data pengling
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Riparia
Riparia berasal dari bahasa Latin riparius. Menurut Kamus Webster, riparia
artinya “milik tepi sungai”. Istilah riparia secara umum menggantikan bahasa
Latin tersebut. Riparia biasanya menggambarkan komunitas biotik yang
menghuni tepian sungai, kolam, danau dan lahan basah lainnya (Naiman et al.
2000; Naiman et al. 2005). Naiman et al. (2005) menggunakan istilah “riparian”
sebagai kata sifat dan istilah “riparia” sebagai kata benda tunggal atau majemuk.
Istilah riparia untuk menekankan pada perpaduan biotik dari zona transisi akuatik-
teresterial yang berasosiasi dengan air mengalir.
Definisi lain tentang riparia juga telah disebutkan oleh berbagai peneliti. Definisi
memang bervariasi tetapi pada dasarnya tetap menyebutkan bahwa riparia adalah
ekosistem peralihan antara ekosistem akuatik dan teresterial. Ekosistem peralihan
antara daratan dan perairan ini disebut ekoton (Odum 1971; Petts 1990).
Peneliti menggunakan beberapa istilah yang merujuk ke riparia yaitu hutan
riparian (Gosselink et al. 1980), riparian rheophyt (Steenis 1981), koridor sungai
(river-corridor) (House dan Sangster 1991), ekosistem riparian (Mitsch dan
Gosselink 1993), lahan basah riparian (Hanson et al. 1994), zona riparian
(riparian zone) (Malanson 1995), area riparian (Ilhardt et al. 2000), tepian sungai
(river-margin) (Jansson et al.2000), dan riparian buffer (Turner et al. 2001).
Riparia terletak mulai dari zona banjir tetap di dekat sungai hingga ke daratan
mesik (Gosselink et al. 1980; Huffman dan Forsythe 1981). Daratan mesik adalah
tepian sungai yang lembab akibat kadangkala terkena banjir pada waktu singkat
atau saat hujan deras (Langdon et al. 1981). Malanson (1995) mendefinisikan
zona riparian sebagai ekosistem yang dipengaruhi sungai. Turner et al. (2001)
mendefinisikan riparian buffer adalah area vegetasi yang relatif tidak terganggu di
sepanjang sungai atau danau, mempengaruhi transport nutrien dan sedimen dari
area urban-pertanian daratan atas ke ekosistem akuatik. Menurut Naiman et al.
(2005), zona riparian adalah area semiteresterial transisional/peralihan yang secara
reguler dipengaruhi oleh air tawar, biasanya meluap dari tepian badan perairan ke
tepian komunitas daratan atas (upland).8
Secara umum, Mitsch dan Gosselink (1993) mendefinisikan ekosistem riparian
adalah daratan yang berada di dekat sungai atau badan air lainnya yang paling
tidak secara periodik dipengaruhi oleh banjir. Ekosistem riparian ditemukan di
mana ada sungai yang pada saat tertentu terkena menyebabkan banjir luapan
melampaui badan/saluran sungai. Riparia dapat berupa lembah aluvial yang besar
dengan lebar puluhan kilometer di daerah basah atau vegetasi tepian sungai
dengan lebar sempit di daerah kering.
Ilhardt et al. (2000) mencoba memberikan definisi fungsional dari area riparian.
Mereka berpendapat bahwa dalam area riparian ada tiga hal yaitu mencakup air
atau feature yang mengandung air atau mentransportkan air, riparian adalah
ekoton, riparian memiliki lebar yang sangat bervariasi. Berdasarkan hal tersebut,
definisi fungsional dari area riparian adalah ekoton 3-dimensional dari interaksi
ekosistem teresterial dan akuatik, yang meluas menuju groundwater, ke atas
menuju kanopi, melintasi dataran banjir, ke atas mendekati lereng yang
mendrainasi ke air, secara lateral ke ekosistem teresterial dan sepanjang badan air
pada lebar yang bervariasi.
