di manakah letak hubungan antara hukum dan masyarakat itu
TRANSCRIPT
Nama: SHERLY NELSA FITRI
NIM : E0012364
1. Di manakah letak hubungan antara hukum dan masyarakat itu?
Jawab :
Hubungan antara hukum dan masyarakat sangat erat dan tak mungkin dapat
diceraipisahkan antara satu sama lain, mengingat bahwa dasar hubungan tersebut
terletak dalam kenyataan berikut ini.
a. Hukum adalah pengatur kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat tidak
mungkin teratur kalau tidak ada hukum.
b. Masyarakat merupakan wadah atau tempat bagi berlakunya suatu hukum. Tidak
mungkin ada atau berlakunya suatu hukum kalau masyaratnya tidak ada.
c. Di samping itu, tak dapat di sangkal adanya kenyataan bahwa hukum itu juga
merupakan salah satu hukum itu juga merupakan salah satu sarana utama bagi manuia
melalui masyarakat di mana ia menjadi warga atau anggotanya, untuk memenuhi
segala keperluan pokok hidupmnya dalam keadaan yang sebaik dan sewajar
mungkin, mengingat hukum itu pada hakikatnya:
a) Memberikan perlindungan (proteksi) atas hak-hak setiap orang secara wajar, di
samping itu juga menetapkan kewajiban- kewajiban yang harus di penuhinya
sehubungan dengan haknya tersebut.
b) Memberilan juga pembatasan (restriksi) atas hak-hak seseorang pada batas yang
maksimal agar tidak menggangu atau merugikan hak orang lain, di samping juga
menetapkan batas-batas minimall kewajiban yang harus di penuhinya demi hak
wajarnya orang lain.
c) Jadi ,jelaslah bahwa itu bukan hanya menjamin keamanan dan kebebasan, tetapi
juga ketertiban dan keadilan bagi setiap orang dalam berusaha untuk memenuhi
segala keperluan hidupnya dengan wajar dan layak.
2. Adakah devinisi hukum dalam arti pengertian tentang hukum yang berlaku umum ?
jelaskan!
Jawab :
Saya berpendapat bahwa pada dasarnya tidak ada definisi hukum dalam arti
pengertian hukum yang berlaku umum tersebut. Adapun pendapat kami ini
berdasarkan atas pendapat- pendapat para ahli hukum yang penting di ketahui berikut
ini diantaranya menurut Immanuel Kant :
Bahwa definisi hukum dalam arti pengertian yang berlaku tentang hukum itu samapai
sekarang ini masih belum juga ada. Dalam kenyataan sampai sekarang ini pun definisi
hukum dalam arti definisi yang sempurna itu masih berusaha untuk di cari-cari oleh
para ahli hukum, mengingat definisi hukum yang telah di buat sampai saat ini belum
juga di nilai sempurna.
3. Mengapa suatu norma selalu berpasangan dengan hal yang bernama sanksi ?
Jawab :
Sebab Norma atau kaidah adalah suatu ketentuan-ketentuan yang menjadi pedoman
dan panduan dalam bertingkah laku di kehidupan masyarakat. Norma berisi anjuran
untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat buruk dalam bertindak sehingga
kehidupan ini menjadi lebih baik. Norma adalah kaidah, ketentuan, aturan, kriteria,
atau syarat yang mengandung nilai tertentu yang harus dipatuhi oleh warga
masyarakat di dalam berbuat, dan bertingkah laku sehingga terbentuk masyarakat
yang tertib, teratur dan aman.
Disamping sebagai pedoman atau panduan berbuat atau bertingkah laku. Norma juga
dipakai sebagai tolak ukur di dalam mengevaluasi perbuatan seseorang. Norma selalu
berpasangan dengan sanksi, sebab sanksi merupakan suatu keadaan yang dikenakan
kepada si pelanggar norma. Si pelanggar norma harus menjalani sanksi sebagai akibat
atau tanggung jawabnya atas perbuatan itu. Adapun wujud, bentuk, atau jenis sanksi
itu harus sesuai atau selaras dengan wujud, bentuk, dan, jenis normanya.
4. Dalam hal secara teori, filsafat hukum memiliki dua tugas penting yakni ?
Jawab :
1. Yurisprudensi analisis
Berkaitan dengan dimensi yang pertama, tugas filsuf hukum adalah melakukan
analisis tentang konsep dasar dalam hukum dan struktur hukum sebagaimana adanya.
