\" makalah dan sebuah wacana \" reformasi kepolisian sebagai lembaga demokratis dan...

11
1 MAKALAH DAN SEBUAH WACANA” REFORMASI KEPOLISIAN SEBAGAI LEMBAGA DEMOKRATIS DAN REFORMIS YANG MELAYANI MASYARAKAT OLEH INDRI ASTUTI ([email protected], 2016) BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Politeia berasal dari kata"polis", yang lebih kurang dapat diterjemahkan dengan kata "kota", atau lebih tepatnya "negara-kota". Untuk mencerminkan makna ini, banyak bahasa menerjemahkan Politeia sebagai Negara (bahasa Inggris: The State, termasuk bahasa Belanda De staat , dan bahasa Jerman (Der Staat ). Konsep politeia dalam bahasYunani kuno dianggap sebagai suatu cara hidup. Jadi, pada kenyataannya terjemahan yang lebih tepat mestinya adalah 'bagaimana cara kita hidup sebagai masyarakat. Menurut Aristoteles politeia merupakan bentuk pemerintahan yang paling baik. Hal ini disebabkan karena dalam politeia setiap individu berkuasa atas sesamanya dan begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain kekuasaan pemerintahan tersebut berada ditangan khalayak umum. Yang membedakan Politeia dengan demokrasi adalah karenaPoliteia merupakan bentuk demokrasi yang lebih moderat yang dalam hal kebebsannyadi ikat oleh konstitusi yang menjadi acuan dari pelaksanaan sistem Yunani. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Polisi adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum atau anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan dsb). Dalam Almanak Seperempat Abad Polri tahun 1945 1970, yang dimaksud Polisi ialah segenap organ pemerintah yang ditugaskan mengawasi, yang jika perlu menggunakan paksaan, supaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan pemerintah. Negara

Upload: independent

Post on 23-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

“MAKALAH DAN SEBUAH WACANA”

REFORMASI KEPOLISIAN SEBAGAI LEMBAGA DEMOKRATIS DAN

REFORMIS YANG MELAYANI MASYARAKAT

OLEH

INDRI ASTUTI

([email protected], 2016)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Politeia berasal dari kata"polis", yang lebih kurang dapat diterjemahkan dengan

kata "kota", atau lebih tepatnya "negara-kota". Untuk mencerminkan makna ini, banyak

bahasa menerjemahkan Politeia sebagai Negara (bahasa Inggris: The State, termasuk

bahasa Belanda De staat , dan bahasa Jerman (Der Staat ). Konsep politeia dalam

bahasYunani kuno dianggap sebagai suatu cara hidup. Jadi, pada kenyataannya

terjemahan yang lebih tepat mestinya adalah 'bagaimana cara kita hidup sebagai

masyarakat. Menurut Aristoteles politeia merupakan bentuk pemerintahan yang paling

baik. Hal ini disebabkan karena dalam politeia setiap individu berkuasa atas sesamanya

dan begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain kekuasaan pemerintahan tersebut berada

ditangan khalayak umum. Yang membedakan Politeia dengan demokrasi adalah

karenaPoliteia merupakan bentuk demokrasi yang lebih moderat yang dalam hal

kebebsannyadi ikat oleh konstitusi yang menjadi acuan dari pelaksanaan sistem Yunani.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Polisi adalah badan pemerintah yang

bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum atau anggota badan pemerintah

(pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan dsb). Dalam Almanak Seperempat

Abad Polri tahun 1945 – 1970, yang dimaksud Polisi ialah segenap organ pemerintah

yang ditugaskan mengawasi, yang jika perlu menggunakan paksaan, supaya yang

diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan pemerintah. Negara

2

Indonesia menggunakan istilah “POLISI” yang berasal dari proses indonesianisasi dari

istilah Belanda “POLITIE”. Dalam rangka Catur Praja dari Van Vollenhoven, istilah

“polisi” terbagi dalam : Bestuur (eksekutif), Politie (polisi), Rechtspraak (yudikatif),

Regeling (legislatif). Istilah Polisi menurut Raymond B. Fosdick adalah sebagai kekuatan

utama untuk melindungi individu – individu dalam hak – hak hukum mereka.