Ekosistem riparian memiliki karakter khas yang membedakannya dengan
ekosistem daratan atas (upland). Karakteristik riparian yaitu air yang melimpah
dan kaya akan tanah aluvial (Brinson et al.1981). Ekosistem riparian menurut
Brinson et al. (1981) memiliki tiga karakter umum yang membedakannya dengan
ekosistem yaitu:
a. Ekosistem riparian secara umum memiliki suatu bentuk linear sebagai akibat
dari proksimitasnya ke sungai.
b. Energi dan materi yang berasal dari sekitar lansekap bergabung (converge) dan
menuju ekosistem riparian dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripada
ekosistem lahan basah lainnya. Oleh karena itu, sistem riparian adalah sistem
terbuka.
c. Ekosistem riparian secara fungsional berhubungan dengan sungai bagian hulu
dan bagian hilir dan secara lateral berhubungan dengan ekosistem lereng atas
(daratan) dan lereng bawah (akuatik).
Naiman et al. (2005) berpendapat bahwa zona riparian adalah sistem multidimensi
yang dibentuk oleh beberapa prinsip dasar yaitu: 9
a. Gradien saturasi air ditentukan oleh topografi, materi geologi dan
hidrodinamika.
b. Proses biofisik diarahkan oleh saturasi air dinamik dan gradien energi.
c. Entitas permukaan/surface dan subsurface menyediakan umpan balik yang
mengendalikan energi organik dan fluks materi.
d. Komunitas biotik distrukturkan dan diatur dalam ruang dan waktu sepanjang
gradien dalam tiga dimensi: longitudinal, lateral dan vertikal.
Walaupun demikian, zona riparian tidak mudah didelineasi secara tepat karena
heterogenitas biofisik yang berhubungan dengan koridor sungai. Lebar zona
riparian yang sesungguhnya berhubungan dengan ukuran sungai, posisi sungai
dalam jaringan drainase, regime hidrologis dan konfigurasi fisik lokal. Oleh
karena itu, delineasi zona riparian tergantung pada pemilihan karakteristik
lingkungan yang berpengaruh kuat pada komunitas tumbuhan atau atribut lain
yang mudah dikenali. Secara umum, delineasi zona riparian melalui pengukuran
spasial dari tumbuhan herba yang telah beradaptasi dengan tanah lembab,
produksi sumberdaya hara untuk sistem akuatik, geomorfologi lokal dan
identifikasi area yang menunjukkan kekerapan erosi sedimen atau sedimentasi
(Naiman et al. 2005). Malanson (1995) juga menyebutkan bahwa karakteristik
zona riparian sangat bervariasi. Karakter ekoton dari riparia kadang jelas karena
gradien pendek namun kadang sulit dibedakan sebab gradien yang lebar. Karakter
lahan basah yang dimiliki riparia juga bervariasi. Beberapa riparia yang dekat
dengan sungai tidak berupa lahan basah, tidak dipengaruhi banjir saat tertentu dan
tidak memiliki air muka tanah yang tinggi. Oleh karena itu, penentuan zona
riparian dapat dilakukan dengan memperhatikan bentuk topografi dan regim
hidrologis untuk menguji gradien air muka tanah.
Definisi operasional tentang zona riparian pada penelitian ini mengikuti definisi
yang telah dikemukan oleh Gosselink et al. (1980); Huffman dan Forsythe (1981);
Mitsch dan Gosselink (1993) dan Naiman et al. (2005). Zona riparian adalah
daratan yang berada di dekat Sungai Cisadane yang secara periodik dipengaruhi
oleh banjir. Tumbuhan yang 10
dipengaruhi banjir menjadi karakteristik lingkungan dalam mendelineasi zona
riparian.
Menurut Kepres No.32/1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, sempadan
sungai adalah kawasan sepanjang kanan kiri sungai, termasuk sungai
buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan fungsi sungai. Lebar sempadan sungai berbeda-beda tergantung
pada lebar sungai dan lokasi sungai. Pasal 16 menetapkan lebar sempadan sungai
besar di luar pemukiman (≥ 100 m), anak sungai besar (≥ 50 m) dan di daerah
permukiman berupa jalan inspeksi (10-15m) (Anonim 1990).
