perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pembelajaran ...... · fisika yang salah satunya dengan...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN STAD DITINJAU
DARI KEAKTIFAN SISWA DI KELAS
Skripsi
Oleh:
Suyatmi
K2306036
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN STAD DITINJAU
DARI KEAKTIFAN SISWA DI KELAS
Oleh:
Suyatmi
K2306036
Skripsi
Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Fisika Jurusan P. MIPA
Universitas Sebelas Maret
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Suyatmi, PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN STAD DITINJAU DARI KEAKTIFAN DI KELAS. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Desember 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Ada atau tidak adanya
perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran tipe Jigsaw dan
STAD terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor. (2)
Ada atau tidak adanya pengaruh antara keaktifan siswa di kelas kategori tinggi
dan rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
(3) Ada atau tidak adanya interaksi antara pengaruh penggunaan model
pembelajaran kooperatif dan keaktifan siswa di kelas terhadap kemampuan
kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen dengan desain faktorial 2 x 2. Populasi dalam penelitian ini adalah
semua siswa kelas X SMA Negeri 1 Karanganyar Tahun Ajaran 2009/2010.
Sampel diambil dengan teknik cluster random sampling sehingga diperoleh dua
kelas, yaitu kelas X.2 sebagai kelas eksperimen dan kelas X.1 sebagai kelas
kontrol yang masing-masing sampel terdiri atas 34 siswa. Teknik pengambilan
data dengan teknik dokumentasi, angket dan tes. Teknik dokumentasi digunakan
untuk memperoleh data keadaan awal siswa yang diambil dari nilai ulangan harian
terakhir. Teknik angket digunakan untuk mendapatkan data skor keaktifan siswa.
Teknik tes untuk memperoleh data kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok
bahasan Kalor. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
anava dua jalan dengan isi sel tak sama, kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut
anava yaitu komparasi ganda dengan metode Scheffe.
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa: (1) Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan tipe STAD terhadap kemampuan
kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor. (FA = 4,0175 > F0.05; 1.64 =
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
3.99). Siswa yang diberi pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw mempunyai kemampuan kognitif Fisika yang lebih baik daripada siswa
yang diberi pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, (2)
Ada perbedaan pengaruh antara keaktifan siswa di kelas kategori tinggi dan
rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor. (FB
= 22,6538 > F0.05; 1.64 = 3.99). Siswa yang mempunyai keaktifan kategori tinggi
akan mempunyai kemampuan kognitif Fisika yang lebih baik daripada siswa yang
mempunyai keaktifan kategori rendah. , (3) Ada interaksi antara pengaruh
penggunaan model pembelajaran kooperatif dan keaktifan siswa di kelas terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor. (FAB = 7,27727<
F0.05; 1.64 = 3.99).
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah pembelajaran Fisika dengan
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memberikan pengaruh yang lebih baik
daripada dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, sehingga diharapkan
guru mampu menerapkan model pembelajaran yang sesuai dalam pembelajaran
Fisika yang salah satunya dengan model pembelajaran kooperatif. Aktivitas
belajar siswa di kelas juga mempunyai pengaruh terhadap Kemampuan kognitif
Fisika siswa sehingga diharapkan guru dapat menumbuhkan aktivitas belajar pada
diri siswa. Dari penelitian ini diharapkan guru tidak hanya mengoptimalkan
usaha-usaha dalam mengembangkan sarana pembelajaran, tetapi juga
memperhatikan model pembelajaran dan keaktivan siswa sehingga guru mampu
mengembangkan kemampuan kognitif Fisika siswa secara optimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
HALAMAN ABSTRAK ...........................................................................
HALAMAN MOTTO ...............................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................
DAFTAR TABEL .....................................................................................
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………....
A. Latar Belakang Masalah………….……………………..
B. Identifikasi Masalah……………….……………………
C. Pembatasan Masalah …………….………………………
D. Perumusan Masalah……………………………………
E. Tujuan Penelitian ……………………………………...
F. Manfaat Penelitian……………………………………….
BAB II. LANDASAN TEORI ………………………………………..
A. Tinjauan Pustaka……………………………………….....
1. Hakikat Belajar……………………………………….
a. Pengertian Belajar….…………………….…..........
b. Prinsip Belajar…………….…...............................
c. Tujuan Belajar………..............................................
2. Hakikat Mengajar …………………………………….
a. Pengertian Mengajar................................................
b. Pembelajaran..........................................................
3. Kegiatan Belajar...........................................................
4. Hakikat IPA.................................................................
5. Pendekatan Pembelajaran............................................
ii
iii
iv
v
ix
x
xi
xii
xv
xvi
1
1
4
5
5
6
6
7
7
7
7
8
9
9
9
10
11
12
13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
a. Pengertian Pendekatan Pengajaran...........................
b. Hakikat Pendekatan Pengajaran Konstruktivisme....
c. Filsafat Konstruktivisme..........................................
d. Makna Belajar Konstruktivisme..............................
6. Pembelajaran Kooperatif ……….................................
7. Keaktifan Siswa.........……..........................................
a. Pengertian Keaktifan Siswa...............……………..
b. Pentingnya Keaktifan Siswa.................................
c. Bentuk-Bentuk Keaktifan Siswa............................
8. Kemampuan Kognitif Fisika Siswa…………………...
9. Konsep Kalor…………………………...................…
B. Penelitian yang Relevan ......................................................
C. Kerangka Berfikir………..………………………………..
D. Perumusan Hipotesis………………………………………
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………………………………
A. Tempat dan Waktu Penelitian …………………………….
1. Tempat Penelitian …………………………………….
2. Waktu Penelitian ……………………………………..
B. Metode Penelitian ………………………………………...
C. Populasi dan Sampel ….......................................................
1. Populasi.......………………………………...................
2. Sampel Penelitian...............…………………....………
3. Teknik Pengambilan Sampel………………………….
D. Variabel Penelitian………………………………………...
1. Variabel Terikat ………………………………………
2. Variabel Bebas ………………………………………..
E. Teknik Pengumpulan Data………………………………...
1. Teknik Dokumentasi…………………………………..
2. Angket ………………………………………………...
3. Teknik Tes …………………………………………….
F. Instrumen Penelitian............................................................
13
14
15
16
18
26
26
27
27
29
30
46
48
51
52
52
52
52
53
53
53
53
54
54
54
54
55
55
55
55
56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
G. Teknik Analisis Data ……………………………….........
1. Uji Kesamaan Keadaan Awal Siswa…………………
2. Uji Prasyarat Analisis………………………………...
2. Uji Hipotesis .................................................................
3. Uji Lanjut Anava......................................................
BAB IV. HASIL PENELITIAN ……………………………………….
A. Deskripsi Data ……………………………………………
1. Data Keadaan Awal Siswa.............................................
2. Data Aktivitas Belajar Siswa.............. ……………….
3. Data Nilai Kemampuan Kognitif Fisika Siswa …….....
B. Uji Prasyarat..................................................................
1. Uji Normalitas................................................................
2. Uji Homogenitas ……………………………………..
3. Uji t-2 Ekor....................................................................
C. Analisis Data ……………………………………………...
1. Uji Prasyarat Analisis………………………………….
a. Uji Normalitas……………………………………..
b. Uji Homogenitas…………………………………..
2. Pengujian Hipotesis…………………………………...
a. Analisis Variansi Dua Jalan Dengan Frekuensi Sel
Tak Sama …………………………………………
b. Uji Lanjut Anava…………………………………..
D. Pembahasan Hasil Analisis Data …………………………
BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ………………
A. Kesimpulan ……………………………………………….
B. Implikasi Hasil Penelitaian……………………………......
C. Saran ………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................
62
62
62
65
69
71
71
71
73
75
78
78
78
79
79
79
79
80
80
80
81
86
90
90
90
91
92
94
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belajar merupakan aktivitas manusia yang penting dan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, bahkan sejak mereka lahir sampai akhir
hayat. Pernyataan tersebut menjadi ungkapan bahwa manusia tidak dapat lepas
dari proses belajar sampai kapanpun dan dimanapun, manusia itu berada dan
belajar juga menjadi kebutuhan yang terus meningkat sesuai dengan
perkembangan Ilmu Pengetahuan. Kepesatan perkembangan Ilmu Pengetahuan
mengantarkan masyarakat memasuki era global. Setiap individu di era global
dituntut memiliki daya nalar kreatif dan kepribadian yang tidak simpel, melainkan
kompleks. Untuk itu keterampilan yang harus dimiliki oleh individu adalah
keterampilan intelektual, sosial dan personal.
Pendidikan sebagai bagian integral kehidupan masyarakat di era global
harus dapat memberi dan memfasilitasi bagi tumbuh dan berkembangnya
keterampilan intelektual, sosial, dan personal. Pendidikan harus menumbuhkan
berbagai kompetensi peserta didik. Keterampilan intelektual, sosial, dan personal
dibangun tidak hanya dengan landasan rasio dan logika saja, tetapi juga inspirasi,
kreativitas, moral,intuisi dan spiritual. Sekolah sebagai institusi yang pendidikan
dan miniatur masyarakat perlu mengembangkan pembelajaran sesuai dengan
tuntutan kebutuhan pada era global.
Namun ada persepsi umum di masyarakat yang sudah berakar dalam dunia pendidikan dan juga sudah menjadi harapan masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru untuk mengajar dan menyodori siswa dengan muatan-muatan informasi dan pengetahuan. Guru perlu bersikap atau setidakmya dipandang oleh siswa sebagai maha tahu dan sumber informasi. Lebih celaka lagi, siswa belajar dalam situasi yang membebani dan menakutkan, karena dibayangi oleh tuntutan-tuntutan mengejar nilai-nilai tes dan ujian yang tinggi (Anita Lie, 2008: 11).
Dalam hal ini perlu adanya perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogianyalah kegiatan belajar-mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu alur proses belajar-mengajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa juga dapat saling mengajar dengan sesama siswa lainnya. Bahkan, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang tersruktur disebut sebagai sistem “pembelajaran gotong royong” atau cooperatif learning. Dalam sistem ini, guru bertindak sebagai fasilitator (Anita Lie, 2008: 11-12).da beberapa alasan penting mengapa sistem pengajaran ini perlu dipakai lebih sering di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi, juga terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan demografis yang mengharuskan sekolah untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat (Anita Lie, 2008: 12-16).
Fisika merupakan salah satu cabang dari pelajaran IPA yang berkaitan
dengan cara mencari tahu dan memahami alam semesta secara sistematis,
sehingga Fisika bukan hanya merupakan penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip saja tetapi juga
merupakan suatu proses menemukan. Pendidikan Fisika diharapkan dapat menjadi
wahana bagi siswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam disekitarnya, yang
di dalamnya ada berbagai pokok bahasan yang memiliki kekhususan karakter
masing-masing serta konsep-konsep yang harus dipahami.
Model pembelajaran seperti Cooperative Learning turut menambah
unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran IPA. Menurut Slavin (2008: 4)
“pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di
mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu
satu sama lainya dalam mempelajari materi pelajaran”. Pendapat Johnson &
Johnson yang dikutip oleh Anita Lie (2008 :18) : “Dalam Cooperative Learning
bukan sekedar kerja kelompok melainkan pada penstrukturannya yang meliputi
lima unsur pokok yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual,
interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok”. Di dalam
pembelajaran kooperatif, siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil
dan saling membantu satu sama lain. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa
menerima pendapat orang lain dan berkerja dengan teman yang berbeda latar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
belakangnya, membantu memudahkan menerima materi pelajaran, meningkatkan
kemampuan berfikir dalam memecahkan masalah. Dengan adanya komunikasi
antar anggota-anggota kelompok dalam menyampaikan pengetahuan serta
pengalamannya sehingga dapat menambahkan pengetahuan dan meningkatkan
hasil belajar serta hubungan sosial setiap anggota kelompok.
Kegiatan-kegiatan di dalam pembelajaran Fisika merupakan upaya untuk
bagaimana siswa dapat memahami konsep-konsep. Pemahaman yang diperoleh
siswa dalam proses pembelajaran dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang diukur
dengan memberikan tes kepada siswa sehingga perlu diadakan penelitian untuk
memilih metode yang efektif digunakan dalam proses belajar di kelas, sehingga
dapat memberikan alternatif pendekatan atau metode yang memungkinkan untuk
diterapkan dalam proses pembelajaran Fisika, khususnya pokok bahasan Kalor.
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan STAD adalah dua
metode dari model pembelajaran kooperatif di mana dibutuhkan kerjasama siswa
untuk menguasai materi, dengan metode ini diharapkan siswa mampu
bekerjasama untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam memahami
pelajaran. Jigsaw dan STAD cocok digunakan untuk materi Kalor karena pada
materi ini banyak terdapat permasalahan yang bisa diselesaikan bersama sehingga
setiap siswa mampu memahami materi ini dengan bantuan siswa lain. Selain itu,
Jigsaw dan STAD adalah salah satu metode dari model pembelajaran kooperatif
dimana dalam pelaksanaannya lebih sederhana dibandingkan dengan metode
yang lain.
Selain yang telah dikemukakan di atas pembelajaran model kooperatif
dianggap cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia, karena sesuai dengan
budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis bermaksud
mengadakan penelitian yang berjudul “PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN STAD
DITINJAU DARI KEAKTIFAN SISWA DI KELAS”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang dikemukakan, ada beberapa
masalah yang muncul. Masalah-masalah tersebut diidentifikasi, dipilih, dan
ditetapkan sebagai masalah yang akan diteliti. Adapun masalah dalam latar
belakang di atas adalah :
a. Adanya suatu kebiasaan guru yang menyampaikan konsep dan fakta dalam
proses belajar-mengajar tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berlatih mengembangkan diri sehingga menyebabkan pencapaian kemampuan
kognitif siswa tidak optimal.
b. Belum semua guru mampu menerapkan pendekatan pembelajaran secara
variatif sehingga tujuan pengajaran yang diharapkan belum dapat tercapai
secara optimal.
c. Ketidaksesuaian antara model dalam proses belajar-mengajar dengan materi
pelajaran, menyebabkan materi pelajaran sulit diterima siswa.
d. Adanya tipe-tipe model pembelajaran kooperatif seperti STAD, TGT, TAI,
CIRC dan Jigsaw yang akan membantu pemahaman siswa terhadap materi
pelajaran melalui interaksi antar siswa dalam kelompok, sehingga
keberhasilan kelompok dipengaruhi kerjasama antar anggota kelompok.
e. Adanya sikap individualisme siswa dalam belajar, yaitu siswa yang
berkemampuan tinggi lebih mendominasi kelas dalam belajar, menyebabkan
pencapaian keberhasilan belajar tidak merata bagi seluruh siswa.
f. Kemampuan siswa dalam memahami materi untuk masing-masing individu
berbeda.
g. Dalam proses belajar mengajar diperlukan keterlibatan aktif siswa melalui
pendekatan dan metode pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif.
h. Keberhasilan belajar siswa dapat dicapai apabila ada kerjasama antar anggota
kelompok dan proses interaksi antara individu dalam berfikir bersama untuk
memecahkan masalah.
i. Banyak materi pembelajaran Fisika di SMA yang dalam proses belajar-
mengajar perlu melibatkan keaktifan siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
C. Pembatasan Masalah
Masalah yang telah diidentifikasi memerlukan pengkajian lebih
mendalam. Agar permasalahan yang dikaji tidak terlalu meluas, lebih efektif dan
efisien, serta untuk menghindari ketidaksesuain, permasalahan perlu dibatasi
pada;
a. Belum semua guru mampu menerapkan pendekatan pembelajaran secara
variatif sehingga tujuan pengajaran yang diharapkan belum dapat tercapai
secara optimal.
b. Adanya tipe-tipe model pembelajaran kooperatif seperti STAD, TGT, TAI,
CIRC dan Jigsaw yang akan membantu pemahaman siswa terhadap materi
pelajaran melalui interaksi antar siswa dalam kelompok, sehingga
keberhasilan kelompok dipengaruhi kerjasama antar anggota kelompok.
c. Dalam proses belajar mengajar diperlukan keterlibatan aktif siswa melalui
pendekatan dan metode pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif.
d. Banyak materi pembelajaran Fisika di SMA yang dalam proses belajar-
mengajar perlu melibatkan keaktifan siswa.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan indentifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka
dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut :
a. Adakah perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran
koooperatif tipe Jigsaw dan STAD terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa
pada pokok bahasan Kalor?
b. Adakah perbedaan pengaruh antara keaktifan siswa di kelas kategori tinggi
dan rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan
Kalor?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
c. Adakah interaksi antara pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif
dan keaktifan siswa di kelas terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada
pokok bahasan Kalor?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ;
a. Ada atau tidak adanya perbedaan pengaruh antara penggunaan model
pembelajaran tipe Jigsaw dan STAD terhadap kemampuan kognitif Fisika
siswa pada pokok bahasan Kalor.
b. Ada atau tidak adanya pengaruh antara keaktifan siswa di kelas kategori tinggi
dan rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan
Kalor.
c. Ada atau tidak adanya interaksi antara pengaruh penggunaan model
pembelajaran kooperatif dan keaktifan siswa di kelas terhadap kemampuan
kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
F. Manfaat penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
a. Bagi peneliti, menyampaikan informasi tentang pengaruh dari model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan tipe STAD terhadap kemampuan
kognitif Fisika.
b. Bagi guru bidang studi khususnya Fisika dapat menjadikan kedua teknik dari
model pembelajaran kooperatif tersebut sebagai salah satu alternatif dalam
proses belajar-mengajar.
c. Bagi siswa dapat memberikan motivasi belajar, melatih keterampilan
bertanggung jawab pada setiap tugasnya, mengembangkan kemampuan
berfikir dan berpendapat positif, dan memberikan bekal untuk dapat
bekerjasama dengan orang lain baik dalam belajar maupun dalam masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hakikat Belajar
a. Pengertian Belajar
Belajar adalah istilah yang tidak asing lagi dan sering didengar dalam
kehidupan sehari-hari. Kata ini secara efektif sudah dikenal sejak masa kanak-
kanak. Kegiatan ini dilakukan semua manusia jika manusia ingin
mempertahankan hidup maka manusia harus menempuh kegiatan tersebut, dan
mencapai kesuksesan serta meningkatkan kualitas hidup mereka.
