desember cetak fix- copy.pdf

12
Alfina Wildah Nasakh dan Mansukh dalam Al-Quran E D I S I X I I NADHRAH DAFTAR ISI Taubat DZIKRA KAJIAN AL-I’JAZ IKPM CABANG KAIRO Bersambung ke hlm 8 D E S E M B E R 2 0 1 4 Bersambung ke hlm 5 NADHRAH 1 TAHNIAH 2 MARJA 11 UDHAMA 10 6 SALAM 12 MABHATS NASAKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURAN KIAT-KIAT MENUNTUT ILMU KOMPONEN DASAR MEMAHAMI AL- QURAN NAPAK TILAS IMAM IBNU KATSIR MEMAHAMI KAIDAH QIRAAT QURANIYAH MEMBUMIKAN ISLAM DENGAN AKHLAK MULIA Putri Rezeki Rahayu N asakh adalah asal kata dari na-sa- kha. Secara etimologi menurut al- Zarkasyi nasakh bisa dipakai empat arti, yaitu pembatalan atau penghapusan (al-Izâlah), pengubahan (al-Tabdîl), pengalihan (al-Tahwîl), dan penyalinan (al-Naql). Nasakh sendiri merupakan subjek, dan mansukh merupakan suatu objek. Sedangkan secara terminologi, para ulama mempunyai berbagai macam pendapat dalam mengartikan makna nasakh. Menurut Ibnu Katsir, nasakh adalah penghapusan hukum dengan adanya dalil syariat yang datang terakhir atau datang setelah itu. Al-Zurqani dalam Manahil Irfan menjelaskan, bahwa nasakh adalah suatu proses penghapusan hukum syariat dengan dalil syariat yang datang setelah itu. Penghapusan ini adalah pencabutan kewajiban atas mukallafin (yang dibebani), bukan penghapusan dengan arti yang sebenarnya, karena sesuatu yang pernah terjadi tidak bisa dihapus. Sedangkan hukum syariat adalah sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT yang ditujukan kepada manusia, baik itu berupa suatu hal yang bersifat perintah, larangan, dan pilihan. Dalil syariat adalah wahyu yang diturunkan Allah SWT dalam artian luas, baik yang terbaca maupun tidak, ini mencakup al-Quran dan sunah. Mayoritas ulama mempunyai definisi yang ber- beda-beda dengan makna yang hampir sama, perbedaan hanya terdapat pada lafal atau tata letak bahasanya. Namun ada beberapa perbedaan antara para ulama klasik dan kontemporer, perbedaan ini terletak pada penerapan definisi tersebut Ulama klasik berpendapat, nasakh dalam al-Quran adalah penghapusan hukum syariat dengan dalil syariat yang datang setelah itu. Namun ulama klasik mengartikan nasakh dengan memasukkan ke dalam berbagai pengertian, seperti: pengkhususan (mukhashis) dengan suatu hal yang umum (‘am); pembatasan (taqyid) terhadap hal yang bebas atau luas (muthlaq); penjelasan (bayan) terhadap hal yang global (mujmal), hingga pengecualian (istitsna’). Menurut Abu Zahrah, definisi ulama klasik ini berasal dari kalangan Sahabat, Tabiin dan Tabi Tabiin. Sedangkan ulama kontemporer lebih mempersempit batasan-batasan pengertian nasakh, sehingga suatu hukum yang dihapus benar-benar dihapuskan oleh dalil yang syariat dan datang setelahnya. Dari beberapa definisi, pendapat al- Zurqani dalam mendefinisikan nasakh lebih tepat. Definisi ini bisa diterapkan dengan beberapa poin: pertama, mansukh atau hukum yang dihapuskan berupa hukum syariat. Kedua, dalil yang menghapus hukum sebelumnya M eraka itu adalah orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji (Allah), mengembara (demi ilmu dan agama), ruku, sujud, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar dan memelihara hukum-hukum Allah SWT.” Penggalan arti dari QS. al-Taubah: 112 tersebut menyebutkan ciri-ciri golongan yang akan selamat pada hari kebangkitan kelak. Sekelompok orang-orang ini biasa disebut dengan sebutan “firqah najihah.” Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan ciri-ciri orang yang selamat pada hari pembalasan, tapi tidak menyebutkan siapa mereka, dari bangsa apa dan golongan mana. Ayat ini menjadi salah satu tafsir dari Hadis Rasulullah yang menyebutkan pada akhir zaman nanti umat Islam terbagi menjadi beberapa

Upload: iqrakajianal-ijaz

Post on 17-Nov-2015

40 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

  • Alfina Wildah

    Nasakh dan Mansukh dalam Al-Quran

    E D I S I X I I

    N A D H R A H

    A L - Q U R A N

    DAFTAR ISI

    Taubat

    D Z I K R A

    K A J I A N A L - I J A Z

    I K P M C A B A N G

    K A I R O

    Bersambung ke hlm 8

    D E S E M B E R 2 0 1 4

    Bersambung ke hlm 5

    NADHRAH 1

    TAHNIAH 2

    MARJA 11

    UDHAMA 10

    6

    SALAM 12

    MABHATS

    N A S A K H D A N

    M A N S U K H D A L A M

    A L - Q U R A N

    K I A T - K I A T

    M E N U N T U T I L M U

    K O M P O N E N D A S A R

    M E M A H A M I A L -

    Q U R A N

    N A P A K T I L A S

    I M A M I B N U

    K A T S I R

    M E M A H A M I

    K A I D A H Q I R A A T

    Q U R A N I Y A H

    M E M B U M I K A N

    I S L A M D E N G A N

    A K H L A K M U L I A

    Putri Rezeki Rahayu

    N asakh adalah asal kata dari na-sa-kha. Secara etimologi menurut al-Zarkasyi nasakh bisa dipakai empat arti, yaitu pembatalan atau

    penghapusan (al-Izlah), pengubahan (al-Tabdl), pengalihan (al-Tahwl), dan penyalinan (al-Naql). Nasakh sendiri merupakan subjek, dan mansukh merupakan suatu objek. Sedangkan secara terminologi, para ulama mempunyai berbagai macam pendapat dalam mengartikan makna nasakh. Menurut Ibnu Katsir , nasakh adalah penghapusan hukum dengan adanya dalil syariat yang datang terakhir atau datang setelah itu. Al-Zurqani dalam Manahil Irfan m e n j e l a s k a n , bahwa nasakh adalah suatu proses p e n g h a p u s a n h u k u m syariat dengan dalil syariat yang datang setelah itu. Penghapusan ini adalah pencabutan kewajiban atas mukallafin (yang dibebani), bukan penghapusan dengan arti yang sebenarnya, karena sesuatu yang pernah terjadi tidak bisa dihapus. Sedangkan hukum syariat adalah sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT yang ditujukan kepada manusia, baik itu berupa suatu hal yang bersifat perintah, larangan, dan pilihan. Dalil syariat adalah wahyu yang diturunkan Allah SWT dalam artian luas, baik yang terbaca maupun tidak, ini mencakup al-Quran dan sunah. Mayoritas ulama mempunyai definisi yang ber- beda-beda dengan makna yang hampir sama,

    perbedaan hanya terdapat pada lafal atau tata letak bahasanya. Namun ada beberapa perbedaan antara para ulama klasik dan kontemporer, perbedaan ini terletak pada penerapan definisi tersebut Ulama klasik berpendapat, nasakh dalam al-Quran adalah penghapusan hukum syariat dengan dalil syariat yang datang setelah itu. Namun ulama klasik mengartikan nasakh dengan memasukkan ke dalam berbagai pengertian, seperti: pengkhususan (mukhashis)

    dengan suatu hal yang umum (am); pembatasan (taqyid) terhadap hal yang

    bebas atau luas (muthlaq); penjelasan (bayan) terhadap hal yang global (mujmal), hingga pengecualian (istitsna). Menurut Abu Zahrah, definisi ulama klasik ini berasal dari kalangan Sahabat, Tabiin dan

    Tabi Tabiin. Sedangkan ulama kontemporer lebih mempersempit batasan-batasan pengertian nasakh, sehingga suatu hukum yang dihapus benar-benar dihapuskan oleh dalil yang syariat dan datang setelahnya. Dari beberapa definisi, pendapat al-

    Zurqani dalam mendefinisikan nasakh lebih

    tepat. Definisi ini bisa diterapkan dengan

    beberapa poin: pertama, mansukh atau hukum

    yang dihapuskan berupa hukum syariat. Kedua,

    dalil yang menghapus hukum sebelumnya

    M eraka itu adalah orang-orang yang

    bertaubat, beribadah, memuji

    (Allah), mengembara (demi ilmu dan

    agama), ruku, sujud, menyuruh

    berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar dan

    memelihara hukum-hukum Allah SWT. Penggalan

    arti dari QS. al-Taubah: 112 tersebut

    menyebutkan ciri-ciri golongan yang akan

    selamat pada hari kebangkitan kelak.