Pemerintah melalui PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional pada Pasal 56 ayat 2 telah menetapkan batas sempadan sungai yang
bertanggul paling sedikit 5 meter dari kaki tanggul sebelah luar. Lebar sempadan
sungai besar tidak bertanggul di luar permukiman paling sedikit 100 meter dari
tepi sungai. Lebar sempadan anak sungai tidak bertanggul di luar permukiman
paling sedikit 50 meter dari tepi sungai (Anonim 2008).
Lebar sempadan sungai tiap daerah tidak sama dan dapat berubah. Pemerintah
Tangerang melalui Perda No.8/1994 telah menetapkan lebar sempadan Sungai
Cisadane yaitu 20 m dihitung dari tepi sungai (Anonim 1994). Pemerintah Jawa
Barat, sesuai dengan Perda No.2/2006 tentang Sempadan Sungai Jawa Barat,
menetapkan lebar sempadan sungai di perkotaan maksimum hanya sebesar 5
meter dari tanggul terluar sebab di perkotaan banyak terjadi konflik (Bapeda Jabar
2007).
2.2 Fungsi dan Nilai Riparia
Riparia memiliki karakteristik fungsional ganda sebagai akibat lingkungan fisik
yang unik. Secara umum mudah dikenali bahwa produktivitas ekosistem riparian
tinggi akibat konvergensi energi dan materi yang melintasi riparian dalam jumlah
yang besar (Mitsch dan Gosselink 1993).
Gordon et al. (2004) menyebutkan bahwa sungai memiliki 2 nilai. Nilai yang
dimiliki ekosistem sungai juga dimiliki oleh ekosistem riparian. Nilai riparia
tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu:11
1. Nilai ulitarian
Nilai pemanfataan konsumtif
Nilai pemanfaatan produktif
Nilai jasa
Nilai pendidikan dan penelitian
Nilai budaya, spiritual, eksperensial dan eksistensi
Nilai estetika, rekreasi dan wisata
2. Nilai intrinsik
Etika ekosentris
Etika biosentris
Nilai intrinsik ditekankan pada nilai dari spesies dan komunitas yang tidak
tergantung pada perspektif manusia. Nilai ulitarian tergantung pada pendapat dan
kebutuhan manusia. Nilai ekosentris mengacu pada keutuhan komunitas biologis
misalnya keterwakilan, keanekaragaman, kelangkaan dan kealamian. Nilai
biosentris menekankan akan adanya nilai pada setiap individu organisma.
Manusia perlu menghargai setiap bentuk kehidupan di lingkungan alami (Gordon
et al. 2004). FAO (1998) menyebutkan bahwa riparia memiliki empat (4) fungsi
utama yaitu mengendalikan kualitas air, melindungi habitat sungai, memberikan
naungan dan serasah organik, konservasi alami dan sebagai tempat rekreasi.
Malanson (1995) menyebutkan bahwa riparian memiliki nilai ekonomi baik
langsung maupun tidak langsung yaitu sumber kayu, mencegah banjir, mengisi
kembali akuifer, sumber air permukaan dan produktivitas perikanan. Nilai sosial
yang dimiliki riparian yaitu tempat rekreasi, penelitian, pendidikan dan
estetika/keindahan. Fungsi vegetasi riparian sangat besar bagi keberlangsungan
kehidupan organisma teresterial dan akuatik. Vegetasi riparian penting sebagai
habitat ikan, pendukung rantai makanan, habitat hidupan liar, mempertahankan
suhu, stabilisasi tepian sungai, perlindungan kualitas air, mempertahankan
morfologi sungai dan mengendalikan banjir (Chang 2006). Gangguan terhadap
riparian menjadi penyebab utama terjadinya penurunan struktur dan fungsi sungai
(Gordon et al. 2004). 12
Knight dan Bottoff (1984) yang diacu oleh Mitsch dan Gosselink (1993) mencoba
memberikan berbagai fungsi vegetasi riparian (Gambar 2). Vegetasi riparian
berperan sebagai habitat teresterial bagi hewan dewasa untuk mencari makan,
istirahat dan bersembunyi. Helaian daun berguna sebagai tempat meletakkan telur.