Pertanyaan tentang apa itu hukum, tanggung jawab hukum, hak dan kewajiban
hukum, misalnya, adalah contoh pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan filsuf atau
pemikir hukum sebagai titik tolak dalam menganalisis dan mencoba memahami
konsep dasar tersebut.
2. Yurisprudensi normatif
Dalam buku yang sama dengan yang membahas yurisprudensi analisis dijelaskan
bahwa yurisprudensi normatif berusaha mengevaluasi atau mengkritik hukum dengan
berangkat dari konsep hukum sebagaimana seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan pokok
uang diajukan antara lain mengapa hukum disebut hukum, mengapa kita wajib
manaati hukum, manakah batas validitas hukum, dan sebagainya. Dengan demikian,
dimensi yang kedua ini berurusan dengan dimensi ideal dari hukum.
5. Hukum dipahami secara arti komando, jelaskan secara detail !
Jawab :
Hukum komando itu bahwa hukum harus dipahami dalam arti komando karena
hukum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih: apakah mematuhi atau tidak
mematuhi. Hukum bersifat non-optional. Artinya, perintah yang keluarkan oleh
sovereign harus ditaati oleh semua warganya tanpa kecuali dan tanpa pilihan. Dengan
pemikiran seperti ini Austin mau menegaskan bahwa hukum bukanlah setumpuk
peraturan atau nasihat moral. Jika hukum hanyalah setumpuk peraturan atau nasihat
moral, maka hukum tidak memiliki implikasi hukuman apapun. Ketika hukum tidak
lagi dapat dipakasakan, yakni pelanggarannya dikenai hukuman atau sanksi hukum,
maka hukum tidak lagi dapat disebut hukum. Hukum kehilangan esensinya sebagai
komando. Maka, kepatuhan pada hukum adalah kewajiban yang tak dapat ditawar-
tawar.
Hal lain yang patut menjadi tekanan penting di sini adalah bahwa hukum tidak hanya
bersifat komando saja tetapi dibarengi dengan sanksi bagi yang tidak mentaatinya.
Komando dari sovereign diafirmasi dengan sanksi. dijelaskan bahwa ketika kita
menyebut perintah sebagai hukum tetapi dalam praktek tidak dapat ditegakkan
mealalui sanksi hukum adalah absurd. Hukum yang demikian tidak mampu
memenuhi fungsi sosialnya sebagai alat control terhadap tingkah laku masyarakat.
Padahal fungsi utama dari hukum adalah mengontrol perilaku masyarakat. Dengan
demikian hukum dalam arti komando mengungkapkan keinginan penguasa.
6. Bagaimana Konsep hukum dikaitkan dengan artinya pada abad 21 ini ?
Jawab :
Konsep hukum dan makanyanya yang luas sebagai law (untuk menggantikan istilah
latin ius) dan bukan diartikan sempit-sempit sebagai undang-undang (alias ius
constitutum, yaitu norma hukum yang telah memperoleh bentuknya yang khusus dan
dinyatakan secara positif konfirmatif sebagai hukum dengan backups kekuatan yang
formal) akan memungkinkan proses desakralisasi hukum. Hukum – sekalipun telah
dibentuk dalam wujudnya yang formal sebagai produk kebijakan suatu badan
pemerintahan negara ang terbilang tinggi – bukanlah suatu yang sacral dan berstatus
di atas segala-galanya (the supreme law-state, de hoogste rechtstaat). Alih-alih,
menurut konsepnya yang mutakhir ini, hukum pada hakikatnya adalah produk
aktivitas politik rakayat yang berdaulat, yang digerakkan oleh kepentingan-
kepentingan ekonomi mereka yang lugas entah pula yang ikut diilhami oleh dan/atau
dirujukkan ke norma-norma sosial dan/atau nilai-nilai ideal kultur mereka.Dalam
konsep kaum realis ini, hukum perundang-undangan yang diakui berlaku namun tak
lagi disakralkan ini dapatlah dijadikan objek kritik sewaktu-waktu. Kritik-kritik boleh
dilancarkan tidak hanya atas dasar criteria kesahan sehubungan dengan prosedur
pembentukan serta prosedur pelaksanaannya yang formal semata melainkan juga atas
dasar kebenaran subtansi sosio-kulturalnya. Hukum perundang-undangan nasional,
berikut konkretisasinya dalam bentuk amar-amar putusan pengadilan, dicitakan akan
selalu terbuka untuk berbagi kajian dan berbagai kritik dekonstruktif yang dilakukan
lewat berbagai gerakan sosial peduli hukum, agar hukum nasional yang berfungsi
sebagai salah satu kekuatan penggalang responsive ke kekepentingan public menuju
ke kehidupan masyarakat Indonesia baru yang demokratis, pembaruan hukum nasoanl
mestilah bertolak dari konsep-konsep dan doktrin-doktrin yang baru dan diklaim lebih
reaslistis ini. Bukanlah dalam pengalaman hidup di peraliahan abad ke 21 ini telah
terbukti bahwa konsep dan doktrin hukum yang formal-positivitis – yang berbasiskan
ideology yang memucak di peraliahan abad 19 – itu telah usang dan nyatanya hanya
fungsional untuk melindungi kepentingan the ruling elite(s) beserta kaum mapan yang
telah menjadi kroni-kroninya.
