anti korupsi

21
Korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kaidah- kaidah umum yang berlaku di masyarakat. Korupsi di Indonesia telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Melihat realita tersebut timbul public judgement bahwa korupsi adalah manifestasi budaya bangsa. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi. Namun sampai saat ini hasilnya masih tetap belum sesuai dengan harapan masyarakat. Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata kelola administrasi. Pada kebanyakan kasusu korupsi yang dipublukasikan media, seringkali perbuatan korupsi tidak terlepas dari kekuasan, birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi juga sering dikaitkan pemaknaannya dengan politik. Sekalipun sudah dikatagorikan sebagai tindakan yang melanggar hokum, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk pelanggar hokum lainnya. Selain mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga dikaitkan dengan perekonomian, kebijakan public, kebijakan internasianal, kesejahteran social, dan pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait dengan koupsi hingga organisasi internasional seperti PPB memiliki badan khusus yang memantau korupsi dunua. A. Definisi Korupsi Kata “korupsi” berasal dari bahasa latin “corruption” atau “corruptus”. Selanjutnya kata bahwa “corruption” berasal dari kata corrumpere”, suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (inggris),

Upload: independent

Post on 27-Mar-2023

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-

kaidah umum yang berlaku di masyarakat. Korupsi di Indonesia

telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Melihat realita

tersebut timbul public judgement bahwa korupsi adalah manifestasi

budaya bangsa. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk

memberantas korupsi. Namun sampai saat ini hasilnya masih tetap

belum sesuai dengan harapan masyarakat.

Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia

pertama kali mengenal tata kelola administrasi. Pada kebanyakan

kasusu korupsi yang dipublukasikan media, seringkali perbuatan

korupsi tidak terlepas dari kekuasan, birokrasi, ataupun

pemerintahan. Korupsi juga sering dikaitkan pemaknaannya dengan

politik. Sekalipun sudah dikatagorikan sebagai tindakan yang

melanggar hokum, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk

pelanggar hokum lainnya. Selain mengkaitkan korupsi dengan

politik, korupsi juga dikaitkan dengan perekonomian, kebijakan

public, kebijakan internasianal, kesejahteran social, dan

pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait

dengan koupsi hingga organisasi internasional seperti PPB

memiliki badan khusus yang memantau korupsi dunua.

A. Definisi KorupsiKata “korupsi” berasal dari bahasa latin “corruption” atau

“corruptus”. Selanjutnya kata bahwa “corruption” berasal dari kata

“corrumpere”, suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin

tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (inggris),

“corruption” (pprancis) dan “corruptie/korrptie” (belanda). Arti kata

korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejtan,

ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpang dari

kesucian. Istilah korupsi yang diterima dalam perbendarahan kata

bahsa Indonesia, adalah “ kejtahan, kebusukan, dapat disuap,

tidak bermoral, kebejtan dan ketidakjujuran”. Pengertian lainya,

“ perbuatan yang buruk seperti penggelpan uang, penerimaan uang

sogok, dan sebagianya”. Selanjutnya untuk berapa pengrtian lain

disebutkan bahwa:

1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai

kekuasan untuk kepentingan sendiri dan sebaginya;

2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang,

penerimaan sogok, dan sebgainya. Dan

3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi

Dengan demikian atri kata korupsi adala suatu yang busuk,

jahat dan merusak berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan

korupsi mrnyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifta dan

keadaan yang busuk, menyangkut jabtan instasnsi atau aparatur

pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena

pemberian, menyangkut factor ekonomi dan politik dan penempatan

keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan

jabatan.

B. Dampak KorupsiDampak Finansial

Dampak Finansial dapat terdiri dari:

Pengeluaran tidak penting dengan biaya mahal untuk

pembelanjaan, investasi, jasa, atau pendapatan negara

menjadi rendah karena tidak diperlukannya surat ijin,

perijinan, konsensi dan sebagainya;

Sub perincian kualitas penyediaan atau pekerjaan tidak

sesuai dengan harga yang dibayar;

Pembebanan kewajiban keuangan kepada pemerintah atas

pembelanjaan atau penanaman modal yang tidak diperlukan atau

tidak bermanfaat yang secara ekonomi biasanya bernilai

sangat besar; dan

Pembebanan atas biaya perbaikan awal kepada pemerintah yang

kerap diikuti dengan berbagai alasan biaya perawatan.

Dampak Ekonomi

Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat

terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan Negara, khususnya

dalam sisi ekomoni sebagia pendorong utama kesejahteran

masyarakat. Mauro menerangkan hubungan antara korupsi dan

ekonomi. Menurutnya korupsi memiliki korelasi negative dengan

tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran

pemerintah untuk program social dan kesejahteraan. Hal ini

merupakan bagian dari inti ekonomi makro. Kenyataan bahw korupsi

memlikihubungan langsung dengan hal ini mendorong pemerintah

berupaya menanggulagi korupsi, baik secara preventif, represif

maupun kuratif.

Di sisi lain meningkaitnya korupsi berakibat pada peningkatan

biaya barang dan jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang

Negara. Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika

pemerintah menegluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai

dengan maraknya praktek korupsi, bukannya memberikan nilai

positif misalnya perbaikan kondisiyang semakin tertata, namun

justru memberikan negative bagi perokonomian secara umum.