Vegetasi riparian dapat menaungi sungai sehingga suhu air dan produktivitas
primer dapat dipertahankan. Vegetasi riparian juga sebagai pemasok serasah
(energi) bagi sungai. Serasah yang masuk bersama dengan produsen primer akan
menjadi makanan bagi invertebrata sungai. Vegetasi riparian juga
mempertahankan kualitas dan kuantitas air sungai. Pengendalian suhu air sungai
bersama dengan kualitas dan kuantitas air sungai akan mempertahankan laju
pertumbuhan dan daur hidup invertebrata akuatik. Sungai yang memiliki makanan
bagi invertebrata akuatik dan cocok dalam menunjang pertumbuhan dan daur
hidup invertebrata akuatik merupakan habitat yang baik bagi invertebrata akuatik.
Vegetasi Riparian
Penyedia habitat teresterial
Pemasok serasah (energi) ke sungai
Penaung sungai
Pemelihara kualitas dan kuantitas air
Pengendali produksi primer
Pengendali suhu sungai
Tempat cari makan, istirahat dan bersembunyi
Tempat letakkan telur pada daun
Makanan bagi invertebrata akuatik
Ruang dan kualitas habitat invertebrata akuatik
Laju pertumbuhan dan daur hidup invertebrata akuatik
Gambar 2 Hubungan antara vegetasi riparian dan komunitas perairan sungai.
(Sumber: Knight dan Bottorff 1984 diacu oleh Mitsch WJ dan Gosselink JG 1993)
Riparia tidak hanya memiliki nilai ekologis namun juga ekonomi dan sosial. Petts
(1990) menyebutkan riparian memiliki sembilan (9) nilai yaitu:
1. Kualitas air. Riparia berperan sebagai penyaring untuk menjaga kualitas air
sungai.
13
2. Suhu air. Vegetasi riparian memberikan naungan sehingga dapat mengatur
fluktuasi air sungai.
3. Keseimbangan autotrof dan heterotrof. Vegetasi riparian dapat mengatur suhu
air dan cahaya yang masuk ke sungai yang diperlukan dalam produksi primer.
Riparia juga berperan dalam penyediaan materi organik ke sungai yang diperlukan
oleh organisma heterotrof.
4. Stabilisasi morfologi sungai. Vegetasi riparian berperan dapat mempertahankan
stabilitas tepian sungai.
5. Habitat perairan. Vegetasi riparian sebagai habitat bagi hidupan liar seperti
invertebrata dan pisces.
6. Produksi perikanan. Vegetasi riparian sebagai pemasok senyawa organik yang
diperlukan dalam rantai makanan ikan.
7. Habitat hidupan liar yang penting. Vegetasi riparian banyak dihuni oleh
berbagai macam burung.
8. Sumber kayu. Vegetasi riparian berupa pohon sebagai penghasil kayu yang
bernilai ekonomi.
9. Rekreasi dan amenity.
Hutan riparian terletak antara daratan dan sungai sehingga dapat berfungsi sebagai
buffer/penyangga. Kondisi sungai berhubungan dengan kondisi riparia sebagai
penyangga (Leavitt 1998). Hal ini disebabkan hutan riparian dapat mengendalikan
transport sedimen dan bahan-bahan kimia ke sungai (Lawrence at al.1984;
Waring dan Schlesinger 1985; Castelle et al.1994). Sedimen tersebut akan
dideposisikan di zona riparian (Waring dan Schlesinger 1985). Hutan riparian
juga berperan sebagai penyangga buangan nutrien dari agroekosistem (Lawrence
at al.1984) seperti unsur N (Jacobs dan Gilliam 1985). Peranan hutan riparian
tersebut tetap dapat berjalan walau hutan riparian berupa jalur hijau yang sempit
(Bren 1993). Unsur nitrogen masuk ke sungai melalui aliran air bawah tanah
(ground water flow) akan difilter oleh hutan riparian (Mayer et al. 2005).
Hutan riparian juga akan mereduksi erosi tebing (Waring dan Schlesinger 1985;
Castelle et al. 1994; Jones et al.1999) melalui akar dari pohon-pohon besar yang
dapat mengikat tanah (Waring dan Schlesinger 1985). Riparia juga berfungsi 14
mengurangi kecepatan arus sebab vegetasi riparian, berupa pohon dan semak,
mampu mengurangi aliran air (Waring dan Schlesinger 1985). Vegetasi riparian
juga berperan dalam perikanan (Waring dan Schlesinger 1985; Allan 1995;
Johnson et al. 1995).