Belajar pada dasarnya merupakan peristiwa terjadinya perubahan tingkah
laku sebagai dampak dari pengalaman individu. Pengalaman itu berupa situasi
belajar yang disengaja dan diciptakan oleh orang lain atau situasi yang tercipta
secara tidak sengaja. Menurut Rini Budiharti (1998:1) "Belajar adalah suatu usaha
untuk terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa". Perubahan-perubahan
itu berbentuk kemampuan-kemampuan baru yang dimiliki dalam waktu yang
relatife lama. Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks.
Belajar merupakan peristiwa terjadinya perubahan tingkah laku, baik potensial
maupun aktual. Perubahan-perubahan itu, berbentuk kemampuan-kemampuan
baru yang dimiliki dalam waktu yang relatif lama (konstan), serta perubahan itu
terjadi karena usaha sadar yang dilakukan oleh individu yang sedang belajar.
“Belajar adalah proses perubahan perilaku secara aktif, proses interaksi
terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Proses yang diarahkan kepada
suatu tujuan. Proses berbuat melalui berbagai pengalaman, proses melihat,
mengamati, memahami sesuatu yang dipelajari” (Gino, dkk, 1997: 31).
Berikut ini beberapa definisi belajar yang dikemukakan oleh Agus Suprijono (2009: 2) : 1) Gagne Belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai
seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang ssecara langsung.
7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
2) Travers Belajar adalah proses menghasilkan penyesuian tingkah laku. 3) Cronbach Learning is shown by a change in behavior as a result of experience.
(belajar adalah perubahan perilkau sebagai hasil dari pengalaman) 4) Harorld Spears Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves,
tolisten, to follow direction. (dengan kata lain, bahwa belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti arah tertentu).
5) Geoch Learning is change in performance as a result of practice. ( Belajar
adalah perubahan performance sebagai hasil latihan) 6) Morgan Learning is any relative permanent chage in behavior that is a result of
past experience. ( Belajar adalah perubahan perilaku yang bersifat permanent sebagai hasil dari pengalaman).
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah keseluruhan aktivitas seseorang dalam berinteraksi secara
aktif dengan sumber belajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku,
baik potensial maupun aktual yang bersifat kontinue dan bersifat positif, serta
bertujuan terjadinya perubahan kearah yang lebih baik pada peserta didik.
Perubahan tersebut terjadi karena usaha sadar yang dilakukan oleh individu yang
sedang belajar.
b. Prinsip belajar
Prinsip Belajar yang dikemukakan oleh Agus Suprijono (2009: 4) adalah mencakup tiga hal, yang pertama prinsip belajar adalah perubahan perilaku. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar memiliki ciri-ciri : 1) Sebagai hasil tindakan rasionalinstrumental yaitu perubahan yang
disadari. 2) Kontinue atau berkesinambungan dengan perilaku lainnya. 3) Fungsional atau bermanfaat sebagai bekal hidup. 4) Positif dan berakumulasi. 5) Aktif dan sebagai usaha yang direncanakan dan dilakukan. 6) Permanen atau tetap, sebagai mana dikatakan oleh Wittig, belajar
sebagai any relatively permanent chage in an organism’s behavioral repervire that occurs as a result of experience.
Kedua , belajar merupakan proses. Belajar terjadi karena didorong kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Belajar adalah proses sistemik yang dinamis, konstruktif, dan organik. Belajar merupakan kesatuan fungsional dari berbagai komponen belajar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Ketiga, belajar merupakan bentuk pengalaman. Pengalaman adalah hasil dari interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya. William Burton mengemukakan bahwa A good learning situation consist of rich and veried series of learning experience unified araound a vigorous pupose and carried on in interaction with a rich varied and propacative environtment.
c. Tujuan Belajar
Tujuan belajar merupakan komponen sistem pembelajaran yang sangat
penting, karena semua komponen yang dalam sistem pembelajaran dilaksanakan
atas dasar pencapaian tujuan belajar. Keberhasilan belajar siswa berarti
tercapainya tujuan belajar siswa, dimana siswa melakukan emansipasi diri dalam
rangka mewujudkan kemandirian.
Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem
lingkungan atau kondisi belajar yang baik. Sistem lingkungan yang baik itu terdiri
dari komponen-komponen pendukung antara lain tujuan belajar yang akan
dicapai, bahan pengajaran yang digunakan mencapai tujuan, guru dan siswa yang
memainkan peranan serta memiliki hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan dan
sarana atau prasarana yang tersedia. Tiap-tiap tujuan belajar tertentu
membutuhkan system lingkungan tertentu yang relevan.
Menurut Sardiman : Tujuan belajar bermacam dan bervariasi, tetapi dapat diklasifikasikan menjadi dua : pertama yang eksplisit diusahakan untuk dicapai tindakan instruksional, lazim dinamakan instruksional efeks (instructional effects) yang biasanya berbentuk pengetahuan dan ketrampilan. Sedangkan hasil sampingan yang diperoleh; misalnya : kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan sikap terbuka. Hasil sampingan ini disebut nurturant effect. (Gino, Suwarni, Suripto, Maryanto, Sutijan, 1997: 18-19)
2. Hakikat Mengajar
a. Pengertian mengajar
Dalam pendidikan tidak pernah lepas dari kegiatan mengajar, selain
belajar kegiatan ini juga berperan sangat penting. Berdasarkan arti kamus,
mengajar adalah proses perbuatan, cara mengajarkan. Mengajar adalah proses
penyampaian. Arti demikian melahirkan konstruksi belajar-mengajar berpusat
pada guru. Perbuatan atau cara mengajarkan diterjemahkan sebagai kegiatan guru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
mengajari peserta didik; guru menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik
dan peserta didik sebagai pihak penerima. Mengajar seperti ini merupakan proses
instruktif. Guru bertindak sebagai panglima, guru dianggap paling dominan, dan
guru dipandang sebagai orang yang paling mengetahui. Mengajar adalah interaksi
imperative. Mengajar merupakan transplantasi pengetahuan.
Menurut Sardiman (2011:54) mengajar dalam kegiatan belajar-mengajar diterjemahkan secara konseptual, disinkronisasikan dengan pengertian “mendidik”. Oleh karena itu, batasan mengajar adalah menyediakan kondisi yang optimal yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar anak didik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan nilai atau sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun pertumbuhan sebagai pribadi.
Sardiman (2011:48) mengungkapkan bahwa : “mengajar merupakan suatu aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak, sehingga terjadi proses belajar. Atau dikatakan, mengajar sebagai upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa, kondisi itu diciptakan sedemikian rupa sehingga membantu perkembangana anak secara optimal baik jasmani maupun rohani, baik fisik maupun metal”.
b. Pembelajaran
Pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Perbedaan esensiil istilah ini dengan pengajaran adalah pada tindak ajar. Pada pengajaran guru mengajar, peserta didik belajar, sementara pada pembelajaran guru mengajar diartikan sebagai upaya guru mengorganisir lingkungan agar terjadi pembelajaran. Guru mengajar dalam perspektif pembelajaran adalah guru menyediakan fasilitas belajar bagi peserta didiknya untuk mempelajarinya. Jadi, subjek pembelajaran adalah peserta didik. Pembelajran berpusat pada peserta didik. Pembelajaran adalah dialog interaktif. Pembelajaran merupakan proses organik dan konstruktif, bukan mekanis seperti halnya pengajaran (Agus Suprijono, 2009: 13).
”Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-
unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling
mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembalajaran” (Oemar Hamalik, 2001: 57).
Adapun tujuan pembelajaran merupakan sesuatu yang hendak dicapai dari proses
belajar-mengajar. Untuk menjadi pribadi yang matang, setiap manusia
memerlukan sejumlah kecakapan dan ketrampilan tertentu yang harus
dikembangkan melalui proses belajar-mengajar. Proses belajar ini merupakan
proses yang terjadi antara guru dengan peserta didik dalam pembelajaran yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
merupakan perpautan dua pokok pribadi, yaitu pribadi guru dan peserta didik.
Pada proses ini diharapkan peserta didik mempunyai sejumlah kepandaian dan
kecakapan tertentu yang dapat membentuk pribadi yang cukup terintergrasi.
Belajar dan mengajar pada dasarnya adalah interaksi atau hubungan
timbal balik antara guru dengan peserta didik dalam situasi pendidikan. Dalam
pengertian interaksi sudah barang tentu ada unsur memberi dan menerima, baik
bagi guru maupun peserta didik. Belajar dan mengajar adalah dua proses yang
mempunyai hubungan yang sangat erat dalam dunia pengajaran. Belajar biasanya
dititikberatkan kepada peserta didik, sedangkan mengajar lebih kepada guru
sekalipun sebenarnya keduanya, baik peserta didik maupun guru, bisa melakukan
kedua hal tersebut yaitu belajar maupun mengajar.
3. Kegiatan Belajar
Kegiatan belajar memecahkan masalah merupakan tipe kegiatan belajar
dalam usaha mengembangkan kemampuan berfikir. Berfikir adalah aktifitas
kognitif tingkat tinggi. Berfikir melibatkan asimilasi dan akomodasi berbagai
pengetahuan dan struktur kognitif atau skema kognitif yang dimiliki peserta didik
untuk memecahkan persoalan. Dalam legiatan belajar pemecahan masalah peserta
didik terlibat dalam berbagai tugas, penentuan tujuan yang ingin dicapai dan
kegiatan untuk melaksanakan tugas.
Gagne mengimplifikasikan kegiatan belajar menjadi delapan yang
dirangkum sebagai berikut :
a) Signal learning atau kegiatan belajar mengenal tanda. Tipe kegiatan belajar ini
menekankan belajar sebagai usaha merespons tanda-tanda yang dimanipulasi
dalam situasi pembelajaran.
b) Stimulus-response learning atau kegiatan belajar tindak balas. Tipe ini
berhubungan dengan perilaku peserta didik yang secara sadar melakukan
respons tepat terhadap stimulus yang dimanipulasi dalam situasi pembelajaran.
c) Chaining learning atau kegiatan belajar melalui rangkaian. Tipe ini berkaitan
dengan kegiatan peserta didik menyusun hubungan antara dua stimulus atau
lebih dengan berbagai respon yang berkaitan dengan stimulus tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
d) Verbal association atau kegiatan belajar melalui asosiasi lisan. Tipe ini
berkaitan dengan upaya peserta didik menghubungkan respons dengan
stimulus yang disampaikan secara lisan.
e) Multiple discrimiination learning atau kegiatan belajar dengan perbedaan
berganda. Tipe ini berhubungan dengan kegiatan peserta didik membuat
berbagai perbedaan respons yang digunakan terhadap stimlus yang beragam,
namun berbagai respons dan stimulus itu saling berhubungan antara satu
dengan yang lainnya.
f) Concept learning atau kegiatan belajar konsep. Tipe ini berkaitan dengan
berbagai respons dalam waktu yang bersamaan terhadap sejumlah stimulus
berupa konsep-konsep yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
g) Principle learning atau kegiatan belajar prinsip-prinsip. Tipe ini digunakan
peserta didik menghubungkan beberapa prinsip yang digunakan dalam
merespons stimulus.
h) Problem solving laerning atau kegiatan belajar pemecahan masalah. Tipe ini
berhubungan dengan kegiatan peserta didik menghadapi persoalan dan
memecahkannya sehingga pada akhirnya peserta didik memiliki kecakapan
dan keterampilan baru dala pemecahan masalah (Agus Suprijono, 2009: 10-
11).
4. Hakikat IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah kumpulan pengetahuan yang
diperoleh dengan metode berdasar observasi dan tersusun secara sistematis
mengenai gejala-gejala alam. IPA membatasi diri dengan membahas gejala-gejala
alam yang bisa diamati melalui percobaan dan teoritik. IPA adalah suatu
kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis tentang gejala alam.
Menurut Margono dkk (1998: 21) bahwa Pengertian IPA meliputi tiga hal yaitu produk, proses dan sikap ilmiah, yang ketiganya saling berhubungan. 1) Produk IPA, adalah semua pengetahuan tentang gejala alam yang telah
dikumpulkan melalui pengamatan / observasi. Produk IPA berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
2) Proses IPA, sering disebut juga proses ilmiah / metode ilmiah. Metode ilmiah adalah gabungan antara penataran dan pengujian secara empiris. Adapun langkah-langkah metode ilmiah adalah identifikasi masalah, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, melakukan eksperimen, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.
3) Nilai dan sikap ilmiah Selama melakukan metode ilmiah melalui proses observasi, eksperimen
dan berfikir logis harus digunakan sikap jujur, obyektif dan komunikatif agar dapat mencapai hasil IPA yang benar. Fisika menjadi bagian dari ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala alam IPA.
Pengajaran Fisika akan lebih cepat dimengerti dan dipahami jika
diajarkan sesuai hakikat Fisika. Oleh karena itu, perlu metode pengajaran Fisika
yang menyangkut produk, proses dan sikap ilmiah dari Fisika. Adapun metode
pengajaran yang menyangkut dan mencakup hakikat pengajaran Fisika antara lain
metode demonstrasi, eksperimen, penemuan, discovery-inquiry dan metode lain
yang tergabung dengan satu di antara metode tersebut, serta pendekatan-
pendekatan yang digunakan dalam proses belajar-mengajar.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Fisika adalah ilmu
pengetahuan yang tersusun secara sistematis yang mempelajari tentang kejadian
alam yang berkembang didasarkan atas penelitian, percobaan, pengamatan dan
pengukuran serta penyajian konsep, teori secara matematis dengan
memperlihatkan konsep-konsep ilmu yang mempengaruhinya dan dirumuskan
dari gejala-gejala alam yang berhubungan dengan kebendaan yang diperoleh
melalui observasi.
5. Pendekatan Pembelajaran
a. Pengertian Pendekatan Pengajaran
Pengajaran merupakan suatu usaha untuk pembelajaran siswa. Belajar
adalah usaha untuk terjadi perubahan tingkah laku pada diri siswa. Dengan adanya
interaksi antar siswa dengan lingkungannya diharapkan terjadi perubahan tingkah
laku, sedangkan menurut pendapat Rini Budiharti yaitu :
Pendekatan adalah cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian, sehingga berdampak ibarat seseorang mengenakan kaca mata dengan warna tertentu didalam memandang alam sekitar. Kaca mata yang berwarna
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
hijau akan menyebabkan dunia kelihatan kehijauan-hijauan, kaca mata berwarna coklat membuat dunia kelihatan kecoklat-coklatan, dan seterusnya. (Rini Budiharti, 1998: 2)
Menurut Syaiful Sagala (2009: 68) menyatakan bahwa ”Pendekatan
pembelajaran adalah jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam
mencapai tujuan instruksional untuk suatu instruksional tertentu”. Hal ini berarti
bahwa pendekatan pembelajaran ialah suatu jalan yang akan ditempuh dalam
pembelajaran untuk mencapai tujuan instruksional.
Dari pendapat Rini Budiharti dan Syaiful Sagala dapat disimpulkan
bahwa pendekatan adalah cara umum dalam memandang permasalahan atau objek
kajian sehingga dapat mengembangkan keaktifan belajar sehingga tujuan
pengajaran tercapai.
b. Hakikat Pendekatan Pengajaran Konstruktivisme
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat, sehingga guru
tidak mungkin lagi mampu menyampaikan sejumlah informasi, konsep dan fakta
dari berbagai materi pelajaran sehingga siswa dituntut untuk lebih aktif mencari dan
menyusun, serta mengumpulkan fakta dan konsep.
Tujuan dari pendidikan Fisika dapat dicapai melalui berbagai faktor, salah
satunya adalah melalui pendekatan yang digunakan. Pendekatan konstruktivisme
menekankan pada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri melalui
objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap
benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat
ditransfer begitu saja dari seseorang kepada orang lain, tetapi harus diinterprestasikan
sendiri oleh masing-masing orang.
Setiap orang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya sehingga
pengetahuan yang mereka dapat bukan merupakan sesuatu yang sudah jadi
melainkan melalui proses yang berkembang secara terus menerus. Dalam proses ini
keaktifan dan rasa keingintahuan seseorang memegang peranan yang sangat penting.
Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan akan tersusun atau
terbangun di dalam pikiran siswa sendiri ketika ia berupaya untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar pada kerangka kognitif yang
sudah ada di dalam pikirannya, sebagaimana dinyatakan Bodner (1986, p. 873):
“knowledge is construsted as the learner strives to organize his or her experience
in terms of preexisting mental strustures”. Dengan demikian, pengetahuan tidak
dapat dipindahkan dengan begitu saja dari otak seorang guru ke otak siswanya.
Setiap siswa harus membangun pengetahuan itu di dalam otaknya sendiri-sendiri.
Menurut Siroj (http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm) ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah : 1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan
yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.
Dari pendapat Siroj dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pembelajaran yang
konstruktivis, antara lain menyediakan pengalaman belajar, mengintegrasikan
pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan, memanfaatkan berbagai
media pembelajaran, dan melibatkan siswa secara emosional dan sosial.
c. Filsafat Konstruktivisme
Filsafat pengetahuan adalah bagian dari filsafat yang mempertanyakan
soal pengetahuan dan juga bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu. Salah satu
filsafat pengetahuan yang banyak mempengaruhi pengajaran perkembangan
pendidikan sains dan matematika akhir-akhir ini yaitu filsafat konstruktivisme.
Menurut Von Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989; Matthews, 1994;
Piaget, 1971 yang dikutip Paul Suparno ( 2007 : 8), "Filsafat konstruktivisme
adalah filsafat yang mempelajari hakikat pengetahuan dan bagaimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
pengetahuan itu terjadi. Menurut filsafat konstruktivisme, pengetahuan itu adalah
bentukan (konstruksi) kita sendiri yang sedang menekuninya".
