dilema pertambangan --agus pramusinto (map ugm)
DESCRIPTION
Pembukaan industri pertambangan sangat dilematis. DI satu sisi merupakan pembangun peradaban manusia, di sisi lain selalu menimbulkan kerugian, kerusakan dan penguasaan.TRANSCRIPT
DILEMA-DILEMA PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS PERTAMBANGAN(Catatan untuk diskusi terbatas)
Agus Pramusinto
1. Perekonomian berbasis pertambangan dan kesejahteraan rakyat memiliki
perdebatan yang sangat kompleks. Persoalan berada tidak hanya pada wilayah
hilir, tetapi harus ditelusuri sejak wilayah hulu, sehingga memecahkan masalah
pada wilayah hilir tanpa menyentuh wilayah hulu hanyalah usaha sia-sia.
2. Di Indonesia, menempatkan pertambangan sebagai basis perekonomian
nampaknya menimbulkan kemirisan yang luar biasa. Apa yang dicapai dari
pembangunan pertambangan sering tidak memiliki dampak kesejahteraan
masyarakat yang signifikan. Sebaliknya, banyak kasus pembangunan
pertambangan yang justru melahirkan kesengsaraan. Berbagai dampak seperti
kerusakan ekologi, pencemaran, dan kesenjangan sosial banyak mewarnai
kegiatan yang dijalankan di sekitar pertambangan.
3. Ada kecenderungan ketika ada wilayah yang secara ekonomis menguntungkan
selalu diambil oleh negara. Rakyat yang tadinya melakukan eksploitasi secara
sederhana kemudian diusir untuk ditawarkan kepada investor yang lebih besar
dengan teknologi tinggi dan menguntungkan. Penguasaan bukan hanya melarang
warga untuk mengusahakan kegiatan pertambangan, tetapi juga.pemindahan
paksa terhadap warga yang tinggal di daerah pertambangan agar bisa dilakukan
eksploitasi besar-besaran.
4. Pola-pola pemaksaan sering tidak diikuti dengan ganti rugi yang memadai. Dalam
kasus PT Arutmin, ganti rugi hanya sebesar Rp 150-Rp 1.000 per meter persegi.
Kasus pembebasan tanah yang sepihak bukan hanya merugikan masyarakat, tetapi
juga menimbulkan konflik horizontal antara yang setuju dan yang melawan.
5. Pada wilayah hulu, persoalan terbesar adalah bagaimana desain sistem kontrak
yang cenderung merugikan negara/daerah yang dieksploitasi dan sebaliknya
menguntungkan perusahaan yang mengeksploitasi. Dalam buku Escaping the
Resource Curse ditunjukkan bagaimana perilaku pengusaha dalam mengelabui
agar terjadi penggelembungan cost sehingga bagi hasil yang diterima oleh negara
yang memiliki wilayah pertambangan menjadi kecil. Misalnya: pembengkakan
biaya transportasi dengan cara mengontrakkan ke anak perusahaannya; atau
menjual produk dengan harga murah ke anak perusahaannya; atau menggunakan
teknologi yang terlalu canggih dan mahal yang disuplai oleh anak perusahaannya.
6. Praktik-praktik pertambangan banyak yang melanggar ketentuan perundang-
undangan. Implikasi yang ditimbulkan dari pelanggaran tersebut luar biasa.
Misalnya, pelanggaran terhadap penggunaan jalan untuk pengangkutan hasil
tambang batubara. Berdasarkan ketentuan UU No 11/1967, perusahaan harus
memiliki sarana dan prasarana sendiri, termasuk di dalamnya adalah sarana jalan
untuk angkutan. Dalam pengamatan Walhi Kalimantan Selatan, setidaknya
terdapat 1.300 truk per harinya dari Banjar dan Banjarbaru. Di Kabupaten Tapin
kepadatan angkutan batubara mencapai 2.473/hari. (proposal disertasi As’ad)
7. Akibatnya dari itu adalah: kepadatan lalu-lintas melebihi batas sehingga
memunculkan banyak kecelakaan; kerusakan jalan semakin cepat sehingga
membebani anggaran negara untuk pemeliharaan; menimbulkan penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Atas (ISPA); dan dalam jangka menimbulkan penyakit
kanker.
8. Persoalan sosial ekonomi yang juga luput dari pemotretan adalah hilangnya
sumber-sumber kehidupan rakyat. Selama ini rakyat di daerah pertambangan
mengandalkan hidup dari kayu, rotan, damar dan lain-lain untuk kehidupan
mereka. Tetapi, dengan munculnya pertambangan, rakyat tidak lagi memiliki
sumber-sumber kehidupan. Untuk kasus Ruteng, rakyat sekitar pertambangan
kehilangan sumber mata air dari hutan yang sudah dirusak oleh pertmabngan.
Dulu mereka bisa menanam padi sebanyak 2 kali, tetapi sekarang hanya
menunggu datangnya air di waktu musim hujan.
9. Persoalan pertambangan yang dikelola secara kapitalistik menimbulkan konflik.
Pada umumnya di wilayah pertambangan terbentuk enclave baru yang nampak
seperti ”komunitas planet lain”. Kasus PT Arun di Aceh, misalnya,
menggambarkan bagaimana komunitas perusahaan yang dijaga ketat oleh tentara
dengan fasilitas pesawat sendiri dan suplai bahan makanan dari luar. Di sisi lain,
masyarakat sekitar kehidupannya sangat miskin dan tidak menikmati apa yang
dihasilkan dari daerahnya.
10. Daerah-daerah yang kaya pertambangan hanya menggantungkan
perekonomiannya pada berkah sesaat (Dutch disease). Kemudahan untuk
menghasilkan keuntungan dari pertambangan telah melupakan potensi lain yang
mereka miliki. Banyak daerah tidak menyadari bahwa berkah tersebut hanya
mampu bertahan sampai 20-25 tahun. Akan tetapi, mereka tidak menyiapkan apa
yang akan mereka lakukan setelah 25 tahun.
11. Problema ekonomi-politik pertambangan sangat rumit. Ketika warga merasa
diperlakukan tidak adil dan harus menuntut kepada negara, persoalannya tidak
sederhana. Kekuasaan yang melingkupi pengusahaan pertambangan melibatkan
banyak institusi dan juga kekuasaan yang sulit untuk ditembus. Penegakan hukum
sulit dilakukan karena aparat sendiri terlibat dalam proses pengusahaan
pertmabngan. Dalam kasus pertambangan batubara, yayasan dan koperasi yang
berada di bawah TNI juga terlibat dalam kegiatan pertambangan.