7. Das sein dan Das Sollen tidak dapat dipisahkan, sebab ?
Jawab :
Peristiwa konkrit (das sein) memerlukan das sollen untuk menjadi peristiwa hukum.
Begitu pula sebaliknya, dunia norma (das sollen) juga memerlukan peristiwa konkrit
(das sein) untuk menjadi peristiwa hukum.
Contoh : terdapat aturan "barangsiapa membunuh harus dihukum..", maka bila tidak
terjadi pembunuhan maka tidak berlaku pula aturan ini. Sehingga dapat disimpulkan
secara umum bahwa das sollen dan das sein itu saling melengkapi satu sama lain.
8. Apa hubungan antara nilai dan norma ?
Jawab :
Nilai sesuatu yang paling dasar, bersifat hakiki, intisari atau makna yang terdalam.
Nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang berkaitan dengan cita-cita, harapan,
keyakinan, dan hal-hal yang bersifat ideal.
Agar hal-hal yang bersifat abstrak itu menjadi konkret dan nyata, maka perlu
dirumuskan yang lebih konkret dalam wujud norma.
Sebab norma merupakan Aturan-aturan berupa perintah dan larangan yang terdapat
dalam norma itu didasarkan pada suatu nilai yang oleh masyarakat dianggap baik,
benar, bermanfaat, serta dijunjung tinggi. Jadi, hubungan antara nilai dengan norma
terletak pada dijadikannya nilai sebagai sumber dari aturan-aturan yang menuntun
tingkah laku manusia agar harapan-harapannya dapat menjadi kenyataan.
9. Bagaimana perikatan hukum dan dinamika sosial ?
Jawab :
Dapat dikatakan bahwa hukum dan dinamika sosial adalah dua hal yang saling
melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat memberi hidup hukum
sedangkan hukum mengarahkan masyarakat menuju tujunannya. Sebagaimana
pandangan sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Lebih jauh aliran ini berpandangan
bahwa kaitannya dengan hukum yang positif,dia hanya akan bisa efektif apabila
senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat dan pusat perkembangan
dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,keputusan-keputusan badan
yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justeru terletak di dalam
masyrakat itu sendiri. Hal yang senada di ungkapkan oleh Awaludin Marwan yang
berpendapat bahwa hukum tidak bisa lepas dari masyarakat secara sosial , hukum
dilaksanakan dibuat dan diterapkan atas mandat masyarakat. Sehingga mempelajari
hukum pertama-tama hendaknya mempelajari masyarakatnya. Tidak ada hukum
tampa ada masyarakat.Lebih lanjut Awaludin Marwan berpendapat bahwa hukum
yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral dan politik dari masyarakat,
yang berisikan keinginan, harapan, kebutuhan dan kebudayaan masyarakat. Hukum
yang tidak mengandung hati nurani rakyat, maka ia bukanlah hukum yang baik dan
hukum yang terkhir inilah yang harus dikritik dan dirobohkan.