Secara singkat gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan adalah : 1) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka
tetapi selalu merupakan konstruksi kegiatan subyek. 2) Subyek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang
perlu untuk pengetahuan. 3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur
konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dan berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.( Paul Suparno, 2001 : 21 ) Dari ringkasan tersebut konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi atau
bentukan diri sendiri. Dari sudut pandang konstruktivisme, belajar nampak
sebagai modifikasi dari ide-ide siswa yang telah ada atau sebagai pengembangan
konsepsi siswa.
d. Makna Belajar Konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, Belajar merupakan proses mengasimilasi
dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan
yang telah dimiliki siswa, sehingga pengetahuan yang dimiliki siswa semakin
berkembang. Menurut Paul Suparno (2001: 6) proses tersebut mempunyai ciri-
ciri, antara lain :
1) Belajar berarti membentuk makna-makna ciptaan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami, konstruksi arti ini dipengaruhi oleh pengertian yang ia punyai.
2) Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, kemudian diadakan konstruksi baik secara kuat atau lemah.
3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosrot, 1996).
4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguannya yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya (Bettencourt, 1989).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
6) Hasil belajar seseorang tergantung dari apa yang telah diketahui si pelajar, konsep-konsep, tujuan-tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa bagi konstruktivisme, kegiatan
belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana pelajar membangun sendiri
pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini
merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka
berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka.
a) Makna Mengajar Konstruktivisme
Kaum konstruktivisme beranggapan bahwa mengajar bukanlah
memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa. Mengajar merupakan kegiatan
yang membantu siswa sendiri membangun pengetahuannya. Menurut Von
Glassersfeld dalam Paul Suparno (2001: 15) menyatakan bahwa : “mengajar
adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya
berpikir sendiri”. Jadi guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang
membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Secara garis besar menurut Paul Suparno (2007: 15) fungsi mediator dan
fasilitator dari guru itu dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut :
1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat perencanaan belajar, melakukan proses belajar, dan membuat penelitian.
2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah. (Watt & pope, 1989)
3) Menyediakan sarana yang merangsang berfikir siswa secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik. (Tobin, Tippins, & Gallard. 1994)
4) Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
Dari pendapat Paul Suparno dapat disimpulkan bahwa fungsi mediator
dan fasilitator dari guru yaitu memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang
keingintahuan siswa, menyediakan sarana yang merangsang berfikir siswa secara
produktif dan membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
6. Model Pembelajaran Kooperatif
a. Model Pembelajaran Kooperatif
1) Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu pengembangan teknis
belajar bersama, saling membantu dan bekerja sebagai sebuah tim (kelompok ).
Jadi pembelajaran kooperatif berarti belajar bersama, saling membantu dalam
pembelajaran agar setiap anggota kelompok dapat mencapai tujuan atau
menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik.
Slavin (2008:4) mendefinisikan bahwa, Model pembelajaran kooperatif sebagai model pembelajaran di mana siswa bekerja sama dalam suatu kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran. Para siswa saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing.
Di dalam model pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam
kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang siswa. Setiap kelompok
yang heterogen maksudnya terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis
kelamin dan suku. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif menekankan pada kerjasama dalam proses belajar bagi siswa untuk
mengkonstruk pengetahuan. Belajar kelompok dalam pembelajaran kooperatif
berbeda dengan belajar kelompok biasa.
Model pembelajaran kooperatif mempunyai karakteristik tertentu, seperti
yang dirangkum sebagai berikut : a).Tujuan Kelompok, kebanyakan model
pembelajaran kooperatif mempunyai tujuan kelompok; b).Pertanggungjawaban
individu, pertanggungjawaban individu dicapai dengan 2 cara, pertama untuk
memperoleh skor kelompok dengan menjumlah skor setiap anggota kelompok.
Cara kedua dengan memberikan tugas khusus di-mana setiap siswa diberi
tanggung jawab untuk setiap bagian tugas kelompok; c).Kesempatan untuk
sukses, keunikan dalam model pembelajaran kooperatif ini yaitu menggunakan
metode skoring yang menjamin setiap siswa memiliki kesempatan yang sama
untuk berkontribusi dalam tim, d) kompetisi tim, sebagai sarana untuk memotivasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
siswa dalam bekerjasama dengan anggota timnya, e) spesialisasi tugas dan f)
adaptasi terhadap kebutuhan kelompok. (Slavin , 2008: 26-28).
Pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan model pembelajaran kooperatif adalah: meningkatkan kemampuan siswa, meningkatkan rasa percaya diri, menumbuhkan kesadaran untuk berpikir, menyelesaiakan masalah, mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan, dan mengambangkan hubungan antara siswa. Sedangkan kelemahan pembelajaran kooperatif adalah: memerlukan persiapan yang rumit untuk melaksanakannya, bila terjadi persaingan negatif maka hasilnya akan buruk, dan bila ada siswa yang malas atau ada yang ingin berkuasa maka dalam kelompok akan terjadi kesenjangan sehingga usaha kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya (Slavin, 2008:4-5).
Untuk keberhasilan dalam proses pembelajarn kooperatif, guru
disarankan mengikuti langkah-langkah yang benar mulai dari perencanaan,
pengelolaan dan evaluasi kegiatan belajar. Selain itu dalam pembelajaran
kooperatif, setiap siswa saling bekerja sama satu dengan yang lain, berdiskusi dan
berpendapat, menilai kemampuan pengetahuan dan saling mengisi kekurangan
anggota lainnya. Apabila dapat diorganisasikan secara tepat maka siswa akan
lebih menguasai konsep yang diajarkan. Bagi siswa yang kurang mampu mereka
akan diberi masukan dari teman-teman dalam satu kelompoknya yang mempunyai
kemampuan lebih. Bagi siswa yang mampu, diharapkan bisa lebih berkembang
dengan menyalurkan pengetahuannya kepada siswa yang kurang mampu.
Menurut Anita Lie dalam bukunya Cooperative Learning bahwa : “model
Cooperative Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada
unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang
dilakukan asal-asalan”. Roger dan David Johnson mengatakan bahwa : “tidak
semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning”, untuk itu harus
diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong yang dirangkum
sebagai berikut :
a) Saling ketergantungan positif.
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap
anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu
menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus
menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
b) Tanggung jawab perseorangan.
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model
pembelajaran kooperatife, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk
melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran
kooperatife membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga
masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya
sendiri agar tugas selanjutnya dapat dilaksanakan dalam kelompok.
c) Tatap muka.
Dalam model pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberi
kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan
memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan
semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan
kelebihan, dan mengisi kekurangan.
d) Komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai
keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga
bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan
kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan
berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses
ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk
memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan
emosional para siswa.
e) Evaluasi proses kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar
selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif (Anita Lie, 2008: 31-37).
Ada enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang
menggunakan pembelajaran kooperatif. Menurut Tim Instruktur Fisika Jawa
Tengah (2003:FIS/LKGI/12) tahapan pembelajaran kooperatif tersebut adalah:
Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Fase-fase Tingkah Laku Guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan
dan memotivasi siswa.
Fase 2
Menyajikan informasi
Fase 3
Mengorganisasikan
siswa ke dalam
kelompok-kelompok
belajar.
Fase 4
Membimbing
kelompok bekerja dan
belajar.
Fase 5
Evaluasi
Fase 6
Memberikan
penghargaan.
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin
dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
belajar.
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan
demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya
membentuk kelompok belajar dan membantu setiap
kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada
saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang
telah dipelajarinyaatau masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya.
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya
maupun hasil belajar individualdan kelompok.
(Agus Suprijono, 2009: 65)
Slavin ( 2008:11 ) membedakan model pembelajaran kooperatif dalam
beberapa tipe yaitu: “Student Team Achievement Division ( STAD ), Team
Games Tournament ( TGT ), Team Assisted Individualization ( TAI ),
Cooperative Integrated Reading And Composition ( CIRC ), dan Jigsaw”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
a) Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Tipe STAD merupakan model pembelajaran kooperatif tipe yang paling
sederhana, di mana siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok dengan
anggota 4-5 orang, dan setiap kelompok haruslah heterogen. Guru menyajikan
pelajaran, dan kemudian siswa bekerja di dalam tim mereka untuk memastikan
bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh
siswa dikenai kuis tentang materi itu dan pada saat kuis mereka tidak boleh saling
membantu. Skor yang didapat hingga mencapai kriteria tertentu dapat diberi
sertifikat atau penghargaan yang lain.
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu tipe
dari pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Dalam pembelajaran ini
siswa akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 orang untuk
menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Menurut Slavin ( 2008:12 ):
“gagasan utama dari model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah untuk
memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain
dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru”.
Adapun komponen-komponen dalam model pembelajaran kooperatif
tipe STAD menurut Slavin (2008 : 143-160), dapat dirangkum sebagai berikut.
1). Presentasi Kelas, merupakan pengajaran langsung seperti yang sering
dilakukan atau diskusi yang dipimpin oleh guru, atau pengajaran dengan
presentasi audiovisual. Tetapi bedanya dengan pengajaran biasa adalah
pengajaran ini berfokus pada unit STAD. Sehingga siswa akan menyadari
bahwa mereka harus benar-benar memberi perhatian penuh selama presentasi
kerena hal ini akan sangat membantu mereka mengerjakan kuis dan skor kuis
mereka menentukan skor tim mereka.
2). Tim, terdiri atas empat atau lima orang yang heterogen. Fungsi utama dari tim
adalah untuk memastikan bahwa semua aggota tim benar-benar belajar,
sehingga setiap anggota tim akan siap mengerjakan kuis dengan baik. Setelah
guru menyampaikan materi, tim berkumpul untuk mempelajari lembar
kegiatan, yang berupa pembahasan masalah, membandingkan jawaban, dan
mengoreksi kesalahan pemahaman antar anggota tim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3). Kuis, dilakukan setelah satu atau dua periode penyampaian materi dan satu
atau dua periode praktikum tim. Para siswa tidak diperkenankan untuk saling
membantu dalam mengerjakan kuis, sehingga tiap siswa bertanggungjawab
secara individual untuk mamahami materinya.
4). Skor Kemajuan Individual. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepada
setiap seswa tujuan kinerja yang akan dicapai apabila mereka bekerja lebih
giat dan memberikan kinerja yang lebih baik dari pada sebelumnya. Tiap
siswa dapat memberikan kontribusi poin yang maksimal kepada timnya dalam
sistem skor, tetapi tidak ada siswa yang dapat melakukannya tanpa usaha yang
terbaik. Tiap siswa diberika skor “awal”, yang diperoleh dari rata-rata kinerja
siswa tersebut sebelumnya dalam mengerjakan kuis yang sama. Siswa
selanjutnya akan mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasarkan tingkat
kenaikan skor kuis mereka dibandingkan dengan skor awal mereka.
Tabel 2.2 Perbandingan Skor Kuis dan Poin Kemajuan.
Skor Kuis Poin Kemajuan
Lebih dari 10 poin di bawah skor awal
10 – 1 poin di bawah skor awal
Skor awal sampai 10 poin di tas skor awal
Lebih dari 10 poin di atas skor awal
5
10
20
30
5). Rekognisi Tim. Tim mendapat penghargaan jika skor rata-rata mereka dapat
melampaui kriteria yang telah ditentukan. Kelompok dengan skor tertinggi
mendapatkan kriteria Superteam, kelompok dengan skor menengah
(Greatteam) dan kelompok dengan skor terendah sebagai Goodteam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Skema model pembelajaran kooperatif tipe STAD ditunjukkan pada gambar 2.1.
Gambar.2.1. Skema Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
b) Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
“Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et al, teknik ini
menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara”
(Anita Lie,2008:69).
Dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, siswa
dibagi berkelompok dengan anggota kelompok 5 atau 6 orang heterogen. Materi
pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi dalam
beberapa sub bab. Setiap anggota kelompok masing-masing ditugaskan untuk
membaca sub bab yang yang berbeda-beda sesuai dengan yang ditugasi oleh guru
dan bertanggung jawab untuk mempelajari bagian yang diberikan itu. Kelompok
Pembentukan kelompok secara heterogen (beranggotakan 4-6 orang)
Presentasi Kelas (guru menyampaikan materi pelajaran)
Kegiatan Kelompok (belajar kelompok dengan LKS)
Kuis oleh masing-masing individu
Skoring individual dan kelompok
Penghargaan Kelompok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
siswa yang sedang mempelajari sub bab ini disebut sebagai kelompok ahli.
Setelah itu para siswa kembali ke kelompok asal mereka dan bergantian
mengajarkan kepada teman sekelompoknya tentang hasil diskusinya di kelompok
ahli. Demikian dilakukan oleh semua anggota kelompok atas kajian di kelompok
ahli. Satu-satunya cara siswa dapat belajar sub bab lain, selain sub bab yang sudah
dipelajari adalah mendengarkan secara sungguh-sungguh terhadap teman satu
kelompok mereka. Setelah selesai pertemuan dan diskusi di-kelompok asal, siswa
diberikan kuis secara individu tentang materi ajar.
Gambar 2.2. Skema Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Skema pembelajaran tipe Jigsaw adalah seperti yang ditunjukkan oleh
gambar di atas. Dimana menggambaran proses pembentukan dan pembagian
kelompok.
Menurut Anita lie (2008: 69-70), langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif adalah : 1) Pengajar membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi empat
bagian. 2) Sebelum bahan pelajaran diberikan, pengajar memberikan pengenalan
mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari itu. Pengajar bisa menuliskan topik di papan tulis dan menanyakan apa yang siswa ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan brainstorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata siswa agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran yang baru.
3) Siswa dibagi dalam kelompok berempat. 4) Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama, sedangkan
siswa yang kedua menerima bagian yang kedua. Demikian seterusnya. 5) Kemudian, siswa disuruh membaca/mengerjakan bagian mereka
masing-masing.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
6) Setelah selesai, siswa saling berbagi mengenai bagian yang dibaca/dikerjakan masing-masing. Dalam kegiatan ini, siswa bisa saling melengkapi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya.
7) Khusus untuk kegiatan membaca, kemudian pengajar membagikan bagian cerita yang belum terbaca kepada masing-masing siswa. Siswa membaca bagian tersebut.
8) Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau dengan seluruh kelas.
Variasi untuk pembelajaran Jigsaw adalah jika tugas yang dikerjakan cukup sulit, siswa bisa membentuk Kelompok Para Ahli. Siswa berkumpul dengan siswa lain yang mendapatkan bagian yang sama dari kelompok lain. Mereka bekerja sama mempelajari/mengerjakan bagian tersebut. Kemudian, masing-masing siswa kembali ke kelompoknya sendiri dan membagikan apa yang telah dipelajarinya kepada rekan-rekan dalam kelompoknya.
Untuk skema pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah sepertii yang
disampaikan pada tabel berikut ini.
Tabel 2.2 Tabel Skema Pelaksanaan Pembelajaran Tipe Jigsaw.
7. Keaktifan Siswa
a. Pengertian Keaktifan Siswa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:31) bahwa ”aktivitas
adalah keaktifan, kegiatan”. Sardiman (2011:100) menyatakan bahwa ”aktivitas
belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental”. John Dewey yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
dikutip oleh Dimyati dan Mudjiono (2006:44) mengemukakan, bahwa belajar
adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka
inisiatif harus datang dari siswa untuk dirinya sendiri. Guru hanya sekedar
pembimbing dan pengarah. Belajar hanya terjadi apabila anak aktif mengalami
sendiri.
Dari pengertian tersebut di atas maka keaktifan memiliki arti yang sama
dengan arti aktivitas yaitu suatu kegiatan atau kesibukan. Sedangkan keaktifan
belajar adalah kegiatan atau kesibukan yang dilakukan oleh siswa dalam belajar
yang berupa keaktifan fisik dan mental.
b. Pentingnya Keaktifan Siswa
Pada prinsipnya belajar adalah berbuat untuk mengubah tingkah laku.
Orang yang belajar harus aktif, karena tanpa adanya tindakan yang aktif, belajar
tidak mungkin berjalan. Sardiman A.M (2011:95) mengatakan bahwa “Tidak ada
belajar kalau tidak ada aktivitas”. Sehingga terlihat disini bahwa aktivitas
merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam proses belajar
mengajar. Lebih lanjut Rousseau yang dikutip oleh Sardiman A.M. (2011:96-97)
mengatakan bahwa “ Segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan
sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang
diciptakan sendiri, baik secara rohani atau teknis”.
Semua cara belajar itu mengandung keaktifan pada siswa, meskipun
kadar keaktifannya berbeda-beda. Ada kegiatan belajar yang mempunyai kadar
keaktifan yang tinggi dan ada pula yang rendah, tidak mungkin ada titik nol. Jadi
disini terlihat bahwa sesungguhnya belajar dapat dicapai melalui proses yang
bersifat aktif walaupun dengan kadar yang berbeda.
Jadi dari pandangan dari beberapa ahli di atas, maka jelas dalam
pembelajaran anak didik harus aktif berbuat. Atau dengan kata lain bahwa dalam
belajar sangat diperlukan keaktifan yang bersifat jasmani, fisik, dan mental.
c. Bentuk-Bentuk Keaktifan Siswa
Kecenderungan psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah
makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu,
mempunyai kemampuan, dan aspirasinya sendiri. Belajar yang dilakukan siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
tidak mungkin dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak mungkin dilimpahkan
kepada orang lain. Dimyati dan Mudjiono (2006:44) menemukakan bahawa:
Semua cara belajar itu mengandung unsur keaktifan. Dalam setiap proses belajar siswa selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan ini beraneka ragam bentuknya, mulai dari kegiatan fisik maupun psikis. Keaktifan siswa dalam belajar tersebut dapat muncul dalam berbagai bentuk, misalnya mendengarkan seorang guru yang sedang berceramah, mendiskusikan sesuatu dengan guru atau teman sekelas, dan sebagainya.
Pendapat Paul B. Diedrich yang dikutip oleh Sardiman (2011:101)
membuat suatu daftar yang berisi macam-macam aktivitas siswa yang digolongkan menjadi 8 aktivitas di antaranya :
1) Visual activities Contohnya : membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan,
atau pekerjaan orang lain. 2) Oral Activities Contohnya : menyatakan pendapat 3) Listening activities Contohnya : mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato 4) Writing activities Contohnya : menulis karangan, cerita, laporan, angket, menyalin 5) Drawing activities Contohnya menggambar, membuat grafik, peta, diagram 6) Motor activities Contohnya : melakukan percobaan, membuat konstruksi, mereparasi,
bermain, berkebun, beternak 7) Mental activities Contohnya : menanggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisis,
melihat hubungan, mengambil keputusan. 8) Emosional activities Contohnya : menaruh minat, gembira, bersemangat, bergairah, berani,
tegang.
