anti korupsi
TRANSCRIPT
Korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-
kaidah umum yang berlaku di masyarakat. Korupsi di Indonesia
telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Melihat realita
tersebut timbul public judgement bahwa korupsi adalah manifestasi
budaya bangsa. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk
memberantas korupsi. Namun sampai saat ini hasilnya masih tetap
belum sesuai dengan harapan masyarakat.
Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia
pertama kali mengenal tata kelola administrasi. Pada kebanyakan
kasusu korupsi yang dipublukasikan media, seringkali perbuatan
korupsi tidak terlepas dari kekuasan, birokrasi, ataupun
pemerintahan. Korupsi juga sering dikaitkan pemaknaannya dengan
politik. Sekalipun sudah dikatagorikan sebagai tindakan yang
melanggar hokum, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk
pelanggar hokum lainnya. Selain mengkaitkan korupsi dengan
politik, korupsi juga dikaitkan dengan perekonomian, kebijakan
public, kebijakan internasianal, kesejahteran social, dan
pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait
dengan koupsi hingga organisasi internasional seperti PPB
memiliki badan khusus yang memantau korupsi dunua.
A. Definisi KorupsiKata “korupsi” berasal dari bahasa latin “corruption” atau
“corruptus”. Selanjutnya kata bahwa “corruption” berasal dari kata
“corrumpere”, suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin
tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (inggris),
“corruption” (pprancis) dan “corruptie/korrptie” (belanda). Arti kata
korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejtan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpang dari
kesucian. Istilah korupsi yang diterima dalam perbendarahan kata
bahsa Indonesia, adalah “ kejtahan, kebusukan, dapat disuap,
tidak bermoral, kebejtan dan ketidakjujuran”. Pengertian lainya,
“ perbuatan yang buruk seperti penggelpan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagianya”. Selanjutnya untuk berapa pengrtian lain
disebutkan bahwa:
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai
kekuasan untuk kepentingan sendiri dan sebaginya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang,
penerimaan sogok, dan sebgainya. Dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi
Dengan demikian atri kata korupsi adala suatu yang busuk,
jahat dan merusak berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan
korupsi mrnyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifta dan
keadaan yang busuk, menyangkut jabtan instasnsi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, menyangkut factor ekonomi dan politik dan penempatan
keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabatan.
B. Dampak KorupsiDampak Finansial
Dampak Finansial dapat terdiri dari:
Pengeluaran tidak penting dengan biaya mahal untuk
pembelanjaan, investasi, jasa, atau pendapatan negara
menjadi rendah karena tidak diperlukannya surat ijin,
perijinan, konsensi dan sebagainya;
Sub perincian kualitas penyediaan atau pekerjaan tidak
sesuai dengan harga yang dibayar;
Pembebanan kewajiban keuangan kepada pemerintah atas
pembelanjaan atau penanaman modal yang tidak diperlukan atau
tidak bermanfaat yang secara ekonomi biasanya bernilai
sangat besar; dan
Pembebanan atas biaya perbaikan awal kepada pemerintah yang
kerap diikuti dengan berbagai alasan biaya perawatan.
Dampak Ekonomi
Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat
terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan Negara, khususnya
dalam sisi ekomoni sebagia pendorong utama kesejahteran
masyarakat. Mauro menerangkan hubungan antara korupsi dan
ekonomi. Menurutnya korupsi memiliki korelasi negative dengan
tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran
pemerintah untuk program social dan kesejahteraan. Hal ini
merupakan bagian dari inti ekonomi makro. Kenyataan bahw korupsi
memlikihubungan langsung dengan hal ini mendorong pemerintah
berupaya menanggulagi korupsi, baik secara preventif, represif
maupun kuratif.
Di sisi lain meningkaitnya korupsi berakibat pada peningkatan
biaya barang dan jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang
Negara. Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika
pemerintah menegluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai
dengan maraknya praktek korupsi, bukannya memberikan nilai
positif misalnya perbaikan kondisiyang semakin tertata, namun
justru memberikan negative bagi perokonomian secara umum.