    Sekelompok orang-orang ini biasa disebut

    dengan sebutan firqah najihah. Dalam ayat

    tersebut, Allah menyebutkan ciri-ciri orang yang

    selamat pada hari pembalasan, tapi tidak

    menyebutkan siapa mereka, dari bangsa apa dan

    golongan mana. Ayat ini menjadi salah satu tafsir

    dari Hadis Rasulullah yang menyebutkan pada

    akhir zaman nanti umat Islam terbagi menjadi

    beberapa

  • Fakto-faktor tersebut tidak lain hanya sebagian dari usaha yang dilakukan oleh kita sebagai manusia dalam berikhtiar mencari ilmu. Setelah manusia berikhtiar, Allah SWT yang akan mengajarkan ilmu kepada hamba-Nya.

    Kiat-kiat Menuntut Ilmu

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X I I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    2 T A H N I A H

    D alam perjalanan menuntut ilmu, seorang pencari ilmu tidak jarang menemui berbagai

    kesulitan. Adanya kesulitan tersebut, pada hakikatnya merupakan tanda bertambahnya pengetahuan. Pepatah Arab mengatakan, Barang siapa yang tidak pernah merasakan kesulitan dalam mencari ilmu, ia berada dalam kebodohan sepanjang hidupnya.

    Salah satu kesulitan yang biasa menimpa seorang pencari ilmu adalah kesukaran dalam menghafal. Diakui atau tidak, hal tersebut menghambat seorang pencari ilmu dalam menguasai

    sebuah ilmu. Salah satu bait syair Imam Syafii menyebutkan, solusi untuk menghilangkan kesulitan dalam menghafal adalah meninggalkan maksiat. Hafalan dan ilmu yang didapat, sedikit ataupun banyak, akan ternodai dengan adanya maksiat, sekalipun maksiat tersebut remeh nilainya. Oleh karena itu, tidak salah jika Imam Syafii mewasiatkan kepada kita untuk meninggalkan maksiat, karena hal tersebut dapat memudahkan seorang penuntut ilmu dalam menghafal.

    Ilmu ibarat sebuah pisau. Semakin tajam jika terus digunakan dan akan tumpul jika dibiarkan saja. Apabila ilmu dibiarkan mengendap tanpa diamalkan, maka lambat laun ia akan hilang, sebab buah dari mengamalkan ilmu adalah lekatnya ilmu tersebut dalam ingatan seseorang.

    Kemampuan setiap orang dalam menerima dan menyerap ilmu memang tidak sama. Meski demikian, hal tersebut seharusnya tidak membuat seorang penuntut ilmu terjebak dalam putus asa. Selain kuasa Allah yang memudahkan seseorang dalam mencari ilmu, banyak faktor yang mendukung untuk menguasai ilmu, bahkan dapat menguatkan hafalan.

    Faktor pertama agar ilmu melekat dalam diri pencari ilmu adalah tulisan. Tulisan merupakan salah satu senjata seorang pencari ilmu, agar ilmu yang didapat tidak cepat terlupakan. Selain itu, Syekh Hisyam Kamil dalam sebuah kesempatan menyampaikan, menjaga pandangan (ghaddu al-bashar)

    Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-IJAZ IKPM Kairo

    Dewan Penasihat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Penanggung Jawab Umum: Alfina Wildah; Pemimpin

    Umum: Putri Rezeki Rahayu; Pemimpin Redaksi: Jakfar Shodiq; Pemimpin Usaha: Uswatun Hasanah; Editor: Saeful Luthfy, Maulidatul Hifdhiyah Malik;

    Layouter: Rusydiana Tsani, Nur Fitria Qurrotu Aini; Kru: Novan Hariansyah, Hilmy Mubarak, Jauharotun Naqiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati, Risky Maratul

    Mu'allamah, Nisaul Mujahidah.

    Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206

    merupakan faktor lain yang mempengaruhi kuatnya hafalan seorang pencari ilmu. Batasan pandangan yang dimaksud seperti halnya seorang lak-laki memandang perempuan dari ujung kepala hingga ujung kaki dan sebaliknya. Lebih lanjut beliau juga menjelaskan bahwa pandangan merupakan salah satu pintu masuk tipu daya setan.

    Faktor penting lainnya yang sering dilalaikan oleh seorang pencari ilmu adalah menghidupkan malam hari dengan ibadah. Dalam hal ini, jika seorang mampu membaca seratus ayat al-Quran saat bangun di malam hari, maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang taat kepada Allah (qanithin). Apabila hal ini dilakukan dengan istikamah, insya Allah seorang penuntut ilmu tidak akan menemui kesulitan berarti. Ini artinya, sebesar apapun upaya yang dilakukan, munajat kepada Allah memiliki ruang yang besar dalam setiap kemudahan yang didapat oleh seorang penuntut ilmu. Allah berfirman: Dan bertakwalah kepada Allah, dan Allah akan memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah: 282)

    Beberapa hal yang telah disebutkan di atas, bukanlah faktor mutlak bagi seorang pencari ilmu untuk dapat menguatkan hafalannya atau mengurangi kesulitan dalam mencari ilmu. Faktor-faktor tersebut tidak lain hanya sebagian usaha yang dapat dilakukan oleh kita sebagai manusia dalam berikhtiar mencari ilmu. Setelah manusia berikhtiar, maka Allah SWT yang akan mengajarkan ilmu kepada hamba-Nya.

    Memasuki ujian di termin ini, tidak

    sedikit dari kita yang memiliki masalah kesulitan

    dalam menghafal pelajaran ataupun menghafal al

    -Quran. Kiat mencari ilmu di atas, setidaknya

    dapat anda lakukan dalam setiap kondisi agar

    kita semua menjadi penuntut ilmu yang baik.

    Dalam edisi undur diri kali ini, IQRA

    menghadirkan konsep nasikh-mansukh dalam al

    -Quran; mengenal lebih jauh sosok Ibnu Katsir;

    memahami ilmu qiraat; mengkaji wanita dalam

    syariat Islam serta bagaimana menyebarkan

    Islam dengan akhlak karimah. Semoga sukses

    dan selamat membaca!

  • yang baik atau jika tidak maka diamlah. (HR. Bukhari dan Muslim). Begitulah cara Rasulullah mengajarkan, jika kita hendak berkata maka berpikirlah terlebih dahulu. Apabila tampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan tersebut, namun jika yang tampak adalah keburukan atau bahkan kita ragu-ragu, maka tahanlah diri kita dari mengucapkan perkataan tersebut. Kemudian Rasulullah juga mengingatkan kita dalam sabdanya: Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya. (HR. Al-Tirmidzi). Oleh karena itu, termasuk di antara baiknya Islam seseorang adalah ketika ia menjaga lisannya dan meninggalkan perkataan-perkataan yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bahkan perkataan yang dapat mendatangkan bahaya bagi dirinya. Adapun salah satu bahaya besar jika kita tidak menjaga lisan adalah menyebabkan pelakunya dimasukkan ke dalam api neraka, meskipun itu hanya perkataan yang dianggap sepele oleh pelakunya. Begitu juga bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah perkataan yang keluar dari lisannya. Hal yang termasuk maksiat dalam perkataan yang perlu kita hindari seperti perkataan yang mengandung kesyirikan, persaksian palsu, menuduh berzina, perkataan dusta, ghibah dan adu domba. Sebagaimana telah di jelaskan sebagian di atas. Kemudian yang akan kita dapatkan dalam menjaga lisan adalah surga. Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya lisan dan apa yang ada di antara kedua kakinya kemaluan aku akan menjamin baginya surga. (HR. Bukhari) Dari Hadis tersebut, kita sebagai seorang Muslim sudah selayaknya menjaga lisan kita dari hal-hal yang membahayakan agar mendapat rida Allah SWT. Manusia adalah apa yang diucapkannya. Oleh karena itu, setiap orang hendaknya berucap dengan sopan. Selain utuk menjaga perasaan sesamanya, kata-kata adalah cermin hati seseorang. Dari kata-kata, yang diucapkan atau ditulis, kita bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh orang tersebut. Kalimat-kalimat yang mengekspresi-kan kemarahan, kesedihan, kebahagiaan, ketegaran dan lainnya menunjukkan si pengucap atu penulis sedang dalam kondisi tersebut. Lebih dari itu, melalui kata-kata, kita juga bisa menilai dan memahami kepribadian orang yang menuturkan kalimat tersebut. Melalui tulisan singkat ini, kita sudah mengetahui manfaat menjaga lisan serta akibatnya. Dengan demikian, kita harus berpikir terlabih dahulu atau menyaring perkataan kita sebelum kita mengucapkannya, apakah perkataan tersebut mendapatkan rida Allah SWT atau malah mendapat murka Allah SWT. Wallahu Alam.