Menurut Steinmetz bahwa : untuk mengatur keamanan ,pemerintah

mengeluarkan beberapa peraturan . Bagi mereka yang tidak menurutinya akan dihukum

dan diberi nasehat . Untuk melaksanakan peraturan tersebut , pemerintah mengangkat

beberapa pegawai untuk menjaga keamanan dan ketertiban umun , untuk melindungi

penduduk dan harta bendanya serta intuk menjalankan peraturan – peraturan yang

diadakan oleh pemerintah . Mereka yang diberi tugas tersebut disebut pegawai Polisi.

Dari arti istilah Polisi tersebut diatas, bila diinterpretasikan maka pengertian Polisi

sebagai organ dalam melaksanakan tugas organ Polisi serta dilaksanakan oleh pejabat

Polisi sebagai manusia dalam melaksanakan peraturan hukum baik sebagai hukum

formal maupun sebagai hukum materil untuk mewujudkan tujuan organ Polisi yang

melaksanakan fungsi pemerintahan.

Kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia akan mencakup tataran

represif, preventif dan preemtif. Tataran represif adalah dimana pada waktu

melaksanakan tugas dan kewenanganya selalu mengutamakan azas legalitas , hal ini

dilakukan dalam rangka penegakan hukum, tataran preventif dan preemtif adalah dimana

dalam melaksanakan tugas dan kewenanganya selalu mengutamakan azas preventif, azas

partisipatif (memberikan kesempatan terhadap peran serta masyarakat dalam

pelaksanaan tugasnya) , dan azas subsidiaritas (azas yang mewajibkan Polri melakukan

tindakan yang perlu sebelum instansi tekhnis yang berwenang hadir di tempat kejadian

dan selanjutnya menyerahkan kepada istansi yang berwenang ).

Polisi sebagai sebuah lembaga yang dilingkupi oleh berbagai kebutuhan sosial

masyarakat, tentu diharapkan responsif bahkan proaktif, terhadap perkembangan yang

senantiasa terjadi pada setiap segi kehidupan sosial yang melingkupinya. Dengan kata

lain, polisi memiliki hubungan dengan masyarakatnya tidak hanya sebagai penegak

hukum (positif), namun dalam menjalankan tugas penegakan hukum maupun (terutama)

(preventif & Preemtif) ketertiban, polisi memiliki posisi sosiologis yang memberikan

kebebasan sekaligus membatasinya. (Zakarias Poerba-2003). Dalam konteks yang

sedemikian itu, maka polisi dapat dikatakan mempunyai posisi secara sosiologis di

3

dalam berinteraksi dengan masyarakat . Hal yang memberi kebebasan dan sekaligus

keterikatan secara hukum dan sosiologis, dalam ia melakukan fungsinya. Dalam konteks

menatap posisi polisi dalam berbagai jenis interaksi sosial yang memberikan

keterbatasan dan kebebasan, penulis menyebutnya sebagai koordinat sosial/sosiologis

polisi.

Dengan demikian sangat-lah tidak mencukupi, bila tugas dan fungsi polisi

hanya dipahami secara ideal atau formal saja. Walaupun secara juridis formal ditentukan

bahwa tugas dan fungsi polisi ditetapkan sesuai dengan undang-undang yang dibuat

secara konstitusional. Namun apabila hal itu dikaitklan dengan dengan proses kehidupan

sosial, maka akan tampak bahwa fungsi dan peran yang dapat dan mungkin dijalankan

secara nyata di dalam masyarakat, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemenuhan

kebutuhan organisasi, yang dikaitkan dan dihadapkan kepada harapan-harapan yang ada

dalam masyarakat.

Sejarah mencatat waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI

yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto

menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian.

Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat

Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI

tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Dengan Tap MPRS No. II

dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi

Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan

dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya

dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR

mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa

kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD,

AL, dan AU. Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD,

Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran

dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan

Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan

Kepolisian (Menkasak). Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi

Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab

kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964

kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:

