Menurut Belkin, dalam buku yang ditulis Fenti Hikmawati

yang berjudul bimbingan konseling edisi revisi menyatakan bahwa

seorang guru BK harus itu harus mempunyai tiga kemampuan

yaitu kemampuan mengenal diri sendiri, kemampuan memahami

orang lain dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.33

Sedangkan guru BK yang efektif dan tidak efektif dapat

dibedakan atas tiga dimensi yaitu pengalaman, corak hubungan

antar pribadi dan faktor-faktor non kognitif.34

Dalam proses

konseling individu, ada beberapa kondisi yang harus dilakukan

guru BK, yaitu:35

32

Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2011),h. 26. 33 Ibid., h. 27. 34

Ibid., h. 27. 35

Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)h.

28.

1) Guru BK dituntut untuk mampu bersikap simpatik dan empati.

Keberhasilan pembimbing bersimpati dan berempati akan

memberikan kepercayaan yang sepenuhnya kepada konselor.

2) Guru BK berpakaian rapi. Kerapian dalam berpakaian sudah

menimbulkan kesan pada siswa bahwa siswa dihormati dan

sekaligus menciptakan suasana agak formal.

3) Guru BK tidak memasang rekaman atas pembicaraannya

dengan siswa, baik berupa rekaman radio ataupun video.

4) Penggunaan sistem janji. Guru BK membuat janji dengan

siswa kapan konseling dapat dilakukan, sehingga siswa tidak

perlu menunggu lama dan tidak kecewa karena konseling tidak

dapat dilakukan.

c. Faktor Setting atau Tempat

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan layanan

konseling individu dalam hal setting (tempat) atau ruangan

konseling yaitu sebagai berikut:36

1) Lingkungan fisik dan tempat wawancara berlangsung. Warna

cat tembok yang terang, beberapa hiasan dinding, satu atau dua

pot tumbuhan dan sinar cahaya yang tidak menyilaukan

membantu suasana yang tenang sehingga siswa merasa

nyaman di ruang konseling.

2) Penataan ruangan, misalnya tempat duduk yang

memungkinkan duduk dengan enak sampai agak lama.

Susunan tempat duduk guru BK dan siswa sebaiknya diatur

dengan posisi siswa duduk agak ke samping di sisi kiri atau

kanan meja dan tidak duduk berhadapan langsung dengan

36

Ibid., h. 28.

pembimbing. jarak antara guru BK dan siswa adalah antara 1,5

meter, namun tidak ditumbuhkan kesan bahwa pembimbing

dan siswa sedang berkencan. Serta barang atau perabot yang

terdapat di ruang dan di atas meja guru BK diatur dengan rapi,

berkas-berkas yang berserakan di mana-mana dan ruangan

yang tidak bersih, mudah menimbulkan kesan bahwa siswa

adalah orang yang tidak tahu disiplin diri dan sopan santun

terhadap tamu.

3) Bentuk bangunan ruangan, yang memungkinkan pembicaraan

secara pribadi (private). Pembicaraan di dalam ruang tidak

boleh didengarkan orang lain di luar ruang, dan orang lain

tidak boleh melihat ke dalam, paling sedikit tidak dapat

melihat siswa dari depan. Hal ini berkaitan erat dengan etika

jabatan pembimbing, yang mengharuskan guru BK untuk

menjamin kerahasiaan pembicaraan dan karena itu merupakan

prasyarat. Namun perlu diingat pertemuan dua orang yang

berlainan jenis di ruang tertutup, harus dijaga jangan sampai

timbul kesan-kesan yang dapat mencemarkan nama baik guru

BK dan siswa.

Berdasarkan pemaparan faktor-faktor yang mempengaruhi

proses konseling individu di atas maka dapat disimpulkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi proses konseling terdiri dari

faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terdiri dari

lingkungan fisik dan tempat wawancara berlangsung, penataan

ruangan, dan bentuk bangunan ruangan.

Sedangkan faktor internal terdiri dari pihak siswa yang harus

termotivasi untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang

sedang dihadapi, harus mempunyai tanggung jawab untuk

melaksanakan apa yang diputuskan dalam proses konseling, harus

mempunyai rasa simpati dan empati, kemampuan memahami dan

berkomunikasi dengan orang lain, guru BK , menyisihkan berbagai

barang yang ada di atas meja saat berwawancara dengan siswa,

tidak memasang rekaman atau pembicaraannya dengan siswa,

penggunaan sistem janji, serta guru BK berpakaian rapi.