10. Sebutkan pandangan- pandangan hukum menurut masyarakat !
Jawab :
Pandangan yang pertama biasanya kita temui pada golongan masyarakat yang
orientasi hidupnya pada bidang perniagaan. Hukum dalam hal ini dipandang sebagai
salah satu alat yang dapat menjadi pelindung terhadap usahanya. Segala bentuk usaha
yang dia lakukan haruslah memiliki ikatan hukum yang jelas. Hal ini merupakan
sebuah fenomena yang wajar menurut kelompok ini. Interaksi yang dibangun dengan
individu yang lain pun tidak lebih dari negosiasi dan tawar-menawar. Model interaksi
dengan paradigma seperti inilah yang kemudian menempatkan hukum sebagai alat
pelegitimasi interaksi. Kepercayaan dengan individu lain mustahil akan muncul dalam
model interaksi seperti ini apabila tidak ada ikatan hukum yang jelas.
Pada kelompok masyarakat ini kita dapati bahwa hukum tidak dijadikan sebagai satu-
satunya sandaran hidup. Bukan berarti ketika dikatakan bahwa setiap interaksi dalam
setiap usahanya haruslah ada hukum sebagai pelegitimasi maka dia pun akan
menjadikan hukum sebagai sandaran hidupnya. Akan tetapi hukum dijadikan sebagai
alat pelengkap. Tujuan utamanya bukan menyandarkan hidupnya pada hukum akan
tetapi bagaimana hukum itu digunakan untuk mencapai tujuan- tujuan usahanya.
Dalam pandangan kelompok ini, panggunaan hukum bersifat relatif. Sangat
bergantung pada untung tidaknya apabila ia berurusan dengan hukum. Karena hukum
bukanlah tujuan utama dan sandaran kehidupannya.
Pandangan kedua adalah pandangan yang menjadikan hukum sebagai sandaran
kehidupannya. Pandangan ini biasa atau bahakan sangat banyak kita temukan pada
kelompok orang yang berprofesi sebagai penegak hukum. Sangat banyak yang saya
katakan bukanlah sebuah penghukuman terhadap keseluruhan. Dalam arti bahwa ada
juga orang- orang yang berprofesi sebagai penegak hukum yang tidak berpandangan
seperti ini. Akan tetapi kita sangat sulit menemukannya. Sangat sedikit dan pastilah
merupakan kelompok yang teralienasi dalam profesinya. Saya berani memastikan hal
ini karena realitasnya seperti itu. Tapi, untuk pembahasan ini akan dibahas pada bab
yang lain dalam buku ini. Yang kita fokuskan pada pembahasan kali ini hanyalah
sebatas paradigma orang yang menjadikan hukum sebagai sandaran hidupnya saja.
Dalam pandangan ini, hukum dijadikan sebagai sandaran hidup. Dalam arti bahwa
hukum dilihat sebagai faktor utama penentu kehidupan. Dari hukum-lah kemudian ia
bisa mendapatkan kebutuhannya akan hidup. Baik itu berupa kebutuhan pokok
sampai pada kebutuhan tersiernya. Mereka adalah orang yang kemudian menafsirkan
bahasa hukum sesuai dengan kebutuhannya. Keadilan-pun yang merupakan asas
utama lahirnya hukum dapat ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan mereka. Sangat
tergantung apakah ia kemudian mendapatkan kebutuhannya dari keadilan itu atau
tidak. Kalau ia mendapatkannya ia akan memperjuangkannya, dan kalau tidak maka
sebaliknya. Hukum dalam pandangan ini sangat bergantung dari subjektifitas pelaku.
Apakah pelaku melihat hukum itu dapat memberikannya kehidupan atau tidak. Dalam
pandangan ini pula, hukum menjadi tidak independen. Karena hukum harus ikut pada
penafsiran kebutuhan sang pelaku.
Pandangan ketiga adalah pandangan trauma terhadap hukum. Kita akan banyak
menemui pandangan yang seperti ini pada masyarakat kelas bawah. Masyarakat grass
root, atau masyarakat mayoritas yang kemudian harus berada pada struktur paling
bawah karena adanya dominasi dari kelompok minoritas. Masyarakat dalam posisi ini
berpandangan bahwa hukum itu merupakan sebua mimpi buruk dikarenakan
persengketaan yang meilbatkan dia dengan hukum harus mempertemukannya dengan
orang dari kelompok pertama dan kedua. Karena dia tidak memiliki sesuatu yang bisa
dijadikan alat tukar dalam proses tawar menawar yang diciptakan oleh orang dari
kedua pandangan tersebut, maka ia pun harus menerima kenyataan sebagai pihak
yang salah. Yang harus diambil miliknya, yang harus membayar ganti rugi, denda dan
bahkan pidana kurungan. Sangat tragis memang mengingat bahwa kelompok inilah
yang harus menanggung semua itu. Sedangkan mereka adalah pihak yang secara
ekonomi termarjinalkan.