Dengan klasifikasi di atas menunjukkan bahwa keaktifan siswa dalam
belajar cukup kompleks dan bervariasi. Berbagai macam kegiatan tersebut harus
berusaha diciptakan di dalam kelas agar siswa tidak merasa bosan dalam belajar.
Belajar bukan hanya sekedar menghafal suatu teori, melainkan juga
dihadapkan pada fakta-fakta dan pemecahan berbagai masalah. Siswa dituntut
banyak melibatkan diri dalam proses belajar, misalnya: mendengarkan,
memperhatikan, dan tanya jawab dengan guru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Nana Sudjana (1996:61) mengemukakan bahwa “ Keaktifan siswa dapat
dinilai dengan cara:
1) Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya
2) Terlibat dalam pemecahan soal
3) Bertanya pada siswa lain atau guru apabila tidak memahami apa yang
dihadapinya.
4) Berusaha mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
5) Melaksakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru.
6) Menilai kemampuan dari hasil-hasil yang dipelajari
7) Melatih diri dalam memecahkan masalah yang sejenis.
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa penilaian keaktifan siswa
dapat dilihat bagaimana siswa berperan aktif dalam melaksanakan tugas
belajarnya dan pemecahan masalahnya. Penilaian lain dapat dilihat dari
bagaimana usaha siswa mencari informasi, bekerjasama dengan temannya untuk
memecahkan masalah belajar.
8. Kemampuan Kognitif Siswa
Adanya suatu penilaian merupakan salah satu bagian dari kegiatan atau
usaha. Melalui kegiatan ini, kita dapat mengetahui sejauh mana hasil dari suatu
kegiatan. Dalam proses pembelajaran di sekolah, hasil yang didapat biasanya
disebut dengan kemampuan kognitif yaitu hasil yang dicapai oleh siswa selama
mengikuti proses pembelajaran. Hal ini akan memberikan masukan bagi guru
untuk mengetahui seberapa banyak siswa mampu menguasai materi yang diterima
selama proses pembelajaran tersebut berlangsung.
Cara penalaran (kognitif) seseorang terhadap suatu objek selalu berbeda-
beda dengan orang lain. Artinya orang yang sama mungkin akan mendapat
penalaran yang berbeda dari dua orang atau lebih. Jadi karena berbeda, dalam
penalaran berbeda pula dalam kepribadian maka terjadilah perbedan individu.
Aspek kognitif secara garis besar meliputi jenjang-jenjang yang dikembangkan
oleh Bloom yang dikutip oleh Aunurrahman (2009: 49), komponen kognitif
meliputi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
a) Pengetahuan (knowledge) yaitu berhubungan dengan mengingat materi pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan dapat menyangkut bahan yang luas atau sempit, seperti fakta (sempit) dan teori (luas). Namun, apa yang diketahui hanya sekedar informasi yang dapat diingat saja. Oleh karena itu, pengetahuan merupakan tingkatan ranah kognitif yang paling sederhana.
b) Pemahaman (comprehension), adalah kemampuan memahami arti sesuatu bahan pelajaran, seperti menafsirkan, menjelaskan atau meringkas tentang sesuatu. Kemampuan semacam ini lebih tinggi daripada pengetahuan.
c) Penerapan (application), adalah kemampuan menggunakan atau menafsirkan sesuatu bahan yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru atau situasi konkret, seperti menerapkan sesuatu dalil, metode, konsep, atau teori. Kemampuan ini lebih tinggi daripada pemahaman.
d) Analisis (analysis), adalah kemampuan menguraikan atau menjabarkan sesuatu ke dalam komponen atau bagian-bagian sehingga susunannya dapat dimengerti. Kemampuan ini meliputi mengenal bagian-bagian, hubungan antar bagian, serta prinsip yang digunakan dalam organisasi atau susunan materi pelajaran.
e) Sintesis (syntesis), merupakan kemampuan untuk menghimpun bagian ke dalam suatu keseluruhan, seperti merumuskan tema, rencana atau melibatkan hubungan abstrak dari berbagai informasi atau fakta.
f) Evaluasi (evaluation), berkenaan dengan kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membuat penilaian terhadap sesuatu berdasarkan maksud atau cerita tertentu.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh Bloom tersebut dapat
diketahui bahwa kemampuan kognitif tidak hanya berhubungan dengan
pengetahuan saja, tetapi di dalamnya terdapat jenjang/tingkatan-tingkatan yang
berhubungan dengan aspek mengingat dan berpikir. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan yang berhubungan
dengan aktivitas kerja otak.
9. Kalor
Dalam kehidupan sehari-hari dikenal istilah suhu dan kalor. Sebuah oven
yang panas dikatakan memiliki suhu tinggi, sebaliknya es dari kulkas dikatakan
memiliki suhu rendah. Dalam kehidupan sehari-hari juga terjadi beberapa
peristiwa yang diakibatkan adanya pemanasan, gelas pecah karena diberi air
terlalu panas atau ban motor meletus karena ditaruh di tempat panas seharian. Hal
tersebut dapat dijelaskan secara rinci dalam materi suhu dan kalor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
a. Suhu
Suhu termasuk besaran pokok dalam fisika. Suhu menyatakan tingkat
(derajat) panas atau dinginnya suatu zat. Suhu diukur dengan termometer.
Berdasarkan zat yang digunakan dalam termometer, ada beberapa macam
termometer, antara lain: termometer cairan, termometer gas, pirometer, termostat,
dan termokopel.
Pengukuran suhu didasarkan pada keadaan fisis zat ( padat, cair, gas)
yang mengalami perubahn jika suhunya berubah. Sensitifitas benda terhadap
perubahan suhu dinamakan sifat termometrik zat. Perubahan termometrik zat
antara lain sebagai berikut :
a. Perubahan volume
b. Perubahan wujud
c. Perubahan daya hantar listrik
d. Perubahan warna
1). Skala termometer
Skala pada termometer dibuat dengan menetapkan terlebih dahulu dua titik
tetap sebagai pedoman. Titik tetap tersebut diambil pada saat es melebur dan pada
saat air mendidih. Pada termometer yang menggunakan skala Celcius, es melebur
pada suhu 00 C digunakan sebagai titik tetap bawah dan air mendidih pada suhu
C0100 ditetapkan sebagai titik tetap atas. Selang antara dua titik tersebut
kemudian dibagi menjadi 100 bagian yang sama sehingga tiap bagian menyatakan
perubahan suhu sebesar C01 .
Selain termometer skala Celcius, ada juga termometer skala Kelvin,
Fahrenheit, dan Reamur. Penetapan skala pada keempat termometer di atas
diperlihatkan oleh Gambar 2.3 :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
(Joko Sumarsono, 2009: 136)
Gambar 2.3 : Perbandingan Skala Pada Termometer Celcius, Kelfin dan Farenheat
a. Celcius : batas bawah 0, batas atas 100
b. Reamur : batas bawah 0, batas atas 80
c. Farenheat : batas bawah 32, batas atas 212
d. Kelvin : untuk titik lebur es 273, dan titik didih air 373
secara umum hubungan antara skala dua termometer dapat dirumuskan dengan :
2b2a
2b2
1b1a
1b1
TT
TT
TT
TT
(2.1)
dengan
1T = suhu termometer 1
2T = suhu termometer 2
1aT = titik tetep atas termometer 1
2aT = titik tetap atas termometer 2
b1T = ttik tetap bawah termometer 1
b2T = titik tetap bawah termometer 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
b. Pemuaian
Perhatikan kabel telepon pada musim dingin dan musim panas. Pada
musim dingin kabel terlihat kencang dan pada musim panas kabel terlihat kendor.
Gelas yang diisi air panas mendadak dapat pecah. Air yang mendidih kadang akan
tumpah dari wadahnya jika terus dipanasi. Beberapa peristiwa di atas merupakan
contoh dari pemuaian. Pemuaian merupakan gerakan atom penyusun benda
karena mengalami pemanasan. Makin panas suhu suatu benda, makin cepat
getaran antar atom yang menyebar ke segala arah. Karena adanya getaran atom
inilah yang menjadikan benda tersebut memuai ke segala arah, hal ini ditunjukkan
oleh Gambar 2.4 . Pemuaian dapat dialami zat padat, cair, dan gas.
(Resnick Halliday, 2009: 587)
Gambar 2.4 Gambar Struktur Molekul Zat Padat
1) Pemuaian Zat Padat
Pemuaian zat pada dasarnya ke segala arah. Namun, hanya akan dipelajari
pemuaian panjang, luas, dan volume. Besar pemuaian yang dialami suatu benda
tergantung pada tiga hal, yaitu ukuran awal benda, karakteristik bahan, dan besar
perubahan suhu benda. Setiap zat padat mempunyai besaran yang disebut
koefisien muai panjang. Koefisien muai panjang suatu zat adalah angka yang
menunjukkan pertambahan panjang zat apabila suhunya dinaikkan 1° C. Makin
besar koefisien muai panjang suatu zat apabila dipanaskan, maka makin besar
pertambahan panjangnya. Demikian pula sebaliknya, makin kecil koefisien muai
panjang zat apabila dipanaskan, maka makin kecil pula pertambahan panjangnya.
Koefisien muai panjang beberapa zat dapat dilihat pada tabel berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Tabel 2.3 Koefisien Muai Panjang
(Resnick Halliday, 2009. Hal : 588)
Sedangkan koefisien muai luas dan volume zat padat, masing-masing adalah
2 dan 3 .
a) Pemuaian Panjang
Pada zat padat yang berukuran panjang dengan luas penampang kecil,
seperti pada kabel dan rel kereta api. Pemuaian pada luas penampang dapat
diabaikan. Pemuaian yang diperhatikan hanya pemuaian pada pertambahan
panjangnya. Pertambahan panjang pada zat padat yang dipanaskan relatif kecil
sehingga butuh ketelitian untuk mengetahuinya.
Jika sebuah batang mempunyai panjang mula-mula 0l , koefisien muai
panjang , suhu mula-mula 1T , lalu dipanaskan sehingga panjangnya menjadi
tl dan suhunya menjadi 2T ( Gamabar 2.5) , maka akan berlaku persamaan,
sebagai berikut.
(Joko Sumarsono, 2009: 138)
Gambar 2.5 Pemuaian Panjang Pada Sebuah Besi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Untuk pemuaian panjang pada zat padat dapat dirumuskan sebagai berikut :
lll 0t (2.2)
karena Tll 0 , maka persamaannya menjadi seperti berikut.
T 1 l
T l ll
0
00t
(2.3)
keterangan:
0l : panjang batang mula-mula (m)
tl : panjang batang setelah dipanaskan (m)
l : selisih panjang batang = tl – 0l
: koefisien muai panjang (/°C)
1T : suhu batang mula-mula (° C)
2T : suhu batang pada suhu T(° C)
T : selisih suhu (° C) = 2T – 1T
b) Pemuaian Luas
Untuk benda-benda yang berbentuk lempengan plat (dua dimensi), akan
terjadi pemuaian dalam arah panjang dan lebar. Hal ini berarti lempengan tersebut
mengalami pertambahan luas atau pemuaian luas. Serupa dengan pertambahan
panjang pada kawat, pertambahan luas pada benda dapat dirumuskan sebagai
berikut.
000 l pA
Δl lΔp pl pA 00ttt
2 2
00
2200
00000000
0000
ΔTα ΔT 2α 1 l p
ΔT α ΔT α ΔT α 1 l p
ΔT α lΔT α p ΔT α p l ΔT α lp l p
Δl Δp l Δp Δl p l p
Karena nilai sangat kecil sehingga untuk 22 T juga akan menjadi sangat
kecil sehingga dapat diabaikan sehingga diperoleh perumusan sebagai berikut :
βΔT1AA
2ααΔ1 l PA
ot
00t
, dengan 2 (2.4)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Jadi untuk pemuaian luas akan diperoleh perumusan sebagai berikut :
T1AA 0t (2.5)
keterangan:
tA : luas bidang mula-mula ( 2m )
0A : luas bidang pada suhu T ( 2m )
: koefisien muai luas (/°C)
T : selisih suhu (° C)
c) Pemuaian Volume
Zat padat yang mempunyai tiga dimensi (panjang, lebar, dan tinggi),
seperti bola dan balok, jika dipanaskan akan mengalami muai volume, yakni
bertambahnya panjang, lebar, dan tinggi zat padat tersebut, hal ini seeprti
ditunjukkan Gambar 2.6. Karena muai volume merupakan penurunan dari muai
panjang, maka muai ruang juga tergantung dari jenis zat.
(Resnick Halliday, 2009: 588)
Gambar 2.6 Gambar Pemuaian Volum Pada Sebuah Ring
Jika volume benda mula-mula 0V , suhu mula-mula 1T , koefisien muai
ruang , maka setelah dipanaskan volumenya menjadi tV , dan suhunya menjadi
2T sehingga akan berlaku persamaan, sebagai berikut.
0000 tl pV (2.6)
tttt t l p V (2.7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
)ΔT α ΔT α 3 ΔT 3α 1 ( V
) ΔT α ΔT α 3 ΔT α 3 1 ( t l p
)ΔT α ΔT α ΔT α ΔT α ΔT α ΔT α ΔT α (1t l p
ΔT) α(t ΔT) α l ( ΔT) αp ( ΔT) α t ( ) ΔT α (l p ΔT) α(t ΔT) α (p l
ΔT αt l p ΔT α l ΔT) α p ( t ΔT) α (l tp ΔT) α p ( t l t l p
Δt Δl Δp Δt Δl p Δt Δp l Δt l p Δl Δp t Δl t p Δp t l tl p
Δt t Δl Δp Δl p Δp l l p
Δt tΔl lΔp p
3322o
3322000
33222222000
000 000000
000000000000000
000000000000
00000
000
karena nilai sangat kecil maka nilai 33 T akan bernilai sangat kecil sehingga
dapat diabaikan, serta nilai 22 T3 juga diabaikan karena nilainya sangat kecil
juga, sehingga persamaan untuk Volume akhir menjadi :
T 31VV ot (2.8)
dengan 3 sehingga diperoleh persamaan :
T 1VV 0t (2.9)
keterangan:
0V : volume benda mula-mula( 3m )
tV : volume benda setelah dipanaskan ( 3m )
: koefisien muai ruang (/°C)
T : selisih suhu (° C)
c. Kalor
Sendok yang digunakan untuk menyeduh kopi panas, akan terasa hangat.
Leher Anda jika disentuh akan terasa hangat. Dalam hal ini ada yang berpindah
dari kopi panas ke sendok dan dari leher ke syaraf kulit. Sesuatu yang berpindah
tersebut merupakan energi/kalor. Pada dasarnya kalor adalah perpindahan energi
dari satu benda yang bersuhu lebih tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah.
Pada waktu zat mengalami pemanasan, partikel-partikel benda akan bergetar dan
menumbuk partikel tetangga yang bersuhu rendah. Hal ini berlangsung terus
menerus membentuk energi kinetik rata-rata sama antara benda panas dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
benda yang semula dingin. Pada kondisi seperti ini terjadi keseimbangan termal
dan suhu kedua benda akan sama.
1) Hubungan Antara Kalor dengan Suhu Benda
Sewaktu memasak air, akan membutuhkan kalor untuk menaikkan suhu air
hingga mendidihkan air. Nasi yang dingin dapat dihangatkan dengan penghangat
nasi. Nasi butuh kalor untuk menaikkan suhunya. Berapa banyak kalor yang
diperlukan air dan nasi untuk menaikkan suhu hingga mencapai suhu yang
diinginkan? Secara induktif, makin besar kenaikan suhu suatu benda, makin besar
pula kalor yang diserapnya. Selain itu, kalor yang diserap benda juga bergantung
massa benda dan bahan penyusun benda. Secara matematis dapat di tulis seperti
berikut.
T c mQ (2.10)
keterangan:
Q : kalor yang diserap/dilepas benda (J)
m : massa benda (kg)
c : kalor jenis benda (J/kg°C)
T : perubahan suhu (° C)
Kalor jenis benda (zat) menunjukkan banyaknya kalor yang diperlukan
oleh 1 kg zat untuk menaikkan suhunya sebesar satu satuan suhu (° C). Hal ini
berarti tiap benda (zat) memerlukan kalor yang berbeda-beda, meskipun untuk
menaikkan suhu yang sama dan massa yang sama. Kalor jenis beberapa zat dapat
di lihat pada tabel berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tabel 2.4 Kalor Jenis Berbagai Zat.
(Resnick Halliday, 2009. Hal : 607)
2) Kapasitas Kalor
Air satu panci ketika dimasak hingga mendidih memerlukan kalor tertentu.
Kalor yang dibutuhkan oleh air agar suhunya naik 1° C disebut kapasitas kalor.
Kapasitas kalor sebenarnya banyaknya energi yang diberikan dalam bentuk kalor
untuk menaikkan suhu benda sebesar satu derajat. Pada sistem SI, satuan kapasitas
kalor adalah 1JK . Namun, karena di Indonesia suhu biasa dinyatakan dalam
skala Celsius, maka satuan kapasitas kalor yang dipakai dalam buku ini adalah
J/°C. Kapasitas kalor dapat dirumuskan sebagai berikut.
T CQ (2.11)
keterangan:
Q : kalor yang diserap/dilepas (J)
C : kapasitas kalor benda (J/°C)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
T : perubahan suhu benda (° C)
Jika persamaan kapasitas kalor disubstitusikan ke persamaan kalor jenis,
maka didapatkan persamaan sebagai berikut.
T c m Q
T C Q
T c m T C
c m C (2.12)
keterangan:
C : kapasitas kalor benda (J/°C)
m : massa benda (kg)
c : kalor jenis benda (J/kg °C)
sehingga rumus Q dapat ditulis :
TmcQ (2.13)
c. Perubahan Wujud
Suatu zat dapat berada pada salah satu wujud dari ketiga wujud tersebut,
tergantung pada suhunya. Misalnya, air. Air dapat berwujud padat apabila berada
pada tekanan normal dan suhunya di bawah 0° C. Air juga dapat berwujud uap
bila tekanannya normal dan suhunya di atas 100° C. Contoh lain adalah tembaga.