Hutan riparian penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati. Riparia
merupakan ekoton yang terletak antara daratan dan sungai. Oleh karena itu, riparia
memiliki ciri yang unik sebagai akibat interaksi yang kuat antara kedua ekosistem
tersebut (Castelle et al. 1994). Keanekaragaman habitat di riparia akan mengarah
ke diferensiasi niche/relung (Gosselink et al. 1980) yang menyebabkan
terbentuknya keanakeragaman jenis baik tumbuhan dan hewan di riparia (Castelle
et al. 1994). Pohon riparian baik sebagai habitat bagi invertebrata seperti serangga
(Haslam 1997). Perubahan pohon riparian baik langsung maupun tidak langsung
akan mempengaruhi hidupan liar (Petts 1990). Pohon riparian yang hilang telah
mengurangi keanekaragaman ikan yang berada di sungai (Haslam 1997). Bahkan
menurut Jones et al (1999), meskipun 95% suatu DAS berupa hutan namun jika
ada gangguan pada riparia maka hal ini akan dapat mempengaruhi biota sungai
seperti ikan. Oleh karena itu, Gordon et al. (2004) menyarankan perlunya
mempertahankan dan memperbaiki riparia agar terjadi peningkatan populasi ikan
sungai.
2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah dengan batas pemisah topografi,
baik punggung bukit maupun lapisan kedap, yang menerima, menyimpan,
menampung dan mengalirkan semua air yang jatuh di atasnya dalam suatu aliran
sungai baik berupa air permukaan, air bawah permukaan maupun air tanah dalam,
dari hulu menuju muara sungai melalui tempat-tempat tertentu ke laut lepas
(Lumeno 1986). Menurut UU No.7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, DAS
adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan
air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah tofografis dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (Anonim 2004). 15
Secara longitudinal, DAS dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu hulu, tengah dan
hilir (Lorenz 2003). DAS bagian hulu merupakan tempat sumber air yang
mengalir dari celah-celah gunung (Isdiyana 1996). Tampang alur sungai
berbentuk huruf V. Kecepatan arus besar namun debit air kecil. Alur sungai
memiliki sedimen berukuran besar. Sedimen yang berukuran kecil akan
dihanyutkan ke hilir. Kecepatan arus sungai yang tinggi sehingga memiliki daya
gerus dan kapasitas transport sedimen yang besar (Mulyanto 2007). Oleh sebab
itu, DAS hulu biasanya merupakan sumber erosi atau daerah produksi sedimen
(Isdiyana 1996). Sungai di bagian hulu memiliki karakteristik yaitu arus deras
yang menyebabkan terjadinya erosi, air dangkal, volume air kecil, dasar sungai
berbatu-batu, suhu air rendah, stenothermal (kisaran suhu sempit), oligotrofik,
kaya oksigen. Jenis hewan dan tumbuhan di sungai bagian hulu telah beradaptasi
dengan kondisi arus sungai yang deras seperti hewan bentik Lymnaea dan
Simulium (Hawkes 1975). DAS bagian tengah merupakan peralihan antara hulu
dan hilir. DAS bagian tengah merupakan tempat mentransfer air dan bahan
sedimen dari bagian hulu ke hilir. Di bagian tengah, sering terjadi tikungan-
tikungan sungai (meander) yang kadang-kadang berpindah-pindah akibat adanya
proses penggerusan dan pengendapan (Isdiyana 1996). Air sungai bagian tengah
masih kaya oksigen, kisaran suhu air lebih lebar. Kecepatan arus telah berkurang
menjadi arus sedang yang memungkinkan vegetasi tumbuh dan material dasar
sungai lebih halus. Hewan bentik yang telah beradaptasi dengan kondisi tersebut
misalnya Ephemera dan Chironomus (Hawkes 1975).
DAS bagian hilir biasanya merupakan daerah datar atau daerah endapan alluvial.
Alur sungai di hilir cukup landai sehingga kecepatan arus rendah (Isdiyana 1996).