Ketiga pandangan di atas bukanlah perwakilan dari keseluruhan pandangan tentang
hukum. Akan tetapi saya mengambil ketiga bentuk pandangan diatas hanya sebagai
pengantar pembahasan ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa hal yang seperti ini
merupakan hal yang paling sering kita dapati ketika kita mencoba membuka mata
terhadap realitas hukum hari ini. Bukan berarti bahwa saya tidak mengambil pendapat
para ahli, akan tetapi pendapat para ahli akan digunakan dalam bab lain untuk
mencoba mencari mengapa hal ini bisa terjadi.
Pandangan kedua dalam penjelasan diatas memang sangat dekat dengan pandangan
yang pertama. Karena sebagian besar orang dari kedua pandangan ini saling
bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan mereka masing- masing. Jika ada sebuah
persengketaan yang terjadi pada orang dari kelompok yang pertama, ia cenderung
untuk meminta bantuan pada penegak hukum dari kelompok yang kedua. Prosesnya
pun lebih banyak berupa negosiasi dan tawar-menawar. Hal ini bukanlah sebuah hal
yang kita harus perdebatkan apakah hal ini pantas menjadi salah satu fenomena dunia
hukum atau tidak. Sangat bergantung pada bagaimana kita mempersepsikan hukum.
Untuk membahas fenomena ini yang harus kita lakukan adalah mencari akar masalah
mengapa hal ini harus terjadi, bukan membicarakan apakah itu merupkan sebuah hal
yang pantas atau tidak. Karena, kita pasti mengetahui bahwa dalam sebuah diskursus
tentang keadilan kita tidak mungkin akan mengatakan bahwa keadilan merupakan
sebuah hal yang bisa diperoleh melalui sebuah proses negosiasi dan tawar menawar.
Setiap orang bahkan mengatakan akan menjadi orang yang membela keadilan yang
menmpatkan hak orang pada tempatnya masing- masing. Karena keadilan merupakan
ranah das sollen. Ranah yang ideal, dan idealnya keadilan adalah menempatkan
sesuatu sesuai dengan tempatnya.
Akan tetapi kita belum tentu menemukan hal itu pada ranah das sein. Karena pada
ranah praktis hukum bukanlah sesuatu yang independen lagi. Ketika hukum mulai
memasuki ranah praktis ia harus berbenturan dengan ranah lain dalam kehidupan
social. Entah itu ekonomi atau politik, sangat bergantung pada bagaimana hukum itu
kemudian diterapkan, pada kondisi yang seperti apa, dan siapa yang menerapkannya.
Oleh karena itu pandangan ahli sosiologi hukum menyatakan bahwa dalam
penerapannya hukum tidak independen. Dia haruslah berinteraksi dengan diskursus
lain yang juga hidup dan tumbuh dalam kehidupan sosial.
11. Bagaimana Sifat – sifat negara antara das sein dan das sollen?
Jawab :
Sifat-sifat negara antara Das Sein dan Das Sollen dilatarbelakangi oleh ajaran
Immanuel Kant [seorang filsuf dan guru besar filsafat yang sangat terkemuka dari
Universitas Koningsberg, Prussia Timur]. Beliau memberikan ajaran yang
membedakan keduanya dan membawa pengaruh besar dalam lapangan kenegaraan,
yaitu menimbulkan dua mazhab, yang kelak dikemudian hari sesudah wafatnya
disebut Neo-Kantian, yaitu:
1. Mazhab Marburg, yang dianut oleh Hermann Cohen (1842-1918), Paul Gerhard
Natorp (1854-1924), Ernst Cassirer (1874-1945), dan yang terpenting dalam lapangan
Ilmu Negara adalah Prof. Hans Kelsen. Kelsen dalam karyanya berjudul Reine
Rechtslehre telah mempertajam perbedaan antara Sein dan Sollen.
2. Mazhab Baden, yang dianut oleh Wilhelm Windelband (1848-1915), Heinrich John
Rickert (1863-1936), Wilhelm Dilthey (1833-1911), dan yang terpenting dalam
lapangan ilmu negara ialah Prof. Hermann Heller. Heller dalam karyanya berjudul
Staatslehre telah menghubungkan antara Sein dan Sollen.