    3 F I K R A H

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X I I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    Hati-hati dengan Lisan

    Jakfar Shodiq

    S alah satu kenikmatan Allah SWT yang tak terhingga adalah lisan. Dengannya kita dapat berbicara, makan dan minum. Meskipun lisan merupakan anggota badan manusia yang cukup kecil jika dibandingkan

    anggota badan lainnya. Akan tetapi, ia dapat menyebabkan pemiliknya dimasukkan ke surga atau sebaliknya dilemparkan ke dalam api neraka. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai seorang muslim memperhatikan apa yang hendak diucapkan dari lisan kita, karena bisa jadi perkataan yang kita anggap ringan dan sepele namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan murka Allah SWT. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: Sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan keridaan Allah, namun dia menganggapnya ringan, karena sebab perkataan tersebut Allah meninggikan derajatnya, dan sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah, namun dia menganggapnya ringan, dan karena sebab perkataan tersebut dia dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari dan Muslim) A d a s e b u a h p e p a t a h A r a b mengatakan:Tergelincirnya kaki itu lebih baik dari pada tergelincirnya lisan. Dari pepatah tersebut kita dapat mengambil pelajaran bahwa lisan sangatlah berbahaya jika kita tidak benar-benar menjaganya. Sebab dengan lisan apa saja bisa berubah, yang dahulunya teman bisa menjadi musuh, yang dahulunya baik bisa menjadi buruk. Ambil saja contoh dari sebuah pertemanan, ada tiga orang anak laki-laki mereka sangat akrab sekali menganggapnya mereka bukan hanya teman biasa. Mereka bagai sahabat yang tidak terpisahkan karena mereka dahulu selalu bersama dari kecil hingga dewasa. Akan tetapi suatu ketika persahabatan mereka terputus dan berubah menjadi musuh. Hal ini disebabkan mereka tidak bisa menjaga lisan mereka, saling tuduh menuduh, menjelekkan satu sama yang lain sampai menyakiti hati yang lain. Menjaga lisan sangatlah penting bagi kehidupan kita supaya tidak terjadi salah faham dan menyakiti hati orang lain. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat al-Isra ayat 36 yang berbunyi:Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya. Ayat di atas menjelaskan bahwa janganlah kamu katakan aku melihat padahal kamu tidak melihat, jangan pula katakan aku mendengar sedang kamu tidak mendengar, jangan pula katakan aku tahu sedang kamu tidak mengetahui, karena sesungguhnya Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban atas semua hal tersebut, begitu juga apa yang kita bicarakan dengan lisan kita sendiri. Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara kita untuk menjaga lisan agar tidak menyakiti orang lain yaitu dengan mengatakan perkataan yang baik atau jika tidak, maka diam adalah lebih baik. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan

  • 4 Q A D H A Y A

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X I I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    S ecara etimologi, syariat diartikan sebagai peraturan atau jalan. Dalam surat al-Jatsiyah ayat 18, Allah SWT berfirman: Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu,

    maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui. Sedangkan dalam kamus diartikan sebagai segala sesuatu yang disyariatkan atau diperintahkan Allah SWT untuk hamba-Nya dalam hal agama seperti: puasa; salat; haji serta segala perbuatan yang mengandung kebaikan. Kata syariat dalam Mujam Alfadz Al-Quran juga diartikan sebagai suatu perkara dalam agama yang sudah dijelaskan dan disampaikan. Pada masa Jahiliyah kaum wanita begitu dipandang sebelah mata. Jangankan untuk memuliakannya, menganggapnya sebagai seorang manusia pun tidak. Kedudukan wanita ketika itu berada pada titik paling hina dan selalu direndahkan. Kelahiran dan kehadirannya amat dibenci dan sama sekali tidak diharapkan. Perilaku Jahiliyah ini telah diabadikan dalam al-Quran surat al-Nahl ayat 58-59 yang artinya: Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu. Tidak hanya itu, kehadiran mereka dianggap bencana dan musibah. Mereka juga dianggap sebagai penyebab kemiskinan dan kekafiran. Setelah datangnya syariat Islam, wanita sangat dihormati, dimuliakan dan dijunjung tinggi martabatnya. Membebaskannya dari siksaan ataupun tuduhan seperti yang terjadi pada kaum sebelumnya. Begitu banyak ayat al-Quran yang mejelaskan tentang kewajiban untuk melindungi perempuan. Contohnya dalam hal perceraian yang dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 231: Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barangsiapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Ayat tersebut menjelaskan adanya larangan untuk menyakiti atau menzalimi perempuan. Ini adalah wujud bahwa perempuan harus dilindungi dan dijaga. Dijelaskan juga dalam surat al-Nisa ayat 34: Maka perempuan-perempuan yang salehah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Seorang perempuan kedudukannya sama dengan laki-laki dalam hal pahala dan keutamaan di sisi Allah SWT. Hal itu bergantung pada kadar keimanan dan amal saleh. Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya wanita itu adalah saudara (bagi) laki-laki. Aturan dan hukum yang ada dalam Islam diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan kecuali beberapa ayat al-Quran atau Hadis yang menjelaskan tentang perbedaan

    Risky Maratul Muallamah

    Membaca Wanita dalam Syariat Islam

    antara keduanya. Contohnya, laki-laki diwajibkan salat Jumat di masjid, sedangkan perempuan tidak diwajibkan; laki-laki diwajibkan untuk menafkahi keluarganya, sedangkan wanita tidak diwajibkan untuk menafkahi siapapun. Syariat Islam memahami perbedaan laki-laki dan wanita dalam kodrat dan kemampuan masing-masing. Allah berfirman dalam QS. al-Mulk ayat 14: Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan) dan Dia Maha halus lagi Maha Mengetahui?. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa hukum yang ada dalam Islam sudah ditentukan sesuai kemampuan masing-masing, karena Allah menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan, dan dengan demikian, Dia juga yang mengetahui mana yang dianggap baik dan buruk bagi masing-masing laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, kedudukan laki-laki dan wanita setara. Suatu ketika, seorang Sahabat bernama Nasibah binti Kaab datang kepada Rasulullah. Dalam barisan Sahabiyah, Nasibah merupakan salah satu Sahabat yang banyak ikut dalam berbagai peperangan besar, salah satunya perang Uhud. Ia bertanya, Wahai Rasulullah, aku mendapati (ayat dalam al-Quran) selalu untuk laki-laki. Lantas, pada bagian mana wanita disebut? Kemudian turunlah surat al-Ahzab ayat 35, Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (HR. Tirmidzi) Dari riwayat tersebut, dapat dipahami bahwa kedudukan wanita dengan laki-laki sama sekali tidak ber-beda. Keduanya dijanjikan pahala yang besar selama mereka bertakwa kepada Allah. Ini artinya, persamaan antara laki-laki dan perempuan adalah persamaan dalam mendapatkan hak dan tugas atau perintah masing-masing. Sama halnya dengan persamaan mereka sebagai makhluk Allah SWT yang sama-sama mempunyai akal untuk berpikir dan makhluk yang dibebani dengan perintah dan larangan-Nya. Beberapa permasalahan terkait Wanita Pertama: diperbolehkan bagi seorang perempuan salat berjamaah di masjid, akan tetapi jika terjadi fitnah (menarik perhatian kaum laki-laki), hukumnya menjadi makruh. Rasulullah bersabda: Sebaik-baik masjid bagi kaum wanita adalah rumah-rumah mereka. Hadis ini menjelaskan bahwa seorang wanita lebih baik salat berjamaah di ru-mahnya ketimbang di masjid. Kedua: seorang perempuan wajib mendapatkan harta warisan, sebagaimana yang telah Allah SWT tentukan untuknya dan tidak boleh diputus atau dihilangkan dari ahli

  • 5 Q A D H A Y A

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X 1 I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    kelompok yang selamat yaitu ahli sunnah dan jamaah. Terlepas siapa mereka, tulisan ini akan mengungkap salah satu dari ciri-ciri yang disebutkan di atas, yaitu orang yang bertaubat. Menurut Sayid Muhamad Abu al-Azaim dalam bukunya Ushul al-Wushul li maiyati Rasulullah, pengertian taubat adalah kembali kepada Allah dan penyesalan terhadap perbuatan yang telah dilakukan. Perbuatan yang dimaksud adalah dosa yang dilakukan seorang hamba. Seorang mukmin yang beriman dan mengerjakan maksiat, sepatutnya meminta ampunan kepada Allah atas segala dosa-dosanya Dan orang-orang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri (segera) mengingat Allah SWT, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu sedang mereka mengetahui. (QS. Al-Maidah: 135) Lebih lanjut, Abu al-Azaim membagi taubat ke dalam dua kategori. Pertama, taubat secara umum seperti dalam firman Allah SWT pada surat al-Nur ayat 31, Dan bertaubat kamu semua kepada Allah SWT wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung. Maksud dari taubat di sini adalah kembali kepada Allah SWT dengan meninggalkan hawa nafsu dan syahwat kenikmatan dunia untuk mendapat kemenangan yang tak terbatas, yaitu kenikmatan surga.