Tembaga dapat berwujud padat bila berada pada tekanan normal dan suhu di
bawah 1.083° C. Tembaga akan berwujud cair bila berada pada tekanan normal
dan suhunya antara 1.083° C – 2.300° C. Tembaga akan berwujud gas bila berada
pada tekanan normal dan suhunya di atas 2.300° C.
1) Kalor Lebur dan Kalor Didih
Kalor yang diserap benda digunakan untuk dua kemungkinan, yaitu untuk
menaikkan suhu atau untuk mengubah wujud benda. Misalnya, saat es mencair,
ketika itu benda berubah wujud, tetapi suhu benda tidak berubah meski ada
penambahan kalor. Kalor yang diberikan ke es tidak digunakan untuk mengubah
suhu es, tetapi untuk mengubah wujud benda. Kalor ini disebut kalor laten. Kalor
laten merupakan kalor yang dibutuhkan 1 kg zat untuk berubah wujud. Kalor laten
ada dua macam, yaitu kalor lebur dan kalor didih. Kalor lebur merupakan kalor
yang dibutuhkan 1 kg zat untuk melebur. Kalor yang dibutuhkan untuk melebur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
sejumlah zat yang massanya m dan kalor leburnya KL dapat dirumuskan sebagai
berikut.
LK mQ atau m
QKL (2.14)
keterangan:
Q : kalor yang diperlukan (J)
m : massa zat (kg)
LK : kalor lebur zat (J/kg)
Tabel 2.5 Kalor Lebur Beberapa Zat
(Resnick Halliday, 2009. Hal : 610)
Sama halnya kalor lebur, kalor didih merupakan kalor yang dibutuhkan 1
kg zat untuk mendidih/menjadi uap. Kalor ini sama dengan kalor yang diperlukan
pada zat untuk mengembun. Jadi, kalor yang dibutuhkan 1 kg air untuk menguap
seluruhnya sama dengan kalor yang dibutuhkan untuk mengembun seluruhnya.
Kalor yang dibutuhkan untuk menguapkan sejumlah zat yang massanya m dan
kalor didih atau uapnya Ku, dapat
dinyatakan sebagai berikut.
uK mQ (2.15)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
keterangan:
Q : kalor yang diperlukan (J)
m : massa zat (kg)
UK : kalor didih/uap zat (J/kg)
2) Asas Black
Kalor berpindah dari satu benda yang bersuhu tinggi ke benda yang
bersuhu rendah. Perpindahan ini mengakibatkan terbentuknya suhu akhir yang
sama antara kedua benda tersebut. Pernahkah Anda membuat susu atau kopi?
Sewaktu susu diberi air panas, kalor akan menyebar ke seluruh cairan susu yang
dingin, sehingga susu terasa hangat. Suhu akhir setelah percampuran antara susu
dengan air panas disebut suhu termal (keseimbangan). Kalor yang dilepaskan air
panas akan sama besarnya dengan kalor yang diterima susu yang dingin. Kalor
merupakan energi yang dapat berpindah, prinsip ini merupakan prinsip hukum
kekekalan energi. Hukum kekekalan energi dirumuskan pertama kali oleh Joseph
Black (1728 – 1899). Oleh karena itu, pernyataan tersebut juga di kenal sebagai
asas Black. Joseph Black merumuskan perpindahan kalor antara dua benda yang
membentuk suhu termal sebagai berikut.
terimalepas QQ (2.16)
Keterangan:
lepasQ : besar kalor yang diberikan (J)
terimaQ : besar kalor yang diterima (J)
d. Perpindahan Kalor
Kalor merupakan energi yang dapat berpindah dari benda yang bersuhu
tinggi ke benda yang bersuhu rendah. Pada waktu memasak air, kalor berpindah
dari api ke panci lalu ke air. Pada waktu menyetrika, kalor berpindah dari setrika
ke pakaian. Demikian juga pada waktu berjemur, badan Anda terasa hangat
karena kalor berpindah dari matahari ke badan Anda. Ada tiga cara kalor
berpindah dari satu benda ke benda yang lain, yaitu konduksi, kenveksi, dan
radiasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
1) Konduksi
Peristiwa perpindahan kalor melalui suatu zat tanpa disertai dengan
perpindahan partikel-partikelnya disebut konduksi.
Perpindahan kalor dengan cara konduksi disebabkan karena partikel-
partikel penyusun ujung zat yang bersentuhan dengan sumber kalor bergetar.
Makin besar getarannya, maka energi kinetiknya juga makin besar. Energi kinetik
yang besar menyebabkan partikel tersebut menyentuh partikel di dekatnya,
demikian seterusnya sampai akhirnya Anda merasakan panas. Besarnya aliran
kalor secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut.
d
TTktAQ 12 atau
d
TTkA
t
Q 12 (2.17)
Jika t
Qmerupakan kelajuan hantaran kalor (banyaknya kalor yang mengalir per
satuan waktu) dan 12 TTT , maka persamaan di atas menjadi seperti berikut.
d
TkAH
(2.18)
keterangan:
Q : banyak kalor yang mengalir (J)
A : luas permukaan (m2)
T : perbedaan suhu dua permukaan (K)
d : tebal lapisan (m)
k : konduktivitas termal daya hantar panas (J/ms K)
t : lamanya kalor mengalir (s)
H : kelajuan hantaran kalor (J/s)
Setiap zat memiliki konduktivitas termal yang berbeda-beda. Konduktivitas termal
beberapa zat ditunjukkan pada tabel berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Tabel 2.6 Konduktivitas Termal Berbagai Zat.
(Resnick Halliday, 2009. Hal : 625)
2) Konveksi
Konveksi adalah perpindahan kalor yang disertai dengan perpindahan
partikel-partikel zat. Perpindahan kalor secara konveksi dapat terjadi pada zat cair
dan gas.
a. Konveksi pada Zat Cair
Perpindahan kalor secara konveksi terjadi karena adanya perbedaan massa
jenis zat. Konveksi air banyak dimanfaatkan dalam pembuatan sistem aliran air
panas di hotel, apartemen, atau perusahaan-perusahaan besar. Contoh konveksi
udara dalam kehidupan sehari-hari, antara lain,
sebagai berikut.
1) Sistem ventilasi rumah. Udara panas di dalam rumah akan bergerak naik dan
keluar melalui ventilasi. Tempat yang ditinggalkan akan diisi oleh udara dingin
melalui ventilasi yang lain sehingga udara di dalam rumah lebih segar.
2) Cerobong asap pabrik. Pada pabrik-pabrik, udara di sekitar tungku pemanas
suhunya lebih tinggi daripada udara luar, sehingga asap pabrik yang massa
jenisnya lebih kecil dari udara luar akan bergerak naik melalui cerobong asap.
3) Angin laut dan angin darat. Pada siang hari daratan lebih cepat panas daripada
lautan. Udara di daratan memuai sehingga massa jenisnya mengecil dan
bergerak naik ke atas. Tempat yang ditinggalkan akan diisi oleh udara dingin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
dari laut, maka terjadilah angin laut. Sebaliknya, pada malam hari daratan lebih
cepat dingin daripada lautan. Udara di atas laut memuai, massa jenisnya
mengecil dan bergerak ke atas. Tempat yang ditinggalkannya akan diisi oleh
udara dingin dari darat, maka terjadilah angin darat.
Adapun secara empiris laju perpindahan kalor secara konveksi dapat dirumuskan
sebagi berikut.
T A hH (2.19)
keterangan
H : laju perpindahan kalor (W)
A : luas permukaan benda (m² )
12 TTT = perbedaan suhu (K atau ° C)
h : koefisien konveksi ( 42KWm atau 402 CWm )
3. Radiasi
Perpindahan kalor yang tidak memerlukan zat perantara (medium) disebut
radiasi. Setiap benda mengeluarkan energi dalam bentuk radiasi elektromagnetik.
Laju radiasi dari permukaan suatu benda berbanding lurus dengan luas
penampang, berbanding lurus dengan pangkat empat suhu mutlaknya, dan
tergantung sifat permukaan benda tersebut. Secara matematis dapat ditulis sebagai
berikut.
4T e AH (2.20)
keterangan:
H : laju radiasi (W)
A : luas penampang benda (m2)
T : suhu mutlak (K)
e : emisivitas bahan
: tetapan Stefan-Boltzmann (5,6705119 × 10-8 W/mK4)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
7. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan berkaitan dengan pembelajaran kooperatif adalah
seperti penelitian yang dilakukan oleh Francis A. ADESOJI dan Tunde L.
IBRAHEEM dalam Uluslararası Sosyal Ara_tırmalar Dergisi The Journal Of
International Social Research Volume 2/6 Winter 2009 yang berjudul EFFECTS
OF STUDENT TEAMS-ACHIEVEMENT DIVISIONS STRATEGY AND
MATHEMATICS KNOWLEGDE ON LEARNING OUTCOMES IN CHEMICAL
KINETICS, dalam penelitiannya disimpulkan bahwa The findings of this study
provides support for the efficacy of the STAD cooperative learning strategy in the
teaching of science as claimed by researchers .The superiority of STAD
cooperative learning strategy over the conventional technique could be attributed
to the fact that it makes students develop more positive attitudes toward self, peer,
adults and learning in general The significant main effect of mathematical ability
on students’ achievement and attitude to chemical kinetics implies that only
students with sound mathematical background will perform well in quantitative
aspect of chemistry.
Dari penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD memperoleh hasil yang lebih baik
daripada dengan metode konvensional. Tipe STAD memberikan efek yang
signifikan yaitu mampu mengembangkan sikap individu, kelompok, dan
kedewasaan. Selain itu tipe STAD jika ditambah kemampuan matematik yang
baik akan berpengaruh dalam pembelajaran kimia.
Penelitian lain yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh
Yasemin KOÇ, Kemal DOYMUŞ, Ataman KARAÇÖP, Ümit ŞİMŞEK
(Research Assist. Atatürk University, Kazım Karabekir Faculty of Education,
Primary Teacher Training, Erzurum-TURKEY, Assoc.Prof.Dr. Atatürk
University, Kazım Karabekir Faculty of Education, Primary Teacher Training,
Erzurum TURKEY) dalam Journal of TURKISH SCIENCE EDUCATION
Volume 7, Issue 2, June 2010. Penelitiannya yang dilakukan berjudul “The
Effects of Two Cooperative Learning Strategies on the Teaching and Learning of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
the Topics of Chemical Kinetics”. dalam penelitian tesebut diambil kesimpulan
bahwa When the results obtained from the GST are analyzed, it is seen that JG
students are more successful in reading and interpreting graphs than IG and CG
students. It is seen that JG, which is successful in GST, has the same academic
achievement in chemical kinetics as well. Based on these results, it was concluded
that, compared to the traditional teaching method, group investigation and Jigsaw
technique were more effective in increasing academic achievement . In the study,
the reason that the group investigation and Jigsaw techniques were more effective
than the traditional teaching method can be attributed to differences in the
application processes of these techniques and to the fact that students are directed
and encouraged to express their ideas in a warm atmosphere, to convey their
ideas, and to cooperate with their friend.
Dari penelitian disimpulkan bahwa Group investigation dan Jigsaw lebih
efektif daripada dengan model tradisional dalam pembelajaran teknik kimia dilihat
dari peningkatan nilai akademik, dua model ini membantu siswa untuk
mengemukakan pendapat dalam lingkungan yang mendukung dan mampu
bekerjasama dengan teman.
Penelitian lain yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Evi
mahasiswi UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta dalam penelitiannya yang berjudul
Perbedaan Hasil Belajar Biologi Antara Siswa yang Diajar Melalui Cooperatif
learning tipe Jigsaw dengan STAD. dalam penelitian tesebut diambil kesimpulan
bahwa model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) teknik Jigsaw dan
STAD merupakan teknik pembelajaran yang baru bagi para siswa, namun dari
hasil angket yang diberikan, siswa merasa kedua tipe pembelajaran tersebut cukup
dapat membantu mereka dalam memahami pelajaran dan mereka cukup menyukai
penerapan kedua tipe pembelajaran tersebut dalam pembelajaran biologi. Hasil
observasi kedua teknik pembelajaran menunjukkan sikap siswa cukup baik pada
ketiga aspek sikap yang diukur yaitu rasa ingin tahu, keberanian dan sifat
menghargai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
B. Kerangka Berpikir
Hal yang paling penting dalam peningkatan kualitas pendidikan adalah
proses belajar-mengajar. Apabila proses belajar-mengajar dapat berjalan dengan
baik maka tujuan pembelajarannya pun akan dapat dicapai. Ada banyak faktor
yang menentukan keberhasilan belajar seorang siswa, baik dari luar atau
lingkungan siswa maupun faktor dari dalam diri siswa itu sendiri. Faktor luar
yang ikut berperan dalam keberhasilan pembelajaran antara lain; pendekatan
pembelajaran yang digunakan, metode pembelajaran, media pembelajaran dan
situasi belajar. Faktor dari dalam diri siswa misalnya adalah kecerdasan yang
dimiliki siswa, keaktifan, dan semangat dari siswa.
Model pembelajaran mempunyai peran penting dalam keberhasilan
pembelajaran maka guru dituntut dapat memilih pendekatan yang tepat agar
pembelajaran dapat berjalan optimal dan berhasil dengan baik. Dalam rangka
menyelenggarakan proses belajar-mengajar yang baik agar tercapai tujuan
pengajaran, penelitian ini mencoba menerapkan model pembelajaran kooperatif
dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif ini
menekankan penempatan siswa dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat
kemampuan berbeda sehingga siswa dipacu untuk saling bekerjasama dalam
menyelesaikan materi belajarnya. Dari hal tersebut maka diharapkan dengan
penggunaan model pembelajaran tersebut siswa benar-benar memahami materi
pembelajaran dengan bekerjasama antar siswa.
Pembelajaran kooperatif bisa dikembangkan dengan banyak tipe, di
antaranya : tipe Jigsaw dan STAD. Alasan mengapa tipe ini bisa diterapkan dalam
pembelajaran kooperatif karena dari kedua model pembelajaran ini sama-sama
menekankan peran aktif dari siswa, sehingga siswa akan berusaha memahami
materi pelajaran dengan cara aktif bekerjasama antar teman. Kedua model
pembelajaran ini sama-sama membentuk siswa dalam kelompok-kelompok kecil.
Dari pembagian kelas menjadi beberapa kelompok kecil tersebut siswa dituntut
untuk berinteraksi dan bertukar pendapat, sehingga bisa menambah pengetahuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
serta memahami materi yang harus diperoleh, dengan demikian materi pelajaran
akan dapat lebih dikuasai secara mendalam.
Dengan penggunaan dua tipe Jigsaw dan STAD dalam proses
pembelajaran akan memberikan hasil kemampuan kognitif yang tidak sama. Hal
ini berdasarkan proses pembelajaran yang dilakukan, walaupun sama-sama
pembelajaran kooperatif Jigsaw dan STAD namun memiliki perbedaan cara
pembelajaran. STAD adalah diskusi murni dimana siswa akan memecahkan
masalah bersama dalam kelompok, sedangkan Jigsaw siswa akan bertindak
sebagai anggota kelompok diskusi sekaligus sebagai kelompok ahli, mereka akan
berfikir dua kali, pertama untuk menyelesaikan masalah bersama kelompok ahli
kedua akan menyampaikan dalam kelompok masing-masing. Hal ini juga sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh David W Johnson, dkk, dimana
pembelajran kooperatif jigsaw lebih baik dari STAD dalam kaitannya
pembelajaran ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.7 Rating Of Direct-Conceptual Nature Of Cooperative Learning Methods
Dalam proses pembelajaran dengan adanya dua kelompok siswa yang
memiliki keaktifan tinggi dan rendah akan diperoleh hasil antara masing-masing
siswa yang tidak sama. Hal ini karena setiap siswa memiliki kemampuan
penerimaan terhadap suatu materi atau pengetahuan yang berbeda-beda, ada yang
memiliki kemampuan tinggi dan ada yang rendah, serta tingkat keaktifan siswa
dalam mengikuti pembelajaran juga berbeda-beda. Tingkat keaktifan siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
mempunyai peran penting dalam berhasil dan tidaknya suatu pembelajaran.
Karena belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku, maka diperlukan
tindakan nyata dari siswa untuk dapat berubah. Siswa yang memiliki tingkat
keaktifan tinggi akan senantiasa berfikir dan bertindak aktif dalam setiap
pembelajaran atau ada tugas. Sedangkan siswa yang memiliki tingkat keaktifan
rendah akan enggan dan kurang respon terhadap pembelajaran dan tugas yang
diberikan, sehingga siswa yang memiliki tingkat keaktifan tinggi akan lebih baik
pemahaman kognitifnya dibandingkan siswa yang memiliki keaktifan tingkat
rendah. Keaktifan itu bermacam-macam ada keaktifan berpikir, keaktifan menulis,
keaktifan membuat alat pembelajaran dan sebagainya.
Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dimana siswa bekerja
sama dalam suatu kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lain dalam
mempelajari materi pelajaran. Pembelajaran kooperatif dan keaktifan siswa
memiliki hubungan yang erat yaitu dengan keaktifan siswa maka pembelajaran
kooperatif mampu berjalan, tanpa adanya keaktifan siswa dalam kelompok untuk
memecahkan masalah maka pembelajaran kooperatif akan terhenti karena tidak
ada kegiatan kerjasama antar siswa.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka dapat dibuat paradigma
penelitian sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Gambar 2.7. Paradigma Penelitian
E. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir di atas maka peneliti
dapat mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD dan tipe Jigsaw terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada
pokok bahasan Kalor.
2. Ada perbedaan pengaruh antara aktivitas belajar Fisika siswa kategori tinggi
dan rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Kalor.
3. Ada interaksi antara pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif dan
aktivitas belajar siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok
bahasan Kalor.