Bila yuris menganut paham Kelsen, maka selalu merunut kesenjangan antara Das Sein
dan Das Sollen [kebanyakan sarjana hukum begitu, mungkin guru/dosen Anda juga
begitu]. Namun bagi yang menganut paham Heller [contohnya di Indonesia adalah
Prof. Mr. Raden Djokosutono (almarhum)], tidak demikian coz keduanya bertemu
dalam natuur und cultuur bedingungen atau yang dalam istilah Dr. Karl Mannheim,
terdapat Situationsgebundenheit.
12. Fungsi utama ahli hukum sesuai dengan norma dan nilai hukum adalah ?
Jawab :
a. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit
(perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan
selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang
hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan
oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak
selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat.
Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
b. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan,
atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan
perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab
adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan
perkembangan didalam masyarakat.
13. Jelaskan perbedaan antara kaidah agama, kesusilaan, sopan santun dan hukum ?
Jawab :
Kaidah agama atau kepercayaan
- Ditujukan kepada kehidupan manusia yang beriman,yaitu kewajiban
manusia kpd tuhan dan kepada dirinya sendiri.
- Sumber ajaran agama sebagai perintah tuhan
- Ditujukan penyempurnaan manusia
- Melarang manusia melakukan perbuatan jahat
- Membebani manusia denga kewajiban-kewaiban
- Sanksinya di kemudian hari
Kaidah kesusilaan :
Peraturan hidup yang benar dari hati nurani manusia.kaidah ini menentukan
perbuatan mana yang baik dan yang buruk dan bersifat otonom,dan hatilah yang
mengancam dan menjatuhkan hukuman.
Fungsi : melarang manusia berbuat jahat.
Kaidah tata karma :
Didasarkan kepada kebiasaan,kepatutan yang berlaku di dalam
masyarakat,ketentuan-ketentuan hidup yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat
di tujukan kepada sikap lahiriah atau tingkah laku demi ketertiban bermasyarakat.
Sanksinya berupa celaan dari masyarakat,dapat menimbulkan rasa malu rasa hina
dan rasa kehilangan.
Tujuannya adalah : menciptakan perdamaian atau tata tertib agar manusia dapat
hidup saling berdampingan.
Kaidah hukum :
Melindungi lebih lanjut kepentingan-keptingan manusia,yang telah
mendapatkan perlindungan dari kaidah-kaidah sebelumnya.
Melindungi lebih lanjut seecara umum.
Melindungi apa yg belum di lindungi oleh ke-3 kaidah sebelumnya
Ditujukan kepada pelaku yang kongkrit
Ditujukan kuntuk ketertiban masyarakat.
Kaidah hokum: bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia
dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
14. Bagaimana pandangan filsafat mengenai manusia ?
Jawab :
Bagi filsafat, manusia bukan sekedar sebuah fakta atau realitas bendawi yang jelas
pada dirinya, tetapi manusia itu sekaligus adalah masalah, sekurang-kurangnya, bagi
dirinya sendiri. Manusia bukan hanya menemukan dirinya sebagai “apa adanya”.
Justru, setiap saat, manusia menghadapi dirinya sebagai sebuah “tanda tanya” atau
persoalan aktual “mengapa”, dan “bagaimana adanya”. Manusia adalah sebuah
dinamika personal dan daya misteri bagi dirinya sendiri. Manusia, bagi dirinya, adalah
dekat tetapi sekaligus jauh, jelas dimengerti tetapi sekaligus sukar dan kabur untuk
diselami atau didalami aneka keluasannya. Manusia, karena itu, mengahadapi dirinya
sebagai sebuah tugas kemanusiaan, yang bukan hanya diselesaikan dengan
pendekatan fisik material (fisik, jasmani), atau sosio-religi saja, juga bukan sekedar
pendekatan psikologi atau ekonomi semata. Sebagai persona dinamis, persoalan
kemanusiaan itu tidak hanya harus dihadapi dan disiasasti secara personal-individual
semata terlepas dari aspek sosial kemasyarakatannya. Persoalan kemanusiaan tersebut
tidak mungkin hanya diselesaikan secara logika matematis semata (misalnya; 1+ 1 =
2), tetapi juga dengan pendekatan logika kebatinan, logika cinta, kasih sayang,
pengorbanan, dan saling pengertian (misalnya; 1+1 = 1). Pendekatan-pendekatan yang
bersifat partikular-primordial tersebut, justru akan saling menafikkan dan
merelatifkan, dan tidak membawa hasil positif apa pun bagi sebuah tugas
kemanusiaan. Jelasnya, manusia adalah sebuah medan atau sebuah “dunia’ yang luas
dan penuh rahasia. Dunia manusia itu harus didekati secara utuh dan terpadu, bukan
secara primordial-partikular.