    Kedua, taubat secara khusus sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. al-Tahrim: 8, Wahai orang-orang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sungguh-sungguh (taubat nasuha). Mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus segala kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Taubat nasuha adalah taubat yang benar-benar ikhlas meminta ampunan kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan. Menjalani semua perintah-Nya serta meninggalkan maksiat hanya untuk mencari rida Allah SWT semata, tanpa diimbuhi perasaan lainnya seperti pujian dari orang atau membanggakan diri. Ketika seseorang datang kepada Allah dengan hati yang bersih dan melepaskan semua hawa nafsunya, maka Allah akan menutup hidupnya dengan khusnul khatimah. Rasulullah dalam salah satu Hadisnya bersabda: Seseorang yang bertaubat adalah kekasih Allah, dan seseorang yang (mau) bertaubat bagaikan orang yang tidak mempunyai dosa. (HR. Ibnu Majah). Pada hakikatnya, seorang mukmin sangat dianjurkan bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT ketika khilaf dalam melakukan dosa. Semoga kita menjadi orang-orang yang dicintai Allah dan bersama orang-orang yang mencintai Allah SWT. Wallahu alam

    Sambungan Taubat dari hlm. 1

    warisnya. Allah SWT berfirman yang artinya: Bagi seorang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi seorang perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetap-kan. (QS. al-Nisa: 7) Sementara itu, dalam Hadis juga dijelaskan larangan untuk meniadakan warisan tersebut untuk perempuan. Rasulullah SAW bersabda: Siapa saja memutus warisan dari ahli warisnya, maka Allah akan memutus warisannya dari surga pada hari Kiamat nanti. Hadis tersebut juga menjelaskan hak masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh harta warisan serta larangan untuk menzalimi dengan meniadakannya. Ketiga: wanita wajib mendapat nafkah, makanan dan tempat tinggal yang layak dari ayah dan ibunya jika dia belum menikah. Apabila tidak ada orang tua, maka sebagai gantinya adalah saudara, keluarga atau kerabatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233: Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna, dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari

    kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Adapun bagi istri wajib mendapatkan nafkah dari suaminya dan segala keperluan yang dibutuhkan seperti makan; minum; pakaian dan tempat tinggal dengan cara yang baik. Allah SWT berfirman: Laki-laki (suami) itu

    pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. (QS. al-Nisa: 34). Keempat: seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan orang lain. Rasulullah SAW bersabda: Siapa saja wanita

    yang menikah tanpa izin dari walinya maka batal (tidak sah) nikahnya. Hadis lain yang menjelaskan hal serupa diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda:Seorang wanita dilarang untuk menikahkan perempuan lainnya dan dilarang menikahkan dirinya sendiri. Keempat: seorang wanita tidak boleh meni-kahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan orang lain. Rasulullah SAW bersabda: Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya maka batal (tidak sah) nikahnya. Hadis lain yang menjelaskan hal serupa diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Rasulullah SAW bersabda: Seorang wanita dilarang untuk menikahkan perempuan lainnya, dan (juga) dirinya sendiri. Penulis menyimpulkan bahwa agama Islam telah menjunjung tinggi derajat wanita, sehingga tidak dianggap seperti budak atau tempat cacian serta meletakkannya di tempat yang paling mulia. Mereka juga dibebani dengan perintah dan larangan Allah SWT serta dijaga oleh-Nya dari siksaan seperti yang dilakukan di zaman jahiliyah. Allah menentukan segala syariatnya berupa perintah dan larangannya untuk wanita sebagai bukti bahwa mereka dimuliakan dan dijaga oleh Allah SWT. Wallahu Alam.

  • Ibnu al-Jazari dalam al-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyr menyebutkan tiga syarat dalam hal ini. Pertama, setiap qiraat harus sesuai dengan bahasa Arab walaupun dalam satu segi. Kedua, harus sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani walaupun memiliki berbagai kemungkinan, dan tentunya harus memiliki sanad mutawatir dari Rasulullah SAW.

    6 M A B H A T S

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X I I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    T urunnya al-Quran dalam tujuh huruf merupakan kemudahan bagi umat Islam dalam membaca al

    -Quran. Perbedaan dialek dari setiap bangsa Arab menjadikan bacaan al-Quran setiap kaum berbeda sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari para Sahabat. Pembacaan al-Quran seperti inilah yang biasa disebut qiraat. Hal ini telah dipelajari oleh umat Islam setelahnya hingga qiraat menjadi sebuah disiplin ilmu. Qiraat secara etimologis merupakan bentuk jamak dari al-Qiraah yang berarti bacaan. Sedangkan secara terminologis

    qiraat merupakan sebuah ilmu untuk mengetahui cara pelafalan kalimat al-Quran serta perbedaan di dalam bacaannya yang dinisbatkan kepada penukil qiraat tersebut. Al-Quran dan qiraat merupakan dua entitas berbeda yang memiliki kaitan erat. Al-Quran adalah wahyu yang turun kepada Rasulullah, sedangkan qiraat ialah perbedaan dalam melafalkan al-Quran dan cara membacanya. Lebih dari itu, dalam qiraat juga disyaratkan adanya talaqqi dan musyafahah dengan para syekh, sehingga sanad yang bersambung sampai Rasulullah tidak terputus. Hukum mengikuti qiraat adalah sunah mutabaah, sedangkan kiyas di dalamnya batil. Diterimanya sebuah qiraat berdasarkan pada atsar, dengan tidak ada penambahan ataupun campur tangan dari siapapun dalam qiraat ini. Selain itu, tidak ada kiyas dalam qiraat, karena qiraat bertumpu pada penukilan riwayat yang mutawatir. Dengan demikian, kiyas dalam qiraat batil dan kita tidak dapat mengiaskan satu bacaan dengan bacaan lainnya. Ketentuan-ketentuan dalam Qiraat Para ulama memberikan syarat-syarat khusus dalam qiraat. Syarat inilah yang menjadi batasan mutawatir dari para qurra. Ibnu al-Jazari dalam al-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyr menyebutkan tiga syarat dalam hal ini.

    Pertama, setiap qiraat harus sesuai dengan bahasa Arab walaupun dalam satu segi. Kedua, harus sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani walaupun memiliki berbagai kemungkinan, dan tentunya harus memiliki sanad mutawatir dari Rasulullah SAW. Maksud dari syarat pertama, sesuai dengan bahasa Arab, qiraat tersebut harus sesuai dengan kaidah Nahwu baik fasih ataupun yang lebih fasih, yaitu disepakatinya kaidah tersebut sekalipun terdapat perbedaan di dalamnya. Adapun maksud dari syarat kedua, bukan mushaf yang telah dimusnahkan pada masa Ustman bin Affan, melainkan sesuai dengan salah satu mushaf yang telah disebarkan ke berbagai wilayah Islam ketika itu. Kedua persyaratan tersebut belum bisa diterima jika sanad dalam qiraat tersebut tidak mutawatir. Ibnu Jazari berpendapat, sanad merupakan hal terpenting dalam qiraat. Sebaliknya, ia mengatakan bahwa qiraat syadz lahir dari ketiadaan mutawatir dalam penukilan riwayat, sekalipun qiraat tersebut menggunakan bahasa yang lebih fasih dan makna yang kuat. Adapun jika dilihat dari segi sanad, terdapat enam macam periwayatan dalam qiraat. Pertama, mutawatir, yaitu riwayat yang diriwayatkan oleh sekumpulan para rawi dan tidak mungkin sepakat untuk berbohong di dalamnya. Kedua, masyhur, yakni riwayat sahih yang diriwayatkan oleh para rawi, sesuai dengan rasm Utsmani dan kaidah bahasa Arab, akan tetapi riwayat ini tidak mencapai derajat mutawatir karena tidak diriwayatkan oleh banyak rawi. Ketiga, ahad, yaitu riwayat yang memiliki sanad sahih akan tetapi tidak sesuai dengan rasm Utsmani dan kaidah bahasa Arab. Dalam arti lain, riwayat ini tidak masyhur dan tidak mutawatir. Keempat, syadz, yaitu riwayat yang tidak sahih sanadnya. Kelima, maudhu, yaitu hadis palsu atau menisbatkan hadis bukan kepada perawi aslinya. Keenam, syabih bi al-mudraj yaitu memberikan penambahan dengan penafsiran ayat pada riwayat tersebut. Dari berbagai macam riwayat ini,