Kelompok
Eksperimen
Kelompok
Kontrol
Keaktifan siswa di kelas
kategori Tinggi
Keaktifan siswa di kelas Kategori Rendah
Keaktifan siswa di kelas Kategori
Tinggi
Keaktifan siswa di kelas Kategori
Rendah
Model Pembelajaran
Kooperatif tipe STAD
Model Pembelajaran
Kooperatif tipe Jigsaw
Kemampuan kognitif
Fisika siswa
Sampel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri I Karanganyar Tahun
Pelajaran 2009/2010 dengan pertimbangan, sekolah tersebut menerapkan sistem
pengelompokkan siswa yang heterogen, yakni pada setiap kelas ada siswa-siswa
yang pandai maupun siswa-siswa yang kurang pandai.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester 2 Tahun Pelajaran 2009/2010
yaitu bulan April 2010. Sebelum kegiatan penelitian dilaksanakan, peneliti harus
melalui beberapa tahapan. Adapun tahap-tahap penelitiannya adalah:
a. Tahap persiapan, meliputi kegiatan pengajuan judul, permohonan Dosen
Pembimbing, penyusunan proposal, perizinan, survey ke sekolah yang
digunakan untuk penelitian, permohonan ijin penelitian, menyusun instrumen
penelitian yang terdiri dari Satuan Pelajaran, Rencana Pembelajaran, Lembar
Kerja Siswa, soal tes kemampuan kognitif Fisika siswa, dan angket aktivitas
belajar siswa.
b. Tahap penelitian, meliputi kegiatan-kegiatan yang berlangsung di lapangan
yaitu try-out soal kemampuan kognitif yang dilaksanakan pada tanggal 12
April 2010. Try-out dilakukan untuk menentukan apakah soal yang peneliti
buat layak digunakan sebagai alat ukur atau tidak . Pengambilan data
dilakukan untuk mengetahui kemampuan kognitif siswa setelah diberi
perlakukan (treatment) yang dilaksanakan pada tanggal 26 April 2010
sampai dengan 24 Mei 2010.
c. Tahap penyelasaian, meliputi analisis data hasil penelitian dan penyusunan
Skripsi.
52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen yang melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Selanjutnya kelompok eksperimen diberikan perlakuan yaitu
pembelajaran Fisika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan
kelompok kontrol diberi perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD. Peninjauan aktivitas belajar siswa dapat diketahui saat berlangsungnya
proses pembelajaran Pada akhir pembelajaran kedua kelas diukur kemampuan
kognitifnya dengan alat ukur yang sama. Adapun desain eksperimen yang
digunakan adalah desain faktorial 2 x 2 dengan isi atau frekuensi sel tidak sama,
dengan model sebagai berikut.
Tabel 3.1 Desain Eksperimen
Aktivitas belajar siswa (B)
Kategori
Tinggi (B1)
Kategori Rendah
(B2)
Model
pembelajaran
kooperatif (A)
Model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw
kelas eksperimen (A1)
A1B1 A1B2
Model pembelajaran
kooperatif tipe STAD
kelas kontrol (A2)
A2B1 A2B2
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri I
Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010 terdiri dari 9 kelas yaitu: 1X s/d 9X .
2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah 2 kelas dari populasi seluruh siswa,
yaitu kelas X.1 dan kelas X.2 SMA Negeri I Karanganyar Semester Genap Tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Pelajaran 2009/2010. Dimana kelas X.2 sebagai kelas eksperimen dan kelas X.1
sebagai kelas kontrol.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Pada penelitian ini sampel diambil dengan teknik cluster randoom
sampling, yaitu pengambilan sampel kelas secara acak.
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah kondisi-kondisi atau karakteristik-karakteristik
yang oleh peneliti dikontrol atau diobservasi.
1. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah kondisi yang menunjukkan akibat atau pengaruh
variabel bebas. Variabel terikat pada penelitian ini adalah kemampuan kognitif
Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
a) Definisi Operasional : kemampuan kognitif Fisika siswa dalam mata pelajaran
Fisika adalah tingkat penguasaan konsep siswa dalam
mempelajari Fisika pada pokok bahasan Kalor.
b) Skala Pengukuran : interval
c) Indikator : nilai hasil tes mata pelajaran Fisika pada pokok bahasan
Kalor.
2. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah kondisi yang oleh peneliti dimanipulasi dalam
rangka menerangkan hubungannya dengan fenomena yang diobservasi .Variabel
bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Model Pembelajaran Kooperatif
1) Definisi Operasional : model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model
pembelajaran di mana siswa belajar bersama dalam kelompok belajar dan
masing-masing anggotanya bekerja secara bersama-sama untuk mencapai
tujuan yang sama. Kelompok belajar tersebut beranggotakan 4-5 siswa yang
heterogen dan saling mendiskusikan masalah serta saling membantu antar
anggota kelompok untuk mencapai ketuntasan materi pelajaran Kalor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
2) Skala Pengukuran : nominal, dengan 2 kategori, yaitu
(a) Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
(b) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
b. Aktivitas Belajar
1) Definisi Operasional : aktivitas belajar siswa di kelas adalah setiap kegiatan
atau kesibukan yang dilakukan oleh siswa dalam belajar Kalor.
2) Skala Pengukuran : nominal, dengan 2 kategori, yaitu
(a) Keaktifan siswa di kelas kategori tinggi
(b) Keaktifan siswa di kelas kategori rendah
3) Indikator
(a) Keaktifan siswa di kelas kategori tinggi, bila keaktifan siswa nilai rata-
rata
(b) Keaktifan siswa di kelas kategori rendah,bila keaktifan siswa < nilai rata-
rata
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik dokumentasi dan teknik tes dan teknik angket.
1. Teknik Dokumentasi
Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk mengungkap
data keadaan awal siswa kedua kelompok, yang diambil dari nilai Ulangan harian
Fisika siswa Semester I Tahun Pelajaran 2009/2010.
2. Teknik Tes
Teknik tes adalah cara pengambilan data dengan tes untuk mengungkap
data hasil belajar yang berupa kemampuan kognitif Fisika siswa SMA pada pokok
bahasan Kalor. Tes yang dimaksud di sini adalah tes yang disusun peneliti untuk
penguasaan konsep Fisika setelah diberi pembelajaran. Tes tersebut berupa tes
objektif dengan empat alternatif jawaban.
3. Teknik Angket
Teknik angket adalah teknik pengambilan data untuk mengukur aktivitas
belajar siswa. Suharsimi Arikunto (2002:28) mengatakan : “teknik angket juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
dikenal dengan kuesioner. Kuesioner adalah sebuah daftar pertanyaan yang diisi
oleh orang yang akan diukur (responden) sehingga diketahui keadaan data diri,
pengalaman, pengetahuan, sikap atau pendapatnya, dan lain-lain.
F. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrument penelitian yang meliputi angket
aktivitas belajar siswa, instrumen pelaksanaan yang berupa LKS dan instrumen
pengumpul data yang berupa tes kemampuan kognitif Fisika siswa dan angket
aktivitas belajar siswa.. Sebelum digunakan, tes tersebut diujicobakan atau
ditryoutkan terlebih dahulu.
1. Instrumen Tes Kemampuan Kognitif
Uji coba instrumen tes ini dilakukan untuk mengetahui taraf kesukaran,
daya pembeda, validitas dan reliabilitasnya.
a. Taraf Kesukaran
Bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya suatu soal disebut
indeks kesukaran (difficulty index), yang disimbulkan P. Indeks kesukaran ini
menunjukkan taraf kesukaran soal. Menguji taraf kesukaran tiap soal digunakan
rumus :
Js
BP (Suharsimi Arikunto, 2002 : 207-208)
di mana:
P : Taraf kesukaran item soal
B : Jumlah siswa yang menjawab benar
Js : Jumlah siswa yang mengikuti tes
Klasifikasi indeks kesukaran soal :
1) Jika : 0,00 P 0,30 , maka soal dikatakan sukar
2) Jika : 0,30 P 0,70 , maka soal dikatakan sedang
3) Jika : 0,70 P 1,00, maka soal dikatakan mudah
Hasil tes uji coba kemampuan kognitif Fisika siswa dari 50 soal yang diuji
cobakan, setelah dilakukan analisis untuk mengetahui tingkat kesukaran dari
masing-masing item diperoleh hasil sebagai berikut : 6 soal dikategorikan mudah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
yaitu nomor 1; 12; 14; 16; 21; 43, 39 soal dikategorikan mempunyai tingkat
kesukaran sedang yaitu nomor 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 13; 15; 17; 18; 19; 20; 22;
23; 24; 25; 26; 27; 29; 30; 31; 32; 33; 35; 37; 38; 39; 40; 41; 42; 44; 45; 46; 47;
48; 49; 50, dan 5 soal dikategorikan mempunyai tingkat kesukaran sukar, yaitu
nomor 2; 3; 28; 34; 36.
b. Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh
(berkemampuan rendah). Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda
disebut indeks diskriminasi disingkat D. Untuk menentukan daya pembeda,
seluruh peserta tes dibagi dua sama besar, 50% kelompok atas dan 50% kelompok
bawah. Seluruh peserta tes diurutkan mulai dari skor teratas sampai terendah.
Rumus yang digunakan untuk menentukan daya pembeda adalah :
BA
B
B
A
A PPJ
B
J
BD
(Suharsimi Arikunto, 2002 : 213-214)
di mana:
J : Jumlah peserta tes
BA : Jumlah peserta tes kelompok atas yang menjawab benar
BB : Jumlah peserta tes kelompok bawah yang menjawab benar
JA : Jumlah peserta tes kelompok atas
JB : Jumlah peserta tes kelompok bawah
D : Daya pembeda
PA : Proporsi peserta tes kelompok atas yang menjawab benar
PB : Proporsi peserta tes kelompok bawah yang menjawab benar
Klasifikasi daya pembeda soal :
1) 0,00 D 0,20, maka soal mempunyai daya pembeda jelek
2) 0,20 D 0,40, maka soal mempunyai daya pembeda cukup
3) 0,40 D 0,70, maka soal mempunyai daya pembeda baik
4) 0,70 D 1,00, maka soal mempunyai daya pembeda baik sekali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
D < 0,00 : daya pembeda item soal dikatakan tidak baik, jadi semua butir soal
yang mempunyai nilai D negatif sebaiknya dibuang saja.
Hasil tes uji coba kemampuan kognitif Fisika siswa dari 50 soal yang
diuji cobakan, setelah dilakukan analisis untuk mengetahui daya pembeda dari
masing-masing item diperoleh hasil sebagai berikut : 35 soal dikategorikan daya
pembeda baik yaitu nomor 1; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 14; 16; 18; 19; 20; 21;
22; 23; 24; 25; 26; 27; 30; 31; 33; 35; 36; 38; 40; 41; 42; 43; 45; 47; 50, 13 soal
dikategorikan mempunyai daya pembeda cukup yaitu nomor 2; 13; 17; 28; 29; 32;
34; 37; 39; 44; 46; 48; 49, dan 2 soal dikategorikan mempunyai daya pembeda
jelek yaitu nomor 3; 15.
c. Validitas
Suatu item dikatakan valid jika mempunyai dukungan terhadap skor total.
Hal itu berarti penambahan skor pada item menyebabkan kenaikan pada skor
total. Untuk menentukan tingkat validitas tes, digunakan teknik konsistensi
internal dengan korelasi point biserial, dengan rumus :
q
p
S
MMγ
t
tp
pbi
( Suharsimi Arikunto, 2002:79 )
dengan :
pbi : Koefisien korelasi biserial
Mp :Mean skor dari subyek yang menjawab benar bagi item yang dicari
validitasnya.
Mt : Rerata skor total (skor rata-rata dari seluruh peserta tes)
p : Proporsi subyek yang menjawab benar item tersebut
q : Proporsi subyek yang menjawab salah item tersebut
q : 1 – p
Kriteria :
pbi ≥ rtabel : soal dikatakan valid
pbi < rtabel : soal dikatan invalid
Hasil tes uji coba kemampuan kognitif Fisika siswa dari 50 soal yang
diuji cobakan, setelah dilakukan analisis untuk mengetahui kevalidan dari masing-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
masing item diperoleh hasil sebagai berikut : 41 soal tergolong valid, yaitu nomor
1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 11; 12; 13; 14; 16; 18; 19; 20; 22; 23; 24; 25; 26; 27; 28;
29; 30; 31; 33; 35; 36; 37; 39; 40; 41; 42; 43; 44; 45; 47; 48; 50, 9 soal tergolong
invalid yaitu nomor 10; 15; 17; 21; 32; 34; 38; 46; 49.
d. Reliabilitas
Suau instrumen memenuhi kriteria reliabilitas apabila instrumen tersebut
digunakan berulang-ulang pada subyek dengan kondisi yang sama akan
memberikan hasil yang relatif tidak mengalami perubahan. Untuk menguji
reliabilitas tes digunakan rumus sebagai berikut :
2
2
11S
pqS
1n
nr
(Suharsimi Arikunto, 2002 : 100-101)
dengan :
r11 : reliabilitas secara keseluruhan
p : proporsi subyek yang menjawab benar item tersebut
q : proporsi subyek yang menjawab salah item tersebut
n : banyaknya item
S : standar deviasi
Kriteria reliabilitas :
Jika 0,8 11r 1 : maka instrumen tes mempunyai reliabilitasnya sangat tinggi
Jika 0,6 11r 0,8 : maka instrumen tes mempunyai reliabilitasnya tinggi
Jika 0,4 11r 0,6 : maka instrumen tes mempunyai reliabilitasnya cukup
Jika 0,2 11r 0,4 : maka instrumen tes mempunyai reliabilitasnya rendah
Jika 0,0 11r 0,2 : maka instrumen tes mempunyai reliabilitasnya sangat rendah
Setelah dilakukan analisis untuk mengetahui reliabilitas dari keseluruhan soal uji
coba kemampuan kognitif Fisika siswa, diperoleh hasil r11 = 0,83623 (0,83623 >
0,8 ), sehingga soal dikatakan memiliki tingkat reabilitas t sangat tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
2. Instrumen Angket
Keaktifan siswa adalah setiap kegiatan atau kesibukan yang dilakukan
oleh siswa dalam kegiatan belajar-mengajar. Instrumen lain yang digunakan
dalam penelitian ini adalah berupa angket aktivitas belajar siswa. Angket adalah
sejumlah pertanyaan atau pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh
informasi dari responden. Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah
angket langsung yang sekaligus alternatif jawaban bagi responden. Untuk skor
penilaian dapat dilihat pada tabel 3.2.
Tabel 3.2. Kriteria Skor Penilaian Afektif Menurut Skala Likert
Skor untuk aspek yang dinilai Nilai
SS : Selalu
S : Kadang-kadang
TS : Jarang
STS : Tidak pernah
4
3
2
1
Sebelum digunakan untuk mengambil data penelitian, instrumen tersebut
diujicobakan terlebih dahulu untuk mengetahui kualitas item angket.
1) Validitas Angket
Validitas sering diartikan sahih. Suatu alat ukur dikatakan valid bilamana
alat ukur tersebut dapat mengukur objek yang seharusnya diukur.Validitas yang
digunakan adalah validitas isi butir yang sesuai dengan unjuk kerja yang
diharapkan. Selain itu validitas soal juga diuji validitas butirnya dengan rumus
korelasi produk moment dari K.Pearson sebagai berikut :
2222xy
YYNXXN
YXXYNr (Suharsimi Arikunto, 2002:72)
dengan :
rxy : koefisien korelasi suatu butir soal
X : skor item
Y : skor total
N : jumlah subjek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Kriteria pengujian :
Jika rxy > rtabel maka butir soal dinyatakan valid.
Hasil tes uji coba angket aktivitas belajar siswa dari 40 soal yang diuji cobakan,
setelah dilakukan analisis untuk mengetahui kevalidan dari masing-masing item
diperoleh hasil sebagai berikut : 36 soal tergolong valid, yaitu nomor 1; 2; 3; 4; 5;
6; 7; 9; 10; 11; 12; 13; 14; 15; 16; 17; 18; 19; 20; 21; 22; 23; 24; 25; 27; 29; 30;
31; 32; 33; 34; 35; 37; 39; 40, 4 soal tergolong invalid yaitu nomor 8; 28; 36; 38.
2) Reliabilitas
Pada pengukuran ini merupakan rentangan, maka digunakan rumus
alpha. Suharsimi Arikunto, (2002:109) menyatakan : ”rumus alpha digunakan
untuk mencari tingkat reliabilitas instrumen yang menghendaki gradualitas
penilaian misalnya angket 4 soal uraian”. Adapun rumus alpha yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
2
t
2
i
11σ
σ1
1n
nr
(Suharsimi Arikunto, 2002:109)
dengan:
11r = reliabilitas instrumen
n = banyaknya pertanyaan atau butir soal
2
iσ = jumlah varians skor tiap item
2
tσ = varians total
NN
XX
σ
2
b2
b2
b
NN
XX
σ
2
t2
t2
t
Hasil perhitungan uji reliabilitas dengan rumus alpha ini diinterpretasikan sebagai
berikut:
0,8 11r 1 : instrumen reliabilitasnya sangat tinggi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
0,6 11r 0,8 : instrumen reliabilitasnya tinggi
0,4 11r 0,6 : instrumen reliabilitasnya cukup
0,2 11r 0,4 : instrumen reliabilitasnya rendah
0,0 11r 0,2 : reliabilitasnya sangat rendah
Setelah dilakukan analisis untuk mengetahui reliabilitas dari keseluruhan soal uji
coba angket aktivitas belajar siswa, diperoleh r11 = 0,8400, sehingga soal
dikatakan memiliki tingkat reabilitas sangat tinggi.
G. Teknik Analisis Data
1. Uji Kesamaan Keadaan Awal
Untuk mengetahui kesamaan keadaan awal digunakan adalah uji t-2 ekor
dengan rumus :
baba
2b
2a
n
1
n
1
2nn
XX
XbXat
(Budiyono, 2000 : 156)
dengan :
Xa : Means dari kelompok eksperimen
bX : Means dari kelompok demonstrasi
na :Banyaknya subjek kelompok eksperimen
nb :Banyaknya subjek kelompok demonstrsi
Xa : Nilai untuk kelas eksperimen dikurangi nilai rata-rata kelas eksperimen
Xb : Nilai untuk kelas kontrol dikurangi nilai rata-rata hasil kelas kontrol
Kriteria :
ttabel ≤ thitung ≤ ttabel : maka tidak ada perbedaan antara keadaan awal siswa
kelompok A dan B .
thitung ≤ -ttabel atau thitung ≥ ttabel : maka ada perbedaan antara keadaan awal siswa
kelompok A dan B .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
2. Uji Prasyarat Analisis
Prasyarat analisis dapat dilakukan dengan uji normalitas dan uji
homogenitas.
a. Uji Normalitas (Metode Lilliefors)
Uji normalitas ini digunakan untuk mengetahui apakah sampel penelitian
ini berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak normal. Adapun
langkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Pengamatan x1, x2, x3, …., xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2, Z3, …., Zn
menggunakan rumus :
S
XXZ
1nn
XXnS
222
dengan X dan S berturut-turut merupakan rata-rata dan simpangan baku.