Tampang alur sungai berbentuk U atau trapesium. Air sungai memiliki daya gerus
rendah dan membawa sedimen yang besar yang memudahkan proses sedimentasi
(Mulyanto 2007). Sedimentasi di daerah muara menyebabkan terjadinya sungai
berjalin (braiding) dan pembentukan delta-delta (Isdiyana 1996). Sungai bagian
hilir memiliki volume air yang tinggi, air dalam, kecepatan arus lambat, kisaran
suhu lebar, suhu air tinggi, kadar oksigen rendah, 16
air keruh, dan terjadi sedimentasi yang menyebabkan dasar sungai berlumpur.
Hewan bentik yang hidup di zona ini misal Tubifex dan Nais (Hawkes 1975).
2.4 Tinjauan Umum Lokasi Penelitian
2.4.1 Letak, Topografi dan Jenis Tanah
Sungai Cisadane mengalir melintasi dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Banten.
Sungai Cisadane berhulu di Gunung Kendeng (1.764 m), Gunung Perbakti (1.699
m) dan Gunung Salak (2.211 m) yang termasuk Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat. Sungai Cisadane kemudian melintasi kota Bogor dan selanjutnya ke
wilayah Tangerang, Provinsi Banten (JICA 2006; BPDASCC 2007; Puslitbang
SDA 2006 ). Sungai Cisadane merupakan sungai utama dari Daerah Aliran Sungai
(DAS) Cisadane yang terletak di antara 6°.02’-6°.54’ LS dan 106°.17’-
107°.00’BT. DAS Cisadane dibatasi oleh sub-DAS Cimanceuri di sebelah Barat
dan DAS Ciliwung di sebelah Timur (Arwindrasti 1997).
Anak-anak Sungai Cisadane banyak diantaranya yaitu Cianten, Cisindangbarang,
Ciapus, Cihideung, Cinangneng, Ciampea, Ciaruteun, Cikaniki, Citempuan dan
Cisuuk (PUSDI-PSL IPB 1979 diacu oleh Yani et al. 1994). Sungai Cisadane
memiliki dua bendungan yaitu Bendung Empang di Bogor dan bendung Pasar
Baru di Tangerang. Kedua bendung berfungsi untuk mengairi persawahan di
daerah Bogor dan Tangerang (Dirrehab 1981).
Sungai Cisadane mengalir melintasi tiga daerah ketinggian. Pertama, DAS
Cisadane bagian Hulu merupakan pegunungan yang berketinggian ± 300–3000 m
dpl. Tofografi mulai dari datar (0-8), landai (8-15), agak curam (15-45)
hingga sangat curam (> 45 ). Kedua, DAS Cisadane bagian Tengah memiliki
ketinggian bervariasi antara 100–300 m dpl. Tofografi mulai dari datar, landai,
agak curam hingga sangat curam. Ketiga, DAS Cisadane bagian Hilir terletak
pada ketinggian 0–100m. Wilayah ini merupakan dataran dengan tofografi datar
sampai landai (Arwindrasti 1997).
Sepanjang aliran Sungai Cisadane dari hulu hingga hilir berkembang jenis tanah
aluvial. Jenis tanah ini terbentuk karena adanya pengendapan yang terangkut oleh
aliran sungai (Arwindrasti 1997). Endapan aluvial terdiri atas lempung, lanau,
pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Tekstur tanah aluvial seperti 17
liat (clay), liat berdebu (silty clay), lempung berliat (clay loam), lempung liat
berdebu (silty clay loam) (Suhendar 2005).
2.4.2 Iklim
Iklim pada kawasan DAS Cisadane menurut klasifikasi iklim Schmidt dan
Ferguson termasuk tipe iklim B. Bulan basah rata-rata selama 9 bulan dan bulan
kering rata-rata selama 3 bulan (Dirjen RLPS 2009). Suhu harian yaitu 23,3–
31,7°C. Kelembaban udara yaitu 61-89%. Lama penyinaran matahari yaitu 18-
85% (Arwindrasti 1997).