Berbagai macam permasalahan ekonomi lain muncul secara alamiah

apabila korupsi sudah merajalela dan berikut ini hasil dari

dampak ekomoni yang akan terjadi, yaitu:

Lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi

Penurunan produktifitas

Rendahny kualitas barang dan jasa bagi public

Menurunnya pendapatan Negara dari sector pajak

Meningkatnya hutang Negara

Dampak Lingkungan

Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dapat mengakibatkan

dampak buruk bagi lingkungan. Karena proyek-proyek yang

dikerjakan biasanya tidak mengikuti standarisasi lingkungan

negara tersebut (atau internasional). Akibat dari penolakan

mengikuti standarisasi tersebut akan berdampak kerusakan parah

pada lingkungan dalam jangka panjang dan tentunya berimplikasi

pada tingginya resiko masalah kesehatan.

Menurunnya kualitas lingkungan

Menurunnya kualitas hidup

Dampak pada Kesehatan dan Keselamatan Manusia

Resiko kerusakan dapat terjadi pada kesehatan dan keselamatan

manusia berbagai akibat kualitas lingkungan yang buruk, penanaman

modal yang anti-lingkungan atau ketidakmampuan memenuhi

standarisasi kesehatan dan lingkungan. Korupsi akan menyebabkan

kualitas pembangunan buruk, yang dapat berdampak pada kerentanan

bangunan sehingga memunculkan resiko korban.

Dampak pada Inovasi

Korupsi membuat kurangnya kompetisi yang akhirnya mengarah

kepada kurangnya daya inovasi. Perusahaan-perusahaan yang

bergantung pada hasil korupsi tak akan menggunakan sumber dayanya

untuk melakukan inovasi. Hal ini akan memicu perusahaan-

perusahaan yang tidak melakukan korupsi untuk tidak merasa harus

menanamkan modal berbentuk inovasi karena korupsi telah membuat

mereka tidak mampu mengakses pasar.

Erosi Budaya

Ketika orang menyadari bahwa tidak jujurnya pejabat publik dan

pelaku bisnis, serta lemahnya penegakan hukum bagi pelaku-pelaku

korupsi, akan menyebabkan masyarakat meninggalkan budaya

kejujuran dengan sendirinya dan membentuk kepribadian masyarakat

yang tamak.

Hal serupa juga terjadi pada pelaku bisnis yang akan menyadari

bahwa menawarkan harga dan kualitas yang kompetitif saja, tak

akan cukup untuk memenuhi persyaratan sebagai pemenang tender.

Menurunnya Tingkat Kepercayaan Kepada Pemerintah

Ketika orang menyadari bahwa pelaku korupsi dilingkungan

pemerintahan tidak dijatuhi hukuman, mereka akan menilai bahwa

pemerintah tak dapat dipercaya. Kemudian secara moral, masyarakat

seakan mendapat pembenaran atas tindakannya mencurangi pemerintah

karena dianggap tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Kerugian Bagi Perusahaan yang Jujur

Jika peserta tender yang melakukan korupsi tidak mendapat

hukuman, hal ini akan menyebabkan peserta yang jujur akan

mengalami kerugian karena kehilangan kesempatan melakukan

bisnisnya. Meski sesungguhnya hasil pekerjaanya jauh lebih baik

dibanding perusahaan korup yang mengandalkan korupsi untuk

mendapatkan tender dengan kualitas pekerjaan yang dapat

dipastikan buruk.

Ancaman Serius Bagi Perkembangan Ekonomi

Jika pemerintah mentolelir korupsi dalam belanja barang dan

jasa serta investasi, dan dasar pemilihan investasi yang tidak

dilandasi pada perkembangan perekonomian – tetapi lebih karena

suap- maka cepat atau lambat negara tidak mampu membiayai

investasinya sendiri. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan

kebijakan mengundang investor asing dengan iming-iming berbagai

fasilitas kemudahan. Kebijakan ini tentu akan melumpuhkan

perkembangan ekonomi domestik dan masyarakat miskin akan menjadi

korban.

Dampak social dan kemiskinan masyarakat

Bagi masyarakat miskin korupsi mengakibatkan dampak yang luar

biasa dan saling bertaut satu sama lain. Pertama. Dampak langsung

yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin mahalnya jasa

bebagai pelayanan public, rendahnya kualitas pelyanan, dan

pembatasan askes terhadap berbagi pelayana vital seperti air,

kesehtan dan pendidkan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap

orang miksin yakni pengalihan sumbar daya milik publikuntuk

kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan

guna kemajuan sector social dan orang miskin, melalui pembatans

pembagunan. Hal ini secara langsung memiliki pengaruh kepada

langgengnya kemiskinan.

Mahalnya harga jasa dan pelayanan public

Pengetasan kemiskinan berjalan lambat

Terbatasnya akses bagi masyarakat miskin

Mengkatnya angka kriminalitas

Soladaritas social semakin langkah dan demoralisasi

C. Sejarah KorupsiKorupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan

sesudah kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut

hingga era reformasi. Berbagai upaya telah di lakukan untuk

memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang adri api.