4

1. Alat Negara Penegak Hukum.

2. Koordinator Polsus.

3. Ikut serta dalam pertahanan.

4. Pembinaan Kamtibmas.

5. Kekaryaan.

6. Sebagai alat revolusi.

Mengingat sejarah bahwa Kepolisian Indonesia pernah difungsikan sebagai alat

kekuatan negara dan bersifat militeristik, maka dalam pandangan masyarakat umum pun

polisi adalah bagian dari militer yang masih bersifat otoriter dan ditakuti. Untuk merubah

pandangan amsyarakat dan menyelaraskannya dengan tujuan bahwa polisi sipil sebagai

tujuan dari pemolisian Indonesia bukan merupakan hal yang mudah, perlu usaha yang

keras dari pihak kepolisian untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa pihak

kepolisian sudah melakukan reformasi dan siap untuk melakukan pelayanan kepada

masyarakat. Polisi sebagai sebuah lembaga yang dilingkupi oleh berbagai kebutuhan

sosial msyarakatnya, tentu diharapkan responsif bahkan proaktif terhadap perkembangan

permasalahan yang senantiasa terjadi pada setiap sisi kehidupan masyarakat. Dengan

kata lain polisi tidak hanya berperan sebagai penegak hukum untuk menjaga keamanan

dan ketertiban masyarakat, tetapi juga mempunyai posisi sosiologis yang memberikan

kebebasan sekaligus membatasinya.

1.2. POKOK PERMASALAHAN

Sesuai dengan fungsi kepolisian bahwa polisi bertugas untuk memelihara

keamanan dan ketertiban yamh berbeda fungsi dengan zaman dulu, masih ada keraguan

masyarakat dalam mencermati arah reformasi kepolisian sejalan dengan konsep “Polisi

Sipil” (Kepolisian dalam negara demokrasi). Seperti tidak dipahami isu itu sebagaimana

mestinya. Polisi sipil didikotomikan dengan polisi militer, sehingga proses pemisahan

Polri dan TNI dipandang sebagai wujud akhir pembentukan polisi sipil. Pada hal polisi

sipil merupakan suatu konsep, bukan institusi. Sebagai suatu konsep, polisi sipil

mensyaratkan sejumlah faktor sebagai indikator yang tidak mungkin bisa ditemukan

dalam negara otoriter yang acapkali dipandang sebagai Police State. Sehingga perlu

penjelasan yang pasti mengenai :

a. Apakah yang dimaksud dengan polisi sipil sebagai tujuan pemolisian Indonesia ?

b. Faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pencapaian tujuan tersebut ?

5

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1. Telaah Artikel Jurnal Ilmiah

1. Profesionalisme Polisi dalam penegakan hukum, oleh Agus Raharjo dan Angkasa,

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, September 2011.

Dalam jurnal ilmiah ini diterangkan bahwa hukum memberi wewenang

kepada Polisi ntuk menegakkan hukum denga berbagai cara dari cara preemtif

sampai represif berupa pemaksaan dan penindakan. Tindakan polisi mesti selalu

mengandung kebenaran hukum, ukannya hukum dijadikan pembenaran. Tindakan

kepolisian/ merekayasa hukum bagi tindakan kepolisian, hal ini dapat terjadi

penyesatan hukum. Disebutkan juga bahwa profesi adalah suatu Moral

Community (Masyarakat Moral) yang memiliki cita-cita bersama. Peran polisi

membentuk identitas, yaitu sebagai The Legalistic abusive officer, yaitu polisi

yang menyadari perannya sebagai penjaga, pelindung masyarakat. Akan tetapi

dalam penelitian ini disebutkan pula bahwa terdapat keraguan amsyarakat

mengenai peran polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, artinya peran

dan tujuan polisi sipil belum tercapai. Masyarakat berharap bahwa polisi tidak

hanya menggunakan kekerasan (hard skill) akan tetapi juga menggunakan soft

skill (Komunikasi) dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Dalam penelitian

jurnal ilmiah ini diambil dua kesimpulan bahwa polisi masih menggunakan

kekerasan dalam penyidikan terutama penggunakan kekerasan hukum. Yang

kedua adalah upaya menciptakan polisi yang profesional harus dimulai dari awal

rekruitmen untuk membangun intensitas dan standart yang tinggi dalam pola

pelayanan kepada masyarakat dan mewujudkan tujuan perpolisian sipil dalam

kepolisian Indonesia.

2. Penegakan Hukum Oleh Kepolisian melalui pendekatan Restorative Justice dalam

Sistem Hukum Nasional, oleh Yunan Hilmi, Badan Pembinaan Hukum nasional,

Agustus 2013.