Berbagai macam permasalahan ekonomi lain muncul secara alamiah
apabila korupsi sudah merajalela dan berikut ini hasil dari
dampak ekomoni yang akan terjadi, yaitu:
Lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi
Penurunan produktifitas
Rendahny kualitas barang dan jasa bagi public
Menurunnya pendapatan Negara dari sector pajak
Meningkatnya hutang Negara
Dampak Lingkungan
Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dapat mengakibatkan
dampak buruk bagi lingkungan. Karena proyek-proyek yang
dikerjakan biasanya tidak mengikuti standarisasi lingkungan
negara tersebut (atau internasional). Akibat dari penolakan
mengikuti standarisasi tersebut akan berdampak kerusakan parah
pada lingkungan dalam jangka panjang dan tentunya berimplikasi
pada tingginya resiko masalah kesehatan.
Menurunnya kualitas lingkungan
Menurunnya kualitas hidup
Dampak pada Kesehatan dan Keselamatan Manusia
Resiko kerusakan dapat terjadi pada kesehatan dan keselamatan
manusia berbagai akibat kualitas lingkungan yang buruk, penanaman
modal yang anti-lingkungan atau ketidakmampuan memenuhi
standarisasi kesehatan dan lingkungan. Korupsi akan menyebabkan
kualitas pembangunan buruk, yang dapat berdampak pada kerentanan
bangunan sehingga memunculkan resiko korban.
Dampak pada Inovasi
Korupsi membuat kurangnya kompetisi yang akhirnya mengarah
kepada kurangnya daya inovasi. Perusahaan-perusahaan yang
bergantung pada hasil korupsi tak akan menggunakan sumber dayanya
untuk melakukan inovasi. Hal ini akan memicu perusahaan-
perusahaan yang tidak melakukan korupsi untuk tidak merasa harus
menanamkan modal berbentuk inovasi karena korupsi telah membuat
mereka tidak mampu mengakses pasar.
Erosi Budaya
Ketika orang menyadari bahwa tidak jujurnya pejabat publik dan
pelaku bisnis, serta lemahnya penegakan hukum bagi pelaku-pelaku
korupsi, akan menyebabkan masyarakat meninggalkan budaya
kejujuran dengan sendirinya dan membentuk kepribadian masyarakat
yang tamak.
Hal serupa juga terjadi pada pelaku bisnis yang akan menyadari
bahwa menawarkan harga dan kualitas yang kompetitif saja, tak
akan cukup untuk memenuhi persyaratan sebagai pemenang tender.
Menurunnya Tingkat Kepercayaan Kepada Pemerintah
Ketika orang menyadari bahwa pelaku korupsi dilingkungan
pemerintahan tidak dijatuhi hukuman, mereka akan menilai bahwa
pemerintah tak dapat dipercaya. Kemudian secara moral, masyarakat
seakan mendapat pembenaran atas tindakannya mencurangi pemerintah
karena dianggap tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
Kerugian Bagi Perusahaan yang Jujur
Jika peserta tender yang melakukan korupsi tidak mendapat
hukuman, hal ini akan menyebabkan peserta yang jujur akan
mengalami kerugian karena kehilangan kesempatan melakukan
bisnisnya. Meski sesungguhnya hasil pekerjaanya jauh lebih baik
dibanding perusahaan korup yang mengandalkan korupsi untuk
mendapatkan tender dengan kualitas pekerjaan yang dapat
dipastikan buruk.
Ancaman Serius Bagi Perkembangan Ekonomi
Jika pemerintah mentolelir korupsi dalam belanja barang dan
jasa serta investasi, dan dasar pemilihan investasi yang tidak
dilandasi pada perkembangan perekonomian – tetapi lebih karena
suap- maka cepat atau lambat negara tidak mampu membiayai
investasinya sendiri. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan
kebijakan mengundang investor asing dengan iming-iming berbagai
fasilitas kemudahan. Kebijakan ini tentu akan melumpuhkan
perkembangan ekonomi domestik dan masyarakat miskin akan menjadi
korban.
Dampak social dan kemiskinan masyarakat
Bagi masyarakat miskin korupsi mengakibatkan dampak yang luar
biasa dan saling bertaut satu sama lain. Pertama. Dampak langsung
yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin mahalnya jasa
bebagai pelayanan public, rendahnya kualitas pelyanan, dan
pembatasan askes terhadap berbagi pelayana vital seperti air,
kesehtan dan pendidkan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap
orang miksin yakni pengalihan sumbar daya milik publikuntuk
kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan
guna kemajuan sector social dan orang miskin, melalui pembatans
pembagunan. Hal ini secara langsung memiliki pengaruh kepada
langgengnya kemiskinan.