    tidak ada perbedaan pendapat dari para

    ulama, bahwasanya al-Quran harus memiliki

    Nur Fitria Qurrotu Aini

    Memahami Kaidah Qiraat Quraniyah

  • 7 M A B H A T S

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X I I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    sanad yang mutawatir. Al-Quran merupakan mukjizat yang menjadi pondasi umat Islam. Oleh karena itu, sanad yang tidak mutawatir tidak dapat dikatakan sebagai al-Quran. walaupun terdapat perbedaan pendapat dari para ulama mengenai makna mutawatir dalam al-Quran itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, salah satu dari macam-macam qiraat dilihat dari segi sanadnya yaitu syadz. Secara bahasa, syadz berasal dari kata syadza-yasyudzu, sedangkan secara istilah, Syaban Muhammad Ismail dalam buku al-Qiraat Ahkamuha wa Mashdaruha menjelaskan, qiraat syadz adalah qiraat yang tidak memenuhi tiga rukun qiraat. Dengan pengertian seperti ini, dapat dipahami bahwa qiraat selain mutawatir termasuk qiraat syadz. Di sisi lain, sebagian ulama mengatakan bahwa qiraat tidak harus mutawatir, melainkan cukup dengan riwayat sahih masyhur disertai dua syarat lainnya. Pendapat ini tidak disetujui oleh sebagian ulama lainnya, salah satunya Musa Syahin Lasyin dalam bukunya Al-Laali al-Hisan fi Ulum al-Quran. Dalam pandangannya, riwayat sahih masyhur tidak mencukupi syarat qiraat yang diterima. Dalam hal ini, Syaban Muhammad Ismail menjelaskan bahwa syarat diterimanya qiraat dengan sanad mutawatir merupakan pendapat jumhur ulama dari para Ushuliyyin; Fuqaha; Muhadditsin dan Qurra, sedangkan pendapat yang mengatakan diterimanya qiraat dengan sanad sahih masyhur merupakan pendapat yang lemah, sebab menyamakan al-Quran dan selain al-Quran. Hal ini sesuai dengan definisi al-Quran yang telah disepakati ulama, yaitu kalam Allah yang dinukil secara mutawatir. Dengan demikian, bacaan apapun dalam al-Quran, jika tidak dinukil secara mutawatir, tidak bisa disebut al-Quran. Selanjutnya, jika dilihat dari diterima atau tidaknya qiraat, terdapat tiga karakteristik qiraat. Pertama, qiraat yang diterima bacaannya seperti qiraat yang dibaca saat ini, yaitu qiraat yang memiliki sanad mutawatir, sesuai dengan rasm Utsmani dan kaidah bahasa Arab. Kedua, qiraat yang diambil dengan sanad ahad, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi lafalnya berbeda dengan rasm Utsmani.

    Qiraat ini diterima dengan syarat tidak boleh membaca al-Quran dengan qiraat ini, karena pengambilan qiraat dengan riwayat ahad tidak bisa dijadikan sandaran. Ketiga, qiraat yang dinukil dengan riwayat tsiqah ataupun tidak dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa

    Arab, maka tidak diterima walaupun sesuai dengan rasms Utsmani. Qiraat yang kehilangan salah satu rukunnya, yaitu tidak mutawatir, tidak sesuai dengan rasm Utsmani serta tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab disebut qiraat syadz. Qiraat seperti ini tidak boleh dibaca dan tidak bisa dikatakan al-Quran. Lebih lanjut, perbedaan qiraat juga mengakibatkan perbedaan pendapat dalam pengambilan suatu hukum. Imam Haramain mengatakan qiraat syadz tidak boleh dipakai seperti halnya pendapat Imam Syafi'i. Perkataan ini diikuti oleh Abu Nasr al-Qusyairi, dan Ibnu al-Hajib. Sedangkan Abu Thib, Husain, Ruwayani dan Rafi'i membolehkan penggunaan qiraat syadz. Para ulama tersebut memperkuat pendapatnya dengan perkataan Imam Abu Hanifah yang membolehkan penggunaan qiraat Ibnu Masud dalam pengambilan suatu hukum. Adapun Imam Nawawi berpendapat bahwa hukum membaca qiraat syadz baik dalam salat ataupun lainnya tidak boleh. Para ulama menyetujui hal ini dan mengatakan bahwa qiraat syadz bukanlah al-Quran. Adanya perbedaan dalam qiraat tidak terlepas dari faktor-faktor yang menyebabkan munculnya berbagai qiraat dalam al-Quran. Di antara sebab tersebut: pertama, kembali pada para Sahabat yang berbeda dalam membacakan al-Quran, berdasarkan apa yang telah Rasulullah SAW bacakan kepada mereka. Kedua, kembali ke Mushaf Utsmani yang disebar ke berbagai wilayah. Ketiga, ketika pengumpulan al-Quran pada masa Utsman, tidak sempurna mendapat kesepakatan dari seluruh Sahabat, akan tetapi masih terjadi perbedaan dalam kemutawatiran riwayat dari al-Quran. Keempat, tulisan (khat) Arab pada setiap mushaf yang disebar juga menjadi salah satu faktor perbedaan qiraat dalam al-Quran. Dari seluruh faktor ini, hal mendasar yang menjadi penyebab perbedaan qiraat kembali pada definisi tujuh huruf (sabatu ahruf). Adanya perbedaan dalam qiraat al-Quran bukan merupakan perbedaan tadhad akan tetapi perbedaan tanawwu'. Dengan demikian, perbedaan yang ada tidak mengubah al-Quran seperti yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Tujuh huruf yang terdapat dalam al-Quran mencakup berbagai qiraat dengan sanad yang tersambung hingga Rasulullah SAW. Munculnya beragam qiraat juga tidak terlepas dari para Qurra dengan talaqqi dan musyafahah yang mereka lakukan dengan para Sahabat. Para Qurra inilah yang mempelajari qiraat al-Quran dan kemudian membacakan berbagai qiraatnya kepada umat Islam setelahnya. Telah disepakati oleh para ulama bahwa qiraat yang dibacakan oleh tujuh imam merupakan qiraat mutawatir. Ketujuh imam tersebut yaitu Nafi' al-Madani; Ibnu Katsir al-Makki; Abu Amru bin Ala al-Bashri; Abdullah bin Amru al-Syami; Ashim bin al-Najud al-Kufi; Hamzah al-Kufi; dan Kisai al-Kufi. Adanya qiraat beserta beragam metodenya tidak terlepas dari para qurra yang melakukan musyafahah dengan para Sahabat. Para qurra ini kemudian membacakan kepada generasi setelahnya hingga sampai kepada umat Islam saat ini. Wallahu alam.

  • Nasakh dalam al-Quran adalah suatu proses penghapusan hukum syariat dengan dalil syariat yang datang s e t e l a h i t u . Penghapusan ini adalah pencabutan kewa j i ban a t a s mukallafin (yang dibebani), bukan penghapusan dengan arti yang sebenarnya, karena sesuatu yang pernah terjadi tidak b i s a d i h a p u s . Sedangkan hukum s y a r i a t a d a l a h s e s u a t u y a n g diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia, baik itu berupa suatu hal y a n g b e r s i f a t perintah, larangan, dan pilihan.

    Sambungan dari Nasakh dan Mansukh dalam al-Quran

    berupa dalil syariat. Ketiga, dalil yang

    menghapus itu datang setelah dalil pertama

    (yang dihapus). Keempat , adanya

    pertentangan antara dua dalil dalam satu

    pokok masalah.

    Urgensi pembahasan Nasakh Mansukh S e b u a h k i s a h y a n g diriwayatkan oleh Abu Abdurrahman menceritakan bahwa pada suatu hari, Ali bin Abi Thalib memasuki sebuah masjid di Kufah. Di masjid tersebut, ia melihat seorang lelaki yang sedang menjelaskan perkara agama kepada gerombolan orang-orang di masjid. Ketika Ali melihat orang tersebut mencampuradukkan perintah dan larangan. Ali pun bertanya kepadanya: Apakah kamu tahu nasakh dan mansukh? Lelaki itu menjawab, Tidak. Mendengar jawaban demikian, Ali berkata kepadanya: (Kalau demikian) berarti engkau telah celaka dan mencelakakan (orang lain). Kisah ini menunjukkan urgensi mempelajari nasakh dan mansukh. Ada beberapa sebab mengapa nasakh-mansukh penting untuk dipelajari. Pertama, karena objek kajiannya yang luas dan panjang, sehingga memiliki beragam metode dan cabang kajian. Kedua, selain itu permasalahan ini memiliki bahasan yang sangat rumit dan mendalam yang sering menjadi perselisihan antar ahli fikih dengan pengkaji studi al-Quran. Ketiga, seseorang yang mempelajari Nasakh-Mansukh secara mendalam akan mampu membuka tabir sejarah penerapan hukum Islam, sehingga mereka mampu mengetahui kebijaksanaan Allah dalam memberikan pembelajaran terhadap umat

    manusia. Keempat, pondasi penting dalam memahami ajaran Islam dan mengetahui hukum-hukum yang b e n a r , t e r u t a m a d a l a m permasalahan dan dalil-dalil yang secara zahir bertentangan. M a n n a Q a t t a n menjelaskan berbagai macam cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh: Pertama, adanya suatu riwayat yang jelas dari Nabi Muhammad SAW atau para Sahabat. Kedua, ijmak umat bahwa ayat ini yang telah terhapus (mansukh), dan ayat ini yang menjadi penghapusnya (Nasikh). Ketiga,

    8 N A D H R A H

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X I I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    mengetahui sejarah ayat yang datang terlebih dahulu dan ayat yang datang setelah itu (asbab nuzul). Dengan demikian, perkataan atau ijtihad seorang mufasir tidak dapat dikatakan Nasakh.