Dalam jurnal ilmiah ini dijelaskan bahwa sistem peradilan pidana harus

mempromosikan keadilan, akan tetapi salah jika ukuran keberhasilan adalah

menjatuhkan tersangka ke meja peradilan. Hukum tidak hanya sekedar

memberikan keadilan akan tetapi juga menegakkan ketertiban dan keadilan dalam

6

masyarakat. Restorative justice adalah suatu proses penyelesaian masalah pidana

di luar sistem peradilan pidana (tanpa melalui meja pengadilan) yaitu dapat

diselesaikan dengan asas kekeluargaan yang melibatkan semua unsur yaitu

keluarga korban, keluarga tersangka, tokoh masyarakat, pembimbing

kemasyarakatan dan pekerja sosial serta pihak penegak hukum yang terlibat.

Restorative justice merupakan wujud manivestasi dari sistem perpolisian

sipil yang menajadi tujuan kepolisian Indonsia, dengan Restorative justice

masyarakat tidak perlu bertmu dengan sistem pengadilan yang selama ini

diangggap menyeramkan oleh sebagian besar masyarakat umum. Selain itu fungsi

polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dapat terlihat karena dalam

penggunaan sistem Restorative justice masyarakat merasa terlindungi. Tujuan

akhir dari Restorative justice adalah mengintegrasikan kembali masyarakat

kedalam sistem amsyarakat yang baik, hal ini tentu sanagat sesuai dengan tujuan

perpolisian sipil yang digaungkan kepolisian Indonesia. Sealin itu juga dapat

mengembalikan pemulihan hubungan sosial antar stake holder. Akan tetapi dalam

pelaksanaan hendaknya ada kordinasi dan kesamaan persepsi antar polisi yang

satu dengan polisi yang lain agar sistem ini berjalan beriringan dan dapat

membantu mewujudkan tujuan polisi sebagai polisi sipil dalam perpolisian

Indonesia.

2.2. Kerangka Teori

Ciri utama dalam penegakan hukum adalah adanya kebebasan untuk mengambil

keputusan. Penegakan hukum itu sendiri sebenarnya tidak lain adalah pembuatan

keputusan. Oleh Karena itu polisi harus menempatkan dirinya di garis depan dalam

pengambilan keputusan, mereka mempunyai kedudukan penting dalam proses

kriminalisasi, baik karena inisiatif (peran penting intelijen kepolisian) ataupun karena

laporan dari masyarakat. Polisi sebagai sebuah lembaga yang dilingkupi oleh berbagai

kebutuhan sosial masyarakat, tentu diharapkan responsif bahkan proaktif, terhadap

perkembangan yang senantiasa terjadi pada setiap segi kehidupan sosial yang

melingkupinya. Dengan kata lain, polisi memiliki hubungan dengan masyarakatnya

tidak hanya sebagai penegak hukum (positif), namun dalam menjalankan tugas

penegakan hukum maupun ketertiban, polisi memiliki posisi sosiologis yang

memberikan kebebasan sekaligus membatasinya. Dengan kata lain, institusi sosial

7

adalah merupakan suatu sistem tata-kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada

aktivitas untuk memenuhi lingkup kebutuhan-kebutuhan khusus dalam kehidupan

masyarakat. Jadi, institusi sosial mengandung pula pengertian-pengertian yang abstrak

tentang adanya norma-norma dan peraturan tertentu, yang menjadi ciri dari institusi

sosial tersebut. (

Fungsi dan kedudukan polisi tidak dapat ditetapkan secara sepihak saja olehnya

sendiri, melainkan ditentukan oleh realitas tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Jadi,

polisi selalu dihadapkan kepada harapan-harapan yang tumbuh pada masyarakatnya

(expected reaction). Karena itu lah institusi polisi sebagaimana kebanyakan institusi

sosial lainnya tidaklah dapat bersifat eksklusif dan tertutup terhadap lingkungannya.

Suasana saling ketergantungan antara polisi dan lingkungan masyarakatnya,

menyebabkan polisi tidak selalu mampu mengendalikan lingkungannya, seturut

rencana dan program yang dibuat oleh polisi itu sendiri. Oleh karena itu, yang mungkin

dilakukan oleh polisi, adalah menyiapkan beberapa alternatif pemecahan, yang secara

tentatif boleh dianggap cukup ekuivalen secara fungsional, dan pada waktu yang tepat

ditentukan mana yang mendapat prioritas, karena secara fungsional juga dinilai lebih

berbobot.