2) Data dari sampel tersebut kemudian diurutkan dari skor terendah sampai skor
tertinggi.
3) Untuk tiap bilangan baku ini dengan menggunakan daftar distribusi normal
baku kemudian dihitung peluang F(Zi) = P(Z≤Zi).
4) Mencari selisih antara │F(Zi) – S(Zi)│, dan ditentukan harga mutlaknya,
dengan rumus :
Lobs = Maks │ F(Zi) – S(Zi)│
F(Zi) : Bilangan baku yang menggunakan daftar distribusi normal
S(Zi) : Perbandingan nomer subyek dengan jumlah subyek
5) Kriteria Pengujian :
Lobs Ltabel = maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak
normal.
Lobs > Ltabel = maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
(Budiyono, 2000 :169-170)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
b. Uji Homogenitas (Metode Barlett)
Uji homogenitas ini digunakan untuk mengetahui apakah sampel
penelitian ini berasal dari populasi yang homogen atau tidak homogen. Statistik
uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Barlett yang prosedurnya
sebagai berikut :
1) Menentukan Kriteria
12 = 2
2 = 32 = = 4
2 (sampel berasal dari populasi yang homogen).
12 ≠ 2
2 atau 12 ≠ 3
2 atau 12 ≠ 4
2 atau 22 ≠ 3
2 atau 22 ≠ 4
2 atau
32 ≠ 4
2 (sampel berasal dari populasi yang tidak homogen).
2) Menghitung variansi masing-masing sampel (Sj2)
1n
SSS
j
j2j
3) Menghitung variansi gabungan dari semua sampel (SSj2) dengan rumus :
j
2
j2jj
n
XXSS
4) Menghitung harga satuan
f
SSRk
jG
5) Menghitung harga Chi-kuadrat dengan rumus :
2jjG
2 SlogfRklogfC
303,2X
di mana :
fj = nj - 1
X2 = Harga uji Barlett
f = Derajat kebebasan
j = 1,2,……k
f
1
f
1
1k3
11C
j
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
6) Mencari nilai X2 dari tabel distribusi Chi-kuadrat pada taraf signifikasi 5%
7) Kriteria Uji
X2hitung < X2
0,05;k-1 = maka sampel berasal dari populasi yang homogen
X2hitung ≥ X2
0,05;k-1 = maka sampel berasal dari populasi yang tidak homogen.
(Budiyono, 2000 :176-177)
3. Pengujian Hipotesis
a) Uji Analisis Variansi Dua Jalan dengan Frekuensi Sel Tak Sama
Dalam penelitian ini digunakan analisis variansi dua jalan dengan
frekuensi sel tak sama. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Asumsi dasar
(a) Y: variabel terikat yang berdistribusi normal
(b) Populasi-populasi berdistribusi normal dan memiliki sifat homogen
(c) Sampel dipilih secara acak
(d) Variabel terikat
(e) Variabel bebas
2) Model
Xijk : + j + j + ij + ijk (Budiyono, 2000 :225)
Xijk : observasi pada subyek ke-k di bawah faktor I kategori ke-i dan faktor II
kategori ke-j
i : 1,2,….,p; p = banyaknya baris
j : 1,2,….,q; q = banyaknya kolom
k : 1,2,….,n; n = banyaknya data amatan pada sel ij
: grand mean atau rerata besar
i : efek faktor I kategori i terhadap Xijk
j : efek faktor II kategori j terhadap Xijk
ij : kombinasi efek faktor I dan II terhadap Xijk
ijk : kesalahan eksperimental yang berdistribusi normal
3) Hipotesis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
(a) HoA : i = 0 : Tidak ada perbedaan pengaruh antara penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan STAD terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
H1A : j 0 : Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan STAD terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
(b) HoB : i = 0 : Tidak ada perbedaan pengaruh antara aktivitas belajar siswa di
kelas kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa
pada pokok bahasan Kalor.
H1B : j 0 : ada perbedaan pengaruh antara aktivitas belajar siswa di kelas
kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada
pokok bahasan Kalor.
(c) HoAB : ij = 0 : Tidak ada interaksi antara pengaruh penggunaan model
pembelajaran kooperatif dan aktivitas belajar siswa di kelas terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
H1AB : ij 0 : Ada interaksi antara pengaruh penggunaan model
pembelajaran kooperatif dan aktivitas belajar siswa di kelas terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
4) Tabel Data Sel
Tabel.3.3. Rancangan Data Sel
B1 B2
A1
n1j
X1j
X1j
X21j
C1j
SS1j
n11
X11
X11
X211
C11
SS11
n12
X12
X12
X212
C12
SS12
A2
n2j
X2j
X2j
n21
X21
X21
n22
X22
X22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
X22j
C2j
SS2j
X221
C21
SS21
X222
C22
SS22
ij
2
ij
ijn
XC
: rerata harmonik cacah pengamatan semua sel
ijCXSS 2ijij : jumlah kuadarat deviasi pengamatan pada sel ij
(a) Tabel Rerata Sel AB :
Tabel.3.4. Rancangan Rerata Sel AB
B1 B2 Total
A1 11X 12X Ai
A2 21X 22X Aj
Total Bj Bj G
(b) Komponen Jumlah Kuadrat
(1) = pq
G 2
(3) = q
A2
i
(2) = ji,
ijSS (4) = p
B2
j
(5) = ij
ijAB2
(c) Rerata Harmonik
ij ij
h
n
1
pqn
(d) Jumlah Kuadrat
JkA = hn { (3) - (1)}
JkB = hn { (4) - (1)}
JkAB = hn { (5) - (4) - (3) + (1)}
JkG = (2)
JkT = JkA + JkB + JkAB + JkG
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Derajat Kebebasan
dkA = p – 1
dkB = q – 1
dkAB = (p – 1)(q – 1)
dkG = pq (n – 1) = N – pq
dkT = N – 1
(e) Rerata Kuadrat
RkA = JkA / dkA
RkB = JkB / dkB
RkAB = JkAB / dkAB
RkG = JkG / dkG
(f) Statistik Uji
FA = RkA / RkG
FB = RkB / RkG
FAB = RkAB / RkG
Daerah Kritik
DKA = FA ≥ F ; p - 1, N – pq
DKB = FB ≥ F ; q - 1, N – pq
DKAB = FAB ≥ F ; (p – 1)(q – 1), N – pq
(g) Keputusan Uji
Jika FA ≥ F ; p - 1, N – pq, maka H01 ditolak
Jika FB ≥ F ; q - 1, N – pq, maka H02 ditolak
Jika FAB ≥ F ; (p – 1)(q – 1), N – pq, maka H03 ditolak
(h) Rangkuman Anava
Tabel. 3.5. Rancangan Rangkuman Anava
Sumber
Variansi Jk dk Rk F P
Efek Utama
A
B
JkA
JkB
dkA
dkB
RkA
RkB
FA
FB
< atau >
< atau >
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Interaksi (AB) JkAB
dkAB RkAB FAB < atau >
Kesalahan JkG dkG RkG
Total JkT dkT
(Budiyono, 2000 :226-228)
4. Uji Lanjut Analisis Variansi
Untuk menyelidiki lebih lanjut rerata yang berbeda dan rerata yang sama
dilakukan pelacakan rerata dengan analisis Komparansi Ganda, dengan metode
Scheffe. Prosedur uji ini sebagai berikut :
a) Hipotesis
H0 : 1 = 2
HA : 1 ≠ 2
b) Digunakan tingkat signifikasi = 5 %
c) Statistik Uji
Untuk komparasi rerata antar baris, antar kolom, dan antar sel digunakan
statistik uji sebagai berikut :
Komparasi antar baris
ji
G
2
ji
ji
n
1
n
1Rk
XXF
Komparasi antar kolom
ji
G
2
ji
ji
n
1
n
1Rk
XXF
Komparasi antar sel
klij
G
2
klij
klij
n
1
n
1Rk
XXF
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
dengan :
jiF : Uji statistik komparasi antar baris
jiF : Uji statistik komparasi antar kolom
klijF : Uji statistik komparasi antar sel
iX : Rerata pada baris ke i
jX :Rerata pada baris ke j
iX : Rerata pada kolom ke i
jX : Rerata pada kolom ke j
ijX : Rerata pada sel ke ij
klX : Rerata pada sel ke kl
in : Cacah observasi pada baris ke i
jn : Cacah observasi pada baris ke j
in : Cacah observasi pada kolom ke i
jn : Cacah observasi pada kolom ke j
nij : Cacah observasi pada sel ke ij
nkl : Cacah observasi pada sel ke kl
d) Daerah Kritik
1) Komparasi antar baris : DKi.-j. : jiF . ≥ (p–1) F ; p-1, N-pq
2) Komparasi antar kolom: DK.i-.j : jiF ≥ (q–1) F ; q-1, N-pq
3) Komparasi antar sel : DKij-kl : Fij-kl ≥ (p–1)(q-1) F ; (p-1)(q-1), N-pq
(Budiyono (2000: 208 – 210)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Data yang diperoleh terdiri atas data keadaan awal Fisika siswa yang
diambil dari nilai ulangan semester genap, data aktivitas belajar siswa dan data
Kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor Kelas X SMA
Negeri 1 Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010.
1. Data Keadaan Awal Nilai Fisika Siswa
Berdasarkan data yang terkumpul mengenai keadaan awal Fisika siswa
untuk kelompok eksperimen diperoleh nilai terendah 50 dan nilai tertinggi 80.
Nilai rata-rata dan simpangan bakunya adalah 66,00 dan 8,75. Untuk lebih
jelasnya mengenai diskripsi nilai keadaan awal Fisika siswa dapat dilihat pada
Tabel. 4.1.
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Nilai Fisika Siswa Kelompok Eksperimen.
No Kelas
Interval
Frekuensi kelas eksperimen
Mutlak Relatif
1 50-55 4 11,765
2 56-61 8 23,529
3 62-67 5 14,706
4 68-73 7 20,588
5 74-79 8 23,529
6 80-85 2 5,882
Jumlah 34 100
Untuk mendapatkan Gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada
histogram Gambar 4.1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Gambar.4.1 Histogram Nilai Keadaan Awal Fisika Siswa Kelompok Eksperimen
Sedangkan untuk kelompok kontrol diperoleh nilai terendah 48 dan nilai tertinggi
80. Nilai rata-rata dan simpangan bakunya adalah 62,35 dan 7,87. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Fisika Siswa Kelompok Kontrol.
No Kelas
Interval
Frekuensi kelas kontrol
Mutlak Relatif(%)
1 45-50 3 8,824
2 51-56 4 11,765
3 57-62 13 38,235
4 63-68 8 23,529
5 69-74 4 11,765
6 76-81 2 5,882
Jumlah 34 100
Untuk mendapatkan Gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada
histogram Gambar 4.2.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
52,5 58,5 64,5 70,5 76,5 80,5
fre
ku
ae
nsi
Nilai tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Gambar.4.2 Histogram Nilai Keadaan Awal Fisika Siswa Kelompok Kontrol.
2. Data Aktivitas Belajar Siswa
Aktivitas belajar siswa dikelompokan menjadi dua kategori, yaitu
aktivitas belajar siswa kategori tinggi dan rendah. Pengelompokan ini berdasarkan
nilai rata-rata gabungan aktivitas belajar siswa. Dari data aktivitas belajar siswa
didapatkan nilai rata-rata gabungan dari kelompok eksperimen dan kontrol
diperoleh 95,04. Dari nilai ini maka siswa yang memiliki nilai di atas atau sama
dengan 95,04 termasuk siswa yang mempunyai aktivitas belajar kategori tinggi
dan termasuk kategori rendah jika nilai siswa di bawah 95,04. Berdasarkan data
aktivitas belajar siswa kelompok eksperimen didapat nilai terendah adalah 75 dan
nilai tertinggi adalah 127. Sedangkan untuk kelompok kontrol nilai terendahnya
63 dan nilai tertingginya 133 (untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran
28-31).
Untuk lebih jelasnya mengenai diskripsi nilai aktivitas belajar siswa kelas
eksperimen dapat dilihat pada Tabel. 4.3.
0
2
4
6
8
10
12
14
47,5 53,5 59,5 65,5 71,5 78,5
freku
aensi
Nilai tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Aktivitas Belajar Siswa Kelompok Eksperimen.
No Kelas
Interval
Frekuensi kelas EKSPERIMEN
Mutlak Relatif(%)
1 75-83 4 11,765
2 84-92 8 23,529
3 93-101 16 47,059
4 102-110 4 11,765
5 111-119 1 2,941
6 120-128 1 2,941
Jumlah 34 100
Gambar.4.3 Histogram Skor Angket Aktivitas Belajar Siswa Kelompok Eksperimen.
Sedangkan untuk nilai aktivitas belajar siswa kelas kontrol dapat
dilihat pada Tabel. 4.4.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
79 88 97 106 115 124
freku
aensi
Nilai tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Aktivitas Belajar Siswa Kelompok Kontrol
No Kelas
Interval
Frekuensi kelas KONTROL
Mutlak Relatif(%)
1 63-74 2 5,882
2 75-86 9 26,471
3 87-98 12 35,294
4 99-110 4 11,765
5 111-122 6 17,647
6 123-134 1 2,941
Jumlah 34 100
Gambar.4.4 Histogram Skor Angket Aktivitas Belajar Siswa Kelompok Kontrol.
3. Data Kemampuan kognitif Fisika Siswa
Berdasarkan data yang didapat mengenai Kemampuan kognitif Fisika
siswa pada pokok bahasan Kalor untuk kelompok eksperimen diperoleh nilai
0
2
4
6
8
10
12
14
68,5 80,5 92,5 104,5 116,5 128,5
fre
kua
ensi
Nilai tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
terendah 52,00 dan nilai tertinggi 90,00. Nilai rata-rata dan simpangan bakunya
yaitu 74,18 dan 9,41. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan kognitif Fisika Siswa Kelompok Eksperimen Pada Pokok Bahasan Kalor
No Kelas
Interval
Frekuensi kelas EKSPERIMEN
Mutlak Relatif(%)
1 50-56 2 5,882
2 57-63 3 8,824
3 64-70 7 20,588
4 71-77 7 20,588
5 78-84 10 29,412
6 85-91 5 14,706
Jumlah 34 100
Untuk mendapatkan Gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada
histogram Gambar 4.5.
Gambar.4.5 Histogram Nilai Kemampuan kognitif Fisika Siswa Kelompok Eksperimen Pada Pokok Bahasan Kalor
Berdasarkan data yang didapat mengenai Kemampuan kognitif Fisika siswa pada
pokok bahasan Kalor kelompok kontrol diperoleh nilai terendah 58,00 dan nilai
0
2
4
6
8
10
12
52,5 59,5 66,5 72,5 80,5 87,5
freku
aensi
Nilai tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
tertinggi 80,0. Nilai rata-rata dan simpangan bakunya adalah 70,59 dan 6,97.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan kognitif Fisika SiswaKelompok Kontrol Pada Pokok Bahasan Kalor
No Kelas
Interval
Frekuensi kelas KONTROL
Mutlak Relatif(%)
1 55-59 2 5,882
2 60-64 8 23,529
3 65-69 1 2,941
4 70-74 13 38,235
5 75-79 6 17,647
6 80-84 4 11,765
Jumlah 34 100
Untuk mendapatkan Gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada
histogram Gambar 4.3.
Gambar.4.6 Histogram Nilai Kemampuan kognitif Fisika Siswa Kelompok Kontrol Pada Pokok Bahasan Kalor
0
2
4
6
8
10
12
14
52,5 58,5 64,5 70,5 76,5 80,5
fre
kua
ensi
Nilai tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
B. Uji Prasyarat
1. Uji Normalitas Keadaan Awal Fisika Siswa
Uji Normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sampel berasal
dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak normal. Uji normalitas
kesamaan keadaan awal dilakukan terhadap data nilai Fisika siswa hasil ujian
semester genap.
a. Kelompok Eksperimen
Dari hasil analisis menggunakan uji Liliefors diperoleh harga Lobs= 0,09,
sedangkan untuk n = 34 pada taraf signifikasi 5% harga L0.05; 34 = 0,15195 ;
karena 0.05;34obs LL maka diperoleh keputusan uji bahwa Ho ditolak, berarti
sampel dalam penelitian ini berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
(Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Lampiran 22)
b. Kelompok Kontrol
Dari hasil analisis menggunakan uji Liliefors diperoleh harga Lobs= 0,11,
sedangkan untuk n = 34 pada taraf signifikasi 5% harga L0.05; 34 = 0,15195; karena
0.05;34obs LL maka diperoleh keputusan uji bahwa Ho ditolak, berarti sampel
dalam penelitian ini berasal dari populasi yang berdistribusi normal. (Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat Lampiran 24)
2. Uji Homogenitas Keadaan Awal Fisika Siswa
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel berasal
dari populasi yang homogen atau tidak homogen. Dari hasil analisis data yang
dilakukan dengan uji Bartlettt untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
diperoleh harga 2hitung = 0,36, sedangkan untuk 1n pada taraf signifikasi 5%
diperoleh harga 20.05; 1 = 3.841; karena 2
0.05;12Hitung χχ , maka diperoleh keputusan
uji bahwa Ho ditolak, hal ini menunjukkan bahwa kedua sampel berasal dari
populasi yang homogen. (Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Lampiran 26 )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
3. Uji- t Dua Ekor
Uji kesamaan keadaan awal antara siswa kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol dilakukan dengan analisis uji-t dua ekor yang sebelumnya telah
diuji dengan uji normalitas dan uji homogenitas. Dari analisis data diperoleh harga
thitung = 1,92, sedangkan harga Tabelt pada taraf signifikasi 5% untuk 34n adalah
2,00, karena - tTabel= -2,00< thitung = 1,92 > tTabel =2,00, maka OH diterima
sehingga dapat disimpulkan bahwa keadaan awal Fisika siswa kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol adalah sama. (Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat Lampiran 27 )
C. Pengujian Prasyarat Analisis
1. Uji Normalitas
a. Kelompok Eksperimen
Dari hasil analisis data menggunakan uji Liliefors diperoleh harga Lobs=
0,08 , L0.05; 34 =0,15195, sedangkan untuk 34n pada taraf signifikasi 5%
harga L0.05; 34 = 0,15195, karena 0.05;34obs LL maka diperoleh keputusan uji
bahwa Ho ditolak, berarti sampel dalam penelitian ini berasal dari populasi
yang berdistribusi normal. (Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Lampiran33-
34).
b. Kelompok Kotrol
Dari hasil analisis data menggunakan uji Liliefors diperoleh harga Lobs=
0,12, sedangkan untuk 34n pada taraf signifikasi 5% harga L0.05; 34 =
0,15195, karena 0.05;34obs LL maka diperoleh keputusan uji bahwa Ho
ditolak, berarti sampel dalam penelitian ini berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. (Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Lampiran 35-36)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel berasal
dari populasi yang homogen atau tidak homogen. Uji homogenitas menggunakan
Uji Bartlett diperoleh harga statistik uji 2hitung = 2,88, sedangkan 2 Tabel pada
taraf signifikansi 0,05 adalah 20.05; 1 = 3.841, karena 2
hitung tidak melebihi 2
0,05;1 , maka Ho diterima. Hal ini menunjukkan bahwa sampel berasal dari populasi
yang homogen. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 37.