    Pembagian Nasakh menurut sumbernya

    Nasakh sendiri terbagi menjadi empat bagian pokok: pertama, penghapusan al-Quran dengan al-Quran (Nasakh al-Quran bi al-Quran). Metode penghapusan al-Quran dengan al-Quran adalah salah satu metode yang disetujui dan diperbolehkan oleh para ulama. Ayat dalam al-Quran adalah suatu kesatuan, sehingga saling menafsirkan satu sama lain, dan ayat al-Quran semuanya mutawatir karena bersumber langsung dari Allah SWT. Jika ayat al-Quran bisa dihapuskan maka selayaknya dihapus dengan ayat al-Quran itu sendiri. Kedua, penghapusan al-Quran dengan Hadis (Nasakh al-Quran bi al-Sunnah). Metode ini dibagi menjadi dua bagian; pertama, penghapusan al-Quran dengan Hadis mutawatir (Nasakh al-Quran bi al-Sunnah al-Mutawatiroh). Dalam metode ini terjadi perbedaan pendapat dalam praktiknya. Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa penghapusan al-Quran dengan Hadis mutawatir diperbolehkan. Pendapat kedua yang dikemukakan oleh Imam Syafii dan Ahlu Dhahir, menyatakan bahwa Hadis mutawatir tidak bisa menghapus ayat al-Quran, karena tidak ada lagi yang lebih mulia daripada al-Quran itu sendiri. Kedua, penghapusan al-Quran dengan Hadis ahad (Nasakh al-Quran bi al-Sunnah al-Ahadiyyah). Mayoritas ulama tidak setuju dengan metode penghapusan ayat al-Quran dengan hadis ahad, karena derajat Hadis ahad tidak sekuat Hadis mutawatir Ketiga, penghapusan Hadis dengan al-Quran. Mayoritas ulama setuju dengan metode ini, sebab al-Quran lebih kuat dari Hadis. Dengan begitu, al-Quran bisa menghapus hukum yang terkandung dalam suatu Hadis. Keempat, penghapusan Hadis dengan Hadis, metode ini dibagi menjadi empat bagian: penghapusan Hadis mutawatir dengan Hadis mutawatir; penghapusan Hadis ahad dengan Hadis ahad; penghapusan Hadis ahad dengan Hadis mutawatir dan terakhir penghapusan Hadis mutawatir dengan Hadis ahad. Tiga bagian pertama menurut logika dan syariat dibolehkan dan bisa terjadi. Bagian keempat, yaitu penghapusan Hadis mutawatir dengan Hadis ahad banyak ditentang oleh para ulama, dikarenakan kedudukan Hadis mutawatir lebih kuat daripada Hadis ahad.

  • Pembagian Nasakh ditinjau dari lafal dan praktiknya Jika dilihat secara praktinya nasakh dibagi menjadi tiga bagian: pertama, penghapusan hukum dan ayat (Nasakh al-Hukm wa al-Tilawah maan), contohnya terdapat pada salah satu riwayat Sayyidah Aisyah mengatakan: al-Quran telah menjelaskan bahwa jika seorang bayi telah menghisap sepuluh isapan yang diketahui maka akan menjadi mahramnya. Kemudian ayat ini dihapus dengan lima isapan yang diketahui telah menjadikan bayi tersebut mahram dari ibu susuannya. Kedua, penghapusan ayat dan hukum masih tetap ada (Nasakh al-Tilawah maa baqai al-Hukm), contoh: ayat tentang hukum rajam. Hukum rajam dijatuhkan kepada para pezina baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah. Ayat ini tidak tercantum dalam mushaf Utsmani tetapi hukumnya masih berlaku. Ketiga, penghapusan hukum dan ayat masih tetap ada (Nasakh al-Hukm maa baqai al-Tilawah). Contohnya ada dalam surat al-Baqarah ayat 240 yang dihapus dengan ayat 234. Ini dalam permasalahan masa idah. Pada ayat pertama dikatakan bahwa masa idah adalah satu tahun, kemudian datang ayat setelahnya yang menjelaskan bahwa masa idah adalah empat bulan dan sepuluh hari. Dalam contoh ini terdapat perdebatan, ulama lain berpendapat dua ayat ini bisa termasuk dalam pengkhususan (takhsis) bukan nasakh. Jika wanita hamil maka masa idahnya adalah satu tahun, dan masa idah bagi yang tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari. Namun ayat pertama tidak bisa digunakan sebagai dalil bagi masa idah yang hamil, karena habisnya masa idah bagi orang yang hamil adalah ketika ia melahirkan. Ini terdapat pada surat al-Thalaq ayat 4, dan bukan satu tahun.

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X I I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    Perdebatan Ulama seputar Nasakh dan Mansukh

    Al-Qaradhawi mengelompokkan pandangan ulama seputar Nasakh-Mansukh ke dalam tiga kelompok: pertama, kelompok yang mengatakan adanya nasakh dalam al-Quran, kelompok ini memperluas makna nasakh tersebut, sehingga sangat mudah sekali berkata bahwa ayat ini dihapus dengan ayat ini dalam surat ini. Kedua, kebalikan dari kelompok pertama, yaitu kelompok yang mengingkari adanya nasakh dalam al-Quran secara keseluruhan. Ini adalah perkataan Abu Muslim al-Ashfahani, Imam Razi serta ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh dan Khudri Bek. Ketiga, pendapat tengah-tengah, yaitu dikatakan nasakh jika dilandaskan dalil yang benar dan jelas, sehingga akal bisa lebih menerima dan hati tenang. Pendapat ini yang banyak diambil oleh para ulama, sebab tidak menolak nasakh mentah-mentah namun menerima dengan harus adanya dalil yang kuat, dan tidak terlalu mudah menggolongkan suatu ayat sebagai ayat yang terhapuskan.

    Syubhat tentang Naskh dan Mansukh Sebagian kalangan mengatakan, jika penghapusan dalam al-Quran itu ada, maka Allah SWT menghapus suatu hukum dan digantikan dengan hukum lainnya. Jika memang terjadi penghapusan dalam al-Quran maka Allah SWT tidak mengetahui isi dalam al-Quran itu sendiri. Sedangkan telah dinyatakan bahwa al-Quran itu kitab yang benar hingga akhir zaman. Adanya penghapusan ayat dalam al-Quran berarti menghapus sifat kebenaran al-Quran tersebut. Jawaban dari syubhat ini: penghapusan al-Quran sama sekali tidak mengubah sifat Allah SWT yang Maha Mengetahui, karena Allah SWT mengetahui maslahat hamba-hamba-Nya, kapan suatu hukum

    ditetapkan dan dihapuskan. Setiap apa yang Allah SWT kehendaki pun tidak harus didasari sebab dan akibat layaknya perbuatan manusia. Selain itu, ada hikmah di balik penghapuskan tersebut, yaitu penetapan hukum yang dilakukan secara bertahap atau yang sering kita sebut tadarruj. Proses tadarruj ahkam seperti contoh hukum arak, ketika zaman dahulu arak dibolehkan dalam Islam namun hukum tersebut dihapuskan secara perlahan agar umat Islam lebih siap untuk menerimanya. Lebih dari itu, Allah SWT menurunkan suatu kejadian tentu ada hikmahnya, seperti penghapusan syariat yang ada pada agama sebelum agama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh urusan dunia dan akhirat semua diatur dalam Islam. Begitu juga nasakh sebagian hukum dalam Islam. Ketika suatu hukum yang sulit dihapus dan diganti dengan mudah, maka itu adalahtanda bahwa Allah SWT menyayangi hamba-Nya Sedangkan ketika yang mudah diganti dengan yang sulit, merupakan tambahan pahala bagi yang mengerjakannya. Hikmah lainnya, bagi seorang muslim hendaknya ditanamkan dalam hati kita bahwa ayat al-Quran antara satu dengan lainnya berkesinambungan, maka dengan adanya ayat yang dihapus atau menghapus merupakan rahmat Allah SWT. Sehingga ketika kita sudah beriman kepada Allah SWT, kita akan mengikuti apa yang Allah SWT telah turunkan. Hal ini memang sempat dipertanyakan oleh orang-orang kafir saat itu, namun al-Quran kemudian menjawab bahwa penurunannya yang berangsur-angsur adalah untuk memantapkan hati Rasulullah SAW, juga berdampak pada pemantapan hati kaum muslimin. Setelah Rasulullah SAW wafat, tidak ada lagi pengurangan atau penambahan dalam hukum Islam. Wallahu Alam bi al-Shawab.