Oleh karena itu, pranata dan organisasi yang didesain di dalam institusi polisi,

adalah untuk mengantisipasi perubahan yang pasti terjadi, dengan memperkirakan

berbagai kemungkinan alternatif cara dan metodenya; dan hal ini merupakan tuntutan

yang bersifat conditio sine qua non. Setiap organisasi harus mampu bertahan dalam

berbagai permasalahan yang kontradiktif yang terjadi dalam institusi itu, karena ia tidak

mungkin mencegah timbulnya masalah-masalah baru, yang dapat datang dari dalam

dirinya sendiri ataupun yang datang dari lingkungannya. Polisi tidak dapat beroperasi

dan berfungsi menurut kebutuhannya sendiri saja, melainkan polisi juga ditata dan

didisiplinkan dalam beroperasi dan berfungsi, oleh harapan-harapan (expectation) serta

kebutuhan-kebutuhan masyarakat dimana ia berada. Berikut adalah alur ideal yang

ahrus dilaksanakan oleh seorang polisi dalam melaksakan pelayanan kepada

masyarakat dalam rangka mewujudkan tujuan perpolisian sipil dalam kepolisian

Indonesia.

8

Sumber : https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/09/12/lay-out-nkp-polri-kritis-dan-

berwawasan-keilmuan/

Gambar 2.1.

BAB III

ANALISIS

Dalam beberapa kejadian penanganan kasus yang terjadi, dapat ditunjukkan pula

bahwa polisi masih berperan antogonis. Hal ini dapat dilihat bahwa polisi masih hanya

mempunyai panggilan dalam hal penegakan hukum saja, polisi hanya menegakkan dan

menerapkan hukum. Polisi hanya berusaha membuktikan bahwa perintah hukum telah

dijalankan maka selesai dan semurnalah sudah tugasnya. Dalam peran antagonis polisi

senantiasa beralasan minimnya personil serta kurangnya fasilitas sehingga publik akan

berpendapat bahwa polisi hanya bertugas untuk melawan kejahatan dan hanya mengawasi

masyarakat secara ketat dan melakukan penangkapan ketika orang bersalah.

Hal tersebut akan berbanding terbalik dengan harapan masyarakat yang

menginginkan bahwa sosok polisi yang ideal adalah polisi yang cocok dengan masyarakat

dan selalu terbuka terhadap dinamika sosial masyarakat yang ada. Polisi yang modern dan

demokratis adalah polisi sipil dengan birokrasi yang modern dengan sistem yang impersonal

dan selalu memahami corak masyarakat dan kebudayaannya. Polisi dianggap baik, akan

tetapi polisi juga berpotensi menjadi musuh/jahat seperti yang terjadi di bebrapa kejadian

seperti yang terjadi di Aceh Singkil. Dalam bentrokan yang terjadi, pada awalnya masyarakat

9

yang dihadang oleh polisi justru terus menyerang. Bagi massa polisi bertindak sebagai musuh

yang menghalangi jalan mereka. Karena ada niat dan kesempatan, mereka selalu ada

kekurangan seperti personil dan lain-lain seperti telah diuraikan diatas. Seharusnya polisi

harus melihat masalah yang terjadi di Aceh Singkil dari posisi rakyat, apakah rakyat sudah

merasa nyaman ketika ada polisi ? dan apakah polisi sudah menajdi pengayom masyarakat

sehingga tidak perlu terjadi bentrokan ? dan apakah polisi sudah menjadi pelindung rakyat

ketika bentrokan terjadi ataukah hanya bersifat sebagai pemersatu. Tugas utama polisi adalah

1. Penegakan hukum

2. Penegakan ketertiban

3. Pengaturan dan penjagaan

4. Pembinaan dan pelayanan

Dalam pelaksanaan tugas perpolisian tidak ada yang mutlak, polisi hars selalu

mempertimbangkan mana yang harus didahulukan. Dalam kasus pembakaran dan bentrokan

yang terjadi Aceh Singkil, seharusnya polisi bersikap protagonis. Saya sangat setuju bahwa

untuk menjadi professional adalah dengan memahami corak masyarakat dan kebudayaannya.