D. Pengujian Hipotesis
1. Uji Hipotesis dengan Anava Dua Jalan
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa nilai keadaan nilai
aktivitas belajar siswa dan nilai kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok
bahasan Kalor dianalisis dengan analisis variansi dua jalan dengan frekuensi sel
tak sama, dan dilanjutkan uji lanjut Anava dengan metode Scheffe untuk Ho yang
ditolak. Hasil dari anava dapat dilihat pada Lampiran 38. Berdasarkan hasil
analisis data dapat dilihat rangkuman analisis data variansi yang telah dilakukan
pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan dengan Frekuensi Sel Tak Sama
Sumber Variansi Jk dk Rk F
Efek Utama
A (baris) 193,26 1 193,26 4,02
B (kolom) 1089,75 1 1089,75 22,65
Interaksi
AB 350,07 1 350,07 7,28
Kesalahan / Ralat 3078,68 64 48,10 -
Total 4711,76 67 - -
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Dari hasil analisis data dan Tabel 4.7, rangkuman analisis variansi di
atas dapat terlihat bahwa 01H , 02H , dan 03H ditolak. Keputusan ini diperoleh
dari hasil HitungF dikonsultasikan Tabel TabelF sebagai berikut.
FA = 4,02 > F0.05; 1.64 = 3.99
FB = 22,65 > F0.05; 1.64 = 3.99
FAB = 7,28 > F0.05; 1.64 = 3.99
Dari keterangan di atas maka dapat dibuat kesimpulan seperti berikut:
a. H0A ditolak atau H1A diterima, berarti ada perbedaan pengaruh antara
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan STAD terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor. (FA = 4,02 >
F0.05; 1.64 = 3.99)
b. H0B ditolak atau H1B, diterima, berarti ada perbedaan pengaruh antara aktivitas
belajar siswa kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika
siswa pada pokok bahasan Kalor. (FB = 22,65 > F0.05; 1.64 = 3.99)
c. H0AB ditolak atau H1AB diterima, berarti ada interaksi antara pengaruh
penggunaan model pembelajaran kooperatif dan aktivitas belajar siswa
terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor. (FAB =
7,28 < F0.05; 1.64 = 3.99)
2. Uji Lanjut Anava
Uji lanjut anava (komparasi ganda) digunakan sebagai tindak lanjut dari
analisis variansi. Anava hanya dapat mengetahui ditolak atau diterimanya
hipotesis nol. Hal ini berarti, jika hipotesis nol ditolak, maka belum dapat
diketahui rerata mana yang berbeda. Karena jika hipotesis nol ditolak, maka
diperoleh kesimpulan bahwa paling sedikit terdapat satu rerata yang berbeda
dengan rerata lainnya. Tujuan uji lanjut anava ini untuk mengetahui lebih lanjut
rerata yang berbeda dan yang sama. Uji lanjut anava pada penelitian ini
menggunakan metode komparasi ganda (metode Scheffe). Berikut ini Tabel
rangkuman komparasi ganda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Tabel 4.8. Rangkuman Komparasi Rerata Pasca Analisis Variansi
Komparasi
Ganda
Rerata Statistik Uji
)n
1
n
1(Rk
XXF
ji
G
ji
ij
Harga
Kritik
P
iX
jX
2,18
2,08 4,55 3.99 > 0,05
2,08
1,90 23,97 3.99 > 0,05
4,73
3,99 28,00 3.99 > 0,05
4,73
4,84 10,44 3.99 > 0,05
4,73
3,63 24,32 3.99 > 0,05
3,99
4,84 3,58 3.99 < 0,05
3,99
3,63 0,26 3.99 < 0,05
4,84
3,63 2,11 3.99 < 0,05
Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 39.
a. Komparansi Rerata Antar Baris
FA = 4,55 > F0.05; 1.64 = 3.99, maka H0 ditolak. Hal ini menunjukkan ada
perbedaan rerata antar baris yang signifikan antara baris A1 (penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw) dan baris A2 (penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD) terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa
pokok bahasan Kalor. Rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diberi
pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah XA1 =
2,18 dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD XA2 = 2,08. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw memberikan pengaruh lebih baik terhadap kemampuan kognitif Fisika
siswa daripada model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
b. Komparansi Rerata Antar Kolom
FB = 23,97 > F0.05; 1.64 = 3.99, maka H0 ditolak. Hal ini menunjukkan ada
perbedaan rerata antar kolom yang signifikan antara kolom B1 (aktivitas belajar
A2B21A2B
A2B22A1B
A2B12A1B
A2B21A1B
A2B11A1B
A1B21A1B
B21B
A21A
μvsμ
μvsμ
μvsμ
μvsμ
μvsμ
μvsμ
μvsμ
μvsμ
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
siswa kategori tinggi) dan kolom B2 (aktivitas belajar siswa kategori rendah)
terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor. Rerata
kemampuan kognitif Fisika siswa yang mempunyai aktivitas belajar kategori
tinggi adalah XB1 = 2,08 dan siswa yang mempunyai aktivitas belajar kategori
rendah adalah XB2 = 1,90. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa
yang mempunyai aktivitas belajar kategori tinggi memberikan pengaruh yang
lebih baik terhadap kemampuan kognitif Fisika dari pada siswa yang mempunyai
aktivitasi belajar kategori rendah.
c. Komparasi Rerata Antar Sel
1) FA1B1-A1B2 = 28,00 > F0.05; 1.64 = 3.99 maka Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata yang signifikan antara
kolom A1B1 (penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan
aktivitas belajar siswa kategori tinggi) dan kolom A1B2 (penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar siswa kategori
rendah).
Rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar siswa kategori tinggi
4,73XA1B1 , sedangkan rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar
dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar siswa
kategori rendah 3,99XA1B2 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar
siswa kategori tinggi memberikan pengaruh lebih baik daripada penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar siswa kategori
rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
2) FA1B1-A2B1 = 10,44 > F0.05; 1.64 = 3.99 maka Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata yang signifikan antara
kolom A1B1 (penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan
aktivitas belajar siswa kategori tinggi) dan kolom A2B1 (penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa kategori
tinggi).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar siswa kategori tinggi
4,73XA1B1 , sedangkan rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar
dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa
kategori tinggi 4,84XA2B1 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar
siswa kategori tinggi memberikan pengaruh lebih baik daripada penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar siswa kategori
tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
3) FA1B1-A2B2 = 31,78 > F0.05; 1.64 = 3.99 maka Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata yang signifikan antara
kolom A1B1 (penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan
aktivitas belajar siswa kategori tinggi) dan kolom A2B2 (penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa kategori
rendah).
Rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar siswa kategori tinggi
29,74XA1B1 , sedangkan rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar
dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa
kategori rendah 3,63XA2B2 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar
siswa kategori tinggi memberikan pengaruh lebih baik daripada penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa kategori
rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
4) FA1B2-A2B1 = 3,58 < F0.05; 1.64 = 3.99 maka Ho diterima.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rerata yang signifikan
antara kolom A1B2 (penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
dengan aktivitas belajar siswa kategori rendah) dan kolom A2B1 (penggunaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa kategori
tinggi).
Rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar siswa kategori
rendah 3,99XA1B2 , sedangkan rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang
diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar
siswa kategori tinggi 4,84XA2B1 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar
siswa kategori rendah memberikan pengaruh tidak lebih baik daripada
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar
siswa kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok
bahasan Kalor.
5) FA1B2-A2B2 = 0,25 < F0.05; 1.64 = 3.99 maka Ho diterima.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rerata yang signifikan
antara kolom A1B2 (penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
dengan aktivitas belajar siswa kategori rendah) dan kolom A2B2 (penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa kategori
rendah).
Rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar siswa kategori
rendah 3,99XA1B2 , sedangkan rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang
diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar
siswa kategori rendah 3,63XA2B2 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan aktivitas belajar
siswa kategori rendah memberikan pengaruh tidak lebih baik daripada
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar
siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok
bahasan Kalor.
6) FA2B1-A2B2 = 2,11 < F0.05; 1.64 = 3.99 maka Ho diterima.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rerata yang signifikan
antara kolom A2B1 (penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
dengan aktivitas belajar siswa kategori tinggi) dan kolom A2B2 (penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa kategori
rendah).
Rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa kategori tinggi
4,84XA2B1 , sedangkan rerata kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar
dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa
kategori rendah 3,63XA2B2 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar
siswa kategori tinggi memberikan pengaruh tidak lebih baik daripada penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan aktivitas belajar siswa kategori
rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
E. Pembahasan Hasil Analisis Data
1. Hipotesis Pertama
Harga FA = 4,02 F0.05; 1.64 = 3.99 lebih besar dari F0.05; 1.64 = 3.99
sehingga hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima, maka ada
perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw dan STAD terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan
Kalor di SMA kelas X. Dari Tabel 4.8 terlihat bahwa prestasi siswa yang diberi
perlakuan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
mempunyai rerata yang lebih besar daripada siswa yang diberi pembelajaran
dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ternyata
memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini dikarenakan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran yang mengoptimalkan
kerjasama dengan menggabungkan pembelajaran kelompok dengan pembelajaran
individual. Dalam pembelajaran kelompok, siswa bekerja sama mengkonstruksi
atau membangun konsep yang ditanamkan guru melalui diskusi dalam kelompok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
ahli. Dalam pembelajaran individual, siswa akan berusaha sebaik-baiknya untuk
menguasai materi yang diberikan dikarenakan sebagai siswa ahli mereka harus
menjelaskan kembali materi yang dipelajari dalam kelompok. Dalam hal ini
setelah berdiskusi dalam kelompok ahli diharapkan siswa dapat saling bekerja
sama dalam memahami tiap permasalahan yang belum dipahami untuk
didiskusikan bersama dalam anggota kelompoknya, sehingga diharapkan pada
akhir pembelajaran semua anggota kelompok dapat mencapai kemampuan
kognitif Fisika yang sama.
Sedangkan untuk tipe STAD siswa akan memdapat permasalahan yang
sama pada setiap kelompok untuk didiskusikan bersama, jika mereka mampu
berkerjasama dan berdiskusi mereka akan mampu untuk mendapat hasil kognitif
yang lebih baik, namun jika diskusi tidak berjalan baik maka satu kelompok akan
memperoleh nilai kognitif yang kurang baik. Dalam STAD juga siswa tidak
dituntut untuk menyampaikan lagi sehingga tanggung jawab untuk menguasai
materi tidak begitu tinggi.
2. Hipotesis Kedua
Harga FB = 22.36 lebih besar dari F0.05; 1.72 = 3.98, sehingga hipotesis nol
ditolak. Hal ini berarti ada perbedaan pengaruh antara aktivitas belajar siswa
kategori tinggi dan rendah terhadap Kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok
bahasan Kalor di SMA kelas X. Dari Tabel 4.6 terlihat bahwa kemampuan
kognitif Fisika siswa yang mempunyai aktivitas belajar siswa kategori tinggi
mempunyai rerata yang lebih besar daripada siswa yang mempunyai aktivitas
belajar kategori rendah. Hal ini membuktikan bahwa siswa yang mempunyai
aktivitas belajar kategori tinggi akan memberikan pengaruh yang lebih besar
daripada siswa yang mempunyai aktivitas belajar kategori rendah terhadap
kemampuan kognitif Fisika siswa.
Siswa dengan aktivitas belajar tinggi, berarti siswa tersebut banyak
melakukan aktivitas-aktivitas belajar dalam mendukung kemampuan kognitifnya
seperti : sering bertanya, sering menjawab pertanyaan, sering berpendapat, banyak
berlatih, banyak membaca dan lain sebagainya. Dengan banyak melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
aktivitas belajar, maka siswa akan lebih mudah dalam mengkonstruksi
pengetahuan ke dalam pikirannya. Dengan demikian dalam bekarja sama dengan
sesama anggota kelompok belajarnya, siswa tersebut akan lebih banyak
memberikan kontribusi yang mendukung keberhasilan dalam menemukan konsep
Fisika yang diharapkan.
3. Hipotesis Ketiga
Harga FAB = 7,28 lebih besar dari F0.05; 1.64 = 3.99, sehingga hipotesis nol
ditolak. Hal ini berarti ada interaksi antara pengaruh penggunaan model
pembelajaran kooperatif dan aktivitas belajar siswa terhadap kemampuan kognitif
Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor di SMA Negeri 1 Karanganyar kelas X.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa kemampuan kognitif Fisika siswa yang
diberi pembelajaran dengan model pembelajarn kooperatif tipe Jigsaw lebih baik
daripada tipe STAD, baik untuk siswa yang mempunyai aktivitas belajar kategori
tinggi maupun siswa yang mempunyai aktivitas belajar kategori rendah. Di
samping itu, kemampuan kognitif Fisika pada siswa yang mempunyai aktivitas
belajar kategori tinggi lebih baik daripada siswa yang mempunyai aktivitas belajar
kategori rendah, baik yang diberi pengajaran dengan model pembelajarn
kooperatif tipe Jigsaw maupun STAD.
Penggunaan tipe model pembelajaran kooperatif yang tepat yang disertai
dengan banyaknya tahap pemberian soal dalam memahami konsep Fisika yang
diajarkan akan memberikan hasil kemampuan kognitif Fisika siswa yang optimal.
Selain itu aktivitas belajar juga akan mempengaruhi kemampuan kognitif Fisika
siswa, semakin tinggi aktivitas belajar siswa, maka akan semakin tinggi
kemampuan kognitif Fisikanya. Sebaliknya semakin rendah aktivitas belajar
siswa, maka akan semakin rendah pula kemampuan kognitif Fisikanya.
Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dimana siswa bekerja
sama dalam suatu kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lain dalam
mempelajari materi pelajaran. Pembelajaran kooperatif dan keaktifan siswa
memiliki hubungan yang erat yaitu dengan keaktifan siswa maka pembelajaran
kooperatif mampu berjalan, tanpa adanya keaktifan siswa dalam kelompok untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
memecahkan masalah maka pembelajaran kooperatif akan terhenti karena tidak
ada kegiatan kerjasama antar siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw dan tipe STAD terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada
pokok bahasan Kalor. Siswa yang diberi pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw mempunyai kemampuan kognitif Fisika
yang lebih baik daripada siswa yang diberi pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD.
2. Ada perbedaan pengaruh antara keaktifan siswa di kelas kategori tinggi dan
rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada pokok bahasan Kalor.
Siswa yang mempunyai keaktifan tinggi mempunyai kemampuan kognitif
Fisika yang lebih baik daripada siswa yang mempunyai keaktifan rendah.
3. Ada interaksi antara pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif
dan keaktifan siswa di kelas terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada
pokok bahasan Kalor.
B. Implikasi Hasil Penelitian
Dari kesimpulan penelitian ini, maka sebagai implikasi adalah :
1. Pada pengajaran Fisika ternyata penggunaan model pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw memberikan pengaruh yang lebih baik daripada melalui model
pembelajaran kooperatif tipe STAD, sehingga faktor ini perlu diperhatikan.
2. Aktivitas belajar Fisika siswa mempunyai pengaruh terhadap Kemampuan
kognitif Fisika siswa. Diharapkan guru dapat menumbuhkan aktivitas belajar
pada diri siswa, yang salah satunya dengan model pembelajaran kooperatif.
Berdasarkan dari dua hal tersebut di atas, maka hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam menggunakan model
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
pembelajaran yang sesuai dalam pembelajaran Fisika dan memperhatikan
aktivitas belajar Fisika siswa.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dan implikasinya, maka penulis
memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Guru Fisika diharapkan dalam penyampaian materi Fisika lebih
memperhatikan penggunaan model pembelajaran yang lebih baik sehingga
kegiatan belajar-mengajar berjalan sesuai dengan tujuan yang dicapai dan
materi yang disampaikan dapat diterima oleh siswa secara efektif.
2. Siswa hendaknya menyadari bahwa yang menentukan keberhasilan belajar
adalah siswanya sendiri yaitu siswa yang memiliki aktivitas belajar tinggi
dalam rangka pencapaian kemampuan kognitif Fisika yang baik
3. Kepada rekan mahasiswa, semoga penelitian ini dapat dipergunakan sebagai
acuan penelitian selanjutnya dengan mengaitkan aspek-aspek yang belum
diungkap dan dikembangkan dari variabel yang telah disebutkan di depan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92