    9 N A D H R A H

  • 1 0 Napak Tilas Imam Ibnu Katsir

    U D H A M A

    N a m a l e n g k a p n y a adalah Imaduddin Abu Fid Ismail ibnu Katsir bin Dlai

    ibnu Katsir bin Zar` al-Qausi al-Qurasyi al-Busrawi al-Damsyiqi al-Syafii. Menurut ahli sejarah beliau dilahirkan di Mijdal, daerah Bashrah sebelah timur kota Damaskus pada tahun 701 H. Namun, sejauh ini belum ada yang menetapkan hari dan bulan beliau dilahirkan. Ia hidup pada abad ke-8 di masa Dinasti Mamalik. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafsh Umar bin Katsir dilahirkan tahun 640 H. Abu Hafsh adalah seorang ulama, ahli fikih, penceramah, ahli

    bahasa, syiar, dan adab. Sosok seorang ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Figur ayahnya yang banyak mempengaruhi kepribadian Ibnu Katsir untuk terus menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan dan mendapatkan derajat yang tinggi, sehingga beliau terkenal dengan Imam di segala disiplin ilmu. Pada bulan Jumadil Ula tahun 703 H, Ibnu Katsir ditingal oleh ayah tercintanya. Semenjak ayahnya wafat, peran ayah digantikan oleh kakak kandungnya. Sejak ditinggal ayahnya, Ibnu Katsir mulai banyak bergelut dalam keilmuan yang langsung diajarkan oleh kakaknya.

    Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus untuk menambah ilmu pengetahuan. Sesampainya disana ia bertemu dengan banyak ulama dan syekh terkenal seperti Imam Nawawi, Syekh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari, Ibnu Taimiyah, Syamsuddin al-Dzahabi, Ibnu Qayim dan banyak ulama lainnya. Dengan kecerdasannya, pada usia sebelas tahun ia sudah mengkhatamkan hafalan al-Qurannya di bawah bimbingan Syekh Syamsuddin Abi Abdillah, seorang imam masjid di kota Batikh. Ibnu Katsir mewarnai hidupnya dengan beragam keilmuan baik ilmu agama maupun sejarah. Dengan kecerdasan, pemahaman yang baik, kekuatan hafalannya dan kepandaiannya dalam memilih guru, di masa mudanya, dengan waktu yang tidak lama dan atas izin Allah, Ibnu Katsir mampu menguasai ilmu Fikih dan Hadis, sehingga tak sedikit ulama di zamannya yang memuji kepandaiannya. Ibnu Katsir juga sempat mulazamah dengan Syekh Jamaludin Yusuf bin Zaki al-Mazzi (742 H), seorang ulama Suriah yang mengarang kitab Tahdzibu al-Kamil. Syekh al-Mazzi inilah yang kemudian menjadi mertuanya, setelah menikahkan salah seorang putrinya bernama Zainab Binti al-Hafidz al-Mazzi. Dalam kitab Bidayah wa Nihayah ia menyebutkan bahwa istri dan ibu mertuanya adalah seorang hafidzah al-Quran. Dari hasil pernikahannya, Ibnu Katsir memiliki keturunan sebanyak lima orang yang semuannya dididik untuk menyibukkan diri dalam bidang keilmuan, khususnya Hadis, Fikih dan Sejarah. Beliau

    sengaja mengabadikan namanya pada anak terakhirnya dengan harapan anaknya tumbuh menjadi seorang pakar di berbagai bidang keilmuan.

    Ibnu Katsir selain aktif mendalami keilmuan beliau juga mengisi hari-harinya dengan mengajar di Masjid dan Madrasah. Beliau selalu mengamalkan ilmu yang didapatnya kepada siapapun dan tidak mengenal batasan, karena itulah murid yang menimba ilmu kepadanya pun tidak terhitung. Di antara murid yang diajarnya rata-rata sudah menjadi ulama besar dan telah mendapat izin untuk berfatwa, seperti Saaduddin an-Nawawi, Syahabuddin bin Hijjy, Ibnu al-Jazariy, dan Imam Zarkasyi.

    Kecintaan Ibnu Katsir kepada ilmu tentu membuatnya selalu ingin berkarya dan membagi ilmuanya. Ibnu Katsir memiliki karya yang sangat banyak, terutama dalam bidang Hadis karena beliau terkenal sebagai pakar Hadis di zamannya. Selain Hadis, ada beberapa kitab Tafsir dan Sejarah. Di antara karya-karya beliau, Tafsir al-Quran al-Adzim, Fadhail al-Quran, Qaidah Ibnu Katsir fi al-Qiraat dan Muqadimmah fi Qiraat. Karya dalam Hadis pun lebih banyak dari tafsirnya seperti, al-Baits al-Hatsist fi Ikhtishar Ulum al-Quran, Takmil fi al-Jarh wa al-Tadil, Jami Masanid wa Sunan al-Hadi , Musnad Syaikhaini Abi Bakar wa Umar, Thabaqat al-Syafiiyah dan masih banyak karya lainnya. Adapun karyanya dalam bidang Sejarah adalah al-Bidayah wa al-Nihayah.

    Ibnu Katsir memiliki pengaruh yang besar dalam bidang keilmuan di zamannya. Hampir sebagian besar memuji kepribadian Ibnu Katsir khususnya pada kitab-kitab yang telah ia tulis semasa hidupnya seperti tafsir, Hadis dan bidayah wa nihayah. Seorang gurunya, Syekh al-Dzahabi berkata, Ibnu Katsir memiliki kualitas yang tinggi dalam ilmu Rijal, Matan, dan Fikih. Ia banyak mengembara untuk mencari ilmu lalu menuliskannya. Ibnu Katsir menghabiskan waktunya untuk belajar, mengajar dan berkarya. Hingga di akhir hayatnya ia kehilangan kedua matanya (baca: buta) yang diperkirakan semenjak tahun 767 H, tujuh tahun sebelum ia meninggal. Tidak ada riwayat pasti yang menjelaskan penyebab Ibnu Katsir kehilangan kedua matanya, akan tetapi diperkirakan bahwa Ibnu Katsir kelelahan karena sepanjang hidupnya ia habiskan hanya untuk menuntut ilmu, mengulang pelajaran, menulis, berdiskusi dan berfatwa. Meskipun ia buta, akal pikirannya tetap mampu membagikan ilmu kepada sesama. Inilah yang membuatnya banyak dikenang banyak orang.

    Ahli sejarah sepakat bahwa Ibnu Katsir meninggal di Damaskus tahun 774 H, sebagian besar menetapkan hari Kamis, bulan Syaban. Beliau dikuburkan di pemakaman Sufiyyah, Damaskus, di sisi makam guru yang ia hormati dan cintai, yaitu Syekh Ibnu Taimiyah.

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X I I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    Ari Kurniawati

  • M emahami al-Quran tidaklah dapat dilakukan seseorang tanpa ia memiliki alat. Abu al-Ala al-Maududi dalam hal ini, menulis karya untuk membantu kita memahami al-Quran dalam karyanya Mabadi Asasiyah li Fahmi al-Quran.

    Mengawali pembahasannya, dalam bukunya ia membedakan antara uslub wahyu dan uslub yang digunakan manusia dalam menulis. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan maklumat penting yang harus dimiliki seseorang sebelum memahami al-Quran, dilanjutkan dengan hakikat al-Quran sendiri hingga berakhir pada seputar perbedaan dalam menafsirkan al-Quran. Secara umum, buku-buku yang kita baca lebih membahas pada hal tertentu sesuai dengan judulnya. Namun akan kita temukan al-Quran dengan uslub yang belum pernah digunakan dalam buku-buku. Semuanya dituangkan tidak hanya sekali akan tetapi diulang-ulang serta dengan uslub yang bermacam-macam. Untuk mendapatkan ajaran yang ada dalam al-Quran, maka kita harus mengimaninya. Hal ini berbeda dengan mereka yang tidak beriman atau mempercayai al-Quran atau mempelajarinya hanya untuk memberikan syubhat. Orang-orang seperti ini tidak akan menemukan hakikat yang diajarkan al-Quran. Adapun hal penting yang harus dimiliki seseorang dalam memahami al-Quran ialah kita harus mengetahui dari jenis apakah kitab al-Quran itu? Bagaimanakah penurunannya? Apakah pembahasan yang ada di dalamnya? Apakah maksud atau

    tujuan dalam al-Quran sendiri? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang seharusnya dapat dijawab dan diketahui oleh seorang yang ingin memahami al-Quran. Kesalahan mereka yang jatuh dalam syubhat tidak lain karena tidak adanya pengetahuan yang dimiliki tentang al-Quran. Tidak hanya itu, kita juga harus mengetahui hakikat al-Quran sendiri. Dalam masalah ini Abu al-Ala al-Maududi menuliskan beberapa poin, pertama, Allah menciptakan alam dan manusia di dalamnya, memberikan akal yang dengannya manusia dapat membedakan hak dan batil, serta memberikan manusia kebebasan untuk memilih antara keduanya. Kedua, ketika Allah telah memberikan hal tersebut, maka ketika itu pula Ia menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain-Nya. Selain itu, Ia pun menjadikan akhirat tujuan dalam kehidupan manusia. Barangsiapa melanggarnya ia masuk dalam ajaran yang tidak dikehendaki Allah. Ketiga, Allah tidak menciptakan manusia kecuali ia dapat membedakan hak dan batil, namun sebagian dari mereka tidak mengikuti ajaran yang benar. Keempat, Allah memilih seorang di antara manusia untuk menunjukan ajaran yang sesuai dengan perintah-Nya. Kelima, diutuslah rasul di setiap umat, akan tetapi tidak semua beriman kepadanya. Di antara mereka ada yang mengimaninya dan sebaliknya. Terakhir diutuslah Nabi Muhammad guna menunjukan umat Islam pada ajaran Allah dengan al-Quran yang merupakan kitab umat Islam. Di dalamnya terdapat petunjuk Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad.