Jika polisi dekat masyarakat, maka fungsi perlindungan , pengayoman dan pelayanan yang

diharapkan akan terwujud dan maslaah yang besar akan mudah terselesaikan. Sebelum

terjadinya bentrokan, warga dan pemerintah daerah setempat harus melaksanakan

musyawarah dan koordinasi sehingga masyarakat sudah berusaha meminialisir terjadinya

konflik lanjutan. Akan tetapi ketika konflik tidak terhindarkan lagi, berarti perlu adanya peran

dari seluruh unsur termasuk keprofesionalitas polisi sebagai mediator dan pengayom

masyarakat. Masyarakat, pemerintah daerah, TNI, Polri duduk satu tempat untuk

menyelesaikan segala persoalan yang ada. Jika fungsi ini sudah berjalan, maka kemungkinan

besar tidak akan timbul bentrokan. Pada intinya dengan adanya dinamika yang ada di

masyarakat yang terus berubah-ubah, polisi dituntut untuk menjadi polisi yang protagonis

yang selau terbuka terhadap perubahan yang terjadi dalam amsyarakat.

Hampir semua pekerjaan secara khusus menyimpan kesempatan unik bagi perilaku

pathologis, baik sistem formal maupun informal yang cenderung untuk mendorong dan

memudahkan terwujudnya struktur kesempatan. Integritas polisi dapat menjadi jendela kaca

dalam menilai sebuah pemerintahan. Integritas dilapangan merupakan gambaran dari sistem

kepolisian secara meyeluruh. Penyimpangan kepolisian pada umunya adalah untuk

memudahkan pencapaian pekerjaan, mendapatkan keuntungan pribadi dan untuk

meningkatkan karier secara tidak wajar. Diperlukan integritas yang tinggi, semangat

10

mengayomi dan melayani serta tidak kalah penting adalah semangat untuk mewujudkan

tujuan kepolisian Indonesia sebagai pilisi sipil yang dekat dan disegani masyarakat.

BAB IV

KESIMPULAN

Yang dimaksud polisi sipil sebagai tujuan polisi indonesia bisa djelaskan bahwa

polisi harus memiliki hubungan dengan masyarakatnya tidak hanya sebagai penegak hukum

(positif), namun dalam menjalankan tugas penegakan hukum maupun (terutama) (preventif &

Preemtif) ketertiban, polisi memiliki posisi sosiologis yang memberikan kebebasan sekaligus

membatasinya, jadi polisi benar-benar berfungsi sebagai pelindung dan pengayom

masyarakat. Akan tetapi dalam pelaksanaan di lapangan, hal ini tidak serta merta dapat

berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Terdapat faktor-faktor penghambat dalam upaya

mewujudkan polisi sipil sebagai tujuan dari polisi indonesia, yaitu antara lain :

1. Rekruitmen yang tidak sehat, sehingga banyak mengahasilkan aparat kepolisian yang

korup dan tidak berintegritas.

2. Anggapan masyarakat secara umum yang masih memandang bahwa polisi adalah

aparatur militer yang mempunyai tugas dan tanggung jawab menjaga keamanan negara,

bukan untuk melayani dan mengayomi masyarakat.

3. Tidak semua aparat kepolisian menyadari bahwa fungsi kepolisian Indonesia sudah

bergeser, dari berfungsi sebagai penjaga keamanan negara menjadi pelindung dan

pelayan masyarakat. Sehingga banyak anggota polisi yang menyalahgunakan

wewenangnya sebagai “penguasa”.

4. Belum ada sinkronisasi antara semua unsur yang terlibat dalam mewujudkan suasa sipil

dalam perpolisian Indonesia. Baik sinkronisasi antara masyarakat dengan kepolisian,

Polisi dengan Polisi, maupun kepolisan dengan pihak terkait seperti pemerintah daerah

maupun TNI sebagai pihak-pihak yang turut serta mewujudkan keamanan dan ketertiban

dalam masyarakat.

11

DAFTAR PUSTAKA

Barents, J; 1978, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta,Erlangga

Ismail, Chaerudin; 1998, Polisi Pengayom VS Penindas, Jakarta, Jakarta Citra

Nitibaskara, Tubagus Ronny Rachman; 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat – Sebuah

Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Jakarta, Peradaban.

Walker, Samuel; 1992, The Police in America : An Introduction, New York,

MC Graw Hill.

Jurnal /Dokumen

Jurnal Kepolisian. 2011. Agus Raharjo dan Angkasa ,.Profesionalisme Polisi dalam

penegakan hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Jurnal Kepolisian. 2013. Yunan Hilmi, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian melalui

pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan

Hukum nasional.

https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/09/12/lay-out-nkp-polri-kritis-dan-berwawasan-

keilmuan/

https://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia

Bahan Perkuliahan Polisi dan Pemolisian ( Dosen : Dr. Zakarias Poerba dan Dr. Bambang

Widodo Umar)