2.4.3 Hidrologi
Sungai Cisadane melintasi Kota Bogor dan Tangerang sebelum bermuara ke Laut
Jawa. Panjang Sungai Cisadane dari hulu hingga Mauk (Tangerang) yaitu 137,8
Km. Sungai Cisadane mengalir dari hulu hingga Bogor sepanjang 42 Km pada
kemiringan lebih dari 10%. Selanjutnya, Sungai Cisadane mengalir melandai dari
Bogor sampai Serpong sepanjang 44,5 km pada kemiringan 3,6%. Sungai
Cisadane akhirnya mengalir menuju Mauk sepanjang 51,3 km pada kemiringan
kurang dari 2,2% (DPMA 1989 diacu oleh Arwindrasti 1997).
2.5 Penelitian Sebelumnya tentang DAS/Sungai Cisadane dan Riparia di
Indonesia
Berbagai penelitian telah dilakukan di DAS Cisadane maupun di Sungai
Cisadane. Penelitian umumnya terdiri atas kualitas air Sungai Cisadane,
perubahan penutupan lahan dan hidrologi. Hidrologi DAS Cisadane telah dikaji
oleh Arwindrasti (1997) dan senantiasa dipantau oleh Pemerintah Provinsi Jawa
Barat dan Departemen Kehutanan. Penelitian tentang kualitas air Sungai Cisadane
dilakukan oleh Tontowi dan Rahayu (1996). Aspek pencemaran logam berat di
Sungai Cisadane sepanjang tahun 1998 hingga 2002 oleh Anggoro (2004). Kajian
struktur komunitas makrozoobentos dan kualitas fisika- kimia air telah diteliti
oleh Christianto (2002). Kualitas fisika, kimia dan mikrobiologi air Sungai
Cisadane juga telah dikaji oleh Yani et al. (1994).
Penelitian aspek estetika sempadan sungai telah diteliti oleh Pribadi (1999)
melalui perencanaan greenbelt sepanjang Sungai Mookervart, yang merupakan
anak sungai Cisadane di wilayah DKI Jakarta Barat. Rahmafitria (2004) 18
menekankan kajian pada kualitas visual dan lingkungan tepian Sungai Cisadane di
Kota Bogor. Aspek lanskap budaya riparian masyarakat di tepian Sungai Musi,
Sumatera Selatan telah dikaji oleh Febriani (2004).
Kajian tentang aspek perubahan penutupan lahan dan rehabilitasi lahan juga telah
dilakukan. Karakteristik DAS Cisadane/Sungai Cisadane bagian hulu telah dikaji
oleh Ochtora (2004). Studi tentang pengelolaan penggunaan lahan di bagian hulu
DAS Cisadane telah dilakukan oleh Puspaningsih (1997) dan Ahsoni (2008).
Sutrihadi (2006) mengkaji tentang upaya penentuan areal yang akan direhabilitasi
di DAS Cisadane bagian hulu dengan pendekatan SIG. Riswan (2003) meneliti
tentang pola perubahan pemanfaatan lahan di Sungai Cikaniki, DAS Cisadane.
Idawaty (1999) meneliti tentang perencanaan lansekap hutan mangrove di muara
Sungai Cisadane di Teluk Naga.
Penelitian tentang riparia di Indonesia masih sangat sedikit dan sebagian besar
pada keanekaragaman vegetasi riparian. Yusuf et al. (2003) meneliti
keanekaragaman vegetasi riparian dan perubahan penutupan lahan di tepian
sungai di DAS Cisadane di bagian hulu dan tengah. Penelitian yang sama
dilakukan oleh Partomihardjo dan Wiriadinata (2002) di muara anak-anak Sungai
Cisadane bagian tengah. Wiriadinata dan Setyowati (2003) tertarik untuk
mengkaji jenis vegetasi riparian yang dapat ditanam di danau, situ dan rawa di
Jabodetabek. Sunanisari et al. (2001) meneliti vegetasi riparian di Rawa Danau,
Sumatera Selatan-Lampung.
Umar (2006) meneliti pengembangan koridor Sungai Kapuas sebagai kawasan
wisata budaya. Sunarhadi et al (2001) mengkaji lebar sempadan mutlak dan
penyangga Sungai Brantas berdasarkan proses geomorfik, kemampuan lahan,
kestabilan geologis dan pengendalian penggunaan lahan.