Manusia, karena menghadapi dirinya sebagai masalah, bukan sekedar sebagai fakta
atau benda apa adanya, yang selesai pada dirinya maka manusia itu dipaksa untuk
harus dapat memecahkan masalah-masalah kemanusiaannya dimaksud secara arif dan
bijaksana. Caranya, manusia harus dilatih untuk berpikir keras, manusia harus
membangun atau mengembangkan pengetahuannya secara terus menerus, dan
berbudaya. Melalui itu, manusia akan terus belajar memecahkan atau mengatasi
permasalahan-permasalahan kemanusiaannya itu secara utuh dan paripurna. Justru
itulah, manusia harus belajar hukum, psikhologi, matematika, biologi, sosiologi,
antropologi, kosmologi, Ilmu pemerintahan, politik, agama, ekonomi, ilmu mendidik,
pertanian, kehutanan, kelautan, agama, dan sebagainya. Manusia harus mendirikan
lembaga-lembaga hukum, lembaga ekonomi atau perbankan, lembaga agama,
lembaga pendidikan, lembaga sosial kemasyarakatan, menciptakan teknologi, bahasa,
komunikasi, dan bahkan, belajar seumur hidup untuk mengatasi masalah kemanusiaan
dan tugas kemanusiaannya itu sendiri. Segala realitas itulah yang dalam filsafat,
disebut sebagai ada atau bahan (obyek material) bagi pemikiran filsafat.
15. Bagaimana pandangan filosofis Filsafat dalam kajian material objeknya yaitu manusia
?
Jawab :
Pandangan filosofis mengenai obyek material filsafat dimaksud, hendak menunjukkan
bahwa segala sesuatu yang ada bagi dunia (eksistensi) manusia, terbuka menjadi
bahan, masalah, atau obyek bagi filsafat. Hakikat ada sebagai obyek filsafat, bersifat
utuh atau menyeluruh (universal). Maksudnya, ada dalam arti seluruh alam semesta,
jadi bukanlah ada yang bersifat khusus (partikular). Konsekuensinya, aspirasi
kefilsafatan tentang obyek material bagi pemikiran filsafat ialah mengutuhkan
(mengunifikaskan) semua obyek dalam satu keutuhan yang majemuk bukan
keterpilahan. Misalnya, manusia sebagai obyek dan subyek hukum harus dapat dilihat
di dalam keutuhannya, bukan dalam realitas yang terpilah-pilah. Manusia sebagai
obyek material filsafat atau pengetahuan, dan ilmu, memiliki ciri dan sifat yang khas,
karena manusia itulah yang menghadapi dirinya sendiri, baik dalam filsafat,
pengetahuan, atau ilmu.
Manusia, dalam hal ini, menghadapi dirinya seolah-olah sebagai makhluk yang belum
selesai pada dirinya sendiri seperti batu, meja, atau kursi. Manusia, kerananya, selalu
mengahadapi dirinya bukan sebagai fakta tetapi sebagai masalah. Manusia dalam hal
ini, seolah-olah menghadapi dirinya begitu dekat tetapi sekaligus jauh, jelas tetapi
sekaligus samar dan kabur, senang tetapi sekaligus cemas, dan sebaginya. Ia adalah
makhluk multi dimensi yang bersifat mono dualis (makluk dua dimensi), tetapi juga
bersifat mono-pluralis (makhluk berdimensi majemuk). Jadi, manusia adalah sebuah
obyek material baik bagi filsafat, pengetahuan, maupun ilmu, yang tidak pernah
selesai. Justru itu, ilmu-ilmu harus menghampiri manusia dengan rendah hati dan
penuh kesabaran, bukan dengan keangkuhan dan egoisme sempit. Ilmu mata tidak
akan menyelesaikan manusia hanya dengan mata, demikian juga jantung, kulit, dan
sebagainya. Justru, diperlukan adalah bagaimana membangun suasana saling kerja
sama.