Periodisasi korupsi di Indonesia secara umu dapat di bagi dua

yaitu pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.

Pra Kemerdekaan Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-

tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif

kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana

tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan

di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas

dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa

Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti,

Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo

Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya,

Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan

seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di

Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan

diIndonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi

mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang

telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya

pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di

permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya,

Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian

besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena

tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-

putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang

saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada.

Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena

dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah

Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan

Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah

Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan

Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian

Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan

Yogyakarta dan Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih

dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan

VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang

meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda)

mampu menjajahIndonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah

Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup,

lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan

aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character

building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi

sebagianbesar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah

dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah

mudah diadu domba.

Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada

bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka

dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga

Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat,

rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan,

perebutan kekuasaanyang tiada berakhir, serta “berintegrasi’

seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada

waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan,sultan dan

raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum

memahaminya.

Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat

Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda

pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau

pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan

runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebihdari 200 orang pengumpul

Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan

dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau

diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda

hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles

(Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-

1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar

biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun

bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya

meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung,

sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna,

karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-

lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter

penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau

pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai

keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus

terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil

sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak

mengetahui.

Hal menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar

menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya

abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya.

Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku

oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka

disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik

dan saran. Kritik dan saranyang disarnpaikan di muka umum lebih

dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap

kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara

(khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspekekonomi, raja dan

lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di

masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk

dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.

Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut

menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi

dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak)dari

rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya

oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di

Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup

(walaupun sedikit) hartayang akan diserahkan kepada Raja atau

Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum

ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas

dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan

untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun

ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda

baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya.

Beberapa alasan itulahyang mendorong atau menye-babkan para

pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di

pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau

volume komoditiyang harus diserahkan.

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan

oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara

(1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan

itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap

Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830),

Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain.

Namun,yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk

pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh

bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan

pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara

harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem

itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar

hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan

memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru

sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS

sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun

pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip

Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya

mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di

Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan

“Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.

Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa

di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan

tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau,

Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya

yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-

sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa

oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda)

menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan

tanaman kesukaan Belanda.

2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun

dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun

yang sering meng-korup belum tentu Belanda)

3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di

perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan).

Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan

bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena

berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali

sanksi).

4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor,

gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah.

Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu

yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.

5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan

melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada

penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para

pengumpul.

6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun

pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item”

yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak

mengenal kornpromi.

Pasca KemerdekaanBagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan?

Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal

sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka,

rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di

Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah

masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya

memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan

penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa

ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua

kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi

Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati

menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur

Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya,

dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang

anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat

pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah

sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya

kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat

reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu

tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan

pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena

pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran

akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya

pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu

menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua

dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat,

yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi

Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta

lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik

korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami

hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut

Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan

tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak

diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan,

keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11

miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu.

Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi

Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di

Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua

kepentingan yang lain”.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan

pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya

menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di

mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh

Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat

pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16

Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama

yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan

ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi

isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke

akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian

dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa

Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam

memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan

pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.

Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen

Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai

sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang

dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan

membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang

dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo,

Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah

membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT

Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan

ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di

Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,

dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain

juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme

di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika

timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan

Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara

pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin

berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas.

Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai

dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang

ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih

banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era

Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah

terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan

Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak

terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan

koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD

1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde

Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD

1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara

“konkesuen” alias “kelamaan”.

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28

Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas

dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru

seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya,

Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung

Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di

tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari

anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK

akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran

dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian

masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat

mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan

pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-

tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,

melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan

proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan

konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah

Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman.

Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega

pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi

politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari

pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-

aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat

mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah

otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat

bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke

luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu

Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun

Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas

MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat

bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas

korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi

perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi

andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin

lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi

merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

D. Bagaimana bila korupsi tidak dapat

diatasi Mempersulit tata pemerintahan yang baik

Mempersulit pembagunan ekomoni dalam sector privat

Menimbulkan kakacauan dalam sktor public dengan mengalihkan

investasi publuk ke proyek-proyek masyarakat

Kesejahteraan untuk masyaraket sangat sulit untuk dicapai

E. Makna dari video yang ditayangkan Berdasarkan video yang di tayangkan bahwa melakukan usaha yang

cukup keras gara apa yang yang kita lakukan dapat tercapai

meskipun dengan berbagai macam cara kita pencapainya. Hal itu

juga untuk memberantas korupsi, meskipun untuk mencapai

kejahteraan masyarakat tidaklah mudah akibat korupsi. Namun

dengan kita memperbaiki apa yang membuat korupsi merajalela

mungkin kita dapat membarantas korupsi yang ada di Indonesia.

Tugas :Pendidikan & budaya anti korupsi

Dosen : Drs. H. M. Nasir, M.Pd, M.Kes

Disusun Oleh:

Dwi Fatimah Azzahra

PO.71.3.203.14.1.010

IA

POLTEKKESKEMENKESMAKASSAR