Mahalnya harga jasa dan pelayanan public
Pengetasan kemiskinan berjalan lambat
Terbatasnya akses bagi masyarakat miskin
Mengkatnya angka kriminalitas
Soladaritas social semakin langkah dan demoralisasi
C. Sejarah KorupsiKorupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan
sesudah kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut
hingga era reformasi. Berbagai upaya telah di lakukan untuk
memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang adri api.
Periodisasi korupsi di Indonesia secara umu dapat di bagi dua
yaitu pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
Pra Kemerdekaan Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-
tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif
kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana
tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan
di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas
dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti,
Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo
Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya,
Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan
seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan
diIndonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi
mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang
telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya
pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di
permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya,
Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian
besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena
tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-
putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang
saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada.
Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena
dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah
Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah
Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan
Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian
Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan
Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih
dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan
VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang
meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda)
mampu menjajahIndonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah
Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup,
lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan
aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character
building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi
sebagianbesar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah
dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah
mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada
bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka
dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga
Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat,
rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan,
perebutan kekuasaanyang tiada berakhir, serta “berintegrasi’
seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada
waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan,sultan dan
raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum
memahaminya.
Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat
Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda
pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau
pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan
runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebihdari 200 orang pengumpul
Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan
dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau
diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda
hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles
(Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-
1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar
biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun
bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya
meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung,
sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna,
karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-
lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter
penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau
pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai
keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus
terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil
sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak
mengetahui.
Hal menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar
menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya
abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya.
Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku
oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka
disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik
dan saran. Kritik dan saranyang disarnpaikan di muka umum lebih
dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap
kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara
(khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspekekonomi, raja dan
lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di
masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk
dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut
menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi
dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak)dari
rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya
oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di
Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup
(walaupun sedikit) hartayang akan diserahkan kepada Raja atau
Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum
ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas
dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan
untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun
ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda
baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya.
Beberapa alasan itulahyang mendorong atau menye-babkan para
pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di
pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau
volume komoditiyang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan
oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara
(1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan
itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap
Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830),
Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain.
Namun,yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk
pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh
bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan
pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem
itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar
hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru
sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS
sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun
pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip
Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya
mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di
Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan
“Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa
di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan
tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau,
Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya
yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-
sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa
oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda)
menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan
tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun
dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun
yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di
perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan).
Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan
bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena
berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali
sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor,
gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah.
Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu
yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan
melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada
penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para
pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun
pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item”
yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
Pasca KemerdekaanBagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan?
Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal
sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka,
rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di
Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah
masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya
memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan
penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa
ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua
kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi
Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati
menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur
Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya,
dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang
anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat
pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah
sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya
kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat
reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu
tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan
pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena
pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran
akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu
menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat,
yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi
Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta
lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik
korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut
Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan
tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak
diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan,
keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11
miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu.
Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi
Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di
Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua
kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan
pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya
menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di
mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16
Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama
yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan
ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi
isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke
akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa
Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam
memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan
pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen
Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai
sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan
membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo,
Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan
ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di
Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain
juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme
di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika
timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan
Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara
pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin
berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas.
Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai
dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang
ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih
banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era
Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah
terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan
Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak
terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan
koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD
1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde
Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD
1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara
“konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas
dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru
seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya,
Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung
Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di
tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari
anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran
dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian
masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat
mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan
pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-
tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,
melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan
proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan
konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman.
Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega
pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi
politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari
pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-
aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat
mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah
otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat
bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke
luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu
Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun
Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas
MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat
bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas
korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi
andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin
lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi
merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
D. Bagaimana bila korupsi tidak dapat
diatasi Mempersulit tata pemerintahan yang baik
Mempersulit pembagunan ekomoni dalam sector privat
Menimbulkan kakacauan dalam sktor public dengan mengalihkan
investasi publuk ke proyek-proyek masyarakat
Kesejahteraan untuk masyaraket sangat sulit untuk dicapai
E. Makna dari video yang ditayangkan Berdasarkan video yang di tayangkan bahwa melakukan usaha yang
cukup keras gara apa yang yang kita lakukan dapat tercapai
meskipun dengan berbagai macam cara kita pencapainya. Hal itu
juga untuk memberantas korupsi, meskipun untuk mencapai
kejahteraan masyarakat tidaklah mudah akibat korupsi. Namun
dengan kita memperbaiki apa yang membuat korupsi merajalela
mungkin kita dapat membarantas korupsi yang ada di Indonesia.