    Komponen Dasar Memahami Al-Quran

    Jauharotun Naqiyah

    Data Buku:

    Judul: Mabadi

    Asasiyyah li Fahmi

    al-Quran

    Penulis: Abu al-

    Ala al-Maududhi

    Penerbit: Dar al-

    Qalam

    Tahun: 2011

    1 1 M A R J A

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X 1 I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    Pembahasan dan fokus al-Quran ialah manusia, tentang apakah yang menjadi sebab kebahagiaan dan kerugiannya. Al-Quran diturunkan untuk membawa manusia pada ajaran yang diinginkan Allah. Di akhir pembahasan, Abu al-Ala Maududi juga menuliskan metode seseorang dalam mempelajari al-Quran lebih detail baik secara global (ijmali) atau terperinci (tafsili) bagi mereka yang ingin mendalami al-Quran. Secara global, seorang yang ingin mempelajari al-Quran harus melepaskan pemikiran yang tidak berkaitan dengan al-Quran. Selain itu, ia juga harus menjernihkan pikirannya dari segala hal yang memungkinkannya jatuh dalam syubhat. Kemudian membuka akalnya dengan hati terbuka dan kesadaran akan sebuah tujuan suci, yaitu memahami al-Quran. Dengan hal ini, seorang yang ingin memahami al-Quran harus mengulang-ulang tanpa henti dalam mempelajarinya. Tidak hanya itu, setelah seorang mempelajarinya secara global, maka ia harus mempelajari secara terperinci, dengan menetapkan dalam pikirannya setiap segi yang diajarkan al-Quran pada saat mempelajarinya. Inti dari bagaimana kita bisa memahami al-Quran ialah bahwa seorang tidak akan dapat menemukan permata dalam al-Quran pun ruhnya selama ia tidak melakukan apa-apa yang datang dari al-Quran. Wallahu Alam bi al-Shawab.

  • Membumikan Islam dengan Akhlak Mulia

    A da pesan menarik yang saya tangkap dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabila. Dalam novel tersebut, Hanum menyampaikan urgensi perangai yang

    baik bagi seorang Muslim. Menurutnya, untuk menjadi agen Muslim yang baik, kita tidak harus melakukan suatu hal yang besar. Namun sebaliknya, perubahan besar dimulai dari hal-hal sederhana, dari etika misalnya.

    Dalam film yang diadapsi dari novel tersebut, kita kemudian diajak melihat bagaimana kehancuran Islam berawal dari hilangnya perangai mulia dari pemimpin kaum Muslim di masa lalu. Hal yang tidak jauh berbeda dapat kita lihat langsung saat ini. Pemimpin kita lebih banyak mendahulukan kepentingannya, dan bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapai misi tersebut. Sepertinya mereka telah lupa pelajaran tentang budi pekerti yang telah didapatkan sejak dini. Mungkin mereka dan tentu saja semua umat Muslim perlu kembali belajar dan menelaah pelajaran bernama akhlak mulia.

    Pada dasarnya, Islam terdiri dari tiga pilar utama, yaitu akidah, syariat dan akhlak. Ketiganya harus ada pada diri setiap mukmin. Seorang Muslim dituntut untuk tidak hanya sempurna dalam beribadah kepada Allah, namun ia juga dibebani untuk berbuat baik kepada semua makhluk yang ada di sekitarnya. Dalam arti lain, hubungan vertikal (dengan Khalik) dan horizontal (dengan makhluk) harus seimbang.

    Jika beribadah dilakukan pada waktu-waktu tertentu, bahkan dapat ditinggalkan jika ada udzur syari dan diganti di waktu lain, maka tidak demikian halnya dengan akhlak. Akhlak harus dilakukan kapanpun dan di manapun, sebab sebagian besar waktu manusia digunakan untuk berinteraksi dengan sesamanya. Saat itulah peran akhlak karimah dibutuhkan.

    Dalam berinteraksi dengan orang lain, kita hendaknya mengutamakan dan selalu berprilaku baik, sebab jika tidak, kita akan masuk dalam barisan orang-orang yang rugi di akhirat kelak. Rasulullah SAW bertanya kepada Sahabat, Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu? Para Sahabat menjawab: Menurut kami, orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta. Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah mereka yang pada hari Kiamat datang dengan salat, puasa dan zakat, namun mereka suka mencaci, menuduh orang lain berzina, memakan harta, menyakiti dan membunuh orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang tersebut diambil untuk dibebankan kepadanya, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka. (HR. Muslim dan Tirmidzi)

    Begitu pentingnya masalah akhlak ini, sampai Rasulullah memohon kepada Allah untuk dianugerahkan kepadanya akhlak mulia, Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menciptakanku dengan bentuk yang sempurna, maka perbaikilah akhlakku. Tidak hanya itu, dalam Hadis lainnya

    Rasulullah juga meminta untuk dijauhkan dari budi pekerti tercela, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbagai kemungkaran akhlak, amal, hawa nafsu dan segala penyakit. (HR. Tirmidzi dan Thabrani)

    Mayoritas manusia menilai sebuah agama berdasarkan perangai dan tindakan pemeluknya. Oleh karena itu, umat Islam berkewajiban mendidik dan membina anak-anak mereka untuk berakhlak baik, sehingga di kemudian hari mereka mampu menunjukkan pada masyarakat bahwa Islam mengajarkan perangai mulia.

    Prilaku yang baik adalah kunci utama terbentuknya sebuah masyarakat yang baik. Jika individu-individu yang ada dalam sebuah masyarakat berakhlak mulia, maka bisa dipastikan akan ada kerjasama yang baik antar individu. Mereka kemudian akan bahu-membahu dalam kebaikan. Dengan begitu, rahmat Allah akan turun pada masyarakat tersebut.

    Ada banyak keuntungan yang akan kita dapatkan ketika kita berakhlak mulia. Pertama, kita akan disukai dan dicintai oleh banyak orang, karena setiap manusia pasti suka dengan orang-orang yang berakhlak mulia. Kedua, kita turut berperan menyebarkan nilai-nilai Islam yang lurus dan sangat menjunjung budi pekerti luhur. Ketiga, kita akan menjadi orang yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW serta menjadi orang yang paling dekat dengannya kelak di hari Kiamat. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat denganku pada hari Kiamat ialah orang yang akhlaknya paling mulia. Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya dariku pada hari akhir ialah orang yang paling banyak bicara (kata-kata tidak bermanfaat dan memperolok manusia)." Para Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling banyak bicara itu?" Nabi menjawab: "Yaitu orang-orang yang sombong." (HR. Tirmidzi)

    Dengan berakhlak mulia, seorang Muslim bisa mencapai derajat para ahli ibadah yang beribadah kepada Allah siang dan malam; yang selalu berpuasa dan memohon ampunan kepada Allah di waktu malam menjelang fajar. Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya seorang Muslim yang ibadahnya sedang-sedang saja, dapat mencapai dan menyamai derajat orang-orang yang selalu berpuasa dan melantunkan ayat suci al-Quran dengan akhlak mulia dan kebiasaanya baik. (HR. Ahmad dan Thabrani)

    Apabila seseorang ingin berperangai mulia, maka hendaknya ia meniru akhlak Rasulullah yang telah mendapat pengakuan dari Allah sebagai makhluk yang paling mulia akhlaknya. Hal ini sebagaimana termaktub dalam QS. al-Qalam: 4, Dan sungguh engkau (wahai Muhammad) memiliki budi pekerti yang sangat mulia. Rasulullah merupakan teladan terbaik bagi siapapun yang ingin berakhlak mulia. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat, dan Dia banyak menyebut nama Allah. (QS. al-Ahzab: 21). Wallahu Alam bi al-Shawab.

    1 2 S A L A M

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I X 1 I , D E S E M B E R 2 0 1 4

    Novan Hariansyah